GERONTIK TAMPIL.doc

41
BAB I PENDAHULUAN Indonesia termasuk negara yang memasuki era penduduk berstruktur lanjut usia (aging structured population) karena mempunyai jumlah penduduk dengan usia 60 tahun ke atas sekitar 7,18%. Pulau yang mempunyai jumlah penduduk lansia terbanyak (7%) adalah pulau Jawa dan Bali. Peningkatan jumlah penduduk lansia ini antara lain disebabkan karena tingkat sosial ekonomi masyarakat yang meningkat, kemajuan dibidang pelayanan kesehatan, dan tingkat pengetahuan masyarakat yang meningkat. Jumlah penduduk lansia pada tahun 2006 sebesar ± 19 juta jiwa dengan usia harapan hidup 66,2 tahun. Pada tahun 2010, diprediksikan jumlah lansia sebesar 23,9 juta (9,77%) dengan usia harapan hidup 67,4 tahun. Sedangkan, pada tahun 2020 diprediksi jumlah lansia sebesar 28,8 juta (11,34%) dengan usia harapan hidup 71,1 tahun (Efendi, 2009). Seiring perubahan usia, tanpa disadari pada orang lanjut usia akan mengalami perubahan–perubahan fisik, psikososial dan spiritual. Salah satu perubahan tersebut adalah perubahan pola tidur. Menurut National Sleep Foundation sekitar 67% dari 1.508 lansia di

description

GERONTIK

Transcript of GERONTIK TAMPIL.doc

BAB I

PENDAHULUAN

Indonesia termasuk negara yang memasuki era penduduk berstruktur lanjut

usia (aging structured population) karena mempunyai jumlah penduduk dengan

usia 60 tahun ke atas sekitar 7,18%. Pulau yang mempunyai jumlah penduduk

lansia terbanyak (7%) adalah pulau Jawa dan Bali.

Peningkatan jumlah penduduk lansia ini antara lain disebabkan karena

tingkat sosial ekonomi masyarakat yang meningkat, kemajuan dibidang pelayanan

kesehatan, dan tingkat pengetahuan masyarakat yang meningkat. Jumlah penduduk

lansia pada tahun 2006 sebesar ± 19 juta jiwa dengan usia harapan hidup 66,2

tahun. Pada tahun 2010, diprediksikan jumlah lansia sebesar 23,9 juta (9,77%)

dengan usia harapan hidup 67,4 tahun. Sedangkan, pada tahun 2020 diprediksi

jumlah lansia sebesar 28,8 juta (11,34%) dengan usia harapan hidup 71,1 tahun

(Efendi, 2009).

Seiring perubahan usia, tanpa disadari pada orang lanjut usia akan

mengalami perubahan–perubahan fisik, psikososial dan spiritual. Salah satu

perubahan tersebut adalah perubahan pola tidur. Menurut National Sleep

Foundation sekitar 67% dari 1.508 lansia di Amerika usia 65 tahun keatas

melaporkan mengalami gangguan tidur dan sebanyak 7,3 % lansia mengeluhkan

gangguan memulai dan mempertahankan tidur atau insomnia. Kebanyakan lansia

beresiko mengalami gangguan tidur yang disebabkan oleh berbagai faktor seperti

pensiunan, kematian pasangan atau teman dekat, peningkatan obat-obatan, dan

penyakit yang dialami. Di Indonesia gangguan tidur menyerang sekitar 50% orang

yang berusia 65 tahun. Insomnia merupakan gangguan tidur yang paling sering

ditemukan, setiap tahun diperkirakan sekitar 20%-50% lansia melaporkan adanya

insomnia dan sekitar 17% mengalami gangguan tidur yang serius. Prevalensi

insomnia pada lansia cukup tinggi yaitu sekitar 67%.

Usia harapan hidup semakin meningkat juga membawa konsekuensi

tersendiri bagi semua sektor yang terkait dengan pembangunan. Tidak hanya

sektor kesehatan tetapi juga sektor ekonomi, sosial-budaya, serta sektor lainnya.

Oleh sebab itu, peningkatan jumlah penduduk lansia perlu diantisipasi mulai

saat ini, yang dapat dimulai dari sektor kesehatan dengan mempersiapkan layanan

keperawatan yang komprehensif bagi lansia (Efendi, 2009).Terdapat banyak

perubahan fisiologis yang normal pada lansia. Perubahan ini tidak bersifat

patologis, tetapi dapat membuat lansia lebih rentan terhadap beberapa penyakit.

Perubahan terjadi terus menerus seiring usia. Perubahan spesifik pada lansia

dipengaruhi kondisi kesehatan, gaya hidup, stressor, dan lingkungan. Perawat

harus mengetahui proses perubahan normal tersebut sehingga dapat memberikan

pelayanan tepat dan membantu adaptasi lansia terhadap perubahan. Salah satunya

adalah perubahan neurologis. Akibat penurunan jumlah neuron fungsi

neurotransmitter juga berkurang. Lansia sering mengeluh meliputi kesulitan untuk

tidur, kesulitan untuk tetap terjaga, kesulitan untuk tidur kembali tidur setelah

terbangun di malam hari, terjaga terlalu cepat, dan tidur siang yang berlebihan.

Masalah ini diakibatkan oleh perubahan terkait usia dalam siklus tidur-terjaga

(Potter & Perry, 2005).

Sepertiga dari waktu dalam kehidupan manusia adalah untuk tidur. Diyakini

bahwa tidur sangat penting bagi pemeliharaan kesehatan dan proses penyembuhan

penyakit, karena tidur bermanfaat untuk menyimpan energi, meningkatkan

imunitas tubuh dan mempercepat proses penyembuhan penyakit karena pada saat

tidur tubuh mereparasi bagian-bagian tubuh yang sudah aus.

Umumnya orang akan merasa segar dan sehat sesudah istirahat. Jadi istirahat

dan tidur yang cukup sangat penting untuk kesehatan (Suyono, 2008). Kesempatan

untuk istirahat dan tidur sama pentingnya dengan kebutuhan makan, aktivitas,

maupun kebutuhan dasar lainnya. Istirahat yang cukup dapat mempengaruhi

kondisi fisik, psikis dan sosial lansia. Setiap individu membutuhkan istirahat dan

tidur untuk memulihkan kembali kesehatannya.

2

Jumlah kebutuhan istirahat setiap individu relatif tidak sama. Sebagian lansia

menghabiskan waktu yang cukup lama untuk istirahat, namun terdapat sebagian

kecil lansia yang menghabiskan waktunya untuk beraktivitas sehingga waktu yang

dipergunakan untuk beristirahat menjadi berkurang. Banyak faktor yang

mempengaruhi kemampuan untuk memperoleh istirahat dan tidur yang cukup.

Dalam kesehatan komunitas dan rumah, perawat bisa membantu klien

mengembangkan perilaku yang kondusif terhadap istirahat dan relaksasi.

Pada tatanan pelayanan kesehatan perawat meningkatkan istirahat dengan

menggunakan tindakan untuk mengontrol fisik klien dengan mengubah faktor yang

membuat stres di lingkungan (Potter & Perry, 2005). Keluhan tentang kesulitan

istirahat dan tidur waktu malam seringkali terjadi pada lansia. Sebagai contoh,

seorang lansia yang mengalami arthritis mempunyai kesulitan tidur akibat nyeri

sendi. Kecenderungan untuk tidur siang kelihatannya meningkat secara progresif

dengan bertambahnya usia. Peningkatan waktu siang hari yang dipakai untuk tidur

dapat terjadi karena seringnya terbangun pada malam hari. Dibandingkan dengan

jumlah waktu yang dihabiskan di tempat tidur, waktu yang dipakai tidur menurun

sejam atau lebih. Perubahan pola tidur pada lansia disebabkan perubahan SSP yang

mempengaruhi pengaturan tidur. Kerusakan sensorik, umum dengan penuaan,

dapat mengurangi sensivitas terhadap waktu yang mempertahankan irama

sirkadian (Potter & Perry, 2005).

3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Istirahat dan Tidur pada Lansia

1. Defenisi

Istirahat adalah keadaan seseorang dapat merasakan relaks secara mental, bebas

dari kecemasan, dan tenang secara fisik (Potter & Perry, 2005). Istirahat tidak berarti

tanpa aktivitas. Istirahat dapat diperoleh dengan membaca buku, mempraktikkan

latihan relaksasi, atau berjalan santai.

Terdapat beberapa karakteristik dari istirahat. Narrow (1967) yang dikutip oleh

Perry dan Potter (2005) mengemukakan enam karakteristik yang berhubungan

dengan istirahat, di antaranya: merasakan bahwa segala sesuatu dapat diatasi,

merasa diterima, mengetahui apa yang sedang terjadi, bebas dari gangguan

ketidaknyamanan, mempunyai sejumlah kepuasan terhadap aktivitas yang

mempunyai tujuan,dan mengetahui adanya bantuan sewaktu memerlukan.

Kebutuhan istirahat dapat dirasakan apabila karakteristik tersebut di atas dapat

terpenuhi.

Tidur adalah suatu proses perubahan kesadaran yang terjadi berulang-ulang

selama periode tertentu (Potter&Perry, 2005). Tidur merupakan salah satu

kebutuhan fisiologis dasar manusia. Secara fisiologis, jika seseorang tidak

mempertahankan tidur yang cukup untuk mempertahankan kesehatan tubuh, dapat

terjadi efek-efek seperti: pelupa, konfusi, disorientasi, terutama jika deprivasi tidur

terjadi untuk waktu yang lama. Secara psikologis, tidur memungkinkan seseorang

untuk mengalami perasaan sejahtera serta energi psikis dan kewaspadaan untuk

menyelesaikan tugas-tugas. Synder dalam bukunya “psychophysiology of human

sleep” mengemukakan bahwa lamanya periode tidur dapat memengaruhi tingkat

mortalitas. Data dari studi mendukung hipotesis bahwa orang yang tidur luar biasa

lama atau singkat atau yang menggunakan pil tidur mengalami angka mortalitas

lebih tinggi dari yang lainnya. Angka mortalitas terendah dari studi ini ditemukan

pada orang-orang yang tidur 7 sampai 8 jam di malam hari (Stanley, 2006).

4

2. Aktifitas dan istirahat

Aktivitas rutin mendorong istirahat dan relaksasi. Jumlah yang lebih besar untuk

istirahat diperlukan oleh lansia dan harus diselingi dengan periode aktivitas

sepanjang hari. Pada waktu bangun, lansia harus meluangkan beberapa menit

beristirahat di tempat tidur dan peregangan otot mereka, diikuti dengan beberapa

menit duduk di sisi tempat tidur sebelum bangkit berdiri. Hal ini akan mengurangi

kekakuan otot di pagi hari dan mencegah pusing dan jatuh akibat hipotensi postural

(Eliopoulos, 2005).

Banyak lansia memusatkan semua aktivitas mereka di pagi hari sehingga mereka

akan memiliki waktu luang di malam hari. Misalnya, pagi hari dapat digunakan

untuk membersihkan rumah, belanja, berkumpul dengan group, berkebun,

memasak, dan mencuci. Malam hari mungkin dihabiskan menonton televisi,

membaca, atau menjahit. Pola ini mungkin merupakan hasil dari puluhan tahun

kerja, dimana seseorang bekerja di siang hari dan santai di malam hari. Lansia perlu

wawasan tentang keuntungan dari beraktivitas sepanjang hari dan memberikan

waktu yang cukup untuk istirahat dan tidur siang disela-sela aktivitas. Perawat perlu

meninjau kegiatan harian lansia per jam dan membantu dalam mengembangkan

pola-pola yang lebih merata mendistribusikan aktivitas dan istirahat sepanjang hari

(Eliopoulos, 2005).

3. Fisiologis Tidur pada Lansia

Aktivitas tidur diatur dan dikontrol oleh dua system yaitu Reticular Activating

System (RAS) dan Bulbar Synchronizing Region (BSR) yang terletak di batang otak

(Potter & Perry, 2005). RAS terdiri dari sel khusus yang mempertahankan

kewaspadaan dan terjaga. RAS menerima stimulus sensori visual, auditori, nyeri,

dan taktil. Aktivitas korteks serebral (misalnya proses emosi atau pikiran) juga

menstimulasi RAS. Pada saat sadar, RAS melepaskan katekolamin seperti

norepineprin. Tidur dapat dihasilkan dari pelepasan serotonin dari sel tertentu pada

pons dan otak depan bagian tengah. Daerah otak juga disebut daerah sinkronisasi

bulbar atau Bulbar Synchronizing Region (BSR).

5

Seseorang dapat tetap terjaga atau tertidur tergantung pada keseimbangan impuls

yang diterima dari pusat yang lebih tinggi (mis. pikiran), reseptor sensori perifer (mis.

stimulus bunyi atau cahaya), dan sistem limbik (emosi). Ketika seseorang mencoba

tertidur, mereka akan menutup mata dan berada dalam posisi relaks. Stimulus ke RAS

menurun. Jika ruangan gelap dan tenang, maka aktivasi RAS selanjutnya menurun.

Pada beberapa bagian, BSR mengambil alih, yang menyebabkan tidur (Potter &

Perry, 2005).

6

Gambar 1. Input sensori kontrol RAS dan BSR

4. Tahap dan Siklus Tidur pada Lansia

Menurut Eliopoulus (2005), tidur normal terdiri dari rapid eye movement (REM)

dan non-REM. Tidur non-REM terbagi atas 4 tahap. Secara rinci dijelaskan sebgaai

berikut:

a. Tahap I NREM

Pada tahap ini seseorang mulai merasa ngantuk dan mulai tertidur, namun masih

dapat dibangunkan dengan mudah. Jika tidak ada gangguan, dalam beberapa

menit akan mencapai ke tahap selanjutnya.

b.Tahap II NREM

Tahap relaksasi yang lebih dalam mulai dicapai. Pada tahap ini, gerakan bola

mata mulai berhenti, namun masih mudah untuk dibangunkan.

c.Tahap III NREM

Tahap ini merupakan awal fase tidur dalam. Terjadi penurunan temperatur dan

denyut jantung, otot berelaksasi, serta lebih sulit untuk dibangunkan.

d.Tahap IV NREM

Tahap ini merupakan tahap tidur yang terdalam. Seluruh fungsi tubuh

mengalami penurunan dan diperlukan stimulasi yang kuat untuk

membangunkan. Jika terjadi kekurangan jumlah tidur pada tahap ini dapat

menyebabkan disfungsi emosional.

e.Tahap REM

Tahap ini dicirikan dengan respon otonom dari pergerakan mata yang cepat, dan

peningkatan tanda-tanda vital (terkadang ireguler). Seseorang akan memasuki

tahap tidur REM kira-kira setiap 90 menit setelah tidur tahap IV.

Siklus tidur normal dapat dilihat pada skema berikut:

Tahap pratidur

NREM NREM NREM NREM

Tahap 1 Tahap 2 Tahap 3 Tahap 4

Tidur REM

NREM NREM

Tahap 2 Tahap 3

Gambar 2. Siklus tidur

Saat ingin memulai tidur, seseorang terlebih dahulu melewati tahap terjaga

rileks, kemudian melewati tahap-tahap tidur dengan urutan: 1, 2, 3, 4, 3, 2, REM.

Kemudian, tahap 2 dimulai kembali kecuali jika orang tersebut terbangun. Jika

orang itu terbangun dan tidur kembali, yang merupakan hal yang sering terjadi pada

lansia, maka tahap 1 akan dimulai kembali (Stanley, 2006).

5. Perubahan Fisiologis Pola Tidur pada Lansia

Dengan bertambahnya usia, ada perubahan dalam tahap tidur. Tidur yang normal

berlangsung melalui 4 tahap. Tahap 1 adalah tingkat paling ringan dari tidur, dimana

seseorang dapat dengan mudah dibangunkan. Lansia menghabiskan lebih banyak

waktu pada tahap tidur ringan (tahap 1 dan 2), yang mengakibatkan gangguan tidur

malam. Tahap 3 dan 4 adalah level yang lebih dalam dari tidur. Dewasa tua

menghabiskan sedikit waktu dalam tahap 3 dan 4. Beberapa studi menunjukkan

bahwa pada tahap ekstrem usia tua, tahap 3 dan 4 dapat menghilang sepenuhnya

(Roach, 2001).

Pola tidur lansia ditandai oleh sering terbangun, waktu non-REM stadium III dan

IV berkurang, lebih banyak waktu yang dihabiskan terjaga pada malam hari secara

keseluruhan, dan tidur siang lebih sering. Kebanyakan orang dewasa sehat tidak ada

laporan gejala yang berkaitan dengan perubahan ini selain tidak cukup tidur atau

tidur buruk. Studi menunjukkan bahwa tidur siang hari dapat mengurangi waktu

tidur malam dan kualitas pada beberapa lansia. Jika diindikasikan, sarankan pasien

untuk memonitor efek dari tidur siang pada tidur malam mereka dan perasaan

mereka sepanjang hari tersebut.

9

Dari stadium IV, berkembang menjadi tidur REM. Tidur REM terjadi beberapa

kali dalam siklus tidur malam, tetapi yang paling menonjol di pagi hari. Dalam tidur

REM, aktivitas fisiologis dan tanda-tanda vital meningkat, sehingga rangsangan

meningkat dan ketegangan menurun-dimanifestasikan dalam penurunan tonus otot,

dan meningkatnya laju pernafasan, denyut jantung, dan tekanan darah. Pernapasan

dan detak jantung yang lebih tinggi dapat mempengaruhi pasien yang memiliki

masalah cardiopulmonary kronis. Namun disisi lain, tidur REM membantu

melepaskan ketegangan dan membantu metabolisme sistem saraf pusat. Kurang

tidur REM telah terbukti menyebabkan iritabilitas (lekas marah) dan kecemasan

(Schilling, 2003).

Selama penuaan, pola tidur mengalami perubahan-perubahan yang khas yang

membedakannya dari orang-orang yang lebih muda. Perubahan-perubahan tersebut

mencakup kelatenan tidur, terbangun pada dini hari, dan peningkatan jumlah tidur

siang. Jumlah waktu yang dihabiskan untuk tidur yang lebih dalam juga menurun

(Stanley, 2006).

10

Gambar 3. Perubahan fisiologis tidur pada lansia

6. Kebutuhan Waktu Tidur pada Lansia

Waktu tidur total pada lansia tetap sama atau sedikit menurun (6,5 sampai 7 jam

per malam). Transisi antara tertidur dan terjaga sering terjadi tiba-tiba. Sedikit

waktu yang dihabiskan dalam tidur yang nyenyak, dan  tanpa mimpi. Orang tua rata-

rata terbangun tiga sampai empat  kali setiap malam, dengan peningkatan waktu

terjaga.

Terbangun saat tidur terkait dengan sedikit waktu yang dihabiskan dalam tidur

lelap, dan faktor-faktor lain seperti kebutuhan untuk bangun untuk buang air kecil

(nokturia), kecemasan, dan rasa tidak nyaman atau rasa sakit yang terkait dengan

penyakit kronis (Dugdale, 2008).

7. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Istirahat Tidur pada Lansia

Pemenuhan kebutuhan istirahat tidur setiap orang berbeda-beda. Ada yang

kebutuhannya terpenuhi dengan baik, ada pula yang mengalami gangguan kualitas

dan kuantitas istirahat dan tidur dipengaruhi oleh beberapa faktor (Lueckenotte,

2008).

Faktor yang dapat mempengaruhinya adalah:

a. Lingkungan.

Lingkungan dapat memberikan pengaruh positif maupun negatif terhadap

kualitas dan jumlah tidur seseorang. Pada lansia, lingkungan kondusif untuk

11

relaksasi cenderung menyebabkan mengantuk, misalnya lingkungan yang

rendah tingkat rangsangan/ stimuli, cahaya redup, tenang, dan fasilitas nyaman.

b. Status kesehatan (nyeri dan ketidaknyamanan).

Seseorang yang kondisi tubuhnya sehat memungkinkan ia dapat tidur dengan

nyenyak. Tetapi pada orang yang sakit dan rasa nyeri, maka kebutuhan istirahat

tidurnya tidak dapat dipenuhi dengan baik sehingga ia tidak dapat tidur dengan

nyenyak. Misalnya, pada lansia yang menderita gangguan pada sistem

pernapasan. Dalam kondisinya yang sesak napas, maka seseorang tidak mungkin

dapat istirahat dan tidur dengan nyaman.

c. Perubahan lifestyle

Berubahnya suatu keadaan dalam kehidupan dapat mempengaruhi tidur pada

lansia. Misalnya: kehilangan pasangan  (tidur sendiri adalah sebuah

perubahan dari rutinitas waktu tidur yang mungkin mempengaruhi

permulaan untuk tidur), pensiun (ketidakpercayaan bahwa telah pensiun dan

pertanyaan mengenai hubungaan keluarga, finansial, dan aktifitas di masa

depan dapat memicu stress seorang lansia disaat ingin tidur sehingga

menyebabkan sulit tidur), dan pindah tempat tinggal (perpindahan ke tempat

yang dikelilingi orang baru dapat mempengaruhi tidur lansia, seperti

perpindahan lansia ke panti wreda).

d. Diet.

Makanan yang banyak mengandung L-Triptofan seperti keju, susu, daging,

dan ikan tuna dapat menyebabkan seseorang mudah tidur. Sebaliknya,

minuman yang mengandung kafein maupun alkohol akan mengganggu tidur.

e. Stres psikologis.

Cemas dan depresi akan menyebabkan gangguan pada frekuensi istirahat dan

tidur. Hal ini disebabkan karena pada kondisi cemas akan meningkatkan

norepinefrin darah melalui sistem saraf simpatis.

f. Obat-obatan

12

Beberapa obat-obatan yang dikonsumsi dapat mengganggu tidur, antara lain:

benzodiapin, haloperidol, phenytoin, nifedipine, dan lainnya.

Selain faktor-faktor di atas, motivasi juga dapat mempengaruhi kebutuhan

istirahat dan tidur. Motivasi merupakan suatu dorongan atau keinginan seseorang

untuk tidur, yang dapat memengaruhi proses tidur. Selain itu, adanya keinginan

untuk menahan tidak tidur dapat menimbulkan gangguan proses tidur.

8. Tindakan pencegahan terkait gangguan tidur pada lansia

Tindakan pencegahan terkait gangguan tidur pada lansia meliputi: pencegahan

primer dan sekunder (Stanley, 2006).

a. Pencegahan Primer

Sebelas peraturan untuk mendapatkan higiene tidur yang baik telah berhasil

diidentifikasikan untuk pencegahan primer gangguan tidur.

1) Tidur seperlunya, tetapi tidak berlebihan, agar merasa segar dan sehat

dihari berikutnya. Pembatasan waktu tidur dapat memperkuat tidur,

berlebihnya waktu tidur yang dihabiskan di tempat tidur

tampaknyaberkaitan dengan tidur yang putus-putus dan dangkal.

2) Waktu bangun yang teratur di pagi hari memperkuat siklus sirkadian dan

menyebabkan awitan tidur yang teratur.

3) Jumlah latihan yang stabil setiap harinya dapat memperdalam tidur,

namun latihan latihan yang dilakukan kadang-kadang tidak dapat

memperbaiki tidur pada malam berikutnya.

4) Bunyi bising yang bersifat kadang-kadang (misalnya, pesawat terbang

yang melintas)dapat mengganggu tidur sekalipun orang tersebut tidak

terbangun oleh bunyinya dan tidak dapat mengingatnya dipagi hari.

Kamar tidur kedap suara bagi orang-orang yang harus tidur di dekat

kebisingan.

13

5) Meskipun ruangan yang terlalu hangat dapat mengganggu tidur, namun

tidak ada bukti yang menunjukkan kamar yang terlalu dingin dapat

membantu tidur.

6) Rasa lapar mengganggu tidur, snack ringan dapat membantu tidur.

7) Pil tidur yang hanya kadang-kadang saja digunakan dapat bersifat

menguntungkan, namun penggunaannya yang kronis tidak efektif pada

kebanyakan penderita insomnia.

8) Kafein dimalam hari dapat mengganngu tidur, meskipun pada orang –

orang yang tidak berpikir demikian.

9) Alkohol membantu orang-orang yang tegang untuk tertidur lebih mudah,

tetapi tidur tersebut kemudian akan terputus-terputus.

10) Orang-orang yang merasa marah dan frustasi karena tidak dapat

tidurtidak boleh berusaha terlalu keras untuk tertidur tetapi harus

menyalakan lampu dan melakukan hal lain yang berbeda.

11) Penggunaan tembakau secara kronis dapat mengganggu tidur.

Tindakan pencegahan primer lainnya antara lain adalah:

1) Kasur yang baik memungkinkan kesejajaran tubuh yang tepat.

2) Suhu kamar harus cukup nyaman.

3) Asupan kalori harus minimal pada saat menjelang tidur.

4) Latihan sedang disiang hari atau sore hari merupakan hal yang

dianjurkan.

b. Pencegahan Sekunder

Pengkajian oleh perawat harus mencakup faktor-faktor berkut ini:

1) Seberapa baik lansia tersebut tidur di rumah?

2) Berapa kali lansia tersebut terbangun dimalam hari?

3) Kapan lansia tersebut pergi ke tempat tidur dan terbangun?

4) Ritual apa saja yang terjadi menjelang tidur?

5) Berapa jumlah dan jenis latihan yang dilakukan setiap hari?

6) Apakah posisi yang paling disukai ketika berada di tempat tidur?

7) Apa jenis lingkungan kmr yang disukai?

14

8) Berapa suhu yang disukainya?

9) Berapa banyak ventilasi yang diinginkan?

10) Aktivitas apa yang biasanya dilakukan beberapa jam menjelang tidur?

11) Apa saja obat tidur atau obat lain yang diingesti sebelum tidur secara

rutin?

12) Berapa banya waktu yang dihabiskan orang tersebut dalam hobinya?

13) Persepsi orang tersebut tentang kepuasan hidup dan status kesehatannya?

Catatan harian tentang tidur merupakan cara pengkajian yang sangat bagus

bagi lansia dirumahnya sendiri. Informasi ini memberikan catatan yang akurat

tentang masalah tidur. Untuk mendapatkan gambaran sejati tentang gangguan

tidur yang dialami lansia di rumah atau di fasilitas kesehatan, catatan harian

tersebut mencakup faktor-faktor berikut ini: (1) Seberapa sering bantuan

diperlukan untuk memberikan obat nyeri, tidak dapat tidur, atau menggunakan

kamar mandi, (2) kapan orang tersebut turun di tempat tidur, (3) berapa kali

orang tersebut terbangun atau tertidur pada saat diobservasi oleh perawat atau

pemberi perawatan, (4) terjadi konfusi atau disorientas, (5) Penggunaan obat

tidur, dan (6) perkiraan orang tersebut bangun dipagi hari.

9. Intervensi keperawatan terkait kualitas tidur pada lansia

Berikut ini adalah intervensi keperawatan yang dianjurkan (Stanley, 2006):

a. Pertahankan kondisi yang kondusif untuk tidur, yang mencakup perhatian

pada faktor-faktor lingkungan dan kegiatan ritual menjelang tidur.

b. Bantu klien tersebut untuk rileks pada saat menjelang tidur

denganmemberikan usapan punggung, masase kaki atau kedupn tidur bila

diinginkan. Latihan pasif gerakan menguap membeikan efek yang

menidurkan.

c. Memberikan posisi yang tepat, menghilangkan nyeri, dan memberikan

kehangatan dengan selimut-selimut konvesional atau selimut listrik juga

dapat membantu.

d. Jangan membiarkan klien meminum kafein (kopi, teh dan cokelat) disore hari

dan dimalam hari.

15

e. Lakukan tindakan-tindakan yang masuk akal seperti memutar musik lembut

di radio dan menawarkan susu hangat dan minuman hangat lainnya atau

kedupan yang lebih berat untuk meningkatkan tidur pada lansia tanpa

menggunakan hipnotik. Pada waktu malam secangkir anggur, sherry, brandi

atau bir yang memberikan kehangatan internal dan relaksasi pada lansia yang

perlu tidur. Namun, efek dari satu minuman hanya berlangsung selama dua

pertiga siklus tidur. Sedasi juga bersifat sama, yang menyebabkan tidur

terputus-putus.

f. Tidur siang merupakan hal yang tepat, namun jumlah tidur siang tidak boleh

lebih dari 2 jam.

g. Latihan setiap hari juga harus dianjurkan. Hal ini merupakan cara yang

terbaik untuk meningkatkan tidur. Latihan harus dilakukan pagi hari daripada

menjelang tidur karena pada jam-jam tersebut latihannya hanya akan

menimbulkan efek menyegarkan daripada menidurkan.

h. Mandi air hangat terkadang dapat merilekskan lansia, tetapi beberapa

diantaranya tidak menyukai intervensi ini, karena mengeluh pusing pada saat

mereka bangun dari tub.

Jika tindakan-tindakan ini gagal memperbaiki kualitas tidur, obat-obatan dapat

bermanfaat untuk sementara waktu, tetapi hanya boleh menjadi upaya terakhir

(Stanley, 2006).

Tabel. 1 Obat dan pilihan-pilihannya untuk menginduksi tidur

Pilihan Dosis Efek

L-Triptofan 0,5-1 g tepat sebelum

tidur

Dikonversi menjadi serotonin di

otak dan memfasiliasti tidur.

Sherry Segelas kecil

menjelang tidur

Alkohol merupakan suatu

deperesan, sejumlah kecil

depresan dapat membantu tidur.

Difendhidramin

antihistamin (Benadry)

25-50 mg Menghasilkan rasa kantuk,

beberapa orang menjadi sensitif

16

terhadap relaksasi otot,

mengurangi ketegangan dan

ansietas.

Hidroksizin antisiotik

(Vistaril)

Kloral hidrat hipnotik

50 mg

250-500 mg

Menghasilkan rasa kantuk tetapi

dapat menimbulkan efek

hiperstimulasi.

Benzodiazepin

Triazolam (Halcion)

Temazepam (Restoril)

0,125 mg

15-30 mg

Mempercepat awitan tidur.

Mengurangi distorsi pola tidur.

Perawatan yang terampil harus memiliki kewaspadaan yang tinggi berkaitan

dengan penggunaan obat-obatan tersebut dan harus mengkaji lansia dengan

sering untuk memastikan bahwa kantuk yang berlebihan disiang hari, konfusi,

dan disorientasi tidak terjadi. Jika terdapat bukti-bukti adanya kondisi ini, obat-

obat tersebut harus dihentikan secara bertahap dan dilakukan tindakan

nonfarmakologis.

10. Manajemen stres

Stres adalah bagian normal dari kehidupan. Sebagian besar individu menghadapi

berbagai stressor fisik dan emosional setiap harinya: perubahan temperature,

polutan, virus, cedera, konflik interpersonal, tekanan waktu, takut, berita buruk, dan

tugas tidak menyenangkan atau sulit adalah beberapa contoh stres. Terlepas dari

sumber stres, tubuh bereaksi dengan cara yang sama yaitu merangsang system saraf

simpatik Hal ini menyebabkan stimulasi kelenjar hipofisis, pelepasan hormon

adrenokortikotropik (ACTH) dan peningkatan pasokan adrenalin tubuh (Eliopoulus,

2005).

Hidup adalah serangkaian episode stress dan pemulihan yang tidak

menghasilkan efek berbahaya. Akan tetapi, stres kronis tanpa disertai pemulihan

dapat menghasilkan konsekuensi serius, termasuk penyakit jantung, hipertensi,

cidera serebrovaskular, kanker, ulkus, komplikasi penyakit yang ada, dan berbagai

masalah sosial dan emosional.

17

Hal ini penting, karena itu, perlu mencegah stress kronis berkembang. Kunci

untuk mengontrol stress adalah tidak menghindari stres, tetapi mengelolanya dengan

belajar langkah kompensasi. Beberapa langkah-langkah diuraikan sebagai berikut

(Eliopoulus, 2005).

a. Merespon stres dengan cara yang sehat. 

Gizi yang baik, istirahat, olahraga, dan praktik kesehatan lainnya memperkuat

kemampuan tubuh untuk menghadapi stres. Ketika berada dalam situasi penuh

tekanan, kepatuhan terhadap prinsip ini terus menjadi penting. Hal ini

bermanfaat untuk belajar agar tetap tenang ketika menghadapi stres; bereaksi

dalam cara yang tidak sehat memperburuk situasi.

b. Mengelola gaya hidup.

Hal kecil dalam kehidupan sebagian banyak orang dapat membawa dunia

terhenti jika tidak selesai pada waktunya atau dengan cara tepat. Hal yang harus

dimasukkan ke dalam perspektif, yaitu bila mungkin, antisipasi konsekuensi dari

sebuah situasi sehingga stress situasi tak terduga dapat dikurangi.

c. Tenang/ rileks. 

Baik itu dengan cara membaca buku yang disukai, berenang, tenun, perjalanan,

musik, atau seni ukir kayu. Temukanlah sesuatu yang menyenangkan sehingga

ada  istirahat sejenak dari tuntutan kehidupan. Yoga, meditasi, guided imagery,

dan latihan relaksasi mungkin dapat efektif. Obat herbal juga dapat bermanfaat,

termasuk bunga chamomile dan lavender untuk meningkatkan relaksasi, serta

ginseng Amerika untuk melindungi tubuh dari efek buruk dari stres.

d. Berdoa.

Seseorang yang memiliki kepercayaan, dapat mencurahkan masalah dan

mencoba memahami beban hidup yang dialami melalui doa. Doa juga bisa

menjadi aktivitas istirahat, yang dapat menginduksi dalam hal ini membersihkan

pikiran stress hari itu. Selanjutnya, kata-kata berulang atau ritual yang terkait

dengan doa dapat menawarkan manfaat terapeutik yang sama seperti meditasi

dan latihan relaksasi.

18

11. Gangguan istirahat dan tidur pada lansia

Sebagian besar lansia beresiko tinggi mengalami gangguan tidur akibat berbagai

faktor. Gangguan tidur memengaruhi kualitas hidup dan berhubungan dengan angka

mortalitas yang lebih tinggi. Gangguan tidur pada lansia dalam Stanley (2006),

antara lain:

a. Insomnia

Insomnia adalah ketidakmampuan untuk tidur walaupun ada keinginan untuk

melakukannya. Lansia rentan terhadap insomnia karena adanya perubahan pola

tidur, biasanya menyerang tahap 4 NREM (tidur dalam).

Tanda dan gejala insomnia adalah ketidakmampuan untuk tertidur, sering

bangun, ketidakmampuan untuk kembali tidur dan terbangun pada dini hari.

Klasifikasi insomnia terdiri dari 3 jenis :

1) Jangka pendek

Berakhir beberapa minggu dan muncul akibat pengalaman stres yang

bersifat sementara seperti kehilangan orang yang dicintai, tekanan

ditempat kerja, atau takut kehilangan pekerjaan. Biasanya kondisi dapat

hilang tanpa intervensi medis setelah orang tersebut beradaptasi terhadap

stresor.

2) Sementara

Episode malam gelisah yang tidak sering terjadi disebabkan oleh

perubahan-perubahan lingkungan seperti jet lag, kontruksi bangunan yang

bising, atau pengalaman yang menimbulkan ansietas.

3) Kronis

Berlangsung selama 3 minggu atau seumur hidup. Kondisi ini dapat

disebabkan oleh kebiasaan tidur yang buruk, masalah psikologis,

pengguanan obat tidur yang berlebihan, penggunaan alkohol yang

berlebihan, gangguan jadwal tidur-bangun, dan masalah kesehatan

lainnya. 40% insomnia kronis disebabkan oleh masalah fisik seperti apnea

tidur, sindrom kaki gelisah, atau nyeri kronis karena atritis. Insomnia

kronik memerlukan intervensi psikiatrik atau medis.

19

Konsekuensi dari insomnia adalah insomnia pada lansia  dikaitkan

dengan morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Lansia dengan

kesulitan tidur dilaporkan memiliki kualitas hidup rendah dan  lebih

banyak gejala depresi dan kecemasan. Penurunan kognitif, kesulitan

berambulasi, kesulitan dengan keseimbangan, dan kesulitan melihat juga

terkait dengan tidur yang buruk, bahkan setelah mengendalikan untuk

penggunaan obat (Bloom, 2009).

Penatalaksanaan insomnia.

1) Terapi perilaku. Terapi perilaku telah terbukti sangat efektif dalam

pengobatan insomnia pada semua kelompok umur. Cognitive Behavioral

Therapy for Insomnia (CBT-I) telah terbukti paling efektif. CBT-I

menggabungkan terapi perilaku yang berbeda, termasuk instruksi tidur

kebersihan, stimulus kontrol, dan pembatasan tidur, dengan restrukturisasi

kognitif. Sejumlah modalitas tunggal perilaku dan pendekatan non

farmakologis lainnya telah digunakan untuk mengobati dan mengelola

insomnia pada semua kelompok umur. Ini termasuk terapi relaksasi dan

imagery, kontrol stimulus, pembatasan tidur, kompresi tidur,

meningkatkan hygiene tidur, pendidikan tidur, dan terapi kognitif. Latihan

dan aktivitas fisik, terapi pijat, chronotherapy, dan terapi cahaya juga

digunakan. Meskipun semua ini mungkin bermanfaat untuk lansia dengan

insomnia, terdapat dua pendekatan yang telah memenuhi kriteria evidence

based untuk keberhasilan: pembatasan tidur, terapi tidur kompresi dan

terapi perilaku kognitif multikomponen (Bloom, 2009).

b. Apnea tidur

Apnea tidur adalah berhentinya pernafasan selama tidur. Gangguan ini

diidentifikasi dengan gejala mendengkur, berhentinya pernapasan minimal selama

20

10 detik, dan rasa kantuk di siang hari yang luar biasa. Selama tidur, pernapasan

dapat berhenti paling banyak 300 kali, dengan episode apnea dapat berakhir dari 10-

90 detik. Gejala apnea tidur antara lain:

1) Dengkuran yang keras dan periodik

2) Tersedak dan batuk-batuk

3) Henti nafas beberapa detik, terdapat gerakan-gerakan seperti orang kehabisan

nafas

4) Sering terbangun tanpa sebab

5) Aktifitas malam hari yang tidak biasa, seperti duduk tegak, berjalan dalam

tidur, terjatuh dari tempat tidur

6) Sakit kepala dipagi hari

7) Rasa kantuk yang berlebihan di siang hari

8) Nokturia

9) Ortopnea akibat apnue tidur

Penatalaksanaan yang spesifik untuk apnea tidur melibatkan penurunan berat

badan, dengan manajemen medis, bagi mereka yang mengalami obesitas.

Pengobatan definitif untuk apnea tidur adalah penggunaan continuous positive

airway pressure (CPAP) yaitu berupa masker yang dihubungkan dengan alat

elektronik pompa udara (Darmojo, 2009). Mesin ini menyediakan aliran udara

yang stabil  untuk menjaga jalan napas dalam posisi terbuka. Banyak lansia,

mengemukakan peralatan CPAP tidak nyaman, dan kepatuhan terhadap terapi

sulit untuk dicapai. Pembedahan untuk mengangkat jaringan berlebihan di

daerah faring dapat mengurangi jumlah mendengkur tetapi memiliki sedikit efek

untuk masalah pola pernapasan.

c. Sindrom kaki kurang tenang (retless legs syndrome) dan gangguan gerakan

tungkai yang periodik (periodic limb movement disorder)

Sindrom kaki kurang tenang karekteristik ditandai dengan rasa tidak enak

yang berlebihan terutama pada kaki selama malam saat penderita istirahat. Ini

dalah bentuk dari akathisia, sering disebut sebagai perasaan seperti dirayapi

semut atau hewan kecil. Perasaan ini menyebabkan pasien menggerakkan

kakinya, atau bangun lagi untuk berjalan guna menghilangkan rasa tak enak ini.

21

Secara nyata gangguan ini menyebabkan lansia sulit tidur atau terbangun berkali-

kali.

Gangguan gerakan tungkai yang periodik, mungkin menyertai sindrom kaki

kurang tenang atau berdiri sendiri. Karakteristik ditandai dengan munculnya

episode gerakan yang sama dan berulang, biasanya pada kaki tapi tidak jarang

muncul juga pada tangan. Biasanya pasangan tidurnya melaporkan ada episode

gerakan menendang yang muncul salam 20-40 detik saat tidur dan muncul

berulang-ulang. Gerakan-gerakan ini sebagian besar tidak membangunkan pasien

meskipun pasien melakukan 100 kali tendangan semalam. Hanya tendangan

dengan frekuensi dan intensitas tinggi dapat membangunkan pasien. Pasien

sering mengeluhkan rasa lelah yang berlebihan saat bangun tidur dan tidur tidak

nyenyak, sehingga berakibat mengantuk sepanjang hari. Faktor risiko kedua

kelainan ini antara lain usia lanjut, gagal ginjal, defisiensi besi (kadar ferritin

serum < 50 mg/dl).

Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada sindrom kaki kurang tenang

(retless legs syndrome) dan gangguan gerakan tungkai yang periodik (periodic

limb movement disorder) antara lain:

1) Terapi konservatif dengan merendam kaki dan tungkai kaki dengan air

hangat

2) Olahraga ringan yang teratur

3) Obat antiparkinson seperti carbidopa-levodopa (formula 25-100 mg)

dengan dosis awal 1 kali setengah tablet saat mau tidur. Dosis dapat

ditingkatkan ½ tablet tiap hari 3-4 hari bila belum baik.

d. Gangguan perilaku REM

Ganguan perilaku REM ini sangat jarang, tetapi sering muncul pada lansia.

Proses yang mendasari terjadinya gangguan ini adalah adanya inhibisi transmisi

aktifitas motorik saat bermimpi. Pasien sering jatuh atau melompat dari tempat

tidur sehingga terjadi perlukaan. Terapi diberikan obat golongan benzodiazepine

kerja lama seperti klonasepam saat mau tidur sekali sehari, dapat mengontrol

gejala gangguan ini.

22

B. Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian

Pengkajian rinci pada lansia dengan gangguan tidur termasuk pengamatan

langsung, bertanya pada pasien dan anggota keluarga tentang pola tidurnya, dan

mungkin meminta pasien membuat buku harian tentang tidurnya selama 3 sampai 4

minggu. Perawat dapat melakukan pengkajian dengan melakukan wawancara

langsung mengenai hal-hal berikut:

a) Seberapa baik orang tersebut tidur di rumah

b) Waktu tidur dan waktu bangun

c) Ritual sebelum tidur dan lingkungan yang diinginkan (jumlah cahaya dan

ventilasi, suhu kamar, pintu terbuka atau tertutup, musik, jenis pakaian tidur)

d) Frekuensi dan durasi terbangun di malam hari

e) Aktivitas yang biasa dilakukan di awal jam malam

f) Makanan dan minuman yang dikonsumsi tepat sebelum tidur

g) Aktivitas dan hobi yang dilakukan di waktu luang

h) Obat-obat yang digunakan, termasuk obat tidur

i) Cenderung untuk tidur sendirian atau bersama seorang teman

j) Status kesehatan yang dirasakan dan kepuasan terhadap hidup

k) Berapa kali terbangun dan keluar ke kamar mandi

Jika pasien membuat catatan harian tentang tidurnya, minta pasien untuk mencatat

data berikut:

a) Jam berapa dia terbangun

b) Jam dan jumlah obat tidur diambil (termasuk penambahan dosis)

c) Episode disorientasi atau kebingungan

d) Frekuensi kebutuhan akan obat nyeri atau kebutuhan akan bantuan ke toilet

e) Waktu yang dihabiskan di tempat tidur

2. Kemungkinan diagnosa keperawatan

a. Gangguan pola tidur b.d penurunan kemampuan fungsi

23

b. Kelelahan b.d kondisi fisik kurang

3. Intervensi

Diagnosa I : Gangguan pola tidur b.d penurunan kemampuan fungsi

Intervensi:

a) Tetapkan pola kegiatan dan tidur pasien, jumlah jam tidurnya dan kualitas

tidur

b) Bantu pasien untuk menghilangkan situasi stress sebelum jam tidurnya

c) Pertahankan jadwal harian

d) Bangunlah di waktu yang biasa

e) Hindari makanan dan minuman yang mengandung kafein (coklat, teh,

kopi), beralkohol saat siang dan petang hari

f) Upayakan mengkonsumsi kudapan yang kaya L-triptofan (misalnya susu

atau kacang) menjelang tidur

g) Jelaskan pentingnya olah raga secara teratur (jalan kaki, lari, senam

aerobik dan latihan)

h) Hindarkan bahwa obat-obat hipnotik

i) Manipulasi lingkungan dan penyebab eksternal/hilangkan distraksi

lingkungan dengan gangguan tidur

j) Identifikasi faktor yang menyebabkan gangguan tidur

k) Olahraga teratur, paparan sinar matahari pada siang hari, dan teh herbal

non kafein pada waktu tidur

l) Manipulasi lingkungan dan penyebab eksternal/ hilangkan distraksi

lingkungan dan gangguan tidur

m) Hindari prosedur yang tidak perlu selama periode tidur

n) Batasi asupan cairan pada malam hari dan berkemih sebelum tidur

o) Tingkatkan aktivitas di siang hari sesuai indikasi

1. Buat jadwal program aktivitas untuk siang hari bersama klien (jalan

kaki, terapi fisik)

2. Jangan tidur siang lebih dari 90 menit

3. Anjurkan klien untuk bangun pagi hari

24

4. Anjurkan orang lain untuk berkomunikasi dengan klien, rangsang ia

untuk tetap terjaga

p) Bantu upaya tidur

1. Kaji rutinitas tidur yang biasa dilakukan klien, keluarga, praktik

hygiene, ritual (membaca, bermain) dan patuhi semaksimal mungkin

2. Anjurkan atau berikan perawatan pada petang hari

3. Gunakan alat bantu tidur

4. Pastikan klien tidur tanpa gangguan selama sedikitnya 4 sampai 5

periode, masing-masing 90 menit, setiap 24 jam

5. Catat lamanya tidur tanpa gangguan untuk setiap shift.

Diagnosa II : Kelelahan b.d kondisi fisik kurang

Intervensi:

Activity tolerance

a) Memonitor usaha bernapas dalam respon aktivitas

b) Melaporkan aktivitas harian

c) Memonitor ECG dalam batas normal

d) Memonitor warna kulit

Energi management

a) Monitor intake nutrisi

b) Tentukan keterbatasan fisik pasien, penyebab kelelahan

c) Bantu pasien untuk jadwal istirahat

25

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Istirahat adalah keadaan seseorang dapat merasakan relaks secara mental, bebas

dari kecemasan, dan tenang secara fisik sedangkan tidur adalah suatu proses

perubahan kesadaran yang terjadi berulang-ulang selama periode tertentu (Potter &

Perry, 2005). Secara fisiologis, jika seseorang tidak mempertahankan tidur yang

cukup untuk mempertahankan kesehatan tubuh, dapat terjadi efek-efek seperti:

pelupa, konfusi, disorientasi, terutama jika deprivasi tidur terjadi untuk waktu yang

lama. Secara psikologis, tidur memungkinkan seseorang untuk mengalami perasaan

sejahtera serta energi psikis dan kewaspadaan untuk menyelesaikan tugas-tugas.

Aktivitas rutin mendorong istirahat dan relaksasi. Jumlah yang lebih besar untuk

istirahat diperlukan oleh lansia dan harus diselingi dengan periode aktivitas

sepanjang hari.

Selama penuaan, pola tidur mengalami perubahan-perubahan yang khas yang

membedakannya dari orang-orang yang lebih muda. Perubahan-perubahan tersebut

mencakup kelatenan tidur, terbangun pada dini hari, dan peningkatan jumlah tidur

siang. Jumlah waktu yang dihabiskan untuk tidur yang lebih dalam juga menurun.

Istirahat dan tidur dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti: status kesehatan,

lingkungan, stress, gaya hidup, maupun obat-obatan. Secara keselurahan hal tersebut

dapat mengakibatkan berbagai gangguan tidur pada lansia.

Perawat berperan dalam menentukan dan memberikan intervensi yang tepat

terkait peningkatan kualitas tidur lansia, serta memberikan edukasi kepada lansia

mengenai manajemen stress yang dapat dilakukan.

26

B. Saran

Kelompok lansia adalah kelompok individu yang unik. Dalam perkembangan

seiring bertambahnya usia, terjadi perubahan-perubahan baik fisik maupun

psikologis. Perawat harus mampu memahami perubahan-perubahan fisiologis yang

terjadi pada lansia, agar mampu memberikan intervensi yang tepat pada setiap

masalah kesehatan yang dialami lansia.

DAFTAR PUSTAKA

Darmojo, Boedhi.(2009). Buku ajar geriatri (Ilmu kesehatan Usia Lanjut). Jakarta:

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Eliopoulus, Charlotte.(2005). Gerontological nursing 6th Ed. Philadelphia: Lippincott

Williams & Wilkins.

Potter & Perry.(2005). Fundamental keperawatan. Jakarta: EGC.

Roach, Sally S.(2001). Introductory gerontological nursing. Philadelphia: Lippincott

Williams & Wilkins.

Schilling, Judith.(2003). Handbook of geriatric nursing care 2nd Ed. Philadelphia:

Lippincott Williams & Wilkins.

Stanley, Mickey.(2006). Gerontological nursing: a health promotion/protection

approach 2nd Ed. Philadelphia: Davis Company.

Dugdale, David C.(2008).Aging changes in sleep.Diambil pada 21 Oktober 2011 dari

http://www.healthcentral.com/sleep-disorders/understanding-sleep-8785-108.html?

ic=506048

Bloom et al.(2009). Assessment and management of sleep disorders in older person.

Diambil pada 21 Oktober 2011 dari

http://www.uwpsychiatry.org/Docs/GR_Vitiello_handout.pdf

27