Gangguan Tumbuh Kembang Pada Anak Autis
Embed Size (px)
description
Transcript of Gangguan Tumbuh Kembang Pada Anak Autis

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kata autis berasal dari bahasa Yunani "auto" berarti sendiri yang
ditujukan pada seseorang yang menunjukkan gejala "hidup dalam dunianya
sendiri". Pada umumnya penyandang autisma mengacuhkan suara, penglihatan
ataupun kejadian yang melibatkan mereka. Jika ada reaksi biasanya reaksi ini
tidak sesuai dengan situasi atau malahan tidak ada reaksi sama sekali. Mereka
menghindari atau tidak berespon terhadap kontak sosial ( pandangan mata,
sentuhan kasih sayang, bermain dengan anak lain dan sebagainya ).
Pemakaian istilah autis kepada penyandang diperkenalkan pertama
kali oleh Leo Kanner, seorang psikiater dari Harvard (Kanner, Austistic
Disturbance of Affective Contact) pada tahun 1943 berdasarkan pengamatan
terhadap 11 penyandang yang menunjukkan gejala kesulitan berhubungan dengan
orang lain, mengisolasi diri, perilaku yang tidak biasa dan cara berkomunikasi
yang aneh (Judarwanto, 2006 ). Ada banyak definisi yang diungkapkan para ahli.
Chaplin menyebutkan: “Autisme merupakan cara berpikir yang dikendalikan oleh
kebutuhan personal atau oleh diri sendiri, menanggapi dunia berdasarkan
penglihatan dan harapan sendiri, dan menolak realitas, keasyikan ekstrem dengan
pikiran dan fantasi sendiri”.
Autis dapat terjadi pada semua kelompok masyarakat kaya miskin, di
desa dikota, berpendidikan maupun tidak serta pada semua kelompok etnis dan
budaya di dunia. Sekalipun demikian anak-anak di negara maju pada umumnya
memiliki kesempatan terdiagnosis lebih awal sehingga memungkinkan
tatalaksana yang lebih dini dengan hasil yang lebih baik.
Jumlah anak yang terkena autis makin bertambah. Di Kanada dan
Jepang pertambahan ini mencapai 40 persen sejak 1980. Di California sendiri
1

pada tahun 2002 disimpulkan terdapat 9 kasus autis per-harinya. Dengan adanya
metode diagnosis yang kian berkembang hampir dipastikan jumlah anak yang
ditemukan terkena Autisme akan semakin besar. Jumlah tersebut di atas sangat
mengkhawatirkan mengingat sampai saat ini penyebab autisme masih misterius
dan menjadi bahan perdebatan diantara para ahli dan dokter di dunia. Di Amerika
Serikat disebutkan autis terjadi pada 60.000 - 15.000 anak dibawah 15 tahun.
Kepustakaan lain menyebutkan prevalens autisme 10-20 kasus dalam 10.000
orang, bahkan ada yang mengatakan 1 diantara 1000 anak. Di Inggris pada awal
tahun 2002 bahkan dilaporkan angka kejadian autisma meningkat sangat pesat,
dicurigai 1 diantara 10 anak menderita autis. Perbandingan antara laki dan
perempuan adalah 2,6 - 4 : 1, namun anak perempuan yang terkena akan
menunjukkan gejala yang lebih berat. Di Indonesia yang berpenduduk 200 juta,
hingga saat ini belum diketahui berapa persisnya jumlah penyandang namun
diperkirakan jumlah anak austima dapat mencapai 150 - 200 ribu orang
(Judarwanto, 2006 ).
Berdasarkan data tersebut, maka penyusun tertarik membuat makalah
tentang konsep dasar dan asuhan keperawatan pada pasien autis.
B. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1. Mengetahui definisi dari Autis
2. Mengetahui etiologi dari Autis
3. Mengetahui tanda dan gejala dari Autis
4. Mengetahui pemeriksaan diagnostik pada Autis
5. Mengetahui terapi medis untuk penderita Autis
6. Mengetahui patofisiologis dari Autis
7. Mengetahui asuhan keperawatan pada penderita autis
2

BAB II
KONSEP DASAR
A. Pengertian
Autisme adalah suatu sindroma gangguan pasti pada fungsi sosial,
komunikasi ferbal dan non ferbal, dan fleksibilitas perilaku (Mariyunani,2002).
Autisme merupakan suatu kumpulan sindrom akibat kerusakan saraf.
Penyakit ini mengganggu perkembangan anak. Diagnosisnya diketahui dari
gejala-gejala yang tampak, ditunjukan dengan adanya penyimpangan
perkembangan (Danuatmaja,2003).
Jadi dapat disimpulkan dari pengertian diatas bahwa autisme adalah
suatu gangguan sindrom akibat kerusakan saraf yang menyebabkan gangguan
pasti pada fungsi sosial, komunikasi ferbal dan non ferbal, dan fleksibilitas
perilaku.
B. Etiologi
Penyebab dari autisme antara lain :
1. Faktor genetik
Faktor genetik diperkirakan menjadi penyebab utama dari kelainan autism,
walaupun bukti konkrit masih sulit ditemukan. Memang ditengarai adanya
kelainan kromosom pada anak autism, namun kelainan itu tidak selalu berada
pada kromosom yang sama.
2. Bakat atau keturunan
3. Bahan kimia yaitu pengawet makanan, penyedap rasa
4. Timbul akibat kelainan perkembangan sel-sel otak selama bayi berada dalam
uterus disebabkan oleh infeksi virus, infeksi tokso plasma,infeksi jamur,
perdarahan maupun keracunan(Mariyunani,2002).
3

5. Faktor resiko gangguan autis.
Faktor resiko disusun oleh para ahli berdasarkan banyak teori penyebab autis
yang telah berkembang. Terdapat beberapa hal dan keadaan yang membuat
resiko anak menjadi autis lebih besar. Dengan diketahui resiko tersebut
tentunya dapat dilakukan tindakan untuk mencegah dan melakukan intervensi
sejak dini pada anak yang beresiko. Adapun beberapa resiko tersebut dapat
diikelompokkan dalam beberapa periode, seperti periode kehamilan,
persalinan dan periode usia bayi.
a. Periode Kehamilan
Perkembangan janin dalam kehamilan sangat banyak yang
mempengaruhinya. Pertumbuhan dan perkembangan otak atau sistem
susunan saraf otak sangat pesat terjadi pada periode ini, sehingga segala
sesuatu gangguan atau gangguan pada ibu tentunya sangat berpengaruh.
Gangguan pada otak inilah nantinya akan mempengaruhi perkembangan
dan perilaku anak kelak nantinya, termasuk resiko terjadinya autisme.
Beberapa keadaan ibu dan bayi dalam kandungan yang harus lebih
diwaspadai dapat berkembang jadi autism adalah infeksi selama
persalinan terutama infeksi virus. Peradarahan selama kehamilan harus
diperhatikan sebagai keadaan yang berpotensi mengganggu fungsi otak
janin. Perdarahan selama kehamilan paling sering disebabkan karena
placental complications, diantaranya placenta previa, abruptio placentae,
vasa previa, circumvallate placenta, and rupture of the marginal sinus.
Kondisi tersebut mengakibatkan gangguan transportasi oksigen dan nutrisi
ke bayi yang mengakibatkan gangguan pada otak janin. Perdarahan awal
kehamilan juga berhubungan dengan kelahiran prematur dan bayi lahir
berat rendah. Prematur dan berat bayi lahir rendah tampaknya juga
merupakan resiko tinggi terjadinya autis perilaku lain yang berpotensi
4

membahayakan adalah pemakaian obat-obatan yang diminum, merokok
dan stres selama kehamilan terutama trimester pertama. Adanya Fetal
Atopi atau Maternal Atopi, yaitu kondisi alergi pada janin yang
diakibatkan masuknya bahan penyebab alergi melalui ibu. Menurut
pengamatan penulis, hal ini dapat dilihat adanya Gerakan bayi gerakan
refluks oesefagial (hiccupps/cegukan) yang berlebihan sejak dalam
kandungan terutama terjadi malam hari. Diduga dalam kedaaan tersebut
bayi terpengaruh pencernaan dan aktifitasnya oleh penyebab tertentu
termasuk alergi ataupun bahan-bahan toksik lainnya selama kehamilan.
Infeksi saluran kencing, panas tinggi dan Depresi. Wilkerson dkk
telah melakukan penelitian terhadap riwayat ibu hamil pada 183 anak
autism dibandingkan 209 tanpa autism. Ditemukan kejadian infeksi
saluran kencing, panas tinggi dan depresi pada ibu tampak jumlahnya
bermakna pada kelompok ibu dengan anak autism.
b. Periode Persalinan
Persalinan adalah periode yang paling menentukan dalam
kehidupan bayi selanjutnya. Beberapa komplikasi yang timbul selama
periode ini sangat menentukan kondisi bayi yang akan dilahirkan. Bila
terjadi gangguan dalam persalinan maka yang paling berbahaya adalah
hambatan aliran darah dan oksigen ke seluruh organ tubuh bayi termasuk
otak. Organ otak adalah organ yang paling sensitif dan peka terhadap
gangguan ini, kalau otak terganggu maka sangat mempengaruhi kualitas
hidup anak baik dalam perkembangan dan perilaku anak nantinya.
Gangguan persalinan yang dapat meningkatkan resiko terjadinya
autism adalah : pemotongan tali pusat terlalu cepat, Asfiksia pada bayi
(nilai APGAR SCORE rendah < 6 ), komplikasi selama persalinan,
lamanya persalinan, letak presentasi bayi saat lahir dan erat lahir rendah
( < 2500 gram).
5

c. Periode Usia Bayi
Dalam kehidupan awal di usia bayi, beberapa kondisi awal atau gangguan
yang terjadi dapat mengakibatkan gangguan pada optak yang akhirnya
dapat beresiko untuk terjadinya gangguan autism. Kondisi atau gangguan
yang beresiko untuk terjadinya autism adalah prematuritas, alergi
makanan, kegagalan kenaikan berat badan, kelainan bawaan : kelainan
jantung bawaan, kelainan genetik, kelainan metabolik, gangguan
pencernaan : sering muntah, kolik, sulit buang air besar, sering buang air
besar dan gangguan neurologI/saraf : trauma kepala, kejang, otot atipikal,
kelemahan otot.
C. Tanda gejala
Gejala autisme pada bayi dan anak yaitu
1. Bayi cenderung menghindari kontak mata, meskipun dengan ibunya
2. Bayi senang melihat mainan yang berputar dan digantung diatas tempat tidur
3. Bayi terlambat bicara dan bahasanya tidak dimengerti orang lain
4. Bayi dan anak malas menengok bila dipanggil namanya, dan cenderung tidak
mempunyai rasa empati
5. Bayi dan anak suka tertawa, menangis, marah tanpa sebab yang nyata
6. Bayi dan anak tidak merasa nyaman apabila memakai pakaian dari bahan
yang kasar
Tanda – tanda autis pada anak:
1. Tidak peduli pada lingkungan sosialnya
2. Tidak bereaksi normal dalam pergaulan sosial
3. Perkembangan bahasa dan bicara tidak normal serta adanya reaksi terhadap
lingkungan terbatas (Mariyunani,2002).
Tanda dan gejala yang dikelompokan pada gangguan dan keterlambatan dalam
bidang kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi, dan, interaksi sosial.
6

1. Gangguan dalam komunikasi verbal maupun nonverbal
a. Kemampuan berbahasa mengalami keterlambatan atau sama sekali tidak
dapat berbicara. Menggunakan kata kata tanpa menghubungkannya
dengan arti yang lazim digunakan.
b. Berkomunikasi dengan menggunakan bahasa tubuh dan hanya dapat
berkomunikasi dalam waktu singkat.
c. Kata-kata yang tidak dapat dimengerti orang lain (“bahasa planet”)
d. Tidak mengerti atau tidak menggunakan kata-kata dalam konteks yang
sesuai.
e. Ekolalia (meniru atau membeo), menirukan kata, kalimat atau lagu tanpa
tahu artinya.
f. Bicaranya monoton seperti robot
g. Bicara tidak digunakan untuk komunikasi
h. Mimik datar
2. Gangguan dalam bidang interaksi social
a. Menolak atau menghindar untuk bertatap muka
b. Tidak menoleh bila dipanggil, sehingga sering diduga tuli
c. Merasa tidak senang atau menolak dipeluk
d. Bila menginginkan sesuatu, menarik tangan tangan orang yang terdekat
dan berharap orang tersebut melakukan sesuatu untuknya
e. Tidak berbagi kesenangan dengan orang lain
f. Saat bermain bila didekati malah menjauh
7

g. Bila menginginkan sesuatu ia menarik tangan orang lain dan
mengharapkan tangan tersebut melakukan sesuatu untuknya.
3. Gangguan dalam bermain
a. Bermain sangat monoton dan aneh misalnya menderetkan sabun menjadi
satu deretan yang panjang, memutar bola pada mainan mobil dan
mengamati dengan seksama dalam jangka waktu lama.
b. Ada kelekatan dengan benda tertentu seperti kertas, gambar, kartu atau
guling, terus dipegang dibawa kemana saja dia pergi.
c. Bila senang satu mainan tidak mau mainan lainnya.
d. Tidak menyukai boneka, tetapi lebih menyukai benda yang kurang
menarik seperti botol, gelang karet, baterai atau benda lainnya
e. Tidak spontan / reflek dan tidak dapat berimajinasi dalam bermain. Tidak
dapat meniru tindakan temannya dan tidak dapat memulai permainan yang
bersifat pura pura.
f. Sering memperhatikan jari-jarinya sendiri, kipas angin yang berputar atau
angin yang bergerak.
g. Perilaku yang ritualistik sering terjadi sulit mengubah rutinitas sehari hari,
misalnya bila bermain harus melakukan urut-urutan tertentu, bila
bepergian harus melalui rute yang sama.
4. Gangguan perilaku
a. Sering dianggap sebagai anak yang senang kerapian harus menempatkan
barang tertentu pada tempatnya
b. Anak dapat terlihat hiperaktif misalnya bila masuk dalam rumah yang
baru pertama kali ia datang, ia akan membuka semua pintu, berjalan
kesana kemari, berlari-lari tak tentu arah.
8

c. Mengulang suatu gerakan tertentu (menggerakkan tangannya seperti
burung terbang). Ia juga sering menyakiti diri sendiri seperti memukul
kepala atau membenturkan kepala di dinding
d. Dapat menjadi sangat hiperaktif atau sangat pasif (pendiam), duduk diam
bengong dengan tatap mata kosong. Marah tanpa alasan yang masuk akal.
Amat sangat menaruh perhatian pada satu benda, ide, aktifitas ataupun
orang. Tidak dapat menunjukkan akal sehatnya. Dapat sangat agresif ke
orang lain atau dirinya sendiri.
e. Gangguan kognitif tidur, gangguan makan dan gangguan perilaku lainnya.
5. Gangguan perasaan dan emosi
a. Tertawa-tawa sendiri, menangis atau marah tanpa sebab nyata
b. Sering mengamuk tak terkendali (temper tantrum), terutama bila tidak
mendapatkan sesuatu yang diinginkan
c. Sering mengamuk tak terkendali (temper tantrum)bila keinginannya tidak
didapatkannya, bahkan bisa menjadi agresif dan merusak.
d. Tidak dapat berbagi perasaan (empati) dengan anak lain
6. Gangguan dalam persepsi sensoris
a. Sensitif terhadap cahaya, pendengaran, sentuhan, penciuman dan rasa
(lidah) dari mulai ringan sampai berat.
b. Menggigit, menjilat atau mencium mainan atau benda apa saja
c. Bila mendengar suara keras, menutup teling
d. Menangis setiap kali dicuci rambutnya
e. Meraskan tidak nyaman bila diberi pakaian tertentu
f. Tidak menyukai rabaan atau pelukan, Bila digendong sering merosot atau
melepaskan diri dari pelukan.
D. Pemeriksaan Diagnostik
9

1. ELEKTROENSEFALOGRAM (EEG): EEG untuk memeriksa gelombang
otak yang mennujukkan gangguan kejang, diindikasikan pada kelainan tumor
dan gangguan otak..
2. SKRENING METABOLIK: Pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan
darah dan urine untuk melihat metabolisme makanan di dalam tubuh dan
pengaruhnya pada tumbuh kembang anak. Beberapa spectrum autism dapat
disembuhkan dengan diet khusus.
3. MAGNETIC RESONANCE IMAGING (MRI) DAN COMPUTER
ASSITED AXIAL TOMOGRAPHY (CAT SCAN): MRI atau CAT Scans
sangat menolong untuk mendiagnosis kelainan struktur otak, karena dapat
melihat struktur otak secara lebih detail
4. PEMERIKSAAN GENETIK: Pemeriksaan darah untuk melihat kelainan
genetik, yang dapat menyebabkan gangguan perkembangan. Beberapa
penelitian menunjukkkan bahwa penderita autism telah dapat ditemukan pola
DNA dalam tubuhnya.
E. Terapi Medis
1. Terapi medika mentosa
Terapi ini dilakukan dengan obat-obatan yang bertujuan memperbaiki
komunikasi, memperbaiki respon terhadap lingkungan, dan menghilangkan
perilaku aneh serta diulang-ulang (Danuatmaja, 2003).
2. Terapi biomedis
Terapi ini bertujuan untuk memperbaiki metabolisme tubuh melalui diet dan
pemberian suplemen. Terapi ini dilakukan berdasarkan banyaknya gangguan
fungsi tubuh, seperti gangguan pencernaan, alergi, daya tahan tubuh rentan,
dan keracunan logam berat. berbagai gangguan fungsi tubuh ini akhirnya
mempengaruhi fungsi otak (Danuatmaja, 2003).
Terapi vitamin atau suplemen untuk penderita autis :
10

a. Vitamin B6 dan Magnesium
Hasil analisis Cochrane, yang berhasil mengumpulkan penelitian
kecil sebelum tahun 2002 yang menilai peranan vitamin B6 dan
Magnesium sebagai terapi autism, menyatakan bahwa masih dibutuhkan
pembuktian lagi untuk penggunaannya karena kebanyakan penelitian
jumlah pasiennya kecil dan bermasalah dalam kualitas dan metodologi
penelitian. Namun demikian dari hasil kebanyakan penelitian sejak tahun
1965, dosis vitamin B6 yang disarankan adalah dosis besar 0,2 – 1 gram
perhari, dan yang banyak digunakan adalah 500 mg/hari.
b. N-Dimethylglycine
Meski tidak berbeda bermakna, penelitian berskala kecil yang
pernah dipublikasikan hasilnya secara kuantitatif efektif.
c. Asam Folat
Penting sebagai zat esensial untuk memperbaiki proses
metabolisme, dengan dosis 0,5 – 0,7 mg/kgbb/hari.
d. Kalsium
Kalsium dan magnesium sangat rendah kadarnya dalam tubuh pasien
autis.
e. Vitamin B3
f. Vitamin C
Dapat dipakai sebagai antioksidan, memperbaiki jalur biosintesis
kofaktor dan enzzim yang penting untuk system neurotransmitter. Makin
tinggi dosis, makin bermanfaat mengurangi gejala autis. Hasil studi awal
menunjukan bahwa dosis yang memberikan manfaat adalah 8
gram/70kgbb/hari.
g. Zinc/seng
11

Penting untuk pemeliharaan fungsi otak, system gastrointestinal
dan system imun pasien autis. Dosis: 2 mg/kgBB/hari, maksimum 50
mg/hari.
h. Asam Lemak Esensial
DHA, Omega 3 dan omega 6 juga telah dibuktikan dapat
memperbaiki gejala pasien autis.
i. Vitamin A
Digunakan untuk perbaikan jaringan baik di usus, otak dan
berbagai jaringan yang lain.
j. Selenium
Dosis yang dianjurkan adalah 1-4 mcg/kg/hari, terutama dalam
bentuk L-selenomethionine.
k. Melatonin
Melatonin juga bias diberikan sebelum tidur, dengan dosis 0,1
mg/kgbb jika sulit tidur.
3. Terapi wicara
Terapi ini menjadi keharusan bagi anak autis karena mereka mengalami
keterlambatan bicara dan kesulitan berbahasa (Danuatmaja, 2003).
4. Terapi perilaku
Terapi ini bertujuan agar anak autis dapat mengurangi perilaku tidak wajar
dan menggantinya dengan perilaku yang bisa diterima dimasyarakat
(Danuatmaja, 2003).
5. Terapi okupasi
Terapi ini bertujuan membantu anak autis yang mempunyai perkembangan
motorik kurang baik, antara lain gerak geriknya kasar dan kurang luwes.
12

Terapi okupasi akan menguatkan, memperbaiki koordinasi, dan keterampilan
otot halus anak (Danuatmaja, 2003).
6. Terapi Sosial
Kekurangan yang paling mendasar bagi individu autisme adalah dalam bidang
komunikasi dan interaksi . Banyak anak-anak ini membutuhkan pertolongan
dalam ketrampilan berkomunikasi 2 arah, membuat teman dan main bersama
ditempat bermain. Seorang terapis sosial membantu dengan memberikan
fasilitas pada mereka untuk bergaul dengan teman-teman sebaya dan
mengajari cara-caranya.
7. Terapi Bermain
Meskipun terdengarnya aneh, seorang anak autistik membutuhkan
pertolongan dalam belajar bermain. Bermain dengan teman sebaya berguna
untuk belajar bicara, komunikasi dan interaksi social. Seorang terapis bermain
bisa membantu anak dalam hal ini dengan teknik-teknik tertentu.
8. Terapi Perkembangan
Floortime, Son-rise dan RDI (Relationship Developmental Intervention)
dianggap sebagai terapi perkembangan. Artinya anak dipelajari minatnya,
kekuatannya dan tingkat perkembangannya, kemudian ditingkatkan
kemampuan sosial, emosional dan Intelektualnya. Terapi perkembangan
berbeda dengan terapi perilaku seperti ABA yang lebih mengajarkan
ketrampilan yang lebih spesifik.
9. Applied Behavioral Analysis (ABA)
ABA adalah jenis terapi yang telah lama dipakai , telah dilakukan penelitian
dan didisain khusus untuk anak dengan autisme. Sistem yang dipakai adalah
memberi pelatihan khusus pada anak dengan memberikan positive
13

reinforcement (hadiah/pujian). Jenis terapi ini bias diukur kemajuannya. Saat
ini terapi inilah yang paling banyak dipakai di Indonesia.
10. Terapi Fisik
Autisme adalah suatu gangguan perkembangan pervasif. Banyak diantara
individu autistik mempunyai gangguan perkembangan dalam motorik
kasarnya. Kadang-kadang tonus ototnya lembek sehingga jalannya kurang
kuat. Keseimbangan tubuhnya kurang bagus. Fisioterapi dan terapi integrasi
sensoris akan sangat banyak menolong untuk menguatkan otot-ototnya dan
memperbaiki keseimbangan tubuhnya.
11. Terapi Visual
Individu autistik lebih mudah belajar dengan melihat (visual learners/visual
thinkers). Hal inilah yang kemudian dipakai untuk mengembangkan metode
belajar komunikasi melalui gambar-gambar, misalnya dengan metode PECS
(Picture Exchange Communication System). Beberapa video games bisa juga
dipakai untuk mengembangkan ketrampilan komunikasi.
F. Patofisiologi
1. Faktor genetika diperkirakan menjadi penyebab utama dari kelainan autism,
walaupun bukti konkrit masih sulit ditemukan. Memang ditengarai adanya
kelainan kromosom pada anak autism, namun kelainan itu tidak selalu berada
pada kromosom yang sama.
2. Kelainan anatomis otak khususnya di lobus parietalis, serebelum serta pada
system limbiknya. Sekitar 43% penyandang autism mempunyai kelainan di
lobus parietalis otaknya, yang menyebabkan anak tampak acuh terhadap
lingkungannya. Kelainan juga ditemukan pada otak kecil (serebelum),
terutama pada lobus ke VI dan VII. Otak kecil bertanggung jawab atas proses
sensoris, daya ingat, berfikir, belajar berbahasa dan proses atensi (perhatian).
Jumlah sel Purkinya di otak kecil juga didapatkan sangat sedikit, sehingga
14

terjadi gangguan keseimbangan serotonin dan dopamine, menyebabkan
gangguan atau kekacauan lalulintas impuls di otak. Ditemukan pula kelainan
khas di daerah system limbic yang disebut hipokampus dan amigdala.
Akibatnya terjadi gangguan fungsi control terhadap agresi dan emosi. Anak
kurang dapat mengendalikan emosinya, sering terlalu agresif atau pasif.
Amigdala juga bertanggung jawab terhadap berbagai rangsang sensoris seperti
pendengaran, penglihatan, penciuman, perabaan, rasa cemas dan rasa takut.
Hipokampus bertanggung jawab terhadap fungsi belajar dan daya ingat.
Terjadi kesulitan penyimpangan informasi baru. Perilaku diulang-ulang yang
aneh dan hiperaktif juga disebabkan gangguan hipokampus.
3. Disfungsi metabolic, terutama hubungannya dengan kemampuan memecah
komponen asam amino phenolik.
Amino phenolik banyak ditemukan di berbagai makan, dan
dilaporkan bahwa komponen utamanya dapat menyebabkan terjadinya
gangguan tingkah laku pada pasien autis. Makanan yang mengandung amino
phenolik itu adalah : terigu (gandum), jagung, gula, coklat, pisang, apel.
Sebuah publikasi dari Lembaga Psikiatri Biologi menemukan bahwa anak
autis mempunyai kapasitas rendah untuk menggunakan berbagai komponen
sulfat sehingga anak-anak tersebut tidak mampu memetabolisme komponen
amino phenolik. Komponen amino phenolik merupakan bahan baku
pembentukan neurotransmitter, jika komponen tersebut tidak dimetabolisme
baik akan terjadi akumulasi katekolamin yang toksik bagi saraf.
4. Infeksi kandidiasis
Ditemukan beberapa strain Candida di saluran pencernaan dalam
jumlah sangat banyak saat menggunakan antibiotic yang nantinya akan
menyebabkan terganggunya flora normal anak. Laporan menyebutkan bahwa
infeksi Candida albicans berat bias dijumpai pada anak yang banyak
mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung karbohidrat, karena pada
15

makanan tersebut Candida dapat tumbuh subur. Makanan jenis ini dilaporkan
menyebabkan anak menjadi autis. Penelitian sebelumnya menemukan adanya
hubungan antara beratnya infeksi Candida albicans dengan gejala-gejala
menyerupai autis, seperti gangguan berbahasa, gangguan tingkah laku dan
penurunan kontak mata (Adams and Conn, 1997). Tetapi Dr Bernard, seorang
peneliti terkemuka di bidang autis, mengatakan bahwa sampai sekarang
hubungan antara keduanya kemungkinannya masih sangat kecil.
5. Teori kelebihan oploid dan hubungan antara diet protein kasein dan gluten.
Teori ini mengatakan bahwa pencernaan anak autis terhadap
kasein dan gluten tidak sempurna. Kedua protein ini hanya terpecah samapai
polipeptida. Polipeptida dari kedua protein tersebut terserap ke dalam aliran
darah dan menimbulkan efek morfin di otak anak. Di membrane saluran cerna
kebanyakan pasien autis ditemukan pori-pori yang tidak lazim, yang diikuti
dengan masuknya peptide ke dalam darah.
Hasil metabolisme gluten adalah protein gliadin. Gliadin akan
berikatan dengan reseptor oploid C dan D. Reseptor tersebut berhubungan
dengan mood dan tingkah laku. Diet sangat ketat bebas gluten dan kasein
menurunkan kadar peptida oploid serta dapat mempengaruhi gejala autis pada
anak. Dengan demikian implementasi diet merupakan terobosan yang baik
untuk memperoleh kesembuhan pasien.
Protein gluten terdapat pada terigu, sereal, gandum yang biasa
dipakai dalam pembuatan bir serta gandum hitam sedangkan protein kasein
ditemukan mempunyai aktivitas oploid saat protein tidak dapat dipecah.
Dari penelitian Whiteley, Rodgers, Savery dan Shattock (1999), 22
anak autis mendapat diet bebas gluten selama 5 bulan dibandingkan dengan 5
anak autis yang tetap diberi diet mengandung gluten dan 6 pasien autis yang
digunakan sebagai kelompok kontrol. Setelah 3 bulan, pada diet bebas gluten
terjadi perbaikan verbal dan komunikasi non verbal, pendekatan afektif,
16

motorik, dan kemampuan anak untuk perhatian serta tidur jadi lebih baik.
Sedangkan pada kelompok makanan yang masih mengandung gluten justru
semuanya memburuk. Meskipun penelitian ini masih menggunakan jumlah
pasien yang sangat kecil, tapi cukup bias diterima sampai sekarang.
G. Pathway
17
Faktor Genetik Faktor Infeksi Faktor Metabolisme Faktor Resiko
Disfungsi Metabolisme
Infeksi Candidiasis
Kelainan kromosom
Periode Kehamilan
Periode Persalinan
Periode Usia Bayi
Kelainan anatomisotak
BRAIN DAMAGE

Terhambat-nya perkembangan otak (lambatnya perkembangan hamper semua area)
Autis
( Gangguan social
Komunikasi dan
Sulit berpikir )
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
An. K usia 5 tahun, anak dari pasangan Tn.A dan Ny. I yang beralamat di Desa
Monggo Kerso Rt 2 Rw 3.An. K di bawa kedokter karena dia mulai nampak
adakelainan ketika ia berusia dua tahun, dari hasil pemeriksaan di dapatkan data S 36
C, N 80x/ menit, Rr 25x/mnt, TD 120/80 mmHg. An. K mengalami kesulitan dalam
berbicara, tidak suka bergaul dengan teman sebaya, lebih suka menyendiri, lebih
hipereaktif dari anak yang lain sehingga dokter mendiagnosa An. K menderita
penyakit autis.
A. Pengkajian
1. Identitas Data
Nama : an K
Alamat : Ds. Monggo kerso, Rt2 Rw3
18
HIPERAKTIF

Tempat/ tgl lahir :15 Januari 2007
Agama : islam
Usia : 5 tahun
Suku bangsa : indonesia
Nama ayah/ibu : Tn. A/ Ny. I
Pendidikan ayah : SMA
Pekerjaan ayah : Buruh pabrik
Pendidikan ibu : SMP
Pekerjaan ibu : ibu rumah tangga
2. Keluhan Utama
Ibu klien mengatakan bahwa An.K mengalami kesulitan bicara.
3. Riwayat Penyakit Sekarang
An. K di bawa kedokter karena dia mulai nampak ada kelainan ketika ia
berusia dua tahun, dari hasil pemeriksaan di dapatkan data S 36 C,
N:80x/menit, TD 120/80 mmHg. An. K mengalami kesulitan dalam berbicara,
tidak suka bergaul dengan teman sebaya, lebih suka menyendiri, lebih
hipereaktif dari anak yang lain sehingga dokter mendiagnosa An. K menderita
penyakit autis.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Penyakit pada waktu kecil
Ibu klien mengatakan jika klien pada waktu bayi pernah sakit diare, batuk,
flu dan demam.
b. Pernah dirawat di RS
Ibu klien mengatakan jika klien belum pernah di rawat di rumah sakit
sebelumnya.
19

c. Obat-obatan yang digunakan
d. Tindakan (operasi)
Ibu klien mengatakan jika klien belum pernah di lakukan tindakan operasi.
e. Riwayat imunisasi
Ibu klien mengatakan jika klien sudah mendapatkan imunisasi lengkap
seperti campak, BCG, polio dan lain-lain.
f. Alergi
g. Kecelakaan
5. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan
a. Kemandirian dan bergaul : Klien lebih suka menyendiri
b. Motorik halus : klien mengalami keterlambatan dalam bicara
c. Kognitf dan bahasa : klien sulit berbahasa dan bicara
d. Motorik kasar : klien hiperaktif
e. Kesimpulan perkembangan anak : mengalami keterlambatan dalam
berbicara.
6. Riwayat Kesehatan Keluarga
Dalam keluarga An. K tidak ada yang menderita penyakit yang sama dengan
An.K
Keterangan : : laki-laki
: perempuan
20

: klien
........ : tinggal dalam 1 rumah
7. Pola Kesehatan Fungsional Menurut Gordon
a. Pola persepsi kesehatan manajemen : kesehatan cukup baik
b. Pola metabolisme nutrisi : nafsu makan menurun
c. Pola eliminasi : BAB dan BAK lancar
d. Pola aktifitas latihan : klien hiperaktif
e. Pola istirahat tidur : tidur cukup
f. Pola persepsi kognitif :
g. Pola persepsi diri :Ketidakmampuan untuk memisahkan kebutuhan
fisiologis dan emosi diri sendiri dengan orang lain
h. Pola hubungan sosial :Ketidakmampuan untuk membedakan batas-batas
tubuh diri sendiri dengan orang lain
i. Pola seksual :
j. Pola pemecahan masalah mengatasi stres :
k. Sistem kepercayaan nilai-nilai :
8. Keadaan Kesehatan saat ini
a. Diagnosa medik : autis
b. Tindakan operasi : tidak dilakukan tindakan operasi
c. Status nutrisi : nutrisi klien terpenuhi
d. Status cairan :tidak ada gangguan
e. Obat-obatan :
f. Aktifitas : lebih suka menyendiri
g. Tindakan keperawatan :
h. Hasil laboratorium :
21

i. Hasil rontgen :
j. Data tambahan :
9. Pemeriksaan Fisik
a. Temperatur : hangat
b. Denyut jantung/nadi : 80x/mnt
c. Respiratori rate : 25x/mnt
d. Tekanan darah : 120/80 mmHg
e. Pertumbuhan : lambat
f. Keadaan umum : klien lebih suka menyendiri, tidak suka bergaul, Menarik
diri dan tidak responsif terhadap orang tua, Memiliki sikap menolak
perubahan secara ekstrem, Keterikatan yang tidak pada tempatnya dengan
objek, Perilaku menstimulasi diri, Pola tidur tidak teratur
g. Lingkar kepala : normal
h. Mata : pandangan kosong
i. Hidung : tidak ada pembesaran polip
j. Mulut : reflek menghisap buruk, Kemampuan bertutur kata menurun,
Menolak mengkonsumsi makanan yang tidak halus
k. Telinga : Peka terhadap suara-suara yang lembut bukan pada suatu
pembicaraan.
l. Dada : simetris
m. Jantung : tidak ada pembesaran jantung
n. Paru : normal tidak ada ronkhi
o. Perut : datar
p. Punggung : sedikit membungkuk
q. Genetalia : tidak ada kelainan
r. Ekstremitas : hangat
s. Kulit : lembab
22

B. Diagnosa Keperawatan
1. Hambatan komunikasi yang berhubungan dengan kebingungan terhadap
stimulus.
2. Risiko membahayakan diri sendiri atau orang lain yang berhubungan dengan
rawat inap di rumah sakit.
3. Risiko Perubahan peran orang tua yang berhubungan dengan gangguan
sosialisasi.
C. Intervensi
1. Hambatan komunikasi yang berhubungan dengan kebingungan terhadap
stimulus.
Hasil yang diharapkan :
Anak mengkomunikasikan kebutuhannya dengan menggunakan kata-kata atau
gerakan tubuh yang sederhana, konkret; bayi dengan efektif dapat
mengkomunikasikan kebutuhannya (keinginan akan makan, tidur,
kenyamanan, dsb).
Intervensi :
a. Ketika berkomunikasi dengan anak, bicaralah dengan kalimat singkat yg
terdiri atas 1 hingga 3 kata, dan ulangi perintah sesuai yang diperlukan.
Minta anak untuk melihat kepada anda ketika anda berbicara dan pantau
bahasa tubuhnya dengan cermat.
b. Gunakan irama, musik dan gerakan tubuh untuk membantu perkembangan
komunikasi sampai anak dapat memahami bahasa.
c. Bantu anak mengenali hubungan antara sebab dan akibat dengan cara
menyebutkan perasaannya yang khusus dan mengidentifikasi penyebab
stimulus bagi mereka.
23

d. Ketika berkomunikasi dengan anak, bedakan kenyataan dengan fantasi,
dalam pernyataan yang singkat dan jelas.
e. Sentuh dan gendong bayi, tetapi semampu yang dapat ditoleransi.
2. Risiko membahayakan diri sendiri atau orang lain yang berhubungan dengan
rawat inap di rumah sakit.
Hasil yang diharapkan :
Anak memperlihatkan penurunan kecenderungan melakukan kekerasan atau
perilaku merusak diri sendiri, yang ditandai oleh frekuensi tantrum dan sikap
agresi atau destruksi berkurang, serta peningkatan kemampuan mengatasi
frustasi.
Intervensi :
a. Sediakan lingkungan kondusif dan sebanyak mungkin rutinitas sepanjang
periode perawatan di rumah sakit.
b. Lakukan intervensi keperawatan dalam sesi singkat dan sering. Dekati anak
dengan sikap lembut, bersahabat, dan jelaskan apa yang anda akan
lakukan dengan kalimat yang jelas dan sederhana. Apabila dibutuhkan,
demonstrasikan prosedur kepada orang tua.
c. Gunakan restrain fisik selama prosedur ketika membutuhkannya, untuk
memastikan keamanan anak dan untuk mengalihkan amarah dan
frustasinya.
d. Gunakan teknik modifikasi perilaku yang tepat untuk menghargai perilaku
positif dan menghukum perilaku yang negatif.
e. Ketika anak berperilaku destruktif, tanyakan apakah ia mencoba
menyampaikan sesuatu.
3. Risiko Perubahan peran orang tua yang berhubungan dengan gangguan
sosialisasi.
24

Hasil yang diharapkan :
Orang tua mendemonstrasikan keterampilan peran menjadi orang tua yang
tepat yang ditandai oleh ungkapan kekhawatiran mereka tentang kondisi anak
dan mencari nasihat serta bantuan.
Intervensi :
a. Anjurkan orang tua untuk mengekspresikan perasaan dan kekhawatiran
mereka.
b. Rujuk orang tua ke kelompok pendukung autisme setempat dan ke sekolah
khusus jika diperlukan.
c. Anjurkan orang tua untuk mengikuti konseling (bila ada).
D. Implementasi
N
o
Dx.
Keperawatan
Tgl/Jam Implementasi Respon Paraf
1 Hambatan
komunikasi
yang
berhubungan
dengan
kebingungan
terhadap
stimulus.
Menganjurkan
keluarga dalam
berkomunikasi
dengan anak,
menggunakan
kalimat singkat yg
terdiri atas 1 hingga 3
kata, dan ulangi
perintah sesuai yang
diperlukan.
Menggunakan irama,
musik dan gerakan
tubuh untuk
S : keluarga klien
kooperatif
O : keluarga
menggunakan
bahasa yang
singkat dan jelas
saat berkomunikasi
S : -
O : klien tampak
mendengarkan
25

membantu
perkembangan
komunikasi sampai
anak dapat
memahami bahasa.
Membantu anak
mengenali hubungan
antara sebab dan
akibat dengan cara
menyebutkan
perasaannya yang
khusus dan
mengidentifikasi
penyebab stimulus
bagi klien.
S : -
O : tampak
menolak
2 Risiko
membahayaka
n diri sendiri
atau orang lain
yang
berhubungan
dengan rawat
inap di rumah
sakit.
Menyediakan
lingkungan kondusif
dan sebanyak
mungkin rutinitas
sepanjang periode
perawatan di rumah
sakit.
Melakukan
pendekatan anak
dengan sikap lembut,
bersahabat.
Menggunakan teknik
modifikasi perilaku
S : -
O : tampak
hiperaktif
S : -
O : tampak
menolak
S : -
O :
26

yang tepat kepada
klien untuk
menghargai perilaku
positif dan
menghukum perilaku
yang negatif.
3 Risiko
Perubahan
peran orang
tua yang
berhubungan
dengan
gangguan
sosialisasi.
Menganjurkan orang
tua untuk
mengekspresikan
perasaan dan
kekhawatiran mereka.
Merujuk orang tua ke
kelompok pendukung
autisme setempat dan
ke sekolah khusus.
Menganjurkan orang
tua untuk mengikuti
konseling
S : Orang tua
mengatakan
kebingungan dalam
menghadapi sikap
anaknya
O : Tampak
bingung
S : orang tua
mengatakan
bersedia
O :
S : orang tua
kooperatif
O : orang tua
tampak mengikuti
konseling
E. Evaluasi
No Tgl/Jam Dx Keperawatan Perkembangan Paraf
27

1 Hambatan
komunikasi yang
berhubungan
dengan
kebingungan
terhadap stimulus.
S : Ibu klien mengatakan bahwa An.K
masih mengalami kesulitan bicara
O : tampak diam
A : Masalah belum teratasi
P : Pertahankan intervensi
2 Risiko
membahayakan
diri sendiri atau
orang lain yang
berhubungan
dengan rawat inap
di rumah sakit.
S : ibu klien mengatakan An. K
memiliki sikap menolak perubahan
secara ekstrem,
O : tampak hiperaktif
A : Masalah belum teratasi
P : Pertahankan intervensi
3 Risiko Perubahan
peran orang tua
yang
berhubungan
dengan gangguan
sosialisasi.
S : orang tua mengatakan kebingungan
dalam menghadapi sikap anaknya
O : orng tua tampak bingung
A : Masalah belum teratasi
P : Pertahankan intervensi
28

BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Autisme adalah suatu gangguan sindrom akibat kerusakan saraf yang
menyebabkan gangguan pasti pada fungsi sosial, komunikasi ferbal dan non
ferbal, dan fleksibilitas perilaku. Akibatnya anak tersebut terisolasi dari manusia
lain dan masuk dalam dunia repetitive, aktivitas dan minat yang obsesif.
Penyebab autis belum diketahui pasti, tetapi faktor genetik atau keturunan,
kelainan anatomis otak, factor infeksi, dan faktor resiko yang memungkinkan
menyababkan anak autis diantaranya periode kehamilan, periode persalinan, dan
periode usia bayi.
Karakteristik anak dengan autis adalah 6 gangguan dalam bidang;
komunikasi verbal maupun nonverbal, bidang interaksi sosial, bermain, perilaku,
perasaan dan emosi, dan persepsi sensoris. Dari sekian gangguan tersebut
memunculkan masalah keperawatan sebagai berikut ; Hambatan komunikasi,
Risiko membahayakan diri sendiri atau orang lain, Risiko Perubahan peran orang
tua.
Untuk itu perlu penangan khusus pada penderita autis dan ada berbagai
terapi yang bisa digunakan antara lain; Terapi medika mentosa, Terapi biomedis,
Terapi wicara, Terapi perilaku, Terapi okupasi, Terapi Sosial, Terapi Bermain,
Terapi Perkembangan, Applied Behavioral Analysis (ABA), dan Terapi Fisik.
B. Saran
29

Dalam upaya meningkatkan asuhan keperawatan klien dengan penyakit
autisme, hendaknya :
1. Klien diberi support agar dapat berkomunikasi dengan orang lain dengan baik.
2. Memberi perawatan dan perhatian kepda klien dalam proses perawatan.
3. Peningkatan dan penyedian sarana dan prasarana serta kerja sama antara pihak
rumah sakit dengan keluarga.
4. Diharapkan kepada keluarga kiranya dapat merawat klien apabila dilakukan
perawatan dirumah.
30

DAFTAR PUSTAKA
Maryunani, Anik 2002, Ilmu Kesehatan Anak Dalam Kebidanan, Trans infomedia,
Jakarta.
Danuatmaja, Bonni 2003, Terapi Anak Autis Dirumah, Puspa Swara, Jakarta.
Children, Indonesian 2010, Cara Mengetahui Diagnosis Autis Sejak Dini, dilihat 24
Februari 2012, < http://koranindonesiasehat.wordpress.com/2010/11/10/cara-
mengetahui-diagnosis-autis-sejak-dini/ >.
Fortinash, Katherine M ect 2000, Fortin Psychiatric Mental Health Nursing, Masby,
Phiadelpa.
Peeters, Theo 2004, Autisme Hubungan Pengetahuan Teoritis dan Intervensi
Pendidikan Bagi Penyandang Autis, Dian Rakyat, Jakarta.
Autis.info 2012, 10 Jenis Terapi Autisme, dilihat 24 Februari 2012,
<http://www.autis.info/index.php/terapi-autisme/10-jenis-terapi-autisme>.
Judarwanto, Widodo 2006, Pencegahan Autis Pada Anak, dilihat 24 Februari 2012,
<http://puterakembara.org/archives10/00000056.shtml>.
Sari, Intan Diana 2009, Nutrisi pada Pasien Autis, Kalbe Farma, Jakarta.
31