Hak Rakyat Atas Lingkungan dan MP3EI oleh Abdon Nababan

13
Hak Rakyat Atas Lingkungan dan MP3EI Oleh : Abetnego Tarigan 1 Pendahuluan Dalam Konstitusi Negara Republik Indonesia pada Amandemen ke-2 UUD 1945, Pasal 28H ayat (1) menyebutkan: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dun batin, bertempal tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta herhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Dalam pasal 28 H ayat 1 ini, dalam tafsir-nya, hak hidup layak dan bersih tidak hanya merujuk pada fisik lingkungan hidup, lebih dari itu, hak hidup layak dan bersih merupakan esensi dan eksistensi manusia untuk di jaminan agar terpenuhinya hak hidup manusia 2 Lingkungan hidup adalah ruang yang ditempati oleh manusia bersama makhluk hidup lainnya. Masing-masing tidak berdiri sendiri dalam proses kehidupan, saling berinteraksi dan membutuhkan. Kehidupan yang ditandai dengan interaksi dan saling bergantung secara teratur tersebut merupakan tatanan ekosistem yang di dalamnya mengandung esensi penting lingkungan hidup sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dibicarakan secara parsial. Lingkungan Hidup harus dipandang secara holistik dan mengandung sistem yang teratur serta meletakkan semua unsur di dalamnya secara setara. Dalam banyak definisi, lingkungan hidup masih ditafsirkan secara konvensional, lingkungan hidup dianggap sebagai obyek penunjang kehidupan. Perspektif seperti ini masih melihat dan menempatkan lingkungan hidup sebagai obyek eksploitasi untuk menunjang kehidupan. Padahal esensi lingkungan hidup sendiri adalah sebuah kehidupan dimana ruang lingkup dan waktunya melingkupi kehidupan-kehidupan yang ada di dalamnya. Dalam bahasan lain lingkungan hidup di tafsirkan secara pragmatis dan komoditis. Pikiran- pikiran dan dominasi positivistik menjadi racun yang selalu mengkuantitaskan skala lingkungan hidup. Demikian pula lingkungan hidup selalu hanya dilihat dan dipandang sebagai dampak dari praktek-praktek sebelumnya. Padahal, kalau dilihat dalam konteks yang sistemik lingkungan hidup sebagai sebuah system, tentu tunduk pada sebuah sistem hukum alam. Dengan demikian suatu system tersebut dapat berlangsung dengan seimbang jika kualitas komponen di dalamnya tetap berjalan stabil. Sebagai sebuah sistem kehidupan, maka lingkungan hidup merupakan sebuah kehidupan yang terdiri dari kehidupan masa lalu, kehidupan masa kini dan masa yang akan datang. Itulah esensi dari sumber-sumber kehidupan. Dengan demikian maka adalah tanggung jawab Negara untuk memastikan terpenuhinya Hak Hidup Layak dan Mendapatkan Lingkungan Hidup yang Bersih dan Sehat. Merujuk pada Konstitusi Negara Republik Indonesia yaitu UUD 1945, maka seharusnya regulasi yang menjadi landasan rencana pembangunan Nasional hendaknya memberikan jaminan tersebut. 1 Abetnego Tarigan adalah Direktur Eksekutif Nasional WALHI; Makalah ini disampaikan dalam rangka Seminar FA JKPP Januari 2014 2 Hak Atas Lingkungan sebagai Hak Asasi Manusia oleh M. Ridha Saleh

Transcript of Hak Rakyat Atas Lingkungan dan MP3EI oleh Abdon Nababan

Page 1: Hak Rakyat Atas Lingkungan dan MP3EI oleh Abdon Nababan

Hak Rakyat Atas Lingkungan dan MP3EI Oleh : Abetnego Tarigan1

Pendahuluan Dalam Konstitusi Negara Republik Indonesia pada Amandemen ke-2 UUD 1945, Pasal 28H ayat (1) menyebutkan: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dun batin, bertempal tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta herhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Dalam pasal 28 H ayat 1 ini, dalam tafsir-nya, hak hidup layak dan bersih tidak hanya merujuk pada fisik lingkungan hidup, lebih dari itu, hak hidup layak dan bersih merupakan esensi dan eksistensi manusia untuk di jaminan agar terpenuhinya hak hidup manusia2 Lingkungan hidup adalah ruang yang ditempati oleh manusia bersama makhluk hidup lainnya. Masing-masing tidak berdiri sendiri dalam proses kehidupan, saling berinteraksi dan membutuhkan. Kehidupan yang ditandai dengan interaksi dan saling bergantung secara teratur tersebut merupakan tatanan ekosistem yang di dalamnya mengandung esensi penting lingkungan hidup sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dibicarakan secara parsial. Lingkungan Hidup harus dipandang secara holistik dan mengandung sistem yang teratur serta meletakkan semua unsur di dalamnya secara setara. Dalam banyak definisi, lingkungan hidup masih ditafsirkan secara konvensional, lingkungan hidup dianggap sebagai obyek penunjang kehidupan. Perspektif seperti ini masih melihat dan menempatkan lingkungan hidup sebagai obyek eksploitasi untuk menunjang kehidupan. Padahal esensi lingkungan hidup sendiri adalah sebuah kehidupan dimana ruang lingkup dan waktunya melingkupi kehidupan-kehidupan yang ada di dalamnya. Dalam bahasan lain lingkungan hidup di tafsirkan secara pragmatis dan komoditis. Pikiran-pikiran dan dominasi positivistik menjadi racun yang selalu mengkuantitaskan skala lingkungan hidup. Demikian pula lingkungan hidup selalu hanya dilihat dan dipandang sebagai dampak dari praktek-praktek sebelumnya. Padahal, kalau dilihat dalam konteks yang sistemik lingkungan hidup sebagai sebuah system, tentu tunduk pada sebuah sistem hukum alam. Dengan demikian suatu system tersebut dapat berlangsung dengan seimbang jika kualitas komponen di dalamnya tetap berjalan stabil. Sebagai sebuah sistem kehidupan, maka lingkungan hidup merupakan sebuah kehidupan yang terdiri dari kehidupan masa lalu, kehidupan masa kini dan masa yang akan datang. Itulah esensi dari sumber-sumber kehidupan.

Dengan demikian maka adalah tanggung jawab Negara untuk memastikan terpenuhinya Hak Hidup Layak dan Mendapatkan Lingkungan Hidup yang Bersih dan Sehat. Merujuk pada Konstitusi Negara Republik Indonesia yaitu UUD 1945, maka seharusnya regulasi yang menjadi landasan rencana pembangunan Nasional hendaknya memberikan jaminan tersebut.

1 Abetnego Tarigan adalah Direktur Eksekutif Nasional WALHI; Makalah ini disampaikan dalam rangka

Seminar FA JKPP Januari 2014 2 Hak Atas Lingkungan sebagai Hak Asasi Manusia oleh M. Ridha Saleh

Page 2: Hak Rakyat Atas Lingkungan dan MP3EI oleh Abdon Nababan

Eksploitasi Sumber Daya Alam Sebagai Basis Kebijakan ekonomi politik yang mengandalkan sumber daya alam sebagai kontributor utama perekonomian dengan menentapkan sektor – sektor produksi yang membutuhkan lahan luas seperti migas, perkebunan, pertambangan dan hutan tanaman industri. Pendapatan SDA yang terdiri atas pendapatan SDA minyak bumi dan gas bumi (migas) dan pendapatan SDA nonmigas, merupakan sumber utama PNBP. Selama 2008—2012, pendapatan SDA memberikan kontribusi rata-rata sebesar 64,5% terhadap total PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak), dengan pertumbuhan rata-rata mencapai 0,2% per tahun. Luas kawasan hutan Indonesia sampai dengan November 2011 adalah 130.46 juta Ha atau ± 70 % dari luas daratan Indonesia. Berdasarkan rekalkulasi penutupan lahan, kondisi kawasan hutan Indonesia sekitar 68 % kondisinya masih berhutan. Luas kawasan hutan berdasarkan fungsi yaitu: hutan konservasi (HK) seluas 20,90 juta Ha, hutan lindung (HL) seluas 32,08 juta Ha dan hutan produksi (HP) seluas 77,48 juta Ha. Hutan Produksi (HP) terbagi ke dalam hutan produksi terbatas (HPT) seluas 22,81 juta Ha, hutan produksi tetap (HP) seluas 33,76 juta Ha dan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) seluas 20,91 juta Ha (kemenhut, 2011). Perubahan tutupan hutan di kawasan hutan sepanjang periode 2000- 2009 terjadinya umunya di kawasan Hutan Produksi Tetap seluas 3,66 juta ha. Deforestasi juga terjadi pada kawasan Hutan Lindung dan Konservasi seluas 3,27 juta ha (FWI 2011). Sedangkan pada Areal Peruntukan Lainnya, deforestasi seluas 4,34 juta ha. Laporan Statistik Kehutanan (2012) menunjukkan, Indonesia kehilangan hutan seluas 0.48 juta hektar pertahun pada periode 2009-2010. Aktifitas utama yang berkontribusi terhadap deforestasi dan degradasi hutan adalah pembangunan perkebunan kelapa sawit, pertambangan dan Hutan Tananman Industri. Peningkatan luas perkebunan kelapa sawit di Indonsia mencapai 950,00 ha per tahun sepanjang periode 2006 – 2012,Luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia di tahun 2012 mencapai 12,3 juta ha sedangkan rencana ekspansi berdasarkan ijin yang dikeluarkan diberbagai tingkatan telah mencapai 28,9 juta ha (Sawit Watch 2013). Dengan demikian diperkirakan akan ada penambahan luas perkebunan kelapa sawit dimasa yang akan datang mencapai 16,6 juta ha.

Pertumbuhan luas perkebunan kelapa sawit (ha)

Tahun 2006 – 20012

Sumber: Sawit Watch 2013

Page 3: Hak Rakyat Atas Lingkungan dan MP3EI oleh Abdon Nababan

Pada tahun 1980’an, pemerintah memulai program HTI untuk pulp dan kertas Pemerintah

membangun 1,4 juta ha HTI pada tahun 1995, 1,8 juta ha pada tahun 2000, dan2,3 juta ha pada tahun 2003, dengan rencana untuk memiliki 10,5 juta ha HTI pada tahun 2030. Ditambah luas kawasan pencadangan untuk HTI maka total luas kawasan HTI sampai dengan tahun 2011 mencapai 11,53 juta ha. Akibatnya, hutan alam yang telah lama mengalami over eksploitasi juga menjadi tumpuan utama sumber bahan baku industri pulp dan kertas. Sementara itu, realisasi pembangunan HTI sangat lambat. Sampai Desember 1998 realisasi pembangunan HTI dilaporkan mencapai 1.642.583 ha, atau 22,2% dari total 7,385,948 ha luas konsesi Hak Pengusahaan HTI yang telah diberikan pemerintah kepada 161 perusahaan. Perkembangannya menunjukkan bahwa kebutuhan kayu yang dipasok dari HTI sebesar 61%. Kebijakan menteri Kehutanan dalam SK No.101/Menhut-II/2004 telah memberikan keluasaan bagi HTI Pulp untuk melakukan pemanfaatan hutan alam melalui tebang habis hutan alam hingga 2009, yang dikecualikan hanya pada Hutan Lindung dan kawasan Konservasi.

Luas IUPHHK-HT

Sumber: Kementrian Kehutanan 2009

Perkembangan izin pinjam pakai kawasan hutan untuk pertambangan sepanjang delapan tahun terakhir menunjukan peningkatan signifikan. Di tahun 2004 hanya terdapat 13 unit usaha pertambangan yang mengalihfungsikan hutan lindung seluas 925.000 hektar. Angka itu meningkat tajam pada tahun 2012 menjadi 924 unit usaha dengan luas total 6.578.421 hektar3. Menurut data Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) hingga November 2012 tercatat ada 10.677 izin usaha pertambangan (IUP) telah selesai didata ulang (rekonsiliasi) dan diserahkan pula sertifikat Clean and Clear (CnC). Ekpansi pertambangan ke kawasan Hutan Lindung dilegalkan melalui Peraturan Pengganti Undang – Undang (Perpu) No.4/2005 yang diberikan kepada 18 perusahaan tambang. Perpu ini menjadi preseden bagi ijin – ijin pertambangan lainnya di Hutan Lindung dan kawasan hutan lainnya. Secara mendasar, UU NO.41/1999 tentang kehutanan tidak melarang pertambangan di kawasan Hutan

3 http://www.jatam.org/saung-pers/siaran-pers/224-sektor-pertambangan-indonesia-kejahatan-

terhadap-keselamatan-rakyat-.html

Page 4: Hak Rakyat Atas Lingkungan dan MP3EI oleh Abdon Nababan

Produksi, jika berada di kawasan Hutan Lindung harus dalam bentuk pertambangan tertutup. Adanya Peraturan Pemerintah (PP) No.2 Tahun 2008 yang mengatur tentang tarif dan PNPB yang berasal dari penggunaan Kawasan Hutan untuk aktifitas non kehutanan memberikan makna penegasan untuk perluasan aktiftas pertambangan di kawasan. Dengan garis pantai sepanjang 81.000 kilometer, Indonesia memiliki hutan mangrove terluas kedua dunia setelah Brazil. Tumbuh di zona peralihan, antara ekosistem laut dan daratan, hutan mangrove melindungi pantai, menahan endapan lumpur dan menjaga keseimbangan lingkungan. Pada 2006, Kementerian Kehutanan mencatat luas hutan mangrove mencapai 7,7 juta hektar. Tetapi pada saat ini luasnya menurun pada 2011 menjadi 5,5 juta hektar. Dari total luas hutan mangrove itu, 56,91 persen masih baik dan 7,21 persen rusak berat. (SLHI 2012). Pusat Data dan Informasi KIARA Juli 2013 mencatat, ada empat faktor utama penyebab kerusakan mangrove di Indonesia. Pertama, konversi untuk ekspansi industri pertambakan, seperti di Lampung dan Langkat, Sumatera Utara dan Sulsel. Kedua, konversi hutan mangrove untuk kegiatan reklamasi kota-kota pantai, seperti di Teluk Jakarta, Semarang (Jateng), Surabaya (Jatim), Padang (Sumbar), Makassar (Sulsel), dan Manado (Sulut). Ketiga, pencemaran lingkungan. Keempat, konversi hutan mangrove untuk perluasan kebun sawit. Di pesisir Pantai Timur Sumut, luasan mangrove menurun sebesar 59.68 persen dari 103,425 hektar 1977 menjadi 41,700 hektar. Data Kerukunan Nelayan dan Tani Indonesia Sumatera (2010) menyebutkan, hutan mangrove di pesisir Kabupaten Langkat seluas 35.000 hektar, 10.000 hektar dari luas tersebut kondisi baik 4. Mater Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia Pada tanggal 27 Mei 2011, pemerintah melaunching Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). MP3EI merupakan sebuah dokumen perencanaan pembangunan Indonesia tahun 2011 – 2025. Dimana beberapa strategi dan program pembangunan nasional dan daerah dirancang sebagai kebijakan pembangunan dan harus mengacu pada konsep MP3EI. Untuk memperkuat dasar kebijakan maka pemerintah melalui Instruksi Presiden (Inpres) No. 32 tahun 2011 menetapkan dasar hukum MP3EI. Dalam MP3EI ada beberapa poin yang menjadi target pencapaian kedepan. Pertama, pengembangan potensi ekonomi wilayah dengan menyusun arah dan strategi pembangunan terhadap enam koridor ekonomi yaitu Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali – Nusa Tenggara dan Papua – Maluku. Kedua, memperkuat konektivitas nasional yang terintegrasi secara lokal dan terhubung secara global (locally integrated, globally connected). Ketiga, memperkuat kemampuan Sumberdaya Manusia (SDM) dan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) nasional untuk mendukung pengembangan program utama di setiap koridor ekonomi. Pemerintah juga menetapkan tiga misi yang menjadi fokus utama dari MP3EI yaitu (1) peningkatan nilai tambah dan perluasan rantai nilai proses produksi serta distribusi dari pengelolaan aset dan akses (potensi) SDA, geografis wilayah, dan SDM, melalui penciptaan kegiatan ekonomi yang terintegrasi dan sinergis di dalam maupun antar-kawasan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi, (2) mendorong terwujudnya peningkatan efisiensi produksi

4 http://www.mongabay.co.id/2013/07/28/nasib-miris-hutan-mangrove-disulap-jadi-tambak-hingga-kebun-sawit/

Page 5: Hak Rakyat Atas Lingkungan dan MP3EI oleh Abdon Nababan

dan pemasaran serta integrasi pasar domestik dalam rangka penguatan daya saing dan daya tahan perekonomian nasional dan (3) mendorong penguatan sistem inovasi nasional di sisi produksi, proses, maupun pemasaran untuk penguatan daya saing global yang berkelanjutan, menuju innovation-driven economy.

Dalam dokumen revisi MP3EI disebutkan, percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi akan menempatkan Indonesia sebagai negara maju pada tahun 2025 dengan pendapatan per kapita yang berkisar antara USD 14.250 – USD 15.500 dengan nilai total perekonomian (PDB) berkisar antara USD 4,0 – 4,5 triliun. Untuk mewujudkannya diperlukan pertumbuhan ekonomi riil sebesar 6,4 – 7,5 persen pada periode 2011 – 2014, dan sekitar 8,0 – 9,0 persen pada periode 2015 – 2025. Pertumbuhan ekonomi tersebut akan dibarengi oleh penurunan inflasi dari sebesar 6,5 persen pada periode 2011 – 2014 menjadi 3,0 persen pada 2025.

Page 6: Hak Rakyat Atas Lingkungan dan MP3EI oleh Abdon Nababan

Kerusakan lingkungan hidup Tantangan lingkungan hidup juga menghadapi persoalan lahan kritis. Lahan kritis adalah lahan yang secara fisik telah rusak sehingga tidak dapat berfungsi dengan baik sebagai media produksi atau pengatur tata air. Perkembangan lahan kritis seiring dengan deforestasi dan degradasi hutan. Selama 2000 - 2011, lahan kritis bertambah 4 juta hektar, dengan kontribusi setiap provinsi yang berbeda-beda. Kalimantan Tengah menyumbang jumlah lahan kritis terbesar, diikuti Jambi, Sumatra Utara dan Sulawesi Tenggara. Beberapa provinsi berhasil memperbaiki kondisi lahannya, seperti di Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Sulawesi tengah dan Sulawesi Selatan. Pencemaran air oleh operasi perusahaan tambang dan perkebunan kelapa sawit puluhan sungai di Indonesia. Tahun 2010 terdapat 21 sungai di 10 propinsi yang tercemar oleh usaha perkebunan dan pabrik kelapa sawit dan 30 sungai di 12 propinsi oleh aktifitas pertambangan (WALHI 2010). Dari data tersebut menunjukkan bahwa jumlah sungai yang tercemar berkorelasi dengan tingginya aktifitas perkebunan dan pertambangan di satu propinsi. Kualitas air yang buruk dan ganjilnya siklus hidrologi, berpotensi mengganggu kesehatan, seperti penyakit diare misalnya identik dengan kualitas air yang buruk kurangnya ketersediaan air bersih dan diperburuk dengan perilaku tidak higienis.

Grafik Pencemaran Sungai - 2010

Sumber : WALHI Banjir dan kekeringan karena DAS yang kritis mengancam ketahanan pangan nasional. Hal ini terjadi karena alih fungsi lahan irigasi teknis rata-rata 40.000 hektare per tahun dan alihfungsi untuk aktifitas perkebunan dan pertambangan. Secara umum penataan ruang di areal perkebunan kelapa sawit belum sepenuhnya mengalokasikan sebagian lahannya untuk areal konservasi, bahkan areal sempadan sungai yang merupakan kawasan lindung setempat, telah ditanami dan dijadikan areal produktif ditanami kelapa sawit, dengan berbagai argumentasi seperti optimalisasi lahan, pengamanan dari penjarahan lahan dan lain sebagainya. Pengembangan areal perkebunan telah merubah tatanan hutan yang bersifat polikultur menjadi tanaman monokultur. Perkebunan kelapa sawit paling tidak telah ikut memberikan andil terhadap terjadinya perubahan siklus hidrologis dengan adanya fluktuasi debit air sungai yang besar antara musim hujan dan musim kemarau, yang selanjutnya berakibat pada meningkatnya intensitas banjir, erosi, sedimentasi, longsor dan kekeringan. Hampir setiap tahun kekeringan dan banjir terjadi pada rata-rata 90.000 hektar lahan. Secara umum banjir di Indonesia masih tinggi setiap tahunnya.

Page 7: Hak Rakyat Atas Lingkungan dan MP3EI oleh Abdon Nababan

Grafik Banjir dan Longsor di Indonesia

Sumber: WALHI

Tahun 1999-2007 kerugian dari kebakaran hutan dan lahan ditahun 2001 sampai dengan tahun 2006 diwilayah Sumatera saja mencapai kerugian US $ 7,8 Millyar dan wilayah Pulau Kalimantan US $ 5,8 Millyar. Menurut laporan WHO yang dilansir oleh Reuters, setiap tahun sebanyak 4 juta balita meninggal dunia akibat pencemaran lingkungan seperti polusi udara, polusi air dan zat kimia beracun. Di Indonesia setidaknya sejak tahun 1997 pencemaran lingkungan yang berdampak paling besar adalah akibat kebakaran hutan. ISPA merupakan masalah kesehatan yang dianggap penting diperhatikan karena menyebabkan kematian bayi dan balita yang cukup tinggi yaitu kira-kira 1 dari 4 kematian yang terjadi (www.kalselprov.go.id, 2009). Masalah sosial terkait kerusakan lingkungan hidup Dibalik eksploitasi sumber daya alam yang terjadi saat ini terjadi ketimpangan dan ketidakadilan. Ada 4 ketidakadilan sosial dan ekonomi terkait dengan kerusakan lingkungan hidup. Pertama, ketidakadilan ekonomi dan sosial antara satu kelompok masyarakat dengan para pemilik modal yang memiliki akses dan dukungan politik yang kuat untuk mengeksploitasi dan menikmati sumber daya alam. Kelompok yang besar adalah kelompok masyarakat miskin dan marginal yang kehilangan akses dan kontrol terhadap sumber daya alam dan biasanya menjadi buruh serta penerima dampak langsung dari kerusakan lingkungan hidup yang ditinggalkan pemilik modal. Konflik vertikal semakin tinggi terjadi saat ini antara kelompok masyarakat dengan pemilik modal (perusahaan). Di tahun 2011, WALHI mencatat 149 konflik antara masyarakat dan perusahaan terkait dengan sumber daya alam. Konflik ini tidak jarang berbuah kekerasan dan kriminalisasi. Kepolisian Republik Indonesia menyampaikan bahwa ancaman konflik terbesar di Indonesia bersumber pada issue sumber daya alam. Kedua, ketidakadilan lintas atau antar daerah. Kekayaan sumber daya alam daerah hulu justru dinikmati oleh daerah hilir atau daerah hulu yang melakukan eksploitasi secara besar – besaran sedangkan daerah hulir hanya menerima banjir, longsor dan pencemaran. Ketiga, ketidakadilan antar jenis kelamin. Berbagai laporan menyebutkan bahwa perempuan merupakan kelompok yang paling rentan terhadap kerusakan lingkungan hidup. Dalam hal pencemaran bahan – bahan kimia, perempuan menjadi pihak yang paling rentan dan paling sering menjadi korban berbagai penyakit. Rendahnya akses air bersih di keluarga miskin juga semakin membebani perempuan dalam pemenuhan ketersediaan air bersih di dalam rumah tangga keluarga. Di musim kering, tidak sedikit perempuan Indonesia di pedesaan harus bekerja ekstra untuk mendapatkan air bersih bagi keluarganya. Keempat, ketidakadilan antar generasi sekarang dengan generasi masa yang akan datang. Generasi sekarang menguras dan merusak serta mencemari lingkungan hidup maka dapat dipastikan

Page 8: Hak Rakyat Atas Lingkungan dan MP3EI oleh Abdon Nababan

bahwa generasi mendatang akan menerima warisan krisis dan bencana lingkungan hidup dalam skala yang lebih besar. Generasi yang akan datang akan hidup dalam dalam iklim yang jauh lebih ekstrim, air bersih yang langka dan berbagai penyakit yang lebih berbahaya.

MP3EI sebagai Ancaman Sebagaimana mega proyek lainnya di dunia, MP3EI telah menciptakan kekhawatiran di berbagai kalangan. Hal ini tidak lepas dari konsep MP3EI yang memberikan arah kepada percepatan eksploitasi sumber daya alam dengan aktor dan sektor utama yang berskala dan bermodal besar. Tanpa adanya akselarasi dalam kerangka MP3EI telah begitu banyak persoalan lingkungan hidup dan sosial yang muncul sebagiaman dipaparkan sebelumnya. Kekhawatiran ini tidak lepas dari fakta – fakta yang menunjukkan bahwa bencana ekologis sebagai akibat dari model pembangunan yang ada cenderung meningkat. WALHI mencatat, bencana ekologis pada tahun 2013 mengalami lonjakan yang sangat tajam. Jika pada tahun 2012 banjir dan longsor hanya terjadi 475 kali dengan korban jiwa 125 orang, pada 2013 secara kumulatif menjadi 1,392 kali atau setara 293 persen. Bencana tersebut telah melanda 6727 desa/kelurahan yang tersebar 2,787 kecamatan, 419 kabupaten/kota dan 34 propinsi dan menimbulkan korban jiwa sebesar 565 orang. Salah satu penyebab permasalahan lingkungan saat ini adalah ketimpangan penguasaan sumberdaya alam, dimana proporsi terbesar diberikan kepada korporasi. Bersamaan dengan ketimpangan penguasaan sumberdaya alam muncul degradasi lingkungan yang berakibat pada semakin tingginya tingkat kerentanan bencana ekologis. Propinsi Lampung sepanjang tahun 2013 telah terjadi 38 kali bencana yang meliputi 104 Desa dan apabila dilihat dari wilayah bencana, terlihat wilayah-wilayah yang di dominasi oleh penguasaan lahan skala luas menempati urutan teratas seperti Lampung Selatan, Mesuji yang berdampak pada wilayah hilir seperti Kota Bandar Lampung. Demikian juga di Jambi terjadi 35 kali bencana ekologis dengan wilayah bencana meliputi 216 Desa dengan wilayah yang kerap diterpa bencana adalah wilayah-wilayah yang penguasaan lahan skala besar dimiliki oleh perkebunana besar kelapa sawit, pertambangan dan HTI seperti Tebo, Muara Jambi, Sorolangun dan wilayah hilir seperti Kota Jambi. Di Kalimantan wilayah bencana berada di daerah-daerah tinggi tingkat eksploitasi sumberdaya alamnya seperti Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur yang menerpa kurang lebih 400 desa. Hal lain yang muncul akibat ketimpangan tersebut adalah konflik agraria, dimana tercatat 369 konflik agraria sepanjang 2013 atau naik tiga kali lipat dibandingkan tahun 2009 5. Dari aspek ekonomi, tampak porsi keberpihakan terhadap pembangunan ekonomi masyarakat sangat kurang dimana potensi-potensi yang menjadi pilihan dalam tiap koridor kemudian diterjemahkan dalam pengembangan ekonomi berbasis korporasi dan modal besar. Hal ini bisa dilihat dari berbagai kegiatan ekonomi utama yang disodorkan, misalnya pada koridor Sumatera sebagai Sentra Produksi dan Pengolahan Hasil Bumi dan Lumbung Energi. Dengan 6 (enam) kegiatan ekonomi

5 Laporan Akhir Tahun KPA, 2013.

Page 9: Hak Rakyat Atas Lingkungan dan MP3EI oleh Abdon Nababan

utama yaitu Kelapa Sawit, Karet, Batubara, Perkapalan, Besi Baja, dan Kawasan Strategis Nasional Selat Sunda. Hal ini sudah menunjukkan bahwa penikmat dari model ekonomi yang dikembangkan adalah korporasi. Bila kita telaah lebih dalam lagi, misal pada Propinsi Lampung, sebagai daerah agraris lebih dari 50% penduduk Lampung hidup dari sektor pertanian dalam arti yang luas, dimana sektor pertanian di Lampung menyumbang 36% PDRB Propinsi Lampung dalam statistik Lampung tercatat dari daerah ini menyumbang 22,63% produksi nasional untuk Kopi Robusta, 27,58% Lada Hitam, serta 26% produksi nanas. Namun sangat bertolak belakang dari semua itu, dalam pertemuan Forum Gubernur se Sumatera dan Rakor MP3EI yang dihadiri oleh para Gubernur se Sumatera dan Banten pada tanggal 20 Maret 2013 di Propinsi Lampung, justru pertanian di arahkan pada sektor non unggulan propinsi-propinsi berbasiskan pertanian rakyat. Dari Perhitungan RAD GRK Propinsi Lampung diketahui bahwa emisi terbesar Propinsi tersebut berasal dari perubahan dari hutan ke non hutan yaitu sebesar 70% lebih6. Terdapat berbagai persoalan yang belum dijawab dan diselesaikan sebelum diluncurkannya MP3EI, diantaranya 1. Persoalan tata ruang

Terdapat banyak kawasan hutan yang sudah tidak berhutan. Proses rasionalisasi dari terhadap status kawasan berjalan dalam waktu yang cukup panjang, sementara perusahaan – perusahaan perkebunan telah antri mengajukan ijin bahkan tidak sedikit yang telah beroperasi. Hampir 30,000 desa berada di kawasan hutan juga semakin memperumit masalah tata ruang ini. Sebagaimana dalam ketentuannya bahwa kawasan hutan tidak dapat digunakan untuk aktifitas pertanian dan perkebunan. Terdapat ketidaksesuaian antara kabupaten, provinsi dan rencana tata ruang nasional dalam hal pengalokasian lahan yang untuk dikonversi. Beberapa rencana tata ruang daerah membuat keputusan zonasi yang bertentangan dengan hukum nasional, misalnya 2,5 juta hektar lahan gambut lebih dari 3 meter dialokasikan untuk dikembangkan sebagai hutan produksi atau perkebunan.

2. Rendahnya produktiftas perkebunan dan pertanian Hasil minyak sawit telah meningkat, namun dengan hasil rata-rata 2,7 ton CPO per hektar lebih rendah dari rata – rata Malaysia 3,63 ton per hektar. Ini lebih jauh dari hasil praktek terbaik yang dicapai pada perkebunan yang di Malaysia dan Papua Nugini. Hasil panen pertanian tidak merata di seluruh Indonesia, perbedaan ini dipengaruhi oleh tingkat kesuburan tanah, iklim dan infrastruktur. Terjadi peningkatan produktifitas pertanian namun dibandingkan dengan negara – negara lain di Asia seperti Malaysia, China dan Vietnam masih lebih rendah. Banyaknya lahan pertanian tidak produktif karena erosi, buruknya penggunaan pupuk, rotasi yang tidak tepat dan masa bera yang singkat. Kepemilikan tidak jelas dan akses masyarakat miskin terhadap keuangan untuk berinvestasi dalam meningkatkan produksi juga sangat mepengaruhi. Rendahnya produktifitas ini telah mendorong kepada upaya perluasan perkebunan dan pertanian untuk meningkatkan produksi. Upaya perluasan ini semakin mendesak kawasan hutan untuk dialihfungsikan menjadi areal perkebunan dan pertanian.

6 Data perhitungan RAD GRK Propinsi Lampung dengan base line tahun 2005 – 2013, BLHD Lampung

2013,

Page 10: Hak Rakyat Atas Lingkungan dan MP3EI oleh Abdon Nababan

3. Buruknya pengelolaan usaha sektor kehutanan Sektor kehutanan (termasuk industri pengolahan) mewakili kurang dari satu persen dari economy Indonesia. Sektor ini telah menurun sejak tahun 2004 baik secara riil maupun dalam proporsi total ekonomi proporsi Indonesia. Ditinjau dari pengunaan lahan, sektor kehutanan hampir mencakup seluruh wilayah Indonesia. Namun, terdapat ketidaksesuaian antara jumlah kawasan hutan produksi (Hutan Produksi dan Hutan Produksi Terbatas) dialokasikan untuk konsesi dan jumlah nilai ekonomi yang dihasilkan. Jumlah unit HPH aktif telah menurun selama dekade terakhir, saat ini terdapat 299 konsesi di Indonesia, yang 248 aktif, meliputi 22 juta hektar. Ada banyak konsesi dianggap sebagai ' aktif' yang namun sebenarnya terbengkalai. Ada unit HPH yang tidak aktif lagi, sementara ada yang lebih extractive, untuk menyediakan bahan baku untuk pabrik pulp di Sumatera. Dari sudut pandang efisiensi masih jauh diharapkan dengan perkiraan setiap meter kubik yang dipotong, setidaknya jumlah yang sama kayu yang tertinggal dan minimal 8 juta meter kubik kayu yang seharusnya dapat digunakan tetapi dibiarkan membusuk di hutan setiap tahun.

4. Praktek buruk dan illegal pengelolaan usaha di sektor sumber daya alam. Operasi diluar kawasan yang diberikan ijin usaha dan ijin yang tidak sesuai peruntukan merupakan praktek – praktek buruk yang terjadi dalam pengembangan usaha di sektor sumber daya alam. Kawasan – kawasan yang menjadi sasaran dari praktek ini umumnya dalam bentuk mengalihfungsikan kawasan hutan, sempadan sungai dan pesisir pantai. Berbagai celah hukum dari pertaturan terkait dan legitimasi kawasan hutan diragukan, telah mendorong berbagai praktek illegal pertambangan di kawasan hutan. Di Kalimantan Tengah, pada tahun 2011 dari 615 unit perusahaan yang memperoleh izin melakukan pertambangan dengan luas total 3,7 juta ha, namun hanya sembilan unit perusahaan saja, atau hanya 30.000 Ha yang telah memiliki izin penggunaan kawasan hutan sesuai dengan peraturan. Di Kalimantan Timur ditemukan perusahaan tambang illegal berjumlah 181 unit dengan luas 695.709 ha dikawasan hutan (Jatam 2012). Di Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah ditemukan 15 ijin perusahaan perkebunan kelapa sawit diberikan di kawasan hutan dengan dengan total luas 215,580 ha yang berada di Hutan Produksi dan Hutan Produksi Terbatas. Praktek ini tidak hanya terjadi di Kalimantan Tengah, tetapi terjadi juga di beberapa propinsi lainnya seperti Sumatra Utara, Jambi, Riau, Sumatra Selatan, Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur. Praktek buruk lainnya adalah pembersihan lahan dengan cara membakar. Praktek ini terus terjadi di Indonesia setiap tahun. Selain faktor cuaca yang memperparah, praktek ini terus berlanjut karena adanya motif ekonomi yang sangat mempengaruhi yakni memangkas biaya pembersihan lahan pada usaha perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman.

Page 11: Hak Rakyat Atas Lingkungan dan MP3EI oleh Abdon Nababan

Grafik Kebakan Hutan dan Lahan Indonesia

Sumber: WALHI

Penutup Dari pemaparan tentang MP3EI diatas nampak bahwa proses akumulasi kekayaan disatu sisi dan penghisapan serta pemiskinan di sisi lainnya, bukan terjadi secara alamiah tetapi berdasarkan suatu rancangan kebijakan politik-ekonomi. Dengan begitu, jelas hak atas lingkungan belum secara maksimal menjadi hak fundamental yang juga harus diakui secara politik. Kondisi seperti inilah yang bisa disebut sebagai suatu “ketidakpedulian umat manusia” di dunia atas lingkungan. Padahal, sudah banyak potret peristiwa ataupun perilaku yang menyimpang, dalam arti melanggar HAM dipicu oleh persoalan-persoalan seputar pengelolaan lingkungan yang tiada lain disebabkan kuatnya penetrasi atas paradigma atau paham pembangunan negara-negara kapitalis bersama konsep globalisasinya atau liberalisasi pasarnya.

Krisis lingkungan sudah merambah pada krisis kedaulatan dan keadilan, dalam hal ini, terhadap rakyat kecil telah terjadi proses penghilangan identitas hidup (etnocide), demikian pula telah terjadi defisit narasi ketimpangan distribusi manfaat dari sumber-sumber penghidupan bagi rakyat 7.

pertama karena tidak adannya visi atau cetak biru yang menjadi landasan tentang pengelolaan lingkungan dan keberlanjutan ekologi, yang mengakibatkan negara tidak mampu menjadikan issue lingkungan hidup sebagai agenda politik nasional apalagi menjadikannya sebagai portofolio politik kedalam struktur dan sistim pemerintahan yang seharusnnya sudah dimulai pada tahun 1970 - 1980an,

kedua penggunaan dan pengelolaan asset-aset sumberdaya alam yang tidak terkendali oleh operesi model pembangunan yang berorientasi expor dan tidak untuk membangun fondasi dasar pemenuhan kebutuhan dan kesejahteraan nasional.

Ketiga Krisis Ekologi dan kerusakan lingkungan yang mengarah pada ecocide di Indonesia.

7 M. Ridha Saleh, Makalah tentang Ecocide

Page 12: Hak Rakyat Atas Lingkungan dan MP3EI oleh Abdon Nababan

MP3EI sendiri bisa dikatakan sebagai cikal bakal indikator perluasan persoalan dan kerusakan lingkungan Indonesia dimasa mendatang. Tentu degradasi lingkungan memiliki sebuah efek yang menyengsarakan kehidupan umat manusia. Tanpa lingkungan yang layak hidup, hak-hak kemanusiaan lainnya tak dapat dicapai atau tak ada artinya. Pada dekade ini, dunia telah menyaksikan sebuah perkembangan kerusakan yang maha dahsyat baik dalam hal kualitas maupun cakupannya. Peningkatan lavel teknologi, populasi dan aktifitas industri semakin meyakinkan bahwa tanpa tindakan segera, situasi ini akan tak terhindarkan lagi memburuk secara drastis. Upaya untuk memulihkan lingkungan hidup bukan merupakan upaya parsial dan hanya berbatas pada satu masa program kerja pemerintahan, melainkan satu upaya uang holistic dan melingkupi segenap sendi kehidupan. Peran-peran pemerintah selaku pelaksana mandate Undang-Undang Dasar Negara harus diletakkan pada kepentingan rakyat dan kepentingan generasi mendatang. Untuk itu : 1. Hak Atas Lingkungan penting dimasukan sebagai prisip di dalam semua kebijakan

dan perundang-undang ditingkat internasional, regional dan nasional yang terkait dengan pengelolaan lingkungan hidup dan sumberdaya alam, sebagaimana pula dapat terimplementasikan sampai pada pelaksanaan.

2. Pemerintah harus membuat visi dalam bentuk cetak biru lingkungan hidup sebagai pijakan praksis dalam pengimplemantasian pembangunan lingkungan hidup yang dapat diakses oleh rakyat.

3. Mekanisme yang tersedia dalam hukum nasional untuk sementara harus dimanfaatkan semaksimal mungkin dalam rangka penegakan hak atas lingkungan di negara ini. Pada saat yang bersamaan perlu terus-menerus diupayakan terobosan hukum yang menjamin terciptannya keadilan ekologi dan keberlanjutan kehidupan.

4. Diperlukan peradilan lingkungan hidup yang independen dan berkeadilan, yang sifatnya ad hoc bagi para penjahat lingkungan yang selama ini telah menyebabkan berbagai bencana, kemiskinan struktural serta kejahatan lingkungan di Indonesia.

5. Gagasan dan gerakan yang mendesakan agar para penjahat lingkungan dikategorikan sebagai pelaku kejahatan HAM, baik di tingkat nasional, regional maupun internasional perlu diperkuat.

Dengan demikian maka upaya untuk Pemulihan Indonesia terintegrasi dalam upaya pembangunan Nasional.

Page 13: Hak Rakyat Atas Lingkungan dan MP3EI oleh Abdon Nababan

Daftar Pustaka Abetnego Tarigan , 2013, Makalah untuk jurnal ICW: Peran korporasi dalam

kejahatan kehutanan

Abetnego Tarigan, 2013, Makalah untuk Seminar Nasional Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim : Menjawab persoalan lingkungan hidup, memitigasi perubahan iklim

BLHD Propinisi Lampung, 2013, RAD GRK

Cifor – ICEL, 2012, Working Paper: The Context of REDD+ Indonesia

Dominic Elson, 2011, Cost-Benefit Analysis of a Shift to a Low Carbon Economy in the Land Use Sector in Indonesia

Forest Watch Indonesia, 2011, Potret keadaan hutan Indonesia- Periode tahun 2000 – 2009.

Human Right Watch, 2013, The Dark Side of Green Growth ‘human rights impact of weak governance in Indonesia forestry sector’

Kementrian Kehutanan, 2011, Data dan Informasi Penggunaan Kawasan Hutan 2011

Kementrian Lingkungan Hidup, 2013, Status Lingkungan Hidup 2012

KPA, 2013, Laporan Akhir Tahun

M. Ridha Saleh, 2010, Makalah: Hak Atas Lingkungan sebagai Hak Asasi Manusia

Nota Keuangan dan RAPBN Republik Indonesia, 2014

Sonny Keraf, 2010, Krisis dan Bencana Lingkungan Hidup Global.

WALHI Nasional, 2013, Laporan Pemantauan Bencana

WALHI Kalimantan Tengah, 2013, Laporan Dugaan Tindak Pidana Korupsi : Kasus Pemberian Ijin Lokasi Perkebunan Kelapa Sawit oleh Bupati Kabupaten Seruyan Propinsi Kalimantan Tengah.

WALHI Nasional, 2006, Briefing Paper: Tiga Masalah Pokok Kehutanan Indonesia