GEOLOGI BATUBARA

35
1 GEOLOGI BATUBARA GENESA BATUBARA Batubara adalah sedimen (padatan) yang dapat terbakar, terbentuk dari sisa tumbuhan yang terhumifikasi, berwarna coklat sampai hitam yang selanjutnya terkena proses fisika dan kimia yang berlangsung selama jutaan tahun hingga mengakibatkan pengkayaan kandungan C (Wolf, 1984 dalam Anggayana 2002). Cook (1999) menerangkan bahwa batubara berasal dari sisa tumbuhan yang terakumulasi menjadi gambut yang kemudian tertimbun oleh sedimen, setelah pengendapan terjadi peningkatan temperatur dan tekanan yang nantinya mengontrol kualitas batubara. Pembentukan tanaman menjadi gambut dan batubara melalui dua tahap, yaitu tahap diagenesa gambut (peatilification) dan tahap pembatubaraan (coalification). Tahap diagenesa gambut disebut juga dengan tahap biokimia dengan melibatkan perubahan kimia dan mikroba, sedangkan tahap pembatubaraan disebut juga dengan tahap geokimia atau tahap fisika-kimia yang melibatkan perubahan kimia dan fisika serta batubara dari lignit sampai antracit (Cook, 1982) Ditinjau dari cara terbentuknya, batubara dapat dibedakan menjadi batubara ditempat (insitu) dan batubara yang bersifat apungan (drift). Batubara ditempat terbentuk di tempat tumbuhan itu terbentuk, mengalami proses dekomposisi dan tertimbun dalam waktu yang cepat, batubara ini dicirikan dengan adanya bekas bekas akar pada seat earth serta memiliki kandungan pengotor yang rendah, sedangkan batubara apungan terbentuk dari timbunan material tanaman yang telah mengalami perpindahan selanjutnya terdekomposisi dan tertimbun, pada batubara ini tidak dijumpai bekas-bekas akar pada seat earth dan memiliki kandungan pengotor yang tinggi. Diessel (1992, dalam Mendra, 2008) menyatakan enam parameter yang mengendalikan pembentukan endapan batubara, yaitu : adanya sumber vegetasi, posisi muka air tanah, penurunan yang terjadi dengan pengendapan, penurununan yang terjadi setelah pengendapan, kendali lingkungan geoteknik endapan batubara dan lingkungan pengendapan terbentuknya batubara.

description

PENGERTIAN GEOLOGI BATUBARA, GENESA, LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA DAN MASERAL

Transcript of GEOLOGI BATUBARA

1

GEOLOGI BATUBARA

GENESA BATUBARA

Batubara adalah sedimen (padatan) yang dapat terbakar, terbentuk dari sisa

tumbuhan yang terhumifikasi, berwarna coklat sampai hitam yang

selanjutnya terkena proses fisika dan kimia yang berlangsung selama jutaan tahun

hingga mengakibatkan pengkayaan kandungan C (Wolf, 1984 dalam Anggayana

2002).

Cook (1999) menerangkan bahwa batubara berasal dari sisa tumbuhan yang

terakumulasi menjadi gambut yang kemudian tertimbun oleh sedimen, setelah

pengendapan terjadi peningkatan temperatur dan tekanan yang nantinya mengontrol

kualitas batubara.

Pembentukan tanaman menjadi gambut dan batubara melalui dua tahap, yaitu

tahap diagenesa gambut (peatilification) dan tahap pembatubaraan (coalification).

Tahap diagenesa gambut disebut juga dengan tahap biokimia dengan melibatkan

perubahan kimia dan mikroba, sedangkan tahap pembatubaraan disebut juga dengan

tahap geokimia atau tahap fisika-kimia yang melibatkan perubahan kimia dan fisika

serta batubara dari lignit sampai antracit (Cook, 1982)

Ditinjau dari cara terbentuknya, batubara dapat dibedakan menjadi batubara

ditempat (insitu) dan batubara yang bersifat apungan (drift). Batubara ditempat

terbentuk di tempat tumbuhan itu terbentuk, mengalami proses dekomposisi dan

tertimbun dalam waktu yang cepat, batubara ini dicirikan dengan adanya bekas –

bekas akar pada seat earth serta memiliki kandungan pengotor yang rendah,

sedangkan batubara apungan terbentuk dari timbunan material tanaman yang telah

mengalami perpindahan selanjutnya terdekomposisi dan tertimbun, pada batubara ini

tidak dijumpai bekas-bekas akar pada seat earth dan memiliki kandungan pengotor

yang tinggi.

Diessel (1992, dalam Mendra, 2008) menyatakan enam parameter yang

mengendalikan pembentukan endapan batubara, yaitu : adanya sumber vegetasi,

posisi muka air tanah, penurunan yang terjadi dengan pengendapan, penurununan

yang terjadi setelah pengendapan, kendali lingkungan geoteknik endapan batubara

dan lingkungan pengendapan terbentuknya batubara.

2

PENGGAMBUTAN (PEATIFICATION)

Gambut merupakan batuan sedimen organik (tidak padat) yang dapat terbakar

dan berasal dari sisa – sisa hancuran atau bagian tumbuhan yang tumbang dan mati

di permukaan tanah, pada umumnya akan mengalami proses pembusukan dan

penghancuran yang sempurna sehingga setelah beberapa waktu kemudian tidak

terlihat lagi bentuk asalnya. Pembusukan dan penghancuran tersebut pada dasarnya

merupakan proses oksidasi yang disebabkan oleh adanya oksigen dan aktivitas

bakteri atau jasad renik lainya. Jika tumbuhan tumbang disuatu rawa, yang dicirikan

dengan kandungan oksigen yang sangat rendah sehingga tidak memungkinkan

bakteri anaerob (bakteri memerlukan oksigen) hidup, maka sisa tumbuhan tersebut

tidak mengalami proses pembusukan dan penghancuran yang sempurna sehingga

tidak akan terjadi proses oksidasi yang sempurna. Pada kondisi tersebut hanya

bakteri-bakteri anaerob saja yang berfungsi melakukan proses dekomposisi yang

kemudian membentuk gambut (peat). Daerah yang ideal untuk pembentukan gambut

misalnya rawa, delta sungai, danau dangkal atau daerah yang kondisi tertutup udara.

Gambut bersifat porous, tidak padat dan umumnya masih memperlihatkan struktur

tumbuhan asli, kandungan airnya lebih besar dari 75% (berat) dan komposisi

mineralnya kurang dari 50 % (dalam keadaan kering).

Menurut Bend (1992) dalam Diessel (1992) untuk dapat terbentuknya

gambut, beberapa faktor yang mempengaruhi yaitu :

1) Evolusi tumbuhan

2) Iklim

3) Geografi dan tektonik daerah

Syarat untuk terbentuknya formasi batubara antara lain adalah ketika

kenaikan mukan air tanah lambat, perlindungan rawa terhadap pantai atau sungai dan

energi relatif rendah. Jika muka air tanah terlalu cepat naik (atau penurunan dasar

rawa cepat) maka kondisi akan menjadi limnic atau bahkan akan terjadi endapan

marine. Sebaliknya kalau terlalu lambat, maka sisa tumbuhan yang terendapkan akan

teroksidasi dan terisolasi. Terjadinya kesetimbangan antara penurunan cekungan

(land subsidence) dan kecepatan penumpukan sisa tumbuhan (kesetimbangan

3

bioteknik) yang stabil akan menghasilkan gambut yang tebal (Diessel, 1992).

Lingkungan tempat terbentuknya rawa gambut umumnya merupakan tempat

yang mengalami depresi lambat dengan sedikit sekali atau bahkan tidak ada

penambahan material dari luar. Pada kondisi tersebut muka air tanah akan terus

mengikuti perkembangan akumulasi gambut dan mempertahankan tingkat

kejenuhannya. Kejenuhan tersebut dapat mencapai 90 % dan kandungan air menurun

drastis hingga 60 % pada saat terbentuknya brown-coal. Sebagian besar lingkungan

yang memenuhi kondisi tersebut merupakan topogenic low moor. Hanya pada

beberapa tempat yang mempunyai curah hujan sangat tinggi dapat terbentuk rawa

ombrogenic (high moor)

PEMBATUBARAAN (COALIFICATION)

Proses pembatubaraan adalah perkembangan gambut menjadi lignit, sub-

bituminuous, bitominous, antracite hingga meta-antracite. Proses pembentukan

gambut dapat berhenti karena beberapa proses alam seperti misalnya karena

penurunan dasar cekungan dalam waktu yang singkat. Jika lapisan gambut yang telah

terbentuk kemudian ditutupi oleh lapisan sedimen, maka tidak ada lagi bahan

anaerob, atau oksigen yang dapat mengoksidasi, maka lapisan gambut akan

mengalami tekanan dari lapisan sedimen. Tekanan terhadap lapisan gambut akan

meningkat dengan bertambahnya tebal lapisan sedimen. Tekanan yang bertambah

besar pada proses coalification akan mengakibatkan menurunya porositas dan

meningkatnya anisotropi. Porositas dapat dilihat dari kandungan airnya yang

menurun secara cepat selama proses perubahan gambut menjadi brown coal. Hal ini

memberikan indikasi bahwa masih terjadi proses kompaksi.

Proses coalification terutama dikontrol oleh kenaikan temperatur, tekanan

dan waktu. Pengaruh temperatur dan tekanan dipercaya sebagai faktor yang sangat

dominan, karena sering ditemukan lapisan batubara high rank (antracite) yang

berdekatan dengan daerah intrusi batuan beku sehingga terjadi kontak metamorfisme.

Kenaikan peringkat batubara juga dapat disebabkan karena bertambahnya

kedalaman. Sementara bila tekanan makin tinggi, maka proses coalification semakin

4

cepat, terutama didaerah lipatan dan patahan.

FASIES BATUBARA

Fasies batubara berhubungan dengan tipe genetik batubara yang

diekspresikan melalui komposisi maseral, kandungan mineral, komposisi kimia dan

tekstur (Taylor and Teichmuller, 1993).

Faktor yang mempengaruhi karakteristik fasies batubara :

1. Tipe pengendapan

Autochtonous

Berkembang dari tumbuhan yang ketika tumbang akan membentuk gambut di

tempat dimana tumbuhan itu pernah hidup tanpa adanya proses transportasi

yang berarti.

Allochtonous

Terendapkan secara detrital dimana sisa-sisa tumbuhan hancur dan

tertransportasi kemudian terendapkan di tempat lain. Lebih banyak

mengandung mineral matter (abu).

2. Rumpun tumbuhan pembentuk

Daerah air terbuka dengan tumbuhan air

Rawa ilalang terbuka

Rawa hutan

Rawa lumut

Gambar 3.1 Urutan tipe rawa gambut (Taylor, 1998)

5

Menurut Martini dan Glooscenko (1984) dalam Diessel (1992), rawa gambut

dapat dibedakan menjadi 4 jenis berdasarkan jenis tumbuhan pembentuk,

yaitu :

Bog, yaitu sebagai lokasi rawa yang banyak ditumbuhi oleh tanaman

lumut atau tanaman merambat yang miskin kandungan makanan.

Fen, yaitu lokasi rawa yang kaya akan tumbuhan perdu dan beberapa

jenis pohon lainnya. Umumnya terletak pada lingkungan yang

ombrogenic yaitu transisi antara daerah yang selalu melimpah

kandungan air dengan daerah yang terkadang kering.

Marsh, yaitu rawa yang didominasi oleh tumbuhan perdu atau tanaman

merambat yang sering terdapat di sekitar pinggir danau atau laut.

Swamp, yaitu daerah basah pada iklim tropis hingga dingin yang

tumbuh rawa yang didominasi tanaman berkayu.

3. Lingkungan pengendapan

Pembentukan batubara tidak dapat dipisahkan dengan kondisi lingkungan dan

geologi disekitarnya. Distribusi lateral, ketebalan, komposisi dan kualitas

batubara banyak dipengaruhi oleh lingkungan pengendapanya.

Telmatis/Terestrial

Lingkungan yang berada pada daerah pasang surut ini menghasilkan gambut

yang tidak terganggu dan tumbuh insitu (forest peat, reed peat dan high moor

moss peat)

Limnik

Lingkungan ini terendapkan di bawah air rawa danau. Batubara yang

terendapkan pada lingkungan telmatis dan limnis sulit dibedakan karena pada

forest Swamp biasanya ada bagian yang berada di bawah air (feed Swamp)

Marine

Batubara yang terendapkan pada lingkungan ini mempunyai ciri khas kaya

abu, S dan N yang mengandung fosil laut. Untuk daerah tropis biasanya

terbentuk dari mangrove (bakau) dan kaya S

Ca-rich

6

Lingkungan ini menghasilkan batubara yang kaya akan Ca dan mempunyai

ciri yang sama pada endapan payau. Batubara Ca-rich selalu terjadi pada

lingkungan bawah air dengan kondisi oksigen terbatas. Lingkungan

pengendapan ini juga banyak mengandung fosil. Batubara Ca-rich banyak

mengasilkan bitumen.

4. Persediaan Bahan Makanan

a. Eutrofik

b. Mesotrofik

c. Oligotrofik

Rawa eutropik, mesotropic dan oligotropik dibedakan dari banyak sedikitnya

bahan makanan yang bisa digunakan. Low moor biasanya eotropik (kaya nutrisi)

karena menerima air dari air tanah yang banyak menganduk makanan terlarut.

High moor bersifat oligotropik (miskin nutrisi) karena sirkulasi hanya

mengandalkan air hujan. Gambut pada high moor secara umum mengandung

sisa-sisa tumbuhan yang terawetkan dengan baik. Di bawah kondisi hidrologi

yang seragam maka tumbuhan rawa eutropik banyak speciesnya. Oligotropik di

daerah iklim sedang pada umumnya berupa sphagnum sedangkan untuk daerah

tropis bisa ditumbuhi oleh hutan kayu tetapi tidak banyak speciesnya karena rawa

jenis ini akan asam 3,5 – 4) dan kandungan mineralnya sangat rendah.

5. PH, Aktivitas Bakteri, dan Sulfur

Keasaman gambut sangat mempengaruhi keberadaan bakteri sehingga dengan

demikian akan sangat mempengaruhi proses dekomposisi struktur dan kimia dari

sisa tumbuhan. Disamping tipe batuan dasar dan air yang mengalir masuk ke

rawa maka keasaman rawa tergantung pada rumpun tumbuhan yang ada, suplai

O2 dan konsentrasi asam humik yang terbentuk.

Bakteri hidup dengan baik pada kondisi netral (pH 7 – 7,5), jika makin asam

maka bakteri akan makin sedikit dan struktur kayu akan terawetkan dengan lebih

baik. Bakteri sulfur mempunyai peran khusus pada gambut (lumpur organik)

untuk membentuk pirit atau markasit singenetik dengan adanya sulfat dalam

gambut tersebut.

7

6. Temperatur

Pada iklim yang hangat dan basah membuat bakteri hidup dengan baik sehingga

proses kimia akibat bakteri bisa berjalan baik. Temperatur permukaan gambut

memegang peranan penting pada proses dekomposisi primer. Pada iklim yang

hangat dan basah membuat bakteri hidup dengan lebih baik sehingga proses-

proses kimia dapat berjalan dengan baik. Temperatur tertinggi untuk bakteri

penghancur sellulosa pada gambut adalah 35 – 40 C

Lebih lanjut menurut Diessel (1992) menjelaskan karakteristik lingkungan

pengendapan batubara sebagai berikut :

1. Braid Plain

Merupakan dataran aluvial yang terdapat diantara pegunungan, dimana

terendapkan sedimen berukuran kasar (> 2 mm). Batubara yang terbentuk pada

daerah ini merupakan hasil diagenesa gambut ombrogenik yang mempunyai

penyebaran lateral terbatas dengan ketebalan rata-rata 1,5 m.

Kandungan abu, total sulfur dan vitrinitnya umumnya rendah, sementara pada

daerah tropis kandungan vitrinit umumnya tinggi. Pada bagian tengah lahan

gambut umumnya kaya maseral inertinit (28%) karena suplai nutrisi yang

terbatas. Kandungan inertinit (khususnya semifusinit) yang sangat besar

memnyebabkan nilai TPI relatif tinggi yang sekaligus menunjukan bahwa

tumbuhan asalnya didominasi oleh bahan kayu. Sementara itu nilai GI yang

rendah dan warna batubara yang buram dapat menunjukan bahwa secara periodik

permukaan gambut mengalami kekeringan dan proses oksidasi. Kandungan abu

yang kadang ditemukan cukup tinggi (± 20%), kemungkinan dapat berasal dari

banjir musiman dan keluarnya air dari tanah kepermukaan.

2. Alluvial Valley dan Upper Delta Plain

Kedua lingkungan ini sulit dibedakan karena adanya kesamaan litofasies dan sifat

batubara yang terbentuk sehingga pembahasan dapat disatukan. Lingkungan ini

merupakan transisi dari lembah dan dataran aluvial dengan dataran delta,

umumnya melalui sungai berstadium dewasa yang memiliki banyak meander.

Lapisan batubara umumnya memiliki ketebalan bervariasi dan endapan sedimen

terutama terdiri atas perselingan batupasir dan lanau/lempung.

8

Gambut dapat terakumulasi pada berbagai morfologi seperti rawa, dataran dan

cekungan banjir, bagian luar saluran sungai dan lain-lain. Permukaan cenderung

selalu basah dan jarang mengalami periode kemarau sehingga menghasilkan

endapan batubara yang mengkilap dengan nilai TPI dan GI relatif tinggi serta

didominasi oleh maseral telovitrinit/humotelitin dan secara kualiatas memiliki

kandungan abu dan sulfur yang rendah dibanding batubara pada lingkungan lain

3. Lower Delta Plain

Lingkungan ini dibedakan dengan upper delta plain dari tingkat pengaruh pasang

air laut terhadap sedimentasi, dimana batas antara keduanya adalah pada daerah

batas tertinggi dari air pasang. Endapan sedimen pada lower delta plain terutama

dari batulanau, batulempung dan serpih yang diselingi oleh batupasir halus.

Pada saat pasang naik air laut akan membawa nutrisi kedalam rawa gambut

sehingga memungkinkan pertumbuhan tanaman yang lebih baik, namun di sisi

lain dengan naiknya batas pasang maka akan ternendapkan sedimen klasitik halus

yang akan menjadi pengotor dalam batubara.

Disamping itu, pengaruh laut akan meningkatkan kandungan pirit dalam batubara

yang terbentuk dari reduksi sulfat yang terdapat dalam air laut. Menurut Horne

dan Ferm (1978), batubara yang ternendapkan dalam lingkungan ini memiliki

penyebaran luas tetapi ketebalan tipis, batubaranya memiliki kandungan inertinit

yang rendah dengan nilai GI yang tinggi. Kandungan vitrinit/huminit nya

terutama didominasi oleh detrovitrinit/humotellinit sehingga nulai TPI nya relatif

rendah. Hal ini menunjukan tingginya proporsi tumbuhan dengan jaringan lunak

(soft – tissued plant) dan bio degredasi pada kondisi pH yang relatif tinggi

4. Barrier Beach

Pada lingkungan ini, morfologis garis pantai dikontrol oleh rasio suplai sedimen

dengan daerah pantai, yaitu gelombang pasang dan arus. Jika nilai rasio tinggi

maka akan terbentuk delta, namun jika nilai rasio rendah maka sedimentasi akan

terdistribusi di sepanjang pantai.

Rawa gambut pada barrier beach memiliki permukaan yang relatif lebih rendah

terhadap muka air laut sehingga sering kebanjiran dan ditumbuhi alang-alang.

Gambut yang akan terakumulasi di suatu tempat jika fluktuasi air pasang tidak

9

tinggi sehingga timbunan material gambut tidak berpindah tempat. Dengan

demikian rawa gambut pada lingkungan ini sangat dipengaruhi oleh regresi dan

trangresi air laut.

Diesel (1992) mengelompokan berbahai kondisi akumulasi gambut menjadi

lima kategori berdasarkan penelitian terhadap batubara humik bituminous (gambar

3.2). Kelima kategori tersebut diberdakan berdasarkan faktor kelembaban,

konsentrasi ion hidrogen (pH), suplai makanan dan aktifitas bakteri. Tiga kategori

diantara nya adalah tipe topogenik mires (rawa gambut topogenik) yang terbagi atas:

high watertable dangan kondisi asam, high watertable dengan kondisi netral serta

variabel watertable dan dua lainya adalah rawa gambut ombrogenik yang dibagi

atas: continuusly wet dan intermitenly dry.

Pada kategori high watertable dibedakan menjadi asam dan netral. Perbedaan

utama antara kedua kondisi tersebut adalah terletak pada konsentrasi ion

hidrogennya, dimana pada kolom 1 yang konsentrasi nya rendah merupakan

lingkungan air tawar (flood basin) dan kolom 2 yang konsentrasinya lebih tinggi

merupakan lingkungan payau dan laut. Kategori variable watertable adalah

lingkungan air tawar namun dengan muka air tanah berubah-ubah, seperti pada

dataran banjir yang terkadang kering pada masa tertentu. Adanya kecenderungan

dalam kondisi tergenang pada ketiga kategori ini menyebabkan suplai makanan

tersedia cukup banyak (eutrophy).

Kategori continuosly wet dan intermedietly dry merupakan tipe rawa gambut

yang tumbuh berkembang karena suplai air yang berasal dari curah hujan yang

sangat tinggi (iklim tropis), hanya pada interemidietly dry sering mengalami

perubahan musim, terkandung di dalam musim kering. Gambut yang terendapkan

pada lingkungan bog-ombrotopic terbentuk dalam kondisi asam dengan suplai

makanan yang rendah (oligotropi).

10

Gambar 3.2. Sketsa lingkungan pengendapan dan kondisi akumulasi gambut

(Diessel, 1992)

Lingkungan Pengendapan Batubara

Menurut Horne, 1978 dalam Bambang Kuncoro Prasongko, 1996 bahwa

lingkungan pengendapan berpengaruh terhadap sebaran, ketebalan, kemenerusan,

kondisi roof dan kandungan sulfur batubara serta peran tektonik dalam pembentukan

lapisan batubara. Berdasarkan karakteristik lingkungan pengendapan batubara, maka

dapat dibagi atas :

a. Lingkungan Barrier dan Back-barrier

b. Lingkungan lower delta plain

c. Lingkungan trantitional lower delta plain

d. Lingkungan upper delta plain – fluvial

Back barrier: tipis, sebaran memanjang sejajar sistem penghalang atau sejajar

jurus perlapisan, bentuk lapisan melembar karena pengaruh tidal channel setelah

pengendapan atau bersamaan dengan proses pengendapan dan kandungan sulfur

11

tinggi.

Lingkungan barrier mempunyai peranan penting yaitu menutup pengaruh

oksidasi dari air laut dan mendukung pembentukan gambut di bagian dataran, kriteria

utama lingkungan barrier adalah hubungan lateral dan vertikal dari struktur sedimen

dan pengenalan tekstur batupasirnya, ke arah laut, butirannya menjadi halus dan

berselang seling dengan serpih gampingan merah kecoklatan sampai hijau, batuan

karbonat dengan fauna laut ke arah darat membentuk gradasi menjadi serpih

berwarna abu-abu gelap sampai hijau tua yang mengandung fauna air payau, akibat

pengaruh gelombang dan pasang surut, sehingga batupasir di lingkungan barrier

lebih bersih dan sortasi yang lebih baik daripada lingkungan sekelilingnya meskipun

memiliki sumber yang sama, penampang lingkungan pengendapan pada bagian Back

Barier dapat dilihat pada ( Gambar 3.1 ).

Batubara yang terbentuk cenderung menunjukkan bentuk memanjang,

berorientasi sejajar dengan arah orientasi dari penghalang dan sering juga sejajar

dengan jurus pengendapan. Bentuk perlapisan batubara yang dihasilkan mungkin

berubah sebagian oleh aktivitas tidal channel pada post depositional atau bersamaan

dengan proses sedimentasi.

Gambar 3.1 Penampang lingkungan pengendapan pada bagian Back Barier

(Horne,1978)

12

Lower deltaplain: tipis, sebaran sepanjang channel atau jurus pengendapan,

ditandai hadirnya splitting oleh endapan crevasse splay dan kandungan sulfur agak

tinggi. Litologinya didominasi oleh urutan serpih dan batulanau yang mengkasar ke

arah atas, ketebalannya berkisar antara 15-55 m dengan pelamparan lateral.

Pada bagian bawah dari teluk tersusun atas lempung-serpih abu-abu gelap

sampai hitam yang merupakan litologi dominan, kadang- kadang terdapat

batugamping dan mudstone siderite yang sebarannya tidak teratur, pada bagian atas

sikuen ini terdapat batupasir berukuran ripples dan struktur lain yang ada

hubungannya dengan arus, hal ini menunjukkan adanya penambahan energi pada

perairan dangkal ketika teluk terisi endapan.

Umumnya endapan teluk terisi mengandung fosil air laut atau air payau dan

struktur burrow fosil-fosil ini biasanya melimpah pada bagian bawah serpih

lempung, tetapi mungkin juga muncul pada seluruh sikuen.

Endapan Distributary Mouth Bar dicirikan oleh adanya batupasir yang

memiliki dasar yang lebih lebar dan memiliki kontak gradasi pada bagian bawah dan

adanya kontak lateral yang cenderung mengkasar ke atas dan mengarah pada bagian

tengah serta berkembangnya struktur ripples dan flow rolls, Sekuen Vertikal endapan

Lower Delta Plain, Sekuen Mengkasar keatas dapat dilihat pada ( Gambar 3.2 ).

Endapan Creavasse Splay, karakteristik endapan ini adalah minidelta yang

mengkasar keatas, butirannya semakin menghalus jika menjauhi tanggul, bergradasi

kearah lateral, tersusun atas batupasir dengan struktur burrowed siderite dan ripples,

endapan ini memiliki ketebalan lebih dari 12 m dengan pelamparan horizontal

berkisar dari 30 m sampai 8 km, Sekuen Vertikal endapan Lower Delta Plain Sikuen

yang sama di potong oleh Creavasse Splay deposit ( Gambar 3.3 ).

Rawa-rawa di dalam sungai yang mendominasi pada lower delta plain berkembang

di atas tanggul-tanggul (levees) sepanjang distribusi cahnnel, endapan ini pada

13

umumnya lurus dan tegak lurus dengan jurus pengendapan.

Lapisan batubara yang di hasilkan relative tipis dan terbelah membentuk split

oleh sejumlah endapan creavvase splay dan cenderung menerus sepanjang jurus

kemiringan pengendapan, tetapi sering juga tidak menerus sejajar dengan jurus

pengendapan batubara di gantikan oleh material bay fill.

Gambar 3.2 Sekuen Vertikal endapan Lower Delta Plain (Horne, 1978) Sekuen

Mengkasar keatas

Gambar 3.3. Sekuen Vertikal endapan Lower Delta Plain (Horne, 1978) Sikuen yang

sama di potong oleh Creavasse Splay deposit.

14

Transisional Lower Delta Plain: Tebal dapat lebih dari 10 m, sebaran luas cenderung

memanjang sejajar jurus pengendapan, kemenerusan lateral sering terpotong channel,

di tandai splitting akibat adanya Channel kontemporer dan Washout oleh Channel

subsekuen dan kandungan sulfur agak rendah. Zona di antara lower dan upper delta

plain di tandai zona transisi yang mengandung karakteristik litofasies keduanya.

Sikuen Bay Fill tidaklah sama dengan sikuen litologi yang berbutir halus,

lebih tipis (1,5-7,5 m) dari lower delta plain. Namun sikuen Bay Fill tidaklah sama

dengan sikuen upper delta, zona ini mengandung fauna air payau yang menunjukkan

kenampakan migrasi lateral lapisan point bar accretion menjadi upper delta plain,

channel pada transisi delta plain ini berbutir halus dari upper delta plain, Penampang

lingkungan pengendapan pada bagian Transitional Lower Delta Plain dapat dilihat

pada ( Gambar 3.4 ).

Lapisan batubara pada umumnya tersebar meluas dengan kecenderungan

agak memanjang sejajar dengan jurus pengendapan. Seperti pada batubara upper

delta plain, batubara di transisi ini berkembang split di daerah channel kontemporer

dan oleh washout yang di sebabkan oleh aktivitas channel subsekuen.

Lapisan batubara pada daerah Transitional Lower Delta Plain terbentuk pada

daerah transisi antara Upper Delta Plain dan Lower Delta Plain dan merupakan yang

paling tebal dan penyebarannya juga paling luas karena perkembangan rawa yang

ekstensif pada pengisian yang hampir lengkap dari teluk yang interdistribusi.

15

Gambar 3.4. Penampang lingkungan pengendapan pada bagian Transitional Lower

Delta Plain (Horne, 1978)

Upper delta plain-fluvial: tebal dapat mencapai lebih dari 10 meter, sebaran

luas cenderung memanjang sejajar jurus pengendapan, kemenerusan lapisan lateral

sering terpotong channel, di tandai splitting akibat channel kontemporer dan washout

olehchannel subsekuen dan kandungan sulfur rendah.

Endapannya didominasi oleh bentuk linier, tubuh pasir lentikuler, pada tubuh

pasir dapat gerusan pada bagian bawahnya, permukaan terpotong tajam, tetapi secara

lateral pada bagian atas bagian batupasir ini melidah dengan serpih abu-abu,

batulanau dan lapisan batubara. Di atas bidang gerusan terdapat kerikil lepas dan

hancuran batubara yang melimpah pada bagian bawah, semakin ke atas butiran

semakin menghalus pada batupasir. Sifat khas tersebut menunjukkan energi yang

besar pada channel pada sekitar rawa kecil dan danau-danau, dari bentuk batupasir

dan pertumbuhan lapisan point bar menunjukkan bahwa hal ini di kontrol oleh

meandering.

16

Sikuen endapan backswap dari atas ke bawah terdiri dari seat earth, batubara,

dengan serpih dengan fosil tanaman yang melimpah dan jarang pelecupoda air tawar,

batubara secara lateral menebal dan akhirnya bergabung dengan tubuh utama

batupasir, batupasirnya tipis (1,5-4,5 m), berbutir halus, mengkasar ke atas, sikuen

tipe ini merupakan endapan pada tubuh air terbuka, mungkin rawa dangkal atau

danau, Penampang lingkungan pengendapan bagian Upper Delta Plain dapat dilihat

pada ( Gambar 3.5 ).

Lapisan batubara pada endapan upper delta plain cukup tebal (lebih dari

10m), tetapi secara lateral tidak menerus, lapisan pembentuk endapan fluvial plain

cenderung lebih tipis dibandingkan dengan endapan upper delta plain, lapisan

batubara cenderung sejajar dengan kemiringan pengendapan, tetapi sedikit yang

menerus dibandingkan dengan fasies lower delta plain, karena bagian yang teratur

sedikit jumlahnya yang mengikuti channel sungai maka lapisan-lapisannya sangat

tebal dengan jarak yang relatif pendek dengan sejumlah split yang berkembang dan

dalam hubungannya dengan endapan tanggul yang kontemporer.

Gambar 3.5. Penampang lingkungan pengendapan bagian Upper Delta Plain

(Horne,1978)

17

Geometri Lapisan Batubara

Geometri lapisan batubara merupakan aspek dimensi atau ukuran dari suatu

lapisan batubara yang meliputi parameter ketebalan, kemiringan, sebaran,

kemenerusan, keteraturan, bentuk lapisan, kondisi roof dan floor, cleat dan

pelapukan ( Kuncoro, 2000 ).

Adapun parameter geometri lapisan batubara harus dikaitkan dengan kondisi

penambangannya, karena hasil pemetaan mengenal geometri lapisan batubara akan

menjadi dasar untuk tahap berikutnya, yaitu tahap penambangan.

Pembagian parameter geometri lapisan batubara ( Jeremic, 1985 dalam

Kuncoro, 2000 ) ini didasarkan pada hubungannya dengan terdapatnya lapisan

batubara ditambang dan kestabilan lapisannya, meliputi :

Ketebalan lapisan batubara :

a) Sangat tipis : apabila tebalnya kurang dari 0,5 meter

b) Tipis : 0,5 - 1,5 meter

c) Sedang : 1,5 - 3,5 meter

d) Tebal : 3,5 - 25 meter, dan

e) Sangat tebal : apabila >25 meter.

Kemiringan lapisan batubara

a) Lapisan horizontal.

b) Lapisan landai, apabila kemiringannya kurang dari 25°.

c) Lapisan miring, apabila kemiringannya 25° - 45°.

d) Lapisan miring curam, apabila kemiringannya 45° - 75°.

e) Vertikal.

Pola kedudukan lapisan batubara atau sebarannya :

a) Teratur

b) Tidak teratur

Kemenerusan lapisan batubara :

a) Ratusan meter

b) Ribuan meter ± 5 - 10 km, dan menerus sampai lebih dari 100 km

18

Selanjutnya agar geometri lapisan batubara menjadi berarti dan menunjang

untuk perhitungan cadangan, bahkan sampai pada tahap perencanaan tambang,

penambangan, pencucian, pengangkutan, penumpukan, maupun pemasaran, maka

parameternya adalah:

1. Ketebalan

Ketebalan lapisan batubara adalah unsur penting yang langsung berhubungan

dengan perhitungan cadangan, perencanaan produksi, sistem penambangan, dan

umur tambang. Oleh karena itu perlu diketahui faktor pengendali terjadinya

kecenderungan arah perubahan ketebalan, penipisan, pembajian, splitting, dan kapan

terjadinya. Apakah terjadi selama proses pengendapan, antara lain akibat perbedaan

kecepatan akumulasi batubara, perbedaan morfologi dasar cekungan, hadirnya

channel, sesar, dan proses karst atau terjadi setelah pengendapan, antara lain karena

sesar atau erosi permukaan.

Pengertian tentang tebal, perlu dijelaskan apakah tebal lapisan batubara

tersebut termasuk parting (gross coal thickness), tebal lapisan batubara tidak

termasuk parting (net coal thickness), atau tebal lapisan batubara yang dapat

ditambang (mineable thickness).

2. Kemiringan

Besarnya kemiringan lapisan batubara berpengaruh terhadap perhitungan

cadangan ekonomis, nisbah pengupasan, dan sistem penambangan. Besarnya

kemiringan harus berdasarkan hasil pengukuran dengan akurasi tinggi. Dianjurkan

pengukuran kedudukan lapisan batubara menggunakan kompas dengan metode dip

direction, sekaligus harus mempertimbangkan kedudukan lapisan batuan yang

mengapitnya.

Pengertian kemiringan, selain besarnya kemiringan lapisan juga masih perlu

dijelaskan:

a. Apakah pola kemiringan lapisan batubara tersebut bersifat menerus dan

19

sama besarnya sepanjang cross strike maupun on strike atau hanya bersifat

setempat.

b. Apakah pola kemiringan lapisan batubara tersebut membentuk pola

linier, pola lengkung, atau pola luasan ( areal ).

c. Mengenai faktor-faktor pengendalinya.

3. Pola sebaran lapisan batubara

Pola sebaran lapisan batubara akan berpengaruh pada penentuan batas

perhitungan cadangan dan pembagian blok penambangan. Oleh karena itu, faktor

pengendalinya harus diketahui, yaitu apakah dikendalikan oleh struktur lipatan

(antiklin, sinklin, menunjam), homoklin, struktur sesar dengan pola tertentu atau

dengan pensesaran kuat.

4. Kemenerusan lapisan batubara

Selain jarak kemenerusan, maka faktor pengendalinya juga perlu diketahui,

yaitu apakah kemenerusannya dibatasi oleh proses pengendapan, split, sesar, intrusi,

atau erosi.

Misal pada split, kemenerusan lapisan batubara dapat terbelah oleh bentuk

membaji dari sedimen bukan batubara. Berdasarkan penyebabnya dapat karena

proses sedimentasi ( autosedimentational split ) atau tektonik yang ditunjukan oleh

perbedaan penurunan dasar cekungan yang mencolok akibat sesar. Oleh karena itu,

pemahaman yang baik tentang split akan sangat membantu pada:

a. Kegiatan eksplorasi untuk menentukan sebaran lapisan batubara dan

penentuan perhitungan cadangan.

b. Kegiatan penambangan hadirnya split dengan kemiringan sekitar 45 o

yang umumnya disertai dengan perubahan kekompakan batuan, maka

akan menimbulkan masalah dalam kegiatan tambang terbuka, kestabilan

lereng, dan kestabilan atap pada operasi penambangan bawah tanah.

20

5. Keteraturan Lapisan Batubara

Keteraturan lapisan batubara ditentukan oleh pola kedudukan lapisan

batubara ( jurus dan kemiringan ), artinya:

a. Apakah pola lapisan batubara di permukaan ( crop line ) menunjukkan pola

teratur ( garis menerus yang lurus, melengkung/meliuk pada elevasi yang

hampir sama ) atau membentuk pola tidak teratur ( garis yang tidak

menerus, melengkung/meliuk pada elevasi yang tidak sama ).

b. Apakah bidang lapisan batubara membentuk bidang permukaan yang

hampir rata, bergelombang lemah, atau bergelombang ).

c. Juga harus dipahami faktor pengendali keteraturan lapisan batubara.

6. Bentuk Lapisan Batubara

Bentuk lapisan batubara adalah perbandingan antara tebal lapisan batubara

dan kemenerusannya, apakah termasuk kategori bentuk melembar, membaji,

melensa, atau bongkah. Bentuk melembar merupakan bentuk yang umum dijumpai,

oleh karena itu selain bentuk melembar, maka perlu dijelaskan faktor-faktor

pengendalinya.

7. Cleat

Cleat adalah kekar di dalam lapisan batubara, khususnya pada batubara

bituminous yang ditunjukkan oleh serangkaian kekar yang sejajar, umumnya

mempunyai orientasi berbeda dengan kedudukan lapisan batubara. Adanya cleat

dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu mekanisme pengendapan, petrografi

batubara, derajat batubara, tektonik ( struktur geologi ), dan aktivitas penambangan.

Berdasarkan genesanya dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu:

a. Endogenous cleat dibentuk oleh gaya internal akibat pengeringan atau

penyusutan material organik. Umumnya tegak lurus bidang perlapisan

sehingga bidang kekar cenderung membagi lapisan batubara menjadi

21

fragmen-fragmen tipis yang tabular.

b. Exogenic cleat dibentuk oleh gaya eksternal yang berhubungan dengan

kejadian tektonik. Mekanismenya tergantung pada karakteristik struktur

dari lapisan pembawa batubara. Cleat ini terorientasi pada arah tegasan

utama dan terdiri dari dua pasang kekar yang saling membentuk sudut.

c. Induced cleat bersifat lokal akibat proses penambangan dengan adanya

perpindahan beban kedalam struktur tambang. Frekuensi induced cleat

tergantung pada tata letak tambang dan macam teknologi penambangan

yang digunakan.

Berdasarkan bentuknya dapat dikelompokan menjadi lima, yaitu:

a. Bentuk kubus, umumnya pada endogenous cleat yang berderajat rendah.

b. Bentuk laminasi, pada exogenic cleat berupa perselingan antara batubara

keras dan lunak atau antara durain dan vitrain.

c. Bentuk tidak menerus, berhubungan dengan endogenous dan exogenic

cleat.

d. Bentuk menerus, berhubungan dengan struktur geologi atau akibat

penambangan.

e. Bentuk bongkah yang disebabkan oleh kejadian tektonik.

Besarnya pengaruh cleat pada beberapa bagian dari suatu rangkaian industri

pertambangan, membuat cleat menjadi penting untuk dipelajari dan diketahui karena

kehadiran dan orientasi cleat antara lain akan mempengaruhi pemilihan tata letak

tambang, arah penambangan, penerapan teknologi penambangan, proses pengolahan

batubara, penumpukan batubara, dan bahkan pemasaran batubara (mulai fine coal

sampai lumpy coal).

Oleh karena itu, perekaman data cleat tidak hanya terbatas pada kedudukan

dan kisaran jarak antar cleat, tetapi perlu dilengkapi dengan merekam jenis, pengisi,

22

pengendali terbentuknya, karakteristik kerekatannya, dan jarak dominan cleat.

8. Pelapukan

Tingkat pelapukan batubara penting ditentukan karena berhubungan dengan

dimensi lapisan batubara, kualitas, perhitungan cadangan, dan penambangannya.

Oleh karena itu karakteristik pelapukan dan batas pelapukan harus ditentukan. Pada

batubara lapuk selain harus ditentukan batasnya dengan batubara segar, juga

berpengaruh pada pengukuran tebalnya. Kondisi ini umumnya dijumpai pada

batubara dengan kandungan abu dan moisture tinggi.

MASERAL PADA BATUBARA

KLASIFIKASI MASERAL

Maseral pada batubara analog dengan mineral pada batuan. Maseral

merupakan bagian terkecil dari batubara yang bisa teramati dengan mikroskop.

Maseral dikelompokan berdasarkan tumbuhan atau bagian tumbuhan menjadi tiga

grup, yaitu :

1. Vitrinit

Vitrinit adalah hasil dari proses pembatubaraan materi humic yang berasal dari

selulosa (C6H10O5) dan lignin dinding sel tumbuhan yang mengandung serat kayu

(woody tissue) seperti batang, akar, daun. Vitrinit adalah bahan utama penyusun

batubara di indonesia (>80 %). Dibawah mikroskop, kelompok maseral ini

memperlihatkan warna pantul yang lebih terang dari pada kelompok liptinit,

namun lebih gelap dari kelompok inertinit, berwarna mulai dari abu-abu tua

hinggga abu-abu terang. Kenampakan dibawah mikroskop tergantung dari tingkat

pembantubaraanya (rank), semakin tinggi tingkat pembatubaraan maka warna

akan semakin terang. Kelompok vitrinit mengandung unsur hidrogen dan zat

terbang yang presentasinya berada diantara inertinit dan liptinit. Mempunyai

berat jenis 1,3 – 1,8 dan kandungan oksigen yang tinggi serta kandungan volatille

matter sekitar 35,75 %.

2. Liptinit (Exinit)

Liptinit tidak berasal dari materi yang dapat terhumifikasikan melainkan berasal

23

dari sisa tumbuhan atau dari jenis tanaman tingkat rendah seperti spora, gangang

(algae), kutikula, getah tanaman (resin) dan serbuk sari (pollen). Berdasarkan

morfologi dan bahan asalnya, kelompok liptinit dibedakan menjadi sporinite

(spora dan butiran pollen), cuttinite (kutikula), resinite (resin/damar), exudatinite

(maseral sekunder yang berasal dari getah maseral liptinit lainya yang keluar dari

proses pembantubaraan), suberinite (kulit kayu/serat gabus), flourinite (degradasi

dari resinit), liptoderinit (detritus dari maseral liptinite lainya), alganitie

(gangang) dan bituminite (degradasi dari material algae).

Relatif kaya dengan ikatan alifatik sehingga kaya akan hidrogen atau bisa juga

sekunder, terjadi selama proses pembatubaraan dari bitumen. Sifat optis :

refletivitas rendah dan flourosense tinggi dari liptinit mulai gambut dan batubara

pada tangk rendah sampai tinggi pada batubara sub bituminus relatif stabil

(Taylor 1998) dibawah mikroskop, kelompok liptinite menunjukan warna kuning

muda hingga kuning tua di bawah sinar flouresence, sedangkan dibawah sinar

biasa kelompok ini terlihat berwarna abu-abu sampai gelap. Liptinite mempunyai

berat jenis 1,0 – 1,3 dan kandungan hidrogen yang paling tinggi dibanding

dengan maseral lain, sedangkan kandungan volatile matter sekitar 66 %.

3. Inertinit

Inertinit disusun dari materi yang sama dengang vitrinite dan liptinite tetapi

dengan proses dasar yang berbeda. Kelompok inertinite diduga berasal dari

tumbuhan yang sudah terbakar dan sebagian berasal dari hasil proses oksidasi

maseral lainya atau proses decarboxylation yang disebabkan oleh jamur dan

bakteri. Kelompok ini mengandung unsur hidrogen paling rendah dan

karakteristik utamanya adalah reflektansi yang tinggi diantara kelompok lainya.

Pemanasan pada awal penggambutan menyebabkan inertinit kaya akan karbon.

Sifat khas inertinit adalah reflektinitas tinggi, sedikit atau tanpa flouresnse,

kandungan hidrogen, aromatis kuat karena beberapa penyebab, seperti

pembakaran (charring), mouldering dan pengancuran oleh jamur, gelifikasi

biokimia dan oksidasi serat tumbuhan. Sebagian besar inertinit sudah pada bagian

awal proses pembatubaraan. Inertinite mempunyai berat jenis 1,5 – 2,0 dan

24

kandungan karbon yang paling tinggi dibanding maseral lain serta kandungan

volattile matter sekitar 22,9 %.

Gambar : Maseral vitrinit, inertinit dan liptinit (Identification of Coal

Components, Kentucky Geological Survey, 2006)

Untuk pengelompokan maseral yang digunakan adalah mengacu pada

pengelompokan maseral berdasarkan Standart Australia (AS 2856-1986)(Tabel 3.1)

untuk hasil pengamatan klasifikasi maseral dalam presentase volume (%vol).

Tabel 3.1 Klasifikasi group maseral berdasarkan Standar Australia

Group maseral Sub group maseral Type maseral

Vitrinite Tellovitrinite Textinite

Texto-ulminite

Eu – ulminite

Telocolinite

Detrovitrinite Atrinite

Desinite

Desmocolinite

25

Gelovitrinite Corpogelinite

Porigelinite

Eugelinite

Liptinite Sporinite

Cutinite

Resinit

Suberinite

Fluorinite

Liptodetrinite

Exudatinite

Alganite

Bituminite

Inertinite Teloinertinite Fusinite

Semifusinite

Scelorotinite

Detroinertinite Inertodetrinite

Micrinite

Geloinertinite macrinite

Maseral menghasilkan materi yang mudah menguap (volattile matter). Materi

ini banyak dihasilkan oleh liptinite yaitu sekitar 66 % sedangkan vitrinite

menghasilkan 35,75 % dan inertinite menghasilkan 22,9 %

MASERAL DAN LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA

Peranan maseral dalam analisis penetuan pengandapan batubara didasarkan

pada sifat-sifat yang dimilikinya, antara lain : sifat attribute dan sifat skalar. Suatu

lapisan batubara mulai dari lapisan dasar (floor) hingga atas (roof) memiliki sifat

tertentu, yang mencerminkan kondisi lingkungan pengendapanya.

Sifat attribute adalah suatu sifat yang dicirikan oleh ada tidaknya suatu

maseral tertentu, dalam hal ini kelimpahan maseral sangat penting untuk dijadikan

penciri suatu lingkungan tertentu (Diessel, 1992). Navale (1981) menyatakan bahwa

26

batubara yang diendapkan pada lingkungan lagoon relatif kaya akan desmocolinit,

batubara dari lingkungan upper delta plain dan fluviatil (wet frorest Swamp) kaya

akan vitrinit dan material klastik seperti mineral lempung, sedangkan batubara dari

lingkungan air tawar biasanya lebih kaya akan telinit, resinit dan inertinit.

Sifat skalar dari suatu maseral bukan didasarkan atas faktor kehadiran atau

morfologi maseral tertentu, tetapi didasarkan pada hubungan kuantitatif antara tiap

maseral dalam batubara. Diessel (1992) memperkenalkan dua parameter utama

dalam penertuan fasies batubara berdasarkan komposisi maseral pada batubara yaitu:

1. TPI

TPI (Tissue Presevation Index) menyatakan perbandingan antara struktir jaringan

pada maseral yang terawetkan dan struktur jaringan yang tidak terawetkan

(terdekomposisi). TPI juga dapat menunjukkan derajat humifikasi yang terjadi

pada lahan gambut dalam proses penggambutan. Tingginya derajat humifikasi

dapat menyebabkan terjadinya penghancuran jaringan sel yang dinyatakan oleh

harga TPI yang kecil.

Pengrusakan struktur sel oleh organisme akan sangat mudah terjadi pada tanaman

yang mengandung banyak seloluse (tanaman perdu), sedangkan tanaman yang

banyak mengandung lignin (tumbuhan kayu) akan sulit dihancurkan. Semakin

meningkatnya harga TPI dapat menunjukkan semakin tingginya presentasi

kehadiran tumbuhan-tumbuhan kayu dalam hal ini ditunjukkan dengan

banyaknya presentasi telovitrinit. Sementara itu bila harga TPI , maka maseral

vitrinit akan disertai oleh kehadiran cutinit yang biasanya akan cepat

terhancurkan oleh air laut. Kombinasi antara kandungan densinit dan cutinit yang

banyak dengan kandungan vitrinit yang sedikit dapat menggambarkan bahwa

batubara berasal dari serta tumbuhan perdu pada suatu lingkungan Marsh

27

2. GI

GI (Gelification Index) berhubungan dengan kontinuitas kelembaban pada lahan

gambut serta menyatakan perbandingan antara maseral yang terbentuk karena

proses gelifikasi dan maseral yang terbentuk akibat proses oksidasi.

Harga GI akan berbanding terbalik dengan tingkat oksidasi, dalam hal ini

semakin kecil harga GI menunjukan tingkat oksidasi yang semakin besar.

Tingkat gelifikasi akan memberikan beberapa gambaran antara lain :

1. Menunjukan basah keringnya kondisi pembentukan batubara. Hal ini terjadi

karena gelifikasi membutuhkan keadaan lembab yang kontinyu.

2. Sebagai indikator pH relatif karena efektifitas bakteri dapat berlangsung

pada derajat keasaman rendah

3. Sebagai ukuran proses diagenesa selama gelifikasi biokimia

Kombinasi TPI dan GI dapat dipergunakan untuk memperkirakan derajat

dekomposisi dan penentuan lingkungan pengendapan batubara. Nilai TPI dan GI

yang tinggi dapat mengindikasikan tingkat dekomposisi aerobik yang rendah,

sebaliknya kondisi kering dicirikan oleh nilai TPI rendah dan GI yang tinggi

mengindikasikan dekomposisi aerobik yang terbatas.

PENGARUH AIR TANAH DAN VEGETASI

Salah satu parameter dalam pembentukan mire / lahan gambut (rheotophic,

mesotropic dan ombrotopic) adalah kondisi pengaruh air tanah yang dicerminkan

melalui nilai indeks GWI (Graoundwater Index) yang secara langsung berhubungan

dengan kontinuitas air hujan dan suplai nutrisi / ion-ion yang ada pada air.

Rheotropic mire menerima suplai air dari aliran tanah, air dari lingkungan dan air

hujan sehingga kaya akan suplai nutrisi dan ion serta kandungan mineral, sementara

ombrotropic mire hanya akan menerima dari air hujan sehingga miskin nutrisi

(oligotropic). Rheotrophic mire dapat dibagi menjadi Fen, Swamp, dan Marsh yang

tergantung pada tingkat genangan air pada lahan gambut. Sementara mire dapat

28

diistilahkan sebagai Bogs (Moore, 1987 dalam Calder 1991).

GWI merupakan rasio perbandingan antara jumlah tumbuhan yang

tergelifikasi kuat terhadap jaringan tumbuhan yang tergelifikasi lemah. Perbandingan

ini dapat menggaqmbarkan proses gelifikasi yang menyimpulkan tentang keadaan

suplai air dan pH dari suatu lahan gambut / mire.

Pada lingkungan rawa yang berkembang menjadi kondisi rawa di bawah

pengaruh air tanah yang semakin berkurang akan menghasilkan gambut yang lebih

baik (Grosse – Braukman, 1979, Tallis, 1983, Moore, 1987 dalam Calder 1991).

Bukti kondisi ini dapat terlihat pada lapisan batubara yang menunjukan perubahan

tendensi umum secara vertikal. Perubahan tendensi umum tersebut diantaranya

adalah penurunan kadar sulfur dan abu, kenaikan pengawetan jaringan tumbuhan,

penurunan gelifikasi biokimia dan penurunan maseral liptinite yang berasal dari

lingkungan air (Calder, 1991)

Dalam perhitungan GWI juga dimasukan parameter mineral matter selain

maseral. Kegunaan parameter mineral matter disini dapat mengindikasikan asal mula

dari dominasi detrital masuk pada mire dan juga dapat mengasumsikan ukuran

kondisi rawa gambut (Rheotrophic, mesotrophic dan ombrotropic). (Cecil, C.B

dalam Taylor, 1998)

Selain dari pengaruh air tanah yang dalam hal ini dinyatakan dalam GWI,

aspek vegetasi (Vegetation Index) juga dapat dijadikan petunjuk dalam

menginterpretasikan asal mula suatu lahan gambut (paleomire). Secara teori lahan

gambut dapat dibedakan berdasarkan tipe tumbuhan pembentuk dengan

menggunakan paramater kesamaan antar maseral.

Tumbuhan yang kaya akan lignin ditunjukan dengan kandungan telovitrinit,

fusinit dan semifusinit yang tinggi. Dalam hal ini, suberinit dan resinit adalah

maseral penyerta. Tumbuhan asal perdu yang kaya selulosa melalui proses

pembatubaraan akan membentuk batubara yang kaya akan detrovitrinit, inertodetrinit

29

dan liptodetrinit (Teichmuller, 1989). Kondisi seharusnya akan diindikasikan oleh

kehadiran maseral alganite. Sementara sporanite dan cutinite mempunyai distribusi

yang sama pada batubara yang terbentuk dari tumbuhan bawah air.

KANDUNGAN SULFUR PADA BATUBARA

Sulfur dalam batubara terdapat dalam bentuk inorganik, dan organik. Sulfur

inorganik banyak ditemui dalam bentuk senyawa sulfida ( piritik) dan sulfat. Sulfida

organik adalah unsur atau senyawa sulfur yang terikat dalam rantai hidrokarbon

material organik.

Umumnya komponen sulfur dalam batubara terdapat sebagai sulfur

syngenetic yang erat hubunganya dengan proses fisika dan kimia selama proses

penggambutan (Mayers, 1982) dan juga sebagai sulfur epigenetik yang dapat diamati

sebagai pengisi cleat pada batubara akibat proses presipitasi kimia pada akhir proses

pembatubaraan (Mackowsky, 1968)

Menurut Suits dan Arthur (2000) sulfat umumnya dari sedimen laut dangkal,

direduksi senyawa karbon organik menjadi hidrogen sulfida, kemudian dioksidasi

oleh geohite (FeOOH) atau hidrogen sulfida dan mereduksi ferric iron (Fe3+)

menjadi senyawa ferrous iron (Fe2+). Oksigen sering kali menembus sedimen

anaerob dan mengoksidasi hidrogen sulfida menjadi unsur sulfat (S0).

Horne et.al (1978) menjelaskan bahwa penurunan cekungan dengan

kecepatan tinggi selama sedimentasi umumnya akan menghasilkan beragam

geometri dan petrografi batubara, tetapi kandungan sulfurnya rendah. Apabila

penurunan berjalan secara perlahan maka akan menghasilkan kemenerusan lapisan

secara luas tapi kandungan sulfurnya tinggi.

Mansfield and Spackman (1968) menyatakan bahwa batubara dibawah

pengaruh air laut mempunyai kandungan sulfur yang tinggi dibandingkan yang di air

tawar.

Pada lingkungan pengendapan batubara yang dipengaruhi oleh endapan laut

akan menghasilkan batubara dengan kadar sulfur yang tinggi serta pirit berbentuk

30

framboidal dan kristal euhedral (Williams and Keith, 1963, Naeval, 1996, Cohen

1983, Davies and Raymond, 1983, Casagrande 1987 dalam International Journal of

Coal Geology, 1992). Sedangkan batubara yang terendapkan di lingkungan darat/air

tawar umumnya didominasi oleh sulfur organik dengan presentasi pirit rendah.

Dilingkungan laut, pH umumnya berkisar antara 5 – 8 dan EH cukup rendah,

kecuali pada beberapa centimeter dari permukaan. Sulfat berlimpah dan umumnya

cukup ion Fe yang hadir baik sebagai unsur terlarut dalam air laut atau penguraian

dari bahan tumbuhan dan mineral. Keadaan ini menyebabkan aktifitas bakteri sangat

berperan untuk terbentuknya sulfur. Sedangkan lingkungan pengendapan batubara

pada ait tawar (lacustrine dan rawa) pH umumnya rendah. Sulfat terlarut juga rendah

(± < 40 ppm). Sehingga sulfur yang terbentuk sedikit karena aktifitas bakteri rendah.

Dengan demikian jumlah sulfur yang dihasilkan tergantung pada kondisi pH, Eh,

konsentrasi sulfat dan untuk pirit khususnya perlu kehadiran ion Fe dan aktivitas

bakteri.

Dari hasil penelitian mengenai bentuk dan keberadaan sulfur pada batubara

dan gambut. Casagrande (1987) membuat beberapa kesimpulan yaitu :

a. Secara umum batubara bersulfur rendah (<1 %) mengandung lebih banyak sulfur

organik daripada sulfur piritik. Sebaliknya batubara dengan kandungan sulfur

tinggi lebih banyak mengandung sulfur piritik dari pada organik.

b. Batubara bersulfur tinggi biasanya berasosiasi dengan batuan penutup yang

berasal dari lingkungan laut

c. Kandungan sulfur pada batubara umumnya paling tinggi pada bagian roof dan

floor lapisan batubara.

Batubara dengan kandungan abu dan sulfur yang rendah biasanya

terendapkan pada lingkungan darat pada saat penggambutan, dengan lapisan penutup

dan lapisan bawahnya berupa sedimen klasik yang terendapkan pada lingkungan

darat juga. Sedangkan untuk batubara dengan kandungan abu dan sulfur yang tinggi

berasosiasi dengan sedimen yang terendapkan pada lingkungan payau atau laut

(Cecil 1979)

Proses paling penting dalam pembentukan unsur dan senyawa sulfur adalah

reaksi reduksi sulfat oleh aktivitas bakteri. Berikut skema yang menunjukan urutan

31

proses pembentukan sulfur dalam batubara.

Gambar 3.4. Skema pembentukan sulfur dalam batubara (modifikasi

dari Suits & Arthur, 2000)

Ward (1984) menyebutkan sulfur dalam batubara meliputi sulfur sulfat,

sulfida sulfur dan organic sulfur yang kesemuanya merupakan penjumlahan dalam

total sulfur dalam analisa proksimat.

Kandungan sulfur dalam batubara terdiri :

1. Sulfur sulfat.

Senyawa yang tebentuk sebagai kalsium sulfat (CaSO4) dalam batubara dan

merupakan sumber belerang yang tidak dominan (<0,05%). Sulfur sulfat banyak

dipengaruhi oleh air laut

2. Sulfur pirit

Sulfur yang terdapat dalam batubara dalam bentuk besi sulfida, muncul sebagai

markasit atau pirit. Kedua jenis mineral ini memiliki komposisi kimia yang sama

(FeS2) tetrapi berbeda pada sistem kristalnya, pirit (isometrik) dan markasit

(orthorombik) Taylor (1998). Diendapkan bersamaan/seumur dengan

32

pembentukan batubara dan memiliki ukuran 0,5 – 40 mm. Berasal dari mineral-

mineral tanah yang dilepaskan untuk tanaman, terutaman pada tanah dengan

drainase terbatas, banyak terdapat pada rawa-rawa.

3. Sulfur organic

Sulfur yang terikat dengan senyawa organik pada struktur molekul hidrokarbon

pada struktur batubara dan tidak dapat dipisahkan.

Unsur yang mempengaruhi kandungan sulfur:

1. Plant remains. Merupakan sisa-sisa tumbuhan yang terdapat pada lapisan roof

dan floor batubara. Berdasarkan pengamatan lapangan hadirnya plant remains

diisi sulfur organik akan mempengaruhi nilai sulfur. Plant remains menaikan

total sulfur betubara. Pada saat pembusukan sulfur tidak ikut membusuk dan

tersisa hingga pada saat pembentukan batubara (Stach’s, 1982 vide Putrasakti

2007)

2. Penyebaran mineral pirit pada batubara

Kahdiran mineral pirit pada batubara sebagian dapat dihilangkan dengan mencuci

karena pirit bercampur pada cleat sebagai markasit. Pengaruh pirit terhadap total

sulfur jauh lebih besar dibandingkan pengaruh plant reamins terhadap jumlah

total sulfur.

Menurut Caraccio (1977, vide Putrasakti, 2007) ada empat bentuk pirit dalam

batubara, yaitu :

1. Euhedral pirit, butiran kasar >25 mikron

2. Replecment mengantikan mineral asli tumbuhan

3. Flaty, berupa lembaran mengisi cleat

4. Frambodial pirit. Berasal dari pengurangan sulfur oleh mikroba organisme yang

dijumpai di lingkungan air laut hingga air payau dan tidak pada air tawar.

Memiliki kenampakan fisik yang bulat.

33

Gambar 3.5. Bentuk - bentuk mineral pirit dalam batubara : a) Pirit berbentuk

famboidal; b) Pirit berbentuk konkresi; c) Pirit dalam bentuk Nodule; d) pirit

epigenetik sebagai pengisi rekahan / cleat (Stach 1982 dalam coal petrology)

Pirit dapat terbentuk sebagai hasil reduksi sulfur primer oleh organisme dan

air tanah yang mengandung ion besi. Bentuk pirit dari hasil reduksi ini biasanya

framboidal dengan sumber sulfur yang tereduksi kemungkinan terdapat dalam

material yang terendapkan bersama batubara.

Terbentuknya pirit epigenetik sangat berhubungan dengan frekwensi cleat

karena kation – kation yang terlarut (ion Fe) akan terbawa kedalam batubara oleh

aliran yang telah tereduksi untuk kemudian membentuk pirit (Demchuck TD, dalam

International Journal of Coal Geology, 1992)

Pirit epigenetik umumnya hadir dalam bentuk masif, butiran kecil (granular)

dan kristal euhedral. Pembentukan pirit epigenetik sangat dipengaruhi oleh

keterdapatan sulfur primer yang telah tereduksi, ion besi dan tempat yang cocok bagi

pembentukanya (Casagrande, 1987)

Pirit framboidal berasosiasi dengan batuan penutup yang terendapkan pada

lingkungan laut sampai payau. Gambut yang mengandung sulfur tinggi (dalam

bentuk pirit framboidal) terbentuk pada lingkungan pengendapan yang dipengaruhi

oleh trangresi air laut atau payau, kecuali apabila terdapat dalam batuan sedimen

yang cukup tebal dan terendapkan sebelum fase trangresi (Cohen AD dalam Taylor

34

1998).

Secara umum sebagian besar sulfur dalam batubara berupa sulfur syngenetik

yang keterdapatanya dan distribusinya dikontrol oleh kondisi fisika dan kimia selama

proses pembentukan gambut. Sulfur organik dalam batubara dapat berasal dari

material kayu dan pepohonan. Disamping itu sebagian sulfur juga mungkin terjadi

dari sisa-sisa organisme yang hidup selama perkembangan gambut.

Sulfur organik dapat terakumulasi dari sejumlah material organik oleh proses

penghancuran biokimia dan oksidasi. Namun secara umum, penghancuran biokimia

merupakan proses yang paling penting dalam pembentukan sulfur organik, yang

pembentukanya berjalan lebih lambat dari lingkungan basah atau jenuh air (Cook,

1982)

Navael (1981), sulfur organik atau bisa dikatakan sebagai pirit,

mengindikasikan aktivitas bakteri pereduksi sulfur dalam gambut. Deulfovibrio

sedlfurican dan Clostridium nigrificans mereduksi sulfat menjadi H2S yang

diperlukan untuk terbentuknya pirit, dimana unsur besi kemungkinan masuk ke

dalam rawa yang terbawa dalam material lempung. Oleh karena itu, pada umumnya

pirit ditemukan pada lapisan lempung sebagai floor / roof maupun sisipan.

Sulfur yang bukan berasal dari material pembentuk batubara diduga

mendominasi dalam menertukan kandungan sulfur total. Sulfur inorganik yang

biasanya melimpah dalam lingkungan marine atau payau kemungkinan besar akan

terubah membentuk hidrogen sulfida dan senyawa sulfat dalam kondisi dan proses

geokimia. Reaksi yang terjadi adalah reduksi sulfat oleh material organik menjadi

hidrogen sulfida (H2S). Reaksi reduksi ini dipicu oleh adanya bakteri desulfovibrio

dan desulfotomaculum (Trudinger dalam Mayers, 1982)

Unsur sulfur, hidrogen sulfida dan ion sulfida dapat bereaksi dengan unsur

atau molekul organik dari gambut menjadi sulfur organik. Unsur sulfur (S0)

kemungkinan mucul dari proses oksidasi hidrogen sulfida yang terkena kontak

dengan oksigen terlarut dalam kisi-kisi air, disamping itu S0 juga bisa muncul karena

adanya aktivitas bakteri. Unsur sulfur (S0) dapat berekasi dengan asam humik yang

terbentuk selama proses penggambutan. (Mayers, 1982)

Berdasarkan eksperimen dapat diketahui bahwa H2S juga dapat bereaksi

35

dengan asam humik yang terbentuk selama proses penggambutan. Jenis interaksi

antaea H2S dengan asam humik inilah yang mempunyai peranan paling penting

dalam mementukan kandungan sulfur organik dalam batubara (Mayers, 1982).

Disamping itu kandungan sulfur organik yang tinggi hanya akan berasosiasi dengan

lingkungan rawa gambut yang minim suplai Fe (Gransh & Postuma, 1974, Bein,

1990, Zaback & Pratt dalam Suits & Arthur, 2000)

Bukti-bukti kimia dan molekul menyatakan bahwa sulfur organik pada

sedimen muda dan purba terbentuk pada awal proses diagenesa (Nissenbaum &

Kaplam, 1972; Casagrande, 1979; Kohnen, 1990 dalam Suits & Arthur, 2000). Bukti

dari isotop sulfur memperkuat hipotesa tersebut, pada sulfur organik isotop sulfur 34S

terkayakan relatif sama pada sulfur pirit untuk batuan sedimen muda dan purba.

Bukti isotop ini juga sering membuktikan bahwa sulfur organik terbentuk setelah

proses presipitsi pirit (Kaplan, 1963, Price & Shieh, 1979, Francois, 1987, Raiswell,

1993 dalam Suits & Arthur, 2000)