Hadits Tentang Metode Dakwah
-
Upload
abdi-fauji-hadiono -
Category
Documents
-
view
97 -
download
9
Transcript of Hadits Tentang Metode Dakwah
HADIST TENTANG METODE DAKWAHOleh: Abdi Fauaji Hadiono
A. Pendahuluan
Hadist, seperti termuat dalam definisi ulama sebagai segala hal yang
didasarkan atas referensi hidup Nabi SAW, baik perkataan, perbuatan atau
persetujuan beliau adalah penjelasan dari apa yang sudah ditetapkan dalam al
Qur'an. Hal demikian dapat dipahami karena tugas beliau adalah menjelaskan
serta mengaplikasikan ajaran-ajaran al Qur'an secara teoritis dan praktis
sekaligus.1 Sedangkan sunnah sebagai kebiasaan hidup Nabi, juga merupakan
cerminan ajaran al Qur'an. Hal demikian dapat dipahami karena menurut
keterangan yang didapat dari 'Aisyah, etika hidup Nabi SAW adalah ajaran al
Qur'an itu sendiri.2 Artinya, baik Hadits maupun Sunnah dapat eksis
disebabkan karena eksistensi al Qur'an. Hal ini menjelaskan, bahwa semua
keterangan yang didapat dari Hadist harus dikonfirmasikan ulang terhadap
apa yang dipaparkan dalam al Qur'an.
Jika berbicara mengenai Hadist tentang metode dakwah, maka
hendaknya dikonfirmasikan terlebih dahulu tentang informasi al Qur'an dalam
menjelaskan metode dakwah. Dalam al Qur'an, persoalan metode dakwah
dirangkum dalam QS al Nahl/16: 125. "…berdakwahlah ke jalan Tuhanmu
dengan metode hikmah, metode mau'izah hasanah, dan metode mujadalah
hasanah….". Dari ketiga metode tersebut, maka dikembangkanlah pelbagai
metode dan teknis sesuai dengan kebutuhan dan keperluan dakwah.
Rasulullah sendiri sebagai agen yang memiliki otoritas dalam menjelaskan al
Qur'an, telah mengaplikasikan ketiga metode dakwah tersebut dalam banyak
Hadist beliau seperti akan dirinci dalam pembicaraan selanjutnya.
1 Yusuf al Qardlawi, Marji'iyyat al 'Ulya li al Qur'an wa al Sunnah Dlawabith wa Mahazir li Fahmi al Tafsir, Alih Bahasa Baharuddin Fannani, (Kairo: Maktabah Wahbah, tt), h. 62.2 Hadits mengenai ini diriwayatkan oleh Muslim dalam redaksi yang panjang dari 'Aisyah. Lihat Musim Ibn Hujaj al Qusyayri, Sahih Muslim, (Mauqi' al islam), Juz 4, h. 104, hadits ke 1233.
Sayyid Qutb dalam Fî Zhilâl al Qur'ân, menjelaskan bahwa metode
Hikmah itu terkait tiga hal. Pertama, dakwah itu harus sesuai dengan situasi
dan kondisi mad'u (ahwal al mukhatabin wa zhurufihim). Kaidah pertama ini
kata Qutb berarti harus sesuai dengan kondisi lingkungan sosial, ekonomi,
politik dan kultural.3 Kedua, materi dakwah itu harus cocok dan pas dengan
kebutuhan mad'u dan tidak boleh overload, sehingga mad'u merasa terbebani
sebelum ia melaksanakannya.4 Ketiga, cara penyampaian dakwah harus tepat
dan sesuai kebutuhan. Dakwah tidak boleh dilakukan dengan bernafsu dan
menggebu sehingga melamapaui batas kearifan.5 Metoda mau'izah hasanah,
berarti dakwah dilakukan dengan nasihat yang masuk dan menyejukkan hati
manusia, bukan yang dapat memerahkan telinga karena penuh unsur kecaman
dan makian yang tidak pada tempatnya.6 Terakhir, metode mujadalah hasanah
berarti dakwah yang dilakukan dengan dialog yang demokratis, yakni dialog
yang tidak mengandung unsur penganiayaan dan pemaksaan pendapat dengan
melecehkan atau merendahkan lawan dialog.7 Ketiga metoda inilah yang akan
penulis paparkan melalui contoh-contoh aplikasi dakwah nabi seperti
terekam dalam pelbagai Hadist.
B. Hadist Tentang Metode Dakwah
1. Metode Dakwah Hikmah.
a. Dakwah Nabi Kepada Orang yang Tidak Mampu Membayar
Kaffarat Puasa.
Teks Hadist:
حميد أخبرني قال هري الز عن شعيب أخبرنا اليمان أبو حدثنا
نحن بينما قال عنه ه الل رضي هريرة أبا أن حمن الر عبد بن
يا فقال رجل جاءه إذ م وسل عليه ه الل صلى بي الن عند جلوس
3 Sayyid Qutb, Tafsir Fî Zhilâl al Qur'ân, (Mauqi' al Islam), Juz 4, h. 497.4 Ibid.5 Ibid, h. 498.6 Ibid.7 Ibid.
صائم وأنا امرأتي على وقعت قال لك ما قال هلكت ه الل رسول
قال تعتقها رقبة تجد هل م وسل عليه ه الل صلى ه الل رسول فقال
فقال ال قال متتابعين شهرين تصوم أن تستطيع فهل قال ال
صلى بي الن فمكث قال ال قال مسكينا ين ست إطعام تجد فهل
عليه ه الل صلى بي الن أتي ذلك على نحن فبينا م وسل عليه ه الل
أنا فقال ائل الس أين قال المكتل والعرق تمر فيها بعرق م وسل
ه الل رسول يا ي من أفقر أعلى جل الر فقال به فتصدق خذها قال
بيتي أهل من أفقر بيت أهل تين الحر يريد البتيها بين ما ه فوالل
قال ثم أنيابه بدت ى حت م وسل عليه ه الل صلى بي الن فضحك
( البخاري ( رواه أهلك أطعمه
Terjemah Hadist :
"…suatu ketika kami duduk di sisi Rasulullah, tiba-tiba datang seorang laki-laki dan bertanya kepada beliau : ya Rasulullah, celakalah aku. Jawab Rasul : kenapa engkau ini. Jawab orang itu : aku berjima' dengan istriku padahal aku sedang berpuasa. Kemudian Rasulullah bertanya balik: apakah engkau bisa memerdekakan seorang budak? Jawab: tidak bisa. Rasulullah : berpuasalah dua bulan berturut-turut. Jawab: aku tidak mampu. Rasulullah: berilah makan enampuluh orang miskin. Jawab: aku juga tidak mampu. Kemudian Rasulullah terdiam. Dalam situasi seperti itu, Rasulullah diberi sekantong berisi kurma. Kemudian Rasulullah bertanya: mana tadi orang yang bertanya. Jawab: saya ya Rasulullah. Rasulullah: ambil ini dan bersedekahlah dengannya. Jawab: kepada orang yang lebih fakir dariku ya Rasulullah. Demi Allah, tidak ada keluarga di sini yang lebih fakir dari keluargaku. Kemudian Rasulullah tersenyum sehingga terlihat gusinya seraya berkata "…ambillah dan berilah makan keluargamu…" HR. Bukhari.8
Takhrij Hadist :
Hadist ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab Shaum
fasal ketika berjima' di bulan Ramadlan dari sahabat Abu Hurairah
seperti dikabarkan oleh 'Umaid Ibn 'Abd al Rahman seperti dikabarkan
8 Abu Isma'il al Bukhari, Sahih Bukhari, (Mauqi' al Islam), Juz 7, h. 24, hadist ke 1800 dalam Bab Puasa.
oleh Syu'aib dari Zuhri seperti diceritakan oleh Abu al Yaman. Hadist
ini juga ditemukan dalam Musnad Ahmad dengan redaksi yang berbeda
seperti yang diceritakan 'Aisyah kepada 'Abdullah Ibn Zubair, seperti
diceritakannya kepada Ibn Ishaq. Orang ini (Ibn Ishaq) menceritakan
hadist tersebut kepada Ya'qub yang kemudian sampai kepada Imam
Ahmad Ibn Hanbal.9 Pengarang kitab Subul al Salam dalam kitabnya
meriwayatkan hadist ini dengan mentakhrijnya sebagai hadits sahih
yang diriwayatkan oleh tujuh orang (sab'ah). Adapun redaksi yang
digunakannya adalah redaksi riwayat Muslim.10
Penjelasan Hadits :
Membaca hadist ini kemudian menghubungkannya dengan
metode dakwah, akan diperoleh kesan dakwah dengan hikmah. Jika
kembali kepada keterangan Sayyid Qutb, bahwa dakwah hikmah itu
diantaranya terkait dengan kondisi dan situasi mad'u, baik kondisi
sosial, politik, ekonomi maupun kultural, maka hadist ini relevan sekali
bagi penulis sebagai sampel praktik dakwah hikmah nabi. Dalam hadits
tersebut ditunjukkan dialog antara seorang laki-laki mukmin selaku
mad'u yang meminta fatwa tentang hukum agama, dan Nabi selaku da'i
yang dimintai fatwa karena dinilai sebagai pihak yang mengerti akan
hukum-hukum agama.
9 Abu 'Abd Allah Ibn Muhammad Ahmad Ibn Hanbal, Musnad Ahmad, (Mauqi' al Islam), Juz 5, h. 313, bagian Musnad Sabiq.10 Muhammad Ibn Isma'il al Yamani al San'ani, Subul al Salam Syarh Bulugh al Maram Min Jam'-I Adillat al Ahkam, (Kairo: Dar al Hadist, 2004), Juz 2, h. 233. Lihat Muslim Ibn Hujaj al Qursayry, Sahih Muslim, (Mauqi' al Islam), Juz 5, h. 428, Bab Puasa, Fasal kaffarat Puasa. Muslim juga meriwayatkan hadist dengan redaksi yang agak berbeda dengan riwayat Ibn 'Uyaynah, yaitu redaksi dari Muhammad Ibn Muslim al Zuhri dengn Isnad yang sama. Hadist ini juga ditemukan dalam kitab Sunan Abu Daud, lihat Sulaiman al Sijistani Abu Daud, Sunan Abu Daud, (Mauqi' al Islam), Juz 6, h. 355. Lihat Juga Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, (Mauqi' al Islam), Juz 5, h. 179. Lihat juga Abu 'Isa Ibn Muhammad Ibn 'Isa Ibn Tsaurah al Turmudzi, Sunan al Turmudzi, (Mauqi' al Islam), Juz 3, h. 168.
Pemahaman global terhadap Hadist ini akan mendorong
pemikiran tentang pembenaran terhadap kemudahan hukum (syari'at)
Islam. Islam adalah agama yang didirikan atas tiga aspek yang satu
sama lainnya saling berkaitan, keimanan terhadap doktrin-doktrin
agama (akidah), kepatuhan terhadap aturan-aturan yang telah ditetapkan
(syari'at), dan budipekerti serta keteladanan (akhlak). Syari'at sebagai
satu bagian dari inti ajaran Islam tidak terpisah dari dua aspek lainnya,
lebih dari itu syari'at bersama doktrin dan akhlak membentuk satu paket
yang membentuk karakter seseorang agar memiliki keimanan yang kuat
kepada Tuhannya.
Doktrin, merupakan dasar bangunan yang dengannya seorang
mukmin diarahkan agar memiliki orientasi teologis-eskatologis. Melalui
doktrin, seorang mukmin akan paham bahwa segala eksistensi yang
tampak bukanlah tujuan hidupnya melainkan hanya alat atau sarana
untuk menuju sesuatu yang lebih bernilai, yakni ketuhanan
(transendental value) dan alam akhirat (life after death). Doktrin saja
tidak cukup karena wujudnya yang abstrak, lebih dari itu ia harus
dikonkritkan dengan amalan-amalan real yang kaidah-kaidahnya telah
ditetapkan sebelumnya berdasarkan doktrin agama, amalan real itulah
yang disebut dengan syari'at. Syari'at juga bukan tujuan agama yang
sebetulnya, karena ia sekedar sarana untuk mewujudkan kesalehan
mukmin dalam tiga aspek, kesalehan terhadap Tuhan, terhadap
manusia, dan terhadap lingkungan sekitar. Karena syari'at hanya
sebagai sarana, maka walaupun telah memiliki ketetapan-ketetapan
baku karakteristiknya tidak statis, tapi fleksibel dan dinamis.
Aplikasi syari'at Islam sangat bergantung kepada situasi dan
kondisi orang yang bersangkutan. Artinya, penerapan syari'at dalam
situasi dan kondisi normal tidak bisa diterapkan dalam situasi dan
kondisi yang abnormal. Maka dalam kaidah hukum Islam dikenal
istilah, al hukmu yaduru ma'a 'illatihi wujudan wa 'adaman ( penetapan
hukum itu bergantung pada ada atau tidaknya alasan logis penetapan
hukum tersebut), atau kaidahal masyaqqah tajlib al taysir (kesulitan
situasi dan kondisi membawa kemudahan dalam penerapan hukum).
Kedua kaidah hukum di atas sebetulnya ingin menegaskan, bahwa
Tuhan memang menuntut kepatuhan hamba terhadap seluruh ketetapan
hukum-Nya. Namun demikian, Ia tidak lupa bahwa di sisi lain manusia
memiliki keterbatasan yang perlu mendapat keringanan. Karena itu
Tuhan berfirman dalam kitabnya "….Allah tidak membebani manusia
diluar batas kemampuannya…", juga berfirman "…Allah tidak
menghendaki kesulitan atas kalian, tetapi menghendaki
kemudahan…".
Dalam kaitannya dengan dakwah, melalui watak dan fleksibilits
hukum Islam da'i dituntut agar mampu memperkenalkan wajah Islam
yang simpel. Karena pada hakekatnya ada tujuan yang lebih mendasar
ketimbang hukum-hukum Islam yang formal, yaitu akhlak seorang
mukmin kepada dirinya sendiri yang diwujudkan dengan kejujuran dan
akhlak kepada Allah melalui usaha ketaatan yang maksimal. Dakwah
tidak seharusnya terjebak dalam formalisasi agama sehingga kehilangan
ruh dari agama itu sendiri. Formalisasi agama yang terjadi pada umat
Yahudi, dikritik keras oleh al Qur'an dan dinilainya sebagai bagian dari
penyimpangan agama.11 Watak permisif yang terkandung dalam agama
Kristen juga di kritik oleh Islam dan dinilainya menyimpang dari agama
yang benar.12 Karena hal itulah al Qur'an menegaskan bahwa umat
Islam itu harus menjadi umat yang moderat (ummatan washatan), yang
salah satu tafsirannya adalah moderat dalam hukum antara yang
cenderung formalistis dan permissif. Rasulullah juga mewanti-wanti
umat Islam agar dalam berdakwah hendaknya jangan mengikuti watak
ekstrim ahl al kitab yang dianalogikan sebagai jika mereka masuk
kelobang biawak sekalipun, umat Islam akan mengikutinya.
11 Nurkholis Madjid, Atas Nama Pengalaman Beragama dan Berbangsa di Masa Transisi, (Jakarta: Paramadina, 2009), Cet. Kedua, h. 149.12 Ibid, h. 150.
Kasus Hadist di atas merupakan contoh dakwah dengan metode
Hikmah, yang salah satu pengertiannya seperti diungkap Sayyid Qutb –
adalah dakwah dengan memperhatikan situasi dan kondisi mad'u dalam
pelbagai aspeknya. Dengan metode Hikmah ini, dakwah tidak akan
kehilangan ruhnya dalam memperkenalkan esensi Islam seperti yang
dikatakan Nabi "…sesungguhnya aku di utus untuk membangun suatu
pencarian kebenaran (hanifiyyah) yang lapang (samhah)…". Menurut
Ibn Hajar al 'Asyqalani dengan mengutip pendapat 'Abd al Ghaniy
dalam Mubhammat, laki-laki yang bertanya kepada Nabi mengenai
hukum kaffarat puasa ini adalah Sulaiman Ibn Sakhr al Bayadli.13
Lelaki ini dalam hadist tersebut digambarkan sebagai mad'u yang
memiliki kondisi ekonomi amat fakir, namun memiliki komitmen yang
kuat terhadap agamanya. Hal demikian dibuktikannya melalui
pengakuannya (confession) ketika ia melakukan pelanggaran terhadap
hukum-hukum agama. Sesuai ketentuan yang baku, orang yang
berpuasa (wajib) diharamkan untuk melakukan persetubuhan dengan
istrinya di siang hari. Pelanggaran atas ketentuan hukum ini seorang
muslim diwajibkan untuk memerdekakan seorang budak mukmin, jika
tidak sanggup maka alternatifnya adalah puasa dua bulan berturut-turut,
dan jika tidak sanggup juga, maka alternatif terakhir adalah memberi
makan enampuluh fakir miskin.14 Dari ketiga alternatif hukuman yang
diberikan Nabi, orang tersebut mengaku tidak sanggup menjalaninya.
Sebagai da'i yang mengerti betul situasi dan kondisi mad'u yang
dihadapinya, Nabi bahkan berinisiatif untuk memberikan makanan
kepadanya agar dapat dijadikan sebagai kaffarat. Namun demikian,
13 Lihat Ibn Hajar al 'Asqalani, Fath al Bâri Fi Syarh Sahîh al Bukhâri, (Mauqi' al Islam), Juz 6, h. 188.14 Menurut QS al Baqarah/2: 187, orang yang berpuasa diharamkan berjima' di siang hari dan diperbolehkan di malam hari. Bagi pelanggarnya, hukumannya adalah disamakan seperti hukuman orang yang sumpah Zihar seperti ditentukan dalam QS al Mujadilah/58: 4. Lihat Abu Walid Muhammad Ibn hmad Ibn Rusd al Qurthubi al Andulusi,Bidayat al Mujtahid wa Nihayat al Muqtashid, (Beirut: Dar al Kutub al 'Ilmiyyah, tt), Juz 1, h. 222.
diakhir pengakuannya ia mengatakan bahwa diwilayah itu tidak ada
orang yang lebih fakir darinya. Maka keputusan yang diambil beliau
adalah menyuruh orang tersebut untuk mensedekahkan makanan
pemberian beliau kepada keluarganya sebagai kaffarat.
Dari sudut pandang dakwah, keputusan yang diambil Nabi
tersebut untuk memberi makan keluarga sebagai kaffarat puasa sangat
tepat dan dibenarkan. Tindakan beliau tersebut merupakan perwujudan
dari ajaran al Qur'an bahwa infaq (sedekah) itu yang pertama kali
adalah kepada orang tua (keluarga), jika ada kelebihan maka untuk
kerabat, jika ada kelebihan maka untuk yatim, miskin, dan yang dalam
perjalanan.15 Keputusan tersebut juga selaras dengan pernyataan lain
dalam hadits bahwa sedekah (infak) yang paling baik adalah kelebihan
dari kebutuhan pokok, dan sedekah tersebut harus dimulai dari orang
yang menjadi tanggungan (keluarga).16 Inilah contoh aplikasi dakwah
dengan metode hikmah yang berarti dakwah dengan ilmu, dan ilmu itu
diperoleh jika da'i mengerti dan memahami situasi dan kondisi mad'u.
b. Hadist Mengenai Fatwa Nabi Dalam Menjawab Pertanyaan
Mad'u.
Teks Hadist:
عليه ه الل ى صل بي الن سئل قال عنه ه الل رضي هريرة أبي عن
ماذا ثم قيل ورسوله ه بالل إيمان قال أفضل األعمال أي م وسل
. مبرور حج قال ماذا ثم قيل ه الل سبيل في جهاد قال
Terjemah Hadist :
Dari Abu Hurairah RA., ia berkata Nabi pernah ditanya "…amal-amal apa yang lebih utama?..." jawab Rasulullah "…Iman kepada Allah dan
15 Lihat QS al Baqarah/2: 215.16 Rasulullah bersabada
تعول بمن وابدأ غنى ظهر عن كان ما دقة الص خيرLihat Abu Isma'il al Bukhari, Op.Cit, Juz 5, h. 247, hadist ke 1337 dari Abu Hurairah.
Rasulnya…". Kemudian ditanya lagi, "…selanjutnya apa?..", jawab "…jihad di jalan Allah…", dikatakan "..selanjutnya apa..?", jawab "..haji mabrur…". HR. Bukhari.Takhrij Hadist :
Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab haji bab kitab
haji mabrur yang disandarkan kepada Abu Hurairah dari Sa'id Ibn
Musayyab dari Zuhri seperti diceritakan oleh Ibrahim Ibn Sa'd kepada
'Abd al 'Aziz Ibn 'Abdullah.17 Hadist ini juga ditemukan dalam Sahih
Muslim dalam kitab iman bab penjelasan keadaan iman kepada Allah
dengan sanad seperti Bukhari hanya saja Ibn Musayyab meriwayatkan
melalui jalur lain yakni Ibn Shihab yang juga memperoleh riwayat ini
dari Ibn Sa'd seperti diberitakan oleh Muhammad Ibn Ja'far Ibn Ziyad
dan juga cerita dari Mansur Ibn Abi Mazahim.18 Sedangkan dalam
Sunan Tirmidzi, hadits dengan sedikit redaksi tambahan "ayu al 'a'mâl
khayr" juga didapat dari Abu Hurairah dengan jalur Abu Salamah
seperti diceritakan Muhammad Ibn 'Amr dari 'Abdah Ibn Sulaiman
seperti diceritakan oleh Abu Kuraib. Oleh al Tirmidzi hadits ini
ditempatkan dalam bab permasalahan mengenai amalan apa yang
utama.19
17 Abu Ismail al Bukhari, Op.Cit, Juz 5, h. 398, hadits ke 1422. Al Bukhari juga meriwayatkan hadits serupa dari jalur Abu Hurairah dan Abu Zar sekaligus dengan sedikit perbedaan redaksi. Pada hadits tersebut hanya disebut iman kepada Allah saja tanpa tambahan " wa Rasulihi" dan menghilangkan lafal haji mabrur. Lihat Ibid, Juz 23, h. 93, Bab Tafsir Qur'an.18 Muslim Ibn Hujaj al Qusayry, Op.Cit, Juz 1, h. 231, hadits ke 118. Hadits yang terdapat dalam kitab Sahih Muslim tersebut hanya menyebutkan iman kepada Allah seperti hadits Bukhari yang melalui jalur tambahan Abu Zar. Muslim juga meriwayatkan hadits yang sama dengan redaksi sedikit berbeda dari Abu Zar dengan menghilangkan tambahan haji mabrur seperti hadits Bukhari dan ditambah lagi dengan pertanyaan " bagaimana memerdekakan budak yang paling sempurna?" dijawab "…yang paling baik dan paling mahal harganya" ditanya lagi " jika aku tidak bisa mengerjakan" dijawab " engkau menolong orang yang mengerjakan perbuatan baik" ditanya "jika aku lemah dari melakukan amal-amal baik?" dijawab "..engkau mencegah diri kalian dari berbuat jahat kepada manusia, hal demikian itu sesungguhnya menjadi sedekah atas diri kalian…" lihat Musim, Ibid, Juz 1, h. 232 dalam bab penjelasan Iman kepada Allah.19 Abu 'Isa Ibn Tsaurah al Tirmidzi, Op.Cit, Juz 6, h. 219, hadits ke 1582. Lihat juga Abu al Fadl al Sayyid al Mu'athi al Naury, Musnad al Jami', (Mauqi' al
Penjelasan Hadits :
Hal terkait berikutnya dengan dakwah hikmah adalah materi.
Seperti dijelaskan Sayyid Qutb, salah satu karakteristik dakwah hikmah
adalah materinya harus pas dan cocok dengan kebutuhan mad'u, tidak
overload yang mengakibatkan mad'u merasa terbebani sebelum sanggup
melaksanakannya. Jika demikian, maka dakwah hikmah mengharuskan
adanya kesesuaian antara penyampaian materi dan kemampuan
subyektif mad'u. Penyampaian dakwah harus dalam batas yang
dicounter oleh mad'u, baik secara pemikiran (pemahaman), maupun
pelaksanaannya. Statemen yang berbunyi "…ajak bicara manusia sesuai
dengan kadar akal mereka…",20 agaknya mengacu kepada penekanan
materi dakwah hikmah. Maksud dari ungkapan tersebut jika dikaitkan
dengan dakwah berarti perintah untuk berdakwah dengan
memperhatikan kondisi subyektif mad'u. Artinya, materi dakwah harus
dapat dicerna akal (thinkable) dari segi kemampuan kognitif dan dapat
dilaksanakan (aplicable) dari segi kemampuan pisik.
Hadist di atas memuat dialog antara Nabi sebagai da'i dan
penanya sebagai mad'u yang meminta fatwa mengenai amalan apa yang
paling utama dalam Islam. Lebih lanjut menurut hadits tersebut
jawaban beliau adalah iman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian
mengikuti jihad dan haji mabrur. Menarik dalam pembahasan ini,
karena penelusuran terhadap kitab-kitab hadits mu'tabarah ditemukan
adanya hadits dengan redaksi pertanyaan serupa kepada Nabi. Hadits
riwayat Ibn Mas'ud misalnya, dengan pertanyaan yang sama, ditemukan
jawaban yang berbeda dari Rasulullah. Dalam hadits tersebut
disebutkan bahwa amalan yang utama adalah shalat pada waktunya,
berbuat baik kepada kedua orang tua, dan baru kemudian jihad di jalan
Islam), Juz 8, h. 78.20 Fathi Yakan, Kaifa Nad'u Ila al Islam, (Beirut: Muassasah al Risalah, 1991), Cet. Ke 13, h. 28.
Allah.21 Sedangkan dalam Hadits Abu Daud dari 'Abdullah Ibn Hubsyi
Rasulullah menjawab pertanyaan tersebut dengan jawaban Thul al
Qiyam (memperpanjang raka'at dalam shalat).22
Pakar Hadits Ibn Rajab menambahkan satu riwayat bahwa amal
yang paling utama adalah zikrullah. Ulama ini kemudian mencoba
untuk menjelaskan tentang keragaman jawaban Rasul dalam menjawab
satu pertanyaan yang sama tersebut, katanya masalah inilah yang
membuat kesulitan pemahaman orang banyak.23 Selanjutnya Ibn Rajab
mencoba menjelaskan pandangan-pandangan disekitar maslah ini.
Pandangan pertama mengatakan bahwa amalan yang paling utama yang
dimaksud di sini adalah sebagian dari amalan terutama yang begitu
banyak, bukan semata-mata amalan utama itu sendirian.24 Pandangan
kedua mengatakan bahwa Rasulullah menjawab pertanyaan berdasarkan
pertimbangan subyektif mad'u. Maksudnya jawaban-jawaban
Rasulullah di sini merupakan amalan yang paling utama baginya secara
khusus yang belum tentu menjadi amalan utama bagi lainnya.25
Baik pandangan tentang sebagian dari amalan utama atau amalan
paling utama secara khusus, keduanya berangkat dari perbedaan mad'u
sehingga mengharuskan pula perbedaan materi yang harus disampaikan
21 Lihat Abu Isma'il al Bukhari, Op.Cit, Juz 23, h. 66, hadits ke 6980 dari Ibn Mas'ud. Abu Daud meriwayatkan hadits yang redaksinya sama dari Ummu Farwah dengan membuang tambahan birr al walidayni dan al jihad fi sabilih. Lihat Sulaiman Ibn 'Ast'ats al Sijistani Abu Daud, Sunan Abu Daud, (Mauqi' al Islam), Juz 2, h. 15, hadits ke 362, dalam Bab menjaga waktu shalat.22 Lihat Sulaiman Ibn 'Asy'ats, Op.Cit, Juz 4, h. 94 hadits ke 1129. Dalam bab lain melalui jalur yang sama Abu Daud menambah redaksi shadaqah apa yang paling utama? Dijawab " melawan sifat kikir" kemudian ditanya lagi hijrah apa yang paling utama?, dijawab " yaitu hijrahnya orang dari apa yang diharamkan Allah kepadanya", ditanya lagi " jihad apa yang paling utama?" dijawab " jihadnya orang melawan orang musyrik dengan jiwa dan hartanya", ditanya lagi " mati apa yang paling mulia?" dijawab " matinya orang yang tertumpah darahnya (karena membela kebenaran) dan terluka tubuhnya. Lihat Ibid, h. 240, hadits ke 1238.23Zain al Din Abi Faraj Ibn Rajab al Hanbaly, Fath al Bary Li Syarh Sahih Bukhari, (Mauqi' al Durar al Saniyyah), Juz 4, h. 18.24 Ibid.25 Ibid.
kepada mereka. Walaupun materi yang disampaikan berbeda, lanjut Ibn
Rajab bukan berarti penyampaian dakwah beliau tidak konsisten dan
bertentangan satu dan lainnya.26 Iman, shalat dan haji, kata Ibn Rajab,
merupakan bangunan Islam yang lima (mabânî al khams) yang tidak
bisa dipisahkan antara satu dengan yang lain. Dengan demikian,
jawaban Nabi tentang amalan yang paling sempurna dengan Iman, atau
shalat atau haji pada hakekatnya adalah sama. Karena setiap penyebutan
satu kategori adalah simbol yang mewakili penyebutan kategori lainnya
(mabâni al khams bi jumlatiha).27 Ulama ini kemudian mengutip hadits
nabi berikut "empat hal yang tiga di antaranya tidak diterima kecuali
dengan melengkapi keseluruhannya, yaitu shalat, puasa, zakat dan
haji" HR Ahmad.28 Ibn Rajab juga mengutip riwayat dari Huzaifah Ibn
Yaman, bahwa jihad seperti juga amar ma'ruf nahi munkar merupakan
bagian Islam (sahm min sihâm al islâm) yang bersama-sama
denganmabâni' al khams membentuk pilar-pilar penegak Islam. Oleh
karenanya, dalam al Qur'an Allah senantiasa menyertakan antara
keimanan dengan jihad. Misalnya dalam firman Allah QS al Hujarat/49:
15 yang terjemahannya demikian " sesungguhnya orang mukmin yang
beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah
dengan Harta dan jiwanya…" atau dalam firman Allah QS al Shaf/61:
11 yang terjemahannya demikian " engkau beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya dengan harta dan jiwa kalian…". Dengan hubungan seperti
ini, maka dapat dipahami jawaban Nabi tentang jihad sebagai amalan
yang paling utama setelah keimanan.
Adapun jawaban Nabi tentang perbuatan baik terhadap kedua
orang tua sebagai amalan yang paling utama, karena perbuatan tersebut
termasuk kedalam keutamaan hak hamba (huqûq al 'ibâd).
Sementara mabâni' al khams seperti yang dijelaskan di atas merupakan
26 Ibid, h. 19.27 Ibid, h. 20.28 Lihat Abu 'Abdullah Ahmad Ibn Hanbal, Op.Cit, Juz 36, h. 195, hadits ke 17121 dari Ziyad Ibn Nu'aim.
hak Allah (huqûq Allah 'azza wa jalla). Di sisi lain ada keterikatan kuat
antara hak Allah dan hak hamba yang tidak mungkin sempurna satu
tanpa lainnya. Artinya, penunaian hak Allah semata tanpa disertai oleh
penunaian hak hamba tidak akan menjadi amalan yang paling
sempurna. Itulah sebabnya dalam hadits Ibn Mas'ud, penyebutan
berbuat baik kepada orang tua sebagai hak hamba dijelaskan setelah
penyebutan shalat yang merupakan hak Allah.29
Keterkaitan materi tersebut adalah hal yang mesti dipahami dan
dijadikan pertimbangan oleh da'i ketika dihadapkan oleh pertanyaan
mad'unya. Jika dakwah hikmah mengharuskan kecocokan antara materi
dakwah dan kebutuhan mad'u, maka sepatutnya jawaban yang diberikan
adalah juga yang sesuai dengan kondisi subyektif mad'u. Atas dasar
logika ini, maka dapat dipahami pendapat yang mengatakan bahwa
perbedaan jawaban Nabi atas pertanyaan mad'unya merupakan jawaban
khusus dengan mempertimbangkan subyektifitas sipenanya.
Kekhususan jawaban itu, kata Ibn Rajab, terlihat ketika dihadapkan
kepada Ibn Mas'ud yang secara subyektif masih memiliki Ibu dan telah
lama masuk Islam.30 Berbeda dengan Abu Hurairah, walaupun ia masih
memiliki orang tua, namun baru belakangan masuk Islam sehingga
masih perlu untuk dimotivasi akan arti Iman dan jihad.31 Demikian itu
29 Zain al Din Ibn Rajab al Hanbaly, Loc.Cit.30 Ibid, h. 18. 'Abdullah Ibn Mas'ud masih memiliki hubungan darah dengan Rasulullah. Ia masuk islam ketika periode dakwah Mekah (di Dar al Arqam) dan umurnya masih kecil (16 tahun) dan ia merupakan pemuda yang paling dicintai Rasulullah. Setelah masuk Islam, Ibn Mas'ud berkhidmat pada dakwah Rasulullah. Lihat 'Abdurrahman Ra'fat al Basya, Suar Min Hayat al Sahabah, (Beirut: Dar al Nafa'is, 1992), Cet. Pertama, h. 98-99. Lihat juga Khalid Muhammad Khalid, al Rijal Haula al Rasul, (Beirut: Dar al Kutub al 'Ilmiah, 2004), Cet. Kedua, h. 130.31Abu Hurairah masuk Islam melalui orang sesukunya yakni Thufail Ibn 'Amr al Dusy pada tahun keenam setelah Hijrah setelah datang utusan Nabi kepada kaumnya. Ketika masuk Islam, umurnya masih belia dan dia giat melayani Rasul dan membantunya dalam berbagai keperluan dakwah. Lihat 'Abdurrahman Ra'fat al Basya, Op.Cit, h. 480.
salah satu contoh lain dari aplikasi dakwah hikmah seperti yang
diajarkan rasul kepada juru dakwah.
c. Hadits Tentang Tahapan Dalam Menyampaikan Dakwah.
Teks Hadist:
زكرياء أخبرنا الله عبد أخبرنا مقاتل بن د محم حدثنا
أبي عن صيفي بن الله عبد بن يحيى عن إسحاق بن
عنهما الله رضي عباس ابن عن عباس ابن مولى معبد
بن لمعاذ وسلم عليه الله صلى الله رسول قال قال
كتاب أهل قوما ستأتي إنك اليمن إلى بعثه حين جبل
الله إال إله ال أن يشهدوا أن إلى فادعهم جئتهم فإذا
بذلك لك أطاعوا هم فإن الله رسول دا محم وأن
في صلوات خمس عليهم فرض قد الله أن فأخبرهم
أن فأخبرهم بذلك لك أطاعوا هم فإن وليلة يوم كل
فترد أغنيائهم من تؤخذ صدقة عليهم فرض قد الله
وكرائم فإياك بذلك لك أطاعوا هم فإن فقرائهم على
الله وبين بينه ليس فإنه المظلوم دعوة واتق أموالهم
حجاب
Terjemah hadist:Rasulullah berkata kepada Mu'az Ibn Jabal ketika mengutusnya ke Negeri Yaman "…hai Mu'az, sesungguhnya engkau akan bertemu dengan sekelompok Ahl Kitab. Ketika nanti engkau telah bertemu mereka ajaklah mereka untuk bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad Utusan Allah. Jika mereka menerimanya, maka beritahu mereka bahwa Allah mewajibkan atas mereka shalat lima waktu sehari semalam. Jika mereka menerimanya, beritahu mereka bahwa Allah mewajibkan zakat yang dikolektif dari orang kaya mereka dan didistribusikan kepada orang-orang miskin mereka. Jika mereka menerima itu, maka hati-hatilah engkau dengan harta mereka yang dimuliakan, dan takutlah engkau akan do'a yang teraniaya. Karena hal tersebut tidak terhalang dari Allah.
Takhrij Hadits :
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari jalur Ibn 'Abbas
seperti diceritakannya kepada majikannya, Abu Ma'bad. Orang yang
terakhir disebut ini kemudian menceritakannya kepada 'Abdullah Ibn
Shayfi yang diteruskannya kepada Isma'il Ibn Umayyah seperti
diceritakannya kepada Fadl Ibn 'Ala seperti diceritakan oleh Abdullah
Ibn Abi Aswad. Bukhari mencatat hadits ini dalam kitabnya pada empat
bab,pertama, dimulikannya harta milik manusia.32 kedua, diambilnya
sadaqah dari orang kaya,33 ketiga, pengutusan Abu Musa dan Mu'az ke
Yaman34 dan keempat, perihal dakwah Nabi SAW.35 kesemua ini
diriwayatkan oleh jalur yang sama seperti dijelaskan di atas.
Muslim dalam kitab Sahih nya juga meriwayatkan hadits serupa
dengan jalur sanad yang sama dengan Bukhari, hanya saja ia menerima
hadits dari Abu Bakar Ibn Abi Syaybah sehingga redaksinya juga
sedikit berbeda. Dalam Sahih Muslim, hadits yang tercatat redaksinya
"fa a'limhum" sebagai ganti "fa akhbirhum" dalam hadits Bukhari.36
Hadits seperti diriwayatkan Muslim juga diriwayatkan oleh al Tirmidzi
dengan redaksi yang sama persis yang diterimanya dari Muhammad Ibn
Abdullah Ibn al Mubarak.37
Penjelasan Hadits :
32 Lihat Abu Ismail al Bukhari, Op.Cit, Juz 5, h. 298, hadits ke 1365. Hadits ini diperoleh al Bukhari dari Umayyah Ibn Bushtham dengan perbedaan redaksi hadits demikian " falyakun awwalu ma tad'uhum ilaihi 'ibadat Allah, dan " faizda 'arafu". Kemudian pada akhir redaksi hadits tersebut juga terdapat perbedaan " fakhuz minhum watawaqqa karaima amwal al nas".33 Ibid, Juz 5, h. 356, hadits ke 1401. Pada redaksi hadits ini digunakan kata " faidza 'atha'u laka bidzalika" dan kata "karaima amwalihim".34 Ibid, Juz 13, h. 243, hadits ke 4000. Redaksi hadits ini digunakan kata "tha'u" dengan menghilangkan hamzah.35 Ibid, Juz 22, h. 363, hadits ke 6824. Redaksi hadits ini serupa dengan hadits yang pada bab kehormatan harta manusia, hanya saja pada awal hadits digunakan kata "an yuwahidu Allah", kemudian kata " fain fa'alu" pada bab ini diganti dengan kata "fain shallu". Sedangkan kata " fain atha'u" pada hadits terdahulu diganti dengan kata " fain aqarru".36 Lihat Muslim Ibn Hujaj al Qusayri, Op.Cit, Juz 1, h. 111, hadits ke 27.37 Lihat al Tirmidzi, Op.Cit, Juz 8, h. 279, hadits ke 2475.
Aspek ketiga yang disorot dalam dakwah hikmah menurut teori
Sayyid Qutb adalah aspek penyampaian dakwah (tablîgh). Menurut
Qutb, dakwah hikmah itu harus disampaikan dengan cara yang bijak
dan tidak menggebu-gebu sehingga melampaui batas kearifan. Adapun
yang dimaksud dengan penyampaian dakwah yang menggebu-gebu di
sini adalah kehendak da'i yang terlamapu ideal sehingga tidak
memperhatikan adanya faktor tahapan (tadarruj) dalam berdakwah.
Islam sebagai tema yang dijadikan perhatian dalam dakwah, memiliki
stratafikasi ajaran, dimulai dari yang esensial, kemudian dilanjutkan
dengan ajaran penopang hingga yang bersifat ajaran-ajaran yang
bersifat parsial. Semua itu disampaikan kepada mad'u dengan proses
yang bertahap (tadarruj fi al da'wah) sesuai dengan prioritas dalam
stratafikasi ajaran.38
Menurut Ibrahim al Muthlaq, yang dinamakan dengan taddaruj
dakwah adalah menyajikan dakwah (al taqaddum) kepada mad'u
dengan cara bertahap agar dapat sampai kepada tujuan dakwah sesuai
dengan metode khusus yang disyari'atkan.39 Melalui metode tadarruj ini,
menurut al Muthlaq, maka dakwah kepada muslimin berbeda dengan
dakwah kepada non muslim. Dakwah kepada muslimin dilakukan
dengan memperhitungkan kondisi mad'u dengan berorientasi agar
berpegang teguh kepada ketaatan Allah dan Rasul-Nya serta
mengamalkan ajaran al Qur'an dan Sunnah.40 Sedangkan dakwah
kepada non muslim dilakukan dengan mensosialisasikan akidah tauhid
dan syari'at Islam.41
Tauhid kata al Muthlaq, merupakan dasar di mana Islam
didirikan, itulah sebabnya ia disebut agama tauhid. Esensi dari tauhid
38Baca Ahmad 'Umar Hasyim, al Da'wah al Islamiyyah: Manhâjuha wa Ma'âlimuha, (Kairo: Dar al Gharîb, tt), h. 17.39Ibrahim Ibn 'Abdullah al Mutlaq, Tadarruj Fi al Da'wah Ila Allah, (Arab Saudi: wizarat al Syu'ûn al Islâmiyyah wa al Auqâf wa al Da'wah wa al Irsyâd Markaz Buhûts Dirâsat al Islâmiyah, 1992), Cet. Pertama, h. 12.40 Ibid, h. 14.41 Ibid, h. 15.
pada hakekatnya adalah menyendirikan Allah dalam hal peribadatan,
itulah inti ajaran para rasul seperti diturunkan Allah melalui kitab-kitab-
Nya.42 Inilah hal pertama yang diperintahkan Rasul kepada Mu'adz
ketika beliau mengutusnya untuk berdakwah di hadapan Ahl al Kitab
Yaman. Ahlu Kitab sebagai senior dalam penerimaan risalah Allah,
adalah kaum yang pernah mengenal ajaran tentang keesaan Allah.
Namun demikian konsep ketauhidan dalam keyakinan Ahlu Kitab telah
terkontaminasi oleh pandangan-pandangan yang keliru. Konsep tauhid
yang benar, kata al Muthlaq, terdiri dari dua hal. Pertama, tauhid dalam
hal pengetahuan (al ma'rifah) dan penetapan ketuhanan (al
itsbat). Kedua, tauhid ketuhanan (uluhiyyah), yakni memurnikan
peribadatan kepada Allah dari penyembahan mahluk, baik
penyembahan malaikat, para nabi maupun yang lainnya.43 Kata al
Muthlaq, orang non muslim meyakini yang pertama, tapi tidak
demikian dengan yang kedua.44 Itulah sebabnya dalam riwayat lain
hadits ini redaksinya berbunyi "maka hal pertama yang harus kau
dakwahkan adalah ibadah kepada Allah". Perintah Nabi kepada Mu'adz
dapat dipahami sebagai intruksi agar pertama yang mesti didakwahkan
da'i kepada nonmuslim adalah ajakan untuk memurnikan tauhid dengan
meninggalkan pengkultusan kepada Nabi atau mahluk lain setara
dengan Tuhan. Kemurinan beribadah kepada Allah tidak mungkin
dicapai kecuali dengan ketaatan kepada apa yang disampaikan oleh
utusan Allah. Itulah sebabnya dalam hadits ini, disetarakan antara
ajakan untuk mendeklrasikan tauhid, dengan dakwah untuk pengakuan
kerasulan Muhammad.
Tauhid kata al Muthlaq memiliki kaitan erat dengan syari'at. Jika
tauhid mewajibkan eksistensi syari'at, maka syari'at merupakan wadah
aktual bagi tauhid. Dengan pernyataan ini, maka dapat dipahami
42 Ibid, h. 21.43 Baca Ibid, h. 22-23.44 Ibid.
penafsiran Rasulullah dalam Sunahnya akan arti iman dengan "tauhid
plus syari'at" seperti terbaca dalam potongan hadits Rasulullah berikut.
بالله باإليمان اإليمان : " وحده آمركم ما أتدرون قال ،
: : " قال ، أعلم ورسوله الله قالوا ؟ وحده بالله
، الله رسول محمدا وأن ، الله إال إله ال أن شهادة
وأن ، رمضان وصوم ، الزكاة وإيتاء ، الصالة وإقام
الخمس المغنم من تعطوا" ….aku menyuruh kamu dengan iman kepada Allah semata. Apakah kamu mengerti apa itu iman kepada Allah semata. Dijawab " Allah dan Rasul-Nya lebih tahu" kata Rasul " (iman) yaitu bersaksi tiada tuhan selain Allah, Mengakui muhammad sebagai Rasul-Nya, mendirikan shlat, menunikan zakat, puasa ramadhan dan memberi seperlima dari hasil ternak…" HR Bukhari.45
Atas dasar logika demikian, maka langkah berikutnya setelah
mengakui tauhid dan kerasulan muhammad dalam tadarruj
da'wah adalah mensosialisasikan syari'at. Demikian, karena syari'at
merupakan buah yang harus muncul dari pengakuan terhadap tauhid.46
Inilah wasiat berikutnya seperti disampaikan Rasulullah kepada Mu'adz
sebagai da'i agar menyampaikan syari'at Islam jikalau orang non
muslim Yaman beriman yang dalam hadits ini disimbolkan dengan
berita untuk melakukan shalat sebagai syari'at yang berkaitan dengan
Tuhan, dan shadaqah (zakat) sebagai syari'at yang mewakili hak
manusia. Di akhir wasiat tersebut, Rasulullah berpesan kepada Mu'adz
agar menjaga hak-hak kepemilikan yang telah ditunaikan kewajibannya.
Dalam hal ini memang pengutusan Mu'adz ke Yaman dalam rangka dua
hal. Pertama, menyiarkan Islam dan kedua, menegakkan politik di
negeri tersebut. Wasiat Rasul untuk memberitakan tauhid dan syari'at
45 Abu Ismail al Bukhari, Op.Cit, Juz 1, h. 92, hadits ke 51, dari Syu'bah Ibn Abi Hamzah.46 Ibrahim al Muthlaq, Op.Cit, h. 36.
adalah tugas beliau sebagai da'i. sedangkan wasiat Rasul untuk menjaga
hak kepemilikan adalah dalam rangka tugas beliau sebagai politisi.
Inilah contoh dakwah hikmah seperti diwasiatkan Rasul kepada
Mu'adz dan juga kepada para da'i. Dalam dakwah hikmah, dilarang
keras untuk menyampaikan ajaran-ajaran parsial sebelum yang esensial,
baik dengan maksud religiusitas (karena keinginan akan hidayah mad'u
yang terlalu menggebu), apalagi untuk tujuan politik yang kotor.
Karena hal demikian tidak akan menyampaikan maksud dari tujuan
dakwah yang sebenarnya serta kehilangan nilai kearifannya, malahan
menjadikan dakwah menjadi bahan lelucon yang murah.
2. Metode Dakwah Mau'izah Hasanah.
Teks Hadits:
يا فقال وسلم عليه الله صلى النبي أتى شابا فتى إن
فزجروه عليه القوم فأقبل نا بالز لي ائذن الله رسول
قال فجلس قال قريبا منه فدنا ادنه فقال مه مه قالوا
وال قال فداءك الله جعلني والله ال قال ك ألم أتحبه
والله ال قال البنتك أفتحبه قال هاتهم ألم يحبونه الناس
يحبونه الناس وال قال فداءك الله جعلني الله رسول يا
الله جعلني والله ال قال ألختك أفتحبه قال لبناتهم
أفتحبه قال ألخواتهم يحبونه الناس وال قال فداءك
الناس وال قال فداءك الله جعلني والله ال قال تك لعم
جعلني والله ال قال لخالتك أفتحبه قال اتهم لعم يحبونه
فوضع قال لخاالتهم يحبونه الناس وال قال فداءك الله
ن وحص قلبه ر وطه ذنبه اغفر اللهم وقال عليه يده
شيء إلى يلتفت الفتى ذلك بعد يكن فلم فرجه
Terjemah Hadits:
"…sesungguhnya seorang perjaka belia pernah mendatangi Rasulullah SAW kemudian ia berkata " wahai Rasulullah izinkan aku untuk melakukan zina ". kemudian para sahabat berdiri hendak memberi pelajaran seraya berkata "…enyah engkau..!!!". Rasulullah menyuruh para sahabat untuk membiarkannya dan mendekatkan duduk di sampingnya. Kemudian Rasulullah berkata "..apakah engkau rela jika ibumu berzina?", dijawab " demi Allah, tidak". Kata Rasul " begitupun orang tidak rela jika ibunya berzina. Bagaimana jika anakmu yang berzina?" dijawab " demi Allah, tidak". Kata Rasul " begitupun orang tidak rela jika anaknya yang berzina. Bagaimana jika pelakunya saudara perempuanmu?", dijawab " demi Allah, tidak". Kata Rasul " begitupun orang tidak akan rela jika saudara perempuan mereka berzina. Bagaimana jika pelakunya bibimu?" dijawab " demi Allah, tidak". Kata Rasul " begitupun orang tidak akan rela jika bibinya berzina". Kemudian Rasulullah meletakan tangannya di bahunya seraya berdoa " ya Allah ampunilah dosanya, sucikanlah hatinya, dan jagalah kemaluannya. Setelah kejadian itu pemuda tersebut tidak lagi melakukan zina." HR. Ahmad.
Takhrij Hadits :
Hadits ini diriwayatkan oleh imam Ahmad Ibn Hanbal melalui jalur
Abu umamah yang meneruskannya kepada Sulaim Ibn 'Amr. Orang yang
disebut terakhir ini kemudian menceritakan riwayat ini kepada Hariz Ibn
'Utsman, kemudian diceritakan lagi kepada Yazid Ibn Harun hingga
sampai kepada perawi (Ahmad Ibn Hanbal). Dalam Musnadnya, Ibn
Hanbal meletakan hadits ini pada bagian hadits-hadits Abu Umamah.47
Hadits ini juga ditemukan dalam kitab Mu'jam Kabir karya monumental al
Thabrany dengan sedikit perbedaan redaksi. Pada riwayat ini, kata bi al
zina diganti dengan fi al zina, kemudian kata faaqbala al qoum diganti
dengan fashaa ha al nas. Dalam riwayat ini juga ditambahkan
kata aqirruhu idna sebagai ganti kata fadana minhu qariban. Jalur yang
digunakan al Thabrany dalam meriwayatkan hadits ini sama dengan
Ahmad, hanya saja setelah Harits Ibn 'Utsman, jalur periwayatan berbelok
kepada Abu al Yaman Hakam Ibn Nafi' dan Abu Yazid al Huty. Kedua
47 Lihat Ahmad Ibn Hanbal, Op.Cit, Juz 45, h. 180, hadits ke 21185.
orang tersebut kemudian meneruskan hadits ke Abu al Mughirah yang
kemudian menceritakannya kepada Ahmad Ibn 'Abdul Wahhab al Huthy.48
Seperti al Thabrani, al Bayhaqy juga meriwayatkan hadits serupa
dengan redaksi berbeda. Dalam riwayat bayhaqy ini, kata i'zan
li (izinkanlah aku) diganti dengan kata hal tuazzinu li (apakah engkau
mengizinkan aku), sedangkan redaksi lainnya kelihatan mirip dengan
periwayatan al Thabrany.49 Dari segi jalurnya, hadits riwayat al Bayhaqy
juga bersumber dari Abu Umamah dengan sanad persis seperti hadits
imam Ahmad, namun sanad yang terdapat dalam al Bayhaqy kelihatannya
lebih panjang karena setelah nama Yazid Ibn Harun masih ada beberapa
nama-nama yang disebut sebagai sanadnya seperti Muhammad Ibn 'Abd al
Malik al Daqiqy, Muhammad Ibn Muhammad al Ats'ats, Abu Ahmad Ibn
al 'Ady al Hafidz serta Abu Sa'id al Maliny.
Penjelasan Hadits :
Selain dakwah hikmah, dalam penjelasan QS al Nahl juga disebut
dakwah dengan metode mau'izah hasanah. Jika mengikuti teori Sayyid
Qutb di awal pembahasan ini, maka unsur yang harus dipenuhi dalam
metode ini ada tiga. Pertama, dakwah mau'izah hasanah harus
mengandung unsur nasihat. Kedua, nasehat tersebut dapat menyejukan
hati. Ketiga, nasehat tersebut tidak mengandung unsur kecaman dan
makian yang membuat orang jera mendengarnya. Menurut pakar dakwah
Shalih al Humaid, nasihat yang menyejukkan hati dan tanpa kecaman
tersebut ditujukan untuk melembutkan hati lawan bicara (baca: mad'u)
agar menjadi mudah untuk melakukan pelbagai kebajikan dan terurungkan
dari melakukan maksiat.50
48 Thabrani, al Mu'jam al Kabir Li al Thabrany, (Mauqi' al Hadits), Juz 7, h. 177, hadits ke 7577.49 Al Bayhaqy, Syu'b al Iman Li al Bayhaqy, (Mauqi' al Sunnah), Juz 11, h. 399, Hadits ke 5181.50 Shalih Ibn 'Abdullah al Humaid, Mafhum al Hikmah Fi Da'wah Ila Allah, (Saudi Arabia: Mentri Urusan Keislaman, Dakwah dan Pendidikan, 2001), h. 7.
Dalam buku Dakwah Fi al Islam, Sayyid Rizq al Thawil merangkum
beberapa karakteristik dalam dakwah mau'izah hasanah. Pertama, dakwah
mau'izah hasanah adalah dakwah dengan ucapan yang lembut yang
bernuansa pertemanan (al rifq). Dengan demikian, menurut al Thawil
mau'izah hasanah sebisa mungkin menghindari sikap kasar, garang serta
ungkapan yang menyakitkan (qaswat al 'ibarat). Dakwah mau'izah
hasanah tidak boleh mengandung unsur penghinaan atau membodohi
orang, sebaliknya harus menguasai hati mad'u dengan cara menjauhi
segala anggapan dan pikiran buruk tentang mad'u.51 Kedua, dakwah
mau'izah hasanah adalah dakwah dengan mengemukakan analogi yang
fasih (fasahat al 'ibarat) dan menjauhkan dari istilah-istilah yang kurang
pantas baik dari segi ucapan maupun artinya.52 Ketiga, dakwah mau'izah
hasanah menghendaki adanya efesiensi dalam ucapan dan menghindari
sebisa mungkin perkataan yang tidak perlu untuk diungkapkan. Mau'izah
hasanah juga harus bisa mengcountersikap jahat yang kelewat batas
dengan cara mengimbanginya dengan ucapan yang baik (idfa' bi allatî hiya
ahsan). Keempat, mau'izah hasanah bukanlah dakwah dengan cara
memutarbalikkan ucapan, sebaliknya dakwah harus mengganti semua
cacian dan persangkaan buruk dengan ajakan untuk merenung dan berpikir
tentang kebenaran.53 Kelima, mau'izah hasanah adalah dakwah yang bisa
memberi efek perubahan sikap yang lebih baik (al ta'tsir al 'athifi) melalui
penjelasan yang memuaskan mad'u.54
Hadits di atas menggambarkan bagaimana sikap yang seharusnya
dilakukan seorang da'i ketika menyampaikan nasehat Islam kepada
mad'unya. Pertanyaan pemuda kepada Nabi yang meminta izin untuk
berzina, adalah ungkapan seorang yang patuh terhadap agama namun tidak
memahami esensi dari ajaran agama. Sikap keberagamaan seperti
51 Sayyid Rizq Thawwil, al Da'wah Fi al Islam: 'Aqidah wa Manhaj, (Mekah: Mathba'ah Rabithah al 'Alam al Islami, tt), h. 92.52 Ibid, h. 94.53 Ibid, h. 96.54 Ibid, h. 97.
demikian ini kerap dijumpai pada kebanyakan orang pada umumnya
(golongan awam). Kepatuhan terhadap agama yang dimaksud adalah
kesadaran seorang muslim untuk menjadikan perintah Allah dan Rasul-
Nya sebagai basic dalam menentukan sikap hidup dan perilaku.
Kejujuran si pemuda untuk meminta izin kepada Nabi untuk
melakukan hal yang dikiranya lumrah, sebetulnya didasari oleh sikap
kesadaran yang tinggi akan kepatuhan terhadap agama yang diyakininya.
Namun ia tidak memahami esensi dan tujuan dari keyakinannya tersebut.
Kepatuhan terhadap agama akan sempurna jika dilengkapi oleh
pemahaman tentang esensi dan tujuan dari ajaran agama yang diyakini.
Sebaliknya, kepatuhan semata tanpa pemahaman agama akan melahirkan
formalisasi dalam beragama. Formalisasi dalam beragama biasanya
ditampakkan dalam bentuk keinginan untuk melegitimasi kehendak
pribadi (nafsu) melalui konfirmasi agama. Sikap demikian inilah yang
tunjukkan sipemuda ketika ia hendak melegitimasi nafsu pribadinya untuk
berzina dengan meminta perizinan nabi. Sikap naif dalam beragama seperti
ini sebetulnya lahir dari innocent unknowledge (keluguan karena tidak
memiliki pengetahuan) yang biasanya ditemukan pada orang awam.
Dalam dakwah, metode yang tepat untuk golongan orang yang
memiliki sikap keberagamaan seperti tersebut adalah mau'izah hasanah.
Dengan metode ini, hal berharga yang hendak diajarkan Rasulullah kepada
da'i ketika menghalangi sahabat yang hendak ingin memberi pelajaran
kepada pemuda karena dikira melecehkan agama adalah keharusan untuk
menghargai keimanan dengan menunjukkan sikap kelembutan dan kasih
sayang dan membuang segala prasangka buruk terhadap mad'u. Inilah
sikap yang dicontohkan oleh Rasul seperti tersebut dalam al Qur'an "…
kasih sayang terhadap orang mukmin dan keras terhadap orang kafir…"
(QS al Fath/48: 29), bukannya cacian dan makian.
Mau'izah hasanah juga mengharuskan adanya ajakan untuk berpikir
tentang kebenaran melalui alur logika tamtsil (perumpamaan) yang
efesien. Perhatikan bagaimana Rasul menanggapi pertanyaan pemuda
dengan logika tamtsil tanpa memberi jawaban baik positif maupun negatif.
Jika ditelaah lebih jauh, ditemukan dua tujuan pokok dari sikap demikian
ini. Pertama, memahamkan mad'u akan tujuan dan esensi ajaran
agama.Kedua, menghidupkan potensi (baca: naluri) kebaikan yang
sebetulnya telah tertanam dalam jiwa manusia. Mengenai yang pertama,
Rasulullah ingin menunjukkan kepada sipemuda bahwa ada alasan rasional
dibalik perintah dan larangan agama terhadap suatu hal. Ajaran Islam tidak
didasarkan atas dogma yang buntu, lebih dari itu ia didasarkan
pada reason yang berorientasi pada kemaslahatan. Artinya Islam tidak
hanya menyuruh atau melarang, tapi ada tujuan-tujuan mulia dibalik
semua perintah dan larangan tersebut. Sedangkan mengeni potensi
kebaikan, sebetulnya pada diri manusia telah tertanam naluri kebaikan
sejak awal penciptaannya (fitrah). Dengan naluri itu, pada kondisi normal
pada hakekatnya mudah bagi manusia untuk melakukan kebajikan dan
berat hati manusia untuk melakukan kejahatan. Fitrah kebaikan itulah yang
ingin dihidupkan Rasul melalui nasehat beliau kepada si pemuda, sehingga
dengan sendirinya telah terjawab pertanyaan tanpa perlu lagi mengatakan
"ya" atau "tidak". Dengan penjelasan yang memuaskan tersebut, maka
dakwah mau'izah hasanah berhasil memberikan efek positif terhadap sikap
mad'u seperti diceritakan di akhir hadits.
3. Metode Dakwah Mujadalah Hasanah.
Teks Hadits :
جالس وهو يوما قال ، سيدا وكان ، ربيعة بن عتبة أن
وسلم عليه الله صلى الله ورسول ، قريش نادي في
إلى أقوم أال ، قريش معشر يا وحده المسجد في جالس
بعضها يقبل لعله أمورا عليه وأعرض فأكلمه محمد
حمزة أسلم حين وذلك ؟ عنا ويكف شاء أيها فنعطيه
يزيدون وسلم عليه الله صلى الله رسول أصحاب ورأوا
: فقام فكلمه إليه قم الوليد أبا يا بلى فقالوا ويكثرون
عليه الله صلى الله رسول إلى جلس حتى عتبة إليه
من علمت قد حيث منا إنك ، أخي ابن يا فقال وسلم
أتيت قد وإنك النسب في والمكان العشيرة في السطة
به وسفهت جماعتهم به فرقت عظيم بأمر قومك
مضى من به وكفرت ودينهم آلهتهم به وعبت أحالمهم
فيها تنظر أمورا عليك أعرض مني فاسمع آبائهم من
صلى . الله رسول له فقال قال بعضها منها تقبل لعلك
، أخي ابن يا قال أسمع الوليد أبا يا قل وسلم عليه الله
لك جمعنا ماال األمر هذا من به جئت بما تريد إنما كنت إن
به تريد كنت وإن ، ماال أكثرنا تكون حتى أموالنا من
وإن ، دونك أمرا نقطع ال حتى ، علينا سودناك شرفا
يأتيك الذي هذا كان وإن ؛ علينا ملكناك ملكا به تريد كنت
، الطب لك طلبنا ، نفسك عن رده تستطيع ال تراه رئيا
ص ] فيه يداوى [ 294وبذلنا حتى الرجل على التابع غلب
صلى . الله ورسول عتبة فرغ إذا حتى له قال كما أو منه
؟ الوليد أبا يا فرغت أقد قال منه يستمع وسلم عليه الله
الله بسم فقال أفعل قال ؛ مني فاسمع قال نعم قال
{ كتاب الرحيم الرحمن من تنزيل حم الرحيم الرحمن
ونذيرا بشيرا يعلمون لقوم عربيا قرآنا آياته فصلت
أكنة في قلوبنا وقالوا يسمعون ال فهم أكثرهم فأعرض
} عليه الله صلى الله رسول مضى ثم إليه تدعونا مما
. أنصت عتبة منه سمعها فلما عليه يقرؤها فيها وسلم
منه يسمع عليهما معتمدا ظهره خلف يديه وألقى ، لها
السجدة إلى وسلم عليه الله صلى الله رسول انتهى ثم
سمعت ما الوليد أبا يا سمعت قد قال ثم فسجد ، منها
أصحابه ] [ على عتبة به أشار ما وذاك فأنت
بالله نحلف لبعض بعضهم فقال أصحابه إلى عتبة فقام
. به ذهب الذي الوجه بغير الوليد أبو جاءكم فلما لقد
: ورائي قال ؟ الوليد أبا يا وراءك ما قالوا إليهم جلس
ما والله ، قط مثله سمعت ما والله قوال سمعت قد أني
، قريش معشر يا بالكهانة وال بالسحر وال بالشعر هو
ما وبين الرجل هذا بين وخلوا ، بي واجعلوها أطيعوني
منه سمعت الذي لقوله ليكونن فوالله فاعتزلوه فيه هو
وإن بغيركم كفيتموه فقد العرب تصبه فإن عظيم نبأ
وكنتم عزكم وعزه ملككم فملكه العرب على يظهر
: بلسانه الوليد أبا يا والله سحرك قالوا به الناس أسعد
لكم . بدا ما فاصنعوا فيه رأيي هذا قال
Terjemah Hadits :
'Utbah Ibn Rabi'ah adalah seorang bangsawan terkemuka, ketika dalam suatu pertemuan ia mencoba membujuk Quraish dengan mengatakan bahwa ia akan berbicara dengan Muhammad dan akan menawarkan kepadanya hal-hal yang barangkali mau menerimanya. Mereka mau memberikan apa saja yang dikehendakinya asal ia dapat dibungkam. Hal demikian itu terjadi ketika Hamzah masuk Islam dan pengikut Muhammad makin banyak. Quraish berkata " hai Abu Walid, pergilah dan bicaralah dengannya. Kemudian 'Utbah mendatangi Rasullah dan berkata kepadanya "…wahai keponakanku, seperti anda ketahui, dari segi keturunan anda mempunyai tempat di kalangan kami. Anda sekarang telah membawa soal besar ketengah-tengah masyarakat hingga tercerai berai. Sekarang dengarkanlah, kami akan menawarkan beberapa masalah, mungkin sebagiannya berkenan kau terima". Rasulullah menjawab " hai Abu Walid, aku siap mendengarkan". Utbah melanjutkan " kalau dalam hal ini kau menginginkan harta, kami siap mengumpulkan harta kami sehingga hartamu kan menjadi yang terbanyak di antara kami. Kalau kau menghendaki pangkat, kami angkat engkau di atas kami semua dan kami tidak akan memutuskan perkara tanpa persetujuanmu. Jika engkau menginginkan menjadi raja, kami nobatkan kau sebagai raja kami. Jika engkau dihinggapi penyakit saraf yang tak dapat kau tolak sendiri, akan kami usahakan pengobatannya sampai sembuh dan kami yang akan menanggung biayanya". Setelah 'Utbah selesai dari bicaranya, Rasulullah berkata " apakah engkau sudah menyelesaikan ucapanmu?" dijawab " ya, sudah" kata Rasul " dengarkan sekarang aku mau bicara" kemudian
Rasulullah membaca surah al Sajadah. Seusai dialog itu 'Utbah keluar dengan air muka yang berbeda ketika ia masuk ke tempat Rasulullah. Ia berkata kepada kaumnya " wahai Quraish aku mendengar suatu ucapan yang belum pernah aku dengar sebelumnya. Itu bukan sihir dan mantra. Saranku biarkanlah lelaki itu dengan urusannya sendiri".
Takhrij Hadits :
Hadits ini tidak ditemukan dalam kitab-kitab hadits mu'tabarah
(Bukhari, Muslim, Sunan al Arba'ah, dan Musnad Ahmad). Ibn Hisyam
dalam sirahnya meriwayatkan hadits ini dari jalur Ibn Ishaq yang
mendengarnya dari Yazid Ibn Ziyad dari Muhammad Ibn Ka'b al Qurazhy.
Dalam jalur riwayat ini, orang yang tersebut terakhir tidak menyebutkan
dari siapa ia mendengar riwayat ini. Orang tersebut merupakan orang dari
golongan tabi'in dan oleh karena itu menurut ketentuan 'ulum al hadits,
derajatnya adalah hadits maqtu'.55 Ibn Katsir dalam Sirah Nabawiyahnya
juga mengutip hadits tersebut, katanya hadits tersebut diriwayatkan oleh
'Abd Ibn Humaid dalam Mushafnya. Mengenai jalur periwayatnnya, Ibn
Humaid mendapatkan hadits tersebut dari Abu Bakar Ibn Abi Syaybah
seperti diceritakan oleh 'Ali Ibn Mashur dari 'Abdullah al Kindi dari Ziyal
Ibn Harmilah al Asdy dari Jabir Ibn 'Abdillah. Orang yang tersebut
terakhir ini adalah golongan sahabat, oleh karena itu haditsnya adalah
mauquf.56
Penjelasan Hadits :
Metode dakwah ketiga seperti tersebut dalam QS al Nahl adalah
mujadalah hasanah. Seperti telah dijelaskan di muka, metode dakwah ini
menurut Qutb adalah dakwah yang dilakukan dengan dialog yang
demokratis, maksudnya dialog yang tidak mengandung unsur
penganiayaan dengan pemaksaan pendapat atau melecehkan dan
merendahkan argumen lawan bicara. Menurut 'Abdul Hamid Ibn Badis,
55 Lihat Abu Muhammad 'Abd al Malik Ibn Hisyam, Sirah Ibn Hisyam, (Mauqi' al Islam), Juz 1, h. 292.56 Lihat Abu Fida' Ibn Katsir, Sirah Nabawiyyah Li Ibn Katsir, (Mauqi' al Ya'sub), Juz 1, h. 501.
jidal (debat) tidak identik dengan dakwah. Dakwah adalah satu hal,
sedangkan debat adalah hal yang lain.57 Namun demikian memang diakui,
kata Ibn Badis, penggunaan debat untuk tujuan dakwah. Walaupun begitu,
kedudukan debat dalam hal ini hanyalah berkedudukan sebagai cara yang
diperbolehkan hanya dalam satu keadaan saja, yakni ketika dakwah
dipertentangkan dengan argumen syubhat dan menyimpangkan dari jalan
Allah.58 Atas dasar pendapat ini, berarti jidal bisa menjadi terpuji atau
tercela tergantung dari konteks di mana ia dipergunakan. Mujadalah
hasanah, berarti debat yang hanya dipergunakan sesuai dengan kebutuhan
dakwah untuk menolak keraguan dan penentangan yang menyimpangkan
kebenaran, lain tidak.59
Merujuk pada hadits di atas, kasus yang dihadapi rasul adalah
segolongan orang yang ragu akan kebenaran Islam. Dilatarbelakangi oleh
keraguan tersebut, maka lahir argumen-argumen syubhat yang berasal dari
subyektifitas lawan bicara. Subyektifitas yang dimaksud adalah sikap
memandang lawan bicara hanya sebagai personal terlepas dari nilai-nilai
yang disampaikan. Jika merujuk pada teori Ibn Badhis, dalam keadaan
seperti inilah debat diperbolehkan sebagai jalan untuk menunjukkan
kebenaran Allah.
Sebagai da'i yang berpedoman pada prinsip mujadalah hasanah,
Rasulullah melakukan dialog secara demokratis. Dialog yang demokratis,
berarti tidak menghendaki adanya pemaksaan dalam pendapat atau
memutus argumen sebelum selesai diutarakan. Hal demikian ditunjukkan
melalui sikap beliau yang bersedia untuk mendengarkan dengan seksama
argumen yang disampaikan lawan sampai selesai, baru setelah itu beliau
mengutarakan argumen-argumennya. Dialog yang sehat seperti ini, bukan
tidak mungkin mengubah persepsi orang, walaupun tidak menerima
menjadi setidaknya menghormati. Perhatikan perubahan sikap yang terjadi
57 'Abdul Hamid Ibn Badis, al Durar al Ghaliyah Fi Adab al Da'wah wa al Da'iah, (Riyadl: Dar al Manar, tt), h. 44.58 Ibid.59 Ibid.
pada 'Utbah Ibn Rabi'ah ketika selesai berdialog dengan Rasul. Inilah
metode dakwah Mujadalah hasanah seperti dicontohkan Rasul, dakwah
yang tidak ada pemakasaan pendapat, tidak ada pelecehan dan sabar dalam
mendengarkan argumen lawan.
C. Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Hamid Ibn Badis, al Durar al Ghaliyah Fi Adab al Da'wah wa al Da'iah, (Riyadl: Dar al Manar, tt).
Abdurrahman Ra'fat al Basya, Suar Min Hayat al Sahabah, (Beirut: Dar al Nafa'is, 1992), Cet. Pertama
Abu 'Abd Allah Ibn Muhammad Ahmad Ibn Hanbal, Musnad Ahmad, (Mauqi' al Islam), Juz 5.
Abu al Fadl al Sayyid al Mu'athi al Naury, Musnad al Jami', (Mauqi' al Islam), Juz 8.
Abu Fida' Ibn Katsir, Sirah Nabawiyyah Li Ibn Katsir, (Mauqi' al Ya'sub), Juz 1.
Abu Isma'il al Bukhari, Sahih Bukhari, (Mauqi' al Islam), Juz 7.
Abu Muhammad 'Abd al Malik Ibn Hisyam, Sirah Ibn Hisyam, (Mauqi' al Islam), Juz 1.
Abu Walid Muhammad Ibn hmad Ibn Rusd al Qurthubi al Andulusi,Bidayat al Mujtahid wa Nihayat al Muqtashid, (Beirut: Dar al Kutub al 'Ilmiyyah, tt), Juz 1.
Ahmad 'Umar Hasyim, al Da'wah al Islamiyyah: Manhâjuha wa Ma'âlimuha, (Kairo: Dar al Gharîb, tt)
Al Bayhaqy, Syu'b al Iman Li al Bayhaqy, (Mauqi' al Sunnah), Juz 11.
Fathi Yakan, Kaifa Nad'u Ila al Islam, (Beirut: Muassasah al Risalah, 1991), Cet. Ke 13.
Ibn Hajar al 'Asqalani, Fath al Bâri Fi Syarh Sahîh al Bukhâri, (Mauqi' al Islam), Juz 6.
Ibrahim Ibn 'Abdullah al Mutlaq, Tadarruj Fi al Da'wah Ila Allah, (Arab Saudi: wizarat al Syu'ûn al Islâmiyyah wa al Auqâf wa al Da'wah wa al Irsyâd Markaz Buhûts Dirâsat al Islâmiyah, 1992), Cet. Pertama.
Khalid Muhammad Khalid, al Rijal Haula al Rasul, (Beirut: Dar al Kutub al 'Ilmiah, 2004), Cet. Kedua.
Muhammad Ibn Isma'il al Yamani al San'ani, Subul al Salam Syarh Bulugh al Maram Min Jam'-I Adillat al Ahkam, (Kairo: Dar al Hadist, 2004), Juz 2.
Muslim Ibn Hujaj al Qusyayri, Sahih Muslim, (Mauqi' al islam), Juz 4.
Nurkholis Madjid, Atas Nama Pengalaman Beragama dan Berbangsa di Masa Transisi, (Jakarta: Paramadina, 2009), Cet. Kedua.
Sayyid Qutb, Tafsir Fî Zhilâl al Qur'ân, (Mauqi' al Islam), Juz 4.
Sayyid Rizq Thawwil, al Da'wah Fi al Islam: 'Aqidah wa Manhaj, (Mekah: Mathba'ah Rabithah al 'Alam al Islami, tt).
Shalih Ibn 'Abdullah al Humaid, Mafhum al Hikmah Fi Da'wah Ila Allah, (Saudi Arabia: Mentri Urusan Keislaman, Dakwah dan Pendidikan, 2001).
Sulaiman Ibn 'Asy'ats al Sijistani Abu Daud, Sunan Abu Daud, (Mauqi' al Islam), Juz 2.
Thabrani, al Mu'jam al Kabir Li al Thabrany, (Mauqi' al Hadits), Juz 7.
Yusuf al Qardlawi, Marji'iyyat al 'Ulya li al Qur'an wa al Sunnah Dlawabith wa Mahazir li Fahmi al Tafsir, Alih Bahasa Baharuddin Fannani, (Kairo: Maktabah Wahbah).
Zain al Din Abi Faraj Ibn Rajab al Hanbaly, Fath al Bary Li Syarh Sahih Bukhari, (Mauqi' al Durar al Saniyyah), Juz 4.