Global warming artikel suryanto

17
1 GLOBAL WARMING: Menanti Komitmen Seluruh Bangsa untuk Menyelamatkan Bumi Suryanto Pusat Kajian Sistem dan Hukum Administrasi Negara Deputi Bidang Kajian Administrasi Negara Lembaga Administrasi Negara Jl. Veteran 10, Jakarta 10110, Indonesia Protokol Kyoto ditetapkan tanggal 12 Desember 1997, kurang lebih 3 tahun setelah Konvensi Perubahan Iklim mulai menegosiasikan bagaimana negara-negara peratifikasi konvensi harus mulai menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) mereka. Pertemuan yang berlangsung di Nusadua-Bali pada penghujung 2007 merupakan respons nyata pemerintah dan negara Indonesia serta Negara lain di dunia yang tergabung dalam UNFCC (United Nations Framework on Climate Change) dalam mengimplementasikan muatan materi Protokol Kyoto tersebut. Komitmen seluruh bangsa dituntut untuk mengimplementasikan Protokol Kyoto melalui mekanisme pembangunan bersih (clean development mechanism/CDM). Pada bulan Desember 2007, seluruh dunia menoleh ke Nusadua-Indonesia bukan saja karena kemolekan dan keindahan objek wisatanya, tetapi karena disana tengah berlangsung konferensi internasional negara-negara di dunia tentang perubahan iklim (united nations framework on conference climate change), yang dilaksanakan dalam rangka menindaklanjuti Protokol Kyoto 1997. Protokol Kyoto adalah satu-satunya kesepakatan internasional untuk berkomitmen dalam mengurangi emisi GRK yang mengatur soal pengurangan emisi tersebut dengan lebih tegas dan terikat secara hukum (legally binding). Secara umum protokol adalah seperangkat aturan yang mengatur peserta protokol untuk mencapai tujuan tertentu yang telah disepakati (http://untreaty.un.org/). Dalam sebuah protokol, para anggota jelas terikat secara normatif untuk mengikuti aturan-aturan di dalamnya dan biasanya dibentuk untuk

description

Protokol Kyoto ditetapkan tanggal 12 Desember 1997, kurang lebih 3 tahun setelah Konvensi Perubahan Iklim mulai menegosiasikan bagaimana negara-negara peratifikasi konvensi harus mulai menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) mereka. Pertemuan yang berlangsung di Nusadua-Bali pada penghujung 2007 merupakan respons nyata pemerintah dan negara Indonesia serta Negara lain di dunia yang tergabung dalam UNFCC (United Nations Framework on Climate Change) dalam mengimplementasikan muatan materi Protokol Kyoto tersebut. Komitmen seluruh bangsa dituntut untuk mengimplementasikan Protokol Kyoto melalui mekanisme pembangunan bersih (clean development mechanism/CDM).

Transcript of Global warming artikel suryanto

Page 1: Global warming artikel suryanto

1

GLOBAL WARMING: Menanti Komitmen Seluruh Bangsa untuk Menyelamatkan Bumi

Suryanto

Pusat Kajian Sistem dan Hukum Administrasi Negara Deputi Bidang Kajian Administrasi Negara

Lembaga Administrasi Negara Jl. Veteran 10, Jakarta 10110, Indonesia

Protokol Kyoto ditetapkan tanggal 12 Desember 1997, kurang lebih 3 tahun setelah Konvensi Perubahan Iklim mulai menegosiasikan bagaimana negara-negara peratifikasi konvensi harus mulai menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) mereka. Pertemuan yang berlangsung di Nusadua-Bali pada penghujung 2007 merupakan respons nyata pemerintah dan negara Indonesia serta Negara lain di dunia yang tergabung dalam UNFCC (United Nations Framework on Climate Change) dalam mengimplementasikan muatan materi Protokol Kyoto tersebut. Komitmen seluruh bangsa dituntut untuk mengimplementasikan Protokol Kyoto melalui mekanisme pembangunan bersih (clean development mechanism/CDM).

Pada bulan Desember 2007, seluruh dunia menoleh ke Nusadua-Indonesia

bukan saja karena kemolekan dan keindahan objek wisatanya, tetapi karena disana

tengah berlangsung konferensi internasional negara-negara di dunia tentang

perubahan iklim (united nations framework on conference climate change), yang

dilaksanakan dalam rangka menindaklanjuti Protokol Kyoto 1997. Protokol Kyoto

adalah satu-satunya kesepakatan internasional untuk berkomitmen dalam

mengurangi emisi GRK yang mengatur soal pengurangan emisi tersebut dengan

lebih tegas dan terikat secara hukum (legally binding).

Secara umum protokol adalah seperangkat aturan yang mengatur peserta

protokol untuk mencapai tujuan tertentu yang telah disepakati

(http://untreaty.un.org/). Dalam sebuah protokol, para anggota jelas terikat secara

normatif untuk mengikuti aturan-aturan di dalamnya dan biasanya dibentuk untuk

Page 2: Global warming artikel suryanto

2

mempertegas sebuah peraturan sebelumnya (misalnya konvensi) menjadi lebih

detil dan spesifik.

Sepanjang Conference on Parties 1 dan 2 (COP 1 dan COP 2) hampir tidak ada

kesepakatan yang berarti dalam upaya penurunan emisi GRK. COP 3 dapat

dipastikan adalah ajang perjuangan negosiasi antara negara-negara ANNEX I

(Negara-negara maju) yang lebih dulu mengemisikan GRK sejak revolusi industri

dengan negara-negara berkembang yang rentan terhadap perubahan iklim. Negara-

negara maju memiliki kepentingan bahwa pembangunan di negara mereka tidak

dapat lepas dari konsumsi energi dari sektor kelistrikan, transportasi, dan industri.

Untuk mengakomodasikan kepentingan antara kedua pihak tersebut.

Adapun isi Protokol Kyoto pada pokoknya mewajibkan negara-negara

industri maju untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (Green House Gases/GHGs) -

CO2, CH4, N2O, HFCS, PFCS dan SF6- minimal 5,5 % dari tingkat emisi tahun 1990,

selama tahun 2008 sampai tahun 2012. Protokol Kyoto juga mengatur mekanisme

teknis pengurangan emisi gas rumah kaca (GHGs) yang dikenal dengan Mekanisme

Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism/CDM).

Perubahan Iklim Dunia: Seberapa Parah?

Pemanasan global yang sedang ramai dibicarakan adalah

meningkatnya temperatur rata-rata atmosfer, laut dan bumi. Temperatur rata-

rata global pada permukaan Bumi telah meningkat 0.74 ± 0.18 °C (1.33 ± 0.32 °F)

selama seratus tahun terakhir. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC)

menyimpulkan bahwa, "sebagian besar peningkatan temperatur rata-rata global

sejak pertengahan abad ke-20 kemungkinan besar disebabkan oleh meningkatnya

konsentrasi gas-gas rumah kaca akibat aktivitas manusia melalui efek rumah kaca.

Kesimpulan dasar ini telah dikemukakan oleh setidaknya 30 badan ilmiah dan

akademik, termasuk semua akademi sains nasional dari negara-negara G8. Akan

tetapi, masih terdapat beberapa ilmuwan yang tidak setuju dengan beberapa

kesimpulan yang dikemukakan IPCC tersebut.

Model iklim yang dijadikan acuan oleh projek IPCC menunjukkan temperatur

permukaan global akan meningkat 1.1 hingga 6.4 °C (2.0 hingga 11.5 °F) antara

*) Peneliti pada Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah

Page 3: Global warming artikel suryanto

3

tahun 1990 dan 2100. Adanya beberapa hasil yang berbeda diakibatkan oleh

penggunaan skenario-skenario berbeda pula dari emisi gas-gas rumah kaca di masa

mendatang juga akibat model-model dengan sensitivitas iklim yang berbeda pula.

Walaupun sebagian besar penelitian memfokuskan diri pada periode hingga 2100,

pemanasan dan kenaikan muka air laut diperkirakan akan terus berlanjut selama

lebih dari seribu tahun jika tingkat emisi gas rumah kaca telah stabil. Hal ini

mencerminkan besarnya kapasitas panas dari lautan.

Meningkatnya temperatur global diperkirakan akan menyebabkan

perubahan-perubahan yang lain seperti naiknya muka air laut, meningkatnya

intensitas kejadian cuaca yang ekstrim, serta perubahan jumlah dan pola presipitasi.

Akibat-akibat pemanasan global yang lain adalah terpengaruhnya hasil pertanian,

hilangnya gletser dan punahnya berbagai jenis hewan.

Pengaruh terhadap hasil pertanian misalnya terlihat pada turunnya produksi

pertanian di Indonesia karena terjadinya kekeringan yang parah akibat krisis air.

Sebuah studi terkini memprediksikan berkurangnya aliran air hujan ke Daerah

Aliran Sungai (DAS) Citarum di Jawa Barat. Sungai Citarum adalah DAS terbesar di

Pulau Jawa, yang menjadi sumber air paling penting bagi Jawa Barat dan Jakarta.

Berkurangnya aliran itu adalah dampak meningkatnya temperature dan perubahan

tata guna lahan.

Penelitian WWF-Indonesia dan ITB mengemukakan, temperature di sekitar

DAS Citarum akan meningkat secara signifikan sampai tahun 2020( Gatra,

November 2007). Hal itu akan terjadi di musim hujan maupun kemarau. Riset

memprediksikan, suhu rata-rata pada musim hujan akan menjadi 26,1 derajat

celcius pada 2020, meningkat dari 24,7 derajat celcius pada 2001. Pada saat

kemarau, suhu rata-rata meningkat menadi 30,7 derajat celcius dari rata-rata 27,1

derajat celcius.

Menurut Armi Supandi, Kepala Penelitian dari ITB, kenaikan temperatur

disebabkan pemanasan global. Kenaikan temperatur udara itu jelas akan menambah

kapasitas udara menyimpan uap air. Dengan begitu, kenaikan suhu itu akan

meningkatkan urah hujan dari 239 sampai 1.377 milimeter per tahun pada 2020.

Meskipun curah hujan yang tinggi bisa menjawab kelangkaan air, juga bisa

Page 4: Global warming artikel suryanto

4

menimbulkan banjir dan tanah longsor. Terlebih lagi jika penghijauan untuk

menangkap air di DAS Citarum tidak dilakukan. Badan Pengelola Lingkungan Hidup

Daerah Jawa Barat melaporkan, sekitar 54% tutupan hutan di DAS Citarum telah

hilang dalam periode 1983 sampai 2002. Begitu memprihatinkan kondisi Citarum,

padahal kombinasi makin sempitnya daerah tangkapan hujan dengan curah hujan

yang semakin tinggi jelas akan memberi peluang munculnya banir dan tanah

longsor lebih dahsyat.

Badan itu juga mengemukakan bahwa banyak lahan pertanian yang

kemudian berubah menjadi perumahan dan industri, yang berkontribusi dalam

pengurangan air di daerah tangkapan air. Lebih lanjut disampaikan bahwa jumlah

kompleks perumahan meningkat menjadi 233% dari tahun 1983 sampai 2002, dan

sektor industri meningkat 868% pada periode yang sama.

DAS Citarum mempunyai luas sekitar 6.080 kilometer persegi, dengan sungai

sepanjang 269 kilometer. Data Pemerintah Daerah Jawa Barat menunjukkan sekitar

11 juta penduduk hidup dan tinggal di sekitar DAS, dengan lebih dari 1.000

perusahaan yang beroperasi di sekitarnya. Padahal, DAS Citarum juga merupakan

sumber air bagi Bendungan Jatiluhur, Cirata dan Cikumpay. Bendungan Jatiluhur

menjadi penyedia 80% air baku bagi Perusahaan Air Minum Jakarta. Belum lagi, air

Citarum digunakan untuk berbagai keperluan irigasi dan pembangkit listrik.

Menurunnya kemampuan DAS menyuplai air berdampak sangat luas, termasuk

menurunnya produksi pangan.

Data BPS Jawa Barat menyebutkan, panen pada 2006 mengalami penurunan.

Jika pada 2005 produksi padi sawah dan ladang mencapai 9.787.217 ton, maka pada

2006 anjlok tinggal 9.418.572 ton, atau turun hingga 368.645 ton. Tidak hanya DAS

Citarum yang mengalami gangguan, DAS Brantas di Jawa Timur juga mengalami hal

serupa. Akibatnya, produksi padi di Jawa Timur mengalami penurunan. Jika pada

2006 produksinya mencapai 9.346.947 ton, maka pada 2007 hanya 9.126.356 ton,

berarti turun 220.519 ton.

Penurunan produksi pangan juga terjadi di Jawa Tengah. Pada 2006 produksi

padi tercatat 8.729.291 ton, sedangkan pada 2007 hanya 8.378.854 ton, merosot

350.436 ton. Meskipun tiga provinsi lumbung beras Indonesia mengalami

Page 5: Global warming artikel suryanto

5

penurunan produksi, secara nasional Indonesia produksi padi masing meningkat

1,23%.

Tabel 1 Produksi Padi Nasional

Tahun Area (Ha) Rerata

(ton/ha) Produksi (Ton) Pertumbuhan

(%) 2003 11.488.034 4.538 52.137.604 - 2004 11.922.974 4.536 54.088.468 3,74 2005 11.839.060 4.574 54.151.097 0,12 2006 11.786.430 4.620 54.454.937 0,56 2007 11.757.845 4.689 55.127.430 1,23

Sumber: Gatra, Nov 2007

Keterangan: kendati terdapat peningkatan produksi pangan secara nasional (1,23%) tetapi di tiga provinsi ’lumbung beras” yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur mengalami penurunan produksi pangan yang cukup signifikan.

Pemanasan global juga telah menyebabkan perubahan iklim yang tidak

menentu, dan telah membuat bingung para petani. Dalam salah satu pemberitaan di

harian umum Kompas beberapa waktu disebutkan bahwa sebagian besar petani di

Cirebon dan sekitarnya berduyun-duyun mengadu nasib ke Jakarta, sambil

menunggu ’hujan’ tiba untuk bercocok tanam. Padahal bulan-bulan ini seharusnya

sudah turun hujan, tetapi karena pemanasan global, iklim pun jadi tidak menentu.

Dampak pemasan global lainnya adalah melelehnya salju di kutub utara dan

kutub selatan. Laporan NASA menyatakan bahwa dari hasil pengamatan satelit,

mereka mendapati fakta penyusutan dramatis es abadi Kutub Utara selama 10

tahun terakhir. Pada 2005 terjadi pengurangan sampai 14% atau kurang lebih

seluas Texas atau Turki. Hal yang lebih dramatis adalah ikhwal lapisan es musiman

di laut Arktik. Laju pencairan es di kawasan itu semakin meningkat dan tidak dapat

kembali ke keadaan semula dalam satu dasawarsa terakhir.

Sebelumnya, setiap kali musim gugur, bagian-bagian yang mencair biasanya

membeku kembali dengan arus dingin yang bergerak di setiap musim gugur, akan

tetapi pola seperti itu tidak terjadi lagi. Semestinya, bagian lapisan es yang mencair

di musim panas akan kembali membeku di musim dingin. Hal ini menjelaskan

Page 6: Global warming artikel suryanto

6

bagaimana perubahan besar telah berlangsung di kawasan Kutub Utara. Menurut

pantauan para ilmuwan, kawasan Laut Arktik telah kehilangan sekitar 2.000.000

kilometer persegi lapisan esnya dalam 6 tahun terakhir. Dari tahun 1978 hingga

2000 silam, luas rata-rata lapisan es di kawasan ini sekitar 7.000.000 kilometer

persegi.

Laporan serupa juga disusun oleh gabungan peneliti dari Washington

University dan McGill University. Lewat simulasi model iklim global, mereka

menganalisis pengaruh pemanasan global terhadap lapisan es Kutub Utara.

Hasilnya, seperti dilaporkan Geophysical Research Letters, es hampir tidak

ditemukan lagi di kawasan Kutub Utara pada September 2040 jika pelepasan emisi

gas rumah kaca tetap sebanyak sekarang.

Keadaan serupa juga diperkirakan bakal berlangsung di Kutub Selatan, baik

Son Nghiem maupun Conrad Steffen dari Universitas Colorado sama-sama melihat

ancaman perairan es di kawasan itu karena kenaikan suhu. Mereka membandingkan

akumulasi pencairan salju antartika dalam kurun waktu enam tahun, 1999-2005.

Dari pengamatan itu diketahui, lapisan salju Antartika telah mencair kira-kira seluas

California.

Namun pandangan berbeda ikhwal kondisi Kutub Selatan dilontarkan

Christian Haas, Peneliti dari Institut Alfred Wagener di Bremerhaven, Jerman, yang

melihat dampak pemanasan global di kawasan itu tidak sekuat di Kutub utara.

Malah, seperti dikutip Deutsche Welle, ia malah melihat kecenderungan sebaliknya,

yakni terjadi peningkatan lapisan es di perairan sekitar Antartika dalam 30 tahun

terakhir.

Efek Rumah Kaca dan Gas Rumah kaca

Pemanasan pada permukaan Bumi dikenal dengan istilah 'Efek Rumah Kaca'

atau Greenhouse Effect. Proses ini berawal dari sinar Matahari yang menembus

lapisan udara (atmosfer) dan memanasi permukaan Bumi. Permukaan Bumi yang

menjadi panas menghangatkan udara yang berada tepat di atasnya. Karena menjadi

ringan, udara panas tersebut naik dan posisinya digantikan oleh udara sejuk.

Page 7: Global warming artikel suryanto

7

Sebagian dari udara panas yang naik ke atas ditahan dan dipantulkan

kembali ke permukaan oleh lapisan gas di atmosfer Bumi yang terdiri dari Karbon

Dioksida, Metan dan Natrium Oksida. Udara panas yang dipantulkan tersebut

berfungsi untuk menjaga temperatur Bumi supaya tidak menjadi beku. Proses

pemantulan udara panas untuk menghangatkan Bumi inilah yang disebut dengan

efek rumah kaca.

Gambar 1 Efek Rumah Kaca

Tapi proses alam yang normal tersebut menjadi tidak sehat sejak manusia

memasuki proses industri. Pada masa ini manusia mulai melakukan pembakaran

batu bara, minyak dan gas bumi untuk menghasilkan bahan bakar dan listrik. Proses

pembakaran energi dari Bumi ini ternyata menghasilkan gas buangan yang berupa

karbon dioksida. Otomatis, kadar lapisan gas rumah kaca yang menahan dan

memantulkan kembali udara panas ke Bumi menjadi semakin banyak.

Page 8: Global warming artikel suryanto

8

Kalau Bumi terus menerus terkena pemanasan ini, bahaya besar lainnya

akan muncul, atau bahkan sudah terjadi dan sedang kita rasakan saat ini. Efek

pertama yang terjadi adalah tingginya temperatur udara. Masyarakat di Eropa Barat

pada bulan-bulan kemarin sudah merasakan bagaimana tersiksanya hidup ketika

suhu menjadi luar biasa panas. Jumlah korban yang meninggal akibat 'kepanasan'

mencapai ratusan, belum terhitung yang harus mengalami rawat inap karena

dehidrasi.

Temperatur yang terus meningkat dapat melelehkan banyak salju di kedua

kutub bumi dan gunung-gunung tertinggi dunia. Para ahli lingkungan sudah

membuat laporan baru kalau saat ini salju dunia secara keseluruhan sudah

berkurang 10%. Hasilnya adalah volume air yang mengalir ke lautan akan semakin

tinggi yang otomatis menaikkan permukaan laut.

Gas Rumah Kaca (GRK) merupakan akibat dari efek rumah kaca. Sembilan

puluh sembilan persen atmosfer kita terdiri dari dua jenis gas, yaitu nitrogen (78%)

dan oksigen (21%). Keduanya hampir tidak bertanggung jawab terhadap

pengaturan iklim di planet bumi. Enam gas yang didakwa menyebabkan pemanasan

global itu hanya mengisi tidak lebih dari 1% atmosfer. Gas-gas itu terutama tercipta

dari aktivitas manusia, yakni:

1. Karbon Dioksida (CO2);

2. Metana (CH4);

3. Nitrogen Oksida (NO2);

4. Sulfur Heksafluorida (SF6);

5. Hidrofluorokarbon (HFC); dan

6. Perfluorokarbon (PFC).

Protokol Kyoto untuk Mengatasi Global Warming

Pemanasan global, suhu udara meningkat, melelehnya salju dunia, serta

naiknya permukaan laut pada akhirnya dapat menyebabkan perubahan iklim. Kita

sekarang merasakan datangnya musim kemarau yang lebih lama dari seharusnya.

Akibatnya air tanah menjadi langka karena belum mendapat pasokan baru dari

hujan. Jadi pemanasan global yang terjadi karena perbuatan manusia memang

Page 9: Global warming artikel suryanto

9

memiliki efek negatif yang tidak bisa dipandang sepele. Dan kita pun, suka tidak

suka, tercatat sebagai salah satu pelakunya.

Tanggal 16 Pebruari 2005 merupakan momen penting dari derap langkah

proyek ”mendinginkan bumi” yang ditabuh dari Kyoto, Jepang, 7 tahun sebelumnya.

Tepatnya pada 11 Desember 1997, di sesi ketiga pertemuan antarbangsa yang

tergabung dalam wadah United Nations Framework Convention on Climate Change

(UNFCCC) itu, diterima sebuah protokol untuk menahan laju konsentrasi gas rumah

kaca di atmosfer bumi.

Dari 28 pasal teknis, rumit dan menjerat, terdapat satu pasal yang

memenjarakan seluruh isi protokol yaitu pasal Pasal 25 yang menyebutkan segala

ketentuan akan mulai berlaku 90 hari setelah tak kurang dari 55 negara peserta

konvensi, termasuk negara ANNEX I yang melepas setidaknya 55% gas buang

berdasarkan data tahun 1990, telah meratifikasi kesepakatan tersebut. Syarat 55

negara dicapai dengan mudah, sejak Islandia meratifikasi Protokol Kyoto pada 23

Mei 2002. Namun kesepakatan tersebut terus terkatung-katung karena syarat 55%

gas buang tidak juga tercapai. Hal ini karena negeri yang bertanggung jawab atas

33% (versi lain menyebut 36%) gas buang dunia, Amerika Serikat, menolak

mentah-mentah untuk meratifikasi kesepakatan tersebut.

Kunci kerangkeng Protokol Kyoto baru terbuka ketika Rusia (emisi gas

buang 17%) meratifikasinya pada 18 November 2004 menjadi negeri ke-128 yang

melapor pada PBB, dimana hal itu telah membulatkan syarat 55%. Maka resmilah

Protokol Kyoto itu berlaku bagi semua party (negara yang meratifikasi protokol

tersebut).

Beberapa mekanisme dalam Protokol Kyoto yang mengatur masalah

pengurangan emisi GRK, seperti dijelaskan di bawah ini:

Joint Implementation (JI), mekanisme yang memungkinkan negara-negara maju

untuk membangun proyek bersama yang dapat menghasilkan kredit penurunan

atau penyerapan emisi GRK.

Emission Trading (ET), mekanisme yang memungkinkan sebuah negara maju

untuk menjual kredit penurunan emisi GRK kepada negara maju lainnya. ET

Page 10: Global warming artikel suryanto

10

dapat dimungkinkan ketika negara maju yang menjual kredit penurunan emisi

GRK memiliki kredit penurunan emisi GRK melebihi target negaranya.

Clean Development Mechanism (CDM), mekanisme yang memungkinkan negara

non-ANNEX I (negara-negara berkembang) untuk berperan aktif membantu

penurunan emisi GRK melalui proyek yang diimplementasikan oleh sebuah

negara maju. Nantinya kredit penurunan emisi GRK yang dihasilkan dari proyek

tersebut dapat dimiliki oleh negara maju tersebut. CDM juga bertujuan agar

negara berkembang dapat mendukung pembangunan berkelanjutan, selain itu

CDM adalah satu-satunya mekanisme di mana negara berkembang dapat

berpartisipasi dalam Protokol Kyoto.

Bagi negara-negara ANNEX I mekanisme-mekanisme di atas adalah

perwujudan dari prinsip mekanisme fleksibel (flexibility mechanism). Mekanisme

fleksibel memungkinkan negara-negara ANNEX I mencapai target penurunan emisi

mereka dengan 3 mekanisme tersebut di atas. Namun, penolakan 3 negara ANNEX I

(AS, Australia dan Monaco) menimbulkan keraguan bahwa kesepakatan itu akan

berjalan mulus. Penolakan terhadap perjanjian ini di Amerika Serikat terutama

datang dari kalangan industri minyak, batubara, dan perusahaan lain yang

produksinya bergantung pada bahan bakar fosil. Para penentang ini mengkalim

bahwa biaya ekonomi yang diperlukan untuk melaksanakan Protokol Kyoto dapat

mencapai US$ 300 Miliar, terutama disebabkan oleh biaya energi.

Sebaliknya, pendukung Protokol percaya biaya yang diperlukan hanya

sebesar US$ 88 Miliar dan dapat lebih kurang lagi serta dikembalikan dalam bentuk

penghematan uang setelah mengubah ke peralatan, kendaraan dan proses industri

yang lebih efisien. Alasan lain penolakan AS adalah karena tidak dimasukkannya

Cina dan India untuk mengurangi emisi gas buangnya, padahal pada 2004, emisi

karbon diosida Cina sudah sebesar 54% dari emisi AS. Ekonomi negeri

berpenduduk 1,3 miliar itu pun tumbuh sekitar 10% per tahun. Untuk memnuhi

pertumbuhan ekonomi itu, Cina rata-rata per tahun membangun satu pembangkit

listrik batubara.

Tidak memasukkan Cina dalam Annex I dan tidak dihitungnya AS membuat

penurunan 5,2% dari negara Annex I diduga hanya akan menghasilkan penurunan

Page 11: Global warming artikel suryanto

11

emisi karbon global tak lebih dari 1%. Karena itu, banyak pihak menyangsikan

efektivitas Protokol Kyoto. Pada 11 Desember di Bali, Protokol Kyoto akan berulang

tahun ke-10, dan protokol itu akan mengakhiri masa tugasnya pada 2012. Bali akan

turut menjadi saksi penyiapan protokol pengganti Kyoto? Apakah Protokol baru itu

akan lebih keras dari Protokol Kyoto?

Tabel 1 Emisi Karbon 1990-2004

Negara Total emisi

juta ton setara Co2

1990

Total emisi juta ton

setara Co2 1990

Perubahan emisi gas

(1990-2004)

Keharusan berdasar Protokol

Kyoto Jerman 1.226,3 1.015,3 -17% -8% Kanada 598,9 758,1 +27% -6% Australia 423,1 529,2 +25% +8%*) Spanyol 287,2 427,9 +49% -8% AS 6.103,3 7.067,6 +16% -7%*) Jepang 1.272,1 1.355,2 +6.5% -6% Rusia 2.974,9 2.024,2 -32% 0% Inggris 776,1 665,3 -14% -8% *) karena AS dan Australia tidak meratifikasi Protokol Kyoto, target emisinya tidak menjadi kewajiban untuk dipenuhi.

Page 12: Global warming artikel suryanto

12

Prinsip-Prinsip Protokol Kyoto 1. Protokol Kyoto menjadi tanggungan pemerintah dan diatur dalam kesepakatan

global yang dilindungi PBB. 2. Pemerintahan dibagi dalam dua kategori umum: a) Negara-negara ANNEX I adalah

negara maju yang dianggap bertanggung jawb terhadap emisi gas sejak Revolusi Industri, 150 tahun silam. Mereka mengemban tugas menurunkan emisi gas rumah kaca dan harus melaporkan emisi gasnya tiap tahun. Negara ANNEX I ini terdiri dari 38 negara industri maju di Eropa, Amerika Utara, dan Australia, satu-satunya Negara di Asia yang masuk hanyalah Jepang, dan b) Negara Non ANNEX I adalah Negara berkembang. Mereka tidak punya kewajiban menurunkan emisi gas rumah kaca, tapi bisa berpartisipasi lewat clean development mechanisme (CDM). Cina, India, dan Indonesia, tiga Negara berpenduduk padat dan sedang berkembang pesat, bersama lebih dari 130 negara lainnya masuk dalam daftar Non ANNEX I.

3. Negara-negara ANNEX I harus mengurangi emisi gas rumah kaca secara kolektif sebesar 5,2% dibandingkan dengan laporan tahun 1990 (perlu diperhatikan, jika dibandingkan dengan perkiraan jumlah emisi pada tahun 2010 tanpa protocol, target ini berarti pengrangan sebesar 29%).

4. Pengurangan emisi dari enam gas rumah kaca – CO2 (karbon dioksida), CH4 (metana), NO2 (nitrogen oksida, SF6 (sulfur heksafluorida), HFC (Hidrofluorocarbon), dan PFC (Perfluorocarbon) – ini dihitung sebagai rata-rata selama lima tahun antara 2008 dan 2012. target nasional berkisar dari pengurangan 8% untuk Uni Eropa, 7% untuk Amerika Serikat, 6% untuk Jepang, 0% untuk Rusia, dan penambahan yang diizinkan sebesar 8% untuk Australia dan 10% untuk Islandia.

5. Batas pengurangan itu kadaluarsa pada 2013, dan akan dibuat target reduksi karbon baru. Jika pada 2012 negara ANNEX I tidak mencapai target, selain tetap harus menutup kekurangannya, pasca 2012 negara tersebut harus membayar denda sebesar 30% dari berat karbon dala target ANNEX I.

6. Protokol Kyoto memiliki mekanisme fleksibel yang memungkinkan Negara ANNEX I mencapai batas emisi gasnya dengan membeli “kredit pengurangan emisi” dari Negara lain. Pembelian itu bisa dilakukan dengan uang tunai atau berupa pendanaan untuk sebuah proyek penurunan emisi gas buang dari Negara Non ANNEX I melalui mekanisme CDM. Bisa juga melalui perngerjaan proyek di sesame ANNEX I melalui program joint implementation atau membeli langsung dari Negara ANNEX I yang sudah berada di bawah target.

7. Sebuah proyek baru bisa dijual dalam perdagangan emisi karbon bila sudah mendapat persetujuan dari Dewan Eksekutif CDM yang berpusat di Bonn, Jerman. Hanya dewan eksekutif yang berhak mengeluarkan akreditasi certified emission reductions (CER) bagi sebuah proyek untuk bisa diperjualbelikan.

8. Jadi, Negara-negara non ANNEX I yang tidak punya kewajiban menurunkan emisi gas buang, tapi jika mengimplementasikan “proyek gas rumah kaca” yang bisa menurunkan emisi, ia akan menerima kredit karbon yang bisa diperjualbelikan pada Negara ANNEXI.

Page 13: Global warming artikel suryanto

13

Apa untungnya Indonesia ikut meratifikasi Protokol Kyoto?

Indonesia merupakan paru-paru dunia, posisi hutan Indonesia yang

mensuplai mayoritas oksigen di dunia sangat penting. Hal ini harus disosialisasikan

kepada masyarakat secara luas. Kelestarian hutan di Indonesia sangat berpengaruh

pada kelangsungan hidup umat manusia di muka bumi ini. Bahkan negara super

power seperti Amerika menyadari dampak dari perlunya kelestarian hutan di

Indonesia. Dengan mengikuti ratifikasi protokol Kyoto maka Indonesia terdaftar

sebagai negara yang mendukung program pengurangan polusi lingkungan hidup.

Indonesia mempunyai suara dalam menentukan kebijakan lingkungan hidup dunia.

Indonesia selalu diikutsertakan dalam program pelestarian lingkungan hidup di

dunia dan pengurangan emisi karbon. Kayu-kayu dari hutan Indonesia tidak akan

laku dijual di negara yang mengikuti protokol apabila tidak memiliki sertifikat legal

(bukan hasil pembalakan liar). Pemimpin dan pemerintah di Indonesia juga

diwajibkan mempunyai program yang menjaga kesinambungan daya dukung

lingkungan hidup. Salah satu program yang penting adalah alih teknologi dan

koordinasi dalam penerapan biofuel untuk mengurangi emisi karbon, hanya

memang sosialisasi bahan bakar yang ramah lingkungan masih barang 'aneh'.

Setidaknya ada keseriusan dari Pemerintah untuk memperhatikan sumber

daya alam.

Sayangnya manajemen lingkungan hidup di Indonesia terlambat diterapkan,

ketidakseimbangan ekosistem sudah menunjukkan pembalasannya. Banjir di

Jakarta utara, angin puting beliung di Jawa Timur merupakan dampak awal dari

pemanasan global. Sampah yang menumpuk di setiap kota besar, lumpur panas di

Sidoarjo akibat tidak mengindahkan Amdal adalah salah satu contoh bahwa

dominasi materi lebih diutamakan daripada kelangsungan sumber daya alam.

Akibat dari paradigma jangka pendek ini mengorbankan manusia sendiri dalam

jangka panjang. Memang ratifikasi Kyoto perlu juga didukung dengan penerapan UU

PLH yang tegas bagi setiap pelanggar lingkungan hidup.

Undang Undang Ratifikasi Protokol Kyoto telah ditandatangani pada 19

Oktober 2004, yaitu UU No. 17/2004 tentang Ratifikasi Protokol Kyoto. Dengan

demikian telah jelas kekuatan hukum yang mendasari ratifikasi Protokol Kyoto oleh

Page 14: Global warming artikel suryanto

14

Indonesia. Pekerjaan rumah yang tertinggal terkait dengan ini adalah menyerahkan

instrumen ratifikasi ini ke PBB dengan segera, agar pada COP-10 (Konferensi Para

Pihak UNFCCC ke-10) nanti, Indonesia sudah menjadi para pihak dari Protokol

Kyoto. Artinya, tahun depan Indonesia dapat ikut dalam COP-11 yang juga Meeting

of the Parties (MOP) yang pertama bagi para pihak UNFCCC setelah keputusan

parlemen Rusia untuk meratifikasi Protokol Kyoto maka Protokol ini akan segera

berkekuatan hukum (enter into force).

Mekanisme Pembangunan Bersih (MPB/CDM)

CDM adalah suatu mekanisme di bawah Protokol Kyoto yang dimaksudkan

untuk mambantu negara maju/industri memenuhi sebagian kewajibannya

menurunkan emisi GHGs serta membantu negara berkembang dalam upaya menuju

pembangunan berkelanjutan dan kontribusi terhadap pencapaian tujuan the

UNFCCC. Mekanisme ini menawarkan win-win solution antara negara maju dengan

negara berkembang dalam rangka pengurangan emisi GHGs, dimana negara maju

menanamkan modalnya di negara berkembang dalam proyek-proyek yang dapat

menghasilkan pengurangan emisi GHGs dengan imbalan CER (Certified Emission

Reduction).

Hitungannya, menurut Protokol Kyoto, satu unit reduksi emisi gas rumah

kaca sebanding dengan 1 metrik ton CO2. Sertifikat itulah yang kemudian dijual

kepada negara maju untuk membantu mengurangi target pengurangan emisi gas

rumah kaca di negaranya. Memang, negara berkembang, seperti Indonesia, tidak

memiliki kewajiban menurunkan emisinya. Namun, negara berkembang dapat

membantu mengurangi emisi global secara sukarela dengan menjadi tuan rumah

proyek-proyek CDM. Dengan demikian, CDM dapat menjadi insentif bagi negara

berkembang yang secara sukarela mempertimbangkan lingkungan dalam setiap

kegiatannya.

Hal ini berarti, semua pihak turut berkontribusi pada tujuan utama Konvensi

Perubahan Iklim, yaitu menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer.

Berdasarkan ukuran dan tipe kegiatan yang dilakukan, proyek CDM dapat

Page 15: Global warming artikel suryanto

15

dibedakan menjadi beberapa jenis, yakni proyek pengurangan emisi dan proyek

penyerapan karbon.

Proyek pengurangan emisi dilakukan oleh sektor industri, misalnya industri

pembangkit energi dan sumber terbarukan maupun tidak terbarukan atau industri

manufaktur, kimia, konstruksi, transportasi, pertambangan, produsi logam,

penggunaan pelarut, dan pertanian lewat pengurangan emisi CH4 dan N2O.

Sedangkan proyek penyerapan karbon dilakukan melalui aforestasi dan reforestasi

dari sektor kehutanan. Aforestasi adalah penanaman kembali pada lahan yang

sudah tidak berhutan sejak 50 tahun yang lalu menjadi berhutan. Adapun

reforestasi adalah penanaman hutan pada lahan yang sudah tidak berhutan sejak 31

Desember 1989.

Penutup

Bumi makin panas! Kalimat ini bukan hanya menjadi bagian dari lirik lagu

atau judul sebuah buku yang sedang best seller, tetapi benar-benar tengah menjadi

suatu realitas. Global warming atau pemanasan global merupakan peningkatan

rerata temperatur (panas) di atmosfer, darat, dan laut yang disebabkan efek rumah

kaca dan gas rumah kaca. Adalah enam gas yang dituding menjadi ’biang kerok’

terjadinya pemanasan global tersebut – yang keenamnya merupakan hasil tindakan

manusia, yaitu karbondioksida (CO2), metana (CH4), Nitrogen Oksida (NO2), Sulfur

Heksafluorida (SF6), Hidrofluorokarbon (HFC), dan Perfluorokarbon (PFC).

Melalui pertemuan antarbangsa dalam Conference of Parties yang ke-3 maka

disepakati apa yang disebut sebagai Protokol Kyoto, yakni sebuah kesepakatan

antar negara-negara maju (Annex I) untuk mengurangi emisi gas buangnya sebesar

55% sampai dengan 2012. Secara ringkas, Protokol Kyoto membagi negara-negara

peserta konferensi dalam dua kategori umum: a) Negara-negara ANNEX I adalah

negara maju yang dianggap bertanggung jawab terhadap emisi gas sejak Revolusi

Industri, 150 tahun silam. Mereka mengemban tugas menurunkan emisi gas rumah

kaca dan harus melaporkan emisi gasnya tiap tahun. Negara ANNEX I ini terdiri dari

38 negara industri maju di Eropa, Amerika Utara, dan Australia, satu-satunya

Negara di Asia yang masuk hanyalah Jepang, dan b) Negara Non ANNEX I adalah

Negara berkembang. Mereka tidak punya kewajiban menurunkan emisi gas rumah

Page 16: Global warming artikel suryanto

16

kaca, tapi bisa berpartisipasi lewat clean development mechanisme (CDM). Cina,

India, dan Indonesia, tiga Negara berpenduduk padat dan sedang berkembang pesat,

bersama lebih dari 130 negara lainnya masuk dalam daftar Non ANNEX I.

Negara-negara ANNEX I harus mengurangi emisi gas rumah kaca secara

kolektif sebesar 5,2% dibandingkan dengan laporan tahun 1990 (perlu

diperhatikan, jika dibandingkan dengan perkiraan jumlah emisi pada tahun 2010

tanpa protokol, target ini berarti pengurangan sebesar 29%). Pengurangan emisi

dari enam gas rumah kaca – CO2 (karbon dioksida), CH4 (metana), NO2 (nitrogen

oksida), SF6 (sulfur heksafluorida), HFC (Hidrofluorocarbon), dan PFC

(Perfluorocarbon) – ini dihitung sebagai rata-rata selama lima tahun antara 2008

dan 2012. Target nasional berkisar dari pengurangan 8% untuk Uni Eropa, 7%

untuk Amerika Serikat, 6% untuk Jepang, 0% untuk Rusia, dan penambahan yang

diizinkan sebesar 8% untuk Australia dan 10% untuk Islandia.

Batas pengurangan itu kadaluarsa pada 2013, dan akan dibuat target reduksi

karbon baru. Jika pada 2012 negara ANNEX I tidak mencapai target, selain tetap

harus menutup kekurangannya, pasca 2012 negara tersebut harus membayar denda

sebesar 30% dari berat karbon dalam target ANNEX I. Protokol Kyoto memiliki

mekanisme fleksibel yang memungkinkan Negara ANNEX I mencapai batas emisi

gasnya dengan membeli “kredit pengurangan emisi” dari negara lain. Pembelian itu

bisa dilakukan dengan uang tunai atau berupa pendanaan untuk sebuah proyek

penurunan emisi gas buang dari Negara Non ANNEX I melalui mekanisme CDM. Bisa

juga melalui perngerjaan proyek di sesama ANNEX I melalui program joint

implementation atau membeli langsung dari Negara ANNEX I yang sudah berada di

bawah target.

Sebuah proyek baru bisa dijual dalam perdagangan emisi karbon bila sudah

mendapat persetujuan dari Dewan Eksekutif CDM yang berpusat di Bonn, Jerman.

Hanya dewan eksekutif yang berhak mengeluarkan akreditasi certified emission

reductions (CER) bagi sebuah proyek untuk bisa diperjualbelikan. Jadi, Negara-

negara non ANNEX I yang tidak punya kewajiban menurunkan emisi gas buang, tapi

jika mengimplementasikan “proyek gas rumah kaca” yang bisa menurunkan emisi,

ia akan menerima kredit karbon yang bisa diperjualbelikan pada Negara ANNEX I.

Indonesia, meski tidak memiliki kewajiban menurunkan emisi gas buangnya,

namun tetap berkontribusi dalam mengatasi pemanasan global dengan meratifikasi

Page 17: Global warming artikel suryanto

17

Protokol Kyoto pada 19 Oktober 2004, yaitu dengan diterbitkannya UU Nomor 17

Tahun 2004 tentang Ratifikasi Protokol Kyoto. Artinya, sebagai negara berkembang,

Indonesia turut peduli terhadap pencegahan gas rumah kaca yang dapat

menyebabkan bencana luar biasa. Dan, bencana tersebut sudah menjadi kenyataan

di beberapa bagian bumi, yang lain tinggal menunggu giliran – jika efek rumah kaca

dan gas rumah kaca tidak segera diatasi. Dengan kata lain, upaya menyelamatkan

bumi tidak hanya menjadi kewajiban negara maju tetapi juga negara-negara

berkembang, tanpa mempertimbangkan untung-rugi dan iri-dengki, seperti

Amerika Serikat.

Daftar Bacaan

Majalah GATRA Edisi November 2007

Harian Umum Kompas, tanggal 10, 11, 12, 13 dan 15 Desember 2007

NASA: Global Warming to Cause More Severe Tornadoes, Storms, Fox News, August 31, 2007

http//www.wikipedia.co.id

http//www.google.com