Hadits Tentang Metode Dakwah

48
HADIST TENTANG METODE DAKWAH Oleh: Abdi Fauaji Hadiono A. Pendahuluan Hadist, seperti termuat dalam definisi ulama sebagai segala hal yang didasarkan atas referensi hidup Nabi SAW, baik perkataan, perbuatan atau persetujuan beliau adalah penjelasan dari apa yang sudah ditetapkan dalam al Qur'an. Hal demikian dapat dipahami karena tugas beliau adalah menjelaskan serta mengaplikasikan ajaran-ajaran al Qur'an secara teoritis dan praktis sekaligus. 1 Sedangkan sunnah sebagai kebiasaan hidup Nabi, juga merupakan cerminan ajaran al Qur'an. Hal demikian dapat dipahami karena menurut keterangan yang didapat dari 'Aisyah, etika hidup Nabi SAW adalah ajaran al Qur'an itu sendiri. 2 Artinya, baik Hadits maupun Sunnah dapat eksis disebabkan karena eksistensi al Qur'an. Hal ini menjelaskan, bahwa semua keterangan yang didapat dari Hadist harus dikonfirmasikan ulang terhadap apa yang dipaparkan dalam al Qur'an. 1 Yusuf al Qardlawi, Marji'iyyat al 'Ulya li al Qur'an wa al Sunnah Dlawabith wa Mahazir li Fahmi al Tafsir, Alih Bahasa Baharuddin Fannani, (Kairo: Maktabah Wahbah, tt), h. 62. 2 Hadits mengenai ini diriwayatkan oleh Muslim dalam redaksi yang panjang dari 'Aisyah. Lihat Musim Ibn Hujaj al Qusyayri, Sahih Muslim, (Mauqi' al islam), Juz 4, h. 104, hadits ke 1233.

Transcript of Hadits Tentang Metode Dakwah

Page 1: Hadits Tentang Metode Dakwah

HADIST TENTANG METODE DAKWAHOleh: Abdi Fauaji Hadiono

A. Pendahuluan

Hadist, seperti termuat dalam definisi ulama sebagai segala hal yang

didasarkan atas referensi hidup Nabi SAW, baik perkataan, perbuatan atau

persetujuan beliau adalah penjelasan dari apa yang sudah ditetapkan dalam al

Qur'an. Hal demikian dapat dipahami karena tugas beliau adalah menjelaskan

serta mengaplikasikan ajaran-ajaran al Qur'an secara teoritis dan praktis

sekaligus.1 Sedangkan sunnah sebagai kebiasaan hidup Nabi, juga merupakan

cerminan ajaran al Qur'an. Hal demikian dapat dipahami karena menurut

keterangan yang didapat dari 'Aisyah, etika hidup Nabi SAW adalah ajaran al

Qur'an itu sendiri.2 Artinya, baik Hadits maupun Sunnah dapat eksis

disebabkan karena eksistensi al Qur'an. Hal ini menjelaskan, bahwa semua

keterangan yang didapat dari Hadist harus dikonfirmasikan ulang terhadap

apa yang dipaparkan dalam al Qur'an.

Jika berbicara mengenai Hadist tentang metode dakwah, maka

hendaknya dikonfirmasikan terlebih dahulu tentang informasi al Qur'an dalam

menjelaskan metode dakwah. Dalam al Qur'an, persoalan metode dakwah

dirangkum dalam QS al Nahl/16: 125. "…berdakwahlah ke jalan Tuhanmu

dengan metode hikmah, metode mau'izah hasanah, dan metode mujadalah

hasanah….".  Dari ketiga metode tersebut, maka dikembangkanlah pelbagai

metode dan teknis sesuai dengan kebutuhan dan keperluan dakwah.

Rasulullah sendiri sebagai agen yang memiliki otoritas dalam menjelaskan al

Qur'an, telah mengaplikasikan ketiga metode dakwah tersebut dalam banyak

Hadist beliau seperti akan dirinci dalam pembicaraan selanjutnya.

1 Yusuf al Qardlawi, Marji'iyyat al 'Ulya li al Qur'an wa al Sunnah Dlawabith wa Mahazir li Fahmi al Tafsir, Alih Bahasa Baharuddin Fannani, (Kairo: Maktabah Wahbah, tt), h. 62.2 Hadits mengenai ini diriwayatkan oleh Muslim dalam redaksi yang panjang dari 'Aisyah. Lihat Musim Ibn Hujaj al Qusyayri, Sahih Muslim, (Mauqi' al islam), Juz 4, h. 104, hadits ke 1233.

Page 2: Hadits Tentang Metode Dakwah

Sayyid Qutb dalam Fî Zhilâl al Qur'ân, menjelaskan bahwa metode

Hikmah itu terkait tiga hal. Pertama, dakwah itu harus sesuai dengan situasi

dan kondisi mad'u (ahwal al mukhatabin wa zhurufihim). Kaidah pertama ini

kata Qutb berarti harus sesuai dengan kondisi lingkungan sosial, ekonomi,

politik dan kultural.3 Kedua, materi dakwah itu harus cocok dan pas dengan

kebutuhan mad'u dan tidak boleh overload, sehingga mad'u merasa terbebani

sebelum ia melaksanakannya.4 Ketiga, cara penyampaian dakwah harus tepat

dan sesuai kebutuhan. Dakwah tidak boleh dilakukan dengan bernafsu dan

menggebu sehingga melamapaui batas kearifan.5 Metoda mau'izah hasanah,

berarti dakwah dilakukan dengan nasihat yang masuk dan menyejukkan hati

manusia, bukan yang dapat memerahkan telinga karena penuh unsur kecaman

dan makian yang tidak pada tempatnya.6 Terakhir, metode mujadalah hasanah

berarti dakwah yang dilakukan dengan dialog yang demokratis, yakni dialog

yang tidak mengandung unsur penganiayaan dan pemaksaan pendapat dengan

melecehkan atau merendahkan lawan dialog.7 Ketiga metoda inilah yang akan

penulis paparkan melalui contoh-contoh aplikasi  dakwah nabi seperti

terekam dalam pelbagai Hadist.

B. Hadist Tentang Metode Dakwah

1. Metode Dakwah Hikmah.

a. Dakwah Nabi Kepada Orang yang Tidak Mampu Membayar

Kaffarat Puasa.

Teks Hadist:

حميد أخبرني قال هري الز عن شعيب أخبرنا اليمان أبو حدثنا

نحن بينما قال عنه ه الل رضي هريرة أبا أن حمن الر عبد بن

يا فقال رجل جاءه إذ م وسل عليه ه الل صلى بي الن عند جلوس

3 Sayyid Qutb, Tafsir Fî Zhilâl al Qur'ân, (Mauqi' al Islam), Juz 4, h. 497.4 Ibid.5 Ibid, h. 498.6 Ibid.7 Ibid.

Page 3: Hadits Tentang Metode Dakwah

صائم وأنا امرأتي على وقعت قال لك ما قال هلكت ه الل رسول

قال تعتقها رقبة تجد هل م وسل عليه ه الل صلى ه الل رسول فقال

فقال ال قال متتابعين شهرين تصوم أن تستطيع فهل قال ال

صلى بي الن فمكث قال ال قال مسكينا ين ست إطعام تجد فهل

عليه ه الل صلى بي الن أتي ذلك على نحن فبينا م وسل عليه ه الل

أنا فقال ائل الس أين قال المكتل والعرق تمر فيها بعرق م وسل

ه الل رسول يا ي من أفقر أعلى جل الر فقال به فتصدق خذها قال

بيتي أهل من أفقر بيت أهل تين الحر يريد البتيها بين ما ه فوالل

قال ثم أنيابه بدت ى حت م وسل عليه ه الل صلى بي الن فضحك

( البخاري ( رواه أهلك أطعمه

Terjemah Hadist :

"…suatu ketika kami duduk di sisi Rasulullah, tiba-tiba datang seorang laki-laki dan bertanya kepada beliau : ya Rasulullah, celakalah aku. Jawab Rasul : kenapa engkau ini. Jawab orang itu : aku berjima' dengan istriku padahal aku sedang berpuasa. Kemudian Rasulullah bertanya balik: apakah engkau bisa memerdekakan seorang budak? Jawab: tidak bisa. Rasulullah : berpuasalah dua bulan berturut-turut. Jawab: aku tidak mampu. Rasulullah: berilah makan enampuluh orang miskin. Jawab: aku juga tidak mampu. Kemudian Rasulullah terdiam. Dalam situasi seperti itu, Rasulullah diberi sekantong berisi kurma. Kemudian Rasulullah bertanya: mana tadi orang yang bertanya. Jawab: saya ya Rasulullah. Rasulullah: ambil ini dan bersedekahlah dengannya. Jawab: kepada orang yang lebih fakir dariku ya Rasulullah. Demi Allah, tidak ada keluarga di sini yang lebih fakir dari keluargaku. Kemudian Rasulullah tersenyum sehingga terlihat gusinya seraya berkata "…ambillah dan berilah makan keluargamu…" HR. Bukhari.8

Takhrij Hadist :

Hadist ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab Shaum

fasal ketika berjima' di bulan Ramadlan dari sahabat Abu Hurairah

seperti dikabarkan oleh 'Umaid Ibn 'Abd al Rahman seperti dikabarkan

8 Abu Isma'il al Bukhari, Sahih Bukhari, (Mauqi' al Islam), Juz 7, h. 24, hadist ke 1800 dalam Bab Puasa.

Page 4: Hadits Tentang Metode Dakwah

oleh Syu'aib dari Zuhri seperti diceritakan oleh Abu al Yaman. Hadist

ini juga ditemukan dalam Musnad Ahmad dengan redaksi yang berbeda

seperti yang diceritakan 'Aisyah kepada 'Abdullah Ibn Zubair, seperti

diceritakannya kepada Ibn Ishaq. Orang ini (Ibn Ishaq) menceritakan

hadist tersebut kepada Ya'qub yang kemudian sampai kepada Imam

Ahmad Ibn Hanbal.9 Pengarang kitab Subul al Salam dalam kitabnya

meriwayatkan hadist ini dengan mentakhrijnya sebagai hadits sahih

yang diriwayatkan oleh tujuh orang (sab'ah). Adapun redaksi yang

digunakannya adalah redaksi riwayat Muslim.10

Penjelasan Hadits :

Membaca hadist ini kemudian menghubungkannya dengan

metode dakwah, akan diperoleh kesan dakwah dengan hikmah. Jika

kembali kepada keterangan Sayyid Qutb, bahwa dakwah hikmah itu

diantaranya terkait dengan kondisi dan situasi mad'u, baik kondisi

sosial, politik, ekonomi maupun kultural, maka hadist ini relevan sekali

bagi penulis sebagai sampel praktik dakwah hikmah nabi. Dalam hadits

tersebut ditunjukkan dialog antara seorang laki-laki mukmin selaku

mad'u yang meminta fatwa tentang hukum agama, dan Nabi selaku da'i

yang dimintai fatwa karena dinilai sebagai pihak yang mengerti akan

hukum-hukum agama.

9 Abu 'Abd Allah Ibn Muhammad Ahmad Ibn Hanbal, Musnad Ahmad, (Mauqi' al Islam), Juz 5, h. 313, bagian  Musnad Sabiq.10 Muhammad Ibn Isma'il al Yamani al San'ani, Subul al Salam Syarh Bulugh al Maram Min Jam'-I  Adillat al Ahkam, (Kairo: Dar  al Hadist, 2004), Juz 2, h. 233. Lihat Muslim Ibn Hujaj al Qursayry, Sahih Muslim, (Mauqi' al Islam), Juz 5, h. 428, Bab Puasa, Fasal kaffarat Puasa. Muslim juga meriwayatkan hadist dengan redaksi yang agak berbeda dengan riwayat Ibn 'Uyaynah, yaitu redaksi dari Muhammad Ibn  Muslim al Zuhri dengn Isnad yang sama. Hadist ini juga ditemukan dalam kitab Sunan Abu Daud, lihat Sulaiman al Sijistani Abu Daud, Sunan Abu Daud, (Mauqi' al Islam), Juz 6, h. 355. Lihat Juga Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, (Mauqi' al Islam), Juz 5, h. 179. Lihat juga Abu 'Isa Ibn Muhammad Ibn 'Isa Ibn Tsaurah al Turmudzi, Sunan al Turmudzi, (Mauqi' al Islam), Juz 3, h. 168.

Page 5: Hadits Tentang Metode Dakwah

Pemahaman global terhadap Hadist ini akan mendorong

pemikiran tentang pembenaran terhadap kemudahan hukum (syari'at)

Islam. Islam adalah agama yang didirikan atas tiga aspek yang satu

sama lainnya saling berkaitan, keimanan terhadap doktrin-doktrin

agama (akidah), kepatuhan terhadap aturan-aturan yang telah ditetapkan

(syari'at), dan budipekerti serta keteladanan (akhlak). Syari'at sebagai

satu bagian dari inti ajaran Islam tidak terpisah dari dua aspek lainnya,

lebih dari itu syari'at bersama doktrin dan akhlak membentuk satu paket

yang membentuk karakter seseorang agar memiliki keimanan yang kuat

kepada Tuhannya.

Doktrin, merupakan dasar bangunan yang dengannya seorang

mukmin diarahkan agar memiliki orientasi teologis-eskatologis. Melalui

doktrin, seorang mukmin akan paham bahwa segala eksistensi yang

tampak bukanlah tujuan hidupnya melainkan hanya alat atau sarana

untuk menuju sesuatu yang lebih bernilai, yakni ketuhanan

(transendental value) dan alam akhirat (life after death). Doktrin saja

tidak cukup  karena wujudnya yang abstrak, lebih dari itu ia harus

dikonkritkan dengan amalan-amalan real yang kaidah-kaidahnya telah

ditetapkan sebelumnya berdasarkan doktrin agama, amalan real itulah

yang disebut dengan syari'at. Syari'at juga bukan tujuan agama yang

sebetulnya, karena ia sekedar sarana untuk mewujudkan kesalehan

mukmin dalam tiga aspek, kesalehan terhadap Tuhan, terhadap

manusia, dan terhadap lingkungan sekitar. Karena syari'at hanya

sebagai sarana, maka walaupun telah memiliki ketetapan-ketetapan

baku karakteristiknya tidak statis, tapi fleksibel dan dinamis.

Aplikasi syari'at Islam sangat bergantung kepada situasi dan

kondisi orang yang bersangkutan. Artinya, penerapan syari'at dalam

situasi dan kondisi normal tidak bisa diterapkan dalam situasi dan

kondisi yang abnormal. Maka dalam kaidah hukum Islam dikenal

istilah, al hukmu yaduru ma'a 'illatihi wujudan wa 'adaman ( penetapan

hukum itu bergantung pada ada atau tidaknya alasan logis penetapan

Page 6: Hadits Tentang Metode Dakwah

hukum tersebut), atau kaidahal masyaqqah tajlib al taysir (kesulitan

situasi dan kondisi membawa kemudahan dalam penerapan hukum).

Kedua kaidah hukum di atas sebetulnya ingin menegaskan, bahwa

Tuhan memang menuntut kepatuhan hamba terhadap seluruh ketetapan

hukum-Nya. Namun demikian, Ia tidak lupa bahwa di sisi lain manusia

memiliki keterbatasan yang perlu mendapat keringanan. Karena itu

Tuhan berfirman dalam kitabnya "….Allah tidak membebani manusia

diluar batas kemampuannya…", juga berfirman "…Allah tidak

menghendaki kesulitan atas kalian, tetapi menghendaki

kemudahan…". 

Dalam kaitannya dengan dakwah, melalui watak dan fleksibilits

hukum Islam da'i dituntut agar mampu memperkenalkan wajah Islam

yang simpel. Karena pada hakekatnya ada tujuan yang lebih mendasar

ketimbang hukum-hukum Islam yang formal, yaitu akhlak seorang

mukmin kepada dirinya sendiri yang diwujudkan dengan kejujuran dan

akhlak kepada Allah melalui usaha ketaatan yang maksimal. Dakwah

tidak seharusnya terjebak dalam formalisasi agama sehingga kehilangan

ruh dari agama itu sendiri. Formalisasi agama yang terjadi pada umat

Yahudi, dikritik keras oleh al Qur'an dan dinilainya sebagai bagian dari

penyimpangan agama.11 Watak permisif yang terkandung dalam agama

Kristen juga di kritik oleh Islam dan dinilainya menyimpang dari agama

yang benar.12 Karena hal itulah al Qur'an menegaskan bahwa umat

Islam itu harus menjadi umat yang moderat (ummatan washatan), yang

salah satu tafsirannya adalah moderat dalam hukum antara yang

cenderung formalistis dan permissif. Rasulullah juga mewanti-wanti

umat Islam agar dalam berdakwah hendaknya jangan mengikuti watak

ekstrim ahl al kitab yang dianalogikan sebagai jika mereka masuk

kelobang biawak sekalipun, umat Islam akan mengikutinya.

11 Nurkholis Madjid, Atas Nama Pengalaman Beragama dan Berbangsa di Masa Transisi, (Jakarta: Paramadina, 2009), Cet. Kedua, h. 149.12 Ibid, h. 150.

Page 7: Hadits Tentang Metode Dakwah

Kasus Hadist di atas merupakan contoh dakwah dengan metode

Hikmah, yang salah satu pengertiannya seperti diungkap Sayyid Qutb –

adalah dakwah dengan memperhatikan situasi dan kondisi mad'u dalam

pelbagai aspeknya. Dengan metode Hikmah ini, dakwah tidak akan

kehilangan ruhnya dalam memperkenalkan esensi Islam seperti yang

dikatakan Nabi "…sesungguhnya aku di utus untuk membangun suatu

pencarian kebenaran (hanifiyyah) yang lapang (samhah)…". Menurut

Ibn Hajar al 'Asyqalani dengan mengutip pendapat 'Abd al Ghaniy

dalam Mubhammat, laki-laki yang bertanya kepada Nabi mengenai

hukum kaffarat puasa ini adalah Sulaiman Ibn Sakhr al Bayadli.13

Lelaki ini dalam hadist tersebut digambarkan sebagai mad'u yang

memiliki kondisi ekonomi amat fakir, namun memiliki komitmen yang

kuat terhadap agamanya. Hal demikian dibuktikannya melalui

pengakuannya (confession) ketika ia melakukan pelanggaran terhadap

hukum-hukum agama. Sesuai ketentuan yang baku, orang yang

berpuasa (wajib) diharamkan untuk melakukan persetubuhan dengan

istrinya di siang hari. Pelanggaran atas ketentuan hukum ini seorang

muslim diwajibkan untuk memerdekakan seorang budak mukmin, jika

tidak sanggup maka alternatifnya adalah puasa dua bulan berturut-turut,

dan jika tidak sanggup juga, maka alternatif terakhir adalah memberi

makan enampuluh fakir miskin.14 Dari ketiga alternatif hukuman yang

diberikan Nabi, orang tersebut mengaku tidak sanggup menjalaninya.

Sebagai da'i yang mengerti betul situasi dan kondisi mad'u yang

dihadapinya, Nabi bahkan berinisiatif untuk memberikan makanan

kepadanya agar dapat dijadikan sebagai kaffarat. Namun demikian,

13 Lihat Ibn Hajar al 'Asqalani, Fath al Bâri Fi Syarh Sahîh al Bukhâri, (Mauqi' al Islam), Juz 6, h. 188.14 Menurut QS al Baqarah/2: 187, orang yang berpuasa diharamkan berjima' di siang hari dan diperbolehkan di malam hari. Bagi pelanggarnya, hukumannya adalah disamakan seperti hukuman orang yang sumpah Zihar seperti ditentukan dalam QS al Mujadilah/58: 4. Lihat Abu Walid Muhammad Ibn hmad Ibn Rusd al Qurthubi al Andulusi,Bidayat al Mujtahid wa Nihayat al Muqtashid, (Beirut: Dar al Kutub al 'Ilmiyyah, tt), Juz 1, h. 222.

Page 8: Hadits Tentang Metode Dakwah

diakhir pengakuannya ia mengatakan bahwa diwilayah itu tidak ada

orang yang lebih fakir darinya. Maka keputusan yang diambil beliau

adalah menyuruh orang tersebut untuk mensedekahkan makanan

pemberian beliau kepada keluarganya sebagai kaffarat.

Dari sudut pandang dakwah, keputusan yang diambil Nabi

tersebut untuk memberi makan keluarga sebagai kaffarat puasa sangat

tepat dan dibenarkan. Tindakan beliau tersebut merupakan perwujudan

dari ajaran al Qur'an bahwa infaq (sedekah) itu yang pertama kali

adalah kepada orang tua (keluarga),  jika ada kelebihan maka untuk

kerabat, jika ada kelebihan maka untuk yatim, miskin, dan yang dalam

perjalanan.15 Keputusan tersebut juga selaras dengan pernyataan lain

dalam hadits bahwa sedekah (infak) yang paling baik adalah kelebihan

dari kebutuhan pokok, dan sedekah tersebut harus dimulai dari orang

yang menjadi tanggungan (keluarga).16 Inilah contoh aplikasi dakwah

dengan metode hikmah yang berarti dakwah dengan ilmu, dan ilmu itu

diperoleh jika da'i mengerti dan memahami situasi dan kondisi mad'u.

b. Hadist Mengenai Fatwa Nabi Dalam Menjawab Pertanyaan

Mad'u.

Teks Hadist:

عليه ه الل ى صل بي الن سئل قال عنه ه الل رضي هريرة أبي عن

ماذا ثم قيل ورسوله ه بالل إيمان قال أفضل األعمال أي م وسل

. مبرور حج قال ماذا ثم قيل ه الل سبيل في جهاد قال

Terjemah Hadist :

Dari Abu Hurairah RA., ia berkata Nabi pernah ditanya "…amal-amal apa yang lebih utama?..." jawab Rasulullah "…Iman kepada Allah dan

15 Lihat QS al Baqarah/2: 215.16 Rasulullah bersabada

تعول بمن وابدأ غنى ظهر عن كان ما دقة الص خيرLihat Abu Isma'il al Bukhari, Op.Cit, Juz 5, h. 247, hadist ke 1337 dari Abu Hurairah.

Page 9: Hadits Tentang Metode Dakwah

Rasulnya…". Kemudian ditanya lagi, "…selanjutnya apa?..", jawab "…jihad di jalan Allah…", dikatakan "..selanjutnya apa..?", jawab "..haji mabrur…". HR. Bukhari.Takhrij Hadist :

Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab haji bab kitab

haji mabrur yang disandarkan kepada Abu Hurairah dari Sa'id Ibn

Musayyab dari Zuhri seperti diceritakan oleh Ibrahim Ibn Sa'd kepada

'Abd al 'Aziz Ibn 'Abdullah.17 Hadist ini juga ditemukan dalam Sahih

Muslim dalam kitab iman bab penjelasan keadaan iman kepada Allah

dengan sanad seperti Bukhari hanya saja Ibn Musayyab meriwayatkan

melalui jalur lain yakni Ibn Shihab yang juga memperoleh riwayat ini

dari Ibn Sa'd seperti diberitakan oleh Muhammad Ibn Ja'far Ibn Ziyad

dan juga cerita dari Mansur Ibn Abi Mazahim.18 Sedangkan dalam

Sunan Tirmidzi, hadits dengan sedikit redaksi tambahan "ayu al 'a'mâl

khayr" juga didapat dari Abu Hurairah dengan jalur Abu Salamah

seperti diceritakan Muhammad Ibn 'Amr dari 'Abdah Ibn Sulaiman

seperti diceritakan oleh Abu Kuraib. Oleh al Tirmidzi hadits ini

ditempatkan dalam bab permasalahan mengenai amalan apa yang

utama.19

17 Abu Ismail al Bukhari, Op.Cit, Juz 5, h. 398, hadits ke 1422. Al Bukhari juga meriwayatkan hadits serupa dari jalur Abu Hurairah dan Abu Zar sekaligus dengan sedikit perbedaan redaksi. Pada hadits tersebut hanya disebut iman kepada Allah saja tanpa tambahan " wa Rasulihi" dan menghilangkan lafal haji mabrur. Lihat Ibid, Juz 23, h. 93, Bab Tafsir Qur'an.18 Muslim Ibn Hujaj al Qusayry, Op.Cit, Juz 1, h. 231, hadits ke 118. Hadits yang terdapat dalam kitab Sahih Muslim tersebut hanya menyebutkan iman kepada Allah seperti hadits Bukhari yang melalui jalur tambahan Abu Zar. Muslim juga meriwayatkan hadits yang sama dengan redaksi sedikit berbeda dari Abu Zar dengan menghilangkan tambahan haji mabrur seperti hadits Bukhari dan ditambah lagi dengan pertanyaan " bagaimana memerdekakan budak yang paling sempurna?" dijawab "…yang paling baik dan paling mahal harganya" ditanya lagi " jika aku tidak bisa mengerjakan" dijawab " engkau menolong orang yang mengerjakan perbuatan baik" ditanya "jika aku lemah dari melakukan amal-amal baik?" dijawab "..engkau mencegah diri kalian dari berbuat jahat kepada manusia, hal demikian itu sesungguhnya menjadi sedekah atas diri kalian…" lihat Musim, Ibid, Juz 1, h. 232 dalam bab penjelasan Iman kepada Allah.19 Abu 'Isa Ibn Tsaurah al Tirmidzi, Op.Cit, Juz 6, h. 219, hadits ke 1582. Lihat juga Abu al Fadl al Sayyid al Mu'athi al Naury, Musnad al Jami', (Mauqi' al

Page 10: Hadits Tentang Metode Dakwah

Penjelasan Hadits :

Hal terkait berikutnya dengan dakwah hikmah adalah materi.

Seperti dijelaskan Sayyid Qutb, salah satu karakteristik dakwah hikmah

adalah materinya harus pas dan cocok dengan kebutuhan mad'u, tidak

overload yang mengakibatkan mad'u merasa terbebani sebelum sanggup

melaksanakannya. Jika demikian, maka dakwah hikmah mengharuskan

adanya kesesuaian antara penyampaian materi dan kemampuan

subyektif mad'u. Penyampaian dakwah harus dalam batas yang

dicounter oleh mad'u, baik secara pemikiran (pemahaman), maupun

pelaksanaannya. Statemen yang berbunyi "…ajak bicara manusia sesuai

dengan kadar akal mereka…",20 agaknya mengacu kepada penekanan

materi dakwah hikmah. Maksud dari ungkapan tersebut jika dikaitkan

dengan dakwah berarti perintah untuk berdakwah dengan

memperhatikan kondisi subyektif mad'u. Artinya, materi dakwah harus

dapat dicerna akal (thinkable) dari segi kemampuan kognitif dan dapat

dilaksanakan (aplicable) dari segi kemampuan pisik.

Hadist di atas memuat dialog antara Nabi sebagai da'i dan

penanya sebagai mad'u yang meminta fatwa mengenai amalan apa yang

paling utama dalam Islam. Lebih lanjut menurut hadits tersebut

jawaban beliau adalah iman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian

mengikuti jihad dan haji mabrur. Menarik dalam pembahasan ini,

karena penelusuran terhadap kitab-kitab hadits mu'tabarah ditemukan

adanya hadits dengan redaksi pertanyaan serupa kepada Nabi. Hadits

riwayat Ibn Mas'ud misalnya, dengan pertanyaan yang sama, ditemukan

jawaban yang berbeda dari Rasulullah. Dalam hadits tersebut

disebutkan bahwa amalan yang utama adalah shalat pada waktunya,

berbuat baik kepada kedua orang tua, dan baru kemudian jihad di jalan

Islam), Juz 8, h. 78.20 Fathi Yakan, Kaifa Nad'u Ila al Islam, (Beirut: Muassasah al Risalah, 1991), Cet. Ke 13, h. 28.

Page 11: Hadits Tentang Metode Dakwah

Allah.21 Sedangkan dalam Hadits Abu Daud dari 'Abdullah Ibn Hubsyi

Rasulullah menjawab pertanyaan tersebut dengan jawaban Thul al

Qiyam (memperpanjang raka'at dalam shalat).22

Pakar Hadits Ibn Rajab menambahkan satu riwayat bahwa amal

yang paling utama adalah zikrullah. Ulama ini kemudian mencoba

untuk menjelaskan tentang keragaman jawaban Rasul dalam menjawab

satu pertanyaan yang sama tersebut, katanya masalah inilah yang

membuat kesulitan pemahaman orang banyak.23 Selanjutnya Ibn Rajab

mencoba menjelaskan pandangan-pandangan disekitar maslah ini.

Pandangan pertama mengatakan bahwa amalan yang paling utama yang

dimaksud di sini adalah sebagian dari amalan terutama yang begitu

banyak, bukan semata-mata amalan utama itu sendirian.24 Pandangan

kedua mengatakan bahwa Rasulullah menjawab pertanyaan berdasarkan

pertimbangan subyektif mad'u. Maksudnya jawaban-jawaban

Rasulullah di sini merupakan amalan yang paling utama baginya secara

khusus yang belum tentu menjadi amalan utama bagi lainnya.25

Baik pandangan tentang sebagian dari amalan utama atau amalan

paling utama secara khusus, keduanya berangkat dari perbedaan mad'u

sehingga mengharuskan pula perbedaan materi yang harus disampaikan

21 Lihat Abu Isma'il al Bukhari, Op.Cit, Juz 23, h. 66, hadits ke 6980 dari Ibn Mas'ud. Abu Daud meriwayatkan hadits yang redaksinya sama dari Ummu Farwah dengan membuang tambahan birr al walidayni dan al jihad fi sabilih. Lihat Sulaiman Ibn 'Ast'ats al Sijistani Abu Daud, Sunan Abu Daud, (Mauqi' al Islam), Juz 2, h. 15, hadits ke 362, dalam Bab menjaga waktu shalat.22 Lihat Sulaiman Ibn 'Asy'ats, Op.Cit, Juz  4, h. 94 hadits ke 1129. Dalam bab lain melalui jalur yang sama Abu Daud menambah redaksi shadaqah apa yang paling utama? Dijawab " melawan sifat kikir" kemudian ditanya lagi hijrah apa yang paling utama?, dijawab " yaitu hijrahnya orang dari apa yang diharamkan Allah kepadanya", ditanya lagi " jihad apa yang paling utama?" dijawab " jihadnya orang melawan orang musyrik dengan jiwa dan hartanya", ditanya lagi " mati apa yang paling mulia?" dijawab " matinya orang yang tertumpah darahnya (karena membela kebenaran) dan terluka tubuhnya. Lihat Ibid, h. 240, hadits ke 1238.23Zain al Din Abi Faraj  Ibn Rajab al Hanbaly, Fath al Bary Li Syarh Sahih Bukhari, (Mauqi' al Durar al Saniyyah), Juz 4, h. 18.24 Ibid.25 Ibid.

Page 12: Hadits Tentang Metode Dakwah

kepada mereka. Walaupun materi yang disampaikan berbeda, lanjut Ibn

Rajab bukan berarti penyampaian dakwah beliau tidak konsisten dan

bertentangan satu dan lainnya.26 Iman, shalat dan haji, kata Ibn Rajab,

merupakan bangunan Islam yang lima (mabânî al khams) yang tidak

bisa dipisahkan antara satu dengan yang lain. Dengan demikian,

jawaban Nabi tentang amalan yang paling sempurna dengan Iman, atau

shalat atau haji pada hakekatnya adalah sama. Karena setiap penyebutan

satu kategori adalah simbol yang mewakili penyebutan kategori lainnya

(mabâni al khams bi jumlatiha).27 Ulama ini kemudian mengutip hadits

nabi berikut "empat hal yang tiga di antaranya tidak diterima kecuali

dengan melengkapi keseluruhannya, yaitu shalat, puasa, zakat dan

haji" HR Ahmad.28 Ibn Rajab juga mengutip riwayat dari Huzaifah Ibn

Yaman, bahwa jihad seperti juga amar ma'ruf nahi munkar merupakan

bagian Islam (sahm min sihâm al islâm) yang bersama-sama

denganmabâni' al khams membentuk pilar-pilar penegak Islam. Oleh

karenanya, dalam al Qur'an Allah senantiasa menyertakan antara

keimanan dengan jihad. Misalnya dalam firman Allah QS al Hujarat/49:

15 yang terjemahannya demikian " sesungguhnya orang mukmin yang

beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah

dengan Harta dan jiwanya…" atau dalam firman Allah QS al Shaf/61:

11 yang terjemahannya demikian " engkau beriman kepada Allah dan

Rasul-Nya dengan harta dan jiwa kalian…". Dengan hubungan seperti

ini, maka dapat dipahami jawaban Nabi tentang jihad sebagai amalan

yang paling utama setelah keimanan.

Adapun jawaban Nabi tentang perbuatan baik terhadap kedua

orang tua sebagai amalan yang paling utama, karena perbuatan tersebut

termasuk kedalam keutamaan hak hamba (huqûq al 'ibâd).

Sementara mabâni' al khams seperti yang dijelaskan di atas merupakan

26 Ibid, h. 19.27 Ibid, h. 20.28 Lihat Abu 'Abdullah Ahmad Ibn Hanbal, Op.Cit, Juz 36, h. 195, hadits ke 17121 dari Ziyad Ibn Nu'aim.

Page 13: Hadits Tentang Metode Dakwah

hak Allah (huqûq Allah 'azza wa jalla). Di sisi lain ada keterikatan kuat

antara hak Allah dan hak hamba yang tidak mungkin sempurna satu

tanpa lainnya. Artinya, penunaian hak Allah semata tanpa disertai oleh

penunaian hak hamba tidak akan menjadi amalan yang paling

sempurna. Itulah sebabnya dalam hadits Ibn Mas'ud, penyebutan

berbuat baik kepada orang tua sebagai hak hamba dijelaskan setelah

penyebutan shalat yang merupakan hak Allah.29

Keterkaitan materi tersebut adalah hal yang mesti dipahami dan

dijadikan pertimbangan oleh da'i ketika dihadapkan oleh pertanyaan

mad'unya. Jika dakwah hikmah mengharuskan kecocokan antara materi

dakwah dan kebutuhan mad'u, maka sepatutnya jawaban yang diberikan

adalah juga yang sesuai dengan kondisi subyektif mad'u. Atas dasar

logika ini, maka dapat dipahami pendapat yang mengatakan bahwa

perbedaan jawaban Nabi atas pertanyaan mad'unya merupakan jawaban

khusus dengan mempertimbangkan subyektifitas sipenanya.

Kekhususan jawaban itu, kata Ibn Rajab, terlihat ketika dihadapkan

kepada Ibn Mas'ud yang secara subyektif masih memiliki Ibu dan telah

lama masuk Islam.30 Berbeda dengan Abu Hurairah, walaupun ia masih

memiliki orang tua, namun baru belakangan masuk Islam sehingga

masih perlu untuk dimotivasi akan arti Iman dan jihad.31 Demikian itu

29 Zain al Din Ibn Rajab al Hanbaly, Loc.Cit.30 Ibid, h. 18. 'Abdullah Ibn Mas'ud masih memiliki hubungan darah dengan Rasulullah. Ia masuk islam ketika periode dakwah Mekah (di Dar al Arqam) dan umurnya masih kecil (16 tahun) dan ia merupakan pemuda yang paling dicintai Rasulullah. Setelah masuk Islam, Ibn Mas'ud berkhidmat pada dakwah Rasulullah. Lihat 'Abdurrahman Ra'fat al Basya, Suar Min Hayat al Sahabah, (Beirut: Dar al Nafa'is, 1992), Cet. Pertama, h. 98-99. Lihat juga Khalid Muhammad Khalid, al Rijal Haula al Rasul, (Beirut: Dar al Kutub al 'Ilmiah, 2004), Cet. Kedua, h. 130.31Abu Hurairah masuk Islam melalui orang sesukunya yakni Thufail Ibn 'Amr al Dusy pada tahun keenam setelah Hijrah setelah datang utusan Nabi kepada kaumnya. Ketika masuk Islam, umurnya masih belia dan dia giat melayani Rasul dan membantunya dalam berbagai keperluan dakwah. Lihat 'Abdurrahman Ra'fat al Basya, Op.Cit, h. 480.

Page 14: Hadits Tentang Metode Dakwah

salah satu contoh lain dari aplikasi dakwah hikmah seperti yang

diajarkan rasul kepada juru dakwah.

c. Hadits Tentang Tahapan Dalam Menyampaikan Dakwah.

Teks Hadist:

زكرياء أخبرنا الله عبد أخبرنا مقاتل بن د محم حدثنا

أبي عن صيفي بن الله عبد بن يحيى عن إسحاق بن

عنهما الله رضي عباس ابن عن عباس ابن مولى معبد

بن لمعاذ وسلم عليه الله صلى الله رسول قال قال

كتاب أهل قوما ستأتي إنك اليمن إلى بعثه حين جبل

الله إال إله ال أن يشهدوا أن إلى فادعهم جئتهم فإذا

بذلك لك أطاعوا هم فإن الله رسول دا محم وأن

في صلوات خمس عليهم فرض قد الله أن فأخبرهم

أن فأخبرهم بذلك لك أطاعوا هم فإن وليلة يوم كل

فترد أغنيائهم من تؤخذ صدقة عليهم فرض قد الله

وكرائم فإياك بذلك لك أطاعوا هم فإن فقرائهم على

الله وبين بينه ليس فإنه المظلوم دعوة واتق أموالهم

حجاب

Terjemah hadist:Rasulullah berkata kepada Mu'az Ibn Jabal ketika mengutusnya ke Negeri Yaman "…hai Mu'az, sesungguhnya engkau akan bertemu dengan sekelompok Ahl Kitab. Ketika nanti engkau telah bertemu mereka ajaklah mereka untuk bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad Utusan Allah. Jika mereka menerimanya, maka beritahu mereka bahwa Allah mewajibkan atas mereka shalat lima waktu sehari semalam. Jika mereka menerimanya, beritahu mereka bahwa Allah mewajibkan zakat yang dikolektif dari orang kaya mereka dan didistribusikan kepada orang-orang miskin mereka. Jika mereka menerima itu, maka hati-hatilah engkau dengan harta mereka yang dimuliakan, dan takutlah engkau akan do'a yang teraniaya. Karena hal tersebut tidak terhalang dari Allah.

Takhrij Hadits :

Page 15: Hadits Tentang Metode Dakwah

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari jalur Ibn 'Abbas

seperti diceritakannya kepada majikannya, Abu Ma'bad. Orang yang

terakhir disebut ini kemudian menceritakannya kepada 'Abdullah Ibn

Shayfi yang diteruskannya kepada Isma'il Ibn Umayyah seperti

diceritakannya kepada Fadl Ibn 'Ala seperti diceritakan oleh Abdullah

Ibn Abi Aswad. Bukhari mencatat hadits ini dalam kitabnya pada empat

bab,pertama, dimulikannya harta milik manusia.32 kedua, diambilnya

sadaqah dari orang kaya,33 ketiga, pengutusan Abu Musa dan Mu'az ke

Yaman34 dan keempat, perihal dakwah Nabi SAW.35 kesemua ini

diriwayatkan oleh jalur yang sama seperti dijelaskan di atas.

Muslim dalam kitab Sahih nya juga meriwayatkan hadits serupa

dengan jalur sanad yang sama dengan Bukhari, hanya saja ia menerima

hadits dari Abu Bakar Ibn Abi Syaybah sehingga redaksinya juga

sedikit berbeda. Dalam Sahih Muslim, hadits yang tercatat redaksinya

"fa a'limhum" sebagai ganti "fa akhbirhum" dalam hadits Bukhari.36

Hadits seperti diriwayatkan Muslim juga diriwayatkan oleh al Tirmidzi

dengan redaksi yang sama persis yang diterimanya dari Muhammad Ibn

Abdullah Ibn al Mubarak.37

Penjelasan Hadits :

32 Lihat Abu Ismail al Bukhari, Op.Cit, Juz 5, h. 298, hadits ke 1365. Hadits ini diperoleh al Bukhari dari Umayyah Ibn Bushtham dengan perbedaan redaksi hadits demikian " falyakun awwalu ma tad'uhum ilaihi 'ibadat Allah, dan  " faizda 'arafu". Kemudian pada akhir redaksi hadits tersebut juga terdapat perbedaan " fakhuz minhum watawaqqa karaima amwal al nas".33 Ibid, Juz 5, h. 356, hadits ke 1401. Pada  redaksi hadits ini digunakan kata " faidza 'atha'u laka bidzalika" dan kata "karaima amwalihim".34 Ibid, Juz 13, h. 243, hadits ke 4000.  Redaksi hadits ini digunakan kata "tha'u" dengan menghilangkan hamzah.35 Ibid, Juz 22, h. 363, hadits ke 6824. Redaksi hadits ini serupa dengan hadits yang pada bab kehormatan harta manusia, hanya saja pada awal hadits digunakan kata "an yuwahidu Allah", kemudian kata " fain fa'alu" pada bab ini diganti dengan kata "fain shallu". Sedangkan kata " fain atha'u" pada hadits terdahulu diganti dengan kata " fain aqarru".36 Lihat Muslim Ibn Hujaj al Qusayri, Op.Cit, Juz 1, h. 111, hadits ke 27.37 Lihat al Tirmidzi, Op.Cit, Juz 8, h. 279, hadits ke 2475.

Page 16: Hadits Tentang Metode Dakwah

Aspek ketiga yang disorot dalam dakwah hikmah menurut teori

Sayyid Qutb adalah aspek penyampaian dakwah (tablîgh). Menurut

Qutb, dakwah hikmah itu harus disampaikan dengan cara yang bijak

dan tidak menggebu-gebu sehingga melampaui batas kearifan. Adapun

yang dimaksud dengan penyampaian dakwah yang menggebu-gebu di

sini adalah kehendak da'i yang terlamapu ideal sehingga tidak

memperhatikan adanya faktor tahapan (tadarruj) dalam berdakwah.

Islam sebagai tema yang dijadikan perhatian dalam dakwah, memiliki

stratafikasi ajaran, dimulai dari yang esensial, kemudian dilanjutkan

dengan ajaran penopang hingga yang bersifat ajaran-ajaran yang

bersifat parsial. Semua itu disampaikan kepada mad'u dengan proses

yang bertahap (tadarruj fi al da'wah) sesuai dengan prioritas dalam

stratafikasi ajaran.38

Menurut Ibrahim al Muthlaq, yang dinamakan dengan taddaruj

dakwah adalah menyajikan dakwah (al taqaddum) kepada mad'u

dengan cara bertahap agar dapat sampai kepada tujuan dakwah sesuai

dengan metode khusus yang disyari'atkan.39 Melalui metode tadarruj ini,

menurut al Muthlaq, maka dakwah kepada muslimin berbeda dengan

dakwah kepada non muslim. Dakwah kepada muslimin dilakukan

dengan memperhitungkan kondisi mad'u dengan berorientasi agar

berpegang teguh kepada ketaatan Allah dan Rasul-Nya serta

mengamalkan ajaran al Qur'an dan Sunnah.40 Sedangkan dakwah

kepada non muslim dilakukan dengan mensosialisasikan akidah tauhid

dan syari'at Islam.41

Tauhid kata al Muthlaq, merupakan dasar di mana Islam

didirikan, itulah sebabnya ia disebut agama tauhid. Esensi dari tauhid

38Baca Ahmad 'Umar Hasyim, al Da'wah al Islamiyyah: Manhâjuha wa Ma'âlimuha, (Kairo: Dar al Gharîb, tt), h. 17.39Ibrahim Ibn 'Abdullah al Mutlaq, Tadarruj Fi al Da'wah Ila Allah, (Arab Saudi: wizarat al Syu'ûn al Islâmiyyah wa al Auqâf wa al Da'wah wa al Irsyâd Markaz Buhûts Dirâsat al Islâmiyah, 1992), Cet. Pertama, h. 12.40 Ibid, h. 14.41 Ibid, h. 15.

Page 17: Hadits Tentang Metode Dakwah

pada hakekatnya adalah menyendirikan Allah dalam hal peribadatan,

itulah inti ajaran para rasul seperti diturunkan Allah melalui kitab-kitab-

Nya.42 Inilah hal pertama yang diperintahkan Rasul kepada Mu'adz

ketika beliau mengutusnya untuk berdakwah di hadapan Ahl al Kitab

Yaman. Ahlu Kitab sebagai senior dalam penerimaan risalah Allah,

adalah kaum yang pernah mengenal ajaran tentang keesaan Allah.

Namun demikian konsep ketauhidan dalam keyakinan Ahlu Kitab telah

terkontaminasi oleh pandangan-pandangan yang keliru. Konsep tauhid

yang benar, kata al Muthlaq, terdiri dari dua hal. Pertama, tauhid dalam

hal pengetahuan (al ma'rifah) dan penetapan ketuhanan (al

itsbat). Kedua, tauhid ketuhanan (uluhiyyah), yakni memurnikan

peribadatan kepada Allah dari penyembahan mahluk, baik

penyembahan malaikat, para nabi maupun yang lainnya.43 Kata al

Muthlaq, orang non muslim meyakini yang pertama, tapi tidak

demikian dengan yang kedua.44 Itulah sebabnya dalam riwayat lain

hadits ini redaksinya berbunyi "maka hal pertama yang harus kau

dakwahkan adalah ibadah kepada Allah". Perintah Nabi kepada Mu'adz

dapat dipahami sebagai intruksi agar pertama yang mesti didakwahkan

da'i kepada nonmuslim adalah ajakan untuk memurnikan tauhid dengan

meninggalkan pengkultusan kepada Nabi atau mahluk lain setara

dengan Tuhan. Kemurinan beribadah kepada Allah tidak mungkin

dicapai kecuali dengan ketaatan kepada apa yang disampaikan oleh

utusan Allah. Itulah sebabnya dalam hadits ini, disetarakan antara

ajakan untuk mendeklrasikan tauhid, dengan dakwah untuk pengakuan

kerasulan Muhammad.

Tauhid kata al Muthlaq memiliki kaitan erat dengan syari'at. Jika

tauhid mewajibkan eksistensi syari'at, maka syari'at merupakan wadah

aktual bagi tauhid. Dengan pernyataan ini, maka dapat dipahami

42 Ibid, h. 21.43 Baca  Ibid, h. 22-23.44 Ibid.

Page 18: Hadits Tentang Metode Dakwah

penafsiran Rasulullah dalam Sunahnya akan arti iman dengan "tauhid

plus syari'at" seperti terbaca dalam potongan hadits Rasulullah berikut.

بالله باإليمان اإليمان : "  وحده آمركم ما أتدرون قال ،

: : " قال ، أعلم ورسوله الله قالوا ؟ وحده بالله

، الله رسول محمدا وأن ، الله إال إله ال أن شهادة

وأن ، رمضان وصوم ، الزكاة وإيتاء ، الصالة وإقام

الخمس المغنم من تعطوا" ….aku menyuruh kamu dengan iman kepada Allah semata. Apakah kamu mengerti apa itu iman kepada Allah semata. Dijawab " Allah dan Rasul-Nya lebih tahu" kata Rasul " (iman) yaitu bersaksi tiada tuhan selain Allah, Mengakui muhammad sebagai Rasul-Nya, mendirikan shlat, menunikan zakat, puasa ramadhan dan memberi seperlima dari hasil ternak…" HR Bukhari.45

Atas dasar logika demikian, maka langkah berikutnya setelah

mengakui tauhid dan kerasulan muhammad dalam tadarruj

da'wah adalah mensosialisasikan syari'at. Demikian, karena syari'at

merupakan buah yang harus muncul dari pengakuan terhadap tauhid.46

Inilah wasiat berikutnya seperti disampaikan Rasulullah kepada Mu'adz

sebagai da'i agar menyampaikan syari'at Islam jikalau orang non

muslim Yaman beriman yang dalam hadits ini disimbolkan dengan

berita untuk melakukan shalat sebagai syari'at yang berkaitan dengan

Tuhan, dan shadaqah (zakat) sebagai syari'at yang mewakili hak

manusia. Di akhir wasiat tersebut, Rasulullah berpesan kepada Mu'adz

agar menjaga hak-hak kepemilikan yang telah ditunaikan kewajibannya.

Dalam hal ini memang pengutusan Mu'adz ke Yaman dalam rangka dua

hal. Pertama, menyiarkan Islam dan kedua, menegakkan politik di

negeri tersebut. Wasiat Rasul untuk memberitakan tauhid dan syari'at

45 Abu Ismail al Bukhari, Op.Cit, Juz 1, h. 92, hadits ke 51, dari Syu'bah Ibn Abi Hamzah.46 Ibrahim al Muthlaq, Op.Cit, h. 36.

Page 19: Hadits Tentang Metode Dakwah

adalah tugas beliau sebagai da'i. sedangkan wasiat Rasul untuk menjaga

hak kepemilikan adalah dalam rangka tugas beliau sebagai politisi.

Inilah contoh dakwah hikmah seperti diwasiatkan Rasul kepada

Mu'adz dan juga kepada para da'i. Dalam dakwah hikmah, dilarang

keras untuk menyampaikan ajaran-ajaran parsial sebelum yang esensial,

baik dengan maksud religiusitas (karena keinginan akan hidayah mad'u

yang terlalu menggebu), apalagi untuk tujuan politik yang kotor.

Karena hal demikian tidak akan menyampaikan maksud dari tujuan

dakwah yang sebenarnya serta kehilangan nilai kearifannya, malahan

menjadikan dakwah menjadi bahan lelucon yang murah.

2. Metode Dakwah Mau'izah Hasanah.

Teks Hadits:

يا فقال وسلم عليه الله صلى النبي أتى شابا فتى إن

فزجروه عليه القوم فأقبل نا بالز لي ائذن الله رسول

قال فجلس قال قريبا منه فدنا ادنه فقال مه مه قالوا

وال قال فداءك الله جعلني والله ال قال ك ألم أتحبه

والله ال قال البنتك أفتحبه قال هاتهم ألم يحبونه الناس

يحبونه الناس وال قال فداءك الله جعلني الله رسول يا

الله جعلني والله ال قال ألختك أفتحبه قال لبناتهم

أفتحبه قال ألخواتهم يحبونه الناس وال قال فداءك

الناس وال قال فداءك الله جعلني والله ال قال تك لعم

جعلني والله ال قال لخالتك أفتحبه قال اتهم لعم يحبونه

فوضع قال لخاالتهم يحبونه الناس وال قال فداءك الله

ن وحص قلبه ر وطه ذنبه اغفر اللهم وقال عليه يده

شيء إلى يلتفت الفتى ذلك بعد يكن فلم فرجه

Terjemah Hadits:

Page 20: Hadits Tentang Metode Dakwah

"…sesungguhnya seorang perjaka belia pernah mendatangi Rasulullah SAW  kemudian ia berkata " wahai Rasulullah izinkan aku untuk melakukan zina ". kemudian para sahabat berdiri hendak memberi pelajaran seraya berkata "…enyah engkau..!!!". Rasulullah menyuruh para sahabat untuk membiarkannya dan mendekatkan duduk di sampingnya. Kemudian Rasulullah berkata "..apakah engkau rela jika ibumu berzina?", dijawab " demi Allah, tidak". Kata Rasul " begitupun orang tidak rela jika ibunya berzina. Bagaimana jika anakmu yang berzina?" dijawab " demi Allah, tidak". Kata Rasul " begitupun orang tidak rela jika anaknya yang berzina. Bagaimana jika pelakunya saudara perempuanmu?", dijawab " demi Allah, tidak". Kata Rasul " begitupun orang tidak akan rela jika saudara perempuan mereka berzina. Bagaimana jika pelakunya bibimu?" dijawab " demi Allah, tidak". Kata Rasul " begitupun orang tidak akan rela jika bibinya berzina". Kemudian Rasulullah meletakan tangannya di bahunya seraya berdoa " ya Allah ampunilah dosanya, sucikanlah hatinya, dan jagalah kemaluannya. Setelah kejadian itu pemuda tersebut tidak lagi melakukan zina." HR. Ahmad.

Takhrij Hadits :

Hadits ini diriwayatkan oleh imam Ahmad Ibn Hanbal melalui jalur

Abu umamah yang meneruskannya kepada Sulaim Ibn 'Amr. Orang yang

disebut terakhir ini kemudian menceritakan riwayat ini kepada Hariz Ibn

'Utsman, kemudian diceritakan lagi kepada Yazid Ibn Harun hingga

sampai kepada perawi (Ahmad Ibn Hanbal). Dalam Musnadnya, Ibn

Hanbal meletakan  hadits ini pada bagian hadits-hadits Abu Umamah.47

Hadits ini juga ditemukan dalam kitab Mu'jam Kabir karya monumental al

Thabrany dengan sedikit perbedaan redaksi. Pada riwayat ini, kata bi al

zina diganti dengan fi al zina, kemudian kata faaqbala al qoum diganti

dengan fashaa ha al nas. Dalam riwayat ini juga ditambahkan

kata aqirruhu idna sebagai ganti kata fadana minhu qariban. Jalur yang

digunakan al Thabrany dalam meriwayatkan hadits ini sama dengan

Ahmad, hanya saja setelah Harits Ibn 'Utsman, jalur periwayatan berbelok

kepada Abu al Yaman Hakam Ibn Nafi' dan Abu Yazid al Huty. Kedua

47 Lihat Ahmad Ibn Hanbal, Op.Cit, Juz 45, h. 180, hadits ke 21185.

Page 21: Hadits Tentang Metode Dakwah

orang tersebut kemudian meneruskan hadits ke Abu al Mughirah yang

kemudian menceritakannya kepada Ahmad Ibn 'Abdul Wahhab al Huthy.48

Seperti al Thabrani, al Bayhaqy juga meriwayatkan hadits serupa

dengan redaksi berbeda. Dalam riwayat bayhaqy ini, kata i'zan

li (izinkanlah aku) diganti dengan kata hal tuazzinu li (apakah engkau

mengizinkan aku), sedangkan redaksi lainnya kelihatan mirip dengan

periwayatan al Thabrany.49 Dari segi jalurnya, hadits riwayat al Bayhaqy

juga bersumber dari Abu Umamah dengan sanad persis seperti hadits

imam Ahmad, namun sanad yang terdapat dalam al Bayhaqy kelihatannya

lebih panjang karena setelah nama Yazid Ibn Harun masih ada beberapa

nama-nama yang disebut sebagai sanadnya seperti Muhammad Ibn 'Abd al

Malik al Daqiqy, Muhammad Ibn Muhammad al Ats'ats, Abu Ahmad Ibn

al 'Ady al Hafidz serta Abu Sa'id al Maliny.

Penjelasan Hadits :

Selain dakwah hikmah, dalam penjelasan QS al Nahl juga disebut

dakwah dengan metode mau'izah hasanah. Jika mengikuti teori Sayyid

Qutb di awal pembahasan ini, maka unsur yang harus dipenuhi dalam

metode ini ada tiga. Pertama, dakwah mau'izah hasanah harus

mengandung unsur nasihat. Kedua, nasehat tersebut dapat menyejukan

hati. Ketiga, nasehat tersebut tidak mengandung unsur kecaman dan

makian yang membuat orang jera mendengarnya. Menurut pakar dakwah

Shalih al Humaid, nasihat yang menyejukkan hati dan tanpa kecaman

tersebut ditujukan untuk melembutkan hati lawan bicara (baca: mad'u)

agar menjadi mudah untuk melakukan pelbagai kebajikan dan terurungkan

dari melakukan maksiat.50

48 Thabrani, al Mu'jam al Kabir Li al Thabrany, (Mauqi' al Hadits), Juz 7, h. 177, hadits ke 7577.49 Al Bayhaqy, Syu'b al Iman Li al Bayhaqy, (Mauqi' al Sunnah), Juz 11, h. 399, Hadits ke 5181.50 Shalih Ibn 'Abdullah al Humaid, Mafhum al Hikmah Fi Da'wah Ila Allah, (Saudi Arabia: Mentri Urusan Keislaman, Dakwah dan Pendidikan, 2001), h. 7.

Page 22: Hadits Tentang Metode Dakwah

Dalam buku Dakwah Fi al Islam, Sayyid Rizq al Thawil merangkum

beberapa karakteristik dalam dakwah mau'izah hasanah. Pertama, dakwah

mau'izah hasanah adalah dakwah dengan ucapan yang lembut yang

bernuansa pertemanan (al rifq). Dengan demikian, menurut al Thawil

mau'izah hasanah sebisa mungkin menghindari sikap kasar, garang serta

ungkapan yang menyakitkan (qaswat al 'ibarat). Dakwah mau'izah

hasanah tidak boleh mengandung unsur penghinaan atau membodohi

orang, sebaliknya harus menguasai hati mad'u dengan cara menjauhi

segala anggapan dan pikiran buruk tentang mad'u.51 Kedua, dakwah

mau'izah hasanah adalah dakwah dengan mengemukakan analogi yang

fasih (fasahat al 'ibarat) dan menjauhkan dari istilah-istilah yang kurang

pantas baik dari segi ucapan maupun artinya.52 Ketiga, dakwah mau'izah

hasanah menghendaki adanya efesiensi dalam ucapan dan menghindari

sebisa mungkin perkataan yang tidak perlu untuk diungkapkan. Mau'izah

hasanah juga harus bisa mengcountersikap jahat yang kelewat batas

dengan cara mengimbanginya dengan ucapan yang baik (idfa' bi allatî hiya

ahsan). Keempat, mau'izah hasanah bukanlah dakwah dengan cara

memutarbalikkan ucapan, sebaliknya dakwah harus mengganti semua

cacian dan persangkaan buruk dengan ajakan untuk merenung dan berpikir

tentang kebenaran.53 Kelima, mau'izah hasanah adalah dakwah yang bisa

memberi efek perubahan sikap yang lebih baik (al ta'tsir al 'athifi) melalui

penjelasan yang memuaskan mad'u.54

Hadits di atas menggambarkan bagaimana sikap yang seharusnya

dilakukan seorang da'i ketika menyampaikan nasehat Islam kepada

mad'unya. Pertanyaan pemuda kepada Nabi yang meminta izin untuk

berzina, adalah ungkapan seorang yang patuh terhadap agama namun tidak

memahami esensi dari ajaran agama. Sikap keberagamaan seperti

51 Sayyid Rizq Thawwil, al Da'wah Fi al Islam: 'Aqidah wa Manhaj, (Mekah: Mathba'ah Rabithah al 'Alam al Islami, tt), h. 92.52 Ibid, h. 94.53 Ibid, h. 96.54 Ibid, h. 97.

Page 23: Hadits Tentang Metode Dakwah

demikian ini kerap dijumpai pada kebanyakan orang pada umumnya

(golongan awam). Kepatuhan terhadap agama yang dimaksud adalah

kesadaran seorang muslim untuk menjadikan perintah Allah dan Rasul-

Nya sebagai basic dalam menentukan sikap hidup dan perilaku.

Kejujuran si pemuda untuk meminta izin kepada Nabi untuk

melakukan hal yang dikiranya lumrah, sebetulnya didasari oleh sikap

kesadaran yang tinggi akan kepatuhan terhadap agama yang diyakininya.

Namun ia tidak memahami esensi dan tujuan dari keyakinannya tersebut.

Kepatuhan terhadap agama akan sempurna jika dilengkapi oleh

pemahaman tentang esensi dan tujuan dari ajaran agama yang diyakini.

Sebaliknya, kepatuhan semata tanpa pemahaman agama akan melahirkan

formalisasi dalam beragama. Formalisasi dalam beragama biasanya

ditampakkan dalam bentuk keinginan untuk melegitimasi kehendak

pribadi (nafsu) melalui konfirmasi agama. Sikap demikian inilah yang

tunjukkan sipemuda ketika ia hendak melegitimasi nafsu pribadinya untuk

berzina dengan meminta perizinan nabi. Sikap naif dalam beragama seperti

ini sebetulnya lahir dari innocent unknowledge (keluguan karena tidak

memiliki pengetahuan) yang biasanya ditemukan pada orang awam.

Dalam dakwah, metode yang tepat untuk golongan orang yang

memiliki sikap keberagamaan seperti tersebut adalah mau'izah hasanah.

Dengan metode ini, hal berharga yang hendak diajarkan Rasulullah kepada

da'i ketika menghalangi sahabat yang hendak ingin memberi pelajaran

kepada pemuda karena dikira melecehkan agama adalah keharusan untuk

menghargai keimanan dengan menunjukkan sikap kelembutan dan kasih

sayang dan membuang segala prasangka buruk terhadap mad'u. Inilah

sikap yang dicontohkan oleh Rasul seperti tersebut dalam al Qur'an "…

kasih sayang terhadap orang mukmin dan keras terhadap orang kafir…"

(QS al Fath/48: 29), bukannya cacian dan makian.

Mau'izah hasanah juga mengharuskan adanya ajakan untuk berpikir

tentang kebenaran melalui alur logika tamtsil (perumpamaan) yang

efesien. Perhatikan bagaimana Rasul menanggapi pertanyaan pemuda

Page 24: Hadits Tentang Metode Dakwah

dengan logika tamtsil tanpa memberi jawaban baik positif maupun negatif.

Jika ditelaah lebih jauh, ditemukan dua tujuan pokok dari sikap demikian

ini. Pertama, memahamkan mad'u akan tujuan dan esensi ajaran

agama.Kedua, menghidupkan potensi (baca: naluri) kebaikan yang

sebetulnya telah tertanam dalam jiwa manusia. Mengenai yang pertama,

Rasulullah ingin menunjukkan kepada sipemuda bahwa ada alasan rasional

dibalik perintah dan larangan agama terhadap suatu hal. Ajaran Islam tidak

didasarkan atas dogma yang buntu, lebih dari itu ia didasarkan

pada reason yang berorientasi pada kemaslahatan. Artinya Islam tidak

hanya menyuruh atau melarang, tapi ada tujuan-tujuan mulia dibalik

semua perintah dan larangan tersebut. Sedangkan mengeni potensi

kebaikan, sebetulnya pada diri manusia telah tertanam naluri kebaikan

sejak awal penciptaannya (fitrah). Dengan naluri itu, pada kondisi normal

pada hakekatnya mudah bagi manusia untuk melakukan kebajikan dan

berat hati manusia untuk melakukan kejahatan. Fitrah kebaikan itulah yang

ingin dihidupkan Rasul melalui nasehat beliau kepada si pemuda, sehingga

dengan sendirinya telah terjawab pertanyaan tanpa perlu lagi mengatakan

"ya" atau "tidak". Dengan penjelasan yang memuaskan tersebut, maka

dakwah mau'izah hasanah berhasil memberikan efek positif terhadap sikap

mad'u seperti diceritakan di akhir hadits.

3. Metode Dakwah Mujadalah Hasanah.

Teks Hadits :

جالس وهو يوما قال ، سيدا وكان ، ربيعة بن عتبة أن

وسلم عليه الله صلى الله ورسول ، قريش نادي في

إلى أقوم أال ، قريش معشر يا وحده المسجد في جالس

بعضها يقبل لعله أمورا عليه وأعرض فأكلمه محمد

حمزة أسلم حين وذلك ؟ عنا ويكف شاء أيها فنعطيه

يزيدون وسلم عليه الله صلى الله رسول أصحاب ورأوا

: فقام فكلمه إليه قم الوليد أبا يا بلى فقالوا ويكثرون

Page 25: Hadits Tentang Metode Dakwah

عليه الله صلى الله رسول إلى جلس حتى عتبة إليه

من علمت قد حيث منا إنك ، أخي ابن يا فقال وسلم

أتيت قد وإنك النسب في والمكان العشيرة في السطة

به وسفهت جماعتهم به فرقت عظيم بأمر قومك

مضى من به وكفرت ودينهم آلهتهم به وعبت أحالمهم

فيها تنظر أمورا عليك أعرض مني فاسمع آبائهم من

صلى . الله رسول له فقال قال بعضها منها تقبل لعلك

، أخي ابن يا قال أسمع الوليد أبا يا قل وسلم عليه الله

لك جمعنا ماال األمر هذا من به جئت بما تريد إنما كنت إن

به تريد كنت وإن ، ماال أكثرنا تكون حتى أموالنا من

وإن ، دونك أمرا نقطع ال حتى ، علينا سودناك شرفا

يأتيك الذي هذا كان وإن ؛ علينا ملكناك ملكا به تريد كنت

، الطب لك طلبنا ، نفسك عن رده تستطيع ال تراه رئيا

ص ] فيه يداوى [ 294وبذلنا حتى الرجل على التابع غلب

صلى . الله ورسول عتبة فرغ إذا حتى له قال كما أو منه

؟ الوليد أبا يا فرغت أقد قال منه يستمع وسلم عليه الله

الله بسم فقال أفعل قال ؛ مني فاسمع قال نعم قال

{ كتاب الرحيم الرحمن من تنزيل حم الرحيم الرحمن

ونذيرا بشيرا يعلمون لقوم عربيا قرآنا آياته فصلت

أكنة في قلوبنا وقالوا يسمعون ال فهم أكثرهم فأعرض

} عليه الله صلى الله رسول مضى ثم إليه تدعونا مما

. أنصت عتبة منه سمعها فلما عليه يقرؤها فيها وسلم

منه يسمع عليهما معتمدا ظهره خلف يديه وألقى ، لها

السجدة إلى وسلم عليه الله صلى الله رسول انتهى ثم

سمعت ما الوليد أبا يا سمعت قد قال ثم فسجد ، منها

أصحابه ] [ على عتبة به أشار ما وذاك فأنت

Page 26: Hadits Tentang Metode Dakwah

بالله نحلف لبعض بعضهم فقال أصحابه إلى عتبة فقام

. به ذهب الذي الوجه بغير الوليد أبو جاءكم فلما لقد

: ورائي قال ؟ الوليد أبا يا وراءك ما قالوا إليهم جلس

ما والله ، قط مثله سمعت ما والله قوال سمعت قد أني

، قريش معشر يا بالكهانة وال بالسحر وال بالشعر هو

ما وبين الرجل هذا بين وخلوا ، بي واجعلوها أطيعوني

منه سمعت الذي لقوله ليكونن فوالله فاعتزلوه فيه هو

وإن بغيركم كفيتموه فقد العرب تصبه فإن عظيم نبأ

وكنتم عزكم وعزه ملككم فملكه العرب على يظهر

: بلسانه الوليد أبا يا والله سحرك قالوا به الناس أسعد

لكم . بدا ما فاصنعوا فيه رأيي هذا قال

Terjemah Hadits :

'Utbah Ibn Rabi'ah adalah seorang bangsawan terkemuka, ketika dalam suatu pertemuan ia mencoba membujuk Quraish dengan mengatakan bahwa ia akan berbicara dengan Muhammad dan akan menawarkan kepadanya hal-hal yang barangkali mau menerimanya. Mereka mau memberikan apa saja yang dikehendakinya asal ia dapat dibungkam. Hal demikian itu terjadi ketika Hamzah masuk Islam dan pengikut Muhammad makin banyak. Quraish berkata " hai Abu Walid, pergilah dan bicaralah dengannya. Kemudian 'Utbah mendatangi Rasullah dan berkata kepadanya "…wahai keponakanku, seperti anda ketahui, dari segi keturunan anda mempunyai tempat di kalangan kami. Anda sekarang telah membawa soal besar ketengah-tengah masyarakat hingga tercerai berai. Sekarang dengarkanlah, kami akan menawarkan beberapa masalah, mungkin sebagiannya berkenan kau terima". Rasulullah menjawab " hai Abu Walid, aku siap mendengarkan". Utbah melanjutkan " kalau dalam hal ini kau menginginkan harta, kami siap mengumpulkan harta kami sehingga hartamu kan menjadi yang terbanyak di antara kami. Kalau kau menghendaki pangkat, kami angkat engkau di atas kami semua dan kami tidak akan memutuskan perkara tanpa persetujuanmu. Jika engkau menginginkan menjadi raja, kami nobatkan kau sebagai raja kami. Jika engkau dihinggapi penyakit saraf yang tak dapat kau tolak sendiri, akan kami usahakan pengobatannya sampai sembuh dan kami yang akan menanggung biayanya". Setelah 'Utbah selesai dari bicaranya, Rasulullah berkata " apakah engkau sudah menyelesaikan ucapanmu?" dijawab " ya, sudah" kata Rasul " dengarkan sekarang aku mau bicara" kemudian

Page 27: Hadits Tentang Metode Dakwah

Rasulullah membaca surah al Sajadah. Seusai dialog itu 'Utbah keluar dengan air muka yang berbeda ketika ia masuk ke tempat Rasulullah. Ia berkata kepada kaumnya " wahai Quraish aku mendengar suatu ucapan yang belum pernah aku dengar sebelumnya. Itu bukan sihir dan mantra. Saranku biarkanlah lelaki itu dengan urusannya sendiri".

Takhrij Hadits :

Hadits ini tidak ditemukan dalam kitab-kitab hadits mu'tabarah

(Bukhari, Muslim, Sunan al Arba'ah, dan Musnad Ahmad). Ibn Hisyam

dalam sirahnya meriwayatkan hadits ini dari jalur Ibn Ishaq yang

mendengarnya dari Yazid Ibn Ziyad dari Muhammad Ibn Ka'b al Qurazhy.

Dalam jalur riwayat ini, orang yang tersebut terakhir tidak menyebutkan

dari siapa ia mendengar riwayat ini. Orang tersebut merupakan orang dari

golongan tabi'in dan oleh karena itu menurut ketentuan 'ulum al hadits,

derajatnya adalah hadits maqtu'.55 Ibn Katsir dalam Sirah Nabawiyahnya

juga mengutip hadits tersebut, katanya hadits tersebut diriwayatkan oleh

'Abd Ibn Humaid dalam Mushafnya. Mengenai jalur periwayatnnya, Ibn

Humaid mendapatkan hadits tersebut dari Abu Bakar Ibn Abi Syaybah

seperti diceritakan oleh 'Ali Ibn Mashur dari 'Abdullah al Kindi dari Ziyal

Ibn Harmilah al Asdy dari Jabir Ibn 'Abdillah. Orang yang tersebut

terakhir ini adalah golongan sahabat, oleh karena itu haditsnya adalah

mauquf.56

Penjelasan Hadits :

Metode dakwah ketiga seperti tersebut dalam QS al Nahl adalah

mujadalah hasanah. Seperti telah dijelaskan di muka, metode dakwah ini

menurut Qutb adalah dakwah yang dilakukan dengan dialog yang

demokratis, maksudnya dialog yang tidak mengandung unsur

penganiayaan dengan pemaksaan pendapat atau melecehkan dan

merendahkan argumen lawan bicara. Menurut 'Abdul Hamid Ibn Badis,

55 Lihat Abu Muhammad 'Abd al Malik Ibn Hisyam, Sirah Ibn Hisyam, (Mauqi' al Islam), Juz 1, h. 292.56 Lihat Abu Fida' Ibn Katsir, Sirah Nabawiyyah Li Ibn Katsir, (Mauqi' al Ya'sub), Juz 1, h. 501.

Page 28: Hadits Tentang Metode Dakwah

jidal (debat) tidak identik dengan dakwah. Dakwah adalah satu hal,

sedangkan debat adalah hal yang lain.57 Namun demikian memang diakui,

kata Ibn Badis, penggunaan debat untuk tujuan dakwah. Walaupun begitu,

kedudukan debat dalam hal ini hanyalah berkedudukan sebagai cara yang

diperbolehkan hanya dalam satu keadaan saja, yakni ketika dakwah

dipertentangkan dengan argumen syubhat dan menyimpangkan dari jalan

Allah.58 Atas dasar pendapat ini, berarti jidal bisa menjadi terpuji atau

tercela tergantung dari konteks di mana ia dipergunakan. Mujadalah

hasanah, berarti debat yang hanya dipergunakan sesuai dengan kebutuhan

dakwah untuk menolak keraguan dan penentangan yang menyimpangkan

kebenaran, lain tidak.59

Merujuk pada hadits di atas, kasus yang dihadapi rasul adalah

segolongan orang yang ragu akan kebenaran Islam. Dilatarbelakangi oleh

keraguan tersebut, maka lahir argumen-argumen syubhat yang berasal dari

subyektifitas lawan bicara. Subyektifitas yang dimaksud adalah sikap

memandang lawan bicara hanya sebagai personal terlepas dari nilai-nilai

yang disampaikan. Jika merujuk pada teori Ibn Badhis, dalam keadaan

seperti inilah debat diperbolehkan sebagai jalan untuk menunjukkan

kebenaran Allah.

 Sebagai da'i yang berpedoman pada prinsip mujadalah hasanah,

Rasulullah melakukan dialog secara demokratis. Dialog yang demokratis,

berarti tidak menghendaki adanya pemaksaan dalam pendapat atau

memutus argumen sebelum selesai diutarakan. Hal demikian ditunjukkan

melalui sikap beliau yang bersedia untuk mendengarkan dengan seksama

argumen yang disampaikan lawan sampai selesai, baru setelah itu beliau

mengutarakan argumen-argumennya. Dialog yang sehat seperti ini, bukan

tidak mungkin mengubah persepsi orang, walaupun tidak menerima

menjadi setidaknya menghormati. Perhatikan perubahan sikap yang terjadi

57 'Abdul Hamid Ibn Badis, al Durar al Ghaliyah Fi Adab al Da'wah wa al Da'iah, (Riyadl: Dar al Manar, tt), h. 44.58 Ibid.59 Ibid.

Page 29: Hadits Tentang Metode Dakwah

pada 'Utbah Ibn Rabi'ah ketika selesai berdialog dengan Rasul. Inilah

metode dakwah Mujadalah hasanah seperti dicontohkan Rasul, dakwah

yang tidak ada pemakasaan pendapat, tidak ada pelecehan dan sabar dalam

mendengarkan argumen lawan.

C. Kesimpulan

Page 30: Hadits Tentang Metode Dakwah

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Hamid Ibn Badis, al Durar al Ghaliyah Fi Adab al Da'wah wa al Da'iah, (Riyadl: Dar al Manar, tt).

Abdurrahman Ra'fat al Basya, Suar Min Hayat al Sahabah, (Beirut: Dar al Nafa'is, 1992), Cet. Pertama

Abu 'Abd Allah Ibn Muhammad Ahmad Ibn Hanbal, Musnad Ahmad, (Mauqi' al Islam), Juz 5.

Abu al Fadl al Sayyid al Mu'athi al Naury, Musnad al Jami', (Mauqi' al Islam), Juz 8.

Abu Fida' Ibn Katsir, Sirah Nabawiyyah Li Ibn Katsir, (Mauqi' al Ya'sub), Juz 1.

Abu Isma'il al Bukhari, Sahih Bukhari, (Mauqi' al Islam), Juz 7.

Abu Muhammad 'Abd al Malik Ibn Hisyam, Sirah Ibn Hisyam, (Mauqi' al Islam), Juz 1.

Abu Walid Muhammad Ibn hmad Ibn Rusd al Qurthubi al Andulusi,Bidayat al Mujtahid wa Nihayat al Muqtashid, (Beirut: Dar al Kutub al 'Ilmiyyah, tt), Juz 1.

Ahmad 'Umar Hasyim, al Da'wah al Islamiyyah: Manhâjuha wa Ma'âlimuha, (Kairo: Dar al Gharîb, tt)

Al Bayhaqy, Syu'b al Iman Li al Bayhaqy, (Mauqi' al Sunnah), Juz 11.

Fathi Yakan, Kaifa Nad'u Ila al Islam, (Beirut: Muassasah al Risalah, 1991), Cet. Ke 13.

Ibn Hajar al 'Asqalani, Fath al Bâri Fi Syarh Sahîh al Bukhâri, (Mauqi' al Islam), Juz 6.

Ibrahim Ibn 'Abdullah al Mutlaq, Tadarruj Fi al Da'wah Ila Allah, (Arab Saudi: wizarat al Syu'ûn al Islâmiyyah wa al Auqâf wa al Da'wah wa al Irsyâd Markaz Buhûts Dirâsat al Islâmiyah, 1992), Cet. Pertama.

Khalid Muhammad Khalid, al Rijal Haula al Rasul, (Beirut: Dar al Kutub al 'Ilmiah, 2004), Cet. Kedua.

Muhammad Ibn Isma'il al Yamani al San'ani, Subul al Salam Syarh Bulugh al Maram Min Jam'-I  Adillat al Ahkam, (Kairo: Dar  al Hadist, 2004), Juz 2.

Page 31: Hadits Tentang Metode Dakwah

Muslim Ibn Hujaj al Qusyayri, Sahih Muslim, (Mauqi' al islam), Juz 4.

Nurkholis Madjid, Atas Nama Pengalaman Beragama dan Berbangsa di Masa Transisi, (Jakarta: Paramadina, 2009), Cet. Kedua.

Sayyid Qutb, Tafsir Fî Zhilâl al Qur'ân, (Mauqi' al Islam), Juz 4.

Sayyid Rizq Thawwil, al Da'wah Fi al Islam: 'Aqidah wa Manhaj, (Mekah: Mathba'ah Rabithah al 'Alam al Islami, tt).

Shalih Ibn 'Abdullah al Humaid, Mafhum al Hikmah Fi Da'wah Ila Allah, (Saudi Arabia: Mentri Urusan Keislaman, Dakwah dan Pendidikan, 2001).

Sulaiman Ibn 'Asy'ats al Sijistani Abu Daud, Sunan Abu Daud, (Mauqi' al Islam), Juz 2.

Thabrani, al Mu'jam al Kabir Li al Thabrany, (Mauqi' al Hadits), Juz 7.

Yusuf al Qardlawi, Marji'iyyat al 'Ulya li al Qur'an wa al Sunnah Dlawabith wa Mahazir li Fahmi al Tafsir, Alih Bahasa Baharuddin Fannani, (Kairo: Maktabah Wahbah).

Zain al Din Abi Faraj  Ibn Rajab al Hanbaly, Fath al Bary Li Syarh Sahih Bukhari, (Mauqi' al Durar al Saniyyah), Juz 4.