Grave Semoga Membantu
description
Transcript of Grave Semoga Membantu
BAB
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Struma disebut juga goiter adalah suatu pembengkakan pada leher oleh karena
pembesaran kelenjar tiroid akibat kelainan kelenjar tiroid, dapat berupa gangguan fungsi atau
perubahan susunan kelenjar dan morfologinya. Secara klinis struma dapat dibedakan menjadi
struma toksik (perubahan fungsi fisiologis kelenjar tiroid “hipertiroid”) dan struma non toksik
(eutiroid). Struma toksik sendiri dibagi menjadi struma diffusa toksik (Graves disease) dan
struma nodusa toksik (Plummer’s disease). Istilah diffusa dan nodusa lebih mengarah kepada
perubahan bentuk anatomi dimana struma diffusa toksik akan menyebar luas ke jaringan lain
(Jasalim umar, 2011)
Graves disease (GD) pertama kali dilaporkan oleh Parry pada tahun 1825, kemudian
Graves pada tahun 1835 dan disusul oleh Basedow pada tahun 1840. Distribusi jenis kelamin
dan umur pada penyakit hipertiroid amat bervariasi dari berbagai klinik. Perbandingan wanita
dan laki-laki yang didapat di RSUP Palembang adalah 3,1 : 1 di RSCM Jakarta adalah 6 : 1,
di RS. Dr. Soetomo 8 : 1 dan di RSHS Bandung 10 :1. Sedangkan distribusi menurut umur di
RSUP Palembang yang terbanyak adalah pada usia 21 – 30 tahun (41,73%), tetapi menurut
beberapa penulis lain puncaknya antara 30 – 40 tahun (Hermawan, A. G. 2000).
Jumlah penderita penyakit ini di seluruh dunia pada tahun 1999 diperkirakan 200 juta,
12 juta di antaranya terdapat di Indonesia. Angka kejadian hipertiroid yang didapat dari
beberapa klinik di Indonesia berkisar antara 44,44% – 48,93% dari seluruh penderita dengan
penyakit kelenjar gondok. Di AS diperkirakan 0,4% populasi menderita GD, biasanya sering
pada usia di bawah 40 tahun (Hermawan, A. G. 2000).
Penyakit Graves saat ini dianggap sebagai penyakit autoimun idiopatik. Terdapat
kecenderungan yang kuat pada penyakit ini untuk diturunkan secara genetik pada keturunan
penderita. Penyakit ini dapat dicetuskan oleh beberapa faktor diantaranya stres, merokok,
infeksi, asupan iodin yang tinggi, dan masa nifas (Greenspan FS,2004).
Penyakit ini disebabkan karena adanya antibodi yang kerjanya menyerupai Thyroid
Stimulating Hormone (TSH) yang beredar dalam sirkulasi. Antibodi tersebut kemudian
merangsang Reseptor TSH yang berada di kelenjar tiroid, sehingga terjadi peningkatan
produksi hormon tiroid. Penyebab timbulnya penyakit grave’s masih belum diketahui secara
pasti (Ginsberg J, 2003). Gejala penyakit ini sangat khas, yang meliputi gejala dermatologis,
dan gejala opthalmologis yang disertai gejala-gejala yang muncul akibat terjadinya
tirotoksikosis, seperti misalnya penurunan berat badan, sulit tidur, tremor, serta pada keadaan
yang berat dapat terjadi krisis tiroid (Meconu F,2014) (Ginsberg J, 2003).
Diagnosis penyakit Graves kadang dapat ditegakkan berdasarkan pada anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Pembesaran tiroid difus serta tanda-tanda tirotoksikosis terutama berupa
opthalmofati dan dermofati biasanya cukup untuk menegakkan diagnosis. Uji TSH
dikombinasikan dengan uji FT4 biasanya merupakan pemeriksaan penunjang pertama yang
dikerjakan pada pasien ini. Hasil yang sesuai dengan diagnosis penyakit ini adalah kadar TSH
yang rendah dan kadar FT4 yang normal atau meningkat. Karena kombinasi dari kadar TSH
yang rendah serta FT4 yang tinggi dapat terjadi pada gangguan tiroid lainnya, kita dapat
melakukan pemeriksaan Radioactive Iodine Uptake (RAIU) test atau Thyroid Scan untuk
memastikan diagnosis. (Weetman AP,2000).
BAB
PEMBAHASAN
3.1 DEFINISI
Graves disease (GD) adalah penyakit otoimun dimana tiroid terlalu aktif, menghasilkan
jumlah yang berlebihan dari hormon tiroid (ketidakseimbangan metabolisme serius yang
dikenal sebagai hipertiroidisme dan tirotoksikosis) dan kelainannya dapat mengenai mata dan
kulit. Penyakit Graves merupakan bentuk tirotoksikosis yang tersering dijumpai dan dapat
terjadi pada segala usia, lebih sering terjadi pada wanita dibanding pria. Sindroma ini terdiri
dari satu atau lebih dari gambaran tirotoksikosis, goiter, ophtalmopathy (exopthalmus),
dermopathy (pretibial myxedema) (Shahab A, 2002).
Patogenesis penyakit Graves sampai sejauh ini belum diketahui secara pasti. Namun
demikian, diduga faktor genetik dan lingkungan ikut berperan dalam mekanisme -yang belum
diketahui secara pasti - meningkatnya risiko menderita penyakit Graves. Berdasarkan ciri-ciri
penyakitnya, penyakit Graves dikelompokkan ke dalam penyakit autoimun, antara lain
dengan ditemukannya antibodi terhadap reseptor TSH (Thyrotropin Stimulating Hormone –
Receptor Antibody /TSHR-Ab) dengan kadar bervariasi (Davies TF,2000)(Weetman
AP,2000).
3.2 ETIOLOGI DAN FAKTOR PREDISPOSISI
GD merupakan suatu penyakit otoimun yaitu saat tubuh menghasilkan antibodi yang
menyerang komponen spesifik dari jaringan itu sendiri, maka penyakit ini dapat timbul secara
tiba-tiba dan penyebabnya masih belum diketahui. Hal ini disebabkan oleh autoantibodi tiroid
(TSHR-Ab) yang mengaktifkan reseptor TSH (TSHR), sehingga merangsang tiroid sintesis
dan sekresi hormon, dan pertumbuhan tiroid (menyebabkan gondok membesar difus).Saat ini
diidentifikasi adanya antibodi IgG sebagai thryoid stimulating antibodies pada penderita GD
yang berikatan dan mengaktifkan reseptor tirotropin pada sel tiroid yang menginduksi sintesa
dan pelepasan hormon tiroid. Beberapa penulis mengatakan bahwa penyakit ini disebabkan
oleh multifaktor antara genetik, endogen dan faktor lingkungan (Shahab A, 2002).
Terdapat beberapa faktor predisposisi:
A. Genetik
Riwayat keluarga dikatakan 15 kali lebih besar dibandingkan populasi umum untuk
terkena Graves. Gen HLA yang berada pada rangkaian kromosom ke-6 (6p21.3)
ekspresinya mempengaruhi perkembangan penyakit autoimun ini. Molekul HLA
terutama klas II yang berada pada sel T di timus memodulasi respons imun sel T
terhadap reseptor limfosit T (T lymphocyte receptor/TcR) selama terdapat
antigen.Interaksi ini merangsang aktivasi T helper limfosit untuk membentuk
antibodi. T supresor limfosit atau faktor supresi yang tidak spesifik (IL-10 dan TGF-
β) mempunyai aktifitas yang rendah pada penyakit autoimun kadang tidak dapat
membedakan mana T helper mana yang disupresi sehingga T helper yang membentuk
antibodi yang melawan sel induk akan eksis dan meningkatkan proses autoimun.
B. Jenis Kelamin
Wanita lebih sering terkena penyakit ini karena modulasi respons imun oleh
estrogen.Hal ini disebabkan karena epitope ekstraseluler TSHR homolog dengan
fragmen pada reseptor LH dan homolog dengan fragmen pada reseptor FSH.
C. Status gizi
Status gizi dan berat badan lahir rendah sering dikaitkan dengan prevalensi timbulnya
penyakit autoantibodi tiroid.
D. Stress
Stress juga dapat sebagai faktor inisiasi untuk timbulnya penyakit lewat jalur
neuroendokrin.
E. Merokok
Merokok dapat menyebabkan pembentukan tiroid menjadi aktif
F. Defisiensi Iodium
Pada daerah yang terdefisiensi iodium juga menjadi predisposisi dari penyakit ini
G. Infeksi
Toxin, infeksi bakteri dan virus. Bakteri Yersinia enterocolitica yang mempunyai
protein antigen pada membran selnya yang sama dengan TSHR pada sel folikuler
kelenjar tiroid diduga dapat mempromosi timbulnya penyakit Graves terutama pada
penderita yang mempunyai faktor genetik. Kesamaan antigen bakteri atau virus
dengan TSHR atau perubahan struktur reseptor terutama TSHR pada folikel kelenjar
tiroid karena mutasi atau biomodifikasi oleh obat, zat kimia atau mediator inflamasi
menjadi penyebab timbulnya autoantibodi terhadap tiroid dan perkembangan penyakit
ini.
H. Periode post partum
Periode post partum dapat memicu timbulnya gejala hipertiroid.
I. Pengobatan sindroma defisiensi imun (HIV)
Penggunaan terapi antivirus dosis tinggi highly active antiretroviral theraphy
(HAART) berhubungan dengan penyakit ini dengan meningkatnya jumlah dan fungsi
CD4 sel T (Shahab A, 2002).
Pasien ini memiliki 3 faktor predileksi.
1. Genetik Orangtua dari pasien pernah didiagnosa kelainan tiroid dan mendapat
pengobatan
2. Jenis kelaim pasien perenpuan yang menurut study epidemologi lebih sering
menderita sakit tiroid
3. Stress pasien sekolah di asrama dimana pasien sebelumnya tak terbiassa tinggal di
asrama. sehingga terkadang memicu stress
3.3 ANATOMI DAN FISIOLOGI KELENJAR TIROID
Kelenjar tiroid pada manusia terletak tepat di depan trakea. Sel-sel yang memproduksi
hormon tiroid tersusun dalam folikel-folikel dan mengkonsentrasikan iodin yang digunakan
untuk sintesis hormon tiroid. Hormon yang bersirkulasi adalah tiroksin (T4) dan tri-
iodotironin (T3). Kelenjar paratiroid menempel pada tiroid dan memproduksi hormon
paratiroid (Parathormon ; PTH). PTH penting dalam pengontrolan metabolisme kalsium dan
fosfat.Sel-Sel parafolikuler terletak dalam tiroid tersebar di antara folikel.Sel-Sel ini
memproduksi kalsitonin yang menghambat resorpsi kalsium tulang (Sitorus, M. S. 2004).
Gambar 1. Anatomi Kelenjar Tiroid
Diambil dari (Sitorus, 2004)4
Kelenjar tiroid juga mengandung clear cell atau sel parafolikuler atau sel C yang
mensintesis kalsitonin.T3 mempengaruhi pertumbuhan, diferensiasi, dan metabolisme.T3
selain disekresi oleh kelenjar tiroid juga merupakan hasil deiodinasi dari T4 di jaringan
perifer. T3 dan T4 disimpan terikat pada 3 protein yang berbeda : glikopreotein tiroglobulin
di dalam koloid dari folikel, prealbuminpengikat tiroksin dan albumin serum. Hanya sedikit
T3 dan T4 yang tidak terikat terdapat dalam sirkulasi darah (Sitorus, M. S. 2004)
Pengaturan sekresi hormon tiroid dilakukan oleh TSH (thyroid-stimulating hormone)
dan adenohipofisis.Sintesis dan pelepasannya dirangsang oleh TRH (Thyrotropin-releasing
hormone) dari hipothalamus.TSH disekresi dalam sirkulasi dan terikat pada reseptornya pada
kelenjar tiroid.TSH mengontrol produksi dan pelepasan T3 dan T4. Efek TRH dimodifikasi
oleh T3, peningkatan konsentrasi hormon tiroid, misalnya, mengurangi respons
adenohipofisis terhadap TRH (mengurangi reseptor TRH) sehingga pelepasan TSH menurun
dan sebagai akibatnya kadar T3 dan T4 menurun (umpan balik negatif). Sekresi TRH juga
dapat dimodifikasi tidak hanya oleh T3 secara negatif (umpan balik) tetapi juga melalui
pengaruh persarafan(Hidayat, 2009).
Gambar 2. Fisiologi Kelenjar Tiroid
Diambil dari (Hidayat, 2009)5
Produksi hormon tiroid (T3 dan T4) dalam kelenjar tiroid dipengaruhi oleh hormon TSH
(Thyroid Stimulating Hormone) yang dikeluarkan oleh kelenjar hopofisis. Sekresi TSH diatur
oleh kadar T3 dan T4 dalam sirkulasi melalui pengaruh umpan balik negatif dan juga oleh
Thyrotrophin Releasing Hormone (TRH) dari hipotalamus. Kadar hormon bebas yang tinggi
akan menekan sekresi TSH oleh kelenjar hipofisis, sehingga produksi T3 dan T4 menurun.
Sebaliknya kadar hormon bebas yang rendah akan meningkatkan sekresi TSH sehingga
meningkatkan produksi T3 dan T4 (Hidayat, 2009)
Proses pembentukan T3 dan T4 dalam kelenjar tiroid menempuh beberapa langkah,
yaitu: (Price, S. A. dan Lorraine, M. W. 2006)
3.3.1 Iodide trapping
Proses ini merupakan transpor aktif (dengan stimulasi TSH) dan berhubungan dengan
Na,K,ATPase dimana sel folikel menarik yodida dari darah kedalamnya (20 kali lebih
kuat dari pada perfusi darah). Minimal dibutuhkan lebih kurang 100-300 ug yodida
untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
3.3.2 Organifikasi (oksidasi dan yodinasi)
Proses ini terdiri dari oksidasi (oleh tiroid peroksidase) dari yodida ke yodium yang
kemudian disusul oleh proses yodinasi dengan tirosin yang berasal dari residu tirosil,
dari pemecahan tiroglobulin untuk kemudian membentuk monoiodothyrosine (MIT)
dan diiodothyrosine (DIT).
3.3.3 Coupling
Terjadi proses coupling antara MIT dan DIT sehingga terbentuk T3 dan T4 yang
terikat dengan tiroglobulin; terbentuknya T4 lebih dominan dari pada T3 meskipun
efek metaboliknya lebih lemah. Kedua hormon yang terikat ini disimpan dalam
koloid.
3.3.4 Sekresi
Melalui aktivitas lisosom (bantuan enzim protease), T3 dan T4 terlepas dari
tiroglobulin dan dengan pengaruh TSH, kedua hormon ini masuk aliran darah dengan
perbandingan T3:T4 = 1:5. Selanjutnya terjadi proses deyodinasi (bantuan hormon
diyodotirosinase), dimana MIT dan DIT akan dipecah menjadi yodium dan residu
tirosil. Hanya sebagian kecil MIT dan DIT yang dapat lolos masuk aliran darah
(normal tidak terukur). Bentuk bebas T3 dan T4 dalam sirkulasi hanya sekitar 0,3%
dan 0,02% dari total hormon keseluruhan dengan waktu paruh 1-1,5 hari (T3) dan 7
hari (T4).
Gambar 3. Produksi dan Regulasi Hormon Tiroid
Diambil dari (Price and Lorraine, 2006)6
Belum seluruhnya fisiologi hormon tiroid yang diketahui. Saat ini diketahui bahwa
hormon tiroid berperan penting dalam pembentukan kalori, pada metabolisme karbohidrat,
protein dan kolesterol serta proses pertumbuhan. Hormon tiroid juga berhubungan erat
dengan fungsi katekolamin dalam tubuh (Price, S. A. dan Lorraine, M. W. 2006).
3.3.5 Pembentukan kalori
Hormon ini bekerja dengan cara meninggikan komsumsi oksigen pada hampir semua
jaringan tubuh yang aktif dalam metabolisme, kecuali pada otak, hipofisis anterior,
limpa dan kelenjar limfe. Dengan meningkatnya taraf metabolisme, maka kebutuhan
tubuh akan semua zat makanan juga bertambah. Tiroksin juga berperan dalam proses
termogenesis, yaitu dengan meningkatkan produksinya pada suhu dingin, yang berarti
memperbanyak pembentukan kalori selain dari adanya vasodilatasi perifer dan
bertambahnya curah jantung.
3.3.6 Metabolisme karbohidrat
Hormon tiroid bekerja dengan mempercepat penyerapan karbohidrat dari usus dan
efek ini tidak bergantung pada pada efek kalorigeniknya. Pada keadaan
hipertiroidisme, simpanan glikogen hati sangat sedikit karena proses katabolisme
yang tinggi disertai bertambahnya sekresi katekolamin (adrenalin). Oleh karena itu
pada penderita hipertiroidisme akan ditemukan gambaran kurva uji toleransi glukosa
oral yang sangat khas.
3.3.7 Metabolisme protein
Hormon tiroid (tiroksin) dalam kadar normal akan memperlihatkan efek anabolik
berupa sintesis RNA dan protein yang bertambah. Sebaliknya pada kadar yang
berlebihan, justru akan terjadi hambatan sintesis RNA, sehingga terjadi keseimbangan
nitrogen negatif. Pada kadar sangat tinggi, tiroksin dapat menimbulkan uncoupling
pada proses fosforilasi oksidatif, sehingga ATP berkurang dan pembentukan panas
bertambah.
3.3.8 Metabolisme lemak dan kolesterol
Tiroksin akan merangsang proses lipolisis dan pelepasan asam lemak bebas dari
jaringan lemak. Disamping itu juga terdapat rangsangan terhadap sel hati untuk
metabolisme dan sintesis kholesterol. Adanya penurunan kadar kholesterol
disebabkan oleh proses metabolisme melebihi proses sintesisnya.
3.3.9 Pertumbuhan
Efek hormon tiroid untuk proses pertumbuhan berhubungan erat dengan pengaruhnya
terhadap berbagai jenis enzim, metabolisme karbohidrat, lemak dan protein.
3.3.10 Sistem saraf
Efek yang terjadi mungkin sebagian disebabkan oleh sekresi katekolamin yang
meningkat, sehingga beberapa pusat dalam formasio retikularis menjadi lebih aktif.
Refleks tendon dalam (deep reflex tendon) juga dipengaruhi dan biasanya akan jauh
lebih cepat daripada normal.
3.4 PATOFISIOLOGI
Hipertiroid adalah suatu keadaan klinik yang ditimbulkan oleh sekresi berlebihan dari
hormon tiroid yaitu tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3).Didapatkan pula peningkatan
produksi triiodotironin (T3) sebagai hasil meningkatnya konversi tiroksin (T4) di jaringan
perifer.Dalam keadaan normal hormon tiroid berpengaruh terhadap metabolisme jaringan,
proses oksidasi jaringan, proses pertumbuhan dan sintesa protein. Hormon-hormon tiroid ini
berpengaruh terhadap semua sel-sel dalam tubuh melalui mekanisme transport asam amino
dan elektrolit dari cairan ekstraseluler kedalam sel, aktivasi/sintesa protein enzim dalam sel
dan peningkatan proses-proses intraseluler.
Dengan meningkatnya kadar hormon ini maka metabolisme jaringan, sintesa protein dan
lain-lain akan terpengaruh, keadaan ini secara klinis akan terlihat dengan adanya palpitasi,
takikardi, fibrilasi atrium, kelemahan, banyak keringat, nafsu makan yang meningkat, berat
badan yang menurun. Kadang - kadang gejala klinis yang ada hanya berupa penurunan berat
badan, payah jantung, kelemahan otot serta sering buang air besar yang tidak diketahui
sebabnya.Patogenesis GD masih belum jelas diketahui. Diduga peningkatan kadar hormon
tiroid ini disebabkan oleh suatu aktivator tiroid yang bukan TSH yang menyebabkan kelenjar
timid hiperaktif. Aktivator ini merupakan antibodi terhadap reseptor TSH, sehingga disebut
sebagai antibodi reseptor TSH.Antibodi ini sering juga disebut sebagai thyroid stimulating
immunoglobulin (TSI).Dan ternyata TSI ini ditemukan pada hampir semua penderita
GD(Hermawan, A. G. 2000).
Selain itu pada GD sering pula ditemukan antibodi terhadap tiroglobulin dan anti
mikrosom.Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa kedua antibodi ini mempunyai peranan
dalam terjadinya kerusakan kelenjar tiroid. Antibodi mikrosom ini bisa ditemukan hampir
pada 60 -70% penderita PG, bahkan dengan pemeriksaan radioassay bisa ditemukan pada
hampir semua penderita, sedangkan antibodi tiroglobulin bisa ditemukan pada 50% penderita.
Terbentuknya autoantibodi tersebut diduga karena adanya efek dari kontrol immunologik
(immunoregulation), defek ini dipengaruhi oleh faktor genetik seperti HLA dan faktor
lingkungan seperti infeksi atau stress(Toft AD, 2001)
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya penyakit Grave memiliki 4 gejala utama yaitu
tirotoksikosis, goiter, opthalmopati, dan dhermopati. Adapun patogenesis dari masing-masing
gejala sebagai berikut: (Paulev and Zubieta, )
3.4.1. Tirotoksikosis
Hampir semua patogenesis penyakit ini melibatkan faktor immunologi.Hiperaktivitas
terjadi karena tersensitasinya T-helper. Tersensitasinya T-helper ini akan berespon terhadap
antigen yang terdapat pada tiroid, yang selanjutnya memacu sel B untuk membentuk
antibodi:
TSI (Thyroid-stimulating immunoglobulin) yang menurut hipotesis para ahli dapat
meningkat cAMP sehingga memacu terjadinya tirotoksikosis.
TgAb (thyroglobulin antibody) yang dapat meningkatkan tiroglobulin.
Ab (Thyroperoksidase antibody) yang dapat memacu kerja enzim peroksidase.
3.4.2 Opthalmopati
Patogenesis opthalmopati melibatkan Tcytotoxicity.Ini terjadi karena tersensitasinya
Ab sitotoksik terhadap antigen TSH-R fibroblast orbita, otot orbita dan jaringan
tiroid.Mekanisme tersensitasinya sampai saat ini para ahli belum mengetahui secara
pasti. Selanjutnya Tc akan menghasilkan sitokin yang dapat menyebabkan:
Inflamasi pada fibroblast orbita
Orbital myositis
Diplopia
Proptosis
3.4.3 Dhermopati. Patogenesis dhermopati umurnya sama seperti opthalmologi hanya saja
daerah yang terkena pada daerah pretibia, subperiosteal pada phalanges tangan dan
kaki.
3.4.4 Patogenesis takikardi, anxietas, berkeringat disebabkan karena hormon thyroid
merangsang medulla adrenal untuk mensekresikan katekolamin. Jumlah epinefrine
normal tetapi ada peningkatan pada norepinefrine yang bekerja pada sistem saraf
simpatik. Terangsangnya sistem saraf simpatik ternyata memberikan efek
perangsangan pada daerah hipotalamus dan ganglia basalis. Seperti yang diketahui
bahwa hipotalamus berfungsi sebagai regulator vegetatif (detak jantung, pernafasan,
sekresi kelenjar, berkeringat, dll) pada tubuh dan ganglia basalis (sebagai pusat emosi
dan pusat nafsu makan).
3.5 KRITERIA DIAGNOSIS
3.5.1 Anamnesis
Gambaran klinik hipertiroid dapat ringan dengan keluhan-keluhan yang sulit
dibedakan dari reaksi kecemasan, tetapi dapat berat sampai mengancam jiwa penderita karena
timbulnya hiperpireksia, gangguan sirkulasi dan kolaps. Keluhan utama biasanya berupa
salah satu dari meningkatnya nervositas, berdebar-debar atau kelelahan. Dari penelitian pada
sekelompok penderita didapatkan 10 gejala yang menonjol yaitu: (Hermawan, A. G. 2000)
− Nervositas
− Kelelahan atau kelemahan otot-otot
− Penurunan berat badan sedang nafsu makan baik
− Diare atau sering buang air besar
− Intoleransi terhadap udara panas
− Keringat berlebihan
− Perubahan pola menstruasi
− Tremor
− Berdebar-debar
− Penonjolan mata dan leher
Gejala-gejala hipertiroid ini dapat berlangsung dari beberapa hari sampai beberapa
tahun sebelum penderita berobat ke dokter, bahkan sering seorang penderita tidak menyadari
penyakitnya.Pada pemeriksaan klinis didapatkan gambaran yang khas yaitu : seorang
penderita tegang disertai cara bicara dan tingkah laku yang cepat, tanda-tanda pada mata,
telapak tangan basah dan hangat, tremor, oncholisis, vitiligo, pembesaran leher, nadi yang
cepat, aritmia, tekanan nadi yang tinggi dan pemendekan waktu refleks Achilles. Atas dasar
tanda-tanda klinis tersebut sebenarnya suatu diagnosis klinis sudah dapat
ditegakkan(Hermawan, A. G. 2000).
Pasien ini memiliki gejala klinis yang muncul pada pada hipertiroid seperti gelisah,
penurunan nafsu yang baik, lebih suka udara dingin daripada pans, keringat yang berlebihan,
tremor, dan terkadang berdebar-debar
3.5.2 Inspeksi
Inspeksi dimulai dari mata, dilihat apakah ada eksotalmus. Dilanjutkan pemeriksaan
tiroid demgan meminta pasien duduk dan meminta ekstensi, Di inspeksi tiroidnya
yang berada pada depan cartialgo chricoid. Dilihat pembesarannya difuse atau
nodule.Pasien diminta untuk menelan untuk melihat tumor nya ikut naik atau tidak
ketika menelan. Pada kelenjar tiroid maka akan gerakan ke supior ketika pasien
menelan
Pada pasien ini tidak ada exoltalmus. Terdapat pembesaran pada kelenjar tiroid yang
difuse dan terlihat bergerak ketika pasien menelan
3.5.3 Palpasi
Pasien diminta untuk duduk, leher dalam posisi fleksi, pemeriksa berdiri di belakang
pasien dan meraba tiroid dengan menggunakan kedua tangan. Beberapa hal yang
perlu dinilai pada pemeriksaan palpasi:
1. Perluasan dan tepi, Gerakan saat menelan, apakah batas bawah dapat diraba
atau tidak dapat diraba trakea dan kelenjarnya
2. Konsistensi, temperatur, permukaan, dan adanya nyeri tekan
3. Hubungan dengan m. sternokleidomastoideus (tiroid letaknya lebih dalam dari
musculus ini)
4. Limfonodi dan jaringan sekitarnya
Pada pasien ini didapatkan nodul multinodusa dengan konsistensi kenyal
mobil dan tidak nyeri
3.5.4 Auskultasi
“Bruit sound” pada ujung bawah kelenjar tiroid.Apakah ada peningkatan detak
jantung dan aritmia.
Gambar 6. Goiter pada Penderita Graves Disease
Diambil dari (Toft, 2001)7
Tidak ditemukan suara bruit pada tiroid tetapi ditemukan adanya suara jantung yang
meningkat
3.5.5 Tes Khusus
1. Pumberton’s sign: mengangkat kedua tangan ke atas, muka menjadi merah. Yang
biasa terjadi pada superior venacava syndrome (SVC)
2. Tremor sign: tangan kelihatan gemetaran. Jika tremor halus, diperiksa dengan
meletakkan sehelai kertas di atas tangan
3. Oftalmopati
Pada pasien ini ditemukan adanya tremor sign , tidak ada ogtalmopati dan
pumberton’s sign
Gambar 7. Eksoftalmus pada Penderita Graves Disease
Diambil dari (Toft, 2001)7
Tabel 1. Pemeriksaan Oftalmopati
Test Cara pemeriksaan mata & tanda hipertiroid
Joffroy sign Tidak bisa mengangkat alis dan mengerutkan dahi
Von Stelwag Mata jarang berkedip
Von Grave Melihat ke bawah, palpebra superior tidak dapat
mengikuti bulbus okuli sehingga antara palpebra
superior dan cornea terlihat jelas sklera bahagian
atas
Rosenbach sign Memejam mata, tremor dari palpebra ketika mata
tertutup
Moebius sign Mengarahkan jari telunjuk mendekati mata pasien
di medial, pasien sukar mengadakan dan
mempertahankan konvergensi
Exopthalmus Mata kelihatan menonjol keluar
Diambil dari (Hermawan, 2000)2
Untuk daerah di mana pemeriksaan laboratorik yang spesifik untuk hormon tiroid tak
dapat dilakukan, penggunaan indeks Wayne atau Indeks New Castle sangat membantu
menegakkan diagnosis hipertiroid.Pengukuran metabolisme basal (BMR), bila basil BMR > ±
30, sangat mungkin bahwa seseorang menderita hipertiroid.
Tabel 2. Indeks Wayne
Diambil dari (Shahab, 2002)3
Tabel 3. Indeks New Castle
Diambil dari (Shahab, 2002)3
Untuk konfirmasi diagnosis perlu dilakukan pemeriksaan hormon timid (thyroid function
test), seperti kadar T4 dan T3, kadar T4 bebas atau free thyroxine index (FT41). Adapun
pemeriksaan lain yang dapat membantu menegakkan diagnosis antara lain: pemeriksaan
antibodi tiroid yang meliputi anti tiroglobulin dan antimikrosom, pengukuran kadar TSH
serum, test penampungan yodium radioaktif (radioactive iodine uptake) dan pemeriksaan
sidikan tiroid (thyroid scanning) Khir mengemukakan pendapatnya untuk menegakkan
diagnosis GD, yakni : adanya riwayat keluarga yang mempunyai penyakit yang sama atau
mempunyai penyakit yang berhubungan dengan otoimun, di samping itu pada penderita
didapatkan eksoftalmus atau miksedem pretibial, kemudian dikonfirmasi dengan pemeriksaan
antibodi tiroid(Shahab, 2002).
Tes khusus yang positif pada pasien ini pada pemeriksaan opthalmiopati ditemukan
rosenbarch dan moebius sign positif. Pasien juga memenuhi index wayne >20 dengan nilai
32. Dengan yang positif Kelelahan, Berdebar, Suka udara dingin, Keringat berlebihan,
Gugup, Nafsu makan naik, Berat badan turun,Tyroid teraba, Hyperkinetic, tremor jari,
Tangan basah,nadi. Pada new castle index pasien ini dihitung doubfull dengan nilai 35 yang
posotif nadi >90 , adanya tremor, peningkatan nafsu makan dan adanya gaoiter.
3.5.6 Pemeriksaan Penunjang
3.5.6.1 Pemeriksaan laboratorium
Kadar T4 & T3 meningkat (tirotoksikosis)
Gambar 8. Kelainan laboratorium pada keadaan hipertiroidisme
Diambil dari (Shahab, 2002)3
1. Tirotropin Reseptor Assay (TSIs) berfungsi untuk menegakkan diagnosis Grave
disease.
2. Tes faal hati untuk monitoring kerusakan hati karena penggunaan obat antitiroid
seperti thioamides.
3. Pemeriksaan Gula darah pada pasien diabetes, penyakit grave dapat memperberat
diabetes, sebagai hasilnya dapat terlihat kadar A1C yang meningkat dalam darah
4. Kadar antibodi terhadap kolagen XIII menunjukan Grave Oftalmofati yang sedang
aktif.
3.5.6.2 Pemeriksaan Radiologi
Foto Polos Leher Mendeteksi adanya kalsifikasi, adanya penekanan pada trakea,
dan mendeteksi adanya destruksi tulang akibat penekanan kelenjar yang membesar.
Radio Active Iodine (RAI) scanning dan memperkirakan kadar uptake iodium
berfungsi untuk menentukan diagnosis banding penyebab hipertiroid.
USG Murah dan banyak digunakan sebagai pemeriksaan radiologi pertama pada
pasien hipertiroid dan untuk mendukung hasil pemeriksaan laboratorium
CT Scan Evaluasi pembesaran difus maupun noduler, membedakan massa dari
tiroid maupun organ di sekitar tiroid, evaluasi laring, trakea (apakah ada penyempitan,
deviasi dan invasi).
MRI Evaluasi Tumor tiroid (menentukan diagnosis banding kasus hipertiroid)
Radiografi nuklir dapat digunakan untuk menunjang diagnosis juga sebagai
terapi(Shahab, 2002).
Pada pasien ini sudah dilakukan pemeriksaan TSH dan T4 yang menyimpulkan adanya
hipertiroidsm.Dengan adanya penurunan TSH dan peningkatan T4.Pada pasien ini tidak
dilakukan pemeriksaan iodine uptake tidak dilakukan, diakrenakan alat ini tidak ada di
RSSA.Tidak dilakukan pemeriksaan ECG karena pada pemeriksaan fisik pasien tidak
ditemukan aritmia ataupun kelainan pada jantung selain peningkatan pada detak jantung.USG
MRI tidak dilakukan karena dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan lab sudah terlihat adanya
kelainan.
3.6 Penatalaksanaan
Pada dasarnya penanganan primer pada grave disease yang kita pakai sekarang dibagi
menjadi 3 :1) menggunakan radioaktif, 2) membloking sinteteis dari hormon tiroid dan 3)
melalui operasi.
3.6.1 Pengobatan Radioaktif
Radioaktif iodine (I-131) yang biasa disebut RAI merupakan bengobatan yang sering
digunakan untuk jinak maupun ganas dari 1940.Terapi ini mengobati hipertiroid dengan
menghancurkan sel tiroid sehingga terjadi eutiroid ataupun hipotiroid.Radiokatikf ini bekerja
selama kurang lebih 8 hari.
Mekanisme kerja dari RAI ini dengan menggunakan radioaktif dari iodin. Iodin yang
merupakan prekusor dari tiroksin akan ditangkap oleh sel tiroid seperti halnya iodin.
Radioaktif ini akan menghancurkan jumlah mauoun volume dari sel folikel tiroksin sehingga
terjadi pengurangan fungsi dari kelenjar.
Indikasi dari terapi ini ada 2 hipertiroid ( grave disease, torix multinodular giotre atau
hiperfunctioning thyroid nodules), non toksik multinodular goiter dan kangker tiroid.
Hipertiroid .Tidak semua kelainan goiter atau strom dapat diobati dengan RA-I.
Kontrainidikasi dari pengobatan ini ada 3 kehamilan, menyusui dan thyrotoxicosis berat
yang tidak terkontrol
3.6.2 Pengobatan dengan Obat
3.6.2.1 Istirahat
Hal ini diperlukan agar hipermetabolisme pada penderita tidak makin meningkat.
Penderita dianjurkan tidak melakukan pekerjaan yang melelahkan/mengganggu pikiran balk
di rmah atau di tempat bekerja. Dalam keadaan berat dianjurkan bed rest total di Rumah
Sakit.
3.6.2.2 Diet
Diet harus tinggi kalori, protein, multivitamin serta mineral. Hal ini antara lain karena
terjadinya peningkatan metabolisme, keseimbangan nitrogen yang negatif dan keseimbangan
kalsium yang negatif.
3.6.2.3 Obat penenang
Mengingat pada GD sering terjadi kegelisahan, maka obat penenang dapat
diberikan.Di samping itu perlu juga pemberian psikoterapi.
3.6.2.4 Obat antitiroid
Obat-obat yang termasuk golongan ini adalah thionamide, yodium, lithium, perchlorat
dan thiocyanat.Obat yang sering dipakai dari golongan thionammide adalah propylthiouracyl
(PTU), 1 - methyl – 2 mercaptoimidazole (methimazole, tapazole, MMI), carbimazole.Obat
ini bekerja menghambat sintesis hormon tetapi tidak menghambat sekresinya, yaitu dengan
menghambat terbentuknya monoiodotyrosine (MIT) dan diiodotyrosine (DIT), serta
menghambat coupling diiodotyrosine sehingga menjadi hormon yang aktif.PTU juga
menghambat perubahan T4 menjadi T3 di jaringan tepi, serta harganya lebih murah sehingga
pada saat ini PTU dianggap sebagai obat pilihan.
Obat antitiroid diakumulasi dan dimetabolisme di kelenjar gondok sehingga pengaruh
pengobatan lebih tergantung pada konsentrasi obat dalam kelenjar dari pada di plasma.MMI
dan carbimazole sepuluh kali lebih kuat daripada PTU sehingga dosis yang diperlukan hanya
satu persepuluhnya.
Dosis obat antitiroid dimulai dengan 300 - 600 mg perhari untuk PTU atau 30 - 60 mg
per hari untuk MMI/carbimazole, terbagi setiap 8 atau 12 jam atau sebagai dosis tunggal
setiap 24 jam. Dalam satu penelitian dilaporkan bahwa pemberian PTU atau carbimazole
dosis tinggi akan memberi remisi yang lebih besar.Secara farmakologi terdapat perbedaan
antara PTU dengan MMI/CBZ, antara lain adalah :
1. MMI mempunyai waktu paruh dan akumulasi obat yang lebih lama dibanding PTU di
clalam kelenjar tiroid. Waktu paruh MMI ± 6 jam sedangkan PTU + 11/2 jam.
2. Penelitian lain menunjukkan MMI lebih efektif dan kurang toksik dibanding PTU.
3. MMI tidak terikat albumin serum sedangkan PTU hampir 80% terikat pada albumin
serum, sehingga MMI lebih bebas menembus barier plasenta dan air susu sehingga
untuk ibu hamil dan menyusui PTU lebih dianjurkan.
Jangka waktu pemberian tergantung masing-masing penderita (6 - 24 bulan) dan
dikatakan sepertiga sampai setengahnya (50 - 70%) akan mengalami perbaikan yang bertahan
cukup lama. Apabila dalam waktu 3 bulan tidak atau hanya sedikit memberikan perbaikan,
maka harus dipikirkan beberapa kemungkinan yang dapat menggagalkan pengobatan (tidak
teratur minum obat, struma yang besar, pernah mendapat pengobatan yodium sebelumnya
atau dosis kurang).
Efek samping ringan berupa kelainan kulit misalnya gatal-gatal, skin rash dapat
ditanggulangi dengan pemberian anti histamin tanpa perlu penghentian pengobatan. Dosis
yang sangat tinggi dapat menyebabkan hilangnya indera pengecap, cholestatic jaundice dan
kadang-kadang agranulositosis (0,2 - 0,7%), kemungkinan ini lebih besar pada penderita
umur di atas 40 tahun yang menggunakan dosis besar. Efek samping lain yang jarang terjadi
berupa arthralgia, demam rhinitis, conjunctivitis, alopecia, sakit kepala, edema,
limfadenopati, hipoprotombinemia, trombositopenia, gangguan gastrointestinal.
3.6.2.5 Yodium
Pemberian yodium akan menghambat sintesa hormon secara akut tetapi dalam masa 3
minggu efeknya akan menghilang karena adanya escape mechanism dari kelenjar yang
bersangkutan, sehingga meski sekresi terhambat sintesa tetap ada. Akibatnya terjadi
penimbunan hormon dan pada saat yodium dihentikan timbul sekresi berlebihan dan gejala
hipertiroidi menghebat.Pengobatan dengan yodium (MJ) digunakan untuk memperoleh efek
yang cepat seperti pada krisis tiroid atau untuk persiapan operasi.Sebagai persiapan operasi,
biasanya digunakan dalam bentuk kombinasi.Dosis yang diberikan biasanya 15 mg per hari
dengan dosis terbagi yang diberikan 2 minggu sebelum dilakukan pembedahan.Marigold
dalam penelitiannya menggunakan cairan Lugol dengan dosis 1/2 ml (10 tetes) 3 kali perhari
yang diberikan 10 hari sebelum dan sesudah operasi.
3.6.2.6 Penyekat Beta (Beta Blocker)
Terjadinya keluhan dan gejala hipertiroidi diakibatkan oleh adanya hipersensitivitas
pada sistim simpatis.Meningkatnya rangsangan sistem simpatis ini diduga akibat
meningkatnya kepekaan reseptor terhadap katekolamin. Penggunaan obat-obatan golongan
simpatolitik diperkirakan akan menghambat pengaruh hati. Reserpin, guanetidin dan
penyekat beta (propranolol) merupakan obat yang masih digunakan.Berbeda dengan
reserpin/guanetidin, propranolol lebih efektif terutama dalam kasus-kasus yang berat.
Biasanya dalam 24 - 36 jam setelah pemberian akan tampak penurunan gejala. Khasiat
propranolol:
penurunan denyut jantung permenit
penurunan cardiac output
perpanjangan waktu refleks Achilles
pengurangan nervositas
pengurangan produksi keringat
pengurangan tremor
Di samping pengaruh pada reseptor beta, propranolol dapat menghambat konversi
T4 ke T3 di perifer. Bila obat tersebut dihentikan, maka dalam waktu ± 4 - 6 jam
hipertiroid dapat kembali lagi. Hal ini penting diperhatikan, karena penggunaan dosis
tunggal propranolol sebagai persiapan operasi dapat menimbulkan krisis tiroid sewaktu
operasi. Penggunaan propranolol antara lain sebagai: persiapan tindakan pembedahan atau
pemberian yodium radioaktif, mengatasi kasus yang berat dan krisis tiroid (Hermawan, A.
G. 2000).
3.6.3 Pengobatan Operasi
Operasi dapat menjadi pilihan terapi dengan indikasi-indikasi tertentu.Pengobatan ini
dilakukan dengan pengambilan sebagian atau sepenuhnya dari tiroid.Indikasi operasi ini
dibagi menjadi 2 relatif dan absolut. Untuk indikasi absolut meliputi goiter yang besar yang
toksik dengan kelainan yang komprehensif, hamil atau berencana hamil, umur dibawah 5
tahun, relap setelah pengobatan, optalmopati berat, curiga keganasan dan keinginan pasien.
Sedangkan indikasi relative meliputi pasien yang tidak patuh dengan pengobatan, tidak cocok
dengan obat yang dipakai dan adanya pengambilan iodin yang rendah
Pada pasien ini dipilih pengobatan dengan obat dikarenakan tidak adanya fasilitas
untuk melakukan pemeriksaan iodine uptake maupun pengobatan dengan RAI. Pengobatan
dengan operasi pun tidak dipilih karena tidak adanya indikasi relative dan absolut pada pasien
ini untuk dilakukan operasi
Pada pasien ini diberikan pebobatan khusus untuk mengontrol produksi homron tiroid
dan gejala dengan pemberian beta beloker dan PTU. Beta bloker berfungsi sebagai pengatur
gejala dan PTU untuk menurunkan jumlah hormone tiroid. Pasien ini akan direncanakan
evaluasi 1 bulan untuk melihat pegontrolan pada gejala dan jumlah hormone.
DAFTAR PUSTAKA
Meconu F, Marcocci C, Marino M. 2014. Diagnosis and classification of Graves'
disease. Autoimmunity Reviews;13:398–402.
Ginsberg J. 2003. Diagnosis and management of Grave’s disease. CMAJ;168(5):575-85.
Greenspan FS. 2004. The Thyroid Gland. Dalam: Greenspan FS, Gardner
DG,penyunting. Basic & Clinical Endocrinology. Edisi ke-8. New York: McGraw-Hill;
h.248-258.
Brent G. 2008. Grave’s Disease. N Engl J Med;358:2594-605.
Lin S, Huang C. 2012. Mechanism of Thyrotoxic Periodic Paralysis. J Am Soc
Nephrol;23:985–988.
Weetman AP. 2000. Graves Disease: Medical Progress. The New England Journal of
Medicine; 343(17):1236-1248.
Jameson JL, Weetman AP. 2005. The Disorders of Thyroid Gland. Dalam: Braunwald
E,Fauci A, Kasper D, Hoster S, Longo D, Jameson J, penyunting. Harrison’s Principle of
Internal Medicine. Edisi ke-16. New York: McGraw Hill.
Jasalim, Umar. 2011. Struma Difusa Toksik. FK Universitas Mulawarman. Samarinda.
Hermawan, A. G. 2000. Pengelolahan dan Pengobatan Hipertiroid. FK Universitas
Sebelas Maret. Surakarta.
Davies TF. 2000. Graves’ disease. In: Lewis E. Braverman dan Robert D. Utiger
(editor). Werner & Ingbar’s The Thyroid, A Fundamental and Clinical Text. 8th ed.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins:p. 518-55.
Weetman AP. 2000. Graves’ disease. N Engl J Med ;343(17):1236-48.
Cooper DS. 2000. Treatment of thyrotoxicosis. In: Lewis E. Braverman dan Robert
D. Utiger (editor). Werner & Ingbar’s The Thyroid, A Fundamental and Clinical Text. 8th ed.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins,p. 691-715.
Woeber KA. 2000. Update on the management of hyperthyroidism and
hypothyroidism. Arch Intern Med.;160:1067-71.
Singer PA., Cooper DS., Levy EG, et al. 1995 Treatment guideline for patients with
hyperthyroidism and hypothyroidism. JAMA.5;273:808-12.
Jasalim, Umar. 2011. Struma Difusa Toksik. FK Universitas Mulawarman. Samarinda.
Shahab A, 2002, Penyakit Graves (Struma Diffusa Toksik) Diagnosis dan
Penatalaksanaannya, Bulletin PIKKI : Seri Endokrinologi-Metabolisme, Edisi Juli 2002,
PIKKI, Jakarta, 2002 : hal 9-18
Sitorus, M. S. 2004. Anatomi Klinis Kelenjar Thyroid.FK USU. Medan.
Hidayat, N. Y. 2009. Sistem Hormon. Tanggal 13agustus 2015 available from
http://yusnia-bio.blogspot.com/2009/04/sistem-hormon-hormon-adalah-zat-kimia.html
Price, S. A. dan Lorraine, M. W. 2006.Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.EGC. Jakarta.
Toft AD. 2001. Subclinical hyperthyroidism [Clinical Practice], N. Engl. J. Med.
345:512-516,
Paulev and Zubieta.Tanggal 13 agustus 2015Thyroid Hormones and
Disorders.available from http://www.zuniv.net/physiology/book/chapter28.html