Hak Atas Tanah Bagi Masyarakat Adat Dalam Perspektif HAM

19
HAK ATAS TANAH MASYARAKAT ADAT DALAM PERSPEKTIF HUKUM HAM I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perjuangan pengakuan Hak Asasi Manusia (HAM) Masyarakat Hukum Adat (indigenous people) merupakan masalah yang sudah mewacana sejak abad Ke-XIV saat Bartolomeo de Las Casas dan Francisco de Vitoria mengkritik dan membuat antitesis atas doktrin klasik terra nullius yang menyatakan bahwa daerah-daerah yang disinggahi oleh para bangsa penakluk adalah tanah tak bertuan yang dapat dimiliki, sedangkan manusia-manusia yang terlebih dahulu menempati daerah tersebut tidak dianggap sebagai manusia karena belum beradab. Berdasarkan doktrin diskriminatif ini bangsa-bangsa penakluk membuat pembenaran atas tindakan mereka dan menjadi dasar kebijakan terhadap bangsa asli daerah taklukan. Adapun inti bantahan de Las Casas dan Vitoria terhadap doktrin klasik tersebut adalah bahwa indigenous people secara alamiah memiliki otonomi asli dan hak-hak atas tanah. Enam abad kemudian pengaruh doktrin terra nullius sempat tercermin dalam Konvensi ILO 107 Tahun 1957 mengenai Bangsa Pribumi dan Masyarakat Adat yang mengasumsikan bahwa Masyarakat Hukum Adat adalah masyarakat tertinggal yang harus dikembangkan menjadi masyarakat modern. Akan tetapi, hal tersebut tidak bertahan lama. Gelombang kesadaran pemikiran tentang hak hak asasi manusia dengan cepat menjadi 1

Transcript of Hak Atas Tanah Bagi Masyarakat Adat Dalam Perspektif HAM

Page 1: Hak Atas Tanah Bagi Masyarakat Adat Dalam Perspektif HAM

HAK ATAS TANAH MASYARAKAT ADAT DALAM PERSPEKTIF HUKUM HAM

I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perjuangan pengakuan Hak Asasi Manusia (HAM) Masyarakat Hukum Adat

(indigenous people) merupakan masalah yang sudah mewacana sejak abad Ke-

XIV saat Bartolomeo de Las Casas dan Francisco de Vitoria mengkritik dan

membuat antitesis atas doktrin klasik terra nullius yang menyatakan bahwa

daerah-daerah yang disinggahi oleh para bangsa penakluk adalah tanah tak

bertuan yang dapat dimiliki, sedangkan manusia-manusia yang terlebih dahulu

menempati daerah tersebut tidak dianggap sebagai manusia karena belum

beradab. Berdasarkan doktrin diskriminatif ini bangsa-bangsa penakluk membuat

pembenaran atas tindakan mereka dan menjadi dasar kebijakan terhadap

bangsa asli daerah taklukan. Adapun inti bantahan de Las Casas dan Vitoria

terhadap doktrin klasik tersebut adalah bahwa indigenous people secara alamiah

memiliki otonomi asli dan hak-hak atas tanah.

Enam abad kemudian pengaruh doktrin terra nullius sempat tercermin dalam

Konvensi ILO 107 Tahun 1957 mengenai Bangsa Pribumi dan Masyarakat Adat

yang mengasumsikan bahwa Masyarakat Hukum Adat adalah masyarakat

tertinggal yang harus dikembangkan menjadi masyarakat modern. Akan tetapi,

hal tersebut tidak bertahan lama. Gelombang kesadaran pemikiran tentang hak

hak asasi manusia dengan cepat menjadi isu baru hubungan internasional

seusai perang dingin yang ditandai bubarnya Uni Soviet.

Terkait perkembangan penegakan HAM itulah, keberadaan indigenous

peoples menjadi salah satu arah baru penegakan hukum HAM Internasional.

Kesadaran tersebut wajar adanya jika mengingat pada fakta betapa masyarakat

suku dan masyarakat adat adalah pihak yang sering sekali mengalami tindak

pelanggaran HAM dengan atau tanpa mereka sadari. Eforia aksi penegakan

HAM untuk golongan marginal inilah yang kemudian menghasilkan Konvensi ILO

169 Tahun 1989 Tentang Masyarakat Adat dan Masyarakat Suku di Negara

Negara Berdaulat yang menetapkan setiap pemerintah harus menghormati

1

Page 2: Hak Atas Tanah Bagi Masyarakat Adat Dalam Perspektif HAM

kebudayaan dan nilai-nilai spiritual indigenous people yang mereka junjung

tinggi, terutama dalam hubungan mereka dengan lahan/tanah yang ditempati

atau gunakan.

Selaras dengan konvensi 169, di dalam Rekomendasi Komisi PBB untuk

Penghapusan Diskriminasi Rasial dan Rekomendasi tentang Bangsa Pribumi

dan Masyarakat Adat, terdapat kewajibkan kepada seluruh pihak untuk mengakui

dan melindungi Masyarakat Hukum Adat dengan segala hak-hak dan wilayah

tradisionalnya dan larangan perampasan hak hak dan wilayah mereka dengan

alasan apapun kecuali disetujui oleh Masyarakat Hukum Adat itu dengan disertai

kompensasi yang pantas, adil dan tepat.

B. Tujuan Penulisan

1) Tujuan Obyektif, untuk memahami bagaimana perspektif hukum HAM

terhadap hak atas tanah masyarakat adat yang merupakan hak asasi

bersifat derogable

2) Tujuan Subyektif, untuk menambah wawasan dan pengetahuan penulis di

bidang Hukum Agraria khususnya yang terkait hak atas tanah Masyarakat

Adat; dan dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan akademis

dalam mata kuliah hukum agraria di STIH Sultan Adam Banjarmasin

C. Manfaat Penulisan

1) Manfaat praktis, untuk menambah ilmu dan wawasan penulis di bidang

penelitian karya ilmiah di bidang ilmu hukum khususnya Hukum Agraria;

dan

2) Manfaat teoritis, diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran di

bidang ilmu Hukum Agraria, Hukum Adat, dan Hukum HAM secara teoritis

guna pengembangan ilmu pengetahuan

2

Page 3: Hak Atas Tanah Bagi Masyarakat Adat Dalam Perspektif HAM

II

BATASAN DAN RUMUSAN MASALAH

Melalui perjalanan panjang, akhirnya indigenous people menjadi entitas yang

diberi pengakuan, jaminan, dan perlindungan terhadap hak hak mereka di bidang

pertanahan, hak atas pembangunan dan hak atas milik, sebagai hak asasi yang

bersifat derograble disamping hak hak asasi non-degorable seperti hak untuk

menentukan nasib sendiri, hak hidup, dan hak hak asasi sejenis yang diatur oleh

Kovenan Hak Hak Sipil dan Politik (ICCPR).1 Istilah derogable diartikan sebagai

hak-hak yang masih dapat ditangguhkan pemenuhannya oleh negara dalam

kondisi tertentu. Sementara itu istilah nonderogable maksudnya adalah ada hak-

hak yang tidak dapat ditangguhkan atau dibatasi(dikurangi) pemenuhannya oleh

negara, meskipun dalam kondisi darurat sekalipun.

Ini tidak berarti HAM derogable berkedudukan lebih rendah. Sama halnya

seperti hak hak nonderoglable, penangguhan atau pembatasan derogable rights

juga diperketat yaitu dalam hal pembatasan tersebut harus diatur oleh hukum

dan dengan maksud semata-mata untuk memajukan kesejahteraan umum dalam

suatu masyarakat yang demokratis.2 Oleh karena kovenan yang mengatur HAM

derogable merupakan bagian integral dari The Internasional Bill of Rights yang

bersifat universal dan berlaku sebagai hukum yang mengikat semua negara,

maka suatu negara tidak bisa mengabaikan hak-hak warga negaranya, atau

dalam konteks ini masyarakat adat dan masyarakat suku, hanya dengan dalih

demi melindungi kepentingan umum, tanpa adanya aturan yang sudah

dinyatakan sebelumnya dalam suatu Undang-Undang yang berlaku efektif di

negara tersebut. Terlebih lagi Indonesia telah meratifikasi konvensi yang

mengatur hak hak asasi tersebut, dimana jika salah satu atau dua syarat saja

yang dijelaskan di atas terpenuhi, masih belum cukup kuat untuk dijadikan dasar

bagi negara melakukan pembatasan dan penangguhan.

Perumusan masalah yang tegas dapat menghindari pembahasan yang tidak

diperlukan, sehingga penelitian akan lebih terarah pada tujuan yang ingin

1 Karena dibuat dalam konteks hak indigeneous people di lapangan hukum agraria maka kertas kerja ini akan membatasi perspektif pembahasan pada HAM dalam bentuk derogable.2 Pasal 4 International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR)

3

Page 4: Hak Atas Tanah Bagi Masyarakat Adat Dalam Perspektif HAM

dicapai. Perumusan masalah digunakan untuk mengetahui dan menegaskan

masalah-masalah apa yang hendak diteliti, yang dapat memudahkan kita dalam

mengumpulkan, menyusun, dan menganalisa data. Untuk mempermudah

pembahasan permasalahan maka berdasarkan paparan batasan masalah

sebelumnnya penulis merumuskan masalah sebagai berikut:

1) Bagaimanakah perspektif hukum HAM internasional terhadap hak atas

tanah masyarakat adat?

2) Bagaimana pelaksanaannya dalam kerangka hukum nasional?

4

Page 5: Hak Atas Tanah Bagi Masyarakat Adat Dalam Perspektif HAM

III

PEMBAHASAN

A. Perspektif Hukum HAM Internasional

Hak atas tanah dalam konsepsi Hak Asasi Manusia (HAM) harus diletakan

dalam konteks hak seseorang untuk memperoleh penghidupan yang layak, yakni

terpenuhinya kebutuhan sandang, pangan dan tempat tinggal; maupun dalam

konteks hak sekelompok orang (komunitas tertentu) untuk melanjutkan

kehidupan budayanya. Bagi kelompok masyarakat yang sumber kehidupannya

baik secara ekonomi, sosial maupun budaya bergantung kepada penguasaan

terhadap tanah, maka terjamin dan terpenuhinya haknya atas tanah menjadi

mutlak: semutlak HAM itu sendiri. Tersedianya atau terjaminannya hak mereka

atas tanah dalam luasan yang memadai secara berkelanjutan akan membuat

mereka mendapatkan penghidupan yang layak secara berkelanjutan pula. Dalam

hal ini Negara harus menjamin terjadinya keberlanjutan hak mereka atas tanah

(security of tenure) yang berarti memberikan jaminan atas kesempatan bagi

warga Negara yang hidupnya sangat bergantung kepada tanah untuk

berkembang dan meningkatkan kualitas hidupnya dan keturunannya baik

sebagai warga Negara maupun sebagai manusia.

Di dalam perspektif HAM jaminan atas penguasaan tanah sebagai alat untuk

mencapai kehidupan yang layak dan meningkatkan kualitas kehidupan

terkandung di dalam sejumlah dokumen utama tentang penegakan HAM seperti

Deklarasi Universal HAM (UDHR), Kovenan Internasional Tentang Hak Hak

Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR), Kovenan Internasional Tentang Hak Hak

Sipil dan Politik (ICCPR), serta Kovenan Internasional Tentang Hak Hak

Masyarakat Adat (ICIPR).3

Beberapa klausul yang terkait dengan hal-hal untuk mencapai penghidupan

yang layak, dimana di dalamnya diatur tentang hak pangan dan gizi yang cukup,

pakaian, perumahan, hak-hak ekonomi, hak Kepemilikan, hak untuk bekerja, hak

3 Indonesia telah meratifikasi kovenan-kovenan internasional tersebut pada tahun 2005 dan 2006. UU No. 11/2005 diterbitkan untuk mengesahkan ratifikasi ICESCR dan UU No. 12/2005 untuk mengesahkan ratifikasi ICCPR; sedangkan ICIPR diratifikasi pada tahun 2006. Sebagai negara yang telah meratifikasinya maka pemerintah Indonesia berkewajiban untuk mentaati dan menjalankan isi dari setiap kovenan tersebut.

5

Page 6: Hak Atas Tanah Bagi Masyarakat Adat Dalam Perspektif HAM

atas jaminan sosial, dan hak-hak budaya tercermin misalnya dalam beberapa

pasal dari dokumen-dokumen tersebut.

UDHR, dalam pasal 25 (1), menyatakan bahwa “setiap orang berhak atas

tingkat hidup yang menjamin kesehatan dan keadaan baik untuk dirinya dan

keluarganya, termasuk soal makanan, pakaian, perumahan dan perawatan

kesehatannya, serta usaha usaha sosial yang diperlukan untuk itu….”

ICESCR, dalam pasal 6 menyebutkan:

1) Setiap Negara peserta kovenan ini mengakui hak atas pekerjaan,

termasuk hak setiap orang atas kesempatan untuk mencari nafkah

dengan pekerjaan yang dipilihnya atau diterimanya sendiri secara bebas

dan akan mengambil langkah-langkah yang diperlukan guna menjamin

hak ini;

2) Langkah-langkah yang diambil oleh suatu Negara Peserta Kovenan ini

untuk mencapai perwujudan sepenuhnya dari hak ini, harus meliputi juga

pembinaan teknis dan kejuruan serta program latihan, kebijakan dan

berbagai teknik untuk mencapai perkembangan ekonomi, social dan

budaya yang mantap, dan pekerjaan yang penuh dan produktif dengan

persyaratan yang menjamin kebebasan politik maupun ekonomi yang

hakiki bagi individu”.

Selaras dengan isi pasal 6 ayat (1) dan ayat (2), dalam pasal 9, 10 dan 11

ICESCR ditegaskan tentang kewajiban Negara untuk mengakui, melindungi dan

memberikan jaminan terhadap penegakan hak-hak di atas.

Pasal 9 ICESCR menyebutkan; “negara-negara Peserta Kovenan ini

mengakui hak setiap orang atas jaminan sosial, termasuk asuransi sosial”;

Pasal 10 (ayat 1) menyebutkan “Seharusnya diberikan perlindungan dan

bantuan seluas-luasnya kepada keluarga, sebagai satuan kelompok dasar yang

alami dari masyarakat khususnya untuk membentuknya dan selama keluarga

bertanggung jawab untuk perawatan dan pendidikan anak-anak yang masih

ditanggung…”

Sedangkan dalam pasal 11 ayat (1) ICESCR dikatakan; “negara-negara

peserta kovenan ini mengakui hak setiap orang atas taraf kehidupan yang layak

6

Page 7: Hak Atas Tanah Bagi Masyarakat Adat Dalam Perspektif HAM

baginya dan keluarganya, termasuk sandang, pangan dan tempat tinggal dan

perbaikan yang terus menerus dari lingkungannya…”

Setelah dicermati, maka tampak jelas pasal pasal di atas menyimpulkan hak

seseorang untuk memperoleh kehidupan yang layak tidak mengenal diskriminasi

adalah bagian dari hak asasi. Artinya setiap orang memiliki hak yang sama untuk

memperoleh kehidupan layak dan memiliki hak yang sama untuk memperoleh

jaminan atas penegakan haknya tersebut; apalagi jika ia hidup di negara yang

secara tegas telah menyatakan jaminan setiap orang dihadapan umum dan

berhak atas perlindungan hukum tanpa ada perbedaan karena ras, warna kulit,

jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik, asal usul kebangsaan atau

status sosial. Demikian juga bahwa setiap orang berhak atas jaminan sosial dan

berhak atas atas pilihan-pilihan pribadinya untuk melakukan usaha seperti

diuraikan dalam UDHR, sehingga hal ini telah memberikan jaminan bagi setiap

manusia untuk mengembangkan martabat pribadinya.

Selain UDHR dan kedua kovenan di atas, inisiatif PBB untuk masyarakat

adat yang paling berpengaruh adalah pengembangan draft deklarasi PBB untuk

hak-hak masyarakat adat.4 Pengesahan deklarasi ini akan menunjukkan indikasi

yang jelas betapa masyarakat internasional sangat peduli dan sungguh-sungguh

dalam upaya untuk melindungi hak individu dan hak kolektif masyarakat adat.

Meskipun deklarasi ini tidak mengikat secara hukum dan untuk itu tidak

memberikan kewajiban hukum kepada pemerintah, deklarasi tersebut membawa

serta kekuatan moral yang besar. Jadi, meskipun tidak ada satu klausul pun yang

menyatakan secara eksplisit bahwa hak atas tanah adalah hak yang mendasar

dalam konsepsi HAM, namun hak atas tanah bagi kelompok masyarakat yang

hidupnya sangat bergantung kepada tanah dalam rangka mencapai penghidupan

yang layak dapat dimaknai terliput, dan terjamin di dalam draft tersebut.

Berdasarkan itulah muncul kewajiban negara sebagai pihak yang harus

melaksanakan dan menjamin penegakan HAM, termasuk hak hak indigenous

peoples sebagai golongan warga negara yang hidupnya sangat bergantung pada

tanah. Ini berarti kelalaian suatu negara dalam rangka menyediakan jaminan

bagi keberlangsungan hidup dan perbaikan kualitas kehidupan warganya yang

4 Draft deklarasi ini belum memiliki nama resmi. Namun, oleh para pakar hukum, draft deklarasi ini sering disebut “draft deklarasi PBB untuk hak-hak masyarakat adat (United Nations draft Declaration on the Rights of Indigenous Peoples)

7

Page 8: Hak Atas Tanah Bagi Masyarakat Adat Dalam Perspektif HAM

tergantung pada tanah merupakan pelanggaran terhadap HAM. Apalagi jika

negara dengan sengaja melanggar hak hak atas tanah, yang secara nyata sudah

dikuasai sebelumnya, maka berdasarkan hukum internasional, negara tersebut

bisa disebut melanggar prinsip prinsip universal penegakan Hak Asasi Manusia.

Di sisi lain, konsepsi Hak Atas Tanah dalam konsepsi HAM sangat lekat

dengan Hak Atas Pangan (Right to Food), karena pada intinya pangan itu sendiri

tidak dapat dilepaskan dari hak-hak lainnya, karena terkait dengan pancapaian

hak atas pangan itu yaitu untuk mencapai penghidupan yang layak. Terkait

dengan hak atas tanah, proporsi atas lahan serta aksesnya untuk menjamin

ketersediaan pangan menjadi indikator utama. Karenanya, permasalahan

ketimpangan penguasaan dan akses atas tanah perlu menjadi perhatian utama,

karena akan berimplikasi langsung kepada terpenuhinya hak-hak mendasar

masyarakat. Demikian juga dengan yang sudah dihasilkan oleh International

Konfrensi Mengenai Reforma Agraria dan Pembangunan Pedesaan (ICARRD) di

Porto Alegre bulan Maret 2006, bahwa kedaulatan pangan adalah hal yang

sangat mendasar yang dibutuhkan dalam kebijakan pembaruan agraria dan

pembangunan pedesaan guna mengurangi kemiskinan, melindungi lingkungan,

sekaligus bagian dari pembangunan ekonomi. Pilar pokok dari kedaulatan

pangan adalah penghormatan dan pemberdayaan rakyat hak atas pangan dan

hak atas pemilikan dan penguasaan tanah.

Dalam konteks memerangi kelaparan dan kemiskinan khususnya yang

terjadi di negara negara terbelakang maupun yang sedang berkembang, hal ini

terkait dengan penilaian yang sudah diletakkan oleh Sekjen PBB (dokumen

A/57/356/27 August 2002) yang telah meletakkan perlunya agenda Reforma

Agraria dalam melawan kelaparan dan kemiskinan serta kunci hak atas pangan

sebagaimana sudah tertuang dalam ICESCR pasal 11, hak atas tanah dan

perjuangan hak atas tanah menjadi sesuatu yang wajar. Komisi HAM PBB telah

membentuk Laporan Khusus Mengenai Hak Pangan (SRRF) yang di dalamnya

berisi kesimpulan bahwa akses terhadap tanah adalah elemen kunci yang

penting untuk menghapuskan kelaparan di dunia. Hal ini dapat dimaknai bahwa

pilihan kebijakan Reforma Agraria harus memainkan peranan penting dalam

suatu strategi Negara dalam hal ketahanan pangan, dan akses terhadap tanah

adalah hal mendasar untuk mewujudkan ketahanan pangan tersebut.

8

Page 9: Hak Atas Tanah Bagi Masyarakat Adat Dalam Perspektif HAM

B. Dalam Perspektif Hukum Nasional

Di Indonesia, secara normatif upaya pemenuhan HAM dapat ditemukan

dalam sejumlah peraturan perudangan-undangan yang ada. UU nomor 39 tahun

1999 tentang HAM, UU nomor 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM, serta

ratifikasi pemerintah RI terhadap kovenan hak hak sipil dan hak hak politik serta

kovenan tentang hak hak ekonomi sosial dan budaya adalah contoh nyata.

Demikian pula di lapangan hukum agraria. UUPA 1960, misalnya, telah memuat

sejumlah peraturan yang menegaskan perlunya dipenuhi hak atas tanah untuk

penghidupan yang layak bagi kelompok masyarakat yang kehidupannya sangat

tergantung kepada tanah. UUPA juga mengatur bagaimana Negara seharusnya

memberikan jaminan dan pelayanan untuk mengatur seluruh sumber-sumber

agraria di Indonesia demi sebesar-besarnya kepentingan rakyat.

Namun, tentu saja pelaksanaannya tidak semudah membalik telapak tangan.

Berbeda dengan hukum HAM internasional yang begitu cepat berubah sesuai

revolusi arus utama kecenderungan negara adikuasa, pengakuan terhadap hak

hak Masyarakat Adat di Indonesia dalam kerangka hukum nasional tak sanggup

mengejar cepatnya dinamika masyarakat. Banyaknya kasus-kasus konflik agraria

yang didahului dengan kebijakan yang tidak adil lalu disusul aksi-aksi

penggusuran terhadap hak ulayat dan dilawan dengan aksi-aksi pendudukan

kembali (reclaiming action) oleh masyarakat setempat yang tidak mustahil

berakhir dengan pertumpahan darah5 menunjukan bahwa Negara telah gagal

menjalankan fungsinya untuk memberikan jaminan bagi keberlangsungan hidup

bagi kelompok rakyat yang kehidupan sosial, ekonomi dan budayanya sangat

bergantung kepada tanah. Perlawanan-perlawanan tersebut juga mencerminkan

adanya tuntutan dari mereka sebagai warga Negara kepada Negara, khususnya

pemerintah yang berkuasa, untuk memberikan jaminan yang seharusnya menjadi

kewajiban negara tersebut.

Pada awal Indonesia merdeka melalui konstitusi dinyatakan bahwa Republik

Indonesia adalah negara terdiri dari kumpulan-kumpulan komunitas masyarakat

hukum adat, seperti nagari, dusun, marga dan lain-lain. Ini berarti NKRI pada

5 Kasus paling menggemparkan tentu insiden berdarah di desa Alas Tlogo, kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, dimana empat orang warga tewas dan delapan lainnya terluka akibat tembakan yang dilepaskan Marinir dalam sengketa lahan seluas 539 hektar di bulan Mei 2007 silam

9

Page 10: Hak Atas Tanah Bagi Masyarakat Adat Dalam Perspektif HAM

awal kemerdekaannya mengakui keberadaan masyarakat hukum adat dengan

konsep pengakuan murni.

Momentum kedua pengakuan hukum nasional terhadap masyarakat hukum

adat terjadi pada tahun 1960 dengan diundangkannya UU Nomor 5 Tahun 1960

(UUPA). Dalam pengakuan terhadap masyarakat hukum adat dan hak ulayat

dilakukan sepanjang menurut kenyataan masih eksis serta sesuai dengan

kepentingan nasional dan selaras dengan perundang-undangan diatasnya.6

Tahapan ketiga adalah pada saat Orde Baru melakukan legislasi terhadap

beberapa bidang yang terkait erat dengan Masyarakat Hukum Adat dan Hak-

haknya atas tanah seperti, Undang-undang No. 5 Tahun 1967 tentang

Kehutanan dan Undang-undang No. 11 Tahun 1966 Tentang Pertambangan.

Dalam kedua undang-undang ini mengatur pengakuan terhadap hak-hak

Masyarakat Hukum Adat sepanjang masih ada. Yang kemudian pada

perkembangannya setiap peraturan perundang-undangan yang dilegislasi pada

masa Orde Baru selalu mensyaratkan pengakuan apabila memenuhi unsur-

unsur: (1) dalam kenyataan masih ada; (2) tidak bertentangan dengan

kepentingan nasional; (3) tidak bertentangan dengan peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi; dan (4)ditetapkan dengan peraturan daerah, konsep

ini dikenal dengan nama konsep pengakuan bersyarat berlapis. Yang intinya

untuk diakui eksistensinya suatu Masyarakat Hukum Adat harus memenuhi

syarat sosiologis, politis, normatif yuridis dan prosedural (ditetapkan dengan

Peraturan Daerah), dengan demikian pengakuan hukum tersebut tidak

memberikan kebebasan bagi masyarakat adat melainkan memberikan batasan-

batasan.

Fase keempat adalah masa masa eforia perubahan pasca kejatuhan Orba.

UUD 1945 yang sakral pun berhasil diamandemen. Setelah gagal mendapat

tempat di amandemen pertama, pada amandemen kedua tahun 2000 dihasilkan

pengaturan pengakuan masyarakat hukum adat dan hak-haknya. Berdasarkan

ketentuan pasal 18B ayat (2) UUD 1945 Amandemen Kedua, pasal 41 Tap. MPR

6 Prinsip utama yang diuraikan dalam UUPA adalah prinsip keadilan dalam penguasaan tanah dengan memberikan prioritas kepada petani dan keluarga tani yang tidak memiliki tanah. Prinsip ini merupakan perwujudan dari pandangan bahwa penguasaan tanah dalam luasan tertentu akan memberikan (menjamin) terjadinya peningkatan produktivitas mereka yang sekaligus akan menjamin kebutuhan pangan serta mencapai kehidupan yang layak. Dengan kata lain, UUPA 1960 sudah mencakup prinsip-prinsip pemenuhan hak-hak masyarakat, khususnya kaum tani, tersebut.

10

Page 11: Hak Atas Tanah Bagi Masyarakat Adat Dalam Perspektif HAM

No. XVII/MPR/1998 Tentang Hak Asasi Manusia II. Piagam HAM, pasal 6

Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM dan ketentuan undang-

undang lain yang terkait, maka dapat ditarik benang merah bahwa pengakuan

terhadap masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya pada masa

reformasi masih menerapkan pola pengakuan yang sama dengan Orde Baru

yaitu pengakuan bersyarat berlapis masih. Ini kenyataan yang sangat

memprihatinkan. Mengaku sebagai orde perubahan, namun penegakan HAM tak

ada bedanya dengan rezim yang digulingkan.

Hal ini harus dirubah. Sudah saatnya pengakuan hak atas tanah indigenous

peoples di Indonesia diterapkan berbasiskan hak hak asasi derogble. Jika tetap

saja diterapkan berbasis pengakuan bersyarat berat dan berlapis-lapis, maka

sama saja pemerintah RI menerapkan doktrin klasik terra nullius yang sudah

ketinggalan jaman karena menganggap masyakarat adat dan masyarakat suku

harus “diberadabkan” dengan baik secara yuridis formal maupun administratif ala

masyakarat “hukum modern”.

IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

11

Page 12: Hak Atas Tanah Bagi Masyarakat Adat Dalam Perspektif HAM

Konsep pengakuan terhadap indigeneous people oleh Hukum Internasional

berkembang atas wacana penegakan HAM dimana setiap manusia dianggap

memiliki hak-hak dasar yang tidak dapat diganggu dan dirampas oleh kekuasaan

apapun, seperti hak untuk menentukan nasib sendiri, hak atas milik, hak untuk

hidup dan hak-hak lainnya. Konvensi ILO 169 Tahun 1989, misalnya “meralat”

pengaturan-pengaturan dan opini dunia bahwa masyarakat hukum adat adalah

masyarakat yang tidak beradab, menjadi masyarakat yang beradab yang

memiliki hak untuk hidup sesuai dengan sistem hukum dan politik yang bersifat

tradisonal. Sehingga pola pengakuan yang didasarkan oleh Doktrin Klasik Terra

Nullius telah diganti pola pengakuan berdasarkan penegakan HAM.

Di Indonesia terjadi pergerakan yang sebaliknya, pada awal Indonesia

merdeka melalui konstitusi dinyatakan bahwa Republik Indonesia adalah negara

terdiri dari kumpulan-kumpulan komunitas masyarakat hukum adat, seperti

nagari, dusun, marga dan lain-lain. Ini berarti NKRI pada awal kemerdekaannya

mengakui keberadaan masyarakat hukum adat dengan konsep pengakuan

murni. Tetapi pada perkembangannya konsep pengakuan murni berubah

menjadi pengakuan bersyarat berlapis yang tercermin dalam produk-produk

hukum yang terkait dengan Masyarakat Hukum Adat dan hak-hak serta

wilayahnya yang bersifat tradisional, ini terlihat bahwa rasio pemikiran yang

berkembang di Indonesia adalah kepentingan negara diatas segalanya. Dan

yang menjadi titik krisis adalah UUD 1945 Hasil Amandemen Kedua, pada pasal

18B Ayat 2 menganut konsep pengakuan berlapis-bersyarat hal ini berakibat

bahwa Masyarakat Hukum Adat terancam kehilangan pelindung dalam norma

dasar negara dan produk hukum yang salah menafsirkan konsep pengakuan

dalam UUD 1945 sebelum Amandemen menjadi memiliki dasar pembenaran

untuk terus berlaku, dan yang memprihatinkan adalah rasio berfikir bangsa

indonesia yang menempatkan posisi Masyarakat Hukum Adat pada posisi yang

di ’terpencilkan“. Padahal sudah diketahui umum bahwa kebijakan yang

dikembangkan pada jaman Orde Baru tersebut bertujuan untuk memberikan

landasan legis-formalis bagi setiap tindakan uniformasi dan penyeragaman yang

merupakan eksploitasi hak-hak sosio-kultural Masyarakat Hukum Adat yang

dilakukan pemerintah saat itu dengan tujuan merampas hak-hak dan lahan

Masyarakat Hukum Adat dengan dalih untuk kepentingan negara padahal

12

Page 13: Hak Atas Tanah Bagi Masyarakat Adat Dalam Perspektif HAM

didalamnya terdapat tendensi kepentingan ekonomi individual atau kelompok

penguasa saat itu. Yang secara keseluruhan tindakan-tindakan tersebut

merupakan tindakan yang merupakan pelecehan terhadap HAM Masyarakat

Hukum Adat.

B. Saran Saran

1) Secepatnya pemerintah mengintrodusir nilai-nilai HAM yang menjunjung

tinggi pembebasan terhadap pluralisme, kekhasan dan keunikan yang

dimiliki oleh Masyarakat Hukum Adat.

2) Secepatnya Indonesia meratifikasi atau minmal menandatangani

Konvensi ILO 169 Tahun 1989 agar pemerintah dapat mengambil rasio

pemikiran dan pengalaman yang berkembang di Dunia Internasional saat

ini, tentu saja rasio pemikiran yang disesuaikan dengan keadaan negara

kita, sebagai contoh yaitu pembatasan terhadap hak menentukan nasib

sendiri karena apabila tidak dibatasi hak yang merupakan HAM tersebut

akan membahayakan karena dapat dijadikan landasan bagi pihak-pihak

tertentu untuk mengancam integritas dan kesatuan negara.

DAFTAR PUSTAKA

Jastan, Noor Ipansyah, Indah Ramadhany, Hukum Agraria, Banjarmasin: STIH Sultan Adam, 2010

13

Page 14: Hak Atas Tanah Bagi Masyarakat Adat Dalam Perspektif HAM

__________________________________, Hukum Adat, Banjarmasin: STIH Sultan Adam, 2009

Muhtaj, Majda, Dimensi-dimensi HAM: Mengurai Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Jakarta: Rajawali Pers, 2008

Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria

Undang-undang No 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR)

Undang-undang No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR)

14