GERAKAN LITERASI DARI WARGA, UNTUK WARGA file2 KOMBINASI 69 | JULI-SEPTEMBER 2017 D ARI REDAKSI...

28
GERAKAN LITERASI DARI WARGA, UNTUK WARGA

Transcript of GERAKAN LITERASI DARI WARGA, UNTUK WARGA file2 KOMBINASI 69 | JULI-SEPTEMBER 2017 D ARI REDAKSI...

Page 1: GERAKAN LITERASI DARI WARGA, UNTUK WARGA file2 KOMBINASI 69 | JULI-SEPTEMBER 2017 D ARI REDAKSI Pemimpin Redaksi: Idha Saraswati Redaktur Pelaksana: Apriliana Susanti Tim Redaksi:

GERAKAN LITERASI DARI WARGA, UNTUK WARGA

Page 2: GERAKAN LITERASI DARI WARGA, UNTUK WARGA file2 KOMBINASI 69 | JULI-SEPTEMBER 2017 D ARI REDAKSI Pemimpin Redaksi: Idha Saraswati Redaktur Pelaksana: Apriliana Susanti Tim Redaksi:

2 KOMBINASI 69 | JULI-SEPTEMBER 2017

D A R I R E DA K S I

Pemimpin Redaksi: Idha SaraswatiRedaktur Pelaksana: Apriliana SusantiTim Redaksi: Ibnu Hajar A., Aris Harianto, Maryani, M. AmrunKontributor: Wisnu Prasetya Utomo, Aris Setyawan, Lamia Damayanti PutriGrafis: Aris HariantoFoto: Dok. CRI, Dok. TBM Kuncup Mekar, Dok. Rumah Baca SangkrahIlustrasi: Aliem BakhtiarSampul Depan: Aris HariantoTata Letak: G. AriniSekretariat: Ulfa HananiDistribusi: Rani Soraya Siregar, Sarjiman

PernyataanSemua isi tulisan dari para kontributor yang diterbitkan dalam majalah ini menjadi tanggung jawab masing-masing kontributor. CRI tidak bertanggung jawab terhadap isi tulisan tersebut.

Isi majalah ini boleh dipublikasikan ulang, diperbanyak, maupun diedarkan sepanjang mencantumkan sumber dan nama penulis serta tidak digunakan untuk kepentingan komersial.

DAFTAR ISI

3 | INFO SEKILAS

UTAMA6 | Gerakan Literasi dari Warga, untuk Warga9 | Warga Berdaya di Ladang Aksara13 | Literasi Media di Era Digital

MEDIA18 | Poin-poin dalam UU Penyiaran yang

Harus Kita Ketahui

PORTAL21 | Pentingnya Privasi Online Bagi Pribadi

dan Organisasi Sosial

LUMBUNG23 | Festival Tlatah Bocah

24 | PUSTAKA Samarinda Menggugat 26 | WARTA CRI

Combine Resource Institution adalah lembaga yang fokus pada penguatan komunitas marjinal melalui jejaring informasi. Sejak berdiri pada 2001, CRI telah mendorong pemanfaatan beragam metode serta instrumen pengelolaan informasi dan data oleh komunitas marjinal agar menjadi mandiri dan berdaya.

S un Kang adalah seorang anak dari keluarga miskin di desa. Sejak kecil ia sangat gemar membaca. Namun, minat baca yang tinggi itu sering tidak terpenuhi karena kemiskinan yang

mengelilinginya. Jangankan membeli buku, keluarganya bahkan kesulitan membeli minyak untuk menyalakan lampu. Jadi meskipun ia bisa meminjam buku dari orang lain, ia tetap kesulitan membaca karena tidak ada penerangan di rumahnya. Padahal, ia hanya bisa membaca buku pada malam hari karena ia harus membantu orang tuanya bekerja dari pagi hingga sore hari.

Pada suatu malam, bulan bersinar terang sehingga Sun Kang memutuskan untuk membaca buku di luar rumah. Akan tetapi, di tengah jalan bersalju ia terpeleset hingga bukunya jatuh. Saat hendak mengambil bukunya, ia melihat tulisan di sampul buku itu tampak jelas. Rupanya, salju bisa memantulkan sinar bulan sehingga cahayanya tampak lebih terang.

Sejak saat itu, ia memutuskan untuk membaca buku di antara salju. Kebiasaan itu terus berlanjut meski kulitnya tidak bisa menahan hawa musim dingin. Baginya, membaca itu penting dan menarik sehingga ia tidak keberatan jika kulitnya harus terluka. Gemar membaca membuat Sun Kang tumbuh menjadi sosok yang pandai dan bijak sehingga di kemudian hari ia dipercaya menjadi penasihat raja.

Kisah Sun Kang yang membaca di bawah kilauan salju itu menjadikannya salah satu sosok legenda di China. Kisah itu digunakan para orang tua untuk mendorong anak-anak mereka supaya gemar membaca.

Di sekitar kita, bisa jadi ada banyak anak yang gemar membaca. Namun, sama seperti Sun Kang, kegemaran membaca itu mungkin tidak bisa dipenuhi karena kurangnya akses terhadap buku bacaan.

Untunglah saat ini ada semakin banyak warga yang mengabdikan diri menjadi relawan literasi. Taman baca maupun perpustakaan warga bermunculan di berbagai tempat, seiring dengan kemunculan gerakan menyumbang buku di banyak wilayah.

Bersamaan dengan itu, kata literasi semakin kerap ditulis dan diucapkan oleh berbagai kalangan. Tak berhenti pada gerakan membaca, sesuai maknanya, gerakan literasi merambah berbagai wilayah lain sehingga dari sebuah taman baca juga muncul upaya memberdayakan ekonomi, menjaga kerukunan hingga menangkal informasi palsu alias hoaks.

Majalah Kombinasi edisi kali ini menyajikan kisah para penggiat literasi dalam upayanya menemukan dan memenuhi minat membaca para Sun Kang kecil di lingkungan mereka.

Page 3: GERAKAN LITERASI DARI WARGA, UNTUK WARGA file2 KOMBINASI 69 | JULI-SEPTEMBER 2017 D ARI REDAKSI Pemimpin Redaksi: Idha Saraswati Redaktur Pelaksana: Apriliana Susanti Tim Redaksi:

KOMBINASI 69 | JULI-SEPTEMBER 2017 3

LOMBOK TIMUR

Pentingnya Libatkan Perempuan dan Kaum Difabel dalam Pembangunan Desa

I N F O S E K I L A S

M elibatkan perempuan dan kaum difabel dalam pembangunan desa

sangatlah penting, salah satunya melalui musyawarah perencanaan pembangunan desa (musrenbangdes). Topik tersebut menjadi bahasan dalam talk show bertajuk “Pentingnya Melibatkan Perempuan dan Kaum Difabel dalam Pembangunan Desa” yang digelar tim redaksi Speaker TV di sekretariat Speaker Kampung, Desa Ketangga, Kecamatan Suela, Kabupaten Lombok Timur, NTB, Senin (24/7).

Talk show yang dimotori Hafidz selaku Koordinator Jurnalis Warga NTB sekaligus mewakili Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN) ini menghadirkan tiga narasumber. Ketiga narasumber yakni M. Budiman selaku Kepala Urusan (Kaur) Umum Desa Lenek, Istiyawati Laeli selaku tokoh perempuan dari Desa Toya, dan M. Nuh yang mewakili kaum difabel Desa Ketangga, Kecamatan Suela.

Budiman memaparkan, perempuan yang hadir dalam musrenbangdes di desanya lebih dari 50 orang. Mereka berasal dari berbagai unsur seperti PKK, kader Posyandu, dan ibu rumah tangga.

"Mereka semua kita kasih kesempatan untuk menyampaikan aspirasinya, terutama apa yang harus pemdes lakukan untuk memberdayakan mereka. Begitu juga dengan kaum difabel, kita berikan pelatihan sesuai kemampuan dan minat mereka," papar Budiman.

Sementara itu, Istiyawati Laeli menjelaskan, Pemerintah Desa (Pemdes) Toya belum bisa fokus dalam pemberdayaan perempuan karena masih memprioritaskan

pembangunan infrastruktur. Meski demikian, Pemdes Toya menjanjikan pemberdayaan perempuan akan menjadi perhatian pemdes.

Laeli mengatakan, saat ini ada sebuah yayasan sosial yang mengusung program Pusat Inkubasi Bisnis Desa (PINBID) dengan sasaran program istri para buruh migran dan ibu-ibu rumah tangga di Desa Toya. Mereka diajarkan cara memanfaatkan potensi sumber daya alam yang ada di desanya untuk diolah menjadi produk lokal, misalnya saja cara membuat keripik dari singkong dan pisang.

"Usaha itu sedang dijalankan oleh kaum perempuan di desa saya. Alhamdulillah, masih berjalan hingga sekarang. Mudah-mudahan usaha itu bisa berkelanjutan dan tentu atas bimbingan dari rekan-rekan PINBID," terang Laeli.

Mewakili kaum difabel Desa Ketangga, M. Nuh menyampaikan ketidakpedulian pemdes terhadap

kaum difabel. Padahal, kaum difabel berharap pemdes bisa memberikan peluang kerja kepada mereka untuk meningkatkan semangat hidup. Pelatihan pembuatan aksesoris yang pernah diberikan Pemdes Ketangga kandas karena tidak adanya kepedulian pemdes dengan program yang mereka berikan tersebut.

"Intinya di sini, support (dukungan-red) dari pemdes yang mereka (kaum difabel-red) harapkan, di samping semangat dan kemauan yang kuat dari kaum difabel itu sendiri," terang Nuh.

Adanya talk show di Speaker TV tersebut diharapkan agar para pemangku kepentingan (dalam hal ini pemdes bersangkutan) bisa merealisasikan harapan dan impian perempuan dan kaum difabel untuk bersuara dan disuarakan dalam pembangunan desa.www.suarakomunitas.net

Talk show bertajuk Pentingnya Libatkan Perempuan dan Kaum Difabel dalam Pembangunan Desa digelar di sekretariat Speaker Kampung.

Page 4: GERAKAN LITERASI DARI WARGA, UNTUK WARGA file2 KOMBINASI 69 | JULI-SEPTEMBER 2017 D ARI REDAKSI Pemimpin Redaksi: Idha Saraswati Redaktur Pelaksana: Apriliana Susanti Tim Redaksi:

4 KOMBINASI 69 | JULI-SEPTEMBER 2017

I N F O S E K I L A S

S elama bulan Juli-September, gas elpiji 3 kilogram atau yang sering disebut dengan “Si

Melon Hijau” di Kelurahan Serbelawan, Kecamatan Dolok Batu Nanggar Kabupaten Simalungun langka. Kelangkaan tersebut disebabkan oleh banyaknya pemesan gas selain warga. Tak ayal, warga harus keluar dari Serbelawan untuk

bisa mendapatkan gas tersebut tersebut.

Sejumlah warga mengeluhkan, meski baru diturunkan dari truk, gas elpiji 3 kilogram di Serbelawan, sudah habis dipesan. Para pemesannya terdiri dari pemilik warung, pengecer dan sejumlah pengusaha rumah makan. Selain itu, sejumlah along-along (sepeda motor berkeranjang

untuk memuat gas) dan mobil bak terbuka yang umumnya berasal dari luar Seberlawan juga menjadi pemesan gas elpiji tiga kilogram tersebut. Para pengecer itu menjual gas-gas yang mereka pesan ke dusun-dusun di luar Serbelawan.

Selain langka, harga elpiji 3 kilogram di Serbelawan juga dirasa warga mahal. Farida, salah satu warga Serbelawan mengatakan, untuk mendapatkan gas elpiji 3 kilogram dengan harga antara Rp.22.000 - Rp.25.000 per tabung harus keluar dari kota Serbelawan. Padahal, harga di agen hanya Rp.14.500 dan di pangkalan seharga Rp.19.000 hingga Rp. 20.000 per tabungnya.

Mahalnya harga elpiji tersebut tidak lepas dari rantai distribusi yang panjang, mulai dari agen, pangkalan hingga pengecer. Menurut warga, untuk bisa membeli langsung ke pangkalan minimal harus lebih dari 20 tabung, tidak bisa hanya satu tabung saja. Karena persyaratan tersebut, warga pun akhirnya terpaksa membeli gas di pengecer dengan harga yang lebih tinggi. www.suarakomunitas.net

“Si Melon Hijau” Langka di Serbelawan

Along-along dan mobil bak terbuka ramai mengantri untuk mendapatkan gas di Kelurahan Seberlawan, (18/09).

SUMATER A UTAR A

A kses jalan dan transportasi di Desa Toya, Kecamatan Aikmel, Kabupaten Lombok Timur, NTB

masih sangat minim. Berjalan kaki menjadi pilihan utama bagi masyarakat yang ingin mengakses kota kecamatan maupun desa-desa sekitarnya, termasuk para siswa sekolah.www.suarakomunitas.net

LOMBOK TIMUR

Akses Transportasi Minim, Warga Jalan Kaki

Setiap hari, anak-anak SD ini harus berjalan kaki sejauh dua kilometer untuk sampai di

sekolah mereka.

Page 5: GERAKAN LITERASI DARI WARGA, UNTUK WARGA file2 KOMBINASI 69 | JULI-SEPTEMBER 2017 D ARI REDAKSI Pemimpin Redaksi: Idha Saraswati Redaktur Pelaksana: Apriliana Susanti Tim Redaksi:

KOMBINASI 69 | JULI-SEPTEMBER 2017 5

LOMBOK UTAR A

Tambah Wawasan di Rumah Pintar

I N F O S E K I L A S

S alah satu upaya untuk menambah pengetahuan masyarakat adalah melalui

Rumah Pintar. Rumah Pintar berfungsi sebagai tempat untuk menambah wawasan pengetahuan dan keterampilan. Rumah Pintar juga menjadi sumber informasi bagi masyarakat yang sifatnya mandiri dan berkesinambungan.

Hal tersebut disampaikan oleh Maryati selaku pendamping desa dalam workshop mini bertajuk “Pelayanan Sosial Dasar dan Penguatan Balai Rakyat” di Desa Karang Bajo, Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara, Jumat (11/8). Hadir sebagai peserta, para pengurus dari Rumah Pintar, pendamping desa, dosen pembina KKN Tematik P2SD, Kepala Desa

Karang Bajo dan Camat Bayan.Dalam workshop mini tersebut

dijelaskan bahwa Rumah Pintar merupakan suatu tempat melakukan berbagai kegiatan dan menumbuhkan kreativitas masyarakat baik anak-anak maupun orang tua, yang terjadwal, termonitor, mandiri dan terpadu. Sasarannya mencakup seluruh masyarakat desa setempat, dengan melibatkan dan partisipasi aktif seluruh pemangku kepentingan, aparatur pemerintah, kelompok akademisi dan pengusaha, serta diposisikan sebagai suatu gerakan masyarakat yang berkelanjutan.

Adapun tujuan program Rumah Pintar yaitu untuk menumbuhkan minat dan budaya baca. Rumah Pintar juga bertujuan untuk meningkatkan kualitas SDM (Sumber Daya Manusia-

red) khususnya anak-anak usia sekolah dan remaja serta mengembangkan pengetahuan dan keterampilan masyarakat dan lain-lain.

Rumah Pintar melayani beberapa bidang. Salah satunya adalah layanan Sentra Buku (perpustakaan) sebagai tempat belajar dan menambah ilmu di luar jam sekolah. Layanan ini bertujuan untuk menumbuhkan gemar membaca buku di masyarakat. Layanan lainnya yakni di bidang sentra bermain, sentra pelatihan bahasa inggris, sentra pelatihan komputer, posyandu, sentra Taman Pendidikan Al-Quran, dan sentra panggung. Dua layanan lain yaitu, sentra pelatihan keterampilan, dan bimbingan belajar anak usia sekolah. www.suarakomunitas.net

T idak harus menjadi polisi hutan untuk bisa menjaga dan melestarikan hutan. Warga

biasa pun bisa mengambil peran tersebut. Seperti yang dilakukan Sudirman (49), warga di perbatasan kawasan Taman Nasional Gunung Rinjani dengan upayanya melestarikan pohon enau penghasil nira yang mulai langka.

Petani nira dari Dusun Galih, Desa Peringga Jurang Utara, Kecamatan Montong Gading, Kabupaten Lombok Timur, NTB ini telah lama menggantungkan hidupnya dari pohon nira.

Sejak kecil, Sudirman telah memelihara pohon nira. Seperti halnya Sudirman, beberapa warga setempat juga menjadi petani nira. Umumnya para pembuat gula di

kampung tersebut memiliki beberapa pohon enau di kebun milik keluarga.

Sudirman mengungkapkan, tidak adanya keberlanjutan penanaman dan pemeliharaan membuat pohon nira

LOMBOK UTAR A

Penjaga Pohon Enau dari Hutan Rinjanisemakin langka. Kelangkaan pohon nira di kawasan tersebut membuat Sudirman melakukan pemeliharaan. “Ya, kami pelihara bibit dari pohon nira tersebut, ini untuk kebutuhan anak cucu kedepan” tutur Sudirman, Jumat (12/8).

Jika dibiarkan, penebangan pohon nira yang semakin marak tanpa adanya pemeliharaan dapat berdampak buruk pada lingkungan. Banjir dan longsor menjadi ancaman dari penebangan tersebut. “Di Koko Joben dulu sering banjir dan dataran tinggi longsor akibat banyaknya orang merusak hutan” jelasnya. www.suarakomunitas.net

Petani nira di TNGR. FOTO-DOK. SPEAKER KAMPUNG

Page 6: GERAKAN LITERASI DARI WARGA, UNTUK WARGA file2 KOMBINASI 69 | JULI-SEPTEMBER 2017 D ARI REDAKSI Pemimpin Redaksi: Idha Saraswati Redaktur Pelaksana: Apriliana Susanti Tim Redaksi:

6 KOMBINASI 69 | JULI-SEPTEMBER 2017

U TA M A

GERAKAN LITERASI DARI WARGA, UNTUK WARGAOleh:Apriliana Susanti Staf Publikasi CRI

L iterasi lebih dari sekadar membaca buku. Ia juga berarti kemampuan untuk mengolah

informasi dan pengetahuan. Kemampuan semacam ini perlu dimiliki warga dalam menjalani hidupnya sehari-hari. Namun, kemampuan itu tidak bisa diperoleh secara instan. Butuh upaya, komitmen dan dorongan kuat untuk melakukannya. Dua komunitas berikut telah bergerak mengajak warga

selangkah lebih dekat untuk mengenal literasi.

OHOL, semangat literasi dari teras rumah

Rak-rak sederhana berukuran satu kali satu meter yang dibuat dari papan kayu, bambu, ban bekas, bahkan ember bekas menempel rapi di setiap tembok teras rumah warga. Di dalam setiap rak itu, berjajar lima hingga lima belas buku bacaan. Rak

buku sederhana itu menjadi pemandangan umum di Dusun Kepek dan Dusun Tileng, Desa Kepek, Kecamatan Saptosari, Kabupaten Gunungkidul, DI Yogyakarta.

“Selamat datang di Kampung Literasi,” ucap Andriyanto, pemuda desa setempat saat menyambut tim redaksi Kombinasi, pada Sabtu (12/8). “Itu,” kata Andriyanto sambil menunjukkan rak-rak buku sederhana, “adalah OHOL, One Home

Ibnu Hajjar Al AsqolaniStaf Suara Warga CRI

Ban bekas di salah satu teras rumah warga ini digunakan sebagai rak buku-buku bacaan. Selain ban bekas, ada juga rak buku yang dibuat dari papan bekas, bambu, bahkan tali rafia.

Page 7: GERAKAN LITERASI DARI WARGA, UNTUK WARGA file2 KOMBINASI 69 | JULI-SEPTEMBER 2017 D ARI REDAKSI Pemimpin Redaksi: Idha Saraswati Redaktur Pelaksana: Apriliana Susanti Tim Redaksi:

KOMBINASI 69 | JULI-SEPTEMBER 2017 7

U TA M A

One Library, satu rumah satu perpustakaan.”

Diresmikan pada 27 Desember 2016, OHOL menjadi kegiatan kolaborasi unggulan Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Kuncup Mekar dengan warga Desa Kepek. Kolaborasi itu tampak dari kerelaan warga untuk membuat sendiri rak-rak buku sederhana di teras rumah mereka. Andriyanto dan 11 pemuda desa yang menjadi relawan TBM Kuncup Mekar rutin mendistribusikan buku-buku bacaan untuk OHOL setiap dua minggu sekali.

Adanya OHOL perlahan mulai menumbuhkan minat warga, baik orang tua, remaja maupun anak-anak untuk mengenal literasi melalui buku. OHOL menjadi semacam oase mini bagi warga untuk memperoleh pengetahuan yang tidak mereka dapatkan dari menonton televisi. Seperti diungkapkan Suyono, warga Dusun Kepek, yang semula hanya melihat saja rak buku yang dipajang di teras rumahnya saat awal program OHOL dicanangkan. “Lama-lama, saya penasaran untuk membuka dan membaca buku-buku tersebut. Ternyata informasinya lebih lengkap dibandingkan kalau saya nonton di TV,” akunya, Minggu (13/8).

Digagas sejak 2012, OHOL mengusung misi mendekatkan literasi kepada masyarakat desa. Ketua TBM Kuncup Mekar Andriyanto menegaskan, literasi tidak sekadar membaca. “Literasi adalah perjalanan masyarakat untuk memperoleh pengetahuan yang bisa diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari,” katanya.

Itulah kenapa, dalam upaya mendekatkan literasi kepada warga, TBM Kuncup Mekar juga mengelola kegiatan lain yang dekat dengan warga. Sebut saja bimbingan belajar gratis untuk siswa-siswi SD dan mengenalkan pengetahuan seputar pertanian melalui kegiatan Pemuda Tani. Selain itu, mereka juga mengelola Perpustakaan Alam, yakni sebuah upaya mengenalkan literasi melalui pohon-pohon yang tumbuh di

sepanjang jalan dusun-dusun. Caranya, mereka menempelkan kertas berlaminasi yang memuat informasi seputar pohon tersebut.

“Kegiatan-kegiatan itu adalah cara agar masyarakat mau membaca. Kalau hanya disuguhi buku-buku tebal, masyarakat mana mau membaca,” kata Andriyanto yang rumahnya dijadikan basecamp TBM ini.

Rumah Baca SangkrahSekitar 90 kilometer dari TBM

Kuncup Mekar, tepatnya di Kampung Dadapsari di pusat Kota Surakarta, Jawa Tengah, gerakan literasi tumbuh dari sebuah pos ronda berukuran 1,5 x 2,5 meter. Penggeraknya adalah Danny Setiawan. Bersama beberapa pemuda lainnya, ia mengubah pos ronda yang telah lama tidak dipakai itu menjadi TBM yang dikenal dengan Rumah Baca Sangkrah.

Mengenalkan literasi di tengah perkampungan kaum marjinal perkotaan tentu bukan hal yang mudah. Dalam catatan para penggiatnya di laman rumahbacasangkrah.com, pita merah dari polisi yang disematkan di Kampung Dadapsari menjadi penanda kampung ini memiliki catatan kriminal yang tinggi. Penjambretan,

penggunaan atau peredaran narkoba, minuman keras, dan aksi premanisme hanyalah segelintir dari catatan kriminal yang dekat dengan kehidupan warga di sana.

Beberapa pelatihan keterampilan rutin mereka gelar untuk warga setempat, utamanya para pemuda kampung. “Literasi itu kan proses belajar, membaca. Nah, sumbernya tidak cuma dari buku. Literasi itu juga bisa dilakukan dari lingkungan dan kondisi sekitar,” kata Danny.

Ia menambahkan, tujuan literasi adalah untuk mencapai kehidupan yang lebih baik bagi komunitasnya.“Sebab kalau urusannya hanya sama buku, euforianya paling cuma dua atau tiga bulan. Setelah itu mesti sepi,” lanjutnya.

PengelolaanKeterbatasan dana tidak

menghalangi para penggiat Rumah Baca Sangkrah dan TBM Kuncup Mekar untuk terus menggerakkan literasi di masyarakat. Beragam cara pun dilakukan untuk menutup biaya operasional. Mengandalkan jejaring pertemanan misalnya. Cara ini kerap dilakukan Danny dan para penggiat Rumah Baca Sangkrah saat membutuhkan relawan untuk menjadi

Andriyanto di rumahnya yang sekaligus menjadi basecamp TBM Kuncup Mekar di Dusun Kepek, Desa Kepek, Kecamatan Saptosari.

Page 8: GERAKAN LITERASI DARI WARGA, UNTUK WARGA file2 KOMBINASI 69 | JULI-SEPTEMBER 2017 D ARI REDAKSI Pemimpin Redaksi: Idha Saraswati Redaktur Pelaksana: Apriliana Susanti Tim Redaksi:

8 KOMBINASI 69 | JULI-SEPTEMBER 2017

U TA M A

narasumber dalam pelatihan yang mereka adakan.

“Caranya ya menghubungi teman. Satu persatu teman saya kontak lewat Facebook, ada yang membantu pembuatan perpustakaan kampung, ada teman yang pakar marketing kita minta ngisi, ya seperti itu. Dari awal saya kasih tahu, kami tidak punya uang buat bayar, jadi ini kerja sosial. Nyatanya mereka bersedia mengisi pelatihan tanpa dibayar,” jelas Danny.

TBM Kuncup Mekar memiliki sejumlah unit usaha yang dijalankan para pengurusnya dengan sistem bagi hasil. Modal usaha tersebut berasal dari hadiah uang tunai yang mereka dapatkan saat mengikuti sejumlah lomba mewakili TBM Kuncup Mekar. “Kami tawarkan siapa yang mau usaha dengan ketentuan 50 persen untuk mereka dan sisanya untuk kas TBM,” jelas Andriyanto.

Media komunitasBerbeda dengan para penggiat

Rumah Baca Sangkrah yang telah mengelola penyebaran informasi melalui laman online, penyebaran

biaya rapat pengurus dan operasional lainnya.

Mendekatkan literasi ke masyarakat memang tidak semudah membalik telapak tangan. Keterbatasan yang seringkali mereka alami bukannya menjadi hambatan, namun justru menjadi tantangan untuk semakin kreatif mengolah sumber daya yang ada. Baik para penggiat TBM Kuncup Mekar maupun di Rumah Baca Sangkrah menemukan beberapa cara yang kontekstual agar literasi bisa diterima oleh masyarakat. Bersama masyarakat, mereka pun terus berproses agar pengetahuan yang didapatkan bisa diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

informasi TBM Kuncup Mekar masih dilakukan dengan cara sederhana. Mereka mengandalkan getok tular (dari mulut ke mulut) di antara warga desa. Selain itu, TBM ini juga aktif mengabarkan kegiatan-kegiatan mereka di media sosial seperti Instagram dan Facebook. Mereka menyadari, kebutuhan akan sebuah media informasi sederhana yang hadir di tengah warga desa menjadi sesuatu yang harus segera diwujudkan.

“Rencananya, kami akan membuat majalah Wakuncar alias Warta Kuncup Mekar sebagai media penghubung kami dengan warga. Saat ini baru covernya saja yang sudah kami konsep. Untuk kontennya, masih dalam proses,” kata Sudiyanto, sekretaris TBM Kuncup Mekar, Sabtu, (12/8).

Biaya cetak menjadi alasan utama kenapa media komunitas TBM ini belum bisa direalisasikan. Sudiyanto mengungkapkan, biaya cetak Wakuncar harus mereka upayakan secara mandiri. Itu sama halnya dengan biaya-biaya operasional TBM lainnya seperti listrik, wifi bulanan,

Bimbingan belajar

Keterbatasan yang seringkali mereka alami bukannya

menjadi hambatan, namun justru menjadi tantangan untuk

semakin kreatif mengolah sumber daya yang ada.

One Home One Library (OHOL) Sejak diresmikan pada 27 Desember 2016, sudah ada 122 rumah warga yang memiliki perpustakaan mini ini. Rak buku OHOL ada yang dibuat dari papan kayu sederhana, ban bekas, tali rafia, maupun bambu.

Bimbingan BelajarKegiatan ini ditujukan untuk pelajar SD tanpa pungutan biaya. Bimbel dilakukan di basecamp TBM Kuncup Mekar setiap petang. Pengajarnya adalah para pengurus TBM.

Perpustakaan AlamKegiatan ini dilakukan dengan menempel papan informasi kecil berisi nama latin, manfaat, dan informasi lainnya di pepohonan di sepanjang jalan desa setempat.

KEGIATAN TBM KUNCUP MEKAR

Bimbingan belajar di basecamp TBM Kuncup Mekar.

Page 9: GERAKAN LITERASI DARI WARGA, UNTUK WARGA file2 KOMBINASI 69 | JULI-SEPTEMBER 2017 D ARI REDAKSI Pemimpin Redaksi: Idha Saraswati Redaktur Pelaksana: Apriliana Susanti Tim Redaksi:

KOMBINASI 69 | JULI-SEPTEMBER 2017 9

WARGA BERDAYA DI LADANG AKSARA

U TA M A

Berbekal gerakan literasi, ruang-ruang untuk meningkatkan kualitas hidup menjadi kian terbuka. Bermula dari aksara, warga bisa melangkah menuju kehidupan yang lebih sejahtera.

B au bacin saluran pembuangan tercium ketika memasuki kawasan Kampung Dadapsari, Kelurahan Sangkrah, Kecamatan Pasar Kliwon, Kota Surakarta,

Jawa Tengah pada Kamis (10/8) sore lalu. Rumah-rumah petak berjejalan mengapit jalan sempit yang hanya muat dilewati sepeda motor.

Di halaman sebuah rumah sederhana, tampak enam orang pemuda berkumpul. Tawa lepas sesekali terdengar

saat mereka bercanda. Sembari bercengkerama, tangan mereka terlihat sibuk bekerja. Ada yang menggenggam kuas cat dan ada yang memegang amplas. Di dekat mereka, ratusan bebek kayu dijajarkan sekenanya. Sore itu, para pemuda yang merupakan penggiat Taman Baca Teratai itu sedang menyelesaikan pesanan 200 ‘ekor’ bebek kayu. “Ini pesanan seorang pengusaha untuk diekspor ke Australia,” jelas Danny Setiawan, pengurus

Apriliana Susanti Staf Publikasi CRI

Ibnu Hajjar Al AsqolaniStaf Suara Warga CRI

Oleh:

Usaha kerajinan bebek kayu ini adalah salah satu usaha bersama yang dilakukan oleh para penggiat Rumah Baca Sangkrah.

Page 10: GERAKAN LITERASI DARI WARGA, UNTUK WARGA file2 KOMBINASI 69 | JULI-SEPTEMBER 2017 D ARI REDAKSI Pemimpin Redaksi: Idha Saraswati Redaktur Pelaksana: Apriliana Susanti Tim Redaksi:

10 KOMBINASI 69 | JULI-SEPTEMBER 2017

U TA M A

sekaligus penggagas Rumah Baca Teratai yang juga dikenal sebagai Rumah Baca Sangkrah.

Tinggal di tengah kampung yang padat di pusat kota, sejumlah penduduk di kampung itu dekat dengan kehidupan jalanan. Beberapa warganya memiliki catatan kriminal seperti penjambretan, minuman keras, perjudian hingga aksi premanisme. “Di sini itu dulu dikenal Kampung Preman, orang kalau sudah dengar nama Sangkrah langsung meneng (diam),” terang Danny.

Namun, kondisi itu kini tak tampak lagi. Memasuki gang-gang sempit di dalam kampung, anak-anak terlihat riang bermain. Sejumlah warga pun menjawab dengan ramah saat ditanya tentang lokasi Rumah Baca Sangkrah.

Sejak berdiri pada 2014, Rumah Baca Sangkrah telah mengubah wajah buram yang sebelumnya melekat pada Kelurahan Sangkrah. Awalnya, gagasan mendirikan rumah baca yang

dicetuskan Danny dirasa janggal bagi warga sekitar. Danny pun mengajak sejumlah pemuda untuk terlibat dalam rencananya. Kemudian, mereka mendatangi rumah-rumah warga untuk menyampaikan rencana itu.

Setelah mendapat izin dari warga sekitar, mereka mulai bekerja. Sebuah bangunan bekas pos ronda berukuran 1,5 m x 2,5 m disulap menjadi tempat meletakkan buku-buku. Danny lantas menghubungi teman-temannya di kota lain untuk menggalang bantuan melalui media sosial.

Bantuan pun mulai berdatangan.

Ada yang menyumbang buku maupun rak buku. Warga sekitar pun memberikan sumbangan sukarela untuk kegiatan rumah baca di kampung mereka.

Melalui media sosial, para penggiat rumah baca itu juga mulai menjalankan berbagai kegiatan dengan mengundang para relawan. Berbagai kegiatan pun bisa terlaksana tanpa perlu mengeluarkan biaya. “Siapapun yang punya keahlian apapun kita ajak. Ada yang apoteker, kita ajak memberi penyuluhan cara pemilihan dan penyimpanan obat. Ada teman yang ahli marketing dan manajemen bisnis, kita ajak ke sini untuk kasih pelatihan. Ada yang wartawan, kita minta kasih pelatihan jurnalistik,” ujar Danny.

Para pemuda di kampung tersebut dilatih sesuai minat mereka. Ada yang mendapatkan pelatihan sablon, air-brush, hingga membuat kerajinan dari kayu. Selain itu, mereka juga dibekali

Basecamp Rumah Baca Sangkrah di Kampung Dadapsari, Surakarta.

Gaya hidup yang dekat dengan kriminalitas mulai ditinggalkan. Para pemuda

kini bisa mengisi hari-harinya dengan berbagai kegiatan.

Page 11: GERAKAN LITERASI DARI WARGA, UNTUK WARGA file2 KOMBINASI 69 | JULI-SEPTEMBER 2017 D ARI REDAKSI Pemimpin Redaksi: Idha Saraswati Redaktur Pelaksana: Apriliana Susanti Tim Redaksi:

KOMBINASI 69 | JULI-SEPTEMBER 2017 11

U TA M A

dengan pelatihan lainnya seperti penulisan jurnalistik, fotografi, serta marketing. Hingga saat ini, ada sekitar 15 hingga 20 pemuda yang aktif di tempat tersebut.

Gaya hidup yang dekat dengan kriminalitas mulai ditinggalkan. Para pemuda kini bisa mengisi hari-harinya dengan berbagai kegiatan. Berbagai keterampilan yang diajarkan pun mulai membuahkan hasil. Para penggiat rumah baca ini mulai menerima berbagai pesanan. “Ini pesanan kaus dari distro di

lingkungan di sekeliling dan persoalan di sekitar kita juga dituntut belajar dan membaca,” tandas Danny.

Bilik Literasi Solo Berbeda dari Rumah Baca

Sangkrah, Bilik Literasi Solo memiliki cara lain dalam memaknai dan menghidupi literasi. Bermula dari kegiatan diskusi semasa menjadi mahasiswa, Bandung Mawardi bersama rekan-rekannya menginisiasi sebuah wadah untuk para peminat literasi. Berbagai kegiatan mulai dari “Pengajian Buku” hingga kelas menulis intensif dihelat di sini.

Bilik Literasi terletak di Dusun Tanon Lor, RT 3 RW 1 Desa Gedongan, Kecamatan Colomadu, Kabupaten Karanganyar. Sebuah rumah pendopo sederhana di kawasan pedesaan yang masih asri menjadi markas para penggiatnya. Tumpukan buku terlihat memenuhi rak-rak dan lantai di hampir seluruh bagian rumah. Kala itu memang sedang tidak ada agenda khusus di Bilik Literasi.

Rumah itu adalah milik pribadi Bandung Mawardi. Bersama Ahmad Fauzi dan Setyaningsih, Bandung Mawardi mengasuh puluhan ribu buku, teks, dan naskah cetak dari berbagai tema. Sekali seminggu, mereka mengadakan pengajian buku, sebuah acara diskusi buku dan penulis.

Fauzi dan Setyaningsih bercerita tentang pengalaman mereka dalam menggalakkan minat baca dan menulis. Peserta yang mengikuti program latihan menulis terdiri dari berbagai kalangan, mulai dari mahasiswa hingga pelajar SD bahkan para guru. “Biasanya kita mulai dengan belajar sama-sama, diskusi

tentang ide untuk menulis,” jelas Fauzi kepada tim Kombinasi, (11/8).

Kegiatan mencari ide ini dimulai dengan hal-hal yang sederhana. Misalnya, dengan melihat benda di sekitar, lalu menjadikannya fokus tulisan. “Misalnya teh, kira-kira kalau kita tulis, bagian apa yang menarik,” jelas Fauzi. Berbagai ide tulisan pun didiskusikan bersama-sama dan selanjutnya dieksekusi. Selain itu, mereka juga menargetkan publikasi tulisan untuk memacu minat para penulis baru.

"Belajar dan membaca itu tidak cuma di buku. Dari kondisi

lingkungan di sekeliling dan persoalan di sekitar kita

juga dituntut belajar dan membaca."

Danny Setiawan

Magelang,” ungkap Danny sembari menunjukkan tumpukan kaos bermotif lurik. Dari sepotong kaus, keuntungan yang didapat bisa mencapai Rp 10.000 hingga Rp 15.000.

Hasil keuntungan dari usaha para penggiat Rumah Baca Sangkrah kemudian dikumpulkan dan dibagi rata. Siapapun yang mendapat pesanan harus mengumpulkan hasilnya untuk digunakan bersama.

Dari hasil keuntungan tersebut, kini rumah Baca Sangkrah telah menempati sebuah rumah yang lebih luas. Berbagai peralatan belajar pun tersedia untuk digunakan bersama. “Jadi kita di sini adil, belajar sama-sama, kerja sama-sama, keuntungannya pun untuk bersama,” jelas Danny.

Apa yang dilakukan para pegiat Rumah Baca Sangkrah merupakan bentuk nyata dari gerakan literasi yang kontekstual. Bermula dari belajar dan membaca, kerja-kerja meningkatkan kualitas hidup pun digalakkan. “Belajar dan membaca itu tidak cuma di buku. Dari kondisi

Dengan mekanisme penerbitan buku mandiri,

para pembelajar di Bilik Literasi Solo pun dipacu untuk

menghasilkan karya tulis.

Dengan mekanisme penerbitan buku mandiri, para pembelajar di Bilik Literasi Solo pun dipacu untuk menghasilkan karya tulis. Setyaningsih mengisahkan pengalamannya ketika mengajar kelas menulis di Sekolah Dasar di Kabupaten Boyolali. Murid kelas 4 dan 5 SD diajak menulis berbagai hal terkait keseharian mereka. Proses pembelajaran berlangsung dalam beberapa kali pertemuan. “Di akhir pertemuan, setelah dicontohkan proses penyuntingan, para siswa mulai bisa menangkap sendiri. Mereka melakukan perbaikan sendiri pada tulisan-tulisan mereka,” jelasnya. Berangkat dari kegiatan sederhana di rumah tersebut, banyak penulis muda yang kemudian menekuni dunia literasi.

TBM Kuncup MekarSementara itu, di Taman Baca

Masyarakat (TBM) Kuncup Mekar, di Desa Kepek, Kecamatan Saptosari, Kabupaten Gunungkidul, gerakan literasi memberi dampak positif bagi warga dan para penggiatnya. Salah satu kegiatan yang pernah mereka lakukan adalah pertanian literasi atau

Kegiatan mencari ide ini dimulai dengan hal-hal yang sederhana. Misalnya, dengan melihat benda di sekitar, lalu menjadikannya fokus tulisan.

Page 12: GERAKAN LITERASI DARI WARGA, UNTUK WARGA file2 KOMBINASI 69 | JULI-SEPTEMBER 2017 D ARI REDAKSI Pemimpin Redaksi: Idha Saraswati Redaktur Pelaksana: Apriliana Susanti Tim Redaksi:

12 KOMBINASI 69 | JULI-SEPTEMBER 2017

U TA M A

pelatihan mengenalkan literasi melalui pertanian. Mereka mengajak warga, utamanya para pemuda, untuk menanam berbagai jenis sayuran dengan metode yang diperoleh dari hasil membaca buku. Terinspirasi dari pelatihan tersebut, beberapa warga pun memanfaatkan pekarangan rumahnya untuk ditanami sayuran yang hasilnya bisa mereka jual atau setidaknya bisa dikonsumsi sendiri.

Bagi para penggiatnya, selain wawasan yang lebih luas, bergabung di TBM Kuncup Mekar juga meningkatkan keterampilan mereka. Sudiyanto misalnya. Sejak bergabung menjadi penggiat literasi pada 2012 lalu, ia mengaku menjadi lebih berani berbicara di depan forum. “Dulu saya adalah pemuda pendiam dan pemalu yang suka dolan (bermain) ke mana-mana tanpa tujuan,” ungkapnya saat ditemui di basecamp TBM Kuncup Mekar pada Sabtu, (12/8).

Bersama para penggiat lainnya, Sudiyanto aktif mewakili TBM Kuncup Mekar dalam lomba-lomba baik di tingkat regional maupun nasional. Berkat aktivitasnya itu, Sudi diajukan menjadi ajang Pemuda Pelopor mewakili Kabupaten Gunungkidul

Mereka mengajak warga, utamanya para pemuda untuk

menanam berbagai jenis sayuran dengan metode yang diperoleh dari hasil membaca

buku. Terinspirasi dari pelatihan tersebut, beberapa

warga pun memanfaatkan pekarangan rumahnya untuk

ditanami sayuran yang hasilnya bisa mereka jual atau

setidaknya bisa dikonsumsi sendiri.

pada 2017. Itu adalah suatu pencapaian yang tidak pernah ia bayangkan sebelum bergabung dengan TBM.

Apa yang dilakukan para penggiat literasi tersebut adalah secuil kisah dari gerakan literasi yang kontekstual. Keduanya tak memisahkan buku dari kehidupan nyata. Dengan begitu, kerja-kerja membaca dan menulis terasa nyata dalam perbaikan kualitas hidup warga.

Salah satu kegiatan para penggiat di basecamp TBM Kuncup Mekar yakni membuat video dan desain grafis untuk persiapan lomba Pemuda Pelopor tingkat provinsi.

Page 13: GERAKAN LITERASI DARI WARGA, UNTUK WARGA file2 KOMBINASI 69 | JULI-SEPTEMBER 2017 D ARI REDAKSI Pemimpin Redaksi: Idha Saraswati Redaktur Pelaksana: Apriliana Susanti Tim Redaksi:

KOMBINASI 69 | JULI-SEPTEMBER 2017 13

UTA M A

B agaimana mengatasi berita-berita palsu (hoaks) yang semakin hari semakin

membanjiri dan menembus ruang-ruang personal kita?

Bagi sebagian orang, jawaban atas pertanyaan tersebut adalah dengan melakukan periksa fakta (fact checking), fenomena yang berkembang di berbagai negara seiring dengan perkembangan hoaks itu sendiri. Asumsinya, dengan melakukan periksa fakta, informasi-informasi yang terbukti bohong bisa dipatahkan dengan sendirinya. Orang yang awalnya membaca informasi

palsu kemudian akan disadarkan setelah membaca informasi yang sebenarnya.

Namun, kenyataannya memberantas informasi hoaks tidak semudah itu. Usaha untuk menampilkan fakta yang sebenarnya kerap kali berakhir dengan sia-sia. Ini terjadi karena pada dasarnya problem utama tidak terletak pada informasi palsu itu sendiri, melainkan pada apa yang diyakini oleh seseorang. Keyakinan dengan dasar apapun-seperti politik, agama, kultur- kerap membuat orang mengedepankan prasangka alih-alih fakta.

Prasangka tersebut yang kerap kali dibawa ketika berpendapat di ruang publik seperti di media sosial. Tak terkecuali ketika membaca dan membagi informasi. Dalam kondisi demikian, kebenaran informasi -apakah ia berbasis pada fakta atau kebohongan- menjadi tidak penting lagi. Hal yang dianggap lebih penting adalah, apakah informasi tersebut mengafirmasi keyakinan yang dimiliki atau tidak.

Informasi yang faktual dengan data-data yang bisa dipertanggung- jawabkan cenderung akan diabaikan kalau tidak sesuai dengan keyakinan.

LITERASI MEDIA DI ERA DIGITAL

Wisnu PrasetyaPeneliti media Remotivi

Oleh:

Page 14: GERAKAN LITERASI DARI WARGA, UNTUK WARGA file2 KOMBINASI 69 | JULI-SEPTEMBER 2017 D ARI REDAKSI Pemimpin Redaksi: Idha Saraswati Redaktur Pelaksana: Apriliana Susanti Tim Redaksi:

14 KOMBINASI 69 | JULI-SEPTEMBER 2017

I N F O G R A F I S

Page 15: GERAKAN LITERASI DARI WARGA, UNTUK WARGA file2 KOMBINASI 69 | JULI-SEPTEMBER 2017 D ARI REDAKSI Pemimpin Redaksi: Idha Saraswati Redaktur Pelaksana: Apriliana Susanti Tim Redaksi:

KOMBINASI 69 | JULI-SEPTEMBER 2017 15

I N F O G R A F I S

Page 16: GERAKAN LITERASI DARI WARGA, UNTUK WARGA file2 KOMBINASI 69 | JULI-SEPTEMBER 2017 D ARI REDAKSI Pemimpin Redaksi: Idha Saraswati Redaktur Pelaksana: Apriliana Susanti Tim Redaksi:

16 KOMBINASI 69 | JULI-SEPTEMBER 2017

U TA M A

Sebaliknya, setidak masuk akal apapun sebuah informasi palsu, ia akan dipercaya sebagai sebuah kebenaran jika berada garis keyakinan yang sama dengan pengakses informasi. Fenomena Ini menjelaskan mengapa bahkan orang yang intelek sekalipun bisa dengan mudah percaya informasi palsu. Dengan kata lain, informasi-informasi palsu ibarat bensin yang disiramkan ke api.

Pada titik ini, relevan untuk mendiskusikan literasi media sebagai salah satu upaya untuk melawan banjir informasi palsu yang pelan-pelan merusak kehidupan demokrasi kita. Perlu dicatat, sebagai salah satu upaya, tentu ia masih membutuhkan faktor-faktor lain jika ingin menekan bahkan memberantas informasi palsu. Artikel pendek ini tidak akan membahas faktor-faktor lain tersebut dan hanya membatasi pada literasi media.

Literasi media sendiri tidak sekadar kemampuan untuk membedakan mana informasi yang benar dan bohong. Lebih dari itu, literasi media memberi perhatian pada kemampuan berpikir kritis dalam membaca pesan-pesan media atau informasi. Dalam konteks ini, ia menjadi perangkat pengetahuan yang membuat orang bisa membaca sebuah informasi between the lines (mengambil kesimpulan-red).

Sebagai contoh, dalam membaca informasi sebuah media kita tidak bisa menelan mentah-mentah begitu saja. Literasi media memungkinkan upaya pembacaan atas sebuah berita menjadi lebih jauh dari apa yang tampak dalam teks berita. Sebuah berita media adalah produk dari berbagai kontestasi kepentingan. Setiap media digerakkan oleh kepentingan ekonomi politik masing-masing. Begitu pula dengan informasi palsu yang beredar di media sosial. Ia digerakkan oleh “tangan-tangan tak terlihat” yang punya kepentingan tertentu dengan menyebarkan informasi palsu.

Kita bisa melihat dari pengalaman Amerika Serikat dan Inggris di tahun

2016. Terpilihnya Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat diwarnai ledakan informasi palsu dalam periode pemilihan umum. Ledakan yang sedikit banyak memiliki peran dalam terpilihnya Trump. Sementara di Inggris, referendum yang memutuskan negara tersebut keluar dari Uni Eropa juga diwarnai dengan informasi palsu yang membuat banyak warga memilih tanpa basis fakta dan data yang memadai. Keputusannya lebih didorong dan digerakkan oleh prasangka sebagai konsekuensi dari gempuran informasi-informasi palsu.

Melihat dua kasus tersebut, tak mengherankan jika kamus Oxford menjadikan kata post-truth sebagai word of the year pada 2016. Post-truth adalah kondisi dimana fakta tidak lagi menjadi penting dan prasangka menjadi bahan pertimbangan yang paling utama dalam mengambil sebuah keputusan tertentu. Dalam konteks di Indonesia, kita bisa melihat fenomena ini dalam pemilihan gubernur DKI Jakarta beberapa waktu lalu. Potensi semakin mewabahnya informasi palsu dan mempengaruhi pilihan politik warga akan semakin membesar di tahun-tahun ke depan.

Karena itu, bahasan literasi media tetap penting. Selama ini, sebagai sebuah wacana, literasi media lamat-lamat terdengar, khususnya bila dibandingkan dengan upaya-upaya lain dalam menghadapi gelombang informasi palsu dan problem berita-

berita media lainnya. Misalnya saja seperti upaya Dewan Pers memverifikasi media-media arus utama yang salah satu alasannya adalah meminimalisir penyebaran informasi palsu. Atau juga model pemblokiran situs-situs seperti yang biasa dilakukan pemerintah.

Membangun generasi kritis literasi media

Literasi media jarang terdengar karena efeknya baru bisa dirasakan dalam jangka waktu yang lama. Sebabnya, dalam literasi media yang dibangun adalah sebuah cara berpikir yang tentu membutuhkan proses panjang. Bahasan tentang literasi media sebenarnya sudah lama muncul. Tapi sifatnya masih parsial dan sulit menyentuh substansi persoalan. Hanya kalangan-kalangan tertentu saja yang melakukan ini seperti kampus dan organisasi masyarakat sipil dengan sifatnya yang masih elitis dan gagal menjangkau masyarakat luas.

Karena itu, saya berpendapat bahwa dalam jangka panjang, literasi media harus dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan di Indonesia. Gagasan ini tidak berlebihan. Survei yang dilakukan Nielsen (2016) menunjukkan bahwa pengguna internet di Indonesia didominasi oleh generasi Z (usia 10 -19 tahun) dan generasi millenniall (usia 20-34 tahun) dengan masing-masing sebesar 34% dan 48%. Ini artinya para pengakses internet baik yang menggunakannya untuk mengakses media online maupun media sosial kebanyakan adalah pelajar.

Ini adalah tantangan literasi media di era digital. Generasi Z dan millennial adalah generasi yang tumbuh besar bersama perangkat teknologi dan internet. Sebagai digital natives (generasi yang lahir di saat era digital sudah berlangsung dan berkembang pesat-red), mereka menerima media sosial sebagai sesuatu yang taken for granted (sesuatu yang sudah biasa-red). Ini berbeda dengan generasi orang tua

Literasi media sendiri tidak sekadar kemampuan untuk

membedakan mana informasi yang benar dan bohong. Lebih dari itu, literasi media memberi

perhatian pada kemampuan berpikir kritis dalam membaca

pesan-pesan media atau informasi.

Page 17: GERAKAN LITERASI DARI WARGA, UNTUK WARGA file2 KOMBINASI 69 | JULI-SEPTEMBER 2017 D ARI REDAKSI Pemimpin Redaksi: Idha Saraswati Redaktur Pelaksana: Apriliana Susanti Tim Redaksi:

KOMBINASI 69 | JULI-SEPTEMBER 2017 17

U TA M A

mereka yang masuk dalam kategori digital immigrant (generasi yang lahir sebelum generasi digital belum begitu berkembang-red).

Melihat fakta tersebut, tentu relevan untuk memasukkan literasi media ke dalam

kurikulum pendidikan dan menjadi bagian dari pelajaran yang mereka terima secara formal. Bukan hanya berdasarkan pada kepekaan masing-masing individu semata. Dengan begitu, sejak masih belajar di sekolah, para pelajar dibekali perangkat pengetahuan yang penting bagi mereka khususnya dalam mengakses informasi di internet.

Dengan kata lain, fokus literasi media dalam kurikulum pendidikan adalah memastikan anak-anak mampu membaca perkembangan teknologi termasuk konsekuensi pesan di dalamnya secara kritis. Serta yang lebih penting adalah menggunakannya secara bijak. Tidak hanya berkaitan dengan konflik sosial, hal ini penting sebagai upaya juga menangkal gejala radikalisi agama yang marak menggunakan medium media sosial.

Sementara itu dalam jangka

pendek, yang dibutuhkan adalah peran dari para pemangku kepentingan baik itu regulator media, pemerintah, dan yang lebih penting adalah kelompok masyarakat sipil khususnya komunitas-komunitas yang bersentuhan langsung dengan warga yang terpapar informasi palsu. Dalam masyarakat yang rentan terpapar informasi palsu, kebutuhan

akan literasi media menjadi begitu mendesak. Bagaimana caranya?

Seperti disinggung di atas, pada dasarnya literasi media berkaitan dengan kesadaran kritis. Karena itu, untuk menumbuhkannya adalah dengan tetap menumbuhkan skeptisisme pada berbagai informasi yang datang. Baik itu dari media-media arus utama, apalagi dari sumber yang tidak bisa diverifikasi. Kita tidak boleh memberikan kepercayaan seratus persen kepada media arus utama dan sumber-sumber lainnya. Sebaliknya, tidak boleh juga berlebihan dalam meragukan sebuah informasi kalau memang ia bisa diuji dan dipertanggungjawabkan.

Berangkat dari ketidak-percayaan tersebut, yang dilanjutkan pada tahap selanjutnya adalah melakukan upaya pembacaan terhadap sebuah informasi atau berita dengan lebih menyeluruh. Ini melampaui benar atau salah. Misalnya dengan menghubungkan sebuah berita media dengan kepemilikan media atau kepentingan ekonomi politik. Atau juga menautkan antara informasi palsu dengan siapa-siapa saja yang secara aktif menyebarkannya.

Upaya ini tentu saja berada dalam wilayah ideal, dan patut dicatat bahwa literasi media bukanlah sebuah panasea (obat-red) yang bisa dengan tiba-tiba menghilangkan rasa sakit. Ia menjadi upaya terus-menerus yang hasilnya kerap tidak datang dalam waktu singkat. Apalagi seperti di era digital saat ini yang penuh dengan disrupsi (tercerabut dari akarnya-red). Tetapi waktu sudah mendesak, jika ia tidak dilakukan, kita semua akan dengan mudah tersapu gelombang informasi palsu, sampai jauh.

Dengan kata lain, fokus literasi media dalam

kurikulum pendidikan adalah memastikan anak-anak mampu membaca

perkembangan teknologi termasuk konsekuensi pesan

di dalamnya secara kritis.

Page 18: GERAKAN LITERASI DARI WARGA, UNTUK WARGA file2 KOMBINASI 69 | JULI-SEPTEMBER 2017 D ARI REDAKSI Pemimpin Redaksi: Idha Saraswati Redaktur Pelaksana: Apriliana Susanti Tim Redaksi:

18 KOMBINASI 69 | JULI-SEPTEMBER 2017

U saha merevisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran sudah dilakukan

sejak awal 2015 dan belum selesai hingga hari ini. Selain molor, proses perumusan RUU tersebut dinilai tidak banyak melibatkan publik.

Minimnya keterlibatan publik itu antara lain terlihat dari jadwal pembahasan RUU yang tidak diumumkan kepada publik. Selain itu, respons terhadap permintaan audiensi oleh kelompok akademisi dan masyarakat sipil yang ingin memberi masukan untuk revisi juga minim. Kondisi tersebut ternyata berdampak pada isi draft RUU Penyiaran.

Pada Juni lalu, pembahasan RUU penyiaran sudah sampai pada tahap harmonisasi oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR RI. Sejumlah poin usulan baleg dalam proses harmonisasi tersebut segera mendapat kritik karena dinilai mengancam kepentingan publik. Beberapa poin yang dinilai bermasalah antara lain adalah pengelolaan dan penguasaan frekuensi oleh lembaga penyiaran swasta, pencabutan larangan iklan rokok, pembentukan organisasi lembaga penyiaran khusus, dan digitalisasi penyiaran.

1. Perpanjangan izin atas pemanfaatan frekuensi oleh swasta

Perpanjangan izin pemanfaatan frekuensi oleh lembaga penyiaran swasta dipandang akan semakin mempersempit peluang demokratisasi dan keberagaman informasi. Konten siaran televisi swasta, misalnya, selama ini banyak yang dibuat dengan didasarkan pada rating yang tidak

jelas tolak ukurnya. Demi tuntutan rating, konten informasi yang disajikan menjadi seragam. Selain itu, jangkauan siaran televisi swasta selama ini bersifat nasional atau menyeluruh ke penjuru Indonesia, sehingga masyarakat di daerah juga harus mengonsumsi informasi yang seragam itu yang belum tentu sesuai dengan kebutuhan mereka.

M E D I A

POIN-POIN DALAM RUU PENYIARAN YANG HARUS KITA KETAHUI

Lamia Damayanti PutriMahasiswi Jurusan Ilmu Komunikasi UGM

Oleh:

Page 19: GERAKAN LITERASI DARI WARGA, UNTUK WARGA file2 KOMBINASI 69 | JULI-SEPTEMBER 2017 D ARI REDAKSI Pemimpin Redaksi: Idha Saraswati Redaktur Pelaksana: Apriliana Susanti Tim Redaksi:

KOMBINASI 69 | JULI-SEPTEMBER 2017 19

M E D I A

Selain soal konten dan jangkauan siaran, faktor pemilik lembaga penyiaran swasta juga mesti diperhatikan. Saat ini, sejumlah stasiun televisi swasta dimiliki maupun dikelola oleh pengusaha yang merangkap sebagai tokoh politik. Pemilu 2014 silam menunjukkan bahwa pemilik/ pengelola stasiun televisi menggunakan medianya

untuk mengkampanyekan kepentingan politiknya. 2. Lembaga penyiaran khusus

Baleg juga mengusulkan peraturan baru dalam draft RUU Penyiaran tertanggal 19 Juni 2017 Pasal 105 yang memuat mengenai Lembaga Penyiaran Khusus. Pasal baru tersebut berbunyi, “Lembaga Penyiaran Khusus merupakan lembaga penyiaran yang

bersifat tidak komersial, didirikan dan dimiliki oleh lembaga negara, kementerian/ lembaga, partai politik, atau pemerintah daerah yang kegiatannya menyelenggarakan penyiaran radio dan/ atau televisi”.

Ide mengenai lembaga penyiaran khusus tersebut menunjukkan adanya keinginan sejumlah pihak untuk memanfaatkan alokasi frekuensi untuk kepentingan politiknya. Padahal, frekuensi adalah sumber daya alam yang terbatas. Di dalamnya ada hak publik, alias hak warga negara. Oleh karena itu, keterbatasan frekuensi tersebut seharusnya menjadi patokan dalam mengalokasikan kanal-kanal frekuensi secara lebih bijak dengan mengutamakan kepentingan publik.

3. DigitalisasiMigrasi analog menjadi digital

disebut sebagai salah satu alternatif untuk menghemat frekuensi. Meski begitu, dalam draft RUU Penyiaran, proses digitalisasi hanya dimaknai sebagai perubahan medium tanpa mempertimbangkan aspek-aspek lainnya. Hal tersebut tercantum dalam draft RUU tertanggal 19 Juni Pasal 26 ayat 1.

Dalam ayat tersebut, dijelaskan bahwa kelebihan spektrum frekuensi radio sebagai akibat dari migrasi penyelenggaraan penyiaran dengan teknologi analog ke teknologi digital tetap dalam penguasaan pemanfaatan oleh lembaga penyiaran yang memiliki izin penyelenggaraan penyiaraan. Penguasaan tersebut nantinya dapat digunakan oleh lembaga penyiaran untuk

POIN-POIN DALAM RUU PENYIARAN YANG HARUS KITA KETAHUI

Page 20: GERAKAN LITERASI DARI WARGA, UNTUK WARGA file2 KOMBINASI 69 | JULI-SEPTEMBER 2017 D ARI REDAKSI Pemimpin Redaksi: Idha Saraswati Redaktur Pelaksana: Apriliana Susanti Tim Redaksi:

20 KOMBINASI 69 | JULI-SEPTEMBER 2017

M E D I A

kepentingan pengembangan lembaga yang bersangkutan.

Dengan kata lain, walaupun sudah memiliki izin frekuensi, setiap lembaga penyiaran stasiun juga memiliki keleluasaan untuk mengelola satu kanal frekuensi dengan teknologi digital. Padahal mengingat keterbatasan frekuensi, kanal siar dengan teknologi digital mestinya bisa dapat dimanfaatkan untuk mengurangi alokasi frekuensi bagi lembaga penyiaran swasta yang selama ini memiliki lebih dari satu kanal frekuensi.

Jika usulan itu jadi disahkan, monopoli terhadap kanal frekuensi akan semakin kuat. Pihak yang paling diuntungkan tentu saja lembaga penyiaran swasta yang memiliki lebih dari satu stasiun televisi atau radio. Selain itu, penggunaan kanal frekuensi digital menjadi semakin boros dan berimbas pada penggunaan frekuensi di bidang industri lainnya, yakni internet broadband.

4. Pencabutan larangan penayangan iklan rokok

Pelarangan tayangan iklan rokok merupakan perwujudan tanggung jawab negara dalam menghormati, menjamin, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia, terutama hak hidup, hak atas kesehatan, hak perempuan dan anak. Dilansir dari situs tempo.com, Menteri Kesehatan Nila Moeloek menyatakan bahwa lebih dari

sepertiga atau 36,3 persen penduduk Indonesia telah menjadi perokok. Adapun 20 persen di antaranya merupakan remaja berusia 13-15 tahun. Jika televisi menayangkan kembali iklan rokok, maka salah satu dampak yang dikhawatirkan adalah peningkatan jumlah perokok, terutama anak-anak.

Revisi UU Penyiaran mestinya menjadi momen untuk membenahi karut-marutnya aturan dan infrastruktur penyiaran. Namun, prosesnya ternyata berjalan dengan keterlibatan publik yang minim sehingga isinya tidak mencerminkan keberpihakan pada kepentingan masyarakat. Jika draft RUU Penyiaran yang memuat poin-poin di atas disahkan, maka masyarakat selaku pemilik frekuensilah yang akan dirugikan.

Selain tiga poin besar di atas, masih ada isu-isu lain terkait aturan penyiaran yang selama ini minim dibicarakan. Salah satunya adalah aturan terkait alokasi frekuensi untuk lembaga penyiaran komunitas. Selama ini, lembaga penyiaran komunitas masih menghadapi berbagai kendala regulasi dalam upayanya menyelenggarakan siaran dari, oleh dan bagi komunitas. Jika arah kebijakan penyiaran adalah demi kepentingan publik, maka mestinya lembaga penyiaran komunitas yang melayani warga di tingkat paling bawah mendapat porsi pembahasan yang lebih besar dalam draft RUU Penyiaran.

Jika melihat ke belakang, perdebatan terkait RUU Penyiaran sebetulnya sudah terjadi sejak 1996-1997, yakni pada tahun-tahun pertama dirumuskannya undang-undang mengenai penyiaran di Indonesia. Perumusan tersebut tergolong lambat karena televisi di Indonesia mulai hadir pada tahun 1988. Pada waktu itu, Presiden Soeharto mengembalikan RUU tersebut dan menolak untuk menandatanginya. Alasannya karena ada satu prasyarat siaran yang melarang stasiun televisi melakukan

transmisi ke lebih dari 50 persen populasi nasional. Peraturan tersebut dinilai merugikan industri penyiaran yang saat itu sedang mulai dibangun oleh kerabat dan orang-orang dekatnya. Hal ini menunjukkan bahwa dari dahulu, berbagai pihak memang telah berupaya untuk mengarahkan isi aturan penyiaran supaya bisa menguntungkan kelompoknya.

Frekuensi adalah milik publik. Oleh karena itu, perumusan aturan terkait penyiaran mestinya melibatkan publik.

Revisi UU Penyiaran mestinya menjadi momen untuk

membenahi karut marutnya aturan dan infrastruktur

penyiaran. Namun, prosesnya ternyata berjalan dengan keterlibatan publik yang

minim sehingga isinya tidak mencerminkan keberpihakan

pada kepentingan masyarakat.

Jika arah kebijakan penyiaran adalah demi kepentingan

publik, maka mestinya lembaga penyiaran komunitas yang melayani warga di tingkat paling bawah mendapat porsi pembahasan yang lebih besar

dalam draft RUU Penyiaran.

Page 21: GERAKAN LITERASI DARI WARGA, UNTUK WARGA file2 KOMBINASI 69 | JULI-SEPTEMBER 2017 D ARI REDAKSI Pemimpin Redaksi: Idha Saraswati Redaktur Pelaksana: Apriliana Susanti Tim Redaksi:

KOMBINASI 69 | JULI-SEPTEMBER 2017 21

P O R TA L

Internet menyediakan berbagai kemudahan bagi hidup kita di era digital ini. Namun, selain

kemudahan yang ditawarkan, sebagai pengguna internet kita juga perlu untuk memahami apa itu keamanan digital atau keamanan siber (cyber security).

Keamanan digital ini antara lain berhubungan dengan keamanan data pribadi kita di internet. Indonesia merupakan negara yang kurang memiliki sistem perlindungan data pribadi bagi warganya. Undang-undang tentang perlindungan data pribadi di Indonesia hingga saat ini masih dalam bentuk draft. Itupun tidak secara spesifik memberikan perlindungan yang kuat terhadap data pribadi warga.

Wahyudi Djafar, Deputi Direktur Riset Elsam (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat) mengungkapkan, Indonesia merupakan salah satu negara di kawasan Asia Tenggara yang sampai saat ini belum memiliki peraturan khusus untuk melindungi data pribadi warga negaranya. Oleh karena itu, kebutuhan undang-undang perlindungan data pribadi sangat mendesak. “Data pribadi kita begitu mudahnya diberikan, misalnya saat kita mendaftar ke sebuah layanan, aplikasi dan lain sebagainya,” ujarnya dalam Diskusi Publik ‘Privasi dan Keamanan Digital: Pilar Kedaulatan dan Ekonomi Indonesia’ di Jakarta, Selasa (5/9).

Menurut dia, perlindungan data

PENTINGNYA PRIVASI ONLINEBAGI PRIBADI DAN ORGANISASI SOSIAL

BuonoPewarta Suara Komunitas

Oleh:

pribadi sangatlah penting. Ketika membuat e-KTP, misalnya, pemerintah mengumpulkan hampir seluruh jenis data pribadi dari warga negara, bahkan sampai dengan ciri-ciri khusus biometriknya melalui perekaman data retina mata. Namun, sampai saat ini pemerintah tidak pernah bisa secara baik menjelaskan prosedur pengelolaan, pengolahan, penyimpanan, dan perlindungan data pribadi warga negara yang telah dikumpulkan dalam proses pembuatan e-KTP tersebut. Peraturan Presiden No. 67/2011 yang menjadi rujukan proyek ini sendiri pun tidak mengatur mekanisme perlindungan data pribadi yang terkait e-KTP.

Wahyudi mengungkapkan, peluang penyalahgunaan data pribadi warga negara kian terbuka dengan begitu banyaknya aturan yang memberikan ruang bagi institusi pemerintah maupun swasta untuk mengumpulkan dan membuka data pribadi warga negara. “Sedikitnya ada 30 undang-undang terkait dengan pengumpulan data pribadi warga negara yang overlaping (tumpang tindih),” tambahnya.

Selain pengambilan data pribadi oleh negara, ada pihak-pihak lain yang melakukan hal serupa. Saat kita masuk ke layanan internet, misalnya saat hendak membuka email ataupun mengakses layanan lainnya, kita harus memasukkan data pribadi kita. Kita tidak sadar bahwa data tersebut terkadang malah diperjualbelikan.

Terkait dengan perlindungan data

pribadi inilah, ICT Watch bekerjasama dengan Innovation for Change (I4C) – East Asia, Tactical Technology Collective (Tactical Tech), dan Open Culture Foundation (OCF) menggelar “Digital Privacy and Safety Training” bagi para aktivis lokal yang berada di empat negara di Asia Tenggara, yaitu Malaysia, Indonesia, Thailand dan Filipina.

Di Indonesia, kegiatan ini digelar di Harris Hotel, Tebet, Jakarta Selatan, pada 6-8 September 2017 lalu dengan mengundang penggiat media dan organisasi sosial dari berbagai wilayah. Sebagai penggiat yang memanfaatkan internet sebagai media untuk berbagai aktivitasnya, baik berupa sosialisasi, edukasi, advokasi, komunikasi maupun promosi, kegiatan ini sangat penting. Setiap peserta dibekali dengan pengetahuan dasar seputar internet dan langkah-langkah pengamanan siber.

"Peluang penyalahgunaan data pribadi warga negara

kian terbuka dengan begitu banyaknya aturan yang memberikan ruang bagi

institusi pemerintah maupun swasta untuk mengumpulkan

dan membuka data pribadi warga negara."

Wahyudi Djafar

Page 22: GERAKAN LITERASI DARI WARGA, UNTUK WARGA file2 KOMBINASI 69 | JULI-SEPTEMBER 2017 D ARI REDAKSI Pemimpin Redaksi: Idha Saraswati Redaktur Pelaksana: Apriliana Susanti Tim Redaksi:

22 KOMBINASI 69 | JULI-SEPTEMBER 2017

PO R TA LLangkah pengamanan

Sejumlah pengetahuan dasar dapat kita praktikkan untuk mengamankan data pribadi maupun data organisasi kita. Ada beberapa langkah yang bisa kita ambil.

Pertama, dengan membatasi jejak digital. Melalui komputer, ponsel, dan perangkat digital lainnya, kita meninggalkan ratusan jejak digital atau jejak data setiap hari. Bila jejak digital itu disatukan, maka akan tercipta cerita tentang kita atau profil kita. Jejak digital ini akan memberi gambaran tentang kehidupan kita dan orang-orang sekeliling kita. Ketika data digital tersebut berada di internet, tak satupun dari kita dapat mengontrolnya.

Untuk membatasi jejak digital kita, yang dapat dilakukan dengan ‘tidak menampilkan’ lokasi kita di internet. Itu bisa dilakukan dengan menggunakan browser (perambah web) yang tidak menampilkan keberadaan IP (internet protocol) kita sebenarnya. Aplikasi perambah web yang disarankan adalah Tor (https://www.torproject.org/projects/torbrowser.html.en). Perambah Tor ini akan membuat orang maupun pihak lain kesulitan untuk melacak situs-situs yang kita kunjungi di internet. Dengan demikian, posisi lokasi fisik kita juga tidak akan mudah diketahui atau di-track.

Salah satu pihak yang melacak aktivitas kita di internet adalah pihak swasta. Contohnya bisa dilihat dari iklan-iklan online yang muncul di layar media sosial kita. Iklan-iklan itu seringkali sesuai dengan minat dan kebutuhan kita. Hal itu bisa terjadi karena informasi tentang minat kita bisa dianalisis melalui jejak digital yang kita tinggalkan di internet.

Selain melindungi dari upaya pelacakan, perambah Tor juga memungkinkan kita untuk mengakses situs yang diblokir. Perambah web ini dapat dipasang (install) pada sistem operasi berbasis Microsoft Windows, Apple Mac OS, Linux, dan bahkan dapat dipasang di flashdisc. Penggunaan VPN (Virtual Private

Network) juga memberikan keamanan berselancar di dunia maya. Catatannya, kita harus memilih VPN berbayar supaya keamanannya lebih terjamin. Penggunaan VPN ini dapat dikombinasikan pada pengguna perambah lainnya seperti Opera, Mozilla Firefox, Google Chrome (Chromium di Linux). Selain itu, pada pengaturan keamanan perambah, pilihlah opsi ‘jangan lakukan tracking pada browser’, ‘lupakan riwayat penjelajahan’, dan jangan ijinkan cookies dari pihak ketiga, atau ijinkan cookies sampai menutup perambah. Saran lainnya adalah, jangan menggunakan perambah Tor untuk membuka Facebook maupun layanan pesan lainnya dari aplikasi Google.

Kedua, menggunakan kanal aman dalam berkomunikasi. Aplikasi komunikasi maupun media sosial seperti Facebook, Twitter, G+, WhatsApp, Instagram dll, maupun pesan singkat (SMS) tidak seluruhnya aman. Banyak kasus seperti tracking, hijjacking (pembajakan akun) maupun keamanan lalu-lintas pesan/ komunikasi terjadi pada aplikasi-aplikasi tersebut.

Langkah pengamanannya adalah menggunakan aplikasi komunikasi yang aman, seperti Signal (Signal Private Messenger). Signal adalah aplikasi komunikasi terenkripsi untuk Android dan iOS, juga terintegrasi dengan aplikasi Chrome (Chromium). Aplikasi ini menggunakan internet untuk mengirim pesan pribadi maupun pesan grup, yang dapat mencakup file, catatan suara, gambar dan video. Aplikasi ini juga dapat melakukan panggilan suara dan video. Selain itu, untuk mengamankan akun media sosial, kita perlu mengaktifkan dua faktor autentifikasi.

Ketiga, mengamankan berkas. Pengamanan berkas (file) maupun data lainnya yang tersimpan dalam perangkat kita (komputer, ponsel maupun lainnya) ataupun yang kita simpan dalam cloud (awan komputer) dapat dilakukan dengan mengenkripsi data tersebut. Kita dapat menggunakan aplikasi Veracrypt

(https://veracrypt.codeplex.com/). Aplikasi ini akan menyembunyikan file di komputer kita. Tidak ada yang tahu bahwa file itu ada di komputer kita. Hal ini tentu sangat berguna untuk ‘mengamankan’ informasi/ data sensitif kita.

Keempat, mengamankan password. Perlu diingat, jangan menjadikan satu password untuk seluruh aktivitas kita. Gunakan satu password untuk masing-masing aplikasi yang kita gunakan. Untuk memudahkan kita mengingat password tersebut, kita dapat menggunakan aplikasi passwordmanager seperti KeePassXC (https://keepassxc.org/)

Kelima, jangan pernah menjual perangkat bekas seperti komputer, ponsel dll sebelum data yang tersimpan dalam media penyimpanan (hard disc, atau sejenisnya) dihapus secara permanen dan benar-benar tidak ada aplikasi yang dapat membuka (data yang hanya dihapus, masih bisa dibuka/ dikembalikan dengan aplikasi pengembali data.

Keenam, menggunakan ProtonMail (https://protonmail.com/) untuk lalu-lintas pengiriman surat-menyurat online. ProtonMail adalah layanan email terenkripsi end-to-end menggunakan enkripsi sisi klien untuk melindungi konten email dan data pengguna sebelum dikirim ke server ProtonMail. Berbeda dengan penyedia email umum lainnya seperti Gmail dan Hotmail, layanan ini dapat diakses melalui klien webmail atau aplikasi iOS dan Android.

Selain langkah-langkah tersebut, masih ada banyak pengetahuan dasar lainnya terkait dengan keamanan data pribadi kita di dunia digital. Oleh karena itu, kita perlu terus belajar dan berhati-hati dalam menggunakan internet.

Page 23: GERAKAN LITERASI DARI WARGA, UNTUK WARGA file2 KOMBINASI 69 | JULI-SEPTEMBER 2017 D ARI REDAKSI Pemimpin Redaksi: Idha Saraswati Redaktur Pelaksana: Apriliana Susanti Tim Redaksi:

KOMBINASI 69 | JULI-SEPTEMBER 2017 23

L U M B U N G

T epa Selira menjadi tema utama dalam gelaran Festival Tlatah Bocah XI di Dusun Ngandong,

Kabupaten Magelang pada Sabtu-Minggu, (9-10/9). Tema tersebut diangkat untuk merespons perubahan perilaku anak-anak di era digital. Beragam kegiatan seperti pertunjukan seni tradisi, orasi budaya dan pameran menjadi media kampanye hak-hak anak dalam festival tahunan ini. Tujuannya, untuk mengenalkan keberagaman toleransi, dan kearifan lokal yang semakin luntur pada anak-anak.

Ketua Panitia Festival Tlatah Bocah XI, Riswoko menjelaskan, dampak globalisasi berpengaruh cukup signifikan terhadap perkembangan anak-anak. Tanpa dibekali literasi yang cukup, keberadaan teknologi justru menjadi ancaman bagi mereka. Riswoko mencontohkan, saat ini banyak anak yang kecanduan gawai dan lupa bergaul dengan teman-teman di lingkungan sekitarnya. “Anak-anak sekarang cenderung individualis dan hanya memikirkan dirinya sendiri,” jelasnya saat ditemui di lokasi penyelenggaraan festival, Minggu (10/9).

Festival Tlatah Jogja merupakan acara tahunan yang diselenggarakan secara kolektif oleh berbagai komunitas dan kelompok seni yang mengusung isu-isu tentang anak. Setiap tahunnya, festival ini mengusung tema tertentu yang berkaitan dengan fenomena sosial terkini.

Terkait tema kali ini, Riswoko memaparkan, pesatnya arus informasi

Lamia Damayanti PutriMahasiswi Jurusan Ilmu Komunikasi UGM

Oleh:

FESTIVAL TLATAH BOCAHEdukasi Tepa Selira dalam Gelaran Budaya

juga menjadi perhatian penting. Dengan semakin mudahnya anak-anak mengakses informasi, mereka sangat rentan terpengaruh berita-berita yang belum jelas keberannya atau hoaks. Apalagi, berita-berita hoaks yang tersebar di internet lebih banyak berbentuk sebagai ujaran kebencian terutama pada kalangan tertentu. “Seperti yang kita tahu, banyak sekali hoaks-hoaks tentang isu agama yang tersebar di internet,” kata Riswoko.

Hoaks dan ujaran kebencian mempengaruhi tumbuh kembang pola pikir anak. Setiyoko, salah satu penggagas utama Festival Tlatah Bocah mengungkapkan atas alasan itulah tema Tepa Selira diangkat dalam gelaran Festival Tlatah Bocah kali ini. “Harapannya, diselenggarakannya festival ini mampu mengakomodasi hak-hak anak dan mengedukasi mereka tentang tenggang rasa dan toleransi. Hal tersebut sangat penting mengingat anak-anak zaman sekarang terkesan lebih egois,” papar Setiyoko, (10/9).

Tepa selira pada sesama dan alamBeragam kegiatan yang digelar

dalam festival ini mengajak anak-anak untuk mengenali adat istiadat di sekitar mereka. Pemaknaan tepa selira dalam festival ini tidak sebatas tenggang rasa kepada sesama manusia, namun juga tenggang rasa pada alam. Mengolah sampah menjadi barang yang lebih bermanfaat adalah salah satunya. Beragam kreasi olahan sampah menjadi tema dekorasi utama baik di panggung maupun di jalan-jalan. “Pengenalan terhadap alam menjadi

sangat penting. Apalagi, anak-anak yang datang tinggal di sekitar desa, dekat dengan alam. Mereka harus diajarkan untuk menjaga alam sedini mungkin,” urai Riswoko.

Sejak awal, Festival Tlatah Bocah diniatkan sebagai wadah bagi anak-anak di lereng Gunung Merapi untuk berekspresi, berkreasi, sekaligus bersosialisasi dalam mengembangkan seni dan kebudayaan tradisional. Kesenian budaya tersebut meliputi wayang orang, ketoprak, jathilan, campur bawur, jaran kepang, reog, soreng, topeng ireng, ndolalak, dan sholawat, dan lain-lain. Tak hanya dari Magelang, berbagai kelompok seni dari Ngawi, Kendal, Boyolali, Salatiga, Yogyakarta, dan Bandung juga berpartisipasi dalam festival ini.

Sejak pertama kali diselenggarakan pada 2006, festival yang dilakukan secara swadaya dan bergotong royong oleh warga ini telah memberikan dampak yang baik. Riswoko menjelaskan bahwa anak-anak semakin guyub terhadap sesama dan mencintai kesenian. Ke depan, Riswoko berharap bahwa Festival Tlatah Bocah semakin mengakomodir kebutuhan anak-anak di tengah himpitan zaman yang tidak menentu.

Kesenian tradisional Tari Topeng menjadi salah satu penampil dalam Festival Tlatah Bocah

Page 24: GERAKAN LITERASI DARI WARGA, UNTUK WARGA file2 KOMBINASI 69 | JULI-SEPTEMBER 2017 D ARI REDAKSI Pemimpin Redaksi: Idha Saraswati Redaktur Pelaksana: Apriliana Susanti Tim Redaksi:

24 KOMBINASI 69 | JULI-SEPTEMBER 2017

SAMARINDA MENGGUGAT: Ketika Kegelisahan Menjadi

Kemarahan. Sebuah Gerakan Warga Kota Memperjuangkan Keadilan Lingkungan dan Keadilan Iklim

Penulis: M. Basyir Daud, Siti Maimunah, Theresia Jari, dan Yustinus Esha.

Penerbit: Jaringan Advokasi Tambang (Jatam)

Cetakan: Pertama, 2017 .Tebal: 144 halaman

P U S TA K A

J argon di atas kerap digunakan untuk menggambarkan perjuangan aktivis Hak

Asasi Manusia (HAM), Munir. Meski dibungkam paksa oleh penguasa (pemerintah), Munir dan keberaniannya akan terus ada dan berlipat ganda; mengubah kegelisahan menjadi kemarahan yang ditujukan kepada penguasa.

Terinspirasi dari perjuangan Munir, Gerakan Samarinda Menggugat (GSM) pun muncul di Samarinda, Kalimantan Timur. Gerakan ini diinisiasi oleh Jaringan Advokasi Tambang (Jatam). Mereka mengangkat isu terkait keadilan lingkungan dan keadilan iklim. Gerakan ini menggunggat kongkalingkong antara pemerintah dan pengusaha tambang.

Tak sebatas praksis aksi lapangan dan perkara legalitas di ranah hukum, GSM juga menerbitkan sebuah buku dalam upaya memperjuangkan hak-hak mereka. Bertajuk Samarinda Menggugat: Ketika Kegelisahan Menjadi Kemarahan, buku terbitan tahun 2017 ini merupakan kolaborasi empat penulis, yakni: M. Basyir Daud, Siti Maimunah, Theresia Jari, dan Yustinus Esha. Layaknya sebuah catatan rekam jejak, buku setebal 144 halaman ini mendokumentasikan laku aktivisme GSM.

Samarinda, seperti makan tubuh sendiri

Dalam bukunya Spoiling Tibet:

SAMARINDA MENGGUGAT TAMBANG

Aris SetyawanPegiat media komunitas di Yogyakarta

Oleh:

“Kami ada dan berlipat ganda.” sebelumnya dianggap sebagai atap dunia, harus menghadapi kerusakan ekologi yang parah. Kerusakan tersebut dipicu oleh perusahaan-perusahaan pertambangan asal China yang menyedot habis segala mineral berharga di tanah Tibet. Pertambangan ini tidak hanya meninggalkan kerusakan ekologi, namun juga membuat penduduk Tibet kebingungan karena tidak bisa melakukan apapun.

Setali tiga uang dengan buku Lafitte, buku Samarinda Menggugat juga menggambarkan kegetiran yang sama: bagaimana pertambangan batu bara merongrong ekologi Samarinda dan betapa warga sangat dirugikan oleh aksi pertambangan yang semakin tak terkendali.

Samarinda Mengunggat kaya akan data. Buku ini menjabarkan bagaimana Samarinda ibarat tengah memakan tubuhnya sendiri sedikit demi sedikit. Setiap sudut kota mulai meranggas karena dikeruk alat-alat berat pertambangan. Pengerukan batu bara marak sejak industri kayu runtuh karena jumlah pohon yang ditebang lebih banyak daripada yang ditanam.

Data menunjukkan, setelah diterapkannya otonomi daerah, Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang diterbitkan naik 13 kali lipat dari yang sebelumnya berjumlah 118 buah menjadi 1488 buah (hal. 3). Lebih lanjut, GSM menjabarkan bahwa demi mengalah untuk kepentingan pertambangan,

China and Resource Nationalism on the Roof of the World (2013), Gabriel Lafitte menjabarkan bagaimana Tibet, negara yang

Page 25: GERAKAN LITERASI DARI WARGA, UNTUK WARGA file2 KOMBINASI 69 | JULI-SEPTEMBER 2017 D ARI REDAKSI Pemimpin Redaksi: Idha Saraswati Redaktur Pelaksana: Apriliana Susanti Tim Redaksi:

KOMBINASI 69 | JULI-SEPTEMBER 2017 25

P U S TA K A

ruang hidup bagi warga menciut hanya menjadi 29 persen (hal. 4). Warga Samarinda harus hidup di tengah ketakutan akan serbuan banjir, serangan hama ke lahan pertanian, dan bahkan ancaman lubang-lubang bekas galian tambang yang bisa merenggut nyawa anak-anak mereka kapan saja (hal. 14).

Gugatan warga kotaGSM mencatat bahwa penegakan

hukum amat tumpul dalam menyikapi dosa-dosa besar pertambangan yang merenggut hak hidup warga. Bahkan, hukum seolah justru melindungi kepentingan pengusaha tambang (hal. 29). Samarinda Menggugat mencatat kesaksian beberapa warga seperti pasangan petani Nurbaeti dan Komari yang sedih bukan kepalang karena sumber mata air yang sebelumnya mengairi sawah mereka kini telah berubah menjadi lubang beracun yang menganga lebar (hal. 34).

Atas dasar nasib bersama sebagai warga kota yang diabaikan hak hidupnya, GSM lantas mewujudkan sebuah gerakan untuk menggugat. Berawal dari sekadar sebuah forum bercerita yang mereka sebut Taman Bercerita, GSM lantas memantapkan diri untuk menggugat pemerintah.

GSM mengajukan apa yang dikenal sebagai ‘gugatan warga negara’ atau citizen lawsuit. Gugatan ini merupakan sebuah upaya legal dan tidak mudah karena banyaknya

persiapan yang harus dilakukan. Kecerdasan, ketekunan, dan kesabaran sangat dibutuhkan dalam persiapan tersebut. Itulah kenapa butuh waktu 512 hari bagi GSM untuk menyusun gugatan mereka sebelum mendaftarkannya ke Pengadilan Negeri Samarinda pada 23 Juni 2013 (hal. 63).

Citizen lawsuit yang dilakukan GSM menjadi gerakan warga kota pertama di Indonesia yang menggugat isu lingkungan dan perubahan iklim (hal. 83). Mengajukan gugatan di pengadilan berarti menuntut agar pemerintah melakukan penegakan hukum dan memulihkan kerugian yang dialami publik. Gugatan ini dimaksudkan untuk melindungi warga negara dari kemungkinan terjadinya kerugian sebagai akibat dari tindakan atau pembiaran yang dilakukan negara atau otoritas negara.

Terkait rusaknya ekologi Samarinda akibat pertambangan batubara, ada lima pihak yang digugat GSM. Kelimanya yakni: Walikota Samarinda, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral RI, Gubernur provinsi Kalimantan Timur, Kementerian Lingkungan Hidup, dan DPRD Tingkat Dua Kota Samarinda.

Aksi tanpa lelah GSM akhirnya membuahkan hasil. Majelis Hakim setempat memutuskan untuk memenangkan citizen lawsuit. Selain menjadi pertama, citizen lawsuit yang dilakukan GSM juga menjadi yang pertama yang menang di pengadilan.

Melawanlah dengan gembiraBab terakhir buku ini menjabarkan

sebuah jargon yang menarik: “Melawanlah dengan gembira.” Jargon tersebut sebenarnya adalah ironi untuk menggambarkan bagaimana para penggiat Jatam selepas adanya deklarasi justru sering mendapat intimidasi dari orang tidak dikenal. Jargon “Melawanlah dengan gembira” adalah ajakan kepada seluruh penggiat Jatam, penggiat GSM, dan

seluruh warga negara Indonesia agar berani, pantang menyerah dalam memperjuangkan hak hidupnya.

Meski ada ketidaknyamanan dari segi tata letak serta banyak ditemukan kesalahan tipografi, namun toh bukan perkara teknis itu yang utama. Terlebih penting, buku Samarinda Menggugat menggambarkan bahwa warga negara punya hak untuk hidup layak. Saat pemerintah tidak mampu memberikan hidup layak tersebut, maka warga negara boleh dan bisa menggugat pemerintah. Buku ini setidaknya berhasil menunjukkan bahwa perlawanan itu ada dan berlipat ganda, dan, perlawanan harus selalu dengan riang gembira.

Buku ini menjabarkan bagaimana Samarinda ibarat tengah memakan tubuhnya sendiri sedikit demi sedikit.

Setiap sudut kota mulai meranggas karena dikeruk

alat-alat berat pertambangan. Pengerukan batu bara marak

sejak industri kayu runtuh karena jumlah pohon yang

ditebang lebih banyak daripada yang ditanam.

Citizen lawsuit yang dilakukan GSM menjadi gerakan warga

kota pertama di Indonesia yang meggugat isu lingkungan

dan perubahan iklim (hal.83).

Page 26: GERAKAN LITERASI DARI WARGA, UNTUK WARGA file2 KOMBINASI 69 | JULI-SEPTEMBER 2017 D ARI REDAKSI Pemimpin Redaksi: Idha Saraswati Redaktur Pelaksana: Apriliana Susanti Tim Redaksi:

26 KOMBINASI 69 | JULI-SEPTEMBER 2017

Pelatihan Input Data Disabilitas

W A R TA C R I

C RI gelar pelatihan input data disabilitas yang diikuti delapan desa di Kabupaten.

Gunungkidul, Senin, (14/8) di kantor CRI. Agenda ini merupakan lanjutan dari pelatihan yang sebelumnya telah dilaksanakan di Bappeda Kabupaten Gunungkidul pada 12 Juli 2017 lalu. Setiap desa diwakili oleh perangkat desa, administrator Sistem Informasi Desa (SID), dan pegiat Forum Komunikasi Disabilitas Gunungkidul (FKDG).

Pelatihan ini merupakan bagian dari program Pendataan Disabilitas

yang dikelola oleh Roda Ucpruk dan Pusat Rehabilitasi YAKKUM. Dalam program tersebut, CRI berperan sebagai fasilitator pemanfaatan SID untuk delapan desa percontohan. Desa percontohan tersebut terdiri dari enam desa di Kecamatan Panggang, satu desa di Kecamatan Ngawen, dan satu desa di Kecamatan Semin. Program pendataan disabilitas dengan dukungan SID ini diharapkan dapat memperkuat kapasitas warga desa dalam melakukan perencanaan dan pembangunan desa yang inklusif.

ToT SID di Gunungkidul

T raining of Trainers (Pelatihan untuk Pelatih) Sistem Informasi Desa (SID) untuk Mekanisme

Pemutakhiran Mandiri (MPM) Basis Data Terpadu (BDT) 2017 dan Pendataan Disabilitas di Kabupaten Gunungkidul digelar pada Selasa-Rabu, (11-12/7) di Kantor BAPPEDA

P emerintah Kabupaten Gunungkidul berkolaborasi dengan Badan Pusat

Statistik (BPS) untuk program penanggulangan kemiskinan dalam wadah Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD). Pada Selasa, (15/8), TKPD Kabupaten Gunungkidul menggelar pelatihan Mekanisme Pemutakhiran Mandiri (MPM) Basis Data Terpadu (BDT) di kantor Bappeda Kabupaten Gunungkidul di Wonosari dengan BPS sebagai narasumbernya. Pelatihan ini ditujukan untuk Kasi Kesejahteraan Sosial Kecamatan se-Kabupaten Gunungkidul, Bappeda, Dinas Kominfo, dan Dinas Sosial.

Agenda ini menjadi bagian dari tahap persiapan pelaksanaan MPM BDT tahun 2017 di 144 desa di Kabupaten Gunungkidul. Pada bulan Agustus-September 2017 ini, TKPKD Kabupaten Gunungkidul akan melakukan pelatihan MPM BDT di setiap kecamatan yang akan diikuti oleh seluruh perwakilan pemerintah desa setempat.

BDT yang dimutakhirkan setiap tahun ini telah disepakati sebagai data rujukan dalam perencanaan pembangunan desa dan kabupaten, dengan dukungan Sistem Informasi Desa (SID) dan Sistem Informasi Kabupaten (SIK) yang dikembangkan oleh Combine Resource Institution. Kolaborasi antara TKPD sebagai representasi dari Pemerintah Kabupaten Gunungkidul dengan Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Gunungkidul ini adalah salah satu model upaya untuk menjawab tantangan konsolidasi tata kelola data kesejahteraan dari tingkat desa, kabupaten, hingga tingkat nasional.

Pemutakhiran BDT Gunungkidul

Kabupaten.Gunungkidul. Pelatihan yang diikuti 8 desa di Gunungkidul ini merupakan kerjasama Combine Resource Institution dengan BAPPEDA Kabupaten Gunungkidul, Pusat Rehabilitasi YAKKUM, dan UCP Roda untuk Kemanusiaan.

Page 27: GERAKAN LITERASI DARI WARGA, UNTUK WARGA file2 KOMBINASI 69 | JULI-SEPTEMBER 2017 D ARI REDAKSI Pemimpin Redaksi: Idha Saraswati Redaktur Pelaksana: Apriliana Susanti Tim Redaksi:
Page 28: GERAKAN LITERASI DARI WARGA, UNTUK WARGA file2 KOMBINASI 69 | JULI-SEPTEMBER 2017 D ARI REDAKSI Pemimpin Redaksi: Idha Saraswati Redaktur Pelaksana: Apriliana Susanti Tim Redaksi: