Halmahera , the ghost
Click here to load reader
-
Upload
noi-everain -
Category
Documents
-
view
395 -
download
26
Transcript of Halmahera , the ghost
HALMAHERA
Portal Masa Lalu
NOi EVERAIN
Bab 0Kaum Moro
Kelam telah menunggangi langit diantara bayang-bayang belantara.
Permainan kolosal saling bersiul dari sisi tersembunyi hutan yang bertaburan
di punggung pegunungan daratan tertua. Terdengar alat musik tiup suku purba
pedalaman yang tak ingin tertemukan.
Mereka mengisolasikan diri di rimba Halmahera. Dan membantah
dunia luar yang asing. Tampaknya segala ritual pemanggilan pemilik alam ruh
untuk melindungi mereka lebih mendominasi sikap bijaknya.
Beberapa orang meragukan keberadaan mereka, tak tersentuh dan ada
larangan telak untuk membicarakannya. Ruh hitam telah menganggap bangsa
itu dalam kesatuan mereka. Merekalah bangsa terdalam Moro.
“Tanah kita dirampas. Biri-biri itu akan memakan rumput kita!” Salah
satu dari mereka menyeruduk pemukiman yang berupa tenda akar liar.
Kaumnya mengikut sambil menghapus jejak kehidupannya.
Sekejap semuanya telah kosong. Perdu dan pohon pun bersekongkol
menyimpan rapat-rapat rahasia mereka. Mereka bersembunyi tak begitu jauh.
Bahkan hanya sehasta dari para “biri-biri” berkuda itu menghentikan
langkahnya dengan tiba-tiba.
Satu dari mereka melompat dari punggung kuda. Ia membuka kerudung
kebesarannya. Wanita itu menatap pilu seseorang yang masih saja tegak di atas
tunggangannya.
“Apa kau yakin meninggalkanku di sini?” suaranya mengiba.
“Geffon, tak ada pilihan lain. Koloni Van Wierk telah melewati batas
pelabuhan…”
“Al, tapi mereka tak akan merampas apapun dari kita.”
“Benar.” Pria di atas kuda itu melanjutkan. “Tapi Portugis yang akan
memotong lidah siapa saja yang berdamai dengan selain mereka.”
“Lalu apa yang kau pilih?”
“Kebebasan.”
“Hanya itu, Al?”
1
“Aku seorang Raja Halmahera. Dan pilihanku adalah kehidupan kalian
semua diatas jiwa yang utuh.” Jawaban itu terdengar seperti bisikan keras.
“Tak ada pilihan terbaik. Selain berperang.”
Pria itu memutar kudanya.
“Tunggu Al…” si wanita berusaha meraih kaki sang raja. “Sebentar
lagi kau akan memiliki…” Suaranya teredam derap kuda yang berlari dan ia
menelan kalimatnya yang belum berakhir.
Sebentar lagi kau akan memiliki anak, ia melanjutkan kata-kata itu
untuk dirinya sendiri. Geffon melihat ke sekitar hutan, angin kecil melewati
telinganya, seperti memberi bisikan yang menyuruhnya lari. Lari jauhlah,
segera menjauh…”
Dan bisikan itu berakhir. Bisikan itu benar, seharusnya ia berlari. Tapi
terlambat untuk sekarang. Para makhluk berkoteka mengepungnya. Entah dari
mana mereka muncul, tampaknya mereka meyusup begitu saja dari
penglihatan.
Tangannya pendek sebatas dada, sementara kakinya kurus melengkung
setinggi kuda. Dengan mata tanpa biji hitam, mereka menumpulkan tatapan
ketakutan mangsanya.
“Sebaiknya kita apakan biri-biri ini?” Salah satu dari mereka bertanya
pada yang berjanggut penuh.
Si janggut penuh mencabut pisau dari belitan kain di pinggang
menggunakan kakinya. “Biri-biri layak dibunuh.” Ia membidik sasarannya.
Dan seorang wanita dari kaum Moro mencegah pisau itu meluncur
mengoyak. Ia berbicara dengan bahasa isyarat bibir tanpa suara.
“Baiklah. Kita biarkan dia dan anaknya hidup sampai pada waktunya.”
Ia berbalik sambil meludah.
Si wanita Moro medekat kepadanya. Geffon mundur perlahan dengan
takut. “Beruntung kau sedang hamil. Mari ikut aku,” katanya tanpa bahasa
isyarat.
Geffon mengikuti wanita itu menyeruak diantara kaum Moro yang
menatapnya dengan kebencian.
2
“M-mengapa kau menolongku?”
“Aku tidak menolongmu.” Suaranya serak. “Aku hanya memberitahu
kebenaran. Ada aturan kuno bagi kami, salah satunya adalah larangan
membunuh biri-biri yang tidur di dalam gua.”
“Biri-biri?” Geffon mengerut.
“Engkau dan sebangsamu bagi kami adalah biri-biri.”
“Lalu sampai kapan aku dan anakku dibiarkan hidup?”
“Sampai pada masanya.”
“Masa?”
Wanita Moro itu mengangguk. “Kami menunggu biri-biri itu keluar
dari gua.”
“Tidak…!” Geffon tiba-tiba menjerit. Ia hendak berlari namun si
wanita Moro lebih dahulu menelikung tangannya dengan kaki. “Biarkan aku
pergi. Anakku harus tetap hidup…”
Wanita Moro itu menepis kata-kata Geffon. “Aku akan mengajarkanmu
ilmu ramal. Suatu saat yang kau miliki itulah yang menjadikan kalian hidup.”
3
Bab 1”Tak sangka, lelakilah yang keluar dari perempuan itu.” Si wanita
Moro memberikan bayi itu pada kepala tua.
”Jangan bunuh dia,” suara lemah Geffon menghentikan si kepala tua
yang nyaris membanting bayi laki-laki itu. ”Aku sudah menjadi bagian dari
kaum kalian. Aku bisa melihat masa depan kaum kita akan keluar dari
persembunyiannya dan hidup normal seperti manusia lainnya. Kita akan
menjadi raja diantara kaum mereka. Dan raja itu adalah bayi laki-laki
ditanganmu itu.”
Lima pasang mata di ruang itu melompat kepadanya lalu melihat sang
kepala tua dengan keterkejutan yang sama.
”Itu benar,” si wanita Moro menambahkan. ”Dia mewarisi ilmu
ramalanku dengan baik. Dia menjadi bagian kita.”
”Tapi bayi ini bukan kaum kita.”
”Suatu saat dia akan menjadi yang terbaik diantara kita,” kata Geffon.
”Aku berjanji.”
”Kenapa kita harus percaya padanya?” seorang Moro lain berteriak.
”Ada larangan besar bagi peramal untuk berdusta,” kata si wanita moro
mematahkan keraguan mereka. ”Lalu apa rencanamu, Geffon?”
”Aku akan membiarkan sungai membawanya kepada bapak yang telah
membuangnya.”
***
”Anak siapa ini?”
Seorang dayang datang tergopoh-gopoh memberitahukan pada
permaisuri yang mandi tak jauh darinya.
Sungai tiba-tiba meramai oleh dayang-dayang yang berkerumun ingin
melihat apa yang terjadi. Permaisuri menggendongnya membawa ke istana dan
ia merajuk pada raja untuk mengangkat bayi itu menjadi anak mereka.
4
”Al bayi ini tak ada berbahayanya sama sekali. Apa yang salah jika kita
mengangkatnya jadi anak?” Sang permaisuri berkata. “Toh engkau tak punya
keturunan yang akan meneruskan tahtamu.”
Sang raja menghela nafas dengan berat. “Beri dia nama Quarenci
Ghobadi.”
***
27 Tahun Berlalu. Bayi itu mendewasa, dan ia telah menemukan
kehidupannya. Tentang bagaimana ia dibuang dan kembali pada bapak yang
tak pernah tahu bahwa ia memiliki seorang anak kandung.
Begitulah hingga akhirnya Quarenci menjadi raja Halmahera
menggantikan Al. Ia berusaha keras mempersatukan kaum Moro dengan
kaumnya saat pergolakan diantara perbedaan mereka tak bisa berbaur. Kaum
Moro yang bersatu dengan manusia menamakan dirinya pengikut muslim.
Sementara mereka yang tak ingin bersekutu dengan manusia, memilih
tetap berada dalam belantara dan tak tertemukan. Hingga suatu masa, lahir
putra kedua Quarenci. Ketika itu menginjak tengah malam, dan Quarenci
memacu kudanya ke dalam hutan.
Raja itu menitipkan bayinya pada kaum Moro suku terdalam. Mereka
menyambut bayi itu dengan dendam tersembunyi.
“Kenapa kau memberikannya pada kami?”
“Jika aku memiliki dua anak maka kerajaanku harus dibelah menjadi
dua. Aku tak ingin semua itu terjadi.”
“Bagaimana jika kami membunuhnya?”
“Tak masalah bagiku. Tapi ramalan Geffon mengatakan bayi itu akan
mendewasa dan menjadi seorang pemimpin diantara kalian.”
Waktupun berlalu. Quarenci telah menginjak tua, dan anak pertamanya
Togu Ghobadi mewarisi tahta kerajaan seutuhnya. Ramalan Geffon
mengatakan kebenaran bahwa bayi yang terbuang itu akan menjadi pemimpin
bangsa Moro yang membelot dari kodratnya. Namun ramalan itu tak
mengatakan malapetaka besar yang akan terjadi.
5
Dendam masa lalu yang membuat Kaum Moro terpecah memicu
perang saudara demi merebut wilayah kekuasaan.
Quarenci terbunuh ketika ia sedang tertidur. Salah satu penyusup
menikamkan pisau bengkok ke lehernya. Sementara itu Togu dan Ona Ghobadi
melarikan dua anak mereka pada salah satu pedagang yang hendak berlayar ke
luar pulau.
“Nama bayi itu Eric Ghobadi,” kata Togu. “ Dan anak perempuan ini
Flori.” Ia melempar sekantong emas pada lelaki di atas kapal. “Aku akan
mengambilnya saat ia dewasa. Dan aku akan membayarmu dengan harta yang
lebih banyak lagi jika kau merawat mereka dengan baik. Aku berjanji”
“Bagaimana kau bisa menemukanku?”
“Aku Togu Ghobadi, keturunan Geffon.”
“G-geffon...?” lelaki itu memucat. “Dia peramal yang menyebar
kutukan pada kaum pendatang di sini.” Dengan segera ia melempar kantong
uangnya seperti membuang bara api dari telapak tangannya.
“Untuk tiga kantong emas?”
Pedagang itu tetap menggeleng. Ia menarik jangkarnya bersiap
meninggalkan daratan.
“Sepuluh kantong emas?” kata Togu dengan putus asa. “Penawaran
terakhir.”
Lelaki itu menoleh. “Untuk sepuluh kantong emas.”
***
6
2
Kematian yang terlupakanPagi ini sedingin es setelah hujan pertama di bulan Juli. Orang-orang
berlalu-lalang dengan mantel bulu domba besar-besar. Memasukkan kedua
telapak tangan dengan rapat pada saku mantel. Beserta kerudung kepala
kebesaran, mereka berjalan pelan, tertunduk dan gemetaran. Kelihatannya
mantel mereka tidak mampu menghalau hawa dingin yang terlampau parah.
Seorang wanita tua nyaris terjerembab karena menginjak mantelnya
sendiri yang menjumbai menyapu tanah. Tetapi ia beruntung telah menabrak
seorang anak laki-laki yang berjalan di depannya.
Anak itu terhuyung dengan kepala yang tetap tertunduk. Tampaknya ia
tidak ingin memperlihatkan wajahnya pada orang lain. Penampilannya tidak
seperti orang yang berniat keluar rumah. Ia mengenakan kaos tipis yang
bersembunyi di balik mantel lusuh, celana jins yang tidak menutup mata
kakinya, dan sepatu kets berlubang yang memperlihatkan ujung jarinya setiap
ia berjalan. Ia bersusah payah menahan dirinya agar tidak menggigil, tapi
tampaknya kerja keras itu sia-sia.
"Oh, maaf, nak!" kata wanita tua itu sambil membetulkan letak kaca
matanya yang merosot. Kelihatannya kaca mata itu terlalu besar untuk ukuran
wajahnya yang mungil. Sekilas wanita tua itu memperhatikan anak laki-laki
yang telah menyelamatkannya dari kecelakaan fatal bagi para manula yang
terjatuh.
Mata tua yang tampak letih itu menyusur ujung kaki hingga ujung
rambut lawan bicaranya. “Siapa namamu, nak?” tanyanya. “Kau sungguh
mirip dengan anakku. Sungguh.”
"Eric—Eric Ghobadi," jawabnya dengan sangat pelan hingga hanya
terdengar seperti sebuah dengkuran. lalu si wanita tua mendekatkan telinganya
ke mulut bocah itu.
“Apa? tidak dengar!”
Ia berteriak jengkel. "Nama saya Eric, — Eric Ghobadi."
7
"Kau menyakiti telinga. Aku belum tuli,” dengusnya. “Aku hanya ingin
memastikan kaulah Eric yang aku tunggu selama ini.”
Eric menelan air liur yang tertampung dimulut. Diam-diam diamatinya
perempuan tua itu, ternyata ia berukuran kecil tapi hentakan tenaganya sangat
kuat.
“Namaku Geffon, penghuni hutan Halmahera utara.” Ia membenarkan
letak kacamatanya lalu menatap Eric dengan menantang. Kelak kau akan
mencariku. Aku akan mengikat batinmu denganku.
Eric menarik nafas seakan ingin memegangnya erat-erat. Ia merasa
seperti baru saja terbangun dari kematian saat mata Geffon memperbudak
pikirannya.
“Aku ingin berpesan kepadamu," ia menarik telinga Eric kuat-kuat
sehingga mulutnya dapat menjangkaunya dengan baik. Berbisik. "Gunakan
pikiran jernihmu, lihatlah dengan menatap tajam matanya, masuklah ke alam
bawah sadar—tundukkanlah penghuni mata itu, pastikan dia berpihak padamu,
karena segala sesuatu yang tidak bisa kau lihat bukan berarti tidak ada.”
Ia berhenti sejenak, menjauhkan mulutnya dari telinga Eric lalu berbicara
dengan nada yang sangat mendalam, menguliti tatapan Eric bagai hendak
menundukkan penghuni matanya, “Kau akan mengingat ini—tak akan bisa
melupakannya. Meskipun kematian mejemput dan memori itu hilang..." Ia
melanjutkan dengan bisikan sangat pelan hingga terdengar seperti ular yang
mendesis, tetapi sanggup menyayat penghulu telinga, melesat cepat ke otak,
dan membuat jantung berhenti berdetak sedetik. "Mungkin sebentar lagi!"
Eric berjengit. Hatinya beku seketika. Bola matanya yang berwarna
coklat tua mengikuti punggung Geffon yang bergerak menjauh.
Menit berikutnya ia melanjutkan langkahnya dengan waspada. berjalan
terhuyung, otaknya terlalu berat untuk memikirkan kata-kata wanita tua tadi..
Perutnya melilit dan ia tersadar belum mengisi perutnya sejak kemarin malam.
Ia bersusah payah untuk tidak merintih namun tetap saja orang-orang
yang melewatinya merasa kasihan. Eric berpikir dialah satu-satunya anak laki-
laki berumur lima belas tahun paling menderita di seluruh dunia.
8
Dunia ini adil pada siapa saja tapi tak pernah adil padaku. Itu adalah
kata-kata yang selalu dia ucapkan. Sejak kecil ia hanya mendapati kisah
tentang orang tua kandungnya telah membuangnya.
Dan sesuatu yang paling membuatnya hancur adalah saudara
perempuannya menghilang meninggalkannya. Di saat ia tak memiliki siapapun
kecuali orang tua asuh yang menderita penyakit mental hingga tega
menyiksanya secara tak wajar.
Harapan Eric saat ini adalah bebas dari belenggu mereka. Lari sejauh
yang dapat ia tempuh, hingga mereka tak bisa menemukannya. Terkadang ia
menoleh ke belakang dengan cemas, ia selalu berhati-hati dan bersiap
melompat ke semak apabila mendengar deru mobil seperti milik bapak
asuhnya mengendap seakan hendak menyergapnya.
Dada Eric tiba-tiba saja terasa sesak dan batuk menyerangnya bertubi-
tubi. Seorang gadis menawarinya permen jahe. Eric menatap gadis yang
terlihat lebih tua darinya itu—hampir mirip dengan ibunya. Rambutnya yang
panjang berwarna hitam seperti miliknya melambai dipermainkan angin.
Gadis itu tersenyum, “Ini—ambillah!” katanya seraya melepaskan syal
dari lehernya. Ia mendekatkan wajah lawan bicaranya lalu mengalungkan
syalnya ke leher Eric. Liontin angsa biru yang mengepakkan sayap
menggantung di depan mata Eric.
“K-kalungmu bagus.” Eric berhasil menemukan keberanian untuk
berkata.
“Ini satu-satunya yang tersisa dari kepergian orang tuaku.”
“Kemana mereka?”
Ia mengangkat bahunya. “Mungkin disuatu tempat dimana mereka
sangat merindukanku.” Gadis itu merogoh saku celananya kemudian
membanjiri telapak tangan Eric dengan manisan jahe beku. “Aku membuatnya
sendiri.”
Eric memaksa dirinya untuk tersenyum. Hatinya bergejolak ingin
mengatakan sesuatu, Apa orang tuaku juga sedang berada disuatu tempat dan
mereka sangat merindukanku?
9
"Semoga kita bertemu lagi," kata gadis itu sambil melangkah menjauh
kemudian berbalik untuk melambaikan tangan.
Eric hanya membalasnya dengan senyum yang kering, tetapi inilah
pertama kali ia menemukan senyum tulusnya. Ia menatap manisan jahe beku
yang terbungkus plastik bening lalu mengulumnya, sisanya ia masukkan
dalam saku mantel.
Eric berharap tidak bertemu dengan orang ketiga yang mengajaknya
mengobrol tentang apa yang sama sekali tidak dimengertinya. Ia kemudian
melanjutkan langkahnya ke arah tebing Tallanga. Tempat yang dulu pernah
terjadi pembunuhan massal pada jaman Portugis.
Tebing Tallanga berjarak dua kilometer dari Halmahera Utara. Kata
banyak orang, Tallanga adalah tempat misterius yang menyimpan keindahan
pada puncaknya yang tak semua orang berhasil mencapainya. Jika kau
beruntung maka kau akan menemukan pemandu yang menunjukkan jalan
menuju ke puncak. Kau bisa mengintip surga dari atas sana, begitulah kata
orang-orang. Sayanganya para pemandu itu bukan menusia melainkan roh
yang bermain dadu dengan kehidupan, jika engkau tidak beruntung maka
mereka akan memakanmu.
***
Ini adalah kali pertamanya Eric menginjakkan kaki di atas tanah
Tallanga. Ia menyusuri jalan kecil yang menanjak dan berputar-putar seperti
sebuah skrup. Di samping kirinya terbentang jurang yang bebatuan sering
meluncur dari atas secara bergantian. Sementara itu kakinya tiba-tiba terasa
sangat berat dan letih. Ia mendapati jalan yang ia lalui semakin sempit seperti
kerucut. Jalan itu terpotong. Tidak ada jalur lain yang terhubung dengan
potongan jalan yang ia lewati.
Dia memutuskan memanjat dinding tebing yang batu-batunya mencuat
seperti tangga. Eric tersengal kepayahan saat berhasil memanjat lima belas
tingkat. Pada tingkat kesembilan belas, pegangannya terasa rapuh. Pandangan
matanya kabur. Sesuatu dengan kekuatan yang sangat berlebih seakan
mendorong dadanya.
10
Sesuatu itu menyusup dalam ketakutannya. Eric tak kuasa meraih
ranting yang mungkin dapat membuatnya sedikit bertahan hidup. Semuanya
tak bisa dikendalikan dengan baik. Berlangsung sangat cepat dan menyakitkan.
Dia tidak mampu berteriak, perasaannya serba berantakan. Kemeranaan
seolah berhambur menyelubungi kalbunya yang rapuh. Seluruh kehidupan
yang sama sekali tidak menyenangkan berputar-putar di dalam pikirannya.
“Dia anak sial. Andai ia ikut mati saja bersama orang tuanya, kenapa
harus kita yang mengasuhnya?” Ibu asuhnya, Tena, meneguk alkoholnya yang
tinggal satu tetes lalu ia melempar botolnya ke arah Eric namun hancur
berkeping-keping saat menabrak meja.
Eric tergugu dalam ketakutan. Tak ada yang bisa menolongnya. Ia
balik memandang Wartog, yang sedang menghabiskan batang rokoknya yang
baru saja diambil dari bungkusnya.
“Sang pengawas menitipkannya pada kita. Ingat, sayang, sang
pengawas menjanjikan seluruh harta Ghobadi pada kita…”
“Tapi kapan sang pengawasmu itu akan mengambil si idiot ini?”suara
wanita itu tiba-tiba meledak.
“Secepatnya. Segera…”
“Aku sudah tidak tahan! Rasanya anak sial ini memperpendek
umurku.”
Jantung Eric berdebar cepat. Apa kiranya adegan yang akan terjadi
berikutnya? Akan ditampar dengan ujung sepatu yang lancip itu, atau…Eric
tidak mampu membayangkan hukuman omong kosong apa lagi yang akan ia
terima. Ia berdoa agar salah satu dari mereka menusuknya dengan pisau atau
melepaskan pelatuk pistolnya untuk mengakhiri semua ini. Tapi itu hanya akan
terjadi jika ia membuat sedikit keonaran, “Yah, semoga mereka membunuhku
malam ini…”
Eric berlari ke arah pintu. Sial! Mereka menguncinya.
“Siapa yang menyuruhmu pergi dari tempatmu, heh?”
Eric menelan air liur banyak-banyak. Keringat ketakutan menghujani
ubun-ubunnya. “Semoga mereka membunuhku,” rintihnya pada Dewaa.
11
“Apa yang kau lakukan?” Tena mendesis di telinga Eric. Nafasnya
yang berbau alkohol menyeruak tak sedap. “Kau ingin kebebasan?”
Eric mengangguk kuat-kuat.
“Apa kau bosan hidup?”
“Ya!” Eric terkejut mendengar suaranya melompat menantang.
Wartog menggeram. Saat itu Eric segera menyadari, ia telah
melakukan kesalahan besar.
“Sang pengawas akan marah besar jika aku mempersembahkan mayat
untuknya. Jadi aku tidak akan membunuhmu, tapi menyiksamu adalah
kenikmatan tersendiri bagiku.”
Ia menjilat tengkuk Eric sebelum akhirnya tertawa keras-keras.
Semenit berikutnya, pada periode yang tak Eric sadari, ia berteriak tak wajar
saat si pria menyudutkan rokoknya ke tangan korbannya.
***
Masa lalu kelabu beterbangan menghimpit relungnya. Aku tak ingin
mengingatnya. Aku ingin mati dengan tenang. Eric merasakan seperti
dihantam benda keras pada kepala belakangnya. Kemudian kegelapan
mengambil alih kesadaran. Sesuatu mengejar jiwanya yang mencoba melawan.
Sepasukan kata-kata yang merangsek ketidakteraturan otaknya. “Gunakan
pikiran jernihmu, lihatlah dengan menatap tajam matanya, masuklah ke alam
bawah sadar—tundukkanlah penghuni mata itu, pastikan dia berpihak padamu,
karena yang tidak bisa kau lihat bukan berarti tidak ada, dan yang kau lihat
dengan mata tidak sejalan dengan hati.” Berkali-kali ia harus merelakan
pikirannya dikubangi kata-kata mengerikan itu.
Beberapa saat kemudian, tiga makhluk berkelebat membangunkannya.
Cahaya tubuh mereka serasa menusuk jantung Eric. Salah satu diantara mereka
menampakkan sesosok tubuh yang mirip manusia dengan kulitnya yang pucat
masam, bibirnya merah tebal. Bermata sipit dan bertelinga mungil.
12
Makluk yang satunya memiliki otot yang mencuat mengerikan.
telinganya lebar menyerupai gajah. Bermata besar tanpa bola mata. Rambutnya
keriting tak beraturan.
Sedangkan yang lainnya berlidah panjang yang terjulur hingga
dagunya. Ia memiliki tiga mata yang salah satunya terletak di dahinya yang
menonjol. Bibirnya lebar kehitaman. Ia juga memiliki kaki yang panjang
sebelah.
Si makhluk berotot menyambar lengan Eric dengan keji. Sementara
yang lainnya menatapnya tanpa ekspresi. Dimana aku? "Lepaskan aku!” Eric
mencoba memberontak. Akan tetapi semakin ia bersusah payah memberontak,
lengannya dipelintir hingga rasanya hampir putus.
“S-siapa kalian? Jangan paksa aku..."
tidak ada satupun yang menggubris lolongannya.
"Seret dia keluar!" kata salah satu dari mereka.
Arus liar merasuk di sela kulitnya, menampar tulangnya, membekukan
darah, dan menghisap kehidupannya. Eric merasakan dadanya sakit sekali
bagaikan ditusuk dengan pisau dan lehernya tersumbat bagai dijerat dengan
kawat bergerigi.
"Kasihan. Dia mati dengan tidak wajar—sungguh roh yang malang,”
kata salah satu dari tiga makhluk itu, sementara yang lainnya mengiyakan
tanpa berkespresi.
Eric terkesiap. Mulutnya seperti tersumbat bola golf. Ia segera tersadar.
Raga yang terkapar itu adalah miliknya. Ia membuang mukanya dengan cepat.
Kematian yang diluar dugaan.
"Kau hampir terlambat ke pengadilan!" lolong makhluk berotot seraya
menyambar lengan Eric. Mereka menghilang setelah menembus dinding batu
yang berlumut.
13
BAB 2
Pengadilan Pemutusan NasibEric menginjakkan kaki dengan perlahan di atas lantai batu. Tiga
makhluk mengerikan yang selalu mengawalnya dengan cermat melayang satu
inci dari permukaan tanah. Jubah gelap mereka menjumbai menyusur udara.
Mereka memasuki gerbang yang menjulang menggapai awan hitam.
Benda itu terbuka dengan hentakan dan menimbulkan suara yang
berdebam mengagetkan. Eric disambut oleh ruangan temaram yang riuh oleh
ocehan hantu-hantu yang duduk di atas kursi yang disusun mirip anak tangga.
Kira-kira ada seribu hantu yang sibuk mengawasinya.
Makhluk mata tiga seakan hendak melahap dengan matanya yang
nyaris meluncur ke arah Eric. Ingin rasanya melarikan diri dari tempat itu, tapi
ia membayangkan lengannya pasti kena pelintir si makhluk berotot itu lagi.
Eric berjalan perlahan menuju kursi yang terbuat dari tali berjalin. Ia
sangat terkejut, tiba-tiba saja kursi itu menyambar perutnya dan
mendudukkannya dengan paksa. Hantu yang berjubah elit seperti hakim
berkelebat sambil menenteng kitab tebal. Di belakangnya puluhan pengawal
mengikutinya, sementara tiga makhluk tadi menundukkan badan hingga
punggungnya membentuk 90 derajat sempurna pada sang hakim.
Hakim itu membenamkan diri di atas singgasana yang tak terlihat.
Diletakkannya kitab tebal di atas meja yang tak tampak pula. Eric terpesona
dengan segala sesuatu yang melayang sempurna. Walau hati kecilnya berharap
kejadian hari itu semuanya hanya ilusi. Bukan. Semoga semuanya mimpi di
siang bolong.
Namun tampaknya ia harus menerima kenyataan semua yang
dialaminya bukanlah mimpi. Ia melompat ketika ledakan meraung membenam
keributan.
14
"Sidang dimulai!" suara sang hakim menyeruak dibarengi lusinan lilin
menyala hijau zamrud pada Chandelier. Eric meyakini ada tangan tak tampak
yang mengukir batu prisma yang tergolek di depan makhluk itu. Hakim Ketua.
Para hantu terdiam seperti ada sesuatu yang memaksa mereka
menghentikan bisikan ribut yang tidak berguna itu.
"Terdakwa, err... siapa nama anda, eh?" tanya hakim ketua dengan
suara dingin. Eric bisa melihat urat-uratnya mencuat menabrak kulitnya yang
berbuku-buku.
Hantu itu sibuk membolak-balikkan kitab tebal tampak sedang mencari
sesuatu yang maha penting. Sementara tiga makhluk berwujud mengerikan
mendampingi di sampingnya.
Eric terdiam. Tiba-tiba perasaannya mencelos. Ia seperti kehilangan
sesuatu yang Maha besar. Tidak. Lebih tepatnya ia tidak tahu siapa namanya.
Rasa-rasanya otaknya hanya berisi rongga udara yang berdesing ketika
diterjang angin.
Dia mencoba mengira-ngira namanya sendiri. Lupa nama orang lain itu
biasa, tapi lupa nama sendiri kedengarannya sangat idiot.
Okelah, Lano, nama Lano tidak ada jeleknya. Tapi Eric mengurungkan
niat itu. “Saya, err ... saya tidak tahu, eh tidak, saya lupa,” jawabnya ragu-ragu
dengan penuh nada menyesal. “yah, seperti itulah lebih tepatnya.”
Eric benar-benar ingin menyerobot udara banyak-banyak lalu
mengehembuskannya supaya lebih lega. Tapi ia hanya mendapati irama
desingan merayap di kepalanya. Sejenak ia sadar. Ini kehidupan setelah
kematian. Tidak!
Para hantu melolong mencemooh, "Oh, kasus hilang ingatan lagi! "seru
salah satu di antara mereka yang mulai tidak sabar. Tangan-tangan panjang
yang menggelepar dari podium nyaris mencakar Eric jika saja si makhluk
berotot itu tidak sigap mematahkannya.
Dentuman mengagetkan meraung liar memaksa suasana kembali
senyap.
15
"Maaf, Yang Mulia, Nama saya Ona Ghobadi dan terdakwa tersebut
adalah anak saya," seorang wanita berdiri dengan tergopoh-gopoh.
Ibu? Eric tidak tahu dari mana datangnya wanita itu, tapi ia merasakan
ada sesuatu yang mengaduk-aduk perasaannya ketika mendengar suaranya
yang lembut. Ibu. Tiba-tiba saja ia sangat ingin memeluknya.
"Dia bernama Eric Ghobadi."
"Eric Ghobadi” Hakim ketua mengulang kata itu. Jemarinya dengan
lincah membalik lembaran kitab. Kacamata besar bergagang tanduk rusa
membenamkan matanya yang berkerut-kerut. “Lahir bulan April hari ke dua
belas tahun ke sembilan puluh. Anak kandung ke dua dari Togu Ghobadi.”
Hakim itu melecutkan pandangannya ke arah Eric. Kacamatanya nyaris
terjatuh karena hentakannya yang tak terduga. Ia berkata lagi dengan nada
yang tajam, “Aku telah mengetahui bagaimana kematianmu karena segalanya
telah tertulis. Semua keturunan Ghobadi telah disumpah tentang bagaimana dia
hidup dan bagaimana dia mati.”
Eric mual mendengarnya. Ingin rasanya ia menyusut menjadi kecil lalu
meringkuk dalam bola. Menurutnya ini adalah sebuah teori yang tidak masuk
akal. Ia ingin berinterupsi namun kerongkongannya serasa kering dan
tersumbat. Ia bersusah payah mengingat semua yang telah terjadi pada dirinya.
Kepalanya menjadi semakin berat dan rasanya seperti mau meledak.
"Hari ke sembilan bulan Juli tahun ke lima. Saudara Eric Ghobadi
dinyatakan meninggal di Tebing Tallanga, pukul enam lebih enam puluh tujuh
menit waktu pengadilan.”
Mata hakim ketua mengawasi Eric, menunggu jawabannya. Eric
mengangguk berpura-pura mengerti.
Hakim keriput menggerung kemudian menulis sesuatu pada halaman
tengah-tengah kitab tebal.
"Dia kehilangan memori - kematiannya begitu tragis, seperti hidupnya
yang merana," kata hakim keriput setelah selesai menulis. Mencelupkan bulu
elang hitam ke dalam tinta merah.
16
"Kau -er ... maksud kami, Saudara Eric Ghobadi. Berada dalam urutan
lingkaran abu-abu. Hantu yang kehilangan memori. Bukan begitu, Ghobadi?
Eric terkejut, dia sama sekali tidak memperhatikan hakim keriput
berbicara.
"Er ... maaf?"
"Saudara berada dalam urutan abu-abu, di bawah Taro Kohara yang
meninggal selang seperseributiga detik dari anda," jawab hakim keriput sambil
mengawasi Eric dengan jengkel.
Eric mengangguk seolah mengerti. Ia ingin semuanya cepat berakhir
dan ia sesegera mungkin pergi dari tempat aneh itu. Hakim ketua mengalihkan
perhatiannya pada pena bulu lalu menulis tak jelas pada kitabnya.
"Saudara terdakwa harus menentukan takdir hidupnya, kehidupan akan
terus berlanjut karena belum waktunya dunia tanpa batas menjemput anda.” Ia
berhenti sejenak memandang Eric yang balas memandangnya dengan tatapan
bosan. “Saudara bisa memilih menjadi golongan Satanic Mask, mereka
bergentayangan dan mengganggu manusia tetapi manusia tidak dapat
menyentuh mereka. Sanggup membuat manusia memekik setengah sadar
karena ketakutan. Kekuatan sihir standar. Hanya saja kelemahannya terletak
pada cahaya alam.
“Peri Ghaits, Si pemalas. Kehebatannya adalah dapat melakukan sihir
di atas standar. Namun ia tak tahan dengan sinar alam, beberapa diantaranya
lumpuh dan terbakar sia-sia karena ceroboh.
“Lucifer. Tinggal tenang di gunung api bawah laut. Mereka
menyebutnya api perairan. Lucifer merakit kendaraan berbeda dari hasil
jarahan pada saat bintang muda Lucifer berada pada arah jam tiga dari bumi.
Dan saat itulah api akan berhembus menembus perairan.
“Ocupant yang dapat bertransformasi menjadi hewan atau manusia,
sayangnya mereka sangat licik, tetapi diantaranya terlampau baik sehingga
mudah diperalat.
"Patred, golongan hati pendosa, mereka yang misterius, sulit dideteksi
dan roh para pengkhianat. Mereka bisa merubah diri menjadi wujud benda.
17
“Geogle, Merekalah golongan tertinggi, dan satu-satunya yang berhak
menjadi pewaris Emperor. Para roh yang memiliki hati ksatria, tangguh, dan
teguh. Dunia kelam menyebutnya ksatria langit.”
Hakim keriput menghentakkan palu batunya pada tatakan piringan
hitam. “Silahkan tentukan jalan hidup saudara dengan pertimbangan dan
konsekuensi yang anda hadapi.”
Eric terperanjat, ia yang sama sekali tidak mengerti apa yang dijelaskan
baru saja.
"Saya harap anda tidak membunuh waktu," kata hantu tua itu dengan
suara bergetar. Matanya sibuk bercengkerama bersama kitabnya namun Eric
merasa hakim itu sedang mengaduk otaknya.
Perlahan telinga Eric menangkap sebuah teriakan kecil berdengung di
telinganya. "Eric, anakku, jadilah Geogle! Ksatria langit adalah dirimu, takdir
itu memang benar adanya."
Eric membeku sejenak. Pikirannya bergejolak. Bergumam seakan
sedang berunding dengan dirinya sendiri. Ia memerlukan waktu untuk
mencerna suara wanita yang baru saja didengarnya. Suara seseorang yang
sepertinya sangat ia rindukan sejak lama namun tak ia dapatkan. Ibu.
Desiran udara yang tak hadir seolah sedang mencekik
kerongkongannya. Bibirnya membuka tanpa suara, pandangannya menyusur
ruangan sidang dan ia mendapati ratusan makhluk di sekelilingnya sedang
melotot tidak sabar.
“Geogle” geragapnya. Ia merinding mendengar kata-katanya sendiri.
Meskipun suaranya tidak terdengar jelas tapi tempat itu segera ramai dengan
komentar yang bagi Eric itu terdengar seperti kutukan.
"Geogle!" ulang Eric dengan hati-hati.
"Bocah itu? Geogle ? oh...memalukan," kata salah satu hantu disambut
hinaan hantu yang lain.
“Sombong sekali dia?”
“Menurunkan martabat Geogle sejati!”
18
Para hantu mencemooh dengan anarkis. Beberapa diantaranya mencoba
melempar kaleng bekas, botol soda, sepatu, hingga air comberan dalam bola
plastik, namun tiga ajudan hakim keriput terburu mengkisnya dengan
sempurna sehingga rongsokan itu mengenai si pelempar dengan serangan yang
lebih mengenaskan.
Mendadak Eric menyesal telah lancang menempatkan pilihan pada
Geogle. Tapi ia berusaha keras menyembunyikan ketidaknyamanannya itu. Ia
tetap duduk normal bersandar pada punggung kursi. Jarinya saling mengatup di
atas pangkuannya. Dan tatapannya berkilat seperti semburat matahari terbit.
"Geogle?" gumam hakim keriput lirih dengan nada keraguan dalam
ucapannya, "Maaf saudara baru saja kehilangan memori. Kehilangan dirinya
sendiri. Saudara Eric Ghobadi berhak memilih takdirnya, tetapi kami lebih
berhak menentukan," katanya sambil menggosok ujung palu dengan bimbang.
Kedua alisnya bertaut seolah sedang bersusah payah melucuti pikiran Eric.
“Maaf saya lancang Yang Mulia, nama saya Togu Ghobadi.” Suara
seorang Pria seolah membangunkan Eric dari beban kekhawatiran yang
membenamnya. Eric buru-buru melecutkan mata ke arahnya, wajah pria itu
tenggelam dalam kerudung jubahnya yang besar sehingga hanya janggut
lancipnya saja yang tampak. “Tidak ada Undang-Undang yang menyatakan
kehilangan memori adalah kesalahan fatal sebagai bangsa Geogle, Mohon
kebijaksanaan Yang Mulia.”
"Memori saya tidak sepenuhnya hilang, saya masih ingat sesuatu," seru
Eric saat hakim itu nyaris memukulkan palunya. "Saya masih ingat kata-kata
ini,” Ia berhenti sejenak, sungguh-sungguh angin disekitarnya serasa
membungkam mulutnya, ia menggigil seperti ada yang menghujani es di
kepalanya. “Gunakan pikiran jernihmu, lihatlah dengan menatap tajam
matanya, masuklah ke alam bawah sadar—tundukkanlah penghuni mata itu,
pastikan dia berpihak padamu, karena segala sesuatu yang tidak bisa kau lihat
bukan berarti tidak ada.”
Hakim keriput beranjak dari kursinya, menutup kitab keras-keras
sehingga tinta merahnya meluber membasahi meja yang tak tampak. Para
19
hantu membuat suara gaduh, beberapa diantaranya berteriak melengking
memuakkan seolah Eric telah melempar peledak di ruangan itu.
“I-itu kata yang diucapkan Master Quarenci saat sidang,” rintih salah
satu hantu dengan muka keterkejutan yang belum hilang. Satanic di
sampingnya menampar pipinya hingga membelesak ke dalam.
“Benar-benar pewaris Emperor, ia sama luar biasanya seperti Master
Quarenci,” desah salah satu hadirin sambil takhenti-hentinya mencucurkan air
mata. Ia berulangkali membersihkan ingusnya dengan lengan bajunya. “Sudah
kubilang anak itu tidak berdosa, dia tampan dan dia hebat dan dia luar biasa.”
Ia mencekik leher suaminya ketika laki-laki itu mencibir kata-katanya.
Hakim ketua memukul palunya berkali-kali tapi ocehan yang
meramaikan ruang itu tidak berhenti. Suasana senyap terjadi ketika dentuman
memekakkan telinga hampir merobohkan ruang itu.
Hakim ketua berjalan mendekat ke arah Eric sambil menenteng kitab
tebal di lengan kanannya. Jubah agungnya menyapu lantai batu yang
dilaluinya. Mata putihnya yang terlihat letih menatap Eric dengan kewibaan
yang tak terlukiskan.
"Dengan ini kami memutuskan," katanya sambil meletakkan kitab di
atas kepala Eric. Pernyataan ini tidak bisa diubah, meskipun yang
bersangkutan sendiri yang memohon dengan kesungguhan__Eric Ghobadi
dengan kehormatan penuh dinyatakan sebagai bangsa..." hakim keriput
berhenti sebentar membiarkan ketegangan itu tercipta beberapa saat kemudian
meneruskan, "Geogle!"
Eric beranjak dari kursi yang telah membuat pantatnya benar-benar
datar. Sang Hakim menjabat tangan Eric lalu memeluknya dengan erat
sebelum akhirnya menghilang diikuti oleh tiga ajudannya yang berwujud
mengerikan. Lilin pada Chandeleir meredup seperti tertiup angin meski
keberadaan udara pun sulit terdeteksi.
Eric terkejut ketika seorang wanita mengalungkan tangan ke lehernya.
“Eric, anakku...” Wanita itu terisak kemudian ia melapaskan ikatannya.
Dipandanginya wajah Eric dengan air mata yang tak berhenti mengalir.
20
Eric terhunyung sesaat menyadari wanita itu ibunya. Ia mencoba
mengingat masa lalunya namun sepertinya tak ada satupun yang tersisa di
kepalanya. Dia mencermati wajah cantik yang masih terisak di hadapannya.
Wanita itu mengelus lembut rambut Eric dan mendekap erat tubuhnya.
Hantu pria yang berjubah besar menghampiri Eric sambil menepuk
bahu anaknya berkali-kali. “Ayah bangga padamu, ayah sungguh bangga
padamu,” katanya berulang-ulang.
Eric tak mampu berkata apapun. Perasaannya terlalu kacau untuk
menemukan kata-kata yang tepat untuk sedikit bisa menghibur dirinya.
Kejadian yang tak terduga mengalir dalam kehidupannya, ia sama sekali tidak
tahu bagaimana kehidupannya sebelum berada di tempat aneh itu. Namun ia
benar-benar merasakan kehidupan yang bebas dan menyenangkan daripada
masa lalunya.
Sekejap ruangan itu serasa menyempit seperti ada kekuatan besar yang
melipatnya. Lilin yang padam secara tidak wajar menjadikan tempat itu gelap
sejadi-jadinya. Eric merasakan sesuatu menarik tangannya lalu membawanya
keluar dari ruangan itu.
21
BAB 3
SnowvusEric mendapati dirinya sedang berdiri diantara lorong kelam tak
berujung. Sementara itu di salah satu sisi dinding yang keropos pada beberapa
bagiannya, lima hantu laki-laki sedang berbincang sengit tentang hasil sidang
pengadilan.
"Tak ada yang menang dalam taruhan kali ini,” kata hantu yang
punggungnya ditumbuhi sayap kecil.
"Kupikir dia akan jadi Lucifer atau Ghaits," sahut hantu yang memakai
baju hijau berenda. Dia membuang topi kerucutnya kelantai.
"Tebakanku kurang jitu kali ini," hantu berambut keriting ikut
berkomentar. "Tak kusangka dia menjadi Geogle, padahal aku berani bertaruh
menampar muka Mame Granyo jika anak itu menjadi Geogle.”
“Mame Granyo?” Empat hantu lainnya menyeringai, “mengerikan.”
Lima hantu laki-laki tadi kemudian menghilang.
Sebuah suara merambat melewati tengkuk Eric. "Hei...ei...ei! Geogle
senang bertemu denganmu. Semoga kau mewarisi jejak kakekmu menjadi
Emperor.”
Pemilik suara itu tiba-tiba menampar punggung Eric, namun ia tak
segera menoleh. Ia masih menatap lorong itu dengan tersenyum-senyum,
membayangkan ingatannya yang normal dan ia dinobatkan sebagai Geogle
dengan riuh tepuk tangan. Tetapi semua itu memudar, ia menyadari
keadaannya yang memprihatinkan sebagai Geogle. Semua memori yang
hilang, kecuali...
"Haloooo....! Kau dengar tidak, sih?"
Eric benar-benar dibuat melompat oleh suara yang tiba-tiba mengamuk
ditelinganya. Ia menatap wajah hantu laki-laki sebayanya itu dan melototinya
dengan kemarahan yang meletup. Anak itu nyengir tanpa ada rasa berdosa
kemudian menyisir rambut coklat keritingnya yang berantakan dengan jari
tangan.
22
"Namaku Haiden Powi... peri Ghaits," katanya dengan tirai mata nyaris
tertutup. "Aku mati karena terpeleset di kamar mandi.”
Eric nyengir. Diamatinya hantu gemuk dengan tubuh berlipat-lipat
yang berdiri di depannya itu.
"Kalian harus kembali ke Snowvos," kata Togu seraya memeluk Eric.
"Kastil hantu, di bawah awan kebiru kelabu."
"Kalian juga ikut kesana, kan?"
Togu menggeleng sempurna, "Ayah Lucifer tinggal api perairan.”
Eric beralih menatap ibunya dengan berharap.
"Satanic, muncul dan menghilang di antara kehidupan manusia," kata
Ona dengan mengelus rambut hitam Eric yang tebal.
Haiden menyambar lengan Eric dan menariknya cepat, "Kita harus
segera sampai ke Snowvus!"
"Eric!" panggil Togu sebelum benar-benar berpisah dengan anaknya.
"Temukan dirimu dan jadilah Geogle yang sebenarnya.”
Eric tersenyum, meskipun dia tidak mengerti makna kata-kata itu tetapi
dalam hati dia berjanji akan menemukan bagian dari dirinya yang hilang.
“Ayah, ibu…” ia berhenti bermaksud mengucapkan selamat tinggal tapi
diurungkannya. “Jika aku telah menemukan diriku yang hilang, apakah aku
bisa ikut bersama kalian?”
“Tidak, anakku,” Ona memeluk Eric dengan air mata mengalir. Eric
merasakan punggungnya serasa nyaris basah kuyup. “Hiduplah dengan
memerankan dirimu sendiri. Kita berbeda dan suatu saat semua tidak akan
sama dengan apa yang kau pikirkan. Ketika masa itu tiba, kelak engkau harus
siap, apapun yang terjadi. Bersiaplah!”
Perlahan wanita itu melepas pelukannya. Eric melihat sebuah tatapan
tanpa isi yang bisa tertebak.
“Kelak aku akan mengerti,” Eric berkata tanpa ia sadari.
Togu dan Ona melambaikan tangan ke arah Eric dan Haiden. Ia melihat
ayahnya mengenakan kerudung kebesaran sehingga hanya tampak dagunya
yang runcing. Sementara Ona berubah mengerikan, rambutnya memutih dan
23
memanjang tak beraturan sehingga menutupi seluruh wajahnya, kecuali
matanya yang membesar.
Haiden menarik lengan Eric, mereka menembus dinding lorong.
meluncur melawan awan mendung berdebu. Sesekali kilat menyambar
mengiringi mereka. Eric merasakan seperti disiram air es dan tiba-tiba disiram
dengan air hangat. Sungguh tak enak. Dia memeras lengan Haiden yang makin
cepat meluncur. Tidak ada kata yang dapat diucapkan, sementara lolongan tak
sanggup mengubah segalanya.
***
Saat awan mulai menghilang diganti kabut tipis yang menyebar, Eric
mendapati pulau besar ditengah laut tenang dan kastil tua dengan menara
tinggi yang mencuat. Pada puncaknya yang tertinggi terdapat arca barong
wanita terhormat bergaun bunga karang sedang memegangi tongkat bola
bermata zamrud.
“Lolongan si barong Mapoti, dapat membuat bulu kuduk tercabut,
bahkan burung Poppo terbelesak nyawanya. Konon Mapoti hanya bangkit saat
dipanggil.”
“Burung Poppo?…” Eric mengernyit pada Hayden.
“Poppo, burung alam baka. Makhluk pencabik roh pendosa. Jangan…
jangan bicarakan itu lagi. Kepalaku berkunang-kunang memikirkannya. Tapi
dia cantik…yah lumayan, deh.”
“Hla? Mamapopoti seperti itu dibilang cantik?” Eric menganga.
“Bukan Mamapopoti, tapi Mapoti!” Katanya senewen. “Mapoti.”
Tambahnya lagi.
Eric menyeringai jijik. “Patung itu cantik?”
“Kelak jika dia bangkit, kau akan mencium kakinya untuk
mendapatkan cintanya,” kata Hayden sambil mempraktekkan menciumi
punggung tangan Eric.
“Kau menjijikkan, Heidi…”
24
Eric merampas tangannya dari genggaman Hayden lalu mengelap
dengan bajunya sebelum mencium aroma air liur yang menempel.
“Jangan panggil aku Heidi. Itu kan nama cewek!”
“Yaiya aku mengerti. Hay apa itu?”
Hayden melecutkan matanya ke arah laut suram yang dipenuhi tangan-
tangan lemah menggapai seolah memohon pertolongan yang sia-sia.
“Laut kematian. Tapi sering disebut laut hitam. Seperti makam untuk
para pendosa, Mereka jemaah pembesar kegelapan yang berhasil dieksekusi.”
“jemaah pembesar kegelapan?”
“Yeah. Mereka sangat keji. Hei, itu Snowvus..." kata Hayden,
menunjuk ke arah kastil tua berpelindung separo bola bening. Eric berjalan
dibelakang mengikuti Hayden. "Kau harus mengetahui tata cara hantu baru
memasuki bola pelindung. Ulurkan tanganmu seperti ini, er...bukan begitu -
sentuh atmosfernya, maksudku bola pelindungnya. kemudian katakan “Wahai
penanda kehidupan. Dengan ini saya yang bernama....” Hayden berpaling pada
Eric. “Ayo ikuti aku!”
“Wahai...” Eric mengulurkan tangannya. Dia merasa telapak tangannya
seperti dipaksa menyentuh balok es yang berasap bagaikan sedang mendidih.
“Penanda kehidupan..”
“Stop...stop! Matamu musti merem dan lehermu harus tegak.” Eric
menurut saja karena ia tak punya banyak wacana untuk berinterupsi. “Sekali
lagi ikuti aku. Wahai Penanda kehidupan...”
“Wahai penanda kehidupan...”
“Dengan ini saya yang bernama Eric Ghobadi...”
“Dengan ini saya yang bernama Eric Ghobadi...”
“Salam kenal...”
“Apa?”
“Kau ikuti saja.”
Oke. “Salam kenal.” Sambung Eric dengan alis terangkat.
“Nah, sekarang kau sudah boleh masuk.”
25
Eric merasa ada kekuatan yang mendorongnya memasuki wilayah
Snowvus di bawah awan kebiru kelabu. Awan yang benar-benar biru seperti
dasar air laut.
"Menakjubkan...” kata Eric. "Tapi aku kan hantu, er maksudku, bisa
menembus kapan saja tanpa jampi-jampi macam itu.
Hayden mendesis, "Itu tata cara hantu baru masuk ke sini. Istilahnya
ritual buat jadi member...”
“Member?”
“Kau bisa lenyap terbakar jika tak mematuhi aturan mainnya. Bola
pelindung melindungi kami dari serangan makhluk hitam pengikut pembesar
kegelapan, dan…" katanya pelan sambil berjalan cepat. "Berhati-hatilah
dengan pawang hantu, mereka punya tambahan indra, mereka licik dan...”
Hayden berhenti dan berbalik tiba-tiba. “Penjilat."
"Tapi bagaimana kita tahu dia pawang hantu?"
"Gimana, sih? kau kan Geogle. Kau mengucapkan sesuatu yang luar
biasa di pengadilan. Kau membuat hantu lainnya iri tapi juga mendukungmu."
"Yah...itu satu-satunya pesan yang bisa kuingat," kata Eric saat menaiki
undakan ke dua puluh tiga, di depan gerbang yang sangat besar dengan ukiran
Tampagolo Lau Panangan.
Eric menembus pintu itu, seperti yang dilakukan Hayden dengan
sempurna, tanpa jampi-jampi.
Mereka berada dalam sebuah ruangan remang-remang berhias sarang
laba-laba yang sengaja dipelihara. Chandeleir yang dipenuhi lilin kecil yang
menyala redup menggantung di atap. Tidak banyak perabot di dalamnya hanya
meja besar berdebu diletakkan di tengah ruangan luas, cermin-cermin gelap,
serta patung kucing dan harimau petarung yang saling terikat dalam satu rantai.
Eric melihat beberapa hantu berseliweran, melayang dengan
menundukkan kepala kemudian menghilang saat menabrak sebuah cermin
yang pernah dilihatnya ketika berada di pengadilan.
Gerombolan hantu anak-anak berjalan beriringan sambil
mememandang Eric dengan ekspresi ingin tahu. Hayden melambaikan tangan,
26
tetapi mereka tak membalasnya simpati. Para hantu menaiki tangga spiral yang
tinggi. Hayden menyambar lengan Eric dan mengikuti mereka, menaiki tangga
spiral tanpa lengan dan selalu melengkung tiap tiga belas anak tangga kecil.
27
BAB 4
Hantu Otak MelesetGerombolan hantu melayang terburu menuju lantai atas. Sesekali
mereka menengok ke belakang dengan tanpa ekspresi seolah mereka tidak
setuju jika Hayden dan Eric membuntutinya.
"Selamat datang sang Geogle di rumah baru," seru pria setengah tua
yang memakai piyama hijau dengan aksesoris tanduk kerbau menempel di
tengah piyama. Tepuk tangan dan hura-hura kecil seolah mengiringi Eric saat
memasuki aula penuh hiasan kuno berkarat, sarang laba-laba, serta banyak
sekali baju zirah yang dirawat mengkilap. "Geogle yang kehilangan memori,
tapi sungguh menakjubkan, Ghobadi."
Hayden menghilang begitu saja dan muncul di tengah-tengah para
hantu yang sedang berhura-hura. Mereka bermain terompet yang setiap kali
ditiup akan menghamburkan makhluk kecil yang menaburkan bubuk cahaya.
Mereka memukul tinjunya ke udara secara berjemaah sambil berhura, "Hidup
Ghobadi...hip hip hip Geogle!"
Eric terkejut. Ia menatap pria setengah tua yang selalu tersenyum
padanya.
“Hei….Kau suka sambutannya?” kata hantu laki-laki yang lebih tua
lima tahun darinya sambil memeluk lalu menepuk punggung Eric.
"Perkenalkan, namaku Victor Kapele, Patred."
"Aku, Ami Tobuwa, peri Ghaits."
"Diano Saloh, peri Ghaits."
"Payambono, Ocupant."
Para hantu berebut memperkenalkan diri hingga Eric hanya bisa
mengingat selusin nama dari dua lusin nama yang disebutkan.
Eric merasakan kehidupan paling bahagia muncul untuk pertama kali.
Seolah-olah dia selalu merana disela-sela masa hidupnya dahulu yang
dianggap lebih menyenangkan. Kepalanya berdenyut, bertanya pada ketidak
tahuannya, Apakah hidupku dulu menyenangkan seperti ini? Mengapa
28
kematian cepat sekali menjemput? Oh aku ingin hidup lagi menjadi manusia
normal. Ini tempat yang suram.
Eric mencuri pandang kearah hantu pria yang terus mengawasinya
dengan tersenyum. Hingga akhirnya pria itu menghampirinya.
"Kakek selalu menunggumu, Eric. Dan…Ouh aku hampir saja
melupakannya, jangan sentuh sanubariku dengan nama Ghobadi. Omong-
omong di sini aku biasa dipanggil Master Quarenci," katanya sambil mengetuk
dada Eric.
“Mengapa engkau tak ingin memakai nama Ghobadi?” Suara Eric
melompat begitu saja.
Senyum wibawanya tersungging diantara tuturan lembut. "Mengapa?
Oh tidak pemuda tangguhku. Jangan bertanya mengapa, karena hanya akan
menambah satu masalah lagi dalam hidupmu." Ia menepuk bahu Eric, dengan
sedikit menunduk ia mensejajarkan kepalanya dengan lawan bicaranya.
“Nikmati pestanya.”
Eric hanya mengangguk meski tak tahu apa maksud ucapan tadi. Walau
begitu rasanya dia tiba-tiba telah menjadi penghuni penting yang dikagumi.
Master Quarenci berjalan meninggalkan aula, menuruni anak tangga tanpa
lengan sambil membetulkan topi tidur kebesaran yang selalu merosot.
Hayden memukul punggung Eric keras-keras saat ia sedang akan
berbicara pada Victor Kapele. "Bagaimanapun kau adalah pewaris Emperor
suatu saat nanti." katanya nyengir sambil memperkirakan Eric akan
membalasnya dengan pukulan bertubi-tubi.
Tetapi Eric hanya memandang mata Hayden kebingungan, "Apa?
Emperor katamu tadi?”
“Pemimpin kerajaan dengan kehidupan yang paling besar, bahkan
lebih agung dari kastil para Lucifer. Kau juga akan diberkati dengan mata
emperor yang dapat menguliti pikiran lawan bicaramu.”
“Oh, itu terlalu berlebihan...” katanya sambil memperhatikan salah satu
baju zirah yang berguncang dan mengeluarkan suara berisik.
29
"Oh yaeh! Ingat, dunia ini begitu sempit, Eric. Semua bisa saling
berhubungan tanpa terduga," kata Ami Tobuwa. "Master Quarenci adalah
pemimpin agung, berwibawa dan sangat dihormati. Jika aku jadi kau, aku akan
sangat bangga."
Hantu bergaun putih gading keluar dari baju zirah yang berkelontangan.
Ia menghampiri Eric dengan terisak, "Hik... Akhirnya aku ... hik... bisa ...
hik ...bertemu dengan...hik.. hik... Ghobadi ....” lolongnya. Diusapnya air mata
yang berebut meluncur dengan segelondong tissu besar yang selalu dibawanya
kemana-mana. Ingusnya melumer tanpa bisa ditahan. Dia menatap Eric dan
hantu lainnya disertai bisik rintihan lalu melayang dan menghilang masuk ke
dalam baju zirah.
Ami memungut tissu yang dijatuhkan gadis itu sambil bersungut-
sungut.
"Dia Classy Phinisi- Satanic Mask. Seharusnya dia bergentayangan di
dunia manusia, bukan di dalam Snowvus,” ujar Hayden ketika Eric melihatnya
dengan pandangan bingung. “Jangan kaget dia seperti itu karena otaknya
sedikit meleset.”
Victor Kapele menyeringai kecil, “Master Quarenci seharusnya
mengusir Closet, atau siapalah itu namanya." Suaranya tiba-tiba melengking
mengagetkan. Victor menyambar tissu yang digenggam Ami dan melemparnya
keras-keras kearah baju zirah Classy.
Classy menjerit dan melolong marah, balas melempar tissu yang
diremas ke sembarang arah. Baju zirah yang ditempatinya berkelontangan
"Berhenti, Victor!" lolong Ami. “Kau kekanak-kanakan...”
"TAPI OTAKKU TIDAK MELESET SEPERTI DIA.”
Eric menyambar lengan Hayden, membawanya menjauh dari Ami dan
Victor yang berdebat sengit. Para hantu yang tadi berhura-hura mulai
menghilang satu persatu.
"Kau tahukan dia Satanic Mask dan dia bisa tinggal di Snowvus?" kata
Eric berharap. Hayden mengangguk dan mengangkat kedua alisnya tinggi-
tinggi. “Berarti, ibuku ..."
30
"Jangan samakan ibumu dengan hantu otak meleset itu, mengerti!"
hardik Hayden cepat, setengah berbisik.
Dia menarik lengan Eric, membawanya melayang di atas patung
Malango, patung babi bertanduk gading. Mereka duduk di atas tanduk
Malango yang dibuat mengkilap.
"Dia mengalami sesuatu yang sangat tidak menyenangkan sepanjang
hidupnya. Tapi aku tidak tahu apa itu. Pekerjaannya sehari-hari hanya
membaca buku tebal dan menulis berlembar-lembar kertas sebelum dia
mengakhirinya dengan tangisan yang meledak-ledak.”
"Apa yang dia tulis?" kata Eric, sambil berayun di atas tanduk,
membenahi posisi duduknya.
"Aku tidak tahu, tapi yakinlah segala sesuatu yang dituliskan oleh
makhluk sinting dengan otak agak sedikit meleset dari syarafnya itu tidak
penting. Dia telah merusak rumahku...lihat! Tanduknya bukan tanduk asli
pedalaman__berbuku-buku, keropos, usang, pokoknya keren, deh."
"Tapi yang ini mengkilap dan luar biasa."
"Tapi aku suka yang biasa.” Hayden memberengut.
Eric merasa lengannya nyaris putus saat Hayden tiba-tiba menariknya
masuk ke dalam hidung Malango yang berbulu halus. “Mame Granyo
datang...Cepat sembunyi!” Eric menerobos dan meluncur melewati ladang bulu
hidung yang membuatnya geli terpingkal-pingkal.
31
BAB 5
KeributanEric mendapati dirinya seperti sedang berada dalam sangkar mulut
babi. Atapnya berlendir hijau menjijikan sedangkan lantainya licin mengkilap
ditaburi kotoran lalat mirip kismis. Dindingnya berlubang dan keropos. Tidak
ada chandeleir dengan lilin menyala, tetapi hanya gerombolan kunang-kunang
bercahaya yang dikurung dalam kaca lentur.
"Ini rumahku dan kau boleh tinggal disini, yah...seandainya kau mau,”
kata Hayden dengan berlari menuju lubang yang keropos, dia setengah
berteriak pada Eric, "Hei...Kemari, cepat!"
Eric tidak terlalu antusias untuk tinggal di tempat yang dipenuhi segala
jenis lendir. Tetapi dia lebih memilih tinggal dengan Hayden yang tergila-gila
pada lendir dari pada bersama Classy yang setiap waktu selalu melempar tisu
dan berteriak mengagetkan.
"CLASSY PHINISI!” sebuah lolongan meluncur menghentakkan
seperempat isi kastil. Beberapa hantu mengintip dari balik persembunyian
mereka dengan tanpa suara. “Kembalikan topi bulu kudaku sebelum kau
kupecat dari sini!”
Mereka mengintip hati-hati melalui celah Malango.
Dilihatnya sesosok perempuan gemuk, berambut keriting gimbal dan
berbaju kebesaran dipenuhi renda-renda, kerahnya hampir menutupi bagian
belakang kepala.
"CLASSY PHINISI KAU DENGAR ITU?” Mame Granyo berteriak
hingga lehernya nyaris terpental menjauh darinya. Bibir coklat tebalnya
manyun seperti ada yang menariknya dari depan. Ia melempar kerikil senjata
kaum Ocupant yang dapat menimbulkan ledakkan mengejutkan. “KELUAR
KATAKU!"
Eric menyeringai. Membayangkan dirinya menjadi Classy. Ia pasti
telah menonjoknya dengan pot besi yang digunakan untuk menanam bunga
32
troll mulut buaya, kemudian menyemprotnya dengan lendir babi, sampai
wanita malang itu mengibarkan bendera putih.
"Rasanya aku ingin membelesakkan giginya jika sampai berani
mengutak-atik rumahku,” kata Hayden berapi-api.
Eric menyeringai sambil mencibir. "Aukh ...!" dia memekik kaget. Ada
yang melempar batu hingga mengenai pelipisnya. "Kau melempariku dengan
batu ini, ya?" katanya jengkel pada Hayden yang sedang menyaksikan Mame
Granyo berlelah-lelah memukul baju zirah Classy.
Hayden memberengut sambil menyambar benda yang diacungkan Eric,
"Batu berambut merah!! Ini pasti ulah Setan Ocupant..."
Hayden melempar batu itu keras-keras hingga menembus dinding yang
dilewatinya. "Batu berambut merah adalah batu ghaib bangsa Ocupant, mereka
menggunakannya sekedar untuk berbuat jahil."
"Aukh...KURANG AJAAR!" suara Mame Granyo melengking tinggi.
"Dasar anak-anak brengsek! siapa yang melempariku dengan Batu berambut
merah?” sengatnya sambil melecutkan mata ke arah Malango, patung tempat
tinggal Hayden.
Eric melihat wajah Hayden yang merah pucat, sepucat kertas yang
diremas-remas. Pipinya yang gembul semakin menggelembung akibat
menahan ketakutannya.
"Apa yang harus kita lakukan?" ujar Eric dengan datar.
"Apa yang harus kita lakukan?” Hayden mengulang dengan meringis.
“KITA HARUS KABUR, BOY!”
"Anak-anak brengsek--turun kalian!" Ia memergoki Eric dan Hayden
lalu membentangkan lengannya. Dan seekor anjing hutan melesat diantara
bentangan tangan. Taringnya menyembul bersiap memangsa.
“Hey itu tadi sulap?”
“ITU SIHIR!” Hayden hampir menangis putus asa. “Eric. Berpegang
padaku. Aku harus menyelamatkanmu…”
"T-tunggu lihat itu...!" kata Eric dengan bersusah payah melepas
pegangan Hayden akibatnya dia hampir terjatuh kebawah karena belum
33
terbiasa melayang terlalu tinggi. Pandangannya menangkap kejadian ajaib
yang belum pernah dilihatnya.
Serigala betina bertarung menghabisi anjing yang balas menggigitnya.
Mereka tak saling lebih kuat sampai salah satu diantara keduanya menggelepar
lalu lenyap begitu saja. Serigala jantan memenangkannya.
Mame Granyo menjerit bagaikan baru saja disengat listrik. “SIAPA
YANG BERANI MENANTANGKU?”
“Aku.”
Mame Granyo melongok ke atas. Ia mendapati Classy sedang melayang
di kepalanya bersama seember lendir menjijikkan yang ditumpahkannya
dengan sengaja.
"Uuupss…” Hayden dan Eric tak bisa menahan tawanya. Sementara
Classy cepat-cepat menjatuhkan embernya tanpa hati-hati sehingga
menimbulkan suara berkelontangan." Ayo! kita harus segera kabur ..." Hayden
memburu tangan Eric dan menariknya. sementara Mame Granyo melolong
meratapi nasibnya.
"AAARRGGHHTT…”
Eric merinding mendengar jeritan menyayat Mame Granyo, sehingga
dia hanya diam dan tidak mau memprotes saat Hayden menarik lengannya
kuat-kuat.
34
Bab 6
NaydelinEric dan Hayden melesat cepat, menabrak lalu menembus cermin yang
dipasang hampir di seluruh ruangan. Tanpa disadari mereka mendapati dirinya
berada di ladang jagung yang tak berbatas ujung, "Kau tahu ini dimana ?"
Hayden menggeleng, tetapi segera menjawab, "Aku sendiri tidak tahu
tujuanku.”
Eric terdiam. Ia berjalan dibalik punggung Hayden sambil sesekali
menyibak jagung dalam gelapnya malam yang hanya diterangi bulan yang
terhalang awan pekat.
“Apa kau tahu siapa yang melempari kepalaku dengan benda...batu
berambut pirang?" Eric membuka percakapan.
"Batu berambut merah! " kata Hayden membenarkan, ia terbatuk-batuk
tetapi Eric tahu sahabatnya itu hanya menahan tawa yang hampir meledak. "Itu
hal yang biasa, para Ocupant memainkan batu gaibnya untuk iseng. Bahkan
yang paling menyebalkan, mereka sering melempari Malango dengan lusinan
Batu berambut merah saat aku tidur," Hayden mengepalkan jemarinya dan
menabrakkan dengan telapak tangan satunya. "Akibatnya aku harus bersih-
bersih Malango setiap hari."
Mereka berjalan menyusuri ladang jagung. Sebuah orang-orangan yang
berwajah serabut dipenuhi rambut jerami dan topi kerucut lusuh
membungkukkan badan sambil mengucapkan kalimat basa-basi.
"Saat purnama datang bersama angin dingin menggerogoti seluruh
tubuhku dan aku hanya sendirian disini dan hanya dibalut pakain bekas
manusia. Malam yang sempurna karena tak ada bintang yang muncul, angin
membuatku kedinginan di saat semua merasakan hangatnya malam ini," kata
salah satu orang-orangan pengusir burung, kondisinya memang tidak lebih
baik dari Mame Granyo yang terkena tumpahan lumpur berlendir menjijikan.
“Maukah? Maukah engkau membantuku, sobat?"
35
Orang-orangan itu melirik syal yang bertengger di leher Eric. Dia mulai
bergerak-gerak dan berusaha memberontak dari ikatan yang digunakan untuk
mengikatnya kuat-kuat pada kayu bersilang.
Rambut jeraminya rontok perlahan sementara tiangnya nyaris roboh.
"Aku menginginkan benda di lehermu itu!" rintihnya.
Eric menjauh kemana saja ia sanggup melakukannya. Orang-orangan
ladang itu mencondongkan kepalanya, mendekati Eric. Tali penyalipnya putus.
Tangannya yang berupa dahan bercabang bersikeras merampas syal.
"Tolonglah. Berikan syalmu, aku ingin benda itu, aku
membutuhkannya,” katanya memelas dengan wajah culas.
Eric berusaha menjauh menghidari sambaran tangan makhluk itu.
"TERBANTING!" Eric mendengar Hayden berteriak di balik
kerumunan tanaman jagung dengan tersengal-sengal.
Tiba-tiba angin bergulung menghajar orang-orangan ladang hingga
terpelanting meluluh lantakkan tanaman yang dilewatinya.
"LARI!" Hayden berteriak pada Eric yang sedang tercengang. Mereka
menembus lorong diantara tanaman jagung. Awan kelam menutupi sebagian
cahaya bulan yang sepertinya berpihak pada kegelapan.
“Itu tadi sihir?”
“Sulap,” ujar Hayden dengan tidak sabar. “Yaiyalah SIHIR…”
“Super sekali!”
Hayden menepuk dadanya dengan bangga. “Ah cuma sihir kecil-
kecilan.”
“Classy bisa memunculkan rubah betina, itu juga hebat, kan?”
“Biasa.” Eric melihat wajah Hayden tanpa ekspresi.
Mereka berhenti bersamaan ketika mendengar nyanyian mengalun
lembut diantara lolongan serigala yang berlomba memamerkan suara
perkasanya.
Eric dan Hayden berpandangan, "Apa mungkin manusia menyanyi di
ladang jagung tengah malam?" celetuk Hayden.
36
“Ini dunia manusia?" Eric tidak melanjutkan ucapannya, dia melonjak
kaget setelah suara kecil menjawab pertanyaannya.
"Ya, ini dunia manusia. Kau hantu baru yang hilang ingatan itu, kan ?"
Eric dan Hayden melongok ke belakang secara bersamaan dengan ragu-
ragu. Mereka melompat terkejut melihat gadis berambut perak panjang, dengan
bola mata berwarna coklat mengkilat sama seperti mata Eric.
"Hai, aku Naydelin...” Eric dan Hayden terdiam, mereka tidak tahu apa
yang seharusnya dikatakan. Gadis itu kembali melanjutkan sambil
menggumam, "Umh...aku Satanic, tetapi aku mencoba berjalan-jalan di ladang
jagung, ditemani para hantu ladang."
Eric mengangguk. Hayden masih terbengong-bengong.
"Kau cucu Master Quarenci, eh?" katanya sambil menunjuk kearah
Eric, sementara Eric hanya menjawabnya dengan mengangguk kecil. "Sudah
kuduga tetapi jangan khawatir kau akan menemukan memorimu kembali."
"Aku bertaruh keadaanmu sekarang adalah yang paling baik daripada
hidupmu dulu. Yah, kalau kau percaya.”
"Sok tahu banget, sih!" bisik Hayden. Bibirnya hampir menyentuh
telinga Eric.
"Tapi bagaimana aku bisa tahu keadaanku dulu jika memoriku hilang?"
Naydelin tersenyum sinis, dia duduk di atas batu pipih disampingnya,
"benda itu adalah kenangan dari seorang gadis tepat sebelum kau kehilangan
nyawamu," katanya sambil melirik syal Eric.
"Sok tehe!" sengat Hayden.
"Apa kalian tidak ingat?" sela Naydelin cepat, dia berdiri dan
mendekati Hayden. "Kata-kata yang membuat Eric lolos menjadi Geogle,
bahkan seluruh hantu dibuatnya terkejut. Kata-kata yang didapatnya saat
sebuah keputusasaan menggerogoti batinnya, saat dia begitu menderita dan...,
ah sudahlah!" Naydelin terlihat begitu jengkel pada Hayden.
"Sok tehe...”
"Oh, yeah! Kau sendiri Ghaits yang terlalu lama memikirkan mantra
untuk melakukan sihir sederhana!" serang Naydelin bertubi-tubi.
37
Eric tidak mendengarkan Hayden dan Naydelin berdebat, ia mendapati
pikirannya melayang jauh dan saling berkelebat. Seorang perempuan tua
berbisik di telinganya, kemudian gadis berambut panjang yang hampir mirip
ibunya sedang mengalungkan syal kelehernya. Mendadak perasaannya seakan
mengambil alih kesadarannya. Ia menemukan dorongan kuat untuk
mengungkap semua yang ada di balik bayang-bayang pikirannya. Siapa
mereka? Apa mereka begitu penting bagiku? Ingatan itu bagaikan sepotong
kue yang pertama ditemukannya.
“Aku ingin menyanyi untuk mengisi malam ini,” kata Naydelin sambil
mengerling ke arah Eric kemudian meninggalkan dua hantu itu, melayang
diantara tanaman jagung yang tumbuh berdekatan. Kemudian bernyanyi
mengalunkan lagu merdu mengiringi hembusan angin yang bertiup lembut.
Aku merindukan sesuatu
Sesuatu yang tak aku tahu
Hanya bermimpi di bawah lintas dahulu
Menanti keadilan menunggu waktu
Di saat semua pergi tanpa berpaling lagi
Aku tetap menunggu semua berlalu
"Lagu konyol," kata Hayden dengan mendengus.
“Aku harus berusaha menemukan sesuatu yang hilang dan..." Eric
terdiam sesaat. “Aku harus bisa membantu diriku sendiri...”
Hayden terkesiap. "Oh, kurasa kita harus kembali ke Snowvus. Lagi
pula kupikir ini hampir subuh." Ia menggandengnya lengan Eric, berjalan lima
langkah ditengah rerimbunan tanaman jagung dan menghilang.
38
Bab 7
Ramalan Sean YingEric dan Hayden muncul kembali ditempat mereka semula menghilang,
di depan cermin kemana saja.
"Kita pasti dihabisi seandainya Mame Granyo tiba-tiba memergoki
kita," bisik Hayden sangat pelan. Eric hanya bergumam dan Hayden menduga
Eric tidak mendengarkannya berbicara.
Hayden melayang lalu masuk ke dalam Malango melalui lubang hidung
yang penuh bulu diikuti Eric dibelakangnya.
"Kau tidur saja diranjangku sampai malam menjelang," kata Hayden
dengan menggaruk kepalanya. Dia menunjuk ranjangnya yang mungkin cukup
untuk berdua.
"Lendirmu sudah hilang, eh ...? "Eric bertanya hati-hati, dia khawatir
Hayden akan tersinggung,
Hayden tertawa tetapi wajahnya tampak serius lagi. "Lendir itu hanya
untuk pengkilap ruangan dan pengusir kotoran, jika sudah setengah hari
lendirnya akan hilang dengan sendirinya. Sama sekali tidak lucu kalau aku
memakainya untuk hiasan rumah, asal tahu saja sebenarnya aku tidak suka
lendir, yah hanya kebiasaan saja."
Eric begitu lega di dalam hatinya. Ia duduk di pojok ruangan sambil
memainkan lampu yang berisi kunang-kunang.
Hayden menenggelamkan diri di ranjangnya yang empuk dan tampak
nyaman kemudian menutup separuh matanya dan berujar kepada Eric,
"Bangunkan aku saat yang disana itu..."dia menunjuk bunga kuning
bermahkota besar yang sedang tertidur di atas pot kecil. "...Berubah warna
menjadi hitam─ itu tandanya malam telah menjelang."
Eric melecutkan pendangan ke arah bunga yang sedang mendengkur.
Ia berpikir seandainya bisa ikut tidur tentu pikirannya tidak akan serumit ini.
39
Bayangan tentang seorang wanita selalu membuat perasaannya kalut.
Tiba-tiba hantu itu teringat sesuatu. Master Quarenci, kakeknya, tempat ia
bertanya tentang segala hal.
Eric menembus dinding Malango dengan tidak sabar, meringankan
beban tubuhnya agar tidak terlalu cepat meluncur ke bawah. Ia melayang dua
senti dari lantai untuk menghindari hatu lain yang akan memergokinya sedang
mengendap-endap.
Snowvus menjadi sangat sepi, tidak ada hantu yang berterbangan dan
berseliweran seperti ketika ia pertama kali memasukinya.
Eric menuruni anak tangga lengkung tanpa lengan menuju ruang utama.
Cermin-cermin yang waktu itu hanya menampakkan bayangan hitam tanpa
ekspresi, sekarang bersinar terang seolah memperlihatkan cahaya alam yang
menerangi seluruh kehidupan manusia
Cahaya yang menyeruak berbondong-bondong dari cermin tidak
mampu mengalahkan kegelapan Snowvus. Kastil itu akan selalu gelap secara
abadi sebagai tempat tinggal para hantu.
Eric berhenti sejenak. Matanya menerawang di setiap sudut. Ia
mendapati banyak sekali cermin yang bisa membawanya kemana-mana dan
sebuah pintu kecil seukuran setengah tubuhnya. Ia kebingunan mencari arah,
ingin rasanya berteriak memanggil nama kakeknya tetapi terbayang dalam
tayangan pikirannya hantu-hantu yang menjerit dan menghujam dengan marah
karena tidurnya telah terganggu.
Terdengar langkah kaki yang berjalan ringan di belakang Eric. Sebuah
ketukan langkah kaki misterius. Ia menduga Mame Granyo ingin membalas
dendam dengan cara yang tidak fair.
Eric berbalik dengan cepat dan dia mendapati Master Quarenci tertawa
kecil padanya, "Aku sudah menduga cucuku ini adalah Geogle yang sempurna,
kau memiliki Garizah yang setara denganku."
"Garizah...?”
"Keberanian yang tidak terbatas, kehebatan dan kekuatan yang tidak
perlu dipelajari."
40
Eric mendekap hantu yang selalu tersenyum bijak itu. kemudian
berkata lirih. "Apa benar keadaanku yang sekarang lebih baik daripada saat
aku hidup?” Ia merasakan sesuatu yang berbeda saat itu, sebuah dorongan dan
bayangan masa lalu yang sangat jelas.
Master Quarenci melepaskan dekapan Eric tanpa berkata apa-apa, lalu
membawanya masuk ke sebuah cermin yang masih terkontaminasi oleh
kegelapan.
Ruangan yang terlalu gelap. Eric hampir saja tidak bisa melihat
tubuhnya sendiri bila sebuah bola kristal kecil tidak memancarkan cahaya biru
misterius.
Eric menduga dibelakang bola kristal itu ada sesosok berjubah gelap
tanpa terlihat seluruh anggota tubuhnya kecuali telapak tangan yang berada di
kedua sisi bola yang melayang tanpa disentuh.
"Sean Ying, aku mengunjungimu bersama Eric, cucu yang selalu aku
nanti kedatangannya," kata Master Quarenci sambil membetulkan letak topi
besarnya yang melorot ke samping.
“Tentu saja aku sudah mengetahinya. Ghobadi kecil itu, kan?” kata
sosok itu dengan dibarengi tawa yang melengking. “Baiklah, jika kalian
bersedia duduk itu lebih baik bagiku.”
Master Quarenci terkekeh-kekeh, “kau selalu menyuruhku duduk pada
kursi yang tidak tampak." katanya sambil merebahkan pantat pada kursi
misterius diikuti Eric yang merasa sangat takjub. Mereka seolah duduk
melayang tanpa kursi.
"Lama tak terlihat. Kupikir kau tidak akan kemari lagi, Quarenci," kata
Yean tanpa membuka kerudung penutup kepalanya.
"Benarkah? Aku selalu sibuk mengurus para hantu di Snowvus.
Yean terkekeh melengking, sementara Master Quarenci angkat bicara.
"Bagaimana dengan cucuku ini – apa kelak ia akan menjadi penerusku?"
Yean terkekeh lagi, tapi kemudian berhenti tiba-tiba, serius
memperhatikan bola kristalnya yang menyala semakin redup, terang,
kemudian redup lagi.
41
Hantu yang berjanggut lancip itu tampak tenang menunggu ramalan
Yean.
"Aku tidak dapat melihat semuanya, hanya masa lalunya saja yang
tampak jelas, penuh kesuraman dalam hidupnya. Dan harinya selalu rumit,
tidak akan pernah terang, jiwanya terbelenggu di saat kebahagiaan datang
menghampirinya..."
"Bola ramalan anda sedang terbalik, agak meleset seperti…?" Eric
teringat otak Classy yang meleset dan ia nyaris keceplosan. “Maaf.”
Yean tersenyum sama sekali tidak tersinggung. “Aneh sekali. Aku
hanya bisa melihat masa lalumu. Masa depanmu tersegel.” Ia berkata dengan
menyesal.
Aku berhasil menyegelnya, hanya Quarenci yang dapat mendengar
ucapannya sendiri.
42
Bab 8
Pencarian"Aku harap bola kristalnya sedang bermasalah sehingga ramalannya
meleset sedikit, eh, bukan, maksudku meleset banyak,” kata Eric saat keluar
dari ruang Sean Ying. “Apa maksudnya masa depanku tersegel? Bukankah
ramalan untuk mengetahui masa depan, bukan masa lalu?”
Master Quarenci terkekeh sambil mengacak-acak rambut Eric,
menunduk dan memandang tajam mata bulatnya, "Karena belum saatnya kau
berada di sini. Perbaikilah masa lalumu sebelum engkau menuju masa depan."
Dia mengantar Eric menuju sebuah cermin di samping tangga.
"Masuklah ke dalam cermin ini maka kau akan tiba di tebing Tallanga,
tempatmu terakhir kali dipanggil ke dunia ini. Kemudian turunilah tebing itu
hingga tiba di pedesaan yang bernama Halmahera."
Eric mengangguk. Menatap Master Quarenci penuh harap.
"Pakailah kalung ini." katanya sambil mengalungkan benda itu ke leher
Eric.
Eric mengamati kalung yang berantai panjang dan menggosok
permukaan liontin yang berbentuk angsa biru yang mengepakkan sayap.
Rasanya ia pernah melihatnya, hanya saja pikirannya tak sangup menjangkau
jawabannya.
"Carilah saudara perempuanmu yang hilang, ia yang akan membuat
hidupmu berubah. Ia memiliki kalung yang sama seperti ini karena hanya ada
dua pemilik berlainan. Satu di tanganmu dan yang lain dimiliki oleh seorang
gadis yang harus kau cari.” Quarenci mengerling cucunya agar cepat-cepat
menembus cermin yang berpendar itu. “Omong-omong gadis itu bernama
Flori.”
Dia saudara perempuanku?” Eric berbalik menatap kakeknya. “Flori
Ghobadi?”
Pria tua itu tak bereaksi. "kau cukup mencari gadis itu, selebihnya
kembali ke Snowvus."
43
Eric mengangguk paham untuk kesekian kali. “Aku berjanji akan
kembali ke sini setelah menemukan saudara perempuanku yang hilang.”
Namun dalam hati ia tetap berkeras kemauan mencari dirinya yang hilang. Ia
menembus perlahan ke dalam cermin itu. Tiada perjalanan panjang seperti
yang dibayangkannya. Secepat cahaya ia tiba di tebing Tallanga.
Hantu itu tidak tahu secara pasti sudah hari keberapa dia meninggal.
Menurutnya waktu manusia dan hantu berselisih jauh dan sebetulnya hanya
dibatasi oleh benang tipis yang membuat siapapun tak menyadarinya telah
berdiri diantara perbedaan masa itu.
Eric menatap sebentar liontin angsanya lalu memasukkannya kedalam
balik mantel yang terlalu lebar untuk ukurannya. Menuruni tebing dengan
berjalan cepat. Aku tidak sabar bertemu dengan Flori. Apa dia merindukanku
juga?
***
Matahari yang menyengat, orang-orang berlalu lalang sibuk beserta
urusan masing-masing. Cuaca dingin yang aneh telah berlalu dan semua
kembali normal.
Toko-toko kelontong riuh berjajar di sepanjang jalan di perkampungan
itu. Eric berada dalam penyamarannya sebagai manusia. Ia tersenyum puas
saat melihat papan besar bertuliskan,
SEDIA BERBAGAI MACAM :
ONDERDIL RITUAL PENYUCIAN
(DI JUAL TERPISAH)
Ia menghampiri pria yang berdiri di depan toko itu. Tatapannya tidak
bersahabat tapi pria itu membuka pembicaraan. “Apa kau memerlukan
jambang dan perkakas penyucian?” Eric menatap manusia itu sejenak dan pria
itu kembali melanjutkan. “Aku tidak menjualnya secara utuh tetapi menjualnya
dengan terpisah.”
“Tidak... aku tidak beli apa-apa, pak.”
44
Si manusia mendengus lalu masuk ke dalam tokonya dan membanting
pintu dengan kasar.
Eric melompat mundur selangkah memastikan pintunya tidak jatuh
menimpa dirinya. Ia melihat sekeliling. Beberapa orang memandangnya
dengan tatapan aneh. Mereka bahkan rela berjalan mundur untuk mengamati
penampilannya yang ganjil.
Mantelnya yang kusut dan sangat longgar juga sepatu yang berlubang
mirip mulut buaya itulah yang mengundang perhatian manusia. Eric tidak
begitu menghiraukan lalu memutuskan menyusuri tempat itu meski tanpa tahu
arah. Disekelilingnya beberapa anak mengatainya orang gila dan anak idiot
sambil bersiap kabur jika Eric tiba-tiba hendak mengejar mereka.
Tanpa sadar Hantu itu memelototi mereka hingga salah satu matanya
lepas, menggelinding ke sembarang arah. Anak-anak tadi menjerit ketakutan,
kemudian kabur kemana saja yang dianggapnya sebagai tempat paling aman.
Sementara Eric sibuk mengejar mata yang sangat berbahaya bila dilihat oleh
lebih banyak kaum manusia. Ia kemudian memasangnya kembali dengan
normal.
Eric serasa sangat merindukan malam yang tenang sebab manusia akan
berpikir seratus kali untuk melalukan perjalanan di waktu yang tidak
menyenangkan bagi mereka. Ia berjalan lagi sambil mengamati manusia yang
sibuk dengan aktivitas mereka. Kios yang seharusnya menjajakan makanan
kecil tertutup rapat, sedangkan kios koran dan toko bunga tetap buka dalam
sepi.
Eric tiba-tiba merasa pedih menjalar menusuk setiap sendi dan
rusuknya saat melihat kebahagiaan yang mungkin tidak didapatkannya. Dia
membayangkan berkumpul kembali dengan orang tuanya dan Flori yang
sedang dicarinya. Tetapi perasaannya selalu mendebat impiannya. Sangat
mustahil bagi keluarga yang berbeda kehidupan untuk disatukan.
Kata-kata ibunya kembali melayang-layang memenuhi kepalanya,
Hiduplah dengan memerankan dirimu sendiri. Kita berbeda dan suatu saat
semua tidak akan sama dengan apa yang kau pikirkan. Ketika masa itu tiba,
45
kelak engkau harus siap, apapun yang terjadi. Bersiaplah! Eric mengangkat
bahu dengan putus asa. Mau tidak mau ia mamaksa dirinya berkata, Kurasa
aku harus bersiap.
46
9
Hutan Jalur UtaraMalam akhirnya kunjung datang mempertegas senja. Eric merasa
sangat nyaman berada pada malam yang hanya diterangi cahaya lampu redup.
Satanic dengan muka masam muncul sekonyong-konyong dari dalam tanah.
Serombongan hantu minum teh sambil bersandar di pohon mengobrolkan
sesuatu.
Beberapa diantaranya mengisi kesibukan dengan menyendiri tanpa ada
hantu lain yang iseng menyapanya. Para Ghaits lebih senang terbang
bergerombol mengikuti arus angin malam menyeret mereka. Eric dikejutkan
oleh anjing ceking nyaris tanpa bulu yang sibuk mendengking-dengking saat
Eric lewat di depannya, kemudian sekonyong-konyong hewan itu
bertransformasi menjadi hantu. Ocupant, dengusnya.
Semua ini adalah dunia yang tak pernah dibayangkannya. Mungkinkah
orang-orang yang masih hidup itu membayangkan kehidupan lain ini? Tidak!
Ini bukan urusan para manusia, sekali lagi, kita berbeda.
Rumah-rumah manusia mulai tertutup rapat, jendela yang berjajar
terhalang gorden yang agak tebal. Beberapa rumah masih menyalakan lampu
utama yang sangat terang sementara rumah yang lain hanya menyalakan
beberapa lampu kecil dengan nyala redup.
Eric yang sedang bertransformasi dalam wujud manusia sengaja
memainkan ayunan di taman yang dipenuhi desiran angin yang membawa
kabur dedaunan yang rapuh. Bunyi besi berkarat yang bergesekan membuat
orang penasaran sekaligus merinding. Gerombolan anak-anak berandalan
menghampirinya.
"Apa kabar bocah?" tanya berandalan yang bertubuh besar dan
berambut keriting tergerai gimbal.
"Kabar buruk karena kalian telah menggangguku!" Jawab Eric sembil
mengkontraksikan otot matanya.
47
Berandalan bertubuh kerempeng mendengus kesal. Tangannya
mengacak rambut Eric dengan kasar. Lusinan gelangnya saling bertabrakan
kemudian bersuara nyaring ditengah kesunyian malam. "Ini markas kami,
bodoh!"
"Dan kau harus membayar denda," lanjut berandalan yang memakai
tindik pada hidungnya serta banyak kalung panjang dilehernya.
"Ouch…bagaimana kalau aku tiba-tiba mengatakan aku bukan manusia
seperti kalian?" sahut Eric datar, seolah tidak peduli pada tiga berandalan itu.
"maksudmu anak setan?” kata berandalan bertubuh kerempeng
disambut tawa anak yang lainnya.
Tetapi sebentar kemudian ketiganya berhenti dan menampakkan wajah
keterkejutan luar biasa saat Eric ikut mengikik bersamanya.
"Kau menantang kami, eh?" dengus yang bertubuh paling besar sambil
menghentikan ayunan Eric.
"Tenang, Jim, anak itu tidak punya kekuatan apa-apa," kata berandaan
yang ditindik hidungnya pada kawannya yang bertubuh besar yang tampaknya
menyembunyikan kegelisahannya. Ia membidik dengan jari tengahnya.
Mendadak angin bertiup begitu kencang, sampai - sampai semua
mainan di taman itu bergerak dengan sendirinya. Bunyi besi yang berdencit
terdengar bersahutan.
Eric melayang di atas kepala para berandalan itu dan menjambak
berandalan yang berambut panjang dan bertubuh besar. Sementara dua
berandalan yang lainnya terbirit-birit menerjang semak dan menabrak tembok
hingga giginya patah.
Hantu itu terkikik melengking. Ia melayang pergi menembus malam
bersamaan dengan semua mainan di taman yang berhenti berderak.
Malam semakin larut dan Eric dapat melihat banyak hantu yang
berkeliaran. Terkadang mereka muncul, tetapi sebentar kemudian tiba-tiba
menghilang. Dia tetap menyamar sebagai manusia meskipun hantu lain
menatapnya sinis.
48
Ia menghabiskan waktu dengan berjalan menembus malam di bawah
sinar lampu jalan yang kadang-kadang mulai meredup. Sampai akhirnya tiba
ditempat yang jarang ditemukan rumah manusia. Hanya pohon oak
disekelilingnya dan semak yang tumbuh liar.
Tetapi dibalik rerimbunan pohon oak dan semak, Eric samar-samar
mendengar senandung besi yang dipukul berirama dan jeritan wanita yang
melengking kemudian tiba-tiba letupan api pelan yang mengakhiri semuanya.
Eric tidak memedulikan suara itu, dia berpikir itu adalah ulah kaum
Ocupant yang jahil berlebihan. Tetapi ketika akan melangkah menjauh,
ledakan begitu keras terdengar mengerikan. Burung-burung yang sedang tidur
seolah terlonjak kaget dan beterbangan saling mendahului.
Eric terhenyak mendengar nama keluarganya disebut-sebut. "Ghobadi...
aku merindukan kalian." Suaranya terseret–seret seakan tenaga telah terkuras.
"Ghobadi, bila kau berada disini, masuklah diantara semak-semak ke arah jalur
utara, berjalanlah lurus ke utara kemudian carilah pondok tua dengan dua
pohon cemara yang dulu pernah aku janjikan padamu."
Eric melamun, menatap rerimbunan pohon oak, memikirkan sesuatu
yang tidak jelas. Dia baru tersadar ada Satanic yang melayang cepat
didepannya, kemudian menempeleng kepalanya tanpa ampun.
Satanic itu menghilang sebelum Eric sempat melihat wajahnya. Eric
merasa tubuhnya berdesir seakan pikirannya kembali teringat dengan ibunya.
Satanic berkelebat diantara pohon oak, malayang menembus semak-
semak. Ia mengambil jalan pintas dengan menabrak semua pohon sementara
Eric serasa sengaja dijadikannya berambisi mengejarnya dalam motif abu-abu.
***
Eric tiba-tiba kehilangan Satanic yang melayang liar seperti elang yang
buta matanya. "Hantu yang menyebalkan!” dengusnya.
Suara yang sama sekali tidak merdu membantunya memahami
kesadaran pada sekitarnya. Dia sedang dikelilingi ratusan katak yang
berloncatan setinggi kepalanya.
49
Geogle itu merapatkan kedua kakinya, kemudian melayang menjauh.
Eric merasakan mata kodok-kodok itu terus mengawasinya.
"Turunlah Ghobadi ! Kelakuanmu tidak sopan!" hardik sebuah suara
yang tampaknya berasal dari dalam pondok tua itu. Eric mematung sejenak
memahami suara itu.
Ia kemudian mendengus kesal. Aku hantu jadi tak perlu takut siapapun.
Ia mendekati pondokan itu kemudian berdiri di depan pintu yang terbuat dari
akar-akaran. "Sekali lagi kuperingatkan. Berlakulah yang sopan!" Suara itu
terdengar lebih kejam dari sebelumnya. “Bertatakramalah seperti manusia.”
Tetapi Eric terlanjur menembus pintu dan mendapati tempat yang
begitu berantakan dan jorok. Ia melecutkan pandangan ke arah tungku
perapian, dan dijumpainya seorang perempuan tua duduk di atas kursi yang
dilapisi tiga buku tebal. Seekor kucing persia tidur di atas pangkuannya.
"Ghobadi aku selalu menunggumu. Kau adalah keturunan terakhir.
Yang paling akhir.”
Si kucing melompat terkejut saat makhluk tua itu beranjak dari
kursinya. Ia berjalan dengan tongkat yang tingginya hampir menyamai atap
pondoknya. Ukuran tubuhnya tidak melampaui separuh dari tinggi tubuh Eric.
Perlahan ia mendekati hantu yang sedang diliputi perasaan tidak nyaman dan
begidik.
"Aku bukan hantu sepertimu," katanya dengan cepat membaca pikiran
Eric. "Aku peramal dari bangsa Moro yang berpihak dengan dunia manusia,
disaat yang lain selalu bersembunyi."
"Apa anda tinggal sendiri, maksud s-saya selain dengan k-kodok?"
tanya Eric menyembunyikan rasa frustasi. Ia jijik dikelilingi ratusan kodok
yang bermata besar dan menonjol.
Peramal itu mengikik ganjil lalu berdeham dan berhenti sejenak,
“Angan-anganmu terlalu tinggi, nak. sementara kau tidak pernah memikirkan
resikonya," katanya dengan tajam. “Kau mudah dijebak. Kau datang kemari
bukan karena hatimu, tapi emosi dalam jiwa.”
50
Eric serasa ingin muntah saat wanita renta itu mengambil kodok lalu
menjilatinya. "Aku bisa membaca pikiranmu".
"Tentang kucing anda yang sedikit aneh dan kodok-kodok anda yang
sepertinya tidak senang saya di sini. Enng... ya itu yang sedang saya pikirkan,"
kata Eric sekenanya.
"TIDAK!" hardiknya. Eric terlonjak, terkejut. "Bukan itu. Tapi kau
berpikir bahwa aku ini siluman kodok!”
Eric tak bisa berbohong, tetapi dia tidak mau mengiyakan. Ia
menggeleng tegas meskipun ia sadar peramal itu mengetahui pernyataan
palsunya. Nenek itu kembali duduk di kursinya yang selalu berdencit. Mata
kodoknya terus mengawasi Eric, membuatnya canggung. Dia memilin-milin
taplak meja yang dianyam dari tumbuhan lalu tiba-tiba saja matanya tertuju
pada sebuah kotak tua tertutup.
“M-maaf, sepertinya saya pernah bertemu dengan,” ujarnya. “Anda.”
“Ya. Namaku Geffon, penghuni hutan jalur utara.”
Eric berpikir keras. Ada bagian dari isi kepalanya yang masuk berjejal
tapi ia tak bisa meraih ingatannya. Rasanya sesak seakan ada yang melucuti
dosanya satu per satu lalu menghukumnya bertubi-tubi.
Bayangan kelabu perempuan tua yang menabraknya berputar kuat di
kepalanya. Aku mendapatkannya, aku pernah bertemu dengan orang tua ini…
"Sudah saatnya kau pergi, Ghobadi!"
Eric terhenyak. Pergi? Hei dia mengusirku setelah mengundangku
dengan paksa. “T-tapi s-saya masih ingin bertanya pada anda. Bagaimana
anda…”
wanita tua itu mengetukkan tongkatnya kelantai. Eric terhempas angin
kencang yang seolah dihasilkan oleh getaran tongkat itu.
Hantu itu hendak berpegangan pada meja namun hanya sempat meraih
taplaknya saja. Ia terhempas mengikuti arus angin yang liar. Dunia terasa
berputar dan terbalik cepat sekali seolah teori grafitasi bumi sudah tidak
berlaku lagi.
51
Eric mendarat payah di jalanan yang sepi. Ia seperti baru saja
dijatuhkan dari langit sementara kotak sebesar dua buah apel itu terpental
beberapa meter dari tangannya.
52
10
PAWANG HANTUEric mendengus kesal ia bersusah payah menarik kakinya yang
terperosok menembus aspal kering. “sialan!”. Hantu itu mengumpat setelah
berhasil menyelamatkan kakinya. Ia memungut kotak usang yang tak berdebu
(sepertinya setiap hari di bersihkan), mengamatinya dengan mata terpicing.
Benda itu memiliki banyak ukiran rumit. Berwarna emas kusam dengan
rantai kecil yang mengelilingi tutupnya. Eric berusaha membaca huruf yang
terangkai melingkar pada alas kotak itu. "HE-LLUVA-GLOW.” Kotak itu
tiba-tiba membuka sedikit namun sedetik kemudian menutup kembali.
Eric berdecak sebal—memasukkan Helluvaglow ke dalam saku mantel
dalamnya sambil bersiap melangkah pergi. Secara bersamaan ia merasa ada
sesuatu yang memukul punggungnya dengan sangat keras dan bertenaga
sampai-sampai ia hampir terjerembab.
"Kau meninggalkanku diam-diam," sembur Hayden marah-marah.
Matanya yang sipit melotot sejadi-jadinya. "Ini dunia manusia— hati-hati
dengan segala sesuatunya."
"Maksudmu?" tanya Eric dengan kesal.
Sebuah Land Cruiser hitam melaju dengan kecepatan tinggi menabrak
dua makhluk itu dari belakang. Hayden melolong tertahan, suaranya seperti
tercekik. Benda itu berhasil menembus awaknya.
“S-seharusnya kita pura-pura mati saja.” Kukunya yang panjang
menggaruki kepalanya dengan frustasi.
“Kita kan memang sudah mati. Ngapain masih pura-pura?”
“Ya dewaaa... kenapa kau nggak pernah bisa mengerti dengan sekali
penjelasan?”
“Oh, kau sedang menjelaskan?” sahut Eric datar. “Kalau begitu
bicaralah intinya saja.”
Land Cruiser berdencit membelok kembali ke arah Eric dan Hayden.
53
“P-pawang hantu itu...” kata Hayden dengan suara gemetar. "M-
mungkin sebaiknya kita segera pergi dari tempat ini...”
"Kenapa?" protes Eric keras kepala. "Kita ini hantu dan dia manusia.
Kau bisa sihir. Jadi nggak usah takut.”
"T-tapi ppepedang itu di tangannya— s-sekarang..."
Eric terdiam sambil berpikir keras. Ia beradu pandang dengan pawang
hantu itu dan perasaannya sangat tidak menyenangkan. “Auranya seperti
hendak mencabik.”
"I-itu Bisolgedhi," teriak Hayden seraya menyambar lengan Eric sekuat
tenaga. “Pawang hantu!”
"Kurasa dia berbahaya," celetuk Eric semenit berikutnya. "Aku bisa
melihat dari matanya."
"Oh, Dewaaa!" Kata Hayden dengan dongkol. "Kurasa itu yang aku
katakan dari tadi. Apa kau bisa melayang sendiri tanpa bantuanku?"
Eric nyengir tapi kemudian memasang wajah serius. Mereka melesat
kabur. Bisolgedhi, si pawang hantu, mengejarnya bersama Land Cruiser yang
berlari sekencang kuda menerobos apa saja yang menghalangi jalannya.
Termasuk pagar taman.
Hayden begitu sangat menderita melayang dengan kecepatan melebihi
kemampuan maksimalnya. Kondisi badannya yang sangat gemuk membuatnya
terseok-seok. Sementara Bisolgedhi mengejarnya dengan beringas seolah dia
mendapatkan mangsa yang diharapkan.
"Kita kembali ke Snowvus sebelum semua terlambat," raung Hayden.
“Kau tahu di mana letak cermin ke mana saja diletakkan?”
Eric menyambar lengan Hayden. Mereka bersembunyi di balik semak-
semak. "Aku bersumpah tidak akan kembali ke snowvus sebelum menemukan
ingatanku lagi," desah Eric dengan nada tajam.
"Tapi hanya di sana kita bisa aman!" protesnya dengan tak sabar.
"Aku tidak peduli," kata Eric keras kepala sambil mengibaskan tangan
ke arah Hayden. "Aku tahu tempat yang bagus untuk bersembunyi. Percaya
padaku!"
54
Kali ini Hayden menyerah, ia rela berhenti mengomel untuk sementara.
Mereka menggeliat di antara kapiler besi. Menjatuhkan diri di gorong-gorong
yang sempit.
"Bersiaplah ...kita akan jatuh," kata Eric secara mendadak.
"AAARRGGHHH...!!!
Mereka memekik tertahan. Hayden dan Eric terperosok diantara pipa
saluran, meluncur liar mengikuti arus.
Hayden mengerang. Pantatnya terperosok ke dalam tanah sementara
pakaiannya terkena cipratan comberan yang menjijikkan. "tempat yang jorok,
ini seperti dunia tikus, kalau aku benar menebak, di sini adalah comberan
bawah tanah—tempat kotoran... Ouh..."
Eric nyengir sambil pura-pura batuk untuk menahan tawanya. "Aku tadi
kan menyuruhmu untuk bersiap jatuh! Tapi sudahlah, Bisolgedhi tidak
mungkin menyusul kemari."
Hayden mendengus. Dia berusaha menghindari kerumunan tikus yang
bersusah payah menggerayangi tubuhnya. Tikus-tikus itu sepertinya putus asa,
mereka seperti hanya menggigit angin kosong.
“tampaknya kau menjadi daging yang paling lezat untuk ukuran
mereka,” kata Eric sambil membantu Hayden menarik pantatnya yang
tenggelam di tanah.
Setiap hewan diprediksi mampu merasakan bahkan melihat kehadiran
hantu di sekelilingnya. Tetapi disisi lain mereka ragu untuk menyerangnya atau
mengajak berteman tanpa komunikasi yang jelas—hanya dengan sedikit
koneksi yang sama untuk menyamakan frekuaensi dengan alam lain.
“Kenapa tidak memakai jampi tembus batas yang dimiliki setiap hantu,
aku kan juga hantu...” omel Hayden setelah ia berhasil menyelamatkan
pantatnya.
“Bersyukurlah saja, pantatmu tidak gepeng.”
"Omong-omong kehilangan pantat jauh kebih baik dari pada dikurung
dalam Naigan - pedang perak yang paling mengerikan milik Bisolgedhi." kata
Hayden. “Aku terperangkap di sana dan luar biasa menderita?”
55
"Naigan? kau pernah dikurung di dalamnya? Jadi pedang itu bisa
memakanmu?"
Hayden bergumam. "Dia menghisap bukan memakan,” kata Hayden
dengan mata yang dipaksa melotot. "Aku disiksa habis-habisan tanpa henti.
kau tahu ? tanpa henti! sampai aku bersedia menjadi anak buahnya untuk
melaksanakan semua perintah pawang bedebah itu."
Eric diam seakan sedang mendengarkan setiap suara Hayden dengan
detil, tapi sebenarnya ia sibuk dengan pikirannya sendiri. Seberapa bahayakah
dia? Dia tak berarti apa-apa tanpa pedang penghisapnya.
"Sebuah keberuntungan menyertai! Master Quarenci datang untuk
menolongku dan berkat kehebatan kakekmu, aku selamat. Sebelumnya aku tak
pernah berharap untuk melihat kastil Snowvus tercinta lagi setelah pawang itu
menangkapku."
Eric hanya bergumam, membiarkan Hayden meneruskan ceritanya
sambil berjalan menghabiskan malam itu.
"Setelah bersumpah menjadi anak buahnya, otakmu akan dicuci lalu
dimodifikasi agar mampu membantu menciptakan kesenangan pribadi dan
hura-hura manusia."
"Hura-hura, eh?" Eric mengernyit.
"Hem! manusia membutuhkan makhluk gaib untuk mengejar
keberuntungan. Pada pertandingan sepak bola, Bisolgedhi menggunakan
kelemahan hantu tawanannya untuk membantu klub Persabu selama
pertandingan itu. Akibatnya klub Persabu menang tidak wajar." kata Hayden,
bersemangat.
“Tunggu sebentar!” Eric bergaya memegang kepalanya. “Aku ingat!
Aku ingat. Aku bisa mengingatnya!”
Hayden berbinar. “Ingatanmu sudah ingat?!”
Eric mengangguk kuat-kuat sambil memeluk Hayden. “Aku bisa
mengingat tim sepak bola andalanku! Persabu yang hebat itu berkat menjual
nama Callisto Treton…”
56
Sebelum meninggal Eric benar-benar penggemar Persabu dan pada
setiap penampilannya selalu disertai ritual untuk menciptakan gol. Ia terlalu
mengelu-elukan Callisto Treton, pemain andalan Persabu yang memiliki
tendangan di atas standar normal.
“Ingatan yang lain?”
“Yang lain tidak ada,” ujar Eric dengan muram.
“AARRGGHH…Itu namanya bukan berhasil mengingat,” sahut
Hayden sambil menggaruk lehernya yang tak gatal. “Itu memori sekunder yang
tidak akan hilang meskipun kepalamu hilang.”
Mereka terdiam sesaat, suara air kotor yang menetes terdengar nyaring
ketika bersenDewaa dengan pipa besi.
Eric tertunduk.
“Sudahlah, sobat. Kelak kau pasti berhasil menemukan dirimu yang
sebenarnya.”
"Hey omong-omong, dari mana kau tahu aku menyelinap ke dunia
manusia?" tanya Eric dengan cepat.
Hayden melirik Eric. "Tentu saja kakekmu yang memberitahuku. Kau
pikir Mame Granyo yang memberitahuku?"
Eric menatap Hayden terkejut. "Kakek bercerita banyak tentangku,
eh?"
"yah - bahkan semua tentangmu. Katanya semua keturunan Ghobadi
tidak bisa bersatu."
"APA?” sembur Eric dengan murka.
"Tapi Master Quarenci berusaha membuat perhubungan jiwa lewat
aliran darah keturunan. Peramal Geffon - kau tahu dia? bangsa manusia yang
dikutuk menjadi peramal oleh kaum Moro akibat kesalahan luar biasa yang
dilakukannya.”
“Kakek bilang begitu?”
“Eeng... bukan. Itu gosipnya,” sambung Hayden cengar-cengir. “Tapi
memang Geffon itu....ber-ba-ha-ya!”
57
Eric melongo, dia pernah mendengar nama itu." Nenek Geffon? Yang
kamu maksud dia peramal yang tinggal di hutan jalur utara?"
"Tahu juga kau," lanjut Hayden. "Aku tidak sengaja mendengar
perbincangan Master Quarenci dengan peramal itu. Sepertinya mereka saling
mengenal dan - "
"Jadi kau menguping ?”
Hayden nyengir lagi, "Yeah - habis kakekmu terlalu pelit waktu
kumintai informasi. Jadi aku buntuti saja dia."
Eric terhenyak. Ia mendapatkan secara detil sedikit memorinya sebelum
meninggal. Nenek yang ada di dalam bayangannya itu - Geffon, tidak lain
adalah peramal bermata kodok yang pernah ditemuinya. kemunculannya
sebelum dia meninggal dan meninggalkan pesan aneh itu.
"Aku menduga Geffon kenal baik denganmu, mereka kelihatannya
membicarakan dirimu dan sempat berdebat sengit," kata Hayden.
"Apa yang mereka bicarakan?" desak Eric, sambil menggoyang-
goyangkan bahu Hayden.
Hayden menjauh dari Eric, kemudian mengangkat bahunya tinggi-
tinggi. Terlihat takut sekali melihat tindakan Eric yang agresif. "Aku tak
sempat mendengarnya, karena aku ingin segera pergi ke dunia manusia,"
katanya.
"Bodoh!"dengus Eric, sebal. "Apa kau bisa bertindak pandai sedikit
saja? Berpikir bung!" katanya dengan menunjuk lututnya berulang kali.
"Ouch!suruh saja tikus-tikus itu yang mikir, "balas Hayden. Ia berjalan
mendahului Eric. “Seandainya aku bisa melakukan blasxing...”
“blassing?”
“blasxing dengan huruf x, kamu tahu jika kita menguasai ilmu blasxing
kita tidak perlu lari-lari seperi hantu bodoh.” sembur Hayden dengan mata
yang dipaksa melotot agar lebih meyakinkan.
“Aku lebih suka lari-lari,” celetuk Eric. “kamu bisa menguruskan perut,
bung.”
58
Hayden mengelus perutnya yang buncit tapi ia menepis dengan cepat.
“Ini bukan masalah perut, tapi blasxing yang mengagumkan. Kau mengelabui
musuh dengan menghilang lalu muncul di suatu tempat yang kau pikirkan.
Musuhmu akan terus mencari keberadaanmu sampai-sampai kau gila
memikirkan tempat yang tidak akan pernah dipikirkan oleh makhluk lain.
Kecuali engkau sendiri. ”
Eric memutar tubuh Hayden seperti memelintir sekrup. “Lalu?”
“Aku pernah mencobanya...”
“Lalu?”
“aku kapok. Aku menyerah untuk melakukannya lagi. Kau ingin tahu?”
Hayden menunggu Eric menganggukan kepala. Kemudian ia meneruskan.
“Aku terperosok di peti jenazah Mame Granyo. Dia mengejarku dan hampir
saja menggunduli hidungku...”
“Lalu?”
“Aku akan melanjutkan jika kau berhenti berkata lalu. Satu yang perlu
kau ingat, konsentrasi dalam melakukan blasxing sangat diperlukan, jika tidak
kau akan tersesat atau terbuang atau terdampar dan sejenisnya yang lebih parah
dari itu.” Hayden berhenti sejenak. “Blasxing hanya digunakan jika perlu saja,
kalau tidak akan menimbulkan efek ketagihan yang sangat fatal. Musuh akan
mudah membaca keberadaanmu karena dalam pikiranmu tak bisa membedakan
antara Blasxing ataukah menghilang secara normal dengan cermin ke mana
saja. blasxing secara sempurna hanya dimiliki hantu tertentu, terutama
geogle.”
“Bagaimana cara melakukan blasxing tadi?” Eric menciap antusias.
“Aku geogle, bukan?”
“Kau lebih suka lari-lari untuk meratakan perut” sahut Hayden sambil
nyengir. Eric mengikik seraya menepuk perut Hayden.
“Aku akan berpikir dua kali jika aku tahu blasxing benar-benar
mengagumkan. Apa ada jampi blasxing? Mantra? Kode? Password? Pin?”
59
Hayden memonyongkan bibir. “Kau cerewet sekali seperti anak
perempuan. Blasxing berhak dimiliki setiap hantu, tapi sebagian dari mereka
tidak ingin memiliki ilmunya.”
“mengapa?”
“karena tidak penting. Blasxing berbahaya untuk hantu pelupa, kadang
dia sadar melakukan blasxing ke suatu tempat yang dibayangkannya tetapi dia
tidak ingat dari mana tempat asalnya. Blasxing membuat otak berguncang. Oh,
satu lagi...bagi hantu yang meninggal tanpa membawa otaknya tidak mungkin
melakukan blasxing. Blasxing dikendalikan oleh otak, bung.”
Eric tertegun. Pikirannya menerawang berbaur dengan kegalauan atas
memorinya yang hilang. “memoriku hilang tetapi aku masih punya otak
dikepalaku,” celetuknya. “Aku pasti bisa melakukannya, eh? Bukankah aku ini
geogle?”
“Ya ya aku tahu kau Geogle. Kau tak perlu mengulang-ngulangnya.”
Hayden mengangkat alisnya tinggi-tinggi. “Balsxing yang paling sulit
dilakukan saat bersama dua hantu atau lebih dari golongan yang berbeda
karena kalian harus menyamakan pikiran dan membagi konsentrasi supaya
salah satu diantara kalian tidak tercecer di jalan.”
“sepertinya menarik...” Eric melayang mendahului Hayden. Ia
memasukkan tangannya di saku mantel sebelah kiri. Tangannya mengelus
Helluvaglow yang disembunyikan di dalamnya. “Aku pasti bisa melakukan
Blasxing bersama tujuh hantu sekaligus...”
“Benarkah?” Hayden pura-pura terbelalak. “Kau pernah belajar
Balsxing?”
Eric menggeleng. “Aku punya Garizah setara dengan kakek. Jadi
mungkin aku bisa melakukan segala sesuatu tanpa perlu mempelajarinya
terlebih dahulu.”
“Itu pengecualian…” Hayden menyahut bosan.
60
11
Kegemparan Eric dan Hayden menghabiskan malam menyusuri gorong-gorong yang
sebagian digenangi air dan sebagian berupa tanah lembek. Air tumpah setetes
demi setes dari atap bergemericik perlahan bergema disela-sela kesunyian.
Sinar pagi perlahan menyeruak melalui celah besi yang berlubang.
Hayden menyusut dan menjadi bentuk peri kecil dan menghindari sinar alam
yang mencoba menyentuh tubuhnya secara halus.
Ia mendekati Eric, "Aku paling alergi dengan sinar matahari." katanya.
"Kau tahu kenapa? Aku bisa lumpuh selamanya gara-gara cahaya alam.”
"Ufh - kalau begitu kau disini saja sampai nanti malam dan aku akan
menyamar menjadi manusia lalu naik ke sana," kata Eric.
"Jadi kau ingin meninggalkanku disini? sendirian ? bersama tikus-tikus
menjijikkan ini, heh?" raung Hayden sambil mengangkat alisnya tinggi-tinggi
tanda penolakan secara mentah-mentah. ”Tidak bisa — kau harus
membawaku!”
Peri ghaits akan selau ditakdirkan anti terhadap sinar matahari sehingga
mereka hanya tidur pada siang hari dan bermain di malam hari, seperti Satanic
yang lebih memilih bergentayangan di saat matahari terlelap.
Hayden menyusutkan tubuhnya hingga menjadi sebesar buah anggur. Ia
mengepakkan sayapnya, "Aku bersembunyi di dalam saku mantelmu saja.
Ingat jangan menggencetku." Ia menyeringai menampakkan giginya yang
besar lalu cepat-cepat masuk ke saku mantel yang sudah usang itu. “Jika aku
bisa bernafas aku yakin di dalam sini baunya seperti telur busuk.”
Eric menembus aspal. Sebentar kemudian ia mendapati dirinya berada
di tengah lalu lintas manusia yang sibuk dengan kepentingannya masing-
masing. Ia menghalangi sinar matahari yang mengenai matanya dengan
punggung tangan.
"Apa kau masih bertahan di sana?" kata Eric sambil berjalan mengikuti
gerak langkah kakinya.
61
"Aku lebih memilih disini daripada kau titipkan bersama tikus -tikus
menjiikkan itu," sahut Hayden.
Eric mendesis sambil menepuk kantongnya yang berisi Helluvaglow,
lalu beralih pada kantong lain yang ditempati Hayden.
“Hei, bisakah kau berjalan dengan pelan-pelan?” ia mencubit perut
Eric. “Kau membuat di dalam sini berguncang seperti gempa bumi.”
“Aku sudah berjalan sangat pelan,” gerutunya. Eric merasa canggung
seakan ada yang sedang mengawasinya dari segala penjuru. Ia tak merasa takut
haya saja ia tak mampu memahami rasa cemas yang tiba-tiba menyergapnya.
Aku harus bergegas! Hei, ada apa denganku? Kenapa aku lari seperti sedang
ketakutan?
“Eric…” Hayden melolong putus asa. “Kau membuatku terguling-
guling…”
“M-maaf, sobat!” Eric tak menyadari semakin lama langkahnya
semakin cepat. Buru-buru ia berhenti dengan terkesiap. Seakan ada seseorang
mengejarku dan aku dalam ketakutan luar biasa. Tapi siapa yang mengejarku.
Aku ingin lari, lari dari mereka! Hei, ada apa denganku?
“Apa kau baik-baik saja?” Hayden melolong dengan cemas.
Tidak. Ada seseorang yang mengejarku. “Ya, aku baik-baik saja.”
Seorang pria gemuk menguping pembicaraan mereka. "Aku mendengar
seseorang sedang berteriak di dekatmu tadi,” katanya. "Siapa dia?”
Eric tersenyum kecut, seraya berlalu meninggalkan pria gemuk tadi.
Tetapi tampaknya pria itu berhasil mengejarnya dengan mudah. Ia lalu
memutar bahu Eric dengan satu lengannya.
"Kau belum menjawab pertanyaanku, heh! kurasa kau kecil-kecil sudah
sinting," cemooh pria itu sambil menepuk saku mentel hantu itu dan tepat
mengenai Hayden yang sedang bersembunyi di dalamnya. Hayden mengomel.
"Kau harus ikut denganku ke kantor polisi sebagai dugaan orang yang pantas
dicurigai. Jangan-jangan kau menyembunyikan sesuatu di balik mantelmu.
Atau kau seorang teroris kecil?"
62
Eric berusaha menjauhinya, tetapi pria tadi semakin mendekat dan terus
mendesaknya."Jangan paksa aku untuk mengantakannya."
"Aku tidak memaksamu, nak. Kupikir kegilaanmu memakai syal dan
mantel tebal dimusim kemarau berkerak seperti ini adalah kecurigaan bagiku,"
ujarnya pelan, namun dengan nada mendesah, "Kau baru saja mencuri di toko
coklat kemudian menyembunyikannya di dalam mantel butut ini!"
Eric terdiam sesaat, tapi buru-buru berujar. "Seharusnya saya yang
curiga dengan anda, dasar pencuri bodoh."
"Hei-a-apa maksudmu anak kecil?" tanya laki-laki dengan terkejut
sangat.
"Pengutil... pengutilnya di sini,” kata Eric keras-keras. Sengaja
mengundang perhatian orang-orang di toko coklat itu dan beberapa petugas
penjaganya yang terlihat sedang menginterogasi si pelayan toko. "Yeah, aku
bisa melihatnya di saku celana anda yang ukurannya seperti karung beras."
Pria itu tampak sangat putus asa, tetapi dia berusaha tenang dan tidak
mencoba kabur meski di belakangnya beberapa petugas keamanan
mendekatinya. "Apa buktimu, heh? Maksudmu aku yang mencuri, sementara
kau sendiri yang jelas-jelas mengutil...”
"Aku bisa melihat segala sesuatunya, hingga menembus saku celanamu,
karena...." Eric berhenti sejenak dan memilih tidak meneruskan perkataannya.
Ia tidak ingin manusia mengetahui ada hantu berjalan-jalan di pagi hari.
Hantu itu berjalan memutar hendak meninggalkan pria itu, tetapi lagi-
lagi manusia itu mencengkeram dan memilin bahunya. Eric menatap tajam
orang itu, ia memelototinya hingga matanya membesar, besar, dan makin
besar. Pria itu ketakutan dibuatnya - kakinya gemetaran dan tubuhnya hampir
ambruk jika tidak ada tembok di belakangnya. Biar begitu dia sempat kabur
dengan coklat dan permen berjatuhan dari sakunya yang berlubang.
Laki-laki gemuk tadi nyaris menabrak mobil yang melintas didepannya.
Hingga akhirnya dia pingsan begitu saja. Eric segera pergi dan tidak ingin
berurusan dengan orang-orang yang berkerumun selalu ingin tahu.
63
Aku cemas karena manusia itu mengejarku. Dari tadi ia mengawasiku.
Bukan! Bukan karena itu. Aku masih merasa khawatir. Aku takut tertangkap.
"Jangan katakan kalau kau mengkontraksikan Garizah pada manusia
tadi," ujar Hayden dengan menandak-nandak. Ia mengaburkan pikiran Eric.
"Aku tidak sengaja, aku juga tidak tahu tiba-tiba aku bisa melihat
sesuatu yang tersembunyi - hanya dengan menatap matanya saja." Eric
membela diri tanpa ekspresi. “Itu luar biasa bukan?”
"Kau bisa menggunakan Garizah kapan saja, tapi sayang sekali, kau
belum bisa mengendalikannya dengan baik, "kata Hayden. "Hal itu sangat
berbahaya apabila musuh mengenali kelemahanmu - dan Bisolgedhi akan
segera mengetahui getaran mencurigakan."
Eric hanya diam, namun dalam pikirannya dia membenarkan omelan
Hayden yang terus meluncur seperti kembang api. Kejadian petualangannya di
dunia manusia yang sempat membuat kegemparan manusia. Dia tidak sengaja
menjatuhkan salah satu bola matanya saat emosinya meluap tak terkontrol.
Hantu yang hanya bewujud protoplasma memiliki kelebihan sekaligus
kelemahan masing - masing. Geogle mampu memproses protoplasmanya
sehingga mereka dapat bertransformasi menjadi manusia, sementara Ocupant
cenderung bertransformasi menjadi hewan. Dan Patred berubah dalam wujud
benda.
"Hei, ada pertandingan khusus kesebelasan Persabu melawan Wenage,
"kata Eric sambil memungut kertas berwarna merah yang banyak berceceran di
jalan dan membacanya. “Di Stodi Stadion nanti malam.”
Eric berhenti sejenak, memandang keadaan sekelilingnya dipenuhi
orang yang memungut selebaran yang berceceran dan yang tidak sengaja
menabrak wajah mereka karena terkena tiupan angin. “Aku ingin bertemu
dengan Callisto Treton!” Ia tiba-tiba bersorak dan beberapa orang menoleh ke
arahnya.
"Tunggu! ini sangat aneh, Eric," omel Hayden seraya menandak-
nandak. "Disana sangat berhaya dan aku bertaruh Bisolgedhi terlibat di
64
dalamnya. Di dunia manusia ia menjadi penyandang dana klub Persabu,
bahkan Stodi Stadion menjadi markas pribadi mereka."
“Tapi aku berwujud manusia dan kau tetap bersembunyi dalam
mantelku. Kupikir tak seorangpun mengira kita ini hantu…”
“Apa katamu?” Hayden menyerobot dengan meletup. “Kau pikir si
Bisolgedhi itu tolol?” Hayden mengacak rambutnya dengan frustasi. “Eric
percayalah, ini jebakan…”
Eric pura-pura tak mendengarnya. Ia berjalan menyusuri trotoar kota.
Membiarkan Hayden ribut di dalam sakunya mantelnya.
12
65
PenguntitMalam menjelang, Hayden cepat-cepat keluar dari saku mantel Eric
yang membuatnya sangat menderita lalu bertransformasi ke wujud semula.
Sejenak menggeliat melenturkan plasmanya yang mengerut.
"Hei - dimana kita? sepertinya aku kenal..."
Hayden memandang berkeliling, sepertinya hutan jalur utara, pohon-
pohonnya tumbuh lebat dan saling berdekatan sampai-sampai tanahnya
lembab.
"Astaga! Celaka kutu maut!" rengek Hayden dengan hampir menangis.
Ia meremas lengan Eric. "Ini tempat peramal Geffon??"
Eric mengangguk kuat-kuat tanpa kata. Ia tak ingin ada protes lagi.
Angin bertiup kencang, pepohonan bergoyang mengikuti irama arah
angin berhembus. Seekor gagak terbang rendah dan bertengger di salah satu
dahan pohon kemudian mengawasi dua hantu itu dengan matanya yang besar
dan bulat.
"Kutunjukkan sesuatu padamu," kata Eric sembari berjalan mengendap-
ngendap diikuti Hayden yang masih mencekeram erat lengannya. "ppsssttt ...!"
kata Eric sambil mendesis, menyuruh Hayden berhenti merengek.
"Aku masih takut padanya. Dia sempat menggertak gara-gara aku
terlalu ngotot bertanya dimana keberadaanmu kepada master Quarenci."
Hayden memelankan suaranya. "Geffon kemudian mengacungkan tongkatnya,
mengucapkan mantra yang bisa membuat rambutku separuh beruban dan
separuhnya lagi gundul mengkilap."
Eric tersenyum, namun dalam hatinya dia bisa tertawa meledak-ledak.
"Lalu - ?
"Master Quarenci tertawa dan mereka meninggalkanku begitu saja.
Karena dendam akhirnya kuputuskan membututi mereka dan menguping
pembicaraannya," katanya dengan mendengus.
Eric memelototi Hayden. "Ya, kau memang jempolan untuk masalah
kuping menguping. Tapi yang ini penting, ikut aku !" dia bersandar pada salah
66
satu pohon, melanjutkan ucapannya, "Aku sedikit menemukan memoriku, dan
aku bertaruh pasti kau tidak akan percaya - Geffon pernah menemuiku,
sebelum aku meninggal. Bahkan beberapa kejadian sesaat sebelum waktunya
menjadi Geogle."
Hayden mengangkat bahunya, “bicaralah yang jelas.”
“Begini – Yeah, walau hanya sepotong-sepotong yang bisa kuingat,
tetapi aku masih ingat peristiwa saat nenek berkaca mata besar itu
menabrakku, Eric berhenti sebentar kemudian melanjutkan. "Dia mengaku
bernama Geffon dan tinggal di hutan jalur utara, dia memiliki hewan
peliharaan, err namanya...arrow poison,”
“Kau tahu sesuatu?”
Hayden menggeleng lemah.
Kesunyian hinggap diantara mereka, tidak ada yang angkat bicara,
hanya nyanyian para katak yang terdengar menggema.
"Arrow poison berarti katak yang beracun," bisik Eric, sangat pelan di
dekat telinga Hayden. “Kita akan bertamu ke rumahnya”
“Ke rumah arrow poison?”
“Bukan arrow poison,” sahut Eric dengan jengkel. "Tapi Geffon. Dan
aku sangat yakin, Geffon yang memegang jawaban dari pertanyaan yang
kucari."
Angin yang bertiup halus seolah mengusik ketenangan manusia untuk
berpikir tujuh kali sebelum memutuskan keluar rumah sendirian dalam suasana
yang mencekam saat para Satanic bergentayangan di dunia mereka.
“Kau sudah memikirkan kesimpulan itu berapa kali?”
"Aku masih belum mengetahui kepastiannya," kata Eric, sementara
Hayden menunjuk syal Eric. Eric menggeleng. "Orang itu tak begitu jelas
muncul dalam ingatanku. Tapi aku tahu, dia seorang gadis berambut panjang,
dan kalung liontin miliknya, aku suka itu - yeah, bentuknya sama bagusnya
seperti yang menguping pembicaraan kita." Eric mengurungkan niatnya untuk
memperlihatkan pada Hayden kalung berliontin angsa biru yang diberikan
Master Quarenci padanya.
67
Dia memasukkannya kembali dibalik mantelnya yang usang. Dan buru-
buru tanggap, ada yang sengaja menguping pembicaraan mereka.
"Mungkin Geffon -" gumam Hayden sembari merekatkan tubuhnya
rapat-rapat disamping Eric.
"Kurasa tidak mungkin," sahut Eric. Waspada.
“Jangan-jangan si pawang hantu itu…"
"Entahlah, tapi itu mustahil. Dia kehilangan jejak kita terlalu jauh."
Mereka terdiam dan burung-burung terbang kesembarang arah tidak
karuan tanpa ada suara yang begitu mengejutkan.
"AHOHEY ...!"
Dari balik batang pepohonan yang tumbuh lebat, kemudian muncul tiga
hantu yang nyengir tanpa dosa.
"Naydelin?” kata Eric dan Hayden hampir bersamaan.
"Segala sesuatu bisa saja hilang - tetapi kenangan tidak akan bisa dicuri
oleh siapapun," kata Naydelin, si hantu Satanic, sambil melayang mendekat ke
arah Eric dan Hayden diikuti dua hantu dibelakangnya. “Karena kenangan
bersemayam dalam hati.”
“Sok tahu lagi,” celoteh Hayden tanpa bermaksud menghina.
"Ouch, maaf aku lupa, omong-omong ini Pedro dan Coda," kata
Naydelin. "Dan mereka...” Ia merangkul Eric dan Hayden. ”Hayden dan Eric."
"Hai – aku Pedro Videl, Ocupant," kata hantu yang bertubuh semampai.
Rambutnya jatuh lurus hingga bawah telinga. Dahinya lebar dan bersinar
seolah ia menyimpan segala pengetahuan dunia ini di kepalanya.
"Hayden Powi," sahut Hayden saat bersalaman dengan Pedro. "peri
Ghaits."
"Eric Ghobadi, Geogle."
"Coda Gerhana, Patred,” kata hantu yang sangat pucat, tetapi
tampaknya dia selalu bersemangat. Dia begitu tampan dan Hayden
mengakuinya sambil memandanginya tak berkedip meskipun memiliki jenis
kelamin yang sama.
68
"Kami bersusah payah mengikuti kalian, hingga akhirnya berhenti di
hutan jalur utara."
"Kupikir Satanic yang menjebakku sampai kemari itu kau," kata Eric
pada Naydelin. “Tapi kupikir aku telah salah menuduh.”
"Aku tahu," ujar Naydelin beberapa saat. "Tidak mungkin kau bisa
mengetahui jalan masuk hutan jalur utara ini, kecuali ada yang sengaja
menunjukkan jalannya padamu."
"Yeah, jelas-jelas aku bertemu dengan Satanic, dia mengerikan, sangat
mengerikan, lebih menakutkan dari pada kau," kata Eric sambil melirik
Naydelin. "Kau Cantik."
"Bodoh! Manusia bisa mati terkejut melihat wajah asliku," ujar
Naydelin sambil memutar tiga ratus enam puluh derajat kepalanya. Tiba-tiba
rambut peraknya menjadi acak-acakan seperti baru saja tersambar badai lalu
memanjang melampaui batas mata kaki.
Plasma satanic itu meleleh digantikan kulit yang kering dan bersisik.
Semuanya menjadi sangat mengerikan. Bahkan Eric mengakui Naydelin lebih
menyeramkan dari pada Ona, ibunya yang sama-sama bangsa Satanic.
Ketika di pengadilan pemutusan nasib, Eric sempat menyaksikan orang
tuanya berubah menjadi identitas asli masing-masing sebelum berpisah, dan
Eric ingin mengulang peristiwa tersebut.
13
Kembali ke Pondok
69
"Kau percaya,kan? Satanic itu bukan aku!" ujar Naydelin sembari
kembali ke bentuk yang sewajarnya, dalam keadaan yang cantik.
Eric mengangguk buru-buru.
"Aku tidak ingin menjebakmu sendirian di hutan ini," lanjut Naydelin.
"Aku tahu," jawabnya pendek.
Mereka melayang berhati-hati melewati berbagai macam pohon yang
tumbuh berdekatan. Dari kejauhan, cahaya dari lampu badai tampak
bergerombol mengelilingi sebuah pondok kecil dengan dua pohon cemara biru
yang tumbuh mendampinginya.
"Jadi kedua kalinya kau kemari?" tanya Hayden setengah berbisik dekat
telinga Eric.
"Ya, semoga saja ini untuk yang kedua kalinya aku tidak mau rencana
untuk memasuki rumah peramal itu gagal," kata Eric, balas berbisik dekat
telinga Hayden yang kecil.
"Omong-ngomong kenapa disini tidak ada hantu berseliweran," kata
Pedro si ocupant. “Dimana hantu yang lain?"
"Tidak ada! selain hantu dan manusia yang ingin berbisnis dengan
peramal itu kurasa tidak akan berminat kemari,” ujar Hayden mencoba
berkomentar. "Dan rasa-rasanya hutan ini sudah dibooking oleh Geffon.
"Tunggu! aku pernah melihat Geffon duduk berdampingan dengan
master Quarenci di pengadilan nasib para hantu, yeah, mereka bercengkrama
hangat seperti tidak memperhatikan suasana ramainya sidang itu," kata
Naydelin tiba-tiba.
Eric mengernyit, "hantu siapa yang diadili?"
"Kau,” jawabnya lemah.
“Aku?” Eric mengulang. "Apa maksud semua ini?"
Eric tertunduk sebal, ada sesuatu yang mengganjal dalam pikirannya.
Sesuatu yang penuh emosi diantara kekalutannya, seolah pikirannya selalu di
bawah pengaruh mars, si dewa perang.
"Aku tahu!" seru Hayden agak pelan dan delapan mata langsung
mengawasinya aneh. "Mungkin Master Quarenci naksir sama Geffon."
70
"APA!" Coda dan Pedro cepat-cepat menutup mulut Eric.
Naydelin memilin tangannya. Ingin rasanya dia menonjok kepala
Hayden hingga bengkak, "Tidak mungkin!" sengatnya dengan marah-marah.
"OK! Sudahlah," Eric bangkit dan kembali memata-matai pondok
Geffon. "Sekarang kita mendekat dan kalian jangan memekik melihat
kenyataan yang akan kita temui."
Lima hantu itu menerobos menembus semak belukar dan beberapa
pohon besar berakar gantung sampai akhirnya mereka berada pada jarak dekat
dari rumah peramal. Langit malam yang cerah tampak kelam tertutup
rimbunnya dedaunan pohon yang tumbuh terlalu rimbun.
Naydelin memekik ketika kodok-kodok itu hampir meraih kakinya.
Dengan segera dia berhasil membungkam mulutnya sendiri, "ya, aku ingat,
jangan berteriak! "serunya pada diri sendiri.
"Ppssstttt!" Eric memperingatkan untuk diam dan tidak bosan-bosannya
dia menengok kebelakang untuk memastikan Geffon tidak memberi kejutan
muncul tiba-tiba dari balik punggungnya.
"Bagaimana cara kita masuk?" tanya Coda dalam sebuah raut wajah
keputusasaan sementara Naydelin nyaris menanyakan kalimat yang sama.
"Entahlah!" jawab Eric sambil menyibakkan semak yang menghalangi
pandangannya. "kemarin aku masuk seperti biasa, maksudku lewat pintu
utama."
Hayden membelalakkan mata, "Gila ! Kita pasti akan tertangkap basah
dan habislah riwayat kita!”
"Aku dengar, awal-mulanya dia hanya manusia lemah, tapi dia lumayan
cantik, kemudian atas suatu kesalahan, dia dikutuk menjadi peramal
mengerikan hingga saat ini. Entah apa kesalahannya itu - tak ada yang tahu."
cuap Naydelin seperti asap kereta yang terus keluar selama bahan bakarnya
belum habis. "Kemudian kabarnya dia membantu Bisolgedhi untuk mencari
hantu terbaik untuk menjadi budak pembesar kegelapan. Meski tidak secara
terang-terangan, tetapi berita ini sudah tersebar dan untuk meredamnya ia
kemudian menjadi pengacara terdakwa dalam pengadilan pemutusan nasib
71
hantu. Jadi roh-roh yang nantinya menjadi hantu yang merasa diadili secara
tidak adil akan terbantu dengan kehadiran Geffon sebagai pengacaranya.”
"Tapi tetap saja dia punya rencana jahat dibalik kebaikannya, aku yakin
itu," kata Coda.
“Dan Master Quarenci percaya begitu saja padanya?” Naydelin tak
sepakat.
"Yang akan kita ingat dari orang jahat adalah kebaikannya. Yang kita
ingat dari orang baik adalah keburukannya, tidak adil, ” ujar Pedro prihatin.
“Geffon pernah membelaku saat tiga makhluk bercahaya aneh itu akan
menjebloskanku ke dunia tanpa batas.”
Dunia tanpa batas adalah dunia untuk roh-roh yang sudah tenang dan
tidak memiliki urusan penting lainnya. Tetapi sering terjadi kesalahan fatal
disebabkan oleh tindakan para hantu yang anarkis dan kesalahan sang hakim
keriput untuk meramalkan kepentingan roh tersebut karena tidak ada bukti kuat
untuk mengizinkannya menjadi hantu.
Sehingga bukannya tidak mungkin, roh yang diabaikan kepentingannya
mendengus kesal pada hakim keriput. Roh yang masuk ke dunia tanpa batas
tidak dapat menjadi hantu dan tidak bisa mengulang kesempatan. Mereka
dianggap sudah bersih untuk urusan lainnya. Namun tidak sedikit roh yang
memang sengaja memilih terjun ke dunia tersebut, mungkin dikarenakan
mereka sudah rela dan tidak ingin menambah rumit kehidupannya.
"Aku juga, Geffon - yeah, dia juga menolongku," kata Eric, sangat lirih
sehingga nyaris tidak kedengaran meski suasana senyap. "Walaupun hanya
pesan yang rumit dan konyol, tapi itulah satu-satunya yang bisa aku ingat dan
aku merasa beruntung saat mengingat dan mengucapkannya di pengadilan
pemutusan nasib."
"Ppssttttsss ....!" desis Naydelin dan Pedro.
Mereka tiarap dengan hampir bersamaan di balik semak lalu
menyibakkaannya dengan sangat pelan. Mereka menyaksikan peramal itu
keluar dari gubuknya ditemani Satanic yang pernah menjebak Eric waktu itu.
72
"Tuan besar Bisolgedhi bisa sangat marah apabila anda tidak datang ke
pesta jamuan makan malam," kata Satanic dengan wajah suram.
"Dan aku bertambah marah jika kau terus memaksaku," sembur Geffon
sambil menutup pintunya begitu saja. Hantu dan peramal itu menghilang
diujung timur, ditelan gelapnya malam dan rerimbunan pohon berakar gantung.
Obrolan mereka sudah tidak terdengar dan lima kawanan hantu keluar
dari tempat mereka bersembunyi. Para katak yang terdiam saat majikannya
pergi, kini mengoceh berisik seolah memberitahu datangnya penyusup.
Misteri ini sedikit demi sedikit terbuka tetapi Eric masih tidak percaya
apabila Geffon bersekutu dengan Bisolgedhi dan itu berarti seluruh usahanya
untuk memasuki dunia hantu secara perlahan-lahan dengan menutupi identitas
sesatnya berhasil dengan sukses.
Malam yang kelam tiada cahaya melainkan hanya berasal dari lusinan
lampu badai yang melayang tak teratur di sekitar pondok Geffon. Lima hantu
itu melayang di atas lautan kodok yang saling berlompatan, sepertinya mereka
sedang bersusah payah meraih kaki para hantu.
Mereka menembus pintu kecil yang sudah sangat tua dan memasuki
ruangan yang disinari api yang berasal dari tungku perapian. Kucing Persia
milik Geffon tertidur pulas pada jarak yang terlalu dekat dengan perapian.
Meski sebelah kupingnya bergerak-gerak, menyadari akan datangnya
para hantu penyusup, tetapi seperti dia lebih memilih diam dan berpura-pura
melanjutkan mimpinya.
"PUMP!"
Sebuah ledakan fatal terjadi ketika Hayden yang ceroboh menyenggol
tiga bola kaca bening berbeda ukuran yang menancap pada tongkat bergigi
garpu. Bersamaan dengan itu terdengar gemuruh berulang kali, Hayden
berteriak dalam keputusasaan. Lantai tempatnya berpijak menghilang dan
kakinya serasa ditarik dari bawah. Ia meluncur cepat ke bawah, melewati
lorong sempit dan pengap.
"HAYDEN!" Eric, Naydelin, dan Pedro melolong panik.
73
"HAYDEN!" teriak Coda sambil menjulurkan kepalanya pada mulut
lubang. "Kau dengar kami?"
'Yeah, dan pantatku sakit sekali!" raungnya dengan suara lemas.
Naydelin meringis, "Hantu ceroboh ! Kau kan bisa melayang."
'Tempat ini aneh. Coba kalian kesini!" dengus Hayden sebal.
Naydelin mengangkat bahu, "Kau duluan!" katanya memerintah Eric.
Eric menjadi gusar dan balik memerintah Coda untuk meluncur lebih dulu.
Coda mengernyit dan memeloti Eric secara tidak wajar. Mereka
berdebat sengit dan tidak mau mengalah. Sementara Pedro hanya melihat tiga
temannya yang menurutnya sangat aneh dan kekanak-kanakkan.
Pedro menggeleng kemudian tertawa ganjil dengan tiba-tiba. "Biar aku
yang mencoba."
“Hey, Tunggu!” Eric hendak mencegah Pedro.
Namun Pedro telah menghilang dan menyisakan teriakan panjang yang
menggaung.
Eric, Naydelin, dan Coda saling pandang menyesal sekaligus
mengkhawatirkan nasib Pedro dan Hayden. Apabila Geffon menggunakan
mantra pemusnah sebagai penyempurna jebakannya maka kedua sahabatnya
dalam bahaya besar.
"Hei...kalian dengar kami?" teriak Pedro dengan susah payah." Disini
ada banyak sekali benda-benda antik! Kalian dengar?"
"Kau tidak celaka?" tanya Eric tanpa ada rasa berdosa. Naydelin
menjitak kepalanya keras sekali. "Au ... sakit, tau! Kau ingin mengajak
perang?”
Naydelin mengepalkan kedua tangannya sebagai bukti siap berperang.
Coda mendengus menyuruh Naydelin dan Eric diam. Dia menjatuhkan
kedua kakinya dan meluncur masuk. Ke dalam lubang seperti yang dilakukan
Pedro dan Hayden dengan sukses.
"Baiklah, hanya tinggal berdua," keluh Naydelin.
"Yeah, aku tahu."
Naydelin berjalan merambat disamping Eric.
74
Tiba-tiba, "KEJUTAN!" bersamaan dengan itu dia mendorong Eric
hingga jatuh ke dalam lubang, tetapi Eric berhasil menyambar kaki Naydelin
dan mereka terjatuh dalam lorong panjang yang sempit.
Seperti ada gaya grafitasi sangat besar di bawah sana. Eric merasakan
kakinya memang sengaja di tarik oleh tangan-tangan besar yang kuat.
Sedangkan Naydelin menjerit ketakutan.
Dalam keremangan ruangan Geffon yang penuh jebakan, diam-diam
dari balik bola kaca gelap yang menggelinding tersembul wajah Geffon dengan
garis keriput yang tak bisa disembunyikan. Ia menyungging senyum yang tak
sampai ke garis matanya. Si kucing Persia menatap kosong benda itu. Sebuah
tatapan kosong tanpa bola mata.
14
Ramalan Poinsettia
75
Naydelin terjerambab dengan posisi terseret lantai berair. Eric
menubruk peti tua yang tertutup rapat.
Coda bergegas menolong Naydelin yang meringis kesakitan, “Kau
tidak apa-apa?" tanyanya dengan cemas. “Aku juga merasakan sakit yang sama
saat kau merintih seperti itu.”
Eric mendengus memperhatikan Coda dan Naydelin. Dia menganggap
Coda terlalu mahir menggombal. Sampai-sampai dia tidak memperhatikan
Pedro disampingnya yang ingin menolongnya berdiri.
"Aku baik-baik aja," kata Eric dengan nada kesal.
Pedro hanya bergumam, kemudian berkata, "Coda, kau bilang mau
bantu aku membuka peti ini.” Namun tak ada yang menggubrisnya.
Eric terhenyak. Ia baru menyadari badannya menjadi begitu berat
sehingga dia tidak bisa melayang normal. lantai tempatnya berpijak digenangi
air hingga menyentuh mata kakinya. Eric berkesimpulan ada sumber air di
dekatnya karena terdengar gerimis yang menetes dari tempat yang tinggi.
Tempat itu sangat pengap dan setiap benda hanya tampak remang-
remang. Dinding-dindingnya terbuat dari batu cadas sedangkan atapnya ada
stalagtit raksasa yang terletak pada sisi yang sangat tinggi.
Pedro menyeret peti itu sendirian dengan susah payah.
"Biar kubantu," kata Eric dengan berusaha menjaga nada bicaranya.
"Aku sangat kecewa degan Geffon, kupikir dia berniat baik, ternyata dia
bersekongkol dengan Bisolgedhi. Tapi aku masih tak mengerti tujuan
sebenarnya dia membantuku selama ini, aku merasa Geffon selalu
dibelakangku - yeah, menguntit kita tanpa izin.”
"Yang namanya menguntit itu pasti tanpa izin," sela Hayden sambil
mengutak atik bunga yang berkelopak kecil dengan serbuk bunga yang banyak.
Dia menciumi bunga berwarna ungu itu dengan tidak wajar.
Coda mendengus, tetapi tetap melanjutkan usahanya mencongkel peti
perunggu itu dibantu Pedro, Naydelin dan Eric.
"Kalian tarik yang itu!" kata Eric pada Coda dan Naydelin, sementara
dirinya sibuk mencongkel bersama Pedro.
76
Mereka tampak berusaha dengan susah payah memaksa benda itu dapat
segera terbuka. "Un, dos - tres - !"- TARIK SEKARANG!!!" seru Coda
bersemangat.
"Pump ...!"
Peti terbuka dengan sendirinya saat Coda tidak sengaja menekan salah
satu relief bunga magnolia.
"Ouh, menyebalkan," dengus Eric dan Naydelin hampir bersamaan.
"Kalau tahu begini kita ngga perlu bersusah payah," kata Coda.
Pedro mendekat dan mengamati sebuah anak panah yang tergeletak di
dalam peti. Ia mengerut kening. Matanya menyusuri ukiran di tubuh anak
panah. “Huruf-huruf itu sepertinya…Aku tahu!" Katanya tiba-tiba. "Ini bahasa
Nahuatl."
"Nahwaht?" Eric mengulangi.
"Nahuatl - bahasa Indian kuno. Sayangnya aku tidak bisa
menterjemahkan,” kata Pedro menyesal. Ia memasukkan kembali tangannya ke
dalam peti yang ternyata berisi air bening yang nyaris tak tampak kemudian
meraih papirus dari dalamnya.
Perjanjian Pengabdian.
Naydelin, Coda dan Eric berdesakan untuk membaca tulisan yang
digores dengan darah.
Pedro membacanya dengan agak keras,
Perjanjian Pengabdian.
Kami berada dalam satu aliran raga yang terbelah,
Kami adalah Ghobadi yang melepas dari takdirnya.
77
D.G.A Bisolgedhi Sukmary L.R.
Geffon Ghobadi
"Ghobadi?" Naydelin mendesah, dia memandang Eric sesaat. “Eric,
ini..."
Eric menyambar perkamen itu, "MUSTAHIL!"
Naydelin mengiyakan dengan setengah bergumam.
Coda memandang Naildelyn sekejap kemudian memandang Eric yang
tampak putus asa.
"Apa maksudnya dia?" Eric memekik, tampak sekali kalau dia nyaris
gila. "Siapa sebenarnya dia? Apa yang diinginkannya?" Eric terus meratap
sementara Naydelin tak tega melihatnya.
Sementara itu Hayden sibuk melempar benda-benda rongsokan hingga
meluncur kesegala arah dan sebuah kitab melesat tepat menghantam kepala
Coda.
"SIAL!” Coda meringis. Sementara Eric memungut kitab berdebu itu.
Ramalan Poinsettia
“Poinsettia?”
Naydelin mendekat ke arah Eric kemudian membuka halaman pertama
yang kosong. Lalu beralih ke lembar berikutnya.
Tampak olehnya garis-garis dan tulisan dengan tinta yang hampir
pudar.
Eric menunjuk huruf demi huruf yang tidak jelas. "Sepertinya - ini
silsilah keluarga besar."
Eric membelalak dan mengibaskan telunjuk Coda yang menghalangi
pandangannya.
Geffon Ghobadi X AL Ghobadi
78
(Permaisuri dibuang demi tahta Raja) Raja V
Permaisuri
Quarenci Ghobadi T Helena
A
Ona T Togu Ghobadi (Telah terbuang)
Flori Ghobadi Tak tertemukan
Eric Ghobadi
Warthog & Tena
“Ternyata Geffon nenek buyutmu. Geffon Ghobadi,” seru Naydelin..
“Tapi kenapa dia seolah ingin menikam dari belakang, dia berpihak pada
Bisolgedhi dan memutuskan menjadi peramal. Lalu siapa Warthog dan Tena
yang ditulis dalam silsilah ini?”
Eric menyahut dengan suara tertahan, nyaris tak terdengar. “M-mereka
keluarga kerajaan?”
“Mereka?” Naydelin menyambung. “Kau juga!”
“Aku tidak bisa membaca apa-apa,” keluh Coda.
“Yeah, huruf dan garisnya saling berjungkir balik.” Pedro
menambahkan.
"Hey, apa maksudnya simbol ini ?" kata Naydelin sambil menunjuk
huruf x,v,t,a yang terbakar di samping nama garis silsilah. Eric menyambar
kitab itu.
79
Coda dan Pedro saling mengernyit tidak mengerti simbol apa yang
dimaksudkan oleh Naydelin. "Kalian bisa menebak apa maksudnya?”
Hening lama.
Bab 15
Terjebak
80
"B-bagaimana dengan yang itu?" kata Coda terbata-bata sambil
menepuki jidatnya. Hayden menjerit histeris bagai orang gila. Ia muncul dari
balik gua sambil lari terpelanting dikejar serigala jantan.
Eric dan Naydelin saling berpandangan.
"LARI!!!"
Mereka melesat melewati lorong yang panjang dan gelap. Sampai
akhirnya mereka tiba disebuah tempat dengan rawa dan dipenuhi beberapa
pohon plasma yang memiliki tentakel seperti gurita.
Suara gerimis air yang deras semakin terdengar jelas. Mereka berlari
melewati pohon-pohon plasma yang tumbuh di tengah-tengah rawa. Ajaibnya
tanpa sinar matahari tumbuhan itu bisa hidup dengan subur dan tenang. Akar-
akarnya yang besar selalu bergerak dan mencipratkan air kemana-mana.
Hayden berada di urutan paling akhir. Ia melesat dengan tersengal
sementara si serigala berada satu hasta di belakangnya. Eric berhenti di tengah
lorong panjang yang gelap sementara air terus mengalir melewati kaki mereka.
"Hayden pegang tanganku!"
Labirin kedua hantu itu seakan mengencang tiga belas kali lipat,
sementara keputusasaan menyelimuti mereka. Dalam keputusasaan tersebut
Hayden menurut dan mampu bergerak secepat kilat nyaris seperti tanpa
berfikir, karena semua bagai gerakan refleks yang terkontaminiasi oleh
ketegangan.
Mereka berlari cepat menerobos terowongan yang dipenuhi stalagtit
yang beruku-buku saling bertindih. Sebuah tempat yang sangat tenang, namun
tiba-tiba menyeramkan. Itulah dunia dimana manusia tidak akan pernah
membayangkan dan menemuinya, kecuali rohClassyh sendiri yang
berpetualang ke dalamnya.
"Kau tahu?" Hayden tersengal. "Harus berapa lama lagi kita berlari?"
"Entahlah!"
"Hati-hati batu karang ini licin, jadi Whoooaa...." Hayden terpeleset
sebelum menyelesaikan kata-katanya.
"Seharusnya aku yang mengatakannya padamu," tukas Eric cepat.
81
Hayden mendengus. Eric menarik ketiak Hayden, bersusah payah
membuatnya berdiri.
Eric sangat cemas terpisah dengan Naydelin, Coda juga Pedro. Ia
menduga tiga hantu itu pasti sudah keluar dari tempat yang mengerikan ini,
atau jangan-jangan mereka sedang menghadapi bahaya lain.
"Hayden!" seru Eric keras-keras seakan Hayden sedang berada sangat
jauh darinya." Apakah kau mendengar aliran air yang sangat deras turun dari
tempat yang sangat tinggi?"
Makhluk yang diajak berbicara itu tidak segera menyahut. Berpikir
sangat lama sambil memicingkan telinganya. "Kurasa memang ada air terjun di
dekat kita."
Eric menarik kesimpulan, jelas bahwa Naydelin dan yang lain pasti
melewati lorong seperti yang dilaluinya. Karena di sana mereka menemukan
dua gua berbeda, tetapi berpotongan melalui satu titik jalur lorong sempit.
"Mereka pasti sedang menunggu kita!" katanya mantap.
"Kau tahu, -?"
"Tidak !" sambar Eric. Memotong omongan Hayden
"Aku belum selesai," katanya jengkel dengan mata berbinar. "Kalau
riwayatku harus berakhir dimakan serigala itu, aku ingin mengatakan sesuatu.”
"Pesan terakhir?”
“Yeah, semoga saja tidak! Maksudku untuk berjaga-jaga kalau-kalau
hari ini aku celaka dan tidak ada kesempatan ke tiga untuk hidup. Kau mirip
dengan Naydelin, mungkin dia jodohmu.” Hayden berkata dengan tersengal.
“”Dia cantik, boy! Tapi sedikit berbahaya.”
“Beauty but dangerous.” Eric menambahkan dengan geli. “Ayolah kau
jangan putus asa seperti itu!”
“Kau takut kutinggalkan untuk selamanya, ya?” Hayden menggoda
dengan kemayu.
“Apaan kau ini...” Eric memukul lengan Hayden.
Semakin lama lorong yang mereka lewati menyempit dan dengan
sangat terpaksa mereka berjalan satu persatu. Hayden berada di depan.
82
Semakin jauh jarak yang mereka tempuh, semakin panas, semakin gelap yang
harus dihadapinya. Eric merasakan energi kekuatannya perlahan - lahan
menipis. Hanya bayangan kabur tak jelas yang terlihat dihadapannya.
"Mataku sepertinya sudah tidak normal, apa kau juga begitu, eh?"
tanya Hayden memperlambat kecepatan larinya, hingga nyaris seperti kura-
kura sedang berjalan. Eric menjawab dengan gumaman tak begitu jelas. Tetapi
sebenarnya dia juga sedang merasakan sensasi sangat aneh.
"Apakah ada senter atau lilin, juga boleh?" Hayden berbicara lagi lebih
keras karena suaranya nyaris teredam gemuruh air terjun.
Eric berdecak, "Mungkin si serigala punya selusin lilin di gudangnya, -
dan mungkin kau boleh…Hoi, jalannya yang cepat dong!” gerutu Eric yang
berulang kali menabrak punggung Hayden.
"Disini gelap, bung!” salaknya. "Apa kau tidak merasakannya? Aku
nyaris saja tidak bisa melihat jalan. Bola mata berpijarpun kurasa tak ada
gunanya disini.”
Eric mendengus dan sekali lagi dia tak pernah lupa menabrak punggung
Hayden yang nyaris tidak terlihat.
"Kurasa kita sedang berada di atas air terjun."
"eh?” Hayden mengerjap.
Eric terdiam. Hayden ikut diam. Hanya tetesan air yang terdengar
nyaring. Hayden merasa Eric ada benarnya juga, getarannya sangat terasa,
seolah jauh di bawah sana ada aliran air dengan gelombang yang besar. Tetapi
akankah dasar tanah berbatu tempat mereka berpijak benar-benar tersembunyi
air terjun.
"Kau ternyata pintar juga," puji Hayden.
Mata Eric berbinar sambil memelankan langkahnya karena Hayden
memang berjalan lebih lambat dari langkahnya yang sangat pelan sebelumnya.
"Mungkin sebentar lagi kita akan menemukan air terjunnya. Kurasa
tidak jauh dari sini. Mungkin di sana ada jalan keluarnya," tambah Hayden
dengan harapan mendapat pujian balik. Tetapi dia harus kecewa karena Eric
malah menyuruhnya berjalan lebih cepat.
83
“Aku tidak pernah menyangka Geffon Ghobadi menjebak kita hingga
sejauh ini.”
“Hei, sejak kapan namanya berubah menjadi Geffon Ghobadi?" tuding
Hayden tepat mengenai pelipis Eric.
Eric menepisnya jengkel, "Kau belum tahu, ya?”
“Nama lengkapnya Sukmary L.R. Geffon Ghobadi."
“Hey ada banyak nama Ghobadi di dunia ini, boy!” tukas Hayden.
“Tadinya aku pikir begitu. Tapi kenyataannya dia adalah buyutku.”
Hayden melolong. “Konyol.”
"SIAL!" gerutu Eric. "Bodoh cepat lari! Aku merasa ada serigala dekat
sini.”
Tanpa sengaja sebuah kitab lusuh terjatuh dari dalam mantelnya.
Cahaya terang berkilauan memancar dari rentetan huruf POINSETTIA. Lorong
dipenuhi pancaran cahaya keberanian.
"BODOH, CEPAT LARI!" Hayden menyambar lengan Eric lalu
menariknya sangat cepat melewati terusan lorong yang tampaknya sudah
disediakan.
Eric berdiri gugup. Cepat-cepat disambarnya ramalan Poinsettia lau ia
mendekapnya erat. Ia membiarkan Hayden terus menerus menyeretnya.
"Sensasi menyedihkan," dengus Hayden tanpa berhenti berlari.
Eric membiarkan begitu saja lengannya ditarik bahkan nyaris seperti
diseret melewati tempat yang becek hingga sempat merasakan tarikan kuat
lumpur hidup sebagai jalan satu-satunya. Dia sendiri terheran-heran saat
Hayden mendadak menjadi pahlawan penyelamat yang gesit dan cepat dalam
bertindak.
Sampai akhirnya mereka menginjakkan kaki di atas bebatuan berlumut.
Hayden nyaris terpeleset, namun seolah-olah semangatnya yang lebih besar
puluhan kali dari pada tubuhnya membuatnya selamat dari kecelakaan fatal
dan mampu menegakkan kembali badannya. Kekuatan misterius sepertinya
menyelubungi seluruh batinnya. Semangat yang berkobar-kobar sanggup
84
membuat seluruh pikirannya dan tingkah lakunya terkontrol sempurna. Bukan
Hayden yang biasa. Hayden yang tulalit, sok berani tapi nihil.
"Ada sesuatu di depan sana," kata Hayden dengan suara
berwibawa."Air terjun yang deras, sementara kita berada di atasnya."
Eric terdiam saking herannya dengan perubahan yang terjadi pada
Hayden. Tetapi tidak ada desahan apapun yang keluar dari mulutnya, suaranya
seolah tersangkut ditenggorokan.
“Eric!” Suara Naydelin bergaung memenuhi lorong. “Haidi…”
Hayden berlari bersemangat dan penuh keberanian menuju sumber
suara. Ia menarik lengan Eric hingga rasanya nyaris putus.
“Hayden, bisakah kau berlari dengan perhitungan?” kata Eric jengkel.
Hayden semakin menambah kecepatan dan mereka hampir terperosok
ke dalam lubang.
“Haidi! SETOPSETOPP!!!” Naydelin melolong frustasi namun semua
itu tak membantu apa-apa. Keadaan semakin kacau. Insiden buruk terjadi.
Hayden terjungkal dan menjatuhkan Naydelin yang menabrak Coda
dan Pedro di depannya. Mereka terpelanting mengikuti arah jatuhnya air terjun
yang mengalir deras. Eric terguling menabrak batuan. Segala sesuatu serasa
berputar kembali dalam kepalanya.
Sekilas Eric merasa pernah terjatuh dari ketinggian yang sama.
Ingatannya bagai tersentak, kejadian itu seolah kembali terulang di tempat dan
waktu yang berbeda. Keputusasaan seperti ini yang pernah ia alami.
Kekecewaan muncul tiba-tiba membaur bersama ketakutan.
Gelombang air yang beringas menelannya. Ia bersusah payah memeluk
Poinsettia dan kotak Helluvaglow yang disembunyikannya dibalik mantel. Eric
terhempas. Tubuhnya yang seperti protoplasma menarik perhatian gerombolan
ubur-ubur.
Eric tiba-tiba mendapati puluhan pasang mata ular memelototinya.
beberapa diantaranya bekerja keras mengoyak kepala Eric tetapi taringya
hanya menerjang air laut yang hampa. Menembus protoplasma secara sia-sia.
85
“OH, SIAL!” Para ular mengumpat dan Eric dapat mendengarnya
sangat jelas. “HANTU BODOH!”
“Aku harap bukan kita yang bodoh.”
“Jangan hina bangsa kita!”
“Oh ... Brumosa, kau ini kadang-kadang juga bodoh. Benar, kan,
Azotar?
“KALIAN SEMUA ‘B-O-D-O-H’.” Azotar membentak lalu
menyerang Brumoso.
ular-ular mendesis lalu menjauh satu per satu, sementara arus menyeret
Eric dengan culas.
Air kembali tenang dan Eric mendapati seorang wanita berkaki selaput
menyeringai padanya. Gigi peraknya yang besar tampak berdesakan di sela
mulutnya. Rambut hijau panjang berantakan hampir menutupi sebagian wajah
kemudian jemarinya yang panjang dan berlumut menepisnya.
“Hai – dungu!”
Eric terdiam. Ia sama sekali tidak bernafsu membalas sapaan itu.
“Hai, Xanteppia!” katanya dengan tidak sabar. ”Aku adalah Xanteppia
– makhluk yang paling baik hati dan tidak pernah lupa akulah yang paling
cantik di laut ini. Banyak makhluk laut yang tergila-gila padaku.”
Eric nyengir untuk menyembunyikan hasrat ingin muntah.
“Tapi aku tidak ingin hantu dungu seperti kau ini jatuh cinta kepadaku,
eh?”
Eric cepat-cepat menggeleng.
“Bagus! Karena kau telah bersusah payah ke sini, aku bisa
mengabulkan satu permintaanmu. HANYA SATU!” hardiknya. Giginya
berubah menjadi taring tajam yang siap menggigit “CEPAT KATAKAN!”
“Eh ...oh.” Eric gelagapan.
Xanteppia menyambar seekor ubur-ubur dan menaruh di atas
kepalanya. Ia melecutkan mata ke arah Poinsettia yang menyembul dari dalam
mantel Eric.
86
“Ghobadi?” Xanteppia berkata gusar. Ubur-ubur di atas kepalanya
pergi begitu saja, sementara ular laut yang melilit tongkatnya mendesis. Gusar.
“Ada ramalan dari bangsa kami. Suatu saat ada Ghobadi yang datang, ia
mencuri Poinsettia. Ia adalah Emperor. Seorang pewaris Periopollux. Kelak.”
“A-APA MAKSUDMU?” Suara Eric meluncur begitu saja. “Pewaris
Periopollux?”
Xanteppia mengikik ganjil. Ia berbicara dengan agak sopan.
“Periopollux adalah pedang agung yang dapat mengendalikan waktu. Ia raja
dari dua pedang lainnya Naisopollux dan Naigan. Sebutkan permintaanmu tuan
Ghobadi muda!”
“Kuharap...” Tapi aku tak peduli dengan itu saat ini. Eric tidak
melanjutkan ucapannya. Dia begitu bingung pilihan mana yang terbaik. Ia
ingin bergegas bertemu dengan Flori, tetapi –“kuharap ingatanku kembali
pulih…”
Xanteppia terkesiap tapi kemudian dia tertawa sadis. “Aku tidak tahu
apakah kekuatanku sanggup melakukannya. Ingatanmu memang telah sengaja
dihapus oleh kemauanmu sendiri. Jika aku bisa memulihkannya, mungkin
hanya sebagian kecil.”
Apa? Kemauanku sendiri? Eric hendak berinterupsi namun arus telah
menyapu protoplasmanya. Ia terguling liar dan rasanya kepalanya menjadi
sangat berat. Ingatan masa lalu yang amat mengerikan terbayang di otaknya.
Rumah sangat luas dengan halaman seperti bekas ladang, seorang wanita
penggusar, dan seorang pria bermata tajam bertubuh kurus sedang menyeret
seorang anak ke loteng yang pengap. Tidak salah lagi anak laki-laki itu adalah
dirinya, sementara wanita dan pria yang menyiksanya adalah Tena para
pengasuhnya yang culas. Setidaknya itulah yang ia tahu tentang mereka.
“Mau kau jual berapa anak itu?” kata Tena sambil mendorong Eric
hingga jatuh dari beberapa anak tangga di loteng. Mereka membanting
pintunya dengan keras lalu menguncinya.
87
“Beri dia makan, Sayem.” Sayem si pelayan lugu terdengar
mengiyakan. “Aku tidak ingin saat, sang pengawas kita, tuan Bisolgedhi
mengambil anak itu, ia dalam keadaan kering tak bergizi.”
Langkah mereka menjauh dan semakin tidak terdengar. Eric tertidur
dan hampir melupakan semua yang terjadi hari itu. Sebuah ketukan dari pintu
membangunkannya.
“Tuan Eric apakah anda baik-baik saja?” tanya Sayem dengan berbisik.
Tangannya yang hangat mengguncang Eric yang tidur melingkar kedinginan.
“Maaf saya tidak bisa banyak membantu, tapi tuan bisa kabur lewat jendela
dan turun melalui tangga yang sudah saya siapkan. Ini saya membawa mantel
usang dan sepatu kets yang agak berlubang. Cepatlah sedikit! Jangan sampai
Tuan dan Nyonya tau.”
Eric buru-buru memakainya. “Tapi kemana aku harus pergi, Sayem?”
“Kemana saja hati berkata.”
Eric berusaha protes pada Sayem tapi tampaknya tak ada jalan lain
kecuali pergi dari tempat itu.
Sayem bergegas kembali saat suara Tena berteriak memanggilnya. Ia
mengunci pintu loteng dan meninggalkan Eric begitu saja.
Eric menengadah dan melihat jendela kecil yang ditutupi papan lapuk.
Ia bersusah payah memanjat beberapa perkakas untuk menjangkaunya.
Dihancurkannya papan penutup jendela dengan sebatang tongkat besi yang
runcing lalu cepat-cepat melompat melewati tangga yang telah dipersiapkan
Sayem. Dengan hati-hati disingkirkannya tangga itu ke dalam semak berduri.
Ia berlari menuju suatu tempat, namun pandangannya kabur.
Eric terhenyak. Matanya terbeliak begitu saja. Pikirannya seakan telah
tersentak secara tidak sadar. Memori yang tidak menyenangkan bangkit
mengisi otaknya. Sebuah peristiwa sebelum dia meninggal di tebing Tallanga.
Sesuatu telah menghempaskannya dan sesuatu yang lain berebut
menelannya. Eric tak sanggup mengelak. Ia muncul tiba-tiba dari dalam
bebatang pohon besar yang berlubang. Rasanya tak dapat dibayangkan.
88
“Eric, kau baik-baik saja, kan?” Naydelin menggoncang wajah Eric
dengan cemas. Hayden, Coda dan Pedro mengelilinginya.
“Kau tidak apa-apa?” Hayden ganti bertanya.
Eric menggeleng frustasi.
“Kau tidak apa-apa, Eric?” tanya Coda memastikan
“Yeah,”
“Benarkah tidak apa-apa?” ulang Pedro
“Luar biasa tidak apa-apa!” jawabnya jengkel seraya berusaha bangkit.
“Aku sudah menemukan sebagian memoriku. Si wanita berkaki
selaput, berambut hijau, bergigi kuda, dan penggusar itu yang telah
menolongku.”
“Xanteppia?” Suara Hayden melompat begitu saja. ”Dia sempat
menciumku setelah, - setelah aku memintanya agar memberiku jodoh...”
Hayden menjulurkan lidah pada Naydelin. ”Dan aku bertaruh kau juga
meminta sesuatu yang sama sepertiku.”
“Tidak!” Naydelin menyangkal. “Kekuatan Xanteppia kadang-kadang
meleset.”
Hayden menyeringai dan Naydelin balas menyeringai.
“Tapi aku berhasil menemukan memori…”
“Hanya sedikit dari seluruh memori yang harus kau temukan,”
Naydelin buru-buru menambahkan. “Percayalah. Dia makhluk dungu!”
“Tapi dalam memori itu, sebelum aku meninggal, Bisolgedhi telah
lebih dahulu memburuku,” kata Eric sarkastik.
“Bisolgedhi tidak membutuhkanmu. Dia mencari Flori.” Naydelin
menyahut dengan tidak kalah sarkastik. “Dia membutuhkan keturunan
perempuan Ghobadi yang terakhir masih hidup. Flori!”
“Apa? Kau pikir itu lucu?”
“Dengar, aku sedang tidak melucu. Pembesar kegelapan membutuhkan
keturunan perempuan Ghobadi yang terakhir untuk menguasai Periopollux.
Dia adalah calon pewarisnya.”
89
“Hey pewarisnya kan aku!” kata Eric meradang. “Xanteppia yang
mengatakannya.”
“Kau?” Suara Nade melengking. “Xanteppia otaknya sudah meleset!”
16
90
Pertemuan MenegangkanEric meraba mantelnya dengan cemas namun sedetik berikutnya ia
merasa sangat lega. Helluvaglow dan Poinsettia masih bersamanya.
“Malam ini ada pertandingan Persabu. Aku nyaris melupakannya.”
Hayden merampas lengan Eric sebelum ia mencoba melangkah.
“Jangan katakan kalau kau ingin ke Stodi Stadion!” Naydelin
menatapnya galak. “Bisolgedhi pasti berada di sana.”
“Dan aku memang ingin bertemu dengannya!” Eric menanggapinya
dengan sengit.
Gigi Hayden bergemeletuk. “Temanku sudah sinting.”
“Kau membahayakan teman-temanmu jika nekat ke sana!” Coda
menanggapi tak kalah sengit.
“Aku tidak menyuruh kalian untuk ikut!”
“Dasar keras kepala!” Naydelin menanggapinya pasrah. Ia berjalan di
belakang Eric.
“Kenapa kau ikuti aku?”
“Hey, aku juga ingin ikut denganmu,” Pedro tiba-tiba menyeruak
diantara emosi Eric dan Naydelin.
“Aku tidak ingin kau celaka,” sahut Naydelin dingin. “Itu saja.”
“Aku juga ikut!” Coda mensejajarkan langkah di samping Naydelin.
Hayden menyambar leher Eric. “Aku tidak akan pergi tanpamu. Dua
batang bambu kecil jauh lebih kuat dari pada sebatang pohon mahoni.”
Eric tergelak lantas balas menyambar leher Hyden dan berpura-pura
memelintirnya. Mereka kemudian melesat beriringan menembus pepohonan
raksasa yang sudah sangat tua. Tak ada yang bersuara. Masing-masing sibuk
dengan pikiran dan dugaannya.
Separuh cahaya bulan tertutup awan hitam. Angin malam membuat
daun kering berkeresak seresah perasaan Eric. Lolongan serigala terdengar
nyaring di tengah kesunyian.
91
“Aku menduga Flori menghilang bukan karena kematian orang tuamu.
Tapi karena Bisolgedhi. Ia mengincar Flori!”
Eric menghentikan langkahnya. Syarafnya seakan menegang
mendengar kata-kata Naydelin. “Tunggu! Kenapa kau seperti mengenal dekat
Flori? Bahkan aku merasa tidak pernah bercerita apa-apa padamu.”
Gadis itu menanggapinya dengan tenang namun belum sempat ia
membela diri, Eric terlebih dahulu mengkonfrontasinya.
“Kau juga pernah mengatakan bahwa syal ini pemberian seorang gadis
yang sedang menungguku. Darimana kau tahu? Atau jangan-jangan kau...”
“Dan kau sama sekali tidak pernah menyadari bahwa Ghobadi adalah
nama besar yang selalu menarik minat siapapun untuk mencari tahu. Siapapun
mengenal Ghobadi, tapi kau? Tidak,” katanya dengan tak kalah ngotot.
Eric merasa plasmanya seakan mendidih. Ia memunggungi Naydelin
lalu melesat melayang keluar dari hutan. Pedro dan Hayden mengejarnya. Ia
merasa menjadi pecundang dan Naydelin telah memergoki sifat
memalukannya itu.
“Hey, aku tak tahu apa-apa tentang Ghobadi sebelumnya dan tidak
pernah berpikir untuk mencari tahu.” Hayden berbicara rapat-rapat di dekat
telinga Eric. “Apa Ghobadi terdengar sangat melegenda?”
“Bahkan buku-buku di dunia ini tidak pernah menyebut nama
Ghobadi.”
Hayden menatap Pedro sambil mengangkat bahu. “Dasar cewek aneh!”
Sepuluh hasta di depan mereka berdiri fondasi semen yang belum utuh.
Stodi Stadion. Mereka mendekat masuk dengan menembus tembok
pembatasnya. Tak terdengar hura-hura dan gemuruh penonton yang biasanya
nyaris merobohkan stadion. Semua seakan lenyap begitu saja ditelan kabut
malam.
“Hei, dimana orang-orang?”
“Maksudmu dimana Bisolgedhi?” Naydelin mencoba berkomentar.
92
“Hey jangan bercanda!” Hayden semakin memucat. Suaranya gemetar
kalut. “Aku harap pertandingannya belum dimulai. Kita datang terlalu awal,
begitu kan?” Ia tak sengaja menyodok rusuk Coda.
“ERIC…”
Naydelin menubruk Eric tanpa pemberitahuan. Mereka terguling
ditanah. Batu runcing bermulut api meluncur melewati kepala Eric kemudian
meletup dan lenyap. Secara bersamaan sesosok pria berwajah mengerikan
dengan luka parut dan bekas cakaran serigala muncul dari balik tribun. Jarinya
menggengam erat Pedang panjang bertahtakan permata yang suram.
Bisolgedhi tertawa sangar layaknya narapidana pembantaian yang lepas dari
jeratan hukum.
“Ternyata Ghobadi benar-benar dungu!” cercanya dengan suara
monoton. “Tak kusangka kalian dapat menyadari segala sesuatunya dengan
sangat cepat. Rasa keingintahuan yang membawa celaka.”
“Bukankah kau mengincar Flori, keturunan perempuan terakhir
Ghobadi?” Naydelin bangkit lalu berdiri di depan Eric dan Hayden. “Untuk
apa kau mengejar Ghobadi yang tak tahu apa-apa, dungu, dan bodoh ini?”
“Apa katanya?” dengus Eric.
“Otaknya tidak bisa direplika kembali untuk umpan,” bisik Hayden
rapat-rapat.
“Dia juga tidak punya otak!” tambah gadis itu. “Dia hilang ingatan…”
Coda dan Pedro menyambar bahu Eric. Mereka menyeretnya menjauh.
“Dia cerdas mengulur waktu.”
“Tapi tidak pintar mengatur waktu…” Hayden melesat tersengal di
samping Coda.
“Apapun yang terjadi, tolong jaga Eric!” kata-katanya menghilang
begitu saja. Naydelin tersedot ke dalam pedang. Plasmanya terurai seperti
butiran debu yang melayang di bawah sinar tipis.
Stadion berubah kelabu. Bisolgedhi mendengus, “bukan ini hantu yang
kuharapkan!”
Coda terhenyak. “Persetan!” Ia menyerbu ke arah Bisolgedhi. “
93
“CODA ...” Hayden tidak sempat memperingatkan. Plasma hantu
malang itu telah robek terkoyak pedang. Hayden mendengking seakan ia yang
merasa kesakitan.
Bisolgedhi melecutkan pedangnya kesembarang arah dengan jengkel.
Udara seperti dihantam sesuatu yang tak tampak. Tanah berkeretak tanpa ada
yang menyentuhnya.
“Dua hantu yang sama sekali tidak kuharapkan!” dengusnya sebal.
Bisolgedhi menurunkan pedangnya kemudian mengacungkan ke arah
tiga hantu itu dengan lecutan. Ratusan makhluk hitam berhambur dari
dalamnya disertai teriakan melengking merayakan kebebasannya. “Tangkap
mereka!”
Pedro dan Eric menyambar lengan Hayden.
“KABUR...” lolong Pedro.
“Hey, kau bisa sihir, kan?” Eric bersuara diantara kekalutannya.
“Sihirku tak ada apa-apanya untuk mereka. Sensasinya hanya seperti
dicubit saja.”
Anak panah meluncur bergantian di atas kepala. Para makhluk hitam
bongkok melesat bergerombol bagaikan prajurit lanjut usia. Beberapa dari
mereka terpaksa mencari kepala tak permanennya yang menggelinding
sementara di belakang berpuluh-puluh prajurit menabraknya bergantian.
“Rasanya aku ingin menghilang ke Snowvus,” rintih Hayden. “Kalian
pikir enak meluncur dengan kecepatan luar biasa gila seperti ini. Pokoknya aku
tidak ingin menjadi tawanannya untuk yang kedua kali. Terlalu merana!”
“Kita sudah kehilangan Coda dan Naydelin,” sahut Eric. “Dan cara kita
melarikan diri sangat tidak ksatria.”
“Apa kau akan menghadapi sekutu culas itu? Usaha yang sia-sia,
bung!”
“Aku setuju dengan Hayden.” Pedro tiba-tiba berpendapat. “Bukan
saatnya menjadi ksatria. Sekarang saatnya menjadi pecundang!”
Hayden mendesah. “Aku tidak suka kata-katanya yang terakhir.” Dan
Eric mengiyakan.
94
Mereka melewati taman bermain yang sepi kemudian melintasi jalanan
yang terang terkena sinar lampu merkuri. Gerombolan hantu culas jauh di
belakang mereka. Namun suara dengkingan mereka terdengar masih jelas.
“Lebih baik kita bersembunyi disini,” seru Eric sambil menunjuk sebuh
audi kuning yang diparkir melintang memenuhi jalan.
“Terlalu beresiko.” Pedro dan Hayden berkomentar hampir bersamaan.
“Kuharap tidak.” Eric menembus bagian kemudi mobil, diikuti Pedro
dan Hayden yang tampak pasrah. “Kau bisa sihir yang bisa menggerakkan
mobil?”
“Apa?” Hayden pura-pura tidak mendengar omongan Eric.
Mereka terdiam bersamaan. Seorang gadis tiba-tiba masuk ke dalam
mobil. Ia menduduki Eric begitu saja.
“Sampai jumpa, Deet,“ katanya sambil melambaikan tangan kepada
gadis yang bernama Deet.
“Hati-hati, Flori!” balas Deet dari balik kaca mobil
“Hei! Namanya Flori,” Eric terdengar setengah memekik.
Hayden buru-buru menutup mulutnya, “Dia bisa mati terkejut kalau
memang sangat takut pada hantu.”
“Kurasa ada yang meniup leherku.” Ia mengeluh pada Deet. “Ada yang
aneh disini. Aku harus cepat pulang!”
Ia melambai kearah perempuan itu lalu menginjak gas kuat-kuat
meninggalkan asap putih terurai bersama abu-abu malam. Pedro melongok ke
belakang. Pasukan Bisolgedhi tak terlihat lagi namun suara mendengking yang
berderit seperti pintu tua yang bergeser terdengar bersahutan.
“Oh, Tuhan! Tolonglah aku.” Perempuan itu berkata pada dirinya
sendiri.
Mobil melaju semakin kencang melewati jalan peternakan yang sepi.
Dua jam berlalu dan mobil berhenti dengan tegang di sebuah lahan kosong.
Gadis itu sesegera mungkin keluar dari mobilnya sambil membanting pintu
kemudian berlari masuk ke dalam sebuah rumah yang dirambati banyak
tumbuhan bunga pada dindingnya.
95
Eric, Hayden, dan Coda menghambur keluar.
“Aku pernah melihat perempuan itu.” Eric teduduk di tanah. Pikirannya
berdenyut. “Dia gadis yang memberiku syal ini!” Eric tertawa lega sambil
menonjok perut Hayden. “Aku sudah menemukan Flori.”
“Kau yakin?” Pedro mendesah.
“Tinggal membuktikan satu hal.” Ia merogoh lehernya lalu
menunjukkan benda mungil yang bertengger di sana. “Kalung pemberian
kakek yang sama persis dengan milik Flori.”
Mereka melecutkan mata ke arah satanic yang berseliweran di depan
rumah yang gadis itu. “Kalian mengenalnya?” Eric melontarkan pertanyaan
pada Coda dan Hayden. Mereka menyambutnya dengan gelengan kepala
serempak.
Sesosok hantu tua kerdil memukulkan tongkatnya yang bisa
memanjang otomatis hingga mengenai kepala Eric.
“Apa itu tadi?” Eric memutar kepalanya dan mendapati si hantu kerdil
tertawa terbahak-bahak. Kakinya tak mampu menjuntai ke bawah ketika dia
duduk di kursi malas. “Apa dia terlihat berbahaya?”
“Terlihat sangat tua dan rapuh.” Hayden mengoreksinya.
Eric mendekatinya diikuti Hayden dan Pedro. “Siapa kau?”
“Namaku Elfgog, geogle, dan mati pada usia seratus tiga belas tahun.”
“Saya Eric Ghobadi, dan dia Hayden Powi, dia Pedro Videl.”
Ia berdeham lalu beranjak dari kursinya. “Geogle, Ghaits, dan
Ocupant…” Ia memanjat tongkatnya agar bisa menjangkau tiga pemuda itu.
“B-bagaimana anda tau?” Pedro tampak kagum.
“Dia main tebak-tebakan,” sela Hayden tak peduli. “Auukh…”
Elfgog memukulkan tongkatnya ke kepala Hayden hingga ia melolong
kesakitan.
Hayden buru-buru bersembunyi di balik punggung Eric saat Elfgog
berpura-pura hendak menerkamnya.
“Aku tinggal disini, sekitar...yah, aku lupa, pokoknya sudah sangat
lama.” Kata-kata Elfgog mengalir begitu saja. “Aku sengaja memilih tinggal di
96
sini karena aku merasa bosan terkurung di Snowvus yang penuh tipu muslihat.
Aku tidak bisa mempercayai pemerintahan yang sekarang. Ada agen ganda
yang merasuk di dalamnya…”
“Geffon…” Suara Eric melompat begitu saja.
“Kehidupan di luar Snowvus jauh lebih menentramkan. Dulu aku
memegang jabatan penting di Snowvus. Aku pernah menjadi pewaris Naigan,
namun pedang itu dicuri oleh mereka, sekutu pembesar kegelapan….”
“Bisolgedhi…” Suara Hyden ikut menyeruak.
“Tidak. Tidak. Pedang itu dicuri di dalam Snowvus. Tidak mungkin
mereka bisa masuk. Kecuali ada yang membawa mereka masuk. Kalau kalian
mau percaya padaku dan mendengar nasehatku, jangan kembali ke sana.”
“Omongkosong!” Eric berteriak sarkastik. “Kakek pasti bisa
memegang kendali di sana. Dia tidak akan membiarkan sekutu pembesar
kegelapan memasuki Snow…”
Hayden tiba-tiba menyodok perut Eric. “Aku melihat Master Quarenci
berbincang-bincang bersama Geffon.”
Eric melotot kepada Hayden. Tapi omongan sahabatnya itu bisa
membungkam mulutnya. “Geffon berhasil menyusup ke Snowvus,” katanya
muram.
Hayden menatapnya menyesal. “Hey, Master Quarenci menjadi
penyelamat saat aku ditawan di dalam Naigan. Ketika itu otakku hampir
direplika dan bila itu sampai terjadi mungkin kita tidak akan pernah bertemu,
Eric.”
“Lalu menurut anda bagaimana Naigan bisa jatuh ke tangan
Bisolgedhi?” Pedro tiba-tiba seperti terbangun dari tidur. Suaranya terdengar
seperti dengkuran. “Jika Geffon yang mengambil kenapa dia tidak ingin
memiliki pedang itu secara pribadi?”
“Nak, dia luar biasa pandai mengatur siasat. Baginya tak ada gunanya
memiliki Naigan. Sebagai mantan pemilik aku telah melepaskannya dan saat
ini pedang itu sedang mencari pewarisnya yang baru.”
97
“Bagaimana dengan Periopollux?” tanya Eric tak sabar. “Kata
Xanteppia aku akan menjadi pewarisnya.”
Elfgog mengangkat bahunya tinggi-tinggi. Tampaknya ia terlalu hati-
hati untuk merespon. “Hanya jika kau percaya. Segala sesuatu terjadi hanya
bila kau percaya.” Tampaknya ia ingin membatasi dirinya agar tidak banyak
bicara. Mata putih yang bertengger dibalik kantung mata keriput menatap Eric.
“Namun sepertinya pembesar kegelapan mengincar keturunan perempuan
Ghobadi yang terakhir. Mungkin dia yang akan menjadi pewaris Periopollux.
Aku tak tahu.”
“Bukankah Master Quarenci masih menjadi pewarisnya, kenapa
pembesar kegelapan tidak mengambil pedang itu darinya saja kalau mau.”
“Dia bukan pewaris! Dia hanya menyimpan lebih tepatnya memiliki
secara sepihak. Tapi bagaimanapun dia memilikinya hanya pewarisnya yang
memiliki kekuatan tak terkalahkan,” Elfgog berkata gusar namun tenang
sedetik berikutnya. “Kalaupun engkau adalah pewaris, jangan menganggap
dirimu berharga dengan memiliki pedang itu. Tapi jadikanlah pedang itu
berharga karena engkau yang memiliki. Sekarang masuklah.”
17
Tiga Sahabat Kecil
98
Eric mengangguk mengerti. Ia lantas menembus pintu yang berhias
lonceng di depannya. Hayden dan Pedro menyusul di belakang. Bagian dalam
rumah itu terlampau rapi, hingga segala sesuatunya dipasang dari ukuran
terkecil, sedang, kemudian yang terbesar. Tetapi, ada bagian mengerikan yang
tidak mampu dilihat oleh manusia biasa, yaitu perabotan para hantu yang
berserakan di lantai, perahu karet yang hancur total dan berlubang memenuhi
ruangan, dan bendera hantu berkebangsaan Spanyol berkibar tanpa ada tiang
peyangga. Semua itu adalah hasil jerih payah hantu perasa yang membawa
benda paling berharga untuk dibawa ke alam setelah kehidupan.
“Pertanyaanmu terlalu intim,” bisik Hayden. “Apa kau yakin dia bisa
dipercaya? Atau jangan-jangan dia sekutu si pawang hantu, maksudku
pembesar kegelapan.”
“Bagus.” Sahutannya terdengar tak peduli. “Aku justru ingin
Bisolgedhi tahu bahwa aku pewaris Periopollux.”
“Keras kepala. Kenapa kau tidak menulis surat pada mereka lalu
mengatakan kau adalah pewaris Periopollux?”
“Itu terlalu keras kepala,” sahutnya dengan serius. “Kucing yang bijak
selalu menyembunyikan kukunya.”
“Ya, Dewaa! Jadi menyembunyikan kuku adalah sikap bijak?” Hayden
meololong tak percaya.
Eric tak begitu memedulikannya. Ia berlalik lalu memperhatikan foto di
dinding yang memperlihatkan tiga anak perempuan. Eric merasakan dadanya
seperti berdenyut kembali.
“Hei! Itu kan Classy, Naydelin, dan...”
“Flori,” Eric menambahkan kata-kata Hayden nyaris tanpa suara.
“kalung yang dia pakai di foto ini persis seperti milikku.” Mereka teman masa
kecil.
Hayden memukul udara, “kau menemukan Flori! Oh dunia
akhirnya...!!”
99
Kehebohannya sirna seketika mendapati Eric melewatinya begitu saja.
Wajahnya berubah cengo.
Eric melayang dan meluncur memasuki dapur. Tertunduk di watafel
dengan tatapan kosong seperti pikirannya. Rusuknya serasa diiris. Sesuatu
yang tidak bisa ia terima begitu saja.
“Hantu baru yang disana. Yas, yas benar…kau!”
Eric berbalik. Matanya menemukan sesosok hantu yang dipenuhi cacar
air bertengger di atas perkakas dapur. Ia berperawakan seperti wanita namun
suaranya terdengar berat. Dia lelaki nyaris perempuan.
“Siapa kau?” tanya Eric tanpa ekspresi terkejut.
“Seharusnya Ike yang bertanya, bego!” lolongnya menekan kata bego
dengan kemayunya.
“Hack, peri Ghaits yang sering berada di dapur. Dia selalu mencela
masakan yang dianggapnya tidak berkesan lalu dengan sengaja menaburi
garam banyak-banyak supaya tambah tidak enak,” kata Elfgog yang tiba-tiba
muncul di depan mata Eric. Eric mengambil jarak menjauh untuk menutupi
rasa kagetnya.
Eric sama sekali tidak kagum dengan jawaban itu. Ia kembali sibuk
dengan perasaannya. Baginya ia seperi ditusuk dari belakang, bukan, lebih
tepatnya ia dibiarkan berada di situasi yang salah. Mengapa Naydelin sama
sekali tak bercerita apapun tentang Flori. Ia membiarkan dirinya menduga-
duga keberadaan Flori dan satanic itu pasti tertawa diam-diam jika dugaannya
salah. Andai Naydelin menceritakan semua sejak awal maka ia tidak akan
berputa-putar sia-sia untuk mencari Flori. Mereka sengaja melakukannya.
Elfgog memukulkan tongkatnya ke kepala Eric. “Buang jauh-jauh
pikiran sempit seperti itu.” Eric berjengit. Ia baru menyadari Elfgog sedang
menyelam ke dalam pikirannya dengan mata emperornya. “Itu takdir, nak,”
sela Elfgog sebelum Eric berinterupsi. “Bagaimanapun takdir pasti terjadi.
Jangan menempatkan diri sebagai korban situasi.”
100
“Dan kalian merancangnya. Kalian ingin melihat bagaimana aku ini
sangat memalukan, pecundang…” Eric kehabisan kata-kata untuk memperolok
dirinya sendiri.
“Kalian?” Suara Hayden meloncat begitu saja.
“Tentu saja bukan kita.” Pedro buru-buru menambahkan.
“Si Satanic Nade itu sering menemani Flori yang kesepian namun tak
sampai hati untuk menampakkan diri. Nade selalu menangis ketika Flori telah
lelap. Diam-diam ia membelainya meskipun tangannya menembus sia-sia.”
Elfgog berhenti sejenak lalu memanjat tongkatnya dengan lincah. Ia bergegas
melanjutkan sebelum Eric sempat bertanya. “Classy Phinisi tewas bunuh diri
setelah tiga hari kematian Nade. Jiwanya terguncang…”
“Dan sampai sekarang otaknya ikut terguncang…”
Pedro menyodok perut Hayden.
“Bagaimana Nayde…”
“Diracun.” Lagi-lagi Elfgog mendahului Eric. “Ada yang memasukkan
racun ke dalam masakan yang diolah Classy. Meskipun mereka bertiga
memakannya namun hanya Nade yang meninggal begitu saja.”
“Jadi Classy menyalahkan dirinya sendiri atas kasus Nade, kemudian
dia memutuskan mengakhiri hidupnya, dan meskipun mereka sama-sama
Satanic tapi ia tidak ingin menemui Nade karena terlalu merasa bersalah?”
“Atau dia bunuh diri karena takut dijerat hukum?” Hayden menduga.
“Mereka masih dibawah umur, bung!” Pedro menyahut bosan.
Elfgog terbatuk-batuk lalu memelototi Eric. Mirip seperti mata kodok
Geffon. “Aku suka pendapatmu, tapi sayang, kau salah besar, nak. Seandainya
ini ujian aku takut kau akan mendapat nilai di bawah nol.”
Hayden dan Pedro saling berpandangan sejenak lalu mengangkat bahu
bersama.
“Tapi aku masih tidak mengerti…”
“Kenapa Flori meninggalkanmu begitu saja?” Elfgog kembali
menyahut.
“Saya tidak mengerti kenapa anda selalu…”
101
“Mengetahui semua yang akan kau tanyakan? Karena kau mudah
ditebak.”
Eric menahan diri untuk tidak melayangkan tinjunya ke mulut hantu tua
itu dan membuat giginya rontok. Ia benar-benar nyaris meledak namun ia
memutuskan untuk tidak berbuat apa-apa.
“Semua harus sesuai ramalan.”
“Ramalan?” Eric tertawa yang dipaksakan. “Bagus sekali karangan
anda.”
“Itu tidak realistis.”
“Hidup memang tidak pernah realistis,” Elfgog menatap tajam Eric.
“Terkadang yang menyenangkan belum tentu membahagiakan.”
Elfgog berbalik memunggungi Eric, Hayden dan Pedro. Ia hendak
meninggalkan dapur namun Eric bergegas menghalanginya. “Dari mana anda
tahu kehidupan Flori, kehidupan saya...”
“Apapun tentang Ghobadi selalu menarik siapapun untuk mencari
tahu.”
Hayden menyodok perut Pedro. “Itu kan kata-kata Naydelin.”
“Baiklah kalau begitu. Aku akan menculik Naydelin dari Bisolgedhi…”
Apa menculik? “Otakmu sudah meleset, ya?” kata Hayden berang.
“Aku yang menyebabkan Naydelin dan Coda berada dalam situasi ini.
Ini semua tanggung jawabku.” Eric ikut meradang.
“Tidak perlu terlalu dramatis. Nade akan kembali tanpa perlu
dijemput.”
Eric, Hayden, dan Pedro melecutkan mata kepada Elfgoog namun
sedetik berikutnya hantu itu telah menghilang. Blasxing.
“Kedengarannya ganjil.” Pedro melayang di atas kepala Hayden lalu
duduk di lemari makanan. “Dia hanya sedikit menyinggung tentang Flori.” Ia
buru-buru menambahkan ketika Eric dan hayden memelototinya. “Maksudku
dia tidak terlalu banyak tahu tentang Flori. Kalian tadi mendengar sendiri,
Elfgog banyak bercerita tentang Naydelin…”
102
“Mungkin dia sangat dekat dengan Naydelin sampai-sampai…” Eric
tak melanjutkan kata-katanya. Pikirannya terlalu lelah untuk menebak.
“Apa menurut kalian Elfgog bisa kita percaya?” Hayden mendesah.
“Dia seperti sedang membual cerita anak-anak saja.”
“Elfgog pernah menjadi pewaris Naigan.” Hack si hantu dapur tiba-tiba
menimbrung. “Ike percaya sama dia.”
“Apa kau sendiri bisa dipercaya?”
Hack mendekat pada Hayden dengan nafsu pencabik. Suaranya yang
besar terdengar menakutkan tetapi ia melenggang seperti perempuan membuat
Hayden tertawa terpingkal-pingkal nyaris tak bisa berhenti.
“Hatsyiuu…” Hack bersin keras-keras hingga ledakannya membuat
cacar air di mukanya berpindah ke muka Hayden. “Hahaha…” ia terpingkal-
pingkal sampai berjungkir balik di udara.
Pedro bersusah payah menahan tawanya ditenggorokan. Ia meraih
segagang panci lalu melemparnya pada Hayden. “Lihat bayangan mukamu.”
Hayden memelototi tampangnya sendiri dengan tolol. Bintik-bintik
menjijikkan Hack telah berpindah ke wajahnya yang mulus. Ia melolong
dengan nafsu pembunuh.
“Cabut kutilmu dari wajahku!!!”
Hack melesat kabur menghindari Hayden yang mengejarnya membabi
buta. “Itu cacar bukan kutil. Cacar itu menyehatkan…” Ia mencoba membela
diri seraya menerabas seluruh isi dapur menjauhi Hayden.
“Menyehatkan kepalamu!” ujarnya dengan nada mengamuk.
Pedro tertawa meledak namun ia bergegas diam saat mendapati Eric
berjalan tertunduk meninggalkan dapur dengan jiwa yang sepertinya tidak
sedang berada di dalam dirinya.
Eric kembali menatap dalam-dalam foto Flori, Naydelin, dan Classy. Ia
menoleh pada seseorang yang menepuk bahunya dari belakang.
“Menurutmu Flori masih ingat padaku?”
“Pasti.” Pedro berdiri di samping Eric untuk mengimbanginya.
103
Eric menggeleng lemah dengan kepala yang rasanya berdenyut.
Sesuatu kembali berkelebat kacau dalam otaknya.
“Geffon hadir di saat terakhir aku hidup. Dan gadis itu, Flori, aku
bertemu dengannya lalu dia memberiku syal, permen jahe, dan dia sama sekali
tidak kenal siapa aku. Dia hanya kasihan melihatku. Itu saja.”
Pedro mendesah. “Dia sedang terguncang, Eric. Mungkin ada memori
yang tenggelam dalam otaknya. Dan dia tidak ingin…”
Pedro terdiam. Ia kehabisan kata-kata lalu Eric melanjutkan.
“Mengingatnya, eh? Dia sama sekali tak peduli padaku. Dia tak melakukan
usaha apapun bahkan sekedar untuk mencariku.”
Eric terduduk beku di pojok. Suaranya terdengar acak. “Kenapa kakek
menginginkanku untuk mencarinya? Jika semua ini berhubungan dengan takdir
Ghobadi, dan kakek menempatkanku sebagai penyelamat Flori untuk
melindunginya dari pembesar kegelapan, semua terdengar lucu. Seakan aku
ditakdirkan mati demi melindungi Flori.”
“Kenapa ia tidak mencari Flori sendiri lalu menyerahkan pedang itu
padanya?” Pedro ikut menyelidik.
Hantu perempuan muda tanpa kepala muncul diantara mereka seraya
meratap menabrak seluruh benda yang dilaluinya. Tangan kirinya
mencengkeram kain lusuh yang penuh tulisan dengan darah.
Eric menyeriangai membaca tulisan terseret-seret itu.
TIDAK MENERIMA SUMBANGAN APAPUN
SELAIN KEPALA SIAP PAKAI
“ERRIIIC…” Lengkingan Hayden terdengar mengejutkan. “Aku
menemukan sesuatu!”
Eric dan Pedro beradu pandang. Hayden muncul dari dinding di
belakang mereka. Wajahnya masih dipenuhi cacar namun tampaknya ia tak
mempedulikannya lagi. “Eric aku telah mengelilingi semua isi rumah ini gara-
104
gara si Hack brengsek itu. Aku sama sekali tidak melihat foto orang tua Flori,
maksudku foto orang tuamu. Tapi aku menemukan ini..”
Hayden mengulurkan pigura kecil berisi foto seorang laki-laki tua dan tiga
anak perempuan. “Elfgog, Flori, Naydelin, dan Classy.”
“Jadi ia yang mengasuh Classy dan Naydelin saat masih hidup?” Eric
merosot dari posisi duduknya. “Bersama Flori, tentu saja.”
“Jadi siapa dia sebenarnya?” Hayden menatap Pedro penuh harap
seakan sahabatnya itu memberikan contekan jawaban yang benar.
Eric balik menatap kedua sahabatnya tanpa ekspresi. Sesaat ia
melongok ke belakang. Seekor kucing persia mengeong lembut tanpa tekanan.
Ia hadir begitu saja seolah muncul tiba-tiba dari balik punggung Eric.
Si kucing memandang tiga hantu dengan mata hijaunya yang hampa
lalu mengalihkan pandangannya ke tempat lain. Telinganya bergeming normal,
kumisnya bergerak kaku tak anggun. Setelah bosan ia menuruni tangga,
meninggalkan tempat itu.
“Fuih...syukurlah dia segera pergi,” keluh Pedro sembari mengibaskan
telapak tangannya. “Asal tahu saja, aku ngeri melihat kucing berbulu lebat.”
“Aku justru terkejut dengan kucing yang sama sekali tak berbulu,” cicit
Hayden.
“Sepertinya aku pernah melihat kucing itu…” Eric bergumam pada
dirinya sendiri. Pedro dan hayden menoleh padanya. “Tidak. Bukan apa-apa.”
Eric bergegas bangkit dari posisi duduknya semula. “Aku akan pergi sebentar.”
Pedro dan Hayden berdiri bersamaan.
“Mau kemana kau?” Hayden menahan lengan Eric saat ia hendak
melesat meninggalkannya. “Jangan bilang kau akan menculik Naydelin dari
tangan si pawang hantu itu!”
“Aku tahu, sobat,” sahut Eric. “Aku lebih tahu apa yang harus aku
lakukan.”
“Dan kau tidak tahu bahwa kau sangat keras kepala!” Hayden berkata
dengan brutal. “Apa yang harus aku katakan pada Master Quarenci jika kau
sampai celaka? Lalu apa berharganya pengorbanan Naydelin di otakmu jika
105
kemudian kau menyerahkan diri pada pembesar kegelapan? Apa kau bisa
menangkap ucapanku?”
“Eric…” Pedro menahan bahu Eric sambil menggeleng. “Jika kau
harus pergi, kami ikut denganmu.”
“Apapun yang kalian katakan itu tak masalah, aku hanya melakukan
keputusan yang aku pilih. Aku ingin membuktikan pada diriku, untuk hidupku,
dan segala sesuatu yang aku perjuangkan. Aku akan berjalan pada sebuah
lintasan yang tak tersentuh, tanpa ada yang dapat melihatnya. Tapi aku
melihatnya. Aku hanya ingin kalian mengerti. Aku akan kembali. Aku selalu
bersama kalian. “Eric menepis tangan Pedro dari bahunya. “Aku berjanji.
Percayalah.”
106
Bab 18
TerselubungHayden menyerah untuk mendebatnya. Ia hanya memelototinya dengan
putus asa.
“Tolong jaga Flori,” ujar Eric dengan nada yang menekan. Hayden tak
sempat berkomentar. Ia nyaris melesat menembus jendela bersama Eric saat ia
menahan lengannya namun Pedro berhasil menyambar kaki Hayden.
“Hei, kau!” omelnya pada Pedro. “Aku ingin ikut bersama Eric.”
“Kurasa, biarkan dia sendirian,” kata Pedro dengan tenang. “Disini kita
bisa memantau Flori”
“K-kau memihaknya?”
“Itu telah jadi pilihannya, dan begitupun aku dan kau, masing-masing
berhak untuk memilih.”
Hayden mengomelinya dengan murka tetapi Pedro tampak tak peduli.
Mereka kemudian menembus pintu ruang selanjutnya. Tak ada sesuatu yang
istimewa, hanya seorang gadis yang tertidur meringkuk dengan segala
kepedihan yang terselubung.
Sementara itu, Eric meluncur menembus malam dengan keraguan tak
terkendali, pikirnya tak dapat membayangkan dimana tempatnya letak
Snowvus apabila ditempuh dengan jalur manusia. Yah – terlalu rumit untuk
dibayangkan karena Snowvus memang berada pada ekosistem hantu secara
alami tanpa ada campuran sedikitpun dari pihak manusia.
Perlu diketahui tentang peraturan kuno tentang dua alam berbeda
bahwa manusia akan mati gila pada saat dia tersesat pada dunia hantu secara
keseluruhan, sementara hantu dengan segala kebebasannya mampu menembus
segala sudut alam manusia tanpa berbagai kekhawatiran luar biasa.
Eric menembus cermin ke mana saja yang bersembunyi di balik awan
kelabu yang ditemukannya setelah berputar-putar dalam lingkaran langit tanpa
107
peta. Satu kedipan mata selanjutnya telah membawanya pada posisi di ambang
laut hitam.
Ia menatap ngeri laut hitam di bawahnya. Tenang tak menerkam namun
membahayakan. Ratusan tangan berkulit lumpur mengacung lunglai
dipermukaan air seakan sedang mengharap pertolongan tanpa dengkingan.
Tangan-tangan itu menghilang ketika ombak menyapu kasar tangan mereka
tetapi sebentar kemudian bermunculan satu per satu. Melambai meratap tanpa
suara.
Eric mengabaikan pemandangan itu. Ia melayang pelan menuju
Snowvus. Ia mendapati ujung kastil yang menjulang ke langit dan berhenti
pada sisi tertinggi setelah menabrak awan hitam tipis. Patung Mapoti yang
membawa tongkat bermata Zamrud mengacung ke langit seolah
mengagungkan penghuni langit.
Eric memepercepat diri menembus bola pelindung tanpa jampi-jampi.
Ia meluncur tak sabar masuk ke dalam Snowvus dengan menembusnya lalu
cepat-cepat menuju gerbang bertuliskan Tampagolo Lau Panangan.
Kaca segala arah memancarkan cahaya lembut tetapi tak sanggup
mengalahkan kegelapan abadi di Snowvus. Itu memberi arti bahwa fajar telah
menjelang di bagian timur dunia manusia. Sementara kaca segala arah yang
memanjang di sebelah barat sangat amat gelap hingga tampaknya hanya seperti
cermin hitam tak berguna.
Ia mengurungkan niatnya menembus pintu yang membawanya ke
ruang lain. Kakinya tak sengaja mengenai wajah Ghaits yang berjalan ngesot
dengan satu kakinya yang terlalu kecil tumbuh tidak normal. Rambutnya yang
panjang dikucir dengan pita merah pada ujungnya. Melolong merana sambil
menyeret meja hingga menimbulkan suara berderit memilukan.
Beberapa hantu anak-anak berlarian dengan bunyi bergedebuk ramai.
Menggelindingkan kepala baju zirah dari hantu satu ke hantu lainnya. Victor
Kapele melambai girang pada Eric yang membalasnya antusias.
108
Hantu gembul yang pendek meluncur tergopoh-gopoh sambil
memegangi rambutnya yang keriting luar biasa lebat seolah takut rambutnya
itu mendadak tergelincir dari kepalanya.
“Berhenti atau kuhajar kalian anak-anak brengsek,“ Mame Granyo
melolong menakutkan. “Kembalikan kepalanya. Kalian tak akan begitu mudah
memperdayaku.”
Victor mendelik kepadanya lalu mengoper kepala itu pada Ami
Tobuwa yang kemudian memberikannya pada Heine Manare.
Mame Granyo mengacungkan tinjunya dengan emosi meledak. Eric
dapat melihat hidung wanita itu meletup memercikkan bunga api.
“BERHENTI !” Dengkingan itu terdengar seperti ratapan.
Heine Manare tertawa meledak lalu melambungkan kepala itu hingga
mengenai jidat si hantu ngesot. Mame Granyo menggigit bibirnya dengan
kemarahan yang meletup-letup.
“Tunggu apa lagi?” teriak Victor Kapele. “LARI BEGO...”
Mereka berlari tunggang langgang meluncur kalang kabut kemudian
menghilang setelah menabrak kaca segala arah yang hitam kelabu seperti
serpihan malam.
Eric berjingkat lalu menyelinap di belakang patung kuda putih tanpa
kepala kemudian merasuk ke dalamnya. Bersusah payah menghindari tatapan
Mame Granyo dan si ngesot.
Hantu ngesot itu melengking dalam-dalam. Mengumpat dengan
mengutuk tak normal. Membanting kepala baju zirah hingga permukaannya
melengkung ke dalam bergelombang tidak rata.
Eric berusaha keras menyembunyikan dengkur cemasnya. Ia tidak ingin
riwayatnya tamat dikeroyok dua hantu sinting itu. Meskipun ia tidak ikut
terlibat konspirasi bodoh Victor Kapele dan kawan-kawannya namun
reputasinya sudah buruk di mata Mame Granyo sejak insiden Classy.
“Dasar idiot pangkat sepuluh!” Kali ini percikan api benar-benar
berhamburan dari dalam hidung wanita itu. Si Ngesot terlihat mendelik
padanya. “Itu rumahku, bego!”
109
Eric tak dapat membayangkan apa jadinya apabila ia menjadi hantu
ngesot itu, pastilah ia sudah berteriak sekeras-kerasnya meminta pertolongan
semua hantu untuk menghajar hantu gembul itu beramai-ramai.
Kedengarannya memang terlalu sadis, tapi siapapun akan tega mengeroyok
Mame Granyo karena ia memiliki muka yang tampaknya membuat siapapun
merasa gatal untuk meninjunya.
Si ngesot menatap culas hantu di depannya itu kemudian melempar
kepala besi hingga meluncur tepat mengenai hidung Mame Granyo. Wanita itu
berteriak melengking mendapati hidungnya membelesak seperti baru saja
dicukur.
Eric meringis. Bekerja keras menahan tawanya yang sudah berada di
ujung lidah. Ia teringat Hayden. Andai Hayden berada di sini pasti ia tidak bisa
berhenti tertawa seumur hidup. Atau malah mereka berdua tertawa keras-keras
di depan Mame Granyo. Eric tiba-tiba merindukan Hayden yang cerewet,
Hayden yang selalu merepotkan, Hayden yang membuatnya tertawa di saat
kesepian. Ia teman ajaib yang membuat serpihan kelabu menjadi magenta.
Ghaits itu mengesot berkelebat menembus cermin kemana saja ketika
Mame Granyo mendatanginya dengan menandak-nandak untuk membuat
perhitungan merugikan. Wanita itu melepas kepergiannya dengan dengkingan
emosi yang tak bisa terlampiaskan.
Eric tiba-tiba merasakan desisan tak bersahabat menggelitik lehernya.
Ia menengok kebelakang namun sesuatu yang tak diketahuinya itu telah
mendorongnya secara sepihak. Eric terhempas dari tempat persembunyiannya
lalu menabrak Mame Granyo. Mereka terguling di lantai lalu berhenti setelah
menabrak tangga putar tanpa lengan.
Sepertinya kematian ke dua telah menghampirinya. Eric tak ingin
membuka mata sekedar untuk melihat ekspresi Mame Granyo. Namun wanita
itu telah lebih dahulu memaksanya untuk menyaksikan prosesi eksekusi nyawa
secara langsung.
110
“Jangan mentang-mentang cucu Master Quarenci kau berani kurang
ajar padaku.” Air liurnya berhamburan membasahi wajah Eric. “Lihat saja aku
akan membuatmu menyesal…”
“Sepertinya ada yang memanggil namaku,” sebuah suara merubah
wajah iblis Mame Granyo menjadi tampang tolol. “Siapa yang menyesal?”
Master Quarenci melayang tegak di atas anak tangga sambil
membetulkan posisi aksesoris tanduk kerbau yang menggantung di bajunya.
Tanpa sepengetahuan Mame Granyo, ia mengedipkan mata ke arah Eric.
Perempuan itu berdiri menjauhi Eric dalam waktu tiga detik. Senyum
kecutnya bertebaran di seluruh wajah. Tangannya mengulur hendak membantu
Eric bangun. Tapi Eric dapat bangkit tanpa memerlukan tangan perempuan itu.
“Cucu anda tadi terjatuh.” Suaranya gemetaran. Seluruh tubuhnya juga
ikut bergetar. “Dan menjatuhi saya.”
“Benar begitu, Eric?”
Eric mendengus kesal lalu mengangguk malas. Ia enggan membela diri
dari penjilat. Perempuan sialan itu tersenyum penuh kemenangan kemudian
berlalu setelah membungkuk hormat pada Master Quarenci.
“Jika kau tak membela dia mungkin saat ini aku sudah menyuruh
Dokter Omicron untuk menyetrumnya sampai kutu rambut dikepalanya mati,”
katanya penuh kesan datar. “Bagaimana kabarmu, ksatriaku?”
Eric memeluk kakeknya yang membalasnya dengan mengacak
rambutnya penuh kasih sayang. Rasanya ia ingin buru-buru bercerita tentang
semua yang dialaminya di dunia manusia. Begitu meluap-luap hingga ia tidak
tahu harus mulai dari mana.
“Apa kau sudah bertemu dengan Flori, eh?” Master Quarenci
mendahuluinya berbicara.
Eric tidak lantas menjawab karena pertanyaan itulah yang ingin
ditanyakan pada kakeknya. “Apa kakek menyuruhku mencari Flori demi
pedang Periopollux? Karena dia pewarisnya?”
“Kelak dia adalah pewarisnya.” Quarenci berdeham tanpa ekspresi. “Ia
yang akan menjadi pengendali pedang itu. Pembesar kegelapan mengincarnya
111
untuk dimusnahkan lalu merampas Periopollux untuk mencapai kesempurnaan
abadi yang tak terkalahkan.”
“Jadi Flori disembunyikan? Atau dia sengaja bersembunyi?” Eric
merasakan tubuhnya meradang. “Naydelin dan Classy sahabat kecil Flori, tapi
mereka tak mengatakan apapun padaku. Semua menyembunyikan kenyataan di
belakang punggungku lalu menyuruhku berputar-putar untuk mencarinya.” Ia
menyeringai membayangkan sikap emosinya sudah melebihi Mame Granyo.
Tapi ia tak peduli. Ia mendapati kakeknya tak merespon apa-apa. Eric
menduga pria itu sedang berpikir bagaimana cara membuatnya berhenti
mengomel. “Aku sudah bisa menemukan memoriku. Aku dapat mengingat
dengan baik. Bisolgedhi sudah mengincarku sejak aku masih hidup. Tena dan
Warthog hampir menjualku padanya. Kemudian aku berhasil melarikan diri
lebih tepatnya aku mati seperti bunuh diri. Akhir yang dramatis. Bukankah
semua ini seperti skenario film?”
Eric memperhatikan pria tua di depannya. Ia berharap mendengar
jawaban luar biasa atas pertanyaannya yang rumit.
“Ikuti aku,” katanya. “Akan kutunjukkan sesuatu.”
Eric terbengong-bengong. Sepertinya tenaganya sudah terkuras untuk
bersabar. Dengan terpaksa kakinya melangkah mengikuti Master Quarenci
yang melayang melewati lorong gelap luar biasa kotor tanpa udara dan banyak
hantu patred dan ghaits yang melayang di atas mereka sambil mengeluarkan
lolongan meratap.
“Egomu terlalu tinggi, kstaria kecilku.” Pria itu berbicara sambil
menambah kecepatan meluncurnya. Eric mengejarnya hingga mereka berdua
berdiri sejajar. “Dan jangan kau kira aku buta Eric, Aku melihat semua yang
kau lakukan di dunia manusia melalui bola kaca Sean Ying. Kau telah
menyakiti perasaan Nade dan membuat celaka dirimu sendiri, pawang itu
nyaris menangkap dan menyerahkanmu pada pembesar kegelapan.” Eric
hendak mengatakan sesuatu namun pria itu lebih cepat satu detik untuk
mencegahnya berbicara. “Satu hal yang harus kau ingat, Eric. Fungsikan
Garizah untuk membaca emosi yang tak bisa kau sentuh. Jangan biarkan kau
112
menyesal hanya karena ego memperdaya emosi hingga mencelakakan dirimu
sendiri.”
Dia memanggilnya Nade? “Tolong jangan ungkit itu lagi, kek!” raung
Eric memohon.
“Aku sengaja mengungkitnya untuk kebaikanmu sendiri!” katanya
tajam hingga kedengaran seperti menghujat “Seharusnya kau lebih pandai
dalam mengenali bahaya. Kesenangan dan emosi yang meletup membuatmu
sangat mudah dijadikan sasaran untuk dijebak, terutama karena faktor
perasaanmu yang labil sebagai akibat memorimu yang pulih secara tak
sempurna dalam waktu yang bersamaan. Aku tahu memang sangat sulit untuk
menata pikiran yang beberapa waktu lenyap kemudian tiba-tiba muncul
membawa gambaran masa lalu yang menyedihkan tanpa melibatkan perasaan
negatif atas segala sesuatunya. Kurasa kau juga perlu mengetahui sedikit
tentang masa laluku dan buyutmu. Sesungguhnya takdir mengerikan
menyelubungi keluargamu terdahulu, tak akan pernah ada yang lolos dari
kutukan Helluvaglaw. Benda pembawa malapetaka tak terbayangkan…”
“Apakah ini yang dimaksud...” kata Eric dengan tangan sibuk merogoh
saku mantelnya.
“Kukira...ASTAGA!” Quarenci berjengit lalu mundur selangkah tatkala
Eric menyodorkan kotak emas kusam dengan ukiran rumit yang
mengelilingnya. Sementara tulisan Helluvaglow melingkar di penutupnya.
“Helluvaglow?” lanjut Eric. Ukiran kata Helluvaglow sekali lagi
membuat hantu tua itu berjengit. “Sepertinya benda ini tak bisa dibuka.”
“D – darimana k – kau…b – bagaimana mungkin...?”
Querency berjalan melesat menginjak bazh (tanaman abadi mengkilap
kekeunguan yang tampak sama sekali tak hidup tetapi menimbulkan bunyi
berkeretekan saat diinjak) – pikirannya menjadi lebih mengerikan dari benang
kusut sekalipun – Dia berbalik kemudian mengebor tatapan Eric.
“Ugh...” Eric menggigit bibirnya, seolah dia sangat berharap selapis
dinding tebal membenamkan tubuhnya.
113
“Helluvaglow telah menemukan mangsanya,” kata Quarenci dengan
suara berat, kemudian berjalan pelan berirama seolah dia sengaja
menghitungnya. “Dia datang sendiri kepadamu, eh?”
“Bukan!” sahut Eric demi menghindari tatapan yang ditumpahkan
padanya. “Aku yang menyambarnya sendiri dari atas meja Geffon.”
Quarenci melecutkan pandangan lebih dalam.
“Aku sama sekali tak tahu apapun tentang itu dan aku mustahil
mengawasimu sepanjang waktu.”
“Sebuah suara telah mendorongku memasuki hutan itu lebih dalam.”
balas Eric defensif. Ia memasukkan kembali benda itu ke kantong mantelnya.
Eric membeberkan semua petualangannya yang mengerikan hingga
pertemuaannya dengan Elfgog. Master Quarenci tampak menyimak tetapi
terkadang melamun menatap bazh yang melingkar dijalanan yang mereka
lewati dengan ekspresi ketegangan luar biasa.
Rombongan hantu berkelebat lalu menghilang tanpa memperhatikan
mereka. Sementara Eric harus berbicara dengan setengah berteriak ketika
melewati sepasukan hantu tentara yang berbaris rapi menakjubkan dengan
menghentakkan kakinya bersemangat dan memberi aba-aba dengan hitungan.
“Elfgog mengatakan ada agen ganda di Snowvus?” kata Quarenci yang
tampaknya sedikit tersedak.
“Dan aku menduga agen ganda itu adalah Geffon.” Eric
melanjutkannya dengan sarkastik. “Hayden melihat Geffon sedang berbincang
denganmu di Snowvus. Dan aku mendengarnya sendiri saat ia menyatakan
telah bersekutu dengan Bisolgedhi.”
“Kau tak memiliki bukti?”
“Teman-temanku dan kami mendengarnya sendiri!”
Quarenci berbalik dengan tiba-tiba akibatnya Eric menabrak aksesoris
tanduk kerbau di dadanya.
“Dia lebih tahu atas apa yang harus dikerjakannya.”
114
“Dan kita tidak tahu apapun tentang pekerjaannya,” sembur Eric
dengan meradang. Quarenci menatapnya terkejut. “Maaf aku tidak
bermaksud ...”
“Sudahlah...” sahut Quarenci sambil melayang. “Berhati-hatilah
terhadap Hoyerdup...”
Terlambat. Eric telah menginjaknya. Lolongan merana serumpun bunga
Hoyerdup mengamuk mengiris telinga. Eric menutup telinganya rapat-rapat
namun tetap saja suaranya masih membuat kepalanya serasa ditusuk dengan
paku.
Seorang perempuan jangkung berlari tergopoh-gopoh ke arahnya. Ia
mengomel pada Eric yang menyakiti bunga kesayangannya. Ia menepuk benda
penjerit itu satu per satu dengan lembut hingga mereka diam.
“Mereka seperti bayi monster jika terbangun namun terdiam begitu
pantatnya ditepuk.” Quarenci menjelaskan sambil tersenyum pada hantu
perempuan itu.
“Pantat? Jadi bunga ini punya pantat?” Eric berusaha keras tidak
terbahak-bahak
“Dia cucuku, Eric Ghobadi,” kata Quarenci membuat hantu wanita itu
tampak malu.
“Maaf Master tapi dia melukai Hoyerdup,” rintihnya sembari mendelik
pada Eric.
“Maaf…” Eric merasa tak enak hati pada wanita itu. Tampaknya
bunga-bunga cerewet itu telah dianggap seperti anaknya sendiri.
Wajah perempuan itu melunak kemudian melayang menjauh tetapi dia
tampak mencerucutkan bibirnya seperti sedang merapalkan mantra celaka
untuk Eric.
Lima langkah meninggalkan padang Hoyerdup, para peri Ghaits kecil
beterbangan berdengung berisik di atas kepala Eric. sayapnya yang mungil
bergerak anggun. Eric bercanda dengan mereka sambil sesekali berpura-pura
hendak menangkapnya. Ia teringat Hayden yang bertransformasi menjadi peri
lalu bersembunyi dalam sakunya.
115
Master Quarenci mendesis dengan irama khusus, tampaknya sedang
menyuruh para ghaits tenang sejenak dan mereka sangat mematuhinya hingga
Eric dan Quarenci menjauh dari kawasan itu.
Eric mengais saku mantelnya seperti teringat sesuatu dengan tiba-tiba.
“Ia mengacungkan Poinsettia yang sama sekali tidak hancur ketika terbenam
dalam air. Pria itu sama sekali tidak terkejut seperti saat ia melihat
Helluvaglow.
Dengan datar ia mengatakan, “Ramalan Poinsettia sepantasnya disebut
mimpi buruk Ghobadi, halaman tiga menyebutkan mereka bagaikan pohon di
daerah tropis kadang menggugurkan daunnya dan bersemi bila saatnya secara
periodik tetapi segalanya berkesudahan ketika sepercik api membakarnya.
Seperti setetes tinta yang bisa menghitamkan satu bejana air.”
Eric mengernyit tidak paham. Namun ia menyimpan ketidaktahuan itu
untuk dirinya sendiri. Mereka melewati pepohonan yang bening seperti
protoplasma dengan tentakel yang selalu berjumlah ganjil. Sesekali mereka
harus menunduk saat pepohonan menyambarkan tentakelnya dengan beringas.
“Setidaknya beritahu aku semua yang harus aku ketahui.” Ia
menghindari nada merengek.
“Kurasa sudah saatnya aku membuka misteri ini untukmu. Semua
tentang takdir Ghobadi sudah sangat jelas. Masing-masing hidup mereka sudah
terikat kontrak dengan Poinsettia. Kecuali…” Quarenci berkata dengan gerik
cemas. “kecuali jika ia telah hidup dengan nyawa lain, tanpa darah Ghobadi.
Aku tahu kamu tidak akan cepat paham dengan apa yang baru saja aku
ucapkan, tetapi kau akan cukup mengerti setelah mengalaminya.”
Eric merasa linglung membayangkan bagaimana cara keluar dari darah
Ghobadi dan hidup dengan nyawa lain. Lalu nyawa siapa yang digunakan?
“Apa yang kaumaksud hidup dengan nyawa lain itu Flori?”
Terdengar tawa tersedak keluar dari mulut pria itu. “Tidak. Tidak,
bukan dia. Flori adalah pewaris Periopollux. Ia keturunan perempuan Ghobadi
terakhir yang masih hidup.”
“Jadi pembesar kegelapan mencarinya hanya demi Periopollux?”
116
“Hanya?” Quarenci menekan kata itu dengan tajam. “Satu-satunya
yang ditakuti pembesar kegelapan adalah kematian. Dan satu-satunya yang
bisa mengakhiri hidupnya adalah pedang itu. Lebih tepatnya Periopollux
memanggil pedang lain untuk bangkit.”
“Pedang lain itu Naigan?”
Quarenci mengangguk. Dan Eric tidak mengetahuinya jika ia tak
menengok pada pria tua itu. “Pedang yang ditangan Bisolgedhi dan satu lagi,
Naisopollux. Arturus adalah pengendalinya saat ini. Emperor.”
“Emperor adalah pengendali pedang?”
“Lebih dari yang dapat kau bayangkan.”
Dua hantu itu berbelok ke arah sebuah aliran air yang berbentuk seperti
jembatan lengkung yang dibawahnya dipenuhi kabut kelam. Mereka melayang
diatasnya sampai tak berselang lama Eric dapat melihat patung burung elang
yang agung menyambut mereka. Kupu-kupu yang berkulit protoplasma bening
beterbangan disekelilingnya sambil menebarkan serbuk emas yang berkelip
diantara serpihan kelabu.
Mereka memasuki mulut patung elang. Eric mendapati beberapa
lukisan besar seukuran tubuh manusia memenuhi ruang berdinding batu cadas.
Tumbuhan hitam merambat diantara kolong bingkai. Kunang-kunang
beterbangan membentuk formasi lampu badai yang menerangi tempat itu.
Eric terbeliak mendapati gambar dirinya berada dalam deretan lukisan
itu. Sebuah penggambaran yang nyaris sempurna, lekuk wajahnya seakan
dibuat sangat detail, raut wajah yang merindukan kedamaian. Di sebelahnya,
lukisan ibu dan ayahnya menggantung dengan sama sempurnanya seperti yang
lain. Pelukis yang luar biasa.
Quarenci memerintah pada Eric membuka Poinsettia pada lembar
pertama. Sebuah gambar acak tertulis tanpa arti. Eric melarutkan jarinya dalam
tinta kering yang tergores di kitab. Gambar itu berlarian menempati posisinya
masing-masing lalu membentuk jelujur pohon keluarga Ghobadi.
Ia memelototinya dengan terkesan namun akal pikirannya kepayahan
membuat analisis logis untuk menerjemahkannya.
117
“Mereka adalah Al Ghobadi dan Ibu tiriku.” katanya sambil
memunggungi Eric. Ia sibuk mengagumi lukisan yang begitu suram. Ia
menggosokkan kedua tangannya dengan pandangan kosong menatap gambar
pria yang berjanggut runcing dan telinga lebar sebelah kemudian beralih
memandang lukisan wanita yang ia panggil ibu tiri yang tampak anggun
dengan rambutnya yang keriting tergerai menyentuh bahu. “Mereka lebih
memilih untuk memasuki dunia tanpa batas. Bukan begitu... tampaknya ada
yang memaksa mereka. Entahlah.”
“L-lalu kemana Geffon Ghobadi? Maksudku kenapa disini tertulis...”
Eric melirik tulisannya seperti orang mencontek.
“Permaisuri dibuang demi tahta raja.”
“Ya,” sahut Eric. Dia hafal.
Al Ghobadi, ayahku, membuangnya ke hutan...”
“Hutan jalur utara?”
“Ia meninggalkan Geffon yang sedang mengandung. Seharusnya ia
sadari perempuan itu mengandung anak lelakinya. Dan bahkan sampai matipun
ia tak tahu aku anak kandungnya,” suara datar itu terdengar berguncang.
“Sekembalinya ia ke istana, Al mengumumkan bahwa permaisuri meninggal
atas penyebab serangan kaum Moro dalam perjalanan...”
“Culas.”
“Dengan begitu seorang bangsawan dari penjajah itu dijadikannya
permaisuri dan Al berhasil mempertahankan kejayaannya. Sebelum bayinya
lahir Geffon disumpah bersatu dengan kaum Moro. Dan setelah bayi itu lahir,
dengan persetujuan bangsa Moro, bayi yang terlahir itu diberikan pada sungai
dan sungai mengembalikannya pada bapak yang telah membuangnya.”
“Bayi itu kau?” Eric terbelalak. “Lalu kenapa Geffon memberikannya
pada sungai?”
“Sungai selalu mengembalikan apapun yang diberikan padanya.”
Eric memperhatikan lukisan yang ditunjuk si pria tua. “Apakah lukisan
ini hasil karyamu sendiri?”
118
“Oh – tentu saja bukan,” ujarnya dengan tanpa ekspresi. “Geffon yang
melukisnya”
Apa? Geffon? Suara Eric nyaris melompat mengagetkan. Namun ia
berhasil menguasainya.
Quarenci bergeser memandang lukisan wanita yang berbeda ras
dengannya. Ada sinar kerinduan bersilau di pelupuk matanya.
“Apakah kau tahu siapa wanita ini, Eric?” Quarenci bertanya tetapi ia
menjawabnya sendiri sebelum Eric sempat membuka mulut. “Dia Helena. Istri
yang terlalu kucinta.”
“Kemana dia sekarang? Menjadi Satanic?”
“Entahlah, kudengar dia telah berada di dunia tanpa batas.”
“Dan anak ke dua kalian? Maksudku bisa dibilang dia pamanku?”
Quarenci terperanjat kemudian memandang Eric dengan tajam seakan
sedang berusaha menelanjangi tanpa menyentuhnya. “Dia... Aku tak tahu.”
“Apakah dia sudah di dunia ajal juga?”
“Dia tidak mati. Dia juga tidak hidup.”
Ada senyap antar kata.
“Seperti Geffon, ibumu itu?”
Quarenci menoleh dengan tak senang. “Dia hidup sebenar-benarnya
manusia.”
“benar?” Eric menekan dengan aksen sarkastik. “Aku tidak
menyukainya. Dia pembohong besar. Dia perumus celaka kehidupan...”
“Cukup, Eric! Aku tidak ingin kau menghakiminya dengan tudingan
ilusimu itu.”
“Ilusi?” Eric meradang. Andai ia tidak ingat pria di depannya itu adalah
kakeknya ia sudah menonjok mulutnya. “Geffon kaki tangan Bisolgedhi, kami
melihatnya sendiri. Ia berpihak pada pembesar kegelapan. Dia penjilat. Dia
memiliki kepentingan ganda di sini. Apa aku tidak cukup untuk bisa
dipercaya?”
Hening senyap tanpa jalinan udara yang bersendawa di antara mereka.
119
Eric merasa bersalah telah berkata terlalu kasar. Ia kehabisan suara
lembut untuk menyatakan sesuatu yang tak dipercaya. Namun ia urung untuk
meminta maaf dan mengoreksi kesalahannya.
Quarenci akhirnya berbicara membuat perasaan Eric lega. “Tapi ia
tidak hidup dengan darah Ghobadi. Seperti yang aku bilang tadi, hidup dengan
nyawa lain.”
“Aku tidak peduli ia hidup dengan nyawa lain atau nyawa sapi
sekalipun. Geffon tetaplah Geffon dan dia mengikat kontrak kehidupan dengan
Bisolgedhi. Aku melihat isi perjanjian…”
“Cukup, Eric!” Kali ini lengkingan suara pria itu seperti menampar
siapapun yang mendengarnya. “Aku percaya padanya. Dan itu cukup bagiku.”
Eric kehabisan cara untuk meyakinkan kakeknya. Ia kecewa dengan
semua rasa dongkol yang menguasai kepalanya. Ia berlalu meninggalkan si
hantu pria yang sedang memunggunginya tanpa kata.
“Aku pergi, kek,” kata Eric pendek seraya meluncur meninggalkan
ambang jalan keluar lalu menembus kabut kelam.
120
Bab 19
Sebuah AwalVictor Kapele menyentil telinga Eric ketika ia hendak meninggalkan
Snowvus. Kakinya menginjak jalan keluar dengan tubuh setengah menembus
gerbang kastil. Ia berbalik dengan emosi yang masih membudak pikirannya.
“Kami ingin menunjukkan sesuatu padamu,” katanya dengan
mengedipkan sebelah matanya pada Eric.
“Kami?” Eric menyahut bosan hampir tanpa suara seakan ia berbisik
untuk dirinya sendiri.
Namun bagi Victor tampaknya suaranya terdengar mengamuk di
seluruh kastil. Ia buru-buru mengacungkan telunjuknya. “Jangan keras-keras,
ini rahasia!” Hantu itu melongok ke setiap sudut kastil yang terlihat
mencurigakan kemudian ia mensejajarkan kepalanya dengan kepala Eric,
melototkan matanya, lalu berbicara dengan meledak-ledak seakan ia tak ingat
bahwa yang dia ucapkan adalah sebuah rahasia. “Kami berhasil membuat
penemuan hebat! Terhebat di dunia. Tapi belum kami patenkan. Pasti kau tidak
akan percaya jika suatu saat kami benar-benar terkenal dan menandatangani
satu juta paten. Hei tunggu…” Victor menyambar bahu Eric. “Jangan tergesa-
gesa, bung! Kita-kita belum selesai…”
“Kita-kita?” Kali ini Eric melemparkan suara tingginya.
“Jangan keras-keras!”
“Suaramu jauh lebih keras, bung!” sahut Eric dengan jengkel.
“Ini hanya permainan iseng tetapi sangat canggih. Banyak hantu sama
sekali tidak menyadarinya mereka sedang dimata-matai. Kalau biasanya
manusia tak bisa melihat hantu, sekarang hantu tak bisa melihat hantu.
Bukankah ini…, Hey tunggu!”
Victor menyabet lengan Eric hinggga membuatnya berbalik dengan
agak limbung.
“KYAA! Kau menginjak jempol tanganku!”
121
Eric melompat terkejut. Ia melecutkan mata ke arah kakinya dengan
bingung.
“Heine Manare...?” pekik Eric “sejak kapan kau menempel di kakiku?”
Heine nyengir. Ia bertransformasi menjadi Patred. Dan ia marah-marah
karena mendapati tubuhnya menghitam seperti baru saja dilumuri kecap yang
terkena tumpahan oli.
Eric tertawa terbahak-bahak seperti orang gila hingga ia tak sanggup
mengatakan sesuatu.
“Ini adalah permainan ilusi yang pertama kali kami ciptakan –
permainan rahasia bayangan ninja –” Victor menjelaskan dengan perasaan
bangga yang tidak bisa ia sembunyikan. “Tapi kau selalu membuka rahasia di
luar kesepakatan, Heine!”
“Aku tidak sengaja!” dengkingnya jengkel. “Omong-omong
formulamu bikin gatal. Seperti dikeroyok semut yang menginjak-injak
wajahku. Mungkin ada resep yang salah…” Heine menggaruk mukanya
dengan putus asa.
“Kan tadi sudah aku bilang air liur ubur-ubur aku ganti dengan lendir
laba-laba.”
Haine melengking tanpa suara. Matanya melotot sejadi-jadinya seakan
sedang berteriak menyayat pilu. Victor semakin terbelalak saat bulu-bulu
serabut tumbuh di seluruh muka Heine. Eric mendekati Heine mencoba
mengamati apa yang terjadi.
“WAJAH TAMPAAANKUU…” Eric dan Victor mundur menjauh
bersamaan. “AARRGGHTT…”
Heine berlari tunggang langgang menabrak semua perabot kastil yang
ia lewati sambil meraung meratap. Sepertinya ia tidak percaya pada apa yang
baru saja menimpanya.
“Kenapa jadi dia yang sinting?” Victor memandang Eric dengan muka
bersalah. Ia mengejar Heine dan meninggalkan Eric begitu saja tanpa salam
perpisahan.
122
Eric mendengus lalu menembus gerbang kastil dan kali ini ia berharap
tak ada siapapun yang mengganggunya untuk hal-hal yang tidak penting. Ia
menghentikan langkah pertamanya. Puluhan pasukan berkuda lewat di
depannya tanpa menyadari keberadaan Eric.
“Luar biasa!” Matanya mengikuti langkah kuda itu berlalu kemudian
mengikutinya dari belakang. Sepasang batu besar yang tampaknya tak
memiliki fungsi apa-apa saling menjauh tanpa tersentuh lalu salah satunya
memunggungi yang lain hingga terbuka lubang bawah tanah. Master Quarenci
keluar dari dalamnya diikuti Mame Granyo dan lima hantu lain yang tak
dikenal Eric.
“Lama tak berjumpa, Arturus?” Quarenci menepuk punggung pria
bertubuh kekar yang dibalut pakaian perang kebesarannya. “Gagah sekali kau
hari ini.”
“Dan kau selalu terlihat lebih muda sepuluh tahun dari umur
kematianmu.”
Mereka terkekeh bersamaan diiringi Mame Granyo yang mencoba larut
dalam perbincangan mereka namun gagal mendapat perhatian.
Mereka membiarkan kudanya menjauh kemudian menghilang diantaran
serpihan kabut kelabu. Hantu-hantu itu berjalan beriringan memasuki lubang
bawah tanah. Pasukan Arturus melangkah dengan kaki besi terseret-seret
hingga menimbulkan suara berderit memilukan.
Eric mengejar pasukan itu dengan mengendap namun sepasang batu
segera menutup ke tempat semula seakan dua benda itu menjadi pengawal
pintu masuk. Ia berusaha keras menembusnya namun sepertinya ada
penghalang tak terlihat yang tidak bisa ditembus. Sedikit usaha bodoh yang ia
coba lakukan adalah mencongkel batu itu dengan cangkul berkarat yang
tergeletak di dekat taman hoyerdup. Tapi Eric mendapati cangkulnya segera
patah saat baru saja disentuhkan.
“Sial!” Ia menggeram seraya membuang cangkulnya ke sembarang
arah. Eric terkaget-kaget saat cangkul itu terbang mengenai kepalanya.
Matanya menyapu ke segala sudut hendak membuat perhitungan namun ia
123
mendapati sepasang mata seakan benar-benar menancap di matanya saat ia
berbalik ke tempatnya semula.
“Classy…” Eric menyeimbangkan tubuhnya agar tidak limbung. Ia
menyembunyikan keterkejutannya dengan usaha keras. “S-sejak kapan kau di
sini?”
“Sejak kau di sini.”
Eric mendengar suaranya begitu menggemaskan. Sangat berbeda
dengan pertemuan pertamanya dengan hantu otak meleset itu. Tak ada tangisan
melolong atau tissue penuh ingus yang beterbangan. Rambutnya yang semula
berdiri seperti bulu singa yang mengamuk sekarang dipilin rapi dengan pita
merah jambu panjang.
“Ada tamu penting di Snowvus, pejabat besar Arturus dan pasukannya.
Sepertinya mereka sedang membicarakan sebuah urusan yang sangat penting.
Jika para Emperor berkumpul biasanya ada masalah rumit yang luar biasa
rahasia. Tak ada siapapun berhasil menguping. Termasuk kau. Usahamu boleh
juga tapi sangat bodoh.” Classy seakan menjawab pertanyaan Eric yang belum
sempat ia katakan. “Kupikir Sean Ying juga datang. Tapi aku tak menjumpai
hidungnya tadi. Tapi tak biasanya asisten pribadi Master Quarenci tidak
diikutsertakan dalam pertemuan tertutup mereka.
Classy mengangkat bahunya tinggi-tinggi sementara Eric meresponnya
tanpa ekspresi.
124
Bab 20
Tragedi tanggal 26Plasma Sean Ying berpendar setelah menerobos cermin kemana saja
yang paling kelam. Dia tiba di jalanan sempit dengan rumah-rumah yang
berderet-deret. Angin bertiup kencang malam itu seperti ada sesuatu yang tidak
normal menguasainya.
Ia melayang sambil bersungut-sungut. Aku asisten pribadi Quarenci,
tapi kenapa harus aku yang jadi anjing pelacak? Ia menyusuri jalan yang
tampak lengang. Tak ada hantu yang berkeliaran di sekitarnya. Tampaknya
sudah ada yang membersihkan jalan ini lebih dahulu, gumamnya.
Tidak ada manusia yang tertidur lelap. Semua terjaga meskipun
penerangan telah padam. Bibir mereka berkontraksi mengucapkan berbagai
macam rapalan rumit yang hanya didengar oleh pembicaranya sendiri.
“Tutup kepalamu dengan selimut, Jove!” bisik seorang perempuan
dengan nada dalam. Dia berjalan terhuyung-huyung kemudian memutar kunci
berkaratnya hingga lacinya terbuka lalu ia mengaduk segala isinya. Setelah
berhasil menemukannya, ia menyalakan batangan lilin terkecil dengan Classy
yang paling redup. “Sebenarnya aku tidak suka hal ini.”
Perempuan itu berbalik menetap Jove. “Tutup kepalamu, kataku!”
Jove mendelik terkejut. “Kau masih percaya mitos sembarangan itu,
Bunde Gaea?”
Perawan tua itu balik mendelik. Rambut putih dengan dahi berkerut-
kerut, dan mata yang memandang hampa terlihat samar-samar. Dia menyambar
tongkat dengan ukiran gambar-gambar aneh lalu melompat ke atas tempat tidur
di samping Jove.
125
Jove adalah pemuda tampan berumur enam belas tahun dengan kulit
sepucat lilin, rambutnya berantakan dan alisnya tebal dengan biji mata hitam
legam.
“Jangan ucapkan kalimat serampangan itu. Sebenarnya aku benci untuk
mengatakannya. Tanggal dua puluh enam. Aneh! Sungguh aneh! Bapakmu
mati pada tanggal ini, dan kau sendiri lahir tanggal dua puluh enam, akankah
kematianmu juga ...? tidak-tidak, tetapi ... ya! Angka keramat – 26...bencana
selalu melanda pada tanggal ini. Di sini!”
“Ada-ada saja. Kukira semuanya cuma kebetulan,” gumam Jove
dengan tak terkesan. “Sampai sebegitunya penduduk di sini mempercayai
legenda menyesatkan itu.”
Bunde Gaea menahan nafasnya beberapa saat kemudian
menghembuskannya dengan menggebu seperti air mendidih yang asapnya
mengepul.
“Jangan katakan lagi!” katanya dengan gusar.
Jove tak membantah. Ia sangat menyayangi perempuan tua itu dan telah
menganggapnya sebagai ibunya sendiri. Tetapi Bunde Gaea menolak untuk
mendapat gelar berharga itu.
“Sejak bapakmu mengajal, asrama itu mulai dirubuhkan.” Dia berhenti
sejenak lalu melompat dari tempat tidur. Dengan kalut dan gemetar ia
menyibakkan gorden menggunakan tongkat anehnya. Mata liarnya membabi
buta menyaksikan bangunan-bangunan tua yang tinggal puing-puing tak
berharga, kecuali sebuah bangunan yang suram yang dirambati semak belukar.
“kuperingatkan untuk jangan tidur malam ini – bisa saja hantu itu mencekikmu
hingga tewas,” gonggongnya membahayakan. “Sembunyikan kepalamu!”
Jove menggigit bibirnya kuat-kuat untuk menghindari tawanya yang
meledak-ledak. Ia tahu Bunde Gaea yang baik tidak akan senang pada anak
muda yang tertawa saat ia berpidato.
“Apa itu?” suara Jove melompat begitu saja. Matanya berkilau saat
melihat benda yang menyembul dari dalam laci yang terbuka.
“JANGAN!”
126
Bunde Gaea bersusah payah mencegahnya dengan berlari – tertatih
tatih – berhuyung-huyung. Tetapi Jove lebih dahulu bangkit lalu meloncat
seperti katak dan menyambar cincin hijau yang terbuat dari batu zamrud.
“Wow! fantastik ...!” serunya girang sambil menimang-nimang benda
asing itu. “Rupanya kau menyembunyikan barang yang sangat indah di dalam
laci misteriusmu...”
Jove berhenti berkicau, suaranya serasa hilang seperti sedang dicekik.
Sementara Bunde Gaea berhenti di tempat dengan muka yang sama pucatnya
seperti hantu.
“Tanda ini sama seperti yang ada di telapak tanganku ...” Jove
mengamati ukiran yang tergores dicincin itu dan memang sama persis dengan
yang tergambar di telapak tangannya. Lambang yang cukup aneh seperti suatu
simbol yang di cap kuat sebagai identitas suatu kaum.
“Apa ini milikmu?”
“Itu milikmu,” kata Bunde Gaea putus asa. “Gouduge hanya
meninggalkan itu untukmu.”
“Gouduge?”
“Nankai Gouduge, ayahmu.”
“Bahkan aku tak pernah tahu siapa orang tuaku.” Jove hampir menjerit
dalam kalutnya. “Siapa aku sebenarnya?”
Bunde Gaea menggeleng putus asa. Air mata perlahan bergulir di kulit
keriputnya. Kakinya tak mampu lagi bertahan cukup lama, ia ambruk
sementara tongkatnya menggelinding menyentuh ujung kaki Jove.
“Maafkan aku, Jove. Kau benar, selama bertahun-tahun aku berusaha
menyembunyikan fakta ini. Tetapi penyakit tuaku tak mampu mengingat masa
lalu dengan sempurna.” Perempuan tua itu mencoba tersenyum semanis-
manisnya. “Karena aku telah bersumpah demi nyawaku. Tetapi itu semua tidak
berarti lagi. Dari pada aku mati sia-sia lebih baik aku mengatakannya. Ayahmu
– siapapun namanya – adalah pembesar kegelapan. Ia takut mati hingga ia
mencari kehidupan abadi yang semu. Sebuah kenyataan yang mengagumkan,
bukan?”
127
Bunde Gaea terkekeh ganjil seperti telah dirasuki setan. Jove
memandang liar pada perempuan itu, perutnya bergolak bagaikan sedang
dihantam tinju tak tampak.
“Pada malam tanggal dua puluh enam Gouduge mengetuk pintu
rumahku sambil membawa boneka kecil bernyawa. Benar-benar seperti
boneka, matanya selalu terbenam dan detak jantungnya nyaris tak terbaca
tetapi aku yakin dia sedang terjaga. Dan laki-laki itu berpesan ‘Aku menitipkan
Jove padamu’.”
Sekali lagi perempuan tua itu terkekeh menakutkan.
Jove mundur beberapa langkah. Ia sangat berharap Bunde Gaea tiba-
tiba melompat dan berteriak “APRIL MOP”. Tetapi kenyataannya perempuan
itu melanjutkan dengan suara mendesah.
“Sambil menggendongmu, aku mengendap-endap mengikuti laki-laki
tadi. Aku sama sekali tidak membayangkan dia akan masuk ke dalam aula
asrama, bangunan yang masih berdiri tegap diantara bangunan asrama lain
yang telah menjadi puing-puing tak berharga...”
“Apakah maksudmu aula asrama yang selalu kau sebut-sebut sebagai
runtuhan pencipta kegelapan abadi?”
Gaea mengangguk lemah seakan tanpa nyawa. “Aku tidak dapat
mempercayai penglihatanku a-ayahmu ditikam dengan pedang oleh laki-laki
itu.”
Jove seperti disihir untuk percaya dengan dongeng itu. Kepalanya
terasa berputar-putar ditempat yang sama.
“Apa maksudmu dengan laki-laki itu?”
“Tentu saja ayahmu.”
“Aku tidak mengerti. Apakah dia bunuh diri dengan menikam dirinya
sendiri”
“Hanya manusia rendahan yang mengakhiri hidupnya dengan bunuh
diri,” sahutnya gusar. “Laki-laki itu muncul dari tubuh ayahmu kemudian
memaksanya untuk bersumpah setia. Selanjutnya aku tidak bisa mengerti
ucapan mereka karena bahasanya di luar akalku. S–setelah itu ayahmu
128
memberikan sebilah pedang pada makhluk di depannya untuk membunuh
dirinya sendiri.”
“Jadi makhluk itu yang membunuh dirinya sendiri?
“Seperti yang aku lihat.”
“T-tapi b-bagaimana mungkin?” Jove terperanjat mendengarnya.
“Siapa membunuh siapa?
Bunde Gaea membisu sesaat menahan rasa sakitnya. Dadanya serasa
sesak, ia menggigit bibirnya hingga berdarah.
“A-Anda baik-baik saja?”
Jove mendekati perempuan tua itu bermaksud ingin menolongnya
tetapi pemuda itu terpental hingga menghantam perapian yang padam seakan
ada magnet penolak diantara mereka. Ia menyibakkan jari tangannya yang
terkepal, terdengar tarikan nafas lega ketika ia mendapati cincin itu masih
bersinar lembut di telapak tangannya.
Hei, kekuatan apa tadi?
“Terkadang di dalam tubuh manusia terdapat manusia lain yang saling
berpengaruh. Itulah yang terjadi dengan ayahmu. Serpihan kegelapan yang
bersemayam dalam tubuhnya terbangun dan membunuh dirinya sendiri,”
lanjutnya dengan pandangan hampa. “Sementara ayahmu yang harus
menggantikan kematiannya. Aku tahu, sesungguhnya dia orang baik. Hanya
nasibnya saja yang buruk.”
Bunde Gaea memaksa tubuhnya bangkit namun ia roboh detik
berikutnya. “Ketika aku mendekati mayatnya, A-aku hampir membanting di
bayi Jove seketika, laki-laki itu bergerak dan berbicara padaku tanpa membuka
mulutnya. Suaranya terdengar terseret kesakitan dan aku merasakan telingaku
seakan sedang disayat. Tangannya tiba-tiba bergerak hingga menimbulkan
suara yang berkeretekan. Jari-jarinya yang terkepal, dipaksanya membuka dan
aku melompat karena suaranya seperti lempengan besi yang dipatahkan. Dia
menyerahkan cincin itu padaku dan berpesan...”
“’Aku menitipkan anakku padamu dan juga cincin ini. Kelak saat
cincin itu jatuh ketangannya maka waktu itu telah datang, aku akan mengambil
129
Jove darimu. Aku akan membunuhnya agar dia berdamai denganku. Ia akan
menjadi putra mahkota pembesar kegelapan. Simpan baik-baik cincin ini
sampai ia kembali pada pemiliknya. Jove.”
“B-bukankah kau sudah m-mati? Tanyaku dan dia menjawab dengan
murka, ‘Aku tidak akan mati! Keabadian adalah diriku. Kau dapat mendengar
suaraku – berarti aku masih ada untuk dunia ini. Karena sebagai Pembesar
Kegelapan akulah yang ditakdirkan hidup abadi. Aku membuang sisi rapuhku,
membunuh relung kematian dalam jiwaku.’ Ia mendekatkan wajahnya hingga
mengenai telingaku. Sekelebat aku melihat symbol hitam yang dicap sangat
kuat dilehernya, Aleph dengan tanda Phi diatasnya.
‘Bersumpahlah untuk tidak menceritakan apapun tentangku pada Jove.
Jangan katakan apapun karena hanya aku yang boleh memberitahu semua
tentang takdirnya. Bila kau mengingkari maka kematian mengerikan segera
menjemputmu.
“Sekarang kau mengerti, kan, Jove? Mengapa aku tak pernah
memberitahu semua tentangmu? Karena aku menunggu waktu ini datang.
Enam belas tahun telah lewat namun serasa hanya enambelas detik bagiku…”
Wajahnya berubah menjadi sepucat kertas. Tidak mungkin. Semua ini
hanya dongeng. Aku pasti sedang bermimpi.
“T-tapi bukankah kau bisa membuang jauh-jauh cincin ini?” Suara Jove
melompat brutal. “Kau bisa membunuhku! Atau jika kau mengatakan semua
lebih cepat aku bisa membunuh diriku sendiri…”
“Meskipun aku menelannya sekalipun cincin itu tetap akan kembali
pada pemiliknya. Dengar Jove, aku menyayangimu dan sudah saatnya cincin
itu berada ditempatmu. Gouduge bisa mengikat hidupku dengan sumpah, tapi
dia tidak bisa mencegah keberanianku. Begitupun dirimu, keputusanmulah
yang menentukan menjadi apa dirimu. Jangan pernah kecewakan aku. Selamat
tinggal Jove, urusanku di dunia ini sudah selesai.”
Aku ingin menghapus hari ini. Jove menjerit frustasi, namun tak ada
suara yang ia hadirkan. Ia menyeret tubuhnya mendekati perempuan tua itu.
Beserta seluruh tenaga yang tersisa, ia berusaha keras menggapainya.
130
Sesaat setelah ia menyentuhnya, tubuh perempuan itu hancur menjadi
serpihan abu-abu. Suara Jove terdengar melengking memanggil namanya. Ia
berusaha keras menangkapi sisa serpihan yang beterbangan namun ia
terpelanting seakan ada tangan tak terlihat yang menghantamnya bertubi-tubi.
Aku menyesali semua ini. Dan ia tak sadarkan diri.
131
Bab 21
SidangJove terbangun ketika mendengar langkah derap kuda mengamuk di
telinganya. Dia terperanjat menemukan dirinya berada diantara bangunan yang
telah berbentuk puing rapuh. Ia menyusuri tempat itu dengan rasa kehilangan
yang berkecamuk. Kesedihan seakan mencabik-cabik tenaganya. Tak ada
siapapun di dunia ini yang dimilikinya lagi. Semua berakhir tragis gara-gara
cincin konyol yang membeku di genggaman tangannya.
Pemuda itu membanting cincinnya dengan emosi menandak-nandak.
Benda itu terpelanting lalu lenyap seakan tanah telah menelannya. Ia buru-buru
menjauh dari tempat itu namun lima langkah berikutnya tangan kanannya
terasa terbakar. Ia melonjak kesakitan sambil berguling-guling di tanah tapi
sia-sia. Rasa sakit semakin menghabisinya. Cincin hijau telah tersemat kembali
di telunjuk tanpa permisi. Pedro mendengking tak berdaya. Rasanya bagaikan
hampir mati. Dia menyerah dengan nafas yang tersengal-sengal.
Jove mengamati telapak tangannya. Simbol itu membesar dan semakin
terlihat jelas, berwarna hitam pucat. Cincin hijaunya yang memiliki simbol
yang sama seolah bereteriak sudah saatnya!
Dia tidak mengira tanda lahir di telapak kanannya sangat berpengaruh
dalam hidupnya. Mungkin simbol itu adalah tiket baginya untuk mengikuti
jejak ayahnya yang menjadi pembesar kegelapan.
Suara langkah sepasukan kuda yang sedang berlari mengaduk
telinganya. Bersama sisa tenaganya, Jove merapat menuju semak-semak. Pada
ksatria hantu dari berbagai dinasti berdatangan. Mereka berjalan angkuh
tampak seperti patung tanpa perasaan. Para hantu perang memamerkan panah,
trisula dan tombak mereka yang selalu dibanggakannya.
132
Sekelompok pasukan Nias bertopi besi beramai-ramai mengacungkan
tombak dengan berseru keras atas nama kelompoknya. Sementara itu satu
peleton pasukan tiongkok berpartisipasi bersama militer bersenapan kocok.
Lalu batalion wanita petempur mengalihkan segala perhatian dengan kereta
perang yang berkilau karena terawat dengan baik. (tampaknya mereka dari
suatu tempat tak bernama).
Ada pula serdadu pembajak sedang bersusah payah mendorong kapal
perang mereka yang merepotkan. Bagi mereka tak ada ekspedisi tanpa kapal
perang bersamanya.
Mereka semua saling berdesakan untuk memasuki sebuah pintu yang
luar biasa luas. Sampai-sampai hantu yang tidak sopan memilih menembus
dinding dan atap. Lemparan lolongan memuakkan memenuhi ruangan.
Masing-masing berteriak dengan bahasa ibunya menyanjung bangsa mereka
yang mulia.
“Sidang dibuka.”
Quarenci bersuara dengan gelombang datar nyaris tanpa ekspresi
namun sanggup membuat para hantu terlonjak dan diam seketika.
“Terima kasih,” lanjutnya. “Para ksatria yang saya hormati. Pada
sidang singkat waktu berikut, setelah menunggu puluhan tahun, hingga periode
ini datang. Penyerangan besar akan segera dimulai. Pembesar kegelapan
berhasil menguasai pewaris Periopollux. Mereka telah menemukan keturunan
perempuan Ghobadi yang terakhir yang masih hidup. Kita harus menyatukan
pertahanan untuk melindungi pedang mulia ini sampai akhir.”
Para hadirin sidang mengangkat senjatanya saling bersamaan melempar
lolongan keperkasaan. Gouduge tersenyum tipis dengan sebelah bibir terangkat
ke atas dibalik syal yang hampir membenamkan kepalanya.
Arturus mencabut Naisopollux dari sarung pedangnya. Pedang yang
bertahtakan giok dan batu safir tampak gagah mengacung beku di
genggamannya.
Mame Granyo mengepalkan tangan kosongnya. Meskipun tak memiliki
senjata untuk dipamerkan namun ia merasa pantas berbangga diri karena
133
mendapat kesempatan emas duduk di singgasana utama bersama Master
Quarenci, Nankai Gouduge, dan Arturus – rambut keritingnya seakan
bertambah lebat tiga puluh senti sementara kepalanya serasa hampir meledak.
Senyum berbahagia tidak pernah musnah dari bibirnya sejak Master Quarenci
merekomendasikannya agar mengisi kursi kosong di samping Gouduge. Dia
membayangkan telah menjadi hantu penting – semua mata memandanganya
dengan terkagum-kagum tapi kenyataan tragisnya tak ada satu hantu pun yang
menyadari keberadaannya di sana.
“Saya akan mengerahkan sebanyak lima belas bendera dari masing-
masing bendera terdiri dari seribu empat ratus pasukan tempur!” seru
Mansliever (si hantu panglima perang bertubuh biru seperti Kresna) sambil
mengacungkan busur dan panahnya yang bersepuh intan.
Hantu-hantu lain diam sesaat kemudian bersorak bersemangat
menyambut teriakan Master Quarenci dan Arturus. “DEMI KEBAIKAN DI
TANAH KEMATIAN – UNTUK LELUHUR – KEPADA SNOWVUS!”
“Dengar, Quarenci!” kata Sean Ying setelah perkumpulan selesai dan
sebagian besar hantu telah menghilang. Ia berdiri di pintu sepanjang jalannya
sidang menunggu Quarenci melewatinya. “Ini tentang Gouduge. D-dia ... kau
yakin mempercayainya? Quarenci – kumohon dengarkan aku! Gouduge-lah
yang menyarankan tempat ini sebagai tempat sidang. Pada kenyataannya
tempat ini adalah simbol keabadian kegelapan – maksudku dia sangat
mencurigakan...”
Sean Ying menyimpan ucapannya saat matanya menangkap sosok
Gouduge sedang merayap menaiki kuda hitamnya lalu masuk ke dalam semak-
semak diantara puing-puing bangunan.
“Master – Master!” Mame Granyo berteriak sambil berlari tergopoh-
gopoh. “Mungkinkah hantu yang gugur dalam perang akan mati untuk yang
kedua kalinya?”
Sean terkekeh sehingga membuat Mame Granyo salah tingkah dan
tersipu malu. Tetapi dia sangat lega ketika Master Quarenci menyambutnya
dengan tanggapan serius.
134
“Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini –,” lanjut Quarenci sambil
mengalihkan pandangannya pada puing-puing bangunan. “Bukankah kita ini
termasuk roh yang masih mencintai dunia. Tetapi roh merupakan sebutan bagi
makhluk yang sangat lemah – dia belum memiliki kekuatan khusus sebelum
menjadi hantu. Seharusnya para roh langsung dikirim pada alam yang sudah
terputus dari dunia manusia. Tetapi pada kenyataannya mereka masih
mencintai dunia dan memutuskan untuk tetap bisa hidup berdampingan
bersama manusia dengan menjadi hantu.”
Mame Granyo memilin ujung bajunya dan berkata dalam hati dengan
dongkol “Kalau itu sih, aku juga tahu!” tetapi dia hanya bisa tersenyum dengan
terpaksa.
“Kukira perang kali ini adalah perang terbesar untuk yang kedua
kalinya dalam sejarah hantu. Pintu dunia tanpa batas akan terbuka dan meraup
seluruh hantu yang kekuatannya melemah tanpa kemauan mereka dan
meninggalkan sesuatu yang mereka cintai. Semua ksatria mengetahui
konsekuensinya. Seandainya kau takut, maka kau boleh mengungsi bersama
hantu pengecut lainnya.”
Mame Granyo menunduk kemalu-maluan. Dia sungguh-sungguh
menyesal telah bertanya dengan menggunakan pertanyaan yang memalukan.
Saat dia menegakkan kepalanya, Master Quarenci telah melayang
meninggalkan tempat itu disusul Sean Ying di belakangnya.
***
Jove merayap kebelakang, jantungnya berderap cepat. Di depannya
Nankai Gouduge mengacungkan pedang seakan hendak mengebor dadanya.
Mata Gouduge menancap mengenai tatapan pasrah Jove.
“Selamat hadir, wahai putra Gouduge!” Jove mendelik dengan
ketakutan luar biasa. “Engkaulah yang akan mewarisi tahta keabadianku.
Engkau yang terpilih sebagai penunggang kegelapan. Cepat atau lambat
135
setelah kematian, kau akan datang padaku. Kita akan bersama memimpin
kehidupan sebagai sang pencelaka.”
Pemuda malang itu bagaikan terhipnotis. Dia menyambar pedang
Gouduge, menikam rusuknya lalu mencabutnya dengan beringas.
Bab 22
RantaiClassy tersenyum. Eric melihat pipi gadis itu merona kemerahan saat ia
menatapnya tanpa berkedip. Sebenarnya Eric tak berniat berlama-lama
bersamanya namun ada sesuatu yang mencegahnya beranjak.
“Ada sesuatu yang kau sengaja sembunyikan dariku? Err maksudku…”
Eric menyadari kata-katanya terdengar berantakan tapi ia tak sempat
mengoreksinya Classy telah lebih dahulu mengambil alih. Entah kenapa
dadanya serasa berdenyut kembali dan kepalanya serasa gugup untuk berpikir.
“Ya. Setelah lama memikirkannya ternyata kau tampan juga…”
“Bukan-bukan-bukan begitu. Ya aku memang tampan tapi maksudku
kenapa kau tidak bilang…aduh susah ngomongnya!”
“Aku menyukaimu.” Suara Classy melompat begitu saja membuat dada
Eric semakin berdenyut-denyut. Eric tak dapat melawan saat gadis itu
mencondongkan wajahnya hingga bibir mereka saling menjajah.
Eric merasakan Snowvus bertambah panas puluhan derajat. Sementara
itu tubuhnya serasa basah seperti baru saja diguyur seember air dari sumur.
Classy tiba-tiba menjauhkan diri. “Sekarang pergilah...” katanya
dengan muram. Hening sesaat. Mereka didera oleh pikiran masing-masing.
“Pergi, kataku!” Ia berteriak dengan meledak-ledak. “Kau tidak dengar apa?
PERGI?”
“Kau ...?” Eric bersusah payah menahan diri. “Apa otakmu sedang
meleset?”
136
Classy berpikir sejenak untuk mendebatnya. “PERGI DASAR
TELINGA SAPI!” Ia mendaratkan lusinan Batu berambut merah di kepala
Eric.
Geogle itu melindungi kepalanya. Mau tidak mau ia harus pergi sambil
bersungut-sungut. Ia melayang di atas hoyerdup yang sedang tertidur.
Melewati hutan pohon plasma yang memiliki tentakel berjumlah ganjil dan
selalu bergerak seperti gurita.
Snowvus tampak suram seperti kepingan kabut yang menyatu. Para
hantu melayang sambil mendengking. Mereka menembus dinding kastil lalu
keluar dari dunianya menuju kawasan manusia.
Dari kejauhan Eric melihat hantu yang memiliki otot menonjol seperti
perahu terbalik sedang menusukkan golok ke dadanya berulang kali. Hantu
pria itu berbalik menatap Eric dengan tatapan seculas wajahnya. Dia
menyeringai kemudian memenggal kepalanya sendiri dengan goloknya.
Eric menyentuh bola pelindung dengan telapak tangannya tanpa jampi
mantra yang ganjil. Lima langkah setelah meninggalkan bola pelindung, Eric
merasakan telinganya seperti ditarik dengan capit kepiting. Ia menoleh ke
belakang dan mendapati seorang anak laki-laki nyengir padanya.
“Hantu?” tanya anak laki-laki asing itu.
“eh?” Eric mengerut dahi.
“Hantu?” ulangnya.
“Hantu,” Eric membebek tanpa intonasi.
Pemuda itu menggesek giginya dengan gemas. “Aku tidak tahu apa
yang terjadi padaku. Sebuah sidang pengadilan yang menurut perasaanku
sangat mencemaskan, eh... orang-orang itu menyebutnya – pengadilan pe –
apa?
“pemutusan nasib”
“Yeah! Itu dia ...”
“Mungkin yang kau maksud orang-orang itu lebih tepatnya kau sebut
hantu.”
137
“Jadi benar mereka hantu?” tanya si anak laki-laki asing dengan
ekspresi terkejut. “Jadi aku juga...Aku sudah…”
“sudah bangkit dari kubur,” sahut Eric tak acuh.
“Hei! Aku sedang tidak becanda,” kata pemuda itu dengan tak sabar.
“Omong-omong namaku Jove, yeah ... cukup panggil Jove.”
Eric menatap hantu itu cukup lama. “Namaku Eric Ghobadi.”
“Maukah kau mengajariku cara menembus benda ini, seperti yang kau
lakukan tadi,” katanya tanpa malu-malu sambil berulang-ulang meninju bola
pelindung yang alot.
“Perlu sedikit proses usaha untuk memahami segala seluk beluk dunia
hantu,” kata Eric dengan wajah berbinar-binar. Saat ini dia merasa menjadi
melaikat penyelamat Jove. Seperti yang diajarkan Hayden padanya. Tidak
terlalu buruk, pikirnya.
“Kau cuma sedikit ritual!” lanjut Eric. “Kamu harus mendaftar jadi
member di sini. Oh! Kau juga harus menyentuhnya. Lalu katakan seperti
ini...”
“....”
“Wahai Penanda kehidupan...”
“Ya?”
“Ayo ikuti aku!” sahut Eric.
“Baiklah. Wahai penanda kehidupan...”
“Eeeng...” Eric berpikir keras mengingat mantra selanjutnya. “Dengan
ini saya yang bernama Jove...”
“Eeeeng...dengan ini saya yang bernama Jove...” sambung Jove.
“Salam kenal...”
“Apa?”
“Kau ikuti saja,” kata Eric tak sabar.
“Kau ikuti saja,” Jove membebek ucapannya.
“Aduuh bukan begitu...! Seharusnya kau itu bilang...”
Hwaaxaxaxa....
Eric dan Jove menoleh ke sumber suara dengan bersamaan.”
138
“Sudah seribu tujuh puluh dua hantu memakai mantra buatanku.
Hanganganganga...” dia tertawa keras sampai-sampai memukul tanah dengan
gila.
Eric melempar pandangan bosan. “Victor Kapele?” Dia lagi.
“Kalian kena tipu berlapis. Game ini aku yang bikin. Hasilnya diatas
seribu dari kalian tertipu tradisi.”
“Apa? Jadi nggak perlu ritual bodoh ini? Dan tidak perlu daftar jadi
member Snowvus?”
“Nehe. Nehe. Aku bilang ini rahasia antara kita sesama cowok hebat...”
Aku tidak percaya padanya. LAGI! Pikir Eric.
“Ini namanya MLM, Multi Level Menipu. Jadi kalian yang sudah
terjebak jika tidak ingin menanggung malu dalam kesendirian, aku sarankan
kalian mencari korban lain. Tiap satu orang yang berhasil kalian bina, itu
artinya level kalian naik satu tingkat. Semakin banyak hantu baru yang di bina,
maka...”
“Dibina?” Eric berujar dengan malas. Ia mengambil jarak untuk pergi.
“Yay... dibina.”
“Dibinasakan.” Eric menyambung dengan berlalu.
Hei kau mau kemana?” Jove meneriaki Eric yang telah jauh darinya.
“Pergi!”
“Pergi?” ulang Jove seraya menoleh pada Eric. “tapi ...”
“Kau sudah bisa keluar masuk Snowvus dengan sebebas-bebasnya
tanpa rapalan bodoh. Di dalam sana kau bisa menemukan banyak teman
sekaligus hantu aneh dan menyebalkan.”
“Aku tidak terlalu tertarik. Aku ingin menemanimu.”
“Apa?” Eric menoleh cepat pada Jove.
“Eh ...ouh, maksudnya aku ingin ikut denganmu!”
Eric membuka mulutnya seperti terkejut tapi sebenarnya tidak ada
kekagetan meluap-luap.
“Bagaimana?” Jove memandangnya dengan mata berkilat penuh
harapan sampai-sampai Eric berjengit melihatnya
139
“Urusanku tak ada hubungannya denganmu.”
“Segala urusan menjadi lebih ringan jika dipikul dua orang, eh dua
hantu,” kata Jove menggagalkan penolakan Eric.
“Merepotkan juga makhluk ini,” dengus Eric.
Jove menyeringai. “Apa katamu?”
“Aku sungguh-sungguh mau pergi sekarang.” Eric berbalik
memunggungi Jove. Ia menjauh dua puluh langkah sebelum akhirnya menoleh
lalu berteriak, “Kau jadi mau ikut tidak?”
Jove bersalto sambil meninju bahu Eric. “Aku sudah menduga kau
tidak akan tega padaku, sobat.”
Eric mendengus. “Bukan begitu. Aku merasa bersalah padamu soal
yang tadi. Aku tak bermaksud menipu.”
“Hahaha...” Jove menepuk punggung Eric. “Berarti kita impas.”
Mereka berada di ambang laut hitam. Sepuluh hantu sedang bersiap
menanti sampan yang dikayuh oleh laki-laki tua bercaping besar yang
membenamkan wajahnya. Masing-masing sampan kecil itu dimuati oleh tiga
hantu yang berdesakan.
“hai! Anak muda!” teriak kakek yang masih bertahan di atas
sampannya. Dia mengacungkan dayung, memberi tanda “Apa kalian
membutuhkan transportasi penyeberangan? Kalau ya, lekas kemari!”
“Berapa biaya untuk menyeberang?” tanya Eric saat berada di dekat
kakek itu
“Kalian lekas naik saja,” katanya dingin.
“Sejujurnya aku merasa ngeri disini.” gumam Jove tak jelas ketika
sampan itu melaju perlahan. Benda yang mereka tumpangi melayang tanpa
pemberitahuan. “Huwee...apa itu yang menonjol dipermukaan air?”
“Tangan,” sahut Eric tanpa intonasi.
“IYA! AKU JUGA TAHU KALAU ITU TANGAN!”
“Kalau sudah tahu, kenapa masih tanya? Dasar aneh!”
“Jangan berisik!” gonggong sang pendayung dengan wajah yang masih
terbenam di dalam capingnya.“ Eric dan Jove melompat kaget. Sampan itu
140
melintas di atas tangan-tangan yang berlambaian. Bola api kecil terbang pelan
mengiringi perjalanan mereka. “Dasar kampungan,” kata hantu tua tadi tanpa
menoleh pada Eric dan Jove. Ia tetap bertahan mengayuh agar sampannya
dapat melaju. “Aku harus mengambil jalan memutar agar tidak tersangkut
pusaran hukuman hidup.”
“Sebenarnya apa yang ada di dalam laut hitam ini?” Jove berseru
dengan tegang.
“Mungkin tak lama lagi, organ laut ini bergejolak. Itulah kengerian
yang paling mengerikan,” katanya lagi, sambil menghentakkan dayung pada
batu karang.
“Apa maksudmu tak lama lagi?”
“Tanda-tanda yang tersirat”
“Aku tidak paham,” keluh Eric
Sang pendayung mencibir. Tampak sekali bahwa ia merendahkan
kemampuan lawan bicaranya, namun ia tetap melanjutkan alkisahnya.
“Laut hitam ini sesak dengan roh pesakitan. Manusia yang masa
hidupnya diselubungi oleh kegelapan hati. Mereka adalah perusak kedamaian
dan perakit kebencian. Tetapi sayang sekali para sipir penghianat itu benar-
benar busuk, mereka bersekutu dengan pembesar kegelapan dan mebebaskan
tawanan secara diam-diam.”
Sang pendayung terdiam sejenak. Bola apinya meletup dan berkobar
bagaikan dikejutkan oleh sesuatu. Lalu dia memutar balik sampannya
memasuki gua. Kali ini tidak ada tangan-tangan mengerikan yang menggapai-
ngapai hingga menyembul di atas permukaan air. Sampan kembali ke
permukaan air dan sesekali dayungnya membuat air berkecipak.
“Jika masa itu datang, laut hitam ini akan menggelegak dan
memuntahkan segala isinya. Para narapidana terkutuk akan menghirup
kebebasannya lalu membuat segalanya untuk membalas dendam. Kawanan
burung Poppo akan menyerang satu sama lain untuk berebut mangsa.”
Jove berteriak seakan baru saja bangun dalam kengerian. “Dia benar-
benar ada? Oh, aku tak pernah menebaknya. Makhluk khayalan karangan
141
Bunde Gaea,” dia berhenti sejenak menegakkan kepala kemudian melanjutkan,
“Burung jalang pemakan manusia, cakar emasnya yang tajam siap mencabik
siapa pun, seperti itu, kan, pak pendayung?”
Sang pendayung tak menoleh padanya untuk mengangguk namun ia
mendengkur mengiyakan.
“Apa semua roh akan diadili?” kata Eric.
“Tidak. Tidak. Sebagian besar dari mereka dijebloskan ke dunia tanpa
batas tanpa pengadilan,” sahutnya. “Apa kalian tahu, pengadilan pemutusan
nasib bisa ditunggangi oleh para mafia pemerintah.”
“Apa maksudnya?”
Suara sang pendayung terdengar samar. “Kelak kau akan mengerti.”
Mereka semakin mendekati gerbang agung yang bergelambir
kegelapan. Kerumunan hantu memasuki pintu yang akan menghantarkan
mereka kedimensi lain, seluruhnya terlihat cemas dan terburu-buru. Jove dan
Eric bersiap angkat kaki dari sampan. Sang pendayung merapat ke dermaga
diantara sampan-sampan lain yang berdesakan. Eric melambai sambil
mengucapkan terimakasih pada sang pendayung yang telah lebih dahulu
memunggunginya.
Eric dan Jove terseret arus gerombolan hantu yang serba sibuk.
Beberapa hantu yang hilir mudik menenggelamkan sosok sang pendayung.
Mereka merintih riuh. Dengungannya mengguyur kemelut senyap dalam
kegelapan.
“Jangan bergeming disini,” raung pria yang sangat tinggi. Matanya
melongok ke bawah dan kepalanya seperti hampir meluncur. “Atau kalian akan
membuatku terjerembab.”
Eric menyambar bahu Jove merapatkannya menepi dari lalu lintas tak
beraturan. Mereka bersusah payah melawan arus para hantu yang tumpah ruah
sampai-sampai harus menyikut hantu lain agar bisa berjalan.
“Aku harus mencatat,” kata Eric. “Lain kali lebih baik kita lewat
cermin ke mana saja.”
“Cermin ke mana saja?”
142
“Tepat! Cermin tempat hantu berteleport ke mana saja. Atau Blasxing
mungkin lebih baik.”
Mereka kemudian memasuki gerbang dengan menyelinap diantara
celah terbengkalai yang lebih mirip koridor yang dibatasi oleh dua dinding
batu bata yang hangus.
Pandangan mereka saling melekat. “Seperti bekas gedung yang
terbakar, eh?” tanya Jove sambil sesekali mengintip sebuah ruangan dari balik
kaca.”
Eric bergumam tak jelas. Bergumam tentang sesuatu sosok yang
merintih di salah satu ruangan itu.
“Roh yang terbelenggu,” bisik Jove. “Jiwa yang terpenjara di tempat ia
terakhir hidup.”
Eric termenung, “Dari mana kamu tahu?” Ia menatap nanar roh
perempuan yang meratap dengan mengais dinding ia mengacak rambutnya
berulang-ulang, mencabutnya dengan bersamaan, lalu menancapkannya lagi
“Bunde Gaea selalu menceritakan hal aneh-aneh padaku. Dan baru kali
ini aku sadar semua ceritanya bukan omong kosong.”
“Bunde Gaea?”
Jove mengangguk lemah. “Seseorang yang sangat berarti untukku. Dia
lebih dari sekedar orang tua bagiku. Bahkan aku tidak pernah merasakan
bagaimana rasanya memiliki orang tua.”
Eric menepuk bahunya. “Kau bukan satu-satunya di dunia ini....”
Suara Eric teredam lolongan hantu yang sedang meratap. Mereka
mundur beberapa langkah sambil menutup telinga rapat-rapat kemudian
meninggalkan tempat itu memasuki ruang demi ruang mencari tangga yang
bisa membawanya keluar dari tempat itu.
“Sepertinya tempat ini dulunya rumah sakit,” gumam Eric.
Ia menduduki ranjang salah satu bangsal. Suara berdencit mengamuk
memenuhi ruangan. Benda itu melesat tanpa pemberitahuan.
143
“TIDDAAK...” Eric melolong dengan suara tertahan. Ranjang itu
membawanya menabrak pintu-pintu secara paksa. Jove mengejar Eric dengan
susah payah.
“Hei! Turun dari sana, bodoh!”
“Aku tak bisa bergerak. Seperti ada yang memegangiku.” Eric meraung
panik.
Benda itu terus meluncur dengan kencang tanpa bisa dikendalikan
“Hati-hati tikungan!” desah Jove berulang-ulang dari belakang.
“A-Aku tidak bisa mengendalikannya...”
Eric menutup mata. Belokan sembilan puluh derajat dilaluinya tanpa
mengurangi kecepatan. Ada hentakan yang sangat keras, tampaknya ranjang
itu menghantamkan dinding sejenak lalu melesat lagi dengan sangat kencang.
Benda itu berdencit memilukan. Berhenti seketika seperti ada tenaga
sangat kuat yang mengerem dengan sekonyong-konyong. Eric terpelanting
menabrak dinding yang terbelah dengan cepat. Jove menyongsong tergopoh-
gopoh hendak menolongnya bangkit namun mereka tersedot menuju sebuah
ruang yang berlanjut di dalam dinding.
“Ada yang sesuatu yang tidak beres disini” Eric berkata dengan panik.
Ia menyerbu dinding yang akan tertutup sepenuhnya. Tapi ia tidak mampu
mencegahnya.
“Ada hantu di sini.”
“Hei, yang benar saja. Kita ini hantu!” sahutnya cepat. Tampaknya Eric
dapat mencium ketakutannya sendiri.
“Apa mungkin hantu tidak dapat melihat hantu?”
Eric terkesiap. Ia teringat penemuan Victor dan Heine yang diberi nama
rahasia bayangan ninja. Bah, itu hanya permainan anak-anak, dengusnya. Tapi
Eric mendengar dirinya berkata, “Sangat mungkin.”
Tempat kosong itu tiba-tiba bergetar dan berdenyut seperti jantung
yang di gerakkan oleh mesin. Rantai berderak cepat, ruang itu meluncur ke
bawah tanpa terkendali.
144
“Kali ini kereta luncur atau...” Jove memekik sambil berpegang teguh
pada dinding yang menyisakan bekas cakaran manusia.
“Ini lift, eh bukan tapi kamar yang bisa meluncur berpindah tempat,
atau apalah namanya...”
Benda itu meluncur dengan kecepatan tinggi, semua berat serasa
bertumpu di bawah. Jove dan Eric berdengung putus asa. Suara rantai
terdengar berderak semakin cepat saling bergesekan dengan mesin yang
berdesing memilukan.
“Tetap bertahan disudut!” desah Eric.
“Hatiku serasa kelabu.”
Suara berkeretak kembali meraung. Eric dan Jove saling melecutkan
pandangan. Mereka melayang perlahan hingga kepalanya menyentuh langit-
langit. Sekonyong-konyong benda itu berhenti dengan kasar. Eric dan Jove
terpelanting keluar setelah dinding yang merekat, membelah secara tiba-tiba
dan sangat cepat. Mereka membentur pintu kaca yang retak dengan setengah
tubuhnya menembus benda itu. Mengerang.
“Payah!” rintih Eric dengan suara berat. Ia bangkit dengan terhunyung-
hunyung dan mendapati dinding tempatnya terhempas tadi telah merapat
normal. “Aku harus cepat kembali...”
“Kau ingin meninggalkanku begitu saja?” protes Jove sambil meraih
lengan Eric. “Aku tidak akan membiarkanmu keluar dari sini hidup-hidup
kalau begitu.”
Eric tertawa. Secara bersamaan makhluk yang berada pada lintas yang
berbeda turut terbahak puas.
145
Bab 23
Jemaah kegelapanHanya sebuah bayangan kelam duduk melingkar seperti ular
disinggasananya yang menjulang tanpa batas. Ia terbahak dengan suara yang
bisa membuat manusia terkena serangan jantung tanpa negosiasi.
Sementara ratusan makhluk hitam berkerut hampir memenuhi separuh
ruangan yang sangat luas hingga sudutnya tak terlihat. Mereka berkelebat dan
mendengung seperti bercengkerama dan menyerukan sesuatu dengan tergopoh-
gopoh.
Puluhan lonceng bergemerincing lalu tempat itu bergetar seiring
dengan suara ratusan besi yang dipukul bertalu-talu. Sembilan bola api
berkobar dahsyat secara bersamaan kemudian meredup lagi sehingga ruangan
itu menjadi kelabu.
Seseorang menyeruak ditengah kerumunan makhluk hitam. Tongkatnya
menggesek lantai hingga muncul bunga api naga yang malahap siapapun yang
berada di dekatnya. Geffon menunduk patuh pada pembesar kegelapan.
“Oh, Geffon akhirnya mereka menemukan pewaris Periopollux!” kata-
kata Gouduge disambut riuh seluruh makhluk hitam yang ada di tempat itu.
“Selanjutnya kita harus mengambil alih pedang itu. Aku ingin kau menyeret
sang keturunan terakhir Ghobadi ke hadapanku dan aku akan mengajarinya
cara menghancurkan Periopollux sekaligus memusnahkan dirinya sendiri.”
146
Geffon tersenyum sinis. Ia menaiki tangga yang menjulang, mendekati
Gouduge. Percikan bunga api yang berwujud naga mengitarinya dengan sangat
waspada. “Telah dilaksanakan, Yang Mulia.”
“Putra mahkota pembesar kegelapan juga telah bangkit. Hari ini kita
benar-benar menang.” Para makhluk hitam saling bersuka cita sambil
memukul genderang, beberapa diantaranya menggesekkan kukunya ke lantai
dengan suara sungguh memilukan.
“Putraku akan datang padaku. Persiapkan semua penyambutan karena
tak lama lagi ia akan berdiri di sampingku.”
Sesosok yang bertubuh besar menyelinap cepat dengan pakaiannya
yang serba kaku dan berat. Ia mencabut pedang yang menempel di sela-sela
kantong kulitnya. Ia mengacungkan Naigan diiringi cipratan darah yang
berasal dari kulit pahanya yang mengelupas.
“Bisolgedhi!” sapa Gouduge nada mengejek. “Keabadianku mencapai
sempurna. Tak lama lagi Periopollux akan musnah termasuk pewarisnya.
Kejayaan datang bagi kita cepat atau lambat pada masanya.”
Bisolgedhi menunduk patuh lalu memunggungi sang pembesar
kegelapan sambil mengibaskan pedangnya seperti membelah udara yang
hambar. Dua hantu terhempas dari pedang yang menghunus di hadapan
Geffon. Mereka terpelanting dan terseret beberapa meter dengan protoplasma
redup.
“Apa ini yang kau sebut-sebut sebagai kunci terakhir?” Nankai
Gouduge mengitari dua hantu tak berdaya itu. “Tawanan yang manis,” celanya.
Bisolgedhi terbahak. ”Mohon maaf Yang Mulia, hanya tawanan ini
yang bisa dipersembahkan.”
“Mereka bisa menjadi alat untuk menguasai Snowvus. Aku akan
mengambil alih kekuasaannya. Bukankah kudeta itu sangat menyenangkan?”
Gouduge terbahak dengan suara melengking. “Hantu ini sudah tidak memiliki
pikiran. Aku telah menguasai elemen kesadarannya.”
147
“Apa kau akan menyerahkan tugas selanjutnya padaku?” kata
Bisolgedhi seraya menancapkan pedangnya ke bumi. Ia berlutut dengan wajah
sangat menunduk hingga dagunya hampir menyentuh dada.
“Akulah kekuatan terbesar, maka perintahku adalah keharusan
untukmu,” jawab Gouduge dengan nada mencela.
Geffon berjalan cepat mendekati Coda. Ia tidak berkata apa-apa dengan
mulutnya. Namun hantu itu mendengar getaran yang perlahan menyentuh
gendang telinganya.
“Gadis ini akan baik-baik saja jika kau mengikuti setiap petunjukku.
Aku akan menjadikanmu emperor dan mengalihkan kuasa atas Periopollux
padamu. Bersiaplah.”
Coda tak sanggup berkata, sesuatu mencengkeram lehernya. Angannya
terbenam begitu cepat, kekalutan menyerap serdadu di otaknya dan segalanya
serasa berputar seperti ada yang menyedot dengan beringas.
148
Bab 24
Setetes Tinta Yang Mengeruhkan AirNaydelin dan Coda terhempas diluar kendali mereka. Dua hantu
lainnya saling melongok, ingin mengetahui apa yang baru saja terjadi.
“Aku tidak yakin jika mereka benar-benar jatuh dari langit.” Hayden
mendesah.
“Tapi gaya tarik bumi sangat kuat, Hayden,” sela Pedro.
“Bukan itu maksudku, dasar bodoh,” omelnya dengan menyeringai.
“Pedro...P-Pedro hentikan ...”
“Bodoh adalah musuh terbesarku!” Pedro meremas bahu Hayden.
“Lalu mengapa kau sebut aku bodoh?”
Hayden nyengir berharap Pedro hanya bermain-main dengannya. Tapi
ia mendapati mata hantu itu membesar dengan alis terangkat tinggi. Pedro
meraung seperti singa betina yang anaknya dirampas.
Hayden melolong saat Pedro menghempaskannya seperti tehnik
melepas anak panah dari busurnya. Ia terpental menembus dinding, menabrak
meja tanpa bunyi berdebam, lalu mendarat di bawah gorong-gorong kompor.
Si hantu dapur, Hack, menyalak ke arah Hayden. Ia memukuli Hayden
dengan kulitnya yang penuh angus.
“Kau menghancurkan istana Ike!” raungnya. Ia menyeret Hayden
dengan susah payah lalu menaruhnya di atas trolly miliknya.
149
“H-Hei, Aku bersumpah ini bukan salahku ...” Hayden sibuk
memprotes, tapi Hack telah mendorong trolly itu. “Aakuu akan membalassmuu
...”
Hayden melolong di atas trolly. Ia meluncur menembus semua benda
yang menghalangi jalannya. Tubuhnya yang gemuk tidak dapat memperlambat
laju benda itu.
“Hayden, maaf aku tidak bermaksud...” Pedro berkata menyesal.
Otaknya serasa kaku, ia hanya berdengung saat Elfgog nyaris tertabrak trolly
yang meluncur kesetanan.
Si kucing Persia melenggang dengan ekor tegak. Hewan itu mengeong
galak, matanya terbeliak melecut ke arah Hayden yang nyaris menabraknya.
Suara berdencit merobek kesunyian malam itu. Trollynya berhenti tanpa
negosiasi. Bergeming. Hayden terpelanting lalu menggelinding menembus
pintu keluar.
Pada masa yang bersamaan Eric dan Jove muncul dari balik jendela
yang tertutup. Mereka terheran-heran menyaksikan Hayden yang berguling
dengan histeris.
“Ouh, kuharap dia baik-baik saja,” keluh Pedro putus asa.
Elfgog melompat dari langit-langit lalu duduk di atas tongkatnya agar
dapat menggapai telinga Pedro. “Tenang saja mungkin dia hanya mendarat di
kandang ternak sebelah.”
“Omong-omong siapa kau nak?” kata Elfgog dengan hati-hati.
“Jove.”
“Hanya Jove?” tanya Pedro.
Jove mengangguk.
“Boleh aku tahu dari klan mana kau berasal?” Elfgog memicingkan
matanya. Tongkatnya berkeretak ketika hantu itu melompat mendekati Jove.
Kantung matanya yang menjumbai kebawah seakan turut berharap.
Jove menggeleng. “Aku tidak tahu siapa keluargaku.”
“Aku seperti mengenalmu.” Elfgog berkata hambar nyaris tanpa
intonasi.
150
“Apa yang terjadi disini?”
Eric melompat mendengar suara itu. Matanya menyusur setiap sudut
ruangan. “Naydelin...Aku tidak salah dengar...” Ia menyongsong gadis itu dan
memeluknya.
“Aku selamat karena Coda...” kata Naydelin seraya berbisik.
Lengannya melingkar erat pada leher Eric. “Dia yang selamatkan aku.”
Eric melecutkan pandangan pada Coda. Pemuda itu balas mengangguk
pada Eric. Sebuah lemari jam yang sangat kuno berkeretak. Pendulumnya
bergerak perlahan. Ketika jarum pendeknya berhenti tepat pada angka tiga,
bunyi lonceng bergaung tiga kali. Dalam detik yang bersamaan Eric berjengit.
“Seperti ada sinergi magis,” katanya setelah menatap tajam mata Coda. “Ada
yang tersembunyi dibalik pintu yang bersegel.”
Segalanya terdiam dengan pikiran masing-masing. Jove memicingkan
mata ke arah Naydelin. Dahinya berkerut tegang, sementara mulutnya
bergeming tanpa ada suara yang muncul berbondong-bondong.
Seorang gadis berambut coklat yang mengenakan piyama menuruni
tangga dengan cepat lalu berhambur ke dapur dan keluar dengan segenggam
serbuk putih. Mulutnya bergetar seakan sedang merapalkan sebuah mantra. Ia
mondar-mandir di depan pintu dengan kecemasan membingkai wajahnya.
Buru-buru dia membuat simbol lingkaran bersiku yang saling berhimpit
dengan serbuk putihnya.
Naydelin menggeleng. Ia bangkit memunggungi Eric dengan plasma
yang meredup. “Aku pikir sudah saatnya.”
“Nade, k-kau ...Apa yang akan kau lakukan? Kau ingin menakuti
Flori?” Eric berusaha menghalaunya namun terlambat.
Hayden muncul dengan terhunyung-hunyung dari balik dinding. Ia
terbeliak mendapati Naydelin telah bertransformasi dalam wujud satanic yang
sebenarnya.
“Hei, Flori bisa jantungan melihat wajahmu...” Hayden hendak
menyambar bahu Naydelin tapi Coda mencegahnya. “Apa yang kau lakukan?”
“Apa-apaan ini?” protes Eric.
151
“Ia akan menampakkan diri di depan Flori...” gonggong Hayden sambil
bersusah payah melepas cengkeraman Coda.
Elfgog memukulkan tongkatnya ke lantai hingga tempat itu
berguncang. Hack, si hantu dapur, terpelanting menembus dinding lalu
berhenti setelah membentur perabot kapal selamnya. Hayden, Pedro, Coda dan
Jove membungkuk sambil melindungi kepalanya masing-masing dengan
tangan ketika seluruh perabot Hack meluncur brutal dan berjatuhan menimpa
si hantu dapur itu. Flori memekik ketakutan, ia menutup wajahnya dengan
kedua telapak tangan yang gemetaran.
Naydelin melecutkan pandangan ke arah Elfgog. Tiba-tiba dia tertawa
melengking. Diam lalu kembali berucap dengan meledak-ledak. “Aku tidak
tahan lagi dengan sandiwara ini. Semuanya...kau (menunjuk Elfgog), kau
(menunjuk Flori), dan...kau (matanya memburu Eric).”
“DIAM!”
Elfgog menggertak dengan suara melengking yang mampu membuat
Hayden meloncat panik.
“Flori...” bisik Eric sambil bertransformasi menjadi manusia. Ia
mendekap gadis itu dan merasakan detak jantungnya yang berdegup bertubi-
tubi. “Tenanglah. Aku Eric Ghobadi dan kau adalah satu-satunya saudara yang
masih kumiliki. Aku bersumpah akan melindungimu, kau adalah Ghobadi
terakhir yang masih hidup. Aku tidak percaya ramalan, tapi aku tidak akan
membiarkan…”
“Dusta! Dia bukan…”
Elfgog cepat-cepat menyumbat mulut Hack dengan tongkatnya. Eric
melecutkan mata pada si hantu dapur yang membalasnya dengan gelengan
bertubi-tubi.
Sebuah kitab lusuh berukir simbol yang rumit meluncur dari saku
mantel Eric kemudian menjeblak seolah ada yang membuka dan membalikkan
halamannya dengan kasar.
Eric melompat mundur satu hasta. Hayden merapat pada Pedro. Setelah
segalanya tenang Eric mendekat dengan kaki berjingkat diikuti Jove dan Coda
152
dibelakangnya. Elfgog yang bertubuh mungil turut menyeruak sambil
bergumam. “Demi pencipta langit, yang tertulis di Poinsettia ini adalah benar.”
Coda mengernyitkan dahi. Ia bersusah payah membaca simbol acak
yang terbalik dan tak beraturan. “Tulisan apa ini, eh?” Ia menyikut rusuk
Pedro.
Pedro menggeleng dengan enggan. “Rumus kimia molekul tidak
serumit ini.”
“Hanya yang diizinkan Poinsettia yang bisa membacanya,” kata Elfgog
sambil menutup matanya. “Ayolah Ghobadi, aku ingin mendengarnya apa
yang dikatakan Poinsettia.”
Eric menyahut dengan gusar. ”Aku sama sekali tidak merasa hebat
menjadi yang terpilih yang bisa membaca benda brengsek itu.”
“Luar biasa emosional,” hardik Elfgog sambil melecutkan matanya
pada Eric. “Kau memang belum pantas untuk menjadi hebat.”
Eric tampaknya tidak peduli dengan ceramah yang dilontarkan Elfgog.
Ia hanya menatap mata Flori yang juga menatap dirinya dengan ketakutan.
“Butuh waktu lama untuk mencarimu dan kini aku menemukanmu, meski
dalam keadaan yang berbeda. Aku bukan lagi manusia sepertimu. Tapi tak
masalah.” ujar Eric dengan lirih. Ia menggenggam tangan Flori lalu
meletakkannya dilehernya. “Kau masih ingat syal ini? Kau yang
memberikannya padaku sesaat sebelum aku meninggal. Dan kita memiliki
kalung angsa biru yang sama. Orang tua kita pasti akan senang jika mereka
tahu aku sudah menemukanmu, kita akan bersama-sama lagi.”
“Eric seharusnya kau tahu...” Naydelin terisak. Air matanya bergulir
hingga membasahi lehernya. “Sebenarnya aku…” Ia tak sanggup
menyelesaikan kalimatnya.
Elfgog membanting tongkatnya ke lantai. Naydelin menunduk putus
asa di depan Poinsettia.
“Aku yang akan membaca ramalan poinsettia.”
“Kau?” Hayden melecutkan mata pada Naydelin. “Hanya Eric yang
bisa membacanya, kau paham itu?”
153
“Yang benar hanya mereka yang diizinkan yang bisa membacanya.”
Elfgog mengoreksinya. “Mereka yang terpilih.”
Hayden menyeringai putus asa.
“Saat bulan bersembunyi dalam serpihan keabuan mereka akan datang
dengan bersekutu untuk melakukan perlawanan dengan mengendalikan waktu.
Siapapun pada saat itu berdalih pengecut adalah lebih terhormat dari pada
lenyap sia-sia ke dunia tanpa batas. Ghobadi baru akan bangkit sebagai
pewaris Periopollux yang Agung. Ketika pemberontakan tersingkap,
penyesalan berkobar dan kaum yang lenyap berjatuhan meski tidak sia-sia.
Kebenaran laksana racun sementara dusta laksana madu yang memberkahi.
Harapan adalah pengabdian terakhir yang merengkuh siapa saja yang mencari
perlindungan kebenaran.” Naydelin berhenti sejenak. Ia menatap tajam Eric.
Semenit kemudian gadis itu kembali sibuk dengan Poinsettia. Bibirnya
bergerak, sambil bersuara parau, matanya menyusur setiap huruf dalam kitab
itu. “Ghobadi yang terakhir yang masih hidup akan memberikan kekuasaannya
pada ia yang telah diberikan janji padanya. Dan mereka pun tercerai satu sama
lain untuk saling melawan.”
Naydelin tak sanggup menahan air mata yang perlahan meleleh
melewati sela-sela kantung matanya. Ia melontarkan tubuh pada dinding kokoh
dibelakangnya. Hantu itu terisak sambil mencengkeram rambutnya dengan
emosi meletup.
Coda mendekap Naydelin. Tampak sekali ia berusaha keras
mendamaikan perasaan gadis itu. “Tenangkan dirimu. Ramalan itu terlalu
kacau untuk dimengerti.”
“Semua sudah jelas. Masa itu telah datang. Mantra penyembunyi tak
lagi berfungsi. Sekutu pembesar kegelapan mendekat.”
Elfgog mengerut kening mendengar setiap jengkal kata Naydelin
namun sedetik kemudian dia terbeliak lalu melesat menuju jendela dengan
panik.
“PERGI! BERGEGASLAH…” Elfgog menghentakkan tongkatnya
berkali-kali namun semua bergeming.
154
“Ada apa sebenarnya?” Eric dan Pedro melolong bersamaan.
“Ada yang tidak beres di sini.” Jove menyahut tanpa bermaksud
menjawab pertanyaan Eric dan Pedro.
“INI MUSTAHIL. SEGEL PENYEMBUNYI TELAH DIBUKA.
JEMAAH KEGELAPAN MENEMUKAN PERSEMBUNYIAN GADIS INI!”
Bab 25
TerjebakTempat itu hampir roboh diterpa angin liar yang meliuk bagaikan
bomerang tajam. Langit meredup lalu berubah gelap seperti ada yang
melempar kain pekat yang lusuh di atasnya. Beberapa pohon merapuh tercabut
dari akarnya dan seluruh hewan di peternakan sebelah beterbangan seperti
bulu.
Derap ribuan kaki kuda terdengar diantara gemuruh yang bersahutan.
Udara berkelebat serasa mendesis pilu dengan lolongan keresahan yang
melengking memuakkan.
Seluruh kaca pecah berkeping-keping seolah ada yang memberi
tekanan luar biasa. Eric mendekap Flori yang nyaris terseret angin, sementara
kakinya dicengkeram oleh Hayden. Naydelin dan Coda bekerja keras saling
memegangi kaki Hayden yang besar.
“Jemaah kegelapan datang!” lolong Hack sambil mendekap panci
gosong kesayangannya. Ia bertahan dengan kaki yang melilit pada peti besi
miliknya.
Jove dan Pedro berpegang erat pada tiang kayu yang masih berdiri
kokoh dengan kaki yang berkibar seperti bendera. Elfgog lebih memilih
bertahan dengan tongkat yang menancap pada lantai.
Sang kucing persia meloncat seperti hendak menerkam mangsa yang
lebih besar darinya. Hewan itu bertransformasi menjadi kuda perak yang
155
sungguh-sungguh cantik. Sayapnya terbentang molek dengan bulu-bulu halus
yang bercahaya.
“Dia Ocupant!” Pedro memekik tidak percaya. “Luar biasa. Bahkan
aku belum pernah bertransformasi sekalipun.”
Naydelin berujar dengan susah payah sambil menahan Hayden. “Kau
juga harus bertransformasi, Pedro...”
Kuda itu melesat lantas menyambar dada Eric sementara Flori
menggantung lunglai dalam dekapannya. Hayden kehilangan
keseimbangannya, ia terpelanting dan nyaris hilang jika tongkat Elfgog tidak
benar-benar gesit melingkari perutnya.
Elfgogh melompat lincah ke punggung hewan itu. Ia berdiri sambil
menyeimbangkan diri di belakang Hayden yang sedang merangsek Eric
dengan gemetaran. Flori merebahkan tubuhnya yang lemah ke dada Eric
sementara lengannya melingkari leher hantu itu.
Coda meloncat cepat meraih Nade yang nyaris terpelanting. Mereka
berguling setengah senti diatas lantai. Angin yang sangat ganas nyaris
memisahkan mereka. Setengah detik dalam waktu yang sangat berharga, Pedro
bertransformasi menjadi elang berwarna hitam sepekat malam. Ia menyambar
Coda dan Naydelin dengan cakarnya.
Jemaah kegelapan menghantam malam, melayang dan membumbung
bagai asap yang bergerak liar menyerang apapun di sekelilingnya. Tanah yang
mengatup tenang bersama rumput yang tertidur tiba-tiba retak seperti ada yang
membelahnya dengan culas.
Pedro menukik lalu menyumbat Hack dengan mulutnya. Si hantu dapur
itu mendengus dengan berurai air mata. Panci gosong kesayangannya lenyap
diserbu angin ganas. Tangannya melambai kepayahan seperti hendak
menggapai kekasihnya.
Jove terseok. Ia bersusah payah menahan diri melawan arus yang
seolah ingin memberangusnya dari bumi. Pedro melesat lalu memutar
tubuhnya dengan serta merta Jove merangsek diantara bulu-bulu yang tertanam
kuat dipermukaan kulit. Ia berusaha mendaki perlahan hingga mencapai leher
156
Pedro. “Sebelumnya aku pernah ditimpa bencana seperti ini. Tapi yang ini jauh
lebih mengerikan,” kata Jove dengan berteriak agar Pedro bisa mendengarnya.
Pedro terperanjat ketika matanya yang tajam melihat tanah dibawahnya
digempur membabi buta oleh sekutu pembesar kegelapan. Si kuda perak yang
melesat mendahului Pedro mendadak berhenti lalu berbalik arah dengan
kecemasan yang berkecamuk.
“Berputar ke arah jam tiga,” serunya pada Pedro dengan panik.
“Celaka! Mereka mengepung kita!”
Asap gelap yang berpilin datang berarak dengan disertai suara yang
bergemuruh. Elfgog mengayunkan tongkatnya yang memanjang dalam sekejap
dan membelah asap yang menyerbu liar. Tongkat itu berputar sangat cepat
melawan arus angin dari timur. Ia menggeleng seakan sedang memberitahu
dirinya sendiri. “Jemaah kegelapan telah menguasai semua akses wilayah di
bumi ini. Dan kita telah terperangkap dalam wilayah kekuasaan mereka.”
“Kau salah satu utusan dewan keamanan, pak tua,” omel kuda itu
dengan tidak sabar. “Dan ini adalah wilayah kendalimu.”
“Aku hanya bertanggung jawab mengawasi seorang manusia,” bantah
Elfgog dengan meletup.
Eric menggigit bibir menahan dadanya yang tiba-tiba sakit seperti
dihujam dengan pedang berkarat bertubi-tubi. Telinganya berdengung seolah
ada makhluk yang berteriak di dalamnya. Sementara kepalanya serasa mau
pecah. Sesuatu membayangi pikirannya dengan kekalutan pertempuran yang
membabi buta.
“Ada seratus ribu dewan keamanan dan prajurit tangguh di
Snowvus...dan, eh kenapa kita tidak menyelamatkan diri ke Snowvus? Dasar
bodoh,” lagi-lagi kuda itu mengomel sambil menghentakkan kakinya di udara.
“Akses cermin kemana saja telah disegel,” protes Elfgog. Ia tampak
sangat kelelahan menghalau asap gelap yang selalu ingin menerkam mereka.
“Hanya Blasxing satu-satunya cara meloloskan diri...” desak Eric
dengan tak sabar.
“Blasxing?”
157
“Terlalu beresiko,” raung Elfgog. Ia hendak mencegah Eric lebih cepat
tapi ia terlalu letih untuk melakukannya. Hantu itu berhasil melakukan
Blasxingnya yang pertama. Blasxing standart kasar, demikian mereka
menyebut Blasxing spontan yang tidak terkontrol. Serabut-serabut mencuat
menyambar Eric beserta si kuda perak dan seluruh penunggangnya, serta Pedro
dan hantu lain yang menyertainya.
Eric mendesah, “bawa kami semua ke Snowvus, sekarang”
Eric merasakan tarikan kuat dan sangat cepat menyelubungi tubuhnya.
Ia mendekap Flori dengan kepayahan akibat tekanan dahsyat yang
menyebabkan ia terpelanting.
Teriakan, hujatan, dan gesekan pedang yang dibentur-benturkan ke
dinding membangunkan Eric dalam sekejap. Ia mendapati dirinya berada di
belakang pasukan hantu siap tempur yang jumlahnya ratusan ribu.
Flori mencengkeram lengan Eric dengan ketakutan. “Apa aku sudah
mati?”
Eric menggeleng. “Dunia ini menantimu, semua yang kau butuhkan ada
disini. Aku akan melindungimu...”
Gadis itu menangis dengan peluh yang perlahan mengalir melewati
relung matanya. Ia menerawang dengan segala pikiran yang mengikatnya.
Dengan terbata-bata ia mengatakan, “S-sebenarnya aku bukan…” Flori tiba-
tiba terkesiap seakan teringat sesuatu yang menakutkan. Keringat dingin
perlahan menyembul dari dahinya. “Ada kebenaran yang disembunyikan
dibalik punggung dan semua itu membuatku terlibat di dalamnya.”
“Semua sudah jelas!” bantah Eric “Kau Flori keturunan Ghobadi.”
“Aku akan menyatakan yang tersembunyi dibalik semua ini ...”
Flori menjerit. Sebongkah bola api mendarat di depan mereka. Eric
cepat-cepat mengawal Flori pergi dari tempat itu.
“Hei!” sebuah suara meraung mengagetkan. “Setelah duduk di atas
perutku, sekarang kalian meninggalkanku tanpa daya ...”
“Hayden, sejak kapan kau disini?”
158
Hayden menggeliat kepayahan. Eric menolong menarik perutnya yang
tergencet hingga hampir sama rata dengan tanah.
Flori menjerit. Kali ini anak panah api yang berwujud ular telah
menerkamnya jika Elfgog tidak menangkis dengan tongkatnya.
“Cepat menyingkir dari tempat ini!” perintah Elfgog berulang-ulang. Ia
memukul balik anak panah ular itu seperti sedang bermain Baseball.
Eric, Flori dan Hayden berlari kepayahan di tengah hiruk pikuk ksatria
berkuda. Hewan itu meringkik liar sambil menghantamkan kakinya ke bumi
menghindari air yang datang bergulung-gulung dan siap mencengkeram
apapun yang menghalanginya. Teriakan melengking mengiringi suara ledakan
yang datang dalam sekejap. Bola pelindung yang mengelilingi Snowvus pecah
berkeping-keping.
Langit gelap terbelah menampakkan gerbang kelam yang agung
membuka dengan menghembuskan hawa ketakutan hingga hati hampir terlepas
dari tempatnya. Rumput plasma yang teduh, kering kerontang melihat
kenyataan ini. Pepohonan berlari tunggang langgang beserta seluruh serabut-
serabutnya yang menjalar bermeter-meter.
Tanah bergemuruh seperti hendak mengeluarkan benda yang sangat
berat dari perutnya. Laut hitam surut bagaikan ada yang menyedotnya dengan
rakus lalu secara mengejutkan perairan itu menumpahkan makhluk-makhluk
hitam berbadan pendek, rambutnya hanya berjumlah lima helai, dan tangannya
lebih panjang dari tubuhnya, kulitnya bersisik menjijikkan, sementara jari-
jarinya runcing seperti pisau.
“CELAKA!” rengek Hayden sambil menggapai lengan Eric yang
berlari terlampau cepat di depannya. “Makhluk pendosa yang dikubur
diperairan itu bangkit. Mereka sekutu pembesar kegelapan.”
Eric menoleh ke arah timur laut dan ia mendapati cahaya putih
menampar sudut-sudut kegelapan. Sayap putih seakan menaungi Snowvus.
Bulu-bulu kecil berjatuhan menembus plasma lalu menghidupkan rumput dan
bunga yang sebelumya mati ketakutan. Makhluk-makhluk hitam melolong
murka, kakinya yang mungil meleleh dan matanya menjadi buta.
159
“Pedang yang agung,” kata Eric dengan kekaguman yang tampak sekali
menyembul pada wajahnya.
Ribuan pedang itu saling menangkis. Hayden terlonjak kaget, ia
memekik histeris “Emperor! Para Emperor menyatukan kekuatannya.
Periopollux akan bangkit!”
Beberapa masa selanjutnya terdengar suara bergemuruh. Laut hitam
yang surut tiba-tiba menyemburkan airnya dengan satu kali terjangan diiringi
munculnya para burung raksasa yang berbulu hijau lebat. Makhluk itu
berparuh dan bercakar emas menyilaukan, matanya mengkilat kejam,
sementara hidungnya menyedot kuat-kuat mangsa di depannya.
“LINDUNGI WANITA ITU!” Elfgog meraung mengejutkan Eric
Dalam waktu yang sangat singkat, burung culas itu menyambar Flori
menggunakan cakarnya. Eric melesat dengan panik mengejar Flori, tangannya
meraup tanah lalu disemburkannya ke arah makhluk itu.
“Poppo tidak akan melepaskan mangsanya...” kata Hayden sambil
melempar sebilah pedang pada Eric. Ia buru-buru pergi sebelum ksatria prajurit
yang sangat senang menggantungkan puluhan pedang di atas punggung kuda
itu menyadari benda kesayangannya itu lenyap secara tak wajar.
Eric mendapati Pedro yang bertransformasi menjadi elang lalu
bergegas melompat ke punggung Pedro.
“Apa aku terlihat keren?” tanya Pedro dengan bangga
“Yiah ... tapi bukan saatnya untuk menanyakan hal itu”
“Aku tahu.” Pedro melesat menyelusur kaki-kaki langit, sementara Eric
menebas Poppo dengan pedang yang ternyata sangat berat saat diayunkan.
Makhluk buas itu mengerang ketika Pedro menorehkan banyak luka di
punggung hewan itu dengan cakarnya.
Eric melompat bersama pedang perak yang mengacung ke bawah.
“Hati-hati dia bisa mengamuk ...” belum sempat Pedro menelan kata-
katanya, Eric telah membenamkan pedangnya diantara daging punggung
makhluk itu.
160
Eric mengira Poppo akan melepaskan Flori dari cengkeramannya. Alih-
alih burung ganas itu memekik memuakkan lalu gerombolan lainnya datang
dari segala penjuru dengan tergopoh-gopoh.
“Aku harus menyelamatkan Flori,” protes Eric pada Pedro yang
menyuruhnya menyingkir. Ia mencabut pedangnya dengan susah payah.
Burung ganas itu kesakitan dibuatnya, ia meraung dan memberontak dengan
liar hingga menerjang kastil dengan membabi buta.
Poppo meruntuhkan dinding dan pilar yang menjulang dalam sekali
terjangan. Para prajurit yang bernyali kecil berhamburan menyelamatkan diri.
Elfgog melecutkan tongkatnya ke arah gerombolan Poppo lain yang bekerja
keras memburu Pedro. Mereka menyerang balik dengan mengibaskan sayap
yang melontarkan hawa panas.
“BENCANA TELAH TIBA!” Jerit melengking menyeruak di tengah
desah kekhawatiran. Langit tersobek tidak pada diagonalnya, porosnya
mengerut seperti ada sesuatu yang meremasnya, benda berat meluncur
membabi buta dari dalamnya lalu membakar tanah.
“KUMPULKAN KEBERANIAN KITA, LINDUNGI TANAH
KEHIDUPAN INI SELAMANYA, RUNTUHKAN JEMAAH KEGELAPAN
DAN PENGUASANYA.”
Eric terperanjat mendengar suara kakeknya yang penuh ambisi
meluncur di tengah huru-hura kepanikan. Laut hitam terangkat ke langit hingga
menyisakan makhluk-makhluk hitam pendek dengan tangannya yang panjang.
Rambutnya hanya lima helai, telinganya mengatup rapat seperti kerang, ia
tidak memiliki lubang hidung, sementara bibirnya terbentang sangat lebar di
wajahnya.
Laut hitam yang mengering membelah perlahan bagaikan serabut yang
rumit. jaringan jemaah kegelapan berhasil menembus Snowvus melalui media
yang tak diketahui. Makhluk kelam berkerut dengan kepala nyaris berbentuk
segitiga berhamburan melesat secara brutal.
“SERANG!” Quarenci melecutkan kedua tangannya ke depan. Pasukan
dengan kereta kuda melesat sambil mengacungkan pedangnya secara membabi
161
buta ke arah jemaah kegelapan. Para serigala jelmaan Ocupant menerabas liar
sambil menerkam mangsanya lalu mencabik tanpa perasaan. Ksatria berkuda
mencari celah meruntuhkan musuhnya dengan strategi perang yang
mengesankan.
Hayden menerobos kumpulan hantu yang berkelebat menyelamatkan
diri. Api yang meletup dan anak panah yang terbakar mendarat mulus
dipinggir jempol kakinya membuatnya memekik terkaget-kaget.
Snowvus memuntahkan rantai api yang menyalak, membelit air laut
yang mengental di langit. Perlahan cairan sangat dingin menetes dari langit
semenit kemudian jatuh beramai-ramai menghujam tanah. Para makhluk hitam
panik menyelamatkan diri dari kepungan air yang menerkamnya dan
membuangnya ke tempat pesakitan.
“Eric...” Hayden melolong panik. Ia terguling dihantam cairan dingin
yang datang bergulung-gulung. “Eric...” Ia mendesah lagi.
Hayden meronta saat perutnya disambar sesuatu. “Lepaskan aku, ooh,
kumohon aku masih ingin hidup. TIDAAK! TOLOONG…”
“Kau bisa diam sebentar saja?” kata Pedro dengan sengit “Atau kau
kujatuhkan sekarang?” Ia meregangkan cakarnya dan Hayden merosot
beberapa meter ke bawah. Hayden mengiba. “Oh, jangan siksa aku sobat.”
Pedro tergelak tapi hanya lengkingan panjang yang terdengar. Ia
berkonsentrasi menghindari ksatria Ocupant setengah elang yang banyak
berkelebat diangkasa untuk menaklukkan para Poppo yang semakin ganas
setelah salah satu diantaranya terbunuh ditangan Eric.
Langit semakin mengerut. Para makhluk hitam melolong menyambut
sosok yang sedang mencengkeram pedang perak yang membuat para hantu
berjengit tanpa henti.
“BISOLGEDHI ...” raung Hayden disambut kericuhan yang
menggelegak. Para hantu berkelebat tunggang langgang menyelamatkan diri.
“Eric ... dimana Eric?”
“Aku sedang mencarinya,” desah Pedro.
“Bukankah dia tadi bersamamu?”
162
“Ia menghilang begitu saja.” Pedro membela diri.
Hayden membungkam mulutnya rapat-rapat. Matanya yang luar biasa
sipit terbeliak seperti gorden. “Di bawah terlalu ricuh, aku tidak bisa
melihatnya dengan baik.”
“Bersiap mendarat...” kata Pedro sambil menukikkan kakinya
“APA?”
Hayden terkaget-kaget tapi belum sempat ia memprotes Pedro telah
melepas pegangannya. Ia terlempar, terseok, menggelinding seperti bola,
kemudian menabrak kaki yang sangat kaku tak indah.
Ia memberanikan matanya menyelusur ke atas dengan perlahan.
Kematiannya serasa akan terjadi lagi. Ia mendapati Mame Granyo berdiri
mematung terlihat sedang luar biasa ketakutan melihat sesuatu. Sepertinya dia
tidak terkejut saat Hayden menabrak kakinya, tapi tampaknya ada sesuatu yang
membuat raganya tak ada tanda kehidupan.
Sesuatu menyambar bahu Hayden dengan tiba-tiba. Ia lalu berdiri
dengan terhuyung. Pedro mendesis.
“P-Pedro situa tengil ini ...” Hayden berkata dengan terbata. Meskipun
ia telah bertransformasi menjadi hantu normal, Hayden masih merasakan sinar
kebuasan dari matanya. “Apa dia baik-baik saja?.”
Pedro menggeleng lemah. “Aku pikir yang di sana jauh lebih
dramatis.”
Hayden menoleh ke arah mata tajam Pedro memandang. Ia nyaris
memekik tanpa suara.
Geffon membelit leher Flori dengan tongkatnya yang menggeliat
seperti ular. Gadis itu nyaris sesak nafas, mulutnya membuka, sementara
lidahnya terjulur keluar. Eric terpental ketika melewati ambang zona lingkaran
yang mengelilingi Geffon dan Flori. Ia meraung marah, menyambar pedangnya
yang tersungkur di tanah, bersama gejolak emosi yang meletup ia menerjang
dan menghujamkan pedangnya ke arah peramal itu. Lagi-lagi dia harus terima
tubuhnya terpelanting dengan luka bakar dibahunya. Ia bangkit dengan
163
bersandar pada pedangnya. Matanya bergetar ikut merasakan gejolak amarah
yang berkecamuk luar biasa.
“Aku tidak terima dengan semua ini,” Eric memutar pedangnya lalu
bersiap mengayunkannya seperti teknik melempar tombak ke arah hewan
buruan. “Kau yang pertama kali pantas untuk kubunuh!”
“ERIC…”
Naydelin menubruknya sebelum Eric sempat melempar pedangnya.
Mereka tersungkur menghujam tanah yang terbakar.
“Dasar Bodoh! Apa yang akan terjadi jika pedangnya melompat balik
ke arahmu. Kau bisa musnah terbakar...”
“Apa pedulimu,” sembur Eric dengan suara yang bergetar. “Aku tidak
akan bisa memaafkan diriku jika Flori harus mati terhina di tangan peramal
itu.”
Naydelin menampar Eric. tampaknya ia sedang menahan berliter-liter
air dimatanya. “Kau salah. Selama ini kau salah mengerti. Tapi aku tidak
pernah menyesal mengorbankan segalanya demi kau!”
“Kau naksir aku?” suara Eric melompat dengan sinis.
Naydelin tak berkomentar apapun. Ia menyambar pedang yang
tergeletak di samping lengan Eric.
“Hei, apa yang kau lakukan?” teriak Eric tidak sabar “Biar aku yang
melakukannya sendiri. Dia kakakku.”
Eric hendak merebut pedang itu tapi Nade menggunakan sihir untuk
mendorongnya hingga terjatuh.
“Kau tidak tahu apa-apa tentang siapa yang kau perjuangkan,” Nade
mengacungkan mata pedangnya keleher Eric. “Seharusnya aku menyadari dari
awal dan menolak konspirasi ini karena kau terlalu bodoh untuk memahami
semua yang terjadi.”
“Aku tidak punya banyak waktu mendengar pidatomu. Apa kau ingin
melihat orang yang kau sayangi dibunuh peramal tak berperasaan itu? Apa kau
tahu, eh? Dialah yang merencanakan kematianku. Dan kini giliran Flori ...”
“CUKUP”
164
Naydelin mendorong Eric dengan sihirnya lagi hingga tersungkur di
tanah lalu dilemparnya pedang itu ke arah Geffon dengan membabi buta.
Benda itu berdesing seperti menabrak logam yang tak terlihat, kemudian dalam
sekejab terpelanting kembali ke arah pelemparnya.
“NAYDELIN ...”
Coda menubruk tubuh Naydelin, pedang itu melesat nyaris mengenai
kepala Coda (beberapa helai ujung rambutnya terbakar). Mereka berdua jatuh
di atas tanah diiringi percikan api yang berasal dari pedang perak yang
menancap di tanah.
“Seharusnya kau berkorban untuk dia yang dapat mengukur nilai
pengorbananmu.” Coda mendesis sambil menatap tajam ke arah Eric. Eric
menduga mata Coda bisa meloncat menancap ke arahnya kapan saja.
Getaran tiba-tiba merantakkan tanah, dentingan pedang dan ledakan
kesakitan saling berkejaran dan semakin menyayat hati. “Perang tidak
seimbang ...” Arturus melecutkan pedang Naisopollux-nya. Ratusan percikan
api yang menyerupai serigala menerkam makhluk hitam yang bertanduk
lengkung.
Sesosok Satanic melangkah kecil dengan irama yang sangat cepat, ia
melontarkan anak panah dengan busur emasnya yang kokoh. Sebuah anak
panahnya melesat seperti api yang menyerupai burung elang lalu menerkam
puluhan makhluk hitam yang mendesis kepadanya.
Nade menyambar pedang perak yang terpekur di dekatnya
“Eric...” Nade melempar pedang ke arah Geogle itu. Ia tertawa ganjil
ketika Eric menerimanya dengan gugup. Ia bernyanyi kecil dengan suara
dalam yang menghentak di dalam dada Eric.
Karena ia telah tahu semuanya,
Ia menolak yang lain, meski
Aku telah melampaui sedikit waktu untuknya
Dibalik itu ia tetap tidak tahu
Sebenarnya aku merintih, tapi
165
Ia membiarkanku memahami
Arti pengorbanan dan bersamamu adalah
Harapanku, harapanku, harapanku ...
“Jadi Naydelin naksir Eric?” Hayden berbisik pada Pedro.
Pedro membalasnya dengan gumaman tak jelas.
Hayden mengumpat tak berujung. “Hei, kenapa kau pukul kepalaku?”
“Eh?” Pedro terbengong.
“Kau memukul kepalaku...”
“Aku yang memukulmu,” suara itu membuat Hayden melompat kaget.
Ia menoleh dengan sangat cepat
“K-Kau?”
Classy mengikik penuh kemenangan. “Hati-hati kalau bicara, Eric
adalah kekasihku.”
“Apa?” Hayden dan Pedro memekik bersamaan. Mereka terbengong
beberapa saat seperti orang tolol.
“Aku membawakan ini untuk kalian” Classy meraih tangan Pedro
“Samurai untuk ksatria Ocupant”
Pedro menerimanya tanpa suara, digenggamnya benda itu sambil
sesekali dikibaskan ke udara. Percikan bunga api meletup mengejutkan.
Classy tersenyum puas melihatnya. “Dan ini untukmu”
“Cemeti?” Hayden menyeringai jengkel. “Hei, kau pikir aku pawang
kuda?”
“Kau mau terima atau tidak?” Classy masih mengulurkan tangannya
pada Hayden
“Aku mau pedang yang itu”
“Tidak bisa, ini punyaku!” Sekali lagi ia tersenyum penuh kemenangan
sambil memamerkan pedang perak yang mirip dengan pedang Eric. “Kalau kau
pakai ini bisa mencemarkan nama baik dunia perpedangan.”
“Apa katamu…”
166
Lolongan membabi buta merusak konsentrasi yang susah payah
diciptakan. Hayden tersedak karena tiba-tiba harus menelan lagi sepasukan
kata-katanya untuk Classy.
“Peramal kaparat!“ Eric menerjang para makhluk hitam yang
mendengking-dengking. Amarah telah menguasai ubun-ubunnya. Segala
penghalang dihajarnya dengan pedang hingga tubuhnya terbakar dan saling
tercerai.
Geffon melarikan Flori yang tak berdaya berada di cengkeramannya.
Mereka melesat menyeruak di tengah pertempuran. Eric mengejarnya tanpa
peduli apapun yang berada di hadapannya. Ia menjadi lebih gila daripada
Poppo yang kelaparan.
“Eric...”
Suara itu terdengar kecil diantara kegaduhan yang saling memberontak.
Eric mendengarnya samar-samar dan ia sangat terkejut ketika sesuatu
mendorongnya dengan sangat emosional. Ia tersungkur, terguling di atas tanah
yang hitam terbakar. Dengan kemarahan yang masih menandak-nandak di
dahinya, ia menoleh dan mendapati tubuh Naydelin menjatuhinya dengan tak
berdaya.
Coda melolong panik meneriakkan nama Satanic itu dari kejauhan.
“Dia terkena ranjau setan,” raungnya. “Hanya ada satu pemilik ranjau setan di
dunia ini ...”
Ia melesat menerjang segala yang menyusahkan jalannya. Makhluk
hitam yang bertanduk itu terpelanting ketika Coda menubruknya dengan semua
tenaga kecemasan.
Eric merasa bagai ditikam pedang bertubi-tubi. Nade melindunginya. Ia
mengorbankan dirinya lagi. Kenapa ia tidak menggunakan sihirnya untuk
membuatnya terjatuh, terpelanting, atau terhempas. Ia selalu melibatkan diri
dalam bahaya untuknya. Pikirannya menjadi benar-benar rumit. Bagaimanapun
tidak ada makhluk bodoh di dunia ini yang mengorbankan dirinya untuk
makhluk lain tanpa ada kepentingan. Tanda-tanda bodoh ataukah sudah sangat
167
bodoh, gumamnya putus asa. Tapi perasaannya beradu, antara benar dan salah,
Naydelin pasti sedang tergila-gila padanya.
Ranjau setan seolah telah menggerogotinya dengan perlahan. Tubuh
Nade menjadi samar, lalu menghilang seperti ditelan sesuatu yang tak terlihat.
Coda menjerit sejadi-jadinya. Jemarinya merayap gemetaran di tempat Nade
lenyap. Setelah puas memastikan Naydelin tak muncul lagi, ia kemudian
menghampiri Eric dengan kepala menandak-nandak.
Eric memilih tidak melakukan perlawanan ketika Coda menyambar
lehernya. Ia dapat merasakan dengkur amarah sahabatnya itu.
Pedro memenggal kepala makhluk hitam berkerut yang mencuri
kesempatan menusuk Coda dari belakang. Sementara itu Classy dan Hayden
sibuk menenangkan Coda yang bertambah buas.
“Hei, Master Quarenci pasti akan berhasil menyelamatkan Naydelin.
Bisolgedhi bukan apa-apa baginya. Kau tenanglah sedikit,” ujar Hayden
dengan khawatir. Ia dan Classy bersusah payah menjauhkan mereka namun
lengan Coda sangat keras seperti kayu.
“D-dia kesakitan ...” Classy merintih
“Nade merasakan sakit yang lebih parah dari pada ini!” teriakan Coda
melontar beringas. Jakunnya seolah turut meloncat ke wajah Eric. Ia semakin
merapatkan cengkeramannya hingga kuku panjangnya yang tajam menembus
plasma korbannya secara perlahan. “Mengapa Nade harus selalu melindungi
dia? Mengapa ia berkorban apapun untuknya? Apa pentingnya dia untuk
Nade?”
Eric menyeringai. “K-kau cemburu.” suaranya terdengar patah.
Cengkeraman Coda semakin brutal menyerangnya.
“Karena Eric adalah adik Naydelin yang sebenarnya,” Classy menjerit
dengan berurai air mata. “Maafkan aku...”
Seulas tangan menyentuh lengan Coda dengan lembut. Patred itu
segera terjatuh lemas di tanah. wajahnya tertunduk pasrah.
“Ibu,” Eric terbeliak hingga bola matanya nyaris menggelinding, “Aku
sulit percaya jika Naydelin...”
168
Wanita itu mendekap Eric dengan sangat erat. Ia merasakan kehangatan
yang menentramkan segala-galanya.
“Benar. Semua itu benar.” Wanita itu terisak. “Kami melakukannya
demi kau.”
“Apa maksudnya demi aku?”
“Maaf, maafkan aku,” ujarnya dengan suara parau. “Kami tak bisa
menceritakannya. Percayalah semua ini terbaik untuk kita.”
“Tapi mengapa semuanya diam, kalian menyembunyikannya dariku.
Kalian membiarkan aku mengambil tindakan yang salah.”
Eric merasakan dadanya bagai dihantam benda berat.
“Kelak kau akan mengerti dengan sendirinya. Jangan menempatkan diri
sebagai korban situasi, anakku.” Wanita itu menegakkan kepala putranya. Eric
dapat melihat wajahnya dengan jelas, wajah yang sama sekali tidak berbeda
dengan sosok wanita yang mempesona ketika di pengadilan pemutusan nasib.
Ia menatap Eric dengan sangat dalam seolah mampu menembus hatinya.
Eric terdiam sejenak. Tanpa berkata apapun ia menyambar pedang
perak yang tergolek di tanah. Jemarinya meremas dengan angkuh dan kakinya
menghentak dengan beringas. Ia tersenyum dibalik matanya yang lama-lama
menjadi merah mengkilat.
169
Bab 26
Mata EmperorClassy dan Hayden memekik nyaris tanpa suara. Pedro berdiri
mematung bagai melihat Einstein bangkit dari kubur di hadapannya.
Sementara Coda menatapnya tanpa ekspresi. Para makhluk hitam berlarian
menyelamatkan diri ketika melihat mata merah itu.
Eric memutar pedangnya ke arah langit. Sinar merah matanya
dipantulkan oleh pedang perak ke penjuru timur. Seperdetik kemudian ia
berkelebat ke arah timur. Tidak ada musuh yang lepas dari sambaran
pedangnya. Segala yang didepannya dihabisi dengan strategi perang yang
menakjubkan.
Bisolgedhi menangkis serangan Eric, kedua pedang mereka beradu
hingga menimbulkan letupan bunga api. Untuk beberapa saat mereka tak bisa
saling menumbangkan. Eric berhasil menusukkan pedangnya ke lengan sang
pawang hantu itu, namun satu masa selanjutnya Bisolgedhi mengunci gerakan
lawannya. Ia menghunuskan pedangnya nyaris merobek leher Eric.
“Ghobadi junior, sungguh sangat susah menangkap makhluk
sepertimu.” Sang pawang hantu tertawa mengerikan. “Mata emperormu
membuatku semakin ingin memilikimu.”
“Lepaskan Naydelin dan aku akan ikut denganmu,” ujar Eric sambil
meremas pedangnya. Ia bersiap menerjang Bisolgedhi saat lawannya itu
lengah. Namun tampaknya momentum itu tidak mungkin terjadi karena
Bisolgedhi sangat mewaspadai setiap gerakan Eric.
“Tawaran yang menarik…”
170
Coda tiba-tiba menikam sang pawang hantu dari belakang. Hatinya
sangat gemetaran ketika melakukannya. Namun perbuatannya membuat
Bisolgedhi roboh begitu saja di tanah.
“Aku berhutang hidup padamu,” seru Eric seraya meraih Naigan yang
terkapar di tanah. Ratusan hantu tiba-tiba berebut keluar darinya, seekor
beruang jelmaan Ocupant menunduk berterima kasih, kemudian ia menghilang
begitu saja. Beberapa Satanic muncul bersamaan, mereka mengikik
melengking merayakan kebebasannya.
“Aku tidak bermaksud menyelamatkanmu” Coda menyeruak di tengah
kumpulan Satanic itu. Ia mulai gusar. Naydelin tak ditemukan diantara
gerombolan itu. Bibirnya bergetar. “Semula aku tidak bisa terima jika Nade
berkorban karena mencintaimu, tapi aku lebih tidak bisa menerima jika
ternyata pengorbanannya sia-sia. Mengapa kau tidak mencari tahu siapa orang
yang seharusnya kau cari? Dan kenapa kau tidak pernah menyadari jika dia
yang harus kau lindungi ada didekatmu? Kau tidak pantas menjadi Emperor.”
Gerombolan kata-kata itu menghujam perasaan Eric. Kekacauan
meruap di otaknya. “Seharusnya kau mengatakan bahwa aku tidak pantas
menjadi adiknya.”
Coda mencemooh dengan roman muka merendahkan. “Seharusnya kau
bisa menyadarinya lebih awal. Dia terlalu rapuh untuk menyimpan semua
masalahnya sendiri. Dan berulang kali kau membuatnya celaka…” Coda
hampir-hampir kehilangan suaranya.
“Aku memang bersalah. Tapi kau harus tahu, kami sama-sama
terluka…”
Classy mendekap punggung Eric. Ia merasakan kehangatan
menyelubungi tubuhnya. “Seharusnya kalian bertanya mengapa dia tidak
menceritakan semuanya dari awal?”
“Lepaskan...” kata Eric pada Classy. “Aku tidak suka pada siapapun
yang menyalahkannya.” Ia melepaskan belitan Classy dengan paksa.
“Aku tidak bermaksud menyalahkan dia atau siapapun.” Classy
membela diri
171
“Tapi kau diam saja padaku sejak semula. Kau sengaja membiarkanku
terjebak pada kesalahan yang tidak bisa diampuni.
“Itu karena ...”
“Karena apa?” Eric membentak
Classy terdiam. Mulutnya terasa ngilu untuk mengatakan sesuatu. Ia
menengadah langit agar air matanya tidak meluncur deras. “Takdir Ghobadi.”
“Apa?” sepotong kata melesat dari kerongkongannya. Eric mendesah
frustasi. Mimpi buruk seolah telah memanggilnya dengan paksa. Tragedi
menjelang kematiannya berputar di otaknya. Ketika ia benar-benar merasakan,
sesuatu telah mendorongnya hingga ia terjatuh. Semua seperti takdir yang telah
direncanakan.
Beberapa saat kemudian Eric baru menyadari, Jove berteriak sambil
mengguncang bahunya. “Eric, keadaan semakin tidak memungkinkan untuk
bertahan.”
Eric menyapukan mata ke sekelilingnya. Ia mendapati tanah tempatnya
berpijak membelah perlahan memisahkan kedua kakinya. Ia mengalihkan
pandangannya ke langit yang berputar bagaikan sedang dihisap oleh sesuatu
yang maha rakus. Laut hitam merayap dalam sela tanah, mereguk ketidak
berdayaan.
Rintihan keterkejutan menyeruak bersamaan dengan ledakan cahaya
yang merontokkan nyali. Poppo terguling di udara lalu menghantam Snowvus
hingga salah satu menaranya hancur dengan remah-remah yang berjatuhan ke
tanah.
Eric mendekap Classy dengan sangat erat seolah ia sangat ingin
menenangkannya ketakutannya. Perasaannya berdebam tidak karuan,
sementara gadis itu terisak dalam pelukannya.
“Aku benar-benar mencintaimu”
Eric tak menyahut. Jantungnya seolah kembali berdetak membuat
plasmanya bergejolak tak tenang. Tapi ia segera tersadar waktunya tidak
banyak lagi. Perlahan dilepaskannya tangan Classy yang mengikat lehernya.
Disekeliling tanah berkeretak sedikit demi sedikit.
172
Jove menyambar lengan Eric.
“Bukan waktunya bercinta sobat,” dengusnya “Jemaah kegelapan
berhasil menduduki Snowvus.” Pedangnya mengacung, bergetar. Kulit
lengannya robek tiga senti. Luka bakar yang sangat menyakitkan.
Eric meraih lengan Jove lalu menatapnya seolah hendak melahap lawan
bicaranya.
“Darah hitam,” Suaranya meninggi melengking. “Siapa kau
sebenarnya?”
Jove menarik kembali tangannya, “Aku ... aku tidak tahu.”
Eric menyambar tangan Jove lagi. Ia mendapati simbol kutukan pada
telapak kanannya beserta cincin kecil menyala menantang diantara jarinya
yang besar. “Aku baru melihatnya. Siapa kau?”
“Aku tidak tahu ...” ulang Jove dengan suara bergetar
“Katakan sebelum aku melenyapkanmu.” Eric mengacungkan Naigan
ke leher Jove. “Kau mata-mata suruhan Bisolgedhi, heh?”
“Harus berapa kali kukatakan?” katanya dengan nada meledak. “Aku
tidak tahu. Aku tak tahu siapa aku. Aku tak mengenal diriku sendiri.”
Eric menurunkan pedangnya. Ia sungguh merasakan penderitaan yang
luar biasa saat harus menjawab pertanyaan tentang siapa dirinya, tapi ia tidak
tahu.
“Aku juga tidak tahu siapa diriku.”
“Tapi kau lebih beruntung,” timpal Jove
Eric menyambar tatapan Jove. Mata mereka beradu seolah saling
menerkam. Seperti ada sesuatu yang menarik penglihatan dan perasaan
mereka. Eric mendapati siluet Jove sesaat sebelum kematiannya. Kisah-kisah
yang berjempalitan menuntut rasionalitas hingga Jove tertekan dalam batinnya.
Bunde Gaea yang lenyap begitu saja. Selimut kutukan seolah menyelubungi
hidup Jove.
Eric segera mencabut mata Emperornya. Sebuah penglihatan yang
mengerikan. Bibirnya bergetar, tangannya mengepal meremas pegangan
Naigan dengan kalut.
173
“Nankai Gouduge yang membunuhmu?” Eric bergeming. “Ia membuat
kau menikam dirimu sendiri.”
“Nankai Gouduge?” tanya Classy dengan terkejut hingga kedua alisnya
saling beradu.
“Kau Putra Gouduge dan Gouduge telah membuatmu membunuh
dirimu sendiri berharap kau kelak akan berpihak padanya?” Eric tetap
bergeming. Ada banyak pikiran yang mengendap dalam kepalanya.
“Hei, Gouduge adalah dewan pertahanan di Snowvus. Ia kawan baik
Master Quarenci.” Classy hendak mengoreksi Eric.
“Dia pembesar kegelapan.” Eric berteriak melengking. “Aku bisa
melihatnya dari mata Jove.”
“Mustahil…”
“Sekarang aku mengerti siapa agen ganda di Snowvus. Oh, Sial!
Lolongan Eric terkubur bersamaan dengan gemuruh runtuhnya
atmosfer feifer. Langit seperti diremas hingga lapisannya berkerut-kerut. Ada
sisi tak terbatas di sepanjang batas pandangan mereka, disanalah hantu
menjerit bersahutan. Mereka lenyap selama-lamanya di dunia tanpa batas.
174
Bab 27
KudetaEric menyelinap dari pandangan Classy. Ia menerobos kolong kastil
yang dindingnya kusam tersepuh plasma yang terbakar. Pikirannya berderit
membayangkan keadaann Flori dan Naydelin.
Ia melesat di atas Hoyerdup yang telah mengering. Pohon plasma
tercabik bersama tentakel liarnya. RerunDewaa batu kecil menimpa kepalanya
dengan bergantian. Eric menerngadah, matanya menyempit menyaksikan
jembatan dengan pemberat batu mengeropos perlahan.
“ERIC ...”
Teriakan yang sangat mengejutkan namun belum sempat Eric menoleh,
lehernya telah disambar oleh sesuatu. Sejenak kemudian ia sadar, Hayden
sedang menjinjing lehernya sementara Pedro yang bertransformasi menjadi
elang melesat menyeimbangkan sayapnya diantara dinding yang berjatuhan.
Eric bergegas memanjat punggung Pedro.
“Lehermu sangat altetis, sobat,” kata Hayden sambil menoleh ke arah
Eric di belakangnya.
“Yeah, setidaknya kau tadi tidak menyambar kepalaku... Hei, awas
kepala!”
Eric menunduk sambil berusaha membenamkan kepala Hayden, tapi
tampaknya penyelamatan itu tidak berhasil. Kepala bundarnya menghantam
atap lorong yang tidak terlalu tinggi.
Hayden meringis. Menyeringai sambil mengelus kepalanya yang
menjadi setengah datar.
“Oh, maaf Haydi,” kata Pedro dengan menyesal. “Kita tidak memiliki
banyak waktu lagi.”
175
“Hey, kalian hendak membawaku kemana?”
“Jemaah kegelapan telah berhasil menduduki Snowvus”. Suara Hayden
melengking ketakutan. “Aku tidak mau jadi budak pembesar kegelapan.”
“Bukan itu saja masalahnya,” timpal Pedro dengan menambah
kecepatan terbangnya lalu tiba-tiba menukik dan bertengger diantara teralis
jendela di salah satu menara kastil. “Master Quarenci ...”
Eric mengernyitkan dahinya. Pedro bertranformasi normal kemudian ia
memanjat Hoyerdup kering yang menempel pada dinding kastil diikuti Eric
dan Hayden di belakangnya. Mereka mendarat di balkon yang telah rapuh.
Diantara kerangka pintu yang kacanya telah pecah, Eric mendapati
beberapa sosok berjubah hitam berdiri mengelilingi perapian yang
menyemburkan api hijau. Eric terbeliak saat matanya menangkap bayangan
kakeknya menyembul di tengah mereka.
“Posisimu telah terpojok, Quarenci,” kata salah satu jubah hitam yang
bersuara berat. Ia bertubuh agak mungil dibanding yang lain. Eric menduga ia
adalah Geffon.
Pria tua itu tertawa ganjil. Sepertinya ia berusaha menutupi
kecemasannya. “Aku tak pernah menyadari jika kalian menusukku dari
belakang menggunakan reinkarnasi waktu.”
Si jubah hitam yang berdiri di depan gerbang melecutkan pedang yang
mirip Naigan hingga membentur lantai. Eric menduga sosok itu adalah
Bisolgedhi. Bukan. Itu bukan Naigan atau dia bukan Bisolgedhi. Eric
memperhatikan Naigan hasil rampasannya dari tangan Bisolgedhi sedang
berada di genggamannya. Kepalanya serasa berderik. Pedang si makhluk jubah
hitam sama seperti Naigan tapi mustahil ada dua Naigan di dunia ini.
“SIMPAN OMONG KOSONGMU!” si jubah hitam melontarkan
pedangnya ke arah Quarenci. Pada waktu yang hampir bersamaan pedang itu
kembali ke tangan pemiliknya setelah meninggalkan luka bakar pada wajah
korbannya.
Pedro dan Hayden cepat-cepat menahan bahu Eric ketika ia nyaris
melompat di tengah para jemaah itu.
176
“Hei, kau waraslah sedikit,” tuntut Hayden. Ia buru-buru menyambar
kata-kata Eric. “Master Quarenci selalu bisa melindungi dirinya sendiri. Dia
tahu kapan harus melawan atau bertahan.”
Pada arah yang tak terduga, sebongkah kekuatan mendorong pintu batu
hingga permukaannya retak. Segala mata melecut ke arah sumber keributan.
Eric merasakan tarikan keterkejutan yang luar biasa. Lima makhluk
berkerudung besar sekonyong-konyong memasuki ruang itu.
“Maaf agak sedikit terlambat, jaringan penghubungnya terputus.”
“Ayah ...” desah Eric. Ia hendak melompat ke tengah jemaah tapi Pedro
dan Hayden buru-buru menahannya lagi.
“Jangan mencelakakan diri sendiri,” kata Pedro.
Eric mendengus. Ia merasa berhak berada diantara mereka, bertarung
sebagai ksatria yang sebenarnya.
“Hei, lihat...” Pedro menunjuk langit. Jemaah makhluk berkerudung
besar berkelebat menunggangi cahaya. Beberapa cahaya tidak berproporsi
normal sehingga arusnya berkelok-kelok tak terkontrol. “Lucifer.”
Hayden melongok ke atas dengan tatapan terpesona. “Kelak aku ingin
pindah kebangsaan menjadi Lucifer.”
Eric menggunakan kesempatan itu untuk merangsek ke tengah jemaah.
Pikirannya yang kacau seolah mengendalikan tindakannya secara spontan. Ia
tiba-tiba merasa sangat menyesal melakukan perbuata bodoh itu. Keadaan
berbalik tidak menguntungkan.
Sekejap salah satu jemaah jubah hitam melecutkan tangannya ke arah
Eric. Ia tak sanggup menghindar dan terhempas melewati balkon. Ingatan masa
lalu berkelebat menolehkan luka yang lebih perih.
Ia serasa terbuang pada memori yang terlupakan. Disekelilingnya
orang-orang berstelan hitam hilir mudik menepuk bahunya dan beberapa
memandangnya dengan kasihan. Sesaat Eric menyadari, ia berada diambang
waktu pemakaman ayahnya. Ketika ia merasakan sebatang kara di dunia,
terombang-ambing dalam kepedihan, sebuah suara menyergap kesadarannya.
177
Gadis itu berambut ikal yang dikucir tinggi, ia melambai kearah Eric
dari atas Bentley hitam dengan jendela terbuka. “Eric jaga diri baik-baik” Ia
buru-buru mengusap air mata dengan punggung tanggannya.
Eric melihat seorang nenek berjalan dengan gesit lalau masuk kebagian
kemudi. Eric hendak mengejarnya, namun seseorang menerkam bahunya.
“Ayo kita pulang,” kata laki-laki yang menahannya
“Tidak, apa yang akan dilakukan Geffon...”
“Jangan jadi pembantah”
Eric ingin memberontak namun ia merasa tenaga yang dimilikinya
amat kecil. Beberapa saat ia mulai menyadari telah berada dalam tubuh
mungilnya ketika berumur dua belas tahun.
Bahunya kembali dipelintir oleh tenaga yang berat. “Dengar baik-
baik,” Sekarang Eric dapat melihat pria dengan janggut lancip di depannya.
Mata orang itu seakan menggeliat mencari jalan untuk menikamnya dalam
ketakutan. “Kau ahli waris Ghobadi. Dengan terpaksa aku memeliharamu
karena harta orang tuamu sangat banyak. Bukan ...bukan karena itu lebih
tepatnya ... orang tua kerdil itu mengancam akan membunuh kita ...”
“Kenapa kau takut dengan seorang perempuan tua?”
“Panggil aku Tuan Warthog,” kata-kata pria itu meledak sampai-
sampai air liurnya mendarat di wajah Eric. “Kau tak paham sopan santun
rupanya.” Ia langsung berhenti berucap beberapa saat sebelum ia melanjutkan
dengan suara bergetar. “Darimana kau tahu peramal itu adalah seorang
perempuan?”
“Karena Flori tadi bersama dia dan kau membiarkannya,” Ia buru-buru
menambahkan. “Tuan Warthog.”
Pria itu nyaris memukulnya namun si wanita buru-buru menahan
lengan pria itu. “Jangan disini, sayang. Apa kata orang jika kita menganiaya
bocah yatim piatu ini. Bukankah kita bisa menghajar dia sepuasnya di rumah?”
Eric menelan air liur yang banyak tertampung dari mulutnya
“Dia perlu diberi sedikit pelajaran, Tena,” kata si pria dengan wajah
merah menyala. Tangannya siap terayun lagi.
178
“Kau mungkin bisa menghindari apa yang akan terjadi tapi kau tak bisa
mengkhianati takdir.”
Wanita bernama Tena itu mendesis lalu menyerbu telinga Eric. “Kau
harus membayar mahal ucapanmu. Lihat saja nanti, tak ada makan malam
gratis.”
Eric merasa jiwanya terpelanting dan menyisakan perih yang dalam.
Telinganya serasa mau pecah mendengar jeritan atau lebih tepatnya lolongan
kengerian. Ia memaksa diri menguasai keadaan. Didapati tangannya
mencengkeram Naigan yang beringas. Situasi tak terkendali, kekacauan
berkecamuk seolah tak pernah ada kedamaian sebelumnya.
“Eric,” suara Hayden dan Pedro saling bersahutan bersama kengerian
yang menyelubungi.
Pedang itu memercikkan api biru lalu bertransformasi menjadi singa.
“Naigan telah menemukan pewarisnya,” kata pria besar yang duduk
sama rendah dihadapan Eric. Diperhatikannya Naigan yang meronta-ronta di
tangan geogle itu.
“Pewaris Naigan? B-bukan Periopollux?”
Arturus tersenyum, “Kau yang memilihnya.”
“Elfgog telah melepasnya. Pedang ini yang memilihku.”
“Bukan. Percayalah. Hidup bukan pilihan tapi memilih, nak.” Pria itu
terkekeh bijak. “Bisolgedhi telah membuat kesalahan besar. Ia memangsa
pewaris pedang rampasan itu sendiri. Ia telah membangkitkan dua pedang yang
lain untuk melawan.”
Arturus merentangkan tangannya ke udara lalu mengibaskannya ke
timur. Singa berwujud api biru menerjang budak pembesar kegelapan tanpa
ampun. Terkamannya membakar, taringnya mengoyak menyakitkan,
sementara raungnya merobek telinga.
“Lepas cengkeramanmu, Eric”
Naigan melesat bertransformasi menjadi elang emas. Sayapnya lebih
lebar dari Poppo, dalam setiap kepakannya bulu-bulu bertebaran menerkam
makhluk hitam.
179
Eric terkagum-kagum. Ia melihat ke arah Arturus yang mengendalikan
Naisopollux dengan gagah. Ekor singa melibas leher Bisolgedhi lalu
menghempaskannya hingga merobohkan puluhan prajurit pembesar kegelapan.
Ia melihat Bisolgedhi merajam kemarahan, uratnya menggelepar
disepanjang kulit. Raungannya tampak mengerikan disusul serbuan bayangan
gelap yang membakar tanah.
Jove menghunuskan pedang hendak disabetkannya pada Bisolgedhi
namun sesuatu tiba-tiba menyambar perut Jove sebelum seutas anak panah
nyaris mengoyak kepalanya. Anak panah itu terbakar diudara setelah mendesis
galak karena korbannya berhasil meloloskan diri.
“Hati-hati, nak,” kata Elfgog tanpa melihat Jove.
“Aku berhutang hidup padamu.” Ia menyambar pedang yang
menggelepar beberapa inchi dari tangannya.
Eric melesat mengejar Naigan yang melesat tanpa bisa dikontrol.
Pedang itu menghilang lalu muncul lagi diantara peperangan yang sedang
berkecamuk. Waktu seakan berhenti sejenak membiarkan Eric menguasainya
beberapa saat.
Perang kembali berkecamuk saat Eric berada di seberang setelah
berhasil menerobos sekumpulan keganasan yang menyatu. Ia merobohkan
tubuhnya begitu saja di tanah. Ia memandang beku dibalik rimbunan semak
hayerdup yang hangus terbakar. Matanya seakan sedang mengupas sesuatu
yang membuat hatinya kebas.
Quarenci terpasung dengan tatapan kosong. Gouduge bertransformasi
dalam bentuk ular lalu melilit tubuh tak berdaya itu. Coda menebas leher
Quarenci dengan pedang perak yang dilemparkan Geffon padanya. Plasma pria
tua itu terbakar dan terurai bersama rongga udara yang tak tampak.
Segala sesuatunya berlangsung sangat cepat. Eric tak mampu berbuat
apa-apa seakan kakinya tetanam di tanah selamanya. Ia membenci dirinya
sendiri. Pecundang yang tidak berguna.
180
“Semua telah selesai.” Coda melempar pedang penjagalnya pada
Geffon. Ia lalu berlutut di depan Gouduge diikuti Naydelin di balik
punggungnya.
Gouduge tertawa melengking disambung tepuk tangan Bisolgedhi. Ia
bertransformasi normal lalu menghisap semua makhluk budak hitamnya
hingga membuat laut hitam mengamuk.
“Kau akan mewarisi Periopollux,” kata Geffon pada Coda nyaris tanpa
suara setelah Nankai Gouduge dan Bisolgedhi meninggalkannya. “Tetaplah di
sini, engkau adalah penguasa selanjutnya.”
Suasana semakin kacau ketika pasukan hantu menyerbu tempat itu.
Eric melompat begitu saja dari persembunyiannya. Tenggorokannya serasa
mau meledak untuk mengatakan bahwa ia telah memergoki pengkhianat keji
yang menjijikkan. DIA YANG MEMUSNAHKAN PEMIMPIN KALIAN. DIA
MENJAGALNYA…
“Geffon yang melakukan ini semua, peramal itu!” Sebuah suara
mendahului Eric. “Dia memenggal Master Quarenci.”
Naydelin. Eric terguncang. Akal sehatnya tidak bisa mempercayai hal
bodoh ini. Bahkan Naydelin pun berpihak pada penghianat. Lidahnya serasa
dicengkeram sesuatu yang tak tampak. Teriakannya tersangkut ditenggorokan.
Hayden menepuk pundak Eric sementara Pedro mencengkeram
lengannya yang membeku.
“Aku pernah mengalami tragedi mengerikan seperti ini.”
Eric berbalik. Ia menemukan mata Jove menatap tegas padanya
“Mereka berkhianat...”
“Aku mengerti!”
Eric terperangah dalam jeda.
“Aku bisa melihatnya dari matamu,” kata Jove lagi
Hayden menjerit tertahan. Tangannya mengerat pundak Eric. “C-coda
menggantikan posisi Master Quarenci...”
Eric melecutkan mata di tempat Coda berdiri. Keseluruhan pasukan
hantu berlutut pada penguasa mereka yang baru. Meski tidak bisa melihat
181
dengan jelas, Eric menduga cahaya yang melesat berkali-kali ke langit adalah
pertanda kebangkitan Periopollux yang menemukan pengendalinya yang baru.
“Dia menghabisi kakek hanya demi Periopollux? Dan Nade...mereka
semua berkhianat untuk...”
Eric tak menyelesaikan kata-katanya. Ia menerjang ke tengah jemaah.
Disambarnya Naigan yang menancap di atas bumi. Ia hendak menikam Coda
dari belakang, namun jeritan dramatis sesosok perempuan terburu
menggagalkannya.
Jove dan Pedro menarik paksa tubuh Eric meskipun ia menggelinjang
penuh penolakan. Hayden menyambar lengan Classy yang mematung seperti
makhluk idiot. Mereka berlarian menerabas jemaah hantu yang saling ingin
mengetahui keadaan yang baru terjadi. Situasi semakin mengancam saat satu
lusin prajurit bertubuh kuda mengejar mereka sambil memutar-mutar rantai
baja.
“A-aku tidak percaya semua ini...”
Classy tidak meneruskan kata-katanya. Ia melesat dengan kecepatan
yang luar biasa hingga suaranya terdengar patah-patah.
“Hei, lihat itu!” Hayden mengacung ke arah timur laut. Cahaya berekor
bermunculan berbondong-bondong. Hayden dan Classy berhenti lalu berbalik,
melihat apa yang sedang terjadi di belakangnya.
Para prajurit berkuda tumbang satu demi satu seakan ada makhluk
raksasa tak tampak yang menghantam mereka. “Itu para Lucifer!” teriak
Hayden seperti sedang menang taruhan. “Lucifer memang keren fatal. Aku
ingin menjadi Lucifer.”
“Lebih mudah mudah ganti kelamin daripada pindah kebangsaan.”
Hayden mendengus mendengar respon Classy yang sangat tidak
mengenakkan telinga.
Classy melambaikan tangannya lalu sebuah pesawat yang berkerangka
cahaya menghampiri mereka.
“Eric-Jove-Pedro!” kata Hayden dan Classy dengan spontan saat
mendapati keduanya telah berada di badan pesawat.
182
“Hei sejak kapan kalian disini?” Hayden menumpahkan serangan
protes sambil membenamkan dirinya dalam kabin pesawat berkerangka
cahaya.
Tidak ada bunyi mesin yang mengamuk di telinga. Mereka seperti
sedang mengendarai seutas benang yang terbuat dari butiran cahaya sangat
lembut.
“Hei apa ini mimpi? Sudah lama aku ingin naik Excous 81.”
“Dan sekarang kau sedang berada di dalamnya, nak,” kata pria yang
memegang kemudi.
Hayden manggut-manggut girang. Wajah cemas, ngeri dan takut lenyap
begitu saja seolah ia baru saja berjalan-jalan ditaman bunga sepanjang hari.
“Pakai sabuk pengaman kalian, aku tidak ingin salah satu dari kalian
ada yang terjatuh.”
“Ayah...” Eric menatap kosong sesuatu dihadapannya. Nada bicaranya
terdengar menekan. “Aku ingin tetap disini. Aku tidak ingin lari dari semua ini.
Aku bukan pecundang.”
“Kau tidak perlu berpura-pura menjadi pecundang untuk benar-benar
menjadi pecundang, nak,” kata Togu
“Tapi aku harus merebut Snowvus kembali...” Aku tidak ingin
membiarkan semua ini terjadi. Menempatkanku dalam posisi bersalah. Aku
bosan hidup dalam kegelapan, dalam kebohongan. Setidaknya beritahu aku
apa yang sebenarnya terjadi. Aku harus tahu. “Meski aku kehilangan memori,
kehilangan diriku sendiri dan aku telah kalah namun aku harus…”
“Kau sudah menemukannya, anakku.”
“Apa?”
“Kau telah menemukan dirimu. Kekalahanlah yang memberitahu siapa
dirimu yang sebenarnya.”
Apa? Eric terkesiap. Ia bersusah payah memikirkannya dalam-dalam
meskipun pada akhirnya ia tak mengerti.
“Suatu saat kau akan tahu.”
183
Eric meremas Naigan dengan emosi yang masih berkecamuk dalam
batinnya. Sulit baginya menerima kenyataan ini namun ia bekerja keras
menenangkan keonaran yang mengobrak-abrik kepalanya.
Pesawat merayap dalam gelap, sebelum sedetik berikutnya membawa
mereka lepas landas menerjang kepingan kabut dua dunia.
Api di dalam perairan menyambut mereka.
184