Gereja dan Politik Studi Mengenai Sikap Politik Gereja...
Transcript of Gereja dan Politik Studi Mengenai Sikap Politik Gereja...
Bab III
SIKAP POLITIK GEREJA TORAJA
A. Keadaan Geografis Kabupaten Tana Toraja
Kabupaten Tana Toraja adalah kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan. Ibu kota
kabupaten ini adalah Makale. Sebelum pemekaran, kabupaten ini memiliki luas wilayah
1.990 km² dan berpenduduk sebanyak 248.607 jiwa (2007).
Suku Toraja yang mendiami daerah pegunungan dan mempertahankan gaya hidup
yang khas dan masih menunjukkan gaya hidup Austronesia yang asli dan mirip dengan
budaya Nias. Daerah ini merupakan salah satu obyek wisata di Sulawesi Selatan.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2008, bagian utara wilayah kabupaten ini
dimekarkan menjadi Kabupaten Toraja Utara. Dalam bidang ekonomi kebanyakan
masyarakat Toraja hidup sebagai petani. Komoditi andalan dari daerah Toraja adalah
sayur-sayuran, kopi, cengkeh, cokelat dan vanili.
Tana Toraja adalah salah satu tempat konservasi peradaban budaya Proto Melayu
Austronesia yang masih terawat hingga kini. Kebudayaan adat istiadat, seni musik, seni
tari, seni sastra lisan, bahasa, rumah, ukiran, tenunan dan kuliner yang masih sangat
Tradisional, membuat Pemerintah Indonesia mengupayakan agar Tana Toraja bisa dikenal
di dunia Internasional, salah satunya adalah mecalonkan Tana Toraja ke UNESCO untuk
menjadi Situs Warisan Dunia UNESCO sejak tahun 2009.1
B. Gambaran Umum Gereja Toraja
1. Sejarah Singkat Gereja Toraja
Cikal bakal Gereja Toraja berawal dari benih injil yang ditaburkan oleh guru-guru
sekolah Landschap (anggota Indische Kerk-Gereja Protestan Indonesia), yang dibuka oleh
pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1908. Para guru ini berasal dari Ambon, Minahasa,
Sangir, Kupang, dan Jawa. Atas pimpinan dan kuasa Roh Kudus, terjadilah pembaptisan
yang pertama pada tanggal 16 Maret 1913 kepada 20 orang murid sekolah Lanschap di
Makale oleh Hulpprediker F. Kelleng dari Bontain. Pemberitaan injil kemudian di lanjutkan
secara intensif oleh Gereformerde Zendingsbond (GZB) yang datang ke Tana Toraja sejak 10
Nopember 1913. GZB adalah sebuah badan zending yang didirikan oleh anggota-anggota
Nederlandse Hervormde Kerk (NHK) yang menganut paham gereformeerd. GZB
berlatarbelakang pietis, dalam arti sangat mementingkan kesalehan dan kesucian hidup orang
Kristen. Injil yang ditaburkan oleh GZB di Tana Toraja tumbuh dan dibina oleh GZB selama
kurang lebih 34 tahun lamanya. Paham teologi GZB yang pietis itu banyak mempengaruhi
paham teologi warga Gereja Toraja sampai saat ini.2
1 Badan Pusat Statistik Kabupaten Tana Toraja
2 Sejarah Singkat Gereja Toraja, www. Bpsgerejatoraja.org, diunduh, 20 Juni 2012.
Pada tahun 1947 terjadilah babak baru dalam sejarah penginjilan di kalangan
masyarakat Toraja. tepatnya pada tanggal 25 – 28 Maret 1947 diadakanlah persidangan
Sinode I di Rantepao yang dihadiri oleh 35 utusan dari 18 Klasis. Sidang Sinode I ini
memutuskan bahwa orang-orang Toraja yang menganut agama Kristen bersekutu dan berdiri
sendiri dalam satu institusi gereja yang diberi nama Gereja Toraja.3
2. Bentuk
Gereja Toraja dalam menata kelembagaan sebagai alat pelayanan menerapkan
bentuk struktur pelayanan Presbiterial Sinodal, dengan pengertian yaitu : Bentuk
Presbiterial, adalah pengaturan tata hidup dan pelayanan gereja yang dilaksanakan oleh para
presbiteroi (Pendeta, Penatua, dan Diaken ) dalam satu jemaat. Bentuk Sinodal ( Sinode
artinya berjalan bersama) diwujudkan dalam proses pengambilan keputusan atau perumusan
kebijakan oleh Majelis Jemaat secara bersama-sama dalam Sidang Majelis Klasis dan Sidang
Majelis Sinode. Keputusan persidangan Majelis Klasis mengikat seluruh jemaat dalam
lingkup klasis bersangkutan. Keputusan Sidang Majelis Sinode mengikat seluruh jemaat
dalam lingkup Gereja Toraja4
Jadi bentuk Presbiterial Sinodal adalah pengaturan tata hidup dan pelayanan gereja
yang dilaksanakan oleh para presbiteroi (Pendeta, Penatua, Diaken) dalam satu jemaat,
dengan keterikatan dan ketaatan kepada kebersama-samaan dengan para presbiteroi dalam
lingkup yang lebih luas (Klasis dan Sinode).
Oleh karena itu dapat katakan bahwa sistem presbiterial sinodal yang dianut oleh Gereja
Toraja merupakan instrument yang sangat baik dalam mendukung sikap politik Gereja Toraja
terhadap pelaksanaan otonomi daerah. Menurut Kalatiku Pembonan, Kebijakan otonomi
3 Ibid.
4 BPMS Gereja Toraja, Tata Gereja, Gereja Toraja, Rantepao: PT Sulo, 2008, Hlm. 31
daerah merupakan kebijakan nasional yang berhasil didorong oleh orde reformasi untuk
mengubah paradigma pemerintahan dari arah sentralistik ke arah desentralistik. Pada
dasarnya, otonomi daerah dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui
pelayanan masyarakat, pemberdayaan masyarakat, peran serta atau partisipasi masyarakat,
dan peningkatan daya saing daerah.5
3. Sosial-Kultural
Gereja Toraja yang lahir dari pekabaran Injil kepada masyarakat suku Toraja, dalam
pertumbuhannya tidak dapat dilepaskan dari akar-akar budaya masyarakat Toraja. Dalam
kerangka demikian, Gereja Toraja di satu pihak bertanggungjawab memelihara, melestarikan,
dan mengembangkan identitas masyarakat Toraja, yang memiliki karakteristik yang khusus
baik dalam rangka mengisi kebhinekaan yang tunggal ika masyarakat bagi bangsa Indonesia
maupun pada pihak lain terpanggil memberikan kontribusi bagi pengembangan kemanusiaan
yang universal. Disadari dengan sungguh bahwa Gereja Toraja meskipun merupakan institusi
keagamaan, namun juga berwatak sosial kemasyarakatan yang tidak secara kebetulan
menyandang pada dirinya sebutan Toraja. Dengan nama itu terpatri tanggungjawab misi
pemeliharaan, pelestarian, pengembangan nilai-nilai budaya dan kemanusiaan yang dijunjung
tinggi oleh masyarakat Toraja dan yang memiliki karakter tersendiri. Keunikan budaya dan
masyarakat Toraja tidaklah memiliki tujuan pada dirinya sendiri sebagai simbol
keistimewaan dan prestise yang harus dipertaruhkan oleh masyarakat Toraja, tetapi harus
diterima sebagai instrument yang berfungsi menjadi sarana dan strategi bagi aktualisasi hidup
orang Toraja yang lebih manusiawi.6
5 Kalatiku Paembonan, Mendorong Realitas Kepemimpinan dalam Perspektif Sinodal Gereja Toraja, Buku kenangan
Emeritasi Pdt. D.P. Sumbung, hlm. 108. 6 BPS Gereja Toraja, Gereja dan Politik, 1999, Hlm. 7
Hal lain yang membuat Gereja Toraja ikut tertantang adalah masih mengentalnya
semangat primordialisme kesukuan Toraja yang kurang menguntungkan bagi pengembangan
kehidupan bersama yang lebih luas, baik dalam lingkup kehidupan bergereja secara
ekumenais, maupun dalam lingkup hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.7
4. Analisis Konteks Gereja Toraja
Berikut ini penulis akan menguraikan analisis konteks Gereja Toraja berdasarkan keputusan
Sidang Sinode XXII di Jakarta.8
a. Kekuatan dan Kelemahan
1) Kekuatan
Bentuk kelembagaan Gereja Toraja menerapkan sistem Presbiterial Sinodal yang
terdiri dari 4 (empat) Wilayah yang membawahi 85 Klasis, 1001 jemaat dan 267 cabang
kebaktian, dan 56 tempat kebaktian yang tersebar di 13 propinsi di Pulau Sulawesi,
Kalimantan dan Jawa. Warga Gereja Toraja kurang lebih 500.000 Jiwa yang tersebar di
berbagai wilayah di Indonesia, sejak tahun 2010 sudah ada satu jemaat di Kualalumpur
Malaysia, dalam kerjasama dengan Geraja Presbiterian Malaysia. Hal ini merupakan
asset yang mampu memenuhi kebutuhan berbagai Sumber Daya yang diperlukan oleh
Gereja Toraja dalam mencapai visi dan tujuan akhirnya. 9
Kondisi medan pelayanan dengan letak geografis yang berbeda tersebut secara
otomatis menggambarkan keragaman dan perbedaan potensi dari masing- masing
wilayah pelayanan. Perbedaan potensi dari setiap wilayah pelayanan yang ada niscaya
7 Ibid, Hlm. 8.
8 Keputusan Sidang Sinode Am XXII di Jakarta, hlm. 141-149
9 Laporan pertanggungjawaban Badan Pekerja Majelis Sinode Gereja Toraja Pada Sidang Majelis Sinode XXIII,
tanggal 2-9 Juli di Tallunglipu, Hlm. 8
membutuhkan management (pengelolaan) yang kuat dan optimal, dengan tetap
mempertimbangkan karakteristik masing-masing medan pelayanan.
Di bidang sarana dan prasarana yang merupakan asset pendukung persekutuan,
pelayanan dan kesaksian misalnya rumah sakit, sekolah-sekolah, Perguruan Tinggi,
lembaga pelayanan sosial, membutuhkan peningkatan kapasitas baik dari sisi kuantitas
maupun kualitasnya.
Keberadaan lembaga Kelompok Pelayanan Kategorial (KARGT, PPGT, PWGT
dan PKB) merupakan “asset” yang memiliki peran strategis dalam Gereja Toraja.
Keberadaan lembaga-lembaga ini jika difungsikan dengan baik, akan memiliki peran
yang penting sebagai wadah untuk pembinaan mental dan spiritual, tetapi juga
mempersiapkan kader untuk berkarya dalam berbagai bidang termasuk bidang politik.
2) Kelemahan
Pada sisi fungsionaris pelayan / presbiteroi (Pendeta, Penatua, Syamas) perlu
mendapat perhatian khususnya keberadaan tenaga Pendeta yang prosentasenya belum
seimbang jika dibandingkan dengan kebutuhan jemaat dalam seluruh lingkup pelayanan
Gereja Toraja. Jumlah Pendeta yang ada saat ini sekitar 500 orang dengan perbandingan
797 jemaat dan 290 lebih cabang kebaktian dirasakan belum mampu memenuhi
kebutuhan pelayanan.
Selain itu, hal yang cukup mendasar yang menjadi masalah adalah adanya
kesenjangan potensi antar jemaat/wilayah pelayanan. Pada wilayah tertentu misalnya
wilayah IV yang umumnya tersebar di daerah perkotaan memiliki potensi Sumber Daya
yang mampu menjawab kebutuhan pelayanan wilayah yang bersangkutan, sementara
pada wilayah pelayanan yang terletak di daerah pelosok dan pedesaan umumnya masih
mengalami kendala diseputar Sumber Daya untuk menjawab kebutuhan pelayanan di
wilayah tersebut. Keberadaan Penatua dan Syamas di masing masing wilayah juga
mengalami kesenjangan kualitas SDM sehingga hal tersebut sangat berimplikasi pada
kualitas persekutuan, pelayanan dan kesaksian pada masing-masing wilayah (klasis dan
jemaat). Kondisi keimanan warga jemaat banyak mengalami dekadensi (kemerosotan),
hal ini dapat terlihat dari prilaku warga jemaat yang banyak terseret kedalam arus negatif
globalisasi dan modernisasi seperti gaya hidup hedonisme, pragmatis dan kurang
berempati terhadap kondisi sosial/kemasyarakatan yang berkembang disekelilingnya,
serta perilaku negatif lainnya.
Salah satu faktor yang signifikan menyebabkan hal tersebut adalah rendahnya
kualitas pembinaan mental spritual dalam pelayanan Gereja Toraja yang disebabkan
oleh mutu pelayanan dari para pelayan yang tidak mampu mengubah pribadi anggota
jemaat. walaupun akhir-akhir ini setiap tahun Gereja Toraja Mengadakan kegiatan yang
disebut Pekan Spiritual, tetapi menjadi pertanyaan sejauhmana kegiatan tersebut
membentuk karakter, mental dan spriritual warga jemaat, ataukah kegiatan tersebut
hanya sebatas seremonial saja? Semantara itu, konsentrasi para Presbiteroi (Pendeta,
Penatua, Diaken) lebih banyak tersita untuk mengurus dan mengelola Gereja pada sisi
kelembagaannya ketimbang berkonsentrasi pada tugas-tugas pembinaan mental-spiritual
warga jemaat selaku Gereja yang hakiki (orang / manusianya).
b. Peluang dan tantangan
Peluang
Gereja Toraja tumbuh dan berkembang dalam interaksi dengan budaya dan
peradaban masyarakat Toraja. Tak bisa dipungkiri bahwa Gereja Toraja tak dapat
dipisahkan dengan masyarakat Toraja, hal merupakan peluang bagi gereja untuk
mengemban misi, berteologi dalam konteks agar masyarakat Toraja dapat menikmati
Injil dalam budaya mereka sendiri.
Pergeseran tatanan politik melalui penerapan otonomi daerah pada satu sisi
memberi ruang yang luas bagi partisipasi masyarakat Toraja untuk mengekspresikan
aspirasi mereka sesuai kepentingan dan masa depan yang diinginkan. Salah satu
perwujudan dari otonomi daerah adalah pelaksanaan Pemilihan Umum Kepala Daerah
(Pemilu Kada). Sebagaimana yang diatur dalam undang-undang Pemilu Kada bahwa
rakyat di daerah itulah yang akan memilih secara langsung siapa yang pantas menjadi
pemimpin mereka. Pemilihan langsung tersebut merupakan sebuah kesempatan (kairos)
bagi masyarakat Toraja termasuk warga Gereja Toraja pada khususnya, untuk terlibat
dalam proses demokrasi di tingkatan daerah.
Tantangan
Di samping menjadi peluang, perjumpaan antara gereja dengan kebudayaan
toraja juga merupakan sebuah tatangan. Kondisi ini seringkali menghantarkan Gereja
Toraja dipersimpangan jalan untuk memutuskan apakah menarik garis demarkasi secara
tegas untuk menyatakan “ tidak ” terhadap adat-istiadat yang bertentangan dengan
firman Tuhan, ataukah “ membungkus “ ketidakberdayaan pimpinan umat (gereja)
terhadap eksistensi adat dan tradisi lokal dengan argumentasi “ bertheologi kontekstual
“ untuk melanggengkan adat sekaligus agar misi pelayanan pekabaran injil tertap
berjalan di tengah masyarakat Toraja yang masih memegang kuat tradisi nenek
moyangnya. Menurut Christian Tanduk bahwa perjumpaan budaya nenek moyang
orang toraja dan agama Kristen yang datang dari konteks Barat telah menciptakan
kondisi masyarakat Toraja dalam suatu tarik-menarik. Pada satu sisi agama Kristen
diakui sebagai dasar iman, etos dan pandangan dunia yang lahir dalam budaya nenek
moyang mereka tetap berpengaruh, walaupun hal itu tidak nampak secara eksplisit. Hal
ini menyebabkan kondisi masyarakat Toraja sering menampilkan sikap dualisme dan
juga sering dikotomis. Pada satu sisi agama diakui (Alkitab menjadi pegangan), namun
di sisi lain petunjuk nenek moyang tetap menjadi pegangan (pemali).10
Otonomi daerah pada satu sisi merupakan peluang, namun pada sisi lain akan
menimbulkan pergeseran konflik dari pusat ke daerah yang berjalan secara alami,
situasi tersebut juga dipicu oleh ketidakmatangan mental para elit politik lokal dan
pemimpin masyarakat yang dapat menimbulkan solidaritas sempit melalui semangat
primordial, sektarianisme yang bisa bermuara pada gesekan sosial politik di tingkat
lokal. Berbagai praktik money politics (politik uang) yang mengiringi otonomi daerah
juga sangat berdampak buruk pada prilaku masyarakat yang semakin pragmatis dan
menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan hidup. Fenomena tersebut juga
menjadi tantangan Gereja Toraja selaku pengawal moral masyarakat.
Berbagai masalah sosial yang kini terjadi di Toraja yang notabene sebagai basis
utama pelayanan Gereja Toraja dan seluruh instrumen kelembagaan Gereja Toraja
berkedudukan di sana (mulai dari Jemaat, Klasis, Wilayah, hingga BPMS), semakin
mempertegas ketidakoptimalan fungsi pembinaan dan pelayanan mental spiritual
Gereja Toraja terhadap lingkungan sekitarnya.
Semakin maraknya peredaran narkoba, premanisme kelompok pemuda, sex
bebas/ prostitusi terselubung, kriminalitas, pencurian, perjudian, gaya hidup pragmatis
10
Christian Tanduk, Ketegangan Budaya Nenek Moyang dan Agama masyarakat Toraja, dalam Toraja menggugat, Budaya Toraja: di tengah Kepungan Agama dan Birokrasi, majalah sureq seni dan budaya, La Galigo Press, hlm. 13
dan hedonis serta rentan terhadap money politic adalah gambaran penyakit sosial
masyarakat yang tumbuh karena semakin menipisnya kualitas keimanan masyarakat.
Kehadiran Gereja Toraja yang tersebar dibeberapa propinsi di tanah air
membuka ruang dan kesempatan yang strategis untuk turut berperan serta secara
signifikan bagi partsipasi penataan kebangsaan yang sedang membutuhkan gagasan-
gagasan pencerahan dan pemikiran yang bernas dalam upaya pencarian jati diri ke-
Indonesiaan yang tengah berada dalam masa transisi nilai dibidang politik, social,
ekonomi dan relasi antar umat beragama.Konflik horizontal ditengah masyarakat akibat
penggunaan simbol-simbol agama dan etnis telah memformat pola pikir masyarakat
dalam bingkai rumah kaca primordialitas. Sementara para elit politik juga seringkali
melakukan politisasi agama dan agamaisasi politik demi kepentingan sesaat dan tujuan
kelompok sempit yang dapat menghantarkan relasi keagamaan kejurang perpecahan
dan kekerasan agama. Realitas ini menjadi tantangan Gereja Toraja untuk turut
membangun kontrol yang signifikan bagi cara-cara yang pragmatis seperti itu.
Di balik maraknya orang menjalani kehidupan ritual keagamaan, termasuk
masyarakat kristiani, justru pada sisi lain terjadi arus balik di mana kehidupan
keagamaan itu menjadi terasing dari kehidupan. Inilah yang disebut sebagai irrelevansi
agama dan idolatri agama, karena dibalik bangkitnya semangat kegamaan dalam wujud
ritualisme, formalisme, dan vertikalisme, maka bersamaan dengan itu telah terjadi
keruntuhan moral dan etika para pengikut (umat) dari masing-masing agama. Bahkan
yang lebih tragis adalalah munculnya berbagai benturan antar umat agama diberbagai
pelosok di tanah air yang semakin melegitimasi sisi buruk kehidupan keagamaan di
Indonesia. Kondisi ini menunjukkan bahwa ajaran moral, etika dan kasih yang diajarkan
Gereja belum mampu menuntun gereja dan warganya untuk memasuki kehidupan
bermasyarakat secara baik dalam kehidupan majemuk.
Tragedi sosial dalam lingkup Nasional yang begitu beruntun (bencana alam
seperti: tsunami, gempa, longsor, banjir,dll) yang merenggut ribuan nyawa telah
menyinggung perasaan kemanusiaan seluruh komponen bangsa Indonesia. Kejadian ini
harus dilihat sebagai sebuah waktu Illahi (chairos Allah) untuk mengaktualisasikan
solidaritas kemanusiaan Gereja sekaligus mengembangkan sensitifitas dan solidaritas
sosial gereja sebagai lembaga pelayanan dalam arti luas untuk menegaskan
keberpihakan gereja bagi orang yang tengah menghadapi kesulitan tanpa memandang
latar belakang perbedaan sosial, agama, dan etnis.
Salah satu dampak negatif dari kebijakan desentralisasi (otonomi daerah) dalam
tatanan politik di tanah air menempatkan eksistensi Gereja pada posisi yang terjepit,
yang disebabkan adanya kepentingan-kepentingan sempit dari kelompok tertentu yang
tidak menghendaki Gereja tumbuh dan berkembang dibumi Indonesia. Kelompok
tersebut adalah para “ petualang-petualang ideology” yang sejak NKRI berdiri sudah
memaksakan kehendak mereka untuk mendirikan Negara Indonesia berdasarkan
platform agama tertentu. Mereka adalah golongan Islam radikal misalnya KPPSI
(Komite Persiapan dan Penegakan Syriat Islam) di Sulawesi Selatan pimpian Andi Aziz
Kahar Muzakkar, Front Pembela Islam (FPI) dll . Melalui media otonomi daerah, kini
gerakan tersebut kembali muncul ke permukaan dengan strategi regulasi di tingkat lokal
( lewat PERDA, dan aturan lokal lainnya) yang merupakan turunan dan reinkarnasi SKB
tahun 1969, bahkan lebih jauh dari itu kelompok-kelompok tersebut kini secara terang-
terangan berjuang untuk penerapan syariat agama tertentu di beberapa daerah. Realitas
ini sungguh merupakan pengingkaran terhadap NKRI dan sangat rentan menimbulkan
konflik beragama. Secara khusus gerakan ini sangat meresahkan dan menjadi hambatan
bagi pertumbuhan gereja ke depan.
Mengemukanya berbagai gerakan radikal/fundamentalis dari kelompok tertentu
yang terekspresi melalui gerakan teroris merupakan persoalan yang harus diantisipasi
secara bijak oleh Gereja.
Pada satu sisi implikasi dari prilaku terorisme ini menimbulkan kewaspadaan
sekaligus phobia (ketakutan) dalam melakukan ritual keagamaan bagi umat Kristen,
namun pada sisi lain Gereja juga dituntut untuk berani melakukan perlawanan moral
terhadap tindakan-tindakan yang tidak manusiawi tersebut, sekaligus juga menjadikan
hal tersebut sebagai moment untuk menginstropeksi, re-stropeksi dan otokritik terhadap
strategi, mekanisme, bentuk-bentuk kehadiran Gereja di tengah -tengah masyarakat
majemuk di Indonesia.
Situasi dan kecenderungan umum yang akan banyak mewarnai perjalanan umat
manusia (termasuk Gereja) di awal abad 21 akan diwarnai dengan issu-issu besar seperti
: globalisasi dan tingginya penghargaan akan nilai-nilai hak asasi manusia (HAM),
perjuangan terhadap nilai demokratisasi, perhatian terhadap lingkungan hidup seperti
pembangunan berkelanjutan, kebangkitan agama-agama dan kesetaraan Gender.
terhadap berbagai kondisi tersebut diperlukan apresiasi secara professional dalam rangka
memahami perubahan tanda-tanda jaman yang sedang berlangsung. Fenomena
Globalisasi tersebut berlangsung begitu cepat dan tanpa disadari kita (gereja) telah
berada di dalam pusarannya. Globalisasi di bidang politik ditandai dengan kemenangan
ideologi dengan pendekatan sistem demokrasi atas komunisme, dibidang ekonomi
melalui kemenangan ekonomi liberal-kapitalisme, dibidang sosial-budaya ditandai
dengan perjuangan civil society, dibidang teknologi dengan akselerasi teknologi
informasi, komunikasi dan transportasi.
Globalisasi juga ditandai dengan adanya apresiasi dan penghargaan yang tinggi
terhadap ilmu pengetahuan (knowledge based society). Melalui berbagai kemajuan
tersebut, sekat ruang dan waktu terasa semakin maya dan membuka kemungkinan bagi
seluruh komponen umat manusia untuk bias berinteraksi secara langsung tanpa adanya
kendala. Kemajuan ini akan memungkinkan setiap manusia dari berbagai latar belakang
social-budaya-ekonomi-geografis dapat berinteraksi dan bekerjasama bagai pencapaian
tujuan bersama, namun pada sisi lain persaingan dalam situasi yang bebas ini dapat
berdampak pada kesenjangan kehidupan yang makin besar di bidang ekonomi dan
penguasaan sumber daya strategis lainnya oleh kelompok-kelompok tertentu yang
mampu menguasai faktor-faktor determinan dalam globalisasi tersebut. Dampak negatif
lain dari arus globalisasi adalah pola hidup masyarakat yang cenderung pragmatis
karena fasilitas yang serba instan, dampak kebebasan informasi yang mengarah pada
prilaku sex bebas, gaya hidup hedonis, dan penggunaan modernisasi teknologi untuk
kegiatan negatif dan kriminalitas. Berbagai fenomena ini harus menjadi faktor yang
perlu diantisipasi Gereja Toraja dalam menata pola persekutuan, pelayanan dan
kesaksian di tengan warga gereja dan warga masyarakat yang lebih luas.
5. Warisan Teologis
Jika kita memperhatikan sejarah Gereja Toraja di atas, maka dapat dikatakan
bahwa warisan teologis yang dianut oleh Gereja Toraja adalah sedikit banyak dipengaruhi
oleh pandangan peitisme. Seperti yang diketahui bahwa Gereja Toraja lahir dari peran
Gereformerde Zendingsbond (GZB) yang berlatarbelakang pietis, dalam arti sangat
mementingkan kesalehan dan kesucian hidup orang Kristen. Injil yang ditaburkan oleh GZB
di Tana Toraja tumbuh dan dibina oleh GZB selama kurang lebih 34 tahun lamanya. Paham
teologi GZB yang pietis itu banyak mempengaruhi paham teologi warga Gereja Toraja
sampai saat ini. Sehubungan dengan hal tersebut, Van den End mengatakan bahwa:
“GZB mewakili sayap kanan Gereja Hervormd, yang berpegang pada ajaran
Calvinis, tetapi menggabungkannya dengan kesalehan peitis. Unsur pietis berarti
bahwa pertobatan merupakan pokok utama dalam pemberitaan Firman dan dalam
penggembalaan Jemaat. selaku orang-orang Calvinis, mereka mementingkan
unsur-unsur objektif, khususnya jabatan gereja dan organisasi gereja. Namun,
pengaruh pietisme dalam lingkungan mereka menyebabkan mereka tidak
fanatik”11
Hal ini memiliki dampak terhadap lemahnya kepedulian warga Gereja Toraja
terhadap tanggungjawab kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kondisi yang
demikian tidak memungkinkan tumbuhnya kesadaran warga Gereja untuk melihat bidang
politik sebagai bidang pelayanan dan kesaksian iman Kristen.
C. Sikap Gereja Toraja Tentang Politik
Jika ditelusuri tentang bagaimana sikap atau pandangan Gereja Toraja tentang politik
maka hal tersebut dapat ditemukan dalam Pengakuan Iman Gereja Toraja Bab VII ayat 6,
yang terkait dengan hubungan antara pemerintah dengan gereja,. Dalam pengakuan tersebut
dikatakan bahwa:
11
Van den End, Menawarkan Hidangan, Menyusun Menu, Identitas GZB dan Dampaknya Terhadap Gereja Toraja, Orasi Pada Acara Wisuda Sarjana/Pascasarjana STAKN Toraja, 1 oktober 2005, Hlm. 4
“Pemerintah dan lembaga-lembaganya adalah alat di tangan Tuhan untuk
menyelenggarakan kesejahteraan, keadilan dan kebenaran serta memerangi
kejahatan dalam tanggungjawab kepada Tuhan dan kepada rakyat. Oleh sebab itu
kita wajib mendoakan dan membantu pemerintah agar dapat menjalankan
tugasnya sesuai kehendak Allah untuk kesejahteraan manusia”.12
Melalui pengakuan tersebut, dapat dikatakan bahwa Gereja Toraja secara eksplisit
merumuskan prinsip dan konsepnya tentang peranannya di bidang politik,khususnya dalam
hubungannya dengan pemerintah. Tetapi hal tersebut belum secara tegas menggambarkan
mengenai peran profetis gereja jika pemerintah tidak menjalankan fungsi sebagaimana
mestinya yaitu menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat.
Dari pengakuan Iman Gereja Toraja tersebut di atas, kemudian dijabarkan lebih lanjut
oleh Gereja Toraja dalam keputusan-keputusan sidang sinode. Ada dua keputusan Sidang
Sinode Gereja Toraja yang memuat tentang bagimana sikap Gereja Toraja terhadap politik.
Keputusan tersebut antara lain:
a. Keputusan Sidang Sinode Am Geraja Toraja XXI di Palopo.
Dalam keputusan pasal 18 tentang Gereja dan Politik, sidang sinode
merumuskan bahwa dalam rangka meningkatkan peran serta pendeta dalam gereja
dan masyarakat, maka SSA XXI Gereja Toraja mendukung hasil konsultasi
Gereja dan Politik yang diselenggarakan oleh Badan Pekerja Sinode Gereja
Toraja untuk dipedomani oleh jemaat-jemaat dalam Gereja Toraja.
Konsultasi tersebut menghasilkan visi dan misi Gereja Toraja dalam bidang
politik. Visi dan misi tersebut adalah:
1. Visi
Visi Gereja Toraja dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
adalah menghadirkan tanda-tanda kerajaan Allah sehingga nama Tuhan
12
BPMS Gereja Toraja, Pengakuan Iman Gereja Toraja, Rantepao: PT Sulo, 2008, hlm. 153
dikuduskan, kehendak-Nya (keadilan, kebenaran, demokrasi, HAM, partisipasi
dalam pemeliharaan lingkungan hidup) diberlakukan. Orientasi kepedulian dan
perhatian gereja haruslah terarah kepada kepada kepentingan rakyat banyak dan
merasa terpanggil untuk berada di pihak mereka yang tertindas, tercecer, terjepit,
dsb. Atau dengan kata lain, gereja terpanggil untuk berada di pihak saudara-
saudara Kristus yang paling hina.
2. Misi
Gereja yang diutus dan berada di dunia yang majemuk, dituntut untuk
melaksanakan tugas kenabiannya secara positif, kritis, kreatif, dan realistis dalam
berbagai segi kehidupan, antara lan ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan
pertahanan keamanan. Dalam hubungannya dengan pemerintah, maka gereja
terpanggil untuk menyatakan sikap yang jelas, yaitu mendukung pemerintah (bd.
Rm 13), namun secara kritis menegur dengan kasih pemerintah yang tidak
melakukan hal-hal yang bertentangan dengan Tuhan. Berdasarkan hal tersebut,
maka Gereja Toraja bertanggungjawab untuk memperlengkapi, membimbing, dan
mengarahkan warganya agar berkualitas dalam arti yang luas, sehingga dapat
tetap berfungsi sebagai garam, dan terang dunia, baik pada aras lokal, regiaonal,
nasional maupun internasional.
Gereja Toraja terpanggil untuk membina warganya melihat bidang politik
sebagai bidang misi Kristen, sehingga warga gereja dapat memilih arah politik
yang benar, baik dan tepat, sesuai dengan iman Kristiani. Itu berarti pilihan arah
politik warga gereja harus dipandang sebagai panggilan dan pilihan iman. 13
13
BPS Gereja Toraja, Ibid, hlm. 15-18.
Menurut Pdt. Dr. I.P. Lambe’, konsultasi tersebut dilatarbelakangi
pemahaman bahwa pasca reformasi bangsa Indonesia mengalami masa transisi.
Dalam masa transisi itu orang-orang Kristen harus memainkan peran mereka
sebagai bagian integral dari bangsa ini. Jika tidak, bangsa ini akan diatur tanpa
kehadiran kita komunitas Kristiani. Kita akan menjadi kelompok yang secara
sosial politis tersisih.14
Hal lain yang menjadi keputusan dalam sidang tersebut adalah perihal
mengenai fungsionaris Gereja Toraja yang terlibat dalam bidang politik praktis.
Dalam keputusan tersebut dikatakan bahwa fungsionaris Gereja Toraja yang
penuh waktu harus meninggalkan kedudukannya apabila menduduki jabatan
Ketua / Sekretaris / Bendahara (KBS) dalam organisasi politik dan atau anggota
legislatif. Pengisian jabatan yang ditinggalkan, ditetapkan melalui Rapat Kerja
Gereja Toraja. Yang dimaksud fungsionaris Gereja Toraja adalah para pejabat
penuh waktu yang diangkat oleh persidangan atau oleh BPS Gereja Toraja pada
tingkat unit kerja. Pendeta Gereja Toraja yang memilih menjadi KSB (Ketua,
Sekretaris, dan bendahara), atau anggota legislatif dalam suatu partai politik
apabila ingin kembali melaksanakan tugas kependetaan sesuai dengan ketentuan
dalam Gereja Toraja, harus mengajukan permohonan kembali kepada BPS Gereja
Toraja untuk penempatan selanjutnya”.15
3.
14
Hasil Wawancara dengan Pdt. Dr. I.P. Lambe’, Mantan Ketua Umum BPS Gereja Toraja, Mantan anggota DPD RI, dan Mantan Sekum PGI 15
Himpunan Keputusan, Sidang Sinode Am XXI Gereja Toraja, di Palopo, 9-18 Juli 2001, Hlm. 157
b. Keputusan Sidang Sinode Am XXII pada tanggal 3-8 Juni 2006 di Jakarta.
Dalam sidang sinode tersebut dirumuskan keputusan yang terkait dengan
sikap politik Gereja Toraja, secara khusus mengenai Pengembangan peran
kebangsaan (gereja dan politik. Keputusan tersebut menyatakan bahwa sikap
antusias masyarakat Indonesia untuk melakukan pemilihan pemimpin negara
secara langsung merupakan suatu kemajuan dalam proses demokratisasi yang
cukup memberi harapan. 16
Namun berkaitan dengan itu, suatu hal yang patut direnungkan adalah
“apakah pemilihan langsung tersebut merupakan jalur yang dengan sengaja
dipilih untuk membawa masyarakat kepada kehidupan demokrasi yang berdamai
sejahtera?” Pertanyaan semacam ini tetap relevan untuk dikemukakan oleh karena
fakta-fakta di lapangan menyangkut kehidupan berbangsa dan bernegara sampai
saat ini masih tetap mengindikasikan adanya ketegangan antara kehendak politik
(political will) penyelenggara negara dan kepentingan kelompok-kelompok
tertentu. 17
Dalam konteks yang demikian ini, “demokrasi” pun masih potensil
menjadi kendaraan untuk sekedar mememenuhi kepentingan pribadi, kepentingan
kelompok atau kepentingan golongan sendiri, yang pada akhirnya dapat
berimplikasi pada terabaikannya kepentingan pihak lain. Peluang bagi terjadinya
kondisi yang demikian ini akan semakin diperbesar oleh masih kurang dan belum
meratanya kedewasaan berpolitik sebagian rakyat Indonesia. 18
16
Himpunan Keputusan Sidang Sinode Am XXII Gereja Toraja, di Jakarta, 2-8 Juli 2006, Hlm. 74 17
Ibid 18
Ibid, hlm. 75
Dalam kondisi ini Gereja Toraja terpanggil untuk mengupayakan
pemberdayaan dan pendewasaan politik warganya secara terprogram dan
sistematis. Gereja perlu, secara sengaja, melakukan upaya-upaya pemberdayaan
bagi warganya agar dapat melakukan kewajiban politiknya, memperjuangkan
hak-hak politiknya secara konstruktif, menjamin berlangsungnya hubungan
harmonis dan sinergis dengan sesama komponen bangsa. Patut dicatat bahwa
upaya-upaya untuk memperjuangkan hak-hak politik tersebut harus tetap
dipahami sebagai upaya memperjuangkan dan mewujudkan damai sejahtera Allah
bagi semua. Karena itu, upaya tersebut juga harus tetap berlangsung dalam
hubungan yang baik dengan Allah Sang Pencipta, sumber kedamaian dan
kesejahteraan.19
Dari hasil keputusan sidang sinode tersebut di atas, Gereja Toraja kemudian
menjabarkannya dalam program kerja Badan Pekerja Sinode. Adapun rapat kerja
Badan Pekerja Sinode yang memuat tentang sikap politik Gereja Toraja yaitu:
a. Rapat Kerja IV Badan Pekerja Majelis Sinode Gereja Toraja, tahun 2006.
Sikap Gereja Toraja terhadap politik nampak dalam program Bidang Pembinaan
Warga Gereja Dan Pekabaran Injil. Program tersebut yaitu:
- Pendidikan politik warga Jemaat, yang dilaksanakan melalui khotbah yang
dimuat dalam buku membangun jemaat.
- Pencerdasan warga Jemaat dalam menyikapi isu-isu HAM
19
ibid
b. Rapat kerja I Badan Pekerja Sinode Gereja Toraja, tahun 2011.
Sikap politik gereja tampak dalam program mengenai Peningkatan peran
Ekumenis Kebangsaan, dan Pengelolaan Pluralitas, yang terdiri atas:
- Pemberdayaan dan pendewasaan politik warga jemaat sehingga mampu
melaksanakan kewajiban dan memperjuangkan hak politiknya dengan benar.
- Pendidikan politik dan pendampingan warga jemaat yang berminat dan
berpotensi di bidang politik.
- Pengembangan peran gereja dalam proses legislasi-Pendampingan bagi warga
gereja yang berperan dalam bidang politik.
- Pendampingan dan advokasi HAM
- Penyampaian suara kenabian kepada pemerintah dan lembaga-lembaga sosial
demi kehidupan yang adil,bermoral, dan damai-sejahtera.
Berdasarkan hasil keputusan rapat kerja Badan Pekerja Sinode maka, Gereja Toraja
mengadakan Konsultasi Pekabaran Injil.. Dalam hasil Konsultasi III Pekabaran Inji
ditekankan tentang demokratisasi.20
Sejak tahun 1998, upaya demokratisasi di Indonesia semakin marak. Dalam kurun
waktu yang lama warga masyarakat hampir tidak mempunyai kebebasan untuk
mengungkapkan pendapatnya. Oleh karena semuanya diatur dari “atas”, maka
budaya paternalistik yang memang sudah berakar dalam budaya tradisional, tumbuh
subur dalam masyarakat. Dalam banyak hal “keseragaman” ditekankan. Kenyataan
ini menjadi rongrongan terhadap realitas kemajemukan yang sejak zaman nenek
20
Hasil Konsultasi III Pekabaran Injil Gereja Toraja, PSP Tangmentoe, 20-25 Mei 2005.
moyang dihargai, terutama karena semangat kekeluargaan yang masih
kental. Namun, ketidaksiapan menerima kesempatan (iklim demokratis) ini,
menyebabkan terjadinya penyalahgunaan kebebasan mengungkapkan pendapat.
Perjuangan bagi kepentingan pribadi dan kelompok sering lebih diutamakan
daripada kepentingan bersama yang membangun masyarakat. Tidak jarang terjadi
pemaksaan kehendak secara anarkhis dengan memanipulasi pola hubungan
mayoritas-minoritas, bahkan menggunakan kekuatan dan kekerasan fisik maupun
berbagai bentuk kuasa lainnya (misalnya kuasa uang, kedudukan, dsb).
Demokrasi yang diharapkan adalah demokrasi yang dapat menjadi saluran
ekspresi kedaulatan rakyat. Demokrasi semacam ini mestinya didorong secara luas
dan ditopang dengan penegakan hukum yang diwarnai dengan keadilan dan
kebenaran. Dengan jalan begitu setiap warga negara dapat menggunakan hak-hak
politiknya secara bertanggungjawab sambil menjalankan kewajiban politiknya secara
tulus. Semua upaya demokratisasi itu perlu didukung dengan penegakan supremasi
hukum dan penegakan hak-hak asasi manusia, termasuk hak anak untuk hidup dan
berkembang secara sehat, hal yang seringkali tidak diperdulikan. Tumpuan dasarnya
satu, yakni Pancasila sebagai wujud konsesnus nasional. Dalam konteks demikian,
gereja seharusnya melihat demokrasi sebagai anugerah Tuhan bagi masyarakat
Indonesia yang pluralistik. Demokrasi, meski bukan satu-satunya jalan, adalah sebuah
prinsip universal yang alkitabiah. Ia dapat menjadi paradigma untuk menjabarkan
instrumen penyelenggaraan hidup bernegara yang relevan bagi masyarakat dunia
yang semakin majemuk. Dengan pemahaman demikian, demokrasi dapat dilihat
sebagai sebuah sistem yang dapat menyanggah keutuhan dan kesatuan masyarakat.
Itu juga berarti, bahwa demokrasi merupakan alat untuk mencegah penimpangan-
penyimpangan yang dipromosikan dan diperjuangkan oleh kelompok-kelompok
tertentu yang menghendaki hegemoni, baik berdasarkan agama maupun ideologi lain
yang bercorak eksklusif-diskriminatif. Gereja dan warganya hanya dapat
berpartisipasi mengerjakan demokratisasi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara, bila ia melihat setiap manusia sebagai sesama mahkota ciptaan Allah yang
kepadanya Allah mempercayakan pelayanan pendamaian di tengah dunia ini supaya
seluruh makhluk memuliakan Allah.
Kehidupan dan kehadiran jemaat adalah kehidupan yang menghadirkan tubuh
Kristus yang dikorbankan dan dibagikan untuk seluruh umat manusia dan segala
mahluk. Dengan pandangan demikian, gereja dapat secara aktif, terencana dan
sistematis menyelenggarakan pendidikan politik bagi warganya, tentu saja dalam
perspektif teologis-alkitabiah. Nilai demokrasi perlu ditumbuhkembangkan di dalam
kehidupan keluarga, antara lain dengan mengembangkan sikap saling menghargai di
antara anggota keluarga, memberi ruang dan kesempatan kepada setiap anggota
keluarga untuk mengungkapkan pandangannya tanpa rasa takut atau ditakut-takuti.
Dengan demikian, dalam kehidupan berjemaat setiap orang percaya dapat menghargai
orang lain dan terbuka membicarakan perbedaan-perbedaan pendapat dalam semangat
persaudaraan di dalam Kristus serta berupaya saling mendukung melampaui
perbedaan-perbedaan yang ada. Cara hidup seperti ini akan sangat berharga bagi
kesaksian gereja di tengah masyarakat yang majemuk.
Sebagai salah satu bentuk implementasi sikap Gereja Toraja terhadap, tergambar
melalui surat-surat penggembalaan yang dikeluarkan oleh Badan pekerja Sinode
Gereja Toraja dalam setiap momen Pemilihan Umum dan Pemilukada. Berikut ini
penulis memaparkan dua contoh surat penggembalaan dari Badan Pekerja Sinode
kepada Jemaat-jemaat. Surat penggembalaan itu antara lain:
a. Surat Penggembalaan Menghadapi Pemilihan Umum Republik Indonesia Tahun
2009. Beberapa hal yang ditekankan dalam surat tersebut adalah:
Dalam menghadapi cara memilih yang tidak mudah ini membutuhkan niat
dan kehendak untuk saling membantu memberi pemahaman sehingga suara
kita tidak menjadi sia-sia. Banyak di antara kita yang tidak biasa dengan
budaya baca tutis sehingga menjadi bingung ketika tiba-tiba dihadapkan pada
kertas berukuran besar yang berisi tanda-tanda dan tulisan yang maknanya
mungkin asing. Mari sating memberi informasi tentang cara sah memberi
suara. Merupakan langkah yang baik katau Majetis Jemaat (dengan tetap
menjaga netralitas, tidak memihak) dapat berinisyatif bekerja sama dengan
KPU/PPK/PPS menyosialisasikan cara memberi suara yang benar.
PEMILU ini merupakan bagian dari proses panjang membawa bangsa ini
keluar dari kritis multidimensional yang belum juga berakhir (sejak 1998
hingga sekarang). Sementara itu, bersama bangsa-bangsa di dunia, kita juga
sedang menghadapi krisis keuangan dan ekonomi global. Karena itu, hak
untuk memilih hendaknya dipergunakan sesuai dengan suara hati yang telah
dijernihkan dan dipertajam dengan pertimbangan-pertimbangan yang sudah
disebutkan di atas.
Gunakanlah hak pilih kita datam PEMILU ini dan jangan GOLPUT (tidak
ikut memilih). SSA XXll Gereja Toraja telah menugaskan kita untuk berperan
aktif dalam pembangunan bangsa kita. Jika tidak mempergunakan hak pilih,
maka hal itu dapat berarti kita menyerahkan pengambilan keputusan
seluruhnya kepada orang lain yang sangat mungkin tidak sejalan dengan yang
sesungguhnya merupakan harapan kita sendiri. Di samping itu, kita patut
menyadari bahwa PEMILU tahun 2009 ini menentukan pemenangnya dengan
perolehan suara terbanyak. Satu suara sungguh sangat menentukan seseorang
terpilih sebagai pemenang. Dan sangat mungkin satu suara itu adatah suara
kita. Kita semua memiliki panggilan untuk menegakkan Republik lndonesia
menjadi semakin adil, damai, dan sejahtera.
Ajaran Yesus Kristus adalah pedoman kita dalam segala hal. Sebagai
pengikut Yesus Kristus, dengan tegas kita harus menolak segala bentuk
kekerasan, manipulasi, kebencian, perpecahan, dan suap (politik uang). Kita
harus mengutamakan persekutuan dan tidak membiarkan perbedaan dukungan
dan pilihan (calon legistatif dan partai politik) merusak koinonia kristiani kita.
lbarat sebuah permainan olahraga, PEMILU akan berakhir dengan kepastian
akan ada sedikit saja yang keluar sebagai pemenang dan jauh lebih banyak
yang akan keluar sebagai yang kalah. Memang semua peserta telah berusaha
dengan sepenuh kemampuannya, tetapi semua peserta harus menjunjung
tinggi nilai sportivitas. Sebagai orang beriman, kita semua sebaiknya
menghadapi PEMILU ini dalam suasana hati yang siap dan terbuka menanti
dengan tenang kehendak Tuhan.
b. Surat Penggembalaan Menjelang Pemilihan Umum Kepala Daerah 2010.
Ada beberapa hal yang ditekankan dalam surat tersebut adalah:
Pada tahun 2010 ini terjadi pemilihan kepala daerah dan atau walikota di
beberapa daerah di mana anggota-anggota Gereja Toraja berdomisili. Kami
menyeru segenap anggota Gereja Toraja yang memiliki hak memilih di daerah
masing-masing untuk menggunakan hak pilihnya pada hari pemilihan yang
sudah ditetapkan. Pemilihan umum Kepala Daerah/wakil Kepala Daerah atau
walikota/Wakil Walikota ini merupakan kesempatan yang baik bagi kita
sebagai rakyat terlibat langsung menentukan pemimpin tertinggi di kabupaten
dan atau provinsi masing-masing. Tuhan telah menempatkan kita hidup dalam
sebuah masyarakat yang majemuk.
Kita hidup dalam masyarakat yang memiliki latar belakang yang berbeda
dalam banyak aspek: Suku, agama, kepercayaan, ras, budaya, bahasa, adat-
istiadat, golongan, dll. Kita juga hidup dalam masyarakat yang masih sedang
berjuang melawan musuh-musuh damai-sejahtera: Kejahatan korupsi,
ketidakadilan, kekerasan, lemahnya penegakan hukum, pengangguran,
kurangnya lapangan kerja, penyalahgunaan narkoba, rendahnya mutu
pendidikan dan kesehatan, dan kemiskinan (moral dan kebutuhan hidup
sehari-hari).
Oleh karena itu pemimpin daerah yang kita butuhkan adalah pemimpin
yang memiliki karakter iman dan moral yang jelas dan tegas sehingga bisa
menjadi contoh yang dapat ditiru dan diteladani oleh masyarakat. Kita butuh
pemimpin yang akan mampu mengelola kemajemukan dan memimpin
masyarakat mengatasi penyakit yang selama ini menyebabkan kemiskinan.
Kita butuh pemimpin yang dengan iman memiliki hati yang tulus mau
mengasihi dan mencintai rakyat; pemimpin yang dapat membangun dan
meningkatkan mutu kehidupan bersama kita seluruh rakyat secara adil, bijak,
utuh, dan menyeluruh.
Mari memilih calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah yang
mengutamakan kepentingan umum lebih daripada kepentingan pribadi, suku,
golongan, atau kelompok sendiri dan dapat berlaku adil bagi semua komponen
rakyat sehingga tercipta "damai sejahtera bagi semua". Kami menghimbau
segenap anggota Gereja Toraja untuk secara tegas menolak cara-cara yang
melawan Firman Tuhan dalam upaya meraih kursi kekuasaan. Misalnya suap,
ancaman (menakuti-nakuti), kekerasan, penyebaran fitnah terhadap pasangan
calon tertentu. Pegang teguhlah Visi Gereja Toraja, "Damai Sejahtera Bagi
Semua". Pada masa kampanye mungkin suasana politik akan dinamis. Mari
kita semua berdoa dan berusaha sungguh-sungguh supaya kampanye
berlangsung dengan damai dan penuh penghormatan atas hak-hak asasi tiap
orang. Kami menghimbau segenap anggota Gereja Toraja untuk mendoakan
secara khusus kegiatan pemilihan umum kepala daerah atau walikota baik
dalam doa-doa pribadi maupun dalam ibadah-ibadah hari Minggu menjelang
PEMILU KADA.
Berdasarkan hal-hal di atas, penulis menyimpulkan bahwa Gereja Toraja secara
prinsip telah menyadari bahwa politik adalah bagian dari bidang pelayanan gereja. Gereja
Toraja telah menyadari pentingnya partisipasi atau peran gereja dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara. Gereja dipanggil untuk menyatakan sikap politiknya dengan
memperjuangkan demokrasi, hak-hak asasi manusia (HAM), tegaknya kebenaran hukum,
dan memperjuangkan nasib orang banyak, serta membela hak orang lemah, miskin dan
tersisih.
Namun hal yang prinsip itu belum sejalan dengan realitas. Sebagai salah satu contoh,
warga jemaat maupun masyarakat pada umumnya masih rentan terhadap praktek politik
uang (money politic). Kenyataan ini menurut penulis merupakan bentuk dari belum
dipahaminya makna politik sebagai perjuangan bersama untuk kesejahteraan masyarakat,
politik masih dipahami sebagai medan untuk saling merebut kekuasaan. Hal tersebut
disadari oleh Gereja Toraja yang tampak dalam laporan Badan Pekerja Sinode pada SSA
XIII di Tallunglipu. Hal yang menyebabkan sikap politik gereja masih sebatas konseptual
karena antara lain Gereja Toraja dalam sejarah masa lampau tidak memiliki wawasan
teologis yang jelas mengenai keterlibatannya dalam bidang politik, yang pada gilirannya
mengakibatkan ketidakjelasan visi dan misi gereja dalam bidang politik. Sehubungan
dengan itu, ada dua hal yang perlu dicatat:
1. Adanya pengaruh tradisi teologi pietis yang cenderung menjauhkan gereja dari
bidang politik. Sebagimana yang penulis telah uraikan sebelumnya.
2. Belum dirumuskannya secara sistematis langkah-langkah strategik yang harus
ditempuh oleh Gereja Toraja dalam mengimplementasikan sikap politiknya.
D. Sikap Politik Gereja Toraja Terhadap Pelaksanaan Otonomi Daerah.
Otonomi Daerah merupakan salah satu bagian dari dinamika politik di Indonesia pasca
reformasi. Adapun sikap politik Gereja Toraja terkait dengan otonomi daerah tampak dalam
konsultasi III PI Gereja Toraja. Dalam konsultasi tersebut dirumuskan bahwa:
Dalam rangka partisipasi yang luas dari masyarakat, pemberlakuan Undang-
undang No 22 tahun 1999 mengenai Otonomi Daerah (Otoda) sebagai salah satu
bentuk penjabaran prinsip dan sistem demokrasi perlu disambut dengan baik.
Sekaitan dengan itu, distribusi kekuasaan melalui pengembangan wilayah atau
daerah semestinya tidak terlepas dari kepentingan pertumbuhan nasional. Nilai
dan semangat yang terkandung dalam Undang-undang ini sejalan dengan nilai dan
semangat yang melandasi bentuk Presbiterial Sinodal yang dianut oleh Gereja
Toraja. Sebagaimana halnya otonomi daerah harus dikembangkan dalam
kerangka NKRI, demikian halnya kemandirian jemaat-jemaat harus dibina dalam
kerangka keutuhan gereja. Dalam bingkai pemikiran seperti di atas, pertumbuhan
dan kemandirian jemaat-jemaat/klasis-klasis perlu didorong dan ditempatkan
dalam perjalanan dan kesaksian bersama (sinode) Gereja Toraja dalam konteks
masyarakat Indonesia.21
Berkaitan dengan itu, Peran Gereja Toraja dalam pelaksanaan otonomi daerah di
Kabupaten Tana Toraja tampak dalam proses pemekaran kabupaten sehingga kabupaten
Toraja Utara dapat berdiri. Peran tersebut nampak melalui perjuangan para wakil-wakil
rakyat yang berasal dari Toraja baik di tingkat DPRD Kabupaten, DPRD provinsi, DPR RI,
dan DPD RI. Pemekaran bertujuan untuk mendekatkan pelayanan terhadap masyarakat.
Menurut Pdt. Soleman Batti’, M.Th, pemekaran dipandang sebagai strategi politis karena
dengan adanya pemekaran, sudah ada dua kabupaten yang mayoritas penduduknya Kristen.
Oleh karena itu ketika ada forum pertemuan dalam konteks provinsi Sulawesi Selatan maka
ada dua bupati yang dapat berbicara dan mendorong agar Sulawesi Selatan terhindar dari
pemikiran sektarian. Pemikiran sektarian itu sudah mulai tampak melalui perda-perda
syariah.22
Sementara itu, Menurut Pdt. I.Y. Panggalo, D.Th., sekarang ini agak sulit jika peran
Gereja Toraja dihubungkan secara langsung dengan otonomi daerah. Tetapi menurutnya
peran secara tidak langsung tampak dalam peran gereja dalam mendampingi dan
memfasilitasi dua kubu terkait proses pemekaran yakni kubu yang menentang pemekaran
dan kubu yang mendukung pemekaran kabupaten. Oleh karena itu menurutnya, otonomi
daerah merupakan peluang sekaligus tantangan. Otonomi daerah merupakan peluang karena
21
Hasil Konsultasi III Pekabaran Injil Gereja Toraja, PSP Tangmentoe, 20-25 Mei 2005.hlm 107 22
Wawancara dengan Pdt. Soleman Batti’, Ketua Umum Badan Pekerja Sinode Gereja Toraja, periode 2006-2011
merupakan kesempatan bagi kabupaten Tana Toraja untuk dimekarkan. Dengan adanya
pemekaran, maka wilayah kabupaten Tana Toraja dikelola oleh dua pemerintahan yakni
kabupaten Tana Toraja (induk) dan kabupaten Toraja Utara (hasil pemekaran). Otonomi
daerah merupakan sebuah tantangan karena dapat berpotensi menimbulkan fanatisme
kedaerahan. Menurut I.Y. Panggalo peran Gereja Toraja dalam pelaksanaan otonomi daerah
hanya sebatas memberdayakan warga masyarakat dalam hal partisipasi politik serta
memberikan pendampingan dan pendidikan politik bagi warga gereja dan warga masyarakat
pada umumnya. Terkait dengan nilai-nilai budaya, I.Y. Panggalo mengatakan bahwa
semestinya nilai-nilai budaya mewarnai pelaksanaan otonomi daerah di Kabupaten Tana
Toraja misalnya nilai-nilai Tongkonan yakni gotong-royong dan seharusnya pemerintah
bekerjasama dengan Gereja untuk mencapai maksud tersebut.23
Selain pemekaran, otonomi daerah dengan sistem pemilihan langsung, maka sebagai
kaum minoritas di wilayah provinsi Sulawesi Selatan, kabupaten Tana Toraja menjadi
daerah yang dipertimbangkan. Tetapi otonomi daerah juga dengan sistem pemilihan
langsung berpotensi menciptakan disintegrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh
karena itu peran gereja sangat dibutuhkan. Menurut Samuel Eban, SH. Gereja harus
memainkan peran profetisnya agar sistem perpolitikan dapat berjalan sebagaimana
mestinya. Dalam rangka mencapai harapan tersebut, gereja harus menyiapkan Sumber Daya
Manusia, oleh sebab itu Tana Toraja harus dijadikan daerah atau pusat pendidikan.24
Selain itu, Kabupaten Tana Toraja sebagai salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan,
yang sebagian besar penduduknya adalah warga Gereja Toraja, maka dalam rangka
pelaksanaan otonomi daerah semestinya sistem pemerintahan dikelola bernafaskan nilai-
23
Hasil Wawancara dengan Pdt. I.Y. Panggalo, D.Th., Ketua I Badan Pekerja Sinode Gereja Toraja, yang membidangi Pembinaan Warga Gereja dan Pekabaran Injil. 24
Hasil wawancara dengan Samuel Eban, SH, Wakil Ketua DPRD Kabupaten Tana Toraja.
nilai Kristiani. Karena itu Gereja Toraja akan mendorong pihak legislatif (DPRD) untuk
mengeluarkan perda-perda yang berkaitan dengan pemberantasan penyakit sosial misalnya
tentang judi, prostitusi, narkoba, dan lain-lain.25
Berdasarkan hal-hal di atas, dapat disimpulkan bahwa secara prinsip Gereja Toraja
menerima dan setuju terhadap pelaksanaan otonomi daerah. Sikap tersebut tidak
bertentangan dengan sikap Gereja Toraja tentang politik secara umum, sebagaimana yang
telah diuraikan sebelumnya. Karena Gereja Toraja menyadari bahwa pelaksanaan otonomi
daerah adalah bagian dari pelaksanaan proses demokrasi di Indonesia.
Namun menurut penulis, Gereja Toraja belum secara serius menjadikan otonomi daerah
sebagai sebuah isu politik dalam rangka memberdayakan warganya maupun warga
masyarakat untuk berpartisipasi di dalamnya. Pada hal struktur presbiterial sinodal yang
dianut Gereja Toraja sejalan dengan semangat pelaksanaan otonomi daerah yakni memberi
kewenangan kepada jemaat-jemaat secara otonom untuk memberdayakan potensi masing-
masing.
Ketidakseriusan Gereja Toraja terhadap pelaksanaan otonomi daerah tampak jelas dalam
tidak dijadikannya menjadi isu sentral dalam keputusan sidang sinode, sebagai wadah
pengambilan keputusan tertinggi dalam lingkup Gereja Toraja. Bahkan tidak pernah dibahas
dalam rapat kerja (program) Badan Pekerja Sinode sebagi wadah untuk menjabarkan secara
teknis keputusan Sidang sinode. Otonomi daerah hanya bagian terkecil dari hasil konsultasi
III PI, sebagimana yang telah diuraikan sebelumnya.
Oleh karena itu sebagai dampak dari hal di atas, maka pemahaman Gereja Toraja
terhadap pelaksanaan otonomi daerah hanya sebatas pertimbangan pragmatis. Hal tersebut
tampak dalam hasil wawancara penulis dengan pimpinan sinode, yang telah diuraikan
25
Hasil wawancara dengan Pdt. Musa Salusu, M.Th, Ketua Umum BPS Gereja Toraja, periode 2011-2015
sebelumnya bahwa proses pemekaran kabupaten Tana Toraja sebagai implementasi
Undang-undang otonomi daerah, dipandang oleh Gereja Toraja untuk memperkuat posisi
sebagai kaum minoritas di tengah kaum mayoritas Islam di Sulawesi Selatan.
Menurut kesimpulan penulis, akibat dari tidak maksimalnya peran Gereja Toraja
terhadap pelaksanaan otonomi daerah mengakibatkan proses demokrasi dan terciptanya
pemerintahan yang bersih di Kabupaten Tana Toraja belum terlaksana dengan baik.
Sehingga proses KKN masih marak, sebagimana telah diuraikan pada Bab I dan pertarungan
elit-elit politik lokal dalam memperebutkan kekuasaan pada tingkat daerah tidak bisa
dihindari. Hal ini muncul pada kisruh pemilihan kepala daerah pada tahun 2010 yang
melibatkan konflik elit politik dan masyarakat yang notabene adalah warga Gereja Toraja.
contoh kasus ini merupakan bukti gagalnya sikap politik Gereja Toraja yang
terimplementasi hanya melalui surat penggembalaan, tanpa pendampingan secara serius dan
holistic kepada warga jemaat dan warga masyarakat. Sehingga menurut penulis secara
prinsip sikap politik Gereja Toraja terhadap otonomi daerah sejalan dengan prinsip terhadap
bidang politik pada umumnya, tetapi tidak dibarengi dengan langkah-langkah strategik
dalam proses pelaksanaannya.