GLP-1

11
1 GLP-1 AGONIS DALAM PENATALAKSANAAN DM TIPE 2 Faisal Parlindungan Divisi Endokrin dan Metabolik Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara PENDAHULUAN Diabetes Mellitus tipe 2 (DM tipe 2) merupakan penyakit metabolik yang prevalensinya meningkat dari tahun ke tahun. 1 Indonesia dengan jumlah penduduk yang melebihi 200.000.000 jiwa, sejak awal abad ini telah menjadi negara dengan jumlah penderita DM nomor 4 terbanyak didunia. DM tipe 2 merupakan penyakit progresif dengan komplikasi akut maupun kronik. Dengan pengelolaan yang baik, angka morbiditas dan mortalitas dapat diturunkan. Tujuan terapi farmakologi pada pasien DM tipe 2 adalah untuk mengontrol hiperglikemia dan pada akhirnya akan mencegah komplikasi serius yang bisa ditimbulkan penyakit ini. 1,2 Namun karena DM tipe 2 sangat kompleks dan terjadinya perburukan fungsi sel beta pankreas yang progresif,maka kontrol glikemik masih menjadi hal yang sulit dilakukan. 3 Terapi farmakologi yang paling banyak digunakan pada pasien DM tipe 2 selama ini adalah kombinasi metformin dan sulfonilurea. 1,4 Kedua obat ini bisa aman dan efektif bila digunakan baik sebagai monoterapi maupun kombinasi. Namun bila kombinasi OAD ini tidak lagi bisa mengontrol glukosa darah secara adekuat, maka pilihan terapi selanjutnya adalah penambahan insulin. Penggunaan insulin dapat meniru sekresi insulin fisiologis tetapi tidak mengatasi kelainan patofisiologi yang mendasari penyakit DM tipe 2. 3,5 Reading Assigment Divisi Endokrin dan Metabolik Dibacakan tanggal ACC Supervisor Dr dr Dharma Lindarto, SpPD@KEMD

description

GLP 1

Transcript of GLP-1

Page 1: GLP-1

1""

GLP-1 AGONIS DALAM PENATALAKSANAAN

DM TIPE 2

Faisal Parlindungan Divisi Endokrin dan Metabolik

Departemen Ilmu Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

PENDAHULUAN Diabetes Mellitus tipe 2 (DM tipe 2) merupakan penyakit metabolik yang prevalensinya

meningkat dari tahun ke tahun.1 Indonesia dengan jumlah penduduk yang melebihi

200.000.000 jiwa, sejak awal abad ini telah menjadi negara dengan jumlah penderita DM

nomor 4 terbanyak didunia. DM tipe 2 merupakan penyakit progresif dengan komplikasi akut

maupun kronik. Dengan pengelolaan yang baik, angka morbiditas dan mortalitas dapat

diturunkan.

Tujuan terapi farmakologi pada pasien DM tipe 2 adalah untuk mengontrol hiperglikemia dan

pada akhirnya akan mencegah komplikasi serius yang bisa ditimbulkan penyakit ini.1,2

Namun karena DM tipe 2 sangat kompleks dan terjadinya perburukan fungsi sel beta

pankreas yang progresif,maka kontrol glikemik masih menjadi hal yang sulit dilakukan. 3

Terapi farmakologi yang paling banyak digunakan pada pasien DM tipe 2 selama ini adalah

kombinasi metformin dan sulfonilurea.1,4 Kedua obat ini bisa aman dan efektif bila digunakan

baik sebagai monoterapi maupun kombinasi. Namun bila kombinasi OAD ini tidak lagi bisa

mengontrol glukosa darah secara adekuat, maka pilihan terapi selanjutnya adalah

penambahan insulin. Penggunaan insulin dapat meniru sekresi insulin fisiologis tetapi tidak

mengatasi kelainan patofisiologi yang mendasari penyakit DM tipe 2. 3,5

Reading"Assigment""Divisi"Endokrin"dan"Metabolik"Dibacakan"tanggal"

ACC"Supervisor""

Dr"dr"Dharma"Lindarto,"SpPD@KEMD"

Page 2: GLP-1

2""

Terdapat beberapa jenis rangsangan yang dapat menyebabkan sel beta pankreas

mensekresi insulin. Salah satunya adalah hormon inkretin, yaitu suatu peptida yang

merupakan superfamili glukagon. Hormon inkretin ini mencakup Glucose-dependent

Insulinotropic Peptide (GIP) yang terutama disekresikan oleh sel K duodenum, dan

Glucagon-Like Peptide 1 (GLP-1) yang terutama disekresikan di sel L ileum. Terapi berbasis

inkretin adalah suatu terapi yang relatif baru untuk penanganan DM tipe 2. Terapi berbasis

inkretin cukup menjanjikan dalam mengatasi keterbatasan-keterbatasan terapi sebelumnya,

seperti penambahan berat badan dan resiko hipoglikemia. 3,4,6

KONSEP MEKANISME TERJADINYA DM TIPE 2 Perkembangan DM tipe 2 ditandai dengan kelainan pada sensitivitas insulin yang terjadi

perlahan-lahan (meningkatnya resistensi insulin), penurunan sekresi insulin oleh sel beta

pankreas, peningkatan sekresi glukagon oleh sel alfa pankreas, dan kerusakan fungsi

inkretin. Hiperglikemia dapat menyebabkan perubahan vaskuler yang mengakibatkan

komplikasi DM. Hiperglikemia terjadi apabila sekresi insulin tidak sanggup mengkompensasi

peningkatan resistensi insulin. Kerusakan pada sel beta pankreas sudah terjadi secara

progresif bahkan sebelum penderita didiagnosis DM.1,2

Perjalanan alamiah DM tipe 2 dan perkembangan penyakitnya bersifat cukup kompleks.

Dahulu, kerusakan sel beta pankreas yang dapat mengakibatkan berkurangnya sekresi

insulin, meningkatnya produksi glukosa hati, dan berkurangnya sensitivitas jaringan

terhadap insulin diduga sebagai faktor paling utama dalam perkembangan penyakit DM tipe

2. Namun sekarang cukup jelas diketahui bahwa berbagai faktor sebenarnya terlibat dalam

perkembangan DM tipe 2, termasuk peningkatan lipolisis oleh adiposit, peningkatan resorpsi

glukosa ginjal, peningkatan sekresi glukagon oleh sel alfa pankreas, resistensi insulin di

otak, dan defisiensi atau resistensi inkretin. 3

Page 3: GLP-1

3""

"Gambar& 1.& & Patogenesis& DM& tipe& 2& :& Peranan& faktor& lingkungan& dan& genetik& terhadap& sekresi& insulin& dan& resistensi&insulin.&FFAs=&free&fatty&acids;&MODY&=&maturityDonset&diabetes&of&the&young&

HORMON INKRETIN Hormon inkretin, terutama glucagon-like peptid 1 (GLP-1) dan glucose-dependent

insulinotropic polypeptida (GIP), adalah hormon polipeptida yang disintesis di usus yang

merangsang sekresi insulin sebagai respons terhadap asupan makanan.7 Reseptor GIP

terdapat pada sel beta pankreas. Reseptor GLP-1 predominan terdapat pada sel beta,

walaupun terdapat juga pada sel alfa pankreas dan di sel-sel jaringan lain. Pengikatan GIP

dan GLP-1 pada reseptornya akan merangsang sekresi insulin yang dependen glukosa

melalui aktivasi reseptor G-protein pada sel beta pankreas; hal ini akan merangsang

produksi cyclic adenosine monophosphate dan aktivasi protein kinase A.1,5,8 Setelah makan,

hormon inkretin GIP dan GLP-1 akan disekresikan, kemudian berikatan dengan reseptornya

masing-masing dan merangsang pelepasan insulin dari sel beta pankreas. Penting dicatat

bahwa hormon inkretin hanya akan menunjukkan efeknya hanya jika konsentrasi glukosa di

atas konsentrasi basal.1,3

Seperti yang terlihat dalam gambar 2, reseptor GLP-1 terdapat juga pada jaringan selain sel

pankreas, termasuk di jantung, ginjal, sistem saraf pusat dan tepi, hati, dan saluran cerna.

Karena itu, GLP-1 dapat memediasi berbagai aksi pengaturan glukosa. Selain meningkatkan

sekresi insulin yang tergantung glukosa, pengikatan GLP-1 ke reseptornya dapat

menghambat sekresi glukagon, memperlama pengosongan lambung, dan menekan nafsu

Page 4: GLP-1

4""

makan, sehingga dapat mengurangi asupan makanan dan menyebabkan penurunan berat

badan.8,9 GLP-1 juga memfasilitasi peningkatan pembuangan glukosa melalu mekanisme

neural. GLP-1 merangsang transkripsi gen insulin dan menstabilkan insulin mRNA, sehingga

meningkatkan insulin yang dihasilkan sel beta. Pada model hewan, GLP-1 meningkatkan

massa sel beta pankreas dengan meningatkan proliferasi dan neogenesis sel beta, serta

menghambat apoptosis. 10

"Gambar&2.&Aksi&GLPD1&pada&jaringan&perifer

Stimulasi reseptor inkretin akan menyebabkan ‘efek inkretin’, yaitu peningkatan sekresi

insulin lebih tinggi secara signifikan saat diberikan asupan glukosa oral, daripada asupan

glukosa intravena. Stimulasi dari inkretin ini bertanggung jawab atas 50-70% sekresi insulin

sebagai respons pemberian glukosa oral. Pada penderita DM tipe 2, efek inkretin ini

berkurang bahkan menghilang. Sekresi GIP normal atau sedikit meningkat, tetapi efek

insulinotropicnya tidak ada. Sebaliknya, GLP-1 masih dapat merangsang sedikit sekresi

insulin jika terjadi kondisi hiperglikemia. Pemberian GLP-1 eksogen, secara injeksi subkutan

atau intravena, akan menyebabkan konsentrasi GLP-1 yang tinggi di dalam plasma, dan

akan dapat mengembalikan efek inkretin dengan respon insulin yang adekuat. 5,7

Page 5: GLP-1

5""

"Gambar&3.&Efek&inkretin&pada&orang&sehat&(kiri)&dan&pada&penderita&diabetes&(kanan)

Kegunaan klinis GLP-1 alami yang dihasilkan tubuh terbatas karena waktu paruhnya yang

sangat singkat (<2 menit), karena GLP-1 alami didegradasi secara cepat menjadi metabolit

inaktif oleh enzim dipeptidil peptidase 4 (DPP 4). Karena itu, dikembangkan terapi berbasis

inkretin yang berdasarkan aksi fisiologis dan farmakologis GLP-1 untuk penanganan DM tipe

2 : GLP-1 agonis dan DPP 4 inhibitor.3,4,5

AGONIS GLP-15,7,10 Golongan agonis GLP-1 dapat dibagi atas analog GLP-1 manusia, dan ‘inkretin mimetik’,

yatu peptida dengan sekuens asam amino yang mirip dengan GLP-1 manusia sehingga

dapat berikatan dan mengaktifkan reseptor GLP-1. Berdasarkan cara kerjanya, agonis GLP-

1 juga dapat dibedakan antara yang kerja jangka pendek dan jangka panjang.3,6,7

"Gambar&4.&Klasifikasi&GLPD1&agonis

Page 6: GLP-1

6""

Tabel&1.&GLPD1&agonis&kerja&pendek&dan&panjang&

Exenatide

Exenatide adalah GLP-1 agonis pertama untuk pengobatan DM tipe 2. Exenatide adalah

bentuk sintetis dari exendin 4, yaitu peptida yang ditemukan pada saliva sejenis cicak yaitu

gila monster (Heloderma suspectum) pada tahun 1992. Exendin 4 memiliki 53% kesamaan

sekuens asam amino dengan GLP-1 manusia dan merupakan GLP agonis yang kuat.

Struktur molekul exendin 4 lebih resisten terhadap degradasi oleh enzim DPP 4

dibandingkan GLP-1 manusia.

Exenatide berikatan dengan reseptor GLP-1 dan menunjukkan potensi in vivo yang sangat

tinggi dan durasi yang lebih lama relatif dibandingkan dengan GLP-1 manusia. Seperti GLP-

1 manusia, exenatide merangsang sekresi insulin tergantung glukosa, memperlama

pengosongan lambung, dan mengurangi asupan makanan. Exenatide dosis inisialnya

adalah 5mcg per dosis, disuntikkan sebelum makan pagi dan makan malam. Saat ini

exenatide disetujui oeh FDA untuk digunakan sebagai terapi tambahan dengan metformin,

sulfonylurea, thiazolidindion, dan kombinasi OAD.

Farmakokinetik dan farmakodinamik

Waktu paruh exenatide adalah 2.4 jam. Exenatide dapat dideteksi di dalam plasma setelah

15 menit penyuntikan,dan masih dapat dideteksi sampai 15 jam kemudian. Rute eliminasi

exenatide terutama adalah di ginjal, sehingga exenatide tidak direkomendasikan untuk

pasien dengan gagal ginjal ( CrCl <30ml/menit).

Keamanan

6 kasus pankreatitis dengan penggunaan exenatide telah dilaporkan ke FDA sejak tahun

2007. Data mengenai kejadian pankreatitis ini harus dievaluasi apakah benar penyebabnya

memang exenatide, karena pasien diabetes sebenarnya memang memiliki resiko 3 kali lipat

lebih tinggi terkena pankreatitis dibanding orang non-diabetes. Sampai saat ini tidak ada

Page 7: GLP-1

7""

bukti yang tegas menyatakan bahwa penggunaan exenatide dapat menyebabkan

pankreatitis.

Tolerabilitas

Efek samping utama dengan penggunaan exenatide adalah nausea, terjadi pada 3-51%

pasien. Nausea bersifat sementara, umumnya terjadi pada delapan minggu pertama.

Monoterapi dan terapi kombinasi exenatide memiliki resiko hipoglikemia yang lebih rendah.

Antibodi antiexenatide

Pada beberapa uji klini yang besar dengan durasi 24-30 minggu, sebanyak 27-49% pasien

yang mendapatkan antibiotik ternyata terdapat antibody antiexenatide. Antibody

antiexenatide ini tidak mengalami reaksi silang dengan GLP-1 manusia. Pada pasien-pasien

yang memiliki antibody antiexenatide, kontrol glikemik yang dicapai sama dengan pasien

tanpa antibody antiexenatide.

Liraglutide

Liraglutide adalah analog GLP-1 manusia, memiliki 97% homologi dengan GLP-1 manusia.

Pada struktur liraglutide, terdapat dua perubahan sekuens asam amino dibandingkan GLP-1

manusia dan adanya rantai samping asam lemak. Rantai samping asam lemak ini

memungkinkan pengikatan dengan albumin yang bersifat reversible, dan hal ini akan

meningkatkan durasi aktivitas liraglutide karena liraglutide aktif akan dilepaskan perlahan-

lahan.

Farmakokinetik dan farmakodinamik

Liraglutide memiliki waktu paruh 13 jam, lebih tahan terhadap degradasi oleh DPP 4

inhibitor, stabilitas metabolik yang panjang, berikatan dengan albumin, dan absorpsi yang

lebih lama dibandingkan GLP-1 manusia. Konsentrasi maksimum dalam plasma tercapai

setelah 10-14 jam penyuntikan.

Keamanan

Sama halnya dengan exenatide, insidens pankreatitis akut dengan pemakaian liraglutide

juga ditemui, namun hal ini bukan merupakan bukti hubungan kausalitas, karena insidens

pankreatitis akut dengan pemakaian liraglutide konsisten dengan insiden yang diperkirakan

pada populasi umum penderita DM.

Page 8: GLP-1

8""

Tolerabilitas

Insidens hipoglikemi ringan dan sedang dengan pemakaian liraglutide adalah rendah (3-

12%). Suatu uji klinis yang membandingkan liraglutide dan exenatide mendapatkan bahwa

liraglutide memiliki resiko yang sedikit lebih rendah dibandingkan exenatide dalam

menyebabkan hipoglikemia (1.9 vs 2.3 kejadian per pasien per tahun). Efek samping saluran

cerna cukup lazim dijumpai, tetapi lebih jarang dibandingkan exenatide. Karena tidak ada

satu organ yang predominan dalam eliminasi liraglutide, maka pasien dengan kerusakan

fungsi hati dan ginjal ringan sampai sedang tidak membutuhkan penyesuaian dosis.

Antibody antiliraglutide dijumpai pada sekitar 8.6% pasien, dan tidak mengubah efek

liraglutide.

"Gambar&5.&Struktur&kimia&GLPD1&manusia&dan&agonis&GLPD1&exenatide&dan&liraglutide

Exenatide LAR

Exenatide LAR (Long Acting Release) adalah formulasi sintetis dari exendin 4 yang sedang

menjalani uji klinis fase 3. Formulasi ini memungkinkan pelepasan exenatide dalam dosis

terapeutik secara perlahan-lahan secara berkelanjutan selama 24 jam per hari. Karena itu,

exenatide LAR dapat diinjeksikan sekali seminggu.

Page 9: GLP-1

9""

Albiglutide

Albigutide adalah GLP-1 dimer long acting yang secara genetic digabungkan dengan serum

albumin manusia untuk meningkatkan waktu paruhnya. Albiglutide saat ini sedang menjalani

uji klnik fase 3. Albiglutide memiliki 97% homologi dengan GLP-1 manusia. Waktu paruhnya

antara 4-8 hari.

Taspoglutide

Taspoglutide adalah GLP-1 agonis long acting yang sedang menjalani uji klinis fase 3,

namun kemudian pengembangannya dihentikan karena tingginya reaksi hipersensitivitas.

GLP-1 AGONIS DAN POSISINYA PADA PANDUAN PENGOBATAN DM TIPE 2

Pengobatan dengan GLP-1 agonis adalah suatu pilihan yang cukup baik untuk pasien DM

tipe 2 apabila terapi dengan metformin gagal, atau ketika terapi kombinasi oral metformin

dan sulfonylurea tidak mencukupi, apabila salah satu tujuan terapi DM tipe 2 adalah

penurunan berat badan, atau untuk menghindari keadaan hipoglikemi. Apabila pasien

menggunakan sulfonylurea sebelum diberikan GLP-1 agonis, dosis sulfonylurea tersebut

harus dikurangi atau dihentikan saat memulai GLP-1 agonis.9,10

Pencegahan hipoglikemia dan pencegahan kenaikan berat badan adalah tujuan terapi yang

penting mengingat hasil dari penelitian ACCORD (Action to Control Cardiovaskuler Risk in

Diabetes), yang menunjukkan peningkatan mortaltas pada pasien DM tipe 2 karena

peningkatan insidens episode hipoglikemia.

Konsensus penatalaksanaan DM tipe 2 yang diterbiitkan ADA dan EASD memisahkan

pengobatan diabetes antara yang well validated ( metformin, sulfonylurea dan insulin) dan

less validated (pioglitazone dan GLP-1 agonist). Hal ini karena obat-obatan yang well

validated telah memiliki penelitian-penelitian yang lebih banyak dan lebih lama. GLP-1

agonis memiliki tempat sebagai terapi lini kedua setelah gagal dengan metformin. Penelitian

kombinasi GLP-1 agonis dengan insulin sedang dijalankan dan hasil awal menunjukkan

hasil yang baik. Penelitian tentang manfaat GLP-1 agonis terhadap perkembangan penyakit

diabetes diperkirakan selesai tahun 2015. Jika penelitian tersebut menunjukkan hasil yang

baik terhadap perkembnagan penyakit, maka hasil tersebut dapat menjadi landasan untuk

penggunaan GLP-1 agonis lebih awal.1,5,6,7

Page 10: GLP-1

10""

"Gambar& 6.& Efek& beberapa& obat& GLPD1& agonis& terhadap& kontrol& glikemik,& berat& badan& dan& tekanan& darah,& dan& efek&samping&dan&kontraindikasi/perhatian&khususobat&tersebut

KESIMPULAN

GLP-1 agonis secara efektif dan aman menurunkan parameter-parameter glikemik dengan

secara dependen glukosa merangsang sekresi insulin dan menghambat sekresi glukagon.

GLP-1 agonis memiliki resiko yang lebih rendah dalam menyebabkan hipoglikemia. GLP-1

agonis juga dapat menurunkan berat badan. Dua GLP-1 agonis yang pertama

dikembangkan, yaitu exenatide dan liraglutide, telah diimplementasikan sebagai suatu

pilihan terapi setelah kegagalan dengan metformin atau terapi kombinasi obat antidiabetes

oral. Hasil penelitian jangka panjang diharapkan telah tersedia dalam beberapa tahun ke

depan.

Page 11: GLP-1

11""

DAFTAR PUSTAKA 1. Van Gaal, et al. Exploiting the antidiabetic properties of incretins to treat type 2

diabetes mellitus : glucagon-like peptide 1 receptor agonist or insulin for patients with inadequate glycemic control? European Journal of Endocrinology. 2008;158: p.773-84

2. Garber AJ. Long acting glucagon-like peptide 1 receptor agonists : a review of their efficacy and tolerability. Diabetes Care. 2011;34:p.S279-84

3. Freeman JS. A physiologic and pharmacological basis for implementation of incretin hormones in the treatment of type 2 diabetes mellitus. Mayo Clinic Proceedings. 2010;85(12)(suppl):p. S5-14

4. Neumiller JJ. Differential chemistry (structure), mechanism of action, and pharmacology of GLP-1 receptor agonists and DPP-4 inhibitors. J Am Pharm Assoc. 2009;49(suppl 1): p. S16-29

5. Gallwitz B. Glucagon-like peptide 1 analogues for type 2 diabetes mellitus : current and emerging agents. Drugs. 2011;71(13):p.1675-88

6. Reid T. Choosing GLP-1 receptor agonists or DPP-4 inhibitors:weighing the clinical trial evidence. Clinical Diabetes. 2012;30(1):p.3-12

7. Lahiri SW. Management of type 2 diabetes:what is the next step after metformin? Clinical Diabetes. 2012;30(2):p.72-5

8. Davidson JA. Incorporating incretin-based therapies into clinical practice:differences between glucagon like peptide 1 receptor agonists and dipeptidyl peptidase 4 inhibitors. Mayo Clinic Proceedings. 2010;85(12)(suppl):p. S27-137

9. Taylor K, et al. Exenatide once weekly treatment maintained improvements in glycemic control and weight loss over 2 years. BMC Endocrine Disorders. 2011;11:9

10. Gale EAM. GLP-1 based therapies and the exocrine pancreas:more light, or juts more heat? Diabetes. 2012;61:p.986-8

11. Cernea S, Raz I. Therapy in the early stage:incretins. Diabetes Care. 2011;34:p.S264-71