Gambaran Utang Publik Indonesia: Fungsi dan Strategi...
Transcript of Gambaran Utang Publik Indonesia: Fungsi dan Strategi...
z
Gambaran Utang Publik Indonesia:
Fungsi dan Strategi Pengelolaan
Oleh Muhammad Putra Hutama dan Hadied Safarayuza
RINGKASAN EKSEKUTIF
- Utang merupakan hal penting untuk menjaga momentum pertumbuhan pembangunan manusia,
mempercepat pertumbuhan ekonomi, dan mengembangkan sektor pasar keuangan Indonesia.
- Utang Indonesia masih tergolong aman mengacu pada persentase utang Indonesia per PDB,
pemegang utang baik domestik dan luar negeri, efektivitas penggunaan utang, dan tenggat waktu
jatuh tempo utang.
- Pemerintah perlu meningkatkan tax ratio guna meningkatkan pendapatan dari pajak sehingga
negara dapat membayar utang dan bunga utang dengan pendapatan dari pajak.
- Pemerintah, khususnya pemerintah daerah, perlu memperbaiki perencanaan dan realisasi belanja
pada sektor-sektor yang produktif guna mendorong pertumbuhan perekonomian di daerah. Hal ini
berkaitan dengan besarnya nominal dana pemerintah daerah yang lama mengendap di bank
sehingga menjadi dana yang tidak produktif. Jika dana yang berasal dari utang tidak produktif
maka tujuan awal berhutang gagal dicapai.
LATAR BELAKANG
Utang negara adalah salah satu cara pemerintah dalam mencari dana untuk percepatan
pembangunan infrastruktur maupun pembangunan manusia. Hal ini penting mengingat bahwasanya
dua pilar pembangunan (infrastruktur dan manusia) adalah krusial dalam hal mengejar ketertinggalan
dari negara maju. Awal mula Indonesia memulai utang luar negeri adalah pada tahun 1967 saat
terbentuknya Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI) yang beranggotakan Australia, Belgia,
Jerman, Italia, Jepang, Belanda, Inggris, Amerika Serikat, Kanada, Selandia Baru, Norwegia, Swiss, Bank
Dunia, The International Monetary Fund (IMF), Asian Development Bank, United Nations
Development Programme (UNDP), dan The Organisation for Economic Co-operation and Development
(OECD) (Faisal, 2018). IGGI bertujuan untuk mencari peluang negara-negara konsorsium yang
berpotensi menjadi kreditur bagi Indonesia guna keluar dari krisis ekonomi di akhir masa Orde Lama.
Pada perkembangannya, sampai dengan masa reformasi Indonesia tercatat telah melakukan utang
luar negeri dengan IMF (dimana utang telah dilunasi pada periode kedua Presiden Susilo Bambang
Yudhoyo), Bank Dunia, Islamic Development Bank (IDB), Jerman, Perancis, Jepang dan Amerika Serikat
(Faisal, 2018) .
Sepuluh tahun terakhir tingkat utang Indonesia terus meningkat secara secara nominal
sebesar 54%1. Namun, rasio utang per PDB tercatat fluktuatif. Pada dasarnya, konstitusi telah
1Sumber: Statistik Utang Sektor Publik Indonesia data dapat dilihat https://www.bi.go.id/id/statistik/suspi/Default.aspx
mengatur mengenai utang negara. Menurut UU Nomor 17 Tahun 2003, defisit anggaran dibatasi
maksimal 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB) dan jumlah pinjaman dibatasi maksimal 60% dari PDB.
Dalam 10 tahun terakhir, utang Indonesia belum pernah menyentuh angka 30% dari total PDB.2
Gambar 1: Persentase Utang Terhadap PDB
Sumber: www.tradingeconomics.com
Pada praktiknya, negara mempunyai beberapa mekanisme dalam penerbitan utang untuk
menjaga agar utang tersebut bisa efektif, efesien, dan memenuhi standar utang yang aman. Pertama,
dalam penerbitan utang, pemerintah mengajukan penerbitan utang dengan mengajukan persetujuan
dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Kedua, otoritas pasar modal melakukan pengawasan berkala
terhadap perdagangan Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder. Ketiga, dalam perencanaan
utang maupun pengelolaan utang, pemerintah melalui Kementerian Keuangan dan Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional (BKPPN) berkoordinasi dengan Bank Indonesia. Keempat,
pemerintah setiap tahun membuat pertanggungjawaban pengelolaan utang serta mempublikasikan
data dan informasi utang secara transparan.
Pemerintah Indonesia memiliki beberapa instrumen utang yaitu melalu Pinjaman (Pinjaman
Dalam dan Luar Negeri) dan Surat Berharga Negara melalui mekanisme pasar. Surat berharga negara
pun dibagi menjadi floating rate dan fixed rate. Hal itu bertujuan untuk mengurangi risiko yang dapat
ditimbulkan oleh utang negara.
2 Data terakhir adalah 2018, sumber: data dapat dilihat di https://tradingeconomics.com/indonesia/government-debt-to-gdp
26.48%24.50%
23.10% 22.96%24.80% 24.70%
26.90% 27.90% 28.70% 29.80%
0.00%
5.00%
10.00%
15.00%
20.00%
25.00%
30.00%
35.00%
2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018
Gambar 2: Instrumen Utang Indonesia
Sumber: Kementerian Keuangan Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko
Berdasarkan penjelasan di atas, tujuan tulisan ini untuk menyajikan informasi sebagai wadah
pencerdasan dan penyampaian informasi seputar utang negara. Pembahasan tulisan ini dibagi
menjadi 3 bagian, yaitu (i) mengapa pemerintah Indonesia berhutang, (ii) apakah utang Indonesia
tergolong aman, dan (iii) bagaimana rekomendasi kebijakan yang relevan menimang kondisi
perekonomian dan neraca keuangan terkini.
Mengapa Indonesia Berhutang?
Indonesia merupakan negara berkembang yang pada saat ini memiliki beberapa tantangan untuk
mengejar ketertinggalan dari negara maju. Saat ini, Indonesia masih menghadapi kesenjangan sosial
yang cukup tinggi dan pembangunan yang kurang merata, baik pembangunan infrastruktur maupun
SDM. Berdasarkan indeks infrastruktur, Indonesia masih tertinggal di bawah negara-negara yang
memiliki GDP per capita setara. Meskipun tren Human Development Index (HDI) Indonesia selama 10
tahun terakhir memiliki tren yang positif (PPI TV, 2019), Indonesia masih harus memperbaiki angka
harapan hidup, pendidikan, dan pembangunan manusia secara umum. Lebih lanjut, berdasarkan
laporan HDI yang dikeluarkan oleh UNDP, Indonesia mendapatkan skor 0,694, di bawah Singapura,
Brunei, Malaysia, Thailand dan Filipina3.
Untuk menyelesaikan masalah tersebut dan menjaga tren positif dari pembangunan manusia,
Indonesia membutuhkan utang. Sebab, meskipun pemerintah memiliki skema Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBD), pendapatan yang meliputi pajak, bea cukai, Penerimaan Negara Bukan
Pajak (PNBP)4 dan hibah masih belum optimal. Dengan demikian, utang menjadi resource penting
sebagai solusi atas belum optimalnya penerimaan pendapatan negara dari sumber lain sebagaimana
dijelaskan di atas, sehingga pemerintah mampu menjalankan belanja negara untuk mencapai sasaran
kesejahteraan masyarakat yang adil dan makmur. Adapun fungsi dari utang yang dilakukan oleh
Indonesia adalah sebagai berikut:
Pertama, utang berfungsi untuk menjaga momentum dan mempercepat pertumbuhan. Hal
ini berkaitan dengan belanja prioritas seperti infrastruktur dan SDM. Penundaan belanja infrastruktur
dan SDM yang berhubungan dengan kesehatan dan pendidikan dapat mengakibatkan pengeluaran
yang lebih besar di masa depan. Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang sudah cukup stabil di kisaran
5%. Harapannya, utang dapat menstimulus percepatan pertumbuhan ekonomi. Utang yang produktif
melalui pembangunan infrastruktur maupun SDM dapat menstimulus pertumbuhan ekonomi yang
lebih baik, seperti menghasilkan pertumbuhan jangka panjang yang berkelanjutan serta sejalan
dengan peningkatan standar hidup yang dihasilkan melalui peningkatan produktivitas. Di samping itu,
pertumbuhan ekonomi yang baik akan mendorong peningkatan penerimaaan pajak di masa depan.
Kedua, utang berperan dalam pengembangan pasar keuangan. Dengan adanya utang
Indonesia melalui skema Surat Berharga Negara (SBR), masyarakat tidak hanya berpartisipasi dalam
pembangunan nasional sekaligus membantu Bank Indonesia dalam kegiatan operasi moneter untuk
menjaga nilai tukar rupiah tapi juga mendapatkan alternatif investasi. Selain itu skema SBR yang
melalui pendekatan pasar juga dapat menjadi benchmark untuk pengembangan pasar keuangan
nasional yang dilakukan oleh aktor swasta (sekuritas) (PPI TV, 2019).
Apakah utang Indonesia tergolong aman?
Aspek pertama yang dapat menggambarkan apakah utang Indonesia tergolong aman adalah rasio
utang terhadap PDB. Secara nominal utang Indonesia mengalami kenaikan yang cukup signifikan.
Nominal utang Indonesia sektor publik tahun 2018-Q3 (kuartal 3) sebesar 9.071 triliun rupiah dengan
3Sumber: data dapat dilihat di http://hdr.undp.org/en/composite/HDI 4 PNBP (peneriman, pengendalian lingkungan dan SDA, kinerjaBUMN)
presentasi kenaikan 54,2% sejak tahun 20145. Dari sisi rasio utang terhadap PDB, Indonesia masih
tergolong aman karena besaran rasionya barada jauh di bawah 60% sesuai dengan amanat konstitusi
yaitu 29.9%, meskipun sejak 8 tahun terakhir angka rasio utang Indonesia telah mengalami kenaikan
sebesar 17%6. Jika dibandingkan dengan negara berkembang lainnya seperti Malaysia (55%), China
(50%), dan Brasil (88%) (IMF, 2018), rasio utang Indonesia per PDB masih berada di level
rendah/aman.
Gambar 3: Nominal Utang Indonesia (Rp T) Gambar 4: Persentase Utang per PDB
Sumber: Statistik Utang Sektor Publik Indonesia Sumber: IMF World Economic Outlook, 2018Q3
Aspek kedua adalah denominasi mata uang serta siapa saja pemegang utang tersebut.
Menurut analisis yang dilakukan oleh LPEM UI dalam Indonesia Economic Outlook 2019-Q1, 58% dari
total utang Indonesia didenominasikan dalam mata uang domestik atau rupiah (2019). Ternyata
meskipun rupiah terdepresiasi sekitar 20% sejak akhir 2014, proporsi utang dalam mata uang asing
mampu dijaga dengan baik. Hal ini menunjukkan bahwa utang Indonesia dikelola secara disiplin,
prudent, serta mampu mengurangi kerentanan terhadap guncangan eksternal terkait dengan utang
luar negeri (LPEM, 2019).
Bagaimanapun, pemegang utang pemerintah saat ini didominasi oleh pemodal asing, dengan
rasio 60% pemodal asing dan 40% pemodal domestik. Hal ini patut diwaspadai karena pemerintah
masih bergantung kepada pemodal asing. Sebagai contoh, jika terjadi goncangan terhadap
perekonomian Indonesia dan para pemodal asing menarik modal yang mereka investasikan di
5 Statistik Utang Sektor Publik Indonesia, 2018 6 CEIC data dapat dilihat di https://www.ceicdata.com/id/indicator/indonesia/government-debt--of-nominal-gdp
5,8816,572
7,305
8,3709,071
0
1,000
2,000
3,000
4,000
5,000
6,000
7,000
8,000
9,000
10,000
2014 2015 2016 2017 2018
29
.8
32
40 42
50 5
5
63 7
0
88
Indonesia, hal ini bisa berdampak buruk terhadap nilai tukar rupiah dan memicu multiplier effect
dalam sistem perekonomian nasional. Walaupun pemerintah berhasil menurunkan rasio dari 62%
pada 2017 menjadi 60% pada 2018 (LPEM, 2019), penurunan ini dirasa masih belum signifikan.
Aspek yang ketiga adalah efektivitas penggunaan utang tersebut. Selama empat tahun
terakhir pemerintah gencar membangun infrastruktur. Dapat dikatakan bahwa sebagian besar
tambahan dana dari utang digunakan untuk investasi yang produktif yang dapat mendorong
pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa depan. Perlu diketahui bahwa sejak awal tahun 2015,
pemerintah sudah mencabut subsidi energi bahan bakar minyak (BBM) untuk direalokasikan ke
anggaran infrastruktur. Dengan kata lain, utang Indonesia tidak digunakan untuk konsumsi.
Berdasarkan World Economic Outlook 2017, defisit fiskal Indonesia sebesar 1,6% masih tergolong
produktif mengingat pertumbuhan ekonominya dapat mencapai sebesar 5,6% (IMF, 2017). Sebagai
perbandingan, emerging countries lainnya7, Brasil dan Turki, pada tahun 2017, masing-masing
mengalami defisit fiskal sebesar 4,3% dan 2,1 %, dengan pertumbuhan ekonomi di bawah
pertumbuhan ekonomi Indonesia (PPI TV, 2019). Dapat disimpulkan bahwa defisit fiskal yang ditutupi
oleh utang negara tergolong efektif karena dapat menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang
signifikan.
Gambar 5: Pertumbuhan PDB dan Surplus/Defisit Fiskal di Beberapa Negara
7 Ekonomi pasar berkembang menggambarkan ekonomi suatu negara yang bergerak maju menjadi lebih maju, biasanya dengan
pertumbuhan dan industrialisasi yang cepat.
Selain dari pembangunan infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi, indikator penilaian
efektivitas utang juga dapat dilihat dari penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
yang ditransfer ke daerah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Saat ini,
penggunaan dana APBD dinilai kurang efektif karena terlalu lama mengendap di bank (PPI TV, 2019).
Per 2018-Q1, posisi simpanan pemerintah daerah di perbankan secara nasional mencapai Rp 185,8
triliun (CNBC Indonesia, 2018). Hal ini menunjukkan perencanaan pembangunan di daerah masih
kurang baik. Ditambah lagi dengan banyaknya penyerapan anggaran di akhir tahun dengan tren
lonjakan yang signifikan menggambarkan kurang efektifnya perencanaan anggaran yang dilakukan.
Aspek keempat adalah jatuh tempo pembayaran utang beserta bunga dari utang tersebut.
Semakin besar utang artinya semakin besar pula beban bunga dan pembayaran utang dimasa depan.
Utang negara akan dibayar melalui pendapatan negara dari pajak dan resource lainnya. Perlu dicatat
rasio penerimaan pajak negara sangat penting karena menjadi acuan apakah Indonesia dapat
membayar utang dari penerimaan pajak. Untuk tahun 2018, pendapatan negara atas pajak masih di
bawah proyeksi APBN pada tahun 2017 sekitar 89,7%. Pada saat ini, pemerintah memiliki utang jangka
panjang lebih besar dibandingkan dengan utang jangka pendek. Dengan kata lain, pemerintah masih
dapat menghela nafas karena jatuh tempo utang negara bukan dalam waktu dekat dan dapat
memperbaiki pendapatan negara dari pajak.
REKOMENDASI KEBIJAKAN
Pemerintah patut diapresiasi karena telah menahan rasio utang per PDB di bawah 30%8, mendorong
agar investor atau debitur utang lebih banyak berasal dari dalam negeri, mendiversifikasi utang negara
ke berbagai instrumen utang agar dapat meminimalisir risiko, serta agar utang negara digunakan
untuk hal yang produktif. Bagaimanapun, diperlukan aksi tambahan untuk pengelolaan utang lebih
baik.
Pertama, pembayaran utang dan bunga utang harus dihasilkan dari penerimaan negara. Jika tidak,
pembayaran utang dan bunga utang yang jatuh tempo akan berasal dari utang negara yang baru. Lebih
lanjut, pertumbuhan jumlah penerimaan negara dinilai menjadi aspek yang penting agar fungsi dari
8 Data terakhir pada 2018 Triwulan IV dapat dilihat di www.tradingeconomics.com
utang sebagai menjaga momentum dan mempercepat pertumbuhan tercapai. Berikut rekomendasi
yang kami sajikan:
(a) Optimalisasi potensi penerimaan pajak lewat Nomor Identitas Tunggal. Rasio pajak
Indonesia masih jauh dari angka ideal, yaitu sebesar 11.5% pada akhir 2018-Q4 (Kementerian
Keuangan Republik Indonesia, 2019; PPI TV, 2019). Jika gagal mengoptimalkan potensi
penerimaan pajak, pemerintah akan menggunakan utang luar negeri kembali untuk membayar
utang dan bunga yang sebelumnya. Salah satu strategi yang dapat ditempuh adalah melalui
percepatan rencana penerapan Nomor Identitas Tunggal (NIT). Dengan jumlah masyarakat
pemilik Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang rendah sekitar 38 juta, tidak heran realisasi
penerimaan pajak Indonesia jauh dari optimal. Rencana penerapan Nomor Induk
Kependudukan (NIK) pada Kartu Tanda Penduduk (KTP) sebagai NIT, menurut kami, perlu
segera diterapkan. Dengan penerapan NIK sebagai informasi dasar pengganti NPWP, jumlah
wajib pajak secara otomatis akan meningkat secara drastis menjadi sama dengan jumlah
pemilik KTP.
(b) Ekstensifikasi cukai. Esensi dari kebijakan cukai adalah bukan sebagai instrumen anggaran,
namun untuk pengendalian dampak eksternalitas yang ditimbulkan dari produk yang dikenakan
cukai. Meskipun demikian, cukai dapat menjadi sumber pendapatan baru melalui ekstensifikasi
cukai atau penambahan objek cukai baru. Dalam pengenaan cukai, Indonesia tergolong negara
extremely narrow coverage dibandingkan negara lain. Saat ini, pengenaan cukai di Indonesia
atau Barang Kena Cukai (BKC) terbatas pada tiga kelompok barang yaitu etil alkohol,
Minuman Mengandung Etil Alkohol (MMEA), dan hasil tembakau. Jumlah ini jauh di bawah
negera lain di Asia Tenggara, misalnya Thailand dengan 16 BKC atau Filipina dengan 13 BKC
termasuk BBM. Gagasan untuk menambah jenis Barang Kena Cukai (BKC) sejatinya telah
diawali sejak evaluasi komprehensif nasional Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) bulan
Oktober 1998 (Chandra & Gufraeni, 2009), namun hingga saat ini belum ada penambahan
BKC. Kami mendukung rencana baik pemerintah terkait permberlakuan cukai kantong plastik.
Namun demikian, kebijakan ini hanya bisa diambil setelah memperhatikan secara matang
semua elemen secara holistik, baik itu aspek kelembagaan, perlindungan konsumen,
pengembangan industri, dan lingkungan untuk memastikan kesuksesan dan
kesinambungannya. Kebijakan meningkatkan pedapatan negara atas pajak tidak akan
menimbulkan penurunan purchasing power parity masyarakat Indonesia karena kebijakan
peningkatan pajak ini melalui pendekatan peningkatan ratio dan coverage pajak.
Kedua, pemerintah daerah perlu memperbaiki proses perencanaan dan juga realisasi belanja.
Meskipun pada level nasional utang negara sudah dinilai efektif karena digunakan untuk hal yang
produktif bukan konsumtif (misalnya, subsidi energi) dan dengan perencanaan dan realisasi anggaran
yang baik, akan tetapi di tingkat daerah penggunaan utang negara melalui skema APBD dapat
dikategorikan kurang efektif. Hal ini dikarenakan mayoritas provinsi/daerah melakukan belanja APBD
pada pertengahan tahun (PPI TV, 2019). Perencanaan pemerintah daerah yang baik dirasa penting
agar dana pemerintah daerah tidak terlalu lama mengendap di bank dan menjadi dana yang tidak
produktif. Jika dana yang berasal dari utang tidak produktif maka tujuan awal berhutang gagal dicapai.
TENTANG PENULIS
PPI Brief adalah analisis bulanan PPI Dunia atas kondisi nasional dan internasional
terkini. Kritik dan saran bisa ditujukan langsung ke [email protected]
Dewan Redaktur: Ahmad Rizky M. Umar, Bening Tirta Muhammad, dan Tim Pusat
Kajian & Gerakan PPI Dunia 2018/2019
Muhammad Putra Hutama adalah lulusan Ekonomi Studi Pembangunan
Universitas Padjajaran dan sempat menjadi asisten peneliti di PRISMA CEDS
Unpad tahun 2017, saat ini melanjutkan kuliah Master di Corvinus University of
Budapest jurusan International Economy and Business.
Hadied Safarayuza adalah lulusan MSc dalam bidang International Economy
and Business di Corvinus University of Budapest, Hongaria, dengan tesis “The
Analysis of the Relationship between the Financial Performance and the
Financial Inclusion of Commercial Banks in Indonesia (2012 – 2018)”.
Sebelumnya bekerja sebagai Research Fellow Keuangan Inklusif di Bank
Indonesia dan dipercaya sebagai Ketua Komisi Ekonomi PPI Dunia 2018/2019.
REFERENSI
CNBC Indonesia. (2018, May 7). Rp 185,8 Triliun Dana Pemda Mengendap di Bank.
Retrieved from CNBC Indonesia:
https://www.cnbcindonesia.com/news/20180507075822-4-13814/rp-1858-triliun-
dana-pemda-mengendap-di-bank
Detik. (2015, Januari 28). Keberanian Jokowi Terapkan Kebijakan Radikal Subsidi BBM.
Retrieved from Detik Finance : https://finance.detik.com/energi/d-
2816026/keberanian-jokowi-terapkan-kebijakan-radikal-subsidi-bbm
detikfinance. (2018, December 18). Barang Kena Cukai di RI Masih di Bawah Thailand dan
Filipina. Retrieved from detikfinance: https://finance.detik.com/berita-ekonomi-
bisnis/d-4349458/barang-kena-cukai-di-ri-masih-di-bawah-thailand-dan-filipina
Faisal, M. (2018, Februari 20). IGGI dan Asal-Usul Utang Luar Negeri Indonesia. Retrieved
from https://tirto.id/iggi-dan-asal-usul-utang-luar-negeri-indonesia-cEW3
IMF. (2017). Seeking Sustainable Growth: Short-Term Recovery, Long-Term Challenges.
Washington, DC: International Monetary Fund.
IMF. (2018). IMF World Economic Outlook, 2018Q3 . Retrieved from
https://www.imf.org/en/Publications/WEO/Issues/2018/09/24/world-economic-
outlook-october-2018
Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (2019, February 25). Mengenal Rasio Pajak
Indonesia. Retrieved from Kementerian Keuangan Republik Indonesia:
https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/berita/mengenal-rasio-pajak-indonesia/
LPEM, F. U. (2019). Peningkatan Utang Indonesia: Kegaduhan Berlebihan di Luar
Substansi. Jakarta: LPEM UI.
PPI TV. (2019, Januari 21). Utang Negara: "Resiko, Potensi dan Tantangan Kebijakan.
Retrieved from www.youtube.com:
https://www.youtube.com/watch?v=OyeMxhzXMtE&t=5674s