“GEREJA DAN CALON LEGISLATIF” - Institutional...
Transcript of “GEREJA DAN CALON LEGISLATIF” - Institutional...
“GEREJA DAN CALON LEGISLATIF”
SEBUAH KAJIAN TEOLOGIS-POLITIS SIKAP GEREJA TERHADAP WARGA
JEMAAT YANG MENCALONKAN DIRI SEBAGAI ANGGOTA LEGISLATIF DI
GKJW JEMAAT BANYUWANGI.
Oleh,
Fantri Galatia Rakristian
NIM: 712012042
TUGAS AKHIR
Diajukan kepada Program Studi: Teologi, Fakultas: Teologi
Guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk gelar Sarjana Sains Teologi
(S.Si-Teol)
Program Studi Teologi
Fakultas Teologi
Universitas Kristen Satya Wacana
Salatiga
2016
i
ii
iii
iv
v
MOTTO
Amsal 23:18
Karena masa depan sungguh ada, dan harapanmu tidak akan hilang.
1 Korintus 15:58
Karena itu, saudara-saudaraku yang kekasih, berdirilah teguh, jangan goyah, dan giatlah selalu dalam
pekerjaan Tuhan! Sebab kamu tahu, bahwa dalam persekutuan dengan Tuhan jerih payahmu tidak sia-sia.
vi
Kata Pengantar
Segala Puji syukur yang tak terhingga Penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus atas
rahmat dan kasih-Nya yang begitu besar dalam hidup ini sehingga penulis dapat
menyelesaikan tugas akhir tepat pada waktunya dengan judul “Gereja dan Calon Legislatif.
Sebuah Kajian Teologis-Politis Sikap Gereja Terhadap Warga Jemaat Yang Mencalonkan
Diri Sebagai Anggota Legislatif Di GKJW Jemaat Banyuwangi”. Tugas akhir ini disusun
untuk memenuhi salah satu persyaratan untuk menyelesaikan Program Sarjana Fakultas
Teologi di Universitas Kristen Satya Wacana. Dalam penyusunan tugas akhir tersebut penulis
banyak mendapatkan dorongan, saran, motivasi, semangat dan bimbingan dari berbagai pihak
yang mempunyai hubungan khusus dengan penulis. Penulis menyadari bahwa tanpa
bimbingan dan dorongan dari semua pihak, maka penulisan Tugas Akhir ini tidak dapat
berjalan lancar sesuai dengan kehendak yang diinginkan penulis. Untuk itu dengan segala
kerendahan hati penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada berbagai pihak yang telah
memberikan fasilitas, membantu, membina, membimbing penulis dalam menyelesaikan
Tugas Akhir tersebut, Oleh karena itu ucapan terima kasih penulis tujukan kepada :
1. Pdt. Dr. Retnowati selaku dosen pembimbing I sekaligus Ibu Wali Studi selama
kurang lebih 4 tahun ini yang telah meluangkan waktu dan tenaga untuk
membimbing dan memberikan semangat kepada penulis dalam mengerjakan
Tugas Akhir.
2. Pdt. Dr. Ebenhaizer Nuban Timo sebagai pembimbing 2 yang telah memberikan
waktu untuk membimbing dan memberikan motivasi yang baik dalam penulisan
Tugas Akhir Tersebut.
3. Seluruh dosen dan pegawai tata usaha (TU) Fakultas Teologi Universitas Kristen
Satya Wacana; Ibu Mariska, Kak Izak Latu, Pak Jopie Engel, Pak Tony Tampake,
Pak Yusak Setiyawan, Pak David Samiyono, Pak Rama Tulus, Pak Simon, Pak
Agus, Pak Kris, Kak Iren, Bu Fery, Pak Jopie, Kak Astrid, Pak Nelman, Pak
Handri, Bu Budi, Mas Eko, Mas Adi, Bu Ningsih, yang telah membantu seluruh
proses dari awal perkuliahan sampai pada penulisan Tugas Akhir Tersebut yang
merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana Teologi.
4. Tiga orang hebat dalam hidup penulis yakni Ayah (Gede Rado), Ibu
(Kristiningsih) dan Adek (Johanes Dwi Pamungkas) yang senantiasa mendoakan,
vii
memberi semangat, memberi motivasi dan membiayai penulis dalam proses
pendidikan yang penulis lalui selama kurang lebih 4 tahun.
5. Bapak Pdt. Sony Saksono Putro sekeluarga yang selalu memberikan dukungan,
motivasi dan semangat berupa materi maupun non-materi dalam proses
perkuliahan yang penulis tempuh.
6. Seluruh Majelis Jemaat GKJW Banyuwangi yang telah membantu penulis dalam
penulisan Tugas Akhir ini sebagai narasumber dalam penulisan tugas akhir ini dan
yang senantiasa memberikan dukungan dalam proses perkuliahan penulis baik
dalam bentuk materi maupun non-materi.
7. Keluarga besar Teologi angkatan 2012 “SAPI” Fakultas Teologi Universitas
Kristen Satya Wacana yang selalu mememberikan semangat dan perhatian kepada
penulis dalam menyelesaikan Tugas Akhir dan telah menjadi keluarga selama 4
tahun di kota ini.
8. Sahabat terdekat penulis yakni Septaria Nugraini, Ni Nyoman Dewi Ajeng, Laura
Agustina, Angie Bunga, Handi Kurnianto (Gandos), Mas Bima Dwi Angga,
Chikita Edrini, Mas Rumere, Mas Denny, Richardo Pattiwael, Yohanes Candra
(Buntek), Krisarlangga Rio dan Ani untuk semangat dan motivasi kepada penulis
dalam masa-masa perkuliahan dan dalam menyelesaikan penulisan Tugas Akhir.
9. Teman-teman Kost Kemiri 1 No 4A terkasih yakni Tamariska Fendy Putri,
Oktaviarti Waluyo, Firdiana Novelasari berserta Bapak Ibu Robby sekeluarga (FA
Brian, Yiska dan Rio) sebagai orang tua dan keluarga penulis selama berkuliah di
UKSW.
10. Keluarga besar Persekutuan Pelayanan Sekolah Minggu dan Ibu-ibu Komisi Anak
GKJ Salatiga yang senantiasa memberikan dukungan, doa dan semangat untuk
penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini.
11. Keluarga besar Campus Ministry UKSW yang senantiasa memberikan semangat
dan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini hingga selesai.
CC teman sepelayanan : Grace Ade, Ongky, Timothy, Paul, Kak Juris, Kak
Ardhy, Kak Ega, Evi, Enggar, Agnes dan Pak Tri.
12. GKJ Salatiga yang senantiasa mendukung penulis dalam proses perkuliahan dan
pelayanan selama berada di Salatiga. Terimakasih Bp. Pdt. Stefanus Yossy dan
Ibu Pdt. Wiji Astuti serta Mbak Kristin dan Mbak Erna yang mempermudah
urusan penulis selama berpelayanan di GKJ Salatiga.
viii
13. Keluarga besar GKJW Purwoasri dan Pepanthan Kunjang tempat penulis
melaksanakan Praktek Pendidikan Lapangan VI (PPL) untuk setiap sumbangan
pemikiran, wawasan, semangat, motivasi kepada penulis dalam mengerjakan
Tugas Akhir tersebut.
14. Teman-teman Paguyuban Mahasiswa Asal GKJW di UKSW “Among Dhami”
untuk setiap dukungan, semangat persaudaraan dan motivasi yang selalu diberikan
kepada penulis selama ini.
15. Teman-teman KPPM GKJW Banyuwangi yang telah memberikan dukungan doa
dan motivasi dalam proses perkuliahan penulis selama kurang lebih 4 tahun ini.
16. Nanda Pradipta si penyemangat ulung yang selalu mendoakan, memberi
dukungan, menghapus kejenuhan, memberikan inspirasi, meredakan emosi selama
masa-masa perkuliahan dan proses penyelesaian tugas akhir ini.
Dalam penyusunan Tugas Akhir ini, penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak
kekurangan dalam penulisan oleh karena keterbatasan pengetahuan dan wawasan yang
penulis miliki. Akhir kata semoga Tugas Akhir ini bermanfaat bagi penulis sendiri, gereja,
keluarga, masyarakat dan institusi yang terlibat dalam penulisan Tugas Akhir ini.
Salatiga, 26 Agustus 2016
Fantri Galatia Rakristian
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN............................................................................................. i
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR
UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS........................................................................ ii
KATA PENGANTAR....................................................................................................... vi
ABSTRAK......................................................................................................................... ix
DAFTAR ISI...................................................................................................................... ix
I. PENDAHULUAN................................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang.................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah............................................................................................. 4
1.3 Tujuan Penelitian.............................................................................................. 4
1.4 Manfaat Penelitian............................................................................................. 4
1.5 Metode Penelitian.............................................................................................. 5
1.6 Sistematika Penelitian........................................................................................ 7
II. GEREJA DAN POLITIK..................................................................................... 8
2.1 Makna Gereja...................................................................................................
2.2 Model Gereja.................................................................................................... 10
2.3 Pengertian Politik............................................................................................. 11
2.3.1 Pengertian Politik Secara Umum....................................................... 12
2.4 Hubungan Gereja Dengan Politik.................................................................... 14
III. TEMUAN HASIL PENELITIAN, PEMBAHASAN DAN ANALISA.......... 17
3.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian............................................................... 17
3.2 Kota Banyuwangi dan GKJW Jemaat Banyuwangi.................................... 17
3.3 Temuan Hasil Penelitian, Pembahasan dan Analisa................................... 18
3.3.1 Sikap Gereja Terhadap Warga Jemaat Yang Berpolitik Praktis......... 18
x
IV. PENUTUP............................................................................................................ 23
4.1 Kesimpulan..................................................................................................... 23
4.2 Saran............................................................................................................... 24
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................... 25
1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia telah melaksanakan pemilihan umum sebanyak tiga kali – 1999, 2004, dan
2009 – sejak era reformasi. Kualitas penyelenggaraan Pemilu 1999 dan 2004 mengalami
kemajuan yang baik, namun terjadinya skandal besar pengadaan, tidak berfungsinya undang-
undang kepemiluan, dan komisi pemilihan umum yang mengalami banyak permasalahan
berujung kepada Pemilu 2009 yang kualitasnya jauh di bawah standar. Dilatari oleh
bermasalahnya Pemilu 2009, harapan dan risiko dalam penyelenggaraan Pemilu 2014
sangatlah signifikan dan merupakan sebuah tantangan besar yang harus dihadapi oleh 2.659
orang komisioner yang baru dipilih di tingkat nasional dan daerah.1
Pelaksanaan pemilu legislatif tingkat nasional dan daerah sudah dilaksanakan pada
tanggal 9 April 2014. Pemilu presiden juga sudah dilaksanakan pada 9 Juli 2014. Pemilu
presiden dan legislatif dilaksanakan tiap lima tahun, namun pemilihan kepala eksekutif
tingkat sub-nasional atau daerah (Pemilihan Kepala Daerah atau Pemilukada) dilaksanakan
secara terputus di berbagai bagian Indonesia setiap waktu. Di Indonesia, akan selalu ada
Pemilukada yang berlangsung.2
Pemilihan umum telah dianggap menjadi ukuran demokrasi karena rakyat dapat
berpartisipasi menentukan sikapnya terhadap pemerintahan dan negaranya. Pemilihan umum
adalah suatu hal yang penting dalam kehidupan kenegaraan. Pemilu adalah sebuah sistem
demokrasi, melalui pemilihan umum rakyat memilih wakilnya untuk duduk dalam parlemen
dan dalam struktur pemerintahan.3 Umumnya yang berperan dalam pemilu dan menjadi
peserta pemilu adalah partai-partai politik. Partai politik yang menyalurkan aspirasi rakyat
dan mengajukan calon-calon untuk dipilih oleh rakyat melalui pemilihan itu.
Dalam pemilihan legislatif tentu saja banyak warga masyarakat yang turut ambil
bagian, masyarakat bukan hanya memilih para kandidat yang ada tetapi masyarakat juga
menjadi kandidat calon legilatif yang nantinya akan dipilih. Para calon legislatif masuk dalam
partai politik untuk menjadi calon legislatif, dan pastinya para calon ini masuk partai politik
1 http://www.rumahpemilu.org/in/read/3351/Gambaran-Singkat-Pemilihan-Umum-2014-di-Indonesia
diunduh pada tanggal 26 September 2015 Pk. 20.00 WIB 2 http://terasmakalah.blogspot.com/2011/02/makalah-pemilu-indonesia.html diunduh pada tanggal 26
September 2015 Pk. 20.00 WIB 3 http://marskrip.blogspot.com/2009/12/pemilu-di-indonesia.html diunduh pada tanggal 26 September
2015 Pk. 20.00 WIB
2
dengan niat yang baik, mereka memiliki harapan untuk memberikan kesejahteraan bagi
rakyat Indonesia jika dirinya terpilih saat Pemilu. Di antara orang-orang yang mencalonkan
diri itu ada banyak orang Kristen yang ikut ambil bagian dalam pencalonan diri sebagai
anggota legislatif, mereka adalah warga gereja yang baik, warga gereja yang dapat menjadi
panutan warga gereja lainnya.
Dalam perkembangan sejarah kehidupan bangsa Indonesia, kata politik mengalami
pembelokan makna. Istilah politik yang sejatinya menunjuk pada pengelolaan kehidupan
bersama dalam suatu komunitas cenderung dimaknai sebagai sesuatu yang kotor, diwarnai
pemutar balikan kebenaran, sebuah permainan orang atau kelompok tertentu untuk
kepentingan mereka sendiri.4
Secara umum dapatlah dirumuskan konsep atau pengertian politik sebagai interaksi
atara pemerintah dan masyarakat dalam rangka proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan
yang mengikat tentang kebaikan bersama masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah
tertentu.5
Gereja bukan Negara, bukan pula bawahan atau atasan Negara. Berkaitan peran
Kristen dalam penguatan masyarakat politik maka kita perlu mencermati kemunculan
berbagai parpol yang menggunakan simbol-simbol Kristen. Mendirikan partai Kristen di
Indonesia itu baik. Tetapi mestilah didasarkan pada prinsip teologis yang benar. Sebab jika
tidak partai-partai yang mengusung symbol-simbol Kristen hanya akan menjadi sekedar alat
untuk mendapatkan suara kaum Kristiani, sedangkan praktik berpolitiknya sama bobroknya
bahkan bisa lebih korup dari partai-partai non Kristen. Dalam realitas berpolitik sekarang,
kekecewaan terhadap parpol bersimbol Kristen menjadi buktinya. Dari pada banyak
membangun banyak partai Kristen lebih baik kita membangun lebih banyak organisasi-
organisasi non pemerintah yang dapat mendorong penguatan masyarakat sipil.6
Gereja sebagai persekutuan Kristen memegang peranan yang sangat penting bagi
kelakuan orang Kristen. Gereja harus memperlengkapi anggotanya untuk melayani dalam
dunia. Gereja sudah pasti memiliki fungsi yang jelas. Menurut Malcolm Brownlee Gereja
memiliki tujuh fungsi yang menyangkut keputusan etis antara lain Gereja sebagai jemaat
pertanggungan-jawab etis, Gereja sebagai jemaat pengampunan, Gereja sebagai jemaat
4 Mery Kolimon, Teologi Politik, Makasar: Oase Intim, 2013, hlm 229
5 Warsito Utomo, Kristianitas Dalam Kancah Perpolitikan Nasional, Yogyakarta: Yayasan Taman
Pustaka Kristen Indonesia, 2014, hlm 81 6 Ibid, 38
3
pendidikan moral, Gereja sebagai pembentuk tabiat moral, Gereja sebagai jemaat dukungan
moral, Gereja sebagai jemaat diskusi moral dan Gereja sebagai jemaat perbuatan moral.7
Dari ketujuh fungsi gereja di atas dalam butir yang kelima dikatakan fungsi gereja
sebagai jemaat dukungan moral. Gereja sebagai dukungan moral secara garis besar anggota-
anggota jemaat dapat saling mendukung pendirian etis mereka masing-masing. Di dalam
Perjanjian Baru menggambarkan anggota-anggota gereja sebagai tubuh “yang rapih tersusun
dan diikat menjadi satu oleh pelayanan semua bagiannya, sesuai dengan tingkat pekerjaan
tiap-tiap anggota.” Gereja membantu jemaatnya untuk “menerima pertumbuhannya dan
membangun dirinya dalam kasih” (Ef 4:16), Jadi Gereja juga dapat dikatakan sebagai sarana
yang membantu jemaat menjadi pribadi yang lebih baik dengan bersama-sama bertumbuh
dan membangun kehidupan bersama dengan jemaat lainnya dengan kasih. Anggota-anggota
gereja dipersatukan dalam satu tubuh dengan satu kepala, setiap jemaat dituntut agar mau
melayani satu dengan yang lain.
Pandangan Brownlee mengenai fungsi gereja sebagai jemaat moral ini mengandaikan
bahwa jika ada warga gereja yang mencalonkan diri sebagai anggota legislatif gereja sudah
sepatutnya untuk mendukung warga tersebut, mendukung tidak selalu berarti harus memilih
warga tersebut tetapi dukungan itu dapat diwujudkan dengan cara memberi perhatian,
semangat, doa dan bahkan juga pikiran-pikiran sederhana atau konstruktif. Jelasnya
mengikuti pendapat dari Brownlee ini para calon legislatif tidak boleh dibiarkan berjuang
secara bebas. Mereka perlu pendampingan dan penguatan dari komunitas imannya
Dalam kenyataannya sering terdengar keluh-kesah dari para calon legislatif Kristen
tentang kurangnya bahkan tidak adanya perhatian dan dukungan dari Gereja. Tentu saja ada
pertimbangan-pertimbangan tertentu dari Gereja saat mengambil sikap ini tetapi keluhan ini
pun layak diberi perhatian.
Gereja Kristen Jawi Wetan Jemaat Banyuwangi adalah gereja yang sedang berjuang
dalam menyikapi persoalan mengenai jemaat yang mencalonkan diri sebagai anggota
legislatif di aras Kabupaten. Peristiwa ini adalah pengalaman pertama untuk GKJW
Banyuwangi karena sebelumnya belum pernah ada warga jemaat yang mencalonkan diri
sebagai anggota legislatif. Seperti yang dialami oleh salah seorang jemaat GKJW
Banyuwangi yang pada saat itu mencalonkan diri sebagai anggota legislatif dan kurang
7 Malcolm Brownlee, Pengambilan Keputusan Etis, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012, hlm 169-181
4
mendapatkan respon yang baik dari Gereja dikarenakan kurangnya pemahaman mengenai
politik di dalam sebuah gereja. Masalah inilah yang terjadi di GKJW Jemaat Banyuwangi,
gereja yang kurang memiliki pemahaman mengenai pendidikan politik gereja akan bersikap
apatis dan cenderung tidak memberi dukungan kepada jemaatnya yang mencalonkan diri
sebagai anggota legislatif.
Menurut saya permasalahan ini menarik karena ada calon legislatif Kristen yang
berjuang untuk menduduki bangku parlemen dengan niat yang baik demi mensejahterakan
masyarakat, jika saja calon legislatif ini mendapat dukungan dari Majelis jemaat pasti calon
legislatif Kristen ini dapat lebih semangat dan lebih giat lagi dalam melakukan perjuangannya
mendapatkan kursi pemerintahan itu. Jikalau kelak akhirnya berhasil menduduki kursi
legislatif kesadaran bahwa kursi itu di peroleh berkat perhatian, dukungan dan pendampingan
jemaat bisa menjadi modal untuk menumbuh-kembangkan etika politik yang bermartabat
serta membawa nama baik orang Kristen. Maka dari itu Gereja harus benar-benar memberi
dukungan dengan baik.
Prisip yang di bawa oleh calon anggota legislatif ini merupakan nilai universal bagi
semua masyarakat dan agama terutama nilai dalam agama Kristen, seharusnya GKJW
Banyuwangi memberi dukungan secara khusus untuk mereka, rupanya gereja kurang
memberikan perhatian, dukungan dan semangat untuk mereka. Maka dari itu penulis tertarik
untuk melakukan pembahasan mengenai hal tersebut yang akan saya tuangkan dalam tulisan
ini.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan di atas, maka masalah pokok dalam
penelitian ini adalah Bagaimana sikap gereja terhadap jemaat yang mencalonkan diri sebagai
anggota legislatif di GKJW Jemaat Banyuwangi?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran bagi Gereja tentang
pemahaman mengenai pendidikan politik gereja dalam menghadapi warga jemaat yang
berpolitik. Sehingga tujuan dari diadakannya penelitian ini adalah untuk menganalisa dan
melakukan kajian kritis mengenai sikap gereja terhadap warga jemaat yang mencalonkan diri
sebagai anggota legislatif.
1.4 Manfaat Penelitian
5
Melalui penelitian ini akan dihasilkan karya ilmiah yang diharapkan dapat menjadi sumber
pustaka yang bermanfaat bagi kalangan intelektual dan warga Gereja. Manfaat dari penelitian
ini adalah:
1. Memberikan manfaat baru kepada jemaat GKJW Banyuwangi mengenai politik di
dalam gereja.
2. Memberikan sumbangan pemikiran mengenai pendidikan politik kepada GKJW
Banyuwangi melalui tulisan ini.
3. Memberikan sumbangan pemikiran mengenai pendidikan politik kepada para
pembaca karena jarang sekali di temui sebuah karya ilmiah yang membahas
mengenai pendidikan politik di dalam gereja.
1.5 Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, metode yang akan digunakan adalah metode kualitatif. Metode
ini digunakan karena dapat memberikan hasil yang lebih mendetail dan mendalam. Menurut
Mardilis, metode adalah suatu cara atau teknik yang dilakukan dalam proses penelitian.
Sedangkan penelitian dimengerti sebagai upaya dalam bidang ilmu pengetahuan yang
dijalankan untuk memperoleh fakta-fakta dan prinsip-prinsip dengan sabar, hati-hati dan
sistematis untuk mewujudkan kebenaran.8 Jadi metode penelitian adalah cara atau teknis
yang dilakukan dalam ilmu pengetahuan secara sabar, hati-hati dan sistematis untuk
memperoleh kebenaran. Karenanya metodologi penelitian merupakan suatu pengkajian
dalam mempelajari peraturan-paraturan yang terdapat didalam penelitian.9
Berdasarkan penelitian ini penulis menggunakan metode deskriptif dengan
pendekatan kualitatif. Metode deskriptif adalah metode dalam penelitian status kelompok
manusia, suatu subjek, suatu set kondisi, suatu system pemikiran ataupun suatu kelas
peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian deskriptif adalah membuat suatu
gambaran atau lukisan secara sistematis, factual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat
serta hubungan antara fenomena yang diselidiki.10
Menurut Bogdan dan Taylor, memberikan
definisi tentang pendekatan kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang atau prilaku yang diamati.11
8 Mardilis, Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal (Jakarta: Bumi Aksara, 1990) hal 24
9 Husaini Usman, Metodologi Penelitian (Jakarta: Bumi Aksara, 2001) hal 42
10 Mohammad Nazir, Metode Penelitian (Jakarta: Ghalia, 1998) hal 63
11 Lexi Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1995) hal 3
6
Oleh sebab itu untuk keperluan penelitian dalam rangka pengumpulan data maka
penulisan ini merupakan hasil dari penelitian lapangan dan kepustakaan.
1) Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan adalah :
a. Observasi
Observasi yang dilakukan oleh penulis adalah observasi langsung. Menurut Kartini
Kartono observasi langsung adalah teknik observasi yang dilakukan oleh pengamat dengan
ikut aktif berpartisipasi pada aktivitas dalam konteks sosial yang tengah ia selidiki.12
Oleh
sebab itu, penulis menggunakan teknik ini untuk memungkinkan penulis mengamati dari
dekat hal-hal yang menjadi fokus penelitian serta melibatkan diri ditengah-tengah aktivitas
hidup mereka. Observasi yang saya lakukan ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana
gereja mempersiapkan warga jemaatnya untuk ikut ambil bagian dalam ajang perpolitikkan,
baik dalam program kegiatan yang ada digereja maupun pembinaan-pembinaan yang
dilakukan gereja khususnya dalam bidang perpolitikkan.
b. Wawancara
Wawancara merupakan salah satu bentuk komunikasi yang bersifat verbal atau lisan,
yang bertujuan untuk memperoleh informasi tentang kenyataan hidup yang dialami oleh
masyarakat maupun individu dalam berbagai aspek kehidupan seperti yang didefinisikan
oleh Vredenberght, wawancara adalah mengumpulkan data mengenai sikap dan kelakuan,
pengalaman, cita-cita dan harapan manusia seperti dikemukakan oleh responden atas
pertanyaan peneliti atau wawancara.13
Proses pengambilan data melalui wawancara ini, saya
akan mewawancarai warga jemaat yang mencalonkan diri sebagai anggota legislatif dan
pimpinan GKJW Banyuwangi (Pendeta dan Majelis Jemaat) dan warga jemaat yang bekerja
di bidang politik (anggota KPU).
c. Studi Kepustakaan
Teknik ini dipakai dalam rangka mengadakan studi mengenai sejumlah literatur yang
berkaitan dengan penelitian. Literature ini dipakai untuk mempertanggung jawabkan hasil
penelitian serta peneliti dapat memperoleh pengertian dan pemahaman yang berhubungan
dengan masalah yang diteliti.
12
Kartini Kartono, Pengantar Metodologi Research Sosial (Bandung: Alumni, 1980) hal 147 13
Jacob Vredenberght, Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat (Jakarta: Gramedia, 1990) hal 88
7
1.6 Sistematika Penulisan
Penulis membagi sistematika penulisan penelitian ini dalam empat bagian. Pertama,
menjelaskan tentang latar belakang masalah, alasan pemilihan judul, rumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan. Kedua,
berisikan tentang Gereja dan Politik serta hubungan Gereja dan Politik dan bagaimana
keterlibatan peran Gereja terhadap Politik. Ketiga, dibahas hasil penelitian yang meliputi
permasalahan-permasalahan yang ditemukan. Keempat, bagian ini berisi penutup yang
meliputi kesimpulan berupa temuan-temuan yang diperoleh dari hasil penelitian,
pembahasan, analisis dan saran-saran yang berupa kontribusi dan rekomendasi untuk
penelitian yang mendatang.
8
BAGIAN II
“Gereja dan Politik”
Gereja dan politik merupakan permasalahan yang sangat serius di sepanjang perjalanan
pelayanan gereja. Meskipun demikian, Gereja dalam hubungannya dengan politik bukanlah
sesuatu yang harus dihindari melainkan sesuatu yang perlu dihadapi dan dilayani. Gereja
perlu berperan dalam masalah-masalah sosial dan politik. Untuk maksud tersebut, pada
bagian ini akan diuraikan apa itu Gereja dan Politik serta hubungan Gereja dan Politik dan
bagaimana keterlibatan peran Gereja terhadap Politik.
2.1 Makna Gereja
Untuk memperoleh pemahaman yang utuh mengenai gereja, saya mencoba untuk
memaparkan beberapa pemikiran teolog kristen yang membahas hal yang berkaitan dengan
gereja.
Teolog kristen yang bernama Hans Kung mengatakan, konsep kita tentang gereja pada
dasarnya dipengaruhi oleh bentuk gereja pada satu waktu tertentu. Pada saat yang sama, ada
satu faktor yang konstan dimana variasi-variasi yang bersifat sejarah bisa merubah
pandangan manusia tentang gereja dan teologi dari masing-masing zaman.14
Hal tersebut
ingin menjelaskan bahwa ada elemen-elemen yang mendasar dan prespektif dalam gereja
dimana hal itu dinyatakan dari gereja itu sendiri. Hans Kung menyebutnya sebagai “essence”
(intisari, pokok), hal itu digambarkan dari sumber-sumber yang menentukan gereja secara
permanen.15
Berkaitan dengan “essence of the church”, Louis Berkhof menyebutkan, Gereja Katolik
memiliki pemahaman yang sangat berbeda dengan gereja Protestan. Katolik memahami
gereja sebagai suatu organisasi yang eksternal, yakni terdiri dari Bishop, Uskup Agung,
Cardinal, Paus. Sementara Protestan memahami gereja sebagai komunitas orang percaya
yang bersifat spiritual. Gereja secara alamiah termasuk orang-orang yang percaya dari segala
jaman dan tidak ada yang lain. Gereja merupakan tubuh Yesus Kristus yang spiritual, tidak
ada tempat bagi orang yang tidak percaya.16
14
Hans Kung, The Church, terj. Ray and Rossallen ockenden, cet 13 (London: Burns & Oates limited,
1969), 4. 15
Ibid 16
Louis Berkhof, A Summary of Christian, cet 2 (London: Billing and Sons LTD, 1962), 139-140
9
1. Gereja sebagai Organisasi
Perjanjian Lama mempergunakan dua konsep yang dapat dipertukarkan untuk
melukiskan umat Allah, masing-masing hanya dengan sedikit makna berbeda. Pertama,
qohal yang berarti panggilan. Hal itu mempresentasikan kumpulan atau pertemuan anak-anak
Israel. Kata yang lain adalah ‘edah, dari akar kata “to appoint” yang artinya menunjuk.
Menunjuk kepada masyarakat Israel yang besar sebagaimana dipresentasikan dalam
penunjukan kepala-kepala suku Israel secara resmi.
Dalam Septuaginta, keduanya secara umum diterjemahkan sebagai “synagoge” (a
coming together atau datang bersama). Dalam Yudaisme yang kemudian, dengan penyebaran
dari orang-orang Yahudi mengikuti pembuangan dan synagoge berubah menjadi pusat-pusat
ibadah, pusat pemberian hukum atau pusat kehidupan sosial komunitas Yahudi.17
Selanjutnya dalam tradisi Ibrani dalam “gathered people” atau sejumlah orang-orang
yang dikumpulkan mewujud konsep qahal, ‘edah dan synagoge, menjadi bersifat
menembuskan (redemtively) memperbaharui expresi dalam kata “the eklesia”menjadi kata
“church” dalam Perjanjian Baru. Konsep tersebut mengidentifikasi “called out” (dipanggil
keluar) dan bersatu atau bersambung kembali bersama-sama kedalam umat Allah yang
diperbaharui. Komunitas gereja ini ditemukan dalam kesaksian dari para Nabi dan para
Rasul, dilembagakan atau terlembaga melalui Kristus sebagai Kepala Gereja, dan berkuasa
melalui Roh Kudus.18
2. Gereja sebagai Ibu (Induk) orang percaya
Seorang teolog yang bernama Henry Betterson dalam buku The Early Christian Fathers,
sebagaimana dikutip oleh Spykman19
, mengatakan bahwa Calvin menghidupkan terus
perumpamaan yang tradisional dari gereja yang bersifat institusi sebagai “ibu dari orang-
orang percaya.” Diantara bapa-bapa gereja awal, Cyprian adalah orang-orang yang sangat
kuat mengekspresikan peran yang material dari gereja. Dalam pernyataannya yang klasik ia
mengatakan bahwa “Dia tidak dapat memiliki Tuhan sebagai BapaNya jika tidak dapat
memiliki Gereja sebagai Ibunya.20
17
Gordon J Spykman, Reformational Theology: A New Paradigma for Doing Dogmatis (USA. William
B. Aedmans Publishing Company, 1992) 18
Ibid, hal 346 19
Ibid 20
Ibid, hal 429-430
10
Spykman menulis, dari tugas Ibu dalam gereja berkembang masuk ke dalam satu dogma
pengerasan selama masa medieval. Analog yang dimunculkan adalah “diluar perahu Nuh”
pengrusakan atau kehancuran tidak dapat dihindari, dengan demikian “diluar pintu-pintu
gereja tidak ada keselamatan. Setelah itu, doktrin dari extra ecclesiam nulla salus pemisahan
dari ‘ibu gereja’ menunjuk kepada kematian spiritualitas.
Sebagai suatu institusi sosial, gereja hidup bersama atau berdampingan dengan institusi-
institusi lainnya dalam masyarakat, sebagai rumah, sekolah, asosiasi-asosiasi yang bersifat
politik, organisasi-organisasi buruh, media, bisnis dan bagian-bagian aktivitas lainnya.
Dalam konteks ini gereja sebagai institusi mengklaim identitasnya dan integritasnya serta
panggilannya yang khas. Dalam upaya pemenuhan mandat ini, gereja umat Allah berkumpul,
di dorong kepada tindakan secara patuh sebagai satu komunitas orang-orang percaya dalam
lingkungan kehidupan yang lain.
2.2 Model Gereja
Seorang teolog fundamental, Avery Dulles21
, ia mencoba menampilkan 5 model gereja,
yakni :
a. Gereja sebagai institusi : Hakekat gereja adalah sebagai institusi yang memberikan
kehidupan kekal bagi para anggota. Karena itu mudah untuk dipahami bahwa gereja
disamakan dengan ibu yang penuh cinta. Menurut Dulles, ciri khas dari model ini
adalah penekanan pada kekuasaan dan otoritas hirarkis. Kedua, posisi klerus
diutamakan pada hirarki. Ketigas, penekanan pada aspek yuridis. Keempat, sifat
tirumfalis Gereja (kesatuan tempur) ditonjolakan.22
b. Gereja sebagai Mystical Communion atau persekutuan yang bersifat mistik : Menurut
Dulles model gereja ini diawali dengan pembahasan tentang relasi-relasi sosial.
Model gereja ini menekankan unsur pemersatu yaitu rahmat dan karunia batiniah dari
Roh Kudus. Hakekat gereja sebagai Tubuh Mistis adalah bahwa gereja bersifat
spiritual dan adikodrati. Berkaitan dengan itu, tujuan Gereja dalam model gereja
sebagai persekutuan mistis adalah memimpin orang-orang kepada persatuan dengan
Allah.23
21
Avery Dulles, Models of the Church, A Critical Assessmens Of The Church in All Its Aspects, 1974,
hal 13-83 22
Yusak B. Setyawan, Eklesiologi, Salatiga: Fakultas Teologi UKSW, 2013, hal 46 23
Ibid, 51
11
c. Gereja sebagai Sakramen : Dalam model gereja ini, sakramen dipahami sebagai suatu
tanda dari rahmat yang menyatakan diri. Oleh karena itu, sakramen selalu bersifat
dinamis. Hakekat gereja dalam model Gereja sebagai sakramen adalah bahwa Gereja
adalah sakramen Yesus yang bertujuan memurnikan dan mengintensifkan jawaban
manusia terhadap rahmat Kristus.24
d. Gereja sebagai Pewarta atau Pembawa Berita : Model gereja ini sejalan dengan gereja
model sakramen, dimana di pahami sebagai suatu simbol yang terlihat sebagai suatu
anugerah dari Allah. Dasar dari model ini adalah pewarta yang mencoba untuk
mewartakan bahwa seorang Raja akan datang untuk membawa sebuah perubahan
dalam dunia. Dengan kata lain secara sederhana tujuan dari model pewartaan ini
adalah membawa Misi besar gereja yaitu menjadikan semua bangsa murid Kristus
(Matius 28:18-20).25
e. Gereja sebagai Hamba : Menurut Dulles metode teologis yang dikembangkan dalam
model ini adalah bersifat sekular dan diagonal. Bersifat sekular karena Gereja sudah
seharusnya mengambil dunia sebagai tempat berteologi karena model ini sangat
relevan untuk situasi baru. Dunia modern membutuhkan sesuatu yang hanya dapat
diberikan oleh Gereja, yakni iman akan Kristus, pengharapan akan datangnya
Kerajaan Allah, perjuangan nilai-nilai damai, keadilan, persaudaraan dan sebagainya.
Kritik profetis terhadap institusi sosial, membangun masyarakat seturut gambaran
Kerajaan yang dijanjikan.26
2.3 Pengertian Politik
2.3.1 Pengertian Politik secara Umum
Di Yunani Kuno adanya kota sebagai kesatuan politik, termasuk yang
terbentuk di daerah-daerah urban dan wilayah-wilayah pinggiran yang meliputinya,
merupakan hal yang normal, bahkan suatu kesatuan kota yang bersifat swatantra
dengan tingkatan otonomi dan kekuasaan kepolisian (demi keamanan) yang baik,
merupakan idaman. 27
Politik adalah seni untuk mencari dan mengkombinasikan berbagai
kemungkinan untuk mengarahkan masyarakat kepada sebuah cita-cita dari
24
Ibid, 55 25
Ibid, 58 26
Ibid, 61 27
Sirait, Sabam, Politik Kristen di Indonesia. Suatu tinjauan Etis, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001,
hal 25
12
masyarakat itu. Politik dijiwai oleh cita-cita yang diyakininya sebagai keinginan
seluruh masyarakat. Sebab itu, politik mesti sanggup mayakinkan warga bahwa apa
yang dikejarnya adalah apa yang dikehendaki seluruh masyarakat. Politik memiliki
arah, yakni cita-cita yang mendorong untuk tidak menerima saja keadaan yang ada.
Kadar keberhasilannya ditentukan oleh cita-cita itu sendiri yang mewarnai
keseluruhan penyelenggaraan kekuasaan. Moralitas sebuah politik ditentukan oleh
kesanggupannya untuk secara konsekuen mencari yang terbaik dari berbagai
kemungkinan yang ada demi membawa seluruh masyarakat kepada sebuah kehidupan
yang mencermintan martabat luhur manusia. Apabila politik mencerminkan
kesesuaian dengan cita-cita ini, maka dia dapat mengharapkan agama menjadi
motivator bagi masyarakat untuk melaksanakan apa apa yang diaturnya28
. Artinya
keberhasilan sebuah politik tidak hanya diukur berdasarkan pencapaian cita-cita,
tetapi juga kualitas jalan yang diretas menuju cita-cita itu. Disinilah letak moralitas
politik yakni kesanggupannya untuk menjalankan kekuasaan menuju sebuah cita-cita
seluruh masyarakat.
Lembaga Politik yang paling menarik di Atena adalah Sidang Ecclesia dan
Dewan Limaratus29
. Sidang Ecclesia dihadiri oleh semua laki-laki yang berusia 20
tahun keatas. Tugas sidang adalah membuat undang-undang dan melakukan
persidangan sepuluh kali dalam setahun. Tugas sidang sangat mirip dengan legislatif
dinegara-negara modern. Dalam perkembangan jaman kata politik juga berkembang
sesuai dengan perkembangan manusia dan jaman. Menurut Karl W Deuch, seperti
yang dikutip Sabam Sirait, Politic is the making of decision by politic means (politik
adalah pengambilan keputusan kolektif atau pembuatan kebijakan-kebijakan public
bagi seluruh masyarakat)30
.
Istilah “politik” berasal dari kata Yunani polis yang memiliki arti “benteng,
kota, negara atau bentuk negara tertentu, yakni demokrasi” dan politea yang berarti
“penduduk atau warga negara, hak warga negara, kewarganegaraan tata negara dan
bentuk pemerintahan”. Selain itu, istilah politik dipakai untuk menunjukkan kepada
dimensi kekuasaan dalam masyarakat atau sistem sosial. Ini tampak dalam definisi
politik yang dikemukakan oleh Robert Dahl. Baginya, politik adalah pola tetap relasi-
28
Paulus Budi Kleden. Teologi Terlibat. Maumere: Ledalero, 2003 hal 202 29
George Sabine sebagaimana dikuti oleh Sabam Sirait, Politik Kristen di Indonesia: Suatu tinjauan
Etis, BPK Gunung Mulia, 2001 hal 25-26 30
Karl W Deuch, dikutip oleh Sabam Sirait, Politik Kristen di Indonesia: Suatu tinjauan Etis, BPK
Gunung Mulia, 2001 hal 24-25
13
relasi manusia, yang secara signifikan, melibatkan kontrol, pengaruh, kekuasaan, atau
otoritas31
. Kekuasaan politik merupakan salah satu unsur atau bagian dari kekuasaan
sosial itu. Politik terkait dengan penggunaan dan penyelenggaraan kekuasaan untuk
mengatur keseluruhan kehidupan suatu masyarakat.32
Sejalan dengan itu, Andrew Heywood33
kemudian menunjukkan empat
karakter dasar dari politik, yakni yang pertama, politik adalah suatu aktivitas; kedua,
politik adalah sebuah aktivitas sosial; ketiga: politik berkembang dari realitas
perbedaan pandangan, keinginan, kebutuhan dan kepentingan; keempat, perbedaan-
perbedaan terkait erat dengan konflik. Karena politik mencakup ekspresi dari
pandangan-pandangan yang berbeda, kompetisi antara ragam tujuan yang saling
bersaing atau benturan kepentingan maka politik berkenan hadir dengan keputusan-
keputusan kolektif yang mengikat kelompok masyarakat.
Sebagai wilayah keputusan-keputusan yang memaksa dan mengikat
masyarakat, politik menjadi sebuah ruang terbuka bagi semua pihak atau komponen
dalam masyarakat itu. Politik adalah ruang publik di mana berlangsung interaksi dan
saling pengaruh antara berbagai komponen dengan bobot kekuasaan masing-masing.
Dalam ruang publik itu berlangsung kegiatan-kegiatan atau upaya-upaya untuk
memperoleh dan menggunakan kekuasaan politik mengandaikan suatu koordinasi
mutual antara ragam aktivitas dan tindakan yang dilakukan oleh semua komponen
masyarakat tersebut. Dalam konteks pemahaman ini, kordinasi mutual tersebut
sekaligus merupakan mekanisme prinsip dalam manajemen konflik antara berbagai
ragam pandangan, kepentingan dan tujuan komponen-komponen masyarakat.
Sehingga dapat dikatakan bahwa politik adalah komunitas polis atau
komunitas sipil, yang menata kehidupan bersamanya berdasarkan tujuan-tujuan
bersama (public).34
Dari pengertian politik secara umum jika dihubungkan dengan keterlibatan
gereja dalam dunia politik sebenarnya gereja juga terpanggil untuk melakukan
31
Robert A. Dahl, Modern Political Analysis (new Jersey: Prentice-Hall, 1976),3 32
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia, 1998), 37 mengartikan kekuasaan
politik sebagai kemampuan untuk memengaruhi kenijakan umum (Pemerintah), baik terbentuknya maupun
akibat-akibatnya sesuai dengan tujuan pemegang kekuasaan sendiri. 33
Andrew Heywood, Political Theory-An Introduction (New York: ST Martin’s Press, Inc,1999), 52 34
J. Philip Wogaman, Christian Perspektive On Politics (Louisville Westminster John Knox Press,
2000), 12-13
14
kesejahteraan bagi umatnya dalam bidang politik dan bedanya adalah ketika gereja,
pendeta atau warga jemaatnya terlibat dalam politik praktis untuk kekuasaan atau
untuk kepentingan gereja dan atau pribadi mereka sendiri. Politik secara umum
adalah strategi atau kegiatan untuk mencapai suatu tujuan, dan pengertian politik jika
dikaitkan dengan apakah warga jemaat boleh berpolitik? Tentu saja boleh, asalkan
politik berdasarkan hati nurani, seperti berbela rasa, dapat membawa kesejahteraan
dan juga dapat membawa keadilan bagi orang yang membutuhkan. Dengan bercermin
pada Yesus maka sikap politik gereja adalah berpihak pada nilai keadilan dan
kebenaran. Itu berarti wajib hukumnya bagi gereja untuk berteologi tentang politik. 35
2.4 Hubungan Gereja dan Politik
Dalam pandangan Wogaman gereja mula-mula menunjukkan sikap yang
ambivalen terhadap pemerintahan. Disatu pihak pemerintah dianggap berasal dari
Allah (jika ia melakukan kebaikan), dan di pihak lain pemerintah dianggap sebagai
iblis36
. Gereja berfungsi untuk mengajarkan kepatuhan, moral, disiplin, dan rasa
hormat, juga mengajar umat dan para pelayan akan tanggungjawab mereka; dengan
kata lain, gereja memberi petunjuk atau arahan kepada semua tugas dan etika
pelayanan duniawi. Hal ini berarti bahwa tugas pengajaran bukanlah persoalan satu
pemberitahuan yang bersifat umum belaka namun, scara spesifik juga melatih setiap
lingkungan tentang kehendak Tuhan dan satu hal pasti ini juga terdapat dalam
hubungan tugas secara politisi.
Gereja memang tidak boleh bergantung pada kekuasaan. Tetapi adalah
tanggungjawab gereja untuk ikut mengarahkan kekuatan-kekuatan politik dalam
kehidupan bersama untuk tujuan mendirikan tanda-tanda syalom Allah. Itu tidak
berarti bahwa gereja kemudian harus menjadi satu kekuatan atau partai politik. Dalam
rangka mengarahkan kekuatan-kekuatan politik untuk melayani keadilan dan
kebenaran, gereja perlu tampil sebagai kekuatan moral dan etika37
. Sementara itu, dari
pihak gereja diharapkan adanya pendampingan pastoral yang terus menerus bagi
setiap warganya yang terlibat di dalam politik praktis. Mereka tidak boleh dibiarkan
berjalan sendiri. Gereja tidak boleh hanya mencela warganya yang terlibat politik,
35
Ebenhaizer I. Nuban Timo. Umat Allah Di Tapal Batas. Salatiga: Alfa Design, 2011 hal 306 36
J Philip Wogaman, Christian Prespectives on Politics, (Louisville Westminster John Knox Press,
2000) hal 36 37
Ibid, 307
15
tetapi tidak pernah memahami secara persis apa yang diperjuangkan warganya38
.
Dengan demikian, gereja benar-benar secara bertanggungjawab melibatkan diri dalam
persoalan-persoalan menegakkan keadilan dan mewujudkan kesejahteraan. Didalam
melakukan itu, lembaga gereja tidak boleh mengidentikkan diri dengan partai-partai
politik, termasuk partai politik yang bernapaskan Kristen. Gereja adalah sebuah
institusi yang berada di atas semua partai politik. Hanya dengan demikianlah gereja
akan memiliki kekuatan moral.
Walaupun pada dasarnya gereja dan politik tidak terpisahkan namun harus
dikatakan pula bahwa gereja dan politik juga harus dipisahkan. Karena memiliki
tujuan yang berbeda. Makna politik baik secara umum dalam Perjanjian Lama dan
Perjanjian Baru dan juga makna Gereja sebenarnya dapat dikatakan bahwa Gereja
memiliki satu tugas yang penting dalam hal peraturan-peraturan atau tata tertib yang
bersifat politis. Bagi Gereja menegaskan, menguatkan dan menolong berfungsi untuk
menopang setiap otoritas dan kedamaian secara umum39
. Gereja dengan misinya
persekutuan, kesaksian dan pelayanan sedangkan politik dengan misinya merebut
kekuasaan duniawi. Sehingga jika gereja terkooptasi dengan politik maka makna
gereja untuk menjadi pembawa kedamaian dan kesejahteraan akan hilang diganti
dengan persaingan. Namun, justru disinilah letak panggilan orang Kristen selaku
komunitas iman bersama dengan saudara-saudaranya yang lain (yang tidak seiman)
tetap melaksanakan panggilan politisnya tanpa harus menarik diri hanya karena
semata-mata ia orang beriman40
. Karena Allah mengasihi dan menghendaki agar
kehidupan keagamaan, kemasyarakatan dan politik tidak dipisah-pisahkan, melainkan
dipersatukan menjadi satu kesatuan batin yang erat41
.
Menghadapi berbagai persoalan dan pertanyaan yang datang dari modernisme
ini, sikap Gereja adalah menolak kompetensi politis para warga dan menempatkan
diri sebagai satu-satunya instansi yang mengetahui apa yang benar untuk semua orang
secara politis. Gereja adalah ibu yang merasa diperlengkapi dengan kesanggupan ilahi
untuk dapat menemukan dan merumuskan apa yang benar untuk seluruh bidang
kehidupan, juga dalam bidang politik. Gereja memiliki kompetensi yang terbatas,
38
Andreas A. Yewangoe. Tidak Ada Ghetto: Gereja Di Dalam Dunia. BPK Gunung Mulia, 2015, hal
188 39
Martinus TH Mawene. Teologi Kemerdekaan. BPK Gunung Mulia, 2004, hal 47 40
ibid, 163-177 41
O. Notohamidjojo. Iman Kristen dan Politik. BPK Gunung Mulia (Jakarta, 1972) hal 15
16
sebab itu dia tidak dapat berbicara secara otoritatif tentang semua hal, termasuk
tentang politik. Untuk membantu memberikan arah dan kerangka moral dalam
penentuan sikap otonom itu, Gereja merasa wajib untuk memberikan pertimbangan-
pertimbangannya tentang politik, tetapi sikap politis yang diambil para beriman
dalam persoalan politik konkret adalah haknya yang mesti diakui42
.
Politik dapat didefinisikan sebagai seni untuk menemukan, merumuskan dan
mengatur yang mungkin. Politik bermula ketika seorang berani melihat kemungkinan,
menangkap alternatif. Sarana yang dipakai untuk mengatur dan mewujudkan yang
mungkin itu adalah kekuasaan. Kekuasaan adalah sarana yang dibutuhkan oleh politik
untuk mewujudkan apa yang dilihatnya sebagai yang mungkin. Sebuah kemungkinan
merupakan alternatif untuk apa yang secara riil ada. Kemungkinan senantiasa
dihadapkan pada yang faktis. Adanya kemungkinan menunjukkan bahwa yang faktis
itu bukanlah sebuah kemutlakkan. Kalau demikian, maka memikirkan dan
menunjukkan adanya kemungkinan berarti menolak kuasa mutlak dari yang faktis.43
Gereja harus melibatkan diri dalam bidang politik, tapi keterlibatannya adalah
keterlibatan sebagai bagian dari masyarakat tanpa sebuah kuasa magisterial yang
melegitimasikan pilihan politis tertentu para warganya. Hal inilah yang mendasari
pluralisme politis didalam gereja. Karena gereja bukan bagai politik atau aliran
politik tertentu, maka didalam gereja boleh ada berbagai macam afiliasi politis. Tanpa
mengindahkan pluralisme ini kita akan menjadi otorite, merasa mempunyai hak dan
kuasa untuk menentukan segala sesuatu bagi orang. Dalam kenyataan, justru hal
inilah yang hendak dilawan dan diatasi gereja dengan keterlibatannya. 44
42
Andreas A. Yewangoe. Tidak Ada Penumpang Gelap. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009 hal 78 43
Ibid, 201 44
Ibid, 214-215
17
Bagian III
3.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ialah GKJW Jemaat Banyuwangi yang berada di Kota
Banyuwangi. Sebagaimana keberadaan Gereja sejak awal permunculannya di tengah
dunia hingga saat ini tidak dapat dipisahkan hubungannya dengan politik, demikian
juga dengan gereja di Jawa Timur sejak berdiri hingga sekarang selalu memiliki
hubungan dengan politik. GKJW secara institusi adalah sebuah lembaga gerejawi
yang berada di Jawa Timur, “Gereja dan Negara” merupakan organisasi yang
berbeda, tetapi menyangkut orang-orang yang sama yakni seluruh masyarakat sebagai
warga negara.45
3.2 Kota Banyuwangi dan GKJW Jemaat Banyuwangi
Kecamatan kota Banyuwangi merupakan pusat kota di Kabupaten
Banyuwangi dengan luas wilayah 30,13 Km2 yang terdiri dari 18 Kelurahan.
Masyarakat kota Bayuwangi terdiri dari orang Banyuwangi asli atau orang “Using”,
etnis Jawa, Madura dan etnis lainnya. Wilayah kecamatan kota Banyuwangi
merupakan daerah pusat pemerintahan Kabupaten Banyuwangi, daerah pemukiman,
sawah, tambak dan pelabuhan ikan laut. Jumlah penduduk kota Banyuwangi sesuai
dengan data BPS Banyuwangi sampai dengan bulan Mei 2016 sebanyak 104.623
dengan jumlah Kepala Keluarga (KK) sebanyak 28.943 KK. Bahasa sehari-hari yang
digunakan oleh penduduk adalah bahasa “Using” yaitu bahasa asli Banyuwangi,
bahasa Jawa, dan didaerah pesisir pantai biasanya menggunakan bahasa Madura dan
Melayu. Bahasa “Using” adalah bahasa asli Banyuwangi yang hampir sama dengan
bahasa Jawa dan sedikit terpengaruh dengan bahasa Bali dan logat bahasanya
memang khas walaupun mirip dengan logat bahasa Jawa pada umumnya.
Greja Kristen Jawi Wetan Jemaat Banyuwangi terletak di pusat kota
Banyuwangi, berhadapan langsung dengan RSUD Blambangan Banyuwangi. Sesuai
dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti bahwa perkembangan jumlah
warga jemaat dari waktu ke waktu memang sulit untuk mendapatkan catatan yang
jelas, sehingga peneliti hanya mencatat sejauh data yang diperoleh dikantor GKJW
45
Hutomo Widodo.Napak Tilas 60th GKJW Jemaat Banyuwangi.Banyuwangi: Panitia HUT GKJW
Jemaat Banyuwangi, 2007 hal 2
18
Jemaat Banyuwangi yakni 190 KK. Pendeta yang menjabat di GKJW Jemaat
Banyuwangi pada saat ini adalah Pdt. Sony Saksono Putro, Msi.
Sejauh ini program-program kegiatan GKJW Jemaat Banyuwangi sesuai
dengan kegiatan tahunan 2015-2016 yang telah disusun oleh Majelis Agung. Sesuai
data yang diperoleh oleh penulis hampir semua kegiatan yang dilakukan oleh GKJW
secaraumum belum ada kegiatan yang menyangkut pembinaan politik, tetapi kegiatan
yang dilakukan oleh GKJW hanyalah sebatas membina rohani dan spiritualitas iman
warga jemaat.46
3.3 Temuan Hasil Penelitian, Pembahasan dan Analisa
3.3.1 Sikap Gereja Terhadap Warga Jemaat Yang Berpolitik Praktis
Melalui observasi yang dilakukan oleh peneliti dengan warga jemaat yang
mencalonkan diri sebagai anggota legislatif. Peneliti menemukan hasil penelitian
bahwa sejauh ini perhatian dari pemerintah mengenai kehidupan kekristenan di
Banyuwangi kurang baik, aspirasi yang diberikan oleh umat kristen kurang
mendapatkan respon yang semestinya dan bagi anak-anak Kristen yang bersekolah di
Sekolah Negeri kurang mendapatkan pendidikan agama Kristen yang baik karena
beberapa daerah di Banyuwangi tidak memiliki guru Agama Kristen. Beberapa asalan
yang disampaikan oleh warga jemat tersebut itu menjadi motivasinya untuk menjadi
wakil orang Kristen di kursi pemerintahan dan beliau berharap bahwa dengan
keberadaannya sebagai anggota legislatif dapat menjadi perantara aspirasi umat
Kristen di Banyuwangi. Beberapa permasalahan yang disebutkan diatas
dilatarbelakangi karena tidak adanya anggota legislatif Kristen yang menjabat sebagai
anggota legislatif di Kabupaten Banyuwangi. Namun keinginan beliau kurang
mendapatkan respon yang baik dari pihak gereja, padahal gereja telah mengetahui
bahwa ada warga jemaatnya yang ikut ambil bagian dalam pencalonan sebagai
anggota legislatif.47
Observasi selanjutnya kepada warga jemaat lainnyayang juga mencalonkan
diri sebagai anggota legislatif.48
Dalam observasi ini, penulis juga menemukan bahwa
warga jemaat yang mencalonkan diri sebagai anggota legislatif ini ternyata kurang
mendapatkan dukungan dan perhatian dari gereja. Warga jemaat ini adalah salah satu
46
Hasil Observasi Program Kerja Tahunan GKJW Banyuwangi 47
Wawancara dengan Bapak R, 1 Juni 2016, pukul 09.00 WIB 48
Wawancara dengan Bapak G, 3 Juni 2016, pukul 13.00 WIB
19
anggota Majelis GKJW Banyuwangi namun warga jemat yang mencalonkan diri
sebagai anggota legislatif ini menerangkan kurang adanya perhatian yang khusus
diberikan oleh gereja, bukan perhatian untuk memilih beliau disaat hari pemilihan
anggota legislatif tetapi yang mereka butuhkan adalah dukungan kesiapan diri untuk
menghadapi proses yang dijalani sebelum dan sesudah pemilihan anggota legislatif.
Dalam penelitian ini peneliti menemukan bahwa dukungan dari gereja sangat
mempengaruhi kehidupan warga jemaat termasuk dukungan untuk warga jemaat yang
mencalonkan diri menjadi anggota legislatif. Dukungan dan perhatian dari gereja
akan memberikan kekuatan tersendiri bagi warga jemaat, namun hal tersebut
nyatanya kurang dirasakan oleh warga jemaat tersebut.
Observasi ketiga dalam penelitian ini bersama Pendeta Jemaat GKJW
Banyuwangi49
. Dalam penelitian ini penulis menemukan hasil penelitian yakni
GKJW masih belum membuka “kran” dalam proses membangun pemahaman warga
jemaat supaya “melek” politik. Dihampir semua gereja termasuk sampai Sinode juga
masih gamang dalam memberlakukan proses memahamkan politik kepada warga
jemaat. Beberapa pendeta GKJW pernah mengusulkan untuk mengadakan Seminar
Wawasan Kebangsaan ternyata dalam lingkup Majelis Jemaat dan Majelis Daerah
tidak disetujui. Hal tersebut terjadi karena adanya trauma politik masa lalu yang
menggabungkan antara Agama dan Politik yang berakhir pada suatu kecelakaan
politik yang pernah terjadi di masa lalu sehingga memunculkan pemikiran para
politikus yang terdahulu bahwa Agama tidak boleh berpolitik, Gereja tidak boleh
berpolitik, politik itu dosa dsb. Banyak presepsi negatif yang ditanamkan sehingga
untuk membuka kembali wawasan yang baru butuh proses dan untuk GKJW
Banyuwangi proses itu sendiri tidak dapat dimulai dari lingkup lokal tetapi proses itu
dimulai dari Sinode di dalam memahami hal itu. Selain itu, hal penting yang
ditemukan adalah bahwa gereja memang tidak berpolitik praktis tetapi gereja harus
melek politik, supaya apapun yang terjadi di lingkungan dimana gereja ada, gereja
tidak tinggal diam tetapi gereja berbuat sesuatu.
Sekalipun GKJW Banyuwangi kurang memberikan dukungan yang aktif
untuk warga jemaat yang mencalonkan diri sebagai anggota legislatif tetapi secara
pribadi sebagai Pendeta jemaat, beliau tetap memberikan perhatian untuk Bapak R.
49
Wawancara dengan Bapak Pdt. Soni, 3 Juni 2016, pukul 16.00 WIB
20
Bentuk perhatian yang diberikan adalah dengan melakukan perkunjungan pastoral
kerumah Bapak R, mendoakan, memberi motivasi supaya siap menghadapi apapun
yang terjadi nanti, memberikan nasehat jikalau Bapak R terpilih menjadi anggota
legislatif. Namun Pdt. Soni tidak pernah secara langsung ketika diatas mimbar
mendoakan dan menyebut nama Bapak R karena itu akan menimbulkan kesenjangan
sosial antar warga jemaat dan akan memunculkan pemikiran bahwa terjadi politik
praktis di atas mimbar.
Seperti pendapat seorang tokoh gereja yaitu, Dr. Nasikun mengatakan bahwa
gereja tidak harus berpolitik praktis. Meski demikian, tugas profetik (kenabian) di
bidang politik harus dilakukan. Karena kekuatan gereja dalam arti jumlah konstituen
kecil. Nasikun mengaku bahwa dirinya termasuk orang yang tidak setuju dengan
politik kristen. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa yang hendak diperjuangkan
oleh gereja adalah nilai-nilai, itu saja yang dipegang, dimana nilai itu bisa ditemukan
dalam keadaan politik saat ini. Ternyata jika dilihat lebih jauh dan mendalam maka
kontribusi gereja lebih penting dalam proses politik dalam mendorong bekerjanya
suatu proses politik yang sesuai dengan nilai-nilai kristiani.
Observasi keempat dalam penelitian ini bersama warga jemaat GKJW
Banyuwangi yang menjadi anggota panitia pengawas pemilu di Banyuwangi.50
Dalam penelitian ini peneliti menemukan hasil penelitian mengenai kehidupan politik
di Banyuwangi khususnya dalam hal partisipasi warga Kristen yang sangat
memprihatinkan karena pada periode ini kursi DPR di Banyuwangi ada 50 namun
hanya 1 saja perwakilan dari Agama Kristen dan ini merupakan masalah besar bagi
warga gereja (baik Kristen maupun Katolik) karena hal ini akan mempengaruhi
aspirasi warga Kristen.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sudah saatnya gereja mulai
membuka diri akan masalah politik ini, karena politik juga menjadi salah satu
tanggungjawab bagi gereja. Kurangnya perhatian gereja terhadap kehidupan
perpolitikan di Banyuwangi menyebabkan perhatian yang seharusnya diberikan
kepada umat yang beragama Kristen juga terhambat. Seperti yang ditemukan peneliti
saat melakukan penelitian, saat ini di Kabupaten Banyuwangi tidak memiliki BIMAS
50
Wawancara dengan Bapak Drs. Cipto Nugroho (Anggota Panita Pengawas Pemilu Kab.
Banyuwangi), 4 Juni 2016, pukul 09.00 WIB
21
(Bimbingan Masyarakat) Kristen dimana tugas BIMAS Kristen adalah melaksanakan
kebijakan dan standardisasi teknis di bidang bimbingan masyarakat Kristen.51
Tidak
adanya BIMAS Kristen dikarenakan tidak adanya perwakilan dari umat yang
beragama Kristen. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sudah saatnya semua
warga gereja membuka diri dengan kehidupan politik yang ada disekitar karena
ketika warga jemaat belum mampu membuka diri untuk menerima dan memahami
politik secara baik dapat menyebabkan masalah dan tantangan yang di hadapi oleh
umat Kristen di Banyuwangi tidak segera mendapatkan perhatian dari pemerintah.
Dewasa ini Politik dianggap sebagai “bisnis” yang kotor. Padahal politik
sendiri memiliki makna yang luhur yaitu bagaimana cara mengatur kota (polis).
Tetapi siapakah yang membuat politik menjadi kotor? Hal itu tentu para pelakunya
dan bukan politiknya. Suatu negara akan maju jika para politisi dapat jujur dan
integritas yang tinggi.52
Bekerja dengan pengertian bahwa kita semua adalah peserta,
keterlibatan dalam politik bukan menyangkut hal mencari “kekuasaan”, akan tetapi
menyangkut bahwa kita diwakili secara wajar ketika berpartisipasi dalam
pemerintahan. Dalam keikutsertaan ini, kita memiliki kesempatan dalam voting
pejabat-pejabat kita yang terpilih dan meyakinkan adanya pilihan yang cukup pada
waktu voting. Jika kita sungguh mempercayai bahwa pemerintah ditahbiskan oleh
Tuhan, keistimewaan dan kesempatan ini harus dinikmati dan dijalankan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di GKJW Jemaat Banyuwangi Hasil
penelitian tentang hubungan gereja dengan warga jemaat yang berpolitik yaitu secara
umum terdapat dua faktor dari pihak warga jemaat yang mencalonkan diri sebagai
anggota legislatif dan dari pihak gereja yang masih belum terbuka dengan politik.
Secara khusus terdapat 3 sikap GKJW Jemaat Banyuwangi dalam menyikapi warga
jemaat yang berpolitik praktis. Pendeta secara pribadi mendukung dan memberi
motivasi kepada warga jemaatnya yang mencalonkan diri sebagai anggota legislatif.
Para anggota majelis dengan tegas menolak adanya warga jemaat yang mencalonkan
diri sebagai anggota legislatif dengan alasan bahwa akan menimbulkan pemasalahan
baru didalam kehidupan berjemaat. Dari pihak warga jemaat lainnya mengalami
kegamangan karena tidak tahu harus bersikap seperti apa jika ada warga jemaat yang
51
http://bimaskristen.kemenag.go.id/index.php/about-dbk diunduh pada tanggal 19 Juli 2016, pukul
16.46 WIB 52
Franz Magnis Suseno. Etika Politik. PT. Gramedia Pustaka Utama (Jakarta 1991) hal 8
22
berpolitik praktis. Ketiga sikap yang terjadi itu akhirnya membuat GKJW
Banyuwangi tidak memiliki sikap yang jelas dalam merespon warga jemaat yang
berpolitik praktis.
23
Bagian IV
4.1 Kesimpulan
Setelah melakukan penelitian di Greja Kristen Jawi Wetan Jemaat Banyuwangi dan
menganalisa data maka penulis dapat mengetahui tentang bagaimana peran peran gereja
terhadap warga jemaat yang mencalonkan diri sebagai anggota legislatif. Berdasarkan hasil
penelitian yang peneliti lakukan maka ada beberapa temuan-temuan penting yang peneliti
dapatkan.
Gereja bukan lembaga surgawi yang terpisah dari konteksnya, tetapi gereja adalah
lembaga yang bersentuhan dengan realitas pergumulan umatnya. Oleh karena itu gereja dapat
memberikan makna bagi dimensi politik yang melekat pada warganya yang sekaligus juga
warga negara. Dalam konteks kondisi di Indonesia, misalnya seperti Pemilihan Calon
Anggota Legislatif, dimana semua keputusan diserahkan kepada rakyat sebagai pemilih,
maka apa peran yang dapat dilakukan oleh gereja? Apakah gereja harus berjuang bagi
terpilihnya warga jemaat yang ikut ambil bagian dalam hal ini? Atau gereja mesti
memperjuangkan siapa saja yang memiliki komitmen tinggi terhadap penegakkan keadilan
dan sebuah masyarakat anti diskriminasi serta mampu melahirkan pemerintahan yang bersih.
GKJW Jemaat Banyuwangi dipanggil kedunia untuk membina, membimbing dan
mengarahkan jemaatnya demi menjawab setiap kebutuhan warga jemaat termasuk
mendampingi warga jemaat yang mencalonkan diri sebagai anggota legislatif namun saat ini
GKJW Banyuwangi masih kurang terbuka dengan politik sehingga Pendeta hanya melayani
pendampingan warga jemaat yang mencalonkan diri sebagai anggota legislatif secara pribadi.
Selain itu, pemahaman politik yang kurang dimiliki oleh warga jemaat sehingga membuat
warga jemaat mengalami kegamangan akan sikap yang seharusnya dilakukan sebagai warga
jemaat. GKJW Jemaat Banyuwangi dapat dikatakan memilih untuk berhati-hati dalam
mengambil sikap mengenai warga jemaat yang berpolitik praktis seperti yang dilakukan oleh
Majelis Jemaat, tujuannya untuk mengantisipasi supaya tidak terjadi pepecahan dalam gereja
karena tidak semua warga jemaat memiliki pehamaman politik yang baik. Jika warga jemaat
salah bersikap, maka gereja yang akan bertanggungjawab memperbaiki keadaan.
Berdasarkan teori Malcolm Brownlee53
. Gereja adalah salah satu sumber dukungan
moral, dukungan yang dimaksudkan adalah dukungan jiwa dan semangat, dukungan tenaga,
53
Malcolm Brownlee, Pengambilan Keputusan Etis dan Faktor-Faktor di Dalamnya. Jakarta: BPK,
2012, 176
24
dukungan materi dan dukungan rohani. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa gereja
kurang menjalankan fungsinya secara maksimal berkaitan dengan masalah tersebut, dalam
hal ini gereja belum menjadi unit yang memberikan perhatian bagi warga jemaat yang
memiliki tujuan untuk menjadi anggota legislatif. Melalui penelitian ini diketahui bahwa
gereja memiliki peran yang penting dalam memberikan berbagai dukungan bagi warga
jemaatnya.
4.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian, pembahasan dan kesimpulan, maka terdapat yang
mungkin dapat dipakai dan dilihat kembali fungsinya dalam melaksanakan tugas dan
tanggung jawab gereja kepada warga jemaat yang mencalonkan diri sebagai anggota legislatif
di GKJW Jemaat Banyuwangi.
1. Para pelayan gereja harus menyadari bahwa mereka mempunyai tanggung jawab yang
sangat besar terhadap jemaatnya yang mencalonkan diri sebagai anggota legislatif.
Mereka harus melayani setiap kebutuhan jemaat terlepas bagaimana keadaan dari
jemaat itu sendiri.
2. Gereja memiliki fungsi dalam dukungan moral yang bertujuan untuk menyiapkan,
memberi semangat, menopang dan membimbing warga jemaat yang mencalonkan diri
sebagai anggota legislatif. Dalam hal ini untuk selalu memberikan dorongan dan
motivasi yang baik kepada warga jemaat tersebut untuk siap dan tetap semangat
menghadapi segala kemungkinan yang terjadi.
3. Bagi Sinode GKJW sudah semestinya mulai berani memberikan pendidikan politik
yang lebih mendalam kepada warga jemaat supaya warga jemaat tidak mengalami
kegamangan jika menghadapi pergulatan politik.
25
Daftar Pustaka
Berkhof, Louis, A Summary of Christian, cet 2.London: Billing and Sons LTD, 1962.
Budiardjo, Miriam.Dasar-dasar Ilmu Politik.Jakarta: Gramedia, 1998.
Brownlee, Malcolm. Pengambilan Keputusan Etis, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012.
Dahl, Robert A. Modern Political Analysis.New Jersey: Prentice-Hall, 1976.
Dulles, Avery. Models of the Church, A Critical Assessmens Of The Church in All Its
Aspects, 1974.
Heywood, Andrew.Political Theory-An Introduction.New York: ST Martin’s Press, Inc,1999.
Kartono, Kartini. Pengantar Metodologi Research Sosial, Bandung: Alumni, 1980.
Kung, Hans.The Church, terj. Ray and Rossallen ockenden, cet 13.London: Burns & Oates
limited, 1969.
Kleden, Paulus Budi. Teologi Terlibat. Maumere: Ledalero, 2003.
Kolimon, Mery. Teologi Politik, Makasar: Oase Intim, 2013.
Mardilis, Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal, Jakarta: Bumi Aksara, 1990) .
Mawene, Martinus TH. Teologi Kemerdekaan. BPK Gunung Mulia, 2004.
Moleong, Lexi. Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1995.
Nazir, Mohammad Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia, 1998.
Notohamidjojo,O.Iman Kristen dan Politik. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1972.
Sirait, Sabam.Tentang Gereja dan Politik. NARWASTU, Maret 2001.
Sirait, Sabam, Politik Kristen di Indonesia. Suatu tinjauan Etis, Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2001.
Suseno, Franz Magnis. Etika Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1991.
Setyawan, Yusak B. Eklesiologi, Salatiga: Fakultas Teologi UKSW, 2013
26
Spykman, Gordon J, Reformational Theology: A New Paradigma for Doing Dogmatis. USA:
William B. Aedmans Publishing Company, 1992.
Timo, Ebenhaizer I. Nuban. Umat Allah Di Tapal Batas. Salatiga: Alfa Design, 2011.
Usman, Husaini. Metodologi Penelitian, Jakarta: Bumi Aksara, 2001.
Utomo, Warsito. Kristianitas Dalam Kancah Perpolitikan Nasional, Yogyakarta:
Yayasan Taman Pustaka Kristen Indonesia, 2014.
Vredenberght, Jacob. Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia, 1990.
Wogaman, J. Philip.Christian Perspektive On Politics (Louisville Westminster John Knox
Press, 2000.
Widodo, Hutomo.Napak Tilas 60th GKJW Jemaat Banyuwangi.Banyuwangi: Panitia HUT
GKJW Jemaat Banyuwangi, 2007.
Yewangoe, Andreas A. Tidak Ada Penumpang Gelap. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009.
Yewangoe, Andreas A.Tidak Ada Ghetto: Gereja Di Dalam Dunia. BPK Gunung Mulia,
2015.
http://bimaskristen.kemenag.go.id/index.php/about-dbk diunduh pada tanggal 19 Juli 2016
Pk. 16.46 WIB
http://marskrip.blogspot.com/2009/12/pemilu-di-indonesia.html diunduh pada tanggal 26
September 2015 Pk. 20.00 WIB.
http://terasmakalah.blogspot.com/2011/02/makalah-pemilu-indonesia.html diunduh pada
tanggal 26 September 2015 Pk. 20.00 WIB.
http://www.rumahpemilu.org/in/read/3351/Gambaran-Singkat-Pemilihan-Umum-2014-di-
Indonesia diunduh pada tanggal 26 September 2015 Pk. 20.00 WIB.