HALAMAN SAMPUL DEPAN i HALAMAN SAMPUL DALAM ii … · kerangka penelitian yang menggambarkan batas...
Embed Size (px)
Transcript of HALAMAN SAMPUL DEPAN i HALAMAN SAMPUL DALAM ii … · kerangka penelitian yang menggambarkan batas...
-
x
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL DEPAN i
HALAMAN SAMPUL DALAM ii
HALAMAN PRASYARAT GELAR SARJANA HUKUM iii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING iv
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI SKRIPSI v
KATA PENGANTAR vi
HALAMAN PERSYARATAN KEASLIAN ix
DAFTAR ISI x
ABSTRAK xiii
ABSTRACT xiv
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang Masalah 1
1.2 Rumusan Masalah 5
1.3 Ruang Lingkup Masalah 5
1.4 Orisinalitas Penelitian 7
1.5 Tujuan Penelitian 10
a. Tujuan Umum 10
b. Tujuan Khusus 10
1.6 Manfaat Penelitian 11
a. Manfaat Teoritis 11
b. Manfaat Praktis 11
-
xi
1.7 Landasan Teoritis 12
1.8 Metode Penelitian 18
a. Jenis Penelitian 18
b. Jenis Pendekatan 19
c. Sifat Penelitian 20
d. Data dan Sumber Data 20
e. Teknik Pengumpulan Data 21
f. Teknik Penentuan Sample 23
g. Pengolahan dan Analisis Data 24
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PELAKSANAAN PENERTIBAN
PEDAGANG ACUNG DI KAWASAN PARIWISATA KUTA KABUPATEN
BADUNG 25
2.1 Kabupaten Badung sebagai Daerah Otonom 25
2.2 Wewenang Kabupaten Badung dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
29
2.3 Penertiban, Pedagang Acung, dan Kawasan Pariwisata 34
2.3.1 Penertiban 34
2.3.2 Pedagang Acung 36
2.3.3 Kawasan Pariwisata 39
BAB III UPAYA PELAKSANAAN PENERTIBAN PEDAGANG ACUNG DI
KAWASAN PARIWISATA KUTA KABUPATEN BADUNG 43
3.1 Pengaturan Penertiban Pedagang Acung 43
3.2 Pelaksanaan Penertiban Pedagang Acung di Kawasan Pariwisata Kuta
Kabupaten Badung 49
-
xii
BAB IV KENDALA SERTA UPAYA PEMERINTAH DALAM PELAKSANAAN
PENERTIBAN PEDAGANG ACUNG DI KAWASAN PARIWISATA KUTA
KABUPATEN BADUNG 60
4.1 Kendala dalam Pelaksanaan Penertiban Pedagang Acung di Kawasan
Pariwisata Kuta Kabupaten Badung 60
4.2 Upaya Pemerintah Kabupaten Badung dalam Pelaksanaan Penertiban
Pedagang Acung di Kawasan Pariwisata Kuta Kabupaten Badung 67
BAB V PENUTUP 71
5.1 Kesimpulan 71
5.2 Saran 72
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR INFORMAN
LAMPIRAN-LAMPIRAN
-
xiii
ABSTRAK
Kabupaten Badung merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Bali yang menjadi
sasaran utama bagi wisatawan domestik maupun mancanegara dalam kegiatan pariwisata
terutama pada Kawasan Pariwisata Kuta Kabupaten Badung. Kawasan tersebut tidak hanya
menjadi sasaran bagi wisatawan yang berkunjung ke Bali saja melainkan juga menjadi sasaran
bagi masyarakat untuk melakukan aktivitas yang bisa digunakan sebagai sumber mata
pencaharian. Salah satu aktivitas yang terdapat di kawasan ini adalah pedagang acung.
Keberadaan pedagang acung sering kali mengganggu ketertiban dan ketentraman bagi wisatawan
yang berkunjung. Berdasarkan permasalahan tersebut penulis mengkaji Pelaksanaan Penertiban
Pedagang Acung di Kawasan Pariwisata Kuta Kabupaten Badung.
Penelitian ini dilakukan untuk mencari informasi tentang bagaimana pelaksanaan
penertiban, kendala serta upaya pemerintah dalam pelaksanaan penertiban pedagang acung di
kawasan pariwisata Kuta Kabupaten Badung. Penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris yang menggunakan pendekatan
Perundang-Undangan dan Pendekatan Fakta yang mana masalah yang diangkat dikaitkan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan kenyataan yang ada di Kawasan Pariwisata
Kuta Kabupaten Badung. Sumber data yang yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data
primer yang bersumber dari penelitian lapangan yaitu data yang diperoleh langsung dari
responden maupun informan. Data sekunder berasal dari penelitian kepustakaan.
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan penertiban pedagang
acung di Kawasan Pariwisata Kuta Kabupaten Badung selalu diupayakan oleh Pemerintah
Kabupaten Badung melalui Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Badung dan pemerintah desa
adat setempat dengan mengadakan kegiatan-kegiatan penertiban serta sosialisasi terhadap
masyarakat guna memberikan ketentraman bagi wisatawan yang berkunjung serta bagi
masyarakat itu sendiri. Pelaksanaan penertiban yang dilakukan membutuhkan ketentuan yang
jelas serta peran serta dari masyarakat untuk mampu menjaga ketertiban di kawasan tersebut.
Kata Kunci: Kawasan Pariwisata, Penertiban, Satuan Polisi Pamong Praja
-
xiv
ABSTRACT
Badung regency is one of the regencies in Bali which became the main target
for domestic and foreign tourists in tourism activities especially in Kuta Badung
Tourism Region. This region is not only a target for tourists who visit Bali but also
become a target for the community to do activities that can be used as a source of
livelihood. One of the activities in this region is merchant. The presence of merchant
often disturbs the order and tranquility for the tourists. Based on these problems the
author examines the Implementation of the Order of Merchant in the Kuta Badung
Tourism Region.
This research is conducted to find information about how the implementation
of controlling, obstacles and government efforts in the implementation of curbing
merchants in Kuta Badung Tourism Region.
This research is an empirical legal research that uses The Statute Approach
and The Fact Approach which the issues raised are related to the prevailing laws and
regulations with the reality that existed in Kuta Badung Tourism Region. Sources of
data used in this study are primary data sourced from field research that is data
obtained directly from respondents and informants. Secondary data comes from
library research.
Based on these result this study can be concluded that the implementation of
curbing merchants in the area of Kuta Badung Regency always strived by the
Government of Badung Regency through Badung District Police Precinct and local
custom village government by conducting curbing activities and socialization of the
community in order to provide tranquility for tourists Who visit and for the
community itself. Implementation of the curbing requires a clear provision and the
role of the community to be able to maintain order in the region.
Keywords: Tourism Region, Curb, Badung District Police Precinct
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bali merupakan salah satu provinsi yang memiliki keunikan tersendiri dengan
pendapatan daerah terbesar dari sektor pariwisata. Kekayaan dan keindahan alam,
serta keunikan seni budayanya merupakan hal-hal penting yang menjadi daya tarik
utama yang dimiliki untuk menarik minat wisatawan lokal maupun wisatawan
mancanegara sehingga Bali dan pariwisata tidak dapat dipisahkan. Pariwisata ini
memberikan peluang kerja di berbagai bidang bagi masyarakat di Bali sehingga
memperoleh pendapatan yang bisa memenuhi kebutuhan hidup mereka. Oleh karena
itu sektor pariwisata menjadi andalan bukan hanya oleh Pemerintah Provinsi Bali,
melainkan juga seluruh lapisan masyarakat yang ada di Provinsi Bali.
Kabupaten Badung merupakan salah satu kabupaten yang terletak di provinsi
Bali yang memiliki potensi besar di sektor pariwisata. Badung memiliki daya tarik
wisata yang beraneka ragam, salah satu yang terkenal adalah Kawasan Pariwisata
Kuta yang semakin tahun semakin terus berkembang dan tetap menjadi komoditi
wisatawan terbanyak baik wisatawan domestik maupun mancanegara di Kabupaten
Badung. Kuta yang merupakan destinasi pariwisata Indonesia dan dunia ini menjadi
harapan untuk mengais rejeki bagi sebagian besar masyarakat Kuta khususnya dan
masyarakat Bali pada umumnya. Namun dalam kenyataanya perkembangan kawasan
ini tidak diimbangi dengan pelaksanaan tertib hukum di kawasan ini sendiri. Sering
-
2
kali aturan-aturan yang sudah ditetapkan malah justru dikesampingkan oleh
masyarakat sehingga pelanggaran hukum sering kali terjadi dan bertolak belakang
dengan prinsip dasar Negara Indonesia sebagai Negara Hukum.
Negara hukum adalah negara atau pemerintah yang berdasarkan hukum.
Negara menempatkan hukum sebagai dasar kekuasaan negara dan penyelenggaraan
kekuasaan dilakukan di bawah kekuasaan hukum. Kekuasaan tumbuh pada hukum
dan semua orang sama di depan hukum1. Seperti yang kita ketahui Negara Indonesia
merupakan Negara hukum seperti yang telah ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karena itu
berbagai tindakan dan kewenangan yang dimiliki pemerintah harus berdasarkan atas
hukum. Dalam rangka penyelenggaraan pemerintah daerah sesuai dengan amanat
pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka
pemerintah daerah diberikan kesempatan untuk mengurus sendiri urusan pemerintah
sesuai dengan otonomi dan tugas pembantuan.
Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 maka pemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan dengan berdasarkan asas otonomi dan tugas
pembantuan. Dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa yang dimaksud dengan pemerintah daerah
adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan Dewan
1 Agus Salim Andi Gadjong, 2007, Pemerintah Daerah Kajian Politik dan Hukum, Ghalia
Indonesia, Bogor, h. 33
-
3
Perwakilan Rakyat Daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan
prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia sebagaimana yang dimaksud dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Tujuan pemberian otonomi kepada daerah adalah untuk meningkatkan daya
guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan daerah, terutama dalam
pelaksanaan pembangunan dan pelayanan terhadap masyarakat serta untuk
meningkatkan pembinaan kestabilan politik dan kesatuan bangsa2. Dalam Pasal 1
angka 6 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,
ditetapkan bahwa Otonomi Daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Program pembangunan di daerah dalam era otonomi yang nyata memberi
pengertian adanya perubahan orientasi pelaksanaan pembangunan yang harus
dikelola dengan prinsip dan mekanisme yang profesional. Seiring dengan perjalanan
dan perkembangan sistem pemerintahan daerah, pemerintah Kabupaten Badung
sebagai pemerintah di daerah menyelenggarakan ketertiban umum dan ketentraman
masyarakat dengan mengeluarkan Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 4
Tahun 2001 tentang Kebersihan dan Ketertiban Umum di Kabupaten Badung.
2 Sujamto, 1990, Otonomi Daerah Yang Nyata Dan Bertanggung Jawab, Cet. II Ghalia
Indonesia, Jakarta, h. 22
-
4
Sejalan dengan pesatnya perkembangan daerah terjadi pula peningkatan
aktivitas penduduk dengan berbagai permasalahan, sehingga memerlukan
penanganan yang lebih konfrehensif. Salah satu kegiatan yang berpotensi
menimbulkan gangguan terhadap kebersihan dan ketertiban umum di kawasan
pariwisata Kuta, Kabupaten Badung adalah keberadaan pedagang acung. Beberapa
kegiatan yang dilakukan oleh pedagang acung cenderung menggangu ketertiban
umum misalnya mereka berjualan di areal trotoar yang merupakan fasilitas umum
sehingga menghalangi pejalan kaki yang hendak menggunakan trotoar dan juga
mereka berjualan di area pantai sehingga sering kali mengganggu ketentraman dan
kenyamanan bagi wisatawan yang berkunjung.
Di dalam Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 4 Tahun 2001 tentang
Kebersihan dan Ketertiban Umum di Kabupaten Badung telah ditentukan dalam Pasal
37 ayat (1) bahwa “Dilarang menjajakan dagangan (sebagai pedagang acung) di jalan,
jalur hijau, taman dan tempat umum lainnya dengan cara menyodorkan secara
langsung kepada calon pembeli yang dapat menimbulkan gangguan ketertiban,
keamanan, kebersihan dan kenyamanan bagi calon pembeli.”
Guna melaksanakan penegakan peraturan daerah, maka pemerintah
Kabupaten Badung membentuk Satuan Polisi Pamong Praja yang pembentukannya
mengacu pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2010
tentang Satuan Polisi Pamong Praja. Pengertian Satuan Polisi Pamong Praja
tercantum jelas dalam Pasal 1 angka 8 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 6 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong Praja yang menetapkan bahwa
-
5
“Satuan Polisi Pamong Praja, yang selanjutnya disingkat Satpol PP adalah bagian
perangkat daerah dalam penegakan peraturan daerah dan penyelenggaraan
ketertiban umum dan ketentraman masyarakat”. Berdasarkan ketentuan pasal
tersebut Satpol PP mempunyai tugas untuk menegakkan peraturan daerah,
menyelenggarakan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat serta perlindungan
masyarakat.
Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dipaparkan, maka penulis
mengangkat dan mengambil penelitian skripsi yang berjudul “PELAKSANAAN
PENERTIBAN PEDAGANG ACUNG DI KAWASAN PARIWISATA KUTA
KABUPATEN BADUNG”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dikemukakan oleh
penulis di atas, maka dapat dirumuskan beberapa masalah, sebagai berikut :
1. Bagaimanakah pelaksanaan penertiban pedagang acung di kawasan
pariwisata Kuta oleh Pemerintah Kabupaten Badung?
2. Bagaimana kendala serta upaya pemerintah dalam pelaksanaan penertiban
pedagang acung di kawasan pariwisata Kuta Kabupaten Badung?
1.3 Ruang Lingkup Masalah
-
6
Di dalam membahas permasalahan di atas maka perlu ditentukan suatu ruang
lingkup kajian permasalahan. Ruang lingkup kajian permasalahan merupakan
kerangka penelitian yang menggambarkan batas penelitian, mempersempit
permasalahan, dan membatasi areal penelitian untuk mencegah agar isi dan uraian
tidak menyimpang dari pokok-pokok permasalahan. Agar terdapat kesesuaian antara
pembahasan dan permasalahan, maka selanjutnya akan dilakukan pembatasan-
pembatasan tertentu sehingga penelitian ini tidak teralu luas dan menyimpang dari
pokok bahasan. Untuk itu dapat difokuskan beberapa teori yang berkaitan dengan
kajian permasalahan dalam penelitian ini sehingga dapat dipakai sebagai analisis
dalam menjelaskan dan menganalisis permasalahan penulisan penelitian ini. Untuk
memfokuskan penelitian maka penulis membatasi ruang lingkup dari penelitian ini.
Adapun yang menjadi ruang lingkup penelitian ini adalah :
a. Pada bagian permasalahan yang pertama akan dibatasi ruang lingkup
penelitiannya mengenai pelaksanaan penertiban, sehingga penelitian ini akan
meneliti dan membahas mengenai bagaimana pelaksanaan penertiban
pedagang acung di kawasan pariwisata Kuta oleh Pemerintah Kabupaten
Badung.
b. Kemudian pada bagian permasalahan yang kedua akan dibatasi ruang lingkup
penelitiannya mengenai kendala-kendala yang dihadapi serta upaya-upaya
yang dilakukan pemerintah dalam rangka pelaksanaannya, sehingga penelitian
ini akan meneliti dan membahas mengenai bagaimana kendala serta upaya
-
7
pemerintah dalam pelaksanaan penertiban pedagang acung di kawasan
pariwisata Kuta Kabupaten Badung.
1.4 Orisinalitas
Dalam penelitian ini penulis menjabarkan tentang pelaksanaan penertiban
pedagang acung di kawasan pariwisata Kuta Kabupaten Badung dengan objek
penelitiannya adalah pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 4
Tahun 2001 tentang Kebersihan dan Ketertiban Umum di Kabupaten Badung serta
kendala maupun upaya pemerintah dalam pelaksanaan penertiban pedagang acung di
kawasan pariwisata Kuta Kabupaten Badung. Adapun penelitian yang dapat
digunakan sebagai pembanding dan sekaligus menunjukkan perbedaan atau
orisinalitas penelitian ini yaitu:
a. Penelitian oleh I Made Arigratiyana Dhiatmika, Fakultas Hukum
Universitas Udayana pada tahun 2014, yang berjudul “PELAKSANAAN
KEWENANGAN SATUAN POLISI PAMONG PRAJA SEBAGAI
PENEGAK PERATURAN DAERAH DI KABUPATEN GIANYAR”.
Rumusan masalah pertama yang dikemukakan adalah tindakan-tindakan
apa yang dapat dilakukan Satuan Polisi Pamong Praja dalam penegakan
Peraturan Daerah di Kabupaten Gianyar?. Rumusan masalah yang kedua
adalah faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pelaksanaan
kewenangan Satuan Polisi Pamong Praja dalam penegakan Peraturan
Daerah di Kabupaten Gianyar?. Perbedaan penelitian antara penelitian
-
8
yang ditulis oleh I Made Arigratiyana Dhiatmika dengan penelitian ini
terletak pada obyek kajian penelitian dan lokasi penelitian. Obyek kajian
penelitian yang ditulis oleh I Made Arigratiyana Dhiatmika terletak pada
kewenangan Satuan Polisi Pamong Praja dan Peraturan Pemerintah
Nomor 6 Tahun 2010 Tentang Satuan Polisi Pamong Praja yang objek
penelitiannya dilakukan di Kabupaten Gianyar, sedangkan obyek kajian
pada penelitian ini berupa pelaksanaan penertiban pedagang acung dan
Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 4 Tahun 2001 tentang
Kebersihan dan Ketertiban Umum di Kabupaten Badung, dengan lokasi
penelitian di Kabupaten Badung.
b. Penelitian dari Asmawaty, Fakultas Hukum Universitas Udayana pada
tahun 2009, yang berjudul “PENGATURAN, PENATAAN, DAN
PENEGAKAN HUKUM BAGI PEDAGANG KAKI LIMA DI KOTA
DENPASAR”, dengan rumusan masalah pertama yaitu bagaimana
pengaturan dan penataan pedagang kaki lima di Kota Denpasar?.
Rumusan masalah yang kedua adalah bagaimana penegakan hukum bagi
pedagang kaki lima di Kota Denpasar?. Perbedaan penelitian antara
penelitian yang ditulis oleh Asmawaty dengan penelitian ini terletak pada
obyek kajian penelitian dan lokasi penelitian. Obyek kajian penelitian
yang ditulis oleh Asmawaty terletak pada pengaturan, penataan, dan
penegakan hukum bagi pedagang kaki lima berdasarkan Peraturan Daerah
Kota Denpasar Nomor 3 Tahun 2000 Atas Perubahan Peraturan Daerah
-
9
Nomor 15 Tahun 1993 Tentang Kebersihan Dan Ketertiban Umum yang
obyek penelitiannya dilakukan di Kota Denpasar, sedangkan obyek kajian
penelitian ini menyangkut pelaksanaan penertiban pedagang acung dan
Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 4 Tahun 2001 tentang
Kebersihan dan Ketertiban Umum di Kabupaten Badung, dengan lokasi
penelitiannya dilakukan di Kabupaten Badung.
c. Penelitian oleh I Gusti Agus Yuda Trisna Pramana, Fakultas Hukum
Universitas Udayana pada tahun 2015, yang berjudul “UPAYA
PEMERINTAH KOTA DENPASAR DALAM PENGENDALIAN
PENGEMIS BERDASARKAN PERATURAN DAERAH KOTA
DENPASAR NOMOR 3 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN
ATAS PERATURAN DAERAH NOMOR 15 TAHUN 1993 TENTANG
KEBERSIHAN DAN KETERTIBAN UMUM”. Rumusan masalah
pertama yang dikemukakan adalah bagaimanakah penegakan hukum yang
dilakukan oleh Pemerintah Kota Denpasar dalam pengendalian
pengemis?. Rumusan masalah kedua adalah faktor-faktor yang
mempengaruhi Pemerintah Kota Denpasar dalam upaya pengendalian dan
pemberdayaan pengemis berdasarkan Peraturan Daerah Kota Denpasar
Nomor 3 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kota
Denpasar Nomor 15 Tahun 1993 tentang Kebersihan dan Ketertiban
Umum?. Perbedaan penelitian antara penelitian yang ditulis oleh I Gusti
Agus Yuda Trisna Pramana dengan penelitian ini terletak pada obyek
-
10
kajian penelitian dan lokasi penelitian. Obyek kajian penelitian yang
ditulis oleh I Gusti Agus Yuda Trisna Pramana terletak pada upaya
Pemerintah Kota Denpasar dalam pengendalian pengemis berdasarkan
Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 3 Tahun 2000 tentang
Perubahan atas Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 15 Tahun 1993
tentang Kebersihan dan Ketertiban Umum yang objek penelitiannya
dilakukan di Kota Denpasar, sedangkan obyek kajian pada penelitian ini
berupa pelaksanaan penertiban pedagang acung dan Peraturan Daerah
Kabupaten Badung Nomor 4 Tahun 2001 tentang Kebersihan dan
Ketertiban Umum di Kabupaten Badung, dengan lokasi penelitian di
Kabupaten Badung.
1.5 Tujuan Penelitian
a. Tujuan Umum
Secara umum penelitian dengan permasalahan yang telah dipaparkan di atas
adalah bertujuan untuk mengembangkan ilmu hukum atau menambah khasanah
pengetahuan di bidang Hukum Administrasi Negara khususnya di bidang Hukum
Pemerintahan Daerah yang berkaitan dengan pelaksanaan penertiban pedagang acung
di kawasan pariwisata Kuta Kabupaten Badung yang sesuai dengan kaidah atau
norma-norma hukum yang berlandaskan asas otonomi daerah serta standar menurut
prinsip demokrasi.
b. Tujuan Khusus
-
11
Tujuan khusus yang ingin dicapai lebih lanjut dalam penelitian ini adalah :
1) Untuk mengetahui dan menganalisis mengenai pelaksanaan penertiban
pedagang acung di kawasan pariwisata Kuta Kabupaten Badung.
2) Untuk mengetahui dan menganalisis mengenai kendala serta upaya
pemerintah dalam pelaksanaan penertiban pedagang acung di kawasan
pariwisata Kuta Kabupaten Badung.
1.6 Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis yang diharapkan melalui penelitian ini terkait dengan
permasalahan di atas adalah untuk dapat merumuskan pemikiran-pemikiran teoritis
dalam rangka menganalisis pelaksanaan penertiban pedagang acung di kawasan
pariwisata Kuta Kabupaten Badung telah sesuai dengan kaidah atau norma-norma
hukum serta dapat memberikan sumbangan ilmu hukum dan informasi mengenai
penanggulangan pedagang acung di kawasan pariwisata Kuta Kabupaten Badung.
b. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi maupun
sumbangan pemikiran dan ilmu pengetahuan dalam rangka meningkatkan perhatian
Pemerintah Daerah Kabupaten Badung tentang penertiban pedagang acung serta
dapat dijadikan pedoman oleh kalangan mahasiswa, praktisi maupun masyarakat
umum di dalam menyikapi masalah yang timbul karena keberadaan pedagang acung
di tengah-tengah masyarakat.
-
12
1.7 Landasan Teoritis
Dalam penelitian ini digunakan landasan teoritis berupa Teori Negara Hukum,
Teori Kewenangan, dan Teori Pengakan Hukum sebagaimana terurai berikut.
1.7.1 Teori Negara Hukum
Negara hukum untuk pertama kalinya dikemukakan oleh Plato kemudian
selanjutnya dikembangkan dan dipertegas kembali oleh Aristoteles. Plato dalam
bukunya yang berjudul Politea menguraikan betapa penguasa di masa Plato hidup
(429 SM - 346 SM) sangatlah tirani, haus dan gila akan kekuasaan serta sewenang-
wenang dan sama sekali tidak mempedulikan kepentingan rakyatnya. Secara embrio
gagasan negara hukum telah dikemukakan oleh Plato ketika ia mengintroduksi
Nomoi, sementara itu dalam dua tulisan pertama, Politea dan Politicos belum muncul
istilah negara hukum.3
Plato dengan gamblang menyampaikan pesan moral agar penguasa berbuat
adil, menjunjung tinggi nilai kesusilaan dan kebijaksanaan serta senantiasa
memperhatikan kepentingan dan nasib rakyatnya. Buku kedua yang berjudul
Politicos memaparkan suatu konsep agar suatu negara dikelola dan dijalankan atas
dasar hukum (rule of the game) demi warga negara yang bersangkutan. Buku ketiga
dari Plato yang berjudul Nomoi lebih menekankan konsepnya pada para
3 Ridwan HR, 2002, Hukum Administrasi Negara, Rajawali Pers, Yogyakarta, h. 2
-
13
penyelenggara negara agar senantiasa diatur dan dibatasi kewenangannya dengan
hukum agar tidak bertindak sekehendak hatinya.4 Gagasan tentang negara hukum ini
semakin tegas ketika didukung oleh muridnya Aristoteles.
Negara hukum adalah negara atau pemerintah yang berdasarkan hukum.
Negara menempatkan hukum sebagai dasar kekuasaan negara dan penyelenggaraan
kekuasaan dilakukan di bawah kekuasaan hukum. Kekuasaan tumbuh pada hukum
dan semua orang sama di depan hukum5.
Indonesia merupakan negara hukum sesuai dengan yang telah ditetapkan
dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Dengan demikian konsekuensi sebagai negara hukum Indonesia harus
memenuhi dua persyaratan yaitu yang pertama adalah supremacy before the law yang
artinya adalah hukum diberikan kedudukan yang tinggi, berkuasa penuh dalam suatu
negara dan rakyat. Kemudian yang kedua adalah equality before the law yang artinya
bahwa semua pejabat pemerintahan maupun masyarakat biasa adalah sama
kedudukannya di mata hukum.6 Konsep negara hukum Indonesia adalah berdasarkan
Pancasila sebagai filosofi dan ideologi bangsa dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia sebagai landasan konstitusi Indonesia.
Atas dasar tersebut bahwasanya teori negara hukum haruslah menggambarkan
bahwa suatu negara harus mematuhi aturan hukum maupun perundang-undangan
4 Madjid H. Abdullah, 2007, Penataan Hukum Organisasi Perangkat Daerah Dalam Konteks
Otonomi Daerah Berdasarkan Prinsip-Prinsip Tata Pemerintahan Yang Baik, Disertasi, PPs
Universitas Hasanuddin, Makassar, h. 29 5 Agus Salim Andi Gadjong, loc.cit
6 Ridwan HR, loc.cit
-
14
yang berlaku di Indonesia baik itu dari aparat pemerintahan maupun warga
masyarakat biasa sehingga terdapat kepastian, keadilan, dan kemanfaatan terhadap
peraturan perundang-undangan yang berlaku serta mewujudkan suatu keadaan yang
tertib hukum, aman dan harmonis.
1.7.2 Teori Kewenangan
Setiap penyelenggaraan kenegaraan maupun pemerintahan harus memiliki
legitimasi berupa kewenangan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Dengan demikian maka penyelenggara negara memiliki kemampuan
untuk melakukan tindakan hukum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Kewenangan merupakan bagian penting dari Hukum Pemerintahan
dikarenakan pemerintah baru mampu menjalankan fungsinya sebagai penyelenggara
negara atas dasar wewenang yang diperolehnya berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Menurut S. Prajudi Atmosudirjo, wewenang adalah kekuasaan untuk
melakukan suatu tindakan hukum publik.7 Sedangkan menurut S.F. Marbun
wewenang adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang
berlaku untuk melakukan hubungan dan perbuatan hukum.8 Dari kedua pendapat
tersebut dapat disimpulkan secara sederhana bahwa wewenang merupakan kekuasaan
untuk melakukan suatu tindakan menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Menurut pendapat Donner, ada dua fungsi yang berkaitan dengan
7 S. Prajudi Atmosudirjo, 1995, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 74
8 SF. Marbun, 1997, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di Indonesia,
Liberty, Yogyakarta, h. 154
-
15
kewenangan, yakni fungsi pembuatan kebijakan (policy making) yaitu kekuasaan
yang menentukan tugas dari alat pemerintahan atau kekuasaan yang menentukan
politik negara dan fungsi pelaksanaan kebijakan (policy exsecuty) yaitu kekuasaan
yang bertugas untuk merealisasikan politik negara yang telah ditentukan
(verwezeblikking van de taak).9 Secara teoritis, kewenangan bersumber dari peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan diperoleh melalui tiga cara yaitu atribusi,
delegasi, dan mandat.
Menurut H.D Van Wijk dan Willem Konijnebelt, atribusi (atributie
bevoegdheid) adalah pemberian wewenang pemerintah oleh pembuat undang-undang
kepada organ pemerintahan.10
Jadi wewenang atribusi juga dapat dikatakan sebagai
wewenang asli yaitu wewenang yang diperoleh pemerintah secara langsung yang
bersumber dari peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kemudian menurut H.D
Van Wijk dan Willem Konijnebelt delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintah
dari suatu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan yang berakar dari
kewenangan atribusi.11
Selanjutnya wewenang mandat (mandaat bevoegdheid) adalah
pelimpahan wewenang yang pada umumnya dalam rutin antara bawahan dan atasan,
kecuali secara tegas diatur oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.12
Secara sederhana wewenang mandat dapat diartikan sebagai pelimpahan kewenangan
kepada bawahan yang bertujuan memberikan wewenang kepada bawahannya untuk
9 Victor Situmorang, 1989, Dasar-Dasar Hukum Administrasi Negara, Bima Aksara, Jakarta,
h. 30 10
Sadjijono, 2008, Memahami Beberapa Pokok Hukum Administrasi, Laksbang Press Indo,
Yogyakarta, h. 58 11
Ibid 12
Ibid
-
16
membuat keputusan ataupun kewenangan lainnya atas nama Badan ataupun Pejabat
Tata Usaha Negara yang memberikan pelimpahan wewenang tersebut.
1.7.3 Teori Penegakan Hukum
Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau
berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu
lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara. Ditinjau dari sudut subjeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh
subjek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum oleh
subjek dalam arti sempit. Dalam arti luas, proses penegakan hukum itu melibatkan
semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan
aturan normatif berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti
sempit, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan
hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan
sebagaimana seharusnya. Dalam memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan
aparatur penegak hukum diperkenankan untuk menggunakan daya paksa.13
Pengertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut objeknya, yaitu
dari segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas
dan sempit. Dalam arti luas penegakan hukum itu mencakup pula nilai-nilai keadilan
yang terkandung di dalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang
hidup dalam masyarakat. Kemudian dalam arti sempit penegakan hukum itu hanya
menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja. Karena itu
13
Jimly Asshidiqie, 2006, “Penegakan Hukum”, Journal Hukum Konstitusi, Jakarta, h. 1
-
17
penerjemahan perkataan „law enforcement‟ ke dalam Bahasa Indonesia dalam
menggunakan perkataan „penegakan hukum‟ dalam arti luas dan dapat pula
digunakan istilah „penegakan peraturan‟ dalam arti sempit.14
Dalam penegakan hukum terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi
penegakan hukumnya. Menurut Lawrance Friedman keberhasilan dalam penegakan
hukum ditentukan oleh substansi hukum, struktur hukum, dan kultur maupun budaya
hukum masyarakat. Sedangkan menurut Soerjono Soekanto faktor-faktor yang
mempengaruhi penegakan hukum diantaranya adalah :
a) Faktor hukumnya sendiri, yakni di dalam tulisan ini akan dibatasi undang-
undang saja.
b) Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun
menerapkan hukum.
c) Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
d) Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau
diterapkan.
e) Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup.
Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan erat, oleh karena merupakan esensi
dari penegakan hukum, juga merupakan tolok ukur daripada efektifitas penegakan
hukum.15
14
Ibid, h. 2
-
18
1.8 Metode Penelitian
Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah dengan mencari data suatu
masalah. Dalam pelaksanaannya diperlukan suatu metode yang bersifat ilmiah yaitu
metode penelitian yang sesuai dengan yang akan diteliti. Suatu metode merumuskan
cara kerja atau tata kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu
pengetahuan yang bersangkutan. Suatu metode dipilih berdasarkan dan
mempertimbangkan keserasian dengan objeknya serta metode yang digunakan sejalan
dengan tujuan, sasaran variabel dan yang hendak diteliti. Sedangkan metode
penelitian menguraikan secara teknik apa yang digunakan dalam penelitiannya.
a. Jenis Penelitian
Menurut Soerjono Soekanto, metode adalah proses, prinsip-prinsip dan tata
cara memecahkan suatu masalah, sedangkan penelitian adalah pemeriksaan secara
hati-hati, tekun dan tuntas terhadap suatu gejala untuk menambah pengetahuan
manusia. Maka metode penelitian dapat diartikan sebagai proses prinsip-prinsip dan
tata cara untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam melakukan penelitian16
.
Seseorang diharapkan mampu untuk menemukan dan menganalisa masalah
tertentu sehingga dapat mengungkapkan suatu kebenaran dengan menggunakan
metode, karena metode memberikan pedoman tentang tata cara bagaimana seorang
ilmuwan mampu untuk mempelajari, memahami, dan menganalisa permasalahan
15
Soerjono Soekanto, 2011, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,
Rajawali Pers, Jakarta, h. 8 16
Soerjono Soekanto, 1994, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press,
Jakarta, h. 13
-
19
yang dihadapi. Dengan demikian penelitian akan berjalan dengan baik dan lancar
sesuai dengan rencana yang ditetapkan karena “suatu metode merupakan cara kerja
atau tata kerja untuk memahami objek yang menjadi sasaran ilmu pengetahuan yang
bersangkutan”17
.
Di dalam upaya mengkaji dan mencari pemecahan terhadap masalah yang
penulis kemukakan, maka jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian hukum empiris, dimana pada awalnya yang akan diteliti yaitu data
sekunder kemudian dilanjutkan dengan penelitian terhadap data primer di lapangan
atau masyarakat.
b. Jenis Pendekatan
Untuk mengetahui bagaimana penegakan hukum terhadap penertiban
pedagang acung di kawasan pariwisata Kuta Kabupaten Badung, dalam hal ini
peneliti menggunakan pendekatan perundang-undangan (the statute approach) dan
pendekatan fakta (the fact approach). Pendekatan perundang-undangan di sini adalah
ingin menganalisis norma-norma hukum yang ada di dalam Peraturan Daerah
Kabupaten Badung Nomor 4 Tahun 2001 tentang Kebersihan dan Ketertiban Umum
di Kabupaten Badung, sedangkan untuk pendekatan fakta, dilakukan dengan cara
mengkaji fakta yang terjadi di lapangan, yang bertujuan untuk mendapatkan
gambaran nyata dari fakta yang terkait dengan permasalahan yang ada.
17
Ibid, h. 14
-
20
c. Sifat Penelitian
Sifat dari penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian deskriptif yaitu
suatu penelitian yang berusaha untuk menggambarkan tentang keadaan dan gejala-
gejala lainnya dengan cara mengumpulkan data, menyusun, mengklasifikasi,
menganalisa, dan menginterpretasikan18
.
Penelitian Deskriptif pada penelitian ilmu hukum bertujuan untuk
menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok
tertentu, atau untuk menentukan penyebaran suatu gejala, serta untuk menentukan ada
tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lainnya dalam masyarakat.
Dalam penelitian ini penulis akan mencoba untuk mendeskripsikan atau
menggambarkan tentang pelaksanaan penegakan hukum dari Peraturan Daerah
Kabupaten Badung Nomor 4 Tahun 2001 tentang Kebersihan dan Ketertiban Umum
di Kabupaten Badung, menggambarkan permasalahan yang dihadapi dalam
pelaksanaan peraturan daerah tersebut serta upaya yang dilakukan atas permasalahan
yang muncul dalam pelaksanaannya.
d. Data dan Sumber Data
Secara umum jenis data yang diperlukan dalam suatu penelitian hukum adalah
terfokuskan pada penelitian data primer dan data sekunder. Data primer yang
dimaksud dalam penelitian ini mengkaitkan kondisi sosial dengan masalah-masalah
hukum yang terjadi di masyarakat. Sedangkan data sekunder berupa bahan hukum
18
Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Diponegoro Press,
Semarang, h.10
-
21
dan dokumen-dokumen hukum termasuk kasus-kasus hukum yang menjadi pijakan
dasar peneliti dalam rangka menjawab permasalahan dan tujuan penelitiannya. Jadi
dalam penelitian hukum empiris ini peneliti akan menggunakan dua data dan sumber
data dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut :
1) Data Primer merupakan data yang diperoleh langsung dari narasumber yang
berhubungan dengan objek penelitian. Sedangkan sebagai sumber data primer
dalam penelitian ini adalah semua pihak yang dapat memberikan keterangan
secara langsung mengenai segala hal yang berkaitan dengan objek penelitian.
Dalam penelitian yang menjadi sumber data primer adalah pihak-pihak yang
mengetahui dan terkait dengan pelaksanaan penertiban pedagang acung di
kawasan pariwisata Kuta Kabupaten Badung.
2) Data sekunder merupakan data yang diperoleh secara tidak langsung dari
narasumber baik itu berasal dari dokumen, bahan pustaka, hasl-hasil
penelitian dan lain sebagainya terutama yang berkaitan dengan penelitian.
Yang akan menjadi sumber data dalam data sekunder adalah data-data yang
diperoleh melalui studi pustaka, baik berupa peraturan perundang-undangan,
buku-buku, maupun hasil-hasil penelitian yang mendukung sumber data
primer dan tentu saja berkaitan dengan objek penelitian, yaitu pelaksanaan
penertiban pedagang acung di kawasan pariwisata Kuta Kabupaten Badung.
e. Teknik Pengumpulan Data
Di dalam penelitian hukum ini peneliti menggunakan teknik pengumpulan
data yang dilakukan dengan menggunakan teknik sebagai berikut :
-
22
1) Teknik Wawancara
Wawancara (interview) adalah teknik percakapan dengan maksud tertentu
yang dilakukan oleh dua pihak, yakni pewawancara yang mengajukan
pertanyaan dan yang diwawancarai yang memberikan jawaban19
. Teknik
wawancara yang dipilih adalah dalam bentuk, “wawancara terstruktur” dan
“wawancara tak terstruktur”. Wawancara terstruktur adalah wawancara
dimana peneliti menetapkan sendiri masalah-masalah dan pertayaan-
pertanyaan yang akan diajukan. Wawancara tak terstruktur adalah wawancara
dimana peneliti mengajukan pertanyaan secara lebih bebas dan leluasa tanpa
terikat oleh susunan pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelunya20
.
2) Teknik Studi Dokumen
Salah satu cara dalam pengumpulan data adalah dengan melakukan studi
dokumen, berupa mempelajari buku-buku literatur, peraturan perundang-
undangan, karya ilmiah serta dokumen-dokumen yang berkaitan dengan
masalah yang diteliti atau yang sesuai dengan objek kajian. Studi literatur atau
dokumen akan bermanfaat dalam membangun kerangka berfikir dari
pembahasan penelitian ini. Peneliti dalam penelitian ini merupakan instrumen
utama yang artinya peneliti sendiri yang terjun langsung ke tempat penelitian
selaku tangan pertama dan tidak digunakan tenaga peneliti lainnya. Selain itu
19
Lexy J. Moleong, 1991, Metode Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosada Karya, Bandung,
h. 135 20
S. Nasution, 1996. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif, Reka Sarasin Press,
Yogyakarta, h.72
-
23
digunakan pula instrumen pendukung lainnya yang sesuai dengan teknik
pengumpulan data sebagaimana disebut di atas.
Adapun instrumen pendukung yang digunakan adalah berupa pedoman
wawancara, tape recorder, blangko hasil wawancara, serta blangko
dokumentasi dan sebagainya. Dipilihnya berbagai jenis instrumen penelitian
di atas didasarkan pada alasan, bahwa bentuk data atau informasi yang diteliti
tidak dapat ditentukan lebih dahulu dan selalu berkembang sepanjang
penelitian berlangsung21
.
f. Teknik Penentuan Sample Penelitian
Teknik penentuan sample penelitian berkaitan dengan bagaimana memilih
informan atau situasi sosial tertentu yang dapat memberikan informasi yang
terpercaya mengenai elemen-elemen yang ada (karakteristik elemen-elemen yang
tercakup dalam fokus atau topik penelitian)22
. Pengambilan sample dalam penelitian
ini menggunakan teknik non probability sampling dalam bentuk purposive sampling
yang diikuti oleh snowball sampling23
. Pengertian metode purposive sampling itu
sendiri adalah pemilihan sekelompok subjek atas ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu
yang dipandang mempunyai sangkut paut yang erat dengan ciri-ciri atau sifat-sifat
populasi yang sudah diketahui sebelumnya. Penelitian dengan menggunakan
purposive sampling cenderung memilih narasumber yang dianggap tahu dan dapat
21
Sanapiah Faesal, 1990, Penelitian Kualitatif, Dasar-Dasar dan Aplikasinya, Yayasan Asih
Asah Asuh, Malang, h.158 22
Ibid, h. 56 23
B Sutopo, 1988, Suatu Pengantar Kualitatif, Dasar Teori dan Praktek, Pusat Penelitian
UNS, Surakarta, h. 22
-
24
dipercaya untuk menjadi sumber data yang terjamin dan mengetahui secara
mendalam. Pengertian metode snowball sampling, yaitu suatu metode untuk memilih
sampel atau responden yang dipilih berdasarkan pada suatu penunjukan atau
rekomendasi sebelumnya24
. Berdasarkan kepada fokus kajian yang dilaksanakan
dalam penelitian ini, maka informan yang dikaji adalah:
1) Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Badung
2) Camat Kecamatan Kuta
3) Bendesa Adat se-Kecamatan Kuta
Informan penelitian sebagaimana tersebut di atas bukanlah hal yang limitatif,
mengingat metode snowball sampling dalam prosesnya dapat diibaratkan seperti bola
salju yang menggelinding dan akan menjadi semakin besar, dalam hal ini berarti
informasi yang akan diperoleh peneliti akan semakin luas.
g. Pengolahan dan Analisis Data
Penelitian ini menggunakan analisis kualitatif. Dalam penelitian dengan
teknik analisis kualitatif maka keseluruhan data yang terkumpul baik dari data primer
maupun data sekunder akan diolah dan dianalisis dengan cara menyusun data secara
sistimatis, digolongkan dalam pola dan tema, diklasifikasikan, dihubungkan antara
satu data dengan data yang lain, dilakukan interpretasi untuk memahami makna data
dalam situasi sosial, dan dilakukan penafsiran dari perspektif peneliti setelah
memahami keseluruhan kualitas data. Setelah dilakukan analisis secara kualitatif
kemudian data akan disajikan secara deskriptif kualitatif dan sistimatis.
24
Burhan Ashshofa, 2004, Metode Penelitian Hukum, PT. Rineka Cipta, Jakarta h. 89
-
25