Www.bi.Go.id Id Peraturan Kodifikasi Bank Documents Kodifikasi Laporan Bulanan Koreksi 2
Hakikat Hukum Islam Pada Masa Kodifikasi dan Kompilasi Hukum.docx
-
Upload
ahmad-khoirudin -
Category
Documents
-
view
90 -
download
1
Transcript of Hakikat Hukum Islam Pada Masa Kodifikasi dan Kompilasi Hukum.docx
Hakikat Hukum Islam Pada Masa Kodifikasi dan Kompilasi Hukum
MAKALAH
Ditujukan untuk memenuhi tugas mata kuliah
“Studi Hukum Islam”
Dosen Pengampu:
Saoki, S.HI, M.HI.
Oleh Kelompok 12:
1. Ahmad Khoiruddin NIM: C032120052. Hendi Restu Putra NIM: C032120133. Abdurrahman NIM: C03212033
JURUSAN SIYASAH JINAYAH A
FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2013
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji hanyalah milik Allah SWT yang telah memudahkan segala
urusan kami sehingga selesai jualah makalah kami yang berjudul “Penerapan Kaidah Pokok
dan Sumber Nashnya Kesulitan Akan Mendorong Kemudahan ( التيسير تجلب المشقة
)”.
Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita nabi besar
Muhammad SAW, beserta sahabat, keluarga, dan pengikut akhir zaman.
Makalah ini diajukan sebagai tugas kelompok mata kuliah Ushul Fiqh dan Kaidah
Fiqhiyah.
Kami menyadari bahwa di dalam pembuatan makalah ini masih terdapat kekurangan
dan kesalahan. Untuk itu kami menerima kritik dan saran demi penyempurnaan makalah ini
di masa mendatang.
Tak lupa kami mengucapkan banyak terima kasih kepada bapak Drs. Ach. Yasin,
M.Ag. selaku pembimbing kami dalam mata kuliah ini, serta teman-teman yang telah
membantu dalam penyelesaian makalah ini sehingga makalah ini dapat selesai dalam waktu
yang telah ditentukan. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Surabaya, 15 April 2013
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN ...............................................................................1
A. Latar Belakang ...............................................................................1
B. Rumusan Masalah ..........................................................................2
C. Tujuan Penulisan............................................................................2
BAB II PEMBAHASAN ..................................................................................3
1.1 Pengertian Kaidah.........................................................................3
2.1 Sumber Hukum.............................................................................3
3.1 Masyaqqah....................................................................................5
4.1 Rukhshah......................................................................................8
BAB III ANALISIS KASUS..............................................................................14
1.1 Rukhshah (Toleransi) dalam Mu’amalah....................................14
2.1 Rukhshah (Toleransi) dalam Pernikahan.....................................15
3.1 Rukhshah (Toleransi) Bagi Mujtahid..........................................15
4.1 Rukhshah (Toleransi) dalam Ibadah............................................16
BAB IV PENUTUP...........................................................................................17
1.1 Kesimpulan..................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................18
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dinamika kehidupan manusia selalu bergelut dengan beragam peristiwa yang
melingkupinya. Perbedaan sifat yang demikian itu sudah merupakan sunnatullah (alamiah),
sehingga tak dapat terelakkan dalam keseharian setiap insan. Sebagai agama yang membawa
misi kemaslahatan universal (Rahmatan li al-‘Alamin), Islam tidak melepaskan perhatiannya
pada unsur-unsur kesulitan yang dialami umatnya. Islam memberikan apresiasi besar pada
kesulitan yang dihadapi kaum muslimin dengan dengan memberikan keringanan hukum pada
obyek hukum yang dinilai sulit.
Terbukti, dalam kaidah ini ditegaskan bahwa kesulitan-kesulitan yang dialami seorang
Muslim, baik dalam konstruksi ritual (ibadah) maupun sosial (mu’amalah), akan mendorong
diterapkannya kemudahan hukum pada obyek yang dibebankan kepadanya. Bila seorang
Muslim dalam menjalankan sebuah kewajiban mengalami kendala, maka di titik inilah Islam
memberikan toleransi serta kemudahan-kemudahannya.
Dalam penggalian Hukum Islam, kita mengenal kaidah “Kesulitan itu mendatangkan
kemudahan”. Yang dikenal dengan nama: التيسير تجلب .المشقة
Qa’idah ini merupakan dasar penting sumber syariah. Mayoritas dispensasi syar’i
didassari oleh kaidah ini, selain menjadi Qa’idah fiqhiyah, Qa’idah ini juga menjadi Qa’idah
ushuliyah ai-ammah. Bahkan menjadi Qa’idah yang memiliki sifat qath’y, karena dalil-dalil
yang mendasari dan menjadi landasan tumpuannya sangant sempurna.
Sesungguhnya syari’ah tidak menuntut seseorang untuk melakukan sesuatu yang
menjatuhkannya pada kesulitan, atau sesuatu yang tidak sesuai dengan karakter dan hati
nuraninya. Kemudahan dan keringanan adalah tujuan dasar dari “pemilik syari’ah yang
bijaksana” dalam memberlakukan syari’ah Islam.
Kesulitan sesuatu bisa terjadi secara insidentil dan secara kontinyu. Orang yang
menderita sakit-berdasarkan perkiraan medis-yang tidak memungkinkan sembuh secara
biasa, akan mengalami kesulitan dalam melaksanakan bebrapa kewajiban. Oleh karena itu,
kesulitan tersebut diatasi dengan cara memberi dispensasi, mengganti, dan mengubahnya.
Sedangkan orang yang berpergian jauh berdasarkan kebiasaan mengalami kelelahan dan
karenanya berat dalam melaksanakan kewajiban. Itupun diatasi dengan cara memberikan
keringanan.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang hendak diuraikan dalam makalah ini adalah:
1. Apakah yang dimaksud dengan kaidah al-masyaqqah tajli al-taisir?
2. Bagaimanakah tanggapan Al-Qur’an terhadap kaidah al-masyaqqah tajli al-taisir?
3. Sebab-sebab apasaja yang dapat menimbulkan keringanan atau toleransi?
C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan
Dengan rumusan-rumusan tersebut diatas, tujuan yang ingin dicapai oleh penyusun
adalah untuk mengetahui:
1. Mengetahui maksud dari kaidah al-masyaqqah tajli al-taisir dan memahaminya.
2. Mengetahui tanggapan Al-Qur’an terhadap kaidah al-masyaqqah tajli al-taisir.
3. Mengetahui sebab-sebab yang dapat menimbulkan keringanan atau toleransi.
BAB II
PEMBAHASAN
1.1 Pengertian Kaidah
Secara bahasa, al-masyaqqat berarti al-ta’b (kelelahan,kepenatan, keletihan), Sedang
arti terminology kata al-taysir adalah al-subulat (gampang, mudah, ringan), dan al-luyunat
(lunak, halus, dan ramah).1
Adapun makna terminologi kaidah asasi ketiga di atas adalah :
او نفسه فى ومشقة المكلف على حرج تطبيقها عن ينشا التي االحكام ان
خرج او عسر دون المكلف قدرة تحت يقع بما تخففهما فاالشريعة ماله
“Hukum yang praktiknya menyulitkan mukallaf, dan pada diri dan sekitarnya terdapat
kesulitan, maka syari’at meringankannya sehingga bebab tersebut berada di bawah
kemampuan mukallaf tanpa kesulitan dan kesusahan.”2
Jadi makna kaidah tersebut adalah kesulitan menyebabkan adanya kemudahan.
Maksudnya adalah bahwa hukum-hukum yang dalam penerapannya menimbulkan kesulitan
dan kesukaran bagi mukallaf (subyek hukum), maka syari’ah meringankannya sehingga
mukallaf mampu melaksanakannya tanpa kesulitan dan kesukaran.3
2.1 Sumber Hukum
2.1.1 Al Qur’an4
a. Surat Al Baqarah ayat 185 disebutkan:
العسر بكم يريد وال اليسر بكم هللايريدArtinya: “Allah swt. mencintai terwujudnya kemudahan dan tidak mencintai
kesulitan bagimu sekalian”.
b. Surat Al Hajj ayat 78 dinyatakan:
حرج من الدين فى عليكم وماجعل
1 Mubarok, Jaih, Kaidah Fiqh Sejarah dan Kaidah Asas, (Jakarta: P.T. RajaGrafindo Persada, 2002), hlm. 139.2 Ibid., hlm 139.3 Djazuli, Ahmad, Prof, H, Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta: Kencana, 2007), hlm. 55.4 Haq, Abdul, Formulasi Nalar Fiqh, (Surabaya: Khalista, 2005), hlm. 173-175
Artinya: “Dan Dia tidak menjadikan atas kamu sekalian suatu kesempitan
dalam urusan agama”.
c. Surat Al Maidah ayat 6 dinyatakan:
حرج من ليجعلعليكم مايريد
Artinya: “Allah tidak menghendaki membuat kesulitan bagi kamu sekalian”.
d. Ayat lain yang menjadi dasar kaidah ini adalah surat An Nisa ayat 28
dinyatakan:
عنكم يخفف أن يريد
Artinya: “Allah mencintai kemudahan bagi kamu sekalian”.
2.1.2 Al Hadits5
Banyak sekali hadits Nabi saw. yang menjadi dasar terbentuknya kaidah ini,
diantaranya adalah:
a. الشيخان رواه ﴿ معسرين تبعثوا ولم ين ميسر بعثتم ﴾ انما“Kalian semua ( kaum Muslimin dengan perantara Nabi saw) diutus untuk
memberi kemudahan; tidak untuk menyulitkan”. (H.R. Bukhari-Muslim)
b. Hadits riwayat Imam Ahmad ra.:
هللايسر : دين إن وسلم هللاعليه رسولهللاصاى ثا ٬قال ثالRasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya agama Allah adalah agama
yang mudah.” (kata-kata itu) diucapkan tiga kali.
c. Hadits riwayat Imam Bukhari-Muslim:
أيسرهما اختار اال أمرين بين وسلم رسولهللارسولهللاصىلهللاعليه ماخير
إثما يكن لم ما“Tidaklah Rasulullah diberi pilihan diantara dua perkara, kecuali beliau
memilih yang lebih mudah atau ringan, selama yang lebih mudah itu
bukan perbuatan dosa”.
d. Hadits yang berbunyi:
تعسروا وال يسروا“Permudahlah dan jangan menyulitkan”.
e. Hadits riwayat Imam Ahmad dari Jabir ra.:
السمحة لحنيفية با بعثت“Aku (Nabi saw.) diutus untuk meninggalkan yang tidak berhak dan
dengan membawa ajaran yang mudah”.
5 Haq, Abdul, Formulasi Nalar Fiqh, hlm. 175-177
Selain itu, masih banyak hadits-hadits lain yang membincang seputar
kemudahan dan keringanan syariat yang dibawa oleh Nabi saw. Namun kelima
hadits diatas kiranya sudah cukup untuk dijadikan parameter, bahwa Islam
bukanlah agama yang sulit.
Dari akumulasi (kumpulan) ayat dan hadits yang telah disebutkan diatas,
maka tercetuslah kaidah fiqh: al-masyaqqah tajlib al-taysir yang oleh Ali Haydar
dijelaskan bahwa kesulitan yang terdapat pada sesuatu menjadi sebab dalam
mempermudah dan memperingan sesuatu tersebut, yang pada intinya
menekankan besarnya apresiasi syariat pada bentuk-bentuk kemudahan dan
keringanan hukum. Bahkan al-Sya’bi pernah menyatakan, jika seorang muslim
diperintahkan melakukan salah satu diantara dua hal, kemudian ia memilih yang
paling ringan baginya, maka pilihannya itu lebih dicintai oleh Allah swt.
Namun perlu dicatat, kemudahan dimaksud jelas tidak berlaku serampangan
dan tanpa arah. Ada batasan dan kualifikasi tertentu yang harus dipenuhi agar
kemudahan itu dapat diperoleh.
3.1 Masyaqqah
3.1.1 Definisi Masyaqqah
Lafazh masyaqqah secara bahasa berarti sulit, berat, dan yang searti
dengannya. Dalam bahasa Arab, ketika dikatakan syaqqa alayhi al-syai’ berarti
ada sesuatu yang telah memberatkan seseorang. Di dalam Al Qur’an terdapat
lafazh yang berasal dari akar yang sama dengan masyaqqah, yakni syiqq al-anfus,
sebagaimana yang terdapat dalam surat al-Nahl ayat tujuh.6
Adapun secara istilah, al-Syathibi memberikan empat makna. (1)
Masyaqqah dimaknai secara umum; meliputi hal-hal yang mampu dilakukan oleh
mukallaf ataupun tidak, karenanya ketika ada seorang manusia berusaha untuk
terbang dia dianggap melakukan masyaqqah dalam pengertian pertama ini. (2)
Masyaqqah dimaknai sebagai perbuatan yang sebenarnya mampu dikerjakan
manusia, hanya saja hal itu akan menyebabkan orang yang melakukannya berada
dalam kesulitan yang sangat berat.7 (3) Masyaqqah dalam pengertian kesulitan
6 Al-Syathibi: al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam, II/119, ed. Abdullah Darraz. Dar al-Ma’rifah, Beirut.7 Bagian yang kedua ini oleh al-Syathibi dibagi lagi menjadi dua bagian. Pertama, berupa sifat yang menetap pada sebuah pekerjaan. Artinya ketika pekerjaan itu dikerjakan untuk pertama kali akan langsung menimbulkan masyaqqah. Kedua, masyaqqah yang bukan merupakan ‘sifat asli’ dari pekerjaan itu, dengan kata lain kesulitan dalam perbuatan semacam ini baru terasa setelah dilakukan berulang-ulang al-Muwafaqat, Ibid, II/ 120
yang tidak sampai ‘keluar’ dari kebiasaan umum. (4) Masyaqqah yang dimaknai
sebagai ‘melawan hawa nafsu’.8
3.1.2 Karakter dan Kualifikasi Masyaqqah
Berdasarkan analisa al-Suyuthi, karakteristik kesulitan (masyaqqah) secara
umum terbagi dalam dua pembagian pokok:9
1) Masyaqqah yang tidak dapat menggugurkan kewajiban (ibadah). Misalnya:
rasa lelah ketika melakukan perjalanan haji, tidak secara otomatis
menggugurkan kewajiban haji.
2) Masyaqqah yang dapat menggugurkan kewajiban. Masyaqqah jenis kedua
ini terbagi lagi dalam tiga tingkatan:
a. Masyaqqah yang sangat berat dan umumnya sulit ditanggung (a’la).
Seperti rasa khawatir akan keselamatan jiwa, harta, keturunan, organ
tubuh, dan hal-hal mendasar lainnya. Pada taraf inilah syariat
memberlakukan keringanan hukum (rukhshah). Sebab, demikian tulis al-
Suyuthi, pemeliharaan jiwa dan raga untuk menjalankan kewajiban-
kewajiban syariat lebih diutamakan daripada tidak melaksanakan sama
sekali. Artinya, jika umat Islam masih ‘dipaksa’ melaksanakan
kewajiban yang sebenarnya sudah tidak mampu dikerjakan, maka akan
berakibat fatal pada keselamatan jiwa maupun raganya.
b. Masyaqqah yang sangat ringan (adna). Seperti pegal-pegal, pilek,
pusing, dan lain sebagainya. Pada strata ini, tidak ada sama sekali
legitimasi syariat untuk memberi rukhshah. Sebab kemaslahatan ibadah
masih lebih penting daripada menghindari mafsadah (kerusakan) yang
timbul dari masyaqqah kategori ini. Artinya, timbulnya mafsadah dari
hal-hal seperti ini masih sangat minim, sehingga kemaslahatan ibadah
yang nyata punya nilai lebih besar harus lebih diutamakan.
c. Masyaqqah pertengahan (al-mutawassithah) yang berada pada titik
interval diantara dua bagian sebelumnya. Jenis masyaqqah yang terakhir
ini bisa mendapat rukhshah, jika telah mendekati kadar masyaqqah pada
urusan yang tertinggi (a’la). Dan sebaliknya apabila lebih dekat pada
8 Ibid, II/ 1219 Periksa antara lain, Jalal al-Din al-Suyuthi: al-Asybah wa al-Nahzair, ed. Muhammad al-Mu’tashim Billah. Dar al-Kitab al-‘Arabi, cet.IV, 1998, hal. 168, dan Abu al-Faydl Muhammad Yasin bin Isa al-Fadani, Op.cit., hal. 234
kategori masyaqqah yang paling ringan (adna) maka ia tidak dapat
menyebabkan rukhshah.
3.1.3 Metode Taqribi10
Masyaqqah adalah sesuatu yang bersifat abstrak dan relatif, dalam arti
ukuran dan batasannya sangat sulit dibedakan (kadang si A merasa berat
mengerjakan, tapi si B tidak, padahal pekerjaannya sama). Hal ini terjadi pada
jenis masyaqqah mutawassitah. Karena itulah fuqaha mengajukan solusi
metodologis berupa taqribi guna mengukur berapa jenis masyaqqah yang bisa
memperoleh keringanan hukum.
Secara umum, taqribi dimaknai sebagai upaya pengukuran kadar
masyaqqah apakah telah melewati batas minimal atau tidak. Jika kadar
masyaqqah masih dalam taraf rendah (adna), maka tidak ada pemberlakuan
rukhshah. Tapi jika telah melampaui taraf rendah, baik telah mencapai kategori
mutawassithah ataupun sampai level tertinggi (a’la), maka ia akan mendapat
rukhshah.
Seseorang yang sedang berpuasa misalnya, pasti mengalami masyaqqah,
baik berupa lapar, haus, dan seterusnya. Jika puasa itu dilakukan dalam keadaan
sakit, maka secara otomatis masyaqqah-nya bertambah, yakni masyaqqah
berpuasa ditambah masyaqqah sakit. Nah, pada kondisi inilah masyaqqah itu
telah melewati batas minimal (adna) sehingga bisa mendapatkan rukhshah.11
Contoh lainnya adalah musafir yang mengerjakan puasa. Selain mengalami
musyaqqah puasa, ia juga ditimpa masyaqqah berupa beratnya melakukan
perjalanan.12
3.2 Rukhshah (Toleransi)
3.2.1 Definisi Rukhshah dan ‘Azimah
Pada dasarnya, rukhshah adalah sebuah kodifikasi hukum yang diberikan
syariat bagi mukallaf yang mengalami kesulitan dalam melaksanakan taklif yang
dibebankan kepadanya. Dengan kata lain, rukhshah adalah sebuah formulasi
hukum yang telah berubah dari bentuk asalnya, karena mempertimbangkan obyek
hukum, situasi, kondisi, dan tempat tertentu. Bisa pula dimaknai sebagai
10 Haq, Abdul, Formulasi Nalar Fiqh, hlm. 18011 Muhammad Yasin al-Fadani: Op.cit., hlm. 232-23312 Haq, Abdul, Formulasi Nalar Fiqh, hlm. 181
diperbolehkannya sesuatu yang asalnya dilarang, beserta wujudnya dalil yang
melarang.13
Sebaliknya, jika formulasi hukum syariat tidak mengalami perubahan, maka
ia dinamakan ‘azimah. Atau dapat dikatakan, ‘azimah adalah suatu formulasi
hukum-hukum dasar syariat yang bersifat umum dan tidak tidak terbatas pada
obyek, situasi, kondisi, dan orang tertentu. Atau lebih mudahnya, ‘azimah adalah
sebentuk kerangka hukum dasar (fundamental) yang belum mengalami
perubahan, kodifikasi, reformasi, reformulasi, maupun reduksi.14
Dari sini dapat disimpulkan, bila hukum syariat masih seperti sedia kala,
maka ia dinamakan ‘azimah. Tapi bila telah berubah dan mengalami perubahan
bentuk dengan beberapa syarat tertentu, maka ia dinamakan rukhshah.15
3.2.2 Hukum-hukum Rukhshah16
Bila ditilik dari sisi hukumnya, rukhshah terbagi menjadi lima:17
a. Rukhshah wajib. Contohnya, memakan bangkai bagi orang yang sedang
kelaparan, atau minum arak (khamr) bagi seseorang yang tenggorokannya
tersumbat hingga tak bisa bernafas. Jika makan bangkai atau minum arak
yang notabene haram merupakan satu-satunya jalan yang diyakini bisa
menyelamatkan jiwanya, maka hal itu wajib dilakukan.
b. Rukhshah sunnah. Misalnya, shalat qashar bagi seorang musafir yang telah
melakukan perjalanan sepanjang dua marhalah atau lebih, dan berbuka puasa
bagi orang yang sakit atau musafir yang mengalami masyaqqah bila
melaksanakan puasa. Demikian pula mengakhirkan shalat dhuhur, karena
cuaca pada awal waktu dhuhur sangat panas. Atau seperti melihat muka dan
dua telapak tangan calon istri saat meminangnya. Semua contoh diatas
merupakan rukhshah yang sunnah dikerjakan.
c. Rukhshah mubah. Contohnya, seperti transaksi pesan-memesan (salam) dan
sewa-menyewa (ijarah). Dua jenis transaksi ini dikategorikan rukhshah yang
mubah karena memandang hukum asalnya yang tidak diperbolehkan. Akad
salam pada permulaanya tidak diperbolehkan karena dianggap membeli
13 Baca al-Syathibi, Op.cit., I/30114 Ibid.15 Haq, Abdul, Formulasi Nalar Fiqh, hlm. 18116 Ibid.17 Jalal al-Din al-Suyuthi: op.cit., hlm. 171
barang yang tidak wujud (ma’dum), dan manfaat dalam ijarah juga dinilai
ma’dum.
d. Rukhshah khilaf al-awla (lebih utama ditinggalkan). Seperti membilas bagian
luar sepatu kulit (al-khuf atau muzah), menjama’ shalat atau berbuka puasa
bagi seorang musafir yang tidak mengalami masyaqqah bila harus
mengerjakannya. Begitu pula tayamum bagi orang yang telah mendapat air,
tapi harus dibeli dengan nilai diatas harga standar, sementara dia sebenarnya
memiliki uang (mampu) untuk membelinya. Semua toleransi (rukhshah)
dalam contoh diatas lebih utama untuk tidak dikerjakan.
e. Rukhshah makruh. Contohnya mengqashar shalat dalam perjalanan yang
belum mencapai tiga marhalah. Kemakruhan ini dimotivasi untuk
menghindari khilaf Imam Hanafi yang tidak memperbolehkan qashar sebelum
perjalanan mencapai tiga marhalah (142 km. Versi Hanafiyah). Sementara al-
Syafi’i menilai dua marhalah cukup untuk melakukan qashar.
3.2.3 Bentuk-bentuk Rukhshah
Jika ditilik dari bentuknya, rukhshah terbagi menjadi enam:18
a. Takhfif Isqath (keringanan pengguguran).
Yaitu: Keringanan dalam bentuk penghapusan, seperti tidak wajib Sholat bagi
wanita yang mentruasi atau nifas. Tidak wajib Haji bagi yang tidak mampu
(istitha’ah).19
b. Takhfif Tanqish (keringanan pengurangan).
Misalnya: Sholat qashar bagi orang berpergian yang telah mencukupi syarat,
seperti disebut dimuka.20
c. Takhfif Ibdal (keringanan penggantian).
Misalnya: Salah satu syarat untuk melakukan shalat adalah wudlu’ tetapi
karena adanya halangan, maka orang dapat mengganti wudlu’ dengan
tayamum.21
d. Takhfif Taqdim (keringanan mendahulukan).
18 Haq, Abdul, Formulasi Nalar Fiqh, hlm. 18319 Adib Bisri, Moh, Drs, Op., Cit., hlm. 1920 Ibid.,21 Ibid.,
Misalnya: Melakukan sholat ‘Ashar di waktu dhuhur, atau sholat ‘Isya’ di
dalam waktu Magrib bagi orang yang sedang berpergian (ini yang disebut
jama’Taqdim).22
e. Takhfif ta’khir (keringanan mengakhirkan).
Misalnya: kebalikan dari contoh no. 4, yakni jama’ takkhir, yaitu melakukan
sholat Dhuhur di dalam waktu ‘Ashar, atau mengerjakan sholat Magrib
didalam waktu ‘Isya’.23
f. Takhfif Tarkhish (keringanan kemurahan).
Misalnya: orang sedang sangat kehausan, kalau tidak cepat minum mungkin
bisa mati, padahal yang ada hanyalah arak, maka orang itu di beri keringanan
boleh meminum arak tersebut.24
3.2.4 Obyek-obyek Rukhshah25
a. Ikrah (terpaksa)
Yaitu: Sesuatu keadaan yang membahayakan kelangsungan hidupnya. Setiap
akad yang dilakukan dalam keadaan terpaksa maka akad tersebut tidak sah.26
Seperti dalam surat al-Nahl: 106, Allah swt. berfirman:27
باإليمان مطمئن وقلبه أكره من إال نه إيما بعد من كفربا من
Arttinya: “Barang siapa kafir kepada Allah setelah beriman (dia mendapat
kemurkaan dari Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya
tenang...”
Misalnya: minum arak hukumnya haram, tetapi karena ia dipaksa orang yang
lebih kuat, dengan ancaman akan dianiaya kalaua tidak mau minum, maka
meminumnya menjadi tidak haram.28
b. Nis-yan (lupa)
Secara terminologis, nis-yan adalah hilangnya daya ingat terhadap hal-
hal yang sudah diketahui (ma’lum). Untuk mengingatnya kembali dibutuhkan
usaha dari awal lagi. Berbeda dengan sahwu (lalai) yang hanya berupa
keadaan lupa yang bersifat temporal (sementara). Sehingga dengan hanya
22 Ibid.,23 Ibid.,24 Ibid.,25 Haq, Abdul, Formulasi Nalar Fiqh, hlm. 18526 Djazuli, Ahmad, Prof, H, Op., Cit., hlm. 56.27 Haq, Abdul, Formulasi Nalar Fiqh, hlm. 18928 Adib Bisri, Moh, Drs, Terjemah al-Faraidul Bahiyyah Risalah Qawa-id Fiqh, Kudus, Menara Kudus, 1977, hlm. 18.
sedikit diingatkan, maka otak akan mampu “merekam” kembali data dan
memori yang sempat hilang.29
Misalnya: Seharusnya makan itu membatalkan puasa, tetapi kalau makannay
karena lupa, maka puasanya tidak batal.
c. Jahl (ketidaktahuan)
Misalnya: Orang yang baru masuk Islam karena tidak tahu, kemudian
memakan makanan yang diharamkan, maka ia tidak dikenai sanksi.30
d. Al-‘Usr (kesulitan)
Yaitu: Suatu kondisi yang sulit dihindari.
Misalnya: Debu di jalan yang bercampur dengan kotoran, pada hakekatnya
adalah najis, tetapi karena sulitnya menghindar dari debu itu, maka hukumnya
menjadi tidak apa-apa.31
e. Safar (bepergian)
Misalnya: Sholat Dhuhur, ‘Ashar, Isya, masing-masing mestinya empat
raka’at, tetapi karena bepergian yang telah mencukupi syari’at maka masing-
masing bisa diqashar menjadi dua raka’at.
f. Maradl (sakit)
Contohnya, seorang yang sedang sakit “diperbolehkan” tayamum sebagai
pengganti wudlu, atau sholat sambil duduk, tidur, maupun dengan isyarah
ketika tidak bisa melakukanya dengan sempurna (berdiri).32
g. Naqish (nilai minus)
Yang termasuk dalam kategori ini adalah anak-anak, orang gila, idiot (safih),
hamba sahaya.33
3.2.5 Sengaja Mencari Rukhshah (Tatabu’ al-Rukhas)
Sengaja mencari rukhshah bisa diartikan sebagai usaha untuk melakukan
sebab-sebab tertentu dengan tujuan untuk mendapatkan rukhshah. Artinya,
seseorang dengan sengaja memilih salah satu alternatif yang mungkin untuk
dilakukan demi mendapatkan keringanan yang dia kehendaki. Usaha seperti ini
tidak boleh dilakukan. Karenanya, apabila seorang musafir memiliki dua
alternatif jalan, misalnya, dimana yang satu jaraknya mencapai batas yang
29 Haq, Abdul, Formulasi Nalar Fiqh, hlm. 18930 Djazuli, Ahmad, Prof, H, Op., Cit.31 Adib Bisri, Moh, Drs, Op., Cit.32 Haq, Abdul, Formulasi Nalar Fiqh, hlm. 19433 Ibid.
diperbolehkan untuk meringkas sholat dan yang lain tidak, namun kemudian dia
memilih jalan yang lebih panjang dengan tujuan semata-mata untuk mendapatkan
rukhshah, cara yang demikian ini justru membuatnya tidak bisa mendapatkan
rukhshah.34
34 Abu al-Faydl Muhammad Yasin al-Fadani, Op.cit, hal . 474
BAB III
ANALISIS KASUS
1.1 Rukhshah (Toleransi) dalam Mu’amalah35
Banyak aspek yang mendasari diterapkannya rukhshah dalam mu’amalah,
diantaranya gharar (ketidakjelasan). Gharar secara terminologis adalah sesuatu yang
yang masih bersifat kabur dan tidak jelas akibatnya, sehingga bisa dan biasanya akan
mengakibatkan kerugian pada salah satu pihak yang melakukan transaksi. Dalam setiap
mu’amalah, gharar sangat dilarang sebab akan menggiring salah seorang diantara
pelaku transaksi menggunakan sesuatu dengan cara yang salah dan batil.
Dalam hubungannya dengan keringanan yang terdapat dalam mu’amalah, gharar
(ketidakjelasan) terbagi menjadi tiga tingkatan:
a. Ketidakjelasan yang tidak sulit untuk dihindari dan karenanya tidak boleh
dilakukan. Contohnya, penjualan janin binatang yang masih berada dalam
kandungan induknya dan penjualan sperma hewan pejantan.
b. Ketidakjelasan yang sulit dihindari dan karenanya terpaksa dilakukan. Contohnya,
menjual telur, delima, semangka, kelapa, kacang tanah, dan barang-barang sejenis
yang umumnya dijual beserta kulitnya. Penjualan barang-barang konsumsi diatas
tidak diharuskan melalui pengelupasan kulit, walaupun ketika kulitnya masih ada,
kualitas isinya sulit diketahui. Sebagaimana penjualan rumah yang tidak
diharuskan melihat kualitas pondasinya, maka penjualan barang-barang konsumsi
diatas juga tidak diharuskan setelah pengelupasan kulitnya. Hal semacam ini
diperbolehkan karena termasuk kategori imasyaqqah (kesulitan).
c. Ketidakjelasan tingkat antara maupun tingkat kedua. Ketidakjelasan (gharar) jenis
ini terbagi menjadi dua:
1. Masyaqqah-nya besar tapi tidak sulit dihindari, seperti buah pala yang tidak
boleh dijual beserta kulitnya. Sebab rempah-rempah jenis ini walaupun
kulitnya telah terkelupas, umumnya masih bisa bertahan lama (awet), sehingga
harus dikelupas terlebih dahulu sebelum dijual. Contoh lain adalah penjualan
barang yang tidak ditentukan secara pasti, seperti menjual salah satu diantara
35 Haq, Abdul, Formulasi Nalar Fiqh, hlm. 196
dua baju atau lebih. Juga seperti penjualan barang yang tidak berada di tempat
transaksi.
2. Transaksi yang tidak mengandung resiko besar, tapi jika tidak dilakukan akan
menimbulkan masyaqqah. Contohnya, membeli biji-bijian dengan hanya
melihat bagian luar tumpukannya. Contoh lain adalah membeli barang hanya
dengan melihat contohnya (sample atau master), dimana contoh itu telah
dianggap mewakili kualitas barang-barang lain yang sejenis.
1.2 Rukhshah (Toleransi) dalam Pernikahan36
a. Talak (perceraian). Disyariatkan karena untuk menghindari masyaqah yang timbul
pada saat tali pernikahan tidak mungkin lagi untuk dipertahankan.
b. Khulu’ dan setiap hal dimana sang istri diperbolehkan untuk mem-fasakh
(membatalkan) nikah dihadapan qadli (penghulu agama). Toleransi ini adalah
bentuk imbangan bagi wanita yang memang tidak punya kekuasaan untuk
mentalak, sebagaimana seorang suami.
c. Disyariatkannya ruju’ setelah terjadinya perceraian, karena dimungkinkan
perceraian terjadi bukan atas dasar pertimbangan yang matang.
1.3 Rukhshah (Toleransi) Bagi Mujtahid37
Contohnya, seorang hakim di pengadilan, yang juga termasuk mujtahid, juga mendapat
keringanan. Dalam membuat keputusan hukum dia cukup berpegang pada persangkaan
kuat yang didapatkan dari kesaksian para saksi yang adil dan terpercaya. Ia tidak
diwajibkan memberi putusan hukum yang benar-benar sesuai dengan kenyataan yang
ada dan dalam pengertian yang sebenar-benarnya. Walaupun demikian, dia tetap harus
berusaha memutuskan hukum yang sesuai dengan ‘kebenaran’ semaksimal mungkin.
1.4 Rukhshah (Toleransi) dalam Ibadah
Contohnya, seorang yang sedang sakit “diperbolehkan” tayamum sebagai pengganti
wudlu, atau sholat sambil duduk, tidur, maupun dengan isyarah ketika tidak bisa
melakukanya dengan sempurna.
36 Ibid.37 Ibid.
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan:
1. Maksud dari kaidah al-masyaqqah tajli al-taisir adalah bahwa hokum-hukum yang
dalam penerapannya menimbulkan kesulitan dan kesukaran bagi mukallaf (subyek
hukum), maka syari’ah meringankannya sehingga mukallaf mampu melaksanakannya
tanpa kesulitan dan kesukaran. Dikatakan pula bahwa dalam hukum-hukum syar’i
tidak akan pernah didapati suatu tuntutan yang melewati batas kemampuan hamba-
Nya. Dalil-dalil tersebut juga mengindikasikan bahwa Allah memberlakukan hokum-
hukum-Nya (yang termuat dalam syari’ah Islam), pada hakikatnya bertujuan untuk
memberikan kemudahan dan keringanan kepada hamba-Nya. Seluruh amal ibadah,
baik yang berhubungan dengan hati, atau yang berhubungan dengan anggota tubuh,
tidak dibebankan oleh Allah, kecuali semua itu sudah sesuai (seukuran) dengan kadar
kemampuan seorang mukallaf.
2. Menurut pandangan saya dalam Surat Al Maidah ayat 6 dinyatakan:
حرج من ليجعلعليكم هللا مايريد
Artinya: “Allah tidak menghendaki membuat kesulitan bagi kamu sekalian”.Secara etimologis (bahasa), lafadz haraj adalah sinonim dengan lafadz dlayq, yang sama-sama memiliki arti ”kesempitan” atau “kondisi sulit”. Sehingga menurut musafirin, kalimat haraj pada ayat diatas mencakup berbagai macam kesulitan yang terjadi dalam segala bentuknya.
3. Setidaknya ada tujuh sebab-sebab yang dapat menimbulkan keringanan atau toleransi.
Seperti: Ikrah (terpaksa), Nis-yan (lupa), Jahl (ketidaktahuan), Al-‘Usr (kesulitan),
Safar (bepergian), Maradl (sakit), Naqish (nilai minus).
DAFTAR PUSTAKA
Abu al-Faydl Muhammad Yasin bin Isa al-Fadani, al-Fawaid al-Janiyyah, Dar al-Fikr,
Beirut, Libanon, cet. I, 1997
Adib Bisri, Moh, Drs, Terjemah al-Faraidul Bahiyyah Risalah Qawa-id Fiqh, Kudus:
Menara Kudus, 1977.
Djazuli, Ahmad, Prof, H, Kaidah-Kaidah Fikih, Jakarta: Kencana, 2007.
Haq, Abdul, Formulasi Nalar Fiqh, Surabaya: Khalista, 2005
Mubarok, Jaih, Kaidah Fiqh Sejarah dan Kaidah Asas, Jakarta: P.T. RajaGrafindo Persada,
2002.
Sudirman Abbas, Ahmad, Dr, Qawa’id Fiqhiyyah Dalam Persepektif Fiqh, Jakarta: Anglo
Media, 2004.