Geliat Film Indonesia. Kemudian kita juga sudah melihat indikasi investasi asing yang ingin membuat...

20
Vol. 3 • September 2017 Geliat Film Indonesia Tuan Rumah di Negeri Sendiri, dan Siap Bersaing Secara Global Mouly Surya Marlina The Murderer in Four Act Sheila Timothy Wiro Sableng 212 Amalia Hapsari Docs By The Sea

Transcript of Geliat Film Indonesia. Kemudian kita juga sudah melihat indikasi investasi asing yang ingin membuat...

Vol. 3 • September 2017

Geliat Film IndonesiaTuan Rumah di Negeri Sendiri, dan Siap Bersaing Secara Global

Mouly SuryaMarlina The Murderer in Four Act

Sheila TimothyWiro Sableng 212

Amalia HapsariDocs By The Sea

C O V E R S T O R Y

Marlina The Murderer in Four Act Dokumentasi CinesuryaFoto: Eriek Juragan

06-09 | P R O F I L

MOULY SURYA

14-15 | P R O F I L

STEPHANIE LARASSATI“KEGELISAHAN” YANG MENGGELEDAH RUANG-RUANG KEMUNGKINAN

16-17 | P R O F I L

MAKBUL MUBARAKKEKUASAAN ADALAH ISU SENTRAL YANG TAK PERNAH SELESAI

18-19 | D O K U M E N T A S I

10-11 | P R O F I L

SHEILA TIMOTHY WIRO SABLENG 212 DAN JURUS SAKTI SHEILA TIMOTHY

04-05 | W A C A N A

GELIAT FILM INDONESIA TUAN RUMAH DI NEGERI SENDIRI, DAN SIAP BERSAING SECARA GLOBAL

Film Indonesia terus menggeliat. Bukan hanya dari kuantitas yang dihasilkan setiap tahunnya, tetapi juga dari kualitas yang terus meningkat.

Pukau yang mendalam Mouly Surya atas keindahan alam, serta kekuatan kaum perempuan Sumba yang menginspirasinya membesut film Marlina The Murderer in Four Act (Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak).

12-13 | P R O F I L

AMELIA HAPSARIGIATKAN FILM DOKUMENTER LEWAT FORUM DOCS BY THE SEA

Dok

umen

tasi

Cin

esur

ya, F

oto:

Eri

ek Ju

raga

n

D A F T A R I S I0302

Film merupakan sesuatu yang penting di industri kreatif. Namun sayang, sumbangan terhadap PDB (Product Domestic Bruto) nasional masih kecil. Oleh karena itu, Bekraf mencoba memberikan prioritas agar industri ini berkembang dengan cepat.

Untuk itu Bekraf telah melakukan beberapa hal. Misalnya dengan mengeluarkan paket kebijakan ekonomi nomor 10 di tahun 2016, membuka peluang bagi investor asing masuk ke Indonesia di bidang film.Investasi ini akan masuk ke dalam sektor film Indonesia, yakni produksi, distribusi dan eksebisi. Dulu investor asing tidak dimungkinkan untuk masuk ke tiga sektor ini. Namun, kini Bekraf telah mengubahnya.

Hasilnya cukup menggembirakan. Misalnya saja kini sudah muncul co-production. Kemudian kita juga sudah melihat indikasi investasi asing yang ingin membuat bioskop-bioskop baru. Pendeknya gairah film meningkat.

Tapi tidak itu saja, program-program lain yang sudah dijalankan Bekraf selama ini akan terus dijalankan. Misalnya dengan mengirimkan naskah-naskah para filmmaker Indonesia ke Torino Film Lab. Di sana para filmmaker akan memperoleh pengalaman berharga yang kelak dapat meningkatkan kualitas film Indonesia.

Begitu juga dengan festival film di Indonesia. Bekraf berencana menghidupkan kembali Jakarta Film Festival. Tapi Bekraf akan menggandeng pihak-pihak lain, misalnya pihak asosiasi. Ini wajar karena Bekraf tidak mungkin menyelenggarakannya sendiri.

Ini semua dilakukan karena Bekraf menginginkan, kualitas film Indonesia membaik. Namun yang terpenting adalah memaksimalkan film Indonesia, dengan membuatnya lebih berkualitas dan semakin dicintai oleh orang Indonesia.

Triawan MunafKepala Badan Ekonomi Kreatif Indonesia

Badan Ekonomi Kreatif adalah Lembaga Pemerintah Non Kementerian yang bertanggungjawab di bidang ekonomi kreatif dengan enam belas subsektor.

Kantor

Gedung Kementerian BUMN, Lt 15, 17, 18Jl. Merdeka Selatan No. 13, Jakarta Pusat - 10110.

Email

[email protected]

Twitter

@bekrafid

Pengelola Media

GRID Kompas Gramedia

Film Indonesia Harus Dicintai Orang Indonesia

Yang terpenting adalah memaksimalkan film Indonesia dengan membuatnya lebih berkualitas, dan semakin dicintai oleh orang Indonesia.

www.bekraf.go.id

E D I T O R I A L

Film Indonesia terus menggeliat. Bukan hanya dari kuantitas yang dihasilkan setiap tahunnya, tetapi juga dari kualitas yang terus meningkat.

TUAN RUMAH DI NEGERI SENDIRI, DAN SIAP BERSAING SECARA GLOBAL

Tahun 2016 boleh dikatakan sebagai tahun terbaik bagi film Indonesia yang ditayangkan di Bioskop. Film berjudul Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! part 1 yang disutradarai oleh Anggy Umbara tersebut, mencetak rekor dengan jumlah penonton mencapai 6.858.616.

Perolehan jumlah penonton Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! part 1, mampu menggeser rekor yang diraih oleh Laskar Pelangi (2008), dengan jumlah penonton sebanyak 4.719.453. Menurut data yang dihimpun dari laman www.filmindonesia.org, selama sejarah film Indonesia, setidaknya ada enam judul film yang jumlah penontonnya melampaui angka tiga

juta penonton, antara lain Ayat-ayat Cinta (2008), Laskar Pelangi (2008), Habibie Ainun (2012), My Stupid Boss (2016), Ada Apa dengan Cinta 2 (2016), serta Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! part 1 (2016).

Kesuksesan film Indonesia dewasa ini, tidak terlepas dari dukungan banyak pihak, yakni kreator pembuat film dan tim produksinya, stakeholder, dan tentunya pemerintah. Melalui Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf), program fasilitasi terus dipacu guna menumbuhkan gairah produksi film berkualitas semakin meningkat.

Bekraf juga tengah mengupayakan tambahan layar untuk memutar

film Indonesia. Dikatakan Deputi Pemasaran Bekraf, Joshua Simandjuntak, saat ini populasi di Indonesia 250 juta jiwa, namun hanya memiliki 1200 layar bioskop. “Sebetulnya Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk menambah jumlah layar. Bayangkan, populasi Korea hanya 50 juta jiwa, tetapi mereka telah memiliki 2688 layar,” ucap Joshua Simandjuntak.

“Pada prinsipnya, dengan semakin banyaknya layar yang tersedia,

GELIAT FILM INDONESIA

Sum

ber d

ata:

ww

w.fil

min

done

sia.o

r.id

6.858.616

2016Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! part 2

4.719.453

2008 Laskar Pelangi

4.583.641

2012 Habibie & Ainun

3.665.509

2016 Ada Apa Dengan Cinta 2

3.654.777

2008 Ayat-ayat Cinta

3.052.657

2016 My Stupid Boss

JUMLAH PENONTON FILM INDONESIA TERBANYAK (DI ATAS TIGA JUTA PENONTON)

W A C A N A0504

tentunya semakin banyak akses bagi masyarakat untuk menonton film (nasional), dan ini akan semakin memacu filmmaker untuk berkarya lebih baik,” lanjut Joshua menambahkan. Indonesia Creative Incorporated (ICINC)Melihat potensi yang cukup besar di bidang film, Bekraf sangat serius membuat program-program yang mendukung pertumbuhan film Indonesia. Salah satunya merancang payung program Indonesia Creative Incorporated (ICINC) yang akan menjadi “Showcase” karya-karya

terbaik anak bangsa. Untuk bidang film, Bekraf mengusung ICINC for Film dengan nama Indonesian Cinema.

“Tujuan terbentuknya ICINC for film ini adalah agar lebih fokus pada pengembangan film dan program, bersama dengan para stakeholder untuk mengembangkan sektor perfilman Indonesia,” ujar Wakil Kepala Bekraf, Ricky Pesik.

Keberadaan ICINC sebagai payung program dari 16 subsektor Bekraf, diharapkan dapat

mewujudkan ekspansi bisnis atau usaha subsektor kreatif dengan karya unggulan ke pasar global. Selain itu, ajang ini juga dapat menampilkan potensi industri kreatif Indonesia dan menciptakan kesempatan bagi usaha kreatif Indonesia masuk ke pasar global, sehingga dapat turut meningkatkan nilai ekspor di sektor ekonomi kreatif.

Tahun 2017, program ICINC for Film (Indonesian Cinema) telah dipresentasikan di Shanghai, China, dan New York, Amerika Serikat. “Dipilihnya China, karena kami melihat potensi yang cukup besar dari negara itu. Tahun lalu, China memiliki 40 ribu layar bioskop. Harapannya, film Indonesia dapat ditayangkan di sana, atau pembuat film Indonesia dapat berkolaborasi dengan film production di sana,” ujar Joshua.

Program tersebut membuka peluang antara Indonesia dan China, antara lain co-production film Indonesia-China, Festival Film, Lokasi Syuting, dan juga penyediaan jasa produksi.Salah satu hasil yang diharappkan Bekraf melalui program Indonesian Cinema adalah untuk membantu memfasilitasi para produser film yang berencana melakukan syuting yang berlokasi di Indonesia.

Dalam waktu dekat, Bekraf juga akan melaksanakan Familiarization Trip bagi stakeholder industri film di China ke Indonesia. Hal tersebut guna mengerucut realisasi peluang co-production, lokasi syuting, kolaborasi di festival film, khususnya dalam hal investasi film dan infrastruktur.

6.858.616

2016Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! part 2

4.719.453

2008 Laskar Pelangi

4.583.641

2012 Habibie & Ainun

3.665.509

2016 Ada Apa Dengan Cinta 2

3.654.777

2008 Ayat-ayat Cinta

3.052.657

2016 My Stupid Boss

1

SUMBA DAN PEREMPUANNYA HADIRKAN PUKAU YANG MENDALAM BAGI MOULY SURYA

Mouly Surya

P R O F I L0706

Film Marlina The Murderer in Four Act (Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak) besutan sutradara Mouly Surya, menuai pujian di Festival Film Cannes 2017. Film tersebut untuk pertama kalinya diputar dalam sesi Directors Fortnight di Theatre Croisette, JW Marriot, Cannes, pada Rabu (24/5/2017).

Directors Fortnight merupakan rangkaian acara dari Festival Film Cannes digagas oleh Asosiasi Sutradara Film Perancis sejak 1969, ajang ini turut mengorbitkan banyak sutradara dari berbagai negara.

Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak merupakan film Indonesia pertama yang lolos seleksi dalam rangkaian Festival Film Cannes selama 12 tahun terakhir, setelah Tjoet Nja Dhien (Semaine de la Critique, 1988), Daun di Atas Bantal (Un Certain Regard, 1998), dan Serambi (Un Certain Regard, 2006).

Pemerintah Indonesia turut mendukung keberangkatan para punggawa Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak, melalui fasilitasi dari Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf).

Menyebut nama Mouly Surya, kita akan dengan segera tersambung dengan film-film besutannya yang selalu memiliki kisah dan alur tak biasa. Caranya membaca dan bertutur tentang sebuah kisah, seringkali membawa kita pada pemikiran mendalam tentang sebuah persoalan yang kerap tak terpikirkan sebelumnya. Misalnya, ketika ia bercerita tentang kisah cinta seorang lelaki tunarungu dengan seorang remaja perempuan buta yang terjalin dengan cara yang tak biasa dalam film What They Don’t Talk About When They Talk About Love (2013). Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak merupakan film ketiga yang diarahkan Mouly.

Apa yang membuat Anda tertarik menyutradarai Marlina si Pembunuh Dalam Empat Babak?

Semuanya bermula ketika saya dan Mas Garin menjuri bareng untuk piala Citra 2014. Kami ngobrol dan Mas Garin bilang, harusnya kami bikin film bareng suatu hari. Dia punya sebuah cerita yang dia ingin sekali cerita itu diarahkan oleh sutradara perempuan kalau difilmkan. Saat itu, Mas Garin menceritakan garis besar kisahnya yang idenya muncul ketika ia sedang melakukan perjalanan ke Sumba dan kemudian mengatakan, “Saya nggak tahu bagaimana kamu akan menvisualisasikannya. Tapi saya yakin cerita itu pasti bisa jadi menarik di tanganmu.” Kata-kata itu membuat saya tertantang. Lalu keesokan harinya, Mas Garin mengirimi saya lima lembar sinopsis cerita yang waktu itu berjudul “Perempuan”. Produser dan rekan kerja saya, Rama Adi dan Fauzan Zidni, langsung tertarik dengan sinopsis dan sepakat untuk memproduksi film ini.

Bagaimana komunikasi dan pola kolaborasi yang Anda lakukan dengan Garin Nugroho yang membuat ide cerita?

Garin memberi keleluasaan pada saya untuk melakukan pengembangan cerita dan mengatakan betapa dia sangat terpesona dengan gambaran perempuan Sumba. Ketika Garin mengatakan itu, saya tidak terlalu paham yang dia maksud sampai akhirnya saya melakukan perjalanan ke Sumba. Saya kira, Marlina dengan misteri, sensualitas dan keteguhannya, datang dari semua imaji dan impresi yang saya dapat dari para perempuan Sumba.

Kabarnya, ada kisah menarik di balik pemilihan nama tokoh dan pemilihan judul film ini?

Hahaha... Iya, nama Marlina itu saya ambil dari nama seorang guru di Sumba yang aksi jogetnya di ruang guru di sekolah tempatnya mengajar menjadi viral di media sosial dan menangguk pro-kontra. Marlina juga kukuh dengan

Dok

umen

tasi

Cin

esur

ya, F

oto:

Eri

ek Ju

raga

n

P R O F I L0908

pendapatnya bahwa yang ia lakukan tidak salah karena ia hanya berjoget untuk bercanda dengan teman-temannya di ruang guru saat istirahat dan bukan melakukan hal melanggar hukum seperti melakukan kekerasan pada murid atau hal tak terpuji lainnya. Ya sudah, jadilah saya memakai nama Marlina buat tokoh film ini.

Adakah alasan di balik penokohan film ini dan bagaimana Anda menentukan siapa memerankan apa?

Sejak sebelum naskah film ini selesai, produser yang juga penulis pendamping saya, Rama Adi sudah menyebut Marsha Timothy sebagai aktris yang cocok memerankan Marlina dan saya setuju dengan pendapatnya. Marsha bukan aktris baru, dan saya sudah pernah bekerjasama dengannya sejak saya masih asisten sutradara. Ketika saya bertemu Marsha untuk membicarakan rencana pembuatan film ini, saya merasa menemukan aura Marlina pada Marsha yang sudah jauh lebih matang dari yang saya kenal sekitar 10 tahun sebelumnya. Dia pun sangat antusias ingin memerankan Marlina

ketika saya beri kesempatan untuk membaca rangkuman ceritanya. Bagi saya, ngobrol-ngobrol itulah tahap casting-nya. Saya hanya perlu tahu seberapa besar keinginan Marsha memerankan Marlina.Untuk tokoh Markus, saya bekerjasama dengan aktor senior Egi Fedly yang pernah terlibat dengan film pertama saya. Untuk pemeran tokoh Franz, saya mendapat rekomendasi dari casting director, sempat berbincang dan kami hubungi keesokan harinya kalau kami ingin dia ikut dalam film ini. Hanya Dea Panendra yang menjalani audisi seperti biasa. Meski perannya tidak terlalu dominan dalam film ini, saya menyukainya sejak audisi pertama.

Dalam film ini, Marlina ditokohkan sebagai seorang feminis yang berusaha bertahan memperjuangkan kemerdekaan dan integritasnya. Apakah ini merupakan potret perempuan Sumba yang Anda amati?

Ya. Saya bertemu banyak perempuan kuat di Sumba. Salah satunya Novi, pembantu pastor Katolik yang sangat lembut bicaranya.

Ada lagi perempuan lain yang sebenarnya cukup berpendidikan yang datang bersama dengan suami dan anaknya. Tapi suami perempuan tersebut terus saja menginterupsi istrinya dan selalu berusaha mendominasi percakapan memberi persepsinya pada kami sambil menggendong anaknya. Kami berkunjung ke sebuah desa adat di mana para prianya terus saja memandangi saya dengan tatapan penuh selidik, membuat saya merasa sangat tidak nyaman. Tapi kami juga sempat bertemu dengan kepala desa itu, seorang perempuan, janda yang sangat dihormati. Beliau tidak terlalu banyak bicara dan tersenyum, tenang saja mengunyah sirih dan pinangnya. Bagaimana menurut Anda proses pembuatan Marlina?

Sejauh ini, saya rasa, Marlina adalah film tersulit yang pernah saya buat karena untuk pertama kalinya saya melakukan pengambilan gambar di luar Jakarta. Ini juga pertama kalinya saya bekerjasama dengan VFX dan secara keseluruhan, skala produksi film ini memang lebih besar ketimbang film-film saya sebelumnya. Waktu produksinya juga cukup panjang dengan 17 hari pengambilan gambar dan lebih dari satu bulan perjalanan serta tiga bulan pra produksinya.

“Senang dan bangga sekali bisa bekerjasama dengan FIP,” cetus Sheila Timothy, produser dari Lifelike Pictures. Ia tentu layak berbangga atas kerjasama tersebut karena merupakan kali pertama FIP melakukan kerjasama co-production dengan rumah produksi di Indonesia.

Sebelumnya, FIP yang merupakan anak perusahaan dari 20th Century Fox Film Corporation, salah satu studio besar di Holywood itu telah lebih dulu melakukan kerjasama dengan Korea Selatan ketika memproduksi film “The Wailing” dan “The Yellow Sea” oleh sutradara Na Hong Jin, salah satu dari 10 film box office terlaris selama 2016 di Korea Selatan.

Dalam siaran pers yang dilansir LifeLike Picture kala itu, Thomas Jegeus, president FIP mengatakan bahwa pihaknya pun sangat senang terlibat sebagai co-producer untuk film cerita silat Indonesia ini. Hal ini tentu menjadi catatan penting bagi perfilman Indonesia, karena

WIRO SABLENG 212 DAN JURUS SAKTI SHEILA TIMOTHY

kerjasama ini sangat mungkin menjadi pintu pembuka kerjasama-kerjasama rumah produksi lain di Indonesia dengan perusahaan-perusahaan film internasional lainnya dalam hal produksi dan distribusi.

Menurut Lala, pihak FIP memberi keleluasaan bagi pihaknya untuk melakukan adaptasi cerita silat karya Bastian Tito ini ke dalam naskah film. Tak ada batasan yang diberikan oleh FIP karena targetnya adalah WS212 yang akan dibintangi antara lain oleh Vino G. Bastian, Marsha Timothy dan Sherina Munaf ini bisa menguasai pasar Indonesia.

Ada tiga lini pasar yang ingin disasar oleh Lifelike Picturesa di filmWS212 ini. “Pertama, market yang baca bukunya. Kedua, yang nonton sinetron dan filmnya. Ketiga, anak-anak sekarang yang masih tahu tentang Wiro Sableng dan suka dengan film-film superhero. Itu captive market yang besar sekali,” jelasnya.

Februari 2017 silam, sebuah kabar gembira datang dari rumah produksi LifeLike Pictures yang mengumumkan kesepakatan kerjasama mereka dengan Fox Internasional Productions (FIP) untuk memproduksi dan mendistribusikan film layar lebar yang diangkat dari cerita silat terkenal Indonesia, Wiro Sableng 212.

Sheila Timothy

P R O F I L1110

Kekeliruan yang kerap diyakini adalah bahwa sebuah film Indonesia harus bisa menarik perhatian di luar negeri terlebih dahulu, sebelum diminati penonton dalam negeri. Padahal menurut Lala senada dengan apa yang disampaikan Thomas padanya, menguasai pasar dalam negeri adalah kunci untuk bisa menarik pasar luar negeri.

“Kalau bisa menguasai pasar lokal, luar negeri akan datang dengan sendirinya. Ini berbeda dengan pola pikir bahwa film harus berhasil menarik perhatian dan

penonton di luar negeri dulu. Ini salah, sebab begitu sebuah film menjadi box office di negara sendiri, film itu pasti akan di-pick up negara lain, seperti The Wailing (film horor laris Korea Selatan tahun 2016 karya Hong-jin Na yang juga co-production dengan FIP, red),” kata Lala.

Karena ditujukan bagi pasar Indonesia, maka film yang proses pengambilan gambarnya akan dimulai pada Agustus 2017 ini, diputuskan untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan seluruhnya pemain lokal yang memang sudah dikenal oleh penonton Indonesia.

Dok

umen

tasi

LIfe

like

Pict

ures

Kecintaannya terhadap film dokumenter membuat perempuan kelahiran 25 Juni 1979 ini berkomitmen untuk bisa memajukan film dokumenter dan menyemangati para sineas muda. Salah satu gebrakannya dengan membuat forum Docs By The Sea bekerjasama dengan Badan Ekonomi Kreatif untuk menunjukkan karya sineas dokumenter Indonesia ke panggung Internasional.

Haus Pengetahuan, Dokumenter Jadi PilihanPerempuan lulusan Master of Art in Communication, Ohio University ini ternyata punya cerita menarik saat berkenalan dengan film dokumenter. Ya, Amel, panggilan akrabnya, baru tertarik dengan film dokumenter sejak reformasi 1998.

“Saya tertarik dengan film dokumenter sejak saya kuliah di Amerika, dan ketika kerusuhan terjadi yang mengakibatkan tumbangnya rezim Orde Baru. Saya baru merasa bahwa setelah demokrasi ini, saya sebagai orang Indonesia, dan keturunan Tionghoa, harus lebih terlibat dalam demokratisasi, lebih memberi kontribusi, dan aktif menyusun narasi bangsa kita.

GIATKAN FILM DOKUMENTER LEWAT FORUM DOCS BY THE SEA

Film dokumenter pertama yang digarap oleh Amel berjudul The Heroes And The Land. Menceritakan kisah hidup anak jalanan di kota Semarang dan Yogyakarta. Film dokumenter yang dibuat sebagai tugas akhir untuk menyelesaikan pendidikan di Universitas Ohio di tahun 2001.

Jatuh Bangun Hadapi Tantangan Amel yang berpetualang bekerja di luar negeri hingga 15 tahun lamanya, akhirnya terpanggil pulang ke Tanah Air setelah dipinang oleh In-Docs. “Saya memutuskan untuk bergabung di In-Docs di tahun 2012. Saat itu saya masih bekerja di Timor-Leste dan sudah 15 tahun tidak tinggal di Indonesia. Saya mengenal In-Docs karena berkenalan dengan Shanty Harmayn pendiri In-Docs di Beijing,” singkatnya.

Tak hanya sibuk mengemban tugas baru sebagai Program Director di In-Docs, Amel juga masih bergelut dengan waktu untuk berkarya membuat film dokumenter. Karya keempatnya pun berhasil keluar di tahun 2013 dengan judul “Jadi Jagoan Ala Ahok”, bekerja bersama almarhum Chandra Tanzil.Amel juga mengisahkan tantangan lainnya seperti mendapatkan pendanaan. Amel juga memikirkan revitalisasi program di kantornya, memberikan solusi pada banyaknya tantangan di dunia dokumenter seperti ketiadaan pendanaan hingga distribusi yang berdampak pada segala aspek.

Memulai Gebrakan Baru Bekerja selama kurang lebih lima tahun di In-Docs membuat Amel juga semakin termotivasi untuk bisa terus memberikan

Perempuan asal kota Semarang bernama Amelia Hapsari ini, memang dikenal sebagai sineas dokumenter yang berprestasi. Ia membesut karya-karya yang membawa penghargaan bergengsi seperti Best Documentary, XXI Short Film Festival, Jakarta, 2014.

P R O F I L1312

Dok

umen

tasi

Am

elia

Hap

sari/

Doc

s By

The

Sea

Amelia Hapsari

kontribusinya. “Perkembangan In-Docs menurut saya amat baik. Jaringan kami meluas amat cepat, berkat kerjasama dengan banyak pihak dan banyak partner, terutama juga Bekraf. Dukungan terhadap program-program kami juga meningkat,”jawabnya.

Salah satu program yang dijalankan oleh Amel adalah Good Pitch Southeast Asia, program yang menghubungkan film-film dokumenter dengan para pembuat perubahan, sehingga memperluas jangkauan dan dampak film dokumenter.

Selain itu, ada beberapa program lain seperti Dare to Dream Asia, serial dokumenter mengenai harapan dan kenyataan yang dihadapi anak-anak muda Asia, yang juga banyak mendapatkan perhatian dari industri internasional. Sementara yang paling baru dan membuat Amel begitu menggebu adalah Docs By The Sea, yang juga jalinan kerjasama dengan Bekraf.

“Ketika Bekraf mengadakan Docs By The Sea, saya dan teman-teman di In-Docs merespons dengan senang sekali. Kami memang telah punya jaringan di kalangan pembuat film dokumenter Indonesia dan telah membangun jaringan internasional maka tentu dengan senang hati membantu memfasilitasi seleksi peserta dan mengundang kalangan industri internasional untuk datang ke Docs By the Sea,” jawabnya.

Forum Docs By The Sea bahkan disebut sebagai peluang emas bagi sineas dokumenter untuk memecah permasalahan dana yang selama ini menjadi hambatan dalam berkarya.Fasilitasi dari Bekraf melalui sebuah forum internasional ini, memiliki tujuan untuk menghubungkan

film-film dokumenter Indonesia, dengan industri internasional yang infrastrukturnya jauh lebih terbangun.

Forum ini bertujuan agar film dokumenter Indonesia mendapatkan bimbingan dari mentor internasional yang berpengalaman, khususnya dalam mengelola pendanaan dan distribusi internasional. “Saya optimis, bila kegiatan ini dijalankan terus-menerus tiap tahunnya, maka para sineas dokumenter akan mengerti kinerja industri dokumenter internasional. Mereka akan mengerti bahwa ada tempat dan penghargaan internasional untuk karya mereka, dan mereka bisa menjangkaunya,” kata Amel.

Selain itu, Amel juga sangat yakin bahwa lewat Docs By The Sea kalangan industri internasional dapat melihat bahwa Indonesia punya talenta dan cerita-cerita dokumenter yang universal yang bisa dinikmati dan dipasarkan di dunia internasional.

Docs By The Sea dilaksanakan pada 23-30 Agustus 2017, bertempat di

Bali, Indonesia. Gelaran berkelas internasional ini, menampilkan 35 orang pengambil keputusan dari 20 negara. Sejauh ini, terdapat sekitar 31 proyek film dokumenter yang sudah diseleksi.

Bagi Amel, semua lika-liku dalam perjalanannya untuk mendorong film dokumenter naik kelas belum selesai. “Jangan takut tantangan, jangan takut belajar, karena kemampuan itu selalu bisa diasah dan bisa diperbaiki,” pungkasnya.

Amelia Hapsari saat merilis Docs By The Sea, bersama Wakil Kepala Bekraf Ricky Pesik, dan jajaran Stakeholder.

Docs by The Sea yang berlangsung di Bali pada 29-30 Agustus 2017, menjadi sebuah momentum yang baik bagi para pembuat film di Indonesia. Pada ajang tersebut, berhasil mengumpulkan nama-nama berpengaruh dari industri dokumenter dunia (baik dari aspek konten, maupun bisnis/distribusinya).Docs by The Sea juga mendapat apresiasi yang luar biasa dari pelaku dan industri dokumenter dunia, hal tersebut dapat membuka peluang bagi Indonesia menjadi dipandang lebih baik oleh industri dokumenter dunia.Tidak hanya itu, Docs by The Sea bahkan dianggap lebih refresentatif dan mampu menghadirkan pelaku industri dokumenter dunia, dibandingkan dengan Tokyo Docs yang sudah jauh lebih established.

“KEGELISAHAN” YANG MENGGELEDAH RUANG-RUANG KEMUNGKINAN

Ia percaya sebuah karya arsitektur tidak sekadar benda mati, namun memiliki korelasi yang kuat dengan manusia serta lingkungannya. Ia menjadi sebuah ruang di mana manusia menemukan eksistensinya.

Stephanie Larassati

1514 P R O F I L

Begitulah Stephanie Larassati. Perempuan kelahiran Jakarta ini memang memiliki perspektif yang berbeda soal karya arsitektur. Baginya arsitektur bukanlah sekadar bangunan, melainkan dapat memberikan solusi serta meningkatkan kualitas hidup pemakai dan lingkungannya.

“Dalam pelaksanaannya, kami selalu mencoba menciptakan strategi desain yang merespons situasi sosial, ekonomi dan lingkungan alam yang terus berubah melalui dialog aktif dan riset,” jelas salah satu pendiri Largo, Laboratory for Architecture and Gestural Objects yang berbasis di Indonesia dan Jerman.

Lebih jauh, peraih gelar master dari University of Technology Berlin, mengungkapkan bahwa menciptakan ruang tidak lain merupakan upaya pengalaman visual dan haptikal yang dapat menggerakkan pengunjung untuk berangan-angan dan bertukar pikiran. Jadi tak sekadar fungsional.

Tetapi tidak hanya sampai di situ, Stephanie juga terbuka dengan berbagai kemungkinan-kemungkinan baru. Seakan segala sesuatu memang tidak ada yang statis, maka ia pun selalu “gelisah” dan mencoba melihat sesuatu dengan cara yang berbeda.

“Kami selalu berusaha untuk mencari sudut pandang baru dalam melihat bentuk, material, fungsi dan filosofi lokal. Arsitektur seharusnya tidak lagi tentang simbolisme dan romantisme tradisi, tapi lebih kepada

relevansi, potensi dan inovasi,” jelas perempuan yang acap kali menjadikan teater menjadi salah satu bentuk “pelarian” ketika ingin sejenak menarik diri dari arsitektur.

Kegelisahan Stephanie tersebut ternyata memiliki kisah panjang. Ketika baru pertama kali belajar arasitektur ia mengakui tidak banyak paham mengenai arsitektur maupun esensi ilmu arsitektur. Namun, perjumpaannya dengan dunia kerja maupun ilmu arsitektur yang lebih dalam telah membentuk pemahaman berbeda tentang dunia arsitek. Bahkan kemudian ia berhasil menemukan dirinya dalam dunia arsitektur.

“Lewat dunia arsitektur saya bisa punya kesempatan untuk berkontribusi langsung kepada masyarakat. Proses analisa dan memahami sebuah kondisi kemudian mencari solusi lewat strategi adalah proses kerja yang saya nikmati,” tegas Stephanie.

MISBAR BEKRAF, KONKRETISASI KONSEPGagasan serta konsep dalam berkarya tersebut tampak jelas dalam projek yang ia kerjakan bersama Bekraf, yakni Misbar Bekraf. Adalah sebuah bioskop terbuka di atas laut yang dibangun dalam rangka menyambut acara Sail Selat Karimata 2016.

“Kami untuk membuat sesuatu yang familiar dan fungsional bagi warga setempat. Dan menciptakan sebuah konvergensi antara pengalaman sinematik dan keindahan alam,” papar penggemar film alternatif ini.

Ternyata di siang hari Misbar Bekraf menjadi sebuah public space. Warga dan pengunjung datang untuk duduk-duduk, bersantai dan bermain, menikmati pemandangan alam dan matahari terbenam.

Melihat keberhasilan kolaborasi antara Bekraf dengn dirinya, Stephanie melihat peran Bekraf sangat penting dan signifikan dalam perkembangan dunia industri kreatif.

“Saya melihat Bekraf serius menyediakan platform-platform yang berkelanjutan untuk perkembangan sektor ekonomi kreatif, tidak hanya industrinya tapi terlebih sumber daya manusianya. Saya berharap Bekraf konsisten dengan visi misi dan program-programnya,” tutup Stephanie.D

okum

enta

si St

epha

nieL

aras

ati

P R O F I L1716

KEKUASAAN ADALAH ISU SENTRAL YANG TAK PERNAH SELESAI

Makbul Mubarak

Latar belakang pendidikan formal di bidang sinema tidak selalu membidani insan film yang andal. Laki-laki ini adalah salah satu contohnya. Ide cerita yang kuat menjadi pilihannya sebelum didiwujudkan dalam karya film.

Adalah Makbul Mubarak. Tahun ini dirinya terpilih menjadi satu di antara 10 sineas muda terpilih dari seluruh dunia untuk mengikuti workshop Feature Lab-360 yang digelar oleh Torino Film Lab di Italia.

Bagi Makbul film bukan barang baru. Sejak kecil dirinya sudah gandrung dengan film. Namun, dari kegilaannya terhadap film itulah ia menyadari bahwa film adalah sesuatu yang sanggup menggerakkan sesuatu.

“Saya sadar bahwa film bisa membuat orang terkagum-kagum, namun di sisi lain bisa juga membuat orang

ketakutan. Ia bisa menggiring emosi manusia,” kata Makbul.

Tidak mengherankan jika Makbul merasakan bahwa momen paling menggembirakan baginya adalah ketika penonton bisa ”merasakan” film yang kami buat.

“Menyaksikan penonton tertawa, sedih, takut, tak menentu, bingung, terperangkap, tercenung ketika menonton film kami adalah kebahagiaan yang paling paripurna. Artinya, film kami bisa mentransmisikan rasa dan bukan hanya gambar-gambar belaka,” tambah Makbul.

Namun terlebih dari itu, Makbul juga yakin, bahwa sebuah film memiliki sebuah sacred mission. Seperti berbagai karya seni lainnya, film juga harus bisa menginterogasi cara seseorang memandang zaman, masyarakat, dan kebudayaan kita secara umum.

“Film harus bisa membuat pembuat dan penontonnya melihat dunia lewat beragam cara, dan untuk terus-menerus mempertanyakan apa, mengapa dan bagaimana,” kata laki-laki yang mengaku suka mengisi teka-teki silang itu.

Wajar saja jika kemudian dalam karya-karyanya Makbul selalu berusaha mendekonstruksi apa yang dianggap mapan oleh lingkungannya. Misalnya saja soal kekuasaan.

“Film-film saya biasanya mempertanyakan mengenai apa makna “kekuasaan” dan apa pengaruhnya bukan saja bagi yang dikuasai, tapi juga bagi yang berkuasa. Isu kekuasaan adalah isu yang sangat

penting dan mengganggu buat saya. Ini mungkin disebabkan oleh latar belakang saya yang lahir dan tumbuh dalam lingkungan yang konservatif,” papar Makbul yang mengaku tidak pernah belajar film secara formal.

Terkait keberadaannya di Torino Film Lab, Makbul berkisah, ada beberapa hal penting yang ia peroleh selama berada di Italia.

“Mereka (para trainer di TFL) memperlakukan setiap proyek film dengan cara berbeda. Saya mendapatkan banyak sekali perolehan mulai dari segi skenario, penyutradaraan, sinematografi, produksi, pembiayaan, promosi, pasca-produksi dan sebagainya. Program ini sangat membantu kami menyelami karya lebih dalam, menantang diri sendiri dan juga melihat segala sesuatnya lewat sudut pandang yang berbeda,” ujar Makbul saat ditanya apa saja yang ia peroleh selama mengikuti workshop.

Selain itu, Makbul berharap lembaga-lembaga dalam negeri terkait juga ikut memiliki kontribusi terhadap perkembangan film nasional.

“Saya berterima kasih pada Bekraf karena telah membantu kami dalam banyak hal. Ini adalah langkah yang sangat bagus bukan hanya bagi tim kami tapi juga pembuat film Indonesia lainnya,” tambah Makbul.

“Bekraf sebaiknya terus-menerus membantu para pembuat film di Indonesia untuk berpartisipasi dalam forum-forum internasional sejak fase berproses mereka yang paling dini. Kesadaran bahwa sebuah karya harus dipromosikan sedini mungkin adalah kesadaran yang sangat tepat,” tambah Makbul.

SINERGI BEKRAF DAN TORINO FILM LAB Bekraf bekerja sama dengan Torino Film Lab melalui program FeatureLab, menempatkan dua tim pembuat karya film untuk mengikuti residential workshop demi mendorong peningkatan kualitas sineas Indonesia. Tahun ini, kedua sineas tanah air yang terpilih adalah Makbul Mubarak dan Loeloe Hendra Kumara.

Dok

umen

tasi

Prib

adi

MEMBANGUN DIALOG ANTARA FILM DENGAN MASYARAKAT

Loeloe Hendra Komara

Sebuah karya seni adalah ruang pengalaman, baik pengalaman kreator maupun pengalaman penikmat karya seni. Bagi kreator, seni menjadi medium berbagi pengalaman sekaligus pengalaman itu sendiri, sedangkan bagi penikmatnya karya seni adalah perjumpaan dengan pengalaman baru.

Hal itu juga yang dikemukakan oleh Loeloe Hendra Komara, satu dari dua peserta Indonesia yang mengikuti program Torino Film Lab 2017, di Italia, atas dukungan Bekraf.

“Film selalu berhasil membawa saya ke pengalaman-pengalaman baru. Pengalaman itu yang membuat saya banyak belajar tentang hidup sekaligus belajar tentang film itu sendiri,” kata Loeloe.

Bagi Loeloe, semua film yang dibuatnya selalu lahir dari pengalaman hidup. Seringkali

berasal dari pertanyaan-pertanyaan yang selalu menghantuinya setiap hari.

Kemudia ia mengartikulasikan itu semua lewat bahasa-bahasa yang lebih luas, yang tidak dapat dilakukan oleh kajian-kajian akademik. Misalnya pertanyaan-pertanyaan yang mengejarnya ketika ia hidup di kawasan transmigran Kalimantan Selatan bersama sang paman dan neneknya.

FILM SEBAGAI MEDIUM DIALOGPengartikulasian itu menghasilkan pertemuan antara film dan publik penonton. Di sana terbangun juga sebuah relasi yang mungkin sesungguhnya tidak pernah selesai dan tidak pernah menawarkan penyelesaian pasti. Sebaliknya pertanyaan-pertanyaan terakumulasi menjadi bongkahan pertanyaan yang lebih dalam dan mendasar yang justru harus dijawab oleh penonton film. Inilah dialog. “Bagi saya, pertemuan antara filmmaker, medium film, dan masyarakat akan dengan sendirinya menghasilkan dialog, dialog inilah yang bagi saya justru penting,” tegas laki-laki kelahiran Ciamis, Jawa Barat ini. Secara tajam, ia memaksudkan dialog sebagai cara bagaimana sebuah film dikaji dari berbagai perspektif.

Untuk mencapai idealitas tersebut, memang harus dilakukan sebuah upaya untuk menghasilkan film-film yang berkualitas. Apa yang ia peroleh

di Torino Film Lab adalah salah satu upaya untuk mencapai mimpi itu.

“Pertemuan saya dengan para mentor dan partisipan dari negara lain, memberi saya wawasan dan perspektif yang berbeda. Ada banyak aspek dan elemen yang perlu digali dari setiap material yang kita miliki. Proses pembuatan film adalah hal yang sangat detail dan harus matang dari semua aspek. Ini yang penting menurut saya dari sesi pertama kami di Rotterdam,” demikian kata laki-laki yang pada masa kecilnya pernah menjadi penggemar film layar tancap itu.

Melihat letak strategis program yang dijalan Bekraf untuk meningkatkan kualitas film Indonesia, Loeloe melihat program-program yang sudah berjalan harus terus dilakukan.

“Bantuan dan support haruslah tepat sasaran dan merata, sehingga dibutuhkan kuratorial yang strategis dan sangat tahu kondisi film di Indonesia. Sejauh ini Torino Film Lab adalah kerjasama Bekraf paling strategis menurut saya pribadi. Hal-hal seperti ini harus diperbanyak dan diperpanjang,” saran lulusan ISI Yogyakarta itu.

Loeloe pernah menyutradarai sejumlah film pendek, diantaranya I am Not Imael (2009)

dan Onomastika (2014). Kedua film ini pernah diputar di 65th Generation Kplus Berlinale International Film Festival di Berlin tahun 2015, dan Singapore International Film

festival ke 25 tahun 2014.

Dok

umen

tasi

Prib

adi

Beragam Kegiatan Bekraf dalam Membangkitkan Ekonomi Kreatif Indonesia

G A L E R I F O T O1918

Foto

-foto

Dok

umen

tasi

Bekr

af

SIAK

BANDUNG

BANYUWANGI

BOJONEGOROYOGYAKARTA

5 LOKASI SYUTING UNGGULANMelalui Indonesian Cinema yang merupakan bagian dari payung program Indonesia Creative Incorporated (ICINC), Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf)

mempromosikan lima daerah unggulan di Indonesia sebagai lokasi syuting. Lima daerah tersebut adalah Siak, Bandung, Yogyakarta, Bojonegoro, dan Banyuwangi.

Harapannya, kelima daerah tersebut dapat menarik minat pembuat film, baik lokal maupun dari mancanegara untuk menjadikan lima daerah potensial ini

sebagai lokasi pembuatan film.