GEOTEK DWI AULIA FAJRINI (1407168526).pdf

25
TUGAS GEOLOGI TEKNIK PENELITIAN TENTANG PETROGRAFIDWI AULIA FAJRINI 1407168526 JURUSAN TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS RIAU 2014

Transcript of GEOTEK DWI AULIA FAJRINI (1407168526).pdf

  • TUGAS

    GEOLOGI TEKNIK

    PENELITIAN TENTANG

    PETROGRAFI

    DWI AULIA FAJRINI 1407168526

    JURUSAN TEKNIK SIPIL

    FAKULTAS TEKNIK

    UNIVERSITAS RIAU

    2014

  • BAB I

    TUJUAN PENELITIAN

    Petrografi adalah Ilmu yang mempelajari tentang komposisi batuan secara

    mikro, sehingga ilmu ini terasa lebih detail daripada petrologi. Petrografi akan

    menjawab berbagai pertanyaan yang muncul saat kita belajar mengenai batuan

    dengan petrologi. Petrografi mengidentifikasi suatu batuan dengan bantuan

    mikroskop polarisator. Kita dapat mengamati komposisi batuan dengan lebih jelas

    dan menghilangkan segala keragu-raguan, karena keterbatasan penglihatan saat

    kita mengidentifikasi batuan dengan petrologi. Belajar mengenai petrografi

    memang butuh perhatian ekstra karena jika kita melihat suatu mineral di bawah

    mikroskop polarisator, saat kita memutar sedikit saja meja objek maka ciri-ciri

    suatu mineral akan berubah.

    Selain itu, tubuh mineral dengan jenis yang sama dengan butir yang

    berbeda dalam pengamatan, dapat membuat ciri-ciri mineral tersebut akan

    berbeda. Nah, itulah perbedaan dari keduanya. Petrologi sangat cocok untuk

    identifikasi batuan secara spontan di lapangan. Jika terdapat keragu-raguan atau

    kita ingin mendapat data yang lebih akurat maka sayat batuan itu, bawa ke

    laboratorium, amati dengan mikroskop polarisator dan gunakan ilmu petrografi.

    Contoh batuan-batuan tersebut adalah:

    1. Batuan beku yang bertekstur afanitik atau batuan asal gunung api

    2. Batuan sedimen klastika berukuran halus, seperti batugamping, batupasir,

    napal,

    3. Batuan sedimen klastika berukuran halus, seperti batugamping, batupasir,

    napal, lanau, fragmen batuan dan lain-lain

    4. Batuan metamorf: sekis, filit, gneis dan lain-lain

    Jadi mineralogi optis atau petrografi adalah suatu metode yang sangat mendasar

    yang berfungsi untuk mendukung analisis data geologi.

  • BAB II

    CARA PENGUJIAN

    Pengamatan petrografi dan pengujian sifat indeks batuan karakterisasi

    derajat pelapukan batuanyang dilakukan di laboratorium berdasarkan pada

    pengamatan petrografi dan pengujian sifat indeks batuan. pengujian laboratorium

    dilakukan untuk mendukung dan mengkuantifikasi hasil penyelidikan lapangan.

    pengamatan petrografi

    pengamatan sayatan tipis batuan yang dilakukan di bawah mikroskop polarisasi

    bertujuan untuk menentukan nama batuan, karakteristik mikroskopis, dan

    mineralogi batuan dalam setiap derajat pelapukan yang berbeda. pengamatan

    1.1 Pengenalan Mikroskop Polarisasi

    Analisis sayatan tipis batuan dilakukan karena sifat-sifat fisik, seperti

    tekstur, komposisi dan perilaku mineral-mineral penyusun batuan tersebut tidak

    dapat dideskripsi secara megaskopis di lapangan. Untuk dapat melakukan

    pengamatan secara optis atau petrografi diperlukan alat yang disebut mikroskop

    polarisasi. Hal itu berhubungan dengan teknik pembacaan data yang dilakukan

    melalui lensa yang mempolarisasi obyek pengamatan. Hasil polarisasi obyek

    tersebut selanjutnya dikirim melalui lensa obyektif dan lensa okuler ke mata

    (pengamat). Ada beberapa jenis mikroskop polarisasi, yaitu mikroskop

    terpolarisasi binokuler

  • Gambar I.1 Bagian-bagian dari mikroskop polarisasi trilokuler secara garis besar

    (sumber ZEISS, 1961). Lampu terpisah dari mikroskup.

    Sinar lampu dipantulkan melalui cermin (mirror) lalu dilanjutkan ke lensa

    polarizer. Sinar menembus obyek yang diletakkan di atas meja obyektif. Sinar

    membawa data dari obyek (sayatan tipis) dikirimkan ke lensa obyektif, ditangkap

    oleh okuler dan diterima mata.

    Gambar I.2. Mikroskup digital dengan layar video; data pengamatan sayatan tipis

    dikirim ke layar LCD dan dapat disimpan di dalam hard disk.

  • Gambar I.4. Mikroskup polarisasi binokuler digital dengan layar video yang lain

    (kiri) dan mikroskup polarisasi standar yang kini tersimpan di laboratorium

    Geologi ISTA (kanan).

    I.2. Bagian-bagian dari Mikroskup Polarisasi

    (a) Lensa Ocular (eye piece; Gambar I.4)

    Yaitu lensa dengan perbesaran yang biasanya mencapai 10x. Lensa ini

    berhubungan langsung dengan mata saat mengamati sayatan tipis batuan di bawah

    mikroskup. Dalam lansa ini terdapat benangsilang yang dapat membantu

    menentukan posisi utara-selatan (U-S) dan timur-barat (T-B).

    Benang silang juga sering digunakan untuk mengetahui sudut pemadaman

    suatu mineral, apakah miring atau tegak lurus. Perbesaran dari obyek sayatan tipis

    di atas meja obyektif (gambar samping) dihasilkan dari perbesaran okuler dan

    lensa obyektif (gambar bawah). Contoh: jika sayatan tipis dilihat dengan

    menggunakan lensa obyektif dengan perbesaran tertulis 4X, dan okuler 10X,

    maka memiliki perbesaran total 40X.

  • Gambar I.4. Lensa okuler dan lensa obyektif yang terdapat dalam mikroskup

    polarisasi.

    (b) Prisma Nikol (Gambar I.7)

    Jika polarizer dipindahkan dari mikroskop dan sinar direfleksikan dari

    permukaan ke bidang horizontal, maka bidang terpolarisasi menjadi gelap jika

    diputar ke kanan. Biotit yang disayat memotong belahannya memiliki absorpsi

    terbaik jika bidang belahan sejajar dengan bidang vibrasi terpolarisasi. Pada posisi

    ini mineral menjadi gelap maksimum. Vibrasi gelapan juga dijumpai pada mineral

    Tourmaline yang diputar ke kanan dari sumbu C. Kedudukan normal dari vibrasi

    sinar yang melalui prisma (sinar ekstra-ordinary) dijumpai maksimum pada

    kanada balsam. Prisma nikol digunakan untuk melakukan pengamatan pada posisi

    nikol silang (Gambar 1.5)

  • Gambar I.5. Penggunaan Prisma Nikol untuk Pengamatan Nikol Silang

    Gambar I.7. Prisma nikol, lensa obyektif dan lensa okuler pada mikroskup

    polarisasi.

  • (c) Lensa lampu konvergen

    Mikroskop dioperasikan pada sinar lampu yang searah dengan tube dan

    obyek

    Lensa konvergen menangkap sinar tersebut secara maksimal dan

    melanjutkannya melalui tube ke lensa polarizer

    Sinar tersebut membawa data dari obyek yang selanjutnya dikirimkan ke

    lensa obyektif dan ditangkap oleh lensa okuler

    Yaitu dengan menaikkan nikol bagian bawah yang terletak di bawah meja

    obyektif, sehingga:

    Permukaan polarizer dapat menyentuh gelas preparat

    (d) Meja obyektif (meja putar)

    Meja obyektif berbentuk melingkar atau kotak kebanyakan bulat

    Meja ini terletak di atas polarizer dan di bawah lensa obyektif

    Merupakan tempat meletakkan sayatan tipis untuk diamati

    Pada meja dilengkapi dengan sekala besaran (mikrometer) yang melintang

    meja dan koordinat sumbu hingga 3600

    Bagian pusat meja harus satu garis dengan pusat optis dari tube.

    Centering dilakukan dengan memutar scroll (screws), centring 900 berada

    di bawah tube.

    Setelah posisinya centering, sayatan tipis diletakkan di atas meja obyektif,

    agar tidak bergeser-geser maka dapat dijepit dengan kedua penjepit.

    Meja obyektif dapat dinaik-turunkan sesuai dengan kebutuhan dan posisi

    sentringnya

    Kini, mikroskop modern telah dilengkapi monitor LCD

    (e) Benang Silang (Cross Hair)

    Benang silang (Gambar I.8) berada pada lensa okular, satu benang

    melintang ke kanan-kiri dan benang yang lain melintang ke atas dan ke

    bawah.

  • Berfungsi untuk mengetahui kedudukan koordinat bidang sumbu mineral,

    atau sudut interfacial kristall.

    Meja obyektif harus berkedudukan centered dengan perpotongan benang

    silang, jika tidak centered maka benang silang tidak akan terlihat.

    Pembacaan akan dapat dilakukan jika salah satu sisi kristal sejajar dengan benang

    silang kanan-kiri, selanjutnya meja obyektif diputar sampai benang silang yang

    lain sejajar dengan arah lain dari meja obyektif tetapi berlawanan dengan center-

    nya.

    Gambar I.8. Benang silang yang terdapat pada lensa okuler dalam mikroskup

    polarisasi.

    (f) Cermin Pantul (The Mirror)

    Cermin pantul berfungsi untuk mengirimkan sinar dari lampu ke sumber

    obyek

    Berbentuk bidang datar pada sisi belakang dan cekung pada sisi depan

    Pembentuk yang pertama digunakan untuk perbesaran rendah, sedangkan

    yang terakhir untuk perbesaran yang lebih tinggi.

  • Cermin ini berfungsi mengumpulkan sinar lampu dengan aperture yang

    menyudut pada sekitar 400

    Untuk perbesaran yang lebih besar dan dengan menggunakan sinar

    konvergen, maka menggunakan sinar konvergen

    Penggunaan cermin terutama untuk efisinsi penggunaan mikroskop.

    Ketika menggunakan sinar datang yang sejajar sebagai ordinary daylight,

    maka sinar tersebut direfleksikan dari cermin dengan intensitas yang

    rendah, yang datang bersamaan dengan focal point.

    Jika sumber sinar dekat dengan instrument, focal-lengthnya besar, dan

    sebaliknya

    (g) Lensa Obyektif

    Diklasifikaskan berdasarkan nilai perbesarannya.

    Untuk obyektif yang memiliki power rendah, maka focal length-nya di

    atas 13 mm dan perbesarannya kurang dari 15 x untuk power menengah

    focal length antara 12- 5 mm dan perbesarannya 40 x dan power tinggi

    focal length kurang dari 4,5 mm dan perbesarannya mencapai 40 x.

    Lensa obyektif yang sering digunakan adalah yang berukuran 3 dan 7 mm

    Dalam satu sayatan tipis sering terdiri atas suatu seri bidang yang saling

    menumpang, dan hanya salah satunya saja yang dapat diamati.

    Dalam lens obyektif low-power, dapat dilihat obyek yang menumpang

    bidang yang berbeda lainnya, tetapi dengan lensa high-power hal itu tidak

    mungkin dilakukan.

    Tingkat kecerahan (brightness) dari image akan meningkat jika hitungan

    aperturenya dapat diketahui dalam luasan pesegi.

    (h) Resolving Power

    Bagian dari mikroskop yang berfungsi untuk pengaturan ketelitian alat.

    Dengan meningkatkan resolving power untuk mempertajam obyek

    pengamatan maka dapat mengurangi masa pemakaian alat.

  • Dalam praktik petrografis, dibutuhkan ketelitian maksimal sehingga sifat

    terkecil pun terdeteksi.

    Mata hanya mampu membedakan 250 garis dalam 1 inci

    Ketika dua titik berpindah dari posisi 6.876x dari mata, maka yang terlihat

    hanya satu titik.

    Dengan bantuan resolving power dan okuler, mata mampu membedakan

    pleurosigma angulatum sebanyak 50.000 garis .

    (i) Lensa Bertrand (Keping Gipsum)

    Berada pada center dari microscope di atas analyzer yang melintas masuk /

    keluar tube

    Digunakan sebagai mikroskop kecil bersama-sama dengan okuler untuk

    memperbesar gambaran interference

    Terutama digunakan untuk mengetahui warna birefringence, sehingga

    dapat diketahui ketebalan sayatannya

    Pada penggunaan alat ini, juga dilengkapi dengan tabel warna interference

    (Gambar I.9).

    Gambar I.9. Tabel warna interference yang digunakan bersama-sama dengan

    keping gips untuk mengetahui warna birefringence.

  • (j) Lensa Ocular

    Disebut juga dengan lensa okuler Huygens

    Terdiri dari dua lensa simple plane-convex

    Terletak berhadapan langsung dengan mata.

    Lensa bagian atas berupa lensa mata dan lensa bagian bawah berfungsi

    untuk mengumpulkan data.

    Focal length dari lensa mata adalah 1/3-nya dari lensa pengumpul (field

    length).

    Sinar sinar ini yang menyebabkan kelelahan pada mata saat pengamatan.

    Pada okuler juga dijumpai benang silang, berbentuk jaring laba-laba dan

    mengikatkan tali tersebut pada perutnya.

    (k) Mikrometer

    Berfungsi untuk mengukur jarak dalam sekala yang sempit, contoh:

    diameter mineral.

    Terletak di atas meja obyektif.

    Pada pembacaan langsung dalam meja obyektif, sekala dalam ratusan mm.

    Jadi, dalam suatu pengamatan sayatan tipis dapat diketahui seberapa ratus

    mm dalam suatu divisi kristal.

    Agar familier dalam penggunaannya, siswa dapat membuat sendiri

    mikrometer tersebut

    (l) Adjustment Screws

    Adjustment screw berfungsi untuk mengatur (bagian dalam 2) dan

    menghaluskannya (bagian luar 1) kefokusan lensa okuler dan obyektif

    Metodenya yaitu dengan memutar ke kanan untuk memperbesar dan ke

    kiri untuk memperkecil.

    Terletak pada gagang mikroskop (tube)

    Akurasi kerja Adjustment screw mencapai 0,001 mm.

  • I.3. Penggunaan Mikroskup

    Pencahayaan mikroskop sangat baik jika berasal dari arah utara; jika tidak

    mampu dari timur. Jangan menggunakan sinar matahari langsung. Meja (bangku)

    harus kuat, dan pengamat harus nyaman menggunakannya. Mikroskop harus

    terletak tepat di depan pengamat, kedua tangan leluasa mengoperasikannya.

    Jangan menutup mata sebelah, mata yang tidak dipakai untuk mengamati

    dibiarkan terbuka, agar tidak jereng atau mudah lelah. Pencahayaan harus cukup

    mampu menerangi pengamatan paralel nikol dan silang nikol. Agar mata tidak

    sakit, praktikan disarankan memfokuskan pengamatan dengan menaikkan power,

    dari pada menurunkannya agar dapat menghindari kalau-kalau lensa menyentuh

    preparat dan memcahkannya Tempatkan pandangan (mata) setinggi dengan

    okuler, perlambatkan dalam memutar screw jika jarak obyektif dan preparat

    sangat dekat. Lakukan pengamatan hanya jika obyek pengamatan benar-benar

    telah fokus.

    I.3.1. Tip Menggunakan Mikroskop Polarisasi

    Pada mineral tak-berwarna (ct. kuarsa), sebaiknya mengurangi

    pencahayaannya, dan memperhatikan adanya rongga atau inklusi.

    Rongga / inklusi memiliki kenampakan yang hampir sama

  • Sebaiknya menjaga betul-betul agar lensa dan nikol dapat awet dan

    meningkat efisiensinya.

    Jangan membiarkan lensa mikroskop terkena sinar matahari langsung dan /

    uap radiator.

    Lensa harus dijaga agar terbebas dari debu. Lensa obyektif jangan sampai

    bersinggungan dengan cover glass, karena akan tergores

  • BAB III

    DATA / HASIL PENELITIAN

    3.1 Metode Penelitian

    Metode yang digunakan dalam suatu penelitian akan sangat menentukan

    hasil penelitian yang akan diperoleh, sehingga dalam suatu penelitian diperlukan

    metode penelitian dengan tahapan yang tersusun baik agar pelaksanaan penelitian

    dapat berlangsung dengan baik pula. Metode yang digunakan dalam kegiatan

    penelitian ini adalah metode penelitian lapangan dan metode penelitian

    laboratorium.

    3.1.1 Metode Penelitian Lapangan

    Penelitian lapangan dilakukan dengan melakukan survei secara langsung

    di lapangan dimana hal-hal yang dilakukan dalam penelitian lapangan yaitu

    melakukan pengamatan pada keadaan geologi sekitar daerah penelitian dan juga

    pada kondisi fisik singkapan, mengambil sampel dan memplot lokasi pengambilan

    data dan sampel (singkapan yang insitu) pada peta lintasan berdasarkan data

    koordinat yang dikontrol melalui alat GPS (Global Position System), serta

    mengambil dokumentasi kondisi singkapan dan data-data lainnya dalam bentuk

    foto.

    Conto batuan yang diambil sebanyak 3 conto yakni 2 conto batuan Breksi,

    dan 1 conto batuan Tufa. Pengambilan conto batuan dilakukan dengan tujuan

    untuk membuat sayatan tipis batuan agar dapat diketahui komposisi mineral

    daripada conto batuan yang diambil yang dapat membantu dalam pemerian batuan

  • yang teralterasi mineralnya membentuk mineral lempung. Conto lempung diambil

    sebanyak 7 conto yang dianggap dapat mewakili tiap singkapan lempung di

    lapangan. Pengambilan conto lempung dilakukan dengan cara mengeruk

    singkapan lempung tersebut pada bagian permukaannya kira-kira 10-20 cm ke

    arah dalam daripada singkapan lempung tersebut sampai ditemukan singkapan

    yang dianggap masih segar, kemudian singkapan yang dianggap segar tersebut

    diambil dengan tujuan agar dapat dianalisis untuk mengetahui kandungan mineral

    dan komposisi kimianya. Hasil pengamatan di lapangan seperti kondisi fisik

    singkapan batuan dan lempung yang mencakup sifat fisik berupa warna, tekstur,

    komposisi material, serta struktur batuan, penyebaran dan juga hubungan

    singkapan batuan dan lempung tersebut dengan batuan atau mineral lain yang

    berada disekitarnya kemudian dicatat dan unsur-unsur geologi yang dijumpai di

    lapangan direkam secara visual melalui kamera digital.

    3.1.2 Metode Penelitian Laboratorium

    Penelitian laboratorium dilakukan untuk mengetahui secara lebih spesifik

    akan kandungan mineral, kondisi fisiknya dalam batuan, serta komposisi

    unsurnya. Penelitian laboratorium ini mencakup analisis petrografi melalui

    sayatan tipis batuan dengan mikroskop polarisasi, analisis kandungan mineral

    dengan metode XRD, dan analisis komposisi kimia dengan metode AAS, UV-VIS

    dan Gravimetri.

  • 3.1.2.1 Analisis Petrografi

    Analisis petrografi ini dilakukan dengan cara mengambil conto batuan dari

    lapangan kemudian dipreparasi dalam bentuk sayatan tipis dan kemudian diamati

    secara petrografi di Laboratorium Mineral Optik Jurusan Teknik Geologi

    Universitas Hasanuddin. Hasil dari pengamatan petrografi kemudian dicatat dan

    berdasarkan atas ciri fisik dan kandungan mineralnya untuk mengetahui akan

    mineral-mineral yang terubahkan dan membentuk mineral lempung.

    3.1.2.2 Analisis Kandungan Mineral dengan Metode XRD

    Analisis ini digunakan untuk mengetahui akan kandungan mineral,

    persentase dan tingkat kristalinitas mineral dari conto mineral lempung yang

    diambil dari lapangan.

    Analisis XRD merupakan metode yang dapat memberikan informasi

    mengenai jenis mineral yang terdapat dalam suatu conto. Mekanisme kerja

    analisis XRD ini yakni conto yang akan dianalisis XRD digerus sampai halus

    seperti bubuk kemudian dipreparasi lebih lanjut menjadi lebih padat dalam suatu

    holder kemudian holder tersebut diletakkan pada alat XRD dan diradiasi dengan

    Sinar X. Data hasil penyinaran Sinar X berupa spektrum difraksi Sinar X

    dideteksi oleh detektor dan kemudian data difraksi tersebut direkam dan dicatat

    oleh komputer dalam bentuk grafik peak intensitas, yang lebih lanjut dianalisis

    jarak antara bidang kisi kristalnya dan dibandingkan dengan hukum Bragg pada

    komputer dengan menggunakan software tertentu sehingga dapat menghasilkan

    suatu data (Sudarningsih, 2008) seperti data yang ada pada bagian lampiran

  • laporan ini. Analisis kimia dengan metode XRD ini dilakukan pada Pusat

    Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara (TEKMIRA)

    Bandung. Data hasil XRD tersebut kemudian dianalisis lebih lanjut oleh Penyusun

    untuk mengetahui akan karakteristik peak tiap mineral, persentase mineral, dan

    tingkat kristalinitas mineral yang ada pada conto yang dianalisis.

    3.1.2.3 Analisis Ukuran Butir dengan Menggunakan Saringan Standar

    Analisis ukuran butir ini dilakukan pada Laboratorium Sedimentologi

    Jurusan Teknik Geologi Universitas Hasanuddin Makassar. Analisis ini dilakukan

    dengan menggunakan saringan standar (mesh) berukuran 270 dengan lubang

    saringan 0,053 mm. Prosedur kerjanya yakni sampel mineral lempung yang

    dianalisis dikeringkan kemudian ditimbang sebanyak 100 gram kemudian

    diletakkan pada saringan standar dan diayak dibawah air yang mengalir. Hasil

    penyaringan terbagi atas material yang tertahan pada saringan (tidak lolos

    saringan) dan material yang lolos saringan. Material yang tidak lolos saringan

    diasumsikan sebagai material yang berukuran kasar dan material yang lolos

    saringan diasumsikan sebagai material yang berukuran halus. Material kasar yang

    tidak lolos saringan kemudian dikeringkan dan ditimbang ulang untuk mengetahui

    beratnya. Material yang halus beratnya diketahui dari pengurangan berat sampel

    awal dengan berat sampel yang tertahan pada saringan standar.

    3.1.2.4 Analisis Komposisi Kimia dengan Metode AAS, UV-VIS, Gravimetri

    Analisis komposisi kimia dilakukan pada Dinas Energi dan Sumberdaya

    Mineral, di Makassar, Sulawesi Selatan, dimana menurut hasil pengujian yang

  • diberikan, unsur-unsur yang dianalisis didapatkan melalui metode AAS, UV-VIS,

    dan Gravimetri.

    Metode AAS (spektrofotometri adsorbsi atom) merupakan suatu metode

    analisis kimia dimana primsip kerjanya didasarkan atas pengamatan panjang

    gelombang yang diserap oleh suatu unsur. Prinsip kerjanya yakni conto yang akan

    dianalisis dibuat dalam bentuk larutan kemudian dipanaskan dengan anggapan

    atom-atom akan bebas dari ikatan kimianya, kemudian pada conto panas tersebut

    dilewatkan sinar katoda, sehingga akan terjadi penyerapan energi yang akan

    terekam dalam spektrometer. Metode AAS ini digunakan untuk mengidentifikasi

    kadar Al2O3, Fe2O3, FeO, MgO, K2O, Na2O, dan CaO.

    Metode UV-VIS merupakan suatu metode yang umum digunakan sebagai

    salah satu instrumen analisis dalam labaratorium masa kini, dimana proses prinsip

    kerjanya yakni conto yang akan dianalisis diradiasi dengan energi ultraviolet.

    Sinar ultraviolet tersebut akan direfleksikan dengan berbagai warna dan diserap

    oleh spektrometer. Metode UV-VIS ini digunakan intuk mengidentifikasi kadar

    SO3.

    Metode analisis gravimetri adalah suatu proses isolasi dan pengukuran

    berat suatu unsur atau senyawa tertentu. Berat unsur dihitung berdasarkan rumus

    senyawa dan berat atom unsur-unsur yang menyusunnya. Pemisahan

    unsur/senyawa tersebut dilakukan dengan beberapa cara seperti pengendapan,

    penguapan, dan metode elektroanalisis. Metode gravimetri ini digunakan untuk

    mengidentifikasi kadar H2O, LOI, dan SiO2.

  • Data-data sekunder seperti pustaka yang berkaitan dengan penelitian yang

    Penyusun lakukan dalam hal ini mengenai tatanan geologi baik kondisi

    geomorfologi, stratigrafi, dan struktur geologi regional, dan proses alterasi

    hidrotermal yang terjadi pada Daerah Sangkaropi, dikompilasikan dengan data

    hasil penelitian yang Penyusun lakukan untuk mengetahui batuan apa yang

    mengalami proses hidrotermal sehingga terubahkan mineralnya membentuk

    mineral lempung.

    Sistematika proses kegiatan penelitian dapat dilihat pada diagram alir

    metode dan tahapan penelitian (gambar 3.1).

    A. Minerologi

    Analisis petrografi dalam kaitannya dengan beberapa parameter fisik mekanik

    agregat telah dievaluasi dalam penelitian ini. Beberapa kesimpulan yang dapat

    diambil berdasarkan penelitian ini antara lain yaitu : Berdasarkan komposisi

    mineralogi dan teksturnya, bahan baku agregat dapat digolongkan dalam

    kelompok basalt/basalt olivin, andesit piroksen, andesit hornblenda, dan tuf

    andesitik

    Beberapa jenis mineral silikat yang dijumpai pada agregat meliputi mineral

    plagioklas, gelas volkanik, piroksen/augit, hornblenda, dan olivin, serta sedikit

    kuarsa, dengan tekstur umumnya hipokristalin por-firitik untuk jenis agregat

    basalt/basalt olivin, andesit piroksen, andesit hornblenda, dan tekstur klastik

    (vitroklastik) untuk jenis agregat tuf andesitik.

    B. Tekstur

    Tekstur agregat secara nyata berpengaruh terhadap kekasaran permukaannya,

    semakin banyak prosentase kahadiran fenokris/ butiran terhadap

    masadasar/matrik maka permukaan agregat cenderung semakin kasar, semakin

    halus ukuran butir fenokris/ butiran dan masadasar/matrik maka permukaan

    agregat cenderung juga semakin halus.

  • Terdapat hubungan yang berarti antara prosentase hadirnya gelas volkanik

    pada agregat terhadap daya serap airnya, semakin banyak kehadiran prosentase

    gelas volkanik semakin tinggi daya serap airnya. Tekstur bahan agregat juga

    sangat mempengaruhi nilai daya serap air, tektur yang bersifat klastik cenderung

    memiliki daya serap air yang lebih tinggi dibandingkan dengan ba-han agregat

    yang bersifat kristalin. Kekuatan agregat sangat dipengaruhi oleh karakteristik

    petrografi; ukuran kristal atau butiran dan komposisi mineral merupakan faktor

    petrografi yang cukup dominan.

    Disamping itu perbedaan kekerasan relatif mineralogi pembentuk batuan juga

    berpeng-aruh terhadap kekuatan agregat. Reaktivitas agregat pada lingkungan

    alkali tinggi, berdasarkan pengujian dengan metode kimia, memperlihatkan bahwa

    agregat basalt/basalt olivin secara umum tergolong sebagai agregat tidak reaktif,

    agregat ande-sit piroksen tergolong berpotensi reaktif hingga reaktif, agregat

    andesit hornblenda tergolong tidak reaktif, dan agregat tuf andesitik tergolong

    reaktif. Perubahan komposisi mineralogi pada agre-gat tampak berpengaruh

    terhadap tingkat reaktivitasnya, terutama bila dikaitkan dengan prosentase

    hadirnya gelas volkanik pada agregat tersebut.

    Demikian halnya dengan perubahan pada aspek teksturnya yang juga tampak

    berpengaruh terhadap tingkat reaktivitas agregat, terutama didasarkan atas

    kehadiran masadasar atau matrik baik berupa bahan kristalin berukur-an halus

    hingga mikrokristalin maupun berupa tekstur amorf dari gelas volkanik

  • BAB IV

    INTERPRETASI DATA

    Grafik interpretasi tingkat reaktivitas agregat yang didasarkan atas

    hasil-hasil pengujian dengan metode kimia, sedikit apabila dibandingkan

    dengan kehadiran jenis mineral plagioklas dan gelas volkanik. Ada

    beberapa contoh agregat yang terbentuk oleh mineral piroksen hingga

    20% - 25% (B-11C dan B-1B).

    Namun demikian, berdasarkan hasil uji potensi reaksi alkali pada

    agregat tersebut tidak diperlihatkan adanya pengaruh yang berarti pada

    tingkat reaktivitasnya. Secara kumulatif, total kehadiran jenis mineral

    silikat juga tidak memperlihatkan adanya hubungan yang berarti terhadap

    tingkat reaktivitas agregat. Tetapi, apabila dilihat berdasarkan pola

    kehadiran masing-masing jenis mineraloginya maka tampak adanya

    pengaruh yang berarti terhadap tingkat reaktivitasnya, terutama pada jenis

    gelas volkanik.

    Dengan kata lain dapat dikatakan pula bahwa adanya perubahan

    komposisi mineralogi pada agregat akan berpengaruh terhadap tingkat

    potensi reaktivitasnya. Dengan demikian kemampuan agregat untuk

    bereaksi di lingkungan alkali tinggi dari semen yang digunakan pada

    beton merupakan fungsi dari komposisi (jenis) mineralogi pada agregat

    yang digunakan. Variasi tekstur dan reaktivitas agregat tingkat reaktivitas

    agregat terhadap kondisi lingkungan alkali dimungkinkan pula di-

    pengaruhi oleh pola teksturnya, terutama oleh adanya variasi tekstur pada

    agregat. Secara umum terlihat bahwa semakin kecil persentase fenokris

    pada agregat, tingkat reaktivitas agregat relatif semakin tinggi

    Adanya kecenderungan ini juga tercermin pada perbedaan

    reaktivitas antara agregat basalt (15% - 50% pada contoh B-1B, B-6A, B-

    9A), andesit piroksen (5% - 15% pada contoh B-3A, B-4C), dan andesit

    hornblenda (10% pada contoh B-12A, B-13A).

  • Meskipun agregat dari jenis tuf andesitik memiliki kandungan

    butiran sebanyak 20% - 25% namun agregat ini terlihat relatif lebih reaktif

    dibandingkan jenis batuan lainnya. Reaktifitas agregat tuf andesitik diduga

    lebih dikontrol oleh hadirnya matrik berupa gelas volkanik dengan tekstur

    umumnya berbentuk amorf. Semakin sedikit hadirnya fenokris atau bu-

    tiran umumnya akan semakin banyak masa-dasar atau matrik yang

    terkandung pada agregat tersebut. Dengan demikian maka semakin banyak

    prosentase masadasar pada agregat, yang umumnya berupa bahan-ba-han

    kristalin berukuran halus hingga mikro-kristalin, menyebabkan tingkat

    reaktivitas agregat juga relatif semakin tinggi.

    Hal ini kemungkinan berhubungan erat dengan se-makin luasnya

    bidang permukaan pada ba-han-bahan kristalin berukuran halus atau

    mikrokristalin yang menyebabkan permu-kaan bidang reaksi pada agregat

    tersebut menjadi semakin luas, seperti halnya yang juga dikemukakan

    oleh Wigun (1995) untuk batuan kataklastik di Norwegia. Lebih lanjut atas

    dasar ukuran masadasar atau matrik dalam suatu agregat, hadirnya jenis

    gelas volkanik yang berbentuk amorf tampak relatif lebih reaktif apabila

    diban-dingkan dengan masadasar yang terdiri atas bahan-bahan kristalin

    berukuran halus dan/-atau mikrokristalin.

    Secara umum, adanya perubahan aspek tekstural pada agregat

    secara berarti juga berpengaruh terhadap tingkat reaktivitasnya, terutama

    didasarkan atas kehadiran masadasar atau matrik pada agregat, baik

    berupa bahan kristalin berukuran halus hingga mikrokristalin maupun

    adanya teks-tur amorf yang terdapat pada jenis gelas volkanik.

  • BAB V

    SKEMA ALAT PETROGRAFI

    Gambar 3.1 Diagram alir tahapan dan metode penelitian

    Masalah: Hasil Penelitian Terdahulu Menyatakan bahwa Proses Alterasi Hidrotermal Menyebabkan Terbentuknya Mineral-Mineral Ubahan dimana Salah Satu Mineral Ubahan yang terbentuk adalah Mineral Lempung.

    Topik : Batuan Vulkanik

    Kegiatan Lapangan : - - Pemplotan Lokasi pada Peta

    - - Pengamatan Kondisi Geologi,

    - Singkapan Batuan dan Mineral Lempung

    - - Perekaman Visual dalam Bentuk Foto

    - - Sampling

    Analisis Laboratorium

    Karakteristik Mineral Lempung

    Daerah Sangkaropi

    - Kondisi Geologi Daerah Penelitian

    - Kondisi Singkapan Batuan dan Mineral

    Lempung

    Analisis

    Petrografi

    Analisis XRD Analisis Ukuran Butir

    AAS, UV-VIS,

    Gravimetri

    Mineral yang

    Terubahkan

    Membentuk

    Mineral

    Lempung

    Jenis Mineral,

    Tingkat

    Kristalinitas,

    Persentase

    Mineral

    Persentase

    Butiran

    Lempung

    (Halus) dan

    Butiran Kasar

    Komposisi

    Kimia

    Singkapan

    Mineral

    Lempung

    S O L U S I

  • DAFTAR PUSTAKA

    1. Brooks, J.D,. The Use Of Coal As Indicators Of Occurrence Of Oil And Gas, DivisionMineral of Chemistry, C.S.I.R.O, The Apea Journal 1970.

    2. Cook A.C. and H. Struckmeyer,. The Role Of Coal As Source Rock For Oil, Technicalpapers presented of PESA Symposium, 14 15 November 1985, Melbourne, University of Wollongong Department of Geology.

    3. Cook A.C., Smyth, M. and Vos R.G., 1985,. Source Potential Of Upper Triassic FluvioDelatic System Of Exmouth Plateau. Aust.Petrol. Explor.

    Assoc., 25 (1).204 215. 4. Gordon, T.L., 1985. Talang Akar Coals-Arjuna Subbasin Oil Source. Proc.

    Indo. Petrol.Assoc. 14 th Ann. Conve. 91 117. 5. Heroux, Y., Chagnon, A. And Bertrand, R., 1979. Compilation And

    Correlation OfMajor Thermal Maturation Indicators. Bull. Am. Assoc.

    Petrol. Geol., 63. 2128-2144.

    6. Waples, D.W., 1980. Time and temperature in petroleum formation: Application OfLopatins Method To Petroleum Formation. Bull. Am. Assoc. Petrol.Geol., 64 (6)

    7. Rubianto, I.Y., Coal, Source and Hydrocarbons in the South Sumatera, Indonesia. M.Sc Thesis (Unpublished), The University of Wollongong, 162

    pp.