HAKIKAT KEMATIAN PADA MANUSIA PERSPEKTIF FAKHR...
Transcript of HAKIKAT KEMATIAN PADA MANUSIA PERSPEKTIF FAKHR...
HAKIKAT KEMATIAN PADA MANUSIA PERSPEKTIF
FAKHR AL-D -
DALAM -GHAIB
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Subhan Syamsuri
NIM. 1113034000142
PROGRAM STUDI ILMU AL-QU ’ D T FSI
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/2018 M
iv
ABSTRAK
Subhan Syamsuri
“HAKIKAT KEMATIAN PADA MANUSIA PERSPEKTIF -
- KITAB -GHAIB”
Mati adalah lawan kata dari hidup, Kematian adalah suatu yang pasti akan
kedatangannya, namun banyak manusia yang melupakan kematian. Kematian di
nanti-nanti akan kedatangannya bagi orang-orang yang beriman, karena setelah
kematian maka manusia yang beriman akan mendapatkan nikmat dari Tuhan-Nya
atas dasar yang dilakukan selama hidup-Nya. Namun lain hal-Nya dengan orang-
orang kafir, mereka justru tidak menginginkan kematian datang menjemput-Nya dan
melupakan kematian karena kematian merupakan sesuatu yang sangat menakutkan,
siap merenggut eksistensi di dunia dan tentu orang-orang kafir akan mendapatkan
laknat setelah-Nya atas dasar yang pernah dilakukannya.
Dalam hal kematian ini penulis mengangkat penafsiran Fakhr al-Dîn al-Râzî
dalam kitab Mafâtîh al-Ghaib kemudian membatasi-Nya menjadi 4 kategori: 1.
Gambaran umum kematian, 2. Kematian awal dari kehidupan di dunia, 3. Kematian
bagi orang yang beriman, 4. Kematian bagi orang kafir.
Penelitian ini berjenis kuantitatif, dengan menggunnakan metode library
research (Kepustakaan). Langkah yang digunakan dalam menganalisa data
ialahanalisa data kuantitatif, dengan mengumpulkan dan mennampilkan data yang
dibutuhkan dari berbagai buku atau jurnal terkait kematian dan menghasilkan sebuah
kesimpulan. Sumber primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah kitab
Mafâtîh al-Ghaib karya Fakhr al-Dîn al-Râzî. Sebagai pendukung dalam penelitian
ini berbagai buku, tafsir dan jurnal pun disertakan.
Kata Kunci :Tafsir, Kematian, Fakhr al-Dîn al-Râzî, Mafâtîh al-Ghaib.
v
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kehadirat Allah swt. Dzat yang memberikan nikmat dan
karunia yang taikk terhingga. Salawat serta salam tak lupa penulis curahkan
kepada sosok manusia paling sempurna, Nabi Muhammad saw., Rasul penutup
para Nabi, serta doa untuk keluarga, sahabatnya, dan para pengikutnya.
Melalui upaya dan Usaha yang melelahkan, Alhamdulillāh akhirnya
dengan rahmat dan Syafaatnya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan
sebaik-baiknya. Hambatan yang penulis rasakan dalam penyusunan skripsi ini,
Alḥamdulillāh dapat teratasi berkat tuntunan serta bimbingan-Nya dan bantuan
dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan ungkapan
rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Dede Rasyada, MA, selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Ushuluddin UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, Dr. Suryadinata, MA dan jajaran Wadek lainnya.
3. Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA., selaku Ketua Prodi Ilmu al-Qur”an dan
Tafsir, Dra. Banun Binaningrum, M.Pd, kak Hani Hilyati, M.Ag selaku Staf
Jurusan Ilmu al‟Quran dan Tafsir Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta dan Bapak Toto Thohari, M.Ag yang banyak membantu memberikan
informasi dan supportnya.
4. Bapak Moh. Anwar Syarifuddin, MA. selaku dosen penasehat akademik dan
dosen pembimbing skripsi penulis, yang bersedia meluangkan waktunya untuk
memberikan saran dan masukan seputar perkuliahan dan penelitian yang hendak
vi
penulis ambil, Melalui beliau, tumbuh ide-ide baru, pemikiran baru, sehingga
penulis lebih bersemangat dalam menyelesaikan skripsi ini.
5. Drs. Ahmad Rifqi Muchtar, MA dan Bapak Dr. Hasani, MA selaku penguji
dalam sidang skipsi penulis. Bapak Eva Nugraha, MA, Rifqi M. Fatkhi, MA,
dan Seluruh dosen Fakultas Ushuluddin yang telah memberikan dedikasinya
mendidik penulis, memberikan ilmu, pengalaman, serta pengarahan kepada
penulis selama masa perkuliahan.
6. Ayahanda tercinta (Alm. Syamsuri) yang semasa hidupnya tak pernah letih
mensupport dan mengajarkan arti sebuah kemandirian dan keprihatinan dikota
perantauan, do‟aku selalu terlantun untuk “Bapak” yang tenang dialam sana dan
Ibunda tersayang (Maskeni) yang selalu mencurahkan kasih sayangnya, dengan
do‟a, dukungan moril maupun materil, semangat dan rasa cintanya yang tak
terhingga, yang selalu dicurahkan sepanjang masa. Nenekku (Siti Maemunah),
Kakak-Kakakku (Eva Hanifa S.Pd, H. Sutisno S.Pd, Zubaedi, Noviyanti
Syamsuri S.Pd, Muchalip SQ, S.HI) dan adikku tersayang (Nurul Jannah) yang
selalu ceria mengingatkan penulis dengan segenap keceriaan Motivasi dan
membantu dikala penulis merasakan kesulitan.
7. KHR. Syarif Rahmat, RA, SQ, MA dan Hj. Uswatun Chasanah, MA selaku
pengasuh Pondok Pesantren Ummul Qura (Pondok Cabe) sekaligus Guru dan
Orang tua di pesantren.
8. Segenap Keluarga Besar Pon-Pes Ummul Qura dan Majelis Munajat Pondok
Cabe yang selalu mendo‟akan penulis dalam penyusunan skripsi.
9. Teman seperjuangan Dzulfikar Ahmad Syarif, Syahrul Ramadhan, Husni
Mubarok, Nur Hidayat, Ahmad Thoib, Asep Hilmi, Arif Aprian, Saiful Fajar,
Annis Khoiru Ummah, Bazit Zenurohman, Ahmad Rifai, Seman Ansyari,
vii
Syahrul Bunyan, Hilman Mulyana dan Seluruh teman-temansektor-11 (Tafsir
Hadis 2011) dari A hingga E yang selalu kompak setia menemani penulis. serta
Musfaturrahman S.Th.I dan Leni Nuraeni S. Ag yang telah meminjamkan
skripsi-Nya sebagai bahan acuan.
10. Kawan-kawan KKN Realita (2015) terkhusus Ali Firdaus yang telah banyak
membantu penulis dalam meminjamkan Printer dengan sukarela dan M. Zam-
zam al-Faroqi S.Th.I teman seperjuangan di Pon-Pes Riyadlus Sholihin
Probolinggo Jatim yang telah membantu tahap penyusunan skripsi.
11. Kawan-kawan Kosan Syehab Budiyanto S.Sos, Zakaria SH, Hikmawan, Arfan
Efendi, Ahmad Bekti dan Iskandar Hidayat yang turut membantu dan berperan
dalam proses penyelesaian skripsi ini, namun luput untuk penulis sebutkan,
tanpa mengurangi rasa terima kasih penulis.
Akhirnya, tidak ada gading yang tak retak, tidak ada manusia sempurna.
Namun begitu, semua tulisan yang ada di dalam skripsi ini adalah tanggung jawab
penulis. Untuk semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini
penulis ucapkan terima kasih.
Jakarta, 24 Februari 2018
Subhan Syamsuri
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ……………………………….... i
LEMBAR PERNYATAAN …………………………………………………… ii
ABSTRAK ……………………………………………………………….…….. iii
KATA PENGANTAR ………………………………………………………..... iv
DAFTAR ISI ……………………………………………………………….……vii
PEDOMAN TRANSLITERASI ………………………………………….….... ix
BAB I PENDAHULUAN……..…………………………………...….………. 1
A. Latar Belakang Masalah……………...………..…………….............. 1
B. Pembatasan dan Perumusan masalah……………..……………..….... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan…………………..…………..….......... 6
D. Tinjauan Pustaka………………..……………………………….….... 7
E. Metode Penelitian…………..……………………………………....... 10
F. Sistematika Penulisan……..……………………………….………… 12
BAB II GAMBARAN UMUM SEPUTAR KEMATIAN….……………….... 13
A. Definisi kematian ...………………………………..………….…..…. 13
B. Kematian dalam al-Qur‟an ……...…………………...……….…...… 18
C. Proses Kematian .,.………………………..…….……………...……. 21
D. Perbedaan Kematian Manusia dan Hewan.…………………….….… 28
BAB III BIOGRAFI - AL-R Z dan KARAKTERISTIK
TAFSIR MAF T H AL-GH IB…………………………………..... 28
A. Biografi Fakhr al-Dîn al-Râzî al-Râzî………………….……….…..... 28
1. Riwayat hidup Fakhr al-Dîn al-Râzî al-Râzî……………….…….... 28
2. Aktivitas keilmuan Fakhr al-Dîn al-Râzî al-Râzî…………….…..... 28
B. Latar belakang penulisan kitab Mafâtîh Al-ghâib................................ 31
C. Sumber penfsiran dan ihwal kepengarangan Mafâtîh Al-Ghâib.......... 32
D. Metode dan corak tafsir Fakhr al-Dîn al-Râzî al-Râzî…….…….…..... 34
BAB IV PENAFSIRAN KEMATIAN DALAM AL-QURAN MENURUT
FAKHR - AL-R Z ……………………...…………….......... 35
A. Gambaran seputar kematian……..…………………………............. 35
B. Kematian awal dari kehidupan ……..……….................................. 49
C. Mati dalam keadaan beriman..…………………………………........ 52
D. Mati dalam keadaaan kafir ..………………………………….......... 56
ix
BAB V PENUTUP…….………………………………………………….......... 62
A. Kesimpulan…………………...…………………………………….. 62
B. Saran-saran…………...……………….…………………..………… 62
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………….……... 64
x
PEDOMAN TRANSLITERASI HURUF ARAB-LATIN
Skripsi ini menggunakan “Pedoman Penulisan Skripsi” yang terdapat dalam
Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Ceqda 2007 dan Pedoman Akademik Universitas
Islam Negeri Syarif Hidyatullah Jakarta 2011/2012.
Padanan Aksara
No. Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
Tidak dilambangkan ا 1
B Be ب 2
T Te ت 3
T ث 4
s
Te dan es
J Je ج 5
H Ha dengan garis bawah ح 6
K خ 7
h
Ka dan ha
D De د 8
D ذ 9
z
De dan zet
R Er ر 10
Z Zet ز 11
S Es س 12
Sy Es dan ye ش 13
S Es dengan garis di bawah ص 14
D De dengan garis di bawah ض 15
T Te dengan garis di bawah ط 16
Z Zet dengan garis di bawah ظ 17
ع 18
„ Koma terbalik di atas hadap
Kanan
G غ 19
h
Ge dan ha
xi
F Ef ف 20
Q Ki ق 21
K Ka ك 22
L El ل 23
M Em م 24
N En ن 25
W We و 26
H Ha ه 27
A postrof „ ء 28
Y Ye ي 29
Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal
tuggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.
Untuk vokal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
No. Vokal Arab Vokal Latin Keterangan
1
a Fathah
2
i Kasrah
3
u Dammah
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai
berikut:
No. Vokal Arab Vokal Latin Keterangan
1
A
i
A dan i
xii
2
A
u
Adan u
Vokal Panjang
ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
No.
VokalArab
VokalLatin
Keterangan
1
 A dengan topi di atas
2
Î I dengan topi di atas
3
Û u dengan topi di atas
Kata Sandang
Kata sandang yang dalam sistem aksaraArab dilambangkan dengan huruf,
yaitu dialihaksarakan menjadi huruf /I/, baik diikuti oleh huruf syamsiyyah, maupun
huruf qamariyyah. Contoh: al-Rijâl bukan ar-rijâl, al-Dîwân bukan ad-dîwân.
Syaddah (Tasydîd)
Syaddah atau tasydîd yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda
syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda
syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah.
Misalnya, kata tidak ditulis ad-darûrah, melainkan al-Darûrah, demikian dan
seterusnya.
xiii
Ta Marbûtah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat pada kata
yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat
contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûtah tersebut diikuti
oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti
kata benda ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh
3). Contoh:
No Kata Arab Transliterasi
1
Tarîqah
2
al-Jâmiʻah al-Islâmiyyah
3
Wahdat al-Wujûd
Huruf Kapital
Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital dikenal, dalam alih aksara
ini huruf kapital ini juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan yang berlaku dalam
Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara lain untuk menulisakna
permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan, nama diri dan lain-lain.
Penting diperhatikan, jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis
dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata
sandangnya. Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâlî, bukan Abû Hâmid Al-Ghazâlî, al-Kindi
bukan Al-Kindi.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kematian adalah sebagai ketiadaan hidup atau antonim dari hidup. Konsep
kematian merupakan salah satu kehendak Allah yang tak diduga akan kedatangannya,
dan kematian juga menempati posisi tersendiri dalam keimanan, percaya atau
tidaknya bahwa kematian itu pasti akan menghampiri seluruh makhluk yang
bernyawa. Banyak ayat al-Qur’an yang menjelaskan perihal kematian, kurang lebih
ada seratus tujuh puluh dua ayat menjelaskan tentang kematian.1
Ketika seseorang telah percaya kepada tuhan dan ketetapannya, tentu mereka
akan membicarakan hal selanjutnya yang akan terjadi setelah kematian yaitu alam
akhirat. Kebanyakan orang mempercayai bahwa perbuatan manusia dibalas kelak di
akhirat. Tidak hanya orang islam yang mempercayai kehidupan setelah mati,bahkan
dalam ajaran hindu-budha telah mengenal apa yang dimaksud nirwana (surga).2
Kematian adalah sesuatu yang pasti akan kedatangannya. Karena Allah sendiri
mengingatkan dalam al-Qur’an, Q.S.Ali-Imran ayat 185, dijelaskan “setiap yang
bernyawa akan merasakan kematian”.Seorang ulama bernama al-Raghib al-Isfahanī
menulis “kematian merupakan tangga menuju kebahagiaan abadi. Ia merupakan
1M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟an: Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan
Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1994). h. 237-238 2Dadan Rusmana, al-Qur‟an dan Hegemoni Wacana Islamologi Barat (Bandung: Pustaka
Setia, 2006), h. 307-308.
2
perpindahan dari satu tempat ke tempat lain, sehingga dengan demikian kematian
merupakan kelahiran baru bagi manusia”.3
Kematian yang terjadi tak kenal ruang dan waktu, setiap hari dan setiap saat di
dunia ini adalah peristiwa yang tidak dapat dihindari. Walaupun berbeda sebab-sebab
yang menimbulkan kematian, namun mati atau kematian itu satu, yakni nyawa
bercerai atau berpisah dengan raga. Mati itu bukan berarti lenyap atau hilang,
melainkan perpindahan dari satu alam ke alam lain. al-Qur’an mengajarkan, bahwa
kematian itu tidak dapat dihindari, walaupun dengan bertahan dalam benteng yang
kuat kematian tidak dapat dipercepat atau diperlambat sebelum waktunya. 4Orang
yang tiada mempercayai hari akhirat, hari kebangkitan baru, menganggap bahwa
hidup ini hanyalah hidup di dunia semata dan tidak ada ulasannya. Kematian yang
diharapkan manusia beriman tentu saja mati dalam keadaan beriman, dan jangan mati
dalam kemaksiatan.5
Dalam perbincangan masyarakat luas, kematian tidaklah dianggap sebagai
suatu hal yang aneh, kematian memang sesuatu yang pasti adanya. Namun pola pikir
dan kepercayaan manusia yang berbeda-beda sudut pandang dan menganggap bagi
sebagian orang bahwa kematian adalah sebuah musibah, dan sebagian yang lainnya
menganggapnya sebagai suatu kenikmatan yang tidak terlepas dari faktor internal dan
eksternal yang memayunginya. Tidakkah manusia menganggap hidup di dunia itu
lebih baik dibanding nanti setelah mati, dan sebaliknya, bukankah kematian itu adalah
3Mahir Ahmad ash-Shufiy, Ensiklopedia Akhirat, Misteri Kematian dan Alam (Solo: Tiga
Serangkai, 2007), h. 3 4Choiruddin Hadiri SP, Klasifikasi Kandungan al-Qur’an (Jakarta: Gema Insani Press, 1994), h.
135. 5H. Fachrudin. Hs, Ensiklopedi al-Qur’an (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), h. 64-65.
3
hanya ketiadaan hidup di dunia saja dan kehidupan yang sesungguhnya adalah
kehidupan ketika setelah meninggalkan dunia yang fana‟ ini. Kematian memang
kelihatannya sebagai kepunahan akan tetapi pada hakikatnya kematian adalah
kelahiran baru bagi makhluknya.6
Banyak dari kalangan ‘awam yang menganggap kematian sebagai kelenyapan
atau akhir dari segalanya, akibat pandangan demikian, tak sedikit dari sebagian
mereka menebarkan kerusakan di muka bumi ini. Sebaliknya, tak jarang pula yang
frustasi, fatalistik, dan hampa makna. Karena mati begitu menakutkan. Kematian
dipandang kekuatan Maha dahsyat yang siap merenggut eksistensi kapan dan di mana
saja. Sesungguhnya masa yang lekang oleh detik pastilah berakhir bagaimanapun
lamanya. Andaikata manusia dapat melihat apa yang telah dilihat nyawanya direnggut
oleh maut, pasti sikap dan keadaan semua bukan seperti sekarang. Tetapi yakinlah,
bahwa dalam waktu dekat tabir maut pasti mencabik-cabik sehingga manusiapun
dapat melihatnya, kekhawatiran atau rasa takut, hadir bagi siapa saja yang menduga
atau menantikan datangnya sesuatu yang buruk. Ini berarti menyangkut sesuatu yang
akan datang.7
Fakhr al-Dîn al-Râzî menjelaskan didalam kitab tafsirnya Mafâtîh al-Ghaib
bahwa kematian itu terjadi dua kali, kematian pertama dialami manusia sesaat
manusia dalam keadaan belum ditiupkanya ruh, yakni dalam masa kandungan.
Kemudian kematian kedua dialami ketika manusia menghembuskan nafas terakhir,
6M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟an: Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan
Masyarakat, h 237. 7Mathin Kusuma Wijaya, Makna Kematian Dalam Pandangan Jalaluddin Rahmat, skripsi
(Yogyakarta: Fakultas Ushuludin, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2009).
4
yakni ketika manusia meninggalkan dunia yang fana‟ ini. Begitupun dengan
kehidupan manusia, kehidupan terjadi dua kali, kehidupan pertama dialami ketika
manusia terlahir di dunia, kemudian kehidupan kedua dialami manusia, ketika di hari
pembangkitan.8
Tidak luput dari pandangan mufasir modern,dalam surah al-Zumar (39) ayat 42,
al-Marâghi juga menjelaskan bahwa Allah-lah yang menggenggam rûh-rûh ketika
ajal manusia telah tiba dan memutuskan hubungan dengan tubuh ketika itu, lahir
maupun batin, dan memutuskan hubungan manusia dengan-Nya secara lahir saja
ketika tidur. Pertama, Allah menggenggam ruh dan tidak mengembalikannya lagi.
kedua, yakni dalam keadaan tidur, Allah melepaskannya kembali ke dalam tubuh
ketika bangun tidur. Hal ini memuat dalil-dalil yang menunjukkan atas kekuasaan
Allah bagi mereka yang mau berpikir dan memperhatikan.9
Penulis lebih tertarik memilih mengambil kitab tafsir Mafâtîh al-Ghaib untuk
dijadikan referensi utama sebagai penafsiran ayat-ayat tentang kematian dengan
beberapa alasan. Pertama, penulis mencoba menghadirkan profil mufasir yang hidup
di era abad pertengahan penafsiran. Kedua, karena pengarang dari kitab tafsir tersebut
merupakan profil mufasir yang banyak menguasai dalam bidang keilmuan. Ketiga,
penulis memilih kitab Mafâtîh al-Ghaib karena melihat berdasarkan penamaan kitab
tersebut “Mafâtîh al-Ghaib” yang berarti penyingkap hal gaib, dari penamaan
tersebut penulis berharap dapat mengetahui jawaban yang mendalam terhadap
tafsiran yang menjadi tema dalam pembuatan skripsi ini, serta dengan karakteristik
8Fakhr al-Dîn al-Râzî, Mafâtîh al-Ghaib (Beirut: Darul Fikr, 2005), h. 260-261.
9Ahmad Musthafa al-Marâghi, Terjemah tafsir al-Marâghi, Jilid 24 (Semarang: Toha Putera,
1992), h. 15.
5
pengemasannya pula dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang menjadi daya tarik
mengapa penulis lebih memilih kitab tafsir tersebut.
Judul skripsi yang hendak penulis bahas adalah “Hakikat kematian pada
manusia perspektif Fakhr al-Dîn al-Râzî dalam kitab tafsir Mafâtîh al-Ghaib”.
Mengapa penulis mengambil judul demikian, pertama, letak ketertarikan dari tema
ini terkait kematian adalah kematian itu sendiri merupakan perkara gaib, meskipun
kematian bukanlah suatu hal yang tabu di masyarakat, namun kematian merupakan
suatu rahasia Allah, tak ada satupun manusia yang mengetahui akan tiba ajalnya.
Kedua, selain bersifat gaib, kata kematian juga banyak disebutkan dalam ayat-ayat al-
Qur’an dengan berbagai lafaz, kurang lebih seratus tujuh puluh dua ayat yang
berbicara tentangnya. Dari sekian banyaknya ayat yang terkandung dalam al-Qur’an,
kematian memiliki karakteristiknya masing-masing, sehingga pembahasanya yang
begitu luas.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Mengingat banyaknya ayat al-Qur’an yang membahas tentang kematian, kurang
lebihnya terdapat seratus tujuh puluh dua ayat dengan berbagai derivasinya, penulis
perlu membatasi pembahasannya. Setelah penulis mencoba menginventarisir ayat-
ayat al-Qur’an yang membahas kematian, penulis mencoba membatasinya dengan
mengklasifikasikannya, sehingga menjadi empat kategori utama.
Pertama, Membahas gambaran umum seputar kematian. Kedua, Kematian awal
dari Kehidupan, Ketiga, gambaran tentang kematian untuk orang-orang kafir, dan
keempat membahas tentang gambaran kematian bagi orang-orang yang beriman.
6
Berdasarkan pengklasifikasian di atas, sehingga memunculkan ayat-ayat al-Qur’an
yang membahas seputar kategori tersebut.
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, dapat diklasifikasikan dan dijadikan
oleh penulis sebagai rumusan masalah sebagai berikut :Bagaimana penafsiran Fakhr
al-Dîn al-Râzî dalam kitab tafsirnya Mafâtîh al-Ghaib perihal ayat-ayat al-Qur‟an
yang berbicara tentang kematian?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan ini antara lain adalah :
a. Secara Akademis penelitian ini melengkapi penelitian Muhammad Syamsul
Huda yang berjudul “Pandangan al-Ghazali Tentang Kebangkitan Jasmani
Dalam Kitab Tahafut al-Falâsifah” dalam skripsi ini di jelaskan perdebatan
seputar problematika eskatologis, di mana timbul pertanyaan apakah ada
kebangkitan setelah kematian?
b. Sebagai penambah khazanah keilmuan dalam bidang kajian tafsir khususnya
untuk mahasiswa dan mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan untuk
hal layak pada umumnya
2. Manfaat Penulisan
Manfaat dari penulisan ini adalah:
a.. Mengetahui definisi kematian.
b. Mengetahui penafsiran ayat-ayat al-Qur’an tentang kematian menurut Fakhr al-
Dîn al-Râzî dalam kitab tafsir Mafâtîh al-Ghaib.
7
D. Tinjauan Pustaka
Membumikan al-Qur’an: Kematian merupakan sebuah hukum alam yang
mutlak adanya, berbicara tentang kematian tentunya bukanlah perkara mudah,
terlebih sebagai manusia yang serba terbatas tentunya akal manusia tidak sampai
untuk menjangkaunya, serta kematian itu sendiri menjadikan sosok yang
menyedihkan bahkan menakutkan dalam setiap pembicaraannya. Dalam buku yang
berjudul Membumikan al-Qur’an, karya M. Quraish Shihab terdapat beberapa tema
dan sekaligus merupakan tafsiran dari penulis buku ini yang disajikan secara ringkas
dan padat. Dalam bab “Kematian Dalam al-Qur’an”, penulis buku ini dapat memberi
sedikit penjelasan seperti apa kematian yang digambarkan dalam al-Qur’an. Dimulai
dengan gambaran-gambaran manusia mengingkari nikmat-nikmat Tuhannya, seperti
yang diterangkan dalam (Q.S. 2:196) Gambaran yang sama juga terdapat dalam (Q.S.
20:120), yang menjelaskan di mana Nabi Adam tergoda oleh rayuan palsu iblis untuk
memakan buah kekekalan, katanya“maukah kamu kutunjukkan pohon kekekalan dan
kekuasaan yang tiada habisnya?”
Dalam buku ini juga dijelaskan, bahwa kematian itu memiliki dua sudut
pandang yang berbeda. Di satu sisi ia menampakkannya sebagai suatu malapetaka
atau musibah, dan di sisi lain ia menampakkannya sebagai suatu nikmat yang tak
terhingga. Diterangkan bahwa seorang ulama bernama al-Raghib al-Isfahâniy
menjelaskan “kematian merupakan proses menuju tangga keabadian, perpindahan
dari satu tempat ketempat yang lain; kematian juga merupakan kelahiran baru bagi
manusia. Manusia mencapai kesempurnaan hidupnya ketika berpindah dari satu
tempat ke tempat lain, dalam arti bahwa untuk mencapainya manusia harus
8
mengalami kematian terlebih dahulu, karena kematian adalah pintu untuk menuju
keabadian”.10
Psikologi Kematian: Psikologi sebagai sebuah ilmu yang mengkaji pikiran,
perasaan, dan perilaku seseorang memandang kematian sebagai suatu peristiwa
dahsyat yang sesungguhnya sangat berpengaruh dalam kehidupan seseorang, namun
seseorang jarang atau enggan membicarakanya secara terang-terangan. Sebagian
orang ada yang menganggap kematian sebagai malapetaka yang merampas
kenikmatan hidupnya, sehingga diantara mereka lebih memilih jalan gaya hidup yang
hedonis sebelum kematianya, mereka begitu memuja kenikmatan duniawi. Dengan
pola pikir yang seperti ini, mereka menganggap masa muda sebagai golden years of
life. Namun ada pula yang berpandangan sebaliknya, mereka meyakini bahwa hidup
di dunia ini hanya sesaat saja, sehingga tidak terlalu memusatkan pada kehidupan
duniawinya, dan ada juga golongan yang menganggap tidak mau berpikir mengenai
kematian, lupakan kematian, pikirkan dan kerjakan apa yang ada di depan mata.11
Skripsi yang berjudul “Makna Kematian Dalam Pandangan Jalaludin Rahmat”
merupakan sebuah karya ilmiah Mathin Kusuma Wijaya, seorang mahasiswa Strata
satu jurusan Aqidah Filsafat fakultas Ushuluddin di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Dalam skripsi tersebut dijelaskan makna kematian dalam perspektif yang lebih
sufistik bahwa makna dari kematian itu adalah proses penyucian diri, proses manusia
menyucikan diri dari aktivitas atau perbuatannya di dunia. Sebelum melakukan
penyucian tersebut manusia diharapkan melakukan taubat. Dijelaskan pula penyucian
10
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟an: Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan
Masyarakat, h. 237-238. 11
Komarudin Hidayat, Psikologi Kematian: mengubah kematian menjadi optimism, h. 5
9
itu terjadi tiga kali, pertama, di alam dunia, kedua,di alam barzah, dan ketiga, di alam
akhirat. Jadi, kematian adalah proses menyucikan diri dari hal yang bersifat bathil
ketika di dunia.12
Skripsi yang berjudul “Efektifitas Mengingat Kematian Berdasarkan Pemikiran
Al-Ghazali Dalam Menurunkan Agresi”, sebuah skripsi yang disusun oleh Ipah
Syaripah Anwar, seorang mahasiswa program studi Psikologi Fakultas Ilmu Sosial
dan Humaniora, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga. Di dalamnya dijelaskan
bahwa masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak yang bersifat
dependen menuju masa dewasa yang menuntut kemandirian. Masa remaja juga
ditandai dengan perubahan fisik dan tingkat emosional seseorang. Masa remaja yang
seharusnya menjadi awal perubahan yang positif sekaligus menjadi ikon penerus
bangsa kita, belakangan masa-masa remaja tercoreng dengan hadirnya kasus-kasus
kekerasan baik yang sifatnya individu maupun mengatasnamakan kelompok dengan
banyak menimbulkan kerugian yang berakibat fatal, seperti terjadinya pembunuhan,
bunuh diri, melukai sesama yang kesemuanya dianggap sebagai suatu kerugian.
Untuk mengatasi problematika tersebut, dalam skripsi ini dijelaskan bahwa
salah satu upaya ampuh yang dapat mencegah kasus tersebut adalah mengingat
adanya kematian, bahwa kematian itu pasti ada, menjemput siapapun tak mengenal
waktu dan tempat. Karena dengan mengingat kematian secara tidak langsung dapat
meningkatkan kesadaran seseorang, sehingga seseorang akan menyadari betapa
pentingnya arti hidup. Banyak hal-hal yang lebih positif daripada berbuat kekerasan,
12
Mathin Kusuma Wijaya, Makna Kematian Dalam Pandangan Jalaludin Rahmat, h. 3.
10
kekacauan di mana-mana, serta dengan mengingat kematian ini dapat menambah rasa
kebersyukuran seseorang terhadap apa yang dimilikinya.13
Skripsi yang berjudul “Pandangan al-Ghazali Tentang Kebangkitan Jasmani
Dalam Kitab Tahafut al-Falâsifah” adalah skripsi yang ditulis oleh Muhammad
Syamsul Huda, mahasiswa jurusan Aqidah Filsafat, fakultas Ushuluddin, Universitas
Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Menjelaskan perdebatan seputar
problematika eskatologis, di mana timbul pertanyaan apakah ada kebangkitan setelah
kematian, sebenarnya pertanyaan ini sudah terjawab secara aksiomatis sejak abad
pertengahan dan sampai saat ini, namun saat ini pertanyaan-pertanyaan itu terus
melahirkan jawaban-jawaban yang variatif seiring berkembangnya pemikiran filsuf,
mulai dari kebangkitan itu hanya berupa jasad saja, ada yang berupa ruh, yang
kesemuanya memiliki faktor-faktor tertentu yang melatarbelakangi argumen-argumen
tersebut. Dari permasalahan itu, muncul beberapa aliran filsafat Yunani, pertama,
aliran materialisme, kedua, aliran spiritualisme, dan yang ketiga, aliran moderat.14
Untuk judul yang penulis ajukan tidak membahas kematian dalam perspektif
tasawuf maupun filsafat, tetapi lebih memusatkan pada kajian ilmu tafsir, terutama
tafsirnya Fakhr al-Dîn al-Râzî, Mafâtîh al-Ghaib. Dalam hal ini Penulis belum
menemukan judul dan pembahasan yang sama.
E. Metode Penelitian
1. Metode
13
Ipah Syaripah Anwar, Efektifitas Mengingat Kematian Berdasarkan Pemikiran al-Ghazali
Dalam Menurunkan Agresi, skripsi (Yogyakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora, Universitas
Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2013). 14
Muhammad Syamsul Huda, Pandangan al-Ghazali Tentang Kebangkitan Jasmani Dalam
Kitab Tahafudz al-Falâsifah, skripsi (Yogyakarta: Fakultas Ushuludin, Universitas Islam Negeri
Sunan Kalijaga, 2009).
11
Metode yang digunakan dalam pembuatan skripsi ini adalah:
a. Metode penelitian Kualitatif, yakni metode yang digunakan untuk meneliti
pada kondisi obyek yang alamiah, sebagai lawannya adalah
eksperimen. 15 Dalam hal ini penulis mencoba untuk mengedepankan
mensistematika data dengan menggunakan kajian telaah pustaka (library
research), yaitu menelusuri dan mengkaji data-data yang berhubungan
dengan masalah penelitian dari sumber-sumber buku.
b. Metode deskriptif-analisis, yaitu mensistematikan data atau keterangan yang
terkumpul dalam sebuah penjelasan terperinci disertai dengan analisis
penulis.16
c. Metode telaah pustaka, yakni membaca dan memahami referensi penelitian,
baik dari sumber data yang bersifat primer, maupun sumber data yang
bersifat skunder.
2. Sumber Data
Sumber data yang akan penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini terbagi
dua:
a. Sumber data primer, yaitu data yang sangat mendukung dan menjadi pokok
pembahasan dalam skripsi ini, atau sumber data utama, yang dalam hal ini
adalah kitab tafsir Mafâtîh al-Ghaib.
15
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan: pendekatan kuantitatif, kualitatif, dan R&D
(Bandung: Alfabeta, 2013) h. 15. 16
Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat (Jakarta: PT. raja Grafindo Persada, 2002), h. 62.
12
b. Sumber data Skunder, yaitu sumber data yang bersifat menunjang terkait
tema yang akan dibahas, sumber data ini dapat berupa buku-buku, jurnal,
karya ilmiah lainnya terkait dengan masalah yang akan dibahas. 17
F. Sistematika Penulisan
Sistematika yang hendak penulis paparkan dalam pembuatan skripsi ini terdapat
lima sub-bab, meliputi:
Bab pertama, Pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, rumusan
masalah, pembatasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, telaah pustaka, metode
penelitian, kerangka teoritis dan sistematika penulisan.
Bab kedua. Penulis mencoba memaparkan definisi umum seputar kematian,
serta menjelaskan kematian ditinjau dari sudut pandang psikologi.
Bab ketiga. Dalam bab ini penulis mencoba memulainya dari memaparkan
biografi beserta seluk beluk mufassir, yang dalam hal ini adalah Fakhr al-Dîn al-Râzî
dan kitab tafsir Mafâtîh al-Ghaib.
Bab keempat. Penulis mencoba mengklasifikasikan ayat al-Qur’an yang
berhubungan dengan kematian dan menafsirkannya.
Bab kelima. Penutup berupa kesimpulan, yakni memaparkan intisari dari
pembahasan beserta saran-saran terkait pembahasan.
17
Sudarto. Metodologi Penelitian Filsafat (Jakarta: PT. raja Grafindo Persada, 2002), h. 62.
13
BAB II
TINJAUAN UMUM SEPUTAR KEMATIAN
A. Definisi Kematian
Mati adalah lawan kata dari hidup, hidup dan mati adalah istilah yang saling
berlawanan seperti halnya siang dan malam, gelap dan terang, dingin dan panas, oleh
karena itu, salah satu dari keduanya merupakan kata yang saling berlawanan.1Mati
atau kematian secara etimologi berasal dari bahasa Arab (موت) bentuk isim mashdar
dari kata (مات– يموت–موتا) yang artinya mati.2 Makna maut dalam bahasa Arab juga
berarti diam, tak bergerak, menjadi dingin, rusak, hilang, sesuatu yang tidak memiliki
rûh, dan kosong dari bangunan penduduk.3
Kematian merupakan sunnatullah bagi setiap makhluk yang bernyawa,
kematian juga risiko hidup. Sejak Adam diciptakan sampai hari kiamat, tidak ada
seorang pun yang bisa menolak akan datangnya kematian. Allah SWT telah
menganugerahi akal kepada manusia, meskipun ilmu dan teknologi berkembang
dengan pesat, serta banyak penemuan-penemuan baru yang dapat mengangkat
kesejahteraan hidup manusia, kemampuan akal tetap terbatas, karena semuanya akan
terhenti pada usia pikun dan dihadapkan dengan kematian. Kematian merupakan
sunnatullah yang tidak dapat diubah oleh makhluk, sebagaimana segala peristiwa di
alam ini yang merupakan ketetapan Allah, seperti sperma yang merupakan asal mula
manusia, udara yang mengandung unsur oksigen, hidrogen, karbon dioksida yang
1Ibn.Mandzur, Lisan al- ‛Arab (Lebanon: Dar al-Khotob al-Ilmiyah, 2009), h. 103.
2Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), h. 1365.
3Ibnu Mandzur, Lisân al- ‛Arab, h. 104.
14
menjadi sumber kehidupan manusia, kesemuanya merupakan salah satu ciri
sunnatullah bagi makhluk-Nya, dan itupun tidak dapat dirubah oleh manusia
manapun.4
Secara medis, seseorang dikatakan telah mati apabila semua organ tubuhnya
sudah rusak dan tidak dapat berfungsi lagi, aliran darah terhenti, detak jantung tak
lagi berfungsi, fungsi otak tak dapat bekerja lagi, semuanya terhenti secara total.
Sementara dalam terminologi tasawuf, al-maut didefinisikan sebagai keterpurukan
dari sinar-sinar yang dapat membawa seorang sufi pada keadaan al-mukasyafah
(terbukanya pengetahuan tentang Tuhan) dan al-tajalli (terbukanya hati dengan
memperoleh pengetahuan tentang yang gaib). Makna al-maut yang sedemikian
merupakan makna kiasan (al-majazi) yang berkaitan dengan aḥwāl tasawuf. Dalam
pengertian lain, al-maut didefinisikan sebagai penolakan atau mematikan hawa nafsu,
karena hawa nafsu bagi seorang sufi adalah sesuatu yang buruk atau sesuatu yang
dapat melalaikannya dari dzikir kepada Allah SWT. Dengan begitu makna dasar al-
maut itu sendiri berarti mati.5
Pada dasarnya manusia itu sendiri dibekali hawa nafsu, dengan hawa nafsu
tersebut manusia bisa berkehendak sesuai yang diinginkannya. Namun karena hawa
nafsu cenderung memuja sesuatu yang bersifat kenikmatan atau kesenangan duniawi,
tidak sedikit manusia yang terjerumus di dalamnya. Manusia bebas berkehendak
sesuai apa yang diinginkannya meskipun terkadang menyimpang terhadap hak azasi
manusia, norma masyarakat, bahkan syariat agama sekalipun, sehingga dapat
4Mahir Ahmad ash-Shufiy, Ensiklopedia Akhirat, Misteri Kematian dan Alam Barzakh, h. 3
5Azyumardi Azra, Ensiklopedi Tasawuf (Bandung: Angkasa, 2008), h. 818.
15
melalaikan manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dengan begitu, keadaan
inilah yang membuat para sufi berusaha untuk menjauhkan hal itu, yakni dengan cara
mematikan hawa nafsu tersebut. Namun selain bermakna kiasan (al-majazi) dalam
ajaran tasawuf, al-maut juga dipahami seperti halnya definisi pada umumnya, yakni
berpisahnya ruh dari jasad manusia.6
Selain lafadz (موت), al-maut juga disebutkan dalam al-Qur’an dengan bentuk
lain, yakni dengan menggunakan lafadz (توفي), (الوفاة) yang berarti wafat, atau mati,
kata “tawaffa” yang merupakan asal kata dari wafat bermakna mematikan.7 Wafat
atau mati adakalanya disebut dengan wafat besar (kubra) dan wafat kecil (sughra‟).
Para ulama mendasarkan mati itu disamakan dengan tidur, tidur adalah wafat,
sedangkan bangun tidur adalah kebangkitannya.8 Allah berfirman dalam QS. al-
An’âm ayat 60, yang artinya, “Dan Dialah yang mewafatkan kalian pada malam hari
dan mengetahui apa yang kamu kerjakan pada siang hari, kemudian Ia
membangunkan kalian padanya (siang itu)”. Dan pada kesempatan lainnya Allah
SWT berfirman dalam QS. al-Zumar ayat 42, yang artinya, “Allah memegang jiwa
(orang) ketika matinya, dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu
tidurnya; maka tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya, dan
melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang telah ditentukan. Sesungguhnya pada
yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berpikir”.9
6Azyumardi Azra, Ensiklopedi Tasawuf, h. 818-819.
7Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir, h. 1572.
8Umar Sulaiman al-Asyqar, Ensiklopedia Kiamat (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2005), h.
27. 9Umar Sulaiman al-Asyqar, Ensiklopedia Kiamat (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2005), h.
29.
16
Wafat kecil (sughra) yang dimaksud adalah tidurnya seseorang, tidurnya
seseorang yang diidentikkan dengan mati, karena ketika seseorang sedang tidur
digenggamlah nyawa seseorang oleh Allah, kemudian ia melepaskannya kembali
seketika seseorang itu terbangun dari tidurnya. Tidur serupa dengan mati, yang
sedang tidur diibaratkan sebagai layang-layang yang terbang jauh ke angkasa, akan
tetapi talinya tetap dipegang oleh pemain, sedang (seseorang) yang telah mati
bagaikan layang-layang yang telah putus talinya, sehingga ia diterbangkan ke arah
yang dikehendaki angin dan tidak kembali.10
Itulah yang dimaksud dengan wafat
besar (kubra) adalah ketika Allah mengambil nyawa seseorang dan tidak
melepaskannya kembali hingga waktu yang telah ditentukan, dan kesemuanya itu
merupakan urusan Allah.11
Meskipun mati serupa dengan tidur, tetapi ada faktor
eksternal yang mempengaruhi seseorang, yang dalam hal ini adalah amal ibadah
seseorang tersebut. Bisa jadi dengan amalan ibadahnya yang baik akan menjadikan
kematian itu lebih nyaman daripada tidur, atau menjadikannya sakit melebihi aneka
sakit.12
Allah SWT menciptakan sebagian orang takut mati atau lebih suka hidup dari
pada mati. Pada satu sisi kematian dianggap sebagai suatu yang dinanti oleh sebagian
orang, sebab mereka beranggapan bahwa kematian adalah pintu menuju gerbang
keabadian, kehidupan di dunia hanyalah bersifat sementara, kehidupan di dunia
hanyalah ajang untuk mereka menunaikan kewajibannya sebagai khalifah Allah di
muka bumi,memperbanyak amal ibadah untuk bekal menuju kehidupan yang lebih
10
M. Quraish Shihab, al-Lubâb (Jakarta: Lentera Hati, 2013), h. 438. 11
Umar Sulaiman al-Asyqar, Ensiklopedia Kiamat, h. 28. 12
M. Quraish Shihab, al-Lubâb, h. 438.
17
abadi, dan yang terpenting adalah untuk mencari ridha Allah SWT. Namun di sisi
lain, kematian oleh sebagian orang dianggap sesuatu yang sangat mengerikan dan
menakutkan sekaligus menjadi kepedihan yang sangat mendalam, sebab dengan
adanya kematian adalah kehancuran, kepunahan baginya. Semua harta kekayaan yang
mereka miliki dengan susah payah di dunia ini tidak akan dapat dipakainya lagi
ketika seseorang telah menemui ajalnya, berpisah dengan sanak saudara, kerabat,
bahkan orang-orang di sekelilingnya.13
Allah SWT telah menanamkan rasa cinta dunia pada diri manusia dengan
menganugerahkan rezeki dan keturunan. Manusia akan berusaha untuk memenuhi
kebutuhan diri dan keturunannya, mereka berusaha keras untuk memenuhi segala
kebutuhannya, baik sandang, pangan maupun papan untuk kelangsungan hidupnya
yang sejahtera. Namun seiring dengan kebutuhan manusia tersebut yang cenderung
ke arah yang bersifat keduniawian, Nabi Muhammad SAW memberi bimbingan
kepada manusia agar berusaha mendapatkan kehidupan dunia dan jangan berputus
asa. Diriwayatkan dari Ibnu Malik r.a. bahwa Rasulullah bersabda, “jika kiamat tiba
dan di antara kamu masih memegang bibit kurma, tanamlah bibit itu jika
memungkinkan.” (HR. Imam Ahmad dalam Musnad). Hal itu bukan berarti cinta
manusia terhadap kehidupan dunia dihapus Allah atau dihilangkan, melainkan agar
manusia lebih selektif dalam menjalankan amal ibadahnya, dalam artian kebutuhan
duniawi harus seimbang dengan kebutuhan akhiratnya, karena kehidupan akhirat
bersifat abadi.14
13
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur‟an, h. 70. 14
Mahir Ahmad al-Shufî, Ensiklopedia Akhirat, Misteri Kematian dan Alam Barzah, h. 15.
18
B. Kematian dalam al-Qur’an
Mati menurut Al-Qur’an adalah terpisahnya Ruh dari jasad dan hidup adalah
bertemunya Ruh dengan Jasad. Kita mengalami saat terpisahnya Ruh dari jasad
sebanyak dua kali dan mengalami pertemuan Ruh dengan jasad sebanyak dua kali
pula. Terpisahnya Ruh dari jasad untuk pertama kali adalah ketika kita masih berada
dialam Ruh, ini adalah saat mati yang pertama. Seluruh Ruh manusia ketika itu belum
memiliki jasad. Allah mengumpulkan mereka dialam Ruh dan berfirman sebagai
disebutkan dalam surat al-A’raf 172: “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan
keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian
terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka
menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang
demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami
(bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”, (al-
A’raf 172).15
Ketika sampai waktu yang ditetapkan, Allah akan mengeluarkan Ruh dari
jasad. Itulah saat kematian yang kedua kalinya. Allah menyimpan Ruh dialam
barzakh, dan jasad akan hancur dikuburkan didalam tanah. Pada hari berbangkit
kelak, Allah akan menciptakan jasad yang baru, kemudia Allah meniupkan Ruh yang
ada di alam barzakh, masuk dan menyatu dengan tubuh yang baru sebagaimana
disebutkan dalam surah Yasin ayat 51: “Dan ditiuplah sangkakala, maka tiba-tiba
mereka ke luar dengan segera dari kuburnya (menuju) kepada Tuhan mereka. 52-
Mereka berkata: “Aduh celakalah kami! Siapakah yang membangkitkan kami dari
15
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur‟an, h. 92.
19
tempat tidur kami (kubur)?” Inilah yang dijanjikan (Tuhan) Yang Maha Pemurah
dan benarlah Rasul-rasul (Nya)”. (Yasin 51-52)16
Manusia hidup di dunia bagaikan seorang musafir yang beristirahat sejenak,
apakah di bawah pohon yang rindang, atau di kolong langit di bawah teriknya panas
atau curahan hujan, namun yang pasti perjalanan berlanjut, detik demi detik berganti
sampai akhirnya suka atau tidak suka detik hidup kita di dunia pasti berakhir.17
Kita
hidup menghembuskan nafas adalah hakikat yang sulit dibantah dan hampir tidak
diperselisihkan oleh manusia. Tetapi ke mana hidup kita mengarah ? dapat
disimpulkan, etika agama begitupun filsafat, menetapkan adanya tujuan dalam hidup
ini. Ada tiga hal pokok mengenai tujuan hidup ini. Pertama, tentang kewajiban yang
menjelaskan apa yang mesti dikerjakan. Kedua, kebajikan dan bagaimana mestinya ia
dikerjakan. Ketiga, nilai-nilai yang menjelaskan mengapa kita melakukan hal-hal di
atas.18
Pada dasarnya kekhawatiran atau rasa takut, hadir bagi siapa yang menduga
atau menantikan datangnya sesuatu yang buruk. Ini berarti menyangkut sesuatu yang
akan datang, seperti halnya ketuaan, kelemahan, bahkan kematian yang merupakan
sebuah keniscayaan. Padahal jelas ketuaan dan kelemahan merupakan konsekuensi
dari keinginan kita untuk bertahan lama di pentas dunia ini. Dalam kasus takut
menghadapi kematian, hanya lahir bagi mereka yang tidak mengetahui hakikat maut,
ke mana ia akan berada setelah-Nya, atau yang menduga dengan adanya kematian itu
16
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, h. 93. 17
M. Quraish Shihab, Menjemput Maut: Bekal Perjalanan Menuju Allah SWT (Jakarta: Lentera
Hati, 2004), h. 9. 18
M. Quraish Shihab, Menjemput Maut: Bekal Perjalanan Menuju Allah SWT, h. 18
20
adalah sebuah kepunahan. Itu merupakan gambaran sekelompok orang yang tidak
memiliki dasar tentang kematian. Pada hakikatnya maut serupa dengan tidur, ia
nyaman, kecuali ada faktor lain yang membuatnya tidak nyaman. Arahnya pun jelas,
setelah kematian semua orang akan kembali pada Allah, dan kematian bukanlah akhir
dari segalanya, melainkan perpindahan dari satu alam ke alam lain, hanya sebuah
transisi kehidupan. Menuju kehidupan yang lebih abadi.19
Kematian itu bukanlah suatu kepunahan, melainkan perpindahan alam semata.
Dalam konteks kematian, tidak hanya ditemukan dalam ajaran agama, melainkan
keyakinan sebagian besar para filosof, ilmuwan, bahkan masyarakat umum meyakini
akan adanya konsep keabadian jiwa. Bahwa manusia itu sendiri terdiri dari dua
element, yakni badan yang berupa materi dan jiwa yang bersifat non-materi, sudah
dijelaskan dalam bab sebelumnya kehancuran itu berlaku pada benda-benda yang
tarstuktur, seperti halnya badan manusia, sedangkan jiwa karena sifatnya non-materi
sehingga tidak mengenal istilah kehancuran pada dirinya. Sekalipun ilmu
pengetahuan belum mampu mengungkapkan secara ilmiah mengenai keberadaan dan
hakikat jiwa, namun hampir semua masyarakat, suku, bangsa, dan agama
mengajarkan sebuah keyakinan yang sangat kuat akan gagasan keabadian jiwa. Salah
satu contoh sederhananya adalah orang Mesir kuno lebih senang membangun
kuburan ketimbang istana, itu menandakan bahwa ada kehidupan lain setelah
kematian, boleh saja jasad akan hancur, namun keyakinan keabadian jiwa Nampak
tercermin dari salah satu contoh di atas.20
19
M Quraish Shihab, Menjemput Maut, h. 42-44. 20
Komarudin Hidayat, Psikologi Kematian, h. 100-103.
21
Dengan berbagai pandangan, baik yang menilai kematian adalah sebuah suatu
yang menakutkan, maupun sesuatu yang dinantikan kedatangannya. Sejatinya,
merenungkan makna kematian, tidak berarti lalu kita pasif. Sebaliknya, justru lebih
serius menjalani hidup, mengingat fasilitas umur yang teramat singkat dan pendek.
Ibarat orang sedang lomba lari, maka seseorang tersebut akan berpacu karena adanya
batas waktu dan garis finis.21
C. Proses Kematian
Ketika seseorang telah berbicara terkait kematian maka tak luput dari proses-
prosesnya, Hadis Nabi saw yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Abbas ra bahwa
Rasulullah saw bersabda: "Bahwa malaikat maut memperhatikan wajah manusia
dimuka bumi ini 70 kali dalam sehari. Ketika Izrail datang merenung wajah
seseorang, ditemukan orang itu ada yang tertawa-tawa.” Lalu Malaikat izrail
berkata: 'Alangkah herannya aku melihat orang ini, sedangkan aku diutus oleh Allah
untuk mencabut nyawanya, tetapi dia masih bersantai dan bergelak tawa.' Jika dibuat
survey, dari 100 orang di dunia ini barangkali hanya 1 yang selalu ingat mati. Dalam
arti bahwa orang itu selalu menyiapkan dirinya untuk menghadapi maut yang bisa
datang kapan saja. Orang yang ingat mati akan selalu berusaha mengumpulkan bekal
untuk menghadapi dua tahap berikutnya yaitu alam barzah dan alam akhirat.22
Peristiwa kematian itu sangat menakutkan, orang hanya bisa berdoa dan
berusaha untuk menunda kedatangannya, tetapi tidak mampu mengalahkannya.
Karena ketakutannya itu sehingga manusia berusaha untuk melupakan dan menghibur
21
Komarudin Hidayat, Psikologi Kematian, h.84. 22
M. Quraish Shihab, Menjemput Maut: Bekal Perjalanan Menuju Allah SWT, h. 25.
22
dirinya. Dari sudut psikologi banyak pertanyaan muncul mengapa seseorang enggan
mati, absurd dan paradoks, memang. Sekali lagi, bahwa kematian itu adalah sebuah
kemestian yang tidak dapat terelakan. Karena kematian sudah merupakan kepastian,
dan suatu yang menakutkan, maka orang lebih memilih untuk tidak memikirkannya
dan berusaha menghindarinya agar bisa merasakan kebahagiaan setiap saat yang
dilaluinya. Seperti halnya burung unta, cara yang praktis ketika menghindari bahaya
adalah dengan memasukan kepalanya ke dalam pasir sehingga musuh yang ditakuti
tidak kelihatan, sekalipun sangat bisa jadi dalam hatinya ia merasa takut, begitu pula
manusia. Ia melupakan kematian dengan berbagai cara, namun selalu dibayangi oleh
sosok kematian.23
Dalam sebuah hadis Rasulullah saw menjelaskan bahwa kesakitan ketika
hampir mati itu seperti dipukul 100 kali dengan pedang tajam atau seperti dikoyak
kulitnya dari daging ketika masih hidup. Bayangkanlah betapa sakit dan dahsyatnya
saat menghadapi kematian. Bahkan Nabi Idris yang minta cara terhalus dalam
mencabut nyawa-Nya pun masih merasakan sakit luar biasa. Maka sangat
beruntunglah siapa yang matinya dalam keadaan khusnul khatimah. Salman Al-Farisi
meriwayatkan hadis Nabi saw yang artinya: "Perhatikanlah tiga hal kepada orang
yang sudah hampir mati itu. Pertama: berkeringat pada pelipis pipinya; kedua:
berlinang air matanya dan ketiga: lubang hidungnya kembang kempis. "Sedangkan
jika ia mengeruh seperti tercekik, air mukanya nampak gelap dan keruh, dan
mulutnya berbuih, menandakan bahwa azab Allah sedang menimpa dia." (HR.
23
Komarudin Hidayat, Psikologi Kematian, h. 138-144.
23
Abdullah, al-Hakim dan at-Tarmizi) Kematian 'mengundang' manusia secara
perlahan-lahan atau bertahap mulai dari jasad, ujung kaki kemudian ke paha.24
Untuk orang kafir, ketika nyawanya hendak dicabut Izrail, wajahnya akan
menjadi gelap dan keruh dan dia mengeruh seperti binatang yang disembelih. Itu pula
tanda azab yang diterimanya karena dosa dan kekafiran mereka. Al-Qamah bin
Abdullah meriwayatkan hadis Rasulullah saw yang artinya: "Bahwa ruh orang
mukmin akan ditarik oleh Izrail dari jasadnya dengan perlahan-lahan dan halus,
sementara roh orang kafir akan direntap dengan kasar oleh malaikat maut bagaikan
mencabut nyawa seekor khimar." Mungkin ada juga orang kafir yang mati dalam
ketenangan karena ketika hidupnya dia berbuat kebajikan dan itu adalah balasan
terhadapnya karena setiap kebajikan pasti akan dibalas. Tetapi karena tidak beriman,
maka itu tidak menjadi pahala baginya dan kekafirannya tetap diazab di akhirat.25
Rasulullah SAW pernah bersabda bahwa hidup di dunia ini bagaikan masa
tanam, dan hasil panennya nanti dinikmati setelah meninggal. Karena kematian
adalah suatu kemutlakan dan pasti kedatangannya, maka sikap terbaik kita adalah
bersiap untuk menyambutnya, sebagaimana kita menyambut datangnya pesta ulang
tahun, lebaran, atau peristiwa lain yang kita yakini pasti, padahal tingkat kepastiannya
tidak sebanding dengan kepastian datangnya peristiwa kematian. Dunia bagaikan
masa tanam, dan panennya adalah ketika setelah meninggal nanti. Ibarat seorang
petani yang begitu bergairah menanam dan mengurusi tanamannya dengan penuh
kasih dan antusiasme, baik karena kecintaan pada pekerjaannya maupun karena
24
Umar Sulaiman al-Asyqar, Ensiklopedia Kiamat, h. 33. 25
M. Quraish Shihab, Menjemput Maut: Bekal Perjalanan Menuju Allah SWT, h. 98
24
membayangkan datangnya hari panen. Jika harapan dan ramalan petani tentang hasil
panennya meleset dan mengecewakan, mungkin dikarenakan hama wereng maupun
akibat banjir, yakni masih banyak kemungkinan dalam hasil panennya meskipun
dalam prosesnya dilakukan dengan sebaik mungkin.26
Lain halnya dengan hukum sebab-akibat dari perilaku manusia, siapa yang
menanam kebaikan di dunia, maka akan memanen kebaikan pula di akhirat kelak, dan
barang siapa yang menanam keburukan di dunia, maka ia akan memanen
kesengsaraan kelak. Hukum sebab-akibat yang ditimbulkannya bersifat mutlak.27
Dalam sebuah petuah mengatakan “kita siap hidup, tetapi tidak siap mati.
Padahal, kematian akan datang juga sebagai sebuah pergiliran yang pasti.
Beruntunglah manusia yang beriman kepada Allah karena Dia Maha Pengampun,
Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Dia menunggu kepulangan kita ke pelukan-
Nya dengan tetap menyediakan ampunan dan Rahmat-Nya, bagi siapapun yang
memintanya”.28
Telah dijelaskan dalam bab sebelumnya, perihal definisi umum dan
seputar kematian, dan gambaran beberapa golongan dalam menghadapi atau
menyikapi problema kematian. Banyak hal yang harus dipersiapkan oleh seseorang
dalam menghadapi kematiannya, sejauh mana seseorang menyiapkan dirinya dalam
menghadapi kematiannya, langkah apa saja yang sudah mereka tempuh sejauh ini.
Pertanyaan tersebut secara tidak langsung mengajak kita agar senantiasa tergerak
hatinya untuk mempersiapkannya sedini mungkin. Salah satu upaya untuk
mempersiapkannya adalah dengan cara mengingatnya, mengapa mengingat kematian
26
M. Quraish Shihab, wawasan al-qur’an, h. 76 27
M. Quraish Shihab, membumikan al-qur’an, h. 57 28
Yusuf Mansyur, Kado Ingat Mati (Bandung: PT. Karya Kita, 2008), h. 74.
25
itu begitu penting ? dijelaskan dalam sebuah hadis Nabi Muhammad: “Perbanyaklah
mengingat sesuatu yang memotong beberapa kelezatan dengan cepat”.29
Maksudnya adalah manusia sebisa mungkin mengurangi kelezatan duniawi
dengan mengingat kematian. Hidup di dunia hanyalah sementara, dan akhirnya kita
akan kembali kepada-Nya. Dalam hadis lain juga disebutkan “Persembahan mukmin
adalah maut”.30
D. Perbedaan Kematian bagi Manusia dan Hewan.
Kematian bagi manusia itu bukanlah suatu kepunahan, melainkan perpindahan
alam semata. Dalam konteks kematian, tidak hanya ditemukan dalam ajaran agama,
melainkan keyakinan sebagian besar para filosof, ilmuwan, bahkan masyarakat umum
meyakini akan adanya konsep keabadian jiwa. Bahwa manusia itu sendiri terdiri dari
dua element, yakni badan yang berupa materi dan jiwa yang bersifat non-materi,
sudah dijelaskan dalam bab sebelumnya kehancuran itu berlaku pada benda-benda
yang terstuktur, seperti halnya badan manusia, sedangkan jiwa karena sifatnya non-
materi sehingga tidak mengenal istilah kehancuran pada dirinya. Sekalipun ilmu
pengetahuan belum mampu mengungkapkan secara ilmiah mengenai keberadaan dan
hakikat jiwa, namun hamper semua masyarakat, suku, bangsa, dan agama
mengajarkan sebuah keyakinan yang sangat kuat akan gagasan keabadian jiwa. Salah
satu contoh sederhananya adalah orang Mesir kuno lebih senang membangun
kuburan ketimbang istana, itu menandakan bahwa ada kehidupan lain setelah
29
HR. Tirmidzi yang menganggapnya hasan, al-Nasai dan Ibnu Majah hadits ini termasuk hadits
riwayat Abu Hurairah r.a. 30
HR. Tirmidzi yang menganggapnya hasan, al-Nasai dan Ibnu Majah hadits ini termasuk hadits
riwayat Abu Hurairah r.a
26
kematian, boleh saja jasad akan hancur, namun keyakinan keabadian jiwa Nampak
tercermin dari salah satu contoh di atas.31
Dengan berbagai pandangan, baik yang menilai kematian adalah sebuah suatu
yang menakutkan, maupun sesuatu yang dinantikan kedatanganya. Sejatinya,
merenungkan makna kematian, tidak berarti lalu kita pasif. Sebaliknya, justru lebih
serius menjalani hidup, mengingat fasilitas umur yang teramat singkat dan pendek.
Ibarat orang sedang lomba lari, maka seseorang tersebut akan berpacu karena adanya
batas waktu dan garis finish.32
Peristiwa kematian itu sangat menakutkan, orang hanya bisa berdoa dan
berusaha untuk menunda kedatanganya, tetapi tidak mampu mengalahkanya. Karena
kengerianya itu sehingga orang berusaha untuk melupakan dan menghibur dirinya.
Dari sudut psikologi banyak pertanyaan muncul mengapa seseorang enggan mati,
absurd dan paradoks, memang. Sekali lagi, bahwa kematian itu adalah sebuah
kemestian yang tidak dapat terelakan. Karena kematian sudah merupakan kepastian,
dan suatu yang menakutkan, maka orang lebih memilih untuk tidak memikirkanya
dan berusaha menghindarinya agar bisa merasakan kebahagiaan setiap saat yang
dilaluinya. Seperti halnya burung unta, cara yang praktis ketika menghindari bahaya
adalah dengan memasukan kepalanya ke dalam pasir sehingga musuh yang ditakuti
tidak kelihatan, sekalipun sangat bisa jadi dalam hatinya ia merasa takut, begitu pula
31
Komarudin Hidayat, Psikologi Kematian, h. 100-103. 32
Komarudin Hidayat, Psikologi Kematian. h.84.
27
manusia. Ia melupakan kematian dengan berbagai cara, namun selalu dibayangi oleh
sosok kematian.33
Setiap makhluk hidup pasti akan mengalami kematian, termasuk hewan.
Namun, satu hal yang masih menjadi misteri adalah apakah ada kehidupan
selanjutnya bagi hewan setelah mereka mati? Apakah ada surga dan neraka untuk
mereka?
Berdasarkan al-Qur’an surah al-Takwir 1-5, telah dijelaskan bahwa pada hari
kiamat, hewan (setidaknya beberapa dari mereka) akan dikumpulkan seperti halnya
pada manusia. Adapun bukti lainnya yang menjelaskan fenomena kehidupan hewan
pasca kematian juga terdapat pada al-Qur’an surat al-An'am ayat 38 yang isinya
sebagai berikut: "Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-
burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu.
Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah
mereka dihimpunkan.34
33
Komarudin Hidayat, Psikologi Kematianh. 138-144. 34
Abdul Qadir Abu Faris, Tazkiyatun Nafs Faris (Jakarta: Gema Insani, 2005) h.68.
28
BAB III
FAKHR AL-DÎN AR-RÂZÎ DAN KITAB TAFSIRNYA
A. Biografi Fakhr al-Dîn al-Râzî
1. Riwayat Hidup Fakhr al-Dîn al-Râzî
Nama lengkapnya adalah Abu ‛Abdillah, Muhammad bin „Umar bin al-Ḥusain
bin al-Ḥasan bin ‛Ali al-Tamīmī al-Bakrī al-Tabrastānī al-Râzī, beliau mendapat gelar
Imam Fakhr al-Dîn, tetapi dikenal juga dengan Ibn al-Khatîb. Beliau dilahirkan di
Rayy, Iran pada 15 Ramadhan tahun 445 H. (1149-1209 M.).Beliau termasuk orang
kaya tapi tak jumawa. Mungkin kata-kata itu tepat melekat dalam diri keseharian
beliau. Nama besar al-Râzî ternyata juga berbanding lurus dengan kondisi
perekonomiannya. Beliau tergolong orang yang sangat berkecukupan kaya raya
dengan harta yang melimpah ruah. Kekayaannya tersebut tak lain diperoleh berkat
ilmunya itu. Sebab harta yang terkumpul itu sebagian besar adalah hibbah dari para
sultan, seperti Syihabbuddin al-Ghauri, Sultan Ghaznah, dan sultan ‛Ala ad-Din
Khawârizm Syah. Dengan kekayaannya tersebut tidak lantas beliau menyombongkan
diri, tidak lantas menjadikannya jumawa, tidak dinikmatinya sendiri, melainkan untuk
kepentingan agamanya, mendermakannya untuk kemanusiaan. Itu semua tidak lain
sebagai manifestasi rasa syukurnya atas nikmat yang telah Tuhan berikan selama ini.1
2. Aktivitas Keilmuan Fakhr al-Dîn al-Râzî
Perjalanan menuntut ilmunya diawali di daerahnya sendiri di bawah bimbingan
ayahandanya yang tercatat sebagai murid Imam al-Baghāwī, kemudian beliau
1Saiful Amin Ghofur, Mozaik Mufassir al-Qur’an, Dari klasik Hingga Kontemporer.
(Yogyakarta: Kaukaba Dipantara, 2013), h. 73.
29
mengembara ke berbagai daerah seperti Khawarizm dan Khurasan. Di sana beliau
berguru kepada beberapa ulama termasyhur, seperti al-Kamal al-Syam‛ani, al-Majdi
al-Jîli, dan masih banyak ulama lainnya. al-Râzî sangat giat dan tekun dalam
menuntut ilmu, hampir seluruh disiplin ilmu dipelajarinya, dengan kecerdasan yang
dimilikinya maka wajarlah jika beliau dikenal sebagai pakar dalam berbagai ilmu
pengetahuan. imam terkemuka dalam bidang ilmu syar‛i, ahli tafsir dan bahasa, ilmu
kedokteran, matematika, fisika, bahkan astronomi, serta ahli fiqh dalam madzhab
Syafi‛i. Bukan hanya itu, al-Râzî juga dikenal sebagai orang yang ahli dalam
menguasai dua bahasa, bahasa Arab dan bahasa ‛ajam. Beliau juga sering berorasi,
berceramah, berpidato seputar keagamaan pada para jama‛ah, dan tak jarang para
jama‛ah pun menangis karena tersentuh dengan penyampaiannya yang begitu
mendalam dan berkesan. Dengan keahliannya tersebut tak jarang beliau berdialog
dengan para tokoh yang ada di tanah kelahirannya dan di beberapa Khawarizm dan
Khurasan.2
Fakhr al-Dîn ar-Râzî kemudian meninggalkan Khawarizm dan menuju
Transoxiana (Asia Tengah). Di sana al-Râzî disambut hangat oleh penguasa Dinasti
Guri, Giyatuddin dan saudaranya, Syihabuddin. Namun keberadaan Fakhr al-Dîn al-
Râzî tidak berlangsung lama, dikarenakan mendapat serangan-serangan tajam dari
golongan Karamiah yang mengharuskan Fakhr al-Dîn al-Râzî segera hengkang dari
Transoxiana menuju Ghazna, yang sekarang adalah Afganistan.
Dalam bidang fiqh, Fakhr al-Dîn al-Râzî menganut madzhab Syafi‛i, ia juga
menggunakan pemikiran yang dikembangkan kaum Asy‛ariyah. Sebagai seorang
2Husain al-Dzahabi, Tafsîr wa al-Mufassirûn (Kairo: Maktabah Wahbah, 2004), h. 206.
30
yang mendalami teologi, kajian-kajian teologi dikembangkannya melalui pendekatan
filsafat, karena pendekatannya itu, kerap kali Fakhr al-Dîn al-Râzî dicap sebagai
seorang Muktazilah. Namun konsep dasar Muktazilah pun tidak luput dari kajian dan
kritiknya. Fakhr al-Dîn al-Râzî dinyatakan sebagai tokoh reformasi dunia islam pada
abad ke-6 H, sebagaimana tokoh Abu Hamid al-Ghazali pada abad ke-5 H. Bahkan ia
dijuluki sebagai tokoh pembangun sistem teologis melalui pendekatan filsafat.3
Pembahasan lain yang tidak luput dari perdebatan kaum mutakallimin adalah
mengenai sifat Tuhan Yang Maha Esa. Dalam permasalahan ini, Fakhr al-Dîn al-Râzî
sepakat dengan kalangan Asy‛ariyah, ia mengakui adanya sifat Tuhan. Akan tetapi
sifat-sifat Tuhan itu hanya berjumlah delapan buah, sebagaimana dikembangkan oleh
Imam Syafi‟i, yaitu wahdaniyyat (esa), al-hayah (hidup), al-‘ilm (berilmu), al-qudrat
(berkuasa), al-iradat (berkehendak), al-sam‛u (mendengar), al-bashr (melihat), dan
al-kalam (berfirman).4
Dalam menghadapi ayat–ayat yang berkonotasi tajsim dan takhshis
(anthropomorfis) bagi Tuhan, Fakhr al-Dîn memahaminya sebagai majazi (kiasan),
yang perlu dipahami dan di takwilkan secara metafora, Tuhan menurutnya adalah
suci dari semua penyerupaan dan penyamaan. Tuhan tidak berjisim, karena yang
berjisim memerlukan ruang dan waktu, memerlukan adanya dimensi, setiap yang
berdimensi adalah terbatas, dan setiap yang terbatas bukanlah Tuhan. Tuhan,
menurutnya adalah wajib al-wujud li-dzatih (wajib adanya karena Dzat-Nya) dan
tuhan mempunyai beberapa keistimewaan lainnya, seperti la yatarakkab min ghairihi
3 Azyumardi Azra, Ensiklopedi Islam Jilid 1, h. 328
4 Azyumardi Azra, Ensiklopedi Islam Jilid 1, h.329.
31
(tidak tersusun dari unsur lain), lâ yatarakkabu ‘anhu ghairuhu (selainnya bukan
berasal dari Dzat-Nya), lâ yakunu wujuduhu za’idan ‘ala mahiyatih (wujud-Nya
bukan di luar hakikat-Nya), dan la yakunu musytarikan bain al-isnain (Ia bukan
kombinasi dari dua unsur).
B. Latar Belakang Penulisan Tafsir Mafâtîh al-Ghayb
Fakhr al-Dîn al-Râzî Dalam perjalanan menuntut ilmunya tidaklah selalu
mulus, usut demi usut keadaan seting sosial kala itu sedang dilanda krisis moral,
kekacauan di mana-mana, seperti halnya krisis dalam politik, keilmuan, masyarakat
yang kacau balau, bahkan krisis dalam hal akidah. Seperti halnya seorang pencari
ilmu yang lainnya, Fakhr al-Dîn selalu berpindah tempat dari satu tempat ke tempat
lainnya untuk mencari wawasan baru dan mengamalkan ilmu yang dimilikinya. Kala
itu Fakhr al-Dîn al-Râzî meninggalkan kota kelahirannya menuju Khawarizm (sebuah
daerah di Asia bagian Tengah). Di mana di daerah tersebut berkembang pesat aliran
Mu‟tazilah. Pada kesempatan lain ia pun berpindah meninggalkan Khawarizm
menuju Transoxiana (Asia Tengah), namun keberadaannya di Transoxiana tidak
berjalan lama karena faktor krisis yang mengharuskannya hengkang. Kemudian ia
berpindah lagi Ghazna (sebuah desa di Afghanistan), meskipun daerah tersebut tidak
jauh berbeda dengan desa-desa sebelumnya yang penuh dengan konflik, di sana ia
mulai menetap sampai mendirikan majelis keilmuan.5
Di samping menghadapi konflik yang begitu pelik, perlahan ia mencoba
mempelajarinya satu persatu konflik tersebut. Alhasil berkat kerja kerasnya dalam
menekuni sekaligus mendalami berbagai konflik, muncullah seorang Fakhr al-Dîn al-
5Azyumardi Azra, Ensiklopedi Islam, h. 328.
32
Râzî sebagai seorang yang ikut ambil bagian sebagai “Problem Soulving”, pemecah
kebuntuhan kala itu. Fakhr al-dîn al-Râzî semakin mencuat namanya, dan dikenal
ulama yang menguasai banyak disiplin ilmu dan sangat menonjol dalam ilmu-ilmu
‛aqli dan naqli. Ia pun memperoleh popularitas besar di segala penjuru dunia. Berkat
kemandirian, ketekunan serta kecerdasan yang dimiliki dalam setiap kesempatannya
mencari ilmu, tak ayal banyak karya yang telah ditorehkannya dalam bentuk karya
tulis dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan. Kurang lebih 100 buah kitab telah ia
persembahkan dalam dunia keilmuan. Salah satu karya monumentalnya adalah kitab
tafsir Mafâtîh al-Ghaib.6
C. Sumber Penafsiran dan Ihwal Kepengarangan Kitab Tafsir Mafâtîh al-Ghaib
Berkat keluasan ilmu yang dimilikinya, baik dalam ilmu-ilmu umum maupun
ilmu-ilmu agama, namun ada satu kelebihan yang dimilikinya, yakni ilmu-ilmu
„aqliyah. Sehingga secara tidak langsung pengaruh rasionalitasnya sangat besar
terhadap karya yang dibuatnya, khususnya dalam kitab tafsir Mafâtîh al-Ghaib, tak
heran jika ia mencampur adukan berbagai bidang keilmuan dalam tafsirnya itu. Fakhr
al-Dîn telah mencurahkan perhatian untuk menerangkan korelasi (munasabah) antar
ayat dan surat dalam al-Qur‟an satu dengan yang lain, serta banyak menguraikan
ilmu, seperti ilmu kedokteran, logika, filsafat, hikmah, ilmu eksakta, fisika, falak, dan
kajian-kajian masalah ketuhanan menurut metode dan argumentasi para filosof yang
rasional, di samping itu juga mengemukakan pendapat madzhab-madzhab fiqh. Ini
semua terkadang mengakibatkan keluarnya dari pembahasan makna dalam al-Qur‟an
dan jiwa-jiwa ayatnya serta membawa nash-nash Kitab kepada persoalan-persoalan
6Mannâ al-Qatthân, Studi Ilmu-ilmu Qur‟an (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2011), h. 506.
33
ilmu „aqliyah dan peristilahan ilmiahnya yang bukan untuk itu nash-nash tersebut
diturunkan. Oleh karena itu, kitab ini tidak memiliki rohaniyah tafsir dan hidayah
Islam, sampai-sampai sebagian ulama mengatakan “Di dalamnya terdapat segala
sesuatu selain tafsir itu sendiri”.7
Kitab tafsir Mafâtîh al-Ghaib terdiri dari 12 jilid besar, namun berbagai
pendapat menyatakan bahwa Fakhr al-Dîn tidak sempat untuk menyelesaikannya,
namun pendapat-pendapat itu tidak sepakat mengenai sejauh mana ia menyelesaikan
tafsirnya dan kemudian siapa yang meneruskannya. Muhammad Husain ad-Dzahabi
dalam kitabnya Tafsîr wa al-Mufassirûn mengemukakan bahwa “saya katakan,
sebagai pemecah dari perbedaan pendapat selama ini tentang kesimpangsiuran
tentang apakah Fakhr al-Dîn al-Râzî telah menyempurnakan kitabnya, dan jika tidak,
lantas siapa yang meneruskannya. Adalah Fakhr al-Dîn al-Râzî sebagai penafsir,
namun hanya sampai surat al-Anbiyâ saja, kemudian selanjutnya diteruskan oleh
Syihabuddin al-Khûbi, sayangnya, ia pun tidak sampai tamat, kemudian dilanjutkan
oleh Najmuddin al-Qamûlî yang menyempurnakannya sampai akhir. Tetapi dapat
juga dikatakan bahwa al-Khubi telah menyempurnakannya hingga selesai, sedangkan
al-Qamuliy menulis penyempurnaan lainnya. Bukan yang ditulis oleh al-Khubi.
Seperti yang dilansir dari kitab Kasyfu al-Dzunun.Namun dengan begitu, meskipun
dalam penjelasan tadi bahwa penyempurnaan kitab tafsir Mafâtîh al-Ghaib
7Manna al-Qatthan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, h. 529.
34
disempurnakan oleh tiga orang, tidak terjadi perbedaan yang cukup serius dalam segi
penafsirannya.8
D. Metode dan Corak Tafsir Mafâtîh al-Ghaib
Kitab tafsir Mafâtîh al-Ghaib adalah salah satu karya terbesar yang dimiliki
oleh Fakhr al-Dîn al-Râzî, kitabnya terdiri dari 12 jilid dengan gaya penafsiran sesuai
dengan urutan mushafi, yakni mulai di mulai dari surah al-Fatihah dan di akhiri
dengan surah al-Nas. Kitab tafsir ini tergolong ke dalam tafsir bi al-ra‛yi di mana
pemikirannya di dasarkan atas sumber ijtihad dan pemikiran sang mufasir, disertai
dengan kaidah kebahasaan serta teori ilmu pengetahuan.9
Fakhr al-Dîn al-Râzî dalam menafsirkan ayat- ayatnya lebih mengedepankan
atas dasar pemikirannya sendiri disertai dengan pendapat-pendapat ulama lainnya, ia
tidak terlalu mengutamakan hadîts Nabi. Dalam penafsirannya ia memberikan ruang
yang terbatas untuk memposisikan hadist-hadits Nabi tersebut. Metode yang
digunakan dalam kitab tafsir ini cenderung kepada metode tahlili, di mana ia
mengurai aspek-aspek yang terkandung dalam al-Qur‟an, disebutkan juga kitab tafsir
ini merupakan kitab tafsir bi al-ra‛yi yang komprehensif. Selain itu, Fakhr al-Dîn al-
Râzî dalam hal ini menafsirkan ayat-ayat kematian dengan pendekatan falsafah
sebagaimana berlatar belakangnya sebagai seorang ahli yang banyak membidangi
ilmu-ilmu pengetahuan, akan tetapi dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an Fakhr al-
Dîn al-Râzî lebih menonjolkan dari sisi ilmu filsafat yang dimilikinya.10
8Mana‟ul Qatthan, Mabahits fî ‘Ulûm al-Qur‟an: Pembahasan Ilmu al-Qur‟an 2 (Jakarta: PT.
Rineka Cipta, 1994), h. 228-229. 9Husain al-Dzahabi, Tafsir wa al-Mufassirûn, h. 206.
10 Husain al-Dzahabi, Tafsir wa al-Mufassirûn h. 207.
35
BAB IV
PENAFISRAN AYAT-AYAT AL-QUR’AN TENTANG KEMATIAN DALAM
TAFSIR MAFÂTÎH AL-GHAIB
A. Gambaran seputar Kematian
Dalam kategori ini menjelaskan gambaran seputar kematian, antara lain
meliputi datanganya waktu kematian, proses pencabutan nyawa, konteks kematian.
Allah menciptakan kematian sebagai akhir yang pasti bagi kehidupan. Sebagaimana
diketahui sejauh ini tidak ada seorangpun yang mampu menghindari kematian. Tidak ada
harta benda, kesehatan, jabatan atau kawan yang dapat menjamin keselamatan seseorang dari
maut. Setiap orang pasti mati. Abu Hurairah mengingatkan untuk memperbanyak mengingat
kematian, karena Allah membuka hati orang yang banyak mengingat mati dengan
memudahkan kematian baginya.1 Hasan Basri berkata “Barang siapa mengetahui bahwa
kematian itu urat nadinya, kiamat itu hari pertemuannya dan menghadap Allah itu tempat
tinggalnya maka yang harus ia lakukan adalah bersedia apabila hidup berlama – lama di
dunia. Maksudnya adalah pikirannya terfokus pada kehidupan akhiratnya dan tempat
tinggalnya adalah di hadapan Allah.2
QS. al-Anbiyâ‟: 34-35
Artinya: Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusiapun sebelum
kamu (Muhammad); Maka Jikalau kamu mati, apakah mereka akan kekal?
Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. kami akan menguji kamu dengan
1Azyumardi Azra, Ensiklopedi Islam, h. 327.
2 Azyumardi Azra, Ensiklopedi Islam, h. 339.
36
keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). dan Hanya
kepada kamilah kamu dikembalikan. (Q.S. al-Anbiyâ‟ (21): 34-35).
Surah al-Anbiya menurut Manna al-Qathan tergolong dalam surah Makkiyyah
periode kedua atau pertengahan3. Adapun ayat ini menjelaskan tentang sebuah
penegasan Allah Swt terhadap eksistensi manusia atas pertanyaan orang kafir apakah
Nabi Muhammad SAW itu kekal sebagai manusia mengingat dia adalah Nabi akhir
zaman. Sehingga turunlah ayat ini, Fakhr al-Dîn al-Râzî menjelaskan ayat ini dalam
kitab tafsirnya dengan menyajikan beberapa permasalahan, pertama pertanyaan orang
kafir akankah Nabi Muhammad SAW itu kekal? kedua, jika memang Nabi
Muhammad SAW mati, mereka akan mengolok-olok keberadaan Nabi, mereka
beranggapan apa keistimewaan Nabi Muhammad SAW sebagai nabi terakhir, padahal
dia juga mati seperti nabi-nabi terdahulu. Permasalahan yang ketiga, mengingat Nabi
Muhammad SAW adalah Nabi terakhir dan sekaligus pembawa Syari‛at kemudian
mati, pastilah syari‛atnya pun akan terhenti pula.4
Menanggapi pernyataan tersebut kemudian dijelaskan pula pada kitab Asrâr al-
Tanzîl wa Anwâr al-Tanwîl, menegaskan bahwa setiap yang berjiwa pasti merasakan
yang namanya kematian, tanpa terkecuali, dijelaskan pula dalam ayat ini
sesungguhnya ruh manusia itu mati, kematian itu adalah dzauq, dalam artian sebuah
penemuan, sebuah pencicipan indrawi yang terjadi pada saat seseorang mengalami
sakaratul maut. Namun sebelum itu manusia akan diuji dengan ujian demi ujian, baik
berupa kenikmatan maupun musibah, karena ujian bukan hanya digambarkan berupa
3Manna al-Qathan, Studi Ilmu-Ilmu al-Quran, bogor, Pustaka Litera Nusa, 2009, h. 74
4 Fakhr al-Dîn al-Râzî, Mafâtîh al-Ghayb, Jilid 8, h. 4677
37
musibah saja, karena kenikmatan juga adalah sebuah ujian yang Allah berikan kepada
hamba Nya. Setelah ujian demi ujian itu diberikan , maka hanya kepada Nya-lah
semuanya akan kembali.5
QS. Ghâfir: 67.
Artinya: Dia-lah yang menciptakan kamu dari tanah Kemudian dari setetes
mani, sesudah itu dari segumpal darah, Kemudian dilahirkannya kamu sebagai
seorang anak, Kemudian (kamu dibiarkan hidup) supaya kamu sampai kepada
masa (dewasa), Kemudian (dibiarkan kamu hidup lagi) sampai tua, di antara
kamu ada yang diwafatkan sebelum itu. (Kami perbuat demikian) supaya kamu
sampai kepada ajal yang ditentukan dan supaya kamu memahami(nya). (Q.S.
Ghâfir (40): 67).
Surah Ghâfir menurut Manna al-Qathan tergolong ke dalam surah Makkiyyah
bagian ketiga atau bagian akhir6. Adapun ayat ini menjelaskan proses penciptaan
manusia hingga kematianya, menurut Fakhr al-Dîn al-Râzî dalam tafsiran ayat ini
menjelaskan manusia itu diciptakan dari mani dan darah haid, sedangkan air mani itu
sendiri diciptakan dari darah, yang mana darah itu dihasilkan dari makanan baik dari
tumbuh-tumbuhan maupun hewan. Penciptaan manusia sama halnya dengan
penciptaan hewan, ujung dari penciptaan keduanya adalah manusia dihasilkan dari
mani, mani dihasilkan dari darah, darah dihasilkan dari makanan, makanan dari
5Fakhr al-Dîn al-Râzî, Asrâr al-Tanzîl wa Anwâr al-Tanwîl (Beirut: Dar el-Fikr, 2003), h. 205
6 Manna al-Qatthan, Studi Ilmu-Ilmu al-Quran, h. 76
38
tumbuh-tumbuhan, tumbuh-tumbuhan dihasilkan dihasilkan dari tanah dan air. Jadi
manusia itu diciptakan dari tanah.7
Adapun fase-fase pertumbuhan manusia itu dibagi ke dalam tiga tahap:
pertama, masa kanak-kanak, kedua, masa baligh (remaja), dan ketiga, masa tua.
Dimasa tua inilah kehidupan seseorang mulai melemah, baik kekuatan badan maupun
ingatanya. Dari rantaian fase di atas menunjukan bahwa kelemahan fisik dan
melemahnya daya ingat seseorang secara alamiah mendekatkan seseorang pada
kematianya, namun diantara dari sebagian mereka ada yang diwafatkan sebelum fase
yang telah ditetapkan tadi, inilah merupakan kebesaran Allah SWT.8
QS. al-Zumar: 42
Artinya: Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa
(orang) yang belum mati di waktu tidurnya; Maka dia tahanlah jiwa (orang)
yang Telah dia tetapkan kematiannya dan dia melepaskan jiwa yang lain sampai
waktu yang ditetapkan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-
tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berpikir. (Q.S. al-Zumar (39): 42)
Surah al-Zumar menurut Manna al-Qathan tergolong ke dalam surah
Makkiyyah bagian ketiga atau bagian akhir9. Adapun ayat ini menjelaskan
sesungguhnya kematian itu ditangan Allah, Allah memegang jiwa seseorang ketika
dalam keadaan mati dan tidurnya. Ketika dalam keadaan tidur, Allah menahan ruh
7 Fakhr al-Dîn al-Râzî, Mafâtîh al-Ghayb jilid 9,h. 5816
8 Fakhr al-Dîn al-Râzî, Asrâr al-Tanzîl wa Anwâr al-Tanwîl, h. 209
9Manna al-Qathan, Studi Ilmu-Ilmu al-Quran, h. 74
39
seseorang tersebut hingga seseorang terbangun dari tidurnya dan dikembalikanya ruh
tersebut, adapun ketika dalam kematianya, Allah menahan ruh seseorang tetap disisi-
Nya. Dijelaskan oleh Fakhr al-Din al-Râzî, antara tidur dan mati adalah satu jenis yang
sama, hanya saja jikalau tidur itu terputusnya ruh secara tidak sempurna, sedangkan
mati terputusnya ruh secara sempurna. Beliau juga menjelaskan rûh itu ibarat jauhar
(intan) yang bercahaya, ketika dalam keadaan tidur putuslah cahaya tersebut, dan
cahaya tersebut akan bersinar ketika seseorang terbangun dari tidurnya. Dalam ayat
ini dijelaskan tiga hubungan antara ruh dengan badan. Pertama, rûh bercahaya ketika
menytu dengan badan, kedua, meskipun antara tidur dan mati adalah satu jenis yan
sama akan tetapi keadaan tidur tidak sepenuhnya mati, masih memiliki sifat
kehidupan seperti bernafas dan sebagainya, ketiga, kematian adalah terputusnya ruh
secara sempurna. Yang demikian itu adalah salah satu keagungan Allah SWT, bahwa
Allah berhak atas semuanya, dan agar kalian semua berpikir.10
QS. al-Ankabût: 57
Artinya: Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kemudian hanyalah
kepada kami kamu dikembalikan. (Q.S. al-Ankabût (29): 57)
Surah al-Ankabut menurut Manna al-Qathan tergolong dalam surah Makkiyyah
bagian ketiga atau bagian akhir11
. Adapun ayat ini menjelaskan tentang gambaran
sebuah kematian, yakni kematian itu pasti akan menghampiri semua mahluk yang
bernyawa. Menurut Fakhr al-Dîn al-Râzî, menggambarkan kematian sebagai sesuatu
10
Fakhr al-Dîn al-Râzî, Mafâtîh al-Ghayb, jilid 9, h. 5727-5728 11
Manna al-Qatthan, Studi Ilmu-Ilmu al-Quran, h. 74
40
yang tidak enak, dan sesuatu itu mau tidak mau pasti terjadi, pasti menghampiri kita.
Namun di balik itu semua Allah memberikan jawaban dari kematian ini, yakni hanya
kepada Nya lah semuanya akan kembali dan dikembalikan. Pada hakikatnya kematian
itu terjadi hanya bersifat sementara, kematian ini hanyalah sebuah transisi,
perpindahan dari satu alam ke alam lain, dan di alam tersebut mereka tidak lagi mati,
melainkan mereka akan hidup disisi Allah.12
Selain Allah semuanya akan dihukumi mati. Semuanya akan merasakan
kematian, namun lebih baik lagi mati dijalan Allah. Dengan adanya kematian ini
merupakan sebuah peringatan kecil bagi setiap jiwa manusia untuk senantiasa
menyadari bahwa kita diciptakan oleh Allah dan pasti kembali dan dikembalikan
disisi Allah Swt.13
QS. Luqman: 34
Artinya: Sesungguhnya Allah, Hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan
tentang hari Kiamat; dan Dia-lah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa
yang ada dalam rahim. dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan
pasti) apa yang akan diusahakannya besok. dan tiada seorangpun yang dapat
mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui lagi Maha Mengenal. (Q.S. Luqman (31): 34)
12
Fakhr al-Dîn al-Râzî, Mafâtîh al-Ghayb, jilid 9, h. 5292. 13
Fakhr al-Dîn al-Râzî, Asrâr al-Tanzîl wa Anwâr al-Tanwîl, h. 215
41
Surah Luqman menurut Manna al-Qathan tergolong ke dalam surah Makkiyyah
bagian ketiga atau akhir14
. Adapun ayat ini menjelaskan tentang misteri kematian dan
sesuatu yang belum terjadi yang tidak diketahui oleh manusia, manusia tidak tahu
peristiwa apa yang terjadi esok hari, di tempat mana seseorang itu akan mati, dan
kapan terjadinya hari kiamat, semua itu adalah rahasia Allah, Allah Maha mengetahui
segalanya. Dalam ayat ini Fakhr al-Dîn al-Râzî menjelaskan tentang ketakutan manusia
akan hari kiamat, dalam ayat ini pula ditegaskan, seseorang tidak perlu menakutkan
akan hal itu, sebab itu adalah sesuatu yang pasti terjadi. Ibarat kata untuk apa
memikirkan sesuatu yang pasti terjadi, sedangkan untuk esok harinya saja kita tidak
tahu apa yang bakal terjadi, Jadi tidak serta merta Allah menyimpan rahasia itu tanpa
makna, di balik itu semua ada hikmah tersendiri, dengan adanya kepastian seperti
halnya kiamat dan kematian, pertama manusia dituntut harus mengimani, kedua
manusia dituntut untuk selalu berpikir, berusaha sebaik mungkin, dan merenungi.
Pada akhirnya semuanya akan kembali pada Allah Swt.15
QS. Yûnus: 55-56
Artinya: Ingatlah, Sesungguhnya kepunyaan Allah apa yang ada di langit dan di
bumi. Ingatlah, Sesungguhnya janji Allah itu benar, tetapi kebanyakan mereka
tidak mengetahui(nya). Dia-lah yang menghidupkan dan mematikan dan Hanya
kepada-Nya-lah kamu dikembalikan. (Q.S. Yûnus (10): 55-56).
14
Manna al-Qatthan, Studi Ilmu-Ilmu al-Quran, h. 75 15
Fakhr al-Dîn al-Râzî, Mafâtîh al-Ghayb, jilid 9, h. 5363.
42
Surah Yunus menurut Manna al-Qathan tergolong ke dalam surat Makkiyyah
bagian ketiga atau bagian akhir.16
Adapun ayat ini menjelaskan tentang kekuasaan
Allah, sebuah penegasan bahwa semua, segala sesuatu yang ada di bumi dan di langit
adalah milik Allah SWT. Akan tetapi kebanyakan dari mereka tidak mengetahuinya.
Menurut Fakhr al-Dîn al-Râzî segala sesuatu yang ada di bumi maupun di langit ini
adalah dalil atau bukti untuk memantapkan keimanan hamba Nya, dan bukan hanya
itu saja, dengan kuasa Nya Allah mampu menciptakan sesuatu dari sesuatu yang mati
kemudian mematikan sesuatu itu dan menghidupkanya kembali, itu merupakan
sebuah perkara yang sangat mudah bagi Allah, seperti yang telah disebutkan dalam
ayat-ayat sebelumnya.17
Perlu diketahui juga, di balik kekuasaan Allah dalam berkehendak atau
menciptakan sesuatu, terdapat sebuah pelajaran sekaligus menjadi peringatan bagi
hamba Nya, yakni hanya sesuatu yang “mungkin” terjadi, itulah kuasa Allah dalam
menciptakan segala sesuatunya, dalam artian selagi dalil-dalil kekuasaan Allah tidak
bersebrangan dengan logika manusia.18
Untuk memahaminya, ada sebuah
perumpamaan kecil yang terkadang seseorang terjebak dalam sebuah pertanyaan
tersebut.19
Mampukah Allah menciptakan batu yang sangat besar sehingga Allah sendiri
tidak bisa mengangkatnya? jawabnaya adalah jelas, itu adalah sesuatu yang tidak
mungkin terjadi pada Allah. Karena dalam menciptakan segala sesuatunya Allah
16
Manna al-Qatthan, Studi Ilmu-Ilmu al-Quran, h. 74 17
Fakhr al-Dîn al-Râzî, Mafâtîh al-Ghayb jilid 6,h. 3567 18
Fakhr al-Dîn al-Râzî, Mafâtîh al-Ghayb jilid 6,h. 3568 19
Fakhr al-Dîn al-Râzî, Asrâr al-Tanzîl wa Anwâr al-Tanwîl, h. 211
43
menghubungkanya dengan segala sesuatu yang “mungkin” terjadi, diluar itu Allah
tidak akan menjadikannya sesuatu itu.20
QS. al-An‛âm: 60-61
Artinya: Dan dialah yang menidurkan kamu di malam hari dan dia mengetahui
apa yang kamu kerjakan di siang hari, Kemudian dia membangunkan kamu
pada siang hari untuk disempurnakan umur(mu) yang Telah ditentukan,
Kemudian kepada Allah-lah kamu kembali, lalu dia memberitahukan kepadamu
apa yang dahulu kamu kerjakan. Dan dialah yang mempunyai kekuasaan
tertinggi di atas semua hamba-Nya, dan diutus-Nya kepadamu malaikat-
malaikat penjaga, sehingga apabila datang kematian kepada salah seorang di
antara kamu, ia diwafatkan oleh malaikat-malaikat kami, dan malaikat-
malaikat kami itu tidak melalaikan kewajibannya. (Q.S. al-An‛âm (6): 60-61).
Surah al-An‛âm menurut Manna al-Qathan tergolong ke dalam surah
Makkiyyah bagian ketiga atau bagian akhir21
, adapun ayat ini menjelaskan bahwa
Allah menunjukan salah satu keMaha kuasaan terhadap makhluk-Nya. Allah mampu
memindahkan keadaan seseorang dari tidur menjaditerbangun, dari yang hidup
menjadi mati, dan Allah mengatur semua itu dengan sebaik-baiknya.
Menurut Fakhr al-Dîn al-Râzî , dalam lafazh Alladzî yatawaffâkum billaili,
yakni atas kehendak dan kuasa-Nya Allah dzat yang menggenggam kematian
seseorang di malam hari. Seperti yang termaktub dalam Qs. al-Zumar: 42, Allah
20
Fakhr al-Dîn al-Râzî, Mafâtîh al-Ghayb jilid 6,h. 3568 21
Manna al-Qathan, Studi Ilmu-Ilmu al-Quran, h. 74
44
memegang jiwa seseorang dalam keadaan mati maupun sebelum kematiannya. Allah
menggenggam nyawa seseorang pada saat kematianya dan nyawa seseorang yang
belum mati di waktu tidurnya. Pada hakikatnya antara kematian dan tidur itu
merupakan satu jenis, namun yang membedakan antara keduanya adalah jika mati itu
terputusnya ruh dari jasad secara sempurna, sedangkan jikalau tidur terputusnya ruh
dengan jasad secara tidak sempurna, Allah akan mengembalikan nyawa seseorang
hingga seseorang tersebut terbangun dari tidurnya sampai batas waktu yang telah
ditentukan (kematianya). Wa ya‛lamumâ jarahtum binnahâr, seseorang tersebut
dibangunkan lagi di waktu siang hari berupa kesadaran dan sesungguhnya Allah
maha mengetahui atas segalanya. Dari semua penjelasan di atas, bahwa Allah adalah
dzat yang maha kuasa, Allah menjadikan sesuatu yang belum ada menjadi ada dan
meniadakan sesuatu yang ada menjadi tidak ada, dan hanya kepada-Nya lah kita
dikembalikan.22
Dijelaskan pula dalam Q.S. al-Zumar ayat 42, bahwa Fakhr al-Din al-Râzî
menyebut tidur adalah satu jenis yang sama dengan mati. Hanya saja yang
membedakan antara keduanya adalah jikalau tidur itu terputusnya ruh yang tidak
sempurna, masih memiliki sifat hidup pada umumnya, seperti halnya bernafas dan
lainya, sedangkan mati itu terputusnya ruh secara sempurna, tidak adanya tanda-tanda
kehidupan.23
Diteruskan dalam ayat selanjutnya, lagi-lagi berbicara tentang begitu
sempurnanya Allah SWT, Allah itu Maha kuasa. Bahwa Allah itu berkuasa di atas
22
Fakhr al-Dîn al-Râzî, Mafâtîh al-Ghayb jilid 5,h. 2652. 23
Fakhr al-Dîn al-Râzî, Asrâr al-Tanzîl wa Anwâr al-Tanwîl, h. 198
45
hambanya, seperti halnya dalam lafadz yadullah fauqa aydîhim bukan dimaknai
secara harfiah bahwa Allah itu ada di atas tangan mereka, bahwa Allah mempunyai
tangan dan sebagainya, melainkan yang dimaksud adalah kekuasaan yang Allah
miliki. Dalam kaitanya dengan kematian, kematian adalah sepenuhnya hak Allah,
kapanpun dan di manapun Allah berhak atas semua yang telah ditetapkanya sesuatu
itu.24
Menurut Fakhr al-Dîn al-Râzî, Di samping itu Allah juga mempunyai mahluk
yang bernama malaikat, di mana para malaikat ini mempunyai kewajiban masing-
masing, yakni menjalankan tugas yang telah diperintahkan Allah untuknya. Salah
satunya adalah malaikat pencabut nyawa, perlu ditegaskan bahwa Allah menugaskan
para malaikat bukan berarti Allah sendiri tidak mampu melakukanya, jelas-jelas jika
itu terjadi maka itu adalah sifat muhal yang dimiliki Allah yang berarti Allah itu
batal, bukan begitu, melainkan itu adalah sunnatullah yang sudah Allah tetapkan.
Disamping itu paara malaikat dalam menjalankan tugasnya tidak lain atas izin Allah.
Karena Allah sudah menetapkan segala sesuatunya.25
Dijelaskan juga bahwanya pada setiap mahluk (manusia) itu terdapat malaikat
yang ditugaskan Allah untuk menjaganya, yang disebut malaikat hafadzoh. Ada
beberapa pendapat mengenai malaikat tersebut. Pertama, ada yang menyebutkan
bahwa malaikat hafadhoh itu adalah malaikat maut, yang kedua menyebutkan bahwa
malaikat hafadzoh itu bukan malaikat maut, namun dari perbedaan pendapat itu, para
ulama menyondongkan bahwa yang disebut malaikat hafadzoh itu berbeda dengan
24
Fakhr al-Dîn al-Râzî, Mafâtîh al-Ghayb jilid 5, h. 2652-2654 25
Fakhr al-Dîn al-Râzî, Asrâr al-Tanzîl wa Anwâr al-Tanwîl, h. 225
46
malaikat maut, bukan jenisnya. Dijelaskan bahwa tugas dari malaikat hafadzoh ini
adalah menjaga rûh dan jiwa agar tetap bersatu dan tetap terjaga, sebab sifat jasad dan
rûh itu sangat bertolak belakang. Sifat jasad yang cenderung bersifat kotor, bau,
gelap, penuh dengan nafsu, sedangkan sifat dari rûh itu cenderung suci, bersih bahkan
bercahaya. Secara logika jika kedua sifat tersebut disatukan, tidak mustahil lagi akan
saling bertolak, namun berkat para malaikat tersebut, keduanya dapat tetap bersatu
sampai batas waktu yang telah ditentukan.
Menurut imam Mujahid, malaikat menganggap bumi ini sebagai satu wadah
yang diisi dengan sesuatu, begitu kecil bumi ini, sehingga tidaklah mustahil jika para
malaikat dengan begitu mudahnya menjalankan tugasnya, sebut saja malaikat
pencabut nyawa. Dalam mencabut nyawa seeorang ibarat malaikat mengambil
sesuatu itu dari wadah tersebut, sekali lagi, itu semua tidak lain atas seizin Allah
SWT.26
QS. Ali-Imran: 185
Artinya: Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. dan Sesungguhnya pada
hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. barangsiapa dijauhkan dari
neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, Maka sungguh ia Telah beruntung.
kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.
(Q.S. ali-Imran (3): 185).
26
Fakhr al-Dîn al-Râzî, Asrâr al-Tanzîl wa Anwâr al-Tanwîl, h. 185
47
Surah Ali-Imran menurut Manna al-Qathan tergolong ke dalam surah
Madaniyyah27
. Adapun ayat ini menjelaskan sebagian sikap dari orang munafik
dalam perang Uhûd, mereka mengklaim dapat menghindar dari kematian,
sebagaimana telah dijelaskan dalam ayat sebelumnya. Ayat ini juga bertujuan untuk
menghibur Nabi Muhammad SAW dari respon negatif dari orang-orang Yahudi,
bahwa siapapun ia, baik golongan orang yang beriman maupun orang-orang yang
mendustakan ayat-ayat Allah, pasti akan merasakan kematian. kemudian setelah
kematianya ia akan mendapat balasan yang baik maupun yang buruk sejak
kematianya, namun ketika itu belum semua ganjaran yang diterima oleh mereka,
melainkan pada hari kiamat sajalah pahala akan disempurnakan, berbahagialah bagi
mereka yang ketika di dunianya beramal baik, dan sebaliknya merugilah bagi mereka
yang mendustakan ayat-ayat Nya. Untuk itu, gunakanlah masa hidup ini dengan
sebaik-baiknya, sesungguhnya kehidupan bagi orang yang tidak beriman itu tidak lain
hanyalah kesenangan yang memperdayakan, sedangkan kehidupan bagi orang yang
beriman kehidupan adalah kesenangan sekaligus menjadikanya sebagai kesenangan
duniawi dan mengantarkanya ke akhirat nanti.28
Menurut Fakhr al-Dîn al-Râzî, kematian juga disifati dengan pencicipan
sebelum mengalaminya, yang menandakan sebagai sebuah proses dari kematian itu
sendiri, rasa sakit dan kenikmatan saat kematian merupakan sebagian kecil saja
kepedihan dan kenikmatan yang akan dirasakan. Masih ada kenikmatan dan
kepedihan yang melebihi, yakni setelah proses kematian itu. Kematian bagi orang
27
Manna al-Qatthan, Studi Ilmu-Ilmu al-Quran, h. 75 28
Fakhr al-Dîn al-Râzî, Asrâr al-Tanzîl wa Anwâr al-Tanwîl, h. 233
48
yang beriman adalah sebuah kenikmatan, yakni sebelum kematian menjemput,
Malaikat datang dengan menunjukan tempatnya di surga, sebaliknya, bagi orang kafir
sesaat sebelum kematianya tiba, malaikat datang dengan wajah yang menakutkan
dengan menunjukan tempatnya di neraka. Jadi jelas, bahwa setiap sesuatu yang
bernyawa, siapapun itu baik orang yang beriman maupun orang kafir, nabi sekalipun
pasti akan mengalami, mencicipi sebuah kematian, dan setelah itu hanya kepada-Nya
lah semua akan kembali.29
QS. al-Nisa‟: 78
Artinya: Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu,
kendatipun kamu di dalam benteng yang Tinggi lagi kokoh, dan jika mereka
memperoleh kebaikan, mereka mengatakan: "Ini adalah dari sisi Allah", dan
kalau mereka ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan: "Ini (datangnya)
dari sisi kamu (Muhammad)". Katakanlah: "Semuanya (datang) dari sisi Allah".
Maka Mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak
memahami pembicaraan sedikitpun? (Q.S. al-Nisa‟ (4): 78).
Surah al-Nisa‟ menurut al-Qathan tergolong ke dalam surat Madaniyyah30
.
Adapun ayat ini, berdasarkan analisis penulis, mengasumsikan pendapat Fakhr al-Dîn
al-Râzî menjelaskan tentang sebuah kekhawatiran akan tertimpa kematian. Adapun
tujuan dari ayat ini adalah seakan diwajibkanya sebuah perang, di mana dengan
peperangan tersebut seseorang merasa takut akan kematian dengan peperangan
29
Fakhr al-Dîn al-Râzî, Mafâtîh al-Ghayb jilid 3, h. 215. 30
Manna al-Qatthan, Studi Ilmu-Ilmu al-Quran, h. 74
49
tersebut, rasa kekhawatiran maupun ketakutanya melebihi rasa takutnya kepada
Allah. Tidak lain sasaran dari ayat ini adalah orang-orang kafir. Padahal jelas,
meskipun berlindung dalam tembok yang kokoh sekalipun kematian pasti akan
menjemput, kapanpun waktunya dan di manapun tempatnya kematian pasti akan
menjemput setiap makhluk yang bernyawa.31
B. Kematian awal kehidupan setelah dunia
Dalam kategori ini menjelaskan tentang awal kehidupan setelah dunia menurut
Fakhr al-Dîn al-Râzî.
Dalam perjalanan hidupnya manusia akan melalui 7 tahap perjalanan hingga
akhirnya mendapat kemenangan bertemu dengan Allah di surga atau terpuruk
dilembah neraka. Tiap tahap ditempuh dalam waktu yang berbeda mulai dari
hitungan beberapa bulan hingga ribuan tahun. Inilah ke empat alam yang akan dilalui
oleh setiap manusia.32
Manusia merupakan makhluk terakhir yang diciptakan Allah swt. setelah
sebelumnya Allah telah menciptakan makhluk lain seperti malaikat, jin, bumi, langit
dan seisinya. Allah menciptakan manusia dengan dipersiapkan untuk menjadi
makhluk yang paling sempurna. Karena, manusia diciptakan untuk menjadi khalifah
(pemimpin) di muka bumi dan memakmurkannya.33
31
Fakhr al-Dîn al-Râzî, Mafâtîh al-Ghayb, jilid 4,h. 2169. 32
Azyumardi Azra, Ensiklopedi Islam, h. 344. 33
M. Quraish Shihab, Menjemput maut, h. 98
50
Menurut Fakhr al-Dîn al-Râzî persiapan pertama, Allah mengambil perjanjian dan
kesaksian dari calon manusia, yaitu ruh-ruh manusia yang berada di alam arwah.34
Allah mengambil sumpah kepada mereka sebagaimana disebutkan dalam Al- Qur’an:
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari
sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya
berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau
Tuban kami), Kami menjadi saksi". (kami lakukan yang demikian itu) agar di
hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah
orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)",
Setelah mati, manusia memasuki alam barzah atau alam kubur. Alam kubur
merupakan tempat penantian arwah orang-orang yang sudah meninggal sebelum
dibangkitkan kembali oleh Tuhan dalam bentuk baru. Di situ, roh menunggu alam
baru yang dimulai dengan Kiamat.35
Di alam kubur, arwah orang-orang yang telah meninggal dunia menunggu
datangnya hari kiamat, hari di mana semua ruh akan dibangkitkan dan dikumpulkan
di Padang Mahsyar, untuk selanjutnya di hisab. Dari Hisab inilah akan diketahui
apakah seseorang masuk surga atau neraka. Surga dan neraka adalah alam akhirat,
alam akhirat manusia. Di alam kubur manusia menunggu untuk dibangkitkan pada
hari kiamat. Waktu penantian ini bisa berlangsung jutaan tahun bahkan milyaran
tahun.36
34
Fakhr al-Dîn al-Râzî, Asrâr al-Tanzîl wa Anwâr al-Tanwîl, h. 551 35
Rosihon Anwar, Akidah Akhlak, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 180. 36
Fakhr al-Dîn al-Râzî, Mafatih al-Ghaib jilid 6, h. 4498
51
Fakhr al-Dîn al-Râzî menyebutkan bahwa orang yang sudah meninggal dunia
akan menemui suatu perbatasan antara dunia dan akhirat, antara kematian dan
kebangkitan di kemudian hari, masa itu disebut alam barzah. Allah SWT menjelaskan
dalam al-Qur’an:37
(Demikianlah Keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian
kepada seseorang dari mereka, Dia berkata: "Ya Tuhanku kembalikanlah aku
(ke dunia). agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku
tinggalkan. sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah Perkataan yang
diucapkannya saja. dan di hadapan mereka ada dinding sampal hari mereka
dibangkitkan.
Setelah mati, manusia akan menuju kehidupan alam kubur. Inilah tempat
manusia menanti datangnya kiamat dan hari kebangkitan. Didalam kubur, keturunan,
pangkat martabat dan kekayaan seseorang tidaklah berarti. Setiap orang akan
diperlakukan berdasarkan amal perbuatan selama di dunia. Ketika masuk ke dalam
kubur, segala hal yang duniawi ditinggalkan.38
Di dalam kubur juga akan diperihatkan tempat yang kelak dihuni seseorang
setelah dia dibangkitkan. Jika orang itu membawa amal saleh. Dia akan melihat
tempatnya di surga. Sedangkan yang dibawanya adalah dosa dan amal buruk, dia
akan melihat tempatnya di neraka.39
37
Fakhr al-Dîn al-Râzî, Asrâr al-Tanzîl wa Anwâr al-Tanwîl, h. 579 38
Fakhr al-Dîn al-Râzî, Asrâr al-Tanzîl wa Anwâr al-Tanwîl, h. 577 39
Fakhr al-Dîn al-Râzî, Mafatih al-Ghaib jilid 6, h. 4478
52
C. Mati dalam keadaan beriman
Dalam kategori ini menjelaskan keadaan orang beriman ketika menghadapi
kematian dan ketika mengalami kematianya. Bagi mereka kematian itu ibarat sebuah
kenikmatan, karena kematian itulah dapat mengantarkan mereka kepada kehidupan
yang sesungguhnya. Adapun ayat-ayat al-Qur‟an yang termasuk dalam kategori ini
adalah:
QS. al-Nahl: 32
Artinya: (yaitu) orang-orang yang diwafatkan dalam keadaan baik oleh para
malaikat dengan mengatakan (kepada mereka): "Salaamun'alaikum, masuklah
kamu ke dalam surga itu disebabkan apa yang Telah kamu kerjakan". (Q.S. al-
Nahl (16): 32).
Surah al-Nahl menurut Manna al-Qathan tergolong ke dalam surah Makkiyyah
bagian ketiga atau bagian akhir.40
Adapun ayat ini menjelaskan tentang balasan bagi
orang yang bertaqwa diakhir hidupnya, dijelaskan oleh Fakhr al-Dîn al-Râzî dalam
kitab ini, sesungguhnya orang yang bertaqwa ketika meninggal dunia mereka akan
diwafatkan dengan keadaan baik, adapun yang dimaksudkan dengan orang yang
bertaqwa adalah orang yang senantiasa mentaati perintah Allah dan menjauhi segala
larangan-larangan Nya, juga disertai dengan akhlak yang tinggi, dan terbebas dari
akhlak yang tercela.41
40
Manna al-Qatthan, Studi Ilmu-Ilmu al-Quran, h. 75 41
Fakhr al-Dîn al-Râzî Mafâtîh al-Ghayb, jilid 7, h. 4091.
53
Sesungguhnya tidak akan dicabut nyawa orang-orang yang bertaqwa kecuali
disertai dengan kabar gembira, yakni surga. Sehingga seolah-olah orang yang
bertaqwa melihat surga, dan dengan hal ini mereka tidak akan mengalami kesakitan
ketika dicabut nyawanya. Ketika malaikat mencabut nyawa mereka, malaikat
memperlihatkan surga dihadapan mereka, karena sesungguhnya Inilah janji Allah,
Allah menjanjikan surga bagi golongan hamba-Nya yang bertaqwa.42
QS. al-Baqarah: 132
Artinya: Dan Ibrahim Telah mewasiatkan Ucapan itu kepada anak-anaknya,
demikian pula Ya'qub. (Ibrahim berkata): "Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah
Telah memilih agama Ini bagimu, Maka janganlah kamu mati kecuali dalam
memeluk agama Islam". (Q.S. al-Baqarah (2): 132).
Surah al-Baqarah menurut Manna al-Qathan tergolong ke dalam surah
Madaniyyah.43
Adapun ayat ini Fakhr al-Dîn al-Râzî menjelaskan tentang sebuah
wasiat Nabi Ibrahim a.s kepada anak-anaknya untuk berpegang teguh pada agama
Islam, dan janganlah mati dalam keadaan selain berpegang teguh pada agama Islam.
Kisah ini sesungguhnya diceritakan dengan bahasa yang sangat dalam dan bersifat
profokatif dengan gaya bahasa yang mengindikasikan sebuah seruan. Kisah ini
dikemas semenarik mungkin agar seseorang secara suka ria dan tanpa paksaan untuk
mengikuti sebuah pesan-pesan, yang dalam hal ini adalah ajakan untuk tetap dalam
keadaan Islam. itu semua tidak lain adalah salah satu keindahan yang dimiliki oleh al-
42
Fakhr al-Dîn al-Râzî, Asrâr al-Tanzîl wa Anwâr al-Tanwîl, h. 756 43
Manna al-Qatthan, Studi Ilmu-Ilmu al-Quran, h. 75
54
Qur‟an itu sendiri, dibuktikan dengan penggunaan kata wasiat bukan menggunakan
kata perintah, sebab wasiat mengisyaratkan sebuah kehalusan makna, wasiat bersifat
tidak memaksa dan tidak ada paksaan, maka dari itu dalam Islam tidak ada suatu
paksaan, lain halnya dengan sebuah perintah, perintah cenderung memaksa dan ada
sebuah penekanan untuk terjadinya sesuatu. Untuk itu ayat ini menggunakan kata
wasiat bukan perintah untuk anak-anak Nabi Ibrahim a.s.44
Dijelaskan pula di dalam wasiat tersebut agar tetap mati dalam keadaan Islam,
sebab kematian itu bersifat gaib, di manapun dan kapanpun, tidak ada seorangpun
yang mengetahuinya. Karena kematian yang sifatnya gaib, maka upaya untuk tetap
terus dalam keadaan Islam terus ditingkatkan lagi, sebab beruntunglah seseorang
yang mati dalam berpegang teguh agama Islam, sebaliknya orang yang mati dalam
keadaan selain Islam, maka hilanglah sudah kebahagiannya.45
QS. Ali-Imran: 193
Artinya: Ya Tuhan kami, Sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang
menyeru kepada iman, (yaitu): "Berimanlah kamu kepada Tuhanmu", Maka
kamipun beriman. Ya Tuhan kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan
hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami
beserta orang-orang yang banyak berbakti. (Q.S. ali-Imran (3): 193).
Surah Ali-Imran menurut Manna al-Qathan tergolong ke dalam surah
Madaniyyah.46
Adapun ayat ini menjelaskan sebuah doa atau permohonan seorang
44
Fakhr al-Dîn al-Râzî Mafâtîh al-Ghayb, Jilid.2, h. 831 45
Fakhr al-Dîn al-Râzî, Asrâr al-Tanzîl wa Anwâr al-Tanwîl, h. 46
Manna al-Qatthan, Studi Ilmu-Ilmu al-Quran, h. 76
55
mukmin yang memohon agar dirinya diampuni dari segala dosa-dosanya dan
diwafatkan bersama orang-orang yang baik. Dalam pandangan Fakhr al-Dîn al-Râzî,
dalam ayat ini ada tiga permohonan seorang mukmin. Pertama, memohon
pengampunan dosa, kedua, penghapusan dosa, dan yang ketiga adalah memohon
untuk diwafatkan bersama orang-orang yang baik. Dilihat secara lafadz anatara
permohonan yang pertama dan yang kedua itu memiliki arti yang sama, yakni
memohon pengampunan dosa. Namun menurut Fakhr al-Dîn al-Râzî menambahkan
lagi, untuk lafadz ghafara itu berfaidah memohon ampunan secara sungguh-sungguh,
adapun lafadz takfir/ kaffara berfaidah memohon ampunan atas dosa yang cenderung
sering terjadi dan secara tidak langsung terulang dan terulang kembali.47
Wafatkanlah bersama orang-orang yang baik, maksud dari penjelasan ungkapan
tadi adalah sebuah permohonan untuk diwafatkan bersama orang-orang yang baik,
yakni ikut disertakan, ikut dikumpulkan kelak dihari kiamat bersama golongan orang-
orang yang baik, orang yang beriman. Meskipun derajat berbeda akan tetapi diikut
sertakan dalam golongan mereka (orang baik) adalah suatu keberuntungan bagi orang
mukmin.48
QS. al-Nisa‟: 100
47
Fakhr al-Dîn al-Râzî, Mafâtîh al-Ghayb, Jilid 3, h. 1928. 48
Fakhr al-Dîn al-Râzî, Asrâr al-Tanzîl wa Anwâr al-Tanwîl, h. 785
56
Artinya: Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di
muka bumi Ini tempat hijrah yang luas dan rezki yang banyak. barangsiapa
keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya,
Kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju),
Maka sungguh Telah tetap pahalanya di sisi Allah. dan adalah Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S. al-Nisa‟ (4): 100)
Surah al-Nisa‟ menurut Manna al-Qathan tergolong ke dalam surah
Madaniyyah.49
Adapun ayat ini menjelaskan tentang salah satu penguraian nikmat
bagi orang mukmin yang melakukan hijrah ke jalan Allah. Hijrah merupakan salah
satu seruan Allah untuk hamba Nya. Dalam ayat ini dijelaskan oleh mufassir, Fakhr
al-Dîn al-Râzî, bahwa hijrah yang dimaksud disini adalah keluar dari rumah untuk
berjihad. Dijelaskan pula, maksud dari seruan Allah untuk hijrah keluar dari
rumahnya sendiri adalah seseorang mukmin yang berhijrah dijalan Allah akan
menemukan suatu kebatilan, sesuatu yang hina diluar sana, yakni orang-orang kafir.
Allah menegaskan kembali, bahwa berhijrah adalah suatu keberuntungan, barang
siapa yang melakukanya dengan sungguh-sungguh adalah pahala baginya,
kenikmatan baginya. Adapun jika dalam perjalanan hijrah tersebut mengalami
kekalahan dikarenakan orang kafir bahkan mengalami kematian, baginya adalah
suatu kenikmatan, surga baginya.50
D. Mati dalam keadaan kafir
Dalam kategori ini menjelaskan tentang kematian dan orang kafir, selama ini
kematian identik diartikan sebagai ketiadaan, akan tetapi disisi lain kematian juga
diartikan untuk menggambarkan sebuah perumpamaan, yakni tertutupnya hati
seseorang, yang biasa dikenal dengan sebutan kafir. Dalam kategori ini juga
49
Manna al-Qatthan, Studi Ilmu-Ilmu al-Quran, h. 74 50
Fakhruddin ar-Râzî, Mafâtîh al-Ghaib, jilid 4, h. 480
57
menjelaskan bagaimana keadaan orang-orang kafir ketika datang kematian yang
menimpanya. Adapun ayat-ayat al-Qur‟an yang termasuk dalam kategori ini adalah:
QS. al-An‛âm: 36
Artinya: Hanya mereka yang mendengar sajalah yang mematuhi (seruan Allah),
dan orang-orang yang mati (hatinya) ,akan dibangkitkan oleh Allah, Kemudian
kepadaNyalah mereka dikembalikan. (Q.S. al-An‛âm (6): 36).
Surah al-An‛âm menurut Manna al-Qathan tergolong ke dalam surah
Makkiyyah bagian ketiga atau bagian akhir51
. Ayat ini menjelaskan tentang orang-
orang yang tertutup hatinya (kafir) akan seruan Allah, lebih tegas lagi, menurut Fakhr
al-Din al-Râzî orang-orang ini tergolong ibarat orang mati, seyogyanya ia mendengar
tapi tidak bisa mendengar, ia melihat tapi tidak bisa melihat (kekuasaan Allah). Dan
hanya orang yang berimanlah yang dapat mendengar, melihat dan menerima seruan-
seruan Allah. Namun dalam tafsir ini, Fakhr al-Dîn al-Râzî menjelaskan makna yang
berbunyi “dan hanya orang yang mati (hatinya), akan dibangkitkan Allah” yang
dimaksud adalah Allah Maha kuasa, Dzat yang Maha membolak-balikan hati, Allah
memberikan sebuah perumpamaan sederhana, Allah mampu menghidupkan sesuatu
yang telah mati, membangkitkan kembali semua yang telah mati, begitupun hati
seseorang, Allah mampu membuka hati seeorang yang telah tertutup atau mati
hatinya sehingga dapat menerima atau mendengar seruan Allah. Begitupun
51
Manna al-Qatthan, Studi Ilmu-Ilmu al-Quran, h. 75
58
sebaliknya, Allah mampu menutup hati orang yang beriman, itu semua tidak lain
karena sifat kuasa yang dimiliki Allah Swt.52
QS. al-Baqarah: 161.
Artinya: Sesungguhnya orang-orang kafir dan mereka mati dalam keadaan
kafir, mereka itu mendapat laknat Allah, para malaikat dan manusia
seluruhnya.(Q.S. al-Baqarah (2): 161).
Surah al-Baqarah menurut Manna al-Qathan tergolong ke dalam surah
Madaniyyah.53
Adapun ayat ini menjelaskan tentang balasan orang-orang yang
mengingkari ayat-ayat Allah dan kehinaanya hingga akhir hayatnya dan setelah
kematianya tiba, penyebutan kata “kafir” dalam ayat ini bersifat umum, yakni
ditunjukan kepada semua orang kafir yang hidup di zaman Nabi. Abu Muslim
berpendapat, yang dimaksudkan dengan kafir adalah orang-orang yang
menyembunyikan ayat-ayat Allah (bangsa Yahudi). Dijelaskan bahwa mereka yang
termasuk dalam golongan kafir akan dilaknat semasa hidupnya, tidak sampai disitu
merekapun akan dilaknat setelah kematianya tiba. Namun itu semua dikhususkan bagi
mereka yang tergolong kafir semasa hidup hingga akhir hayatnya, tidak terkecuali
bagi mereka yang sebelum kematianya tiba mereka bertaubat, beriman kepada
Allah.54
52
Fakhr al-Dîn al-Râzî, Mafâtîh al-Ghayb., jilid 5, h. 2608-2609 53
Manna al-Qatthan, Studi Ilmu-Ilmu al-Quran, h. 74 54
Fakhr al-Dîn al-Râzî, Asrâr al-Tanzîl wa Anwâr al-Tanwîl, h. 337
59
Menurut Fakhr al-Dîn al-Râzî, ancaman yang diserukan kepada orang kafir juga
diberlakukan kepada malaikat dan seluruh manusia, bahwa merekapun akan melaknat
orang kafir tersebut ketika di akhirat nanti. Bahkan di dalam rombongan kafir
sekalipun mereka saling mengingkari, pendapat sebagian ulama lain mengatakan
khusus semua orang mukminlah yang berhak melaknat orang kafir trsebut. Dalam
akhir ayat ini dijelaskan laknat yang ditunjukan adalah untuk orang yang benar-benar
kafir, dan laknat tersebut bersifat wajib, dalam artian memang benar-benar terjadi
setelah kematianya tiba, yakni siksa akhirat.55
QS. Ali-Imran: 91
Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan mati sedang mereka tetap
dalam kekafirannya, Maka tidaklah akan diterima dari seseorang diantara
mereka emas sepenuh bumi, walaupun dia menebus diri dengan emas (yang
sebanyak) itu. bagi mereka Itulah siksa yang pedih dan sekali-kali mereka tidak
memperoleh penolong. (Q.S. ali-Imran (3): 91).
Surah Ali-Imran menurut Manna al-Qathan tergolong ke dalam surah
Madaniyyah.56
Adapun ayat ini menjelaskan tentang permohonan pertaubatan yang
dilakukan oleh orang-orang kafir yang menyesali perbuatanya selama di dunia.
Adapun sebelum membahas tentang penyesalan orang kafir, menurut Fakhr al-Dîn al-
Râzî menggolongkan kafir dan pertaubatanya dalam tiga macam, pertama, kafir yang
bertaubat secara serius, bersungguh-sungguh sehingga pertaubatanya itu diterima oleh
Allah, yang dimaksud pertaubatanya disini adalah keluar dari kekafiranya, lalu masuk
55
Fakhr al-Dîn al-Râzî, Mafâtîh al-Ghayb, jilid 2, h. 123. 56
Manna al-Qatthan, Studi Ilmu-Ilmu al-Quran, h. 74
60
agama islam. seperti yang disebutkan pula dalam Q.S. Ali-Imran (Q.S. 3:89. kedua,
adalah orang kafir bertaubat tidak dengan sungguh-sungguh atau tidak secara serius,
dalam artian mereka sepakat dengan adanya tuhan, namun mereka tetap tidak
mengakui Allah yang Esa itu adalah tuhanya, masih mentuhankan yang lain selain
Allah, sehingga pertaubatanya itu tidak diterima oleh Allah. Dan yang ketiga adalah
orang kafir yang telah mati kemudian mencoba bertaubat dan menyesali perbuatanya.
Baginya adalah suatu perbuatan yang sia-sia dimata Allah.57
Adapun pembahasan yang lebih spesifik dari ayat ini adalah permohonan
ampunan atau pertaubatan seorang kafir yang terlambat, mereka merasa menyesal
dikemudian hari atas perbuatanya selama di dunia, dengan tegas mereka
menyekutukan Allah. Sebagai gambaran atau perumpamaan, meskipun dengan emas
yang jumlahnya seisi duniapun tidaklah mampu menebus atas kesalahan mereka. Jadi
sia-sialah permohonan ampun atau pertaubatan seorang kafir ketika sudah berhadapan
dengan Allah yang maha adil. Andaikata orang kafir tersebut mempunyai harta
seperti apa yang diibaratkan di atas, sia-sialah upaya mereka, dan memang tidak akan
seperti itu, karena harta benda adalah sesuatu yang tidak bisa menolong ketika
seseorang sudah meninggal, hanya amal kebaikan yang senantiasa memberikan
pertolongan terhadap orang tersebut.58
Q.S. al-Taubah: 84
57
Fakhr al-Dîn al-Râzî, Mafâtîh al-Ghayb jilid 3, h. 1713. 58
Fakhr al-Dîn al-Râzî, Asrâr al-Tanzîl wa Anwâr al-Tanwîl, h. 386
61
Artinya: Dan janganlah kamu sekali-kali menyembahyangkan (jenazah)
seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan)
di kuburnya. Sesungguhnya mereka Telah kafir kepada Allah dan rasul-Nya
dan mereka mati dalam keadaan fasik. (Q.S. al-Taubah (9): 84).
Surah al-Taubah menurut Manna al-Qathan tergolong ke dalam surah
Madaniyyah59
. Adapun dalam ayat ini Fakhr al-Dîn al-Râzî menjelaskan tentang salah
satu kehinaan orang-orang dalam keadaan kafir, salah satunya adalah dengan tidak
untuk memandikan mayit, mensholati bahkan untuknya menziarahi kuburan
dikarenakan kekafirannya. Diceritakan oleh Ibn ‛Abbas Sesungguhnya ayat ini turun
ketika Abdullah Ibn Abi Salûl datang kepada Nabi Muhammad SAW untuk meminta
beliau agar mensholatkan ayahnya yang bernama Abi Salûl, kemudian Sayyidina
‛Umar r.a melarang Nabi Muhammad SAW mensholatkanya dikarenakan dia adalah
seorang yang kafir, dan mati dalam keadaan kekafiranya sehingga dengan tegas
Sayyidina ‛Umar r.a melarang Nabi Muhammad SAW, diceritakan pula ketika Nabi
Muhammad SAW hendak mensholatkanya Sayidina ‛Umar r.a menghalang-
halanginya, akan tetapi dengan keluasan hati Nabi Muhammad SAW, Nabi pun tetap
mensholatkanya, dengan alasan, Nabi Muhammad SAW bersabda “aku mensholati
bukan karena menghormati orangnya, biarlah dia mati dalam keadaan seorang yang
kafir, akan tetapi dengan aku mensholatkanya tidak menutup kemungkinan banyak
dari golonganya yang kafir dapat ikut memeluk Islam”.60
59
Manna al-Qatthan, Studi Ilmu-Ilmu al-Quran, h. 74 60
Fakhr al-Dîn al-Râzî, Mafâtîh al-Ghayb, jilid 6, h. 3393-3395.
62
62
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari rumusan masalah sebagaimana pemilihan ayat-ayat terkait kematian,
penulis bisa menyimpulkan bahwa menurut Fakhr al-Dîn al-Râzî Manusia akan
mengalami kematian tidak satupun yang akan selamat atau terhindar dari maut (QS.
al- Nisa : 78) juga Fakhr al-Dîn al-Râzî memberitahukan kepada manusia bahwa
setiap yang berjiwa akan merasakan mati. Namun pada sisi lain ada hal yang harus
diperhatikan oleh orang mukmin adalah agar tak meniru orang-orang kafir dalam
akidah mereka yang rusak. Karena sakaratul maut datang dengan sebenar-benarnya
sehingga manusia tidak dapat melarikan diri meski berlindung pada benteng yang
kuat dan tinggi, karena kematian pasti akan kedatangannya dan siap merenggut
eksistensi siapapun yang bernyawa. Fakhr al-Dîn al-Râzî menggambarkan apabila
satu kaum melakukan kezaliman dan penganiayaan, Allah memberikan mereka
kesempatan agar kembali ke jalan yang benar dengan bertaubat.
B. Saran-saran
Setelah melalui proses dan penelitian terhadap kitab tafsir Mafâtîh al-Ghaib
karya Fakhr al-Dîn al-Râzî, sebagai upaya pengembangan di bidang tafsir, maka
penulis mengemukakan saran sebagai berikut:
1. Dengan adanya penafsiran ayat-ayat kematian menurut Fakhr al-Dîn al-Râzî
dalam kitab tafsir Mafâtîh al-Ghaib ini, diharapkan sebagai proses atau langkah
untuk rekan-rekan civitas di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta untuk lebih
mengembangkan lagi karya-karya Fakhr al-Dîn al-Râzî yang lainnya lewat
63
penelitian-penelitian yang lebih komprehensif lagi ke depannya, diharapkan
juga sebagai acuan untuk lebih memperhatikan dan memperbaikinya lagi
kelengkapan-kelengkapan karya Fakhr al-Dîn al-Râzî lainnya agar bisa
dinikmati oleh semua kalangan khususnya di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dengan hadirnya sebuah penafsiran ayat-ayat al-Qur’an tentang kematian ini,
diharapkan menjadi sebuah pelajaran bagi kita semua, bahwa kita hidup di
dunia ini hanyalah sementara, semua yang ada di dunia ini bersifat fana‟.
Untuk itu marilah manfaatkan hidup kita sebaik mungkin untuk hal-hal yang
lebih bermanfaat lagi. Jadikan hari ini lebih baik dari pada hari kemarin.
64
DAFTAR PUSTAKA
Abu Faris, Abdul Qadir. 2005. Tazkiyatun Nafs “Menyucikan jiwa”. Jakarta: Gema
Insani.
Anwar, Ipah Syaripah. 2013. Efektifitas Mengingat Kematian Berdasarkan Pemikiran
al-Ghazali Dalam Menurunkan Agresi. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga.
Arifin, Bey. 1994. Hidup Sesudah Mati. Jakarta: CV. Kinta
Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Al-Asyqar, Sulaiman. 2007. Ensiklopedia Kiamat. Jakarta: PT. Serambi Ilmu
Semesta.
Azra, Azyumardi. 2008. Ensiklopedi Tasawuf. Bandung: Angkasa.
____. 2001. Ensiklopedi Islam Jilid 1. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve.
Chalil, Komarudin. 2006. Sense of Death “Kepekaan terhadap kematian”. Bandung:
Pustaka Madani.
Departemen Agama RI. 2006. Al-Qur‟an dan Terjemahnya. Bandung : C.V.
Diponegoro.
Fachruddin. 2000. Ensiklopedi al-Qur‟an. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Fauzi, Achmad. 2009. Psikologi Umum. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Fuad Abdul Baqi, Muhammad. 2007. Mu‛jam Mufahrâs li al-fadz al-Qur‟an al-
Karim. Kairo: Dar al-Hadis.
Al-Ghazali. 2001. Ba‛da al-Maut “Konsep Hidup Sesudah Mati”. Bandung: Husaini
Ghofur, Syaiful Amin. 2013. Mozaik Mufassir al-Qur‟an: Dari klasik hingga
kontemporer. Yogyakarta: Kaukaba Dipantara.
Hadiri, Choiruddin. 1994. Klasifikasi Kandungan al-Qur‟an. Jakarta: Gema Insani
Press.
Hasbi Siddiqie, T.M. 1980. Sejarah dan Pengantar Studi al-Qur‟an. Jakarta: Bulan
Bintang
65
Hidayat, Komarudin. 2006. Psikologi Kematian: Mengubah kematian menjadi
optimisme. Jakarta: Hikmah, PT. Mizan Publika.
Huda, Muhammad Syamsul. 2013. Pandangan al-Ghazali Tentang Kebangkitan
Jasmani Dalam Kitab Tahafudz al-Falasifah. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga.
Husaiyn al-Dzahabi, Muhammad, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn. Dar al-Fikr: Beirut.
Ilmi, Fahrul. 2008. Hadis Tentang Sampainya Hadiah Pahala Bagi Orang Meninggal
(Studi Kritik Sanad dan Matan Hadis). Yogyakarta.
_____ . 1994. Mabahits fî Ulumil Qur‟an: Pembahasan ilmu-ilmu al-Qur‟an 2.
Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Mandzur, Ibnu. 2009. Lisânul ‛Arab. Lebanon: Dar al-Khotb al-Ilmiyyah
Mansyur, Yusuf. 2008. Kado Ingat Mati. Bandung: PT. Karya Kita.
Al-Marâghi , Musthafa. 1992. Terjemah Tafsir al-Marâghi Jilid 24. Semarang: Toha
Putra.
Pusat Studi al-Qur‟an (PSQ) & Ikatan Alumni al-Azhar International (IAAI)
Indonesia, Modul “Langkah Menjadi Awal Mufasir”. Jakarta.
Al- Qattan, Mana khalil. 2011. Studi Ilmu-Ilmu al-Qur‟an. Terj. Bogor: Pustaka
Litera Antar Nusa.
Al-Râzi, Fakhruddin. 2005. Tafsîr Mafatih al-Ghaib, Dar al-Fikr: Beirut.
Rusmana, Dadan. 2006. Al-Qur‟an dan Hegemoni Wacana Islamologi Barat.
Bandung: Pustaka Setia.
Shabur Syahin, Abdul. 2006. Saat al-Qur‟an Butuh Pembelaan. Jakarta: Erlangga.
Sirajuddin. 1993. Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve.
Sihab, Muhammad Quraish. 1994. Membumikan al-Qur‟an: Fungsi dan peran
Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan
____, 2010. Wawasan al-Qur‟an. Bandung: Mizan.
____, 2005. Tafsir al-Misbah, Pesan, kesan, dan keselerasan al-Qur‟an, jilid 12.
Ciputat Jakarta: Lentera hati.
____. 2013. Al-Lubâb. Jakarta: Lentera Hati.
____. 2004. Menjemput Maut: Bekal perjalanan menuju Allah SWT. Jakarta: Lentera
Hati.
66
Sudarto. 2002. Metodologi Penelitian filsafat. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, kualitatif,
dan R&D. Bandung: Alfabeta
As-Syufi, Mahir Ahmad. 2007. Ensiklopedia Akhirat, Misteri Kematian dan Alam
Barzakh (al-Maut wa „alam al-Barzakh Jilid 3). Solo: Tiga Serangkai.
Warson, Munawir Ahmad. 1997. Kamus Al-Munawir. Surabaya: Pustaka Progresif
Wijaya, Mathin Kusuma. 2009. Makna Kematian Dalam Pandangan Jalaluddin
Rahmat. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga.