Geologi Regional Pulau Jawa

22
GEOLOGI REGIONAL PULAU JAWA I. Fisiografi Regional Fisiografi Pulau Jawa dapat dibagi menjadi 3 bagian yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat. Setiap bagian terdiri dari zona-zona berdasarkan bentukan yang dominan pada masing-masing daerah. I.1 Jawa Timur Van Bemmelen (1949) membagi Jawa Timur dan Madura menjadi tujuh zona fisiografi (Gambar 2.1), dari selatan ke utara berturut-turut adalah sebagai berikut:Zona Pegunungan Selatan Bagian Timur, Zona Solo, Zona Kendeng, Zona Randublatung, Zona Rembang, Dataran Aluvial Jawa Utara, dan Gunung Api Kuarter (Gambar 1). 1. Zona Pegunungan Selatan Bagian Timur Zona Pegunungan Selatan Bagian Timur merupakan busur volkanik Eosen-Miosen yang terdiri dari endapan silisiklastik, volkaniklastik, batuan karbonat dan volkanik dengan kemiringan lapisan yang seragam ke arah selatan (Smyth dkk., 2005). Zona Pegunungan Selatan Jawa Bagian Timur memanjang sepanjang pantai selatan Jawa Timur dan Wonosari dekat Yogyakarta sampai ujung paling timur Pulau Jawa. Daerah ini pada umumnya mempunyai topografi yang dibentuk oleh batugamping dan volkanik, serta sering dijumpai gejala karst. 2. Zona Solo Zona Solo dapat dibagi menjadi tiga subzona, yaitu:

Transcript of Geologi Regional Pulau Jawa

Page 1: Geologi Regional Pulau Jawa

GEOLOGI REGIONAL PULAU JAWA

I. Fisiografi Regional

Fisiografi Pulau Jawa dapat dibagi menjadi 3 bagian yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah dan

Jawa Barat. Setiap bagian terdiri dari zona-zona berdasarkan bentukan yang dominan pada

masing-masing daerah.

I.1 Jawa Timur

Van Bemmelen (1949) membagi Jawa Timur dan Madura menjadi tujuh zona fisiografi

(Gambar 2.1), dari selatan ke utara berturut-turut adalah sebagai berikut:Zona Pegunungan

Selatan Bagian Timur, Zona Solo, Zona Kendeng, Zona Randublatung, Zona Rembang,

Dataran Aluvial Jawa Utara, dan Gunung Api Kuarter (Gambar 1).

1. Zona Pegunungan Selatan Bagian Timur

Zona Pegunungan Selatan Bagian Timur merupakan busur volkanik Eosen-Miosen yang

terdiri dari endapan silisiklastik, volkaniklastik, batuan karbonat dan volkanik dengan

kemiringan lapisan yang seragam ke arah selatan (Smyth dkk., 2005). Zona Pegunungan

Selatan Jawa Bagian Timur memanjang sepanjang pantai selatan Jawa Timur dan Wonosari

dekat Yogyakarta sampai ujung paling timur Pulau Jawa. Daerah ini pada umumnya

mempunyai topografi yang dibentuk oleh batugamping dan volkanik, serta sering dijumpai

gejala karst.

2. Zona Solo

Zona Solo dapat dibagi menjadi tiga subzona, yaitu:

Subzona Blitar pada bagian selatan. Subzona ini merupakan jalur depresi yang sempit,

berhubungan dengan Pegunungan Selatan di bagian selatan dan ditutupi oleh endapan

aluvial.

Subzona Solo Bagian Tengah. Subzona ini dibentuk oleh deretan gunungapi Kuarter

dan dataran antar gunung api. Gunung api tersebut adalah Gunung Lawu, Gunung

Wilis, Gunung Kelud, Pegunungan Tengger dan Gunung Ijen di ujung timur Pulau

Jawa. Sedangkan dataran-dataran antar gunungapinya adalah Dataran Madiun, Dataran

Ponorogo, dan Dataran Kediri. Dataran antar gunungapi ini pada umumnya dibentuk

oleh endapan lahar.

Page 2: Geologi Regional Pulau Jawa

Subzona Ngawi pada bagian utara. Subzona ini merupakan depresi yang berbatasan

dengan Subzona Solo di bagian selatan dan Pegunungan Kendeng di bagian utara.

Subzona ini pada umumnya dibentuk oleh endapan aluvial dan endapan gunung api.

3. Zona Kendeng

Zona Kendeng merupakan antiklinorium yang memanjang mulai dari Semarang yang

kemudian menyempit ke arah timur sampai ujung Jawa Timur di bagian utara. Smyth dkk.

(2005) menyatakan bahwa Zona Kendeng merupakan jalur anjakan berarah barat-timur. Zona

ini pada umumnya dibentuk oleh endapan volkanik, batupasir, batulempung, dan napal.

4. Zona Randublatung

Zona Randublatung merupakan sinklinorium yang memanjang mulai dari Semarang di

sebelah barat sampai Wonokromo di sebelah timur. Zona ini berbatasan dengan Zona

Kendeng di bagian selatan dan Zona Rembang di bagian utara.

5. Zona Rembang

Zona Rembang merupakan antiklinorium yang memanjang dengan arah barat-timur, mulai

dari sebelah timur Semarang sampai Pulau Madura dan Kangean. Lebar rata-rata zona ini

adalah 50 km. Zona ini merupakan hasil akhir dari gejala tektonik Tersier akhir

(Pringgoprawiro, 1983). Zona ini terdiri dari sikuen Eosen-Pliosen berupa sedimen klastik

laut dangkal dan karbonat yang luas. Pada zona ini terdapat suatu tinggian (Tinggian

Rembang) yang dibatasi oleh sesar mayor berarah ENE-WSW (Smyth dkk., 2005).

6. Dataran Aluvial Jawa Utara

Dataran Aluvial Jawa Utara menempati dua bagian, yaitu bagian barat dan bagian timur. Di

bagian barat mulai dari Semarang ke timur sampai ke Laut Jawa dan berbatasan dengan Zona

Rembang di bagian timur. Di bagian timur mulai dari Surabaya ke arah barat laut, di sebelah

barat berbatasan dengan Zona Randublatung, di sebelah utara dan selatan berbatasan dengan

Zona Rembang.

7. Gunung Api Kuarter

Gunung Api Kuarter menempati bagian tengah di sepanjang Zona Solo. Gunungapi yang

tidak menempati Zona Solo adalah Gunung Muria. Smyth dkk. (2005) menamakan zona ini

sebagai Busur Volkanik Kenozoikum Akhir yang aktif sejak Miosen Akhir.

Page 3: Geologi Regional Pulau Jawa

Gambar 1. Peta Fisiografi Jawa Timur (modifikasi dari van Bemmelen, 1949).

I.3 Jawa Tengah

Van Bemmelen (1949) membagi Jawa Tengah menjadi enam zona fisiografi, yaitu: Dataran

Aluvial Utara Jawa, Gunungapi Kwarter, Antiklinorium Bogor – Serayu Utara – Kendeng,

Depresi Jawa Tengah, Pegunungan Serayu Selatan dan Pegunungan Selatan Jawa (Gambar

2).

Dataran Aluvial Utara Jawa mempunyai lebar maksimum 40 km ke arah selatan. Semakin ke

arah timur, lebarnya menyempit hingga 20 km. Gunungapi Kwarter di Jawa Tengah antara

lain G. Slamet, G. Dieng, G. Sundoro, G. Sumbing, G. Ungaran, G. Merapi, G. Merbabu, dan

G. Muria.

Zona Serayu Utara memiliki lebar 30-50 km. Di selatan Tegal, zona ini tertutupi oleh produk

gunungapi kwarter dari G. Slamet. Di bagian tengah ditutupi oleh produk volkanik kwarter G.

Rogojembangan, G. Ungaran dan G. Dieng. Zona ini menerus ke Jawa Barat menjadi Zona

Bogor dengan batas antara keduanya terletak di sekitar Prupuk, Bumiayu hingga Ajibarang,

persis di sebelah barat G. Slamet. Sedangkan ke Arah timur membentuk Zona Kendeng.

Page 4: Geologi Regional Pulau Jawa

Zona Depresi Jawa Tengah menempati bagian tengah hingga selatan. Sebagian merupakan

dataran pantai dengan lebar 10-25 km. Morfologi pantai ini cukup kontras dengan pantai

selatan Jawa Barat dan Jawa Timur yang relatif lebih terjal. Pegunungan Serayu Selatan

terletak di antara Zona Depresi Jawa Tengah yang membentuk kubah dan punggungan.

Pegunungan Selatan Jawa memanjang di sepanjang pantai selatan Jawa membentuk

morfologi pantai yang terjal. Namun, di Jawa Tengah, zona ini terputus oleh Depresi Jawa

Tengah.

Daerah penelitian berada di bagian barat Zona Serayu Utara. Menurut Van Bemmelen (1949),

daerah ini (Bumiayu dan sekitarnya) merupakan batas Zona Bogor di Jawa Barat dan Zona

Serayu Utara di Jawa Tengah. Ke arah utara, daerah ini berbatasan dengan Dataran Aluvial

Utara Jawa. Di bagian selatan dibatasi oleh Depresi Jawa Tengah. Sedangkan di bagian timur

daerah ini terdapat G. Slamet. Daerah ini terdiri dari perbukitan terjal bergelombang, bukit-

bukit terisolir, perbukitan rendah bergelombang dan dataran. Perbukitan tersebut umumnya

memanjang ke arah baratlaut–tenggara.

Page 5: Geologi Regional Pulau Jawa

I.3 Jawa Barat

Menurut van Bemmelen (1949), secara fisiografis dan struktural daerah Jawa Barat dapat di

bagi menjadi 4 zona, yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung dan Zona

Pegunungan Selatan Jawa Barat (Gambar 2.1). Martodjojo (1984) memberikan penamaan

Blok Jakarta-Cirebon untuk Zona Dataran Pantai Jakarta sedangkan Zona Bogor dan

Zona Bandung disebut Blok Bogor karena keduanya menurut sejarah geologi tidak

dapat dipisahkan. Cekungan Bogor berupa graben dengan daerah depresi tidak menerus

sepanjang sumbu tengah Jawa, dan barisan punggungan di bagian utara yang

menghubungkan cekungan dengan paparan Sunda (Gambar 3).

1. Zona Dataran Pantai Jakarta

Zona Dataran Pantai Jakarta umumnya memiliki morfologi yang datar, pada umumnya

ditutupi oleh endapan sungai, dan sebagian lagi oleh lahar endapan gunung api muda. Zona

Bandung dicirikan oleh beberapa tinggian yang terdiri dari endapan sedimen tua yang

menyembul diantara endapan volkanik. Sebagai contoh adalah Gn. Tampomas di

Sumedang, Gn. Walat di Sukabumi dan Rajamandala di daerah Padalarang. Menurut

van Bemmelen (1949), Zona Bandung merupakan puncak geantiklin Jawa Barat

berumur Plistosen yang kemudian runtuh setelah mengalami pengangkatan. Zona

pegunungan selatan dipelajari secara mendalam oleh Pannekoek (1946) op cit Darman, H.,

& Sidi, H., (2000), dimana ia membaginya menjadi 19 morfologi dan menekankan

pentingnya dua generasi morfologi yaitu morfologi Pra-Miosen Akhir, dan morfologi

Resen. Kedua satuan morfologi ini dibatasi oleh ketidakselarasan.

2. Zona Bogor

Zona Bogor, dimana lokasi penelitian berada, umumnya memiliki morfologi berbukit-bukit,

memanjang dengan arah barat-timur dari kota Bogor. Pada daerah sebelah timur

Purwakarta, perbukitan ini membelok keselatan, membentuk perlengkungan disekitar

Kadipaten. Van Bemmelen (1949) menamakan perbukitan ini sebagai antiklinorium. Dapat

diperkirakan bahwa antiklinorium ini berhubungan dengan barisan anjakan-lipatan dari

sistem Sesar Naik Baribis. Sedangkan pada beberapa daerah, intrusi telah membentuk

relief yang lebih terjal.

Page 6: Geologi Regional Pulau Jawa

Gambar 3. Peta Fisiografi Jawa Barat (modifikasi dari van Bemmelen, 1949).

II. Stratigrafi Regional

Zona ini merupakan busur volkanik Eosen-Miosen yang endapannya terdiri dari batuan-

batuan siliklastik, volkaniklastik, volkanik dan karbonat dengan kedudukan umum

perlapisannya miring ke selatan. Zona Pegunungan Selatan dialasi secara tidak selaras oleh

batuandasar berumur Kapur seperti yang tersingkap di daerah Karangsambung dan Bayat. Di

Karangsambung singkapannya terdiri dari himpunan batuan komplek akresi yang dikenal

sebagai Komplek Melange Luk Ulo yang terdiri dari blok-blok filit, sekis biru, eklogit,

ultramafik, ofiolit, basalt, kalsilutit dan rijang tertanam dalam matrik serpih tergerus (Asikin,

1974). Di daerah Bayat, singkapan batuandasar terdiri dari filit, sekis, dan marmer (Sumarso

dan Ismoyowati, 1975).

Page 7: Geologi Regional Pulau Jawa

Gambar 4. Rangkuman stratigrafi regional Jawa bagian timur dari peneliti terdahulu (kiri),

modifikasi dari Smyth dkk., 2005 (kanan) ( Carolus, 2002).

Batuan sedimen tertua yang diendapkan di atas ketidak-selarasan menyudut terdiri dari

konglomerat berfragmen batuan dasar dan batupasir seperti yang terdapat dalam Formasi

Nanggulan dan Formasi Wungkal-Gamping yang berumur Eosen Tengah. Di atas

konglomerat dan batupasir kuarsa terdapat endapan bersekuen transgresif yang terdiri dari

batubara, batupasir dan batulanau. Pada Formasi Nanggulan, batupasir pada bagian atas

mengandung material volkanik dan sisipan batulempung tufaan (Smyth dkk., 2005).

Kehadiran lapisan batugamping numulit menandai dimulainya pengendapan di lingkungan

lautan. Di lingkungan pengendapan yang lebih dalam di daerah Karangsambung, secara

tidakselaras di atas batuandasar Komplek Melange Luk Ulo, diendapkan satuan olistostrom

Formasi Karangsambung dan Formasi Totogan. Kandungan material volkanik Zona

Pegunungan Selatan ini ke arah bagian atas meningkat sedangkan proporsi material batuan

dasar makin berkurang. Ketebalan endapan bagian bawah zona ini diperkirakan mencapai

1000 m dengan singkapan terbatas dijumpai di bagian barat, yakni di Karangsambung

(diwakili oleh Formasi Karangsambung), Nanggulan (Formasi Nanggulan), dan Bayat

(Formasi Wungkal-Gamping). Sekuen batuan bagian bawah ini oleh Smyth dkk. (2005)

disebut sebagai Synthem One Zona Pegunungan Selatan. Synthem adalah satuan

kronostratigrafi suatu satuan batuan sedimen yang dibatasi oleh ketidakselarasan dan

menunjukkan suatu siklus sedimentasi yang dipengaruhi oleh perubahan muka air laut relatif

Page 8: Geologi Regional Pulau Jawa

atau tektonik. Batas atas sekuen bagian bawah Zona Pegunungan Selatan ini di daerah

Nanggulan dan Bayat merupakan ketidakselarasan Intra-Oligosen sementara di daerah

Karangsambung pengendapan berlangsung menerus (Asikin dkk., 1992).

Di atas bidang ketidakselarasan diendapkan suatu seri endapan yang terutama terdiri dari

endapan volkaniklastik dari Formasi Kaligesing di Kulonprogo (Pringgoprawiro dan Riyanto,

1986); Kebobutak di Bayat ( Surono dkk., 1992), dan Formasi Besole (Sartono, 1964) dan

Formasi Mandalika (Samodra dkk., 1992) di Pacitan, berumur Oligo-Miosen dan meliputi

seluruh daerah Zona Pegunungan Selatan. Sekuen endapan volkaniklastik ini, yang oleh

Smyth dkk. (2005) disebut sebagai Synthem Two Zona Pegunungan Selatan, merekam

perkembangan dan berakhirnya Busur Volkanik Oligo-Miosen Pegunungan Selatan. Aktifitas

volkaniknya meliputi daerah yang luas, explosif dan diperkirakan berjenis Plinian-type

(Smyth dkk., 2005). Komposisi endapannya berkisar mulai dari andesitik sampai rhyolitik

dan litologinya terdiri dari abu volkanik yang tebal, tuf, breksi batuapung, breksi andesitik,

kubah lava dan aliran lava dengan ketebalan berkisar mulai dari 250 m sampai lebih dari

2000 m. Akhir atau batas atas dari sekuen volkaniklastik ini ditandai oleh peristiwa volkanik

yang singkat yang kemungkinan besar berupa suatu erupsi super (Erupsi Semilir) yang

menghasilkan Formasi Semilir (Smyth dkk., 2005).

Setelah periode ketika volkanisme Oligo-Miosen jauh berkurang aktifitasnya, bahkan mati,

kemudian tererosi dan materialnya diendapkan kembali sebagai sekuen endapan berikutnya.

Disamping itu sekuen endapan berikutnya juga dicirikan oleh perkembangan paparan

karbonat yang luas seperti yang dijumpai di daerah Wonosari (Formasi Wonosari) dan

Pacitan (Formasi Punung dan Formasi Campurdarat). Endapannya mencapai ketebalan

sekitar 500 m dan terumbu berkembang pada daerah-daerah tinggian yang dibatasi sesar atau

di daerah-daerah bekas gunungapi. Di bagian puncaknya terdapat lapisan-lapisan debu

volkanik mengandung zircon yang berdasarkan penanggalan U-Pb SHRIMP menunjukkan

umur antara 10 dan 12 jtl (Smyth dkk., 2005). Umur ini diperkirakan berkaitan dengan

munculnya kembali aktivitas volkanik pada Miosen Akhir, di posisi dimana Busur Sunda

masa kini berada.

III. Tektonik Regional

Tatanan tektonik dan struktur geologi di daerah Jawa tidak terlepas dari teori tektonik

lempeng. Kepulauan Indonesia merupakan titik pertemuan antara tiga lempeng besar, yaitu

Page 9: Geologi Regional Pulau Jawa

Lempeng Eurasia yang relatif diam, Lempeng Samudera Pasifik yang bergerak relatif kearah

baratlaut, dan Lempeng Indo-Australia yang relatif bergerak kearah utara (Hamilton, 1979).

Van Bemmelen (1949) membagi Pulau Jawa menjadi dua elemen struktur, yaitu Geosinklin

Jawa Utara dan Geantiklin Jawa Selatan. Kedua elemen tersebut memanjang berarah barat-

timur. Geosinklin Jawa Utara dikenal dengan nama Cekungan Jawa Timur Utara.

Berdasarkan fisiotektoniknya, Cekungan Jawa Timur Utara dapat dibagi menjadi tiga jalur.

Ketiga jalur tersebut adalah Jalur Kendeng, Jalur Randublatung, dan Jalur Rembang.

Jalur Kendeng dikenal sebagai Antiklinorium Kendeng. Jalur ini terisi oleh endapan

Tersier yang terlipat kuat dan disertai sesar-sesar naik dengan kemiringan ke selatan.

Panjang zona ini adalah 250 km, sedangkan lebar maksimumnya adalah 40 km

(Pringgoprawiro, 1983).

Jalur Randublatung merupakan suatu depresi tektonik dan topografi. Jalur ini sebagian

ditempati oleh Lembah Bengawan Solo. Pringgoprawiro (1983) berpendapat bahwa

zona ini merupakan suatu depresi yang terbentuk pada kala Pleistosen dan ditempati

oleh sedimen klastik halus dari Formasi Lidah yang berumur Kuarter serta kadang-

kadang ditemukan napal dari Formasi Mundu. Vischer (1952 dalam Pringgoprawiro,

1983) menamakan zona ini sebagai Blok Lembah Solo.

Jalur Rembang terdiri dari Antiklinorium Rembang dan Antiklinorium Cepu yang

memanjang dengan arah barat-timur. Batas Zona Rembang dengan Zona

Randublatung kurang jelas dan tidak teratur kecuali di timur yang dibatasi oleh

patahan Kujung dan depresi Kening-Blora (Pringgoprawiro, 1983).

Struktur-struktur tersebut di atas diakibatkan oleh pengangkatan yang terjadi pada kala Intra

Miosen dan pada kala Plio-Pleistosen (van Bemmelen, 1949).

Pulunggono dan Martodjojo (1994) menyatakan bahwa pola struktur dominan yang

berkembang di Pulau Jawa adalah (Gambar 5):

Pola Meratus, berarah timurlaut-baratdaya (NE-SW) terbentuk pada 80 sampai 53 juta

tahun yang lalu (Kapur Akhir-Eosen Awal).Pola ini ditunjukkan oleh Tinggian

Karimunjawa di kawasan Laut Jawa yang diperkirakan menerus ke arah baratdaya ke

daerah antara Luk Ulo (Jawa Tengah) sampai Sesar Cimandiri (Jawa Barat).

Pola Sunda, berarah utara-selatan (N-S) terbentuk 53 sampai 32 juta tahun yang lalu

(Eosen Awal-Oligosen Awal). Pola kelurusan struktur ini adalah yang paling dominan

Page 10: Geologi Regional Pulau Jawa

di daerah Jawa Barat. Pola Sunda ini merupakan sesar-sesar yang dalam dan menerus

sampai Sumatra. Pola ini merupakan pola yang berumur lebih muda sehingga

keberadaannya mengaktifkan kembali Pola Meratus.

Pola Jawa, berarah timur-barat (E-W) terbentuk sejak 32 juta tahun yang lalu sampai

sekarang (Oligosen Akhir-Resen).Pola ini adalah pola termuda yang mengaktifkan

kembali seluruh pola yang telah ada sebelumnya.

Secara regional, pola struktur yang berkembang di daerah penelitian adalahPola Meratus dan

Pola Jawa (Gambar 2.3)yang terlihat dari kelurusan yang relatif berarah timur laut-barat daya

dan berarah barat-timur. Hal ini juga didukung oleh penelitian Sribudiyani dkk. (2003).

Berdasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Sribudiyani dkk. (2003), pola struktur

permukaan yang berkembang pada daerah penelitian adalah pola struktur yang mempunyai

kelurusan berarah timur laut-barat daya dan barat-timur (Gambar 6).

Gambar 5. Pola struktur Pulau Jawa (Pulunggono & Martodjojo, 1994).

Page 11: Geologi Regional Pulau Jawa

Gambar 6. Pola struktur Pulau Jawa (Sribudiyani dkk., 2003).

Page 12: Geologi Regional Pulau Jawa

GEOLOGI DAERAH BAYAT

II.1 Struktur Daerah Bayat

Struktur regional di daerah Pegunungan Selatan bagian barat berupa perlapisan homoklin,

sesar, kekar dan lipatan. Perlapisan homoklin terdapat pada bentang alam Subzona

Baturagung mulai dari Formasi Kebo-Butak di sebelah utara hingga Formasi Sambipitu dan

Formasi Oyo di sebelah selatan. Perlapisan tersebut mempunyai jurus lebih kurang berarah

barat-timur dan miring ke selatan. Kemiringan perlapisan menurun secara berangsur dari

sebelah utara (200 – 350) ke sebelah selatan (50 – 150). Bahkan pada Subzona Wonosari,

perlapisan batuan yang termasuk Formasi Oyo dan Formasi Wonosari mempunyai

kemiringan sangat kecil (kurang dari 50) atau bahkan datar sama sekali. Pada Formasi

Semilir di sebelah barat, antara Prambanan-Patuk, perlapisan batuan secara umum miring ke

arah baratdaya.

Gambar 2. Peta geologi Pegunungan Baturagung dan Perbukitan Jiwo (Surono, 2008)

Sementara itu, di sebelah timur, pada tanjakan Sambeng dan Dusun Jentir, perlapisan batuan

miring ke arah timur. Perbedaan jurus dan kemiringan batuan ini mungkin disebabkan oleh

sesar blok (anthithetic fault blocks; Bemmelen, 1949) atau sebab lain, misalnya pengkubahan

Page 13: Geologi Regional Pulau Jawa

(updoming) yang berpusat di Perbukitan Jiwo atau merupakan kemiringan asli (original dip)

dari bentang alam kerucut gunungapi dan lingkungan sedimentasi Zaman Tersier (Bronto dan

Hartono, 2001). Struktur sesar pada umumnya berupa sesar turun dengan pola anthithetic

fault blocks (van Bemmelen,1949). Sesar utama berarah baratlaut-tenggara dan setempat

berarah timurlaut-baratdaya. Di kaki selatan dan kaki timur Pegunungan Baturagung

dijumpai sesar geser mengkiri. Sesar ini berarah hampir utara-selatan dan memotong lipatan

yang berarah timurlaut-baratdaya. Bronto dkk. (1998, dalam Bronto dan Hartono, 2001)

menginterpretasikan tanda-tanda sesar di sebelah selatan (K. Ngalang dan K. Putat) serta di

sebelah timur (Dusun Jentir, tanjakan Sambeng) sebagai bagian dari longsoran besar

(megaslumping) batuan gunungapi tipe Mt. St. Helens.Di sebelah barat K. Opak diduga

dikontrol oleh sesar bawah permukaan yang berarah timurlaut-baratdaya dengan blok barat

relatif turun terhadap blok barat. Struktur lipatan banyak terdapat di sebelah utara G.

Panggung berupa sinklin dan antiklin. Tinggian batuan gunung berapi ini dengan tinggian G.

Gajahmungkur di sebelah timurlautnya diantarai oleh sinklin yang berarah tenggara-baratlaut.

Struktur sinklin juga dijumpai di sebelah selatan, yaitu pada Formasi Kepek, dengan arah

timurlaut-baratdaya

II.1 Stratigrafi Daerah Bayat

Batuan tertua yang tersingkap di daerah Bayat terdiri dari batuan metamorf berupa filtit,

sekis, batu sabak dan marmer. Penentuan umur yang tepat untuk batuan malihan hingga saat

ini masih belum ada. Satu-satunya data tidak langsung untuk perkiraan umurnya adalah

didasarkan fosil tunggal Orbitolina yang diketemukan oleh Bothe (1927) di dalam fragmen

konglomerat yang menunjukkan umur Kapur. Dikarenakan umur batuan sedimen tertua yang

menutup batuan malihan tersebut berumur awal Tersier (batu pasir batu gamping Eosen),

maka umur batuan malihan tersebut disebut batuan Pre-Tertiary Rocks. Secara tidak selaras

menumpang di atas batuan malihan adalah batu pasir yang tidak garnpingan sarnpai sedikit

garnpingan dan batu lempung, kemudian di atasnya tertutup oleh batu gamping yang

mengandung fosil nummulites yang melimpah dan bagian atasnya diakhiri oleh batu gamping

Discocyc1ina, menunjukkan lingkungan laut dalarn.

Keberadaan forminifera besar ini bersarna dengan foraminifera planktonik yang sangat jarang

ditemukan di dalam batu lempung gampingan, menunjukkna umur Eosen Tengah hingga

Eisen Atas. Secara resmi, batuan berumur Eosen ini disebut Formasi Wungkal-Garnping.

Keduanya, batuan malihan dan Formasi Wungkal-Gamping diterobos oleh batuan beku

menengah bertipe dioritik. Diorit di daerah Jiwo merupakan penyusun utam Gunung Pendul,

Page 14: Geologi Regional Pulau Jawa

yang terletak di bagiann timur Perbukitan Jiwo. Diorit ini kemungkinan bertipe dike.

Singkapan batuan beku di Watuprahu (sisi utara Gunung Pendul) secara stratigrafi di atas

batuan Eosen yang miring ke arah selatan. Batuan beku ini secara stratigrafi terletak di bawah

batu pasir dan batu garnping yang masih mempunyai kemiringan lapisan ke arah selatan.

Penentuan umur pada dike intrusi pendul oleh Soeria Atmadja dan kawan-kawan (1991)

menghasilkan sekitar 34 juta tahun, dimana hasil ini kurang lebih sesuai dengan teori

Bemmelen (1949), yang menfsirkan bahwa batuan beku tersebut adalah merupakan

leher/neck dari gunung api Oligosen.

Sebelum kala Eosen tangah, daerah Jiwo mulai tererosi. Erosi tersebut disebabkan oleh

pengangkatan atau penurunan muka air laut selama peri ode akhir oligosen. Proses erosi terse

but telah menurunkan permukaan daratan yang ada, kemudian disusul oleh periode transgresi

dan menghasilkan pengendapan batu garnping dimulai pada kala Miosen Tengah. Di daerah

Perbukitan Jiwo tersebut mempunyai ciri litologi yang sarna dengan Formasi Oyo yang

tersingkap lenih banyak di Pegunungan Selatan (daerah Sambipitu Nglipar dan sekitarnya).

Page 15: Geologi Regional Pulau Jawa

Gambar 7. Stratigrafi Daerah Bayat (dimodifikasi dari Sudarno, 1997; dalam Surono, 2008).

Di daerah Bayat tidak ada sedimen laut yang tersingkap di antara Formasi Wungkal -

Gampingan dan Formasi Oyo. Keadaan ini sang at berbeda dengan Pegunungan Baturagung

di selatannya. Di sini ketebalan batuan volkaniklastik-marin yang dicirikan turbidit dan

sedimen hasil pengendapan aliran gravitasi lainnya tersingkap dengan baik. Perbedaan-

perbedaan ini kemungkinan disebabkan oleh kompleks sistem sesar yang memisahkan daerah

Perbukitan Jiwo dengan Pegunungan Baturagung yang telah aktif sejak Tersier Tengah.

Selama zaman Kuarter, pengendapan batu gamping telah berakhir. Pengangkatan yang diikuti

dengan proses erosi menyebabkan daerah Perbukitan Jiwo berubah menjadi daerah

lingkungan darat. Pasir vulkanik yang berasal dari gunung api Merapi yang masih aktif

mempengaruhi proses sedimentasi endapan aluvial terutama di sebelah utara dan barat laut

dari Perbukitan Jiwo.

Page 16: Geologi Regional Pulau Jawa

Keadaan stratigrafi Daerah Bayat, dari tua ke muda yaitu :

1. Batuan Malihan, terdiri dari sekis, filit, batuan vulkanik malih, pualam, sedimen

malihan dan batu sabak.

2. Formasi Wungkal-gamping, berupa batugamping numulites, batupasir, napal pasiran,

dan batulempung.

3. Formasi Kebo, berupa batu pasir vulkanik, tufa, serpih dengan sisipan lava, umur

Oligosen (N2-N3), ketebalan formasi sekitar 800 meter.

4. Formasi Butak, dengan ketebalan 750 meter berumur Miosen awal bagian bawah

(N4), terdiri dari breksi polomik, batu pasir dan serpih.

5. Formasi Semilir, berupa tufa, lapili, breksi piroklastik, kadang ada sisipan lempung

dan batu pasir vulkanik. Umur N5-N9. Bagian tengah meJ1iari dengan Formasi

Nglanggran.

6. Formasi Nglanggran, berupa breksi vulkanik, batu pasir vulkanik, lava dan breksi

aliran.

7. Formasi Sambipitu berupa perselingan batupasir gampingan dan serpih gampingan.

8. Formasi Oyo berupa batugamping tufan, tufa, dan napal tufan.

9. Formasi Wonosari terdiri dari Batugamping, napal, batupasir tufan, dan batulanau.

10. Formasi Kepek berupa Perselingan batugamping, napal dan serpih gampingan.