GBS
-
Upload
avysia-marga-w -
Category
Documents
-
view
1.435 -
download
8
Transcript of GBS
Tugas Ilmu Penyakit SarafREFERAT
GUILLAIN BARRE SYNDROME
Disusun Untuk memenuhi Tugas
Dokter Muda Stase Syaraf
Pembimbing : dr. Iman Budiarto, Sp.S
Diajukan oleh:
AVYSIA TRI MARGA WULAN, S.Ked.
J 500 050 052
FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2011
1
BAB IPENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Guillain Barre syndrome (GBS) adalah penyakit neurologi yang sangat
jarang,1 kejadiannya bervariasi antara 0.6 sampai 1.9 kasus per 100.000 orang
pertahun. Selama periode 42 tahun Central Medical Mayo Clinic melakukan
penelitian mendapatkan rata-rata insidensi 1.7 per 100.000 orang. Terjadi
puncak insidensi antara usia 15-35 tahun dan antara 50-74 tahun. Jarang
mengenai usia dibawah 2 tahun.2.
Insidensi sindroma Guillain-Barre Usia termuda yang pernah
dilaporkan adalah 3 bulan dan paling tua usia 95 tahun. Laki-laki dan wanita
sama jumlahnya. Dari pengelompokan ras didapatkan bahwa 83% penderita
adalah kulit putih, 7% kulit hitam, 5% Hispanic, 1% Asia dan 4% pada
kelompok ras yang tidak spesifik. Data di Indonesia mengenai gambaran
epidemiologi belum banyak. Penelitian Chandra menyebutkan bahwa
insidensi terbanyak di Indonesia adalah dekade I, II, III (dibawah usia 35
tahun) dengan jumlah penderita laki-laki dan wanita hampir sama. Sedangkan
penelitian di Bandung menyebutkan bahwa perbandingan laki-laki dan wanita
3 : 1 dengan usia rata-rata 23,5 tahun. Insiden tertinggi pada bulan April s/d
Mei dimana terjadi pergantian musim hujan dan kemarau. 2
Penyakit ini sering menyebabkan kelumpuhan yang cukup sering
dijumpai pada usia dewasa muda. SGB ini seringkali mencemaskan penderita
dan keluarganya karena terjadi pada usia produktif, apalagi pada beberapa
keadaan dapat menimbulkan kematian, meskipun pada umumnya mempunyai
prognosa yang baik. GBS biasanya mempunyai prognosa yang baik yaitu
sekitar 80% tetapi sekitar 15 % nya mempunyai gejala sisa/ defisit
neurologis.1,2
Beberapa nama disebut oleh beberapa ahli untuk penyakit ini, yaitu
Idiopathic polyneuritis, Acute Febrile Polyneuritis, Infective Polyneuritis,
2
Post Infectious Polyneuritis, Acute Inflammatory Demyelinating
Polyradiculoneuropathy, Guillain Barre Strohl Syndrome, Landry Ascending
paralysis, dan Landry Guillain Barre Syndrome. 2
B. Rumusan Masalah
Mengingat berdasarkan gambaran epidemiologi di Indonesia yakni
GBS banyak menyerang pada usia produktif, dan pada beberapa keadaan
GBS ini dapat menimbulkan kelumpuhan bahkan kematian maka penulis
tertarik untuk mengetahui lebih dalam tentang penyakit ini serta membuat
referat tentang Guillain Barre Syndrome.
C. Tujuan
Agar pembaca dapat memahami lebih jauh tentang penyakit SGB ini
baik definisi, patomekanisme, gejala klinis, diagnosa, pengobatan dan
prognosis penyakit ini.
D. Manfaat
Tulisan ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumber informasi baik
bagi tenaga kesehatan ataupun masyarakat umum mengenai Guillain Barre
syndrome
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Sindrom Guillan Bare adalah suatu polineuropati yang bersifat
ascending dan akut yang sering terjadi setelah 1 sampai 3 minggu setelah
infeksi akut. Menurut Bosch, SGB merupakan suatu sindroma klinis yang
ditandai adanya paralisis flasid yang terjadi secara akut berhubungan dengan
proses autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus
kranialis.2
B. ETIOLOGI
Etiologi SGB sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan
pasti penyebabnya dan masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa keadaan/
penyakit yang mendahului dan mungkin ada hubungannya dengan terjadinya
SGB, antara lain: 2
1. Infeksi
2. Vaksinasi
3. Pembedahan
4. Penyakit sistematik:
a) keganasan
b) systemic lupus erythematosus
c) tiroiditis
d) penyakit Addison
5. Kehamilan atau dalam masa nifas
SGB sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik.
Insidensi kasus SGB yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% -
80%, yaitu 1 sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi
saluran pernafasan atas atau infeksi gastrointestinal 2
4
Telah diketahui bahwa infeksi salmonela tiposa dapat menyebabkan
GBS. Kemungkinan timbulnya sindrom Guillain-Barre pada demam tifoid
perlu lebih diketahui dan disadari, khususnya di Indonesia di mana demam
tifoid masih merupakan penyakit menular yang besar. 3
Tabel 1: jenis - jenis infeksi yang sering menjadi penyebab SGB 4
C.
P
ATOGENESIS
Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang
mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada SGB masih belum
diketahui dengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan
saraf yang terjadi pada sindroma ini adalah melalui mekanisme imunologi.
Bukti-bukti bahwa imunopatogenesa merupakan mekanisme yang
menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah:
1. Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler
(cell mediated immunity) terhadap agen infeksious pada saraf
tepi.
2. Adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi
3. Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari
peredaran pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses
demyelinisasi saraf tepi.
5
Proses demyelinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon
imunitas seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa
sebelumnya, yang paling sering adalah infeksi virus.2
a. Teori-teori Imun:
Faktor humoral (antibodi terhadap gangliosid) - respon seluler (aktivasi
makrofag). Berbagai laporan melaporkan adanya antibodi terhadap
glikolipid, termasuk GM1, GQ1b, berbagai gangliosid lain, seluruh
komponen membran akson Histologi saraf tepi menunjukkan infiltrasi
monosit perivaskuler endoneurial dan demielinasi multifocal. Saraf-saraf
tepi dapat terkena dari radiks sampai akhiran saraf distal
(poliradikuloneuropati) 2
b. Peran imunitas seluler
Dalam sistem kekebalan seluler, sel limposit T memegang peranan
penting disamping peran makrofag. Prekursor sel limposit berasal dari
sumsum tulang (bone marrow) steam cell yang mengalami pendewasaan
sebelum dilepaskan kedalam jaringan limfoid dan peredaran.
Sebelum respon imunitas seluler ini terjadi pada saraf tepi antigen harus
dikenalkan pada limposit T (CD4) melalui makrofag. Makrofag yang telah
menelan (fagositosis) antigen/terangsang oleh virus, allergen atau bahan
imunogen lain akan memproses antigen tersebut oleh penyaji antigen
(antigen presenting cell = APC). Kemudian antigen tersebut akan
dikenalkan pada limposit T (CD4). Setelah itu limposit T tersebut menjadi
aktif karena aktivasi marker dan pelepasan substansi interlekuin (IL2),
gamma interferon serta alfa TNF. Kelarutan E selectin dan adesi molekul
(ICAM) yang dihasilkan oleh aktifasi sel endothelial akan berperan dalam
membuka sawar darah saraf, untuk mengaktifkan sel limfosit T dan
pengambilan makrofag . Makrofag akan mensekresikan protease yang dapat
merusak protein myelin disamping menghasilkan TNF dan komplemen. 2
c. Patologi
6
Pada pemeriksaan makroskopis tidak tampak jelas gambaran
pembengkakan saraf tepi. Dengan mikroskop sinar tampak perubahan pada
saraf tepi. Perubahan pertama berupa edema yang terjadi pada hari ke tiga
atau ke empat, kemudian timbul pembengkakan dan iregularitas selubung
myelin pada hari ke lima, terlihat beberapa limfosit pada hari ke sembilan
dan makrofag pada hari ke sebelas, poliferasi sel schwan pada hari ke
tigabelas. Perubahan pada myelin, akson, dan selubung schwan berjalan
secara progresif, sehingga pada hari ke enam puluh enam, sebagian radiks
dan saraf tepi telah hancur. 2
Asbury dkk mengemukakan bahwa perubahan pertama yang terjadi
adalah infiltrasi sel limfosit yang ekstravasasi dari pembuluh darah kecil
pada endo dan epineural. Keadaan ini segera diikuti demyelinisasi
segmental. Bila peradangannya berat akan berkembang menjadi degenerasi
Wallerian. Kerusakan myelin disebabkan makrofag yang menembus
membran basalis dan melepaskan selubung myelin dari sel schwan dan
akson. 2
7
Gambar 1: Sistem imunopathologi saraf pada SGB 4
8
D. Klasifikasi
Beberapa varian dari sindroma Guillan-Barre dapat diklasifikasikan, yaitu:
1. Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy (AIDP)
2. Subacute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy
3. Acute motor axonal neuropathy (AMAN)
4. Acute motor sensory axonal neuropathy
5. Fisher’s syndrome
6. Acute pandysautonomia. 2
9
Gambar 2: Skema klasifikasi SGB
E. Gejala klinis dan kriteria diagnose
Gangguan autonom terlihat pada lebih dari 50%, gangguan otonomik
biasanya bermanifestasi sebagai takikardia tetapi bisa menjadi gangguan yang
lebih serius yaitu disfungsi saraf otonom.termasuk aritmia, hipotensi,
hipertensi, dan dismotilitas Gastrointestinal.5
Kriteria diagnosa yang umum dipakai adalah criteria dari National
Institute of Neurological and Communicative Disorder and Stroke
(NINCDS), yaitu:
I. Ciri-ciri yang perlu untuk diagnosis:
Terjadinya kelemahan yang progresif
Hiporefleksi
II. Ciri-ciri yang secara kuat menyokong diagnosis SGB:
a. Ciri-ciri klinis:
Progresifitas: gejala kelemahan motorik berlangsung cepat,
maksimal dalam 4 minggu, 50% mencapai puncak dalam 2
minggu, 80% dalam 3 minggu, dan 90% dalam 4 minggu.
Relatif simetris
Gejala gangguan sensibilitas ringan
Gejala saraf kranial ± 50% terjadi parese N VII dan sering
bilateral. Saraf otak lain dapat terkena khususnya yang
mempersarafi lidah dan otot-otot menelan, kadang < 5% kasus
neuropati dimulai dari otot ekstraokuler atau saraf otak lain
Pemulihan: dimulai 2-4 minggu setelah progresifitas berhenti,
dapat memanjang sampai beberapa bulan.
10
Disfungsi otonom. Takikardi dan aritmia, hipotensi postural,
hipertensi dan gejala vasomotor.
Tidak ada demam saat onset gejala neurologis
b. Ciri-ciri kelainan cairan serebrospinal yang kuat menyokong
diagnosa:
Protein CSS. Meningkat setekah gejala 1 minggu atau terjadi
peningkatan pada LP serial
Jumlah sel CSS < 10 MN/mm3
Varian: - Tidak ada peningkatan protein CSS setelah 1 minggu
gejala
- Jumlah sel CSS: 11-50 MN/mm3
c. Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosa:
Perlambatan konduksi saraf bahkan blok pada 80% kasus.
Biasanya kecepatan hantar kurang 60% dari normal. 2
Diagnosa SGB terutama ditegakkan secara klinis. SBG ditandai dengan
timbulnya suatu kelumpuhan akut yang disertai hilangnya refleks-refleks
tendon dan didahului parestesi dua atau tiga minggu setelah mengalami
demam disertai disosiasi sitoalbumin pada likuor dan gangguan sensorik dan
motorik perifer. 2
Tabel 2: Gejala klinis SBS 4
11
F. KRITERIA DIAGNOSTIK
Kelemahan ascenden dan simetris. Anggota gerak bawah terjadi lebih
dulu dari anggota gerak atas. Kelemahan otot proksimal lebih dulu terjadi dari
otot distal, kelemahan otot trunkal ,bulbar dan otot pernafasan juga terjadi. 2
Kelemahan terjadi akut dan progresif bisa ringan sampai tetraplegi dan
gangguan nafas. Penyebaran hiporefleksia menjadi gambaran utama, pasien
GBS biasanya berkembang dari kelemahan nervus cranial, seringkali
kelemahan nervus fasial atau faringeal. Kelemahan diaframa sampai nervus
phrenicus sudah biasa. Sepertiga pasien GBS inap membutuhkan ventilator
mekanik karena kelemahan otot respirasi atau orofaringeal.5
1. Puncak defisit dicapai 4 minggu
2. Recovery biasanya dimulai 2-4minggu
3. Gangguan sensorik biasanya ringan bisa parasthesi, baal atau sensasi
sejenis
12
4. Gangguan Nn cranialis: facial drop, diplopia disartria, disfagia (N.
VII, VI, III, V, IX, dan X)
5. Banyak pasien mengeluh nyeri punggung dan tungkai
Menurut Maria Belladonna terdapat beberapa tanda abnormalitas
a. Abnormalitas motorik (kelemahan)
Mengikuti gejala sensorik, khas: mulai dari tungkai, ascenden ke
lengan - 10% dimulai dengan kelemahan lengan - Walaupun jarang,
kelemahan bisa dimulai dari wajah (cervical-pharyngeal-brachial)
Kelemahan wajah terjadi pada setidaknya 50% pasien dan biasanya
bilateral - Refleks: hilang / pada sebagian besar kasus
b. Abnormalitas sensorik
Klasik : parestesi terjadi 1-2 hari sebelum kelemahan, glove &
stocking sensation, simetris, tak jelas batasnya - Nyeri bisa berupa
mialgia otot panggul, nyeri radikuler, manifes sebagai sensasi
terbakar, kesemutan, tersetrum - Ataksia sensorik krn proprioseptif
terganggu - Variasi : parestesi wajah & trunkus
c. Disfungsi Otonom
1) Hipertensi - Hipotensi - Sinus takikardi / bradikardi
2) Aritmia jantung - Ileus - Refleks vagal
3) Retensi urine
13
Gambar 2: fase perjalan klinis
Fase-fase serangan GBS Maria Belladonna
1. Fase Prodromal
Fase sebelum gejala klinis muncul
2. Fase Laten
a. Waktu antara timbul infeksi/ prodromal yang
b. mendahuluinya sampai timbulnya gejala klinis.
c. Lama : 1 – 28 hari, rata-rata 9 hari
3. Fase Progresif
a. Fase defisit neurologis (+)
b. Beberapa hari - 4 mgg, jarang > 8 mgg.
c. Dimulai dari onset (mulai tjd kelumpuhan yg
d. bertambah berat sampai maksimal
e. Perburukan > 8 minggu disebut› chronic inflammatory-
demyelinating polyradiculoneuropathy (CIDP)
4. Fase Plateau
a. Kelumpuhan telah maksimal dan menetap.
b. Fase pendek :2 hr, >> 3 mg, jrg > 7 mg
5. Fase Penyembuhan
a. Fase perbaikan kelumpuhan motorik
b. beberapa bulan
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. LCS 4
- Disosiasi sitoalbumin
Pada fase akut terjadi peningkatan protein LCS > 0,55 g/l, tanpa
peningkatan dari sel < 10 limposit/mm3 - Hitung jenis pada panel
14
metabolik tidak begitu bernilai 5 Peningkatan titer dari agent seperti
CMV, EBV, membantu menegakkan etiologi.
a. Antibodi glicolipid
b. Antibodi GMI
2. EMG
a. Gambaran poliradikuloneuropati
b. Test Elektrodiagnostik dilakukan untuk mendukung klinis bahwa
paralisis motorik akut disebabkan oleh neuropati perifer.5
c. Pada EMG kecepatan hantar saraf melambat dan respon F dan H
abnormal. 3
3. Ro: CT atau MRI
Untuk mengeksklusi diagnosis lain seperti mielopati. 6
H. DIAGNOSIS DIFERENSIAL 4
Kelainan batang otak
a. Trombosis arteri basilaris dengan infark batang otak*
b. Ensefalomielitis batang otak
Kelainan medulla spinalis
a. Mielitis transversa
b. Mielopati nekrotik akut
c. Kompresi neoplasma pada medulla spinalis servikal / foramen
magnum
d. Mielopati akut lain
15
Kelainan sel kornu anterior
a. Poliomielitis
b. Rabies
c. Tetanus
Poliradikulopati
a. Difteri
b. Paralisis Tick
c. Logam berat : arsen, timbal, thallium, emas
d. Keracunan organofosfat
e. Heksakarbon (neuropati penghirup lem)
f. Perhexiline
g. Obat-obatan : vincristine, disulfiram, nitrofurantoin
h. Critical illness polyneuropathy
Kelainan transmisi neuromuskuler
a. Myastenia gravis
b. Botulismus
c. Hipermagnesemi
d. Paralisis yang diinduksi antibiotika
e. Bisa gigitan ular
Miopati
a. Polimiositis
b. Miopati akut lain, misalnya akibat induksi obat
Abnormalitas metabolik
a. Hipokalemi
b. Hipermagnesemia
c. Hipofosfatemia
Lain-lain
a. Histeri
b. Malingering
16
H. KOMPLIKASI 4
1. Paralisis menetap
2. Gagal nafas
3. Hipotensi
4. Tromboembolisme
5. Pneumonia
6. Aritmia Jantung
7. Ileus
8. Aspirasi
9. Retensi urin
10. Problem psikiatrik
GBS dapat berdampak pada kinerja dan kehidupan pribadi pasien
dalam jangka waktu yang lama, dapat sampai 3 sampai 6 tahun setelah onset
penyakit. Kesembuhan biasanya berlangsung perlahan dan dapat berlangsung
bertahun-tahun. Baik pasien maupun keluarga pasien harus diberitahu tentang
keadaan pasien yang sebenarnya untuk mencegah ekspektasi yang berlebihan
atau pesimistik. Kesembuhan pasien berlangsung selama tahun – tahun
pertama, terutama enam bulan pertama, tetapi pada sebagian besar pasien
dapat sembuh sempurna pada tahun kedua atau setelahnya.5
Kecacatan yang permanen terlihat pada 20% - 30% pasien
dewasa.tetapi lebih sedikit pada anak-anak. Disabilitas yang lama pada
dewasa lebih umum pada axonal GBS dan GBS yang berbahaya, misalnya
pada pasien dengan ventilator. 5
Gangguan fungsi otonomik yang serius dan fatal termasuk aritmia dan
hipertensi ekstrim atau hipotensi terjadi kurang lebih 20% dari pasien dengan
GBS.gangguan lain yang signifikan adalah ileus dinamik, hipontremia, dan
defisiensi dari fungsi mukosa bronchial. 7
I. TERAPI
Tidak ada drug of choice
17
Roboransia saraf parenteral. 6
Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri. Pengobatan
secara umum bersifat simtomik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini
dapat sembuh sendiri, perlu dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama
dan angka kecacatan (gejala sisa) cukup tinggi sehingga pengobatan tetap
harus diberikan. Tujuan terapi khusus adalah mengurangi beratnya penyakit
dan mempercepat penyembuhan melalui sistem imunitas (imunoterapi).
1. Kortikosteroid
Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat
steroid tidak mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi SGB.
2. Plasmaparesis
Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk
mengeluarkan faktor autoantibodi yang beredar. Pemakain
plasmaparesis pada SGB memperlihatkan hasil yang baik, berupa
perbaikan klinis yang lebih cepat, penggunaan alat bantu nafas yang
lebih sedikit, dan lama perawatan yang lebih pendek. Pengobatan
dilakukan dengan mengganti 200-250 ml plasma/kg BB dalam 7-14
hari. Plasmaparesis lebih bermanfaat bila diberikan saat awal onset
gejala (minggu pertama).
3. Pengobatan imunosupresan:
a. Imunoglobulin IV
Pengobatan dengan gamma globulin intervena lebih
menguntungkan dibandingkan plasmaparesis karena efek
samping/komplikasi lebih ringan. Dosis maintenance 0.4 gr/kg
BB/hari selama 3 hari dilanjutkan dengan dosis maintenance 0.4
gr/kg BB/hari tiap 15 hari sampai sembuh.
b. Obat sitotoksik
Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah:
18
6 merkaptopurin (6-MP)
azathioprine
cyclophosphamid
Efek samping dari obat-obat ini adalah: alopecia, muntah, mual
dan sakit kepala. 2
c. Terapi fisik: - alih baring
1) latihan ROM dini u/ cegah kontraktur
2) Hidroterapi
d. Supportif: profilaksis DVT (heparin s.c) 4
e. Analgesik
Analgesic ringan atau OAINS mungkin dapat digunakan
untuk meringankan nyeri ringan, namun tidak untuk nyeri yang
sangat,penelitian random control trial mendukung penggunaan
gabapentin atau carbamazepine pada ruang ICU pada perawatan
SGB fase akut. Analgesic narkotik dapat digunakan untuk nyeri
dalam, namun harus melakukan monitor secara hati-hati kepada
efeksamping denervasi otonomik.terapi ajuvan dengan tricyclic
antidepressant , tramadol, gabapentin, carbamazepine, atau
mexilitene dapat ditambahkan untuk penatalaksanaan nyeri
neuropatik jangka panjang. 7
Pengobatan fase akut termasuk program penguatan
isometric, isotonic, isokinetic, dan manual serta latihan secara
progresif. Rehabilitasi harus difokuskan untuk posisi limbus,
posture, orthotics,dan nutrisi yang sesuai.richard
J. PEMULIHAN 1. 80% pasien pulih dalam waktu 6 bulan
2. 15% pulih sempurna
3. 65% pulih dengan defisit neurologis ringan yg tak pengaruhi
ADL
4. 5-10% mengalami kelamahan motorik menetap
19
5. Pada pasien dengan kelemahan motorik menetap, pemulihan
dapat berlangsung >2 tahun
6. Mortalitas: 3-5%
7. Relaps: 2-10%
8. Perburukan: 6% menjadi CIDP (Chronic Inflammatory
Demyelinating Polyradiculoneuropathy) 4
K. PROGNOSIS
Faktor yang mempengaruhi buruknya prognostik4:
1. Penurunan hebat amplitudo potensial aksi berbagai otot
2. Umur tua
3. Kebutuhan dukungan ventilator
4. Perjalanan penyakit progresif & berat
Pada umumnya penderita mempunyai prognosa yang baik tetapi
pada sebagian kecil penderita dapat meninggal atau mempunyai gejala
sisa. 95% terjadi penyembuhan tanpa gejala sisa dalam waktu 3 bulan
bila dengan keadaan antara lain:
a. pada pemeriksaan NCV- EMG relatif normal
b. mendapat terapi plasmaparesis dalam 4 minggu mulai saat onset
c. progresifitas penyakit lambat dan pendek
d. pada penderita berusia 30-60 tahun 2
20
BAB III
KESIMPULAN
Guillain Bare Syndrom (GBS) secara khas digambarkan dengan
kelemahan motorik yang progresif dan arefleksia. Mekanisme autoimun
dipercaya bertanggungjawab atas terjadinya sindrom ini.terapi
farmakoterapi dan terapi fisik, prognosis GBS tergantung pada
progresifitas penyakit, derajat degenerasi aksonal, dan umur pasien
21
22