Guru Profesioanal Menuju Generasi Emas

21
Guru Profesioanal Menuju Generasi Emas Antara Harapan dan Kenyataan Dr. I Wy Dirgayasa, M.Hum Universitas Negeri Medan Abstrak Euforia dan aura reformasi hampir 15 tahun lalu kelihatannya bagaikan sebuah pedang dengan dua sisi bagi profesi guru. Di satu sisi, melalui media baik cetak, elektronik maupun online hampir semua elemen masyarakat mengkiritisi, mencemooh dan bahkan mendeskriditkan guru karena mereka dianggap kurang kompeten, profesional dan berkarakter. Guru juga dianggap sebagai faktor utama gagalnya pendidikan secara umum. Di sisi lain, momen tersebut merupakan momentum bangkitnya profesi guru di Indonesia. Hal ini semakin membumi ketika Undang- Undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen disyahkan. Kemudian, ketika sertifikasi guru diterapkan sejak lima tahun terakhir untuk meningkatkan profesionalitas dan kompetensinya serta dikuti dengan peningkatan kesejahteraan guru, animo dan spirit masyarakat untuk menjadi guru semakin jelas dan meluas, dan terpolarisai ke berbagai variabel seperti segi intelektualitas, sosial ekonomi, serta sebarannya secara geografis. Fenomana ini mengindikasikan bahwa profesi guru nampaknya menjadi idola baru yang tidak kalah menarik dan prestisenya dengan profesi lain seperti dokter, insinyur, dan sebagainya bagi masyarakat saat ini. Pemerintah dan masyarakat baru sadar bahwa peran guru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sangat penting dan strategis. Sebagai catatan historis yang penting, pada masa lalu pemerintah lebih berorientasi pragmatis dan instan pada konsep investasi ekonomi (economic investment) dari pada investasi pengetahuan (knowledge investment) untuk membangun bangsa ini. Tulisan ini mencoba membahas revitalisasi makna dan martabat profesi guru, strategi untuk menghasilkan guru yang profesional berkarakter, dan ideal di masa depan yang kemudian bermuara pada siswa yang sukses secara akademik dan berkarakter pada saat seratus tahun Indonesia merdeka tahun 2045. Kata kunci : profesional, pendidikan, guru, berkarakter 1. Pendahuluan Nasib, bukan takdir bagi ‘Umar Bakri’ personifikasi sosok guru yang legendaries, hebat, terhormat, dan mulia, tetapi tragis dan sengsara hidupnya seperti dalam syair yang diciptkan oleh Iwan Fals di tahun 1980-an nampkanya akan hanya tinggal menjadi fakta sastra-historis dalam perjalanan empiris guru di Indonesia. Adalah era ‘pencerahan’ atau ‘enlightment’1998 merupakan blessing in disguise yang mana profesi guru menjadi isu ‘panas’ namun sekaligus ‘manis’ secara nasional. Situasi

Transcript of Guru Profesioanal Menuju Generasi Emas

Page 1: Guru Profesioanal Menuju Generasi Emas

Guru Profesioanal Menuju Generasi Emas Antara Harapan dan Kenyataan Dr. I Wy Dirgayasa, M.Hum Universitas Negeri Medan Abstrak Euforia dan aura reformasi hampir 15 tahun lalu kelihatannya bagaikan sebuah pedang dengan dua sisi bagi profesi guru. Di satu sisi, melalui media baik cetak, elektronik maupun online hampir semua elemen masyarakat mengkiritisi, mencemooh dan bahkan mendeskriditkan guru karena mereka dianggap kurang kompeten, profesional dan berkarakter. Guru juga dianggap sebagai faktor utama gagalnya pendidikan secara umum. Di sisi lain, momen tersebut merupakan momentum bangkitnya profesi guru di Indonesia. Hal ini semakin membumi ketika Undang-Undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen disyahkan. Kemudian, ketika sertifikasi guru diterapkan sejak lima tahun terakhir untuk meningkatkan profesionalitas dan kompetensinya serta dikuti dengan peningkatan kesejahteraan guru, animo dan spirit masyarakat untuk menjadi guru semakin jelas dan meluas, dan terpolarisai ke berbagai variabel seperti segi intelektualitas, sosial ekonomi, serta sebarannya secara geografis. Fenomana ini mengindikasikan bahwa profesi guru nampaknya menjadi idola baru yang tidak kalah menarik dan prestisenya dengan profesi lain seperti dokter, insinyur, dan sebagainya bagi masyarakat saat ini. Pemerintah dan masyarakat baru sadar bahwa peran guru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sangat penting dan strategis. Sebagai catatan historis yang penting, pada masa lalu pemerintah lebih berorientasi pragmatis dan instan pada konsep investasi ekonomi (economic investment) dari pada investasi pengetahuan (knowledge investment) untuk membangun bangsa ini. Tulisan ini mencoba membahas revitalisasi makna dan martabat profesi guru, strategi untuk menghasilkan guru yang profesional berkarakter, dan ideal di masa depan yang kemudian bermuara pada siswa yang sukses secara akademik dan berkarakter pada saat seratus tahun Indonesia merdeka tahun 2045. Kata kunci : profesional, pendidikan, guru, berkarakter 1. Pendahuluan Nasib, bukan takdir bagi ‘Umar Bakri’ personifikasi sosok guru yang legendaries, hebat, terhormat, dan mulia, tetapi tragis dan sengsara hidupnya seperti dalam syair yang diciptkan oleh Iwan Fals di tahun 1980-an nampkanya akan hanya tinggal menjadi fakta sastra-historis dalam perjalanan empiris guru di Indonesia. Adalah era ‘pencerahan’ atau ‘enlightment’1998 merupakan blessing in disguise yang mana profesi guru menjadi isu ‘panas’ namun sekaligus ‘manis’ secara nasional. Situasi ini terpolarisasi ke arah dua kutub masyarakat dalam mencermati dan merespon profesi guru dan keguruan pada konteks kekinian. Pertama, berbagai komponen masyarakat mengkiritisi, mencemooh, merendahkan, dan bahkan mendeskriditkan profesi guru. Bagi kelompok ini, guru dianggap kurang kompeten, profesional, dan kurang berkarakter serta dianggap menjadi faktor utama mengenai gagalnya Konaspi VII Universitas Negeri Yogyakarta, 2012 727

pendidikan di Indonesia. Hal ini benar adanya, misalnya bila dilihat dari data Ujian Kompetensi Awal (UKA) guru tahun 2012, hanya mencapai nilai rata-rata kurang lebih 42,25 dari rentang nilai maksimal 100 secara nasional. Realitas ini semakin benar ketika hasil penelitian lain menunjukkan bahwa hanya 28,94% guru SD baik negeri maupun swasta yang layak mengajar, untuk guru SMP mencapai angka sekitar 57,6%, sedangkan guru-guru SMA yang layak mengajar mencapai sedikit lebih baik dari guru SMP yaitu 65,1%, dan guru-guru SMK hampir sama dengan guru SMP yaitu 57,08% (Asyirint, 2010). Kemudian data ini diperkuat dalam laporan Rakerdan Unimed (2012) yang menyatakan bahwa hanya 50,1% guru yang telah bersertifikasi layak untuk mengajar.

Page 2: Guru Profesioanal Menuju Generasi Emas

Di samping masalah rendahnya kompetensi guru pada bidang kompetensi profesional dan pedagogik, kompetensi sosial dan personal juga menjadi titik lemah profesionalisme guru secara keseluruhan pada konteks kekinian. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa masih banyak guru yang lemah dan kurang mampu mengembangkan kompetensi sosial dan personalnya. Salah satu bentuk lemahnya kompotensi sosial guru adalah kemampuan berkomunikasi dengan siswa. Berkaitan dengan bentuk komunikasi, Covey (1997) menyarankan bahwa untuk mampu berkomunikasi dengan baik dan benar sesuai dengan konteksnya, sebaiknya seseorang menggunakan bahasa proaktif daripada bahasa reaktif. Dalam konteks pendidikan di sekolah, kenyataanya, tidak sedikit guru yang menerapkan bentuk komunikasi interpersonal yang tidak membangkitkan dan mendorong serta memotivasi siswa untuk belajar. Biasanya mereka cenderung menggunakan bahasa reaktif dari pada bahasa proaktif dalam pembelajaran seperti pernyataan “Anak-anaku, sekarang kerjakan halaman 10, kemudian kumpul,” atau “Tidak ada lagi siswa yang dapat mengumpul tugas sesudah hari Senin” atau “ “ Kamu harus mengerjakan tugas itu sekarang” dari pada ungkapan seperti “Anak-anaku, mari kita kerjakan halaman 10, kemudian kumpul,” “Mari kita lihat kapan sebaiknya tugasmu dikumpul,” atau “ Sebaiknya kamu mengerjakan tugas itu sekarang,” dan sebagainya. Berkaitan dengan bahasa yang digunakan oleh guru, merujuk pada tugas seorang guru, guru juga pada hakekatnya seorang pemimpin dan bukan seoarang bos. Pemimpin biasanya berkata “ Mari kita belajar atau mari kita kerjakan bersama” dan bukan berkata “Kerjakan sekarang !” atau “Perbaiki sekarang!” dan sebagainya. Padahal dalam realitasnya, seseorang yang sukses dalam menjalankan tugas prosesinya, indikator kemampuan berkomunikasi menduduki urutan 1 (satu) sedangkan kemampuan intelekutal hanya berada pada posisi 17 (tujuh belas) dari 20 (dua puluh) indikator yang digunakan untuk menilai kesusksesan seseorang dalam menjalankan tugasnya. Konteks seperti ini, akan banyak melahirkan guru-guru yang masuk dalam kategori guru jadul atau guru killer atau out of date (Barnawi, 2012). Jenis guru ini sebenarnya adalah guru yang malas dan tidak mau berkembang sehingga dalam proses pembelajaran sering menerapkan pola “perintah-perintah-dan perintah” semata. Mereka cenderung menjadi guru yang menutupi kelemahannya tetapi dengan cara mencari kesalahan orang lain (siswanya). Kritik lain yang juga menjadi catatan dan instropeksi guru adalah masalah karakter. Saat ini, tidak sedikit guru yang memiliki karakter yang kurang baik dan tidak sesuai dengan tuntutan profesi guru. Bentuk-bentuk guru yang kurang berkarkater baik di lingkungan sekolah maupun di lingkuangan masyarakat misalnya melakukan kekerasan verbal dan fisik Konaspi VII Universitas Negeri Yogyakarta, 2012 728

terhadap siswa-siswanya, melakukan aktivitas dan tingkah laku di luar norma dan kode etik keguruan dan norma sosial di masyarakat pada umumnya. Misalnya mereka tidak jarang melakukan tindakan kriminal dan melawan hukum, penyalahgunaan obat-obat terlarang, korupsi bahkan melakukan pelecahan seksual (sexual harassment) dan sebagainya. Dalam kondisi seperti ini, ungkapan “Guru kencing berdiri dan murid kencing berlari” bukan tidak mungkin akan menjadi ungkapan “Guru kencing berdiri dan murid mengencingi guru?” akan menjadi realitas bagi siswa dalam konteks kekinian. Kurang baiknya karakter guru juga ditunjukan dengan gejala atau fenomena seperti lemahnya kurangnya integritas guru. Realitas ini dapat ditunjukan dengan hasil Ujian Nasional (UN) siswa-siswa baik tingkat sekolah dasar maupun menengah atas sangat perlu dipertanyakan. Kalau kita mencermati dan bandingkan data nasional dalam konteks Ujian Kompetensi Awal (UK) atau

Page 3: Guru Profesioanal Menuju Generasi Emas

Ujian Kompetensi Guru (UKG) dengan data Ujian Nasional (UN) siswa, ditemukan bahwa nilai rata-rata Ujian nasional siswa jauh lebih tinggi dari pada nilai UKA dan UKG guru. Secara kasar nilai rata-rata UKA guru secara nasional misalnya hanya mencapi 42,25 sedangkan nilai rata-rata Ujian Nasional siswa dapat mencapai rata 6,00. Di sisi lain, momen tersebut merupakan titik awal bangkitnya profesi guru di Indonesia. Hal ini semakin membumi ketika Undang-Undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen disyahkan. Kemudian, ketika sertifikasi guru dilaksanakan sejak lima tahun terakhir untuk meningkatkan profesionalitas dan kompetensinya serta diikuti dengan peningkatan kesejahteraan guru, animo dan spirit masyarakat untuk menjadi guru semakin jelas dan meluas. Mereka (calon guru dan guru) dapat dikatakan bahwa mereka sudah terpolarisai dari berbagai spektrum seperti intelektualitas, sosial ekonomi, dan juga sebaran geografis. Fenomana ini mengindikasikan bahwa profesi guru nampaknya menjadi idola baru yang tidak kalah menarik dan prestisius atau gengsinya dengan profesi lain seperti dokter, insinyur, ahli hukum, dan sebagainya. Memang, secara empiris dalam hampir selama 40 (empat puluh) perjalanan sejarah pendidikan dan guru khususnya di Indonesia kurang baik, menguntungkan, dan juga popular di masayarakat. Menurut Makagiansar (2002), karena selama era tersebut, pemerintah lebih beorientasi pada pembangungan ekonomi (economy investment) dari pada pembangunan pengetahuan atau sumber daya manusia (knowledge investment). Dengan orientasi pembangunan seperti itu, implikasi yang kita nikmati sekarang adalah pembangunan ekonomi dan kesejahteraan ekonomi atau masyarakat yang semu. Hal ini dibuktikan dengan krisis ekonomi yang luar biasa buruknya pada era akhir 1990an. Bagi dunia pendidikan, situasi ini menjadikan guru atau profesi keguruan khususnya berada pada titik nadir di masyarakat kita. Guru dan profesi keguruan menjadi profesi kelas yang tidak berkelas, harkat dan martabat guru menjadi menukik ke titik terendah, guru kurang dan mungkin bahkan tidak lagi menjadi seseorang yang digugu dan ditiru, dan teladan bagi siswa dan masyarakat. Dengan situasi seperti ini, hal ini mungkin dapat dikatakan bahwa telah terjadi perubahan yang lebih buruk dari “Guru kencing berdiri dan murid kencing berlari” atau bahkan sudah berubah menjadi ungkapan “Guru kencing berdiri dan murid mengencingi guru?”, Dan yang paling serius adalah kehidupan guru secara ekonomis tidak pernah beranjak dari kesederhanan dan kekurangan. Konaspi VII Universitas Negeri Yogyakarta, 2012 729

Bercermin dari kesalahan tersebut, saat ini pemerintah dan DPR sebagai pembuat kebijakan sudah dapat dikatakan merubah haluan dan visi pembangunananya dari investasi ekonomi (economy investment) ke arah investasi pengetahuan atau sumber daya (knowledge investment) yang dibuktikan dengan penguatan sistem pendidikan, khususnya pendidikan guru dan profesionalitas guru. Data dari perubahan haluan dan visi pembangunan tersebut paling tidak secara normatif dapat dilihat dari lahirnya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No 20 Tahun 2003, Undang-Undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, beberapa peraturan pemberintah, menteri dan turunannya, dan sebagainya yang berhubungan dengan sistem pendidikan dan guru. Keseriusan pemerintah dalam pembangungan pendidikan secara umum dapat dilihat dari anggaran pendidikan yang mencapai 20% dari total APBN nasional dalam dua tahun terakhir. Sesungguhnya, bukan saja pemerintah dan DPR yang menyatakan pendidikan dan guru atau profesi keguruan itu penting dan memiliki posisi vital dalam pembanguan sumber daya, masyarakat juga kelihatannya mulai menyikapi dan merespon bahwa pendidikan dan guru serta

Page 4: Guru Profesioanal Menuju Generasi Emas

profesi keguruan menjadi sektor penting dan vital dalam meningkatkan kualitas manusian Indonesia. Kita tidak mau lagi menduduki ranking 107 dari 177 negera yang disurvei mengenai Indeks Sumber Daya Manusia (Human Development Indeks-HDI) dan jauh di bawah Thailand 78, Malaysia 63, dan Singapore 25. Indonesia hanya sedikit di atas Negara tetanga Papua Nugini 145, dan anaknya (Timor Leste) di posisi 150. Namun demikian, saat ini, banyak masyarakat yang tertarik dengan profesi keguruan. Seperti disebutkan sebelumnya bahwa masyarakat yang ingin menjadi guru sudah terpolarisasi dari berbagai struktur masyarakat seperti intelektualitas, sosial ekonomi, dan juga sebaran geografis. Guru dan profesi keguruan saat ini sudah dapat dikatakan menjadi salah satu profesi yang paling diminati oleh masyarakat. Di Provinsi Sumatera Utara misalnya, khususnya di Universitas Negeri Medan, indikator dari bangkitnya profesi guru dan keguruan misalnya jumlah mahasiswa yang masuk program studi keguruan meningkat signifikan pada tahun 2012 ini (Rakerda Unimed, 2012). Di samping itu, sekarang banyak univeristas yang dulu memandang sebelah mata profesi guru dan keguruan yang membuka fakultas pendidikan dan prodi pendidikan atau munculnya universitas dan institute baru yang membuka fakultas, jurusan dan prodi pendidikan. Tulisan ini mencoba membahas revitalisasi makna dan martabat profesi guru, strategi untuk menghasilkan guru yang profesional, berkarakter, dan ideal di masa depan yang kemudian bermuara pada siswa yang sukses secara akademik dan berkarakter pada momen seratus tahun Indonesia merdeka tahun 2045. 2. Pembahasan 2.1 Revitalisasi Makna dan Martabat Guru Sudah rahasisa umum (common sense) di masayarakat, ketika kita berbicara tentang guru, banyak sekali kata, frase, dan ungkapan yang berhubungan dengan guru baik yang bernuansa positif maupun negatif. Kata atau frase ataupun ungkapan tersebut misalnya ‘Umar Bakri’, soko guru, digugu dan ditiru, , hymne guru, pahlawan tanpa tanda jasa, dan guru kencing berdiri dan murid kencing berlari, bahkan ada ungkapan yang lebih sakarstik yaitu “ guru kencing berdiri dan murid mengencingi guru, dan sebagainya” Realitas ini menunjukkan bahwa ada dua domain mengenai profesi guru yaitu profesi yang bermartabat, luhur, popular, menarik, penting, dan dicintai di satu sisi tetapi sebaliknya profesi guru adalah Konaspi VII Universitas Negeri Yogyakarta, 2012 730

profesi yang kurang dihargai, tidak popular dan menjanjikan bahkan kelas profesi yang tidak berkelas. Dalam konteks sebelum reformasi dan bahkan di awal-awal reformasi di era akhir 1990-an rasanya nilai rasa bahasa yang terkandung dalam ungkapan tersebut lebih dominan bermakna negatif, minor, tidak menarik, dan tidak menjanjikan. Guru diminati dengan ungkapan seperti “Lebih baik jadi guru dari pada tidak…tidak bekerja”atau “ Menjadi guru bukan pilihan utama,” dll. Namun, pada beberapa tahun terakhir khususnya dipertangahan tahun 2000an, kelihatanya makna, harkat, martabat atau marwah guru sudah mulai membaik untuk itu, berbagai perspektif, profesi guru dari harus direvitalisasi sehingga suatu saat profesi guru akan menjadi satu dari lima profesi yang paling popular, menarik, bergengsi, dan menjanjikan, serta bermatabat secara sosial dan spritiual. Hal ini harus segera dan mendesak dilakukan agar profesi guru jgua menjadi profesi yang bermatabat secara sosial ekonomi, namun tetap memimiliki nilai-nilai luhur kemanusiaan dan spiritual.

Page 5: Guru Profesioanal Menuju Generasi Emas

Menelusuri dan meredifinisi hakekat, arti, dan makan guru, menjadi sesuatu yang penting dalam konteks revitalisasi makan dan martabat guru. Apa sebenarnya arti dan hakikat guru tersebut? Secara etimologis, kata guru berasal dari Bahasa Sanskerta yaitu ‘gu’ dan ‘ru’. ‘Gu’ artinya kegelapan, kejumudan atau kekelaman, sedangkan kata ‘ru’ artinya melepaskan, menyingkirkan, atau membebaskan (Aqib, 2009). Dari kata tersebut dapat diartikan bahwa ‘guru’ adalah manusia yang berjuang secara terus menerus dan secara pelan-pelan untuk melepasakan dan membebaskan manusia dari kegelapan dan kemandekan pikiran. Dalam konteks masyarakat dan budaya Jawa, ada istilah untuk guru yaitu ‘soko guru.’ Istilah ini sangat dipahami, dimengerti, dan bahkan diimplementasi oleh masyarakatnya. Ungkapan ‘soko guru’ dapat diartikan sebagai ‘soko’ berarti ‘pilar’ and ‘guru’ berarti ‘utama’ atau ‘luhur.’ Berdasarkan makna tersebut, ‘soko guru’ diasosiasikan sebagai rumah dimana ‘pilar utama atau pilar yang luhur’ yang menyangga sebuah rumah yang memiliki bobot yang berat. Berkaitan dengan itu, guru bagaikan pilar dalam sebuah masyarakat dan bangsa yang memiliki tugas dan beban yang berat dalam pembangunan peradaban sebuah bangsa. Bila harkat, martabat, dan marwah guru serta kedudukan dalam masyarakat kurang dihargai baik secara moral, budaya, sosial dan bahkan ekonomis, tidak berfungsi dengan baik, bukan tidak mungkin pilar tersebut akan retak bahkan patah dan roboh maka konsekuensinya masyarakat dan bangsa tersebut juga ‘roboh’(Aqib, 2009). Hal ini sejalan dengan judul cerpen A.A Navis dengan judul Robohnya Surau Kami (1955) yang mengasosiasikan robohnya surau karena kehidupan sosio-religi yang tidak sesuai dengan norma sosial dan agama. Ini menunjukkan bahwa peran dan posisi guru sangat penting dan vital dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Kemudian bila ditinjau dari historis-empiris, kata ‘guru’ berasal dari kata ‘gooroo yang berarti orang yang terpelajar,‘pendeta,’ ‘nabi.’ Sedangkan dalam Bahasa Sanskerta, ‘guru’ berarti pendeta, ilmuwan. Kemudian dalam perspektif Hindu, kata guru dipersonifikasi dengan Betara Guru di mana Betara Guru identik dengan ‘Dewa.’ Dalam perspektif Hindu, Dewa adalah manifestasi Tuhan dalam peran dan fungsinya di dunia ini. Ini menunjukkan bahwa guru merupakan profesi mulia dan agung dan layak disebut ‘manusia setengah dewa.’ Berakaitan dengan makan dan hakikat guru, guru juga identik dengan seorang pemimpin, sehingga Hareva dalam bukunya “Berguru ke Matahari” (Aqib, 2012) menyimbolkan guru Konaspi VII Universitas Negeri Yogyakarta, 2012 731

memiliki watak delapan benda langit yang berbeda-beda tetapi saling melengkapi sehingga diperoleh atribut guru yang ‘sempurna.’ Misalnya guru diibaratkan sebagai matahari yang memberikan spirit bagi siswanya, guru bagaikan bulan yang lembut tetapi suka membantu, guru bagaikan bintang yang selalu membimbing siswa untuk kehidupan yang lebih baik, atau bagaikan angin yang penuh pengertian dan inspiratif. Dia lebih lanjut mengatakan guru bagaikan lautan yang tenang dan bijaksana hal ini karena guru dianggap orang yang beradab, bijaksana, dan berilmu baik ilmu hard skill maupun soft skill. Sebagai bumi, guru adalah makluk yang dermawan walaupun dermawannya bukan dalam bentuk harta tetapi ilmu pengetahuan. Ini yang membedakan bahwa sifat dermawan guru tanpa mengenal batas, ruang, dan waktu dibandingkan dengan profesi lain. Maka dari itu, kini saatnya kita harus merevitalisasi beberpa makna minor atau bernuasa negatif terhadap profesi guru. Guru bagi saya adalah profesi yang sangat mulia dan terhormat. Bukan untuk merendahkan sebutan profesi lain. Misalnya kalau DPR dan MPR dianggap dewan yang terhormat, saya bertanya dari sisi apa kita menyebut mereka terhormat? “Hanya karena membuat

Page 6: Guru Profesioanal Menuju Generasi Emas

undang-undang?,” “Atau karena mempeorleh penghasilan yang besar?.” “Atau karena fasilitas yang diterumannya?.” Guru adalah profesi yang bukan saja terhormat, tetapi juga mulia dan humanis, karena profesi guru adalah “ memanusiakan manusia.” Dan bagaimana dengan profesi dokter yang sering disebut memiliki nilai kemanusian. Memang tidak dapat disangkal bahwa profesi dokter adalah menyembuhkan orang sakit dan itu memiliki nilai-nilai kemanusian. Tetapi perlu diingat bahwa manusia tidak akan berarti bila sehat secara fisik tetapi sakit secara moral dan mental. Untuk membuat manusia sehat secara mental, moral dan beradab itu adalah tugas guru. Ungkapan “Pahlawan tanpa tanda jasa” rasanya kurang sesuai dan relevan lagi dengan konteks kekinian. Ungkapan ini telah meninibobokan guru pada suatu kepasrahan dan demotivasi karena mereka dianggap kurang berjasa dalam masyarakat. Menurut pandangan neurolinguis atau ahli neurolinguistik, ungkapan bahasa “Pahlawan tanpa tanda jasa” juga telah memposisikan profesi guru ke kelas yang tidak berkelas dan inferior. Dengan demikian, perlu ditegaskan bahwa guru bukan semata-mata orang yang mengajar dan mentrasfer ilmunya ke pada siswa. Guru adalah orang yang harus diposisikan sebagai yang digugu dan ditiru. Guru adalah pilar utama sebuah bangsa, guru adalah orang yang memiliki martabat yang terhormat, luhur dan agung. Seperti disebutkan sebelumnya, dalam konteks perspektif Hindu, guru bahkan dapat dikatakan manusia setengah dewa atau guru adalah kepanjangan tangan Tuhan (hand of God), karena dalam perspefktif Hindu ada yang disebut dengan Batara Guru yang tidak dimiliki oleh profesi lain. 2.2 Tipikalitas Profesi Guru Guru sebagai pekerjaan profesional menuntut keahlian, kemampuan, dan pendidikan khusus yang memadai. Namun demikain, istilah profesionalisme cukup bervariasi namun hampir sama secara substansi. Dalam http://onlinelibrary.wiley.com juga disebutkan bahwa kata professional merujuk pada pekerjaan yang membutuhkan pendidikan khusus, kompetensi dan kemampuan yang dapat dipercaya dan khusus untuk melakukan pekerjaanya. Berkaitan dengan profesionalisme, Musclich (2007) menjelaskan bahwa profesionalisme adalah suatu aktivitas atau pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadikan pekerjaan tersebut sebagai mata pencaharian atau nafkah yang membutuhkan keterampilan, Konaspi VII Universitas Negeri Yogyakarta, 2012 732

keahlian khusus yang sesuai dengan standar profesionalisme. Sedangkan Sanjaya (2005) berpendapat profesionalisme paling tidak memenuhi 4 (empat) indikator yaitu, a) penguasaan ilmu pengetahuan tertentu secara tuntas, b) kemampuan dan keahlian khusus untuk bidang khusus, c) tingkatan keahlian sejalan denga latar belakang pendidikan, dan d) memiliki dampak sosial kepada masyarakat. Sedangkan dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 2005, guru adalah sebauah pekerjaan profesi tugas utamanya adalah mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih dan mengevaluasi siswanya dari tingkat awal hingga pendidikan tinggi Berkaitan dengan tugas dan profesi guru, Aziz (2012) menyebutkan tipikalitas profesi guru dapat dikategorikan menjadi tiga hal. Pertama-membaca artinya guru tidak boleh merasa ‘selesai’ walaupun mereka sudah pandai, berpengalaman, dan memiliki gelar akademik yang tinggi. Guru harus merasa semakin banyak yang dibaca semakin banyak yang tidak diketahui. Guru harus menerapkan konsep ‘jalan tak ada ujung.’ Kedua-mengenal artinya setelah selesai membaca, guru harus mengenal. Dalam arti sederhana ‘mengenal’ adalah ‘mengetahui dengan tepat, pasti, jelas, dan benar’. Guru yang menerapkan tugas ‘mengenal’ biasanya cenderung mendekati

Page 7: Guru Profesioanal Menuju Generasi Emas

siswanya dengan hati bukan dengan mulutnya. Namun, realitasnya memang banyak guru mengenal siswa dengan mulutnya, suaranya, bahkan hardikanya atau dengan kekuasaanya yang cenderung otoriter. Hal ini yang harus dihindari oleh guru yang menerapkan arti kata ‘mengenal.’ Ketiga-berkomunikasi berarti setelah membaca, dan mengenal, guru harus melakukan ‘komunikasi’ Di sini guru harus melakukan komunikasi timbal balik atau dua arah yang mempunyai makna dan nilai. Ini juga berarti bahwa bagaimana seorang guru menyampaikan pelajarannya kepada siswa dengan tetap mengedapankan hakikat berkomunikasi yang baik terutama komunikasi interpersonal (interpersonal communication). Sejalan dengan yang disebutkan sebelumnya, indikator utama seseorang dianggap sukses dalam pekerjaannya adalah mampu berkomunikasi dengan baik dan menerapkan prinsip-prinsip komunikasi baik personal maupun interpersonal. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang menyebutkan bahwa faktor komunikasi menjadi faktor pertama dan utama terhadap kesuksesan seseorang dalam menjalankan tugas dan profesinya. Sedangkan faktor intelekutalitas yang dicerminkan pada indeks presetasi akademik hanya menduduki ranking 17 dari 20 indikator yang digunakan. Mengkaji profesi guru, profesi guru merupakan profesi yang sangat unik dan tipikal dibandingkan dengan profesi lain. Guru bukan sekedar profesi dan memang tidak pernah bisa dijadikan sekedar profesi karena profesi sekadar adalah profesi yang dikerjakan dan dilakukan ala kadarnya, sekadar saja, daripada tidak lebih baik… (Aziz, 2012). Bila demikian halnya ini berarti bahwa menjadi guru bukan sebuah profesi yang diawali dengan keinginan atau minat apalagi faktor motivisi eksternal dan lingkungan. Guru adalah sebuah panggilan jiwa (call of life) Hansen (1995) dalam Suparno (2003), niat yang tulus dan tekad yang kuat. Ini artinya call of life dilandasi dengan idealisme dan bukan karena motif finansial atau motif lainnya. Tipikalitas lainnya adalah profesi guru dinisbatkan juga kepada sebutan pribadinya sehingga guru sering dipanggil Pak/Bu Guru. Dan hal ini berbeda dengan profesi lainnya seperti apoteker, akuntan, bankir dan sebagainya, karena masyarakat tidak memanggilnya dengan sebutan pak apoteker atau pak akuntan kecuali Pak Dokter. Hal ini terjadi karena Konaspi VII Universitas Negeri Yogyakarta, 2012 733

masyarakat menilai bahwa guru pada prinsipnya guru adalah pekerjaan sangat mulia dan kadang-kadang identik dengan rohaniawan dan dianggap manusia ‘setengah dewa.’ Di samping itu, yang juga perlu dipahami adalah pahala guru tidak mengenal batas, ruang dan waktu. Pahala guru dapat dikatakan bagaikan sebuah sistem multilevel marketing yang selalu membesar dari waktu ke waktu atau dari generasi ke generasi. Hal ini tentu berbeda dengan pahala seorang dokter yang tidak memiliki efek domino. Guru diharapkan mampu menjadi seseorang yang ‘sempurna.’ Guru juga menjadi profesi yang pahala (ilmunya) menyeber tanpa batas, ruang, dan waktu. Sejalan dengan ini, Fatullah (2006) berkelakar dengan menyebutkan bahwa 99% penghuni surga adalah guru. Pernyataan ini juga mengindikasikan bahwa profesi lain memperebutkan sisanya yang hanya 1%. Berkaitan dengan pernyataan di atas, di surga juga memiliki kelas VVIP, VIP, Business, dan Ekonomi. Bagi guru yang luar biasa mungkin mereka menempati kelas VVIP dan seterusnya, sebaliknya guru yang bekerja biasa-biasa saja sudah pasti masuk surga, minimal kelas ekonomi. Bagaiamana? Apakah anda masih berminat menjadi guru atau punya panggilan jiwa (call of life) menjadi guru? Ini yang harus dipamahi oleh guru dan masyarakat agar guru benar-benar menjadi orang uang luhur dan bermatabat serta agamis. Seperti yang disebutkan oleh (Makagiansar, 2002) investasi pengetahuan ‘memanusikan manusia,’ dan sebutan ‘orang tua kedua’ juga merupakan tipikalitas profesi guru. Dalam

Page 8: Guru Profesioanal Menuju Generasi Emas

kehidupan sehari-hari, kenyataannya siswa jauh lebih percaya kepada gurunya dari pada orang tuannya terhadap suatu masalah atau pelajaran walaupun orang tuanya secara akademik jauh lebih tinggi. Ini menunjukkan bahwa guru telah mampu menggeser fungsi, peran, dan kedudukan orang tua pada bidang tertentu. Guru dianggap orang yang paling pinter dan orang yang tidak pernah salah. Dengan sejumlah tipikalitasnya, perbedaannya, dan juga keunikannya, suatu saat nanti, profesi guru harus menjadi profesi yang terhormat, bermartabat dan mulia. Kelihatannya, hal ini harus dipahami bahwa kata ‘terhormat’ ini tentu artinya jauh lebih bermakna dari pada kata ‘terhormat’ yang disematkan bagi anggota dewan atau DPR. 2.3 Dua Kutub Bertemu di Muara Guru Profesional dan Masa Depan Untuk menghasilkan guru masa depan yang profesional, kompetitif, berkarakter, dan berwawasan global, Ramly dalam bukunya “Guru Kaya” (Aqib, 2009) menyebutkan bahwa ada dua kutub yang bertanggung jawab untuk menghasilkan guru ideal dan profesional di masa depan. Kedua kutub ini memiliki tugas dan fungsi yang berbeda-beda, namun tetap bermuara pada lahirnya guru ideal dan profesional masa depan. Kutub Utara (North Pole), merujuk pada tanggung jawab guru itu sendiri. Artinya guru harus mau dan sadar bahwa untuk menjadi guru ideal dan professional di masa depan, mereka harus berusaha secara pribadi dan kelompok untuk meningkatan kualitas dirinya baik dari segi kompetensi profesional, pedagogik, sosial dan kepribadian. Usaha-usaha yang dapat dilakukan misalnya a) membangun mental percaya diri (self confidence), b) mengubah persepsinya dan sikap bahwa profesi guru adalah terhormat, martabat, dan dihargai dan bukan profesi yang tidak berkelas, c) selalu bersyukur dan menikmati profesinya, dan d) selalu menjaga kode etik keguruan yang mencerminkan profesi guru adalah sangat tipikal Konaspi VII Universitas Negeri Yogyakarta, 2012 734

dibandingkan dengan profesi lain. Merujuk apa yang diutarakan oleh (Aqib, 2009), usaha-usaha tersebut lebih bersifat pada pengembangan soft skill dan karakter. Untuk menjadi guru yang masa depan yang mampu menghasilkan generasi emas di masa depan, usaha-usaha lain yang harus dilakukan oleh guru baik secara sendiri-sendiri maupun kelompok adalah mengembangkan dan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan hard skill guru itu sendiri. Usaha-usaha tersebut misalnya studi lanjut, pendidikan dan pelatihan, penelitian, seminar, dan kegiatan-kegiatan lain yang mendukung untuk meningkatkan kompetensi guru secara komprehensif terutama pengembangan kompetensi pedagogik dan profesionalnya. Sedangkan Kutub Selatan (South Pole) yang bertanggung jawab adalah pemerintah dan DPR. Kutub ini bertanggung jawab dalam hal semua regulasi, peraturan dan kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan guru. Variabel tersebut misalnya sistem pendidikan nasional, sistem pendidikan guru, pembatasan lembaga pendidikan, revitalisasi sistem rekruitmen mahasiswa calon guru, pelatihan, boarding school, kesejahteraan guru, atau program-program teknis seperti Sarjana Mendidik di Daerah Terluar, Terpencil, dan Terdepan (SM-3T, Indonesia Mengajar, Pendidikan Profesi Guru (PPG), Pendidikan Profesi Guru Terpadu (PPGT), dan sebagainya. Khusus untuk program SM3-T dan dilanjutkan dengan program PPG, kelihatannya identik dengan program coas bagi profesi dokter. Dalam program SM3T ini sarjana pendidikan mengikuti program mengajar selama 1 (satu) tahun di lapangan untuk menerapkan ilmunya secara riil. Kemudian sesudah itu, mereka diwajibakan untuk mengikuti program PPG pada tahun berikutnya selama 1 (satu) di kampus. Sesudah mengikti kedua program tersebut barulah

Page 9: Guru Profesioanal Menuju Generasi Emas

mereka berhak menyandang sebutan guru professional yang bersertifikasi. Pertanyaannya apakah pemerintah mampu memberikan peluang bagi semua sarjana pendidikan untuk mengikuti program di maksud? Ini adalah beban sekaligus tantangan yang harus dirumuskan dan dijalankan oleh pemerintah dan DPR, guru, serta masyarakat luas. Dalam konteks lembaga yang menghasilkan guru misalnya, pemerintah harus menata dan merekonstruksi ulang desain dan sistem lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK). LPTK harus memiliki standar nasional. Mungkin pemerintah dapat melakukan benchmarking dengan lembaga/fakultas yang menghasilkan dokter pada beberapa aspek yang dianggap layak untuk lembaga pendidikan. Pemerintah dalam hal ini, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan harus benar-benar melakukan mapping tentang kebutuhan guru dan lembaga pendidikan yang tersedia. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi ketimpangan antara permintaan dan ketersediaan tenaga guru. Di samping itu, pemerintah juga harus konsisten terhadap aturan dan regulasi terutama mengenai pembukaan LPTK baru. LPTK berasrama mungkin juga menjadi salah satu alternatif pendidikan guru kareana berasraman bukan hanya sekedar tidur bersama dan makan bersama tetapi juga memberikan ruang, waktu dan tempat untuk pembangunan dan nurturing karakter secara utuh. Tahapan menghasilkan guru yang profesional di era generasi emas adalah sistem rekuritmen atau seleksi mahasiswa calon guru. Menurut hemat penulis, untuk melakukan rekruitmen/seleksi mahasiswa calon guru paling tidak pemerintah/LPTK menentapkan ada dua hal yang harus dilakukan dalam penerimaan mahasiswa calon guru kecuali seleksi yang sudah ada selama. Kedua ahal tersebut adalah wawancara dan tes seleksi Bahasa Inggris. Konaspi VII Universitas Negeri Yogyakarta, 2012 735

Wawancara sangat penting dan bermanfaat agar mahasiswa yang ingin menjadi guru benar-benar karena panggilan jiwa (call of life) Hansen (1995) dalam Suparno (2003), Waternik dalam http//re-searchengines.com/isjoni10.html menyebut dengan istilah rouping atau ‘panggilan hati nurani dan bukan karena faktor finasial dan motivasi lainnya. Wawancara juga dapat menjaring mahasiswa calon guru yang memiliki karakter yang unggul. Dengan kata lain, seleksi mahasiswa calon guru harus ketat dan berlapis sehingga ditemukan calon guru yang benar-benar berkualitas baik dari segi intelektualitas, karakter, dan komitmen serta memiliki kemampuan Bahasa Inggris yang memadai. Seperti kita ketahui semua bahwa saat ini, kemampuan bahasa asing yang kemudian disebut Bahasa Inggris saat ini sudah tidak dapat dihindari lagi penggunaannya. Dalam konteks globalisasi dan informasi komunikasi dan teknologi (Information Communication and Technology-ICT) yang berkembang sangat pesat tanpa batas, ruang, dan waktu kelihatannya kebutuhan Bahasa Inggris menjadi sangat penting dan mendesak bagi guru. Bahasa Inggris bukan lagi menjadi bagian elementer, namun sudah menjadi penentu (critical point) dalam sistem seleksi untuk bekerja menjadi guru. Lebih jauh lagi, Dalam konteks profesionalisme, kebutuhan Bahasa Inggris bukan lagi semata untuk bahasa (Bahasa Inggris) namun digunakan sebagai media atau pelayanan untuk melakukan pekerjaan profesinya (Dudley, Tony and Maggie J, (2002). Dengan demikian, posisi Bahasa Inggris telah beruhan mata pelajaran (subject matter) ke arah pelayanan (service). Jika kembali ke pada konsep profesionalisme yaitu suatu pekerjaan yang memerlukan keahlian khusus dan pendidikan tertentu serta dengan profesinya itu mereka dapat menghidupi diri dan keluarganya, kesejahteraan guru menjadi kata kunci selain panggilan jiwa (call of life). Spirit panggilan jiwa akan semakin besar dan berkembang serta konsisten, bila kesejahteraan guru juga

Page 10: Guru Profesioanal Menuju Generasi Emas

menjadi prioritas dalam pengembangan profesi guru. Apa yang salah jika kesejahteraan guru lebih baik dari profesi lain yang anggarannya dialokasikan dalam APBN. Bila hal ini terjadi, maka akan diperoleh mahasiswa calon guru yang ideal dengan qualifikasi 1) kemampuan intelektual yang unggul, 2) spirit yang tinggi (call of life), 3) karakter yang unggul, dan 4) kesejahteraan yang terjamin. 2.4 Profil Guru di Era Generasi Emas 2045 Bagaimana sesungguhnya profil dan sosok guru professional di era generasi emas 2045? Ini adalah perntanyaan yang penting untuk di jawab bagi kita semua. Menghasilkan profil atau sosok guru di era 100 tahun Indonesia merdeka-2045 sesungguhnya bermura pada dua domain yaitu kompetensi dan karakter guru guru. Sesungguhnya profil guru Indonesia sudah tertuang dalam Undang-Undang No 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen di mana ada 4 (empat) kompetensi yaitu kompetensi pedagogik, professional, sosial dan kepribadian yang merupakan wujud dan sosok guru Indonesia. Namun, kelihatannya ada beberapa kompetensi dan atribut lainnya yang harus melekat pada guru masa depan yang belum dan tidak tercantum dalam regulasi tersebut misalnya kemampuan berbahasa internasional (Bahasa Inggris), memiliki jiwa kewirausahaan (entrepreneaurship), memiliki jiwa kepemimpinan (leadership), memiliki kemampuan tentang Information Comunication Technology (ICT), kemampuan untuk memahami dan mengerti regulasi tentang pendidikan dan keguruan khususnya, Dari semua itu, kemampuan berbahasa internasional (Bahasa Inggris) misalnya dan kemampuan ICT merupakan dua Konaspi VII Universitas Negeri Yogyakarta, 2012 736

aspek utama untuk menuju guru professional dan berwawasan global. Di samping itu, profil guru masa depan harus mau dan peduli terhadap pertaturan dan regulasi yang berhubungan dengan sistem pendidikan secara umum dan yang berhubungan dengan guru secara khusus. Berkaitan dengan itu guru juga harus peduli dan masuk menjadi organisasi profesi layaknya profesi lain seperti Persatuan Insinyur Indonesia (PII), Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dan Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), dan sebagainya. Sebagai guru professional dan ideal pada era generasi emas-2045, guru juga dituntut untuk menguasai Penelitian Tindakan Kelas (PTK). PTK sangat penting dan membantu guru dalam meningkatkan kualitas pembelajarannya. PTK juga mengubah prilaku guru sendiri dan juga prilaku siswa, mengubah kerangka kerja proses pembelajaran yang bermuara pada prilaku siswa sendiri dalam konteks pembelajaran. Di samping itu, PTK juga merupakan bentuk pertanggungjawaban guru terhadap kinerjanya selain kepentingan evaluasi yang komunikatif. Juga data dan fakta yang dihasilkan dari PTK tersebut dapat dijadikan referensi untuk dipublikasikan. Sedangkan dari aspek karakter, seorang guru yang mempunyai tugas memanusiakan manusia (to humanize the human), harus memiliki karakater seperti percaya diri, empati, adaptabilitas, antusiasme, empati dll menjadi sangat penting bagi guru (Aka, 2012). Kemudian, Hareva dalam bukunya “Berguru ke Matahari” (Aziz, 2012), menyimbolkan guru memiliki watak delapan benda langit yang berbeda-beda tetapi saling melengkapi sehingga diperoleh atribut guru yang ‘sempurna.’ Misalnya guru diibaratkan sebagai matahari yang memberikan spirit bagi siswanya, guru bagaikan bulan yang lembut tetapi suka membantu, guru bagaikan bintang yang selalu membimbing siswa untuk kehidupan yang lebih baik, atau bagaikan angin yang penuh

Page 11: Guru Profesioanal Menuju Generasi Emas

pengertian dan inspiratif. Sedangkan Azis menyebut guru yang profesional dengan akronim KEREN yaitu kuat, etos kerja, ramah, egaliter, dan nastiti. Berkaitan dengan sosok guru masa depan, Smith (2001): Hayes (2000) mengatakan standar guru berkarakter harus ada 4 (empat) komponen yang harus dikuasi dan dimiliki oleh guru. Keempat komponen tersebut adalah a) nilai-nilai professionalisme dan komitmen pribadi, b) pemahaman dan pengetahuan profesionalisme, c) ciri dan atribut profesionalisme dan kepribadian, dan d) prilaku profesionalisme sebagai guru. Guru harus mempunyai kata ‘pulang’ dalam pekerjaannya. ‘Pulang’ menurut Messing dalam manajamen TAO berarti ‘kembali’ ‘peninjauan kembali’, dan ‘mereview kembali.’ Dia lebih lanjut mengatakan seorang guru harus melakukan penilaian kembali terhadap apa yang telah dilakukan untuk menemukan kesalahan, kekukarangan, dan hambatan untuk mencapai kemajuan. Kata ‘pulang’adalah suatu proses yang bersifat siklik dan berkesinambungan untuk mencapai suatu kemajuan (Messing, 2001). Merujuk pada sosok guru professional dan ideal, guru juga dapat diidentikan sebagai seniman. Seniman artinya seorang guru biasanya mencermati situasi, keadaan, suasana lalu menciptkan karya seni berdasarkan sitauasi, kondisi, ruang dan waktu. Di samping itu, tugas mendidik dan mengajar juga merupakan suatu seni tersendiri. Guru harus memahami situasi anak didik baik secara fisik, psikologis, maupun spiritual baik secara individu maupun kelompok. Berkaitan sosok guru, Suparno (2002) menambahkan guru juga bukan tukang, dia harus kreatif dan inovatif. Kalau mengajar tidak hanya mengajarkan apa yang sudah tertulis dalam buku, dia harus improvitatif dan penuh inisiatif. Lustita (2012) mengatakan bahwa Konaspi VII Universitas Negeri Yogyakarta, 2012 737

untuk menjadi guru kreatif, inspiratif dan inovatif harus dibentuk dimana faktor komitmen menjadi sangat penting. Dengan semangat komitmen guru dapat menciptakan dirinya sebagai manusia yang unggul yang bermuara pada siswa yang cerdas dan berkarakter. Untuk menjadi guru yang unggul dan inspiratif, Freire dalam bukunya “ Pedagogy of Hope’ mengatakan guru harus menjadi seorang pemimpi. Artinya guru harus mampu membuat siswanya memiliki angan-angan dan impian, karena angan-angan dan impian tidak membutuhkan biaya tetapi hanya butuh pengembangan pikiran secara bebas. Membangun relasi dengan orang tua siswa, juga menjadi sangat penting dan vital bagi guru. Guru harus mengenal siapa sesungguhnya siswa yang diajar. Berkaitan dengan hal ini, (Venenman, 1984) dalam Marsden (http://sahabatguru.wordpress.com/2008/12/11/7-kebiasaan-sukses-guru-masa-depan) mengatakan bahwa guru harus menjalin dan membangun relasi dengan orang tua siswa karena pengenalan pribadi siswa merupakan masalah pelik bagi guru. Hal ini diungkapkan oleh seorang guru di Amerika : “Saya tidak punya ide apa yang siswa bawa ke kelas/sekolah, apakah mereka sambil bekerja, apakah mereka memiliki pengalaman pribadi yang buruk, apakah mereka memiliki orang tua yang lengkap atau sudah cerai, dan sebagainya. Saya tidak tau apa-apa tentang kehidupan mereka di luar sekolah. Untuk menjadi guru saat ini, guru harus membangun jembatan untuk menghubungan sekolah dengan rumah………, istilah kurikulum yang tersebunyi tidak lagi tersembunyi.” Faktor kecil tetapi penting dan mendesak untuk diwujudkan oleh guru adalah cara berpakaian. Berpakian yang menarik yang mencerminkan profesi mendidik menjadi sangat penting bagi guru karena pakian yang digunakan dapat membangun rasa percaya diri seseorang demikian halnya

Page 12: Guru Profesioanal Menuju Generasi Emas

dengan guru sendiri. Dalam http://www.wikihow.com/Be-a-Professional-Teacher/3/4/2012) disebutkan bahwa cara berpakian menduduki urutan kedua setelah guru harus dapat menginispirasi siswanya. Ini menunjukkan bahwa perpakian merupakan indikator yang penting bagi seorang profesi guru yang professional. Lebih lanjut disebutkan bahwa bahwa cara berpakian guru saat ini merupakan kelemahan utama dalam mewujudkan sosok guru yang profesional dan ideal. Sehingga muncul kelakar bila berbagai profesi dikumpulkan, maka dengan mudah kita mengetahui seseorang itu guru atau tidak. Dengan demikian, berpakaian juga merupakan dimensi yang sangat penting dan mendesak untuk mewujudkan citra dan sosok guru ideal dari sisi luar seseorang guru. Karena pakaian dapat mencerminkan identitas dan karakter pemakainnya. Dan yang harus dipahami oleh guru adalah guru sesungguhnya seorang ‘artis’ di sekolah maupun di kelas khususnya, dimana siswa-siswa akan memandang, menilai ‘keartisan’ guru dalam hal berpakaian. Bila guru berpenampilan menarik, sudah pasti secara psikologis siswanya juga akan merasa senang sehingga akan tercipta suasana akademik yang menyengangkan. Suasana akademik yang menyenangkan akan melahirkan gariah berlajar yang tinggi yang kemudian bermuara pada hasil belajar yang maksimal. 3. Penutup Untuk menjadi guru masa depan bertepatan dengan 100 tahun Indonesia merdeka sesungguhnya terbuka luas dan tidak mustahil. Untuk mewujudkan sosok guru ideal dan professional ada tiga hal utama yang harus dicermati dan dilakasankan. Pertama, untuk menjadi guru, seseorang harus merasa terpanggil untuk mengajar (call of life) atau dengan Konaspi VII Universitas Negeri Yogyakarta, 2012 738

istilah rouping atau ‘panggilan hati nurani.’ Kedua, kualifikasi akademik baik professional, pedagogik, sosial, dan personal serta kemampuan dan kompetensi lain yang relevan dengan tuntutan globalisasi harus dipenuhi oleh guru. Dan ketiga, semua komponen baik pemerintah, DPR, masyarakat maupun guru itu sendiri harus terus berusaha dan memiliki komitmen yang kuat untuk menghasilkan guru ideal dan profesioanl di masa depan. Hal ini sangat penting, karena status profesional bukan sesuatu hak yang melekat (given), tetapi masyarakat yang menilai dan mengakuinya. Bila kualifikasi tersebut dipenuhi, generasi emas (golden generation) yang cerdas secara akademik dan berkarakter secara sosial, emosional, serta spiritual pada 100 tahun Indonesia merdeka akan menjadi kenyataan. Dengan lahirnya generasi emas ini, slogan lain seperti kebangkitan 100 tahun Indonesia (a 100 year Indonesia awakening) juga terjawab dan tidak hanya berhenti di wacana publik belaka. Hal ini berarkar pada kata yang namanya GURU karena guru telah mengalami metamorfosa dari sosok dan profil guru jadul, killer, dan out of date di masa lalu ke guru yang profesional, berkarakter, demokratis, dan humanis seperti pada gambar di bawah ini. Metamorfosa guru jadul, killer dan out of date ke guru professional, berkarakter dan humanis depan era generasi emas Indonesia 2045 4. Daftar Pustaka Aka, Hawari. 2012. Guru Yang Berkarakter Kuat. Yogyakarta: Laksana. Aqib, Zainal. 2009. Menjadi Guru Professional Berstandar Nasional.Bandung: Tyrama Widya. Asyirint, Gustaf. 2010. Langkah Cerdas Menjadi Guru Sejati Berprestasi. Yogyakarta: Bahtera Buku. Barnawi, 2012. Be A Great Teacher. Yogyakarta: Penerbit Ar RRuzz Media.

Page 13: Guru Profesioanal Menuju Generasi Emas

Covey, Stephen R. 1997. The 7 Habits of Highly Effective People. Jakarta: Bina Aksara. Dudley, Tony and Maggie Jo St. Maggie, John. Development ESP: a multi-disciplinary approach. New York: Cambridge University Press. 2002. Hoffman E. Nancy et, all. 1997. Lesson from Restructuring Experiences: Story of changes in Professional development School. New York: New York University Press. Konaspi VII Universitas Negeri Yogyakarta, 2012 739

http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/j.14678500.1974.tb00814.x/abstract/3/4/2012. http://www.nswteachers.nsw.edu.au/Main-Professional-Teaching-Standards/1/5/2012. http://www.unesco.or.id/reports/National_Competency_Based_Teachers_Standard.pdf/1/5/2012. http://sahabatguru.wordpress.com/2008/12/11/7-kebiasaan-sukses-guru-masa-depan/20/9/2012 http://id.wikipedia.org/wiki/Robohnya_Surau_Kami Lusita.A. 2012. Jurus Sukses Menjadi Guru Kreatif, Inspiratif, dan Kreatif. Yogyakarta.Araska. Makagiansar, Makaminan, 2002. Saling Asih, Saling Asuh, Saling Asah, Jakarta. Messing, Bob. Manajemen Tao. Jakarta: Penerbit PPM. Moedjiarto,2001. Sekolah Unggul. Jakarta: CV.Duta Graha Pustaka Muslich, Mansur. 2007. Sertifikasi Guru Menuju Profesionalisme Pendidik. Jakarta: Bumi Aksara. Panduan Rapat Kerja Unimed, 2012. Laporang Rakeda Unimed, 2012. Smith, A. (2001); Hayes, L.(2000) as quated in http://www.highlandschools virtualib.org.uk/ltt/inclusive_enjoyable/teacher.htm Soetjipto dan Kosasi, 2000. Profesi Keguruan. Jakarta: Rineka Karya. Suparno, Paul. 2003. Guru Demokratis di Era Reformasi Pendidikan. Jakarta: Grasindo. Sylvia R Cruess,http://www.bmj.com/content/315/7123/1674.extract Professionalism must be taught. Moedjiarto,2001. Sekolah Unggul. Jakarta: CV.Duta Graha Pustaka Muslich, Mansur. 2007. Sertifikasi Guru Menuju Profesionalisme Pendidik. Jakarta: Bumi Aksara. Panduan Rapat Kerja Unimed, 2012. Laporang Rakeda Unimed, 2012.