Good Environmental Governance2

37
ENVIRONMENTAL GOVERNANCE: Filosofi Alternatif Untuk Berdamai Dengan Lingkungan Hidup Purwo SantosoÄ 1 Melalui makalah ini, penulis bermaksud untuk mengajak para pembaca melakukan refleksi secara seksama tentang interaksi kita (ummat manusia) dengan lingkungan hidup. Secara lebih khusus, makalah ini mengajak untuk mencermati bagaimana kerangka fikir dan framework yang telah telah dikembangkan dalam merespon persoalan-persoalan lingkungan hidup. Adapun kerangka yang telah populer dan menjadi mainstream yang membingkai keseharian kita adalah kerangka manajemen (environmental management). Kecakapan ummat manusia untuk mengelola berbagai sumberdaya demi pencapaian tujuannya selama ini telah cukup berkembang, sejalan dengan berkembangnya ilmu manajemen dan profesi manajerial. Teknologi telah menjadi sumberdaya yang banyak diandalkan dalam penyelesaian masalah. Dengan kecakapan manajerial ini kita terbiasa untuk optimis bahwa semua masalah akan teratasi. Makalah ini justru ingin mempersoalkan kerangka yang sudah dianggap tidak bermasalah ini. Pencermatan secara seksama dan mendalam memungkinkan kita menemukan keterbatasan mendasar, yang menjadikan kita mengumbar optimisme yang tidak berpijakan. Memang betul kerangka manajemen 1 Ä Ä Staf pengajar pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, serta Program Pascasarjana Politik Lokal dan Otonomi Daerah, pada Universitas Gadjah Mada Yogykakarta.

description

mkmk

Transcript of Good Environmental Governance2

ENVIRONMENTAL GOVERNANCE:Filosofi Alternatif Untuk Berdamai Dengan

Lingkungan Hidup

Purwo SantosoÄ1

Melalui makalah ini, penulis bermaksud untuk mengajak para pembaca melakukan refleksi secara seksama tentang interaksi kita (ummat manusia) dengan lingkungan hidup. Secara lebih khusus, makalah ini mengajak untuk mencermati bagaimana kerangka fikir dan framework yang telah telah dikembangkan dalam merespon persoalan-persoalan lingkungan hidup. Adapun kerangka yang telah populer dan menjadi mainstream yang membingkai keseharian kita adalah kerangka manajemen (environmental management). Kecakapan ummat manusia untuk mengelola berbagai sumberdaya demi pencapaian tujuannya selama ini telah cukup berkembang, sejalan dengan berkembangnya ilmu manajemen dan profesi manajerial. Teknologi telah menjadi sumberdaya yang banyak diandalkan dalam penyelesaian masalah. Dengan kecakapan manajerial ini kita terbiasa untuk optimis bahwa semua masalah akan teratasi.

Makalah ini justru ingin mempersoalkan kerangka yang sudah dianggap tidak bermasalah ini. Pencermatan secara seksama dan mendalam memungkinkan kita menemukan keterbatasan mendasar, yang menjadikan kita mengumbar optimisme yang tidak berpijakan. Memang betul kerangka manajemen lingkungan membekali kita kemampuan untuk secara pragmatis mengatasi permasalahan lingkungan hidup, namun ironisnya, pragmatisme yang membabi-buta memungkinkan kita merasa sibuk mecahkan masalah sambil menciptakan masalah baru. Pragmatisme buta memungkinkan terjadinya penolakan untuk mengakui sejumlah sesat fikir dan penolakan alternatif lain hanya karena ketidaktahuannya saja.

1Ä Staf pengajar pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, serta Program Pascasarjana Politik Lokal dan Otonomi Daerah, pada Universitas Gadjah Mada Yogykakarta.

Dalam rangka mencari alternatif kerangka fikir, makalah ini mencoba untuk menjajagi relevansi konsep governance. Dengan konsep governance ini konsep manajemen tidak dianggap irrelevan, namun disadari bahwa manajemen diyakini tidak mencukupi. Penggunaan konsep governance mengajak kita untuk membayangkan bahwa masing-masing fihak melakukan managemen upanya masing-masing untuk memastikan terpenuhinya kepentingannya. Yang dikedepankan dalam proses governance bukan efisiensi atau efektifitas kerjanya melainkan pola interaksi fihak-fihak yang berkepentingan. Kinerja masing-masing fihak yang mengembangkan manajemen ini dikondisikan oleh pola interaksi yang terjadi.

Pendekatan managerialistik:Tapak dan keterbatasannya

Untuk bisa memahami keterbatasan pendekatan yang managerialistik, ada baiknya kita melihat bagaimana pendekatan ini berkembang dan diterapkan dalam praktek. Dalam kaitan ini kita perlu membedakan antara keterbatasan pendekatan ini pada tataran konseptual atau tataran filosifis dengan keterbatasan dalam implementasinya dalam ranah praktial (dalam manifestasi rielnya). Untuk mudahnya, terlebih dahulu kita cermati keterbatasannya dalam praktikal, dan setelah itu kita lacak keterbatasannya secara konseptual atau filosofis.

Keterbatasan praktikal:Sulitnya negara memerankan diri sebagai manajer

lingkungan

Kita tahu bahwa masalah lingkungan sebetulnya telah lama menggejala, dan baru beberapa puluh tahun terakhir mendapatkan perhatian serius dan luas. Artinya kajian manajemen lingkungan sebetulnya adalah kajian yang relatif baru. Pesatnya perkembangan kajian ini sejalan dengan semakin seriusnya ancaman yang mengedepan karena kerusakan lingkungan.

Dari segi manajemen, idealnya setiap individu atau setidaknya setiap rumah tangga adalah suatu unit manajemen lingkungan. Mereka terus-menerus menjalin interaksi dengan lingkungan untuk menyambung hidupnya, untuk mengejar

2

kemajuan dan kesejahteraannya. Namun, ancaman kerusakan lingkungan hidup telah hadir dalam skala yang massive. Kerusakan lingkungan hidup telah hadir sebagai suatu ancaman krisis yang berskala luas. Untuk itu, maka mutlak diperlukan “mesin” manajemen yang memungkinkan tergalang respon yang sepadan dengan skala permasalahan yang mengedepan. Dalam setting pemikiran seperti itulah maka berkembanglah keinginan untuk menggunakan negara sebagai mesin manajemen lingkungan. Hal ini sejalan dengan menyeruaknya tuntutan publik agar negara melakukan sesuatu agar persoalan lingkungan bisa teratasi.

Dalam melakukan refleksi ini ada hal penting untuk dicermati. Upaya untuk mengatasi persoalan lingkungan hidup dilakukan dengan cara “memperalat” negara. Harap dimaklumi, negara tidak diciptakan secara khusus untuk menjadi pengelola lingkungan hidup, dan penggunaan kekuasaan negara untuk kepentingan pengelolaan lingkungan hidup, justru menyeret kita pada persoalan-persoalan yang tidak terantisipasi sebelumnya.

Kapasitas negara untuk menjalankan suatu skema manajemen sangat tergantung dari kapasitas kelembagaan birokrasi pemerintahan. Pertanyaannya, apakah birokrasi memang merupakan intrumen yang tidak bermasalah dalam menjalankan rencana-rencana pengelolaan lingkungan. Birokrasi, pada dasarnya, mengatasi masalah apapun dengan cara mengurai persoalan ke dalam kepingan-kepingan yang bisa ditangani. Ketika pembangunan ekonomi menjadi obsesi pemerintahan Orde Baru, beban atau persoalan pembangunan pecah-pecah secara sektoral. Ketika ditargetkan agar pembangunan berlangsung berlangsung di seluruh wilayah negeri ini, persoalan pembangunan dipecah-pecah ke dalam wilayah-wilayah pembangunan yang sama dan sebangun dengan yurisdiksi para pejabat birokrasi. Akibatnya, penanganan pembangunan senantiasa terhalang oleh persoalan koordinasi. Dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup sebagai suatu entitas ekologis yang utuh, birokrasi pemerintah dimanapun di muka bumi ini mengalami permasalahan serius karena kecenderungannya untuk memotong-motong persoalan dalam keratan sektoral dan teritorial.

Keterbatasan birokrasi pemerintah untuk diperankan sebagai instrumen utama pengelolaan lingkungan hidup sejauh ini tidak pernah diwacanakan di Indonesia. Yang terjadi

3

justru sebaliknya. Birokrasi pemerintahan diharapkan untuk menyelesaikan masalah-masalah publik yang mengedepan. Para pakar lingkungan yang menggeluti kajian managemen lingkungan memperjuangkan agar negara menggunakan kapasitasnya untuk itu.

Pertama-tama mereka melakukan serangkaian advokasi kebijakan agar negara memiliki organ khusus yang memilikirkan dan menangani persoalan-persoalan lingkungan yang mengedepan. Di Indonesia, hal ini ditandai dengan pembentukan Kementerian Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup, yang belakangan ini berubah menjadi Kementerian Lingkungan Hidup. Adanya lembaga yang secara khusus memikirkan lingkungan hidup ini telah memungkinkan terjadinya replikasi pendekatan managerialistik dalam setiap organ pemerintahan. Managemen lingkungan hidup ditumbuhkembangkan si setiap sektor birokrasi pemerintahan.

Sebagai contoh, dalam menerapkan prinsip-prinsip manajemen lingkungan Departemen Kehutanan mengembangkan berbagai paket kebijakan yang esensinya adalah memastikan hutan terkelola sesuai dengan kaidan-kaidah manajemen lingkungan. Departemen ini mengeluarkan apa yang dikenal sebagai sistem tebang pilih Indonesia (TPI) yang kemudian direvisi menjadi sistem tebang pilih dan tanam Indonesia (TPTI). Departemen ini melakukan zonasi kawasan hutan dalam rangka mengelola alokasinya. Contoh lain, adalah manajemen lingkungan di sektor perindustrian. Departemen Perindustrian mengembangkan kawasan industri, mengharuskan perusahan melakukan pengelolaan limbar industri dan sebagainya. Pemberlakukan pendekatan manajemen lingkungan secara lintas sektoral dilakukan dengan penetapan kebijakan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) pada tahun 1986, dan berlaku efektif setahun setelah itu.

Deskripsi tentang pemberlakukan pendekatan yang managerialistik ini bisa disajikan tak habis-habisnya. Namun bukan itu point penulisan makalah ini. Point yang ingin dikedepankan adalah bahwa skenario untuk “memperalat” negara untuk memberlakukan prinsip-prinsip manajemen lingkungan ternyata tidak berjalan mulus. Keterlibatan negara, bahkan otorisasi negara untuk menggunakan tindak kekerasan dan paksaan, ternyata tidak menjamin berlakunya sistem manajemen lingkungan yang diberlakukan. Persoalan polusi industri sudah sejak lama merebak, dan naga-naganya

4

tidak akan membaik dalam waktu dekat. Skema managemen kehutanan seakan tidak pernah ada, karena luasan dan kualitas hutan di negeri ini terus saja menurun. Analisis mengenai dampak lingkungan yang diwajibkan kepada para pengusaha seakan tidak pernah ada karena dampak lingkungan yang mereka ciptakan tetap saja tidak terkendali. Mereka punya seribu satu alasan untuk menghindar dari kewajiban untuk meminimalisir dampak lingkungan negatif dari kegiatan usahanya. Kalau kecenderungan kerusakan lingkungan hidup ini terus berlangsung, maka krisis lingkungan akan menjadi suatu keniscayaan.

Sungguhpun potensi krisis dan krisis lingkungan dalam skala kecil sudah banyak dipublikasikan, kesadaran tentang lingkungan hidup masih belum jelas terlihat. Berbagai kerangka pengelolaan lingkungan hidup telah dirumuskan dan diberlakukan, namun efek positif yang dihasilkan tetap saja tidak sebanding dengan lingkup dan derap kerusakan yang berlangsung. Ada sesuatu yang secara mendasar bermasalah dalam cara hidup kita, dalam proses budaya kita. Kalau kita renungkan baik-baik, dengan mudah bisa kita fahami bahwa kita sebetulnya meniti kemajuan dengan sambil tetap saja membiarkan kerusakan lingkungan terus berlangsung, dengan mengembangkan potensi terjadinya krisis.

Pertanyaannya, mengapa berbagai kerusakan lingkungan tersebut terus saja terjadi. Apakah negara tidak melakukan pengelolaan lingkungan dengan baik melalui rutinitas prosedur, perencanaan, kebijakan dan regulasinya ? Apakah berlebihan ketika para pemikir kebijakan mengharapkan negara melakukan manajemen lingkungan dalam keseharian penyelenggaraan pemerintahan ? Ada cukup banyak alasan untuk menjawab ‘ya !”. Kalau demikian halnya, mengapa hal itu terjadi ?

Pertama, pendekatan managerial cenderung menghindar atau terkelupas dari persoalan-persoalan politik. Para penganjur pendekatan manajerial berpretensi bahwa persoalan lingkungan bukanlah persoalan politik, melainkan sekedar sebagai persoalan teknis. Yang dilupakan dalam hal ini adalah bahwa para pejabat negara sebetulnya berpolitik dibalik berbagai teknikalitas manajemen lingkungan yang telah dirancang. Sebagai contoh, untuk memastikan bahwa eksploitasi hutan dilakukan secara terencana, maka setiap kegiatan penebangan hutan harus mendapatkan persetujuan pejabat negara (melalui pemberian ijin). Para pejabat justru

5

mencari keuntungan pribadi melalui pemberlakuan perijinan. Kalau yang mencari untuk pribadi hanya satu orang, munkin sistem perijinan tersebut tidak terlalu bermasalah. Namun kalau praktek mencari keuntungan sambil berpura-pura menyelenggarakann sistem perijinan ini dilakukan oleh orang banyak dan terjadi secara terus menerus, maka perijinan tadi kehilangan fungsi managerialnya. Artinya keinginan untuk melakukan kontrol terhadap kualitas lingkungan melalui sistem perijinan harus kandas terbentur oleh politisasi (atau tepatnya komersialisasi) prosedur perijinan. Manakala perijinan dalam rangka kontrol kualitas lingkungan difahami sebagai cara yang “wajar” dalam penyelenggaraan birokrasi pemerintahan, maka kewajaran manajemen lingkungan sebetulnya telah sirna.

Kedua, manajemen lingkungan sebetulnya melekat dalam manajemen pembangunan dan manajemen kepentingan publik. Perencanaan lingkungan idealnya inheren dalam perencanaan alokasi ruangan, alokasi sumberdaya alam, strategi pengembangan investasi dan sebagainya. Sewaktu menjabat Menteri Lingkungan Hidup, Prof. Emil Salim sadar betul tentang hal itu, dan dalam rangka mengintegrasikan manajemen lingkungan ke dalam manajemen pembangunan beliau sangat gencar mewacanakan konsep pembangunan berwawasan lingkungan. Artinya, proses pembangunan tetap jalan terus namun di dalam setiap unit dan sektor pelaksanaan pembangunan, perlu diadopsi wawasan ekologis yang memadai. Dengan cara itu beliau berharap negara menginternalisasi pengelolaan pengelolaan lingkungan di dalam pengelolaan pembangunan. Sayangnya, pengembangan wawasan ini tidak cukup berhasil. Skema kerja manajemen lingkungan seperti AMDAL jarang dihayati sebagai keperluan. AMDAL sejauh ini tetap saja dihayati sebagai kewajiban yang harus dipatuhi, bukan instrumen yang harus dikelola baik-baik.

Ketiga, penjelasan-penjelasan tersebut di atas mengisyaratkan adanya kepercayaan diri yang berlebihan (over-confidence) bahwa negara bisa diserahi tanggung jawab penuh untuk menyelenggarakan berbagai skema manajemen lingkungan. Managemen lingkungan yang dipercayakan kepada negara ini tidak diimbangi dengan pesatnya environmentalisme, baik di kalangan pejabat pemerintah maupun masyarakat. Implikasinya, majamenen lingkungan dilakukan tanpa penghayatan yang memadai tentang apa

6

yang dilakukannya. Lebih dari itu, banyak orang yang justru berharap terlalu banyak terhadap berbagai skema manajemen lingkungan. Pemberlakuan skema AMDAL adalah illustrasi yang bagus. Pada dasarnya AMDAL adalah suatu perangkat manajerial untuk memastikan pengambil keputusan kebijakan publik. Melalui suatu kajian yang ditulis dalam dokumen AMDAL seorang pejabat publik bisa mengetahui potensi dampak yang akan terjadi ketika suatu investasi pembangunan akan dijalankan. Kalau dari kajian AMDAL ini terdeteksi adanya potensi kerusakan lingkungan yang besar, dan potensi kerusakan ini sulit dikelola maka sang pejabat harus tidak memberikan ijin. Dalam prakteknya selama pemberlakukan kewajiban untuk melakukan studi AMDAL di Indonesia, hampir-hampir tidak ada penolakan meskipun ada cukup banyak kegiatan yang mempertaruhkan lingkungan hidup secara besar-besaran. Celakanya, di kalangan masyarakat beredar harapan yang berlebihan bahwa AMDAL akan mengatasi masalah-masalah lingkungan. Padahal, AMDAL pada dasarnya hanyalah janji calon investor bahwa dirinya akan melalukan pengelolaan lingkungan sesuai dengan kalkulasi dampak. Di sini ada dua hal yang perlu dicermati. Pertama, tepat tidak antisipasi dampak yang akan diatasi. Kedua, keseriusan dan kemampuan menanggulangi dampak. Kalaupun kajian AMDAL sudah dilakukan dengan baik dan disajikan dalam dokumen AMDAL, tidak ada jaminan bahwa dampak lingkungan bisa terkendali pada level minimal. Skema AMDAL tidak ada gunanya sama sekali kalau kajian tidak dilakukan secara serius. Dalam kasus AMDAL ini masyarakat sebetulnya manaruuh harapan yang berlebihan karena beberapa alasan:

Banyak studi AMDAL yang tidak cukup seksama

Para pejabat yang seharusnya mengambil rujukan pada dokumen AMDAL dalam pembuatan keputusan perijinan ternyata tidak terlampau mempedulikan dampak lingkungan dari keputusannya

Negara tidak menyediakan sumberdaya (uang, informasi dan personel) yang memadai untuk memastikan para pengusaha menunaikan janji-janji pengelolaan lingkungan yang telah dituangkan dalam dokumen AMDAL.

Mengingat adanya kecenderungan umum yang dipaparkan di atas tersirat bahwa manajemen lingkungan dikembangkan dengan penghayatan yang sangat tipis, dan sebagai

7

konsekuensinya, tidaklah mengherankan kalau kerusakan lingkungan hampir-hampir tidak terkendali. Ancaman terjadinya krisis lingkungan kini harus diterima.

Perlu di catat, krisis lingkungan tidak akan pernah bisa dibatasi lingkupannya sekedar sebagai krisis lingkungan semata. Krisis lingkungan akan memicu krisis sosial. Dalam berbagai manifestasi dan skala, kita telah lama mengetahui bahwa kerusakan lingkungan akan berbuntut kerusakan tatanan sosial. Menggejalanya kerusakan lingkungan senantiasa menyeret konflik lingkungan hidup kini semakin merajalela. Sebaliknya, konflik sosial yang terjadi tidak jarang justru memicu penggunaan sumberdaya alam dan pada gilirannya menghasilkan konflik sosial yang baru, atau konflik yang berskala lebih luas. Bagi para fihak yang berperang, kemenangan adalah difahami sebagai hal yang paling esensial. Tapi, siapapun yang menang, masing-masing harus menanggung kerugian ekologis: merelakan kerusakan lingkungan.

Singkat kata, kerusakan lingkungan hidup ini pada gilirannya justru menghantarkan munculnya masalah-masalah sosial baru. Permasalahan tentang semakin parahnya pecemaran dengan mudah merembet menjadi masalah terancamnya kesehatan masyarakat. Kelangkaan sumberdaya alam akibat dari eksploitasi yang berlebihan pada gilirannya mengundang berkecamuknya konflik-konflik sosial. Singkat kata, manakala masalah lingkungan menyeruak dan bermuara pada jalan buntu, masing-masing fihak yang terlibat saling menyalahkan, saling menunjukkan benarnya sendiri. Kalau begini jadinya, yang namanya ‘masalah’ tetap saja ‘masalah’.

Ketika lingkungan tercemar oleh industri, masyarakat menyalahkan perusahaan yang memiliki kegiatan industri. Perusahaan mengelak untuk bertanggung jawab terhadap kerusakan lingkungan yang terjadi karena sudah mendapat berbagai ijin yang diminta oleh pemerintah. Tentu saja, pejabat pemerintah yang dirujuk punya alasan banyak alasan untuk mengelak. Instansi yang menggunakan nomenklatur lingkungan hidup (misalnya: Kementerian Lingkungan Hidup atau Dinas/Badan Pengendalian Dampak Lingkungan) adalah lembaga yang kemungkinan besar akan dituding bersalah. Tetapi, dengan mengacu pada berbagai aturan main yang ada, lembaga-lembaga tersebut memang tidak memungkinkan mereka satu-satunya fihak yang harus dimintai pertanggungjawaban. Bukan lembaga ini yang

8

memberikan ijin usaha, dan lembaga yang mengeluarkan ijin ini memang tidak secara khusus/serius ditugasi untuk menjaga kualitas lingkungan hidup.

Ini berarti, kita berhadapan dengan dua jenis permasalah. Masalah pertama adalah berkenaan dengan kualitas atau kondisi lingkungan hidup: polusi, bencana alam, kelangkaan dan degradasi sumberdaya dan sebagainya. Masalah yang kedua, berkenaan dengan kemampuan kita menemukan esensi dan cara mengatasi masalah: kapasitas kelembagaan, cara kerja birokrasi pemerintah, pendekatan yang tidak tepat dan sebagainya.

Untuk meyakinkan proposisi tersebut di atas, mari kita cermati negara sebagai suatu sistem manajemen. Melalui organisasi yang bernama birokrasi, negara memberlakukan berbagai kegiatan manajemen. Apa yang hendak dilakukan oleh (tepatnya atas nama) negara, direncanakan oleh berbagai unit perencanaan. Untuk mengkoordinasikan kegiatan instansi di berbagai sektor, birokrasi pemerintahan telah melengkapi diri dengan lembaga koordinasi dan prosedur koordinasi. Hal-hal tersebut di atas, diberlakukan melalui jenjang komando yang dikendalikan secara hierarkhis. Karena adanya sistem manajemen ini, keputusan-keputusan politik yang dibuat oleh para pejabat bisa diberlakukan dan bahkan dipaksakan oleh negara. Artinya keputusan yang dibuat oleh seseorang, yang karena berposisi sebagai presiden atau menteri, memiliki efek sistemik terhadap lingkungan ketika diberlakukan. Untuk jelasnya, mari kita lihat kasus sederhana: efek sistemik dari penandatanganan SK tentang HPH (Hak Pengusahaan Hutan) kepada suatu perusahaan.

Dalam penyelenggaraan negara, kita tahu para pejabat teras memiliki kewenangan untuk memetapkan kebijakan di dalam lingkup tugasnya. Atas nama Undang-undang Kehutanan yang dikeluarkan pada tahun 1967, Departemen Kehutanan mengeluarkan kebijakan yang esensinya membuka diri bagi keterlibatan perusahaan swasta untuk melakukan eksploitasi hutan. Kepada perusahaan tertentu Departemen ini memberikan hak pengelolaan hutan melalui selembar Surat Keputusan (SK HPH). Apa yang terjadi setelah pemberian SK ini sangat jelas. Pertama, para pengusaha memiliki hak untuk menebangi ratusan ribu hektar kawasan hutan. Sejak diberlakukannya skema HPH di awal Orde Baru, luasan kawasan hutan merosot. Kedua, pemerintah

9

sebetulnya telah melengkapi diri dengan serangkaian prosedur dan ketentuan untuk menjalankan skenario manajemen sumberdaya hutan. Sungguhpun demikian, kerusakan hutan tetap saja tidak terelakkan. Disain teknis manajerial yang ditetapkan banyak yang tidak ditepati oleh pemegang HPH dan manajemen pemerintahan yang ada telah membiarkan pelanggaran ketentuan HPH ini tidak terkena sanksi. Wal hasil, degradasi hutan dalam skala yang massif di negeri ini harus kita terima sebagai realita yang memilukan.

Point yang ingin diperlihatkan dari ilustrasi di atas adalah bahwa penggunaan otoritas negara (tepatnya penandatanganann sebuah SK HPH) punya implikasi serius bagi nasib hutan. Mohon tidak dilupakan, kerusakan hutan dalam skala yang massif ini telah menghadirkan serentetan dampak yang sebelumnya tidak terantisipasi dengan baik. Secara ekonomi-politik kita melihat ada sekelompok kecil orang yang kaya raya dari bisnis pengusahaan hutan, dan di sisi lain ada jutaan manusia yang kehilangan hutan sekaligus kehilangan jasa-jasa ekologis yang sebelumnya bisa dinikmatinya begitu saja. Singkat kata, penggunaan kekuasaan negara memiliki efek sistemik yang luas, dan praduga bahwa negara adalah manajer lingkungan yang baik ternyata sulit diyakini kebenarannya dalam praktek di Indonesia.

Ilustrasi tersebut di atas menunjukkan bahwa kegagalan mengelola kekuasaan negara justru menjadikan skema atau disain manajerial yang telah disiapkan oleh pakar konservasi atau pakar manajemen lingkungan menjadi mandul. Karena kelemahan mendasar dari pendekatan ‘manajemen lingkungan’ tersebut di atas, penulis mengajak untuk mencari alternatif kerangka berfikir. Pertama, yang harus kelola bukan hanya lingkungan hidup sebagai suatu entitas bio-fisik, namun justru kekuasaan negara. Ini berarti bahwa keselamatan lingkungan hidup sangat erat baik tidaknya pengelolaan negara secara baik. Kedua, lingkungan hidup perlu diperlakukan secara baik justru demi kebaikan ummat manusia itu sendiri. Pengelolaan lingkungan hidup perlu diinjeksi dengan suatu etika baru, etika yang memperlakukan lingkungan hidup sebagai entitas yang memiliki diri (ecological self), yang memililiki sistem yang bekerja menurut “rasionalitasnya” sendiri. Jelasnya, kalau pemikiran tentang pemerintahan atau pengelolaan kekuasan negara selama ini dibangun atas kedaulatan manusia atas dirinya sendiri,

10

manajemen lingkungan hidup perlu juga menjunjung tinggi kedaulatan ekosistem. Rongrongan terhadap kedaulatan ekosistem ini pada gilirannya justru akan menghasilkan kesulitan-kesulitan baru bagi ummat manusia.

Pada dasarnya, selama ini pengelolaan lingkungan itu difahami sebagai tugas negara. Artinya, negaralah yang bertanggung jawab mengelola perilaku kolektif ummat manusia melalui kebijakan-kebijakan yang diambilnya. Tidaklah mengherankan kalau kita kemudian terbiasa menggantungkan diri pada penggunaan otoritas negara dalam meregulasi pengelolaan lingkungan hidup. Sialnya, justru bekerjanya mesin birokrasi pemerintahan justru menjadikan lembaga yang satu dengan mudahnya melempar tanggung jawabnya ke pada lembaga lain. Bekerjanya birokrasi pemerintahan, yang diharapkan akan memastikan terkelolanya persoalan-persoalan lingkungan hidup, justru menciptakan masalah lingkungan itu sendiri. Maunya tampil sebagai problem solver, tak tahunya justru menjadi trouble maker.

Keterbatasan konseptual/filosofis

Dalam mainstream pemikiran yang berkembang, lingkungan hidup diperlakukan sekedar sebagai obyek manajemen. Sementara itu kita tahu bahwa misi dari manajemen adalah pemuasan kepentingan para subyeknya: manusia. Lingkungan tidak memiliki makna atau nilai (value) lebih dari sekedar alat pemuas ummat manusia. Mainstream ilmu ekonomi memperlakukan lingkungan sebagai utility, dan ilmu politik memperlakukannya sebagai asset untuk berkuasa.

Dalam kepungan utilitarianism ini management lingkungan hidup terjebak dalam suatu paradoks. Di satu sisi manajemen lingkungan hidup berusaha menekan kerusakan lingkungan hidup, di sisi lain keserakahan ummat tetap diumbar. Lebih dari itu, fokus perhatian kita pada dimensi managerial dalam pengelolaan lingkungan hidup telah menjadikan kita abai terhadap kenyataan bahwa kemapaanan sistem manajemen sebetulnya juga menyimpan kemampuan ummat manusia untuk menghasilak kerusakan yang sifatnya sistemik.

Premis yang selama ini telah difahami adalah bahwa, supaya manusia tidak terlalu bermasalah dengan

11

lingkungannya, atau bisa mendapatkan manfaat yang optimal, maka lingkungan hidup harus dikelola. Dalam hal ini, manusia memperlakukan dirinya sebagai subyek dan lingkungan hidup sebagai obyek manajemen. Tersirat di sini, lingkungan hidup yang diatur dan di tata sedemikian rupa sehingga manusia tidak sengsara, ummat manusia bisa sejahtera. Pertanyaan yang perlu kita renungkan sekarang: bisakah lingkungan hidup terus-menerus diubah kondisinya, sistem kerjanya agar upaya untuk meningkatkan kesejahteraannya tidak terganggu ? Perlu diingat, kemampuan ummat manusia untuk mengubah alam ini dari waktu ke waktu senantiasa berkembang. Semakin terorganisir suatu tatanan sosial, semakin sistemik masyarakat tersebut mengubah alam dan efek yang ditimbulkan juga semakin massif. Bukankah manusia juga merupakan obyek yang harus dikelola ?

Dalam kajian manajemen lingkungan sebbetulnya telah lama dikenal adanya batas daya dukung alam (carrying capacity). Para pengkaji manajemen lingkungan meyakini bahwa batas daya dukung alam ini bisa dinaikkan melalui manjemen yang baik. Teori-teori manajemen, dalam konteks ini, berambisi untuk selalu menawar daya dukung alam, sehingga kesejahteraan bisa terjamin. Pertanyaan yangtersisa, seberapa jauh daya dukung alam ini bisa di-melar-kan Ingat, daya ubah manusia modern semakin hari semakin dahsyat, dan ekspektasi mereka juga terus meningkat. Belum lagi kalau diingat, semakin modern cara hidup seseorang, semakin dia boros atau rakus dukungan sumberdaya utuk mencukupi kebutuhannya. Point yang ingin dikedepankan di sini adalah bahwa pendekatan yang saat ini populer, yakni manajemen lingkungan hidup, memiliki keterbatasan serius manakala pendekatan ini mendudukan lingkungan sebagai obyek dan manusia sebagai subyek. Lebih jauh lagi, manusia dibayangkan sebagai fihak yang menentukan perubahan dan lingkungan ada fihak yang harus disesuaikan melalui berbagai disain, strategi atau teknik manajemen. Oleh karena itu, ada keperluan untuk menjajagi berbagai kerangka konseptual alternatif.

Para environmentalis radikal berkeinginan untuk membalik logika yang managerialistik tersebut di atas. Manusia ingin memperlakukan manusia obyek yang diharuskan untuk tunduk dan patuh pada hukum alam. Alam diyakini telah memiliki hukumnya sendiri, dan kerusakan lingkungan pada dasarnya adalah konsekuensi dari

12

pelanggaran hukum alam. Menurut kaum environmentalis radikal ini diyakini bahwa, betapapun hebatnya kemampuan manusia untuk mengembangkan budaya dan kreativitasnya, mereka tidak akan memiliki kemampuan yang sempurna untuk mengendalikan alam. Kenyataan bahwa alam telah memiliki hukumnya sendiri, harus diikuti dengan penyesuaian tata kehidupan manusia agar tidak bertabrakan dengan hukum alam tersebut. Artinya, alam diperankan sebagai subyek dan manusia harus memposisikan diri sebagai obyek pengelolaan ekuilibrium alam. Cara memandang persoalan yang demikian ini disebut sebagai cara pandang yang eco-centric (ekosentrik).

Cara pandang yang ekosentrik ini jelas bertolak belakang dengan cara pandang yang umum, yang mereka sebut sebagai cara pandang yang anthropo-centric (yang pada dasarnya mengandaikan manusia sebagai pusat perhatian) atau techno-centric (yang mengandaikan kemampuan teknik ummat manusia sebagai pilar tertib sosial). Kontradiksi atau perdebatan di antara dua kutub pemikiran tersebut di atas telah berlangsung lama, dan pandangan yang ditawarkan kalangan environmentalis radikal yang bercorak eco-centric (ekosentrik) tetap tidak populer. Tuntutan untuk membalik kerangka seacara radikal ini tidak dengan mudah bisa dipenuhi oleh khalayak.

Cara fikir yang ekosentris menjanjikan bukan hanya keberpihakan terhadap lingkungan, namun juga komitmen untuk tidak melanggar hukum-hukum alam (hukum-hukum yang dijelaskan dalam kajian ekologi). Kalau kerangka fikir ekosentrik ini ingin diadopsi, maka rasionalitas manusia yang perlu diformat ulang. Selama ini rasionalitas yang berkembang adalah rasionalitas antroposentrik, yang mengejar optimalnya peprolehan atau minimalnya resiko demi manusia. Cara fikir ekosentrik mengajak untuk berfikir secara lebih seksama. Alam telah memiliki hukumnya sendiri, dan pelanggaran terhadap hukum alam pada gilirannya justru mengancam manusia itu sendiri. Terlepas dari apapun kepentingan manusia, hukum alam tetap akan berjalan. Oleh karena itu, adalah rasional justru kalau ummat manusia mengikuti hukum-hukum alam. Harap diingat, kalkukasi rasional-irrasional dalam cara pandang ekosentrik ini tidaklah dari kaca mata individual, melainkan dari kacamata kolektif. Unit yang dianalisis tidak hanya manusia dengan segala kepentingannya, melainkan ekosistem dunia dengan manusia

13

sebagai salah satu komponennya. Singkat kata, kala cara pandang teknosentrik hanya peduli dengan kepentingan manusia maka cara pandang teknosentrik justru mengharuskan ummat manusia mengekang kapasitas teknosentrik yang ada supaya “kedaulatan” hukum-hukum ekologi tidak terganggu.

Tipisnya penghayatan terhadap nilai-nilai lingkungan yang sering kita lihat dalam praktek manajemen lingkungan sebenarnya berakar dari telah mendarah-dagingnya cara pandang yang antroposentrik ataupun teknosentrik. Kegagalan untuk mengekang antroposentrisme itulah yang justru menjadikan skema manajemen lingkungan mengalami kegagalan.

Mencari Framework Alternative

Pemetaan corak pemikiran lingkungan hidup secara kutub ektrim antroposentisme/teknosentrisme vs. ekosentrisme menggiring kita untuk memilih salah satu dari opsi yang tersedia. Kalau pendekatan yang managerialistik, yang tidak lain adalah turunan dari kerangka fikir yang antroposentrik/teknosentrik ternyata memiliki sejumlah kelemahan mendasar, maka pilihannya adalah mengadopsi pandangan yang ekosentrik.

Dalam rangka menentukan suatu pilihan framework yang akan dijalankan secara kolektif dalam kehidupan sehari-hari, penting kiranya mengingat bahwa yang diperlukan bukan hanya aspek viabilitas (merupakan alternatif yang masuk akal untuk mengatasi masalah) namun juga aspek fisibilitas (bisa dijalankankan). Dalam hal ini, perlu kita cermati bagwa ekosentrisme pada dasarnya adalah framework yang fiabel, namun fisibilitasnya rendah. Paling tidak, konversi dari mainstream cara pandang yang antroposentrik/ teknosentrik ke arah yang ekosentrik akan memerlukan perjalanan panjang dan proses pembalikan kerangka fikir secara habis-habisan. Konversi dari antroposentrisme ke ekosentrisme melibatkan perunbahan yang levelnya paradigmatik, dan karenanya perjalannya tidak bisa sepenuhnya dikelola oleh yang mengagendakan. Perubahan yang levelnya paradigmatik ini berhasil manakala semua fihak yang diajak untuk menjalani perubahan sudah tidak menyadari lagi bahwa dirinya telah berfikir dan berkerja sesuai dengan standar baru (yang ekosentrik tadi). Artinya,

14

kerangka fikir dan kerangka kerja yang ekosentrik menjadi realita dalam paradigma baru manakala sebagian besar dari kita telah bisa hidup dan bekerja dalam tata nilai yang digariskan dalam faham ekosentrik, bahkan tata nilai tersebut telah menjadi standar kewajaran.

Perlu diingat, kegagalan birokrasi pemerintah dalam menyelenggarakan skema-skema manajemen lingkungan adalah karena tidak adanya komitmen terhadap nilai-nilai ekologis. Birokrasi pemerintahan tidak bisa diandalkan untuk diperankan sebagai instrumen pengelolaan lingkungan hidup karena sistem nilai yang ada di dalam birokrasi pemerintahan tersebut tidak sensitif terhadap premis-premis ekologis. Berfungsinya ekosistem tidak pernah mengenal yurisdiksi spasial para pejabat negara, dan mereka tetap saja bersiteguh dengan pemilahan fungsi secara spasial. Ekosistem tidak mengenal batas-batas kewenangan sektoral, namun birokrasi pemerintahann sejauh ini masing harus berkutat dengaan persoalan ego-sektoral.

Persoalannya, bagaimana perubahan tata nilai bisa dilangsungkan ke arah yang digariuskan oleh faham ekosentrik ? Sebelum menjawab pertanyaan ini, perlu dikemukakan bahwa selama pemerintah sebetulnya telah mencoba untuk mendorong perubahann tata nilai. Digulirkannya wacana ‘pembangunan berwawasan lingkungan’, sebetulnya menyembunyikan tata nilai baru, mendorong muncul dan berkembangnya etika baru. Lingkungan hidup perlu dikelola dengan sentuhan etika baru: etika lingkungan. Hanya saja, selama ini negara mengalami kesulitan untuk mereproduksi nilai-nilai, mereproduksi etika lingkungan. Sebaliknya, gerakan lingkungan yang sebetulnya sangat potensial dalam menumbuhkembangkan etika baru, sudahnya basis sumberdayanya lemah, energinya terserap untuk melakukan perlawanan terhadap fihak-fihak yang dianggap sebagai perusak lingkungan.

Dalam memikirkan proses perubahan nilai-nilai yang kondusif bagi kelestarian lingkungan hidup, pendekatan manajerial justru bisa dipakai. Hanya saja, yang dikelola bukan lingkungan hidup melainkan interaksi sosial yang mengkondisikan kerusakan-kerusakan lingkungan hidup itu sendiri. Kalau selama ini kajian manajemen lingkungan hidup telah mencurahkan perhatiannya kepada lingkungan sebagai entitas bio-fisik, di masa-masa mendatang kita memerlukan kepiawaian dalam mengelola interaksi-interaksi sosial yang

15

secara sistemik memiliki kapasitas merusak ekosistem dan habitat kehidupan ummat manusia.

Menurut hemat penulis, pendekatan manajerial masih memiliki potensi kontribusi dalam pengelolaan lingkungan. Hanya saja pendekatan ini perlu melakukan pergeseran kepedulian. Kalau di masa lalu yang merupakan kepeduliaannya adalah perubahan kondisi bio-fisik ke depan harus diperluas sehingga mencakup perubahan sosial sedemikian sehingga bisa digalang perubahan sistemik yang memiliki efek mendasar terhadap kondisi bio-fisik. Untuk jelasnya, mari kita cermati negara sebagai suatu pemolaan interaksi sosial.

Sebagai suatu organisasi yang memiliki kontrol terhadap sumberdaya dan kekuatan paksa, negara memiliki kemampuan mengubah kondisi alam dalam skala yang massif.2 Oleh karena itu, nasib lingkungan hidup sangat ditentukan oleh kemampuan menertibkan perilaku negara agar konsisten dengan kaidah-kaidah ekologis. Adanya keperluan untuk menjadikan negara sebagai sasaran penertiban inilah yang menginspirasi penulis untuk mengusulkan penggunaan konsep governance sebagai framework alternatif. Environmental governance dalam makalah ini difahami sebagai frameework pengelolaan negara melalui interaksinya dengan rakyatnya, dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup.

Tawaran Alternatif: Environmental Governance

Sebelum berbicara lebih jauh tentang governance, buru-buru harus dikatakan bahwa penulis mengajak menggunakan terminologi environmental governance dengan pemaknaan yang kritis. Penggunaaan istilah goverenance, ingin dilakukan secara tidak latah. Sehubungan dengan hal itu, penting kiranya dibahas peristilahan governance sebelum membahas

2 Harap diingat, yang dipersoalkan dalam pembahasan di bagian awal tulisan ini sebetulnya bukan kemampuan negara mengubah kondisi bio-fisik, melainkan kemampuan negara untuk memastikan arah dan derajat perubahan sesuai dengan yang bisa ditolerir oleh ekosistem. Kegagalan negara menyelenggarakan skema manajemen lingkungan, ujung-ujungnya, toh menghasilkan kerusakan lingkungan itu sendiri dalam skala yang sangat besar.

16

lebih lanjut penggunaannya untuk mengupas environmental governance.

Governance

Penggunaan istilah governance dalam makalah ini sengaja tidak diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia karena penulis belum menemukan kata ganti yang tepat untuk mewadahi makna yang terkandung di dalamnya. Yang jelas, penggunaan istilah ini menekankan pergeseran orientasi pemikiran tentang pemerintahan. Di masa lalu, wacana tentang pemerintahan terlampau dalam merujuk pada aktor yang terlibat atau pemegang otoritas. Akibatnya, wacana yang bergulir terlampau sarat dengan kepentingan sepihak pemerintah. Yang berlangsung adalah pemerintahan demi pemerintah. Yang beredar adalah cara pandang yang sensitif terhadap kepentingan pemerintah namun tidak sensitif terhadap kepentingan masyarakat atau sektor non-pemerintah. Fokus amatannya adalah interaksi antara negara dengan rakyatnya. Artinya, negara difahami tidak sebagai entitas yang berdiri sendiri, sebagai entitas yang terpisan namun menguasai rakyatnya.

Jelasnya, koreksi terhadap kecenderungan untuk melebih-lebihkan arti penting pemerintah ini dilakukan dengan menggeser orientasi atau cara memahami persoalan. Untuk menghindari kesepihakan dan kesemena-menaan pemerintah, pengkajian issue pemerintahan perlu digeser sedemikian rupa sehingga lebih bisa mengedepankan fenomena interaksi fihak-fihak yang terkait. Hanya saja ada banyak cara pemetaan fihak-fihak yang terkait. Jan Kooiman, misalnya memetakan adanya dua fihak: pemerintah dan masyarakat.3 Yang populer di Indonesia adalah pemetaan ke dalam tiga kategori: pemerintah, swasta (komunitas bisnis) dan civil society. Berhubung dengan pergeseran alur perwacanaan yang lebih mengedepankan interaksi ini, maka istilah stake holders dan share holders menjadi ikut populer.

Dengan dikedepankan nuansa interaksi aktar fihak dalam konsep governance ini kapasitas kelembagam atau sistem tetap saja bisa difahami. Hanya saja, lembaga yang dijadikan andalan akhirnya bukan hanya lembaga pemerintah.

3 Kooiman, Jan (ed.); Modern Governance: New Government-Society Interaction, Sage, London, 1993.

17

Dari berbagai corak kelembagaan untuk mewadahi proses governance ini ada varian ekstrim yang mengidolakan suatu governance witout government.4 Yang jelas, popularitas wacana governance membuka ruang yang sangat lebar bagi advokasi untuk meminimalkan peran negara, termasuk dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Singkat kata, di balik popularitas istilah governance tersirat juga popularisasi agenda mengkoreksi peran negara dalam pengelolaan kepentingan publik sedemikian rupa sehingga interaksi yang dijalin oleh aktor-aktor yang terkait bermuara pada suatu kinerja yang optimal.5 Kalau untuk menghasilkan kinerja optimal ini negara harus mengurangi peran-peran dominatif, maka hal itu harus minimalisasi peran negara difahami sebagai keniscayaan.

Kita tahu bahwa bahwa penggunaan konsep governance dalam percakapan publik belakangan ini senantiasa terkait dengan persoalan baik-buruk. Istilah governance biasanya dipakai dalam rangka mengkampanyekan ide good governance. Sehubungan dengan hal ini, perlu dikemukakan bahwa makalah ini tidak dimaksudkan untuk membonceng popularitas retorika good governance belakangan-belakangan ini. Konsep good governance (penyelenggaraan pemerintahan yang baik) yang belakangan ini populer diwacanakan sebetulnya dimaknai secara tendensius. Pasalnya, persoalan good-bad (baik-buruk) dalam wacana good governance selama ini hanya diletakkan dalam bentang pemikiran yang anthropo-centric (antroposentrik). Lebih dari itu, ukuran baik-buruk yang dikedepankan dibangun di atas asumsi-asumsi yang diadopsi oleh komunitas yang terpolakan oleh pemikiran dan budaya liberal.6 Mengingat wacana tentang governance yang beredar di Indonesia selama ini senantiasa terlekat dengan wacana yang lebih spesifik, yakni good governance,

4 Rhodes, R.A.W; “The New Governance: Governing without government”, Political Studies, XLIV, 1996. Lihat juga, Young, Oran; Governance in World Affairs, Cornel University Press, 1999, Ch.1.

5 Grindle, Merilee S. (ed.); Getting Good Government: Capacity Building in the Public Sectors of Developing Countries, Harvard Institute for International Development, Harvad University Press, 1997.

6 Popularitas wacana governance ini memandai pudarnya kerangka fikir yang melebih-lebihkan peranan pemerintah. Ketika kita cermati bahwa tata fikir dan tata kerja kita selama ini sangat kental keberpihakannya kepada pemerintah toh ujung-ujungnya menyeret kita ke dalam kerusakan lingkungan, anjuran untuk menggeser kerangka fikir government menjadi kerangka fikir governance sulit untuk ditampik.

18

maka penulis merasa perlu untuk menghindarkan diri terjebak dalam tendensi liberalisasi yang berkembang ketika menggunakan istilah governance.7

Konsep good ataupun bad pada dasarnya adalah persoalan pijakan atau keberpihakan pada nilai-nilai tertentu. Kalau kita sepakat bahwa penilaian good ataupun bad perlu dilakukan dalam bingkai penghormatan terhadap kedaulatan ekosistem maka pemikiran tentang baik buruknya environmental governance tidak harus dilihat dari kacamata antroposentrik. Dalam kaitannya dengan keperluan untuk keluar dari pendekatan yang managerialistik tersebut di atas, perlu dicermati bahwa pemaknaan good governance dalam pengelolaan lingkungan hidup perlu dipastikan bahwa kita tidak terjebak dalam antroposentrisme. Sungguhpun demikian, bukan berarti bahwa pemikiran tentang governance melupakan arti penting tentang pengkajian interaksi antar manusia.

Environmental governance

Alternatif yang ingin dijajagi relevansinya dalam makalah ini adalah bahwa interaksi kita dengan lingkungan hidup kita kelola dengan bingkai konseptual: environmental governance. Relevansi dari kosep environmental governance ini adalah pada keperluan untuk memahami dan mengelola hubungan timbal balik antara sistem sosial dengan ekosistem. Lebih dari itu, pengelolaan sistem sosial perlu dikelola dengan mengedepanan nilai-nilai ekologis, dan sebaliknya, ketahanan ekosistem bisa dipelihara melalui pengelolaan sistem sosial yang terbimbing oleh kaidah-kaidah ekologis. Sehubungan dengan hal itu, perlu ditegaskan kajian-kajian ilmu sosial selama ini cenderung untuk memahami fenomena sosial sebagai fenomena yang berlangsung secara independen dari ekosistemnya. Kalaupun para ilmuwan dari setiap disiplin ilmu sosial menyadari hal itu, sangat jarang yang memasukkan dimensi ekologis dalam pemahaman tentang fenomena sosial yang dikajinya.

7 Terus terang, istilah governance belum lama dipakai. Ketika istilah ini baru dipopulerkan, banyak orang yang mencampuradukkan dengan istilah yang sudah populer: government. Ketika itu, sejumlah orang sempat salah sangka. Dikiranya pengguna istilah itu salah ketik, kata yang seharusnya ditulis: government.

19

Ilmu ekonomi, misalnya mengenal konsep eksternalitas. Ada banyak transaksi antar fihak yang ternyata memiliki dampak terhadap fihak lain. Dampak ini bisa bersifat positif maupun negatif. Terjadinya fenomenta eksternalitas ini, tidak jarang, bisa dieksplisitkan melalui kajian ekologis. Untuk memberi ilustrasi tentang hal ini, mari kita kejadian berikut. Seorang pengusaha membeli sebidang tanah untuk mendirikan pabrik. Yang melalukan transaksi jual beli dalam hal ini adalah pemilik tanah dan sang pengusaha. Ketiga sudah memiliki tanah, sang pengusaha harus mengurus sejumlah perijinan. Setelah ijin dikantonginya (dus dia menyelesaikan transaksi dengan pemerintah), dimulailah proses pembangunan pabrik. Setelah pabrik beroperasi, penduduk sekitar pabrik harus menerima kenyataan bahwa air sumur mereka mengering. Mengapa hal itu terjadi. Pabrik di dalam komunitas memeka telah menyedot air dalam volume besar-besaran. Dalam kasus ini jelas terlihat adanya interaksi ekologis, yakni penyedotan air bawah tanah, telah menyebabkan penduduk sekitar pabrik yang tidak terlibat dalam transaksi dengan pengusaha, harus memikul biaya eksternalitas yang diciptakan oleh pengusaha. Point yang ingin dikedepankan di sini adalah bahwa kesediaan untuk mengkaitkan dinamika ekologis akan memudahkan ekonom memahami biaya eksternalitas, dan proses pembangunan pabrik tadi bisa menekan konflik sekiranya perusahaan yang bersangkutan dikenai sanksi sekiranya gagal melakukan internalisasi biaya eksternalitas tadi.

Kegagalan untuk memasukkan dimensi ekologis ini secara tragis melanda ilmuwan poltik. Mereka telah meminjam konsep ‘sistem’ dari para ekolog. Konsep sistem ini tadinya dipakai oleh para ekologis untuk memahami (dan menjelaskan) keteraturan dalam interaksi ekologis. Melalui konsep sistem ini bisa dijelaskan tentang rantai makanan, ketergantungan antar makhluk hidup dan sebagainya. Point penting dari para ekolog dibalik penggunaan kata ‘sistem’ ini adalah bahwa ekuilibrium atau tatanan kehidupan akan runtuh ketika ada rantai interaksi yang terputus atau mengalami perubahan secara drastis. Nah, apa yang terjadi ketika ilmuwan politik menggunakan konsep ‘sistem’. Ilmuwan politik hanya memperhatikan keterkaitan antara tindakan manusia yang satu terhadap manusia yang lain, dan keterkaitan manusia dengan makhluk hidup yang lain tidak sempat dicermati. Padahal, melalui perubahan kondisi

20

environmental governance

Interaksi dalam Sistem Sosial

Interaksi dalam Sistem bio-fisik

(ekosistem)

“good governance” manajemen lingkungan

Skema IKaitan Antara konsep governance, manajemen lingkungan hidup dan environmental governance

makhluk hidup lain itulah kesejahteraan/kesengsaraan sosial terpola. Hal ini diperparah oleh kecenderungan satu disiplin ilmu tidak mencampuri disiplin ilmu lain. Ekolog tidak semestinya “masuk” ke pembahasan ilmu politik dan sebaliknya, ilmu politik “boleh” tidak menggubris pesan sentral ekolog. Justru disiplin ilmu ini ditegakkan dengan menghindari pencampur-adukan. Ironisnya, kedisiplinan dalam menegakkan disiplin ilmu ini justru membahayakan manusia sendiri.

Konsep environmental governance, menurut hemat penulis, perlu dibangun di atas premis sentral bahwa sistem sosial dan ekosistem dari waktu ke waktu terlibat dalam interaksi (aksi-reaksi) yang tidak berkesudahan. Hal ini diperlihatkan dalam skema I. Pengelolaan lingkungan hidup perlu kekerangkai sebagai persoalan pemolaan interaksi antara sistem sosial dengan ekosistem. Sehubungan dengan hal itu, perlu diingat bahwa sistem sosial sendiri berisikan kompleksitas interaksi, dann ekologipun berisikan suatu kompleksitas interaksi.

Sebagaimana diperlihatkan dalam dalam skema I, kosep good governance yang gencar diwacanakan selama ini sebetulnya didasarkan pada pengamatan atau teorisasi atas interaksi sosial. Interaksi sosial yang dijadikan rujukan untuk

21

menentukan baik tidaknya suatu pola penyelenggaraan kepentingan publik adalah interaksi sosial yang tidak dikait-kaitkan dengan dinamika ekosistem, meskipun kaitan ini ada. Sementara itu, konsep menajemen lingkungan didapatkan dari pengamatan dan pendayagunaan teori-teori ekologi yang diturunkan dari pengkajian interaksi sistem bio-fisik. Atas dasar pemahaman teori-teori ekonogi ini para manajer lingkungan hidup memanipulasi berkerjanya sistem bio-fisik. Pemaknaan good governance yang sifatnya teknosentrik, tidak dengan serta-merta menjamin kelestarian lingkungan. Di sisi lain, majamenen lingkungan hidup yang hanya mensiasati hukum-hukum ekologis tidak menjamin terkelolanya lingkungan hidup dengan baik.

Sehungan dengan hal-hal tersebut di atas, konsep environmental governance perlu dikembangkan sedemikian sehingga meminimalisir kedua kecenderungan antroposentik tersebut di atas. Artinya, good governance perlu didefinisikan sedemikian sehingga judgementnya tidak bersifat teknosentrik atau antroposentrik. Good dan bad harus dilihat dalam kerangka fikir yang konsisten dengan dalil-dalil ekologi! Lebih dari itu, yang perlu dikelola bukan hanya entitas bio-fisik (sungai, danau, sumberdaya alam, lahan dan sebagainya) melainkan perilaku manusia. Sehubungan dengan hal itu, perlu dipastikan agar tercipta kapasitas kelembagaan yang memadai untuk pola perilaku didasarkan pada cara fikir antroposentrik terkoreksi oleh kendala-kendala ekologis, dan sistem sosial yang terbentuk adalah yang berpilarkan kaidah-kaidah ekologis.

Pemaknaan environmental governance dalam makalah ini tidak semestinya terus terikat dengan pemaknaan yang antroposentrik. Konsep governance diambil untuk kepentingan tulisan ini justru dalam rangka mengedepankan urgensi memperlakukan lingkungan sebagai suatu cara pandang. Melalui bingkai pemikiran environmental governance diharapkan bisa dirumuskan pembaruan penyelenggaraan kepentingan publik dengan mengacu atau mengedepankan nilai-nilai ekologis. Jelasnya, baik-buruknya penyelenggaraan pemerintahan tidak hanya dilihat dari kualitas hubungan negara dengan rakyatnya, namun juga dari kualitas interaksi ekologisnya, dari segi komitmennya untuk menjunjung tinggi kaidah-kaidah ekologis.

Sebagaimana diperlihatkan oleh skema I, sistem sosiak menjalin interaksi yang intens dan berkelanjutan dengan

22

sistem bio-fisik. Kerusakan lingkungan hidup sangat erat kaitannya dengan kelangsungan interaksi sosial yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, baik yang berlangsung secara resmi maupun yang tidak resmi. Kerusakan juga erat kaitannya dengan kecenderungan setiap pengguna lingkungan hidup untuk menikmati jasa lingkungan hidup tanpa menghiraukan efek pemanfaatan jasa lingkungan ini terhadap fihak lain.8 Kerusakan lingkungan hidup ini juga sangat erat kaitannya dengan menggejalanya keleluasaan masing-masing pengguna jasa lingkungan hidup untuk menghindar dari tanggung jawab. Singkat kata, kerusakan lingkungan sangat erat kaitannya dengan ketidakberesan perilaku ummat manusia. Kalau pernyataan ini boleh dibalik, pengelelolaan lingkungan hidup mensyaratkan adanya kemampuan untuk mengelola perilaku kolektif ummat manusia itu sendiri.

Implikasi Konseptual

Terdapat urgensi untuk menggusur cara pandang yang antroposentris. Hal ini relevan meningat beberapa hal berikut ini. Pertama, bahwa lingkungan hidup tidak semestinya diperlakukan sebagai benda yang independent. Lingkungan hidup tidak cukup difahami semata-mata sebagai realita bio-fisik. Bekerjanya sistem bio-fisik (ekosistem) memiliki pengaruh tertentu terhadap bekerjanya sistem sosial. Sebaliknya, bekerjanya sistem sosial mempengaruhi proses bio-fisik yang terkait. Oleh karena itu, lingkungan hidup perlu senantiasa difahami kaitannya dengan masyarakat yang berinteraksi dengannya. Artinya:

Yang perlu di-manage bukan hanya lingkungan sebagai entitas bio-fisik tersebut, namun juga pola interaksi sosial yang berlangsung.

8 Fihak lain ini bisa berarti fihak-fihak yang tidak ikut bertransaksi dalam “jual beli” jasa lingkungan hihup. Mereka ini bisa jadi orang yang tiba-tiba harus menanggung akibat dari persoalan yang telah terakumulasi selama berpuluh-puluh tahun. Orang yang hidup di jaman sekarang harus menanggung akibat pergeseran iklim, padahal mereka tidak pernah berniat mengubahnya. Orang yang berada di hilir sungai harus menanggung pendangkalan sungai, meskipun tidak ikut ambil bagian dalam penggundulan bukit di daerah hulu. Orang Singapura harus “rela” kena asap dari hutan-hutan Kalimantan dan Sumatra, meskipun mereka tidak terlibat dalam pengelolaan hutan di sana.

23

Yang perlu dicermati bukan hanya perubahan kondisi bio-fisik lingkungan, namun juga bekerjanya sistem-sitem sosial yang berlangsung.

Kedua, kemajuan peradaban berjalan seiring dengan kemampuan untuk mengubah kondisi alam (lingkungan bio-fisik). Perkembangan kehidupan masuarakat yang semakin modern berjalan seiring dengan pola konsumsi sumberdaya alam yang semakin tinggi, dan penciptaan limbah yang semakin besar. Modernitas membawa kehidupan yang secara sistemik semakin riskan. Pada saat yang sama, tata kehidupan modern semakin mengandalkan pada bekerjanya tatanan yang sifatnya terlembaga, terbakukan secara struktural dan membudaya. Kehidupan modern hanya bisa berlanjut ketika ditunjang oleh suatu bentuk ketahanan sistemik. Ini berarti bahwa, kerentanan pada tataan sistemik bisa meruntuhkan sistem sosial maupun sistem bio-fisik (ekosistem). Oleh karena pertimbangan di atas itulah maka diyakini bahwa, kunci dari pengelolaan lingkungan adalah pengelolaan pola interaksi sosial.

Ketiga, interaksi sosial sejauh memiliki bentuk yang beraneka ragam. Sungguhpun demikian, pola interaksi yang ada pada dasarnya bisa dipetakan coraknya. Ada corak yang sangat mengandalkan konsistensi hierarkhis di satu ekstrim, dan ata corak yang sangat mengandalkan mekanisme transaksi suka rela. Pola interaksi yang pertama sangat jelas terlihat pada bekerjanya birokrasi pemerintahan, dan pola yang lain kita kenal sebagai mekanisme pasar.

Birokrasi bekerja atas dasar perintah yang ditentukan dari atasan atau fihak yang memiliki kewenangan lebih tinggi. Bekerjanya sistem yang birokratis sangat ditentukan oleh kepatuhan terhadap yang telah dirumuskan secara hierarkhis.

Mekanisme pasar pada hakekatnya adalah mekanisme transaksi suka sama suka. Melalui pertukaran (exchange) antara yang kelebihan dengan yang kekurangan, atau antara pemasok dan pembeli berlangsung.

Poin yang ingin dikedepankan di sini adalah bahwa nasib lingkungan hidup sangat ditentukan oleh bekerjanya mekanisme pasar maupun bekerjanya birokrasi pemerintahan. Ini berarti bahwa, titik strategis dalam pengelolaan lingkungan adalah pencermatan terhadap bekerjanua mekanisme pasar maupun bekerjanya mesin pemerintahan.

24

Keempat, ‘negara’ dan ‘pasar’ adalah mekanisme yang secara alamiah telah terpola dalam kehidupan sehari-hari. Pengamatan sejauh ini memperlihatkan bahwa kebijakan negara sangat sensitif terhadap sentimen pasar, dan sebaliknya sentimen pasar sangat mengkondisikan apa yang akan diputuhkan oleh pejabat. Oleh karena itu, yang menjadi persoalan terpenting bukan memilih interaksi yang dilakukan birokrasi namun juga interaksi sosial yang berdasar mekanisme pasar. ‘Negara’ dan ‘pasar’ bukanlah pilihan, melainkan pola yang harus dicermati dan dikelola. Di masa lalu, ketika yang menjadi kepedulian adalah peran negara maka yang menjadi kerangka fikir adalah apa yang harus dilakukan oleh negara dalam pengelolaan lingkungan hidup. Nasib lingkungan hidup sangat ditentukan oleh kemampuan negara. Seiring dengan semakin dominannya pola interaksi berbasis pasar dalam kehidupan sehari-hari maka wacana yang berkembang mengalami pergeseran, dari ‘government’ ke ‘governance’. Yang dipentingkan bukan agency yang terlibat namun juga interaksi antar agency tersebut.

Sehubungan dengan point keempat tersebut di atas, perlu kiranya dicermati adanya kecenderungan untuk mengedepankan peranan pasar dalam memahami good governance. Sebagai contoh, good governance adalah penyelenggaraan pemerintahan yang tidak didominasi pemerintah melainkan pemerintahan yang partisipatif. Pemerintahan yang baik adalah yang akuntabel, bukan hanya memuaskan dirinya sendiri.9 Dalam bentuk seperti inilah wacana good governance erat kaitannya dengan pelembagaan format a la neo-liberal. Format yang diiedealkan adalah yang kuat namun lingkupannya hanya pada hal-hal yang tidak bisa dikelola oleh aktor-aktor non negara. Pembahasan sekelumit tentang wacana good governance tersebut di atas memang relevan mengingat negara justru bermasalah ketika mengemban tanggung jawab dalam pengelolaan lingkungan hidup.10 Hanya saja, tidak ada kita juga harus ingat bahwa pengurangan peran pemerintah tidak menjanjikan apa-apa kalau masyarakat juga memiliki

9 United Nation Development Programme, Recontualising Governance: Discussion Paper 2, New York, 1997.

10 Santoso, Purwo; The Politics of Environmental Policy-Making in Indonesia: Study of State’s Capacity, Ph.D Thesis, London School of Economics and Political Science, 1999.

25

kesalahan yang sama dengan pememrintah: berfikir etnosentrik ataupun teknosentrik.

Implikasi Praktis

Sebetulnya tidak fair kalau dikatakan bahwa upaya untuk mengatasi persoalan lingkungan hidup selama ini tidak membuahkan hasil sama sekali. Yang sebetulnya terjadi adalah, kemapuan untuk mengatasi persoalan lingkungan tidak diikuti dengan penghentian kecenderungan destruktif: seperti pola konsumsi sumberdaya alam yang terus meningkat dan bahkan semakin boros seiring dengan tingkat kesejahteraan yang dicapai. Sehubungan dengan hal itu, maka pengembangan etika dan etos yang konsisten dengan kepentingan lingkungan menjadi kenharusan yang tidak bisa di tawar. Kalau toh pengelolaan lingkungan hidup harus mengandalkan mekanisme pasar, pada pelaku pasar tersebut perlu mengadopsi etika lingkungan sedemikian sehingga transaksi-transaksi yang terjadi hanya dilakukan di atas kepatuhan terhadap spirit ekologis. Paralel dengan hal itu, para pejabat negara bisa mengemban amanat pengelolaan lingkungan hidup dibalik setiap keputusan yang diambilnnya sekiranya mereka juga mengadopsi etika lingkungan.

Sebagai suatu bingkai konseptual, environmental governance memang tidak menjanjikan solusi praktis dalam jangka pendek, namun diharapkan membantu kita membidik kelemahan mendasar yang tersembunyi di balik rutinitas, dibalik obsesi kita untuk melakukan kegiatan-kegiatan riil demi lingkungan hidup. Pragmatisme dalam pengelolaan lingkungan yang tidak disertai dengan refleksi yang memadai kiranya akan menjebak mereka dalam frustrasi manakala yang mereka jangkau hanyalah persoalan-persoalan yang superfisial.

Pertama, issue sentral dalam pemikiran dan pengembangan governance adalah kesadaran akan adanya keterkaitan berbagai fihak. Sehubungan dengan hal itu, maka kesadaran tentang sistem merupakan persoalan sentral. Perlu diingat, yang harus disadarkan tentang bekerjanya sistem bukan hanya masyarakat awam melainkan justru para aktor strategis: pejabat, pengusana, teknokrat dan tokoh-tokoh yang lain.

26

Bagi para pejabat perlu disadari bahwa birokrasi pada dasarnya adalah suatu sistem, yang hanya bisa berfungsi secara sistemik sekiranya perilaku mereka konsisten dengan sistem tersebut. Para birokrat seringkali berfikir sebagai pribadi dan tidak jarang mengemas kepentingan pribadi seolah-olah merupakan kepentingan negara. Mereka mengandaikan bahwa sistem bisa berjalan meskipun dirinya bekerja diluar kerangka fikir sistem. Justru sistem menjadi rusak ketika ada aktor yang perilakunya menyimpang dari kaidah yang ditetapkan. Kalau yang menyimpang adalah minoritas, penyimpangan ini boleh disebut sebagai deviasi, dan hal ini mungkin bisa dimaklumi. Namun, kalau yang melakukan penyimpangan adalah kalangan mayoritas, maka yang terjadi adalah mengelabuhan sistemik. Dalam kondisi ini, sistem sebetulnya sudah tidak ada lagi. Kosen sistem, sebagaimana dilahirkan oleh para ekolog memang merupakan suatu abstraksi akademik. Hanya saja perlu diingat bahwa ketika para pelaku gagal mereplikasi interaksi yang sifatnya sistemik, maka abstaksi tersebut tidak memiliki manfaat apa-apa untuk menyelesaikan masalah.

Para teknokrat dan manajer perlu menyadari bahwa bahawa berbagai skema berfikir dan skema kerja yang mereka rumuskan perlu di share dengan semua aktor yang terkait. Untuk itu, di satu sisi mereka perlu melakukan sosialisasi tentang langkah-langkah yang mereka usulkan, namun di sisi lain, langkah tersebut harus konsisten dengan tatanan kehidupan sosial yang berlaku. Kearifan lokal perlu mendapat tempat dalam skema kerja yang telah dirumuskan secara “rasional” oleh para cerdik pandai.

Kedua, kalau kita ingin tetap memakai framework managerial dalam pengelolaan lingkungan hidup, koordinasi merupakan titik strategis dalam pengembangan environmental governance. Hanya saja, perlu dicatat bahwa koordinasi tidak cukup melibatkan aparat birokrasi atau para manager, melainkan melibatkan seluas mungkin stake holder. Untuk itu, mari kita cermati contoh kasus berikut ini.

Beberapa waktu yang lalu penulis berkunjung ke Chiang May, Thailand. Dalam kunjungan itu penulis diajak melihat kasus bagaimana mereka bisa mengelola konflik kepentingan dalam suatu DAS. Ada daerah aliran sungai yang kemudian ada konflik yang sangat sulit dipecahkan, solusi yang ditawarkan mereka adalah sangat sederhana, mari kita segmentasi persoalan dalam DAS yang sifatnya memanjang

27

itu. Merka bersepat untuk melakulan segmentasi persoalan. Caranya tetap saja menggunakan konsep DAS, lebih tepatnya mereka menentukan batas-batas sub DAS. Dalam pada itu, DAS bagian yang hilir melibatkan para petani tanaman keras, dan DAS yang bagian tengah disitu kebetulan menjadi konsentrasi tempat bagi rekreasi resort hotel. Dengan menghudi DAS semacam ini kita tahu ada kebutuhan akan air itu sangat tinggi. DAS yang dibawah lagi yang dibutuhkan kota dan sebagainya.

Yang mereka lakukan adalah sebagai berikut. Supaya konflik bisa terkelola dengan baik maka mereka kemudian silahkan mengembangkan sebuah mekanisme perwakilan dalam sub DAS itu. Orang-orang yang bagian atas itu sepakat tentang esensi persoalan apa yang harus dinegosiasikan dengan sub das yang lain. Begitu juga Orang yang tinggal di DAS yang lain. DAS yang ditengah, karena isinya adalah perusahaan-perusahaan besar yang mengeksploitasi air dalam jumlah besar, akhirnya menjadi central point.

Dari perwakilan antar DAS ini terlihat upaya untuk terlihat bahwa upaya mengintegrasikan entitas ekologis dengan entitas politis/administratif adalah sesuatu yang mungkin. Menurut para pelaku yang ditemui dalam kunjungan tersebut, dengan cara itu maka berbagai macam bisa dibahas dan dicarikan pemecahan bersama. DAS yang tadinya diperlakukan sebagai intrumen pengelolaan lingkungan bio-fisik, bisa dikembangkan sebagai instrumen pengelolaan proses politik dalam rangka mengeloka konflik. DAS telah hadir sebagai intrumenn pengelolaan interaksi sosial.

Sepertinya kita mengalami kesulitan untuk meniru pengalaman Thailand tersebut di atas. Hal ini terkait teritori pejabat. Bupati atau Walikota itu sudah jelas teritorinya, dan bersikeras dengan kekuasaannya di dalam teritori tersebut. Mereka tidak dengan mudah menghilang tradisi politik sektoral tadi sektorisasi teritorial. Pertanyaannya, bersediakan mereka lebih mengedepankan DAS dari pada yurisdiksi administratifnya ?

Cara penyelenggaraan pemerintahan yang diinspirasi nilai ekologis (dalam hal ini DAS) hanya bisa berjalan manakala logika governance dihayati secara serius. Interaksi pengelolaan lingkungan hidup tidak cukup difahami sebagai interaksi birokratis, melainkanjuga interaksi jaringan dan pengorganisasian masyarakat. Implikasinya, organisasi

28

berkerja sesuai dengan format ekologisnya. Lembaga perwakilan juga mewakili kepentingan-kepentingan yang sudah dipolakan oleh ekosistemnya. Hal itu semua bisa jalan sebagai suatu sistem manakala ada rasa saling percaya (trust) di antara berbagai fihak yang terkait. Pelu diingat, pengelolaan trust ini langsung terkait dengan pengelolaan unit-unit ekosistem setempat. Hal inilah yang menjembatani kepentingan ekosistem dengan kepentingan masyarakat. Adanya lembaga perwakilan memungkinkan masing-masing pihak untuk memposisikan diri untuk melakukan tawar menawar. Kalau egoisme masing-masing dibiarkan ujung-ujungnya dia sendiri juga akan rugi. Katakanlah hotel yang dibagian tengah tadi tidak mau tahu, ujung-ujungnya kemudian ada protes dan lain sebagainya yang akan menyebabkan dia rugi. Hal semacam itulah yang menjadi, tapi riot itu bisa diklasifikasi ketika dia sama-sama mengabaikan prinsip-prinsip ekologis.

29