Hak Atas Tanah Bagi Masyarakat Adat Dalam Perspektif HAM
-
Upload
diduga-mirip-izul -
Category
Documents
-
view
552 -
download
1
Transcript of Hak Atas Tanah Bagi Masyarakat Adat Dalam Perspektif HAM
HAK ATAS TANAH MASYARAKAT ADAT DALAM PERSPEKTIF HUKUM HAM
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perjuangan pengakuan Hak Asasi Manusia (HAM) Masyarakat Hukum Adat
(indigenous people) merupakan masalah yang sudah mewacana sejak abad Ke-
XIV saat Bartolomeo de Las Casas dan Francisco de Vitoria mengkritik dan
membuat antitesis atas doktrin klasik terra nullius yang menyatakan bahwa
daerah-daerah yang disinggahi oleh para bangsa penakluk adalah tanah tak
bertuan yang dapat dimiliki, sedangkan manusia-manusia yang terlebih dahulu
menempati daerah tersebut tidak dianggap sebagai manusia karena belum
beradab. Berdasarkan doktrin diskriminatif ini bangsa-bangsa penakluk membuat
pembenaran atas tindakan mereka dan menjadi dasar kebijakan terhadap
bangsa asli daerah taklukan. Adapun inti bantahan de Las Casas dan Vitoria
terhadap doktrin klasik tersebut adalah bahwa indigenous people secara alamiah
memiliki otonomi asli dan hak-hak atas tanah.
Enam abad kemudian pengaruh doktrin terra nullius sempat tercermin dalam
Konvensi ILO 107 Tahun 1957 mengenai Bangsa Pribumi dan Masyarakat Adat
yang mengasumsikan bahwa Masyarakat Hukum Adat adalah masyarakat
tertinggal yang harus dikembangkan menjadi masyarakat modern. Akan tetapi,
hal tersebut tidak bertahan lama. Gelombang kesadaran pemikiran tentang hak
hak asasi manusia dengan cepat menjadi isu baru hubungan internasional
seusai perang dingin yang ditandai bubarnya Uni Soviet.
Terkait perkembangan penegakan HAM itulah, keberadaan indigenous
peoples menjadi salah satu arah baru penegakan hukum HAM Internasional.
Kesadaran tersebut wajar adanya jika mengingat pada fakta betapa masyarakat
suku dan masyarakat adat adalah pihak yang sering sekali mengalami tindak
pelanggaran HAM dengan atau tanpa mereka sadari. Eforia aksi penegakan
HAM untuk golongan marginal inilah yang kemudian menghasilkan Konvensi ILO
169 Tahun 1989 Tentang Masyarakat Adat dan Masyarakat Suku di Negara
Negara Berdaulat yang menetapkan setiap pemerintah harus menghormati
1
kebudayaan dan nilai-nilai spiritual indigenous people yang mereka junjung
tinggi, terutama dalam hubungan mereka dengan lahan/tanah yang ditempati
atau gunakan.
Selaras dengan konvensi 169, di dalam Rekomendasi Komisi PBB untuk
Penghapusan Diskriminasi Rasial dan Rekomendasi tentang Bangsa Pribumi
dan Masyarakat Adat, terdapat kewajibkan kepada seluruh pihak untuk mengakui
dan melindungi Masyarakat Hukum Adat dengan segala hak-hak dan wilayah
tradisionalnya dan larangan perampasan hak hak dan wilayah mereka dengan
alasan apapun kecuali disetujui oleh Masyarakat Hukum Adat itu dengan disertai
kompensasi yang pantas, adil dan tepat.
B. Tujuan Penulisan
1) Tujuan Obyektif, untuk memahami bagaimana perspektif hukum HAM
terhadap hak atas tanah masyarakat adat yang merupakan hak asasi
bersifat derogable
2) Tujuan Subyektif, untuk menambah wawasan dan pengetahuan penulis di
bidang Hukum Agraria khususnya yang terkait hak atas tanah Masyarakat
Adat; dan dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan akademis
dalam mata kuliah hukum agraria di STIH Sultan Adam Banjarmasin
C. Manfaat Penulisan
1) Manfaat praktis, untuk menambah ilmu dan wawasan penulis di bidang
penelitian karya ilmiah di bidang ilmu hukum khususnya Hukum Agraria;
dan
2) Manfaat teoritis, diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran di
bidang ilmu Hukum Agraria, Hukum Adat, dan Hukum HAM secara teoritis
guna pengembangan ilmu pengetahuan
2
II
BATASAN DAN RUMUSAN MASALAH
Melalui perjalanan panjang, akhirnya indigenous people menjadi entitas yang
diberi pengakuan, jaminan, dan perlindungan terhadap hak hak mereka di bidang
pertanahan, hak atas pembangunan dan hak atas milik, sebagai hak asasi yang
bersifat derograble disamping hak hak asasi non-degorable seperti hak untuk
menentukan nasib sendiri, hak hidup, dan hak hak asasi sejenis yang diatur oleh
Kovenan Hak Hak Sipil dan Politik (ICCPR).1 Istilah derogable diartikan sebagai
hak-hak yang masih dapat ditangguhkan pemenuhannya oleh negara dalam
kondisi tertentu. Sementara itu istilah nonderogable maksudnya adalah ada hak-
hak yang tidak dapat ditangguhkan atau dibatasi(dikurangi) pemenuhannya oleh
negara, meskipun dalam kondisi darurat sekalipun.
Ini tidak berarti HAM derogable berkedudukan lebih rendah. Sama halnya
seperti hak hak nonderoglable, penangguhan atau pembatasan derogable rights
juga diperketat yaitu dalam hal pembatasan tersebut harus diatur oleh hukum
dan dengan maksud semata-mata untuk memajukan kesejahteraan umum dalam
suatu masyarakat yang demokratis.2 Oleh karena kovenan yang mengatur HAM
derogable merupakan bagian integral dari The Internasional Bill of Rights yang
bersifat universal dan berlaku sebagai hukum yang mengikat semua negara,
maka suatu negara tidak bisa mengabaikan hak-hak warga negaranya, atau
dalam konteks ini masyarakat adat dan masyarakat suku, hanya dengan dalih
demi melindungi kepentingan umum, tanpa adanya aturan yang sudah
dinyatakan sebelumnya dalam suatu Undang-Undang yang berlaku efektif di
negara tersebut. Terlebih lagi Indonesia telah meratifikasi konvensi yang
mengatur hak hak asasi tersebut, dimana jika salah satu atau dua syarat saja
yang dijelaskan di atas terpenuhi, masih belum cukup kuat untuk dijadikan dasar
bagi negara melakukan pembatasan dan penangguhan.
Perumusan masalah yang tegas dapat menghindari pembahasan yang tidak
diperlukan, sehingga penelitian akan lebih terarah pada tujuan yang ingin
1 Karena dibuat dalam konteks hak indigeneous people di lapangan hukum agraria maka kertas kerja ini akan membatasi perspektif pembahasan pada HAM dalam bentuk derogable.2 Pasal 4 International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR)
3
dicapai. Perumusan masalah digunakan untuk mengetahui dan menegaskan
masalah-masalah apa yang hendak diteliti, yang dapat memudahkan kita dalam
mengumpulkan, menyusun, dan menganalisa data. Untuk mempermudah
pembahasan permasalahan maka berdasarkan paparan batasan masalah
sebelumnnya penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
1) Bagaimanakah perspektif hukum HAM internasional terhadap hak atas
tanah masyarakat adat?
2) Bagaimana pelaksanaannya dalam kerangka hukum nasional?
4
III
PEMBAHASAN
A. Perspektif Hukum HAM Internasional
Hak atas tanah dalam konsepsi Hak Asasi Manusia (HAM) harus diletakan
dalam konteks hak seseorang untuk memperoleh penghidupan yang layak, yakni
terpenuhinya kebutuhan sandang, pangan dan tempat tinggal; maupun dalam
konteks hak sekelompok orang (komunitas tertentu) untuk melanjutkan
kehidupan budayanya. Bagi kelompok masyarakat yang sumber kehidupannya
baik secara ekonomi, sosial maupun budaya bergantung kepada penguasaan
terhadap tanah, maka terjamin dan terpenuhinya haknya atas tanah menjadi
mutlak: semutlak HAM itu sendiri. Tersedianya atau terjaminannya hak mereka
atas tanah dalam luasan yang memadai secara berkelanjutan akan membuat
mereka mendapatkan penghidupan yang layak secara berkelanjutan pula. Dalam
hal ini Negara harus menjamin terjadinya keberlanjutan hak mereka atas tanah
(security of tenure) yang berarti memberikan jaminan atas kesempatan bagi
warga Negara yang hidupnya sangat bergantung kepada tanah untuk
berkembang dan meningkatkan kualitas hidupnya dan keturunannya baik
sebagai warga Negara maupun sebagai manusia.
Di dalam perspektif HAM jaminan atas penguasaan tanah sebagai alat untuk
mencapai kehidupan yang layak dan meningkatkan kualitas kehidupan
terkandung di dalam sejumlah dokumen utama tentang penegakan HAM seperti
Deklarasi Universal HAM (UDHR), Kovenan Internasional Tentang Hak Hak
Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR), Kovenan Internasional Tentang Hak Hak
Sipil dan Politik (ICCPR), serta Kovenan Internasional Tentang Hak Hak
Masyarakat Adat (ICIPR).3
Beberapa klausul yang terkait dengan hal-hal untuk mencapai penghidupan
yang layak, dimana di dalamnya diatur tentang hak pangan dan gizi yang cukup,
pakaian, perumahan, hak-hak ekonomi, hak Kepemilikan, hak untuk bekerja, hak
3 Indonesia telah meratifikasi kovenan-kovenan internasional tersebut pada tahun 2005 dan 2006. UU No. 11/2005 diterbitkan untuk mengesahkan ratifikasi ICESCR dan UU No. 12/2005 untuk mengesahkan ratifikasi ICCPR; sedangkan ICIPR diratifikasi pada tahun 2006. Sebagai negara yang telah meratifikasinya maka pemerintah Indonesia berkewajiban untuk mentaati dan menjalankan isi dari setiap kovenan tersebut.
5
atas jaminan sosial, dan hak-hak budaya tercermin misalnya dalam beberapa
pasal dari dokumen-dokumen tersebut.
UDHR, dalam pasal 25 (1), menyatakan bahwa “setiap orang berhak atas
tingkat hidup yang menjamin kesehatan dan keadaan baik untuk dirinya dan
keluarganya, termasuk soal makanan, pakaian, perumahan dan perawatan
kesehatannya, serta usaha usaha sosial yang diperlukan untuk itu….”
ICESCR, dalam pasal 6 menyebutkan:
1) Setiap Negara peserta kovenan ini mengakui hak atas pekerjaan,
termasuk hak setiap orang atas kesempatan untuk mencari nafkah
dengan pekerjaan yang dipilihnya atau diterimanya sendiri secara bebas
dan akan mengambil langkah-langkah yang diperlukan guna menjamin
hak ini;
2) Langkah-langkah yang diambil oleh suatu Negara Peserta Kovenan ini
untuk mencapai perwujudan sepenuhnya dari hak ini, harus meliputi juga
pembinaan teknis dan kejuruan serta program latihan, kebijakan dan
berbagai teknik untuk mencapai perkembangan ekonomi, social dan
budaya yang mantap, dan pekerjaan yang penuh dan produktif dengan
persyaratan yang menjamin kebebasan politik maupun ekonomi yang
hakiki bagi individu”.
Selaras dengan isi pasal 6 ayat (1) dan ayat (2), dalam pasal 9, 10 dan 11
ICESCR ditegaskan tentang kewajiban Negara untuk mengakui, melindungi dan
memberikan jaminan terhadap penegakan hak-hak di atas.
Pasal 9 ICESCR menyebutkan; “negara-negara Peserta Kovenan ini
mengakui hak setiap orang atas jaminan sosial, termasuk asuransi sosial”;
Pasal 10 (ayat 1) menyebutkan “Seharusnya diberikan perlindungan dan
bantuan seluas-luasnya kepada keluarga, sebagai satuan kelompok dasar yang
alami dari masyarakat khususnya untuk membentuknya dan selama keluarga
bertanggung jawab untuk perawatan dan pendidikan anak-anak yang masih
ditanggung…”
Sedangkan dalam pasal 11 ayat (1) ICESCR dikatakan; “negara-negara
peserta kovenan ini mengakui hak setiap orang atas taraf kehidupan yang layak
6
baginya dan keluarganya, termasuk sandang, pangan dan tempat tinggal dan
perbaikan yang terus menerus dari lingkungannya…”
Setelah dicermati, maka tampak jelas pasal pasal di atas menyimpulkan hak
seseorang untuk memperoleh kehidupan yang layak tidak mengenal diskriminasi
adalah bagian dari hak asasi. Artinya setiap orang memiliki hak yang sama untuk
memperoleh kehidupan layak dan memiliki hak yang sama untuk memperoleh
jaminan atas penegakan haknya tersebut; apalagi jika ia hidup di negara yang
secara tegas telah menyatakan jaminan setiap orang dihadapan umum dan
berhak atas perlindungan hukum tanpa ada perbedaan karena ras, warna kulit,
jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik, asal usul kebangsaan atau
status sosial. Demikian juga bahwa setiap orang berhak atas jaminan sosial dan
berhak atas atas pilihan-pilihan pribadinya untuk melakukan usaha seperti
diuraikan dalam UDHR, sehingga hal ini telah memberikan jaminan bagi setiap
manusia untuk mengembangkan martabat pribadinya.
Selain UDHR dan kedua kovenan di atas, inisiatif PBB untuk masyarakat
adat yang paling berpengaruh adalah pengembangan draft deklarasi PBB untuk
hak-hak masyarakat adat.4 Pengesahan deklarasi ini akan menunjukkan indikasi
yang jelas betapa masyarakat internasional sangat peduli dan sungguh-sungguh
dalam upaya untuk melindungi hak individu dan hak kolektif masyarakat adat.
Meskipun deklarasi ini tidak mengikat secara hukum dan untuk itu tidak
memberikan kewajiban hukum kepada pemerintah, deklarasi tersebut membawa
serta kekuatan moral yang besar. Jadi, meskipun tidak ada satu klausul pun yang
menyatakan secara eksplisit bahwa hak atas tanah adalah hak yang mendasar
dalam konsepsi HAM, namun hak atas tanah bagi kelompok masyarakat yang
hidupnya sangat bergantung kepada tanah dalam rangka mencapai penghidupan
yang layak dapat dimaknai terliput, dan terjamin di dalam draft tersebut.
Berdasarkan itulah muncul kewajiban negara sebagai pihak yang harus
melaksanakan dan menjamin penegakan HAM, termasuk hak hak indigenous
peoples sebagai golongan warga negara yang hidupnya sangat bergantung pada
tanah. Ini berarti kelalaian suatu negara dalam rangka menyediakan jaminan
bagi keberlangsungan hidup dan perbaikan kualitas kehidupan warganya yang
4 Draft deklarasi ini belum memiliki nama resmi. Namun, oleh para pakar hukum, draft deklarasi ini sering disebut “draft deklarasi PBB untuk hak-hak masyarakat adat (United Nations draft Declaration on the Rights of Indigenous Peoples)
7
tergantung pada tanah merupakan pelanggaran terhadap HAM. Apalagi jika
negara dengan sengaja melanggar hak hak atas tanah, yang secara nyata sudah
dikuasai sebelumnya, maka berdasarkan hukum internasional, negara tersebut
bisa disebut melanggar prinsip prinsip universal penegakan Hak Asasi Manusia.
Di sisi lain, konsepsi Hak Atas Tanah dalam konsepsi HAM sangat lekat
dengan Hak Atas Pangan (Right to Food), karena pada intinya pangan itu sendiri
tidak dapat dilepaskan dari hak-hak lainnya, karena terkait dengan pancapaian
hak atas pangan itu yaitu untuk mencapai penghidupan yang layak. Terkait
dengan hak atas tanah, proporsi atas lahan serta aksesnya untuk menjamin
ketersediaan pangan menjadi indikator utama. Karenanya, permasalahan
ketimpangan penguasaan dan akses atas tanah perlu menjadi perhatian utama,
karena akan berimplikasi langsung kepada terpenuhinya hak-hak mendasar
masyarakat. Demikian juga dengan yang sudah dihasilkan oleh International
Konfrensi Mengenai Reforma Agraria dan Pembangunan Pedesaan (ICARRD) di
Porto Alegre bulan Maret 2006, bahwa kedaulatan pangan adalah hal yang
sangat mendasar yang dibutuhkan dalam kebijakan pembaruan agraria dan
pembangunan pedesaan guna mengurangi kemiskinan, melindungi lingkungan,
sekaligus bagian dari pembangunan ekonomi. Pilar pokok dari kedaulatan
pangan adalah penghormatan dan pemberdayaan rakyat hak atas pangan dan
hak atas pemilikan dan penguasaan tanah.
Dalam konteks memerangi kelaparan dan kemiskinan khususnya yang
terjadi di negara negara terbelakang maupun yang sedang berkembang, hal ini
terkait dengan penilaian yang sudah diletakkan oleh Sekjen PBB (dokumen
A/57/356/27 August 2002) yang telah meletakkan perlunya agenda Reforma
Agraria dalam melawan kelaparan dan kemiskinan serta kunci hak atas pangan
sebagaimana sudah tertuang dalam ICESCR pasal 11, hak atas tanah dan
perjuangan hak atas tanah menjadi sesuatu yang wajar. Komisi HAM PBB telah
membentuk Laporan Khusus Mengenai Hak Pangan (SRRF) yang di dalamnya
berisi kesimpulan bahwa akses terhadap tanah adalah elemen kunci yang
penting untuk menghapuskan kelaparan di dunia. Hal ini dapat dimaknai bahwa
pilihan kebijakan Reforma Agraria harus memainkan peranan penting dalam
suatu strategi Negara dalam hal ketahanan pangan, dan akses terhadap tanah
adalah hal mendasar untuk mewujudkan ketahanan pangan tersebut.
8
B. Dalam Perspektif Hukum Nasional
Di Indonesia, secara normatif upaya pemenuhan HAM dapat ditemukan
dalam sejumlah peraturan perudangan-undangan yang ada. UU nomor 39 tahun
1999 tentang HAM, UU nomor 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM, serta
ratifikasi pemerintah RI terhadap kovenan hak hak sipil dan hak hak politik serta
kovenan tentang hak hak ekonomi sosial dan budaya adalah contoh nyata.
Demikian pula di lapangan hukum agraria. UUPA 1960, misalnya, telah memuat
sejumlah peraturan yang menegaskan perlunya dipenuhi hak atas tanah untuk
penghidupan yang layak bagi kelompok masyarakat yang kehidupannya sangat
tergantung kepada tanah. UUPA juga mengatur bagaimana Negara seharusnya
memberikan jaminan dan pelayanan untuk mengatur seluruh sumber-sumber
agraria di Indonesia demi sebesar-besarnya kepentingan rakyat.
Namun, tentu saja pelaksanaannya tidak semudah membalik telapak tangan.
Berbeda dengan hukum HAM internasional yang begitu cepat berubah sesuai
revolusi arus utama kecenderungan negara adikuasa, pengakuan terhadap hak
hak Masyarakat Adat di Indonesia dalam kerangka hukum nasional tak sanggup
mengejar cepatnya dinamika masyarakat. Banyaknya kasus-kasus konflik agraria
yang didahului dengan kebijakan yang tidak adil lalu disusul aksi-aksi
penggusuran terhadap hak ulayat dan dilawan dengan aksi-aksi pendudukan
kembali (reclaiming action) oleh masyarakat setempat yang tidak mustahil
berakhir dengan pertumpahan darah5 menunjukan bahwa Negara telah gagal
menjalankan fungsinya untuk memberikan jaminan bagi keberlangsungan hidup
bagi kelompok rakyat yang kehidupan sosial, ekonomi dan budayanya sangat
bergantung kepada tanah. Perlawanan-perlawanan tersebut juga mencerminkan
adanya tuntutan dari mereka sebagai warga Negara kepada Negara, khususnya
pemerintah yang berkuasa, untuk memberikan jaminan yang seharusnya menjadi
kewajiban negara tersebut.
Pada awal Indonesia merdeka melalui konstitusi dinyatakan bahwa Republik
Indonesia adalah negara terdiri dari kumpulan-kumpulan komunitas masyarakat
hukum adat, seperti nagari, dusun, marga dan lain-lain. Ini berarti NKRI pada
5 Kasus paling menggemparkan tentu insiden berdarah di desa Alas Tlogo, kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, dimana empat orang warga tewas dan delapan lainnya terluka akibat tembakan yang dilepaskan Marinir dalam sengketa lahan seluas 539 hektar di bulan Mei 2007 silam
9
awal kemerdekaannya mengakui keberadaan masyarakat hukum adat dengan
konsep pengakuan murni.
Momentum kedua pengakuan hukum nasional terhadap masyarakat hukum
adat terjadi pada tahun 1960 dengan diundangkannya UU Nomor 5 Tahun 1960
(UUPA). Dalam pengakuan terhadap masyarakat hukum adat dan hak ulayat
dilakukan sepanjang menurut kenyataan masih eksis serta sesuai dengan
kepentingan nasional dan selaras dengan perundang-undangan diatasnya.6
Tahapan ketiga adalah pada saat Orde Baru melakukan legislasi terhadap
beberapa bidang yang terkait erat dengan Masyarakat Hukum Adat dan Hak-
haknya atas tanah seperti, Undang-undang No. 5 Tahun 1967 tentang
Kehutanan dan Undang-undang No. 11 Tahun 1966 Tentang Pertambangan.
Dalam kedua undang-undang ini mengatur pengakuan terhadap hak-hak
Masyarakat Hukum Adat sepanjang masih ada. Yang kemudian pada
perkembangannya setiap peraturan perundang-undangan yang dilegislasi pada
masa Orde Baru selalu mensyaratkan pengakuan apabila memenuhi unsur-
unsur: (1) dalam kenyataan masih ada; (2) tidak bertentangan dengan
kepentingan nasional; (3) tidak bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi; dan (4)ditetapkan dengan peraturan daerah, konsep
ini dikenal dengan nama konsep pengakuan bersyarat berlapis. Yang intinya
untuk diakui eksistensinya suatu Masyarakat Hukum Adat harus memenuhi
syarat sosiologis, politis, normatif yuridis dan prosedural (ditetapkan dengan
Peraturan Daerah), dengan demikian pengakuan hukum tersebut tidak
memberikan kebebasan bagi masyarakat adat melainkan memberikan batasan-
batasan.
Fase keempat adalah masa masa eforia perubahan pasca kejatuhan Orba.
UUD 1945 yang sakral pun berhasil diamandemen. Setelah gagal mendapat
tempat di amandemen pertama, pada amandemen kedua tahun 2000 dihasilkan
pengaturan pengakuan masyarakat hukum adat dan hak-haknya. Berdasarkan
ketentuan pasal 18B ayat (2) UUD 1945 Amandemen Kedua, pasal 41 Tap. MPR
6 Prinsip utama yang diuraikan dalam UUPA adalah prinsip keadilan dalam penguasaan tanah dengan memberikan prioritas kepada petani dan keluarga tani yang tidak memiliki tanah. Prinsip ini merupakan perwujudan dari pandangan bahwa penguasaan tanah dalam luasan tertentu akan memberikan (menjamin) terjadinya peningkatan produktivitas mereka yang sekaligus akan menjamin kebutuhan pangan serta mencapai kehidupan yang layak. Dengan kata lain, UUPA 1960 sudah mencakup prinsip-prinsip pemenuhan hak-hak masyarakat, khususnya kaum tani, tersebut.
10
No. XVII/MPR/1998 Tentang Hak Asasi Manusia II. Piagam HAM, pasal 6
Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM dan ketentuan undang-
undang lain yang terkait, maka dapat ditarik benang merah bahwa pengakuan
terhadap masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya pada masa
reformasi masih menerapkan pola pengakuan yang sama dengan Orde Baru
yaitu pengakuan bersyarat berlapis masih. Ini kenyataan yang sangat
memprihatinkan. Mengaku sebagai orde perubahan, namun penegakan HAM tak
ada bedanya dengan rezim yang digulingkan.
Hal ini harus dirubah. Sudah saatnya pengakuan hak atas tanah indigenous
peoples di Indonesia diterapkan berbasiskan hak hak asasi derogble. Jika tetap
saja diterapkan berbasis pengakuan bersyarat berat dan berlapis-lapis, maka
sama saja pemerintah RI menerapkan doktrin klasik terra nullius yang sudah
ketinggalan jaman karena menganggap masyakarat adat dan masyarakat suku
harus “diberadabkan” dengan baik secara yuridis formal maupun administratif ala
masyakarat “hukum modern”.
IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
11
Konsep pengakuan terhadap indigeneous people oleh Hukum Internasional
berkembang atas wacana penegakan HAM dimana setiap manusia dianggap
memiliki hak-hak dasar yang tidak dapat diganggu dan dirampas oleh kekuasaan
apapun, seperti hak untuk menentukan nasib sendiri, hak atas milik, hak untuk
hidup dan hak-hak lainnya. Konvensi ILO 169 Tahun 1989, misalnya “meralat”
pengaturan-pengaturan dan opini dunia bahwa masyarakat hukum adat adalah
masyarakat yang tidak beradab, menjadi masyarakat yang beradab yang
memiliki hak untuk hidup sesuai dengan sistem hukum dan politik yang bersifat
tradisonal. Sehingga pola pengakuan yang didasarkan oleh Doktrin Klasik Terra
Nullius telah diganti pola pengakuan berdasarkan penegakan HAM.
Di Indonesia terjadi pergerakan yang sebaliknya, pada awal Indonesia
merdeka melalui konstitusi dinyatakan bahwa Republik Indonesia adalah negara
terdiri dari kumpulan-kumpulan komunitas masyarakat hukum adat, seperti
nagari, dusun, marga dan lain-lain. Ini berarti NKRI pada awal kemerdekaannya
mengakui keberadaan masyarakat hukum adat dengan konsep pengakuan
murni. Tetapi pada perkembangannya konsep pengakuan murni berubah
menjadi pengakuan bersyarat berlapis yang tercermin dalam produk-produk
hukum yang terkait dengan Masyarakat Hukum Adat dan hak-hak serta
wilayahnya yang bersifat tradisional, ini terlihat bahwa rasio pemikiran yang
berkembang di Indonesia adalah kepentingan negara diatas segalanya. Dan
yang menjadi titik krisis adalah UUD 1945 Hasil Amandemen Kedua, pada pasal
18B Ayat 2 menganut konsep pengakuan berlapis-bersyarat hal ini berakibat
bahwa Masyarakat Hukum Adat terancam kehilangan pelindung dalam norma
dasar negara dan produk hukum yang salah menafsirkan konsep pengakuan
dalam UUD 1945 sebelum Amandemen menjadi memiliki dasar pembenaran
untuk terus berlaku, dan yang memprihatinkan adalah rasio berfikir bangsa
indonesia yang menempatkan posisi Masyarakat Hukum Adat pada posisi yang
di ’terpencilkan“. Padahal sudah diketahui umum bahwa kebijakan yang
dikembangkan pada jaman Orde Baru tersebut bertujuan untuk memberikan
landasan legis-formalis bagi setiap tindakan uniformasi dan penyeragaman yang
merupakan eksploitasi hak-hak sosio-kultural Masyarakat Hukum Adat yang
dilakukan pemerintah saat itu dengan tujuan merampas hak-hak dan lahan
Masyarakat Hukum Adat dengan dalih untuk kepentingan negara padahal
12
didalamnya terdapat tendensi kepentingan ekonomi individual atau kelompok
penguasa saat itu. Yang secara keseluruhan tindakan-tindakan tersebut
merupakan tindakan yang merupakan pelecehan terhadap HAM Masyarakat
Hukum Adat.
B. Saran Saran
1) Secepatnya pemerintah mengintrodusir nilai-nilai HAM yang menjunjung
tinggi pembebasan terhadap pluralisme, kekhasan dan keunikan yang
dimiliki oleh Masyarakat Hukum Adat.
2) Secepatnya Indonesia meratifikasi atau minmal menandatangani
Konvensi ILO 169 Tahun 1989 agar pemerintah dapat mengambil rasio
pemikiran dan pengalaman yang berkembang di Dunia Internasional saat
ini, tentu saja rasio pemikiran yang disesuaikan dengan keadaan negara
kita, sebagai contoh yaitu pembatasan terhadap hak menentukan nasib
sendiri karena apabila tidak dibatasi hak yang merupakan HAM tersebut
akan membahayakan karena dapat dijadikan landasan bagi pihak-pihak
tertentu untuk mengancam integritas dan kesatuan negara.
DAFTAR PUSTAKA
Jastan, Noor Ipansyah, Indah Ramadhany, Hukum Agraria, Banjarmasin: STIH Sultan Adam, 2010
13
__________________________________, Hukum Adat, Banjarmasin: STIH Sultan Adam, 2009
Muhtaj, Majda, Dimensi-dimensi HAM: Mengurai Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Jakarta: Rajawali Pers, 2008
Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria
Undang-undang No 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR)
Undang-undang No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR)
14