Good Corporate Governance
-
Upload
rhovick-van-balicohollackzs -
Category
Documents
-
view
217 -
download
0
Transcript of Good Corporate Governance
I. DEFINISI
Sumber wikipedia : Tata kelola perusahaan (bahasa Inggris: corporate governance) adalah
rangkaian proses, kebiasaan, kebijakan, aturan, dan institusi yang memengaruhi pengarahan,
pengelolaan, serta pengontrolan suatu perusahaan atau korporasi. Tata kelola perusahaan juga
mencakup hubungan antara para pemangku kepentingan (stakeholder) yang terlibat serta tujuan
pengelolaan perusahaan. Pihak-pihak utama dalam tata kelola perusahaan adalah pemegang
saham, manajemen, dan dewan direksi. Pemangku kepentingan lainnya termasuk karyawan,
pemasok, pelanggan, bank dan kreditor lain, regulator, lingkungan, serta masyarakat luas.
Tata kelola perusahaan adalah suatu subjek yang memiliki banyak aspek. Salah satu topik utama
dalam tata kelola perusahaan adalah menyangkut masalah akuntabilitas dan tanggung jawab
mandat, khususnya implementasi pedoman dan mekanisme untuk memastikan perilaku yang
baik dan melindungi kepentingan pemegang saham. Fokus utama lain adalah efisiensi ekonomi
yang menyatakan bahwa sistem tata kelola perusahaan harus ditujukan untuk mengoptimalisasi
hasil ekonomi, dengan penekanan kuat pada kesejahteraan para pemegang saham. Ada pula sisi
lain yang merupakan subjek dari tata kelola perusahaan, seperti sudut pandang pemangku
kepentingan, yang menuntut perhatian dan akuntabilitas lebih terhadap pihak-pihak lain selain
pemegang saham, misalnya karyawan atau lingkungan.
Perhatian terhadap praktik tata kelola perusahaan di perusahaan modern telah meningkat akhir-
akhir ini, terutama sejak keruntuhan perusahaan-perusahaan besar AS seperti Enron Corporation
dan Worldcom. Di Indonesia, perhatian pemerintah terhadap masalah ini diwujudkan dengan
didirikannya Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) pada akhir tahun 2004.
Good Corporate Governance (GCG) tidak lain pengelolaan bisnis yang melibatkan kepentingan
stakeholders serta penggunaan sumber daya berprinsip keadilan, efisiensi, transparansi dan
akuntabilitas. Hal tersebut, dalam keberadaannya penting dikarenakan dua hal. Hal yang
pertama, cepatnya perubahan lingkungan yang berdampak pada peta persaingan global.
Sedangkan sebab kedua karena semakin banyak dan kompleksitas stakeholders termasuk struktur
kepemilikan bisnis. Dua hal telah dikemukakan, menimbulkan: turbulensi, stres, risiko terhadap
bisnis yang menuntut antisipasi peluang dan ancaman dalam strategi termasuk sistem
pengendalian yang prima.
Good Corporate Governance tercipta apabila terjadi keseimbangan kepentingan antara semua
pihak yang berkepentingan dengan bisnis kita. Identifikasi keseimbangan dalam keberadaannya
memerlukan sebuah system pengukuran yang dapat menyerap setiap dimensi strategis dan
operasional bisnis serta berbasis informasi. Sistem pengukuran tersebut, tidak lain konsep BSC.
BSC mampu mengukur kinerja komprehensif dan mengakomodasikan kepentingan internal
bersama kepentingan eksternal bisnis. Pengukuran kinerja konsep GCG berdasarkan kepada lima
dasar,yaitu: perlindungan hak pemegang saham, persamaan perlakuan pemegang saham, peranan
stakeholders terkait dengan bisnis, keterbukaan dan transparansi, akuntabilitas dewan komisaris.
Pengukuran kinerja tersebut juga, berdimensi aktifitas operasional internal, intelektual kapital
dan pembelajaran, kapasitas untuk inovasi dan respon terhadap pasar, produk dan penerimaan
pasar, hubungan dengan pelanggan, hubungan dengan investor, hubungan dengan partner dan
stakeholders lainnya seperti Deperindag, hubungan dengan publik sasaran, lingkungan,
keuangan. Pendek kata, pengukuran kinerja yang berorientasi GCG dipandang sebagai
pengembangan dari pengukuran kinerja BSC. Good Corporate Governance memebrikan
kontribusi dapat dijadikan alternatif penting meningkatkan kualitas proses bisnis melalui
informasi yang dihasilkan serta peranannya sebagai performance driver, performance
measurement. Karena, walau bagaimana pun proses bisnis diperbaiki secara tepat dan akurat
apabila diperoleh informasi yang akurat serta komprehensif tentang apa yang harus diperbaiki
termasuk apa yang harus ditingkatkan.
II. SEJARAH GOOD COORPORATE GOVERNANCE
Sumber : Pidato pengukuhan guru besar (Prof. Drs. H. Arifin, MCom. (Hons.), Akt., Ph.D. ) :
Istilah Corporate Governance (CG) pertama kali diperkenalkan oleh Cadbury Committee tahun
1992 dalam laporannya yang dikenal sebagai Cadbury Report (Tjager dkk., 2003). Terdapat
banyak definisi tentang CG yang pendefinisiannya dipengaruhi oleh teori yang melandasinya.
Perusahaan/korporasi dapat dipandang dari dua teori, yaitu (a) teori pemegang saham
(shareholding theory), dan (b) teori stakeholder (stakeholding theory).
Shareholding theory mangatakan bahwa perusahaan didirikan dan dijalankan untuk tujuan
memaksimumkan kesejahteraan pemilik/pemegang saham sebagai akibat dari investasi yang
dilakukannya. Shareholding theory ini sering disebut sebagai teori korporasi klasik yang sudah
diperkenalkan oleh Adam Smith pada tahun 1776. Definisi CG yang berdasar pada shareholding
theory diberikan oleh Monks dan Minow (1995) yaitu hubungan berbagai partisipan
(pemilik/investor dan manajemen) dalam menentukan arah dan kinerja korporasi. Definisi lain
diajukan oleh Shleifer dan Vishny (1997) yang menyebutkan bahwa CG sebagai cara atau
mekanisme untuk meyakinkan para pemilik modal dalam memperoleh hasil (return) yang sesuai
dengan investasi yang ditanamkan.
Stakeholding theory, diperkenalkan oleh Freeman (1984), menyatakan bahwa perusahaan adalah
organ yang berhubungan dengan pihak lain yang berkepentingan, baik yang ada di dalam
maupun di luar perusahaan. Definisi stakeholder ini termasuk karyawan, pelanggan, kreditur,
suplier, dan masyarakat sekitar dimana perusahaan tersebut beroperasi. Adapun definisi Good
Corporate Governance dari Cadbury Committee yang berdasar pada teori stakeholder adalah
sebagai berikut :
“A set of rules that define the relationship between shareholders, managers, creditors,
the government, employees and internal and external stakeholders in respect to their
rights and responsibilities”.
(Seperangkat aturan yang mengatur hubungan antara para pemegang saham, manajer,
kreditur, pemerintah, karyawan, dan pihak-pihak yang berkepentingan lainnya baik internal
maupun eksternal lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka).
Pengertian lain CG menurut Surat Keputusan Menteri Negara/Kepala Badan Penanaman
Modal dan Pembinaan BUMN No. 23/M PM/BUMN/2000 tentang Pengembangan Praktik GCG
dalam Perusahaan Perseroan (PERSERO), Good Corporate Governance adalah prinsip korporasi
yang sehat yang perlu diterapkan dalam pengelolaan perusahaan yang dilaksanakan semata-mata
demi menjaga kepentingan perusahaan dalam rangka mencapai maksud dan tujuan perusahaan.
Berdasarkan definisi-definisi tersebut, nampak dengan jelas bahwa CG merupakan upaya yang
dilakukan oleh semua pihak yang berkepentingan dengan perusahaan untuk menjalankan
usahanya secara baik sesuai dengan hak dan kewajibannya masing-masing.
III. PRINSIP DASAR GOOD CORPORATE GOVERNANCE
Tujuan GCG pada intinya adalah menciptakaan nilai tambah bagi semua pihak yang
berkepentingan. Pihak-pihak tersebut adalah pihak internal yang meliputi dewan komisaris,
direksi, karyawan, dan pihak eksternal yang meliputi investor, kreditur, pemerintah, masyarakat
dan pihak–pihak lain yang berkepentingan (stakeholders). Dalam praktiknya CG berbeda di
setiap negara dan perusahaan karena berkaitan dengan sistem ekonomi, hukum, struktur
kepemilikan, sosial dan budaya. Perbedaan praktik ini menimbulkan beberapa versi yang
menyangkut prinsip-prinsip CG, namun pada dasarnya mempunyai banyak kesamaan.
Menurut Cadbury Report (1992), prinsip utama GCG adalah: keterbukaan, integritas dan
akuntabilitas. Sedangkan menurut Organization for Economic Corporation and Development
atau OECD, prinsip dasar GCG adalah: kewajaran (fairness), akuntabilitas (accountability),
transparansi (transparency), dan responsibilitas (responsibility). Prinsip-prinsip tersebut
digunakan untuk mengukur seberapa jauh GCG telah diterapkan dalam perusahaan. Dalam
pidato saya ini, selanjutnya akan digunakan prinsip dasar menurut OECD.
III.1. Kewajaran (fairness)
Prinsip kewajaran menekankan pada adanya perlakuan dan jaminan hak-hak yang sama kepada
pemegang saham minoritas maupun mayoritas, termasuk hak-hak pemegang saham asing serta
investor lainnya. Praktik kewajaran juga mencakup adanya sistem hukum dan peraturan serta
penegakannya yang jelas dan berlaku bagi semua pihak. Hal ini penting untuk melindungi
kepentingan pemegang saham dari praktik kecurangan (fraud) dan praktik-praktik insider
trading yang dilakukan oleh agen/manajer. Prinsip kewajaran ini dimaksudkan untuk mengatasi
masalah yang timbul dari adanya hubungan kontrak antara pemilik dan manajer karena diantara
kedua pihak tersebut memiliki kepentingan yang berbeda (conflict of interest).
III.2. Akuntabilitas (accountability)
Prinsip akuntabilitas berhubungan dengan adanya sistem yang mengendalikan hubungan antara
unit-unit pengawasan yang ada di perusahaan. Akuntabilitas dilaksanakan dengan adanya dewan
komisaris dan direksi independen, dan komite audit. Akuntabilitas diperlukan sebagai salah satu
solusi mengatasi Agency Problem yang timbul antara pemegang saham dan direksi serta
pengendaliannya oleh komisaris. Praktik-praktik yang diharapkan muncul dalam menerapkan
akuntabilitas diantaranya pemberdayaan dewan komisaris untuk melakukan monitoring, evaluasi,
dan pengendalian terhadap manajemen guna memberikan jaminan perlindungan kepada
pemegang saham dan pembatasan kekuasaan yang jelas di jajaran direksi.
III.3. Transparansi (transparency)
Prinsip dasar transparansi berhubungan dengan kualitas informasi yang disajikan oleh
perusahaan. Kepercayaan investor akan sangat tergantung dengan kualitas informasi yang
disampaikan perusahaan. Oleh karena itu perusahaan dituntut untuk menyediakan informasi yang
jelas, akurat, tepat waktu dan dapat dibandingkan dengan indikator-indikator yang sarna. Prinsip
ini diwujudkan antara lain dengan mengembangkan sistem akuntansi yang berbasiskan standar
akuntansi dan best practices yang menjamin adanya laporan keuangan dan pengungkapan yang
berkualitas, mengembangkan teknologi informasi dan sistem informasi akuntansi manajemen
untuk menjamin adanya pengukuran kinerja yang memadai dan proses pengambilan keputusan
yang efektif oleh dewan komisaris dan direksi; termasuk juga mengumumkan jabatan yang
kosong secara terbuka (Tjager dkk, 2003 : 51). Dengan kata lain prinsip transparansi ini
menghendaki adanya keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan dan
keterbukaan dalam penyajian (disclosure) informasi yang dimiliki perusahaan.
III.4. Responsibilitas (responsibility)
Responsibilitas diartikan sebagai tanggungjawab perusahaan sebagai anggota masyarakat untuk
mematuhi peraturan dan hukum yang berlaku serta pemenuhan terhadap kebutuhan-kebutuhan
sosial. Responsibilitas menekankan pada adanya sistem yang jelas untuk mengatur mekanisme
pertanggungjawaban perusahaan kepada pemegang saham dan pihak-pihak lain yang
berkepentingan. Hal tersebut untuk merealisasikan tujuan yang hendak dicapai GCG yaitu
mengakomodasi kepentingan pihak-pihak yang berkaitan dengan perusahaan seperti masyarakat,
pemerintah, asosiasi bisnis dan pihak-pihak lainnya.
IV. MEKANISME CORPORATE GOVERNANCE
Mekanisme corporate governance merupakan suatu aturan main, prosedur dan hubungan yang
jelas antara pihak yang mengambil keputusan dengan pihak yang melakukan
kontrol/pengawasan terhadap keputusan tersebut. Mekanisme governance diarahkan untuk
menjamin dan mengawasi berjalannya sistem governance dalam sebuah organisasi (Walsh dan
Seward, 1990).
Walsh dan Seward (1990) menyatakan bahwa terdapat 2 mekanisme untuk membantu
menyamakan perbedaan kepentingan antara pemegang saham dan manajer dalam rangka
penerapan GCG, yaitu: (1) mekanisme pengendalian internal perusahaan, dan (2) mekanisme
pengendalian eksternal berdasarkan pasar.
Mekanisme pengendalian internal adalah pengendalian perusahaan yang dilakukan dengan
membuat seperangkat aturan yang mengatur tentang mekanisme bagi hasil, baik yang berupa
keuntungan, return maupun risiko-risiko yang disetujui oleh prinsipal dan agen. Salah satu
pilihan mekanisme pengendalian internal untuk menyamakan kepentingan pemegang saham dan
manajer adalah kontrak insentif jangka panjang (Walsh dan Seward, 1990; Jensen, 1993).
Kontrak jangka panjang ini dilakukan dengan memberikan insentif pada menajer apabila nilai
perusahaan atau kemakmuran pemegang saham meningkat, salah satunya dengan cara memberi
kepemilikan saham kepada manajer (Jensen dan Meckling, 1976; Fama, 1980). Dengan
demikian, manajer akan termotivasi untuk meningkatkan nilai peruahaan atau meningkatkan
kemakmuran pemegang saham karena hal tersebut juga akan meningkatkan kekayaan manajer
sendiri.
Mekanisme pengendalian eksternal adalah pengendalian perusahaan yang dilakukan oleh pasar.
Menurut teori pasar untuk pengendalian perusahaan (market for corporate control), pada saat
diketahui bahwa manajemen berperilaku menguntungkan diri sendiri, kinerja perusahaan akan
menurun yang direfleksikan oleh nilai saham perusahaan. Pada kondisi tersebut, kelompok
menajer lain akan menggantikan manajer yang sedang memegang jabatan. Dengan demikian
bekerjanya market for corporate control bisa menghambat tindakan menguntungkan diri manajer
sendiri (Jensen dan Meckling, 1976).
Mekanisme pengendalian lain yang secara luas digunakan dan diharapkan dapat menyelaraskan
tujuan prinsipal dan agen adalah mekanisme melalui pelaporan keuangan. Melalui laporan
keuangan yang merupakan tanggungjawab manajer, pemilik dapat mengukur, menilai, sekaligus
dapat mengawasi kinerja manajer untuk mengetahui sejauh mana menajer telah bertindak untuk
meningkatkan kesejahteraan pemilik. Selain itu pemilik dapat memberikan kompensasi kepada
manajer berdasarkan laporan keuangan. Laporan keuangan yang dibuat dengan berdasarkan
angka-angka akuntansi diharapkan berperan besar dalam meminimalkan konflik antara berbagai
pihak yang berkepentingan dalam perusahaan (Jensen dan Meckling, 1976; Watts dan
Zimerman, 1986).
Dalam hubungannya dengan jenis informasi yang disajikan dalam laporan keuangan perusahaan,
terdapat dua jenis sifat informasi yang diungkapkan. Penmann (1988) membagi sifat informasi
yang diungkapkan menjadi mandatory disclosure dan voluntary disclosure. Informasi yang
bersifat mandatory disclosure merupakan informasi yang harus diungkapkan dalam laporan
keuangan karena memang diwajibkan oleh peraturan atau undang-undang. Sedangkan voluntary
disclosure merupakan jenis informasi yang secara sukarela diungkapkan di dalam laporan
keuangan yang bertujuan untuk menambah kegunaan informasi mengenai kekayaan dan hasil
operasi suatu perusahaan kepada para pemakai laporan keuangannya. Informasi yang bersifat
voluntary disclosure ini berperan untuk melengkapi informasi yang bersifat mandatory
disclosure yang diharapkan dapat meningkatkan kegunaan informasi dalam laporan keuangan.
Dari hasil penelitian terdahulu diperoleh hasil bahwa praktik disclosure ternyata sangat beragam
antar negara. Chow dan Wong-Boren (1987) serta Meek dan Robert (1995) menyatakan bahwa
di Meksiko informasi mengenai laba unit bisnis (profit by lines of business) adalah wajib
diungkapkan (mandatory), tetapi di Swedia dan Perancis, informasi ini bersifat voluntary.
Sebaliknya, di Swedia dan Perancis informasi tentang tanggungjawab sosial (social
responsibility) perusahaan wajib diungkapkan, tetapi di Meksiko informasi tersebut masih
bersifat sukarela. Perbedaan ini disebabkan peraturan tentang disclosure yang berbeda antara
negara yang satu dengan negara lainnya. Selain hal tersebut, keragaman informasi yang disajikan
juga disebabkan oleh perbedaan karakteristik pasar, khususnya pasar modal antara negara maju
dan negara yang masih berkembang. Penelitian Saudagaran dan Diga (1997) tentang
karakteristik dan isu-isu kebijakan pelaporan keuangan antar berbagai pasar modal di negara
maju dan berkembang menemukan hasil bahwa perbedaan tersebut didasari atas tiga kriteria
yaitu (1) availability of information (ketersediaan informasi), (2) reliability (keandalan), dan (3)
comparability (daya banding).
Dalam hubungannya dengan faktor yang mempengaruhi disclosure dalam laporan keuangan,
berbagai penelitian telah dilakukan, diantaranya oleh Firth (1989), Cooke (1992), dan Arifin
(2001). Firth (1989) meneliti praktik voluntary disclosure perusahaan publik di Inggris. Dia
menyatakan bahwa perusahaan yang tergolong perusahaan berskala kecil di Inggris memiliki
kecenderungan untuk lebih meningkatkan voluntary disclosure dalam laporan keuangannya
dengan tujuan agar dapat memperoleh sumber dana di pasar modal. Cooke (1992) meneliti
laporan tahunan perusahaan publik di Jepang. Dia menemukan bahwa voluntary disclosure
sangat dipengaruhi oleh besar (size) perusahaan. Perusahaan yang berskala besar secara
signifikan mengungkapkan lebih banyak informasi daripada perusahaan yang berskala kecil. Di
Indonesia, Arifin (2001) menemukan bahwa perusahaan yang berbasis asing (multinational
firms) ternyata memiliki level of voluntary disclosure yang lebih tinggi daripada perusahaan
domestik. Selain itu, Arifin (2001) juga menemukan bahwa dari 60 item informasi yang bersifat
voluntary disclosure dari persepsi pemakai (users), 24 item memiliki derajat kepentingan yang
tinggi, sedangkan dari persepsi penyaji atau manajemen (preparers) hanya sejumlah 12 item.
Dari uraian di atas, baik mekanisme internal maupun eksternal keduanya mempunyai tujuan
untuk menyelaraskan hubungan antara prinsial dan agen dengan meminimalkan konflik yang
terjadi yang disebabkan oleh Asymmetry Information.
V. PERAN AKUNTAN DALAM MENEGAKKAN PRINSIP GOOD CORPORATE
GOVERNANCE
Accounting is a language of business. Akuntansi adalah bahasa bisnis. Sebagai suatu bahasa,
akuntansi harus mengandung suatu informasi (yang dalam hal ini adalah informasi bisnis) yang
mampu memberikan sesuatu yang bermanfaat dari penyampai (manajemen) kepada penerima
(stakeholders). Informasi ini disampaikan melalui komunikasi verbal dalam bentuk laporan.
Pengungkapan informasi keuangan dalam laporan keuangan merupakan cara dari pihak
perusahaan (sebagai sender) untuk memberikan informasi atas hasil operasinya selama satu
periode tertentu kepada pihak-pihak yang berkepentingan (sebagai receiver) untuk pengambilan
keputusan ekonomi. Sebagai suatu bahasa bisnis, informasi yang diungkapkan dalam laporan
keuangan harus dapat berguna dan tidak membingungkan para pemakainya. Dalam konteks
Agency Theory, laporan keuangan disajikan oleh manajer/agen sebagai salah satu wujud
pertanggungjawaban pengelolaan kekayaan pemilik/prinsipal yang diamanahkan kepadanya.
Dengan demikian, penyaji laporan keuangan adalah agen dan pemakai laporan keuangan adalah
prinsipal.
Akuntan adalah salah satu profesi yang terlibat langsung dalam pengelolaan perusahaan.
Keterlibatan akuntan mencakup dua pihak, yaitu internal dan eksternal. Keterlibatan internal
terjadi bila akuntan menjadi salah satu bagian dari manajemen untuk melaksanakan fungsi
sebagai penyedia informasi keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan perusahaan.
Selaku akuntan manajemen, akuntan adalah bagian dari manajemen perusahaan sehingga dia
terlibat langsung dalam aktivitas-aktivitas perusahaan. Menurut perspektif teori keagenan, dalam
hal ini akuntan adalah bagian dari agen sehingga perilaku akuntan boleh dikatakan sama dengan
perilaku agen.
Keterlibatan eksternal akuntan adalah bila akuntan menjalankan profesinya sebagai auditor yang
bertugas untuk melakukan pemeriksaan atas kewajaran laporan keuangan. Profesi auditor dari
para akuntan memainkan peran yang penting (crucial) karena mereka memverifikasi kewajaran
informasi yang mendasari dilakukannya berbagai macam transaksi bisnis pemakai laporan
keuangan. Tanpa kepercayaan terhadap kebenaran kondisi keuangan suatu perusahaan, para
investor akan ragu untuk membeli saham suatu perusahaan terbuka dan pasar akan sulit tercipta
(Tjager dkk, 2003).
Dalam hubungannya dengan prinsip GCG, peran akuntan secara signifikan terlibat dalam
berbagai aktivitas penerapan masing-masing prinsip GCG sebagai berikut :
V.1. Prinsip Kewajaran (fairness)
Laporan keuangan dikatakan wajar bila laporan keuangan tersebut memperoleh opini atau
pendapat wajar tanpa pengecualian (unqualified opinion) dari akuntan publik. Laporan keuangan
yang wajar berarti laporan keuangan tersebut tidak mengandung salah saji material, disajikan
secara wajar sesuai dengan prinsip akuntansi berterima umum di Indonesia (dalam hal ini adalah
Standar Akuntansi Keuangan). Peran akuntan independen (akuntan publik) adalah memberikan
keyakinan atas kualitas informasi keuangan dengan memberikan pendapat yang independen atas
kewajaran penyajian informasi dalam laporan keuangan. Adanya kewajaran laporan keuangan
dapat mempengaruhi investor untuk membeli atau menarik sahamya pada sebuah perusahaan.
Jelaslah bahwa kegunaan informasi akuntansi dalam laporan keuangan akan dipengaruhi oleh
adanya kewajaran penyajian. Kewajaran penyajian dapat dipenuhi jika data yang ada didukung
oleh adanya bukti-bukti yang syah dan benar serta penyajiannya tidak ditujukan hanya untuk
sekelompok orang-orang tertentu.
Bagi akuntan manajemen, meskipun dia bekerja untuk pihak manajemen, mereka tetap harus
memegang profesionalisme mereka karena akuntan sebagai profesi dalam melaksanakan
tugasnya dibatasi oleh kode etik dan mereka harus tetap menjaga public trust dari masyarakat.
Memang sering terjadi konflik dalam diri akuntan yang bekerja pada perusahaan karena di satu
pihak mereka harus tetap memegang kode etik profesi namun di lain pihak kadangkala mereka
harus menuruti keinginan manajemen perusahaan tempat mereka bekerja untuk melakukan suatu
pekerjaan yang tidak sesuai dengan kode etik. Bila terjadi hal yang demikian, keputusan uantuk
berdiri pada pihak yang mana ada pada diri akuntan. Bila akuntan tersebut memiliki integritas
dalam melaksanakan tugasnya, tentu dia tetap memegang etika profesi untuk mengungkapakan
informasi akuntansi dalam laporan keuangan perusahaan secara fair sesuai dengan prinsip dan
standar yang berlaku. Dengan ditegakkannya prinsip fairness ini, paling tidak akuntan berperan
membantu pihak stakeholders dalam menilai perkembangan suatu perusahaan dan membantu
mereka untuk membandingkan kondisi perusahaan dengan perusahaan yang lainnya. Untuk itu,
laporan keuangan yg disajikan harus memiliki daya banding (comparability). Daya banding
dapat diperoleh jika informasi akuntansi disajikan secara konsisten, baik konsisten dalam
pemakaian metode akuntansi maupun konsisten dalam pengukurannya. Jika penggunaan metode
dan prinsip penyajian setiap tahunnya berbeda, akan sulit kiranya para pemakai untuk melakukan
perbandingan atau melakukan penilaian terhadap perkembangan usaha perusahaan.
V.2. Prinsip Akuntabilitas (accountability)
Akuntabilitas adalah merupakan tanggung jawab manajemen melalui pengawasan yang efektif
yaitu dengan dibentuknya komite audit. BAPEPAM mensyaratkan bahwa anggota komite audit
minimum sebanyak 3 orang dan salah satu anggotanya harus akuntan. Komite audit mempunyai
tugas utama untuk melindungi kepentingan pemegang saham ataupun pihak-pihak lain yang
berkepentingan dengan melakukan tinjauan atas reliabilitas dan integritas informasi dalam
laporan keuangan dan laporan operasional lain beserta kriteria untuk mengukur, melakukan
klasifikasi dan penyajian dari laporan tersebut. Untuk alasan itulah profesi akuntan sangat
diperlukan dan mempunyai peranan yang penting untuk menegakkan prinsip akuntabilitas.
Akuntabilitas diperlukan sebagai salah satu solusi mengatasi agency problem yang timbul antara
pemegang saham (prinsipal) dan manajemen (agen). Dengan adanya independensi dari komite
audit tersebut akan mempengaruhi investor dalam melakukan pilihannya untuk membeli atau
melepas suatu saham yang bisa dilihat dari adanya abnormal return (Steven J. Carlson, et at,
1998).
V.3. Prinsip Transparansi (transparency)
Prinsip transparansi berhubungan dengan kualitas informasi yang disampaikan perusahaan.
Kepercayaan investor akan sangat tergantung dengan kualitas penyajian informasi yang
disampaikan perusahaan. Oleh karena itu akuntan manajemen (yang bekerja pada perusahaan)
dituntut untuk menyediakan informasi yang jelas, akurat, tepat waktu dan dapat dibandingkan
dengan indikator-indikator yang sarna. Untuk itu informasi yang ada dalam perusahaan harus
diukur, dicatat, dan dilaporkan oleh akuntan sesuai dengan prinsip dan standar akuntansi yang
berlaku. Prinsip transparansi ini menghendaki adanya keterbukaan dalam melaksanakan proses
pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam penyajian yang lengkap (disclosure) atas semua
informasi yang dimiliki perusahaan. Peran akuntan manajemen, internal auditor, dan komite
audit menjadi penting terutama dalam hal penyajian informasi akuntansi dalam laporan keuangan
perusahaan secara transparan kepada pemakainya. Ini sesuai dengan salah satu aturan
BAPEPAM yang menyatakan bahwa laporan keuangan perusahaan publik harus mengandung
unsur keterbukaan (tranparansi) dengan mengungkapan kejadian ekonomis yang bermanfaat
kepada pemakainya. Praktik yang dikembangkan dalam rangka transparansi diantaranya
perusahaan diwajibkan untuk mengungkapkan transaksi-transaksi penting yang berkait dengan
perusahaan, risiko yang dihadapi dan rencana/kebijakan perusahaan (corporate action) yang
akan dijalankan. Selain itu, perusahaan juga perlu untuk menyampaikan kepada semua pihak
tentang struktur kepemilikan perusahaan serta perubahan-perubahan yang terjadi.
V.4. Prinsip Responsibilitas (responsibility)
Prinsip ini berhubungan dengan tanggungjawab perusahaan sebagai anggota masyarakat yaitu
dengan cara mengakomodasi kepentingan pihak-pihak yang berkaitan dengan perusahaan seperti
masyarakat, pemerintah, asosiasi bisnis dan sebagainya. Prinsip ini berkaitan juga dengan
kewajiban perusahaan untuk mematuhi semua peraturan dan hukum yang berlaku. Seiring
dengan perubahan sosial masyarakat yang menuntut adanya tanggungjawab sosial perusahaan,
profesi akuntan juga mengalami perubahan peran. Pandangan pemegang saham dan stakeholder
lainnya saat ini tidak hanya memfokuskan pada perolehan laba perusahaan tetapi juga
memperhatikan tanggungjawab sosial dan lingkungan perusahaan. Selain itu kelangsungan hidup
perusahaan tidak hanya ditentukan oleh pemegang saham tetapi juga oleh stakeholder yang lain
(misalnya masyarakat dan penmerintah). Kasus PT. Inti Indorayon di Sumatera Utara yang
ditutup karena dianggap bermasalah dengan masyarakat dan lingkungan sekitarnya adalah
contoh suatu perusahaan yang melalaikan tanggungjawab sosialnya dengan tidak mencantumkan
aktivitas pengelolaan lingkungan sosial dalam laporan tahunannya. Pelaporan informasi non-
keuangan ini secara umum telah terakomodasi dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuiangan
(PSAK) nomor 1 tentang Penyajian Laporan Keuangan. Dalam PSAK nomor 1 ini dinyatakan
bahwa perusahaan dapat pula menyajikan laporan tambahan, khususnya bagi industri dimana
faktor lingkungan hidup memegang peranan penting. Untuk itulah sudah saatnya akuntan
manajemen mengungkapkan informasi tentang aktivitas perusahaan yang menyangkut aspek
SEE (Social, Ethical, dan Environment). Peran akuntan untuk menegakkan prinsip ini semakin
berkembang dengan adanya Indonesia Sustainability Reporting Award (ISRA) yang
diselenggarakan oleh Ikatan Akuntan Indonesia, Bapepam, BEJ, Kementerian Negara
Lingkungan Hidup, dan Forum for Corporate Governance in Indonesia pada bulan Juni 2005.
Tujuan ISRA ini adalah memberikan award kepada perusahaan yang telah menerapkan dan
membuat Sustainability Reporting (SR) dengan baik guna mendorong perusahaan untuk lebih
peduli terhadap lingkungan dan masyarakat. SR adalah pengungkapan (disclosure) tentang
kegiatan perusahaan yang menyangkut aspek keuangan, aspek sosial, dan aspek lingkungan yang
merupakan tanggungjawab sosial perusahaan (Satyo, 2005). Dalam proses penyiapan ISRA ini,
peran akuntan menajemen sangat besar. Akuntan yang menjadi top management, dapat membuat
kebijakan-kebijakan yang mendorong penyajian Sustainability Reporting, sedangkan akuntan
yang berada pada middle management dapat berperan dalam penilaian dan pengukuran aktivitas
SEE perusahaan serta dampak yang dipengaruhinya.
VI. PENTINGNYA PENERAPAN GCG
Sumber : (Indrawati Yuhertiana.2006): Pentingnya Implementasi Good Corporate Governance.
Penelitian yang dilakukan oleh McKinsey menunjukkan bahwa pada dasarnya para investor
dalam mengevaluasi potensi sebuah perusahaan sebagai investasi. faktor governance perusahaan
tidak kalah pentingnya dengan masalah keuangan / kinerja perusahaan. Lebih daripada itu
investor bersedia membayar premium pada perusahaanperusahaan yang telah menerapkan good
corporate governance dibandingkan kepada perusahaan dengan kinerja setara tetapi dengan
praktik corporate governance yang buruk. Penelitian tersebut mengungkapkan bahwa bagi
perusahaan Indonesia yang berkarakteristik good corporate governance, investor bersedia
membayar premium rata-rata sebesar 27,1% . Sebagai perbandingan ratarata premium terendah
yang bersedia dibayarkan oleh investor adalah untuk perusahaan di USA dan UK yang
mengimplementasikan praktik good corporate governance masing-masing rata-rata sebesar
18,3% dan 17,9%. Tingginya premium yang bersedia dibayar oleh investor bagi perusahaan di
Indonesia tersebut merefleksikan tuntutan investor yang sangat mendasar berkaitan dengan
keakuratan dan ketepatan waktu pengungkapan informasi-informasi yang material dan
penegakan atas hak-hak pemegang saham perusahaan di Indonesia.
Fakta lain menunjukkan bahwa hingga saat ini tidak ada perusahaan di Indonesia yang
mendapatkan pinjaman dari IDB secara stand-alone tanpa jaminan dari Pemerintah, padahal di
Malaysia, misalnya, IDB telah menyalurkan pinjaman semacam itu ke banyak perusahaan. Hal
ini terjadi karena akuntabilitas dan keakuratan pelaporan keuangan perusahaan di Indonesia
masih diragukan oleh IDB. Jelaslah bahwa ketidakpercayaan tersebut menyebabkan perusahaan-
perusahaan Indonesia kehilangan banyak kesempatan untuk mendapatkan dana pinjaman
berbunga rendah yang sangat dibutuhkan justru di saat penyaluran kredit dari perbankan national
terkendala.
VII. PEDOMAN UMUM GOOD CORPORATE GOVERNANCE DI INDONESIA
Sumber : Tim Studi kementerian keuangan republik indonesia Badan pengawas pasar modal
Dan lembaga keuangan Tahun 2010, kajian tentang Pedoman good corporate governance di
negara-negara anggota ACMF.
Pedoman Umum Good Corporate Governance di Indonesiakan disusun oleh Komite nasional
Kebijakan Governance. Pedoman yang diterbitkan pada tahun 2006 ini merupakan revisi atas
Pedoman Good Corporate Governance yang diterbitkan pada tahun 2001. Meskipun Pedoman
Umum Good Corporate Governance Indonesia 2006 ini tidak memiliki kekuatan hukum yang
mengikat, namun dapat menjadi rujukan bagi dunia usaha dalam menerapkan Good Corporate
Governance.
VII.1. Metode penerapan Pedoman Good Corporate Governance
Pelaksanaan Pedoman Umum Good Corporate Governance oleh perusahaan-perusahaan di
Indonesia baik perusahaan terbuka (Emiten/Perusahaan Publik) maupun perusahaan tertutup
pada dasarnya bersifat comply and explain. Di mana perusahaan diharapkan menerapkan seluruh
aspek Pedoman Good Corporate Governance ini. Apabila belum seluruh aspek pedoman ini
dilaksanakan maka perusahaan harus mengungkapkan aspek yang belum dilaksanakan tersebut
beserta alasannya dalam laporan tahunan. Namun demikian mengingat Pedoman ini hanya
merupakan acuan sedangkan pelaksanaannya diharapkan diatur lebih lanjut oleh otoritas masing-
masingindustri maka penerapan ini bersifat voluntary dan tidak terdapat sanksi hukum apabila
perusahaan tidak menerapkan pedoman ini.
Saat ini, Bapepam-LK sebagai otoritas pasar modal tidak mewajibkan Emiten dan Perusahaan
Publik untuk menerapkan Pedoman ini, namun beberapa substansi yang terdapat dalam pedoman
ini diadopsi oleh Bapepam-LK ke dalam peraturan-peraturan Bapepam-LK yang sifatnya
mandatory seperti kewajiban pembentukan komite audit dan keberadaan komisaris independen
dalam perusahaan. Dengan cara demikian, Bapepam-LK dapat memberikan sanksi atas
ketidakpatuhan terhadap peraturan tersebut. Lebih lanjut, Bapepam-LK juga mewajibkan Emiten
dan Perusahaan Publik untuk mengungkapkan pelaksanaan tata kelola perusahaan dalam laporan
tahunan seperti frekuensi rapat dewan komisaris dan direksi, frekuensi kehadiran anggota dewan
komisaris dan direksi dalam rapat tersebut, frekuensi rapat dan kehadiran komite audit,
pelaksanaan tugas dan pertanggungjawaban dewan komisaris dan direksi serta remunerasi dewan
komisaris dan direksi.
VII.2. Sanksi atas ketidakpatuhan terhadap Pedoman Good Corporate Governance
Mengingat Pedoman Umum Good Corporate Governance ini bersifat voluntary maka tidak
terdapat sanksi dalam hal perusahaan tidak menerapkan pedoman tersebut.
VII.3. Ruang lingkup Pedoman Good Corporate Governance
Pedoman Umum Good Corporate Governance Indonesia memuat prinsip dasar dan pedoman
pokok pelaksanaan Good Corporate Governance yang merupakan standar minimal yang
mencakup:
a. Peran negara, dunia usaha dan masyarakat dalam menciptakan situasi kondusif untuk
melaksanakan Good Corporate Governance
b. Asas-asas Good Corporate Governance yang meliputi transparansi, akuntabilitas,
responsibilitas, independensi dan kewajaran dan kesetaraan
c. Etika Bisnis dan Pedoman Perilaku
d. Rapat Umum Pemegang Saham
e. Komposisi, persyaratan, pengangkatan/pemberhentian, tugas dan fungsi, komite penunjang
dan pertanggungjawaban Dewan Komisaris
f. Komposisi, persyaratan, pengangkatan/pemberhentian, tugas dan fungsi, dan
pertanggungjawaban Direksi
g. Hak dan tanggungjawab Pemegang saham
h. Pemangku kepentingan yang meliputi karyawan, mitra bisnis dan masyarakat serta pengguna
produk atau jasa perusahaan
i. Pernyataan tentang penerapan Pedoman Good Corporate Governance
j. Pedoman Praktis Penerapan Good Corporate Governance
VII.4. Komposisi dan persyaratan Komisaris Independen
Berdasarkan Pedoman Good Corporate Governance, komposisi atau jumlah Komisaris
Independen tidak ditentukan dalam jumlah tertentu namun demikian jumlah atau komposisi
komisaris independen harus dapat menjamin agar mekanisme pengawasan berjalan secara efektif
dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Adapun kriteria yang ditetapkan yaitu salah
satu dari Komisaris Independen harus mempunyai latar belakang akuntansi atau keuangan.
Meskipun Pedoman Good Corporate Governance tidak menentukan jumlah Komisaris
Independen, dalam Peraturan Bapepam-LK, Emiten atau Perusahaan Publik wajib memiliki
sekurang-kurangnya satu orang komisaris independen sedangkan Bursa Efek Indonesia
mewajibkan sekurang-kurangnya 30% dari Dewan Komisaris adalah Komisaris Independen.
Kriteria Komisaris Independen secara rinci diatur dalam peraturan Bapepam-LK yaitu :
a. Berasal dari luar Emiten atau Perusahaan Publik
b. Tidak mempunyai saham Emiten atau Perusahaan Publik baik langsung maupun tidak
langsung
c. Tidak mempunyai hubungan Afiliasi dengan Komisaris, Direksi dan Pemegang saham
Utama Emiten atau Perusahaan Publik
d. Tidak mempunyai hubungan usaha dengan Emiten atau Perusahaan Publik baik langsung
maupun tidak langsung
VII.5. Komposisi/jumlah Direksi
Dalam Pedoman Good Corporate Governance tidak dinyatakan secara kuantitatif jumlah atau
komposisi dari direksi, namun demikian jumlah anggota direksi harus disesuaikan dengan
kompleksitas perusahaan dengan tetap memperhatikan efektifitas dalam pengambilan keputusan.
VII.6. Komite yang dibentuk Komisaris
Dalam melaksanakan tugas pengawasannya, dewan komisaris dapat membentuk komite yang
akan membantu tugas-tugas dewan komisaris. Bagi perusahaan yang sahamnya tercatat di bursa
efek, perusahaan negara, perusahaan daerah, perusahaan yang menghimpun dan mengelola dana
masyarakat, perusahaan yang produk atau jasanya digunakan oleh masyarakat luas, serta
perusahaan yang mempunyai dampak luas terhadap kelestarian lingkungan, sekurang-kurangnya
harus membentuk Komite Audit, sedangkan komite lain dibentuk sesuai dengan kebutuhan.
Berikut ini dijelaskan secara rinci mengenai tugas dari komite-komite penunjang Komisaris.
VII.6.1. Komite Audit
Komite Audit bertugas membantu dewan komisaris untuk memastikan bahwa: (i) laporan
keuangan disajikan secara wajar sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum, (ii)
struktur pengendalian internal perusahaan dilaksanakan dengan baik, (iii) pelaksanaan audit
internal maupun eksternal dilaksanakan sesuai dengan standar audit yang berlaku, dan (iv) tindak
lanjut temuan hasil audit dilaksanakan oleh manajemen. Disamping itu, Komite Audit juga
bertugas memproses calon auditor eksternal termasuk imbalan jasanya untuk disampaikan
kepada Dewan Komisaris.
Pedoman Good Corporate Governance tidak mengatur banyaknya anggota Komite Audit dalam
suatu perusahaan namun harus disesuaikan dengan kompleksitas Perusahaan dengan tetap
memperhatikan efektifitas dalam pengambilan keputusan. Bagi perusahaan yang sahamnya
tercatat di bursa efek, perusahaan negara, perusahaan daerah, perusahaan yang menghimpun dan
mengelola dana masyarakat, perusahaan yang produk atau jasanya digunakan oleh masyarakat
luas, serta perusahaan yang mempunyai dampak luas terhadap kelestarian lingkungan, Komite
Audit diketuai oleh Komisaris Independen dan anggotanya dapat terdiri dari Komisaris dan atau
pelaku profesi dari luar perusahaan. Salah seorang anggota memiliki latar belakang dan
kemampuan akuntasi dan atau keuangan.
Pengaturan mengenai jumlah Komite Audit bagi Emiten dan Perusahaan Publik diatur dalam
peraturan Bapepam-LK No.IX.I.5 tentang Pembentukan dan Pedoman Pelaksanaan Kerja
Komite Audit. Dalam peraturan tersebut Emiten dan Perusahaan Publik diwajibkan membentuk
Komite Audit yang berjumlah sekurang-kurangnya tiga orang dimana salah satunya merupakan
Komisaris Independen Perusahaan dan bertindak sebagai ketua Komite Audit.
Adapun persyaratan anggota Komite Audit sebagai berikut :
1. Memiliki integritas yang tinggi, kemampuan, pengetahuan dan pengalaman yang memadai
sesuai latar belakang pendidikannya
2. Mempunyai kemampuan komunikasi yang baik
3. Memiliki kemampuan yang cukup untuk membaca dan memahami laporan keuangan
4. Memiliki pengetahuan yang memadai mengenai peraturan perundang-undangan dibidang
pasar modal
5. Salah satu anggota memiliki latar belakang pendidikan akuntansi atau keuangan
6. Bukan merupakan orang dalam Kantor Akuntan Publik, Konsultan Hukum mapupun Pihak
lain yang memberikan jasa audit, non audit maupun jasa konsultasi lain kepada Emiten atau
Perusahaan Publik dalam waktu enam bulan terakhir sebelum diangkat
7. Tidak mempunyai hubungan keluarga karena perkawinan dan keturunan sampai derajat
kedua dengan Direksi, Komisaris dan Penegang saham Utama Emiten maupun Perusahaan
Publik
8. Tidak mempunyai hubungan usaha baik langsung mapun tidak langsung dengan kegiatan
usaha Emiten maupun Perusahaan Publik
9. Tidak memiliki saham Emiten atau Perusahaan Publik baik langsung maupun tidak langsung
10. Bukan merupakan orang yang berwenang dan bertanggungjawab merencanakan, memimpin
dan mengendalikan kegiatan Emiten maupun Perusahaan Publik dalam waktu enam bulan
terakhir sebelum diangkat
VII.6.2. Komite Nominasi dan Remunerasi
Komite Nominasi dan Remunerasi bertugas membantu Dewan Komisaris dalam menetapkan
kriteria pemilihan calon anggota Dewan Komisaris dan Direksi serta sistem remunerasinya;
membantu Dewan Komisaris mempersiapkan calon anggota Dewan Komisaris dan Direksi dan
mengusulkan besaran remunerasinya. Dewan Komisaris dapat mengajukan calon tersebut dan
remunerasinya untuk memperoleh keputusan RUPS dengan cara yang sesuai ketentuan Anggaran
Dasar. Bagi perusahaan yang sahamnya tercatat di bursa efek, perusahaan negara, perusahaan
daerah, perusahaan yang menghimpun dan mengelola dana masyarakat, perusahaan yang produk
atau jasanya digunakan oleh masyarakat luas, serta perusahaan yang mempunyai dampak luas
terhadap kelestarian lingkungan, Komite Nominasi dan Remunerasi diketuai oleh Komisaris
Independen dan anggotanya dapat terdiri dari Komisaris dan atau pelaku profesi dari luar
perusahaan. Selanjutnya, keberadaan Komite Nominasi dan Remunerasi serta tata kerjanya
dilaporkan dalam RUPS.
VII.6.3. Komite Kebijakan Risiko
Komite Kebijakan Risiko bertugas membantu Dewan Komisaris dalam mengkaji sistem
manajemen risiko yang disusun oleh Direksi serta menilai toleransi risiko yang dapat diambil
oleh perusahaan. Anggota Komite Kebijakan Risiko terdiri dari anggota Dewan Komisaris,
namun bilamana perlu dapat juga menunjuk pelaku profesi dari luar perusahaan.
VII.6.4. Komite Kebijakan Corporate Governance
Komite Kebijakan Corporate Governance bertugas membantu Dewan Komisaris dalam mengkaji
kebijakan GCG secara menyeluruh yang disusun oleh Direksi serta menilai konsistensi
penerapannya, termasuk yang bertalian dengan etika bisnis dan tanggung jawab sosial
perusahaan (corporate social responsibility). Anggota Komite Kebijakan Corporate Governance
terdiri dari anggota Dewan Komisaris, namun bilamana perlu dapat juga menunjuk pelaku
profesi dari luar perusahaan. Bila dipandang perlu, Komite Kebijakan Corporate Governance
dapat digabung dengan Komite Nominasi dan Remunerasi.
VII.7. Fungsi Internal Audit
Sebagaimana dijelaskan di atas, Pedoman Good Corporate Governance mensyaratkan perlunya
pengendalian internal dalam rangka menjaga kekayaan dan kinerja perusahaan serta memenuhi
peraturan perundang-undangan. Bagi perusahaan yang sahamnya tercatat di bursa efek,
perusahaan negara, perusahaan daerah, perusahaan yang menghimpun dan mengelola dana
masyarakat, perusahaan yang produk atau jasanya digunakan oleh masyarakat luas, serta
perusahaan yang mempunyai dampak luas terhadap kelestarian lingkungan, harus memiliki
satuan kerja pengawasan internal. Satuan kerja atau fungsi pengawasan internal bertugas
membantu Direksi dalam memastikan pencapaian tujuan dan kelangsungan usaha dengan:
1. melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan program perusahaan
2. memberikan saran dalam upaya memperbaiki efektifitas proses pengendalian risiko
3. melakukan evaluasi kepatuhan perusahaan terhadap peraturan perusahaan, pelaksanaan GCG
dan perundangundangan
4. memfasilitasi kelancaran pelaksanaan audit oleh auditor eksternal
Satuan kerja atau pemegang fungsi pengawasan internal bertanggung jawab kepada Direktur
Utama atau Direktur yang membawahi tugas pengawasan internal. Satuan kerja pengawasan
internal mempunyai hubungan fungsional dengan Dewan Komisaris melalui Komite Audit.
Sejalan dengan Pedoman tersebut, Bapepam-LK mengatur secara khusus mengenai keberadaan
unit internal audit bagi Emiten dan Perusahaan Publik. Dalam peraturan No.IX.I.7 tentang
Pembentukan dan Pedoman Penyusunan Piagam Unit Audit Internal dinyatakan bahwa Emiten
dan Perusahaan Publik wajib membentuk Unit Audit Internal yang menjalankan fungsi Audit
Internal, yaitu memberikan keyakinan (assurance) dan konsultasi yang bersifat independen dan
obyektif, dengan tujuan untuk meningkatkan nilai dan memperbaiki operasional perusahaan,
melalui pendekatan yang sistematis, dengan cara mengevaluasi dan meningkatkan efektivitas
manajemen risiko, pengendalian, dan proses tata kelola perusahaan. Jumlah auditor dalam unit
tersebut disesuaikan dengan besaran dan kompleksitas kegitan usaha perusahaan dimana
sekurang-kurangnya berjumlah satu orang.
VII.8. Etika Bisnis dan Pedoman Perilaku
Untuk mencapai keberhasilan dalam jangka panjang, pelaksanaan prinsip-prinsip Good
Corporate Governance perlu dilandasi oleh integritas yang tinggi. Oleh karena itu, diperlukan
pedoman perilaku yang dapat menjadi acuan bagi organ perusahaan dan semua karyawan dalam
menerapkan nilai-nilai (values) dan etika bisnis sehingga menjadi bagian dari budaya
perusahaan. Prinsip-prinsip dasar yang harus dimiliki oleh perusahaan adalah:
1. memiliki nilai-nilai perusahaan yang menggambarkan sikap moral perusahaan dalam
pelaksanaan usahanya.
2. Untuk dapat merealisasikan sikap moral dalam pelaksanaan usahanya, perusahaan harus
memiliki rumusan etika bisnis yang disepakati oleh organ perusahaan dan semua karyawan.
Pelaksanaan etika bisnis yang berkesinambungan akan membentuk budaya perusahaan yang
merupakan manifestasi dari nilai-nilai perusahaan.
3. Nilai-nilai dan rumusan etika bisnis perusahaan perlu dituangkan dan dijabarkan lebih lanjut
dalam pedoman perilaku agar dapat dipahami dan diterapkan.
VII.9. Remunerasi Dewan Komisaris dan Direksi
Pedoman Umum Good Corporate Governance tidak mengatur keterbukaan informasi mengenai
remunerasi bagi dewan komisaris dan direksi. Namun bagi Emiten dan Perusahaan Publik,
Bapepam-LK mewajibkan pengungkapan dalam laporan tahunan mengenai prosedur penetapan
dan besarnya remunerasi anggota dewan komisaris dan direksi. Kewajiban ini diatur dalam
peraturan Bapepam-LK No.X.K.6 tahun 2006 tentang Kewajiban Penyampaian laporan tahunan
bagi Emiten dan Perusahaan Publik.
Kesimpulan
Tata Kelola Perusahaan yang Baik (GCG) merupakan komponen yang penting dari visi dan misi
Perusahaan.Manajemen berkeyakinan bahwa mekanisme akuntabilitas yang kuat kepada semua
stakeholder akan menguntungkan kinerja Perusahaan secara keseluruhan. Keberhasilan
penyelesaian penawaran Penukaran Obligasi (Bond Exchange Offer) adalah salah satu contoh
dari rasa saling percaya antara manajemen dan Stakeholder kami,yang didukung oleh pendekatan
GCG yang transparan dan jelas. Dalam melaksanakan prinsip-prinsip GCG, manajemen
Perusahaan telah mengambil langkah-langkah berkelanjutan untuk mempromosikan dan
memelihara GCG sebagai bagian penting dari budaya dan nilai-nilai yang akan diadopsi oleh
seluruh karyawan di semua tingkat organisasi.
Latar belakang
Dalam rangka memastikan pertumbuhan yang berkelanjutan, serta mencapai visi suatu
perusahaan untuk menjadi perusahaaan terbaik dalam kelasnya yang dapat dibanggakan oleh
seluruh pemangku kepentinganperusahaaan harus terus memperkuat tata kelola perusahaan,
termasuk struktur pengendalian internal dan manajemen risiko, serta penerapan standar baku
operasi yang lebih seragam dan transparan. Guna mencapai tingkat penerapan GCG secara
maksimal,perusahaan berpedoman pada prinsip-prinsip GCG dalam setiap kegiatan operasional
perusahaaan.
Prinsip-prinsip GCG yang secara umum dikenal di jabarkan antara lain: Transparency
Keterbukaan dalam mengemukakan informasi yang material dan relevan dalam proses
pengambilan keputusan, Accountability Kejelasan fungsi dan pelaksanaan pertanggungjawaban
perusahaan sehingga pengelolaan berjalan efektif, Responsibility Kesesuaian pengelolaan
perusahaan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip pengelolaan
perusahaan yang sehat, Independent Pengelolaan perusahaan secara profesional tanpa
pengaruh/tekanan dari pihak manapun. Fairness Keadilan dan kesetaraan dalam memenuhi hak-
hak stakeholders yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.