GIZI_KEP_PAPER(SOFTCOPY) KELOMPOK BARIS KE3.pdf
-
Upload
dhia-ghoniyyah -
Category
Documents
-
view
64 -
download
0
Transcript of GIZI_KEP_PAPER(SOFTCOPY) KELOMPOK BARIS KE3.pdf
TUGAS GIZI KESMAS
KEKURANGAN ENERGI DAN PROTEIN
DISUSUN OLEH :
KELAS D-2013
RIA YUNIATI 25010113140242
STEFFANY C.A 25010113140243
DHIA GHONIYYAH 25010113130255
DINA HAPPY Y. 25010113130256
RIFHA ASTI H. 25010113140259
MIRANTI 25010113140270
KARINTA A.S 25010113140272
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2014
ZIYAAN ADZAHIY B. 25010113140277
SABRILLA PUTRI G. 25010113140278
RONNA ATIKA T. 25010113130280
HAIDA MEYTANIA 25010113140281
ANNISA RETNO A. 25010113140291
NURUL ANGGRAENI 25010113140295
NISA ZAKIYAH 25010113140302
YUNIAR WIDYA 25010113130304
DAFTAR ISI
COVER
DAFTAR ISI................................................................................... ..... ii
PEMBAHASAN
I. Etiologi KEP........................................................................ 1
II. Dampak KEP...................................................................... 4
III. Antropometri KEP.............................................................. 6
IV. Klasifikasi Status Gizi KEP................................................. 13
V. Faktor Eksternal KEP.......................................................... 14
VI. Pencegahan KEP................................................................. 20
VII. Penanggulangan KEP.......................................................... 21
VIII. Penanganan KEP................................................................ 21
KESIMPULAN................................................................................ 24
DAFTAR PUSTAKA........................................................................ iii
LAMPIRAN
a. Mind Map Kelompok.......................................................... vi
b. Mind Map Individu............................................................. vii
1
PEMBAHASAN
I. ETIOLOGI KEP
Faktor Internal (Genetik)
Faktor genetik merupakan modal dasar mencapai hasil proses pertumbuhan.
Melalui genetik yang berada yang berada di dalam sel telur yang telah dibuahi, dapat
ditentukan kualitas dan kuantitas pertumbuhan. Hal ini ditandai dengan intensitas dan
kecepatan pembelahan, derajat sensifitas jaringan terhadap rangsangan, umur pubertas
dan berhentinya pertumbuhan tulang.
Faktor internal (genetik) antara lain termasuk berbagai faktor bawaan yang normal
dan patologis, jenis kelamin, obstetrik dan ras atau suku bangsa. Apabila potensi genetik
ini dapat berinteraksi dalam lingkungan yang baik dan optimal maka akan menghasilkan
pertumbuhan yang optimal pula. Gangguan pertumbuhan pada negara maju lebih sering
diakibatkan oleh faktor genetik ini. Di negara yang sedang berkembang, gangguan
pertumbuhan selain disebabkan oleh faktor genetik juga dipengaruhi oleh lingkungan
yang tidak memungkinkan seseorang tumbuh secara optimal. Kematian anak balita di
negara yang sedang berkembang dipengaruhi oleh kedua faktor ini. (Soetjiningsih,
1998)
Menurut Jellife D.B. (1989) yang dimasukkan dalam faktor internal adalah
genetik, obstetrik, dan seks.
FAKTOR INTERNAL CONTOH
Genetik
Obstetrik
Seks
Individu (keluarga)
Ras/lingkungan intrauterin (ketidak
cukupan plasenta)
BBLR
Lahir kembar
Laki-laki lebih panjang dan lebih berat
2
Gejala Klinis
KEP berdasarkan gejala klinis ada 3 tipe yaitu KEP ringan, sedang dan berat (gizi
buruk). Untuk KEP ringan dan sedang, gejala klinis yang ditemukan hanya anak tampak
kurus. Gejala klinis KEP berat/gizi buruk secara garis besar dapat dibedakan sebagai
marasmus, kwashiorkor dan marasmus-kwashiorkor.
Istilah kwashiorkor pertamakali diperkenalkan oleh Dr. Cecily Williams pada tahun
1933, ketika ia menemukan keadaan ini di Ghana, Afrika. Dimana dalam bahasa Ghana
kwashiorkor artinya penyakit yang diperoleh anak pertama, bila anak kedua sedang
ditunggu kelahirannya.
Kwashiorkor lebh banyak terdapat pada usia dua hingga tiga tahun yang sering
terjadi pada anak yang terlambatmenyapih, sehingga komposisi gizi makanan tidak
seimbang terutama dalam hal protein. Kwashiorkor dapat terjadipada konsumsi energi
yang cukup atau lebih. (Arisman, 2009)
Kwashiorkor dapat ditemukan pada anak-anak yang setelah mendapatkan ASI
dalam jangka waktu lama, kemudian disapih dan langsung diberikan makan seperti
anggota keluarga yang lain. Makanan yang diberikan pada umumnya rendah protein.
Kebiasaan makan yang kurang baik dan diperkuat dengan adanya tabu seperti anak-
anak dilarang makan ikan dan memprioritaskan makanan sumber protein hewani bagi
anggota keluarga laki-laki yang lebih tua dapat menyebabkan terjadinya kwashiorkor.
Selain itu tingkat pendidikan orang tua yang rendah dapat juga mengakibatkan
terjadinya kwashiorkor karena berhubungan dengan tingkat pengetahuan ibu tentang
gizi yang rendah (Depkes, 1999)
Marasmus berasal dari kata Yunani yang berarti wasting merusak. Marasmus
umumnya merupakan penyakit pada bayi (12 bulan pertama), karena terlambat diberi
makanan tambahan atau karena makanan tambahan yang tidak terpelihara
kebersihannya. Hal ini dapat terjadi karena penyapihan mendadak, formula pengganti
ASI terlalu encer dan tidak higienis atau sering terkena infeksi. Marasmus berpengaruh
dalam waku yang panjang terhadap mental dan fisik yang sukar diperbaiki. Marasmus
adalah penyakit kelaparan dan terdapat banyak di antara kelompok sosial ekonomi
3
rendah di sebagian besar negara sedang berkembang dan lebih banyak dari kwashiorkor.
(Almatsier, 2006)
Salah satu sebab yang mengakibatkan terjadinya marasmus adalah kehamilan
berturut-turut dengan jarak kehamilan yang masih terlalu dini. Keadaan perumahan dan
lingkungan yang kurang sehat juga dapat menyebabkan penyajian yang kurang sehat
dan kurang bersih. Demikian juga dengan penyakit infeksi terutama saluran pencernaan.
Pada keadaan lingkungan yang kurang sehat, dapat terjadi infeksi yang berulang
sehingga menyebabkan anak kehilangan cairan tubuh dan zat-zat gizi sehingga
anakmenjadi kurus serta turun berat badannya (Depkes, 1999)
Gejala klinis KEP berat/gizi buruk yang dapat ditemukan:
Kwashiorkor Marasmus Kwashiorkor-Marasmus
Adanya edema diseluruh
tubuh terutama kaki,
tangan atau anggota
badan lain
Wajah membulat dan
sembab
Pandangan mata sayu
Rambut tipis,
kemerahan seperti
rambut jagung
Pembesaran hati
Otot mengecil
Kelainan kulit berupa
bercak merah muda
yang meluas
Diare
Anemia
Tampak sangat kurus
Wajah seperti orang tua
Cengeng
Kulit keriput
Pertu cekung
Tekanan darah, detak
jantung dan pernafasan
berkurang
Campuran dari
beberapa gejala klinik
kwashiorkor dan
marasmus
Edema
Pengecilan otot
Pengurangan lemak
bawah kulit
4
Penyebab Kurang Energi Protein
Faktor-faktor penyebab kurang energi protein dapat dibagi menjadi dua, yaitu :
Primer Sekunder
a. Susunan makanan yang salah
b. Penyediaan makanan yang kurang
baik
c. Kemiskinan
d. Ketidaktahuan tentang nutrisi
e. Kebiasan makan yang salah
a. Gangguan pencernaan (seperti
malabsorbsi, gizi tidak baik,
kelainan struktur saluran)
b. Gangguan psikologis.
(Ngastiyah, 1997)
Kurang Energi Protein (KEP) disebabkan oleh kekurangan makanan sumber energi
secara umum dan kekurangan sumber protein. Penyebab kurang gizi dapat bersifat
primer, yaitu apabila kebutuhan individu yang sehat akan protein, energi, atau
keduanya, tidak dipenuhi oleh makanan yang adekuat, atau sekunder, akibat adanya
penyakit yang dapat menyebabkan asupan kurang optimal, gangguan penyerapan, dan
peningkatan kebutuhan karena terjadi kehilangan zat gizi atau keadaan stres (Alpers,
2006).
II. DAMPAK KEP
Banyak dampak merugikan yang diakibatkan oleh KEP, antara lain yaitu
merosotnya mutu kehidupan, terganggunya pertumbuhan, gangguan perkembangan
mental anak, serta merupakan salah satu penyebab dari angka kematian yang tinggi.
Anak yang menderita KEP apabila tidak segera ditangani sangat berisiko tinggi, dan
dapat berakhir dengan kematian anak.
Hal ini akan menyebabkan meningkatnya kematian bayi yang merupakan salah satu
indikator derajat kesehatan. Dampak serius dari kekurangan gizi adalah timbulnya
kecacatan, tingginya angka kecacatan dan terjadinya percepatan kematian. Dilaporkan
bahwa lebih dari separuh kematian anak di negara berkembang disebabkan oleh KEP.
Anak-anak balita yang menderita KEP ringan mempunyai resiko kematian dua kali
5
lebih tinggi dibandingkan anak normal. Kekurangan gizi diantaranya dapat
menyebabkan merosotnya mutu kehidupan, terganggunya pertumbuhan, gangguan
perkembangan mental anak, serta merupakan salah satu sebab dari angka kematian yang
tinggi pada anak-anak.
Anak-anak dengan malnutrisi dini mempunyai peluang lebih tinggi untuk
mengalami retardasi pertumbuhan fisik jangka panjang, perkembangan mental yang
suboptimal, dan kematian dini bila dibandingkan dnegan anak-anak yang normal.
Malnutrisi juga dapat mengakibatkan retardasi pertumbuhan fisik yang pada gilirannya
berhubungan dengan resiko kematian yang tinggi
Pada masa pasca natal sampai dua tahun merupakan masa yang amat kritis karena
terjadi pertumbuhan yang amat pesat dan terjadi diferensiasi fungsi pada semua organ
tubuh. Gangguan yang terjadi pada masa ini akan menyebabkan perubahan yang
menetap pada struktur anatomi, biokimia, dan fungsi organ. Jadi setiap gangguan seperti
buruknya status gizi dapat menghambat beberapa aspek pertumbuhan organ.
Kekurangan gizi juga dapat mempengaruhi bayi secara psikologis, menyebabkan apatis,
depresi, keterlambtan perkembangan, dan menarik diri dari lingkungan.
Kurang gizi juga akan menyebabkan timbulnya infeksi dan sebaliknya penyakit
infeksi akan memperburuk kekurangan gizi. Infeksi dalam derajat apapun dapat
memperburuk keadaan gizi, sedangkan malnutrisi walaupun masih ringan mempunyai
pengaruh negatif pada daya tahan tubuh terhadap infeksi. Hal ini akan bertambah buruk
bila keduanya terjadi dalam waktu yang bersamaan
Hubungan antara KEP dengan penyakit infeksi dapat dijelaskan melalui mekanisme
pertahanan tubuh yaitu pada balita yang KEP terjadi kekurangan masukan energi dan
protein ke dalam tubuh sehingga kemapuan tubuh untuk membentuk protein baru
berkurang. Hal ini kemudian menyebabkan pembentukan kekebalan tubuh seluler
terganggu, sehingga tubuh menderita rawan serangan infeksi.
KEP menimbulkan efek pada perkembangan mental dan fungsi intelegensia,
keadaan kurang gizi pada waktu dalam kandungan dan masa bayi akan menyebabkan
perkembangan intelektual rendah.
6
Fakta menunjukkan bahwa bayi KEP berat mempunyai ukuran besar otak 15-20%
lebih kecil dibandingkan dengan bayi normal. Apabila terjadi kurang gizi sejak dalam
kandungan, maka defisit volume otak bisa mencapai 50%. (Pudjiadi, 2003)
III. ANTROPOMETRI KEP
Pengukuran antropometri merupakan salah satu bentuk pengukuran status gizi
yang relatif mudah untuk dilakukan, yaitu berupa pengukuran berupa pengukuran berat
badan,tinggi badan, lingkar lengan atas, dan lapisan lemak bawah kulit yang
menggunakan ukuran dan standard tertentu pula.Di Negara berkembang pengukuran
antropometri paling sering dilakukan untuk mendeteksi gangguan pertumbuhan KEP
karena pengukuran antropometri dapat memberikan gambaran tentang status energi dan
protein seseorang. (Reksodikusumo,1989)
Ada beberapa jenis indikator antropometri yang dapat digunakan untuk
identifikasi masalah KEP, diantaranya adalah Berat Badan (BB), Tinggi Badan (TB),
Lingkar Lengan Atas (LILA), Lingkar Kepala (LP), Lingkar Dada, Lapis Lemak
Bawah Kulit (LLBK). Untuk lebih memberikan makna maka indikator tersebut
dikombinasikan menjadi indeks antropometri.
Diantara beberapa macam indeks antropometri tersebut yang paling sering
digunakan adalah BB/U, TB/U dan BB/TB sedangkan antropometri yang lain hanya
digunakan untuk keperluan khusus seperti ada survey penapisan atau survey nutritional
assessment. (Jahari,dkk, 2000)
Umur
Faktor umur sangat penting dalam penentuan status gizi. Kesalahan penentuan
umur akan dapat menyebabkan intepretasi status gizi menjadi salah. Hasil Tinggi Badan
dan Berat Badan yang akurat akan menjadi tidak berarti bila tidak disertai dengan
penentuan umur yang tepat. (Supariasa, 2002)
Berat Badan
7
Berat Badan merupakan salah satu antropometri yang memberikan gambaran
tentang masa tubuh(otot dan lemak), karena massa tubuh sangat sensitif terhadap
perubahan keadaan yang mendadak, misalnya terserang penyakit infeksi, menurunnya
nafsu makan, maka berat badan merupakan antropometri yang sangat labil. Dalam
keadaan normal, dimana keadaan kesehatan baik dan keseimbangan antara intake dan
kebutuhan zat gizi terjamin, berat badan berkembangan mengikuti laju pertumbuhan
umur, sebaliknya dalam keadaan yang abnormal, terdapat dua kemungkinan
perkembangan berat badan, yaitu dapat berkembang lebih cepat atau lebih lambat dari
keadaan normal. (Abunain, 1990)
Tinggi Badan
Tinggi Badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan
pertumbuhan skeletal.Dalam keadaan normal, tinggi badan tumbuh bersama dengan
umur.Pertumbuhan tinggi badan seperti berat badan yaitu relatif kurang sensitif
terhadap masalah defisiensi zat gizi dalam jangka waktu pendek. Pengaruh defisiensi zat
gizi terhadap tinggi badan baru akan tampak pada saat yang cukup lama. (Abunain,
1990)
Indeks BB/U
Dalam keadaan normal, dimana keadaan kesehatan baik dan keseimbangan
antara intake dan kebutuhan gizi yang terjamin, berat badan berkembang mengikuti
pertumbuhan umur.Sebaliknya dalam, keadaan yang abnormal, terdapat dua atau lebih
lambat dari keadaan normal.Berdasarkan sifat-sifat ini, maka indeks BB/U digunakan
sebagai salah satu indikator status gizi (KEP) dan karena sifat BB yang labil, maka
indeks BB/U lebih menggambarkan status seseorang saat kini. (Reksodikusomo, 1989)
Berdasarkan klasifikasi dari Universitas Harvard, keadaan gizi anak
diklasifikasikan menjadi tiga tingkat, yaitu:
- Gizi lebih (over weight)
- Gizi baik (well nourished)
8
- Gizi kurang (under weight), yang mencakup kekurangan kalori dan protein
(KKP) tingkat I dan II.
Untuk Negara-negara sedang berkembang pada umumnya menggunakan
klasifikasi dari Harvard (Standard Harvard) tersebut, dengan berbagai modifikasi.Oleh
karena standar Harvard tersebut dikembangkan untuk mengukur status gizi anak dari
Negara-negara Barat maka prinsip utama modifikasi adalah disesuaikan dengan kondisi
anak-anak dari Negara-negara Asia dan Afriks.Sehingga, untuk negara-negara sedang
berkembang termasuk Indonesia, klasifikasi status gizi anak didasarkan [ada 50
“percentile” dari 100% standard Harvard.
Klasifikasi dari standar Harvard yang sudah dimodifikasi tersebut adalah:
- Gizi baik adalah apabila berat badan bayi/anak menurut umurnya lebih dari
89% standar Harvard
- Gizi kurang, adalah apabila berat badan bayi/anak menurut umur berada di
antara 60,1%-80% standar Harvard.
- Gizi buruk, adalah apabila berat badan bayi/anak menurut umurnya 60%
atau kurang dari standar Harvard.
Kelebihan Kekurangan
Indikator yang baik untuk KEP akut
dan kronis serta untuk memonitor
program yang sedang berjalan
Sensitif terhadap perubahan keadaan
gizi yang kecil
Pengukuran objektif dan bila diulang
memberikan hasil yang sama
Peralatan dapat dibawa kemana-mana
dan relatif murah
Pengukuran mudah dilaksanakan dan
teliti
Tidak sensitif terhadap anak stunted
atau anak terlalu tinggi tapi kurang gizi
Mengakibatkan kekliruan interpretasi
status bila terdapat edema
Data umur kadang-kadang kurang
dapat dipercaya, untuk anak umur
kurang 2 tahun biasanya teliti dan bila
ada kesalahan mudah dikoreksi,
sebaliknya sulit memperkirakan umur
anak lebih dari 2 tahun
Di daerah tertentu, ibu-ibu mungkin
9
Tidak memakan waktu lama
Dapat mendeteksi kegemukan
kurang menerima anaknya untuk
ditimbang
Sering terjadi kesalahan dalam
pengukuran, misalnya pengaruh
pakaian atau gerakan anak pada saat
penimbangan.
(Jahari, 1988)
Indeks TB/U
Dalam keadaan normal, tinggi badan tumbuh bersama dengan umur.
Pertumbuhan tinggi badan tidak seperti berat badan yaitu relatif kurang sensitif
terhadap masalah defisiensi zat gizi dalam jangka waktu pendek. Pengaruh
defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan baru akan tampak pada saat yang cukup
lama (Reksodikusumo, 1989). Berdasarkan sifat inilah maka indeks TB/U lebih
menggambarkan status gizi masa lampau. Keadaan tinggi badan akan pada
massa usia sekolah (7 tahun) menggambarkan status gizi (KEP) pada masa
balitanya.
Masalah penggunaan indeks TB/U pada masa balita adalah masalah pada
pengukuran sendiri dan ketelitian data umur. Masalah ini akan berkurang bila
pengukuran dilakukan terhadap anak yang lebih tua, karena proses pengukuran
dapat lebih mudah dilakukan dan penggunaan rentang umur yang lebih panjang
memperkecil kemungkinan kesalahan umur. “Stunting” adalah keadaan
terhambatnya pertumbuhan badan anak yang tidak sesuai dengan umurnya
sebagai akibat kekurangan gizi yang berlangsung lama.Indeks ini juga erat
kaitannya dengan masalah social ekonomi.Oleh karena itu indeks ini selain
digunakan sebagai indikator KEP dapat juga digunakan sebagai indikator
perkembangan social ekonomi masyarakat. (Supariasa, dkk, 2002)
10
Berikut merupakan pengukuran status gizi dan anak balita berdasarkan tinggi
badan menurut umur, beserta modifikasi standar Harvard dengan klasifikasinya
adalah:
- Gizi baik, yakni apabila panjang tinggi badan bayi/anak menurut umurnya
lebih dari 80% standar Harvard
- Gizi kurang, apabila panjang/tinggi badan bayi/anak menurut umurnya
berada di antara lebih dari 70,1%-80% dari standar Harvard
- Gizi buruk, apabila panjang/tinggi badan bayi/anak menurut umurnya 70%
atau kurang dari standar Harvard (Soekidjo,2011).
Kelebihan Kelemahan
Tidak sensitif terhadap anak stunted
atau anak terlalu tinggi tapi kurang
gizi
Mengakibatkan kekliruan interpretasi
status bila terdapat edema
Data umur kadang-kadang kurang
dapat dipercaya, untuk anak umur
kurang 2 tahun biasanya teliti dan bila
ada kesalahan mudah dikoreksi,
sebaliknya sulit memperkirakan umur
anak lebih dari 2 tahun
Di daerah tertentu, ibu-ibu mungkin
kurang menerima anaknya untuk
ditimbang
Sering terjadi kesalahan dalam
pengukuran, misalnya pengaruh
pakaian atau gerakan anak pada saat
penimbangan.
Dalam menilai intervensi harus disertai
indikator lain seperti BB/U, karena
perubahan TB tidak banyak terjadi
dalam waktu singkat
Membutuhkan beberapa teknik
pengukuran, alat ukur panjang badan
untuk anak umur kurang dari 2 tahun
dan alat ukur tinggi badan untuk anak
umur lebih dari 2 tahun
Lebih sulit dilakukan secara teliti oleh
petugas yang belum pengalaman
Memerlukan orang lain untuk
mengukur anak
Umur kadang-kadang sulit di dapat
secara valid
(Jahari, 1988)
11
Indeks BB/TB
Berat badan memiliki hubungan yang linier dengan tinggi badan. Dalam
keadaan normal perkembangan berat badan akan searah dengan pertambahan
berat badan dengan percepatan etrtentu. Pada tahun 1966, Jeliffe
memperkenalkan penggunaan indeks TB/BB untuk idektifikasi KEP.
BB/TB merupakan indicator yang baik untuk menyatukan status gizi
KEP, terlebih bila umur sulit didapat. Oleh karena itu BB/TB merupakan
indicator KEP yang independen terhadap umur.Mengingat indeks BB/TB dapat
memberikan gambaran tentang proporsi berat badan relative terhadap tinggi
badan, maka dalam penggunaannya indeks ini merupakan indicator “wasting”
(Jahari, 1988).
Berikut merupakan pengukuran berat badan menurut tinggi badan menurut
standar Harvard yang telah diperoleh dengan mengombinasikan berat badan dan
tinggi badan:
- Gizi baik, apabila berat badan bayi/anak menurut panjang/ tingginya lebih
dari 90% dari standar Harvard
- Gizi kurang, nila berat bayi/anak menurut panjang/tingginya berada di antara
70,1%-90% dari standar Harvard
- Gizi, buruk apaila berat bayi/anak menurut panjang/tingginya 70% atau
kurang dari standar Harvard (Soekidjo,2011).
Kelebihan Kelemahan
lebih baik untuk anak yang berumur
lebih dari 2tahun
hamper independen terhadap pengaruh
umur dan ras
indicator yang baik untuk mendapatkan
proporsi tbuh yang normal dan unutk
membedakan anak yang kurus dan yang
gemuk
menyebabkan estimasi yang rendah
terhadap KEP
memerlukan 2 atau 3 alat pengukur,
lebih mahal dan lebih sulit
membawanya
memerlukan waktu yang lebih lama dan
diperlukan pelatihan
tidak dapat memberikan gambaran
12
tidak memerlukan data umur
pengukuran objektif dan memberikan
hasil yang sama bila pengukuran
diulang
apakah anak tersebut pendek, cukup
tinggi atau kelebihan tinggi karena
factor umur tidak diperhatikan
(Jahari, 1988).
Lingkar Lengan Atas (LLA) Menurut Umur
Klasifikasi pengukuran status gizi bayi/anak berdasarkan lingkar lengan
atas, yang sering digunakan adalah mengacu kepada standar Harvard,
klasifikasinya adalah:
- Gizi baik, apabila LLA bayi/anak menurut umurnya lebih dari 85% standar
Harvard
- Gizi kurang, apabila LLA bayi/anak menurut umurnya berada di antara
70,1%-85% standar Wolanski
- Gizi buruk, apabila LLA bayi/anak menurut umurnya 70% atau kurang dari
standar Wolanski(Soekidjo,2011).
Indeks Massa Tubuh (IMT)
Untuk menentukan status gizi orang dewasa dapat menggunakan indeks
massa tubuh atau ‘body mass index’ (BMI). Formula untuk menentukan IMT
adalah
IMT=
Hasil perhitungan dengan formula ini akan mengindikasikan status gizi
dengan klasifikasi sebagai berikut:
a. <18 = kurus,gizi kurang
b. 18-24 = normal, gizi baik
c. 25-30 = gemuk, gizi lebih
13
d. >30 =gemuk sekali(obes), gizi berlebihan (Soekidjo,2011).
IV. KLASIFIKASI STATUS GIZI KEP
Malnutrisi energi-protein dapat primer, karena asupan protein dan atau sumber
energi yang tidak memadai, atau sekunder karena penyakit yang menggangu asupan
atau penggunaan zat gizi atau penyakit yang meningkatkan kebutuhan zat gizi atau
kehilangan metabolik. Keganasan, malabsorbsi usus, penyaskit peradangan usu besar,
AIDS dan gagal ginjal kronik merupakan beberapa penyakit yang seringkali
berhubungan dengan KEP sekunder (Asdie, 1999)
Menurut baku median WHO – NCHS, KEP dibagi beberapa tingkatan yaitu:
a. KEP Ringan bila berat badan menurut umur (BB/U) 70-80 % dan/atau berat
badan menurut tinggi badan (BB/TB) 70-80% baku median WHO-NCHS.
b. KEP Sedang bila BB/U 60-70% baku median WHO-NCHS dan/atau BB/TB 60-
70% baku median WHO-NCHS.
c. KEP Berat bila BB/U <60% baku median WHO-NCHS dan/atau BB/TB <60%
baku median WHO-NCHS.
Sedangkan klasifikasi KEP berdasarkan KMS balita (Direktorat Bina Gizi
Masyarakat,1997) :
a. KEP ringan bila hasil penimbangan berat badan pada KMS terletak pada pita
warna kuning diatas garis merah atau BB/U 70-80% baku median WHO-NCHS.
b. KEP sedang bila hasil penimbangan BB pada KMS berada dibawah garis merah
(BGM) atau BB/U 70-80% baku median WHO-NCHS.
c. KEP berat bila hasil penimbangan BB/U < 60% baku median WHO-NCHS pada
KMS tidak ada garis pemisah KEP berat dan KEP sedang.
KEP berat secara klinis terdapat dalam 3 tipe yaitu kwashiorkor, marasmus dan
marasmik kwashiorkor. KEP melihat berat badan bila disertai edema yang bukan karena
14
penyakit lain adalah KEP berat tipe kwashiorkor. KEP nyata adalah istilah yang
digunakan di lapangan, yang meliputi KEP sedang dan KEP berat dan pada KMS
sedang dibawah garis merah (tidak ada garis pemisah antara KEP sedang dan KEP berat
pada KMS). KEP total adalah jumlah KEP ringan, KEP sedang dan KEP berat.
V. FAKTOR EKSTERNAL KEP
Umur
Umur merupakan salah satu faktor internal yang menentukan kebutuhan gizi
seseorang, sehingga umur berkaitan erat dengan status gizi balita (Apriadji, 1986). Data
dari studi pertumbuhan anak dibeberapa negara berkembang menunjukkan bahwa
gangguan pertumbuhan mulai tampak pada umur 3 sampai 6 bulan pertama masa bayi
(Jus’at, 1992).
Hasil penelitian Jamil (1977) yang dikutip Lismartina (2000) menunjukkan bahwa
pada umur di bawah 6 bulan kebanyakan bayi masih dalam keadaan status gizi yang
baik sedangkan pada golongan umur setelah 6 bulan jumlah balita yang berstatus gizi
baik nampak dengan jelas menurun sampai 50%.
Pada masa anak umur > 24 bulan merupakan masa rawan bagi status gizi balita.
Menurut Kunanto (1992), ada kecenderungan bahwa anak pada kelompok umur
>24 bulan menderita gizi buruk disebabkan karena keterpaparan anak dengan faktor
lingkungan, sehingga anak lebih mudah menderita sakit terutama penyakit infeksi yang
biasanya disertai dengan demam dan nafsu makan menurun.
Steenbergen (1982) dalam Soetjiningsih (1991), menunjukkan bahwa pada anak umur
12 bulan masukan kalori dan proteinnya per Kg berat badan hanya setengahnya dari
waktu bayi. Hal ini menyebabkan malnutrisi sering terjadi pada masa ini dari padawaktu
umur 4-6 bulan.
Prevalensi KEP ditemukan pada usia balita dan puncaknya pada usia 1-2 tahun. Hal
ini dikarenakan kebutuhan gizi pada usia tersebut meningkat tajam sedangkan ASI
sudah tidak mencukupi, selain itu makanan sapihan tidak diberikan dalam jumlah dan
15
frekuensi yang cukup serta adanya penyakit diare karena konsumsi pada makanan yang
diberikan (Abunain, 1979 dalam Lismartina, 2000).
Jenis Kelamin
Jenis kelamin merupakan salah satu faktor internal yang menentukan kebutuhn gizi,
sehingga jenis kelamin berkaitan erat dengan status gizi balita. Laki-laki lebih banyak
membutuhkan energi dan protein dari pada perempuan, karena laki-laki diciptakan
untuk tampil lebih aktif dan lebih kuat dari perempuan. (Apriadji, 1986 dalam Sutanto,
1999).
Hasil penelitian Lismartina (2001) menunjukkan bahwa kejadian KEP lebih besar
pada anak laki-laki (25,9%) dibanding anak perempuan. Hal ini didukung dengan hasil
analisis Kunanto (1992) yang menemukan bahwa prevalensi gizi buruk lebih banyak
ditemukan pada anak laki-laki (9,2%) dibanding anak perempuan (6,7%) meskipun
perbedaan status gizi anak laki-laki dan anak perempuan secara statistik tidak bermakna.
Hasil Susenas menunjukkan presentasi balita perempuan yang berstatus gizi baik lebih
besar (68,28%) dibanding balita laki-laki (BPS, 1998).
Konsumsi Energi dan Protein
Salah satu indikator untuk menunjukkan tingkat kesehatan penduduk adalah tingkat
kecukupan gizi, yang lazim disajikan dalam energi dan protein (BPS, 2002). Energi dan
protein mempunyai fungsi yang sangat luas dan penting dalam tubuh. Asupan energi
yang seimbang sangat diperlukan pada berbagai tahap tumbuh kembang manusia,
khususnya balita (Pudjiadi, 2000). Jika terjadi kekurangan konsumsi energi dalam
waktu yang cukup lama maka akan berakibat pada terjadinya KEP (Sudiarti & Utari,
2007).
16
Kegunaan utama protein bagi tubuh adalah sebagai zat pembangun tubuh. Selain itu
protein juga digunakan sebagai sumber energi bagi tubuh bila energi yang berasal dari
karbohidrat atau lemak tidak mencukupi (Muchtadi, 1989). Pada anak-anak yang sedang
dalam masa pertumbuhan, pembentukan jaringan terjadi secara besar-besaran sehingga
kebutuhan tubuh akan protein akan lebih besar daripada dengan orang dewasa (Pudjiadi,
2000). Seorang anak balita dikatakan kekurangan apabila tingkat konsumsi energi dan
protein ≤ 80% AKG (Depkes, 1999).
Pekerjaan Ayah
Menurut Suyadi (2009) dalam penelitiannya yang berjudul Kejadian KEP pada
masyarakat terdapat tulisan menurut penelitian Hatril (2001) menunjukkan
kecenderungan bahwa ayah yang bekerja dalam kategori swatsa mempunyai pola
konsumsi makanan keluarga yang lebih baik dibandingkan dengan ayah yang bekerja
sebagai buruh dan hasil uji statistiknya menunjukkan hubungan yanmg bermakna antara
keduannya. Begitu pula dengan penelitian Alibbirwin (2001) menemukan hubungan
yang bermakna antara pekerjaan ayah dengan status gizi balita. Dikatakan bahwa ayah
yang bekerja sebagai buruh memiliki resiko lebih besar mempunyai balita kurang gizi
dibanding dengan balita yang ayahnya yang bekerja wiraswasta. Proporsi ayah yang
bekerja dalam kategori PNS/Swasta cenderung mempunyai balita dengan status gizi
baik dibandingkan ayah dengan pekerjaan lainnya (Sukmadewi, 2003). Hal ini
didukung oleh penelitian Sihadi (1999) yang menyatakan bahwa ayah yang bekerja
sebagai buruh memiliki balita dengan proporsi status gizi buruk terbesar yaitu sebesar
53%.
Jumlah Balita dalam Keluarga
Jumlah balita dalam kelurga juga dapat berhubungan dengan status gizi balita.
Dengan adanya anak balita lebih dari satu dalam keluarga maka perhatiann keluarga
17
akan terbagi. Hal ini diperburuk dengan adanya kesibukan orang tua dengan urusan lain.
Ada kecenderungan bahwa balita yang lebih tua menderita kekurangan gizi karena
perhatian orang tuanya yang terbagi dengan adanya balita yang lebih muda (Kunanto,
1992). Peranan ibu dalam mengasuh balita akan lebih berat dengan kehadiran balita
yang lebih muda. Hal ini didukung olehhasil penelitian Hatril (2001) yang menunjukkan
bahwa keluarga yang mempunyai balita 1 orang lebih rendah proporsi balita yang
kekurangan protein (73,1%) dibanding dengan keluarga yang mempunyai balita lebih
dari 1 orang (75,0%).
Jumlah Anggota Keluarga
Menurut Jajal dan Soekirman (1990) ada hubungan antara status gizi anak
dengan pendapatan keluarga berdasarkan perbedaan jumlah anggota keluarga.
Dikatakan bahwa semakin tinggi pendapatan dan semakin rendah jumlah anggota
keluarga maka semakin baik pertumbuhan anaknya. Dengan jumlah anggota keluarga
yang besar dan dibarengi dengan distribusi makanan yang tidak merata akan
menyebabkan balita dalam kelurga tersebut menderita KEP. Bila pendapatan keluarga
hanya pas-pasan sedangkan anaknya banyak maka pemerataan dan kecukupan makanan
di dalam keluarga kurang bisa terpenuhi maka keluarga tersebut disebut dengan
keluarga rawan, karena kebutuhan gizinya hampir tidak pernah tercukupi (Apriadji,
1986).
Jumlah anggota keluarga yang besar akan sangat mempengaruhi distribusi makanan
terhadap anggota keluarga, terutama pada keluarga miskin yang terbatas
kemampuannya dalam penyediaan pangan. Hal ini akan berisiko terhadap kejadian
KEP. Suatu studi di Nigeria melaporkan bahwa insiden kwashiorkor meninggi pada
keluarga yang mempunyai anak tujuh atau lebih (Mosley dalam Pudjiadi, 2000).
Rumah tangga yang mempunyai anggota keluarga besar berisiko mengalami kelaparan
4 kali lebih besar dibandingkan dengan rumah tanggga yang anggotanya kecil, dan
berisiko pula mengalami kurang gizi sebanyak 5 kali lebih besar dari keluarga yang
mempunyai anggota keluarga kecil (Berg, 1986).
18
Komposisi dan jumlah anggota keluarga merupakan salah satu faktor resiko
tejadinya kurang gizi (WKNPG, 2000).
Sebagian besar penduduk negara Indonesia berpenghasilan menengah ke bawah,
sehingga kurang mampu memenuhi kebutuhan gizi seluruh anggota keluarga. Di
samping itu jumlah anggota keluarga yang banyak akan memperburuk keadaan ini dan
akan menimbulkan banyak masalah kesehatan lainnya yang berhubungan dengan
ketidakcukupan pangan dan gizi (Suhardjo, 1996).
Hal ini didukung oleh penelitian Yusril (2002), yang menyatakan bahwa adanya
kecenderungan semakin bertambahnya anggota keluarga maka semakin menurunnya
status gizi balita dalam keluarga tersebut.
Sementara itu Sutanto (1999) menemukan bahwa jumlah anggota lebih besar
atau sama dengan 6, maka anaknya mempunyai kecenderungan 1,96 lebih besar
menderita KEP dibanding dengan keluarga yang memiliki anggota keluarga kurang dari
6.
Pendapatan
Di Indonesia masih banyak penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Kemiskinan tidak hanya menjadi akar masalah sosial dan ekonomi bahkan menjadi akar
masalah kesehatan dan gizi. Tingkat pengeluaran dapat dianggap sebagai proxi
pendapatan keluarga. Proporsi pengeluaran untuk makan terhadap total pengeluaran
dapat digunakan sebagai petunjuk kemiskinan karena kebutuhan dasar tidak hanya
makan (Mulyati, 2002).
Analisis terhadap data Susenas tahun 1992 oleh Soekirman (1994),
mengungkapkan adanya keterkaitan yang erat antara status gizi balita dengan
pendapatan keluarga. Makin rendah pendapat suatu keluarga maka semakin besar
peluang keluarga tersebut mempunyai balita yang berstatus KEP.
Soekirman (1991) menyatakan bahwa pendapatan riil suatu rumah tangga merupakan
salah satu faktor yang menentukan kosumsi makanan keluarga. Di samping itu
konsumsi makanan keluarga sangat dipengaruhi oleh harga pangan dan bukan pangan.
19
Orang tua yang berpenghasilan rendah cenderung mempunyai anak kurang gizi dan
tidak sehat (Mutmainah, 1996).
Di samping itu keluarga miskin sering memiliki keluarga besar dengan jarak
umur anak yang berdekatan. Hal ini menyebabkan setiap anak menerima sedikit
perhaitan. Hal ini didukung oleh Sihadi (1999) yang menyatakan bahwa ada kaitan
antara keadaan gizi balita dengan status ekonomi rumah tangga.
Dikatakan bahwa rata-rata persen BB/U pada kelompok ekonomi rendah selalu
lebih rendah daripada kelompok ekonomi tinggi, situasi ini akan diperburuk lagi pada
golongan masyarakat dengan jumlah anggota keluarga yang besar.
Di berbagai negara berkembang termasuk Indonesia, masalah KEP banyak diderita oleh
penduduk terutama dari golongan miskin. Hal ini dikarenakan pendapatan mereka tidak
cukup untuk membeli makanan yang bergizi (Budiningsari, 1999)
Konsumsi
Biasanya ketika antara bulan keempat dan kelima atau lebih awal lagi,pertambahan
berat badan anak yang mendapatkan air susu ibu mulai menurun dan ini akan tampak
dari catatan berat badan pada kartu kurva pertumbuhan (kartu menuju sehat). Pada
waktu inilah seharusnya makanan tambahan bayi perlu diberikan. Apabila makanan
tambahan belum diberikan atau bayi terkena infeksi berat badan bayi tidak dapat naik
dan sementara itu akan timbul gejala – gejala klinis kurang energi protein.
(Suhardjo,2010)
Pola Asuh
Faktor pengasuhan anak merupakan salah satu faktor yang ikut memberikan
pengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak. Agar anak dapat tumbuh dan
berkembang dengan baik dibutuhkan pengasuhan yang baik yang dapat memenuhi
kebutuhan dasar, yaitu:
Mempertahankan dan meningkatkan derajat kesehatan
Memberikan makanan yang sesuai dengan umur
20
Memberi kasih sayang untuk kebutuhan emosi
Memberi rangsangan mental untuk memenuhi kebutuhan stimulasi dan
perkembangan IQ, watak dan kepribadian anak
Dalam buku WKNPG VII tahun 2000 disebutkan bahwa pola asuh gizi adalah praktek
di rumah tangga yang diwujudkan dengan tersedianya pangan dan perawatan kesehatan
serta sumber lainnya untuk kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan anak.
Adapun aspek kunci dalam pola asuh gizi adalah:
Perawatan dan perlindungan bagi ibu
Praktek menyusui dan pemberian MP-ASI
Pengasuhan psiko-sosial
Penyiapan makanan
Kebersihan diri dan sanitasi lingkungan
Praktek kesehatan di rumah dan pola pencarian pelayanan kesehatan
Dijelaskan juga bahwa kemampuan dasar yang dibutuhkan sebagai pengasuh yang baik
dalam pemberian makanan adalah:
Menyiapkan makanan dengan jumlah dan mutu yang lengkap
Beri makan anak dengan sabar dalam suasana yang ceria terutama bila anak
kehilangan nafus makan
Menyusui secara ekslusif
Membuat upaya khusus dalam pemberian makan anak setiap hari
VI. PENCEGAHAN KEP
Cara pencegahan yang terbaik yaitu dengan melakukan penimbangan balita.
Menimbang begitu pentingnya menjaga kondisi gizi balita untuk pertumbuhan dan
kecerdasannya, maka sudah seharusnya para orang tua memperhatikan hal-hal yang
dapat mencegah terjadinya kondisi gizi buruk pada anak.
Berikut beberapa cara untuk mencegah terjadinya gizi buruk pada anak:
1. Memberikan ASI eksklusif (hanya ASI) sampai anak berumur 6 bulan.
21
2. Anak diberikan makanan yang bervariasi, seimbang antara kandungan protein,
lemak, vitamin dan mineralnya.
3. Rajin menimbang dan mengukur tinggi anak dengan mengikuti program
Posyandu
4. Pemberian Informasi mengenai penanggulangan gizi buruk.
(Jafar, Nurhaedar. 2004)
VII. PENANGGULANGAN KEP
Penanggulangan KEP diprioritaskan daerah tertinggal/miskin baik di
pedesaan/perkotaan. Kegiatan ini pelaksanaannya diintegrasikan kedalam program
penanggulangan kemiskinan secara nasional.
Kegiatan penanggulangani KEP meliputi:
Pemantapan UPGK dengan: meningkatkan upaya pemantauan
pertumbuhan dan perkembangan balita melalui kelompok dan dasa
wisma.
Penanganan khusus KEP berat secara lintas program dan lintas sektoral.
Pengembangan sistem rujukan pelayanan gizi di Posyandu dalam
rehabilitasi gizi terutama di daerah miskin.
Peningkatan gerakan sadar pangan dan gizi melalui KIE yang
berkesinambungan.
Peningkatan pemberian ASI secara eksklusif.
Penanggulangan KEK (Kurang Energi Kronik) pada ibu hamil
didasarkan hasil penilaian dengan alat ukur LILA (Lingkar Lengan
Atas).
( Evawany, 2010 )
VIII. PENANGANAN KEP
KEP Ringan dan Sedang
Kepada si ibu harus dibantu untuk memperbaiki makanan anaknya. Ini dapat
dilakukan dengan meningkatkan konsentrasi energi dan protein dalam makanan anak
22
yang bersnagkutan. Diberikan lebih sering, makanan dibuat lebih beragam (bervariasi),
termasuk pangan hewani bila memungkinkan, diberi makanan tambahan melalui pusat-
pusat pelayanan gizi, kecuali itu selalu dipantau berat badan dan kesehatannya.
KEP Berat
Anak dengan KEP berat khususnya jika terdapat infeksi akut, diare dan
dehidrasi, xerophthalmia atau anemia berat, maka anak yang demikian harus dirawat
dirumah sakit karena bila tidak, dapat terjadi kondisi yang lebih gawat lagi. Hal-hal
berikut ini dapat dilakukan dalam menangani anak yang mengalami KEP berat:
1. Amati anak itu dan telusuri latar belakangnya, periksa apakah ada
xerophthalmia.
2. Periksa tingkat dehidrasinya dan cara perawatannya
3. Periksa ada tidaknya infeksi atau parasit dan cara perawatannya
4. Untuk kasus yang berada di daerah malaria endemik dapat dilakukan pemberian
pil khoroquin secara rutin
5. Berikan injeksi intramuskular Vitamin A 100.000 IU atau secara oral dengan
dosis 200.000 IU vitamin A.
Berikan pada hari berikutnya secara oral dengan dosis yang sama. Untuk anak
dibawah umur satu tahun diberikan setengah dosis.
6. Apabila hemoglobin di bawah 3 grm per 100 ml, berikan transfusi darah.
7. Setelah itu berikan perlakuan makanan segera setelah tidak ada dehidrasi.
8. Berikan suplementasi vitamin dan mineral:
1 gram kalium khlorida per hari dalam bentuk tablet atau cairan
Zat besi
5mg asam folat per hari
Multi vitamin bentuk tablet atau cairan untuk memenuhi kebutuhan yang
dianjurkan.
9. Anak yang mengalami gizi kurang berat biasanya menderita hipothermia (suhu
badan rendah) dan hiploglikemia (kadar gula dalam darah rendah) dan umunya
dapat meninggal karena adanya komplikasi ini. Oleh sebab itu perlu pengamatan
23
suhu tubuh secara teratur siang malam terutama selama beberapa hari pertama.
Anak perlu diselimuti untuk mencegah kedinginan dan jangan dimandikan.
Pemberian makanan yang sering (frequent) dianjurkan untuk mencegah kadar
gula darah rendah. Komplikasi lain yang biasa dijumpai pada anak yang
menderita gizi kurang berat adalah gangguan jantung, terutama pada
kwashiorkor. Hal ini perlu mendapatkan perhatian bila dijumpai sehingga anak
dapat dirawat atau diobati secepat mingkin
10. Apabila anak dapat makan dengan baik, maka oedemanya akan hilang (bila
dijumpai) dan anak dapat mulai bertambah beratnya, dan akan dapat
dipindahkan ke unit rehabilitasi yang ada. Anak yan tumbuh dari gizi kurang
berat ini sebaiknya tetap dalam pengawasan dan pemeriksaan reguler paling
tidak selama setahun untuk mencegah timbulnya gangguan gizi lagi.
(Suhardjo, 2004)
24
KESIMPULAN
Kurang Energi Protein (KEP) merupakan salah satu penyakit gangguan
gizi yang disebabkan oleh kekurangan energi maupun protein dalam proporsi yang
berbeda-beda, pada derajat yang ringan sampai berat. KEP juga disebabkan oleh
kekurangan konsumsi zat gizi terkait dalam jangka waktu yang lama. Dan ditandai
dengan berat badan / tinggi badan menurut umur, jenis kelamin, kondisi fisiologis yang
lebih rendah dari standar yang ada di masyarakat
Gejala Klinis yang terlihat pada penderita KEP yaitu terkena penyakit
kwashiorkor, marasmus, atau kwashiorkor-marasmus adapun penyakit ini lebih banyak
didapat oleh bayi dan anak-anak tetapi tidak menutup kemungkinan juga pada orang
dewasa.
KEP dapat dideteksi dengan cara antropometri yaitu mengukur BB dan umur
yang dibandingkan dengan indeks BB untuk standar WHO-NCHS sebagaimana
tercantum dalam KMS
Pencegahan dan penanggulangan KEP bisa dilakukan untuk menekan angka
penderita KEP salah satu yang terbaik pada balita adalah dengan rutin menimbang
balita, dan mencegah gizi buruk kepada balita seperti memberikan asi eksklusif,
sedangkan penanggulangan biasanya diprioritaskan pada daerah tertinggal/miskin.
Dalam penanganan KEP pun bermacam-macam karena KEP digolongkan
dengan ringan/sedang/berat.
iii
DAFTAR PUSTAKA
Abunain, Djamadias. 1990. Antropometri Sebagai Alat Ukur Status gizi di Indonesia.
Gizi Indonesia. Jakarta.
Almatsier, S. 2006. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama
Alpers, Ann. 2006. Buku Ajar Pediatri Rudolph. Jakarta: EGC
Arisman, 2009, Buku Ajar Ilmu Gizi: Gizi dalam Daur. Kehidupan. EGC. Jakarta.
Aritonang, Evawany. 2010. Kurang Energi Protein (Protein Energy Malnutrition).
Sumatera Utara: Bagian Gizi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
Asdie, Ahmad. 1999. Prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam. Jakarta: EGC
Depkes. 2000. Rencana Aksi Pangan Dan Gizi Nasional. Depkes RI, Jakarta.
Depkes, 1999, Tata Laksana KEP pada anak di puskesmas dan di rumah tangga, Jakarta.
Hermina. 1997. Penelitian Latar Belakang Kalangan Yang Mempunyai Anak Balita,
Dengan Keadaan Gizi Buruk Pengunjung Klinik Gizi Bogor. Puslibang Gizi.
Hidayat, Cecep. 1980. Pengaruh Pendidikan Formal Terhadap Konsumsi Pangan
Keluarga. Buletin Gizi, vol : ix, no.2., Jakarta.
Jafar, Nurhaedar. 2004. Kekurangan Energi Protein (KEP) Pada Balita. Makasar:
Program Studi Ilmu Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Hasanudin.
Jahari, A. B., 1988. Antropometri Sebagai Indikator Status Gizi. Jakarta: FKMUI.
Jalal & Sumali. 1998. Repelita VII Untuk Mendukung Pengembangan SDM Yang
Berkualitas. WKPG VI. LIPI. Jakarta.
iv
Jalal. 1990. Survey diit. Pengukuran konsumsi makanan. Kursus singkat epidemiologi
gizi.
Jeliffe, D.B. & Jeliffe, D. E. F. 1989. Community Nutritional Assessment. Oxford
University. New York.
Jelliffe D.B.1989. Community Nutritional Assesment with Special Reference to Less
Technically Developed Countries. Oxford. Oxford Universitas Press
Jus’at, Idrus. 1999. Determine Of Nutrition Status Of Pres Choal Children In Indonesia,
An Analysis Of The National Sosio Economy Survey (Susenas). Desertasi Cornel
University. USA.
Latinulu, S. 2000. Pemantauan Penggunaan Status Gizi Balita Dan Perencanaan
Program Dari Bawah. Jakarta : Medika 19 (9).
Mutmainah, A, dkk. 1996. Beberapa Faktor Yang Berhubungan Dengan Tingkat
Kecerdasan Anak Usia 2-5 tahun. Media Gizi dan Keluarga. IPB, Bogor.
Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit. Editor Setiawan. Jakarta: EGC
Notoatmojo, Soekidjo.. Kesehatan Masyarakat Ilmu&Seni. Rineka Cipta. Jakarta: 2011
Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta. 2000.
Reksodiskusumo, dkk. 1989. Penentuan Status Gizi Secara Antropometri. Akademi
Gizi. Depkes RI, Jakarta.
Soekirman. 1985. Gizi Morbiditas dan Mortalitas Bayi Dan Anak Indonesia. Gizi
Indonesia. Vol : x, no :5
Soetjiningsih. 1991. Pola Pemberian Makan Dan Status Gizi Anak Balita Di
Kecamatan Mengwi. Majalah Kedokteran Indonesia, vol : 41, no : 5 Mei 1991,
h.263-268.
Soetjiningsih. 1995. Tumbuh kembang anak. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
hal 38
v
Soetjiningsih. 1998. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: EGC
Solihin Pudjiadi. 2003. Ilmu gizi klinis pada anak, edisi keempat. Jakarta. Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Suhardjo. 2004. Pemberian Makanan Pada Bayi dan Anak. Yogyakarta: Kanisius
Suhardjo.2010.Pemberian Makanan pada Bayi dan Anak.Yogyakarta:Kanisius
Supariasa, I.D.N 2002. Penilaian Status Gizi. EGC, Jakarta.
Suyadi, Edwin S. 2009. Kejadian KEP. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Indonesia. Depok.
Suyadi, Edwin S.2009. Kejadian KEP pada masyarakat. FKM UI. Jakarta : FKM UI
Yuliana, dkk. 2002. Faktor-faktor Yang Berpengaruh Terhadap Status Gizi Bayi di Kota
Bogor. Media Gizi dan Keluarga, Desember 2002.
vi
LAMPIRAN
a. Mind Map Kelompok
vii
b. Mind Map Individu
RIA YUNIATI /242
viii
STEFFANY C.A /244
ix
DHIA GHONIYYAH /255
x
DINA HAPPY /255
xi
RIFHA ASTI H. / 259
xii
MIRANTI /270
xiii
KARINTA ARIANI /272
xiv
ZIYAAN ADZAHIY BEBE /277
xv
SABRILLA PUTRI /278
xvi
RONNA ATIKA TSANI / 280
xvii
HAIDA MEYTANIA / 281
xviii
ANNISA RETNO A. /291
xix
NURUL ANGGRAENI / 295
xx
NISA ZAKIYAH /302
xxi
YUNIAR WIDYA /304