Hakikat Hukum Islam Pada Masa Kodifikasi dan Kompilasi Hukum.docx

28
Hakikat Hukum Islam Pada Masa Kodifikasi dan Kompilasi Hukum MAKALAH Ditujukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Studi Hukum IslamDosen Pengampu: Saoki, S.HI, M.HI. Oleh Kelompok 12: 1. Ahmad Khoiruddin NIM: C03212005 2. Hendi Restu Putra NIM: C03212013 3. Abdurrahman NIM: C03212033 JURUSAN SIYASAH JINAYAH A FAKULTAS SYARIAH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

Transcript of Hakikat Hukum Islam Pada Masa Kodifikasi dan Kompilasi Hukum.docx

Page 1: Hakikat Hukum Islam Pada Masa Kodifikasi dan Kompilasi Hukum.docx

Hakikat Hukum Islam Pada Masa Kodifikasi dan Kompilasi Hukum

MAKALAH

Ditujukan untuk memenuhi tugas mata kuliah

“Studi Hukum Islam”

Dosen Pengampu:

Saoki, S.HI, M.HI.

Oleh Kelompok 12:

1. Ahmad Khoiruddin NIM: C032120052. Hendi Restu Putra NIM: C032120133. Abdurrahman NIM: C03212033

JURUSAN SIYASAH JINAYAH A

FAKULTAS SYARIAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA

2013

Page 2: Hakikat Hukum Islam Pada Masa Kodifikasi dan Kompilasi Hukum.docx

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji hanyalah milik Allah SWT yang telah memudahkan segala

urusan kami sehingga selesai jualah makalah kami yang berjudul “Penerapan Kaidah Pokok

dan Sumber Nashnya Kesulitan Akan Mendorong Kemudahan ( التيسير تجلب المشقة

)”.

Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita nabi besar

Muhammad SAW, beserta sahabat, keluarga, dan pengikut akhir zaman.

Makalah ini diajukan sebagai tugas kelompok mata kuliah Ushul Fiqh dan Kaidah

Fiqhiyah.

Kami menyadari bahwa di dalam pembuatan makalah ini masih terdapat kekurangan

dan kesalahan. Untuk itu kami menerima kritik dan saran demi penyempurnaan makalah ini

di masa mendatang.

Tak lupa kami mengucapkan banyak terima kasih kepada bapak Drs. Ach. Yasin,

M.Ag. selaku pembimbing kami dalam mata kuliah ini, serta teman-teman yang telah

membantu dalam penyelesaian makalah ini sehingga makalah ini dapat selesai dalam waktu

yang telah ditentukan. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Surabaya, 15 April 2013

Penulis

Page 3: Hakikat Hukum Islam Pada Masa Kodifikasi dan Kompilasi Hukum.docx

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................i

DAFTAR ISI..........................................................................................................ii

BAB I       PENDAHULUAN ...............................................................................1

                   A. Latar Belakang ...............................................................................1

                   B. Rumusan Masalah ..........................................................................2

                   C. Tujuan Penulisan............................................................................2 

BAB II      PEMBAHASAN ..................................................................................3

1.1 Pengertian Kaidah.........................................................................3

2.1 Sumber Hukum.............................................................................3

3.1 Masyaqqah....................................................................................5

4.1 Rukhshah......................................................................................8

BAB III    ANALISIS KASUS..............................................................................14

1.1 Rukhshah (Toleransi) dalam Mu’amalah....................................14

2.1 Rukhshah (Toleransi) dalam Pernikahan.....................................15

3.1 Rukhshah (Toleransi) Bagi Mujtahid..........................................15

4.1 Rukhshah (Toleransi) dalam Ibadah............................................16

BAB IV PENUTUP...........................................................................................17

1.1 Kesimpulan..................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................18

Page 4: Hakikat Hukum Islam Pada Masa Kodifikasi dan Kompilasi Hukum.docx

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dinamika kehidupan manusia selalu bergelut dengan beragam peristiwa yang

melingkupinya. Perbedaan sifat yang demikian itu sudah merupakan sunnatullah (alamiah),

sehingga tak dapat terelakkan dalam keseharian setiap insan. Sebagai agama yang membawa

misi kemaslahatan universal (Rahmatan li al-‘Alamin), Islam tidak melepaskan perhatiannya

pada unsur-unsur kesulitan yang dialami umatnya. Islam memberikan apresiasi besar pada

kesulitan yang dihadapi kaum muslimin dengan dengan memberikan keringanan hukum pada

obyek hukum yang dinilai sulit.

Terbukti, dalam kaidah ini ditegaskan bahwa kesulitan-kesulitan yang dialami seorang

Muslim, baik dalam konstruksi ritual (ibadah) maupun sosial (mu’amalah), akan mendorong

diterapkannya kemudahan hukum pada obyek yang dibebankan kepadanya. Bila seorang

Muslim dalam menjalankan sebuah kewajiban mengalami kendala, maka di titik inilah Islam

memberikan toleransi serta kemudahan-kemudahannya.

Dalam  penggalian Hukum Islam, kita mengenal kaidah “Kesulitan itu mendatangkan

kemudahan”. Yang dikenal  dengan  nama: التيسير تجلب .المشقة

Qa’idah ini merupakan dasar penting sumber syariah. Mayoritas dispensasi syar’i

didassari oleh kaidah ini, selain menjadi Qa’idah fiqhiyah, Qa’idah ini juga menjadi Qa’idah

ushuliyah ai-ammah. Bahkan menjadi Qa’idah yang memiliki sifat qath’y, karena dalil-dalil

yang mendasari dan menjadi landasan tumpuannya sangant sempurna.

Sesungguhnya syari’ah tidak menuntut seseorang untuk melakukan sesuatu yang

menjatuhkannya pada kesulitan, atau sesuatu yang tidak sesuai dengan karakter dan hati

nuraninya. Kemudahan dan keringanan adalah tujuan dasar dari “pemilik syari’ah yang

bijaksana” dalam memberlakukan syari’ah Islam.

Kesulitan sesuatu bisa terjadi secara insidentil dan secara kontinyu. Orang yang

menderita sakit-berdasarkan perkiraan medis-yang tidak memungkinkan sembuh secara

Page 5: Hakikat Hukum Islam Pada Masa Kodifikasi dan Kompilasi Hukum.docx

biasa, akan mengalami kesulitan dalam melaksanakan bebrapa kewajiban. Oleh karena itu,

kesulitan tersebut diatasi dengan cara memberi dispensasi, mengganti, dan mengubahnya.

Sedangkan orang yang berpergian jauh berdasarkan kebiasaan mengalami kelelahan dan

karenanya berat dalam melaksanakan kewajiban. Itupun diatasi dengan cara memberikan

keringanan.

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang hendak diuraikan dalam makalah ini adalah:

1. Apakah yang dimaksud dengan kaidah al-masyaqqah tajli al-taisir?

2. Bagaimanakah tanggapan Al-Qur’an terhadap kaidah al-masyaqqah tajli al-taisir?

3. Sebab-sebab apasaja yang dapat menimbulkan keringanan atau toleransi?

C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan

Dengan rumusan-rumusan tersebut diatas, tujuan yang ingin dicapai oleh penyusun

adalah untuk mengetahui:

1. Mengetahui maksud dari kaidah al-masyaqqah tajli al-taisir dan memahaminya.

2. Mengetahui tanggapan Al-Qur’an terhadap kaidah al-masyaqqah tajli al-taisir.

3. Mengetahui sebab-sebab yang dapat menimbulkan keringanan atau toleransi.

Page 6: Hakikat Hukum Islam Pada Masa Kodifikasi dan Kompilasi Hukum.docx

BAB II

PEMBAHASAN

1.1 Pengertian Kaidah

Secara bahasa, al-masyaqqat berarti al-ta’b (kelelahan,kepenatan, keletihan), Sedang

arti terminology kata al-taysir adalah al-subulat (gampang, mudah, ringan), dan al-luyunat

(lunak, halus, dan ramah).1

Adapun makna terminologi kaidah asasi ketiga di atas adalah :

او نفسه فى ومشقة المكلف على حرج تطبيقها عن ينشا التي االحكام ان

خرج او عسر دون المكلف قدرة تحت يقع بما تخففهما فاالشريعة ماله

“Hukum yang praktiknya menyulitkan mukallaf, dan pada diri dan sekitarnya terdapat

kesulitan, maka syari’at meringankannya sehingga bebab tersebut berada di bawah

kemampuan mukallaf tanpa kesulitan dan kesusahan.”2

Jadi makna kaidah tersebut adalah kesulitan menyebabkan adanya kemudahan.

Maksudnya adalah bahwa hukum-hukum yang dalam penerapannya menimbulkan kesulitan

dan kesukaran bagi mukallaf (subyek hukum), maka syari’ah meringankannya sehingga

mukallaf mampu melaksanakannya tanpa kesulitan dan kesukaran.3

2.1 Sumber Hukum

2.1.1 Al Qur’an4

a. Surat Al Baqarah ayat 185 disebutkan:

العسر بكم يريد وال اليسر بكم هللايريدArtinya: “Allah swt. mencintai terwujudnya kemudahan dan tidak mencintai

kesulitan bagimu sekalian”.

b. Surat Al Hajj ayat 78 dinyatakan:

حرج من الدين فى عليكم وماجعل

1 Mubarok, Jaih, Kaidah Fiqh Sejarah dan Kaidah Asas, (Jakarta: P.T. RajaGrafindo Persada, 2002), hlm. 139.2 Ibid., hlm 139.3 Djazuli, Ahmad, Prof, H, Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta: Kencana, 2007), hlm. 55.4 Haq, Abdul, Formulasi Nalar Fiqh, (Surabaya: Khalista, 2005), hlm. 173-175

Page 7: Hakikat Hukum Islam Pada Masa Kodifikasi dan Kompilasi Hukum.docx

Artinya: “Dan Dia tidak menjadikan atas kamu sekalian suatu kesempitan

dalam urusan agama”.

c. Surat Al Maidah ayat 6 dinyatakan:

حرج من ليجعلعليكم مايريد

Artinya: “Allah tidak menghendaki membuat kesulitan bagi kamu sekalian”.

d. Ayat lain yang menjadi dasar kaidah ini adalah surat An Nisa ayat 28

dinyatakan:

عنكم يخفف أن يريد

Artinya: “Allah mencintai kemudahan bagi kamu sekalian”.

2.1.2 Al Hadits5

Banyak sekali hadits Nabi saw. yang menjadi dasar terbentuknya kaidah ini,

diantaranya adalah:

a. الشيخان رواه ﴿ معسرين تبعثوا ولم ين ميسر بعثتم ﴾ انما“Kalian semua ( kaum Muslimin dengan perantara Nabi saw) diutus untuk

memberi kemudahan; tidak untuk menyulitkan”. (H.R. Bukhari-Muslim)

b. Hadits riwayat Imam Ahmad ra.:

هللايسر : دين إن وسلم هللاعليه رسولهللاصاى ثا ٬قال ثالRasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya agama Allah adalah agama

yang mudah.” (kata-kata itu) diucapkan tiga kali.

c. Hadits riwayat Imam Bukhari-Muslim:

أيسرهما اختار اال أمرين بين وسلم رسولهللارسولهللاصىلهللاعليه ماخير

إثما يكن لم ما“Tidaklah Rasulullah diberi pilihan diantara dua perkara, kecuali beliau

memilih yang lebih mudah atau ringan, selama yang lebih mudah itu

bukan perbuatan dosa”.

d. Hadits yang berbunyi:

تعسروا وال يسروا“Permudahlah dan jangan menyulitkan”.

e. Hadits riwayat Imam Ahmad dari Jabir ra.:

السمحة لحنيفية با بعثت“Aku (Nabi saw.) diutus untuk meninggalkan yang tidak berhak dan

dengan membawa ajaran yang mudah”.

5 Haq, Abdul, Formulasi Nalar Fiqh, hlm. 175-177

Page 8: Hakikat Hukum Islam Pada Masa Kodifikasi dan Kompilasi Hukum.docx

Selain itu, masih banyak hadits-hadits lain yang membincang seputar

kemudahan dan keringanan syariat yang dibawa oleh Nabi saw. Namun kelima

hadits diatas kiranya sudah cukup untuk dijadikan parameter, bahwa Islam

bukanlah agama yang sulit.

Dari akumulasi (kumpulan) ayat dan hadits yang telah disebutkan diatas,

maka tercetuslah kaidah fiqh: al-masyaqqah tajlib al-taysir yang oleh Ali Haydar

dijelaskan bahwa kesulitan yang terdapat pada sesuatu menjadi sebab dalam

mempermudah dan memperingan sesuatu tersebut, yang pada intinya

menekankan besarnya apresiasi syariat pada bentuk-bentuk kemudahan dan

keringanan hukum. Bahkan al-Sya’bi pernah menyatakan, jika seorang muslim

diperintahkan melakukan salah satu diantara dua hal, kemudian ia memilih yang

paling ringan baginya, maka pilihannya itu lebih dicintai oleh Allah swt.

Namun perlu dicatat, kemudahan dimaksud jelas tidak berlaku serampangan

dan tanpa arah. Ada batasan dan kualifikasi tertentu yang harus dipenuhi agar

kemudahan itu dapat diperoleh.

3.1 Masyaqqah

3.1.1 Definisi Masyaqqah

Lafazh masyaqqah secara bahasa berarti sulit, berat, dan yang searti

dengannya. Dalam bahasa Arab, ketika dikatakan syaqqa alayhi al-syai’ berarti

ada sesuatu yang telah memberatkan seseorang. Di dalam Al Qur’an terdapat

lafazh yang berasal dari akar yang sama dengan masyaqqah, yakni syiqq al-anfus,

sebagaimana yang terdapat dalam surat al-Nahl ayat tujuh.6

Adapun secara istilah, al-Syathibi memberikan empat makna. (1)

Masyaqqah dimaknai secara umum; meliputi hal-hal yang mampu dilakukan oleh

mukallaf ataupun tidak, karenanya ketika ada seorang manusia berusaha untuk

terbang dia dianggap melakukan masyaqqah dalam pengertian pertama ini. (2)

Masyaqqah dimaknai sebagai perbuatan yang sebenarnya mampu dikerjakan

manusia, hanya saja hal itu akan menyebabkan orang yang melakukannya berada

dalam kesulitan yang sangat berat.7 (3) Masyaqqah dalam pengertian kesulitan

6 Al-Syathibi: al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam, II/119, ed. Abdullah Darraz. Dar al-Ma’rifah, Beirut.7 Bagian yang kedua ini oleh al-Syathibi dibagi lagi menjadi dua bagian. Pertama, berupa sifat yang menetap pada sebuah pekerjaan. Artinya ketika pekerjaan itu dikerjakan untuk pertama kali akan langsung menimbulkan masyaqqah. Kedua, masyaqqah yang bukan merupakan ‘sifat asli’ dari pekerjaan itu, dengan kata lain kesulitan dalam perbuatan semacam ini baru terasa setelah dilakukan berulang-ulang al-Muwafaqat, Ibid, II/ 120

Page 9: Hakikat Hukum Islam Pada Masa Kodifikasi dan Kompilasi Hukum.docx

yang tidak sampai ‘keluar’ dari kebiasaan umum. (4) Masyaqqah yang dimaknai

sebagai ‘melawan hawa nafsu’.8

3.1.2 Karakter dan Kualifikasi Masyaqqah

Berdasarkan analisa al-Suyuthi, karakteristik kesulitan (masyaqqah) secara

umum terbagi dalam dua pembagian pokok:9

1) Masyaqqah yang tidak dapat menggugurkan kewajiban (ibadah). Misalnya:

rasa lelah ketika melakukan perjalanan haji, tidak secara otomatis

menggugurkan kewajiban haji.

2) Masyaqqah yang dapat menggugurkan kewajiban. Masyaqqah jenis kedua

ini terbagi lagi dalam tiga tingkatan:

a. Masyaqqah yang sangat berat dan umumnya sulit ditanggung (a’la).

Seperti rasa khawatir akan keselamatan jiwa, harta, keturunan, organ

tubuh, dan hal-hal mendasar lainnya. Pada taraf inilah syariat

memberlakukan keringanan hukum (rukhshah). Sebab, demikian tulis al-

Suyuthi, pemeliharaan jiwa dan raga untuk menjalankan kewajiban-

kewajiban syariat lebih diutamakan daripada tidak melaksanakan sama

sekali. Artinya, jika umat Islam masih ‘dipaksa’ melaksanakan

kewajiban yang sebenarnya sudah tidak mampu dikerjakan, maka akan

berakibat fatal pada keselamatan jiwa maupun raganya.

b. Masyaqqah yang sangat ringan (adna). Seperti pegal-pegal, pilek,

pusing, dan lain sebagainya. Pada strata ini, tidak ada sama sekali

legitimasi syariat untuk memberi rukhshah. Sebab kemaslahatan ibadah

masih lebih penting daripada menghindari mafsadah (kerusakan) yang

timbul dari masyaqqah kategori ini. Artinya, timbulnya mafsadah dari

hal-hal seperti ini masih sangat minim, sehingga kemaslahatan ibadah

yang nyata punya nilai lebih besar harus lebih diutamakan.

c. Masyaqqah pertengahan (al-mutawassithah) yang berada pada titik

interval diantara dua bagian sebelumnya. Jenis masyaqqah yang terakhir

ini bisa mendapat rukhshah, jika telah mendekati kadar masyaqqah pada

urusan yang tertinggi (a’la). Dan sebaliknya apabila lebih dekat pada

8 Ibid, II/ 1219 Periksa antara lain, Jalal al-Din al-Suyuthi: al-Asybah wa al-Nahzair, ed. Muhammad al-Mu’tashim Billah. Dar al-Kitab al-‘Arabi, cet.IV, 1998, hal. 168, dan Abu al-Faydl Muhammad Yasin bin Isa al-Fadani, Op.cit., hal. 234

Page 10: Hakikat Hukum Islam Pada Masa Kodifikasi dan Kompilasi Hukum.docx

kategori masyaqqah yang paling ringan (adna) maka ia tidak dapat

menyebabkan rukhshah.

3.1.3 Metode Taqribi10

Masyaqqah adalah sesuatu yang bersifat abstrak dan relatif, dalam arti

ukuran dan batasannya sangat sulit dibedakan (kadang si A merasa berat

mengerjakan, tapi si B tidak, padahal pekerjaannya sama). Hal ini terjadi pada

jenis masyaqqah mutawassitah. Karena itulah fuqaha mengajukan solusi

metodologis berupa taqribi guna mengukur berapa jenis masyaqqah yang bisa

memperoleh keringanan hukum.

Secara umum, taqribi dimaknai sebagai upaya pengukuran kadar

masyaqqah apakah telah melewati batas minimal atau tidak. Jika kadar

masyaqqah masih dalam taraf rendah (adna), maka tidak ada pemberlakuan

rukhshah. Tapi jika telah melampaui taraf rendah, baik telah mencapai kategori

mutawassithah ataupun sampai level tertinggi (a’la), maka ia akan mendapat

rukhshah.

Seseorang yang sedang berpuasa misalnya, pasti mengalami masyaqqah,

baik berupa lapar, haus, dan seterusnya. Jika puasa itu dilakukan dalam keadaan

sakit, maka secara otomatis masyaqqah-nya bertambah, yakni masyaqqah

berpuasa ditambah masyaqqah sakit. Nah, pada kondisi inilah masyaqqah itu

telah melewati batas minimal (adna) sehingga bisa mendapatkan rukhshah.11

Contoh lainnya adalah musafir yang mengerjakan puasa. Selain mengalami

musyaqqah puasa, ia juga ditimpa masyaqqah berupa beratnya melakukan

perjalanan.12

3.2 Rukhshah (Toleransi)

3.2.1 Definisi Rukhshah dan ‘Azimah

Pada dasarnya, rukhshah adalah sebuah kodifikasi hukum yang diberikan

syariat bagi mukallaf yang mengalami kesulitan dalam melaksanakan taklif yang

dibebankan kepadanya. Dengan kata lain, rukhshah adalah sebuah formulasi

hukum yang telah berubah dari bentuk asalnya, karena mempertimbangkan obyek

hukum, situasi, kondisi, dan tempat tertentu. Bisa pula dimaknai sebagai

10 Haq, Abdul, Formulasi Nalar Fiqh, hlm. 18011 Muhammad Yasin al-Fadani: Op.cit., hlm. 232-23312 Haq, Abdul, Formulasi Nalar Fiqh, hlm. 181

Page 11: Hakikat Hukum Islam Pada Masa Kodifikasi dan Kompilasi Hukum.docx

diperbolehkannya sesuatu yang asalnya dilarang, beserta wujudnya dalil yang

melarang.13

Sebaliknya, jika formulasi hukum syariat tidak mengalami perubahan, maka

ia dinamakan ‘azimah. Atau dapat dikatakan, ‘azimah adalah suatu formulasi

hukum-hukum dasar syariat yang bersifat umum dan tidak tidak terbatas pada

obyek, situasi, kondisi, dan orang tertentu. Atau lebih mudahnya, ‘azimah adalah

sebentuk kerangka hukum dasar (fundamental) yang belum mengalami

perubahan, kodifikasi, reformasi, reformulasi, maupun reduksi.14

Dari sini dapat disimpulkan, bila hukum syariat masih seperti sedia kala,

maka ia dinamakan ‘azimah. Tapi bila telah berubah dan mengalami perubahan

bentuk dengan beberapa syarat tertentu, maka ia dinamakan rukhshah.15

3.2.2 Hukum-hukum Rukhshah16

Bila ditilik dari sisi hukumnya, rukhshah terbagi menjadi lima:17

a. Rukhshah wajib. Contohnya, memakan bangkai bagi orang yang sedang

kelaparan, atau minum arak (khamr) bagi seseorang yang tenggorokannya

tersumbat hingga tak bisa bernafas. Jika makan bangkai atau minum arak

yang notabene haram merupakan satu-satunya jalan yang diyakini bisa

menyelamatkan jiwanya, maka hal itu wajib dilakukan.

b. Rukhshah sunnah. Misalnya, shalat qashar bagi seorang musafir yang telah

melakukan perjalanan sepanjang dua marhalah atau lebih, dan berbuka puasa

bagi orang yang sakit atau musafir yang mengalami masyaqqah bila

melaksanakan puasa. Demikian pula mengakhirkan shalat dhuhur, karena

cuaca pada awal waktu dhuhur sangat panas. Atau seperti melihat muka dan

dua telapak tangan calon istri saat meminangnya. Semua contoh diatas

merupakan rukhshah yang sunnah dikerjakan.

c. Rukhshah mubah. Contohnya, seperti transaksi pesan-memesan (salam) dan

sewa-menyewa (ijarah). Dua jenis transaksi ini dikategorikan rukhshah yang

mubah karena memandang hukum asalnya yang tidak diperbolehkan. Akad

salam pada permulaanya tidak diperbolehkan karena dianggap membeli

13 Baca al-Syathibi, Op.cit., I/30114 Ibid.15 Haq, Abdul, Formulasi Nalar Fiqh, hlm. 18116 Ibid.17 Jalal al-Din al-Suyuthi: op.cit., hlm. 171

Page 12: Hakikat Hukum Islam Pada Masa Kodifikasi dan Kompilasi Hukum.docx

barang yang tidak wujud (ma’dum), dan manfaat dalam ijarah juga dinilai

ma’dum.

d. Rukhshah khilaf al-awla (lebih utama ditinggalkan). Seperti membilas bagian

luar sepatu kulit (al-khuf atau muzah), menjama’ shalat atau berbuka puasa

bagi seorang musafir yang tidak mengalami masyaqqah bila harus

mengerjakannya. Begitu pula tayamum bagi orang yang telah mendapat air,

tapi harus dibeli dengan nilai diatas harga standar, sementara dia sebenarnya

memiliki uang (mampu) untuk membelinya. Semua toleransi (rukhshah)

dalam contoh diatas lebih utama untuk tidak dikerjakan.

e. Rukhshah makruh. Contohnya mengqashar shalat dalam perjalanan yang

belum mencapai tiga marhalah. Kemakruhan ini dimotivasi untuk

menghindari khilaf Imam Hanafi yang tidak memperbolehkan qashar sebelum

perjalanan mencapai tiga marhalah (142 km. Versi Hanafiyah). Sementara al-

Syafi’i menilai dua marhalah cukup untuk melakukan qashar.

3.2.3 Bentuk-bentuk Rukhshah

Jika ditilik dari bentuknya, rukhshah terbagi menjadi enam:18

a. Takhfif Isqath (keringanan pengguguran).

Yaitu: Keringanan dalam bentuk penghapusan, seperti tidak wajib Sholat bagi

wanita yang mentruasi atau nifas. Tidak wajib Haji bagi yang tidak mampu

(istitha’ah).19

b. Takhfif Tanqish (keringanan pengurangan).

Misalnya: Sholat qashar bagi orang berpergian yang telah mencukupi syarat,

seperti disebut dimuka.20

c. Takhfif Ibdal (keringanan penggantian).

Misalnya: Salah satu syarat untuk melakukan shalat adalah wudlu’ tetapi

karena adanya halangan, maka orang dapat mengganti wudlu’ dengan

tayamum.21

d. Takhfif Taqdim (keringanan mendahulukan).

18 Haq, Abdul, Formulasi Nalar Fiqh, hlm. 18319 Adib Bisri, Moh, Drs, Op., Cit., hlm. 1920 Ibid.,21 Ibid.,

Page 13: Hakikat Hukum Islam Pada Masa Kodifikasi dan Kompilasi Hukum.docx

Misalnya: Melakukan sholat ‘Ashar di waktu dhuhur, atau sholat ‘Isya’ di

dalam waktu Magrib bagi orang yang sedang berpergian (ini yang disebut

jama’Taqdim).22

e. Takhfif ta’khir (keringanan mengakhirkan).

Misalnya: kebalikan dari contoh no. 4, yakni jama’ takkhir, yaitu melakukan

sholat Dhuhur di dalam waktu ‘Ashar, atau mengerjakan sholat Magrib

didalam waktu ‘Isya’.23

f. Takhfif Tarkhish (keringanan kemurahan).

Misalnya: orang sedang sangat kehausan, kalau tidak cepat minum mungkin

bisa mati, padahal yang ada hanyalah arak, maka orang itu di beri keringanan

boleh meminum arak tersebut.24

3.2.4 Obyek-obyek Rukhshah25

a. Ikrah (terpaksa)

Yaitu: Sesuatu keadaan yang membahayakan kelangsungan hidupnya. Setiap

akad yang dilakukan dalam keadaan terpaksa maka akad tersebut tidak sah.26

Seperti dalam surat al-Nahl: 106, Allah swt. berfirman:27

باإليمان مطمئن وقلبه أكره من إال نه إيما بعد من كفربا من

Arttinya: “Barang siapa kafir kepada Allah setelah beriman (dia mendapat

kemurkaan dari Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya

tenang...”

Misalnya: minum arak hukumnya haram, tetapi karena ia dipaksa orang yang

lebih kuat, dengan ancaman akan dianiaya kalaua tidak mau minum, maka

meminumnya menjadi tidak haram.28

b. Nis-yan (lupa)

Secara terminologis, nis-yan adalah hilangnya daya ingat terhadap hal-

hal yang sudah diketahui (ma’lum). Untuk mengingatnya kembali dibutuhkan

usaha dari awal lagi. Berbeda dengan sahwu (lalai) yang hanya berupa

keadaan lupa yang bersifat temporal (sementara). Sehingga dengan hanya

22 Ibid.,23 Ibid.,24 Ibid.,25 Haq, Abdul, Formulasi Nalar Fiqh, hlm. 18526 Djazuli, Ahmad, Prof, H, Op., Cit., hlm. 56.27 Haq, Abdul, Formulasi Nalar Fiqh, hlm. 18928 Adib Bisri, Moh, Drs, Terjemah al-Faraidul Bahiyyah Risalah Qawa-id Fiqh, Kudus, Menara  Kudus, 1977, hlm. 18.

Page 14: Hakikat Hukum Islam Pada Masa Kodifikasi dan Kompilasi Hukum.docx

sedikit diingatkan, maka otak akan mampu “merekam” kembali data dan

memori yang sempat hilang.29

Misalnya: Seharusnya makan itu membatalkan puasa, tetapi kalau makannay

karena lupa, maka puasanya tidak batal.

c. Jahl (ketidaktahuan)

Misalnya: Orang yang baru masuk Islam karena tidak tahu, kemudian

memakan makanan yang diharamkan, maka ia tidak dikenai sanksi.30

d. Al-‘Usr (kesulitan)

Yaitu: Suatu kondisi yang sulit dihindari.

Misalnya: Debu di jalan yang bercampur dengan kotoran, pada hakekatnya

adalah najis, tetapi karena sulitnya menghindar dari debu itu, maka hukumnya

menjadi tidak apa-apa.31

e. Safar (bepergian)

Misalnya: Sholat Dhuhur, ‘Ashar, Isya, masing-masing mestinya empat

raka’at, tetapi karena bepergian yang telah mencukupi syari’at maka masing-

masing bisa diqashar menjadi dua raka’at.

f. Maradl (sakit)

Contohnya, seorang yang sedang sakit “diperbolehkan” tayamum sebagai

pengganti wudlu, atau sholat sambil duduk, tidur, maupun dengan isyarah

ketika tidak bisa melakukanya dengan sempurna (berdiri).32

g. Naqish (nilai minus)

Yang termasuk dalam kategori ini adalah anak-anak, orang gila, idiot (safih),

hamba sahaya.33

3.2.5 Sengaja Mencari Rukhshah (Tatabu’ al-Rukhas)

Sengaja mencari rukhshah bisa diartikan sebagai usaha untuk melakukan

sebab-sebab tertentu dengan tujuan untuk mendapatkan rukhshah. Artinya,

seseorang dengan sengaja memilih salah satu alternatif yang mungkin untuk

dilakukan demi mendapatkan keringanan yang dia kehendaki. Usaha seperti ini

tidak boleh dilakukan. Karenanya, apabila seorang musafir memiliki dua

alternatif jalan, misalnya, dimana yang satu jaraknya mencapai batas yang

29 Haq, Abdul, Formulasi Nalar Fiqh, hlm. 18930 Djazuli, Ahmad, Prof, H, Op., Cit.31 Adib Bisri, Moh, Drs, Op., Cit.32 Haq, Abdul, Formulasi Nalar Fiqh, hlm. 19433 Ibid.

Page 15: Hakikat Hukum Islam Pada Masa Kodifikasi dan Kompilasi Hukum.docx

diperbolehkan untuk meringkas sholat dan yang lain tidak, namun kemudian dia

memilih jalan yang lebih panjang dengan tujuan semata-mata untuk mendapatkan

rukhshah, cara yang demikian ini justru membuatnya tidak bisa mendapatkan

rukhshah.34

34 Abu al-Faydl Muhammad Yasin al-Fadani, Op.cit, hal . 474

Page 16: Hakikat Hukum Islam Pada Masa Kodifikasi dan Kompilasi Hukum.docx

BAB III

ANALISIS KASUS

1.1 Rukhshah (Toleransi) dalam Mu’amalah35

Banyak aspek yang mendasari diterapkannya rukhshah dalam mu’amalah,

diantaranya gharar (ketidakjelasan). Gharar secara terminologis adalah sesuatu yang

yang masih bersifat kabur dan tidak jelas akibatnya, sehingga bisa dan biasanya akan

mengakibatkan kerugian pada salah satu pihak yang melakukan transaksi. Dalam setiap

mu’amalah, gharar sangat dilarang sebab akan menggiring salah seorang diantara

pelaku transaksi menggunakan sesuatu dengan cara yang salah dan batil.

Dalam hubungannya dengan keringanan yang terdapat dalam mu’amalah, gharar

(ketidakjelasan) terbagi menjadi tiga tingkatan:

a. Ketidakjelasan yang tidak sulit untuk dihindari dan karenanya tidak boleh

dilakukan. Contohnya, penjualan janin binatang yang masih berada dalam

kandungan induknya dan penjualan sperma hewan pejantan.

b. Ketidakjelasan yang sulit dihindari dan karenanya terpaksa dilakukan. Contohnya,

menjual telur, delima, semangka, kelapa, kacang tanah, dan barang-barang sejenis

yang umumnya dijual beserta kulitnya. Penjualan barang-barang konsumsi diatas

tidak diharuskan melalui pengelupasan kulit, walaupun ketika kulitnya masih ada,

kualitas isinya sulit diketahui. Sebagaimana penjualan rumah yang tidak

diharuskan melihat kualitas pondasinya, maka penjualan barang-barang konsumsi

diatas juga tidak diharuskan setelah pengelupasan kulitnya. Hal semacam ini

diperbolehkan karena termasuk kategori imasyaqqah (kesulitan).

c. Ketidakjelasan tingkat antara maupun tingkat kedua. Ketidakjelasan (gharar) jenis

ini terbagi menjadi dua:

1. Masyaqqah-nya besar tapi tidak sulit dihindari, seperti buah pala yang tidak

boleh dijual beserta kulitnya. Sebab rempah-rempah jenis ini walaupun

kulitnya telah terkelupas, umumnya masih bisa bertahan lama (awet), sehingga

harus dikelupas terlebih dahulu sebelum dijual. Contoh lain adalah penjualan

barang yang tidak ditentukan secara pasti, seperti menjual salah satu diantara

35 Haq, Abdul, Formulasi Nalar Fiqh, hlm. 196

Page 17: Hakikat Hukum Islam Pada Masa Kodifikasi dan Kompilasi Hukum.docx

dua baju atau lebih. Juga seperti penjualan barang yang tidak berada di tempat

transaksi.

2. Transaksi yang tidak mengandung resiko besar, tapi jika tidak dilakukan akan

menimbulkan masyaqqah. Contohnya, membeli biji-bijian dengan hanya

melihat bagian luar tumpukannya. Contoh lain adalah membeli barang hanya

dengan melihat contohnya (sample atau master), dimana contoh itu telah

dianggap mewakili kualitas barang-barang lain yang sejenis.

1.2 Rukhshah (Toleransi) dalam Pernikahan36

a. Talak (perceraian). Disyariatkan karena untuk menghindari masyaqah yang timbul

pada saat tali pernikahan tidak mungkin lagi untuk dipertahankan.

b. Khulu’ dan setiap hal dimana sang istri diperbolehkan untuk mem-fasakh

(membatalkan) nikah dihadapan qadli (penghulu agama). Toleransi ini adalah

bentuk imbangan bagi wanita yang memang tidak punya kekuasaan untuk

mentalak, sebagaimana seorang suami.

c. Disyariatkannya ruju’ setelah terjadinya perceraian, karena dimungkinkan

perceraian terjadi bukan atas dasar pertimbangan yang matang.

1.3 Rukhshah (Toleransi) Bagi Mujtahid37

Contohnya, seorang hakim di pengadilan, yang juga termasuk mujtahid, juga mendapat

keringanan. Dalam membuat keputusan hukum dia cukup berpegang pada persangkaan

kuat yang didapatkan dari kesaksian para saksi yang adil dan terpercaya. Ia tidak

diwajibkan memberi putusan hukum yang benar-benar sesuai dengan kenyataan yang

ada dan dalam pengertian yang sebenar-benarnya. Walaupun demikian, dia tetap harus

berusaha memutuskan hukum yang sesuai dengan ‘kebenaran’ semaksimal mungkin.

1.4 Rukhshah (Toleransi) dalam Ibadah

Contohnya, seorang yang sedang sakit “diperbolehkan” tayamum sebagai pengganti

wudlu, atau sholat sambil duduk, tidur, maupun dengan isyarah ketika tidak bisa

melakukanya dengan sempurna.

36 Ibid.37 Ibid.

Page 18: Hakikat Hukum Islam Pada Masa Kodifikasi dan Kompilasi Hukum.docx

BAB IV

PENUTUP

Kesimpulan:

1. Maksud dari kaidah al-masyaqqah tajli al-taisir adalah bahwa hokum-hukum yang

dalam penerapannya menimbulkan kesulitan dan kesukaran bagi mukallaf (subyek

hukum), maka syari’ah meringankannya sehingga mukallaf mampu melaksanakannya

tanpa kesulitan dan kesukaran. Dikatakan pula bahwa dalam hukum-hukum syar’i

tidak akan pernah didapati suatu tuntutan yang melewati batas kemampuan hamba-

Nya. Dalil-dalil tersebut juga mengindikasikan bahwa Allah memberlakukan hokum-

hukum-Nya (yang termuat dalam syari’ah Islam), pada hakikatnya bertujuan untuk

memberikan kemudahan dan keringanan kepada hamba-Nya. Seluruh amal ibadah,

baik yang berhubungan dengan hati, atau yang berhubungan dengan anggota tubuh,

tidak dibebankan oleh Allah, kecuali semua itu sudah sesuai (seukuran) dengan kadar

kemampuan seorang mukallaf.

2. Menurut pandangan saya dalam Surat Al Maidah ayat 6 dinyatakan:

حرج من ليجعلعليكم هللا مايريد

Artinya: “Allah tidak menghendaki membuat kesulitan bagi kamu sekalian”.Secara etimologis (bahasa), lafadz haraj adalah sinonim dengan lafadz dlayq, yang sama-sama memiliki arti ”kesempitan” atau “kondisi sulit”. Sehingga menurut musafirin, kalimat haraj pada ayat diatas mencakup berbagai macam kesulitan yang terjadi dalam segala bentuknya.

3. Setidaknya ada tujuh sebab-sebab yang dapat menimbulkan keringanan atau toleransi.

Seperti: Ikrah (terpaksa), Nis-yan (lupa), Jahl (ketidaktahuan), Al-‘Usr (kesulitan),

Safar (bepergian), Maradl (sakit), Naqish (nilai minus).

Page 19: Hakikat Hukum Islam Pada Masa Kodifikasi dan Kompilasi Hukum.docx

DAFTAR PUSTAKA

Abu al-Faydl Muhammad Yasin bin Isa al-Fadani, al-Fawaid al-Janiyyah, Dar al-Fikr,

Beirut, Libanon, cet. I, 1997

Adib Bisri, Moh, Drs, Terjemah al-Faraidul Bahiyyah Risalah Qawa-id Fiqh, Kudus:

Menara  Kudus, 1977.

Djazuli, Ahmad, Prof, H, Kaidah-Kaidah Fikih, Jakarta: Kencana, 2007.

Haq, Abdul, Formulasi Nalar Fiqh, Surabaya: Khalista, 2005

Mubarok, Jaih, Kaidah Fiqh Sejarah dan Kaidah Asas, Jakarta: P.T. RajaGrafindo Persada,

2002.

Sudirman Abbas, Ahmad, Dr, Qawa’id Fiqhiyyah Dalam Persepektif Fiqh, Jakarta: Anglo

Media, 2004.