HAK RESTITUSI KORBAN PERDAGANGAN ORANG DALAM … · pembayaran diyat dalam kasus pembunuhan....
Transcript of HAK RESTITUSI KORBAN PERDAGANGAN ORANG DALAM … · pembayaran diyat dalam kasus pembunuhan....
HAK RESTITUSI KORBAN PERDAGANGAN ORANG DALAM
PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM DAN POSITIF
(ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 1501
K/PID.SUS/2008)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
untuk memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh :
Ahmad Syamsul HA NIM : 1113045000014
PROGRAM STUDI PIDANA ISLAM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1438 H/2017 M
i
ABSTRAK
Ahmad Syamsul HA. 1113045000014. Hak Restitusi Korban Perdagangan Orang dalam Perspektif Hukum Pidana Islam dan Positif (Analisis Putusan No. 1501 K/Pid.Sus/2008. Hukum Pidana Islam (Jinayah). Fakultas Syariah dan Hukum. Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta.
Banyak orang mengalami trafficking manusia, lelaki maupun perempuan, mengawali perjalanan mereka sebagai imigran gelap yang telah mengadakan perjanjian dengan seorang individu atau kelompok yang membantu tindakan tidak sah mereka demi keuntungan yang besar. Orang-orang yang menjadi korban dalam kejahatan ini tentunya sangat dirugikan. Kerugian yang dialami korban bukan hanya secara fisik saja, tetapi juga psikis, yang berakibat pada trauma yang berkepanjangan. Perlindungan korban khususnya hak korban untuk memperoleh ganti rugi merupakan bagian integral dari hak asasi dibidang kesejahteraan dan jaminan sosial melalui pengajuan restitusi yang dibebankan oleh pelaku tindak pidana perdagangan orang menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberatasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Penelitian ini berjenis “penelitian hukum normatif pengumpulan data dilakukan dengan penelitian kepustakaan (library research) yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data skunder. Pada jenis penelitian hukum normatif, penelitian ini berjenis penelitian perbandingan hukum. Sedangkan metode penelitian yang digunakan oleh penulis adalah penelitian kualitatif yang berasal dari bahan-bahan hukum.
Hasil penelitian menunjukan bahwa pertimbangan hakim Mahkamah Agung dalam Putusan No. 1501 K/Pid.Sus/2008 sudah sesuai karena telah memenuhi ketentuan dari Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Implikasi putusan hakim Mahkamah Agung menolak hak restitusi korban dalam Putusan tersebut dan mengukuhkan Putusan Banding sudah sesuai dengan judex juris Mahkamah Agung, karena Jaksa Penuntut Umum tidak menguraikan secara rinci besaran nominal yang diajukan dalam pengajuan restitusi. Ketentuan restitusi dalam Hukum Positif sudah diatur dalam pasal 48 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007. Sedangkan dalam Hukum Islam restitusi sebagai hukuman tambahan disebut dengan diyat dengan dasar hukum yang terdapat pada Al-qur'an Surat Al-Baqarah Ayat 178.
Kata Kunci : Restitusi, Tindak Pidana Perdagangan Orang, Analisis
...Putusan Mahkamah Agung No. 1501 K/Pid.Sus/2008 Pembimbing I : H. Syafrudin Makmur, S.H., M.H. Pembimbing II : Afwan Faizin, M.A. Daftar Pustaka : Tahun 1974 s.d. 2016
ii
بسم هللا الر حمن الر حيم
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayahnya, terucap dengan tulisan ikhlas Alhamdulilla>hi Rabbil ‘a>lami>n tiada
henti karena dapat terselesaikanya penulisan skripsi ini. Sholawat serta salam
semoga selalu tercurah limpahkan atas insan pilihan tuhan kha>tamul anbiya>’i
walmursali>n sayidna> Muhammad SAW.
Dengan setulus hati penulis menyadari bahwa skripsi ini masih sangat jauh
dari kesempurnaan. Namun demikian skripsi ini hasil usaha dan upaya yang
maksimal dari penulis. Tidak sediit hambatan, cobaan dan kesulitan yang ditemui.
Banyak hal yang tidak dapat dihadirkan oleh penulis didalamnya karena
keterbatasan pengetahuan dan waktu. Namun patut disyukuri karena banyak
pengalaman yang didapat dalam penulisan skripsi ini.
Untuk itu penulis mengucapkan terimakasih yang tidak terhingga kepada
semua pihak:
1. Bapak Asep Saepudin Jahar, MA.,Ph.D. selaku Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum serta para Pembantu Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. H. M.Nurul Irfan, MA. Selaku Ketua Program Studi Hukum Pidana
Islam.
3. Bapak Nur Rohim Yunus, LLM. Selaku Sekretaris Program Studi Hukum
Pidana Islam.
iii
4. Bapak H. Syafrudin Makmur, S.H., M.H. dan Bapak Afwan Faizin, M.A.
Selaku Dosen Pembimbing, yang telah memberikan arahan dan meluangkan
waktu dengan penuh keikhlasan serta kesabaran.
5. Seluruh dosen civitas akademika Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta beserta pimpinan dan seluruh
karyawan Perpustakaan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Kedua orang tua tercinta yaitu Ayahku Imam Suhadi dan Ibuku Mukilah yang
senantiasa mendidik, membantu dukungan dan melimpahkan kasih sayang serta
do’a yang tiada henti.
7. Neng Tiwi orang tersayang terimakasih telah mendampingi di saat suka duka
dan memberikan warna warni di dalam hidupku, selalu jadi yang terbaik
walaupun sering ngambek.
8. Sahabat seperjuangan, yaitu Reza Fajri Hidayat, Syahrul Zainurrohman,
Derifka Dwi Septa, Ferdi, Eka Siregar yang telah memberikan perhatian dan
dukungan sangat luar biasa, serta seluruh teman-teman Prodi Hukum Pidana
Islam angkatan 2013.
9. Keluarga Besar HIKMAT (Himpunan Keluarga Mahasiswa Alumni
Tebuireng).
10. Keluarga besar PMII Komfaksyahum (Komisariat Fakultas Syariah dan
Hukum).
11. Keluarga Besar IMAJINASI (Ikatan Mahasiswa Jinayah Siyasah).
12. Semua pihak yang turut membantu dalam penulisan hingga tahap penyelesaian
skripsi ini.
iv
Akihrnya, atas jasa dan bantuan semua pihak baik berupa moral maupun
materil, sampai detik ini penulis panjatkan do’a semoga Allah memberikan balsan
yang berlipat dan menjadikan amal jariyah yang tidak pernah berhenti mengalir
hingga hari akhir. Penulis berharap, semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat
bagi penulis khususnya, dan para pembaca umumnya. Semoga Allah senantiasa
memberikan kemudahhan bagi kita semua dalam menjalani hari esok, amin.
Jakarta, 13 April 2017
Ahmad Syamsul HA
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK ..................................................................................................... i
KATA PENGANTAR .................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................. v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................................... 1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Rumusan Masalah ..................................... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................................ 6
D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ....................................................... 7
E. Kerangka Konseptual ............................................................................... 9
F. Metode Penelitian .................................................................................... 10
G. Sistematika Penulisan .............................................................................. 13
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK RESTITUSI KORBAN
TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG
A. Teori Pemidanaan .................................................................................... 14
1. Pengertian Pemidanaan ....................................................................... 14
2. Jenis Pemidanaan dalam Kasus Tindak Pidana Perdagaan Orang ...... 17
B. Pengertian Hak Restitusi ........................................................................... 19
1. Pengertian Hak .................................................................................... 19
2. Pengertian Restitusi .............................................................................. 20
C. Tindak Pidana Perdagangan Orang ............................................................ 26
vi
1. Pengertian Tindak Pidana Perdagangan Orang .................................... 26
2. Faktor Terjadinya Tindak Pidana Perdagangan Orang ....................... 28
3. Penanggulanan Tindak Pidana Perdagangan Orang ............................ 31
D. Prosedur Pengajuan Restitusi ..................................................................... 35
BAB III TINDAKPIDANA PERDAGANGAN ORANG DALAM HUKUM
ISLAM
A. Pengertian Tindak Pidana Perdagangan Orang dalam Hukum Islam ........ 38
B. Pendapat Ulama dan Dalil Diyat dalam Hukum Pidana Islam ................ 42
C. Relevansi Diyat dengan Restitusi Korban Tindak Pidana Perdagangan
Orang ......................................................................................................... 52
BAB IV ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 1501
K/PID.SUS/2008
A. Deskripsi Kasus ......................................................................................... 57
B. Dakwaan, Tuntutan dan Putusan .............................................................. 60
C. Analisis Putusan dalam Tinjauan Hukum Positif dan Hukum Islam ........ 64
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................... 75
B. Saran-Saran Penulis ................................................................................. 76
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan salah satu negara yang rentan terhadap perdagangan
orang. Korban dari perdagangan orang beragam dapat terjadi pada anak-anak,
gadis, wanita dewasa dan pria. Kejahatan perdagangan orang selama ini marak
terjadi dan menimpa pada perempuan dan anak-anak, bahkan dapat menjadi
masalah nasional dan internasional. Meskipun hal ini banyak terjadi, masyarakat
belum memahami secara utuh, karena terbatasnya pemahaman masyarakat
terhadap human trafficking.
Salah satu dari berbagai penyebab terjadinya perdagangan orang adalah
rendahnya tingkat ekonomi dan pendidikan. Kemiskinan menjadi alasan utama
yang menjadikan perdagangan orang terus meningkat. Menurut data Polri terdapat
“183 kasus yang dilaporkan dan 178 kasus selesai pada tahun 2009. Pada 2010
sebanyak 24 kasus dan yang selesai 16 kasus pada 2013 sebanyak 200 kasus
dilaporkan dan 188 kasus bisa diselesaikan”.1 Dari data tersebut dapat dibuktikan
bahwa kasus perdagangan orang semakin marak terjadi. Sehingga harus menjadi
perhatian dari semua pihak baik dari aparat maupun masyarakat.
Salah satu dari pengguna perdagangan orang adalah industri seks yang
menjadi lumbung dan menjadi sumber penghasilan yang menggiurkan. Namun
tanpa disadari perdagangan orang yang beroperasi dalam bidang industri seks
berdampak negatif, seperti menularnya penyakit kelamin dan HIV/AIDS. Antara
1Alfitra, Modus Operandi Pidana Khusus di Luar KUHP, (Jakarta: Penebar Swadaya
Grup, 2014), h. 107.
2
lain yang menyebabkan maraknya industri seks adalah penyalah gunaan
wewenang sebuah korporasi yang mengatas namakan PJTKI.
Indonesia merupakan salah satu negara yang menjadi pengirim tenaga kerja
internasional terbesar, terutama dibenua di Asia. Hal ini tentunya memberikan
peluang yang besar bagi Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesai (PJTKI) dalam
pengrekrutan untuk memanfaatkan dan mengakomodasi berbagai kepentingan
tenaga kerja. Namun berbagai hal dan polemik yang selama ini dirasakan, Tenaga
Kerja Indonesia (TKI) sering bermasalah, baik bagi dirinya sendiri, maupun
secara umum bagi pemerintah Indonesia. “Masalah yang paling besar adalah TKI
yang sering menjadi korban dalam perekrutan yang akhirnya menjurus pada
perdagangan orang”.2
Berbagai masalah yang dialami TKI yang menjadi korban, baik di dalam
negeri maupun diluar negeri. Korban yang awalnya berniat untuk mengangkat
perekonomian keluarganya dengan cara menempuh pekerjaan sebagai TKI, malah
menjadi korban eksploitasi perdagangan orang. Yang menjadi korban paling
marak terjadi kepada perempuan dan anak.
Dalam kasus human trafficking telah diatur dalam bentuk Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang, ketentuan pidana yang diatur dalam undang-undang
ini adalah pada pasal 2 ayat 1 yang menyatakan bahwa :
“setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, Penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan,
2Heny Nuraeni, Tindak Pidana Perdagangan Orang, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011). h.
353.
3
penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah Negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 120.000.000.000 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000.000 (enam ratus juta rupiah).”3 Perdagangan orang merupakan suatu kejahatan luar biasa yang harus
ditindak lanjuti dengan tegas. Pelaku yang memperdagangkan orang dapat
dihukum dengan seberat-beratnya. Hal tersebut sejalan dengan dengan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana pasal 297 yang menjelaskan bahwa,
“perdagangan wanita dan perdagangan anak laki-laki belum dewasa, diancam
dengan pidana penjara paling lama enam tahun”.4
Orang-orang yang menjadi korban dalam kejahatan ini tentunya sangat
dirugikan. Kerugian yang dialami korban bukan hanya secara fisik saja, tetapi
juga psikis, yang berakibat pada trauma yang berkepanjangan. “ Perlindungan
korban khususnya hak korban untuk memperoleh ganti rugi merupakan bagian
integral dari hak asasi dibidang kesejahteraan dan jaminan sosial (social
security)” 5 . Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang pemberantasan
tindak pidana perdagangan orang memberi perhatian besar pada korban dengan
memberikan hak restitusi sebagai mana yang sudah dijelaskan dalam penjelasan
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana
perdagangan orang pasal 48 ayat 1 yang berbunyi:
“Dalam ketentuan ini, mekanisme pengajuan restitusi dilaksanakan sejak korban melaporkan kasus yang dalaminya kepada kepolisian Negara
3 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang. 4Kitab Undang-undang Hukum Pidana Pasal 297. 5Maya Indah, Perlindungan Korban, (Jakarta: Kencana, 2014), h. 35.
4
Republik Indonesia setempat dan ditandatangani oleh penyidik bersamaan dengan penanganan tindak pidana yang dilakukan. Untuk mengajukan restitusi, selanjutnya penuntut umum menyampaikan jumlah kerugian yang diderita korban akibat tindak pidana perdagangan orang bersamaan dengan tuntutan. Mekanisme ini tidak menghilangkan hak korban untuk mengajukan sendiri gugatan atas kerugiannya.”6
Dengan demikian harapan besar masyarakat bagi pemerintah, khususnya
lembaga penegak hukum agar dapat memberantas dan menanggulangi tindak
pidana perdagangan orang.
Dalam Hukum Islam pelaksanaan restitusi tergambar dalam praktek
pembayaran diyat dalam kasus pembunuhan. “Diyat adalah sejumlah harta yang
dibebankan kepada pelaku, karena terjadi tindak pidana (pembunuhan atau
penganiayaan) dan diberikan kepada korban atau walinya. Dalam definisi lain
disebutkan bahwa diyat adalah denda atau suatu harta yang wajib diberikan pada
ahli waris dengan sebab melukai jiwa atau anggota badan yang lain pada diri
manusia”7 dari sisi “hukuman diyat sudah dijelaskan dengan tegas dalam Al-
Qur’an dan Hadis, sehingga hakim tidak boleh lagi mengubahnya”.8
Dengan melihat fenomena diatas, penulis menemukan sebuah kasus yang
terjadi di kabupaten Cirebon. Terdakwa Sanidi Binti Basro terlibat dalam
pemufakatan jahat pengrekrutan dengan penipuan yang bertujuan untuk
mengeksploitasi orang. Dalam kejadian tersebut Sanidi Binti Basro yang
diperintah oleh Astimi, untuk merekrut beberapa perempuan dengan modus akan
dipekerjakan di sebuah cafe. Namun saat setibanya di cafe, korban tersebut
dipekerjakan sebagai PSK (Pekerja Sex Komersial).
6Penjelasan Atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007. 7Abu Amar, Imron, Terjemahan Fat-Hul Qarib, (Kudus: Menara Kudus, 1983), h. 120. 8M. Nurul Irfan, Fiqh Jinayah, (Jakarta: Amzah, 2014), h. 195.
5
Kasus ini akhirnya diputus pengadilan umum hingga kasasi pada Mahkamah
Agung. Putusan Mahkamah Agung tersebut pada No. 1501 K/Pid.Sus/2008.
Namun dalam putusan ini Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi yang
diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum Negeri Sumber dalam tuntutan restitusi.
Padahal, korban dalam kassus ini telah dirugikan baik jasmani maupun rohani.
Berdasarkan uraian diatas itulah yang menjadi alasan penulis untuk meneliti
lebih jauh tentang hak restitusi bagi para korban kejahatan tindak pidana
perdagangan orang. Dalam hal ini penulis mengambil judul tentang “Hak
Restitusi Korban Perdagangan Orang dalam Perspektif Hukum Pidana
Islam dan Positif ( Analisis Putusan No. 1501 K/Pid.Sus/2008 )”.
B. Identifikasi, Pembatasan dan Rumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Dengan melihat uraian latar belakang diatas peneliti dapat
mengidentifikasi beberapa masalah, yaitu: Pertama kasus perdagangan orang
dapat terjadi pada siapa saja. Kedua faktor ekonomi dan pendidikan dapat
menjadi salah satu penyebab perdagangan orang. Ketiga lemahnya
pemerintah dalam pengawasan terhadap PJTKI. Keempat kurangnya
pengetahuan calon TKI pada kasus human trafficking. Kelima Putusan
Mahkamah Agung No. 1501 K/Pid.Sus/2008 masih belum sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana
perdagangan orang karena menolak permohonan restitusi yang diajukan oleh
Jaksa Penuntut Umum Negeri Sumber. Keenam perspektif hukum pidana
islam dan positif dalam hak restitusi. Dari beberapa indentifikasi masalah
6
yang telah diuraikan tersebut tidak semua menjadi fokus kajian dalam
penelitian ini, terkait fokus pembatasan masalah dalam dalam penelitian ini
akan dijelaskan pada sub berikutnya.
2. Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah yang ditemukan, pembatasan masalah ini
berkisar pada permasalahan yang kelima dan keenam, yakni Putusan
Mahkamah Agung No. 1501 K/Pid.Sus/2008 dan relevansinya terhadap
hukum pidana Islam dan positif.
3. Perumusan Masalah
Dari pembatasan masalah yang telah diuraikan diatas dirumuskan
pernyataan penelitian sebagai berikut:
a. Bagaimana pertimbangan hakim Mahkamah Agung dalam Putusan No.
1501 K/Pid.Sus/2008?
b. Apa implikasi putusan hakim Mahkamah Agung menolak hak restitusi
korban dalam Putusan No. 1501 K/Pid.Sus/2008?
c. Bagaimana pandangan hukum pidana Islam dan hukum positif mengenai
pembayaran hak restitusi tindak pidana perdagangan orang?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui pertimbangan hakim Mahkamah Agung dalam Putusan
No. 1501 K/Pid.Sus/2008.
b. Untuk mengetahui implikasi putusan hakim Mahkamah Agung menolak
hak restitusi korban dalam Putusan No. 1501 K/Pid.Sus/2008.
7
c. Untuk mengetahui pandangan hukum pidana Islam dan hukum positif
mengenai pembayaran hak restitusi tindak pidana perdagangan orang.
2. Manfaat Penelitian
Adapun signifikan penelitian ini dapat dikemukakan sebagai berikut:
a. Hasil penelitian diharapkan memberikan solusi kepada pemerintah untuk
dapat mengatasi kasus tindak pindana perdagangan orang di negara ini.
b. Mempunyai nilai signifikan untuk menambah keilmuan dan literatur
penulis dalam bidang hukum mengenai tindak pidana perdagan orang baik
secara teoritis maupun praktis.
D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
1. Jurnal yang ditulis Sanofta D.J Ginting Jurusan Departemen Hukum Pidana
2013 dengan judul Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Tindak
Pidana Perdagangan Orang (Humn Trafficking). Menjelaskan bahwa:
a. Tindak pidana perdagangan orang (Human trafficking) dilihat dari
bentuk-bentuk, faktor penyebab, dan akibatnya.
b. Pengaturan hukum tentang tindak pidana perdagangan orang (Human
trafficking).
c. Kebijakan hukum pidana dalam menanggulangi tindak pidana
perdagangan orang.
2. Skripsi yang ditulis Fajrul Falah Jurusan Perbandingan Madhab dan Hukum
2011 dengan judul Tindak Pidana Perdagangan Orang dalam Perspektif
Hukum Positif dan Hukum Islam (analisi putusan
No.1905/PID.B/2009/PN.TANGERANG). Menjelaskan bahwa:
8
a. Perlindunagn hukum bagi korban trafficking menurut hukum positif dan
hukum Islam.
1) Hukum positif: mengenai perlindungan hukum bagi korban trafficking
dalam hukum positif diatur dalam UU No. 21 Tahun 2007 tentang
pemberantasan tindak pidana perdagangan orang.
2) Hukum Islam: perlindungan bagi korban dalam trafficking menurut
hukum Islam adalah terdiri dari 2 yaitu hak finansial (bagian
pernikahan, tunjangan/nafaqoh) dan hak spiritual (prilaku pernikahan,
hak untuk kesejahteraan dan pelayanan hak untuk hidup bersama).
3. Skripsi yang ditulis Anggraini Noer Septianingrum Jurusan Ilmu Hukum 2013
dengan judul Penegakan Hukum Tindak Pidana Trafficking (studi putusan
pengadilan negri yogyakarta), menjelaskan bahwa:
a. Penegakan Hukum Terhadap tindak Pidana Trafficking yang dilakukan di
Indonesia adalah dengan menerbitkan Undang-undang No. 21 Tahun 2007
yang mengatur tentang ketentuan Pemberabtasan tindak Pidana
Perdagangan Orag (TPPO).
b. Pelaksanaan penegakan hukum di Indonesia, sebagai negara hukum sudah
melindungi korban dan menjunjung tinggi ham yang dituangkan dalam
norma-norma konstitusi dan dilaksanakan dalam sistem peradilan, sebagai
jaminan kongkrit terhadap perlindungan dan penegakan hukum ham.
4. Skripsi yang ditulis Imam Andriasyah Ibrahim Jurusan Hukum Pidana 2013
dengan judul Tinjauan Fiktimologis Terdap Kejakatan tindak Pidana
9
Perdagangan Orang (Human Traffcking di Kota Bandung) menjelaskan
bahwa:
a. Peranan korban dalam terjadinya kejahatan perdagangan orang di kota
Bandung disebabkan karena beberapa faktor, yaitu (faktor ekonomi, faktor
rendahnya pendidikan, faktor prilaku konsumtif)
b. Upaya-upaya yang dilakukan dalam menanggulangi adanya korban
kejahatan perdagangan orang di kota Bandung, yaitu, upaya preventif dan
upaya represif.
E. Kerangka Konseptual
Orang yang menjadi korban dalam kejahatan tindak pidana perdagangan
orang tentunya sangat dirugikan. Kerugian yang dialami korban bukan hanya
secara fisik saja, tetapi juga psikis, yang berakibat pada trauma yang
berkepanjangan. “ Perlindungan korban khususnya hak korban untuk memperoleh
ganti rugi merupakan bagian integral dari hak asasi dibidang kesejahteraan dan
jaminan sosial (social security)”9. Dari berbagai macam kerugian yang diderita
korban tindak pidana perdagangan orang, sudah sepantasnya korban menerima
hak restitusi sebagaimana yang diatur dalam pasal 48 Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2007 tentanng pemberantasan tindak pidana perdaganggan orang.
9 Maya Indah, Perlindungan Korban, (Jakarta: Kencana, 2014), h. 35
10
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini berjenis “penelitian hukum normatif pengumpulan data
dilakukan dengan penelitian kepustakaan”10 (library research) yaitu penelitian
hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data skunder.
Pada jenis penelitian hukum normatif, penelitian ini berjenis penelitian
perbandingan hukum. Pengertian hukum normatif yaitu “penelitian yuridis
yang membahas doktrin-doktrin atau asas-asas dalam ilmu huku”. 11
Sedangkan metode penelitian yang digunakan oleh penulis adalah penelitian
kualitatif yang berasal dari bahan-bahan hukum. Data kualitatif tersebut
berupa uraian penjelasan yang tersusun dalam kalimat dan tata bahasa yang
berkaitan dengan penelitian hukum-hukum.
10Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008),
Cet IV, h. 25. 11Zainudin Ali, metode penelitian hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h. 24.
11
2. Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan studi pustaka (library research). “Studi
kepustakaan merupakan metode pengumpulan data yang dipergunaka
bersama-sama metode lain seperti wawancara, pengamatan (observasi) dan
kuesioner”. 12 Objek utamanya berupa buku-buku literatur, peraturan
perundang-undangan, surat kabar dan sumber lainya yang berkaitan secara
langsung dengan obyek yang diteliti.
a. Sumber primer “yakni bahan pustaka yang berisikan pengetahuan ilmiah
yang baru atau mutakhir.”13 Dalam penelitian ini penulis menggunakan,
buku-buku tindak pidana perdagangan orang, Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Republik Indonesia No. 21
Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang,
dan Putusan Mahkamah Agung No. 1501 K/Pid.Sus/2008.
b. Sumber data skunder “yaitu bahan pustakan yang berisikan informasi
tentang bahan primer” 14 merupakan data-data yang memberikan
penjelasan mengenai bahan-bahan primer yang diambil dari sumber-
sumber tambahan yang memuat segala keterangan yang berkaitan dengan
penelitian ini, antara lain informasi yang relevan, artikel. Buletin, atau
karya ilmiyah para sarjana.
c. Bahan hukum tersier, yang memberikan informasi lebih lanjut terhadap
bahan hukum primer dan bahan hukum skunder antara lain kamus umum
bahasa Indonesia, majalah, koran, dan lainya.
12Bambang Waluyo, Penelitian Hukum dalam Praktek, h. 50 13Ibid., h. 51 14Ibid.,
12
3. Teknik Analisis Data
Pada penelitian ini menggunakan tehnik analisis data kualitatif. “Penelitian
kualitatif merupakan upaya yang mendalam dengan cara memperoleh data
kemudian diuraikan untuk memberikan gambaran (deskriptif)” 15 yang
dimaksud dengan metode deskriptif yaitu “membuat deskripsi secara
sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, dan sifat-sifat populasi
daerah tertentu.”16 Yakni dengan mengumpulkan dan menganalisis data yang
diperoleh dan faktor-faktor yang merupakan pendukung dan relevan terhadap
objek yang dipilih sehingga dapat ditarik kesimpulan dari hal yang dijadikan
objek penelitian. data yang diklarifikasikan maupun dianalisis untuk
mempermudah dan menghadapkan pada pemecahan masalah. Adapun metode
analisis data yang digunakan dalam skripsi ini adalah metode isi secara
kualitatif. Dalam analisis ini, semua data yang dianalisis adalah berupa teks.
Analisis kualitatif digunakan untuk menemukan, mengidentifikasi, dan
menganalisa teks dokumen untuk memahami, signifikasi dan relevansi teks
atau dokumen.
4. Tehnik Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini, mengacu pada buku “Pedoman Penulisan
Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum” yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah
dan Hukum Universitas Negeri Islam Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2017.
15S. Sabarguna, Analisis Data pada Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Ui-Pres, 2008), h.15. 16Suryana, Metodologi Penelitian, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010), h. 18.
13
G. Sitematika Penulisan
Agar penulis lebih terarah dan tidak menyimpang dari judul yang akan
dibahas, maka diuraikan materi penelitian ini dibagi menjadi lima bab, yaitu:
Bab I : Pendahuluan yang berisi tentang latar belakang masalah,
identifikasi masalah, pembatasan masalah, perumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan (review)
kajian terdahulu, metode penelitian.
Bab II : Tinjauan umum tentang hak restitusi korban tindak pidana
perdagangan orang yang meliputi, teori pemidanaan,
pengertian hak restitusi, tindak pidana perdagangan orang
Bab III : Tindak pidana perdagangan orang dalam Hukum Islam,
meliputi pengertian tindak pidana perdagangan orang dalam
Hukum Islam, pendapat ulama dan dalil diyat dalam hukum pidana
islam, relevansi diyat dengan restitusi korban tindak pidana
perdagangan orang.
Bab IV : Analisis putusan Mahkamah Agung Nomor.
1501K/Pid.sus/2008, yang meliputi, deskripsi kasus, dakwaan,
tuntutan dan putusan, analisis putusan dalam tinjauan hukum
positif dan hukum Islam
Bab V : Merupakan penutup, meliputi kesimpulan dan saran-saran
penulis.
14
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG HAK RESTITUSI KORBAN TINDAK
PIDANA PERDAGANGAN ORANG
A. Teori Pemidanaan
1. Pengertian Pemidanaan
Konsep pemidanaan selalu berkaitan dengan pemberian pidana kepada
pelaku tindak pidana, tanpa disadari kadang pemulihan terhadap korban
terabaikan. Konsep pemidaan yang sekarang diterapkan di Indonesia lebih
terfokus pada pelaku tindak pidana bukan kepada korban.1
Pemidanaan bisa kita artikan sebagai sanksi dalam pelanggaran hukum,
kata “pidana” pada umumnya diartikan sebagai hukum. Sedangkan pemidanaan
diartikan sebagai penghukuman. Secara tradisional teori-teori pemidanaan pada
umumnya dapat dibagi dalam tiga kelompok, yaitu:
a. Teori absolut atau teori pembalasan (retrebutive/vergeldingstheorieen)
b. Teori relatif atau teori tujuan (utilitarian/doeltheorieen).2
c. Teori gabungan (verenigings theorieen).3
Penulis yang pertama mengajukan teori gabungan ini ialah Pellegrio
Rossi (1787-1848). Sekalipun ia tetap beranggapan pembalasan sebagai asas
dari pidana dan bahwa beratnya pidana tidak boleh melampaui suatu
pembalasan yang adil, tetapi dia berpendapat bahwa pidana mempunyai
1Rena Yulia, Viktimologi Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan, (Yogyakarta:
Graha Ilmu, 2013), Cet II, h. 138. 2Muladi dan Barda Nawawi Arif, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: PT Alumni
2010), Cet IV, h. 10. 3Teguh Prasetyo, Kriminalisasi dalam Hukum Pidana, (Bandung: Nusa Media, 2010), Cet
I, h. 73.
15
berbagai pengaruh yakni perbaikan suatu yang rusak dalam masyarakat dan
prevensi general.4
Teori absolut atau teori pembalasan (retrebutive/vergeldingstheorieen).
Teori ini dikenal dengan teori mutlak dan teori ini lahir pada abad ke 18.
Menurut teori absolut, setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana. Yang
artinya seorang mendapat pidana karena telah melakukan kejahatan.5 Maka,
pemberian pidana disini ditujukan sebagai bentuk pembalasan terhadap orang
yang telah melakukan kejahatan. Jadi dalam teori ini pidana dapat disimpulkan
sebagai bentuk pembalasan yang diberikan oleh negara yang bertujuan untuk
memberikan efek jera bagi penjahat akibat perbuatanya. Menurut Djoko
Prakoso, “ tujuan pemidanaan sebagai pembalasan pada umumnya dapat
menimbulkan rasa puas bagi orang, yang dengan jalan menjatuhkan pidana
yang setimpal dengan perbuatan yang telah dilakukan.6
Teori relatif atau teori tujuan (utilitarian/doeltheorieen). Teori ini
berprinsip menjatuhkan pidana guna menyelenggarakan tertib masyarakat yang
bertujuan untuk membentuk prevensi kejahatan. Wujud pidana ini adalah,
menakutkan, memperbaiki, atau membinasakan. Lalu dibedakan antara
prevensi umum dan khusus. Prevensi umum menghendaki agar orang –orang
pada umumnya tidak melakukan delik.7 Feurbach sebagai salah satu filsuf
penganut aliran ini berpendapat bahwa, pecegahan tidak usah dilakukan dengan
4Muladi dan Barda Nawawi Arif, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, h. 19 5Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: PT Refika
Aditama, 2008), h. 23. 6Djoko Prakoso, Hukum Penitensier di Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1988), h. 47. 7Andi Hamzah, Sistm Pidana dan Pemidanaan Indonesia dari Retrebusi ke Reformasi,
(Jakarta: Pradnya Paramita, 1986), h. 34.
16
siksaan tapi cukup dengan peraturan yang sedemikian rupa sehingga bila orang
membaca akan membatalkan niat jahatnya.8 Namun pendapat tersebut menuai
kritikan Deway, yang menyatakan, “banyak tahanan yang mengemukakan
reaksi kejiwaanya dikala proses dari pelanggaran Undang-undang”.9
Semua ini memperlihatkan bahwa sesungguhnya hanya sedikit orang
yang mempertimbangkan peraturan Undang-undang Hukum Pidana saat
melakukan tindak kejahatan. Menurut Andi Hamzah, “tujuan satu-satunya
pidana ialah mempertahankan tertib hukum”.10 Maka dapat disimpulkan bahwa
teori relatif dalam kedudukanya sebagai pelindung masyarakat, menekankan
penegakan hukum dengan cara preventif guna menegakan tertib hukum bagi
masyarakat.
Teori gabungan (verenigings theorieen). Merupakan suatu bentuk
kombinasi dari teori absolut adan relatif dengan menggabungkan sudut
pembalasan dan pertahanan tertib hukum masyarakat, dengan kata lain dua
alasan itu menjadi dasar dari penjatuhan pidana. Gabungan dari dua teori
tersebut mengajarkan bahwa penjatuhan hukuman adalah untuk
mempertahankan teta tertib hukum dalam masyarakat dan memperbaiki pribadi
si penjahat.11
8Djoko Prakoso, Hukum Penitensier di Indonesia, h. 47. 9Sutherland & Cressey (disadur oleh Sudjono D), The Control of Crime Hukuman dalam
Perkembangan Hukum Pidana, (Bandung: Tarsito, 1974), h. 62. 10Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia dari Retrebusi ke Reformasi,
h. 36. 11Laden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h.
107.
17
Menurut Adami Chazawi, “teori gabungan ini dapat dibedakan menjadi
dua golongan besar, yaitu”:12
a. teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tapi pembalsan itu tidak boleh melampaui batas dari apa yang perlu dan cukup untuk dapatnya dipertahankanya tata tertib masyarakat;
b. teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib masyarakat, tetapi penderitaan atas jatuhnya pidana tidak boleh lebih berat daripada perbuatan yang dilakukan terpidana.
Doktrin membedakan hukum pidana materil dan hukum pidana formil.
J.M Van Bemmelen menjelaskan kedua hal tersebut, yakni Hukum pidana
materil terdiri atas tindak pidana yang disebut berturut-turut, peraturan umum
yang dapat diterapkan terhadap peraturan itu. Hukum pidana formil mengatur
cara bagaimana acara pidana seharusnya dilakukan dan menentukan tata tertib
yang harus diperhatikan pada kesempatan itu.13
2. Jenis Pemidanaan dalam Kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang
Dalam kasus tindak pidana perdagangan orang terdapat dua jenis
pemidanaan, yang pertama diatur oleh Kitab Undang-undang Hukum Pidana
pada pasal 297 dan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Sebelum disahkanya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, kasus perdagangan orang
hanya diatur dalam pasal 297 KUHP yang berbunyi: “Perdagangan wanita dan
12Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2010), h. 162-
163. 13Laden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, h. 2.
18
perdagangan anak laki-laki yang belum dewasa, diancam dengan pidana penjara
paling lama lima tahun.”14
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang, pasal 2 ayat (1) berbunyi:
Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, Penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah Negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 120.000.000.000 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000.000 (enam ratus juta rupiah).15
Pasal 2 ayat (1) terdapat kata “untuk tujuan” sebelum kata
mengeksploitasi16 orang tersebut menunjukan bahwa tindak pidana
perdagangan orang merupakan delik formil. Dengan demikian, yang harus
dipahami dari pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang
Tindak Pidana Perdagangan Orang, yaitu adanya tindak pidana perdagangan
orang cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah
dirumuskan dalam Undang-undang dan tidak dibutuhkan lagi harus
mensyaratkan adanya akibat dieksploitasi atau tereksploitasi yang timbul.17
14Kitab Undang Undang-undang hukum Pidana, Pasal, 297. 15Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang. 16Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), mengeksploitasi berasal dari kata
“Eksploitasi” diartikan sebagai “1. Pengusahaan, Pendayagunaan; 2. Pemanfaatan untukkeuntungan sendiri; pengisapan; pemerasan “(tenaga-tenaga orang)”dikutip dari http://kbbi.web.id/eksploitasi yang diakses pada tanggal 04 maret 2017 pukul 16:35 wib
17Farhan, Aspek Hukum Perdagangan Orang di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h. 116.
19
Dengan pengertian diatas, bahwa sesorang bisa dikategorikan melakukan
tindak pidana perdagangn orang apabila sudah memenuhi unsur yang ada dalam
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 maupun yang ada dalam KUHP tanpa
melihat sebab yang timbul akibat tindak pidana yang dilakukan.
B. Pengertian Hak Restitusi
1. Pengertian Hak
Hak adalah segala sesuatu yang harus didapatkan oleh setiap orang yang
telah ada sejak lahir. Menurut Mansyur Effendi, “selama ini hak asasi manusia
disebut juga hak kodrat.”18 Salah satu bentuk upaya perlindungan hukum yang
dapat diberikan terhadap korban perdagangan orang adalah melalui pemberian
retitusi. Setiap korban tindak pidana perdangan orang atau ahli warisnya berhak
memperoleh restitusi dari pelaku.
Ada beberapa komponen terkait hak restitusi korban yang harus diberikan
pelaku berupa ganti rugi atas:
a. Kehilangan kekayaan atau penghasilan.
b. Penderitaan.
c. Biaya untuk tindakan perawatan medis dan sikologis.
d. Kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat perdangan orang.19
18Nurul Qamar, Hak Asasi Manusia dalam Negara Hukm demokrasi, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2013), h. 15. 19SR Hutauruk, “Peran Kejaksaan Dalam Penentuan Hak Restitusi Korban Tindak Pidana
Perdagangan Orang”, Skripsi S1 Fakultas hukum, Universitas Sumatera Utara Medan, 2014.
20
2. Pengertian Restitusi
Secara bahasa, restitusi diartikan sebagai ganti kerugian atau pembayaran
kembali.20 Dalam proses penyelesaian tindak pidana memalui pendekatan
keadilan restoratif21, pelanggar diharuskan untuk membayar kembali kerugian
bagi sikorban yang dapat ditempuh memalui jasa-jasa atau berupa uang.22 Ganti
kerugian murupakan salah satu bentuk perlindungan hukum bagi korban tindak
kejahatan, khususnya bagi korban pelaku tindak pidana perdagangan orang. Hal
ini dipandang perlu karena secara memadai tidak saja merupakan isu nasional,
tetapi juga isu internasional. Dengan demikian masalah ini harus diperhatikan
dengan serius, agar korban kejahatan tindak pidana perdagangan orang dapat
diperhatikan haknya sebagai korban.
Dalam penyelesaian suatu masalah melalui pendekatan restoratif, hak-hak
korban perlu mendapat perhatian karena korban adalah pihak yang
berkepentingan yang seharusnya mempunyaikedudukan (hukum) dalam proses
20Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka, 2003), h. 1204. 21Istilah umum tentang pendekatan restoratif diperkenalkan untuk pertama kalinya oleh
Albert Eglash dengan menyebutkan istilah restorative justice. Dalam tulisan yang mengulas tentang repartion dia mengatakan bahwa restorative justice adalah suatu alternatif pendekatan restitutif terhadap pendekatan keadilan retributif dan keadilan rehabilitatif. Lihat: Albert Eglash, Beyond Restitution: Creative Restitution, dalam J. Hudson dan B. Galaway, eds. Restitution in Criminal Justice, Lexington, Messachusset,USA, 1977, h. 95. Lihat: Mark M. Lanier dan Stuart Henry, Essential Criminology, Second Edition, Westview, Colardo, USA, 2004, h. 332 dan h. 369. Dalam penulisan disertasi ini penulis mempergunakan “pendekatan restoratif”. Karena walaupun para ahli mempergunakan istilah Restoratif Justice, namun nuansa penjelasanya adalah lebih merujuk terhadap suatu proses penyelesaian melalui pemulihan (to restore) sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Tomy Mashall, yaitu Restorative justice is a process where all parties with a stake in a particular offense and is implications for the future. Terjemah bebas: pendekatan restoratif adalah sebuah proses dimana dimana semua pihak yang berkepentingan terhadap suatu tindak pidana tertentu turut terlibat untuk bersama-sama mencari pemecahan dan sekaligus mencari penyelesaian dalam menghadapi kejadian setelah timbulnya tindak pidana tersebut serta bagaimana mengatasi implikasinya dimasa datang.
22Rufinus Khotmaulana Hutawuruk, Penanggulangan Kejahatan Korporasi Melalui Pendekatan Restoratif Suatu Terobosan Hukum, (Jakarta: Sinnar Grafika, 2013), h.182.
21
penyelesaianya. Pada sistem peradilan pidana pada umumnya, ditengarai bahwa
korban itu tidak menerima perlindungan yang setara dari pemegang wewenang
sistem peradilan pidana, sehingga kepentingan yang hakiki dari korban sering
terabaikan dan kalaupun itu ada hanya sekedar pemenuhan sistem administrasi
atau manajemen peradilan pidana.23
Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga, hak-hak korban diatur dalam pasal 10,
korban berhak mendapatkan:
a. Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadailan, advokad, lembaga sosail, atau pihak lainya baik sementara maupun berdasarkan penetapa perintah perlindungan dari pengadilan;
b. Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis; c. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban; d. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap
tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
e. Pelayanan bimbingan rohani24
Dalam deklarasi PBB telah dirumuskan betuk-bentuk perlindungan yang
dapat diberikan kepada korban yaitu:
a. Acces to justice and fair treatment (Akses terhadap keadilan dan perlakuan
yang adil)
b. Restitution (Restitusi)
c. Compensation (Kompensasi)
d. assistance25 (Bantuan)
23Ibid., h. 130 24Mohammad Taufik Makarao, Weny Bukamo, dan Syaiful Azri, Hukum Perlindungan
Anaka dan Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, (Jakarta: Rineka Cipta, 2013), h. 179. 25Rena Yulia, Viktimologi Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan, h 58.
22
Bentuk pelindungan terhadap korban, yaitu ganti rugi, istilahn ganti
kerugian digunakan oleh KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana) dalam pasal 99 ayat (1) dan (2) dengan penekanan pada penggantian
biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan atau korban.26
Berikut bunyi pasal 99 ayat (1) dan (2) dalam Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana.
1) Apabila pihak yang dirugikan minta penggabungan perkara gugatanya pada perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 98, maka pengadilan negeri menimbang tentang kewenanganya untuk mengadili gugatan tersebut, tentang kebenaran dasar gugatan dan tentang hukuman penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan tersebut.
2) Kecuali dalam hal pengadilan negeri menyatakan tidak berwenang mengadili gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau gugatan dinyatakan tidak dapat diterima, maka putusan hakim hanya memuat tentang penerapan hukum penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan.27
Didalam KUHAP mengatur beberapa macam ganti kerugian, antara lain:
1) Ganti kerugian berdasarkan pasal 59 dan pasal 96 KUHAP akibat seseorang ditangkap, ditahan dituntut atau diadili tanpa alasan yang sah berdasarkan undang-undang, atau karena keliru orangnya atau salah penerapan hukum.
2) Ganti kerugian sebagaimana diatur dalam pasal 98 sampai pasal 101 KUHAP yaitu kerugian yang diderita oleh rang lain, maka hakim atas permintaan orang tersebut menerapkan untuk mengabulkan perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana itu
3) Ganti kerugian berdasarkan hasil peninjauan kembali (Herziening) karena ada bukti-buki baru, dimana tuntutan ganti rugi itu dikabulkan oleh Mahkamah Agung.28
Dalam penjelasan pasal 95 KUHAP ganti kerugian akibat penggeledahan
rumah dan penyitaan yang tidak sah menurut hukum dijelaskan sebagai berikut:
26Ibid., 59. 27Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Ayat 99, pasal (1) dan (2) 28Moch Faisal Salam, Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek, (Bandung: Mandar
Maju, 2001), h. 347.
23
“Yang dimaksud dengan “kerugian karena dikenakan tindakan lain” ialah kerugian yang ditimblkan oleh pemasukan rumah, penggeledahan dan penyitaan yang tidak sah menurut hukum termasuk penahanan tanpa alasan ialah penahanan yang lebih lama daripada pidana yang dijatuhkan.”29
Ketentuan yang mengatur adanya hak ganti kerugikan terhadap korban
dalam KUHAP tidak tertulis secara sistematis dan membingungkan bagi orang
yang ingin mengajukan ganti kerugian kepada pengadilan negeri. Menurut
P.A.F Lamintang, “masalah hak untuk meminta ganti kerugian dalam KUHAP
itu terdapat secara tepisah-pisah dalam beberapa pasal.”30
Pemberian restitusi dan rehabilitasi terhadap korban yang diakibatkan
kekeliruan karena orangnya (Eror In Persona) dianggap perlu demi menjaga
nama baik korban. Menurut Syaiful Bakhri, “rehabilitasi yang dimaksudkan,
yakni pemulihan hak seseorang dalam kemampuan atau posisi semula yang
diberikan oleh pengadilan.”31
Restitusi terhadap korban tindak pidana perdagangan orang menurut
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana
perdagangan orang merupakan pembayaran ganti rugi terhadap korban yang
dibebankan kepada pelaku berdasarkan keputusan pengadilan yang berkekuatan
29M. Karmaji dan R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana dengan
Penjelasan resmi dan Komentar, (Bandung: PT Karya Nusantara, 1988), Cet III, h. 88. 30P.A.F Lamintang, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana dengan Pembahasan
Secara Yuridis Menurut Yurisprudensi dan Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana, (Bandung: CV Sinar Baru, 1984), h. 253.
31Syaiful Bakhri, Sistim Peradilan Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaruan, Teori dan Praktik Peradilan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), h. 80.
24
hukum tetap atas kerugian materil dan/atau immaterial yang diderita korban
atau ahli warisnya.32
Restitusi menurut Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 tentang
Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi terhadap korban pelanggaran hak asasi
manusia yang berat dalam pasal 1 butir 5 adalah:
“Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau
keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga, dapat berupa pengembalian harta
milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan, atau
penggantian biaya untuk tindakan tertentu.”33
Mekanisme pemberian restitusi menurut Peraturan Pemerintah Nomor 3
Tahun 2002 tentang Kompensasi, restitusi, dan Rehabilitasi terhadap korban
pelanggaran hak asasi manusia yang berat dalam bab II pasal 4 adalah:
“Pemberian restitusi dilaksanakan oleh pelaku atau pihak ketiga
berdasarkan perintah yang tercantum dalam amar putusan pengadilan HAM.”34
Restitusi berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008
Tentang Pemberian Kompensasi Restitusi, dan bantuan kepada saksi dan
korban dalam pasal 1 angka 5 adalah:
“Ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh
pelaku atau pihak ketiga, dapat berupa pengembalian harta milik, pembayaran
32Wiend Sakti Myharto, “ Mekanisme Restitusi Terhadap Korban Tindak Pidana
Perdagangan Orang Menurut Pasal 48 Ayat (1) Undang-undang No 21 tahun 2007 Dalam Perspektif Negara Hukum Kesejahteraan”, Jurnal, h. 2.
33M..Ghufran H. Kordi K, HAM Tentang Hak Sipil, Politik,, Ekonomi, Sosial, Budaya dan Umum, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013), h. 116.
34Ibid,.
25
ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan, atau penggantian biaya untuk
tindakan tertentu.”35
Menurut Stepher Schafer perbedaan antara restitusi dan kompensasi
adalah restitusi lebih bersifat pidana, yang timbul dari putusan pengadilan
pidana dan dibayar oleh terpidana atau merupakan wujud pertanggungjawaban
terpidana (The Responsibility of The Offender). Sedangkan kompensasi bersifat
perdata, timbul dari permintaan korban, dibayar oleh masyarakat atau negara
(The Responsible of The Society).36
Restitusi menyediakan suatu sanksi yang lebih jelas dan tegas yang terkait
dengan tindak pelanggaran dibanding dengan tindakan-tidakan yang bersifat
menghukum, dan lebih baik dalam mengembalikan seorang korban ketempat
keberadaanya sebelum terjadinya pelanggaran. Restitusi berfungsimemperjelas
pengakuan atas kesalahan perbuatan dan bukan untuk mengabaikan pelaggaran
yang telah dibuat kepada korban-koraban indifidual, namun restitusi mengakui
adanya kerusakan atau kerugian dari mereka yang sudah diderita sehingga
dicoba untuk dapat diperbaiki.37
Restitusi masih menimbulkan sejumlah masalah dalam tataran norma
maupun implementasinya. Tercatat beberapa masalah yang timbul seperti,
dalam KUHAP tidak tertulis secara sistematis tentang aturan pembarian
restitusi serta berimbas pada pelaksanaanya, belum tersedianya sumber daya
35Peraturan Pemerintah No 44 Tahun 2008 Tentang Pemberian Kompensasi Restitusi. 36Didik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan
Antara Norma dan Realita, (Jakarta: Rajawali Pers, 2007), h. 167. 37Rufinus Khotmaulana Hutawuruk, Penanggulangan Kejahatan Korporasi Melalui
Pendekatan Restoratif Suatu Terobosan Hukum, h. 185.
26
manusia dari aparat yang mumpuni dalam penanganan kasus perdagangan
orang, serta kesadaran yang rendah dari masyarakat untuk melaporkan hak-hak
mereka untuk memperolah restitusi.
C. Tindak Pidana Perdagangan Orang
1. Pengertian Tindak Pidana Perdagangan Orang
Kejahatan tindak pidana perdagangan orang merupakan pidana
khusus, menurut Aziz Syamsudin, “berdasarkan memori penjelasan
(Memori Van Toelichting/MvT) dari pasal 113 KUHP, istilah “Pidana
Khusus” dapat diartikan sebagai perbuatan pidana yang ditentukan dalam
perundangan ditentukan diluar KUHP.”38
Pengertian perdagangan orang sendiri diartika berbeda-beda oleh
masing-masing kelompok masyarakat, kerumitan ini yang menyebabkan
isu-isu yang dibawa bersifat sensitif. Menurut Alfitra, “dahulu trafficking
diartikan sebagai perpindahan orang dengan memaksa perempuan melintasi
batas negara untuk tujuan prostitusi.”39
Menurut Prof Simons, sebagaimana yang dikutip oleh P.A.F
Lamintang, kata “hendel” atau “dagang” itu sama halnya dengan pengertian
pada kejahatan perdagangan orang yang berarti membuat para orang yang
diperdagangkan berada dalam keadaan tidak mempunyai kebebasan seperti
yang dimiliki orang pada umumnya.40
38Aziz Syamsudin, Tindak Pidana Khusus, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), Cet IV, h. 13. 39Alfitra, Modus Operandi Pidana Khusus di Luar KUHP, (Jakarta: Penebar Swadaya
Grup, 2014), h. 164. 40P.A.F Lamintang, Delik-Delik Khusus Tindak Pidana-Tindak Pidana Melanggar Norma-
Norma Kesusilaan dan Norma-Norma Kepatutan. (Bandung: Mandar Maju, 1990), h.231.
27
Tindak pidana perdagangan orang bukanlah suatu hal yang baru
dikalangan masyarakat Indonesia, karena praktik perdagangan orang telaha
ada sejak zaman dahulu. Menurut Heny Nuraeni, “perbudakan telah
berkembang sejak beberapa ribu tahun yang lalu yang diawali dengan
adanya penaklukan atas suatu kelompok oleh kelompok lainya.”41
Pengertian tindak pidana perdagangan sebagaimana yang telah diatur
dalam pasal 297 KUHP adalah, “Perdagangan wanita dan perdagangan anak
laki-laki yang belum dewasa, daincam dengan pidana penjara paling lama
lima tahun.”42 Menurut Farhana, “ pasal tersebut menyebutkan wanita dan
anak laki-laki dibawah umur berarti hanya perempuan dewasa karena
wanita sama dengan perempuan dewasa dan dan anak laki-laki yang masih
dibawah umur yang mendapat perlindungan hukum dalam pasal tersebut.”43
Pasal 297 KUHP memang dirasa kurang luas jangkauanya dalam
memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat Indonesia, berdasarkan
keadaan tersebut pemerintah akhirnya mengeluarkan Undang-undang No
21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan orang.
Menururut Henny Nuraeni, mengenai ruang lingkup Tindak Pidana
Perdagangan Orang berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007
yaitu:
a. “Setiap tindakan atau serangkaian tindakan yang memenuhi unsur tindakpidana yang ditentukan dalam undang-undang ini (Undang-undang Noomor 21 Tahun 2007). Selain itu, undang-
41Heny Nuraeni, Tindak Pidana Perdagangan Orang, (jakarta: Sinar Grafika, 2011). h.
350. 42Kitab Undang Undang-undang hukum Pidana, Pasal, 297. 43Farhana, Aspek Hukum Perdagangan Orang di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010),
h. 114.
28
undang nomor 21 tahun 2007 juga malarang setiap orang yang memasukan orang kewiayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) untuk eksploitasi;
b. Membawa Warga Negara Indonesia (WNI) ke luar wilayah NKRI untuk eksploitasi;
c. Mengangkat anak dengan menjanjikan sesuatu atau memberikansesuatu untuk tujuan eksploitasi;
d. Mengirim anak kedalam atau keluar negeri dengan cara apa pun; dan setiaporang yang menggunakan atau memanfaatkan korban TPPO dengan cara melakukan persetubuhan atau pencabulan, mempekerjakan korban untuk tjuan eksploitasi atau mengambil keuntungan;
e. Stiap orang yang memberikan atau memasukan keterangan palsu pada dokuman negara atau dokumen lain untuk mempermudah TPPO;”44
2. Faktor Terjadinya Tindak Pidana Perdagangan Orang
Pembahasan dalam mengurai sebab-sebab dari tindak pidana
perdagangan orang berpedoman dari pengertian kriminolog menjelaskan
hubungan sebab akibat, dimana kriminologi menjelaskan hubungan sebab
akibat dan fakta kriminal, serta berusaha mencari jawaban mengapa
kejahatan terjadi. Sedangkan kejahatan ini sendiri diartikan sebagai perilaku
yang anti sosial yang telah dilarang dan dirimuskan dalam hukum positif
sebagai kejahatan.
Dalam kasus tindak pidana perdagangan orang ada beberapa faktor
yang memicu terjadinya tindak pidana, menurut Henny Nuraeni, “ faktor-
pfaktor paling mendukung adanya perdagangan orang diantaranya karena
adanya permintaan (demand) terhadap pekerjaan disektor informal yang
44Henny Nuraeni, Tindak Pidana Perdagangan Orang, h. 98.
29
tidak memerlukan keahlian khusus, mau dibayar dengan upah relatif rendah
serta tidak memerlukan perjanjian yang rumit.”45
Dari paparan pendapat diatas bisa kita tarik kesimpulan bahwa salah
satu faktor penyebabnya adalah faktor ekonimi yang menjadikan
masyarakat terjerumus dalam praktik perdagangan orang. Menurut Farhana,
“faktor ekonimi menjadi penyebab terjadinya perdagangan manusia yang
dilatarbelakangi kemiskinan dan lapangan kerja yang tidak ada atau tidak
memadai dengan besarnya jumlah penduduk.46
Berawal dari faktor ekonimi itulah sebagian dari masyarakat pedesaan
dengan kapasitas pendidikan yang minim dan ketidakpahaman akan praktik
perdagangan orang yang marak terjadi, akhirnya tergiyur dengan iming-
iming pekerjaan yang mudah dengan gaji lumayan besar, seperti menjadi
TKI atau TKW. Menurut Alfitra, “ di Indonesia, jumlah perempuan yang
pergi keluar negeri sebagai Tenaga Kerja Wanita (TKW) terus meningkat.
Pada 2012 jumlah Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di luar negeri
sebanyak 735.000 orang dan lebih dari 70% adalah perempuan.”47
Banyak orang mengalami trafficking manusia, lelaki maupun
perempuan, mengawali perjalanan mereka sebagai imigran gelap yang telah
mengadakan perjanjian dengan seorang individu atau kelompok yang
membantu tindakan tidak sah mereka demi keuntungan yang besar, dalam
suatu penyelundupan imigran, hubungan antara imigran dan penyelundup
45Ibid,. 110. 46Farhana, Aspek Hukum Perdagangan Orang di Indonesia, h. 50. 47Alfitra, Modus Operandi Pidana Khusus di Luar KUHP, h. 171.
30
bersifat sukarela, berjangka pendek dan berakhir sampai tibanya imigran di
negara tujuan. Kendati demikian, sejumlah imigran gelap dipaksa
melanjutkan hubungan ini untuk melunasi hutang ongkos angkutan yang
besar. Pada tahapan akhir ini lah tampak tujuan dari tindak pidana
perdagangan orang (jeratan hutang, pemerasan, kekerasan, kerja paksa,
palacuran paksa). Menurut Beate Andrees, “kerja paksa sebagai hasil dari
kejahatan perdagangan yang terorganisir dapat ditemukan dalam industri
seks di seluruh dunia.”48
Rendahnya tingkat ekonomi, pendidikan dan situasi pskologi ini lah
menjadi salah satu penyebab yang tidak disadari sebagai peluang
munculnya tindak pidana perdagangan orang. Tindak pidana yang menjadi
akar dari dari salahsatu penyakit masyarakat (prostitusi) ini, sampai saat ini
belum mendapat perhatian maksimal dari pihak-pihak terkait. Tidaklah
mengherankan jika korban trafficking terus berjatuhan, bahkan rentan
korban demi korban masih mungkin akat terus bertambah. Menurut Alfitra,
“183 kasus yang dilaporkan dan 178 kasus selesai pada tahun 2009. Pada
2010 sebanyak 24 kasus dan yang selesai 16 kasus pada 2013 sebanyak 200
kasus dilaporkan dan 188 kasus bisa diselesaikan”.49
Dengan demikian, secara spesifik dilapangan bisa saja terjadi modus
operandi tindak pidana perdagangan orang akan terus berkembang dan
dengan menggunakan cara-cara yang semakin canggih dan tidak bisa
48Beate Andrees, Kerja Paksa dan Perdagangan Orang, (Jakarta: International Labour
Organization, 2014), h. 8. 49Alfitra, Modus Operandi Pidana Khusus di Luar KUHP, h. 107.
31
diprediksi sepertihalnya modus operandi tindak pidana narkotika yang
semakin hari semakin menemukan modus operandi baru yang dapat
mengecoh aparat penegak hukum.
3. Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
Dalam upaya penanggulangan kejahatan pemerintah telah melakukan
pendekatan intregral yaitu melalui upaya panel dan non panel. Upaya panel
adalah upaya penanggulangan kejahatan yang bersifat represif (pendidikan)
bagi pelanggar hukum atau pelaku kejahatan. Upaya non panel adalah upaya
penanggulangan kejahatan yang bersifat prevesif yaitu upaya-upaya
pencegahan terhadap kemungkinan kejahatan yang dilaksanakan sebelum
terjadi kejahatan.50
Kebijakan kriminal dalam pencegahan dan pelindungan korban tindak
pidana perdagangan orang dari segi kebijakan panel dan non panel
selanjutnya akan diuraikan sebagai berikut:
a. Kebijakan Panel.
Istilah “kebijakan” yang diterjemahkan dalam bahasa inggris “policy”
dan diartikan sebagai penggunaan hukum pidana. Jika dirangkai dalam
penggunaan bahasa singkat kita, kebijakan hukum pidana bisa disebut
juga sebagai “politik hukum pidana” yang merangkum pokok bahasa
politik hukum secara keseluruhan karena hukum pidana adalah satu
bagian dari ilmu hukum.51
50Barda Nawawi Arief, Kebijakan Penanggulangan Hukum Pidana Sara Paneldan Non
Paneli, (Semarang: Pustaka Magister, 2010), h. 23. 51Mahmud Mulyadi, Criminal Policy Pendekatan Integral Panel Policy dan Non Panel
Policy dalam Penanganan kejahatan dan Kekerasan, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008), h. 65.
32
Penggunaan hukum pidana menjadi salah satu upaya dalam
penaggulangan kejahatan, dengan memutuskan sanksi berupa
pemidanaan. Penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum
pidana sebagai proses dalam mengatasi permasalahan sosial dalam
bidang kebijakan kriminal penegakan hukum.52
Penanggulangan lewat jalur kebijakan panel, diartikan suatu
penanggulangan kejahatan yang menitik beratkan pada sifat prevensif
yakni, penindasan, pemberantasan, dan penumpasan setelah kejahatan
itu terjadi. Marc Ancel menyatakan bahwa modern criminal science
terdiri tiga komponen yaitu, criminology, criminal law, panel policy.
Menurut beliau panel policy adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada
akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan
hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi
pedoman tidak hanyak kepada pembuat undang-undang, tapi juga
kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada
para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.53
b. Kebijakan Non Panel
Pencegahan kejahatan dengan upaya non panel memfokuskan diri pada
campur tangan sosial, ekonomi, dan berbagai era kebijakan publik
dengan maksud mencegah terjadinya kejahatan. Betuk lain dari
keterlibatan masyarakat nampak dari upaya pencegahan situasional dan
52Teguh Prasetyo, Kriminalisasi dalam Hukum Pidana, h. 19. 53Barda Nawawi Arief, Kebijakan Penanggulangan Hukum Pidana Sara Paneldan Non
Paneli, h. 26.
33
peningkatan kapasitas masyarakat dalam penggunaan sarana kontrol
sosial informal, peningkatan pencegahan kejahatan berorientasi pada
pelaku atau offender-centred crime prevention dan borientasi pada
korban atau victim-centred crime prevention.54 Tujuan dari usaha-usaha
non panel adalah untuk mampu memperbaiki kondisi-kondisi sosial
tertentu, secara langsung mempunyai pengaruh prefentif terhadap
kejahatan.
Menurut Barda Nawawi Arief, Upaya untuk melakukan pencegahan
dan penanggulangan kejahatan dapat diidentifikasikan sebagai berikut: 55
a. Pencegahan dan penaggulangan kejahatan harus menunjang tujuan (goal), kesejahteraan masyarakat/ sosial welfare (SW) dan perlindungan masyarakat sosial/ socail defence (SD).
b. Pencegahan dan penanggulangan kejahatan harus dilakukan dengan pendekatan integral, yang artinya ada keseimbangan antara panel dan non panel.
c. Pencegahan dan penaggulangan kejahatan dengan sarana panel merupakan panel policy atau panel law enforcement policy operasionalisasinya melalui beberapa tahap, yaitui: tahap formulasi (kebijakan legislatif), tahap aplikasi (kebijakan yudikatif/ yudisial), tahap eksekusi (kebijakan eksekutif/ administratif). Penanggulangan tindak pidana tidak terlepas dari upaya penegakan
hukum. Menurut Joseph Golstien penegakan hukum dapat dibedakan
menjadi tiga bagian, yaitu:
1. Total Enforcemen (Penegakan Hukum secara Total), yaitu penegakan
hukum secara total, sebagaimana dirumuskan oleh hukum pada
substansinya (Substansive Law of Crime).
54Abintoro Prakoso, Kriminologi Hukum & Hukum Pidana, (Yogyakarta: Laksbang
Grafika, 2013), h. 159. 55Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam
Penanggulangan Kejahatan, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 77-79.
34
2. Full Enforcemen (Penegakan Hukum secara Penuh), yaitu sebuah
konsep penegakan hukum yang menghendaki pembatsan dari konsep
total, dalam ruang lingkum ini para penegak hukum termasuk kepolisian
dirasa belum dapat diharapkann menegakkan hukum secara maksial
karena adanya berbagai keterbatasan, baik dalam bentuk waktu, sarana-
prasarana, kualitas sumber daya manusia, perundang-undangan dan
sebagainya sehingga mengakibatkan dilakukanya discretions.
3. Actual Enforcemen (Penegakan Hukum secara Aktual), yaitu sebuah
konsep yang muncul setelah terjadi deskresi, namun tidak menutup
kemungkinan untuk terjadi penyimpangan yang terjadi oleh aparat
penegak hukum termasuk kepolisian.56
PBB (Persatuan Bangsa Bangsa) sebagai organisasi internasional
melalui sistem yang dimiliki berusaha menggalang kerjasama melawan
tindak pidana internasional termasuk perdagangan orang yang marak terjadi
pada wanita dan anak-anak. Bahkan kejahatan ini dikategorikan sebagai
Transnational Organized Crime (TOC). Menurut identifikasi CCPJ
(Commision On Crime Revention and Criminal Justice) yang dikategorikan
sebagai TOC adalah:
a. Tindakan untuk melawan kejahatan terorganisir dan ekonimi baik secara
nasional maupun internasional.
56Nur Rohim Yunus, Restorasi Budaya Hukum Masyarakat Indonesia, (Bogor:
Jurisprudence Press, 2012), h. 72.
35
b. Kaitan TOC dengan kejahatan terorisme (termasuk kegiatan
pendanaanya).
c. Sistem kepolisian dan pengadilan terhadap kejahatan.
d. Pengaturan senjata api untuk tujuan pencegahan kejahatan dan kamanan
umum.
e. Anak-anak sebagai korban dari pelaku kejahatan.
f. Membasmi kejahatan terhadap wanita.57
D. Prosedur Pengajuan Restitusi
Mekanismen pemberian restitusi terhadap korban tindak pidana perdagangan
orang yang diatur dalam pasal 48 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang
pemberantasan tindak pidana perdagangan orang adalah sebagai berikut. “Restitusi
tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam amar putusan pengadilan
tentang perkara tindak pidana perdagangan orang”.58 “Pemberian restitusi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sejak putusanpengadilan tingkat
pertama”.59 “Restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat dititipkan terlebih
dahulu di pengadilan tempat perkara diputus”.60 “Pemberian restitusi dilakukan
dalam 14 (empat belas) hari terhitung sejak diberitahukanya putusan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap”.61 “Dalam hal pelaku diputus bebas oleh
57G. Sri Nurhartono, Perdagangan Perempuan di Indonesia Tinjauan Aspek Yuridis,
(Yogyakarta: Lokakarya, 2005), h. 8. 58Pasal 48 Ayat 3, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. 59Pasal 48 Ayat 4, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. 60Pasal 48 Ayat 5, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. 61Pasal 48 Ayat 6, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
36
pengadilan tingkat banding atau kasasi, maka hakim memerintahkan dalam
putusanya agar uang restitusi yang dititipkan dikembalikan pada yang
bersangkutan”.62
Mekanisme pengajuan restitusi juga dijelaskan dalam (PP) Peraturan
Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan
Bantuan pada Saksi Korban. Beberapa pokok penting dalam Peraturan Pemerintah
tersebut diantaranya adalah:
Pasal 23
(1) LPSK memeriksa kelengkapan permohonan Restitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22.
(2) Dalam hal terdapat kekuranglengkapan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), LPSK memberitahukan secara tertulis kepada pemohon untuk melengkapi permohonan.
(3) Pemohon dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal pemohon menerima pemberitahuan dari LPSK, wajib melengkapi berkas permohonan.
(4) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dilengkapi oleh pemohon, maka pemohon dianggap mencabut permohonannya.
Pasal 24
Dalam hal berkas permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dinyatakan lengkap, LPSK segera melakukan pemeriksaan substantif. Pasal 25
(1) Untuk keperluan pemeriksaan permohonan Restitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, LPSK dapat memanggil Korban, Keluarga, atau kuasanya, dan pelaku tindak pidana untuk memberi keterangan.
(2) Dalam hal pembayaran Restitusi dilakukan oleh pihak ketiga, pelaku tindak pidana dalam memberikan keterangan kepada LPSK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menghadirkan pihak ketiga tersebut.
Pasal 26
(1) Dalam hal Korban, Keluarga, atau kuasanya tidak hadir untuk memberikan
62Pasal 48 Ayat 7, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
37
keterangan 3 (tiga) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah, permohonan yang diajukan dianggap ditarik kembali.
(2) LPSK memberitahukan penarikan kembali permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada pemohon.
Pasal 27
(1) Hasil pemeriksaan permohonan Restitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dan Pasal 25 ditetapkan dengan keputusan LPSK, disertai dengan pertimbangannya.
(2) Dalam pertimbangan LPSK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai rekomendasi untuk mengabulkan permohonan atau menolak permohonan Restitusi.
Pasal 28
(1) Dalam hal permohonan Restitusi diajukan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan pelaku tindak pidana dinyatakan bersalah, LPSK menyampaikan permohonan tersebut beserta keputusan dan pertimbangannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 kepada pengadilan yang berwenang.
(2) Dalam hal permohonan Restitusi diajukan sebelum tuntutan dibacakan, LPSK menyampaikan permohonan tersebut beserta keputusan dan pertimbangannya kepada penuntut umum.
(3) Penuntut umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam tuntutannya mencantumkan permohonan Restitusi beserta Keputusan LPSK dan pertimbangannya.
(4) Salinan surat pengantar penyampaian berkas permohonan dan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), disampaikan kepada Korban, Keluarga atau kuasanya, dan kepada pelaku tindak pidana dan/atau pihak ketiga.63
63Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi,
dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban, Pasal 23-28.
38
BAB III
TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DALAM HUKUM ISLAM
A. Pengertian Tindak Pidana Perdagangan Orang Dalam Hukum Islam
Khusus dalam masalah jari>mah, maka ada dua hal yang tidak dapat
dipisahkan dan merupakan suatu mata rantai yang tidak akan pernah teputus, yaitu
kejahatan dan hukuman.1 Dari pengertian diatas menunjukan bahwa dalam
kehidupan bermasyarakat tidak luput dari kejahatan sehingga harus ada kontrol
sisial yang bisa meminimalisir kejahatan dan memberikan efek jera bagi
masyarakat. Perintah dan larangan saja tidak akan berarti dan tidak cukup
mendorong seseorang untuk meninggalkan seuatu perbuatan atau melaksankanya,
untuk itu diperlukan sanksi berupa hukuman bagi siapa saja yang melanggarnya.2
Dalam hukum pidana Islam (Jina>yah) tidak pidana perdagangan orang
tergolong tindak pidana yang dihukumi dengan ta’zi>r. Menurut Nurul Irfan, dalam
pernyataan Al-Fayyumi, “Ta’zi>r adalah pengajaran yang tidak termasuk dalam
kelompok had. Dengan demikian, ta’zi>r tidak termasuk kedalam hukuman h}udu>d,
bukan berarti tidak lebih keras dari h}udu>d, bahkan sangat mungkin berupa hukuman
mati.3 Menurut, Ahmad Wardi Muslich, “hukuman yang belum ditetapkan oleh
syara’ dan wewenang untuk menetapkanya diserahkan kepada ulil amri atau
hakim.4
1Makrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2014),
h. 41. 2Abdurrahman Al-Maliki, Nidzam al-‘Uqubat (Sistem Sanksi dalam Islam), Terjemah olah
Syamsudin Ramadlan, (Bogor: Pustaka Tahariqul Izzah, 2002), h. 2. 3M. Nurul Irfan, Fiqh Jinayah, (Jakarta: Amzah, 2014), h. 137. 4Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, h. 66.
39
Sebagian ulama berpendapat bahwa ta’zi>r menjadi hukuman atas pelanggaran
terhadap hak Allah dan hamba yang tidak ditentukan oleh Al-Quran dan Hadis.
Ta’zi>r memberikan fungsi pengajaran kepada pelaku sekaligus memberikan efek
jera dan agar pelaku tidak mengulangi perbuatanya.5 Menurut Al-Mawardi, “ta’zi>r
adalah hukuman yang bersifat pendidikan atau perbuatan dosa (maksiat) yang
hukumanya belum tentu ditetapka oleh syara’.”6 Sedangkan menurut Wahbah
Zuhaili, “ta’zi>r menurut syara’ adalah hukuman yang ditetapkan atas perbuatan
maksiat atau jina>yah yang tidak dikenakan hukuman hadd dan tidak pula kaffa>rat”.7
Dari defenisi diatas menunjukan bahwa ta’zi>r adalah suatu istilah hukuman atas
beberapa jari>mah yang hukumnya belum ditetapkan oleh syara’. Dikalangan
fuqaha, beberapa jari>mah yang hukumanya belum ditetapkan oleh syara’
dinamakan jarimah ta’zi>r. Jadi istilah ta’zir bisa digunakan untuk hukuman dan bisa
juga untuk jari>mah. Ta’zi>r sering juga dipahami, untuk menghukumi perbuatan-
perbuatan maksiat yang tidak dikenakan hukum had atau kaffa>rat.8
Dalam penerapan ta’zi>r yang berwenang untuk memberikan ketentuan
hukuman maksimal dan minimal dalam pengadilan adalah penguasa atau hakim.9
Dengan demikian hakim mempunyai wewenang yang sangat besar dalam
menentukan bentuk-bentuk hukuman pada pelaku jari>mah, agar terciptanya kontrol
5Rahmad Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah), (Banndung: CV Pustaka Setia,
2000), h. 141. 6Hasan Al-Mawardi, Al-Ahkam Al-Sulthoniyah, (Mesir: Mustafa Al-Baby Al-Halaby, 1975),
h. 222. 7Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islam Wa ‘Adillatuhu, (Surriyah: Darul Fikr, 2011), h. 197. 8A. Djazuli, Fiqih Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam), (Jakarta: PT
Raja Grafindo, 200), h. 165. 9Muhammad Said Al-Asymawi, Nalar Kritis Syari’ah, (Yogyakarta: Lkis Group, 2012), h.
148.
40
sosial yang baik dalam kehidupan bermasyarakat dan agar hakim mampu
menghadapi persoalan-persoalan pidana dalam masyarakat yang tidak diatur dalam
Al-Quran dan Hadis.
Jari>mah ta’zi>r dalam Al-Quran dan Hadis tidak ada yang menyebutkan secara
terperinci baik dari segi bentuk maupn hukumanya.10 Dasar hukum disyariatka nya
sanksi bagi pelaku jari>mah ta’zi>r didasarkan pada pertimbangan kemaslahatan yang
tetap mengacu pada prinsip keadilan dalam masyarakat.11
Dalam penerapanya sanksi ta’zi>r dibagi menjadi empat bagian yaitu:
1. Sanksi ta’zi>r berkaitan dengan badan. 12
a. Hukuman Mati
Yakni hukuman yang dijatuhkan pada pelaku jari>mah ta’zi>r yang sangat
membahayakan kepenntingan umum.13 Contohnya: pencurian yang
dilalukan berulang-ulang dan menghina Nabi beberapa kali yang dilakukan
oleh kafir dzimmi, dalam hal ini penguasa atau hakim harus menentukan
jenis-jenis jari>mah yang dapat dijatuhi hukuman mati.14
b. Hukman Cambuk
Yakni merupakan hukuman pokok dari syariat Islam. Dalam hal ini tidak
ada batasan tertentu untuk hukuman ta’zi>r yang berupa cambuk.15 Mengenai
10Jiah Mubaroq, Kaidah Kaidah Fiqih Jinayah, (Bandung: Pustaka Bany Quuraisy, 2004), h.
47. 11Makhrus Munajat, Reaktualisasi, Pemikiran Hukum Pidana Islam, (Yogyakarta:
Cakrawala, 2006), h. 14. 12M. Nurul Irfan, Fiqh Jinayah, h. 147. 13Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, h. 157. 14Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 257. 15Ibid.
41
pelaksanaan hukuman cambuk, ulama menyebutkan ukuran cambuk
tersebut mu’tadil (tidak kecil tidak juga besar).16
2. Sanksi ta’zir yang berkaitan dengan kemerdekaan seseorang.17
a. Hukuman Penjara
Para ulama yang mebolehkan sanksi penjara, mengacu pada tindakan
Utsman yang memenjarakan Zhabi’bin Harits (seorang pencopet dari bani
Tamim), Aly yang memenjarakan Abdullah bin Zubair di Mekah, dan
Rosulullah SAW, yang menahan tertuduh untuk menunggu proses
persidangan.18
b. Hukuman pengasigan
Yakni hukuman yang dikenakan pada pelaku jari>mah ta’zi>r yag dapat
diduga perbuatanya itu dapat mempengaruhi masyarakat umum yang
dikhawatirkan berpengaruh pada orang lain sehingga pelakunya harus
dibuang untuk menghindarkan pengaruh-pengaruh tersebut19
3. Sanksi ta’zir yang berkaitan dengan harta
a. Menghancurkan
Penghancuran ini tidak selamanya merupakan kewajibandan dalam
kondisi tertentu boleh dibiarkan atau disedekahkan.
b. Mengubahnya
16M. Nurul Irfan, Fiqh Jinayah, h. 151. 17Ibid., h. 152 18Ibid. 19Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, h. 51
42
Hukuman ta’zi>r yang berupa mengubah harta pelaku, antara lain mengubah
patung yang disembah oleh orang muslim dengan cara memotong bagian
kepala hingga mirip pohon atau vas bunga.
c. Memilikinya
Hukuman ta’zi>r berupa pemilikan harta pelaku, diantaranya adalah pada
saat Rosulullah SAW, melipatgandakan denda bagi seorang yang mencuri
buah-buahan, disamping hukuman cambuk. Demikian pula keputusan
Khalifah Umar yang melipatgandakan denda bagi orang yang
menggelapkan barag temuan.20
4. Sanksi ta’zi>r lainya
a. Peringatan keras;
b. Dihadirkan dihadapan sidang;
c. Nasihat;
d. Celaan;
e. Pengucilan;
f. Pemecatan; dan
g. Pengumuman kesalahan secara terbuka, seperti diberitakan di media cerak
atau elektronik.21
B. Pendapat Ulama dan Dalil Diyat dalam Hukum Pidana Islam
Dalam Hukum Islam Restitusi atau gantirugi disebut sebagai “diyat” dalam
Kitab Fiqih Empat Mazhab, Syaikh al-Allamah Muhammad bin Abdurrahman ad-
20M. Nurul Irfan, Fiqh Jinayah, h. 158-159. 21Ibid,. H. 160.
43
Dimasyqi, menyebutkan bahwa, “para imam mazhab sepakat bahwa diyat seorang
laki-laki muslim lagi merdeka adalah 100 unta yang diambil dari harta pembunuh
dengan sengaja apabila ia dilepaskan dari qisa>s pada pembayaran diyat.”22
Menurut hukum pidana Islam dikenal adanya hukuman diyat bagi pelaku
tindak pidana pembunuhan dan penganiayaan yang dimaafkan oleh korban atau
keluarga korban, yang dimaksudkan dengan diyat adalah sejumlah uang atau harta
yang harus dibayar oleh pelaku tindak pidana karena kematian atau kerusakan
anggota badan. Dasar hukum penetapan diyat dalam hukum islam dapat terdapat
pada Al-qur'an Surat Al-Baqarah Ayat 178. Selain itu juga terdapat dalam Hadist
Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, ra. Ketentuan tentang
besarnya uang atau harta yang harus dibayar untuk diyat berat disetarakan dengan
100 ekor unta dengan kriteria 30 unta berumur 4 tahun, 30 ekor unta berumur 5
tahun dan 40 ekor unta bunting.
ه رفعه:عمرو بن شعيب, عن أبيه, عن عن ية جد ثالثون حقة, وثالثون جذعة, وھي الد
23. (رواه الترمذي)وأربعون خلفة
Artinya: “Dari Amr dan Ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya dalam hadits marfu': "Denda berupa 30 ekor hiqqah, 30 ekor jadz'ah, dan 40 ekor unta bunting”.
Sedangkan diyat ringan disetarakan dengan 100 ekor unta dengan kriteria 20
ekor unta berumur 4-5 tahun, 20 ekor unta berumur 3-4 tahun, 20 ekor unta betina
berumur 2-3 tahun dan 20 ekor unta jantan berumur 2-3 tahun, serta 20 ekor unta
22Syaikh al-Allamah Muhammad bin Abdurrahman ad-Damasyqi, Fiqih Empat Mazhab,
Terjemah Oleh, Abdullah Zaki Alkaf (Bandung: Hasyimi, 2013), h. 403. 23Abi Isa Muhammad Bin Isa Bin Sauroh Al-Tirmidzi, Jami’ Al-Tirmidzi, (Riyadh: Baitul
Afkar Al-Dauliyah, t.th)., h. 244.
44
betina berumur 1-2 tahun.24 Berdasarkan hadits Nabi yang diriwayatkan oleh
Daruquthni:
جذعة, وعشرون حقة, وعشرون بنات عشرون ,دية الخطأ أخماسا قال: أنهوعن ابن مسعود
ارقطني (رواه .مخاض وعشرون بنات ذكور, لبون ووعشرون بن لبون, 25)الد
Artinya: “Dari Ibnu Mas'ud bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Denda bagi yang membunuh karena kesalahan dibagi kepada lima bagian, 20 ekor jadza'ah (unta berumur 4-5 tahun), 20 ekor hiqqah (unta berumur 3-4 tahun), 20 ekor banat labun (unta betina berumur 2-3 tahun), 20 ekor banu labun dzukur (unta jantan berumur 2-3 tahun), dan 20 ekor banat makhad (unta betina berumur 1-2 tahun”. (HR. Ad-Daruquthni)
Diyat berasal kosa kata bahasa arab yang berarti "memberi". Dalam kamus
bahasa Indonesia diyat berarti denda (berupa uang atau barang) yang harus dibayar
karena melukai atau membunuh orang.26 Sedangkan menurut beberapa pakar
hukum islam, seperti Sayyid Sabiq, Syeh Syarbaini, Abdul Qadir Audah dan As
Syafi'i diyat berarti pemberian berupa uang atau harta tertentu yang wajib diberikan
oleh orang merdeka kepada si korban atau keluarganya disebabkan karena
pembunuhan atau penganiayaan yang terjadi. Diyat berkaitan dengan tindak pidana
pembunuhan dan penganiayaan yang dilakukan oleh seseorang atau golongan.
Sehingga ini menjadi batasan dari definisi diyat, adapun ganti kerugian pada kasus
lain di luar pembunuhan dan penganiayaan tidak termasuk dalam ruang
lingkup diyat. Penetapan hukuman dilakukan melalui prosedur peradilan, sehingga
para hakim dapat dengan mudah menerapkan ketentuan besaran
jumlah diyat terhadap pelaku pembunuhan atau penganiayaan, baik dilakukan
secara sengaja atau tidak singaja. Menurut Abdul Qodir Audah, “syariat
24Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, h. 171. 25Ali Bin Umar Al-Daruqutni, Sunan Al-Daruqutni, (Bairut: Daru Ibni Hazm, 2011), h. 262. 26Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ( Jakarta: Balai Pustaka, 1990), h. 156.
45
menjadikanya diyat sebagai hukuman asal bagi pembunuhan dan penganiayaan
yang serupa sengaja dan tersalah landasan ini berdasarkan Al-Quran dan Al-
Sunnah”27 Tanggungjawab atau kewajiban membayar diyat dibebankan langsung
terhadap pelakunya, namun pada suatu waktu kewajiban membayar diyat dapat
berpindah menjadi tanggungjawab Negara. Seperti yang pernah terjadi pada masa
Rasulullah SAW dan khalifah Usaman bin Affan ra.
Pada masa Rasulullah SAW, peralihan tanggung jawab diyat pernah terjadi
sebagaimana diceritakan dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Said dari
Ibrahim, penulis kutipkan sebagai berikut: “Seseorang terbunuh dalam kerumunan
manusia yang berdesak-desakan di padang ‘Arafah. Kemudian keluarganya
mendatangi Umar, lalu Umar berkata: “buktikan siapa yang membunuhnya?” Maka
berkata Saydina Ali: “ya Amirul Mukminin, tidak akan dialirkan darah seorang
muslim, andai kata saya tahu siapa pembunuhnya, kalau tidak maka
bayarlah diyatnya dari Baitul Mal.28
Ulama fiqh membagi diyat berdasarkan segi berat ringanya kepada al-
mughallad{ah (yang berat) dan al-mukhafafah (yang ringan).ulama fiqh
menyatakan diyat itu bersifat al-mughallad{ah hanya dari segi jenis diyat yang telah
ditentukan Rasullulah Saw. Jumhur ulama fiqh (selain Mazhab Maliki) berpendapat
bahwa diyat al-mughallad{ah itu ditetapkan pada pembunuhan sengaja dan semi
sengaja. Adapun menurut ulama mazhab Maliki, diyat al-mughallad{ah dikenakan
27Abdul Qodir Audah, Al-Tasyri’ Al-Jina>i’ Al-Islami>, (Bairut: Darul Ka>tit Al-‘Azali), h.668. 28Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam,(Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 238.
46
dalam kasus pembunuhan sengaja (apabila qishash diganti dengan diyat) dan dalam
kasus ayah membunuh anaknya.29
Adapun yang menjadi dasar hukum adanya diyat itu adalah firman Allah
dalam Surat An-Nisa' Ayat 92 adalah:
ية مسلمة وما كان لمؤمن أن يقتل مؤمنا إال خطأ ومن قتل مؤمنا خطأ فتحرير رقبة مؤمنة ود
قوا فإن كان من قوم عدو لكم وھو مؤمن فتحرير رقبة مؤمنة وإن إلى د كان من أھله إال أن يص
ھرين م يجد فصيام ش قوم بينكم وبينھم ميثاق فدية مسلمة إلى أھله وتحرير رقبة مؤمنة فمن ل
عليما وكان هللا متتابعين توبة من هللا
Artinya: " Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja). Dan barang siapa membunuh seorang mikmin karena tersalah (hendaklah) ia memardekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (siterbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah ...dari kaum yang memusuhimu, padahal ia mukmin maka (hendaklah sipembunuh) memardekakan hamba sahaya yang beriman.” (QS. An-Nisa: 92).
Ayat di atas menjelaskan bahwa orang yang melakukan pembunuhan
terhadap seorang mukmin dengan tidak sengaja (tersalah), diwajibkan kepadanya
suatu hukuman yaitu membayar diyat (ganti rugi) setelah memerdekakan hamba
sahaya yang mukmin. Ayat tersebut juga sekaligus menerangkan bahwa
pembunuhan yang ancamannya diyat adalah pembunuhan yang tidak disengaja atau
tersalah. Berdasarkan ayat lain Al- Quran surat Al-Baqarah ayat 178 yang juga
menjadi dasar hukum diyat. Allah SWT. Menjelaskan terhadap pembunuhan
sengaja barulah ancaman hukumannya adalah hukuman qisha>sh.
Firman Allah SWT. dalam surat Al-Baqarah ayat 178 tersebut adalah:
29Asy-Syafi’ie, Al-Umm, (Libanon: Darul Ihya’ at-Turats al-‘Araby, Beirut, 2000), Juz. VII,
h. 352.
47
عليكم القصاص في القتلى الحر بالحر والعبد بالعبد واألنثى باألنثى فمن اأيھا الذين ءامنوا كتب
مة فمن ح عفي له من أخيه شيء فاتباع بالمعروف وأداء إليه بإحسان ذلك تخفيف من ربكم ور
)178(البقرة: دى بعد ذلك فله عذاب أليم اعت
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diyat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih.” (QS. Al-Baqarah 178).
Ayat yang berkaitan langsung dengan diyat tersebut, tercantum dalam ayat
178 surat al-Baqarah sebagaimana yang telah dijelaskan. Dapat disimpulkan bahwa
asas atau prinsip dalam melaksanakan penyerahan diyat oleh pelaku pembunuhan
kepada keluarga korban adalah harus berdasarkan atas asas saling suka rela. Dalam
arti, mereka sama-sama ikhlas. Keikhlasan itu harus mereka tunjukan dari sikap
kedua belah pihak yang membayar atau menyerahkan diyat itu dengan baik, dan
menerima diyat itu sesuai petunjuk yang ada. Artinya, keluarga korban tidak akan
meminta diyat di luar ketentuan yang ada.
Perbuatan yang menjadi sebab dikenakan hukuman diyat adalah sebagai
berikut:
1. Pembunuhan sengaja yang sudah ada pemaafan
Pembunuhan sengaja adalah perbuatan menghilangkan nyawa seseorang
dengan alat untuk membunuh orang yang dimaksud. Pembunuhan tersebut
dilakukan dengan menggunakan bermacam-macam alat yang lazim dapat
mematikan orang. Pembunuhan seperti ini, tergolong ke dalam kejahatan yang
48
dapat dijatuhi hukuman qisha>sh, di mana si pembuat dikenakan hukuman yang
sama dengan kejahatan yang dilakukannya yaitu si pembunuh dibunuh
sebagaimana ia membunuh.30 Maka wajib kepada si pembunuh di hukum
dengan qisha>sh atas pembunuhnya, kalau pembunuhnya diampuni maka
wajib diyat yang diberatkan dengan tunai dari harta pembunuhnya.
Sebagaimana firman Allah surat Al-Maidah ayat 45:
...وكتبنا عليھم فيھا أن النفس بالنفس
Artinya: "Dan kami telah tetapkan mereka di dalamnya (At-Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa..."(Q S. Al-Maidah: 45).
2. Pembunuhan serupa sengaja
Pembunuhan serupa sengaja adalah membunuh dengan alat yang tidak
biasa mematikan tiba-tiba orang tersebut mati. Dalam hal ini, perbuatan itu
sengaja dilakukan, akan tetapi ia tidak menghendaki akibat perbuatannya itu.
Seperti seseorang yang melempar batu kerikil atau memukul orang lain dengan
kayu yang kecil, ternyata orang yang kena lemparan atau pukulan itu terus mati,
walaupun benda yang dipergunakan untuk melemparkan atau memukul menurut
adat kebiasaan tidak akan berakibatkan seperti itu dan tidak bertujuan untuk
membunuh orang yang dipukuli atau dilemparkan itu.31 Pembunuhan serupa
sengaja termasuk ke dalam kejahatan yang tidak dikenakan qisha>sh, tetapi
diwajibkan baginya diyat.
30Imam Al-Mawardi, al-H>>}a>wi al-Kabi>r, (Beirut: Darul Fikri, 1994), Jilid XVI, h. 3. 31Ibid,. 4
49
3. Pembunuhan tersalah (tidak sengaja)
Pembunuhan tersalah atau karena kekeliruan adalah pembunuhan yang
tidak dimaksud dan tidak direncanakan terlebih dahulu oleh sipelaku atau
tidak sengaja dilakukan, sehingga terjadi pembunuhan.32 Perbuatan ini juga
terjadi karena kelalaian si pelaku, seperti penembakan yang dilakukan oleh
pemburu terhadap binatang buruan, akan tetapi mengenai manusia. Demikian
pula seorang pengemudi kenderaan bermotor, karena kelalaiannya
menyebabkan terjadinya kecelakaan yang menyebabkan matinya orang lain.
Dalam hal ini tidak dikenakan qisha>sh bagi orang tersebut, tetapi
diwajibkan diyat ringan.
Dasar hukumnya adalah firman Allah Swt. dalam Surat An-Nisa' Ayat
92:
ية وما كان لمؤمن أن يقتل مؤمنا إال خطأ ومن قتل مؤمنا خطأ فتحرير رقبة مؤمنة ود
قوا ف د إن كان من قوم عدو لكم وھو مؤمن فتحرير رقبة مؤمنة مسلمة إلى أھله إال أن يص
من لم ف وإن كان من قوم بينكم وبينھم ميثاق فدية مسلمة إلى أھله وتحرير رقبة مؤمنة
عليمايجد فصيام شھرين مت وكان هللا تابعين توبة من هللا
Artinya: "Dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah. dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana". (Q S. an-Nisa’ 92).
32A. Djazuli, Fiqh Jinayat, (Jakarta: PT. Raja Grafido Persada, 1977). h. 51.
50
4. Penganiayaan sengaja
Dalam penganiayaan sengaja si pelaku dengan sengaja melakukan
penganiayaan terhadap seseorang, sehingga perbuatan tersebut
mengakibatkan luka atau cedera serta menghilangkan fungsi anggota badan
orang lain yang dianiaya tersebut.33 Terhadap penganiayaan sengaja, syari’at
Islam menghukum dengan hukuman qisha>sh. Nabi SAW bersabda:
النفس في أن من اعتبط مؤمنا قتال عن بينة، فإنه قود إال أن يرضى أولياء المقتول، وأن
ية مائة م فتين الد ية، وفي الش ية وفي اللسان الد بل، وفي األنف إذا أوعب جدعه الد ن اإل
ية ية، وفي العينين الد لب الد ية وفي الص كر الد ية، وفي الذ ية وفي البيضتين الد في و الد
جل ال ية، وفي الر ية، وفي الجائفة ثلث الد ية، وفي المأمومة ثلث الد واحدة نصف الد
بل، جل عشر من اإل بل، وفي كل أصبع من أصابع اليد والر المنقلة خمس عشرة من اإل
ن خم جل يقتل بالمرأة وفي الس بل، وأن الر بل، وفي الموضحة خمس من اإل س من اإل
.34. (رواه النسائي)وعلى أھل الذھب ألف دينار
Artinya: “Bahwasanya barangsiapa dengan sengaja membunuh orang mukmin tanpa membuat kesalahan, maka hukumannya adalah qishash, kecuali jika wali si terbunuh memaafkan. Diyat jiwa 100 ekor unta, memotong hidung keseluruhannya 100 ekor unta, memotong lidah diyatnya penuh, memotong dua bibir juga diyatnya penuh, memotong dua pelir diyatnya penuh, memotong kemaluan juga diyatnya penuh, memecahkan tulang sulbi juga diyatnya penuh, merusak biji mata juga diyatnya penuh, memotong sebelah kaki diyatnya separuh, luka di kepala yang sampai ke otak sepertiga diyat, tusukan yang sampai ke dalam perut sepertiga diyat, tusuk tikaman yang dapat menggeserkan tulang atau memecahkannya diyatnya 15 ekor unta, tiap jari tangan atau kaki kena diyat 10 ekor unta, memecahkan satu gigi diyatnya 5 ekor unta, luka yang sampai kelihatan tulangnya diyatnya 5 ekor unta, kemudian orang laki-laki dibunuh karena membunuh orang perempuan. Untuk orang yang punya emas diyatnya 1.000 dinar" (HR. An-Nasa-iy).
33Ibid,. 58 34Imam an-Nasa’i, Sunnan An-Nasa’i,(Riyad: Maktabah Al-Ma’arif),h. 740.
51
5. Penganiayaan tersalah.35
Penganiayaan tidak sengaja adalah sama dengan pembunuhan tidak
sengaja, akan tetapi penganiayaan tidak sengaja tidak membawa kepada
kematian. Pada penganiayaan tidak sengaja ini si pelaku jarimah dalam
melakukan sesuatu perbuatannya tidak ada niat atau kehendak untuk
merugikan atau membinasakan orang lain.36 Kekeliruan pada penganiayaan
ada dua macam yaitu pelaku dengan sengaja melakukan perbuatannya, akan
tetapi tidak menghendaki akibatnya. Kekeliruan ini adakalanya terdapat pada
perbuatan itu sendiri, seperti orang yang melempar batu ke luar rumah melalui
jendela, lalu mengenai orang yang kebetulan lewat di tempat itu. Kedua,
pelaku memang tidak sengaja berbuat dan akibat yang ditimbulkan juga tidak
dimaksud sama sekali. Jadi perbuatan tersebut terjadi karena kelalaiannya,
seperti orang yang sedang tidur lantas terjatuh dan menimpa orang lain.37
Dalam penganiayaan ini pembunuh tidak bermaksud untuk membunuh,
adanya perbedaan dalam perbuatan itu mencegah persamaan hukum bagi
penganiayaan sengaja dan tersalah, disamping itu tidak memungkinkan
penerapan hukuman qisa>sh pada penganiayaan tersalah karena qisa>sh
memerlukan keserupaan antara sesuatu yang diperbuat oleh penganiaya dan
niat daripada perbuatan tersebut dilakukan.38
35Syekh Muhammah Syarbaini Al-Khatib, Mughnl Muhtaj, Jilid, IV, h. 65. 36A Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), h. 331. 37An-Nasa-iy, Sunan Nasaiy, (Mesir: Maktabah), VIII, h. 52. 38Abdul Qodir Audah, Al-Tasyri’ Al-Jina>i’ Al-Islami>, h. 670.
52
C. Relevansi Diyat dengan Restitusi Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang
Diyat adalah sejumlah harta yang dibebankan kepada pelaku, karena terjadi
tindak pidana (pembunuhan atau penganiayaan) dan diberikan kepada korban atau
walinya. Dalam definisi lain disebutkan bahwa diyat adalah denda atau suatu harta
yang wajib di berikan pada ahli waris dengan sebab melukai jiwa atau anggota
badan yang lain pada diri manusia.39 Dari definisi diatas jelaslah bahwa diyat
merupakan uqu>bah ma>liyyah (hukuman yang bersifat harta), yang diserahkan
kepada korban atau kepada wali (keluarganya) apabila ia sudah meninggal, bukan
kepada pemerintahan.
Dalma kasus tindak pidana perdagangan orang yang penulis paparkan dalam
skripsi ini, kategori diyat yang harus dibayar oleh pelaku, termasuk dalam
penganiayaan sengaja yang tidak menyebabkan matinya seseorang namun
menimbulkan trauma bagi para korban, dasar hukum diyat dalam penganiayaan
sengaja adalah:
ية في النفس أن من اعتبط مؤمنا قتال عن بينة، فإنه قود إال أن يرضى أولياء المقتول، وأن الد
ية، وفي ية وفي اللسان الد بل، وفي األنف إذا أوعب جدعه الد ية وفي مائة من اإل فتين الد الش
جل ية وفي الر ية، وفي العينين الد لب الد ية وفي الص كر الد ية، وفي الذ لواحدة ا البيضتين الد
ية، وفي الجائفة ثلث الد ية، وفي المأمومة ثلث الد ية، وفي المنقلة خمس عشرة من نصف الد
بل ن خمس من اإل بل، وفي الس جل عشر من اإل بل، وفي كل أصبع من أصابع اليد والر ، وفي اإل
39Imron Abu Amar, terjemahan fat-hul qarib, (Kudus: Menara Kudus, 1983), hal.120.
53
جل يقتل بالمر بل، وأن الر . (رواه أة وعلى أھل الذھب ألف دينار الموضحة خمس من اإل
.40النسائي)
Artinya: “Bahwasanya barangsiapa dengan sengaja membunuh orang mukmin tanpa membuat kesalahan, maka hukumannya adalah qishash, kecuali jika wali si terbunuh memaafkan. Diyat jiwa 100 ekor unta, memotong hidung keseluruhannya 100 ekor unta, memotong lidah diyatnya penuh, memotong dua bibir juga diyatnya penuh, memotong dua pelir diyatnya penuh, memotong kemaluan juga diyatnya penuh, memecahkan tulang sulbi juga diyatnya penuh, merusak biji mata juga diyatnya penuh, memotong sebelah kaki diyatnya separuh, luka di kepala yang sampai ke otak sepertiga diyat, tusukan yang sampai ke dalam perut sepertiga diyat, tusuk tikaman yang dapat menggeserkan tulang atau memecahkannya diyatnya 15 ekor unta, tiap jari tangan atau kaki kena diyat 10 ekor unta, memecahkan satu gigi diyatnya 5 ekor unta, luka yang sampai kelihatan tulangnya diyatnya 5 ekor unta, kemudian orang laki-laki dibunuh karena membunuh orang perempuan. Untuk orang yang punya emas diyatnya 1.000 dinar" (HR. An-Nasa-iy).
Mengenai restitusi sendiri dalam hukum pidana Islam, bisa juga disebut
dengan hukuman denda (diyat) atau dalam bahasa Arab disebut dengan gharamah.
hukuman denda dalam salah satu jenis hukuman ta’zi>r dalam syariat islam bisa
merupakan hukuman pokok yang berdiri sendiri dan dapat pula digabungkan
dengan hukuman pokok lainnya. penjatuhan hukuman denda disertai dengan
dengan hukuman pokok bukan merupakan hal yang dilarang bagi seorang hakim
yang mengadili perkara jarimah ta’zi>r. karena hakim diberikan kebebasan yang
penuh dalam masalah ini. Dalam hal ini hakim dapat mempertimbanagkan berbagai
aspek, baik yang berkaitan dengan jari>mah, pelaku, situasi, maupun kondisi tempat,
dan waktunya. dalam syariat Islam juga tidak disebutkan batas tertinggi atau
terendah dari hukuman ta’zi>r, hal ini sepenuhnya diserahkan kepada hakim dengan
mempertimbangkan berat ringannya jari>mah yang dilakukan pelaku.
40Imam an-Nasa’i, Sunnan An-Nasa’i, h. 740.
54
Secara bahasa, restitusi diartikan sebagai ganti kerugian atau pembayaran
kembali.41 Dalam proses penyelesaian tindak pidana memalui pendekatan keadilan
restoratif, pelanggar diharuskan untuk membayar kembali kerugian bagi sikorban
yang dapat ditempuh memalui jasa-jasa atau berupa uang.42 Ganti kerugian
murupakan salah satu bentuk perlindungan hukum bagi korban tindak kejahatan,
khususnya bagi korban pelaku tindak pidana perdagangan orang. Dengan demikian
masalah ini harus diperhatikan dengan serius, agar korban kejahatan tindak pidana
perdagangan orang dapat diperhatikan haknya sebagai korban.
Dalam penyelesaian suatu masalah melalui pendekatan restoratif, hak-hak
korban perlu mendapat perhatian karena korban adalah pihak yang berkepentingan
yang seharusnya mempunyai kedudukan (hukum) dalam proses penyelesaianya.
Pada sistem peradilan pidana pada umumnya, ditengarai bahwa korban itu tidak
menerima perlindungan yang setara dari pemegang wewenang sistem peradilan
pidana, sehingga kepentingan yang hakiki dari korban sering terabaikan dan
kalaupun itu ada hanya sekedar pemenuhan sistem administrasi atau manajemen
peradilan pidana.43
Dalam tindak pidana perdagangan orang restitusi diatur dalam pasal 48
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan, bunyi pasal tersebut adalah:44
41Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka, 2003), h.1204. 42Rufinus Khotmaulana Hutawuruk, Penanggulangan Kejahatan Korporasi Melalui
Pendekatan Restoratif Suatu Terobosan Hukum, (Jakarta: Sinnar Grafika, 2013), h.182. 43Ibid., h. 130 44Pasal 48, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
55
1. Setiap korban tindak pidana perdagangan orang atau ahli warisnya berhak
memperoleh restitusi.
2. Restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa ganti kerugian atas:
a. kehilangan kekayaan atau penghasilan;
b. penderitaan;
c. biaya untuk tindakan perawatan medis dan/atau psikologis; dan/atau
d. kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat perdagangan orang.
3. Restitusi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam amar putusan
pengadilan tentang perkara tindak pidana perdagangan orang.
4. Pemberian restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sejak
dijatuhkan putusan pengadilan tingkat pertama.
5. Restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat dititipkan terlebih
dahulu di pengadilan tempat perkara diputus.
6. Pemberian restitusi dilakukan dalam 14 (empat belas) hari terhitung sejak
diberitahukannya putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
7. Dalam hal pelaku diputus bebas oleh pengadilan tingkat banding atau kasasi,
maka hakim memerintahkan dalam putusannya agar uang restitusi yang
dititipkan dikembalikan kepada yang bersangkutan.
Hukuman diyat adalah harta yang wajib dibayar dan diberikan oleh pelaku
tindak pidana kepada korban atau walinya sebagai ganti rugi, disebabkan tindak
pidana yang dilakukan oleh pelaku kepada korban.45 Maka restitusi dalam hukum
positif diqiyaskan dengan diyat di dalam hukum Islam dikarenakan sama-sama
45Muhammad Ali, Sejarah Fiqih Islam, (Jakarta: PT Al-Kausar, 2003), h. 22.
56
berfungsi sebagai hukuman tambahan atau hukuman pelengkap dari hukuman
pokok.
Di dalam Hukum Islam, hukuman diyat atau denda yang diterapkan sebagai
hukuman pelengkap atau tambahan dari hukuman yang telah ditentukan oleh ulil
amri, agar pelaku tindak pidana mendapatkan efek jera dan tidak mengulangi
perbuatan tersebut di kemudian hari. Sama halnya di dalam hukum positif, dasar
yang digunakan oleh hakim untuk memutuskan suatu pelaku tindak pidana yaitu
dengan menjatuhi hukuman pokok, yaitu: dengan sanksi pidana penjara, sedangkan
sanksi hukuman pelengkap atau tambahannya adalah saksi hukuman denda atau
diyat jika di dalam hukum Islam.46
Berdasarkan pemapara diatas relevansi antara diyat dan restitusi adalah agar
terpenuhinya hak korban sebagai orang yang dirugikan karena kejahatan tindak
pidana perdangan orang, dengan demikian hukum akan menjadi benteng yang kuat
dalam menjaga keamanan dan ketentraman seluruh masyarakat, bukan saja
menjadikan efek jera bagi para pelaku tndak pidana dan mengesampingkan hak
korban sebagai orang yang dirugikan.
46Ibid.
57
BAB IV
ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 1501
K/PID.SUS/2008
A. Deskripsi Kasus
Kronologis kasus yang penulis sebutkan berikut ini adalah salinan dari Surat
Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1501 K/PID.SUS/2008, penulis salin sesuai
dengan apa adanya, dengan maksud agar kronologis tersebut tidak ada penambahan
maupun pengurangan. Kutipan kasus tersebut adalah sebagai berikut:
Sebelum menganalisa kasus dari tindak pidana ini, perlu dijabarkan secara
kronologis tentang tindak pidana perdagangan orang yang dilakukan oleh terdakwa
Sanidi Binti Basro. Bahwa ia Sanidi Binti Basro bersama-sama Sutiah Binti Sumitra
(diajukan dalam berkas perkara terpisah), pada hari minggu tanggal 27 Mei 2007
sekiranya jam 17:00 WIB, bertempat dirumah saksi Iin Maryati Binti Juri pada hari
selasa tanggal 29 Mei 2007 sekitar jam 10:00 WIB bertempat dirumah saksi Yayah
Muriah Binti Surip yang terletak di Desa Sutawinangun, Kecamata Kedaung,
Kabupaten Cirebon, atau setidak-tidaknya pada waktu lain yang masih termasuk
dalam tahun 2007, bertempat di Desa Sutawinangun, Kecamata Kedaung,
Kabupaten Cirebon, atau setidak-tidaknya pada waktu lain yang masih termasuk
daerah hukum Pengadilan Negeri Sumber, merencanakan atau melakukan
pemufakatan jahat untuk melakukan pengrekrutan, penampungan, pengiriman,
pemindahan atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan
kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, peipuan, penyalahgunaan
kekuasaan atau posisi rentan penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat
58
walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali alias orang
lain untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di Wilayah Negara Republik
Indonesia terhadap saksi korban Seni Binti Darsono, saksi Iin Maryati Binti Juri,
saksi Yayah Muriah Binti Surip perbuatan mana dilakukan oleh terdakwa dengan
cara:
Pada waktu dan tempat tersebut diatas berawal ketika Astimi (melarikan diri/
belum tertangkap/ DPO) meminta kepada adiknya terdakwa Sanidi Binti Basro
dicarikan karyawan untuk dipekerjakan di Cafe di Lubuk Linggau, lalau terdakwa
meminta kepada Sutiah Binti Sumitra untuk mencarikan dan melakukan
pengrekrutan/ penawaran kepada calon pekerja untuk ditugaskan di Cafe yang
dimaksud, setelah mereka sepakat dan Sutiah Binti Sumitra mendapat upah sekitar
Rp.30.000,- per orang lalu dengan cara:
Pada hari minggu tanggal 27 Mei 2007 sekitar jam 17:00 WIB saksi Sutiah
Binti Sumitra mendatangi saksi Seni Binti Darsono bertempat di Desa
Sutawinangun, Kecamatan Kedaung, Kabupaten Cirebon, dan menawarkan
pekerjaan pekerjaan kepada saksi Seni Binti Darsono sebagai pelayan Cafe milik
Astimi di daerah Lubuk Linggau/Sumatera, dan dijanjikan berdasarkan tips atau
pemberian dari tamu Cafe, mendengar perkataan Terdakwa Sutiah, saksi Seni
merasa tertarik dan percaya dengan menerima uang sebesar Rp. 1.000.000,- untuk
membeli baju dan assesoris lainya, hingga akhirnya saksi Seni Binti Darsono mau
berangkat dan bekerja di Cafe yang dimaksud.
Kemudian saksi Sutiah Binti Sumitra mencari calon pekerja selanjutnya, hari
dan tanggal yang sama sekitar jam 21:00 WIB terdakwa mendatangi rumah saksi
59
Iin Maryati Binti Juri dan saat itu terdakwa menawarkan pekerjaan sebagai pelayan
Cafe di Lubuk Linggau dan saat itu dijanjikan dengan upah berdasarkan tip/
pemberian dari tamu Cafe lalu merasa tertarik dan percaya saksi Iin Maryati Binti
Juri mau bekerja di Cafe tersebut di Lubuk Linggau.
Kmudian pada hari selasa tanggal 29 Mei 2007 sekitar jam 10:00 WIB saksi
Sutiah Binti Sumitra mendatangi rumah saksi Yayah Muriah Binti Surip lalu
menawarkan pekerjaan sebagai pelayang Cafe di Lubuk Linggau merasa tertarik
dan percaya saksi Yayah Muriah Binti Surip mau berangkat/ bekerja di Cafe yang
dimaksud, setelah itu terdakwa membawa mereka (saksi Seni Binti Darsono, saksi
Iin Maryati Binti Juri, saksi Yayah Muriah Binti Surip) bertemu kepada terdakwa
Sanidi Binti Basro.
Setelah bertemu dengan terdakwa Sanidi Binti Basro lalu terdakwa Sanidi
Binti Basro mengabari Astimi (DPO) dan Astimi mengirim Kroyom (melarikan
diri/ belum tertangkap/ DPO) untuk membawa/ menjemput mereka (saksi Seni
Binti Darsono, saksi Iin Maryati Binti Juri, saksi Yayah Muriah Binti Surip) dan
menyerahkan uang masing-masing sebesar Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah) untuk
memenuhi kebutuhanya dan saksi Sutiah Binti Sumitra mendapat upah sebesar
antara Rp.20.000,- sampai dengan Rp.40.000,-
Kemudian pada hari Selasa tanggal 29 Mei 2007 sekitar jam 21:00 WIB
mereka saksi Seni Binti Darsono, saksi Iin Maryati Binti Juri, saksi Yayah Muriah
Binti Surip berangkat menuju Lubul Linggau. Namun sesampainya disana mereka
(saksi Seni Binti Darsono, saksi Iin Maryati Binti Juri, saksi Yayah Muriah Binti
Surip) dipaksa membuat pernyataan yang isinya diantaranya mereka dipekerjakan
60
sebagai PSK (Pekerja Seks Komersial) yang tidak sesuai dengan keinginan mereka
yakni bekerja sebagai Pelayan Cafe, yang selanjutnya mereka (saksi Seni Binti
Darsono, saksi Iin Maryati Binti Juri, saksi Yayah Muriah Binti Surip) harus
melayani nafsu birahi tamu-tamunya dengan terpaksa dan jika tidak dilayani
mereka akan mendapat hukuman diantaranya, dipukul, ditampar oleh Astimi, selain
itu uang yang telah diberikan masing-masing sebesar Rp.1.000.000,- (satu juta
rupiah) harus dikembalikan/ sebagai utang/sebagai jaminan hingga akhirnya
merekapun sudah tidak tahan dengan perlakuan tersebut dan menceritakan kejadain
tersebut pada orang tuanya diantaranya saksi Musina Binti Warya orang tua Seni
dan kemudian dilaporkan pada pihak yang berwajib untuk diproses lebih lanjut.
B. Dakwaan, Tuntutan dan Putusan
1. Dakwaan
Dalam kasus tindak pidana perdagangan orang yang terjadi di wilayah
hukum Pengadilan Negeri Sumber, surat dakwaan yang dibuat jaksa penuntut
umum adalah sebagai berikut:
Nama Lengkap : Sanidi Binti Basro
Tempat Lahir : Cirebon
Umur : 40 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat Tinggal : Desa Suranenggala Blok Senin RT/02/04,
Kecamatan Suranenggala, Kabupaten Cirebon
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tngga
61
Berdasarkan uraian diatas, bahwa terdakwa Sanidi Binti Basro terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana: “pemufakatan
jahat pengrekrutan dengan penipuan untuk tujuan mengeksploitasi orang
tersebut di wilayah Negara Republik Indonesia” sebagaimana diatur dan
diancam pidana dalam pasal 11 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan orang sebagaimana dalam dakwaan
primair, dan membebaskan Terdakwa dari dakwaan selebihnya.
2. Tuntutan
a. Menyatakan terdakwa Sanidi Binti Basro terbukti secara sah dan
meyakinkan besalah melakukan tindak pidana: “pemufakatan jahat
pengrekrutan dengan penipuan untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut
di wilayah Negara Republik Indonesia” sebagaimana diatur dan diancam
pidana dalam pasal 11 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan orang sebagaimana dalam
dakwaan primair, dan membebaskan Terdakwa dari dakwaan selebihnya.
b. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Sanidi Binti Basro dengan pidana
penjara selama 10 (sepuluh) tahun dikurangi selama Terdakwa berada
dalam tahanan sementara dengan perintah agar Terdakwa tetap ditahan dan
denda sebesar Rp. 120.000.000,- (seratus duapuluh juta rupiah) subsidair 6
(enam) bulan kurungan.
c. Menetapkan supaya terdakwa bersama-sama Sutiah Binti Sumitra
membayar uang restitusi kepada:
62
a. Saksi Seni Binti Darsono sebesar RP.25.599.700,- (udapuluh lima juta
lima ratus sembilan puluh sembilan tujuh ratus rupiah)
b. Saksi Iin Maryatin Binti Juri sebesar RP.24.799.700,- (udapuluh empat
juta lima ratus sembilan puluh sembilan tujuh ratus rupiah)
c. Saksi Yayah Muriah Binti Surip sebesar RP.24.799.700,- (udapuluh
empat juta lima ratus sembilan puluh sembilan tujuh ratus rupiah)
d. Menetapkan supaya terdakwa membayar biaya perkara sebesar
RP.1000,- (seribu rupiah)
3. Putusan Hakim Mahkamah Agung
Membaca putisan pengadilian negeri sumber No.566/PID.B/2007/PN.Sbr
tanggal 5 Mei 2008 yang amar selengkapnya sebagai berikut:
a. Menyatakan terdakwa Sanidi Binti Basro terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana: “Melakukan
Pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana perdaganan
orang”;
b. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa tersebut oleh karena itu dengan
pidana penjara selama 4 (empat) tahun dan pidana denda sebesar
RP.120.000.000,- (seratus duapuluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila
terdakwa tersebut tidak bisa membayar denda tersebut maka harus diganti
dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan;
c. Menyatakan menolak tuntutan restitusi yang diajukan oleh para saksi
korban Seni Binti Darsono, saksi Iin Maryati Binti Juri, saksi Yayah Muriah
Binti Surip untuk selanjutnya;
63
d. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani Terdakwa tersebut,
dikurangi seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan
e. Memerintahkan agar Terdakwa tersebut tetap dalam tahanan
f. Membebankan biaya perkara kepada Terdakwa sebesar Rp.1000,- (seribu
rupiah);
Kemudian Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Sumber mengajukan
banding ke Pengadilan Tinggi, yaitu Pengadilan Tinggi Bandung. Majelis
Hakim memutuskan dengan putusan No.242/PID/2008/PT.Bdg tanggal 19 Juni
2008 yang amar putusanya sebagai berikut:
a. Menerima permintaan banding dari Penuntut Umum dan Terdakwa;
b. Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Sumber tanggal 05 Mei 2008
No.566/PID.B/2007/PN.Sbr yang dimintakan banding tersebut;
c. Memerintahkan supaya Terdakwa tetap berada dalam tahanan;
d. Membebankan kepada Terdakwa untuk membayar biaya perkara dalam
kedua tinggat peradilan, yag dalam tingkat banding sebesar Rp.2.500,- (dua
ribu lima ratus rupiah)
Kemudian Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Sumber mengajukan
kasasi ke Mahkamah Agung, Hakim Agung memutuskan dengan putusan
Nomor: 1501 K/PID.SUS/2008, adapun pututusan Mahkamah Agung sebagai
berikut:
a. Menolak permohonan kasasi Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri
Sumber tersebut
64
b. Membebankan biaya perkara dalam tingkat kasasi ini kepada Termohon
Kasasi/ Terdakwa yang ditetapkan sebesar Rp.2.500,- (dua ribu lima ratus
rupiah)
C. Analisis Putusan dalam Tinjauan Hukum Positif dan Hukum Islam
1. Analisis Putusan dalam Tinjauan Hukum Positif
Menganalisis putusan Mahkamah Agung Nomor. 1501 K/PID.SUS/2008
terhadap terhadap penerapan hukum yang dijadikan dasar putusan bagi
Terdakwa dalam kasus diatas, telah mengacu pada hukum pidana materil di
Indonesia, yaitu Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang
pemberantasan tindak pidana perdagangna orang.
Dakwaan dan tuntutan Jaksa Penuntut Umum diatas terhadap Terdakwa
Sanidi Binti Basro terbukti secara sah meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana “pemufakatan jahat pengrekrutan dengan penipuan untuk tujuan
mengeksploitasi orang tersebut di Wilayah Negara Republik Indonesia”
sebagaimana diatur dan diancam piadana dalam pasal 11 Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan
orang, sehingga terhadap Terdakwa Sanidi Binti Basro, Jakasa penuntut Umum
mendakwa dengan 10 (sepuluh) tahun dikurangi selama Terdakwa berada
dalam tahanan sementara dengan perintah agar Terdakwa tetap ditahan dan
denda sebesar Rp.120.000.000,-(seratus duapuluh juta rupiah) subsidair enam
bulan kurungan. Setelah itu Terdakwa bersama-sama Sutiah Binti Sumitra
diharuskan membayar restitusi kepada korban dan membayar biaya perkara
sebesar Rp.1.000,- (seribu rupiah).
65
Terhadap dakwaan Jaksa Penuntut Umum didukung dengan bukti-bukti
yang terungkap di persidangan, kemudian Hakim menyatakan Terdakwa
terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana “pemufakatan
jahat pengrekrutan dengan penipuan untuk tujuan mengeksploitasi orang
tersebut di Wilayah Negara Republik Indonesia”. Atas dasar itu kepada
Terdakwa dipidana dengan pidana penjara selama 4 (empat) tahun dan pidana
denda sebesar Rp.120.000.000,- (seratus duapuluh juta rupiah) dengan
ketentuan apabila Terdakwa tersebut tidak bisa membayar denda tersebut maka
diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan. Tetapi Majelis Hakim
Pengadilan Negeri Sumber menolak tuntutan restitusi yang diajukan oleh para
saksi korban Seni Binti Darsono, saksi Iin Maryati Binti Juri, saksi Yayah
Muriah Binti Surip untuk seluruhnya, dan membebankan biaya perkara
terdakwa sebesar RP.1.000,- (seribu rupiah).
Terhadap putusan Pengadilan Negeri Sumber kemudian Jaksa Penuntut
Umum menyatakan banding, dengan dasar pertimbangan, Majelis Hakim telah
memutus dan menghukum Terdakwa sangat ringan dibanding dengan tuntutan
Jaksa Penuntut Umum, sehingga dianggap tidak melindungi korban yang telah
mengalami kerugian fisik dan psikis. Selain itu tuntutan restitusi dari korban
ditolak sehingga Jaksa Penuntut Umum menganggap Majelis Hakim belum
memberikan perlindungan terhadap korban sebagaimana diamanatkan oleh
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007. Namun Pengadilan Banding menolak
dan bahkan mengukuhhkan putusan Pengadilan Negeri Sumber, sehingga Jaksa
Penuntut Umum mengajukan kasasi. Terhadap pengajuan kasasi dari Jaksa
66
Penuntut Umum, Mahkamah Agung juga menolak dan mengukuhkan Putusan
Banding.
Terhadap penegakan kasus diatas, analisis penulis adalah. Dakwaan Jaksa
Penuntut Umum sudah tepat dan sesuai dengan penerapan pasal 11 Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2007. Demikian juga Jaksa Penuntut Umum sudah
menuntut Terdakwa dengan ancaman pidana berupa pidana penjara, denda dan
tuntutan restitusi kepada korban. Namun dalam tuntutan restitusi Jaksa Penuntut
Umum tidak menjelaskan secara rinci, dan hanya menuliskan nominal rupiah
yang harus dibayar oleh Terdakwa.
Putusan Pengadilan Negeri Sumber mengadili Terdakwa selama 4
(empat) tahun dan denda sebesar Rp.120.000.000,- (seratus duapuluh juta
rupiah) adalah sudam memenuhi ketentuan Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2007. Mengingat tidak selalu tuntutan pidana dari Jaksa Penuntut Umum harus
dipenuhi, karena Hakim mempunyai dasar pertimbangan dalam memutus dan
menjatuhkan hukuman terhadap Terdakwa.
Terhadap pengenaan denda sudah sesuai dengan tuntutan dan ancaman
dari pasal yang didakwakan, yaitu dengan pidana denda sebesar
Rp.120.000.000,- (seratus duapuluh juta rupiah).
Impilkasi putusan hakim Mahkamah Agung dalam kasus ini menolak
permohonan kasasi dengan menimbang, bahwa berdasarkan pertibangan
tersebut ternyata judex ficti tidak bertentangan dengan undang-undang, maka
permohonan kasasi tersebut tidak beralasan dikarenakan Jaksa Penuntut Umum
tidak menjelaskan secara rinci tuntutan restitusi yang diajukan hingga tingkat
67
kasasi, dengan demikan sudah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2004, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 dan Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 2004 serta peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
Dengan telah memenuhinya unsur-unsur tindak pidana dalam pasal 11
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana
perdagangan orang, dan dikenakan sanksi pidana yang setimpal dengan
perbuatan yang dilakukan nya, dengan diberikan hukuman agar tidak
melakukan pengulangan terhadap perbuatan tindak pidana perdagangan orang
(menimbulkan efek jera terhadap pelaku), dan menjadi orang yang lebih baik
dimasa mendatang (sesuai dengan tujuan pemidanaan dari aliran moderen).
Selain itu yang lebih utama adalah untuk menakut-nakuti pada masyarakat yang
akan atu mungkin melakukan tindak pidana perdagangan orang (preventif).
2. Analisis Putusan dalam Tinjauan Hukum Islam
Pada kasus tersebut jelas sekali bahwa terdakwa Sanidi Binti Basro telah
melakukan suatu Jari>mah, yaitu melakukan pemufakatan jahat untuk
melakukan tindak pidana perdaganan orang. Pada hari minggu tanggal 27 Mei
2007 sekiranya jam 17:00 WIB, bertempat dirumah saksi Iin Maryati Binti Juri
pada hari selasa tanggal 29 Mei 2007 sekitar jam 10:00 WIB bertempat dirumah
saksi Yayah Muriah Binti Surip yang terletak di Desa Sutawinangun, Kecamata
Kedaung, Kabupaten Cirebon, atau setidak-tidaknya pada waktu lain yang
masih termasuk dalam tahun 2007, bertempat di Desa Sutawinangun, Kecamata
Kedaung, Kabupaten Cirebon, berawal ketika Astimi meminta kepada adiknya
68
terdakwa Sanidi Binti Basro dicarikan karyawan untuk dipekerjakan di Cafe di
Lubuk Linggau, lalau terdakwa meminta kepada Sutiah Binti Sumitra untuk
mencarikan dan melakukan pengrekrutan/ penawaran kepada calon pekerja
untuk ditugaskan di Cafe yang dimaksud, setelah mereka sepakat dan Sutiah
Binti Sumitra mendapat upah sekitar Rp.30.000,- per orang lalu dengan cara:
Pada hari minggu tanggal 27 Mei 2007 sekitar jam 17:00 WIB saksi
Sutiah Binti Sumitra mendatangi saksi Seni Binti Darsono bertempat di Desa
Sutawinangun, Kecamatan Kedaung, Kabupaten Cirebon, dan menawarkan
pekerjaan pekerjaan kepada saksi Seni Binti Darsono sebagai pelayang Cafe
milik Astimi di daerah Lubuk Linggau, Sumatera, dan dijanjikan berdasarkan
tips atau pemberian dari tamu Cafe, mendengar perkataan terdakwa Sutiah,
saksi Seni merasa tertarik dan percaya dengan menerima uang sebesar Rp.
1.000.000,- untuk membeli baju dan assesoris lainya, hingga akhirnya saksi
Seni Binti Darsono mau berangkat dan bekerja di Cafe yang dimaksud.
Kemudian saksi Sutiah Binti Sumitra mencari calon pekerja selanjutnya,
hari dan tanggal yang sama sekitar jam 21:00 WIB saksi Sutiah Binti Sumitra
mendatangi rumah saksi Iin Maryati Binti Juri dan saat itu saksi Sutiah Binti
Sumitra menawarkan pekerjaan sebagai pelayan Cafe di Lubuk Linggau dan
saat itu dijanjikan dengan upah berdasarkan tip/ pemberian dari tamu Cafe lalu
merasa tertarik dan percaya saksi Iin Maryati Binti Juri mau bekerja di Cafe
tersebut di Lubuk Linggau.
Kmudian pada hari selasa tanggal 29 Mei 2007 sekitar jam 10:00 WIB
saksi Sutiah Binti Sumitra mendatangi rumah saksi Yayah Muriah Binti Surip
69
lalu menawarkan pekerjaan sebagai pelayang Cafe di Lubuk Linggau merasa
tertarik dan percaya saksi Yayah Muriah Binti Surip mau berangkat/ bekerja di
Cafe yang dimaksud, setelah itu saksi Sutiah Binti Sumitra membawa mereka
(saksi Seni Binti Darsono, saksi Iin Maryati Binti Juri, saksi Yayah Muriah
Binti Surip) bertemu kepada terdakwa Sanidi Binti Basro.
Setelah bertemu dengan terdakwa Sanidi Binti Basro lalu terdakwa Sanidi
Binti Basro mengabari Astimi (DPO) dan Astimi mengirim Kroyom (melarikan
diri/ belum tertangkap/ DPO) untuk membawa/ menjemput mereka (saksi Seni
Binti Darsono, saksi Iin Maryati Binti Juri, saksi Yayah Muriah Binti Surip) dan
menyerahkan uang masing-masing sebesar Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah)
untuk memenuhi kebutuhanya dan saksi Sutiah Binti Sumitra mendapat upah
sebesar antara Rp.20.000,- sampai dengan Rp.40.000,-
Kemudian pada hari Selasa tanggal 29 Mei 2007 sekitar jam 21:00 WIB
mereka saksi Seni Binti Darsono, saksi Iin Maryati Binti Juri, saksi Yayah
Muriah Binti Surip berangkat menuju Lubul Linggau. Namun sesampainya
disana mereka (saksi Seni Binti Darsono, saksi Iin Maryati Binti Juri, saksi
Yayah Muriah Binti Surip) dipaksa membuat pernyataan yang isinya
diantaranya mereka dipekerjakan sebagai PSK (Pekerja Seks Komersial) yang
tidak sesuai dengan keinginan mereka yakni bekerja sebagai Pelayan Cafe, yang
selanjutnya mereka (saksi Seni Binti Darsono, saksi Iin Maryati Binti Juri, saksi
Yayah Muriah Binti Surip) harus melayani nafsu birahi tamu-tamunya dengan
terpaksa dan jika tidak dilayani mereka akan mendapat hukuman diantaranya,
dipukul, ditampar oleh Astimi, selain itu uang yang telah diberikan masing-
70
masing sebesar Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah) harus dikembalikan/ sebagai
utang/sebagai jaminan
Adapun perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa Sanidi Binti Basro
telah melakukan Jari>mah ta’zi>r yang berkaitan dengan kejahatan terhadap
kehormatan seseorang untuk dipekerjakan sebagai PSK (Pegawai Seks
Komersial).
Dalam penerapan ta’zi>r yang berwenang untuk memberikan ketentuan
hukuman maksimal dan minimal dalam pengadilan adalah penguasa atau
hakim.1 Dengan demikian hakim mempunyai wewenang yang sangat besar
dalam menentukan bentuk-bentuk hukuman pada pelaku Jari>mah, agar
terciptanya kontrol sosial yang baik dalam kehidupan bermasyarakat. Menurut
Syafrudin Makmur, “jika hakim atas dasar alat-alat bukti yang sah telah yakin
menurut pengalaman dan keadaan telah dapat diterima, bahwa suatu tindak
pidana benar-benar telah terjadi dan Terdakwa dalam hal tersebut bersalah,
maka terdapatlah bukti yang sempurna yaitu bukti yang sah dan meyakinkan.”2
Jari>mah ta’zi>r dalam Al-Quran dan Hadis tidak ada yang menyebutkan
secara terperinci baik dari segi bentuk maupn hukumanya.3 Dasar hukum
disyariatkanya sanksi bagi pelaku Jari>mah ta’zi>r didasarkan pada pertimbangan
kemaslahatan yang tetap mengacu pada prinsip keadilan dalam masyarakat.4
1Muhammad Said Al-Asymawi, Nalar Kritis Syari’ah, (Yogyakarta: Lkis Group, 2012), h.
148. 2Syafrudin Makmur, Hukum Acara Pidana, (Jakarta: UIN FSH Press, 2016), h. 219. 3Jiah Mubaroq, Kaidah Kaidah Fiqih Jinayah, (Bandung: Pustaka Bany Quuraisy, 2004), h.
47. 4Makhrus Munajat, Reaktualisasi, Pemikiran Hukum Pidana Islam, (Yogyakarta: Cakrawala,
2006), h. 14.
71
Berdasarkan pasal 48 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007
tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang, disebutkan bahwa
“setiap korban tindak pidana perdagangan orang atau ahli warisnya berhak
memperoleh restitusi.”5
Dalam hukum Islam restitusi diqiaskan dengan diyat dikenal adanya
hukuman diyat bagi pelaku tindak pidana pembunuhan dan penganiayaan yang
dimaafkan oleh korban atau keluarga korban, yang dimaksudkan
dengan diyat adalah sejumlah uang atau harta yang harus dibayar oleh pelaku
tindak pidana karena kematian atau kerusakan anggota badan. Dasar hukum
penetapan diyat dalam hukum islam dapat terdapat pada Al-qur'an Surat Al-
Baqarah Ayat 178. Selain itu juga terdapat dalam Hadist Nabi Muhammad yang
diriwayatkan oleh Abu Dawud, ra. Dan Tirmidzi Ketentuan tentang besarnya
uang atau harta yang harus dibayar untuk diyat berat disetarakan dengan 100
ekor unta dengan kriteria 30 unta berumur 4 tahun, 30 ekor unta berumur 5
tahun dan 40 ekor unta bunting.
ي وأ ه رفعه:( الد : من طريق عمرو بن شعيب, عن أبيه, عن جد ة خرجه أبو داود, والترمذي
6ثالثون حقة, وثالثون جذعة, وأربعون خلفة في بطونھا أوالدھا )
Artinya: “Abu Dawud dan Tirmidzi meriwayatkan dari jalan Amar dan Ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya Radliyallaahu 'anhu dalam hadits marfu': "Diriwayatkan 30 ekor hiqqah, 30 ekor jadz'ah, dan 40 ekor unta bunting yang diperutnya ada anaknya”.
Firman Allah SWT. dalam surat Al-Baqarah ayat 178 tersebut adalah:
5Pasal 48 Ayat (1), Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. 6 Ibn Hajar Al-Asqolani, Bulughul Marom, (Riyad: Darull Qabas, 2014), h. 222.
72
ثى باألنثى اأيھا الذين ءامنوا كتب عليكم القصاص في القتلى الحر بالحر والعبد بالعبد واألن
إليه بإحسان ذلك تخفيف من ربكم فمن عفي له من أخيه شيء فاتباع بالمعروف وأداء
)178(البقرة: ورحمة فمن اعتدى بعد ذلك فله عذاب أليم
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diyat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih.” (QS. Al-Baqarah 178).
Berdasarkan putusan Nomor: 1501 K/PID.SUS/2008. Jakas Penuntut
Umum pada perkara tersebut menuntut restitusi pada Terdakwa Sanidi Binti
Basro. Yang dicantumkan pada dakwaan poin ketiga, adapun isi poin ketiga
tersebut sebagai berikut, menetapkan supaya terdakwa bersama-sama Sutiah
Binti Sumitra membayar uang restitusi kepada:
a. Saksi Seni Binti Darsono sebesar RP.25.599.700,- (udapuluh lima juta lima
ratus sembilan puluh sembilan tujuh ratus rupiah)
b. Saksi Iin Maryatin Binti Juri sebesar RP.24.799.700,- (udapuluh empat juta
lima ratus sembilan puluh sembilan tujuh ratus rupiah)
c. Saksi Yayah Muriah Binti Surip sebesar RP.24.799.700,- (udapuluh empat
juta lima ratus sembilan puluh sembilan tujuh ratus rupiah)
Dalam hukum Islam penyebab Terdakwa Sanidi Binti Basro didakwa
untuk membayar diyat adalah telah menjerumuskan para korban (Seni Binti
Darsono, saksi Iin Maryati Binti Juri, saksi Yayah Muriah Binti Surip) untuk
menyutuui pernyataan sebagai Pekerja Seks Komersial (PSK) melalui
73
pemufakatan jahat denggan Terdakwa Astimi. Dan jika para saksi tersebut tidak
melayani nafsubirahi tamu-tamunya maka akan dianiaya oleh Astimi.
Pada pemaparan diatas Terdakwa Sanidi Binti Basro terbukti secara sah
dan meyakinkan bersalah, diyat yang harus ditaggung oleh Terdakwa adalah
diyat sebagaimana yang telah disyari’atkan Islam dalam penganiayaan sengaja.
Dalam penganiayaan sengaja si pelaku dengan sengaja melakukan penganiayaan
terhadap seseorang, sehingga perbuatan tersebut mengakibatkan luka atau
cedera serta menghilangkan fungsi anggota badan orang lain yang dianiaya
tersebut.7 Terhadap penganiayaan sengaja, syari’at Islam menghukum dengan
hukuman qisha>sh. Nabi SAW bersabda:
نفس ال في أن من اعتبط مؤمنا قتال عن بينة، فإنه قود إال أن يرضى أولياء المقتول، وأن
فت ية، وفي الش ية وفي اللسان الد بل، وفي األنف إذا أوعب جدعه الد ية مائة من اإل ية الد ين الد
ية، وفي العينين لب الد ية وفي الص كر الد ية، وفي الذ ية و وفي البيضتين الد جل الد في الر
ية، وفي المنقل ية، وفي الجائفة ثلث الد ية، وفي المأمومة ثلث الد خمس ة الواحدة نصف الد
جل عشر من بل، وفي كل أصبع من أصابع اليد والر ن خمس عشرة من اإل بل، وفي الس اإل
جل يقتل بالمرأة وعلى أھل الذھب أ بل، وأن الر بل، وفي الموضحة خمس من اإل لف من اإل
.8. (رواه النسائي)دينار
Artinya: “Bahwasanya barangsiapa dengan sengaja membunuh orang mukmin tanpa membuat kesalahan, maka hukumannya adalah qishash, kecuali jika wali si terbunuh memaafkan. Diyat jiwa 100 ekor unta, memotong hidung keseluruhannya 100 ekor unta, memotong lidah diyatnya penuh, memotong dua bibir juga diyatnya penuh, memotong dua pelir diyatnya penuh, memotong kemaluan juga diyatnya penuh, memecahkan tulang sulbi juga diyatnya penuh,
7A. Djazuli, Fiqih Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam), (Jakarta: PT
Raja Grafindo, 200), h. 51. 8Imam an-Nasa’i, Sunnan An-Nasa’i,(Riyad: Maktabah Al-Ma’arif), h. 740.
74
merusak biji mata juga diyatnya penuh, memotong sebelah kaki diyatnya separuh, luka di kepala yang sampai ke otak sepertiga diyat, tusukan yang sampai ke dalam perut sepertiga diyat, tusuk tikaman yang dapat menggeserkan tulang atau memecahkannya diyatnya 15 ekor unta, tiap jari tangan atau kaki kena diyat 10 ekor unta, memecahkan satu gigi diyatnya 5 ekor unta, luka yang sampai kelihatan tulangnya diyatnya 5 ekor unta, kemudian orang laki-laki dibunuh karena membunuh orang perempuan. Untuk orang yang punya emas diyatnya 1.000 dinar" (HR. An-Nasa-iy).
Menurut hukum pidana Islam dikenal adanya hukuman diyat bagi pelaku
tindak pidana pembunuhan dan penganiayaan yang dimaafkan oleh korban atau
keluarga korban, yang dimaksudkan dengan diyat adalah sejumlah uang atau
harta yang harus dibayar oleh pelaku tindak pidana karena kematian atau
kerusakan anggota badan. Dengan demikian Hukum Islam bukan hanya
memperhatikan hukuman bagi pelaku tindak pidana namun juga memperhatikan
hak korban sebagai orang yang dirugikan baik fisik maupun psikis.
75
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pembahasan skripsi diatas, yang berkaitan tentang Hak
Restitusi Korban Perdagangan Orang dalam Perspektif Hukum Pidana Islam dan
Positif ( Analisis Putusan No. 1501 K/Pid.Sus/2008 ), maka penulis dapat
mengambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Pertimbangan hakim Mahkamah Agung dalam Putusan No. 1501
K/Pid.Sus/2008 sudah sesuai karena telah memenuhi ketentuan dari Undang-
Undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang, dan tujuan daripemidanaan, mengingat Hakim mempunyai
dasar pertimbangan dalam memutuskan dan menjatuhkan pidana kepada
Terdakwa.
2. Implikasi putusan hakim Mahkamah Agung menolak hak restitusi korban dalam
Putusan No. 1501 K/Pid.Sus/2008 dan mengukuhkan Putusan Banding sudah
sesuai dengan judex juris Mahkamah Agung, karena Jaksa Penuntut Umum
tidak menguraikan secara rinci besaran nominal yang diajukan dalam pengajuan
restitusi.
3. Ketentuan restitusi dalam Hukum Positif sudah diatur dalam pasal 48 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang, bunyi pasal tersebut adalah:
Restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa ganti kerugian atas: a. kehilangan kekayaan atau penghasilan; b. penderitaan; c. biaya untuk tindakan perawatan medis dan/atau psikologis; dan/atau
76
d. kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat perdagangan orang.
Sedangkan dalam Hukum Islam restitusi sebagai hukuman tambahan disebut
dengan diyat dengan dasar hukum yang terdapat pada Al-Qur'an Surat Al-
Baqarah Ayat 178. Selain itu juga terdapat dalam Hadist Nabi Muhammad yang
diriwayatkan oleh Abu Dawud, ra. Ketentuan tentang besarnya uang atau harta
yang harus dibayar untuk diyat berat disetarakan dengan 100 ekor unta dengan
kriteria 30 unta berumur 4 tahun, 30 ekor unta berumur 5 tahun dan 40 ekor
unta bunting.
B. SARAN-SARAN PENULIS
Saran-saran ditujukan kepada pihak-pihak yang terkait dengan penegakan
hukum bagi pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang
1. Bagi pemerintah melalui Kementrian Tenaga Kerja agar lebih memperhatikan
lembaga yang menampung tenaga kerja Indonesia agar tidak terjadi praktik
perdagangan orang, serta mensosialisasikan bagi para calon tenaga kerja yang
akan dikirim di dalam maupun luar negeri tentang bahayanya praktik tindak
pidana perdagangan orang.
2. Bagi aparat penegak hukum agar menegakan hukum seadil-adilnya dan
mengukum seberat-beratnya bagi para pelaku tindak pidana perdagangan orang
agar menimbulak efek jera, sehingga angka kejahatan perdagangan orang dapat
berkurang.
3. Khususnya bagi TNI dan Polri agar meningkatkan pengawasan disekitar
perbatasan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk mencega aksi
tindak pidana perdagangan orang.
77
4. Bagi pemerintah melalui parat penegak hukum agar memberi bantuan hukum
bagi para korban perdagangan orang, dari awal penyidikan hingga
pendampingan dalam proses peradilan.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Abu Amar, Imron. terjemahan fat-hul qarib. Kudus: Menara Kudus. 1983.
A Hanafi. Asas-asas Hukum Pidana Islam. Jakarta: Bulan Bintang. 1976.
Alfitra. Modus Operandi Pidana Khusus di Luar KUHP. Jakarta: Penebar Swadaya
Grup. 2014.
Ali, Muhammad. Sejarah Fiqih Islam. Jakarta: PT Al-Kausar. 2003.
Ali, Zainudin. metode penelitian hukum. Jakarta: Sinar Grafika. 2010.
Al-Maliki, Abdurrahman. Nidzam al-‘Uqubat (Sistem Sanksi dalam Islam).
Terjemah olah Syamsudin Ramadlan. Bogor: Pustaka Tahariqul Izzah. 2002.
Al-Mawardi. Hawiyul Kabir. Beirut: Darul Fikri. 1994.
Al-Mawardi, Hasan. Al-Ahkam Al-Sulthoniyah. Mesir: Mustafa Al-Baby Al-
Halaby. 1975.
Amar Imron, Abu. terjemahan fat-hul qarib, kudus: menara kudus. 1983
Andrees, Beate. Kerja Paksa dan Perdagangan Orang. Jakarta: International
Labour Organization. 2014.
An-Nasa’i. Sunnan An-Nasa’i. Riyad: Maktabah Al-Ma’arif.
asy-Syafi’i, Abu Abdullah Muhammad Idri>s. Al-Umm, (Libanon: Darul Ihya’ at-
Turats al-‘Araby, Beirut, 2000), Juz. VII, h. 352.
Bakhri, Syaiful. Sistim Peradilan Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaruan
Teori dan Praktik Peradilan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2014.
Bin Umar Al-Daruqutni, Ali. Sunan Al-Daruqutni. Bairut: Daru Ibni Hazm. 2011.
Chazawi, Adami. Pelajaran Hukum Pidana. Jakarta: PT. Raja Grafindo. 2010.
Djazuli, A. Fiqih Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam).
Jakarta: PT Raja Grafindo. 2000.
Djazuli, A. Fiqh Jinayat. Jakarta: PT. Raja Grafido Persada. 1977.
Faisal Salam, Moch. Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek. Bandung:
Mandar Maju. 2001.
Farhan. Aspek Hukum Perdagangan Orang di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
2010.
Ghufran H, M. dan Kordi K. HAM Tentang Hak Sipil, Politik, Ekonomi, Sosial,
Budaya dan Umum. Yogyakarta: Graha Ilmu. 2013.
Hajar Al-Asqolani, Ibn. Bulughul Marom. Riyad: Darull Qabas. 2014.
Hakim, Rahmad. Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah). Banndung: CV Pustaka
Setia. 2000.
Hamzah, Andi. Sistm Pidana dan Pemidanaan Indonesia dari Retrebusi ke
Reformasi. Jakarta: Pradnya Paramita, 1986.
Hutauruk, SR. Peran Kejaksaan Dalam Penentuan Hak Restitusi Korban Tindak
Pidana Perdagangan Orang. Skripsi S1 Fakultas hukum. Universitas
Sumatera Utara Medan. 2014.
Indah, Maya. Perlindungan Korban. Jakarta: Kencana. 2014.
Irfan, Nurul. Fiqh Jinayah. Jakarta: Amzah. 2014.
Isa Muhammad Bin Isa Bin Sauroh Al-Tirmidzi, Abi. Jami’ Al-Tirmidzi. Riyadh:
Baitul Afkar Al-Dauliyah.
Karmaji , M. dan R. Soesilo. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana dengan
Penjelasan resmi dan Komentar. Bandung: P.T Karya Nusantara. 1988.
Khotmaulana Hutawuruk, Rufinus. Penanggulangan Kejahatan Korporasi Melalui
Pendekatan Restoratif Suatu Terobosan Hukum. Jakarta: Sinnar Grafika.
2013.
Lamintang, P.A.F. Delik-Delik Khusus Tindak Pidana-Tindak Pidana Melanggar
Norma-Norma Kesusilaan dan Norma-Norma Kepatutan. Bandung: Mandar
Maju. 1990.
------------. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana dengan Pembahasan
Secara Yuridis Menurut Yurisprudensi dan Ilmu Pengetahuan Hukum
Pidana. Bandung: CV. Sinar Baru. 1984.
Makmur, Syafrudin. Hukum Acara Pidana. Jakarta: UIN FSH Press. 2016.
M. Arief Mansur, Didik dan Elisatris Gultom. Urgensi Perlindungan Korban
Kejahatan Antara Norma dan Realita. Jakarta: Rajawali Pers. 2007.
Marpaung, Laden. Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika.
2005.
Mubaroq, Jiah. Kaidah Kaidah Fiqih Jinayah. Bandung: Pustaka Bany Quuraisy.
2004.
Mulyadi, Mahmud. Criminal Policy Pendekatan Integral Panel Policy dan Non
Panel Policy dalam Penanganan kejahatan dan Kekerasan. Medan: Pustaka
Bangsa Press. 2008.
Munajat, Makrus. Dekonstruksi Hukum Pidana Islam. Yogyakarta: Logung
Pustaka. 2014.
------------. Reaktualisasi. Pemikiran Hukum Pidana Islam. Yogyakarta:
Cakrawala. 2006.
Nawawi Arief, Barda. Kebijakan Penanggulangan Hukum Pidana Sara Paneldan
Non Paneli. Semarang: Pustaka Magister. 2010.
------------. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam
Penanggulangan Kejahatan. Jakarta: Kencana. 2008.
Nawawi Arif, dan Barda Muladi. Teori-teori dan Kebijakan Pidana. Bandung: P.T.
Alumni 2010.
Nuraeni, Heny. Tindak Pidana Perdagangan Orang. Jakarta: Sinar Grafika. 2011.
Prakoso, Abintoro. Kriminologi Hukum & Hukum Pidana. Yogyakarta: Laksbang
Grafika. 2013.
Prakoso, Djoko. Hukum Penitensier di Indonesia. Yogyakarta: Liberty. 1988.
Prasetyo, Teguh. Kriminalisasi dalam Hukum Pidana. Bandung: Nusa Media.
2010.
Prodjodikoro, Wirjono. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. Bandung: PT.
Refika Aditama. 2008.
Qamar, Nurul. Hak Asasi Manusia dalam Negara Hukm demokrasi. Jakarta: Sinar
Grafika. 2013.
Qodir Audah, Abdul. Al-Tasyri’ Al-Jina>i’ Al-Islami>. Bairut: Darul Ka>tit Al-‘Azali.
Sabarguna, S. Analisis Data pada Penelitian Kualitatif. Jakarta: Ui-Pres. 2008.
Said Al-Asymawi, Muhammad. Nalar Kritis Syari’ah. Yogyakarta: Lkis Group.
2012.
Sri Nurhartono, G. Perdagangan Perempuan di Indonesia Tinjauan Aspek Yuridis.
Yogyakarta: Lokakarya. 2005.
Suryana. Metodologi Penelitian. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2010.
Sutherland dan Cressey. disadur oleh Sudjono D. The Control of Crime Hukuman
dalam Perkembangan Hukum Pidana. Bandung: Tarsito, 1974.
Syaikh al-Allamah Muhammad bin Abdurrahman ad-Damasyqi. Fiqih Empat
Mazhab. Terjemah Oleh. Abdullah Zaki Alkaf Bandung: Hasyimi. 2013.
Syamsudin, Aziz. Tindak Pidana Khusus. Jakarta: Sinar Grafika. 2014.
Syarbaini Al-Khatib, Muhammah. Mughnl Muhtaj. Jilid. IV.
Waluyo, Bambang. Penelitian Hukum Dalam Praktek. Jakarta: Sinar Grafika. 2008.
Wardi Muslich, Ahmad. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika. 2005.
------------. Pengantar dan Asas Hukum Pidana islam. Jakarta: Sinar Grafika. 2004.
Weny Bukamo, Mohammad dan Syaiful Azri. Hukum Perlindungan Anaka dan
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Jakarta: Rineka Cipta. 2013.
Yulia, Rena. Viktimologi Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan.
Yogyakarta: Graha Ilmu. 2013.
Yunus, Nur Rohim. Restorasi Budaya Hukum Masyarakat Indonesia. Bogor:
Jurisprudence Press. 2012.
Zuhaili, Wahbah. Al-Fiqh Al-Islam Wa ‘Adillatuhu. Surriyah: Darul Fikr. 2011.
B. Undang-Undang Republik Indonesia
Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara
Pidana.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan
Hukum Pidana.
Peraturan Pemerintah No 44 Tahun 2008 Tentang Pemberian Kompensasi
Restitusi.
Penjelasan Atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007.
C. Jurnal dan Lain-Lain
Sakti Myharto, Wiend. Mekanisme Restitusi Terhadap Korban Tindak Pidana
Perdagangan Orang Menurut Pasal 48 Ayat (1) Undang-undang No 21 tahun
2007 Dalam Perspektif Negara Hukum Kesejahteraan. Jurnal.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka. 2003.
Depdikbud. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 1990.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). mengeksploitasi berasal dari kata
“Eksploitasi” diartikan sebagai. “ Pengusahaan. Pendayagunaan; 2.
Pemanfaatan untukkeuntungan sendiri; pengisapan; pemerasan “(tenaga-
tenaga orang)”dikutip dari http://kbbi.web.id/eksploitasi yang diakses pada
tanggal 04 maret 2017 pukul 16:35 wib.
Hal.1 hal 11 Put.No.1501 K/PID.SUS/2008
P U T U S A N
Nomor: 1501 K/PID.SUS/2008.
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
M A H K A M A H A G U N G
memeriksa perkara pidana dalam tingkat kasasi telah memutuskan sebagai
berikut dalam perkara Terdakwa :
Nama : SANIDI BINTI BASRO.
Tempat lahir : Cirebon.
Umur/Tanggal lahir: 40 Tahun.
Jenis kelamin : Perempuan.
Kebangsaan : Indonesia.
Tempat tinggal : Desa Suranenggala Blok Senin RT/02/04,
Kecataman Suranenggala, Kabupaten
Cirebon.
Agama : Islam.
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga.
Termohon Kasasi/Terdakwa berada di dalam tahanan:
1. Penuntut Umum sejak tanggal 27 November 2007 s/d tanggal 16
Desember 2007;
2. Hakim Pengadilan Negeri sejak tanggal 11 Desember 2007 s/d tanggal
09 Januari 2008.
3. Perpanjangan oleh Ketua Pengadilan Negeri sejak tanggal 10 Januari
2008 s/d 09 Maret 2008.
4. Perpanjangan oleh Ketua Pengadilan Tinggi sejak tanggal 10 Maret
2008 s/d tanggal 08 Mei 2008.
5. Hakim Pengadilan Tinggi sejak tanggal 09 Mei 2008 s/d tanggal 07 Juni
2008.
6. Perpanjangan oleh Ketua Pengadilan Tinggi sejak tanggal 08 Juni 2008
s/d tanggal 06 Agustus 2008.
7. Perpanjangan Wakil Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Bidang
Yudisial Nomor: 989/2008/S.479.TAH.SUS/2008/MA tanggal 14 Agustus
2008 untuk paling lama 50 (lima puluh) hari, terhitung mulai tanggal 01
Agustus 2008.
8. Perpanjangan Wakil Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Bidang
Yudisial 990/2008/S.479.TAH.SUS/2008/MA tanggal 14 Agustus 2008
Hal.2 hal 11 Put.No.1501 K/PID.SUS/2008
untuk paling lama 60 (enam puluh) hari, terhitung mulai tanggal 20
September 2008.
Yang diajukan dimuka persidangan Pengadilan Negeri tersebut karena
didakwa:
PRIMAIR :
Bahwa ia Terdakwa SANIDI BINTI BASRO bersama-sama SUTIAH
BINTI SUMITRA (diajukan dalam berkas perkara terpisah), pada hari Minggu
tanggal 27 Mei 2007 sekira jam 17.00 Wib bertempat di rumah saksi SENI
BINTI DARSONO pada hari Minggu tanggal 27 Mei 2007 sekira jam 17.00
Wib, bertempat di rumah saksi IIN MARYATIN BINTI JURI pada hari Selasa
tanggal 29 Mei 2007 sekira jam 10.00 Wib bertempat di rumah saksi YAYAH
MURIAH BINTI SURIP yang terletak di Desa Sutawinangun,Kecamatan
Kedaung,Kabupaten Cirebon, atau setidak-tidaknya pada waktu lain yang
masih termasuk dalam tahun 2007, bertempat di Desa
Sutawinangun,Kecamatan Kedaung,Kabupaten Cirebon, atau setidak-
tidaknya pada waktu lain yang masih termasuk dalam daerah hukum
Pengadilan Negeri Sumber, merencanakan atau melakukan pemufakatan
jahat untuk melakukan pengrekrutan, penampungan, pengiriman,
pemindahan atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan,
penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan,
penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan penjeratan utang atau
memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari
orang yang memegang kendali alias orang lain untuk tujuan
mengeksploitasi orang tersebut di Wilayah Negara Republik Indonesia
terhadap saksi korban SENI BINTI DARSONO, saksi IIN MARYATIN BINTI
JURI, saksi YAYAH MURIAH BINTI SURIP perbuatan mana dilakukan oleh
Terdakwa dengan cara :
- Pada waktu dan tempat tersebut diatas berawal ketika ASTIMI (melarikan
diri/belum tertangkap/DPO) meminta kepada adiknya Terdakwa SANIDI
BINTI BASRO dicarikan karyawan untuk dipekerjakan di Café di Lubuk
Linggau, lalu Terdakwa meminta kepada SUTIAH BINTI SUMITRA untuk
mencarikan dan melakukan pengrekrutan/penawaran kepada calon
pekerja untuk ditugaskan di Café yang dimaksud, setelah mereka sepakat
Hal.3 hal 11 Put.No.1501 K/PID.SUS/2008
dan SUTIAH BINTI SUMITRA mendapat upah sekitar Rp.30.000,- per
orang lalu dengan cara :
- Pada hari Minggu tanggal 27 Mei 2007 sekira jam 17.00 Wib saksi
SUTIAH BINTI SUMITRA mendatangi rumah saksi SENI BINTI
DARSONO bertempat di Desa Sutawinangun, Kecamatan Kedaung,
Kabupaten Cirebon, dan menawarkan pekerjaan kepada saksi SENI
BINTI DARSONO sebagai pelayan Café milik ASTIMI di daerah Lubuk
Linggau/Sumatera, dan dijanjikan berdasarkan Tips atau pemberian dari
Tamu Café, mendengar perkataan Terdakwa SUTIAH, saksi SENI merasa
tertarik dan percaya dengan menerima uang sebesar Rp.1.000.000,-
untuk membeli baju dan assesoris lainnya, hingga akhirnya saksi SENI
BINTI DARSONO mau berangkat dan bekerja di Café yang dimaksud;
- Kemudian saksi SUTIAH BINTI SUMITRA mencari calon pekerja
selanjutnya, hari dan tanggal yang sama sekitar jam 21.00 Wib Terdakwa
mendatangi rumah saksi IIN MARYATIN BINTI JURI dan saat itu
Terdakwa menawarkan pekerjaan sebagai pelayan Café di Lubuk Linggau
dan saat itu dijanjikan dengan upah berdasarkan tips/pemberian dari tamu
Café lalu merasa tertarik dan percaya saksi IIN MARYATIN BINTI JURI
mau bekerja di Café tersebut di Lubuk Linggau;
- Kemudian pada hari Selasa tanggal 29 Mei 2007 sekitar jam 10.00 Wib
saksi SUTIAH BINTI SUMITRA mendatangi rumah saksi YAYAH
MURIAH BINTI SURIP lalu menawarkan pekerjaan sebagai pelayan Café
di Lubuk Linggau merasa tertarik dan percaya saksi YAYAH MURIAH
BINTI SURIP mau berangkat/bekerja di Café dimaksud, setelah itu
Terdakwa membawa mereka (saksi SENI BINTI DARSONO, saksi IIN
MARYATIN BINTI JURI, saksi YAYAH MURIAH BINTI SURIP) bertemu
pada Terdakwa SANIDI BINTI BASRO;
- Setelah bertemu dengan Terdakwa SANIDI BINTI BASRO lalu Terdakwa
SANIDI BINTI BASRO mengabari ASTIMI (DPO) dan ASTIMI mengirim
KROYOM (melarikan diri/belum tertangkap/DPO) untuk membawa/
menjemput mereka (saksi SENI BINTI DARSONO, saksi IIN MARYATIN
BINTI JURI, saksi YAYAH MURIAH BINTI SURIP) dan menyerahkan
uang masing-masing sebesar Rp.1.000.000,-(satu juta rupiah) untuk
Hal.4 hal 11 Put.No.1501 K/PID.SUS/2008
memenuhi kebutuhannya dan saksi SUTIAH BINTI SUMITRA mendapat
upah sebesar antara Rp.20.000,- sampai dengan Rp.40.000,-
- Kemudian pada hari Selasa tanggal 29 Mei 2007 sekitar jam 21.00 Wib
mereka saksi SENI BINTI DARSONO, saksi IIN MARYATIN BINTI JURI,
saksi YAYAH MURIAH BINTI SURIP berangkat menuju Lubuk Linggau.
Namun sesampainya disana mereka (saksi SENI BINTI DARSONO, saksi
IIN MARYATIN BINTI JURI, saksi YAYAH MURIAH BINTI SURIP)
dipaksa membuat pernyataan yang isinya diantaranya mereka
dipekerjakan sebagai PSK (Pekerja Sex Komersial) yang tidak sesuai
dengan keinginan mereka yakni bekerja sebagai Pelayan Café, yang
selanjutnya mereka (saksi SENI BINTI DARSONO, saksi IIN MARYATIN
BINTI JURI, saksi YAYAH MURIAH BINTI SURIP) harus melayani nafsu
birahi tamu-tamunya dengan terpaksa dan jika tidak dilayani mereka akan
mendapat hukuman diantaranya, dipukul, ditampar oleh ASTIMI, selain itu
uang yang telah diberikan masing-masing sebesar Rp1.000.000,-(satu
juta rupiah) harus dikembalikan/sebagai utang/sebagai jaminan hingga
akhirnya merekapun sudah tidak tahan dengan perlakuan tersebut dan
menceritakan kejadian tersebut pada orang tuanya diantaranya saksi
MUSINA BINTI WARYA orang tua SENI dan kemudian dilaporkan pada
pihak yang berwajib untuk diproses lebih lanjut.
Perbuatan ia Terdakwa tersebut diatas sebagaimana diatur dan
diancam pidana dalam Pasal 11 Undang-Undang No.21 Tahun 2007
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang;
SUBSIDIAIR :
Bahwa ia Terdakwa SANIDI BINTI BASRO pada waktu dan tempat
sebagaimana diuraikan dalam dakwaan primair, telah melakukan
pengrekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan
atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan
kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan,
penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan penjeratan utang atau
memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari
orang yang memegang kendali alias orang lain untuk tujuan
mengeksploitasi orang tersebut di Wilayah Negara Republik Indonesia
Hal.5 hal 11 Put.No.1501 K/PID.SUS/2008
terhadap saksi korban SENI BINTI DARSONO, saksi IIN MARYATIN BINTI
JURI, saksi YAYAH MURIAH BINTI SURIP perbuatan mana dilakukan oleh
Terdakwa dengan cara :
- Pada waktu dan tempat tersebut diatas berawal ketika ASTIMI (melarikan
diri/belum tertangkap/DPO) meminta kepada adiknya Terdakwa SANIDI
BINTI BASRO dicarikan karyawan untuk dipekerjakan di Café di Lubuk
Linggau, lalu Terdakwa meminta kepada SUTIAH BINTI SUMITRA untuk
mencarikan dan melakukan pengrekrutan/penawaran kepada calon
pekerja untuk ditugaskan di Café yang dimaksud, setelah mereka sepakat
dan SUTIAH BINTI SUMITRA mendapat upah sekitar Rp.30.000,- per
orang lalu dengan cara :
- Pada hari Minggu tanggal 27 Mei 2007 sekira jam 17.00 Wib saksi
SUTIAH BINTI SUMITRA mendatangi rumah saksi SENI BINTI
DARSONO bertempat di Desa Sutawinangun, Kecamatan Kedaung,
Kabupaten Cirebon, dan menawarkan pekerjaan kepada saksi SENI
BINTI DARSONO sebagai pelayan Café milik ASTIMI di daerah Lubuk
Linggau/Sumatera, dan dijanjikan berdasarkan Tips atau pemberian dari
Tamu Café, mendengar perkataan Terdakwa SUTIAH, saksi SENI merasa
tertarik dan percaya dengan menerima uang sebesar Rp.1.000.000,-
untuk membeli baju dan assesoris lainnya, hingga akhirnya saksi SENI
BINTI DARSONO mau berangkat dan bekerja di Café yang dimaksud;
- Kemudian saksi SUTIAH BINTI SUMITRA mencari calon pekerja
selanjutnya, hari dan tanggal yang sama sekitar jam 21.00 Wib Terdakwa
mendatangi rumah saksi IIN MARYATIN BINTI JURI dan saat itu
Terdakwa menawarkan pekerjaan sebagai pelayan Café di Lubuk Linggau
dan saat itu dijanjikan dengan upah berdasarkan tips/pemberian dari tamu
Café lalu merasa tertarik dan percaya saksi IIN MARYATIN BINTI JURI
mau bekerja di Café tersebut di Lubuk Linggau;
- Kemudian pada hari Selasa tanggal 29 Mei 2007 sekitar jam 10.00 Wib
saksi SUTIAH BINTI SUMITRA mendatangi rumah saksi YAYAH
MURIAH BINTI SURIP lalu menawarkan pekerjaan sebagai pelayan Café
di Lubuk Linggau merasa tertarik dan percaya saksi YAYAH MURIAH
BINTI SURIP mau berangkat/bekerja di Café dimaksud, setelah itu
Terdakwa membawa mereka (saksi SENI BINTI DARSONO, saksi IIN
Hal.6 hal 11 Put.No.1501 K/PID.SUS/2008
MARYATIN BINTI JURI, saksi YAYAH MURIAH BINTI SURIP) bertemu
pada Terdakwa SANIDI BINTI BASRO;
- Setelah bertemu dengan Terdakwa SANIDI BINTI BASRO lalu Terdakwa
SANIDI BINTI BASRO mengabari ASTIMI (DPO) dan ASTIMI mengirim
KROYOM (melarikan diri/belum tertangkap/DPO) untuk membawa/
menjemput mereka (saksi SENI BINTI DARSONO, saksi IIN MARYATIN
BINTI JURI, saksi YAYAH MURIAH BINTI SURIP) dan menyerahkan
uang masing-masing sebesar Rp.1.000.000,-(satu juta rupiah) untuk
memenuhi kebutuhannya dan saksi SUTIAH BINTI SUMITRA mendapat
upah sebesar antara Rp.20.000,- sampai dengan Rp.40.000,-
- Kemudian pada hari Selasa tanggal 29 Mei 2007 sekitar jam 21.00 Wib
mereka saksi SENI BINTI DARSONO, saksi IIN MARYATIN BINTI JURI,
saksi YAYAH MURIAH BINTI SURIP berangkat menuju Lubuk Linggau.
Namun sesampainya disana mereka (saksi SENI BINTI DARSONO, saksi
IIN MARYATIN BINTI JURI, saksi YAYAH MURIAH BINTI SURIP)
dipaksa membuat pernyataan yang isinya diantaranya mereka
dipekerjakan sebagai PSK (Pekerja Sex Komersial) yang tidak sesuai
dengan keinginan mereka yakni bekerja sebagai Pelayan Café, yang
selanjutnya mereka (saksi SENI BINTI DARSONO, saksi IIN MARYATIN
BINTI JURI, saksi YAYAH MURIAH BINTI SURIP) harus melayani nafsu
birahi tamu-tamunya dengan terpaksa dan jika tidak dilayani mereka akan
mendapat hukuman diantaranya, dipukul, ditampar oleh ASTIMI, selain itu
uang yang telah diberikan masing-masing sebesar Rp1.000.000,-(satu
juta rupiah) harus dikembalikan/sebagai utang/sebagai jaminan hingga
akhirnya merekapun sudah tidak tahan dengan perlakuan tersebut dan
menceritakan kejadian tersebut pada orang tuanya diantaranya saksi
MUSINA BINTI WARYA orang tua SENI dan kemudian dilaporkan pada
pihak yang berwajib untuk diproses lebih lanjut.
Perbuatan ia Terdakwa tersebut diatas sebagaimana diatur dan
diancam pidana dalam Pasal 2 Undang-Undang No.21 Tahun 2007 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang;
Mahkamah Agung tersebut:
Membaca Tuntutan Pidana Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan
Negeri Sumber tanggal 17 Maret 2008 sebagai berikut:
Hal.7 hal 11 Put.No.1501 K/PID.SUS/2008
1. Menyatakan Terdakwa SANIDI BINTI BASRO terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana:”Pemufakatan jahat
pengrekrutan dengan penipuan untuk tujuan mengeksploitasi orang
tersebut di Wilayah Negara Republik Indonesia” sebagaimana diatur
dan diancam pidana dalam Pasal 11 Undang-Undang No.21 Tahun 2007
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
sebagaimana dalam dakwaan primair, dan membebaskan Terdakwa dari
dakwaan selebihnya;
2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa SANIDI BINTI BASRO dengan
pidana penjara selama 10 (sepuluh) tahun dikurangi selama Terdakwa
berada dalam tahanan sementara dengan perintah agar Terdakwa tetap
ditahan dan denda sebesar Rp.120.000.000,-(seratus dua puluh juta
rupiah) subsidiair 6 (enam) bulan kurungan.
3. Menetapkan supaya Terdakwa bersama-sama SUTIAH Binti SUMITRA
membayar uang restitusi kepada :
1. Saksi SENI Binti DARSONO sebesar Rp.25.599.700,- (dua puluh lima
juta lima ratus sembilan puluh sembilan ribu tujuh ratus rupiah).
2. Saksi IIN MARYATIN sebesar Rp.24.799.700,- (dua puluh empat juta
tujuh ratus sembilan puluh sembilan ribu tujuh ratus rupiah).
3. Saksi SENI Binti DARSONO sebesar Rp.24.199.700,- (dua puluh
empat juta seratus sembilan puluh sembilan ribu tujuh ratus rupiah).
4. Menetapkan supaya Terdakwa membayar biaya perkara sebesar
Rp.1.000,-(seribu rupiah);
Membaca putusan Pengadilan Negeri Sumber No.566/PID.B/
2007/PN.Sbr tanggal 5 Mei 2008 yang amar selengkapnya sebagai berikut :
1. Menyatakan Terdakwa SANIDI BINTI BASRO terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana:”Melakukan
Pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana perdagangan
orang”;
2. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa tersebut oleh karena itu dengan
pidana penjara selama 4 (empat) tahun dan pidana denda sebesar
Rp.120.000.000,-(seratus dua puluh juta rupiah) dengan ketentuan
apabila Terdakwa tersebut tidak bisa membayar pidana denda tersebut
maka harus diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan;
Hal.8 hal 11 Put.No.1501 K/PID.SUS/2008
3. Menyatakan menolak tuntutan restitusi yang diajukan oleh para saksi
korban SENI Binti DARSONO, IIN MARYATIN Binti JURI, YAYAH
MARIYAH Binti SURIP untuk seluruhnya;
4. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani Terdakwa tersebut,
dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan itu;
5. Memerintahkan agar Terdakwa tersebut tetap dalam tahanan;
6. Membebankan biaya perkara kepada Terdakwa sebesar Rp.1.000,-
(seribu rupiah);
Membaca putusan Pengadilan Tinggi Bandung No.242/PID/2008/
PT.Bdg tanggal 19 Juni 2008 yang amar selengkapnya sebagai berikut :
--- Menerima permintaan banding dari Penuntut Umum dan Terdakwa;
--- Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Sumber tanggal 05 Mei 2008
No.566/PID.B/2007/PN.Sbr yang dimintakan banding tersebut;
--- Memerintahkan supaya Terdakwa tetap berada dalam Tahanan.
--- Membebankan kepada Terdakwa untuk membayar biaya perkara dalam
kedua tingkat peradilan, yang dalam tingkat banding sebesar Rp.2.500,-
(dua ribu lima ratus rupiah).
Mengingat akan akta tentang permohonan kasasi No.566/Akta.
Pid.B/2008/PN.Sbr yang dibuat oleh Panitera pada Pengadilan Negeri
Sumber yang menerangkan, bahwa pada tanggal 1 Agustus 2008 Jaksa
Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Sumber mengajukan permohonan
kasasi terhadap putusan Pengadilan Tinggi tersebut;
Memperhatikan memori kasasi tanggal 13 Agustus 2008 dari
Jaksa Penuntut Umum sebagai Pemohon Kasasi yang diterima di
Kepaniteraan Pengadilan Negeri Sumber pada tanggal 13 Agustus 2008;
Membaca surat-surat yang bersangkutan;
Menimbang, bahwa putusan Pengadilan Tinggi tersebut telah
diberitahukan kepada Jaksa Penuntut Umum pada tanggal 21 Juli 2008 dan
Jaksa Penuntut Umum mengajukan permohonan kasasi pada tanggal 1
Agustus 2008 serta memori kasasinya telah diterima di Kepaniteraan
Pengadilan Negeri Sumber pada tanggal 13 Agustus 2008 dengan demikian
permohonan kasasi beserta dengan alasan-alasannya telah diajukan dalam
tenggang waktu dan dengan cara menurut undang-undang, oleh karena itu
permohonan kasasi tersebut formal dapat diterima;
Hal.9 hal 11 Put.No.1501 K/PID.SUS/2008
Menimbang, bahwa alasan-alasan yang diajukan oleh Pemohon
Kasasi pada pokoknya sebagai berikut:
1. Bahwa Pemohon Kasasi Jaksa Penuntut Umum tidak sependapat dengan
putusan Pengadilan Tinggi Bandung yang telah menguatkan putusan
Pengadilan Negeri Sumber No.566/PID.B/2007/PN.Sbr tanggal 05 Mei
2008 yang menurut Pemohon Kasasi putusan Pengadilan Negeri Sumber
tersebut telah terjadi keliru menerapkan hukum sebagaimana mestinya
atau peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana
mestinya (Pasal 253 ayat (1) KUHAP huruf a).
Bahwa kekeliruan menerapkan hukum sebagaimana mestinya adalah
putusan Pengadilan Negeri Sumber yang menolak tuntutan restitusi yang
diajukan oleh para saksi korban SENI Binti DARSONO, IIN MARYATIN
Binti JURI, YAYAH MARIYAH Binti SURIP untuk seluruhnya.
Yang mana menurut Pemohon Kasasi Jaksa Penuntut Umum, Majelis
Hakim Pengadilan Negeri Sumber dalam putusannya belum menimbang
rasa perlindungan/melindungi bagi korban perdagangan orang
sebagaimana tujuan dari pada Undang-Undang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang. Dan perlu diketahui dalam penjelasan Pasal
48 ayat (1) Undang-Undang No.21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Perdagangan Orang bahwa” Penuntut Umum
memberitahukan kepada korban tentang haknya untuk mengajukan
restitusi selanjutnya, Penuntut Umum menyampaikan jumlah kerugian
yang diderita korban akibat tindak pidana perdagangan orang bersama
dengan tuntutan”,
Maka apabila dikaitkan dengan Pasal 28 Undang-Undang No.21 Tahun
2007, serta ketentuan Pasal 185 KUHAP sudah sepatutnya Majelis Hakim
Pengadilan Negeri Sumber mengabulkan permohonan restitusi para
korban yang diajukan dipersidangan dan dituangkan oleh Jaksa Penuntut
Umum dalam tuntutannya tidaklah menyalahi ketentuan undang-undang
mengingat korban telah menuntut haknya dipersidangan untuk
memperoleh restitusi (vide Pasal 48 ayat (1) Undang-Undang No.21
Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang)
sebagaimana diajukan oleh mereka sebagai pengganti biaya yang telah
Hal.10 hal 11 Put.No.1501 K/PID.SUS/2008
digunakan oleh mereka korban untuk terlepas dari perdagangan orang
atau tindakan kekerasan yang dilakukan oleh ASTIMI yang mana dari
tindakan tersebut dilakukan terhadap mereka korban tidak lain akibat
perbuatan SUTIAH BINTI SUMITRA bersama Terdakwa SANIDI BINTI
BASRO.
2. Bahwa putusan Pengadilan Negeri Sumber belum mempertimbangkan
rasa keadilan bagi korban yang mana dalam menjatuhkan pidana kepada
Terdakwa SANIDI BINTI BASRO dengan pidana penjara selama 4
(empat) tahun dan pengganti pidana denda kurungan selama 3 (tiga)
bulan.
Hal ini Majelis Hakim tidak memperhatikan hal-hal yang memberatkan
bagi para korban yang telah dirusak kehormatannya akibat perbuatan
Terdakwa serta mengakibatkan para saksi korban mengalami penderitaan
secara psikis dan pisik.
Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut diatas,
Mahkamah Agung berpendapat:
Bahwa alasan-alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena
judex facti (Pengadilan Tinggi) tidak salah dalam menerapkan hukum,
sedangkan berat ringannya pidana yang dijatuhkan kepada para Terdakwa
adalah wewenang judex facti yang tidak tunduk pada tingkat kasasi;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, lagi
pula tidak ternyata putusan judex factie (Pengadian Tinggi) dalam perkara ini
bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan
kasasi tersebut adalah tidak beralasan, oleh karena itu harus ditolak;
Menimbang, bahwa oleh karena permohonan kasasi Jaksa
Penuntut Umum ditolak, dan Termohon Kasasi/Terdakwa dijatuhi pidana,
maka biaya perkara dalam tingkat kasasi dibebankan kepada Termohon
Kasasi/Terdakwa;
Memperhatikan Pasal-Pasal Undang-Undang No. 4 Tahun 2004,
Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 dan Undang-Undang No. 14 Tahun 1985
sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 5
Tahun 2004 serta peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan;
Hal.11 hal 11 Put.No.1501 K/PID.SUS/2008
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: JAKSA
PENUNTUT UMUM PADA KEJAKSAAN NEGERI SUMBER tersebut;
Membebankan biaya perkara dalam tingkat kasasi ini kepada
Termohon Kasasi/Terdakwa yang ditetapkan sebesar Rp.2.500,-(dua ribu
lima ratus rupiah);
Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah
Agung pada hari Selasa tanggal 14 Oktober 2008 oleh H.ATJA
SONDAJA,SH. yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua
Majelis H.MUHAMMAD TAUFIK,SH.MH. dan DR.H.MOHAMMAD
SALEH,SH.MH. Hakim-Hakim Agung sebagai Anggota, dan diucapkan dalam
sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua Majelis dengan
dihadiri oleh Hakim-Hakim Anggota tersebut, dan dibantu oleh EKO BUDI
SUPRIYANTO,SH.MH. Panitera Pengganti dan tidak dihadiri oleh Pemohon
Kasasi/Penuntut Umum dan para Termohon Kasasi/para Terdakwa;
Hakim-Hakim Anggota : K e t u a :
ttd/.H.ATJA SONDAJA,SH.
ttd/.H.MUHAMMAD TAUFIK,SH.MH.
ttd/. DR.H.MOHAMMAD SALEH,SH.MH.
Panitera Pengganti :
ttd/
EKO BUDI SUPRIYANTO,SH.MH.
Untuk Salinan
MAHKAMAH AGUNG R.I.
a.n Panitera
Panitera Muda Pidana Khusus,
S U H A D I, SH.MH.
NIP. 040033261.
Hal.12 hal 11 Put.No.1501 K/PID.SUS/2008
Mahkamah Agung Republik Indonesia
Jalan Medan Merdeka Utara N0.9-13.
JAKARTA PUSAT
PETIKAN PUTUSAN
Pasal 226 KUHAP
Nomor: 1501 K/PID.SUS/2008.
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
M A H K A M A H A G U N G
memeriksa perkara pidana dalam tingkat kasasi telah memutuskan sebagai
berikut dalam perkara Terdakwa :
Nama : SANIDI BINTI BASRO.
Tempat lahir : Cirebon.
Hal.13 hal 11 Put.No.1501 K/PID.SUS/2008
Umur/Tanggal lahir : 40 Tahun.
Jenis kelamin : Perempuan.
Kebangsaan : Indonesia.
Tempat tinggal : Desa Suranenggala Blok Senin RT/02/04,
Kecataman Suranenggala, Kabupaten
Cirebon.
Agama : Islam.
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga.
Termohon Kasasi/Terdakwa berada di dalam tahanan:
1. Penuntut Umum sejak tanggal 27 November 2007 s/d tanggal 16
Desember 2007;
2. Hakim Pengadilan Negeri sejak tanggal 11 Desember 2007 s/d tanggal
09 Januari 2008.
3. Perpanjangan oleh Ketua Pengadilan Negeri sejak tanggal 10 Januari
2008 s/d 09 Maret 2008.
4. Perpanjangan oleh Ketua Pengadilan Tinggi sejak tanggal 10 Maret
2008 s/d tanggal 08 Mei 2008.
5. Hakim Pengadilan Tinggi sejak tanggal 09 Mei 2008 s/d tanggal 07 Juni
2008.
6. Perpanjangan oleh Ketua Pengadilan Tinggi sejak tanggal 08 Juni 2008
s/d tanggal 06 Agustus 2008.
7. Perpanjangan Wakil Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Bidang
Yudisial Nomor: 989/2008/S.479.TAH.SUS/2008/MA tanggal 14 Agustus
2008 untuk paling lama 50 (lima puluh) hari, terhitung mulai tanggal 01
Agustus 2008.
8. Perpanjangan Wakil Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Bidang
Yudisial 990/2008/S.479.TAH.SUS/2008/MA tanggal 14 Agustus 2008
untuk paling lama 60 (enam puluh) hari, terhitung mulai tanggal 20
September 2008.
Mahkamah Agung tersebut;
Membaca putusan Pengadilan Negeri Sumber No.566/PID.B/
2007/PN.Sbr tanggal 05 Mei 2008;
Hal.14 hal 11 Put.No.1501 K/PID.SUS/2008
Membaca putusan Pengadilan Pengadilan Tinggi Bandung
No.242/PID/2008/PT.Bdg tanggal 19 Juni 2008;
Membaca akta pemberitahuan putusan Pengadilan Tinggi
Bandung 21 Juli 2008;
Membaca Akta permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon
Kasasi/Jaksa Penuntut Umum tanggal 01 Agustus 2008;
Membaca surat-surat yang bersangkutan;
Memperhatikan Pasal-Pasal Undang-Undang No. 4 Tahun 2004,
Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 dan Undang-Undang No. 14 Tahun 1985
sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 5
Tahun 2004 serta peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: JAKSA
PENUNTUT UMUM PADA KEJAKSAAN NEGERI SUMBER tersebut;
Membebankan biaya perkara dalam tingkat kasasi ini kepada
Termohon Kasasi/Terdakwa yang ditetapkan sebesar Rp.2.500,-(dua ribu
lima ratus rupiah);
Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah
Agung pada hari Selasa tanggal 14 Oktober 2008 oleh H.ATJA
SONDJAJA,SH. yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai
Ketua Majelis H.MUHAMMAD TAUFIK,SH.MH. dan DR.H.MOHAMMAD
SALEH,SH.MH. Hakim-Hakim Agung sebagai Anggota, dan diucapkan
dalam sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua Majelis
beserta Hakim-Hakim Anggota tersebut, dan dibantu oleh EKO BUDI
SUPRIYANTO,SH.MH. Panitera Pengganti dan tidak dihadiri oleh Pemohon
Kasasi/Penuntut Umum dan Termohon Kasasi/Terdakwa;
Panitera Pengganti : K e t u a :
Hal.15 hal 11 Put.No.1501 K/PID.SUS/2008
MODELL :
Bahwa alasan-alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena judex f
(Pengadilan Negeri/Pengadilan Tinggi) tidak salah dalam menerapkan hukum, lagi pula
mengenai hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan, hal mana
tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan dalam tingkat kasasi, karena
pemeriksaan pada tingkat kasasi hanya berkenaaan dengan adanya kesalahan penerapan
hukum, adanya pelanggaran hukum yang beralku, adanya kelalaian dalam memenuhi
syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengamcam
kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan atau bila Pengadilan tidak
berwenang atau melampaui batas wewenangnya sebagaimana yang dimaksud dalam
Pasal 253 KUHAP (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981);