Gotong Royong Edisi IV

16
T ahun 1847, seorang filusuf Prancis, Pierre-Joseph Proudhon, dengan mengacu pada teori nilai David Ricardo, mengemukakan dalilnya; bahwa kerja produksi merupakan sumber segala kekayaan manusia. Kerja, demikian Proudhon, mencipta nilai baru pada barang-barang, yang bila ditukar akan berdampak pada harganya. Dalil ini benar. Contoh, perubahan potongan besi, karet, alumunium, dan bahan-bahan lainnya menjadi sepeda motor atau mobil oleh kerja manusia tentu menghasilkan nilai atau harga yang lebih tinggi dibanding kumpulan bahan-bahannya tadi. Tapi kemudian muncul seorang filusuf lainnya, Karl Marx, dengan kritik atas Proudhon. Bagi Marx, kerja atau produksi berdialektika dengan sumber awal dari segala kekayaan atau kemakmuran, yakni tanah. Dari tanah itulah, dalam pengertian yang seluas- luasnya, manusia mengambil sumber-sumber bahan baku untuk diolah. Baik itu hasil pertanian, hasil perkebunan, hasil pertambangan, kelautan, dan lain-lain. Ketika tanah dikuasai oleh segelintir orang, maka kekayaanpun jatuh ke tangan segelintir orang itu, dan sisa orang kebanyakan dilempar menjadi buruh upahan. Tidak heran, bila tanah benar-benar menjadi dasar dalam pengertian harfiah maupun kiasannya. Soal penguasaan atas tanah ini menjadi penyebab konflik yang tak berkesudahan. Saking pentingnya tanah dalam kehidupan manusia, pepatah Jawa pun menyebutkan “sak dhumuk bathuk, sak nyari bumi bhumi", yang kurang lebih berarti; demi satu jengkal tanah pun akan dipertahankan dengan jiwa-raga. Namun perkembangan kapitalisme telah memaksa orang untuk mencari kebutuhan lain yang seolah lebih penting dari apapun, yakni: UANG. Di banyak tempat tanah tidak lagi dipertahankan dengan jiwa-raga seperti kata Foto: Petaniindonesiaku.blogspot.com Arti Penting Tanah Bagi Rakyat GOTONG ROYONG September, Minggu 1 - 2 2013 Posisi | Arti Penting Tanah Bagi Rakyat Arah | Tanah, Neokolonialisme, dan Reforma Agraria Inspirasi | Wawancara Jean Ziegler Bagaimana Hukum Venezuela Menjamin Tanah Untuk Kaum Tani Kabar Rakyat | Sebuah Cerita Dari Suku Anak Dalam www.prd.or.id partairakyatdemokratik @prd_indonesia Posisi Menemukan Kembali Jalannya Revolusi Kita Gotong Royong, Edisi IV Minggu 1 - 2 September 2013 1

description

Buletin Dwi Mingguan, diterbitkan oleh Komite Pimpinan Pusat Partai Rakyat Demokratik (KPP PRD)

Transcript of Gotong Royong Edisi IV

Page 1: Gotong Royong Edisi IV

Tahun 1847, seorang filusuf Prancis,

Pierre-Joseph Proudhon, dengan

mengacu pada teori nilai David Ricardo,

mengemukakan dalilnya; bahwa kerja produksi

merupakan sumber segala kekayaan manusia.

Kerja, demikian Proudhon, mencipta nilai baru

pada barang-barang, yang bila ditukar akan

berdampak pada harganya. Dalil ini benar.

Contoh, perubahan potongan besi, karet,

alumunium, dan bahan-bahan lainnya menjadi

sepeda motor atau mobil oleh kerja manusia

tentu menghasilkan nilai atau harga yang lebih

tinggi dibanding kumpulan bahan-bahannya

tadi.

Tapi kemudian muncul seorang filusuf

lainnya, Karl Marx, dengan kritik atas

Proudhon. Bagi Marx, kerja atau produksi

berdialektika dengan sumber awal dari segala

kekayaan atau kemakmuran, yakni tanah. Dari

tanah itulah, dalam pengertian yang seluas-

luasnya, manusia mengambil sumber-sumber

bahan baku untuk diolah. Baik itu hasil

pertanian, hasil perkebunan, hasil

pertambangan, kelautan, dan lain-lain. Ketika

tanah dikuasai oleh segelintir orang, maka

kekayaanpun jatuh ke tangan segelintir orang

itu, dan sisa orang kebanyakan dilempar

menjadi buruh upahan.

Tidak heran,

bila tanah benar-benar menjadi dasar dalam

pengertian harfiah maupun kiasannya. Soal

penguasaan atas tanah ini menjadi penyebab

konflik yang tak berkesudahan. Saking

pentingnya tanah dalam kehidupan manusia,

pepatah Jawa pun menyebutkan “sak dhumuk

bathuk, sak nyari bumi bhumi", yang kurang

lebih berarti; demi satu jengkal tanah pun akan

dipertahankan dengan jiwa-raga.

Namun perkembangan kapitalisme telah

memaksa orang untuk mencari kebutuhan lain

yang seolah lebih penting dari apapun, yakni:

UANG. Di banyak tempat tanah tidak lagi

dipertahankan dengan jiwa-raga seperti kata

Menemukan Kembali Jalannya Revolusi Kita

Foto: Petaniindonesiaku.blogspot.com

Arti Penting Tanah Bagi Rakyat

GOTONG ROYONGSeptember, Minggu 1 - 2 2013

Posisi | Arti Penting Tanah Bagi Rakyat

Arah | Tanah, Neokolonialisme, dan Reforma Agraria

Inspirasi | Wawancara Jean Ziegler

Bagaimana Hukum Venezuela Menjamin Tanah Untuk Kaum Tani

Kabar Rakyat | Sebuah Cerita Dari Suku Anak Dalam

www.prd.or.idpartairakyatdemokratik@prd_indonesia

Posisi

Menemukan Kembali Jalannya Revolusi Kita

Gotong Royong, Edisi IV Minggu 1 - 2 September 2013

1

Page 2: Gotong Royong Edisi IV

pepatah di atas. Ada yang terpaksa menjual

tanah karena terdesak kebutuhan uang. Tapi ada

juga orang yang menjual atau menyewakan

tanah hanya karena ia diberi kuasa untuk itu

(menjual atau menyewakan).

Untuk kejadian yang disebutkan terakhir,

umumnya dilakukan oleh pejabat pemerintahan

atau instansi terkait, dan kejadiannya dalam

skala yang sangat besar. Banyak contoh yang

bisa disebutkan mulai dari Aceh sampai Papua.

Sudah pasti, penjualan atau penyewaan yang

sewenang-wenang oleh pejabat

negara/pemerintahan ini membawa malapetaka

bagi rakyat banyak.

Mengacu sumber Berdikari Online, saat ini

perusahaan sawit telah menguasai 8 juta hektar

tanah di Indonesia. Sementara perusahaan-

perusahaan pertambangan, yang jumlahnya

tidak sampai 2.000 buah, telah menguasai 35%

daratan kita. Belum perusahaan kehutanan yang

menguasai jutaan hektar lainnya.

Ironisnya, di sisi yang lain, kondisi pertanian

kita semakin terpuruk. Semakin banyak saja

bahan pangan yang harus diimpor, mulai dari

bawang, cabe, kentang, bahkan sampai singkong

dan lele! Tentu ada persoalan yang kelihatannya

berbeda dari persoalan tanah, yakni terbatasnya

sarana produksi. Tapi bila ditelusuri, maka bisa

ditemukan bahwa dua kejadian ini (tanah dan

sarana produksi) bukan ketidaksengajaan.

Logika kapitalisme masa kini mengarahkan

rakyat dunia ketiga untuk semata menjadi

konsumen, bukan produsen. Sederhananya: jual

tanah untuk beli beras. Bilapun menjadi

produsen maka sekedar kuli yang dikendalikan

perusahaan-perusahaan mereka.

Gotong Royong edisi kali ini mengulas

masalah-masalah terkait tanah dan pertanian. Di

sini terdapat tulisan Kawan Agus Pranata

tentang sejarah persoalan agraria sejak sebelum

zaman kolonial hingga masa neo-kolonial

sekarang. Kemudian kami mengambil

wawancara Peter Wolter dengan Jean Ziegler,

mantan utusan khusus Perserikatan Bangsa-

Bangsa (PBB) untuk masalah hak atas pangan.

Selanjutnya tulisan Kawan Ulfa Ilyas tentang

pengalaman reformasi agraria di Venezuela.

Sebagai penutup kami hadirkan sekelumit cerita

tentang Suku Anak Dalam dan perjuangannya

yang kembali dicatatkan oleh Kawan Agus

Pranata.

Keseluruhan materi ini mengingatkan kita

akan pentingnya perebutan kembali kedaulatan

nasional yang telah dirampok oleh kapital asing

bersama kompradornya. Dasar pemikiran dari

aksi perebutan kembali ini jelas, yakni cita-cita

Proklamasi 17 Agustus 1945. Di dalam cita-cita

itu, para pendahulu telah memberi pengertian

yang sangat baik tentang hakekat tanah sebagai

sumber kekayaan kolektif bangsa yang tidak

segampang sekarang diberikan kepada pemodal

sebagaimana yang diatur Pasal 33 UUD 1945.

Gotong RoyongMenemukan Kembali Jalannya Revolusi Kita

Diterbitkan Oleh Komite Pimpinan Pusat Partai Rakyat Demokratik(KPP PRD)

Jl. Tebet Dalam II G No. 1 Jakarta Selatan 12810Telepon/Fax: +(6221)8354513

Email: [email protected]

Dewan Redaksi: Agus Jabo Priyono, Dominggus Oktavianus, Rudi Hartono, AJ Susmana,

Binbin Firman Tresnadi, Yudi Budi Wibowo, Agus Pranata

Posisi

Gotong Royong, Edisi IV Minggu 1 - 2 September 2013

2

Page 3: Gotong Royong Edisi IV

Kata-kata Agraria (berasal dari bahasa Latin:

agre) yang berarti tanah, inilah

yang hendak kita telisik karena

menyangkut jalan utama

penyelamatan penghidupan

rakyat Indonesia dan kedaulatan

nasional.

Penelisikan soal tanah ini

penting sekali bagi negara agraris

seperti Indonesia, yang sekitar

70% susunan (corak ekonomi)

penghidupan rakyatnya

bergantung pada tanah.

Pada mulanya kepemilikan

tanah di Indonesia bersifat

kolektif. Pemilikan tanah oleh

masyarakat awal ini yang kemudian disebut

sebagai tanah komunal.

Di desa, tanah dimiliki secara komunal.

Kegiatan produksi (pertanian) dikerjakan secara

gotong-royong. Bung Hatta menyebutkan corak

kolektif masyarakat desa asli di Indonesia

tersebut merupakan ciri dari: Sosialisme

Indonesia.

Tanah kepunyaan masyarakat dan bukan

kepunyaan orang-seorang. Kepemilikan pribadi

atas tanah selalu dibatasi oleh hak

ulayat/bersama. Karena sifat tanah yang

berfungsi sosial tadi maka tanah tidak

diperbolehkan untuk dikomoditikan.

Di abad ke 14 muncul sistem kepemilikan

“tanah raja”, khususnya di Jawa, kaum priyayi

diberikan tanah lungguh (apnage). Tanah

lungguh diberikan bukan menurut luasnya,

melainkan menurut jumlah penduduknya

(cacah). Karena itu, kemakmuran priyayi

ditentukan bukan berdasarkan luas tanahnya,

melainkan jumlah pekerjanya: ini merupakan

tiang feodalisme.

Sampai tahun 1868, W.B. Bergsma, membuat

catatan: Eindresume (resume terakhir) tentang

penguasaan tanah dikalangan pribumi terbagi

tiga: milik perorangan, milik komunal

(gemeenbezit), dan tanah bengkok untuk

pamong desa (ambtsvelden).

Sistem kepemilikan tanah kolektif di desa dan

tanah lungguh berakhir dimasa Cultuurstelsel

(tanam paksa) Van Den Bosh

(1830-1870). Kepemilikan tanah komunal

diganti kepemilikan pribadi, yang tujuannya

mengencangkan ekspolitasi pajak contingenten

(hasil bumi) dan leverantien (penyerahan hasil

bumi) yang lebih besar.

Ciri struktur kepemilikan tanah yang terpakai

sekarang ini berupa tanah “hak milik privat”

dan “tanah negara” adalah bagian dari masalalu

politik kolonial.

Perampasan tanah dan Neokolonialisme

Selain monopoli dagang, sejarah kolonialisme

ditandai juga dengan “perampasan tanah” oleh

Tanah,

Neokolonialisme,

dan Reforma Agraria

Struktur Kepemilikan tanah

di Indonesia

Arah

Oleh: Agus Pranata *

Gotong Royong, Edisi IV Minggu 1 - 2 September 2013

3

Page 4: Gotong Royong Edisi IV

Pemerintah Hindia Belanda. Ini dimulai dari

masa Thomas Stamford Raffles (1811-1816)

sampai dengan priode liberalisasi politik tahun

1870.

“Kapitalisasi Belanda” tumbuh bukan dari

investasi. Sebelum datangnya modal

swasta/asing, tanah menjadi sumber kapital dan

tenaga produktif. Dari hasil tanah yang

dikerjakan tenaga

pribumi sendiri

membuat surplus

ekonomi Belanda.

Menurut

Burger, sejak

tahun 1832-1867,

surplus

keuntungan dari

tanam paksa di

Jawa sebesar 823

juta Gulden.

Keuntungan tersebut mampu melunasi hutang-

hutang VOC, dan merombak ekonomi Belanda

dari “pedagang warung” menjadi negara

industri.

Paska modal swasta Belanda, gelombang

investasi bukan makin surut malah semakin

berlipat ganda setelah dimulai “politik pintu

terbuka” (opendeur-

politiek) tahun 1909.

Modal Inggris, Amerika,

Belgia, Prancis, dan

Jepang turut serta,

sehingga penguasaan

tanah semakin

terkonsentrasi pada

perusahaan perkebunan

asing.

Politik agraria ala

kolonial dijalankan

dengan UU Agraria

(Agrarische Wet)

tahun 1870. Pemerintah Belanda

mengadakan penyewaan tanah (erfpacht) untuk

jangka waktu yang panjang, dan pemberian hak

kepemilikan pada pihak asing (eigendom).

Dalam Agrarische Wet, sistem penguasaan

tanah yang tadinya milik bersama di desa,

dihapus dan dirubah kedalam kepemilikan

individu. Penghapusan kepemilikan tanah

kolektif tersebut untuk memudahkan

kapitalisasi atas tanah tersebut.

Kesempatan rakyat untuk memperoleh hak

garap tanah tertutup. Untuk menggarap hutan

(termasuk di tanah adat), setiap orang mesti

meminta ijin Asisten Residen Belanda[?].

Namun seperti tanah bekas perkebunan

(partikelir) jatuhnya kembali ke tangan Belanda.

Pemerintahan kolonial Belanda memang

runtuh di Indonesia, tetapi

sistemnya dihidupkan lagi ketika

rezim Orde Baru berkuasa. Dalam

prakteknya, ekonomi dan politik

didikte negera-negara maju

(Imperialis). Situasi inilah yang

kita sebut Neokolonialisme.

Selain membuka kran modal

asing, tata-kelola agraria ala

kolinalis (Agrarische Wet) hidup

lagi: tanah yang tak dapat

dibuktikan pemilikannya menjadi

milik negara (domein verklaring). Azas ini

disusupkan didalam UU No. 5 Tahun 1967

tentang Kehutanan.

Azas domein verklaring menghidupkan lagi

istilah “tanah negara”. Negara bukan lagi badan

yang dititipkan kuasa oleh rakyat untuk

mengat ur fungsi tanah,

namun jadi pemaksa

absolut dibawah

kendali

pemerintahan

militeristik.

Reformasi pun

dikendarai lembaga-

lembaga imperialis:

Bank Dunia, IMF,

WTO, dll, yang

memaksa Indonesia

menjalankan resep

liberalisasi ekonomi:

perdagangan bebas,

privatisasi, swastanisasi, dan deregulasi yang

melahirkan produk undang-undang pro-modal

asing.

Dengan lahirnya produk UU Nomor 41/1999

tentang Kehutanan, UU Nomor 18/2004 tentang

Perkebunan, UU Nomor 7/2004 tentang

Privatisasi Air, UU Nomor 2/2012 tentang

Pengadaan Tanah, dll, makin memperdalam

Foto: Citra Satelit Indonesia

Foto: Antara foto

Arah

Gotong Royong, Edisi IV Minggu 1 - 2 September 2013

4

Page 5: Gotong Royong Edisi IV

praktek Neokolonialisme.

Tanah yang tadinya berfungsi sosial diganti

menjadi alat komoditi (perdagangan) yang

membuka akses monopoli tanah oleh pemodal.

Hutan yang mencapai 70 persen dari daratan

Indonesia habis diprivatisasi.

Privatisasi hutan untuk kebutuhan kor

porasi sudah mencapai 49 juta Hektar: 25

juta Hektar IUPHHK Hutan Alam, 9,3 juta

Hektar untuk HTI, dan 15 juta Hektar

untuk HGU. Hutan murni tinggal 40 juta

Hektar dari total 95 juta Hektar hutan

yang tersisa. Yang dinikmati rakyat hanya

248 Ha atau setara 0,20 persen dari

kawasan hutan.

Neokolonialisme menghancurkan

masadepan dan kelangsungan hidup yang

ditandai dengan:

Pertama, penyusutan lahan pertanian.

Konversi-konversi lahan menyebabkan

berkurangnya lahan pertanian sebanyak

13% atau setara 80 ribu Hektar per tahun.

Tahun 2009 luas lahan pertanian

mencapai 19,853 juta Hektar, namun yang

tersisa di tahun 2010 tinggal 19,814 juta Hektar.

Kedua, hancurnya tenaga produktif

pertanian. Sejak Orde Baru mencanangkan

Revolusi Hijau (Pertanian), sektor pertanian

justru tidak berkembang secara modern. Sistem

pertanian masih tradisionil (non-teknologi),

sehingga hanya memproduksi komoditi mentah.

Sekalipun hasil pertanian berorietasi ekspor,

penghidupan petani bukan tambah baik. Badan

Pusat Statistik (BPS) di tahun 2006

menyebutkan dari 39 juta rakyat miskin di

Indonesia, 58% disumbangkan sector pertanian

yang merupakan petani pemilik lahan kecil.

Malahan sebanyak 2 juta petani telah beralih

profesi sebagai “tukang ojek”.

Ketiga, munculnya konflik agraria.

Penyediaan “ruang investasi” oleh negara untuk

kepentingan para pemodal dalam prakteknya

melahirkan konflik agraria: perampasan tanah,

penggusuran, pembakaran pemukiman,

pembunuhan, pemenjaraan, dan segala praktek

barbarisme lainnya yang mengorbakan rakyat.

Dari Ordebaru sampai sekarang ini, sudah

tercatat 8.000 konflik agraria di Indonesia.

Selama 8 tahun Pemerintahan SBY berkuasa,

tidak kurang dari 618 konflik agraria yang

meletus: sebanyak 941 orang dipenjarakan, 459

luka-luka terkena peluru aparat, serta 44 orang

tewas.

Ketidakadilan agraria yang memantik konflik

agraria di berbagai daerah di Indonesia: dari

Sabang sampai Marauke, mengancam

kedaulatan nasional dan bahkan disintegrasi.

Reforma Agraria sebagai basis pembangunan

Perjuangan untuk mencapai “keadilan

agraria” diabad-abad lalu melahirkan gerakan:

Land Reform. Land Reform bertujuan mulia:

penataan ulang struktur pemilikan, penguasaan,

dn pemanfaatan tanah sebagai basis penciptaan

masyarakat adil dan makmur.

Land Reform berfungsi redistributif

(pembagian ulang) dan kolektivitas (bersama)

tanah. Gunawan Wiradi, dalam bukunya

Reforma Agraria (2005), menjelaskan bahwa

Land Reform plus program infrastruktur, inilah

yang diberi nama: Reforma Agraria. Pendeknya,

Reforma Agraria tidak dapat dilaksanakan tanpa

adanya Land Reform.

Dimasa revolusi nasional (1945-1965),

pembaharuan agraria dilakukan melalui Land

Reform, yang bermaksud merombak secara

radikal struktur kepemilikan tanah-tanah

kolonial dan mengakhiri penghisapan feodal

(tuan tanah). Bagi Bung Karno, revolusi

Indonesia tanpa Land Reform adalah sama saja

omong besar tanpa isi.

Dekolonisasi tersebut dijalankan melalui

pelaksanaan UU Pokok Agraria No 5 tahun

Arah

Gotong Royong, Edisi IV Minggu 1 - 2 September 2013

5

Page 6: Gotong Royong Edisi IV

1960. UUPA 1960 dimaksudkan untuk

menghapus tanah-tanah asing dan konsesi tanah

kolonial, redistribusi tanah untuk petani

penggarap, membatasi dan merubah struktur

kepemilikan tanah, dll, yang tujuan akhirnya:

Masyarakat Sosialis Indonesia.

Pada tahun 2007 lalu, Presiden SBY berbicara

tentang Reforma Agraria. Ia menjanjikan

pembagian tanah 8 juta Hektar untuk rakyat.

Sebagian pihak meragukan niat baik tersebut

dan menyebutnya reforma agraria gadungan.

Disebut reforma agraria gadungan karena

basis pembangunannya memelas pada investor

yang tidak mendorong pada kedaulatan dan

kemandirian nasional. Berbeda dengan

Soekarno, kapital nasional dihasilkan oleh

tenaga produktif sendiri dan dari program

pembaharuan agraria.

Selain itu, kebijakan Percepatan dan

Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

(MP3EI) ala Pemerintahan SBY-Budiono, hanya

merupakan praktek “kolonisasi tanah”, yaitu

penyediaan tata-ruang yang lebih besar buat

kepentingan pemodal asing/swasta.

Bagi-bagi tanah ala SBY-Budiono tidak jauh

berbeda dengan kelicikan Van Den Bosh, demi

tujuan kapitalisasi tanah yang jatuhnya bukan

ditangan rakyat, tapi pada perusahaan

perkebunan, proverti, dan sebagainya.

Jika dimasa Soekarno, perusahaan-perusahaan

asing menjadi sasaran, tanah-tanah absente dan

tanah milik tuan tanah tidak luput dari

penyitaan. Maka sekarang ini, tanah-tanah

terlantar, tanah non-produktif, yang dijanjikan-

janjikan untuk dibagikan.

Pembaharuan agraria ala SBY-Budiono tidak

menjanjikan

adanya

perombakan

struktur

kepemilikan

tanah di

Indonesia

yang sangat

timpang,

sebaliknya

menguatkan

ketimpangan

dan monopoli

tanah oleh

perusahaan-perusahaan kapital asing.

Tidak cukup hanya sebatas distribusi tanah,

struktur kepemilikan dan akses tanah untuk

rakyat yang diperbesar, tenaga-tenaga pertanian

dimodernisasi, dan dibangunkan pasar internal

buat menjamin hasil pertanian. Reforma Agraria

harus menjadi alat melikuidasi neokolonialisme.

Pun bangunan perekonomian negara mesti

disusun dengan cara kekeluargaan, didalam

setiap badan ekonomi swasta dan negara tampuk

kedudukan rakyat mestilah ada dan besar,

negara sendiri hanya sebagai alat regulator

untuk mengatur cabang produksi yang strategis,

sedangkan ketergantungan kepada kapital asing

sudah harus dilenyapkan. Ini sarat bagi

kedaulatan ekonomi nasional sesuai konstitusi:

Pasal 33 UUD 1945.

Perjuangan Reforma Agraria butuh

keberanian politik dari pemerintah, tapi

dukungan rakyat banyaklah yang menetukan.

Cita-cita bersama ini hanya bisa dicapai dengan

Persatuan Nasional. Terlebih lagi bagi kaum

buruh, seperti kata-kata Karl Marx:

“Pemilikan atas tanah sumber awal dari

semua kekayaan telah menjadi masalah besar

yang pemecahannya menentukan hari depan

klas pekerja”. Karl Marx, (Penghapusan Hak

Milik Tanah; Memorandum untuk Robert

Applegarth, 3 Desember 1869). ****

*Deputi Pendidikan dan Kaderisasi KPP PRD

Foto: Kompas.com

Arah

Gotong Royong, Edisi IV Minggu 1 - 2 September 2013

6

Page 7: Gotong Royong Edisi IV

Wawancara jurnalis Jerman, Peter Wolter, dengan Mantan Utusan Khusus PBB untuk masalah Hak-Hak Atas Jaminan Pangan, Jean Ziegler.

---

Peter Wolter (PW): Kita Biarkan Mereka

Kelaparan adalah nama buku baru Anda.

Subjudul: Pemusnaan Massal di Dunia Ketiga.

(Judul asli buku: Destruction Massive, Paris

2011).

Jean Ziegler (JZ): Laporan World Food Report

dari PBB mengemukakan: Setiap lima detik

seorang anak di bawah umur menderita

kelaparan, tiap hari 57.000 orang. Dari tujuh

milyar manusia yang ada di dunia dewasa ini,

sepertujuhnya mengalami kelaparan permanen

sangat berat. Dalam kurun waktu yang sama

laporan mencatat, bahwa perekonomian dunia

menurut tingkat tenaga produktifnya dewasa ini

mampu tanpa problem memberi makan

duabelas milyar manusia. Lain situasinya pada

waktu beberapa abad sebelumnya, sekarang

tidak ada kekurangan lagi. Jadi, masalahnya

terletak bukan pada kemampuan produksi,

tetapi pada pintu masuk untuk mendapatkan

bahan makanan. Dan itu tergantung pada daya

beli. Setiap anak dibunuh akibat kelaparan

selama pembicaraan kita ini.

PW: Siapakah gerangan tuan-tuan pengatur

dunia kanibalisme ini?

JZ: Pertama saya ingin menyebut sepuluh

prosen multi-nasional terbesar, yang

mengontrol 85 prosen bahan makanan yang

mereka perdagangkan di seluruh dunia ini.

Mereka itu setiap hari menentukan, siapa yang

makan dan siapa yang hidup, siapa yang

kelaparan dan mati. Strategi mereka ialah

memaksimalkan keuntungan.

PW: Bisa disebutkan nama-namanya?

JZ: Firma-AS Cargill Incorporated tahun yang

lalu mengontrol 31,8 prosen gandum yang

diperdagangkan di seluruh dunia, Dreyfus

Brothers 31,2 prosen beras. Secara singkat saya

akan mengidentifikasi empat mekanisme

penyebab kelaparan. Pertama-tama adalah

spekulasi pada bursa menyangkut bahan

makanan pokok. Tahun 2007/2008 banditisme

bank internasional pada bursa finans telah

memusnahkan nilai kekayaan sebesar 85.000

milyar dolar. Sejak itu sebagian besar

hedgefonds dan bank-bank raksasa

memindahkan kegiatannya ke bursa bahan

mentah, terutama produk pertanian. Seperti

yang sudah ada sebelumnya juga kegiatan

perdagangan pada sektor ini dilakukan dengan

derivat, (short selling) dan instrumen finans

legal lainnya untuk menjadikan beras, jagung

dan padi-padian lainnya sebagai bahan spekulasi

perdagangan untuk mencapai keuntungan yang

setinggi langit. Jagung misalnya, dibandingkan

dengan harga pada duabelas bulan sebelumnya

di pasaran dunia harganya meningkat 63 prosen

lebih mahal, tiap ton gandum seharga 272 ero

menjadi berlipatganda, sesuai peraturan harga

beras dari Filipina meledak: dari 110 menjadi

1.200 dolar.

PW: Di dunia ketiga hanya segelintir saja yang

dapat membayar . . .

Empat Mekanisme Penyebab Kelaparan Dunia

Inspirasi

Gotong Royong, Edisi IV Minggu 1 - 2 September 2013

7

Page 8: Gotong Royong Edisi IV

8

JZ: Menurut Bank Dunia tiap hari 1,2 milyar

manusia harus hidup kurang dari satu dolar.

Mereka bertempat tinggal di perkampungan-

perkampungan miskin dan kumuh di dunia; di

Manila, Karaci, Kota Meksiko, Sao Paulo, dsb.

Dari jumlah uang yang sejumput itu para ibu

harus memberi makan anak-anak mereka.

Apabila harga bahan makanan meledak, justru

merekalah yang menderita kelaparan.

Mekanisme pembunuhan kedua, adalah makin

bertambahnya penggunaan bahan-bahan bakar

dari hasil-agraria. Di USA saja diproduksi pada

tahun 2011 biomethanol dan biodisel berasal

dari 138 juta ton jagung dan ratusan juta ton

padi-padian. Negeri ini setiap hari memerlukan

minyak yang senilai dengan 20 juta barel (1

barel = 158 liter), sedangkan antara Alaska dan

Texas yang bisa dihasilkan hanya empat.

Duabelas masih harus diimport, dari Irak,

Nigeria, Asia Tengah, Arab Saudi dan negeri-

negeri berbahaya lainnya. Ini berarti, USA harus

mengeluarkan biaya luarbiasa jumlahnya untuk

keperluan militernya, karena itulah Obama

ingin mengganti energi yang berasal dari fosil

dengan energi nabati. Namun demikian untuk

menghasilkannya dibakarlah ratusan juta bahan

makanan di planet yang satu ini, yang setiap

lima detik satu anak dimana saja dia berada

menderita kelaparan dan ini merupakan satu

kejahatan terhadap kemanusiaan.

PW: Dan mekanisme yang ketiga?

JZ: Mekanisme ketiga ialah beban hutang yang

bertumpuk-tumpuk negeri-negeri yang

termiskin. Dari 54 negara di Afrika, 37 adalah

negara-negara agraris yang termasuk

produktivitasnya paling rendah. Mereka tidak

punya uang yang bisa diinvestasikan untuk

membangun pengairan, teknologi pertanian

yang diperlukan atau pupuk. Dari luas tanah di

seluruh Afrika hanya 3,8 prosen yang memiliki

sistem pengairan. Adapun pengairan sisa tanah

lainnya menggantungkan diri dengan sistem

pengairan curahan hujan seperti 5.000 tahun

yang lalu.

Setahun dalam keadaan normal (tanpa perang,

kekeringan atau wabah hama) hasil panenan di

Nigeria/Zona-Sahel rata-rata sekitar 600 sampai

700 kilogram padi-padian tiap hektar.

Sebaliknya di suatu negara bagian Jerman,

Baden-Werttemberg 10.000 kilogram. Petani

Jerman itu bukanlah lebih rajin atau lebih pintar

dibanding koleganya yang di Afrika. Hanya

perbedaannya, dia punya pupuk mineral, bibit

unggul, pengairan, traktor, dsb. Sedangkan

negara mereka juga tidak mampu membantu

para petani Afrika itu karena pemerintahannya

pun hanya punya apa yang dinamakan hutang.

Pada titik pertemuan ini datanglah permainan

yang dilakukan oleh institusi finansiil resmi

seperti Bank Dunia atau Bank Pembangunan

Eropa. Mereka mengatakan pada negara-negara

ini: Turunkan hutang kalian dengan cara

mengalihkan kepemilikan lahan pertanian

kepada hedgefonds dan para investor. Orang

menamakannya “landgrabbing” (perampasan

lahan), dan kegiatan ini pada tahun yang lalu di

Afrika saja terjadi di tanah seluas 41 juta hektar.

Si investor itu mempunyai kapital, teknologi,

alat transportasi dan hubungan perdagangan.

Kemudian mereka menanam di negeri-negeri

ini berbagai buah seperti advokat, buah-buahan

dari subtropik, kopi dsb. dieksport ke Eropa atau

Inspirasi

Gotong Royong, Edisi IV Minggu 1 - 2 September 2013

Page 9: Gotong Royong Edisi IV

9

Amerika Utara. Untuk keperluan rakyat dalam

negeri tidak ada sisanya.

Mekanisme pembunuhan keempat adalah

dumping-agraria. Di setiap pasar di Afrika

sekarang ini orang dapat membeli sayur-mayur

segar, hasil peternakan ayam dan buah-buahan

dari Italia, Perancis dan Jerman dan seiring

dengan musim, harga nilainya bisa sepertiga

atau setengah dari buah sejenis dari hasil-hasil

setempat dalam negeri. Jarak beberapa

kilometer berikut dari tempat pasaran itu kaum

tani Afrika dibawah sengatan terik-panas

matahari membanting tulang bersama-sama

isteri dan anak-anak dan sedikitpun tak ada

kemungkinan mengusahakan keperluan untuk

familinya dan bahkan hanya untuk

kerpentingan yang minimal sekalipun.

Itulah apa yang direkayasa oleh para Komisaris

Uni Eropa di Brussel, hakekatnya adalah tipu

muslihat yang sangat kurangajar: Lewat politik

dumping mereka menciptakan kelaparan di

Afrika, dan apabila mereka yang akhirnya

menjadi pelarian akibat kelaparan itu ingin

menyelamatkan diri ke Eropa, mereka

dilemparkan kembali

ke laut dengan mengerahkan kekuatan militer,

dan ribuan orang tenggelam setiap tahun.

PW: Adakah perkiraan berapa jumlah manusia

yang meninggal menjadi korban politik

ekonomi yang dikembangkan oleh negeri-

negeri kapitalis itu?

JZ: Menurut Statistik-ECOSOC (Economic and

Social Council – Badan PBB yang

bertanggungjawab masalah kegiatan ekonomi

dan sosial __pen.) tahun yang lalu ada 52 juta

manusia menderita korban epidemi akibat air

beracun, kelaparan dan penyakit kekurangan

gizi. Fasisme Jerman memerlukan perang selama

enam tahun untuk membunuh 56 juta manusia-

- sistem ekonomi neo-liberal berhasil

membunuhnya dengan leluasa tidak sampai satu

tahun.

PW: Adakah Anda dapat menggerakkan sesuatu

di PBB?

JZ: Bisa lebih baik seperti yang saya terbitkan.

Buku saya itu disusun tidak hanya berdasarkan

dari statistik, namun juga laporan tentang suatu

pengalaman hidup, saya mempelajari keadaan di

beberapa negeri langsung pada tempatnya.

Sekarang saya bisa dengan tepat mengatakan,

siapa bajingannya --saya dapat juga

menunjukkan, harapan

apa yang masih ada.

Untuk rakyat-rakyat di

selatan (bagian bumi

belahan selatan _ pen.)

Perang Dunia Ketiga

sudah lama dimulai.

Selama kita

membungkam, kita

menjadi komplotan para

pembunuh. Che

Guevara pernah

mengatakan:

“Runtuhnya tembok

tebalpun dimulai juga

dengan keretakan”- dan

retak ini kian tampak!

Semakin menjadi jelas bagi banyak orang,

bahwa sistem dunia kanibal ini dibuat oleh

manusia dan karenanya juga dapat

ditumbangkan oleh manusia sendiri. ****

Inspirasi

Gotong Royong, Edisi IV Minggu 1 - 2 September 2013

Page 10: Gotong Royong Edisi IV

10

Tragedi pembantaian petani di

Mesuji, Lampung, sangat

menyayat perasaan kemanusiaan

kita. Kaum tani, yang notabene

adalah pemilik sah negeri ini, justru

diusir dari tanah dan

pemukimannya atas perintah

perusahaan asing. Lebih ironis lagi,

perintah pengusiran itu dikawal

oleh aparat keamanan resmi negara

ini.

Venezuela, negeri yang terletak di

ujung utara Amerika selatan, sedang

dalam perjuangan mengembalikan

kedaulatan rakyat atas tanah.

Sebelumnya, Venezuela adalah

negara dengan struktur kepemilikan

tanah paling timpang di Amerika

Latin.

Pada tahun 1930-an, sebagian besar tanah

terkonsentrasi di tangan perkebunan besar,

dengan kepemilikan tanah di atas 1000 hektar.

Sebagian besar tanah-tanah itu hanya dimiliki

oleh 4,8% orang (tuan tanah). Sementara petani

menengah dan kecil, yang merupakan mayoritas

dari penduduk, hanya menguasai 0,7% dari

tanah pertanian.

Lalu, pada tahun 1960-an, usai kejatuhan

diktator Marcos Perez Jimenez, seorang sosialis-

demokrat naik ke panggung kekuasaan. Rómulo

Betancourt, nama sosialis-demokrat itu, berjanji

akan menjalankan reformasi agraria di

Venezuela. Ia pun mengesahkan UU reforma

agaria pada tahun 1960-an. UU itu hanya

berjalan singkat. Makin lama, seperti nasib

UUPA tahun 1960, pemerintah justru

mengabaikan UU tersebut.

Tahun 1970-an, Venezuela memasuki periode

booming minyak. Keadaan itu mendorong

pergeseran dari produksi pertanian ke minyak,

dan memicu urbanisasi besar-besaran dalam

sejarah Venezuela. Bahkan, begitu tidak

produktifnya sektor pertanian, banyak pemilik

tanah sedang dan kecil menjual tanah-tanahnya

dan pindah ke kota.

Sementara di desa, situasi ketidakadilan tanah

kian meningkat. Struktur kepemilikan tanah

makin timpang: 5% tuan tanah besar mengusai

75% tanah, sedangkan 75% petani kecil hanya

menguasai 6% tanah.

Tahun 1998, angin perubahan berhembus di

Venezuela: seorang kolonel progressif, Hugo

Chavez, berhasil merebut kekuasaan melalui

pemilu demokratis. Segera setelah menempati

jabatannya di tahun 1999, Chavez langsung

menjadikan “reforma agraria” sebagai agenda

mendesaknya.

Chavez memulainya dengan mendorong

pembuatan konstitusi baru melalui jalur

referendum. Referendum sukses dijalankan pada

bulan Desember 1999. Nah, konstitusi baru

inilah, sering disebut konstitusi Bolivarian, yang

menjamin hak kaum tani atas tanah.

Pasal 307 konstitusi Bolivarian antara lain

menyebutkan: “Dominasi perkebunan besar

adalah bertentangan dengan kepentingan

rakyat.” Ketentuan pasal itu juga menegaskan

Bagaimana Hukum Venezuela

Menjamin “Tanah Untuk Kaum Tani”Oleh: Ulfa Ilyas

Inspirasi

Gotong Royong, Edisi IV Minggu 1 - 2 September 2013

Page 11: Gotong Royong Edisi IV

Pihak oposisi, khususnya tuan tanah, segera

mengorganisir perlawanan terhadap UU baru

dan “Misi Zamora” itu. Tuan tanah

mengorganisir para-militer untuk membunuh

aktivis petani atau serikat petani yang berani

melakukan aksi pendudukan lahan. UU itu juga

memicu upaya kudeta oposisi tahun 2002 dan

sabotase pabrik minyak di tahun 2003.

Karena UU tanah tahun 2001 masih dianggap

kurang radikal, maka pada tahun 2005, UU

tersebut direvisi. Perubahan konstitusi ini hanya

mengubah soal batas kepemilikan lahan: batas

untuk tanah berkualitas tinggi dari 100 ha

menjadi 50 ha, sedangkan untuk tanah

berkualitas rendah dari 5000 ha menjadi 3000

ha.

Proyek reforma agraria kemudian serahkan

kepada sebuah lembaga bernama Institut Tanah

Nasional (INTI). Tugas lembaga ini adalah

menentukan kepemilikan tanah dan

mendistribusikan tanah kepada kaum tani sesuai

ketentuan UU. Lembaga ini juga berkewajiban

melakukan sertifikasi terhadap tanah-tanah

yang berhasil diduduki oleh kaum tani.

Pada tahun 2010, UU tanah kembali mengalami

revisi. Revisi ini bertujuan untuk menaikkan

kemampuan petani tak bertanah untuk

mengakses tanah dan memperkuat kekuasaan

negara untuk mengalihkan fungsi perkebunan

besar untuk fungsi sosial (ketahanan pangan).

Revisi UU tanah tahun 2010 juga menghapus

buruh kontrak di perkebunan karena

bertentangan dengan keadilan, kesetaraan, dan

persamaan sosial.

UU baru ini juga mengharuskan tanah-tanah

yang sudah diduduki oleh rakyat atau disita oleh

negara untuk diserahkan pengelolaannya

kepada dewan-dewan tani, dewan komunal, dan

organisasi kolektif rakyat lainnya. Organisasi-

organisai rakyat itu diberi hak untuk

menjalankan sistim co-management atau self-

management di atas tanah-tanah yang sudah

dikuasai tersebut.

UU ini juga melarang pengusiran atau

penggusuran terhadap petani di atas lahan yang

sudah dimilikinya. Petani yang sudah mengusai

selama beberapa tahun, sepajang bisa

memproduktifkan tanah tersebut, akan

mendapat prioritas untuk diberi pengakuan

kepemilikan secara hukum.

Begitulah, antara lain, cara pemerintah

Venezuela menjamin hak rakyat atas tanah.

Dengan demikian, tanah-tanah di Venezuela

benar-benar dipergunakan untuk kemakmuran

rakyat, bukan untuk kemakmuran perusahaan

swasta.

Kita, bangsa Indonesia, sebetulnya sudah punya

UU tanah yang cukup progressif: UU pokok

agraria tahun 1960. Sayang, UU itu tidak pernah

dijalankan, apalagi menjadi rujukan dalam

kebijakan pertanahan nasional. Sudah saatnya

kita menuntut agar pemerintah menjalankan

UUPA 1960 secara konsisten!

Inspirasi

Gotong Royong, Edisi IV Minggu 1 - 2 September 2013

11

Page 12: Gotong Royong Edisi IV

12

LANGGARTUAN adalah sebutan untuk Surau.

Surau kecil ini dibangun oleh seorang “musafir”

Islam ketika masih jaman belanda. Tetapi tidak

diketahu persis tahun pembangunannya. Konon,

surau ini menjadi tapal batas kearah barat

Sumatera saat pembangunan jalur pipa-pipa

minyak Belanda dari kampong pedalaman di

Pinang Tinggi, Jambi, menuju ke Bayung Lincir,

Musi Banyuasin, Sumatera Selatan.

Sekarang Langgartuan tinggal puing-tiang saja.

26 tahun yang lalu,

tempat itu digusur oleh

sebuah perusahaan

sawit. Kini Langgartuan

berada di depan pos

Satpam PT. Asiatik

Persada di desa Bungku,

Bejubang, Batanghari.

Sekaligus menjadi pintu

masuk menuju

perkampungan Suku

Anak Dalam (SAD).

Di depan pintu masuk

itu, sebuah spanduk

merah bergantung di

antara pepohonan sawit.

Spanduk itu bertuliskan:

“Gerakan Nasional Pasal

33: Bumi, Air, Udara dan

kekayaan alam yang

terkandung di dalamnya untuk kemakmuran

rakyat!”

Untuk menempuh jarak antara kota Bantanghari

ke Langgartuan, kita hanya membutuhkan 2-3

jam perjalanan. Akan tetapi, memasuki kawasan

Suku Anak Dalam, anda akan bertemu dengan

jalan dengan gundukan tanah merah. Jika

musim penghujan, maka ban motor anda akan

lengket di tanah. Sementara di musim panas

anda akan berselimut debu jalanan.

Suku Anak Dalam tidak lagi tersembunyi di

dalam semak belukar, melainkan hidup di

bawah pepohonan sawit. Mereka memungut

berondol (buah kelapa sawit yang jatuh).

Mereka membangun kamp-kamp seluas 2×1

meter. Gubuk tempat tinggal mereka dibuat dari

pelepah sawit.

Setiap pagi, keluarga Suku Anak Dalam

memungut berondol. Sorenya, berondol itu

ditimbang. Lalu, baru seminggu kemudian

mereka menerima uang atas berondol yang

dibeli pengusaha.

Berondol dijual seharga Rp300/kilogram.

“Car pembayarang kurang cocok dengan pola

hidup kami. Kami mencari makan ke sana-

kemari hanya untuk makan sehari,” kata Jasmi,

20 tahun, seorang pemuda Suku Anak Dalam.

Saat malam tiba, orang-orang Suku Anak Dalam

hanya bergantung kepada sinar bulan sebagai

penerang di tengah perkebunan. Kalau

kebetulan bulan purnama, Suku Anak Dalam

Kabar Rakyat

Sebuah Cerita Dari Suku Anak DalamOleh: Agus Pranata

Profil Warga SAD 113 Foto: Mawardi

Gotong Royong, Edisi IV Minggu 1 - 2 September 2013

Page 13: Gotong Royong Edisi IV

13

pun akan mengambil jala dan mencari ikan taua

bikuyu dan labi-labi (penyu) di Sungai.

Gelap sudah biasa bagi masyarakat Suku Anak

Dalam. Menurut Tani, 40 tahun, mereka sangat

beruntung ketika ada warga yang membeli

bensin untuk penerangan listrik. Maklum, di

desa itu warga Suku Anak Dalam membuat

mesin diesel berkekuatan 2500 watt untuk

penerangan. “Kalaupun mesin diesel dinyalakan,

itu hanya dari petang hingga sekitar pukul 9

malam,” katanya.

Ketika perusahaan sawit masuk, mereka

mengusir Suku Anak Dalam keluar hutan.

Karena terusir dari tempat penghidupannya,

maka Suku Anak Dalam pun hanya bertahan

hidup dengan memungut biji sawit. Itupun, kata

orang-orang Suku Anak Dalam, sering diteriaki

maling oleh pengawas perkebunan, lalu dikejar

bak ayam, kemudian diserahkan ke Polisi.

Mereka pun dipenjara.

Tidak salah kemudian, jika ditanya tentang

keadilan, orang Suku Anak Dalam pasti

menjawab kecut. Jas, 38 tahun, seorang tokoh

Suku Anak Dalam, pernah berkata: “Air susu

datangnya dari Tuhan, sedang air tuba

datangnya dari pemerintah.”

Hampir 99% Suku Anak Dalam yang menghuni

areal perkebunan Divisi Kelabai belum

mengenal baca-tulis. Bahkan, masih banyak

yang belum mengerti ukuran timbangan dan

nilai uang. Ketika hendak berbelanja, mereka

meminta bantuan orang lain agar tidak kena

tipu.

Orang Suku Anak Dalam, yang masih

memegang teguh filosofi hidup leluhur, belum

mengerti betul apa itu menipu dan curang.

Mereka belum tahu untung dan rugi.

Karenanya, mereka pun sering diperdaya orang

luar. Orang luar sering memberi mereka

tembakau, garam, dan ikang kering, lalu orang

Suku Anak Dalam membalas

pemberian itu dengan

menyerahkan sebidang tanah.

Akhirnya, karena sering ditipu

oleh orang luar, tanah milik orang

Suku Anak Dalam pun banyak yang

habis.

***

Meski hidup tertutup di pedalaman,

suku-suku primitif tidak hidup

“barbar” layaknya suku-suku

primitif di Eropa. Dari pengaruh

kepercayaan Animisme, Hindu dan

Islam, Suku Anak Dalam di Jambi

melahirkan budaya bahasa, moral,

anti-kekerasan dan terbuka. Orang

luar yang menjadi anggota

keluarganya dipanggil Semendo.

Sudirman, 45 tahun, seorang

Semendo asal Palembang, menjabat Ketua RT 8

Desa Bungku, membawa saya melihat-lihat

bekas kampong di perkebunan Devisi Kelabai

PT. Asiatik Persada. “Tiga tempat kuburan bukti

bahwa dulu ada kampung besar disini,”

ungkapnya.

Kepolosan hati orang Suku Anak Dalam

diperalat pemerintah Orde baru. Badan

Pertanahan Nasional (BPN) Batanghari, yang

menerbitkan Hak Guna Usaha (HGU) No 1/1986

kepada PT. Bangun Desa Utama (BDU), menjadi

penyebab penggusuran tiga dusun, Tanah

Menang, Pinang Tinggi dan Padang Salak, serta

pengusiran lebih dari 1000 jiwa.

***

Suku Anak Dalam adalah korban kebijakan

Negara. Perampasan tanah disertai dengan

pelanggaran HAM berat. Hal itu

menghancurkan basis kehidupan Suku Anak

Dalam. Pihak perusahaan terus merambah

Gubuk SAD di Tengah Perkebunan Sawit Foto: Kompas image

Kabar Rakyat

Gotong Royong, Edisi IV Minggu 1 - 2 September 2013

Page 14: Gotong Royong Edisi IV

14

hutan, sedangkan Pemerintah menjadi

“penonton”.

Konflik perampasan tanah di tahun 1986 masih

teringat oleh Kutar Johor, seorang Suku Anak

Dalam, yang masih mengingata cara-cara Negara

(juga tentara) dan pihak PT. BDU berprilaku

brutal pada keluarga dan kerabatnya.

“Tanpa salam, tentara masuk ke dalam rumah

dengan sepatu. Keluar, kata mereka. Karena

menolak pergi, ujung senapan menempel di

ubun-ubun kepala. Satu persatu dilempar keluar

rumah. Eskavator kemudian merobohkan

rumah. Saya hanya bisa mengusap-usap dada,

perih rasanya, masih tega pemerintah

merobohkan gubuk. Warga Dusun yang

lain berhamburan lari kehutan seperti burung

dengar suara tembakan. Trauma sampai

sekarang masih ada yang takut bertemu orang

luar,” kata bapak yang aktif memimpin

perjuangan kelompok Batin Bahar.

Dusun tua Tanah Menang, yang dulu dikenal

sangat ramai, kini tinggal nama. Hanya 10 KK

yang berani bertahan sejak peristiwa waktu itu,

sedangkan sisanya hijrah ke desa-desa lain.

Mawardi, 30 tahun, Pimpinan Partai Rakyat

Demokratik (PRD) Jambi yang terlibat

membantu perjuangan, menceritakan bahwa ada

upaya menyingkiran Suku Anak Dalam yang

merupakan skenario Pemerintah dan

Perusahaan.

Menurut Mawardi, seraya membuka peta, ada

tiga skenario penghancuran kepemilikan Suku

Anak Dalam Batin Bahar: pertama, pengusiran

rakyat dan penghancuran fisik rumah-rumah,

pemakaman, ladang, kebun, tanaman hutan dan

sungai; kedua, pengalihan kepemilikan izin

HGU yang pendek dari satu perusahaan ke

perusahaan lain untuk mengindari tanggung

jawab masa lalu; ketiga, dilakukan perubahan

nama-nama dusun, kampung atau desa untuk

memotong ingatan rakyat pada peristiwa di

masa lalu.

Awalnya, Menteri Kehutanan

memberi pelepasan kawasan hutan

seluas 27.252 hektar dari 40.000

hektar lahan pencadangan Gubernur

Jambi. Dari luas tersebut seluas

20.000 Ha menjadi HGU milik PT.

BDU yang sekarang berganti nama

menjadi PT. Asiatic Persada dengan

saham mayoritas milik Willmar

Group Malaysia. Sedangkan sisanya

7.150 Ha jatuh ketangan PT. Maju

Perkasa Sawit (MPS) dan PT.

Jammer Tulen, yang keduanya anak

perusahaan Willmar Group.

Untuk mengamankan jalur pipa-

pipa minyak, pihak Belanda pernah

membuat surat keterangan wilayah

dusun semasa Depati Kelek

menjabat di Dusun Pinang Tinggi,

dan di dalam isi surat memuat

keterangan mengenai keberadaan

Dusun Padang Salak dan Pinang Tinggi lengkap

dengan batas-batas dusun yang dibuat atas nama

Kantor Pemerintah Kolonial Belanda De

Controleur Van Moeara Tembesi tertanggal 20

November 1940.

Ditemukan pula surat bukti Residentie

Palembang No. 211 dan No. 233, dalam bahasa

Arab dan Belanda, dibuat oleh De Assistent

Residentie Van Banjoeasin en Koeboestreken, di

Talang Betoetoe, 4 september 1930. Juga Kepala

Pasirah Marga Batin V Muara Tembesi, Ibrahim

Tarab, pernah mengeluarkan Surat Keterangan

Sembilan Batin yang tertanggal 4 Maret 1978. Isi

surat menyebutkan keberadaan Suku Anak

Warga SAD 113 Geruduk Kantor Gubernur Jambi Foto: Mawardi

Kabar Rakyat

Gotong Royong, Edisi IV Minggu 1 - 2 September 2013

Page 15: Gotong Royong Edisi IV

15

Dalam di Hutan Jebak, Jangga, Cerobong Besi,

Padang Salak, Bahar, Pinang Tinggi sampai ke

Burung Antu Pemusiran. Dan beberapa surat-

surat berlogo Garuda tentang keterangan hak

milik yang masih tulis tangan, yang dibuat oleh

Kepala Kampung pada tahun 1977.

Dari hasil perjuangan Suku Anak Dalam di

Jakarta tahun 2007, bocorlah surat ijin prinsip

yang dulu disembunyikan pemerintah, beberlah

isi surat yang merekomendasi penyelesaian hak

tanah masyarakat. Surat Ijin Prinsip Badan

Inventarisasi dan Tata Guna Hutan Jakarta No.

393/VII-4/1987 tanggal 11 Juli 1987, tertera

keterangan lokasi yang dilepaskan seluas 27.150

Ha terdapat lokasi masih berhutan 23.00 Ha,

belukar 1.400 Ha, perladangan 2.100 Ha, dan

pemukiman penduduk 50 Ha.

Hasil pemetaan lokasi BPN Pusat menetapkan

lahan

seluas 3.500 Ha dalam kawasan HGU adalah

milik Suku Anak Dalam. PT. Asiatic Persada

yang kurang percaya mengundang Daemeter

Consulting Bogor untuk mengukur luas lahan

yang dimaksud, Hasilnya: sesuai dengan

pemetaan warga, seluas 3.614 Ha, lebih sedikit

dari pengukuran BPN. Rincian lahan 3.614 Ha

adalah lokasi Dusun Tanah Menang seluas 1.295

Ha, Dusun Pinang Tinggi seluas 1.075 Ha dan

Dusun Padang Salak seluas 1.244 Ha.

Suku Anak Dalam Batin Bahar yang pernah

menempati bekas tiga dusun berjumlah (±) 1.359

KK, tinggal 3 persen yang bertahan dilokasi,

sedang sekitar 25 persen menempati hutan

perusahan Asialog dan hutan Tahura Senami,

kemudian sekitar 7 persen tinggal di tepi Sungai

Ladang Peris di areal perkebunan PT.PN VI,

dan sekitar 65 persen numpang tinggal di daerah

Transmigrasi sekitar Sungai Bahar. Mereka

membentuk alat perjuangan yang disebut

Kelompok 113.

Hampir semua tahap perjuangan sudah

dilakukan Kelompok 113, baik melalui

diplomasi, aksi politik, dan perjuangan fisik.

Sudah lebih dari 12 kali pertemuan resmi

dilakukan dengan Pemerintah. Tetapi, walhasil

rakyat di “pimpong” Pemda dan Pusat.

Orang-orang perusahaan akan “mati kutu” kalau

sudah bersilat kata dengan orang Suku Anak

Dalam yang tidak mengerti Undang-

undang. Semendo asal Nginggil,

Kradenan, Blora, Jawa Tengah,

Supardi (57 tahun), yang beristri

perempuan Suku Anak Dalam, sering

mendapat tekanan untuk pergi dari

areal perkebunan oleh orang

perusahaan.

Perusahaan punya izin HGU dan saya

juga punya KTP izin tinggal. Tapi

tanah ini milik PT. Asiatic Persada?

lagu Indonesia Raya belum berubah,

masih Indonesia Tanah Airku bukan

tanah PT. Asiatic Persada. Dituduh

mencuri dikebun sawit? Tidak ada

pencuri tinggal sampai beranak-cucu

dibawah pohon sawit. Bapak ingin gaji

atau upah lelah dari plasma, rayu

orang perusahaan? Saya bukan PNS

dan kalau lelah saya cukup minta pijat

sama Istri. Ganti rugi? Saya sudah senang, tidak

merugi,” katanya.

Supardi, yang tiba di Jambi tahun 1969 dengan

menggunakan kapal Tagari, memiliki cara jawab

sama dengan Suku Anak Dalam. “Di Jawa

disebut gerakan Samin atau Sampun

Manunggal/sudah menyatu,” katanya sambil

bernyayi; Jes-ejes sepur duren dadi

jenang,—kaum tani makmur, Marhaen pasti

menang. ***

***

Kabar Rakyat

Ketua SAD 113, Abas Subuk, (Kiri), dan Ketua Adat SAD 113, Kutar Johar (duduk), saat menandatangani Pernyataan Pengukuran Tanah

Gotong Royong, Edisi IV Minggu 1 - 2 September 2013

Page 16: Gotong Royong Edisi IV

16

Judul Hanya Sepetak Tanah Ini Tumpah Darah Kami

Andreas IswinartoKarya

Gotong Royong, Edisi IV Minggu 1 - 2 September 2013