Hafidhu Nalendra-fkik.pdf
Transcript of Hafidhu Nalendra-fkik.pdf
VALIDASI KUESIONER LITTLEARS BERBAHASA
INDONESIA PADA PERTUMBUHAN DAN
PERKEMBANGAN PENDENGARAN ANAK USIA 0-24
BULAN DENGAN FAKTOR RISIKO GANGGUAN
PENDENGARAN
Laporan Penelitian ini ditulis sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar SARJANA KEDOKTERAN
OLEH :
Hafidhu Nalendra
NIM: 1110103000031
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1434 H/2013 M
ii
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Laporan penelitian ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan
untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata-1 di UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 10 September 2013
Hafidhu Nalendra
iii
VALIDASI KUESIONER LITTLEARS BERBAHASA INDONESIA PADA
PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN PENDENGARAN ANAK
USIA 0-24 BULAN DENGAN FAKTOR RISIKO GANGGUAN
PENDENGARAN
Laporan Penelitian
Diajukan kepada Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana
Kedokteran (S.Ked)
Oleh
Hafidhu Nalendra
NIM: 1110103000031
Pembimbing 1 Pembimbing 2
dr. Fikri Mirza Putranto, SpTHT-KL
dr. Erike Anggraini Suwarsono, MPd
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1434 H/ 2013 M
iv
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Laporan Penelitian berjudul VALIDASI KUESIONER LITTLEARS
BERBAHASA INDONESIA PADA PERTUMBUHAN DAN
PERKEMBANGAN PENDENGARAN ANAK USIA 0-24 BULAN DENGAN
FAKTOR RISIKO GANGGUAN PENDENGARAN yang diajukan oleh
Hafidhu Nalendra (NIM: 1110103000031), telah diujikan dalam sidang di
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan pada 12 September 2013. Laporan
penelitian ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana
Kedokteran (S.Ked) pada Program Studi Pendidikan Dokter.
Jakarta, 12 September 2013
DEWAN PENGUJI
Ketua Sidang
dr. Fikri Mirza Putranto, SpTHT-KL
Pembimbing 1
dr. Fikri Mirza Putranto, SpTHT-KL
Pembimbing 2
dr. Erike Anggraini Suwarsono, MPd
Penguji 1
dr. Ibnu Harris Fadillah, SpTHT-KL
Penguji 2
dr. Riva Auda, M.Kes, SpA
PIMPINAN FAKULTAS
Dekan FKIK UIN
Prof. Dr (hc). dr. MK. Tadjudin, SpAnd
Kaprodi PSPD
dr. Witri Ardini, M.Gizi, SpGK
v
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan
rahmat dan nikmat yang telah diberikan sehingga penulis dapat belajar hingga
tepat pada waktunya penulis harus menuliskan laporan penelitian ini. Penulis
menyadari, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak maka penelitian ini
tidak akan pernah terselesaikan. Oleh karena itu, penulis mengucapkan
terimakasih kepada:
1. Prof. DR (hc). dr. M.K Tadjudin, SpAnd, dr. M. Djauhari Widjajakusumah,
DR. Arif Sumantri, S.KM, M.Kes, Dra. Farida Hamid, MA selaku Dekan dan
Pembantu Dekan FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. dr. Witri Ardini, M.Gizi, SpGK selaku Ketua Program Studi Pendidikan
Dokter atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menggali ilmu
di PSPD FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. dr. Fikri Mirza Putranto, SpTHT-KL selaku pembimbing 1 yang telah
memberikan masukan judul penelitian dan banyak mencurahkan waktu,
pikiran dan tenaga untuk membimbing penulis dalam melakukan penelitian
dan menyusun laporan penelitian ini.
4. dr. Erike A. Suwarsono, MPd selaku pembimbing 2 yang telah banyak
mencurahkan waktu, pikiran dan tenaga untuk membimbing penulis dalam
melakukan penelitian dan menyusun laporan penelitian ini.
5. drg. Laifa Annisa Hendarmin, Ph.D selaku penanggungjawab modul Riset
yang selalu mengingatkan penulis untuk segera menyelesaikan penelitian di
setiap pertemuan modul Riset.
6. dr. Mohamad Baharuddin, SpOG, MARS dan Ibu Kiki selaku direktur RS
Budi Kemuliaan dan perawat RS Budi Kemuliaan yang telah memberikan
izin kepada penulis untuk melakukan wawancara kepada pasien di RS Budi
Kemuliaan.
vi
7. Segenap responden penelitian ini yang telah bersedia diwawancarai mengenai
perkembangan pendengaran pada putra-putrinya.
8. Kedua orang tua tercinta, Bapak Dr. Ir. Eko Sulistyono, MSi dan Ibu Dra. Sri
Laksmini atas dukungan serta saran selama pengerjaan penelitian, limpahan
kasih sayang yang telah diberikan, pengorbanan tanpa pamrih dan doa-doa
panjang yang selalu dipanjatkan. Terimakasih atas segala kebaikan dan
pelajaran hidup yang luar biasa.
9. Kakak dan Adik tersayang: Mas Yoga, Dek Ibril, Dek Mega, dan Dek Faiz.
Terimakasih atas doa dan dukungan yang telah diberikan.
10. Teman-teman satu kelompok penelitian: Hana Fadhillah, Ilham Ibrahim
Marpid, Manda Pisilia, dan Fauzan Maulana. Terimakasih atas kerja sama
yang luar biasa selama melakukan penelitian dan penyusunan laporan.
Semoga kerja sama kita dapat berlanjut hingga batas waktu yang tidak
ditentukan.
11. Teman-teman, kakak-kakak dan adik-adik di PSPD, BEM FKIK, BEMJ
Pendidikan Dokter dan teman-teman lain yang penulis kenal namun tidak
sempat tersebutkan.
Penulis menyadari bahwa laporan penelitian ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu saran dan kritik dari berbagai pihak sangat penulis
harapkan. Demikian laporan penelitian ini penulis susun, semoga bermanfaat bagi
perkembangan ilmu pengetahuan kedokteran di Indonesia. Amiin.
Wassalamu’alaikum Wr Wb.
Ciputat, 10 September 2013
Penulis
vii
ABSTRAK
Hafidhu Nalendra. Program Studi Pendidikan Dokter. Validasi Kuesioner
LittlEARS Berbahasa Indonesia Pada Pertumbuhan dan Perkembangan
Pendengaran Anak Usia 0-24 Bulan dengan Faktor Risiko Gangguan
Pendengaran. 2013
Pendengaran merupakan kunci penting perkembangan bicara dan bahasa anak.
Kuesioner perkembangan pendengaran LittlEARS telah digunakan di 35 negara
untuk memantau pendengaran anak umur 0-24 bulan. Tujuan penelitian ini adalah
untuk mengetahui validitas kuesioner LittlEARS pada anak umur 0-24 bulan
dengan faktor risiko gangguan pendengaran dan untuk mengetahui tingkat
korelasi antara umur dengan skor kuesioner. Penelitian ini merupakan penelitian
analitik korelatif. Responden yang didapatkan berjumlah 32 dengan rentang umur
anak 1-24 bulan. Pengambilan data dilakukan dengan wawancara ke responden
pada Mei-Agustus 2013. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik
consecutive sampling. Uji validitas kuesioner menggunakan croanbach’s alpha
didapatkan nilai alpha sebesar 0,943 dan disimpulkan kuesioner ini valid untuk
mengukur perkembangan pendengaran anak usia 0-24 bulan dengan faktor risiko
gangguan pendengaran. Sedangkan korelasi umur dengan skor diuji dengan
metode Spearman-rho dan didapatkan koefisien korelasi sebesar 0,893. Korelasi
ini bermakna karena didapatkan nilai p=0,000 (p<0,05).
Kata kunci : pendengaran, perkembangan anak, kuesioner, validasi
ABSTRACT
Hafidhu Nalendra. Medical Education Study Program. Validation to Indonesian
Version of the LittlEARS Auditory Questionnaire for Auditory Development in
Children with Risk Faktor for Hearing Impairment. 2013
Hearing is an important for speak and language development in children. The
LittlEARS children auditory development questionnaire has been used by 35
countries for monitoring the hearing development in children 0-24 months old.
The aim of this research is to evaluate the validity of the LittlEARS auditory
questionnaire for 0-24 month old children with risk factor for hearing impairment
and to evaluate the correlation between children’s chronological age and
LittlEARS questionnaire’s score. The type of this research is correlation analytic.
This research involves 32 respondents with children’s chronological age ranges
from 1 to 24 months. Data were collected by interviewing respondents on May-
August 2013. Sampling was done with a consecutive sampling technique. Test for
the validity of the questionnaire obtained using croanbach's alpha. The results
showed that the alpha value is 0.943 and concluded this questionnaire valid to
measure the development of hearing children 0-24 months of age with risk factors
for hearing impairment. While the correlation of age with scores tested by the
method of Spearman-rho and the coefficient of correlation is 0.893. This
correlation is significant, with p value 0,000 (p<0,05).
Keywords: hearing, children development, questionnaire, validation
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL ...........................................................................................
LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................
LEMBAR PERSETUJUAN ...........................................................................
LEMBAR PENGESAHAN .............................................................................
KATA PENGANTAR .....................................................................................
ABSTRAK ........................................................................................................
DAFTAR ISI ....................................................................................................
DAFTAR TABEL ............................................................................................
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................
DAFTAR SINGKATAN..................................................................................
DAFTAR LAMPIRAN....................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ...................................................................................
1.2 Rumusan Masalah .............................................................................
1.3 Pertanyaan Penelitian.........................................................................
1.4 Hipotesis............................................................................................
1.5 Tujuan Penelitian ..............................................................................
1.5.1 Tujuan Umum ..........................................................................
1.5.2 Tujuan Khusus ..........................................................................
1.6 Manfaat Penelitian .............................................................................
1.6.1 Manfaat Penelitian Bagi Peneliti ..............................................
1.6.2 Manfaat Penelitian Bagi Perguruan Tinggi ..............................
1.6.3 Manfaat Penelitian Bagi Masyarakat Umum.............................
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Embriologi Telinga............................................................................
2.1.1 Pembentukan telinga pada usia mudigah 22 hari ....................
2.1.2 Pembentukan telinga pada usia mudigah 6 minggu................
2.1.3 Pembentukan telinga pada usia mudigah 8 minggu.................
2.1.4 Pembentukan telinga pada usia mudigah 10 minggu...............
2.1.5 Pembentukan telinga pada usia mudigah 3 bulan....................
2.1.6 Pembentukan telinga pada usia mudigah 7 bulan....................
2.1.7 Pembentukan telinga pada usia mudigah 8 bulan....................
2.1.8 Perkembangan pembentukan telinga setelah lahir...................
2.1.9 Embriologi Menurut Islam.......................................................
2.2 Fisiologi Pendegaran..........................................................................
2.3 Tumbuh kembang pendengaran dan wicara......................................
2.4 Perkembangan merespons suara........................................................
2.4.1 Respons terhadap suara pada neonatus....................................
2.4.2 Respons terhadap suara pada bayi berusia < 4 bulan...............
2.4.3 Respons terhadap suara pada bayi berusia 4-6 bulan...............
2.4.4 Respons terhadap suara pada bayi berusia 7-9 bulan...............
i
ii
iii
iv
v
vii
viii
xi
xii
xiii
xiv
1
2
3
3
3
3
3
3
3
4
4
5
5
6
7
7
7
8
8
8
11
11
12
14
14
14
14
15
ix
2.4.5 Respons terhadap suara pada bayi berusia 10-12 bulan...........
2.4.6 Respons terhadap suara pada bayi berusia 13-24 bulan...........
2.4.7 Respons terhadap suara pada anak berusia > 2 tahun................
2.5 Kejadian gangguan pendengaran pada anak di Indonesia...................
2.6 Deteksi dini gangguan pendengaran...................................................
2.7 Faktor risiko kehilangan pendengaran pada bayi dan anak................
2.8 Neonatus risiko tinggi mengalami gangguan pendengaran...............
2.9 Pentingnya Pendengaran Menurut Islam............................................
2.10 Kerangka konsep ...............................................................................
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian ..............................................................................
3.2 Waktu Penelitian................................................................................
3.3 Tempat Penelitian .............................................................................
3.4 Populasi Penelitian.............................................................................
3.5 Sampel Penelitian dan Cara Pemilihan Sampel..................................
3.6 Besar Sampel......................................................................................
3.6.1 Perhitungan Besar Sampel.........................................................
3.6.2 Jumlah Sampel yang Diambil....................................................
3.7 Variabel Penelitian.............................................................................
3.8 Kriteria Inklusi dan Eksklusi.............................................................
3.8.1 Faktor Inklusi.............................................................................
3.8.2 Faktor Eksklusi.........................................................................
3.9 Cara Kerja...........................................................................................
3.9.1 Alur Penelitian...........................................................................
3.10 Kuesioner Penelitian...........................................................................
3.10.1 Kuesioner LittlEARS............................................................
3.10.2 Kuesioner Karakteristik Responden.....................................
3.11 Pengolahan Data..................................................................................
3.12 Definisi Operasional............................................................................
BAB IV HASIL PENELITIAN
4.1 Statistik Deskriptif .............................................................................
4.1.1 Karakteristik Responden.........................................................
4.1.2 Sebaran Umur Anak................................................................
4.1.3 Sebaran Skor Kuesioner..........................................................
4.2 Statistik Analitik.................................................................................
4.2.1 Validitas Kuesioner.................................................................
4.2.2 Validitas Butir Pertanyaan......................................................
4.2.3 Uji Korelasi Umur dengan Skor..............................................
4.2.4 Uji Korelasi Jumlah Faktor Risiko dengan Deviasi Skor.......
BAB V DISKUSI DAN PEMBAHASAN
5.1. Karakteristik Responden.....................................................................
5.2. Faktor Risiko Gangguan Pendengaran pada Anak..............................
5.2.1. Infeksi Selama Kehamilan: Infeksi Sitomegalovirus..............
5.2.2. Persalinan Sectio Cesarea........................................................
15
15
15
15
16
20
21
22
23
24
24
24
24
25
25
25
26
26
26
26
27
27
27
27
27
28
29
29
30
30
31
32
32
32
33
34
34
36
36
36
37
x
5.2.3. Kelahiran Prematur dan Suplementasi Oksigen......................
5.2.4. Riwayat Ikterus.......................................................................
5.2.5. Berat Bayi Lahir Rendah.........................................................
5.2.6. Infeksi Saluran Nafas Atas Rekuren.......................................
5.2.7. Imunisasi Rutin Sesuai Jadwal................................................
5.2.8. Kelainan Kongenital Telinga...................................................
5.3. Validitas dan Reliabilitas Kuesioner...................................................
5.4. Analisis Korelasi Bivariat...................................................................
5.4.1. Korelasi Umur dengan Skor...................................................
5.4.2. Korelasi Jumlah Faktor Risiko dengan Deviasi Skor..............
5.5. Kuesioner LittlEARS untuk pre-Skrining Gangguan Pendengaran....
5.6. Keterbatasan Penelitian.......................................................................
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN
6.1 Simpulan ...........................................................................................
6.2 Saran ..................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................
LAMPIRAN ......................................................................................................
DAFTAR RIWAYAT HIDUP..........................................................................
37
38
39
40
40
41
42
43
43
43
44
44
45
45
46
50
64
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Tahapan Perkembangan Bicara.................................................... 13
Tabel 2.2 Perkiraan Adanya Gangguan Pendengaran pada Bayi dan Anak 13
Tabel 2.3 Prevalensi Disabilitas Fungsi Tubuh Pada Anak......................... 16
Tabel 3.1 Jadwal Kegiatan Penelitian.......................................................... 24
Tabel 3.2 Definisi Operasional Penelitian................................................... 29
Tabel 4.1 Karakteristik Responden.............................................................. 30
Tabel 4.2 Croanbach’s alpha........................................................................ 32
Tabel 4.3 Pearson Product Moment dan Corrected item-total correlation. 33
Tabel 5.1 Kadar Ambang Bilirubin Serum yang Membutuhkan Transfusi
Tukar............................................................................................
38
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Diagram Pembentukan Telinga Dalam dan Pembagiannya
secara Anatomis.........................................................................
5
Gambar 2.2 Embriologi Telinga Saat Mudigah Berusia A. 24 Hari B. 27
Hari C. 4,5 Minggu....................................................................
6
Gambar 2.3 Embriologi Telinga Sampai Mudigah Berusia 6 Minggu.......... 6
Gambar 2.4 Embriologi Telinga Saat Mudigah Berusia 7 Minggu............... 7
Gambar 2.5 Embriologi Telinga Saat Mudigah Berusia 3 Bulan.................. 7
Gambar 2.6 Embriologi Pembentukan Kavum Timpani............................... 8
Gambar 2.7 Anatomi Telinga........................................................................ 9
Gambar 2.8 Pembentukan Aurikula.............................................................. 9
Gambar 2.9 Formasi Arkus Faring Sekitar Leher......................................... 10
Gambar 2.10 Perkembangan Celah dan Kantung Faring Menjadi Kavitas
Timpani, Tuba Auditori, dan Meatus Auditoru Externus..........
10
Gambar 2.11 Skema Lengkap Pembentukan Organ Telinga.......................... 11
Gambar 2.12 Alur UNHS di RSCM............................................................... 18
Gambar 2.13 Diagram Skrining Gangguan Pendengara, HTA 2007............ 19
Gambar 2.14 Kerangka Konsep Penelitian...................................................... 23
Gambar 3.1 Diagram Alur Penelitian............................................................ 27
Gambar 4.1 Grafik Histogram Sebaran Umur Anak..................................... 31
Gambar 4.2 Grafik Histogram Sebaran Skor Kuesioner............................... 32
Gambar 4.3 Grafik Scatterplot Usia dan Skor............................................... 34
xiii
DAFTAR SINGKATAN
AABR : Automated Auditory Brainstem Response
ABR : Auditory Brainstem Response
AEP : Auditory evoked potential
ASSR : Auditory steady state response
BERA : Brainstem Evoked Response Audiometry
BOA : Behavorial Observation Audiometry
CT Scan : Computed Tomography Scan
dB HL : desibell hearing level
dB : desibel
DPOAE : Distortion Product Otoaccoustic emission
EHDI : Early Hearing Detection and Intervention
HTA : Health Technology Assessment
JCIH : Joint Committee on Infant Hearing
kHz : kilo hertz
MRI : Magnetic Resonance Imaging
NICU : Neonatal intensive care unit
OAE : Otoaccoustic emission
RSCM : Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
UNHS : Universal Newborn Hearing Screening
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Lembar Informed Consent dan Kuesioner Karakteristik
Responden ..................................................................................... 50
Lampiran 2. Kuesioner Perkembangan Pendengaran Anak LittlEARS ............. 52
Lampiran 3. Analisis SPSS ................................................................................ 54
1. Statistik Deskriptif .................................................................... 54
2. Uji Normalitas Variabel Umur Anak dan Skor ......................... 55
3. Grafik Sebaran Umur Anak ...................................................... 55
4. Grafik Sebaran Skor Kuesioner ................................................ 57
5. Validitas Kuesioner ................................................................... 59
6. Validitas Butir Pertanyaan ........................................................ 59
7. Uji Korelasi Usia dengan Skor .................................................. 60
8. Uji Korelasi Jumlah Faktor Risiko dengan Deviasi Skor ......... 61
9. Frekuensi Faktor-Faktor Risiko ................................................ 61
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Alat indera merupakan alat sensorik seseorang untuk mengenali
lingkungan sekitar. Manfaat alat indera bagi seseorang sangat penting karena
berfungsi untuk keberlangsungan hidupnya. Pendengaran merupakan salah satu
indera yang dibutuhkan oleh seorang anak yang baru lahir. Apabila anak yang
baru lahir tidak memiliki kemampuan mendengar, anak tersebut akan mengalami
gangguan perkembangan, gangguan kognitif serta gangguan afektif.
Di Indonesia, angka kejadian disabilitas bicara dan suara pada kelompok
umur 1-4 tahun adalah 3,0%. Sedangkan prevalensi disabilitas bicara dan suara
pada kelompok umur 5-14 tahun adalah 0,6%. Survei yang dilakukan di 7 provinsi
di Indonesia pada tahun 1994-1996 menunjukan angka kejadian tuli sejak lahir
sebesar 0,1% dari total 19.375 sampel yang diperiksa. Jadi, terdapat 1-2 anak
dengan tuli sejak lahir setiap 1.000 kelahiran hidup.1,2,3
Merujuk pada Guideline of Universal Newborn Hearing Screening yang
dikeluarkan Joint Committe on Infant Hearing (JCIH) tahun 2007, pemeriksaan
pendengaran pada anak harus dilakukan sebelum usia 3 bulan dan harus diterapi
sebelum usia 6 bulan.4 Pemeriksaan pendengaran anak sebelum berusia 6 bulan,
memiliki pengaruh yang sangat baik terhadap kehidupan anak. Itano dkk (1998)
menyatakan, anak dengan gangguan pendengaran yang dideteksi sebelum berusia
6 bulan mengalami perkembangan pendengaran dan bicara yang lebih baik
daripada anak dengan gangguan pendengaran yang dideteksi setelah berusia 6
bulan.5
Kenyataannya di Indonesia, orang tua baru menyadari bahwa anaknya
mengalami gangguan pendengaran saat anak berusia 1-3 tahun. Kenyataan ini
berdasarkan data bahwa di Poliklinik THT-Komunitas RSCM (1992-2006)
didapatkan 3.087 bayi/anak tuli saraf berat bilateral terbanyak saat usia 1-3 tahun
(43,79%) sedangkan hanya 6,41% yang berusia dibawah 1 tahun.3,6
2
Pemeriksaan otoaccoustic emission (OAE) dan auditory brainstem
response (ABR) digunakan untuk menilai fungsi pendengaran pada bayi baru
lahir. Pemeriksaan OAE lebih ditujukan untuk menilai apakah terdapat gangguan
pendengaran tipe hantaran (conductive hearing loss/CHL). Pemeriksaan OAE
bersama ABR bertujuan untuk menilai apakah terdapat gangguan pendengaran
sensorineural (sensorineural hearing loss/SNHL).
Baku emas skrining gangguan dengar pada neonatus adalah OAE dan
ABR.7
Menurut EHDI (Early Hearing Detection and Intervention) 2007 dan HTA
Indonesia 2010, semua bayi yang lahir di rumah sakit harus dideteksi fungsi
pendengarannya dengan pemeriksaan OAE dan ABR sebelum meninggalkan
rumah sakit. Namun, tidak semua pusat pelayanan kesehatan di Indonesia
memiliki alat untuk pemeriksaan tersebut.
Kuesioner meruapakan alat pemeriksaan yang mudah dan murah.
Kuesioner LitleEARS merupakan alat pemeriksaan pilihan untuk deteksi dini
gangguan pendengaran pada anak. Kuesioner ini berisikan 35 pertanyaan tertutup
tentang perkembangan fungsi pendengaran pada anak dengan usia kurang dari 2
tahun.8 Kuesioner LitleEARS yang dikeluarkan MedEl sudah diterjemahkan
dalam 15 bahasa, sehingga hasil penilaian kuesioner sudah bisa dianggap
universal. Namun kuesioner ini belum pernah secara resmi diterjemahkan ke
Bahasa Indonesia oleh pengembangnya (MedEl) dan juga belum pernah
diadaptasikan untuk penggunannya di Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah
Gangguan pendengaran pada anak baru lahir dapat menghambat
perkembangan kognitifnya. Perkembangan kognitif penting bagi anak untuk
meningkatkan kualitas hidupnya. Oleh karena itu, skrining gangguan pendengaran
pada anak harus dilakukan sedini mungkin. Skrining gangguan pendengaran pada
neonatus saat ini menggunakan pemeriksaan OAE dan ABR. Namun, tidak semua
tempat pelayanan kesehatan di Indonesia memiliki peralatan untuk pemeriksaan
ini. Kuesioner LitleEARS telah digunakan di beberapa negara di dunia untuk
menilai perkembangan pendengaran pada anak. Namun belum ada terjemahan
resmi kusioner LitleEARS dalam Bahasa Indonesia.
3
1.3 Pertanyaan Penelitian
1. Berapa rentang skor kuesioner LitleEARS pada anak usia 0-24 bulan
dengan faktor risiko gangguan pendengaran di Indonesia?
2. Apakah kuesioner perkembangan pendengaran anak LitleEARS dapat
digunakan di Indonesia untuk skrining gangguan pendengaran pada anak
usia 0-24 bulan?
3. Berapa besar korelasi antara usia anak yang berisiko mengalami gangguan
pendengaran dengan skor kuesioner LitleEARS pada anak?
1.4 Hipotesis
1. Rentang skor kuesioner LitleEARS pada anak usia 0-24 bulan dengan
faktor risiko gangguan pendengaran di Indonesia adalah 0-35.
2. Kuesioner LitleEARS dapat digunakan untuk skrining gangguan
pendengaran pada anak usia 0-24 bulan di Indonesia.
3. Terdapat korelasi positif antara usia anak dengan skor kuesioner
LitleEARS pada anak dengan resiko tinggi mengalami gangguan
pendengaran.
1.5 Tujuan Penelitian
1.5.1 Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk memvalidasi kuesioner
LitleEARS di Indonesia sehingga dapat digunakan sebagai instrumen skrining
gangguan pendengaran pada anak berusia kurang dari 24 bulan.
1.5.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk:
Mengetahui rentang skor kuesioner LitleEARS pada anak usia
kurang dari 24 bulan dengan faktor risiko gangguan pendengaran.
Mengetahui validitas kuesioner LittlEARS berbahasa Indonesia
pada anak usia 0-24 bulan dengan faktor risiko gangguan
pendengaran
1.6 Manfaat Penelitian
1.6.1 Manfaat Penelitian Bagi Peneliti
Bagi peneliti, penelitian ini bermanfaat untuk menyelesaikan studi pre-
klinik Strata 1 di Program Studi Pendidikan Dokter, UIN Syarif Hidayatullah
4
Jakarta dan sebagai prasyarat untuk mengikuti Kepaniteraan Klinik Pendidikan
Dokter. Selain itu juga penelitian ini bermanfaat bagi peneliti untuk mempelajari
metode penelitian di bidang ilmu kedokteran dan ilmu kesehatan.
1.6.2 Manfaat Penelitian Bagi Perguruan Tinggi
Bagi perguruan tinggi, penelitian ini bermanfaat untuk pengembangan
ilmu kedokteran dan ilmu kesehatan, khususnya di bidang neuro-sensory dan
pediatrik.
1.6.3 Manfaat Penelitian Bagi Masyarakat Umum
Bagi masyarakat umum, penelitian ini bermanfaat untuk mempermudah
pendeteksian gangguan pendengaran pada bayi usia 0-24 bulan.
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Embriologi Telinga
Pembentukan telinga dapat diamati saat mudigah berusia 22 hari berupa
penebalan ektoderm permukaan di kedua sisi rombensefalon. Penebalan ini,
plakoda otika (lempeng telinga), cepat mengalami invaginasi membentuk vesikula
otika (vesikel telinga) atau auditorik (otocyst). Selanjutnya masing-masing vesikel
(kanan dan kiri) bagian ventral menghasilkan sakulus dan duktus koklearis.
Vesikel bagian dorsal membentuk utrikulus, kanalis semisirkularis, dan duktus
endolimfatikus. Bersama-sama, struktur epitel ini membentuk labirin
membranosa.9
2.1.1. Pembentukan Telinga Pada Usia Mudigah 22 Hari
Plakoda otika menjadi vesikula otika.
Muncul ganglion statoakustik (dari saraf kranial VII) yang terpisah
menjadi bagian kokleare (memasok sel sensorik ke organ corti) dan
vestibulare (memasok sel sensorik ke sakulus, utrikulus, dan kanalis
semisirkularis)9
Gambar 2.1. Diagram Pembentukan Telinga Dalam dan Pembagiannya Secara
Anatomis
Vesikula otika
Dorsal
Utrikulus Kanalis Semisirkularis
Duktus endo-
limfatikus
Ventral
Sakulus Duktus Koklearis
6
2.1.2. Pembentukan Telinga Pada Usia Mudigah 6 Minggu
Muncul kanalis semisirkularis yang akan menjadi organ
keseimbangan (vestibular)
Sakulus di bagian kutub bawah mulai membentuk tubulus (bakal
duktus koklearis)9
Gambar 2.3. Embriologi Telinga Sampai Mudigah Berusia 6 Minggu (E) Sumber: Embriologi Kedokteran Langman (2009)
9
Gambar 2.2. Embriologi Telinga Saat Mudigah Berusia A. 24 Hari B. 27 Hari
C. 4,5 Minggu Sumber: Embriologi Kedokteran Langman (2009)
7
2.1.3. Pembentukan Telinga Pada Usia Mudigah 8 Minggu
Saat mudigah berusia 8 minggu, duktus koklearis sudah terbentuk 2,5
putaran dan menembus mesenkim di sekitarnya. Mesenkim di sekitar duktus
koklearis adalah bakal tulang rawan pembentuk skala vestibuli dan skala timpani.9
2.1.4. Pembentukan Telinga Pada Usia Mudigah 10 Minggu
Saat mudigah berusia 10 Minggu, skala vestibuli dan skala timpani, yang
merupakan vakuolisasi selubung tulang rawan di sekitar duktus koklearis, sudah
terbentuk.9
2.1.5. Pembentukan Telinga Pada Usia Mudigah 3 Bulan
Saat usia Mudigah 3 Bulan, terbentuk sumbat meatus akustikus
externus.Sumbat meatus akustikus externus (meatal plug) adalah lempeng epitel
solid dari bagian dorsal celah faring pertama.9
Gambar 2.4. Embriologi Telinga Saat Mudigah Berusia 7 Minggu Sumber: Embriologi Kedokteran Langman (2009)
9
Gambar 2.5. Embriologi Telinga Saat Mudigah Berusia 3 Bulan Sumber: Embriologi Kedokteran Langman (2009)
9
8
2.1.6. Pembentukan Telinga Pada Usia Mudigah 7 Bulan
Sumbat meatus akustius externus luruh, dan ikut membentuk gendang
telinga definitif. Selain dari lapisan epitel ektoderm di dasar meatus akustikus,
gendang telinga juga dibentuk dari lapisan epitel endoderm di kavitas timpani dan
lapisan intermediate jaringan ikat yang membentuk stratum fibrosum.9
2.1.7. Pembentukan Telinga Pada Usia Mudigah 8 Bulan
Jaringan sekitar tulang pendengaran menghilang sehingga kavitas
timpani semakin luas. Sebelumnya, tulang pendengaran ini terbenam
dalam mesenkim longgar.
Ligamentum penopang tulang pendengaran terbentuk dari epitel
endoderm.9
2.1.8. Perkembangan Pembentukan Telinga Setelah Lahir
Epitel kavitas timpani menginvasi tulang prosesus mastoideus yang sedang
terbentuk, dan terbentuklah kantong-kantong udara berlapis epitel (pneumatisasi).
Kemudian, sebagian besar dari kantong udara mastoid berhubungan langsung
dengan antrum dan kavitas timpani. Perluasan peradangan telinga tengah ke
dalam antrum dan sel udara mastoid adalah penyulit yang sering dijumpai pada
infeksi telinga tengah. 9
Gambar 2.6. Embriologi Pembentukan Kavum Timpani Sumber: Embriologi Kedokteran Langman (2009)
9
9
Arkus faring pertama dan kedua ikut membentuk telinga. Arkus faring
pertama akan menjadi maleus, inkus, kavitas timpani, aurikula. Arkus faring
kedua ikut membentuk stapes, aurikula.9
Gambar 2.7. Anatomi Telinga Sumber: Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula (2003)
13
Gambar 2.8. Pembentukan Aurikula Sumber: Embriologi Kedokteran Langman (2009)
9
10
Gambar 2.9. Formasi Arkus Faring Sekitar Leher Sumber: Embriologi Kedokteran Langman (2009)
9
Gambar 2.10. Perkembangan Celah dan Kantung Faring Menjadi Kavitas Timpani,
Tuba Auditori, dan Meatus Auditoru Externus Sumber: Embriologi Kedokteran Langman (2009)
9
11
2.1.9 Embriologi Menurut Islam
Perkembangan embrio dalam janin mendapat perhatian yang cukup besar
dalam Islam. Hal ini terbukti dengan terdapatnya ayat Al-Quran yang membahas
perkembangan manusia dalam rahim yaitu dari saripati tanah sampai berbentuk
manusia. Penjelasan tersebut terdapat dalam Al-Quran surat Al-Mu’minuun ayat
12-14 yang berbunyi: “Dan sungguh, Kami telah menciptakan manusia dari
saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami menjadikannya air mani (yang
disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian, air mani itu Kami
jadikan sesuatu yang melekat, lalu sesuatu yang melekat itu Kami jadikan
segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu
tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian, Kami
menjadikannya makhluk yang (berbentuk) lain. Mahasuci Allah, Pencipta Yang
Paling Baik.”11
2.2 Fisiologi Pendengaran
Telinga memiliki fungsi untuk mendengar. Telinga dapat menerima suara
dalam rentang frekuensi 2 sampai 4 kHz. Sedangkan taraf intensitas yang dapat
Gambar 2.11. Skema Lengkap Pembentukan Organ Telinga Sumber: Otolaryngology: Basic Science and Clinical Review (2005)
10
12
diterima adalah sampai 15 dB. Intensitas bunyi berbanding lurus dengan energi,
sedangkan energi berbanding lurus dengan frekuensi pangkat dua. Oleh karena
itu, suara yang melebihi 4 kHz adalah yang paling berbahaya menimbulkan
trauma akustik.12
Fungsi pendengaran dimulai ketika suara memasuki daun telinga. Pada
saat ini, bunyi masih dihantarkan melalui udara dan dikumpulkan oleh pinna
(liang telinga) dan aurikula (daun telinga). Kemudian, gelombang suara
menggerakkan membran timpani dan dirambatkan ke membrana basalis dan organ
corti melalui maleus, inkus, dan stapes. Pada saat ini, bunyi dihantarkan melalui
zat padat dan cairan endolimfe di telinga dalam. Penghantaran melalui zat padat
ini penting, karena bunyi hanya akan tersalurkan 0,1% energinya bila dirambatkan
dari udara ke cairan. Apabila tidak melalui maleus incus stapes, akan mengurangi
taraf intensitas atau kekuatan bunyi sehingga membuat orang yang berbicara keras
hanya terdengar seperti berbisik pada kita. Telinga tengah mampu
mengkompensasi hal tersebut terutama karena luas membrana timpani 17 kali
lebih besar dari luas basis stapes.13,14
Setelah mencapai di organ corti, gelombang ini membengkokan stereosilia
lalu menimbulkan depolarisasi sel rambut dan menciptakan potensial aksi pada
serabut-serabut saraf pendengaran yang melekat padanya. Di sinilah gelombang
suara mekanis diubah menjadi energi elektrokimia agar dapat ditransmisikan
melalui saraf kranialis ke-8. Peristiwa listrik pada organ corti dapat diukur dan
dikenal sebagai mikrofonik koklearis. Peristiwa listrik yang berlangsung dalam
neuron juga dapat diukur dan disebut sebagai potensial aksi.13
2.3 Tumbuh Kembang Pendengaran dan Wicara
Koklea mencapai fungsi normal seperti orang dewasa setelah usia gestasi
20 minggu. Pada masa tersebut janin dalam kandungan telah dapat memberikan
respons terhadap suara yang ada di sekitarnya namun reaksi janin masih bersifat
refleks. Respons terhadap suara berupa refleks aural palpebral yang konsisten
pada janin normal usia 24-25 minggu.22
Kemahiran wicara dan berbahasa pada seseorang hanya dapat tercapai bila
input sensorik auditorik dan output motorik wicara dalam keadaan normal. Tabel
13
1 dan 2 memaparkan tahapan perkembangan wicara pada anak dan cara
mendeteksi gangguan pendengaran yang dapat dilakukan oleh orang awam.22
Tabel 2.1. Tahapan Perkembangan Bicara
Usia Kemampuan
Neonatus Menangis (reflex vocalization)
Mengeluarkan suara mendengkur seperti suara burung (cooing)
Suara seperti berkumur (gurgles)
2 – 3 bulan Tertawa dan mengoceh tanpa arti (babbling)
4 – 6 bulan Mengeluarkan suara yang merupakan kombinasi huruf hidup (Vowel)
dan huruf mati (konsonan)
Suara berupa ocehan yang bermakna (true babling atau lalling),
seperti “pa...pa, da...da”.
7 – 11 bulan Dapat menggabung kata/suku kata yang tidak mengandung arti,
terdengar seperti bahasa asing (jargon).
Usia 10 bulan mampu meniru suara sendiri (echolalllia).
Memahami arti “tidak”, mengucapkan salam.
Mulai memberi perhatian terhadap nyanyian atau musik
12 – 18 bulan Mampu menggabungkan kata atau kalimat pendek.
Mulai mengucapkan kata pertama yang mempunyai arti (true speech)
Usia 12-14 bulan mengerti instruksi sederhana, mununjukkan bagian
tubuh dan nama mainannya
Usia 18 bulan mampu mengucapkan 6-10 kata.
Sumber: Buku Ajar Ilmu Kesehatan; Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher (2007)23
Tabel 2.2. Perkiraan Adanya Gangguan Pendengaran pada Bayi dan Anak
Usia Kemampuan Bicara
12 bulan Belum dapat mengoceh
18 bulan Tidak dapat menyebutkan 1 kata yang
mempunyai arti
24 bulan Perbendaharaan kata kurang dari 10 kata
30 bulan Belum dapat merangkai 2 kata
Sumber: Buku Ajar Ilmu Kesehatan; Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher (2007)23
14
2. 4 Perkembangan Merespons Suara
2.4.1 Respon Terhadap Suara pada Nenonatus
Pada minggu pertama kehidupan, bayi merespon suara keras dengan
refleks terkejut. Respon ini berupa reflex aural palpebra, perubahan denyut
jantung dan pola pernafasan, sentakan kepala ke belakang, menangis, gerakan
tubuh berupa refleks morro. Respon-respon tersebut tidak terjadi bila dipaparkan
dengan suara yang tenang dan intensitas suara yang rendah. Rangsangan suara
yang dapat menimbulkan refleks ini pada neonatus sampai umur 2 minggu adalah
nada murni dengan rentang frekuensi 500-4000 Hz dan intensitas 85-95 dB.
Pengamatan respon ini bersifat subjektif karena dipengaruhi psikofisiologikal
anak. Sehingga, ambang pendengaran pada neonatus tidak dapat diukur secara
akurat jika menggunakan teknik perilaku.3,15,16
2.4.2 Respon Terhadap Suara pada Bayi Berusia Kurang dari 4 Bulan
Saat usia ini, bayi mulai memperhatikan suara dengan diam dan
mendengarkan. Pada usia 4 bulan, bayi merespon suara orang tuanya dengan diam
dan tersenyum bahkan apabila sumber suara tidak terlihat. Respon ini terutama
dijumpai pada suara keras. Respon ini tidak tetap pada suara yang lebih tenang.
Respon ini dapat digunakan untuk memperkirakan ambang dengar pada bayi usia
kurang dari 4 bulan.3,15
2.4.3 Respon Terhadap Suara pada Bayi Berusia 4-6 Bulan
Saat usia ini, bayi mulai secara nyata dan konsisten menggerakkan kepala
ke sumber suara. Respon ini tidak hanya lebih nyata, tetapi juga terjadi
peningkatan kepekaan karena terjadi pada intensitas suara rendah. Perkiraan
ambang suara pada bayi usia ini memungkinkan untuk dapat dilakukan dengan
teknik perilaku. Perubahan respon terhadap lokalisasi suara yang lebih tepat dapat
terlihat pada bayi yang lebih tua.3,15
Pengarahan kepala oleh bayi ke arah sumber rangsangan suara terkadang
terlambat dan memerlukan pemberian rangsangan suara dengan durasi yang lebih
lama tanpa meningkatkan intensitas suara. Anak pada usia ini mungkin belajar
untuk melokalisasi suara pada arah sumber suara pertama, tetapi kemudian hanya
mengarahkan pada arah suara pertama tersebut dimanapun sumber suara
berikutnya datang.3,15
15
2.4.4 Respon Terhadap Suara pada Bayi Berusia 7-9 Bulan
Saat usia ini, anak dapat menentukan lokasi sumber suara berintensitas
rendah secara tepat pada bidang horizontal. Sebagian besar anak masih belum
mampu untuk menentukan lokasi sumber suara pada bidang vertikal. Anak akan
bergerak ke arah orang tuanya yang berada diluat kamar dan mencari sumber
suara yang menarik perhatiannya. Anak juga mulai berceloteh nyaring dan meniru
suara-suara dengan lebih jelas.3,15
2.4.5 Respon Terhadap Suara pada Bayi Berusia 10-12 bulan
Saat usia ini, anak dapat menentukan lokasi suara dengan intensitas rendah
pada berbagai tempat bila ia tidak terlalu sibuk dengan kegiatan lain. Kemampuan
mengucapkan kata-kata berkembang untuk kata-kata tunggal seperti namanya,
kata tidak, dan objek yang sudah dikenal baik olehnya. Perkembangan vokalisasi
anak sampai usia 12 bulan berupa mencoba berkata-kata dan mengulang beberapa
kata.3,15
2.4.6 Respon Terhadap Suara pada Bayi Berusia 13-24 Bulan
Saat usia ini, anak mampu melokalisasi secara cepat dan mulai dapat
mengantisipasi serta mengamati sumber suara selama uji tingkah laku dilakukan.
Saat usia ini juga terjadi perkembangan pemahaman kata-kata. Pada beberapa
anak usia 18 bulan mulai dapat mengenali beberapa bagian tubuh. Saat usia 2
tahun, anak dapat memungut mainannya ketika terjatuh. Perbendaharaan kata
pada anak berkembang setelah usia 24 bulan. Anak mulai menggabungkan dua
kata secara bersamaan saat berusia 18-21 bulan.3,15
2.4.7 Respon Terhadap Suara pada Anak Berusia Lebih dari 2 Tahun
Saat usia ini anak biasanya akan bereaksi terhadap rangsangan suara yang
pertama diberikan dan akan mengabaikan suara yang diberikan berikutnya. Saat
usia ini, play audiometry dengan ruangan yang luas dapat dicoba untuk
dulakukan. Pada beberapa anak sudah dapat dilakukan pemeriksaan audiometri
nada murni pada usia 3 tahun.3,15
2.5 Kejadian Gangguan Pendengaran pada Anak di Indonesia
Berdasarkan Survei Kesehatan Nasional 2001, prevalensi disabilitas bicara
dan suara pada kelompok umur 1-4 tahun adalah 3,0 persen. Sedangkan
16
prevalensi disabilitas bicara dan suara pada kelompok umur 5-14 tahun adalah 0,6
persen.17,18,19
Tabel 2.3. Prevalensi Disabilitas Fungsi Tubuh Pada Anak (dalam Persen)
Jenis disabilitas fungsi tubuh Kelompok Umur
< 1 tahun 1-4 tahun 5-14 tahun
Mental 1,0 3,0 2,4
Sensorik dan nyeri 1,0 1,3 1,8
Bicara dan suara - 3,0 0,6
Kardiovaskular, hematologi,
imunologi, pencernaan
16,7 11,6 5,7
Pencernaan, metabolisme,
endokrin
15,2 19,6 18,1
Urogenital dan reproduksi - 0,1 0,4
Neuromuskuloskeletal dan
pergerakan
- 0,3 0,1
Sumber: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik
Indonesia (2002). Survei Kesehatan Nasional 2001. Laporan SKRT 2001: Studi Morbiditas dan
Disabilitas.19
2.6 Deteksi Dini Gangguan Pendengaran
Berikut pemeriksaan yang bisa dilakukan untuk mendeteksi gangguan
pendengaran dan bahasa pada anak:
a. Otoaccoustic Emission (OAE)
Emisi otoakustik adalah suara dengan intensitas rendah yang dihasilkan
oleh koklea baik secara spontan maupun setelah diberikan stimulus. Emisi
otoakustik dihasilkan oleh gerakan sel-sel rambut luar di telinga dalam.3
Pemeriksaan emisi otoakustik memiliki tujuan utama untuk menilai
koklea, khususnya fungsi sel rambut. Hasil pemeriksaan dapat berguna untuk:
1) skrining pendengaran, 2) memperkirakan sensitivitas pendengaran dalam
rentang tertentu, 3) membedakan gangguan sensori dan neural pada gangguan
pendengaran sensorineural, 4) pemeriksaan pada gangguan pendengaran
fungsional (berpura-pura) karena merupakan pemeriksaan yang objektif.3
b. Brainstem Evoked Response Audiometry (BERA)
17
BERA merupakan cara pengukuran evoked potensial (aktifitas listrik)
yang dihasilkan n. VIII, pusat neural, dan traktus di dalam batang otak sebagai
respons terhadap stimulus auditorik. Singkatnya, BERA mengukur auditory
evoked potential (AEP). AEP direkam menggunakan elektroda permukaan
yang terpasang pada kulit kepala. Selain dengan BERA, AEP dapat direkam
dengan electrococcleography (ECohG), middle latency response (MLR), dan
late latency response (LLR) tergantung dari onset munculnya gelombang
setelah pemberian stimulus (masa laten). BERA banyak digunakan untuk
mengukur AEP di klinik, terjadi 10 mdetik pertama setelah pemberian stimulus
dan menggambarkan aktivitas n. VIII sampai batang otak.20,21
Stimulus yang digunakan dalam pemeriksaan BERA berupa click dan
toneburst yang diberikan melalui transducer berupa insert probe, headphone,
dan bone vibrator. Transducer yang paling sering digunakan adalah insert
probe. Click merupakan stimulus dengan onset cepat dan durasi yang sangat
singkat (0,1 ms). Stimulus ini menghasilkan respons pada rerata frekuensi
antara 2.000-3.000 Hz. Sedangkan tone burst merupakan stimulus dengan
durasi singkat namun memiliki frekuensi spesifik (misalnya 500 Hz, 1 KHz, 2
KHz, dan 4 KHz). Setiap satu sesi perekaman diperlukan 1.000-2.000 stimulus
dengan kecepatan sekitar 20 stimulus per detik. Sedangkan pada bayi dapat
diberikan kecepata stimulus yang lebih besar sampai 39 kali per detik.20,21
Keuntungan pemeriksaan BERA antara lain: 1) tidak tergantung perilaku
anak; 2) tidak dipengaruhi pemakaian obat-obatan seperti sedativ atau pelemas
otot; 3) tidak invasif; 4) sensitivitas dan spesifisitas tinggi (sensitivitas 97-
100%, spesifistas 86-96%); 5) tidak dipengaruhi telinga luar maupun telinga
tengah; 6) reliabilitas inter dan intra subyek sangat tinggi. Kekurangan BERA
antara lain: 1) dipengaruhi bising lingkungan; 2) membutuhkan sedasi; 3)
waktu pemeriksaan lama; 4) memerlukan tenaga ahli dan harga alat yang
sangat mahal.20,21
Pemeriksaan BERA dapat digunakan untuk: 1) audiometri objektif; 2)
skrining pendengaran pada bayi; 3) menilai patologi retrokokhlear; 4) pasien
yang tidak kooperatif; 5) monitoring intra operatif; 6) evaluasi perkembangan
batak otak.20,21
18
c. Behavioral Observation Audiometry (BOA)
Teknik pemeriksaan ini dilakukan pada anak berusia kurang dari 5 bulan.
BOA terbatas pada respons yang tidak diinstruksikan dan refleksif. Respon ini
dapat diamati terhadap stimulus berupa suara kompleks (frekuensinya tidak
spesifik) berupa bising, berbicara, atau musik yang dihasilkan suatu alat. Alat
ini dapat berupa alat yang sudah dikalibrasi dan kemudian menggunakan
pengeras suara atau dengan pembuat bising yang tidak terkalibrasi. Respon
yang dihasilkan sangat bervariasi pada bayi, dan biasanya tidak
menggambarkan perkiraan sensitivitas yang baik.22
d. Timpanometri
Teknik ini memberi grafik kemampuan telingan tengah untuk menjalarkan
energi suara (pemasukan, kelenturan) atau menghalangi energi suara
(impedance) sebagai fungsi tekanan udara di saluran telinga luar.22
e. Audiometri bermain (play audiometry)
Teknik pemeriksaan audiometri bermain digunakan pada anak usia 2 tahun
6 bulan sampai 5 tahun. Respon yang diamati pada audiometri permainan
berupa instruksi aktivitas motorik yang disertai permainan, seperti:
menyatukan balok dalam ember; menempatkan cincin pada pasak; atau
penyelesaian teka-teki.22
Gambar 2.12. Alur UNHS di RSCM Sumber: Perbandingan Hasil Pemeriksaan Reflek Akustik Ipsilateral dan ABR untuk Deteksi
Kurang Pendengaran Sensorineural pada Bayi dan Anak (2009)20
19
Menurut Guideline of Universal Newborn Hearing Screening yang
dikeluarkan Joint Committe on Infant Hearing (JCIH) tahun 2007, pemeriksaan
yang dilakukan untuk skrinning pendengaran pada neonatus di rumah sakit sampai
anak berusia 1 bulan adalah dengan pemeriksaan otoaccoustic emission (OAE)
dan automated auditory brainstem response (AABR).4
Menggunakan beberapa metode tersebut di atas, Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo dan HTA Indonesia (lembaga penilai teknologi kesehatan
Indonesia) mengeluarkan alur skrining pendengaran neonatus universal seperti
yang tercantum pada gambar 2.12 dan 2.13.
Gambar 2.13. Diagram Skrining Gangguan Pendengaran, Konvensi HTA 2007
Sumber: Gambaran Hasil Pemeriksaan Emisi Otoakustik Sebagai Skrining Awal Pendengaran
Bayi Baru Lahir di RSUP H. Adam Malik Medan dan Balai Pelayanan Kesehatan dr. Pirngadi
Medan (2009)3
OAE
Pass Refer
Faktor risiko?
Tidak Ya
Tidak perlu
ditindaklanjuti
Pemantauan perkembangan bicara
Pemantauan audiologi sekurang-
kurangnya tiap 6 bulan selama 3 tahun Habilitasi sebelum 6
bulan
Usia 3 Bulan:
1. Evaluasi otoskopi
2. Timpanometri
3. DPOAE
4. AABR
Pass Refer
Audiologic assessment
ABR click + tone burst
500Hz atau ASSR
20
2.7 Faktor Risiko Kehilangan Pendengaran Pada Bayi dan Anak
Program skrinning pendengaran dan bahasa pada bayi dan anak
diprioritaskan pada mereka yang memiliki risiko terhadap gangguan pendengaran.
Pada tahun 2000, Joint Committe on Infant Hearing menetapkan pedoman
regsitrasi risiko tinggi terhadap ketulian sebagai berikut:
Pada bayi 0 - 28 hari
a. Kondisi atau penyakit yang memerlukan perawatan NICU (Noeonatal
ICU) selama 48 jam atau lebih.
b. Keadaan atau stigmata yang berhubungan dengan sindoma tertentu yang
diketahui mempunyai hubungan dengan tuli sensorineural atau konduktif.
c. Riwayat keluarga dengan gangguan pendengaran sensorineural yang
menetap sejak masa anak-anak
d. Anomali kraniofasial termasuk kelainan morfologi pinna atau liang telinga
e. Infeksi intrauterin seperti toksoplasma, rubella, virus cytomegalo, herpes,
sifilis.23
Pada bayi 29 hari – 2 tahun
a. Kecurigaan orang tua atau pengasuh tentang gangguan pendengaran,
keterlambatan bicara, berbahasa atau keterlambatan perkembangan.
b. Riwayat keluarga dengan gangguan pendengaran yang menetap sejak
masa anak-anak
c. Keadaan atau stigmata yang berhubungan dengan sindroma tertentu yang
diketahui mempunyai hubungan dengan tuli sensorineural, konduktif, atau
gangguan fungsi tuba Eustachius
d. Infeksi post-natal yang menyebabkan gangguan pendengaran sensorineural
termasuk meningitis bakterialis.
e. Infeksi intrauterin seperti toksoplasma, rubella, virus cytomegalo, herpes,
sifilis.
f. Adanya faktor risiko tertentu pada masa neonatus, terutama
hiperbilirubinemia yang memerlukan transfusi tukar, hipertensi pulmonal
yang membutuhkan ventilator serta kondisi lainnya yang memerlukan
extra-corporeal membrane oxygenation (ECMO).
21
g. Sindroma tertentu yang berhubungan dengan gangguan pendengaran yang
progresif seperti Usher syndrome, neurofibromatosis, osteopetrosis.
h. Adanya kelainan neurodegeneratif seperti Hunter syndrome, dan kelainan
neuropati sensorimotorik misalnya Friederich’s ataxia, Charrot-Marrie
Tooth syndrome.
i. Trauma kapitis
j. Otitis media yang berulang atau menetap dusertai efusi telinga tengah
minimal 3 bulan.23
Bayi yang mempunyai salah satu faktor risiko tersebut mempunyai
kemungkinan mengalami ketulian 10,2 kali lebih besar dibandingkan dengan bayi
yang tidak memiliki faktor risiko. Bila terdapat 3 buah faktor risiko
kecenderungan menderita ketulian diperkirakan 63 kali lebih besar dibandingkan
bayi yang tidak mempunyai faktor risiko tersebut. Pada bayi yang dirawat di
ruangan intensif (ICU), risiko untuk mengalami ketulian 10 kali lipat
dibandingkan dengan bayi normal.23
Namun indikator risiko gangguan pendengaran tersebut hanya dapat
mendeteksi sekitar 50% gangguan pendengaran karena banyaknya bayi yang
mengalami gangguan pendengaran tanpa memiliki faktor risiko dimaksud.
Berdasarkan pertimbangan tersebut maka saat ini upaya melakukan deteksi dini
gangguan pendengaran pada bayi ditetapkan melalui program Newborn Hearing
Screening (NHS).23
2.8 Neonatus Risiko Tinggi Mengalami Gangguan Pendengaran
Daftar indikator risiko tinggi untuk mengidentifikasi kemungkinan adanya
gangguan pendengaran kongenital maupun diidapat pada neonatus adalah sebagai
berikut:
a. Riwayat keluarga gangguan pendengaran sensorineural permanen
b. Anomali telinga dan kraniofasial
c. Infeksi intrauterin berhubungan dengan gangguan pendengara
sensorineural (infeksi toksoplasmosis, rubella, sitomegalovirus, herpes,
sifilis)
d. Gambaran fisik atau stigmata lain yang berhubungan dengan gangguan
pendengaran sensorineural, seperti sindrom Down, sindrom Wardenburg
22
e. Berat lahir kurang dari 1500 gram
f. Nilai Apgar yang rendah (0-3 pada menit kelima, 0-6 pada menit
kesepuluh)
g. Kondisi penyakit yang membutuhkan perawatan di NICU 48 jam
h. Distress pernafasan (misalnya aspirasi mekoneum)
i. Ventilasi mekanik selama 5 hari atau lebih
j. Hiperbilirubinemia pada kadar yang memerlukan transfusi tukar
k. Meningitis bakterial
l. Obat-obatan ototoksik (msialnya gentamisin) yang diberikan lebih dari 5
hari atau digunakan sebagai kombinasi dengan loop diuretic.24
Bayi dengan 1 faktor resiko mempunyai kemungkinan menderita
gangguan pendengaran 10,1 kali dibandingkan bayi yang tidak mempunyai faktor
resiko, bayi dengan 2 faktor risiko mempunyai kemungkinan 12,7 kali, sedangkan
bila terdapat 3 faktor risiko maka kemungkinan meningkat menjadi 63,2 kali.
Tetapi, 50% bayi dengan gangguan pendengaran bermakna ternyata tidak
mempunyai faktor resiko tersebut.24
2.9 Pentingnya Pendengaran Menurut Islam
Pentingnya pendengaran bagi manusia terbukti dengan ditemukannya 19
ayat al-Quran yang mengandung kata pendengaran. Bahkan, ada sebuah ayat yang
menjelaskan pentingnya pendengaran bagi seorang manusia yang baru dilahirkan.
Hal tersebut terdapat dalam al-Quran surat An-Nahl ayat 78, “Dan Allah
mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu
pun, dan Dia memberimu pendengaran, pengelihatan dan hati nurani, agar kamu
bersyukur.”11
Ilmu pengetahuan dapat diperoleh melalui beberapa saluran, yaitu panca
indera, pikiran yang sehat, berita yang benar, dan intuisi.25
Salah satu panca indera
adalah pendengaran. Sehingga apabila fungsi pendengaran terganggu, maka ilmu
pengetahuan yang diperoleh tidak maksimal. Hal tersebut berkaitan dengan
penemuan Itano dkk bahwa habilitasi pendengaran sebelum usia 6 bulan pada
anak dengan gangguan pendengeran dapat mempengaruhi kemajuan kemampuan
kognitif seorang anak.5
23
2. 10. Kerangka Konsep
Kerangka konsep penelitian ini adalah sebagai berikut:
Gambar 2.14. Kerangka Konsep Penelitian
Ada beberapa kemungkinan yang mempengaruhi responden mengisi
kuesioner perkembangan pendengaran pada anak usia 0-24 bulan yang berisiko
mengalami gangguan pendengaran, diantaranya adalah: usia anak, jenis kelamin
anak, pekerjaan responden, tingkat pendidikan responden, rata-rata durasi
interaksi responden dengan anak dalam sehari. Penelitian ini mencari korelasi usia
dengan skor kuesioner, dengan memperhatikan faktor perancu tersebut.
Skrining pendengaran
sesuai guideline UNHS
Anak dengan gangguan
pendengaran
Anak tanpa gangguan
pendengaran
Habilitasi
Perkembangan normal
Pengisian kuisioner LittlEARS
Diduga gangguan
pendengaran
Karakteristik
Responden:
Pekerjaan,
pendidikan, durasi
interaksi dengan
anak.
Karakteristik Anak:
Usia, Jenis kelamin
: Fokus penelitian ini
Anak usia 0-24 bulan berisiko gangguan pendengaran (≥ 1 Faktor Resiko)
Hasil skor kuisioner
24
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1. Desain Penilitian
Penelitian adalah berupa cross sectional (potong lintang) karena variabel
bebas dan variabel terikat diambil dalam satu waktu. Jenis penelitian ini
merupakan penelitian analitik korelatif karena salah satu tujuan penelitian ini
adalah mencari koefisien korelatif antara usia anak dengan skor kuesioner
LittlEARS. Koefisien korelatif ini nantinya akan menggambarkan apakah terdapat
hubungan searah antara usia anak dengan skor kuesioner LittlEARS dan seberapa
kuat korelasi tersebut. Data yang diambil mencakup karakteristik responden dan
hasil kuisioner perkembangan pendengaran LittlEARS. Kuisioner ini merupakan
kuisioner dengan pertanyaan tertutup.
3.2. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan dalam kurun waktu Februari-Agustus 2013
dengan rincian sebagai berikut:
Tabel 3.1. Jadwal Kegiatan Penelitian
Kegiatan Waktu Tempat
Penyusunan proposal dan perizinan 01 Januari 2013 -
21 April 2013
Kampus UIN
Pelaksanaan wawancara 28 April 2013 –
31 Agustus 2013
RS Budi Kemuliaan
dan wilayah sekitar
kediaman penulis
Pengolahan data 01 Agustus 2013-
03 September 2013
Kampus UIN
Penyusunan laporan 17 Agustus 2013-
09 September 2013
Kampus UIN
3.3. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Poli Anak RS Budi Kemuliaan, Jakarta. Selain
di RS Budi Kemuliaan, wawancara juga dilakukan di sekitar tempat tinggal
peneliti di Bogor, Tangerang, dan Depok.
3.4. Populasi Penelitian
Populasi target penelitian ini adalah anak usia 0-24 bulan di Indonesia.
Populasi terjangkau penelitian ini adalah anak usia 0-24 bulan di Tangerang,
Bogor, Depok, dan RS Budi Kemuliaan Jakarta.
25
3.5. Sampel Penelitian dan Cara Pemilihan Sampel
Sampel pada penelitian ini adalah anak usia 0-24 bulan yang berisiko
gangguan pendengaran. Cara pemilihan sampel dengan consecutive sampling.
3.6. Besar Sampel
3.6.1. Perhitungan Besar Sampel
Besar sampel dihitung menggunakan rumus besar sampel untuk penelitian
analitik korelatif.26
Keterangan:
Zα = Deviat baku alfa, Zβ = Deviat baku beta, r = koefisien korelasi
Nilai koefisien korelasi (r) skor LittlEARS dengan usia didapatkat
berdasar penelitian yang dilakukan oleh Geal-Dor sebesar 0,53. Penelitian
tersebut dilakukan pada orang tua dari anak yang dilakukan implantasi koklea.
Penelitian ini melibatkan 42 orang tua dari anak yang dilakukan implantasi koklea
dengan hearing age mencapai 24 bulan.8
Deviat baku alfa didapat dari kesalahan tipe I. Kesalahan tipe I adalah
kesalahan saat menolak hipotesis padahal hipotesis harusnya diterima. Kesalahan
tipe I dua arah dipilih dalam penelitian ini karena penelitian ini tidak mencari
hubungan sebab-akibat antara variabel bebas dengan variabel terikat. Deviat baku
beta didapat dari kesalahan tipe II. Kesalahan tipe II adalah kesalahan saat
menerima hipotesis padahal hipotesis harusnya ditolak. Nilai kesalahan ditetapkan
peneliti, sebesar 10%. Sehingga didapatkan Zα = 1,645 dan Zβ = 1,282.
26
3.6.2. Sampel yang Diambil
Jumlah sampel yang diambil adalah sejumlah minimal untuk uji korelasi
adalah 27 berdasarkan rumus diatas. Sedangkan untuk uji validitas dan uji
realibilitas, dibutuhkan minimal 30 sampel. Jadi, jumlah sampel yang dibutuhkan
adalah sebanyak 30.
3.7. Variabel Penelitian
Variabel terikat dari penelitian ini adalah skor kuisioner LittlEARS.
Sedangkan variabel bebas penelitian ini adalah usia anak saat pengisian kuisioner
dilakukan.
3.8. Kriteria Inklusi dan Eksklusi
3.8.1. Faktor Inklusi
Kriteria inklusi untuk penelitian ini adalah:
Anak usia 0-24 bulan yang datang ke Poli Anak RS Budi Kemuliaan
Responden dengan satu atau lebih faktor risiko gangguan pendengaran,
yaitu:
a. Riwayat ANC tidak rutin
b. Riwayat anak mengalami infeksi saluran nafas atas dengan frekuensi
lebih dari atau sebanyak satu kali dalam sebulan
c. Infeksi intrauterin berhubungan dengan gangguan pendengaran
sensorineural (infeksi toksoplasmosis, rubella, sitomegalovirus,
herpes, sifilis)
d. Berat lahir anak kurang dari 2000 gram
e. Riwayat ikterus pada anak saat baru lahir
f. Usia gestasi <37 minggu
g. Persalinan sectio cesarea
h. Menggunakan alat bantu nafas saat baru lahir, dengan suplementasi
oksigen
i. Imunisasi rutin sesuai jadwal pada anak
j. Konsumsi obat warung atau jamu selama kehamilan
27
3.8.2. Faktor Eksklusi
Kriteria eksklusi penelitian ini adalah:
Anak yang tidak bersedia mengikuti penelitian ini
Anak yang sudah diterapi gangguan pendengarannya
3.9. Cara Kerja
3.9.1. Alur Penelitian
Gambar 3.1. Diagram Alur Penelitian
Responden diwawancara untuk mengisi formulir karakteristik responden.
Bila terdapat faktor risiko dan usia sesuai kriteria inklusi, responden diminta
mengisi kuisioner LittlEARS sehingga didapat Skor I. Setelah rentang waktu
minimal 2 minggu, responden diwawancara ulang menggunakan kuesioner
LittlEARS melalui telepon sehingga didapat Skor II.
3.10. Kuesioner Penelitian
3.10.1 Kuesioner LittleEARS
Kuisioner LitleEARS merupakan alat pemeriksaan pilihan untuk deteksi
dini gangguan pendengaran pada anak. Kuesioner ini telah diterjemahkan ke
Bahasa Indonesia oleh Penulis beserta tim dan menghasilkan angka crobach’s
alpha sebesar 0,905 dalam uji pendahuluan. Kuisioner ini berisikan 35 pertanyaan
tertutup (ya atau tidak) tentang perkembangan fungsi pendengaran pada anak
dengan usia kurang dari 2 tahun. Skor kuisioner ini dinilai dengan menghitung
jumlah jawaban ya. Apabila anak memiliki pendengaran yang sehat, orang tua
Pengisian kuisioner
karakteristik responden
Pengisian kuisioner
LittlEARS I
Uji Reliabilitas
Uji Validitas
butir
Kesimpulan
Pemilihan responden berdasar
kriteria inklusi dan ekslusi
Pengisian kuisioner LittlEARS
dengan selang >2minggu
Skor I Skor II
Uji Korelasi
Umur
Karakteristik
responden dan Faktor
Risiko
28
selesai mengisi kuisioner setelah memberikan jawaban ‘tidak’ dalam 6 pertanyaan
berturut-turut.8
3.10.2 Kuesioner Karakteristik Responden
Karakteristik responden diperlukan untuk mengetahui gambaran umum
responden dan untuk menyaring sampel agar sesuai kriteria inklusi dan tidak
mengikutkan yang termasuk dalam kriteria eksklusi. Karakteristik responden ini
perlu untuk mengontrol beberapa variabel perancu dan menentukan apakah
responden termasuk dalam kriteria inklusi.
3.10.2.1. Identitas Anak
Identitas anak ditanyakan langsung ke respoden dan dicatat pada kuesioner
karakteristik responden, dengan rincian pertanyaan sebagai berikut:
Berapa bulan usia anak anda saat ini ?
Anak urutan ke berapa dalam keluarga Anda ?
Apakah berat lahir cukup (>2000 gram) ?
Apakah anak membutuhkan alat bantu nafas saat dilahirkan ?
Apakah anak lahir cukup bulan (≥37 minggu) ?
Apakah anak rutin diimunisasi sesuai jadwal ?
Apakah anak pernah kuning ?
Apakah anak sering pilek (≥ 1 x dalam sebulan) ?
Persalinan secara normal atau cesarean?
3.10.2.2. Identitas Orang Tua
Identitas orang tua ditanyakan langsung ke respoden dan dicatat pada
kuesioner karakteristik responden, dengan rincian pertanyaan sebagai berikut:
Nama
Pendidikan
Kepedulian
Untuk mengukur tingkat kepedulian responden terhadap anak, ditanyakan
berapa lama biasanya responden berinteraksi dengan anak dalam sehari.
Pekerjaan
Riwayat penyakit saat mengandung anak ini
untuk mendapatkan keterangan riwayat penyakit pada ibu saat
29
mengandung anak, responden ditanyakan: “Saat mengandung anak ini,
apakah ibu menderita penyakit tertentu?”
Riwayat rutin memeriksakan kehamilan ke dokter
3.11. Pengolahan Data
Pengolahan data, analisis statistik dan uji hipotesis dilakukan dengan
program SPSS 17. Teknik pengolahan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah uji normalitas data shapiro-wilk, uji korelasi bivariat spearman, uji
reliabilitas croanbach’s alpha dan perhitungan pearson product moment.
3.12. Definisi Operasional
Tabel 3.2. Definisi Operasional Penelitian
Variabel
yang diukur
Pengukur Alat Ukur Cara Pengukuran Skala
Pengukuran
Usia anak Peneliti Wawancara
menggunakan
kuesioner
karakteristik
responden
Menghitung rentang
waktu antara
kelahiran anak
sampai kuisioner
diisi. Output berupa
satuan waktu dalam
bulan, pembulatan
ke bawah.
Numerik
dalam
satuan
bulan
Skor
kuisioner
Little Ears
Peneliti Wawancara
menggunakan
kuisioner
perkembangan
pendengaran
anak
LittlEARS
Jika anak tanpa
gangguan
pendengaran dan ibu
sudah menjawab
‘tidak’ sebanyak 6
kali berturut-turut,
maka pengisian
kuisioner dihentikan.
Skor didapat dengan
menghitung jumlah
jawaban ya.
Numerik
dalam
rentang 0-
35
30
BAB 4
HASIL PENELITIAN
Telah dilakukan wawancara perkembangan pendengaran menggunakan
kuesioner perkembangan pendengaran anak LittlEARS. Wawancara dilakukan
kepada 32 responden yang memiliki anak dengan kriteria inklusi. Wawancara
dilakukan pada bulan Mei-Agustus 2013.
4.1 Statistik Deskriptif
4.1.1 Karakteristik Responden
Berdasarkan wawancara, didapatkan 32 responden dengan karakteristik
yang disajikan pada tabel 4.1.
Tabel 4.1. Karakteristik Responden
Karakteristik Persentase
(n=32)
Jenis Kelamin Anak
Laki-Laki 50 % (16)
Perempuan 50 % (16)
Pendidikan Terakhir Responden
SD-SMP 12,5% (4)
SMA 56,3% (18)
D3 12,5% (4)
S1 12,5% (4)
Tidak Menjawab 6,3% (2)
Durasi Responden Berinteraksi dengan Anak dalam Sehari
≥8 jam 67% (21)
<8 jam 33% (11)
Pekerjaan Responden
Ibu Rumah Tangga 37,5% (12)
Karyawan 25% (8)
Pegawai Swasta 15,6% (5)
Wiraswasta 9,4% (3)
Guru 6,3% (2)
Tidak Menjawab 6,3% (2)
Jumlah Faktor Risiko
1 50% (16)
2 37,5% (12)
3 9,4% (3)
4 3,1% (1)
31
4.1.2. Sebaran Umur Anak
Gambar 4.1. Grafik Sebaran Umur Anak
Umur anak yang menjadi sampel penilitan ini memiliki rentang 1- 24
bulan dengan rerata 10,02 bulan (± 8,004). Uji Shapiro-Wilk digunakan untuk
menguji normalitas variabel umur karena jumlah sampel kurang dari 50.
Berdasarkan uji Shapiro-Wilk didapatkan bahwa variabel umur bersebaran tidak
normal (P = 0,001).
32
4.1.3. Sebaran Skor Kuesioner
Gambar 4.2. Grafik Sebaran Skor Kuesioner
Skor kuesioner yang didapat pada penelitian ini memiliki rentang 4-35
dengan rerata 21,78 (± 9,015). Uji Shapiro-Wilk digunakan untuk menguji
normalitas variabel skor karena jumlah sampel kurang dari 50. Berdasarkan uji
Shapiro-Wilk didapatkan bahwa variabel umur bersebaran normal (P = 0,137).
4.2 Statistik Analitik
4.2.1. Validitas Kuesioner
Croanbach’s alpha digunakan untuk mengukur konsistensi internal
kuesioner. Nilai croanbach’s alpha dari kumpulan data responden kuesioner
penelitian ini adalah 0,943.
Tabel 4.2. Croanbach’s Alpha
Cronbach's
Alpha
Cronbach's Alpha Based on
Standardized Items N of Items
0,943 0,943 35
33
4.2.2. Validitas Butir Pertanyaan
Tabel 4.3. Pearson Product Moment dan Corrected item-total correlation
Urutan
Pertanyaan
r (kekuatan
korelasi)
Corrected item-Total
Correlation
1 0,360* 0,343
2 0,416* 0,393*
3 - -
4 0,401* 0,378*
5 0,503* 0,472*
6 0,507* 0,471*
7 0,636* 0,606*
8 0,462* 0,421*
9 0,611* 0,578*
10 0,394* 0,348
11 0,488* 0,467*
12 0,488* 0,467*
13 0,533* 0,502*
14 0,358* 0,322
15 0,632* 0,597*
16 0,738* 0,711*
17 0,618* 0,582*
18 0,468* 0,424*
19 0,475* 0,430*
20 0,697* 0,666*
21 0,679* 0,649*
22 0,785* 0,762*
23 0,736* 0,709*
24 0,752* 0,727*
25 0,697* 0,666*
26 0,703* 0,674*
27 0,788* 0,766*
28 0,661* 0,627*
29 0,694* 0,663*
30 0,652* 0,619*
31 0,729* 0,701*
32 0,700* 0,671*
33 0,365* 0,315
34 0,657* 0,628*
35 0,526* 0,484*
Suatu item kuesioner dikatakan valid jika r-hitung lebih besar dari r-tabel.
Nilai r-tabel untuk jumlah responden sebanyak 32 adalah r-tabel dengan derajat
kebebasan 30 (n-2). Nilai r-tabel dengan derajat kebebasan 30 adalah 0,349 untuk
taraf signifikansi 5%. Pada penelitian ini, r-hitung menggunakan nilai pearson
product moment.27
Berdasarkan tabel di atas, semua butir pertanyaan valid pada
taraf signifikansi 5%. Namun, pertanyaan butir 3 tidak dapat diukur validitasnya
karena semua responden menjawab ya.
34
4.2.3. Uji Korelasi Umur dengan Skor
Uji korelasi yang digunakan adalah uji Spearman. Dari uji Spearman
didapatkan koefisien korelasi sebesar 0,893 dengan P=0,000. Ini berarti terdapat
korelasi positif antara umur anak dengan jumlah skor kuesioner dengan kekuatan
hubungan sebesar 0,893.
Gambar 4.3. Grafik Scatterplot Usia dan Skor
4.2.4. Uji Korelasi Jumlah Faktor Risiko dengan Deviasi Skor
Deviasi skor adalah selisih antara skor normal dengan skor aktual. Skor
aktual adalah skor yang didapat pada penelitian ini. Sedangkan skor normal
adalah skor kuesioner yang normal berdasarkan usia anak. Skor normal
didapatkan dari persamaan yang diteliti oleh Coninx sebagai peneliti awal
terhadap kuesioner ini. Skor normal dihitung menggunakan persamaan dari
Coninx et.al.28
…………….. (4.1)
Keterangan:
a = skor normal
b = umur (bulan).
Sedangkan deviasi skor dihitung menggunakan persamaan:
……………………………………… (4.2)
Keterangan:
d = deviasi skor, a = skor normal, c = skor aktual.
0
5
10
15
20
25
30
35
40
0 5 10 15 20 25 30
Sko
r K
ues
ion
er
Umur (bulan)
Sebaran Skor berdasar Usia
35
Uji yang digunakan untuk mencari korelasi antara jumlah faktor risiko
dengan deviasi skor adalah uji Spearman. Dari uji spearman didapatkan koefisien
korelasi sebesar 0,006 dengan P=0,974. Ini berarti terdapat korelasi dengan arah
positif antara deviasi skor dengan jumlah faktor risiko dan kekuatan hubungannya
rendah yaitu sebesar 0,006. Namun, korelasi ini tidak bermakna karena P > 0,05
(P = 0,974).
36
BAB 5
DISKUSI DAN PEMBAHASAN
5. 1. Karakteristik Responden
Pada penelitian ini, responden sebagian besar berpendidikan terakhir
SMA. Tidak ada kesulitan dalam menjawab semua pertanyaan yang ada di
kuesioner ini. Jenis kelamin anak yang menjadi subjek penelitian ini tersebar
merata antara laki-laki dan perempuan. Persebaran jenis kelamin yang merata ini
memperkecil faktor perancu akibat perbedaan proporsi jenis kelamin.
Durasi responden berinteraksi dengan subjek penelitan selama lebih dari
atau sama dengan 8 jam lebih banyak daripada yang kurang dari 8 jam. Durasi
interaksi lebih dari 8 jam dianggap cukup karena melebihi 50% dari durasi bayi
tidak tidur. Karena bayi kurang dari 24 bulan memiliki durasi tidur lebih dari 10
jam.29
Durasi interaksi yang panjang ini penting sebagai indikator bahwa
responden mengamati segala perkembangan subjek penelitian dengan baik.
Sebagian besar responden penelitian ini adalah ibu rumah tangga. Hal ini sejalan
dengan durasi interaksi, dengan asumsi bahwa ibu rumah tangga memanfaatkan
seluruh waktunya dalam mengurus anak dan mengurus urusan rumah tangga di
rumah.
5. 2. Faktor Risiko Gangguan Pendengaran pada Anak
5.2.1. Infeksi Selama Kehamilan: Infeksi Sitomegalovirus
Di Amerika Serikat, 5-15% dari bayi yang terkena infeksi CMV
kongenital menunjukan gejala tuli sensoris dan retardasi mental. Golongan ini
menunjukan gejala bukan pada waktu lahir melainkan pada pemeriksaan
selanjutnya. Sedangkan pada 90% dari bayi dengan infeksi CMV kongenital yang
menunjukan gejala klinis pada saat lahir dan berhasil melewati masa kritis,
mengalami tuli sensoris dan retardasi mental pada pemeriksaan selanjutnya.30
Pada penelitian ini, penulis menanyakan kepada responden apakah terjadi
infeksi intrauterine yang disertai demam dan bintik kemerahan pada trimester
awal kehamilan. Dari 32 responden, terdapat 1 responden yang menjawab
mengalami infeksi intrauterine. Sedangkan, angka kejadian tuli sensoris pada
CMV kongenital adalah 5-15% yang berarti terdapat 1-3 tuli sensoris setiap 20
37
penderita CMV kongenital atau peluang terjadinya tuli sensoris pada penderita
CMV kongenital adalah sebesar 1/20. Sehingga sangat kecil kemungkinannya
repsonden ini mengalami gangguan pendengaran.
5.2.2. Persalinan Sectio Cesarea
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Smolkin dkk pada 1.653 bayi di
Israel, didapatkan bahwa pada bayi yang dilahirkan dengan sectio cesarea
mengalami kelainan dalam pemeriksaan OAE pertama sebesar 3 kali lebih tinggi
daripada bayi yang dengan persalinan pervaginam. Beberapa faktor yang
menyebabkan kelainan pada pemeriksaan OAE pertama yaitu jenis kelamin laki-
laki, persalinan cesarean (elective and emergency), berat janin rendah berdasar
usia gestasi (small for gestation age/SGA), dan umur bayi 12-23 jam pada
pemeriksaan OAE pertama. Kelaianan pada pemeriksaan OAE tersebut
diperkirakan karena terdapat cairan yang tertahan di telinga tengah yang mungkin
menggangu pendengaran neonatus dengan sectio cesarean.31
Pada penelitian ini, penulis menanyakan langsung ke responden apakah
persalinan pervaginam atau sectio cesarean. Dari 32 responden, 53,1% responden
dilakukan persalinan dengan sectio cesarean. Seperti diketahui bahwa persalinan
dengan sectio cesarean tidak mengurangi fungsi pendengaran pada bayi setelah
24 jam kelahiran. Sehingga pada responden dengan sectio cesarea ini tidak
mengalami gangguan pendengaran karena wawancara dilakukan saat anak berusia
1-24 bulan, sangat jauh dari usia 24 jam.
5.2.3. Kelahiran Prematur dan Suplementasi Oksigen
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Robertson dkk pada 1.279
bayi di Kanada dengan usia gestasi ≤ 28 minggu, didapatkan angka kejadian
kehilangan pendengaran permanen (permanent hearing loss) sebesar 3,1%.
Kehilangan pendengaran permanen merupakan komplikasi tersering pada
prematur ekstrim yang dijumpai bersamaan dengan disabilitas lainnya. Selain itu,
suplementasi oksigen jangka panjang pada neonatus juga merupakan penentu
yang signifikan terhadap kejadian kehilangan pendengaran permanen.32
Pada penelitian ini, penulis menanyakan ke responden apakah bayi lahir
cukup bulan. Dari 32 responden, 3 responden menjawab bayi lahir kurang bulan.
Sedangkan untuk suplementasi oksigen, penulis menanyakan ke responden
38
apakah bayi membutuhkan oksigen saat baru lahir. Dari 32 responden, sebanyak 2
responden menjawab bayi membutuhkan oksigen saat baru lahir. Seperti yang
sudah diketahui bahwa angka kejadian tuli permanen pada bayi prematur adalah
3,1% yang berarti kemungkinan terdapat 1 tuli sensoris setiap 30 bayi prematur.
Sehingga sangat kecil kemungkinannya repsonden ini mengalami gangguan
pendengaran.
5.2.4. Riwayat Ikterus
Ikterus tampak pada neonatus dengan konsentrasi bilirubin serum >5
mg/dl. Neonatus aterm rata-rata mencapai konsentrasi bilirubin serum puncak (5-6
mg/dl) pada hari ketiga dan keempat. Ikterus fisiologis yang memberat terjadi
pada konsentrasi bilirubin serum 7-17 mg/dl. Konsentrasi bilirubin serum ≥ 17
mg/dl pada bayi aterm merupakan suatu ikterus patologis. Penyebab tersering
ikterus neonatorum adalah peningkatan konsentrasi bilirubin indirek. Bilirubin
indirek bersifat neurotoksik bagi bayi.33
Berdasarkan penelitian terhadap 36 neonatus dengan hiperbilirubinemia di
RS Dr. Kariadi pada tahun 2009-2010 yang dilakukan oleh Susanto, didapatkan
bahwa kejadian gangguan pendengaran pada neonatus dengan hiperbilirubinemia
adalah 25%. Pada penelitian terebut, digunakan OAE dan ABR untuk mengetahui
adanya gangguan pendengaran. Faktor risiko gangguan pendengaran pada
neonatus dengan hiperbilirubinemia bukan dari kadar bilirubin indirek ≥ 12
mg/dl,33
melainkan kadar bilirubin serum total yang membutuhkan transfusi tukar4
seperti tabel dibawah.
Tabel 5.1. Kadar Ambang Bilirubin Serum yang Membutuhkan Transfusi Tukar
Umur
Bayi
Total Bilirubin Serum (mg/dl)
Bayi Risiko
Rendaha
Bayi Risiko
Sedangb
Bayi Risiko
Tinggic
0 jamd 16 14 12
24 jamd 19 16,5 15
36 jam 20,8 18 16
48 jam 22,1 19 17
72 jam 24 21 18,5
96 jam 24,8 22,2 19
5 hari 25 22,5 19
6 hari 25 22,5 19 Dimodifikasi dari: Neonatology: Management, Procedures, On-Call Problems, Diseases, and
Drugs(2006)34
Ketentuan transfusi tukar untuk hiperbilirubinemia berdasar tabel diatas:
39
a. Bayi risiko rendah adalah bayi sehat dengan usia gestasi ≥ 38 minggu
b. Bayi risiko sedang adalah bayi dengan usia gestasi ≥ 38 minggu disertai
keadaan yang memperberat atau 35-37 6/7 minggu yang sehat
c. Bayi risiko tinggi adalah bayi usia gestasi 35-37 6/7 minggu disertai keadaan
yang memperberat
d. Kadar ambang bilirubin serum bayi umur ≤ 24 jam tidak bisa dipastikan
karena luasnya kemungkinan keadaan klinis dan respons terhadap terapi sinar
e. Keadaan yang memperberat: penyakit hemolitik isoimmune, Defisiensi
G6PD, asfiksi, letargi signifikan, ketidakstabilan suhu, sepsis, asidosis
f. Transfusi tukar diberikan segera bila ditemukan tanda ensefalopati bilirubin
akut (hipertoni, arching, retrocollis, opisthotonos, demam, high-pitched cry)
atau jika total bilirubin serum ≥5mg/dl diatas kadar ambang.
Pada saat wawancara untuk penelitian ini, responden ditanyakan apakah
anak pernah kuning dan dirawat inap dan juga berapa nilai bilirubin saat itu.
Namun, sebagian besar responden yang menjawab anaknya pernah kuning tidak
dapat menyebutkan kadar bilirubin saat perawatan inap diberikan pada anak. Dari
32 responden, 10 responden menjawab anaknya pernah kuning atau ikterus.
Namun, tidak dapat dipastikan ikterus yang dijumpai adalah ikterus fisiologis atau
patologis karena tidak terdapat data kadar bilirubin pada responden. Diketahui
prevalensi hiperbilirubinemia >12 mg/dl pada bayi dengan gajala ikterus adalah
29,3%.35
Sedangkan, angka kejadian gangguan pendengaran pada neonatus
hiperbilirubinemia adalah 25%.33
Sehingga, angka kejadian gangguan
pendengaran pada neonatus ikterus adalah 7,2% yang berarti terdapat 7 neonatus
mengalami gangguan pendegaran dalam 100 neonatus dengan gejala ikterus.
Sehingga sangat kecil kemungkinannya repsonden ini mengalami gangguan
pendengaran.
5.2.5. Berat Bayi Lahir Rendah
Berdasarkan penelitian Botelho dkk, bayi dengan berat lahir rendah (≤
1.500 gram) berisiko 3,2 kali lebih tinggi mengalami gangguan dengar daripada
bayi dengan berat lahir ≥ 1.500 gram. Penelitian tersebut melibatkan 186 bayi.
Tingginya prevalensi gangguan dengar pada populasi tersebut merupakan alasan
40
pentingnya pemeriksaan fungsi pendengaran dini. Angka kejadian gangguan
pendengaran pada bayi dengan berat lahir rendah adalah 9 dari 93 atau 9,6%.36
Sedangkan pada penelitian ini, penulis menanyakan kepada responden
apakah berat lahir bayi rendah. Dari 32 responden, 3 responden menjawab berat
bayi lahir rendah (<2.000 gram). Sedangkan, angka kejadian gangguan
pendengaran pada bayi berat lahir rendah adalah 9,6% yang berarti hanya terdapat
9 tuli sensoris setiap 100 bayi berat lahir rendah. Sehingga sangat kecil
kemungkinannya repsonden ini mengalami gangguan pendengaran.
5.2.6. Infeksi Saluran Nafas Atas Rekuren
Semakin sering anak mengalami infeksi saluran nafas atas, semakin besar
kemungkinan terjadinya otitis media akut.23
Pada otitis media akut, terjadi tahapan
perjalanan penyakit yaitu oklusi tuba eustachius, hiperemis, supurasi, perforasi,
dan resolusi. Infeksi saluran nafas atas berperan saat terjadi stadium oklusi tuba.
Oklusi tuba pada anak dengan infeksi saluran nafas atas terjadi karena reaksi
peradangan yang menekan tuba eustachius. Otitis media akut akan mengurangi
fungsi telinga tengah dalam menghantarkan suara. Pada stadium perforasi, fungsi
membran timpani sebagai penggerak tulang pendengaran di telinga tengah akan
hilang dan kemudian fungsi telinga tengah sebagai pengamplifikasi suara akan
hilang. Kehilangan fungsi telinga tengah akan menurunkan sensitifitas
pendengaran sebesar 15-20 desibel.14
Pada penelitian ini, penulis menanyakan ke responden apakah anak sering
mengalami infeksi saluran nafas berupa keluhan hidung pilek dengan frekuensi
setiap bulan minimal terjadi sekali. Dari 32 responden, 21,9% responden
menjawab anak sering pilek dengan frekuensi minimal satu bulan sekali. Keluhan
infeksi saluran nafas atas pada responden ini kemungkinan dapat diatasi dengan
pengobatan yang adekuat sehingga tidak menimbulkan otitis media akut dan
penurunan fungsi pendengaran.
5.2.7. Imunisasi Rutin Sesuai Jadwal
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Noorbakhsh dkk terhadap 95 bayi
dengan tuli sensorineural di Iran, ditemukan beberapa penyakit pada bayi dengan
tuli sensorineural yaitu CMV, toksoplasma, mumps, rubella, dan herpes simplex.
Agen infeksius memiliki peran signifikan pada tuli sensorineural idiopatik, tapi
41
bukan merupakan kausa. Tuli sensorineural yang diinduksi mumps dan rubella
dapat dicegah dengan imunisasi rutin.37
Pada penelitian ini, semua responden melakukan imunisasi rutin pada
anaknya. Hal ini karena responden penelitian ini adalah pasien yang sedang
melakukan kunjungan ke rumah sakit untuk imunisasi.
5.2.8. Kelainan Kongenital Telinga
Kelainan kongenital atau bawaan adalah kelainan yang sudah ada sejak
lahir yang dapat disebabkan oleh faktor genetik maupun non genetik. Berdasarkan
patogenesisnya, kelainan kongenital dapat dibedakan menjadi 1) malformasi, 2)
deformasi, 3) Disrupsi, 4) displasia.38
Kelainan kongenital pada telinga jarang menyerang sistem labirin, tapi
sering menyerang telinga luar dan telinga tengah. Hal ini terjadi karena sistem
labirin terbentuk dari jaringan primordial yang berbeda dengan jaringan
primordial untuk telinga tengah dan telinga luar. Primordia jaringan telinga luar
adalah jaringan dari lenkung brankial pertama dan kedua. Sedangkan telinga
tengah dibentuk oleh ujung faring pertama dan mesenkim sekitarnya yang juga
merupakan bagian dari lengkung brankial pertama dan kedua. Kelainan kongenital
pada telinga luar dan tengah sering terjadi bersamaan, dan seringkali juga disertai
dengan kelainan kongenital sistem lain.39
Beberapa kelainan kongenital telinga yang paling sering terjadi dan
berhubungan dengan gangguan pendengaran adalah: mikrotia, stenosis atau
atresia tulang rawan dan/atau tulang liang telinga luar, malformasi tulang
pendengaran, dan pembentukan telinga tengah atau ruang mastoid yang terbatas
atau tidak terbentuk sama sekali.39
Beberapa kelainan kongenital dapat memunculkan manifestasi klinis
berupa gangguan pendengaran. Sindroma kongenital yang berhubungan dengan
gangguan pendengaran diantaranya: 1) sindroma hunter, 2) sindroma
Waardenburg, 3) sindroma Alport, 4) sindroma pandred, 5) sindroma Jervel and
Lange-Nielson, 6) sindroma usher, 7) sindroma charchot-marie-tooth.
Pada penelitian ini, penulis mencari kemungkinan penyebab kelainan
kongenital dengan menanyakan konsumsi obat warung (tanpa resep dokter) atau
jamu pada responden dan rutin cek kehamilan ke dokter (antenatal care rutin).
42
Konsumsi obat tanpa resep dari dokter dan konsumsi jamu dianggap dapat
menyebabkan malformasi kongenital karena kemungkinan obat atau jamu tersebut
tergolong atau mengandung obat teratogenik. Salah satu obat yang dapat
menyebabkan kelainan pembentukan telinga adalah thalidomide yang dikonsumsi
oleh ibu hamil pada trimester awal.39
Riwayat ANC rutin dianggap mampu
mengurangi kemungkinan terjadinya malformasi kongenital karena saat ANC
dilakukan pemantauan janin dan pemberian suplemen asam folat yang cukup
untuk pertumbuhan dan perkembangan janin. Dari 32 responden, 28,1%
responden menjawab pernah mengkonsumsi obat warung atau jamu selama hamil.
Sedangkan untuk riwayat ANC rutin, sebagian besar responden (96,9%)
menjawab melakukan ANC rutin. Tidak ada data obat apa yang dikonsumsi ibu
selama hamil dalam responden penelitian ini.
5.3. Validitas dan Realibilitas Kuesioner Penelitian
Berdasarkan teori skor-murni klasik, validitas kuesioner mengukur
seberapa jauh suatu kuesioner menghasilkan skor yang mendekati skor-murni.
Validitas kuesioner dianggap sempurna bila skor yang dihasilkan oleh kuesioner
tersebut (skor-tampak) sama dengan skor-murni. Semakin dekat skor-tampak
dengan skor-murni berarti semakin tinggi validitas dan sebaliknya semakin rendah
validitas hasil pengukuran berarti semakin besar perbedaan skor-tampak dari skor-
murni.40
Sedangkan realibilitas menurut teori skor-murni klasik dapat dipahami dari
beberapa interpretasi. Pertama, suatu tes dikatakan realibilitas jika skor-tampak itu
berkorelasi tinggi dengan skor murninya sendiri. Reliabilitas juga dapat
ditafsirkan sebagai seberapa tingginya korelasi antara skor-tampak pada dua tes
yang paralel.40
Pada penelitian ini, uji validitas tiap butir pertanyaan dilakukan dengan
membandingkan r-hitung dari setiap butir pertanyaan dengan r-tabel. Nilai r-
hitung yang digunakan adalah Pearson product moment. Berdasarkan perhitungan
tersebut, semua butir pertanyaan valid untuk ditanyakan pada responden berusia
0-24 bulan dengan faktor risiko gangguan pendengaran. Namun, butir pertanyaan
3 tidak dapat diukur validitasnya karena semua responden menjawab dengan
jawaban yang sama yaitu ya.
43
Sedangkan untuk menilai validitas dan reliabilitas kuesioner, dilakukan
dengan uji croanbach’s alpha. Nilai croanbach’s alpha lebih dari 0,70
menunjukan validitas yang baik.41
Berdasarkan uji croanbach’s alpha pada
kuesioner ini, didapat nilai alpha sebesar 0,943. Ini berarti validitas dan reliabilitas
kuesioner ini baik karena nilai alpha diatas 0,700. Pada kumpulan data ini terdapat
beberapa skor yang menyimpang cukup jauh dari skor normalnya berdasarkan
umur anak yang dihitung menggunakan persamaan 4.1. Skor yang menyimpang
ini, sudah dilakukan wawancara ulang dengan hasil yang tidak jauh berbeda
dengan wawancara pertama. Responden dengan penyimpangan yang cukup jauh
di atas nilai normal ini sebagian besar menjawab ya pada butir pertanyaan yang
mengukur kemampuan reseptif, bukan ekspresif. Hal ini terjadi karena terdapat
variasi yang besar dari individu dalam kecepatan perkembangan dan cara
belajarnya.42
5.4. Analisis Korelasi Bivariat
5.4.1. Korelasi umur dengan skor
Korelasi umur anak dengan skor pada populasi sampel didapatkan
hubungan positif dengan kekuatan sebesar 0,893 (p=0,000). Ini berarti, setiap
peningkatan umur terjadi peningkatan skor. Hal ini diduga karena pada responden
penelitian ini tidak mengalami gangguan pendengaran. Hal ini karena angka
kejadian gangguan pendengaran pada kelompok masing-masing faktor risiko
adalah kecil (<10%) sehingga sampel pada penelitian ini tidak menjangkau angka
kejadian yang kecil tersebut.
5.4.2. Korelasi jumlah faktor risiko dengan deviasi skor
Uji korelasi jumlah faktor risiko dengan deviasi digunakan untuk
mengetahui bagaimana kekuatan hubungan jumlah faktor risiko dengan
penurunan skor dari skor normal. Skor normal dihitung menggunakan persamaan
4.1 yang didapatkan dari penelitian awal kuesioner ini di Jerman. Uji korelasi
yang digunakan adalah uji Spearman-rho karena jumlah faktor risiko adalah
variabel yang bersifat ordinal. Berdasarkan uji spearman, korelasi antara jumlah
faktor risiko dengan skor tidak bermakna. (P>0,05). Korelasi ini tidak bermakna
karena sampel dalam penelitian ini kemungkinan tidak mengalami gangguan
pendengaran. Hal ini diduga karena, angka kejadian gangguan pendengaran pada
44
masing-masing faktor risiko adalah kecil (<10%) sehingga sampel pada penelitian
ini tidak menjangkau sebagian kecil tersebut.
5.5. Kuesioner LittlEARS untuk Pre-Skrining Gangguan Pendengaran
Skrining untuk gangguan pendengaran hanya menunjukan ada/tidak
adanya respons terhadap rangsangan dengan intensitas tertentu pada pendengaran
seseorang neonatus dan tidak mengukur beratnya gangguan pendengaran ataupun
membedakan tuli konduktif atau sensorineural. Syarat skirining pendengaran
neonatus diantaranya adalah mudah dan cepat dikerjakan, tidak invasif, tidak
mahal, dapat mengidentifikasi semua bayi dengan gangguan pendengaran
bilateral, nilai false positif ≤ 3%, false negatif 0% dan angka refer (rujuk) untuk
uji audiologik formal setelah skrining tidak boleh melebihi 4%.24
Pada penelitian ini, tidak didapatkan nilai false positif dan false negatif
karena tidak dilakukan uji diagnostik pada penelitian ini. Sehingga, kuesioner
perkembangan pendengaran anak LittlEARS tidak dapat digunakan untuk skrining
gangguan pendengaran. Namun, kuesioner littlears dapat digunakan untuk
mengukur perkembangan pendengaran dan bicara pada anak. Sehingga apabila
skor kuesioner seseorang anak barada dibawah nilai normal berdasarkan umurnya,
anak tersebut dapat dicurigai mengalami gangguan pendengaran dan harus
diperiksa lebih lanjut. Dengan kata lain, kuesioner littlears berbahasa Indonesia
dapat digunakan untuk skrining awal (pre-skrining) gangguan pendengaran pada
anak usia 0-24 bulan.
5.6. Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan penelitian ini adalah sebagai berikut:
Jumlah sampel setiap faktor risiko sedikit sehingga tidak menjangkau
sampel yang mengalami gangguan pendengaran
Kriteria inklusi untuk masing-masing faktor risiko terlalu luas. Misalkan
pada kriteria inklusi bayi dengan berat lahir rendah, ambang batas
penelitian ini adalah 2000 gram sedangkan menurut literatur adalah 1500
gram. Akibatnya, pada penelitian ini tidak menjangkau populasi yang
benar-benar berisiko mengalami gangguan pendengaran.
45
BAB 6
SIMPULAN DAN SARAN
6.1. Simpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa:
Rentang Skor Kuesioner Litlears pada anak umur 1-24 bulan dengan
faktor risiko gangguan pendengaran adalah 4-35.
Kuesioner perkembangan pendengaran anak LitleEARS dapat digunakan
untuk mengetahui perkembangan pendengaran pada anak usia 0-24 bulan
dengan faktor risiko gangguan pendengaran karena memiliki validitas dan
reliabilitas yang baik (alpha = 0,943).
Kuesioner perkembangan pendengaran anak LitleEARS dapat digunakan
untuk skrining awal (pre-screening) gangguan pendengaran karena valid
untuk pengukuran perkembangan pendengaran anak. Kuesioner ini tidak
dapat digunakan untuk skrining gangguan pendengaran karena belum
memenuhi syarat uji skrining.
Korelasi antara usia anak dengan skor kuesioner pada anak dengan risiko
gangguan pendengaran adalah positif dengan kekuatan sebesar 0,893
(p=0,000).
Korelasi jumlah-faktor-risiko dengan deviasi skor didapatkan hasil yang
tidak bermakna (p>0,05) sehingga korelasi jumlah-faktor-risiko dengan
deviasi skor tidak dapat disimpulkan.
6.2. Saran
Untuk penelitian selanjutnya, perlu dilakukan uji diagnostik dengan desain
cohort pada kuesioner ini agar dapat ditentukan apakah kuesioner ini dapat
digunakan untuk skrining gangguan pendengaran pada anak dengan faktor
risiko gangguan pendengaran. Uji diagnostik dilakukan dengan baku emas
OAE dan ABR sesuai alur skrining. Faktor risiko tidak hanya didapat
melalui wawancara melainkan dari hasil pengukuran.
Butir pertanyaan nomor 3 perlu diteliti lebih lanjut karena tidak ada variasi
jawaban dari responden pada penelitian ini.
46
DAFTAR PUSTAKA
1. Hendarmin H. Pencegahan Gangguan Pendengaran dan Ketulian di Indonesia.
Available at: http://www.discoverbetterhearing.com/downloads/newsletter/thsc-
edisi-4-2006.pdf. Diakses pada 16 Januari 2013 pukul 14.58 WIB; 2006.
2. Bashiruddin J. Newborn Hearing Screening in Six Hospitals in Jakarta and
Surroundings. Majalah Kedokteran Indonesia. 2009; 59(2):51-4.
3. Trihandani O. Tesis: Gambaran Hasil Pemeriksaan Emisi Otoakustik Sebagai
Skrining Awal Pendengaran Bayi Baru Lahir di RSUP H. Adam Malik Medan dan
Balai Pelayanan Kesehatan dr. Pirngadi Medan. Medan: Universitas Sumatera
Utara; 2009.
4. Joint Comitte on Infant Hearing. Year 2007 Position Statement: Pinciples and
Guidelines for Early Hearing Detection and Intervention Programs. Pediatrics.
2007 Oct;120(4):898-921.
5. Itano YC, Sedey AL, Coulter DK, Mehl AL. Language of Early- and Later-
identified Children With Hearing Loss. Pediatrics. 1998 Nov;102(5):1161-71.
6. Suwento R. Skrining Pendengaran Bayi Baru Lahir. PKGTK Sub Dep THT
Komunitas. Bagian THT-KL FKUI-RSCM. Dalam: Kumpulan Abstrak KONAS
Perhimpunan Dokter Spesialis THT-KL Indonesia XIV. Surabaya; 2007.
7. Fatmawaty, Gunardi H, Suwento R, Latief A, Suradi R, Mangunatmadja I. The
Role of Hearing Capability Test as a Screening Test for Possibility of Hearing
Disorder in Children With Speech Delay. Pediatrica Indonesiana. 2007;46(11-12):
255-9.
8. Geal-Dor M, Jbarah R, Meilijson S, Adelman C, Levi H. The Hebrew and the
Arabic version of the Little Ears Auditory Questionnaire for the Assessment of
Auditory Development: Results in Normal Hearing Children and Children With
Cochlear Implants. Int J Pediatr Otorhinolaryngol. 2011;75:1327–32.
9. Langman J, Sadler TW. Embriologi Kedokteran Langman. Jakarta: EGC; 2009.
10. Van de Water, Thomas R, Staeker, Henrich. Otolaryngology: Basic Science and
Clinical Review. New York: Thieme; 2005.
11. Al-Quran
47
12. Boies LR, Adams GL, et. al. Boies Buku Ajar Penyakit THT Edisi 6. Jakarta:
EGC; 1997.
13. Sloane E. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. Jakarta: EGC; 2003
14. Guyton AC, Hall JE. The Sense of Hearing in Textbook of Medical Physiology.
Philadelphia: Elsevier Inc; 2006: 651-62.
15. Bellman S, Vanniasegaram I. Testing Hearing in Children. In: Scott-Brown’s
Otolaringology. Pediatric Otolaryngology. Vol 6. Ed. 6th
. London: Butterworth-
Heinemann; 1997: 1-16.
16. Feldman AS, Grimes CT. Audiologi. Dalam: Ballenger J.J. Penyakit Telinga,
Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher Jilid Dua. Alih bahasa: Staf ahli THT
RSCM-FKUI. Jakarta: Binarupa Aksara. H; 1997: 273-304.
17. Irwanto, Suryawan A, Narendra MB. Naskah Lengkap Continuiting Education
Ilmu Kesehatan Anak XXXVI, Kapita Selekta Ilmu Kesehatan Anak VI:
Penyimpangan Tumbuh Kembang Anak. Surabaya: SMF IKA RSU Dr Soetomo;
2006.
18. Azwar A. Program Nasional Bagi Anak Indonesia (PNBAI) 2015 Bidang
Kesehatan. Jakarta: Bappenas, Kelompok Kerja Penyusunan PNBAI 2015.
Available at www.bappenas.go.id/get-file-server/node/334/. Diakses pada 14
Januari 2013, 06.46 WIB; 2006.
19. Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Survei
Kesehatan Nasional 2001. Laporan SKRT 2001: Studi Morbiditas dan Disabilitas.
Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2002.
20. Budiwan A. Tesis: Perbandingan Hasil Pemeriksaan Reflek Akustik Ipsilateral
dan Auditory Brainstem Response untuk Deteksi Kurang Pendengaran
Sensorineural pada Bayi dan Anak. Semarang: Program Pasca Sarjana Magister
Ilmu Biomedik dan Program Pendidikan Dokter Spesialis 1, Ilmu Kesehatan
THT-KL, Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro; 2009.
21. Herwanto Y. Brainstem Evoked Response Audiometry. Medan: Departemen THT-
KL FK USU/RSUP H. Adam Malik; 2010.
22. Haddad J. Hearing Loss, Behrman: Nelson Textbook of Pediatrics, 17th
ed.
Philadelphia: Elsevier Saunders; 2004.
23. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, Hafil AF, Cahyono A, et.al.
Buku Ajar Ilmu Kesehatan: Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher.
Jakarta: Penerbit FKUI; 2007.
48
24. Rundjan L, Amir I, Suwento R, Mangunatmadja I. Skrining Gangguan
Pendengaran pada Neonatus Risiko Tinggi. Sari Pediatri. 2005;6(4):149-54.
25. Hidayat N. Filsafat Ilmu: Islam vs Barat. Available at:
http://www.hidayatullah.com/read/2013/08/20/5942/filsafat-ilmu-islam-vs-
barat.html. Diakses pada 23 September 2013 pukul 20.00 WIB; 2013.
26. Dahlan MS. Seri Evidence Based Medicine 1, Edisi 4: Statistik untuk Kedokteran
dan Kesehatan. Jakarta: Penerbit Salemba Medika; 2009.
27. Sunyoto D, Setiawan A. Analisis Reliabilitas dan Validitas dalam Buku Ajar:
Statistik Kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika; 2013: 54-78.
28. Coninx F, Weichbold V, Tsiakpini L. The LittlEARS®
Auditory Questionnaire.
Innsbruck: MED-EL; 2003.
29. Needlman RD. Pertumbuhan dan Perkembangan. Dalam: Wahab AS. (ed) Ilmu
Kesehatan Anak Nelson Vol 1 Edisi 15. Jakarta: EGC; 2000: 45-60.
30. Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS, Satari HI, Merdjani A, Syoeib AA,
et.al. Sitomegalovirus dalam Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. Jakarta:
Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2012: 276-91.
31. Smolkin T, Mick O, Dabbah M, Blazer S, Geakovsk G, Gabay N, et.al. Birth by
Cesarean Delivery and Failure on First Otoacoustic Emissions Hearing Test.
Pediatrics. 2012 July;130(1):95-100.
32. Robertson CMT, Howarth TM, Bork DLR, Dinu IA. Permanent Bilateral Sensory
and Neural Hearing Loss of Children After Neonatal Intensive Care Because of
Extreme Prematurity: A Thirty-Year Study. Pediatrics. 2009 May;123(5):797-807.
33. Susanto. Tesis: Risiko Gangguan Pendengaran Pada Neonatus
Hiperbilirubinemia. Semarang: Universitas Dipenogoro; 2010.
34. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FB. Hyperbilirubinemia, Indirect
(Unconjugated Hyperbilirubinemia) in Neonatology: Management, Procedures,
On-Call Problems, Diseases, and Drugs. USA: The McGraw-Hill Companies,
Inc; 2009: 498-508.
35. Widyastuti. Tesis: Perbandingan Peningkatan Kembali Kadar Bilirubin Serum
Setelah Fototerapi Tunggal dengan Fototerapi Ganda. Medan: Universitas
Sumatera Utara; 2011.
36. Botelho FA, Bouzada MCF, Resende LM, Silvia CFX, Oliviera EA. Prevalence of
Hearing impairment in Children at Risk. Braz J Otorhinolaryngol. 2010;76(6):
739-44.
37. Noorbakhsh S, Farhadi M, Tabatabaei A, Mohamadi S, Jomeh E. Infection in
Childhood Sensory Hearing Loss. Saudi Med J. 2008 Oct; 29(10): 1470-4.
38. Indrasanto E, Effendi SH. Pendekatan diagnosis kelainan bawaan menurut
klasifikasi European Registration of Congenital Anomalies (EUROCAT). Dalam:
49
Buku Ajar Neonatologi. Edisi Pertama. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2008: 41-
70.
39. Feldman AS, Grimes CT. Kelainan Kongenital Telinga. Dalam: Ballenger J.J.
Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher Jilid Dua. Alih bahasa:
Staf ahli THT RSCM-FKUI. Jakarta: Binarupa Aksara; 1997: 485-94.
40. Azwar S. Realibilitas dan Validitas. Edisi IV, Cetakan I. Yogyakarta: Penerbit
Pustaka Pelajar; 2012.
41. Nunnally JC, Bernstein IH. The Assessment of Realibility, in: J. Vaicunas, B.
Bertram (ed). Psychometric Theory. USA: McGraw-Hill Inc; 1994: 264-5.
42. Soetjiningsih. Perkembangan Anak dan Permasalahannya. Dalam: Narendra MB,
Sularyo TS, Soetjiningsih, et.al. (ed). Tumbuh Kembang Anak dan Remaja Buku
Ajar I. Jakarta: IDAI; 2010: 86-94.
50
LAMPIRAN
Lampiran 1: Lembar Informed Consent dan Kuesioner Karakteristik Responden
Lembar Penjelasan dan Pernyataan (Informed Consent) Responden
Adaptasi Kuesioner LittlEARS Berbahasa Indonesia
Untuk Perkembangan Pendengaran Anak Usia 0-24 Bulan
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Daftar pertanyaan (kuesioner) ini bertujuan untuk mengadaptasikan
kuesioner perkembangan pendengaran pada anak usia 0-24 bulan di Indonesia dan
mengetahui rentang skor normal pada berbagai usia anak. Hasil dari kuesioner ini
hanya semata-mata untuk data penyusunan skripsi kami mengenai adaptasi
kuesioner perkembangan pendengaran pada anak usia 0-24 bulan di Indonesia.
Maka dengan segala kerendahan hati kami mohon kesediaan
Bapak/Ibu/Saudara/i mengisi daftar pertanyaan (kuesioner) dengan lengkap dan
betul-betul menggambarkan kondisi yang ada dan bersedia untuk mengisi kembali
kuesioner ini dalam rentang 2 minggu sampai 1 bulan. Kerahasiaan hasil
kuesioner ini sangat terjaga dan hanya digunakan untuk menyelesaikan studi kami
pada Program Studi Pendidikan Dokter Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jika Bapak/Ibu/Saudara/i bersedia untuk menjadi responden untuk
kuesioner ini silahkan bertanda tangan di bawah ini. Terima Kasih atas waktu
yang telah Bapak/Ibu/Saudara/i luangkan untuk mengisi kuesioner ini.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Pewawancara, Responden,
_____________________ _____________
51
(lanjutan)
Keterangan Responden Penelitian
Tanggal:
Nama Anak:
Tanggal Lahir Anak:
Usia:
Nama Orang Tua/Wali:
Nomor yang bisa dihubungi. Rumah :
Hp :
Pekerjaan Orang Tua/Wali:
Pendidikan Orang Tua/Wali:
Lama menemani anak (jam/hari):
Anak ke:
Lama berinteraksi dengan anak (jam/hari):
Riwayat selama kehamilan: - Rutin cek ke dokter (ya/tidak)
- Konsumsi obat/jamu (ya/tidak)
- Sakit selama kehamilan (ya/tidak)
- Riwayat infeksi selama kehamilan (ya/tidak)
Riwayat kelahiran : - Lahir cukup bulan, ≥37 minggu (ya/tidak)
- Berat lahir > 2kg (ya/tidak)
- Normal/tidak
- Perlu alat bantu nafas (ya/tidak)
- Riwayat kuning (ya/tidak)
Riwayat anak: - Imunisasi rutin sesuai jadwal (ya/tidak)
- Anak sering pilek (ya/tidak)
52
Lampiran 2: Kuesioner Perkembangan Pendengaran Anak LittlEARS
No. Respon Auditori Jawaban Contoh
1 Apakah anak Anda merespon suara yang sudah lazim?
( ) Ya ( ) Tidak
Tersenyum; melihat ke arah sumber; berbicara dengan mimik
2 Apakah anak Anda mendengar orang lain yang sedang berbicara?
( ) Ya ( ) Tidak
Mendengar; menunggu dan mendengar; melihat ke arah orang yang berbicara untuk waktu yang lama
3 Ketika seseorang berbicara, apakah anak Anda menoleh ke arah pembicara?
( ) Ya ( ) Tidak
4 Apakah anak Anda tertarik dengan mainan yang mengeluarkan suara atau bunyi?
( ) Ya ( ) Tidak
Mainan yang diremas berbunyi kertak-kertuk
5 Apakah anak Anda mencari orang yang berbicara yang tidak terlihat olehnya?
( ) Ya ( ) Tidak
6 Apakah anak Anda mendengarkan ketika radio/pemutar CD/pemutar kaset dimainkan?
( ) Ya ( ) Tidak
Mendengar: menoleh ke arah suara, memperhatikan, tertawa atau bernyanyi/berbicara “mengikuti suara”
7 Apakah anak Anda merespon suara yang jauh?
( ) Ya ( ) Tidak
Ketika dipanggil di ruang lain
8 Apakah anak Anda berhenti menangis ketika Anda berbicara dengannya walaupun ia tidak melihat Anda?
( ) Ya ( ) Tidak
Anda mencoba membuat nyaman sang anak dengan suara lembut atau lagu tanpa adanya kontak mata
9 Apakah anak Anda merespon dengan ketakutan (kegelisahan) ketika mendengar suara marah?
( ) Ya ( ) Tidak
Menjadi sedih dan mulai menangis
10 Apakah anak Anda “mengenali” tanda-tanda akustik?
( ) Ya ( ) Tidak
Kotak musik menjelang tidur; nina bobo; air mengalir dalam tabung
11 Apakah anak Anda mencari sumber suara yang berada di kiri, kanan, atau belakangnya?
( ) Ya ( ) Tidak
Anda memanggil atau mengucapkan sesuatu, anjing menggonggong, dll. Dan anak Anda mencari dan menemukan sumber suara tersebut
12 Apakah anak Anda bereaksi ketika nama dipanggil?
( ) Ya ( ) Tidak
13 Apakah anak Anda mencari sumber suara yang berada di atas atau bawahnya?
( ) Ya ( ) Tidak
Jam dinding, atau sesuatu yang jatuh di lantai
14 Ketika anak Anda sedih atau murung, bisakah ia ditenangkan atau dipengaruhi dengan musik?
( ) Ya ( ) Tidak
15 Apakah anak Anda mendengarkan di telepon dan apakah ia tampak mengetahui adanya orang yang sedang berbicara?
( ) Ya ( ) Tidak
Ketika nenek atau ayah menelpon, sang anak mengambil alat penerima dan “mendengarkan”
16 Apakah anak Anda merespon musik dengan gerakan ritmik?
( ) Ya ( ) Tidak
Sang anak menggerakkan lengan/kaki sesuai dengan alunan musik
17 Apakah anak Anda mengetahui bahwa suara tertentu berhubungan dengan objek atau
( ) Ya ( ) Tidak
Sang anak mendengar suara pesawat dan melihat ke arah langit. Atau mendenga mobil dan melihat ke arah
53
kejadian tertentu? jalan.
18 Apakah anak Anda merespon dengan sesuai terhadap ucapan pendek atau sederhana?
( ) Ya ( ) Tidak
“Berhenti!” “Yekh!” “Jangan!”
19 Apakah anak Anda merespon kata “jangan” dengan menghentikan kegiatannya saat itu?
( ) Ya ( ) Tidak
Kata “jangan, jangan” – yang diucapkan dengan intonasi kuat meski si anak tidak melihat anda (!) – sangatlah efektif
20 Apakah anak Anda mengetahui nama anggota keluarganya?
( ) Ya ( ) Tidak
Mana – ayah, ibu, mark,...
21 Apakah anak Anda menirukan suara ketika ditanya?
( ) Ya ( ) Tidak
“aaa”, “ooo”, “iii”
22 Apakah anak Anda mengikuti perintah sederhana?
( ) Ya ( ) Tidak
“ke sini”; “lepas sepatumu”
23 Apakah anak Anda mengerti perintah sederhana?
( ) Ya ( ) Tidak
“Mana perutmu ibumu?”; “mana ayah?”
24 Apakah anak Anda membawakan barang yang diminta?
( ) Ya ( ) Tidak
“ambilkan saya bola dan lain-lain”
25 Apakah anak Anda meniru suara atau kata-kata yang Anda ucapkan?
( ) Ya ( ) Tidak
“ucapkan: guk, guk”; katakan:m-o-b-i-l
26 Apakah anak Anda menghasilkan suara yang sama dengan mainan?
( ) Ya ( ) Tidak
“Brum” untuk mobil, “moo” untuk sapi.
27 Apakah anak Anda mengetahui suara tertentu yang muncul dari binatang tertentu?
( ) Ya ( ) Tidak
Guk guk = anjing, meong = kucing, kukuruyuk = suara ayam jantan muda/ayam jantan
28 Apakah anak Anda mencoba meniru suara di sekelilingnya?
( ) Ya ( ) Tidak
Suara binatang, suara alat-alat rumah tangga, suara sirine mobil polisi
29 Apakah anak Anda mengulang rangkaian suku kata pendek dan panjang dengan benar?
( ) Ya ( ) Tidak
“la-la-laa”
30 Apakah anak Anda memilih benda yang benar dari sekumpulan benda ketika ditanya?
( ) Ya ( ) Tidak
Anda memainkan mainan berbentuk hewan dan menanyakan “kuda”; Anda memainkan bola warna-warni dan menanyakan “bola warna merah”
31 Apakah anak Anda mencoba ikut menyanyikan lagu ketika mendengar sebuah lagu?
( ) Ya ( ) Tidak
“sajak anak-anak”
32 Apakah anak Anda mengulang kata tertentu ketika diminta?
( ) Ya ( ) Tidak
“katakan halo pada nenek”
33 Apakah anak Anda suka mendengarkan dongeng?
( ) Ya ( ) Tidak
Dari buku atau dari buku gambar
34 Apakah anak Anda mengikuti perintah yang rumit?
( ) Ya ( ) Tidak
“lepas sepatumu dan kesinilah”
35 Apakah anak Anda mencoba menyanyikan lagu-lagu tertentu?
( ) Ya ( ) Tidak
Nina bobo
Nilai total = semua pertanyaan yang dicentang “ya”
(lanjutan)
54
Lampiran 3. Analisis SPSS
1. Statistik Deskriptif
Descriptives
Statistic Std. Error
Usia (Bulan) Mean 10.25 1.415
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound 7.36
Upper Bound 13.14
5% Trimmed Mean 10.02
Median 7.50
Variance 64.065
Std. Deviation 8.004
Minimum 1
Maximum 24
Range 23
Interquartile Range 15
Skewness .514 .414
Kurtosis -1.307 .809
skor Mean 21.78 1.594
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound 18.53
Upper Bound 25.03
5% Trimmed Mean 21.99
Median 23.00
Variance 81.273
Std. Deviation 9.015
Minimum 4
Maximum 35
Range 31
Interquartile Range 17
Skewness -.257 .414
Kurtosis -1.024 .809
55
(lanjutan)
2. Uji Normalitas Variabel Umur Anak dan Skor
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic Df Sig. Statistic df Sig.
Usia (Bulan) .171 32 .018 .871 32 .001
skor .135 32 .148 .949 32 .137
a. Lilliefors Significance Correction
3. Grafik Sebaran Umur Anak
56
(lanjutan)
57
(lanjutan)
4. Grafik Sebaran Skor Kuesioner
58
(lanjutan)
59
(lanjutan)
5. Validitas Kuesioner
Reliability Statistics
Cronbach's
Alpha
Cronbach's
Alpha Based on
Standardized
Items N of Items
.943 .943 35
6. Validitas Butir Pertanyaan
Scale Mean if
Item Deleted
Scale Variance if
Item Deleted
Corrected Item-
Total Correlation
Cronbach's
Alpha if Item
Deleted
butir1 19.81 80.157 .343 .943
butir2 19.84 79.491 .393 .943
butir4 19.84 79.555 .378 .943
butir5 19.94 78.060 .472 .942
butir6 20.00 77.613 .471 .942
butir7 20.03 76.418 .606 .941
butir8 20.06 77.673 .421 .943
butir9 20.06 76.448 .578 .941
butir10 20.09 78.152 .348 .943
butir11 19.84 79.168 .467 .943
butir12 19.84 79.168 .467 .943
butir13 19.94 77.867 .502 .942
butir14 19.94 79.028 .322 .943
butir15 20.19 75.835 .597 .941
butir16 20.22 74.822 .711 .940
butir17 20.19 75.964 .582 .941
butir18 20.16 77.362 .424 .943
butir19 20.31 77.190 .430 .943
butir20 20.25 75.161 .666 .940
butir21 20.13 75.597 .649 .941
butir22 20.31 74.351 .762 .940
butir23 20.28 74.789 .709 .940
60
(lanjutan)
Scale Mean if
Item Deleted
Scale Variance if
Item Deleted
Corrected Item-
Total Correlation
Cronbach's
Alpha if Item
Deleted
butir24 20.44 74.964 .727 .940
butir25 20.25 75.161 .666 .940
butir26 20.41 75.281 .674 .940
butir27 20.34 74.362 .766 .939
butir28 20.34 75.523 .627 .941
butir29 20.31 75.190 .663 .941
butir30 20.41 75.733 .619 .941
butir31 20.31 74.867 .701 .940
butir32 20.44 75.415 .671 .940
butir33 20.38 78.242 .315 .944
butir34 20.53 76.257 .628 .941
butir35 20.34 76.749 .484 .942
7. Uji Korelasi Usia dengan Skor
Correlations
Usia (Bulan) skor
Spearman's rho Usia (Bulan) Correlation Coefficient 1.000 .893**
Sig. (2-tailed) . .000
N 32 32
skor Correlation Coefficient .893** 1.000
Sig. (2-tailed) .000 .
N 32 32
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
61
(lanjutan)
8. Uji Korelasi Jumlah Faktor Risiko dengan Deviasi Skor
Correlations
Deviasi Skor
Jumlah Faktor
Risiko
Spearman's rho Deviasi Skor Correlation Coefficient 1.000 .006
Sig. (2-tailed) . .974
N 32 32
Jumlah Faktor Risiko Correlation Coefficient .006 1.000
Sig. (2-tailed) .974 .
N 32 32
9. Frekuensi Faktor-Faktor Risiko
ANC tidak rutin
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid tidak 31 96.9 96.9 96.9
Ya 1 3.1 3.1 100.0
Total 32 100.0 100.0
Konsumsi obat warung/jamu
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid tidak 23 71.9 71.9 71.9
Ya 9 28.1 28.1 100.0
Total 32 100.0 100.0
62
(lanjutan)
Infeksi Intrauterine
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Tidak 31 96.9 96.9 96.9
Ya 1 3.1 3.1 100.0
Total 32 100.0 100.0
Premature
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid tidak 29 90.6 90.6 90.6
ya 3 9.4 9.4 100.0
Total 32 100.0 100.0
Berat lahir <2000 gr
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid tidak 29 90.6 90.6 90.6
ya 3 9.4 9.4 100.0
Total 32 100.0 100.0
persalinan SC
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid tidak 15 46.9 46.9 46.9
ya 17 53.1 53.1 100.0
Total 32 100.0 100.0
63
(lanjutan)
Perlu alat bantu nafas saat dilahirkan
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid tidak 30 93.8 93.8 93.8
ya 2 6.3 6.3 100.0
Total 32 100.0 100.0
Riwayat kuning
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid tidak 22 68.8 68.8 68.8
ya 10 31.3 31.3 100.0
Total 32 100.0 100.0
imunisasi tidak rutin
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid tidak 32 100.0 100.0 100.0
Anak sering pilek
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid tidak 25 78.1 78.1 78.1
ya 7 21.9 21.9 100.0
Total 32 100.0 100.0
64
Daftar Riwayat Hidup
Nama : Hafidhu Nalendra
TTL : Bogor, 27 April 1992
Alamat : Tm Pagelaran, Blok D3/14, Kelurahan Padasuka, Kecamatan
Ciomas, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Kode Pos 16610
E-mail : [email protected]
Riwayat Pendidikan:
1996-1998 : RA Darul Ihya, Ciomas, Bogor
1998-2004 : SD Negeri Panaragan 1 Bogor
2004-2007 : SMP Negeri 1 Bogor
2007-2010 : SMA Negeri 1 Bogor
2010-sekarang : Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta