Habit (David)

28
Fr. David Jones Simanungkalit 1323009004 TREATISE OF HABIT QUESTION 49 Pada bagian ini, Thomas mengemukakan prinsip dari tindakan manusia. Prinsip tersebut dibagi menjadi 2 bagian, yaitu prinsip intrinsik dan prinsip ekstrinsik. Prinsip intrinsik adalah power dan habit. Namun, mengenai power telah dibahas dalam bagian yang lain. Dan fokus dari pembahasan ini adalah mengenai habit, yang berkaitan dengan baik-buruk, yang menjadi prinsip dari tindakan manusia. Question 49 berisi 4 artikel, yang mengandung 4 point pembahasan. Artikel pertama berbicara tentang: Apakah habit itu kualitas? Pada artikel kedua lebih berfokus tentang: Apakah habit itu spesies yang berbeda dari kualitas? Sedangkan pada artikel ketiga berbicara tentang: Apakah habit berimplikasi pada sebuah tindakan? Artikel keempat berbicara tentang: Apakah habit itu (di)perlu(kan)? Pembahasan mengenai habit tersebut bermuara pada pembahasan mengenai keutamaan yang dikemukakan oleh Aristoteles. Aristoteles mengungkapkan bahwa keutamaan pertama-tama bukanlah soal teori melainkan praktek. Dalam membangun keutamaan, manusia senantiasa dihadapkan pada dimensi-dimensi praktis kehidupannya. Keutamaan juga bukan 1

description

Habit

Transcript of Habit (David)

Page 1: Habit (David)

Fr. David Jones Simanungkalit

1323009004

TREATISE OF HABIT

QUESTION 49

Pada bagian ini, Thomas mengemukakan prinsip dari tindakan

manusia. Prinsip tersebut dibagi menjadi 2 bagian, yaitu prinsip

intrinsik dan prinsip ekstrinsik. Prinsip intrinsik adalah power dan

habit. Namun, mengenai power telah dibahas dalam bagian yang lain.

Dan fokus dari pembahasan ini adalah mengenai habit, yang berkaitan

dengan baik-buruk, yang menjadi prinsip dari tindakan manusia.

Question 49 berisi 4 artikel, yang mengandung 4 point

pembahasan. Artikel pertama berbicara tentang: Apakah habit itu

kualitas? Pada artikel kedua lebih berfokus tentang: Apakah habit itu

spesies yang berbeda dari kualitas? Sedangkan pada artikel ketiga

berbicara tentang: Apakah habit berimplikasi pada sebuah tindakan?

Artikel keempat berbicara tentang: Apakah habit itu (di)perlu(kan)?

Pembahasan mengenai habit tersebut bermuara pada

pembahasan mengenai keutamaan yang dikemukakan oleh

Aristoteles. Aristoteles mengungkapkan bahwa keutamaan pertama-

tama bukanlah soal teori melainkan praktek. Dalam membangun

keutamaan, manusia senantiasa dihadapkan pada dimensi-dimensi

praktis kehidupannya. Keutamaan juga bukan merupakan hal yang

inkonsisten (terjadi dalam beberapa kasus saja), melainkan harus

dibangun melalui tindakan yang konsisten, dalam jangka waktu yang

lama. Dengan kata lain, keutamaan harus dibentuk melalui habit.

Pembahasan mengenai hal ini terdapat pada sub tema: Keutamaan:

Dasar Kebahagiaan dan Tujuan Hukum.

Pada bagian terakhir penulis akan membuat sintesis antara

pemikiran Aristoteles mengenai keutamaan dalam konteks sistem

1

Page 2: Habit (David)

pendidikan yang berbasis pada teori multiple intelligence.

Pembahasan mengenai hal ini mengarah pada pembentukan

keutamaan yang ideal dalam sistem pendidikan. Bagaimana sistem

pendidikan harus sesuai dengan potensi kecerdasan khas yang

dimiliki oleh tiap individu. Berikut penulis akan mulai masuk pada

pembahasan pertama tulisan ini, yaitu mengenai habit yang

dikemukakan oleh Thomas Aquinas.

Of Habit in General, As Their Substance

Artikel Pertama: Apakah Habit itu Kualitas?

Keberatan pertama dalam artikel ini berkaitan dengan

permasalahan etimologis kata. Habit (kebiasaan) diperoleh dari kata

kerja to have (memiliki). Kata: memiliki, tidak hanya diterapkan

bahwa segala sesuatu memiliki kualitas saja, namun juga diterapkan

pada kategori-kategori lain. Sebagai contoh: kita memiliki kuantitas,

memiliki uang, dan hal lain yang tidak berkenaan dengan kualitas

saja. Maka dari itulah, habit dikatakan bukan sebuah kualitas.

Dalam menjawab keberatan tersebut, pada bagian sed contra,

Thomas mengutip jawaban seorang filsuf yang mengatakan bahwa

habit adalah kualitas yang sulit untuk berubah. Dikatakan sulit untuk

berubah karena habit merupakan tindakan yang dilakukan secara

berulang dengan intensitas yang tinggi. Contohnya: habit bangun pagi

untuk berdoa. Tindakan bangun pagi dan berdoa telah dilakukan

semenjak seseorang itu masih kecil. Maka ketika dewasa, tindakan

tersebut telah menjadi habit bagi pribadi tersebut. Dari contoh

tersebut dapat kita ketahui habit bangun pagi dan berdoa merupakan

sebuah kualitas. Dan kualitas tersebut (habit) sulit untuk berubah

karena merupakan tindakan yang diulang dengan intensitas yang

tinggi.

2

Page 3: Habit (David)

Thomas sendiri berargumen bahwa kata habitus (habit)

memang diperoleh dari kata habere (to have). Namun bagi Thomas,

penyerapan kata tersebut dibedakan dalam 2 cara. Cara pertama

ialah sebagaimana manusia dan benda-benda lain dikatakan memiliki

sesuatu (to have something). Dimana kepemilikan tersebut lebih

bersifat natural dan matterial. Sedangkan cara kedua lebih berkaitan

dengan hal relasi. Setiap hal memiliki sebuah relasi, baik berkenaan

dengan dirinya sendiri maupun berkenaan dengan sesuatu yang lain.

Penjelasan lebih lanjut akan dipaparkan dalam paragraf berikut.

Berkaitan dengan cara pertama, cara ini merupakan sebuah

kepemilikan kualitas dengan cara yang umum terhadap setiap benda.

Disebut demikian, karena kepemilikan kualitas tersebut merupakan

cara kepemilikan yang lebih bersifat matterial dan natural. Disebut

matterial karena berasal dari benda materi dan disebut natural

karena kualitas tersebut telah menempel secara natural pada tiap

benda. Sebagai contohnya sebuah batu pasti memiliki kualitas warna

dan berat. Kualitas warna dan berat merupakan kualitas yang bersifat

natural pada batu. Inilah yang dimaksud Thomas sebagai cara

kepemilikan yang pertama, dimana cara kepemilikannya bersifat

natural pada tiap benda material.

Di sisi lain, sehubungan dengan cara kepemilikan yang kedua,

ada suatu medium (hubungan) antara subject dengan sesuatu hal

yang lain yang menjadi habitnya. Namun demikian, hubungan

tersebut hanya merupakan sebuah relasi. Sebagai contoh: antara

manusia dan pakaian; antara manusia dan manusia. Antara manusia

dengan pakaian terdapat suatu kualitas relasi (habit) yang dibangun

yang disebut dengan habit cara berpakaian dengan baik. Lalu antara

manusia dengan manusia, terdapat juga suatu kualitas relasi (habit)

yang dibangun yang biasa disebut dengan kualitas pertemanan yang

baik. Kualitas-kualitas dalam sense yang kedua ini tidak bersifat

3

Page 4: Habit (David)

natural melainkan dibangun/dibentuk sedemikian rupa oleh subject

dengan adanya tindakan yang diulang.

Dari uraian di atas, maka kata to have dikategorikan sebagai

habit dalam arti adanya sebuah relasi, baik yang berkenaan dengan

dirinya sendiri maupun berkenaan dengan sesuatu hal yang lain.

Habit yang berkenaan dengan relasi terhadap dirinya sendiri

merupakan habit yang berhubungan dengan kualitas-kualitas dalam

dirinya subject. Kualitas-kualitas dalam diri subject disebut juga

sebagai keutamaan. Maka dari itu, habit yang berkenaan dengan

relasi dalam dirinya sendiri merupakan sebuah tindakan yang

didasarkan oleh kualitas-kualitas (keutamaan-keutamaan) di dalam

diri subject. Sedangkan habit yang berkenaan dengan sesuatu hal

yang lain merupakan relasi yang dibuat oleh subject dengan sesuatu

dari luar dirinya. Relasi yang dibangun tersebut merupakan sebuah

kualitas yang dinamakan habit. Dengan dua cara inilah habit dapat

dikatakan sebagai sebuah kualitas.

Habit juga berkaitan erat dengan disposisi antara baik-buruk.

Maka dari itu, habit dapat diartikan sebagai disposisi antara baik-

buruk yang berkenaan dengan dirinya sendiri maupun berkenaan

dengan suatu hal lain di luar dirinya. Dalam artikel kedua akan

dijelaskan bagaimana Thomas memberikan ukuran terhadap baik-

buruknya sebuah habit.

Dari uraian di atas, kiranya kita telah dapat menjawab

keberatan pertama. Keberatan pertama tersebut merupakan

kepemilikan kualitas/kuantitas dalam cara yang pertama sebagaimana

telah dijelaskan oleh Thomas. Keberatan tersebut berkaitan dengan

penyerapan kata to have dalam cara kepemilikan yang umum (bersifat

natural dan matterial) terhadap setiap subject/benda. Sedangkan

habit sebagai kualitas yang dimaksud oleh Thomas adalah

kepemilikan kualitas yang bersifat relasional, antara subject dengan

dirinya sendiri ataupun antara subject dengan sesuatu di luar dirinya.

4

Page 5: Habit (David)

Artikel Kedua: Apakah Habit itu Spesies yang

Berbeda dari Kualitas?

Salah satu keberatan dalam artikel kedua ini berbunyi bahwa

habit bukan merupakan species yang berbeda dari kualitas. Argumen

dari keberatan ini adalah bahwa habit, sejauh itu kualitas, selalu

memiliki disposisi tentang baik-buruk sebagaimana dimiliki oleh

kualitas-kualitas yang lain. Dengan bahasa yang lebih lugas dikatakan

bahwa setiap kualitas tentu memiliki disposisi baik-buruk. Sebagai

contoh: suatu gambar/lukisan memiliki kualitas baik-buruk;

pertemanan juga memiliki kualitas baik-buruk, dst. Maka dari itu,

habit bukan merupakan species yang berbeda dari kualitas karena

setiap kualitas tentu memiliki disposisi baik-buruk. Pada bagian sed

contra, Thomas mengutip pendapat dari Aristoteles untuk menjawab

keberatan tersebut. Pendapat Aristoteles adalah satu species dari

kualitas adalah habit dan disposisi.

Pada bagian corpus, Thomas mengutip jawaban dari seorang

tokoh yang bernama Simplicius yang memaparkan tentang perbedaan

mengenai species yang berkaitan dengan habit. Simplicius membagi

species-species yang berkaitan dengan kualitas dalam empat bagian.

Species pertama dari kualitas merupakan kualitas-kualitas yang

bersifat natural, inhern di dalam subject dan tidak dapat hilang.

Species kedua dari kualitas adalah kualitas yang didatangkan dari

luar subject, dan dapat hilang. Sedangkan species ketiga dan keempat

dari kualitas merupakan turunan dari species kedua. Jika kualitas

yang didatangkan dari luar sifatnya mengakar dan sulit hilang maka

kualitas tersebut ditempatkan pada species ketiga dari kualitas.

Kebalikannya, jika kualitas yang didatangkan dari luar tidak tahan

lama atau hanya di permukaan saja, maka kualitas tersebut

ditempatkan dalam species keempat dari kualitas.

Dari pembagian Simplicius tersebut, Thomas merasa ada

ketidakcocokan dengan pola pembagian tersebut. Bagi Thomas,

5

Page 6: Habit (David)

Urutan (hierarki) species dari Simplicius kurang tepat untuk

menerangkan perbedaan dari berbagai kualitas. Pembagian

Simplicius agaknya cenderung membedakan secara tegas antara

kualitas yang natural dengan kualitas yang merupakan bentukan dari

luar. Padahal ada kualitas yang sifatnya natural tetapi sekaligus

didatangkan dari luar. Dan sebaliknya, ada kualitas yang didatangkan

dari luar tetapi sekaligus merupakan kualitas yang sifatnya natural.

Bagi Thomas, yang lebih natural selalu menjadi yang pertama.

Sebelum sampai pada pembagian species-species dari kualitas,

Thomas terlebih dahulu berbicara tentang kualitas yang menjadi

ukuran pasti dari sebuah substansi. Pemikiran ini mengacu para

kerangka pemikiran Agustinus. Hal ini dijabarkan lebih dalam oleh

Thomas dalam kerangka pemikiran mengenai teori matter dan form.

Form (act) merupakan sebuah kualitas yang membatasi matter

(potency). Sebagai contoh: sesuatu yang memiliki mata, hidung, kaki,

mulut, dan akal budi merupakan kumpulan matter yang dinamakan

manusia. Term manusia merupakan form dari kumpulan matter

tersebut. Dengan demikian, form berfungsi untuk membatasi sebuah

matter dan sekaligus menjadi sebuah ciri khas membedakan matter

tersebut dengan matter lain.

Di dalam form terdapat pula substansial form. Substansial form

merupakan esensi utama dari sebuah form. Sebagai contoh:

substansial form manusia adalah rasionalitas yang membedakannya

dengan binatang. Bagi Thomas, substansial form tersebut merupakan

tujuan dan sekaligus dasar, mengapa sesuatu itu dibentuk. (“and

since the form it self and the nature of a thing is the end and the

cause why a thing is made”1). Melalui prinsip substansial form inilah

Thomas hendak mengarahkan pemikirannya mengenai habit. Habit

yang dibentuk oleh manusia melalui tindakan yang diulang hendaknya

harus sejalan dengan apa yang menjadi kodratnya, yaitu akal budi

1 Aquinas, Thomas, Summa Theologiae I-II, Q. 49, Art. 2, hal. 795.

6

Page 7: Habit (David)

yang menjadi substansial form-nya. Dengan bahasa yang lebih lugas,

habit yang merupakan tindakan manusia harus berdasarkan

keutamaan yang terbentuk oleh daya rasionya.

Dan di dalam diri subject juga memiliki kualitas-kualitas lain

yang disebut sebagai accidental form (kualitas aksidental). Accidental

form merupakan kualitas yang berada dalam suatu substansi yang

bukan merupakan kualitas utama (substansial formnya). Accidental

form (kualitas aksidental) menghiasi adanya substansial form (kualitas

utama). Accidental form sekaligus juga menjadi ciri yang

membedakan suatu substansi dengan substansi lain melalui cara

beradanya. Sebagai contoh: accidental form manusia adalah warna

kulit, warna mata, berat tubuh, memiliki satu jantung, dst. Melalui

penjabaran mengenai kualitas-kualitas tersebut, Thomas merumuskan

empat pembagian jenis species dari kualitas yang mengerucut pada

habit. Habit sebagai kualitas yang idealnya mengarah pada

substansial form yang menjadi kodratnya.

Thomas memulai dari species yang keempat dari kualitas, yaitu

species yang berkenaan dengan kuantitas. Species keempat ini

berkaitan dengan pembahasan artikel pertama mengenai kepemilikan

kualitas yang bersifat natural dari suatu benda material. Jenis

kepemilikan ini adalah umum terhadap setiap benda material. Sebagai

contoh: manusia punya dua mata, satu jantung, dua tangan, dst.

Species kualitas yang berkenaan dengan kuantitas tersebut memiliki

sifat tidak bergerak dan tidak memiliki implikasi terhadap baik-buruk.

Sedangkan species kedua dan ketiga dari kualitas berkenaan

dengan mode determinasi subject terhadap action and passion. Bagi

Thomas, action and passion tidak memiliki aspek baik-buruk yang

berkaitan dengan akhir (finalitas) karena action and passion tidak

berhubungan langsung dengan sifat alami (kodratnya). Sedangkan

baik-buruk memiliki kaitan dengan suatu finalitas (an end) karena

7

Page 8: Habit (David)

berhubungan langsung dengan substansial form dan sifat alami

(kodratnya).

Berdasarkan ukuran yang digunakan oleh Thomas, maka dapat

dipahami bahwa setiap action and passion belum tentu memiliki aspek

baik-buruk. Sebagai contoh: aktivitas mandi, mencuci pakaian, dan

mensetrika pakaian. Aktivitas tersebut tidak berkaitan langsung

dengan tindakan yang mencerminkan kodratnya. Dengan kata lain,

aktivitas mandi, mencuci pakaian, dan mensetrika pakaian tidak

memiliki aspek baik-buruk. Sedangkan tindakan manusia yang

mencerminkan kodratnya adalah memiliki aspek finalitas (baik-buruk),

karena didasari oleh sesuai atau tidaknya tindakan manusia dengan

apa yang menjadi kodratnya. Berikut merupakan pemaparan argumen

utamanya yang sekaligus menjadi species pertama dari kualitas.

Species pertama dari kualitas adalah mode determinasi subject

yang berkenaan dengan sifat alami suatu benda (nature of thing),

yang mana adalah habit dan disposisi. Disebut demikian karena sifat

alami suatu benda (nature of thing) menjadi tujuan akhir dan

penyebab mengapa sesuatu hal diciptakan. Di dalam sifat alami suatu

benda (nature of thing) terdapat ide/gagasan mengenai baik-buruk.

Ukuran baik-buruk menurut Thomas adalah sesuai/tidaknya sebuah

tindakan (yang salah satu aspeknya adalah habit) dengan apa yang

menjadi kodratnya. Jika cara beradanya sesuai dengan kodratnya

maka dikatakan memiliki aspek yang baik. Dan sebaliknya, jika cara

beradanya tidak sesuai dengan kodratnya maka dikatakan memiliki

aspek yang buruk. Sebagaimana diungkapkannya: “For when the

mode is suitable to the thing’s nature, it has the aspect of good; and

when it is unsuitable, it has the aspect of evil.”2 Dengan demikian,

substansial form (kodrat yang pasti) merupakan tujuan dari

pergerakan habit itu sendiri.

2 Ibid.

8

Page 9: Habit (David)

Pada paragraph di atas, penulis menangkap sebuah arah

pemikiran yang hendak dimaksudkan oleh Thomas. Melalui

penjelasan di atas, sepertinya Thomas ingin menjelaskan bahwa

nature of thing (kodrat) manusia adalah sebagai makhluk rasional

(berakal budi). Maka dari itu, manusia harus bertindak sesuai dengan

kodratnya tersebut, yaitu bertindak dengan rasional. Bagi Thomas,

Akal budi manusia yang dituntun oleh hukum kodrat yang berisi

keutamaan-keutamaan moral menjadi pedoman manusia dalam

bertindak. Keutamaan-keutamaan itu dapat terbentuk melalui habit

yang baik (habit yang sesuai kodratnya). Dengan demikian, tindakan

manusia yang dituntun oleh kodratnya mengarahkan manusia pada

kebahagiaan yang menjadi tujuan akhir (finalitasnya).

Menjawab keberatan yang diajukan di awal, bahwa habit bukan

species yang berbeda dari kualitas. Thomas menegaskan kembali

argumennya pada artikel pertama bahwa habit dibedakan dari

kualitas-kualitas yang lain karena adanya relasi terhadap sesuatu

yang lain. Dan dari pembahasan artikel kedua, ditambahkan gagasan

mengenai baik-buruk, maka esensi habit adalah sebuah hubungan

relasional dari subject terhadap nature-nya yang menjadi prinsip dan

tujuan dari tindakan subject itu sendiri.

Artikel Ketiga: Apakah Habit Berimplikasi pada

Sebuah Tindakan?

Dalam memberi jawaban terhadap pertanyaan ini, Thomas

nampaknya mengacu (baca: konsisten) pada definisi dari habit itu

sendiri. Definisi habit sebagaimana telah disinggung di atas adalah

disposisi mengenai baik-buruk dalam dua cara yang berbeda. Pertama

adalah disposisi yang berkenaan dengan sifat alamiahnya (it’s nature)

yang masih berwujud potensi. Kedua adalah disposisi yang berkenaan

dengan sesuatu yang lain dalam kaitannya dengan tujuan akhirnya,

yang mana potensi dalam nature-nya telah menjadi aktual.

9

Page 10: Habit (David)

Berkaitan dengan cara pertama, dimana habit memiliki relasi

dengan sifat alaminya (it’s nature), hal ini adalah esensial bagi habit.

Mengapa disebut esensial? Sebagaimana telah dijelaskan di atas,

karena sifat alami suatu benda (nature of thing) menjadi tujuan akhir

dan penyebab mengapa sesuatu hal diciptakan. Dengan demikian sifat

alamiah suatu benda (nature of thing), menjadi prinsip dasar dari

tindakan (principle of act) dari subject itu sendiri.

Prinsip pertama di atas secara otomatis berimplikasi pada

prinsip yang kedua, karena sifat alamiah suatu benda (things of

nature) yang masih berwujud potensi harus bergerak menjadi sebuah

actus (teori matter-form). Actus merupakan sebuah operasi (tindakan)

dari subject, yang modus operasinya didasarkan pada sifat

alamiahnya (it’s nature) menuju pada sebuah finalitas dalam wujud

tindakan konkrit. Dengan demikian, habit berimplikasi pada tindakan

sehubungan dengan modus operasinya yang mengarah pada suatu

finalitas yang didasarkan pada sifat alamiahnya (it’s nature). Dalam

konteks manusia, akal budi yang dituntun oleh hukum kodrat menjadi

pedoman/prinsip dasar manusia dalam bertindak menuju tujuan

akhirnya yaitu kebahagiaan.

Artikel keempat: Apakah habit itu diperlukan?

Pada bagian ini Thomas mengemukakan tiga kondisi

kemungkinan yang menyebabkan habit tersebut diperlukan. Kondisi

pertama adalah berkaitan dengan harus adanya komposisi pada setiap

mobile being (subject yang bergerak). Bagi Thomas, komposisi

tersebut berupa potency (matter) and act (form). Dengan adanya

komposisi tersebut, maka memungkinkan adanya ruang untuk habit.

Jika mobile being tidak memiliki komposisi, maka tidak akan ada

ruang untuk habit. Jika demikian, maka akan sama halnya dengan

kasus tentang Tuhan yang tidak memiliki komposisi. Habit bukan

merupakan sesuatu yang tidak berubah (tetap), tetapi sesuatu yang

10

Page 11: Habit (David)

dapat berubah (bergerak). Habit yang baik merupakan tindakan

manusia yang didasarkan pada kodrat rasionalnya, sedangkan habit

yang buruk merupakan tindakan manusia yang tidak sesuai dengan

kodrat rasionalnya. Dengan demikian, habit selalu merupakan

perpaduan antara potensi dan actus.

Kondisi kedua adalah kondisi bilamana yang ada hanyalah

potensi-potensi dan tidak ada act. Jika demikian, maka tidak ada

ruang untuk habit menjadi act. Kondisi ketiga berkaitan dengan

kualitas-kualitas yang berada dalam diri subject. Thomas tampaknya

membedakan kualitas-kualitas yang ada di dalam subject menjadi 2

bagian. Pertama yaitu kualitas-kualitas yang sederhana, dimana

kualitas-kualitas tersebut memiliki suatu jalan yang sudah pasti untuk

menjadi actus. Thomas menganggap kualitas-kualitas tersebut bukan

sebuah habit dan disposisi karena actus-nya sudah merupakan suatu

kejelasan. Kesehatan, keindahan merupakan sebuah habit dan

disposisi dikarenakan jalannya untuk menjadi actus memiliki dinamika

yang relatif. Dari ketiga kondisi tersebut, maka habit diperlukan.

Demikianlah ulasan panjang lebar mengenai habit. Pada bagian

selanjutnya penulis akan memaparkan konsep eudaemonia

(kebahagiaan) dan arête (keutamaan) yang menjadi pemikiran

Aristoteles. Pemaparan mengenai eudaemonia dan arête merupakan

pintu masuk untuk pembahasan “Keutamaan: Dasar Kebahagiaan dan

Tujuan Hukum”.

Kebahagiaan (Eudaemonia)3

Eudaemonia adalah sebuah konsep pemikiran yang dilahirkan

oleh seorang filsuf Yunani bernama Aristoteles. Bagi Aristoteles,

eudaemonia atau kebahagiaan adalah tujuan sekaligus

penentu/ukuran baik buruknya tindakan. Kebahagiaan menjadi tujuan

akhir karena semua tujuan yang lain bermuara pada kebahagiaan. Hal 3 Lih, http://masimamgun.blogspot.com/2009/04/filsafat-moral-aristoteles.html,

diakses pada 22 Mei 2011, pada pukul 21.00.

11

Page 12: Habit (David)

ini masuk akal karena apabila dalam hidupnya orang sudah bahagia,

maka orang tersebut cenderung tidak menginginkan apa-apa lagi.

Dalam konteks inilah kebahagiaan dikategorikan sebagai tujuan akhir,

yaitu tujuan yang mengatasi segala tujuan yang lain. Sedangkan

kebahagiaan sebagai penentu/ukuran baik buruknya sebuah tindakan

didasarkan pada sesuai/tidaknya sebuah tindakan dengan apa yang

menjadi kodratnya. Jika sebuah tindakan sesuai dengan kodratnya

maka dikatakan memiliki aspek yang baik.4 Dan sebaliknya, jika

sebuah tindakan tidak sesuai dengan kodratnya maka dikatakan

memiliki aspek yang buruk.5 Dengan demikian, etika Aristoteles

termasuk etika teleologis (telos: tujuan). Disebut teleologis karena ia

menitikberatkan aspek tujuan, yaitu: kebahagiaan sebagai ukuran

baik buruknya sebuah tindakan.Tindakan dinilai baik sejauh

mengarah pada kebahagiaan dan salah jika mencegah kebahagiaan.

Bagi Aristoteles, kebahagiaan manusia terdapat pada tindakan

yang mengarah pada kodrat kesempurnaannya. Menurut Aristoteles,

potensi khas manusia yang membedakan dari binatang atau makhluk

lain adalah akal budinya. Tidak ada satupun mahluk hidup selain

manusia yang mempunyai potensi ini. Karena itu, tindakan manusia

yang bisa mengarahkan pada kebahagiaan adalah semua bentuk

tindakan yang melibatkan kemampuan akal budi manusia.

Namun demikian, aktivitas menuju kebahagiaan ini tidak bisa

dilakukan sembarangan. Menurut Aristoteles, aktivitas yang

menyebabkan kebahagiaan harus dijalankan menurut asas

“keutamaan”. Hanya aktivitas yang disertai keutamaan yang dapat

membuat manusia bahagia. Di samping itu, aktivitas tersebut mesti

dilakukan secara stabil dan dalam jangka waktu yang panjang, bukan

hanya sesekali saja. Berikut penulis akan memaparkan sedikit wacana

perihal konsep keutamaan yang dimaksudkan oleh Aristoteles.

4 Ibid.5 Ibid.

12

Page 13: Habit (David)

Keutamaan (Arête)6

Keutamaan merupakan sebuah potensi yang bersumber dari

kemampuan khas akal budi manusia. Sebagai sebuah potensi, maka

hal tersebut harus diaktualisasikan untuk menjadi actus (teori potensi

to act). Dengan kata lain, keutamaan sebagai sebuah potensi harus

direalisasikan dalam tindakan konkrit. Bagi Aristoteles, manusia

bahagia bila dapat merealisasikan atau mengembangkan potensi-

potensi dirinya menuju sebuah tindakan konkrit (action). Dalam

merealisasikan dan mengembangkan potensi khas manusia tersebut

harus dilakukan menurut aturan keutamaan. Hanya aktivitas yang

disertai keutamaan (aretê) yang membuat manusia menjadi bahagia.

Dalam bukunya yang berjudul Nikomachean ethics, Aristoteles

melukiskan keutamaan moral sebagai suatu sikap watak yang

memungkinkan manusia untuk memilih jalan tengah antara dua kutub

ekstrem yang berlawanan. Dalam menetapkan pertengahan

(keutamaan) tersebut, manusia selalu dihadapkan dalam dimensi

praktis kehidupannya. Sebagai contoh, ketika berbelanja. Ketika

berbelanja, manusia dihadapkan pada kecenderungan untuk memilih

antara dua kutub ekstrim yang berlawanan. Dua kutub tersebut

adalah memilih antara berbelanja terlalu banyak sehingga

pengeluaran menjadi besar (orang boros), atau berbelanja terlalu

hemat sehingga pengeluaran sangat minimalis (orang kikir). Diantara

dua kutub ini, keutamaan adalah mengambil jalan tengah; tidak boros

juga tidak kikir. Orang yang berada di jalan tengah ini disebut orang

yang murah hati. Dengan demikian, persoalan keutamaan bukan

pertama-tama sebagai teori belaka melainkan berkaitan langsung

dengan dimensi praktis kehidupan manusia (keutamaan etis).

Bagi Aristoteles, keutamaan etis tersebut tidak bisa diajarkan

tapi bisa dikembangkan atau dilatih dengan cara dibiasakan.

6 Lih, http://masimamgun.blogspot.com/2009/04/filsafat-moral-aristoteles.html, diakses pada 22 Mei 2011, pada pukul 21.00.

13

Page 14: Habit (David)

Keutamaan etis tumbuh dan berkembang dari pengalaman dan

kebiasaan bertindak etis. Semakin mantap seseorang bertindak etis,

semakin kuat pula kemampuannya untuk bertindak menurut

pengertian yang tepat. Keutamaan baru menjelma sebagai keutamaan

yang sungguh-sungguh setelah yang bersangkutan mempunyai sikap

tetap dalam menempuh jalan tengah tersebut. Bukan terjadi dalam

beberapa kasus saja. Dengan demikian, sikap yang berkeutamaan

harus dibentuk melalui adanya tindakan yang tetap dan dalam jangka

waktu yang lama. Dengan kata lain, keutamaan harus dibentuk

melalui habit. Setelah memaparkan konsep eudaemonia dan arête,

pada bagian selanjutnya penulis akan mulai masuk pada pembahasan

“Keutamaan: Dasar Kebahagiaan dan Tujuan Hukum”.

Keutamaan sebagai Dasar Kebahagiaan dan

Tujuan Hukum

Menurut Aristoteles, tujuan tertinggi hidup manusia adalah

mencapai kebahagiaan (eudaimonia). Kebahagiaan manusia terdapat

pada tindakan yang mengarah pada kesempurnaanya. Menurut

Aristoteles, tindakan yang mengarah pada kesempurnaan tersebut

harus didasarkan pada sifat alamiah (kodrat) yang menjadi ciri

khasnya. Sifat alamiah (kodrat) tersebut menjadi dasar dan tujuan

mengapa segala sesuatu diciptakan. Pada manusia, akal budi

merupakan ciri khas (substansial form) yang membedakan manusia

dengan makhluk/benda lain. Dengan akal budinya, manusia dapat

memahami apa dan siapa (hakekat) dirinya dan membuat pilihan-

pilihan rasional atas hidupnya. Maka dari itu, akal budi harus menjadi

dasar dan tujuan dari segala tindakan manusia.

Tindakan manusia yang didasarkan oleh akal budinya disebut

juga sebagai tindakan yang berkeutamaan. Sebagaimana telah

14

Page 15: Habit (David)

disinggung dalam paragraph-paragraf sebelumnya, bahwa keutamaan

pertama-tama bukanlah soal teori melainkan praktek. Dengan kata

lain, tindakan yang berkeutamaan selalu melibatkan dimensi praktis

kehidupan manusia. Dimana manusia selalu mengadakan pilihan-

pilihan hidupnya secara rasional (berdasarkan keutamaan-keutamaan

dirinya). Aristoteles menambahkan bahwa keutamaan juga tidak boleh

terjadi secara inkonsisten (beberapa kasus saja), melainkan harus

dilatih sedemikian rupa dalam jangka waktu yang lama (konsisten).

Maka dari itu, hidup yang berkeutamaan harus dibentuk melalui

habit.

Pembentukan keutamaan melalui habit dapat dilakukan dalam

dua cara. Cara pertama lebih bersifat subjektif dan cara kedua lebih

bersifat objektif. Sehubungan dengan cara pertama, keutamaan dapat

dibentuk melalui pengaktualisasian potensi-potensi dari dalam diri

manusia untuk menjadi sebuah actus. Hal ini lebih bersifat subjektif

karena setiap orang tentu memiliki potensi-potensi yang berbeda satu

sama lain. (Pembahasan lebih mendalam pada topik selanjutnya:

Multiple intelligences).

Sedangkan dalam cara yang kedua, keutamaan dibentuk dengan

cara yang sama bagi setiap orang. Proses pembentukan keutamaan

dalam cara yang kedua tersebut dapat dilakukan melalui adanya

hukum positif. Proses pembentukan keutamaan ini sejalan dengan

yang diungkapkan oleh Simplicius sebagaimana dibahas dalam artikel

kedua dalam Summa Theologiae. Dimana Simplicius mengungkapkan

bahwa ada habit yang merupakan bentukan dari luar diri subject dan

sifatnya tidak permanen. (“….but some are adventitious, being caused

from without, and these can be lost”). Berdasarkan pendapat

Simplicius tersebut, maka keutamaan juga dapat dibentuk melalui

adanya hukum positif yang bertujuan untuk mengatur kehidupan

bersama. Maka dengan mentaati hukum, manusia juga diarahkan

pada pembentukan keutamaan bagi dirinya.

15

Page 16: Habit (David)

Hukum pertama-tama merupakan kristalisasi nilai-nilai kolektif

(universal) yang ada dalam masyarakat. Nilai-nilai yang terkristalisasi

dalam hukum bersifat positif dan mengikat setiap manusia demi

terselenggaranya tata kehidupan yang tertib dan teratur. Sifat hukum

yang mengikat pada akhirnya juga turut mengatur dan membentuk

tindakan manusia. Tindakan manusia yang dibentuk oleh hukum dan

dilakukan dengan konsisten juga turut membentuk keutamaan bagi

individu yang terikat oleh adanya hukum tersebut. Dengan demikian,

hukum positif juga membantu manusia untuk memiliki hidup yang

berkeutamaan.

Pada bagian selanjutnya, penulis akan memaparkan

pembentukan keutamaan dengan cara yang subjektif. Dimana

manusia harus mengaktualisasikan potensi yang dimilikinya. Dalam

perkembangan dunia modern, diketemukan bahwa potensi yang

dimiliki oleh tiap individu berbeda antara satu dengan yang lain.

Pembahasan tersebut masuk dalam topik multiple intelligences yang

dikontekstualisasikan dalam sistem pendidikan. Dalam pembahasan

tersebut, penulis mensintesiskan teori multiple intelligences yang

dicetuskan oleh Howard Gardner dengan pemikiran Aristoteles

mengenai keutamaan dan kebahagiaan.

Analisis Terhadap Sistem Pendidikan Berbasis

Teori Multiple intelligence (Membangun Sistem

Pendidikan yang Manusiawi Melalui Potensi Khas

Tiap Individu)

(Selayang Pandang Munculnya Multiple intelligences)

“Di tahun 1900, di kota Paris -La Belle Epoque- ketika para pemimpin kota

Paris berbicara dengan seorang ahli psokologi bernama Alfred Binet dengan

permintaan yang tidak biasa: Apakah dia dapat merancang semacam ukuran

16

Page 17: Habit (David)

yang dapat memperkirakan anak muda yang akan sukses dan mana yang

akan gagal dari sekolah dasar Paris? Seperti yang kita semua ketahui, Binet

berhasil. Dalam waktu singkat, penemuannya menjadi terkenal dengan

sebutan ”test kecerdasan”; ukurannya, ”IQ”. IQ menjadi populer dan segera

masuk ke Amerika Serikat, menikmati sukses yang cukup sampai Perang

Dunia I. Pada waktu itu, IQ dipakai untuk menguji lebih dari satu juta orang

Amerika yang mendaftar menjadi tentara, dan benar-benar mencapai

kesuksesan. Sejak saat itu, tes IQ tampak seperti sukses psikologi terbesar –

alat ilmiah yang benar-benar bermanfaat-.”7

Howard Gardner, seorang tokoh yang berasal dari Scranton,

Pennsylvania (1943-...), tidak setuju dengan penerapan teori IQ. Ia

berargumen bahwa IQ telah digunakan sebagai alat ukur yang utama

untuk mengukur standart kemampuan seseorang.8 Bukunya Multiple

intelligences, merupakan sebuah kritik atas implementasi teori IQ

yang “memandang manusia secara seragam” dan pengajuan sebuah

visi alternatif untuk menandinginya yaitu teori Multiple intelligences.

Dalam teorinya, Howard Gardner mengajukan sebuah

pandangan yang lebih pluralistik mengenai pikiran, dimana lebih

banyak mengakui segi pemahaman yang berbeda dan berdiri sendiri,

menerima kenyataan bahwa orang mempunyai kekuatan memahami

yang berbeda dan gaya pemahaman yang kontras. Asumsi dasarnya

adalah bahwa setiap individu berbeda dalam profil kecerdasannya,

dan dengan demikian tidak bisa disejajarkan atau bahkan dinilai

dalam satu jenis kecerdasan saja (IQ).

Teori Multiple intelligences

Sebagaimana telah sedikit disinggung di atas, teori ini

merupakan kritik atas teori IQ yang memandang manusia secara

seragam. Implikasi teori IQ dalam dunia pendidikan (persekolahan),

7 Howard Gardner, Kecerdasan Majemuk, Teori dalam Praktek, Batam Center, Batam, 2003, hlm. 19.8 Ibid, hlm. 20.

17

Page 18: Habit (David)

menurut Howard Gardner, adalah kecerdasan siswa hanya diukur

berdasarkan satu aspek kecerdasan saja, yaitu IQ dan cenderung

mengabaikan aspek lain dari kecerdasan yang dimiliki manusia

(siswa).

Secara kontras, Howard Gardner meyakini bahwa setiap

individu mungkin berbeda dalam profil kecerdasan tertentu yang

telah dimiliki sejak lahir, dan bahwa mereka pasti berbeda dalam

profil yang akhirnya mereka miliki.9 Argumen tersebut adalah asumsi

dasar yang melatarbelakangi munculnya teori multiple intelligences,

dimana setiap individu diyakini memiliki kekhasan dalam

kecerdasannya. Tiap-tiap tipe kecerdasan memiliki kompetensinya

masing-masing dan tingkatannya setara, tidak ada satu tipe

kecerdasan yang lebih superior dan menjadi prioritas daripada tipe

kecerdasan yang lain. Berikut akan disebutkan daftar tujuh

kecerdasan menurut Howard Gardner disertai satu atau dua contoh

dari setiap kecerdasan.

1. Kecerdasan Linguistik

Kecerdasan ini adalah kecerdasan dalam olah bahasa, yang

terwujud dalam berbicara maupun menulis. Orang dalam

kecerdasan ini berpotensi dalam berpuisi, berretorika, dan

menjadi seorang penulis.

2. Kecerdasan Logika-Matematika

Seperti yang tersirat dalam nama, adalah kemampuan dalam

logika dan matematika, di samping kemampuan ilmu

pengetahuan. Orang yang memiliki kecerdasan ini mampu

mengenal dan mengerti konsep jumlah, waktu dan prinsip

sebab-akibat, serta pandai dalam pemecahan masalah yang

menuntut pemikiran logis.

9 Ibid, hlm. 25.

18

Page 19: Habit (David)

3. Kecerdasan Ruang

Kecerdasan ini adalah kemampuan membentuk model mental

dari dunia ruang dan mampu melakukan berbagai tindakan

dan operasi menggunakan model itu. Pelaut, insinyur, dokter

bedah, pemahat, dan pelukis adalah contoh orang-orang yang

mengembangkan kecerdasan ruang yang tinggi.

4. Kecerdasan Musik

Kecerdasan musik adalah kemampuan dalam ritmik musik

dan mendengar. Orang-orang demikian memiliki sensitivitas

tinggi dalam bermusik. Mozart dan Leonard Bernstein

mempunyai kecerdasan itu.

5. Kecerdasan Gerak-Badan

Kecerdasan gerakan badan adalah kemampuan

menyelesaikan masalah atau produk mode dengan

menggunakan seluruh badan atau sebagian badannya.

Penari, atlet, dokter bedah, dan perajin semuanya

menunjukkan kecerdasan gerak badan.

6. Kecerdasan Antar Pribadi

Kecerdasan antar pribadi adalah kemampuan untuk

memahami orang lain: apa yang memotivasi mereka,

bagaimana mereka bekerja, bagaimana bekerja sama dengan

mereka. Wiraniaga yang sukses, politisi, guru, petugas klinik,

dan pemimpin agama semuanya mungkin adalah orang-orang

yang memiliki kecerdasan antar pribadi yang tinggi.

7. Kecerdasan Intra Pribadi

Kecerdasan intra pribadi adalah kemampuan yang berkaitan

dengan kecerdasan antar pribadi tetapi lebih mengarah ke

19

Page 20: Habit (David)

dalam. Itu adalah kemampuan membentuk model yang

akurat, dapat dipercaya dari diri sendiri dan mampu

menggunakan model itu untuk beroperasi secara efektif

dalam hidup.

Menurut pandangan Howard Gardner, proses pembelajaran di

sekolah bukannya sebuah “pandangan seragam”, yang cenderung

menggunakan IQ sebagai tolok ukur kecerdasan tiap-tiap siswa.

Namun, hendaknya lebih mengembangkan keunikan kecerdasan tiap-

tiap siswa dan membantu siswa untuk mencapai sasaran profesi dan

hobi yang cocok untuk spektrum kecerdasan mereka masing-masing.10

Dengan kata lain, Howard Gardner lebih menekankan metode

pendidikan yang berpusat pada individu yang bertujuan untuk

mengoptimalkan pemahaman dan pengembangan profil kognitif setiap

siswa. Visi ini merupakan sebuah habitus tandingan dari Howard

Gardner terhadap metode pendidikan sekolah seragam jaman ini yang

menitikberatkan IQ sebagai tolok ukur yang utama.

Penulis melihat adanya korelasi antara pemikiran Howard

Gardner dengan pemikiran Aristoteles perihal keutamaan dan

kebahagiaan. Bagi Aristoteles, manusia bahagia bila dapat

merealisasikan atau mengembangkan keutamaan (potensi-potensi)

dirinya menuju sebuah tindakan konkrit (action). Dalam teorinya,

Howard Gardner lebih spesifik dalam memandang potensi-potensi

khas yang dimiliki tiap individu. Howard Gardner mengungkapkan

bahwa tiap individu memiliki potensi-potensi yang khas dalam

kecerdasannya. Dimana potensi kecerdasan tiap individu berbeda

dengan individu lain. Maka sistem pendidikan yang ideal adalah

sistem pendidikan yang mengembangkan keunikan kecerdasan tiap-

10 Ibid, hlm. 25.

20

Page 21: Habit (David)

tiap siswa dan membantu siswa untuk mencapai sasaran profesi dan

hobi yang cocok untuk spektrum kecerdasan mereka masing-masing.11

Penulis juga melihat bahwa pemikiran Howard Gardner tersebut

juga sejalan dengan pemikiran Aristoteles mengenai kebahagiaan.

Aristoteles mengungkapkan bahwa manusia dapat bahagia bila

mewujudkan potensi-potensi (keutamaan) dalam dirinya menjadi

sebuah actus. Dan Howard Gardner secara lebih spesifik

mengungkapkan bahwa tiap-tiap individu memiliki potensi kecerdasan

yang unik yang dibawanya sejak lahir. Dengan demikian, tiap individu

dapat bahagia bila dapat mewujudkan potensi-potensi (keutamaan)

yang khas dalam dirinya menjadi sebuah actus. Sebaliknya, tiap

individu akan merasa tidak bahagia bila dipaksa untuk melakukan

berbagai hal yang tidak sejalan dengan potensi kecerdasan yang

dimilikinya. Sebagaimana banyak pelajar yang merasa tertekan

dengan sistem pendidikan yang hanya menitikberatkan sektor IQ

dalam menilai kecerdasan tiap siswa.

Sistem pendidikan yang ideal seharusnya dapat membuat siswa

untuk semakin menjadi dirinya sendiri dengan menemukan jenis

kecerdasan yang dimilikinya. Bukan malah dikaburkan dengan sistem

pendidikan yang menitikberatkan penilaian pada satu sektor

kecerdasan saja. Sistem pendidikan yang berbasis teori multiple

intelligences pada akhirnya juga turut membentuk mental yang

respek terhadap keanekaragaman. Tidak ada satu tipe kecerdasan

yang lebih superior dan menjadi prioritas daripada tipe kecerdasan

yang lain. Tiap-tiap tipe kecerdasan memiliki kompetensinya masing-

masing dan tingkatannya setara.

Uraian panjang lebar di atas mengarah pada sebuah ide dasar

yaitu membentuk hidup yang berkeutamaan. Hidup yang

berkeutamaan adalah hidup yang didasarkan pada akal budi. Akal

11 Ibid.

21

Page 22: Habit (David)

budi merupakan kodrat manusia yang menjadi dasar ada dan cara

beradanya. Dengan akal budinya, manusia mampu mengadakan

pilihan-pilihan yang baik bagi hidupnya sebagaimana tidak dapat

dilakukan oleh mahkluk/benda lain. Dan di dalam memilih apa yang

terbaik bagi hidupnya, manusia harus mendasarkan dirinya pada azas-

azas keutamaan dalam dirinya, yaitu lakukanlah yang baik dan

hindarilah yang buruk (jahat). Maka...hiduplah dalam keutamaan.

Acuan Sumber:

1. Aquinas, Thomas, Summa Theologiae I-II

2. Howard Gardner, Kecerdasan Majemuk, Teori dalam Praktek, Batam Center,

Batam, 2003.

3. http://masimamgun.blogspot.com/2009/04/filsafat-moral-aristoteles.html ,

diakses pada 22 Mei 2011, pada pukul 21.00.

22