HAK IMUNITAS ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT...
Transcript of HAK IMUNITAS ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT...
HAK IMUNITAS ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK
INDONESIA
“Studi Komparatif Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 dan Hukum Islam”
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh :
Khoirur Rizqy At-Tamami
NIM. 1113043000011
KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/2017 M
iii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini hasil karya saya dan diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan untuk memperoleh gelar strata S1 Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penelitian ini saya cantumkan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika kemudian hari terbukti karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi
yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidyatulllah Jakarta.
Ciputat, 27 Desember 2017
Khoirur RizqyAt-Tamami
NIM : 1113043000011
iv
ABSTRAK
Khoirur Rizqy At-Tamami, NIM 1113043000011. HAK IMUNITAS ANGGOTA
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA : STUDI
KOMPARATIF UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 DAN
HUKUM ISLAM. Program Studi Perbandingan Mazhab, Konsentrasi
Perbandingan Hukum, Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, 1439 H/2017 M. V + 76 halaman 6 halaman
lampiran.
Skripsi ini menjelaskan mengenai 2 (dua) hal. Pertama, ketentuan hak
imunitas anggota DPR RI dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang
MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3). Kedua, ketentuan hak imunitas anggota
DPR RI dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 (UU MD3) dalam
perspektif hukum Islam.
Metode yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah
menggunakan metode penelitian hukum normatif yaitu metode yang meletakkan
hukum sebagai sebuah system norma. System norma yang dimaksud adalah asas-
asas, norma, kaidah dari peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan,
perjanjian serta doktrin. Sesuai dengan karakteristik kajiannya, maka penelitian
ini menggunakan metode library research (kajian kepustakaan) dengan
pendekatan perbandingan.
Berdasarkan hasil penelitian maka diperoleh suatu kesimpulan. Pertama,
hak imunitas anggota DPR RI sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor
17 Tahun 2014 menjelaskan bahwa hak imunitas merupakan suatu hak
konstitusional yang diberikan kepada anggota DPR untuk tidak dapat dituntut di
depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang
dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPR ataupun di
luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPR.
Adapun substansi yang terkandung dalam hak imunitas tersebut lebih berbentuk
kebebasan berbicara (freedom of speech) yang dijamin oleh konstitusi. Kedua,
dalam syari’at Islam hak imunitas tidak dijelaskan secara spesifik di dalam Al-
Qur’an, melainkan menyebutkan tentang kebebasan berbicara, berpendapat, dan
bertindak. Akan tetapi hak imunitas dapat diberikan kepada anggota DPR melalui
ijtihad para ahlu syura, mujtahid, serta ulama dengan menggunakan metode taqnin
atau formalisasi undang-undang fiqih yang kemudian disahkan oleh umara atau
pemerintah. Ketiga, anggota DPR dibekali hak imunitas bertujuan agar anggota
DPR lebih bijak dalam menerapkan dan mengaktualisasikan hak yang digunakan.
Kata Kunci : Hak Imunitas, Anggota DPR, Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2014, Hukum Islam
Pembimbing : Dr. H. Ahmad Mukri Aji, MA dan H. Ahmad Bisyri Abd.
Shomad, MA
Daftar Pustaka : 1967s.d.2017
v
KATA PENGANTAR
لرهلل ي لرهللنمح ٱهلل مسب
Alhamdulillahi Rabbil ’Alamin, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat
Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, inayah dan taufiknya sehingga
penulis dapat menyelesaikan tugas akhir dalam menempuh studi di program studi
Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Shalawat dan salam semoga tetap terlimpahkan kepada junjungan kita Nabi
Muhammad SAW, yang berhasil menyampaikan risalahnya kepada umat manusia
di seluruh dunia, pendobrak revolusi akbar dalam peradaban sosial kehidupan kita
yang kita harapkan syafaatnya kelak di akhirat.
Selanjutnya dalam proses penulisan skripsi ini, penulis tidak berdiri sendiri.
Dalam arti, penulisan skripsi banyak mendapatkan kontribusi dari pihak-pihak
lain. Untuk itu, penulis menghaturkan ribuan terima kasih kepada :
1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. Selaku dekan Fakultas Syari’ah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si, dan ibu Siti Hana, MA. Selaku
Ketua Program Studi dan Sekretaris Program Studi Perbandingan
Madzhab dan Hukum yang telah membantu banyak hal kepada penulis.
3. Bapak Prof. Dr. M. Atho Mudzhar, MSPD. Selaku dosen penasihat
akademik yang selalu memberikan inspirasi dan motivasi penuh kepada
penulis, sehingga penulis mampu menyelesaikan karya ilmiah ini dengan
baik.
4. Bapak Dr. H. Ahmad Mukri Aji, MA dan bapak H. Ahmad Bisyri Abdul
Shomad, MA. Selaku dosen pembimbing dalam penulisan skripsi ini, yang
telah memberikan banyak masukan dan arahan kepada penulis. Serta
ikhlas meluangkan waktunya untuk membimbing, memberikan arahan dan
masukan yang membangun kepada penulis dalam penulisan karya ilmiah
vi
ini. Semoga apa yang telah diberikan dapat bermanfaat dan mendapat
ganjaran dari Allah SWT. Amin Ya Rabbal ‘Alamin.
5. Ibu Masyrofah, M.Si sebagai penguji I dan bapak Nurrohim Yunus, L.L.M
sebagai penguji II, penulis ucapkan terima kasih atas perbaikan dan saran-
saran yang membangun atas karya ilmiah ini.
6. Pimpinan, Staf Perpustakaan Umum dan Perpustakaan Fakultas Syari’ah
dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang
telah memberikan fasilitas bagi penulis untuk mengadakan studi
kepustakaan.
7. Seluruh civitas akademika Fakultas Syariáh dan Hukum yang tidak bisa
saya sebutkan satu persatu, Terima kasih telah membantu pemahaman
penulis selama masa perkuliahan.
8. Kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) , Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi
DKI Jakarta, yang telah meluangkan waktu dan mengizinkan, serta
memberi kemudahan penulis untuk melakukan penelitian dalam karya
ilmiah ini.
9. Kepada orang tua penulis, ayahanda Achmadi Djunaidi dan ibunda
Noerma’rifah serta seluruh keluarga penulis, terima kasih atas do’a,
dukungan serta motivasinya baik secara moril dan materil. Dengan do’a
yang kalian panjatkan akhirnya penulisan skripsi ini dapat selesai dengan
baik.
10. Kawan-kawan Ikatan Keluarga Besar dan Alumni Pesantren Ummul Quro
Al-Islami (IKAPMI UIN Jakarta). Terima kasih telah menjadi rumah dan
keluarga kedua bagi penulis di Ciputat, serta memberikan semangat
kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini. Dari kalian penulis belajar
arti persaudaraan. Semoga Allah SWT mengizinkan semua mimpi-mimpi
kita menjadi nyata, dan semoga kita dipertemukan kembali di lain tempat
dan suasana yang berbeda. Amin ya Rabbal ‘Alamin.
11. Sahabat-Sahabat IKAPMI UIN Jakarta angkatan 14, Nugroho Condro
Puspito, M. Rutby Aliyyudin, M. Nurrisky, Taufan el-Hafidz, Ade
vii
Suhanda, Iqbal Maulana dan lainnya. Terima kasih telah menjadi teman
hidup dan teman seperjuangan di Ciputat. Semoga senantiasa dalam
perlindungan Allah SWT. Amin ya Rabbal ‘Alamin.
12. Kawan-kawan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) khususnya Komisariat
Fakultas Syari’ah dan Hukum dan umumnya HMI se-cabang Ciputat, yang
telah mengajarkan berproses, militansi, solidaritas yang tinggi terhadap
organisasi dan sesama. Semoga semakin solid dan apa yang kita cita-
citakan dapat terwujud..Yakin Usaha Sampai !
13. Kawan-kawan Himpunan Mahasiswa Islam Prodi Perbandingan Mazhab
dan Hukum (HMI-PMH), Kakanda Imam Mufakkir, Kakanda Alan
Novandi, Kakanda Abdul Gopur, Kakanda Moh. Basri, Murtadhi A.
Ningrat dan lain-lain. Terima kasih sudah menjadi kawan berjuang dan
berproses di HMI Komfaksy Cabang Ciputat. Tak lupa juga adinda Prima
N. Ningrum, terima kasih atas motivasi dan semangatnya kepada penulis
dalam proses penyelesaian karya ilmiah ini.
14. Kawan-kawan Lembaga Kajian Comparative Law Studies Community
(CLC) , terima kasih sudah menjadi kawan dan wadah dalam mengasah
intelektual di bidang perbandingan hukum. Semoga CLC tetap konsisten,
makin berkembang ke arah yang lebih baik lagi.
15. Rekan-rekan pengurus khususnya pengurus Pimpinan Cabang Ikatan
Pelajar Nahdlatul Ulama Kota Administrasi Jakarta Utara (PC IPNU
Jakarta Utara), umumnya Pimpinan wilayah Ikatan Pelajar Nahdlatul
Ulama Provinsi DKI Jakarta (PW IPNU DKI Jakarta). Terima kasih atas
kebersamaannya selama ini. Semoga apa yang kita hajatkan dan
perjuangkan mendapat ganjaran oleh Allah SWT. Amin Ya Rabbal
‘Alamin.
16. Pengurus dan Badan Otonom Nahdlatul Ulama Jakarta Utara, Ketua
Tanfidziyah Ayahanda KH. Ali Mahfud, MA beserta jajarannya. Terima
kasih atas ilmu dan pengetahuan yang telah diberikan kepada penulis
dalam membangun ukhuwah Islamiyah, ukhuwah basyariyah dan ukhuwah
viii
wathaniyah. Semoga senantiasa dilimpahkan ridho dan keberkahan oleh
Allah SWT. Amin Ya Rabbal ‘Alamin.
17. Kepada kawan-kawan Dewan Eksekutif Mahasiswa UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta (DEMA UIN Jakarta), Dewan Eksekutif Mahasiswa
Fakultas Syari’ah dan Hukum (DEMA FSH), Senat Mahasiswa Fakultas
Syari’ah dan Hukum (SEMA FSH), dan Himpunan Mahasiswa Program
Studi Perbandingan Madzhab. Terima kasih telah menjadi wadah
berproses untuk penulis. Semoga kita senantiasa diberi keberkahan oleh
Allah SWT. Amiin Ya Rabbal A’lamin.
18. Kelompok KKN 051 (KKN Sahabat), Adicha Syahada Amri, Putri Nurani,
Reny Nur’aini, Najahatul A’laliyah, Atthiya Prima Sari, Taufikurrahman,
Aldo Serena, Lukman Kholil Ahmad, Siti Aam Fitriyah, Muhammad
Fakhry, dan Masyarakat Desa Barengkok, Jasinga, Bogor. Terima kasih
telah memberikan kesan dan persahabatan kepada penulis. Semoga kita
dapat berkumpul kembali dan berbagi canda dan tawa bersama di lain
waktu.
19. Kepada kawan-kawan penulis, Luqman Arya Yudhatama, Adeb Davega
Prasna, Heri Safrijal, Ika Tri Mustika, Nabila Salsabila, Fikri Nurhadi dan
seluruh teman-teman Perbandingan Mazhab dan Hukum angkatan 2013
lainnya, tanpa mengurangi rasa terima kasih penulis atas kebersamaan,
do’a dan dukungannya selama penulis menyelesaikan karya ilmiah ini.
Semoga kita semua menjadi orang yang bermanfaat bagi masyarakat,
agama dan bangsa.
20. Dan seluruh pihak yang telah membantu penulis sejauh ini yang tidak
dapat penulis sebutkan satu persatu, semoga senantiasa dalam
perlindungan dan keberkahan dari Allah SWT.
Demikian penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dan mohon
maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang terdapat dalam penulisan skripsi
ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan bagi para
pembaca pada umumnya.
ix
Dream as if you’ll Live forever
Live as if you’ll die today
Billahi Taufiq wal Hidayah.
Wallahul Muwafiq ilaa Aqwamith Thoriq.
Jakarta, 27 Desember 2017
Penulis,
Khoirur Rizqy At-Tamami
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .......................................................................... .................
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................... ............. i
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................ ............. ii
LEMBAR PERNYATAAN ............................................................... ............ iii
ABSTRAK .......................................................................................... ............ iv
KATA PENGANTAR ........................................................................ ............ v
DAFTAR ISI ...................................................................................... ............. x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .............................................................. 1
B. Identifikasi Masalah .................................................................... 5
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ........................................... 5
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................... 6
E. Review Kajian Terdahulu ............................................................ 7
F. Metode dan Teknik Penelitian ..................................................... 8
G. Sistematika Pembahasan ............................................................ 10
BAB II DISKURSUS TEORI IMUNITAS
A. Imunitas dalam hukum Internasional ......................................... 12
B. Imunitas dalam Hukum Islam .................................................... 16
C. Jenis-Jenis Imunitas .................................................................. 18
D. Doktrin-Doktrin Imunitas .......................................................... 25
xi
BAB III HAK IMUNITAS ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
REPUBLIK INDONESIA MENURUT UNDANG-UNDANG
NOMOR 17 TAHUN 2014
A. Diskursus Tentang Dewan Perwakilan Rakyat ........................... 28
B. Pengertian Hak Imunitas Anggota DPR ..................................... 37
C. Batasan Hak Imunitas Anggota DPR ......................................... 40
D. Penerapan Hak Imunitas Anggota DPR ..................................... 42
E. Implementasi Hak Imunitas Anggota DPR ................................ 47
F. Sanksi Penyalahgunaan Hak Imunitas Anggota DPR ................. 49
BAB IV ANALISIS KOMPARATIF HAK IMUNITAS ANGGOTA
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 DAN
HUKUM ISLAM
A. Analisis Hak Imunitas Anggota DPR Menurut Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2014 .............................................................. 52
B. Analisis Hak Imunitas Anggota DPR Menurut Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2014 Perspektif Hukum Islam ........................ 58
C. Persamaan dan Perbedaan Hak Imunitas Anggota DPR Menurut
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 dan Hukum Islam ....... 66
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................... 70
B. Saran ......................................................................................... 71
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 72
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada dasarnya negara bertindak melalui pejabat dan perwakilannya,
karena negara merupakan satu kesatuan hukum yang abstrak dan tidak dapat
melakukan tindakan-tindakan yang nyata. Tindakan-tindakan tersebut
dilaksanakan oleh pemerintah yaitu pemerintah negara yang terorganisir
menjalankan kekuasaan di wilayah negara tersebut.
Pemerintahan merupakan kekuasaan atau kewenangan yang dipegang oleh
seorang atau sekumpulan orang yang mewakili kepentingan daripada penduduk
dan wilayah Negara berdasarkan ketentuan hukum negara tersebut. Melalui
pemerintahnya suatu negara membentuk dan menegakkan hukum serta memiliki
kekuasaan (power) untuk melaksanakan tanggung jawab negara. Bentuk
pemerintahan dari suatu negara ditentukan oleh penduduknya, apakah itu
berbentuk republik, kerajaan atau bentuk lainnya yang dikehendaki oleh
rakyatnya.1
Hak imunitas atau kekebalan memiliki makna bahwa seorang pejabat
negara terutama kepala negara maupun pemerintahan dalam suatu pemerintahan
sebuah negara dapat menikmati inviobility dan immunity. Inviobility diartikan
sebagai kekebalan terhadap alat-alat kekuasaan negara dan kekebalan terhadap
segala gangguan yang merugikan, sedangkan immunity diartikan bahwa pejabat
Negara tersebut kebal terhadap yurisdiksi negara, baik yang bersifat pidana,
perdata, maupun administratif.2
Hal ini khusus bagi kepala negara atau pejabat pemerintahan, dikarenakan
seorang kepala negara ataupun pemerintahan itu sendiri adalah simbol dari
1 Huala Adolf, Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional (Jakarta: PT. Raja
GrafindoPersada, 2002, Edisi Revisi), h,. 5 2 Ibid
2
kedaulatan negaranya. Akan tetapi seperti halnya asas-asas yang berlaku, hak
imunitas juga mengalami perkembangan mengenai eksistensi dan fungsinya.
Kekebalan hukum yang dinikmati oleh para pejabat negara merupakan
bagian dari kebebasan untuk bertindak oleh pemerintah negara. Kekebalan
diberikan oleh pemerintah negara dengan maksud agar pejabat tersebut dapat
melaksanakan kewajiban-kewajibannya dengan bebas. Kebebasan ini merupakan
isyarat agar sang pejabat tidak selalu bergantung pada good will pemerintah
negara karena ketergantungan tersebut dapat berdampak buruk bagi kelancaran
pelaksanaan tugas, khususnya dalam suatu pengambilan keputusan.3 Namun
kekebalan hukum ini tidak berfungsi jika dalam pelanggaran hukum yang
diperbuat oleh pejabat tersebut hanya untuk kepentingan atau golongan tertentu
bukan untuk kepentingan negara.
Penerapan hak imunitas negara diatur menurut hukum nasional negara dari
ketentuan hukum yang menyatakan kewenangannya terhadap tindakan negara di
wilayahnya. Seperti halnya di Negara Kesatuan Republik Indonesia terdapat
lembaga-lembaga tertentu yang berdasarkan undang-undang mengatur mengenai
tugas dan wewenang pejabat negara, salah satunya ialah Undang-Undang Nomor
17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(MD3).
Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tertera bahwasanya
anggota DPR RI mempunyai hak imunitas tidak dapat dituntut didepan pengadilan
karena, pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik
secara lisan maupun tertulis didalam rapat parlemen maupun diluar rapat
parlemen yang berkaitan dengan fungsi sertatugas dan kewenangan anggota DPR,
berdasarkan pemaparan tersebut dapat diketahui bahwa selama seorang anggota
DPR mengemukakan pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang
dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis sepanjang dalam rapat
parlemen maupun diluar rapat parlemen, serta berkaitan eratdengan fungsi serta
3 Sumaryo Suryokusumo, Hukum Diplomatik dan Kasus (Bandung : PT Alumni, 1995),
h., 56
3
tugas dan kewenangan anggotaDPR tidak dapat dituntut didepan pengadilan, dan
inilah yang selanjutnya disebut hak imunitas.4
Keberlakuan hak imunitas bagi anggota DPR yang didasarkan pada
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 dalam kenyataannya menimbulkan pro
kontra, terutama dalam implementasinya menyebabkan perlu adanya kajian ulang
terhadap konsep sesungguhnya dari imunitas ini. Kontra yang muncul di
masyarakat yaitu, pertama merujuk kepada kenyataan akan ketakutaan munculnya
sikap dan perilaku yang tidak wajar dalam hal ini merasa kebal hukum dari para
anggota DPR saat menjalankan tugasnya. Kedua, urgensitas eksistensi hak
imunitas bagi pejabat negara terutama anggota DPR patut dipertanyakan lagi soal
kesahihan landasan pemberlakuan imunitas ketika dihadapkan pada persoalan
fundamental yaitu persamaan hak bagi setiap warga negara di hadapan hukum.
Apalagi anggota DPR seringkali disorot publik karena terlibat masalah-masalah
hukum dan politik sehingga citra anggota DPR di mata publik pun kurang baik.
Oleh karena itu, diperlukan pengkajian kembali untuk mencari pembenaran
daripada keberadaan asas imunitas yang dimaksud. Hal ini akan menghadirkan
pemahaman yang lebih baik terhadap nilai penting dari imunitas hukum ini yang
sesungguhnya telah diakui sejak lama penerapannya dalam negara.
Adapun dalam syari’at Islam menjamin adanya hak kebebasan berpikir,
berkreasi dan menyatakan pendapat dengan syarat hak tersebut digunakan untuk
menyebarkan kebaikan dan bukan untuk keburukan. Bahkan berpendapat tidak
hanya semata-mata hak. melainkan juga suatu kewajiban. Oleh karena itu
kebebasan berpendapat harus didasarkan dengan tanggung jawab dan tidak
mengganggu ketertiban umum atau menimbulkan permusuhan diantara manusia
sendiri. Dengan kata lain, anggota DPR atau Ahlu al- Halli wa al-Aqdi tidak bisa
sepenuhnya menyampaikan pendapat sesuai dengan kehendaknya.5
Kemudian Islam juga menjamin hak seseorang untuk menyampaikan
kebenaran selama tidak bertentangan dengan norma-norma yang berlaku.
Kebebasan menyampaikan kebenaran harus dimanfaatkan untuk tujuan
4 Tutik. Titik Triwulan, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen
UUD 1945, (Jakarta : Kencana : 2011), h., 195 5 Farid Abdul Kholiq, Fikih Politik Islam(Jakarta : Sinar Grafika, 2005), h., 80
4
mensyiarkan kebaikan tidak untuk menyebarkan keburukan dan kezhaliman.
Maka dari itu hak imunitas anggota DPR RI menurut Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2014 sepintas menurut penulis memiliki unsur yang sama dengan hukum
Islam yang menjamin dalam kebebasan berpendapat dan menyampaikan
kebenaran.
Berdasarkan uraian di atas, penulis mempertanyakan bahwa apakah benar
hak imunitas anggota DPR telah sesuai dengan hukum Islam yang menjamin hak
dan kebebasan untuk berpendapat dan menyampaikan kebenaran ? Hal ini sudah
selayaknya untuk dikaji secara mendalam dan komprehensif. Untuk itu, penulis
sangat tertarik untuk melakukan penelitian dan menuangkannya dalam bentuk
skripsi yang berjudul :
“Hak Imunitas Anggota DewanPerwakilan Rakyat Republik Indonesia : Studi
Komparatif Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 dan Hukum Islam”
5
B. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang di atas, terdapat beberapa permasalahan yang dapat
penulis identifikasikan dalam hal ini, sebagai berikut :
1. Konsep hak imunitas dalam hukum internasional
2. Konsep hak imunitas dalam hukum Islam
3. Pengertian hak imunitas anggota DPR RI
4. Konsep hak imunitas anggota DPR RI dalam Undang-Undang Nomor
17 Tahun 2014
5. Konsep hak imunitas anggota DPR RI dalam Undang-Undang Nomor
17 Tahun 2014 dalam perspektif hukum Islam
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Sehubungan dengan banyaknya permasalahan yang timbul dalam
penelitian ini, maka penulis perlu membatasi masalahnya. Hal ini dimaksud
supaya pembahasannya tidak terlalu melebar dan sesuai sasaran. Maka dalam
penelitian ini penulis membatasi permasalahannya pada hak imunitas anggota
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) studi komparatif Undang-Undang No. 17 tahun
2014 dan hukum Islam.
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah :
1. Bagaimana hak imunitas anggota DPR RI dalam Undang-Undang Nomor
17 Tahun 2014?
2. Bagaimana hak imunitas anggota DPR RIdalam Undang-Undang Nomor
17 Tahun 2014 dalam perspektif hukum Islam?
3. Apa persamaan dan keterkaitan hak imunitas anggota DPR RI menurut
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 dan hukum Islam?
6
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1) Tujuan Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, ada beberapa tujuan yang hendak
dicapai oleh penulis, dan tujuan yang dimaksud adalah :
1. Secara khusus, yaitu memenuhi persyaratan formalitas dalam
mendapatkan gelar akademik Sarjana Hukum strata I Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Secara umum :
- Untuk menjelaskan definisi hak imunitas yang dimiliki
anggota DPRRI menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2014
- Untuk mengidentifikasi hak imunitas anggota DPR RI
dalam perspektif hukum Islam.
- Untuk memperbandingkan bagaimana persamaan dan
keterkaitan hak imunitas anggota DPR RI menurut Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2014 dalam perpektif hukum
Islam.
2) Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah :
1. Manfaat Akademis. Penelitian ini diharapkan bermanfaat
menambah wawasan dan pengetahuan dalam memahami penerapan
hak imunitasmenurut hukum Islam dan hukum positif di Indonesia.
Kemudian menambah literatur perpustakaan khususnya dalam
bidang perbandingan mazhab dan hukum.
2. Manfaat Praktis. Selain untuk meningkatkan pengetahuan dan
memperluas wawasan penulis sendiri, serta diharapkan penelitian
ini dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada penegak
hukum dan masyarakat mengenai hak imunitas yang dimiliki
anggota DPR RI menurut pandangan hukum Islam dan hukum
positif di Indonesia.
7
E. Review Kajian Terdahulu
Untuk mengetahui kajian terdahulu yang sudah pernah ditulis dan dibahas
oleh penulis lainnya, maka penulis me-review beberapa skripsi dan karya tulis
terdahulu yang pembahasannya hampir sama dengan pembahasan yang penulis
angkat.
Dalam hal ini penulis menemukan beberapa skripsidan karya tulis
terdahulu, yaitu :
1. Skripsi yang berjudul Analisis Terhadap Hak Imunitas Anggota DPR
Menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR,
DPD dan DPRD Ditinjau dari Prinsip Negara Hukum yang ditulis oleh
Quartas Ivan Raharjo Putra.6Skripsi tersebut hanya berkutat dalam hukum
positif saja. Sementara dalam kajian ini, penulis membahas mengenai Hak
Imunitas anggota DPR studi komparatif Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2014 dan hukum islam.
2. Skripsi yang berjudul Hak Imunitas Kepala Negara di Hadapan
Pengadilan Internasional Ditinjau Dari Segi Hukum Internasional (Studi
Kasus Omar Al-Bashir) yang ditulis oleh Muhammad Larry Izmi.7 Dalam
Skripsi ini, Muhammad Larry Izmi menjelaskan mengenai hak imunitas
yang dimiliki oleh pejabat negara menurut hukum internasional studi
kasus Omar Al-Bashir, seorang Presiden Sudan yang tertuduh oleh Jaksa
ICC (International Criminal Court) telah melakukan kejahatan genosida,
kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang di Sudan.
Muhammad larry menjelaskan kasus tersebut sebagai objek penelitian
dalam skripsinya. Sedangkan dalam skripsi ini, penulis ingin menganalisis
mengenai kedudukan hak Imunitas anggota DPR studi komparatif
Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 dalam dan hukum Islam.
6 Quartas Ivan Rahajo Putra, Analisis Terhadap hak Imunitas Anggota DPR Menurut
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD Ditinjau dari
Prinsip Negara Hukum, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Surakarta,
2015 7 Muhammad Larry Izmi, Hak Imunitas Kepala Negara di Hadapan Pengadilan
Internasional Ditinjau Dari Segi Hukum Internasional (Studi Kasus Omar Al-Bashir, Fakultas
Hukum Universitas Gajah Mada, Yogyakarta 2009
8
3. Skripsi yang berjudul Hak Imunitas Anggota DPR Dalam Pasal 224
Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 Perspektif Hukum Islam yang ditulis
oleh Nurul Faristin Hesti Febrianty.8 Dalam skripsi ini, Nurul Faristin
hanya membahas hak imunitas anggota DPR secara global dan kurang
menekankan serta melakukan spesifik mengenai imunitas yang dimiliki
oleh anggota DPR. Sementara dalam kajian ini, penulis secara khusus
memfokuskan kepada hak imunitas yang dimiliki oleh anggota DPR RI
berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 dan hukum Islam.
F. Metode dan Teknik Penelitian
Untuk penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian hukum
normatif dengan pendekatan kualitatif, yakni merupakan suatu strategi inquiry
yang menekankan pencarian makna, pengertian, konsep, karakteristik, gejala,
simbol, maupun deskripsi tentang suatu fenomena; fokus dan multimetode,
bersifat alami dan holistik, mengutamakan kualitas, menggunakan beberapa cara,
serta disajikan secara naratif.9
1. Jenis Penelitian
Dalam menghimpun bahan yang dijadikan skripsi dalam penelitian ini
penulis menggunakan jenis penelitian hukum normatif (asas hukum) yang
meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan system norma. System norma yang
dimaksud adalah asas-asas, norma, kaidah dari peraturan perundang-undangan,
putusan pengadilan, perjanjian serta doktrin10
. Sesuai dengan karakteristik
kajiannya, maka penelitian ini menggunakan metode library research (kajian
kepustakaan) dengan pendekatan kualitatif. Dalam penelitian ini juga
menggunakan pendekatan perbandingan11
, yang dalam penelitian ini penulis
8 Nurul Faristin Hesti Febrianty, Hak Imunitas Anggota DPR Dalam Pasal 224 Undang-
Undang No. 17 Tahun 2014 Perspektif Hukum Islam, Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya 2016 9 A. Muri Yusuf, Metode Penelitian; Kuantitatif, Kualitatif dan Penelitian Gabungan,
(Jakarta, Kencana Prenada Media, 2014), h., 329 10 Fahmi M. Ahmadi, dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum (Ciputat: Lembaga
Penelitian UIN Jakarta, 2010), h.,31. 11 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta:Kencana Prenada Media, 2014),
h., 172
9
membandingkan antara hukum positif yaitu Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2014 dengan hukum Islam.
2. Sumber Data
Sumber-sumber penelitian terdiri dari dua sumber diantaranya adalah
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer
merupakan datayang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan
hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah
dalam pembuatan perundang-undangan. Adapun bahan hukum sekunder berupa
semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi,
publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-
jurnal hukum.12
Selain itu untuk memperoleh bahan hukum sekunder penulis
melakukan beberapa pendekatan yang meliputi :
a. Pendekatan Perundang-Undangan (Statute approach)
Pendekatan perundang-undangan adalah adanya peraturan perundang-
undangan mengenai atau yang berkaitan dengan isu tersebut. Perundang-
undangan dalam hal ini meliputi baik yang berupa legislation maupun regulation.
Oleh karena itulah untuk memecahkan suatu isu hukum, mungkin harus
menelusuri sekian banyak berbagai produk peraturan perundang-undangan.
b. Pendekatan Historis
Pendekatan Historis yaitu mengumpulkan sumber-sumber data seperti
peraturan perundang-undangan, dan buku-buku hukum dari waktu ke waktu dan
bahan bahan yang dikumpulkan harus mempunyai relevansi dengan isu yang akan
dipecahkan.
3. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dapat
mengumpulkan aturan perundang-undangan atau putusan-putusan pengadilan
yang berkaitan dengan masalah tersebut. Tetapi yang lebih esensial adalah
penelusuran buku-buku hukum , karena di dalam buku itulah banyak terkandung
konsep-konsep hukum.
12 Subagyo Joko, Metodologi Penelitian, Dalam Teori Dan Praktek ,(Jakarta : Rineka
Cipta, 2011),h.,141.
10
4. Analisis Data
Data-data yang diperoleh dari hasil penelitian kemudian diklasifikasi.
Setelah itu penulis menganalisis dengan menggunakan metode kualitatif, yaitu
menggunakan penafsiran hukum, penalaran hukum dan argumentasi rasional.
Kemudian data tersebut penulis paparkan dalam bentuk narasi sehingga menjadi
kalimat yang jelas dan dapat dipahami.13
5. Teknik Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini penulis merujuk pada buku Pedoman
Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta 2017.
G. Sistematika Pembahasan
Skripsi ini terdiri dari lima bab, masing-masing bab mempunyai sub bab
sebaagaimana standar pembuatan skripsi. Secara Sistematis bab-bab tersebut
terdiri dari :
BAB I Merupakan pendahuluan, yang membahas materi yang terdapat
pada latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, study
review terdahulu, dan sistematika pembahasan
BAB II Membahas diskursus teori imunitas, bab ini merupakan kajian
teori dari beberapa literatur. Secara sistematik menguraikan bab
ini meliputi imunitas dalam hukum internasional, imunitas dalam
hukum Islam, jenis-jenis imunitas, dan doktrin-doktrin imunitas.
BAB III Berjudul hak imunitas anggota DPRmenurut Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2014. Uraian pada bab ini meliputi tinjauan
umum Dewan Perwakilan Rakyat, pengertian hak imunitas
anggota DPR, batasan hak imunitas anggota DPR serta penerapan
dan sanksi hak imunitas anggota DPR.
13 A. Muri Yusuf, Metode Penelitian ; Kuantitatif, Kualitatif dan Penelitian Gabungan,
(Jakarta, Kencana Prenada Media, 2014) h., 400
11
BAB IV Berjudul analisis komparatif hak imunitas anggota DPR menurut
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 dalam perspektif hukum
Islam. Bab ini membahas analisis hak Imunitas Anggota DPR
dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2014, analisis hak imunitas
anggota DPR menurut Undang-Undang Nomor 17 tahun 2014
dalam perspektif hukum Islam, persamaan dan perbedaan hak
imunitas anggota DPR menurut Undang-Undang Nomor 17 tahun
2014 dan hukum Islam.
BAB V Merupakan penutup yang berisi tentang kesimpulan yang
menjawab rumusan masalah dan saran yang berguna untuk
perbaikan di masa yang akan datang.
12
BAB II
DISKURSUS TEORI IMUNITAS
A. Imunitas Dalam Hukum Internasional
Konsep imunitas pertama kali lahir dari pandangan akan teritorialitas
negara dengan kekuasaan. Negara memiliki kewenangan hukum terhadap setiap
permasalahan pemidanaan (criminal matters) dan keperdataan (civil matters) yang
meliputi seluruh wilayahnya.1
Istilah imunitas berasal dari bahasa Inggris yaitu “Immunity” yang
mempunyai arti kekebalan. Kekebalan berasal dari kata kebal yang dalam bidang
hukum artinya tidak dapat dituntut.2
Dalam hukum internasional dijelaskan bahwa imunitas di suatu negara
berkaitan dengan ketentuan-ketentuan hukum dan prinsip-prinsip hukum yang
menentukan kondisi-kondisi di mana suatu negara asing dapat meminta
pembebasan yurisdiksi (wewenang legislatif, yudisial, dan administratif) dari
negara lainnya (seringkali disebut dengan istilah “forum stat)”.3
Ensiklopedia Nasional Indonesia, disebutkan imunitas menggunakan
istilah hak kekebalan. Di sini secara etimologi mempunyai 2 (dua) pengertian.
Pertama, kekebalan diplomatik terhadap alat-alat kekuasaan negara penerima.
Kedua, perlindungan khusus terhadap pelanggaran pihak yurisdiksi hukum pidana
dan yurisdiksi hukum perdata. Adapun hak kekebalan mengandung dua
pengertian, yaitu inviobility right dan immunity right. Dalam pengertian
invionbility right, hak ini berarti : 1) kekebalan diplomatik terhadap alat-alat
kekuasaan negara penerima, dan 2) perlindungan khusus terhadap pihak swasta.
1 Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, (Bandung : Bina Cipta, 1976),
h., 95. 2 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta : PT. Balai Pustaka,
1976, Cet. Kelima), h., 455. 3 Huala Adolf, Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional, (Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada, 2002, Edisi Revisi), h., 184-185
13
Sedangkan dalam pengertian immunity right adalah kekebalan terhadap yurisdiksi
hukum pidana dan yurisdiksi hukum perdata.4
Selanjutnya imunitas atau immunity dikenal sebagai aturan-aturan dan
prinsip-prinsip hukum mengenai hak-hak yang dimiliki oleh kategori orang-orang
atau badan-badan tertentu, yang berdasarkan hukum internasional memperoleh
kekebalan atau dikecualikan dari yurisdiksi suatu negara. Menurut James R. Fox,
(seorang ahli hukum dari Amerika) dalam buku Dictionary of International and
Comparative Law, imunitas adalah kebebasan dari kontrol luar hak yang telah ada
dan dimiliki oleh setiap negara berdaulat dari proses hukum atau aspek-aspek
lainnya dari yurisdiksi teritorial negara.5
Menurut Helmut Steinberger, seorang pakar hukum dari Jerman
berpendapat bahwa imunitas merupakan asas-asas dan kaidah hukum mengenai
hak suatu negara untuk menyatakan bebas, menangguhkan atau menolak
yurisdiksi negara lain baik terhadap ketentuan hukum nasionalnya maupun
putusan pengadilannya. Yurisdiksi negara merupakan kekuasaan negara untuk
memberlakukan hukum di wilayahnya baik dalam hal pembentukan hukum,
kewenangan mengadili menurut hukum nasionalnya dan kekuasaan untuk
menegakkan hukum di wilayahnya.6
Dalam diskursus pembahasan imunitas, menurut para ahli hukum yang
membahas bidang ini, bahwa kedaulatan suatu negara dan perbuatan-perbuatan
negara tersebut termasuk perbuatan hukum. Kaitan daripada imunitas negara dan
kedaulatan negara adalah suatu negara semenjak merdeka dan memiliki
kedaulatannya tidak dapat diadili diatas perbuatannya di negara lain. Imunitas
kedaulatan negara bermakna bahwa suatu negara berdaulat memiliki kekuasaan
penuh untuk menjalankan kehidupan negaranya, sehingga kekuasaan demikian
harus dihormati setiap negara lainnya yang juga memiliki kekuasaan tersebut.7
4 Ensiklopedi Nasional Indonesia,(Jakarta : Cipta Adi Pustaka, 1989, Jilid VI), h., 304. 5 Lihat tulisan Doro Ringo, Imunitas Negara, dapat dibaca dalam artikel
(www.academia.edu/5047144/Imunitas_Negara). 6 Ibid.
7 Dikdik M, Arief Mansur, Hak Imunitas Aparat Polri Dalam Penanggulangan Tindak
Pidana Terorisme, (Jakarta : Pensil-324, 2012), h., 51
14
Pandangan tersebut secara tegas telah memberikan gambaran mengenai
imunitas atau kekebalan dalam suatu negara bahwa negara dasarnya tidak dapat
dituntut atau diadili di pengadilan negara lain. Hal ini dikarenakan suatu negara
semenjak merdeka, memiliki kekuasaan penuh atas wilayahnya (kedaulatan) tidak
ada kekuasaan lain diatasnya atau setara di wilayahnya yang dijalankan oleh
pemerintahannya. Kemerdekaan dan kedaulatan negara tersebut bersifat mutlak.
Adapun dasar hukum dari persamaan kedaulatan dan kedudukan negara
dapat ditemukan dalam Pasal 1 ayat (2) Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa
mengenai tujuan organisasi ini yaitu, untuk memajukan hubungan persahabatan
antar bangsa-bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri. Pasal 2 ayat (1) lebih
lanjut menyatakan bahwa organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa ini berlandaskan
asas-asas persamaan kedaulatan dari semua anggota-anggotanya.8
Selain itu, dalam Konvensi Wina Tahun 1961 juga menjelaskan mengenai
ketentuan-ketentuan imunitas. Hal tersebut termaktub dalam Pasal 39 ayat (1)
yang berbunyi:9
“Every Person entitled to previlleges enjoy them from the moment he
enters the territory of the receiving State on proceeding to take up his post, or if
already in its territory, from the moment when his appointment is notified to the
Ministry for Forreign Affairs or such other ministry as may be agreed.”
Penjelasan dari isi Pasal tersebut adalah setiap orang berhak atas hak
istimewa dan menikmati kekebalan (immunities) dari saat dia memasuki wilayah
negara penerima dan melanjutkan untuk mengambil pos itu, atau jika sudah dalam
wilayah, berdasarkan persetujuanyang kemudian disepakati oleh Departemen Luar
Negeri negara lain atau departemen yang akan disepakati. Hak istimewa dan
kekebalan akan tetap berlangsung sampai perwakilan dari suatu negara
melaksanakan tugas dan urusannya di wilayah negara penerima.10
8 Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia (Jakarta : Bina Cipta, 1998),
h., 141 9 Konvensi Wina Tahun 1961. Konvensi ini berisi perjanjian hubungan diplomatik oleh
beberapa negara di kawasan Eropa. Konvensi ini terdiri dari 53 pasal yang meliputi semua aspek
penting dari hubungan diplomatik, salah satunya yaitu mengenai kedaulatan negara dan imunitas
negara. 10 J.G Starke, Pengantar Hukum Internasional, (Jakarta : Sinar Grafika, 2007), h., 55.
15
Secara praktek penerapan kekebalan hukum ini diberikan kepada pejabat
negara dan pemerintahan, karena pejabat negara merupakan representasi dari
negara itu sendiri yang kemerdekaan dan kedaulatannya dijamin oleh hukum
internasional. Negara yang dimaksud memiliki hak khusus (previlege) yang juga
dijamin hukum. Kekebalan tersebut merupakan suatu hak istimewa yang
diberikan kepada pejabat pemerintahan dengan alasan bahwa para abdi negara
yang diberi tugas untuk memberikan pelayaanan yang sebaik-baiknya kepada
masyarakat layak mendapatkannya. Hal ini seringkali dalam merumuskan dan
melaksanakan kebijakan yang dirasa bermanfaat bagi kepentingan masyarakat
umum, mereka dihadapkan suatu aturan hukum yang sulit untuk dilanggar
ketentuannya.11
Sejak dikenalnya konsep hubungan sosial di dalam sejarah kehidupan
manusia untuk mencapai tujuan memenuhi berbagai kebutuhan, perihal kekuasaan
negara terus mengalami perkembangan yang kontroversi, kompleks dan
diplomatis. Keadaan ini cukup tercermin dalam bentuk dualisme eksistensi
kekuasaan itu sendiri yaitu disatu sisi mempesona dan di lain sisi merupakan hal
yang menakutkan, inilah awal adanya kekebalan dan keistimewaan di era
masyarakat modern.12
Dari penjabaran diatas dapat ditarik sebuah kesimpulan yaitu, pada
prinsipnya imunitas atau kekebalan muncul dari paham kedaulatan negara di
hadapan hukum internasional. Negara berhak untuk merdeka dan bebas dari
gangguan atau intervensi dari pihak lain yang dapat mengancam kedaulatan
negara tersebut dan keberlangsungan hidup warga negaranya.
Pada pelaksanaannya, imunitas pertama kali diterapkan dalam praktek
hubungan internasional antar negara. Namun seiring berkembangnya zaman dan
dinamisasi hukum, imunitas diperluas penerapannya. Dengan kata lain imunitas
tak hanya untuk urusan diplomatik saja, akan tetapi juga urusan-urusan internal di
wilayah nasionalnya seperti lembaga-lembaga pemerintahan yang sudah diberi
11 J.C.T Simorangkir, Hukum dan Konstitusi Indonesia, (Jakarta : Gunung Agung, 1983),
h., 35. 12 Frans Magnis Suseno, Kuasa Moral, (Jakarta : Gramedia, 1998). h. 1.
16
imunitas oleh peraturan perundang-undangannya untuk menjalankan roda
pemerintahan.
B. Imunitas Dalam Hukum Islam
Islam, sebagai agama universal, ajarannya mencakup seluruh sisi
kehidupan, termasuk perihal politik dan praktik bernegara. Dalam Islam, seluruh
sisi kehidupan semuanya saling bersinergi satu dengan yang lain. Apabila lepas
salah satu maka akan terjadi ketimpangan, sehingga orang akan melihat Islam
secara tidak utuh.
Negara Islam adalah negara yang berlandaskan aqidah dan pemikiran.
Suatu negara yang ditegakkan berdasarkan aqidah dan sistem. Bukan hanya
sebagai sarana keamanan masyarakat dari serangan luar maupun dalam. Bahkan
tugas negara tersebut jauh lebih berarti dan lebih besar dari itu. Tugasnya adalah
mendidik umat dengan berbagai ajaran dan prinsip Islam, menyiapkan situasi
yang cocok untuk mentransformasikan aqidah, pemikiran, dan ajaran Islam ke
dalam kehidupan praktis. Hal itu akan menjadi suri tauladan bagi mereka yang
mencari petunjuk dan bagi mereka yang menempuh jalan yang sesat.13
Negara Islam adalah negara konstitusional, atau negara yang berdasarkan
syari’at. Negara ini memiliki konstitusi sebagai landasan dan hukum sebagai
pedoman. Konstitusi negara Islam adalah berbagai prinsip dan hukum syariat
yang dibawa oleh Al-Qur’an dan dijelaskan oleh sunnah Rasulullah yang
berkaitan dengan aqidah, ibadah, moral, pergaulan sosial, hubungan: baik pribadi,
sipil kriminal, administrasi, konstitusi dan internasional.
Dalam kamus al-Maurid, imunitas terdiri dari beberapa kata, di antaranya
(االعفبء) al-I’faa, (االستئنبء) al-Isti’naa, (المنبعت) al-Munaa’ah, dan (الحصبنت) al-
Hashaanah yang memiliki arti “Immunity” atau kekebalan.14
Dalam konteks
hukum ketatanegaraan Islam, mayoritas ulama salah satunya Wahbah al-Zuhaili
lebih sepakat menggunakan istilah al-Hashaanah, seperti yang ditulis dalam
karyanya yaitu kitab Fiqh al- Islam wa Adillatuhu.
13 Yusuf al-Qaradhawi, Fiqih Negara, (Jakarta : Robbani Press, 1997), h., 23. 14
Munir Ba’albaki, Al-Mawrid a Modern English-Arabic Dictionary, (Beirut : Dar El-Ilm,
1992), h., 451.
17
Berkaitan dengan hal imunitas sebagaimana dijelaskan di atas, imunitas
dalam hukum ketatanegaraan Islam (Fiqih Siyasah) memiliki arti tersendiri,
dikarenakan fiqih siyasah terdapat ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi dan
sesuai dengan prinsip ajaran Islam yang terkandung di dalam Al-Qur’an dan
Sunnah. Akan tetapi secara substansi memiliki makna yang sama dengan hukum
konvensional.
Pada masa awal sejarah pemerintahan Islam konsep imunitas masih belum
dikenal, karena pada masa itu masih memperdebatkan pandangan bagaimana
hubungan antara agama dengan negara. Semuanya masih berpandangan organik
dimana agama mesti mengatur negara. Imunitas baru kemudian muncul ketika
memasuki era modernisasi barat yang juga mengantarkan pemikiran politik Islam
klasik ke arah politik Islam modern kontemporer.15
Pandangan seputar imunitas dalam hukum Islam pertama kali lahir dari
pengklasifikasian antara dar al-Islam, dan al-Daulah al-Islamiyah. Dar al-Islam
adalah sebuah negara Islam yang memiliki karakter lebih bertumpu pada
komponen materil, yaituwilayah teritorial. Adapun al-Daulah al-Islamiyahadalah
sebuah negara yang memiliki al-Siyaadah atau kedaulatan yang berdiri sendiri,
tidak tunduk kepada suatu kekuasaan lain, lepas dari individu-individu yang
memegang tampuk kekuasaan dan menjadi pemimpin di dalamnya.16
Menurut Wahbah al-Zuhaili di dalam kitab Fiqh al-Islam wa Adillatuhu,
yang dimaksud dengan kekebalan (al-Hashaanah) adalah menghormati
personalitas (Syakhshiyyah) suatu negara dan hal-hal yang menjadi bagian
darinya, tidak melakukan bentuk-bentuk gangguan terhadap salah satu
perwakilannya, tidak menundukkannya kepada yuridiksi negara-negara lain
(kekebalan yurisdiksional / kekebalan diplomatik), serta membebaskannya dari
pajak personal langsung.17
Wahbah al-Zuhaili mengemukakan bahwa dasar yang menjadi landasan
kekebalan atau imunitas adalah setiap negara dan pejabat pemerintahan memiliki
15 Sukron Kamil, Pemikiran Politik Islam Tematik, (Jakarta : PT. Kencana, 2013), h., 79. 16
Wahbah al-Zuhaili, Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, (Jakarta : Gema Insani, 2011, Jilid 8),
h., 517. 17 Ibid, h., 518.
18
kedaulatannya masing-masing. Istilah kekebalan sebenarnya sudah ada sejak
dahulu sebelum munculnya negara modern. Kekebalan tersebut bersandarkan
kepada etika dan tata cara kesopanan pergaulan (mujaamalah), namun ketika
memasuki modernisasi hukum, kekebalan berlandaskan kepada aturan-aturan
hukum internasional dan konvensi internasional.18
Berdasarkan penjelasan diatas, penulis menyimpulkan bahwaimunitas atau
kekebalan dalam hukum Islam memiliki definisi dan pengertian yang sama
dengan kajian hukum positif yaitu lahir dari prinsip saling menghormati yang
sesuai dengan ajaran Islam dan prinsip kedaulatan negara yang dijamin dalam
hukum internasional. Meskipun secara eksplisit tidak disebutkan secara tegas
dalam Al-Qur’an, namun secara substansi telah sesuai dengan ajaran Islam.
C. Jenis – Jenis Imunitas
Dalam kaitannya dengan personalitas hukum dan pengakuan, subjek
hukum internasional menikmati semacam keistimewaan atau hak-hak tertentu,
baik dari hukum nasional maupun hukum internasional. Keistimewaan tersebut
salah satunya adalah imunitas terhadap proses hukum dari pengadilan dalam
negeri maupun luar negeri yang dinikmati oleh negara dan organisasi
internasional. Hak imunitas tersebut terdiri dari dari imunitas negara dan imunitas
pejabat negara.19
1. Imunitas Negara
Imunitas negara (state immunity) atau dapat pula disebut juga dengan
imunitas kedaulatan negara (sovereign state immunity) merupakan salah satu
bentuk perlindungan bagi sebuah negara terhadap segala tuntutan hukum di-
negara lain. Ketentuan hukum dari bidang ini berkaitan dengan proses hukum
yang terjadi di negara lain dan bukan di pengadilan nasional sebuah negara. Hal
ini dikarenakan bahwa suatu negara tidak dapat diadili di negaranya sendiri dan di
negara lain. Selain itu, bidang ini juga merupakan perkembangan dari pandangan
18 Wahbah al-Zuhaili, Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, h., 519. 19
Dikdik M, Arief Mansur, Hak Imunitas Aparat Polri Dalam Penanggulangan Tindak
Pidana Terorisme, (Jakarta : Pensil-324, 2012), h., 51.
19
atau pendapat yang menyatakan bahwa peradilan terhadap suatu negara atau
utusannya merupakan sebuah bentuk pelanggaran terhadap kedaulatan negara
tersebut. Pandangan ini berkaitan dengan adanya prinsip bahwa setiap negara
kedudukannya sama sebagai negara yang berdaulat (equality as a sovereign state)
dan prinsip par in parem non habet imperium yaitu bahwa suatu negara tidak
dapat memberlakukan hukum nasionalnya terhadap negara lain. 20
Dari sudut istilah, imunitas negara memiliki arti bahwa terhadap setiap
negara berdaulat, yurisdiksi negara lain tidak bisa diperlakukan kepadanya atau
dengan kata lain secara khusus pengadilan suatu negara tidak dapat mengadili
negara lain. Hal tersebut dikarenakan menurut hukum internasional setiap negara
mempunyai kedaulatan dan persamaan kedudukan. Oleh karena itu, adalah tidak
sepantasnya atau tidak benar hakim-hakim suatu negara mengadili negara lain
sebagai tergugat. Kedudukan hakim lebih tinggi dari tergugat dalam hal tersebut
bertentangan dengan prinsip persamaan kedudukan tersebut diatas. Selanjutnya
dalam hukum internasional dikenal suatu prinsip yang mengatakan “par in paem
non hebat yurisdicsionem”, yang artinya bahwa setiap negara mempunyai
kedudukan yang sama dan sejajar, tidak ada satu negara yang melaksanakan
yurisdiksinya terhadap negara lain tanpa dengan persetujuan negara tersebut.21
Ketentuan-ketentuan mengenai imunitas negara ini berasal dari hukum
internasional, meskipun terdapat pula dalam bentuk traktat-traktat internasional
multilateral, seperti dalam Konvensi Eropa mengenai Imunitas Negara tahun 1972
(European Convention on State Immunity).22
Berdasarkan ketentuan dari imunitas negara ini, maka dalam setiap
wilayah atau negara hanya berlaku satu macam hukum, yaitu hukum dari negara
yang memiliki imunitas di wilayahnya tersebut. Hukum itu berlaku baik terhadap
orang-orang, benda-benda maupun perbuatan-perbuatan hukum yang dilakukan
20 Alina Kaczorowska, Textbook of Public Interational Law, (London : Old Bailey Press :
2002), h., 139 .(Diterjemahkan oleh Doro Ringo dalam artikel
www.academia.edu/5047144/Imunitas_Negara). 21
Lihat tulisan Doro Ringo, Immunitas Negara, dapat dibaca dalam artikel
(www.academia.edu/5047144/Imunitas_Negara), h., 11 22 Konvensi ini ditandatangani oleh 9 negara anggota Uni Eropa meliputi : Austria, Belgia,
Siprus, Jerman, Luxemburg, Belanda, Jerman, Portugal, Swiss dan Inggris, Dari ke-9 negara yang
menandatanganinya hanya portugal yang belum meratifikasinya.
20
disana.bagaimana suatu negara akan mengatur wilayahnya tidak dapat dicampuri
oleh negara lain tanpa persetujuannya. Ini adalah prinsip teritorial, yang
memberikan setiap negara hak untuk menentukan nasibnya sendiri.23
Dalam Siyasah al-Dauliyah, Islam adalah sebuah sistem atau tatanan
agama dan sekaligus dunia yang integral. Terdapat hubungan keterikatan antara
keberadaan kaum muslimin dan berdirinya sebuah negara. Diantara elmen dasar
atau unsur terpenting setiap negara, adalah adanya kekuasaan politik umum
tertinggi yang seluruh anggota individu pembentuk sebuah komunitas harus
tunduk kepadanya.24
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa awal mula terbentuknya
imunitas negara berasal dari prinsip kedaulatan negara, Setiap negara mempunyai
kedaulatan yang dimana negara tersebut tidak dapat diintervensi oleh negara asing
lainnya. Imunitas negara tersebut sudah menjadi hak yang harus dihormati karena
hal tersebut sudah diakui oleh hukum internasional.
Dalam terminologi fiqih politik Islam, kedaulatan (al-Siyaadah) memiliki
arti yaitu sejumlah kewenangan, otoritas dan kompetensi yang hanya dimiliki oleh
kekuasaan politik dalam sebuah negara dan menjadikannya sebagai kekuasaan
tertinggi. Diantara kewenangan dan otoritas tersebut yang penting adalah
kapasitas dan kekuasaannya untuk memaksakan kehendaknya secara sepihak
kepada lembaga dan individu yang kehendaknya itu secara otomatis dan dengan
sendirinya berlaku efektif tanpa sama sekali tergantung kepada pihak yang
diperintah.25
Kedaulatan (al-Siyaadah) telah menjadi karakteristik negara yang
memiliki kekuasaan untuk memberikan suatu kewenangan dan otoritas (al-
Hakimiyah). Negara adalah kekuasaan yang satu-satunya disuatu wilayah teritorial
yang memiliki hak membuat dan meletakkan undang-undang (qanun) yang
mengatur negara. Dengan demikian rakyat berkeharusandan berkomitmen untuk
23 Huala Adolf, Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional, (Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada, 2002), h., 185. 24 Tsarwat Badawi, Al- Nuzhum al-Siyasiyyah, (Kairo : Dar al-Nahdlah al-Arabiyyah,
1967), h., 33. 25 Wahbah al-Zuhaili, Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, (Jakarta :Gema Insani, 2011, Jilid 8),
h., 436.
21
patuh dan taat dalam batas-batas yang telah ditentukan oleh syara’. Rasululah
Saw. bersabda :
(رواه مسلم)ال طبعت في معصيت هللا إنمب الطبعت في المعروف
Artinya :
“Tidak ada kepatuhan dalam kemaksiatan kepada Allah. Kepatuhan tidak
lain hanya dalam kebaikan.” (H.R. Muslim).
Pandangan ulama mengenai masalah imunitas negara berpangkal dari
pembagian mereka tentang dua negara (dunia), yaitu dar al-Harbdan dar al-Islam.
Di samping itu, mereka juga bercermin pada praktik Nabi dalam hubungan
internasional. Dari pembahasan mereka tentang hal ini ulama kemudian
merumuskan pendapat mengenai kedaulatan negara al-Daulah al-Islamiyah.26
Berkaitan dengan imunitas negara, dar al-Islam memiliki personalitas
khusus yang berbeda dengan hukum kebiasaan internasional pada umumnya. Hal
yang mendasari diberlakukannya kekebalan (al-Hashaanah) bahwa negara Islam
tidak boleh mengganggu urusan-urusan dar al-Harb dan non muslim sekalipun
selama negara tersebut tidak melakukan berbagai bentuk gangguan terhadap kaum
muslimin. Tidak boleh juga mengganggu negeri mereka atau kemaslahatan dan
kepentingan-kepentingan mereka. Tidak ada peperangan karena perang hanya
terhadap orang yang memerangi kita dan tidak ada permusuhan kecuali terhadap
orang-orang yang berlaku zalim.27
Allah SWT berfirman,
ا بتيلت و و ت ل و ت فت سو ت يو ٱهلل ا إتنهلل ٱهلل و لو توع ودل م و و لقو ت ل نوكل تب ٱهلل لو يلع ودت يو (١٩٠: ٢/البقرة ) ١٩٠ ٱ ل
Artinya :
“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu,
tetapi jangan melampaui batas. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang
melampaui batas.” Q.S.. Al-Baqarah (2) : 190.
26
H.R. Muslim dari Hadits Ali r.a (Lihat al-Nawawi, Syarh Muslim, Jilid XII, h., 226. 27 Ibnu Taimiyah, Risalah al- Qital, Jilid 1, h., 118.
22
Prinsip asal hubungan kaum muslimin dengan kaum non muslim adalah
damai, bukanlah perang. Personalitas dar al-harb di dalam wilayah teritorialnya
atau salah satu perwakilannya tidak tunduk kepada hukum Islam, karena dar al-
Islam tidak memiliki kewenangan dan otoritas dar al-Harb di wilayah
teritorialnya.28
Para ulama pun merumuskan sebuah kaidah dalam hubungan kaum
muslimin dan non muslim dalam hukum internasional, yaitu :29
اال في الع ت السلم
Artinya :
“Pada dasarnya, landasan hubungan antar negara adalah perdamaian.”
Jadi, Islam memandang bahwa imunitas atau al-Hashaanah adalah bentuk
penghormatan terhadap dar al-Harb untuk menjalankan kekuasaan, pemerintahan
dan otoritas hukum di wilayah teriotorialnya tanpa ada gangguan apapun yang
dapat mengancam wilayah teritorialnya.
2. Imunitas Pejabat Negara
Pembahasan mengenai imunitas pejabat negara sejatinya tidak dapat
dilepaskan dari konsep awal lahirnya hak imunitas itu sendiri. Konsep ini dahulu
berasal dari sejarah Eropa, ketika makna kedaulatan dan penguasa (kepala negara)
dianggap tidak dapat dipisahkan.
Imunitas pejabat negara merupakan hak yang diberikan oleh negara
terhadap abdi negara terutama dalam fungsinya sebagai pejabat publik. Imunitas
pejabat negara memang tak disebutkan secara tegas dalam hukum internasonal
akan tetapi hal ini dapat dilihat dan sangat bergantung pada konsep kebiasaan
dalam imunitas kedaulatan negara.
Para pihak yang dapat menyatakan imunitas negara pada umumnya
ditentukan oleh hukum nasional dari suatu negara. Secara umum, para pihak yaitu
pejabat atau lembaga yang dapat menyatakan imunitas negara terhadap jurisdiksi
negara lain adalah kepala negara, alat-alat kenegaraan, menteri-menteri,
28 Wahbah al-Zuhaili, Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, (Jakarta :Gema Insani, 2011, Jilid 8),
h., 518. 29 Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah : Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta : Gaya
Media Pratama, 2001), h., 238
23
departemen-departemen pemerintahan, dan cabang-cabang pemerintahan lainnya
yang bertindak menjalankan kewenangan pemerintahan.30
Mengenai pengaturan hak imunitas pejabat negara, di Indonesia terdapat
lembaga-lembaga tertentu yang memiliki hak imunitas dan diatur dalam undang-
undang, lembaga-lembaga tersebut yaitu :31
1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (MD3)
2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia
3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik
Indonesia
4) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional
Indonesia
5) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan
Korupsi
6) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat
Konsekuensi terpenting dengan menjadikan hak imunitas sebagai atribut
pribadi para pejabat negara adalah tuntutan hukum tidak dapat dilaksanakan
secara efektif terhadap entitas-entitas yang telah dikebalkan. Apabila pengadilan
menentukan bahwa tergugat adalah pribadi yang kebal, maka tuntutan hukum
harus ditolak. Oleh karena itu pemberian imunitas ini hanya dapat diberikan
dalam artian memang tindakan tersebut dalam menjalankan tugas negara.32
Pengaturan kekebalan hukum yang diberikan oleh negara ini menempatkan
maksud kebebasan untuk bertindak sebagai alasannya, kebebasan yang dimaksud
memiliki tujuan agar pejabat negara dapat melaksanakan kewajibannya dengan
bebas sehingga tidak bergantung pada keputusan dari pemerintah negara yang
terkadang terlambat memberikan respon dikarenakan jaringan birokrasi yang
30 Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Hukum Internasional : Bunga Rampai, (Bandung : PT.
Alumni, 2003), h., 72. 31
Dikdik M. Arief Mansur, Hak Imunitas Aparat Polri Dalam Penanggulangan Tindak
Pidana Terorisme, (Jakarta : Pensil-324, 2012), h., 111. 32 Munir Fuady, Konsep Negara Demokrasi, (Bandung : Refika Aditama : 2010), h., 264.
24
terlalu rumit dan panjang. Kekebalan hukum yang dimiliki oleh pejabat negara
sendiri pada situasi biasa tidak akan memiliki dampak apa-apa di masyarakat.
Tetapi, kekebalan ini akan mulai terlihat dan mulai berperan ketika pejabat
tersebut tersangkut kasus hukum. Maka dari itu, pemberian kekebalan hukum ini
diharapkan agar roda pemerintahan dapat berjalan dengan baik dan mampu
memberikan pelayanan publik untuk masyarakat.33
Ketentuan imunitas pejabat negara yang diberikan oleh negara tidak jauh
berbeda dari apa yang telah ditentukan dalam hukum kebiasaan internasional.
Dalam hukum ketatanegaraan Islam, cakupan imunitas atau al-hashaanah yang
dikukuhkan untuk negara berdasarkan aturan-aturan kebiasaan, etika pergaulan
(mujaamalah), prinsip-prinsip, dan moral Islam.
Dalam aturan fiqih siyasah tidak menyebutkan secara rinci terkait para
pihak yang berhak memiliki imunitas atau al-Hashaanah. Namun pada dasarnya
tidak jauh berbeda dari apa yang telah dijelaskan dalam hukum internasional.
Menurut Wahbah al-Zuhaili, para pejabat negara yang berkenan memiliki hak
imunitas tersebut ialah perwakilan negara, agen, organisasi dan lembaga-lembaga
negara, dan juga unit-unit politik seperti menteri-menteri, dan wakil-wakil
administrasi lainnya yang melaksankan kepentingan negara.34
Pengaturan imunitas atau al-Hashaanah bagi pejabat negara dalam hukum
Islam, selain dari prinsip kedaulatan juga bermakna sebuah jaminan keamanan,
tidak boleh diganggu diri pribadinya ketika sedang menjalankan tugas yang
menyangkut hak-hak publik seperti tugas kenegaraan sebagaimana yang telah
diatur oleh undang-undang negaranya.
33 Ibid, h., 264-265. 34 Wahbah al-Zuhaili, Fiqh al- Islam wa Adillatuhu, (Jakarta :Gema Insani, 2011, Jilid 8),
h., 519.
25
D. Doktrin-Doktrin Imunitas
Doktrin-doktrin dalam imunitas terdiri daripada doktrin absolut (absolute
doctrine) dan doktrin restriktif (restrictive doctrine). Kedua doktrin ini dibedakan
berdasarkan perbuatan yang dilakukan negara atau pemerintah melalui pejabatnya,
baik perbuatan yang merupakan pelaksanaan dari kedaulatan negara maupun
dalam bidang hukum perdata dan pidana.
Doktrin imunitas absolut adalah suatu doktrin yang menerangkan bahwa
pejabat negara dalam segala hal tidak dapat dilakukan gugatan terhadapnya di
pengadilan nasional maupun negara lain, tanpa adanya persetujuan dari pihak
yang bersangkutan. Jadi mutlak, dengan kata lain tidak diberikan jalan sedikitpun
membawanya ke hadapan forum hakim nasional dan forum hakim nasional negara
lain.35
Menurut doktrin ini, apabila pihak eksekutif suatu negara mengakui
kedaulatan negara tersebut, maka hakim-hakimnya harus mengakuinya pula. Oleh
sebab itu, di dalam praktek yang menganut doktrin imunitas absolut ini, apabila
mereka telah mengakui suatu negara, maka hakim-hakimnya tidak akan mengadili
tindakan-tindakan negara tersebut. Karena negara tersebut berkuasa penuh atas
apa yang ada di wilayahnya, begitupun pejabat negara yang memiliki hak
imunitas juga berwenang untuk mengatur dan melaksankan tugasnya tanpa
adanya tuntutan hukum.
Adapun doktrin imunitas restriktif merupakan kebalikan dari imunitas
absolut, yaitu doktrin imunitas terbatas yang membatasi berlakunya suatu
imunitas. Menurut doktrin ini, imunitas negara dan pejabat negara tersebut tidak
tak terbatas. Sesuai dengan artinya, terbatas (restrictive), yang maksudnya dibatasi
oleh beberapa kriteria. Seperti tindakan-tindakan yang bersifat publik saja yang
mempunyai kekebalan, dalam hal-tindakan-tindakan negara yang komersial tidak
demikian halnya.36
35 Sudargo Gautama, Aneka Masalah Hukum Perdata Internasional, (Bandung : Alumni,
1985), h., 36. 36
Ibid, h., 37.
26
Dari praktek-praktek internasional dalam menerapkan doktrin imunitas
negara, kenyataannya Islam pun mempunyai karakteristik dan prinsip-prinsip
yang berbeda mengenai doktrin imunitas yang berlaku pada umumnya.
Hal yang membedakan adalah bahwa di dalam hukum Islam tidak
mengenal istilah doktrin imunitas absolut. Bagi seorang kepala pemerintahan atau
pejabat negara asing yang sedang bertugas di negara Islam, syari’at Islam tetap
diterapkan terhadapnya dan mereka pun wajib tunduk kepada hukum Islam. Hal
ini berbeda dengan dengan konvensi internasional berlaku sekarang, karena
syariat islam tidak membedakan antara pemimpin dan rakyat.
Para pejabat negara baik nasional maupun asing (musta’man) yang
sedang menjalankan tugas di wilayah berlakunya hukum Islam, berarti mereka
telah berkomitmen untuk mematuhi hukum-hukum Islam. Tidak ada larangan
untuk mempidanakan siapapun yang melakukan suatu tindak kriminal di wilayah
dar al-Islam. Karena keadilan merupakan asas hukum dalam syariat Islam.37
Seperti yang telah dijelaskan dalam Al-Qur’an Surat Al-Maidah ayat 8 yang
berbunyi :
ا هو يوأ ت يو يو و و ت ٱهلل دو هو ت ل هلل ا و هلل ات و ٱت ا ل نل و م ٱ ت ت وواو ل و رتاو هللكل
لو يو وا ل و ٱ لهلل توعدت
و أ و انل و م لعو نو و ا و ل و ٱ ت هلل و و ٱدت رو ل ٱ
وا ل و تهلل ل و و و إتنهلل ٱهلل ٱهلل
ا توع و ل نو ت و ة تتيل (٨ :٥/المبئدة ) ٨خوArtinya :
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang
yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil.
Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu
untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada
taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
apa yang kamu kerjakan.”(Q.S. Al-Maidah/5 : 8).
37 Mustofa Hasan & Beni Ahmad Saebani, Hukum Pidana Islam, (Bandung : Pustaka Setia,
2013), h., 175.
27
Imam Abu Hanifah berpandangan bahwa pejabat negara atau pejabat
negara asing (musta’man)tidak dipidanakan dan dihukum di dar al-Islam jika
kasus kriminal yang dilakukannya itu menyangkut hak-hak publik. Adapun jika
kasusnya itu menyangkut hak-hak individu, ia bisa dihukum di dar al-Islam.
Karena itu jika seorang pejabat negara tidak melakukan tindak kriminal di
wilayah dar al-Islam, ia berada dalam jaminan keamanan, tidak boleh satupun ada
yang mengganggu diri pribadinya, hartanya, keluarganya, para pengikut dan
stafnya.38
Berdasarkan pemaparan diatas dapat ditarik benang merah bahwa doktrin
imunitas dalam hukum Islam adalah doktrin restriktif atau doktrin terbatas. Dalam
hal ini dibatasi dengan hal-hal yang menyangkut kepentingan umum saja seperti
tugas negara atau tugas-tugas yang memiliki kemanfaatan umum, maka ia tidak
dapat dituntut dan dipidana oleh yurisdiksi negara.
38 Muhammad Ashri, Hukum Internasional dan Hukum Islam tentang Sengketa dan
Perdamaian, (Jakarta : Gramedia Pustaka, 2013), h., 55.
28
BAB III
HAK IMUNITAS ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
REPUBLIK INDONESIA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 17
TAHUN 2014 TENTANG MPR, DPR, DPD DAN DPRD (UU MD3)
A. Diskursus Tentang Dewan Perwakilan Rakyat
Sebelum perubahan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, sistem
ketatanegaraan Indonesia mengenal Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
sebagai lembaga negara tertinggi. Di bawahnya mendapat lima lembaga negara
yang kedudukan sebagai lembaga tinggi termasuk DPR. Dalam kedudukannya
sebagai lembaga tertinggi negara, MPR memegang kekuasaan tertinggi karena
lembaga ini merupakan penjelmaaan seluruh rakyat Indonesia. Sementara itu,
DPR yang merupakan lembaga perwakilan rakyat, dinyatakan DPR adalah kuat
dan senantiasa dapat mengawasi tindakan-tindakan presiden. Bahkan, jika DPR
menganggap bahwa presiden sungguh melanggar haluan negara yang telah
ditetapkan oleh UUD 1945 atau oleh MPR, maka DPR dapat mengundang MPR
untuk menyelenggarakan sidang istimewa guna meminta pertanggungjawaban
presiden.1
Setelah amandemen, DPR mengalami perubahan, fungsi legislasi yang
sebelumnya berada di tangan presiden, maka setelah amandemen UUD 1945
fungsi legislasi berpindah ke DPR.2 Pergeseran pendulum itu dapat dibaca dengan
adanya perubahan secara substansial Pasal 5 Ayat (1) UUD 1945 dari Presiden
memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR,
menjadi Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR.
Akibat pergeseran itu, hilangnya dominasi presiden dalam proses pembentukan
undang-undang. Perubahan itu penting artinya karena undang-undang adalah
1 Lihat Penjelasan UUD 1945 bagian Sistem Pemerintahan. 2 Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 pasca-amandemen.
29
produk hukum yang paling dominan untuk menerjemahkan rumusan-rumusan
normatif yang terdapat dalam UUD 1945.
1. Susunan, Kedudukan dan Fungsi DPR
Telah dijelaskan bahwasanya di Indonesia lembaga utama sekaligus
lembaga tinggi negara yang menjalankan fungsi sebagai lembaga perwakilan
rakyat atau parlemen adalah DPR. DPR adalah suatu struktur legislatif yang
mempunyai kewenangan membentuk undang-undang. Dalam pembentukan
undang-undang tersebut, DPR harus melakukan, DPR harus melakukan
pembahasan serta persetujuan bersama presiden. DPR merupakan organ yang
melaksanakan kekuasaan di bidang legislatif yang pengaturannya langsung di
dalam UUD 1945.3
Berdasarkan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang
MPR, DPR, DPD dan DPRD pengisian anggota DPR dilakukan berdasarkan hasil
pemilihan umum. DPR terdiri atas anggota partai politik yang dipilih melalui
pemilihan umum. Sedangkan pengisian keanggotaan DPR pra-amandemen UUD
1945 yang pada saat itu terdiri atas anggota partai politik hasil pemilu dan anggota
ABRI yang diangkat.4
Pasal 19 UUD 1945 menetapkan bahwa susunan DPR ditentukan dengan
Undang-Undang. Moh. Yamin berpendapat bahwa menurut Pasal 19 ayat (1)
UUD 1945, susunan DPR tidak harus ditetapkan dengan undang-undang
pemilihan, tapi dengan undang-undang biasa atau umum. Dengan demikian,
keanggotaan DPR yang disusun itu bisa saja berdasarkan pemilihan,
pengangkatan atau penunjukan selama itu berdasarkan ketentuan undang-undang.
Jadi kesimpulannya, bahwa yang penting DPR itu harus diatur dengan undang-
undang. Sedangkan mengenai anggota-anggotanya bisa saja dipilih ataupun
diangkat.5
3 Beddy Irawan Maksudi, Sistem Politik Indonesia-Pemahaman Secara Teoritik dan
Empirik, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2012), h., 169. 4 Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta
: Sinar Bakti fakultas Hukum UI, 1988), h., 212. 5 Lihat Pasal 19 ayat (2) UUD 1945, Pasal ini memuat susunan anggota DPR.
30
Kesimpulan tersebut nampaknya kurang tepat jika dilihat dari kata
“perwakilan rakyat “, dan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Kata “perwakilan rakyat”
mengandung maksud bahwa keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat (selanjutnya
disebut DPR) itu harus diidi oleh rakyat dalam suatu pemilihan umum yang jujur.
Dan dari bunyi Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 berarti bahwa kedaulatan yang dianut
oleh UUD 1945 adalah kedaulatan rakyat. Dalam negara modern sekarang
kedaulatan rakyat itu adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (selanjutnya
disebut MPR). Pengisian keanggotaan MPR dilakukan dengan dua cara, yaitu
melalui pemilihan umum yaitu untuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan
dengan penunjukan untuk utusan golongan dan dengan penunjukan berdasarkan
suatu hasil pemilihan umum untuk utusan daerah.6
Pelaksanaan dari Pasal 19 ayat (1) UUD 1945 dirumuskan dalam :
1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum DPR,
DPD dan DPRD
2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah.
Dari kedua undang-undang tersebut dapat dipahami, bahwa cara yang
dipakai untuk menentukan keanggotaan Dewan Perwakilan rakyat dilakukan
dengan pemilihan umum. Sedangkan susunan keanggotaanya merupakan anggota
yang dipilih melalui pemilihan umum, yang jumlah seluruhnya ditetapkan 560
orang yang dipilih melalui pemilihan umum. Jadi anggota DPR ini seluruhnya
dipilih melalui mekanisme pemilihan umum dan setiap calonnya berasal dari
partai-partai politik.
Hal tersebut berbeda dengan model pengisian anggota DPR pra-
amandemen UUD 1945 yang pada saat itu keanggotaanya dari anggota partai
politik hasil pemilihan umum dan anggota ABRI yang diangkat.7 Pengisian
keanggotaan DPR pra-amandemen UUD 1945 dilakukan dengan pemilihan umum
6 Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut UUD
1945, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1994), h., 71. 7 Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta
: Sinar Bakti fakultas Hukum UI, 1988), h., 212-213.
31
dan dengan penunjukan atau pengangkatan, sedangkan susunan keanggotaannya
merupakan gabungan antara anggota-anggota yang dipilih dan diangkat, yang
jumlah seluruhnya ditetapkan 460 orang terdiri dari 360 orang yang dipilih
melalui pemilihan umum dan 100 orang yang diangkat.
Dewan Perwakilan Rakyat di Indonesia merupakan lembaga perwakilan
rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara,8 yang memiliki fungsi antara
lain : Pertama, fungsi legislasi yaitu fungsi untuk membentuk undang-undang
yang dibahas dengan presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Kedua,
fungsi anggaran yaitu fungsi untuk menyusun dan menetapkan anggaran
pendapatan belanja negara (APBN) bersama presiden dengan memperhatikan
pertimbangan DPD. Ketiga, fungsi pengawasan yaitu fungsi melakukan
pengawasan terhadap pelaksanaan UUD 1945, undang-undang dan peraturan
pelaksanaannya.9 Atau lebih jelasnya, fungsi pengawasan adalah fungsi yang
dijalankan oleh parlemen untuk mengawasi eksekutif agar berfungsi menurut
undang-undang yang dibentuk oleh parlemen.10
2. Tugas dan Wewenang DPR
Sebagaimana telah disebutkan diatas bahwa amandemen UUD 1945 telah
menempatkan DPR sebagai lembaga legislasi yang sebelumnya berada di tangan
presiden. Dengan demikian, DPR memiliki fungsi politik yang sangat strategis,
yaitu sebagai lembaga penentu arah kebijakan kenegaraan.
Dalam tugas dan kewenangannya keberadaan DPR sangat dominan,
karena kompleksitas dalam tugas dan wewenangnya tersebut. Dalam Pasal 71
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 terkait kewenangan DPR disebutkan
sebagai berikut :
8 Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD
1945, (Jakarta : Kencana, 2011), h., 193. 9 Lihat Pasal 69-70 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD dan
DPRD. 10 Abu Daud Busroh, Ilmu Negara, (Jakarta : Bumi Aksara, 2009), h., 151.
32
Pasal 71
DPR berwenang11
:
a. Membentuk undang-undang yang dibahas dengan Presiden untuk
mendapat persetujuan bersama;
b. Memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap
peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang diajukan Presiden
untuk menjadi undang-undang;
c. Membahas rancangan undang-undang yang diajukan oleh Presiden atau
DPR yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta
perimbangan keuangan pusat dan daerah, denagn mengikutsertakan DPD
sebelum diambil persetujuan antara DPR dan Presiden;
d. Memperhatikan pertimbangan DPD atas rancangan undang-undang
tentang APBN dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan
pajak, pendidikan, dan agama;
e. Membahas bersama Presiden dengan memperhatikan pertimbangan DPD
dan memberikan persetujuan atas rancangan undang-undang tentang
APBN yang diajukan oleh Presiden:
f. Membahas dan menindaklanjuti hasil pengawasan yang disampaikan
oleh DPD atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah,
pembentukan, pemekaaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat
dan daeah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi
lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan dan agama;
g. Memberikan persetujuan kepada presiden untuk menyatakan perang dan
membuat perdamaian dengan negara lain;
h. Memberikan persetujuan atas perjanjian internasional tertentu yang
menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang
terkait dengan beban keuangan negara dan/atau mengharuskan perubahan
atau pembentukan undang-undang;
11 Pasal 71 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD.
33
i. Memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam pemberian amnesti
dan abolisi;
j. Memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam hal mengangkat duta
besar dan menerima penempatan duta besar negara lain;
k. Memilih anggota BPK dengan memperhatikan pertimbangan DPD;
l. Memberikan persetujuan kepada Presiden atas pengangkatan dan
pemberhentian anggota Komisi Yudisial;
m. Memberikan persetujuan calon hakim agung yang diusulkan Komisi
Yudisial untuk ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden, dan;
n. Memilih 3 (tiga) orang hakim konstitusi dan mengajukannya kepada
presiden untuk diresmikan dengan keputusan Presiden.
Sedangkan terkait tugas Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) diatur
tersendiri dalam pasal 72 undang-undang ini, yaitu sebagai berikut :
Pasal 72
DPR bertugas: 12
a. Menyusun, membahas, menetapkan dan menyebarluaskan program
legislasi nasional;
b. Menyusun, membahas, dan menyebarluaskan rancangan undang-
undang;
c. Menerima rancangan undang-undang yang diajukan oleh DPD
berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang
berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah;
d. Melakukan pengawasan terhadap pelaksaan undang-undang, APBN
dan kebijakan pemerintah;
e. Membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan atas pengelolaan
dan tanggung jawab keuangan negara yang disampaikan oleh BPK;
12 Pasal 72 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD.
34
f. Memberikan persetujuan terhadap pemindahtanganan aset negara
yang menjadi kewenangannya berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan dan terhdap perjanjian yang berakibat luas dan
mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan
negara;
g. Menyerap, menghimpun menampung dan menindaklanjuti aspirasi
masyarakat, dan;
h. Melaksanakan tugas lain yang diatur dalam undang-undang;
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam kepentingan pelaksanaan
wewenang dan tugasnya berhak :
a. Memanggil pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau
warga masyarakat secara tertulis untuk hadir dalam rapat DPR.
b. Setiap pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga
masyarakat wajib memenuhi panggilan DPR.
3. Hak dan Kewajiban DPR
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memiliki sejumlah hak yang melekat
pada lembaga legislasi yang umumnya dikenal sebagai lembaga perwakilan rakyat
atau parlemen. Hak itu diperlukan untuk pelaksanaan tugas dan wewenang DPR
sehari-hari.13
Pada pokoknya, hak-hak DPR merupakan hak konstitusional yang
ditentukan dalam UUD 1945. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya
sebagai lembaga perwakilan rakyat, Dewan Perwakilan rakyat memiliki hak,
antara lain :14
a. Hak interpelasi, yaitu hak DPR untuk meminta keterangan kepada
pemerintah mengenai kebijakan pemerintah yang penting dan strategis
serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
13 Afan Gaffar, Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi, (Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, 2006), h., 291. 14 Beddy Iriawan Maksudi, Sistem Politik Indonesia-Pemahaman Secara Teoritik dan
Empirik, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2012), h., 177.
35
b. Hak angket, yaitu hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap
kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas
pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang diduga bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan, dan
c. Hak menyatakan pendapat, yaitu hak DPR untuk menyatakan pendapat
terhadap kebijakan pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang
terjadi di tanah air disertai dengan solusi tindak lanjut dari hak
interpelasi dan hak angket.
Selain dari hak sebagai lembaga perwakilan rakyat, terdapat pula hak-hak
individual sebagai anggota DPR yang diatur dalam Pasal 80 Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2014, dengan penjelasan sebagai berikut: 15
a. Hak mengajukan usul rancangan undang-undang (RUU) yaitu hak
setiap anggota DPR untuk mengajukan RUU.
b. Hak mengajukan pertanyaan, yaitu hak setiap anggota DPR untuk
mengajukan pertanyaan kepada Presiden yang disusun baik secara
lisan/tulisan, singkat, jelas dan disampaikan kepada pimpinan DPR.
c. Hak menyampaikan usul dan pendapat mengenai suatu hal, baik yang
sedang dibicarakan maupun yang tidak dibicarakan dalam rapat.
d. Hak memilih dan dipilih, yaitu hak setiap anggota DPR untuk
menduduki jabatan tertentu pada alat kelengkapan DPR sesuai dengan
mekanisme yang berlaku.
e. Hak membela diri, yaitu hak setiap anggota DPR untuk melakukan
pembelaan diri dan / atau memberi keterangan kepada Badan
Kehormatan DPR atas tuduhan pelanggaran kode etik atas dirinya.
f. Hak Imunitas, yaitu hak setiap anggota DPR yang tidak dapat dituntut
dihadapan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan dan / atau
pendapat yang dikemukakan baik secara lisan ataupun tertulis
15 Beddy Iriawan Maksudi, Sistem Politik Indonesia-Pemahaman Secara Teoritik dan
Empirik, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2012), h., 179-180.
36
sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan tata tertib DPR dan
kode ektik anggota DPR.
g. Hak protokoler, yaitu hak setiap anggota DPR bersama pimpinan DPR
sesuai ketentuan perundang-undangan
h. Hak keuangan dan administratif, yaitu hak setiap anggota DPR untuk
beroleh pendapatan, perumahan, kendaraan, dan fasilitas lain yang
mendukung pekerjaan selaku wakil rakyat.
Selanjutnya mengenai kewajiban yang melekat pada anggota DPR tidak
disebutkan atau ditentukan baik secara eksplisit maupun secara tegas dalam UUD
1945. Namun Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD
dan DPRD telah menentukan lebih tegas dan jelas mengenai kewajiban anggota
Dewan Perwakilan Rakyat. Hal itu tercantum dalam Pasal 81, yaitu sebagai
berikut :
Pasal 81
Anggota DPR berkewajiban: 16
a. Memegang teguh dan mengamalkan Pancasila
b. Melaksanakan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan mentaati
ketentuan peraturan peundang-undangan;
c. Mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d. Mendahulukan kepentingan negara diatas kepentingan pribadi,
kelompok dan golongan;
e. Memperjuangkan peningkatan kesejahteraan rakyat;
f. Mentaati prinsip demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan
negara;
g. Mentaati tata tertib dan kode etik;
h. Menjaga etika dan norma dalam hubungan dengan lembaga lain;
i. Menyerap dan menghimpun aspirasi konstituen melalui kunjungan
kerja secara berkala;
16 Pasal 81 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD.
37
j. Menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat;
dan
k. Memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada
konstituen di daerah pemilihannya.
B. Pengertian Hak Imunitas Anggota DPR
Lembaga legislatif adalah lembaga yang memegang kekuasaan untuk
membuat undang-undang sebagai sistem lembaga perwakilan rakyat. Cabang
kekuasaan legislatif adalah kekuasaan yang pertama-tama mencerminkan
kedaulatan rakyat. Kegiatan bernegara, pertama-tama adalah untuk mengatur
kehidupan bersama. Oleh sebab itu kewenangan untuk menetapkan peraturan itu
harus diberikan kepada lembaga perwakilan rakyat atau lembaga legislatif. 17
Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, lembaga perwakilan rakyat
harus mempunyai kebebasan dalam menyampaikan aspirasinya, serta mempunyai
independenitas yang baik. Oleh karena itu, untuk mewujudkan hal tersebut maka
lembaga perwakilan rakyat membutuhkan payung hukum yang tegas.
Hukum melindungi kepentingan suatu lembaga dengan cara
mengalokasikan suatu kekuasaan kepada suatu lembaga untuk bertindak dalam
rangka kepentingannya tersebut. Pengalokasian kekuasaan ini dilakukan secara
terukur, dalam arti ditentukan keluasan dan kedalamannya. Inilah yang
selanjutnya dimaknai dengan payung hukum.18
Dalam tata negara Indonesia, payung hukum yang memberikan
keleluasaan, kebebasan dan independenitas dalam menyampaikan aspirasi anggota
DPR, yaitu hak imunitas. Hak imunitas adalah hak yang memberikan kekebalan
hukum (tidak dapat dikenakan tuntutan hukum) atas pernyataan-pernyatan dan
pendapat yang disampaikan dalam rapat-rapat atau sidang DPR sesuai dengan
tugas dan wewenang yang diatur dalam peraturan perundang-undangan, dimana
masing-masing anggota mempunyai jaminan hukum.
17 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta : Raja Grafindo
Persada, 2013), h., 299. 18 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Semarang : PT Citra Aditya Bhakti, 2014), h., 54.
38
kata “hak” di dalam hak imunitas pada akhirnya juga dipakai dalam arti
kekebalan terhadap kekuasaan hukum orang lain. Sebagaimana halnya kekuasaan
itu adalah kemampuan untuk mengubah hubungan-hubungan hukum, kekebalan
ini merupakan pembebasan dari adanya suatu hubungan hukum untuk bisa diubah
oleh orang lain. Kekebalan ini mempunyai kedudukan yang sama dalam
hubungan dengan kekuasaan, seperti antara kemerdekaan dengan hak dalam arti
sempit: kekebalan adalah pembebasan dari hak orang lain.19
Seperti yang sudah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, istilah
imunitas berasal dari bahasa inggris yaitu “immunity” yang mempunyai arti
kekebalan, juga dapat diartikan “tidak dapat diganggu gugat”. Dalam kamus
Black’s Law Dictionary istilah hak imunitas terhadap anggota perwakilan rakyat
(legislative immunity) dalam aplikasi ketatanegaraan Amerika mempunyai 2 (dua)
lingkup wilayah : 20
1) Tidak boleh ditangkap pada saat sidang berlangsung, kecuali
tindak pidana makar, kejahatan berat, seperti pembunuhan dan
terhadap pelanggaran perjanjian perdamaian.
2) Pada saat setiap pidato, debat, opini, penyampaian pendapat,
pengambilan suara, laporan tertulis dan penyampaian petisi yang
dirasa penting untuk disampaikan dalam rangka fungsi legislatif
yang dilakukan dalam sidang parlemen.
Istilah imunitas (immunity) pertama kali muncul dari hukum kebiasaan
internasional yang mempunyai arti kekebalan. Maksudnya ialah kekebalan dari
segala tuntutan hukum atau jurisdiksi pengadilan negara baik dalam hukum
pidana maupun perdata.
Setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak dapat dituntut di
hadapan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan dan atau pendapat yang
dikemukakan secara lisan ataupun tertulis dalam rapat-rapat DPR, sepanjang tidak
bertentangan dengan Peraturan Tata Tertib dan Kode Etik DPR RI.21
Hal ini
19 Ibid, h., 55. 20 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, , (Jakarta : PT. Balai Pustaka,
1976, Cetakan Kelima), h., 455. 21 Soesilo Prajogo, Kamus Hukum Internasional dan Indonesia, (WIPRESS, 2007), h., 182
39
dipertegas dalam Pasal 224 ayat (1), (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2014, sebagai berikut :
Pasal 224 :22
1) Anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena
pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik
secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat
DPR yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPR.
2) Anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena sikap,
tindakan, kegiatan di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR
yang semata-mata karena hak dan kewenangan konstitusional DPR
dan/atau anggota DPR.
3) Anggota DPR tidak dapat diganti antarwaktu karena pernyataan,
pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik di dalam
rapat DPR maupun di luar rapat DPR yang berkenaan dengan fungsi
serta wewenang dan tugas DPR.
Dalam teori hukum internasional dikenal 2 (dua) macam doktrin hak
imunitas, yaitu: 1) hak imunitas absolut (mutlak), dan 2) hak imunitas resktriktif
(terbatas). Yang dimaksud dengan hak imunitas absolut adalah hak imunitas yang
tetap berlaku secara mutlak dalam arti tidak dapat dibatalkan oleh siapapun.
Sedangkan hak imunitas restriktif adalah hak imunitas terbatas, dalam arti masih
dibatasi atau dikesampingkan manakala penggunaan hak tersebut “dengan
sengaja” dilakukan untuk menghina atau menjatuhkan nama baik dan martabat
orang lain.23
Adapun yang termasuk hak imunitas absolut (mutlak) adalah setiap
pernyataan yang dibuat dalam :
1) Sidang-sidang atau rapat parlemen
2) Sidang-sidang pengadilan
3) Tindakan yang dilakukan oleh pejabat-pejabat publik tinggi dalam
menjalankan tugas dan kewenangannya, dan lain-lain.
22
Pasal 224 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD. 23 Munir Fuady, Konsep Negara Demokrasi, (Bandung : Reflika Aditama, 2010), h., 264.
40
Sedangkan yang tergolong ke dalam hak imunitas restriktif (terbatas)
yaitu siaran pers tentang isi rapat-rapat parlemen atau sidang pengadilan, ataupun
laporan pejabat yang berwenang tentang isi rapat parlemen atau pengadilan
tersebur.24
Dalam uraian di atas, dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan hak
imunitas anggota DPR adalah hak kekebalan hukum yang melekat pada anggota
DPR dari tuntutan hukum atas pernyataan, pertanyaan, dan atau pendapat yang
disampaikan di dalam atau di luar rapat persidangan DPR. Begitu juga dengan
sikap, tindakan dan kegiatan yang dilakukan oleh anggota DPR baik di luar atau
di dalam rapat persidangan anggota DPR, sepanjang tidak bertentangan dengan
Peraturan Tata Tertib dan Kode Etik DPR.25
C. Batasan Hak Imunitas Anggota DPR
Demokrasi pada intinya adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan
untuk rakyat. Dalam konteks negara demokrasi, kepada warga negara dijamin
kebebasan berbicara. Tetapi kepada yang bersangkutan juga dibebankan tanggung
jawab kalau terjadi penyalahgunaan (abuse) terhadap kebebasan berbicara. Jadi
kebebasan tidaklah bersifat absolut, melainkan ada batas-batasnya. Tetapi
pembatasan tersebut harus secukupnya dan tidak boleh berlebihan. Sebab
bagaimanapun juga di alam demokrasi yang sudah maju seperti yang terjadi di
kebanyakan negara demokrasi saat ini, maka berbagai bentuk tindakan yang
menjurus kepada pembatasan terhadap kebebasan berbicara dianggap
bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi. 26
Dengan kemerdekaan mengeluarkan pendapat atau kebebasan berbicara
tidak berarti boleh dilanggar prinsip-prinsip hukum dan moral. Di lain pihak,
secara hukum kebebasan berbicara maupun kebebasan berpendapat cukup kuat
berlakunya, hampir tanpa kompromi. Bahkan dalam sistem hukum di negara maju
sekalipun, sebenarnya sulit sekali menentukan batas-batas pada suatu kebebasan
24 Ibid, h., 264-265. 25 Pasal 224 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD. 26 Soehino, Ilmu Negara, (Yogyakarta: Liberty, 1996), h., 204.
41
berbicara dilindungi oleh hukum, tetapi pada saat yang mana kebebasan tersebut
sudah tidak lagi dilindungi.27
Pada prinsipnya hak imunitas diberikan kepada anggota DPR merupakan
bagian dari penghormatan kepada anggota DPR untuk menjalankan fungsi, tugas
dan kewenangannya. Hal tersebut bertujuan agar anggota DPR bebas
menyampaikan aspirasinya untuk kepentingan masyarakat karena status dirinya
sebagai wakil rakyat tanpa adanya intervensi atau gangguan dari pihak lain yang
akan mempengaruhi kinerjanya. Selain itu juga karena Dewan Perwakilan Rakyat
adalah sebuah lembaga legislatif yang mengawasi lembaga yang besar pula yaitu
pemerintah agar tidak sewenang-wenang dalam kinerjanya. Maka dari itu sudah
merupakan hal yang wajar bila anggota DPR memiliki hak imunitas.28
Anggota DPR dibekali hak imunitas yang dilindungi oleh Undang-Undang
dalam menjalankan tugasnya. Hak imunitas itu dianggap sebagai upaya untuk
menjaga kehormatan Dewan dan bukan melindungi anggota DPR dari
permasalahan hukum. Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang
MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) memang diatur bahwa anggota DPR
tidak dapat dikenakan sanksi hukum selama menjalankan tugasnya. Namun hak
imunitas itu tak berpengaruh bilamana anggota DPR terlibat tindak pidana khusus
seperti pembunuhan, korupsi, terorisme, narkoba dan lain-lain.29
Namun dalam Pasal 224 ayat (1) (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2014 ini dijelaskan bahwa hak kekebalan yang dimiliki oleh anggota DPR
tersebut masih dibatasi oleh Peraturan Tata Tertib dan juga Kode Etik Lembaga.
Munir Fuady menjelaskan bahwa secara umum pengertian fungsi legislatif yang
dilindungi berdasarkan konsep hak imunitas ini mencakup hal-hal sebagai berikut:
1) Kebebasan untuk berbicara dan berdebat di dalam sidang-sidang atau
rapat-rapat di parlemen
2) Pemungutan suara secara bebas di parlemen.
27 Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan, (Jakarta : Kompas Media Nusantara, 2003),
h., 95. 28
Abdul Azis Khafia, Anggota DPD dan MPR RI, Interview Pribadi, Jakarta, 02 November
2017. 29 Ibid.
42
3) Penyediaan laporan-laporan fraksi, komisi atau pribadi anggota
parlemen.
4) Partisipasi dalam hearing, rapat, sidang, di parlemen atau dalam
tinjauan lapangan secara resmi oleh parlemen atau anggota parlemen
5) Kebebasan untuk tidak ditangkap atau ditahan
6) Kebebasan untuk tidak dituduh melakukan tindak pidana penghinaan
atau penistaan.30
Pengecualian dari penggunaan hak imunitas bagi seorang anggota DPR
dikemukakan dalam Pasal 224 ayat (4) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2014
yaitu terdiri dari dua hal. Pertama, anggota parlemen yang bersangkutan
mengemukakan isi materi rapat yang telah disepakati dilakukan rapat secara
tertutup. Kedua, mengemukakan hal lain yang maksud dalam ketentuan mengenai
rahasia negara, yang saat ini justru belum diatur dalam undang-undang.31
Berdasarkan penjelasan mengenai dapat diambil kesimpulan bahwa hak
imunitas anggota DPR dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 itu terbatas.
Yaitu dibatasi dengan imunitas yang lebih berbentuk kebebasan berbicara.
Artinya, seorang anggota DPR bebas untuk menyampaikan pendapat seluas-
luasnya tanpa merasa khawatir apa yang disampaikan akan dituntut di depan
pengadilan selama menjalankan tugas dan fungsinya sebagai anggota legislatif
sepanjang hal tersebut tidak bertentangan dengan peraturan tata tertib dan kode
etik Dewan Perwakilan Rakyat.
D. Penerapan Hak Imunitas Anggota DPR
Pada prinsipnya hak imunitas, yang dalam bahasa Indonesia disebut juga
dengan hak kekebalan, secara konstitusional telah diatur keberadaannya dalam
Pasal 20A ayat (3) UUD 1945, yang dinyatakan bahwa selain hak yang diatur
30 Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern, (Jakarta: PT. Refika Aditama, 2009,) h.,
165. 31
Lihat Pasal 224 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD dan
DPRD.
43
dalam pasal-pasal lain, DPR mempunyai hak mengajukan pertanyaan,
menyampaikan pendapat, serta hak imunitas.32
Dalam perbandingan dengan keberlakuannya pada institusi lembaga
perwakilan rakyat di Indonesia maka, Pasal 28 F Undang-Undang Nomor 27
Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD,
menggariskan bahwa anggota DPR RI mempunyai hak imunitas yang ditafsirkan
bahwa hak imunitas itu adalah hak untuk tidak dapat dituntut di muka pengadilan
karena pernyataan dan pendapat yang disampaikan dalam rapat-rapat DPR dengan
pemerintah dan rapat-rapat DPR lainnya sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.33
Dalam konteks kekinian, pelaksanaan hak imunitas anggota DPR telah
diatur dalam pasal 224 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR,
DPR, DPD, dan DPRD. Terdapat 3 (tiga) hal pokok yang diatur di dalam pasal
tersebut, yaitu, Pertama, anggota DPR tidak dapat dituntut didepan pengadilan
karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik
secara lisan maupun tertulis didalam rapat DPR ataupun diluar rapat DPR yang
berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPR, kedua, anggota DPR
tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena sikap, tindakan, kegiatan di dalam
rapat DPR ataupun diluar rapat DPR yang sematamata karena hak dan
kewenangan konstitusional DPR dan/atau anggota DPR. Ketiga, anggota DPR
tidak dapat diganti antarwaktu karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat
yang dikemukakannya baik di dalam rapat DPR maupun di luar rapat DPR yang
berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPR. Namun demikian
pelaksanaan hak imunitas anggota DPR ini juga tidak bisa dijalankan secara
mutlak. Dalam ketentuan pasal 224 ayat (4) Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2014, mengecualikan terhadap anggota DPR yang mengumumkan materi yang
telah disepakati dalam rapat tertutup untuk dirahasiakan atau hal lain yang
dinyatakan sebagai rahasia negara menurut ketentuan peraturan perundang-
undangan. Ketentuan ini dirasakan penting menurut penulis agar anggota DPR
32 Lihat Pasal 20A UUD 1945, pasal ini memuat tugas, fungsi dan hak anggota DPR. 33 Wenly R.J Lolong, Problematika Imunitas Hukum Anggota Parlemen Ditinjau dari
Prinsip Equality Before The Law, Jurnal Al-Ahkam Vol V No. 2, Desember 2015, h., 131.
44
dapat menjaga kerahasiaan terhadap materi yang telah disepakati dalam rapat
tertutup untuk dirahasiakan atau hal lain yang dinyatakan sebagai rahasia negara
menurut ketentuan peraturan perundang-undangan. 34
Hak imunitas parlemen dapat dipersamakan dengan hak imunitas
legislatif, pada dasarnya merupakan suatu sistem yang memberikan kekebalan
terhadap anggota parlemen agar tidak dikenai sanksi hukuman. Bahkan dalam
English Bill of Rights, dinyatakan bahwa kebebasan untuk berbicara dan
berdiskusi atau berdebat di parlemen, tidak dapat di-impeach atau dipertanyakan
dalam persidangan di lembaga peradilan.35
Menyoroti hak imunitas anggota parlemen, Munir Fuady menegaskan
hak imunitas hukum merupakan teori hukum yang berlaku umum diakui secara
universal dengan penjelasan bahwa hak imunitas terhadap anggota parlemen
berfungsi untuk:
a. Membuat kedudukan anggota parlemen lebih mandiri.
b. Membuat anggota parlemen lebih berani dalam memberikan
pendapatnya, tanpa harus dibayang-bayangi oleh gugatan atau
tuntutan hukum yang akan menimpanya.
c. Membuat anggota parlemen lebih dapat berkonsentrasi kepada tugas-
tugasnya tanpa harus membuang waktu, tenaga, pikiran dan ongkos-
ongkos untuk beracara di pengadilan.36
Bagi pemilik hak imunitas, hak tersebut akan membantu dalam upaya
pemenuhan tujuan pemberiannya. Hak tersebut akan menjadi alat bantu utama
untuk memberikan pelayanan (service) bagi pihak yang telah memberikan
kepercayaan, dalam hal ini masyarakat. Hak imunitas yang diberikan kepada
anggota DPR merupakan salah satu bentuk penghargaan dan keistimewaan dari
34 Lihat Pasal 224, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD dan
DPRD. 35Simon Wigley, Parliamentary Immunity: Protecting Democracy or Protecting
Corruption¸ The Journal of Political Philosophy, Volume 11, Number 1, 2003. 36 Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern (Jakarta: PT. Refika Aditama, 2009), h.,
167.
45
pemerintah terhadap warganegaranya yang diberi kepercayaan tertentu untuk
memegang jabatan publik.37
Dalam pelaksanaan hak imunitas di Parlemen Indonesia, hak imunitas
anggota parlemen bersifat terbatas, artinya anggota parlemen dapat diperiksa oleh
pengadilan apabila hak imunitas yang dimilikinya tersebut melanggar ketentuan
dalam konstitusi atau undang-undang. Dengan demikian anggota parlemen harus
menghindari menciptakan konflik yang tidak perlu dengan hak pribadi, karena hal
itu berimplikasi hak istimewa yang dimilikinya dibawa ke pengadilan.
Selanjutnya dalam penerapannya, hak imunitas yang paling penting
diberikan kepada anggota DPR adalah pelaksanaan kebebasan berbicara di
persidangan parlemen. Secara garis besar kebebasan berbicara diartikan sebagai
hak dasar yang tanpanya anggota DPR akan terhambat dalam melaksanakan
tugasnya. Kebebasan berbicara ini memungkinkan anggota DPR untuk berbicara
di parlemen tanpa hambatan, untuk mengacu pada sesuatu hal atau
mengungkapkan pendapat apapun, untuk mengatakan apa yang anggota DPR
rasakan perlu dikatakan dalam kelanjutan dari kepentingan nasional dan aspirasi
konstituen mereka. Kebebasan berbicara memungkinkan anggota parlemen untuk
berbicara dengan bebas di parlemen atau dalam komite selama pertemuan sambil
menikmati kekebalan penuh dari penuntutan untuk setiap komentar mereka
mugkin buat. Kebebasan ini sangat penting untuk kerja yang efektif dari DPR. 38
Dalam penerapan kebebasan berbicara bagi anggota DPR ini pada
prinsipnya tidak ada batasan, artinya bahwa anggota DPR bebas untuk berbicara
di parlemen dalam rangka melaksanakan tugas dan kewenangannya. Parlemen di
Indonesia, kebebasan berbicara anggota DPR juga berlaku untuk laporan proses
atau perdebatan yang diterbitkan oleh surat kabar, media atau orang lain di luar
parlemen, artinya pada saat anggota DPR mengeluarkan pernyataan yang
berimplikasi pelanggaran di surat kabar atau media di luar parlemen. Hak
37 Dikdik M. Arief Mansur, Hak Imunitas Aparat Polri Dalam Penanggulangan Tindak
Pidana Terorisme, (Jakarta : Pensil-324, 2012), h., 53. 38 Arbi Sanit, Perwakilan Politik Di Indonesia, (Jakarta : CV. Rajawali, 1985), h., 37.
46
imunitas anggota DPR berupa kebebasan berbicara akan berpengaruh dan dapat
dituntut oleh hukum.39
Berdasarkan pemaparan pelaksanaan hak imunitas bagi anggota DPR di
Indonesia maupun beberapa anggota parlemen di dunia, nampaknya dapat diambil
kesimpulan beberapa hal, Pertama, bahwa untuk melaksanakan tugas dan
kewenangannya, anggota DPR perlu dibekali hak imunitas atau perangkat yang
menjamin pelaksanaan tugas dan kewenagannya dapat berjalan baik dan lancar
sesuai dengan kepentingan masyarakat. Instrumen atau perangkat itu berupa hak
imunitas, yang menjamin anggota DPR untuk bebas berbicara dan berpendapat
dalam rangka melaksanakan tugas dan kewenangannya. Kedua, dalam
pelaksanaan hak imunitasnya yang lebih berbentuk kepada hak kebebasan
berbicara (freedom of speech) pada prinsipnya tidak dibatasi, sepanjang dilakukan
dalam kepentingan tugas dan kewenangannya sebagai anggota DPR, walaupun
ada juga beberapa parlemen yang membatasi hak kebebasan berbicara ini hanya di
dalam ruang parlemen atau komite. Ketiga, pelaksanaan hak imunitas anggota
DPR ini dapat menjadi tidak berlaku pada saat anggota DPR melakukannya di
luar tugas dan kewenangannya, artinya seorang anggota DPR dapat dituntut di
hadapan hukum atas perbuatan atau tindakannya di luar tugas dan
kewenangannya. 40
Akhirnya, masyarakat dapat mengetahui bahwa hak imunitas merupakan
suatu hak yang melekat bagi setiap anggota DPR. Keberadaannya menjadikan
anggota DPR dapat melaksanakan tugas dan kewenangannya secara efektif untuk
menyuarakan kepentingan bangsa dan negara. Namun demikian harus tetap dalam
koridor ketentuan perundang-undangan yang berlaku agar tidak terjadi abuse of
power.
39 Hak Imunitas dan Hak Interpelasi DPR, http://pakteddy.blogspot.com/2008/11/hak-
imunitas-dan-interpelasidpr.html, diakses pada hari Sabtu, 22 Juli 2017. 40 Akhmad Aulawi, Perspektif Pelaksanaan Hak Imunitas Anggota Parlemen Dan
Pelaksanaannya Di Beberapa Negara, Jurnal Rechtsvinding, Media Pembinaan Hukum Nasional.
47
E. Implementasi Hak Imunitas Anggota DPR
Kehadiran hukum dalam masyarakat diantaranya adalah untuk
mengintegrasikan dan mengkoordinasikan kepentingan-kepentingan yang bisa
bertubrukan satu sama lain itu oleh hukum diintegrasikan sedemikian rupa
sehingga tubrukan-tubrukan itu bisa ditekan sekecil-kecilnya. Pengorganisasian
kepentingan-kepentingan itu dilakukan dengan membatasi dan melindungi
kepentingan tersebut. Memang, dalam suatu lalu lintas kepentingan, perlindungan
terhadap kepentingan-kepentingan tertentu hanya dapat dilakukan dengan cara
membatasi kepentingan di lain pihak.41
Dalam melaksanakan kepentingannnya, anggota DPR dibekali hak
imunitas yang diatur secara konstitusional dalam Pasal 224 Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2014 tertera bahwasanya anggota DPR tidak dapat dituntut di
muka pengadilan karena pernyataan dan pendapat yang disampaikan dalam rapat-
rapat DPR dengan pemerintah dan rapat-rapat DPR lainnya sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Diberikannya hak imunitas kepada anggota DPR pada saat menjalankan
tugas dan tanggung jawabnya sebagai pejabat negara dan yang bertugas
menjalankan fungsinya sebagai wakil rakyat di bidang legislasi, anggaran serta
pengawasan, harus memiliki landasan yang kuat, sehingga di kemudian hari tidak
memunculkan permasalahan hukum, maka pemberian hak imunitas harus
memiliki dasar pijakan yuridis yang kuat serta pengaturannya harus tegas dan
jelas agar tidak menimbulkan multitafsir dalam implementasinya.42
Perdebatan masalah hak imunitas kembali muncul ketika Ketua DPR RI
yaitu Setya Novanto dicekal oleh KPK untuk tidak bepergian ke luar negeri
karena yang bersangkutan diduga terlibat kasus mega proyek KTP elektronik yang
merugikan negara hingga trilyun rupiah. Hal tersebut dilakukan oleh KPK untuk
kepentingan penyidikan terkait kasus korupsi KTP elektronik yang diatur dalam
Pasal 12 ayat (1) huruf b dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Korupsi.
41 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Semarang : PT. Citra Aditya Bhakti, 2014), h., 53. 42
Abdul Azis, Anggota DPRD DKI Jakarta, Interview Pribadi, Jakarta, 02 November
2017.
48
Menyikapi permasalahan tersebut, Dewan Perwakilan Rakyat
menyatakan penolakan terkait pencekalan yang dilakukan oleh KPK terhadap
Setya Novanto. Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah menegaskan bahwa Setya
Novanto memiliki hak imunitas karena kapasitasnya sebagai Ketua DPR RI. Hal
itu diutarakannya karena hak imunitas diatur dalam ketentuan Peraturan
Perundang-undangan dan mengetahui bahwa DPR merupakan lembaga besar yang
mengawasi pemerintah.43
Setelah beredar kasus yang melibatkan Ketua DPR RI Setya Novanto
muncullah sebuah wacana untuk penguatan hak imunitas anggota dewan dalam
rapat revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014. Dalam rapat tersebut
membahas mengenai penguatan hak imunitas anggota dewan yang berkaitan
dengan prosedural yang harus dilalui, seperti pemeriksaan terhadap anggota DPR,
pencekalan ke luar negeri serta memperjelas kembali aturan imunitas dalam
Undang-Undang tersebut.
Berdasarkan pemaparan di atas, ada beberapa hal yang bersimpangan
dengan esensi dasar hak imunitas. Ahli hukum tata negara, Refly Harun
menerangkan penerapan hak imunitas terhadap anggota DPR diatur dalam
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014. Menurutnya, hak imunitas anggota
dewan berlaku dalam kondisi terkena masalah yang berkaitan dengan materi yang
dibicarakan dalam tugas dan fungsi sebagai DPR seperti pernyataan-pernyataan di
sidang atau kegiatan parlemen. Adapun jika anggota DPR terkena masalah di luar
tugas keparlemenannya apalagi jika masalah itu berkaitan dengan tindak pidana,
maka anggota DPR tidak bisa berlindung dibalik hak imunitas.44
Dengan demikian sejalan dengan pendapat pakar hukum di atas, hak
imunitas anggota DPR bukan berlaku untuk semua jenis tindak pidana. Akan
tetapi hak imunitas anggota DPR hanya berlaku dalam masalah ketika anggota
DPR menyampaikan materi yang dibicarakan dalam tugas dan fungsi sebagai
43Fahri Hamzah : Novanto Punya Hak Imunitas,
http://hukum.rmol.co/read/2017/04/14/287647/Fahri-Hamzah:-Novanto-Punya-Hak-Imunitas-
diakses pada hari Sabtu, 22 Juli 2017. 44 Pakar Hukum : Hak Imunitas DPR Tak Berlaku Untuk Kasus Pidana,
https://detik.com/news/berita/d-3473410/pakar-hukum-hak-imunitas-dpr-tak-berlaku-untuk-kasus-
pidana, diakses pada hari Sabtu, 22 Juli 2017.
49
anggota parlemen. Jadi, hak imunitas yang dimiliki anggota DPR adalah hak yang
berbentuk kebebasan untuk berbicara (freedom of speech) sepanjang dalam
melaksanakan tugas dan kewenangannya.
Salah kaprah mengenai hak imunitas anggota parlemen oleh anggota
DPR yang kemudian dipublikasikan oleh berbagai media tersebut menjadikan
sebuah celah tersendiri di mata masyarakat. Anggota DPR seolah tidak tahu
menahu tentang batasan penggunaan hak imunitasnya. Sehingga mereka dalam
menjalankan tugas dan fungsi serta kewenangannya sering melampaui batasan
imunitas yang telah diatur dalam undang-undang maupun tata tertib dan kode etik
DPR.
Oleh karena itu, dalam menerapkan hak imunitas tidak boleh
mengabaikan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku dan rambu-rambu HAM
yang berlaku secara universal yang antara lain meliputi: pengakuan adanya
persamaan di hadapan hukum dan adanya jaminan kepastian hukum. Sehingga
tercipta suatu keadaan yang harmonis dan tidak bertolak antar perundang-
undangan yang satu dengan yang lainnya.45
F. Sanksi Tehadap Penyalahgunaan Hak Imunitas Oleh Anggota DPR
Telah dijelaskan secara keseluruhan bahwa hak imunitas anggota DPR
secara konstitusional diatur keberadaannya dalam Pasal 20A ayat (3) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang dinyatakan bahwa,
selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, Dewan
Perwakilan Rakyat mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul
dan pendapat, serta hak imunitas.46
Secara yuridis, hak imunitas anggota DPR dapat dilihat dalam Pasal 224
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD
atau saat ini masyarakat biasa menyebutnya Undang-Undang MD3. Dalam ayat
(2) ketentuan yang dimaksud dinyatakan bahwa anggota DPR tidak dapat dituntut
45 Dikdik M. Arief Mansur, Hak Imunitas Aparat Polri Dalam Penanggulangan Tindak
Pidana Terorisme, (Jakarta : Pensil-324, 2012), h., 54. 46 Pasal 20A ayat (3) UUD 1945 Pasca-amandemen, pasal ini memuat hak-hak yang
melekat pada anggota DPR.
50
di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang
dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPR maupun di
luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi dan tugas serta kewenangan DPR. 47
Berdasarkan pemaparan tersebut dapat diketahui bahwa selama anggota
DPR mengemukakan pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang
dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis sepanjang dalam rapat DPR
maupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi dan tugas serta
kewenangan DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan, dan inilah yang
selanjutnya disebut hak imunitas.
Dalam keberadaannya hak imunitas kadang menjadi hal yang
kontroversial dan polemik di tengah masyarakat. Mengingat pelaksanaan hak ini
oleh sebagaian masyarakat dianggap sebagai upaya melindungi diri dari jerat
hukum bagi anggota DPR dalam melaksanakan kewenangannya sebagai wakil
rakyat.
Dalam Pasal 224 ayat (5) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014
menyebutkan, pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR yang
diduga melakukan tindak pidana sehubungan dengan pelaksanaan tugasnya, harus
mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan. Dalam ayat
(6) diatur bahwa Mahkamah Kehormatan Dewan harus memproses dan
memberikan putusan atas surat permohonan tersebut paling lambat 30 hari setelah
surat tersebut diterima.
Namun, ayat (7) menyebutkan, Mahkamah Kehormatan Dewan
memutuskan tidak memberikan persetujuan atas pemanggilan anggota DPR, maka
surat pemanggilan sebagaimana yang dimaksud ayat (5) tidak memiliki kekuatan
hukum atau batal demi hukum. Meski demikian, ada aturan lain yang mengatur
soal pemanggilan anggota DPR terkait tindak pidana, yakni dalam pasal 245.
47 Pasal 224 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD dan
DPRD.
51
Dalam pasal tersebut, pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan
terhadap anggota DPR harus mendapat persetujuan tertulis dari presiden.48
Sedangkan Pasal 245 ayat (2), diatur bahwa jika presiden tidak
memberikan persetujuan tertulis dalam waktu 30 hari sejak permohonan diterima,
maka pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan dapat dilakukan.
Adapun dalam ayat (3), persetujuan tertulis dari presiden tidak berlaku
jika anggota DPR tertangkap tangan melakukan tindak pidana. Aturan itu juga
tidak berlaku bagi anggota yang disangka melakukan tindak pidana yang diancam
dengan pidana mati atau penjara seumur hidup, atau tindak pidana kejahatan
terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan berdasarkan bukti
permulaan yang cukup atau disangka melakukan tindak pidana khusus. Aturan
tersebut juga tidak berlaku bagi yang disangka melakukan tindak pidana khusus.49
48 Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 76/PUU-XII/2014 menyatakan frasa
“Mahkamah Kehormatan Dewan “ dalam Pasal 245 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014
diganti menjadi “Presiden”. 49 Pasal 245 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD.
52
BAB IV
ANALISIS KOMPARATIF HAK IMUNITAS ANGGOTA DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MENURUT
UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 DAN HUKUM ISLAM
A. Analisis Hak Imunitas Anggota DPR RI Menurut Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2014
Hak imunitas anggota DPR RI diatur secara konstitusional dalam Pasal 20
A ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) 1945,
yang dinyatakan bahwa selain hak selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain
Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak
mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, serta hak imunitas.
Artinya, Hak imunitas tersebut adalah hal yang wajar dan kuat secara yuridis
karena Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia merupakan konstitusi
tertinggi dalam hirarki perundang-undangan Indonesia. Selain itu, lembaga
Dewan Perwakilan Rakyat adalah salah satu lembaga tinggi negara yang
mengawasi Pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan dan menjalankan roda
pemerintahan.
Namun, perihal hak imunitas anggota DPR yang terkandung dalam Pasal
20 A ayat (3) UUD NRI 1945 tidak dijelaskan secara eksplisit bagaimana
pengaturan dan pelaksanaannya di bidang legislasi dan peranannya sebagai wakil
rakyat. Mengenai pelaksanaan hak imunitas anggota DPR diatur oleh undang-
undang lainnya yaitu Pasal 224 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 sebagai
berikut :
1. Anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena
pernyataan, pertanyaan dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik
53
secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPR maupun di luar rapat
DPR yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPR.
2. Anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena sikap,
tindakan, kegiatan di dalam rapar DPR ataupun di luar rapat DPR yang
semata-mata karena hak dan kewenangan konstitusional DPR dan/atau
anggota DPR.
3. Anggota DPR tidak dapat diganti antarwaktu karena pernyataan,
pertanyaan dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik di dalam
rapat DPR maupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi
serta wewenang dan tugas DPR.
4. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal
anggota yang bersangkutan mengumumkan materi yang telah disepakati
dalam rapat tertutup untuk dirahasiakan atau hal lain yang dinyatakan
sebagai rahasia negara menurut ketentuan peraturan perundang-
undangan.
5. Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR yang
diduga melakukan tindak pidana sehubungan dengan pelaksanaan tugas
sebagaimana dimaksud ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) harus
mendapatkan persetujuan tertulis Presiden.
6. Presiden harus memproses dan memberikan putusan atas surat
permohonan tersebut dalam jangka waktu paling lama 30 hari setelah
diterimanya pemanggilan keterangannya tersebut.
7. Dalam hal presiden memutuskan tidak memberikan persetujuan atas
pemanggilan anggota DPR, surat pemanggilan sebagaimana yang
dimaksud pada ayat (5) tidak memiliki kekuatan hukum/batal demi
hukum.1
Dengan melihat secara utuh Pasal 224 tentang imunitas anggota DPR ini,
maka secara rasional kita mengatakan bahwa pasal tersebut adalah tepat. Karena
selaku anggota parlemen yang tugas utamanya adalah menyampaikan aspirasi.
1 Pasal 224 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPD.
54
Untuk itu, sudah sepantasnya tugas tersebut dilindungi oleh undang-undang
selama berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan kewenangan konstitusional,
sehingga ketika membuat pernyataan, pertanyaan dan pendapat harus diberikan
kebebasan dan tidak boleh sembarangan untuk diproses hukum. Maka dari itu
pemberian hak imunitas bagi anggota DPR sudah tepat demi menjaga
independenitas dalam menjalankan tugasnya sebagai wakil rakyat tanpa adanya
intervensi dalam bentuk apapun selama tidak bertentangan dengan peraturan dan
kode etik anggota DPR.
Hak imunitas atau kekebalan yang diberikan kepada anggota DPR adalah
untuk menjaga kehormatannya sebagai anggota dewan. Selain itu hak imunitas
tersebut difungsikan agar anggota DPR dapat menjalankan tugas dan kewenangan
dengan baik dan tanpa hambatan terutama dalam menyampaikan pendapat dan
mengawasi kinerja pemerintah. Akan tetapi jika melihat Pasal 224 ayat (5) dan
Pasal 245 yang menjelaskan bahwa apabila anggota DPR tersangkut kasus pidana
penegak hukum harus meminta persetujuan tertulis Mahkamah Kehormatan
Dewan dan Presiden terlebih dahulu sebelum memproses hukum anggota DPR
yang bersangkutan. Hal ini yang menjadi polemik dan berkembang di masyarakat
bahwa anggota DPR mendapat perlakuan yang khusus berbeda dengan
masyarakat pada umumnya dan bertentangan dengan prinsip Equality Before The
Law (persamaan di hadapan hukum). Untuk memahami hal ini, maka perlu untuk
membedah dari aspek hukum konstitusi dan pidana. Asas persamaan di hadapan
hukum (Equality Before The Law) merupakan asas yang utama dalam Deklarasi
Universal HAM dan dianut pula dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945.2
Adanya persamaan kedudukan setiap orang dalam hukum dan
pemerintahan, yang diakui secara normatif dan dilaksanakan secara empirik.
Dalam rangka prinsip persaamaan ini, segala sikap dan tindakan diskriminatif
dalam segala bentuk dan manifestasinya diakui sebagai sikap dan tindakan yang
terlarang, kecuali tindakan-tindakan yang bersifat khusus dan sementara yang
2 Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 berbunyi : “Segala warga negara bersamaan kedudukannya
di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada kecualinya.” Pasal ini disebut juga asas persamaan di hadapan hukum atau “Equality
Before The Law”
55
dinamakan affirmative actions, guna mendorong dan mempercepat kelompok
masyarakat tertentu atau kelompok warga masyarakat tertentu untuk mengejar
kemajuan sehingga mencapai tingkat perkembangan yang sama dan setara dengan
kelompok masyarakat kebanyakan yang sudah jauh lebih maju. Dalam kaitan hak
imunitas anggota DPR, maka konsep persamaan dalam hukum ini bermakna
perlunya diberikan perlakuan yang sama terhadap anggota DPR seperti halnya
warga negara biasa, dalam memperoleh perlindungan hukum.3
Hak Imunitas anggota DPR sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal
224 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 hanya berlaku dalam kebebasan
berbicara sepanjang dalam tugas serta fungsi dan kewenangannya. Disini dapat
diartikan bahwa hak imunitas anggota DPR lebih kepada berbentuk kebebasan
berbicara (freedom of speech), Hak imunitas anggota DPR tidak berlaku untuk
seluruh tindak pidana terutama yang berkaitan dengan tindak pidana khusus
seperti terorisme, penyalahgunaan narkoba, korupsi dan kasus yang merugikan
negara dan kemanusiaan.
Dalam diskursus teori imunitas terdapat 2 (dua) macam doktrin imunitas,
yaitu imunitas absolut dan imunitas restriktif (terbatas). Kedua doktrin ini
dibedakan berdasarkan perbuatan yang dilakukan pejabat pemerintah, baik
perbuatan yang merupakan pelaksanaan dari kedaulatan negara maupun dalam
bidang hukum perdata dan pidana.
Adapun yang termasuk hak imunitas absolut (mutlak) adalah setiap
pernyataan yang dibuat dalam :
1) Sidang-sidang atau rapat parlemen
2) Sidang-sidang pengadilan
3) Tindakan yang dilakukan oleh pejabat-pejabat publik tinggi dalam
menjalankan tugas dan kewenangannya, dan lain-lain.
Sedangkan yang tergolong ke dalam hak imunitas restriktif (terbatas)
yaitu siaran pers tentang isi rapat-rapat parlemen atau sidang pengadilan, ataupun
3 Dikdik M. Arief Mansur, Hak Imunitas Aparat Polri Dalam Penanggulangan Tindak
Pidana Terorisme, (Jakarta : Pensil-324, 2012), h., 68.
56
laporan pejabat yang berwenang tentang isi rapat parlemen atau pengadilan
tersebut.4
Berdasarkan uraian diatas, jika kita melihat doktrin-doktrin imunitas
yang terdiri dari hak imunitas absolut dan restriktif, maka dapat disimpulkan
bahwa kedua hal tersebutlah yang membuat asas imunitas hukum bagi anggota
DPR untuk diberlakukan secara terbatas. Keberlakuan secara terbatas dapat dilihat
pada substansi pengaturan Pasal 224 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014
Tenang MPR, DPR, DPD dan DPRD, dimana diluar apa yang diatur dalam
ketentuan ini maka imunitas sebagai hak kekebalan hukum yang dimiliki anggota
parlemen sesungguhnya menjadi tidak ada.
Hal yang perlu diperhatikan sebagai rekomendasi disini ialah bahwa
imunitas hukum bagi anggota parlemen merupakan hal mutlak untuk disematkan
bagi personal anggota parlemen dalam menjalankan tugas. Keberadaan dan
keberlakuan hak imunitas hukum ini dalam kenyataan diperlukan untuk menjamin
produktivitas maksimal kinerja anggota parlemen. Dalam konteks demikian
keberadaan formal dan substansi Pasal 224 Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD mutlak harus dihadirkan dalam
Undang-Undang ini sebagai bagian penegasan kemutlakan dimaksud sebelumnya.
Kehadiran Pasal 224 ini harus mendapat penjabaran lanjutan dalam
ketentuan normatif dibawah Undang-Undang dengan memperhatikan keberadaan
Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang didalamnya terkandung prinsip persamaan
dihadapan hukum. Penjabaran yang memperhatikan keberadaan prinsip
persamaan di hadapan hukum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 sangat
diperlukan dalam maksud untuk memberi batas-batas tegas keberadaan dan
keberlakuan hak imunitas dimaksud.
Agar hak imunitas yang diberikan kepada anggota DPR yang mempunyai
kedudukan sebagai institusi yang tinggi dalam fungsi legislasi dan pengawasan
mengandung filosofi dan eksistensi Indonesia sebagai negara hukum, maka dalam
merumuskan hak imunitas tentunya harus berpijak pada prinsip-prinsip negara
4 Munir Fuady, Konsep Negara Demokrasi, (Jakarta : Reflika Aditama, 2010), h., 264-265.
57
hukum seperti adanya pengakuan persamaan di muka hukum, aspek legalitas, non
diskriminasi, dan sebagainya.
Di samping itu, hak imunitas yang melekat pada anggota DPR hendaknya
diarahkan pada terbangunnya seperangkat pembatasan-pembatasan serta
peletakkan kewajiban pada masyarakat dan pemerintah untuk menghormati
Undang-Undang tanpa terkecuali. Anggota DPR harus mendapat perlindungan
hukum ketika sedang menjalankan fungsi, tugas dan kewenangannya sesuai
dengan kode etik serta asas-asas pemerintahan yang baik. Sebaliknya imunitas
tidak akan diberikan, bahkan yang bersangkutan akan ditindak sesuai dengan
aturan perundang-undangan, apabila anggota DPR melakukan perbuatan
melanggar hukum.
Berdasarkan pemaparan di atas, penulis menyimpulkan bagaimana
eksistensi hak imunitas anggota DPR yang kaitannya dengan konteks Negara
Hukum Indonesia dan asas persamaan di hadapan hukum, yaitu :
a. Hak imunitas anggota DPR dinyatakan secara tegas dalam konstitusi
Indonesia tepatnya dalam Pasal 20A UUD 1945. Adapun penjelasan
dan penerapan hak imunitas anggota DPR dinyatakan dalam Pasal 224
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD,
dan DPRD (MD3)
b. Hak imunitas diberikan selama anggota DPR lebih berbentuk freedom
of speech, yaitu kebebasan berbicara yang dijamin perlindungannya
oleh hukum.
c. Hak imunitas diberikan selama anggota DPR menjalankan fungsi,
tugas dan wewenangnya, sehingga di luar kewenangannya hak
imunitas tidak diberikan
d. Hak imunitas anggota DPR diwujudkan dalam bentuk hak untuk
dibebaskan dari tuntutan yang sifatnya internal (kode etik dan disiplin)
dan eksternal (Perdata, Pidana dan Administrasi).
58
B. Analisis Hak Imunitas Anggota DPR RI Menurut Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2014 Perspektif Hukum Islam
Dewan Perwakilan Rakyat merupakan lembaga legislatif yang
memegang kekuasaan undang-undang sebagai sistem lembaga perwakilan rakyat.
Dalam sejarah pemerintahan Islam nama lembaga ini telah muncul dalam
beberapa nama. Al-Mawardi menamakan sebagai ahlu al-Ikhtiyar yaitu orang-
orang yang dikelompokkan sebagai orang yang berhak memilih kepala negara dan
membedakan dengan ahl al-Imamah yaitu orang yang dikelompokkan sebagai
orang yang berhak dipilih menjadi pemimpin negara. Namun nama yang pernah
sangat populer untuk lembaga ini adalah dengan ahlu al-Halli wa al-Aqdi
diartikan dengan “Orang-orang yang mempunyai wewenang melonggar dan
mengikat.”Istilah ini dirumuskan oleh ulama fiqih untuk sebutan bagi orang-orang
yang bertindak sebagai wakil umat untuk menyuarakan hati nurani mereka. 5
Menurut Manzooruddin, lembaga ini merupakan lembaga perwakilan
umat yang representatif untuk mengangkat pemimpin negara dan merumuskan
undang-undang. Menurut Abdul Karim Zaidan, tugas orang-orang yang duduk
dalam lembaga ini adalah memilih khalifah, imam atau kepala negara secara
langsung. Sedangkan menurut Abdul Wahab Khallaf, lembaga ini disebut juga al-
Sulthah al-Tasyri’iyyah yaitu lembaga yang bertugas untuk membentuk suatu
hukum yang akan diberlakukan di dalam masyarakat demi kemaslahatan.6
Kedudukan ahlu al-Halli wa al-aqdi dalam negara Islam dianggap begitu
penting karena memang dari ajaran islam sendiri terdapat perintah agar persoalan-
persoalan kaum muslimin ditanggulangi melalui lembaga ini. Ada ayat dari Al-
Qur’an yang dijadikan dasar untuk menyatakan perintah untuk bermusyawarah
dalam penyelenggaraan negara.7 Allah berfirman dalam surat Ali Imran ayat 159
yang berbunyi :
5 Imam Al-Mawardi, Al-Ahkam Al-Sulthaniyah, (Jakarta : Qisthi Press, 2015), h., 6. 6 M. Hasbi Amiruddin, Konsep Negara Islam Menurut Fazlur Rahman, (Yogyakarta : UII
Press, 2006), h., 123. 7 Khamami Zada dan Arif R. Arafah, Diskurus Politik Islam, (Ciputat : LSIP. 2004), h., 25.
59
ة نو فبها رحم ا غليظ ٱهلل م كيت فظ ول مم ٱم لم لت ل و نوم ىن ضل م مم و ٱم ن م ٱيم م مم ف ٱم مم وشاورم م ل
م ٱم كهلل ت ف فإذو عزنم لع إنهلل ٱهلل ي ض ٱهلل ك مه (١٥٩: ٣ /ال عمران) ١٥٩ و ل
Artinya :
“Maka dengan rahmat Allah engkau bersikap lemah lembut terhadap
mereka. Sekiranya engkau bersikap kasar dan berhati keras, niscaya mereka akan
menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah
ampun bagi mereka, dan bermusyawarhlah dengan mereka dalam urusan
tertentu. Kemudian apabila engkau telah membulatkan tekad, bertawakallah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakkal.”
(Q.S Ali Imran/ 3: 159).
Kemudian dilanjutkan dalam surat As-Syura ayat 38 yang berbunyi :
و و ٱهلل و اا و ٱم قا مم وأ و ل ب ل مم للهلل ا رزقمنو مم و ههلل مم شرىو ايمي م
وأ
( ٣٨ :٤٢ /الشورى) ٣٨ ين ن
Artinya :
“Dan orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan
mendirikan shalat, sedangkan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah
antar mereka; dan mereka menafkahkan sebagian rexeki yang Kami berikan
kepada mereka.” (Q.S. As-Syura /42 : 38).
Dari segi redaksional kedua ayat ini ditujukan kepada Nabi Muhammad
SAW agar memusyawarahkan persoalan-persoalan tertentu dengan sahabat atau
anggota masyarakat. Karena itu ayat ini juga merupakan petunjuk kepada setiap
muslim dan kepada setiap pemimpin agar musyawarah dengan anggotanya
dijadikan suatu keharusan dalam memutuskan ssesuatu untuk kepentingan umat
termasuk dalam masalah-masalah politik yang sedang mereka hadapi. Kedua ayat
inilah yang menjadi dasar terbentuknya lembaga perwakilan rakyat dalam Islam
atau yang dikenal dengan istilah Ahlu al-Halli wa al-Aqdi yang mempunyai tugas
60
untuk bermusyawarah dalam menyelesaikan suatu persoalan atau dalam
membentuk undang-undang.8
Ahlu al-Halli wa al-Aqdi terdiri dari para ulama dan ilmuwan spesialis
yang kapabel (mujtahid), mufti, para pakar dalam berbagai bidang serta para
pemuka dan tokoh masyarakat yang mewakili umat.9 Karena menetapkan syari’at
sebenarnya hanyalah wewenang Allah, maka wewenang dan tugas Ahlu al-Halli
wa al-Aqdi hanya sebatas menggali dan memahami sumber-sumber syari;at, yaitu
Al-Qur’an dan Sunnah serta menjelaskan hukum-hukum yang terkandung di
dalamnya. Selain itu, undang-undang dan peraturan yang akan dikeluarkan oleh
lembaga ini harus mengikuti ketentuan-ketentuan Al-Qur’an.
Berbeda dengan fungsi badan legislatif di dalam sistem negara modern,
yang umumnya dianut oleh negara-negara dunia sekarang ini fungsi lembaga Ahlu
al-Halli wa al-Aqdi di dalam sistem negara Islam lebih luas dan lebih kuat
peranannya yaitu : 10
1. Hak untuk mengangkat dan memilih khalifah
Ahlu al-Halli wa al-Aqdi mempunyai hak mengangkat dan memilih
khalifah (kepala negara) sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh
syariat. Syarat-syarat calon khalifah haruslah yang sesuai dengan ketentuan-
ketentuan syariat pula.
2. Hak untuk memecat dan memberhentikan khalifah
Ahlu al-Halli wa al-Aqdi mempunyai hak untuk memecat dan
memberhentikan khalifah (kepala negara), apabila Ahlu al-Halli wa al-Aqdi
menilai telah melakukan pelanggaran terhadap syariat, konstitusi dan perundang-
undangan lainnya.
3. Hak untuk membuat undang-undang dan kebijakan
Ahlu al-Halli wa al-Aqdi berhak untuk membuat konstitusi dan undang-
undang dengan senantiasa berorietasi pada ketentuan-ketentuan syariat yang
8 Ibid, h., 124. 9 Wahbah al-Zuhaili, Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, (Jakarta : Gema Insani, 2011, Jilid 8),
h., 298. 10 Abdul Qadir Djaelani, Negara Ideal Menurut Konsepsi Islam, (Surabaya : PT. Bina Ilmu,
1995), h., 191-192.
61
diatur di dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Terhadap nilai-nilai dan norma-norma
yang diatur secara pasti oleh syariat, Ahlu al-Halli wa al-Aqdi berhak untuk
melakukan interpretasi dan rinciannya. Sedangkan terhadap masalah yang tidak
secara langsung diatur oleh syariat, Ahlu al-Halli wa al-Aqdi berhak untuk
membuat ketentuan-ketentuannya secara ijtihad, dengan syarat tidak bertentangan
dengan syariat baik semangatnya walaupun formulasinya.
Menurut Manzooruddin Ahmed, Ahlu al-Halli wa al-Aqdi mempunyai
tugas yaitu bermusyawarah untuk menentukan sesuatu masalah yang
dipergunakan untuk semua masalah yang tidak diatur oleh ketentuan-ketentuan
Al-Qur’an dan Sunnah. Tugas ini bukan hanya untuk pembuatan suatu undang-
undang, tetapi untuk semua pertanyaan-pertanyaan sekitar pembuatan kebijakan,
strategi, tata usaha pemerintahan umum dan sebagainya. Masalah-masalah ini
dapat diajukan dalam suasana pembuatan kebijakan politik, seperti kebijakan
politik tentang semua masalah, dengan mempergunakan pertimbangan-
pertimbangan yang layak dan perhitungan kondisi.11
Dalam pemikiran politik Islam klasik, konsep imunitas sama sekali tidak
dijelaskan karena pada saat itu konstruksi politik Islam masih dalam perdebatan
seputar hubungan antara agama dan negara. Konsep imunitas terbentuk ketika
Islam harus menghadapi realitas politik modern yang berkembang pesat di seluruh
dunia.
Pada masa modern sejalan dengan masuknya pemikiran politik barat
terhadap islam, pemikiran tentang Ahlu al-halli wa al-Aqdi juga berkembang. Para
ulama siyasah mengemukakan pentingnya Lembaga Perwakilan Rakyat atau
DPR/MPR sebagai representasi dari kehendak rakyat. Mereka mengemukakan
gagasan tentang Ahlu al-Halli wa al-Aqdi ini dengan mengombinasikannya
dengan pemikiran-pemikiran politik yang berkembang di barat.12
Sebagaimana dijelaskan dalam bab II, imunitas atau kekebalan disebut
juga al-Hashaanah yang memiliki arti “kekebalan”. Imunitas dalam teori politik
11 Manzooruddin Ahmed, Islamic Politycal System in The Modern Age, (Karachi : Saad
Publication, 1982), h., 157. 12 Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah : Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta : Gaya
Media Pratama, 2001), h., 163
62
islam modern memiliki substansi yang sama dengan konsep imunitas yang dibawa
oleh eropa namun masih dibatasi oleh ketentuan-ketentuan syariat Islam, berbeda
dengan ketentuan dan aturan-aturan hukum konvensional yang berlaku.
Berkaitan dengan hak imunitas anggota DPR dalam politik Islam modern
tidak dijelaskan secara spesifik. Namun tidak jauh berbeda dari hukum
konvensional. Karena pada dasarnya dalam Islam, imunitas merupakan hasil
produk ijtihad para mujtahid kontemporer terhadap imunitas yang dikenalkan
negara barat.. Menurut Wahbah al-Zuhaili, para pejabat negara yang berkenan
memiliki hak imunitas tersebut ialah perwakilan negara, agen, organisasi dan
lembaga-lembaga negara, dan juga unit-unit politik seperti menteri-menteri, dan
wakil-wakil administrasi lainnya yang melaksankan kepentingan negara.13
Dengan melihat substansi hak imunitas yang terkandung dalam Pasal 224
Undang-Undang Nomor 17 tahun 2014, hak imunitas yang dimiliki anggota DPR
hanya berbentuk kebebasan berbicara (freedom of speech) yang tidak dapat
dipidana. Dalam Al-Qur’an keterangan tentang kebebasan berbicara, berpendapat
dan bertindak (yang merupakan ciri utama dari hak imunitas) terdapat dalam QS.
Ali Imran ayat 104 dan Q.S Thaha ayat 44 sebagai berikut :
كو عن إل ولم ة دم نهلل نيكمم أ م
ون ٱمم و و مه م ن عو ل م و يم
هين م م ل ولئ
ل ن وأ مهنم (١٠٤: ٣ /ال عمران ) ١٠٤ ل
Artinya :
“Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang
munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung.” (Q.S. Ali Imran /3 : 104)
وم م و ف و أ كهلل ا ٱهلل لهلل يال وال هلل م (٤٤ :٢٠ /طه ) ٤٤ ق
Artinya :
“Berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah
lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (Q.S Thaha/ 20 : 44).
13 Wahbah al-Zuhaili, , Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, (Jakarta : Gema Insani, 2011, Jilid 8),
h., 519.
63
Kedua ayat tersebut menjelaskan bahwa Islam juga menjamin adanya
kebebasan untuk berbicara dan mengutakan pendapat dalam segala ruang lingkup
perkara dunia, baik dalam urusan umum maupun kelompok. Akan tetapi
kebebasan tersebut sepatutnya digunakan dengan diiringi perbuatan yang baik dan
yang membawa manfaat bagi sekitarnya. Tujuan utama kebebasan berpendapat
bukanlah untuk berkelit akan tetapi untuk menyeru kebenaran dan kebaikan.
Karena itu kebebasan berpendapat sebagaimana yang ditetapkan syariat Islam,
merupakan wasilah penting dari yang diungkap oleh peradaban, sekaligus wasilah
mencapai kesejahteraan.14
Dengan demikian, dalam urusan tata pemerintahan konstitusional
menharuskan adanya penghormatan dan perlindungan terhadap hak-hak individu
dan masyarakat karena makna dan implementasi kedua hak ini berkaitan satu
sama lain. Contohnya, menghormati kebebasan individu untuk berbicara,
bertindak serta mengutarakan pendapat. Hak tersebut harus dijalankan secara
efektif baik individu maupun kelompok dalam konteks yang relevan. Karena hak
merupakan alat untuk merealisasikan tujuan, keadilan sosial, stabilitas politik dan
perkembangan ekonomi untuk seluruh lapisan masyarakat, hak harus dipahami
sebagai sebuah proses dinamis daripada aturan-aturan hukum yang abstrak.15
Menurut Abdullahi Ahmed Al-Na’im, hak-hak seperti kebebasan untuk
berbicara dan berpendapat tidak akan beguna tanpa adanya lembaga-lembaga
untuk menjalankannya, termasuk adanya kemampuan untuk mengajukan dan
menindak pebuatan aparatur pemerintahan dan menjaga mereka agar tetap
akuntabel. Karena itu, aparatur pemerintahan seharusnya tidak boleh
menyembunyikan kegiatannya, menutup-nutupi praktik penyalahgunaan
kekuasaan yang dilakukannya. Ini berarti transparansi kegiatan pegawai negara
adalah sebuah kebutuhan. Transparansi ini dapat dicapai melalui perundang-
undangan, aturan administratif dan juga kebebasan pers, serta kemungkinan
adanya tuntutan atas pegawai negara yang menyalahgunakan kekuasaan atau
mengindari tanggung jawabnya. Transparansi administratif tidak mungkin
14 Yusuf al-Qaradhawi, Fiqih Negara, (Jakarta : Robbani Press, 1997), h., 77 15 Abdullahi Ahmed Al-Na’im, Islam dan Negara Sekular Menegosiasikan Masa Depan
Syariah, (Bandung : PT. Mizan Pustaka, 2007), h., 164
64
mungkin menghasilkan akuntabilitas politik dan hukum bila tidak disertai adanya
lembaga yang independen dan kompeten yang bisa menginvestigasi kemungkinan
penyalahgunaan kekuasaan.16
Apabila melihat kembali eksitensi Lembaga Perwakilan Rakyat atau Ahlu
al-Halli wa al-Aqdi dalam politik Islam sebenarnya sudah tak perlu lagi
diberikannya hak imunitas, sebab institusi tersebut memiliki kedudukan dan
fungsi yang lebih tinggi dalam pemerintahan. Dalam literarur fiqih siyasah jabatan
Ahlu al-Halli wa al-Aqdi wajib diisi oleh ulama’, fuqoha dan orang-orang yang
ahli di bidang hukum dan syari’at. Namun seiring berkembangnya zaman ke arah
modern tak menutup kemungkinan juga hukum pun semakin bekembang dan
dinamis, maka imunitas dibutuhkan untuk mendukung kinerja dari ahlu al-Halli
wa al-Aqdi agar menjaga eksistensi dan independenitas sebagai institusi besar
yang mengawasi pemerintah dalam hal ini kepala negara atau khalifah.
Hal ini sejalan dengan qaidah fiqhiyyah yang berbunyi :
ة ام ياة العا ى مها الولا ة أاقوا اص ياة الخا الولا
Artinya : “Kekuasaan yang khusus lebih kuat (kedudukannya) daripada
kekuasaan yang umum.”
Maksud dari kaidah di atas adalah bahwa lembaga-lembaga yang khusus
lebih kuat kedudukannya daripada lembaga yang umum. Lembaga ahlu al-Halli
wa al-Aqdi merupakan salah satu lembaga yang khas kedudukannya. Jika melihat
intisari dari kaidah tersebut, maka sudah barang tentu dan sah saja bilamana
Lembaga Perwakilan Rakyat (ahlu al-Halli wa al-Aqdi) diperkuat dengan sebuah
hak yang berupa hak imunitas (al-Hashaanah).17
Berdasarkan uraian diatas, dapat diketahui bahwa berdasarkan hukum
tata negara islam hak imunitas (al-Hashaanah) bagi anggota DPR atau (Ahlul
Halli wal Aqdi) itu diperbolehkan. Meskipun di dalam ketentuan Al-Qur’an dan
Sunnah Nabi tidak dijelaskan, akan tetapi bisa ditetapkan melalui ijtihad dengan
metode taqnin (pengadaan undang-undang fiqih). Yaitu proses pembentukan
16 Ibid, h., 165. 17 A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih : Kaidah-Kaidah Hukum Islam Dalam Menyelesaikan
Masalah-Masalah Yang Praktis, (Jakarta : Kencana, 2007, Cetakan kedua), h., 150
65
undang-undang dan penyelesaian suatu masalah yang tidak diatur oleh nash.
Setelah keluarnya taqnin, kemudian hukum-hukum itu dikemukakan kepada
jumhur dalam bentuk hukum yang pasti dan ringkas sebagai perintah yang keluar
dari lembaga yang memiliki otoritas.18
Selanjutnya, taqnin tersebut tidak boleh berlawanan dengan kaidah
syari’ah dan prinsip-prinsipnya dengan kebebasan syura, kebebasan berijtihad dan
kebebasan memilih mazhab atau pendapat. Yang pasti, taqnin tidak akan menjadi
syar’i dan benar dalam fiqih, kecuali konsisten dengan batas-batas syari’ah yang
dijalankan oleh mujtahid atau para muqallid, bukan merupakan produk campur
tangan dari pihak asing untuk kepentingan asing pula.
Berdasarkan uraian di atas, penulis menyimpulkan pemberin hak
imunitas kepada anggota Ahlu al-Halli wa al-Aqdi merupakan sebuah kebolehan
dengan melihat pertimbangan bahwa hak tersebut digunakan dalam konteks hanya
dalam menjalankan tugas, fungsi, dan wewenangnya sebagai lembaga legislasi
dan pengawasan terhadap eksekutif (pemerintah). Adapun cara merumuskannya
melalui ijtihad dengan metode taqnin, yaitu proses pengadaan undang-undang
dalam hukum Islam yang dirumuskan oleh beberapa ahli hukum dan para ahli
(fuqoha).
Tentunya, dalam proses pembentukan dan pelaksanaan hak imunitas bagi
anggota ahlu al-Halli wa al-Aqdi tidak boleh melampaui batasan-batasan yang
telah ditetapkan oleh syari’at Islam. Karena prinsip utama dalam syari’at Islam
adalah prinsip keadilan, artinya syari’at Islam berlaku untuk semua golongan
tanpa membeda-bedakan status, jabatan maupun identitas lainnya.
18 Taufiq Muhammad Asy-Syawi, Demokrasi atau Syura, (Jakarta : Gema Insani, 2013), h.,
114
66
C. Persamaan dan Perbedaan Hak Imunitas Anggota DPR RI Menurut
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 dan Hukum Islam
Berdasarkan penjelesan di atas dapat diketahui bahwa berdasarkan
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 anggota DPR memiliki hak imunitas
yang diakui dan dijamin oleh konstitusi, sedangkan berdasarkan hukum Islam
anggota DPR atau Ahlu al-Halli wa al-Aqdi diperbolehkan memiliki hak imunitas.
Dari alasan-alasan yang telah dipaparkan baik dalam peraturan perundang-
undangan maupun hukum Islam, meskipun pada akhirnya hasil dari analisis ini
berbeda, akan tetapi keduanya memiliki kesamaan.
1. Analisis Persamaan
Mengenai persamaan konsep hak imunitas anggota DPR menurut
pandangan hukum Islam dan hukum positif di Indonesia mencakup kepada :
a. Definisi Imunitas
Mengenai definisi imunitas menurut hukum Islam dan hukum
konvensional atau positif sama-sama mendefinisikan dengan kekebalan untuk
tidak dapat dipidana oleh yurisdiksi negara baik dari hukum perdata, administrasi
dan hukum pidana. Hak istimewa tersebut diberikan kepada pejabat atau abdi
negara dalam menjalankan fungsi, tugas dan wewenangnya sebagai aparatur atau
pejabat pemerintahan. Hak imunitas tersebut dijamin oleh ketentuan hukum di
suatu negara.
b. Pelaksanaan Hak Imunitas Anggota DPR
Dengan melihat substansi yang terkandung Pasal 224 Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPD bahwa hak imunitas
anggota DPR lebih berbentuk kebebasan berbicara (freedom of speech) yang
dilindungi oleh konstitusi. Sedangkan di dalam Al-Qur’an, kebebasan berbicara
(yang merupakan ciri utama hak imunitas) di atur dalam Surat Ali Imron ayat 104
dan Surat Thaha ayat 44. Ayat tersebut menjelaskan tentang kebebasan berbicara
dan mengutarakan pendapat di segala ruang lingkup perkara dunia, baik urusan
67
umum atau urusan kelompok. Ayat ini juga menjelaskan tentang menyampaikan
kebenaran dan menyeru kebaikan kepada orang lain.
c. Batasan Hak Imunitas Anggota DPR
Secara garis besar, menurut hukum positif Indonesia dan hukum tata
negara islam anggota DPR atau Ahlu al-Halli wa al-Aqdi mempunyai tugas dan
fungsi serta kewenangan yang sama, terutama berkenaan dengan fungsi legislasi
dan hak untuk mengutarakan pendapat.
Hak imunitas anggota DPR yang terkandung dalam pasal 224 Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2014 maupun yang berlaku dalam hukum Islam tidak
berlaku penuh untuk semua tindak pidana. Apalagi jika tindak pidana tersebut
termasuk ke dalam tindak pidana khusus seperti terorisme, korupsi,
penyalahgunaan narkotika. Jadi, hak imunitas anggota DPR harus dibatasi agar
tidak terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dan abuse of power.
2. Analisis Perbedaan
Sedangkan mengenai perbedaan konsep hak imunitas anggota DPR
menurut pandangan hukum Islam dan hukum positif di Indonesia mencakup
kepada :
a. Definisi Imunitas
Imunitas dalam perspektif hukum Islam secara langsung memang tidak
disebutkan dalam dalil-dalil qath’i, hal ini disebabkan bahwa Al-Qur’an dan
Sunnah merupakan sumber hukum primer, bukan undang-undang layaknya
berlaku di Indonesia yang memang secara khusus dibuat untuk menangani suatu
permasalahan hukum tertentu. Sehubungan dengan hal ini, maka dapat dimaklumi
jika kedua sumber hukum Al-Qur’an dan Sunnah hampir tidak pernah
memberikan sebuah definisi. Termasuk di dalamnya definisi imunitas. Tetapi
bukan berarti tidak bisa dilacak ataupun ditelaah perihal imunitas dalam Al-
Qur’an dan Sunnah.
Pada masa pemerintahan Islam klasik belum ada yang membuat atau
menetapkan hukum tentang imunitas. Karena pada masa itu otoritas pemerintahan
masih dipegang oleh khalifah atau kepala negara dan realitas politik pada masa itu
68
masih memperbincangkan bagaimana hubungan antara agama dan negara, apakah
agama harus dipisah dengan negara atau sebaliknya agama yang harus mengatur
negara.
Sedangkan imunitas dijelaskan dan diatur diatur dalam hukum positif
antara lain yaitu dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR,
DPR, DPD dan DPRD atau biasa disebut dengan UU MD3.
b. Pelaksanaan Hak Imunitas Anggota DPR
Dalam hukum Islam pengaturan dan pelaksanaan hak imunitas anggota
DPR tidak diatur dalam Al-Qur’an dan Sunnah, pelaksanaan hak imunitas dapat
diatur melalui ijtihad dengan metode taqnin, yaitu metode pengadaan undang-
undang fiqih yang dirumuskan oleh ulama dan ahli hukum berdasarkan kaidah
syari’ah dan prinsip-prinsipnya.
Dalam Undang-Undang (hukum positif) hak imunitas anggota DPR
sudah diatur dalam Pasal 20A Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Tahun
1945. Kemudian pelaksanaannya diatur melalui Pasal 224 Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD.
c. Batasan Hak Imunitas Anggota DPR
Dalam ketentuan hukum positif terdapat 2 (dua) macam doktrin imunitas,
yaitu imunitas absolut dan imunitas restriktif (terbatas). Kedua doktrin ini
dibedakan berdasarkan perbuatan yang dilakukan pejabat pemerintah, baik
perbuatan yang merupakan pelaksanaan dari kedaulatan negara maupun dalam
bidang hukum perdata dan pidana.
Adapun yang termasuk hak imunitas absolut (mutlak) adalah setiap
pernyataan yang dibuat dalam :
1. Sidang-sidang atau rapat parlemen
2. Sidang-sidang pengadilan
3. Tindakan yang dilakukan oleh pejabat-pejabat publik tinggi dalam
menjalankan tugas dan kewenangannya, dan lain-lain.
Sedangkan yang tergolong ke dalam hak imunitas restriktif (terbatas)
yaitu siaran pers tentang isi rapat-rapat parlemen atau sidang pengadilan, ataupun
69
laporan pejabat yang berwenang tentang isi rapat parlemen atau pengadilan
tersebut.
Berbeda dengan ketentuan hukum positif, dalam hukum Islam tidak
mengenal hak imunitas absolut. Syariat Islam berlaku untuk seluruh golongan
baik itu masyarakat biasa maupun pejabat pemerintahan sekalipun. Karena yang
dijadikan pondasi lahirnya syariat Islam adalah asas persamaan dan keadilan di
hadapan hukum.19
Seperti yang telah dijelaskan dalam Al-Qur’an Surat Al-
Maidah ayat 8 yang berbunyi :
ا ضأ و ي دو ٱهلل ش ون ٱهلل و ق هلل و كى وني وو يم نيهللكمم ٱم م
و دل وهلل ت م أ م لع م ان ق شن و دل و عم ىو قم لل هلل م
أ و تهلل إنهلل ٱهلل ٱهلل
هلن اها ت م (٨ :٥ /المائدة ) ٨خب Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang
yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil.
Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu
untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada
taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al-Maidah /5 : 8)
Ayat di atas menjelaskan bahwa esensi dari persamaan dalam hukum
adalah sikap adil di dalam menerapkan ketentuan-ketentuan hukum bagi semua
warga negara, tanpa mengenal diskriminasi apapun: apakah ia seorang rakyat
jelata atau penguasa; apakah ia seorang fakir atau hartawan, dan lain sebagainya.
19 Abdul Qadir Djaelani, Negara Ideal Menurut Konsepsi Islam, (Surabaya : PT. Bina Ilmu,
1995), h., 260.
70
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil uraian pada bab-bab sebelumnya, maka penulis
mengambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Hak imunitas anggota DPR RI sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2014 menjelaskan bahwa hak imunitas
merupakan suatu hak konstitusional yang diberikan kepada anggota
DPR untuk tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena
pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik
secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat
DPR yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPR.
Adapun substansi yang terkandung dalam hak imunitas tersebut lebih
berbentuk kebebasan berbicara (freedom of speech) yang dijamin oleh
konstitusi.
2. Dalam syari’at Islam, hak imunitas yang ada pada anggota DPR
secara rinci tidak disebutkan. Namun, dalam Al-Qur’an menyinggung
tentang kebebasan berbicara, berpendapat dan bertindak yang
merupakan substansi dari hak imunitas pada anggota DPR. Jadi, hak
imunitas dapat diberikan kepada anggota DPR melaui ijtihad para ahlu
syura, mujtahid, serta ulama dengan menggunakan metode taqnin atau
formalisasi undang-undang fiqih yang kemudian disahkan oleh umara
atau pemerintah.
3. Persamaan mengenai ketentuan hak imunitas bagi anggota DPR
menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 dan hukum Islam
bahwa keduanya sama-sama menjamin pelaksanaan hak imunitas
yang berupa hak kebebasan berbicara terhadap anggota DPR atau
Ahlu al-Halli wa al-Aqdi. Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2014, hak imunitas anggota DPR RI dibatasi yaitu dalam kondisi
71
terkena masalah dengan materi yang dibicarakan dalam tugas dan
fungsi DPR. Sedangkan dalam hukum Islam hak imunitas tersebut
dibatasi dengan syari’at Islam dan prinsip-prinsipnya.
B. Saran
Hak imunitas yang diatur secara konstitusional dalam Pasal 224 Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2014 bertujuan agar anggota DPR dapat melaksanakan
fungsi dan tugas dan kewenangannya tanpa adanya hambatan. Dengan demikian,
setelah diberikannya hak imunitas tersebut maka seyogyanya anggota DPR
semakin produktif dan aktif dalam menyuarakan aspirasi serta bertindak untuk
kepentingan masyarakat secara maksimal. Selanjutnya, jangan sampai hak
imunitas tersebut digunakan di luar tugas dan kewenangannya, apalagi digunakan
untuk tindakan yang sewenang-wenang. Kepada seluruh lapisan masyarakat
harus ikut mengontrol bagaimana kinerja anggota DPR pada umumnya dan
mengenai penerapan hak imunitasnya pada khususnya, dengan tetap berpedoman
terhadap undang-undang, yaitu Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014.
72
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an Al-Karim
Adolf, Huala. Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional, Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2002
Ahmadi, Fahmi M. dan Jaenal Aripin. Metode Penelitian Hukum, Ciputat :
Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2010
Ahmed, Manzooruddin. Islamic Politycal System in The Modern Age, Karachi :
Saad Publication, 1982
Al-Mawardi, Imam Al-Ahkam Al-Sulthaniyah, Jakarta : Qisthi Press, 2015
Al-Qaradhawi, Yusuf. Fiqih Negara, Jakarta : Robbani Press, 1997
Al-Zuhaili, Wahbah. Fiqh al-Islam wa Adillatuhu. Jilid 8, Jakarta : PT. Gema
Insani, 2011
Amiruddin, Muhammad Hasbi. Konsep Negara Islam Menurut Fazlur Rahman,
Yogyakarta : UII Press, 2006
An-Na’im, Abdullahi Ahmed. Islam Dan Negara Sekular Menegosiasikan Masa
Depan Syariah, Bandung : PT. Mizan Pustaka, 2007
Ardhiwisastra, Yudha Bhakti. Hukum Internasional : Bunga Rampai, Bandung :
PT. Alumni, 2003
Arief Mansur, Dikdik M. Hak Imunitas Aparat Polri Dalam Penanggulangan
Tindak Pidana Terorisme, Jakarta : Pensil-324, 2012
Asshiddiqie, Jimly. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta : Raja Grafindo
Persada, 2013
Ashri, Muhammad. Hukum Internasional dan Hukum Islam tentang Sengketa dan
Perdamaian, Jakarta : Gramedia Pustaka, 2013
Asy-Syawi, Taufiq Muhammad. Demokrasi atau Syura, Jakarta : Gema Insani,
2013
Aulawi, Akhmad. Perspektif Pelaksanaan Hak Imunitas Anggota Parlemen Dan
Pelaksanaannya Di Beberapa Negara, Jurnal Rechtsvinding, Media
Pembinaan Hukum Nasional.
73
Ba’albaki, Munir. Al-Maurid a Modern English-Arabic Dictionary, Beirut : Dar
El-Ilm, 1992
Badawi, Tsarwat. Al- Nuzhum al-Siyasiyyah, Jilid 1, Kairo : Dar al-Nahdlah al-
Arabiyyah, 1967
Busroh, Abu Daud. Ilmu Negara, Jakarta : Bumi Aksara, 2009
Djaelani, Abdul Qadir Negara Ideal Menurut Konsepsi Islam, Surabaya : PT.
Bina Ilmu, 1995
Djazuli, A. Kaidah-Kaidah Fikih : Kaidah-Kaidah Hukum Islam Dalam
Menyelesaikan Masalah-Masalah Yang Praktis, Jakarta : Kencana,
2007
Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid VI, Jakarta : Cipta Adi Pustaka, 1989
Fuady, Munir. Konsep Negara Demokrasi, Bandung : Refika Aditama, 2010
___________. Teori Negara Hukum Modern, Jakarta: PT. Refika Aditama, 2009
Gaffar, Afan. Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, 2006
Gautama, Sudargo. Aneka Masalah Hukum Perdata Internasional, Bandung :
Alumni, 1985
________________. Hukum Perdata Internasional Indonesia, Jakarta : Bina
Cipta, 1998
Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan, Jakarta : Kompas Media Nusantara,
2003
Hasan, Mustofa dan Beni Ahmad Saebani. Hukum Pidana Islam, Bandung :
Pustaka Setia, 2013
Iqbal, Muhammad. Fiqh Siyasah : Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Jakarta:
Gaya Media Pratama, 2001
Joko, Subagyo. Metodologi Penelitian, Dalam Teori Dan Praktek, Jakarta :
Rineka Cipta, 2011
Kaczorowska, Alina. Textbook of Public Interational Law, London : Old Bailey
Press : 2002
Kamil, Sukron. Pemikiran Politik Islam Tematik, Jakarta : PT. Kencana, 2013
Kholiq, Farid Abdul. Fikih Politik Islam, Jakarta : Sinar Grafika, 2005
74
Konvensi Internasiona Wina Tahun 1961
Kusnardi, Mohammad dan Bintan R. Saragih, Susunan Pembagian Kekuasaan
Menurut UUD 1945, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1994
___________________. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta :
Sinar Bakti Fakultas Hukum UI, 1988
Kusumaatmadja, Mochtar, Pengantar Hukum Internasional, Bandung : Bina Cipta,
1976,
Maksudi, Beddy Irawan. Sistem Politik Indonesia-Pemahaman Secara Teoritik
dan Empirik, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2012
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum, Jakarta:Kencana Prenada Media,
2014
Poerwadarminta, W.J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Cet. Ke-5, Jakarta :
PT. Balai Pustaka, 1976,
Prajogo, Soesilo Kamus Hukum Internasional dan Indonesia, Jakarta : WIPRESS,
2007
Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum, Semarang : PT Citra Aditya Bhakti, 2014
R.J Lolong, Wenly. Problematika Imunitas Hukum Anggota Parlemen Ditinjau
dari Prinsip Equality Before The Law, Jurnal Al-Ahkam Vol V No. 2,
Desember 2015
Sanit, Arbi. Perwakilan Politik Di Indonesia, Jakarta : CV. Rajawali, 1985
Simorangkir, J.C.T. Hukum dan Konstitusi Indonesia, Jakarta : Gunung Agung,
1983
Soehino, Ilmu Negara, Yogyakarta: Liberty, 1996
Suryokusumo, Sumaryo. Hukum Diplomatik dan Kasus, Bandung : PT Alumni,
1995
Suseno, Frans Magnis. Kuasa Moral, Jakarta : PT. Gramedia, 1998
Starke, J.G, Pengantar Hukum Internasional, Jakarta : Sinar Grafika, 2007
Syahmin, Hukum Diplomatik Dalam Rangka Studi dan Analisis, Jakarta : Raja
Grafindo, 2008,
Titik Triwulan, Tutik. Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca
Amandemen UUD 1945, Jakarta : Kencana, 2011
75
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD
Wigley, Simon Parliamentary Immunity: Protecting Democracy or Protecting
Corruption¸ The Journal of Political Philosophy, Volume 11, Number
1, 2003
Yusuf, A. Muri. Metode Penelitian; Kuantitatif, Kualitatif dan Penelitian
Gabungan, Jakarta : PT. Kencana Prenada Media, 2014
Zada, Khamami dan Arif R. Arafah, Diskurus Politik Islam, Ciputat : LSIP, 2004
WEBSITE :
Doro Ringo : www.academia.edu/5047144/Immunitas_Negara diakses pada hari
Sabtu, 22 Juli 2017
Fahri Hamzah : Novanto Punya hak Imunitas
http://hukum.rmol.co/read/2017/04/14/287647/Fahri-Hamzah:-
Novanto-Punya-Hak-Imunitas- diakses pada hari Sabtu, 22 Juli 2017
Refly Harun : Hak imunitas DPR tak berlaku untuk kasus pidana.
https://detik.com/news/berita/d-3473410/pakar-hukum-hak-imunitas-
dpr-tak-berlaku-untuk-kasus-pidana, diakses pada hari Sabtu, 22 Juli
2017
Teddy : Hak Imunitas dan Interpelasi DPR. http://pakteddy.blogspot.com/2008/11/hak-
imunitas-dan-interpelasidpr.html diakses pada hari Sabtu, 22 Juli 2017
- 31 -
(2) Fungsi anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf b dilaksanakan untuk membahas dan memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap rancangan undang-undang tentang APBN yang diajukan oleh Presiden.
(3) Fungsi pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf c dilaksanakan melalui pengawasan atas pelaksanaan undang-undang dan APBN.
Bagian Ketiga Wewenang dan Tugas
Paragraf 1 Wewenang
Pasal 71
DPR berwenang:
a. membentuk undang-undang yang dibahas dengan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama;
b. memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang diajukan oleh Presiden untuk menjadi undang-undang;
c. membahas rancangan undang-undang yang diajukan oleh Presiden atau DPR yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, dengan mengikutsertakan DPD sebelum diambil persetujuan bersama antara DPR dan Presiden;
d. memperhatikan pertimbangan DPD atas rancangan undang-undang tentang APBN dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama;
e. membahas . . .
- 32 -
e. membahas bersama Presiden dengan memperhatikan pertimbangan DPD dan memberikan persetujuan atas rancangan undang-undang tentang APBN yang diajukan oleh Presiden;
f. membahas dan menindaklanjuti hasil pengawasan yang disampaikan oleh DPD atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama;
g. memberikan persetujuan kepada Presiden untuk menyatakan perang dan membuat perdamaian dengan negara lain;
h. memberikan persetujuan atas perjanjian internasional tertentu yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang;
i. memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam pemberian amnesti dan abolisi;
j. memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam hal mengangkat duta besar dan menerima penempatan duta besar negara lain;
k. memilih anggota BPK dengan memperhatikan pertimbangan DPD;
l. memberikan persetujuan kepada Presiden atas pengangkatan dan pemberhentian anggota Komisi Yudisial;
m. memberikan persetujuan calon hakim agung yang diusulkan Komisi Yudisial untuk ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden; dan
n. memilih 3 (tiga) orang hakim konstitusi dan mengajukannya kepada Presiden untuk diresmikan dengan keputusan Presiden.
Paragraf 2 . . .
- 33 -
Paragraf 2 Wewenang
Tugas
Pasal 72
DPR bertugas:
a. menyusun, membahas, menetapkan, dan menyebarluaskan program legislasi nasional;
b. menyusun, membahas, dan menyebarluaskan rancangan undang-undang;
c. menerima rancangan undang-undang yang diajukan oleh DPD berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah;
d. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang, APBN, dan kebijakan pemerintah;
e. membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang disampaikan oleh BPK;
f. memberikan persetujuan terhadap pemindahtanganan aset negara yang menjadi kewenangannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan terhadap perjanjian yang berakibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara;
g. menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat; dan
h. melaksanakan tugas lain yang diatur dalam undang-undang.
Pasal 73 . . .
- 38 -
(3) Hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
(4) Hak menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c adalah hak DPR untuk menyatakan pendapat atas:
a. kebijakan pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di tanah air atau di dunia internasional;
b. tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (3); atau
c. dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum baik berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatan tercela, dan/atau Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Bagian Keenam Hak dan Kewajiban Anggota
Paragraf 1 Hak Anggota
Pasal 80
Anggota DPR berhak:
a. mengajukan usul rancangan undang-undang; b. mengajukan pertanyaan; c. menyampaikan usul dan pendapat; d. memilih dan dipilih; e. membela diri;
f. imunitas . . .
- 39 -
f. imunitas; g. protokoler; h. keuangan dan administratif; i. pengawasan; j. mengusulkan dan memperjuangkan program
pembangunan daerah pemilihan; dan k. melakukan sosialiasi undang-undang.
Paragraf 2
Kewajiban Anggota
Pasal 81
Anggota DPR berkewajiban:
a. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila; b. melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan menaati ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d. mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan;
e. memperjuangkan peningkatan kesejahteraan rakyat; f. menaati prinsip demokrasi dalam penyelenggaraan
pemerintahan negara; g. menaati tata tertib dan kode etik; h. menjaga etika dan norma dalam hubungan kerja
dengan lembaga lain; i. menyerap dan menghimpun aspirasi konstituen melalui
kunjungan kerja secara berkala; j. menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan
pengaduan masyarakat; dan k. memberikan pertanggungjawaban secara moral dan
politis kepada konstituen di daerah pemilihannya.
Bagian Ketujuh . . .
- 109 -
Paragraf 5 Hak Membela Diri
Pasal 223
(1) Anggota DPR yang diduga melakukan pelanggaran sumpah/janji, kode etik, dan/atau tidak melaksanakan kewajiban sebagai anggota diberi kesempatan untuk membela diri dan/atau memberikan keterangan kepada Mahkamah Kehormatan Dewan.
(2) Ketentuan mengenai tata cara membela diri dan/atau memberikan keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib.
Paragraf 6 Hak Imunitas
Pasal 224
(1) Anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPR.
(2) Anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena sikap, tindakan, kegiatan di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR yang semata-mata karena hak dan kewenangan konstitusional DPR dan/atau anggota DPR.
(3) Anggota DPR tidak dapat diganti antarwaktu karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik di dalam rapat DPR maupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPR.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal anggota yang bersangkutan mengumumkan materi yang telah disepakati dalam rapat tertutup untuk dirahasiakan atau hal lain yang dinyatakan sebagai rahasia negara menurut ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Pemanggilan . . .
- 110 -
(5) Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan.
(6) Mahkamah Kehormatan Dewan harus memproses dan memberikan putusan atas surat pemohonan tersebut dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) Hari setelah diterimanya permohonan persetujuan pemanggilan keterangan tersebut.
(7) Dalam hal Mahkamah Kehormatan Dewan memutuskan tidak memberikan persetujuan atas pemanggilan angggota DPR, surat pemanggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak memiliki kekuatan hukum/batal demi hukum.
Paragraf 7 Hak Protokoler
Pasal 225
(1) Pimpinan DPR dan anggota DPR mempunyai hak protokoler.
(2) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan hak protokoler sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Paragraf 8 Hak Keuangan dan Administratif
Pasal 226
(1) Pimpinan DPR dan anggota DPR mempunyai hak keuangan dan administratif.
(2) Hak keuangan dan administratif pimpinan DPR dan anggota DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun oleh pimpinan DPR dan diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Paragraf 9 . . .