Gangguan keseimbagan dan pendengaran

download Gangguan keseimbagan dan pendengaran

If you can't read please download the document

Transcript of Gangguan keseimbagan dan pendengaran

OTITIS EKSTERNA

A. Definisi Istilah umum yang menckup semua proses peradangan yang mengenai kulit liang telinga luar. Yang dimaksud dengan otitis eksterna ialah radang liang telinga akut maupun kronik yang disebabkan infeksi bakteri, jamur, dan virus. Faktor yang mempermudah radang telinga luar ialah perubahan pH di liang telinga yang biasanya normal atau asam. Bila pH menjadi basa proteksi terhadap infeksi menurun. Pada keadaan udara yang hangat dan lembab, kuman dan jamur mudah tumbuh. Predisposisi otitis eksterna yang lain adalah trauma ringan ketika mengorek telinga. B. Gejala Berbagai otitis eksterna mempunyai gejala yang serupa, karena lebih tergantung pada struktur liang daripada etiologinya. Gejala permulaan adalah rasa gatal pada liang telinga, disebabkan dimulainya peradangan. Gejala ini sering tidak dapat dibedakan dengan rasa menggelitik di kedalaman yang berjalan menjalar ke telinga dan berasal dari muara tuba Eustachius yang mengalami peradangan ringan. Sensasi yang menjalar ini sering digunakan sebagai pemandu ketika memasang kateter tuba Eustachius. Biasanya disertai rasa gatal di daerah tenggorok di dasar tonsil. Gerakan otot palatum dapat mempengaruhi rasa menggelitik ini, sedangkan gerakan daun telinga tidak berpengaruh. Sebaliknya terjadi rasa gatal yang disebabkan oleh otitis eksterna. Dengan bertambah beratnya proses ini rasa gatal meningkat menjadi rasa nyeri yang mungkin menjadi cukup hebat. Hal ini disebabkan oleh edem yang menyertainya dan menekan liang telinga yang terkena. Tiap gerakan daun telinga atau tulang rawan liang telinga, seperti untuk mengunyah, menimbulkan rasa nyeri. Eksudasi dan pembengkakan ini dapat menyebabkan gangguan akibat tersumbatnya liang telinga. Mula-mula sekret encer, tetapi segera menjadi purulen dan kental bila bercampur dengan sel-sel nanah dan epitel yang terkelupas. Dalam bentuk kronis sekret hanya sedikit atau tidak ada, dan terbentuk gumpalan dalam liang telinga, yang biasanya berbau amis atau busuk, karena reaksi bakteri saprofit atau jamur dalam liang telinga. Gejala-gejala toksik dengan demam menandakan adanya penyebaran limfatik. Adenopati akan jelas didaerah segitiga servikal anterior bagian atas,

1

daerah parotis atau kelompok tulang belakang telinga akibat penyebaran infeksi ini.

C. Klasifikasi Otitis kesterna dapat dibagi dalam bentuk terlokalisir dan difus serta dalam bentuk akut dan kronis. D. Diganosis 1. Otitis eksterna akut terlokalisir Merupakan infeksi folikel rambut, bermula sebagai folikulitis kemudian biasanya meluas menjadi furunkel. Pada kasus dini dapat terlihat pembengkakan dan kemerahan difus di daerah liang telinga bagian tulang rawan, biasanya posterior atau superior. Pembengkakan ini dapat sampai menyumbat liang telinga. Setelah terjadi lokalisasi akan timbul pustula. Pada keadaan ini terdapat rasa nyeri hebat sehingga pemeriksaan sukar dilakukan. Biasanya tidak terdapat sekret sampai absesnya pecah.

2. Otitis eksterna akut difus Adalah penyakit yang terutam timbul apada musim panas dan merupakan bentuk otitis eksterna yang paling umum. Cuaca panas dan lembab menyebabkan pembengkakan stratum korneum kulit sehingga menyumbat saluran folikel. Sewaktu terjadi heperemia dan edem kulit liang telinga, timbul rasa gatal hebat yang berangsur-angsur berubah menjadi rasa nyeri. Liang telinga meradang dan menjadi bengkak difus yang terasa nyeri bila daun telinga2

digerakan. Terdapat sekresi cairan serosa. Sementara penyakit makin berlanjut, cairannya menjadi seropurulen dan edem menyumbat sebagian atau seluruh liang telinga dan menutupi gendang telinga. Meskipun proses ini biasanya terbatas pada liang telinga, lekuk intertragus dan lobul dapat juga terkena karena iritasi oleh cairan yang keluar. Papul dan vesikel kecilkecil timbul pada permukaan kulit, tetapi tidak selalu terliahat karena sulitnya pemeriksaan. 3. Otitis eksterna kronis difus Jamur, biasanya Aspergillus niger, Actinomyces atau ragi, menimbulkan warna kemerahan kronis yang superfisial pada kulit dinding liang telinga bagian tulang. Terbentuk eksudat berbau amis yang tampak keriput berwarna abu-abu seperti kertas penghisap tinta yang basah. Pada permukaan selaput yang agak tebal ini akan tampak filamen-filamen jamur. Jika selaput ini diangkat tampak kulit licin kemerah-merahan. Pada infeksi jamur timbul rasa gatal terus-menerus dan hebat tetapi jarang menjadi nyeri. Menifestasi sistemik jarang terjadi kecuali bila disertai infeksi bakteri yang biasanya disebabkan garukan pada telinga.

E. Tatalaksana 1. Otitis eksterna akut terlokalisir Terapinya bergantung pada keadaan furunkel. Bila sudah menjadi abses, diaspirasi secara steril untuk mengeluarkan nanahnya. Lokal diberikan antibiotika dalam bentuk salep seperti polymixin B atau bacitracin, atau antiseptik (asam asetat 2-5% dalam alkohol 2%). Kalau dinding furunkel tebal dilakukan insisi, kemudian dipasang salir (drain) untuk mengalirkan nanahnya. Dapat ditambahkan pula obat analgetika.

3

2. Otitis eksterna akut difus Pengobatannya ialah dengan memasukkan tampon yang mengandung antibiotika ke dalam liang telinga, supaya terdapat kontak yang baik antara obat dengan kulit yang meradang. Kadang kadang diperlukan obat antibiotika sistemik. 3. Otitis eksterna kronis difus Pada pemeriksaan pertama, membran yang lembab harus dibersihkan dengan irigasi dan penghisapan secara hati-hati. Kulit dibawahnya tampak hiperemis dan mudah berdarah. Kulit ini harus dioles dengan metakrosol asetat. Bila terdapat infeksi bakteri sekunder, telinga harus dibedaki dengan campuran polimiksin B dan kloramfenikol. Untuk ini dibutuhkan 250 mg bubuk polimiksin B dan 3 gram bubuk kloramfenikol, dimasukan dalam alat peniup bubuk. Sesudah hiperemi mulai berkurang, dapat diberi alkohol encer, dan bubuk serta metakrosol dihentikan secara bertahap.

4

OTITIS MEDIA AKUT

Otitis media akut (OMA) adalah otitis media yang berlangsung selama 3 minggu atau kurang karena infeksi bakteri piogenik. Penyakit peradangan telinga tegah telah banyak berubah akibat penggunaan antibiotik secara luas, banyak bentuk penyakit seperti yang diuraikan dalam kepustakaan lama saat ini tidak dijumpai lagi. OMA terjadi karena faktor pertahanan tubuh terganggu. Sumbatan tuba Eustachius merupakan faktor penyebab utama dari otitis media. Karena fungsi tuba Eutachius terganggu, pencegahan invasi kuman ke dalam telinga tengah juga terganggu, sehingga kuman masuk ke dalam telinga tengah dan terjadi peradangan. Patogenesis Umumnya otitis media berasal dari nasofaring yang kemudian mengenai telinga tengah, kecuali pada kasus yang relatif jarang, yang mendapatkan infeksi bakteri melalui trauma yang membocorkan membran timpani. Stadium awal komplikasi ini dimulai dengan hiperemi dan edem pada mukosa tuba Eutachius bagian faring yang kemudian lumennya dipersempit oleh hiperplasi limfoid pada submukosa. Gangguan ventilasi telinga tengah ini disertai oleh terkumpulnya cairan eksudat dan transudat dalam telinga tengah menjadi sangat rentan terhadap infeksi bakteri yang datang langsung menuju nasofaring. Selanjutnya faktor ketahanan tubuh penjamu dan virulensi bakteri akan menentukan progresivitas penyakit. Stadium 1. Stadium Oklusi Tuba Eustachius Stadium oklusi tuba Eustachius terdapat sumbatan tuba Eustachius yang ditandai oleh retraksi membrana timpani akibat tekanan negatif dalam telinga tengah karena terjadinya absorpsi udara. Selain retraksi, membrana timpani kadang-kadang tetap normal atau hanya berwarna keruh pucat atau terjadi efusi. Stadium oklusi tuba Eustachius dari otitis media supuratif akut (OMA) sulit kita bedakan dengan tanda dari otitis media serosa yang disebabkan virus dan alergi.

5

2. Stadium Hiperemis (Pre Supurasi) Stadium hiperemis (pre supurasi) akibat pelebaran pembuluh darah di membran timpani yang ditandai oleh membran timpani mengalami hiperemis, edema mukosa dan adanya sekret eksudat serosa yang sulit terlihat.

3. Stadium Supurasi Stadium supurasi ditandai oleh terbentuknya sekret eksudat purulen (nanah). Selain itu edema pada mukosa telinga tengah makin hebat dan sel epitel superfisial hancur. Ketiganya menyebabkan terjadinya bulging

(penonjolan) membrana timpani ke arah liang telinga luar. Pasien akan tampak sangat sakit, nadi & suhu meningkat dan rasa nyeri di telinga bertambah hebat. Anak selalu gelisah dan tidak bisa tidur nyenyak. Stadium supurasi yang berlanjut dan tidak tertangani dengan baik akan menimbulkan ruptur membran timpani akibat timbulnya nekrosis mukosa dan submukosa membran timpani. Daerah nekrosis terasa lebih lembek dan berwarna kekuningan. Nekrosis ini disebabkan oleh terjadinya iskemia akibat tekanan kapiler membran timpani karena penumpukan nanah yang terus berlangsung di kavum timpani dan akibat tromboflebitis vena-vena kecil.

6

Keadaan stadi

supurasi dapat kita tangani dengan melakukan

miringotomi Bedah kecil ini kita lakukan dengan membuat luka insisi pada membran timpani sehingga nanah akan keluar dari t linga tengah menuju liang e telinga luar. Luka insisi pada membran timpani akan mudah menutup kembali sedangkan ruptur lebih sulit menutup kembali. Bahkan membran timpani bisa tidak menutup kembali jika membran timpani tidak utuh lagi.

4. Stadium Perforasi Stadium perforasi ditandai oleh ruptur membran timpani sehingga sekret berupa nanah yang jumlahnya banyak akan mengalir dari telinga tengah ke liang telinga luar. Kadang-kadang pengeluaran sekret bersifat pulsasi (berdenyut . Stadium ini sering disebabkan oleh terlambatnya pemberian antibiotik dan tingginya virulensi kuman. Setelah nanah keluar, anak berubah menjadi lebih tenang, suhu menurun dan bisa tidur nyenyak. Jika membran timpani tetap perforasi dan pengeluaran sekret (nanah) tetap berlangsung selama lebih 3 minggu maka keadaan ini disebut otitis media supuratif subakut. Jika kedua keadaan tersebut tetap berlangsung selama lebih 1,5-2 bulan maka keadaan itu disebut otitis media supuratif kronik ( MSK).

7

5. Stadium Resolusi Stadium resolusi ditandai oleh membran timpani berangsur normal hingga perforasi membran timpani menutup kembali dan sekret purulen tidak ada lagi. Stadium ini berlangsung jika membran timpani masih utuh, daya tahan tubuh baik, dan virulensi kuman rendah. Stadium ini didahului oleh sekret yang berkurang sampai mengering. Apabila stadium resolusi gagal terjadi maka akan berlanjut menjadi otitis media supuratif kronik (OMSK). Kegagalan stadium ini berupa membran timpani tetap perforasi dan sekret tetap keluar secara terus-menerus atau hilang timbul. Otitis media supuratif akut (OMA) dapat menimbulkan gejala sisa (sequele) berupa otitis media serosa. Otitis media serosa terjadi jika sekret menetap di kavum timpani tanpa mengalami perforasi membran timpani. Gejala klinik Gejala klinik OMA bergantung pada stadium penyakit serta umur pasien. Pada anak yang sudah dapat berbicara keluhan utama adalah rasa nyeri di dalam telinga, keluhan disamping suhu tubuh yang tinggi. Biasanya terdapat riwayat betuk pilek sebelumnya. Pada anak yang lebih besar atau pada orang dewasa, selain rasa nyeri terdapat pula gangguan pendengaran berupa rasa penuh di telinga atau rasa kurang dengar. Pada bayi dan anak kecil dengan gejala khas OMA ialah suhu tubuh tinggi dapat sampai 39,50C (pada stadium supurasi), anak gelisah dan sukar tidur, tibatiba anak menjerit waktu tidur, diare, kejang-kejang dan kadang anak memegang telinga yang sakit. Bila terjadi ruptur memebran timpani, maka sekret mengalir ke liang telinga, suhu tubuh tenang dan anak tertidur tenang. Tatalaksana Pengobatan OMA tergantung pada stadium penyakitnya. 1. Stadium oklusi Pada stadium oklusi pengobatan terutama bertujuan untuk membuka kembali tuba Eutachius, sehingga tekanan negatif di telinga tengah hilang,8

2.

3.

4.

5.

untuk itu diberikan obat tetes hidung. HCL efedrin 0,5% dalam larutan fisiologik (anak < 12 tahun) atau HCL efedrin 1 % dalam larutan fisiologik untuk yang berumur diatas 12 tahun dan pada orang dewasa. Sealin itu sumber infeksi harus diobati. Antibiotik diberikan apabila penyebab penyakit adalah kuman, bukan virus atau alergi. Stadium presupurasi Pada stasium presupurasi ialah antibiotika, obat tetes hidung dan analgetika. Antibiotik yang dianjurkan adalah yang dari golongan ampisilin atau penisilin. Terapi awal diberikan penisilin intramuskular agar didaptkan konsentrasi yang adekuat di dalam darah, sehingga tidak terjadi mastoiditis yang terselubung, gangguan pendengaran sebagai gejala sisa dan kekambuhan pemberian antibiotik dianjurkan minimal selama 7 hari. Bila pasien alergi terhadap penisilin, maka diberikan eritromisin. Pada anak, ampisilin diberikan dengan dosis 50-100 mg/Kg BB per hari, dibagi dalam 4 dosis, atau amoksisilin 40 mg/kg BB/hari dibagi dalam 3 dosis atau eritromisin 40mg/kg BB/hari. Stadium supurasi Pada stadium supurasi selain diberikan antibiotika, idealnya harus disertai dengan miringotomi, bila timpani masih utuh. Dengan mirigotomi gejalagejala klinis lebih cepat hilang dan ruptur dapat dihindari. Stadium perforasi Pada stadium perforasi sering terlihat sekret banyak keluar dan kadang terlihat sekret keluar berdenyut (pulsasi). Pengobatan yang diberikan adalah obat cuci telinga H2 O2 3% selama 3-5 hari serta antibiotika yang adekuat. Biasanya sekret akan hilang dan perforasi akan menutup kembali dalam waktu 7-10 hari. Stadium resolusi Pada stadium resolusi, maka membran timpani berangsur normal kembali, sekret tidak ada lagi dan perforasi timpani menutup. Bila tidak terjadi resolusi biasanya akan tampak sekret mengalir di liang telinga luar melalui perforasi di membran timpani. Keadaan ini dapat disebabkan karena berlanjutnya edema mukosa telinga tengah. Pada keadaan demikian antibiotik dapat dilanjutkan sampai 3 minggu. Bila 3 minggu setalah pengobatan sekret masih tetap banyak, kemungkinan telah terjadi mastoiditis. Bila OMA berlajut dengan keluarnya sekret dari telinga tengah lebih dari 3 minggu, maka keadaan ini disebut otitis media supuratif subakut. Bila perforasi menetap dan sekret tetap keluar lebih dari satu sentengah bulan atau dua bulan, maka keadaan ini disebut otitis media supuratif kronik (OMSK). Pada pengobatan OMA terdapat beberapa

9

faktor resiko yang dapat menyebabkan kegagalan terapi. Risiko tersebut digolongkan menjadi risiko tinggi kegagalan terapi dan risiko rendah.

10

OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIK

Otitis media supuratif kronik (OMSK) dahulu disebut otitis media perforata (OMP) atau dalam sebutan sehari-hari congek. Yang disebut otitis media supuratif kronis ialah infeksi kronis di telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan sekret yang keluar dari telinga tengah terus menerus atau hilang timbul. Sekret mungkin encer atau kental, bening atau berupa nanah. Beberapa faktor yang menyebabkan OMA menjadi OMSK adalah terapi yang terlambat diberikan, terapi yang tidak adekuat, virulensi kuman tinggi, dan daya tahan tubuh pasien rendah (gizi kurang) atau higiene buruk. ETIOLOGI Kejadian OMSK hampir selalu dimulai dengan otitis media berulang pada anak, jarang dimulai setelah dewasa. Faktor infeksi biasanya berasal dari nasofaring (adenoiditis, tonsilitis, rinitis, sinusitis), mencapai telinga tengah melalui tuba Eustachius. Fungsi tuba Eustachius yang abnormal merupakan faktor predisposisi yang dijumpai pada anak dengan cleft palate dan downs syndrom. Faktor host yang berkaitan dengan insiden OMSK yang relatif tinggi adalah defisiensi immun sistemik. Penyebab OMSK antara lain: 1. Lingkungan Hubungan penderita OMSK dan faktor sosial ekonomi belum jelas, tetapi mempunyai hubungan erat antara penderita dengan OMSK dan sosioekonomi, dimana kelompok sosioekonomi rendah memiliki insiden yang lebih tinggi. Tetapi sudah hampir dipastikan hal ini berhubungan dengan kesehatan secara umum, diet, tempat tinggal yang padat. 2. Genetik Faktor genetik masih diperdebatkan sampai saat ini, terutama apakah insiden OMSK berhubungan dengan luasnya sel mastoid yang dikaitkan sebagai faktor genetik. Sistem sel-sel udara mastoid lebih kecil pada penderita otitis media, tapi belum diketahui apakah hal ini primer atau sekunder.

11

3. Otitis media sebelumnya. Secara umum dikatakan otitis media kronis merupakan kelanjutan dari otitis media akut dan atau otitis media dengan efusi, tetapi tidak diketahui faktor apa yang menyebabkan satu telinga dan bukan yang lainnya berkembang menjadi kronis. 4. Infeksi Bakteri yang diisolasi dari mukopus atau mukosa telinga tengah hampir tidak bervariasi pada otitis media kronik yang aktif menunjukkan bahwa metode kultur yang digunakan adalah tepat. Organisme yang terutama dijumpai adalah Gram- negatif, flora tipe-usus, dan beberapa organisme lainnya. 5. Infeksi saluran nafas atas Banyak penderita mengeluh sekret telinga sesudah terjadi infeksi saluran nafas atas. Infeksi virus dapat mempengaruhi mukosa telinga tengah menyebabkan menurunnya daya tahan tubuh terhadap organisme yang secara normal berada dalam telinga tengah, sehingga memudahkan pertumbuhan bakteri. 6. Autoimun Penderita dengan penyakit autoimun akan memiliki insiden lebih besar terhadap otitis media kronis. 7. Alergi Penderita alergi mempunyai insiden otitis media kronis yang lebih tinggi dibanding yang bukan alergi. Yang menarik adalah dijumpainya sebagian penderita yang alergi terhadap antibiotik tetes telinga atau bakteria atau toksin toksinnya, namun hal ini belum terbukti kemungkinannya. 8. Gangguan fungsi tuba eustachius . Pada otitis kronis aktif, dimana tuba eustachius sering tersumbat oleh edema tetapi apakah hal ini merupakan fenomen primer atau sekunder masih belum diketahui. Pada telinga yang inaktif berbagai metode telah digunakan untuk mengevaluasi fungsi tuba eustachius dan umumnya menyatakan bahwa tuba tidak mungkin mengembalikan tekanan negatif menjadi normal

12

Patogenesis OMSK belum diketahui secara lengkap, tetapi dalam hal ini merupakan stadium kronis dari otitis media akut (OMA) dengan perforasi yang sudah terbentuk diikuti dengan keluarnya sekret yang terus menerus. Perforasi sekunder pada OMA dapat terjadi kronis tanpa kejadian infeksi pada telinga tengah missal perforasi kering. Beberapa penulis menyatakan keadaan ini sebagai keadaan inaktif dari otitis media kronis. Suatu teori tentang patogenesis dikemukan dalam buku modern yang umumnya telah diterima sebagai fakta. Hipotesis ini menyatakan bahwa terjadinya otitis media nekrotikans, terutama pada masa anak-anak, menimbulkan perforasi yang besar pada gendang telinga. Setelah penyakit akut berlalu, gendang telinga tetap berlubang, atau sembuh dengan membran yang atrofi yang kemudian dapat kolaps kedalam telinga tengah, memberi gambaran otitis atelektasis. Hipotesis ini mengabaikan beberapa kenyataan yang menimbulkan keraguan atas kebenarannya, antara lain: i. Hampir seluruh kasus otitis media akut sembuh dengan perbaikan lengkap membran timpani. Pembentukan jaringan parut jarang terjadi, biasanya ditandai oleh penebalan dan bukannya atrofi. ii. Otitis media nekrotikans sangat jarang ditemukan sejak digunakannya antibiotik. Penulis (DFA) hanya menemukan kurang dari selusin kasus dalam 25 tahun terakhir. Di pihak lain, kejadian penyakit telinga kronis tidak berkurang dalam periode tersebut. iii. Pasien dengan penyakit telinga kronis tidak mempunyai riwayat otitis akut pada permulaannya, melainkan lebih sering berlangsung tanpa gejala dan bertambah secara bertahap, sampai diperlukan pertolongan beberapa tahun kemudian setelah pasien menyadari adanya masalah.

GEJALA KLINIS 1. Telinga berair (otorrhoe) Sekret bersifat purulen (kental, putih) atau mukoid (seperti air dan encer) tergantung stadium peradangan. Sekret yang mukus dihasilkan oleh aktivitas kelenjar sekretorik telinga tengah dan mastoid. Pada OMSK tipe jinak, cairan yang keluar mukopus yang tidak berbau busuk yang sering kali sebagai reaksi13

iritasi mukosa telinga tengah oleh perforasi membran timpani dan infeksi. Keluarnya sekret biasanya hilang timbul. Meningkatnya jumlah sekret dapat disebabkan infeksi saluran nafas atas atau kontaminasi dari liang telinga luar setelah mandi atau berenang. Pada OMSK stadium inaktif tidak dijumpai adannya sekret telinga. Sekret yang sangat bau, berwarna kuning abu-abu kotor memberi kesan kolesteatoma dan produk degenerasinya. Dapat terlihat keping-keping kecil, berwarna putih, mengkilap. Pada OMSK tipe ganas unsur mukoid dan sekret telinga tengah berkurang atau hilang karena rusaknya lapisan mukosa secara luas. Sekret yang bercampur darah berhubungan dengan adanya jaringan granulasi dan polip telinga dan merupakan tanda adanya kolesteatom yang mendasarinya. Suatu sekret yang encer berair tanpa nyeri mengarah kemungkinan tuberkulosis. 2. Gangguan pendengaran Ini tergantung dari derajat kerusakan tulang-tulang pendengaran. Biasanya di jumpai tuli konduktif namun dapat pula bersifat campuran. Gangguan pendengaran mungkin ringan sekalipun proses patologi sangat hebat, karena daerah yang sakit ataupun kolesteatom, dapat menghambat bunyi dengan efektif ke fenestra ovalis. Bila tidak dijumpai kolesteatom, tuli konduktif kurang dari 20 db ini ditandai bahwa rantai tulang pendengaran masih baik. Kerusakan dan fiksasi dari rantai tulang pendengaran menghasilkan penurunan pendengaran lebih dari 30 db. Beratnya ketulian tergantung dari besar dan letak perforasi membran timpani serta keutuhan dan mobilitas sistem pengantaran suara ke telinga tengah. Pada OMSK tipe maligna biasanya didapat tuli konduktif berat karena putusnya rantai tulang pendengaran, tetapi sering kali juga kolesteatom bertindak sebagai penghantar suara sehingga ambang pendengaran yang didapat harus diinterpretasikan secara hati-hati. Penurunan fungsi kohlea biasanya terjadi perlahan-lahan dengan berulangnya infeksi karena penetrasi toksin melalui jendela bulat (foramen rotundum) atau fistel labirin tanpa terjadinya labirinitis supuratif. Bila terjadinya labirinitis supuratif akan terjadi tuli saraf berat, hantaran tulang dapat menggambarkan sisa fungsi kokhlea.

14

3. Otalgia (nyeri telinga) Nyeri tidak lazim dikeluhkan penderita OMSK, dan bila ada merupakan suatu tanda yang serius. Pada OMSK keluhan nyeri dapat karena terbendungnya drainase pus. Nyeri dapat berarti adanya ancaman komplikasi akibat hambatan pengaliran sekret, terpaparnya durameter atau dinding sinus lateralis, atau ancaman pembentukan abses otak. Nyeri telinga mungkin ada tetapi mungkin oleh adanya otitis eksterna sekunder. Nyeri merupakan tanda berkembang komplikasi OMSK seperti Petrositis, subperiosteal abses atau trombosis sinus lateralis. 4. Vertigo Vertigo pada penderita OMSK merupakan gejala yang serius lainnya. Keluhan vertigo seringkali merupakan tanda telah terjadinya fistel labirin akibat erosi dinding labirin oleh kolesteatom. Vertigo yang timbul biasanya akibat perubahan tekanan udara yang mendadak atau pada panderita yang sensitif keluhan vertigo dapat terjadi hanya karena perforasi besar membran timpani yang akan menyebabkan labirin lebih mudah terangsang oleh perbedaan suhu. Penyebaran infeksi ke dalam labirin juga akan meyebabkan keluhan vertigo. Vertigo juga bisa terjadi akibat komplikasi serebelum .

PEMERIKSAAN KLINIK Pemeriksaan Audiometri Pada pemeriksaan audiometri penderita OMSK biasanya didapati tuli konduktif. Tapi dapat pula dijumpai adanya tuli sensotineural, beratnya ketulian tergantung besar dan letak perforasi membran timpani serta keutuhan dan mobilitas. Pemeriksaan Radiologi. 1. Proyeksi Schuller Memperlihatkan luasnya pneumatisasi mastoid dari arah lateral dan atas. Foto ini berguna untuk pembedahan karena memperlihatkan posisi sinus lateral dan tegmen. 2. Proyeksi Mayer atau Owen, Diambil dari arah dan anterior telinga tengah. Akan tampak gambaran tulang-tulang pendengaran dan atik sehingga dapat diketahui apakah kerusakan tulang telah mengenai struktur-struktur. 3. Proyeksi Stenver Memperlihatkan gambaran sepanjang piramid petrosus dan yang lebih jelas memperlihatkan kanalis auditorius interna, vestibulum dan kanalis

15

semisirkularis. Proyeksi ini menempatkan antrum dalam potongan melintang sehingga dapat menunjukan adanya pembesaran. 4. Proyeksi Chause III Memberi gambaran atik secara longitudinal sehingga dapat memperlihatkan kerusakan dini dinding lateral atik. Politomografi dan atau CT scan dapat menggambarkan kerusakan tulang oleh karena kolesteatom. Bakteriologi Bakteri yang sering dijumpai pada OMSK adalah Pseudomonas aeruginosa, Stafilokokus aureus dan Proteus. Sedangkan bakteri pada OMSA Streptokokus pneumonie, H. influensa, dan Morexella kataralis. Bakteri lain yang dijumpai pada OMSK E. Coli, Difteroid, Klebsiella, dan bakteri anaerob adalah Bacteriodes sp. PENATALAKSANAAN Prinsip pengobatan OMSK adalah : 1. Membersihkan liang telinga dan kavum timpani. 2. Pemberian antibiotika : a. Topikal antibiotik ( antimikroba) b. Sistemik. Pengobatan untuk OMSK maligna adalah operasi. Pengobatan konservatif dengan medikamentosa hanyalah merupakan terapi sementara sebelum dilakukan pembedahan. Bila terdapat abses subperiosteal, maka insisi abses sebaiknya dilakukan tersendiri sebelum kemudian dilakukan mastoidektomi. Ada beberapa jenis pembedahan atau tehnik operasi yang dapat dilakukan pada OMSK dengan mastoiditis kronis, baik tipe benigna atau maligna, antara lain: 1. Mastoidektomi sederhana ( simple mastoidectomy) 2. Mastoidektomi radikal 3. Mastoidektomi radikal dengan modifikasi 4. Miringoplasti. 5. Timpanoplasti 6. Pendekatan ganda timpanoplasti ( Combined approach tympanoplasty) Tujuan operasi adalah menghentikan infeksi secara permanen, memperbaiki membran timpani yang perforasi, mencegah terjadinya komplikasi atau kerusakan pendengaran yang lebih berat, serta memperbaiki pendengaran KOMPLIKASI A. Komplikasi ditelinga tengah : 1. Perforasi persisten

16

2. Erosi tulang pendengaran 3. Paralisis nervus fasial B. Komplikasi telinga dalam 1. Fistel labirin 2. Labirinitis supuratif 3. Tuli saraf ( sensorineural) C. Komplikasi ekstradural 1. Abses ekstradural 2. Trombosis sinus lateralis 3. Petrositis D. Komplikasi ke susunan saraf pusat 1. Meningitis 2. Abses otak 3. Hindrosefalus otitis Perjalanan komplikasi infeksi telinga tengah ke intra kranial harus melewati 3 macam lintasan : 1. Dari rongga telinga tengah ke selaput otak 2. Menembus selaput otak. 3. Masuk kejaringan otak.

17

GANGGUAN PENDENGARAN DAN WICARA PADA ANAKI. PENDAHULUAN

Proses belajar mendengar bagi bayi dan anak sangat kompleks dan bervariasi karena menyangkut aspek tumbuh kembang, perkembangan embriologi, anatomi, fisiologi, neurologi dan audiologi. Pada sisi lain pemeriksaan diharapkan dapat mendeteksi gangguan pendengaran pada kelompok usia ini sedini mungkin (Soepardi dkk., 2008). Gangguan pendengaran pada bayi dan anak kadang -kadang disertai keterbelakangan mental, gangguan emosional maupun afasia perkembangan. Umumnya seorang bayi atau anak yang mengalai gangguan pendengaran lebih dahulu diketahui keluarganya sebagai pasien yang terlambat bicara (delayed speech) (Soepardi dkk., 2008). Gangguan pendengaran dibedakan menjadi tuli sebagian (hearing impaired) dan tuli total (deaf).Tuli sebagian adalah keadaan fungsi pendengaran berkurang namun masih dapat dimanfaatkan untuk berkomunikasi dengan atau tanpa bantuan alat bantu dengar. Sedangkan tuli total adalah keadaan fungsi pendengaran yang sedemikian terganggunya sehingga tidak dapat berkomunikasi sekalipun mendapat perkerasan bunyi (Soepardi dkk., 2008).

II.

PERKEMBANGAN AUDITORIK

Perkembangan auditorik pada manusia sangat erat hubungannya dengan perkembangan otak. Neuron di bagian korteks mengalami proses pematangan dalam waktu 3 tahun pertama kehidupan dan masa 12 bulan pertama kehidu pan terjadi perkembangan otak yang sangat cepat. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, upaya untuk melakukan deteksi gangguan pendengaran harus dilakukan sedini mungkin agar habilitasi pendengaran sudah dapat simulai pada saat perkembangan otak masih berlangsung (Soepardi dkk., 2008).

III. PERKEMBANGAN AUDITORIK PRENATAL Telah diteliti bahwa koklea mencapai fungsi normal seperti orang dewasa setelah usia gestasi 20 minggu. Pada masa tersebut janin dalam kandungan telah dapat memberikan respon terhadap suara yang ada di sekitarnya, namun reaksi janin

18

masih bersifat reflex seperti reflex moro, terhentinya aktivitas (cessation reflex) dan auro palpebral. Kuczwara dkk (1984) membuktikan respon terhadap suara berupa reflex auropalpebral yang konsisten pada janin normal usia 24-25 minggu (Soepardi dkk., 2008).

IV.

PERKEMBANGAN WICARA

Bersamaan dengan proses maturasi fungsi auditorik, berlangsung pula perkembangan kemampuan bicara. Kemampuan wicara dan berbahasa pada seseorang hanya dapat tercapai bila input sensorik (auditorik) dan notorik dalam keadaan normal (Soepardi dkk., 2008). Awal dari proses belajar bicara terjadi pada saat lahir, sulit dipastikan usia absolute tahapan perkembangan bicara, namun pada umumnya akan mengikuti tahapan sebagai berikut (Tabel 1) (Soepardi dkk., 2008). Perkembangan bicara erat kaitannya dengan tahap perkembangan mendengar, oleh karenanya dengan memahami tahap perkembangan bicara dapat diperkirakan adanya gangguan pendengaran. Berdasarkan kenyataan tersebut beberapa hal beriku ini perlu mendapat perhatian terhadap kemungkinan adanya gangguan pendengaran pada bayi dan anak (Tabel 2) (Soepardi dkk., 2008). Tabel 1. Tahapan perkembangan bicara (Soepardi dkk., 2008).

19

Usia Neonatus

Kemampuan Menangis (reflex vocalization) Mengeluarkan suara mendengkur seperti suara burung (cooing) Suara seperti berkumur (gurgles) Tertawa dan mengoceh tanpa arti (Babling) Mengeluarkan suara yang merupakan kombinasi huruf hidup (vowel) dan huruf mati (konsonan). Suara berupa ocehan yang bermakna (true babbling atau lalling), seperti pa..pa..da..da.. Dapat menggabung kata atau suku kaya yang tidak mengandung arti, terdengar seperti bahasa asing (jargon). Usia 10 bulan mam;u meniru suara sendiri (echolalia) Memahami arti tidak, mengucapkan salam. Mulai member perhatian terhadap nyanyian atau musik. Mampu menggabungkan kata atau kalimat pendek. Mulai mengucapkan kata pertama yang mempunyai arti (true speech) Usia 12-14 bulan mengerti instruksi sederhana, menunjukkan bagian tubuhn dan nama mainannya. Usia18 bulan mamou mengucapkan 6-10 kata.

2-3 bulan 4-6 bulan

7-11 bulan

12-18 bulan

Tabel 2. Perkiraan adanya gangguan pendengaran pada bayi dan anak (Soepardi dkk., 2008). Usia 12 Bulan 18 Bulan 24 Bulan 30 Bulan Kemampuan Bicara Belum dapat mengoceh (babbling) atau meniru bunyi. Tidak dapat menyebutkan 1 kata yang mempunyai arti. Perbendaharaan kata < 10 kata. Belum dapat merangkai 2 kata.

V.

PENYEBAB GANGGUAN PENDENGARAN PADA BAYI/ ANAK

20

Penyebab gangguan pendengaean pada bayi dan anak dibedakan berdasarkan saat trejadinya gangguan pendengaran yaitu pada masa prenatal, perinatal dan postnatal (Soepardi dkk., 2008). 1. MASA PRENATAL 1.1 Genetik herediter 1.2 Non genetik seperti gangguan / kelainan pada masa kehamilan, kelainan struktur anatomik dan kekurangan zat gizi (misalnya defisiensi yodium) (Soepardi dkk., 2008). Selama kehamiln, periode yang paling penting adalah trimester pertama sehingga setiap gangguan atau kelainan yang terjadi pada masa te rsebut dapat menyebabkan ketulian pada bayi. Infeksi bakteri maupun virus pada ibu hamil seperti TORCHS dapat berakibat buruk pada pendengaran bayi yang akan dilahirkan (Soepardi dkk., 2008). Beberapa jenis obat ototoksik dan teratogenik berpotensi mengganggu proses organogenesis dan merusak sel-sel rambut koklea seperti salisilat, kina, neomisin, dihidro streptomisin, gentamisin, barbiturat dan thalidomide (Soepardi dkk., 2008). Selain itu, malformasi struktur anatomi telinga seperti atresia liang telinga dan aplasia koklea juga akan menyebabkan ketulian (Soepardi dkk., 2008). 2. MASA PERINATAL Beberapa keadaan yang dialami bayi pada saat lahir juga merupakan factor resiko terjadinya gangguan pendengaran/ketulian seperti premature, BBLR (< 2500 gram), hiperbilirubinemia, asfiksia (lahir tidak menangis) (Soepardi dkk., 2008). Umumnya ketulian yang terjadi akibat factor prenatal dan perinatal adalah tuli sensorineural bilateral dengan derajat ketulian berat atau sangat berat (Soepardi dkk., 2008). 3. MASA POSTNATAL Adanya infeksi bakteri atau virus seperti rubella, campak, parotis, infeksi otak (meningitis, ensefalitis), perdarahan pada telingan tengah, trauma temporal juga dapat meneybabkan tuli saraf atau tuli konduktif (Soepardi dkk., 2008).

21

VI.

PEMERIKSAAN PENDENGARAN PADA BAYI DAN ANAK

Pada prinsipnya gangguan pendengaran pada bayi harus dketahui sedini mungkin. Walaupun derajat ketulian yang dialami seorang bayi/anak hanya bersifat ringan, namun dalam perkembangan selanjutnya akan mempengaruhi kemampuan berbicara dan berbahasa. Dalam keadaan normal seorang bayi telah memiliki kesiapan berkomunikasi yang efektif pada usia 18 bulan, berarti saat tersebut merupakan periode kritis untuk mengetahui adanya gangguan pendengaran (Soepardi dkk., 2008). Dibandingkan dengan orang dewasa pemeriksaan pendengaran pada bayi dan anak jauh lebih sulit dan memerlukan ketelitiian dan kesabaran. Selain itu pemeriksa harus memiliki pengetahuan tentang hubungan antara usia bayi/anak dengan taraf perkembangan motorik dan auditorik, berdasarkan pertimbangan tersebut adakalanya perlu dilakukan pemeriksaan ulangan atau pemeriksaan tambahan untuk melakukan konfirmasi hasil pemeriksaan sebelumnya (Soepardi dkk., 2008). Beberapa pemeriksaan pendengaran yang dapat dilakukan pada bayi d anak an (Soepardi dkk., 2008): 1. 2. 3. 4. 5. Behavioral Observation Audiometry (BOA) Timpanometri Audiometri Nada murni Oto Acoustic Emission (OAE) Brainstem Evoked Response Audiometry (BERA)

1. Behavioral Observation Audiometry (BOA) Tes ini berdasarkan respon aktif pasien terhadap stimulus bunyi dan merupakan respon yang disadari (voluntary respon). Metode ini dapat mengetahui seluruh sistim auditorik termasuk pusat kognitif yang lebih tinggi. BOA penting untuk mengathui respon subjektif sistim auditorik pada bayi dan anak dan jug abermanfaat untuk penilaian habilitasi pendengaran yaitu pada pengukuran alat bantu dengar (hearing aid fitting). Pemeriksaan ini dapat digunakan pada setiap tahap usia perkembangan bayi, namun pilihan jenis tes harus disesuaikan dengan usia bayi. Pemeriksaan dilakukan pada ruangan yang cukup tenang (bising lingkungan tidak lebih dari 60 dB), idealnya pada ruang kedap suara. Sebagai sumber bunyi sumber sederhana dapat digunakan tepuk tangan, atmbur, bola plastic berisi pasir, remasan kertas minyak, bel, terompet karet, mainan yang mempunyai frekuensi tinggi.22

Sumber bunyi tersebut harus dikalibrasi frekuensi dan intensitasnya. Bila tersedia bisa dipakai alat buatan pabrik seperti baby reactometer, Neometer, Viena Tone. Dinilai kemampuan anak dalam memberikan respon terhadap sumber bunyi tersebut. Pemeriksaan BOA dibedakan atas Behavioral reflex Audiometry dan Behavioral response Audiometry. a. Behavioral Reflex Audiometry Dilakukan pengamatan respon tingkah laku yang bersifat reflex sebagai rekasi terhadap stimulus bunyi. Respon tingkah laku yang dapat diamati antara lain : menngedipkan mata (auropalpebral reflex), melebarkan mata, mengerutkan wajah, berhenti menyusu, denyut jantung meningkat, reflex moro (paling konsisten). Refleks auropalpebral dan moro rentan terhadap efek habituasi, maksudnya bila stimulus diberikan berulang-ulang bayi menjadi bosan sehingga tidak memberikan respon walaupun dapat mendengar. Stimulus intensitas zekitar 65-80 dBHL diberikan melalui loudspeaker, jadi merupakan metode sound field atau dikenal juga sebagai Free field test. Stimulus juga juga dapat diberikan melalui noisemaker yang dapat dipilih intensitasnya. Pemeriksaan ini tidak dapat menentukan ambang dengar. Bila kita mengharapkan terjadinya reflex Moro dengan stimulus bunyi yang keras sebaiknya dilakukan pada akhir prosedur karena bayi akan terkejut, takut dan menangis, sehingga menyulitkan observasi selanjutnya. b. Behavioral Response Audiometry Pada bayi normal sekitar usia 5-6 bulan, stimulus akustik akan menghasilkan pola respon khas berupa menoleh atau menggerakkan kepala ke arah sumber bunyi di luar lapangan pandang. Awalnya gerakan kepala hanya pada bidang horizontal dan dengan bertambahnya usia bayi dapat melokalisir sumber bunyi dari arah bawah. Selanjutnya bayi mampu mencari sumber bunyi dari bagian atas. Pada bayi normal kemampuan melokalisir bunyi dari segala arah akan tercapai pada usia 13-16 bulan.

23

Teknik Behavioral Response Audiometry yang seringkali digunakan adalah Tes Distraksi dan Visual Reinforcement Audiometry (VRA). y Tes Distraksi Tes ini dilakukan pada ruang kedap suara, menggunakan stimulus nada murni. Bayi dipangku oleh ibu atau pengasuh. Diperlukan 2 orang pemeriksa, pemeriksa pertama bertugas untuk menjaga konsentrasi bayi, misalnya dengan memperlihatkan mainan yang tidak terlalu menarik perhatian; selain memperhatikan respon bayi. Pemeriksa kedua berperan memebrikan stimulus bunyi, misalnya dengan audiometer yang terhubunf dengan pengeras suara. Respon terhadap stimulus bunyi adalah menggerakkan bola mata atau menoleh ke arah sumber bunyi. Bila tidak ada respon terhadap stimulus bunyi, pemeriksaan diulangi sekali lagi. Kalau tetap tidak berhasil, pemeriksaan telinga dilakukan lagi 1 minggu kemudia. Seandainya tetap tidak ada respon, harus dilakukan pemeriksaan audiologik lanjutan yang lebih lengkap.y

Visual Reinforcement Audiometry Mulai dapat dilakukan pada bayi usia 4-7 bulan dimana kontol neuromotor berupa kemampuan mencari sumber bunyi sudah berkembang. Pada masa ini respon unconditioned beralih menjadi respon conditioned. Pemeriksaan pendengaran berdasarkan respon conditioned yang diperkuat dengan stimulus visual dikenal sebagai VRA. Stimulus bunyi diberikan bersamaan dengan stimulus visual, bayi akan memberikan respon orientasi atau melokalisir bunyi dengan cara menoleh ke arah sumber bunyi. Dengan intensitas yang sama diberikan stimulus bunyi saja (tanpa stimulus visual), bila bayi member respon diberi hadiah berupa stimulus visual. Pada tes VRA juga diperlukan 2 orang pemeriksa. Pemeriksaan VRA dapat digunakan untuk menentukan ambang pendengaran, namun karena stimulus diberikan melalui pengeras suara maka respon yang terjadi merupakan tajam pendengaran pada telinga yang lebih baik.

2. Timpanometri Pemeriksaan ini diperlukan untuk menilai kondisi telinga tengah. Gambaran Timpa nometri yang abnormal (adanya cairan atau tekanan

24

negatif di telinga tengah) merupakan petunjuk adanya gangguan pendengaran konduktif. Melalui probe tone (sumbat liang telinga) yang dipasang pada liang telinga dapat diketahui besarnya tekanan di liang telinga berdasarkan energi suara yang dipantulkan kembali kea rah luar (oleh gendang telinga). Pada orang dewasa atau bayi berusia diatas 7 bulan digunakan probe tone frekuensi 226 Hz. Khusus untuk bayi dibawah usia 6 bulan tidak digunakan probe tone 226 Hz karena akan terjadi resonansi pada liang telinga sehingga harus digunakan probe tone frekuensi tinggi (668, 678, atau 1000 Hz).

Terdapat 5 jenis timpanogram, yaitu : 1. Tipe A (normal) 2. Tipe AD (diskontinuitas tulang-tulang pendengaran) 3. Tipe AS (kekakuan rangkaian tulang pendengaran) 4. Tipe B (cairan di telinga tengah) 5. Tipe C (gangguan fungsi tuba eustachius)

25

Gambar 1. Gambaran 5 jenis Timpanogram (Michele and Ruth 2008).

Pada bayi usia kurang dari 6 bulan ketentuan timpanogram tidak mengikuti ketentuan di atas. Timpanometri merupakan pemeriksaan pendahuluan sebelum tes OAE dan bila terdapat gangguan pada telinga tengah maka pemeriksaan OAE harus ditunda sampai telinga tengah normal. Refleks akustik pada bayi juga berbeda dengan orang dewasa. Dengan menggunakan probe tone frekuensi tinggi, refleks akustik bayi usia 4 bulan atau lebih sudah mirip dengan dewasa. 3. Audiometri Nada murni Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan audiometer dan hasil pencatatannya disebut sebagai audiogram. Dapat dilakukan pada anak berusia lebih dari 4 tahun yang kooperatif. Sebagai sumber suara digunakan nada murni (pure tone) yaitu bunyi yang hanya terdiri dari 1 frekuensi. Pemeriksaan dilakukan pada ruang kedap suara, dengan menilai hantaran suara melalui udara (air conduction) melalui headphone pada frekuensi 125, 250, 500, 1000, 2000, 4000 dan 8000 Hz. Hantaran suara melalui tulang (bone conduction) diperiksa dengan memasang bone vibrator pada prosesus mastoid yang dilakukan pada frekuensi 500, 1000, 2000, 4000 Hz. Intensitas yang biasa digunakan antara 10-100 dB (masing-masing dengan kelipatan 10), secara bergantian pada kedua

26

telinga. Suara dengan intensitas terendah yang dapat didengar dicatat pada audiogram untuk memperoleh informasi tentang jenis dan derajat ketulian. 4. Oto Acoustic Emission (OAE) Suara yang berasal dari dunia luar diproses oleh koklea menjadi stimulus listrik, selanjutnya dikirim ke batang otak melalui saraf pendengaran. Sebagian energy bunyi tidak dikirim ke saraf pendengaran melainkan kembali menuju liang telinga. Peristiwa ini mirip dengan peristiwa echo. Produk sampingan koklea ini selanjutnya disebut sebagai emisis otoakustik (otoacoustic emission). Koklea tidak hanya menrima dan memproses bunyi tetapi juga dapat memproduksi energy bunyi dengan intensitas rendah yang berasak dari sel rambut luar koklea (outer hair cells) Terdapat 2 jenis OAE yaitu Spontaneous OAE (SPOAE) dan Evoked OAE. SPOAE adalah mekanisme aktif koklea untuk memprouksi OAE tanpa harus diberikan stimulus, namun tidak semua orang dengan pendengaran normal mempunyai SPOAE. EOAE hanya akan timbul bila diberikan stimulus akustik yang dibedakan menjadi Transient Evoked OAE (TEOAE) dan Distortion Product OAE (DPOAE). Pada TEOAE stimulus akustik berupa click sedangkan DPOAE menggunakan stimuklus berupa 2 buah nada murni yang berbeda frekuensi dan intensitasnya. Pemeriksaan OAE merupakan pemeriksaan elektrofisiologik untuk menilai fungsi koklea yang objektif, otomatis (menggunakan criteria pass/lulus dan refer/tidak lulus), tidak invasive, mudah, tidak membutuhkan waktu lama dan praktis sehingga sangat efisien untuk program skrining pendengaran bayi baru lahir (Universal Newborn Screening) Pemeriksaan tidak harus di ruang kedap suara, cukup di ruangan yang tenang. Pada mesin OAE generasi terakhir, nilai OAE secara otomatis akan dikoreksi dengan noise yang terjadi selama pemeriksaan. Artefak yang terjadi akan diseleksi saat itu juga. Hal tersebut menyebabkan nilai sensitifitas dan spesifisitas OAE tinggi. Untuk memperoleh hasil yang optimal diperlukan pemilihan probe sesuai ukuran liang telinga. Sedatif tidak diperlukan bila bayi dan anak kooperatif. Pemeriksaan OAE juga dimanfaatkan untuk memonitor efek negative dari obat ototoksik, diagnosis neuropati auditorik, membantu proses pemilihan alat bantu dengar, skrining pemaparan bising (NIHL) dan sebagai

27

pemeriksaan penunjang pada kasus-kasus yang berkaitan dengan gangguan koklea.

5. Brainstem Evoked Response Audiometry (BERA) Istilah lain dari BERA adalah Auditory Brainstem response (ABR). BERA merupakan pemeriksaan elektrofisiologik untuk menilai integritas sistim auditorik, bersifat obyektif dan tidak invasif. Dapat memeriksa bayi, anak, dewasa dan penderita koma BERA merupakan cara pengukuran evoked potential (aktifitas listrik yang dihasilkan n.VIII, pusat-pusat neural dan traktus di dalam batang otak) sebagai respon terhadap stimulus auditorik. Stimulus bunyi yang digunakan berupa bunyi click atau toneburst yang diberikan melalui headphone, insert probe, bone vibrator. Untuk memperoleh stimulus yang paling efesien sebaiknya digunakan insert probe. Stimulus click merupakan impuls listrik dengan onset cepat dan durasi yang sangat singkat (0,1 ms), menghasilkan respon pada average frequency antara 2000-4000 Hz. Tone burst juga merupakan stimulus dengan durasi singkat namun memiliki frekuensi spesifik. Salah satu factor penting dalam menganalisa gelombang BERA adalah menentukan masa laten, yaitu waktu (milidetik) yang diperlukan sejak stimulus diberikan sampai terjadi EP untuk masing-masing gelombang (gel I-gel V). dikenal 3 jenis masa laten : masa laten absolute dan masa laten antargelombang serta masa laten antar telinga. Masa laten absolut gelombang I adalah waktu yang dibutuhkan sejak pemberian stimulus sampai timbulnya gelombang I. Masa laten antargelombang adalah selisih waktu antar gelombang, misalnya masa laten antar gelombang I-III, III-V, I-V. masa laten antar telinga yaitu membandingkan masa laten absolute gelombang yang sama pada kedua telinga. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah pemanjangan masa laten fisiologik yang terjadi bila intensitas stimulus diperkecil. Terdapatnya pemanjangan masa laten pada beberapa frekuensi menunjukkan adanya gangguan konduksi. Perlu dipertimbangkan faktor maturitas jaras saraf auditorik pada bayi dan anak yang usianya kurang dari 12-18 bulan, karena terdapat perbedaan masa laten, amplitude dan morfologi gelombang dibandingkan dengan anak yang lebih besar maupun orang dewasa.

28

Gambar 2. Gambaran normal ABR pada dewasa muda (Michele and Ruth 2008).

VII.

DETEKSI DINI GANGGUAN PENDENGARAN PADA BAYI

Identifikasi dan intervensi awal dapat mencegah gangguan psikosial, pendidikan dan linguistik yang berat. Intervensi pada umur 6 bulan akan dapat membuat anak dengan gangguan pendengaran untuk berkembang normal dalam aspek bahasa dan bicara sepanjang ia bersama dengan anggotanya (Michele and Ruth 2008).29

Sebuah studi yang dilakukan pada tahun 1998 di Universitas Kolorado, menemukan bahwa periode kritis untuk identifikasi dan intervensi, yaitu usia kurang dari 6 bulan. Pada tahun 1998, Yoshinaga-Itano dan Sedey et al, membandingkan kemampuan reseptif dan ekspresif bahasa pada anak -anak dengan berbagai derajat gangguan pendengaran dengan anak-anak yang tidak memiliki gangguan pendengaran. Beberapa temuan yang ada antara lain (Michele and Ruth 2008) :y

y

y

Anak-anak dengan gangguan pendengaran yang dididentifikasi pada umur 6 bulan mempunyai kecerdasan reseptif, ekspresif dan total bahasa disbanding dengan anak-anak yang diidentifikasi pada umur 7-12, 13-18, 19-24 dan 25-34 bulan. Perbedaan statistik ini tidak tergantung pada variabel demografi seperti : umur, jenis kelamin, etnik, jenis komunikasi, derajat gangguan dengar, status sosioekonomi dan ada atau tidaknya disabilitas lain. Tidak ada perbedaan signifikan dalam kemampuan bahasa yang ditemukan di antara kelompok anak-anak yang diidentifikasi ketika usia mereka lebih dari 6 bulan.

Untuk dapat melakukan deteksi dini pada seluruh bayi dan anak relative sulit, karena akan membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang besar. Program skrinning sebaiknya diprioritaskan pada bayi dan anak yang mempunyai resiko terhadap gangguan pendnegaran. Untuk maksud tersebut Joint Committee on Infant Hearing (2000) menetapkan pedoman registrasi resiko tinggi terhadap ketulian sebagai berikut (Michele and Ruth 2008) :

y

Untuk bayi 0-28 hari 1. Kondisi atau penyakit yang memerlukan perawatan NICU selama 48 jam atau lebih. 2. Keadaan atau stigmata yang berhubungan dengan sindroma tertentu yang diketahui mempunyai hubungan dengan tuli sensorineural atau konduktif. 3. Riwayat keluarga dengan gangguan pendengaran sensorineural yang menetap sejak masa anak-anak. 4. Anomali kraniofasial termasuk kelainan morfologi liang telinga. 5. Infeksi intrauterine seperti toksoplasma, rubella, virus cytomegalo, herpes, sifilis

30

y

Untuk bayi 29 hari-2 tahun 1. Kecurigaan orang tua atau pengasuh tentang gangguan pendengaran, keterlambatan bicara, berbahasa dan atau keterlambatan perkembangan. 2. Riwayat keluarga dengan gangguan pendnegaran yang menetap sejak masa anak-anak. 3. Keadaan atau stigmata yang behubungan dengan sindroma tertentu yang diketahui mempunyai hubungan dengan tuli sensorineural, konduktif atau gangguan fungsi tuba eustachius. 4. Infeksi post-natal yang menyebabkan gangguan pendengaran sensorineural termasuk meningitis bakterialis. 5. Infeksi intrauterine sperti toksoplasma, rubella, virus cytomegallo, herpes, sifilis. 6. Adanya faktor resiko tertentu pada masa neonates, terutama hiperbilirubinemia yang memerlukam transfuse tukar, hipertensi pulmonal yang membutuhkan ventilator serta kondisi lainnya yang memerlukan extracorporeal membrane oxygenation (ECMO). 7. Sindroma tertentu yang berhubungan dengan gangguan pendengaran yag progresif seperti Usher syndrome, neurofibromatosis, osteopetrosis. 8. Adanya kelainan neurodegenerative seperti Hunter Syndrome dan kelainan neuropati sensomotorik misalnya Friedrichs ataxia, CharrotMarie Tooth syndrome 9. Trauma kapitis. 10. Otitis media yang berulang atau menetap diserta efusi telinga tengah minimal 3 bulan.

Bayi yang mempunyai salah satu faktor resiko tersebut mempunyai kemungkinan mengalami ketulian 10,2 kali lebih besar dibandingkan dengan bayi yang tidak memiliki faktor resiko. Bila terdapat tiga buah faktor resiko, kecenderungan menderita ketulian diperkirakan 63 kali lebih besar dibandingkan bayi yang tidak mempunyai faktor resiko itu. Pada bayi yang baru lahir yang di rawat di ruangan intensif (ICU) resiko untuk mengalami ketulian 10 kali lipat dibandingkan bayi normal (Michele and Ruth 2008). Namun indicator resiko gangguan pendengaran tersebut hanya dapat mendeteksi sekitar 50 % gangguan pendengaran karena banyaknya bayi yang mengalami gangguan pendengaran tanpa memiliki faktor resiko dimaksud. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka saat ini upaya melakukan deteksi dini gangguan pendengaran pada bayi ditetapkan melalui program Newborn Hearing Creening (NHS) (Michele and Ruth 2008).

31

Saat ini baku emas pemeriksaan skrining pendengaran pada bayi adalah pemeriksaan Otoacoustic Emission (OAE) dan Automated ABR (AABR) (Soepardi dkk., 2008). Dikenal 2 macam program NHS, yaitu (Soepardi dkk., 2008) : 1. Universal Newborn Hearing Creening (UNHS) Bertujuan melakukan deteksi dini gangguan pendengaran pada semua bayi baru lahir. Upaya skirining pendengaran ini sudah dimulai pada usia 2 hari atau sebelum meninggalkan rumah sakit. Untuk bayi yang lahir pada fasilitas kesehatan yang tidak memiliki program UNHS paling lambat pada usia 1 bulan sudah melakukan skrining pendengaran. 2. Targeted Newborn Hearing Screening Di Negara berkembang program UNHS masih sulit dilakukan karena memerlukan biaya dan SDM yang cukup besar dan harus didukung oleh suatu peraturan dari pemerintah setempat. Atas dasar pertimbangan tersebut kita dapat melakukan program skrining pendengaran yang lebuh selektif dan terbatas pada bayi yang memiliki gangguan pendengaran.

32

Presbikusis ( Tuli Saraf Pada Geriatri ) Definisi Presbikusis adalah tuli saraf sensori neural frekuensi tinggi, umumnya terjadi pada usia 65 tahun, simetris kiri dan kanan. Presbikusis dapat mulai pada frekuensi 100 Hz atau lebih.

Etiologi Umumnya diketahui bahwa presbikusis merupakan akibat dari proses degenerasi. Diduga kejadian presbikusis mempunyai hubungan dengan faktorfaktor herediter, pola makanan, metabolisme, arteriosklerosis, infeksi, bising, gaya hidup atau bersiat multifaktor. Menurunnya fungsi pendengaran secara berangsur merupakan efek kumulatif dari pengaruh faktor-faktor tersebut di atas. Biasanya terjadi pada usia lebih dari 60 tahun. Progesifitas penurunan pendengaran dipengaruhi oleh usia dan jenis kelamin, pada laki-laki lebih cepat dibandingkan dengan perempuan.

Patologi Proses degenerasi menyebabkan perubahan struktur koklea dan N.VIII. Pada koklea perubahan yang mencolok adalah atrofi dan degenerasi sel-sel rambut penunjang pada organ korti . Proses atrofi disertai dengan perubahan vaskular juga terjadi pada stria vaskularis. Selain itu tedapat pula perubahan berupa berkurangnya jumlah dan ukuran sel-sel ganglion dan saraf. Hal yang sama terjadi juga pada myelin akson saraf.

Klasifikasi Berdasarkan perubahan patologik yang terjadi presbikusis digolongkan menjadi 4 jenis yaitu , (1) sensorik, (2) neural, (3) metabolik (strial presbycusis), (4) mekanik (cochlear presbycusis).

33

Jenis Sensorik

patologi lesi terbatas pada koklea. Atrofi organ korti, Jumlah sel-sel rambut dan sel-sel penunjang berkurang.

Neural

sel-sel neuron pada koklea dan jaras auditori berkurang

Metabolic

atrofi stria vaskularis . potensial mikofonik menurun, fungsi sel dan keseimbangan biokimia/biolektrik koklea berkurang.

Mekanik

terjadi perubahan gerakan mekanik duktus Koklearis , atrofi ligamentum spiralis, Membrane basilaris lebih kaku.

Gejala klinik Keluhan utama presbikusis berupa berkurangnya pendengaran secara perlahan-lahan dan progresif, simetris pada kedua telinga. Kapan berkurangnya pendengaran tidak diketahui pasti. Keluhan lainnya adalah telinga berdenging (tinitus nada tinggi) pasien dapat mendengar suara percakapan, tetapi suit untuk memahaminya, terutama bila diucapkan dengan cepa di tempat dengan latar belakang yang riuh. Bila intensitas suara ditinggikan akan timbul rasanyeri di teinga, hal ini disebabkan oleh faktor kelelahan saraf ( recruitment).

Diagnosis Dengan pemeriksaan otoskopi : tampak membrane timpani suram, mobilitasnya berkurang. Pada tes penala didapatkan tuli sensorineural. Pemeriksaan audiometri nada murni menunjukkan suatu tuli saraf nada tinggi, bilateral dan simetris.

34

Pada tahap awal terdapat penurunan yang tajam setelah frekuensi 2000 Hz. Gambaran ini khas pada presbikusis jenis sensorik dan neural. Kedua jenis presbikusis ini paling sering ditemukan. Garis ambang dengar pada audiogram jenis metabolic dan mekanik lebih mendatar kemudian pada tahap berikutnya berangsur-angsur terjadi penurunan. Pada semua jenis presbikusis tahap lanjut juga terjadi penurunan pada frekuensi yang leih rendah. Pemeriksaan audiometri tutur menunjukkan adanya gangguan diskriminasi wicara. Keadaan ini jelas terlihat pada presbikusis jenis neural dan koklear.

Penatalaksanaan Rehabilitasi sebagai upaya mengembalikan fungsi pendengaran dilakukan dengan pemasangan alat bantu dengar (hearing aid). Pemasangan alat bantu dengar hasilnya akan lebih memuaskan bila dikombinasikan dngan latihan membaca ujaran (speech reading) dan latihan mendengar (audiotory training); prosedur latihan tersebut dilakukan bersama ahli terap wicara (speech teraphist).

35

GANGGUAN PENDENGARAN AKIBAT BISING

Apabila telinga normal terpapar bising pada intensitas yang merusak selama periode waktu yang lama akan terjadi penurunan pendengaran yang temporer, yang akan mengghilang setelah beristirahat beberapa menit atau beberapa jam. Kurang pendengaran temporer ini merupakan fenomena yang fisiologis dan disebut sebagai perubahan ambang temporer (temporary threshold shift = TTS). Diduga terjadi di sel rambut organ Corti dan mungkin berhubungan dengan perubahan metabolik sel rambut, perubahan kimia di dalam cairan kimia dalam atau perubahan vaskuler di telinga dalam. Bila pemaparannya lebih lama dan atau intensitasnya lebih besar, akan tercapai suatu tinngkatan ketulian yang tidak dapat kembali lagi ke tingkat pendengaran semula. Keadaan tersebut disebut ketulian akibat bising (noised induced hearing loss) atau perubahan ambang permanen (permanent threshold shift/PTS) Penelitian oleh Glorig dan stafnya menghasilkan fakta-fakta penting seperti berikut ini sehubungan dengan perubahan ambang temporer dan permanen. 1. TTS yang diakibatkan pemaparan bising 100 dB atau lebih selama satu hari adalah sebesar 0 dB sampai 40 dB. 2. Pemaparan bising industri yang khas menyebabkan perubahan temporer yang terbesar pada 4000 dan 6000 Cps (siklus per detik). 3. Kebanyakan dari perubahan temporer terjadi selama 2 jam pemaparan pertama. 4. Jumlah perubahan temporer dan lokasi frekuensinya berbeda dengan jumlah dan frekuensi perubahan permanen yaitu, makin banyak perubahan permanen pada suatu frekuensi, makin sedikit perubahan temporer pada frekuensi tersebut. 5. Penyembuhan dari TTS kebanyakan terjadi dalam waktu 1 atau 2 jam setelah pemaparan bising berhenti. 6. Tampaknya ada hubungan yang jelas antara TTS dengan PTS: a. Suatu bising yang tidak menyebabkan ketulian temporer tidak akan menyebabkan ketulian permanen.

36

b. Konfigurasi audiogram yang terlihat pada TTS yang singkat akan serupa dengan yang ditemukan pada PTS. Penelitian eksperimental pada TTS menunjukan bahwa pemaparan yang terus menerus dan pemaparan yang intermiten minimbulkan efek yang berbeda pada telinga. Bila suatu bising dibunyikan selam satu menit dan dimatikan satu menit, misalnya, maka biasanya gangguan temporer (TTS) akan setengah dari apabila bising itu terus-menerus. Bila efek yang sama terjadi untuk ketulian permanen dan bila pekerja mendapat masa yang relatif sunyi beberapa kali selama sepanjang hari, maka perubahan jangka panjang yang terjadi akan lebih sedikit daripada bila pemaparannya terus menerus. Patofisiologi Mekanisme yang mendasari penurunan kemampuan pendengaran akibat bising berupa adanya stres mekanis dan metabolik pada organ sensorik auditorik bersamaan dengan kerusakan sel sensorik atau bahkan kerusakan total organ Corti di dalam koklea. 1. Proses mekanis Berbagai proses mekanis yang dapat menyebabkan kerusakan sel rambut akibat pajanan terhadap bising meliputi: 1) Aliran cairan yang kuat pada sekat koklea dapat menyebabkan robeknya membran Reissner sehingga cairan dalam endolimfe dan perilimfe bercampur yang mengakibatkan kerusakan sel rambut. 2) Gerakan membran basilar yang kuat dapat menyebabkan gangguan organ Corti dengan percampuran endolimfe dan kortilinfe yang mengakibatkan kerusakan sel rambut. 3) Aliran cairan yang kuat pada sekat koklea dapat langsung merusak sel rambut dengan melepaskan organ Corti atau merobek membran basilar. Proses diatas biasanya dapat dilihat pada pajanan terhadap bising dengan intensitas tinggi dan gangguan pendengaran akibat bising terjadi dengan cepat. 2. Proses metabolik

37

Proses metabolik yang dapat merusak sel rambut akibat pajanan bising meliputi: 1) Pembentukan vesikel dan vakuol di dalam retikulum endoplasma sel rambut serta pembengkakan mitokondria dapat berlanjut menjadi robeknya membran sel dan hilangnya sel rambut. 2) Kehilangan sel rambut mungkin disebabkan kelelahan metabolik akibat gangguan sistem enzim yang esensial untuk produksi energi, biosintesis protein dan pengangkutan ion. 3) Cidera stria vaskularis menyebabkan gangguan kadar Na, K, dan ATP. Hal ini menyebabkan hambatan proses transpor aktif dan pemakaian energi oleh sel sensorik. Kerusakan sel sensorik menimbulkan lesi kecil pada membran retikular bersamaan dengan percampuran cairan endolimfe dan kortilimfe serta perluasan kerusakan sel sensorik lain. 4) Sel rambut luar lebih mudah terangsang suara dan membutuhkan energi yang lebih besar sehingga menjadi lebih rentan terhadap cidera akibat iskemia. 5) Mungkin terdapat interaksi sinergis antara bising dengan pengaruh lain yang merusak telinga.

Pemeriksaan pada gangguan pendengaran Diagnosis ditegakan berdasarkan anamnesis, riwayat pekerjaan,

pemeriksaan fisik dan otoskopi serta pemeriksaan penunjang. Anamnesis pernah berkerja atau sedang bekerja di lingkungan bising dalam jangka waktu yang cukup lama biasanya lima tahun atau lebih. Riwayat pekerjaan harus meliputi informasi pekerjaan sekarang dan semua pekerjaan sebelumnya (khususnya yang berhubungan dengan pajanan terhadap bising, termasuk pekerjaan paruh waktu). Informasi dan pajanan lingkungan lain juga harus diperoleh. Riwayat medis harus menentukan apakah pegawai pernah menderita sakit telinga sebelumnya. Dan apakah dia pernah minum obat ototoksik, misalnya streptomycin. Pemeriksaan fisik telinga harus menyingkirkan adanya serumen, infeksi dan perforasi membran timpani. Pada pemeriksaan audiologi, penala didapatkan hasil Rinne positif,

38

Webber lateralisasi ke telinga yang pendengarannya lebih baik dan Schwabach memendek. Uji Rinne membandingkan hantaran tulang dan hantaran udara

pendengaran pasien. Tangkai penala yang bergetar ditempelkan pada mastoid pasien (hantaran tulang) hingga bunyi tidak lagi terdengar; penala kemudian dipindahkan ke dekat telinga sisi yang sama (hantaran udara). Telinga normal masih akan mendengar penala melalui hantaran udara, temuan ini disebut Rinne positif (HU>HT). Hasil ini dapat dijelaskan sebagai hambatan yang tak sepadan. Pasien dengan gangguan pendengaran sensorineural juga akan memberi Rinne positif seandainya sungguh-sungguh dapat mendengar uji penala, sebab gangguan sensorineural seharusnya mempengaruhi baik hantaran udara maupun hantaran tulang (HU>HT). Istilah Rinne negatif dipakai bila pasien tidak dapat mendengar melalui hantaran udara setelah penala tidak lagi terdengar melalui hantaran tulang (HU>HT). Uji Schwabach membandingkan hantaran tulang pasien dengan pemeriksa. Pasien diminta melaporkan saat penala bergetar yang ditempelkan pada mastoidnya tidak lagi didengar. Pada saat itu, pemeriksa memindahkan penala ke mastoidnya sendiri dan menghitung (dalam detik) ia masih dapat menangkap bunyi. Uji Schwabach dikatakan normal bila hantaran tulang pasien dan pemeriksa hampir sama. Uji Schwabach memanjang atau meningkat bila hantaran tulang pasien lebih lama bila dibandingkan dengan pemeriksa, misalnya pada kasus pendengaran konduktif. Jika telinga pemeriksa masih dapat mendengar penala setelah pasien tidak mendengarnya, maka dikatakan Schwabach memendek. Uji weber adalah seperti mengingat kembali pengalaman yang tidak asing, yaitu mendengarkan suara sendiri lebih keras bila satu telinga ditutup. Gagang penala yang bergetar ditempelkan ditengah dahi dan pasien diminta melaporkan apakah suara terdengar di telinga kiri, kanan atau keduanya. Umumnya pasien mendengar bunyi penala pada telinga dengan konduksi tulang yang lebih baik atau dengan komponen konduktif yang lebih besar. Jika

39

nada terdengar di telinga yang dilaporkan lebih buruk, maka tuli konduktif dicurigai pada telinga tersebut. Jika terdengar pada telinga yang lebih baik, maka dicurigai sensorineural pada telinga yang terganggu. Fakta bahwa pasien mengalami lateralisasi pendengaran pada telinga dengan gangguan konduksi dan bukannya pada telinga yang lebih baik mungkin terlihat aneh bagi pasien dan kadang-kadang juga pemeriksa. Uji weber sangat bermanfaat pada kasus-kasus gangguan unilateral, namun dapat meragukan bila terdapat gangguan konduktif maupun sensorineural (campuran), atau bila hanya menggunakan penala frekuensi tunggal. Klinis harus melakukan uji Weber bersama uji lainnya dan tidak boleh diintrepretasi secara tersendiri. PENATALAKSANAAN Sesuai dengan penyebab ketulian, penderita sebaiknya dipindahkan kerjanya dari lingkungan bising. Bila tidak mungkin dipindahkan dapat dipergunakan alat pelindung telinga yaitu berupa sumbat telinga ( ear plugs ), tutup telinga ( ear muffs ) dan pelindung kepala ( helmet ). Oleh karena tuli akibat bising adalah tuli saraf koklea yang bersifat menetap ( irreversible ), bila gangguan pendengaran sudah mengakibatkan kesulitan berkomunikasi dengan volume percakapan biasa, dapat dicoba pemasangan alat bantu dengar ( ABD ). Apabila pendengarannya telah sedemikian buruk, sehingga dengan memakai ABD pun tidak dapat berkomunikasi dengan adekuat, perlu dilakukan psikoterapi supaya pasien dapat menerima keadaannya. Latihan pendengaran ( auditory training ) juga dapat dilakukan agar pasien dapat menggunakan sisa pendengaran dengan ABD secara efisien dibantu dengan membaca ucapan bibir ( lip reading ), mimik dan gerakan anggota badan serta bahasa isyarat untuk dapat berkomunikasi.

40

Penyakit MeniereDefinisi Penyakit Meniere Penyakit Meniere adalah kekacauan dari aliran cairan -cairan dari telinga dalam. Meskipun penyebab dari penyakit Meniere tidak diketahui, ia mungkin berakibat dari kelainan dalam cara cairan telinga dalam. Pada kebanyakan kasuskasus hanya satu telinga yang terlibat, namun kedua telinga mungkin dipengaruhi pada kira-kira 10% sampai 20% dari pasien-pasien. Penyakit Meniere secara khas mulai antara umur 20 dan 50 tahun (meskipun telah dilaporkan pada hampir semua kelompok umur). Pria-pria dan wanita-wanita sama-sama dipengaruhi. Gejala-gejala mungkin hanya gangguan minor, atau dapat menjadi melumpuhkan, terutama jika serangan-serangan dari vertigo berat/parah, seringkali, dan terjadi tanpa peringatan. Penyakit Meniere juga disebut idiopathic endolymphatic hydrops. Patofisiologi Gejala klinis penyait Meniere disebabkan oleh adanya hidrops cairan endolimfa pada koklea dan vestibulum. Hidrops yang terjadi mendadak dan hilang timbul diduga disebabkan oleh: 1. Meningkatnya tekanan hidrostatik pada ujung arteri 2. Berkurangnya tekanan osmotik pada ujung kapiler 3. Meningkatnya tekanan osmotik ruang ekstrakapiler 4. Jalan keluar sakus endolimfatikus tersumbat, sehingga terjadi penimbunan cairan endolimfa Pada pemeriksaan histopatologi tulang temporal ditemukan pelebaran dan perubahan morfologi pada membran Reisner. Terdapat penonjolan ke dalam skala vestibuli, terutama di daerah apeks koklea helikotrema. Sakulus juga mengalami pelebaran yang dapat menekan utrikulus. Pada awalnya penekanan skala media dimulai pada apeks koklea, kemudian dapat meluas kebagian tengah dan basal

41

koklea. Hal ini yang dapat menjelaskan terjadinya tuli saraf nada rendah pada penyakit Meniere. Gejala klinis Terdapat trias atau sindrom Meniere yaitu vertigo, tinitus dan tuli sensorineural terutama nada rendah. Serangan pertama sangat berat yaitu vertigo disertai muntah. Setiap kali berusaha untuk berdiri dia merasa berputar, mual dan terus muntah lagi. Hal ini berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu, meskipun keadaannya berlangsung baik. Penyakit ini bisa sembuh tanpa obat dan penyakit ini bisa sembuh sama sekali pada serangan kedua kalinya dan selanjutnya, penyakit ini dirasakan lebih ringan, tidak seperti serangan yang pertama kali. Pada penyakit menire vertigonya periodik yang makin mereda dengan serangan-serangan berikutnya. Pada setiap serangan biasanya disertai dengan gangguan pendengaran dan dalam keadaan tidak ada serangan, pendengaran dirasakan baik kembali. Gejala lain yang menyertai serangan adalah tinitus, yang kadang-kadang menetap, meskipun diluar serangan. Gejala yang lain menjadi tanda khusus adalah rasa penuh di dalam telinga. DIAGNOSA Diagnosa dipermudah dengan dengan dibakukannya kriteria diagnoasa, yaitu: 1. Vertigo hilang timbul 2. Fluktuasi gangguan pendengaran berupa tuli saraf 3. Menyingkirkan kemungkinan penyebab dari sentral, misalnya tumor N.VIII Bila gejala-gejala khas pnyakit Meniere pada anamnesis ditemukan, maka diagnosis penyakit Meniere dapat ditegakan. Pemeriksaan fisik dilakukan hanya untuk meguatkan dignosis penyakit ini. Bila dalam anamnesis terdapat riwayat fluktuasi pendengaran, sedangkan pada

42

pemeriksaan terdapat tuli sensorineural, maka kita sudah dapat mendiagnosis penyakit Meniere, sebab tidak ada penyakit lain yang dapat menyebabkan adanya perbaikan dalam tuli sensorineural, kecuali pada penyakit Meniere. Dalam hal yang meragukan kita dapat membuktikan adanya hidrops dengan tes gliserin. Selain itu tes gliserin ini juga berguna untuk menentukan prognostik tindakan operatif pada pembuatan shunt. Bila terdapat hidrops maka diduga operasi akan berhasil dengan baik.

PENGOBATAN Pada saat datang biasanya diberikan obat simtomatik, seperti sedatif, dan bila diperlukan dapat diberikan obat antimuntah. Bila diagnosis telah ditemukan, pengobatan yang paling baik adalah sesuai dengan penyebabnya. Khusus untuk Meniere diberikan obat-obat vasodilator perifer untuk mengurangi tekanan hidrops endolimfa. Dapat pula tekanan endolimfa ini disalurkan ke tempat lain dengan jalan operasi shunt. Obat-obat anti iskemia dapat pula diberikan sebagai obat alternatif dan juga diberikaan obat neurotonik untuk menguatkan sarafnya.

43

BENIGN PAROXIMAL POSITIONAL VERTIGO

Benign Paroximal Positional Vertigo (BPPV) adalah pusing yang disebabkan oleh debris yang terkumpul pada kanal semisirkularis di dalam telinga dalam yang mempengaruhi fungsinya. Insiden penyakit meningkat pada pertambahan usia, tetapi terlihat juga pada setiap usia. Pada orang-orang yang berusia lebih dari 50 tahun sekitar setengah dari kasus gejal pusing disebabkan oleh BPPV. Pada umumnya, sekitar 20% pusing disebabkan oleh BPPV dan 9% setiap orang tua mempunyau BPPV.

Gejala Gejala BPPV meliputi vertigo, disorientasi, disequilibrum, ketidakseimbangan dan mual. Gejal yang paling khas dari BPPV adalah perasaan berputar hebat paling kurang 5 sampai 15 detik. Aktivitas yang dapat menimbulkan gejala pada setiap orang bervariasi tetapi selalu meliputi pergerakan atau perubahan posisi kepala atau tubuh. Pasien mungkin sensitif terhadp suatu posisi yang pasti. Kira-kira 30% pasien mendapat serangan ulang gejal BPPV. Riwayat timbulnya gejala vertigo dimulai ketika menggunakan hair dryer, ketika mencuci rambut di salon kecantikan, memindahkan benda dar atas rak-rak dapur.

Patofisiologi BPPV terjadi akibat dari perubahan posisi kepala yang cepat dan tiba-tiba seperti saat berguling di t empat tidur, membungkuk, atau menengada h ke atas, dan biasanya akan disertai sensasi pusing yang sangat berat, yang berlangsung bervariasi pada masing-masing penderita, vertigo dapat berlangsung hanya beberapa menit hingga berhari -hari dan dapat dis ertai dengan gejala mual dan muntah. Beberapa dugaan yang dikemukakan oleh para ahli adalah kemungkinan adanya trauma pada alat keseimbangan, infeksi, sisa pembedahan telinga, faktor degeneratif karena usia dan kelainan pembuluh darah. Mekanisme pasti terjadinya BPPV masih samar. Tapi penyebabnya sudah diketahui pasti yaitu debris yang terdapat pada kanalis s emisirkularis biasanya pada kanalis posterior. Debris berupa kristal kalsium karbonat itu dalam keadaan normal tidak ada. Diduga debris it u menyebabkan perubahan tekanan endolimfe dan defleksi kupula sehingga timbul gejala vertigo. Untuk memahami patofisiologi terjadinya BPPV, dibutuhkan pemahaman tentang anatomi dan fisiologi nor mal dari kanalis semisirkularis. Setiap telinga bagian dalam me n ga n d u n g i 3 ka na l i s s e mi s i r ku l a r i s .

44

M a s i n g - ma s i n g ka na l t er di r i da r i kr ur a ya n g ujungnya melebar (ampulla) yang terletak berdekatan dengan krista ampullaris (reseptor saraf). Krista ampullaris memiliki cupula, yang mendet eksi aliran cairan dalam kanalis semisirkularis. Jika seseorang tiba-tiba menoleh ke kanan, cairan dalam kanal horizontalkanan akan tertinggal, menyebabkan cup ula terdeviasi ke kiri (ke arah ampulla, atauampullopetal). Deviasi ini berikut nya akan diterjemahkan menjadi sinyal saraf yang menegaska n bahwa posisi kepala sedang berputar ke kanan. Ketidakcocokan informasi sens orik antara gerakan kepala dan deviasi cupula inilah yang menghasilkan s ensasi vertigo. Teori Cupulolithiasis Pada tahun 1962, Harold Schuknecht, MD, mengusulkan t eori cupulolithiasis sebagai penjelasan untuk BPPV. Melalui pemeriksaan photomicrograph, beliau me n e mu ka n p a r t i k e l b a s of i l i k a t a u d e ns i t a s ya n g a d h er e n t er ha da p c u p u l a t er s eb u t . B el i a u me n d u ga b a h w a ka na l s e mi s i r ku l a r i s p os t er i or a ka n l eb i h s e ns i t i f t er ha da p gravitasi dikarenakan partikel padat yang melekat pada cupula tersebut. Teori ini dianalogkan dengan situasi benda berat yang melekat pada puncak tiang, di mana berat ekstra akan membuat tiang tida k stabil dan sulit mempertahankan posisinetral. Bahkan, tiang cenderung terlempar dari satu sisi ke sisi lainnya tergantung pada a r a h i t u di mi r i n g ka n. S et e l a h p os i s i t er s eb u t t er c a p a i , b er a t p a r t i k e l t er s eb u t a ka n m e mp er t a ha n ka n p os i s i c u p u l a k e mb a l i k e n et r a l . H a l i ni t er c er mi n da r i n ys t a g mu s persisten dan menjelaskan sensasi pusing ketika pasien melentur ke belakang. Teori Canalithiasis Pada tahun 1980, Epley memperkenalkan teori-teorinya tentang canalithiasis. Beliau berpikir bahwa gejala BPPV jauh lebih konsisten dengan partikel bebaS bergerak (canaliths) di kanalis semisirkularis posterior daripada partikel melekat pada cupula tersebut. Sementara kepala ditegakkan, partikel di kanalis semisirkularis posterior berada pada posisi yang tergantung gravitasi. Ketika kepala melentur ke belakang (supinasi), partikel berputar sampai sekitar 90 sepanjang arkus kanalis semisirkularis posterior. Setelah lag sesaat (inersia), gravitasi akan menarik partikel menuruni arkus. Hal in imenyebabkan aliran endolimfe untuk menjauh dari ampula dan menyebabkan cupula terdefleksi. Defleksi cupular menghasilkan nystagmus. Teori canalithiasis dibuktikan lebih lanjut oleh Parnes dan McClure pada tahun1991 dengan penemuan partikel bebasbergerak dalam kanalis semisirkularis posterior setelah dilakukan pembedahan Faktor Predisposisi Sehingga kini etiologi pasti BPPV masih belum diketahui. Meskipun penelitian-p e n e l i t i a n b el u m me n g i d e nt i f i ka s i p e n y e b a b t u n g ga l ga n g gu a n B P P V , na mu n p a r a p e n e l i t i d a n t e na ga me d i s s e p a ka t b a h w a t er da p a t b eb er a p a f a kt or pr e d i s p os i s i ya n g mendukung terjadinya BPPV termasuklah kurangnya aktivitas, alkoholisme akut, operasimayor, dan penyakit sistem saraf pusat (SSP). Pemeriksa an

45

neurologis lengkap sangat penting dalam membantu menegakka n diagnosa BPP V karena kebanyakan pasien turut mengidap penyakit telinga bagian dalam secara bersamaan, sebagai berikut: Idiopatik - 39% Trauma - 21% Penyakit telinga - 29% Otitis media - 9% Neuritis vestibular - 7% Mnire disease- 7% Otosklerosis - 4% Penyakit sistem saraf pusat (SSP) - 11% Insufisiensi vertebra basilar - 9% Neuroma akustik - 2% Vertigo servikal - 2% Gejala Klinis dan Diagnostik P en d er i t a BP P V b i a s a n ya a ka n me n i m b u l ka n k e l u ha n j i k a t er j a di p er u b a ha n p os i s i k e p a l a p a da s ua t u k ea da a n t er t e nt u . P a s i e n a ka n mer a s a b er p u t a r a t a u mer a s a sekelilingnya berputar jika akan ke tempat tidur, ber guling dari satu sisi ke sisi lainnya, bangkit dari tempat tidur di pagi hari, mencapai s esuatu yang tinggi atau jika kepala ditengadahkan ke belakang. Biasanya vertigo hanya berlangsung 5-10 detik. Kadang-kadang pada penderita BPPV dapat disertai rasa mual dan seringkali pasien merasa cemas. Penderita biasanya menyadari keadaan ini dan berusaha me n g h i n da r i n ya d e n ga n t i da k me l a ku ka n g er a ka n ya n g da p a t me n i mb u l ka n v er t i g o. Vertigo tidak akan terjadi jika kepala dalam posisi tegak lurus atau berputar secara aksial tanpa ekstensi. Pada hampir sebagian besar pasien, vertigo akan berkurang dan akhirnya berhenti secara spontan dalam jangka waktu beberapa hari sampai beberapa bulan, tetapi kadangkadang dapat juga sampai beberapa tahun. BPPV khususnya dapat dibedakan dari Menire dis ease kar ena biasanya pada BPPV tidak t erjadi gangguan pendenga ran atautelinga berdenging (tinnitus). Diagnosis BPPV dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala klinis, pemeriksaan THT, uji posisi dan uji kalori. Pada anamnesis, penderita BPP V sering mengeluhkan kepala terasa pusing berputar pada perubahan posisi kepala dengan kondisi t ert entu. Secara klinis vertigo terjadi pada perubahan posisi kepala dan akan berkurang serta akhirnya berhent i secara spontan s etelah beberapa waktu. Pada pemeriksaan THT secara umum tidak didapatkan kelainan berarti. Pada uji kalori, gerakan mata yang abnormal menunjukan adanya kelainan fungsi di telinga bagian dalam atau saraf yang menghubungkannya dengan otak. Nistagmus adalah gerakan mata yang cepat dari kiri ke kanan atau atas ke bawah. Arah dari gerakan tersebut bisa membantu dalam menegakkan diagnosa. Nistagmus bisa dirangsang dengan menggerakkan kepala penderita secara tiba-tiba atau dengan meneteskan air dingin ke dalam telinga.

46

U j i p os i s i da p a t me mb a nt u me mb e da k a n l es i p er i f er a t a u s e nt r a l s e ka l i g u s mendiagnosa BPPV, yang paling baik dan muda h adalah dengan melakukan manuver Dix-Hallpike: penderita duduk tegak, kepalanya dipegang pada kedua sisi olehpemeriksa, lalu menggerakkan kepala pasien dengan cepat ke kanan, kiri dan kembali ket engah. P ada lesi perifer, dalam hal ini positif BPPV, akan didapat kan nistagmus posisi dengan gejala: 1. Mata berputar dan bergerak ke arah telinga yang terganggu dan mer eda set elah 5-20 detik. 2. Disertai vertigo berat. 3. Mula gejala didahului periode laten selama beberapa detik (3-10 detik). 4. P a da u j i u l a n ga n a ka n b er ku r a n g s a mp a i me n g h i l a n g ( fatigue), tetapi juga berguna sebagai cara diagnosis yang tepat. Berbeda dengan lesi sentral, periode laten tidak ditemukan, vertigo dan nistagmus berlangsung lebih dari 1 menit, dan bila diulang gejala tetap ada (non fatigue). Terapi P i l i ha n p e n g o b a t a n u nt u k p e na t a l a ks a na a n B P P V a da l a h ob s er va s i , me d i ka s i vestibulosuppresan, rehabilitasi vestibular, reposisi canalith, dan pembedahan. y Observasi: Sejak BPPV adalah jinak dan gejalanya dapat berkurang dan menghilangtanpa pengobatan dalam beberapa minggu ke bulan, ada beberapa argumentasi mengatakan bahwa penatalaksanaan BPPV cukup dengan observasi sederhana. y M e d i ka s i v es t i b u l os u p p r es a n : P e n g ob a t a n i ni b i a s a n ya t i da k me n ga t a s i v er t i g o t ersebut secara tuntas, malah cenderung dihindari karena penggunaan obat vestibulosuppresan yang berkepanjangan hingga lebih dari 2 minggu dapat mengganggu mekanis me adaptasi susunan saraf pusat terhadap abnor malitas v estibular perifer yangs u da h t er j a di . S el a i n i t u, ef e k s a mp i n g ya n g t i mb u l b i s a b er u p a ka nt u k, l et a r gi , da n perburukan keseimbangan. y Rehabilitasi vestibular: Rehabilitasi vestibular adalah terapi non -invasif yang bisa suks es s etelah melewati jangka waktu yang panjang. Pasien dapat diinstruksikan lewat latihan Cawthorne yang membantu dalam penyebaran partikel. y Reposisi Canalith: Sejak rasio manfaat -resikonya sangat tinggi setelah dilakuka n penelitan, reposisi canalith tampaknya menjadi pilihan pertama di antara semua modalitas p e n g o b a t a n ya n g t er s e d i a . R ep os i s i p a r t i k e l di w a k i l i ol e h du a ma n u v er u t a ma ya n g dikembangkan secara bersamaan di Amerika Serikat dan Perancis. Kedua

47

met ode inimerupakan manuver Epley dan manuver Semont. Manuver Epley ini bertujuan untuk mengembalikan debris dari kanalis semisirkularis posterior ke vestibular labirin. Angka keberhasilan manuver Epley dapat mencapai 100%bila dilatih secara berkesinambungan. Bahkan, uji Dix-Hallpike yang semula positif menjadi negatif. Angka rekur ensi ditemukan 15% dalam 1 tahun. Setela h melakukanmanuver Epley, pasien disarankan untuk tetap tegak lurus selama 24 jam untuk mencegahkemungkinan debris kembali lagi ke kanal semisirkularis posterior. Bila pasien tidak adaperbaikan dengan manuver Epley dan medikamentosa, operasi dapat dipertimbangkan.

48

DAFTAR PUSTAKA Ballenger, J.J., 1997, Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Jilid 2. Ed ke 13, Binarupa Aksara, Jakarta. Bloom JC, David RB. Vertigo and Other For ms of Dizziness: Benign Paroxys mal Positioning Vertigo. Clinical Adult Neurology. 3 rd Edition. New York: Demos Medical;2009. page 104 07

Hain TC. Benign Paroxys mal Positional Vertigo. Vestibular Dis order s Ass ociation(VEDA). [online] Updated: Feb , 2003 [cited 2011 maret 24] Available from: URL:http://www.tchain.com/otoneurology/disorders/bppv/bppv.html Jeyaratnam, J., Koh,D., 2009, Buku Ajar Praktik Kedokteran Kerja, Suryadi. (alih bahasa), Sihombing., Elseria,R.N., dan Widyastuti, P. (ed), EGC, Jakarta Li JC, Epley J. Vertigo & Dizziness: Benign Paroxysmal Positional Vertigo. [online]Updated: Mar 18, 2010 [cited 2011 maret 24] Available from: URL:http://www.emedicine.medscape.com/ article/884261-print

Pratignyowati, 2004, Survey Penurunan Kemampuan Pendengaran Karena Kepaparan Bising di PT (Persero) Angkasa Pura II Bandara Sukarno Hatta Tahun 2004, Universitas Indonesia, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Program Studi Magister Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Jakarta, (Tesis). Ropper AH, Brown RH. Deafness, Dizziness and Disorders of Equilibrium: BenignPositional Vertigo. Adams & Victors Principles of Neurology. 8 th Edition. New York:McGraw-Hill Medical Publishing Division; 2005. page 261 62. Sasongko, D.P., 2000, Kebisingan Lingkungan, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang. Sherwood, L, 2001, Fisiologi Manusia: dari sel ke sistem, Pendit, Brahm U. (alih bahasa), Santoso, Beatricia, I. (ed), EGC, Jakarta Simic PJ, Plantz SH. Benign Positional Vertigo (BPV) Symptoms, Causes, Treatments.[online] Updated: Aug, 2005 [cited 2011 maret 24] Available from: URL:http://www.emedicinehealth.com/script/main/art.asp?articlekey=590256

49

Simon RP, Greenberg DA, Aminoff MJ. Disorders of Equilibrium: Benign PositionalVertigo. Clinical Neurology. 7th Edition. New York: Lange Medical Books/McGraw-HillMedical Publishing Division; 2009. page 107 09

50