Ginjal & Hipertensi

61

Transcript of Ginjal & Hipertensi

No. 47, 1987International Standard Serial Number: 0125 913X Diterbitkan oleh: Pusat Penelitian dan Pengembangan PT. Kalbe Farma

Daftar Isi :2. Editorial Artikel: 3. 7. 11. 15. 19. 21. 25. Diit Protein dan Ginjal Nefropati Imunoglobulin A Pengobatan Dosis Tunggal Pada Infeksi Saluran Kemih Hipertensi Pada Diabetes Melitus Hipertensi dengan Kehamilan Kelainan Ginjal Pada Penyakit Tropik Masalah Penggunaan Diuretika

Karya Sriwidodo

Alamat redaksi: Majalah CERMIN DUNIA KEDOKTERAN P.O. Box 3105 Jakarta 10002 Telp.4892808 Penanggung jawab/Pimpinan umum: Dr. Oen L.H. Pemimpin redaksi : Dr. Krismartha Gani, Dr. Budi Riyanto W. Dewan redaksi : DR. B. Setiawan, Dr. Bambang Suharto, Drs. Oka Wangsaputra, DR. Rantiatmodjo, DR. Arini Setiawati, Drs. Victor Siringoringo. Redaksi Kehormatan: Prof. DR. Kusumanto Setyonegoro, Dr. R.P. Sidabutar, Prof. DR. B.Chandra, Prof. DR. R. Budhi Darmojo, Prof. Dr. Sudarto Pringgoutomo, Drg. I. Sadrach. No. Ijin : 151/SK/Dit Jen PPG/STT/1976, tgl.3 Juli 1976. Pencetak : PT. Temprint.

28. Pemeliharaan Pendengaran di Industri 32. EMIT: Salah Satu Cara Penetapan Obat Dalam Serum Untuk Pemantauan Kadar Terapi 36. Penderita Penyakit Jantung Psikosomatik di Rumah Sakit Dr. Pirngadi Medan 39. Sklerema Neonatorum 42. Terapi Artritis dengan Yetrium 90 44. Pengobatan Epilepsia dengan Karbamazepin 48. Imunisasi Campak dan Beberapa Permasalahannya 53. 55. 57. 59. 60. Cairan Hemodialisis Hukum & Etika: Tepatkah Tindakan Saudara ? Humor Ilmu Kedokteran Ruang Penyegar dan Penambah Ilmu Kedokteran Abstrak-abstrak

Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat masing-masing penulis dan tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan instansi/lembaga/bagian tempat kerja si penulis

Penyakit ginjal dan saluran kencing memang belum mencapai sepuluh penyebab utama morbiditas dan mortalitas di Indonesia, akan tetapi kelompok penyakit ini makin lama makin terdapat di banyak jenis pelayanan kesehatan, dari yang primer sampai ke yang tertier. Di negara yang lebih dahulu berkembang dari negara kita, dilihat kenyataan bahwa pola penyakit sering cepat berubah, sejalan dengan perubahan kondisi sosio-ekonomi-budaya. Dikemudian hari, diduga di Indonesia penyakit gin/al dan saluran kencing serta hipertensi akan meningkat dalam jumlah dan kepentingan. Pada edisi. Cermin Dunia Kedokteran kali ini, Redaksi memberi kesempatan pada Subbagian Gin/al dan Hipertensi. Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia mengisi dengan judul pilihan. Dokter Suhardjono dan kawan-kawan menulis tentang pandangan baru tentang pentingnya diet pada Gagal Ginjal, bukan sa/a untuk sedapat mungkin memelihara homoeostasis, tetapi juga untuk memperlambat laju gaged ginjal ke arah terminal. Nefropati IgA merupakan suatu kelompok nefropati yang baru dikenal dan belum banyak menarik perhatian di Indonesia. Dirasakan perlunya pengetahuan dokter di semua tingkat pelayanan kesehatan tentang kelompok penyakit ini, karena pengetahuan yang dini akan mengurangi pemeriksaan dan pengobatan yang tak perlu sehingga menghindarkan pemborosan dan mempercepat pencegahan progessi bila memungkinkan. Nefropati IgA ini dibahas dokter Markum dan kawan-kawan dengan cara yang memungkinkan pembaca mengenalinya dalam waktu pendek. Dua topik penanggulangan dengan obat yang sangat lazim dilakukan, yaitu dengan obat antimikroba dosis tunggal dan diuretik, dibahas oleh dokter Roemiati Oesman dan dokter Parlindungan Siregar beserta kawan-kawan. Pengetahuan tentang hipertensi dewasa ini sudah mulai. merata dan meningkat di kalangan dokter-dokter di Indonesia dan sudah waktunya pula kita diperlengkapi dengan pengenalan kelompok khusus penderita hipertensi. Hipertensi pada wanita hamil dibahas oleh dokter Jose Roesma dan kawan-kawan. Seperti nyata dari tulisan tersebut, ia mempunyai profil patofisiologi yang berbeda dari kelompok umum dan harus ditanggulangi dengan cara tersendiri pula. Hipertensi pada diabetes melitus memegang peranan penting, karena berperan sebagai penyebab laju perjalanan penyakit ke arah gaga/ ginjal terminal. Profil patofisiologi dan penanganan yang khusus dituliskan oleh dokter Wiguno. Di Indonesia, penyakit tropik dan infeksi seperti kita ketahui memegang peran yang terpenting, tetapi tidak sering kita perhatikan bahwa penyakit tropik dapat menyebabkan nefropati. Dokter Endang Susalit dan kawan-kawan menuliskan dalam garis besar tentang nefropati Penyakit tropik ini. Topik pilihan kami, belum tentu menjadi topik pilihan pembaca, karena itu umpan balik tentang topik dan isi topik sangat kami harapkan.

Terimakasih R.P. Sidabutar

2

Cermin Dunia Kedokteran No. 47, 1987

Artikel Diit Protein dan GinjalDr. Suhardjono, Dr. Pudji Rahardjo, Dr. Roemiati Oesman, Dr. M.S. Markum Subbagian Ginjal-Hipertensi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia / RS. Ciptomangunkusumo, Jakarta

PENDAHULUAN Belum lama berselang ini, diit restriksi protein (RDP) pada insufisiensi gijal/gangguan fungsi ginjal (GFG) menjadi topik yang banyak menarik minat dan perhatian para penyelidik di bidang nefrologi. DRP ternyata dapat memperlambat kemunduran fungsi ginjal pada penderita-penderita yang sudah mengalami gangguan fungsi ginjal. Hal ini sangat berarti, oleh karena dapat memperlambat penderita masuk ke dalam tahap gagal ginjal terminal (GGT), di mana penderita harus mengalami dialisis kronik atau transplantasi ginjal untuk mempertahankan hidupnya. Selain itu, diit restriksi protein sudah lebih dari 100 tahun dianjurkan untuk mengurangi keluhan-keluhan uremia. Tetapi hal ini kurang populer, sulit dijalankan karena pilihan makanan pada DRP yang mengandung protein nilai biologik tinggi amat terbatas (monoton) dan tidak enak, memerlukan motivasi dan usaha yang besar. Saat ini hal-hal seperti itu dapat diatasi dengan adanya sediaan asam amino esensial (AAE) atau analognya, sehingga diit restriksi protein bisa dijalankan dengan baik. Diit rendah protein ini sebelumnya hanyalah salah satu usaha dari banyak cara untuk memperlambat perburukan seperti yang dapat dilihat pada tabel 11. Kesemua usaha ini disebut sebagai penanganan secara konservatif gagal ginjal. Secara lebih terperinci, masalah terapi konservatif gagal ginjal kronik dapat dilihat di buku Gagal ginjal kronik, diagnosis dan penanggulangannya2. Walaupun pada saat ini bidang dialisis dan transplantasi sebagai terapi pengganti gagal ginjal sudah sangat maju, tetap saja tidak dapat memenuhi banyaknya penderita yang memerlukan tindakan tersebut. Hal ini antara lain disebabkan keterbatasan biaya dan fasilitas, yang bahkan terjadi juga di negara maju. Oleh karena itu, tindakan pencegahan GGT menempati posisi yang amat penting. Makalah yang singkat ini akan membicarakan DRP pada gangguan fungsi ginjal (insufisiensi ginjal, gagal ginjal kronik)

khususnya pada fase preterminal, terutama mengenai pengaruhnya terhadap progresivitas kemunduran fungsi ginjal, mekanisme, dan aplikasinya.

Tabel 1. Prinsip-prinsip pengelolaan gagal ginjal kronik 1. 2. Pastikan berat dan etiologi gagal ginjal kronik. Pengobatan konservatif bila etiologi diketahui dan kliren kreatinin > 5 ml/menit. a. Rencanakan diit dan jumlah cairan b. Atasi; Hipertensi, anemia, gangguan elektrolit, osteodistrofi, bakteriuria, hiperurikemi berat keluhan gastrointestinal, kelainan neuromuskuler, pruritus. c. Hindari: obat-obatan nefrotoksik, kontras radiologi apabila tak begitu perlu, tindakan instrumen/invasif, kehamilan dengan resiko tinggi, zat toksik. Refer ke pusat Nefrologi jika etiologi tak jelas, khususnya pada keadaan penurunan fungsi ginjal yang cepat, progresif atau TKK < 5 ml/menit.

3.

Dikutip dari (1). TKK = Tes kliren kreatinin.

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PROGRESIVITAS KEMUNDURAN FUNGSI GINJAL3,4,5 Kehilangan sebagian fungsi ginjal Pada tingkat gagal ginjal tertentu, kemunduran fungsi ginjal akan berjalan secara cepat. Hal ini tetap akan terjadi walaupun penyakit atau keadaan yang menyebabkan kerusak-

Cermin Dunia Kedokteran No. 47, 1987

3

an ginjal tersebut bervariasi, tergantung antara lain oleh penyakit dasarnya. Pada penderita yang mempunyai kadar kreatinin 5 mg%, Ahlmen mendapatkan angka rata-rata (median) terjadinya gagal ginjal terminal pada nefropati diabetes melitus dalam waktu 6 bulan, glomerulonefritis 10 bulan, dan 14 bulan pada pielonefritis nonobstruktif. Baik pada manusia ataupun pada binatangpercobaan telah dapat dibuktikan bahwa pada ginjal yang tersisa setelah nefrektomi, terjadi perubahan-perubahan fungsional dan struktural. Perubahan ini terjadi dalam rangka mengambil alih fungsi ginjal yang hilang oleh karena nefrektomi. Proses ini disebut juga sebagai usaha kompensasi (compensatory) atau penyesuaian. Perubahari morfologi yang sering terjadi adalah sklerosis pada glomeruli dan didapatkannya proteinuria. Semakin banyak kehilangan jaringan ginjal, semakin cepat pula proses ke tahap terminal. Dari beberapa penyelidikan didapatkan, perubahan struktur glomerulus yang terjadi setelah nefrektomi adalah disebabkan meningkatnya secara terus-menerus tekanan dan aliran darah kapiler glomerulus sebagai usaha kompensasi. Dari penyelidikan pungsi mikro ginjal pada keadaan ini, dilatasi arteriol ginjallah yang menyebabkan peningkatan aliran darah ke glomerulus. Pengaruh diit pada ginjal Sejak lama sudah diketahui bahwa protein dapat mempengaruhi fungsi ginjal. Anjing yang diganti makanannya dari karbohidrat menjadi daging menunjukkan peningkatan aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomeruler (LFG) sampai 100%. Demikian juga pada tikus yang diberi diit tinggi protein 35%, dibandingkan dengan yang diberi hanya 6%, didapatkan LFG yang 70% lebih tinggi. Addis, yang pertama kali mengajurkan dill rendah protein, menganggap bahwa mengekskresi urea memerukan kerja dari ginjal, sehingga pada gagal ginjal beban kerja ini perlu dikurangi. Pada manusia, yang mendapat nutrisi parenteral, selama pemberian asam amino (sama dengan 150 g protein) menunjukkan peningkatan LFG 50% lebih tinggi dibanding pada saat tidak diberi. Dari berbagai percobaan didapat kesan, penyebab peningkatan perfusi dan filtrasi glomeruler ini agaknya oleh karena kerja horman tertentu atau media lainnya yang diinduksi oleh makanan mengandung tinggi protein. Binatang percobaan yang diberi makan ad libitum terus menerus, (protein tinggi) pada sebagian besar akan terjadi proteinuri dan sklerosis glomeruler. Kejadian ini dapat dihindari dengan pemberian makanan yang selang sehari atau dengan jumlah yang lebih sedikit sampai 1/2 2/3 nya. Bukti-bukti ini menunjukkan adanya kemungkinan bahwa peningkatan tekanan dan aliran intra ginjal oleh karena diit tinggi protein berkaitan erat dengan terjadinya sklerosis glomeruler. Walaupun sklerosis glomerulus terjadi pada orang normal dengan meningkatnya usia (10 30% dari total glomerulus menjadi sklerosis pada usia 40 80 tahun), tetapi hal ini tidak membahayakan karena fungsi ginjal masih mencukupi. Lain halnya apabila pasien yang sudah kehilangan sebagian fungsi girtjal dibebani lagi dengan makan ad libitum (protein tinggi), maka pada keadaan ini proses sklerosisnya akan lebih cepat terjadi.

Gambar 1. Skema hipotesis hubungan perubahan kompensasi hedodinamik glomerulus pada glomerulus yang utuh dengan perubahan patologik. Modifikasi dari Hostetter, (4) dan Harris dkk (9).

Selain itu masih ada pula faktor-faktor lain yang masih ada hubungannya dengan diit, yang berperan dalam kemunduran fungsi ginjal. 1) Fosfor. Selain dengan mengurangi absorpsi fosfor, dengan restriksi protein, asupan fosfor juga akan menurun. Diit rendah fosfor memperlambat proses perburukan ginjal dengan jalan: a. mengurangi pengendapan garam kalsiumfosfat di ginjal. b. mengurangi efek kompensasi hemodinamik glomerulus. c. menghambat respon inflamasi. 2) Lipid, mempunyai pengaruh terhadap perjalanan penyakit ginjal pada beberapa model/percobaan penyakit ginjal. Beberapa fraksi lemak, terutama LDL, dapat menyebabkan kerusakan lebih besar pada struktur mesangial dan glomerular basement membrane. Apabila peningkatan tekanan dan aliran darah glomerular amat penting dalam proses kemunduran fungsi ginjal pada insufisiensi/gagal ginjal, usaha-usaha penurunan tekanan darah glomerular akan dapat memperlambat proses kemunduran ini. Diit rendah protein tampaknya merupakan salah satu usaha yang telah terbnkti. DIIT RESTRIKSI PROTEIN Konsep dasar diit rendah protein adalah memberikan protein dalam jumlah terbatas bersama dengan jumlah energi yang cukup. Dalam DRP ini ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian: 1) Protein yang diberikan tidak boleh terlalu kurang atau terlalu tinggi. Hal ini dapat dinilai antara lain dengan pengukuran asupan nitrogen. Pada pasien yang stabil keadaannya, terdapat korelasi antara rasio ureum/kreatinin serum dengan asupan nitrogen. Walaupun cara ini cukup akurat dan mudah, ada beberapa

4

Cermin Dunia Kedokteran No. 47, 1987

keadaan yang membuat kesalahan perhitungan, yaitu antara lain pada keadaan katabolik, diuresis kurang dari 1500 ml (produksi ureum meninggi). 2) Harus diperhatikan kecukupan kalori, zat-zat nutrisi lainnya agar tidak mengganggu metabolisme, aktivitas atau pertumbuhan. Penurunan berat badan, atau bahkan malnutrisi yang dapat terjadi karena diit ini harus dicegah. Sering diperlukan penambahan vitamin. 3) Diit harus dapat diterima atau disesuaikan dengan selera penderita. Banyaknya protein yang diberikan6-7. 1) Pada umumnya protein diberikan sebesar 0,55 0,60 gram/kg/hari, yang mengandung protein nilai biologik tinggi minimal 0,35 g/kg. Dengan protein sebanyak ini, keseimbangan nitrogen menjadi netral atau positif, diit dapat diterima penderita, dan makanan cukup bervariasi. Semakin rendah LFG atau TKK, (LFG kurang dari 15 - 25 ml/men.), hasil atau sisa metabolisme yang potensial toksik akan lebih menumpuk, sehingga pemberian protein harus lebih rendah lagi, yaitu 0,4 gram/kg. Atau pada tahap ini diperlukan suplementasi asam amino esensial/analognya. 2) Saat ini sudah banyak dipakai asam amino semi sintetik atau asam keto untuk meningkatkan efisiensi penggunaan nitrogen. Pada tabel 2 dapat dilihat komposisi salah satu preparat asam amino esensial yang ada.Tabel 2. Isi L Histidine L Isoleucine L Leucine L Lysine acetat as lysine L Methioninc L Phenylalanine L Tryptophan L Valine Total Total nitrogen *Aminers. (Dari 8) Kandungan asam amino semi sintetik.* gram/10 tablet 0,55 0,70 1,10 0,80 1,10 0,50 0,25 0,80 5,80 0,87

Apabila terdapat proteinuria, maka setiap kehilangan protein diganti dengan protein nilai biologik tinggi sejumlah yang sama. Pada LFG/TKK kurang dari 5 ml/menit DRP sulit dilaksanakan dan umumnya sudah terjadi banyak perubahan biokimiawi dalam tubuh, sehingga diperlukan dialisis (hemo/ peritoneal) atau transplantasi ginjal. Juga tindakan ini diperlukan apabila terdapat oliguria (urin < 400 ml/24 jam) yang tidak respon terhadap pengobatan konservatif. Dari suatu studi prospektif dengan diit seperti di atas, penurunan fungsi ginjal dapat diperlambat 3 - 5 kali lebih lama dari kontrol. Kalori atau energi Untuk mempertahankan keseimbangan nitrogen, faktor yang penting adalah energi/jumlah kalori dan banyaknya karbohidrat dalam diit. Dari berbagai penyelidikan kalori sebesar 35 Kkal. per hari, sudah cukup memenuhi. Penambahan kalori/energi yang berlebihan yang dimaksudkan untuk menambah pemakaian nitrogen, tak berarti banyak. KESIMPULAN Pada gangguan fungsi ginjal terjadi usaha-usaha untuk mengkompensasi kekurangan ini, yang ditandai dengan hiperfiltrasi, hipertensi, hiperperfusi, yang kemudian dapat menyebabkan kerusakan pada glomerulus, dan pada akhirnya terjadi gagal ginjal terminal. Makanan (protein) juga dapat menimbul-

Apabila diberikan suplementasi asam amino esensiil (AAE) atau analognya asam keto, protein makanan cukup diberikan 0,28 g/kg/hari atau antara 16 - 20 g protein/hari, ditambah 10 - 20 gram AAE (20 lebih tablet aminess). Pada diit ini jenis protein yang dipilih dapat leluasa sehingga pilihan makanan menjadi lebih banyak, walaupun jumlah yang dimakan tetap sedikit. Hambatannya adalah harga AAE/asam keto yang cukup mahal. Diit suplementasi/kombinasi ini mempunyai beberapa keuntungan yaitu antara lain: a) Asam keto tidak mengandung grup alfa amino (Nitrogen) sehingga pembentukan sisa metabolisme Nitrogen yang berbahaya berkurang, b) tidak banyak mengandung fosfor atau kalium, c) dapat menormalkan asam amino dalam sirkulasi atau dalam otot dan kelebihan nitrogen dalam badan dapat terpakai.

Cermin Dunia Kedokteran No. 47, 1987

5

kan keadaan hiperfiltrasi. Diit restriksi protein pada penderit yang mempunyai gangguan fungsi ginjal terbukti dapat memperlambat kemunduran fungsi lebih lanjut. Protein yang diberikan adalah 0,55 0,60 gram/kg dengan protein nilai biologik tinggi, atau 0,4 g/kg pada gangguan ginjal yang lebih berat, dengan kalori 35 Kkal/kg, dan penambahan vitamin. Meskipun saat ini masih sangat mahal asam amino esensialsemisintetik atau analognya asam keto, amat bermanfaat pada pelaksanaan DRP.KEPUSTAKAAN 1. 2. Sidabutar RP. Management of chronic renal failure. Medical Progress 1983, Sept. 15. Markum MS, Wiguno, Endang Susalit, Roemiati. Penatalaksanaan konservatif gagal ginjal kronik. Dalam; Gagal ginjal kronik. Diagnosis dan penatalaksanaannya. Bagian Penyakit Dalam FKUI, Jakarta, 1987. Brenner BM, Meyer TW, Hostetter TH. Dietary protein intake and

4.

5.

6. 7. 8. 9.

3.

progressive nature of kidney disease. N Engl J Med 1982; 307 : 654 659. Hostetter TH. Dietary prrotein and progressive renal disease. The nature of chronic human renal disease. Dalam Woo KT, WU AYT, Lim CH (eds). Priceesing if the 3rd Asian - Pacific Congress of Nephrology, Singapore, 1986. Alfrey AC, Tomford RC. The case for tubulontersititial factors in the progression of 'lanai disease. Dalam Narins (ed) Controversies in nephrology and hypertension. New York; Churchil Livingston 1984. Kopple JD. Chronic Renal Failure: Nutritional and non dialytic management. Dalam Bayless TM, Brain C, Cherniac RM. Current Therapy in Internal Medicine, Toronto; B.C. Drecker Inc. 1987. Mitch WE, Walser M. Nutritional therapy of the uremic patient. Dalam Brenner BM, Rector FC. The kidney, 3rd ed. Philadelphia: W.B. Saunders Company, 1986. Furst P, Ahlberg M, Alverstand A, Bergstrom. Principles of essential amino acid therapy in ureimia. Am J Clin Nutr 1987; 31 : 1744 1755. Harris RC, Meyer TW, Brener BM, Nephron adaptation to renal injury. Dalam Brenner BM, Rector FC. The Kidney, 3rd ed, Philadelphia : WB Saunders Co. 1986.

6

Cermin Dunia Kedokteran No. 47, 1987

Nefropati Imunoglobulin ADr. M.S. Markum, Dr. Suhardjono, Dr. Endang Susalit, Dr. Jose Roesma Subbagian Ginjal-Hipertensi, Raglan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ RS Ciptomangunkusumo, Jakarta

PENDAHULUAN Di kawasan ASEAN, Singapura-lah yang pertama-tama melakukan penelitian yang meluas terhadap nefropati IgA, yaitu sejak ditemukannya kasus pertama pada tahun 1973. Pada tahun 1974, yaitu pada First Colloquim in Nephrology, Sinniah et al. mempresentasikan hal ini dengan lebih lengkap.l Perhatian terhadap nefropati IgA dicetuskan oleh Berger dan Hinglais pada tahun 1968. Mula-mula para peneliti kurang menaruh minat terhadap publikasi ini, tetapi kemudian makalah mengenai nefropati ini meningkat sekali jumlahnya. Misalnya pada seminar mengenai glomerulonefritis di Australia pada tahun 1972, telah diberikan perhatian khusus untuk nefropati IgA, tetapi masih bersifat inventarisasi masalah; belum nyata ke mana arah penelitian lebih lanjut harus di lakukan.2 Dalam Kongres Nefrologi Asia-Pasifik di Tokyo pada tahun 1979, pembahasan tentang penyakit ini sudah lebih mendalam. Peranan IgA polimer, peranan antigen, peranan OKT4 dan OKT8 dalam patogenesis nefropati IgA mulai diteliti3. Selanjutnya akhir-akhir ini pembahasan tentang nefropati IgA hampir selalu muncul pada tiap majalah nefrologi. Terdapat distibusi yang tidak merata dari nefropati IgA, misalnya di Eropa lebih banyak dari pada di Amerika Serikat. (Eropa 20% dari jumlah biopsi untuk glomerulonefritis primer sedangkan di Amerika Utara 10%)4. Di beberapa negara Asia, nefropati IgA mulai nampak sebagai kelainan yang sering atau paling sering dijumpai. (30% 40% dari jumlah biopsi ginjal)5. Usaha untuk mencari nefropati IgA di Indonesia pada saat munculnya laporan tentang kelainan ini pada beberapa negara Asia, belum berhasil. Tetapi kemudian tampaklah, kelainan ini menjadi penting pula bagi kita, karena semakin banyaknya dilaporkan nefropati jenis ini. Sidabutar dkk. melaporkan pada tahun 1985 bahwa 9.5% dari pasien glomerulonefritis disebabkan oleh nefropati IgA6 . Diharapkan dengari banyaknya penelitian mengenai

nefropati IgA pada pusat-pusat penelitian di Indonesia akan dapat dikumpulkan data yang lebih pasti. Sudah pada tempatnya kita di Indonesia juga memberikan perhatian khusus terhadap kelainan ini, karena tampaknya nefropati IgA akan mempunyai kedudukan yang sangat penting. DEFINISI Kelainan ini dikenal juga sebagai: penyakit Berger nefropati IgAIgG Berger menamakannya sebagai deposisi IgA yang idioptik pada mesangium. Kelainan ini adalah suatu bentuk glomerulonefritis yang ditandai oleh deposit, terutama IgA, pada setiap glomerulus. Deposit yang difus ini disertai pula dengan kelainan fokal dan segmental. Penyakit sistematik yang juga disertai dengan deposit IgA perlu disingkirkan, seperti kelainan hepato-bilier dan purpura HenochSchonlein. PATOFISIOLOGI8,9,10 Imunoglobulin A Imunoglobulin A (IgA) adalah protein yang dihasilkan oleh sel limfosit B. IgA merupakan imunoglobulin utama yang ditemukan pada mukosa, sehingga disebut juga sebagai secretory immunoglobulin (SIgA). Bila dilihat luasnya jaringan mukosa pada badan kita, jelaslah, IgA memang peranan penting dalam mekanisme pertahanan tubuh kita. IgA merupakan pertahanan primer tubuh, terdapat banyak pada air liur, air mata, sekresi bonchus, mukosa hidung, cairan prostat, sekresi vagina dan mukus dari usus halus. Di dalam serum manusia, 85%90% dari total IgA adalah monomer, sedangkan sisanya berbentuk polimer. Tiap molekul

Cermin Dunia Kedokteran No. 47, 1987

7

SIgA terdiri atas 2 unit dasar berantai 4, di mana terdapat komponen sekresi (secretory component) dan rantai J (J-chain). Jadi SIgA adalah suatu bentuk dimer dari IgA, dengan berat molekul 400.000.

L H 1 SC

= = = =

lightchain. heavy chain Jchain secretory component

Pembentukan IgA dianggap terjadi pada jaringan lomfoid mukosa, dan sebagian dari IgA ini alan membentuk polimer. Polimerisasi terjadi intraseluler dan dimungkinkan oleh karena adanya rantai J. Bentuk polimer inilah yang dapat membentuk kompleks imun yang terdapat pada deposit di mesangium, karena kompleks imun yang terbentuk mempunyai ukuran yang besar, sehingga tertahan pada mesangium. Mukosa usus adalah tempat utama bagi pembentukan IgA. Setelah masuknya antigen per oral akan terbentuk zat anti yang terdiri dari IgA. Zat anti ini dapat keluar ke dalam lumen usus atau masuk ke dalam peredaran darah yang selanjutnya akan merangsang pembentukan IgG dan IgM. Pada proses eliminasi antigen yang terdapat pada mukosa, IgA tidak mengundang timbulnya reaksi radang yang hebat, karena berfungsi melindungi mukosa yang lembut. Tidak terdapat aktifasi sistem komplemen maupun mobilisasi lekosit. SIgA dalam bentuk dimerik yang stabil akan mengikat antigen, membentuk molekul makro yang tidak dapat diserap. Dengan cara ini, virus, bakteri dan antigen makanan dapat dibuang dari tubuh setelah berikatan dengan lendir (mucin), yang dibentuk terus menerus. Seandainya lapisan mukosa dengan SIgA ini dapat ditembus oleh antigen, akan terjadi reaksi radang karena diaktifkannya pertahanan tubuh, yaitu IgG, IgM dan lekosit. Akibatnya akan terjadi reaksi radang yang hebat. Pendapat bahwa IgA yang beradal dari mukosa dan kemudian menjadi deposit pada glomerulus stelah melalui proses polimerisasi adalah pendapat yang paling mudah diterima. Pendapat ini didukung oleh kenyataan, IgA terdapat banyak sekali pada mukosa, ditemukannya nefropati IgA setelah infeksi saluran nafas bagian atas, dan tingginya frekuensi nefropati IgA pada daerah-daerah di mana didapatkan enteropati karena gluten. Namun demikian masih diselidiki apakah memang benar IgA yang diendapkan pada glomerulus memang dibentuk oleh sel-sel mukosa. Sudah dipastikan, IgA yang terdapat pada mesangium adalah IgAl, bukan IgA2. Dengan berdasarkan hal ini, diperkirakan pembentukan IgA berasal dari sel limfosit B dari sumsum tulang. 8 Cermin Dunia Kedokteran No. 47, 1987

Deposisi kompleks imunIgA pada mesangium4,11 Nefropati IgA adalah suatu penyakit yang berdasarkan pembentukan kompleks imun, yang diendapkan pada mesangium. Pendapat ini didukung oleh gambaran endapan IgA yang tidak merata pada membrana basalis, yang terlihat pada pemeriksaan imunoflouresens. Selain daripada itu, ginjal yang terkena nefropati IgA bila ditransplantasikan kepada resipien yang sehat, maka gambaran nefropati IgA akan menghilang. Kadar IgA pada plasma pasien didapatkan meninggi pada 50% pasien, peningkatan kadar kompleks imun IgA yang sejalan dengan aktifitas penyakit, peningkatan produksi IgA in vitro oleh limfosit, serta didapatkannya endapan IgA pada kapiler kulit, merupakan data tambahan yang menyokong adanya kompleks imun sebagai dasar nefropati IgA. Namun demikian antigen yang merangsang pembentukan kompleks umun tersebut masih belum dapat dikenal dengan jelas. Beberapa hal yang dapat menjelaskan terjadinya nefropati IgA adalah: 1). Produksi IgA yang berlebihan Hematuria pada nefropati IgA terjadi dalam 13 hari setelah infeksi saluran nafas bagian atas. Hal ini jelas membedakan nefropati IgA dengan glomerulonefritis pasca streptokokus. Infeksi virus yang berulang pada mukosa akan menyebabkan pembentukan .IgA lokal yang berlebihan. Rangsangan oleh antigen dari makanan dapat pula merangsang produksi IgA yang berlebihan pada mukosa usus. Selain daripada itu, limfosit tonsil pasien juga menunjukkan kemampuan membentuk IgA yang lebih banyak. Rangsangan kronis antigen ini memungkinkan dibentuk endapan pada glomerulus. Diperkirakan kompeks imun terbentuk in situ. 2). Defek pada mukosa Kerusakan mukosa, menyebabkan eliminasi antigen tidak sempurna. Antigen dapat masuk ke dalam peredaran darah. Kemudian dapat terjadi reaksi peradangan yang berdasarkan pembentukan kompleks imun. Contoh dari hal ini adalah hubungan nefropati IgA dengan dermatitis herpetiformis dan enteropati gluten. 3). Eliminasi yang terganggu Penyakit hati, akan menghambat eliminasi kompleks imun-IgA dari sirkulasi. Kompleks imun ini dapat terlihat diendapkan pada sinusoid hati dan kapiler kulit. Dijumpai adanya nefropati IgA pada pasien serosis, mendukung pendapat ini. 4). Peranan komplemen Kompleks imunIgA tidak mampu berikatan dengan Cl, sehingga tidak terjadi pembentukan C3b. Padahal C3b ini berfungsi mencegah pembentukan kompleks imun yang berukuran besar. Seperti dibicarakan sebelumnya, kompleks imun yang berukuran besar lebih mudah diendapkan, sehingga timbul kerusakan jaringan. Selain itu C3b ini dapat mengikatkan kompleks imun pada reseptor eritrosit , sehingga memudahkan pengangkutan kompleks imun ini ketempat penghancurannya pada sistem retikuloendotelial. 5). Faktor genetik Keluarga pasien penderita nefropati IgA terbukti mempunyai kemampuan sintesis IgA poliklonal yang meninggi. Penelitian di Jepang menunjukkan kaitan antara nefropati IgA dengan

sistem HLA, yaitu HLA DR4, sedangkan di Eropa menunjukkan golongan lain (HLA B35 dan HLA B12). 6). Faktor geografis Perbedaan frekuensi nefropati IgA di beberapa negara belum dapat diterangkan dengan jelas. Faktor antigen setempat, faktor reaksi terhadap antigen dapat dipertimbangkan. Seleksi dan pencarin kasus yang intensif, indikasi biopsi ginjal yang lebih lunak, tentu akan menghasilkan penemuan kasus yang lebih banyak. GAMBARAN KLINIS4,6,11 Nefropati IgA dapat terjadi pada semua tingkat usia, walaupun jarang ditemukan pada usia < 10 tahun atau> 50 tahun. Lakilaki lebih sering mendapat kelainan ini daripada wanita (6:1). Perbandingan ini untuk Indonesia adalah 1:0,86. Hematuria makroskopik yang berulang terjadi 13 hari setelah infeksi saluran nafas, atau setelah suatu infeksi yang tidak jelas merupakan gejala permulaan yang sering dijumpai di Eropa. Perlu difikirkan nefritis pasca streptokokal sebagai diagnosis banding. Disuria dapat pula menyertai hematuria, sehingga mungkin terjadi pemikiran ke arah infeksi saluran kencing. Gambaran gagal ginjal akut mungkin pula terjadi, bersamaan dengan saat terjadinya hematuria makroskopik, disebabkan sumbatan tubulus oleh sel darah merah. Selain itu mungkin ditemukan sindrom nefrotik.Terdapat golongan pasien dengan sindrom nefrotik, tetapi tanpa hematuria. Gambaran klinik golongan ini mirip dengan kelainan minimal, responsif terhadap steroid, sering relaps, remisi yang menetap setelah siklosfamid. Laporan dari Indonesia adalah 35,71% dengan gambaran sindrom nefrotik, 3,57% dengan glmerulonefritis cepatprogresif dan 60,75% menunjukkan glomerulonefritis tanpa sindrom nefrotik, 17,85% di antaranya dengan gagal ginjal kronik. Purpura HenochSchonlein juga menunjukkan deposit IgA pada mesangium, tetapi ditemukan gejala artralgia, sakit perut dan purpura nontrmbositopenik. Ada yang menganggap bahwa nefropati IgA adalah bagian dari purpura Henoch Schonlein. GAMBARAN LABORATORIK4,11 Hematuria makroskopik merupakan kelainan utama yang hilang timbul, tetapi hematuria mikroskopik menetap di antara saat terjadinya hematuria makroskopik. Dismofik eritrosit pada urin menunjukkan bahwa eritrosit berasal dari glomerulus, walaupun mungkin ditemukani bentuk eritrosit normomorfik dan dismorfik. Proteinuria sering (60% dari kasus) diditeksi pada pemeriksaan urin rutin dengan kadar kurang dari 1 gram/hari. Proteinuria yang berat (nephrotic range) ditemukan pada kirakira pada 10% penderita. Faal ginjal umumnya masih normal, tetapi gambaran gagal ginjal akut maupun gagal ginjal kronik dapat dideteksi pada beberapa pasien. Kadar komplemen juga normal, walaupun dapat dijumpai fragmen C3 yang meningkat, karena proses nefropati IgA berjalan melalui alternate pathway.

Peningkatan kadar serum IgA terdapat pada 50% penderita, dalam bentuk dimerik. GAMBARAN PATOLOGI ANATOMIK4,5,6,11 Meskipin semua jenis gambaran glomerulonefritis dapat ditemukan pada nefropati IgA, tetapi gambaran proliferasi mesangial adalah gambaran yang paling menonjol. Menarik pula untuk dikemukakan adanya gambaran bulan sabit dan sklerosis fokal. Prognosis lebih buruk bila terdapat gambaran bulan sabit. Sidabutar melaporkan sebagai berikut: Glomerulonefritis mesangio proliferatif 35,71%, lesi fokal-segmental 32,14%, kelainan minor 17,85% dan sklerosis pada 17,86%. Mikroskop imunofluoresens menunjukkan deposit IgA yang granular mesangium. Endapan IgM dan IgG juga dapat terlihat. Dapat pula dijumpai endapan C3 dan antigen yang berkaitan dengan fibrin. DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS DIFERENSIAL4,11 Gambaran klinik seperti telah dibahas di atas dapat membantu untuk menegakkan diagnosis. Biopsi ginjal dengan pemeriksaan imunofluoresens merupakan cara utama untuk menegakkan diagnosis. Purpura HenochSchonlein, SLE, kelainan minimal, infeksi saluran kencing, dapat dipertimbangkan sebagai diagnosis banding. PROGNOSIS4,5,11 Hipertensi, protenuria, usia lanjut, gambaran bulan sakit pada biopsi, merupakan faktor yang memperburuk prognosis. Proses sklerosis dipercepat pada keadaan tersebut. Perjalanan penyakit umumnya lambat, walaupun 10% pasien akan mengalami gagal ginjal kronik dalam 10 tahun, 20% dalam 20 tahun. 20%30% dari pasien faal ginjalnya akan terganggu pada masa 20 tahun perjalanan penyakitnya. TERAPI4,11,12,13 Sampai saat ini belum ada cara pengobatan yang memuaskan bagi nefropati IgA. Tonsilektomi dapat menurunkan pembentukan polimer IgA, mengurangi frekuensi hematuria, tetapi diragukan apakah akan mempengaruhi perjalanan penyakitnya. Mengingat perjalanan penyakitnya yang lambat, maka sulit menjawab pernyataan ini. Steroid dianggap tidak mempunyai efek. Penelitian diaaahkan kepada usaha menekan produksi IgA, mempercepat eliminasi IgA.

KEPUSTAKAAN 1. 2. Sinniah R. IgA Nephropathy. Dalam Sulaiman AB, Morad Z (eds). Proc. of the sixth Collouium in Nephrology. Excerpta Medica, 1986. MorelMorager L, Mary J Ph, Leroux Robert C, Richet G. Mesangial IgA Deposits. Dalam Kincaid Smith P. Mathew TH, Lovell Becker E (eds). Glomerulonephritis. New York, London, Sydney, Toronto: John Wiley & Son, 1972. Clarkson AR, et. al. Clinical Features and Pathogenesis of IgA Nephropathy. Dalam Oshima K. Yoshitoshi Y,. Hatano M. (eds) Proc of the First Asian Pacific Congress of Nephrology, Tokyo, 1979.

3.

Cermin Dunia Kedokteran No. 47, 1987

9

4.

5. 6. 7. 8.

Glassock RI, Adler SG, Ward HI, Cohen AH. Primary Glomerular Diseases. Dalam Brenner BM, Rector FJ (eds). The Kidney. Philadelphia, London, Toronto, Mexico City, Rio de Jeneiro, Sydney, Tokyo: WB Saunders Company, 1986. Woo KT, et al., Clinical and Prognostic Indices of IgA Nephritis. Dalam Woo KT, Wu AYT, Lim CH (eds). Proc of the 3rd Asian Pacific Congress of Nephrology,1986. Sidabutr RP. Lumenta NA, Suhardjono, et al. Glomerulonephritis in Indonesia. Dalam Woo KT, Wu AYT, Urn CH (eds). Proc of the 3rd Asian-Pacific Congress of Nephrology, 1986. Berger J. Indiopathic Mesangial Deposition of IgA. Dalam Ham-burger J. Crosnier J. Grunfeld JP (eds). Nephrology. New York, Paris, London, Sydney, Toronto: WileyFlammarion, 1979. Dwyer JM. Selective IgA Deficiency and Autoimmne Disease. Dalam Franklin EC, et al. (eds). Clinical Immunology Update.

9. 10. 11. 12. 13.

New York, Amsterdam, Oxford: Elsevier Biomedical, 1983. Wang AC. The Structure of Immunoglobulins. Dalam Fundenberg HH, et al. (eds). Basic Clinical Immunology. Los Altos: Lange Medical Publication, 1976. Valentijn TM, et al. Circulating and Mesangial Secretory Com-ponent Binding IgAl in Primary IgA Nephropathy. Kidney Int. 1984; 26: 760 766. Rose BD. Pathophysiology of Renal Disease. 2nd ed. New York: McGrawHill, 1987. Woodroffe AJ. IhA NephropathyExperimental Aspects. Dalam Woo KT, Wu AYT, Lim CH (eds). Proc of the 3rd Asian-Pacific Congress of Nephrology, 1986. Lozano L, et al. Tonsillectomy Decreases the Synthesis of Poly-meric IgA by Blood Lymphocytes and Clinical Activity in Patients with IgA Nephropathy. Dalam Devision AM, Guillou PJ (eds). Proc EDTA Vol 22, 1985.

10 Cermin Dunia Kedokteran No. 47, 1987

Pengobatan Dosis Tunggal Pada Infeksi Saluran KemihDr. Roemiati Oesman, Dr. Parlindungan Siregar, Dr. Wiguno P, Dr. M.S Markum Subbagian Ginjal-Hipertensi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ RS Ciptomangunkusumo, Jakarta

PENDAHULUAN Pengobatan infeksi saluran kemih (I.S.K.) masih merupakan problem, oleh karena walaupun sudah banyak penyelidikan tentang infeksi tersebut, pendapat bagaimana pengobatan yang optimal masih simpang siur. Prosentase terbesar dari I.S.K. adalah wanita dengan disuri akut. Menurut gejala, tanda dan kelainan urinnya, dapat disebabkan oleh pielonefritis akut, pielonefritis sub akut, I.S.K. bagian bawah yaitu sistitis dan atau uretritis, uretritis Klamidia atau gonokokus, vaginitis, sistitis interstisial dan bukan infeksi. Pada wanita muda yang seksual aktif, penyebab primer dari I.S.K. adalah Eserikhia coli dan sekunder oleh Stafilokokus saprofitikust . Pada pria berumur lebih dari 50 tahun yang sering mengalami kateterisasi saluran kemih, penyebab I.S.K. adalah Stafilokokus saprofitikus. Infeksi dengan kuman tersebut dapat sembuh spontan, dan beberapa lainnya akan kambuh. Apabila kuman menetap atau kambuh, harus dipikirkan ada batu, oleh karena kuman tersebut bersifat pelepas urea serta banyak ditemukan pada urin alkalis. Penyebab kuman pada wanita disuri akut umumnya sama, Eserikhia Coli atau Stafilokokus saprofitikus. Pada wanita, I.S.K. yang bergejala dan barn diketahui untuk pertama kali, untuk keperluan pengobatannya antara lain harus ditentukan ada infeksi. Pada populasi banyak, secara praktis dan cepat hanya perlu pemeriksaan urinalisis, yaitu mengetahui adanya piuria dan bukan dengan kultur atau pemeriksaan kepekaan, oleh karena anti mikroba masih peka terhadap Eserikhia Coli atau Stafilokokus saprofitikus. Kecuali pada pasien-pasien yang mendapat infeksi waktu dirawat di rumah-sakit, antara lain akibat kateterisasi saluran kemih bagian bawah, uropati obstruktif dan gagal ginjal. Pada umumnya sifat dari kuman yang sama, sudah berbeda sehingga tidak lagi peka terhadap semua obat. Sebagian kecil dari wanita dengan disuri akut yang berulang, kultur urin negatif. Hal tersebut terdapat pada sistitis interstitialis,uretritis oleh karena Nesseria gonokokus atau Klamidia trakomalis. Pada I.S.K. bagian atas perlu pemeriksaan kultur. Tujuan pengobatan I.S.K. adalah menghilangkan gejala,

membasmi kuman sebagai sumber infeksi, mencegah kambuh atau reinfeksi dan mencegah kerusakan ginjal. I.S.K. pada orang dewasa jarang menyebabkan kerusakan parenkim ginjal yang dapat menuju ke gagal ginjal, kecuali apabila ada obstruksi saluran kemih akibat batu atau kelainan anatomi dari saluran kemih. Berhasilnya pengobatan sangat berhubungan dengan kepekaan obat anti mikroba terhadap kuman yang ada, tingginya kadar obat anti mikroba dalam urin, lokalisasi infeksi ada tidaknya komplikasi saluran kemih seperti kandung kemih urogenik, batu, kelainan anatomik, kateterisasi saluran kemih dan diabetes melitus. Disamping hal-hal tersebut, dipihak lain harus dipikirkan harga obat, efek samping obat, kenikmatan/ kepatuhan pasien, sehingga efektivitas pengobatannya harus disesuaikan pada setiap individu. Pada wanita dengan disuri akut, bila ada piuria, segera harus diobat dengan obat anti bakteri sederhana dosis tunggal. Di sini mungkin sama efektifnya dengan pengobatan jangka 710 hari. Pada wanita dengan riwayat infeksi berulang, pada waktu ada gejala perlu diobati dosis tunggal 45 tablet, masing-masing 80 mg trimetoprim - 400 mg sulfametoksasol. Pada disuri akut tanpa piuria, tidak perlu diobati.Gambar 1. Pendekatan klinik pada wanita dengan disuria

Cermin Dunia Kedokteran No. 47, 1987 11

Dari penyelidikan-penyelidikan yang terdahulu belum ada pernyataan yang pasti bahwa pengobatan I.S.K. jangka panjang lebih berhasil daripada pengobatan jangka pendek (13 hari). R.R. Bailey dkk2 dalam penyelidikannya mengenai pengobatan I.S.K. pada orang dewasa dan anak-anak, ternyata amoksil dosis tunggal 3 gram sama efektifnya dengan jangka 57 hari. Pada golongan wanita yang seksual aktif, bila ada I.S.K. yang tanpa komplikasi (tidak ada obstruksi saluran kemih, radiologis saluran kemih normal dan fungsi ginjal baik), laju pertumbuhan Kesembuhan pengobatan 510 hari adalah 85%, akan tetapi pengobatan jangka panjang tidak menguntungkan, oleh karena; 1). banyak orang berhenti minum obat waktu gejala membaik. 2). sukar minum obat 34 kali per hari. 3). sukar memakan obat jangka panjang pada kasus tanpa gejala. 4). tetap makan obat setelah gejala menghilang. Oleh karena hal tersebut, dipikirkan oleh Bailey kembali memakai dosis tungal pada I.S.K. bagian bawah yang bergejala atau bakteriuria tanpa gejala pada kehamilan trimester pertama dengan nitrofurantoin 100 mg. Ternyata kesembuhan terjadi pada kasus yang tanpa kelainan radiologis saluran kemih,Tabel : Penyelidik. th. Guneberg & Brumfitt 1967 Slode & Crowthen 1972 Bailey & Abbort 1977 Bailey & Abort 1978 Fang dkk, 1978 Rubni dkk, 1980 Bai Ley & Blobe, 1990 Dosis obat Sulfometaksin 2 gr Sulfametoperasin 2 gr Amoksilin 3 gr Trimetroprim Sulfametaksasol Amoksilin 3 gr Amoksilin 3 gr Trimetoprim Sulfametok 0,96 gr 0,96 gr 1,92 gr 2,88 gr Amoksilin 3 gr Sefaklor 2 gr Amok silin 3 gr Amoksilin 3 gr Trimetroprimsulfametoksasol 1,92 g Trimetoprimsulfametoksasol 1,92 gr Sulfonesid M. lgr 22 29 8 17 21 33 13 16 14 18 10 43 8 29 34 16

sehingga hasil pengobatan dosis tunggal dapat dipakai untuk membantu memilih pasien yang perlu pemeriksaan radiologis dan urologis. William & Smith3 mengobati bakteriuri pada kehamilan dengan dosis tunggal kombinasi: Streptomisin 1 gram dan sulfametopirason 2 gram. Dari 47 kasus, laju penyembuhan 77%. Ronald dkk4 memakai 0,5 gram kanamisin I.M., laju penyembuhan 92% dari 39 kasus dan 72% pada infeksi saluran atas, Aliran mengobati 100 wanita sistitis superfisialis dengan kanamisin 500 mg I.M. dan hasilnya baik. Daripada memakai dosis ganda 514 hari, pengobatan antibiotika dosis tunggal pada wanita dengan I.S.K. tanpa komplikasi mempunyai beberapa keuntungan: lebih menyenangkan, angka kepatuhan tinggi, murah dan efek sampingan yang rendah. Beberapa penyelidik mengatakan, pada wanita dengan I.S.K. tanpa komplikasi, pengobatan dosis tunggal cukup efektif, sedangkan beberapa penyelidik lain menentang pernyataan tersebut. Beberapa penyelidik dalam penyelidikannya mengeluarkan kasus I.S.K. saluran atas dengan pemeriksaan pencucian kandung kemih atau bakteri berselubung antibodi, dan hasil pengobatan dosis tunggal sama efektifnya dengan pengobatan 714 hari. Ada pendapat yang tidak setuju pemakaian dosis tunggal, oleh karena kemungkinan infeksi yang kambuh lebih

Sembuh total % 25 34 10 20 2 38 16 16 16 28 30 71 11 38 41 18 88 85 80 85 95 87 61 100 88 64 33 61 73 76 83 89

Dosis obat amplisilin 500 mg 3x/hari7hari amplisilin 500 mg 3 x / hari 7 hari amoksilin 250 mg 3 x / hari 5 hari Trimetroprim-sulfametoksasol 0,96 gr, 2 x/hari-5 hari amoksilin 250 mg 4 x/hari 10 hari ampisilin 500 mg 4 x/hari 10 hari Trimetroprimsulfa metoksasol 0,96 gr 2 x/hari 10 hari Trimetroprimsulfa 0,96 gr 2x/hari 5 hari Sulfametoksasol 500 mg 2 x/hari 7 hari Sefaklor 250 mg 3 x/hani 10 hari amoksilin 250 mg 3 x/hari 14 hari amoksilin 500 mg 3 x/hari 7 hari Trimetsulfamet 0,9 gr 2x/hani10 hari amoksilin 520 mg 3 x/hari 7 hari

Sembuh total % 22 25 5 17 21 26 25 25 29 10 20 22 28 25 88 86 50 85 100 93 100

Grifson dkk, 1981 Greenberg dkk, 1981 Savord Fentok dkk, 1982 Hoovh dkk, 1982 Counts dkk, 1982 Talkoff Rubra dkk, 1983 Pontrer dkk; 1983.

15 28 18 67 10 36 14

16 31 22 91 12 40 15

94 90 82 74 83 90 93

12 Cermin Dunia Kedokteran No. 47, 1987

sulit, tidak semua anti mikroba kemanjurannya sama, menambah ongkos untuk pemantauan berhasilnya pengobatan dengan pemeriksaan kultur urin dan tidak adanya pemeriksaan yang baku untuk memilih kasus yang paling baik untuk dosis tunggal. Lalu penyembuhan dnegan dosis tunggal sangat variabel, dari 30% (memakai siklasilin) sampai 85 90% (memakai trimetroprim sulfametoksasol Oleh karena, pendapat yang simpang siur tersebut, I.T. Philbrick dkk5 mencoba meneliti sebab musabab perbedaan pendapat dari 14 penyelidik (Lihat tabel). 12 dari 14 penyelidikan di atas berkesimpulan, dosis tunggal sama efektifnya dengan dosis ganda. Menurut J.T. Philbrick dkk, dari tabel di atas dapat disimpulkan sebagai berikut: 1) Efisiensi pengobatan dosis tunggal pada kasus wanita dengan I.S.K. tanpa komplikasi tidak terbukti. 2) Semua penyelidik memakai jumlah kasus yang kurang dan contoh kasus tidak adekuat, sehingga salah bila ditafsirkan bahwa dosis tunggal sama efektif dengan dosis ganda. Pada kenyataannya, bila dibandingkan dengan dosis ganda, amoksil dosis tunggal 3 gram peroral kurang efektif. Kesimpulan tersebut disokong juga oleh penyelidikan yang lebih baru dengan memakai kasus jumlah besar yang diobati dengan amoksil atau siklasilin6, penyelidikan terpaksa dihentikan oleh karena laju penyembuhan yang rendah. Bila dilihat dalam satu bulan, laju penyembuhan spontan pada I.S.K. tanpa komplikasi , kira-kira 50%, dan laju penyembuhan dengan amoksildosis tunggal 69%. Jadi hanya sedikit perbaikannya, serta jauh lebih rendah dari laju penyembuhan dosis ganda amoksil atau ampisilin yang 84%. Dosis tunggal sulfametoksasol trimetroprim 2 atau 3 tablet dengan kekuatan ganda, agaknya sama efektifnya dengan dosis ganda. Pada penyelidikan dengan sefaklor,s dosis tunggal tidak efektif. 3) Dengan dosis tunggal, kemungkinan berkurangnya efek samping juga tidak terbukti. Pada setiap penyelidikan dilaporkan bahwa tidak ada perbedaan efek samping di antara kedua macam pengobatan ataupun efek samping lebih tinggi pada pengobatan dosis ganda. 4) Pemeriksaan bakteri berselubung antibodi sering dipakai untuk mengetahui berhasilnya pengobatan. Pasien dengan bakteri berselubung antibodi yang negatif akan berhasil baik dengan dosis tunggal. Tetapi sayang pemeriksaan tersebut tidak selalu dapat dikerjakan dan metode pemeriksaannya tidak baku, sehingga hasil pemeriksaan kurang dapat dipercaya. 5) Kesimpulan kegagalan dosis tunggal, jangan dipakai pada kasus dengan infeksi ginjal yang menjalar ke parenkim. Sembuhnya infeksi dengan dosis tunggal, berarti kasus tersebut tidak perlu diperiksa radiologik ataupun sistografi, oleh karena kegagalan hanya 30%; sehingga tidak praktis untuk melakukan pemeriksaan tersebut, yang mahal dan memerlukan waktu. 6) Pada I.S.K., jangka waktu pengobatan yang optimal belum diketahui. Penelitian baru yang lain membandingkan pemakaian dosis tunggal 3 hari dan 7 hari pada wanita tidak hamil, dari sosio ekonomi rendah. Dengan 3 hari trimetoprimsulfametoksasol, laju pertumbuhan 88% dengan pemantauan 4 minggu, dengan sefadroksil dosis tunggal, 25% sembuh, 3 hari sefadroksil, 58% sembuh, 7 hari sefadroksil, 70% sumbuh dan dosis tunggal trimetoprim sulfametoksasol 65% sembuh.

Baik pemeriksaan bakteri berselubung antibodi maupun gambaran kepekaan tidak dapat dipakai sbagai ramalam pengobatan.10 Untuk memilih pengobatan, harus dilakukan anamnesis tentang faktor risiko sebelum I.S.K., lesi anatomi ginjal, diabetes, tanda dan gejala yang mengarah ke vaginitis, gejala dan tanda penyakit saluran kemih atas, Pengobatan dosis tunggal yang paling sederhana dengan trimetoprimsulfametoksasol 320 mg 1600 mg, atau 3 gram amoksilin. Pengobatan mandiri dosis tunggal Selain daripada itu diteliti kegunaan pengobatan pencegahan pada wanita dalam waktu 1 tahun timbul serangan I.S.K. bagian bawah (reinfeksi lebih sering daripada relaps , oleh karena pengobatan I.S.K. yang tidak adekuat) Obat-obatan yang dipakai adalah nitrofurantoin, metanamin-madelat, trimetroprim dan trimetoprimsulfametoksasol. Pencegahan dapat diberikan setiap hari selama 6 bulan atau lebih11,12 ,atau diberikan hanya sesudah bersenggama13. Satu penyelidik memakai dosis tunggal harian trimetoprimsulfametoksasol, dinyatakan hasilnya efektif dan murah untuk wanita dengan infeksi minimal 3 kali dalam setahun14. Pada wanita dengan infeksi berulang, di mana dia sendiri dapat dengan cermat mendeteksi gejala dini, dianjurkan segera mengobati sendiri dengan dosis tunggal trimetoprim 320 mg sulfametoksasol 1600 mg. Cara tersebut dapat menyembuhkan infeksi secara klinis dan bakteriologis15. Pengobatan dosis tunggal di sini menarik, oleh karena efektif, murah, tidak ada efek samping obat dan pengaruh ke flora enterobakteri di dubur, uretra dan vagina; lebih mudah memilih anti-biotika yang masih peka, dan tidak perlu menentukan lamanya pengobatan yang optimal. E.S. Wong dkkls menyelidiki 38 wanita dengan I.S.K. berulang, dibri pengobatan sendiri intermiten dosis tunggal trimetoprimsulfametoksasol. Semua gejala klinis infeksi tersebut adalah sistitis akut tanpa komplikasi, 90% dari kuman sensitif terhadap trimetroprimsulfametoksasol dan kasus dengan bakteri berselubung antibodi hanya 10%. Dengan adanya tiga hal tersebut, diharapkan bahwa pengobatan dosis tunggal akan efektif10,16 Mengobati mandiri secara intermiten, pada umumnya dapat lebih cepat daripada pasien harus datang ke dokter, sehingga mungkin dapat mencegah infeksi beranjak ke ginjal. Dari 38 kasus, 30 berhasil, 2 gagal dan 3 kambuh yang kemudian sembuh dengan pengobatan jangka 10 hari.Gambar 2 : Pendekatan klinik pada wanita dengan riwayat I.S.K. berulang

Cermin Dunia Kedokteran No. 47, 1987 13

Dengan pengobatan profilaksis, laju infeksi 0,2 kali serangan pertahun, dan 2,2 kali serangan pertahun pada pengobatan mandiri. Ongkos perkwartal pengobatan profilaksis dan mandiri sama, lebih murah daripada pengobatan konvensional untuk wanita dengan 2 atau lebih infeksi pertahun. Pengobatan profilaksis sangat berguna untuk wanita dengan infeksi 3 atau lebih pertahun, dan pengobatan mandiri untuk wanita dengan infeksi 12 pertahun. Ringkasan 1) Prosentase terbesar pada I.S.K. adalah wanita dengan disuri akut. Pada umumnya penyebab terbesar dari I.S.K. tersebut primer oleh Eserikhia Coli dan sekunder oleh Stafilokokus saprofitikus. 2) I.S.K. tanpa komplikasi atau dengan risiko rendah terhadap kerusakan ginjal, berarti tidak ditemikan: kelainan struktur saluran kemih, kelainan neurologis saluran kemih, benda asing dalam saluran kemih, diabetes melitus. 3) Dari sudut epidemiologis, pengobatan I.S.K. baru diberikan bila ada piuria. 4) Tujuan pengobatan pada wanita dengan I.S.K. tanpa komplikasi menghilangkan gejala dan mengurangi infeksi kambuh, sehingga pengobatan pencegahan ditunjukkan hanya pada serangan yang bergejala. 5) Bakteriuria tanpa gejala tidak perlu diobati. Tetapi pada kehamilan, wanita dengan infeksi yang sering berulang dan pria dengan infeksi yang menetap, perlu diobati. 6) Dalam praktek sehari-hari, pengobatan pada wanita dengan I.S.K. bagian bawah tanpa komplikasi cukup dengan dosis tunggal. Follow up dengan kultur sesudah 47 hari pengobatan. 7) Keuntungan pengobatan dosis tunggal: lebih murah, kepatuhan obat lebih tinggi, lebih menyenangkan, dan efek samping lebih kecil. 8) Pengobatan dosis tunggal cukup efektif, tetapi kurang efektif daripada dosis ganda beberapa hari. 9) Kegagalan pengobatan dosis tunggal berarti ada komplikasi atau I.S.K. bagian atas dengan komplikasi. Di sini barn perlu pemeriksaan bakteriologis, radiologis dan urologis. 10) Infeksi berulang pada wanita, 80% oleh serotipe baru dari Eserikhia Coli atau bakteri usus yang lain dan 20% oleh kuman seperti semula. 11) Pada wanita dengan infeksi berulang 12 kali pertahun, dianjurkan pengobatan mandiri dosis tunggal. 12) Obat-obatan yang umum dipakai: trimetoprimsulfamctoksasol, furadantin, urfadin, ampisilin, asam nalidisik.KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. Savard-Denton M, fenton BW, Roller LB dkk. Single dose amoxycillin therapy with follow up urine culture. Am J Med 1982; 73 : 808813. Bailey RR, Abbott BD. Treatment of urinary tract infection with a single dose of amoxycillin. Nephron. 1977; 18 : 316320. Williams JD, Smith EK. Single dose therapy with srteptomycin Ind sulfametopyrazone for bacteriuria during pregnancy. Brit Med J 1970; 2 : 651657.

4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.

11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19.

20. 21. 22. 23. 24.

Ronald HR, Boutros P, Mourtada H. Bacteriuria localisation and response to single dose therapy in women. JAMA 1976; 235 : 1854 1856. Philbrick JT, Bracikowski JP. Single dose antibiotic treatment for uncomplicated urinary tract infections. Arch, Intern Med. 1985; 145 : 16721678. Hooton TM, Running K, Stamm WE. Single-dose theraphy for cystitis in women. JAMA 1985; 253 : 387390. Mabeck CE. Treatment of uncomplicated urinary tract infection in nonpregnant women. Postgrad Med J, 1972; 48 : 6975. Greenberg RN, Sanders CV, Lewis AC dkk. Single dose cefaclor therapy of urinary tract infection. Am J Med 1981; 71 : 841845. Sheehan G, Harding BKM, Ronald AR. Advances in the treatment of urinary tract infenction. Am J Med 1984; 76 : 141147. Rubbin RH, Fang RST, Wagner KF dkk. Single dose amoxcycillin therapy for urinary tract infection : Multicantertrial using antibody coated bacteria localization technique. JAMA 1980; 244 : 561564. Harding BK, Ronald AR. A controlled study of anti microbal prophylaxis of recurrent urinary infection in women. N Engl J Med 1974; 291 : 597601. Stamey TA, Condy M, Mihara G. Prophylactic efficacy of nitrofuration macrocrustals and trimethoprinsulfamethoxazole in urinary infection. N Engl J Med 1977; 296 : 780783. Vosti KL. Recurrent urinary tract infection prevention by prophylactic antibiotics after sexual intercourse. JAMA. 1975; 231 : 934940. Stamm WE, Mc Kevitt M, Counts GW dkk. Antimicrobial prophylaxis of urinary tract infection cost effective ?. Amm intern Med. 1981; 94 : 251255 Wong ES, Kevitt MM, Running dkk. Management of tercurrent urinary tract infentions with patient administered single dose therapy. Am of hit Med 1985; 102 : 302307. Counts GW; Stamm WE, Mc Kevitt M dkk. Treatment of cystitis in women' with a single dose of trimethiprinsulfamethoxazole. Rev infect Dis. 1982; 4 : 484490. Bailey RR. Single dose therapy of urinary tract infectionSydney, ADIS health Science Press, 1983. Erickson K, Kjellberg L, Henning C. Single dose antibiotics for urinary infection. Lancet 1981; 1 : 331. Fang LST, Talkoff RN, Rubin RH. Efficacy of single dose and conventional amoxycillin therapy in urinary tract infection localized by the antibodyCoated bacteria technic. N Engl J Med 1978, 298 : 413416. Kuning CM. Duration of treatment of urinary tract infections the Am J of Med 1981; 71 : 849854. Lawrence RM. Current theraphy of urinary tract infections and pyelonephritis. Seminar in Nephrology : 6:3. 1986, 241250. Sellon M., Cooke DJ, Gillespie WA dkk. Micrococcal urinary tract infections in young women. Lancet 1975; 2 : 570 : -575. Treatment of urinary tract infections Med. Lett 1981; 23 : 6970. Soney P, Polk BF. Single dose antimikrobial therapy for urinary tract infections in women Rev infect des. 1982; 4 : 2934.

Untuk segala surat-surat, pergunakan alamat: Redaksi Majalah Cermin Dunia Kedokteran P.O. Box 3105 Jakarta 10002

14 Cermin Dunia Kedokteran No. 47, 1987

Hipertensis Pada Diabetes MelitusDr. Wiguno P, Dr. M.S. Markum, Dr. Roemiati 0, Dr. R.P. Sidabutar Sub Bagian Gin/al dan Hipertensi Bagian Ilmu Penvakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RS Ciptomangunkusumo, Jakarta

Diabetes melitus dan hipertensi adalah dua keadaan yang berhubungan erat dan keduanya merupakan masalah kesehatan yang perlu mendapatkan penanganan yang seksama. Insidensi hipertensi pada penderita diabetes melitus lebih tinggi apabila dibandingkan dengan penderita tanpa diabetes melitus, dan pada beberapa penelitian dibuktikan, kenaikan tersebut sesuai dengan kenaikan umur dan lama diabetes. Diperkirakan 30 60% penderita diabetes melitus mempunyai hubungan dengan hipertensi1,2,3. Hipertensi pada diabetes melitus meningkatkan morbiditas dan mortalitas, serta berperan dalam mekanisme terjadinya penyakit jantung koroner, gangguan pembuluh darah perifer, gangguan pembuluh darah serebral dan terjadinya gagal ginjal. Kelainan pada mata akibat diabetes melitus yang berupa retinopati diabetik juga dipengaruhi oleh hipertensi..Oleh karena itu, hipertensi pada diabetes melitus perlu ditanggulangi secara seksama. Untuk tujuan ini diperlukan pengetahuan mengenai patogenesis hipertensi pada diabetes melitus, dan berbagai obat anti-hipertensi serta pengaruhnya terhadap diabetes melitus. PATOGENESIS1,3,4 Hipertensi pada diabetes melitus dapat dilihat dalam beberapa bentuk, yaitu1: 1. Hipertensi diabetik 2. Hlpertensi sistolik 3. Hipertensi esensial. Hipertensi diabetik adalah bentuk hipertensi renal yang terjadi pada nefropati diabetik yang sering ditemukan pada diabetes melitus tipe I. Hipertensi sistolik merupakan akibat terjadinya aterosklerosis pada diabetes melitus. Sedangkan hipertensi esensial merupakan bentuk yang paling sering dijumpai dan biasanya merupakan komplikasi akhir dari diabetes

melitus. Laporan final dari "Working Group on Hypertension in Diabetes", membagi hipertensi pada diabetes melitus dalam beberapa bentuk, seperti terlihat pada tabel5.Tabel. Hipertensi pada penderita dengan DM *) 1. Potentially surgical curable 2. Nephropathy clinically absent Essential hypertension Isolated Systolic hypertension 3. Nephropathy present Renal hypertension 4. Neuropathy present Supine hypertension with orthostatic hypotension *) dikutip dari 5

Dalam membicarakam patogenesis hipertensi pada diabetes melitus dapat ditinjau dari berbagai segi, misalnya peran ginjal, sistem pembuluh darah dan jantung, sistem reninangiotensin-aldosteron, sistem susunan saraf otonom, dan peran berbagai hormon. Kelainan histopatologik pada ginjal akibat hipertensi dapat mengenai glomerulus, tubulus, interstitium, dan arteriol. Kelainan patologik yang paling sering dijumpai adalah lesi nodular yang mengenai mikrovaskular dan lesi glomerular yang difus. Kelainan ini lebih banyak dijumpai pada diabetes melitus tipe I dan dikenal dengan lesi Kimmelstiel Wilson. Keadaan ini dihubungkan dengan terjadinya hialinisasi glomerulus yang mengakibatkan penurunan kliren air, peninglcatan volume intravaskular, dan hipertensi. Gambaran klinik yang dijumpai adalah proteinuri, hipertensi, dan gagal ginjal. Peningkatan tekanan darah yang terjadi sejalan dengan beratnya kelainan pada ginjal. Dengan adanya pielonefritis yang sering dijumpai pada diabetes melitus, akan memperberat glomerulosklerosis, dan kemungkinan berperan secara ber-

Cermin Dunia Kedokteran No. 47, 1987 15

makna pada patogenesis hipertensi. Terdapat 2 (dua) teori yang dapat menerangkan mekanisme terjadinya kelainan mikrovaskular pada glomerulosklerosis diabetik, yaitu teori genetik dan teori metabolik yang keduanya saling kontroversial. Teori genetik menyatakan, terjadinya mikroangiopati disebabkan oleh sifat genetik (genome) dari vaskular sendiri dan tidak dipengaruhi oleh faktor yang berhubungan dengan defisiensi insulin. Hal ini dibuktikan bahwa lesi mikrovaskular dijumpai pada beberapa penderita tanpa kelainan glukosa dan terjadinya lesi awal pada glomerulosklerosis diabetik yang berupa penebalan membrana basalis jarang dijumpai pada awal penyakit. Teori metabolik menyatakan, terjadinya mikroangiopati secara langsung oleh karena kelainan metabolik akibat defisiensi insulin baik secara absolut maupun relatif. Faktor lain yang perlu diperhatikan adalah obesitas. Obesitas dijumpai pada 80% penderita diabetes melitus tipe II dan diduga faktor ini juga mempengaruhi terjadinya hipertensi pada diabetes melitus3. Kelainan pada diabetes melitus yang klasik adalah mikroangiopati spesifik dan makroangiopati yang tidak spesifik yang mempunyai andil terhadap terjadinya hipertensi. Pada hipertensi dan diabetes melitus terjadi proliferasi otot polos pembuluh darah akibat kerusakan pembuluh oleh kadar hormon dan lemak dalam sirkulasi yang abnormal, dan atau intervensi trombosit yang menimbulkan hiperagregasi. Keadaan tersebut merupakan latar belakang terjadinya aterosklerosis, dengan akibat terjadinya hipertensi sistolik pada penderita diabetes melitus. Hubungan antara hipertensi pada diabetes melitus dengan sistem renin-angiotensin-aldosteron dilaporkan kontroversial oleh beberapa peneliti. Pada umumnya menyatakan, pada awal penyakit aktifitas renin plasma (PRA) masih normal atau meningkat, sedangkan pada akhir penyakitnya didapatkan penurunan respon renin terhadap efek stimulasi oleh perubahan posisi, furosemid, diaksosid dan angiotensin II. Pada umumnya peninggian tekanan darah tidak diikuti oleh peningkatan renin dan aldosteron. Keadaan inilah yang dapat menerangkan bahwa hipertensi maligna jarang diju.mpai pada penderita diabetes melitus2,3. Adanya kadar katekolamin yang rendah pada penderita hipertensi dan diabetes melitus kemungkinan merupakan salah satu yang dapat menerangkan keadaan ini. Dalam keadaan basal, kadar katekolamin ditemukan normal pada penderita diabetes melitus. Akan tetapi perangsangan dengan perubahan posisi dan aktifitas fisik isometrik menunjukkan kelainan dalam peningkatan katekolamin. Katekolamin diketahui mempengaruhi pelepasan renin, sehingga adanya penurunan kadar katekolamin bertanggung jawab terhadap penekanan sistem renin-angiotensin-aldosteron. Beberapa hormon diduga mempunyai pengaruh terhadap ter-jadinya hipertensi pada diabetes melitus. Hormon yang diketahui mempunyai peran terhadap mekanisme kontrol tekanan darah adalah PRA, katekolamin, kortisol dan growth hormone. EVALUASI KLINIK DAN DIAGNOSTIK5,6 Pada prinsipnya, evaluasi hipertensi pada diabetes tidak berbeda dengan evaluasi hipertensi pada penderita nondiabetes, akan tetapi berbagai bentuk hipertensi yang dapat terjadi pada diabetes perlu diperhatikan. Anamnesis yang teliti

mengenai riwayat hipertensi atau diabetes dalam keluarga, riwayat penggunaan obat yang dapat meningkatkan tekanan darah atau gula darah antara lain steroid, pil kontrasepsi, antiinflamasi nonsteroid atau dekongestan nasal perlu ditanyakan. Keluhan yang dapat timbul pada hipertensi atau diabetes perlu ditanyakan dengan teliti. Riwayat pengobatan hipertensi dan perkembangan keadaan tekanan darahnya dapat dipakai untuk menduga kemungkinan hipertensi sekunder. Walaupun hipertensi sekunder yang potensial dapat disembuhkan dengan tindakan bedah (potentially sugical curable) seperti hipertensi renovaskular, hiperaldosteronisme primer, feokromositoma, biasanya jarang dijumpai, akan tetapi hal ini perlu dipertimbangkan. Hipertensi golongan ini biasanya merupakan hipertensi maligna, secara klinis sesuai dengan hipertensi sekunder, respon pengobatan yang jelek, atau pada penderita yang semula mudah dikontrol tiba-tiba menjadi sulit terkontrol. Kebiasaan minum alkohol, makan makanan yang banyak mengandung garam, faktor psikososial dan lingkungan yang dapat mempengaruhi tekanan darah perlu diteliti. Dalam pengukuran tekanan darah harus diperhatikan cara pengukuran, alat ukur, saat pengukuran dan tempat pengukuran. Pemeriksaan pada jantung, mata, ginjal dan susunan saraf pusat perlu dilakukan untuk menilai keterlibatan organ tersebut pada hipertensi. Penilaian yang mengarah pada hipertensi sekunder seperti bruit di abdomen, ginjal polikistik, takikardi dan keringat tidak boleh dilupakan. Pemeriksaan darah tepi dan urin lengkap, fungsi ginjal, kadar gula darah, kalium dalam serum, dan hemoglobin glikosilated diperlukan untuk menilai keadaan diabetes dan kemungkinan penyebab hipertensi. Pemeriksaan fraksi lemak diperlukan untuk menilai faktor risiko kardiovaskular. PENATALAKSANAAN Pengobatan hipertensi pada diabetes selain bertujuan untuk mengontrol tekanan darah harus juga diperhatikan kontrol terhadap diabetes melitus dan komplikasinya, terutama yang menyangkut ginjal dan kardiovaskular. Secara garis besar penatalaksanaan hipertensi dapat dibedakan atas penatalaksanaan non-farmakologik dan penatalaksanaan farmakologik. Prinsip pengobatan hipertensi masa kini dengan perhatian terhadap pengaruh pengobatan pada kualitas hidup penderita harus selalu mendasari sikap kita dalam pemilihan obat. Pengobatan non-farmakologik2,5,6,7 Pengobatan non-farmakologik dapat diberikan sebagai terapi tambahan pada pengobatan farmakologik. Pengobatan non-farmakologik dapat berupa kontrol terhadap berat badan, membatasi asupan garam, atau asam lemak. Pengobatan ini biasanya diberikan untuk hipertensi yang ringan. Jenis pengobatan yang diberikan diupayakan yang tidak mengganggu gaya hidup dan tanpa efek samping. Penurunan berat badan sampai dengan batas tertentu yang diharapkan merupakan indikasi pengobatan, baik pada hipertensi maupun diabetes melitus. Penurunan berat badan ini dapat dilakukan dengan pembatasan kalori ataupun olahraga. Pada beberapa penelitian, olah-raga terbukti dapat menurunkan tekanan darah melui penurunan tahanan perifer.

16 Cermin Dunia Kedokteran No. 47, 1987

Di samping itu olah-raga menimbulkan perasaar. santai yang dapat membantu menurunkan tekanan darah. Kedua bentuk pengobatan non-farmakologik tersebut sangat sesuai untuk pada penderita diabetes karena dapat mengontrol gula darah. Pembatasan asupan garam di samping penurunan berat badan dapat menurunkan tekanan darah. Akan tetapi perlu diperhatikan agar pembatasan garam masih telap dapat diterima oleh penderita. Untuk ini perlu diperhatikan kebiasaan makan dan jenis makanan yang banyak mengandung garam. Penambahan kalium, pemanfaatan ion kalsium dan magnesium belum seluruhnya meyakinkan sehingga masih belum direkomendasi. Pada beberapa penelitian, pemberian diet rendah lemak jenuh dibuktikan dapat menurunkan tekanan darah dan mengurangi faktor risiko kardiovaskular. Menghindari rokok, alkohol, hiperlipidemi dan stres yang berlebihan akan menolong menghindarkan diri dari risiko hipertensi. Pengobatan farmakologik2,4,5,6,8 Apabila dengan pengobatan non-farmakologik belum menolong, langkah selanjutnya adalah menggunakan obat. Menjadi masalah kapan pengobatan harus dimulai? Mengingat adanya pengaruh terhadap kelainan pembuluh darah, hipertensi pada diabetes harus mulai diberikan pengobatan farmakologik apabila tekanan darah 140 mmHg sistolik atau lebih, setelah pengobatan non-farmakologik tidak berhasil. Pertimbangan ini sesuai dengan penelitian KNOWLER (dikutip dari 4), yang mendapatkan, tekanan darah 145 mmHg sistolik insidensi retinopati menjadi dua kalinya. Sedangkan PARVING (dikutip dari 4) menunjukkan, dengan pengobatan hipertensi secara agresif ternyata dapat menurunkan 57% albuminuri setelah pengobatan selama 1 tahun pada penderita muda dengan diabetes melitus tipe I. Apabila telah disepakati bahwa hipertensi pada diabetes melitus harus diobati, maka masalah kedua adalah obat mana yang akan digunakan. Pada prinsipnya disetujui bahwa pengobatan hipertensi pada diabetes melitus tidak berbeda dengan pengobatan pada hipertensi pada penderita tanpa diabetes melitus. Yang perlu mendapatkan perhatian ialah bahwa efek samping obat anti-hipertensi dapat menimbulkan gangguan metabolik pada diabetes melitus. Oleh karena itu pengobatan harus diberikan dengan mengingat kepentingan secara individual dan tingkat kelainan metabolik yang ada. Golongan diuretik tiasid banyak dipakai pada pengobatan hipertensi pada diabetes, karena dihubungkan dengan adanya retensi natrium. Akan tetapi, secara epidemiologik terbukti dapat meningkatkan faktor risiko kardiovaskular yang lain. Pada penggunaan jangka panjang dapat teijadi gangguan toleransi glukosa, kenaikan kadar lemak darah, hipokalemi dan gangguan seksual yang pada diabetes melitus kemungkinannya menjadi meningkat. Pada diabetes melitus tipe II penggunaan tiasid dapat menurunkan sekresi insulin melalui efek hipokalemi sehingga akan mengganggu kontrol terhadap diabetes. Keadaan ini tidak berpengaruh pada diabetes melitus tipe I karena memang teijadi ketidakefektifan sekresi insulin. Pada gangguan fungsi ginjal, tiasid menjadi kurang efPktif aan pada keadaan ini furosemid dapat digunakan. Golongan ini juga menimbulkan efek samping yang kurang lebih sama sehingga memerlukan pengawasan yang seksama. Pada penggunaan diuretik golongan spironolakton perlu dipikirkan

kemungkinan terjadi penimbunan kalium yang dapat mengganggu irama jantung. Golongan ini dilaporkan pula dapat menimbulkan gangguan seksual sehingga penggunaannya jarang dianjurkan. Golongan penyekat beta atau betabloker, sering mengaburkan gejala hipoglikemi dan memperlambat penyembuhannya. Di samping itu dapat pula mengganggu toleransi glukosa dengan menghambat sekresi insulin. Hal ini lebih banyak terjadi pada betabloker golongannon-selektif akibat terjadinya hambatan pada resptor beta-2 yang berperan dalam sekresi insulin melalui perangsangannya. Golongan penyekat alfa yang beredar di Indonesia adalah prasozin. Akibat samping yang sering teijadi pada golongan ini adalah hipotensi ortostatik. Oleh karena golongan ini tidak memperberat gangguan metabolisme lemak pada diabetes melitus dan jarang menimbulkan gangguan seksual, obat golongan ini dipakai sebagai pengobatan tingkat pertama untuk hipertensi pada diabetes melitus. Pada penderita dengan gangguan saraf otonom perlu mendapat perhatian khusus karena sudah terjadi hipotensi ortostatik. Golongan penghambat simpatik seperti reserpin, klonidin, alfametildopa, dan guanitidin sering menimbulkan efek samping seperti hipotensi ortostatik, dan gangguan seksual. Gangguan ini akan makin menonjol pada penderita diabetes melitus yang disertai gangguan saraf otonom. Golongan vasodilator seperti hidralasin dan minoksidil juga sering menimbulkan hipotensi ortostatik, walaupun sedikit pengaruhnya terhadap toleransi glukosa, elektrolit dan kadar lemak. Golongan antagonis kalsium dan penghambat ensim konversi angiotensin dapat dipakai pada hipertensi pada diabetes melitus. Mengenai pengaruhnya terhadap toleransi glukosa dan metabolisme insulin masih merupakan kontroversial. Sebagian mengatakan, golongan ini tidak mempengaruhi sekresi insulin dan metabolisme glukosa; sedangkan yang lain menyatakan, golongan ini mempunyai tendensi diabetogenik. Penghematan ensim konversi angiotensin selain mempunyai efek antihipertensi pada diabetes melitus juga mengurangi proteinuri dan mempertahankan fungsi ginjal pada nefropati diabetik. Penggunaan obat golongan ini harus hatihati apabila terdapat keadaan hiporenin-hipoaldosteronisme dan gangguan fungsi ginjal karena efek sampingnya. Hiperkalemi, gangguan fungsi ginjal dan proteinuri dapat timbul sehingga perlu pemantauan secara seksama. Keuntungannya, golongan ini tidak mempengaruhi toleransi glukosa, kadar lemak dan gangguan seksual. Enalapril merupakan obat yang baru dari golongan ini dan dinyatakan lebih jarang menimbulkan efek samping. Berbagai efek samping obat dan kaitannya dengan gangguan metabolisme glukosa pada diabetes melitus, harus. merupakan bahan pertimbangan dalam pemilihan obat dan harus selalu dikaitkan pengaruhnya terhadap kualitas hidup penderita. RINGKASAN Telah diuraikan patogenesis, evaluasi klinik dan penatalaksanaan hipertensi pada diabetes melitus. Di pasaran tersedia banyak sekali obat anti-hipertensi yang telah dibuktikan efektifitasnya untuk pengobatan hipertensi. Pengobatan Cermin Dunia Kedokteran No. 47, 1987 17

hipertensi pada penderita tanpa diabetes melitus, akan tetapi tingkat gangguan metaboliknya perlu mendapatkan perhatian. Beberapa pertimbangan dalam pemilihan jenis obat telah diuraikan. Prinsip pengobatan hipertensi masa kini yang tidak hanya menurunkan tekanan darah saja, akan tetapi harus memperhatikan kualitas hidup penderita harus selalu ,,diingat.KEPUSTAKAAN

3. 4.

5. 6. 7.

1. 2.

Christlieb AR. Diabetes and Hypertensive Vascular Disease : Mecahanism and Treatment. The Am J of Cardiology 1973; 32 : 592-604. Peiris AN and Gustafson AB. Current Therapeutic Copcepts in Diabetic Hypertension. Diabetes Care 1986; 9 (4) : 409-13.

8.

Yzagoumis M. Aspect of Hypertension, Coexisting Diabetes, Pfizer International Inc. publication. Hamet P. Metabolic Aspects of Hypertension : Hypertension Physiopathology and Treatment, 2nd Ed. Jacques Genest, Erich Koiw, Otto Kuchel (eds), Mc. Graw-hill Book Company, 1977: 413-16. Statement on Hypertension in Diabetes Mellitus, Final Report The Working Group in Hypertension in Diabetes, Arch Intern Med 1987; 147: 830-42. Sidabutar RP, Wigune P. Hipertensi Esensial dan Penanggulangannya. Dalam : Hipertensi Pendekatan Praktis dan Penatalaksanaan, Bintari Rukmono, Elias Sulisto (eds), 1986 : 41-61. Kaplan NM. Non-Drug Treatment of hypertension, Annals of Internal Medicine 1985; 102 : 359-73. Roesma J, Sidabutar RP. Penanggulangan Hipertensi Pada Diabetes Melitus dengan Perhatian khusus pada Penghambat Enzim Konverting Angiotensin, Simposium Nasional Hipertensi, Aspek Khusus dan Gagal Jantung, 29 Agustus 1987, Jakarta.

18 Cermin Dunia Kedokteran No. 47, 1987

Hipertensi dengan KehamilanDr. Jose Roesme, Dr. Endang Susalit, Dr. Suhardjono, Dr. Pudji Rahardjo Subbagian Ginjal-Hipertensi, Bagian Ilmu Penyakit Da/arn Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RS Ciptomangunkusumo, Jakarta

Berdasarkan pengalaman klinik dalam penanggulangan hipertensi dengan kehamilan di Indonesia dengan penyesuaian terhadap lingkungan dan fasilitas yang tersedia bagi sebagian besar dokter di Indonesia, dirasakan perlu adanya suatu upaya klasifikasi baru mengenai hipertensi dengan kehamilan. Tujuan klasifikasi baru ini adalah untuk mempermudah diagnostik dengan memberikan beberapa tolok ukur klinik dan untuk menyeragamkan catatan medik agar dapat membantu epidemiologi dan penanggulangan hipertensi dengan kehamilan dimasa depan. Dalam Kongres Internasional Society of Hypertension in Pregnancy' , diusulkan suatu kiasifikasi klinis yang dirasakan cocok untuk negara kita. Makalah ini berusaha menyebarluaskan klasifikasi baru ini untuk mendapatkan umpan balik dari pembaca. BEBERAPA TOLOK UKUR KLINIS Di masa lalu yang segala keadaan yang berhubungan dengan hipertensi dengan kehamilan digabungkan dalam istilah toksemia kehamilan dengan trias hipertensi, proteinuria dan edema. Pada saat ini, istilah toksemia kehamilan tidak dianjurkan lagi, demikian juga berpuluh-puluh istilah lain. Yang dipakai adalah data klinis yang ditemukan pada satu kali pemeriksaan. Edema yang penilaiannya sangat subjektif, terutama dalam derajat dan patologinya tidak lagi dipakai sebagai tolok ukur. Tolok ukur yang dipergunakan hanya tinggal dua, yaitu hipertensi dan proteini ria bermakna. Hipertensi dinyatakan dan apabila tekanan diastolik sama atau lebih dari 90 mmHg, yang diperiksa dua kali berturutturut dengan selang waktu 4 jam atau bila tekanan diastolik sama atau lebih dari 100 mm Hg pada waktu pemeriksaan. Penilaian tekanan darah dilakukan dalam keadaan berbaring miring, dalam posisi setengah. duduk (1530 derajat dari bidang mendatar). Tekanan diastolik diukur berdasarkan bunyi Korotkoff 4, yaitu pada saat bunyi terdengar melemah. Proteinuria bermakna dinyatakan ada bila didapatkan: a) derajat 2+ pada urin sewaktu dengan memakai cara clean

catch atau urin kateter yang diperiksa dengan metode kertas reagen (strip) atau metode sulfosalisilat. Pemeriksaan ini harus dilakukan dua kali dengan selang waktu 4 jam. b) atau didapatkan jumlah protein sama atau lebih dari 300 mg pada urin 24 jam yang terkumpul sempurna. Pemeriksaan ini cukup dilakukan satu kali saja. Kedua tolok ukur ini dapat diperiksa secara objektif dan pada umumnya dapat dilakukan di seluruh Indonesia. BEBERAPA ISTILAH Istilah hipertensi proteinuria dengan kehamilan dipakai sebagai istilah umum, yang menggambarkan adanya hipertensi proteinuria dan adanya kehamilan tanpa menjelaskan hubungannya. Istilah hipertensi proteinuria pada kehamilan dipakai -bila diperkirakan hipertensi dan proteinuria disebabkan oleh hehamilan itu sendiri. Pada umumnya keadaan ini timbul setelah kehamilan berlangsung 20 minggu atau lebih, waktu persalinan ataupun 2 hari masa nifas. Istilah hipertensi proteinuria dan kehamilan dipakai bila: a) Keadaan ini telah diketahui sebelum kehamilan atau b) Keadaan ini timbul sebelum kehamilan 20 minggu, dan c) Keadaan ini tetap ada setelah habis masa nifas. Jadi hipertensi / proteinuria telah ada sebelum hamil dan tetap ada sesudah nifas. KLASIFIKASI HIPERTENSI DENGAN KEHAMILAN 1. 2. 3. Hipertensi pada kehamilan. Hipertensi dan kehamilan Hipertensi dengan kehamilan tidak terklasifikasi.

Hipertensi pada kehamilan Golongan ini dibagi dalam : a. hipertensi pada kehamilan > 20 minggu / persalinan / 2 hari masa nifas.

Cermin Dunia Kedokteran No. 47, 1987 19

b. Proteinuria pada kehamilan > 20 minggu / persalinan / 2 hari masa nifas. c. Proteinuria dan hipertensi pada kehamilan > 20 minggu / persalinan / 2 hari masa nifas = (preeklampsia). Hipertensi pada kehamilan adalah : hipertensi yang timbul pada kehamilan yang hilang/menjadi normotensif pada masa nifas. Proteinuria pada kehamilan bisa disebabkan : 1. orthostatic proteinuria 2. pyuria 3. kehamilan sendiri (preeklampsia) 4. penyakit ginjal baik akut maupun kronik. Orthostatik proteinuria dan pyuria dapat di diagnosis dengan mudah, sedangkan proteinuria yang disebabkan kehamilan sendiri dan proteinuria pada penyakit ginjal baik akut maupun kronik sering barn bisa diketahui secara pasti pasca persalinan. Proteinuria ini akan menghilang pada masa nifas. Proteinuria dan hipertensi pada kehamilan pada umumnya merupakan pertanda preeklampsia. Kadang-kadang nefritis akut bisa muncul pertama kali dalam kehamilan dengan gejala hipertensi danproteinuria,tapi kejadian ini jarang sekali. Hipertensi dan kehamilan Keadaan ini meliputi : a. hipertensi kronik b. penyakit ginjal kronik c. hipertensi dengan preeklampsia (superimposed) Hipertensi kronik pada umumnya adalah hipertensi essensial yang terdapat bersama dengan kehamilan. Hipertensi sekunder pun bisa ditemukan sesuai dengan frekuensinya pada masyarakat. Penyakit ginjal kronik disamping yang jelas dapat diketahui, dianggap ada bila ditemukan proteinuria bermakna sebelum kehamilan 20 minggu. Timbulnya proteinuria pada hipertensi kronik selama masa kehamilan menunjukkan timbulnya preeklampsia, yang disertai kenaikan jumlah kematian perinatal. Hipertensi dan/atau proteinuria yang tidak dapat diklafikasi-kan. Hal ini terutama terjadi bila hipertensi dan/atau proteinuria didapatkan pertama kali sesudah kehamilan 20 minggu tanpa ada didapatkan riwayat kadaan ini sebelumnya. Klasifikasi diadakan sesudah persalinan. Bila hipertensi dan/atau proteinuria menghilang setelah persalinan, keadaan ini termasuk hipertensi/proteinuria pada kehamilan. Bila hipertensi ini/ atau proteinuria tetap ada sesudah 2 hari masa nifas, keadaan ini termasuk hipertensi/proteinuria dan kehamilan. KEUNTUNGAN KLASIFIKASI BARU 1. Bersifat murni klinis. 2. Klasifikasi didasarkan saat timbulnya kelainan sewaktu kehamilan, persalinan atau dalam 2 hari masa nifas. 3. Klasifikasi ini membuka kesempatan untuk reklasifikasi selambat-lambatnya sampai akhir masa nifas. Klasifikasi ini sangat sederhana praktis dan kami anjurkan dipakai oleh para ahli sesuai sikon di Indonesia. Masih banyak kelemahan-kelemahan, yang juga terbukti

dari diskusi-diskusi yang menyertai usulan ini. Sub bagian Nefrologi Bagian Penyakit Dalam FKUI sedang berusaha mengklasifikasi penderita-penderitanya dan mempelajari kelamahan dan keuntungannya usulan barn ini. KLASIFIKASI BARU DAN PENGOBATAN Klasifikasi baru lebih bersifat suatu upaya mencapai kesatuan pendapat dalam mencapai diagnostik dan tidak mempunyai pengaruh terhadap pengobatan. Pada umumnya semua pengobatan yang telah dianjurkan untuk hipertensi dengan kehamilan tetap berlaku3. Malah klasifikasi ini berusaha membantu upaya pengobatan dengan: menyesuaikan tolok ukur hipertensi yaitu tekanan darah 140/90 sesuai dengan tolok ukur WHO yang berlaku umum. bila tekanan diastolik sama atau lebih 110 mmHg cukup satu kali pemeriksaan saja untuk diagnosis hipertensi. hipertensi berat didefinisikan sebagai tekanan diastolik sama atau lebih dari 120 mmHg sekali periksa atau tekanan diastolik sama atau lebih 110 mmHg diperiksa 2x dengan selang waktu 4 jam. tekanan diastolik dikur pada fase korotkoff 4 (bunyi melemah), kecuali bila hal itu tidak jelas baru dipakai korotkoff 5. Dengan cara demikian, pengobatan dapat dilakukan segera tanpa perlu menunggu/mencari tolok ukur yang lain yang dipakai oleh klasifikasi terdahulu.KEPUSTAKAAN. 1. Davey, Mac Gillivray. Hypertensive Disordes of Pregnancy. Clin and exper Hyper, 1986; BS (1) : 97133. 2. Jose Roesma, Sidabutar RP, Hipertensi dengan Kehamilan, suatu upaya klasifikasi baru Naskah lengkap KOPAPDI VII, 2427 Agustus 1987. 3. Jose Roesma. Pengobatan Hipertensi dengan Kehamilan, MEDIKA 1984.

20 Cermin Dunia Kedokteran No. 47, 1987

Kelainan -Ginjal Pada Penyakit TropikDr. E. Susalit, Dr. Jose Roesma, Dr. Pudji Rahardjo dan Dr. R.P. Sidabutar Subbagian GinjalHipertensi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia / RS. Ciptomangunkusumo, Jakarta

PENDAHULUAN Penyakit tropik yang disebabkan oleh infeksi, gigitan ular dan sengatan serangga bisa mengakibatkan berbagai kelainan ginjal. Kelainan bisa terjadi di semua bagian ginjal, tergntung pada jenis dan berat penyakit dan yang paling sering mengalami kelainan adalah glomerulus. Sindrom klinik yang bisa terjadi adalah sindrom nefritis, .sindrom nefrotik dan gagal ginjal akut. Sindrom nefritis atau glomerulonefritis biasanya ringan dan sementara, pada infeksi akut misalnya malaria, demam tifoid, tetapi glomerulonefritis bisa persisten dan bahkan menimbulkan sindrom nefrotik pada infeksi kronik misalnya malaria kwartana dan skistosomiasis. Gagal ginjal akut dengan kelainan tubulointerstisial yang umumnya nekrosis tubuler, sering terjadi pada infeksi berat misalnya oleh malaria falsiparum, leptospirosis atau gigitan ular.

dang-kadang menurun. Circulating immune complex dan antibodi bisa didapatkan dalam serum. Jadi endapan C3 dan imunoglobulin, adanya antigen di glomerulus, penurunan C3 serum dan adanya antibodi dan circulating immune complex dalam serum merupakan bukti peranan mekanisme imunologik. Reaksi nonspesifik Gagal ginjal akut karena nekrosis tubuler akut pada infeksi berat umumnya disebabkan oleh faktor nonspesifik proses inflamasi. Faktor-faktor ini adalah hipovolemia, hemolisis intravaskuler, koagulasi intra vaskuler, mioglobinuria, hiperviskositas darah, pelepasan katekholamin dan penurunan curah jantung. Walaupun pada penyakit tertentu hanya salah satu faktor yang menimbulkan gagal ginjal, tetapi umumnya pada kebanyakan kasus berbagai faktor nonspesifik di atas ikut berperan. Faktor-faktor tersebut menyebabkan penurunan aliran darah ginjal yang menimbulkan iskemi ginjal yang mengakibatkan nekrosis tubuler akut dan akhirnya gagal ginjal. Infeksi berat (sepsis) sering disertai ikterus dan hiperbilirubinemia ini bisa lebih memperburuk fungsi ginjal. Nefrotoksik langsung Leptospirosis dan gigitan ular Russel's viper merupakan contoh di mana lesi gagal disebabkan oleh nefrotoksik langsung. Pada percobaan dengan mencit, lepstopira didapatkan di glomerulus dan interstisium 3 jam dan di tubulus proksimal 9 jam sesudah inokulasi lepstropira. Lesi patologis permulaan terjadi di glomerulus dan interstitium yang kemudian bisa mengenai tubulus, merupakan akibat langsung karena adanya leptospira. Gagal ginjal karena gigitan ular Russel's viper terjadi segera setelah digigit tanpA adanya perubahan tanda vital.

PATOGENESIS Terdapat 4 mekanisme yang berperan dalam menimbulkan kelainan ginjal, yaitu efek migrasi parasit, proses imunologik, reaksi nonspesifik dan nefrotoksisitas langsung. Efek migrasi parasit Kelainan ginjal bisa terjadi selama migrasi parasit. Reaksi jaringan bisa berupa proliferasi, infiltrasi dan pembentukan granuloma atau kista. Termasuk dalam mekanisme ini adalah kelainan ginjal akibat larva migran dan kista hidatid. Pada filariasis, obstruksi pembuluh limfe saluran kencing atau ginjal yang mengakibatkan khiluria. Proses imunologik Mekanisme ini menyebabkan lesi pada glomerulus. Glomerulonefritis proliferatif mesangial sering terjadi pada penyakit infeksi, di mana terdapat endapan terutama C3 dan IgM di mesangium. Walaupun sukar, Antigen spesifik dapat diperlihatkan di glomerulus. Kadar C3 serum biasanya normal dan ka

LESI GLOMERULLJS PADA PENYAKIT INFEKSI Terdapat dua jenis glomerulonefritis pada penyakit

Cermin Dunia Kedokteran No. 47, 1987 21

infeksi. 1) Glomerulonefritis ringan. Glomerulonefritis jenis ini biasanya terjadi setelah infeksi akut. Biasanya didapatkan proteinuria ringan dengan sedikit kelainan sedimen urin yang membaik setelah infeksinya diatasi. Walaupun jarang, bisa dijumpai hematuria makroskopik. Fungsi ginjal normal dan biasanya tekanan darah normal dan tanpa edema. Komplemen serum sedikit menurun. Glomerulonefritis yang sementara ini disebabkan oleh semua jenis infeksi akut seperti infeksi oleh virus, bakteri, riketsia, malaria falsiparum, leptospirosis, trikhinosis dan salmonelosis. Pada . pemeriksaan histopatologis didapatkan hipertrofi mesangial atau proliferasi dengan endapan IgM dan C3 di daerah mesangial dan sepanjang gelung kapiler. Lesi ini menghilang dalam 46 minggu. 2) Glomerulonefritis persisten. Glomerulonefritis dengan gejala klinik yang lebih jelas, terjadi pada penyakit infeksi yang perjalanannya kronik misalnya pada penyakit lepra, hepatitis virus B dan filariasis. Manifestasi klinik berupa proteinuria, sindroma nefritik, sindroma nefrotik bahkan bisa sampai gagal ginjal. Pengobatan infeksi dengan antimikroba bisa berhasil mungkin juga tidak dalam memperbaiki lesi ini. Kortikosteroid memberikan hasil pengobatan yang bervariasi. BERBAGAI PENYAKIT TROPIK YANG MENIMBULKAN LESI GINJAL Malaria falsiparum Malaria falsiparum adalah salah satu penyakit tropik yang sering dijumpai. Lesi pada ginjal terjadi pada 67% kasus dan merupakan penyebab penting gagal ginjal akut di daerah tropik. Manifestasi klinik bisa berupa glomerulonefritis ringan atau gagal ginjal akut dan kadang-kadang sindroma nefrotik. Pemeriksaan histopatologis memperlihatkan hipertrofi mesangial, proliferasi, endapan C3, IgM, kadang-kadang IgG dan endapan granuler antigen Plasmodium falsiparum di daerah mesangial dan sepanjang dinding kapiler. Electron dense deposits terlihat di daerah subendotel dan paramesangium. Ini menunjukkan suatu glomerulonefritis imun komplek dengan Plasmodium falsiparum sebagai antigen. Gambaran histopatologis gagal ginjal akut berupa nekrosis tubuler, terutama tubulus konvolutus distal. Nekrosis tubuler akut di sini disebabkan oleh berbagai faktor aspesifik yang sudah disebutkan di atas. Pengobatan malaria falsiparum dengan glomerulonefritis ringan cukup dengan obat antimalaria. Bila terjadi gagal ginjal yang memerlukan tindakan dialisis, hemodialisis lebih efektif daripada dialisis peritoneal, karena dihlysance yang rendah akibat aliran mikrosirkulasi yang buruk. Malaria kwartana Hubungan antara malaria kwartana dan glomerulonefritis sudah lama diketahui. Kejadian infeksi Plasmodium malariae dengan sindroma nefrotik pada anak di Afrika cukup tinggi. Manifestasi klinik bisa berupa glomerulonefritis persisten, bahkan lebih sering sindroma nefrotik. Gambaran histopatologis berupa glomerulonefritis proliferatif fokal dan difus. Glomerulonefritis membranosa sering pada anak-anak. Kadang-

kadang terlihat sklerosis fokal mesangial. Endapan IgG, IgM, C3 dan antigen Plasmodium malariae yang granuler t,erlihat sepanjang dinding kapiler, sedangkan electrone dense deposits terdapat di membrana basalis atau di daerah subepitelial. Di daerah subendotelial bisa terlihat basement membrane like material. Glomerulonefritis pada malaria kwartana adalah suatu penyakit imun kompleks yang perjalanannya kronik dan progresif yang bisa menimbulkan gagal ginjal. Perjalanan klinik di sini berbeda dari malaria falsiparum, mungkin karena pada malaria kwartana stimulasi antigen kronik, antibodinya berafinitas rendah dan perbedaan dalam respon imun. Pengobatan glomerulonefritis pada malaria kwartana biasanya mengecewakan. Obat antimalaria, kortikosteroid dan obat imunosupresif jarang bisa memperbaiki manifestasi klinik dan prognosis umumnya buruk. Lepra Penyakit lepra cukup banyak di daerah tropik. Lesi pada ginjal lebih sering pada jenis lepromatosa dan dilaporkan kejadian glomerulonefritis pada penderita lepra sekitar 31%. Manifestasi klinik bisa berupa sindrom nefritik, sindrom nefrotik atau proteinuria dan hematuria asimtomatik. Circulating Immune complex dan .krioglobulin didapatkan pada kebanyakan penderita dan komplemen serum rendah. Sindrom nefrotik 'bisa timbul akibat amiloidosis, juga bisa karena glomerulonefritis membranosa dan glomerulonefritis proliferatif difus. Gagal ginjal kronik akibat amiloidosis merupakan sebab kematian terbanyak, dan kejadian amiloidosis sekunder antara 2,4 8,4%. Gambaran histopatologis berupa glomerulonefritis proliferatif difus dan proliferatif mesangial. Kadang-kadang berupa glomerulonefritis proliferatif fokal, kresentik, sklerosing dan membranosa. Endapan granuler IgM, IgG, IgA dan C3 terlihat di mesangium dan sepanjang dinding kapiler glomerulus, sedangkan electror..e dense deposits terlihat di daerah mesangial, subendotelial, intramembranosa dan subepitelial. Hal-hal di atas menunjukkan suatu glomerulonefritis imun komplek, walaupun belum dijumpai antigen lepra di glomerulus. Pengobatan ditujukan pada lepra dan penatalaksaaan sidrom nefrotik adalah suportif, sedangkan kortikosteroid tidak efektif. Hepatitis B Glomerulonefritis disebabkan Hepatitis B tidak jarang di daerah tropik. Manifestasi klilik berupa sindrom nefritik, sindrom nefrotik atau proteinuria asimtomatik. Terdapat hematuria mikroskopik dan pada 30% kasus kadar C3 turun. HBsAg terdapat dalam serum dan HBeAg dijumpai pada 2/3 kasus. Gambaran histopatologis bisa berupa glomerulonefritis membranosa, proliferatif mesangial, mesangiokapiler, proliferatif difus atau glomerulosklerosis fokal. Endapan granuler IgG, IgM dan C3 terlihat sepanjang dinding kapiler. HBcAg dan HBsAg bisa ditemukan di dinding kapiler dan mesangium. Electrone dense deposits terlihat pada membrana basalis glomerulus atau di daerah subendotelial, mesangial dan subepitelial: Hal di atas menunjukkan suatu glomerulonefritis imun komplek.

22 Cermin Dunia Kedokteran No. 47, 1987

Pengobatan kortikosteroid dan obat imunosupresif memberikan hasil yang bervariasi. Pada sampai 50% kasus bisa terlihat remisi spontan, yang umumnya terjadi pada 6 bulan pertama. Filariasis Pada filariasis, selain khiluria akibat pbstruksi pembuluh limfe juga bisa terdapat glomerulonefritis. Telah dilaporkan baik sindrom nefritik maupun sindrom nefrotik. Penderita biasanya mempunyai riwayat obstruksi saluran limfe sebelum timbul proteinuria dan hematuria. Gambaran histopatologis berupa glomerulonefritis proliferatif mesangial atau membranosa dan didapatkan endapan C3 dan IgM di glomerulus. Walaupun antigen filaria belum dapat ditemukan, hal di atas menunjukkan suatu glomerulonefritis imun komplek. Mikrofilaria bisa terdapat dalam glomerulus dan pada