GAMBARAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU...
Transcript of GAMBARAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU...
i
GAMBARAN PENGETAHUAN, SIKAP, DAN PERILAKU PENJUAL
TAHU MENGENAI TAHU BERFORMALIN DI PASAR DAERAH
SEMANAN JAKARTA BARAT TAHUN 2015
SKRIPSI
Diajukan Dalam Rangka Memenuhi Syarat Untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)
Oleh:
AWALIYAH RIZKA SAFITRI
NIM : 1111101000013
PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436 H/2015
ii
iii
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
KESEHATAN LINGKUNGAN
Skripsi, Juni 2014
AWALIYAH RIZKA SAFITRI, NIM: 1111101000013
GAMBARAN PENGETAHUAN, SIKAP, DAN PERILAKU PENJUAL
TAHU MENGENAI TAHU BERFORMALIN DI PASAR DAERAH
SEMANAN JAKARTA BARAT TAHUN 2015
(XIV + 134 Halaman, 15 tabel, 7 Diagram, 2 Bagan, 23 Lampiran)
ABSTRAK
Tahu berformalin masih banyak dijual dipasaran. Padahal formalin pada
makanan telah dilarang sejak tahun 1982. Larangan formalin pada tahu
dikarenakan dampak kesehatan yang dapat ditimbulkan, diantaranya keracunan,
muntah-muntah, iritasi lambung, kerusakan ginjal, kanker, bahkan kematian.
Keberadaan formalin pada tahu terkait dengan faktor pengetahuan, sikap, dan
perilaku dari penjual tahu. Pengetahuan yang kurang dan sikap yang negatif dapat
mendukung terjadinya perilaku penjualan tahu berformalin.
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui gambaran dari pengetahuan, sikap
dan perilaku penjual tahu mengenai tahu berformalin di Pasar Daerah Semanan
Jakarta Barat tahun 2015. Jenis penelitian ini deskriptif-kuantitatif dengan
pendekatan cross sectional. Populasi penelitian ini sebanyak 34 penjual tahu di
Pasar Daerah Semanan. Pengambilan sampel penjual tahu (responden) dilakukan
dengan total sampel (seluruh populasi). Sedangkan pengambilan sampel tahu
dilakukan secara Accidental Sampling. Instrumen penelitian yang digunakan
kuesioner. Uji laboratorium dilakukan dengan Food Security Kit Formaldehyde
untuk membuktikan tahu berformalin secara kualitatif. Analisis data secara
univariat.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebesar 38,2% tingkat pengetahuan
responden rendah dan 35,3% sikap responden negatif. Kemudian sebanyak 46,6%
tahu ditemukan mengandung formalin dan 73,5% melakukan penjualan tahu
berformalin. Pengetahuan yang belum optimum pada beberapa item pertanyaan
dan juga sikap yang cenderung tertutup menjadi penyebab masih adanya perilaku
penjualan tahu berformalin. Dengan ditemukannya tahu berformalin, diharapkan
masyarakat lebih cermat dalam mengenali ciri fisik tahu berformalin. Perlunya
penyuluhan petugas kesehatan terhadap penjual tahu terkait larangan penjualan
tahu berformalin disertai dampak kesehatannya. Perlu peran petugas kesehatan
dan juga Pemda antar daerah dalam mengawasi peredaran tahu berformalin.
Kata Kunci : Tahu, Formalin, Pengetahuan, Sikap, Perilaku, Penjual Tahu
Daftar Bacaan : 67 (1991-2015)
iv
FACULTY OF MEDICICAL AND HEALTH SCIENCES
PUBLIC HEALTH STUDY OF ENVIRONMENTAL HEALTH SCIENCE
Undergraduated Thesis, June, 2015
AWALIYAH RIZKA SAFITRI, NIM: 1111101000013
DESCRIPTION OF KNOWLEDGE, ATTITUDE AND BEHAVIOR OF
TOFU SELLER ABOUT FORMALINED TOFU IN SEMANAN LOCAL
MARKET, WEST JAKARTA IN 2015
(XIV +134 pages, 15 tables, 7 diagrams, 2 charts, 23 appendix)
ABSTRACT
Formalined tofu is still available in market, although formalined tofu has
been banned from 1982. The prohibition in tofu is based on the fact that it can
cause some health effects, such as poisoning, vomiting, inflaming, gastric
irritation, kidney damaging, cancer, and even death. The formaline in tofu is
related with some factors, such as knowledge, attitude, and behavior of tofu seller.
A lack of knowledge and negative attitude could contribute to a behavior of
formalined tofu sales.
The purpose of this research is to find out the outlook of the knowledge,
attitude, and behavior of formalined tofu sales in Semanan Local Market, West
Jakarta in 2015. The type of this research is a descriptive- quantitative with an
approximation cross sectional methode. The population of this research is 34 tofu
sellers in Semanan Local Market. The samples were taken by total samples (all
population). Whereas, the tofu samples that sold by the respondents was done by
accidental sampling. The research instrumental was using questionnaire. The
laboratory samples was done qualitatively with Food Security Kit Formaldehyde
to prove whether the tofu contains formaline or not. The data. analysis is done by
univariat.
The result of this research shows that 38,2% respondents’s level
knowledge are low and 35,3% respondent’s attitude are negative (disagree). Then,
46,6% tofu found to contains formaline and 73,5% are doing a formalined tofu
sales. A knowledge that has not yet optimum in some questions and also the
attitude that tend to have a closed personality becomes a cause of the existence of
formalined tofu sales. As the formalined tofu has been found, the community
should be smarter in knowing the physical characteristics of formalined tofu. It
needs a counseling from health workers to tofu sellers related to the prohibition of
formalined tofu sales as also the health effect that being caused by that. It also
need a health worker’s role and also Pemda interregional to keeping an eye on
formalined tofu cycles.
Key Words: Tofu, Formaline, Knowledge, Attitude, Behavior, Tofu Seller
Reading List: 67 (1991-2015)
v
vi
vii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap : Awaliyah Rizka Safitri
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 29 Maret 1994
Warganegara : Indonesia
Agama : Islam
Alamat : Jl. Daan Mogot Km.18 Kp.Asem RT.06/05 No.173
Semanan Kalideres Jakarta barat 11850
Telepon : 0896-9424-2827 / 0896-9977-9460
Email : [email protected]
Pendidikan Formal:
1. SD NEGERI SEMANAN 05 PAGI JAKARTA 1999-2005
2. MTs NEGERI 8 JAKARTA 2005-2008
3. MA NEGERI 12 JAKARTA 2008-2011
4. KESEHATAN MASYARAKAT PEMINATAN
KESEHATAN LINGKUNGAN UIN SYARIF
HIDAYATULLAH JAKARTA
2011-2015
viii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT.
Terimakasih atas karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul “Gambaran Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Penjual tahu Mengenai
Tahu Berformalin di Pasar Daerah Semanan Jakarta Barat Tahun 2015”.
Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada Rasulullah SAW,
keluarganya dan sahabatnya. Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyampaikan
ucapan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu, khususnya kepada:
1. Ayahanda Taufik Hidayat, Ibunda Romlah sebagai orangtua saya yang
mendidik saya dari buaian hingga saat ini, semoga Allah meridhai Ayah dan
Ibu. Serta adik-adik (Fika, Faiz, Farhan, Thoifur) yang selalu mendukung dan
menyayangi saya dan selalu menemani saya dalam pembuatan skripsi ini.
2. Bapak Dr. Arif Sumantri, SKM. M.Kes selaku dekan FKIK UIN Jakarta.
3. Ibu Fajar Ariyanti, SKM, M.Kes, Ph.D selalu ketua Prodi Kesehatan
Masyarakat yang sangat berperan dalam terselenggaranya sidang.
4. Dosen Pembimbing Skripsi saya, Ibu Dewi Utami Iriani. M. Kes, Ph.D dan
Ibu Febrianti M.Si, yang telah memberikan ilmu dan waktunya dalam
membimbing saya mengerjakan skripsi ini.
5. Dosen penguji 1. Ibu Fase Badriah, M.Kes, Ph.D, Penguji 2. Ibu Hoirun Nisa,
M.Kes, Ph.D dan Penguji 3. Ibu Julie Rostina, SKM, MKM, yang telah
memberikan banyak saran pada sidang munaqosyah saya.
6. Pak Ajib selaku staf prodi yang senantiasa memberi semangat untuk saya.
7. Guru-guru saya dari TK Nurul Huda, SDN 05 Pagi, MTs N 8 Jakarta, MAN
12 Jakarta, dosen FKIK UIN Jakarta, serta guru ngaji saya atas ilmu yang
telah diberikan kepada saya, semoga bermanfaat untuk saya dan orang-orang
disekitar saya.
8. Sahabat terbaik Sarah Ajeng, Rachmatika, dan Abdul Karim, yang senantiasa
memberi semangat tiada henti, memberi inspirasi dan sharing ilmu.
9. Sahabat hidup sekaligus kakak terbaik Ahmad Ridwan atas dukungan dan
waktu luangnya dalam memberikan ilmu dan waktunya demi
terselesaikannya skripsi ini.
10. Sahabat seperjuangan (2011), kakak dan adik kelas di Peminatan Kesehatan
Lingkungan UIN Jakarta, dan teman RISMAULA.atas dukungannya.
Dengan tersusunnya skripsi ini, penulis menyadari sepenuhnya bahwa
skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan oleh karena itu penulis memohon maaf
jika terdapat kesalahan pengetikan maupun rangkaian kata dalam skripsi ini.
Jakarta, Juni 2015
Penulis
ix
DAFTAR ISI
Lembar Pernyataan ....................................................................................................... ii
Abstrak ........................................................................................................................ iii
Abstrack ...................................................................................................................... iv
Lembar Persetujuan ...................................................................................................... v
Lembar Penguji ........................................................................................................... vi
Daftar Riwayat Hidup ................................................................................................ vii
Kata Pengantar .......................................................................................................... viii
Daftar Isi ...................................................................................................................... ix
Daftar Tabel ............................................................................................................... xiii
Daftar Diagram ......................................................................................................... xiv
Daftar Bagan ............................................................................................................. xiv
Daftar Lampiran ........................................................................................................ xiv
BAB I : PENDAHULUAN ................................................................................... 1-10
1.1. Latar Belakang .................................................................................................... 1
1.2. Perumusan Masalah ............................................................................................ 6
1.3. Pertanyaan Penelitian.......................................................................................... 7
1.4. Tujuan ................................................................................................................. 8
1.4.1. Tujuan Umum ......................................................................................... 8
1.4.2. Tujuan Khusus ........................................................................................ 8
1.5. Manfaat Penelitian .............................................................................................. 9
1.5.1. Manfaat Bagi Pemerintah ....................................................................... 9
1.5.2. Manfaat Bagi Lembaga Konsumen ........................................................ 9
1.5.3. Manfaat Bagi Masyarakat ....................................................................... 9
1.5.4. Manfaat Bagi Peneliti ............................................................................. 9
1.5.5. Manfaat Bagi FKIK ................................................................................ 9
1.6. Ruang Lingkup Penelitian .................................................................................. 9
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 11-46
2.1. Tahu .................................................................................................................. 11
x
2.1.1. Syarat Kualitas Tahu ............................................................................. 11
2.1.2. Jenis Tahu ............................................................................................. 13
2.2. Ciri Tahu Mengandung Formalin ..................................................................... 15
2.3. Formalin ............................................................................................................ 15
2.3.1. Pengertian Formalin .............................................................................. 15
2.3.2. Kegunaan Formalin ............................................................................... 17
2.3.3. Akibat Pemaparan Formalin ................................................................. 18
2.3.4. Cara Mengidentifikasi Keberadaan Formalin Pada Tahu ..................... 21
2.4. Konsep Perilaku ................................................................................................ 21
2.5. Faktor yang Mempengaruhi Perilaku ............................................................... 23
2.6. Faktor Predisposisi ........................................................................................... 24
2.6.1. Pengetahuan .......................................................................................... 24
2.6.2. Sikap ..................................................................................................... 31
2.6.3. Persepsi ................................................................................................. 36
2.6.4. Nilai ...................................................................................................... 38
2.7. Faktor Pemungkin ............................................................................................. 40
2.7.1. Ketersediaan Fasilitas dan SDM ........................................................... 40
2.7.2. Keterampilan Petugas ........................................................................... 41
2.7.3. Komitmen Pemerintah .......................................................................... 42
2.8. Faktor Penguat .................................................................................................. 43
2.8.1. Teman Pedagang ................................................................................... 43
2.8.2. Akses ke Produsen ................................................................................ 44
2.8.3. Keluarga ................................................................................................ 44
2.8.4. Pengawasan Petugas Kesehatan ............................................................ 45
2.9. Kerangka Teori ................................................................................................. 46
BAB III : KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL .......... 47-53
3.1. Kerangka Konsep.............................................................................................. 47
3.2. Definisi Operasional ......................................................................................... 50
BAB IV : METODE PENELITIAN .................................................................. 54-69
4.1. Desain Studi ...................................................................................................... 54
xi
4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................................................ 54
4.3. Populasi ............................................................................................................ 55
4.4. Sampel .............................................................................................................. 55
4.5. Pengumpulan Data ............................................................................................ 56
4.6. Instrumen Penelitian ......................................................................................... 57
4.7. Cara Pengambilan Sampel Tahu ....................................................................... 60
4.8. Cara Uji Laboratorium Pada Tahu .................................................................... 61
4.9. Pengolahan Data ............................................................................................... 63
4.10. Analisis ............................................................................................................. 65
4.10.1. Univariat ............................................................................................... 65
4.11. Uji Validitas dan Reabilitas .............................................................................. 66
BAB V : HASIL PENELITIAN ......................................................................... 70-89
5.1. Karakteristik Responden ................................................................................... 70
5.1.1. Usia ....................................................................................................... 70
5.1.2. Jenis Kelamin ........................................................................................ 71
5.1.3. Pendidikan ............................................................................................ 71
5.1.4. Lama Berjualan Tahu ............................................................................ 72
5.1.5. Jumlah Jenis Tahu yang Dijual ............................................................. 73
5.1.6. Distribusi Tahu Berdasarkan Jenisnya .................................................. 74
5.2. Hasil Analisa Univariat..................................................................................... 74
5.2.1. Hasil Uji Kandungan Formalin Pada Tahu ........................................... 75
5.2.2. Hasil Uji Kandungan Formalin Pada Tahu Berdasarkan Jenis Tahu .... 75
5.2.3. Gambaran Pengetahuan Penjual Tahu Terhadap Formalin .................. 76
5.2.3.1.Pengetahuan Berdasarkan Pertanyaan Kuesioner ................................. 77
5.2.3.2.Pengetahuan Tentang Ada Tidaknya Kandungan
Formalin Pada Tahu yang Dijual .......................................................... 78
5.2.4. Gambaran Sikap Penjual Tahu Terhadap Informasi Bahaya Formalin 79
5.2.4.1.Gambaran Sikap Penjual Tahu Terhadap Informasi
Bahaya Formalin Berdasarkan Item Pernyataan ................................... 81
5.2.5. Gambaran Perilaku Penjual Tahu ........................................................ 82
5.2.5.1.Identifikasi Perilaku Penjual Tahu Mengenai Tahu Berformalin ......... 83
xii
5.2.5.1.1. Kesamaan Tahu yang Dijual dan Dikonsumsi ........................... 84
5.2.5.1.2. Asal Tahu .................................................................................... 84
5.2.5.1.3. Kategori Daerah Supplier ............................................................ 85
5.2.5.1.4. Daya Tahan Tahu ........................................................................ 86
5.2.5.1.5. Perlakuan Jika Tahu Bersisa ........................................................ 86
5.2.5.1.6. Teman yang Mengajak Berjualan Tahu ...................................... 87
5.2.5.1.7. Perilaku Menjual Tahu Jika Sebenarnya Telah
Mengetahui Tahu Tersebut Berformalin ..................................... 88
BAB VI : PEMBAHASAN ............................................................................... 90-123
6.1.Keterbatasan Penelitian ........................................................................................ 90
6.2.Temuan Formalin Pada Tahu ............................................................................... 91
6.3.Pengetahuan Penjual Tahu Mengenai Formalin ................................................. 94
6.3.1. Pengetahuan Mengenai Golongan Formalin Menurut
Peraturan Pemerintah ............................................................................... 102
6.3.2. Pengetahuan Mengenai Ciri Tahu Berformalin ....................................... 104
6.3.3. Pengetahuan Mengenai Dampak Kesehatan Akibat
Mengkonsumsi Tahu Formalin ................................................................ 106
6.4.Sikap Penjual Tahu Terhadap Informasi Bahaya Formalin ............................... 109
6.5.Perilaku Penjual Tahu ....................................................................................... 115
6.5.1. Identifikasi Perilaku Penjual Tahu Mengenai Tahu Berformalin ............ 119
BAB VII : SIMPULAN DAN SARAN .......................................................... 123-127
7.1. Simpulan ......................................................................................................... 123
7.2. Saran ............................................................................................................... 123
7.2.1. Saran Bagi Masyarakat ............................................................................ 123
7.2.2. Saran Bagi Pemerintah ............................................................................ 124
7.2.3. Saran Bagi Lembaga Konsumen ............................................................. 125
7.2.4. Saran Bagi Peneliti Selanjutnya .............................................................. 126
7.2.5. Saran Bagi FKIK ..................................................................................... 126
Daftar Pustaka .......................................................................................................... 127
xiii
DAFTAR TABEL
3.1. Definisi Operasional……………………………………………….. 50
5.1. Distribusi Usia Penjual Tahu di Pasar Daerah Semanan Tahun
2015………………………………………………………………… 70
5.2. Distribusi Lama Penjual Tahu Berjualan di Pasar Daerah Semanan
Tahun 2015………………………………………………………… 73
5.3. Distribusi Jenis Tahu yang Dijual Penjual Tahu di Pasar Daerah
Semanan Tahun 2015……………………………………………… 73
5.4. Distribusi Tahu Berdasarkan Jenis di Pasar Daerah Semanan
Tahun 2015………………………………………………………… 74
5.5. Distribusi Hasil Uji Kandungan Formalin Pada Tahu di Pasar
Daerah Semanan Tahun 2015……………………………………… 75
5.6. Distribusi Uji Kandungan Formalin Pada Tahu Berdasarkan Jenis
Tahu di Pasar Daerah Semanan Tahun 2015………………………. 76
5.7. Distribusi Pengetahuan Penjual Tahu Terhadap Formalin di Pasar
Daerah Semanan Tahun 2015……………………………………… 76
5.8. Distribusi Pengetahuan Penjual Tahu Berdasarkan Pertanyaan
Kuesioner di Pasar Daerah Semanan Tahun 2015…………………. 77
5.9. Distribusi Sikap Penjual Tahu Terhadap Informasi Bahaya
Formalin Pada Tahu di Pasar Daerah Semanan Tahun 2015………. 80
5.10. Distribusi Sikap Penjual Tahu Terhadap Informasi Bahaya
Formalin Berdasarkan Item Pernyataan Pada Tahu di Pasar Daerah
Semanan Tahun 2015………………………………………………. 81
5.11. Distribusi Perilaku Penjualan Tahu Berformalin Di Pasar Daerah
Semanan Tahun 2015………………………………………………. 83
5.12. Distribusi Kesamaan Tahu yang Dijual dan Dikonsumsi Penjual
Tahu di Pasar Daerah Semanan Tahun 2015………………………. 84
5.13. Distribusi Pengakuan Penjual Tahu Terkait Faktor Teman yang
Mengajak Berjualan Tahu di Pasar Daerah Semanan Tahun 2015… 88
5.14. Distribusi Perilaku Penjual Tahu Jika Telah Mengetahui Tahu
Tersebut Berformalin di Pasar Daerah Semanan Tahun 2015……... 88
xiv
DAFTAR DIAGRAM
5.1. Distribusi Jenis Kelamin Penjual Tahu di Pasar Daerah Semanan
Tahun 2015………………………………………………………….. 71
5.2. Distribusi Pendidikan Penjual Tahu di Pasar Daerah Semanan Tahun
2015………………………………………………………………….. 72
5.3. Distribusi Pengetahuan Tentang Ada Tidaknya Kandungan Formalin
Pada Tahu yang Dijual di Pasar Daerah Semanan Tahun 2015………. 79
5.4. Distribusi Asal Tahu yang Dijual Penjual Tahu di Pasar Daerah
Semanan Tahun 2015……………………………………………….. 85
5.5. Distribusi Kategori Daerah Supplier Yang Mensuplai Tahu Kepada
Para Penjual Tahu di Pasar Daerah Semanan Tahun 2015………….. 85
5.6. Distribusi Pengakuan Penjual Tahu Tentang Daya Tahan Tahu yang
Dijualnya di Pasar Daerah Semanan Tahun 2015……………………. 86
5.7. Distribusi Perlakuan Penjual Tahu Jika Tahu Bersisa di Pasar Daerah
Semanan Tahun 2015…………………………………………………. 87
DAFTAR BAGAN
2.1 Kerangka Teori……………………………………………………. 45
3.1 Kerangka Konsep………………………………………………….. 48
DAFTAR LAMPIRAN
1. Lembar Kuesioner
2. Form Hasil Uji Kualitatif Formalin Pada Tahu di Pasar Daerah Semanan Tahun 2015
3. Dokumentasi
4. Hasil SPSS
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) RI No. 33 tahun
2012 tentang Bahan Tambahan Pangan (BTP), salah satu bahan pengawet
yang dilarang penggunaannya pada makanan adalah formalin atau
folmaldehyde. Formalin dilarang ada pada makanan karena dapat
membahayakan kesehatan. Formalin merupakan salah satu pengawet non
pangan yang biasanya digunakan dalam pengawetan mayat (Sartono, 2001).
Menurut Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) saat ini
kenyataannya formalin disalahgunakan sebagai pengawet salah satunya pada
produk makanan seperti tahu (BPOM, 2006). Formalin pada makanan telah
dilarang oleh US-EPA (Environmental Protection Agency) dan International
Programme on Chemical Safety / IARC karena formalin merupakan zat yang
probable human carcinogen (Hastuti, 2010). Pemerintah Indonesia juga telah
melarang penggunaan formalin sebagai bahan pengawet pangan sejak tahun
1982 melalui Permenkes No. 472/1996 tentang Pengamanan Bahan
Berbahaya Bagi Kesehatan.
Larangan formalin pada makanan karena dapat menimbulkan dampak
kesehatan. Menurut ajaran islam, dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah: 168
manusia diperintahkan makan makanan yang halal dan baik (Departemen
Agama RI, 2006). Ayat ini menjadi pedoman dasar bagi manusia untuk
memilih makanan yang tidak hanya halal namun juga baik. Baik bukan hanya
2
dari kondisi fisik namun baik dalam segi manfaat dari makanan tersebut bagi
kesehatan. Namun pada kenyataannya saat ini marak beredar makanan yang
mengandung zat berbahaya bagi kesehatan.
Salah satu makanan yang terbukti mengandung zat berbahaya bagi
kesehatan adalah tahu yang mengandung formalin. Tahu merupakan makanan
populer di kalangan masyarakat Indonesia karena harganya yang tejangkau
dan juga bergizi. Tahu dapat dengan mudah di dapat baik di pasar tradisional
maupun di swalayan dengan harga yang cukup murah (Tjiptaningdyah, 2010).
Formalin pada tahu berfungsi sebagai pengawet untuk
mempertahankan kualitas tahu dan meningkatkan daya simpan tahu. Dengan
adanya formalin pada tahu maka perlu dikhawatirkan dampaknya, baik akut
maupun akumulatif yang tidak langsung terlihat. Dampak akut tersebut
seperti iritasi lambung, muntah, diare, kencing bercampur darah. Sedangkan
dampak akumulatif tersebut seperti kerusakan ginjal, kanker, mutagen, dan
bahkan kematian (Anwar dan Khomsan, 2008).
Menurut Environmental Protection Agency (EPA) ambang batas
formalin yang boleh masuk ke dalam tubuh (NOAEL) dalam bentuk makanan
untuk orang dewasa sebesar 15mg/kg per hari (EPA, 1991). Dampak akut
dapat muncul setelah mengkonsumsi makanan mengandung formalin dengan
dosis diatas 15 mg/kg/hari. Berdasarkan uji klinis, dosis toleransi tubuh
manusia pada pemakaian terus-menerus/ reference dose (RfD) untuk formalin
adalah sebesar 0,2 mg/kg/day selama 30 tahun, dan dapat menimbulkan
resiko kesehatan seperti kerusakan ginjal. Karena dampak akumulatif dari
pajanan formalin dapat berbahaya bagi kesehatan maka formalin tidak
3
diizinkan sama sekali ada pada makanan. Hal ini sesuai dengan Standar
Nasional Indonesia (SNI) 01-0222-1995 lampiran II yang menyebutkan
bahwa zat kimia berbahaya seperti formalin tidak boleh ada di makanan.
Data keberadaan formalin pada tahu di Indonesia menurut BPOM
(2006) sebesar 33,45%. Data tersebut didapat dari beberapa sampel yang
diambil di kota-kota besar di Indonesia seperti kota Jakarta, Bandung, Bandar
Lampung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Mataram, dan Makasar.
Kemudian BPOM juga menyatakan bahwa temuan tahu berformalin relatif
tinggi di Jakarta yakni 77,85% (BPOM, 2006). Sedangkan di daerah lainnya,
BPOM menemukan ratusan tahu berformalin di Ciputat Tangerang Selatan
(Banpos, 2014). Kemudian di Sidoarjo, ditemukan 62,85% tahu putih
berformalin di pasar tradisional dan 77,77% tahu berformalin di pasar modern
(Tjiptaningdyah, 2010).
Pada tingkat produsen juga ditemukan pabrik tahu yang menggunakan
formalin yakni seperti di daerah Palmerah dan Jelambar Jakarta Barat
(Widiastuti, 2009). Penjualan tahu berformalin juga ditemukan di pasar
daerah Semanan-Jakarta Barat. Hal ini dibuktikan dengan hasil studi
pendahuluan pada bulan Desember 2014 dari 10 (sepuluh) sampel tahu 8
(delapan) diantaranya mengandung formalin.
Sementara itu, diketahui terdapat sebanyak 8.986 pengerajin tahu-tempe
di DKI Jakarta. Pada tahun 2008, Jakarta Barat merupakan daerah kedua
terbesar sebagai daerah penghasil tahu-tempe di DKI Jakarta yakni sebanyak
2.481 orang (Republika, 2008). Sedangkan daerah sebagai penghasil tahu
tempe terbesar di DKI Jakarta yakni daerah Semanan-Jakarta Barat (Keteng,
4
2013). Di daerah Semanan terdapat sebanyak 300 pengerajin tahu beserta
tempe, 100 pengerajin tahu yang tersebar di 9 pabrik tahu di KOPTI Semanan
Jakarta Barat, dan 34 penjual tahu yang tersebar di pasar daerah Semanan.
Jumlah pedagang tersebut lebih banyak jika dibandingkan dengan pasar
ciputat sebesar 19 penjual tahu dan pasar anyar tangerang sebanyak 17
penjual tahu (Gatra, 2013).
Dengan ditemukannya tahu berformalin tersebut, hal ini juga
menunjukkan bahwa terjadi pelanggaran terhadap keamanan konsumen.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mencatat sepanjang tahun
2012 terdapat 620 kasus permasalahan konsumen. Kasus permasalahan
konsumen juga masih terjadi hingga tahun 2013 dengan ditemukannya
makanan berformalin seperti tahu berformalin (Purbolaksono, dkk, 2014). Hal
tersebut tidak hanya merugikan keselamatan konsumen, namun juga
merugikan konsumen secara finansial. Padahal pemerintah telah mengatur
hak konsumen mendapatkan makanan yang aman serta hak dan kewajiban
pelaku usaha dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen
(Padmono, 2014).
Dalam penjualan tahu berformalin terdapat faktor perilaku penjual tahu
yang dapat mempengaruhi masih adanya tahu berformalin di pasaran. Faktor
perilaku tersebut ditentukan oleh 3 faktor utama yakni faktor predisposisi,
faktor pemungkin, dan faktor penguat. Faktor predisposisi merupakan faktor
yang mempermudah terjadinya perilaku seseorang. Faktor predisposisi antara
lain pengetahuan dan sikap. Pengetahuan merupakan domain yang sangat
5
penting dalam terbentuknya tindakan seseorang. Sedangkan sikap merupakan
komponen yang penting dalam melakukan tindakan (Notoatmodjo, 2010).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Habsah (2012), faktor yang
terkait penjualan makanan berformalin pada makanan adalah pengetahuan
dari pedagang yang menjual makanan tersebut. Kurangnya pengetahuan
terkait bahan tambahan pangan (BTP) akan cenderung membuat kebiasaan
menjual makanan yang mengandung BTP yang tidak baik. Faktor yang sama
juga diteliti oleh Permanasari (2010), didapatkan hasil 56,67% pengetahuan
pedagang kurang, 53,33% memiliki sikap negatif, dan 50% terbukti
melakukan praktik perdagangan makanan berformalin.
Kemudian pada penelitian Nugrahiningtyas (2010) di pasar tradisional
dan supermarket kota Jember menunjukkan bahwa masih minimnya
pengetahuan responden terkait tahu berformalin sebesar 60,7% di pasar
tradisional dan sebesar 53,6% di supermarket menyebabkan masih
ditemukannya penjualan tahu berformalin. Dengan demikian masih minimnya
pengetahuan dapat menyebabkan penjualan tahu berformalin masih ada di
pasaran.
Mengingat dari hasil studi pendahuluan menunjukkan adanya tahu yang
berformalin, maka hal tersebut membuktikan bahwa para penjual tahu masih
ada yang menjual tahu yang mengandung formalin. Padahal pemerintah telah
melarang formalin sebagai pengawet dalam SNI-01-0222-1995, karena dapat
menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan.
6
Berdasarkan hal tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
mengenai gambaran pengetahuan, sikap, dan perilaku penjual tahu mengenai
tahu berformalin di pasar daerah Semanan Jakarta Barat tahun 2015.
1.2. Perumusan Masalah
Formalin adalah pengawet non pangan yang biasa digunakan dalam
pengawetan mayat. Pemerintah melarang penggunaan formalin sebagai
bahan pengawet pangan sejak tahun 1982 melalui SNI 01-0222-1995
lampiran II, mengingat bahaya serius yang akan dihadapi jika formalin
masuk ke dalam tubuh manusia. Resiko kesehatan seperti kerusakan ginjal
dapat terjadi secara akumulatif akibat mengkonsumsi formalin sebesar 0,2
mg/kg/day selama 30 tahun (EPA, 1991). Namun kenyataannya makanan
yang mengandung formalin masih dijual oleh beberapa pedagang/penjual
yang tidak bertanggung jawab.
Berdasarkan operasi pasar oleh BPOM yang dilakukan di Pasar yang
ada di DKI Jakarta ditemukan sebesar 77,85% tahu berformalin (BPOM,
2006). Penjualan tahu berformalin juga ditemukan di pasar daerah
Semanan-Jakarta Barat. Hal ini dibuktikan dengan hasil studi pendahuluan
yakni dari 10 (sepuluh) sampel tahu 8 (delapan) diantaranya mengandung
formalin.
Sementara itu, Daerah Semanan-Jakarta Barat merupakan daerah
penghasil tahu terbesar di DKI Jakarta (Keteng, 2013). Terdapat 100
pengerajin tahu yang tersebar di 9 pabrik tahu di KOPTI Semanan Jakarta
Barat dan 34 penjual tahu yang tersebar di pasar daerah Semanan. Jumlah
penjual tersebut lebih banyak jika dibandingkan dengan pasar ciputat
7
sebesar 19 penjual tahu dan pasar anyar tangerang sebanyak 17 pedadang
tahu (Gatra, 2013).
Mengingat dari hasil studi pendahuluan menunjukkan adanya tahu
yang berformalin, maka hal tersebut membuktikan bahwa para penjual tahu
masih ada yang menjual tahu yang mengandung formalin dan hal tersebut
menunjukkan telah terjadi pelanggaran terhadap keamanan konsumen.
Padahal pemerintah telah melarang formalin sebagai pengawet dalam SNI-
01-0222-1995, karena dampak negatifnya bagi kesehatan. Disertai dengan
penelitian sebelumnya yang juga menunjukkan bahwa keberadaaan tahu
berformalin dapat dipengaruhi oleh minimnya pengetahuan dan sikap dari
pedagang. Maka perlu dilakukan penelitian terkait gambaran pengetahuan,
sikap, dan perilaku penjual tahu mengenai tahu berformalin di Pasar daerah
Semanan Jakarta Barat.
1.3. Pertanyaan Penelitian
1) Berapa persentase tahu yang berformalin di pasar daerah Semanan
Jakarta Barat?
2) Bagaimana karakteristik penjual tahu di daerah Semanan Jakarta Barat?
3) Bagaimana tingkat pengetahuan penjual tahu di pasar daerah Semanan
Jakarta Barat tentang ciri tahu berformalin, golongan formalin
berdasarkan PP, dan dampak formalin yang ada di tahu bagi kesehatan?
4) Bagaimana sikap penjual tahu di pasar daerah Semanan Jakarta Barat
terhadap informasi bahaya formalin?
8
5) Bagaimana perilaku penjual tahu mengenai tahu formalin di pasar
daerah Semanan Kalideres?
1.4. Tujuan
1.4.1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
gambaran pengetahuan, sikap, dan perilaku penjual tahu mengenai
tahu berformalin di pasar daerah Semanan Jakarta Barat tahun 2015.
1.4.2. Tujuan Khusus
1) Mengetahui persentase tahu berformalin di jual di pasar daerah
Semanan Jakarta Barat tahun 2015.
2) Mengetahui karakteristik penjual tahu di daerah Semanan Jakarta
Barat Tahun 2015.
3) Mengetahui tingkat pengetahuan penjual tahu di pasar daerah
Semanan Jakarta Barat tentang ciri tahu berformalin, golongan
formalin berdasarkan peraturan pemerintah (PP), dan dampak
formalin yang ada di tahu bagi kesehatan.
4) Mengetahui sikap penjual tahu terhadap informasi bahaya
formalin di pasar daerah Semanan Kalideres.
5) Mengetahui perilaku penjual tahu mengenai tahu formalin di
pasar daerah Semanan Kalideres.
9
1.5. Manfaat Penelitian
1.5.1. Manfaat Bagi Pemerintah
Sebagai masukan bagi BPOM, Dinkes setempat, Departemen
Perindustrian dan Perdagangan, agar melakukan pembinaan dan
pengawasan terhadap peredaran tahu berformalin secara
berkesinambungan .
1.5.2. Manfaat Bagi Lembaga Konsumen
Sebagai masukan dan informasi bagi YLKI demi perlindungan
konsumen dari dampak negatif kesehatan akibat tahu berformalin.
1.5.3. Manfaat Bagi Masyarakat
Sebagai informasi bagi masyarakat dalam memilih makanan
olahan yang aman untuk dikonsumsi dan lebih cermat dalam memilih
tahu yang beredar di pasaran.
1.5.4. Manfaat Bagi Peneliti
Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menambah
pengetahuan dan keterampilan peneliti dalam mengaplikasikan ilmu
yang telah di dapat selama pembelajaran di perkuliahan.
1.5.5. Manfaat Bagi FKIK
Sebagai masukan bagi FKIK yang dapat menjadi dasar untuk
melakukan advokasi terkait dampak kesehatan bagi masyarakat jika
tahu berformalin terus beredar dipasaran.
1.6. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini berjudul “gambaran pengetahuan, sikap, dan perilaku
penjual tahu mengenai tahu berformalin di pasar daerah Semanan Jakarta
10
Barat tahun 2015”. Subjek penelitian ini adalah pedagang/penjual tahu yang
ada di pasar daerah Semanan Jakarta Barat Tahun 2015. Penelitian ini telah
dilaksanakan pada bulan Mei-Juni 2015 di Pasar Daerah Semanan Jakarta
Barat. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui gambaran pengetahuan,
sikap, dan perilaku penjual tahu mengenai tahu berformalin di pasar daerah
Semanan Jakarta Barat tahun 2015.
Penelitian ini bersifat deskriptif-kuantitatif dengan pendekatan cross
sectional. Populasi penelitian ini sebanyak 34 penjual tahu. Total sample
(seluruh populasi) diambil sebagai sampel untuk mengantisipasi kehilangan
sampel. Sampel tahu diambil secara Accidental Sampling. Pengumpulan
data terkait pengetahuan, sikap, dan perilaku menggunakan kuesioner,
wawancara, dan observasi. Sedangkan untuk mengetahui tahu tersebut
berformalin atau tidak serta untuk membuktikan perilaku menjual tahu
berformalin maka dilakukan uji kualitatif menggunakan alat “Food Security
Kit Formaldehyde” dari Laboratorium Kesehatan Lingkungan FKIK UIN
Jakarta. Kemudian analisis data dilakukan secara univariat.
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tahu
Menurut Suprapti (2005), tahu merupakan salah satu jenis makanan
yang dibuat dari kedelai dengan jalan memekarkan protein kedelai dan
mencetaknya melalui proses pengendapan protein pada titik isoelektrisnya,
dengan atau tanpa penambahan unsur-unsur lain yang diizinkan. Dalam
pembuatan tahu harus sesuai dengan syarat dan kualitas yang telah di tetap
kan oleh pemerintah.
2.1.1. Syarat Kualitas Tahu
Dalam SNI 01-3142-1998 tentang tahu, tidak disebutkan
tentang syarat mutu formalin pada tahu. Hal tersebut dikarena
formalin dilarang ada dalam makanan apapun termasuk tahu,
larangan tersebut telah disebutkan dalam SNI-01-0222-1995 tentang
bahan tambahan makanan Lampiran II.
Tujuan penggunaan bahan tambahan kimia dalam proses
pengolahan atau pengawetan makanan adalah untuk meningkatkan
kualitas makanan yang dihasilkan. Dalam hal ini terkait dengan
pembuatan tahu, digunakan beberapa macam bahan tambahan kimia
berikut (Suprapti, 2005):
12
a. Bahan penggumpal
Ada tiga jenis bahan kimia yang berfungsi sebagai bahan
penggumpal protein pada proses pembuatan tahu. Ketiga jenis
bahan tambahan kimia tersebut adalah sebagai berikut:
1) Asam Cuka (CH3COOH)
Asam cuka atau asam asetat yang terdapat di pasaran
merupakan asam asetat dalam kondisi pekat.
2) Batu Tahu (CaSO4)
Agar dapat digunakan sebagai bahan penggumpal, batu
tahu yang semula mirip dengan pecahan kaca harus dibakar
terlebih dahulu dengan waktu yang tidak terlalu lama hingga
hancur menjadi bubuk putih (tepung gips).
3) Cairan Sisa (Whey)
Cairan whey dapat digunakan lagi sebagai bahan
penggumpal dalam proses penggumpalan selanjutnya.
b. Bahan pelunak kedelai
Dapat menggunakan soda abu yang dicampurkan ke dalam
air rendaman kedelai dengan dosis 0,3 gram/ 10 liter dari air
rendaman. Disamping itu, dapat digunakan pula soda kue dengan
dosis 0,5 gram/10 liter air rendaman.
c. Bahan Pewarna
Produk tahu biasanya berwarna kuning. Pewarna kuning
dapat menggunakan pewarna alami atau pewarna buatan/sintetik
13
makanan yang diizinkan penggunaannya. Pewarna alami yakni
kunyit/kunir (turmeric).
d. Bahan Pengawet
Bahan kimia pengawet tahu yang dapat digunakan, salah
satunya sebagai berikut:
1) Natrium (sodium) benzoat, dengan dosis 0,1%
2) Nipagin (para amino benzoic acid/ PABA), dengan dosis
0,08%.
3) Asam propionat, dengan dosis 0,3%
4) Garam (NaCl), dengan dosis 2,5%.
e. Flavor Sintesis
Flavour digunakan untuk memperbaiki cita rasa tahu, flavor
ayam atau daging biasanya ditambahkan dalam proses pembuatan
tahu. Penggunaannya sebanyak 5% dari bakal tahu yang akan
digunakan (Suprapti, 2005).
2.1.2. Jenis Tahu
Dengan berbagai variasi, bentuk dan nama tahu di
perdagangkan di pasaran. Berdasarkan variasi tampilannya, tahu
dibedakan menjadi 3 jenis yakni:
a. Tahu Putih
Tahu putih atau tahu cina, berwarna putih dan bertekstur
lembut. Teksturnya lebih padat, halus, kenyal, mudah hancur
dibandingkan tahu lain. Ukurannya sekitar 12cm x 12cm x 8cm.
14
Ukuran dan bobot tahu relatif seragam karena proses
pembuatannya dicetak dan dipres dengan mesin. Dalam
pemuatannya, digunakan sioko (kalsium sulfat) sebagai bahan
penggumpal protein sari kedelainya (Saragih dan Sarwono, 2003).
b. Tahu Kuning
Tahu kuning biasanya adalah tahu bandung. Warna kuning
dari tahu ini berasal dari kunyit. Berbentuknya persegi (kotak),
tekstur agak keras dan kenyal, warna kuning karena sebelumnya
telah direndam air kunyit. Tahu digoreng dengan mengoleskan
sedikit minyak di wajan. Tahu ini lebih enak dikonsumsi dengan
lalap cabai rawit (Saragih dan Sarwono, 2003).
Namun ada juga tahu kuning mirip tahu cina, yang sudah di
potong kecil atau sebagian orang menyebutnya tahu serpong.
Bentuknya tipis dan lebar. Warna kuning disebabkan sepuhan atau
larutan sari kunyit. Tahu ini banyak digunakan dalam masakan cina
(Saragih dan Sarwono, 2003).
c. Tahu Coklat
Tahu coklat biasanya disebut juga tahu kulit. Tahu ini sudah
digoreng terlebih dahulu sehingga warnanya cokelat dan bagian
luarnya seperti kulit. Setelah di goreng biasanya tahu ini direndam
dalam air. Biasa digunakan untuk membuat tahu isi. Bentuknya ada
yang segitiga maupun persegi dan ukurannya umumnya berukuran
kecil (Saragih dan Sarwono, 2003).
15
2.2. Ciri Tahu Mengandung Formalin
Tahu merupakan bahan makanan atau pangan yang sangat mudah
rusak sehingga digolongkan sebagai high perishable food. Secara
organoleptik tanda-tanda yang dapat digunakan untuk mengetahui telah
terjadinya kerusakan tahu antara lain adalah rasa asam, bau masam sampai
busuk, permukaan tahu berlendir, tekstur menjadi lunak, kekompakan
berkurang, dll (Astawan, 2009).
Karena tahu mudah mengalami kerusakan, maka beberapa produsen
yang tidak bertanggung jawab menggunakan formalin sebagai pengawet
tahu. Salah satu cara mengidentifikasi tahu berformalin yakni dengan
mengetahui ciri-ciri tahu yang mengandung formalin yakni sebagai berikut
(BPOM RI, 2006):
a. Tidak rusak sampai 3 hari pada suhu kamar (25C)
b. Bertahan lebih dari 15 hari pada suhu lemari es (10C)
c. Tahu terlampu keras namun tidak padat
d. Bau agak menyengat, bau formalin (dengan kandungan formalin 0,5-1
ppm).
2.3. Formalin
2.3.1. Pengertian Formalin
Formalin merupakan suatu zat yang biasanya mengandung 37%
formaldehid dalam pelarut air dan mengandung 10% metanol.
Katakteristik formalin yakni tidak berwarna, bau yang keras dan
mempunyai berat jenis 1,09kg/l dalam suhu 20 derajat Celcius (Sari,
16
2008). Senyawa kimia formaldehida (juga disebut metanal, atau
formalin), merupakan aldehida dengan rumus kimia H2CO, yang
berbentuk gas, atau cair yang dikenal sebagai formalin, atau padatan
yang dikenal sebagai paraformaldehyde atau trioxana (Ratnaningtyas,
2012). Paraformaldehid juga digunakan untuk memberi kekuatan
terhadap air pada kertas atau kain, dan juga sebagai perekat plywood
dan papan kayu yang lain. Paraformaldehid, kadang-kadang
mengandung formaldehid bebas. Batas paparan formaldehid 2 ppm,
dan dosis fatal formalin 60-90ml (Sartono, 2001).
Formalin merupakan salah satu pengawet non pangan yang
sekarang banyak digunakan untuk mengawetkan makanan. Menurut
Sartono (2001), formaldehid biasa digunakan sebagai antiseptika,
desinfektan, deodoran, dan sebagai larutan untuk membalsem mayat.
Formaldehid yang beredar di pasaran mempunyai kadar formaldehid
bervariasi antara 20%-40% (Sitiopan, 2012). Dipasaran, formalin
dapat diperoleh dalam bentuk sudah diencerkan, yakni dengan kadar
formaldehidnya 40, 30, 20, 10 persen serta dalam bentuk tablet yang
beratnya masing-masing 5 gram (Cahanar et al, 2006). Alasan
penyalahgunaan formalin sebagai pengawet makanan karena harga
formalin yang relatif lebih murah yakni berkisar antara Rp. 5000-
Rp.7000 per liternya (Saparinto dan Hidayati, 2006). Menurut
Hendaryani (2012) harga formalin saat ini sangat murah yakni
Rp.8000/liter, sedangkan harga pengawet makanan seperti kitosan
cukup mahal yakni Rp.170.000 per kilogram, itulah mengapa
17
pedagang makanan yang tidak bertanggung jawab lebih memilih
menggunakan formalin dibanding kitosan.
2.3.2. Kegunaan Formalin
Formalin biasa berfungsi sebagai obat untuk pengawet mayat.
Namun di masyarakat, formalin digunakan secara luas sebagai obat
antiparasit. Formalin efektif digunakan untuk membunuh berbagai
macam parasit dan bakteri yang menempel pada ikan hias. Selain itu
kadang-kadang formalin yang diencerkan digunakan sebagai
desinfektan dipeternakan (Sari, 2008).
Menurut BPOM (2006), formalin digunakan untuk pembunuh
kuman sehingga banyak dimanfaatkan sebagai pembersih lantai,
kapal, gudang dan pakaian; pembasmi lalat dan berbagai serangga
lain; bahan untuk pembuatan sutra buatan, zat pewarna, pembuatan
gelas dan bahan peledak; dalam dunia fotografi biasanya digunakan
untuk pengeras lapisan gelatin dan kertas; bahan untuk pengawet
mayat; bahan pembuatan pupuk lepas lambat (slow- release fertilizer)
dalam bentuk urea formaldehid; bahan untuk pembuatan parfum;
bahan pengawet produk kosmetika dan pengeras kuku; pencegah
korosi untuk sumur minyak; bahan untuk insulasi busa; bahan perekat
untuk produk kayu lapis (plywood); dalam konsentrasi yang sangat
kecil (< 1%) digunakan sebagai pengawet untuk berbagai produk
konsumen seperti pembersih rumah tangga, cairan pencuci piring,
pelembut, perawat sepatu, shampo mobil, lilin dan pembersih karpet.
18
2.3.3. Akibat Pemaparan Formalin
Formalin merupakan bahan beracun dan berbahaya bagi
kesehatan manusia. Jika kandungannya dalam tubuh tinggi, akan
bereaksi secara kimia dengan hampir semua zat di dalam sel sehingga
menekan fungsi sel dan menyebabkan kematian sel yang
menyebabkan keracunan pada tubuh (Cahanar et al, 2006). Formalin
dapat masuk ke dalam tubuh melalui inhalasi akibat uap formalin,
selain itu dapat terserap oleh kulit ataupun secara ingesti (tertelan).
Jika sampai tertelan (ingesti) maka orang tersebut harus segera
diminumkan banyak air dan segera dimintakan untuk memuntahkan
isi lambungnya (Sari, 2008).
Pemajanan formalin ke dalam tubuh dapat terjadi melalui ingesti
saat seseorang mengkonsumsi formalin pada makanan. Biasanya
terjadi pada makanan-makanan seperti tahu, daging ayam, dan mie
basah. Karena komoditas pangan tersebut relatif sering di konsumsi
masyarakat namun cepat mengalami pembusukan dan tidak tahan
lama sehingga beberapa produsen tidak bertanggung jawab memberi
tambahan pengawet formalin (Anwar dan Khomsan, 2009). Padahal
seharusnya formalin dilarang digunakan pada makanan mengingat
dampak buruk akibat penggunaan dari zat beracun tersebut (Sari,
2008).
Formalin diketahui sebagai zat beracun, yang dapat
menyebabkan dampak kesehatan baik secara langsung (akut) maupun
akumulatif. Dampak akut dapat muncul ketika seseorang
19
mengkonsumsi formalin dengan dosis mulai dari 15 mg/kg/hari,
adapun dampak tersebut yakni sakit kepala, radang hidung kronis
(rhinitis), mual-mual, (Sari, 2008). Selain itu dapat juga menyebabkan
muntah, diare bercampur darah, kencing bercampur darah, bahkan
kematian akibat kegagalan peredaran darah (Cahanar et al, 2006).
Sedangkan dampak akumulatif berupa kerusakan ginjal dapat terjadi
jika terus mengkonsumsi makanan berformalin dengan dosis
0,2mg/kg/hari setiap harinya, dampak tersebut akan terlihat setelah
paparan dalam kurun waktu 30 tahun (EPA, 1991).
Konsumsi formalin pada manusia secara ingesti (tertelan) dapat
menyebabkan kanker mulut dan tenggorokan. Pada wanita dapat
menyebabkan gangguan mentruasi dan infertilitas (kemandulan) (Sari,
2008). Seseorang mungkin hanya mampu bertahan 48 jam setelah
mengkonsumsi dosis fatal formalin (60-90ml) (Anwar dan Khomsah,
2008).
Menurut Sartono (2001), keracunan formaldehid juga dapat
terjadi melalui inhalasi menyebabkan iritasi pada saluran nafas, selain
itu juga merangsang mata. Gejala lain yang dapat timbul pada
konsumsi rendah, antara lain edema laring, dan reaksi sensitivitas
pada kulit seperti urtikaria. Penelitian pada binatang menunjukkan
bahwa formalin dapat menyebabkan kanker kulit dan kanker paru.
Formalin juga dapat merusak sistem syaraf tubuh manusia dan dikenal
sebagai zat yang bersifat racun untuk persyarafan tubuh kita
(neurotoksik), seperti mengakibatkan gangguan persyarafan berupa
20
susah tidur, sensitif, mudah lupa, sulit berkonsentrasi. Selain itu,
berdasarkan penelitian Heryani, dkk (2011), diketahui bahwa paparan
formalin menyebabakan penurunan sel spermatogenik pada mencit.
Selain itu pemberian formalin peroral dosis bertingkat selama 12
minggu menyebabkan terjadinya histopatologis gaster tikus wistar.
Perubahan yang terlihat berupa deskuamasi epitel, erosi epitel dan
ulseri epitel (Katerina, 2012).
Menurut Environmental Protection Agency (EPA, 1991)
ambang batas formalin yang boleh masuk ke dalam tubuh (No
Observed Adverse Effect Level/ NOAEL) dalam bentuk makanan
untuk orang dewasa sebesar 15 mg/kg per hari. Namun berdasarkan
uji klinis, dosis toleransi tubuh manusia pada pemakaian terus
menerus/ reference dose (RfD) untuk formalin sebesar 0,2 mg/kg/day
(EPA, 1991).
Dampak formalin secara inhalasi menurut EPA telah terbukti
dapat menimbulkan kanker dalam jangka kurun waktu 70 tahun. Data
dosis respon untuk resiko kanker pajanan secara inhalasi menunjukkan
bahwa pada dosis 5,6 mg/kg/hari pada manusia dapat menimbulkan
insiden kanker pada 2/153 orang sedangkan pada dosis 14,3
mg/kg/hari dapat menimbulkan insiden kanker sebesar 94/140 orang
dalam kurun waktu 70 tahun (EPA, 1991).
21
2.3.4. Cara Mengidentifikasi Keberadaan Formalin Pada Tahu
Keberadaan formalin pada tahu hanya bisa dibuktikan dengan
uji laboratorium. Metode yang dilakukan salah satunya dengan cara
pengujian menggunakan food security kit- formaldehyde 1 (dengan
meneteskan reagent). Dikatakan positif jika kerta test field berwarna
keunguan sedangkan jika negatif tidak berubah warna
(Tjiptaningdyah, 2010).
2.4. Konsep Perilaku
Menurut Skinner (1938) dalam Notoatmodjo (2010), perilaku
merupakan hasil hubungan antara perangsang (stimulus) dan tanggapan
serta respon. Perilaku dilihat dari aspek biologis merupakan kegiatan atau
aktivitas organisme atau makhluk hidup yang bersangkutan. Perilaku
merupakan tindakan suatu organisme yang dapat diamati bahkan dapat
dipelajari.
Menurut Notoadmodjo (2012), pada dasarnya bentuk perilaku dapat
diamati melalui sikap dan tindakan. Namun tidak berarti bentuk perilaku
hanya dapat dilihat dari sikap dan tindakan saja. Perilaku bisa saja bersifat
potensial yaitu dari bentuk penelitian, motivasi dan persepsi. Pada
pelaksanaannya perilaku dapat diartikan sebagai suatu respon seseorang
terhadap rangsangan dari luar subjek. Respon ini berbentuk tindakan.
Selanjutnya, berbentuk perilaku aktif yakni tindakan yang dapat diobservasi
secara langsung dengan mata, sedangkan yang pasif yaitu yang terjadi di
dalam diri manusia seperti berfikir, tanggapan atau sikap batin dan
22
pengetahuan. Adapun bentuk operasional dari perilaku dikelompokkan
menjadi tiga jenis yaitu:
1. Perilaku dalam bentuk pengetahuan yaitu dengan mengetahui situasi
rangsangan dari luar berupa segala hal dan kondisi baru yang perlu
diketahui dan dikuasai dirinya.
2. Perilaku dalam bentuk sikap yaitu tanggapan batin terhadap keadaan
atau rangsangan dari luar atau lingkungan dari subyek yang terdiri dari:
a. Lingkungan fisik yaitu lingkungan alam sehingga alam itu sendiri
akan membentuk perilaku manusia yang hidup di dalamnya sesuai
dengan sikap dan keadaan lingkungan tersebut
b. Lingkungan sosial budaya (non-fisik) mempunyai pengaruh yang
kuat terhadap pembentukan perilaku manusia, lingkungan ini adalah
keadaan masyarakat yang segala budidayanya dimana manusia itu
lahir dan mengembangkan perilakunya.
3. Perilaku dalam bentuk tindakan yang sudah konkrit yakni berupa
tindakan (action) terhadap suatu rangsangan dari luar (Notoatmodjo,
2007).
Pengukuran perilaku dapat dilakukan secara tidak langsung, yakni
dengan wawancara terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan
beberapa jam, hari, atau bulan yang lalu (recall). Pengukuran juga dapat
dilakukan secara langsung yakni dengan mengobservasi tindakan atau
kegiatan responden (Notoatmodjo, 2007).
23
2.5. Faktor yang Mempengaruhi Perilaku
Perilaku seseorang dipengaruhi atau ditentukan oleh faktor-faktor baik
dari dalam maupun dari luar subjek. Faktor yang menentukan perilaku
disebut determinan. Menurut Green (1991), kesehatan individu/masyarakat
dipengaruhi oleh dua faktor pokok yakni faktor perilaku dan faktor di luar
perilaku (non-perilaku).
Selanjutnya Lawrence Green (1991) menganalisis, bahwa faktor
perilaku sendiri ditentukan oleh 3 faktor utama, yaitu:
1) Faktor-faktor predisposisi (disposing factors)
Faktor-faktor predisposisi yaitu faktor-faktor yang mempermudah
terjadinya perilaku seseorang, antara lain pengetahuan, sikap,
keyakinan, kepercayaan, nilai-nilai, tradisi, dan sebagainya.
2) Faktor-faktor pemungkin (enabling factors)
Faktor-faktor pemungkin adalah faktor-faktor yang memungkinkan atau
yang memfasilitasi perilaku atau tindakan. Yang dimaksud dengan
faktor pemungkin adalah sarana dan prasarana atau fasilitas untuk
terjadinya perilaku kesehatan.
3) Faktor-faktor penguat (reinforcing factors)
Faktor-faktor penguat adalah faktor-faktor yang mendorong atau
memperkuat terjadinya perilaku. Kadang-kadang meskipun orang tahu
dan mampu untuk berperilaku sehat, tetapi tidak melakukannya.
Contohnya sikap dan perilaku petugas dan tokoh masyarakat.
Menurut Notoatmodjo (2007), upaya peraturan pemerintah termasuk
dalam kategori Enforcement (tekanan) yang bertujuan untuk mengubah
24
perilaku masyarakat agar berperilaku sehat dengan cara tekanan melalui
UU, PP, dan Intruksi pemerintah. Biasanya upaya dengan pendekatan
tersebut lebih cepat mengubah perilaku namun tidak langgeng (sustainable),
karena perubahan perilaku yang dihasilkan dengan cara ini tidak didasari
oleh pengertian dan kesadaran yang tinggi terhadap tujuan perilaku tersebut.
Dalam terjadinya perubahan perilaku, dapat dipengaruhi oleh
penyuluhan dengan komunikasi dua arah. Komunikasi persuasi dua arah
dalam penyuluhan kesehatan dibutuhkan guna mengubah pengetahuan,
sikap dan perilaku kesehatan secara langsung terkait rantai kausal yang
sama (Mc guire dalam Fitriani, 2011).
2.6. Faktor Predisposisi (Predisposing Factors)
2.6.1. Pengetahuan
2.6.1.1. Definisi Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil dari tahu yang terjadi melalui proses
sensoris khususnya mata dan telinga terhadap objek tertentu (Sunaryo,
2004). Hal yang sama juga dikemukakan oleh Bloom dalam
Notoadmodjo (2010), menurutnya pengetahuan adalah hasil
penginderaan manusia atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui
indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dsb). Dengan sendirinya,
saat penginderaan sampai menghasilkan pengetahuan tersebut sangat
dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek.
Sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh melalui indera
pendengaran (telinga), dan indera penglihatan (mata).
25
Menurut Mubarak (2007), pengetahuan itu sendiri dapat
dipengaruhi oleh faktor pendidikan formal. Pengetahuan sangat erat
hubungannya dengan pendidikan, dimana diharapkan bahwa dengan
pendidikan yang tinggi maka seseorang akan semakin luas
pengetahuannya. Akan tetapi bukan berarti seseorang yang
berpendidikan rendah akan mutlak memiliki pengetahuan rendah, sebab
pengetahuan tidak mutlak diperoleh melalui pendidikan formal saja
melainkan dapat di peroleh melalui pendidikan non formal atau hasil
penginderaan terhadap informasi yang berasal dari media massa.
Televisi merupakan salah satu media massa yang menyajikan
pesan-pesan pembelajaran secara audio visual dengan disertai unsur
gerak. Televisi tergolong ke dalam media massa. Kelebihan televisi salah
satunya adalah medium yang menarik, modern, menyajikan informasi
visual dan lisan secara simultan yang mudah diterima panca indera, serta
sifatnya langsung dan nyata. Namun televisi memiliki kelemahan yakni
sifat komunikasinya hanya satu arah, sehingga kurang efektif untuk
penyuluhan yang membutuhkan pendekatan mendalam kepada responden
(Mubarak, dkk, 2007)
Pengetahuan mengenai suatu objek juga dapat berasal dari lama
pengalaman yang terkait objek tersebut. Semakin lama pengalaman atau
kejadian yang dialami oleh seseorang maka akan semakin banyak
pengalaman yang didapatkannya, sehingga pengetahuannya bertambah
(Mubarak, dkk, 2007).
26
Menurut Rogers (1974) dalam Notoatmodjo (2007), sebelum orang
mengadopsi perilaku baru, dalam diri orang tersebut terjadi proses yang
berurutan, yakni:
1) Awareness (kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam arti
mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (objek).
2) Interest (merasa tertarik) terhadap stimulus atau objek tersebut.
Disini sikap subjek sudah mulai timbul.
3) Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya
stimulus tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah
lebih baik lagi.
4) Trial, dimana subjek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai
dengan apa yang dikehendaki oleh stimulus.
5) Adoption, dimana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan
pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus.
Faktor yang menjadi penentu pengetahuan seseorang selain
pendidikan adalah usia. Dengan bertambahnya usia seseorang maka akan
terjadi perubahan pada aspek fisik dan psikologis (mental). Pertumbuhan
pada aspek fisik mematangkan perkembangan organ sedangkan aspek
psikologis atau mental mempengaruhi taraf berfikir seseorang sehingga
semakin dewasa dan matang. Namun, dengan meningkatnya usia, maka
kemampuan otak untuk menangkap pengetahuan akan semakin menurun
(Mubarak, dkk, 2007).
Menurut Notoatmodjo (2010), pengetahuan atau kognitif
merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan
27
seseorang (overt behaviour). Dari pengalaman dan penelitian ternyata
perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih melekat dari pada
perilaku yang tidak didasari pengetahuan. Pengetahuan yang cukup di
dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkat, yaitu:
1) Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai recall atau mengingat memori yang
sebelumnya telah diamati. Untuk mengetahui atau mengukur bahwa
orang tahu sesuatu dapat menggunakan pertanyaan-pertanyaan.
Ketidaktahuan masyarakat tentang formalin dapat diketahui apabila
mengkonsumsi makanan yang mengandung formalin.
2) Memahami (comprehension)
Memahami suatu objek bukan sekedar tahu terhadap objek
tersebut, tidak sekedar dapat menyebutkan, tetapi harus dapat
menginterpretasikan secara benar objek yang diketahui tersebut.
Seseorang dinyatakan telah memahami formalin apabila dapat
menjelaskan secara lengkap meliputi bahan kandungan, kerugian
akibat mengkonsumsi makanan berformalin dan lainnya.
3) Aplikasi (application)
Aplikasi diartikan apabila orang telah memahami objek dapat
mengaplikasikan prinsip yang diketahuinya tersebut pada situasi
lain. Seseorang anggota masyarakat pada tingkat aplikasi dapat
menerapkan teori dengan memperhatikan dan tidak mengkonsumsi
makanan yang mengandung formalin.
4) Analisis (analysis)
28
Analisis merupakan kemampuan seseorang untuk menjabarkan
dan memisahkan, kemudian mencari hubungan antara komponen-
komponen yang terdapat dalam suatu masalah atau objek yang
diketahui. Indikasi bahwa pengetahuan seseorang itu sudah sampai
tingkat analisis adalah jika orang tersebut telah dapat membedakan,
memisahkan, mengelompokkan, membuat bagan terhadap
pengetahuan atas objek tersebut. Kemampuan masyarakat dalam
menganalisis keberadaan formalin, kerugian dan akibat dalam
mengkonsumsinya.
5) Sintesis (syntesis)
Sintesis menunjukkan suatu kemampuan seseorang untuk
merangkum atau meletakkan dalam satu hubungan yang logis dari
komponen-komponen pengetahuan yang dimiliki. Dengan kata lain
seseorang mampu menyusun formulasi baru dari formulasi yang
telah ada. Seseorang pada tingkatan ini diharapkan mampu
menghubungkan teori tentang kerugian dalam penggunaan formalin
bagi kesehatan.
6) Evaluasi (evaluation)
Evaluasi berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk
melakukan penilaian terhadap suatu objek tertentu. Penilaian ini
dengan sendirinya didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan
sendiri atau norma-norma yang berlaku di masyarakat. Dalam
tingkat ini seseorang dapat melakukan penilaian terhadap keberadaan
29
dan pemakaian formalin dalam makanan kemudian tidak
mengkonsumsinya (Notoatmodjo, 2010).
Kemudian, untuk meningkatkan pengetahuan diperlukan
penyuluhan kesehatan dalam upaya menjembatani adanya kesadaran
perilaku tidak menjual tahu berformalin dengan pemberian dan
peningkatan pengetahuan masyarakat di bidang kesehatan. Dengan
adanya penyuluhan kesehatan diharapkan responden dapat memiliki
tanggung jawab yang lebih besar pada kesehatan dan, keselamatan
lingkungan dan masyarakatnya, khususnya keamanan pangan terkait
makanan berformalin (Mubarak, dkk, 2007).
Menurut Fitriani (2011), penyuluhan kesehatan yang berisi promosi
dan pendidikan kesehatan sangat berperan dalam peningkatan pengetahuan
mengenai dampak akibat formalin tersebut. Penggunaan media seperti
video perjalanan dari pemaparan awal formalin hingga terjadinya penyakit
serta target organ dari formalin dapat membantu menjelaskan betapa
bahayanya formalin pada makanan jika terus dikonsumsi.
Berdasarkan hasil penelitian Permanasari (2010) tentang hubungan
pengetahuan dan sikap pedagang dengan praktik penggunaan formalin
pada produk ikan basah di Yogyakarta, menunjukkan bahwa sebagian
besar pedagang memiliki pengetahuan kurang yakni sebesar 56,67%,
melakukan praktik perdagangan makanan berformalin sebesar 50%. Selain
itu, berdasarkan penelitian Habibah (2013) di Semarang, menyatakan
bahwa pengetahuan pedagang tentang bahan tambahan makanan dan
30
formalin pada jenis makanan ikan asin masih kurang yakni sebesar 81,1%,
kemudian sebesar 21,9% sampel yang diuji positif mengandung formalin.
2.6.1.2. Cara Menilai Pengetahuan
Cara untuk mengukur pengetahuan seseorang dengan mengajukan
pertanyaan-pertanyaan secara langsung (wawancara) atau melalui
pertanyaan-pertanyaan tertulis atau angket dan kuesioner. Indikator
pengetahuan kesehatan seseorang adalah “tingginya pengetahuan”
responden tentang kesehatan, atau besarnya persentase kelompok
responden tentang variabel-variabel atau komponen-komponen kesehatann
(Notoatmodjo, 2010).
Dalam hal ini pengukuran pengetahuan menggunakan kuesioner,
dengan penilaiannya menggunaan skor. Setiap jawaban benar dari item
pertanyaan pengetahuan diberikan skor 1 dan bila salah diberi skor 0,
sehingga setiap pedagang tahu mempunyai total skor pengetahuan yang
kemudian dilakukan perhitungan proporsi benar yang dinyatakan dalam
persentase (%).
Kriteria pengetahuan menurut Wijaya et al (2013) dengan kategori
sebagai berikut:
1) Tinggi : Jika nilai lebih besar dari pada mean apabila berdistribusi
normal. Jika tidak berdistribusi normal maka nilai lebih besar dari
pada median.
31
2) Rendah : Jika nilai lebih rendah dari pada mean apabila berdistribusi
normal. Jika tidak berdistribusi normal maka nilai lebih rendah dari
pada median.
2.6.2. Sikap
2.6.2.1. Definisi Sikap
Menurut Koentjaraningrat dalam Maulana (2009) sikap merupakan
reaksi atau respons yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau
objek. Manifestasi sikap tidak dapat dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan.
Sikap merupakan kecenderungan yang berasal dari dalam diri individu
untuk berkelakukan dengan pola-pola tertentu, terhadap suatu objek akibat
pendirian dan perasaan terhadap objek tersebut. Sedangkan menurut
Notoadmodjo (2010), sikap juga merupakan respons tertutup seseorang
terhadap stimulus atau objek tertentu, yang sudah melibatkan faktor
pendapat dan emosi yang bersangkutan (senang-tidak senang, setuju-tidak
setuju, baik-tidak baik, dsb).
Menurut Zuriah (2006), sikap dikategorikan menjadi sikap positif
dan sikap negatif, yakni sebagai berikut:
a. Sikap positif merupakan kecenderungan tindakan yang mendekati,
menenangi, menghadapkan objek tertentu yang baik.
b. Sikap negatif merupakan kecenderungan untuk menjauhi, menghindari,
membenci, tidak menyukai objek tertentu yang baik.
Secara ringkas, sikap positif artinya perilaku baik yang sesuai
dengan nilai-nilai dan norma-norma kehidupan yang berlaku dalam
32
masyarakat. Sedangkan sikap negatif adalah sikap yang tidak seseuai
dengan nilai dan norma-norma kehidupan yang berlaku dalam masyarakat
atau bahkan bertentangan (Purwanto, 1998).
Menurut Allport dalam Notoatmodjo (2010), sikap terdiri dari 3
komponen pokok, yaitu:
a. Kepercayaan atau keyakinan, ide dan konsep terhadap objek. Artinya,
bagaimana keyakinan dan pendapat atau pemikiran seseorang terhadap
objek.
b. Kehidupan emosional atau evaluasi orang terhadap objek. Artinya,
bagaimana penilaian (terkandung di dalamnya faktor emosi) orang
tersebut terhadap objek.
c. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave)
Artinya, sikap adalah merupakan komponen yang mendahului tindakan
atau perilaku terbuka. Sikap adalah ancang-ancang untuk bertindak atau
perilaku terbuka (tindakan)
Menurut Waluyo (2000), sikap juga terbentuk dari 3 komponen yakni
komponen afektif (perasaan), kognitif (pemikiran), dan perilaku. Seperti
halnya pengetahuan, sikap juga mempunyai tingkatan berdasarkan
intensitasnya (Notoatmodjo, 2007), yakni sebagai berikut:
a. Menerima (receiving)
Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan
stimulus yang diberikan (objek). Misalnya sikap orang terhadap gizi
dapat dilihat dari kesadaran dan perhatioan orang itu terhadap ceramah-
ceramah tentang gizi terutama mengenai makanan berformalin.
33
b. Menanggapi atau merespon (responding)
Menanggapi yakni memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan
dan menyelesaikan tugas yang diberikan. Karena ada usaha untuk
mengerjakan tugas yang diberikan atau menjawab pertanyaan tersebut.
Misalnya sikap seseorang menyikapi dan menanggapi tentang
pemakaian formalin pada tahu.
c. Menghargai (valuing)
Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu
masalah adalah suatu indikasi sikap. Misalnya seseorang pedagang tahu
mengajak pedagang tahu lainnya (tetangganya) untuk mengikuti
ceramah dan mendengarkan atau mendiskusikan tentang keamanan
pangan. Hal ini adalah suatu bukti bahwa pedagang tersebut telah
mempunyai sikap positif terhadap kemanan pangan terutama pengawet
makanan.
d. Bertanggung Jawab (responsible)
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan
segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi. Misalnya seseorang
pedagang tahu mau menjadi akseptor dalam penjualan tahu berformalin,
meskipun mendapat tantangan dari orang lain (Notoatmodjo, 2007).
Berdasarkan hasil penelitian Permanasari (2010) tentang hubungan
pengetahuan dan sikap pedagang dengan praktik penggunaan formalin pada
produk ikan basah di Yogyakarta, menunjukkan bahwa sebagian besar
pedagang memiliki sikap kurang yakni sebesar 53,33%, melakukan praktik
perdagangan makanan berformalin sebesar 50%. Kemudian, penelitian
34
Habibah (2013) di Semarang, menyatakan bahwa masih terdapat penjual
yang memiliki sikap negatif terhadap penggunaan formalin pada makanan
yakni sebanyak 1 orang sedangkan yang memiliki sikap positif sebanyak 7
orang, kemudian sebesar 21,9% sampel yang diuji positif mengandung
formalin.
2.6.2.2. Cara Menilai Sikap
Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung maupun tidak
langsung. Pengukuran sikap secara langsung dapat dilakukan dengan
mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang stimulus atau objek yang
bersangkutan. Pertanyaan secara langsung dapat dilakukan dengan cara
memberikan pendapat dengan menggunakan kata “setuju” dan “tidak
setuju” terhadap pertanyaan-pertanyaan mengenai objek tertentu. Namun
menurut skala Lickert, penilaian sikap terbagi mejadi 5 kategori: sangat
setuju; setuju; ragu-ragu; tidak setuju; sangat tidak setuju, kemudian untuk
keperluan analisis diberi skor (Sugiyono, 2009).
Adapun teknik perhitungan hasil skala lickert pada instrument
kuesioner atau angket, dapat dengan menganalisis data interval dengan
menghirung rata-rata jawaban berdasarkan skoring setiap jawaban
responden. Misalnya instrument itu diberikan kepada 100 orang karyawan
yang diambil sampel. Dari 100 orang tersebut setelah dilakukan analisis
pada salah satu pernyataan misalnya:
Jumlah skor untuk 25 orang menjawab SS = 25x5 =125
Jumlah skor untuk 40 orang menjawab ST = 40x4 =160
35
Jumlah skor untuk 5 orang menjawab RG = 5x 3 = 15
Jumlah skor untuk 20 orang menjawab TS = 20x1 =20
Jumlah skor untuk 10 orang menjawab STS = 10x1 =10
Jumlah total = 350
Jumlah skor ideal (kriterium) untuk seluruh item adalah 5x 100 = 500
(seandainya semua menjawab SS). Jumlah skor yang diperoleh penelitian =
350. Jadi berdasarkan data itu maka tingkat persetujuan terhadap pernyataan
tersebut = (350:500)x 70% dari yang diharapkan (100%).
Namun, secara kontinum dapat juga digambarkan sebagai berikut:
STS TS RG ST SS
100 200 300 350 400 500
Jadi berdasarkan data yang diperoleh dari 100 responden maka
rata-rata 350 terletak pada daerah setuju.
Cara pengukuran sikap selain menggunakan skala lickert adalah
dengan pengkategorian antara positif dan negatif. Positif jika jumlah
jawaban benar lebih dari setengah jumlah soal mengenai sikap, sedangkan
negatif jika jawaban benar kurang dari setengah jumlah soal mengenai sikap
(Habibah, 2013).
36
2.6.3. Persepsi
2.6.3.1. Definisi Persepsi
Perubahan-perubahan perilaku dalam diri seseorang dapat diketahui
melalui persepsi. Setiap orang mempunyai persepsi yang berbeda,
meskipun mengamati terdahap objek yang sama (Notoatmodjo, 2007).
Pepsepsi merupakan proses akhir dari pengamatan yang diawali dengan
proses penginderaan, yaitu proses diterimanya stimulus oleh alat indra,
kemudian individu ada perhatian, lalu diteruskan ke otak dan baru
kemudian individu menyadari tentang sesuatu yang dinamakan persepsi.
Dengan persepsi individu menyadari dapat mengerti tentang keadaan
lingkungan yang ada disekitarnya maupun tentang hal yang ada dalam
diri individu yang bersangkutan (Sunaryo, 2004).
Menurut Sunaryo (2004), syarat-syarat terjadinya persepsi adalah
sebagai berikut:
a. Adanya objek yang dipersepsi
b. Adanya perhatian yang merupakan langkah pertama sebagai suatu
persiapan dalam mengadakan persepsi
c. Adanya alat indera/ reseptor yaitu alat untuk menerima stimulus
d. Saraf sensoris sebagai alat untuk meneruskan stimulus ke otak, yang
kemudian sebagai alat untuk mengadakan respon.
Selain itu, menurut Thoha (2003) proses terbentuknya persepsi
didasari pada beberapa tahapan, yaitu:
a. Stimulus atau Rangsangan
37
Terjadinya persepsi diawali ketika seseorang dihadapkan pada suatu
rangsangan yang hadir dari lingkungannya.
b. Registrasi
Dalam proses registrasi, suatu gejala yang nampak adalah
mekanisme fisik yang berupa penginderaan dan syarat seseorang
berpengaruh melalui alat indera yang dimilikinya. Seseorang dapat
mendengarkan atau melihat informasi yang terkirim padanya,
kemudian mendatar semua informasi yang terkirim kepadanya.
c. Interpretasi
Interpretasi merupakan suatu aspek kognitif dari persepsi yang
sangat penting yaitu proses memberikan arti kepada stimulus yang
diterimanya. Proses interpretasi tersebut tergantung pada cara
pendalaman, motivasi, dan kepribadian seseorang.
Dalam proses persepsi terdapat 3 komponen utama yaitu:
a. Seleksi yakni proses penyaringan oleh indera terhadap rangsagangan
dari luar, intensitas dan jenisnya dapat banyak maupun sedikit.
b. Interpretasi (penafsiran), yaitu proses mengorganisasikan informasi
sehingga mempunyai arti bagi seseorang. Interpretasi dipengaruhi
oleh berbagai faktor seperti pengalaman masa lalu, sistem nilai yang
dianut, motivasi, kepribadiaan, dan kecerdasan. Interpretasi juga
bergantung pada kemampuan seseorang untuk mengadakan
pengkategorian informasi yang diterimanya, itu proses mereduksi
informasi yang kompleks menjadi sederhana.
38
c. Interpretasi dan persepsi kemudian diterjemahkan dalam bentuk
tingkah laku, yang merupakan reaksi yaitu bertindak sehubungan
dengan apa yang telah di serap yang terdiri dari reaksi tersembunyi
sebagai pendapat/sikap dan reaksi terbuka sebagai tindakan yang
nyata sehubungan dengan tindakan yang tersembunyi (pembentukan
kesan) (Sobur, 2009).
Sama halnya dengan pengukuran sikap, pengukuran persepsi dapat
menggunakan skala likert (Notoatmodjo, 2010). Namun menurut
Sugiyono (2009), pengukuran persepsi dengan skala Likert yakni: angat
setuju; setuju; ragu-ragu; tidak setuju; sangat tidak setuju.
2.6.4. Nilai
Nilai dapat diartikan sebagai hal-hal yang penting atau berguna bagi
kemanusiaan (Poewadarminta, 1984 dalam Hidayat, 2007). Nilai
merupakan padanan kata dalam bahasa inggris yakni “value”. Sedangkan
value sendiri artinya “quality of being useful or desireable” (Hornby, 1982
dalam Hidayat, 2007). Light, Keller & Calhoun (1989) dalam Hakim
(2012) memberikan batasan nilai sebagai berikut : “Value is general idea
that people share about what is good or bad, desirable or undesirable.
Value transcend any one particular situation. ... Value people hold tend to
color their overall way of life”. (Nilai merupakan gagasan umum orang-
orang, yang berbicara seputar apa yang baik atau buruk, yang diharapkan
atau yang tidak diharapkan. Nilai mewarnai pikiran seseorang dalam
39
situasi tertentu. ....Nilai yang dianut cenderung mewarnai keseluruhan
hidup mereka) (Hakim, 2012).
Nilai tak hanya dijadikan rujukan untuk bersikap dan berbuat dalam
masyarakat, tetapi juga dijadikan sebagai ukuran benar tidaknya suatu
fenomena perbuatan dalam masyarakat itu sendiri. Apabila ada suatu
fenomena sosial yang bertentangan dengan sistem nilai yang dianut oleh
masyarakat, maka perbuatan tersebut dinyatakan bertentangan dengan
sistem nilai yang dianut oleh masyarakat, dan akan mendapatkan
penolakan dari masyarakat tersebut (Hakim, 2012). Nilai yang berlaku di
dalam masyarakat berpengaruh terhadap perilaku kesehatan. Nilai-nilai
tersebut, ada yang menunjang dan ada yang merugikan kesehatan
(Notoatmodjo, 2010).
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa nilai merupakan sesuatu
yang diyakini kebenarannya dan dianut serta dijadikan sebagai acuan dasar
individu dan masyarakat dalam menentukan sesuatu yang dipandang baik,
benar, bernilai maupun berharga. Nilai merupakan bagian dari kepribadian
individu yang berpengaruh terhadap pemilihan cara maupun tujuan tindakan
dari beberapa alternatif serta mengarahkan kepada tingkah laku dan
kepuasan dalam kehidupan sehari-hari. Nilai merupakan daya pendorong
dalam hidup, yang memberi makna dan pengabsahan pada tindakan
seseorang. Oleh karena itu, nilai dalam setiap individu dapat mewarnai
kepribadian kelompok atau kepribadian bangsa (Hakim, 2012).
Nilai terbagi menjadi beberapa jenis salah satunya yakni nilai
keagamaan, nilai keagamaan ini terkait dengan nilai-nilai ibadah yang di
40
dalamnya mengajarkan pada manusia agar dalam setiap perbuatannya
senantiasa dilandasi hati yang ikhlas guna mencapai ridha Allah.
Pengalaman konsep nilai-nilai ibadah akan melahirkan manusia-manusia
yang adil, jujur, dan suka membantu sesamanya (Hakim, 2012).
Nilai-nilai keagamaan terkait perilaku menjual tahu berformalin yakni
terkait kejujuran dari si penjual tahu dalam menjual tahu berformalin atau
tidak. Jika nilai keagamaannya tinggi, maka apabila si penjual tersebut
mengetahui bahwa tahu yang akan dijualnya mengandung formalin dan
berbahaya bagi kesehatan, dia tidak akan menjual tahu berformalin karena
takut dengan perbuatan yang tidak jujur dan takut tidak mendapat ridha
Allah (Hakim, 2012).
2.7. Fakor Pemungkin (Enabling Factors)
2.7.1. Ketersediaan Fasilitas dan SDM
Ketersediaan fasilitas adalah salah satu faktor pemungkin perilaku
yang mendukung suatu motivasi atau aspirasi terlaksana. Misalnya untuk
terjadinya perilaku penjualan makanan berformalin selain dari
pengetahuan dan sikap juga diperlukan fasilitas toko-toko yang menjual
formalin (Notoatmodjo, 2010). Terkait keberadaan formalin pada makanan
tersebut, BPOM telah menemukan 20 perusahaan di Jakarta yang diduga
menyalahgunakan formalin, Perusahaan tersebut rata-rata memproduksi
tidak kurang 4 ribu ton formalin per bulan, yang 1000 ton-nya dijual ke
pasar untuk perorangan, toko kimia dan industri (Yunita, 2006).
41
Selain itu, diperlukan ketersediaan SDM seperti tenaga kesehatan
untuk melakukan pemeriksaan berkala terkait masalah kesehatan termasuk
keamanan pangan untuk makanan berformalin yang beredar di masyarakat.
Pengetahuan dan sikap saja belum menjamin terjadinya perilaku, masih
diperlukan sarana atau fasilitas untuk memungkinkan atau mendukung
perilaku tersebut (Notoatmodjo, 2010). Ketersediaan dan kecukupan
sumber daya merupakan faktor penentu yang penting dalam mekanisme
pengawasan dan pengendalian. Semakin kecil sumber daya maka akan
semakin sulit melaksanakan kegigatan pengawasan dan pengendalian
terutama terkait penyalagunaan formalin (Hartati, 2007).
2.7.2. Keterampilan Petugas
Keterampilan adalah kemampuan praktis untuk mengaplikasikan
pengetahuan teoritis dalam situasi tertentu. Proses perubahan pada
keterampilan seseorang melibatkan hal-hal seperti persepsi, kesiapan,
respon terpimpin, mekanisme, respons yang tampak komplek, penyesuaian
dan penciptaan. Keterampilan petugas dalam hal ini terkait dengan
keterampilan mendeteksi kandungan formalin yang ada di dalam makanan
seperti tahu. Keterampilan dapat terus meningkat apabila suatu kegiatan
tersebut dilakukan berulang-ulang sebagian petugas kesehatan memiliki
kemampuan yang baik dalam mendeteksi kandungan formalin pada
makanan karena mereka dituntut untuk dapat melakukan pengawasan
keamanan pangan untuk masyarakat (Notoatmodjo, 2010). Keterampilan
petugas mendeteksi formalin telah dibuktikan dengan terdeteksinya
42
kandungan formalin pada saat dilakukan operasi pasar. BPOM (2006)
melalui operasi pasar menemukan 77,85% tahu mengandung formalin.
Berdasarkan penelitian sebelumnya oleh Hartati (2007), menunjukkan
bahwa keterampilan untuk mendeteksi formalin pada makanan sangat
penting dan sangat dipengaruhi oleh pelatihan untuk keterampilan tersebut.
Diketahui bahwa petugas pengawasan formalin telah mendapatkan pelatihan
untuk dapat menjalankan tugas tersebut. Namun petugas dengan latar
belakang pendidikan sanitasi merasa perlu pelatihan khusus untuk
melakukan pengawasan dan pengendalian formalin. Hal tersebut penting
karena berpengaruh terhadap kinerja petugas wasdal sesuai dengan hasil
penelitian sebelumnya. Sanitarian yang tidak pernah mengikuti pelatihan
cenderung menampilkan kinerja butuk 2,1 kali lebih besar dari pada yang
pernah mengikuti pelatihan (Hartati, 2007).
2.7.3. Komitmen Pemerintah
Komitmen pemerintah dalam hal ini yakni dengan dukungan
pemerintah dalam pembuatan kebijakan terkait penggunaan formalin.
Kebijakan tersebut tertuang dalam Permenkes nomor
472/Menkes/Per/V/1996 tentang Pengamanan Bahan Berbahaya Bagi
Kesehatan, kemudian pada Permenkes Nomor 722/Menkes/Per/IX/1988
yakni larangan penggunaan bahan kimia berbahaya seperti formalin dalam
makanan (BPOM, 2006). Selain itu Kepmen Perindustrian dan Perdagangan
nomor 254/MPP/Kep/7/2000 tentang tata cara perniagaan formalin.
43
Komitmen pemerintah juga terlihat dengan diadakannya operasi pasar
melalui BPOM.
Selain itu, Menteri Perdagangan (Permendag) No. 08/M-
DAG/PER/3/2006 membuat peraturan tentang distribusi dan pengawasan
bahan berbahaya. Impor zat formalin hanya dapat dilakukan oleh para
importir produsen yang diakui Dirjen Perdagangan Luar Negeri. Menurut
Menteri Perindustrian, ada empat langkah yang akan dilakukan pemerintah
berhubungan dengan penyalahgunaan formalin yaitu: pertama, penyuluhan
pada masyarakat, produsen khususnya UKM, dan produsen besar pemakai
formalin. Kedua, pengawasan peredaran, produksi yang ditujukan kepada
produsen dan importir. Ketiga, tindakan hukum terhadap para pelanggar.
Keempat, melindungi industri kecil menengah dari penyalahgunaan zat
berbahaya bukan hanya formalin (Tjahajana, 2006).
2.8. Faktor Penguat (Reinforcing Factor)
2.8.1. Teman Pedagang
Teman terkadang menjadi bagian penting dari faktor-faktor yang
memperkuat terjadinya perilaku. Kadang-kadang meskipun seseorang tahu
dan mampu melakukan perilaku sehat, tetapi tidak melakukannya. Hal
yang sama juga terjadi pada perilaku penjualan tahu berformalin, kadang-
kadang meskipun pedagang mengetahui dan mampu melakukan perilaku
menjual tahu berformalin, tetapi tidak melakukannya karena teman
pedagang yang lain tidak menjual tahu berformalin (Notoatmodjo, 2010).
44
2.8.2. Akses ke Produsen
Akses ke produsen terkait dengan akses geografis dan juga akses
sosial. Akses geografis yakni jarak dan waktu ke lokasi layanan. Dalam
hal ini, akses geografis yakni jarak dan waktu ke produsen tahu.
Sedangkan akses sosial mengandung 2 pengertian yaitu yang bisa diterima
dan bisa dijangkau. Akses yang mudah diterima lebih mengarah pada
faktor psikologis, sosial budaya, sedangkan yang lebih mudah dijangkau
lebih kearah finansial dan ekonomi (Nurwening, 2012).
2.8.3. Keluarga
Keluarga adalah kumpulan dua orang atau lebih yang hidup bersama
atau yang dihubungkan oleh ikatan perkawinan, adaptasi dan kelahiran
yang bertujuan menciptakan dan mempertahankan budaya yang umum,
meningkatkan perkembangan fisik, mental, dan emosional serta sosial
individu yang ada di dalamnya, dilihat dari interaksi yang reguler dan
ditandai dengan adanya ketergantungan dan hubungan untuk mencapai
tujuan umum (Suprajitno, 2004).
Dalam hal ini keluarga sangat berfungsi karena dapat memberikan
dukungan. Adapun dukungan keluarga dapat berupa dukungan emosional
yaitu perasaan subjek bahwa lingkungan memperhatikan dan memahami
kondisi emosional. Orang yang menerima dukungan sosial semacam ini
merasa tentram, aman damai yang ditunjukkan dengan sikap tenang dan
berbahagia. Dalam hal ini yakni dukungan keluarga yang bermanfaat
secara emosional dan memberikan pengaruh positif untuk jujur dalam
45
mencari nafkah seperti menjual tahu yang tidak berformalin (Suprajitno,
2004).
2.8.4. Pengawasan Petugas Kesehatan
Sebagaimana diketahui bahwa faktor penguat merupakan faktor-
faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku. Maka dalam
hal ini, terjadinya perilaku menjual tahu berformalin dapat dipengaruhi
oleh ada tidaknya pengawasan dari petugas kesehatan terkait peredaran
makanan berformalin dipasaran. Dari penelitian sebelumnya yang
dilakukan di kabupaten Tangerang oleh Hartati (2007), menyatakan bahwa
peran dinas kesehatan sangat penting khususnya dalam pengawasan dan
pengendalian penggunaan bahan B3 salah satunya formalin. Formalin
dapat menjadi masalah jika disalahgunakan menjadi bahan pengawet
makanan sebab dapat berbahaya bagi kesehatan. Dari hasil penelitian
tersebut diketahui bahwa secara umum sumber daya pengawasan dan
pengendalian penggunaan formalin masih terbatas sehingga berimplikasi
pada pelaksanakan wasdal (pengawasan dan pengendalian) yang tidak
optimal (Hartati, 2007).
Pengawasan dan pengendalian oleh petugas kesehatan terkait
penggunaan formalin pada makanan merupakan faktor yang penting
karena kebutuhan makanan yang meningkat diikuti dengan kebutuhan
teknologi pengawetan makanan yang efisien dan meningkat pula. Tanpa
adanya pengawasan oleh petugas kesehatan, industri dan pengolah
makanan cenderung menggunakan bahan pengawet yang berbahaya seperti
46
formalin. Penggunaan bahan berbahaya tersebut dapat disebabkan oleh
ketidaktahuan tentang dampak bahan pengawet dalam bentuk keracunan
kronis akibat dosis kecil yang kumulatif atau keracunan akut dalam dosis
besar (Hartati, 2007).
2.9. Kerangka Teori
Mengacu pada tinjauan pustaka diatas, maka kerangka teori dalam
penelitian ini adalah:
Bagan 2.1. Kerangka Teori
Sumber: Lawrence W. Green (1991). Health Education Planning, A Diagnostic
Approach, Permanasari (2010), dan Habibah (2013)
Fakor Predisposisi (disposing factors):
1. Pengetahuan
2. Sikap
3. Persepsi
4. Nilai
Fakor Pemungkin (enabling factors):
1. Ketersediaan Fasilitas
2. SDM yang mengawasi
3. Keterampilan petugas
4. Komitmen pemerintah
Fakor Penguat (reinforcing factors):
1. Teman Pedagang
2. Akses ke produsen
3. Keluarga
4. Pengawasan Petugas kesehatan
Perilaku
47
BAB III
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1. Kerangka Konsep
Berdasarkan tinjauan pustaka bahwa “perilaku” dipengaruhi oleh
beberapa faktor yakni predisposisi, pemungkin dan penguat sesuai dengan
teori yang dikemukakan oleh Lawrence Green (1991).
Dalam penelitian ini, kerangka konsep yang dibuat peneliti
menggunakan variabel penelitain seperti karakteristik responden yang terdiri
dari jenis kelamin, umur, pendidikan, dan lama berjualan. Kemudian
perilaku penjual tahu terkait tahu berformalin yang dibuktikan dengan
adanya kandungan formalin pada tahu, hal ini dilakukan dengan uji
laboratorium menggunakan food security kit- formaldehyde.
Selain itu, pengetahuan penjual tahu tentang ciri tahu berformalin,
golongan formalin menurut PP, dampak formalin jika dikonsumsi bagi
kesehatan. kemudian, sikap penjual tahu terhadap informasi bahaya
formalin. Pengetahuan dan sikap diteliti karena dapat dilakukan pengukuran
melalui kuesioner dan terdapat indikator untuk mengukur variabel tersebut.
Sedangkan variabel yang tidak diteliti pada penelitian ini yakni persepsi dan
nilai dari faktor predisposisi, kemudian faktor pemungkin dan faktor
penguat.
Persepsi tidak diteliti karena persepsi bersifat abstrak dan
merupakan cara pandang terhadap objek yang diamati, persepsi dapat
tergambar melalui pertanyaan pengetahuan dan sikap mengenai penjualan
48
tahu berformalin. Kemudian nilai, nilai tidak diamati karena bersifat
abstrak, namun nilai dijadikan rujukan untuk bersikap di masyarakat dan
merupakan ukuran benar atau jujurnya suatu perbuatan, sehingga nilai dapat
dilihat dengan konsistensi jawaban pada pertanyaan sikap dan bukti hasil uji
laboratorium terhadap sampel tahu.
Selain faktor diatas, faktor pemungkin seperti ketersediaan fasilitas,
SDM yang mengawasi, keterampilan petugas, dan komitmen pemerintah
tidak diteliti. ketersediaan fasilitas tidak diteliti karena fasilitas/ sarana
menjual tahu dapat diketahui saat observasi dilakukan. Ketersediaan fasilitas
ini dapat mempengaruhi pedagang untuk melakukan penjualan atau tidak,
termasuk penjualan tahu berformalin dan tidak. Kemudian SDM yang
mengawasi dan keterampilan petugas tidak diteliti dikarenakan merupakan
faktor eksternal diluar fokus penelitian. Selain itu, komitmen pemerintah
juga merupakan faktor eksternal sehingga tidak teliti, akan tetapi komitmen
pemerintah telah tertuang dalam kebijakan berupa peraturan
pemerintahKemudian faktor penguat terkait teman pedagang, akses ke
produsen, keluarga, dan pengawasan petugas kesehatan juga tidak diteliti.
Teman pedagang, akses ke produsen dan keluarga tidak diteliti karena
variabel ini dapat didefinisikan secara operasional dengan pengakuan dari
pedagang tentang ada atau tidaknya faktor tersebut dalam dirinya.
Sedangkan pengawasan petugas kesehatan tidak diteliti karena pemerintah
biasanya telah menjadwalkan kegiatan wasdal (pengawasan dan
pengendalain) terkait penyalahgunaan formalin pada makanan saat operasi
pasar.
49
Berikut variabel dalam penelitian ini:
Bagan 3.1. Kerangka Konsep
Pengetahuan penjual tahu tentang ciri
tahu berformalin, golongan formalin
pada tahu berdasarkan PP, dan dampak
formalin yang dikonsumsi bagi
kesehatan
Sikap penjual tahu terhadap informasi
bahaya formalin
Perilaku penjual tahu
Jenis Kelamin
Usia
Lama Berjualan
Pendidikan
50
3.2. Definisi Operasional
Tabel 3.1. Definisi Operasional
No. Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur
1. Jenis Kelamin Ciri fisik yang dibawa
sejak lahir dan dapat di-
identifikasi dari
responden.
Menggunakan satu item
pertanyaan yang
terdapat pada kolom A.
Karekteristik responden
Kuesioner 1. Laki-Laki
2. Perempuan
Nominal
2. Usia Masa hidup yang
dihitung sejak ia lahir
sampai dengan ulang
tahun terakhir.
Menggunakan satu item
pertanyaan yang
terdapat pada kolom A.
Karekteristik responden
Kuesioner Usia dalam tahun Interval
3. Pendidikan Pendidikan formal yang
telah di ikuti responden
hingga tamat.
Menggunakan satu item
pertanyaan yang
terdapat pada kolom A.
Karekteristik responden
Kuesioner 1. Tidak Sekolah
2. Tamat SD
3. Tamat SMP/MTs
4. Tamat SMA/MA
5. Tamat Perguruan Tinggi
Ordinal
51
4. Lama Berjualan
Tahu
Waktu dari mulai
pertama kali berjualan
tahu hingga saat
penelitian dilakukan.
Menggunakan satu item
pertanyaan yang
terdapat pada kolom A.
Karekteristik responden
Kuesioner Lama berjualan tahu
dinyatakan dalam tahun
Interval
5. Pengetahuan
penjual tahu
tentang ciri tahu
berformalin,
golongan
formalin
berdasarkan PP,
dan dampak
formalin bagi
kesehatan
Kemampuan penjual tahu
dalam menjawab
pertanyaan mengenai
ciri-ciri tahu berformalin,
golongan formalin
berdasarkan PP , dan
dampak formalin jika
dikonsumsi bagi
kesehatan.
Wawancara
menggunakan sepuluh
item pertanyaan yang
terdapat pada kolom B.
Pengetahuan
Kuesioner
No. B1-
B10
1. Tinggi : Jika jawaban
benar (>median*)
2. Rendah : Jika jawaban
benar (<median*)
*Karena tidak berdistribusi
normal
Ordinal
52
6. Sikap penjual
tahu terhadap
informasi bahaya
formalin
Tanggapan emosional
yang ditunjukkan penjual
tahu terhadap informasi
bahaya formalin, berupa
gradasi respon dari sangat
setuju, setuju, ragu-ragu,
tidak setuju, bahkan
sangat tidak setuju.
Kemudian dikategorikan
berdasarkan skoring
antara yang sikap positif
dan negatif
Wawancara
menggunakan sepuluh
item pertanyaan yang
terdapat pada kolom C.
Sikap.
Pengisian kuesioner
dengan memilih
jawaban*:
1. SS : Sangat Setuju
2. ST : Setuju
3. RG : Ragu-Ragu
4. TS : Tidak Setuju
5. STS: Sangat Tidak
Setuju
*menggunakan skala
Likert (Sugiyono, 2009)
Kuesioner
No. C1-
C.10
1. Sikap Positif : Jika tidak
setuju dengan penjualan
tahu berformalin dan skor
melebihi nilai (>median*)
2. Sikap Negatif : Jika
setuju dengan penjualan
tahu berformalin dan skor
kurang dari (<median*)
*Karena tidak berdistribusi
normal
Ordinal
53
7. Perilaku Penjual
Tahu
Wujud dari sikap yang
berupa aktivitas menjual
tahu (berfomalin dan
tidak),yang kemudian,
dibuktikan melalui uji
laboratorium dengan
menggunakan Food
Security Kit-
Formaldehyde.
Jika warna kertas uji:
1 = Tidak berubah warna
(tidak mengandung
formalin)
2= Berubah warna
menjadi keunguan
(mengandung formalin)
Wawancara
menggunakan item
pertanyaan yang
terdapat pada kolom D.
Perilaku
Kuesioner
dan Uji
Lab.
1. Ya (Salah satu dari
beberapa jenis tahu yang
dijual mengandung formalin)
2. Tidak (semua jenis tahu
yang dijual tidak
mengandung formalin)
Ordinal
54
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
4.1. Desain Studi
Penelitian ini adalah survei yang bersifat deskriprif-kuantitatif untuk
mendeskripsikan tingkat pengetahuan, sikap dan perilaku dari penjual tahu
terkait tahu yang berformalin. Studi deskriptif memberikan manfaat yakni
dapat untuk membuat penilaian terhadap kondisi di masa sekarang, untuk
memberikan rekomendasi perbaikan terkait masalah tersebut. Pendekatan
yang digunakan adalah cross sectional.
Rancangan cross sectional dipilih karena pendekatannya suatu waktu
dan tidak diikuti terus menerus selama kurun waktu tertentu. Penelitian ini
dimaksudkan untuk membuat gambaran atau deskripsi tentang pengetahuan,
sikap, dan perilaku penjulan tahu berfomalin, untuk kemudian dapat
dilakukan analisis dan informasi yang dihasilkan dapat digunakan dalam
proses pengambilan keputusan (Murti, 1997).
4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini telah dilaksanakan di Provinsi DKI Jakarta, Kotamadya
Jakarta Barat, Kecamatan Kalideres, di beberapa pasar daerah kelurahan
Semanan. Sedangkan untuk tempat pengujian keberadaan formalin pada
tahu dilakukan di Laboratorium Kesehatan Lingkungan Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Waktu
penelitian telah dilakukan pada bulan Mei-Juni 2015.
55
4.3. Populasi
Populasi adalah keseluruhan unit analisis yang memiliki karakteristik
yang secara umum dapat diamati yang akan dijadikan sasaran penelitian
nantinya (Hastono dan Sabri, 2010). Adapun populasi dalam penelitian ini
adalah seluruh penjual tahu yang berjualan menetap di pasar yang tersebar
di daerah Kelurahan Semanan. Berdasarkan hasil studi pendahuluan,
diketahui terdapat sebanyak 34 penjual tahu yang menetap dan tersebar di
pasar di daerah Semanan.
4.4. Sampel
Sampel adalah sebagian populasi yang ciri-cirinya diselidiki atau
diukur (Hastono dan Sabri, 2010). Sampel dalam penelitian ini yaitu penjual
tahu yang berjualan di pasar-pasar daerah Semanan Jakarta Barat. Teknik
pengambilan sampel dilakukan secara Non Probability Sampling, hal
tersebut dikarenakan jumlah populasi yang relatif kecil (Hermawanto,
2010). Adapun besar sampel dalam penelitian ini diperoleh dengan
menggunakan perhitungan rumus berikut (Lemeshow et al, 1990):
𝑛 =𝑍21 − 𝛼/2 𝑃 1 − 𝑃 𝑁
𝑑2 𝑁 − 1 + 𝑍21 − 𝛼/2 𝑃 1 − 𝑃
Keterangan:
n = Besar sampel minimal yang dibutuhkan
𝑍21 − 𝛼/2 = 1,96 pada tingkat kepercayaan 95%
𝑑 = Derajat presisi yang diinginkan sebesar 10%
𝑁 = Besar Populasi (sebesar 34 pedagang tahu)
56
𝑃 = Perkiraan proporsi sebesar 77,85% (0,7785) berdasarkan
hasil penelitian BPOM tahun 2006 di DKI Jakarta.
Sehingga didapatkan perhitungan sebagai berikut:
𝑛 =1,962 0,7785 1 − 0,7785 34
0,12 34 − 1 + 1,96² 0,7785 1 − 0,7785
= 22,6944923 Responden (Penjual Tahu)
Berdasarkan hasil perhitungan diatas, didapatkan jumlah sampel
minimal yang diambil sebanyak 23 penjual tahu. Namun untuk
mengantisipasi adanya faktor-faktor yang tidak diinginkan yang dapat
menghilangkan sampel, maka teknik pengambilan sampel menggunakan
total sampel (seluruh populasi) yakni sebanyak 34 penjual tahu. Total
Sampel atau sampling jenuh, yaitu penentuan sampel bila semua anggota
populasi digunakan atau diambil sebagai sampel (Sugiyono, 2009). Hal
tersebut dikarenakan jumlah populasi relatif kecil dan peneliti ingin
membuat generalisasi dengan kesalahan yang sangat kecil.
4.5. Pengumpulan Data
Data pada penelitian ini terdiri dari data primer. Data primer
merupakan data yang diperoleh dengan melakukan pengukuran langsung.
Data primer dalam penelitan ini merupakan data pengetahuan penjual tahu
tentang ciri makanan berformalin, golongan formalin menurut PP, dan
dampak formalin jika dikonsumsi bagi kesehatan. Selain itu sikap penjual
tahu terkait keberadaan formalin pada tahu yang didapatkan dengan
kuesioner disertai wawancara. Kemudian, data perilaku penjual tahu terkait
tahu berformalin dengan menggunakan kuesioner dan wawancara. Selain itu
57
untuk mengetahui keberadaan formalin pada tahu maka dilakukan uji
laboratorium menggunakan Food Securiy Kit-Formaldehyde terhadap
sampel tahu. Uji laboratorium juga bertujuan untuk membuktikan perilaku
penjualan tahu berformalin atau tidak.
4.6. Instrumen Penelitian
Dalam penelitian ini instrumen yang digunakan adalah kuesioner yang
sebelumnya telah di uji validitas dan reabilitasnya, terdiri dari pertanyaan
tentang :
a. Karakteristik Responden
Dalam kuesioner ini pertanyaan mengenai karakteristik responden
terdapat pada variabel jenis kelamin, usia, pendidikan, dan lama
berjualan tahu yang terdapat pada kolom “A. Karakteristik Responden”
nomor A1-A5.
b. Pengetahuan
Dalam kuesioner ini pertanyaan mengenai variabel pengetahuan
terdapat pada kolom “B. Pengetahuan” nomor B1-B10. Untuk variabel
pengetahuan dikatakan “Tinggi” Jika jawaban benar melebihi median
(>7). Sedangkan pengetahuan dikatakan “rendah” jika jawaban benar
responden tidak lebih besar dari nilai median (<7). Tambahan B11 untuk
mengetahui pengetahuan mengenai tanda kerusakan tahu (basi), yang
nantinya akan berkaitan dengan pertanyaan perilaku terkait daya tahan
tahu yang dijual. Dan tambahan 1 pertanyaan B12 tentang “apakah
sebenarnya penjual telah mengetahui bahwa tahu yang dijualnya
58
mengandung formalin”. Untuk mengetahui sebenarnya responden
mengetahui atau tidak tahu yang dijualnya mengandung formalin. Jika
mereka tahu maka akan digali lebih dalam alasan mereka menjual tahu
tsb padahal mereka sudah mengetahui bahwa tahu tersebut mengandung
formalin.
c. Sikap
Dalam kuesioner ini pertanyaan mengenai variabel sikap terdapat
pada kolom “C. Sikap” nomor C1-C10. Variabel sikap diukur
menggunakan skala ukur “Likert”. Dari setiap jawaban pertanyaan sikap
pada instrumen penelitian ini mempunyai gradasi dari yang sangat positif
sampai sangat negatif. Pada penelitian ini gradasi pengukuran
menggunakan standar yang diberi skor untuk analisis kuantitatif, yakni
sebagai berikut untuk gradasi pernyataan positif:
SS= “Sangat Setuju” diberi skor 5
ST=”Setuju” diberi skor 4
RG=”Ragu-Ragu” diberi skor 3
TS= “Tidak Setuju” diberi skor 2
STS= “Sangat Tidak Setuju” diberi skor 1
Atau sebaliknya untuk gradasi pertanyaan negatif:
STS= “Sangat Tidak Setuju”, diberi skor = 5
TS = “Tidak Setuju”, diberi skor = 4
RG = “Ragu-Ragu”, diberi skor = 3
ST= “Setuju” diberi skor = 2
SS = “Sangat Setuju” diberi skor = 1
59
Kemudian dari seluruh responden akan dilihat kecenderungan sikap
responden (positif atau negatif). Sikap dikatakan “positif” jika memiliki
nilai melebihi median (>40), dan sikap dikatakan “negatif” jika nilai skor
yang didapatkan tidak lebih besar dari median (<40).
Kemudian untuk melihat kecenderungan per-pernyataan maka
dilakukan analisis tiap pernyataan, dengan menganalisis data interval dan
melihat kecenderungan jawabannya. Misalnya instrument dengan gradasi
pertanyaan negatif itu diberikan kepada 34 penjual tahu yang diambil
sampel. Dari 34 responden tersebut setelah dilakukan analisis pada salah
satu pernyataan negatif (C7) misalnya:
Jumlah skor untuk 0 orang menjawab SS = 0x1 =0
Jumlah skor untuk 1 orang menjawab ST = 1x2 =2
Jumlah skor untuk 1 orang menjawab RG = 1x3 =3
Jumlah skor untuk 23 orang menjawab TS = 23x4 =92
Jumlah skor untuk 9 orang menjawab STS = 9x5 =45
____________________________________________
Jumlah total = 142
Kemudian untuk melihat kecenderungan sikap secara kontinum
dapat digambarkan sebagai berikut:
STS TS RG ST SS
34 68 102 136 142 170
Jadi berdasarkan data yang diperoleh dari 34 responden maka rata-
rata 142 terletak pada daerah setuju menuju sangat setuju.
60
d. Perilaku
Di dalam kuesioner ini pertanyaan mengenai variabel perilaku
terdapat pada kolom “D. Perilaku” nomor D1-D6. Pertanyaan D1-D6
merupakan pertanyaan untuk menggali indikasi-indikasi perilaku
penjualan tahu berformalin. Kemudian, untuk mengetahui benar dan
tidaknya responden menjual tahu berformalin, maka dilakukan uji
laboratorium terhadap sampel tahu. Untuk variabel perilaku, jika “Ya”
berarti salah satu sampel tahu yang diuji terbukti mengandung formalin.
Dan jika “Tidak”, semua dari sampel tahu yang di uji terbukti tidak
mengandung formalin.
4.7. Cara Pengambilan Sampel Tahu
Pada penelitian ini, pengambilan sampel tahu secara Accidental
Sampling. Accidental Sampling adalah cara pengambilan sampel yang
kebetulan ada atau tersedia pada lokasi penelitian (Sugiyono, 2009). Cara
pengambilan contoh sampel ini sesuai cara pengambilan contoh SNI 19-
0428-1989. Jika sampel yang kebetulan ada jumlahnya 10 (sepuluh) maka
kesepuluhnya diambil. Namun, Jika sampel yang kebetulan ada jumlahnya
banyak lebih dari 30, maka dari tiap drum tahu diambil sampel 1/3 dari
jumlah yang ada. Kemudian sampel di haluskan bersamaan untuk kemudian
diambil 5 gram untuk di uji laboratorium. Sampel diambil pada hari Senin
sampai dengan Jum’at karena pengujian di laboratorium kesling UIN
Jakarta hanya bisa dilakukan pada hari kerja (Senin s.d. Jum’at).
61
4.8. Cara Uji Laboratorium Pada Tahu
Setelah sampel dari tiap penjual tahu didapatkan. Kemudian sampel
langsung dibawa untuk di uji ke laboratorium. Cara uji sampel sesuai
dengan SNI 01-2891-1992, mengikuti cara uji makanan dan minuman,
untuk contoh padatan terdapat pada butir 4.2 yakni sebagai berikut: “Ambil
contoh dengan sistem diagonal, kumpulkan hingga diperoleh contoh yang
homogen. Buat menjadi bentuk persegi panjang, kemudian bagi dalam 2
diagonal menjadi empat bagian. Ambil dua bagian yang saling berhadapan,
kemudian bagi empat lagi dan selanjurnya lakukan seperti pengerjaan
diatas, sehingga diperoleh jumlah yang cukup untuk analisis. Apabila
bentuk contoh tidak halus, gilinglah contoh tersebut hingga halus.”
Kemudian, sampel yang telah halus diambil sebanyak 5 gram dan
diuji keberadaan kandungan formalinnya secara kualitatif dengan Food
Security Kit Formaldehyde. Food Security Kit Formaldehyde merupakan
alat yang berfungsi untuk menguji ada tidaknya kandungan formalin yang
terdapat dalam makanan. Berdasarkan pedoman laboratorium kesehatan
lingkungan UIN Jakarta, berikut Alat dan Bahan yang digunakan:
a. Tahu (Sampel)
b. Reagen
c. Cawan petri
d. Mortal
e. Gelas ukur
f. Beaker gelas
g. Tabung Reaksi
62
h. Pipet tetes
i. Corong
j. Kertas Saring
k. Kertas Tes Stick (Food Security Kit Formaldehyde)
Berikut cara kerja Penggunaan alat Food Security Kit Formaldehyde :
a. Timbang sampel tahu yang telah dihaluskan dengan neraca analitik
masing-masing 5gr
b. Tambahkan air sebanyak 15 mL yang diukur dengan gelas ukur
c. Aduk hingga rata
d. Saring dengan corong dan kertas saringan, kemudian tampung di beaker
dan masukan ke dalam tabung reaksi
e. Bilas tabung reaksi dengan sample kemudian masukkan sampel tahu
hingga batas tera (5ml) yang tertera pada tabung reaksi
f. Tambahkan 10 tetes formaldehyde-1 dan kocok
g. Ambil test stik sebanyak yang dibutuhkan kemudian segera tutup
kembali tabung tersebut setelah digunakan. Jangan sampai memegang
area test.
h. Celupkan test stik ke dalam tabung reaksi yang mengandung sample
selama 1 detik, keringkan selama 1 menit dengan cara menggoyangkan
test stik tersebut.
i. Bandingkan dengan indikator konsentrasi test field dengan warna pada
kertas, jika berubah menjadi keunguan berarti positif mengandung
formalin.
63
j. Bersihkan alat dengan cara membilasnya menggunakan air suling,
kemudian keringkan
k. Simpan kembali test stik pada tempatnya,tutup dengan rapat dan
hindarkan dari sinar matahari dan kelembaban. Simpan test stik pada
suhu kering dibawah suhu 30C
4.9. Pengolahan Data
Setelah uji keberadaan formalin pada tahu dan pengumpulan data
survey pada penjual tahu terkait pengetahuan, sikap, dan perilaku penjual
tahu mengenai tahu berformalin di dapat, kemudian diolah dengan tahap
berikut:
1. Data Editing
Tahap ini merupakan tahap penyuntingan data sebelum dilakukan
proses pemasukan data. Proses editing ini dilakukan peneliti setelah data
terkumpul untuk pengecekan isian semua kuesioner apakah sudah
lengkap, jelas, relevan, dan konsisten. Pengecekan dilakukan dengan
tujuan jika ada data yang salah atau meragukan dan kurang, dapat
ditelusuri kembali pada responden/informan yang bersangkutan.
2. Data Coding
Tahap ini merupakan kegiatan mengklasifikasikan data dan
memberikan kode untuk masing-masing kelas sesuai dengan tujuan
dikumpulkannya data. Peneliti membuat kode untuk setiap jawaban dari
pertanyaan pada kuesioner. Pada penelitian ini coding dilakukan saat
seluruh responden telah mengisi kuesioner. Koding dilakukan terhadap
64
pertanyaan pengetahuan, sikap, dan perilaku. Koding untuk pertanyaan
pengetahuan, jika menjawab (a) maka dikategorikan 1, (b) dikategorikan
2, (c) dikategorikan 3, (d) dikategorikan 4. Kemudian jika pertanyaan
benar mendapat skor 1 dan salah mendapat skor 0. Setelah itu, yang
benar diberi kode 2 sedangkan yang salah di beri kode 1.
Koding untuk pernyataan sikap dibedakan terkait gradasi
pernyataannya antara yang positif dan negatif. Pernyataan gradasi positif
dari C1 sampai C5, jika menjawab SS diberi kode 5, jika ST diberi kode
4, RG diberi kode 3, TS diberi kode 2, dan STS diberi kode 1. Sedangkan
untuk pernyataan gradasi negatif dari C6-C10, jika menjawab STS diberi
kode 5, TS diberi kode 4, RG diberi kode 3, ST diberi kode 2, STS diberi
kode 1. Kemudian setelah mengetahui seluruh skor hasil kali,
dikategorikan lagi sikap yang positif dan sikap yang negatif. Sikap positif
jika tidak setuju dengan penjualan tahu berformalin dan skor melebihi
nilai median (>40) diberi kode 2 dan sikap negatif jika setuju dengan
penjualan tahu berformalin dan skor tidak melebihi median (<40) diberi
kode 1 berarti negatif.
Koding untuk pertanyaan perilaku terkait indikasi penjualan tahu
berformalin, jika menjawab (a) maka dikategorikan 1, (b) dikategorikan
2, (c) dikategorikan 3, (d) dikategorikan 4. Kemudian perilaku penjualan
tahu berformalin juga dibuktikan dengan hasil uji lab jika salah satu dari
tahu mengandung formalin maka dikategorikan menjual dan diberi kode
2. Sedangkan jika sebaliknya maka diberi kode 1.
65
3. Data Structure
Pada tahap data structure dikembangkan sesuai dengan analisis
yang dilakukan dan disesuaikan dengan jenis perangkat lunak yang
digunakan.
4. Data Entry
Pada tahap ini data yang telah dikumpulkan dimasukkan (entry) ke
dalam program pengolah data. Adapun data yang dimasukkan yakni
diantaranya data terkait usia, jenis kelamin, pendidikan, pengetahuan,
sikap, tindakan/perilaku penjual tahu terkait penjualan tahu berformalin.
5. Data Cleaning
Cleaning (pembersihan data) merupakan tahap pengecekan
kembali data yang sudah di entry untuk mengetahui ada atau tidaknya
kesalahan pada hasil entry data. Selain itu pembersihan data ini dilakukan
dengan melihat distribusi frekuensi.
4.10. Analisis Data
Penelitian ini menggunakan analisis univariat, yakni sebagai berikut:
4.10.1. Univariat
Analisis univariat yang dilakukan pada penelitian ini bertujuan
untuk mendapatkan gambaran pada masing-masing variabel yang
telah diteliti. Data disampaikan dalam bentuk distribusi frekuensi
menurut masing-masing variabel yang diteliti. Variabel penelitian
ini yaitu pengetahuan penjual tahu tentang ciri makanan berformalin,
66
golongan formalin berdasarkan PP, serta dampak kesehatan jika
mengkonsumsi tahu berformalin. Kemudian, sikap penjual tahu
terkait informasi bahaya formalin pada tahu dan perilaku penjual
tahu terkait tahu berformalin yang dibuktikan test keberadaan
kandungan formalin pada tahu dengan uji laboratorium.
4.11. Uji Validitas dan Reabilitas
Validitas yang dimaksud dalam pengukuran adalah apakah
pengukuran yang dilakukan benar-benar mengukur apa yang sebenarnya
ingin diukur. Dengan kata lain apakah ada kesesuaian antara metode yang
digunakan dengan alat ukur yang digunakan dan objek yang diukur.
Sedangkan reliabilitas adalah konsistensi atau stabilitas atau keajegan suatu
pengukuran artinya nilai yang dihasilkan dalam pengukuran suatu variabel
jika dilakukan berulang kali akan menghasilkan nilai yang sama atau serupa
(Hermawanto, 2010).
Validitas yang digunakan dalam penelitian ini termasuk dalam
kategori validitas logik atau validity by definition dan termasuk dalam aspek
validitas internal. Validitas tersebut digunakan karena jenis instrumen dalam
penelitian ini instrumen yang berbentuk test untuk mengukur pengetahuan
yang jawabannya benar dan salah. Selain itu instrument dalam bentuk non
test untuk mengukur sikap dan perilaku yakni positif atau negatif, bukan
instrument ilmu alam seperti meteran dan timbangan. Validitas internal
adalah bila data yang dihasilkan merupakan fungsi dari rancangan dan
instrument yang digunakan atau merupakan kesahihan inferensi induktif
67
sampel pada populasi sasaran, artinya jika ingin mengukur pengetahuan
tentang formalin akan menghasilkan data pengetahuan tentang formalin
bukan data pengetahuan tentang bahan pewarna makanan (Murti, 1997).
Dalam penelitian ini validitas internal juga harus memenuhi dimensi
validitas kontruksi dan validitas muka. Validitas konstruksi adalah jika
instrument itu dapat digunakan untuk mengukur gejala sesuai dengan yang
didefinisikan teori (Sugiyono, 2009). Sedangkan validitas muka yaitu
kebenaran yang mempersoalkan kemampuan model pertanyaan dalam suatu
instrumen (misalnya: kuesioner atau daftar pertanyaan) untuk merefleksikan
variabel yang hendak diukur dan untuk dapat ditafsirkan atau dimengerti
oleh responden dengan benar (Murti, 1997). Validitas kontruksi dan
validitas muka merupakan validitas yang harus dipenuhi dalam instrumen
test (pengetahuan) dan non test (sikap dan perilaku) dalam penelitian ini.
Uji validitas dilakukan pada populasi lain yang memiliki ciri yang
sama dengan populasi yang akan diteliti. Populasi untuk validitas ini
menggunakan penjual tahu di pasar Anyar Kota Tangerang. Berdasarkan
hasil uji validitas, terdapat satu pertanyaan yang tidak memenuhi validitas
muka yakni pertanyaan yang kurang dimengerti untuk ditafsirkan responden
secara benar yakni B.2 tentang “apakah contoh-contoh makanan yang
mengandung formalin?”. Sebagian responden yang mengetahui formalin
dilarang digunakan pada makanan menanyakan apa maksud dari pertanyaan
tersebut. Sehingga pertanyaan diperbaiki sampai dimengerti oleh responden
menjadi “apakah contoh makanan yang mungkin dapat mengandung
formalin?”.
68
Selain itu, pertanyaan D.3 tentang “Jika tahu hari ini tidak habis
dijual, apakah akan dijual lagi keesokan harinya?”. Banyak responden yang
tidak mengerti dan kurang menggambarkan tentang indikasi perilaku
penjualan tahu berformalin berdasarkan definisi teori. Sehingga pertanyaan
diganti dengan: “Biasanya tahu yang Bapak/Ibu jual tahan berapa hari?”,
untuk mengetahui indikasi penjualan tahu berformalin, agar sesuai dengan
validitas konstruksi atau sesuai definisi teori.
Setelah validitas tidak ada masalah hal yang perlu diperhatikan
selanjutnya adalah reabilitas. Uji reabilitas meliputi dua aspek yakni
stabilitas dan kesamaan. Stabilitas adalah konsistensi hasil satu pengukuran
ke pengukuran lainnya oleh seorang pengamat, terhadap subjek penelitian
yang sama dan dengan instrumen yang sama. Sedangkan kesamaan adalah
konsistensi antara hasil pengukuran seorang pengamat dan hasil pengukuran
oleh pengamat lainnya, terhadap subjek penelitian yang sama dan dengan
instrumen yang sama (Murti, 1997).
Keajekan antara satu pengukuran dengan pengukuran lainnya dapat
diukur dengan ukuran yang disebut koefisien reabilitas. Keajekan
pengukuran dites melalui suatu uji coba dilakukan pada populasi studi
sebelum penelitian yang sesungguhnya dilakukan, tetapi dapat juga
dilakukan pada sampel lainnya yang mempunyai karakteristik sama dengan
populasi studi. Uji reabilitas pada penelitian ini dilakukan dengan cara
melihat nilai r pada kolom “Cronbach’s Alpha”, jika nilai r hitung lebih
besar dari pada r tabel (r hitung > r tabel) maka dapat dikatakan instrumen
tersebut reliabel (Hastono, 2001). Uji validitas dan reabilitas dilakukan
69
terhadap 50% dari jumlah sampel minimum yang telah dihitung yakni 12
responden. Dimana sampel yang dipilih merupakan sampel yang memiliki
cirri yang sama dengan sampel penelitian, yakni di Pasar Anyar Kota
Tangerang.
Hasil uji reabilitas terhadap 27 poin pertanyaan pengetahuan, sikap,
dan perilaku menunjukkan hasil reliabel. Diketahui bahwa nilai alpha
sebesar 0,573. Kemudian mencari r-tabel dengan mengetahui nilai N=12
sehingga df (N-2)=10 dan distribusi r-tabel signifikansi 5% (0,05), diperoleh
nilai r-tabel sebesar 0,4973. Kesimpulannya alpha=0,573> r-tabel=0,4973
artinya item-item kuesioner ini masih dapat dikatakan reliabel atau
terpercaya sebagai alat pengumpul data dalam penelitian karena melebihi
nilai r-tabel.
70
BAB V
HASIL PENELITIAN
5.1.Karakteristik Responden
Responden dari penelitian ini adalah penjual tahu, yang berada di pasar-
pasar daerah Semanan Jakarta Barat. Berikut karakteristik responden yang
meliputi usia, jenis kelamin, pendidikan, lama berjualan tahu, jumlah jenis
tahu yang dijual, dan distribusi tahu berdasarkan jenisnya.
5.1.1. Usia
Berikut distribusi usia penjual tahu di Pasar Daerah Semanan
yang menjadi responden pada penelitian ini:
Tabel 5.1. Distribusi Usia Penjual Tahu di Pasar Daerah
Semanan Tahun 2015
Usia* Jumlah Persentase
17-25 th (Remaja) 2 5,8%
26-45 th (Dewasa) 16 47,1%
46-65 th (Lansia) 16 47,1%
Total 34 100%
*kategori usia depkes (2009)
Berdasarkan tabel 5.1 diatas, diketahui bahwa usia responden di
Daerah Pasar Semanan persentasenya sama antara dewasa dan lansia
yakni sebesar 47,1%. Sedangkan yang paling sedikit yaitu yang
berusia kurang dari 25th yakni sebesar 5,8%. Usia termuda
responden adalah 22 tahun dan usia tertua responden yakni 63 tahun.
71
5.1.2. Jenis Kelamin
Berikut distribusi jenis kelamin penjual tahu di Pasar Daerah
Semanan yang menjadi responden dalam penelitian ini:
Diagram 5.1. Distribusi Jenis Kelamin Penjual Tahu di Pasar
Daerah Semanan Tahun 2015
Berdasarkan diagram 5.1 diatas diketahui bahwa antara penjual
tahu laki-laki dan perempuan persentasenya sama sebesar 50% (17
responden).
5.1.3. Pendidikan
Berikut distribusi pendidikan penjual tahu di Pasar Daerah
Semanan yang menjadi responden dalam penelitian ini:
50%50%Laki-laki
Perempuan
72
Diagram 5.2. Distribusi Pendidikan Penjual Tahu di Pasar
Daerah Semanan Tahun 2015
Berdasarkan diagram 5.2 terlihat bahwa tamat Sekolah
Menengah Pertama (SMP) adalah pendidikan terakhir terbanyak
yang disandang oleh responden dengan persentase sebesar 41,2%.
Sedangkan yang paling sedikit disandang oleh responden yakni
perguruan tinggi sebanyak 2,9%.
5.1.4. Lama Berjualan Tahu
Berikut distribusi lama penjual tahu berjualan di Pasar daerah
Semanan yang menjadi responden dalam penelitian ini:
Tidak Sekolah
Tamat SDTamat SMP
Tamat SMA
Tamat Perguruan
Tinggi
Persentase 5,9% 35,3% 41,2% 14,7% 2,9%
0,0%
5,0%
10,0%
15,0%
20,0%
25,0%
30,0%
35,0%
40,0%
45,0%P
ers
en
tase
Pendidikan
73
Tabel 5.2. Distribusi Lama Penjual Tahu Berjualan di Pasar
Daerah Semanan Tahun 2015
Lama Jualan Tahu Jumlah Persentase
1-5 th 18 52,9%
6-10 th 5 14,7%
10-20 th 8 23,5%
>20 th 3 8,8%
Total 34 100%
Berdasarkan tabel 5.2 diketahui bahwa lama berjualan tahu para
responden yakni 1-5 tahun yakni sebesar 52,9%. Sedangkan lama
berjualan tahu yang paling sedikit yakni lebih dari 20 tahun yakni
sebesar 8,8%. Responden penjual tahu terlama berjualan yakni 33
tahun dan yang terbaru berjualan 1 tahun.
5.1.5. Jumlah Jenis Tahu yang Dijual
Berikut distribusi jumlah jenis tahu yang dijual oleh penjual tahu
di Pasar Daerah Semanan yang menjadi responden pada penelitian
ini:
Tabel 5.3. Distribusi Jenis Tahu yang Dijual Penjual Tahu di
Pasar Daerah Semanan Tahun 2015
Jumlah Jenis Tahu yang Dijual Jumlah Persentase
1 Jenis Tahu 10 29,4%
2 Jenis Tahu 11 32,4%
3 Jenis Tahu 13 38,2%
Total 34 100%
74
Berdasarkan Tabel 5.3. terlihat bahwa distribusi banyak jenis
tahu yang dijual responden paling banyak 3 jenis tahu (Tahu Putih,
Tahu Kuning, Tahu Coklat) yakni sebesar 38,2%.
5.1.6. Distribusi Tahu Berdasarkan Jenisnya
Berikut distribusi jenis tahu berdasarkan jenisnya yang dijual
di Pasar Daerah Semanan yang menjadi responden dalam penelitian
ini:
Tabel 5.4. Distribusi Tahu Berdasarkan Jenis di Pasar Daerah
Semanan Tahun 2015
Jenis Tahu Jumlah Persentase
Tahu Putih 25 34,2%
Tahu Kuning 26 35,6%
Tahu Coklat 22 30,1%
Total 73 100%
Pada tabel 5.4. terlihat bahwa jenis tahu yang paling banyak
dijual yakni jenis tahu kuning sebanyak 35,6%. Sedangkan yang
paling sedikit dijual yakni jenis tahu coklat yakni sebesar 30,1%.
5.2. Hasil Analisa Univariat
Analisis dalam penelititan ini hanya sampai analisis univariat. Analisis
univariat merupakan analisis yang dilakukan untuk melihat gambran pada
masing-masing variabel yang telah diteliti. Analisis ini dilakukan pada
variabel hasil uji laboratorium terhadap tahu, pengetahuan, sikap, dan
perilaku penjual tahu di Pasar Daerah Semanan.
75
5.2.1. Hasil Uji Kandungan Formalin Pada Tahu
Berikut hasil uji kandungan formalin pada tahu di Pasar
Daerah Semanan :
Tabel 5.5. Distribusi Hasil Uji Kandungan Formalin Pada Tahu
di Pasar Daerah Semanan Tahun 2015
Hasil Uji Lab Jumlah Persentase
Negatif 39 53,4%
Positif 34 46,6%
Total 73 100%
Berdasarkan hasil uji statistik yang tertera pada tabel 5.5.
terlihat bahwa bahwa persentase tahu yang positif mengandung
formalin sebanyak 46,6%. Sedangkan yang negatif mengandung
formalin sebanyak 53,4%.
5.2.2. Hasil Uji Kandungan Formalin Pada Tahu Berdasarkan Jenis
Tahu
Berikut hasil uji statisik antara kandungan formalin pada tahu
dengan jenis tahu di Pasar Daerah Semanan :
76
Tabel 5.6. Distribusi Uji Kandungan Formalin Pada Tahu
Berdasarkan Jenis Tahu di Pasar Daerah Semanan Tahun 2015
Jenis Tahu
Hasil Uji Laboratorium
Negatif Positif Total
N % n % n %
Tahu Putih 8 20,5 17 50 25 34,2
Tahu Kuning 17 43,6 9 26,5 26 35,6
Tahu Coklat 14 35,9 8 23,5 22 30,1
Total 39 100 34 100 73 100
Berdasarkan tabel 5.6. diketahui bahwa jenis tahu yang paling
banyak positif mengandung formalin yakni tahu putih sebanyak 17
tahu (50%). Dan yang paling sedikit mengandung formalin yakni jenis
tahu coklat atau tahu goreng yakni sebanyak 8 tahu (23,5%).
5.2.3. Gambaran Pengetahuan Penjual Tahu Terhadap Formalin
Berikut gambaran pengetahuan penjual tahu yang menjadi
responden dalam penelitian ini, terhadap kandungan formalin pada
tahu di Pasar Daerah Semanan :
Tabel 5.7. Distribusi Pengetahuan Penjual Tahu Terhadap
Formalin di Pasar Daerah Semanan Tahun 2015
Pengetahuan Jumlah Persentase
Rendah 13 38,2%
Tinggi 21 61,8%
Total 34 100%
77
Pada tabel 5.7. diketahui bahwa sebanyak 21 responden
(61,8%) responden memiliki kategori pengetahuan tinggi mengenai
ciri tahu berformalin, golongan formalin menurut PP, dan dampak
formalin bagi kesehatan. Sedangkan responden yang memiliki
kategori pendidikan rendah sebesar 38,2%.
5.2.3.1. Pengetahuan Berdasarkan Pertanyaan Kuesioner
Berikut distribusi pengetahuan penjual tahu berdasarkan
pertanyaan kuesioner di Pasar Daerah Semanan yang menjadi
responden dalam penelitian ini:
Tabel 5.8. Distribusi Pengetahuan Penjual Tahu Berdasarkan
Pertanyaan Kuesioner di Pasar Daerah Semanan Tahun 2015
No Pertanyaan Salah Benar
n % n %
B1 Apakah formalin itu? 8 23,5 26 76,5
B2 Contoh makanan yang mungkin mengandung formalin? 9 26,5 25 73,5
B3 Ciri tahu berformalin? 13 38,2 21 61,8
B4 Apakah formalin berbahaya bagi kesehatan? 3 8,8 31 91,2
B5 Mengapa formalin berbahaya? 15 44,1 19 55,9
B6 Menurut PP, formalin termasuk golongan apa? 24 70,6 10 29,4
B7 Bolehkah menjual tahu berformalin? 2 5,9 32 94,1
B8 Mengapa tahu berformalin tidak boleh dijual? 3 8,8 31 91,2
B9 Adakah akibat setelah seseorang mengkonsumsi tahu
berformalin?
5 14,7 29 85,3
B10 Apa dampak dan gejala akibat mengkonsumsi tahu
berfomalin ?
16 47,1 18 52,9
78
Pada tabel 5.8. terlihat kategori pengetahuan seluruh responden
dari setiap pertanyaan kuesioner. Dari kesepuluh pertanyaan
tersebut, responden paling banyak menjawab salah pada pertanyaan
B6 terkait “formalin termasuk golongan apa dalam PP”, sebesar
70,6%. Dan responden paling banyak menjawab benar pada
pertanyaan B7 terkait “Boleh atau tidaknya menjual tahu
berformalin”, sebesar 94,1%.
Responden juga banyak menjawab salah sebesar 47,1% untuk
pertanyaan “apa dampak dan gejala akibat mengkonsumsi tahu
berformalin?”. Selain itu, responden juga banyak menjawab salah
pada pertanyaan “Mengapa formalin berbahaya bagi kesehatan jika
dikonsumsi?” yakni sebesar 44,1%. Dan responden responden juga
banyak menjawab salah sebesar 38,2% pada pertanyaan “Ciri tahu
berformalin?”
5.2.3.2. Pengetahuan Tentang Ada Tidaknya Kandungan Formalin
Pada Tahu yang Dijual
Berikut distribusi pengetahuan penjual tahu tentang kandungan
formalin pada tahu yang dijual di Pasar Daerah Semanan yang
menjadi responden dalam penelitian ini :
79
Diagram 5.3. Distribusi Pengetahuan Tentang Ada Tidaknya
Kandungan Formalin Pada Tahu yang Dijual di Pasar Daerah
Semanan Tahun 2015
Berdasarkan tabel 5.3 telihat bahwa responden paling banyak
menjawab tidak tahu terkait ada tidaknya kandungan formalin pada
tahu yang dijual yakni sebesar 88,2%. Tidak ada satupun responden
yang mengakui mengetahui tahunya berformalin.
5.2.4. Gambaran Sikap Penjual Tahu Terhadap Informasi Bahaya
Formalin
Berikut gambaran sikap penjual tahu yang menjadi responden
dalam penelitian ini, terhadap informasi bahaya formalin pada tahu
di Pasar Daerah Semanan :
0%
88,20%
11,80%
0% 20% 40% 60% 80% 100%
Tahu
Tidak Tahu
Ragu-Ragu
80
Tabel 5.9. Distribusi Sikap Penjual Tahu Terhadap Informasi
Bahaya Formalin Pada Tahu di Pasar Daerah Semanan Tahun
2015
Sikap Jumlah Persentase
Negatif 12 35,3%
Positif 22 64,7%
Total 34 100%
Pada tabel 5.9. diketahui bahwa sebanyak 22 responden
(64,7%) responden memiliki sikap positif terhadap kandungan
formalin pada tahu. Sedangkan sebanyak 12 responden (35,3%)
memiliki sikap negatif.
81
5.2.4.1.Gambaran Sikap Penjual Tahu Terhadap Informasi Bahaya Formalin Berdasarkan Item Pernyataan
Berikut gambaran sikap penjual tahu terhadap informasi bahaya formalin berdasarkan item pernyataan pada tahu di Pasar
Daerah Semanan yang menjadi responden dalam penelitian ini:
Tabel 5.10. Distribusi Sikap Penjual Tahu Terhadap Kandungan Formalin Berdasarkan Item Pernyataan Pada Tahu di
Pasar Daerah Semanan Tahun 2015
No Pertanyaan Sikap SS (x5) ST (x4) RG (x3) TS (x2) STS (x1) Total Hasil
Kali
Kecenderungan
Sikap n % n % n % n % n % n %
Pernyataan Gradasi Positif
C1 Tahu makanan sehat, bergizi, harganya
terjangkau
19 55,9 15 44,1 0 0 0 0 0 0 34 100 155 Sangat Setuju
C2 Tahu terbuat dari kedelai 22 64,7 12 35,3 0 0 0 0 0 0 34 100 158 Sangat Setuju
C3 Tahu menguntungkan untuk dijual
karena banyak masyarakat suka
6 17,6 26 76,5 1 2,9 1 2,9 0 0 34 100 139 Setuju
C4 Tahu dapat bertahan kurang dari 3 hari
pada suhu ruangan
2 5,9 27 79,4 2 5,9 2 5,9 1 2,9 34 100 129 Setuju
C5 Penggunaan bahan pengawet dapat
meningkatkan kualitas tahu
1 2,9 9 26,5 6 17,6 17 50 1 2,9 34 100 94 Ragu-Ragu
Pernyataan Gradasi Negatif
No Pertanyaan Sikap SS (x1) ST (x2) RG (x3) TS (x4) STS (x5) Total Hasil
Kali
Kecenderungan
Sikap n % n % n % n % n % n %
C6 Pengawet yang diizinkan pemerintah
salah satunya formalin
0 0 0 0 3 8,8 25 73,5 6 17,6 34 100 139 Tidak Setuju
C7 Penggunaan formalin pada tahu
diperbolehkan
0 0 1 2,9 1 2,9 23 67,6 9 26,5 34 100 142 Tidak Setuju
C8 Tahu yang mengandung formalin lebih
bagus, kenyal, enak, sehingga tidak
masalah untuk dijual
0 0 9 26,5 0 0 18 52,9 7 20,6 34 100 125 Tidak Setuju
C9 Formalin tidak berbahaya bagi
kesehatan
0 0 0 0 2 5,9 20 58,8 12 35,3 34 100 146 Tidak Setuju
C10 Makan tahu berformalin baik untuk
kesehatan
0 0 0 0 1 2,9 21 61,8 12 35,3 34 100 147 Tidak Setuju
82
Berdasarkan 5.10. terlihat bahwa tingkat sikap untuk
pertanyaan C5 tentang “penggunaan bahan pengawet dapat
meningkatkan kualitas tahu” cenderung ragu-ragu dengan total nilai
hasil kali lickert 94 yakni dari ragu-ragu menuju tidak setuju dan
sebesar 50% tidak setuju. Sedangkan tingkat sikap terkait
“penggunaan formalin pada tahu diperbolehkan” (C7) cenderung
tidak setuju dengan nilai hasil kali lickert 142 dan sebanyak 67,6%
tidak setuju. Kemudian sebanyak 61,8% menjawab tidak setuju
dengan pernyataan “makan tahu berformalin baik untuk kesehatan”
(C10). Selain itu sebesar 26,5% setuju pada pernyataan C8 jika tahu
yang mengandung formalin lebih bagus, kenyal, enak, sehingga
tidak masalah untuk dijual, namun hasil kali lickert menunjukkan
hasil 125 yang berarti kecenderungan sikap keseluruhan responden
terhadap pertanyaan C8 tidak setuju.
5.2.5. Gambaran Perilaku Penjual Tahu
Berikut gambaran perilaku penjual tahu yang menjual tahu
berformalin di Pasar Daerah Semanan dari salah satu tahu yang
dijual responden teridentifikasi mengandung formalin :
83
Tabel 5.11. Distribusi Perilaku Penjual Tahu Di Pasar Daerah
Semanan Tahun 2015
Perilaku Penjual
Tahu
Jumlah Persentase
Ya 25 73,5%
Tidak 9 26,5%
Total 34 100%
Berdasarkan tabel 5.11. telihat bahwa perilaku penjual tahu
yang menjual tahu berformalin sebesar 73,5%. Sedangkan yang
tidak menjual tahu berformalin sebanyak 26,5%. Dikategorikan
perilaku menjual tahu berformalin karena salah satunya
mengandung formalin dan dikategorikan perilaku tidak menjual
tahu berformalin jika seluruh tahunya tidak mengandung formalin.
5.2.5.1.Identifikasi Perilaku Penjual Tahu Mengenai Tahu Berformalin
Identifikasi terhadap perilaku penjualan tahu di Pasar Daerah
Semanan bertujuan untuk mengetahui indikasi penjualan tahu
berformalin. Berikut identifikasi perilku dilakukan terhadap kesamaan
tahu yang dijual dan di konsumsi penjual, asal tahu yang dijual, daerah
supplier, daya tahan tahu yang dijual, perlakuan jika tahu bersisa, teman
sebagai motivasi berjualan tahu, dan perilaku menjual tahu jika penjual
tahu tersebut telah mengetahui tahu tersebut mengandung formalin.
84
5.2.5.1.1. Kesamaan Tahu yang Dijual dan Dikonsumsi
Berikut distribusi kesamaan tahu yang dijual penjual tahu
dengan yang dikonsumsi penjual tahu di Pasar Daerah Semanan
yang menjadi responden dalam penelitian ini:
Tabel 5.12. Distribusi Kesamaan Tahu yang Dijual dan
Dikonsumsi Penjual Tahu di Pasar Daerah Semanan Tahun
2015
Tahu yang Dijual Berbeda
Dengan yang Dikonsumsi
Jumlah Persentase
Ya 6 17,6%
Tidak 28 82,4%
Total 34 100%
Berdasarkan tabel 5.12. terlihat bahwa tidak ada perbedaan
(sama) antara tahu yang dijual penjual tahu dengan yang dikonsumsi
oleh penjual tahu sebesar 82,4%.
5.2.5.1.2. Asal Tahu
Berikut distribusi asal tahu yang dijual oleh penjual di Pasar
Daerah Semanan yang menjadi responden dalam penelitian ini:
85
Diagram 5.4. Distribusi Asal Tahu yang Dijual Penjual Tahu di
Pasar Daerah Semanan Tahun 2015
Berdasarkan diagram 5.4 terlihat bahwa tahu yang dijual oleh
penjual tahu di Pasar Daerah Semanan berasal dari supplier yakni
sebesar 91,2%. Sedangkan yang membuat sendiri hanya 8,8%.
5.2.5.1.3. Kategori Daerah Supplier
Berikut distribusi kategori daerah supplier tahu yang
mensuplai tahu kepada para penjual tahu di Pasar Daerah Semanan
yang menjadi responden dalam penelitian ini :
Diagram 5.5. Distribusi Kategori Daerah Supplier Yang
Mensuplai Tahu Kepada Para Penjual Tahu di Pasar Daerah
Semanan Tahun 2015
*Kopti Semanan: Kompleks Pembuat Tahu & Tempe Indonesia daerah Semanan
8,8%
91,2%
Buat Sendiri
Dari Supplier
0,0% 20,0% 40,0% 60,0% 80,0% 100,0%
Asa
l Tah
u
Persentase
45,2%
54,8%
Kopti Semanan
Tangerang
0,0% 10,0% 20,0% 30,0% 40,0% 50,0% 60,0%
Dae
rah
Persentase
86
Berdasarkan diagram 5.5. terlihat bahwa kategori daerah
supplier yang mensuplai tahu kepada para penjual tahu di Pasar
Daerah Semanan kebanyakan berasal dari daerah Tangerang yakni
sebesar 54,8%.
5.2.5.1.4. Daya Tahan Tahu
Berikut distribusi pengakuan penjual tahu tentang daya tahan
tahu yang mereka jual di Pasar Daerah Semanan yang menjadi
responden dalam penelitian ini :
Diagram 5.6. Distribusi Pengakuan Penjual Tahu Tentang Daya
Tahan Tahu yang Dijualnya di Pasar Daerah Semanan Tahun
2015
Berdasarkan diagram 5.6 terlihat bahwa pengakuan penjual
tahu tentang daya tahan tahu yang dijualnya di Pasar Daerah
Semanan hanya 1-2 hari, yakni sebanyak 91,2%.
5.2.5.1.5. Perlakuan Jika Tahu Bersisa
Berikut distribusi perlakuan penjual tahu jika tahu bersisa di
Pasar Daerah Semanan yang menjadi responden dalam penelitian
ini.
91,2%
8,8%
0,0% 20,0% 40,0% 60,0% 80,0% 100,0%
1-2 hari
Lebih dari 2 hari
Persentase
Day
a Ta
han
87
Diagram 5.7. Distribusi Perlakuan Penjual Tahu Jika Tahu
Bersisa di Pasar Daerah Semanan Tahun 2015
Berdasarkan diagram 5.7. terlihat bahwa perlakuan penjual
tahu jika tahu bersisa di Pasar Daerah Semanan yakni di buang
sebanyak 38,2%. Namun paling banyak menjawab lainnya (seperti :
di olah kembali atau diberikan ke tetangga/warteg) yakni sebesar
44,1%.
5.2.5.1.6. Teman yang Mengajak Berjualan Tahu
Berikut distribusi pengakuan penjual tahu terkait faktor
teman yang mengajak berjualan tahu di Pasar Daerah Semanan
yang menjadi responden dalam penelitian ini:
14,7%
38,2%
44,1%
2,9%
0,0% 10,0% 20,0% 30,0% 40,0% 50,0%
Dikembalikan ke supplier
Dibuang
Lainnya
Tidak Pernah Bersisa
Persentase
Pe
rlak
uan
88
Tabel 5.13. Distribusi Pengakuan Penjual Tahu Terkait Faktor
Teman yang Mengajak Berjualan Tahu di Pasar Daerah
Semanan Tahun 2015
Faktor Teman yang Mengajak
Berjualan
Jumlah Persentase
Ya 12 35,3%
Tidak 22 64,7%
Total 34 100%
Berdasarkan Tabel 5.13. terlihat bahwa 64,7% penjual tahu
mengaku bahwa mereka menjual tahu tidak diajak oleh teman yang
mengajak mereka menjual tahu. Sedangkan 35,3% penjual tahu,
berjualan tahu karena diajak teman.
5.2.5.1.7. Perilaku Penjual Tahu Jika Sebenarnya Telah Mengetahui
Tahu Tersebut Berformalin
Berikut distribusi perilaku menjual tahu jika telah mengetahui
tahu tersebut berformalin di Pasar Daerah Semanan yang menjadi
responden dalam penelitian ini:
Tabel. 5.14. Distribusi Perilaku Penjual Tahu Jika Telah
Mengetahui Tahu Tersebut Berformalin di Pasar Daerah
Semanan Tahun 2015
Jika Tahu Ini Berformalin
Apa Akan Tetap Dijual
Jumlah Persentase
Ya 8 23,5%
Tidak 26 76,5%
Total 34 100%
89
Berdasarkan Tabel 5.14. terlihat bahwa perilaku penjual tahu
di Pasar Daerah Semanan, jika seandainya mereka telah mengetahui
tahu tersebut berfomalin maka tidak akan dijual sebanyak 26
responden (76,5%).
90
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1. Keterbatasan Penelitian
Dalam pelaksanaan penelitian ini, terdapat keterbatasan penelitian
yaitu:
1. Penelitian ini hanya mengidentifikasi kandungan formalin pada tahu
secara kualitatif, yaitu hanya menjelaskan ada tidaknya kandungan
formalin pada tahu. Uji kuantitatif untuk mengidentifikasi kadar
formalin yang terdapat dalam tahu tidak dilakukan karena biaya yang
dibutuhkan untuk menguji kadar formalin cukup besar sehingga peneliti
hanya sampai pada uji kualitatif saja.
2. Karena luasnya cakupan faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya
perilaku, maka pada penelitian ini hanya menganalisis faktor perilaku
yang berkaitan dengan pengetahuan dan sikap terkait perilaku penjualan
tahu berformalin.
3. Peneliti tidak dapat mengetahui sedalam apa kejujuran jawaban dari
responden, peneliti hanya mengamati mimik responden untuk
mengetahui kejujuran responden saat melakukan wawancara.
4. Desain studi cross sectional deskriptif hanya memberikan informasi
karakteristik dari variabel tanpa melihat hubungan antara variabel.
5. Penelitian ini hanya bertujuan mengetahui penjual tahu berformalin
tidak sampai mengetahui produsen yang mensuplai tahu. Sehingga tidak
91
dapat menggali lebih dalam siapakah sebenarnya produsen yang
menggunakan formalin.
6.2. Temuan Formalin Pada Tahu
Kini marak beredar tahu berformalin di pasaran. Sifat tahu yang
lembut mudah mengalami kerusakan, menyebabkan beberapa oknum tidak
bertanggung jawab menambahkan formalin pada tahu dengan tujuan agar
tahu dapat bertahan lama. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebanyak
34 sampel tahu (46,6%) dari 73 sampel yang berasal dari 34 penjual tahu di
Pasar Daerah Semanan mengandung formalin. Pada tahun (2006), BPOM
juga telah menemukan sebanyak 33,45% tahu berformalin di beberapa pasar
kota besar di Indonesia, sedangkan di Jakarta sebanyak 77,85% (BPOM,
2006). Dengan ditemukannya tahu berformalin hingga saat ini menunjukkan
bahwa masih terjadi masalah keamanan pangan nasional.
Penelitian ini juga menunjukkan bahwa dari ketiga jenis tahu (tahu
putih, tahu kuning, tahu coklat), tahu putih merupakan jenis tahu yang
paling banyak mengandung formalin, yakni sebesar 50%-nya dari total
sampel yang mengandung formalin. Penelitian Tjiptaningdyah (2010) di
Pasar Sidoarjo juga menunjukkan hasil yang serupa yakni sebanyak 62,85%
tahu putih di pasar tradisional mengandung formalin dan di pasar modern
mencapai 77,77%.
Kecenderungan tahu putih yang paling banyak mengandung formalin
disebabkan karena tahu putih lebih cenderung berukuran lebih besar, lebih
lembut, lebih rentan hancur dan tidak diberi pengawet seperti kunyit atau
92
digoreng terlebih dahulu (Saragih dan Sarwono, 2003). Sehingga tahu putih
lebih mudah rusak dibanding tahu lainnya. Hal tersebut yang mungkin
menyebabkan beberapa oknum yang tidak bertanggung jawab menggunakan
formalin pada tahu putih untuk meningkatkan daya tahan tahu tersebut.
Padahal penggunaan formalin dalam makanan sebenarnya telah dilarang
oleh pemerintah sejak tahun 1982.
Adapun peraturan yang melarang tentang hal tersebut yakni
Permenkes RI No. 722/Menkes/Per/88 tentang bahan tambahan makanan.
Formalin merupakan zat pengawet yang dilarang penggunaannya pada
makanan. Akan tetapi formalin banyak disalahgunakan sebagai pengawet
makanan seperti ikan, tahu, mie basah, daging ayam, maupun kikil (Anwar
dan Khomsah, 2009). Menurut Saparinto dan Hidayati (2006) harga
formalin relatif lebih murah dibanding pengawet lain sehingga sering
disalahgunakan sebagai pengawet makanan. Dengan murahnya harga
formalin dan karena sifatnya yang dapat mengawetkan, maka formalin
disalahgunakan oleh beberapa pihak untuk mengawetkan makanan seperti
tahu.
Larangan penggunaan formalin dikarenakan formalin merupakan
bahan beracun dan berbahaya bagi kesehatan manusia. Jika kandungannya
dalam tubuh tinggi, akan bereaksi secara kimia dengan hampir semua zat di
dalam sel sehingga menekan fungsi sel dan menyebabkan kematian sel yang
menyebabkan keracunan pada tubuh. Efek akut dapat terjadi jika
mengkonsumsi makanan berformalin mulai dari dosis 15 mg/kg/hari. Efek
aku tersebut seperti mual-mual, muntah, diare bercampur darah (Cahanar et
93
al, 2006). Selain itu, formalin juga dapat menimbulkan dampak akumulatif.
Dampak akumulatif salah satunya kerusakan fungsi ginjal dapat terlihat
dalam kurun waktu 30 tahun jika mengkonsumsi tahu berformalin hal ini
didasarkan dengan adanya reference dose (RfD) sebesar 0,2mg/kg/hari yang
dikeluarkan oleh EPA (1991). Sedangkan dosis fatal formalin yang dapat
menyebabkan kematian adalah 60-90 ml (Sartono, 2001).
Larangan penggunaan formalin pada makanan juga didasarkan karena
formalin menyebabkan makanan menjadi tidak baik dan dapat menimbulkan
banyak mudharat bagi kesehatan manusia. Dalam ajaran islam juga telah
dijelaskan dalam Al-Qur’an pada surat Al-Baqarah: 168 yang artinya :
“…Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang
terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan,
karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata
bagimu…”(Depatemen Agama RI, 2006).
Tahu sebenarnya tergolong makanan yang halal karena terbuat dari
unsur kedelai dan tidak memiliki kandungan babi, darah, maupun bangkai.
Tahu juga tergolong makanan yang baik karena bergizi dan sehat. Namun
jika tahu mengandung formalin maka tahu tergolong dalam makanan yang
tidak baik dan berbahaya karena ada beberapa mudharat (dampak
kesehatan) yang dapat ditimbulkan jika mengkonsumsinya.
Namun dengan masih ditemukannya tahu berformalin di dalam
penelitian ini, hal tersebut menunjukkan bahwa pengawasan keamanan
pangan terkait formalin belum optimal. Menurut Hartati (2007) pengawasan
pemerintah merupakan faktor penguat yang dapat menentukan terjadinya
94
perilaku penjualan makanan berformalin atau tidak. Tanpa adanya
pengawasan oleh pemerintah dan petugas kesehatan, beberapa oknum tidak
bertanggung jawab cenderung menambahkan bahan-bahan berbahaya agar
kualitas makanan yang dijualnya lebih tahan lama dan mendapatkan
keuntungan yang besar. Pengawasan dengan sidak ke beberapa pasar
tertentu yang telah menjadi kegiatan rutin pemerintah, ternyata tidaklah
cukup untuk menghentikan peredaran makanan berformalin. Perlu
pengawasan dan kesadaran berbagai pihak terutama masyarakat untuk dapat
membatu dalam menghentikan penjualan makanan berformalin.
6.3. Pengetahuan Penjual Tahu Mengenai Formalin
Pada variabel pengetahuan dalam penelitian ini, data dikumpulkan
melalui wawancara dengan instrumen kuesioner. Menurut Notoatmodjo
(2010) Wawancara adalah suatu metode yang dipergunakan untuk
mengumpulkan data, dimana peneliti mendapatkan keterangan atau
informasi secara lisan dari seseorang sasaran penelitian (responden).
Wawancara juga dapat membantu dalam observasi. Tujuan dari wawancara
bukan sekedar memperoleh angka lisan melainkan juga untuk memperoleh
kesan langsung dari responden, menilai kebenaran responden, membaca
mimik responden, menjelasakan pertanyaan jika tidak dimengerti dan
memancing jawaban yang macet.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 61,7% memiliki
pengetahuan tinggi dan 38,2% memiliki pengetahuan rendah terkait
formalin, ciri tahu berfomalin, golongan formalin menurut PP, dan dampak
95
penggunaan formalin bagi kesehatan. Walaupun pengetahuan sebagian
responden tinggi, namun masih ditemukan sebesar 46,6% tahu mengandung
formalin. Penelitian Habibah (2013) menunjukkan bahwa tingkat
pengetahuan responden berbanding terbalik dengan praktik penjualan
makanan berformalin. Responden dengan tingkat pengetahuan kurang justru
tidak melakukan penjualan makanan berformalin. Sedangkan yang
berpengetahuan baik, melakukan praktik penjualan makanan berformalin.
Penelitian Yuniati, dkk (2008) juga menunjukkan bahwa responden dengan
tingkat pengetahuan baik sebesar 78,6% justu melakukan praktik penjualan
makanan berformalin sebesar 78,6%. Dengan demikian pengetahuan yang
tinggi tentang makanan berformalin tidak berarti menunjukkan tidak adanya
makanan berformalin yang dijual, karena banyak faktor yang dapat
mempengaruhi perilaku seseorang selain pengetahuan.
Menurut (Rogers dalam Notoatmodjo, 2007), pengetahuan dapat
menjadi dasar bagi seseorang sebelum orang tersebut mengadopsi perilaku.
Sehingga pengetahuan merupakan salah satu bagian penting yang perlu
diketahui dalam analisis perilaku seseorang. Selain itu, menurut Mubarak,
dkk (2007), pengetahuan dapat dipengaruhi oleh faktor seperti pendidikan
formal. Pengetahuan sangat erat hubungannya dengan pendidikan, dimana
diharapkan bahwa dengan pendidikan yang tinggi maka seseorang akan
semakin luas pengetahuannya. Jika melihat dari distribusi pendidikannya,
pendidikan sebagian besar responden dapat dikatakan tergolong sedang
menuju rendah karena lebih banyak tamatan SMP dan tamatan SD (diagram
5.2).
96
Walaupun responden dalam penelitian ini tamatan SMP dan SD,
namun hasil jawaban responden terhadap kuesioner menunjukkan secara
keseluruhan pengetahuan responden tinggi. Tetapi jika diamati tiap item
pertanyaan, masih banyak responden yang salah dalam menjawab di
beberapa pertanyaan tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan
responden memang sudah cukup tinggi namun pengetahuan tersebut belum
optimal.
Pengetahuan yang belum optimal dapat dipengaruhi oleh domain
kognitif. Terbentuknya pengetahuan oleh domain kognitif mempunyai 6
tingkatan, yakni: tahu (know), memahami (comprehension), aplikasi
(application), analisis (analysis), Sintesis (synthesis), dan evaluasi
(evaluation) (Notoatmodjo, 2010). Responden dalam penelitian ini banyak
yang salah dalam menjawab pertanyaan tertentu yang akan dijelaskan dalam
sub-bab berikutnya dalam bab ini. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat
pengetahuan sebagian responden baru sampai tingkat tahu (Know). Padahal
tahap “Tahu (know)” merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah,
karena responden hanya bisa menyebutkan, menguraikan sedikit,
mendefinisikan, dan menanyakan. Responden belum sampai pada tingkat
menyimpulkan dan tingkat pemecahan masalah.
Sunaryo (2004) menambahkan bahwa pengetahuan juga merupakan
hasil dari penginderaan manusia terhadap objek tertentu yang dipengaruhi
intensitas, terutama dipengaruhi oleh indera pendengaran dan penglihatan.
Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa pengetahuan yang tinggi
tidak mutlak dipengaruhi pendidikan formal melainkan dapat juga
97
disebabkan oleh proses penginderaan dengan terpaparnya responden pada
informasi-informasi terkait keamanan pangan khususnya makanan
berformalin melalui media massa.
Dari hasil wawancara dengan responden, kebanyakan responden yang
berpengetahuan tinggi lebih banyak mendapatkan informasi terkait formalin
dari berita-berita di televisi dan juga mendengar kabar beberapa bulan lalu
pernah terjadi penggerebekan dan penyegelan salah satu pabrik makanan di
daerah Semanan oleh polisi karena terbukti menggunakan formalin sebagai
pengawet makanannya. Hal ini di dukung oleh penelitian Habsah (2009)
yang menyatakan bahwa penjual yang berpengetahuan baik cenderung lebih
sering melihat tayangan televisi seputar formalin sehingga pengetahuan
yang dimilikinya mengenai formalin dapat dikatakan cukup memadai.
Sedangkan responden yang berpengetahuan rendah, cenderung jarang
melihat media massa terutama berita terkait formalin sehingga berdampak
pada ketidaktahuannya mengenai dampak formalin bagi kesehatan.
Televisi adalah media yang digunakan responden untuk menangkap
informasi. Menurut Mubarak, dkk (2007), televisi merupakan media yang
menyajikan pesan-pesan pembelajaran secara audio visual dengan disertai
unsur gerak. Televisi tergolong ke dalam media massa. Kelebihan televisi
salah satunya adalah medium yang menarik, modern, menyajikan informasi
visual dan lisan secara simultan yang mudah diterima panca indera, serta
sifatnya langsung dan nyata. Namun televisi memiliki kelemahan yakni sifat
komunikasinya hanya satu arah, sehingga kurang efektif untuk penyuluhan
yang membutuhkan pendekatan mendalam kepada responden.
98
Berita di televisi terkait penemuan makanan berformalin hanya
memberikan informasi satu arah mengenai adanya temuan makanan
berformalin di daerah tertentu dan informasi terkait ciri-ciri makanan
berformalin. Karena sifatnya tersebut televisi tidak dapat menjawab
pertanyaan dari setiap penontonnya, sehingga responden yang ingin
mengetahui informasi mengenai peraturan mengenai formalin tidak dapat
menanyakannya. Selain itu, televisi hanya memberikan visualisasi atau
gambar tahu berformalin, tanpa mencontohkan benda aslinya langsung. Hal
ini kemungkinan yang menyebabkan responden hanya sekedar mengetahui
ciri tahu berformalin tanpa bisa membedakannya secara langsung.
Komunikasi dua arah hanya dapat dilakukan melalui penyuluhan
secara langsung (tatap-muka), hal ini dapat dilakukan oleh petugas
puskesmas setempat. Menurut responden tidak pernah ada penyuluhan
berupa promosi kesehatan atau pendidikan kesehatan yang dilakukan oleh
puskesmas setempat tentang makanan berformalin dan larangan keberadaan
formalin pada makanan. Kemungkinan karena kurangnya penyuluhan
tersebut, para responden tidak mengetahui peraturan pemerintah yang
melarang formalin ada pada makanan. Menurut Mubarak, dkk, (2007)
penyuluhan kesehatan sangat penting dalam upaya untuk menjembatani
adanya kesadaran perilaku tidak menjual tahu berformalin dengan
pemberian dan peningkatan pengetahuan masyarakat di bidang kesehatan.
Dengan adanya penyuluhan kesehatan diharapkan responden dapat memiliki
tanggung jawab yang lebih besar pada kesehatan, keselamatan lingkungan
99
dan masyarakatnya, khususnya keamanan pangan terkait makanan
berformalin.
Untuk menggali terkait ada tidaknya penyuluhan, maka peneliti
menanyakan apakah sebenarnya para responden ikut tergabung dalam
asosiasi pengusaha tahu. Kemungkinan jika responden mengikuti asosiasi
tersebut, responden akan lebih mengetahui informasi terkait bahan
berbahaya yang tidak boleh ada pada tahu dan juga dapat mengetahui
tentang resep pembuatan tahu. Mayoritas menjawab tidak karena mereka
hanya penjual bukan produsen, mereka mengakui bahwa hanya bos mereka
(produsen tahu) yang tergabung dalam asosiasi tersebut. Berdasarkan
informasi yang didapat dari beberapa penjual tahu, ada dua asosiasi tahu-
tempe, yakni IKAPTI (Ikatan Pengusaha Tempe Tahu Indonesia) dan
PRIMKOPTI (Asosiasi Produsen Tahu Tempe Indonesia). Menurut
responden, asosiasi tersebut lebih mengupdate harga bahan baku pembuatan
tahu seperti kedelai dan pasokan jumlah kedelai ketimbang bahan berbahaya
yang dilarang digunakan pada tahu dan tempe.
Kemungkinan lain yang menyebabkan masih adanya responden yang
memiliki tingkat pengetahuan rendah karena kurangnya konsentrasi
responden dalam menjawab pertanyaan dikarenakan adanya pembeli yang
datang saat wawacara dilakukan. Ketika sedang dilakukan wawancara, tidak
sedikit pembeli yang datang, sehingga wawancara harus ditunda beberapa
kali dikarenakan penjual harus melayani pembelinya. Penundaan
wawancara juga agar tidak mengganggu proses jual-beli dan juga agar
pembeli kecil kemungkinannya mendengar isi wawancara tersebut.
100
Pengetahuan yang rendah juga kemungkinan disebabkan karena ada
rasa takut pada diri beberapa responden ketika diwawancarai seputar
formalin, sehingga responden lebih memilih untuk menjawab seadanya. Hal
ini ditunjukkan oleh mimik responden saat pertama kali peneliti meminta
kesediaannya untuk di wawancara seputar tahu dan juga formalin, beberapa
responden ada yang menunjukkan respon keberatan untuk diwawancarai
dan menyuruh orang lain untuk di wawancarai. Akan tetapi setelah
dijelaskan bahwa tidak akan dipublikasikan namanya, penjual tersebut
akhirnya bersedia untuk diwawancarai.
Pengetahuan juga dapat dipengaruhi oleh usia. Depkes RI (2009),
mengkategorikan usia ke dalam 9 kategori yakni masa balita (0-5th), Masa
kanak-kanak (5-11th), Masa Remaja Awal (12-16th), Masa Remaja Akhir
(17-25th), Masa Dewasa Awal (26-35th) Masa Dewasa Akhir (36-45th),
Masa Lansia Awal (46-55th), Masa Lansia Akhir (56-65th), dan Masa
Manula (65 tahun ke atas). Sedangkan penelitian ini lebih menyempitkan
kategori usia ke dalam tiga kategori yakni 17-25 tahun dikategorikan remaja,
26-45 tahun dikategorikan dewasa, dan usia 46-65 tahun dikategorikan lansia.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa usia responden mayoritas adalah
dewasa dan lansia dengan persentase yang sama yakni 47,1%.
Dengan bertambahnya usia seseorang maka akan terjadi perubahan
pada aspek fisik dan psikologis (mental). Pertumbuhan pada aspek fisik
mematangkan perkembangan organ sedangkan aspek psikologis atau mental
mempengaruhi taraf berfikir seseorang sehingga semakin dewasa dan matang.
Namun, dengan meningkatnya usia, maka kemampuan otak untuk menangkap
101
pengetahuan akan semakin menurun (Mubarak, dkk, 2007). Hasil tersebut
menunjukkan bahwa usia responden telah mengalami kematangan sehingga
dapat mempengaruhi taraf berfikir, namun kemampuannya untuk menangkap
atau menyerap pengetahuan dapat semakin menurun. Kategori usia dalam
penelitian ini diharapkan dapat membantu dalam pertimbangan untuk
pembuatan program intervensi dan penentuan media penyuluhan terkait
masalah penjualan tahu berformalin.
Dalam kaitan pengetahuan tentang formalin ini dengan jenis kelamin,
diketahui bahwa jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan persentasenya
sama yakni 50%. Dengan demikian diketahui bahwa telah terjadi kesetaraan
gender terkait penjualan tahu. Berdasarkan kesamaan persentase antara laki-
laki dan perempuan tsb maka jika akan dilakukan pembinaan maupun
penyuluhan terkait formalin, sebaiknya menggunakan media yang dapat
diterima oleh laki-laki maupun perempuan.
Beberapa item pertanyaan akan dibahas untuk menggambarkan sedalam
apa pengetahuan responden tentang formalin. Item pertanyaan tersebut yakni
B6 terkait “Formalin termasuk golongan apa menurut peraturan pemerintah”.
Kemudian B3 tentang “ciri tahu berformalin”, dan B10 tentang “apa dampak
dan gejala akibat mengkonsumsi tahu berformalin”.
6.3.1. Pengetahuan Mengenai Golongan Formalin Menurut Peraturan
Pemerintah
Peraturan pemerintah terkait golongan formalin dan larangan
keberadaan formalin pada makanan sebenarnya merupakan wujud
102
komitmen pemerintah dalam mencegah peredaran makanan berformalin
agar tidak terjadi dampak kesehatan di masyarakat. Hasil menunjukkan
bahwa responden paling banyak menjawab salah pada pertanyaan B6 terkait
“Formalin termasuk golongan apa menurut peraturan pemerintah” yakni
sebesar 70,6%. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengetahuan
responden sebenarnya belum optimal terkait formalin.
Banyak dari responden yang menyatakan tidak mengetahui dan
sebagian bingung, sebenarnya formalin diperbolehkan ada pada makanan
atau hanya boleh digunakan sebagai pengawet mayat. Pada sub-bab
sebelumnya telah dijelaskan beberapa tingkatan pengetahuan. Bahwa
tingkatan pertama dalam pengetahuan adalah tahu (Know). Tahu (Know)
diartikan sebagai recall atau mengingat memori yang sebelumnya telah
diamati (Notoatmodjo, 2010). Responden cenderung tidak mengetahui
terkait pertanyaan B6 dikarenakan kurang mengamati peraturan pemerintah
yang mengatur tentang larangan formalin pada makanan.
Padahal larangan keberadaan formalin pada makanan telah ditegaskan
pada peraturan SNI-01-0222-1995 tentang bahan tambahan makanan
Lampiran II. Kemudian Permenkes, nomor 472/Menkes/Per/V/1996 tentang
Pengamanan Bahan Berbahaya Bagi Kesehatan. Kemudian, Permenkes
Nomor 722/Menkes/Per/IX/1988 yakni Larangan penggunaan bahan kimia
berbahaya seperti formalin dalam makanan. Menurut Tjahajana (2006),
peraturan pemerintah terkait larangan keberadaan formalin pada makanan
ini bertujuan untuk melindungi konsumen dari dampak kesehatan akibat
makanan tersebut
103
Menurut teori Notoatmodjo (2007), upaya peraturan pemerintah
tersebut termasuk dalam kategori Enforcement (tekanan) yang bertujuan
untuk mengubah perilaku masyarakat agar berperilaku sehat dengan cara
tekanan melalui UU, PP, dan Intruksi pemerintah. Biasanya upaya dengan
pendekatan tersebut lebih cepat mengubah perilaku namun tidak langgeng
(sustainable), karena perubahan perilaku yang dihasilkan dengan cara ini
tidak didasari oleh pengertian dan kesadaran yang tinggi terhadap tujuan
perilaku tersebut. Responden dalam penelitian ini mungkin sebagian
mengetahui peraturan pemerintah yang melarang formalin pada makanan
namun mereka hanya sekedar mengetahui dan belum sadar akan bahayanya.
Selain itu, hanya dengan mengetahui peraturan pemerintah mengenai
larangan formalin dan golongan formalin, tidak dapat mengubah perilaku
secara langgeng (sustainable), sehingga perlu penyadaran dengan dilakukan
penyuluhan kesehatan terkait hal tersebut agar perilaku yang dihasilkan
langgeng.
Salah satu hal yang dapat mempengaruhi pengetahuan seseorang
terkait peraturan pemerintah adalah pendidikan formal. Hal ini tergambar
dalam item pernyataan B6 ini, karena salah satu dari responden yang lulusan
perguruan tinggi mengetahui peraturan pemerintah terkait larangan
penggunaan formalin dan formalin termasuk golongan apa. Mayoritas
responden dalam penelitian ini tamatan SMP, sehingga pengetahuan mereka
mungkin belum mendalam mengenai peraturan pemerintah tentang
formalin. Responden yang tidak mengetahui peraturan tentang formalin
mungkin juga dipengaruhi karena kurangnya pengetahuan terkait bahan
104
tambahan makanan, hal ini juga nantinya terkait pertanyaan sikap C5 terkait
pengawet, karena hasil kali lickert menunjukkan kecenderungan sikap
responden ragu terhadap C5.
6.3.2. Pengetahuan Mengenai Ciri Tahu Berformalin
Hasil penelitian terkait item pertanyaan B3 tentang “ciri tahu
berformalin” menunjukkan masih ditemukannya pengetahuan yang kurang
karena sebesar 38,2% salah menjawab. Menurut, BPOM RI (2006), ciri-ciri
tahu yang mengandung formalin antara lain tidak rusak sampai 3 hari pada
suhu ruangan (25C) dan bertahan lebih dari 15 hari pada lemari es, tahu
telampau keras namun tidak padat, bau agak menyengat. Pengetahun
tentang ciri tahu berformalin ini menjadi sangat penting untuk dapat
mencegah penjualan tahu berformalin. Responden mayoritas hanya
mengetahui teori tentang ciri-ciri tahunya saja dan belum pernah
membandingkan langsung antara ciri-ciri tahu berformalin dan tidak.
Sehingga mereka bingung dalam menjawab dan menyebabkan sebagian
jawaban dari responden salah.
Komunikasi persuasi dua arah dalam penyuluhan kesehatan
dibutuhkan guna mengubah pengetahuan, sikap dan perilaku kesehatan
secara langsung terkait rantai kausal yang sama (Mc guire dalam Fitriani,
2011). Dalam hal ini komunikasi persuasi dua arah perlu dilakukan terhadap
responden yang pengetahuannya rendah dan tidak dapat membedakan ciri
tahu berformalin. Hal tersebut bertujuan agar tingkatan pengetahuan
responden tentang ciri tahu berformalin sampai pada tingkatan ke 6 yakni
105
evaluasi (evaluation) atau berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk
melakukan penilaian terhadap suatu objek tertentu (Notoatmodjo, 2010).
Dengan demikian, maka kemungkinan penjualan tahu berformalin dapat
semakin dicegah.
Bagi pembeli maupun peneliti membuktikan ciri-ciri tahu berformalin
yang beredar di pasaran tidaklah mudah. Faktanya dilapangan, ciri-ciri tahu
berformalin sulit diketahui jika tahu belum dibeli, sebab sebagian tahu di
kemas oleh plastik dan tidak boleh dibuka plastiknya, di tekan atau di
pegang-pegang apalagi dicium baunya sebelum membelinya. Sekalipun ada
tahu yang tidak di kemas dengan plastik, dan diizinkan untuk di pegang dan
dicium, terkadang melalui penciuman saja tidak terdeteksi, karena kondisi
pasar tradisional terkadang lebih bau sehingga tidak tercium bau menyengat
formalin itu. Penjual tahu juga menuturkan bahwa mereka jarang bahkan
tidak pernah mencium salah satu sampel tahu yang dijualnya saat mereka
terima dari produsen. Sehingga dibutuhkan tools atau alat pendeteksi
formalin atau uji laboratorium untuk mengetahui ada tidaknya kandungan
formalin.
Pengetahuan mengenai ciri tahu berformalin juga dapat berasal dari
pengalaman lama berjualan tahu. Hasil menunjukkan bahwa responden
mayoritas berjualan 1-5 tahun dengan persentase sebanyak 52,9%. Dengan
demikian, pengalaman dapat dikatakan baru dalam berjualan tahu.
Pengalaman adalah suatu kejadian yang pernah dialami seseorang dalam
berinteraksi dengan lingkungannya. Ada kecenderungan pengalaman dapat
menimbulkan kesan sangat mendalam dan membekas dalam emosi kejiwaan
106
seseorang dan hal tersebut yang akhirnya dapat membentuk sikap baik
positif maupun negatif seseorang. Semakin lama pengalaman atau kejadian
yang dialami oleh seseorang maka akan semakin banyak pengalaman yang
didapatkannya (Mubarak, dkk, 2007). Namun karena mayoritas responden
dalam penelitian ini belum lama berjualan tahu, kemungkinan pengalaman
mereka dalam mendapati tahu yang mengandung formalin cenderung lebih
sedikit dibandingkan dengan yang sudah berpuluh-puluh tahun berjualan
tahu. Sehingga hal tersebut mempengaruhi pengetahun mereka tentang ciri
tahu berformalin.
Mayoritas responden dalam penelitian ini juga tidak membuat tahunya
melainkan dari supplier, ketika ditanyakan terkait apakah memang
penambahan formalin itu adalah resep, kebanyakan menjawab tidak tahu,
karena mereka hanya sebagai penjual bukan produsen pembuat. Sedangkan
responden yang membuat sendiri mengakui bahwa mereka tidak
menambahkan formalin dan formalin bukanlah resep keluarga. Namun tidak
diketahui sedalam apa kejujuran mereka terkait hal ini, karena peneliti tidak
mengikuti tahap proses pembuatan tahu.
6.3.3. Pengetahuan Mengenai Dampak Kesehatan Akibat Mengkonsumsi
Tahu Berformalin
Beberapa penelitian sebelumnya menyatakan formalin dapat
menimbulkan dampak kesehatan jika dikonsumsi. Hasil menunjukkan
bahwa pengetahuan responden terkait pertanyaan B4 “apakah formalin
berbahaya bagi kesehatan” sebanyak 91,2% menjawab benar. Namun saat
107
ditanyakan pertanyaan B5 tentang “mengapa formalin berbahaya” sebesar
44,1% menjawab salah. Sama halnya seperti pertanyaan B9 terkait “adakah
akibat setelah mengkonsumsi tahu berformalin”, responden sebesar 85,3%
menjawab benar. Namun saat ditanya pertanyaan B10 tentang “apa dampak
dan gejala akibat mengkonsumsi tahu berformalin” sebanyak 47,1% salah
menjawab. Hal tersebut menunjukkan bahwa pengetahuan responden
mengenai dampak formalin bagi kesehatan belum optimal.
Berdasarkan dampak serius formalin terhadap kesehatan, maka
penelitian ini berusaha untuk mengetahui bagaimana persentase
pengetahuan responden terkait dampak kesehatan jika mengkonsumsi tahu
formalin. Dampak kesehatan akibat mengkonsumsi makanan berformalin
antara lain muntah, diare bercampur darah, kencing bercampur darah,
bahkan kematian akibat kegagalan peredaran darah (Cahanar et al, 2006).
Formalin juga diketahui sebagai zat beracun, karsinogen (penyebab kanker),
mutagen (penyebab perubahan sel, jaringan tubuh), korosif dan iritatif. Pada
wanita konsumsi makanan mengandung formalin dapat menyebabkan
gangguan mentruasi dan infertilitas (kemandulan) (Sari, 2008).
Diketahui bahwa pengetahuan responden mengenai dampak formalin
bagi kesehatan belum optimal. Hal ini mungkin karena tingkatan dalam
pengetahuan belum dipenuhi. Menurut Notoatmodjo (2010) ada beberapa
tingkatan dalam pengetahuan yang nantinya mempengaruhi terbentuknya
tindakan/perilaku. Tingkatan pertama yakni tahu (know) yakni mengingat
memori yang sebelumnya telah diamati. Kemudian yang kedua yakni
memahami (comprehension). Memahami suatu objek bukan sekedar tahu
108
objek tersebut, tidak sekedar dapat menyebutkan tetapi harus dapat
menginterpretasikan secara benar objek yang diketahui tersebut. Responden
dalam penelitian ini belum sampai pada tahap memahami (comprehension),
yakni mereka belum mampu menjelaskan mengapa formalin itu berbahaya
dan apa akibatnya
Berdasarkan penelitian Heryani, dkk (2011), diketahui bahwa paparan
formalin menyebabkan penurunan sel spermatogenik pada mencit. Selain itu
pemberian formalin peroral dosis bertingkat selama 12 minggu
menyebabkan terjadinya histopatologis gaster tikus wistar, perubahan yang
terlihat berupa deskuamasi epitel, erosi epitel dan ulseri epitel (Katerina,
2012). Kemudian, penggunaan jangka panjang formalin pada manusia juga
dapat menyebabkan kanker mulut dan tenggorokan (Sartono, 2001). Selain
itu seseorang mungkin hanya mampu bertahan 48 jam setelah
mengkonsumsi dosis fatal formalin yakni 60-90ml (Anwar dan Khomsah,
2008). Mengingat dampaknya yang tidak langsung terlihat tersebut,
sehingga sebagian responden menganggap bahwa dampak dari
mengkonsumsi tahu berformalin tidak perlu dikhawatirkan, hal tersebut juga
terlihat dari mimik responden saat diwawancara. Sehingga sebagian dari
responden mengaku tidak masalah jika tahunya ada yang mengandung
formalin.
Pentingnya peningkatan pengetahuan terkait dampak kesehatan akibat
mengkonsumsi tahu berformalin, agar para penjual tahu mengetahui dan
sadar bahwa formalin merupakan zat berbahaya yang dapat merugikan
pengkonsumsinya dalam jangka panjang. Menurut Fitriani (2011),
109
penyuluhan kesehatan yang berisi promosi dan pendidikan kesehatan sangat
berperan dalam peningkatan pengetahuan mengenai dampak akibat formalin
tersebut. Penggunaan media seperti video perjalanan dari pemaparan awal
formalin hingga terjadinya penyakit serta target organ dari formalin dapat
membantu menjelaskan betapa bahayanya formalin pada makanan jika terus
dikonsumsi. Hal penting lain yang dapat membantu untuk mencegah
peredaran makanan berformalin selain peningkatan pengetahuan dan
kesadaran adalah penyediaan tools atau alat untuk mendeteksi formalin
dengan harga yang murah, sehingga para penjual tahu dapat dengan mudah
mengecek apakah tahu yang akan dijualnya mengandung formalin.
6.4. Sikap Penjual Tahu Terhadap Informasi Bahaya Formalin
Sikap merupakan variabel yang perlu diamati karena sikap dapat
menjadi dasar untuk terbentuknya perilaku. Berdasarkan skala lickert
penilaian pendapat sikap terbagi menjadi 5 kategori yakni: sangat setuju;
setuju; ragu-ragu; tidak setuju; dan sangat tidak setuju (Sugiyono, 2009).
Pada kuesioner ini sikap diukur menggunakan skala lickert dengan gradasi
pertanyaan dari yang sangat positif menuju ke yang sangat negatif. Sikap
positif artinya perilaku baik yang sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma
kehidupan yang berlaku dalam masyarakat. Sedangkan sikap negatif adalah
sikap yang tidak seseuai dengan nilai dan norma-norma kehidupan yang
berlaku dalam masyarakt atau bahkan bertentangan (Purwanto, 1998).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang cenderung
memiliki sikap positif sebanyak 64,7%, sedangkan yang memiliki sikap
110
negatif sebesar 35,3%. Namun kenyataanya masih ditemukan sebesar 46,6%
tahu mengandung formalin. Dengan demikian sikap positif belum tentu
menghasilkan tindakan positif atau baik. Penelitian Habibah (2013), juga
menunjukkan hal yang sama bahwa sikap positif justru menjual makanan
berformalin, dan sebaliknya sikap negatif justru tidak menjual.
Sikap menurut Notoatmodjo (2007), merupakan respon yang masih
tertutup terhadap suatu stimulus tetapi melibatkan faktor pendapat dan
emosi yang bersangkutan (senang-tidak senang, setuju-tidak setuju, positif-
negatif, dsb). Perbedaan antara sikap dan perilaku dari responden dapat
disebabkan oleh adanya suatu reaksi tertutup responden terhadap peneliti
sehingga informasi yang didapat mungkin kurang dapat menggambarkan
keadaan yang sebenarnya. Kemungkinan para responden bersikap positif
untuk menutupi perilaku penjualan tahu berformalin yang dilakukannya.
Jika dilihat dari item pernyataan sikap tertentu, akan tergambar pernyataan
mana yang sebenarnya masih belum diketahui responden.
Respon tertutup yang mungkin menyebabkan sebagian responden
tidak jujur dalam menjawab mungkin terkait dengan nilai, salah satunya
nilai keagamaan. Menurut Hakim (2012), nilai tak hanya dijadikan rujukan
untuk bersikap dan berbuat, tapi juga dijadikan ukuran benar tidaknya suatu
fenomena perbuatan dalam masyarakat. Salah satu nilai yang terkait dengan
sikap yang dapat mempengaruhi perilaku adalah nilai keagamaan, yang
dalam hal ini berkaitan dengan kejujuran responden. Jika nilai
keagamaannya tinggi maka apabila si penjual tahu mengetahui bahwa tahu
berformalin berbahaya bagi kesehatan maka tidak akan di jual.
111
Selain itu sikap juga terbentuk dari 3 komponen yakni komponen
afektif (perasaan), kognitif (pemikiran), dan perilaku (Waluyo, 2000).
Dalam penelitian ini responden cenderung memiliki sikap positif yakni tidak
setuju keberadaan formalin, dapat dikarenakan komponen afektif (perasaan)
ketakutan jika respon tertutupnya diketahui kebenarnanya, sehingga
menyebabkan responden berfikir untuk menutupinya dengan sikap positif.
Menurut Fitriani (2011), sikap terdiri dari beberapa tingkatan yakni
menerima (receiving), merespon (responding), menghargai (valuing), dan
bertanggungjawab (responsible). Dalam penelitian ini, responden telah
mencapai tingkatan kedua yakni merespon (responding), karena responden
mau memberikan jawaban saat ditanya, dan mengisi kuesioner saat diminta
mengisinya. Namun saat diajak mendiskusikan terkait formalin, responden
cenderung tertutup dan menolak, sehingga belum sampai pada tingkatan
menghargai (valuing), yakni bersedia mendiskusian suatu masalah.
Pada pernyataan C5 tentang “penggunaan bahan pengawet dapat
meningkatkan kualitas tahu”, skor hasil kali skala lickert menunjukkan hasil
94 yakni cenderung dari ragu-ragu mengarah ke tidak setuju. Kemudian
sebesar 50% responden tidak setuju jika penggunaan bahan pengawet dapat
meningkatkan kualitas tahu. Padahal menurut teori Suprapti (2005), tujuan
penggunaan bahan tambahan pengawet makanan adalah untuk
meningkatkan kualitas tahu yang dihasilkan, namun bahan pengawet itu
sendiri haruslah bahan pengawet yang diizinkan penggunaannya
berdasarkan SNI-01-0222-1995.
112
Pada penelitian ini, responden cenderung ragu-ragu mengarah ke tidak
setuju dengan penggunaan bahan pengawet, karena mereka menganggap
bahwa penggunaan bahan pengawet tidaklah baik. Saat ditanya tentang hal
tersebut kebanyakan dari responden menganggap bahan pengawet adalah
unsur kimia yang tidak baik bagi kesehatan jika di konsumsi, jadi tidak
boleh ada dalam makanan seperti tahu. Menurut Suprapti (2005),
sebenarnya bahan pengawet ada yang alami seperti garam atau kunyit dan
juga ada pengawet sintesis yang diizinkan penggunaannya pada makanan
dengan dosis yang telah ditentukan, sehingga bahan pengawet dapat
membantu dalam meningkatkan kualitas tahu. Responden juga mengakui
tidak mengerti tentang bahan tambahan makanan karena mereka tidak
pernah mendengar berita tentang itu dan juga tidak pernah mengikuti
pelatihan tentang bahan tambahan makanan. Hal tersebut yang mungkin
menyebabkan mereka tidak mengetahui sebenarnya sebagian pengawet ada
yang diperbolehkan penggunanannya.
Kemudian sikap responden terkait pernyataan C7 tentang
“penggunaan formalin pada tahu di perbolehkan” menunjukkan hasil tidak
setuju sebanyak 67,6% dengan skor hasil kali skala likert sebesar 142
menunjukkan tidak setuju mengarah ke sangat tidak setuju. Hal ini sesuai
dengan larangan yang telah di sebutkan dalam SNI-01-0222-1995 tentang
bahan tambahan makanan Lampiran II yang melarang keberadaan formalin
pada makanan. Tetapi kenyataanya, dalam penelitian ini masih ditemukan
sebesar 46,6% tahu mengandung formalin. Penelitian Habibah (2013) juga
menunjukkan hal yang serupa yakni para responden yang setuju bahwa
113
formalin tidak diperbolehkan memiliki sikap yang berbanding terbalik
dengan praktik yang dilakukan. Pada penelitian tersebut responden yang
memiliki sikap positif justru menjual makanan berformalin.
Dari yang peneliti amati, ada sebagian responden yang ekspresi saat
ditanya tentang formalin menjawab santai, tetap ramah, dan tenang,
mungkin karena mereka memang tidak mengetahui tahu yang mereka jual
mengandung formalin atau tidak. Akan tetapi ada sebagian juga yang seperti
merasa ketakutan, tidak santai, dan langsung berubah ekspresi wajahnya
menjadi acuh dan menjawab agak sinis, mungkin karena sebenarnya
sebagian dari mereka mengetahui bahwa tahu yang mereka jual berformalin
namun mereka berusaha menutupinya.
Selain itu, sikap responden terkait pertanyaan C10 tentang “makan
tahu berformalin baik untuk kesehatan” menunjukkan hasil tidak setuju
sebanyak 61,8%, dengan skor hasil kali skala likert sebesar 147
menunjukkan tidak setuju mengarah ke sangat tidak setuju. Hal ini sesuai
dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa mengkonsumsi
formalin dapat menimbulkan dampak buruk bagi kesehatan. Formalin juga
diketahui sebagai zat beracun dan karsinogen (menyebabkan kanker) (Sari,
2008).
Sikap responden cenderung tidak setuju mengarah ke sangat tidak
setuju terhadap pernyataan “makan tahu berfomalin baik untuk kesehatan”,
menunjukkan hal yang baik. Mereka bersikap demikian mungkin karena
sebelumnya telah mengetahui bahwa ada dampak jika mengkonsumsi
makanan berformalin. Namun sebagian besar dari mereka belum
114
mengetahui secara mendalam dampaknya seperti apa dan seberapa
berbahayanya. Hal tersebut memang karena disebabkan dampaknya yang
akumulatif, jadi tidak langsung terlihat.
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, formalin merupakan bahan
berbahaya yang dilarang penggunaannya pada makanan. Sikap yang
seharusnya dimiliki oleh seseorang terhadap formalin adalah tidak
menjualnya atau menolak penggunaan formalin pada makanan. Sehingga
dapat diasumsikan dalam penelitian ini sikap tidak setuju terhadap
keberaaan formalin pada makanan adalah sikap yang harus ditanamkan
dalam diri masyarakat. Dengan adanya sikap tidak setuju pada diri
seseorang akan membuat dirinya menjauhi atau tidak menjual tahu
berformalin.
Sesuai dengan teori Maulana (2009) sikap merupakan reaksi yang
masih tertutup terhadap suatu objek yang merupakan kecenderungan untuk
berkelakukan (berperilaku) dengan pola-pola tertentu, terhadap objek. Sikap
merupakan respon dalam bentuk abstrak yang belum dapat dilihat, sehingga
masih memungkinkan untuk responden berbohong. Dalam penelitian ini,
jika seseorang memiliki sikap positif yang berasal dari pengetahuan dan
kesadaran akan bahaya suatu zat, maka kemungkinan akan mempengaruhi
orang tersebut untuk berperilaku baik. Perilaku yang diharapkan dari sikap
positif dan pengetahuan yang baik adalah tidak menjual tahu berformalin
agar terhindar dari dampak negatif bagi kesehatan.
115
6.5.Perilaku Penjual Tahu
Pada variabel ini, dilakukan wawancara dengan menggunakan
kuesioner untuk mengetahui indikasi perilaku penjualan tahu berformalin.
Menurut Notoadmodjo (2012), pengukuran perilaku dapat dilakukan dengan
pengukuran perilaku secara tidak langsung. Pengukuran perilaku secara tidak
langsung dapat dilakukan dengan wawancara terhadap kegiatan-kegiatan
yang telah dilakukan beberapa jam, hari, atau bulan yang lalu (recall).
Selain wawancara juga dilakukan uji laboratorium terhadap sampel
tahu yang dijual untuk membuktikan responden menjual tahu berformalin
atau tidak. Sehingga hasil yang didapatkan dari varibel perilaku tidak hanya
berasal dari kuesioner responden melainkan juga dari hasil uji laboratorium.
Jika satu dari ketiga jenis tahu (tahu putih, tahu kuning, tahu coklat) yang
diambil sebagai sampel mengandung formalin maka dikategorikan perilaku
menjual tahu berformalin. Sedangkan jika semua dari tahu yang dijual tidak
mengandung formalin, maka tidak dikategorikan menjual tahu berformalin.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebanyak 73,5% termasuk
kedalam kategori menjual tahu berformalin. Sedangkan yang benar-benar
tidak menjual tahu berformalin hanya sebanyak 26,5%. Hasil penelitian ini
sejalan dengan penelitian Habibah (2013), yang menunjukkan bahwa
responden yang berpengetahuan baik dan memiliki sikap positif justru
melakukan praktik penjualan makanan berformalin. Namun, hal tersebut
bertentangan jika dibandingkan dengan penelitian Permanasari (2010) dan
Habsah (2012) yang menunjukkan bahwa pengetahuan yang kurang dan
116
sikap yang negatif dapat menyebabkan praktik penggunaan dan penjualan
makanan berformalin.
Menurut teori Lawrence Green (1991) faktor perilaku dipengaruhi
oleh faktor predisposisi, faktor pemungkin dan faktor penguat. Adapun
faktor predisposisi dalam hal ini yakni pengetahuan dan sikap. Menurut
Notoadmodjo (2012), pada dasarnya bentuk perilaku dapat diamati melalui
sikap dan tindakan. Namun tidak berarti perilaku hanya dapat dilihat dari
sikap dan tindakan saja. Perilaku bisa saja bersifat potensial yaitu dari
bentuk penelitian, motivasi dan persepsi. Dengan persepsi individu
menyadari dapat mengerti tentang keadaan lingkungan yang ada di
sekitarnya maupun tentang hal yang ada dalam diri individu yang
bersangkutan (Sunaryo, 2004). Ada 3 komponen utama dalam proses
persepsi yakni seleksi, interpretasi (penafsiran), dan diterjemahkan kepada
bentuk tingkah laku (Sobur, 2009). Persepsi dalam penelitian ini tergambar
dari pertanyaan pengetahuan dan sikap, berdasarkan pengetahuan terlihat
bahwa dari beberapa item pertanyaan tertentu seperti formalin golongan apa
menurut PP masih banyak salah menjawab dan sikap terkait penambahan
bahan pengawet pada makanan kebanyakan responden cenderung ragu-ragu
kea rah tidak setuju. Padahal sebenarnya ada pengawet yang diperbolehkan.
Hal tersebut menunjukkan bahwa persepsi pada tahap interpretasi
(penafsiran) responden belum sepenuhnya benar. Sehingga hal ini
menimbulkan perbedaan dengan perilaku.
Dalam penelitian ini, untuk mengetahui perilaku sebenarnya dari
responden juga dilakukan uji laboratorium yang bertujuan untuk
117
membuktikan jawaban dari kuesioner dan hasil wawancara. Hasil uji
laboratorium merupakan fakta dari keadaan sebenarnya yang dilakukan oleh
seseorang, sehingga dapat menjadi dasar untuk membuktikan perilaku
seseorang.
Kemungkinan terjadi perbedaan jawaban kuesioner dengan hasil uji
laboratorium dikarenakan tahu yang dijual tidak dibuat sendiri oleh penjual
melainkan berasal dari supplier. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
tahu yang mengandung formalin tersebut seluruhnya berasal dari penjual
tahu yang tidak memproduksinya sendiri. Namun, ada satu yang
memproduksi sendiri yang juga terbukti mengandung formalin. Berdasakan
hasil (diagram 5.4) menunjukkan 91,2% berasal dari supplier dan 8,8%
membuat sendiri. Ketidaktahuan responden tentang ada atau tidaknya
kandungan formalin pada tahu yang dijualnya, dapat disebabkan karena
belum terjadi proses Awareness (kesadaran) dalam diri responden terkait hal
tersebut. Menurut Notoatmodjo (2007), Awareness (kesadaran) merupakan
tahap dimana seseorang menyadari atau mengetahui terlebih dahulu
terhadap stimulus (objek).
Hasil penelitian ini juga menunjukkan daerah supplier tahu yang dapat
membantu dalam pencarian akses geografis ke sumber tahu berformalin
yang sebenarnya. Hasil menunjukkan bahwa supplier tahu berasal dari
daerah Kopti Semanan dan juga daerah Tangerang (diagram 5.5). Terlihat
bahwa supplier tahu kebanyakan berasal dari daerah Tangerang jika
dibandingkan dari Kopti (komplek pembuat tahu & tempe indonesia) daerah
Semanan. Menurut Hartati (2007), akses geografis menjadi penting untuk
118
diketahui agar dikemudian hari dapat ditindaklanjuti oleh pihak yang
berwenang seperti petugas kesehatan dan pemerintah setempat.
Akses geografis yakni jarak ke produsen telah digambarkan dalam
penelitian ini, karena wilayah supplier tahu berasal dari radius yang tidak
jauh yakni berasal dari daerah setempat yakni Kopti Semanan dan daerah
Kota Tangerang. Daerah Semanan Jakarta Barat, merupakan daerah yang
berbatasan langsung dengan daerah Kota Tangerang, sehingga sebagian
supplier tahu yang menyuplai ke Pasar Daerah Semanan juga berasal dari
daerah Tangerang. Menurut Nurwening (2012), akses ke supplier tahu atau
produsen ditentukan oleh akses geografis dan akses sosial. Akses geografis
yakni jarak dan waktu ke lokasi layanan. Dalam hal ini, akses geografis
yakni jarak dan waktu ke produsen tahu. Sedangkan akses sosial
mengandung dua pengertian yakni bisa diterima dan dijangkau. Akses yang
mudah diterima lebih mengarah pada faktor psikologis dan sosial budaya,
sedangkan dapat dijangkau lebih ke arah finansial dan ekonomi.
Dengan diketahui bahwa daerah supplier juga dari kota lain yang
masih dekat jaraknya dengan lokasi penelitian, hal ini menunjukkan bahwa
perbatasan geografis wilayah tidak menyebabkan terbatasnya interaksi antar
masyarakat antar daerah. Sehingga peran Pemerintah Daerah (PEMDA)
antar daerah dalam pengawasan keamanan pangan khususnya peredaran
tahu berformalin menjadi faktor penting untuk mengawasi peredaran
makanan berformalin. Menurut Hartati (2007), peran pemerintah seperti
dinas kesehatan setempat, sangat dibutuhkan untuk mengawasi peredaran
makanan berformalin.
119
Indikasi penjualan tahu berformalin penting untuk diketahui karena
dapat menjadi dasar dalam mengungkap penjualan makanan berformalin.
Kesamaan antara tahu yang dijual dan dikonsumsi keluarga responden, daya
tahan tahu yang dijual, perlakuan jika tahu bersisa, dan adakah teman yang
mengajak berjualan tahu merupakan pertanyaan yang dapat membantu
untuk mengetahui indikasi penjulan tahu berformalin.
6.5.1. Identifikasi Perilaku Penjual Tahu Mengenai Tahu Berformalin
Jika dilihat berdasarkan identifikasi antara kesamaan jenis tahu yang
dijual dan dikonsumsi responden, diketahui bahwa sebanyak 82,4%
menyatakan tidak ada perbedaan antara tahu yang dijual dengan yang
dikonsumsi. Hal ini menunjukkan bahwa tahu yang responden makan
dengan yang responden jual sama. Hal tersebut dapat terjadi karena
sebelumnya telah diketahui bahwa mayoritas responden tidak membuatnya
sendiri. Sehingga selain pembeli yang terpapar formalin, kemungkinan
sebagian penjual dan keluarganya juga ada yang terpapar formalin karena
tahu yang dijual mengandung formalin.
Menurut Suprajitno (2004), keluarga merupakan faktor penguat bagi
seseorang dalam melakukan suatu tindakan, karena keluarga berfungsi dapat
memberikan dukungan emosisonal dan keluarga juga terkadang menjadi
latar belakang dari baik buruknya suatu perbuatan. Hal tersebut yang
menyebabkan peneliti menggunakan pertanyaan kesamaan tahu yang dijual
dengan yang di konsumsi keluarga, untuk mengetahui indikasi penjualan
tahu berformalin. Biasanya seorang yang telah mengetahui, tahu yang
120
dijualnya mengandung formalin, akan cenderung melindungi keluarga untuk
tidak memakan tahu yang dijualnya. Sehingga pertanyaan ini dapat
digunakan untuk mengetahui indikasi penjualan tahu berformalin.
Responden yang menjawab “sama”, mungkin memang tidak
mengetahui bahwa tahunya mengandung formalin. Tapi mungkin juga
karena ada sebagian responden yang sengaja tidak jujur dalam pertanyaan
ini, agar tidak diketahui bahwa dia menjual tahu berformalin. Sedangkan
sebagian responden yang menyatakan berbeda antara tahu yang dikonsumsi
dan tahu yang dijual, menimbulkan kecurigaan indiaksi penjualan tahu
berformalin.
Berdasarkan identifikasi dari daya tahan tahu, sebanyak 91,2%
responden mengakui tahunya bertahan hanya 1-2 hari. Namun pada
kenyataannya, ada beberapa sisa sampel tahu yang peneliti letakan di luar
lemari pendingin (suhu ruangan) karena lemari pendingin kapasitasnya
penuh, tetap bertahan hingga hari ke tiga bahkan ada yang bertahan hingga
hari ke empat. Selain itu, kondisi tahu masih terlihat segar, tidak berlendir,
tidak bau asam, teksturnya masih padat, dan tidak ada jamur. Padahal
berdasarkan teori yang dikemukakan BPOM (2006), tahu hanya dapat
bertahan kurang dari 3 hari artinya hanya bertahan maksimal 2 hari pada
suhu kamar. Hal ini terjadi mungkin disebabkan karena rendahnya
pengetahuan tentang tanda kerusakan tahu (basi), sehingga ada sebagian
tahu yang belum mengalami kerusakan tetapi dinyatakan telah rusak (basi)
oleh responden.
121
Hasil juga menunjukkan bahwa 50% responden salah dalam
menjawab pertanyaan tanda kerusakan tahu (basi). Hal tersebut
membuktikan bahwa sebenarnya masih ada sebagian responden yang
berpengetahuan rendah terkait tanda kerusakan tahu (basi). Menurut
Astawan (2009), tahu sebenarnya merupakan bahan makanan yang sangat
rentan rusak sehingga digolongkan sebagai high perishable food. Secara
organoleptik tanda-tanda yang dapat digunakan untuk mengetahui telah
terjadinya kerusakan tahu antara lain adalah rasa asam, bau masam sampai
busuk, permukaan tahu berlendir, tekstur menjadi lunak, kekompakan
berkurang, dll.
Indikasi lain yang diidentifikasi yakni perilaku yang dilakukan jika
tahu bersisa. Hasil menunjukkan bahwa sebanyak 44,1% menjawab
“lainnya”, artinya di olah kembali atau diberikan ke orang lain seperti
tetangga dan warteg dekat rumah. Tetapi sebanyak 14,7% menyatakan
dikembalikan lagi ke supplier. Responden yang menjawab dikembalikan
lagi ke supplier mengaku tidak mengetahui tahu yang bersisa itu akan di
buat apa oleh supplier, sehingga menimbulkan indikasi kecurigaan diolah
kembali tahu tersebut mengandung formalin dan akan dijual kembali.
Indikasi selanjutnya yakni faktor teman yang mengajak berjualan
tahu. Hasil menunjukkan bahwa sebanyak 35,3% menyatakan berjualan
tahu karena ada ajakan teman. Menurut Notoatmodjo (2010), teman menjadi
faktor penguat terjadinya perilaku. Jika temannya tidak menjual tahu
berformalin kemungkinan responden juga tidak melakukannya karena tidak
122
ada faktor penguatnya. Responden akan cenderung takut jika ternyata hanya
sendiri dalam melakukan penjualan tahu berformalin.
Peneliti juga mengidentifikasi perilaku penjual tahu yang akan
dilakukan responden seandainya mereka telah mengetahui tahu yang
dijualnya berformalin, apa akan tetap dijual. Hasil menunjukkan sebanyak
23,5% menjawab iya dan sebanyak 76,5% menjawab tidak. Responden yang
menjawab tidak menunjukkan keinginan untuk tidak menjual tahu
berformalin, jika dikaitkan dengan jawaban sikap berbanding lurus, Sikap
responden cenderung tidak setuju dengan penggunaan formalin. Responden
yang menjawab iya tetap akan dijual menimbulkan indikasi mendukung
penjualan tahu berformalin, hal ini merupakan perilaku yang tidak baik.
Selain itu, peneliti mencoba untuk mengetahui apakah benar ciri tahu
berformalin baunya itu menyengat, maka peneliti mencium beberapa tahu
yang berdasarkan hasil uji mengandung formalin, dan ternyata sebagian
besar memang benar memiliki bau menyengat seperti bau menyengat cat
dan juga teksturnya tidak padat tapi keras, ketika dibanting tidak mudah
hancur seperti jelly. Namun jika tahu bersebut dibelah secara diagonal
menjadi 4 bagian, bagian tengah tahu yang mengandung formalin terkadang
mudah hancur, hal tersebut menunjukkan kemungkinan formalin belum
menyerap ke bagian tengah tahu. Pada sebagian tahu khususnya tahu kuning
dan coklat, bau formalin tidak terlalu menyengat dan terkadang sulit
diketahui cirinya berdasarkan bau, dari teksturnya pun sulit diketahui, hanya
dapat dibuktikan dengan uji laboratorium.
123
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1. Simpulan
1) Tahu yang dijual di Pasar Daerah Semanan sebanyak 46,6%
mengandung formalin.
2) Pengetahuan penjual tahu di pasar daerah Semanan Jakarta Barat
terhadap formalin berada pada kategori rendah sebesar 38,2% dan
kategori tinggi sebesar 61,8%. Dengan persentase 38,2% salah
menjawab tentang ciri tahu berformalin. Kemudian sebesar 70,6% salah
menjawab pertanyaan golongan formalin pada tahu menurut PP, dan
sebesar 47,1% salah menjawab pada pertanyaan dampak formalin yang
ada di tahu bagi kesehatan.
3) Sikap penjual tahu 35,5% negatif dan 64,7% positif. Selain itu,
sebanyak 67,6% menyatakan tidak setuju terhadap keberadaan formalin
(C7) pada tahu di Pasar Daerah Semanan Kalideres
4) Perilaku penjualan tahu berformalin sebanyak 73,5% menjual tahu
berformalin, karena salah satu dari jenis tahu yang dijual menunjukkan
hasil positif mengandung formalin saat di tes di laboratorium.
7.2. Saran
7.2.1. Saran Bagi Masyarakat
a. Dengan ditemukannya tahu yang mengandung formalin, diharapkan
masyarakat dapat lebih cermat dalam mengenali mana tahu yang
124
berformalin berdasarkan ciri fisiknya dan baunya. Usahakan
membeli tahu yang tidak di bungkus kemasan plastik dan belilah
pada penjual yang mengizinkan jika tahunya di pegang dan cium
baunya terlebih dahulu. Selain itu, jika masyarakat mendapati
tahunya mengandung formalin, sebaiknya masyarakat melaporkan
kasus tersebut ke YLKI untuk mendapatkan haknya sebagai
konsumen dengan mendapatkan makanan yang aman.
b. Diharapkan bagi para penjual tahu lebih cerdas dalam mengenali ciri
tahu berformalin dan memperbolehkan konsumen memilih,
memegang tahu serta mencium tahu yang akan dibelinya.
c. Diharapkan bagi para produsen tahu untuk lebih menambah
pengetahuan bahwa formalin merupakan bahan pengawet yang
dilarang karena bahayanya bagi kesehatan, agar tidak merugikan
penjual tahu dan juga konsumen tahu khususnya dari segi kesehatan.
7.2.2. Saran Bagi Pemerintah
a. Sebaiknya BPOM dan dinkes setempat memberikan sangsi tegas
dengan menyita tahu yang terbukti berformalin dari penjual tahu.
b. Perlu penyelidikan lebih lanjut oleh pihak kepolisian ke produsen
yang memproduksi tahu berformalin. Kemudian berikan sanksi tegas
jika terbukti menggunkan formalin dalam produksi tahunya.
c. BPOM RI perlu meningkatkan pengawasan terhadap keamanan
makanan langsung ke setiap pasar, khususnya bagi makanan yang
tingkat konsumsi di masyarakatnya tinggi seperti tahu.
125
d. Departemen Perindustrian dan Perdagangan (Deperindag) perlu
mengawasi penjualan formalin agar tidak disalahgunakan untuk
mengawetkan makanan.
e. Perlu pengawasan antar PEMDA, dalam mengawasi peredaran
makanan berformalin, sebab walau secara batas geografis terpisah
daerah tetapi interaksi jual-beli masyarakat tidak dapat dipisahkan.
f. Perlu adanya pengawasan dari pihak Dinkes setempat untuk
menyelidiki keamanan pangan di wilayahnya khususnya pangan
jenis tahu yang mengandung formalin. Dan memberikan penyuluhan
kepada penjual tahu serta masyarakat mengenai dampak akumulatif
yang serius jika makanan berformalin terus dikonsumsi. Kemudian
memberikan penyuluhan langsung ke penjual tahu dengan
menunjukkan perbedaan langsung antara tahu berformalin
g. BPOM dan Dinkes setempat perlu mensosialisasikan tools atau alat
pendeteksi formalin yang sederhana, mudah digunakan dan murah,
agar penjual tahu dapat mengecek tahu yang di supply bebas dari
formalin / tidak.
7.2.3. Saran Bagi Lembaga Konsumen
YLKI sebaiknya membantu dalam mempertegas hak
perlindungan konsumen mengingat dampak negatif yang
membahayakan kesehatan akibat tahu berformalin.
126
7.2.4. Saran Bagi Peneliti Selanjutnya
a. Diharapkan penelitian selanjutnya dapat melihat kadar formalin
secara kuantitatif yang ada dalam tahu dan melihat dampak
keterpaparan formalin pada individu yang mengkonsumsinya.
b. Diharapkan penelitian selanjutnya dapat melakukan pendekatan
mendalam (sering bertatap-muka dan berbincang) dengan para
responden, sehingga dapat benar-benar menggali sikap dari
responden. Hal tersebut bertujuan untuk membuka peluang
mendapatkan rasa simpati dari para responden sehingga sikap yang
dihasilkan merupakan benar-benar perwujudan emosional dari diri
responden.
c. Diharapkan penelitian selanjutnya meneliti tentang penggunaan
formalin pada tingkat produsen tahu.
d. Diharapkan penelitian selanjutnya dapat mengamati penjualan
makanan berformalin lain seperti kikil, ikan, dan mie.
7.2.5. Saran Bagi FKIK
a. Dapat menjadi dasar untuk melakukan advokasi kepada para penjual
tahu terkait keamanan dan dampak kesehatan jika tahu berformalin
terus beredar dipasaran.
b. Dapat menjadi pertimbangan untuk FKIK untuk melakukan
pengabdian masyarakat dan pembinaan terkait keamanan pangan di
daerah Semanan.
127
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Faisal dan Khomsan, Ali. 2008. Sehat itu Mudah, Wujudkan Hidup Sehat
dengan Makanan Tepat. Jakarta: Penerbit Hikmah.
Anwar, Faisal dan Khomsan, Ali. 2009. Makan Tepat Badan Sehat. Jakarta: PT
Mizan Publika.
Astawan, Made. 2009. Sehat Dengan Hidangan Kacang & Biji-Bijian. Jakarta:
Penebar Swadaya.
Banpos. 2014. BPOM Sita Tahu Berformalin dari Pasar Ciputat Pedagang
Pasrah Tanpa Pengganti. Diakses pada tanggal 06 Oktober 2014 dari:
http://www.bantenposnews.com/berita-14859-bpom-sita-tahu-berformalin-
dari-pasar-ciputat-.html
BPOM. 2006. Bahan Berbahaya Yang Dilarang Untuk Pangan. Diakses pada
tanggal 02 Desember 2014.
BPOM. 2006. Keterangan Pers Badan POM Nomor: KH.00.01.1.241.002
Tentang Penyalahgunaan Formalin Untuk Pengawet Mie Basah, Tahu, Dan
Ikan. Diakses pada tanggal 16 Februari 2015.
BSN (Badan Standarisasi Nasional). 1992. SNI 01-2891-1992 Cara Uji Makanan
dan Minuman. Di download pada tanggal 05 Mei 2015.
BSN (Badan Standarisasi Nasional). 1998. SNI-01-4852-1998. Di download pada
tanggal 20 Desember 2014.
BSN. 1995. SNI-01-0222-1995 Bahan Tambahan Makanan. Di download pada
tanggal 7 Desember 2014.
BSN. 1998. SNI-01-3142-1998 Tahu. Di download pada tanggal 19 Desember
2014.
128
Cahanar, P, dkk. 2006. Makan Sehat Hidup Sehat. Jakarta: Penerbut Buku
Kompas.
CDC (The Centers for Disease Control and Prevention). 2014. CDC and Food
Safety. Di akses pada tanggal 19 Desember 2014 dari :
http://www.cdc.gov/foodsafety/cdc-and-food-safety.html
Chandra, Budiman. 2005. Pengantar Kesehatan Lingkungan. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Deny. 2014. 30 kg Tahu Berformalin Disita. Diakses pada tanggal 19 Desember
2014 dari: http://m.poskotanews.com/2014/07/01/30-kg-tahu-berformalin-
disita/?wpmp_switcher=mobile
Departemen Agama RI. 2006. Al-Qur’an Dan Terjemah. Tangerang: Magfirah
Pustaka.
Depkes RI. 2009. Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta: Departemen Republik
Indonesia.
EPA (Environmental Protection Agency). 1991. Formaldehyde (CASRN 50-00-0).
Diakses pada tanggal 03 Mei 2015 dari:
http://www.epa.gov/iris/subst/0419.htm
Fitriani, Sinta. 2011. Promosi Kesehatan. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Gatra. 2013. Gita Wirjawan Temui Sentra Pengrajin Tahu Tempe Kalideres.
Diakses pada tanggal 03 mei 2015 dari: http://www.gatra.com/ekonomi-
1/38334-gita-wirjawan-temui-sentra-pengrajin-tahu-tempe-kalideres.html
Green, Lawrence and Keuter, Marshall W. 1991. Health Promotion Planning, An
Educational and Ecological Approach. University of Texas Health Science
Center at Houston US, Mayfield Publishing Co. Diakses pada tanggal 17
Februari 2015 dari: http://lgreen.net/books.htm
129
Habibah, Tristya Putri Zahra. 2013. Identifikasi Penggunaan Formalin Pada Ikan
Asin dan Faktor Perilaku Penjual di Pasar Tradisional Kota Semarang.
Jurnal: Unnes Journal of Public Health. Jurusan Ilmu Kesehatan
Masyarakat: Universitas Negeri Semarang.
Habsah. 2012. Gambaran Pengetahuan Pedagang Mi Basah Terhadap Perilaku
Penambahan Boraks dan Formalin Pada Mi Basah Di Kantin-Kantin
Universitas X Depok Tahun 2012. Skripsi. Universitas Indonesia.
Hakim, Lukman. 2012. Internalisasi Nilai-Nilai Agama Islam Dalam
Pembentukan Sikap dan Perilaku Siswa Sekolah Dasar Islam Terpadu Al-
Muttaqin Kota Tasikmalaya. Jurnal Pendidikan Agama Islam-Ta’lim vol.
10 No.1-2012. Universitas Pendidikan Indonesia.
Hartati, Hendri. 2007. Analisis Manajemen Pengawasan dan Pengendalian
Penyalahgunaan Formalin di Dinas Kesehatan Kabupaten Tangerang. Jurnal
Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 2, No. 2, Oktober 2007.
Hastono, Sutanto Priyo dan Sabri, Luknis. 2010. Statistik Kesehatan. Jakarta:
Rajawali Pers.
Hastono, Sutanto Priyono. 2001. Modul Analisis Data. Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Indonesia.
Hastuti, Sri. 2010. Analisis Kualitatif dan Kuantitatif Formaldehid Pada Ikan
Asin di Madura.Jurnal: AGROINTEK Vol. 4, No. 2. Universitas Trunojoyo.
Hendaryani, Koes. 2012. Formalin dan Bahayanya. Diakses pada tanggal 17
Februari 2015 dari: http://www.teenage-corner.com/2012/07/formalin-dan-
bahayanya.html
Hermawanto, Hery. 2010. Biostatistik Dasar. Jakarta: Trans Info Media
130
Heryani, dkk. 2011. Paparan Formalin Menghambat Proses Spermatogenesis
Pada Mencit. Jurnal Veteriner Sepetember 2011 Vol. 12 No.3: 214-220.
Universitas Udayana: Fakultas Kedoteran Hewan
Hidayat, Dudung Rahmat, dkk. 2007. Ilmu dan Aplikasi Pendidikan. Bandung:
PT. Imperial Bhakti Utama.
Katerina, Sherly. 2012. Pengaruh Formalin Peroral Dosis Bertingkat Selama 12
Minggu Terhadap Gambaran Histopatologis Gaster Tikus Wistar. Jurnal
Media Medika Muda. Universitas Diponegoro: Fakultas Kedokteran.
Keteng, Andi Muttya. 2013. Pengerajin Tahu Tempe DKI Mogok Produksi, Apa
Kata Ahok?. Diakses pada tanggal 03 mei 2015 dari:
http://news.liputan6.com/read/688365/perajin-tahu-tempe-dki-mogok-
produksi-apa-kata-ahok
Maulana, Heri D. J. 2009. Promosi Kesehatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
Mubarak, Wahit Iqbal, dkk. 2007. Promosi Kesehatan: Sebuah Pengantar Proses
Belajar Mengajar dalam Pendidikan.Yogyakarta: Graha Ilmu.
Murti, Bisma. 1997. Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Notoatmodjo, Soekidjo. 2007. Kesehatan Masyarakat Ilmu & Seni. Jakarta:
Rineka Cipta.
Notoatmodjo, Soekidjo. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta:
Rineka Cipta.
Notoatmodjo, Soekidjo. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka
Cipta.
Notoatmodjo, Soekidjo. 2010. Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasinya. Jakarta:
Rineka Cipta.
131
Notoatmodjo, Soekidjo. 2012. Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan.
Jakarta: Rineka Cipta.
Nugrahiningtyas, Shanty. 2010. Analisis Kandungan Formalin Dalam Tahu Putih
Yang Dijual Di Pasar Tradisional Dan Supermarket Di Wilayah Kota
Jember. Skripsi. Universitas Jember: Fakultas Kesehatan Masyarakat.
Nurwening, Wisnu Sri. 2012. Analisis Faktor-Faktor Yang Berpengaruh
Terhadap Pemanfaatan Poli Obat Tradisional Indonesia Di Rumah Sakit
Umum Daerah Dr. Soetomo Surabaya. Depok: Universitas Indonesia.
Padmono, Darmawan Febri. 2014. Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen
Atas Penjaminan Mutu Makanan yang Beredar di Pasaran Oleh Balai
Besar Pengawas Obat dan Makanan Daerah Istimewa Yogyakarta Ditinjau
Dari Undang-Undungan Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlingungan
Konsumen. Skripsi. Fakultas Syariah dan Hukum: UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta.
Permanasari, Meilyna. 2010. Hubungan Pengetahuan dan Sikap Pedagang
dengan Praktik Penggunaan Formalin Pada Produk Ikan Basah di
Beberapa Pasar Tradisional di Yogyakarta. Tesis: Universitas Diponegoro.
Permenkes RI No. 33 Tahun 2012 tentang “Bahan Tambahan Pangan”. DI
download pada tanggal 10 Desember 2014.
Purbalaksono, Arfianto, dkk. 2014. Update Indonesia Tinjauan Bulanan Ekonomi,
Hukum, Keamanan, Politik, dan Sosial. Vol. VIII, No. 06-Januari 2014. The
Indonesian Institute.
Purwanto, Heri. 1998. Pengantar Perilaku Manusia Untuk Keperawatan. Jakarta:
EGC.
Ratnaningtyas, Rully Rista. 2012. Pirolisis Pembuatan Asam Cair Dari Bonggol
Jagung Sebagai Pengawet Alami Pengganti Formalin. Semarang:
Universitas Diponegoro.
132
Republika. 2008. Subsidi Pembelian Kedelai Macet. Diakses pada tanggal 03 mei
2015 dari: http://www.republika.co.id/berita/shortlink/9328
Saparinto, Cahyo dan Hidayati, Diana. 2006. Bahan Tambahan Pangan.
Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Saragih Y.P dan Sarwono, B. 2003. Membuat Aneka Tahu. Jakarta: Penebar
Swadaya.
Sari, Reni Wulan. 2008. Dangerous Junk Food. Yogyakarta: O2.
Sartono. 2001. Racun & Keracunan. Jakarta: Widya Medika.
Sitiopan, Henny Putri. 2012. Studi Identifikasi Formalin Pada Ikan Pindang Di
Pasar Tradisional Dan Modern Kota Semarang. Jurnal Kesehatan
Masyarakat Volume 1, Nomor 2, Tahun 2012, Halaman 983-994. FKM
UNDIP.
Sobur, Alex. 2009. Psikologi Umum. Bandung: Pustaka Setia Bandung.
Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
Sunaryo. 2004. Psikologi Untuk Keperawatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
Suprajitno. 2004. Asuhan Keperawatan Keluarga: Aplikasi Dalam Praktik.
Jakarta: EGC.
Suprapti, Lies. 2005. Pembuatan Tahu. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Tjahajana, Agus. 2006. Penyalahgunaan Formalin dan Peran Pemerintah.
Jakarta: Departemen Perindustrian.
Tjiptaningdyah, Restu. 2010. Studi Keamanan Pangan Pada Tahu Putih Yang
Beredar di Pasar Sidoardjo (Kajian dari Kandungan Formalin). Jurnal:
133
Berk. Panel Hayati 2010: 15 (159-164). Fakultas Pertanian Universitas DR.
Soetomo Surabaya.
Toha, Miftah. 2003. Perilaku Organisasi Konsep Dasar dan Aplikasinya. Jakarta:
Raja Grafindo Persada.
Waluyo, Agung. 2000. Psikologi Kesehatan: Pengantar Untuk Perawatan &
Profesional Kesehatan Lain E/2. Jakarta: EGC.
Widiastuti, Rina. 2009. Pabrik Mi dan Tahu Berformalin di Cengkareng Akan
Ditinjau. Diakses Pada tanggal 19 Desember 2014 dari:
http://www.tempo.co/read/news/2009/04/03/083168157/Pabrik-Mi-dan-
Tahu-Berformalin-di-Cengkareng-Akan-Ditinjau
Wijaya et al. 2013. Jurnal Magister Kedokteran Keluarga. Vol 1, No 1, (38 - 48).
Hubungan Pengetahuan, Sikap, Dan Motivasi Kader Kesehatan Dengan
Aktivitasnya Dalam Pengendalian Kasus Tuberkulosis Di Kabupaten
Buleleng. Pascasarjana Universitas Sebelas Maret.
Yuniati, Fiona. dkk. 2008. Pengetahuan dan Sikap Produsen Ikan Asin tetang
Formalin dan Keberadaan Formalin Pada Ikan Asin di TPI Tambak Lorok
Semarang. Skripsi: Universitas Muhamadiyah Semarang.
Yunita, Ken. 2006. BPOM Temukan 20 Perusahaan Salah Gunakan Formalin.
Diakses pada tanggal 06 Oktober 2014 dari:
http://news.detik.com/read/2006/01/03/124533/511288/10/bpom-temukan-
20-perusahaan-salah-gunakan-formalin?nd771104bcj
Zuriah, Nurul. 2006. Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan Teori dan
Aplikasi. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Padmono, Darmawan Febri. 2014. Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen
Atas Penjaminan Mutu Makanan yang Beredar Di Pasaran Oleh BPOM DI
Yogyakarta Di Tinjau Dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
134
Perlindungan Konsumen. Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga:
Fakultas Syari’ah dan Hukum.
Purbolaksono, Arfianto. 2014. Update Indonesia, Tinjauan Bulanan Ekonomi,
Hukum, Kemanan, Politik, dan Indonesia. Volume VII, No. 06-Januari
2014. The Indonesian Institute Center For Public Policy Research.
1
LAMPIRAN I
KUESIONER
LEMBAR PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN
Assalamualaikum. Wr. Wb
Perkenalkan nama Saya Awaliyah Rizka Safitri mahasiswi peminatan kesehatan lingkungan program studi kesehatan masyarakat
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Saya bermaksud melakukan penelitian skripsi mengenai “Pengetahuan, Sikap, Perilaku Penjualan Tahu
Berformalin Di Pasar Daerah Semanan Tahun 2015”. Penelitian ini dilakukan sebagai tahap akhir dalam penyelesaian studi saya.
Saya berharap Bapak/Ibu bersedia untuk menjadi responden dalam penelitian ini dimana akan dilakukan pengisian kuesioner yang
terkait dengan penelitian. Semua informasi yang Bapak/Ibu berikan terjamin kerahasiaannya. Jika Bapak/Ibu bersedia, maka saya
mohon untuk menandatangani lembar persetujuan ini.
Peneliti
(Awaliyah Rizka Safitri)
Responden
(.............................................)
Nomor
1
*)Pilih salah satu
B. Pengetahuan
Pilihlah jawaban yang menurut Bapak/Ibu paling benar (a, b atau c) dengan
checlist/tanda silang/membulati!
B.1
Menurut Bapak/Ibu, apakah formalin itu?
a. Pembunuh serangga, pengawet mayat, bahan tambahan makanan
yang diperbolehkan
b. Pengawet mayat, pembunuh kuman, bahan tambahan yang dilarang
digunakan pada makanan
c. Pengawet mayat, pengawet serangga, pengawet makanan, bahan
tambahan yang diperbolehkan
d. Tidak Tahu
B.2
Apakah contoh makanan yang mungkin mengandung formalin yang
bapak/ ibu ketahui?
a. Tahu, bakso, mie, ikan asin, daging ayam, dan kikil
b. Tahu, mie, ikan asin, kikil, dan buah-buahan, dan kain
c. Tahu, sayur-sayuran, kikil, mie, baso ikan asin, daging ayam
d. Tidak Tahu
B.3
Apakah Bapak/Ibu mengetahui ciri-ciri tahu yang berformalin?
a. Teksturnya terlampau keras, kenyal tapi tidak padat, tidak rusak
sampai 3 hari pada suhu kamar.
b. Teksturnya lebih empuk dan kenyal, bau menyengat, mudah rusak
dalam waktu 3 hari pada suhu kamar.
c. Teksturnya terlampau kenyal tapi mudah hancur, tidak rusak sampai
15 hari pada lemari es, bau menyengat.
d. Tidak Tahu
Nomor
A. Karakteristik Responden
A.1 Nama
A.2 Usia
A.3 Jenis Kelamin* 1. Laki-laki
2. Perempuan
A.4 Pendidikan*
1. Tidak Sekolah
2. Tamat SD
3. Tamat SMP
4. Tamat SMA
5. Tamat Perguruan Tinggi
A.5 Lama Berjualan Tahu
No. Telp/Hp (aktif)
Tanda Tangan/ Paraf
2
B.4
Apakah formalin berbahaya bagi kesehatan?
a. Ya
b. Tidak (jika jawaban Anda “tidak” lanjut ke nomor B.6)
c. Tidak Tahu
B.5
Mengapa formalin berbahaya jika di konsumsi?
a. Dapat menyebabkan keracunan, muntaber, iritasi lambung, kanker,
kematian.
b. Dapat menyebabkan gatal-gatal pada kulit, diare, kanker paru,
kematian
c. Dapat menyebabkan muntaber, pusing, iritasi kulit, kanker, kematian.
d. Tidak tahu
B.6
Menurut peraturan pemerintah, formalin termasuk golongan apa?
a. Golongan bahan pengawet makan dan pengeyal
b. Golongan bahan tambahan pangan yang dilarang
c. Golongan bahan pengawet mayat dan pengawet makanan
d. Tidak Tahu
B.7
Menurut Bapak/Ibu bolehkah menjual tahu yang berformalin?
a. Boleh (jika jawaban Anda “boleh” lanjut ke nomor B.9)
b. Tidak boleh
c. Tidak tahu
B.8
Mengapa makanan berformalin tidak boleh di jual?
a. Karena dapat menimbulkan kelangkaan formalin di pasaran
b. Karena dapat merugikan pembeli dan menimbulkan efek kesehatan
jika dikonsumsi
c. Karena pengawet mayat dan dapat menyebabkan karat
d. Tidak tahu
B.9
Apakah ada akibat yang dapat terjadi setelah seseorang mengkonsumsi
tahu yang mengandung formalin?
a. Ada
b. Tidak Ada (jika jawaban Anda “tidak” lanjut ke nomor B.11)
c. Tidak Tahu
B.10 Apakah dampak dan gejala yang akan terjadi setelah seseorang
mengkonsumsi makanan yang mengandung formalin?
a. Mual-mual, muntah, sakit kepala, diare, kanker
b. Kejang, muntah darah, gatal-gatal, iritasi kulit
c. Sakit perut, muntaber, pusing, gatal-gatal, iritasi kulit
d. Tidak tahu
B.11
Apakah tanda kerusakan pada tahu?
a. rasa asin, bau busuk, permukaan tahu berlendir, tekstur menjadi
lunak, kekompakan berkurang
b. rasa asam, bau busuk, permukaan tahu berlendir, tekstur menjadi
keras, kekompakan bertambah
c. rasa asam, bau masam sampai busuk, permukaan tahu berlendir,
tekstur menjadi lunak, kekompakan berkurang
d. Tidak tahu
3
B. 12.
Apakah Bapak/Ibu mengetahui bahwa tahu yang Bapak/Ibu jual
mengandung formalin?
a. Tahu (Jika Bapak/Ibu “Tahu”, isilah kolom D.7)
b. Tidak Tahu
c. Ragu-ragu
C. Sikap (pilihlah dengan menceklis/menyilang salahs atu pilihan jawaban)
Apakah Bapak/Ibu setuju dengan pernyataan-pernyataan berikut:
Keterangan: SS= Sangat Setuju TS= Tidak Setuju
ST= Setuju STS= Sangat Tidak Setuju
RG= Ragu-ragu
Pernyataan SS ST RG TS STS
C.1 Tahu merupakan jenis makanan yang
sehat, begizi dan harganya terjangkau
C.2 Tahu merupakan salah satu jenis
makanan yang dibuat dari kedelai
C.3
Tahu merupakan makanan yang
menguntungkan untuk dijual karena
banyak masyarakat yang menyukainya
C.4 Tahu dapat bertahan kurang dari 3 hari
pada suhu ruangan
C.5 Penggunaan bahan pengawet dapat
meningkatkan kualitas tahu
C.6
Pengawet yang diizinkan pemerintah
untuk digunakan pada makanan salah
satunya adalah formalin
C.7 Penggunaan formalin pada tahu
diperbolehkan
C.8
Tahu yang mengandung formalin
terlihat lebih bagus, rasanya lebih enak
dan teksturnya lebih kenyal sehingga
tidak masalah untuk di jual dipasaran
C.9 Menurut saya formalin tidak
berbahaya bagi kesehatan
C.10 Memakan tahu yang mengandung
formalin baik untuk kesehatan
4
D. Perilaku
Pilihlah jawaban yang menurut Bapak/Ibu paling benar (a atau b) dengan
checlist/tanda silang/membulati!
D.1
Apakah tahu yang keluarga Bapak/Ibu konsumsi berbeda dengan yang
Bapak/Ibu jual?
a. Ya
b. Tidak
D.2
Berasal dari mana tahu yang Bapak/Ibu jual?
a. Buat Sendiri
b. Dari Suplier di daerah ....................................................
D.3
Biasanya tahu yang Bapak/Ibu jual tahan berapa hari?
a. 1-2 hari
b. Lebih dari 2 hari
D.4
Jika tahu tidak habis dijual (bersisa), apakah yang Bapak/Ibu lakukan?
a. Dikembalikan ke suplier
b. Dibuang
c. Lainnya……………………………………………………………
d. Tidak pernah bersisa
D.5
Apakah Bapak/Ibu menjual tahu karena ada teman/rekan yang mengajak
untuk berjualan tahu?
a. Ya
b. Tidak
D.6
Jika tahu ini ternyata mengandung formalin, apa Bapak/ Ibu akan tetap
menjualnya?
a. Ya
b. Tidak
D.7
(Lanjutan Pertanyaan B. 12 jika menjawab “a”)
Jika Bapak/Ibu mengetahui tahu ini mengandung formalin, apa alasan
Bapak/Ibu untuk tetap menjualnya?
____________________________________________________________
____________________________________________________________
____________________________________________________________
____________________________________________________________
____________________________________________________________
TERIMA KASIH ATAS PARTISIPASINYA
SELURUH INFORMASI ANDA TERJAMIN KERAHASIAANNYA
5
LAMPIRAN II
FORM HASIL UJI KUALITATIF FORMALIN PADA TAHU DI PASAR
DAERAH SEMANAN TAHUN 2015
No Kode Pedagang Jenis Tahu Perubahan Warna
Kandungan
Formalin
1 Pedagang 01 Tahu Kuning Tidak Berubah -
2 Pedagang 02 Tahu Putih Keunguan sangat muda (samar) +
3
Pedagang 03
Tahu Putih Keunguan sangat muda (samar) +
4 Tahu Kuning Keunguan sangat muda (samar) +
5 Tahu Coklat Keunguan sangat muda (samar) +
6
Pedagang 04
Tahu Putih Keunguan sangat muda (samar) +
7 Tahu Kuning Tidak Berubah -
8 Tahu Coklat Tidak Berubah -
9 Pedagang 05 Tahu Putih Tidak Berubah -
10 Pedagang 06 Tahu Coklat Tidak Berubah -
11 Pedagang 07 Tahu Putih Tidak Berubah -
12
Pedagang 08
Tahu Putih Keunguan sangat muda (samar) +
13 Tahu Kuning Tidak Berubah -
14 Tahu Coklat Tidak Berubah -
15
Pedagang 09
Tahu Kuning Tidak Berubah -
16 Tahu Coklat Keunguan sangat muda (samar) +
17
Pedagang 10
Tahu Putih Keunguan sangat muda (samar) +
18 Tahu Kuning Tidak Berubah -
19 Tahu Coklat Tidak Berubah -
20 Pedagang 11 Tahu Putih Keunguan sangat muda (samar) +
21 Pedagang 12 Tahu Putih Keunguan sangat muda (samar) +
6
22 Tahu Kuning Keunguan sangat muda (samar) +
23 Tahu Coklat Tidak Berubah -
24
Pedagang 13
Tahu Putih Keunguan sangat muda (samar) +
25 Tahu Kuning Tidak Berubah -
26 Tahu Coklat Keunguan Jelas +
27
Pedagang 14
Tahu Kuning Tidak Berubah -
28 Tahu Coklat Keunguan Jelas +
29 Pedagang 15 Tahu Coklat Keunguan sangat muda (samar) +
30
Pedagang 16
Tahu Putih Keunguan sangat muda (samar) +
31 Tahu Coklat Keunguan sangat muda (samar) +
32
Pedagang 17
Tahu Kuning Keunguan sangat muda (samar) +
33 Tahu Coklat Tidak Berubah -
34
Pedagang 18
Tahu Putih Keunguan sangat muda (samar) +
35 Tahu Kuning Keunguan sangat muda (samar) +
36 Tahu Coklat Tidak Berubah -
37
Pedagang 19
Tahu Putih Keunguan sangat muda (samar) +
38 Tahu Kuning Tidak Berubah -
39 Tahu Coklat Keunguan sangat muda (samar) +
40
Pedagang 20
Tahu Putih Keunguan sangat muda (samar) +
41 Tahu Kuning Tidak Berubah -
42
Pedagang 21
Tahu Putih Keunguan sangat muda (samar) +
43 Tahu Kuning Keunguan sangat muda (samar) +
44 Tahu Coklat Tidak Berubah -
45
Pedagang 22
Tahu Putih Tidak Berubah -
46 Tahu Kuning Tidak Berubah -
47 Tahu Coklat Tidak Berubah -
7
48
Pedagang 23
Tahu Putih Keunguan sangat muda (samar) +
49 Tahu Kuning Tidak Berubah -
50 Tahu Coklat Tidak Berubah -
51
Pedagang 24
Tahu Kuning Keunguan sangat muda (samar) +
52 Tahu Coklat Tidak Berubah -
53
Pedagang 25
Tahu Putih Tidak Berubah -
54 Tahu Kuning Tidak Berubah -
55 Tahu Coklat Keunguan sangat muda (samar) +
56
Pedagang 26
Tahu Putih Keunguan sangat muda (samar) +
57 Tahu Kuning Keunguan sangat muda (samar) +
58
Pedagang 27
Tahu Putih Tidak Berubah -
59 Tahu Kuning Keunguan sangat muda (samar) +
60
Pedagang 28
Tahu Putih Keunguan sangat muda (samar) +
61 Tahu Kuning Tidak Berubah -
62 Tahu Coklat Tidak Berubah -
63
Pedagang 29
Tahu Kuning Tidak Berubah -
64 Tahu Coklat Tidak Berubah -
65
Pedagang 30
Tahu Putih Tidak Berubah -
66 Tahu Kuning Tidak Berubah -
67 Pedagang 31 Tahu Putih Keunguan sangat muda (samar) +
68
Pedagang 32
Tahu Kuning Tidak Berubah -
69 Tahu Coklat Tidak Berubah -
70 Pedagang 33 Tahu Kuning Tidak Berubah -
71
Pedagang 34
Tahu Putih Tidak Berubah -
72 Tahu Kuning Tidak Berubah -
73 Tahu Coklat Keunguan sangat muda (samar) +
8
LAMPIRAN III
DOKUMENTASI
9
10
LAMPIRAN IV
HASIL SPSS
Hasil Uji Reabilitas
Reliability Statistics
Cronbach's
Alpha N of Items
.573 27
Distribusi
Jika sampel kurang dari 50 lihat Shapiro-Wilk, Jika lebih dari 50 lihat
Kolmogorov
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
A2_Usia .117 34 .200* .966 34 .350
A3_JK .338 34 .000 .638 34 .000
A4_Pddkn .208 34 .001 .894 34 .003
A5_Lama_Jualan .205 34 .001 .820 34 .000
B1_Apa_formalin_itu .434 34 .000 .649 34 .000
B2_Contoh_makanan_berfor
malin .443 34 .000 .598 34 .000
B3_Ciri_tahu_berformalin .375 34 .000 .704 34 .000
B4_Apa_formalin_bahaya_b
agi_kes .532 34 .000 .322 34 .000
B5_Mengapa_formalin_berb
ahaya_jk_dikonsumsi .356 34 .000 .730 34 .000
B6_MenurutPP_formalin_gol
_apa .251 34 .000 .854 34 .000
B7_Bolehkah_jual_tahu_for
malin .538 34 .000 .255 34 .000
B8_Mengapa_tidak_boleh_di
jual .527 34 .000 .322 34 .000
B9_Apa_ada_akibat_setelah
_konsumsi_tahu_formalin .512 34 .000 .424 34 .000
B10_Apa_dampak_setelah_
konsumsi_tahu_formalin .340 34 .000 .733 34 .000
B11_Apa_tanda_kerusakan_
tahu .294 34 .000 .838 34 .000
B12_Apa_Anda_mengetahui
_tahu_yang_dijual_berformal
in
.523 34 .000 .378 34 .000
11
C1_Tahu_bergizi_sehat_har
ga_terjangkau .368 34 .000 .633 34 .000
C2_Tahu_dibuat_dari_kedel
ai .414 34 .000 .606 34 .000
C3_Tahu_makanan_mengun
tungkan_utk_dijual_karena_
banyak_masy_suka
.385 34 .000 .633 34 .000
C4_Tahu_dapat_bertahan_k
urang_dari_3_hari .458 34 .000 .583 34 .000
C5_Pengawet_dapat_menin
gkatkan_kualitas_tahu .310 34 .000 .820 34 .000
C6_Pengawet_yang_diizinka
n_salahsatunya_formalin .392 34 .000 .689 34 .000
C7_Penggunaan_formalin_p
ada_tahu_diperbolehkan .346 34 .000 .697 34 .000
C8_Tahu_formalin_lebihbag
us_kenyal_tidak_masalah_di
jual
.352 34 .000 .763 34 .000
C9_Formalin_tidak_berbaha
ya_bagi_kesehatan .341 34 .000 .740 34 .000
C10_Tahu_berformalin_baik
_untuk_kesehatan .374 34 .000 .699 34 .000
D1_Apa_tahu_yang_anda_k
onsumsi_berbeda_dg_yg_dij
ual
.499 34 .000 .464 34 .000
D2_Berasal_dari_mana_tahu
_yang_dijual .532 34 .000 .322 34 .000
D3_Tahu_yang_dijual_tahan
_berapa_hari .532 34 .000 .322 34 .000
D4_Jika_tahu_ini_bersisa_a
pa_yg_anda_lakukan .269 34 .000 .837 34 .000
D5_Apa_anda_jual_tahu_kar
ena_ada_teman_yang_ajak .414 34 .000 .606 34 .000
D6_Jika_tahu_ini_berformali
n_apa_akan_tetap_dijual .472 34 .000 .527 34 .000
a. Lilliefors Significance Correction
*. This is a lower bound of the true significance.
Karakteristik Responden
Statistics
Tingkat_Usia
N Valid 34
Missing 0
12
Statistics
A2_Usia
N Valid 34
Missing 0
Mean 43.06
Median 43.00
Minimum 22
Maximum 63
kategori_usia
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid 17-25th 2 5.9 5.9 5.9
26-45th 16 47.1 47.1 52.9
46-65th 16 47.1 47.1 100.0
Total 34 100.0 100.0
Statistics
A3_JK
N Valid 34
Missing 0
A3_JK
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Laki-Laki 17 50.0 50.0 50.0
Perempuan 17 50.0 50.0 100.0
Total 34 100.0 100.0
Statistics
A4_Pddkn
N Valid 34
Missing 0
13
A4_Pddkn
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Tidak_Sekolah 2 5.9 5.9 5.9
Tamat_SD 12 35.3 35.3 41.2
Tamat_SMP 14 41.2 41.2 82.4
Tamat_SMA 5 14.7 14.7 97.1
Tamat_Perguruan_Tinggi 1 2.9 2.9 100.0
Total 34 100.0 100.0
Lama Jual Tahu
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid 1-5 18 52.9 52.9 52.9
6-10 5 14.7 14.7 67.6
10-20 8 23.5 23.5 91.2
>20 3 8.8 8.8 100.0
Total 34 100.0 100.0
Jenis_Tahu_yang_Dijual
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid 1 10 29.4 29.4 29.4
2 11 32.4 32.4 61.8
3 13 38.2 38.2 100.0
Total 34 100.0 100.0
Hasil Uji Laboratorium Terhadap Tahu
Statistics
Hasil_uji_lab
N Valid 73
Missing 0
Mean 1.47
14
Hasil_uji_lab
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Negatif 39 53.4 53.4 53.4
Positif 34 46.6 46.6 100.0
Total 73 100.0 100.0
Distribusi Jenis Tahu
Jenis_Tahu
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Tahu Putih 25 34.2 34.2 34.2
Tahu Kuning 26 35.6 35.6 69.9
Tahu Coklat 22 30.1 30.1 100.0
Total 73 100.0 100.0
Hasil Crosstab antara Jenis Tahu dengan Hasil Uji Laboratorium
Jenis_Tahu * Hasil_uji_lab Crosstabulation
Hasil_uji_lab
Total Negatif Positif
Jenis_Tahu Tahu Putih Count 8 17 25
% within Hasil_uji_lab 20.5% 50.0% 34.2%
Tahu Kuning Count 17 9 26
% within Hasil_uji_lab 43.6% 26.5% 35.6%
Tahu Coklat Count 14 8 22
% within Hasil_uji_lab 35.9% 23.5% 30.1%
Total Count 39 34 73
% within Hasil_uji_lab 100.0% 100.0% 100.0%
15
Pengetahuan
Karena tidak berdistribusi normal maka menggunakan median.
Statistics
Total_benar_dari_B1_B10
N Valid 34
Missing 0
Mean 7.09
Median 7.00
Minimum 3
Maximum 10
Tingkat_Pengetahuan
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Rendah 13 38.2 38.2 38.2
Tinggi 21 61.8 61.8 100.0
Total 34 100.0 100.0
B1
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Salah 8 23.5 23.5 23.5
Benar 26 76.5 76.5 100.0
Total 34 100.0 100.0
B2
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Salah 9 26.5 26.5 26.5
Benar 25 73.5 73.5 100.0
Total 34 100.0 100.0
B3
Statistics
Tingkat_Pengetahuan
N Valid 34
Missing 0
16
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Salah 13 38.2 38.2 38.2
Benar 21 61.8 61.8 100.0
Total 34 100.0 100.0
B4
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Salah 3 8.8 8.8 8.8
Benar 31 91.2 91.2 100.0
Total 34 100.0 100.0
B5
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Salah 15 44.1 44.1 44.1
Benar 19 55.9 55.9 100.0
Total 34 100.0 100.0
B6
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Salah 24 70.6 70.6 70.6
Benar 10 29.4 29.4 100.0
Total 34 100.0 100.0
B7
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Salah 2 5.9 5.9 5.9
Benar 32 94.1 94.1 100.0
Total 34 100.0 100.0
B8
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Salah 3 8.8 8.8 8.8
Benar 31 91.2 91.2 100.0
Total 34 100.0 100.0
17
B9
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Salah 5 14.7 14.7 14.7
Benar 29 85.3 85.3 100.0
Total 34 100.0 100.0
B10
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Salah 16 47.1 47.1 47.1
Benar 18 52.9 52.9 100.0
Total 34 100.0 100.0
B11 Tanda tahu basi
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Salah 17 50.0 50.0 50.0
Benar 17 50.0 50.0 100.0
Total 34 100.0 100.0
B12_Apa_Anda_mengetahui_tahu_yang_dijual_berformalin
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Tidak Tahu 30 88.2 88.2 88.2
Ragu-Ragu 4 11.8 11.8 100.0
Total 34 100.0 100.0
18
Sikap
sikap_positif_negatif
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid negatif 12 35.3 35.3 35.3
positif 22 64.7 64.7 100.0
Total 34 100.0 100.0
C1_Tahu_bergizi_sehat_harga_terjangkau
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid ST 15 44.1 44.1 44.1
SS 19 55.9 55.9 100.0
Total 34 100.0 100.0
C2_Tahu_dibuat_dari_kedelai
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid ST 12 35.3 35.3 35.3
SS 22 64.7 64.7 100.0
Total 34 100.0 100.0
Statistics
Total_Sikap
N Valid 34
Missing 0
Mean 40.41
Median 40.00
Minimum 36
Maximum 46
19
C3_Tahu_makanan_menguntungkan_utk_dijual_karena_banyak_masy_s
uka
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid TS 1 2.9 2.9 2.9
RG 1 2.9 2.9 5.9
ST 26 76.5 76.5 82.4
SS 6 17.6 17.6 100.0
Total 34 100.0 100.0
C4_Tahu_dapat_bertahan_kurang_dari_3_hari
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid STS 1 2.9 2.9 2.9
TS 2 5.9 5.9 8.8
RG 2 5.9 5.9 14.7
ST 27 79.4 79.4 94.1
SS 2 5.9 5.9 100.0
Total 34 100.0 100.0
C5_Pengawet_dapat_meningkatkan_kualitas_tahu
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid STS 1 2.9 2.9 2.9
TS 17 50.0 50.0 52.9
RG 6 17.6 17.6 70.6
ST 9 26.5 26.5 97.1
SS 1 2.9 2.9 100.0
Total 34 100.0 100.0
C6_Pengawet_yang_diizinkan_salahsatunya_formalin
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid RG 3 8.8 8.8 8.8
TS 25 73.5 73.5 82.4
STS 6 17.6 17.6 100.0
Total 34 100.0 100.0
20
C7_Penggunaan_formalin_pada_tahu_diperbolehkan
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid ST 1 2.9 2.9 2.9
RG 1 2.9 2.9 5.9
TS 23 67.6 67.6 73.5
STS 9 26.5 26.5 100.0
Total 34 100.0 100.0
C8_Tahu_formalin_lebihbagus_kenyal_tidak_masalah_dijual
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid ST 9 26.5 26.5 26.5
TS 18 52.9 52.9 79.4
STS 7 20.6 20.6 100.0
Total 34 100.0 100.0
C9_Formalin_tidak_berbahaya_bagi_kesehatan
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid RG 2 5.9 5.9 5.9
TS 20 58.8 58.8 64.7
STS 12 35.3 35.3 100.0
Total 34 100.0 100.0
C10_Tahu_berformalin_baik_untuk_kesehatan
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid RG 1 2.9 2.9 2.9
TS 21 61.8 61.8 64.7
STS 12 35.3 35.3 100.0
Total 34 100.0 100.0
21
Perilaku
Salah_satu_tahu_yg_dijual_mengandung_formalin
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Tidak 9 26.5 26.5 26.5
Ya 25 73.5 73.5 100.0
Total 34 100.0 100.0
D1_Apa_tahu_yang_anda_konsumsi_berbeda_dg_yg_dijual
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Ya 6 17.6 17.6 17.6
Tidak 28 82.4 82.4 100.0
Total 34 100.0 100.0
D2_Berasal_dari_mana_tahu_yang_dijual
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Buat Sendiri 3 8.8 8.8 8.8
Dari Supplier 31 91.2 91.2 100.0
Total 34 100.0 100.0
D2B_Kategori_daerah_Suplier
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Kopti Semanan 14 41.2 45.2 45.2
Tangerang 17 50.0 54.8 100.0
Total 31 91.2 100.0
Total 34 100.0
D3_Tahu_yang_dijual_tahan_berapa_hari
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid 1-2hari 31 91.2 91.2 91.2
lebih dari 2 hari 3 8.8 8.8 100.0
Total 34 100.0 100.0
D4_Jika_tahu_ini_bersisa_apa_yg_anda_lakukan
22
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Dikembalikan ke suplier 5 14.7 14.7 14.7
Dibuang 13 38.2 38.2 52.9
Lainnya 15 44.1 44.1 97.1
Tidak Pernah Bersisa 1 2.9 2.9 100.0
Total 34 100.0 100.0
D5_Apa_anda_jual_tahu_karena_ada_teman_yang_ajak
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Ya 12 35.3 35.3 35.3
Tidak 22 64.7 64.7 100.0
Total 34 100.0 100.0
D6_Jika_tahu_ini_berformalin_apa_akan_tetap_dijual
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Ya 8 23.5 23.5 23.5
Tidak 26 76.5 76.5 100.0
Total 34 100.0 100.0