Geologi Regional Sumatera Gdl Fanjijuand 22660 3 2010ta 2

download Geologi Regional Sumatera Gdl Fanjijuand 22660 3 2010ta 2

of 27

description

eksplorasi migas indonesia

Transcript of Geologi Regional Sumatera Gdl Fanjijuand 22660 3 2010ta 2

  • 9BAB II

    GEOLOGI REGIONAL

    2.1. Geologi Regional Sumatra

    Pulau Sumatra merupakan pulau keenam terbesar di dunia. Secara ekspresi fisiografi,

    pulau ini memiliki orientasi berarah baratlaut-tenggara (Gambar 2.1). Luas area dari pulau ini

    435.000 km2, dengan panjang terhitung 1650 km dari Banda Aceh di bagian utara hingga

    Tanjungkarang di bagian selatan. Lebar yang terhitung sekitar 100-200 km di bagian utara dan

    sekitar 350 km di bagian selatan. Pegunungan Barisan yang berada sepanjang bagian barat

    membagi pantai barat dan timur Pulau Sumatra. Lereng yang berarah Samudera Hindia pada

    umumnya curam sehingga menyebabkan sabuk bagian barat biasanya berupa pegunungan

    dengan pengecualian 2 embayment pada Sumatra Utara yang memiliki lebar 20 km. Sabuk

    bagian timur pada pulau ini ditutupi oleh formasi Tersier dan dataran rendah aluvial (Darman

    dan Sidi, 2000).

    Pulau Sumatra merupakan bagian Sundaland yang terletak di bagian baratdaya. Oleh

    karena itu, teori tentang pembentukan Sumatra tidak terlepas dengan sejarah pembentukan

    Sundaland itu sendiri (Darman dan Sidi, 2000).

    Gambar 2.1 Pulau Sumatra

    (sumber: Id.wikipedia.org/wiki/berkas_sumatratopografi.png)

    Lokasi penelitian

  • 10

    Terdapat beberapa teori tentang sejarah pembentukan Pulau Sumatra, yaitu:

    1. Pulau Sumatra sebagai model jalur subduksi yang berkembang semakin muda ke baratdaya-

    selatan dan ke arah utara (Katili, 1978).

    2. Pulau Sumatra sejak awal merupakan bagian dari benua asia (Kuliah Geologi Indonesia, 2009).

    3. Pulau Sumatra sebagai produk amalgamasi unsur-unsur dari Benua Asia dan Gondwana

    (Pulunggono dan Cameron 1984, Barber 1985 dalam Darman dan Sidi, 2000).

    Dari ketiga teori di atas, yang paling banyak diterima ialah teori ketiga yaitu Pulau Sumatra

    merupakan produk amalgamasi unsur Asia dan Gondwana. Hal ini dapat terlihat pada gambar

    2.2.

    Unsur Gondwana Unsur Asia

    Jalur Suture

    Gambar 2.2. Produk amalgamasi antara unsur Gondwana dan unsur Asia padaPulau Sumatra.

    (sumber: Kuliah Geologi Indonesia, 2009)

  • 11

    Pada masa sekarang salah satu proses aktif yang masih berlangsung pada Pulau Sumatra

    ialah proses subduksi Lempeng Indo-Australia ke bawah Lempeng Eurasia. Subduksi ini

    memiliki kecepatan antara 6 hingga 7 cm per tahun dan berarah N20E. Beberapa tatanan

    tektonik terbentuk akibat proses subduksi ini, yakni (Darman dan Sidi, 2000) (Gambar 2.3):

    Palung Sunda.

    Busur luar Mentawai.

    Cekungan depan busur Sumatra.

    Jalur magmatik Bukit Barisan.

    Cekungan belakang busur.

    LokasiPenelitian

    Gambar 2.3 Tektonik Regional Sumatra

    (sumber : http://en.wikibooks.org/wiki/Image:Sumatra_map.jpg)

    L. Andaman Lokasi penelitian

  • 12

    Berdasarkan 5 tatanan tektonik yang disebutkan sebelumnya, wilayah tatanan tektonik yang

    memiliki potensi sebagai reservoir yang baik ialah cekungan belakang busur. Pada Pulau

    Sumatra terdapat 3 cekungan belakangan busur, yakni Cekungan Sumatra Utara, Cekungan

    Sumatra Tengah , dan Cekungan Sumatra Selatan (Gambar 2.3). Lapangan Delima merupakan

    lapangan migas yang terletak pada Cekungan Sumatra Utara.

    2.2 Geologi Regional Cekungan Sumatra Utara

    Secara fisiografis, daerah Langkat merupakan bagian dari Cekungan Sumatra Utara

    bagian selatan. Cekungan Sumatra Utara dibatasi oleh Pegunungan Bukit Barisan di bagian

    barat, Paparan Malaka di bagian timur, Lengkungan Asahan di bagian selatan, Laut Andaman di

    bagian Utara (Gambar 2.3). Pada gambar 2.4 dapat terlihat penampang yang berarah baratdaya-

    timur laut yang memperlihatkan bagaimana pengaruh subduksi yang mengontrol tatanan

    tektonik setting dari Cekungan Sumatra Utara.

    (Pertamina dan Beicip, 1985)

    Gambar 2.4. Peta dan Penampang cekungan Sumatra bagian utara

    (Simadjuntak dan Barber, 1996 dalam Satyana 2008)

    )

    (Koesoemadinata dkk., 1994)

    )

  • 13

    Cekungan Sumatra Utara merupakan backarc basin yang memiliki orientasi baratlaut-

    tenggara, mengikuti sistem Cekungan Neogen. Cekungan ini yang terbentuk akibat tumbukan

    Lempeng India-Australia dengan Lempeng Eurasia. Cekungan Sumatra Utara terdiri dari

    beberapa subcekungan, yaitu:

    1. Subcekungan Aceh di bagian utara.

    2. Subcekungan Aru di bagian tengah.

    3. Subcekungan Langkat di bagian tenggara.

    Pada gambar 2.5 dapat terlihat ketiga subcekungan Sumatra Utara. Ketiga subcekungan ini

    mengikuti sistem Cekungan Paleogene Sumatra yang berarah utara-selatan. Subcekungan ini

    dipisahkan oleh tinggian-tinggian dan dalaman-dalaman setempat, seperti Tinggian Sigli,

    Dalaman Jawa, Tinggian Tinggian Arun-Lhok Sukon, Dalaman Tamiang, Tinggian Hyang

    Besar, Pakol Horst Graben, dan Glaga Horst Graben. Lokasi penelitian pada tugas akhir ini

    berada di Langkat yang merupakan bagian dari Tinggian Hyang Besar.

    Legenda:

    Gambar 2.5. Subcekungan Sumatra Utara yang mengikuti sistem Cekungan Paleogene Sumatra(Darman dan Sidi, 2000).

    : Subcekungan Aru

    : Subcekungan Langkat

    : Subcekungan Aceh

  • 14

    2.2.1 Stratigrafi Cekungan Sumatra Utara

    Pembentukan stratigrafi pada Cekungan Sumatra Utara dimulai sejak proses sedimentasi

    pada kala Tersier. Cekungan Sumatra Utara secara litostratigrafi tersusun atas 8 unit

    litostratigrafi seperti yang dilihat pada gambar 2.6 (Indonesia Basin Summaries, 2006).

    Gambar 2.6. Stratigrafiregional pada CekunganSumatra Utara (modifikasidari Sosromihardjo, 1988

    dalam Indonesia BasinSummaries, 2006 ).

  • 15

    2.2.1.1.1 Batuan Dasar

    Batuan Dasar pada cekungan Sumatra Utara terdiri dari batupasir, batugamping atau

    dolomit. Batuan ini padat dan terdapat banyak rekahan. Batuan ini tidak mengalami perubahan

    alterasi. Dari beberapa contoh core yang diambil, lapisan batuan ini sulit untuk dikenali sebagai

    batuan dasar.

    2.2.1.2 Formasi Tampur (Eosen Akhir)

    Proses pengendapan sedimen di Cekungan Sumatra Utara dimulai pada Eosen Akhir

    yang ditandai dengan pengendapan Formasi Tampur di atas Tampur Platfrom sebagai platform

    karbonat, yang pada beberapa lokasi sering disebut sebagai economic basement. Formasi ini

    diendapkan tidak selaras di atas batuan dasar. Pada Formasi Tampur ini diendapkan batugamping

    massif, batugamping bioklastik, kalkarenit, dan kalsilutit. Nodul dari rijang juga ditemukan di

    beberapa tempat pada formasi ini. Pada formasi ini juga ditemukan dolomite dan basal

    konglomerat. Formasi ini diendapkan pada sublitoral open marine selama Eosen Akhir hingga

    Oligosen Awal. Batugamping Tampur Eosen pada umumnya ditemukan pada Paparan Malaka

    (Ryacudu & Sjahbuddin, 1994).

    2.2.1.3 Formasi Parapat (Oligosen Awal)

    Formasi Parapat diendapkan secara tidak selaras di atas Formasi Tampur atau batuan pra-

    Tersier. Formasi ini diendapkan sebagai endapan kipas alluvial yang menempati sepanjang Sesar

    Sumatra. Litologi yang utama pada formasi ini adalah breksi kuarsa mikaan, konglomerat dan

    batupasir mikaan. Batupasir di formasi ini terdapat struktur sedimen silang siur, struktur ripple

    dan juga mengandung zat-zat organik. Lingkungan pengendapan pada umumnya pada cekungan

    graben dari batuan asal, fluviatil kadang secara lokal dapat meningkat menjadi laut dangkal.

    Ketebalan dari formasi ini bervariasi dengan tebal maksimal adalah 2700 m. Perubahan

    ketebalan maupun penipisan terjadi dengan cepat. Fosil yang ditemukan pada lapisan yang muda

    dari formasi menunjukkan umur Oligosen Awal.

  • 16

    2.2.1.4 Formasi Bampo (Oligosen Awal - Oligosen Akhir)

    Fase transgresi awal ditandai dengan pengendapan Formasi Bampo yang diendapkan

    pada lingkungan marine/lacustrine. Formasi Bampo diendapkan selaras di atas Formasi Parapat.

    Akan tetapi, sebagian Formasi Bampo mempunyai umur yang sama dengan Formasi Parapat.

    Litologinya didominasi oleh batulempung berwarna abu-abu gelap-hitam, batulumpur dan lanau

    serta banyak ditemukan nodul-nodul karbonat. Formasi ini mempunyai umur yang berbeda-beda.

    Di Aceh berumur Oligosen Akhir tetapi di daerah timur mempunyai umur Miosen Awal.

    Ketebalan Formasi ini di bagian selatan antara 0-120 m, di timur antara 220-550 m, di utara 2400

    m. Formasi ini diendapkan pada lingkungan yang berbeda-beda untuk daerah yang berbeda-beda,

    di sebelah utara lingkungannya adalah neritik luar sampai batial atas, di lain tempat umumnya

    formasi ini diendapkan di lingkungan dangkal.

    2.2.1.5 Formasi Bruksah (Oligosen Awal-Oligosen Akhir)

    Formasi Bruksah memiliki umur yang ekivalen dengan Formasi Bampo. Formasi ini

    tersusun oleh batupasir, basal konglomerat, serpih, dan batulanau. Kehadiran material-material

    berukuran butir halus hingga kasar dan adanya basal konglomerat yang pada bagian bawahnya

    terdapat kuarsit dan matriks lempung menunjukkan lapisan ini diendapkan pada lingkungan

    fluviatil.

    2.2.1.6 Formasi Belumai (Miosen Awal)

    Fase transgresi selanjutnya berlangsung pada Miosen Awal dan ditandai dengan

    pengendapan material-material klastik Formasi Belumai. Formasi Belumai diendapkan selaras di

    atas Formasi Bampo yang berubah secara bergradasi. Formasi ini mempunyai dua anggota yaitu

    Batupasir Belumai dan Batugamping Telaga. Litologi utamanya batupasir abu-abu gelap-

    kehijauan, kuning bila terlapukkan; mengandung glaukonit dan gamping, juga mengandung

    batulanau dan sisipan serpih. Pengendapan lapisan pada formasi ini terjadi pada lingkungan delta

    bergradasi menjadi laut litoral dan paparan. Sumber sedimen diperkirakan dari selatan dan

    sedikit dari arah timur. Umur Formasi ini adalah Miosen Awal.

  • 17

    2.2.1.7 Formasi Baong (Miosen Tengah)

    Pada saat pengendapan Formasi Baong banyak ditemukan kumpulan fauna yang

    menunjukkan adanya puncak transgresi. Litologinya terdiri atas batulempung abu-abu sampai

    hijau dan napal yang kadang-kadang mengandung tufa. Pada tengah-tengah formasi terdapat

    lensa-lensa batupasir. Napal dan batulumpur diendapkan di neritik dalam-luar dan batial atas.

    Penentuan ketebalan formasi telah dilakukan oleh Kamili dan Naim (1973) menghasilkan 1750

    meter, sedangkan menurut Mulhadiono dan Marinoadi (1977) adalah 2500 meter.

    Bagian bawah formasi ini merupakan batuan sumber hidrokarbon. Hidrokarbon tersebut

    bermigrasi akibat adanya struktur diapir. Penekanan batuan sedimen yang jenuh akan air

    kemudian menekan hidrokarbon dan terperangkap pada lapangan batupasir yang terdapat di

    tengah-tengah formasi. Sebagai contohnya Lapangan Aru. Formasi Baong juga ditemukan di

    Bukit Barisan yang mempunyai ketebalan sampai 2000 m. Batupasir pada formasi ini

    diendapkan dari tepi cekungan-cekungan utama.

    2.2.1.8 Formasi Keutapang (Miosen Akhir)

    Formasi ini diendapkan selaras di atas Formasi Baong. Lingkungan pengendapan formasi

    ini adalah delta dan laut dangkal dengan ketebalan 1500 m dan memiliki ketebalan 900 m pada

    Bukit Barisan. Formasi ini memiliki umur Miosen Akhir berdasarkan analisis foraminifera

    planktonik pada formasi ini. Litologi pada formasi ini, yaitu: batupasir yang berwarna coklat

    keabu-abuan berseling dengan serpih dan batugamping tipis. Butiran batupasir beragam, dari

    halus hingga sangat kasar. Pada batupasir ditemukan fosil (fragmen gastropoda dan pelecypoda,

    foraminifera) dan glaukonit pada umumnya. Pada formasi ini juga ditemukan fragmen-fragmen

    kayu yang berseling dengan serpih, berwarna abu-abu, blocky, dan terlihat banyak bioturbasi.

    2.2.1.9 Formasi Seurela (Pliosen Awal)

    Formasi ini diendapkan selaras di atas Formasi Keutapang dengan ketebalan antara 700-

    900 m. Di sebelah barat ditemukan kontak ketidakselarasan. Litologi Formasi Seurela adalah

    konglomerat, batupasir, napal dan batulempung. Fosil dan fragmen kayu umum ditemukan pada

    batupasir dan serpih dari formasi ini. Material klastik gunungapi juga banyak ditemukan pada

    batupasir dari formasi ini. Lingkungan pengendapan formasi ini litoral.

  • 18

    2.2.1.10 Formasi Julurayeu (Pliosen Akhir)

    Formasi ini diendapkan di lingkungan fluviatil hingga litoral. Litologi Formasi Julurayeu

    adalah lempung dan konglomerat di bagian bawah formasi yang kemudian semakin ke atas

    meningkat menjadi batupasir tufaan yang lunak. Ketebalan dari formasi ini adalah 400-600 m

    dengan umur adalah Plio-Plistosen.

    2.2.2 Tektonostratigrafi Cekungan Sumatra Utara

    Penelitian tentang stratigrafi pada Cekungan Sumatra Utara sudah dilaksanakan sejak

    tahun 1880an, yaitu semenjak ditemukannya minyak di Telaga Tiga (1883) dan Telaga Said

    (1885). Pada saat ini sudah banyak perkembangan tentang pembagian stratigrafi pada Cekungan

    Sumatra Utara (gambar 2.7). Terminologi stratigrafi pada Cekungan Sumatra Utara yang dipakai

    saat ini dapat dilihat pada gambar 2.7

    Gambar 2.7 Perkembangan terminologi stratigrafi pada Cekungan Sumatra Utara

    (Barber, Crow, dan Milsom, 2005)

    Barber, Crow, and

    Milsom, 2005

  • 19

    Untuk mengaitkan pertistiwa tektonik dan pengendapan yang terjadi saat Tersier, maka

    dibentuklah suatu tektonostratigrafi oleh para ahli sehingga dapat menggambarkan siklus

    pengendapan yang lebih lengkap.

    Tektonostratigrafi (gambar 2.8) pada Cekungan Sumatra Utara dibagi menjadi 4 fase,

    yaitu (Darman dan Sidi, 2000):

    Fase Pre rift (Eosen).

    Fase Early syn-rift (Eosen Akhir-Oligosen).

    Fase Late syn-rift (Oligosen Akhir-Miosen Tengah).

    Fase Syn-orogenic (Miosen Tengah-Resen).

    Gambar 2.8 Tektonostratigrafi Cekungan Sumatra Utara.

    (Darman dan Sidi, 2000 modifikasi Barber, Crow, dan Milsom, 2005)

    Early Syn-riftStage

    Late Syn-riftStage

    Syn-orogenicStage

    Pre-rift

  • 20

    2.2.2.1 Fase Pre rift (Eosen)

    Sedimen Tersier yang paling awal terendapkan pada Pulau Sumatra merupakan sedimen

    endapan laut dangkal pada batas kontinen (Shallow water continental margint sedimen). Hal ini

    sesuai dengan konfigurasi cekungan pada saat Eosen yang dapat dilihat pada gambar 2.9.

    Sedimen laut dangkal ini terendapkan di atas basement Sundaland berumur pra-Tersier yang

    tererosi. Sedimen ini membentuk Formasi Tampur di Cekungan Sumatra Utara (gambar 2.6).

    Berdasarkan penelitian Van Bemmelen tahun 1949, ditemukan singkapan batugamping di aliran

    Sungai Tampur dan di dalamnya terdapat Laminasi alga, koral dan sisa-sisa coaly plants. Hal ini

    membuktikan bahwa batugamping ini terendapkan pada lingkungan sub-litoral hingga laut

    terbuka. Umur dari Formasi Tampur ini diperkirakan berumur Eosen hingga Oligosen Akhir

    berdasarkan posisi stratigrafi dan korelasi regional (Bennet dkk. 1981c dalam Barber, Crow, dan

    Milsom, 2005).

    Gambar 2.9 Konfigurasi Cekungan Sumatra Utara saat Eosen (satyana, 2008)

  • 21

    2.2.2.2 Fase Early syn-rift (Eosen Akhir-Oligosen).

    Fase early syn-rift yang terjadi pada Cekungan Sumatra Utara diawali dengan adanya

    tumbukan yang terjadi antara Benua India dengan Lempeng Eurasia pada Eosen Akhir.

    Tumbukan ini menghasilkan aktifasi 2 sesar utama, yakni Sesar Sumatra dan Sesar Malaka yang

    merupakan sesar mendatar dextral. Aktifitas dari kedua sesar inilah yang membentuk horst-

    graben pada Cekungan Sumatra Utara (Gambar 2.10). Pada saat ini juga terjadi transgresi

    regional (Darman dan Sidi, 2000).

    Horst graben ini merupakan pull-apart basin dengan arah orientasi utara-selatan. Struktur

    horst graben ini mengubah bentukan morfologi dan sedimentasi pada Pulau Sumatra. Bentuk

    awal Pulau Sumatra yang berupa dataran (peneplain) berubah menjadi pegunungan dengan

    dalaman-dalaman yang terisolasi. Proses sedimentasi dikontrol oleh sesar dan didominasi oleh

    proses fluviatil dan lacustrain yang sumber sedimennya berasal dari tinggian setempat. Hal ini

    dapat dianalogikan dengan proses sedimentasi yang terjadi pada rift valley di bagian Afrika

    Timur saat ini. Pada Cekungan Sumatra Utara, formasi yang terendapkan pada tahapan ini ialah

    Formasi Bruksah dan Bampo (Gambar 2.6) (Cameron dkk. 1980 dalam Barber, Crow, dan

    Gambar 2.10. Struktur horst-graben yang merupakan produk konvergensi Benua India dengan Lempeng Euarasia

    (Davies, 1984 dalam Satyana, 2008)

  • 22

    Milsom 2005). Pada beberapa tatanan stratigrafi yang ada, Formasi Bruksah disamakan dengan

    Formasi Parapat (gambar 2.7).

    2.2.2.3 Fase Late syn-rift (Oligosen Akhir-Miosen Tengah).

    Pada saat Oligosen Akhir, tektonik regime pada Cekungan Sumatra Utara mulai berubah.

    Subsiden regional akibat fase sagging terjadi pada saat itu. Pada saat yang bersamaan, sistem

    busur Sumatra mulai terbentuk sehingga mulailah dikenal dengan terminologi cekungan

    depan busur, cekungan belakang busur, dan busur magmatik. Busur magmatik yang terbentuk

    ialah Bukit Barisan yang memiliki orientasi baratlaut-tenggara. Kehadiran Bukit Barisan ini

    sangat penting karena Bukit Barisan merupakan sumber suplai sedimen penting untuk

    cekungan depan busur dan cekungan belakang busur pada saat itu. Cekungan Sumatra Utara

    terletak dekat dengan Bukit Barisan sehingga suplai sedimen pada cekungan ini berasal dari

    Bukit Barisan dengan sistem pengendapan berupa sistem alluvial. Subsiden terus terjadi

    sehingga lingkungan pengendapan mulai berubah menjadi laut terbuka, diawali dengan

    ditemukannya beberapa pengendapan delta dan terumbu secara lokal. Formasi yang

    terendapkan pada Cekungan Sumatra Utara pada fase ini ialah Formasi Peutu dan Formasi

    Belumai. Formasi Peutu merupakan formasi yang terendapkan pada fase awal transgresi

    dengan lingkungan berupa fluviatil. Formasi Belumai merupakan formasi yang terendapkan

    pada fase akhir transgresi sehingga lingkungan pengendapan formasi ini ialah delta bergradasi

    menjadi laut litoral dan paparan.

    2.2.2.3 Fase Maksimum Transgresi (Miosen Tengah).

    Fase maksimum transgresi yang terjadi pada Miosen Tengah sebenarnya bukan salah satu

    dari pembagian tektonostratigrafi, tetapi biasanya fase ini dijadikan indikasi oleh beberapa

    peneliti sebagai suatu fase terjadinya pengendapan maksimum dari marine shale dan

    minimum influx klastik. Pada saat ini Bukit Barisan hampir seluruhnya mengalami

    penenggalaman. Formasi yang terendapkan pada fase ini ialah Formasi Baong (gambar 2.6).

  • 23

    Formasi Baong merupakan formasi yang sangat baik sebagai seal untuk lapisan reservoir

    dibagian bawahnya karena formasi ini memiliki shale yang cukup tebal.

    2.2.2.4 Fase Syn-orogenic (Miosen Tengah-Resen).

    Pada saat Miosen tengah, sagging yang terjadi pada Cekungan Sumatra Utara mulai

    melambat. Bukit Barisan pada fase ini uplift dan muncul kembali sehingga menjadi sumber

    sedimen penting pada Cekungan Sumatra Utara. Hal ini dibuktikan dengan penelitian yang

    dilakukan oleh Morton dkk., 1994, yang melakukan studi provenance pada Formasi Keutapang

    (Miosen Akhir) dan menyimpulkan bahwa sedimen pada Formasi Keutapang berasal dari arah

    barat atau baratlaut (Bukit Barisan terletak barat laut dari Cekungan Sumatra Utara).

    Pada Miosen Akhir hingga Plio-Pleistosen, proses tektonik kompresi mulai mendominasi

    pada Cekungan Sumatra Utara. Proses kompresi ini disebabkan oleh adanya aktifitas Sesar

    Sumatra dan pemekaran Laut Andaman (Asikin, 2009). Proses-proses kompresi ini dibantu

    dengan proses subduksi yang terjadi pada Palung Sunda sehingga membuat Bukit Barisan

    mencapai puncaknya saat Plio-Pleistosen. Formasi yang terendapkan pada Cekungan Sumatra

    Utara saat fase regresi ini ialah Formasi Keutapang, Formasi Seureula, dan Formasi Julurayeu.

    Formasi Keutapang merupakan formasi yang menandakan awal pengendapan deltaic pada

    Cekungan Sumatra Utara (Darman dan Sidi, 2000).

  • 24

    2.2.3 Sistem Petroleum Cekungan Sumatra Utara

    Suatu keberhasilan dalam eksplorasi ditentukan oleh pemahaman terhadap sistem

    petroleum dari suatu daerah. Pemahaman ini mengenai elemen dan proses pada sistem petroleum

    daerah itu sendiri. Berdasarkan data geologi dan geokimia, maka sistem petroleum Cekungan

    Sumatra Utara (gambar 2.11) adalah sebagai berikut:

    2.2.3.1 Batuan induk

    Berdasarkan susunan unit litostratigrafi yang ada, salah satu formasi yang berpotensi

    sebagai batuan induk ialah Formasi Bampo. Formasi Bampo hingga saat ini memiliki

    biodegradasi yang diperkirakan agak rendah (Kjellgren dan Sugiharto dalam PERTAMINA,

    2008). Studi lebih lanjut diperlukan untuk mengetahui jenis fraksi biodegradasi atau menentukan

    jumlah minyak terdapat di dalamnya masih sangat terbuka. Rekonstruksi yang ada menunjukkan

    bahwa formasi ini telah menghasilkan minyak dan sebagian telah bermigrasi ke paleosurface.

    Serpih Formasi Bampo telah mencapai tahap cukup matang untuk menghasilkan dan

    memigrasikan minyak bumi. Saat ini serpih Formasi Bampo di Dalaman Pakol dan Glagah telah

    mencapai tahap over mature. Pada kenyataanya minyak dari biodegradasi hanya dijumpai pada

    lokasi tertentu saja. Hal ini kemungkinan terkait ketersediaan perangkap dan jalur migrasi pada

    saat batu induk mencapai tingkat kematangan.

    Formasi lain yang berpotensi untuk menjadi batuan induk ialah Formasi Baong Bawah

    atau Formasi Belumai. Variasi kerogen yang ada menunjukkan bahwa terjadi perbedaan

    spectrum minyak dan tingkat kematangan batuan induk, hal ini kemungkinan terkait dengan

    posisi pengendapan batuan induk yang ada. Variasi yang ada menunjukkan bahwa Formasi

    Baong Bawah/Belumai diendapkan pada lingkungan delta (Kjellgren dan Sugiharto dalam

    PERTAMINA, 2008). Formasi Baong Bawah/Belumai yang ada di deposenter diperkirakan

    berada pada tahap yang lebih matang dibandingkan dengan batuan induk yang ada dalam studi,

    dimana minyak telah bermigrasi dari deposenter pada Tersier Akhir. Studi petrologi material

    organik menunjukkan bahwa Formasi Baong Bawah/Belumai telah mampu menghasilkan

    hidrokarbon cair. Hal ini terlihat dari oil trace yang berasosiasi dengan maseral bitumenit dalam

    serpih formasi ini.

  • 25

    2.2.3.2 Batuan Reservoar

    Salah satu batuan reservoir yang berpotensi pada Cekungan Sumatra Utara adalah

    batupasir Formasi Belumai yang sampai saat ini umumnya berproduksi dalam closure struktur,

    namun pada salah satu sumur yang ada pada PERTAMINA terlihat adanya peran stratigrafi

    dalam pembentukan perangkap pada batupasir Formasi Belumai. Minyak yang terperangkap

    dalam perangkap ini diperkirakan langsung dari Formasi Baong Bawah/Belumai (Kjellgren dan

    Sugiharto dalam PERTAMINA, 2008).

    Batupasir yang terendapkan selama transgresi pada Formasi Keutapang dan batupasir

    Formasi Baong juga merupakan reservoar yang cukup potensial. Minyak bermigrasi dari serpih

    Formasi Baong melalui sesar tumbuh yang berkembang di daerah ini. Selain itu, batupasir intra

    Formasi Baong dan reef pada Miosen Awal juga berpotensi sebagai reservoar.

    2.2.3.3 Migrasi dan Perangkap

    Serpih Formasi Bampo (Oligosen Akhir) dan serpih Formasi Baong Bawah merupakan

    batuan induk utama pada Cekungan Sumatra Utara. Analisa geokimia menunjukkan bahwa

    Formasi Bampo merupakan gas prone dan mencapai tingkat kematangan pada Pliosen Akhir

    sedangkan serpih Formasi Baong Bawah merupakan gas dan oil prone yang mencapai tingkat

    kematangan pada Miosen Atas (Ryacudu, Djaafar, dan Gutomo dalam PERTAMINA, 2008).

    Berdasarkan data ini yang dikombinasikan dengan waktu pembentukan struktur dan sedimentasi,

    migrasi dan pemerangkapan maka diperkirakan system petroleum telah terbentuk di daerah ini.

    Hidrokarbon bermigrasi dari serpih Formasi Bampo menuju reservoir Formasi Belumai

    dan batupasir Formasi Belumai Tengah melalui zona patahan yang terbentuk selama tektonik

    akhir Miosen Tengah-Miosen Akhir. Reef antiklin yang terbentuk diantara trantensional fault

    merupakan perangkap yang bagus di daerah ini.

    Tektonik Plio-Pleistosen menyebabkan reaktifasi sesar dan lipatan pada batuan sedimen

    tersier yang terbentuk di Cekungan Sumatra Utara. Batuan induk yang berasal dari serpih

    Formasi Baong Bawah menghasilkan hidrokarbon dan memigrasikan ke dalam reservoir

    batupasir Formasi Belumai Tengah dan Formasi Keutapang pada perangkap antiklin yang ada.

  • 26

    2.2.3.4 Batuan Tudung (seal)

    Batuan tudung yang berfungsi sebagai penyekat bagian atas suatu reservoir baik

    struktural maupun stratigrafi terdapat di beberapa level, yaitu untuk level reservoir Basal

    sandstone diperkirakan batuan tudungnya adalah serpih dari Formasi Parapat atau dari serpih

    anggota bawah dari Formasi Belumai. Untuk level reservoir dari Formasi Belumai, batuan

    tudungnya adalah serpih dari anggota atas Formasi Belumai itu sendiri atau serpih dari Formasi

    Baong Bawah.

    Untuk reservoir dari Formasi Baong Tengah diperkirakan batuan tudungnya ialah dari

    serpih Formasi Baong bagian atas yang secara dominan memang tersusun oleh serpih. Adapun

    untuk level reservoir dari Formasi Keutapang diperkirakan batuan tudungnya ialah anggota

    serpih dari Formasi Keutapang itu sendiri yang secara litologi Formasi Keutapang tersusun oleh

    perselingan batupasir dan serpih dari bagian bawah hingga bagian atas.

    2.2.3.5 Perangkap

    Perangkap minyak dan gas pada daerah Cekungan Sumatra Utara umumnya merupakan

    perangkap kombinasi struktural dan stratigrafi.

  • 27Gambar 2.11. Sistem petroleum Cekungan Sumatra Utara (Satyana, 2008)

  • 28

    2.3 Geologi Lapangan Delima

    2.3.1 Stratigrafi Lapangan Delima

    Berdasarkan data pengeboran sumur DIA 4, terdapat 6 unit formasi yang tertembus bor

    pada daerah penelitian (gambar 2.12), yaitu (dari tua ke muda):

    Gambar 2.12. Formasi yang tertembus oleh bor pada

    sumur DIA 4 dibandingkan dengan stratigrafi regional.

    (modifikasi dari Sosromihardjo, 1988 dalam Indonesia BasinSummaries, 2006 ).

  • 29

    2.3.1.1 Basal sandstone

    Litostratigrafi ini terletak pada kedalaman 2570 m(MD). Formasi ini merupakan bagian

    dari Formasi Bruksah. Bagian bawah dari formasi ini tersusun oleh batupasir, batulanau, dan

    serpih dengan basal konglomerat pada bagian bawah. Batupasir berwarna putih kadang-kadang

    abu-abu hingga coklat kemerahan, ukuran butir halus hingga sedang, bentuk butir menyudut

    tanggung-membulat tanggung, sortasi sedang, agak keras hingga keras, dominan kuarsa,

    feldspar, serta kadang-kadang karbonan, porositas sangat jelek, dan tidak ada menunjukkan

    kehadiran hidrokarbon. Serpih berwarna merah, getas, non karbonatan. Batulanau coklat gelap

    dan agak keras. Basal konglomerat berwarna abu-abu kecoklatan, mengandung fragmen kuarsit

    dan batulempung, ukuran butir dari kerikil hingga kerakal, bentuk butir membulat hingga

    menyudut tanggung, sortasi jelek, non karbonatan, keras hingga sangat keras, dan matrik

    berukuran lempung hingga pasir.

    Bagian atas dari Formasi ini secara umum tersusun oleh batupasir dengan sisipan tipis

    serpih pada bagian tengah. Batupasir ini berwarna putih, kadang-kadang abu-abu dan coklat

    kemerahan, ukuran butir halus hingga sedang, bentuk butir menyudut tanggung-membulat

    tanggung, sortasi sedang, agak keras hingga keras, dominan kuarsa, feldspar, serta kadang-

    kadang karbonan, dan porositas buruk hingga sedang. Serpih berwarna coklat gelap hingga abu-

    abu gelap, keras hingga getas, sedikit karbonatan.

    2.3.1.2 Formasi Belumai

    Formasi ini berada pada kedalaman 2370 m (MD). Bagian bawah secara umum tersusun

    oleh batupasir, batulanau, dan serpih dengan streaks batugamping. Batupasir berwarna abu-abu

    cerah hingga putih keabu-abuan, ukuran butir halus hingga sangat halus, agak keras hingga

    keras, sortasi sedang hingga buruk, bentuk butir menyudut tanggung-membulat tanggung,

    karbonatan, dominan kuarsa, glaukonitan, porositas sedang, dan tidak menunjukkan adanya

    kenampakan hidrokarbon. Batulanau abu-abu cerah kadang-kadang abu-abu gelap, agak keras

    hingga getas, dan sedikit karbonatan. Adanya streaks batugamping dan hadirnya batupasir yang

  • 30

    bersih menunjukkan bahwa lingkungan pengendapan dari formasi ini ialah inner sublitoral.

    Berdasarkan data biostratigrafi, formasi ini diendapkan pada waktu Miosen Awal.

    Bagian tengah formasi ini secara umum tersusun oleh batupasir, serpih, dan batulanau.

    Batupasir berwarna abu-abu cerah, ukuran butir halus, agak keras, sortasi buruk, bentuk butir

    menyudut tanggung-membulat tanggung, karbonatan, dominan kuarsa, glaukonitan, dan

    porositas sedang. Serpih berwarna abu-abu, agak keras hingga getas, karbonatan. Batulanau

    berwarna abu-abu cerah, agak keras, dan karbonatan.

    Bagian atas dari formasi ini secara umum tersusun oleh batupasir dengan batugamping

    dengan sisipan tipis batulanau (kontak litologi antara Formasi Belumai dan bagian bawah

    Formasi Baong ditunjukkan oleh perubahan litologi dari serpih ke batugamping). Batupasir

    berwarna abu-abu cerah, ukuran butir halus, agak keras, sortasi sedang, bentuk butir menyudut

    tanggung-membulat tanggung, karbonatan, dominan kuarsa, glaukonitan, porositas sedang, dan

    tidak menunjukkan adanya kenampakan hidrokarbon. Batugamping berwarna putih keabu-abuan

    cerah, ukuran butir halus-sangat halus, bentuk butir menyudut tanggung-membulat tanggung,

    keras, dan glaukonitan. Batulanau abu-abu gelap, agak keras, karbonatan.

    Di atas dari Formasi Belumai terdapat zona transisi yang berada pada kedalaman 2240 m.

    Zona ini tersusun oleh perselingan batupasir, serpih, dan batugamping.

    2.3.1.3 Formasi Baong

    Formasi ini terletak pada kedalaman 1540 m (MD). Bagian bawah dari formasi ini secara

    umum tersusun oleh serpih dan batulanau dengan sisipan batupasir dan batugamping. Serpih

    abu-abu cerah, agak keras, fissile, sedikit karbonatan. Batulanau abu-abu gelap, karbonatan, dan

    lempungan. Batupasir berwarna abu-abu cerah, porositas buruk, ukuran butir sangat halus sortasi

    sedang, butiran membulat tanggung, agak keras, karbonatan, lempungan, dan dominan kuarsa.

    Batugamping kuning cerah, agak keras, dan porositas buruk.

    Bagian tengah dari formasi ini secara umum tersusun oleh batupasir dan serpih dengan

    sisipan batulanau. Batupasir berwarna abu-abu cerah hingga putih, ukuran butir sangat halus,

  • 31

    agak keras, sortasi buruk, bentuk butir membulat , karbonatan, glaukonitan, karbonatan, dan

    porositas sedang. Serpih abu-abu cerah, agak keras, dan fissile. Batulanau berwarna abu-abu

    kecoklatan, agak keras, dan karbonan.

    Bagian atas formasi ini secara umum tersusun oleh serpih dengan sisipan batulanau dan

    batupasir. Serpih berwarna abu-abu cerah lunak, fissile, fossiliferous. Batulanau berwarna abu-

    abu cerah hingga kecoklatan, lunak hingga getas, karbonatan, karbonan, dan lempungan.

    Batupasir berwarna abu-abu cerah hingga putih, ukuran butir halus hingga sangat halus, agak

    keras, sortasi buruk, bentuk butir membulat tanggung hingga membulat , karbonatan, dominan

    kuarsa, glaukonitan, karbonatan, dan porositas sedang.

    Formasi ini diendapkan pada lingkungan outer sublitoral-upper bathyal berdasarkan

    adanya kehadiran serpih dan batulanau yang mengandung fosil yang melimpah. Berdasarkan

    data biostratigrafi, formasi ini diendapkan pada waktu Miosen Tengah

    2.3.1.4 Formasi Keutapang

    Formasi ini berada pada kedalaman 360 m (MD). Bagian bawah secara umum tersusun

    oleh serpih dengan sisipan batulanau dan batupasir pada bagian tengah. Serpih abu-abu gelap,

    agak keras hingga getas, dan fissile. Batulanau berwarna abu-abu cerah, lunak hingga getas.

    Batupasir abu-abu cerah, ukuran butir halus hingga sedang, sortasi sedang, bentuk butir

    menyudut tanggung hingga membulat tanggung, agak keras, karbonatan, glaukonitan, dominan

    kuarsa, dan kadang-kadang mengandung mineral mafik.

    Bagian atas dari formasi ini tersusun oleh batupasir dengan perselingan serpih dan

    batulanau. Batupasir berwarna abu-abu hingga abu-abu cerah, porositas sedang, ukuran butir

    halus hingga sedang, bentuk butir menyudut hingga membulat tanggung. Agak keras, kadang-

    kadang karbonatan, mengandung fragmen cangkang, dan kuarsa. Serpih abu-abu, lunak hingga

    getas, dan sedikit karbonatan. Batulanau abu-abu, lunak hingga getas, dan sedikit karbonatan.

  • 32

    Formasi ini diendapkan pada lingkungan inner-outer sublitoral berdasarkan kehadiran

    batupasir pada bagian atas formasi dan adanya serpih yang mengandung sedikit fosil. Formasi ini

    diendapkan pada waktu Miosen Akhir berdasarkan data biostratigrafi yang ada.

    2.3.1.5 Formasi Seurula

    Formasi ini merupakan formasi termuda yang berada di lapangan penelitian. Bagian

    bawah formasi ini tersusun oleh batupasir dan serpih dengan perselingan batulanau. Batupasir

    berwarna abu-abu, ukuran butir halus hingga sangat halus, sortasi buruk, bentuk butir menyudut

    tanggung hingga membulat tanggung, friable hingga agak keras, karbonatan, mengandung

    fragmen cangkang, dan fossiliferous. Serpih berwarna abu-abu hingga abu-abu kehijauan, lunak

    hingga agak keras, karbonan, dan terdapat fragmen cangkang. Batulanau berwarna abu-abu,

    lunak hingga agak keras, dan karbonatan.

    Bagian atas formasi ini tersusun oleh batupasir dengan sisipan serpih dan batupasir

    konglomeratan. Batupasir berwarna putih hingga abu-abu cerah, ukuran butir sedang hingga

    kasar, bentuk butir menyudut tanggung hingga membulat tanggung, lepas-lepas, kadang-kadang

    mengandung fragmen cangkang, kuarsa, streaks batubara. Serpih berwarna abu-abu kehijauan,

    lunak hingga agak keras. Batupasir konglomeratan berwarna abu-abu cerah hingga putih, ukuran

    butir kerikil hingga kerakal, bentuk butir menyudut tanggung hingga membulat tanggung, lepas-

    lepas, didominasi oleh kuarsa dan fragmen vulkanik.

    Formasi ini diendapkan pada lingkungan inner sublitoral berdasarkan kehadiran material-

    material karbonan dan adanya fragmen-fragmen cangkang pada formasi ini. Berdasarkan data

    biostratigrafi yang ada, formasi ini diendapkan pada waktu Pliosen.

  • 33

    2.3.2 Struktur Lapangan Delima

    Closure yang berkembang pada Lapangan Delima merupakan kombinasi antara struktur

    sesar dan lipatan relatif landai (gambar 2.14). Struktur sesar yang berkembang ialah sesar naik

    yang berarah baratlaut-tenggara dan NNE-SSW. Hal ini dapat dilihat pada gambar peta struktur

    kedalaman dengan interval SB1 (gambar 2.13) yang terletak di halaman berikutnya.

    Berdasarkan data seismik (gambar 2.14), dapat terlihat bahwa sesar yang ada merupakan

    sesar naik yang mengalami perubahan gerakan secara gradasi ke atas hingga level interval

    penelitian (Formasi Keutapang). Kombinasi struktur dan sesar dan lipatan ini diperkirakan

    terbentuk setelah terendapkan Formasi Julurayeu. Hal ini diindikasikan dengan terpotongnya

    Formasi Julurayeu oleh sesar-sesar tersebut. Formasi Julurayeu menurut tatanan stratigrafi

    regional berumur Pliosen Akhir, sehingga deformasi dari struktur ini berumur Plio-Pleistosen

    Hal ini sesuai dengan geologi regional pada Cekungan Sumatra Utara, yaitu pada saat Pliosen

    Akhir terjadi fase kompresi sehingga menghasilkan struktur-struktur yang berfungsi sebagai

    perangkap di Cekungan Sumatra Utara (Barber, Crow, dan Milsom, 2005).

    2.3.3 Reservoir Lapangan Delima

    Pada Lapangan Delima terdapat 8 sumur dan 3 sumur diantaranya berhasil menemukan

    hidrokarbon. Hidrokarbon minyak ditemukan pada sumur DIA-1 dan DIA-2A dengan lapisan

    reservoir berupa batupasir yang berada pada Formasi Belumai. Gas ditemukan pada sumur DIA-

    5 dengan lapisan reservoir berupa batupasir yang berada pada Formasi Keutapang. Penelitian ini

    difokuskan pada Formasi Keutapang untuk rencana pengembangan cadangan gas.

  • 34Gambar 2.13. Peta struktur kedalaman interval SB 1 Lapangan Delima.

    AB

    Closure

  • 35

    A B

    Gambar 2.14. Penampang seismik pada lintasan A dan B yang menunjukkan adanya sesar naik pada lapangan penelitian

    Legenda:

    : Sesar

    : MFS 1

    : SB 1

    : Fs B

    : FS C

    : SB 2

    : MFS

    %s!RxYE8Jr