Glaukoma Sekunder
-
Upload
agung-bahtiar -
Category
Documents
-
view
574 -
download
48
Transcript of Glaukoma Sekunder
BAB I
PENDAHULUAN
Glaukoma adalah suatu kelainan yang berhubungan dengan tekanan
intraokular yang disertai dengan kerusakan pada saraf optik yang terjadi secara
perlahan. Pada sebagian besar penderitanya terjadi akibat peningkatan intra okular
oleh karena adanya sumbatan pada sirkulasi atau drainase aquos. Pada beberapa
pasien, kerusakan bisa disebabkan oleh suplai darah yang tidak adekuat ke serabut
saraf optik vital, kelemahan struktur saraf dan atau adanya masalah pada serabut saraf
itu sendiri.
Pada glaukoma akan terdapat melemahnya fungsi mata dengan terjadinya
cacat lapang pandang, kerusakan anatomi berupa ekskavasi (penggaungan) serta
degenerasi papil saraf optik, yang dapat berakhir dengan kebutaan.
Glaukoma merupakan masalah kesehatan mata yang penting di Indonesia.
Distribusi penyakit glaukoma di Indonesia sebesar 13,4%. Prevalensi kebutaan akibat
penyakit glaukoma sebesar 0,2% (Depkes, 1997). Glaukoma adalah penyebab
kebutaan nomor dua terbesar di Indonesia setelah katarak dan seringkali mengenai
orang berusia lanjut (Siloam Gleneagles Hospital, 2002).
Hingga kini penyebab timbulnya penyakit glaukoma belum diketahui, namun
ada beberapa hal yang ditemukan seperti penyakit ini biasanya mengenai manusia
dewasa di atas usia 40 tahun terutama pada usia lanjut, biasanya dalam keluarga
sedarah (ayah, ibu, adik, kakak dan anak kandung) terdapat penderita glaukoma.
Penyakit ini tidak menular pada istri, tetangga atau orang lain karena penyakit ini
tidak disebabkan oleh kuman atau virus.
Di Amerika Serikat, penyakit ini lebih dominan pada masyarakat berkulit
berwarna (etnis Afrika) daripada yang berkulit putih (4:1), sedangkan di Indonesia
belum ada penelitian mendalam dan menyeluruh mengenai pola penyakit glaukoma.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi dan Fisiologi
Humor akueus atau cairan aquos adalah cairan jernih yang mengisi
bilik mata depan dan belakang. Volumenya sekitar 250 μL dan kecepatan
pembentukannya yang bervariasi diurnal adalah 1,5-2 μL/mnt. Cairan
aquous diproduksi di badan siliar dan berjalan antara lensa dan iris, dan
melalui pupil. Cairan aquous membawa oksigen, glukosa dan beberapa
nutrisi penting lainnya. Cairan ini masuk di bilik anterior dan
mengalirkannya melalui sudut drainase (trabecullar meshwork). Jalinan/jala
trabekula terdiri dari berkas-berkas jaringan kolagen dan elastic yang dibungkus
oleh sel-sel trabekular yang membentuk saringan dengan ukuran pori-pori semakin
mengecil sewaktu mendekati kanalis Schelmm.
Terdapat dua jalur utama keluarnya cairan akuous yaitu :
1. Aliran keluar konvensional menyediakan mayoritas drainase akuous
menuju Trabecullar meshwork. Kontraksi otot siliaris melalui insersinya ke
dalam jalinan trabekula memperbesar ukuran pori-pori di jalinan tersebut
sehingga kecepatan drainase cairan aquos juga meningkat. Aliran cairan aquos
ke dalam kanalis Schelmm tergantung pada permukaan saluran-saluran
transelular siklik di lapisan endotel. Saluran eferan dari kanalis Schelmm
(sekitar 30 saluran pengumpul dan 12 vena akueus).
2. Aliran keluar non konvensional atau aliran keluar uveoskleral, menyediakan
sisa drainase aliran keluar akuous dari mata antara berkas otot siliaris dan lewat
sela-sela sklera. Drainase aquos melawan tahanan jadi tekanan intraokular
dijaga agar tetap lebih tinggi dibanding tekanan udara namun lebih rendah
dibanding tekanan darah.
2
Gambar 2.1. Aliran Aqueos Humor Normal
B. Definisi
Glaukoma berasal dari kata Yunani ”Glaukos” yang berarti hijau kebiruan
yang memberikan kesan warna tersebut pada pupil penderita glaukoma. Glaukoma
merupakan penyebab kebutaan pertama yang irreversibel (Ilyas, 2004). Glaukoma
adalah suatu keadaan pada mata yang ditandai dengan kenaikan tekanan intraokuli,
penurunan visus, penyempitan lapang pandang, dan atropi nervus optikus (Ilyas,
2007).
Glaukoma merupakan kumpulan beberapa penyakit dengan tanda utama
tekanan intraokuler yang tinggi dengan segala akibatnya yaitu, penggaungan dan
atrofi papil saraf optik serta defek lapang pandang yang khas (Wijana, 1993). Di
dalam bola mata (intraokular) terdapat cairan bola mata atau humor akuos yang
setiap saat mengalir dari tempat pembuatannya sampai berakhir disaluran keluar.
Bila dalam pengalirannya mengalami hambatan, maka akan terjadi peningkatan
tekanan bola mata sehingga menganggu saraf penglihatan dan terjadi kerusakan
lapang pandang mulai ringan sampai berat sesuai tinggi dan lamanya tekanan
tersebut mengenai saraf mata (Kanski, 1994 ; Vaughan et al., 2000).
3
C. Epidemiologi
Glaukoma merupakan penyebab kebutaan nomor dua di Indonesia setelah
katarak. Penyakit mata ini biasanya terjadi pada usia 40 tahun ke atas. Etnis Afrika
dibandingkan etnis kaukasus pada glaukoma sudut terbuka primer adalah 4:1.
Glaukoma berpigmen terutama pada etnis Kaukasus. Pada orang Asia lebih sering
dijumpai glaukoma sudut tertutup.
D. Faktor Risiko
Faktor risiko glaukoma meliputi hipermetropi (glaukoma sudut tertutup),
miopi (glaukoma sudut terbuka), usia > 45 tahun, keturunan (riwayat glaukoma
dalam keluarga), dan ras (Asia lebih berisiko). Faktor risiko lainnya adalah
migrain, hipertensi, hipotensi, diabetes melitus, peredaran darah dan regulasinya
(darah yang kurang akan menambah kerusakan), fenomena autoimun, degenerasi
primer sel ganglion, dan pascabedah dengan hifema / infeksi.
Hal yang memperberat resiko glaukoma :
• Tekanan bola mata, makin tinggi makin berat
• Makin tua makin berat, makin bertambah resiko
• Resiko kulit hitam 7 kali dibanding kulit putih
• Hipertensi, risiko 6 kali lebih sering
• Kerja las, risiko 4 kali lebih sering
• Miopia, risiko 2 kali lebih sering
• Diabetes melitus, risiko 2 kali lebih sering.
E. Etiopatogenesis
Penyebab glaukoma tidak diketahui secara pasti, bisa juga karena
trauma/benturan, atau karena penyakit mata lain seperti katarak yang sudah pecah
(katarak hipermatur), uveitis dan pengaruh obat-obatan.
Tiga faktor sehingga terjadinya peningkatan tekanan intraokuler yang
akhirnya menyebabkan terjadinya glaukoma adalah :
1. Produksi berlebih humor akuous pada corpus siliaris
2. Adanya resistensi dan aliran akuous pada sistem trabekular maupun kanal
Schlemm.
3. Peningkatan tekanan vena episklera.
4
Bilik anterior dan bilik posterior mata terisi oleh cairan encer yang disebut
humor aqueus. Dalam keadaan normal, cairan ini dihasilkan di dalam bilik
posterior, melewati pupil masuk ke dalam bilik anterior lalu mengalir dari mata
melalui suatu saluran. Jika aliran cairan ini terganggu (biasanya karena
penyumbatan yang menghalangi keluarnya cairan dari bilik anterior), maka akan
terjadi peningkatan tekanan sehingga merusak serabut saraf mata. Perlu diketahui,
saraf mata berfungsi meneruskan bayangan yang dilihat ke otak. Di otak, bayangan
tersebut akan bergabung di pusat penglihatan dan membentuk suatu benda (vision).
Peningkatan tekanan intraokuler akan mendorong perbatasan antara saraf optikus
dan retina di bagian belakang mata. Akibatnya pasokan darah ke saraf optikus
berkurang sehingga sel-sel sarafnya mati. Karena saraf optikus mengalami
kemunduran, maka akan terbentuk bintik buta pada lapang pandang mata atau
menimbulkan skotoma (kehilangan lapangan pandang). Bila seluruh serabut saraf
rusak dan tidak diobati, glaukoma pada akhirnya akan menimbulkan kebutaan
total.Yang pertama terkena adalah lapang pandang tepi, lalu diikuti oleh lapang
pandang sentral. Pada penderita glaukoma, yang terjadi adalah kerusakan serabut
saraf mata sehingga menyebabkan blind spot (daerah tidak melihat/titik buta).
Faktor-faktor penyebab penggaungan dan degenerasi papil saraf optik :
1. Gangguan pendarahan pada papil yang disebabkan oleh peninggian tekanan
intraokuler.
2. Tekanan intraokuler yang tinggi secara mekanik menekan papil saraf optik yang
merupakan tempat dengan daya tahan paling lemah pada bola mata.
3. Penggaungan papil yang tidak simetris antara mata kanan dan mata kiri.
Gambar 2.2. Kerusakan Saraf Optikus pada Glaukoma
5
F. Klasifikasi
Klasifikasi Vaughan untuk glaukoma adalah sebagai berikut:
1. Glaukoma primer
a. Glaukoma sudut terbuka (simpleks)
Penyebab glaukoma ini belum pasti , mula timbulnya gejala simpleks ini
agak lambat yang kadang tidak disadari oleh penderita sampai akhirnya
berlanjut dengan kebutaan. Umumnya ditemukan pada pasien usia lebih dari
40 tahun. Gambaran patologik utama pada glaukoma sudut terbuka adalah
proses degeneratif di jalinan trabekular, termasuk pengendapan bahan
ekstrasel di dalam jalinan dan di bawah lapisan endotel kanalis Schelmm.
Hal ini berbeda dari proses penuaan normal. Akibatnya adalah penurunan
drainase cairan aquos yang menyebabkan peningkatan tekanan intraokular.
b. Glaukoma sudut tertutup, terdiri atas :
Akut
Glaukoma sudut tertutup akut primer terjadi apabila terbentuk iris bombe
yang menyebabkan sumbatan sudut bilik mata depan (BMD) oleh iris
perifer. Hal ini menyumbat aliran cairan aquos dan tekanan intraokular
meningkat dengan cepat. Glaukoma sudut tertutup terjadi pada mata yang
sudah mengalami penyempitan anatomik BMD.
Sub akut
Pada glaukoma sudut tertutup sub akut episode peningkatan TIO
berlangsung singkat dan rekuren. Episode penutupan sudut membaik
secara spontan, tetapi terjadi akumulasi kerusakan pada sudut BMD
berupa pembentukan sinekia anterior perifer.
Kronik
Sejumlah kecil pasien dengan predisposisi penutupan BMD tidak pernah
mengalami episode peningkatan akut TIO tetapi mengalami sinekia
anterior perifer yang semakin meluas disertai peningkatan bertahap dari
TIO.
2. Glaukoma kongenital : primer atau infantile dan disertai kelainan kongenital
lainnya.
6
3. Glaukoma sekunder : perubahan lensa, kelainan uvea, trauma, bedah, rubeosis,
steroid dan lainnya.
Glaukoma sekunder akibat perubahan lensa (lens-induced glaucoma), dapat
dibagi:
a. Lens-induced glaucoma (open angle): glaukoma fakolitik, lens particle
glaucoma, glaukoma fakoanafilaksis.
b. Lens-induced glaucoma angle-closure: glaukoma pakomorfik, lensa ektopik.
4. Glaukoma absolut
Glaukoma absolut merupakan stadium akhir glaukoma (sempit/terbuka) dimana
sudah terjadi kebutaan total akibat tekanan bola mata memberikan gangguan
fungsi lanjut. Pada glaukoma absolute terlihat kornea keruh, bilik mata dangkal,
papil atrofi dengan ekskavasi glaukomatosa, mata keras seperti batu dengan rasa
sakit.
Gambar 2.3. Klasifikasi Glaukoma
7
Dari pembagian diatas dapat dikenal glaukoma dalam bentuk - bentuk :
1. Glaukoma Sudut Tertutup
Gambar 2.4. Glaukoma Sudut Tertutup
Glaukoma sudut tertutup terjadi jika saluran tempat mengalirnya humor
aqueus terhalang oleh iris. Setiap hal yang menyebabkan pelebaran pupil
(misalnya cahaya redup, tetes mata pelebar pupil yang digunakan untuk
pemeriksaan mata atau obat tertentu) bisa menyebabkan penyumbatan aliran
cairan karena terhalang oleh iris. Iris bisa menggeser ke depan dan secara tiba-
tiba menutup saluran humor aqueus sehingga terjadi peningkatan tekanan di
dalam mata secara mendadak. Serangan bisa dipicu oleh pemakaian tetes mata
yang melebarkan pupil atau bisa juga timbul tanpa adanya pemicu. Glaukoma
akut lebih sering terjadi pada malam hari karena pupil secara alami akan
melebar di bawah cahaya yang redup. Episode akut dari glaukoma sudut
tertutup menyebabkan :
- penurunan fungsi penglihatan yang ringan
- terbentuknya lingkaran berwarna di sekeliling cahaya
- nyeri pada mata dan kepala.
Gejala tersebut berlangsung hanya beberapa jam sebelum terjadinya
serangan lebih lanjut. Serangan lanjutan menyebabkan hilangnya fungsi
penglihatan secara mendadak dan nyeri mata yang berdenyut. Penderita juga
mengalami mual dan muntah. Kelopak mata membengkak, mata berair dan
merah. Pupil melebar dan tidak mengecil jika diberi sinar yang terang. Sebagian
8
besar gejala akan menghilang setelah pengobatan, tetapi serangan tersebut bisa
berulang. Setiap serangan susulan akan semakin mengurangi lapang pandang
penderita.
2. Glaukoma Sudut Terbuka
Gambar 2.5. Glaukoma Sudut Terbuka
Pada glaukoma sudut terbuka, saluran tempat mengalirnya humor
aqueus terbuka, tetapi cairan dari bilik anterior mengalir terlalu lambat. Secara
bertahap tekanan akan meningkat (hampir selalu pada kedua mata) dan
menyebabkan kerusakan saraf optikus serta penurunan fungsi penglihatan yang
progresif. Hilangnya fungsi penglihatan dimulai pada lapang pandang perifer
dan jika tidak diobati pada akhirnya akan menjalar ke seluruh bagian lapang
pandang, menyebabkan kebutaan. Glaukoma sudut terbuka sering terjadi setelah
usia 35 tahun, tetapi kadang terjadi pada anak-anak. Penyakit ini cenderung
diturunkan dan paling sering ditemukan pada penderita diabetes atau miopia.
Glaukoma sudut terbuka lebih sering terjadi dan biasanya penyakit ini lebih
berat jika diderita oleh orang kulit hitam. Pada awalnya, peningkatan tekanan di
dalam mata tidak menimbulkan gejala. Lama-lama timbul gejala berupa:
- penyempitan lapang pandang tepi
- sakit kepala ringan
- gangguan penglihatan yang tidak jelas (misalnya melihat lingkaran di
sekeliling cahaya lampu atau sulit beradaptasi pada kegelapan).
9
Pada akhirnya akan terjadi penyempitan lapang pandang yang
menyebabkan penderita sulit melihat benda-benda yang terletak di sisi lain
ketika penderita melihat lurus ke depan (disebut penglihatan terowongan).
Glaukoma sudut terbuka mungkin baru menimbulkan gejala setelah terjadinya
kerusakan yang tidak dapat diperbaiki.
G. Manifestasi Klinis
1. Gejala Subjektif
Gejala klinik pada pasien glaukoma bervariasi tergantung pada jenis glaukoma
yang diderita, gejala-gejala tersebut antara lain :
a. Glaukoma sudut terbuka, berupa defek lapangan pandang secara bertahap
dan ada beberapa pasien kadang tanpa keluhan sampai mereka tiba-tiba
kehilangan penglihatan
b. Glaukoma sudut sempit berupa defek lapangan pandang, mual dan muntah,
tidak ada refleks pupil, mata merah, nyeri pada mata dan wajah, serta bisa
terjadi edema pada wajah.
c. Glaukoma kongenital, berupa perkabutan di daerah frontal dari mata,
pembesaran pada satu atau kedua mata, mata merah, fotophobia serta
lakrimasi
2. Gejala Objektif
a. Peninggian tekanan intraokuler
b. Defek lapangan pandang
c. Iskemik papil saraf optik
10
Gambar 2.6. Penglihatan pada Penderita Glaukoma
H. Diagnosis
Untuk dapat menegakkan diagnosis glaukoma tentu saja diperlukan
evaluasi secara menyeluruh melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik serta
pemeriksaan penunjang dengan memberikan perhatian yang lebih pada
berbagai faktor resiko yang mengarahkan pada diagnosis serta terapi yang
diberikan.
Gambar 2.7. Gambaran Mata Penderita Glaukoma
11
Mata normal Glaukoma Glaukoma tahap lanjut
1. Anamnesis
Anamnesis pada pasien dengan suspek glaukoma meliputi
riwayat penglihatan, riwayat keluarga, dan riwayat penyakit sistemik.
Selain itu juga mencakup penentuan akibat pada fungsi visual dalam
kehidupan dan aktivitas sehari-hari, adanya riwayat operasi mata,
penggunaan obat-obat sistemik dan topikal, intoleransi pada obat-obat
yang diberikan.
2. Pemeriksaan Oftalmologi
a. Tekanan Intra Okular
Hasil dari percobaan acak terkontrol memperlihatkan turunnya
TIO menghambat progresifitas kerusakan saraf optik glaukomatous.
TIO diukur pada masing-masing mata dengan menggunakan metode
aplanasi kontak seperti tonometer Goldman sebelum gonioskopi atau
dilatasi pupil. Waktu pengukuran ditulis karena adanya variasi
diurnal. Penanganan akan lebih bermanfaat dengan nienuctal-iLli
fluktuasi TIO durnal, baik dalam hari yang sama atau hari yang berbeda,
yang mungkin mengindikasikan kerusakan disk yang mungkin lebih besar
daripada yang diperkirakan dengan pengukuran TIO hanya satu kali.
Gambar 2.8. Uji Tonometer Aplanasi
12
b. Gonioskopi
Diagnosis POAG membutukan evaluasi yang teliti pada sudut bilik
depan untuk menyingkirkan sudut tertutup atau penyebab sekunder dari
peningkatan TIO, seperti reksesi sudut. dispersi pigmen, sinekia
anterior perifer neovaskularisasi sudLit, dan presipitat trabekula.
Gambar 2.9. Pemeriksaan Gonioskopi
c. Penilaian Diskus Optikus
Cupping merupakan ciri normal lempeng optik. Adanya
perubahan glaukomataus dilihat dengan analisa disk optik
lapisan serat optik retina yang mengalami perubahan dini yang dapat
dideteksi dengan perimetri otomatis standar. Selain itu dapat juga dengan
menggunakan oftalmoskop konfokal serta dengan merekam ketebalan
lapisan serabut saraf di sekitar lempeng optik.
d. Lapangan pandang
Perimetri statis otomatis merupakan teknik pilihan untuk
mengevaluasi lapangan pandang. Tes permulaan statis dan kinetik
kombinasi manual merupakan alternatif yang dapat dilakukan jika
perimetri atomatis tidak tersedia atau pasien tidak mau
menggunakannya. Penyebab hilangnya lapangan pandang akibat
selain neuropati saraf glaukomatous sebaiknya dicari saat anamnesis dan
pemeriksaan fisis. Tes lapangan pandang dengan perimetri otomatis
gelombang pendek dan teknologi penggandaan frekuensi dapat
13
mendeteksi lebih dini dibanding perimetri konvensional. Sangat penting
metode pemeriksaan yang sama saat pemeriksaan lapangan pandang.
Gambar 2.10. Uji Perimetri
Gambar 2.11. Hasil Pemeriksaan Perimetri Mata Normal dan Glaukoma
e. Segmen anterior
Pemeriksaan dengan biomikroskopik slit lamp pada segmen anterior
untuk melihat adanya kelainan yang dihubungkan dengan sudut sempit,
patologi kornea atau mekanisme sekunder pada peningkatan TIO
sepert i pseudoeksfoliasi - dispersi primer, neovaskularisasi sudut
dan iris, atau inflamasi.
f. Funduskopi
Pemeriksaan fundus untuk melihat struktur nervus saraf optik
dengan dilatasi pupil, bertujuan untuk mencari abnormalitas yang
menvebabkan defek lapangan pandang.
14
Gambar 2.12. Saraf Optik pada Orang Normal dan Penderita Glaukoma
I. Penatalaksanaan
Tujuan terapi glaukoma adalah untuk memperlambat
progresivitas kerusakan saraf. Karena kerusakan saraf dari glaukoma
ireversibel, pemberian medikasi pada glaukoma tidak akan mengembalikan
penglihatan pada keadaan normal. Glaukoma diterapi dengan menurunkan
tekanan intra okular. Tercapainya tujuan terapi tergantung pada mata
setiap individu dan status kerusakan saraf optik.
Terapi diharapkan menuju stabilisasi saraf optik dan lapangan
pandang tiap individu. Terapi glaukoma paling banyak menggunakan obat
tetes mata (obat topikal). Obat oral juga digunakan untuk menurunkan TIO.
1. Terapi Medikamentosa
Sebagian besar terapi glaukoma dibuat untuk menurunkan dan atau
mengontrol TIO yang dapat merusak saraf optik. Tetes mata merupakan pilihan
pertama sebelum pembedahan dan efektif untuk mengontrol TIO untuk
mencegah kerusakan pada mata. Adapun medikamentosa untuk glaukoma
adalah :
a. Supresi pembentukan cairan aquos
Penghambat adrenergik beta, obat ini bekerja dengan cara menurunkan
produksi cairan aquos dan bisa digunakan sendiri atau dikombinasikan
dengan tetes mata lainnya. Kontra indikasi utama adalah pada penyakit
obstruksi jalan nafas terutama asma.
Inhibitor karbonat anhidrase, digunakan untuk glaukoma kronik apanila
terapi topikal tidak memberikan hasil memuaskan dan pada glaukoma
akut di mana TIO yang sangat tinggi.
15
b. Fasilitasi aliran keluar cairan aquos
Obat parasimpatomimetik, meningkatkan aliran keluar cairan aquos
dengan bekerja pada jalinan trabekular melalui kontraksi otot siliaris. Obat
piihan adalah pilokarpin.
Epinefrin 0,25-2%.
c. Penurunan volume korpus vitreum
Obat-obat hiperosmotik menyebabkan darah menjadi hipertonik sehingga
air tertarik keluar dari korpus vitreum dan terjadi penciutan korpus
vitreum. Selain itu, terjadi juga penurunan produksi cairan aquos.
Penurunan volume korpus viterum bermanfaat dalam pengobatan
glaukoma sudut tertutup akut dan glaukoma maligna yang menyebabkan
pergeseran lensa kristalina ke depan (disebabkan oleh perubahan volume
korpus viteum atau koroid) dan menyebabkan penutupan sudut (glaucoma
sudut tertutup sekunder).
Gliserin 1 mL/kg BB dalam suatu larutan 50% dingin dicampur dengan
sari lemon, adalah obat yang paling sering digunakan.
d. Miotik, midriatik dan siklopegik
Konstriksi pupil sangat penting dalam penatalaksanaan glaukoma sudut
tertutup akut primer dan pendesakan sudut pada iris plateau. Dilatasi pupil
penting dalam pengobatan penutupan sudut akibat iris bombe karena sinekia
posterior. Apabila penutupan sudut disebabkan oleh pergeseran lensa ke
anterior, siklopegik (siklopentolat dan atropine) dapat digunakan untuk
melemaskan otot siliaris sehingga mengencangkan apparatus zonularis dalam
usaha untuk menarik lensa ke belakang.
Tabel 2.1. Obat-obatan Topikal & Sistemik yang Digunakan pada Glaukoma
16
Obat Topikal Kerja Efek Samping
Penyekat beta (timolol,
karteolol, levobunolol,
selektif-betaksolol)
Menurunkan sekresi Eksaserbasi asma & penyakit
saluran napas kronik
Hipotensi, bradikardia
Parasimpatomimetik
(pilokarpin)
Meningkatkan aliran
keluar
Penglihatan kabur
Sakit kepala karena spasme
siliar
Simpatomimetik
(adrenalin, dipivefrin)
Meningkatkan aliran
keluar
Menurunkan sekresi
Mata merah
Sakit kepala
Agonis alfa-2
(apraklonidin,
brimonidin)
Meningkatkan aliran
keluar melalui jalur
uveosklera
Menurunkan sekresi
Mata merah
Lelah, rasa kantuk
Penghambat anhidrase
karbonat (dorzolamid,
brinzolamid)
Menurunkan sekresi Rasa sakit
Rasa tidak enak
Sakit kepala
Analog prostaglandin
(latanopros, travapros,
bimatropos, unotropos)
Meningkatkan aliran
keluar melalui jalur
uveosklera
Meningkatkan pigmentasi iris
& kulit periokular
Bulu mata bertambah panjang
& gelap, hiperemi
konjungtiva
Obat Sistemik Kerja Efek Samping
Penghambat anhidrase
karbonat
(asetazolamid)
Menurunkan sekresi Kesemutan pada ekstremitas
Depresi, rasa kantuk
Batu ginjal
Sindrom stevens-johnson
2. Terapi Bedah
a. Bedah drainase glaukoma
Tindakan bedah untuk membuat jalan pintas dari mekanisme drainase
normal, sehingga terbentuk akses langsung humor akueus dari kamera
anterior ke jaringan subkonjungtiva atau orbita, dapat dibuat dengan
17
trabekulotomi atau insersi selang drainase. Trabekulotomi telah mengganti
tindakan-tindakan drainase full thicknes. Trabekulektomi adalah operasi
konvensional dimana katup setengah tebal dibuat pada dinding sklera dan
sebuah jendela pembuka dibuat di bawah katup tersebut untuk bagian
trabecular meshwork. Katup sclera ini kemudian dijahit tidak terlalu rapat.
Dengan demikian cairan aquos dapat dialirkan keluar melalui jalur ini
sehingga tekanan di dalam bola mata dapat diturunkan dan terjadi
pembentukan gelembung cairan pada permukaan mata.
b. Iridektomi dan iridotomi perifer
Sumbatan pupil paling baik diatasi dengan membentuk komunikasi langsung
antara kamera anterior dan posterior sehingga beda tekanan antara keduanya
menghilang. Hal ini dapat dicapai dengan laser neodinium: YAG atau argon
(iridektomi perifer atau dengan tindakan bedah iridektomi perifer. Walaupun
lebih mudah dilakukan, terapi laser memerlukan kornea yang relatif jernih
dan dapat meningkatkan tekanan intra ocular yang cukup besar, terutama
apabila terdapat penutupan sudut akibat sinekia luas.
c. Trabekuloplasti laser
Penggunaan laser (biasanya argon) untuk menimbulkan luka bakar melalui
suatu geniole nsake jalinan trabekular dapat mempermudah aliran keluar
humous akueus karena efek luka bakar tersebut pada jalinan trabekular dan
kanalis sclemm serta terjadinya proses-proses seluler yang meningkatkan
fungsi jalinan trabekular.
J. Komplikasi
Jika pengobatan terlambat akan cepat berlanjut pada tahap akhir glukoma
yaitu gloukoma absolut.
K. Prognosis
Diagnosis yang lebih awal dan penanganan dini pada glaukoma dapat
memberikan hasil yang memuaskan.
BAB III
PENYAJIAN KASUS
18
I. ANAMNESIS
Identitas
Nama : Tn. M
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 48 th
Alamat : Desa Nanga Kantuk Kec. Empangan, Kab. Kapuas Hulu
Pekerjaan : Petani
Agama : Katolik
Nomor RM : 518244
Tanggal Masuk RS : 4 Maret 2009
Anamnesis dilakukan pada tanggal 4 Maret 2009 pukul 09.00 WIB
Keluhan Utama
Mata merah dan penglihatan menurun pada mata kiri.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan mata merah dan penglihatan kabur (menurun)
sebelah kiri sudah sejak ± 5 bulan yang lalu. Keluhan disertai dengan lapang
pandang penglihatan yang semakin menyempit (hanya bisa melihat bagian tepi),
sering nyeri kepala ringan hingga ke dahi sebelah kiri, mata kiri terasa berat atau
terasa penuh, lelah dan sering berair. Kadang-kadang pasien juga mengeluhkan silau
dan melihat pelangi di sekitar lampu. Keluhan mata bengkak, kotoran mata
berlebihan, mata terasa nyeri dan gatal disangkal. Mual dan muntah juga disangkal.
Sebelum timbul keluhan, 5 bulan yang lalu mata kiri pasien terbentur
sepotong kayu yang terbang ketika pasien sedang menebas. Saat itu, pasien
merasakan mata kirinya sakit dan berdarah. Pasien dibawa ke Puskesmas setempat
untuk diberikan tindakan segera. Kemudian dirujuk ke Rumah Sakit.
Pasien tidak pernah menderita keluhan serupa sebelumnya. Tidak ada
riwayat operasi mata sebelumnya. Pasien tidak menggunakan kacamata. Riwayat
keluarga dengan penyakit yang sama disangkal.
II. PEMERIKSAAN FISIK
Dilakukan pada tanggal 4 Maret 2009 pukul 09.30 WIB
19
Keadaan umum : sedang
Status Oftalmologis
OD OS
Visus :
– OD : 6/6
– OS : 1/300, proyeksi buruk
PD : 63/60
Tekanan intra okuler :
– OD : 11 mmHg
– OS : 51 mmHg
Posisi bola mata : ortho
Pergerakan bola mata :
OD OS
20
Tes Isihara : tidak dilakukan
Tes Konfrontasi :
OD OS
III. RESUME
Seorang laki-laki, umur 59 th datang berobat ke RS dengan keluhan mata
merah dan penglihatan menurun pada mata kiri. Dialami sejak ± 5 bulan yang lalu.
Lapang pandang menyempit (+), nyeri kepala (+), mata kiri terasa berat dan berair,
silau (+), halo (+). Riwayat trauma (+) : 5 bulan yang lalu mata kiri pasien terbentur
sepotong kayu yang terbang ketika pasien sedang menebas.
Pemeriksaan oftalmologis OS : visus 1/300, proyeksi buruk; TIO 51 mmHg;
konjungtiva hiperemis (+), injeksi (+); edema kornea (+), BMD kesan dangkal; pupil
mid-dilatasi, refleks cahaya (-); lensa afakik; papil batas tegas, CDR 0,8; tes
konfrontasi didapatkan penyempitan lapang pandang.
21
IV. DIAGNOSIS
Diagnosis kerja
- OD : tenang
- OS : afakia + glaukoma akut sekunder et causa dislokasi lensa
V. USULAN PEMERIKSAAN PENUNJANG
- Pemeriksaan gonioskopi
- Pemeriksaan perimetri
VI. TATALAKSANA
Medikamentosa :
- Timol 0,5 % 2 x 1 gtt OS (timolol maleat )
- Glaukon 3 x 250 mg (acetazolamide)
- Inmatrol 6 x 1 gtt OS (dexamethasone, polymyxin B sulfat, neomycin)
- KSR 3 x 1
- Methylprednisolone 3 x 4
Non Medikamentosa :
- Rencana pembedahan ekstraksi lensa dengan vitrektomi
VII. PROGNOSIS
Ad vitam : bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
Ad sanactionam : bonam
22
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien ini didiagnosis OS : afakia + glaukoma akut sekunder et causa
dislokasi lensa berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan oftalmologi. Dari anamnesis
didapatkan gejala-gejala yang mendukung diagnosis yaitu mata merah dan
penglihatan menurun pada mata kiri sejak ± 5 bulan yang lalu, lapang pandang
menyempit (+) dimana pasien hanya bisa melihat bagian temporal, nyeri kepala (+),
mata kiri terasa berat/mudah lelah dan berair, silau (+), halo (+). Pasien memiliki
riwayat trauma terbentur sepotong kayu yang terbang pada mata kiri sekitar 5 bulan
yang lalu ketika pasien sedang menebas. Trauma tumpul inilah yang dicurigai
merupakan penyebab terjadinya dislokasi lensa. Dari pemeriksaan oftalmologi OS
didapatkan : visus 1/300, proyeksi buruk; TIO 51 mmHg; konjungtiva hiperemis (+),
injeksi (+); edema kornea (+), BMD kesan dangkal; pupil mid-dilatasi, refleks cahaya
(-); lensa afakik; pemeriksaan fundus : papil berbatas tegas, bulat, tetapi CDR 0,8; tes
konfrontasi : penyempitan lapang pandang.
Suatu keadaan yang disebut dengan afakia adalah apabila lensa sudah
dikeluarkan pada ekstraksi lensa, atau masa lensa sudah habis diabsorbsi seperti pada
di sisi lensa atau ekstraksi lensa atau ekstraksi linear. Salah satu keadaan yang bisa
mengakibatkan afakia adalah dislokasi lensa. Akibat tidak terdapatnya lensa di dalam
bilik mata belakang, maka iris tidak ada sandaran ke belakang sehingga terjadi iris
tremulans dimana iris bergoyang pada setiap pergerakan mata. Bilik mata depan
menjadi lebih dalam.
Glaukoma merupakan kumpulan beberapa penyakit dengan tanda utama mata
dimana terjadi peningkatan tekanan intraokuler yang tinggi dengan segala akibatnya
yaitu penggaungan dan atrofi papil serta defek lapangan pandang. Bagian mata yang
penting pada glaukoma adalah sudut iridokornea / filtrasi. Bagaimana cara mendeteksi
timbulnya penyakit ini merupakan suatu hal yang sangat penting dalam dunia
kesehatan. Glaukoma juga dapat menyerang usia muda, dan rata-rata didapatkan
peningkatan tekanan intraokuler setelah pemeriksaan mata diIakukan.
Glaukoma akibat dislokasi lensa dapat ditemukan dalam beberapa bentuk
yaitu glaukoma pada subluksasi ke depan, subluksasi ke belakang, luksasi ke depan
(anterior), dan luksasi ke belakang (posterior). Bila zonula ziin putus sebagian maka
lensa akan mengalami sublukasi, sedangkan bila seluruh zonula Ziin putus maka lensa
23
akan mengalami luksasi. Glaukoma dapat ditemukan pada kelainan kongenital,
trauma bedah atau kecelakaan bersamaan dengan luksasi lensa anterior, posterior, dan
subluksasi. Pada keadaan ini sebaiknya dibedakan kausa dari glaukoma yang terjadi
untuk menentukan pengobatan atau rencana pembedahan. Trauma dapat
mengakibatkan kerusakan zonula Ziin yang menyokong lensa untuk berada di
tempatnya.
Berbagai bentuk dislokasi lensa memiliki mekanisme tersendiri untuk
menyebabkan terjadinya glaukoma. Pada subluksasi ke depan, terjadi hambatan pupil
sehingga aliran aqueous dari bilik mata belakang ke bilik mata depan sehingga
menyebabkan penutupan sudut bilik mata depan dan mata depan. Subluksasi ini juga
dapat mendorong iris ke depan sehingga menyebabkan penutupan sudut bilik mata
depan dan perlengketan di sudut tersebut yang kedua-duanya dapat menyebabkan
glaukoma. Pada subluksasi ke belakang, terjadi rangsangan yang menahun pada badan
siliar akibat tarikan-tarikan zonula Zin atau geseran lensa pada badan siliar.
Rangsangan ini menyebabkan produksi aqueous yang berlebihan yang dapat
menimbulkan glaukoma.
Pada luksasi ke depan, lensa terletak langsung dalam bilik mata depan dan ini
menutup jalur keluar aqueous sehingga terjadi glaukoma. Sementara pada luksasi ke
belakang, lensa jatuh ke dalam badan kaca sehingga terjadi blokade pupil oleh badan
kaca yang terdorong ke depan dan terjepit oleh pupil.
Pada pasien ini terapi utama yang diberikan bertujuan untuk menurunkan
tekanan bola mata yaitu dengan timolol maleat 0,5% yang merupakan golongan beta-
adrenergik bloker yang bekerja untuk mensupresi pembentukan cairan aquos. Obat ini
dapat digunakan tersendiri ataupun dikombinasi dengan obat lain. Timolol merupakan
golongan β-adrenergik bloker non-selektif yang mampu menurunkan tekanan
intraokuler (TIO) sebesar 20-30%. Obat ini diindikasikan untuk glaukoma primer dan
sekunder sudut terbuka terutama disertai peradangan glaukoma, glaukoma primer dan
sekunder sudut tertutup akut dan kronik, hipertensi okuler, glaukoma kongenital.
Dikontraindikasikan terutama pada pasien asma dan penyakit saluran nafas, penyakit
gangguan konduksi jantung, gagal jantung, dan penyakit jantung lainnya. Efek
samping yang dapat ditimbulkan : bradikardi, blok-jantung, bronkospasme, alergi
(dermatitis), depresi, halusinasi, sakit kepala, letargi, iritasi okuler, anestesi kornea,
keratitis.
24
Demikian pula dengan glaukon yang merupakan golongan karbonik anhidrase
inhibitor yang juga bekerja menurunkan produksi cairan aquos. Memiliki cara kerja
yang dapat menurunkan formasi bikarbonat pada epitel korpus siliaris (formasi
pengikatan Na+ dan transpor cairan) sehingga menurunkan produksi humor aquous.
Indikasi seperti glaukoma kronik yang dengan terapi lokal tidak memberi hasil
memuaskan, glaukoma akut dengan TIO sangat tinggi dan harus segera dikontrol.
Obat ini mampu menurunkan produksi humor akuous sebesar 40-60%. Efek samping
yang ditimbulkan dapat berupa asidosis metabolik, batu ginjal, hipokalemi, parestesi,
gangguan saluran cerna, sindrom Steven-Johnson. Karena glaukon merupakan
diuretik, jadi perlu diberikan elektrolit berupa KSR.
Obat tetes mata inmatrol (komposisi : dexamethasone, polymyxin B sulfat,
dan neomycin) dan steroid sistemik berupa methylprednisolone diberikan untuk
mengurangi reaksi peradangan pada mata kiri.
Jadi, terapi medikamentosa yang diberikan terhadap penderita glaukoma
memiliki dua hal penting yang diutamakan yaitu kapan kita mengobatinya dan
bagaimana mengobatinya. Dan resiko-resiko ataupun efek samping yang akan terjadi
harus selalu dipikirkan supaya dapat diantisipasi dengan baik.
Jika tekanan intraokulernya terkontrol maka dapat direncanakan terapi
selanjutnya yaitu ekstraksi lensa dengan vitrektomi. Pada lensa yang luksasi ke depan
harus dikeluarkan secepatnya. Pada lensa yang luksasi ke belakang harus dikeluarkan
dengan vitrektomi walaupun agak sukar. Pengeluaran lensa pada luksasi posterior
berbahaya. Sementara pada subluksasi lensa, pengeluaran lensa dilakukan bila
mengganggu tajam penglihatan dan telah terjadi glaukoma fakolitik. Pengeluaran
lensa biasanya memberikan hasil yang tidak memuaskan sehingga glaukoma masih
memerlukan pengobatan selanjutnya.
25
BAB V
KESIMPULAN
Glaukoma adalah suatu keadaan pada mata yang ditandai dengan kenaikan
tekanan intraokuli, penurunan visus, penyempitan lapang pandang, dan atropi nervus
optikus. Penyebab glaukoma tidak diketahui secara pasti, bisa juga karena
trauma/benturan, atau karena penyakit mata lain seperti katarak yang sudah pecah
(katarak hipermatur), uveitis dan pengaruh obat-obatan. Glaukoma diterapi dengan
menurunkan tekanan intra okular. Terapi diharapkan menuju stabilisasi
saraf optik dan lapangan pandang tiap individu. Terapi glaukoma paling
banyak menggunakan obat tetes mata (obat topikal). Obat oral juga digunakan untuk
menurunkan TIO. Karena kerusakan saraf dari glaukoma ireversibel, pemberian
medikasi pada glaukoma tidak akan mengembalikan penglihatan pada keadaan
normal.
Pada pasien ini, masalah yang dialaminya berupa mata merah dan penglihatan
menurun pada mata kiri sejak ± 5 bulan yang lalu. Didiagnosis afakia + glaukoma
akut sekunder et causa dislokasi lensa. Pasien perlu mendapatkan terapi
medikamentosa berupa : timol (timolol maleat) 0,5 % 2 x 1 gtt OS, glaukon
(acetazolamide) 3 x 250 mg, inmatrol (komposisi : dexamethasone, polymyxin B
sulfat, dan neomycin) 2 x 1 gtt OS, KSR 3 x1, dan methylprednisolone 3 x 4. Jika
tekanan intraokulernya terkontrol maka dapat direncanakan terapi selanjutnya yaitu
pembedahan untuk mengeluarkan lensa.
26
DAFTAR PUSTAKA
1. Adam et al. Glaucoma. Last update July 2005. Available from:
http://www.urac.org/adams/glaucoma.html
2. Anonyma. Glaucoma : Introduction to Glaucoma & Medical Management of
Glaucoma. Section 10. USA. American Academy of Ophtalmology. 2002.
3. Anonyma. Drug Treatment for Glaucoma. Last update July 2005. Available from:
http:// www.agingeye.com/glaukoma/drug.html
4. Friedman, NJ. Review of Ophthalmology : Pharmacology. 1st Edition.
Philadelphia. Elsevier Saunders. 2003.
5. Ilyas, S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Jakarta. Balai Penerbit FKUI. 2007.
6. Ilyas, S. Penuntun Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Jakarta. Balai Penerbit FKUI.
2008.
7. Kanski, JJ. Clinical Ophthalmology : A Systematic Approach. 5th Edition. USA.
McGraw-Hill. 2003.
8. Langston, PD. Manual of Ocular Diagnosis and Therapy: Glaucoma. 5th Edition.
Philadelphia. Lippincott Williams & Wilkins. 2003.
9. Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia. Ilmu Penyakit Mata untuk Dokter
Umum dan Mahasiswa Kedokteran. Edisi 2. Jakarta. Sagung Seto. 2002.
10. Vaughan, GD. & Riordan-Eva, P. Glaukoma dalam Oftalmologi Umum. Edisi 14.
Alih Bahasa : Jan Tambajong & Brahm U. Pendit. Jakarta. Widya Medika. 2001.
27