Gotong Royong Edisi IV
-
Upload
partai-rakyat-demokratik -
Category
Documents
-
view
283 -
download
0
description
Transcript of Gotong Royong Edisi IV
Tahun 1847, seorang filusuf Prancis,
Pierre-Joseph Proudhon, dengan
mengacu pada teori nilai David Ricardo,
mengemukakan dalilnya; bahwa kerja produksi
merupakan sumber segala kekayaan manusia.
Kerja, demikian Proudhon, mencipta nilai baru
pada barang-barang, yang bila ditukar akan
berdampak pada harganya. Dalil ini benar.
Contoh, perubahan potongan besi, karet,
alumunium, dan bahan-bahan lainnya menjadi
sepeda motor atau mobil oleh kerja manusia
tentu menghasilkan nilai atau harga yang lebih
tinggi dibanding kumpulan bahan-bahannya
tadi.
Tapi kemudian muncul seorang filusuf
lainnya, Karl Marx, dengan kritik atas
Proudhon. Bagi Marx, kerja atau produksi
berdialektika dengan sumber awal dari segala
kekayaan atau kemakmuran, yakni tanah. Dari
tanah itulah, dalam pengertian yang seluas-
luasnya, manusia mengambil sumber-sumber
bahan baku untuk diolah. Baik itu hasil
pertanian, hasil perkebunan, hasil
pertambangan, kelautan, dan lain-lain. Ketika
tanah dikuasai oleh segelintir orang, maka
kekayaanpun jatuh ke tangan segelintir orang
itu, dan sisa orang kebanyakan dilempar
menjadi buruh upahan.
Tidak heran,
bila tanah benar-benar menjadi dasar dalam
pengertian harfiah maupun kiasannya. Soal
penguasaan atas tanah ini menjadi penyebab
konflik yang tak berkesudahan. Saking
pentingnya tanah dalam kehidupan manusia,
pepatah Jawa pun menyebutkan “sak dhumuk
bathuk, sak nyari bumi bhumi", yang kurang
lebih berarti; demi satu jengkal tanah pun akan
dipertahankan dengan jiwa-raga.
Namun perkembangan kapitalisme telah
memaksa orang untuk mencari kebutuhan lain
yang seolah lebih penting dari apapun, yakni:
UANG. Di banyak tempat tanah tidak lagi
dipertahankan dengan jiwa-raga seperti kata
Menemukan Kembali Jalannya Revolusi Kita
Foto: Petaniindonesiaku.blogspot.com
Arti Penting Tanah Bagi Rakyat
GOTONG ROYONGSeptember, Minggu 1 - 2 2013
Posisi | Arti Penting Tanah Bagi Rakyat
Arah | Tanah, Neokolonialisme, dan Reforma Agraria
Inspirasi | Wawancara Jean Ziegler
Bagaimana Hukum Venezuela Menjamin Tanah Untuk Kaum Tani
Kabar Rakyat | Sebuah Cerita Dari Suku Anak Dalam
www.prd.or.idpartairakyatdemokratik@prd_indonesia
Posisi
Menemukan Kembali Jalannya Revolusi Kita
Gotong Royong, Edisi IV Minggu 1 - 2 September 2013
1
pepatah di atas. Ada yang terpaksa menjual
tanah karena terdesak kebutuhan uang. Tapi ada
juga orang yang menjual atau menyewakan
tanah hanya karena ia diberi kuasa untuk itu
(menjual atau menyewakan).
Untuk kejadian yang disebutkan terakhir,
umumnya dilakukan oleh pejabat pemerintahan
atau instansi terkait, dan kejadiannya dalam
skala yang sangat besar. Banyak contoh yang
bisa disebutkan mulai dari Aceh sampai Papua.
Sudah pasti, penjualan atau penyewaan yang
sewenang-wenang oleh pejabat
negara/pemerintahan ini membawa malapetaka
bagi rakyat banyak.
Mengacu sumber Berdikari Online, saat ini
perusahaan sawit telah menguasai 8 juta hektar
tanah di Indonesia. Sementara perusahaan-
perusahaan pertambangan, yang jumlahnya
tidak sampai 2.000 buah, telah menguasai 35%
daratan kita. Belum perusahaan kehutanan yang
menguasai jutaan hektar lainnya.
Ironisnya, di sisi yang lain, kondisi pertanian
kita semakin terpuruk. Semakin banyak saja
bahan pangan yang harus diimpor, mulai dari
bawang, cabe, kentang, bahkan sampai singkong
dan lele! Tentu ada persoalan yang kelihatannya
berbeda dari persoalan tanah, yakni terbatasnya
sarana produksi. Tapi bila ditelusuri, maka bisa
ditemukan bahwa dua kejadian ini (tanah dan
sarana produksi) bukan ketidaksengajaan.
Logika kapitalisme masa kini mengarahkan
rakyat dunia ketiga untuk semata menjadi
konsumen, bukan produsen. Sederhananya: jual
tanah untuk beli beras. Bilapun menjadi
produsen maka sekedar kuli yang dikendalikan
perusahaan-perusahaan mereka.
Gotong Royong edisi kali ini mengulas
masalah-masalah terkait tanah dan pertanian. Di
sini terdapat tulisan Kawan Agus Pranata
tentang sejarah persoalan agraria sejak sebelum
zaman kolonial hingga masa neo-kolonial
sekarang. Kemudian kami mengambil
wawancara Peter Wolter dengan Jean Ziegler,
mantan utusan khusus Perserikatan Bangsa-
Bangsa (PBB) untuk masalah hak atas pangan.
Selanjutnya tulisan Kawan Ulfa Ilyas tentang
pengalaman reformasi agraria di Venezuela.
Sebagai penutup kami hadirkan sekelumit cerita
tentang Suku Anak Dalam dan perjuangannya
yang kembali dicatatkan oleh Kawan Agus
Pranata.
Keseluruhan materi ini mengingatkan kita
akan pentingnya perebutan kembali kedaulatan
nasional yang telah dirampok oleh kapital asing
bersama kompradornya. Dasar pemikiran dari
aksi perebutan kembali ini jelas, yakni cita-cita
Proklamasi 17 Agustus 1945. Di dalam cita-cita
itu, para pendahulu telah memberi pengertian
yang sangat baik tentang hakekat tanah sebagai
sumber kekayaan kolektif bangsa yang tidak
segampang sekarang diberikan kepada pemodal
sebagaimana yang diatur Pasal 33 UUD 1945.
Gotong RoyongMenemukan Kembali Jalannya Revolusi Kita
Diterbitkan Oleh Komite Pimpinan Pusat Partai Rakyat Demokratik(KPP PRD)
Jl. Tebet Dalam II G No. 1 Jakarta Selatan 12810Telepon/Fax: +(6221)8354513
Email: [email protected]
Dewan Redaksi: Agus Jabo Priyono, Dominggus Oktavianus, Rudi Hartono, AJ Susmana,
Binbin Firman Tresnadi, Yudi Budi Wibowo, Agus Pranata
Posisi
Gotong Royong, Edisi IV Minggu 1 - 2 September 2013
2
Kata-kata Agraria (berasal dari bahasa Latin:
agre) yang berarti tanah, inilah
yang hendak kita telisik karena
menyangkut jalan utama
penyelamatan penghidupan
rakyat Indonesia dan kedaulatan
nasional.
Penelisikan soal tanah ini
penting sekali bagi negara agraris
seperti Indonesia, yang sekitar
70% susunan (corak ekonomi)
penghidupan rakyatnya
bergantung pada tanah.
Pada mulanya kepemilikan
tanah di Indonesia bersifat
kolektif. Pemilikan tanah oleh
masyarakat awal ini yang kemudian disebut
sebagai tanah komunal.
Di desa, tanah dimiliki secara komunal.
Kegiatan produksi (pertanian) dikerjakan secara
gotong-royong. Bung Hatta menyebutkan corak
kolektif masyarakat desa asli di Indonesia
tersebut merupakan ciri dari: Sosialisme
Indonesia.
Tanah kepunyaan masyarakat dan bukan
kepunyaan orang-seorang. Kepemilikan pribadi
atas tanah selalu dibatasi oleh hak
ulayat/bersama. Karena sifat tanah yang
berfungsi sosial tadi maka tanah tidak
diperbolehkan untuk dikomoditikan.
Di abad ke 14 muncul sistem kepemilikan
“tanah raja”, khususnya di Jawa, kaum priyayi
diberikan tanah lungguh (apnage). Tanah
lungguh diberikan bukan menurut luasnya,
melainkan menurut jumlah penduduknya
(cacah). Karena itu, kemakmuran priyayi
ditentukan bukan berdasarkan luas tanahnya,
melainkan jumlah pekerjanya: ini merupakan
tiang feodalisme.
Sampai tahun 1868, W.B. Bergsma, membuat
catatan: Eindresume (resume terakhir) tentang
penguasaan tanah dikalangan pribumi terbagi
tiga: milik perorangan, milik komunal
(gemeenbezit), dan tanah bengkok untuk
pamong desa (ambtsvelden).
Sistem kepemilikan tanah kolektif di desa dan
tanah lungguh berakhir dimasa Cultuurstelsel
(tanam paksa) Van Den Bosh
(1830-1870). Kepemilikan tanah komunal
diganti kepemilikan pribadi, yang tujuannya
mengencangkan ekspolitasi pajak contingenten
(hasil bumi) dan leverantien (penyerahan hasil
bumi) yang lebih besar.
Ciri struktur kepemilikan tanah yang terpakai
sekarang ini berupa tanah “hak milik privat”
dan “tanah negara” adalah bagian dari masalalu
politik kolonial.
Perampasan tanah dan Neokolonialisme
Selain monopoli dagang, sejarah kolonialisme
ditandai juga dengan “perampasan tanah” oleh
Tanah,
Neokolonialisme,
dan Reforma Agraria
Struktur Kepemilikan tanah
di Indonesia
Arah
Oleh: Agus Pranata *
Gotong Royong, Edisi IV Minggu 1 - 2 September 2013
3
Pemerintah Hindia Belanda. Ini dimulai dari
masa Thomas Stamford Raffles (1811-1816)
sampai dengan priode liberalisasi politik tahun
1870.
“Kapitalisasi Belanda” tumbuh bukan dari
investasi. Sebelum datangnya modal
swasta/asing, tanah menjadi sumber kapital dan
tenaga produktif. Dari hasil tanah yang
dikerjakan tenaga
pribumi sendiri
membuat surplus
ekonomi Belanda.
Menurut
Burger, sejak
tahun 1832-1867,
surplus
keuntungan dari
tanam paksa di
Jawa sebesar 823
juta Gulden.
Keuntungan tersebut mampu melunasi hutang-
hutang VOC, dan merombak ekonomi Belanda
dari “pedagang warung” menjadi negara
industri.
Paska modal swasta Belanda, gelombang
investasi bukan makin surut malah semakin
berlipat ganda setelah dimulai “politik pintu
terbuka” (opendeur-
politiek) tahun 1909.
Modal Inggris, Amerika,
Belgia, Prancis, dan
Jepang turut serta,
sehingga penguasaan
tanah semakin
terkonsentrasi pada
perusahaan perkebunan
asing.
Politik agraria ala
kolonial dijalankan
dengan UU Agraria
(Agrarische Wet)
tahun 1870. Pemerintah Belanda
mengadakan penyewaan tanah (erfpacht) untuk
jangka waktu yang panjang, dan pemberian hak
kepemilikan pada pihak asing (eigendom).
Dalam Agrarische Wet, sistem penguasaan
tanah yang tadinya milik bersama di desa,
dihapus dan dirubah kedalam kepemilikan
individu. Penghapusan kepemilikan tanah
kolektif tersebut untuk memudahkan
kapitalisasi atas tanah tersebut.
Kesempatan rakyat untuk memperoleh hak
garap tanah tertutup. Untuk menggarap hutan
(termasuk di tanah adat), setiap orang mesti
meminta ijin Asisten Residen Belanda[?].
Namun seperti tanah bekas perkebunan
(partikelir) jatuhnya kembali ke tangan Belanda.
Pemerintahan kolonial Belanda memang
runtuh di Indonesia, tetapi
sistemnya dihidupkan lagi ketika
rezim Orde Baru berkuasa. Dalam
prakteknya, ekonomi dan politik
didikte negera-negara maju
(Imperialis). Situasi inilah yang
kita sebut Neokolonialisme.
Selain membuka kran modal
asing, tata-kelola agraria ala
kolinalis (Agrarische Wet) hidup
lagi: tanah yang tak dapat
dibuktikan pemilikannya menjadi
milik negara (domein verklaring). Azas ini
disusupkan didalam UU No. 5 Tahun 1967
tentang Kehutanan.
Azas domein verklaring menghidupkan lagi
istilah “tanah negara”. Negara bukan lagi badan
yang dititipkan kuasa oleh rakyat untuk
mengat ur fungsi tanah,
namun jadi pemaksa
absolut dibawah
kendali
pemerintahan
militeristik.
Reformasi pun
dikendarai lembaga-
lembaga imperialis:
Bank Dunia, IMF,
WTO, dll, yang
memaksa Indonesia
menjalankan resep
liberalisasi ekonomi:
perdagangan bebas,
privatisasi, swastanisasi, dan deregulasi yang
melahirkan produk undang-undang pro-modal
asing.
Dengan lahirnya produk UU Nomor 41/1999
tentang Kehutanan, UU Nomor 18/2004 tentang
Perkebunan, UU Nomor 7/2004 tentang
Privatisasi Air, UU Nomor 2/2012 tentang
Pengadaan Tanah, dll, makin memperdalam
Foto: Citra Satelit Indonesia
Foto: Antara foto
Arah
Gotong Royong, Edisi IV Minggu 1 - 2 September 2013
4
praktek Neokolonialisme.
Tanah yang tadinya berfungsi sosial diganti
menjadi alat komoditi (perdagangan) yang
membuka akses monopoli tanah oleh pemodal.
Hutan yang mencapai 70 persen dari daratan
Indonesia habis diprivatisasi.
Privatisasi hutan untuk kebutuhan kor
porasi sudah mencapai 49 juta Hektar: 25
juta Hektar IUPHHK Hutan Alam, 9,3 juta
Hektar untuk HTI, dan 15 juta Hektar
untuk HGU. Hutan murni tinggal 40 juta
Hektar dari total 95 juta Hektar hutan
yang tersisa. Yang dinikmati rakyat hanya
248 Ha atau setara 0,20 persen dari
kawasan hutan.
Neokolonialisme menghancurkan
masadepan dan kelangsungan hidup yang
ditandai dengan:
Pertama, penyusutan lahan pertanian.
Konversi-konversi lahan menyebabkan
berkurangnya lahan pertanian sebanyak
13% atau setara 80 ribu Hektar per tahun.
Tahun 2009 luas lahan pertanian
mencapai 19,853 juta Hektar, namun yang
tersisa di tahun 2010 tinggal 19,814 juta Hektar.
Kedua, hancurnya tenaga produktif
pertanian. Sejak Orde Baru mencanangkan
Revolusi Hijau (Pertanian), sektor pertanian
justru tidak berkembang secara modern. Sistem
pertanian masih tradisionil (non-teknologi),
sehingga hanya memproduksi komoditi mentah.
Sekalipun hasil pertanian berorietasi ekspor,
penghidupan petani bukan tambah baik. Badan
Pusat Statistik (BPS) di tahun 2006
menyebutkan dari 39 juta rakyat miskin di
Indonesia, 58% disumbangkan sector pertanian
yang merupakan petani pemilik lahan kecil.
Malahan sebanyak 2 juta petani telah beralih
profesi sebagai “tukang ojek”.
Ketiga, munculnya konflik agraria.
Penyediaan “ruang investasi” oleh negara untuk
kepentingan para pemodal dalam prakteknya
melahirkan konflik agraria: perampasan tanah,
penggusuran, pembakaran pemukiman,
pembunuhan, pemenjaraan, dan segala praktek
barbarisme lainnya yang mengorbakan rakyat.
Dari Ordebaru sampai sekarang ini, sudah
tercatat 8.000 konflik agraria di Indonesia.
Selama 8 tahun Pemerintahan SBY berkuasa,
tidak kurang dari 618 konflik agraria yang
meletus: sebanyak 941 orang dipenjarakan, 459
luka-luka terkena peluru aparat, serta 44 orang
tewas.
Ketidakadilan agraria yang memantik konflik
agraria di berbagai daerah di Indonesia: dari
Sabang sampai Marauke, mengancam
kedaulatan nasional dan bahkan disintegrasi.
Reforma Agraria sebagai basis pembangunan
Perjuangan untuk mencapai “keadilan
agraria” diabad-abad lalu melahirkan gerakan:
Land Reform. Land Reform bertujuan mulia:
penataan ulang struktur pemilikan, penguasaan,
dn pemanfaatan tanah sebagai basis penciptaan
masyarakat adil dan makmur.
Land Reform berfungsi redistributif
(pembagian ulang) dan kolektivitas (bersama)
tanah. Gunawan Wiradi, dalam bukunya
Reforma Agraria (2005), menjelaskan bahwa
Land Reform plus program infrastruktur, inilah
yang diberi nama: Reforma Agraria. Pendeknya,
Reforma Agraria tidak dapat dilaksanakan tanpa
adanya Land Reform.
Dimasa revolusi nasional (1945-1965),
pembaharuan agraria dilakukan melalui Land
Reform, yang bermaksud merombak secara
radikal struktur kepemilikan tanah-tanah
kolonial dan mengakhiri penghisapan feodal
(tuan tanah). Bagi Bung Karno, revolusi
Indonesia tanpa Land Reform adalah sama saja
omong besar tanpa isi.
Dekolonisasi tersebut dijalankan melalui
pelaksanaan UU Pokok Agraria No 5 tahun
Arah
Gotong Royong, Edisi IV Minggu 1 - 2 September 2013
5
1960. UUPA 1960 dimaksudkan untuk
menghapus tanah-tanah asing dan konsesi tanah
kolonial, redistribusi tanah untuk petani
penggarap, membatasi dan merubah struktur
kepemilikan tanah, dll, yang tujuan akhirnya:
Masyarakat Sosialis Indonesia.
Pada tahun 2007 lalu, Presiden SBY berbicara
tentang Reforma Agraria. Ia menjanjikan
pembagian tanah 8 juta Hektar untuk rakyat.
Sebagian pihak meragukan niat baik tersebut
dan menyebutnya reforma agraria gadungan.
Disebut reforma agraria gadungan karena
basis pembangunannya memelas pada investor
yang tidak mendorong pada kedaulatan dan
kemandirian nasional. Berbeda dengan
Soekarno, kapital nasional dihasilkan oleh
tenaga produktif sendiri dan dari program
pembaharuan agraria.
Selain itu, kebijakan Percepatan dan
Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
(MP3EI) ala Pemerintahan SBY-Budiono, hanya
merupakan praktek “kolonisasi tanah”, yaitu
penyediaan tata-ruang yang lebih besar buat
kepentingan pemodal asing/swasta.
Bagi-bagi tanah ala SBY-Budiono tidak jauh
berbeda dengan kelicikan Van Den Bosh, demi
tujuan kapitalisasi tanah yang jatuhnya bukan
ditangan rakyat, tapi pada perusahaan
perkebunan, proverti, dan sebagainya.
Jika dimasa Soekarno, perusahaan-perusahaan
asing menjadi sasaran, tanah-tanah absente dan
tanah milik tuan tanah tidak luput dari
penyitaan. Maka sekarang ini, tanah-tanah
terlantar, tanah non-produktif, yang dijanjikan-
janjikan untuk dibagikan.
Pembaharuan agraria ala SBY-Budiono tidak
menjanjikan
adanya
perombakan
struktur
kepemilikan
tanah di
Indonesia
yang sangat
timpang,
sebaliknya
menguatkan
ketimpangan
dan monopoli
tanah oleh
perusahaan-perusahaan kapital asing.
Tidak cukup hanya sebatas distribusi tanah,
struktur kepemilikan dan akses tanah untuk
rakyat yang diperbesar, tenaga-tenaga pertanian
dimodernisasi, dan dibangunkan pasar internal
buat menjamin hasil pertanian. Reforma Agraria
harus menjadi alat melikuidasi neokolonialisme.
Pun bangunan perekonomian negara mesti
disusun dengan cara kekeluargaan, didalam
setiap badan ekonomi swasta dan negara tampuk
kedudukan rakyat mestilah ada dan besar,
negara sendiri hanya sebagai alat regulator
untuk mengatur cabang produksi yang strategis,
sedangkan ketergantungan kepada kapital asing
sudah harus dilenyapkan. Ini sarat bagi
kedaulatan ekonomi nasional sesuai konstitusi:
Pasal 33 UUD 1945.
Perjuangan Reforma Agraria butuh
keberanian politik dari pemerintah, tapi
dukungan rakyat banyaklah yang menetukan.
Cita-cita bersama ini hanya bisa dicapai dengan
Persatuan Nasional. Terlebih lagi bagi kaum
buruh, seperti kata-kata Karl Marx:
“Pemilikan atas tanah sumber awal dari
semua kekayaan telah menjadi masalah besar
yang pemecahannya menentukan hari depan
klas pekerja”. Karl Marx, (Penghapusan Hak
Milik Tanah; Memorandum untuk Robert
Applegarth, 3 Desember 1869). ****
*Deputi Pendidikan dan Kaderisasi KPP PRD
Foto: Kompas.com
Arah
Gotong Royong, Edisi IV Minggu 1 - 2 September 2013
6
Wawancara jurnalis Jerman, Peter Wolter, dengan Mantan Utusan Khusus PBB untuk masalah Hak-Hak Atas Jaminan Pangan, Jean Ziegler.
---
Peter Wolter (PW): Kita Biarkan Mereka
Kelaparan adalah nama buku baru Anda.
Subjudul: Pemusnaan Massal di Dunia Ketiga.
(Judul asli buku: Destruction Massive, Paris
2011).
Jean Ziegler (JZ): Laporan World Food Report
dari PBB mengemukakan: Setiap lima detik
seorang anak di bawah umur menderita
kelaparan, tiap hari 57.000 orang. Dari tujuh
milyar manusia yang ada di dunia dewasa ini,
sepertujuhnya mengalami kelaparan permanen
sangat berat. Dalam kurun waktu yang sama
laporan mencatat, bahwa perekonomian dunia
menurut tingkat tenaga produktifnya dewasa ini
mampu tanpa problem memberi makan
duabelas milyar manusia. Lain situasinya pada
waktu beberapa abad sebelumnya, sekarang
tidak ada kekurangan lagi. Jadi, masalahnya
terletak bukan pada kemampuan produksi,
tetapi pada pintu masuk untuk mendapatkan
bahan makanan. Dan itu tergantung pada daya
beli. Setiap anak dibunuh akibat kelaparan
selama pembicaraan kita ini.
PW: Siapakah gerangan tuan-tuan pengatur
dunia kanibalisme ini?
JZ: Pertama saya ingin menyebut sepuluh
prosen multi-nasional terbesar, yang
mengontrol 85 prosen bahan makanan yang
mereka perdagangkan di seluruh dunia ini.
Mereka itu setiap hari menentukan, siapa yang
makan dan siapa yang hidup, siapa yang
kelaparan dan mati. Strategi mereka ialah
memaksimalkan keuntungan.
PW: Bisa disebutkan nama-namanya?
JZ: Firma-AS Cargill Incorporated tahun yang
lalu mengontrol 31,8 prosen gandum yang
diperdagangkan di seluruh dunia, Dreyfus
Brothers 31,2 prosen beras. Secara singkat saya
akan mengidentifikasi empat mekanisme
penyebab kelaparan. Pertama-tama adalah
spekulasi pada bursa menyangkut bahan
makanan pokok. Tahun 2007/2008 banditisme
bank internasional pada bursa finans telah
memusnahkan nilai kekayaan sebesar 85.000
milyar dolar. Sejak itu sebagian besar
hedgefonds dan bank-bank raksasa
memindahkan kegiatannya ke bursa bahan
mentah, terutama produk pertanian. Seperti
yang sudah ada sebelumnya juga kegiatan
perdagangan pada sektor ini dilakukan dengan
derivat, (short selling) dan instrumen finans
legal lainnya untuk menjadikan beras, jagung
dan padi-padian lainnya sebagai bahan spekulasi
perdagangan untuk mencapai keuntungan yang
setinggi langit. Jagung misalnya, dibandingkan
dengan harga pada duabelas bulan sebelumnya
di pasaran dunia harganya meningkat 63 prosen
lebih mahal, tiap ton gandum seharga 272 ero
menjadi berlipatganda, sesuai peraturan harga
beras dari Filipina meledak: dari 110 menjadi
1.200 dolar.
PW: Di dunia ketiga hanya segelintir saja yang
dapat membayar . . .
Empat Mekanisme Penyebab Kelaparan Dunia
Inspirasi
Gotong Royong, Edisi IV Minggu 1 - 2 September 2013
7
8
JZ: Menurut Bank Dunia tiap hari 1,2 milyar
manusia harus hidup kurang dari satu dolar.
Mereka bertempat tinggal di perkampungan-
perkampungan miskin dan kumuh di dunia; di
Manila, Karaci, Kota Meksiko, Sao Paulo, dsb.
Dari jumlah uang yang sejumput itu para ibu
harus memberi makan anak-anak mereka.
Apabila harga bahan makanan meledak, justru
merekalah yang menderita kelaparan.
Mekanisme pembunuhan kedua, adalah makin
bertambahnya penggunaan bahan-bahan bakar
dari hasil-agraria. Di USA saja diproduksi pada
tahun 2011 biomethanol dan biodisel berasal
dari 138 juta ton jagung dan ratusan juta ton
padi-padian. Negeri ini setiap hari memerlukan
minyak yang senilai dengan 20 juta barel (1
barel = 158 liter), sedangkan antara Alaska dan
Texas yang bisa dihasilkan hanya empat.
Duabelas masih harus diimport, dari Irak,
Nigeria, Asia Tengah, Arab Saudi dan negeri-
negeri berbahaya lainnya. Ini berarti, USA harus
mengeluarkan biaya luarbiasa jumlahnya untuk
keperluan militernya, karena itulah Obama
ingin mengganti energi yang berasal dari fosil
dengan energi nabati. Namun demikian untuk
menghasilkannya dibakarlah ratusan juta bahan
makanan di planet yang satu ini, yang setiap
lima detik satu anak dimana saja dia berada
menderita kelaparan dan ini merupakan satu
kejahatan terhadap kemanusiaan.
PW: Dan mekanisme yang ketiga?
JZ: Mekanisme ketiga ialah beban hutang yang
bertumpuk-tumpuk negeri-negeri yang
termiskin. Dari 54 negara di Afrika, 37 adalah
negara-negara agraris yang termasuk
produktivitasnya paling rendah. Mereka tidak
punya uang yang bisa diinvestasikan untuk
membangun pengairan, teknologi pertanian
yang diperlukan atau pupuk. Dari luas tanah di
seluruh Afrika hanya 3,8 prosen yang memiliki
sistem pengairan. Adapun pengairan sisa tanah
lainnya menggantungkan diri dengan sistem
pengairan curahan hujan seperti 5.000 tahun
yang lalu.
Setahun dalam keadaan normal (tanpa perang,
kekeringan atau wabah hama) hasil panenan di
Nigeria/Zona-Sahel rata-rata sekitar 600 sampai
700 kilogram padi-padian tiap hektar.
Sebaliknya di suatu negara bagian Jerman,
Baden-Werttemberg 10.000 kilogram. Petani
Jerman itu bukanlah lebih rajin atau lebih pintar
dibanding koleganya yang di Afrika. Hanya
perbedaannya, dia punya pupuk mineral, bibit
unggul, pengairan, traktor, dsb. Sedangkan
negara mereka juga tidak mampu membantu
para petani Afrika itu karena pemerintahannya
pun hanya punya apa yang dinamakan hutang.
Pada titik pertemuan ini datanglah permainan
yang dilakukan oleh institusi finansiil resmi
seperti Bank Dunia atau Bank Pembangunan
Eropa. Mereka mengatakan pada negara-negara
ini: Turunkan hutang kalian dengan cara
mengalihkan kepemilikan lahan pertanian
kepada hedgefonds dan para investor. Orang
menamakannya “landgrabbing” (perampasan
lahan), dan kegiatan ini pada tahun yang lalu di
Afrika saja terjadi di tanah seluas 41 juta hektar.
Si investor itu mempunyai kapital, teknologi,
alat transportasi dan hubungan perdagangan.
Kemudian mereka menanam di negeri-negeri
ini berbagai buah seperti advokat, buah-buahan
dari subtropik, kopi dsb. dieksport ke Eropa atau
Inspirasi
Gotong Royong, Edisi IV Minggu 1 - 2 September 2013
9
Amerika Utara. Untuk keperluan rakyat dalam
negeri tidak ada sisanya.
Mekanisme pembunuhan keempat adalah
dumping-agraria. Di setiap pasar di Afrika
sekarang ini orang dapat membeli sayur-mayur
segar, hasil peternakan ayam dan buah-buahan
dari Italia, Perancis dan Jerman dan seiring
dengan musim, harga nilainya bisa sepertiga
atau setengah dari buah sejenis dari hasil-hasil
setempat dalam negeri. Jarak beberapa
kilometer berikut dari tempat pasaran itu kaum
tani Afrika dibawah sengatan terik-panas
matahari membanting tulang bersama-sama
isteri dan anak-anak dan sedikitpun tak ada
kemungkinan mengusahakan keperluan untuk
familinya dan bahkan hanya untuk
kerpentingan yang minimal sekalipun.
Itulah apa yang direkayasa oleh para Komisaris
Uni Eropa di Brussel, hakekatnya adalah tipu
muslihat yang sangat kurangajar: Lewat politik
dumping mereka menciptakan kelaparan di
Afrika, dan apabila mereka yang akhirnya
menjadi pelarian akibat kelaparan itu ingin
menyelamatkan diri ke Eropa, mereka
dilemparkan kembali
ke laut dengan mengerahkan kekuatan militer,
dan ribuan orang tenggelam setiap tahun.
PW: Adakah perkiraan berapa jumlah manusia
yang meninggal menjadi korban politik
ekonomi yang dikembangkan oleh negeri-
negeri kapitalis itu?
JZ: Menurut Statistik-ECOSOC (Economic and
Social Council – Badan PBB yang
bertanggungjawab masalah kegiatan ekonomi
dan sosial __pen.) tahun yang lalu ada 52 juta
manusia menderita korban epidemi akibat air
beracun, kelaparan dan penyakit kekurangan
gizi. Fasisme Jerman memerlukan perang selama
enam tahun untuk membunuh 56 juta manusia-
- sistem ekonomi neo-liberal berhasil
membunuhnya dengan leluasa tidak sampai satu
tahun.
PW: Adakah Anda dapat menggerakkan sesuatu
di PBB?
JZ: Bisa lebih baik seperti yang saya terbitkan.
Buku saya itu disusun tidak hanya berdasarkan
dari statistik, namun juga laporan tentang suatu
pengalaman hidup, saya mempelajari keadaan di
beberapa negeri langsung pada tempatnya.
Sekarang saya bisa dengan tepat mengatakan,
siapa bajingannya --saya dapat juga
menunjukkan, harapan
apa yang masih ada.
Untuk rakyat-rakyat di
selatan (bagian bumi
belahan selatan _ pen.)
Perang Dunia Ketiga
sudah lama dimulai.
Selama kita
membungkam, kita
menjadi komplotan para
pembunuh. Che
Guevara pernah
mengatakan:
“Runtuhnya tembok
tebalpun dimulai juga
dengan keretakan”- dan
retak ini kian tampak!
Semakin menjadi jelas bagi banyak orang,
bahwa sistem dunia kanibal ini dibuat oleh
manusia dan karenanya juga dapat
ditumbangkan oleh manusia sendiri. ****
Inspirasi
Gotong Royong, Edisi IV Minggu 1 - 2 September 2013
10
Tragedi pembantaian petani di
Mesuji, Lampung, sangat
menyayat perasaan kemanusiaan
kita. Kaum tani, yang notabene
adalah pemilik sah negeri ini, justru
diusir dari tanah dan
pemukimannya atas perintah
perusahaan asing. Lebih ironis lagi,
perintah pengusiran itu dikawal
oleh aparat keamanan resmi negara
ini.
Venezuela, negeri yang terletak di
ujung utara Amerika selatan, sedang
dalam perjuangan mengembalikan
kedaulatan rakyat atas tanah.
Sebelumnya, Venezuela adalah
negara dengan struktur kepemilikan
tanah paling timpang di Amerika
Latin.
Pada tahun 1930-an, sebagian besar tanah
terkonsentrasi di tangan perkebunan besar,
dengan kepemilikan tanah di atas 1000 hektar.
Sebagian besar tanah-tanah itu hanya dimiliki
oleh 4,8% orang (tuan tanah). Sementara petani
menengah dan kecil, yang merupakan mayoritas
dari penduduk, hanya menguasai 0,7% dari
tanah pertanian.
Lalu, pada tahun 1960-an, usai kejatuhan
diktator Marcos Perez Jimenez, seorang sosialis-
demokrat naik ke panggung kekuasaan. Rómulo
Betancourt, nama sosialis-demokrat itu, berjanji
akan menjalankan reformasi agraria di
Venezuela. Ia pun mengesahkan UU reforma
agaria pada tahun 1960-an. UU itu hanya
berjalan singkat. Makin lama, seperti nasib
UUPA tahun 1960, pemerintah justru
mengabaikan UU tersebut.
Tahun 1970-an, Venezuela memasuki periode
booming minyak. Keadaan itu mendorong
pergeseran dari produksi pertanian ke minyak,
dan memicu urbanisasi besar-besaran dalam
sejarah Venezuela. Bahkan, begitu tidak
produktifnya sektor pertanian, banyak pemilik
tanah sedang dan kecil menjual tanah-tanahnya
dan pindah ke kota.
Sementara di desa, situasi ketidakadilan tanah
kian meningkat. Struktur kepemilikan tanah
makin timpang: 5% tuan tanah besar mengusai
75% tanah, sedangkan 75% petani kecil hanya
menguasai 6% tanah.
Tahun 1998, angin perubahan berhembus di
Venezuela: seorang kolonel progressif, Hugo
Chavez, berhasil merebut kekuasaan melalui
pemilu demokratis. Segera setelah menempati
jabatannya di tahun 1999, Chavez langsung
menjadikan “reforma agraria” sebagai agenda
mendesaknya.
Chavez memulainya dengan mendorong
pembuatan konstitusi baru melalui jalur
referendum. Referendum sukses dijalankan pada
bulan Desember 1999. Nah, konstitusi baru
inilah, sering disebut konstitusi Bolivarian, yang
menjamin hak kaum tani atas tanah.
Pasal 307 konstitusi Bolivarian antara lain
menyebutkan: “Dominasi perkebunan besar
adalah bertentangan dengan kepentingan
rakyat.” Ketentuan pasal itu juga menegaskan
Bagaimana Hukum Venezuela
Menjamin “Tanah Untuk Kaum Tani”Oleh: Ulfa Ilyas
Inspirasi
Gotong Royong, Edisi IV Minggu 1 - 2 September 2013
Pihak oposisi, khususnya tuan tanah, segera
mengorganisir perlawanan terhadap UU baru
dan “Misi Zamora” itu. Tuan tanah
mengorganisir para-militer untuk membunuh
aktivis petani atau serikat petani yang berani
melakukan aksi pendudukan lahan. UU itu juga
memicu upaya kudeta oposisi tahun 2002 dan
sabotase pabrik minyak di tahun 2003.
Karena UU tanah tahun 2001 masih dianggap
kurang radikal, maka pada tahun 2005, UU
tersebut direvisi. Perubahan konstitusi ini hanya
mengubah soal batas kepemilikan lahan: batas
untuk tanah berkualitas tinggi dari 100 ha
menjadi 50 ha, sedangkan untuk tanah
berkualitas rendah dari 5000 ha menjadi 3000
ha.
Proyek reforma agraria kemudian serahkan
kepada sebuah lembaga bernama Institut Tanah
Nasional (INTI). Tugas lembaga ini adalah
menentukan kepemilikan tanah dan
mendistribusikan tanah kepada kaum tani sesuai
ketentuan UU. Lembaga ini juga berkewajiban
melakukan sertifikasi terhadap tanah-tanah
yang berhasil diduduki oleh kaum tani.
Pada tahun 2010, UU tanah kembali mengalami
revisi. Revisi ini bertujuan untuk menaikkan
kemampuan petani tak bertanah untuk
mengakses tanah dan memperkuat kekuasaan
negara untuk mengalihkan fungsi perkebunan
besar untuk fungsi sosial (ketahanan pangan).
Revisi UU tanah tahun 2010 juga menghapus
buruh kontrak di perkebunan karena
bertentangan dengan keadilan, kesetaraan, dan
persamaan sosial.
UU baru ini juga mengharuskan tanah-tanah
yang sudah diduduki oleh rakyat atau disita oleh
negara untuk diserahkan pengelolaannya
kepada dewan-dewan tani, dewan komunal, dan
organisasi kolektif rakyat lainnya. Organisasi-
organisai rakyat itu diberi hak untuk
menjalankan sistim co-management atau self-
management di atas tanah-tanah yang sudah
dikuasai tersebut.
UU ini juga melarang pengusiran atau
penggusuran terhadap petani di atas lahan yang
sudah dimilikinya. Petani yang sudah mengusai
selama beberapa tahun, sepajang bisa
memproduktifkan tanah tersebut, akan
mendapat prioritas untuk diberi pengakuan
kepemilikan secara hukum.
Begitulah, antara lain, cara pemerintah
Venezuela menjamin hak rakyat atas tanah.
Dengan demikian, tanah-tanah di Venezuela
benar-benar dipergunakan untuk kemakmuran
rakyat, bukan untuk kemakmuran perusahaan
swasta.
Kita, bangsa Indonesia, sebetulnya sudah punya
UU tanah yang cukup progressif: UU pokok
agraria tahun 1960. Sayang, UU itu tidak pernah
dijalankan, apalagi menjadi rujukan dalam
kebijakan pertanahan nasional. Sudah saatnya
kita menuntut agar pemerintah menjalankan
UUPA 1960 secara konsisten!
Inspirasi
Gotong Royong, Edisi IV Minggu 1 - 2 September 2013
11
12
LANGGARTUAN adalah sebutan untuk Surau.
Surau kecil ini dibangun oleh seorang “musafir”
Islam ketika masih jaman belanda. Tetapi tidak
diketahu persis tahun pembangunannya. Konon,
surau ini menjadi tapal batas kearah barat
Sumatera saat pembangunan jalur pipa-pipa
minyak Belanda dari kampong pedalaman di
Pinang Tinggi, Jambi, menuju ke Bayung Lincir,
Musi Banyuasin, Sumatera Selatan.
Sekarang Langgartuan tinggal puing-tiang saja.
26 tahun yang lalu,
tempat itu digusur oleh
sebuah perusahaan
sawit. Kini Langgartuan
berada di depan pos
Satpam PT. Asiatik
Persada di desa Bungku,
Bejubang, Batanghari.
Sekaligus menjadi pintu
masuk menuju
perkampungan Suku
Anak Dalam (SAD).
Di depan pintu masuk
itu, sebuah spanduk
merah bergantung di
antara pepohonan sawit.
Spanduk itu bertuliskan:
“Gerakan Nasional Pasal
33: Bumi, Air, Udara dan
kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya untuk kemakmuran
rakyat!”
Untuk menempuh jarak antara kota Bantanghari
ke Langgartuan, kita hanya membutuhkan 2-3
jam perjalanan. Akan tetapi, memasuki kawasan
Suku Anak Dalam, anda akan bertemu dengan
jalan dengan gundukan tanah merah. Jika
musim penghujan, maka ban motor anda akan
lengket di tanah. Sementara di musim panas
anda akan berselimut debu jalanan.
Suku Anak Dalam tidak lagi tersembunyi di
dalam semak belukar, melainkan hidup di
bawah pepohonan sawit. Mereka memungut
berondol (buah kelapa sawit yang jatuh).
Mereka membangun kamp-kamp seluas 2×1
meter. Gubuk tempat tinggal mereka dibuat dari
pelepah sawit.
Setiap pagi, keluarga Suku Anak Dalam
memungut berondol. Sorenya, berondol itu
ditimbang. Lalu, baru seminggu kemudian
mereka menerima uang atas berondol yang
dibeli pengusaha.
Berondol dijual seharga Rp300/kilogram.
“Car pembayarang kurang cocok dengan pola
hidup kami. Kami mencari makan ke sana-
kemari hanya untuk makan sehari,” kata Jasmi,
20 tahun, seorang pemuda Suku Anak Dalam.
Saat malam tiba, orang-orang Suku Anak Dalam
hanya bergantung kepada sinar bulan sebagai
penerang di tengah perkebunan. Kalau
kebetulan bulan purnama, Suku Anak Dalam
Kabar Rakyat
Sebuah Cerita Dari Suku Anak DalamOleh: Agus Pranata
Profil Warga SAD 113 Foto: Mawardi
Gotong Royong, Edisi IV Minggu 1 - 2 September 2013
13
pun akan mengambil jala dan mencari ikan taua
bikuyu dan labi-labi (penyu) di Sungai.
Gelap sudah biasa bagi masyarakat Suku Anak
Dalam. Menurut Tani, 40 tahun, mereka sangat
beruntung ketika ada warga yang membeli
bensin untuk penerangan listrik. Maklum, di
desa itu warga Suku Anak Dalam membuat
mesin diesel berkekuatan 2500 watt untuk
penerangan. “Kalaupun mesin diesel dinyalakan,
itu hanya dari petang hingga sekitar pukul 9
malam,” katanya.
Ketika perusahaan sawit masuk, mereka
mengusir Suku Anak Dalam keluar hutan.
Karena terusir dari tempat penghidupannya,
maka Suku Anak Dalam pun hanya bertahan
hidup dengan memungut biji sawit. Itupun, kata
orang-orang Suku Anak Dalam, sering diteriaki
maling oleh pengawas perkebunan, lalu dikejar
bak ayam, kemudian diserahkan ke Polisi.
Mereka pun dipenjara.
Tidak salah kemudian, jika ditanya tentang
keadilan, orang Suku Anak Dalam pasti
menjawab kecut. Jas, 38 tahun, seorang tokoh
Suku Anak Dalam, pernah berkata: “Air susu
datangnya dari Tuhan, sedang air tuba
datangnya dari pemerintah.”
Hampir 99% Suku Anak Dalam yang menghuni
areal perkebunan Divisi Kelabai belum
mengenal baca-tulis. Bahkan, masih banyak
yang belum mengerti ukuran timbangan dan
nilai uang. Ketika hendak berbelanja, mereka
meminta bantuan orang lain agar tidak kena
tipu.
Orang Suku Anak Dalam, yang masih
memegang teguh filosofi hidup leluhur, belum
mengerti betul apa itu menipu dan curang.
Mereka belum tahu untung dan rugi.
Karenanya, mereka pun sering diperdaya orang
luar. Orang luar sering memberi mereka
tembakau, garam, dan ikang kering, lalu orang
Suku Anak Dalam membalas
pemberian itu dengan
menyerahkan sebidang tanah.
Akhirnya, karena sering ditipu
oleh orang luar, tanah milik orang
Suku Anak Dalam pun banyak yang
habis.
***
Meski hidup tertutup di pedalaman,
suku-suku primitif tidak hidup
“barbar” layaknya suku-suku
primitif di Eropa. Dari pengaruh
kepercayaan Animisme, Hindu dan
Islam, Suku Anak Dalam di Jambi
melahirkan budaya bahasa, moral,
anti-kekerasan dan terbuka. Orang
luar yang menjadi anggota
keluarganya dipanggil Semendo.
Sudirman, 45 tahun, seorang
Semendo asal Palembang, menjabat Ketua RT 8
Desa Bungku, membawa saya melihat-lihat
bekas kampong di perkebunan Devisi Kelabai
PT. Asiatik Persada. “Tiga tempat kuburan bukti
bahwa dulu ada kampung besar disini,”
ungkapnya.
Kepolosan hati orang Suku Anak Dalam
diperalat pemerintah Orde baru. Badan
Pertanahan Nasional (BPN) Batanghari, yang
menerbitkan Hak Guna Usaha (HGU) No 1/1986
kepada PT. Bangun Desa Utama (BDU), menjadi
penyebab penggusuran tiga dusun, Tanah
Menang, Pinang Tinggi dan Padang Salak, serta
pengusiran lebih dari 1000 jiwa.
***
Suku Anak Dalam adalah korban kebijakan
Negara. Perampasan tanah disertai dengan
pelanggaran HAM berat. Hal itu
menghancurkan basis kehidupan Suku Anak
Dalam. Pihak perusahaan terus merambah
Gubuk SAD di Tengah Perkebunan Sawit Foto: Kompas image
Kabar Rakyat
Gotong Royong, Edisi IV Minggu 1 - 2 September 2013
14
hutan, sedangkan Pemerintah menjadi
“penonton”.
Konflik perampasan tanah di tahun 1986 masih
teringat oleh Kutar Johor, seorang Suku Anak
Dalam, yang masih mengingata cara-cara Negara
(juga tentara) dan pihak PT. BDU berprilaku
brutal pada keluarga dan kerabatnya.
“Tanpa salam, tentara masuk ke dalam rumah
dengan sepatu. Keluar, kata mereka. Karena
menolak pergi, ujung senapan menempel di
ubun-ubun kepala. Satu persatu dilempar keluar
rumah. Eskavator kemudian merobohkan
rumah. Saya hanya bisa mengusap-usap dada,
perih rasanya, masih tega pemerintah
merobohkan gubuk. Warga Dusun yang
lain berhamburan lari kehutan seperti burung
dengar suara tembakan. Trauma sampai
sekarang masih ada yang takut bertemu orang
luar,” kata bapak yang aktif memimpin
perjuangan kelompok Batin Bahar.
Dusun tua Tanah Menang, yang dulu dikenal
sangat ramai, kini tinggal nama. Hanya 10 KK
yang berani bertahan sejak peristiwa waktu itu,
sedangkan sisanya hijrah ke desa-desa lain.
Mawardi, 30 tahun, Pimpinan Partai Rakyat
Demokratik (PRD) Jambi yang terlibat
membantu perjuangan, menceritakan bahwa ada
upaya menyingkiran Suku Anak Dalam yang
merupakan skenario Pemerintah dan
Perusahaan.
Menurut Mawardi, seraya membuka peta, ada
tiga skenario penghancuran kepemilikan Suku
Anak Dalam Batin Bahar: pertama, pengusiran
rakyat dan penghancuran fisik rumah-rumah,
pemakaman, ladang, kebun, tanaman hutan dan
sungai; kedua, pengalihan kepemilikan izin
HGU yang pendek dari satu perusahaan ke
perusahaan lain untuk mengindari tanggung
jawab masa lalu; ketiga, dilakukan perubahan
nama-nama dusun, kampung atau desa untuk
memotong ingatan rakyat pada peristiwa di
masa lalu.
Awalnya, Menteri Kehutanan
memberi pelepasan kawasan hutan
seluas 27.252 hektar dari 40.000
hektar lahan pencadangan Gubernur
Jambi. Dari luas tersebut seluas
20.000 Ha menjadi HGU milik PT.
BDU yang sekarang berganti nama
menjadi PT. Asiatic Persada dengan
saham mayoritas milik Willmar
Group Malaysia. Sedangkan sisanya
7.150 Ha jatuh ketangan PT. Maju
Perkasa Sawit (MPS) dan PT.
Jammer Tulen, yang keduanya anak
perusahaan Willmar Group.
Untuk mengamankan jalur pipa-
pipa minyak, pihak Belanda pernah
membuat surat keterangan wilayah
dusun semasa Depati Kelek
menjabat di Dusun Pinang Tinggi,
dan di dalam isi surat memuat
keterangan mengenai keberadaan
Dusun Padang Salak dan Pinang Tinggi lengkap
dengan batas-batas dusun yang dibuat atas nama
Kantor Pemerintah Kolonial Belanda De
Controleur Van Moeara Tembesi tertanggal 20
November 1940.
Ditemukan pula surat bukti Residentie
Palembang No. 211 dan No. 233, dalam bahasa
Arab dan Belanda, dibuat oleh De Assistent
Residentie Van Banjoeasin en Koeboestreken, di
Talang Betoetoe, 4 september 1930. Juga Kepala
Pasirah Marga Batin V Muara Tembesi, Ibrahim
Tarab, pernah mengeluarkan Surat Keterangan
Sembilan Batin yang tertanggal 4 Maret 1978. Isi
surat menyebutkan keberadaan Suku Anak
Warga SAD 113 Geruduk Kantor Gubernur Jambi Foto: Mawardi
Kabar Rakyat
Gotong Royong, Edisi IV Minggu 1 - 2 September 2013
15
Dalam di Hutan Jebak, Jangga, Cerobong Besi,
Padang Salak, Bahar, Pinang Tinggi sampai ke
Burung Antu Pemusiran. Dan beberapa surat-
surat berlogo Garuda tentang keterangan hak
milik yang masih tulis tangan, yang dibuat oleh
Kepala Kampung pada tahun 1977.
Dari hasil perjuangan Suku Anak Dalam di
Jakarta tahun 2007, bocorlah surat ijin prinsip
yang dulu disembunyikan pemerintah, beberlah
isi surat yang merekomendasi penyelesaian hak
tanah masyarakat. Surat Ijin Prinsip Badan
Inventarisasi dan Tata Guna Hutan Jakarta No.
393/VII-4/1987 tanggal 11 Juli 1987, tertera
keterangan lokasi yang dilepaskan seluas 27.150
Ha terdapat lokasi masih berhutan 23.00 Ha,
belukar 1.400 Ha, perladangan 2.100 Ha, dan
pemukiman penduduk 50 Ha.
Hasil pemetaan lokasi BPN Pusat menetapkan
lahan
seluas 3.500 Ha dalam kawasan HGU adalah
milik Suku Anak Dalam. PT. Asiatic Persada
yang kurang percaya mengundang Daemeter
Consulting Bogor untuk mengukur luas lahan
yang dimaksud, Hasilnya: sesuai dengan
pemetaan warga, seluas 3.614 Ha, lebih sedikit
dari pengukuran BPN. Rincian lahan 3.614 Ha
adalah lokasi Dusun Tanah Menang seluas 1.295
Ha, Dusun Pinang Tinggi seluas 1.075 Ha dan
Dusun Padang Salak seluas 1.244 Ha.
Suku Anak Dalam Batin Bahar yang pernah
menempati bekas tiga dusun berjumlah (±) 1.359
KK, tinggal 3 persen yang bertahan dilokasi,
sedang sekitar 25 persen menempati hutan
perusahan Asialog dan hutan Tahura Senami,
kemudian sekitar 7 persen tinggal di tepi Sungai
Ladang Peris di areal perkebunan PT.PN VI,
dan sekitar 65 persen numpang tinggal di daerah
Transmigrasi sekitar Sungai Bahar. Mereka
membentuk alat perjuangan yang disebut
Kelompok 113.
Hampir semua tahap perjuangan sudah
dilakukan Kelompok 113, baik melalui
diplomasi, aksi politik, dan perjuangan fisik.
Sudah lebih dari 12 kali pertemuan resmi
dilakukan dengan Pemerintah. Tetapi, walhasil
rakyat di “pimpong” Pemda dan Pusat.
Orang-orang perusahaan akan “mati kutu” kalau
sudah bersilat kata dengan orang Suku Anak
Dalam yang tidak mengerti Undang-
undang. Semendo asal Nginggil,
Kradenan, Blora, Jawa Tengah,
Supardi (57 tahun), yang beristri
perempuan Suku Anak Dalam, sering
mendapat tekanan untuk pergi dari
areal perkebunan oleh orang
perusahaan.
Perusahaan punya izin HGU dan saya
juga punya KTP izin tinggal. Tapi
tanah ini milik PT. Asiatic Persada?
lagu Indonesia Raya belum berubah,
masih Indonesia Tanah Airku bukan
tanah PT. Asiatic Persada. Dituduh
mencuri dikebun sawit? Tidak ada
pencuri tinggal sampai beranak-cucu
dibawah pohon sawit. Bapak ingin gaji
atau upah lelah dari plasma, rayu
orang perusahaan? Saya bukan PNS
dan kalau lelah saya cukup minta pijat
sama Istri. Ganti rugi? Saya sudah senang, tidak
merugi,” katanya.
Supardi, yang tiba di Jambi tahun 1969 dengan
menggunakan kapal Tagari, memiliki cara jawab
sama dengan Suku Anak Dalam. “Di Jawa
disebut gerakan Samin atau Sampun
Manunggal/sudah menyatu,” katanya sambil
bernyayi; Jes-ejes sepur duren dadi
jenang,—kaum tani makmur, Marhaen pasti
menang. ***
***
Kabar Rakyat
Ketua SAD 113, Abas Subuk, (Kiri), dan Ketua Adat SAD 113, Kutar Johar (duduk), saat menandatangani Pernyataan Pengukuran Tanah
Gotong Royong, Edisi IV Minggu 1 - 2 September 2013
16
Judul Hanya Sepetak Tanah Ini Tumpah Darah Kami
Andreas IswinartoKarya
Gotong Royong, Edisi IV Minggu 1 - 2 September 2013