Hak Asasi Manusia dan HIV, No. 4, 2010 - LBH Masyarakat

12

Click here to load reader

description

HdH diterbitkan dengan tujuan untuk menjadi sarana informasi, komunikasi dan dialog antar komunitas yang kini tengah diberdayakan oleh LBH Masyarakat. Publikasi ini hendak menyasar pembaca utamanya di lingkungan orang yang hidup dengan HIV/AIDS, pemakai narkotika, pekerja seks dan waria/transjender. Publikasi ini juga bertujuan untuk memicu diskusi di antara anggota komunitas-komunitas tersebut. Tentu inisiatif ini tidak lepas sebagai bentuk upaya untuk melengkapi pemberdayaan hukum masyarakat yang tengah kami lakukan di empat komunitas tersebut.

Transcript of Hak Asasi Manusia dan HIV, No. 4, 2010 - LBH Masyarakat

Page 1: Hak Asasi Manusia dan HIV, No. 4, 2010 - LBH Masyarakat

hak asasi manusia dan hiv Edisi: Nomor 04, September 2010

Kabar Komunitas Mengupas kegiatan yang dilakukan oleh Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat di empat komunitas yang tengah diberdayakan yakni di komunitas Orang dengan HIV/AIDS (ODHA), pemakai narkotika, pekerja seks, dan wanita-pria.

• Gambir: Saatnya Sadar Hak dan Melawan Ketidakadilan • Blora: Menyebar Inspirasi, Membangun Semangat • Komunitas ODHA: Momentum Kebangkitan untuk Melakukan Advokasi Mandiri • Duri Selatan: Komunitas Baru, Sahabat Baru

Mari Bicara Hukum dan HAM Pada edisi kali ini kita mencoba mengurai apa hubungan antara hak asasi manusia (HAM) dengan HIV. LBH Masyarakat memandang bahwa HAM memiliki kaitan erat dengan penyebaran dan dampak HIV/AIDS bagi individu maupun komunitas di seluruh dunia. Ketiadaan penghormatan terhadap HAM akan memicu penyebaran dan memperburuk dampak penyakit tersebut, dan pada saat bersamaan infeksi HIV/AIDS akan melemahkan upaya untuk perwujudan HAM.

Suara Komunitas Dalam rangka memperingati Hari Sumpah Pemuda yang jatuh pada tanggal 28 Oktober, LBH Masyarakat bertanya kepada teman-teman komunitas, apa yang dapat dilakukan oleh pemudi-pemuda dalam rangka menegakkan hukum dan HAM di Indonesia.

Page 2: Hak Asasi Manusia dan HIV, No. 4, 2010 - LBH Masyarakat

HdH |

1

Daftar Isi Dari Meja Redaksi                    1 

    Kabar Komunitas                  2     Gambir: Saatnya Sadar Hak dan Melawan Ketidakadilan        2     Blora: Menyebar Inspirasi, Membangun Semangat          3 

Komunitas ODHA: Momentum Kebangkita untuk Melakukan Advokasi Mandiri   4     Duri Selatan: Komunitas Baru, Sahabat Baru             5 

Mari Bicara Hukum dan HAM                  7 Suara Komunitas                    9 Galeria                        10 

Yang terhormat pembaca budiman,  Bulan Oktober menjadi bulan yang cukup padat bagi LBH Masyarakat. Menjelang pelatihan paralegal komunitas ODHA dan populasi kunci di minggu pertama November, kegiatan pemberdayaan hukum masyarakat di komunitas  tersebut kami  tingkatkan  intensitasnya.  Hal  ini  dilakukan  dengan  tujuan  untuk  dapat  menemukan  bibit‐bibit  paralegal. Penyuluhan demi penyuluhan kami lakukan, bahkan tidak jarang harus menembus hujan deras yang sering mengguyur kota  Jakarta.  Beruntung  kegigihan  kami  untuk  melakukan  penyuluhan  terbayar  dengan  antusiasme  yang  tinggi  di kalangan  komunitas.  Bahkan  terdapat  satu‐dua  komunitas  yang  anggotanya  harus  ‘bersaing  ketat’  untuk  dapat  ikut serta  dalam  pelatihan  paralegal,  mengingat  tempat  yang  tersedia  terbatas.  Seperti  biasa,  Kabar Komunitas akan menceritakan pengalaman kami ketika melakukan penyuluhan hukum di komunitas‐komunitas tersebut. Pengalaman yang menurut kami layak dibagi dan patut diceritakan.   HdH  kali  ini  juga menurunkan  tulisan  singkat  yang  hendak menjelaskan  hubungan  antara  hak  asasi manusia  (HAM) dengan  HIV/AIDS.  LBH Masyarakat memandang  bahwa  HAM memiliki  kaitan  erat  dengan  penyebaran  dan  dampak HIV/AIDS  bagi  individu maupun  komunitas  di  seluruh  dunia.  Ketiadaan  penghormatan  terhadap HAM  akan memicu penyebaran  dan  memperburuk  dampak  penyakit  tersebut,  dan  pada  saat  bersamaan  infeksi  HIV/AIDS  akan melemahkan  upaya  untuk  perwujudan HAM.  Semoga  tulisan  ini  dapat membantu  rekan‐rekan  pembaca memahami kaitan antara keduanya.   Akhir kata, semoga tulisan yang kami sajikan dalam HdH dapat memicu diskusi hangat di antara anggota komunitas dan pemerhati HAM dan HIV. Segala kritik dan  saran yang membangun  senantiasa kami  tunggu untuk perbaikan HdH ke depannya.   Terima kasih, dan salam hangat  

Dari Meja Redaksi  

 Dewan  Redaksi:  Ricky  Gunawan,  Dhoho  A.  Sastro,  Andri  G. Wibisana,  Ajeng  Larasati,  Alex  Argo  Hernowo,  Answer  C. Styannes,  Pebri  Rosmalina,  Antonius  Badar,  Feri  Sahputra, Grandy  Nadeak,  Vina  Fardhofa,  Magdalena  Blegur,  dan  Putri Kusuma Amanda Keuangan dan Sirkulasi: Fajriah Hidayati dan Zaki Wildan  

HdH  diterbitkan  oleh  Lembaga  Bantuan  Hukum Masyarakat  (LBH  Masyarakat)  dengan  dukungan  oleh International Development Law Organization  (IDLO) dan OPEF Funds for International Development (OFID). 

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat Tebet Timur Dalam III B No. 10, Jakarta 12820 Telp. 021 830 54 50 Faks. 021 829 80 67 Email. [email protected] Website. http://www.lbhmasyarakat.org  

               

Page 3: Hak Asasi Manusia dan HIV, No. 4, 2010 - LBH Masyarakat

HdH |

2

Kabar Komunitas  

 

Gambir: Saatnya Sadar Hak dan Melawan Ketidakadilan  Seperti biasa, LBH Masyarakat secara berkala menyelenggarakan penyuluhan hukum di komunitas pemakai narkotika. Kesempatan kali ini, kami mengunjungki Komunitas Gambir. Komunitas merupakan kumpulan dari mereka yang pernah menggunakan narkotika dan zat adiktif  lainnya dan  tengah menjalani program  terapi metadon di Puskesmas Gambir. Sebagai pemakai narkotika tentu mereka dikriminalisasi dan oleh karenanya sering berhadapan dengan hukum. Posisi mereka yang terstigmakan membuat mereka rentan penyiksaan dari aparat penegak hukum. Tidak hanya  itu, sebagai pemakai narkotika yang berhadapan dengan hukum, tidak banyak advokat atau lembaga bantuan hukum yang bersedia memberikan  bantuan  hukum. Melihat  kenyataan  ini  LBH Masyarakat meningkatkan  intensifitas  penyuluhan  hukum sebagai bentuk upaya pendidikan hukum, agar ketika menjalani proses hukum, mereka akan  lebih sadar hak. Akhirnya upaya ini juga sebagai bentuk untuk mewujudkan advokasi mandiri bagi kelompok pemakai narkotika.   Penyuluhan di Puskesmas Gambir pertengahan bulan Oktober  2010 mengetengahkan  topik upaya paksa dan proses persidangan pidana. Hadir  sebagai pemateri dari LBH Masyarakat, Grandy Nadeak, Peneliti Hukum dan Bahrul Ulum, Relawan Bantuan Hukum.  Selain  kedua  topik  itu  juga  komunitas  ini diberikan materi  seputar hak  tersangka maupun terdakwa.  “Teman‐teman harus mengetahui hak‐haknya  ketika menjalani proses hukum  supaya  tahu dan  tidak akan dibodohi oleh polisi,” tegas Grandy. Hak‐hak tersebut di antaranya meliputi:  

1. Mendapatkan penjelasan dari apa yang disangkakan/didakwakan terhadap diri kita. 2. Mendapat bantuan hukum dari Penasihat Hukum; aparat tidak boleh melarang seseorang untuk didampingi 

penasihat hukum. 3. Berkomunikasi dengan keluarga dan orang‐orang yang berkepentingan lainnya. 4. Mengajukan saksi atau ahli‐ahli dalam suatu bidang yang dapat meringankan tersangka/terdakwa. 5. Menuntut ganti rugi dan sebagainya. 

 Selain  dilanggar  hak‐haknya  di  atas,  pemakai  narkotika  yang berhadapan  dengan  hukum  seringkali  mengalami  penyiksaan  atau perlakuan  buruk  lainnya.  “Hal  ini  bisa  dihindari  jika  teman‐teman mengetahui bagaimana proses hukum  itu berjalan dan apa saja hak‐hak  yang  teman‐teman miliki  sebagai  tersangka ataupun  terdakwa,” ujar  Grandy.  “Pada  intinya  kita  harus  mau  dan  berani memperjuangkan  hak‐hak  yang  kita  miliki.  Kita  juga  harus  mampu mengadvokasi  diri  kita  dan  akan  lebih  baik  tentunya  jika  kita  juga mampu membantu  teman‐teman  yang  tersangkut masalah  pidana” timpal Bahrul.  Setelah sesi materi selesai, penyuluhan dilanjutkan dengan sesi tanya jawab. Seperti yang telah diprediksi sebelumnya bahwa banyak kisah buruk  yang  dialami  oleh  mereka  salah  satunya  dikemukakan  oleh Freddy (bukan nama sebenarnya) seorang mantan pemakai narkotika. Ketika  ia  masih  menjadi  pemakai  ia  pernah  ditangkap  oleh  kepolisian  dengan  tuduhan  memiliki  dan  menyimpan narkotika. Mulanya Freddy akan membeli narkotika pada seorang bandar di daerah Tanah Abang. Pada saat dia hendak menemui bandar tersebut dia melihat bandar itu sedang ditangkap oleh kepolisian. Melihat sang bandar tertangkap, ia pun tidak jadi membeli narkotika dan kembali ke rumah. Tetapi beberapa saat kemudian ada petugas polisi yang datang ke  rumahnya.  Setelah  bertemu  dengan  Freddy,  kemudian  polisi  menjatuhkan  narkotika  di  dekat  kaki  Freddy  dan menyuruh Freddy untuk mengambilnya. Pada awalnya Freddy menolak, tetapi para petugas polisi itu memukuli freddy dan memaksanya mengambil  narkotika  tersebut.  “Saya  sebenernya  nggak mau  ngambil  tuh  barang  bang,  tapi  saya dipukul  terus   ampe mak ama bapak saya kaget dan ketakukan soalnya  tau‐tau saya digebukin polisi,” demikian kata Freddy berapi‐api. Freddy pun akhirnya memungut narkotika tersebut dan pada saat itulah dia ditangkap dan dibawa ke kantor polisi. Ketika diperiksa oleh salah seorang polisi, ia ditanya apakah benar dia yang memiliki narkoba tersebut dari seorang bandar. “Saya udah bilang saya ga beli tuh barang, saya disuruh ngambil ama tuh polisi yang nangkep” Freddy terus menjelaskan, akan  tetapi petugas polisi yang menangkap Freddy  (kebetulan berada di dekat Freddy)  itu malah 

“Saya  sebenernya  nggak  mau  ngambil  tuh barang  bang,  tapi  saya  dipukul  terus    ampe mak  ama  bapak  saya  kaget  dan  ketakukan soalnya  tau‐tau  saya  digebukin  polisi,” demikian kata Freddy berapi‐api. Freddy pun akhirnya  memungut  narkotika  tersebut  dan pada saat itulah dia ditangkap dan dibawa ke kantor  polisi.  Ketika  diperiksa  oleh  salah seorang  polisi,  ia  ditanya  apakah  benar  dia yang memiliki narkoba tersebut dari seorang bandar.  “Saya  udah  bilang  saya  ga  beli  tuh barang,  saya disuruh ngambil ama  tuh polisi yang nangkep” Freddy terus menjelaskan.

Page 4: Hak Asasi Manusia dan HIV, No. 4, 2010 - LBH Masyarakat

HdH |

3

menyiksa Freddy sampai akhirnya  ia mengaku. Freddy disuruh menandatangani Berita Acara Pemeriksaan  (BAP) yang isinya menyatakan bahwa ia telah membeli dan memiliki narkoba dari seorang bandar padahal kenyataanya tidak.  “Kalo  udah  kayak  gitu  gimana  bang? Mau  gak mau  kita  nandatanganin  tuh  BAP  soalnya  kalau  nggak  bisa  tambah bonyok saya”, tanya Freddy setengah marah. Akhirnya kasus tersebut berlanjut ke persidangan dan Freddy tidak dapat membela  diri  karena  saksi‐saksi  yang  dihadirkan  adalah  polisi  yang  menangkap  Freddy,  sehingga  cenderung memberatkan Freddy  selama persidangan. BAP yang diberikan kepolisianpun menyatakan bahwa dia  tertangkap  saat membeli narkotika. Hal‐hal yang demikian tentu saja memberatkan Freddy, dan pada akhirnya sesuai dengan Undang‐Undang Narkotika Freddy diputus bersalah dan dihukum selama 5 (lima) tahun penjara.  Kisah Freddy tersebut juga dibenarkan oleh yang lain karena mereka kurang lebih juga pernah mengalami pengalaman serupa. “Kalau kita ketemu polisi  seperti begitu gimana bang?”  tanya Fajri  (juga bukan nama  sebenarnya). “Kita bisa melaporkan aparat polisi yang melanggar tindak pidana ke bagian Kriminal seperti  layaknya kita melapor suatu tindak pidana.  Selain  itu  kita  juga dapat melapor polisi  yang bersangkutan  ke Divisi Propam,”  jawab Grandy. Divisi Propam adalah Divisi yang menangani polisi‐polisi yang melanggar kode etik dan kedisplinan.   Belajar dari kasus yang dialami oleh Freddy tersebut, maka sangat penting bagi teman‐teman pemakai narkotika seperti di  komunitas  Gambir  untuk  melengkapi  diri  dengan  pengetahuan  hukum  dan  HAM.  Hal  ini  bertujuan  agar  dapat melakukan  advokasi bagi  dirinya  sendiri dan  teman‐temannya  ketika menghadapi masalah hukum.  “Pada pokoknya, kerjasama yang baik antara kita yang tersangkut dengan perkara hukum dengan komunitas maupun dengan Lembaga Bantuan Hukum  sangat berguna dalam membela diri kita,” ucap Bahrul di akhir  sesi  tanya  jawab. “Betul, dan  semua yang kita lakukan bersama‐sama itu tidak lain dan tidak bukan adalah untuk mencegah terjadinya pelanggaran hukum, penyiksaan  atau  perlakuan  buruk  lainnya,”  demikian  pernyataan  Grandy  ketika  menutup  penyuluhan  hukum  di Puskesmas Gambir. (BU).       

Blora: Menyebar Inspirasi, Membangun Semangat  Kamis  7 Oktober  2010  LBH Masyarakat  berkunjung  ke  komunitas  Blora  untuk mengadakan  penyuluhan  hukum  dan HAM. Penyuluhan di komunitas  ini memang telah dijadwalkan akan dilakukan setiap hari Kamis. Dengan bermodalkan brosur  kami  pun  berangkat  menuju  Blora.  Belum  terlintas  bagaimana  penyuluhan  ini  akan  berjalan  karena  ini merupakan penyuluhan hukum pertama LBH Masyarakat di komunitas ini. Rasa takut sempat hinggap di perasaan para relawan  yang  juga baru pertama  kali datang  ke  komunitas  ini  karena akan berhadapan  langsung dengan waria  yang selama  ini mendapat  label negatif di masyarakat. “Nanti kira‐kira gimana ya penyuluhannya. Orangnya baik‐baik kan ya?”  tanya  salah  seorang  relawan  yang  ikut  terlibat dalam penyuluhan.  Sesampainya di  tempat  komunitas perasaan takut  itu pun belum menghilang, praduga akan apa yang terjadi nanti kerap membayangi perasaan para relawan. Pun demikian mereka tetap terlihat antusias untuk memberikan penyuluhan.  Materi pertama yang disampaikan kepada  teman‐teman komunitas Blora adalah  tentang upaya paksa, apa  itu upaya paksa  dan  apa  saja  jenisnya.  Semua  dijelaskan  satu  persatu.  Respon  dari  teman‐teman  pun  sangat  baik.  Mereka mendengarkan dengan serius dan menyimak dengan seksama. Walaupun materi yang diberikan adalah materi hukum namun mereka  tetap mencoba mengikutinya  sekalipun  topik hukum bukan  topik  yang disukai oleh  kebanyakan dari mereka. Sempat ada pertanyaan seperti misalnya, “apa kegunaan mengerti upaya paksa?” dan semacamnya. Namun, pada akhirnya teman‐teman waria dapat mengerti bahwa dengan memahami upaya paksa akan memudahkan mereka ketika berhadapan dengan hukum.   Setelah  selesai  sesi  penyuluhan,  tidak  lupa  kami  beritahukan  bahwa  LBH Masyarakat  akan mengadakan  pelatihan pararegal awal November. Istilah paralegal ini memang asing bagi mereka namun mereka tidak ragu untuk bertanya apa itu pararegal dan keuntungannya buat mereka.   Kami  pun  menjelaskan  pengertian  mengenai  paralegal.  “Pararegal  adalah  orang  awam  yang  tidak  memiliki  latar belakang pendidikan hukum tetapi memiliki fungsi untuk turut memberikan bantuan hukum. Namun, berbeda dengan pengacara, paralegal biasanya tidak membantu sampai membela di persidangan karena yang boleh bersidang itu hanya pengacara. Paralegal mempunyai tugas memberikan apa yang kami sebut sebagai P3K, yaitu pertolongan pertama pada kasus,” urai Vina Fardhofa, Peneliti Hukum LBH Masyarakat panjang  lebar ketika  itu. Pertolongan pertama pada kasus itu diberikan dengan tujuan agar orang yang berhadapan hukum sedikit mengerti tentang hukum. Hal ini dilakukan juga 

Page 5: Hak Asasi Manusia dan HIV, No. 4, 2010 - LBH Masyarakat

HdH |

4

agar dapat meminimalisir praktik mafia hukum selama proses hukum. Biasanya aparat penegak hukum dapat dengan leluasa ‘membodohi’ orang yang tidak tahu hukum, sehingga terjebak dengan praktik suap ataupun juga penyiksaan.   Setelah mendapat  penjelasan  yang  lengkap mengenai  paralegal  dan  tugasnya,  teman‐teman  waria merasa  bahwa pelatihan pararegal itu akan memberi manfaat bagi mereka karena mereka sering mendapatkan perlakuan buruk tidak hanya  dari masyarakat  tapi  juga  aparat  penegak  hukum.  Beberapa  dari mereka menyatakan  diri  untuk mengikuti pelatihan pararegal tersebut. “Aku mau kok jadi paralegal. Bisa bantu teman‐temanku kalau lagi kena kasus,” kata salah seorang waria kepada kami. Rupanya ketika pernyataan ini terucap, yang lainnya menimpali. Antusiasme dan semangat ingin saling membantu sesama begitu terasa ketika itu.   Sebelum kami meninggalkan  tempat,  tentu kami bertanya kepada mereka  tentang materi penyuluhan yang baru saja dilakukan, apa saja catatan evaluasinya. Mereka meminta kami untuk menyampaikan materi dengan bahasa yang lebih sederhana  dan  mudah  dimengerti.  Penggunaan  bahasa  hendaknya  jangan  terlalu  teknis  hukum  seperti  tertulis  di peraturan. Akan lebih mudah bagi mereka apabila materi disampaikan dengan bahasa yang tidak rumit dan dengan cara yang fun, supaya tidak berkesan serius. “OK. Ini akan menjadi catatan kita untuk penyuluhan berikutnya ya,” kata Vina. 

Ini  tentu  menjadi  PR  bagi  kami  untuk  lebih  baik  lagi  dalam  mengadakan penyuluhan di kesempatan mendatang.    Setelah selesai berbincang‐bincang santai akhirnya kami mengatur perjanjian untuk  pertemuan  selanjutnya.  Setelah  sepakat  menentukan  hari  dan tanggalnya  kami  berpamitan  karena  hari  sudah  gelap.  “Ga  sabar  deh penyuluhan lagi minggu depan,” kata salah seorang waria.  Dari  penyuluhan  tersebut  ada  kesan  mendalam  yang  dapat  djadikan pembelajaran. Pertemuan dengan teman‐teman waria telah memberi sebuah pengalaman  baru  dan  membuka  mata  tentang  kehidupan  waria  yang 

sesungguhnya.  Citra  bahwa  waria  itu  amoral  dan  pendosa  seperti  ini  yang  telah  tertanam  dalam  benak  sebagian masyarakat salah besar. Kehidupan sebagai waria  itu keras. Pengusiran dari keluarga, penolakan dari masyarakat, dan perlakuan buruk dari aparat penegak hukum adalah keseharian bagi mereka. Namun, mereka tetap bertahan. Mereka tidak mau  kalah  dengan  hal‐hal  buruk  itu. Mereka  ingin menunjukkan  bahwa mereka  bukan  sampah masyarakat. Mereka juga sama‐sama manusia seperti kita. Seperti manusia lainnya, waria pun memiliki hak yang sama. Pelanggaran hak yang sering mereka alami tidak menyurutkan mereka untuk mundur, namun menguatkan mereka untuk tetap tegar dan  terus kuat melawan ketidakadilan. Semangat  itulah yang memberikan  inspirasi bagi kami. Ketegaran  itulah yang memberikan energi bagi kami untuk kembali datang di penyuluhan berikutnya untuk belajar bersama‐sama agar dapat lebih baik, dan lebih baik lagi. (V/VF). 

Beberapa dari mereka menyatakan diri untuk  mengikuti  pelatihan  pararegal tersebut. “Aku mau kok  jadi paralegal. Bisa  bantu  teman‐temanku  kalau  lagi kena kasus,” kata salah seorang waria kepada  kami.  Rupanya  ketika pernyataan  ini  terucap,  yang  lainnya menimpali.  Antusiasme  dan  semangat ingin  saling membantu  sesama  begitu terasa ketika itu.  

 

Komunitas ODHA: Momentum Kebangkitan untuk Melakukan Advokasi Mandiri   Sudah hampir 21  (dua puluh  satu)  tahun  lamanya komunitas  ini berdiri. Dua puluh  satu  tahun  itu  juga komunitas  ini sudah banyak memberikan arti. Sebagai sarana untuk menggapai sebuah mimpi sederhana, sebagai sarana kebangkitan diri kawan‐kawan yang menderita penyakit HIV/AIDS. Komunitas ini adalah komunitas Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) yang menjadi  tempat  untuk  berbagi  rasa  dan  cerita,  dan  juga  tempat memberi motivasi  untuk  berusaha menjadi pemenang dari pertarungan antara diri mereka dan penyakit yang mereka derita. Komunitas orang‐orang yang  tanpa kenal lelah terus melawan praktik stigma dan diskriminatif. Komunitas ini pula yang menjadi jalan bagi LBH Masyarakat untuk menyuntikkan semangat pemberdayaan dan kesadaran hukum yang sering menjadi benturan bagi kawan‐kawan ODHA.   Sebagaimana  kita  ketahui,  kesadaran  hukum  yang  belum  juga merata menjadi  sebuah  fenomena  umum  di  dalam masyarakat,  termasuk kawan‐kawan ODHA. Hal  ini akan memberikan dampak buruk,  terutama bagi ODHA yang  tidak mengetahui  hak‐hak  apa  saja  yang  mereka  miliki.  Sehingga  ketika  berhadapan  dengan  hukum,  atau  setidaknya mengalami sebuah konflik yang melibatkan aparat penegak hukum, mereka yang tidak mengetahui proses hukum hanya dapat mengikuti  alur  yang  dibuat  oleh  para  penegak  hukum  tanpa  tahu  apakah  alur  tersebut  telah  sesuai  dengan prosedur  atau  tidak.  Tidak  jarang mereka  akan mengalami  diskriminasi  dari  aparat  penegak  hukum  hanya  karena penyakit yang mereka derita. Diskriminasi  terhadap kawan‐kawan ODHA  juga sering  terjadi ketika  rekan‐rekan ODHA harus berhadapan dengan stigma masyarakat dan keluarga, seperti pengusiran dari  lingkungan masyarakat, perebutan 

Page 6: Hak Asasi Manusia dan HIV, No. 4, 2010 - LBH Masyarakat

HdH |

5

hak  asuh,  hingga  penghapusan  nama  dari  hak  waris  keluarga.  Tentu  hal  ini  akan menjadi  batu  sandungan  dalam memperjuangkan hak‐hak ODHA untuk hidup seperti biasa, menjadi warga masyarakat seperti biasa, dan dapat bekerja seperti biasa.   Kesadaran  akan  hak‐hak  yang mereka miliki  tentu  akan menjadi  sumber kekuatan  baru  untuk  memperjuangkan  hak‐hak  mereka  dalam  berbagai ranah hukum. Atas dasar  inilah, dengan dukungan aktif dari Yayasan Pelita Ilmu  (YPI), LBH Masyarakat  telah mendapatkan begitu banyak kesempatan untuk melakukan  penyuluhan  hukum  secara  berkala. Materi‐materi  yang selama  ini  telah disampaikan  antara  lain  adalah  tentang  ketenagakerjaan, upaya  paksa,  perdata  umum,  dan  hukum  keluarga.  LBH Masyarakat  pun telah  banyak mendapatkan  kesempatan mendampingi  rekan‐rekan ODHA dalam  menghadapi  berbagai  kasus,  seperti  kisah  Santi  (bukan  nama sebenarnya)  yang  melakukan  mediasi  dengan  keluarga  agar  dapat membawa anaknya,  Junior  (bukan nama  sebenarnya), untuk dapat  tinggal bersamanya.  LBH  Masyarakat  juga  sempat  mendampingi  proses penyelesaian  sengketa  waris  ODHA,  dan  juga  masalah‐masalah  yang berkaitan dengan hukum kekeluargaan lainnya.  

Untuk  menjadi  paralegal,  perwakilan dari  komunitas ODHA  akan mengikuti pelatihan  paralegal  yang diselenggarakan oleh  LBH Masyarakat pada  awal  November.  Adanya pelatihan  ini  diharapkan  dapat memberikan  bekal  yang  cukup  bagi paralegal  yang  akan  melakukan pendampingan hukum bagi  komunitas ODHA  dan  juga  menjadi  tali penghubung  antara  LBH  Masyarakat dengan komunitas ODHA.

 Begitu banyak ilmu yang LBH Masyarakat salurkan, begitu banyak pula ilmu yang LBH Masyarakat dapatkan dari rekan‐rekan  ODHA.  Ilmu  itu  bernama  kekuatan,  kesabaran,  dan  semangat  juang  yang  tak  henti  dalam  berbagai  aspek kehidupan. Ilmu ini semakin memantapkan LBH Masyarakat untuk masuk ke dalam tahap kesadaran hukum berikutnya, yaitu pemberdayaan hukum bagi komunitas ODHA. Pemberdayaan hukum yang akan menjadikan komunitas  ini  lebih mandiri untuk memperjuangkan  segala hak‐hak hukum bagi para anggotanya. Bagaimana bisa  lebih mandiri? Karena pemberdayaan hukum ini nantinya akan diwujudkan dalam bentuk pemilihan paralegal yang berasal dari kawan‐kawan ODHA  itu  sendiri.  Sehingga  merekalah  yang  nantinya  akan  melakukan  pendampingan  ketika  salah  satu  anggota komunitas  harus  berhadapan  dengan  hukum.  Untuk  menjadi  paralegal,  perwakilan  dari  komunitas  ODHA  akan mengikuti pelatihan paralegal yang diselenggarakan oleh LBH Masyarakat pada awal November. Adanya pelatihan  ini diharapkan  dapat memberikan  bekal  yang  cukup  bagi  paralegal  yang  akan melakukan  pendampingan  hukum  bagi komunitas ODHA dan juga menjadi tali penghubung antara LBH Masyarakat dengan komunitas ODHA.  Inilah langkah baru, inilah sebuah momentum. Momentum lanjutan yang berawal dari upaya sebuah komunitas dalam mewujudkan kebangkitan  individu kawan‐kawan ODHA. Kemudian dari kebangkitan  individu  itulah komunitas  ini  ikut bangkit.  Dengan  adanya  pemberdayaan  hukum  yang  diselenggarakan  oleh  LBH  Masyarakat  ini,  diharapkan  dapat menjadi sebuah momentum kebangkitan komunitas yang  lebih mantap dan mandiri. Kita tidak akan pernah tahu, bisa saja kebangkitan komunitas  ini dapat menjadi salah satu momentum kebangkitan sebuah masyarakat yang sadar akan hak‐hak dan keberadaan diri mereka di mata hukum. (PKA).  

Duri Selatan: Komunitas Baru, Sahabat Baru  Siang  itu matahari  terlihat  percaya  diri menunjukkan  dirinya.  Panas  teriknya  tidak membuat  sebagian  besar warga Ibukota enggan keluar dari rumah. Warga Jakarta sudah terlihat sibuk memadati jalanan, mencari sesuatu untuk dibawa pulang ke  rumah  sore harinya. Susana padat  itu  sudah  seperti bahasa  sehari‐hari di  Ibukota karena  tidak ada waktu untuk menunggu matahari beristirahat.   Suasana jalanan yang padat itu kontras sekali dengan suasana salah satu rumah petak berlantai dua di Pangkalan Bemo, Duri Selatan,  Jakarta Barat.   Tempat  itu  terlihat  lengang,   padahal  jam  sudah menunjukan pukul 11  siang. Tidak ada tanda‐tanda kehidupan di rumah berdinding kayu lapis tipis itu. Bahkan  lampu pijar 5 watt yang menggantung di depan pintu salah satu kamar juga belum dipadamkan.   Hari  itu kami dari  LBH Masyarakat, diwakili oleh Feri Sahputra dan Vina Fardhofa harusnya memberikan penyuluhan hukum kepada mereka yang tinggal di rumah‐rumah petak itu. Hati mulai bimbang ketika Pupuh, panggilan akrab Vina, berkali‐kali tidak bisa menghubungi salah satu penghuni  rumah itu. Sampai akhirnya, seseorang menegur kami berdua dan mempersilahkan untuk naik ke lantai atas dan masuk ke kamarnya.   

Page 7: Hak Asasi Manusia dan HIV, No. 4, 2010 - LBH Masyarakat

HdH |

6

Mbak Stella, begitu kami memanggilnya. Ia adalah salah satu waria yang tinggal di rumah petak tersebut. Pertemuan itu bukanlah yang pertama bagi kami dengannya, karena sebelumnya kami pernah bertemu dengan waria asal Palembang ini di Yayasan Srikandi Sejati  (YSS).  Ia adalah waria yang bertugas untuk mengkoordinasi waria yang ada di Pangkalan Bemo.  Sembari mempersilahkan  kami duduk,  tangannya  sibuk mengetik pesan di  telpon  selulernya untuk mengabari  rekan yang  lain  bahwa  kami  sudah  datang.  Selang  beberapa  lama,  satu  per  satu  penghuni  rumah  petak  itu  keluar  dari kamarnya. Wajah lelah dan menahan kantuk tidak bisa disembunyikan oleh senyum mereka kepada kami.   Tidak seperti yang saya temui di Blora yang sudah terlihat seperti perempuan,   waria di Duri Selatan  ini masih terlihat laki‐laki. Hampir  semua dari mereka hanya akan berdandan ketika akan mengamen  saja. “Kita‐kita  ini waria bongkar pasang,  Kak.  Kalo malam  dipasang,  tapi  kalo  siang  dibongkar  lagi.“  ujar  salah  satu waria  yang  berusaha menjawab kebingungan  saya  tentang  dandanan mereka.  Tidak  sulit  untuk mengumpulkan mereka  semua,  karena  sebelumnya Pupuh telah berkoordinasi dengan Mbak Stella.   

Penyuluhan  pertama  hanya  diisi  dengan  saling  berkenalan  dan  sharing pengalaman  mereka  selama  mereka  mengamen  dengan  dandanan perempuan. Banyak kisah juga yang membuat kami tergelitik. Namun, tak sedikit  juga  cerita  yang membuat  saya  tersenyum  kecut  karena merasa heran dengan apa yang dilakukan oleh banyak orang kepada mereka yang sesungguhnya menurut  saya  tidak melakukan kejahatan  tetapi dianggap pengganggu.  “Kalau  diledekin  udah  biasa,  Kak. Malah  pernah  dijambak dan disiram air,” kata salah satu waria menceritakan pengalamannya.   Sama seperti waria lainnya yang menghabiskan harinya di jalanan, Satpol PP tetap menjadi ‘hantu’ yang menakutkan. Beberapa dari mereka pernah ditangkap oleh Satpol PP dan kemudian ditahan dan baru dibebaskan jika membayar  sejumlah  uang. Mereka mengaku  bahwa  Rp  500.000,‐  (lima ratus  ribu)  adalah  rupiah  yang  wajib  dikeluarkan  jika  ingin  bebas  dari terali  besi.  “Saya  baru  ketangkap  Satpol  PP.  Saya  harus  bayar  500,000 

baru dibebasin. Kalau waria kaya kita bayarannya lebih mahal, tapi kalau anak jalanan kemarin saya tanya mereka cuma disuruh bayar 150.000 aja.” kata Alda, salah satu pengamen waria yang ditangkap Satpol PP tepat seminggu sebelum Lebaran. 

Waktu  semakin  siang dan  tibalah  jam‐jam ngantuk.  Wajah  kantuk  mereka  semakin menjadi. Akhirnya kami memutuskan untuk mengakhiri  bincang‐bincang  ringan tersebut.  Kami  berjanji  kepada  mereka bahwa  minggu  depan  kami  akan  datang lagi untuk melakukan penyuluhan. Mereka terlihat  antusias.  Semoga  antusiasme mereka  berlanjut  ke  minggu‐minggu  dan bulan‐bulan  berikutnya.  Karena  mereka akan  menjadi  komuitas  baru  yang diharapkan  bisa  menjadi  tempat  belajar bagi  mereka  sendiri,  warga  sekitar  dan tentunya  LBH  Masyarakat.  Bagi  kami, komunitas baru berarti sahabat baru.

 Sebenarnya  sebagian  dari mereka  pernah  bekerja  di  sektor  formal  sebagai  buruh  pabrik,  namun  akhirnya memilih menjadi pengamen karena apa yang mereka dapatkan jauh dari penghasilan sebagai buruk pabrik. Terlebih, mereka bisa mengekspresikan diri mereka.   Waktu semakin siang dan tibalah jam‐jam ngantuk. Wajah kantuk mereka semakin menjadi. Akhirnya kami memutuskan untuk mengakhiri  bincang‐bincang  ringan  tersebut.  Kami  berjanji  kepada mereka  bahwa minggu  depan  kami  akan datang  lagi untuk melakukan penyuluhan. Mereka  terlihat antusias. Semoga antusiasme mereka berlanjut ke minggu‐minggu dan bulan‐bulan berikutnya. Karena mereka akan menjadi komuitas baru yang diharapkan bisa menjadi tempat belajar bagi mereka  sendiri, warga  sekitar dan  tentunya  LBH Masyarakat. Bagi kami, komunitas baru berarti  sahabat baru. (FS).           

Page 8: Hak Asasi Manusia dan HIV, No. 4, 2010 - LBH Masyarakat

HdH |

7

Mari Bicara Hukum dan HAM  

 

Apa hubungan antara hak asasi manusia dan HIV/AIDS?   Hak asasi manusia (HAM) berkaitan erat dengan penyebaran dan dampak HIV/AIDS bagi individu maupun komunitas di seluruh dunia. Ketiadaan penghormatan terhadap HAM akan memicu penyebaran dan memperburuk dampak penyakit tersebut, dan pada saat bersamaan infeksi HIV/AIDS akan melemahkan upaya untuk perwujudan HAM.   Hubungan antara HAM dan HIV/AIDS sangat  jelas  terlihat dari  tidak berimbangnya penyebaran dan dampak penyakit tersebut  kepada  kelompok  masyarakat  tertentu.  Ketidakberimbangan  tersebut  bergantung  pada  beberapa  faktor seperti misalnya karakter epidemik HIV/AIDS dan kondisi sosial, ekonomi dan hukum anggota masyarakat, termasuk di antaranya perempuan dan anak, dan khususnya bagi mereka yang hidup dalam kemiskinan. Secara nyata  juga terlihat fakta bahwa beban yang berlebih untuk memerangi epidemi AIDS ditanggung oleh negara‐negara berkembang, yang mana keberadaan penyakit  tersebut mengancam pencapaian pembangunan manusia di negara‐negara  tersebut. AIDS dan kemiskinan saat ini secara bersamaan mendorong dampak negatif di banyak negara berkembang.   

Hubungan antara HAM dan HIV/AIDS dapat dilihat secara khusus di tiga area berikut:   Tingkat kerentanan yang semakin meningkat: kelompok masyarakat tertentu lebih rentan terinfeksi HIV karena mereka pemenuhan hak asasi mereka di bidang sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya terhalangi. Sebagai contoh misalnya, seseorang  yang  kebebasan  berserikat  atau  berkumpulnya  dan  akses  informasinya  diabaikan  dapat  dikecualikan  dari proses  diskusi  mengenai  HIV/AIDS,  dan  berpartisipasi  dalam  organisasi  masyarakat  yang  menyediakan  layanan kesehatan  bagi  orang  dengan HIV/AIDS  (ODHA).  Perempuan  dan  khususnya  perempuan muda  lebih  rentan  terkena infeksi HIV  jika mereka  tidak mendapatkan akses  informasi, pendidikan dan  layanan yang memadai untuk menjamin kesehatan  seksual dan  reproduksinya  terjaga. Ketidaksetaraan  jender  sebagai perempuan di masyarakat  juga berarti kapasitas  mereka  untuk  bernegosiasi  dalam  konteks  aktivitas  seksual  akan  terhalangi.  Orang  yang  hidup  dalam kemiskinan  juga  tidak akan mampu untuk mengakses  layanan pengobatan dan perawatan HIV,  termasuk akses untuk antiretroviral dan obat‐obatan lainnya untuk infeksi oportunistiknya.   Stigma dan diskriminasi: Hak orang dengan HIV/AIDS  (ODHA)    seringkali dilanggar karena diasumsikan memiliki atau status HIV mereka, yang menyebabkan mereka menderita baik beban karena penyakitnya maupun konsekuensi akan kehilangan  hak  mereka.  Stigmatisasi  dan  diskriminasi  dapat  menghalangi  akses  mereka  mendapatkan  pelayanan kesehatan dan dapat berdampak kepada hak atas pekerjaan, perumahan dan hak  lainnya. Hal  ini pada akhirnya akan berkontribusi pada  kerentanan orang  lain  akan  infeksi HIV mengingat  stigma dan diskriminasi  yang erat dengan HIV akan mendorong ODHA dan orang yang hidup dengan HIV untuk tidak berhubungan dengan layanan kesehatan maupun kontak sosial. Hasilnya adalah bahwa mereka yang sangat membutuhkan  informasi, pendidikan dan  layanan mengenai HIV tidak akan dapat mendapatkan keuntungan apa‐apa dari layanan yang sudah tersedia.   Menghalangi  respons  yang  efektif:  Strategi  untuk memerangi  epidemi  HIV/AIDS menemui  tantangannya  di  dalam lingkungan  yang  tidak menghargai hak asasi manusia.  Sebagai  contoh, praktik diskriminasi dan  stigmatisasi  terhadap kelompok  rentan  seperti  pemakai  narkotika  suntik,  pekerja  seks,  dan  lelaki  yang  berhubungan  seks  dengan  lelaki menggiring komunitas ini tersembunyi. Kondisi ini akan memperlambat akses populasi ini untuk mendapatkan layanan pencegahan HIV  sehingga  dapat meningkatkan  kerentanan mereka  terhadap HIV/AIDS.  Serupa  dengan  hal  tersebut, kegagalan  memberikan  informasi  yang  benar  mengenai  HIV/AIDS  atau  menyediakan  layanan  dan  dukungan  yang memadai  akan menyulut  persebaran  epidemik  AIDS  lebih  luas.  Elemen‐elemen  tersebut  adalah  komponen  penting sebagai respon terhadap HIV/AIDS, dan akan terhalangi ketika hak asasi tidak dihormati.   

Bagaimana pendekatan HAM terhadap HIV/AIDS?   Ketika individu dan komunitas dapat mewujudkan pemenuhan hak asasi mereka – misal hak atas pendidikan, kebebasan berkumpul, informasi dan yang terpenting non‐diskriminasi – dampak terhadap personal dan sosial ke masyarakat dari HIV/AIDS  akan  berkurang.  Di  lingkungan  yang  terbuka  dan  mendukung  ODHA,  di  mana  mereka  terlindungi  dari diskriminasi, ODHA diperlakukan  secara  setara dan bermartarbat, dapat mengakses  layanan pengobatan, perawatan 

Page 9: Hak Asasi Manusia dan HIV, No. 4, 2010 - LBH Masyarakat

HdH |

8

dan  dukungan  tanpa  stigma,  di mana AIDS  di‐destigmatisasi,  individu  akan  lebih  terdorong  untuk  dapat memeriksa kesehatan mereka dan menguji status HIV mereka. Pada akhirnya, ODHA dapat menghadapi penyakitnya secara  lebih baik dan efektif, dengan mencari dan menerima pengobatan dan perawatan medis dan psikis, dan dengan mengambil langkah‐langkah  yang  tepat  guna  mencegah  penyebaran  HIV  terhadap  orang  lain,  sehingga  mengurangi  dampak HIV/AIDS bagi diri mereka sendiri dan orang lain di masyarakat.   Perlindungan dan pemajuan hak asasi oleh karenanya menjadi penting dilakukan untuk mencegah penyebaran HIV dan mensiasati dampat epidemik HIV/AIDS secara sosial dan ekonomi. Alasan‐alasannya dapat diklasifikasikan ke dalam 3 (tiga)  lapis.  Pertama,  perlindungan  dan  pemajuan  HAM  mengurangi  kerentanan  seseorang  terhadap  HIV  dengan menyasar pada akar permasalahan. Kedua, dampak yang buruk tersebut bagi ODHA dan OHIDA dengan sendirinya akan berkurang.  Ketiga,  individu  dan  komunitas memiliki  tanggung  jawab  lebih  besar  untuk merespons  terhadap  bahaya epidemi HIV/AIDS. Respons internasional yang efektif terhadap penyakit tersebut oleh karenanya harus didasarkan pada penghormatan  terhadap hak asasi di bidang  sipil, politik, ekonomi,  sosial dan budaya,  serta hak atas pembangunan, yang semuanya harus selaras dengan standar, norma dan prinsip HAM yang berlaku internasional.   Tanggungjawab negara untuk memajukan dan melindungi hak asasi yang berkaitan erat dengan HIV/AIDS telah banyak didefinisikan dalam hukum  internasional. Hak  asasi  yang bertalian dengan HIV/AIDS  termasuk hak untuk hidup; hak untuk  kebebasan  dan  keamanan  diri;  hak  atas  kesehatan;  hak  untuk  bebas  dari  diskriminasi;  perlindungan  dan kesamaan  di  hadapan  hukum;  kebebasan  berkumpul;  hak  untuk mendapatkan  status  sebagai  pengungsi;  hak  atas privasi; kebebasan berekspresi; hak untuk membentuk keluarga; hak atas jaminan sosial; dampingan dan kesejahteraan; hak  untuk memperoleh  informasi mengenai  pemajuan  ilmu  pengetahuan  dan manfaatnya;  hak  untuk  berpartisipasi dalam kehidupan publik; dan hak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya.   Disarikan dan diterjemahkan dari website Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights. (RG).                               

Page 10: Hak Asasi Manusia dan HIV, No. 4, 2010 - LBH Masyarakat

HdH |

9

Suara Komunitas  

 LBH Masyarakat bertanya: Apa yang dapat dilakukan oleh pemudi‐pemuda dalam  rangka menegakkan hukum dan HAM di Indonesia?  Kiefa Syakila Sumbar “Jangan main hakim sendiri.”  Reva “Kita harus mengerti peraturan undang‐undang di Indonesia. Cari kerja yang baik dan halal?? Hehehe..”  Karina Oya “Menurut saya hukum dan HAM di Indonesia masih kurang karena kenapa? Yang saya lihat selaku orang/ rakyat kecilah yang selalu tertindas dan terkucilkan. Dan saya sebagai waria ingin disamaratakan dengan masyarakat umumnya dalam keadilan.”  Ma Iyus “Penegakan kepada waria, lebih diperhatikan waria. Terimakasih.”  Rendi “Aku ingin kaum waria dihormati, dihargai karena waria bukan sampah. Waria juga manusia.”  Inayah “Adanya perlindungan diri dari tindakan kekerasan yang biasa terjadi di jalan, dan memiliki pembelaan yang bisa membantu kesulitan yang kita alami.”  Tina “Menurut saya hukum dan HAM memang sepantasnya didirikan di negara ini, karena meskipun ada hukum setau saya tetap ada yang namanya main hakin sendiri. Untuk membela diri walau kita punya HAM bagaimana dengan orang kecil sedangkan orang  yang  bersangkutan  lebih  berwenang  atau  bisa  nyogok  kasarnya.  Bukan  hanya  pemudi  tapi masyarakat  juga  harus berpartisipasi dalam hukum dan HAM.”  Daniela “Jika kita melihat seseorang/teman yang lagi dicaci maki/dianiaya seharusnya kita menjadi penengah agar tidak kejadian yang lebih fatal. Karena hukum bisa kita tegakkan dengan adanya saling menghargai.”  Alda “Menurut hukum berlaku pada siapa atau pada orang miskin yang tidak mampu. Membela orang miskin itu sangat penting.”  Dita Zivana “Menurut saya yang dapat dilakukan oleh pemuda/pemudi dalam menegakkan hukum dan HAM dapat kita terapkan dalam hal‐hal  kecil  dalam  kehidupan  sehari‐hari,  contohnya:  Apabila  kita  melihat  salah  satu  teman  kita  dihina  atau  dianiaya sebaiknya  kita  sebagai  pemuda/pemudi  tidak  dengan  menggunakan  emosional  kita  dalam  menyelesaikan  masalah. Seharusnya  kita  berusaha menjadi  penengah  dalam menyelesaikan masalah.  Saran  saya  adalah  agar  hukum  dan HAM  di Indonesia dapat ditegakkan dengan cara kita saling menghargai dan menyayangi sesama dan juga mempunyai rasa kesadaran untuk patuh dan menjalankan hukum dengan jujur dan adil.”  Usep “Menurut saya penegakan HAM,  intinya ada pada pemerintah. Bagaimana produk dan penegakkan hukum akan menjamin pada  penghargaan  dan  pemenuhan  HAM  pada  setiap warga  negara.  Para  pemuda  dapat  berperan  sesuai  dengan  posisi mereka pada saat ini misalkan mahasiswa dapat melakukan kajian dan kritikan terhadap penghargaan dan pemenuhan HAM pada saat ini dan ke depan, sekaligus mempersiapkan diri untuk mampu berperan dalam pemenuhan dan penegakan HAM itu sendiri  secara  profesi  atau  pun  sebagai  masyarakat.  Sebagai  bagian  dari  masyarakat  pemuda  dituntut  untuk  mampu mempraktekkan penghargaan terhadap HAM dan mendorong pemenuhan atau pun penegakan HAM di masyarakat, saat di keseharian atau pun terlibat dalam organisasi/gerakan yang memiliki misi untuk mendorong pemenuhan dan penegakan HAM di masyarakat.”  

Page 11: Hak Asasi Manusia dan HIV, No. 4, 2010 - LBH Masyarakat

HdH | 10

Galeria  

   

                      

Suasana  penyuluhan  hukum mengenai  Upaya  Paksa  yang  diadakan  di  Komunitas Blora, Kamis, 21 Oktober 2010.  

                           

Page 12: Hak Asasi Manusia dan HIV, No. 4, 2010 - LBH Masyarakat

HdH | 11

Tentang LBH Masyarakat  

 Berangkat  dari  ide  bahwa  setiap  anggota masyarakat memiliki  potensi  untuk  turut  berpartisipasi  aktif mewujudkan negara  hukum  yang  demokratis,  sekelompok  Advokat,  aktivis Hak  Asasi Manusia  (HAM)  dan  demokrasi mendirikan sebuah  organisisasi  masyarakat  sipil  nirlaba  bernama  Perkumpulan  Lembaga  Bantuan  Hukum  Masyarakat  (LBH Masyarakat).   Visi LBH Masyarakat adalah terwujudnya partisipasi aktif dan solidaritas masyarakat dalam melakukan pembelaan dan bantuan  hukum,  penegakan  keadilan  serta  pemenuhan  HAM.  Sementara misinya  adalah mengembangkan  potensi hukum yang dimiliki oleh masyarakat untuk secara mandiri dapat melakukan gerakan bantuan hukum serta penyadaran hak‐hak warga negara, dari dan untuk masyakarat.  Secara ringkas, visi dan misi LBH Masyarakat diimplementasikan melalui tiga program kerja utama, yakni: (1)  Pemberdayaan  hukum  masyarakat  melalui  pendidikan  hukum,  penyadaran  hak‐hak  masyarakat,  pemberian informasi mengenai hukum dan hak‐hak masyarakat serta pelatihan‐pelatihan bantuan hukum bagi masyarakat;  (2) Advokasi kasus dan kebijakan publik;  (3) Penelitian permasalahan publik dan kampanye hak asasi manusia baik di tingkat nasional maupun internasional.