GMIT Bogakele Alor Memberdayakan Perempuan Penenun … · GMIT Bogakele Alor Memberdayakan...
Transcript of GMIT Bogakele Alor Memberdayakan Perempuan Penenun … · GMIT Bogakele Alor Memberdayakan...
i
GMIT Bogakele Alor Memberdayakan Perempuan Penenun (Sebuah Kajian Diakonia Transformatif)
Oleh:
SELVY PUTRI FABIOLA
(712014012)
TUGAS AKHIR
Diajukan kepada program Studi: Teologi, Fakultas: Teologi
guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Sains Teologi
(S.Si-Teol)
Program Studi Teologi
FAKULTAS TEOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2018
ii
LEMBAR PENGESAHAN
GMIT Bogakele Alor Memberdayakan Perempuan Penenun
(Sebuah Kajian Diakonia Transformatif)
Oleh:
SELVY PUTRI FABIOLA
(712014012)
Diajukan kepada program Studi: Teologi, Fakultas: Teologi
guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Sains Teologi
(S.Si-Teol)
Disetujui oleh,
Pembimbing I Pembimbing II
Pdt. Dr. Ebenhaizer Nuban Timo Pdt. Cindy Quartyamina, MA
Diketahui oleh, Disahkan oleh,
Ketua Program Studi Dekan
Pdt. Dr. Rama Tulus Pilakoannu Dr. David Samiyono, MTS,
MSLS
Fakultas Teologi
Universitas Kristen Satya Wacana
Salatiga
2018
iii
Perpustakaan Universitas
PERNYATAAN TIDAK PLAGIAT Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Selvy Putri Fabiola
NIM : 712014012 Email : [email protected]
Fakultas : Teologi Program Studi : Teologi
Judul Tugas Akhir : GMIT Bogakele Alor Memberdayakan Perempuan Penenun (Sebuah Kajian
Diakonia Transformatif)
Pembimbing : 1. Pdt. Dr. Ebenhaizer Nuban Timo
2. Pdt. Cindy Quartyamina, MA
Dengan ini menyatakan bahwa:
1. Hasil karya yang saya serahkan ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan
gelar kesarjanaan baik di Universitas Kristen Satya Wacana maupun di institusi pendidikan
lainnya.
2. Hasil karya saya ini bukan saduran/terjemahan melainkan merupakan gagasan, rumusan, dan hasil
pelaksanaan penelitian/implementasi saya sendiri, tanpa bantuan pihak lain, kecuali arahan
pembimbing akademik dan narasumber penelitian.
3. Hasil karya saya ini merupakan hasil revisi terakhir setelah diujikan yang telah diketahui dan
disetujui oleh pembimbing.
4. Dalam karya saya ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau dipublikasikan
orang lain, kecuali yang digunakan sebagai acuan dalam naskah dengan menyebutkan nama
pengarang dan dicantumkan dalam daftar pustaka.
Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya. Apabila di kemudian hari terbukti ada penyimpangan
dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa
pencabutan gelar yang telah diperoleh karena karya saya ini, serta sanksi lain yang sesuai dengan
ketentuan yang berlaku di Universitas Kristen Satya Wacana.
Salatiga, 25 Mei 2018
Selvy Putri Fabiola
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
Jl. Diponegoro 52 – 60 Salatiga 50711 Jawa Tengah, Indonesia
Telp. 0298 – 321212, Fax. 0298 321433 Email: [email protected] ; http://library.uksw.edu
iv
Perpustakaan Universitas
PERNYATAAN PERSETUJUAN AKSES
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Selvy Putri Fabiola
NIM : 712014012 Email :
Fakultas : Teologi Program Studi : Teologi
Judul tugas akhir : GMIT Bogakele Alor Memberdayakan Perempuan Penenun (Sebuah Kajian
Diakonia Transformatif)
Dengan ini saya menyerahkan hak non-eksklusif* kepada Perpustakaan Universitas – Universitas
Kristen Satya Wacana untuk menyimpan, mengatur akses serta melakukan pengelolaan terhadap
karya saya ini dengan mengacu pada ketentuan akses tugas akhir elektronik sebagai berikut (beri
tanda pada kotak yang sesuai):
a. Saya mengijinkan karya tersebut diunggah ke dalam aplikasi Repositori Perpustakaan Universitas,
dan/atau portal GARUDA
b. Saya tidak mengijinkan karya tersebut diunggah ke dalam aplikasi Repositori Perpustakaan Universitas,
dan/atau portal GARUDA**
* Hak yang tidak terbatas hanya bagi satu pihak saja. Pengajar, peneliti, dan mahasiswa yang menyerahkan hak non-
ekslusif kepada Repositori Perpustakaan Universitas saat mengumpulkan hasil karya mereka masih memiliki hak
copyright atas karya tersebut.
** Hanya akan menampilkan halaman judul dan abstrak. Pilihan ini harus dilampiri dengan penjelasan/ alasan tertulis dari
pembimbing TA dan diketahui oleh pimpinan fakultas (dekan/kaprodi).
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Salatiga, 25 Mei 2018
Selvy Putri Fabiola
Mengetahui,
Pembimbing I
Pembimbing I
Pdt.Dr. Ebenhaizer Nuban Timo
Pembimbing II
Pdt. Cindy Quartyamina, MA
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA Jl. Diponegoro 52 – 60 Salatiga 50711
Jawa Tengah, Indonesia Telp. 0298 – 321212, Fax. 0298 321433
Email: [email protected] ; http://library.uksw.edu
v
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai civitas akademika Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), saya yang bertanda
tangan di bawah ini:
Nama : Selvy Putri Fabiola
NIM : 712014012
Program Studi : Teologi
Fakultas : Teologi, Universitas Kristen Satya Wacana
Jenis karya : Tugas Akhir
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada UKSW Hak
bebas royalty non-eksklusif (non-exclusive royalty free right) atas karya ilmiah saya yang
berjudul: GMIT Bogakele Alor Memberdayakan Perempuan Penenun (Sebuah Kajian
Diakonia Transformatif)
beserta perangkat yang ada (jika perlu). Dengan hak bebas royalty non-eksklusif ini, UKSW
berhak menyimpan, mengalih media/mengalih formatkan, mengelola dalam bentuk
pangkalan data, merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya, selama tetap
mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Salatiga, 25 Mei 2018
Selvy Putri Fabiola
Mengetahui,
Pembimbing I Pembimbing II
Pdt. Dr. Ebenhaizer Nuban Timo Pdt. Cindy Quartyamina, MA
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa, karena atas kasih dan
kemurahan-Nya yang selalu menyertai dan menolong penulis dalam menyelesaikan tugas
akhir ini dengan baik. Penulis bersyukur atas segala hikmat dan pengetahuan yang selalu
dilimpahkan Tuhan selama masa pendidikan yang ditempuh penulis di Fakultas Teologi
Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.
Tugas akhir ini adalah bukti dari segala kebaikan Tuhan dan merupakan akhir dari
sebagian perjuangan penulis dalam menyelesaikan tugas dan kewajiban di Fakultas Teologi.
Atas segala pencapaian ini, tidak henti-hentinya penulis mengucap syukur kepada Tuhan
yang Maha Esa. Tugas akhir ini dibuat selain sebagai persyaratan mencapai gelar sarjana
sains dalam bidang Teologi (S.Si-Teol), penulis pun berharap agar karya tulis ini dapat
bermanfaat dan menjadi berkat untuk menambah wawasan dari pembaca karena tugas
pemberdayaan perempuan merupakan hal penting yang harus terus dikerjakan oleh berbagai
pihak terkhususnya bagi gereja.
Penulis
vii
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Tuhan Yesus Kristus Sang pemberi hikmat yang senantiasa memampukan penulis
dalam menjalani pendidikan di Universitas Kristen Satya Wacana, sejak
Sepetember 2014-Juni 2018, sehingga penulis dapat menyelesaikan studi S1 di
fakultas Teologi dengan memperoleh gelar Sarjana Sains Teologi (S.Si-Teol).
2. Untuk kedua orang tua, Bapak Victor Dakamoly dan Mama Ester Lawalata juga
Bapak Eky Dakamoly tercinta, ketiga kakak (Ine, Rully, Serly), ketiga adik
(Keken, Dwi, Indy), ketiga kakak ipar (kaka Tony, kaka Jo, kaka Aply), keempat
keponakan (Celo, Nyongki, Nolem, Cristan), Om Nabas, Tanta Beti, Nenek Nate,
Mama Us, Bapa Sony dan seluruh keluarga besar Dakamoly-Lawalata atas segala
dukungan baik moril maupun materil kepada penulis dalam menyelesaikan
pendidikan di UKSW.
3. Untuk kedua dosen wali, Pdt. Mariska Lauterboom dan Pdt. Agus Supratikno
yang telah menjadi orang tua di Kampus dan selalu mendukung penulis untuk
dapat melaksanakan perkuliahan dengan baik.
4. Bapak Ebenhaizer Nuban Timo dan Ibu Cindy Quartyamina yang dengan penuh
kesabaran telah membimbing dan mengarahkan penulis untuk dapat menyusun
dan menyelesaikan tugas akhir ini.
5. Seluruh dosen, Ibu Budi selaku TU singkatnya seluruh staff atas segala pelayanan,
dukungan dan kerja sama bagi kami mahasiswa/i.
6. Pdt Yohanes Boanergis, S.Si Teol selaku supervisor lapangan dalam menjalani
PPL I-IV, Bapak Condrat L. Piga selaku supervisor lapangan untuk PPL V, dan
Pdt. Solina Lopung, M.Th selaku supervisor lapangan untuk PPL X atas segala
dukungan, pelajaran di lapangan, serta pengalaman yang telah dibagikan kepada
penulis melalui praktek pendidikan lapangan ini.
7. Kepada seluruh Majelis Jemaat dan warga jemaat Binafun, mata jemaat Terang
Dunia Talete dan Bethesda Binafun yang merupakan lokasi penulis dalam
melakukan PPL X. Terima Kasih untuk segala kerja sama, dukungan dan doa
yang diberikan.
8. Sinode GMIT yang menjadi wadah pendukung dalam melakukan PPL X di
wilayah GMIT.
9. Kepada Pdt. Simon Petrus Amung, seluruh Majelis Jemaat Ora Et Labora
Bogakele, dan seluruh jemaat terkhususnya jemaat perempuan yang telah
viii
berpartisipasi dan mendukung penulis dalam melakukan penelitian tugas akhir ini
sampai selesai.
10. Kepada Usi Putri Takalapeta yang memperkenalkan kampus UKSW dan yang
senantiasa mendukung penulis dalam menyelesaikan pendidikan di Fakultas
Teologi UKSW.
11. Kepada sahabat sekaligus saudara“Ayu Apriany Benu”, yang selalu mencintai dan
mendukung dari awal perkuliahan hingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan
di UKSW ini dengan baik.
12. Kepada orang terdekat, “Ruben Deta” atas segala kasih sayang, sikap pengertian,
dukungan, semangat dan doa sehingga penulis bisa melewati masa pendidikan ini
dengan baik.
13. Kaka KTB (Ka Nes) dan Saudara KTB (Vina dan Egy) yang selalu memberikan
motivasi, nasehat, dukungan dan doa seelama ini dalam melakukan pendidikan
terkhususnya pada waktu mengerjakan tugas akhir ini.
14. Saudara-saudara dan sahabat di tanah rantau yang telah mendukung penulis:
Yulfan Sry, Denis, Eman, Jeny, Omi, Mauren, Nata, Ka Lily, Ka Egy, Ka Ona,
Hani, Eby, Ira, Tryben, Elen, Jean, Ona, Mia, Didi, Ma Elen, Bunda Vin, Ka
Reny, Titi Yane.
15. Teman-teman kost Adelphous yang selalu menjadi keluarga di kota kecil ini.
16. Teman-teman Teologi 2014 untuk kebersamaan, canda tawa, pengalaman hidup
bersama dalam menyelesaikan pendidikan di fakultas Teologi ini.
17. Terima kasih untuk orang-orang terdekat yang pernah hadir memberikan
dukungan, motivasi dan doa dalam menyelesaikan tugas akhir ini.
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……………………………………………………………………...i
LEMBAR PENGESAHAN……………………………………………………………....ii
PERNYATAAN TIDAK PLAGIAT……………………………………………………..iii
PERNYATAAN PERSETUJUAN AKSES……………………………………………....iv
PERNYATAAN BEBAS ROYALTI DAN PUBLIKASI……………………………......v
KATA PENGANTAR…………………………………………………………………....vi
UCAPAN TERIMA KASIH……………………………………………………………..vii
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………...ix
MOTTO…………………………………………………………………………………..xi
ABSTRAK……………………………………………………………………………….xii
1. Pendahuluan…………………………………………………………………………...1
1.1 Latar Belakang…………………………………………………………………….1
1.2 Rumusan Masalah, Tujuan , Manfaat dan Metode Penelitian.................................4
1.3 Sistematika Penulisan………………………………………..................................5
2. Landasan Teori………………………………………………………………………....5
2.1 Diakonia dan Gereja………………………………………....................................5
2.2 Diakonia Transformatif (Pemberdayaan) ………………………………………..8
2.3 Pemberdayaan Perempuan………………………………………..........................11
3. Hasil Penelitian dan Analisa………………………………………..............................13
3.1 Gambaran Tempat Penelitian………………………………………......................13
3.2 Pandangan Perempuan dan Jemaat GMIT Bogakele-Alor Mengenai Tenun…….14
3.3 Suka Duka yang Dihadapi Perempuan Penenun………………………………….17
3.4 Pembagian Peran Antara Laki-laki dan Perempuan di Kampung Bogakele............19
3.5 Tugas Diakonia Gereja dan Tugas Pemberdayaan Perempuan................................22
3.6 Kontribusi Gereja Bagi Perempuan Penenun............................................................25
4. Penutup...........................................................................................................................26
4.1 Kesimpulan .............................................................................................................26
x
4.2 Saran .......................................................................................................................27
4.2.1 Bagi Perempuan Penenun GMIT Bogakele........................................................27
4.2.2 Bagi Jemaat GMIT Bogakele………………………………………..................27
Daftar Pustaka………………………………………............................................................29
xi
MOTTO
Karena masa depan sungguh ada, dan harapanmu tidak akan hilang
Amsal 23:18
Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia
memberikan kekekalan dalam hati mereka. Tetapi manusia tidak
dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai
akhir.
Pengkhotbah 3:11
Doa disertai usaha adalah kunci dari keberhasilan.
~Mama~
1
1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Tenun adalah suatu bentuk kerajinan tangan yang merupakan warisan leluhur yang
dikerjakan oleh perempuan-perempuan di Nusa Tenggara Timur. Kabupaten Alor merupakan
salah satu daerah di NTT yang masih mempertahankan dan mengembangkan tradisi tenun
hingga saat ini. Kegiatan menenun biasanya menghasilkan karya seni, budaya dan sosial yang
tinggi. Hasil kerajinan dari menenun membentuk kain selendang dan kain selimut yang
digunakan untuk kebutuhan hidup masyarakat. Lembaran-lembaran tenun biasanya
menyimpan jalinan ingatan tentang kehidupan di setiap helai benangnya. Dalam selembar
kain tenun juga terukir iman dan kepercayaan masyarakat. Ada pesan-pesan spiritual tentang
hidup dan mati, berkat, anugerah persaudaraan, kerukunan, damai sejahtera, serta keyakinan
akan Tuhan dalam konstruksi motif-motif.1 Kain tenun memiliki motif yang berbeda-beda.
Motif dari setiap kain tenun sangat mempengaruhi keindahan dari suatu tenunan. Setiap motif
memiliki makna tersendiri bagi kehidupan masyarakat Alor.
Di balik kain tenun yang indah terdapat sosok perempuan-perempuan penenun karena
aktivitas menenun merupakan karunia khusus bagi perempuan. Jika dahulu tenun hanya
menjadi aktivitas yang dilakukan perempuan-perempuan Alor pada waktu senggang, kini
tenun menjadi salah satu mata pencaharian perempuan Alor untuk menunjang perekonomian
keluarga. Hasil dari kegiatan menenun yang berupa selimut atau selendang kemudian dijual
untuk menopang kebutuhan keluarga.
Ternate adalah salah satu pulau yang terletak di Kabupaten Alor-NTT yang masih
mempertahankan tradisi menenun hingga saat ini. Di Ternate terdapat sebuah kampung kecil
bernama Bogakele. Tenun dan perempuan Bogakele adalah dua hal yang tidak dapat
dipisahkan. Sejak dahulu,setiap perempuan di kampung Ternate-Bogakele diwajibkan untuk
memiliki keterampilan menenun. Dengan demikian keterampilan menenun merupakan suatu
keterampilan yang harus dimiliki setiap perempuan di kampung Bogakele. Di kampung
Bogakele, kain tenun tidak hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga tetapi juga
digunakan sebagai persembahan ke gereja yang ada di Bogakele-Ternate.
Dalam keberlangsungan kegiatan menenun di kampung Bogakele ternyata terdapat
banyak masalah yang harus hadapi para perempuan. Masalah-masalah yang dihadapi
perempuan tidak hanya meliputi masalah modal, pemasaran, manajemen usaha yang kurang
baik, persaingan dengan tenun songket dan kain batik, penghargaan atas karya mereka yang
1 Eben Nuban Timo, Sidik Jari Allah dalam Budaya, (Maumere:Lalero,2007), 65
2
tidak sesuai dengan keringat yang mereka keluarkan, tetapi terdapat juga masalah yang lebih
besar yang dihadapi oleh perempuan Bogakele yakni pembagian peran antara laki-laki dan
perempuan yang menimbulkan ketidakadilan yang merugikan kaum perempuan.
Berdasarkan pembagian peran antara kaum laki-laki dan perempuan di kampung
Bogakele, maka tugas laki-laki ialah sebagai kepala keluarga yang mengambil keputusan dan
menafkahi keluarga. Laki-laki di Bogakele sebagian besar bekerja sebagai nelayan,
sedangkan mengurus keluarga dan menjaga anak adalah tugas bagi seorang perempuan.
Aktivitas menenun hanya dilakukan perempuan pada waktu senggang. Atau seorang
perempuan di Kampung Bogakele baru dapat melakukan tugas menenunnya ketika ia selesai
menimba air di kampung sebrang (Uma Pura) untuk dipakai keluarga, setelah itu memasak
dan mengurus suami serta anak-anak. Jelasnya, ungkapan “kasur, dapur, sumur”masih
dihubungkan dengan perempuan di kampung Bogakele.
Perbedaan-perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan tanpa disadari melahirkan
ketidakadilan. Bentuk ketidakadilan tersebut meliputi : marginalisasi terhadap kaum
perempuan, subordinasi, streotipe yang membuat perempuan dinomerduakan, kekerasan baik
verbal maupun non-verbal serta pembagian beban kerja yang tidak merata.2 Selain itu,
perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan yang tidak adil membuat perempuan menjadi
tidak berdaya dan kesulitan dalam mengembangkan potensi yang mereka miliki. Hal tersebut
jika tidak diperhatikan maka dapat merugikan kaum perempuan khususnya perempuan di
Bogakele. Pertanyaannya, dimana posisi dan tugas gereja dalam melihat fenomena
perempuan penenun di Kampung Bogakele? Disinilah Gereja perlu mengupayakan program
pemberdayaan dalam tugas diakonia (transformatif) gereja bagi warga jemaat khususnya
jemaat perempuan di Kampung Bogakele.
Secara umum gereja memiliki tugas yang disebut tridarma gereja yaitu Peresekutuan
(Koinonia), Ritual (Marturia) dan Pelayanan (Diakonia). Ketiga hal ini tidak dapat dipisahkan
dalam kehidupan bergereja. Gereja tidak bisa melaksanakan satu tugas dengan mengabaikan
tugas yang lain. Namun yang terjadi ialah gereja cenderung lebih memfokuskan pada tugas
koinonia dan marturia. Tugas diakonia selama ini sering dibatasi pada bantuan insidental
seperti bingkisan natal, kerja bakti, kunjungan orang sakit, atau lebih tepatnya hanya sebatas
pada pelayanan yang bersifat amal saja. Padahal tugas diakonia gereja harus meluas kearah
yang lebih bersifat berkesinambungan dalam suatu program yang menyentuh masalah-
2Mansour Fakih, Analisis Gender, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2013), 12
3
masalah konkret jemaat.3 Jelasnya, diakonia yang mampu memberdayakan setiap warga
jemaatnya terkhususnya jemaat perempuan. Pemberdayaan yang dimaksudkan disini ialah
pemberdayaan yang bertujuan untuk membebaskan kaum perempuan dari belenggu struktur
yang tidak adil yang mengikat kaum perempuan untuk tidak dapat berkembang sehingga
perempuan menjadi lebih berdaya dan mandiri.
Diakonia dalam gereja sendiri terbagi atas 3 jenis. Diakonia yang pertama ialah
Diakona Karitatif. Diakonia Karitatif berasal dari kata Charity yang berati belas kasihan.
Diakonia jenis ini meemberikan pelayanan yang cuma-cuma kepada jemaat yang
membutuhkan pertolongan atau memberikan pelayanan yang bersifat derma saja. Diakonia
karitatif tidak membawa kepada suatu perubahan melainkan hanya meringankan kondisi yang
dilayani. Diakonia yang kedua ialah, Diakonia Reformatif. Kata Reformasi berarti berubah ke
arah yang lebih baik. Dalam diakonia ini, gereja berusaha untuk meningkatkan kehidupan
atau kondisi dari yang dilayani. Misalnya dengan penyuluhan, pemberian modal dan lain-lain.
Akan tetapi diakonia reformatif belum sampai pada taraf memberdayakan. Diakonia yang
ketiga ialah Diakonia Transformatif. Kata Transform artinya merubah bentuk atau susunan
menjadi berubah. Diakonia transformatif berusaha melakukan perubahan yang mutlak, bukan
sekedar mengusahakan peningkatan pada yang dilayani.4 Dalam tugas diakonia transformatif
diharapkan jemaat yang dilayani dapat menemukan rasa percaya diri sehingga mereka
memiliki kekuatan atau kemampuan dalam mengubah situasi dan kondisi diri untuk
menemukan makna diri dimana itu juga merupakan bagian dari peran pemberdayaan.
Jelasnya, dalam diakonia transformatif ini terdapat suatu bentuk pelayanan yang
memberdayakan warga jemaat. Dengan demikian, gereja masa kini tidak hanya dituntut
untuk memberikan pelayanan yang karitatif yaitu dengan memberi makan kepada orang yang
kelaparan serta pelayanan yang reformatif dengan memberi keterampilan-keterampilan bagi
anggota jemaatnya. Gereja harus mencari penyebab mengapa mereka kelaparan dan mencari
jalan keluar bersama.
Gereja GMIT Bogakele sebagai suatu organisasi tidak dapat dipisahkan dari
kehidupan masyarakat disekitarnya termasuk kehidupan perempuan penenun. Gereja perlu
menyadari tugas diakonia sebagai suatu tanggung jawab gereja. Tugas diakonia yang perlu
diwujudkan gereja tidak hanya diakonia yang bersifat karitatif dan reformatif saja tetapi
3Emanuel Gerrit Singgih, Reformasi dan Transformasi Pelayanan Gereja (Kanisuis:Yogyakarta,1997),
27 4Irene Ludji, “Ekklesiologi dan Konsep Pelayanan Holistik” Theologia : Jurnal Teologi Interdisipliner.
Vol. IV, No. 1, Agustus 2009, 82
4
diakonia transformatif yang memberdayakan warga jemaatnya. Pemberdayaan yang perlu
diupayakan gereja tidak hanya pemberdayaan yang membebaskan jemaat dari kemiskinan
tetapi juga menyangkut struktur sosial yang merugikan warga jemaatnya khususnya jemaat
perempuan di kampung Bogakele.
Berdasarkan penjelasan tentang tugas diakonia transformatif untuk memberdayakan
warga jemaat serta realita perempuan penenun di kampung Bogakele yang perlu
diberdayakan, maka munculah ide penelitian penulis dengan judul “GMIT Bogakele Alor
Memberdayakan Perempuan Penenun (Sebuah Kajian Diakonia Transformatif)”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan maka rumusan masalah penelitian adalah :
Apa makna tenun bagi kehidupan perempuan penenun di Kampung Bogakele?
Apa kontribusi Gereja GMIT Bogakele bagi perempuan penenun terkait tugas
pemberdayaan sebagai wujud diakonia transformatif?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian yang sesuai dengan rumusan masalah adalah
Mendeskripsikan makna tenun bagi kehidupan jemaat perempuan di kampung
Bogakele.
Menganalisa bentuk kontribusi Gereja GMIT Bogakele bagi perempuan penenun
terkait dengan tugas pemberdayaan sebagai wujud diakonia transformatif.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian sesuai dengan tujuan masalah yakni :
Diharapkan hasil penelitian ini dapat berguna sebagai sumbangan pemikiran terkait
peran pemberdayaan jemaat perempuan yang menjadi tanggung jawab gereja.
Diharapkan hasil penelitian ini dapat berguna sebagai sumbangsih bagi Gereja GMIT
Bogakele dalam mewujudkan diakonia yang transformatif terkhususnya bagi jemaat
perempuan melaui tradisi menenun di kampung Bogakele.
1.5 Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan ialah dengan pengumpulan data melalui
wawancara yang dapat membantu memberikan gambaran mengenai obyek penelitian.
Pendekatan yang dilakukan ialah pendekatan kualitatif. Metode wawancara merupakan
metode yang digunakan untuk mengumpulkan data atau keterangan lisan dari seorang yang
5
disebut responden melalui suatu percakapan yang sistematis dan terorganisir. Karena itu,
wawancara merupakan percakapan yang berlangsung secara sistematis dan terorganisir yang
dilakukan oleh peneliti sebagai pewawancara (interviewer) dengan sejumlah orang sebagai
responden atau yang diwawancara (interviewee) untuk mendapatkan sejumlah informasi yang
berhubungan dengan masalah yang diteliti. Hasil percakapan tersebut kemudian direkam atau
dicatat oleh pewawancara. 5
Penelitian ini bertempat di Nusa Tenggara Timur, tepatnya di Gereja Ora Et Labora
Bogakele-Ternate, Kabupaten Alor. Pengambilan data dari penelitian ini adalah dengan
melakukan wawancara kepada : Pertama, Satu orang Pendeta yang sekaligus menjadi ketua
Majelis Jemaat di GMIT Bogakele. Kedua, Majelis yang bertugas dalam bidang Unit
Pembantu Pelayanan (UPP) di GMIT Bogakele. Ketiga, Jemaat perempuan dengan kriteria
antara lain : masih aktif melakukan kegiatan menenun dan yang pernah aktif melakukan
kegiatan menenun untuk mempermudah peneliti dalam mengumpulkan informasi dari setiap
responden.
1.6 Sistematika Penulisan
Dalam sistematika penulisan, peneliti menjabarkan dalam 5 bagian. Bagian pertama,
dipaparkan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
metode penelitian dan sitematika penulisan. Bagian kedua, teori yang digunakan yaitu teori
diakonia transformatif dan pemberdayaan perempuan. Bagian ketiga, pemaparan hasil
penelitian yaitu dengan wawancara serta analisis kritis dan pembahasan mengenai makna
tenun bagi kehidupan perempuan di kampung Bogakele serta kontribusi gereja dalam
memelihara tradisi tenun sebagai wujud diakonia transformatif. Bagian keempat, penutup
yang berisi kesimpulan dan saran.
2.Landasan Teori
2.1 Diakonia dan Gereja
Tugas gereja saat ini ialah mengusahakan pelayanan yang holistik bagi seluruh warga
jemaatnya. Gereja yang berada di tengah-tengah kehidupan masyarakat harus menyadari
tugas dan tanggung jawab kepada masyarakat di sekitanya. Tuntutan kerja masa kini
membuat gereja membutuhkan pelayanan yang berkualitas. Tugas pelayanan yang perlu
diperhatikan oleh gereja meliputi pelayanan kepada Allah, pelayanan kepada sesama
manusia, tanggung jawab kekuasaan dan memberdayakan orang lain, karisma dan kompetisi,
5 Uber Silalahi,Metode Penelitian Sosial, (Bandung: PT Refika Aditama,2009), 312
6
serta konservasi dan transformasi. 6 Namun pelayanan gereja selama ini sering diartikan
hanya sebatas dalam hidup ritual saja misalnya : ibadah, kebaktian, liturgi dan doa. Menurut
Gerrit Singgih, jika pelayanan gereja disempitkan menjadi pelayanan ibadah saja, itu akan
menunjukkan iman yang sempit.7
Gereja belum menjadi gereja apabila ia belum mewujudkan tugas diakonianya.
Dietrich Bonhoeffer mengatakan bahwa gereja baru menjadi gereja bila ia hadir bagi orang
lain. Gereja harus ikut serta dalam masalah-masalah sekular dari kehidupan manusia sehari-
hari, bukan mendominasi melainkan menolong dan melayani.8 Diakonia adalah sarana bagi
gereja dalam upaya untuk menolong dan melayani warga jemaatnya atas masalah-masalah
yang dihadapi.
Noordegraaf mengatakan bahwa diakonia adalah penyataan dari kehidupan gereja. Istilah
Diakonia secara harafiah mempunyai arti “memberi pertolongan atau pelayanan”. Kata ini
berasal dari bahasa Yunani diakonia (pelayanan), diakonein (melayani), diakonos (pelayan).9
Dalam kitab-kitab injil di Perjanjian Baru, istilah diakonia digunakan untuk menyebut hidup
dan pekerjaan Yesus dan juga hidup dan pekerjaan jemaatnya. Contohnya dalam Injil Matius
20:22-28 dimana terdapat kata-kata Yesus yaitu“anak manusia datang bukan untuk dilayani
melainkan untuk melayani”. Diakonia menurut injil dalam perjanjian baru lebih menekankan
kepada sikap saling melayani dan bermurah hati.10
Selain itu, pelayanan diakonia dalam
perjanjian baru lebih menekankan pada perbuatan kasih dan keadilan yang Allah tugaskan
kepada umat-Nya`.
Istilah diakonia tidak dapat dilepaskan dari narasi pemilihan dan penetapan tujuh
orang pria untuk memelihara persekutuan dan pelayanan meja. Ketujuh orang tersebut diberi
jabatan diaken (kisah para rasul 6:1-7). Namun kita tidak dapat terjebak pada pemikiran
bahwa tugas pelayanan diakonia hanya dilakukan oleh orang yang mempunyai jabatan diaken
atau tugas gereja secara umum saja. Diakonia bukanlah tugas yang hanya dikerjakan oleh
para diaken melainkan seluruh majelis dan warga jemaat. Diakonia adalah tanggung jawab
setiap anggota jemaat yang menjadi bagian dalam gereja. Tugas gereja ialah memotivasi
warga jemaat untuk menjadi jemaat yang diakonal. 11
6Irene Ludji, Ekklesiologi dan Konsep Pelayanan Holistik, 80
7Andaru Satnyoto, Diakonia tantangan pelayanan gereja masa kini, (Yogyakarta: LPPM UKDW,
1992 ), 21 8Norman E. Thomas, Teks-Teks Klasik Tentang Misi dan Kekristenan Sedunia: Melengkapi Adikarya
David Bosch, Transformasi Misi Kristen, (Jakarta: PT.BPK Gunung Mulia, 2000),124 9A.Noordegraaf, Orientasi Diakonia Gereja, (Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 2004), 2,10
10J.L Abineno, Diaken, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,2003),2
11A.Noordegraaf, Orientasi Diakonia Gereja, 160-164
7
Dalam melakukan tugas diakonia, kita perlu mengetahui bidang-bidang cakupan
pelayanan diakonia antara lain :
1. Diakonia bagi orang muda. Orang muda yang dimaksudkan ialah mereka yang
mengalami krisis, perhatian untuk lingkungan rumah tangga, warung-warung kopi,
kerja bakti lingkungan dan masalah pengangguran diantara kaum muda.
2. Diakonia kepada orang lanjut usia. Sejak dulu pemeliharaan orang lanjut usia adalah
tugas diakonal. Terkhususnya bagi para janda tua yang menjadi subyek dari diakonia
(1 Tim. 5).
3. Diakonia bagi orang sakit. Harus kita pikirkan bentuk-bentuk kunjungan melalui
telepon, karangan bunga, di keluarga-keluarga dan rumah-rumah sakit. Pelayanan
diakonia juga perlu diusahakan bagi mereka yang mempunyai penyakit kronis yang
sering menjadi kelompok yang sering dilupakan.
4. Pemeliharaan bagi orang cacat. Yang dimaksudkan di sini bukan hanya mereka yang
cacat lahir dan cacat batin, tetapi juga yang “cacat parsial” seperti orang buta dan tuli.
5. Diakonia bagi mereka yang tinggal sendiri atau keluarga yang tidak lengkap. Para
janda dan duda selalu harus menanggung kesedihannya. Di samping itu, mereka juga
harus menghadapi masalah praksis, kadang-kadang juga masalah finansial. Juga bagi
mereka yang cerai dan mempunyai masalah pernikahan. Diakonia juga perlu
diusahakan bagi mereka yang demikian.
6. Diakonia bagi semua yang menghadapi kesulitan hidup dalam masyarakat atau
mereka yang terbelakang dan mengalami ketidakadilan struktural. Mereka yang
terbelakang, tanpa pekerjaan, orang-orang miskin baru, para pekerja dengan upah
yang sangat kecil,orang-orang yang harus hidup dengan tunjangan belaka serta
mereka yang di tengah jaringan hukum-hukum sosial dan peraturan-peraturan yang
berbelit-belit tidak dapat menolong diri sendiri dan tergantung pada bantuan dan
bimbingan. Bantuan diakonal di sini bukan hanya akan terdiri dari memberi perhatian,
solidaritas, dan bantuan materil, tetapi juga bantuan secara struktural dalam
mengamati ketidakadilan yang terjadi dalam kehidupan bersama.
Selain itu bagi mereka yang berada dalam situasi ketertinggalan dalam hal pendapatan,
persekolahan, pendidikan, hak-hak kemasyarakatan, kesempatan kerja. Mereka yang masuk
kelompok minoritas yang sering merasa rendah dalam kedudukan dan dianggap manusia
rendah dan bagi mereka yang mengalami diskriminasi.12
Dalam tugas diakonia, kita tidak
12
A.Noordegraaf, Orientasi Diakonia Gereja, 166-169
8
hanya dituntut untuk menolong orang yang sedang berada dalam kesulitan melainkan juga
memerangi struktur yang salah. Keduanya harus dapat dilakukan. Bahwa bantuan yang tidak
berdaya bukan hanya soal memerangi gejala-gejalanya, tetapi juga mencari sebab dari
penyakitnya serta menyorotinya.
PGI dalam dokumen keesannya juga membahas mengenai tugas diakonia gereja.
Pelayanan diakonia yang diakui dan dimaksudkan oleh PGI ialah pelayanan dan keterlibatan
gereja yang ditimbulkan dari panggilan tugasnya untuk memperhatikan, membantu,
memerdekakan, dan melepaskan setiap orang yang tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar
hidup mereka dan keluarga mereka masing-masing pada masa kini dan masa depan
selayaknya. Mereka yang dimaksudkan di sini ialah mereka yang miskin, sakit, terasing
lemah dan terlantar bodoh, korban bencana, peperangan, mengalami perlakuan tidak adil dan
sewenang-wenang, terbelakang, korban ketiadaan dan kepastian hukum.13
Dengan demikian
tugas pemberdayaan merupakan salah satu tugas yang perlu diwujudkan dalam upaya
meningkatkan kualitas dan taraf hidup jemaat oleh gereja seluruh warga gereja.
Diakonia juga harus dijalankan dalam rangka Missio Dei, yaitu kehadiran kerajaan
Allah di dunia. Wilayah yang di dalamnya gereja berdiakonia adalah dunia yang penuh
kontrakdiksi dan kompleks. Ada konflik kepentingan di antara orang yang memiliki kuasa
dengan mereka yang tidak berdaya. Bagaimana mungkin kita memerdekakan orang yang
terbelenggu, yang tak berdaya, tanpa menghilangkan rantai-rantai yang mengikat mereka?
Bagaimana mungkin kita tidak berhadapan dengan orang yang membelenggu, ketika
mencoba melepaskan rantai orang yang terbelenggu? Bisakah kita melakukan diakonia yang
membebaskan tanpa berhadapan dengan mereka yang membelenggu kebebasan orang
miskin? Diakonia pembebasan yang bertujuan melakukan transformasi masyarakat tidak
dapat menghindar dari mereka yang berusaha melestarikan kemapanan dan penindasan.
Dengan demikian diakonia yang membebaskan juga merupakan Missio Dei tidak bisa
menghindari situasi konflik. Missio Dei dalam Alkitab selalu diwarnai oleh konflik. Konflik
bukanlah suatu yang harus dilestarikan, melainkan harus diselesaikan melalui penegakan
keadilan dan kasih.14
2.2 Diakonia Transformatif (Pemberdayaan)
Pada umumnya, diakonia dibagi menjadi tiga bentuk, yaitu diakonia karitatif, diakonia
reformatif dan diakonia transformatif. Diakonia Karitatif merupakan diakonia yang paling
13
Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia, Dokumen Keesaan Gereja PGI 2014-2019, (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2015), 125 14
Josef Widyatmaja, Diakonia Sebagai Misi Gereja (Yogyakarta: Kanisius, 2009) 40-43
9
tua yang dikerjakan oleh gereja-gereja. Diakonia ini sering diwujudkan dengan bentuk
pemberian makanan dan pakaian untuk orang miskin, menghibur orang sakit dan perbuatan
amal kebajikan. Diakonia ini dipertahankan gereja karena dapat memberikan manfaat
langsung yang dapat dilihat dan tidak terdapat banyak resiko. Diakonia ini yang paling sering
dilakukan oleh gereja-gereja. Diakonia ini sering diumpamakan seperti memberi ikan dan
roti pada seorang yang lapar. Bentuk pengembangan dari diakonia karitatif ialah Diakonia
Reformatif. Diakonia ini lebih dikenal sebagai diakonia pembangunan karena muncul di era
pembangunan. Kesadaran baru dari gereja-gereja untuk melakukan diakonia reformatif
muncul seiring dengan kesadaran untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Berbeda dengan
diakonia karitatif, diakonia reformatif gereja mulai memberikan perhatian berupa
penyelenggaraan kursus keterampilan, pemberian modal dan penyediaan alat-alat produksi.
Dalam diakonia reformatif, sering digambarkan dengan menolong orang yang lapar dengan
memberikan alat pancing. Namun perlu disadari bahwa sumber kemiskinan tidak hanya
dilihat sebagai akibat kebodohan, kemalasan, keterampilan modal tetapi ada akibat dari
tatananan sosial yang tidak adil. Oleh sebab itu diakonia karitatif dan reformatif ternyata
belum bisa menyelesaikan permasalahan yang ada pada setiap orang. Jika diakonia karitatif
adalah pelayanan memberikan ikan pada orang yang lapar sedangkan diakonia reformatif
adalah pelayanan yang memberikan pancing dan mengajar seseorang memancing maka
diakonia transformatif atau pembebasan boleh digambarkan dengan gambar mata terbuka.
Artinya diakonia ini adalah mencelikkan mata yang buta dan memampukan kaki seseorang
untuk kuat berjalan. Masyarakat yang mengalami kelumpuhan semangat berjuang, perlu
dilayani dengan menyadarkan hak-hak mereka dan memberdayakan mereka.15
Diakonia transformatif memiliki arti usaha menolong masyarakat untuk
memperjuangkan hak-haknya sehingga bisa hidup dengan layak sebagai manusia dengan
harkat dan martabatnya.16
Kata Transform dalam Collins Cobuld English Language
Dictionary berarti “Their apperance and function is totally change”. Berdasarkan pengertian
tersebut maka diakonia transformatif bertujuan agar terjadinya perubahan total dalam
kehidupan bermasyarakat. Maksud diakonia transformatif atau pembebasan ialah diakonia
yang dapat membebaskan rakyat kecil dari belenggu struktur yang tidak adil yang
mengepung mereka.
15
Josef P. Widyatmaja, Yesus & Wong Cilik, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), 35-48 16
Gerrt E.Singgih, Mengantisipasi Masa Depan: Berteologi di Awal Konteks Milenium III, (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2005), 63
10
Dengan mengorganisasikan masyarakat dalam melayani orang miskin dan tersisih,
fokus diakonia transformatif adalah sebagai berikut :
a. Rakyat sebagai subjek sejarah, bukan objek.
b. Tidak karitatif atau tindakan menolong orang yang kesusahan tapi preventif
atau mencegah orang untuk masuk dalam kesusahan.
c. Tidak didorong oleh belas kasihan tetapi keadilan.
d. Mendorong parisipasi masyarakat.
e. Memakai alat analisis sosial dalam memahami sebab-sebab kemiskinan.
f. Melakukan pelayanan penyadaran kepada masyarakat.
g. Mengorganisasi rakyat. 17
Diakonia transformatif bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Dalam melakukan
diakonia tranformatif, kita akan berhadapan dengan status quo yang masih dipegang oleh
masyarakat akan tetapi diakonia tranformatif harus dilihat sebagai perjuangan spritual untuk
menciptakan manusia dan dunia baru, dimana dunia yang penuh keadilan dan manusia yang
bebas dari rasa ketidakberdayaan dan ketertindasan.
Model diakonia ini dapat membantu gereja mengakomodir masalah kemiskinan dan
ketidak merataan yang terjadi, besar ataupun kecil dampak yang dihasilkan. Sehingga mereka
yang tertindas dan yang tidak mendapatkan keadilan dapat bangkit untuk menata kehidupan
kembali secara mandiri, dan menentang segala praktek-praktek ketidakadilan dan penindasan
yang diatur di dalam sebuah sistem.18
Salah satu bagian penting yang tidak terpisahkan dengan diakonia tranformatif ialah
mengenai persamaan gender. Program diakonia transformatif untuk persamaan gender tidak
boleh sekadar menjadikan perempuan sebagai objek melainkan harus memberdayakan
perempuan untuk memiliki kesetaraan dalam hubungan sosialnya dengan laki-laki di dalam
gereja dan masyarakat. Dalam gereja dan masyarakat, masih ada mitos maupun kebijakan
yang tidak menghargai perempuan. Tanpa kesamaan gender, tanpa partisipasi dan
pemberdayaan perempuan, tujuan diakonia transformatif yang ingin mewujudnyatakan
manusia dan dunia tidak akan tercapai.19
Persamaan gender dapat menjadi titik awal bagi
perempuan untuk dapat memiliki akses dalam mengembangkan segala potensi yang ada pada
dirinya.
17
Josef P. Widyatmaja, Yesus & Wong Cilik, 48-49 18
Otniel Kurniawan, “Pandangan GPIB Bukit Harapan Surabaya tentang Pelayanan Diakonia”, Jurnal
Teologi (Salatiga: 2013). 19
Josef P. Widyatmaja, Yesus & Wong Cilik,194
11
2.3 Pemberdayaan Perempuan
Untuk mampu berperan dan menggunakan seoptimal mungkin kesempatan yang
tersedia pada abad ke 21 perempuan dituntut untuk memiliki suatu sikap mandiri, di samping
suatu kebebasan untuk mengembangkan dirinya sebagai manusia sesuai dengan bakat yang
dimilikinya. Persyaratan ini nyatanya belum dimiliki oleh profil kaum perempuan di
Indonesia pada saat ini dimana perempuan Indonesia belum bisa terhindar dari situasi
dilematis. Disatu sisi perempuan dituntut untuk berperan dalam semua sektor, tetapi disisi
lain muncul pula tuntutan lain agar perempuan tidak melupakan kodrat mereka sebagai
perempuan. Situasi dilematis ini merupakan hasil dari konstruksi budaya yang berkembang
dan mengikat kaum perempuan. Permasalahan yang dihadapi perempuan pada saat ini
sangatlah kompleks. Dengan demikian Loekman Soetrisno mengatakan diperlukan
emansipasi perempuan tahap kedua yang bertujuan untuk memberantas beberapa ideologi
yang menjadi sumber persepsi yang mempersulit perempuan Indonesia untuk
mengembangkan diri mereka sebagai manusia yang mandiri.20
Perempuan Indonesia selalu dikaitkan dengan konsep kodrat. Konsep kodrat yang
sering dikaitkan dengan peranan perempuan cenderung memaksa kita untuk membatasi
usaha-usaha dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi kaum perempuan. Dengan
demikian Tuti Heradi (1989) mengusulkan agar kita meninggalkan konsep kodrat perempuan
dan menggantinya dengan konsep martabat perempuan sebagai dasar pemecahan masalah
yang dihadapi. Pendapat Tuti tentang hal ini :
“…Dengan memakai istilah martabat tersebut kita telah menempatkan manusia
sebagai makhluk yang mempunyai potensi untuk maju ke segenap kemungkinan.
Sedangkan kalau kita tetap menggunakan istilah kodrat seakan-akan membatasi ruang
gerak manusia itu sendiri. Dan terdapat kecenderungan yang kuat bahwa istilah kodrat
selalu diperuntukkan untuk perempuan dan istilah martabat dialamatkan kepada pria.
Hal ini jelas tidak adil, sebab sebagai manusia kita mempunyai potensi yang sama.”21
Dengan demikian, jika kita hendak membebaskan peran perempuan dari belenggu
ketidakadilan struktur yang ada maka pertama-tama kita seperlunya melepaskan konsep
kodrat yang ada pada perempuan dan menggantinya dengan konsep “martabat” yang dapat
memampukan perempuan untuk mengikuti suara hatinya dan panggilan dari dalam diri
mereka.
20
Soetrisno Loekman, Kemiskinan, Perempuan, Pemberdayaan, (Yogyakarta: Kanisius,1997), 61-68 21
Soetrisno Loekman, Kemiskinan, Perempuan,Pemberdayaan 70-71
12
Terdapat tiga perspektif pemberdayaan perempuan melalui tenunan menurut Dina
Takalapeta-Meller yang merupakan salah seorang aktivis perempuan di NTT. Pertama,
Perspektif Revitalisasi Kebudayaan Tenun Alor. Tenunan Alor merupakan busana tradisional
masyarakat Alor. Sebagai budaya tradisional maka tenunan otomatis menjadi benda budaya.
Sejak lahir sampai mati, orang Alor harus berhubungan dengan tenunan. Namun saat ini,
banyak perempuan muda Alor yang tidak bisa menenun sama sekali, meski lahir dan besar
dalam masyarakat bertradisi tenun. Dengan demikian, upaya revitalisasi perlu dilakukan, jika
tidak maka tenun Alor akan punah suatu saat kelak. Kedua, Perspektif Pemberdayaan
Perempuan. Menurut Dina, perempuan harus diberdayakan dan kerajinan tenun merupakan
pintu masuk yang strategis. Tenunan yang hanya dapat dilakukan oleh kaum perempuan
menjadi keistimewaan tersendiri bagi seorang perempuan yang perlu dihargai dan dihormati.
Upaya pemberdayaan perempuan penenun ini diharapkan mampu mengangkat harkat dan
martabat perempuan karena hanya perempuan yang mampu menghasilkan kain tenunan yang
merupakan benda budaya yang bernilai mulia. Ketiga, pemberdayaan ekonomi rakyat.
Tidak semua daerah di Alor memiliki keterampilan menenun. Menenun hanya menjadi
keterampilan tradisional yang dimiliki masyarakat pesisir, sedangkan masyarakat
pegunungan tidak karena mereka hanya mempunyai kemampuan bertani dan bercocok tanam.
Namun kebutuhan akan bahan pakaian menjadi kebutuhan semua orang. Artinya, meski
masyarakat pegunungan tidak memiliki budaya tenun akan tetapi tetap membutuhkan tenunan
sebagai bahan pakaian dan benda budaya. Dalam perkembangannya, tenunan semakin
diminati karena dimodifikasi menjadi pakaian modern dalam bentuk baju, jaz, topi, tas dan
lain-lain. Disinilah sisi ekonomi tenun ikat harus bisa difasilitasi agar bisa menunjang
kehidupan keluarga penenun selain itu juga dapat menaikkan harkat dan martabat perempuan
penenun. Sisi pemberdayaan inilah yang hendak disentuh oleh Dina.22
Pemahaman tentang
pemberdayaan perempuan mencakup aspek pelatihan keerampilan, penyediaan fasilitas baik
perlatan menenun maupun modal yang dibutuhkan, dan membuka pasar serta membangun
mitra untuk mengembangkan produk tenun dari perempuan penenun. Dengan demikian
pemberdayaan perempuan melaui tenun selain dapat membantu perempuan untuk
mengembangkan potensi menenun yang ada pada dirinya juga dapat menjadi sarana untuk
meningkatkan harkat dan martabat kaum perempuan di tengah-tengah kehidupan keluarga
dan masyarakat.
22
Joseph Langodani Herin, Perempuan Alor di Tapak-Tapak Perjalanan Pemberdayaan,( Jakarta:
Yayasan Buba Raja Lagadoni, 2005), 143-146
13
3. Hasil Penelitian dan Analisa
Pada bagian ini, penulis akan membahas dan menganalisa hal-hal yang berkaitan
dengan gambaran tempat penelitian, pandangan perempuan dan GMIT Bogakele Alor tentang
tenun, suka duka yang dihadapi perempuan penenun, pembagian peran antara laki-laki dan
perempuan di kampung Bogakele, pandangan gereja mengenai tugas diakonia gereja dan
tugas pemberdayaan perempuan, serta kontribusi gereja bagi perempuan penenun.
3.1 Gambaran Tempat Penelitian
GMIT Ora Et Labora Bogakele terletak di desa Bogakele kampung Ternate
Kabupaten Alor-Nusa Tenggara Timur. GMIT Bogakele belum menjadi gereja mandiri
karena masih tergabung dengan GMIT Ebenhaizer yang terletak di desa Hula- Kabupaten
Alor.
GMIT Bogakele masih tergolong dalam jemaat yang kecil dengan jumlah anggota
jemaat yaitu, jemaat laki-laki berjumlah 148, jemaat perempuan berjumlah 149 dan total
kepala keluarga sebesar 93 KK. Di GMIT Bogakele terdapat seorang pendeta yang menjabat
sebagai ketua majelis jemaat dengan anggota majelis jemaat yang terdiri dari 9 penatua laki-
laki, 9 diaken yaitu 6 diaken perempuan dan 3 diaken laki-laki, 3 pengajar perempuan dan 2
koster laki-laki.
Kampung Bogakele sebagai tempat berdirinya GMIT ora Et Labora Bogakele terletak
di daerah pesisir kabupaten Alor. Iklim Bogakele sangat panas dan tandus mengakibatkan
masyarakat Bogakele tidak dapat bercocok tanam. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari,
sebagian besar laki-laki di kampung Bogakele bekerja sebagai nelayan dan para perempuan
bekerja sebagai penenun yang menghasilkan kain tenun. Dengan demikian pekerjaan
menenun menjadi sangat penting bagi kehidupan perempuan di Bogakele. 23
Berdasarkan gambaran tempat penelitian, penulis menemukan beberapa hal penting
yang dapat menjadi dasar yang kuat mengapa perlu adanya program pemberdayaan bagi
perempuan penenun di kampung Bogakele. Pertama, berdasarkan data yang diperoleh dari
arsip GMIT Bogakele bahwa jemaat perempuan memegang jumlah yang paling besar yaitu
149. Dalam hasil penelitian, penulis juga menemukan bahwa semua perempuan Bogakele
diwajibkan untuk memiliki kemampuan menenun sehingga paling tidak, terdapat 149 jemaat
perempuan GMIT Bogakele yang sedang atau akan menjadi seorang penenun. Selain itu,
iklim di kampung Bogakele yang tandus membuat perempuan Bogakele sulit melakukan
23
Hasil Wawancara dengan Penatua Cornelis Hoyata. 27 Agustus 2017
14
aktifitas lain seperti bercocok tanam, sehingga yang dapat mereka kerjakan hanyalah
menenun. Dengan demikian tenun menjadi sangat penting bagi perempuan di kampung
Bogakele. Paling tidak beberapa hal ini dapat menjadi dasar mengapa pentingnya
pemberdayaan penenun oleh GMIT Ora Et Labora Bogakele.
3.2 Pandangan Perempuan dan Jemaat GMIT Bogakele-Alor Mengenai Tenun
Menurut salah satu responden, tenun merupakan kegiatan yang sangat penting bagi
perempuan di Bogakele. Seorang perempuan Bogakele harus dapat menenun untuk dijadikan
sebagai pegangan atau bekal untuk berkeluarga nanti. Sejak di bangku kelas 3 di sekolah
dasar, seorang perempuan sudah harus belajar menenun dimulai dari mengikat benang atau
masyarakat Bogakele menyebutnya “lolo” hingga saat mereka dibangku kelas 6 SD mereka
sudah harus bisa menghasilkan sebuah tenunan. Hal itu sudah menjadi tradisi yang
diwariskan sejak turun temurun sehingga menjadi penting bagi seorang perempuan untuk
dapat menenun. Dalam aktivitas menenun, seorang laki-laki tidak diperkenankan untuk
menenun sekalipun mereka dapat belajar untuk melakukan kegiatan tersebut.24
Pekerjaan
yang boleh dilakukan kaum laki-laki di kampung Bogakele adalah nelayan sedangkan
menenun hanya bagi kaum perempuan.25
Tenun adalah kehidupan bagi perempuan di kampung Bogakale.26
Dengan tenun
perempuan dapat menyekolahkan anak mereka dan hasil dari penjualan kain tenun membantu
mereka untuk membeli kebutuhan rumah tangga.27
Tenun di kampung Bogakele tidak hanya
penting bagi keluarga tetapi juga penting dalam urusan adat di kampung Bogakele. Misalnya,
dalam proses perkawinan, seorang perempuan harus mengisi penuh lemari mereka dengan
kain tenun untuk diantar kepada keluarga laki-laki dan keluarga laki-laki harus membalas
dengan memberikan kain tenun kepada keluarga perempuan. Itu adalah hal wajib yang harus
dilakukan. Jika hal tersebut tidak dilakukan maka keluarga perempuan akan merasa malu dan
sebaliknya jika keluarga laki-laki tidak membalas dengan memberikan kain maka akan
dianggap tidak sopan atau tidak menghargai keluarga perempuan. Contoh lainnya adalah
24
Penting untuk diketahui bahwa ketika responden diberikan pertanyaan “mengapa laki-laki tidak dapat
menenun” ekspresi wajah responden langsung berubah. Ternyata bagi masyarakat kampung Bogakele, tenun
adalah identitas dari seorang perempuan di kampung Bogakele. Dengan demikian hanya seorang perempuan
yang dapat menenun. Hal ini merupakan sebuah tradisi dari leluhur yang sudah dipelihara turun-temurun. 25
. Hasil Wawancara dengan Nenek Kawa 28 Agustus 2017 26
Tenun merupakan lambang dari kebanggaan seorang perempuan. Ketika lemari seorang perempuan
diisi penuh dengan tenun, ia dengan sendirinya merasa bangga. Tenun bukan hanya sebuah kerajinan yang
bernilai ekonomis tinggi untuk menunjang perekonomian keluarga, akan tetapi tenun juga merupakan benda
adat yang sakral untuk kelangsungan kehidupan adat. Selain itu tenun merupakan pengalaman kehidupan
perempuan yang ia tuangkan dalam motif-motif tenun yang mengandung nilai-nilai kehidupan serta pesan
spiritual dari perempuan Bogakele. Contohnya: motif Gajah yang diyakini bermakna “kekuatan dari
perempuan” 27
Hasil Wawancara dengan Nenek Nate 28 Agustus 2017
15
dalam upacara kematian. Seorang yang meninggal harus dipakaikan kain tenun sebelum ia
dikuburkan. Menurut kepercayaan masyarakat Bogakele tidak baik jika seorang yang mati
pulang tanpa tenun atau “tangan kosong” karena tenun merupakan bagian dari identitas
masyarakat Bogakele. Kain tenun juga mengandung nilai kesakralan serta kepercayaan
dengan pemilik kehidupan. Menarik di kampung Bogakele bahwa hasil dari penjualan kain
tenun diberikan sebagai perpuluhan kepada gereja. Jika kain tenun tidak laku terjual maka
perpuluhan yang diberikan kepada gereja adalah hasil tenun mereka. Hasil karya tenun dan
penjualannya selalu disisihkan oleh perempuan sebagai perpuluhan untuk gereja. 28
Pandangan GMIT Bogakele mengenai tenun yang diwakili oleh pendeta dan penatua
penanggung jawab gereja adalah bahwa gereja memaknai hasil karya tenun sebagai suatu
usaha jemaat yang ingin untuk dikembangkan. Tenun juga merupakan suatu kesatuan yang
menyatu dengan kehidupan perempuan di Bogakele. Gereja menyadari bahwa, tenun adalah
hidup perempuan di Bogakele dan sumber mereka dalam mendapatkan uang. Kondisi
geografis di Bogakele yang tidak mendukung untuk bercocok tanam membuat tenun menjadi
satu-satunya pekerjaan yang dapat dikerjakan perempuan di Bogakele, sehingga tenun
menjadi pekerjaan yang penting bagi perempuan dan sudah selayaknya gereja bertanggung
jawab untuk mendampingi perempuan dalam mengerjakan aktivitas menenun. Misalnya
gereja mendoakan mereka supaya kegiatan menenun mereka berjalan lancar dan memperoleh
hasil yang baik.29
Berdasarkan hasil wawancara mengenai pandangan perempuan dan GMIT Bogakele
mengenai tenun, penulis mendapatkan beberapa hal penting bahwa pertama, kegiatan
menenun merupakan kegiatan yang sangat penting bagi seorang perempuan di kampung
Bogakele. Perempuan Bogakele lebih memilih untuk tidak makan daripada tidak menenun.
Makan yang merupakan kebutuhan primer manusia diganti dengan “menenun” oleh
perempuan penenun di kampung Bogakele. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan menenun
merupakan suatu kebutuhan penting yang setara dengan kebutuhan akan pangan bagi
perempuan di kampung Bogakele. Selain itu, bagi perempuan Bogakele, kegiatan menenun
bukan sekadar “penghidupan” melainkan “kehidupan”, sehingga tenun tidak dapat dilihat
hanya sebatas “mata pencaharian” bagi perempuan Bogakele.30
Bagi perempuan Bogakele,
tenun juga dapat bernilai yang serupa dengan uang karena ketika perempuan penenun tidak
28
Hasil Wawancara dengan Mama Donuata 28 Agustus 2017 29
Hasil Wawancara dengan Penatua Cornelis Hoyata 27 Agustus 2017 30
Kehidupan yang dimaksdukan penulis adalah tenun merupakan identitas diri perempuan yang
melambangkan harga diri atau prestise perempuan penenun serta kebanggaan atau harta dari perempuan. Jika
pada umumya penduduk perkotaan bangga dengan perhiasan yang dipakai (semakin banyak emas yang
dikenakan maka semakin bangga) , maka perempuan Bogakele merasa bangga dengan kain tenun yang dimiliki.
16
dapat memberi perpuluhan kepada gereja, mereka mengganti dengan hasil karya berupa kain
tenun. Pandangan ini semakin diperkuat dengan salah satu teori perspektif pemberdayaan
perempuan penenun menurut Dina. Menurut Dina, tenun merupakan hal yang sangat penting
bagi perempuan Alor. Misalnya bagi masyarakat Alor, tenun menjadi pintu masuk yang
strategis untuk mengangkat derajat atau martabat perempuan. Dalam tradisi masyarakat Alor,
hanya perempuan yang mendapat suatu kepercayaan atau tanggung jawab untuk
menghasilkan tenun yang merupakan benda budaya bernilai mulia. Dengan demikian sudah
sepatutnya bagi perempuan untuk dihargai dan dihormati, karena perempuan Alor sementara
berhadapan dengan sistem patriarki yang cenderung merendahkan derajat perempuan. Hal
yang perlu dilakukan lebih lanjut ialah, memberdayakan potensi perempuan penenun secara
maksimal. 31
Namun GMIT Bogakele baru melihat tenun hanya dari sisi ekonomis saja.
Gereja belum menyadari bahwa tenun tidak hanya sekadar bernilai ekonomis tetapi
merupakan identitas serta kehidupan dari perempuan Bogakele.
Penulis juga menemukan bahwa yang dilakukan gereja hanyalah mendoakan
perempuan penenun atau hanya fokus pada pelayanan yang bersifat ritual. Menurut Budyanto
dalam tulisannya “Orientasi dan Bentuk Pelayanan”, ia mengemukakan bahwa bentuk-bentuk
pelayanan gereja haruslah pelayanan yang menjawab situasi. Pelayanan yang dilakukan
gereja selama ini hanyalah sekadar supaya ada pelayanan. Pelayanan yang menjawab situasi
yang dimaksudkan ialah, pelayanan yang harus menjawab kebutuhan ekstrinsik yang benar-
benar dibutuhkan dan kebutuhan intrinsik, yang tidak dirasakan sebagai kebutuhan, tetapi
justru nerupakan akar permasalahan.32
Dengan demikian sikap gereja yang hanya mendoakan
perempuan penenun merupakan suatu bentuk pelayanan yang belum menjawab situasi yang
sesuai dengan perempuan penenun di kampung Bogakele. Penulis mendapati faktor-faktor
penyebabnya antara lain : keterbatasan dana serta kurangya kerja sama dan komunikasi yang
baik antara gereja dan anggota jemaat. Hal ini dapat dilihat dari sikap gereja yang
menunjukkan bahwa gereja belum memahami apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh jemaat
khususnya perempuan penenun.Berdasarkan hasil wawancara dengan majelis jemaat GMIT
Bogakele, penulis juga menyimpulkan bahwa gereja memahami perempuan penenun hanya
sebatas perempuan yang melakukan usaha tenun sebagai suatu pekerjaan untuk menghasilkan
uang. Padahal tenun bukan hanya sekadar mata pencaharian perempuan Bogakele.
Pemahaman gereja yang demikian tentu akan berdampak pada sikap gereja kedepan bagi
perempuan penenun.
31
Joseph Langodani Herin, Perempuan Alor di Tapak-Tapak Perjalanan Pemberdayaan, 146 32
Andaru Satnyoto, Diakonia tantangan pelayanan gereja masa kini, 27
17
3.3 Suka Duka yang Dihadapi Perempuan Penenun
Perempuan di kampung Bogakele selalu menenun sejak kecil hingga tua. Jika kita
berkunjung ke kampung Bogakele maka kita akan menemukan alat-alat tenun di halaman
rumah penduduk Bogakele. Dalam proses menenun yang dijalani terdapat suka dan duka
yang harus dihadapi perempuan Bogakele. Menurut perempuan di kampung Bogakele,
kendala atau duka saat menenun adalah ketika tidak mempunyai modal untuk membeli bahan
baku seperti benang untuk menenun. Jika keadaan tersebut dialami maka yang dilakukan
mereka adalah meminjam uang kepada tetangga untuk membeli bahan baku atau dengan cara
lain yaitu “tenun orang punya” artinya menenun dengan syarat bagi hasil. Misalnya, orang
yang mempunyai benang memberikan kepada penenun untuk ditenun menjadi sebuah kain
tenun kemudian kain tersebut dijual seharga Rp. 150.000,00 maka pihak yang menenun
mendapatkan Rp.50.000,00 dan pihak yang memiliki benang mendapatkan Rp.100.000,00.
Hal itu terpaksa harus dilakukan karena jika perempuan tidak menenun maka tidak ada
pekerjaan lain yang dapat dilakukan untuk menghasilkan uang karena perempuan di kampung
Bogakele tidak dapat bercocok tanam. Jika tidak sibuk, perempuan Bogakele dapat
menghasilkan satu tenunan dalam jangka waktu satu minggu. 33
Adapun kesulitan lain yang dihadapi perempuan untuk tetap menenun adalah masalah
pemasaran. Mereka harus pergi ke kota untuk menjual hasil tenun mereka. Mereka tidak
dapat menjual di kampung Bogakele karena setiap orang di kampung Bogakele dapat
menghasilkan kain tenun. Selain itu, biaya perjalanan ke kota yang memakan biaya cukup
besar jika dibandingkan dengan harga kain tenun yang tidak seberapa membuat mereka
kadang mengalami kerugian. Hanya beberapa orang saja yang kadang menghargai hasil karya
tenun sesuai dengan keringat yang dikeluarkan.34
Hal ini dapat saja terjadi karena hampir
semua Kabupaten di NTT menghasilkan tenunan dengan motif dan kualitas yang beragam.
Selain itu, turut masuknya berbagai motif kain batik dari daerah-daerah diluar NTT yang
mulai diminati oleh para konsumen tenun di Alor. Dengan demikian terjadi persaingan yang
ketat dan tentu saja akan berpengaruh pada harga jual tenun, atau semakin banyak produk
tenun maka nilai jual tenun semakin rendah.
Kendala yang lain datang dari dalam keluarga. Perempuan baru dapat menenun
apabila telah menyelesaikan tugasnya sebagai ibu rumah tangga. Misalnya, memberi makan
binatang, memasak, menyiapkan anak ke sekolah, menimba air di kampung Uma Pura
barulah ia dapat menenun. Laki-laki atau suami hanya melakukan tugas rumah tangga ketika
33
Hasil Wawancara dengan Nenek Kawa 28 Agustus 2017 34
Hasil Wawancara dengan Mama Abola 22 Agustus 2017
18
perempuan mengalami sakit dan hanya dapat berbaring di tempat tidur sehingga waktu
menenun sangat sedikit. Biasanya waktu yang tepat untuk menenun adalah saat sore hari
hingga pagi dengan ditemani sirih pinang dan secangkir kopi yang mereka katakan sebagai
sumber penyemangat dalam menenun. Satu-satunya yang menjadi kesukaan dari perempuan
penenun adalah saat hasil tenun mereka laku terjual dan mereka tetap dapat menenun lagi,
menghasilkan kain tenun lagi dan laku terjual kembali begitu seterusnya.35
Dalam upaya gereja mewujudkan pelayanan yang sesuai dengan yang dibutuhkan
oleh warga jemaat, gereja perlu memahami dan mengetahui apa saja permasalahan dan
kendala yang mereka alami untuk menemukan pelayanan seperti apa sebenarnya yang
dibutuhkan oleh jemaat. Penulis melihat terdapat dua faktor yang menjadi permasalahan yang
dihadapi oleh perempuan penenun dikampung Bogakele. Yang pertama ialah faktor internal
atau faktor yang lahir dari diri perempuan penenun sendiri. Faktor internal ini meliputi:
minimnya modal dari penenun, proses pemasaran karena terbatasnya jejaring atau koneksi,
serta alokasi waktu untuk menenun karena tenun merupakan aktifitas yang dilakukan
perempuan pada waktu senggang. Faktor kedua ialah faktor eksternal atau faktor yang berasal
dari luar. Faktor eksternal yang menjadi fokus penulis ialah peran gereja yang meliputi:
pemahaman gereja yang masih dibungkus oleh budaya patriarkhi, pemahaman gereja
mengenai diakonia transformatif yang belum optimal dan gereja belum memahami dengan
sungguh karateristik kebutuhan jemaat Bogakele.
Faktor internal pertama ialah keberadaan perempuan penenun sebagai perempuan
yang minim modal. Modal yang didapatkan oleh perempuan penenun adalah dari hasil melaut
sang suami. Namun modal untuk menenun baru diperoleh perempuan ketika kebutuhan yang
lain sudah tercukupi. Antara lain: kebutuhan rumah tangga, sekolah anak bahkan rokok untuk
suami. Selain itu, mengingat hasil dari melaut tidak seberapa apalagi saat cuaca sedang buruk
maka modal bagi penenun tentulah tidak banyak. Karena keterbatasan modal inilah,
perempuan penenun harus mengerjakan tenun dengan sistem bagi hasil sekalipun mereka
mengalami suatu sistem pembagian upah yang tidak adil antara pemilik modal dan
perempuan penenun di Kampung Bogakele. Berdasarkan Keputusan Gubernur NTT Nomor:
347/KEP/HK, tanggal 31 Oktober 2016 yang mengatur tentang upah minimum tenaga kerja
maka perjam paling tidak seorang pekerja harus dibayar Rp.6.400,00, namun jika kita
bandingkan dengan perempuan penenun, yang hanya mendapat Rp. 50.000,00 dari hasil
penjualan kain tenun oleh pemilik modal seharga Rp. 150.000,00 maka pekerjaan seorang
35
Hasil Wawancara dengan Mama Donuata 22 Agustus 2017
19
perempuan hanya dihargai senilai Rp. 900,00 setiap jam. Hal ini jelas merugikan kaum
perempuan di kampung Bogakele karena upah yang didapatkan tidak sesuai dengan kerja
keras mereka.36
Faktor internal kedua ialah, masalah lokasi dan proses pemasaran yang disebabkan
juga karena keterbatasan jejaring atau koneksi. Perempuan penenun di kampung Bogakele
tergolong dalam perempuan yang minim koneksi. Jarak mereka yang jauh dari perkotaan
serta tugas dan tanggung jawab untuk mengurus keluarga membuat perempuan penenun tidak
mempunyai kesempatan untuk meninggalkan kampung Bogakele dalam upaya
mempromosikan dan memasarkan karya tenun mereka, serta membangun relasi atau kerja
sama dengan pihak-pihak luar. Dalam pekerjaan industri, baik industri besar maupun industri
rumah tangga, proses pemasaran menjadi hal yang penting. Jika proses pemasaran terhambat
maka usaha tidak dapat berjalan dengan baik. Lokasi pasar yang jauh membuat perempuan
penenun mengalami kesulitan dalam memasarkan hasil karya tenunan mereka. Hal ini jika
dibiarkan dapat mematikan usaha tenun dari perempuan.
Faktor internal yang ketiga ialah alokasi waktu. Peran ganda yang dihadapi
perempuan penenun yaitu sebagai ibu rumah tangga dan penenun menjadi kendala bagi
mereka dalam memaksimalkan potensi menenun. Hal ini sesuai dengan pandangan Sutrisno
bahwa perempuan Indonesia belum bisa terhindar dari situasi dilematis. Di satu sisi
perempuan dituntut untuk berperan dalam semua sektor, tetapi di sisi lain muncul pula
tuntutan agar perempuan tidak melupakan kodrat mereka sebagai perempuan.37
Situasi
dilematis ini merupakan hasil dari konstruksi budaya yang berkembang dan mengikat kaum
perempuan hingga saat ini.38
3.4 Pembagian Peran Antara Laki-Laki dan Perempuan di Kampung Bogakele
Pembagian tugas di kampung Bogakele sangat sulit dilakukan. Seorang laki-laki, jika
ia sudah pulang dari pantai untuk mencari ikan, ia tidak akan melakukan tugas rumah tangga
yang lain. Tugas laki-laki hanya mencari ikan di laut sedangkan tugas perempuan adalah
mengurus pekerjaan rumah tangga serta menenun. Tugas seperti menjaga anak, memberi
makan hewan, memasak, dan menimba air di sumur hanya dilakukan oleh perempuan. 39
Gereja sendiri memandang pembagian peran antara laki-laki dan perempuan adalah
bahwa seorang anak di kampung Bogakele sejak lahir sudah ditentukan perannya. Sejak lahir,
36
Keputusan Gubernur NTT Nomor: 347/KEP/HK, tanggal 31 Oktober 2016 37
Penting untuk diketahui bahwa masyarakat Bogakele masih memegang pemahaman yang merupakan
hasil konstruksi warisan patriarkhi bahwa tugas perempuan di dapur, sumur dan kasur. Menenun hanyalah
pekerjaan yang dilakukan pada waktu luang. 38
Soetrisno Loekman, Kemiskinan, Perempuan, Pemberdayaan, 61-68 39
Hasil Wawancara dengan mama Kartika 22 Agustus 2017
20
seorang perempuan sudah diberikan peran menjadi ibu rumah tangga untuk mengurus
keluarga. Peran sebagai laki-laki dan perempuan sudah ditentukan berdasarkan kesepakatan
adat dan itu diwariskan secara turun-temurun. Menyikapi hal tersebut, gereja sendiri belum
ada pemikiran untuk mengembangkan bagaimana peran yang seharusnya bagi laki-laki dan
perempuan. Ditambah dengan konteks desa Bogakele yang jauh dari kota dengan pemikiran
yang belum berkembang membuat gereja sulit untuk mengupayakan kesetaraan peran antara
laki-laki dan perempuan. Namun gereja memahami bahwa perempuan dapat berperan dalam
pelayanan sebatas pada keterlibatan dalam organisasi wanita seperti paduan suara, usaha
dana, bagian konsumsi dan lainnya. Gereja sendiri belum bisa mengijinkan perempuan untuk
dapat menjadi penatua gereja. Perempuan hanya dapat menjadi diaken dan pengajar dalam
jemaat. Alasan gereja belum mengijinkan perempuan menjadi penatua karena pemahaman
gereja bahwa perempuan tidak mampu untuk melakukan tugas sebagai penatua karena
pendidikan yang rendah dan pengetahuan yang kurang dan dari jemaat perempuan sendiri,
sejauh ini tidak ada yang menawarkan diri menjadi penatua.40
Masalah ketidaksetaraan gender menjadi fokus permasalahn dari penulis karena baik
dari faktor penghambat internal dan faktor eksternal, keduanya dipengaruhi oleh
ketidaksetaraan peran antara laki-laki dan perempuan. Penulis melihat bahwa dalam
kehidupan masyarakat di kampung Bogakele gereja sementara mendukung status quo dalam
hal ketidaksetaraan antara perempuan dan laki-laki yang ada dalam masyarakat kampung
Bogakele. Pembagian peran antara laki-laki dan perempuan menunjukkan ketidakadilan
gender yang sedang terjadi di Kampung Bogakele. Pembagian peran yang tidak adil
mengakibatkan perempuan kurang memiliki kesempatan yang optimal untuk
mengembangkan potensi yang ada pada diri mereka. Hal ini ternyata mempengaruhi kualitas
dan mutu tenun yang dihasilkan oleh perempuan Bogakele. Perempuan Bogakele baru dapat
mengerjakan tenunannya saat ada waktu luang atau ketika semua tugas rumah tangga telah
selesai. Berdasarkan hasil pengamatan penulis di Kampung Bogakele, perempuan baru
mengerjakan hasil tenunannya saat subuh karena ketika pagi hingga malam ia harus
mengurus pekerjaan rumah tangga, seperti mengurus semua kebutuhan suami dan anak-anak.
Akibatnya, durasi waktu untuk menenun terpotong serta konsentrasi kerja dari perempuan
penenun menurun sehingga berdampak pada kualitas dan nilai jual dari tenun mereka.
Sedangkan menenun adalah suatu pekerjaan yang membutuhkan banyak waktu serta
konsentrasi yang penuh. Hal ini tentu berbeda dengan tugas laki-laki di kampung Bogakele
40
Hasil Wawancara dengan Penatua Cornelis Hoyata 27 Agustus 2017
21
yang hanya mengerjakan satu tugas yakni sebagai nelayan, karena tugas untuk mengurus
keluarga hanyalah tugas perempuan.
Penulis menyimpulkan bahwa di kampung Bogakele, terjadi pembagian kerja yaitu
laki-laki bertugas mencari nafkah dan perempuan mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Hal
ini sudah berlangsung cukup lama. Namun perlu disadari bahwa ketika perempuan turut
terlibat dan bekerja sama dengan laki-laki dalam usaha mencari nafkah untuk keluarga, maka
seharusnya laki-laki juga dapat terlibat dengan perempuan dalam upaya mengerjakan
pekerjaan rumah tangga secara bersama-sama. Inilah yang penulis maksud dengan
kesetaraan, dimana terjalinnya kerja sama yang baik antara laki-laki dan perempuan untuk
mengerjakan tanggung jawab keluarga secara bersama-sama.
Gereja Bogakele sendiri masih menunjukkan ketidakpercayaannya bagi jemaat
perempuan untuk menjadi seorang penatua. Hal ini sebenarnya menunjukkan bahwa gereja
belum menyatakan sikap kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Menurut penulis, jika
gereja hendak memikirkan cara untuk memberdayakan perempuan penenun maka gereja
tidak boleh menutup mata dengan ketidakadilan gender di kampung Bogakele karena itu
merupakan salah satu masalah yang juga dihadapi perempuan penenun. Sikap diam yang
diambil gereja seolah mendukung praktik ketidakadilan yang sedang berlangsung. Benhofer
mengatakan bahwa gereja baru menjadi gereja bila ia hadir bagi orang lain. Gereja harus ikut
serta dalam masalah-masalah sekular kehidupan manusia sehari-hari, bukan mendominasi
melainkan menolong dan melayani.41
Disinilah gereja perlu mengusahakan terciptanya
kehidupan yang adil bagi setiap warganya. Dalam menghadapi masalah-masalah seperti ini,
gereja perlu mengusahakan tugas diakonia gereja secara baik untuk mewujudkan kesetaraan
dan keadilan bagi seluruh warga jemaatnya. Gereja perlu menyadari bahwa dalam tugas
diakonia gereja terdapat satu bentuk diakonia yaitu diakonia transformatif. Diakonia
transformatif dapat juga dimengerti sebagai tindakan gereja melayani umat manusia secara
multi dimensional (tubuh, jiwa dan roh) dan juga multi sektoral (ekonomi, politik, kultural,
hukum dan agama).42
Diakonia transformatif dapat menolong gereja dalam mewujudkan
keadilan, kesetaraan serta memberdayakan setiap warga jemaatnya. Role model dari diakonia
ini adalah Yesus sendiri dimana Yesus menentang praktik-praktik ketidakadilan struktural,
kejahatan dan kesekarahan.
41
Norman E. Thomas, Teks-Teks Klasik Tentang Misi dan Kekristenan Sedunia: Melengkapi Adikarya
David Bosch, Transformasi Misi Kristen,124
42
Bambang Subandrijo, Agama dalam Praksis, (BPK Gunung Mulia:Jakarta,2003), 53
22
3.5 Tugas Diakonia Gereja dan Tugas Pemberdayaan Perempuan
Gereja menyadari bahwa perempuan adalah satu subjek ciptaan Allah yang perlu
untuk diberdayakan. Gereja perlu mendampingi kaum perempuan tidak hanya dalam
pemberitaan firman tetapi dalam kehidupan sehari-hari mereka. Dalam setiap potensi yang
mereka miliki gereja perlu mendampingi bahkan memfasilitasi hal tersebut. Gereja masih
mengusahakan pendampingan bagi kaum perempuan di kampung Bogakele. Sejauh ini, tugas
pemberdayaan yang difokuskan gereja adalah pemberdayaan ekonomi jemaat. Namun gereja
juga menyadari bahwa tugas pemberdayaan tidak dapat terjadi jika dilakukan oleh satu pihak
saja. Pihak yang mau diberdayakan juga perlu untuk aktif dalam tugas pemberdayaan. Di
kampung Bogakele, sangat sulit untuk melakukan tugas pemberdayaan karena watak jemaat
perempuan sendiri yang sulit untuk mau menerima perubahan dan mereka tetap
mempertahankan kebiasaan-kebiasan yang lama sehingga program yang hendak dilakukan
oleh gereja sulit diterima oleh jemaat dan direalisasikan oleh gereja. Jemaat sulit memahami
apa yang hendak dilakukan oleh gereja juga menjadi kendala dalam tugas pemberdayaan di
GMIT Bogakele.43
Selain itu, mengenai tugas diakonia gereja, gereja mengakui bahwa sebagai mata
jemaat yang kecil, gereja masih sangat minim untuk melakukan seluruh program pelayanan
yang ada. Berkaitan dengan tugas diakonia gereja, gereja sendiri sudah melakukan tugas
diakonia seperti melayani orang sakit, keluarga yang mengalami kematian dan yang
mengalami bencana. Gereja secara umum belum memahami sepenuhnya tugas diakonia
transformatif sehingga tugas diakonia untuk penenun belum diusahakan untuk dilakukan.
Fokus gereja hanya kepada tugas diakonia kepada warga jemaat yang mengalami sakit, para
janda, duda dan yatim piatu serta keluarga yang mengalami bencana sedangkan tugas
diakonia untuk memberdayakan tidak menjadi fokus gereja. Tugas diakonia untuk
memberdayakan perempuan penenun sulit dilakukan gereja karena gereja masih kekurangan
dalam dana dan sumber daya. Jumlah persembahan yang tidak seberapa membuat gereja sulit
untuk melakukan tugas diakonia transformatif ini. Pelayanan yang dilakukan gereja masih
berupa pelayanan umum sedangkan yang khusus seperti itu belum dilakukan. 44
Berkaitan dengan pernyataan pendeta bahwa gereja kesulitan menjalankan program
karena watak atau karateristik jemaat yang sulit menerima perubahan, penulis kemudian
meminta pendapat mengenai pandangan pendeta tersebut kepada salah satu responden yang
43
Hasil Wawancara dengan Pendeta Simon Amung, S.th 25 Agustus 2017: Responden tidak
menjelaskan secara rinci apa itu kebiasaan-kebiasaan lama sehingga penulis sulit memahami maksud dari
“kebiasaan lama jemaat” seperti yang dimaksudkan responden. 44
Hasil Wawancara dengan Pendeta Simon Amung, S.th 25 Agustus 2017
23
merupakan seorang warga jemaat Bogakele. Ia menyatakan bahwa, bukan jemaat yang sulit
menerima perubahan akan tetapi sudah ada kecurigaan-kecurigaan terlebih dahulu dari gereja
bahwa jemaat belum mampu atau terdapat suatu ketidakpercayaan gereja kepada potensi atau
kemampuan warga jemaatnya apalagi bagi jemaat perempuan yang rata-rata pendidikannya
rendah.45
Penulis menyadari bahwa pemberdayaan jemaat memang bukanlah sesuatu hal yang
mudah apalagi mengubah pola pikir dari suatu komunitas tertentu. Diakonia transformatif
juga bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan gereja karena akan berhadapan dengan status
quo yang masih dipegang oleh masyarakat. Namun gereja harus bisa menghadapi bukan
menyerah dengan tantangan pelayanan yang ada. Jika menurut gereja, pemberdayaan sulit
dilakukan karena sikap perempuan yang tidak mau menerima perubahan, maka menurut
penulis hal ini adalah dapat dimaklumi mengingat keberadaan perempuan Bogakele yang
rata-rata belum memiliki kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang layak serta sejak
dahulu perempuan sudah dikaitkan dengan konsep kodrat. Konsep kodrat sebenarnya yang
harus dipahami ialah perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan. Dalam hal ini,
fungsi reproduksi yang berbeda yakni perempuan mengalami menstruasi, hamil, melahirkan
dan menyusui sedangkan laki-laki membuahi dengan speramtozoa.46
Sehingga ketika
perempuan penenun memahami bahwa pekerjaan domestik yakni sumur, dapur dan kasur
merupakan kodrat mereka, maka ini menunjukan bahwa para perempuan tersebut masih
sangat dipengaruhi oleh pola pikir patriarkhi dan kesadaran gender belum sepenuhnya
mereka miliki. Menjadi ironi ialah ketika gereja juga ikut melanggengkan pemahaman
tersebut yang dikarenakan oleh beberapa hal yang memungkinkan, antara lain: Pertama,
ketidakpahaman gereja tentang kesadaran gender untuk membedakan antara kodrat dan
konstruksi budaya. Kedua, gereja sudah menyadari akan perbedaan keduanya tetapi masih
enggan untuk menyuarakan kesadaran gender ini dengan berbagai alasan. Ketiga, gereja mau
menyuarakan kesadaran gender tersebut tetapi masih mengalami kesulitan karena latar
belakang identitas jemaat yang sulit menerima perbedaan. Menurut Sutrisno, konsep kodrat
yang dikaitkan dengan peranan perempuan cenderung memaksa kita untuk membatasi usaha-
usaha dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi perempuan.47
Disinilah gereja harus
berani bersuara dan dimulai dengan menghayati apa yang merupakan konstruksi budaya
sebagai yang bukan kodrat sembari menjelaskan apa yang dimaksud sebagai kodrat
45
Hasil Wawancara Via Telepon dengan Bapak Donuata 24 September 2017 46
Herien Puspitawati, Konsep, Teori dan Analisa Gender, (Institut Pertanian Bogor: Departemen Ilmu
Keuarga dan Konsumen Fakultas Ekologi Manusia, 2013), 2 47
Soetrisno Loekman, Kemiskinan, Perempuan, Pemberdayaan, 61-68
24
perempuan yang sesungguhnya dari seorang perempuan. Dengan demikian dalam upaya
untuk menyatakan kesadaran gender bagi jemaat, pertama-tama gereja perlu mentransformasi
dirinya terlebih dahulu.
Penulis juga menemukan bahwa gereja Bogakele kurang memperhatikan tugas
diakonia. Gereja hanya memfokuskan kepada ibadah dan mengesampingkan tugas diakonia.
Tugas diakonia yang dilakukan gereja hanya bersifat musiman, contohnya saat natal,
kedukaan, bencana dan lainnya. Menurut Widyatmaja, diakonia adalah fondasi yang kuat
bagi gereja sebagai tubuh Kristus. Tanpa diakonia, pekabaran injil oleh gereja menjadi
abstrak, bagaikan gong yang bunyinya nyaring menggema, tetapi hilang ditelan waktu
sehingga terdapat hubungan yang erat antara diakonia dan misi.48
Dengan demikian GMIT
Bogakele tidak dapat mengesampingkan tugas diakonia pada saat gereja sibuk melakukan
pelayanan Marturia dan Koinonia.
Jika kita melihat pandangan Subandriyo bahwa pemahaman dan praktik gereja
tentang diakonia sangatlah tradisional. Artinya tidak banyak orang Kristen yang memahami
apa itu diakonia sesungguhnya sedangkan banyak yang mempraktikkan diakonia pada tataran
stereotip dan kegiatan tersebut sudah berlangsung perpuluh-puluh tahun lamanya.49
Maka hal
itu tidak jauh berbeda dengan keadaan jemaat GMIT Bogakele. Jika kita melihat
permasalahan yang dihadapi oleh perempuan penenun di Kampung Bogakele, maka gereja
perlu menyadari bahwa tugas diakonia yang bersifat karitatif saja tidak cukup bagi mereka.
Perlu diusahakan diakonia yang lebih menyentuh permasalahan yang dihadapi perempuan
penenun yakni diakonia transformatif. Dalam mengusahakan diakonia yang memberdayakan,
jemaat Bogakele masih melihat bahwa tugas diakonia dapat terjadi kalau ada dana atau
singkatnya “diakonia hanya melulu tentang uang”. Padahal diakonia tidak melulu tentang
uang, khususnya dalam diakonia transformatif. Menurut Widyatmaja, salah satu yang tidak
terpisahkan dengan diakonia transformatif ialah mengenai persamaan gender. Program
diakonia transformatif untuk persamaan gender tidak boleh sekedar menjadikan perempuan
sebagai objek melainkan harus memberdayakan perempuan untuk memiliki kesetaraan dalam
hubungan sosialnya dengan laki-laki di dalam gereja dan masyarakat. Dalam gereja dan
masyarakat, masih ada mitos maupun kebijakan yang tidak menghargai perempuan. Tanpa
kesamaan gender, tanpa partisipasi dan pemberdayaan perempuan, tujuan diakonia
transformatif yang ingin mewujudnyatakan manusia dan dunia tidak akan tercapai.50
Dengan
48
Josef Widyatmaja, Diakonia Sebagai Misi Gereja,40 49
Bambang Subandrijo, Agama dalam Praksis 33 50
Josef P. Widyatmaja, Yesus & Wong Cilik,194
25
demikian yang perlu dilakukan gereja saat ini adalah membantu perempuan menyadari sistem
atau struktur yang salah dan tidak adil yang selama ini tanpa disadari menindas mereka.
Lebih lanjut juga pada bagaimana gereja memberikan informasi yang mampu menyadarkan
perempuan akan hak-hak mereka, gereja mengusahakan suatu kesetaraan antara laki-laki dan
perempuan mengenai pembagian kerja yang merata dan kerja sama seimbang untuk
meningkatkan kesejahteraan keluarga. Hal-hal tersebut dapat dilakukan dengan pertama-tama
gereja mentransformasi pemahaman tentang kesetaraan gender dan kemudian pemahaman
tersebut disosialisasikan pada jemaat melalui khotbah, atau perkunjungan pastoral di rumah-
rumah dan pembinaan-pembinaan lainnya. Bagaimanapun, gereja tidak boleh menutup mata
pada ketidakadilan yang sedang terjadi. Selain itu gereja juga dapat bekerjasama dengan
LSM untuk memberikan sosialisasi mengenai cara berwirausaha yang benar kepada
perempuan penenun.
3.6 Kontribusi Gereja Bagi Perempuan Penenun
Berdasarkan hasil wawancara, salah satu responden mengatakan bahwa “Kami sendiri
yang usaha mulai dari tenun sampai jual itu kain tenun” atau dengan kata lain perempuan
penenun tidak pernah mendapatkan batuan baik dari gereja maupun pemerintah setempat
semuanya adalah usaha mereka sendiri. Apabila mereka tidak memiliki modal untuk membeli
benang maka mereka yang akan berusaha sendiri untuk mencari benang dan tetap menenun.
Tidak ada program gereja bagi kelompok tenun di kampung Bogakele.51
Gereja juga mengakui bahwa belum ada program konkrit yang dapat dilakukan gereja
untuk membantu para penenun di kampung Bogakele. Penyebab utama ialah keadaan
keuangan gereja yang tidak mendukung untuk membuat program pemberdayaan tersebut
namun gereja sedang mengusahakannya. Gereja juga sedang memikirkan untuk dapat
melakukan program-program pemberdayaan bagi jemaat khususnya kelompok tenun tapi
gereja belum mampu untuk merealisasikannya. Misalnya, dengan membeli kain tenun mereka
kemudian memasarkan ke kota Kalabahi.52
Berdasarkan jawaban dari responden, penulis menemukan bahwa gereja Bogakele
belum mewujudkan program pelayanan bagi kelompok tenun di Kampung Bogakele.
Sedangkan perempuan penenun tidak hanya berkontribusi besar untuk memenuhi kebutuhan
keluarga akan tetapi mereka juga melestarikan tradisi menenun di kampung Bogakele serta
mereka selalu menyisihkan persembahan pesepuluhan dari hasil tenun mereka bagi gereja.
51
Hasil Wawancara dengan Mama Donuata 22 Agustus 2017 52
Hasil Wawancara dengan Pendeta Simon Amung, S.th 25 Agustus 2017
26
Pernyataan perempuan penenun juga diperkuat oleh pendeta bahwa gereja memang
belum melaksanakan program pelayanan bagi jemaat perempuan. Akan tetapi gereja sudah
mulai memikirkan untuk dapat melakukan program-program pemberdayaan bagi jemaat
khususnya kelompok tenun. Program yang dirancangkan gereja ialah membeli kain tenun
mereka kemudian memasarkan ke kota Kalabahi. Jika kita melihat kembali teori diakonia,
maka sikap gereja untuk membeli kain tenun jemaat baru merupakan diakonia karitatif yang
justru akan memanjakan jemaat sedangkan tindakan gereja untuk memasarkan baru
merupakan diakonia reformatif. Gereja belum sampai pada taraf transformatif untuk
memandirikan jemaat. Diakonia transformatif adalah ketika gereja membeli karya tenun
mereka dan mengajak mereka untuk terlibat dalam proses pemasaran sehingga jemaat
mengenal situasi pasar dan kelak jemaat dapat mengatur proses pemasaran sendiri.
Pelayanan transformatif seperti ini yang perlu dilakukan gereja untuk mewujudkan jemaat
yang mandiri dan mampu menyelesaikan permasalahan mereka sendiri. Menurut Novembri
Choeldahono, gereja harus segera melakukan revisi, reorientasi serta rekonstruksi ajaran-
ajaran, perilaku, dan pelayanannya agar dapat memberikan sumbangan yang bermakna bagi
manusia. Revisi, reorientasi, dan rekonstruksi ajaran serta pelayanan akan memberi model
pelayanan yang transformatif. 53
4. Penutup
Pada bagian ini, berisi tentang kesimpulan dan saran mengenai sumbangan pemikiran
oleh penulis kepada perempuan penenun di Kampung Bogkale dan GMIT Ora Et Labora
Bogakele. Sumbangan pemikiran ini diharapkan dapat berguna bagi masyarakat khususnya
bagi GMIT Ora Et Labora Bogakele dalam mengusahakan diakonia yang memberdayakan
setiap potensi dari warga jemaat khususnya bagi perempuan penenun.
4.1 Kesimpulan
Kegiatan menenun memiliki makna yang sangat besar dalam kehidupan perempuan di
Bogakele. Tenun tidak hanya bernilai ekonomis tetapi tenun juga merupakan identitas dari
perempuan penenun. Melalui tenun juga, perempuan mempersembahkan hidup mereka
kepada Tuhan untuk berkarya dan berkontribusi dalam membawa kebaikan bagi kehidupan
masyarakat. Dibalik ketegaran perempuan penenun di kampung Bogakele, terdapat masalah
yang harus mereka hadapi. Masalah tersebut tidak hanya dari luar atau dari lingkungan
masyarakat tetapi juga dari dalam diri perempuan penenun itu sendiri. Masalah yang dihadapi
53
Bambang Subandrijo, Agama dalam Praksis, 34
27
perempuan penenun meliputi kekurangan modal, masalah pemasaran, ketidakadilan gender,
ketidakadilan upah antara pemilik modal dan perempuan penenun serta keberadaan gereja
yang kurang memahami karateristik kebutuhan dari perempuan penenun. Masalah tersebut
jika dibiarkan maka dapat mematikan potensi menenun yang dimiliki oleh perempuan
Bogakele atau perempuan Bogakele masih melakukan aktifitas menenun namun perempuan
tetap dililit dengan persoalan yang sama.
Jemaat GMIT Bogakele, menyadari keberadaan perempuan penenun di kampung
Bogakele namun gereja belum optimal melakukan sesuatu yang berdayaguna jangka panjang
bagi perempuan penenun. Atau jelasnya gereja belum banyak berkontribusi bagi perempuan
penenun. Untuk dapat mengusahakan pelayanan yang berarti, pertama-tama gereja perlu
memahami permasalahan jemaat dan mengetahui karateristik kebutuhan jemaat. Selain itu,
pemahaman Jemaat GMIT Bogakele mengenai diakonia tidak jauh berbeda dengan diakonia
tradisional yang berkembang selama ini, yakni, hanya berkaitan dengan pelayanan amal yang
dilakukan gereja. Gereja perlu mengevaluasi bahwa tugas diakonia juga mencakup diakonia
transformatif yang mampu membebaskan jemaat dari kendala-kendala yang mereka hadapi.
Dalam diakonia transformatif ini juga, gereja dituntut untuk mencari akar permasalahan dari
suatu masalah dan berusaha menyelesaikan secara bersama-sama dengan jemaat. Misalnya
gereja dapat mengusahakan keadilan terhadap persoalan ketidakadilan struktural yang
membelenggu perempuan selain itu juga gereja dapat memberdayakan yang tidak berdaya.
Pelayanaan yang holistik seperti inilah yang relevan bagi jemaat.
4.2 Saran
4.2.1 Bagi Perempuan Penenun GMIT Bogakele
Dalam upaya memberdayakan setiap warga jemaat maka pertama-tama harus ada kerja
sama yang baik dan sikap saling memahami antara warga jemaat dan gereja. Program gereja
tidak dapat berjalan dengan baik apabila tidak ada sikap terbuka dan mau menerima masukan
dari warga jemaat. Dari dalam perempuan sendiri harus ada kesediaan untuk belajar
mengevaluasi pemahaman atau pemikiran dalam rangka membangun kesadaran khususnya
terkait kesetaraan gender agar perempuan dapat memiliki sikap keberanian, keinginan untuk
mandiri serta mau untuk diberdayakan.
4.2.2 Bagi Jemaat GMIT Bogakele
Ketika gereja sudah mulai memikirkan program pelayanan bagi jemaat serta dalam
upaya gereja untuk merealisasikannya, gereja pertama-tama perlu memahami karateristik
kebutuhan jemaat serta menggali lebih jauh akar permasalahan yang dialami oleh jemaat
28
sehingga program gereja dapat tepat sasaran. Selain itu, gereja perlu mengusahakan suatu
program diakonia yang tidak hanya karitatif yang cenderung memanjakan warga jemaatnya
akan tetapi diakonia yang memberdayakan untuk memandirikan jemaat khususnya
perempuan penenun. Oleh karena itu, kembali, gereja juga perlu mengupayakan evaluasi,
revisi, reorientasi, rekonstruksi cara pandangnya terhadap hal-hal yang saling berkaitan
dengan tanggung jawab gereja dalam melayani dan memberdayakan jemaat.
29
Daftar Pustaka
Abineno J.L.Diaken. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003.
Fakih Mansour. Analisis Gende. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013.
Herin Langodani Joseph. Perempuan Alor di Tapak-Tapak Perjalanan Pemberdayaan
Jakarta: Yayasan Buba Raja Lagadoni, 2005.
Loekman Soetrisno. Kemiskinan, Perempuan, Pemberdayaan. Yogyakarta: Kanisius,1997.
Noordegraaf A.Orientasi Diakonia Gereja Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004.
Nuban Timo Eben. Sidik Jari Allah dalam Budaya Maumere: Lalero,2007.
Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia. Dokumen Keesaan Gereja PGI 2014-2019. :
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015.
Satnyoto Andaru. Diakonia Tantangan Pelayanan Gereja Masa Kini Yogyakarta: LPPM
UKDW, 1992.
Singgih E. Gerrit. Mengantisipasi Masa Depan: Berteologi di Awal Konteks Milenium III
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005.
Singgih E. Gerirt. Reformasi dan Transformasi Pelayanan Gereja, Yogyakarta: Kanisuis,
1997.
Silalahi Uber. Metode Penelitian Sosial Bandung: PT Refika Aditama,2009.
Subandrijo Bambang. Agama Dalam Praksis. Jakarta: BPK Gunung Mulia 2003.
Thomas E. Norman E.Teks-Teks Klasik Tentang Misi dan Kekristenan Sedunia: Melengkapi
Adikarya David Bosch, Transformasi Misi Kristen Jakarta:.BPK Gunung Mulia, 2000.
Widyatmaja P. Josef.Yesus & Wong Cilik Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012.
Widyatmaja Josef. Diakonia Sebagai Misi Gereja, Yogyakarta: Kanisius, 2009.
30
Jurnal
Herien Puspitawati.Konsep, Teori dan Analisa Gender. Institut Pertanian Bogor: Departemen
Ilmu Keluarga dan Konsumen Fakultas Ekologi Manusia, 2013.
Irene Ludji.“Ekklesiologi dan Konsep Pelayanan Holistik, Theologia : Jurnal Teologi
Interdisipliner. Vol. IV, No. 1, Agustus 2009.
Otniel Kurniawan. “Pandangan GPIB Bukit Harapan Surabaya tentang Pelayanan Diakonia”,
Jurnal Teologi Salatiga: 2013.