Gerakan islamisasi nusantara

32
MAKALAH AIK GERAKAN ISLAMISASI DI NUSANTARA Disusun Oleh : Fuad Hasan (135 ) Fikar Firomdon P (142) Affandi Prianto (150) Zainal Muhtadi (155) JURUSAN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN

description

AIK

Transcript of Gerakan islamisasi nusantara

Page 1: Gerakan islamisasi nusantara

MAKALAH AIK

GERAKAN ISLAMISASI DI NUSANTARA

Disusun Oleh :

Fuad Hasan (135 )

Fikar Firomdon P (142)

Affandi Prianto (150)

Zainal Muhtadi (155)

JURUSAN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN

FAKULTAS PERTANIAN PETERNAKAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2015

Page 2: Gerakan islamisasi nusantara

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latarbelakang

Sejarah Islamisasi di Nusantara merupakan suatu rekonstruksi atau penggambaran

bagaimana kehidupan bangsa Indonesia dari awal masuknya agama Islam ke Nusantara,

sekarang telah mengalami perkembangannya melalui proses Islamisasi yang tersebar di

berbagai daerah di nusantara.

Penyebaran Islam di Indonesia di indikasikan dibawa oleh para pedagang dari berbagai

negara, pertumbumbuhan komunitas Islam bermula di berbagai pelabuhan-pelabuhan penting

di sumatera, jawa, dan daerah-daerah pesisir lainya. Sejarah Islamisasi di Nusantara juga

tidak terlepas dari aspek kehidupan raja-raja terdahulunya yang telah memberikan banyak

kebudayaan yang tetap kental dalam kehidupan masyarakat Indonesia, baik dalam

penyebaran agama Islam itu sendiri. Adapun salah satu contoh peninggalan jaman kerajaan

yang tetap berdiri kokok sampai sakarang adalah dengan berdirinya masjid Kudus yang

merupakan kolaborasi kehidupan antara agama Hindu dan Islam.

Dalam makalah ini kami akan sedikit menjelaskan tentang Sejarah perkembangan

islamisasi nusantara mulai dari awal masuknya agama Islam ke daerah-daerah di Indonesia

beserta teori – teorinya dan berkembang pesat islam dengan berbagai corak hingga sekarang

ini.

1.2 Tujuan

1. Teori – teori islamisasi nusantara.

2. Tahapan – tahapan perkembangan islam di nusantara

3. Corak islam di nusantara.

Page 3: Gerakan islamisasi nusantara

BAB II

PEMBAHASAN

2. 1 Teori Masuknya Islam ke Nusantara

Kepastian kapan dan dari mana Islam masuk di Nusantara memang tidak ada kejelasan.

Setidaknya ada tiga teori yang mencoba menjelaskan tentang itu. Yaitu: Teori Gujarat, Teori

Makkah, dan Teori Persia. Munculnya tiga teori yang berbeda ini, disinyalir oleh Ahmad

Mansur Suryanegara, akibat dari kurangnya informasi yang bersumber dari fakta peninggalan

agama Islam di Nusantara. Inskripsi tertua tentang Islam tidak menjelaskan tentang kapan

masuknya Islam di Nusantara. Pada Inskripsi tertua itu hanya membicarakan tentang adanya

kekuasaan politik Islam, Samudera Pasai pada abad ke-13 Masehi. Selain itu karena sulitnya

memastikan kapan masuknya Islam di Nusantara dihadapkan pada luasnya wilayah

kepulauan Nusantara (Suryanegara, 1995:73).

Ketiga teori tersebut berbeda pendapat mengenai: Pertama, waktu masuknya Islam.

Kedua, asal negara yang menjadi perantara atau sumber tempat pengambilan ajaran agama

Islam. Dan ketiga, pelaku penyebar atau pembawa Islam ke Nusantara.

2.1.1 Teori Gujarat

Teori ini merupakan teori tertua yang menjelaskan tentang masuknya Islam di

Nusantara. Dinamakan Teori Gujarat, karena bertolak dari pandangannya yang

mengatakan bahwa Islam masuk ke Nusantara berasal dari Gujarat, pada abad ke-13 M,

dan pelakunya adalah pedagang India Muslim. Ada dugaan bahwa peletak dasar teori ini

adalah Snouck Hurgronje, dalam bukunya L' Arabie et les Indes Neerlandaises atau

Revue de l'Histoire des Religious. Snouck Hurgronje lebih menitikberatkan

pandangannya ke Gujarat berdasarkan pada: Pertama, kurangnya fakta yang menjelaskan

peranan bangsa Arab dalam penyebaran Islam di Nusantara. Kedua, adanya kenyataan

hubungan dagang India-Indonesia yang telah lama terjalin. Ketiga, inskripsi tertua

tentang Islam yang terdapat di Sumatera memberikan gambaran hubungan antara

Sumatera dan Gujarat.

Teori berpendapat bahwa agama Islam masuk ke Indonesia pada abad 13 dan

pembawanya berasal dari Gujarat (Cambay), India. Dasar dari teori ini adalah :

a. Kurangnya fakta yang menjelaskan peranan bangsa Arab dalam proses islamisasi

b. Adanya hubungan dagang antara India – Nusantara yang telah lama terjalin

Page 4: Gerakan islamisasi nusantara

c. Inskripsio tertua tentang Islam yang terdapat di Sumatera yang menggambarkan

hubungan Sumatera dan Gujarat.

Pendukung teori Gujarat adalah Snouck Hurgronye, WF Stutterheim dan Bernard

H.M. Vlekke. Para ahli yang mendukung teori Gujarat, lebih memusatkan perhatiannya

pada saat timbulnya kekuasaan politik Islam yaitu adanya kerajaan Samudra Pasai. Hal

ini juga bersumber dari keterangan Marcopolo dari Venesia (Italia) yang pernah singgah

di Perlak ( Perureula) tahun 1292. Ia menceritakan bahwa di Perlak sudah banyak

penduduk yang memeluk Islam dan banyak pedagang Islam dari India yang

menyebarkan ajaran Islam.

2.1.2 Teori Makkah

Teori ini dicetuskan oleh Hamka dalam pidatonya pada Dies Natalis PTAIN ke-8

di Yogyakarta (1958), sebagai antitesis -untuk tidak mengatakan sebagai koreksi- teori

sebelumnya, yakni teori Gujarat. Di sini Hamka menolak pandangan yang mengatakan

bahwa Islam masuk ke Nusantara pada abad ke-13 dan berasal dari Gujarat.

Selanjutnya Hamka dalam Seminar Sejarah Masuknya Agama Islam di Indonesia

(1963) lebih menguatkan teorinya dengan mendasarkan pandangannya pada peranan

bangsa Arab sebagai pembawa agama Islam ke Indonesia, kemudian diikuti oleh orang

Persia dan Gujarat. Gujarat dinyatakan sebagai tempat singgah semata, dan Makkah

sebagai pusat, atau Mesir sebagai tempat pengambilan ajaran Islam.

Hamka menolak pendapat yang mengatakan bahwa Islam baru masuk pada abad

13, karena kenyataanya di Nusantara pada abad itu telah berdiri suatu kekuatan politik

Islam, maka sudah tentu Islam masuk jauh sebelumnya yakni abad ke-7 Masehi atau

pada abad pertama Hijriyah.

Guna dapat mengikuti lebih lanjut mengenai pendapat tentang masuknya Islam ke

Nusantara abad ke-7, perlu kiranya kita mengetahui terlebih dahulu tentang peranan

bangsa Arab dalam perdagangan di Asia yang dimulai sejak abad ke-2 SM. Peranan ini

tidak pernah dibicarakan oleh penganut teori Gujarat. Tinjauan teori Gujarat

menghapuskan peranan bangsa arab dalam perdagangan dan kekuasaannya di lautan,

yang telah lama mengenal samudera Indonesia dari pada bangsa-bangsa lainnya.

Selain itu Hamka juga mempunyai argumentasi lain yang menjadikan dirinya

begitu yakin bahwa Islam yang masuk ke Nusantara berasal dari daerah asalnya, Timur

Tengah, yaitu

Page 5: Gerakan islamisasi nusantara

pengamatannya pada masalah madzhab Syafi'i, sebagai madzhab yang istimewa

di Makkah dan mempunyai pengaruh terbesar di Indonesia. Analisis pada madzhab

Syafi'i inilah yang menjadikan Hamka berbeda dengan sejarawan Barat atau orientalis.

Pengamatan ini dilupakan oleh para sejarawan Barat sebelumnya, sekalipun mereka

menggunakan sumber yang sama, yakni laporan kunjungan Ibnu Battutah ke Sumatera

dan Cambay. Tetapi karena titik analisisnya adalah permasalahan perdagangan,

sehingga yang terbaca adalah barang yang diperdagangkan dan jalur perdagangannya.

Sebaliknya Hamka lebih tajam lagi merasuk pada permasalahan madzhab yang menjadi

bagian isi laporan kunjungan tersebut.

Argumentasi Hamka ini tidak lepas dari kritik, diantaranya ialah adanya kesulitan

dalam membedakan antara ajaran Syi'ah dengan madzhab Syafi'i. Juga adanya

kenyataan peninggalan upacara Syi'ah dalam masyarakat Indonesia seperti, peringatan

10 Muharram atau Asyura dan Tabut Hasan Husain. Cara membaca al-Qur`an pun

mempunyai kesamaan dengan Persia dari pada Arab.

Menanggapi kritikan di atas, Hamka mengingatkan kembali tentang sikap umat

Islam Indonesia yang menyukai sejarah Hasan Husain, dan juga menampakkan

kecintaan yang dalam terhadap keluarga Nabi Muhammad, tetapi hal itu tidak berarti

menganut paham Syi'ah. Selain itu, Hamka juga mengakui adanya peninggalan ajaran

Syi'ah di Indonesia, tetapi ia menolak dengan keras usaha sementara sarjana -terutama

para orientalis- yang mencoba memberikan informasi sejarah yang bertujuan

memisahkan Islam Indonesia dengan Makkah dan Arab dengan bahasa Arabnya.

Teori ini merupakan teori baru yang muncul sebagai sanggahan terhadap teori

lama yaitu teori Gujarat. Teori Makkah berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia

pada abad ke 7 dan pembawanya berasal dari Arab (Mesir). Dasar teori ini adalah:

a. Peranan bangsa Arab Sebagai pembawa Agama Islam ke Indonesia, kemudian

diikuti oleh orang Persia dan Gujarat. Gujarat dinyatakan sebagai tempat singgah

semata, dan Makkah sebagai pusat, atau Mesir sebagai tempat pengambilan ajaran

islam

b. Berdirinya suatu kekuatan politik Islam di nusantara pada abad ke-7M atau abad

pertama Hijriyah

c. Pengamatan tentang madzhab Syafi’i sebagai madzhab istimewa di Makkah yang

mempunyai pengaruh terbesar di Indonesia

Page 6: Gerakan islamisasi nusantara

Pendukung teori Makkah ini adalah Hamka, Van Leur dan T.W. Arnold. Para ahli

yang mendukung teori ini menyatakan bahwa abad 13 sudah berdiri kekuasaan politik

Islam, jadi masuknya ke Indonesia terjadi jauh sebelumnya yaitu abad ke 7 dan yang

berperan besar terhadap proses penyebarannya adalah bangsa Arab sendiri.

2.1.3 Teori Persia

Pencetus teori ini adalah P.A. Hoesein Djajadiningrat. Teori ini berpendapat

bahwa agama Islam yang masuk ke Nusantara berasal dari Persia, singgah ke Gujarat,

sedangkan waktunya sekitar abad ke-13. Nampaknya fokus Pandangan teori ini berbeda

dengan teori Gujarat dan Makkah, sekalipun mempunyai kesamaan masalah

Gujaratnya, serta Madzhab Syafi'i-nya. Teori yang terakhir ini lebih menitikberatkan

tinjauannya kepada kebudayaan yang hidup di kalangan masyarakat Islam Indonesia

yang dirasakan memiliki persamaan dengan Persia (Morgan, 1963:139-140). Di

antaranya adalah:

Pertama, Peringatan 10 Muharram atau Asyura sebagai hari peringayan Syi'ah

atas syahidnya Husein. Peringatan ini berbentuk pembuatan bubur Syura. Di

Minangkabau bulan Muharram disebut bulan Hasan-Husein. Di Sumatera Tengah

sebelah barat disebut bulan Tabut, dan diperingati dengan mengarak keranda Husein

untuk dilemparkan ke sungai. Keranda tersebut disebut tabut diambil dari bahasa arab.

Kedua, adanya kesamaan ajaran antara Syaikh Siti Jenar dengan ajaran Sufi Iran

al-Hallaj, sekalipun al-Hallaj telah meninggal pada 310H / 922M, tetapi ajarannya

berkembang terus dalam bentuk puisi, sehingga memungkinkan Syeikh Siti Jenar yang

hidup pada abad ke-16 dapat mempelajarinya.

Ketiga, penggunaan istilah bahasa Iran dalam sistem mengeja huruf Arab, untuk

tanda-tanda bunyi harakat dalam pengajian al-Qur`an tingkat awal:

Huruf Sin yang tidak bergigi berasal dari Persia, sedangkan Sin bergigi berasal

dari Arab.

Keempat, nisan pada makam Malik Saleh (1297) dan makam Malik Ibrahim

(1419) di Gresik dipesan dari Gujarat. Dalam hal ini teori Persia mempunyai kesamaan

muthlak dengan teori Gujarat.

Kelima, pengakuan umat Islam Indonesia terhadap madzhab Syafi'i sebagai

madzhab utama di daerah Malabar. Di sini ada sedikit kesamaan dengan teori Makkah,

cuman yang membedakannya adalah P.A. Hoesein Djajadiningrat di satu pihak melihat

salah satu budaya Islam Indonesia kemudian dikaitkan dengan kebudayaan Persia,

Page 7: Gerakan islamisasi nusantara

tetapi dalam memandang madzhab Syafi'i terhenti ke Malabar, tidak berlanjut sampai

ke pusat madzhab itu, yakni di Makkah.

Kritikan untuk teori Persia ini dilontarkan oleh K.H. Saifuddin Zuhri. Ia

menyatakan sukar untuk menerima pendapat tentang kedatangan Islam ke Nusantara

berasal dari Persia. Alasannya bila kita berpedoman pada masuknya Islam ke Nusantara

pada abad ke-7, hal ini berarti terjadi pada masa kekuasaan Khalifah Umayyah. Saat itu

kepemimpinan Islam di bidang politik, ekonomi dan kebudayaan berada di tangan

bangsa Arab, sedangkan pusat pergerakan Islam berkisar di Makkah, Madinah,

Damaskus dan Bagdad, jadi belum mungkin Persia menduduki kepemimpinan dunia

Islam.

Dari uraian tentang tiga teori masuknya Islam ke Nusantara di atas, dapat dilihat

beberapa perbedaan dan kesamaannya:

Pertama, teori Gujarat dan Persia mempunyai persamaan pandangan mengenai

masuknya agama Islam ke Nusantara berasal dari Gujarat. Perbedaannya terletak pada

teori Gujarat yang melihat ajaran Islam di Indonesia mempunyai kesamaan ajaran

dengan mistik di India. Sedangkan teori Persia memandang adanya kesamaan dengan

ajaran Sufi di Persia. Gujarat dipandangnya sebagai daerah yang dipengaruhi oleh

Persia, dan menjadi tempat singgah ajaran Syi'ah ke Indonesia.

Kedua, dalam hal Gujarat sebagai tempat singgah, teori Persia mempunyai

persamaan dengan teori Makkah, tetapi yang membedakannya adalah teori Makkah

memandang Gujarat sebagai tempat singgah perjalanan perjalanan laut antara Indonesia

dengan Timur Tengah, sedangkan ajaran Islam diambilnya dari Makkah atau dari

Mesir.

Ketiga, teori Gujarat dan Persia keduanya tidak memandang peranan bangsa Arab

dalam perdagangan, juga tidak dalam islamisasi di Nusantara. Dalam hal ini keduanya

lebih memandang pada peranan orang India Muslim. Oleh karena itu bertolak dari

laporan Marco Polo keduanya meyakini Islam masuk di Nusantara pada abad ke-13.

Sebaliknya teori Makkah lebih meyakini Islam masuk di Nusantara pada abad ke-7,

karena abad ke-13 dianggap sebagai saat-saat perkembangan Islam di Nusantara.

Keempat, dalam melihat sumber negara yang mempengaruhi Islam di Nusantara,

teori Makkah lebih berpendirian pada Makkah dan Mesir dengan mendasarkan

tinjauannya pada besarnya pengaruh madzhab Syafi'i di Indonesia. Sedangkan teori

Persia, meskipun mengakui pengaruh madzhab Syafi'i di Indonesia tetapi, bagi teori ini,

Page 8: Gerakan islamisasi nusantara

hal itu merupakan pengaruh madzhab Syafi'i yang berkembang di Malabar, oleh karena

itu teori ini lebih menunjuk India sebagai negara asal Islam Indonesia.

Walaupun dari analisa perbandingan di atas ketiga teori tersebut lebih

menampakkan tajamnya perbedaan dari pada persamaan, namun ada titik temu yang

bisa disimpulkan yakni, bahwa pertama, Islam masuk dan berkembang di Nusantara

melalui jalan damai (infiltrasi kultural), dan kedua, Islam tidak mengenal adanya missi

sebagaimana yang dijalankan oleh kalangan Kristen dan Katolik.

2.2 Tahap-tahap Perkembangan

2.2.1 Kehadiran para pedagang Muslim (7 - 12 M)

Fase ini diyakini sebagai fase permulaan dari proses sosialisasi Islam di kawasan

Asia Tenggara, yang dimulai dengan kontak sosial budaya antara pendatang Muslim

dengan penduduk setempat.

Pada fase pertama ini, tidak ditemukan data mengenai masuknya penduduk asli ke

dalam Islam. Bukti yang cukup jelas mengenai hal ini baru diperoleh jauh kemudian,

yakni pada permulaan abad ke-13 M / 7 H. Sangat mungkin dalam kurun abad ke 1

sampai 4 H terdapat hubungan perkawinan antara pedagang Muslim dengan penduduk

setempat, hingga menjadikan mereka beralih menjadi Muslim. Tetapi ini baru pada tahap

dugaan.

Walaupun di Leran - Gresik, terdapat sebuah batu nisan bertuliskan Fatimah binti

Maimun yang wafat pada tahun 475 H / 1082 M. Namun dari bentuknya, nisan itu

menunjukkan pola gaya hias makam dari abad ke-16 M seperti yang ditemukan di

Campa, yakni berisi tulisan yang berupa do'a-do'a kepada Allah. Sehingga ada yang

berpendapat bahwa penulis nisan itu adalah seorang Syi'ah. Ini diketahui karena mereka

adalah Muslim pendatang yang sebelumnya bermukim di Timur Jauh (op.Cit, 1998:56).

2.2.2 Terbentuknya kerajaan Islam (13-16M)

Pada fase kedua ini, Islam semakin tersosialisasi dalam masyarakat Nusantara

dengan mulai terbentuknya pusat kekuasaan Islam. Kerajaan Samudera Pasai diyakini

sebagai kerajaan Islam pertama di Indonesia. Bukti paling kuat yang menjelaskan tentang

itu adalah ditemukannya makam Malik al-Shaleh yang terletak di kecamatan Samudera

di Aceh Utara. Makam tersebut menyebutkan bahwa, Malik al-Shaleh wafat pada bulan

Ramadhan 696 H/ 1297 M. Dalam Hikayat Raja-Raja Pasai dan Sejarah Melayu Malik,

Page 9: Gerakan islamisasi nusantara

dua teks Melayu tertua, Malik al-Shaleh digambarkan sebagai penguasa pertama

kerajaan Samudera Pasai.

Pada akhir abad ke-13 kerajaan Samudera Pasai merebut jalur perdagangan di Selat

Malaka yang sebelumnya dikuasai oleh kerajaan Sriwijaya. Hal ini terus berlanjut hingga

pada permulaan abad ke-14 berdiri kerajaan Malaka di Semenanjung Malaysia.

Sultan Mansyur Syah ( 1477 M) adalah sultan keenam Kerajaan Malaka yang

membuat Islam sangat berkembang di Pesisir timur Sumatera dan Semenanjung Malaka.

Di bagian lain, di Jawa saat itu sudah memperlihatkan bukti kuatnya peranan kelompok

Masyarakat Muslim, terutama di pesisir utara. Kehadiran makam-makam kuno di

Troloyo dekat Trowulan, dengan angka tahun tertua yang tertulis adalah 1290 caka 1368-

1369M telah menarik perhatian tentang kemungkinan adanya masyarakat Muslim di

dekat pusat kerajaan Majapahit. Dan sejak akhir abad ke-15 pusat-pusat perdagangan di

pesisir utara, yakni Gresik, Demak, Cirebon dan Banten telah menunjukkan kegiatan

keagamaan oleh para wali di Jawa. Kegiatan itu mulai tampak sebagai kekuatan politik di

pertengahan abad ke-16 ketika kerajaan Demak sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa

berhasil merebut ibukota Majapahit. Sejak itu perkembangan Islam di Jawa telah dapat

berperan secara politik, di mana para wali dengan bantuan kerajaan Demak, kemudian

Pajang dan Mataram dapat meluaskan perkembangan Islam tidak saja ke seluruh daerah-

daerah penting di Jawa, tetapi juga di luar Jawa, khususnya oleh para mubaligh (da'i) di

Gresik dan Demak. Mereka bahkan berhasil meluaskan pengaruh Islam ke Banjarmasin,

Hitu, Ternate dan Tidore serta Lombok.

2.2.3 Pelembagaan Islam

Pada fase ini sosialisasi Islam semakin tak terbendung lagi masuk ke pusat-pusat

kekuasaan, merembes terus sampai hampir ke seluruh wilayah Nusantara. Hal ini tidak

bisa dilepaskan dari peranan para penyebar dan pengajar Islam. Mereka menduduki

berbagai jabatan dalam struktur birokrasi kerajaan, dan banyak diantara mereka kawin

mawin dengan penduduk pribumi. Dengan kata lain, Islam dikukuhkan di pusat-pusat

kekuasaan di Nusantara melalui jalur perdagangan, perkawinan dengan elit birokrasi dan

ekonomi, di samping dengan sosialisasi langsung pada masyarakat bawah.

Pengaruh islamisasi yang pada awalnya hanya berpusat di Pasai telah jauh meluas

ke Aceh di Pesisir Sumatera, semenanjung Malaka, Demak, Gresik, Banjarmasin,

lombok, dsb. Ini terbukti dengan ditemukannya bentuk-bentuk makam di semenanjung

Malaka, terutama batu nisannya, yang menyerupai bentuk-bentuk batu nisan di Aceh. Di

komplek pemakaman Sultan Suriansyah (Raden Samudra) yang terletak di Kuwin,

Page 10: Gerakan islamisasi nusantara

Banjarmasin, terdapat batu nisan yang mempunyai tipologi sama dengan bentuk nisan

Demak dan Gresik. Begitu pula di komplek pemakaman kuno Seloparang -menurut

tradisi setempat diislamkan Sunan Prapen dari Giri- ditemukan sebuah batu nisan yang

memiliki gaya Jawa Timur.

2.3 Islamisasi Jawa: Kasus Wali Sanga

Peran wali Sanga dalam penyebaran Islam di Indonesia, terutama di Jawa

nampaknya tidak dapat di sangkal lagi. Besarnya jasa mereka dalam mengislamkan tanah

Jawa telah menjadi catatan yang masyhur dalam kesadaran masyarakat Islam Jawa3. Ada

yang menganggap “Walisongo”-lah perintis awal gerakan dakwah Islam di Indonesia.

Karena jika dilihat pada fase sebelumnya, islamisasi di Nusantara lebih dilaksanakan oleh

orang perorangan tanpa manajemen organisasi. Tetapi dalam kasus Walisanga ini, aspek

manajemen keorganisasian telah mereka fungsikan. Yakni, mereka dengan sengaja

menempatkan diri dalam satu kesatuan organisasi dakwah yang diatur secara rasional,

sistematis, harmonis, tertentu dan kontinue serta menggunakan strategi, methode dan

fasilitas dakwah yang betul-betul efektif.

Widji Saksono dalam bukunya “Mengislamkan tanah Jawa..” mengisyaratkan

bahwa apabila berita tentang Walisanga dikumpulkan dan dipelajari, antara lain dari serat

Walisana dan dari Primbon milik Prof. K.H.R. Moh. Adnan maka didapati suatu

kesimpulan, bahwa secara keseluruhan –kecuali Syeikh Siti Jenar- Walisanga merupakan

satu kesatuan organisasi. Yaitu organisasi yang dapat diidentikkan sebagai panitia ad hoc

atau kanayakan (kabinet) urusan mengislamkan masyarakat Jawa.

Untuk menunjukkan bahwa lembaga dakwah Walisanga bersifat teratur dan

kontinue, Saudi Berlian dalam menyunting bukunya Widji Saksono, menunjukkan paling

tidak lembaga Walisanga telah mengalami empat kali periode sidang penggantian

„pengurus‟. Periode I: Malik Ibrahim, Ishaq, Ahmad Jumad al-Kubra, Muhammad al-

Maghribi, Malik Israil, Muhammad al-Akbar, Hasanuddin, Aliyuddin dan Subakir.

Periode II: Komposisi kepengurusan dilengkapi oleh Raden Ahmad Ali Rahmatullah

(Sunan Ampel) menggantikan Malik Ibrahim yang telah wafat, Ja‟far Shadiq (Sunan

Kudus) menggantikan Malik Israil yang telah wafat, Syarif Hidayatullah menggantikan

Ali Akbar yang telah wafat. Periode III: masuk Raden Paku (Sunan Giri) menggantikan

Ishaq yang pindah ke Pasai, Raden Said (Sunan Kalijaga) menggantikan Syeikh Subakir

yang kembali ke Persia, Raden Makdum Ibrahim (Sunan Bonang) menggantikan Maulana

Page 11: Gerakan islamisasi nusantara

Hasanuddin yang telah Wafat, Raden Qasim (Sunan Drajat) menggantikan Aliyuddin yang

telah wafat. Periode IV: masuk Raden Hasan (Raden Fatah) dan Fathullah Khan, keduanya

menggantikan Ahmad Jumad al-Kubra dan Muhammad al-Maghribi. Periode V: masuk

Sunan Muria. Tidak dijelaskan tokoh ini menggantikan siapa, tetapi besar kemungkinan

menggantikan Raden Fatah yang naik tahta sebagai Sultan I Demak (Ibid, 22).

Selanjutnya, dalam menyebarkan Islam di tanah Jawa Walisanga telah

menggunakan beberapa strategi dan metode dakwah. Diantaranya adalah dengan

memobilisasi semua alat ta'tsir psikologis yang berupa sensasi, conciliare, sugesti, hipnotis

sampai de cere. Karena sensasi inilah masyarakat awam dipaksa secara halus untuk

menaruh perhatian kepada para wali dan mengesampingkan yang lainnya. Karena

conciliare, publik akhirnya mengganggap penting apa saja yang datang dari para wali.

Karena sugesti, rakyat didorong berbuat sesuatu sehingga bergerak tanpa banyak tanya.

Karena hipnotis, rakyat terpukau akan segala sesuatu yang bermerk para wali tanpa

banyak selidik dan kritik. Selanjutnya karena de cere, para wali dapat mengendalikan dan

mengarahkan awam sebagai obyek dakwahnya ke mana saja yang mereka kehendaki.

Selain strategi yang bersifat psikilogis, Walisanga juga menerapkan strategi (pendekatan)

politis. Ini tercermin dalam langkah-langkah yang diambil terutama oleh Raden Patah

ketika mendirikan kerajaan Demak (Sofwan, 2000:258).

Widji Saksono mencatat bahwa Walisanga meneladani pendekatan Rasulullah

SAW. dalam berdakwa, yaitu: Bi al-hikmah wa al-Mau'idhah hasanah wa jadilhum billati

hiya ahsan. Sebagai praktek dari mau'idhah hasanah, Walisanga memperlakukan sasaran

dakwah, terutama tokoh khusus, dengan profesional dan istimewa, langsung pribadi

bertemu pribadi. Kepada mereka diberikan keterangan, pemahaman dan perenungan

(tazkir) tentang Islam, peringatan-peringatan dengan lemah lembut, bertukar pikiran dari

hati ke hati, penuh toleransi dan pengertian. Metode ini dapat dilihat pada kasus Sunan

Ampel ketika mengajak Ariya Damar dari Palembang masuk Islam. Juga pada Sunan

Kalijaga ketika mengajak Adipati Pandanarang di Semarang untuk masuk Islam.

Pendekatan al-Hikmah, Walisanga menggunakannya dengan jalan kebijaksanaan

yang diselenggarakan secara populer, atraktif dan sensasional. Pendekatan ini mereka

pergunakan terutama dalam menghadapi masyarakat awam. Dalam rangkaian ini kita

dapati kisah Sunan Kalijaga dengan gamelan Sekatennya. Atas usul Sunan Kalijaga, maka

dibuatlah keramaian Sekaten atau Syahadatain yang diadakan di Masjid Agung dengan

memukul gamelan yang sangat unik dalam hal langgam dan lagu maupun komposisi

instrumental yang telah lazim selama ini. Begitu juga dakwah Sunan Kudus dengan

Page 12: Gerakan islamisasi nusantara

lembunya yang dihias secara unik dan nyentrik. Apabila kedua pendekatan ini tidak

berhasil, barulah mereka menempuh jalan lain yaitu al-Mujadalah billati hiya ahsan.

Pendekatan ini terutama diterapkan terhadap tokoh yang secara terus terang menunjukkan

sikap kurang setuju terhadap Islam.Walisanga juga memakai strategi tarbiyatul ummah,

terutama sebagai upaya pembentukan dan penanaman kader, serta strategi penyebaran juru

dakwah ke berbagai daerah. Sunan Kalijaga misalnya mengkader Kiai Gede Adipati

Pandanarang (Sunan Tembayat) dan mendidik Ki Cakrajaya dari Purworejo kemudian

mengirimnya ke Lowanu untuk mengislamkan masyarakat di sana. Sunan Ampel

mengkader Raden Patah kemudian menyuruhnya berhijrah ke hutan Bintara, membuat

perkampungan dan kota baru dan mengimami masyarakat yang baru terbentuk itu. Untuk

penyebaran juru dakwah dan pembagian wilayah kerja Walisanga, digambarkan oleh

Mansur Suryanegara, mempunyai dasar pertimbangan geostrategis yang mapan sekali.

Pembagian itu memakai rasio: 5 : 3 : 1.

Jawa Timur mendapat perhatian besar dari para wali. Di sini ditempatkan 5 Wali

dengan pembagian teritorial dakwah yang berbeda. Maulana Malik Ibrahim, sebagai wali

perintis, mengambil wilayah dakwanya di Gresik. Setelah wafat wilayah ini diambil alih

oleh Sunan Giri. Sunan Ampel mengambil posisi dakwahnya di Surabaya. Sunan Bonang

sedikit ke utara di Tuban. Sedangkan Sunan Drajat di Sedayu. Berkumpulnya kelima wali

di Jawa Timur adalah karena kekuasaan politik saat itu berpusat di wilayah ini. Kerajaan

Kediri di Kediri dan Majapahit di Mojokerto.

Di Jawa Tengah para wali mengambil posisi di Demak, Kudus dan Muria. Sasaran

dakwah para wali di Jawa Tengah tentu berbeda dengan yang di Jawa Timur. Di Jawa

Tengah dapat dikatakan bahwa pusat kekuasaan Hindu dan Budha sudah tidak berperan,

tetapi realitas masyarakatnya masih banyak dipengaruhi oleh budaya Hindu dan Budha.

Sehingga dalam berdakwah Walisanga di Jawa Tengah ini banyak menggunakan

instrumen budaya lokal, seperti wayang, gong gamelan dll, untuk dimodifikasi sesuai

dengan ajaran Islam. Saat berlangsung aktivitas ketiga wali tersebutm pusat kekuasaan

politik dan ekonomi beralih ke Jawa Tengah runtuhnya Majapahit dan munculnya kerajaan

Demak, yang disusul kemudian dengan lahirnya kerajaan Pajang dan Mataram II.

Perubahan kondisi politik seperti ini memungkinkan ketiga tempat tersebut mempunyai

arti geostrategis yang menentukan Sedangkan di Jawa Barat proses islamisasinya hanya

ditangani oleh seorang Wali, yaitu Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Dengan

pertimbangan saat itu penyebaran ajaran Islam di Indonesia Barat, terutama di Sumatera

dapat dikatakan telah merata bila dibandingkan dengan kondisi Indonesia Timur. Adapun

Page 13: Gerakan islamisasi nusantara

pemilihan kota Cirebon sebagai pusat aktivitas dakwah Sunan Gunung Jati, hal itu tidak

bisa dilepaskan hubungannya dengan jalan perdagangan rempah-rempah sebagai komoditi

yang berasal dari Indonesia Timur. Dan Cirebon merupakan merupakan pintu perdagangan

yang mengarah ke Jawa Tengah, Indonesia Timur dan Indonesia Barat. Oleh karena itu,

pemilihan Cirebon dengan pertimbangan sosial politik dan ekonomi saat itu, mempunyai

nilai geostrategis, geopolitik dan geoekonomi yang menentukan keberhasilan Islam

selanjutnya.

Demikianlah beberapa strategi dan pendekatan yang dipakai oleh Walisanga dalam

menyebarkan Islam di tanah Jawa. Dan apabila dikaji lebih mendalam, maka akan didapati

beberapa bentuk metode dakwah Walisanga, di antaranya:

Pertama, melalui perkawinan. Diceritakan dalam Babad Tanah Jawi di antaranya

bahwa Raden Rahmad (Sunan Ampel) dalam rangka memperkuat dan memperluas

dakwahnya ia menempuh, salah satunya, dengan menjalin hubungan genealogis. Beliau

menikahkan putrinya, Dewi Murthosiah dengan Raden Ainul Yakin dari Giri. Dewi

Murthosimah dengan Raden Patah. Alawiyah dengan Syarif Hidayatullah. Dan putrinya

yang lain, Siti Sariyah dengan Usman Haji dari Ngudung.

Kedua, dengan mengembangkan pendidikan pesantren. Langkah persuasif dan

edukatif ini mula-mula dipraktekkan oleh Syeikh Maulana Malik Ibrahim di Gresik,

kemudian dikembangkan dan mencapai kemajuannya oleh Sunan Ampel di desa Ampel

Denta Surabaya.

Ketiga, mengembangkan kebudayaan Jawa dengan memberi muatan nilai-nilai

keislaman, bukan saja pada pendidikan dan pengajaran tetapi juga meluas pada bidang

hiburan, tata sibuk, kesenian dan aspek-aspek lainnya. Seperti Wayang, Sekatenan,

Falasafah luku dan pacul Sunan Kalijaga.

Keempat, metode dakwah melalui sarana prasarana yang berkaitan dengan masalah

perekonomian rakyat. Seperti tampilnya Sunan Majagung sebagai nayaka (mentri) urusan

ini. Beliau memikirkan masalah halal haram, masak memasak, makan-makanan dll. Untuk

efesiensi kerja, beliau berijtihad dengan menyempurnakan alat-alat pertanian, perabot

dapur, barang pecah belah. Begitu juga Sunan Drajat tampil dengan menyempurnakan alat

transfortasi dan bangun perumahan.

Kelima, dengan sarana politik. Dalam bidang politik kenegaraan Sunan Giri tampil

sebagai ahli negara Walisanga yang menyusun peraturan-peraturan ketataprajaan dan

pedoman tatacara keraton. Begitu juga Sunan Kudus yang ahli dalam perundang-

undangan, pengadilan dan mahkamah. Sebagai penutup untuk pembahasan tentang

Page 14: Gerakan islamisasi nusantara

islamisasi Jawa oleh Walisanga, setidaknya ada dua faktor elementer yang menopang

keunggulan dan keistimewaan dakwah para wali. Pertama, inklusifitas para wali dalam

melihat ajaran Islam. Kedua, potensi dan keunggulan yang dimiliki oleh para wali. Mereka

telah membuktikan diri sebagai mujtahid ulung yang memahami Islam tidak saja sebagai

teori abstrak tetapi juga sebagai realitas historis kemanusiaan.

2.4 Faktor Penyebab Islam Cepat Berkembang Di Indonesia

Faktor internal yang menyebabkan perkembangan islam cepat di Indonesia:

a) Ajarannya sederhana, mudah dimengerti dan diterima serta Ajaran islam

melaksanakan prinsip ketauhidan.

b) agama islam tidak mengenal kasta, sehingga semua orang boleh untuk memeluk

agama

c) Karena daya lentur (flesibilitas) ajaran Islam

d) Islam adalah agama damai

e) Islam dianggap sebagai institusi yang sangat dominan untuk menghadapi dan

melawan ekspansi pengaruh barat yang mengobarkan penjajahan dan menyebarkan

agama kristen.

Sedangkan faktor eksternal yang mendorong perkembangan islam di Indonesia adalah

sebagai berikut:

a) Jatuhnya kota Bagdad kepada bangsa Mongolia pada tahun 1258 M, menyebabkan

gelombang urbanisasi ke India dan asia Tengah secara besar-besaran.

b) Banyaknya para sufi, penganut tarikat, mengembara bersedia mendakwahkan Islam

dengan suka rela ke seluruh dunia.

c) Jaringan perdagangan internasional, dijadikan sebagai sarana penyebaran ajaran

Islam.

d) jatuhnya Kerajaan Majapahit dan Sriwijaya menyebabkan kerajaan islam

berkembang pesat.

Page 15: Gerakan islamisasi nusantara

2.5 Corak Islam Di Nusantara

Menurut Clifford Geertz islam di indonesia terbagi menjadi 3 corak yaitu :

a. Santri

Mojokuto yang berdiri pada pertengahan akhir abad ke-19, jemaah muslimnya

terkristal dalam latar abangan yang umum. Sementara mereka yang terdiri dari

kelas pedagang dan banyak petani muncul dari utara Jawa memunculkan varian

santri. Perbedaan yang mencolok antara abangan dan santri adalah jika abangan

tidak acuh terhadap doktrin dan terpesona kepada upacara, sementara santri lebih

memiliki perhatian kepada doktrin dan mengalahkan aspek ritual Islam yang

menipis. Santri juga lebih peduli kepada pengorganisasian sosial umat di

sekeliling mereka. Di Mojokuto, ada empat lembaga sosial yang utama; parpol

Islam, sistem sekolah agama, birokrasi pemerintah/Depag, dan jamaah

masjid/langgar. Keempatnya berpautan baik pada santri yang modern dan kolot.

Pembagian santri modern dan konservatif oleh Geertz didasarkan pada 5

perbedaan tafsir keduanya; kehidupan yang ditakdirkan lawan kehidupan yang

ditentukan sendiri, pandangan yang totalistik lawan terbatas, Islam sinkretik lawan

Islam murni, perhatian kepada pengalaman religius lawan penekanan aspek

instrumental agama, pembenaran atas tradisi dan madzhab lawan pembenaran

purifikasi secara umum dan pragmatis. Sehingga pandangan dunia santri kolot

sebenarnya lebih dekat kepada abangan. Hubungan santri modernis dan

konservatif lebih kepada penyikapan terhadap abangan. Jika modernis

menekankan disasosiasi dan purifikasi dalam sebuah kelompok kecil pemimpin

agama kaum konservatif mencoba mengambil jalan tengah yang selaras dengan

tradisi yang berlaku.

Untuk mempertahankan doktrin santri mereka mengembangkan pola

pendidikan yang khusus dan terus menerus. Di antaranya pondok (pola santri

tradisional), langgar dan masjid (komunitas santri lokal), kelompok tarekat (mistik

Islam tradisonal) dan model sekolah yang diperkenalkan oleh gerakan modernis.

Pertemuan antara pola pondok dan sekolah memunculkan varian pendidikan baru

dan upaya santri memasukkan pelajaran doktrin pada sekolah negeri/sekuler.

Terkait ide negara Islam, santri konservatif memahaminya sebagai teokrasi di

mana para kyailah yang berkuasa. Sementara modernis berpandangan ada jaminan

non muslim tidak menjadi kepala negara dan konstitusi yang mencantumkan

Page 16: Gerakan islamisasi nusantara

hukum harus sesuai dengan jiwa al-Quran dan Hadis dan menyerahkan

pelaksanaannya pada pembuat Undang-undang. Geertz memandang Depag

merupakan kompromi kedua santri terhadap keberadaan negara nasional. Pada

akhirnya terjadi rivalitas kedua santri menguasai birokrasi di Depak.

Pola ibadat santri yang meliputi sembahyang, shalat Jumat dan puasa di

Mojokuto dalam beberapa masalah masih terpengaruh oleh perbedaan santri

modernis dan konservatif. Di antaranya persoalan khutbah, teraweh, tadarus dan

akhir liburan puasa. Terkait shalat itulah yang secara tegas membedakan antara

santri dengan abangan dan priyayi.

b. Priyayi

mewakili aristokrasi Jawa. Kebanyakan mereka berdiam di kota yang

disebabkan ketidakstabilan politik dalam kerajaan masa pra-kolonial, karena

filsafat mereka yang melihat ke dalam yang lebih menghargai prestasi mistik

daripada keterampilan politik, upaya Belanda merangkul petani. Mereka adalah

birokrat, klerk/juru tulis, guru bangsawan yang makan gaji. Priyayi asalnya adalah

keturunan raja-raja besar Jawa yang tersisa merupakan hasil dari kehidupan kota

selama hampir 16 abad., namun berkembang oleh campur tangan Belanda kepada

kelompok instrumen administrasi pemerintahan.

Priyayi memandang dunia ini dengan konsep alus dan kasar. Alus menunjuk

pada murni, berbudi halus, tingkah laku yang halus, sopan, indah, lembut, beradab

dan ramah. Simbolnya adalah tradisi kromo-inggil, kain bagus yang alus, musik

alus. Dan konsep alus ini bisa menunjuk apa saja yang semakna dengan alus.

Lawan dari alus adalah kasar dan merupakan kebalikan dari alus, bahasa kasar,

tingkah laku kasar. Konteks priyayi bertemu dengan abangan dalam hal alus dan

kasar. Sementara titik kehidupan “keagamaan†� priyayi berpusat etiket, seni

dan mistik. Yang menggabungkan unsur ketiganya adalah rasa.

Ada empat prinsip pokok yang menjiwai etiket priyayi yakni bentuk yang

sesuai untuk pangkat yang tepat, ketidak langsungan, kepura-puraan, dan

menghindari perbuatan yang ngawur atau tak menguasai diri. Ada banyak cara

yang ditunjukkan oleh priyayi untuk menunjukkan sesuatu namun tetap berpegang

pada prinsip tadi. Hal ini yang mengesankan priyayi adalah kaku, bertingkat dan

formal.

Priyayi menganggap bahwa wayang, gamelan, lakon, joged, tembang dan batik

Page 17: Gerakan islamisasi nusantara

adalah perwujudan kesenian yang alus. Berbeda halnya dengan ludrug, kledek,

jaranan, dan dongeng sebagai kesenian yang kasar. Dan kesenian itu

mengekspresikan nilai-nilai priyayi. Tidak mungkin bagi priyayi Mojokuto (camat

misalnya) mengundang ludrug untuk pesta pernikahan anaknya.

Pandangan dunia priyayi terhadap aspek religius disebut dengan mistik. Mistik

yang dimaksud adalah serangkaian aturan praktis untuk memperkaya kehidupan

batin orang yang didasarkan pada analisa intelektual atau pengalaman. Tujuan

pencarian mistik adalah pengetahuan tentang rasa dan itu harus dialami oleh

priyayi. Ritual yang dilakukan adalah bentuk tapa dan semedi dalam keadaan

ngesti (menyatukan semua kekuatan individu dan mengarahkannya langsung pada

tujuan tunggal, memusatkan kemampuan psikologis dan fisiknya ke arah satu

tujuan yang sempit.

Sekte-sekte mistik Mojokuto dalam bentuknya yang formal mengambil

anggota dari pejabat (wedana), aparat (mantri polisi), penilik sekolah, juru gambar

dan sejenisnya dari kalangan priyayi.

c. Abangan

Bagi sistem keagamaan Jawa, slametan merupakan pusat tradisi yang menjadi

perlambang kesatuan mistis dan sosial di mana mereka berkumpul dalam satu

meja menghadirkan semua yang hadir dan ruh yang gaib untuk untuk memenuhi

setiap hajat orang atas suatu kejadian yan ingin diperingati, ditebus, atau

dikuduskan. Misalnya kelahiran, kematian, pindah rumah, mimpi buruk, ganti

nama, sakit, dll. Struktur upacaranya terdiri dari hidangan khas, dupa, pembacaan

doa Islam, dan pidato tuan rumah yang disampaikan dalam bahasa Jawa tinggi

yang resmi. Dan bagi kalangan abangan yang terdiri dari petani dan proletar,

slametan adalah bagian dari kehidupannya.

Dalam tradisi slametan dikenal adanya siklus slametan: (1) yang berkisar

krisis kehidupan (2) yang berhubungan dengan pola hari besar Islam namun

mengikuti penanggalan Jawa (3) yang terkait dengan integrasi desa, bersih desa

(4) slametan sela untuk kejadian luar biasa yang ingin dislameti. Semuanya

menunjukkan betapa slametan menempati setiap proses kehidupan dunia abangan.

Slametan berimplikasi pada tingkah laku social dan memunculkan keseimbangan

emosional individu karena telah diselameti.

Kepercayaan kepada roh dan makhlus halus bagi abangan menempati

kepercayaan yang mendasari misalnya perlunya mereka melakukan slametan.

Page 18: Gerakan islamisasi nusantara

Mereka percaya adanya memedi, lelembut, tuyul, demit, danyang, dan bangsa alus

lainnya. Hal yang berpengaruh atas kondisi psikologis, harapan, dan kesialan yang

tak masuk akal. Semuanya melukiskan kemenangan kebudayaan atas alam, dan

keunggulan manusia atas bukan manusia. Gambarannya adalah kebudayaan orang

Jawa berkembang dan hutan tropis yang lebat berubah menjadi persawahan dan

rumah, makhlus halus mundur ke sisa belantara, puncak gunung berapi, dan

Lautan Hindia.

Kalau kepercayaan mengenai roh dan berbagai slametan merupakan dua sub

katagori daripada agama abangan, maka yang ketiga adalah kompleks pengobatan,

sihir dan magi yang berpusat pada peranan seorang dukun. Ada beberapa macam

dukun: dukun bayi, dukun pijet, dukun prewangan, dukun calak, dukun wiwit,

dukun temanten, dukun petungan, dukun sihir, dukun susuk, dukun japa, dukun

jampi, dukun siwer, dukun tiban. Masyarakat Mojokuto secara umum mengakui

adanya dukun, namun apakah mereka percaya kepada kemampuan dukun

merupakan masalah lain. Ada konsep lain yang menyertainya yaitu kecocokan.

Page 19: Gerakan islamisasi nusantara

BAB III

KESIMPULAN

1. Teori islamisasi terbagi menjadi 3 teori besar yaitu teori gujarat, teori makkah dan

teori persia.

2. Tahapan perkembangan islam di nusantara antara lain dengan adanya kehadiran

para pedagang Muslim pada abad ke 7 - 12 M, Terbentuknya kerajaan Islam pada

abad ke 13-16M dan Pelembagaan Islam abad ke 17 hingga kini.

3. Corak islam di nusantara menurut Geertz terbagi atas 3 golongan yaitu : santri,

priyayi dan abangan