Geomorfologi Kota Banjarmasin

17
IV. KONDISI UMUM 4.1. Kota Banjarmasin (Propinsi Kalimantan Selatan) 4.1.1 Sejarah Perkembangan Kota Banjarmasin Sejak dahulu Kota Banjarmasin memegang peran strategis dalam lalu lintas perdagangan antar pulau, karena terletak di pertemuan antara Sungai Barito dan Sungai Martapura yang luas dan dalam sehingga dapat dilayari kapal-kapal besar dan dapat merapat hingga kota Banjarmasin. Pada zaman Belanda, Banjarmasin menjadi pelabuhan masuk dan keluar bagi seluruh daerah aliran Sungai Barito dan merupakan pelabuhan transit untuk kapal-kapal yang datang dari Pulau Jawa dan Singapura ke pantai timur Kalimantan. Sedangkan industri yang berkembang milik warga Eropa yang berdiri di Banjarmasin pada waktu itu terdiri dari pabrik es, galangan kapal kecil milik Borneo Industri Mij dan perdagangan yang dikelola oleh Borneo Soematra Handel Mij, Heinneman & Co, dan Kantor cabang dari Javasche Bank en Factorij. Pada masa itu, Banjarmasin mempunyai pelayaran yang teratur dan langsung dengan Sampit, Kotabaru, Samarinda, Martapura, Marabahan, Negara, Amuntai, Buntok, Muara Teweh dan Kuala Kapuas serta di luar Kalimantan dengan Surabaya dan Singapura. Asal mula nama Kota Banjarmasin berasal dari sejarah panjang Kerajaan Banjar. Pada saat Kerajaan Banjar masih berdiri, Kota Banjarmasin ini bernama Banjarmasih. Nama ini diambil dari dari nama patih yang sangat berjasa dalam pendirian Kerajaan Banjar, yaitu Patih Masih yang berasal dari Desa Oloh Masih. Nama Desa Oloh Masih ini dalam bahasa Ngaju berarti orang melayu atau kampung orang melayu. Patih Masih dan beberapa patih lainnya kemudian sepakat mengangkat Pangeran Samudera, yang merupakan putra Kerajaan Daha yang mengasingkan diri di Desa Oloh Masih. Dibawah kekuasaan Pangeran Samudera, Kerajaan Banjar mulai menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil dan menguasai jalur-jalur sungai sebagai pusat perdagangan pada waktu itu. Kini Kota Banjarmasin yang merupakan ibukota Provinsi Kalimantan Selatan mulai berkembang pesat seiring dengan berjalannya waktu. Banjarmasin terus berkembang sebagai pusat perdagangan dan hal tersebut mendorong pertambahan penduduk yang sangat cepat sehingga menadikan kota Banjarmasin

description

data kebutuhan geomorfologi banjarmasin

Transcript of Geomorfologi Kota Banjarmasin

Page 1: Geomorfologi Kota Banjarmasin

IV. KONDISI UMUM

4.1. Kota Banjarmasin (Propinsi Kalimantan Selatan)

4.1.1 Sejarah Perkembangan Kota Banjarmasin

Sejak dahulu Kota Banjarmasin memegang peran strategis dalam lalu lintas

perdagangan antar pulau, karena terletak di pertemuan antara Sungai Barito dan

Sungai Martapura yang luas dan dalam sehingga dapat dilayari kapal-kapal besar

dan dapat merapat hingga kota Banjarmasin. Pada zaman Belanda, Banjarmasin

menjadi pelabuhan masuk dan keluar bagi seluruh daerah aliran Sungai Barito dan

merupakan pelabuhan transit untuk kapal-kapal yang datang dari Pulau Jawa dan

Singapura ke pantai timur Kalimantan. Sedangkan industri yang berkembang

milik warga Eropa yang berdiri di Banjarmasin pada waktu itu terdiri dari pabrik

es, galangan kapal kecil milik Borneo Industri Mij dan perdagangan yang dikelola

oleh Borneo Soematra Handel Mij, Heinneman & Co, dan Kantor cabang dari

Javasche Bank en Factorij. Pada masa itu, Banjarmasin mempunyai pelayaran

yang teratur dan langsung dengan Sampit, Kotabaru, Samarinda, Martapura,

Marabahan, Negara, Amuntai, Buntok, Muara Teweh dan Kuala Kapuas serta di

luar Kalimantan dengan Surabaya dan Singapura.

Asal mula nama Kota Banjarmasin berasal dari sejarah panjang Kerajaan

Banjar. Pada saat Kerajaan Banjar masih berdiri, Kota Banjarmasin ini bernama

Banjarmasih. Nama ini diambil dari dari nama patih yang sangat berjasa dalam

pendirian Kerajaan Banjar, yaitu Patih Masih yang berasal dari Desa Oloh Masih.

Nama Desa Oloh Masih ini dalam bahasa Ngaju berarti orang melayu atau

kampung orang melayu. Patih Masih dan beberapa patih lainnya kemudian

sepakat mengangkat Pangeran Samudera, yang merupakan putra Kerajaan Daha

yang mengasingkan diri di Desa Oloh Masih. Dibawah kekuasaan Pangeran

Samudera, Kerajaan Banjar mulai menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil dan

menguasai jalur-jalur sungai sebagai pusat perdagangan pada waktu itu.

Kini Kota Banjarmasin yang merupakan ibukota Provinsi Kalimantan

Selatan mulai berkembang pesat seiring dengan berjalannya waktu. Banjarmasin

terus berkembang sebagai pusat perdagangan dan hal tersebut mendorong

pertambahan penduduk yang sangat cepat sehingga menadikan kota Banjarmasin

Page 2: Geomorfologi Kota Banjarmasin

28

memiliki kepadatan penduduk yang cukup tinggi dan tergolong ke dalam kategori

kota besar dengan jumlah penduduk diatas 500.000 jiwa. Perkembangan kota

yang terjadi akhir-akhir ini telah menjauhkan Banjarmasin dari substansinya

sebagai kota sungai dengan memusatkan pembangunan pada infrastruktur darat

dan membiarkan pembangunan permukiman pada bantaran dan di dalam badan

sungai, terutama di pusat kota, sehingga fungsi ekologis bantaran sungai menjadi

menjadi hilang dan menyebabkan banjir.

4.1.2 Letak Geografis dan Batas Administrasi

Kota Banjarmasin secara geografis terletak pada koordinat 3 16’32” -

3 22’43” Lintang Selatan dan 114°32’02” - 114°38’24” Bujur Timur. Kota ini

terhampar di dataran rendah dan berawa-rawa dengan ketinggian 0,16 meter di

bawah permukaan laut. Kota Banjarmasin kini berkedudukan sebagai ibukota

Provinsi Kalimantan Selatan yang meliputi 5 wilayah kecamatan dan 50 kelurahan

seluas 7200 Ha (72 km2) atau 0,22 % dari luas wilayah provinsi, dengan batas

administrasi sebagai berikut :

• Sebelah Barat : Kabupaten Barito Kuala (Sungai Barito)

• Sebelah Selatan : Kabupaten Banjar

• Sebelah Timur : Kabupaten Banjar

• Sebelah Utara : Kabupaten Barito Kuala (Sungai Alalak)

Wilayah Kota Banjarmasin dibagi dalam 5 wilayah kecamatan dan 60 kelurahan,

dengan pembagian wilayah adminstratif Kecamatan dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Luas, Nama Ibukota Kecamatan, dan Jumlah desa / Kelurahan di

Kota Banjarmasin Tahun 2008

Sumber : Banjarmasin Dalam Angka Tahun 2008

No. Kecamatan Luas (Km2)

Presentase (%) Nama Ibukota

1 2 3 4 5

Banjarmsin Selatan Banjarmasin Timur Banjarmasin barat BanjarmasinTengah Banjarmasin Utara

20,18 11,54 11,66 13,37 15,25

28,03 16,03 18,57 16,19 21,18

KelayanSelatan Kuripan Pelambuan Teluk Dalam Alalak Utara

72,00 100

Page 3: Geomorfologi Kota Banjarmasin

29

Dari gambaran kondisi geografis dan batas administrasi Kota Banjarmasin

berada di tepi Sungai Barito dan dikenal sebagai kota seribu sungai karena dilalui

berbagai sungai besar dan kecil. Disamping itu Banjarmasin merupakan pintu

masuk untuk 2 propinsi yang ada di Pulau Kalimantan yaitu Propinsi Kalimantan

Selatan dan Propinsi Kalimantan Tengah, sehingga sangat potensial oleh pusat

perdagangan baik untuk lingkup lokal maupun lingkup regional. Secara spasial

batas wilayah administrasi Kota Banjarmasin dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Peta Administratif Kota Banjarmasin

(Sumber: Pemerintah Kota Banjarmasin)

4.1.3 Topografi

Kota Banjarmasin terletak sekitar 50 km dari muara Sungai Barito dan

dibelah Sungai Martapura. Secara topografis, Kota Banjarmasin didominasi oleh

daerah yang relatif datar dan berawa-rawa dengan kemiringan tanah 0% - 2%

serta berada pada ketinggian 0,16 mdpl. Satuan morfologi ini merupakan daerah

dominan yang terdapat di wilayah Kota Banjarmasin. Kondisi ini sangat

menunjang bagi perkembangan perkotaan sebagai area fisik terbangun. Namun,

ketinggian di bawah permukaan laut menyebabkan sebagian besar wilayah Kota

Banjarmasin merupakan rawa tergenang yang sangat dipengaruhi kondisi pasang

surut air laut.

Page 4: Geomorfologi Kota Banjarmasin

30

4.1.4 Hidrologi

Kota Banjarmasin, ibu kota Propinsi Kalimantan Selatan, terletak di tepi

Sungai Barito dan terbagi dua oleh Sungai Martapura sebagai sungai utama yang

secara dominan keduanya mempengaruhi kondisi hidrologi Kota Banjarmasin.

Dengan jarak dari laut ± 23 km, maka muka air sungai sangat dipengaruhi oleh

pasang surut air laut. Sungai Martapura mengalir dari Timur Laut ke arah Barat

Daya yang membelah Kota Banjarmasin menjadi 5 (lima) wilayah kecamatan

yang bermuara di Sungai Barito. Anak-anak Sungai Martapura diantaranya adalah

Sungai Kuin (Sungai Pangeran), Sungai Awang yang menyatu dengan Sungai

Alalak yang merupakan anak Sungai Barito di sebelah utara, sedangkan anak

sungai yang mengalir di selatan adalah Sungai Basirih, Sungai Bagau, Sungai

Kelayan, Sungai Pekapuran dan Sungai Gardu. Semua sungai dan anak sungai

merupakan urat nadi kehidupan dan perekonomian masyarakat Kota Banjarmasin

karena berfungsi sebagai pembuangan air (outlet) drainase secara keseluruhan dan

prasarana transportasi air disamping prasarana transportasi darat yang

berkembang sangat pesat akhir-akhir ini.

Variasi tinggi permukaan air pasang surut, berkisar antara 2,0 meter pada

pasang pumama sampai 0,6 meter pasang surut biasa (P3KT Kalimantan, 1990),

sedangkan permukaan air Sungai Barito pada saat pasang maksimum mempunyai

level + 0,82 dpal, dan pada saat surut - 0,100 dpal (Laporan Hasil Pengukuran

Muka Air dan Analisa Kualitas Air di Banjarmasin, DHV/MLD, 1997).

Pada daerah permukiman ketinggian muka air pasang surut tergantung

dari jarak ke sungai terdekat. Kecuali daerah pasar Kota Banjarmasin dan tanggul

sungai, seluruh daratan dan di sekitar kota berada di bawah permukaan air rata-

rata dan dipengaruhi oleh adanya genangan hujan maupun genangan pasang surut.

Dilihat dari kondisi tersebut dapat digambarkan bahwa budaya sungai sangat

mendominasi kehidupan Kota Banjarmasin. Tapi kondisi riil di lapangan,

pemerintah dan masyarakat sudah mulai kurang menaruh perhatian pada kualitas

dan kelestarian sungai-sungai tersebut, sehingga banyak sungai yang tidak

berfungsi bahkan hilang.

Page 5: Geomorfologi Kota Banjarmasin

31

4.1.5 Geologi dan Tanah

Keadaan geologi menggambarkan kondisi jenis batuan utama pembentuk

lahan. Secara umum, Kota Banjarmasin dibentuk oleh formasi batuan antara lain:

formasi berai (tomb) dibentuk oleh batu gamping putih berlapis dengan ketebalan

20 – 200 cm, formasi Dahor (tqd) dibentuk oleh batu pasir kwarsa (tidak padu),

konglomerat dan batu lempung lunak, formasi keramaian (kak) dibentuk oleh

perselingan batu lanau dan batu lempung, formasi pudak (Kap) yang dibentuk

oleh lava ditambah perselingan antara breksi/konglomerat dan batu pasir dengan

olistolit (massa batuan asing) berupa batu gamping, basal, batuan malihan, dan

ultramafik, formasi tanjung (Tet) dibentuk oleh batu pasir kwarsa berlapis dengan

sisipan batu lempung kelabu yang memiliki ketebalan 30 – 150 cm, alluvium (Qa)

yang dibentuk oleh kerikil, pasir, lanau, lempung, dan lumpur. Disamping itu

banyak juga dijumpai sisa-sisa tumbuhan serta gambut pada kedalaman tertentu,

formasi Pitanak (Kvpc) yang disusun dan dibentuk oleh lava yang terdiri atas

struktur bantal, berasosiasi dengan breksi-konglomerat, dan Kelompok batuan

ultramafik (Mub) disusun oleh harzborgit, piroksenit, dan serpentinit.

Jenis tanah di Kota Banjarmasin didominasi oleh jenis tanah alluvial yang

berasal dari endapan sungai dengan struktur lempung dan sebagian berupa jenis

tanah orgonosol glei humus. Jenis tanah ini mempunyai ciri tanah dengan tingkat

kesuburan yang baik sehingga berpotensi untuk pengembangan budidaya tanaman

pangan (padi sawah dan hortikultura), akan tetapi pada beberapa kawasan

kebanyakan dilapisi oleh gambut dengan ketebalan yang kalau dikembangkan

untuk budidaya akan memerlukan teknologi khusus dan biaya cukup mahal.

4.1.6 Iklim

Ditinjau dari letak geografisnya Kota Banjarmasin merupakan daerah

beriklim tropis dengan 2 musim yang mempengaruhi yaitu musim hujan dan

musim kemarau. Tipe iklim Kota Banjarmasin, yaitu tipe iklim A dengan nilai

Q=14,29% (rasio jumlah rata-rata bulan kering dengan bulan basah). Kondisi

tersebut mempengaruhi suhu udara di Kota Banjarmasin rata-rata antara 25 ºC –

38 ºC, dengan suhu udara maksimum 33 °C dan suhu udara minimum 22 °C. Kota

Banjarmasin dipengaruhi oleh musin hujan yang terjadi pada bulan November

Page 6: Geomorfologi Kota Banjarmasin

32

sampai bulan April dan musim kemarau terjadi pada bulan Mei sampai bulan

Oktober. Berdasarkan data pengukuran curah hujan dari stasiun pengamat

Bandara Syamsudin Noor, curah hujan rata-rata mencapai 2400 mm/tahun dan

bervariasi antara 1600 - 3500 mm/tahun. Penyinaran matahari tahunan rata-rata

pada saat musim hujan 2,8 jam/hari dan di musim kemarau 6,5 jam/hari dengan

kelembaban udara 40% - 100%.

4.1.7 Kependudukan

Jumlah penduduk Kota Banjarmasin sekitar 615.570 jiwa (BPS tahun 2007)

dengan pertumbuhan rata-rata 1,02%-2,03% yang menyebar di lima kecamatan.

Tabel 4. Jumlah Penduduk Kota Banjarmasin Tahun 2000-2007

Tahun Jumlah Penduduk (jiwa)

Kepadatan Penduduk (jiwa/km2)

2000 532.556 7.396 2001 535.949 7.443 2002 539.060 7.487 2003 566.008 7.861 2004 572.300 7.949 2005 574.325 7.976 2006 602.725 8.371 2007 615.570 8.549

Sumber : BPS Kota Banjarmasin

Tingkat kepadatan tertinggi berada di Kecamatan Banjarmasin Barat dengan

12.735 jiwa/Km2 dan yang terendah di Kecamatan Banjarmasin Utara dengan

6.075 jiwa/Km2.

4.1.8 Sosial Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu ukuran keberhasilan

pembangunan, terutama dalam bidang ekonomi. Perkembangan sektor ekonomi

yang terbentuk dari laju pertumbuhan akan memberikan gambaran tentang tingkat

perubahan ekonomi yang terjadi, dimana pergerakan laju pertumbuhan ini

merupakan indikator penting untuk mengetahui hasil pembangunan yang telah

dicapai dan berguna untuk menentukan arah dan sasaran pembangunan yang telah

dicapai dan berguna untuk menentukan arah dan sasaran pembangunan di masa

yang akan datang.

Page 7: Geomorfologi Kota Banjarmasin

33

Kondisi perekonomian kota Banjarmasin dapat dilihat dari Pendapatan

Domestik Regional Bruto (PDRB). Pada tahun 2006, PDRB Kota Banjarmasin

mencapai 2,6 triliun rupiah. Kontribusi terbesar PDRB selama tahun 2006

disumbangkan dari sektor pengangkutan dan komunikasi yang mencapai 26,10%,

sektor industri pengolahan memberikan kontribusi kedua terbesar yaitu 22,32%,

sedangkan sektor pertanian adalah sektor terkecil dalam pembentukan PDRB kota

Banjarmasin dan cenderung menurun setiap tahunnya.

Gambar 5. Lanskap Sungai Kota Banjarmasin: Kawasan Tepian Sungai

Martapura (kiri), Permukiman di sepanjang S. Barito (kanan)

(sumber: google image)

Gambar 6. Ruang Terbangun: Kawasan Jalan Jenderal Sudirman, Banjarmasin

(kiri); Kawasan Komersial Kota Banjarmasin (kanan)

(sumber: google image)

Page 8: Geomorfologi Kota Banjarmasin

34

4.2. Kota Yogyakarta (Propinsi D.I. Yogyakarta)

4.2.1 Sejarah dan Perkembangan Kota Yogyakarta

Kota Yogyakarta terletak di Pulau Jawa, 500 km ke arah selatan dari DKI

Jakarta, Ibukota Negara Republik Indonesia. Secara historis, Kota Yogyakarta

berawal dari sebuah Kota Istana atau Kota Keraton yang bernama Ngayogyakarta

Hadiningrat yang terletak di daerah agraris pedalaman Jawa yang dibangun pada

tahun 1756 oleh Sultan Hamengkubuwono I (Pangeran Mangkubumi). Pendirian

kota ini dilakukan setelah terjadi peristiwa Palihan Nagari atau Pembagian Dua

Kerajaan (Surakarta-Yogyakarta) pada tahun 1755 sebagai hasil perjanjian

Giyanti.

Pada awal perkembangannya, permukiman di Kota Yogyakarta cenderung

memusat pada poros besar selatan-utara. Permukiman berupa kampung tempat

tinggal penduduk lambat laun tumbuh di sekitar poros yang melintasi istana dari

alun-alun utara, Jalan Malioboro, dan hingga ke Tugu. Tempat-tempat

permukiman itu lazim disebut sebagai kampung dan namanya diberikan sesuai

dengan tugas dan pekerjaan dari penduduk yang menempatinya. Pada awal abad

ke-20 pola permukiman penduduk dan struktur kota tampak semakin memusat

dan padat. Kota Yogyakarta dikenal memiliki karakter khas yang mewarnai

kehidupan masyarakatnya.

Negara Indonesia merdeka pada tahun 1945, tetapi pada tahun 1946-1949

Negara Indonesia masih berjuang mengusir para tentara sekutu. Pada saat itu,

Yogyakarta memegang peranan penting dalam kemerdekaan dan dikenal sebagai

Kota Revolusi. Selama tahun 1946-1949, Kota Yogyakarta menjadi ibukota

Negara Republik Indonesia dan istana Sultan Hamengkubuwono IX menjadi

markas besar tentara Republik Indonesia. Setelah masa kemerdekaan hingga

sekarang, Kota Yogyakarta tumbuh besar dan bertambah luas karena terjadi

aglomerasi wilayah.

Dengan karakter masyarakatnya yang ramah, serta terdapat salah satu pusat

pemerintahan tradisional Jawa dengan keunikan budayanya, menjadikan kota ini

menjadi kota yang didominasi kegiatan pendidikan dan pariwisata. Setiap tahun

aktivitas pendidikan dan pariwisata terus meningkat dan mendorong

pembangunan fasilitas-fasilitas pendukung pendidikan dan pariwisata.

Page 9: Geomorfologi Kota Banjarmasin

35

Berkembangnya pendidikan dan pariwisata di Kota Yogyakarta menyebabkan

pertumbuhan penduduk juga semakin meningkat. Hal ini berdampak pada

semakin tingginya jumlah permukiman dan ruang terbuka pun semakin menyusut.

Hingga sekarang, Kota Yogyakarta mengalami perubahan demografis, sosial,

ekonomi, dan politik. Perubahan demografis dan sosial-ekonomi telah menjadi

faktor penting dalam membawa dinamika perubahan tata ruang Kota Yogyakarta

dari masa ke masa.

4.2.2 Letak Geografis dan Batas Administrasi

Kota Yogyakarta berkedudukan sebagai ibukota Propinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta dan merupakan satu-satunya daerah tingkat II yang berstatus kota

disamping empat daerah tingkat II lainnya yang berstatus kabupaten. Kota

Yogyakarta terletak pada 7° 49’ 26” - 7° 15’ 24” Lintang Selatan dan 110° 24’

19” - 110° 28’ 53” Bujur Timur pada ketinggian rata-rata 114 m dpl. Sebagai

ibukota Provinsi DIY, Kota Yogyakarta menjadi sentra kegiatan ekonomi, sosial,

dan budaya. Kota Yogyakarta berbatasan dengan wilayah kabupaten lain yang ada

di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, yaitu:

• Utara : Kabupaten Dati II Sleman

• Timur : Kabupaten Dati II Bantul dan Kabupaten Sleman

• Selatan : Kabupaten Dati II Bantul

• Barat : Kabupaten Dati II Bantul dan Kabupaten Sleman

Secara spasial, wilayah administrasi Kota Yogyakarta dapat dilihat pada

Gambar 7.

Page 10: Geomorfologi Kota Banjarmasin

36

Gambar 7. Peta Admistrasi Kota Yogyakarta

(sumber: P4W, Bogor)

Kota Yogyakarta memiliki luas wilayah paling kecil dibanding daerah

tingkat II lainnya di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, yaitu 3250 Ha (32,5

km2) atau 1,02% luas wilayah propinsi. Secara administratif pemerintahan,

wilayah kota Yogyakarta terdiri dari 14 wilayah kecamatan dan 45 kelurahan.

Kecamatan yang terluas adalah kecamatan Umbulharjo kemudian diikuti oleh

Kecamatan Gondokusuman dan Kota Gede.

Wilayah Kota Yogyakarta terbagi dalam lima bagian kota dengan

pembagian sebagai berikut:

1. Wilayah I, terletak pada ketinggian ± 91 m – 117 m diatas permukaan laut

(dpl) rata-rata. Yang termasuk dalam wilayah ini adalah adalah sebagian

Kecamatan Jetis, Kecamatan Gedongtengen, Kecamatan Ngampilan,

Kecamatan Keraton, dan Kecamatan Gondomanan.

2. Wilayah II, terletak pada ketinggian ± 97 m – 114 m dpl. Kecamatan yang

termasuk ke dalam wilayah ini adalah Kecamatan Tegalrejo dan sebagian

Kecamatan Wirobrajan.

3. Wilayah III, terletak pada ketinggian ± 102 m – 130 m dpl. Yang termasuk

ke dalam wilayah ini adalah Kecamatan Gondokusuman, Kecamatan

Page 11: Geomorfologi Kota Banjarmasin

37

Danurejan, Kecamatan Pakualaman, dan sebagian kecil Kecamatan

Umbulharjo.

4. Wilayah IV, terletak pada ketinggian ± 75 m – 102 m dpl. Yang termasuk ke

dalam wilayah ini adalah sebagian Kecamatan Mergangsan, Kecamatan

Umbulharjo, Kecamatan Kota Gede.

5. Wilayah V, terletak pada ketinggian ± 83 m – 102 m dpl. Yang termasuk ke

dalam wilayah ini adalah Kecamatan Wirobrajan, Kecamatan Mantrijeron,

sebagian Kecamatan Gondomanan, dan sebagian Kecamatan Kecamatan

Mergangsan.

4.2.3 Topografi

Secara umum, kota yogyakarta merupakan dataran rendah dengan

kemiringan relatif sama yaitu sekitar 0,5% - 2%, kecuali di beberapa tempat

terutama di daerah pinggiran sungai. Ketinggian wilayah dari permukaan laut

hingga 199 m di atas permukaan laut dimana sebagian wilayahnya (luas kurang

lebih 1657 ha) terletak pada ketinggian kurang dari 100 m dan sisanya 1593 ha

berada pada ketinggian antara 100-199 m.

4.2.4 Hidrologi

Terdapat 3 sungai yang melintasi kota Yogyakarta, yaitu Sungai Gajah

Wong yang mengalir di bagian timur kota, Sungai Code di bagian tengah dan

Sungai Winongo di bagian barat kota. Ketiga sungai ini merupakan drainase

utama Kota Yogyakarta

Wilayah kota Yogyakarta merupakan bagian dari daratan kaki fluvio

vulkanik merapi yang mempunyai air tanah dan permukaan cukup melimpah

dengan kedalaman air tanah antara 0,5 m – 20 m. Semakin ke hilir permukaan air

tanah semakin dangkal dan tercemar. Pencemaran air kebanyakan disebabkan oleh

praktek-praktek sanitasi yang buruk baik pada lingkungan permukiman maupun

non permukiman. Potensi sumber daya air yang menonjol berasal dari curah hujan

dan air tanah.

Page 12: Geomorfologi Kota Banjarmasin

38

4.2.5 Geologi dan Tanah

Kondisi tanah Kota Yogyakarta cukup subur dan memungkinkan ditanami

berbagai tanaman pertanian maupun perdagangan, disebabkan oleh letaknya yang

berada di dataran lereng Gunung Merapi (fluvia vulcanic foot plain) yang garis

besarnya mengandung tanah regosol atau tanah vulkanis muda. Sejalan dengan

perkembangan perkotaan dan permukiman yang pesat, lahan pertanian di Kota

Yogyakarta setiap tahun mengalami penyusutan.

4.2.6 Iklim

Tipe iklim “AM dan AW”, curah hujan rata-rata 2,012 mm/tahun dengan

119 hari hujan, suhu rata-rata 27,2 °C dan kelembaban rata-rata 74,7%. Angin

pada umumnya bertiup angin muson dan pada musim hujan bertiup angin barat

daya dengan arah 220° bersifat basah dan mendatangkan hujan, pada musim

kemarau bertiup angin muson tenggara yang agak kering dengan arah ± 90° - 140°

dengan rata-rata kecepatan 9,5 – 29,7 km/jam.

4.2.7 Kependudukan

Pertambahan penduduk Kota Yogyakarta dari tahun ke tahun cukup tinggi.

Menurut BPS Kota Yogyakarta pada akhir tahun 2007 tercatat bahwa jumlah

penduduk Kota Yogyakarta sebanyak 543.917 dengan tingkat kepadatan rata-rata

16735 jiwa/km2. Untuk data pertumbuhan penduduk selengkapnya dapat dilihat

pada Tabel 5.

Tabel 5. Jumlah Penduduk Kota Yogyakarta Tahun 2000-2007

Sumber: Yogyakarta Dalam Angka 2006-2007, *)SUPAS International Population Survey

Tahun Jumlah Penduduk (jiwa)

Kepadatan Penduduk (Jiwa/Ha)

2000 497.699 15.313 2001 503.954 15.506 2002 510.404 15.704 2003 516.937 15.905 2004 523.554 16.109 2005*) 530.256 16.315 2006*) 537.043 16.524 2007*) 543.917 16.735

Page 13: Geomorfologi Kota Banjarmasin

39

4.2.8 Sosial Ekonomi

Bagi masyarakat Kota Yogyakarta, sektor pariwisata merupakan sebuah

industri. Oleh karena itu, perkembangan sektor pariwisata di Kota Yogyakarta

telah melibatkan sektor-sektor ekonomi lainnya, seperti sektor perdagangan, hotel

dan restoran, pengangkutan, komunikasi, sektor keuangan, sewa dan jasa

perusahaan, serta sektor-sektor jasa lainnya. Kontribusi sektor-sektor itu dalam

PDRB mencapai 78,6% dari seluruh kegiatan perekonomian Kota Yogyakarta.

Dalam transformasi struktural, Kota Yogyakarta menunjukkan mekanisme

transformasi dari agrikultural ke sektor jasa, dimana jasa menjadi leading sector

yang dominan.

Gambar 8. RTH Kota Yogyakarta: RTH di sekitar Gedung Agung Yogyakarta

(kiri); (b) Lahan Pertanian di Kota Yogyakarta (kanan)

4.3. Kota Medan (Propinsi Sumatera Utara)

4.3.1 Sejarah Kota Medan

Kota Medan berawal dari sebuah kampung kecil bernama Medan Putri yang

dibangun pada tahun 1590 oleh Guru Patimpus, keturunan Raja Singa Mahraja

yang memerintah Negeri Bakerah di Dataran Tinggi Karo. Lokasi Medan Putri

yang strategis sebagai lalu lintas perdagangan di bagian barat Hindia mendorong

kampung tersebut berkembang menjadi sebuah kota.

Perkembangan kota Medan semakin melesat setelah dunia mengenal

tembakau Deli. Jacobus Nienhuys, saudagar tembakau dari Belanda, yang pada

tahun 1863 mendapat konsesi lahan lebih dari 3.000 hektar dari Sultan Deli.

Lembar-lembar daun tembakau yang dihasilkan pada panen pertamanya langsung

diakui oleh para pengusaha cerutu di Rotterdam sebagai pembungkus cerutu

terbaik di antara jenis tembakau lainnya di seluruh dunia.

Page 14: Geomorfologi Kota Banjarmasin

40

Sejak saat itu, Nienhuys melakukan ekspansi lahan perkebunan secara

besar-besaran dengan membuka lahan di daerah Martubung, Sunggal, Sungai

Beras, dan Klumpang. Kantor perusahaan pun dipindahkan ke Kampung Medan

Putri, kampung yang awalnya hanya dihuni ratusan orang. Usaha perkebunan itu

menyerap banyak kuli kontrak dari Jawa, buruh-buruh Cina, sampai ke pengusaha

perkebunan asing dari Inggris dan Belanda.

Letak Medan memang strategis. Kota ini dilalui Sungai Deli dan Sungai

Babura. Keduanya merupakan jalur lalu lintas perdagangan yang cukup ramai.

Keberadaan Pelabuhan Belawan di jalur Selat Malaka yang ramai menjadikan

Medan pintu gerbang Indonesia bagian barat.

Kota Medan berkembang menjadi kota besar, kota metropolitan. Sebagai

sebuah kota, ia mewadahi berbagai fungsi, yaitu, sebagai pusat administrasi

pemerintahan, pusat industri, pusat jasa pelayanan keuangan, pusat komunikasi,

pusat akomodasi kepariwisataan, serta berbagai pusat perdagangan regional dan

internasional.

4.3.2 Letak Geografis dan Batas Administrasi

Kota Medan memiliki luas 26.510 Ha (265,10 km2) atau 3,6 % dari

keseluruhan wilayah Sumatera Utara. Kota Medan merupakan ibukota Propinsi

Sumatera Utara yang terletak pada 3°30’ - 3°43’ Lintang Utara dan 98°35’-

98°44’ Bujur Timur. Kota Medan berada 2,5 – 37,5 m dpl. Secara administratif

terdiri dari 21 kecamatan dan 151 kelurahan. Secara administratif, wilayah Kota

Medan berbatasan dengan:

• Utara : Selat Malaka

• Timur : Kabupaten Deli Serdang

• Selatan : Kabupaten Deli Serdang

• Barat : Kabupaten Deli Serdang

Karena di sebelah utara berbatasan dengan Selat Malaka, maka Kota Medan

memiliki posisi strategis sebagai gerbang perdagangan barang dan jasa, baik

domestik maupun international (ekspor-impor) dan menjadi salah satu jalur lalu

lintas terpadat di dunia. Kabupaten Deli Serdang merupakan salah satu daerah

yang kaya dengan sumber daya alam (SDA), khususnya di bidang perkebunan dan

Page 15: Geomorfologi Kota Banjarmasin

41

kehutanan. Secara geografis, Kota Medan didukung oleh daerah-daerah yang kaya

sumber daya alam, seperti Deli Serdang, Labuhan Batu, Simalungun, Tapanuli

Utara, Tapanuli Selatan, Mandailing Natal, Karo, Binjai, dan lain-lain. Oleh

karena itu, Kota Medan secara ekonomi mampu mengembangkan berbagai

kerjasama dan kemitraan yang sejajar, saling menguntungkan, dan saling

memperkuat daerah-daerah sekitarnya. Posisi geografis Kota Medan telah

mendorong perkembangan kota ini dalam dua kutub pertumbuhan secara fisik,

yaitu daerah Belawan dan pusat Kota Medan saat ini. Secara spasial, wilayah

Kota Medan dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Peta Admistratif Kota Medan

(Sumber: P4W, Bogor)

4.3.3 Topografi

Kota Medan memiliki geografi yang unik, yaitu ramping di tengah dan

membesar di sisi utara dan selatan. Sebagian besar wilayah Kota Medan

merupakan dataran rendah dengan ketinggian 2,5 – 37,5 m dpl dan topografinya

cenderung miring ke utara serta menjadi tempat pertemuan dua sungai penting,

yaitu Sungai Babura dan Sungai Deli.

4.3.4 Iklim

Kota Medan mempunyai iklim tropis dengan suhu minimum menurut

Stasiun Klimatologi Polonia pada tahun 2006 berkisar antara 23,0 °C – 24,1 °C

Page 16: Geomorfologi Kota Banjarmasin

42

dan memiliki suhu maksimum yang berkisar antara 30,6 C – 33,1 °C. Kelembaban

udara di wilayah Kota Medan rata-rata 78% – 82% dan kecepatan angin rata-rata

sebesar 0,42 m/detik, sedangkan total laju penguapan tiap bulannya 100,6 mm.

Hari hujan di Kota Medan pada tahun 2006 rata-rata 19 hari/bulan dengan curah

hujan 211,67 mm/bulan.

4.3.5 Sosial Kependudukan

Populasi Kota Medan didominasi oleh beberapa suku, antara lain Melayu,

Jawa, Batak, dan Tionghoa. Pada tahun 2008, penduduknya berjumlah 2.102.105

jiwa. Pada siang hari, jumlah ini bisa meningkat hingga sekitar 2,5 juta jiwa

dengan dihitungnya jumlah penglaju (komuter). Dibandingkan pada sensus

penduduk tahun 2000, maka pada tahun 2006 terjadi pertambahan penduduk

sebesar 163.015 jiwa (0,92%). Pada tahun 2007, penduduk Kota Medan

meningkat menjadi 2.083.156 jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk sekitar

0,77% dan meningkat kembali pada tahun 2008 dengan jumlah 2.102.105 jiwa

dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 0,91%. Jumlah penduduk Kota

Medan dari tahun 1996 – 2008 dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Jumlah Penduduk Kota Medan 2000 - 2008

Tahun Jumlah Penduduk (jiwa)

Kepadatan Penduduk (Jiwa/Km2)

2000 1.904.273 7435 2001 1.926.520 7522 2002 1.963.882 7668 2003 1.993.602 7784 2004 2.006.142 7833 2005 2.038.185 7958 2006 2.067.288 8072 2007 2.083.156 8134 2008 2.102.105 8208

Sumber: Medan Dalam Angka (BPS Kota Medan)

4.3.6 Sosial Ekonomi

Perekonomian Kota Medan didominasi oleh kegiatan perdagangan, hotel,

dan restoran dengan porsi sebesar 35,02% yang disusul oleh sektor industri

pengolahan sebesar 19,07%. Dari besaran nilai kedua sektor tersebut maka

Page 17: Geomorfologi Kota Banjarmasin

43

dikatakan bahwa potensi unggulan yang paling berkembang di Kota Medan

adalah sektor perdagangan dan industri.

Gambar 10. RTH Kota Medan: Taman Universitas Sumatera Utara (USU,

Medan) (kiri); Ruang Terbangun: Kawasan Komersial Jalan A. Yani, Medan

(kanan)