GAMBARAN ELEKTROKARDIOGRAM PUYUH Cortunix cortunix ... · adalah dengan melakukan pembuangan...

30
GAMBARAN ELEKTROKARDIOGRAM PUYUH (Cortunix cortunix Japonica) PADA SUHU LINGKUNGAN TINGGI PRADIFTA RAMDANI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016

Transcript of GAMBARAN ELEKTROKARDIOGRAM PUYUH Cortunix cortunix ... · adalah dengan melakukan pembuangan...

GAMBARAN ELEKTROKARDIOGRAM PUYUH

(Cortunix cortunix Japonica) PADA SUHU

LINGKUNGAN TINGGI

PRADIFTA RAMDANI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2016

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Gambaran

elektrokardiogram puyuh (Cortunix cortunix Japonica) pada suhu lingkungan tinggi

adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum

diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber

informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak

diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam

daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, September 2016

Pradifta Ramdani

NIM B04120185

ABSTRAK

PRADIFTA RAMDANI. Gambaran elektrokardiogram puyuh (Cortunix cortunix

Japonica) pada suhu lingkungan tinggi. Dibimbing oleh KOEKOEH SANTOSO

dan RONALD TARIGAN

Elektrokardiograf (EKG) merupakan alat yang dapat merekam dan

mengobservasi kerja jantung. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran

elektrisitas jantung puyuh (Cortunix cortunix Japonica) pada suhu lingkungan

tinggi dengan menggunakan alat Elektrokardiograf (EKG). Penelitian ini

menggunakan dua puluh empat ekor puyuh yang dibagi dalam empat grup dengan

suhu berbeda (25-26oC, 29-30oC, 32-33oC and 35-36oC). Elektroda EKG dipasang

pada sayap kiri, sayap kanan dan otot gastrocnemius kiri dan mulai direkam setelah

5 menit dari pemasangan elektroda. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa

semakin tinggi suhu diberikan menyebabkan peningkatan pada nilai denyut jatung

dan penurunan pada nilai interval PR, dan pada parameter EKG lain tidak

berpengaruh akibat pemberian perlakuan panas. Hal ini dapat diartikan bahwa

pengaruh perlakuan suhu tinggi menyebabkan puyuh mengalami peningkatan

denyut jantung akibat pemendekan interval PR.

Kata kunci: elektrokardiograf (EKG), puyuh (Cortunix cortunix Japonica), stres

panas

ABSTRACT

PRADIFTA RAMDANI. The electrocardiogram of quail (Cortunix cortunix

Japonica) at high ambient temperatures. Supervised by KOEKOEH SANTOSO and

RONALD TARIGAN

Electrocardiograph (ECG) is a tool that can record and measure the electrical

activity of the heart. This study was conducted to determine the effect of heat stress

on heart electricity of the Japanese quail (Cortunix cortunix Japonica) by means of

ECG. This study used twenty four quails, which were divided into four groups with

different temperatures (25-26oC, 29-30oC, 32-33oC and 35-36oC). The electrodes

of the ECG were mounted on the left wing, right wing and left gastrocnemius

muscle and begins to be recorded 5 minutes after installing the electrodes. The

results of ECG recording showed that high temperature can increase heart rate and

decrease PR interval but other parameters were not affected by high temperature. It

can be concluded that the effect of high temperature treatment causes the quail to

increase heart rate by decreased PR interval.

Keywords: Electrocardiograph (ECG), heat stress, quail (Cortunix cortunix

Japonica)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Kedokteran Hewan

pada

Fakultas Kedokteran Hewan

GAMBARAN ELEKTROKARDIOGRAM PUYUH

(Cortunix cortunix Japonica) PADA SUHU

LINGKUNGAN TINGGI

PRADIFTA RAMDANI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2016

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan

rahmat, karunia dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi dengan judul “Gambaran elektrokardiogram puyuh (Cortunix cortunix

Japonica) pada suhu lingkungan tinggi” merupakan salah satu syarat untuk

memperoleh gelar sarjana kedokteran hewan.

Penulisan skripsi ini tidak akan terselesaikan dengan baik tanpa bantuan dari

banyak pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih sebesar-

besarnnya kepada para pihak yang telah membantu secara langsung maupun tidak

langsung dalam penulisan karya ini :

1. Dr Drh Koekoeh Santoso dan Drh Ronald Tarigan, Msi selaku

pembimbing atas saran, masukan, ilmu, perhatian dan kesabaran dalam

membimbing penulis.

2. Seluruh staf Divisi Fisiologi Departemen Anatomi Fisiologi dan

Farmakologi FKH IPB.

3. Siti Sa’diah Ssi, Apt., Msi selaku pembimbing akademik selama penulis

menimba ilmu di FKH IPB.

4. Ayah (Ir Edy Priatna) dan Ibu (Entin Sumartini DS SE), adik (Pradekita

Rohmatulloh dan Primadhiaz Rizqullah) serta rekan (Rifka Putri Puri

Handayani) atas segala doa dan semangat yang telah diberikan.

5. Uwa (Prof Dr Ir H Herry Sonjaya DEA DES dan Drh Budi Utarma

Wahyudin, MM) dan paman (Dr Chairul Ahmad Sp.JP) atas masukan dan

perhatiannya kepada penulis.

6. Anggota tim penelitian (Amay, Athirah, Ayu, Fathia, Fyar, Henny,

Kamila, Winu dan Tasnim) atas kerjasama dan kebersamaannya.

7. Keluarga besar ASTROCYTE 49 atas segala bantuan dan dukungannya.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari dari kesempurnaan, namun

demikian penulis yakin bahwa hasil skripsi ini dapat dijadikan sebagai langkah awal

untuk melakukan penelitian lebih lanjut. Saran dan masukan yang membangun

sangat penulis harapkan.

Besar harapan penulis kirannya skripsi ini dapat berguna khususnnya bagi

penulis dan umumnnya bagi para pembaca serta kemajuan ilmu pengetahuan

khususnnya di bidang kedokteran hewan dan kesehatan masyarakat veteriner.

Bogor, September 2016

Pradifta Ramdani

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xi

DAFTAR GAMBAR xi

DAFTAR LAMPIRAN xi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 1

Manfaat Penelitian 2

TINJAUAN PUSTAKA 2

Fisiologi Puyuh 2

Pemanasan Global 2

Mekanisme Kerja Jantung dan EKG 3

METODE 5

Waktu dan Tempat 5

Alat dan Bahan 5

Prosedur Penelitian 6

Analisis Data 7

HASIL DAN PEMBAHASAN 7

SIMPULAN DAN SARAN 12

Simpulan 12

Saran 12

DAFTAR PUSTAKA 12

LAMPIRAN 15

RIWAYAT HIDUP 17

DAFTAR TABEL

1 Pengaruh perlakuan panas terhadap parameter heart rate 8

2 Pengaruh perlakuan panas terhadap parameter durasi dan

amplitudo gelombang P 9

3 Pengaruh perlakuan panas terhadap parameter interval PR 10

4 Pengaruh perlakuan panas terhadap parameter amplitudo

gelombang S

10

5 Pengaruh perlakuan panas terhadap parameter interval ST 11

6 Pengaruh perlakuan panas terhadap parameter amplitudo

gelombang T 11

DAFTAR GAMBAR

1 Segitiga Einthoven Jantung Unggas 3 2 Siklus jantung normal puyuh 4 3 Gambaran skematik EKG normal pada unggas 5 4 Pemasangan sadapan EKG pada puyuh 6 5 Rekaman EKG jantung puyuh 8

DAFTAR LAMPIRAN

1 Rekaman Elektrokardiograf pada kandang A (25-26oC) dan

kandang B (29-30oC) 14

2 Rekaman Elektrokardiograf pada kandang C (32-33oC) dan

kandang D (35-36oC) 15

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pemanasan global merupakan fenomena alam yang ditandai dengan

terjadinya peningkatan suhu lingkungan. Peningkatan suhu lingkungan akan

menyebabkan suhu tubuh menjadi tinggi. Quinteiro et al. (2010) menyatakan

bahwa kenaikan suhu lingkungan ini akan berdampak yang spesifik pada

peternakan unggas yaitu meningkatnya stres panas pada puyuh (Cortunix cortunix

Japonica). Menurut Noor dan Seminar (2009) setiap makhluk hidup memiliki suatu

zona fisiologis yang disebut zona homeostasis. Makhluk hidup seperti puyuh yang

dipelihara di atas zona homeostasis akan mengalami stres karena kesulitan

membuang panas tubuhnya ke lingkungan (Cooper dan Washburn 1998; Austic

2000). Selanjutnya Tamzil et al. (2013) menyatakan bahwa hewan yang mengalami

stres akan meningkatkan denyut jantung dan aktifitas panting dengan frekuensi

yang berbanding lurus dengan tingkat stres.

Respon tubuh terhadap peningkatan suhu agar kembali pada suhu ideal

adalah dengan melakukan mekanisme termoregulasi di hipotalamus anterior.

Mekanisme termoregulasi dengan kondisi suhu lingkungan tinggi pada unggas

adalah dengan melakukan pembuangan kelebihan panas tubuh. Pembuangan panas

dari dalam tubuh ternak unggas dilakukan melalui dua cara, yaitu secara sensible

heat loss dan insensible heat loss (Bird et al. 2003). Sensible heat loss adalah

hilangnya panas tubuh melalui proses radiasi, evaporasi, konduksi dan konveksi,

sedangkan insensible heat loss adalah hilangnya panas tubuh melalui proses

panting yang selanjutnya menyebabkan peningkatkan denyut jantung. Jika suhu

lingkungan meningkat sampai 35oC sebanyak 75% panas tubuh dibuang melalui

proses insensible dan sisanya sebanyak 25% dibuang secara sensible. Untuk

mengetahui sejauh mana peningkatan kerja jantung pada puyuh maka diperlukan

kajian tentang gambaran kerja jantung di atas zona homeostatis dengan

memperhatikan denyut jantung dan gambaran elektrokardiogram (EKG).

Menurut Atkins et al. (1995) elektrokardiogram (EKG) adalah gambaran

rekaman dari potensial listrik yang dihasilkan oleh otot jantung manusia dan hewan

selama fase perbedaan siklus jantung. Hal ini menunjukkan bahwa dengan

menggunakan EKG dapat mengetahui denyut jantung dan performa jantung sebagai

pompa. Upaya untuk mengetahui gambaran EKG pada puyuh menjadi hal sangat

penting untuk terus dilakukan. Literatur tentang gambaran EKG puyuh di Indonesia

dapat dikatakan tidak ada dan di dunia pun masih terbatas. Kondisi ini menjadi

tantangan tersendiri dalam penelitian ini. Penelitian ini akan mengamati gambaran

EKG puyuh terhadap peningkatan suhu lingkungan dengan melakukan akuisasi

data EKG.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran elektrisitas jantung

puyuh (Cortunix cortunix Japonica) pada suhu lingkungan tinggi dengan

menggunakan alat Elektrokardiograf (EKG).

2

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat melihat respon fisiologi jantung puyuh

(Cortunix cortunix Japonica) akibat cekaman panas yang kronis.

TINJAUAN PUSTAKA

Fisiologi Puyuh

Puyuh merupakan hewan endotermik dengan ciri spesifik tidak memiliki

kelenjar keringat serta hampir semua bagian tubuhnya tertutup bulu. Puyuh akan

mengalami kesulitan dalam membuang panas tubuhnya ke lingkungan apabila

pemeliharaan puyuh dilakukan di luar batas suhu optimal sehingga puyuh rentan

terhadap bahaya stres panas (Cooper dan Washburn 1998; Austic 2000). Suhu

lingkungan yang optimal untuk pertumbuhan puyuh berkisar antara 20-25ºC (Tetty

2002), sedangkan suhu tubuh normal pada puyuh berkisar antara 40,5-41,5oC

(Etches et al. 2008).

Puyuh melakukan mekanisme termoregulasi dengan cara membuang

kelebihan suhu tubuh dalam kondisi suhu lingkungan tinggi agar terhindar dari stres

panas. Pembuangan panas dari dalam tubuh ternak unggas dilakukan melalui dua

cara, yaitu secara sensible heat loss dan insensible heat loss (Bird et al. 2003).

Sensible heat loss adalah hilangnya panas tubuh melalui proses radiasi, konduksi

dan konveksi, sedangkan secara insensible heat loss adalah hilangnya panas tubuh

melalui proses panting yang selanjutnya menyebabkan peningkatkan denyut

jantung. Jika suhu pemeliharaan 23oC 75% panas tubuh dibuang secara sensible,

selebihnya (25%) dikeluarkan secara insensible, sebaliknya bila suhu lingkungan

meningkat sampai 35oC sebanyak 75% panas tubuh dibuang melalui proses

insensible dan sisanya sebanyak 25% dibuang secara sensible.

Pemanasan Global

Pemanasan global adalah suatu proses meningkatnya suhu rata-rata

atmosfer, laut, dan daratan bumi. Terjadinya pemanasan dan perubahan iklim global

merupakan ancaman untuk berbagai mahluk hidup, terutama yang bersifat fragile

terhadap perubahan suhu dan perubahan iklim (Riani 2012). Pemanasan global ini

disebabkan oleh efek gas rumah kaca, yaitu terjadinya peningkatan akumulasi gas

rumah kaca diantaranya berupa karbon dioksida (CO2) dan beberapa jenis gas

lainnya (CH4, N2O, CFC) di lapisan atmosfer. Menurut Quinteiro et al. (2010)

kenaikan suhu lingkungan akibat pemanasan global akan berdampak yang spesifik

pada peternakan unggas yaitu meningkatnya stres panas pada puyuh (Cortunix

cortunix Japonica).

3

Mekanisme Kerja Jantung dan EKG

Suhu lingkungan yang tinggi menyebabkan laju respirasi meningkat sehingga

kadar oksigen dalam tubuh menjadi tinggi pula. Selanjutnya tubuh melakukan

homeostasis dengan cara meningkatkan kerja jantung agar oksigen tersebut

disalurkan ke seluruh tubuh melalui sirkulasi darah. Peningkatan kerja jantung

dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu besar kontraksi dan jumlah frekuensi (Sherwood

2012). Kedua faktor tersebut akan mengalirkan darah dengan cepat ke seluruh

tubuh hingga permukaan kulit sehingga panas tubuh akan keluar ke lingkungan

lewat permukaan kulit (Hariono dan Salasia 2010). Untuk mengetahui peningkatan

kerja jantung tersebut dapat digunakan elektrokardiografi (EKG).

Menurut Atkins et al. (1995), elektrokardiogram (EKG) adalah gambaran

rekaman dari potensial listrik yang dihasilkan oleh otot jantung manusia dan hewan

selama fase perbedaan siklus jantung. Perubahan pada EKG dapat memberikan

petunjuk dari sebagian besar penyakit kardiovaskular. EKG unggas diperoleh pada

bidang frontal dengan menempatkan dua elektroda depan di propatagia (sayap

kanan dan kiri) dan satu elektroda belakang (otot gastrocnemius kiri) menggunakan

elektroda jarum atau klip datar (alligator clip). Ketiga elektroda tersebut

dihubungkan dengan sadapan yang terhubung dengan alat EKG.

Setiap sadapan (lead) mengevaluasi aktivitas listrik jantung pada arah yang

berbeda dan pemeriksaan standar klasik meliputi 3 sadapan bipolar (I, II, dan III)

dan 3 sadapan unipolar (aVR, aVL, aVF). Menurut Dharma (2009) sadapan bipolar

mengukur perbedaan potensial listrik antara sayap kanan dan sayap kiri (sadapan I),

sayap kiri dan tungkai kiri (sadapan II) serta sayap kanan dan tungkai kiri (sadapan

III). Ketiga sadapan ini membentuk segitiga sama sisi dan jantung berada di tengah

yang disebut segitiga Einthoven. Sadapan unipolar dapat memperbesar amplitudo

defleksi dekitar 50% dan diberi tanda aVR (augmented Voltage Right wing), aVL

(augmented Voltage Left Wing) dan aVF (augmented Voltage left Foot).

Representasi dari aktivitas listrik jantung dengan penggambaran rekaman segitiga

Einthoven ditampilkan dalam skema seperti terlihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Segitiga Einthoven Jantung Unggas.

Sumber: Lumeij dan Ritchie, 1994

Proses dari siklus jantung normal yaitu adanya impuls listrik di pacemaker

mulai dari nodus sinoatrial (SA) yang mencapai ambang dan membentuk potensial

aksi. Impuls dari potensial aksi menyebar ke seluruh atrium menyebabkan

depolarisasi atrium, sehingga darah mengalir lebih banyak kedalam ventrikel dan

digambarkan dengan gelombang P pada EKG (Guyton dan Hall 2009). Peningkatan

tekanan atrium dan tekanan ventrikel yang berlangsung disebabkan oleh

4

penambahan volume darah ke ventrikel oleh kontraksi atrium. Hal tersebut

merupakan awal dari kompleks QRS pada perekaman EKG (Guyton dan Hall 2009).

Selama kontraksi atrium, tekanan atrium tetap sedikit lebih tinggi daripada

tekanan ventrikel, sehingga katup atrioventrikular (AV) tetap terbuka. Diastol

ventrikel berakhir pada awal kontraksi ventrikel. Pada saat ini, kontraksi atrium dan

pengisian ventrikel telah selesai. Volume darah maksimum yang akan dikandung

ventrikel pada akhir diastole dikenal sebagai volume diastolik akhir (end diastolic

volume, EDV). Setelah eksitasi atrium, impuls berjalan melalui nodus AV dan

sistem penghantar khusus untuk merangsang ventrikel (Ganong 2008).

Ketika kontraksi ventrikel dimulai, tekanan ventrikel segera melebihi tekanan

atrium. Perbedaan tekanan yang terbalik ini mendorong katup AV menutup. Setelah

katup AV telah tertutup, tekanan ventrikel harus terus meningkat sebelum tekanan

tersebut dapat melebihi tekanan aorta untuk membuka katup aorta. Terdapat periode

waktu singkat antara penutupan katup AV dan pembukaan katup aorta pada saat

ventrikel menjadi suatu bilik tertutup (Ganong 2008).

Karena semua katup tertutup, tidak ada darah yang masuk atau keluar

ventrikel, interval ini disebut sebagai periode kontraksi ventrikel isovolumetrik

(isovolumemetric berarti “volume dan panjang konstan”), tekanan ventrikel terus

meningkat karena volume tetap. Volume ventrikel berkurang signifikan ketika

darah dengan cepat dipompa ke luar dan digambarkan dengan gelombang T pada

EKG (Guyton dan Hall 2009). Jumlah darah yang tersisa di ventrikel pada akhir

sistol ketika fase ejeksi usai disebut sebagai volume sistolik akhir (end-systolic

volume, ESV) (Sherwood 2012). Siklus jantung normal seperti penjelasan di atas

ditunjukan oleh Gambar 2.

Gambar 2 Siklus jantung normal puyuh

Sumber: Guyton dan Hall, 2009

5

Gambaran EKG unggas yang normal terdiri dari gelombang P, S, T dan R

yang kecil. Gelombang P akan merekam proses depolarisasi dan kontraksi atrium.

Gelombang depolarisasi menyebar sepanjang sistem konduksi ventrikel dan keluar

menuju ke miokardium ventrikel (Guyton dan Hall 2009). Gelombang Q biasanya

hilang dan gelombang Ta hadir pada unggas tertentu. Bagian ventrikel yang

pertama kali terdepolarisasi adalah septum interventrikuler dan proses depolarisasi

ventrikel inilah yang menimbulkan gelombang QRS (Guyton dan Hall 2009).

Kompleks QRS terutama dari jenis (Q)rS di leads II menunjukan gelombang S

adalah yang paling menonjol. Berbeda dengan kompleks QRS pada mamalia di

mana gelombang R yang paling menonjol. Selanjutnya ventrikel tersebut

mengalami repolarisasi dan EKG merekam sebagai gelombang T (Alim 2009;

Pakpahan 2012). Interpretasi EKG unggas menggunakan aturan yang sama seperti

pada mamalia, harus metodis, termasuk penentuan denyut jantung, irama jantung,

dan pengukuran yang meliputi amplitudo dan durasi gelombang P, interval PR,

amplitudo gelombang S, durasi gelombang ST, dan gelombang T (Lumeij dan

Ritchie 1994). Gambaran skematik EKG normal pada unggas disajikan pada

Gambar 3.

Gambar 3 Gambaran skematik EKG normal pada unggas

Sumber: Lumeij dan Ritchie, 1994

METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian di laksanakan di Ruang Bedah dan Ruang Observasi, Divisi

Fisiologi, Departemen Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi Fakultas Kedokteran

Hewan, Institut Pertanian Bogor pada bulan Oktober hingga Desember 2015.

Alat dan Bahan

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kandang percobaan,

EKG Nihon Kohden, lampu penerang dan lampu pemanas, thermometer,

thermostat, kipas exhaust, kotak handle, scanner Canon Canoscan LiDE 25. Bahan

6

yang digunakan dalam penelitian ini adalah burung puyuh betina umur tujuh

minggu dan pasta Elefix® Nihon Kohden.

Prosedur Penelitian

Persiapan Kandang Peralatan dan kandang percobaan disucihamakan menggunakan desinfektan

rodalon® sebelum digunakan. Lalu pemasangan lampu penerang, lampu pemanas,

thermometer, thermostat, kipas exhaust, termasuk tempat pakan dan minum pada

kandang percobaan. Kandang yang digunakan dalam penelitian ini adalah empat

buah yang dikategorikan berdasarkan suhu yaitu kandang A (25-26oC) sebagai

kontrol, kandang B (29-30oC), kandang C (32-33oC), dan kandang D (35-36oC).

Persiapan Hewan

Puyuh betina dengan umur 7 minggu sebanyak enam ekor disiapkan pada

setiap kandang. Bulu pada bagian pangkal sayap kanan, pangkal sayap kiri, dan

daerah musculus gastrocnemius pada kaki kiri dicukur dan dibersihkan, agar tidak

mengganggu interpretasi hasil elektroardiograf (EKG). Selanjutnya bagian yang

telah dicukur dan dibersihkan, dioleskan dengan pasta Elefix® dan selanjutnya

elektroda dipasang dari sadapan/leads 1 yang berwarna merah pada pangkal sayap

kanan, elektroda dari sadapan/leads 2 yang berwarna kuning pada pangkal sayap

kiri, dan elektroda dari sadapan/leads 3 yang berwarna hijau pada permukaan kulit

daerah otot gastrocnemius tungkai kaki kiri. Lokasi pemasangan EKG mengikuti

protokol percobaan dari Onder (2006). Ilustrasi pemasangan alat EKG pada puyuh

disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4 Pemasangan sadapan EKG pada puyuh

Sumber: Dokumentasi Pribadi

Persiapan Alat

Suhu kotak handling disesuaikan berdasarkan suhu kandang asal puyuh,

dengan thermostat. Selanjutnya alligator clip dihubungkan dengan elektroda

elektrokardiograf (EKG) yang berwarna merah, kuning, dan hijau. Alat EKG diatur

dengan tingkat sensitivitas 2x dan hasil rekaman jantung puyuh diambil pada

sadapan/leads II. Tingkat sensitivitas dipilih 2x karena dapat menghasilkan

gelombang yang ideal untuk pembacaan gelombang EKG. Pencatatan dilakukan

dengan kecepatan 25mm/s.

7

Pengambilan Data Electrocardiograph (EKG)

Hasil perekaman ECG berupa grafik diamati menggunakan scanner Canon

Canoscan LiDE 25 untuk mempermudah pembacaan grafik dalam proses

perubahan menjadi data digital. Beberapa parameter yang dibaca meliputi denyut

jantung/Heart Rate (HR), gelombang P, segmen PR, gelombang S, dan gelombang

T. Kriteria-kriteria yang dibaca meliputi heart rate, durasi dan amplitudo

gelombang P, interval PR, amplitudo gelombang S, durasi gelombang ST dan

gelombang T. Gambaran skematik EKG untuk menentukan parameter di atas

digambarkan pada Gambar 3.

Analisis Data

Data hasil rekaman EKG dalam bentuk digital diolah menggunakan aplikasi

SPSS versi 20.0 dan Microsoft Excel 2010 kemudian dianalisis menggunakan One

Way Analysis of Variance (OneWay ANOVA) selanjutnnya data diperoleh

dianalisis pada taraf nyata (p>0.05) dengan menggunakan uji lanjut yaitu uji

Duncan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian pengaruh perlakuan panas (suhu) terhadap jantung puyuh

dilakukan melalui pengamatan beberapa parameter gelombang EKG yaitu:

perubahan denyut jantung (heart rate), durasi dan amplitudo gelombang P

(depolarisasi atrium), interval gelombang PR (waktu depolarisasi atrium ke

depolarisasi ventrikel), amplitudo gelombang S (depolarisasi ventrikel) , interval

gelombang ST (waktu depolarisasi ventrikel ke repolarisasi ventrikel), dan

amplitudo gelombang T (repolarisasi ventrikel) dibandingkan dengan pemberian

suhu kandang A sebesar 25-26oC (kontrol), kandang B sebesar 29-30oC, kandang

C sebesar 32-33oC, dan kandang D sebesar 35-36oC.

Stres panas yang dialami puyuh berpengaruh terhadap kerja hormon dan

sistem syaraf. Hormon yang berpengaruh terhadap stres adalah glukokortikoid yang

berfungsi untuk mobilisasi sumber-sumber energi melalui proses glukoneogenesis.

Pengaruh stress panas terhadap sistem syaraf ditunjukkan dengan peningkatan

pacemaker sehingga denyut jantung meningkat. Peningkatan denyut jantung yang

terus menerus dapat mengakibatkan perubahan fungsi dan kerja jantung. Kondisi

ini dapat dijadikan acuan untuk mengetahui berubah atau tidaknya gambaran EKG.

Hasil pengamatan menunjukan bahwa unggas tersebut memiliki gelombang

P, R, S, T dan tidak memiliki gelombang Q. Tidak adanya gelombang Q pada

unggas puyuh merupakan pembeda dari ternak lainnya. Salah satu rekaman EKG

puyuh pada penelitian ini disajikan pada Gambar 5.

8

Gambar 5 Rekaman EKG jantung puyuh

Berdasarkan gambar di atas terlihat bahwa unggas puyuh memiliki

gelombang R yang lebih pendek dari gelombang P, S dan T. Hasil tersebut sesuai

dengan yang disampaikan Sturkie (1976) bahwa EKG unggas normal memiliki

gelombang R yang pendek, dominan pada gelombang lainnya (P, S dan T), dan

tidak memiliki gelombang Q. EKG unggas berbeda dengan mamalia, karena

memiliki perbedaan pada sistem konduksinya. Menurut Lumeij dan Ritchie (1994)

perbedaan EKG unggas dengan mamalia adalah pada Mean Electrical Axis (MEA)

unggas bernilai negatif gelombang karena proses depolarisasi ventrikel terjadi di

bagian subepikardial mulai dari miokardium hingga subendokardium, terdapat

gelombang Ta pada EKG unggas normal yang menggambarkan adanya repolarisasi

atrium, EKG unggas memiliki gelombang Q dengan berbagai ukuran namun

terkadang tidak tampak dan EKG unggas memiliki segmen ST yang pendek hingga

tidak tampak karena pendeknya jarak antara akhir gelombang S dengan awal

gelombang T sehingga menyebabkan terlihat menyatu (Lumeij dan Ritchie 1994).

Denyut Jantung atau Heart Rate (HR)

Data hasil rerata denyut jantung atau heart rate (HR) puyuh pada Tabel 1

menunjukan adannya peningkatan pada kelompok perlakuan suhu. Denyut jantung

pada kandang D menunjukkan bahwa terjadi peningkatan yang signfikan,

sedangkan kandang B dan C mengalami peningkatan namun tidak signifikan.

Tabel 1 Pengaruh perlakuan panas terhadap parameter heart rate

Keterangan : Huruf superskrip (a,b) yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang

berbeda nyata (P<0.05)

Denyut jantung atau Heart Rate (HR) merupakan kemampuan jantung dalam

memompa darah per menit (Cunningham 2002). Tabel 1 menunjukan hasil rerata

HR pada kandang B termasuk dalam kisaran normal nilai kandang A (kontrol),

namun pada kandang C dan D mengalami peningkatan dibandingkan dengan

Kandang Heart Rate (denyut/menit)

A (25-26oC) 260.71±33.43a

B (29-30oC) 260.71±33.43a

C (32-33oC) 287.50±49.37a

D (35-36oC) 350.00±38.73b

0.1mV

0.04 S

9

kandang A (kontrol), hal tersebut dapat terjadi karena adanya peningkatan suhu

antara kandang A dengan suhu yang lebih rendah dibandingkan pada kandang B, C

dan D dengan suhu yang lebih tinggi. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan

Cunningham (2002) yaitu salah satu faktor yang mempengaruhi HR adalah kondisi

lingkungan (suhu dan kelembaban lingkungan). Menurut Lewis (1967) nilai rerata

normal HR puyuh (Cortunix cortunix Japonica) sebesar 363 denyut/menit,

sedangkan menurut Ringer (1968) sebesar 530.7 denyut/menit.

Gelombang P

Gelombang P menggambarkan proses depolarisasi atrium jantung. Data hasil

rerata durasi dan amplitudo nilai gelombang P yang diperoleh, disajikan dalam

Tabel 2. Nilai rerata durasi gelombang P puyuh pada Tabel 2 mengalami

peningkatan, sedangkan pada nilai rerata amplitudo gelombang P mengalami

penurunan. Peningkatan maupun penurunan yang terjadi masih dalam kisaran

normal nilai rerata durasi maupun amplitudo gelombang P pada kandang A.

Berdasarkan uji statistik tidak terdapat perbedaan yang nyata pada setiap perlakuan

suhu pada kandang A, B, C, dan D.

Tabel 2 Pengaruh perlakuan panas terhadap parameter durasi dan amplitudo

gelombang P

Keterangan : Huruf superskrip (a) yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak

berbeda nyata (P>0.05)

Durasi gelombang P menggambarkan depolarisasi atrium kiri, sedangkan

amplitudo gelombang p menggambarkan depolarisasi atrium kanan. Tabel 2

menunjukan durasi gelombang P pada kandang C termasuk dalam kisaran normal

nilai kandang A (kontrol) dan terjadi peningkatan yang tidak signifikan pada

kandang B dan D dibandingkan dengan kandang A (kontrol), sedangkan untuk nilai

rerata amplitudo gelombang P terjadi penururan yang tidak signifikan akibat

pemberian suhu lingkungan tinggi yang bertingkat.

Interval PR

Data hasil rerata Interval PR yang diperoleh, disajikan dalam Tabel 3. Nilai

rerata Interval PR puyuh pada kandang C dan D mengalami penurunan yang

signifikan dibandingkan pada kandang A (kontrol), namun pada kandang B

penurunan yang terjadi masih dalam kisaran normal nilai rerata interval PR pada

kandang A (kontrol). Berdasarkan uji statistik terdapat perbedaan yang nyata pada

perlakuan suhu pada kandang C dan D.

Kandang Durasi

Gelombang P (s)

Amplitudo

Gelombang P (mV)

A (25-26oC) 0.04±0.00a 0.17±0.08a

B (29-30oC) 0.05±0.02a 0.17±0.05a

C (32-33oC) 0.04±0.00a 0.15±0.05a

D (35-36oC) 0.05±0.02a 0.13±0.05a

10

Tabel 3 Pengaruh perlakuan panas terhadap parameter interval PR

Keterangan : Huruf superskrip (a,b) yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang

berbeda nyata (P<0.05)

Interval PR menunjukkan waktu dari jarak antara permulaan gelombang P

hingga permulaan kompleks QRS (Schwartz et al. 2002). Menurut Martin (2007),

interval PR mewakili waktu yang dibutuhkan selama perjalanan depolarisasi atrium.

Penurunan nilai interval PR pada kandang B masih berada dalam kisaran

normal, sedangkan pada kandang C dan D mengalami penurunan yang signifikan

dibandingkan dengan kandang A (kontrol). Perubahan parameter EKG seperti

berikut menandakan bahwa puyuh mengalami stres panas. Respon puyuh terhadap

stress panas yakni mempercepat impuls atrium yang akan diteruskan ke ventrikel

melalui jalur tambahan (accessories pathway). Hal ini tidak terjadi pada hewan

yang normal dan sehat. Bagian miokardium tempat masuknya jalur tambahan ini

mengalami depolarisasi lebih dulu (preeksitasi) daripada bagian ventrikel yang

mengalami depolarisasi oleh denyut konduksi normal. Sehingga terbentuk interval

PR yang lebih pendek (Davey 2003). Menurut Ohnell (1944) bahwa kejadian

preeksitasi ini juga menyebabkan denyut jantung meningkat, hal tersebut sesuai

dengan hasil yang didapat dalam penelitian ini berupa peningatan denyut jantung

seiring diberikannya suhu lingkungan yang tinggi pada puyuh.

Amplitudo Gelombang S

Data hasil rerata amplitudo gelombang S puyuh pada Tabel 4 mengalami

penurunan dan peningkatan secara fluktuatif pada setiap kandang. Berdasarkan uji

statistik tidak terdapat perbedaan yang nyata pada perlakuan suhu pada kandang A,

B, C dan D.

Tabel 4 Pengaruh perlakuan panas terhadap parameter amplitudo gelombang S

Keterangan : Huruf superskrip (a) yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak

berbeda nyata (P>0.05)

Gelombang S adalah defleksi negatif sesudah gelombang R. Gelombang S

menggambarkan fase depolarisasi ventrikel kanan. Nilai rerata amplitudo

gelombang S pada kandang B sebesar -0.32±0.10 dan kandang C sebesar -

0.28±0.12 mengalami penurunan apabila dibandingkan dengan kandang A (kontrol)

lalu terjadi peningkatan kembali pada kandang D dengan nilai rerata sebesar -

0.37±0.12, namun penurunan maupun peningkatan yang terjadi masih dalam

kisaran normal apabila dibandingkan dengan kandang A (kontrol).

Kandang Interval PR (s)

A (25-26oC) 0.07±0.02b

B (29-30oC) 0.07±0.02b

C (32-33oC) 0.05±0.02ab

D (35-36oC) 0.04±0.00a

Kandang Amplitudo Gelombang S (mV)

A (25-26oC) -0.42±0.15a

B (29-30oC) -0.32±0.10a

C (32-33oC) -0.28±0.12a

D (35-36oC) -0.37±0.12a

11

Durasi Gelombang ST

Data hasil rerata durasi gelombang ST puyuh pada Tabel 5 menunjukan

adanya peningkatan pada kandang B dan penurunan pada kandang C dan D

dibandingkan dengan kandang A (kontrol). Peningkatan maupun penurunan yang

terjadi masih dalam kisaran normal nilai rerata durasi gelombang ST pada kandang

A. Berdasarkan uji statistik tidak terdapat perbedaan yang nyata pada perlakuan

suhu pada kandang A, B, C dan D.

Tabel 5 Pengaruh perlakuan panas terhadap parameter durasi gelombang ST

Keterangan : Huruf superskrip (a) yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak

berbeda nyata (P>0.05)

Durasi gelombang ST mewakili fase permulaan repolarisasi ventrikel.

Pengukuran durasi gelombang ST dari awal gelombang S sampai akhir gelombang

T. Hasil penelitian menunjukan bahwa nilai durasi gelombang ST pada kandang B

mengalami peningkatan namun masih berada dalam kisaran normal A (kontrol),

sedangkan pada kandang C dan D mengalami penurunan dibandingkan kandang A

(kontrol).

Amplitudo Gelombang T

Data hasil rerata amplitudo gelombang T yang diperoleh, disajikan dalam

bentuk Tabel (Tabel 6). Nilai rerata amplitudo gelombang T puyuh pada Tabel 6

menunjukan adanya peningkatan pada kandang B dan penurunan pada kandang C

dan D dibandingkan dengan kandang A (kontrol). Peningkatan maupun penurunan

yang terjadi masih dalam kisaran normal nilai amplitudo gelombang T pada

kandang A. Berdasarkan uji statistik tidak terdapat perbedaan yang nyata pada

perlakuan suhu pada kandang A, B, C dan D.

Tabel 6 Pengaruh perlakuan panas terhadap parameter amplitudo gelombang T

Keterangan : Huruf superskrip (a) yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak

berbeda nyata (P>0.05)

Gelombang T adalah gelombang yang mewakili repolarisasi ventrikel

jantung dan pada kondisi normal muncul sesaat setelah berakhirnya interval

gelombang ST. Nilai rerata amplitudo gelombang T pada kandang B mengalami

peningkatan namun masih berada dalam kisaran normal A (kontrol), sedangkan

pada kandang C dan D mengalami penurunan dibandingkan kandang A (kontrol).

Kandang Durasi Gelombang ST (s)

A (25-26oC) 0.11±0.02a

B (29-30oC) 0.12±0.00a

C (32-33oC) 0.11±0.02a

D (35-36oC) 0.10±0.03a

Kandang Amplitudo Gelombang T (mV)

A (25-26oC) 0.35±0.12a

B (29-30oC) 0.43±0.12a

C (32-33oC) 0.33±0.08a

D (35-36oC) 0.30±0.09a

12

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Pemberian suhu lingkungan yang tinggi pada puyuh sejak fase starter

menyebabkan frekuensi denyut jantung meningkat dan waktu depolarisasi atrium

ke depolarisasi ventrikel pun menjadi cepat. Hal tersebut mengindikasikan puyuh

mengalami stres panas sehingga jantung puyuh mengalami preeksitasi pada atrium.

Saran

Perlu penelitian lebih lanjut terhadap gambaran EKG pada puyuh yang diberi

suhu lingkungan tinggi secara mendadak agar mendapat gambaran EKG pada

puyuh yang mengalami syok panas.

DAFTAR PUSTAKA

Alim AM. 2009. Pocket ECG. Yogyakarta (ID): Penerbit Intan Cendikia.

Atkins C, Tilley LP, Arrington K. 1995. Practice Resource Manual Companion

Animal Cardiology. 2nd ed. Ontario (CA): Lifelearn.

Austic RE. 2000. Feeding poultry in hot and cold climates. dalam: Stress phisiology

Livest poultry Vol III. Florida (US): CRC Press Inc. hlm. 123-136.

Bird NA, Hunton P, Morrison WD, Weber LJ. 2003. Heat Stress in Cage Layer.

Ontario (CA): Ministry of Agriculture and Food Publishing.

Cooper MA, Washburn KW. 1998. The relationships of body temperature to weight

gain, feed consumption, and feed utilization in broilers under heat stress. Poult

Sci. 77:237-242.

Cunningham JG. 2002. Textbook of Veterinary Physiology. 3rd ed. Philadelpia

(US): WB Saunder Company.

Davey P. 2003. Medicine at a Glance. Safitri A, editor. Jakarta (ID): Penerbit

Erlangga.

Dharma S. 2009. Sistematika Interpretasi EKG Pedoman Praktis. Jakarta (ID):

EGC Pr.

Etches RJ, John TM, Verrinder Gibbins AM. 2008. Behavioural, physiological,

neuroendocrine and molecular responses to heat stress. dalam: Daghir NJ, editor.

Poultry Production in Hot Climates. CABI.

Ganong WF. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 22nd ed. Brahm U, Nourianti

A, Pandit, penerjemah. Jakarta (ID): EGC Pr. Terjemahan dari: Medical

Physiology.

Guyton AC, Hall JE. 2009. Textbook of Medical Physiology. 11th ed. Philadelphia

(US): Elsevier Saunders Inc.

13

Hariono B, Salasia. 2010. Patologi Klinik Veteriner Kasus Patologi Klinis.

Yogyakarta (ID): Penerbit Samudra Biru.

Lewis AR. 1967. Resting heart rate and respiratory rates of small birds. Auk. 84:

131-132.

Lumeij JT, Ritchie BW. 1994. Cardiovascular system. dalam: Ritchie BW, Harrsion

GJ, Harrsion LR. editor: Avian Medicine, Principles and Application,

Brentwood, TN, HBD Int’l Inc, 694-722.

Martin M. 2007. Small Animal ECGs an Introductory Guide. 2nd ed. UK:

Blackwell Publishing

Noor RR, Seminar KB. 2009. Rahasia dan Hikmah Pewarisan Sifat (Ilmu Genetika

dalam Al-Qur’an). Bogor (ID): IPB Pr.

Ohnell RF. 1944. Pre-excitation, a cardiac abnormality. Acta Med Scand. 152: 165-

167.

Onder F, Cenesiz M, Kaya M, Uzun M, Yildiz S. 2006. Effects of the level of

copper supplementation in diet on electrocardiogram of japanese quails

(Coturnix coturnix Japonica). Revue Med. Vet. 157(2): 76-79

Pakpahan HA. 2012. Elektrokardiografi Ilustratif. Jakarta (ID): Balai Penerbit

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Quinteiro WM. Ribeiro A. dan Palermo. 2010. Heat stress impairs performance

parameters, induces intestinal injury, and decrease macrophage activity in

quails. Poult Sci. 89:1905-1914.

Riani E. 2012. Perubahan iklim dan kehidupan akuatik (dampak pada bioakumulasi

bahan berbahaya dan beracun & reproduksi). [skripsi]. Bogor (ID): IPB Pr.

Ringer RK. 1968. Blood pressure of Japanese and Bobwhite quail. Poultry Sci. 47:

1602 – 1604.

Schwartz PJ, Gerson A, Paul T, Stramba-Badiale M, Vetter VL, Villain E, Wren C.

2002. Guidelines for the interpretation of the neonatal electrocardiogram. Eur

Heart J, 23:1329-1344

Sherwood L. 2012. Fisiologi Manusia. 6th ed. Jakarta (ID): Penerbit Buku

Kedokteran EGC.

Sturkie, PD. 1976. Avian Physiology. 3rd ed. New York (US): Spinger Verlag.

Tamzil MH, Noor RR, Hardjosworo PS, Manalu W, Sumantri C. 2013. Keragaman

gen heat shock protein 70 ayam kampung, ayam arab dan ayam ras. J Vet.

14:317-326.

Tetty. 2002. Puyuh Si Mungil Penuh Potensi. Jakarta (ID): Agro Media Pustaka.

14

Lampiran 1 Rekaman Elektrokardiograf pada kandang A (25-26oC) dan kandang

B (29-30oC)

Kandang 25-26oC Kandang 29-30oC

No. 13

No. 26

No. 16

No. 35

No. 45

No. 37

No. 58

No. 43

No. 67

No. 44

No. 92

No. 77

15

Lampiran 2 Rekaman Elektrokardiograf pada kandang C (32-33oC) dan kandang

D (35-36oC)

Kandang 32-33oC Kandang 35-36oC

No. 18

No. 5

No. 50

No. 48

No. 54

No. 68

No. 61

No. 76

No. 86

No. 79

16

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir pada tanggal 27 Januari 1995 dari pasangan Ir Edy Priatna dan

Entin Sumartini Daimatus Saadah SE. di Kota Bogor, Jawa Barat. Penulis

merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Penulis menyelesaikan sekolah dasar

di SD Insan Kamil Kota Bogor lulus tahun 2006. Kemudian penulis melanjutkan

ke SMP Negeri 2 Kota Bogor dan lulus tahun 2009. Penulis melanjutkan ke SMA

Negeri 6 Kota Bogor lulus tahun 2012. Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut

Pertanian Bogor di Fakultas Kedokteran Hewan pada bulan Juni 2012 melalui jalur

Ujian Talenta Mandiri.

Selama kegiatan perkuliahan penulis aktif di beberapa organisasi, yaitu

anggota divisi Kajian Strategi dan Advokasi (Kastrad) BEM FKH IPB tahun 2013-

2015 dan Himpunan Minat Profesi Satwa Liar sebagai ketua divisi eksternal tahun

2014-2015. Penulis pernah mengikuti praktik magang di Balai Besar Pembibitan

Ternak Unggul (BBPTU) Baturaden tahun 2013, PT Wersut Seguni Indonesia di

Kendal tahun 2014, Rumah Sakit Hewan Daerah di Kota Bandung tahun 2015, dan

di Taman Nasional Way Kambas tahun 2016.