Hak Asasi Manusia dan HIV, No. 5, 2010 - LBH Masyarakat

12
HdH hak asasi manusia dan hiv Edisi: Nomor 06, November 2010 Kabar Komunitas Mengupas kegiatan yang dilakukan oleh Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat di empat komunitas yang tengah diberdayakan yakni di komunitas Orang dengan HIV/AIDS (ODHA), pemakai narkotika, pekerja seks, dan wanita-pria. Serius Tapi Santai dan Asik Duri Selatan: Komunitas Waria Labuhan Hati Penyuluhan di PTRM Tebet Belajar Yang Efektif: Belajar Melalui Kasus Mari Bicara Hukum dan HAM Enam lembaga pemerintah baru saja menyelesaikan rancangan peraturan bersama terkait dengan penempatan pecandu, korban penyalahguna narkotika, dan penyalahguna narkotika di dalam lembaga rehabilitasi medis dan lembaga rehabilitasi sosial. Heru Pribadi, aktivis advokasi pecandu narkotika yang juga merupakan salah satu paralegal komunitas LBH Masyarakat, memberikan tanggapannya terhadap keberadaan peraturan tersebut. Suara Komunitas Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat bertanya kepada 5 paralegal komunitas ODHA dan Populasi Kunci yang baru saja terpilih dan dilantik, mengenai perasaan mereka yang telah terpilih menjadi paralegal dan apa yang akan mereka lakukan dalam menjalankan fungsi mereka tersebut.

description

HdH diterbitkan dengan tujuan untuk menjadi sarana informasi, komunikasi dan dialog antar komunitas yang kini tengah diberdayakan oleh LBH Masyarakat. Publikasi ini hendak menyasar pembaca utamanya di lingkungan orang yang hidup dengan HIV/AIDS, pemakai narkotika, pekerja seks dan waria/transjender. Publikasi ini juga bertujuan untuk memicu diskusi di antara anggota komunitas-komunitas tersebut. Tentu inisiatif ini tidak lepas sebagai bentuk upaya untuk melengkapi pemberdayaan hukum masyarakat yang tengah kami lakukan di empat komunitas tersebut.

Transcript of Hak Asasi Manusia dan HIV, No. 5, 2010 - LBH Masyarakat

Page 1: Hak Asasi Manusia dan HIV, No. 5, 2010 - LBH Masyarakat

HdH hak asasi manusia dan hiv

Edisi: Nomor 06, November 2010

Kabar Komunitas Mengupas kegiatan yang dilakukan oleh Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat di empat komunitas yang

tengah diberdayakan yakni di komunitas Orang dengan HIV/AIDS (ODHA), pemakai narkotika, pekerja seks,

dan wanita-pria.

Serius Tapi Santai dan Asik

Duri Selatan: Komunitas Waria Labuhan Hati

Penyuluhan di PTRM Tebet

Belajar Yang Efektif: Belajar Melalui Kasus

Mari Bicara Hukum dan HAM Enam lembaga pemerintah baru saja menyelesaikan rancangan peraturan bersama terkait dengan penempatan

pecandu, korban penyalahguna narkotika, dan penyalahguna narkotika di dalam lembaga rehabilitasi medis

dan lembaga rehabilitasi sosial. Heru Pribadi, aktivis advokasi pecandu narkotika yang juga merupakan salah

satu paralegal komunitas LBH Masyarakat, memberikan tanggapannya terhadap keberadaan peraturan

tersebut.

Suara Komunitas Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat bertanya kepada 5 paralegal komunitas ODHA dan Populasi Kunci yang

baru saja terpilih dan dilantik, mengenai perasaan mereka yang telah terpilih menjadi paralegal dan apa yang

akan mereka lakukan dalam menjalankan fungsi mereka tersebut.

Page 2: Hak Asasi Manusia dan HIV, No. 5, 2010 - LBH Masyarakat

HdH |

1

Daftar Isi Dari Meja Redaksi 1 Kabar Komunitas 2

Serius Tapi Santai dan Asik 2 Duri Selatan: Komunitas Waria Labuhan Hati 3

Penyuluhan di PTRM Tebet 4 Belajar yang Efektif: Belajar Melalui Kasus 5

Mari Bicara Hukum dan HAM 6 Suara Komunitas 9 Agenda Terdekat 9 Galeria 10

Yang terhormat pembaca budiman, Kembali berjumpa di edisi HdH kali ini. Seperti biasa, edisi ini akan mengetengahkan kabar komunitas yang berisi reportase kegiatan penyuluhan di komunitas Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) dan Populasi Kunci. Bulan ini tidak begitu intens penyuluhan yang kami lakukan, mengingat di awal bulan kami memfokuskan diri untuk melakukan pelatihan paralegal dari komunitas ODHA dan Populasi Kunci, seperti Injecting Drug User (IDU), Waria, dan juga waria yang berprofesi sebagai pekerja seks. Sebagai informasi, kami telah melatih 20 (dua puluh) orang anggota komunitas untuk menjadi paralegal. Semua paralegal tersebut akan dilantik pada akhir bulan November ini. Diharapkan setelah pelantikan tersebut, teman-teman paralegal ini bisa langsung aktif mendampingi komunitasnya dalam menghadapi persoalan hukum dan mampu menggerakkan inisiatif di dalam komunitasnya untuk melakukan gerakan bantuan hukum mandiri. Bertepatan dengan pelantikan paralegal tersebut, kami juga mengadakan diskusi publik yang mengangkat tema Pemberdayaan Hukum Masyarakat: Mempertahankan Hak, Melawan Stigma. Pada diskusi tersebut kami memaparkan proses perjalanan dari awal hingga sampai pada pelatihan paralegal. Reportase lengkapnya bisa dibaca di HdH edisi berikutnya. Dalam edisi kali ini, kami juga memuat wawancara singkat yang dilakukan oleh salah satu volunteer kami terhadap Heru Pribadi, salah seorang paralegal komunitas LBH Masyarakat. Wawancara ini berisi tentang draft peraturan bersama 6 (enam) lembaga pemerintah untuk menempatkan pecandu narkotika ke dalam panti rehabilitasi. Lebih lengkap mengenai wawancara ini dapat dibaca pada kolom Mari Bicara Hukum dan HAM. Akhir kata, selamat membaca. Semoga informasi yang kami sajikan dalam HdH edisi kali ini dapat bermanfaat bagi para pembaca sekalian. Kritik dan saran dapat ditujukan kepada redaksi yang informasinya termuat di bawah ini. Terima kasih, dan salam hangat

Dari Meja Redaksi

Dewan Redaksi: Ricky Gunawan, Dhoho A. Sastro, Andri G. Wibisana, Ajeng Larasati, Alex Argo Hernowo, Answer C. Styannes, Pebri Rosmalina, Antonius Badar, Feri Sahputra, Grandy Nadeak, Vina Fardhofa, dan Magdalena Blegur Keuangan dan Sirkulasi: Fajriah Hidayati dan Zaki Wildan

HdH diterbitkan oleh Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBH Masyarakat) dengan dukungan oleh International Development Law Organization (IDLO) dan OPEF Funds for International Development (OFID).

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat Tebet Timur Dalam III B No. 10, Jakarta 12820 Telp. 021 830 54 50 Faks. 021 829 80 67 Email. [email protected] Website. http://www.lbhmasyarakat.org

Page 3: Hak Asasi Manusia dan HIV, No. 5, 2010 - LBH Masyarakat

HdH |

2

Kabar Komunitas

Serius Tapi Santai dan Asik Senin, 22 November 2010 pukul 11.00 WIB di LBH Masyarakat. Hari yang relatif mendung untuk memulai segala aktivitas dengan nuansa sejuk Jakarta. Tidak lama, satu orang paralegal dari komunitas ODHA datang dengan motor bebeknya. Jelang berapa menit, akhirnya calon paralegal ini terkumpul juga. Saling menyapa, melepas lelah sejenak, berbincang ringan sambil menceritakan gosip-gosip terhangat yang mereka dengar. Suasana setengah riuh 6 (enam) orang tersebut tidak berubah meski harus berpindah ruangan, dari ruang tunggu para tamu ke meeting room. Agenda utama pun dimulai. Kami membuka dengan menjelaskan terlebih dulu tujuan dikumpulkannya para calon paralegal dari komunitas ODHA ini. Tujuan dikumpulkannya kawan-kawan dari komunitas ODHA pada hari itu adalah untuk menindaklanjuti hasil dari pelatihan paralegal yang sebelumnya telah dilaksanakan. Termasuk juga untuk menjelaskan kembali jika ada materi-materi yang mereka anggap belum jelas. “Bagaimana training paralegal kemarin? Apakah ada yang masih belum jelas soal materinya?” tanya Putri, salah satu staf LBH Masyarakat yang turut bergabung dalam diskusi itu. Suasana hening sejenak. Kemudian kawan-kawan ODHA mulai mencurahkan segala kebingungan materi yang disampaikan. Ada yang masih belum mengerti tentang alat bukti di persidangan, baik pidana maupun perdata. “Ini nih, masih bingung tentang alat bukti petunjuk itu sama alat bukti sumpah. Masa dipersidangan sumpah-sumpahan ya?” ujar salah satu dari mereka. Ada pula yang masih kebingungan jika harus menangani kasus lantaran tidak mengetahui ketentuan pidana yang mengaturnya. Kasus-kasus tersebut seperti bagaimana menangani kasus Narkoba, bagaimana jika ada yang dijebak, dan lain sebagainya. Alih-alih menjawab dengan menjelaskan alat bukti menurut teori atau ketentuan hukum tentang Narkoba, rekan-rekan LBH Masyarakat justru menjelaskan bahwa keberadaan mereka sebagai paralegal yang baru tidak harus dibekali dengan pemahaman hukum yang mendalam. “Karena teman-teman memang tidak memiliki latar belakang hukum, maka wajar jika tidak mengetahui ketentuan dalam KUHP atau undang-undang Narkotika misalnya. Tapi, itu bukan berarti kita tidak bisa melakukan apa-apa. Mulai dari hal yang simple-simple saja. Ketika ada seorang drug user ditangkap, sebagai manusia kita pasti tahu mana perlakuan yang manusiawi atau tidak. Kita bisa mendampingi drug user tersebut dan memastikan bahwa dia aman dari perlakuan kekerasan dari aparat serta mendapatkan hukuman yang sepantasnya”. Suasana ruangan semakin seru ketika kawan-kawan dari LBH Masyarakat berusaha memperdalam pemahaman kawan-kawan ODHA dengan menganalisis contoh-contoh kasus yang dialami langsung ataupun yang dialami oleh lingkungan sekitar kawan-kawan ODHA sendiri. Salah seorang Calon Paralegal, yang juga tergabung dalam komunitas Metadon memulainya dengan memaparkan kasus yang dialami temannya yang dijebak oleh aparat kepolisian dalam kasus narkoba. LBH Masyarakat kemudian membantu kawan-kawan calon paralegal ini untuk menganalisa kasus tersebut. Analisa diawali dengan membantu calon paralegal untuk membedakan mana yang fakta dan mana yang opini. “Seringkali, pelaku kejahatan yang tertangkap pasti memiliki kecenderungan membela diri. Sehingga kita pun harus jeli untuk melihat mana yang betul-betul terjadi dan mana yang pembelaan diri. Pembelaan diri ini baru dapat menjadi fakta jika ditunjang dengan bukti-bukti yang kuat. Disinilah peran kita sebagai paralegal, untuk membantu menelusuri bukti-bukti yang berpotensi menguatkan pembelaan diri seseorang yang ditangkap”, kata Alex Argo Hernowo, Asisten Manager LBH Masyarakat. Dari kasus ini, kawan-kawan calon paralegal terlihat mulai menampakkan wajah pahamnya. Diskusi semakin asyik lantaran kita membahas kerumitan kasus waris yang dialami sendiri oleh calon paralegal. Secara kasat mata diskusi ini memang terasa berat dan melelahkan. Namun entah kenapa, pada hari itu, diskusi ini berjalan dengan begitu menyenangkan tanpa beban. Bisa jadi karena kita semua berada pada satu titik yang sama, yaitu ketertarikan untuk memperdalam ilmu supaya kita bisa membantu sesama. Diskusi pun semakin menghangat lantaran kawan-kawan calon paralegal tersebut juga mengemukakan kesulitannya untuk mengadvokasi rekan-rekan sesama ODHA. “Mereka seringkali mengeluh pada kita, tapi ketika kita tawarkan untuk bantu advokasi atau mengajukan protes, mereka justru menolak karena takut identitasnya sebagai ODHA terungkap”, kata salah seorang calon paralegal.

Secara kasat mata diskusi ini memang terasa berat dan melelahkan. Namun entah kenapa, pada hari itu, diskusi ini berjalan dengan begitu menyenangkan tanpa beban. Bisa jadi karena kita semua berada pada satu titik yang sama, yaitu ketertarikan untuk memperdalam ilmu supaya kita bisa membantu sesama.

Page 4: Hak Asasi Manusia dan HIV, No. 5, 2010 - LBH Masyarakat

HdH |

3

Masalah ini sepertinya yang akan menjadi perhatian jangka panjang kita, LBH Masyarakat dan kawan-kawan paralegal dari komunitas ODHA. Diskusi ditutup dengan briefing untuk mempersiapkan pelantikan paralegal pada tanggal 30 Desember 2010. Teman-teman paralegal komunitas ODHA ini ingin menampilkan tarian modern yang sudah sangat tidak asing lagi bagi komunitas ODHA, yaitu Dance For Life. (PKA).

Duri Selatan: Komunitas Waria Labuhan Hati Perjalanan menuju sebuah komunitas waria di daerah Duri Selatan kali ini berbeda dengan perjalanan sebelumnya. Jika sebelumnya perjalanan kami terhambat karena hujan deras, kali ini mentari siang itu terasa terik. Serasa tidak mudah melakukan perjalanan ini. Apalagi saat harus dilakukan dengan menggunakan moda transportasi umum yang belum ramah konsumen. Perjalanan ini terbayar saat kami akhirnya sampai di komunitas Duri Selatan. Disana, semuanya masih terasa sama. Semangat dan rasa persaudaraan di antara komunitas ini masih sangat terasa kental. Mungkin hal itulah yang membuat mereka tetap bertahan sampai hari ini. Walaupun perjalanan hidup mereka sebagai waria tidaklah mudah dan penuh lika-liku, namun rasa persaudaraan membuat mereka mampu mengahdapi tantangan tersebut dengan ikhlas. Satu per satu dari mereka kemudian berdatangan untuk mengikuti kegiatan komunitas kali ini, yang dengan antusis mereka simak. Di minggu sebelumnya kami menjelaskan tentang bagaimana cara mendapatkan izin dari Pemerintah

Daerah (Pemda) setempat untuk mendirikan usaha. Kebanyakan dari mereka memiliki keinginan agar suatu hari mereka bisa membuka salon. Oleh karena itu, kami berbagi tentang bagaimana cara memperoleh izin usaha. Izin usaha ini dapat memperkecil kemungkinan salon yang nantinya didirikan itu akan digusur atau dibongkar paksa, seperti yang sering kali dialami beberapa teman mereka yang mendirikan salon tanpa izin usaha. Sehubungan dengan akan diselenggarakan pelatihan paralegal komunitas Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) dan Populasi Kunci, maka minggu ini topik diskusi kami adalah proses pembuktian pada persidangan kasus pidana dan perdata. Pertama, kami bertanya kepada mereka apakah ada yang mengetahui tentang pembuktian dalam persidangan kasus perdata dan pidana. Ternyata, sebagian besar dari mereka justru belum mengerti dimana letak perbedaan antara kasus pidana dengan perdata. Akhirnya,

kami mendiskusikan mengenai perbedaan kasus pidana dan perdata terlebih dahulu. Setelah itu, barulah kami membahas mengenai proses pembuktian dalam persidangan kasus tersebut. Belum sampai selesai materi disampaikan, sudah banyak dari mereka yang mengacungkan tangan tanda ingin bertanya. Kami memutuskan untuk melanjutkan diskusi dengan cara sharing cerita dari komunitas. Ternyata, banyak sekali permasalahan hukum yang pernah dihadapi oleh mereka. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh mereka untuk sharing dan menanyakan bukti apa yang bisa mereka gunakan untuk menolong, baik dirinya, keluarganya, ataupun temannya yang menghadapi permasalahan hukum. Pengalaman mereka dalam berhadapan dengan hukum ternyata sangat bervariasi, mulai dari pengalaman mereka dipukuli oleh masyarakat sipil dan tidak mendapatkan perlindungan polisi sampai dengan menemukan dokumen-dokumen penting seperti sertifikat tanah, mobil dan tidak mengetahui kenapa hal itu bisa terjadi. Setelah satu per satu pertanyaan mereka terjawab, diskusi pun berlanjut ke arah pembicaraan yang lebih ringan. Teman-teman waria yang tinggal di komunitas Duri Selatan ini sebagian besar berprofesi sebagai pengamen jalanan. Mereka bercerita kepada kami tentang pengalaman mereka selama mengamen, mulai dari cerita yang menyenangkan, lucu, sampai cerita yang cukup membuat hati kami miris mendengarnya. Berbicara tentang waria yang berprofesi sebagai pengamen, mungkin yang pertama kali muncul dipikiran masyarakat awam adalah pengamen yang galak, jahat, dan agresif.

Luluran keringat dan energi yang terbuang tidak sedikit. Perjumpaan seperti ini selalu meninggalakna kesan tersendiri bagi kami. Berhadapan dengan mereka, mengobrol bersama sampai memberi makan ikan koki yang mereka pelihara membuat kami merasa dekat dan diterima oleh mereka. Keakraban diantara kami tercipta karena kami sama-sama manusia dan memiliki martabat serta harga diri. Hal tersebut yang sering kali dirampas dari diri seorang waria.

Page 5: Hak Asasi Manusia dan HIV, No. 5, 2010 - LBH Masyarakat

HdH |

4

Saat tidak memiliki uang untuk diberikan kepada mereka, reaksi masyarakat umumnya adalah menjadi ketakutan karena beranggapan akan dipaksa untuk memberikan uang kepada mereka. Oleh karena itu, tidak jarang orang yang lantas kabur melihat waria pengamen. Walaupun mungkin juga kaburnya itu disebabkan oleh rasa phobia terhadap waria. Selain itu, tidak sedikit orang yang berlaku kasar kepada waria pengamen, diantaranya dengan mengusir mereka. Bagi para waria pengamen tentunya tindakan tersebut menyakiti hati mereka. Mereka menginginkan agar orang lain bisa menghargai mereka layaknya sesama manusia. Jika memang tidak berkenan dengan keberadaan mereka yang mengamen, seharusnya hal itu diutarakan dengan baik-baik dan sopan. Luluran keringat dan energi yang terbuang tidak sedikit. Perjumpaan seperti ini selalu meninggalkan kesan tersendiri bagi kami. Berhadapan dengan mereka, mengobrol bersama sampai memberi makan ikan koki yang mereka pelihara membuat kami merasa dekat dan diterima oleh mereka. Keakraban diantara kami tercipta karena kami sama-sama manusia dan memiliki martabat serta harga diri. Hal tersebut yang sering kali dirampas dari diri seorang waria. (MAQ/TBS).

Penyuluhan di PTRM Tebet Seperti minggu-minggu sebelumnya, LBH Masyarakat kembali datang ke Pusat Terapi Rumatan Metadon di Puskesmas Tebet. Kali ini adalah kali ketiga kami datang kesana. Kedatangan ini tidak laintidak bukan adalah untuk berdiskusi dengan teman-teman peserta terapi metadon di sana. Pada awalnya, cukup sulit bagi kami untuk dapat berdiskusi di sana dengan tertib. Pertama, kami belum tahu jadwal metadon di Puskesmas Tebet. Selain itu, kadang permasalahan tempat yang akan digunakan juga sering kali muncul. Oleh karena itu, dengan bantuan dari teman-teman peserta metadon di Puskesmas Tebet dan Kiki, salah satu paralegal komunitas LBH Masyarakat, kami berhasil mendapatkan jadwal rutin untuk berdiskusi dengan teman-teman peserta metadon di Puskesmas Tebet. Tidak hanya itu, kami juga difasilitasi dengan ruangan besar untuk tempat kami berdiskusi oleh pihak Puskesmas. Kehadiran metadon itu sendiri sebagai substitusi atau pengganti narkotika jarum suntik cukup disambut dengan baik oleh masyarakat di sekitarnya. Banyak yang berinisiatif untuk mengalihkan ketergantungannya dari narkotika ke metadon. Selain harganya yang relatif murah, mudah dijangkau, tidak berisiko tertangkap polisi karena penggunaan metadon adalah sah secara hukum, penggunaan metadon juga dapat mengurangi besaran dampak buruk akibat menggunakan narkotika. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila program pemerintah ini disambut dengan baik oleh sebagian masyarakat, terutama para pecandu yang memiliki keinginan untuk pulih. Kali ini, kedatangan kami di Puskesmas Tebet dihadiri cukup banyak teman-teman peserta metadon. Baru kami sadari bahwa jumlah peserta yang hadir semakin bertambah pada setiap pertemuan. Selain itu antusiasme mereka semakin terlihat dengan semakin bervariasinya pertanyaan mereka, yang kebanyakan berasal dari pengalaman pribadi. Pada dasarnya memang mereka kurang percaya dengan teori-teori hukum yang ada, karena bagi mereka apa yang kami sampaikan, yaitu materi hukum, tidaklah sesuai dengan fakta yang ada di lapangan. Dalam kesempatan tersebut, ada salah seorang teman yang bercerita tentang pengalamannya saat ditangkap oleh polisi. Penangkapan tersebut berjalan tidak sesuai dengan prosedur yang berlaku. Ia bercerita bahwa ia merasa seperti dijebak oleh polisi. Fenomena jebak-menjebak atau yang dikenal dengan istilah cepu memang sering kali dialami teman-teman pecandu narkotika, baik yang masih aktif maupun yang sudah tidak menggunakannya lagi ataupun beralih ke metadon. Selain dirinya, salah seorang temannya yang lain juga bercerita bahwa dalam penangkapan yang dia alami, polisi tidak pernah memberikan surat penangkapan maupun surat penahanan. Saat ia bertanya mengenai kedua surat tersebut, polisi itu menjawab “halah, ga usah sok pinter deh pake tanya-tanya surat segala!” Hal ini tentu membuatnya jadi ketakutan, atau bahasa slang-nya adalah jiper. Padahal, apa yang ia lakukan adalah hal yang benar. Atas dasar pengalaman-pengalaman mereka itulah, mereka kemudian menjadi tidak percaya lagi pada hukum di negara ini. Sesekali kami dengar celotehan miring seperti “ah, itu kan cuma teori aja mas, praktek yang saya alami dan temen-temen alami gak seperti itu tuh.....”. Kami cukup mengerti apa yang mereka rasakan dan mencoba memaklumi bantahan-bantahan ataupun celotehan miring dari mereka. kami juga menghargai akan pengalaman yang pernah terjadi pada mereka. Di sinilah kami merasa perlu untuk membantu mereka. Kami perlu menunjukkan pada mereka bahwa masih ada segelintir kelompok yang mau

Page 6: Hak Asasi Manusia dan HIV, No. 5, 2010 - LBH Masyarakat

HdH |

5

membela mereka dan membantu mereka mengatasi persoalan mereka. Namun, mereka harus benar-benar mau belajar untuk memahami setiap materi penyuluhan yang kami sampaikan, dan memiliki keberanian untuk melawan setiap tindakan-tindakan aparat penegak hukum yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Memang akan membutuhkan waktu yang lama untuk memahami semuanya itu, tetapi apapun bisa saja dilakukan selama ada kemauan dan keberanian. (GN)

Belajar yang Efektif: Belajar Melalui Kasus Keberadaan waria tidak lagi menjadi hal yang aneh bagi sebagian besar masyarakat. Di masa seperti sekarang, tidak hanya laki-laki ataupun perempuan saja yang bebas mengekspresikan dirinya. Waria juga mulai mendapatkan pengakuan di beberapa komunitas tertentu. Salah satunya adalah Mami Yuli, seorang waria yang tinggal di Depok. Mami Yuli bukan hanya telah melakukan banyak hal untuk komunitasnya, tetapi Mami Yuli bahkan berhasil mejadi sarjana pada tahun ini. Walaupun mungkin jalan yang dilalui Mami Yuli untuk mendapat gelar sarjana tidaklah mudah, namun Mami Yuli berhasil membuktikan bahwa waria adalah juga manusia biasa, yang memiliki rasa haus akan ilmu pengetahuan, dan tentunya berhak mendapatkan pengetahuan yang diinginkannya. Semangat yang terlihat di diri Mami Yuli juga terlihat di diri teman-teman waria yang tinggal di Blora. Teman-teman di komunitas Blora selalu antusias setiap kali kami datang kesana untuk berdiskusi hukum dengan mereka. Tidak kurang dari 10 (sepuluh) orang pasti ada disana setiap kami berdiskusi. Mereka dengan ikhlas dan penuh kesadaran berkeinginan untuk hadir dan berpartisipasi dalam diskusi itu, walaupun hanya ada sedikit makanan ringan terhidang ditengah lingkaran kami duduk. Kali ini kami hadir untuk kembali mendiskusikan materi tentang pembuktian dalam kasus perdata dan pidana. Walaupun materi ini sudah pernah kami diskusikan bersama, mereka tetap menyimak dan mengikuti diskusi tersebut dengan khusyuk. Sesekali terdengar suara tertawa kecil dari dua atau tiga orang teman mereka yang sedang asyik bercanda gurau. Teman-teman lain tidak ragu untuk mengingatkan mereka untuk berhenti bercanda dan kembali menyimak diskusi tersebut. Tidak jarang juga mereka sudah bisa menjawab pertanyaan dari temannya yang lain. Rasa haru membuncah di hati kami setiap kali kami mendengar mereka memberikan jawaban yang benar atas pertanyaan temannya yang lain. Saat itu, materi mengenai pembuktian menjadi materi yang seolah-olah sangat dekat dengan mereka. Ternyata, salah satu teman mereka, yang kebetulan tidak tinggal di tempat itu, sedang tersangkut permasalahan hukum akibat kasus narkotika. Kini ia sedang mendekam di Rumah Tahanan Salemba (Rutan Salemba). Diskusi kali ini pun dimulai dengan menggunakan kasus tersebut sebagai contoh kasus yang akan dibahas. Diskusi dimulai dengan tata cara penangkapan, dimana seharusnya pihak kepolisian yang menangkap memberikan surat penangkapan dan surat penahanan, apabila orang tersebut ditahan. Hal inilah yang disayangkan oleh mereka. Pihak Kepolisian tidak memberikan surat-surat tersebut. Ketiadaan identitas yang lengkap membuat teman mereka yang bermasalah dengan hukum tersebut berstatus sebagai penduduk liar. Hal ini yang mungkin dijadikan polisi sebagai alasan untuk tidak memberikan tembusan surat penangkapan dan penahanan kepada keluarganya. Padahal, tempat ia tinggal sekarang sudah seperti rumahnya sendiri, dan orang-orang di dalamnya sudah dianggap sebagai keluarga sendiri. Untuk membantunya, kami mencoba mencaritahu dan mencatat hal-hal apa saja yang dapat dijadikan alat bukti. Dari sini, mereka sedikit banyak mulai memahami alat bukti yang dikenal dalam persidangan kasus pidana dan bisa membedakan mana hal yang dapat dijadikan alat bukti, dan mana yang tidak. Diskusi hari itu pun kami akhiri. Tanpa disadari, diskusi itu telah berlangsung hampir 2 (dua) jam! Betapa cepatnya waktu berlalu saat kita sedang melakukan hal yang sangat menyenangkan. Dan memang, sampai kapanpun, selalu lebih mudah untuk menyampaikan materi dengan menggunakan contoh kasus yang langsung bersinggungan dengan komunitas tersebut. Setelah itu, kami memberikan sedikit penjelasan mengenai pelatihan paralegal yang akan diselenggarakan dan meminta para calon paralegal dari komunitas Blora untuk bersiap diri.

Diskusi hari itu pun kami akhiri. Tanpa disadari, diskusi itu telah berlangsung hampir 2 (dua) jam! Betapa cepatnya waktu berlalu saat kita sedang melakukan hal yang sangat menyenangkan. Dan memang, sampai kapanpun, selalu lebih mudah untuk menyampaikan materi dengan menggunakan contoh kasus yang langsung bersinggungan dengan komunitas tersebut.

Page 7: Hak Asasi Manusia dan HIV, No. 5, 2010 - LBH Masyarakat

HdH |

6

Mari Bicara Hukum dan HAM

Heru Pribadi: Kami ingin peraturan yang memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi pecandu narkotika untuk dapat direhabilitasi! Wacana mengenai hak pecandu narkotika untuk mendapatkan perawatan dan pengobatan guna menyembuhkan adiksinya sudah terdengar lebih dari satu decade yang lalu. Melalui Undang-Undang Narkotika Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, pemerintah telah mengakomodasi kebutuhan tersebut dengan memasukkan pasal yang membuka peluang bagi para pecandu narktika yang sedang mengalami kasus untuk mendapatkan perawatan dan pengobatan. Dalam penjelasan Pasal 85 UU No. 22 Tahun 1997 dikatakan bahwa yang dimaksud dengan menggunakan narkotika bagi dirinya sendiri adalah penggunaan narkotika yang dilakukan oleh seseorang tanpa melalui pengawasan dokter. Jika orang yang bersangkutan menderita ketergantungan, dia harus menjalani rehabilitasi baik medis maupun sosial, dan pengobatan serta rehabilitasi bagi yang bersangkutan akan diperhitungkan sebagai masa menjalani pidana. Begitu pula dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yang merupakan pengganti UU No.22 Tahun 1997. Sekali lagi, hak pecandu untuk mendapatkan perawatan dan pengobatan diejawantahkan ke dalam pengaturan Pasal 127 UU No. 35 Tahun 2009. Bersamaan dengan hak tersebut, beberapa lembaga negara yang berkaitan dengan permasalahan ini membuat sebuah peraturan bersama. Peraturan bersama ini melibatkan 6 (enam) buah lembaga negara, yaitu Kepolisian Republik Indonesia, Badan Narkotika Nasional, Kejaksaan Agung, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Kesehatan, serta Menteri Sosial. Heru Pribadi, aktivis advokasi narkotika yang juga salah satu paralegal komunitas LBH Masyarakat memberikan pandangannya terkait dengan keberadaan peraturan bersama tersebut. Bagaimana pendapat Mas Heru mengenai peraturan bersama tersebut? Tetap tidak ada perubahan yang signifikan. Aktivis advokasi narkotika tidak ada yang dilibatkan dalam penyusunan draft ini. Jadinya draft ini engga cukup menjawab tantangan-tantangan yang ada di lapangan. Harusnya draft itu engga sekedar mengatur bahwa pecandu itu bisa mendapatkan rehabilitasi selama proses penyidikan sampai persidangan saja, tapi juga mereka ini bisa dibebaskan untuk bisa ikut program rehab secara total. Jadi engga setengah-setengah. Ini penting buat menjamin hak atas kesehatan pecandu dengan mendapatkan rehabilitasi bisa tetap terpenuhi. Memangnya perubahan seperti apa sih yang diharapkan, Mas? Ya kalau dari kita sih berharapnya ada pembebasan para korban penyalahgunaan narkotika dari tuntutan hukum supaya mereka dapat menjalani rehabilitasi baik medis maupun sosial secara penuh. Ketika para korban penyalahgunaan narkotika seperti pecandu ditangkap oleh polisi karena kedapatan membawa ataupun memakai narkotika, mereka akan ditahan untuk proses penyidikan sampai akhirnya nanti akan disidangkan. Bagi para pecandu hal ini sangat berat karena harus ditahan sehingga tidak dapat mengkonsumsi narkotika. Seorang pecandu akan mengalami sakit pada tubuhnya jika tidak diberi narkotika. Selain itu psikologis mereka akan mengalami tekanan yang sangat hebat akibat tidak mengkonsumsi narkotika. Maka dari itu kita ingin memperjuangkan agar para pecandu yang tertangkap karena kasus narkotika langsung dibebaskan untuk menjalani rehabilitasi. Lalu, ada lagi ga sih hal penting yang menurut Mas Heru seharusnya tercantum di peraturan itu, tetapi ternyata tidak diatur? Ada banget! Point-point penting yang nggak diatur itu salah satunya mengenai pemeriksaan terhadap korban penyalahgunaan narkotika di tingkat penyidikan, tingkat penuntutan hingga tingkat persidangan. Misalnya setiap seseorang yang ketangkep karena kasus narkotika harus di periksa dulu apakah dia itu merupakan korban penyalahgunaan narkotika atau bukan, sebab penyalahguna narkotika belum tentu korban. Kalau dia terbukti sebagai korban penyalahgunaan narkotika maka harus segera ditangani yaitu dimasukin ke Panti Rehabilitasi. Kalau dia terbukti sebagai pecandu narkotika juga seharusnya otomatis dimasukkan ke Panti Rehabilitasi. Kadang, kalau statusnya orang yang ditangkap itu adalah “korban” penyalahgunaan narkotika, lebih besar kemungkinannya untuk segera diberikan perawatan di Panti Rehabilitasi. Padahal, kalau berdasarkan peraturan ini, yang namanya “korban” penyalahguna narkotika itu ya cuma orang yang pakai narkotika karena paksaan, dan lainnya gitu.

Page 8: Hak Asasi Manusia dan HIV, No. 5, 2010 - LBH Masyarakat

HdH |

7

Seharusnya, definisi “korban” itu juga termasuk mereka yang jadi pecandu walaupun ceirta awal pakai narkotikanya tidak melalui proses paksaan atau yang lainnya. Kalau statusnya itu cuma sekedar pengguna narkotika, sulit sekali dapat rehabilitasi. Apalagi, dalam banyak kasus, tersangka kasus narkotika yang tertangkap mayoritas sedang tidak menggunakan narkotika sehingga dalam B.A.P kepolisian mereka tidak disebutkan sebagai korban melainkan sebagai penyalahguna narkotika. Hal ini tentu saja merugikan mereka karena kesempatan mereka untuk mendapatkan rehabilitasi itu jauh lebih sedikit. Sebagai contoh itu ada kasusnya Qoyim (bukan nama sebenarnya). Qoyim adalah seorang pecandu narkotika. Suatu saat dia tertangkap tangan saat membawa putaw (belum mengkonsumsinya), polisi kemudian mengenakan Pasal 112 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Pasal 112 itu adalah pasal yang mengatur tentang penguasaan narkotika. Untuk dapat direhabilitasi, Qoyim harus membuktikan dirinya seorang pecandu yang secara otomatis adalah korban penyalahgunaan narkotika. Jika tidak, Qoyim akan sangat sulit untuk mendapat rehabilitasi. Kasus-kasus seperti itu sangat banyak menimpa para korban penyalahgunaan narkotika, maka itu para pencandu ini bersama dengan kalangan aktivis di bidang narkotika sangat mengharapkan adanya pengaturan teknis mengenai penanganan korban penyalahgunaan narkotika di antara instansi-instansi yang terkait. Misalnya, kalau orang yang tertangkap itu mengaku sebagai pecandu dan selama proses penyidikan dia bisa menyertakan bukti-buktinya, harusnya pasal yang dikenakan untuk dia itu adalah Pasal 127 UU Narkotika, yang memang ngatur tentang penggunaan narkotika untuk diri sendiri. Selain pemeriksaan untuk menentukan seseorang merupakan korban penyalahgunaan narkotika apalagi kekurangan yang perlu diperhatikan dalam peraturan bersama tersebut? Peraturan ini nggak bisa dilterapkan secara menyeluruh, karena tergantung ada tidaknya tempat rehabilitasi di suatu wilayah. Lalu mekanisme pemindahan korban penyalahgunaan narkotika pada tingkat penyidikan dari tahanan ke lembaga rehab juga nggak diatur. Dari tadi kan kita udah membahas tentang kekurangan-kekurangan apa saja dari peraturan bersama itu. Nah, menurut Mas Heru sendiri, idealnya peraturan ini seperti apa sih mas? Ya idealnya draft tersebut juga mengatur soal teknis penanganan korban narkotika saat ditingkat penyidikan sampai peradilan. misalnya ada seorang pecandu, dalam hal ini korban penyalahgunaan narkotika, yang ditangkap penyidik dia harus segera ditangani untuk dapat rehab soalnya kalau terlalu lama ditahan si pecandu ini bakal kesakitan. Terus juga draft itu harus mengatur tentang bagaimana menentukan bahwa seorang tersangka kasus narkotika itu pecandu (korban penyalahguna narkotika). Dalam hal ini teknis penentuannya gimana, siapa yang berhak menentukan seseorang itu merupakan pecandu, bagaimana cara menentukannya, apakah musti melalui psikiatri atau melaui BNN. Sejauh mana dampaknya bagi para pecandu narkotika apabila peraturan tersebut akan benar-benar berlaku? Selama pemerintah belum mau mengakui kalau pecandu narkotika itu juga masuk dalam kategori “korban” penyalahgunaan narkotika, stigma buat pecandu itu tetep ga akan bisa hilang. Kalau seandainya pemerintah mau mengakui ke-”korban”-an pecandu narkotika dan juga bahwa mereka itu butuh dirawat dan diobati, perspektif masyarakat juga akan berubah dan ga lagi menstigma atau mendiskriminasi pecandu narkotika.

Sampai saat ini masyarakat umum masih menganggap pecandu ataupun korban penyalahgunaan narkotika sebagai sampah masyarakat mereka dan pada umumnya masyarakat cenderung melakukan kriminalisasi terhadap para penyalahguna narkotika tersebut. Mereka (pecandu dll) sering dijauhi, dipinggirkan dan bahkan diintimidasi oleh masyarakat, padahal sebenarnya mereka hanyalah korban penyalahgunaan narkotika yang membutuhkan bantuan dari masyarakat melaui program rehabilitasi.

Nah, terakhir, apa sih harapan Mas Heru terhadap peraturan tersebut? Harapannya ya agar peraturan itu lebih sempurna lagi sebelum dikeluarin, dan kami sebagai aktivis dibidang narkotika harusnya diajak dalam penyusunannya. Tapi kalau engga bisa, ya kami cuma berharap itu bisa dikeluarkan secepatnya, karena seperti saya bilang tadi draft itu penting buat para korban penyalahgunaan narkotika agar tidak lagi dikriminalisasi oleh masyarakat. Dengan adanya draft ini diharapkan polisi punya pegangan teknis tentang penanganan korban penyalahgunaan narkotika, karena dikepolisian nggak ada pedoman pengaturan tentang penanganan bagi para

Page 9: Hak Asasi Manusia dan HIV, No. 5, 2010 - LBH Masyarakat

HdH |

8

pecandu. Adanya malah instruksi untuk mendapatkan target tersangka kasus narkotika, walaupun kita nggak bisa menemukan bukti tertulisnya. Dengan adanya draft ini diharapkan ada koordinasi yang optimal diantara instansi-instansi pemerintah terkait dalam penanganan korban penyalahgunaan narkotika serta terlaksananya proses rehabilitasi bagi para korban narkotika saat berhadapan dengan hukum. Terutama saat mereka menjalankan proses persidangan pidana.

-- Disampaikan kepada Bahrul Ulum, volunteer LBH Masyarakat dalam wawancara melalui telepon.

Page 10: Hak Asasi Manusia dan HIV, No. 5, 2010 - LBH Masyarakat

HdH |

9

Suara Komunitas

LBH Masyarakat bertanya: Bagaimana perasaan kamu karena telah terpilih menjadi paralegal komunitas LBH Masyarakat? Apa yang akan kamu lakukan ke depannya dalam menjalankan fungsi kamu sebagai paralegal komunitas? Anton Sugiri: “Saya merasa bangga dengan diri saya dan tidak menyangka kalau saya bis amenjadi paralegal di negara Republik Indonesia ini, walaupun di negara ini yang saya lihat hukum, keadilan, dan kebenaran hanyalah milik orang yang berdasi dan bersafari. Tapi, saya tidak bersedih hati dengan sistem yang ada di negara ini. ke depannya saya ingin memberikan pemahaman kepada masyarakat yang termarjinalkan terkait dengan hukum yang berlaku.” Mirza Revilia (Vivi): “Perasaan saya yang pasti sangat senang. Selain menambah pengetahuan saya karena sekarang saya menjadi lebih mengerti hukum, saya berharap dan ingin sekali membantu teman-teman saya ke depannya.” Amelia Elisabeth: “Yang jelas perasaan saya bersyukur dan bangga karena telah berhasil menjadi paralegal. Saya bisa bantu orang-orang yang sedang ada masalah hukum. Kalau ke depannya sih pengennya bisa mempraktekkan apa yang sudah saya dapatkan dari pelatihan paralegal. Saya juga masih ingin belajar lebih dalam lagi tentang hukum. Sekarang ini saya lagi mencoba memberdayakan KDS di RSKO Cibubur yang kurang aktif, kreatif, dan kurang kegiatan. Semoga bisa berinteraksi dengan baik dengan kawan-kawan dari LSM atau sesama PKM-PKM lainnya, dan tentunya juga dengan LBH Masyarakat.” Stella: “Jadi paralegal itu enak, bisa punya pengetahuan yang lebih tentang hukum dibandingkan teman-teman yang lainnya. Bisa banyak kenal dengan teman-teman lain, seperti teman-teman ODHA dan pecandu narkotika. Aku sih pengennya bisa membantu kasus-kasus hukum yang dihadapi teman-teman aku di komunitas. Terutama masalah diskriminasi yang sering dihadapi teman-teman aku. Sering banget mereka dalam keadaan mabok dipukuli orang-orang. Kalau begitu kan mau ngelapor polisi juga susah, ya orang mabok. Omongannya kan jadi ga didengar. Jadi ya harapan aku, aku bisa memberikan sedikit pengetahuan lah kepada teman-teman di komunitasku.” RM Rendra Asmara: “Senang saya jadi paralegal. Jadinya kalau ada kejadian di komunitas, saya bisa mencoba membantu masalah mereka. kalau ternyata saya ga bisa, kan saya bisa bantu memfasilitasi mereka ke LBH Masyarakat. Yang pertama ingin saya lakukan sebagai paralegal adalah mensosialisasikan pengetahuan dan informasi yang sudah saya dapatkan selama pelatihan. Minimal dasar-dasar hukum yang terkait dengan tindakan teman-teman saya sehari-hari.”

Agenda Terdekat

Selasa, 30 November 2010 Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat akan mengadakan diskusi publik bertemakan Pemberdayaan Hukum Masyarakat bagi Komunitas ODHA dan Populasi Kunci: Mempertahankan Hak, Melawan Stigma. Narasumber dalam diskusi ini adalah Thali (perwakilan komunitas), perwakilan LBH Masyarakat, Ibu Nafsiah Mboi (Sekretaris KPA Nasional), dan Bapak Yoseph Adi P (Komisioner Komnas HAM). Selesai diskusi publik, acara akan dilanjutkan dengan Pelantikan Paralegal Komunitas ODHA dan Populasi Kunci. Acara akan diadakan di Hotel Haris, Tebet, dimulai Pkl 15.00 – 19.00 (diakhiri makan malam). Minggu, 12 Desember 2010 Memasuki usia ketiga, Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat mengadakan sebuah acara syukuran dengan mengundang seluruh komunitas dampingan dan LSM-LSM rekan kerja. Dalam syukuran ini juga akan diisi oleh aksi panggung atau unjuk bakat dari perwakilan komunitas-komunitas dampingan LBH Masyarakat. Untuk keterangan lebih lanjut dapat menghubungi kantor LBH Masyarakat di nomor 021 - 830 54 50.

Page 11: Hak Asasi Manusia dan HIV, No. 5, 2010 - LBH Masyarakat

HdH |

10

Galeria

Pelatihan Paralegal Komunitas ODHA dan Populasi Kunci 1 – 3 November 2010

Foto bersama: Paralegal Komunitas ODHA dan Populasi Kunci.

Staf LBH Masyarakat memberikan cinderamata bagi peserta pelatihan yang terpilih menjadi peserta terjaim (Rendi, berbaju pink) dan peserta terkocak (Maura)

Salah satu sesi terfavorit para peserta: sesi psikologi dengan tema Kemampuan Komunikas dan Motivasi.

Page 12: Hak Asasi Manusia dan HIV, No. 5, 2010 - LBH Masyarakat

HdH |

11

Tentang LBH Masyarakat

Berangkat dari ide bahwa setiap anggota masyarakat memiliki potensi untuk turut berpartisipasi aktif mewujudkan negara hukum yang demokratis, sekelompok Advokat, aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) dan demokrasi mendirikan sebuah organisisasi masyarakat sipil nirlaba bernama Perkumpulan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBH Masyarakat). Visi LBH Masyarakat adalah terwujudnya partisipasi aktif dan solidaritas masyarakat dalam melakukan pembelaan dan bantuan hukum, penegakan keadilan serta pemenuhan HAM. Sementara misinya adalah mengembangkan potensi hukum yang dimiliki oleh masyarakat untuk secara mandiri dapat melakukan gerakan bantuan hukum serta penyadaran hak-hak warga negara, dari dan untuk masyakarat. Secara ringkas, visi dan misi LBH Masyarakat diimplementasikan melalui tiga program kerja utama, yakni: (1) Pemberdayaan hukum masyarakat melalui pendidikan hukum, penyadaran hak-hak masyarakat, pemberian informasi mengenai hukum dan hak-hak masyarakat serta pelatihan-pelatihan bantuan hukum bagi masyarakat; (2) Advokasi kasus dan kebijakan publik; (3) Penelitian permasalahan publik dan kampanye hak asasi manusia baik di tingkat nasional maupun internasional.