GMIT Bogakele Alor Memberdayakan Perempuan Penenun … · GMIT Bogakele Alor Memberdayakan...

41
i GMIT Bogakele Alor Memberdayakan Perempuan Penenun (Sebuah Kajian Diakonia Transformatif) Oleh: SELVY PUTRI FABIOLA (712014012) TUGAS AKHIR Diajukan kepada program Studi: Teologi, Fakultas: Teologi guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Sains Teologi (S.Si-Teol) Program Studi Teologi FAKULTAS TEOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2018

Transcript of GMIT Bogakele Alor Memberdayakan Perempuan Penenun … · GMIT Bogakele Alor Memberdayakan...

Page 1: GMIT Bogakele Alor Memberdayakan Perempuan Penenun … · GMIT Bogakele Alor Memberdayakan Perempuan Penenun (Sebuah Kajian Diakonia Transformatif) Oleh: SELVY PUTRI FABIOLA (712014012)

i

GMIT Bogakele Alor Memberdayakan Perempuan Penenun (Sebuah Kajian Diakonia Transformatif)

Oleh:

SELVY PUTRI FABIOLA

(712014012)

TUGAS AKHIR

Diajukan kepada program Studi: Teologi, Fakultas: Teologi

guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Sains Teologi

(S.Si-Teol)

Program Studi Teologi

FAKULTAS TEOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

2018

Page 2: GMIT Bogakele Alor Memberdayakan Perempuan Penenun … · GMIT Bogakele Alor Memberdayakan Perempuan Penenun (Sebuah Kajian Diakonia Transformatif) Oleh: SELVY PUTRI FABIOLA (712014012)

ii

LEMBAR PENGESAHAN

GMIT Bogakele Alor Memberdayakan Perempuan Penenun

(Sebuah Kajian Diakonia Transformatif)

Oleh:

SELVY PUTRI FABIOLA

(712014012)

Diajukan kepada program Studi: Teologi, Fakultas: Teologi

guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Sains Teologi

(S.Si-Teol)

Disetujui oleh,

Pembimbing I Pembimbing II

Pdt. Dr. Ebenhaizer Nuban Timo Pdt. Cindy Quartyamina, MA

Diketahui oleh, Disahkan oleh,

Ketua Program Studi Dekan

Pdt. Dr. Rama Tulus Pilakoannu Dr. David Samiyono, MTS,

MSLS

Fakultas Teologi

Universitas Kristen Satya Wacana

Salatiga

2018

Page 3: GMIT Bogakele Alor Memberdayakan Perempuan Penenun … · GMIT Bogakele Alor Memberdayakan Perempuan Penenun (Sebuah Kajian Diakonia Transformatif) Oleh: SELVY PUTRI FABIOLA (712014012)

iii

Perpustakaan Universitas

PERNYATAAN TIDAK PLAGIAT Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Selvy Putri Fabiola

NIM : 712014012 Email : [email protected]

Fakultas : Teologi Program Studi : Teologi

Judul Tugas Akhir : GMIT Bogakele Alor Memberdayakan Perempuan Penenun (Sebuah Kajian

Diakonia Transformatif)

Pembimbing : 1. Pdt. Dr. Ebenhaizer Nuban Timo

2. Pdt. Cindy Quartyamina, MA

Dengan ini menyatakan bahwa:

1. Hasil karya yang saya serahkan ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan

gelar kesarjanaan baik di Universitas Kristen Satya Wacana maupun di institusi pendidikan

lainnya.

2. Hasil karya saya ini bukan saduran/terjemahan melainkan merupakan gagasan, rumusan, dan hasil

pelaksanaan penelitian/implementasi saya sendiri, tanpa bantuan pihak lain, kecuali arahan

pembimbing akademik dan narasumber penelitian.

3. Hasil karya saya ini merupakan hasil revisi terakhir setelah diujikan yang telah diketahui dan

disetujui oleh pembimbing.

4. Dalam karya saya ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau dipublikasikan

orang lain, kecuali yang digunakan sebagai acuan dalam naskah dengan menyebutkan nama

pengarang dan dicantumkan dalam daftar pustaka.

Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya. Apabila di kemudian hari terbukti ada penyimpangan

dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa

pencabutan gelar yang telah diperoleh karena karya saya ini, serta sanksi lain yang sesuai dengan

ketentuan yang berlaku di Universitas Kristen Satya Wacana.

Salatiga, 25 Mei 2018

Selvy Putri Fabiola

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

Jl. Diponegoro 52 – 60 Salatiga 50711 Jawa Tengah, Indonesia

Telp. 0298 – 321212, Fax. 0298 321433 Email: [email protected] ; http://library.uksw.edu

Page 4: GMIT Bogakele Alor Memberdayakan Perempuan Penenun … · GMIT Bogakele Alor Memberdayakan Perempuan Penenun (Sebuah Kajian Diakonia Transformatif) Oleh: SELVY PUTRI FABIOLA (712014012)

iv

Perpustakaan Universitas

PERNYATAAN PERSETUJUAN AKSES

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Selvy Putri Fabiola

NIM : 712014012 Email :

[email protected]

Fakultas : Teologi Program Studi : Teologi

Judul tugas akhir : GMIT Bogakele Alor Memberdayakan Perempuan Penenun (Sebuah Kajian

Diakonia Transformatif)

Dengan ini saya menyerahkan hak non-eksklusif* kepada Perpustakaan Universitas – Universitas

Kristen Satya Wacana untuk menyimpan, mengatur akses serta melakukan pengelolaan terhadap

karya saya ini dengan mengacu pada ketentuan akses tugas akhir elektronik sebagai berikut (beri

tanda pada kotak yang sesuai):

a. Saya mengijinkan karya tersebut diunggah ke dalam aplikasi Repositori Perpustakaan Universitas,

dan/atau portal GARUDA

b. Saya tidak mengijinkan karya tersebut diunggah ke dalam aplikasi Repositori Perpustakaan Universitas,

dan/atau portal GARUDA**

* Hak yang tidak terbatas hanya bagi satu pihak saja. Pengajar, peneliti, dan mahasiswa yang menyerahkan hak non-

ekslusif kepada Repositori Perpustakaan Universitas saat mengumpulkan hasil karya mereka masih memiliki hak

copyright atas karya tersebut.

** Hanya akan menampilkan halaman judul dan abstrak. Pilihan ini harus dilampiri dengan penjelasan/ alasan tertulis dari

pembimbing TA dan diketahui oleh pimpinan fakultas (dekan/kaprodi).

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Salatiga, 25 Mei 2018

Selvy Putri Fabiola

Mengetahui,

Pembimbing I

Pembimbing I

Pdt.Dr. Ebenhaizer Nuban Timo

Pembimbing II

Pdt. Cindy Quartyamina, MA

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA Jl. Diponegoro 52 – 60 Salatiga 50711

Jawa Tengah, Indonesia Telp. 0298 – 321212, Fax. 0298 321433

Email: [email protected] ; http://library.uksw.edu

Page 5: GMIT Bogakele Alor Memberdayakan Perempuan Penenun … · GMIT Bogakele Alor Memberdayakan Perempuan Penenun (Sebuah Kajian Diakonia Transformatif) Oleh: SELVY PUTRI FABIOLA (712014012)

v

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI

TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai civitas akademika Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), saya yang bertanda

tangan di bawah ini:

Nama : Selvy Putri Fabiola

NIM : 712014012

Program Studi : Teologi

Fakultas : Teologi, Universitas Kristen Satya Wacana

Jenis karya : Tugas Akhir

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada UKSW Hak

bebas royalty non-eksklusif (non-exclusive royalty free right) atas karya ilmiah saya yang

berjudul: GMIT Bogakele Alor Memberdayakan Perempuan Penenun (Sebuah Kajian

Diakonia Transformatif)

beserta perangkat yang ada (jika perlu). Dengan hak bebas royalty non-eksklusif ini, UKSW

berhak menyimpan, mengalih media/mengalih formatkan, mengelola dalam bentuk

pangkalan data, merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya, selama tetap

mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Salatiga, 25 Mei 2018

Selvy Putri Fabiola

Mengetahui,

Pembimbing I Pembimbing II

Pdt. Dr. Ebenhaizer Nuban Timo Pdt. Cindy Quartyamina, MA

Page 6: GMIT Bogakele Alor Memberdayakan Perempuan Penenun … · GMIT Bogakele Alor Memberdayakan Perempuan Penenun (Sebuah Kajian Diakonia Transformatif) Oleh: SELVY PUTRI FABIOLA (712014012)

vi

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa, karena atas kasih dan

kemurahan-Nya yang selalu menyertai dan menolong penulis dalam menyelesaikan tugas

akhir ini dengan baik. Penulis bersyukur atas segala hikmat dan pengetahuan yang selalu

dilimpahkan Tuhan selama masa pendidikan yang ditempuh penulis di Fakultas Teologi

Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.

Tugas akhir ini adalah bukti dari segala kebaikan Tuhan dan merupakan akhir dari

sebagian perjuangan penulis dalam menyelesaikan tugas dan kewajiban di Fakultas Teologi.

Atas segala pencapaian ini, tidak henti-hentinya penulis mengucap syukur kepada Tuhan

yang Maha Esa. Tugas akhir ini dibuat selain sebagai persyaratan mencapai gelar sarjana

sains dalam bidang Teologi (S.Si-Teol), penulis pun berharap agar karya tulis ini dapat

bermanfaat dan menjadi berkat untuk menambah wawasan dari pembaca karena tugas

pemberdayaan perempuan merupakan hal penting yang harus terus dikerjakan oleh berbagai

pihak terkhususnya bagi gereja.

Penulis

Page 7: GMIT Bogakele Alor Memberdayakan Perempuan Penenun … · GMIT Bogakele Alor Memberdayakan Perempuan Penenun (Sebuah Kajian Diakonia Transformatif) Oleh: SELVY PUTRI FABIOLA (712014012)

vii

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Tuhan Yesus Kristus Sang pemberi hikmat yang senantiasa memampukan penulis

dalam menjalani pendidikan di Universitas Kristen Satya Wacana, sejak

Sepetember 2014-Juni 2018, sehingga penulis dapat menyelesaikan studi S1 di

fakultas Teologi dengan memperoleh gelar Sarjana Sains Teologi (S.Si-Teol).

2. Untuk kedua orang tua, Bapak Victor Dakamoly dan Mama Ester Lawalata juga

Bapak Eky Dakamoly tercinta, ketiga kakak (Ine, Rully, Serly), ketiga adik

(Keken, Dwi, Indy), ketiga kakak ipar (kaka Tony, kaka Jo, kaka Aply), keempat

keponakan (Celo, Nyongki, Nolem, Cristan), Om Nabas, Tanta Beti, Nenek Nate,

Mama Us, Bapa Sony dan seluruh keluarga besar Dakamoly-Lawalata atas segala

dukungan baik moril maupun materil kepada penulis dalam menyelesaikan

pendidikan di UKSW.

3. Untuk kedua dosen wali, Pdt. Mariska Lauterboom dan Pdt. Agus Supratikno

yang telah menjadi orang tua di Kampus dan selalu mendukung penulis untuk

dapat melaksanakan perkuliahan dengan baik.

4. Bapak Ebenhaizer Nuban Timo dan Ibu Cindy Quartyamina yang dengan penuh

kesabaran telah membimbing dan mengarahkan penulis untuk dapat menyusun

dan menyelesaikan tugas akhir ini.

5. Seluruh dosen, Ibu Budi selaku TU singkatnya seluruh staff atas segala pelayanan,

dukungan dan kerja sama bagi kami mahasiswa/i.

6. Pdt Yohanes Boanergis, S.Si Teol selaku supervisor lapangan dalam menjalani

PPL I-IV, Bapak Condrat L. Piga selaku supervisor lapangan untuk PPL V, dan

Pdt. Solina Lopung, M.Th selaku supervisor lapangan untuk PPL X atas segala

dukungan, pelajaran di lapangan, serta pengalaman yang telah dibagikan kepada

penulis melalui praktek pendidikan lapangan ini.

7. Kepada seluruh Majelis Jemaat dan warga jemaat Binafun, mata jemaat Terang

Dunia Talete dan Bethesda Binafun yang merupakan lokasi penulis dalam

melakukan PPL X. Terima Kasih untuk segala kerja sama, dukungan dan doa

yang diberikan.

8. Sinode GMIT yang menjadi wadah pendukung dalam melakukan PPL X di

wilayah GMIT.

9. Kepada Pdt. Simon Petrus Amung, seluruh Majelis Jemaat Ora Et Labora

Bogakele, dan seluruh jemaat terkhususnya jemaat perempuan yang telah

Page 8: GMIT Bogakele Alor Memberdayakan Perempuan Penenun … · GMIT Bogakele Alor Memberdayakan Perempuan Penenun (Sebuah Kajian Diakonia Transformatif) Oleh: SELVY PUTRI FABIOLA (712014012)

viii

berpartisipasi dan mendukung penulis dalam melakukan penelitian tugas akhir ini

sampai selesai.

10. Kepada Usi Putri Takalapeta yang memperkenalkan kampus UKSW dan yang

senantiasa mendukung penulis dalam menyelesaikan pendidikan di Fakultas

Teologi UKSW.

11. Kepada sahabat sekaligus saudara“Ayu Apriany Benu”, yang selalu mencintai dan

mendukung dari awal perkuliahan hingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan

di UKSW ini dengan baik.

12. Kepada orang terdekat, “Ruben Deta” atas segala kasih sayang, sikap pengertian,

dukungan, semangat dan doa sehingga penulis bisa melewati masa pendidikan ini

dengan baik.

13. Kaka KTB (Ka Nes) dan Saudara KTB (Vina dan Egy) yang selalu memberikan

motivasi, nasehat, dukungan dan doa seelama ini dalam melakukan pendidikan

terkhususnya pada waktu mengerjakan tugas akhir ini.

14. Saudara-saudara dan sahabat di tanah rantau yang telah mendukung penulis:

Yulfan Sry, Denis, Eman, Jeny, Omi, Mauren, Nata, Ka Lily, Ka Egy, Ka Ona,

Hani, Eby, Ira, Tryben, Elen, Jean, Ona, Mia, Didi, Ma Elen, Bunda Vin, Ka

Reny, Titi Yane.

15. Teman-teman kost Adelphous yang selalu menjadi keluarga di kota kecil ini.

16. Teman-teman Teologi 2014 untuk kebersamaan, canda tawa, pengalaman hidup

bersama dalam menyelesaikan pendidikan di fakultas Teologi ini.

17. Terima kasih untuk orang-orang terdekat yang pernah hadir memberikan

dukungan, motivasi dan doa dalam menyelesaikan tugas akhir ini.

Page 9: GMIT Bogakele Alor Memberdayakan Perempuan Penenun … · GMIT Bogakele Alor Memberdayakan Perempuan Penenun (Sebuah Kajian Diakonia Transformatif) Oleh: SELVY PUTRI FABIOLA (712014012)

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL……………………………………………………………………...i

LEMBAR PENGESAHAN……………………………………………………………....ii

PERNYATAAN TIDAK PLAGIAT……………………………………………………..iii

PERNYATAAN PERSETUJUAN AKSES……………………………………………....iv

PERNYATAAN BEBAS ROYALTI DAN PUBLIKASI……………………………......v

KATA PENGANTAR…………………………………………………………………....vi

UCAPAN TERIMA KASIH……………………………………………………………..vii

DAFTAR ISI……………………………………………………………………………...ix

MOTTO…………………………………………………………………………………..xi

ABSTRAK……………………………………………………………………………….xii

1. Pendahuluan…………………………………………………………………………...1

1.1 Latar Belakang…………………………………………………………………….1

1.2 Rumusan Masalah, Tujuan , Manfaat dan Metode Penelitian.................................4

1.3 Sistematika Penulisan………………………………………..................................5

2. Landasan Teori………………………………………………………………………....5

2.1 Diakonia dan Gereja………………………………………....................................5

2.2 Diakonia Transformatif (Pemberdayaan) ………………………………………..8

2.3 Pemberdayaan Perempuan………………………………………..........................11

3. Hasil Penelitian dan Analisa………………………………………..............................13

3.1 Gambaran Tempat Penelitian………………………………………......................13

3.2 Pandangan Perempuan dan Jemaat GMIT Bogakele-Alor Mengenai Tenun…….14

3.3 Suka Duka yang Dihadapi Perempuan Penenun………………………………….17

3.4 Pembagian Peran Antara Laki-laki dan Perempuan di Kampung Bogakele............19

3.5 Tugas Diakonia Gereja dan Tugas Pemberdayaan Perempuan................................22

3.6 Kontribusi Gereja Bagi Perempuan Penenun............................................................25

4. Penutup...........................................................................................................................26

4.1 Kesimpulan .............................................................................................................26

Page 10: GMIT Bogakele Alor Memberdayakan Perempuan Penenun … · GMIT Bogakele Alor Memberdayakan Perempuan Penenun (Sebuah Kajian Diakonia Transformatif) Oleh: SELVY PUTRI FABIOLA (712014012)

x

4.2 Saran .......................................................................................................................27

4.2.1 Bagi Perempuan Penenun GMIT Bogakele........................................................27

4.2.2 Bagi Jemaat GMIT Bogakele………………………………………..................27

Daftar Pustaka………………………………………............................................................29

Page 11: GMIT Bogakele Alor Memberdayakan Perempuan Penenun … · GMIT Bogakele Alor Memberdayakan Perempuan Penenun (Sebuah Kajian Diakonia Transformatif) Oleh: SELVY PUTRI FABIOLA (712014012)

xi

MOTTO

Karena masa depan sungguh ada, dan harapanmu tidak akan hilang

Amsal 23:18

Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia

memberikan kekekalan dalam hati mereka. Tetapi manusia tidak

dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai

akhir.

Pengkhotbah 3:11

Doa disertai usaha adalah kunci dari keberhasilan.

~Mama~

Page 12: GMIT Bogakele Alor Memberdayakan Perempuan Penenun … · GMIT Bogakele Alor Memberdayakan Perempuan Penenun (Sebuah Kajian Diakonia Transformatif) Oleh: SELVY PUTRI FABIOLA (712014012)

1

1. Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Tenun adalah suatu bentuk kerajinan tangan yang merupakan warisan leluhur yang

dikerjakan oleh perempuan-perempuan di Nusa Tenggara Timur. Kabupaten Alor merupakan

salah satu daerah di NTT yang masih mempertahankan dan mengembangkan tradisi tenun

hingga saat ini. Kegiatan menenun biasanya menghasilkan karya seni, budaya dan sosial yang

tinggi. Hasil kerajinan dari menenun membentuk kain selendang dan kain selimut yang

digunakan untuk kebutuhan hidup masyarakat. Lembaran-lembaran tenun biasanya

menyimpan jalinan ingatan tentang kehidupan di setiap helai benangnya. Dalam selembar

kain tenun juga terukir iman dan kepercayaan masyarakat. Ada pesan-pesan spiritual tentang

hidup dan mati, berkat, anugerah persaudaraan, kerukunan, damai sejahtera, serta keyakinan

akan Tuhan dalam konstruksi motif-motif.1 Kain tenun memiliki motif yang berbeda-beda.

Motif dari setiap kain tenun sangat mempengaruhi keindahan dari suatu tenunan. Setiap motif

memiliki makna tersendiri bagi kehidupan masyarakat Alor.

Di balik kain tenun yang indah terdapat sosok perempuan-perempuan penenun karena

aktivitas menenun merupakan karunia khusus bagi perempuan. Jika dahulu tenun hanya

menjadi aktivitas yang dilakukan perempuan-perempuan Alor pada waktu senggang, kini

tenun menjadi salah satu mata pencaharian perempuan Alor untuk menunjang perekonomian

keluarga. Hasil dari kegiatan menenun yang berupa selimut atau selendang kemudian dijual

untuk menopang kebutuhan keluarga.

Ternate adalah salah satu pulau yang terletak di Kabupaten Alor-NTT yang masih

mempertahankan tradisi menenun hingga saat ini. Di Ternate terdapat sebuah kampung kecil

bernama Bogakele. Tenun dan perempuan Bogakele adalah dua hal yang tidak dapat

dipisahkan. Sejak dahulu,setiap perempuan di kampung Ternate-Bogakele diwajibkan untuk

memiliki keterampilan menenun. Dengan demikian keterampilan menenun merupakan suatu

keterampilan yang harus dimiliki setiap perempuan di kampung Bogakele. Di kampung

Bogakele, kain tenun tidak hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga tetapi juga

digunakan sebagai persembahan ke gereja yang ada di Bogakele-Ternate.

Dalam keberlangsungan kegiatan menenun di kampung Bogakele ternyata terdapat

banyak masalah yang harus hadapi para perempuan. Masalah-masalah yang dihadapi

perempuan tidak hanya meliputi masalah modal, pemasaran, manajemen usaha yang kurang

baik, persaingan dengan tenun songket dan kain batik, penghargaan atas karya mereka yang

1 Eben Nuban Timo, Sidik Jari Allah dalam Budaya, (Maumere:Lalero,2007), 65

Page 13: GMIT Bogakele Alor Memberdayakan Perempuan Penenun … · GMIT Bogakele Alor Memberdayakan Perempuan Penenun (Sebuah Kajian Diakonia Transformatif) Oleh: SELVY PUTRI FABIOLA (712014012)

2

tidak sesuai dengan keringat yang mereka keluarkan, tetapi terdapat juga masalah yang lebih

besar yang dihadapi oleh perempuan Bogakele yakni pembagian peran antara laki-laki dan

perempuan yang menimbulkan ketidakadilan yang merugikan kaum perempuan.

Berdasarkan pembagian peran antara kaum laki-laki dan perempuan di kampung

Bogakele, maka tugas laki-laki ialah sebagai kepala keluarga yang mengambil keputusan dan

menafkahi keluarga. Laki-laki di Bogakele sebagian besar bekerja sebagai nelayan,

sedangkan mengurus keluarga dan menjaga anak adalah tugas bagi seorang perempuan.

Aktivitas menenun hanya dilakukan perempuan pada waktu senggang. Atau seorang

perempuan di Kampung Bogakele baru dapat melakukan tugas menenunnya ketika ia selesai

menimba air di kampung sebrang (Uma Pura) untuk dipakai keluarga, setelah itu memasak

dan mengurus suami serta anak-anak. Jelasnya, ungkapan “kasur, dapur, sumur”masih

dihubungkan dengan perempuan di kampung Bogakele.

Perbedaan-perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan tanpa disadari melahirkan

ketidakadilan. Bentuk ketidakadilan tersebut meliputi : marginalisasi terhadap kaum

perempuan, subordinasi, streotipe yang membuat perempuan dinomerduakan, kekerasan baik

verbal maupun non-verbal serta pembagian beban kerja yang tidak merata.2 Selain itu,

perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan yang tidak adil membuat perempuan menjadi

tidak berdaya dan kesulitan dalam mengembangkan potensi yang mereka miliki. Hal tersebut

jika tidak diperhatikan maka dapat merugikan kaum perempuan khususnya perempuan di

Bogakele. Pertanyaannya, dimana posisi dan tugas gereja dalam melihat fenomena

perempuan penenun di Kampung Bogakele? Disinilah Gereja perlu mengupayakan program

pemberdayaan dalam tugas diakonia (transformatif) gereja bagi warga jemaat khususnya

jemaat perempuan di Kampung Bogakele.

Secara umum gereja memiliki tugas yang disebut tridarma gereja yaitu Peresekutuan

(Koinonia), Ritual (Marturia) dan Pelayanan (Diakonia). Ketiga hal ini tidak dapat dipisahkan

dalam kehidupan bergereja. Gereja tidak bisa melaksanakan satu tugas dengan mengabaikan

tugas yang lain. Namun yang terjadi ialah gereja cenderung lebih memfokuskan pada tugas

koinonia dan marturia. Tugas diakonia selama ini sering dibatasi pada bantuan insidental

seperti bingkisan natal, kerja bakti, kunjungan orang sakit, atau lebih tepatnya hanya sebatas

pada pelayanan yang bersifat amal saja. Padahal tugas diakonia gereja harus meluas kearah

yang lebih bersifat berkesinambungan dalam suatu program yang menyentuh masalah-

2Mansour Fakih, Analisis Gender, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2013), 12

Page 14: GMIT Bogakele Alor Memberdayakan Perempuan Penenun … · GMIT Bogakele Alor Memberdayakan Perempuan Penenun (Sebuah Kajian Diakonia Transformatif) Oleh: SELVY PUTRI FABIOLA (712014012)

3

masalah konkret jemaat.3 Jelasnya, diakonia yang mampu memberdayakan setiap warga

jemaatnya terkhususnya jemaat perempuan. Pemberdayaan yang dimaksudkan disini ialah

pemberdayaan yang bertujuan untuk membebaskan kaum perempuan dari belenggu struktur

yang tidak adil yang mengikat kaum perempuan untuk tidak dapat berkembang sehingga

perempuan menjadi lebih berdaya dan mandiri.

Diakonia dalam gereja sendiri terbagi atas 3 jenis. Diakonia yang pertama ialah

Diakona Karitatif. Diakonia Karitatif berasal dari kata Charity yang berati belas kasihan.

Diakonia jenis ini meemberikan pelayanan yang cuma-cuma kepada jemaat yang

membutuhkan pertolongan atau memberikan pelayanan yang bersifat derma saja. Diakonia

karitatif tidak membawa kepada suatu perubahan melainkan hanya meringankan kondisi yang

dilayani. Diakonia yang kedua ialah, Diakonia Reformatif. Kata Reformasi berarti berubah ke

arah yang lebih baik. Dalam diakonia ini, gereja berusaha untuk meningkatkan kehidupan

atau kondisi dari yang dilayani. Misalnya dengan penyuluhan, pemberian modal dan lain-lain.

Akan tetapi diakonia reformatif belum sampai pada taraf memberdayakan. Diakonia yang

ketiga ialah Diakonia Transformatif. Kata Transform artinya merubah bentuk atau susunan

menjadi berubah. Diakonia transformatif berusaha melakukan perubahan yang mutlak, bukan

sekedar mengusahakan peningkatan pada yang dilayani.4 Dalam tugas diakonia transformatif

diharapkan jemaat yang dilayani dapat menemukan rasa percaya diri sehingga mereka

memiliki kekuatan atau kemampuan dalam mengubah situasi dan kondisi diri untuk

menemukan makna diri dimana itu juga merupakan bagian dari peran pemberdayaan.

Jelasnya, dalam diakonia transformatif ini terdapat suatu bentuk pelayanan yang

memberdayakan warga jemaat. Dengan demikian, gereja masa kini tidak hanya dituntut

untuk memberikan pelayanan yang karitatif yaitu dengan memberi makan kepada orang yang

kelaparan serta pelayanan yang reformatif dengan memberi keterampilan-keterampilan bagi

anggota jemaatnya. Gereja harus mencari penyebab mengapa mereka kelaparan dan mencari

jalan keluar bersama.

Gereja GMIT Bogakele sebagai suatu organisasi tidak dapat dipisahkan dari

kehidupan masyarakat disekitarnya termasuk kehidupan perempuan penenun. Gereja perlu

menyadari tugas diakonia sebagai suatu tanggung jawab gereja. Tugas diakonia yang perlu

diwujudkan gereja tidak hanya diakonia yang bersifat karitatif dan reformatif saja tetapi

3Emanuel Gerrit Singgih, Reformasi dan Transformasi Pelayanan Gereja (Kanisuis:Yogyakarta,1997),

27 4Irene Ludji, “Ekklesiologi dan Konsep Pelayanan Holistik” Theologia : Jurnal Teologi Interdisipliner.

Vol. IV, No. 1, Agustus 2009, 82

Page 15: GMIT Bogakele Alor Memberdayakan Perempuan Penenun … · GMIT Bogakele Alor Memberdayakan Perempuan Penenun (Sebuah Kajian Diakonia Transformatif) Oleh: SELVY PUTRI FABIOLA (712014012)

4

diakonia transformatif yang memberdayakan warga jemaatnya. Pemberdayaan yang perlu

diupayakan gereja tidak hanya pemberdayaan yang membebaskan jemaat dari kemiskinan

tetapi juga menyangkut struktur sosial yang merugikan warga jemaatnya khususnya jemaat

perempuan di kampung Bogakele.

Berdasarkan penjelasan tentang tugas diakonia transformatif untuk memberdayakan

warga jemaat serta realita perempuan penenun di kampung Bogakele yang perlu

diberdayakan, maka munculah ide penelitian penulis dengan judul “GMIT Bogakele Alor

Memberdayakan Perempuan Penenun (Sebuah Kajian Diakonia Transformatif)”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan maka rumusan masalah penelitian adalah :

Apa makna tenun bagi kehidupan perempuan penenun di Kampung Bogakele?

Apa kontribusi Gereja GMIT Bogakele bagi perempuan penenun terkait tugas

pemberdayaan sebagai wujud diakonia transformatif?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian yang sesuai dengan rumusan masalah adalah

Mendeskripsikan makna tenun bagi kehidupan jemaat perempuan di kampung

Bogakele.

Menganalisa bentuk kontribusi Gereja GMIT Bogakele bagi perempuan penenun

terkait dengan tugas pemberdayaan sebagai wujud diakonia transformatif.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian sesuai dengan tujuan masalah yakni :

Diharapkan hasil penelitian ini dapat berguna sebagai sumbangan pemikiran terkait

peran pemberdayaan jemaat perempuan yang menjadi tanggung jawab gereja.

Diharapkan hasil penelitian ini dapat berguna sebagai sumbangsih bagi Gereja GMIT

Bogakele dalam mewujudkan diakonia yang transformatif terkhususnya bagi jemaat

perempuan melaui tradisi menenun di kampung Bogakele.

1.5 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan ialah dengan pengumpulan data melalui

wawancara yang dapat membantu memberikan gambaran mengenai obyek penelitian.

Pendekatan yang dilakukan ialah pendekatan kualitatif. Metode wawancara merupakan

metode yang digunakan untuk mengumpulkan data atau keterangan lisan dari seorang yang

Page 16: GMIT Bogakele Alor Memberdayakan Perempuan Penenun … · GMIT Bogakele Alor Memberdayakan Perempuan Penenun (Sebuah Kajian Diakonia Transformatif) Oleh: SELVY PUTRI FABIOLA (712014012)

5

disebut responden melalui suatu percakapan yang sistematis dan terorganisir. Karena itu,

wawancara merupakan percakapan yang berlangsung secara sistematis dan terorganisir yang

dilakukan oleh peneliti sebagai pewawancara (interviewer) dengan sejumlah orang sebagai

responden atau yang diwawancara (interviewee) untuk mendapatkan sejumlah informasi yang

berhubungan dengan masalah yang diteliti. Hasil percakapan tersebut kemudian direkam atau

dicatat oleh pewawancara. 5

Penelitian ini bertempat di Nusa Tenggara Timur, tepatnya di Gereja Ora Et Labora

Bogakele-Ternate, Kabupaten Alor. Pengambilan data dari penelitian ini adalah dengan

melakukan wawancara kepada : Pertama, Satu orang Pendeta yang sekaligus menjadi ketua

Majelis Jemaat di GMIT Bogakele. Kedua, Majelis yang bertugas dalam bidang Unit

Pembantu Pelayanan (UPP) di GMIT Bogakele. Ketiga, Jemaat perempuan dengan kriteria

antara lain : masih aktif melakukan kegiatan menenun dan yang pernah aktif melakukan

kegiatan menenun untuk mempermudah peneliti dalam mengumpulkan informasi dari setiap

responden.

1.6 Sistematika Penulisan

Dalam sistematika penulisan, peneliti menjabarkan dalam 5 bagian. Bagian pertama,

dipaparkan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,

metode penelitian dan sitematika penulisan. Bagian kedua, teori yang digunakan yaitu teori

diakonia transformatif dan pemberdayaan perempuan. Bagian ketiga, pemaparan hasil

penelitian yaitu dengan wawancara serta analisis kritis dan pembahasan mengenai makna

tenun bagi kehidupan perempuan di kampung Bogakele serta kontribusi gereja dalam

memelihara tradisi tenun sebagai wujud diakonia transformatif. Bagian keempat, penutup

yang berisi kesimpulan dan saran.

2.Landasan Teori

2.1 Diakonia dan Gereja

Tugas gereja saat ini ialah mengusahakan pelayanan yang holistik bagi seluruh warga

jemaatnya. Gereja yang berada di tengah-tengah kehidupan masyarakat harus menyadari

tugas dan tanggung jawab kepada masyarakat di sekitanya. Tuntutan kerja masa kini

membuat gereja membutuhkan pelayanan yang berkualitas. Tugas pelayanan yang perlu

diperhatikan oleh gereja meliputi pelayanan kepada Allah, pelayanan kepada sesama

manusia, tanggung jawab kekuasaan dan memberdayakan orang lain, karisma dan kompetisi,

5 Uber Silalahi,Metode Penelitian Sosial, (Bandung: PT Refika Aditama,2009), 312

Page 17: GMIT Bogakele Alor Memberdayakan Perempuan Penenun … · GMIT Bogakele Alor Memberdayakan Perempuan Penenun (Sebuah Kajian Diakonia Transformatif) Oleh: SELVY PUTRI FABIOLA (712014012)

6

serta konservasi dan transformasi. 6 Namun pelayanan gereja selama ini sering diartikan

hanya sebatas dalam hidup ritual saja misalnya : ibadah, kebaktian, liturgi dan doa. Menurut

Gerrit Singgih, jika pelayanan gereja disempitkan menjadi pelayanan ibadah saja, itu akan

menunjukkan iman yang sempit.7

Gereja belum menjadi gereja apabila ia belum mewujudkan tugas diakonianya.

Dietrich Bonhoeffer mengatakan bahwa gereja baru menjadi gereja bila ia hadir bagi orang

lain. Gereja harus ikut serta dalam masalah-masalah sekular dari kehidupan manusia sehari-

hari, bukan mendominasi melainkan menolong dan melayani.8 Diakonia adalah sarana bagi

gereja dalam upaya untuk menolong dan melayani warga jemaatnya atas masalah-masalah

yang dihadapi.

Noordegraaf mengatakan bahwa diakonia adalah penyataan dari kehidupan gereja. Istilah

Diakonia secara harafiah mempunyai arti “memberi pertolongan atau pelayanan”. Kata ini

berasal dari bahasa Yunani diakonia (pelayanan), diakonein (melayani), diakonos (pelayan).9

Dalam kitab-kitab injil di Perjanjian Baru, istilah diakonia digunakan untuk menyebut hidup

dan pekerjaan Yesus dan juga hidup dan pekerjaan jemaatnya. Contohnya dalam Injil Matius

20:22-28 dimana terdapat kata-kata Yesus yaitu“anak manusia datang bukan untuk dilayani

melainkan untuk melayani”. Diakonia menurut injil dalam perjanjian baru lebih menekankan

kepada sikap saling melayani dan bermurah hati.10

Selain itu, pelayanan diakonia dalam

perjanjian baru lebih menekankan pada perbuatan kasih dan keadilan yang Allah tugaskan

kepada umat-Nya`.

Istilah diakonia tidak dapat dilepaskan dari narasi pemilihan dan penetapan tujuh

orang pria untuk memelihara persekutuan dan pelayanan meja. Ketujuh orang tersebut diberi

jabatan diaken (kisah para rasul 6:1-7). Namun kita tidak dapat terjebak pada pemikiran

bahwa tugas pelayanan diakonia hanya dilakukan oleh orang yang mempunyai jabatan diaken

atau tugas gereja secara umum saja. Diakonia bukanlah tugas yang hanya dikerjakan oleh

para diaken melainkan seluruh majelis dan warga jemaat. Diakonia adalah tanggung jawab

setiap anggota jemaat yang menjadi bagian dalam gereja. Tugas gereja ialah memotivasi

warga jemaat untuk menjadi jemaat yang diakonal. 11

6Irene Ludji, Ekklesiologi dan Konsep Pelayanan Holistik, 80

7Andaru Satnyoto, Diakonia tantangan pelayanan gereja masa kini, (Yogyakarta: LPPM UKDW,

1992 ), 21 8Norman E. Thomas, Teks-Teks Klasik Tentang Misi dan Kekristenan Sedunia: Melengkapi Adikarya

David Bosch, Transformasi Misi Kristen, (Jakarta: PT.BPK Gunung Mulia, 2000),124 9A.Noordegraaf, Orientasi Diakonia Gereja, (Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 2004), 2,10

10J.L Abineno, Diaken, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,2003),2

11A.Noordegraaf, Orientasi Diakonia Gereja, 160-164

Page 18: GMIT Bogakele Alor Memberdayakan Perempuan Penenun … · GMIT Bogakele Alor Memberdayakan Perempuan Penenun (Sebuah Kajian Diakonia Transformatif) Oleh: SELVY PUTRI FABIOLA (712014012)

7

Dalam melakukan tugas diakonia, kita perlu mengetahui bidang-bidang cakupan

pelayanan diakonia antara lain :

1. Diakonia bagi orang muda. Orang muda yang dimaksudkan ialah mereka yang

mengalami krisis, perhatian untuk lingkungan rumah tangga, warung-warung kopi,

kerja bakti lingkungan dan masalah pengangguran diantara kaum muda.

2. Diakonia kepada orang lanjut usia. Sejak dulu pemeliharaan orang lanjut usia adalah

tugas diakonal. Terkhususnya bagi para janda tua yang menjadi subyek dari diakonia

(1 Tim. 5).

3. Diakonia bagi orang sakit. Harus kita pikirkan bentuk-bentuk kunjungan melalui

telepon, karangan bunga, di keluarga-keluarga dan rumah-rumah sakit. Pelayanan

diakonia juga perlu diusahakan bagi mereka yang mempunyai penyakit kronis yang

sering menjadi kelompok yang sering dilupakan.

4. Pemeliharaan bagi orang cacat. Yang dimaksudkan di sini bukan hanya mereka yang

cacat lahir dan cacat batin, tetapi juga yang “cacat parsial” seperti orang buta dan tuli.

5. Diakonia bagi mereka yang tinggal sendiri atau keluarga yang tidak lengkap. Para

janda dan duda selalu harus menanggung kesedihannya. Di samping itu, mereka juga

harus menghadapi masalah praksis, kadang-kadang juga masalah finansial. Juga bagi

mereka yang cerai dan mempunyai masalah pernikahan. Diakonia juga perlu

diusahakan bagi mereka yang demikian.

6. Diakonia bagi semua yang menghadapi kesulitan hidup dalam masyarakat atau

mereka yang terbelakang dan mengalami ketidakadilan struktural. Mereka yang

terbelakang, tanpa pekerjaan, orang-orang miskin baru, para pekerja dengan upah

yang sangat kecil,orang-orang yang harus hidup dengan tunjangan belaka serta

mereka yang di tengah jaringan hukum-hukum sosial dan peraturan-peraturan yang

berbelit-belit tidak dapat menolong diri sendiri dan tergantung pada bantuan dan

bimbingan. Bantuan diakonal di sini bukan hanya akan terdiri dari memberi perhatian,

solidaritas, dan bantuan materil, tetapi juga bantuan secara struktural dalam

mengamati ketidakadilan yang terjadi dalam kehidupan bersama.

Selain itu bagi mereka yang berada dalam situasi ketertinggalan dalam hal pendapatan,

persekolahan, pendidikan, hak-hak kemasyarakatan, kesempatan kerja. Mereka yang masuk

kelompok minoritas yang sering merasa rendah dalam kedudukan dan dianggap manusia

rendah dan bagi mereka yang mengalami diskriminasi.12

Dalam tugas diakonia, kita tidak

12

A.Noordegraaf, Orientasi Diakonia Gereja, 166-169

Page 19: GMIT Bogakele Alor Memberdayakan Perempuan Penenun … · GMIT Bogakele Alor Memberdayakan Perempuan Penenun (Sebuah Kajian Diakonia Transformatif) Oleh: SELVY PUTRI FABIOLA (712014012)

8

hanya dituntut untuk menolong orang yang sedang berada dalam kesulitan melainkan juga

memerangi struktur yang salah. Keduanya harus dapat dilakukan. Bahwa bantuan yang tidak

berdaya bukan hanya soal memerangi gejala-gejalanya, tetapi juga mencari sebab dari

penyakitnya serta menyorotinya.

PGI dalam dokumen keesannya juga membahas mengenai tugas diakonia gereja.

Pelayanan diakonia yang diakui dan dimaksudkan oleh PGI ialah pelayanan dan keterlibatan

gereja yang ditimbulkan dari panggilan tugasnya untuk memperhatikan, membantu,

memerdekakan, dan melepaskan setiap orang yang tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar

hidup mereka dan keluarga mereka masing-masing pada masa kini dan masa depan

selayaknya. Mereka yang dimaksudkan di sini ialah mereka yang miskin, sakit, terasing

lemah dan terlantar bodoh, korban bencana, peperangan, mengalami perlakuan tidak adil dan

sewenang-wenang, terbelakang, korban ketiadaan dan kepastian hukum.13

Dengan demikian

tugas pemberdayaan merupakan salah satu tugas yang perlu diwujudkan dalam upaya

meningkatkan kualitas dan taraf hidup jemaat oleh gereja seluruh warga gereja.

Diakonia juga harus dijalankan dalam rangka Missio Dei, yaitu kehadiran kerajaan

Allah di dunia. Wilayah yang di dalamnya gereja berdiakonia adalah dunia yang penuh

kontrakdiksi dan kompleks. Ada konflik kepentingan di antara orang yang memiliki kuasa

dengan mereka yang tidak berdaya. Bagaimana mungkin kita memerdekakan orang yang

terbelenggu, yang tak berdaya, tanpa menghilangkan rantai-rantai yang mengikat mereka?

Bagaimana mungkin kita tidak berhadapan dengan orang yang membelenggu, ketika

mencoba melepaskan rantai orang yang terbelenggu? Bisakah kita melakukan diakonia yang

membebaskan tanpa berhadapan dengan mereka yang membelenggu kebebasan orang

miskin? Diakonia pembebasan yang bertujuan melakukan transformasi masyarakat tidak

dapat menghindar dari mereka yang berusaha melestarikan kemapanan dan penindasan.

Dengan demikian diakonia yang membebaskan juga merupakan Missio Dei tidak bisa

menghindari situasi konflik. Missio Dei dalam Alkitab selalu diwarnai oleh konflik. Konflik

bukanlah suatu yang harus dilestarikan, melainkan harus diselesaikan melalui penegakan

keadilan dan kasih.14

2.2 Diakonia Transformatif (Pemberdayaan)

Pada umumnya, diakonia dibagi menjadi tiga bentuk, yaitu diakonia karitatif, diakonia

reformatif dan diakonia transformatif. Diakonia Karitatif merupakan diakonia yang paling

13

Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia, Dokumen Keesaan Gereja PGI 2014-2019, (Jakarta: BPK

Gunung Mulia, 2015), 125 14

Josef Widyatmaja, Diakonia Sebagai Misi Gereja (Yogyakarta: Kanisius, 2009) 40-43

Page 20: GMIT Bogakele Alor Memberdayakan Perempuan Penenun … · GMIT Bogakele Alor Memberdayakan Perempuan Penenun (Sebuah Kajian Diakonia Transformatif) Oleh: SELVY PUTRI FABIOLA (712014012)

9

tua yang dikerjakan oleh gereja-gereja. Diakonia ini sering diwujudkan dengan bentuk

pemberian makanan dan pakaian untuk orang miskin, menghibur orang sakit dan perbuatan

amal kebajikan. Diakonia ini dipertahankan gereja karena dapat memberikan manfaat

langsung yang dapat dilihat dan tidak terdapat banyak resiko. Diakonia ini yang paling sering

dilakukan oleh gereja-gereja. Diakonia ini sering diumpamakan seperti memberi ikan dan

roti pada seorang yang lapar. Bentuk pengembangan dari diakonia karitatif ialah Diakonia

Reformatif. Diakonia ini lebih dikenal sebagai diakonia pembangunan karena muncul di era

pembangunan. Kesadaran baru dari gereja-gereja untuk melakukan diakonia reformatif

muncul seiring dengan kesadaran untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Berbeda dengan

diakonia karitatif, diakonia reformatif gereja mulai memberikan perhatian berupa

penyelenggaraan kursus keterampilan, pemberian modal dan penyediaan alat-alat produksi.

Dalam diakonia reformatif, sering digambarkan dengan menolong orang yang lapar dengan

memberikan alat pancing. Namun perlu disadari bahwa sumber kemiskinan tidak hanya

dilihat sebagai akibat kebodohan, kemalasan, keterampilan modal tetapi ada akibat dari

tatananan sosial yang tidak adil. Oleh sebab itu diakonia karitatif dan reformatif ternyata

belum bisa menyelesaikan permasalahan yang ada pada setiap orang. Jika diakonia karitatif

adalah pelayanan memberikan ikan pada orang yang lapar sedangkan diakonia reformatif

adalah pelayanan yang memberikan pancing dan mengajar seseorang memancing maka

diakonia transformatif atau pembebasan boleh digambarkan dengan gambar mata terbuka.

Artinya diakonia ini adalah mencelikkan mata yang buta dan memampukan kaki seseorang

untuk kuat berjalan. Masyarakat yang mengalami kelumpuhan semangat berjuang, perlu

dilayani dengan menyadarkan hak-hak mereka dan memberdayakan mereka.15

Diakonia transformatif memiliki arti usaha menolong masyarakat untuk

memperjuangkan hak-haknya sehingga bisa hidup dengan layak sebagai manusia dengan

harkat dan martabatnya.16

Kata Transform dalam Collins Cobuld English Language

Dictionary berarti “Their apperance and function is totally change”. Berdasarkan pengertian

tersebut maka diakonia transformatif bertujuan agar terjadinya perubahan total dalam

kehidupan bermasyarakat. Maksud diakonia transformatif atau pembebasan ialah diakonia

yang dapat membebaskan rakyat kecil dari belenggu struktur yang tidak adil yang

mengepung mereka.

15

Josef P. Widyatmaja, Yesus & Wong Cilik, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), 35-48 16

Gerrt E.Singgih, Mengantisipasi Masa Depan: Berteologi di Awal Konteks Milenium III, (Jakarta:

BPK Gunung Mulia, 2005), 63

Page 21: GMIT Bogakele Alor Memberdayakan Perempuan Penenun … · GMIT Bogakele Alor Memberdayakan Perempuan Penenun (Sebuah Kajian Diakonia Transformatif) Oleh: SELVY PUTRI FABIOLA (712014012)

10

Dengan mengorganisasikan masyarakat dalam melayani orang miskin dan tersisih,

fokus diakonia transformatif adalah sebagai berikut :

a. Rakyat sebagai subjek sejarah, bukan objek.

b. Tidak karitatif atau tindakan menolong orang yang kesusahan tapi preventif

atau mencegah orang untuk masuk dalam kesusahan.

c. Tidak didorong oleh belas kasihan tetapi keadilan.

d. Mendorong parisipasi masyarakat.

e. Memakai alat analisis sosial dalam memahami sebab-sebab kemiskinan.

f. Melakukan pelayanan penyadaran kepada masyarakat.

g. Mengorganisasi rakyat. 17

Diakonia transformatif bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Dalam melakukan

diakonia tranformatif, kita akan berhadapan dengan status quo yang masih dipegang oleh

masyarakat akan tetapi diakonia tranformatif harus dilihat sebagai perjuangan spritual untuk

menciptakan manusia dan dunia baru, dimana dunia yang penuh keadilan dan manusia yang

bebas dari rasa ketidakberdayaan dan ketertindasan.

Model diakonia ini dapat membantu gereja mengakomodir masalah kemiskinan dan

ketidak merataan yang terjadi, besar ataupun kecil dampak yang dihasilkan. Sehingga mereka

yang tertindas dan yang tidak mendapatkan keadilan dapat bangkit untuk menata kehidupan

kembali secara mandiri, dan menentang segala praktek-praktek ketidakadilan dan penindasan

yang diatur di dalam sebuah sistem.18

Salah satu bagian penting yang tidak terpisahkan dengan diakonia tranformatif ialah

mengenai persamaan gender. Program diakonia transformatif untuk persamaan gender tidak

boleh sekadar menjadikan perempuan sebagai objek melainkan harus memberdayakan

perempuan untuk memiliki kesetaraan dalam hubungan sosialnya dengan laki-laki di dalam

gereja dan masyarakat. Dalam gereja dan masyarakat, masih ada mitos maupun kebijakan

yang tidak menghargai perempuan. Tanpa kesamaan gender, tanpa partisipasi dan

pemberdayaan perempuan, tujuan diakonia transformatif yang ingin mewujudnyatakan

manusia dan dunia tidak akan tercapai.19

Persamaan gender dapat menjadi titik awal bagi

perempuan untuk dapat memiliki akses dalam mengembangkan segala potensi yang ada pada

dirinya.

17

Josef P. Widyatmaja, Yesus & Wong Cilik, 48-49 18

Otniel Kurniawan, “Pandangan GPIB Bukit Harapan Surabaya tentang Pelayanan Diakonia”, Jurnal

Teologi (Salatiga: 2013). 19

Josef P. Widyatmaja, Yesus & Wong Cilik,194

Page 22: GMIT Bogakele Alor Memberdayakan Perempuan Penenun … · GMIT Bogakele Alor Memberdayakan Perempuan Penenun (Sebuah Kajian Diakonia Transformatif) Oleh: SELVY PUTRI FABIOLA (712014012)

11

2.3 Pemberdayaan Perempuan

Untuk mampu berperan dan menggunakan seoptimal mungkin kesempatan yang

tersedia pada abad ke 21 perempuan dituntut untuk memiliki suatu sikap mandiri, di samping

suatu kebebasan untuk mengembangkan dirinya sebagai manusia sesuai dengan bakat yang

dimilikinya. Persyaratan ini nyatanya belum dimiliki oleh profil kaum perempuan di

Indonesia pada saat ini dimana perempuan Indonesia belum bisa terhindar dari situasi

dilematis. Disatu sisi perempuan dituntut untuk berperan dalam semua sektor, tetapi disisi

lain muncul pula tuntutan lain agar perempuan tidak melupakan kodrat mereka sebagai

perempuan. Situasi dilematis ini merupakan hasil dari konstruksi budaya yang berkembang

dan mengikat kaum perempuan. Permasalahan yang dihadapi perempuan pada saat ini

sangatlah kompleks. Dengan demikian Loekman Soetrisno mengatakan diperlukan

emansipasi perempuan tahap kedua yang bertujuan untuk memberantas beberapa ideologi

yang menjadi sumber persepsi yang mempersulit perempuan Indonesia untuk

mengembangkan diri mereka sebagai manusia yang mandiri.20

Perempuan Indonesia selalu dikaitkan dengan konsep kodrat. Konsep kodrat yang

sering dikaitkan dengan peranan perempuan cenderung memaksa kita untuk membatasi

usaha-usaha dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi kaum perempuan. Dengan

demikian Tuti Heradi (1989) mengusulkan agar kita meninggalkan konsep kodrat perempuan

dan menggantinya dengan konsep martabat perempuan sebagai dasar pemecahan masalah

yang dihadapi. Pendapat Tuti tentang hal ini :

“…Dengan memakai istilah martabat tersebut kita telah menempatkan manusia

sebagai makhluk yang mempunyai potensi untuk maju ke segenap kemungkinan.

Sedangkan kalau kita tetap menggunakan istilah kodrat seakan-akan membatasi ruang

gerak manusia itu sendiri. Dan terdapat kecenderungan yang kuat bahwa istilah kodrat

selalu diperuntukkan untuk perempuan dan istilah martabat dialamatkan kepada pria.

Hal ini jelas tidak adil, sebab sebagai manusia kita mempunyai potensi yang sama.”21

Dengan demikian, jika kita hendak membebaskan peran perempuan dari belenggu

ketidakadilan struktur yang ada maka pertama-tama kita seperlunya melepaskan konsep

kodrat yang ada pada perempuan dan menggantinya dengan konsep “martabat” yang dapat

memampukan perempuan untuk mengikuti suara hatinya dan panggilan dari dalam diri

mereka.

20

Soetrisno Loekman, Kemiskinan, Perempuan, Pemberdayaan, (Yogyakarta: Kanisius,1997), 61-68 21

Soetrisno Loekman, Kemiskinan, Perempuan,Pemberdayaan 70-71

Page 23: GMIT Bogakele Alor Memberdayakan Perempuan Penenun … · GMIT Bogakele Alor Memberdayakan Perempuan Penenun (Sebuah Kajian Diakonia Transformatif) Oleh: SELVY PUTRI FABIOLA (712014012)

12

Terdapat tiga perspektif pemberdayaan perempuan melalui tenunan menurut Dina

Takalapeta-Meller yang merupakan salah seorang aktivis perempuan di NTT. Pertama,

Perspektif Revitalisasi Kebudayaan Tenun Alor. Tenunan Alor merupakan busana tradisional

masyarakat Alor. Sebagai budaya tradisional maka tenunan otomatis menjadi benda budaya.

Sejak lahir sampai mati, orang Alor harus berhubungan dengan tenunan. Namun saat ini,

banyak perempuan muda Alor yang tidak bisa menenun sama sekali, meski lahir dan besar

dalam masyarakat bertradisi tenun. Dengan demikian, upaya revitalisasi perlu dilakukan, jika

tidak maka tenun Alor akan punah suatu saat kelak. Kedua, Perspektif Pemberdayaan

Perempuan. Menurut Dina, perempuan harus diberdayakan dan kerajinan tenun merupakan

pintu masuk yang strategis. Tenunan yang hanya dapat dilakukan oleh kaum perempuan

menjadi keistimewaan tersendiri bagi seorang perempuan yang perlu dihargai dan dihormati.

Upaya pemberdayaan perempuan penenun ini diharapkan mampu mengangkat harkat dan

martabat perempuan karena hanya perempuan yang mampu menghasilkan kain tenunan yang

merupakan benda budaya yang bernilai mulia. Ketiga, pemberdayaan ekonomi rakyat.

Tidak semua daerah di Alor memiliki keterampilan menenun. Menenun hanya menjadi

keterampilan tradisional yang dimiliki masyarakat pesisir, sedangkan masyarakat

pegunungan tidak karena mereka hanya mempunyai kemampuan bertani dan bercocok tanam.

Namun kebutuhan akan bahan pakaian menjadi kebutuhan semua orang. Artinya, meski

masyarakat pegunungan tidak memiliki budaya tenun akan tetapi tetap membutuhkan tenunan

sebagai bahan pakaian dan benda budaya. Dalam perkembangannya, tenunan semakin

diminati karena dimodifikasi menjadi pakaian modern dalam bentuk baju, jaz, topi, tas dan

lain-lain. Disinilah sisi ekonomi tenun ikat harus bisa difasilitasi agar bisa menunjang

kehidupan keluarga penenun selain itu juga dapat menaikkan harkat dan martabat perempuan

penenun. Sisi pemberdayaan inilah yang hendak disentuh oleh Dina.22

Pemahaman tentang

pemberdayaan perempuan mencakup aspek pelatihan keerampilan, penyediaan fasilitas baik

perlatan menenun maupun modal yang dibutuhkan, dan membuka pasar serta membangun

mitra untuk mengembangkan produk tenun dari perempuan penenun. Dengan demikian

pemberdayaan perempuan melaui tenun selain dapat membantu perempuan untuk

mengembangkan potensi menenun yang ada pada dirinya juga dapat menjadi sarana untuk

meningkatkan harkat dan martabat kaum perempuan di tengah-tengah kehidupan keluarga

dan masyarakat.

22

Joseph Langodani Herin, Perempuan Alor di Tapak-Tapak Perjalanan Pemberdayaan,( Jakarta:

Yayasan Buba Raja Lagadoni, 2005), 143-146

Page 24: GMIT Bogakele Alor Memberdayakan Perempuan Penenun … · GMIT Bogakele Alor Memberdayakan Perempuan Penenun (Sebuah Kajian Diakonia Transformatif) Oleh: SELVY PUTRI FABIOLA (712014012)

13

3. Hasil Penelitian dan Analisa

Pada bagian ini, penulis akan membahas dan menganalisa hal-hal yang berkaitan

dengan gambaran tempat penelitian, pandangan perempuan dan GMIT Bogakele Alor tentang

tenun, suka duka yang dihadapi perempuan penenun, pembagian peran antara laki-laki dan

perempuan di kampung Bogakele, pandangan gereja mengenai tugas diakonia gereja dan

tugas pemberdayaan perempuan, serta kontribusi gereja bagi perempuan penenun.

3.1 Gambaran Tempat Penelitian

GMIT Ora Et Labora Bogakele terletak di desa Bogakele kampung Ternate

Kabupaten Alor-Nusa Tenggara Timur. GMIT Bogakele belum menjadi gereja mandiri

karena masih tergabung dengan GMIT Ebenhaizer yang terletak di desa Hula- Kabupaten

Alor.

GMIT Bogakele masih tergolong dalam jemaat yang kecil dengan jumlah anggota

jemaat yaitu, jemaat laki-laki berjumlah 148, jemaat perempuan berjumlah 149 dan total

kepala keluarga sebesar 93 KK. Di GMIT Bogakele terdapat seorang pendeta yang menjabat

sebagai ketua majelis jemaat dengan anggota majelis jemaat yang terdiri dari 9 penatua laki-

laki, 9 diaken yaitu 6 diaken perempuan dan 3 diaken laki-laki, 3 pengajar perempuan dan 2

koster laki-laki.

Kampung Bogakele sebagai tempat berdirinya GMIT ora Et Labora Bogakele terletak

di daerah pesisir kabupaten Alor. Iklim Bogakele sangat panas dan tandus mengakibatkan

masyarakat Bogakele tidak dapat bercocok tanam. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari,

sebagian besar laki-laki di kampung Bogakele bekerja sebagai nelayan dan para perempuan

bekerja sebagai penenun yang menghasilkan kain tenun. Dengan demikian pekerjaan

menenun menjadi sangat penting bagi kehidupan perempuan di Bogakele. 23

Berdasarkan gambaran tempat penelitian, penulis menemukan beberapa hal penting

yang dapat menjadi dasar yang kuat mengapa perlu adanya program pemberdayaan bagi

perempuan penenun di kampung Bogakele. Pertama, berdasarkan data yang diperoleh dari

arsip GMIT Bogakele bahwa jemaat perempuan memegang jumlah yang paling besar yaitu

149. Dalam hasil penelitian, penulis juga menemukan bahwa semua perempuan Bogakele

diwajibkan untuk memiliki kemampuan menenun sehingga paling tidak, terdapat 149 jemaat

perempuan GMIT Bogakele yang sedang atau akan menjadi seorang penenun. Selain itu,

iklim di kampung Bogakele yang tandus membuat perempuan Bogakele sulit melakukan

23

Hasil Wawancara dengan Penatua Cornelis Hoyata. 27 Agustus 2017

Page 25: GMIT Bogakele Alor Memberdayakan Perempuan Penenun … · GMIT Bogakele Alor Memberdayakan Perempuan Penenun (Sebuah Kajian Diakonia Transformatif) Oleh: SELVY PUTRI FABIOLA (712014012)

14

aktifitas lain seperti bercocok tanam, sehingga yang dapat mereka kerjakan hanyalah

menenun. Dengan demikian tenun menjadi sangat penting bagi perempuan di kampung

Bogakele. Paling tidak beberapa hal ini dapat menjadi dasar mengapa pentingnya

pemberdayaan penenun oleh GMIT Ora Et Labora Bogakele.

3.2 Pandangan Perempuan dan Jemaat GMIT Bogakele-Alor Mengenai Tenun

Menurut salah satu responden, tenun merupakan kegiatan yang sangat penting bagi

perempuan di Bogakele. Seorang perempuan Bogakele harus dapat menenun untuk dijadikan

sebagai pegangan atau bekal untuk berkeluarga nanti. Sejak di bangku kelas 3 di sekolah

dasar, seorang perempuan sudah harus belajar menenun dimulai dari mengikat benang atau

masyarakat Bogakele menyebutnya “lolo” hingga saat mereka dibangku kelas 6 SD mereka

sudah harus bisa menghasilkan sebuah tenunan. Hal itu sudah menjadi tradisi yang

diwariskan sejak turun temurun sehingga menjadi penting bagi seorang perempuan untuk

dapat menenun. Dalam aktivitas menenun, seorang laki-laki tidak diperkenankan untuk

menenun sekalipun mereka dapat belajar untuk melakukan kegiatan tersebut.24

Pekerjaan

yang boleh dilakukan kaum laki-laki di kampung Bogakele adalah nelayan sedangkan

menenun hanya bagi kaum perempuan.25

Tenun adalah kehidupan bagi perempuan di kampung Bogakale.26

Dengan tenun

perempuan dapat menyekolahkan anak mereka dan hasil dari penjualan kain tenun membantu

mereka untuk membeli kebutuhan rumah tangga.27

Tenun di kampung Bogakele tidak hanya

penting bagi keluarga tetapi juga penting dalam urusan adat di kampung Bogakele. Misalnya,

dalam proses perkawinan, seorang perempuan harus mengisi penuh lemari mereka dengan

kain tenun untuk diantar kepada keluarga laki-laki dan keluarga laki-laki harus membalas

dengan memberikan kain tenun kepada keluarga perempuan. Itu adalah hal wajib yang harus

dilakukan. Jika hal tersebut tidak dilakukan maka keluarga perempuan akan merasa malu dan

sebaliknya jika keluarga laki-laki tidak membalas dengan memberikan kain maka akan

dianggap tidak sopan atau tidak menghargai keluarga perempuan. Contoh lainnya adalah

24

Penting untuk diketahui bahwa ketika responden diberikan pertanyaan “mengapa laki-laki tidak dapat

menenun” ekspresi wajah responden langsung berubah. Ternyata bagi masyarakat kampung Bogakele, tenun

adalah identitas dari seorang perempuan di kampung Bogakele. Dengan demikian hanya seorang perempuan

yang dapat menenun. Hal ini merupakan sebuah tradisi dari leluhur yang sudah dipelihara turun-temurun. 25

. Hasil Wawancara dengan Nenek Kawa 28 Agustus 2017 26

Tenun merupakan lambang dari kebanggaan seorang perempuan. Ketika lemari seorang perempuan

diisi penuh dengan tenun, ia dengan sendirinya merasa bangga. Tenun bukan hanya sebuah kerajinan yang

bernilai ekonomis tinggi untuk menunjang perekonomian keluarga, akan tetapi tenun juga merupakan benda

adat yang sakral untuk kelangsungan kehidupan adat. Selain itu tenun merupakan pengalaman kehidupan

perempuan yang ia tuangkan dalam motif-motif tenun yang mengandung nilai-nilai kehidupan serta pesan

spiritual dari perempuan Bogakele. Contohnya: motif Gajah yang diyakini bermakna “kekuatan dari

perempuan” 27

Hasil Wawancara dengan Nenek Nate 28 Agustus 2017

Page 26: GMIT Bogakele Alor Memberdayakan Perempuan Penenun … · GMIT Bogakele Alor Memberdayakan Perempuan Penenun (Sebuah Kajian Diakonia Transformatif) Oleh: SELVY PUTRI FABIOLA (712014012)

15

dalam upacara kematian. Seorang yang meninggal harus dipakaikan kain tenun sebelum ia

dikuburkan. Menurut kepercayaan masyarakat Bogakele tidak baik jika seorang yang mati

pulang tanpa tenun atau “tangan kosong” karena tenun merupakan bagian dari identitas

masyarakat Bogakele. Kain tenun juga mengandung nilai kesakralan serta kepercayaan

dengan pemilik kehidupan. Menarik di kampung Bogakele bahwa hasil dari penjualan kain

tenun diberikan sebagai perpuluhan kepada gereja. Jika kain tenun tidak laku terjual maka

perpuluhan yang diberikan kepada gereja adalah hasil tenun mereka. Hasil karya tenun dan

penjualannya selalu disisihkan oleh perempuan sebagai perpuluhan untuk gereja. 28

Pandangan GMIT Bogakele mengenai tenun yang diwakili oleh pendeta dan penatua

penanggung jawab gereja adalah bahwa gereja memaknai hasil karya tenun sebagai suatu

usaha jemaat yang ingin untuk dikembangkan. Tenun juga merupakan suatu kesatuan yang

menyatu dengan kehidupan perempuan di Bogakele. Gereja menyadari bahwa, tenun adalah

hidup perempuan di Bogakele dan sumber mereka dalam mendapatkan uang. Kondisi

geografis di Bogakele yang tidak mendukung untuk bercocok tanam membuat tenun menjadi

satu-satunya pekerjaan yang dapat dikerjakan perempuan di Bogakele, sehingga tenun

menjadi pekerjaan yang penting bagi perempuan dan sudah selayaknya gereja bertanggung

jawab untuk mendampingi perempuan dalam mengerjakan aktivitas menenun. Misalnya

gereja mendoakan mereka supaya kegiatan menenun mereka berjalan lancar dan memperoleh

hasil yang baik.29

Berdasarkan hasil wawancara mengenai pandangan perempuan dan GMIT Bogakele

mengenai tenun, penulis mendapatkan beberapa hal penting bahwa pertama, kegiatan

menenun merupakan kegiatan yang sangat penting bagi seorang perempuan di kampung

Bogakele. Perempuan Bogakele lebih memilih untuk tidak makan daripada tidak menenun.

Makan yang merupakan kebutuhan primer manusia diganti dengan “menenun” oleh

perempuan penenun di kampung Bogakele. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan menenun

merupakan suatu kebutuhan penting yang setara dengan kebutuhan akan pangan bagi

perempuan di kampung Bogakele. Selain itu, bagi perempuan Bogakele, kegiatan menenun

bukan sekadar “penghidupan” melainkan “kehidupan”, sehingga tenun tidak dapat dilihat

hanya sebatas “mata pencaharian” bagi perempuan Bogakele.30

Bagi perempuan Bogakele,

tenun juga dapat bernilai yang serupa dengan uang karena ketika perempuan penenun tidak

28

Hasil Wawancara dengan Mama Donuata 28 Agustus 2017 29

Hasil Wawancara dengan Penatua Cornelis Hoyata 27 Agustus 2017 30

Kehidupan yang dimaksdukan penulis adalah tenun merupakan identitas diri perempuan yang

melambangkan harga diri atau prestise perempuan penenun serta kebanggaan atau harta dari perempuan. Jika

pada umumya penduduk perkotaan bangga dengan perhiasan yang dipakai (semakin banyak emas yang

dikenakan maka semakin bangga) , maka perempuan Bogakele merasa bangga dengan kain tenun yang dimiliki.

Page 27: GMIT Bogakele Alor Memberdayakan Perempuan Penenun … · GMIT Bogakele Alor Memberdayakan Perempuan Penenun (Sebuah Kajian Diakonia Transformatif) Oleh: SELVY PUTRI FABIOLA (712014012)

16

dapat memberi perpuluhan kepada gereja, mereka mengganti dengan hasil karya berupa kain

tenun. Pandangan ini semakin diperkuat dengan salah satu teori perspektif pemberdayaan

perempuan penenun menurut Dina. Menurut Dina, tenun merupakan hal yang sangat penting

bagi perempuan Alor. Misalnya bagi masyarakat Alor, tenun menjadi pintu masuk yang

strategis untuk mengangkat derajat atau martabat perempuan. Dalam tradisi masyarakat Alor,

hanya perempuan yang mendapat suatu kepercayaan atau tanggung jawab untuk

menghasilkan tenun yang merupakan benda budaya bernilai mulia. Dengan demikian sudah

sepatutnya bagi perempuan untuk dihargai dan dihormati, karena perempuan Alor sementara

berhadapan dengan sistem patriarki yang cenderung merendahkan derajat perempuan. Hal

yang perlu dilakukan lebih lanjut ialah, memberdayakan potensi perempuan penenun secara

maksimal. 31

Namun GMIT Bogakele baru melihat tenun hanya dari sisi ekonomis saja.

Gereja belum menyadari bahwa tenun tidak hanya sekadar bernilai ekonomis tetapi

merupakan identitas serta kehidupan dari perempuan Bogakele.

Penulis juga menemukan bahwa yang dilakukan gereja hanyalah mendoakan

perempuan penenun atau hanya fokus pada pelayanan yang bersifat ritual. Menurut Budyanto

dalam tulisannya “Orientasi dan Bentuk Pelayanan”, ia mengemukakan bahwa bentuk-bentuk

pelayanan gereja haruslah pelayanan yang menjawab situasi. Pelayanan yang dilakukan

gereja selama ini hanyalah sekadar supaya ada pelayanan. Pelayanan yang menjawab situasi

yang dimaksudkan ialah, pelayanan yang harus menjawab kebutuhan ekstrinsik yang benar-

benar dibutuhkan dan kebutuhan intrinsik, yang tidak dirasakan sebagai kebutuhan, tetapi

justru nerupakan akar permasalahan.32

Dengan demikian sikap gereja yang hanya mendoakan

perempuan penenun merupakan suatu bentuk pelayanan yang belum menjawab situasi yang

sesuai dengan perempuan penenun di kampung Bogakele. Penulis mendapati faktor-faktor

penyebabnya antara lain : keterbatasan dana serta kurangya kerja sama dan komunikasi yang

baik antara gereja dan anggota jemaat. Hal ini dapat dilihat dari sikap gereja yang

menunjukkan bahwa gereja belum memahami apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh jemaat

khususnya perempuan penenun.Berdasarkan hasil wawancara dengan majelis jemaat GMIT

Bogakele, penulis juga menyimpulkan bahwa gereja memahami perempuan penenun hanya

sebatas perempuan yang melakukan usaha tenun sebagai suatu pekerjaan untuk menghasilkan

uang. Padahal tenun bukan hanya sekadar mata pencaharian perempuan Bogakele.

Pemahaman gereja yang demikian tentu akan berdampak pada sikap gereja kedepan bagi

perempuan penenun.

31

Joseph Langodani Herin, Perempuan Alor di Tapak-Tapak Perjalanan Pemberdayaan, 146 32

Andaru Satnyoto, Diakonia tantangan pelayanan gereja masa kini, 27

Page 28: GMIT Bogakele Alor Memberdayakan Perempuan Penenun … · GMIT Bogakele Alor Memberdayakan Perempuan Penenun (Sebuah Kajian Diakonia Transformatif) Oleh: SELVY PUTRI FABIOLA (712014012)

17

3.3 Suka Duka yang Dihadapi Perempuan Penenun

Perempuan di kampung Bogakele selalu menenun sejak kecil hingga tua. Jika kita

berkunjung ke kampung Bogakele maka kita akan menemukan alat-alat tenun di halaman

rumah penduduk Bogakele. Dalam proses menenun yang dijalani terdapat suka dan duka

yang harus dihadapi perempuan Bogakele. Menurut perempuan di kampung Bogakele,

kendala atau duka saat menenun adalah ketika tidak mempunyai modal untuk membeli bahan

baku seperti benang untuk menenun. Jika keadaan tersebut dialami maka yang dilakukan

mereka adalah meminjam uang kepada tetangga untuk membeli bahan baku atau dengan cara

lain yaitu “tenun orang punya” artinya menenun dengan syarat bagi hasil. Misalnya, orang

yang mempunyai benang memberikan kepada penenun untuk ditenun menjadi sebuah kain

tenun kemudian kain tersebut dijual seharga Rp. 150.000,00 maka pihak yang menenun

mendapatkan Rp.50.000,00 dan pihak yang memiliki benang mendapatkan Rp.100.000,00.

Hal itu terpaksa harus dilakukan karena jika perempuan tidak menenun maka tidak ada

pekerjaan lain yang dapat dilakukan untuk menghasilkan uang karena perempuan di kampung

Bogakele tidak dapat bercocok tanam. Jika tidak sibuk, perempuan Bogakele dapat

menghasilkan satu tenunan dalam jangka waktu satu minggu. 33

Adapun kesulitan lain yang dihadapi perempuan untuk tetap menenun adalah masalah

pemasaran. Mereka harus pergi ke kota untuk menjual hasil tenun mereka. Mereka tidak

dapat menjual di kampung Bogakele karena setiap orang di kampung Bogakele dapat

menghasilkan kain tenun. Selain itu, biaya perjalanan ke kota yang memakan biaya cukup

besar jika dibandingkan dengan harga kain tenun yang tidak seberapa membuat mereka

kadang mengalami kerugian. Hanya beberapa orang saja yang kadang menghargai hasil karya

tenun sesuai dengan keringat yang dikeluarkan.34

Hal ini dapat saja terjadi karena hampir

semua Kabupaten di NTT menghasilkan tenunan dengan motif dan kualitas yang beragam.

Selain itu, turut masuknya berbagai motif kain batik dari daerah-daerah diluar NTT yang

mulai diminati oleh para konsumen tenun di Alor. Dengan demikian terjadi persaingan yang

ketat dan tentu saja akan berpengaruh pada harga jual tenun, atau semakin banyak produk

tenun maka nilai jual tenun semakin rendah.

Kendala yang lain datang dari dalam keluarga. Perempuan baru dapat menenun

apabila telah menyelesaikan tugasnya sebagai ibu rumah tangga. Misalnya, memberi makan

binatang, memasak, menyiapkan anak ke sekolah, menimba air di kampung Uma Pura

barulah ia dapat menenun. Laki-laki atau suami hanya melakukan tugas rumah tangga ketika

33

Hasil Wawancara dengan Nenek Kawa 28 Agustus 2017 34

Hasil Wawancara dengan Mama Abola 22 Agustus 2017

Page 29: GMIT Bogakele Alor Memberdayakan Perempuan Penenun … · GMIT Bogakele Alor Memberdayakan Perempuan Penenun (Sebuah Kajian Diakonia Transformatif) Oleh: SELVY PUTRI FABIOLA (712014012)

18

perempuan mengalami sakit dan hanya dapat berbaring di tempat tidur sehingga waktu

menenun sangat sedikit. Biasanya waktu yang tepat untuk menenun adalah saat sore hari

hingga pagi dengan ditemani sirih pinang dan secangkir kopi yang mereka katakan sebagai

sumber penyemangat dalam menenun. Satu-satunya yang menjadi kesukaan dari perempuan

penenun adalah saat hasil tenun mereka laku terjual dan mereka tetap dapat menenun lagi,

menghasilkan kain tenun lagi dan laku terjual kembali begitu seterusnya.35

Dalam upaya gereja mewujudkan pelayanan yang sesuai dengan yang dibutuhkan

oleh warga jemaat, gereja perlu memahami dan mengetahui apa saja permasalahan dan

kendala yang mereka alami untuk menemukan pelayanan seperti apa sebenarnya yang

dibutuhkan oleh jemaat. Penulis melihat terdapat dua faktor yang menjadi permasalahan yang

dihadapi oleh perempuan penenun dikampung Bogakele. Yang pertama ialah faktor internal

atau faktor yang lahir dari diri perempuan penenun sendiri. Faktor internal ini meliputi:

minimnya modal dari penenun, proses pemasaran karena terbatasnya jejaring atau koneksi,

serta alokasi waktu untuk menenun karena tenun merupakan aktifitas yang dilakukan

perempuan pada waktu senggang. Faktor kedua ialah faktor eksternal atau faktor yang berasal

dari luar. Faktor eksternal yang menjadi fokus penulis ialah peran gereja yang meliputi:

pemahaman gereja yang masih dibungkus oleh budaya patriarkhi, pemahaman gereja

mengenai diakonia transformatif yang belum optimal dan gereja belum memahami dengan

sungguh karateristik kebutuhan jemaat Bogakele.

Faktor internal pertama ialah keberadaan perempuan penenun sebagai perempuan

yang minim modal. Modal yang didapatkan oleh perempuan penenun adalah dari hasil melaut

sang suami. Namun modal untuk menenun baru diperoleh perempuan ketika kebutuhan yang

lain sudah tercukupi. Antara lain: kebutuhan rumah tangga, sekolah anak bahkan rokok untuk

suami. Selain itu, mengingat hasil dari melaut tidak seberapa apalagi saat cuaca sedang buruk

maka modal bagi penenun tentulah tidak banyak. Karena keterbatasan modal inilah,

perempuan penenun harus mengerjakan tenun dengan sistem bagi hasil sekalipun mereka

mengalami suatu sistem pembagian upah yang tidak adil antara pemilik modal dan

perempuan penenun di Kampung Bogakele. Berdasarkan Keputusan Gubernur NTT Nomor:

347/KEP/HK, tanggal 31 Oktober 2016 yang mengatur tentang upah minimum tenaga kerja

maka perjam paling tidak seorang pekerja harus dibayar Rp.6.400,00, namun jika kita

bandingkan dengan perempuan penenun, yang hanya mendapat Rp. 50.000,00 dari hasil

penjualan kain tenun oleh pemilik modal seharga Rp. 150.000,00 maka pekerjaan seorang

35

Hasil Wawancara dengan Mama Donuata 22 Agustus 2017

Page 30: GMIT Bogakele Alor Memberdayakan Perempuan Penenun … · GMIT Bogakele Alor Memberdayakan Perempuan Penenun (Sebuah Kajian Diakonia Transformatif) Oleh: SELVY PUTRI FABIOLA (712014012)

19

perempuan hanya dihargai senilai Rp. 900,00 setiap jam. Hal ini jelas merugikan kaum

perempuan di kampung Bogakele karena upah yang didapatkan tidak sesuai dengan kerja

keras mereka.36

Faktor internal kedua ialah, masalah lokasi dan proses pemasaran yang disebabkan

juga karena keterbatasan jejaring atau koneksi. Perempuan penenun di kampung Bogakele

tergolong dalam perempuan yang minim koneksi. Jarak mereka yang jauh dari perkotaan

serta tugas dan tanggung jawab untuk mengurus keluarga membuat perempuan penenun tidak

mempunyai kesempatan untuk meninggalkan kampung Bogakele dalam upaya

mempromosikan dan memasarkan karya tenun mereka, serta membangun relasi atau kerja

sama dengan pihak-pihak luar. Dalam pekerjaan industri, baik industri besar maupun industri

rumah tangga, proses pemasaran menjadi hal yang penting. Jika proses pemasaran terhambat

maka usaha tidak dapat berjalan dengan baik. Lokasi pasar yang jauh membuat perempuan

penenun mengalami kesulitan dalam memasarkan hasil karya tenunan mereka. Hal ini jika

dibiarkan dapat mematikan usaha tenun dari perempuan.

Faktor internal yang ketiga ialah alokasi waktu. Peran ganda yang dihadapi

perempuan penenun yaitu sebagai ibu rumah tangga dan penenun menjadi kendala bagi

mereka dalam memaksimalkan potensi menenun. Hal ini sesuai dengan pandangan Sutrisno

bahwa perempuan Indonesia belum bisa terhindar dari situasi dilematis. Di satu sisi

perempuan dituntut untuk berperan dalam semua sektor, tetapi di sisi lain muncul pula

tuntutan agar perempuan tidak melupakan kodrat mereka sebagai perempuan.37

Situasi

dilematis ini merupakan hasil dari konstruksi budaya yang berkembang dan mengikat kaum

perempuan hingga saat ini.38

3.4 Pembagian Peran Antara Laki-Laki dan Perempuan di Kampung Bogakele

Pembagian tugas di kampung Bogakele sangat sulit dilakukan. Seorang laki-laki, jika

ia sudah pulang dari pantai untuk mencari ikan, ia tidak akan melakukan tugas rumah tangga

yang lain. Tugas laki-laki hanya mencari ikan di laut sedangkan tugas perempuan adalah

mengurus pekerjaan rumah tangga serta menenun. Tugas seperti menjaga anak, memberi

makan hewan, memasak, dan menimba air di sumur hanya dilakukan oleh perempuan. 39

Gereja sendiri memandang pembagian peran antara laki-laki dan perempuan adalah

bahwa seorang anak di kampung Bogakele sejak lahir sudah ditentukan perannya. Sejak lahir,

36

Keputusan Gubernur NTT Nomor: 347/KEP/HK, tanggal 31 Oktober 2016 37

Penting untuk diketahui bahwa masyarakat Bogakele masih memegang pemahaman yang merupakan

hasil konstruksi warisan patriarkhi bahwa tugas perempuan di dapur, sumur dan kasur. Menenun hanyalah

pekerjaan yang dilakukan pada waktu luang. 38

Soetrisno Loekman, Kemiskinan, Perempuan, Pemberdayaan, 61-68 39

Hasil Wawancara dengan mama Kartika 22 Agustus 2017

Page 31: GMIT Bogakele Alor Memberdayakan Perempuan Penenun … · GMIT Bogakele Alor Memberdayakan Perempuan Penenun (Sebuah Kajian Diakonia Transformatif) Oleh: SELVY PUTRI FABIOLA (712014012)

20

seorang perempuan sudah diberikan peran menjadi ibu rumah tangga untuk mengurus

keluarga. Peran sebagai laki-laki dan perempuan sudah ditentukan berdasarkan kesepakatan

adat dan itu diwariskan secara turun-temurun. Menyikapi hal tersebut, gereja sendiri belum

ada pemikiran untuk mengembangkan bagaimana peran yang seharusnya bagi laki-laki dan

perempuan. Ditambah dengan konteks desa Bogakele yang jauh dari kota dengan pemikiran

yang belum berkembang membuat gereja sulit untuk mengupayakan kesetaraan peran antara

laki-laki dan perempuan. Namun gereja memahami bahwa perempuan dapat berperan dalam

pelayanan sebatas pada keterlibatan dalam organisasi wanita seperti paduan suara, usaha

dana, bagian konsumsi dan lainnya. Gereja sendiri belum bisa mengijinkan perempuan untuk

dapat menjadi penatua gereja. Perempuan hanya dapat menjadi diaken dan pengajar dalam

jemaat. Alasan gereja belum mengijinkan perempuan menjadi penatua karena pemahaman

gereja bahwa perempuan tidak mampu untuk melakukan tugas sebagai penatua karena

pendidikan yang rendah dan pengetahuan yang kurang dan dari jemaat perempuan sendiri,

sejauh ini tidak ada yang menawarkan diri menjadi penatua.40

Masalah ketidaksetaraan gender menjadi fokus permasalahn dari penulis karena baik

dari faktor penghambat internal dan faktor eksternal, keduanya dipengaruhi oleh

ketidaksetaraan peran antara laki-laki dan perempuan. Penulis melihat bahwa dalam

kehidupan masyarakat di kampung Bogakele gereja sementara mendukung status quo dalam

hal ketidaksetaraan antara perempuan dan laki-laki yang ada dalam masyarakat kampung

Bogakele. Pembagian peran antara laki-laki dan perempuan menunjukkan ketidakadilan

gender yang sedang terjadi di Kampung Bogakele. Pembagian peran yang tidak adil

mengakibatkan perempuan kurang memiliki kesempatan yang optimal untuk

mengembangkan potensi yang ada pada diri mereka. Hal ini ternyata mempengaruhi kualitas

dan mutu tenun yang dihasilkan oleh perempuan Bogakele. Perempuan Bogakele baru dapat

mengerjakan tenunannya saat ada waktu luang atau ketika semua tugas rumah tangga telah

selesai. Berdasarkan hasil pengamatan penulis di Kampung Bogakele, perempuan baru

mengerjakan hasil tenunannya saat subuh karena ketika pagi hingga malam ia harus

mengurus pekerjaan rumah tangga, seperti mengurus semua kebutuhan suami dan anak-anak.

Akibatnya, durasi waktu untuk menenun terpotong serta konsentrasi kerja dari perempuan

penenun menurun sehingga berdampak pada kualitas dan nilai jual dari tenun mereka.

Sedangkan menenun adalah suatu pekerjaan yang membutuhkan banyak waktu serta

konsentrasi yang penuh. Hal ini tentu berbeda dengan tugas laki-laki di kampung Bogakele

40

Hasil Wawancara dengan Penatua Cornelis Hoyata 27 Agustus 2017

Page 32: GMIT Bogakele Alor Memberdayakan Perempuan Penenun … · GMIT Bogakele Alor Memberdayakan Perempuan Penenun (Sebuah Kajian Diakonia Transformatif) Oleh: SELVY PUTRI FABIOLA (712014012)

21

yang hanya mengerjakan satu tugas yakni sebagai nelayan, karena tugas untuk mengurus

keluarga hanyalah tugas perempuan.

Penulis menyimpulkan bahwa di kampung Bogakele, terjadi pembagian kerja yaitu

laki-laki bertugas mencari nafkah dan perempuan mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Hal

ini sudah berlangsung cukup lama. Namun perlu disadari bahwa ketika perempuan turut

terlibat dan bekerja sama dengan laki-laki dalam usaha mencari nafkah untuk keluarga, maka

seharusnya laki-laki juga dapat terlibat dengan perempuan dalam upaya mengerjakan

pekerjaan rumah tangga secara bersama-sama. Inilah yang penulis maksud dengan

kesetaraan, dimana terjalinnya kerja sama yang baik antara laki-laki dan perempuan untuk

mengerjakan tanggung jawab keluarga secara bersama-sama.

Gereja Bogakele sendiri masih menunjukkan ketidakpercayaannya bagi jemaat

perempuan untuk menjadi seorang penatua. Hal ini sebenarnya menunjukkan bahwa gereja

belum menyatakan sikap kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Menurut penulis, jika

gereja hendak memikirkan cara untuk memberdayakan perempuan penenun maka gereja

tidak boleh menutup mata dengan ketidakadilan gender di kampung Bogakele karena itu

merupakan salah satu masalah yang juga dihadapi perempuan penenun. Sikap diam yang

diambil gereja seolah mendukung praktik ketidakadilan yang sedang berlangsung. Benhofer

mengatakan bahwa gereja baru menjadi gereja bila ia hadir bagi orang lain. Gereja harus ikut

serta dalam masalah-masalah sekular kehidupan manusia sehari-hari, bukan mendominasi

melainkan menolong dan melayani.41

Disinilah gereja perlu mengusahakan terciptanya

kehidupan yang adil bagi setiap warganya. Dalam menghadapi masalah-masalah seperti ini,

gereja perlu mengusahakan tugas diakonia gereja secara baik untuk mewujudkan kesetaraan

dan keadilan bagi seluruh warga jemaatnya. Gereja perlu menyadari bahwa dalam tugas

diakonia gereja terdapat satu bentuk diakonia yaitu diakonia transformatif. Diakonia

transformatif dapat juga dimengerti sebagai tindakan gereja melayani umat manusia secara

multi dimensional (tubuh, jiwa dan roh) dan juga multi sektoral (ekonomi, politik, kultural,

hukum dan agama).42

Diakonia transformatif dapat menolong gereja dalam mewujudkan

keadilan, kesetaraan serta memberdayakan setiap warga jemaatnya. Role model dari diakonia

ini adalah Yesus sendiri dimana Yesus menentang praktik-praktik ketidakadilan struktural,

kejahatan dan kesekarahan.

41

Norman E. Thomas, Teks-Teks Klasik Tentang Misi dan Kekristenan Sedunia: Melengkapi Adikarya

David Bosch, Transformasi Misi Kristen,124

42

Bambang Subandrijo, Agama dalam Praksis, (BPK Gunung Mulia:Jakarta,2003), 53

Page 33: GMIT Bogakele Alor Memberdayakan Perempuan Penenun … · GMIT Bogakele Alor Memberdayakan Perempuan Penenun (Sebuah Kajian Diakonia Transformatif) Oleh: SELVY PUTRI FABIOLA (712014012)

22

3.5 Tugas Diakonia Gereja dan Tugas Pemberdayaan Perempuan

Gereja menyadari bahwa perempuan adalah satu subjek ciptaan Allah yang perlu

untuk diberdayakan. Gereja perlu mendampingi kaum perempuan tidak hanya dalam

pemberitaan firman tetapi dalam kehidupan sehari-hari mereka. Dalam setiap potensi yang

mereka miliki gereja perlu mendampingi bahkan memfasilitasi hal tersebut. Gereja masih

mengusahakan pendampingan bagi kaum perempuan di kampung Bogakele. Sejauh ini, tugas

pemberdayaan yang difokuskan gereja adalah pemberdayaan ekonomi jemaat. Namun gereja

juga menyadari bahwa tugas pemberdayaan tidak dapat terjadi jika dilakukan oleh satu pihak

saja. Pihak yang mau diberdayakan juga perlu untuk aktif dalam tugas pemberdayaan. Di

kampung Bogakele, sangat sulit untuk melakukan tugas pemberdayaan karena watak jemaat

perempuan sendiri yang sulit untuk mau menerima perubahan dan mereka tetap

mempertahankan kebiasaan-kebiasan yang lama sehingga program yang hendak dilakukan

oleh gereja sulit diterima oleh jemaat dan direalisasikan oleh gereja. Jemaat sulit memahami

apa yang hendak dilakukan oleh gereja juga menjadi kendala dalam tugas pemberdayaan di

GMIT Bogakele.43

Selain itu, mengenai tugas diakonia gereja, gereja mengakui bahwa sebagai mata

jemaat yang kecil, gereja masih sangat minim untuk melakukan seluruh program pelayanan

yang ada. Berkaitan dengan tugas diakonia gereja, gereja sendiri sudah melakukan tugas

diakonia seperti melayani orang sakit, keluarga yang mengalami kematian dan yang

mengalami bencana. Gereja secara umum belum memahami sepenuhnya tugas diakonia

transformatif sehingga tugas diakonia untuk penenun belum diusahakan untuk dilakukan.

Fokus gereja hanya kepada tugas diakonia kepada warga jemaat yang mengalami sakit, para

janda, duda dan yatim piatu serta keluarga yang mengalami bencana sedangkan tugas

diakonia untuk memberdayakan tidak menjadi fokus gereja. Tugas diakonia untuk

memberdayakan perempuan penenun sulit dilakukan gereja karena gereja masih kekurangan

dalam dana dan sumber daya. Jumlah persembahan yang tidak seberapa membuat gereja sulit

untuk melakukan tugas diakonia transformatif ini. Pelayanan yang dilakukan gereja masih

berupa pelayanan umum sedangkan yang khusus seperti itu belum dilakukan. 44

Berkaitan dengan pernyataan pendeta bahwa gereja kesulitan menjalankan program

karena watak atau karateristik jemaat yang sulit menerima perubahan, penulis kemudian

meminta pendapat mengenai pandangan pendeta tersebut kepada salah satu responden yang

43

Hasil Wawancara dengan Pendeta Simon Amung, S.th 25 Agustus 2017: Responden tidak

menjelaskan secara rinci apa itu kebiasaan-kebiasaan lama sehingga penulis sulit memahami maksud dari

“kebiasaan lama jemaat” seperti yang dimaksudkan responden. 44

Hasil Wawancara dengan Pendeta Simon Amung, S.th 25 Agustus 2017

Page 34: GMIT Bogakele Alor Memberdayakan Perempuan Penenun … · GMIT Bogakele Alor Memberdayakan Perempuan Penenun (Sebuah Kajian Diakonia Transformatif) Oleh: SELVY PUTRI FABIOLA (712014012)

23

merupakan seorang warga jemaat Bogakele. Ia menyatakan bahwa, bukan jemaat yang sulit

menerima perubahan akan tetapi sudah ada kecurigaan-kecurigaan terlebih dahulu dari gereja

bahwa jemaat belum mampu atau terdapat suatu ketidakpercayaan gereja kepada potensi atau

kemampuan warga jemaatnya apalagi bagi jemaat perempuan yang rata-rata pendidikannya

rendah.45

Penulis menyadari bahwa pemberdayaan jemaat memang bukanlah sesuatu hal yang

mudah apalagi mengubah pola pikir dari suatu komunitas tertentu. Diakonia transformatif

juga bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan gereja karena akan berhadapan dengan status

quo yang masih dipegang oleh masyarakat. Namun gereja harus bisa menghadapi bukan

menyerah dengan tantangan pelayanan yang ada. Jika menurut gereja, pemberdayaan sulit

dilakukan karena sikap perempuan yang tidak mau menerima perubahan, maka menurut

penulis hal ini adalah dapat dimaklumi mengingat keberadaan perempuan Bogakele yang

rata-rata belum memiliki kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang layak serta sejak

dahulu perempuan sudah dikaitkan dengan konsep kodrat. Konsep kodrat sebenarnya yang

harus dipahami ialah perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan. Dalam hal ini,

fungsi reproduksi yang berbeda yakni perempuan mengalami menstruasi, hamil, melahirkan

dan menyusui sedangkan laki-laki membuahi dengan speramtozoa.46

Sehingga ketika

perempuan penenun memahami bahwa pekerjaan domestik yakni sumur, dapur dan kasur

merupakan kodrat mereka, maka ini menunjukan bahwa para perempuan tersebut masih

sangat dipengaruhi oleh pola pikir patriarkhi dan kesadaran gender belum sepenuhnya

mereka miliki. Menjadi ironi ialah ketika gereja juga ikut melanggengkan pemahaman

tersebut yang dikarenakan oleh beberapa hal yang memungkinkan, antara lain: Pertama,

ketidakpahaman gereja tentang kesadaran gender untuk membedakan antara kodrat dan

konstruksi budaya. Kedua, gereja sudah menyadari akan perbedaan keduanya tetapi masih

enggan untuk menyuarakan kesadaran gender ini dengan berbagai alasan. Ketiga, gereja mau

menyuarakan kesadaran gender tersebut tetapi masih mengalami kesulitan karena latar

belakang identitas jemaat yang sulit menerima perbedaan. Menurut Sutrisno, konsep kodrat

yang dikaitkan dengan peranan perempuan cenderung memaksa kita untuk membatasi usaha-

usaha dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi perempuan.47

Disinilah gereja harus

berani bersuara dan dimulai dengan menghayati apa yang merupakan konstruksi budaya

sebagai yang bukan kodrat sembari menjelaskan apa yang dimaksud sebagai kodrat

45

Hasil Wawancara Via Telepon dengan Bapak Donuata 24 September 2017 46

Herien Puspitawati, Konsep, Teori dan Analisa Gender, (Institut Pertanian Bogor: Departemen Ilmu

Keuarga dan Konsumen Fakultas Ekologi Manusia, 2013), 2 47

Soetrisno Loekman, Kemiskinan, Perempuan, Pemberdayaan, 61-68

Page 35: GMIT Bogakele Alor Memberdayakan Perempuan Penenun … · GMIT Bogakele Alor Memberdayakan Perempuan Penenun (Sebuah Kajian Diakonia Transformatif) Oleh: SELVY PUTRI FABIOLA (712014012)

24

perempuan yang sesungguhnya dari seorang perempuan. Dengan demikian dalam upaya

untuk menyatakan kesadaran gender bagi jemaat, pertama-tama gereja perlu mentransformasi

dirinya terlebih dahulu.

Penulis juga menemukan bahwa gereja Bogakele kurang memperhatikan tugas

diakonia. Gereja hanya memfokuskan kepada ibadah dan mengesampingkan tugas diakonia.

Tugas diakonia yang dilakukan gereja hanya bersifat musiman, contohnya saat natal,

kedukaan, bencana dan lainnya. Menurut Widyatmaja, diakonia adalah fondasi yang kuat

bagi gereja sebagai tubuh Kristus. Tanpa diakonia, pekabaran injil oleh gereja menjadi

abstrak, bagaikan gong yang bunyinya nyaring menggema, tetapi hilang ditelan waktu

sehingga terdapat hubungan yang erat antara diakonia dan misi.48

Dengan demikian GMIT

Bogakele tidak dapat mengesampingkan tugas diakonia pada saat gereja sibuk melakukan

pelayanan Marturia dan Koinonia.

Jika kita melihat pandangan Subandriyo bahwa pemahaman dan praktik gereja

tentang diakonia sangatlah tradisional. Artinya tidak banyak orang Kristen yang memahami

apa itu diakonia sesungguhnya sedangkan banyak yang mempraktikkan diakonia pada tataran

stereotip dan kegiatan tersebut sudah berlangsung perpuluh-puluh tahun lamanya.49

Maka hal

itu tidak jauh berbeda dengan keadaan jemaat GMIT Bogakele. Jika kita melihat

permasalahan yang dihadapi oleh perempuan penenun di Kampung Bogakele, maka gereja

perlu menyadari bahwa tugas diakonia yang bersifat karitatif saja tidak cukup bagi mereka.

Perlu diusahakan diakonia yang lebih menyentuh permasalahan yang dihadapi perempuan

penenun yakni diakonia transformatif. Dalam mengusahakan diakonia yang memberdayakan,

jemaat Bogakele masih melihat bahwa tugas diakonia dapat terjadi kalau ada dana atau

singkatnya “diakonia hanya melulu tentang uang”. Padahal diakonia tidak melulu tentang

uang, khususnya dalam diakonia transformatif. Menurut Widyatmaja, salah satu yang tidak

terpisahkan dengan diakonia transformatif ialah mengenai persamaan gender. Program

diakonia transformatif untuk persamaan gender tidak boleh sekedar menjadikan perempuan

sebagai objek melainkan harus memberdayakan perempuan untuk memiliki kesetaraan dalam

hubungan sosialnya dengan laki-laki di dalam gereja dan masyarakat. Dalam gereja dan

masyarakat, masih ada mitos maupun kebijakan yang tidak menghargai perempuan. Tanpa

kesamaan gender, tanpa partisipasi dan pemberdayaan perempuan, tujuan diakonia

transformatif yang ingin mewujudnyatakan manusia dan dunia tidak akan tercapai.50

Dengan

48

Josef Widyatmaja, Diakonia Sebagai Misi Gereja,40 49

Bambang Subandrijo, Agama dalam Praksis 33 50

Josef P. Widyatmaja, Yesus & Wong Cilik,194

Page 36: GMIT Bogakele Alor Memberdayakan Perempuan Penenun … · GMIT Bogakele Alor Memberdayakan Perempuan Penenun (Sebuah Kajian Diakonia Transformatif) Oleh: SELVY PUTRI FABIOLA (712014012)

25

demikian yang perlu dilakukan gereja saat ini adalah membantu perempuan menyadari sistem

atau struktur yang salah dan tidak adil yang selama ini tanpa disadari menindas mereka.

Lebih lanjut juga pada bagaimana gereja memberikan informasi yang mampu menyadarkan

perempuan akan hak-hak mereka, gereja mengusahakan suatu kesetaraan antara laki-laki dan

perempuan mengenai pembagian kerja yang merata dan kerja sama seimbang untuk

meningkatkan kesejahteraan keluarga. Hal-hal tersebut dapat dilakukan dengan pertama-tama

gereja mentransformasi pemahaman tentang kesetaraan gender dan kemudian pemahaman

tersebut disosialisasikan pada jemaat melalui khotbah, atau perkunjungan pastoral di rumah-

rumah dan pembinaan-pembinaan lainnya. Bagaimanapun, gereja tidak boleh menutup mata

pada ketidakadilan yang sedang terjadi. Selain itu gereja juga dapat bekerjasama dengan

LSM untuk memberikan sosialisasi mengenai cara berwirausaha yang benar kepada

perempuan penenun.

3.6 Kontribusi Gereja Bagi Perempuan Penenun

Berdasarkan hasil wawancara, salah satu responden mengatakan bahwa “Kami sendiri

yang usaha mulai dari tenun sampai jual itu kain tenun” atau dengan kata lain perempuan

penenun tidak pernah mendapatkan batuan baik dari gereja maupun pemerintah setempat

semuanya adalah usaha mereka sendiri. Apabila mereka tidak memiliki modal untuk membeli

benang maka mereka yang akan berusaha sendiri untuk mencari benang dan tetap menenun.

Tidak ada program gereja bagi kelompok tenun di kampung Bogakele.51

Gereja juga mengakui bahwa belum ada program konkrit yang dapat dilakukan gereja

untuk membantu para penenun di kampung Bogakele. Penyebab utama ialah keadaan

keuangan gereja yang tidak mendukung untuk membuat program pemberdayaan tersebut

namun gereja sedang mengusahakannya. Gereja juga sedang memikirkan untuk dapat

melakukan program-program pemberdayaan bagi jemaat khususnya kelompok tenun tapi

gereja belum mampu untuk merealisasikannya. Misalnya, dengan membeli kain tenun mereka

kemudian memasarkan ke kota Kalabahi.52

Berdasarkan jawaban dari responden, penulis menemukan bahwa gereja Bogakele

belum mewujudkan program pelayanan bagi kelompok tenun di Kampung Bogakele.

Sedangkan perempuan penenun tidak hanya berkontribusi besar untuk memenuhi kebutuhan

keluarga akan tetapi mereka juga melestarikan tradisi menenun di kampung Bogakele serta

mereka selalu menyisihkan persembahan pesepuluhan dari hasil tenun mereka bagi gereja.

51

Hasil Wawancara dengan Mama Donuata 22 Agustus 2017 52

Hasil Wawancara dengan Pendeta Simon Amung, S.th 25 Agustus 2017

Page 37: GMIT Bogakele Alor Memberdayakan Perempuan Penenun … · GMIT Bogakele Alor Memberdayakan Perempuan Penenun (Sebuah Kajian Diakonia Transformatif) Oleh: SELVY PUTRI FABIOLA (712014012)

26

Pernyataan perempuan penenun juga diperkuat oleh pendeta bahwa gereja memang

belum melaksanakan program pelayanan bagi jemaat perempuan. Akan tetapi gereja sudah

mulai memikirkan untuk dapat melakukan program-program pemberdayaan bagi jemaat

khususnya kelompok tenun. Program yang dirancangkan gereja ialah membeli kain tenun

mereka kemudian memasarkan ke kota Kalabahi. Jika kita melihat kembali teori diakonia,

maka sikap gereja untuk membeli kain tenun jemaat baru merupakan diakonia karitatif yang

justru akan memanjakan jemaat sedangkan tindakan gereja untuk memasarkan baru

merupakan diakonia reformatif. Gereja belum sampai pada taraf transformatif untuk

memandirikan jemaat. Diakonia transformatif adalah ketika gereja membeli karya tenun

mereka dan mengajak mereka untuk terlibat dalam proses pemasaran sehingga jemaat

mengenal situasi pasar dan kelak jemaat dapat mengatur proses pemasaran sendiri.

Pelayanan transformatif seperti ini yang perlu dilakukan gereja untuk mewujudkan jemaat

yang mandiri dan mampu menyelesaikan permasalahan mereka sendiri. Menurut Novembri

Choeldahono, gereja harus segera melakukan revisi, reorientasi serta rekonstruksi ajaran-

ajaran, perilaku, dan pelayanannya agar dapat memberikan sumbangan yang bermakna bagi

manusia. Revisi, reorientasi, dan rekonstruksi ajaran serta pelayanan akan memberi model

pelayanan yang transformatif. 53

4. Penutup

Pada bagian ini, berisi tentang kesimpulan dan saran mengenai sumbangan pemikiran

oleh penulis kepada perempuan penenun di Kampung Bogkale dan GMIT Ora Et Labora

Bogakele. Sumbangan pemikiran ini diharapkan dapat berguna bagi masyarakat khususnya

bagi GMIT Ora Et Labora Bogakele dalam mengusahakan diakonia yang memberdayakan

setiap potensi dari warga jemaat khususnya bagi perempuan penenun.

4.1 Kesimpulan

Kegiatan menenun memiliki makna yang sangat besar dalam kehidupan perempuan di

Bogakele. Tenun tidak hanya bernilai ekonomis tetapi tenun juga merupakan identitas dari

perempuan penenun. Melalui tenun juga, perempuan mempersembahkan hidup mereka

kepada Tuhan untuk berkarya dan berkontribusi dalam membawa kebaikan bagi kehidupan

masyarakat. Dibalik ketegaran perempuan penenun di kampung Bogakele, terdapat masalah

yang harus mereka hadapi. Masalah tersebut tidak hanya dari luar atau dari lingkungan

masyarakat tetapi juga dari dalam diri perempuan penenun itu sendiri. Masalah yang dihadapi

53

Bambang Subandrijo, Agama dalam Praksis, 34

Page 38: GMIT Bogakele Alor Memberdayakan Perempuan Penenun … · GMIT Bogakele Alor Memberdayakan Perempuan Penenun (Sebuah Kajian Diakonia Transformatif) Oleh: SELVY PUTRI FABIOLA (712014012)

27

perempuan penenun meliputi kekurangan modal, masalah pemasaran, ketidakadilan gender,

ketidakadilan upah antara pemilik modal dan perempuan penenun serta keberadaan gereja

yang kurang memahami karateristik kebutuhan dari perempuan penenun. Masalah tersebut

jika dibiarkan maka dapat mematikan potensi menenun yang dimiliki oleh perempuan

Bogakele atau perempuan Bogakele masih melakukan aktifitas menenun namun perempuan

tetap dililit dengan persoalan yang sama.

Jemaat GMIT Bogakele, menyadari keberadaan perempuan penenun di kampung

Bogakele namun gereja belum optimal melakukan sesuatu yang berdayaguna jangka panjang

bagi perempuan penenun. Atau jelasnya gereja belum banyak berkontribusi bagi perempuan

penenun. Untuk dapat mengusahakan pelayanan yang berarti, pertama-tama gereja perlu

memahami permasalahan jemaat dan mengetahui karateristik kebutuhan jemaat. Selain itu,

pemahaman Jemaat GMIT Bogakele mengenai diakonia tidak jauh berbeda dengan diakonia

tradisional yang berkembang selama ini, yakni, hanya berkaitan dengan pelayanan amal yang

dilakukan gereja. Gereja perlu mengevaluasi bahwa tugas diakonia juga mencakup diakonia

transformatif yang mampu membebaskan jemaat dari kendala-kendala yang mereka hadapi.

Dalam diakonia transformatif ini juga, gereja dituntut untuk mencari akar permasalahan dari

suatu masalah dan berusaha menyelesaikan secara bersama-sama dengan jemaat. Misalnya

gereja dapat mengusahakan keadilan terhadap persoalan ketidakadilan struktural yang

membelenggu perempuan selain itu juga gereja dapat memberdayakan yang tidak berdaya.

Pelayanaan yang holistik seperti inilah yang relevan bagi jemaat.

4.2 Saran

4.2.1 Bagi Perempuan Penenun GMIT Bogakele

Dalam upaya memberdayakan setiap warga jemaat maka pertama-tama harus ada kerja

sama yang baik dan sikap saling memahami antara warga jemaat dan gereja. Program gereja

tidak dapat berjalan dengan baik apabila tidak ada sikap terbuka dan mau menerima masukan

dari warga jemaat. Dari dalam perempuan sendiri harus ada kesediaan untuk belajar

mengevaluasi pemahaman atau pemikiran dalam rangka membangun kesadaran khususnya

terkait kesetaraan gender agar perempuan dapat memiliki sikap keberanian, keinginan untuk

mandiri serta mau untuk diberdayakan.

4.2.2 Bagi Jemaat GMIT Bogakele

Ketika gereja sudah mulai memikirkan program pelayanan bagi jemaat serta dalam

upaya gereja untuk merealisasikannya, gereja pertama-tama perlu memahami karateristik

kebutuhan jemaat serta menggali lebih jauh akar permasalahan yang dialami oleh jemaat

Page 39: GMIT Bogakele Alor Memberdayakan Perempuan Penenun … · GMIT Bogakele Alor Memberdayakan Perempuan Penenun (Sebuah Kajian Diakonia Transformatif) Oleh: SELVY PUTRI FABIOLA (712014012)

28

sehingga program gereja dapat tepat sasaran. Selain itu, gereja perlu mengusahakan suatu

program diakonia yang tidak hanya karitatif yang cenderung memanjakan warga jemaatnya

akan tetapi diakonia yang memberdayakan untuk memandirikan jemaat khususnya

perempuan penenun. Oleh karena itu, kembali, gereja juga perlu mengupayakan evaluasi,

revisi, reorientasi, rekonstruksi cara pandangnya terhadap hal-hal yang saling berkaitan

dengan tanggung jawab gereja dalam melayani dan memberdayakan jemaat.

Page 40: GMIT Bogakele Alor Memberdayakan Perempuan Penenun … · GMIT Bogakele Alor Memberdayakan Perempuan Penenun (Sebuah Kajian Diakonia Transformatif) Oleh: SELVY PUTRI FABIOLA (712014012)

29

Daftar Pustaka

Abineno J.L.Diaken. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003.

Fakih Mansour. Analisis Gende. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013.

Herin Langodani Joseph. Perempuan Alor di Tapak-Tapak Perjalanan Pemberdayaan

Jakarta: Yayasan Buba Raja Lagadoni, 2005.

Loekman Soetrisno. Kemiskinan, Perempuan, Pemberdayaan. Yogyakarta: Kanisius,1997.

Noordegraaf A.Orientasi Diakonia Gereja Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004.

Nuban Timo Eben. Sidik Jari Allah dalam Budaya Maumere: Lalero,2007.

Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia. Dokumen Keesaan Gereja PGI 2014-2019. :

Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015.

Satnyoto Andaru. Diakonia Tantangan Pelayanan Gereja Masa Kini Yogyakarta: LPPM

UKDW, 1992.

Singgih E. Gerrit. Mengantisipasi Masa Depan: Berteologi di Awal Konteks Milenium III

Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005.

Singgih E. Gerirt. Reformasi dan Transformasi Pelayanan Gereja, Yogyakarta: Kanisuis,

1997.

Silalahi Uber. Metode Penelitian Sosial Bandung: PT Refika Aditama,2009.

Subandrijo Bambang. Agama Dalam Praksis. Jakarta: BPK Gunung Mulia 2003.

Thomas E. Norman E.Teks-Teks Klasik Tentang Misi dan Kekristenan Sedunia: Melengkapi

Adikarya David Bosch, Transformasi Misi Kristen Jakarta:.BPK Gunung Mulia, 2000.

Widyatmaja P. Josef.Yesus & Wong Cilik Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012.

Widyatmaja Josef. Diakonia Sebagai Misi Gereja, Yogyakarta: Kanisius, 2009.

Page 41: GMIT Bogakele Alor Memberdayakan Perempuan Penenun … · GMIT Bogakele Alor Memberdayakan Perempuan Penenun (Sebuah Kajian Diakonia Transformatif) Oleh: SELVY PUTRI FABIOLA (712014012)

30

Jurnal

Herien Puspitawati.Konsep, Teori dan Analisa Gender. Institut Pertanian Bogor: Departemen

Ilmu Keluarga dan Konsumen Fakultas Ekologi Manusia, 2013.

Irene Ludji.“Ekklesiologi dan Konsep Pelayanan Holistik, Theologia : Jurnal Teologi

Interdisipliner. Vol. IV, No. 1, Agustus 2009.

Otniel Kurniawan. “Pandangan GPIB Bukit Harapan Surabaya tentang Pelayanan Diakonia”,

Jurnal Teologi Salatiga: 2013.