pengujian kualitas air di instalasi pengolahan air limbah (ipal)
Gambar 2.1 Salah satu IPAL untuk pengolahan air limbah ...
Transcript of Gambar 2.1 Salah satu IPAL untuk pengolahan air limbah ...
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL)
Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) merupakan satu kesatuan dari suatu unit
pengolahan kompleks yang difungsikan untuk mengolah limbah cair hasil samping dari
proses produksi suatu industri. Keberadaan IPAL dalam suatu industri seharusnya merupakan
satu komponen penting yang tidak dapat diabaikan. Berdasarkan UU No. 29 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 6(1) menyatakan bahwa
“Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah
dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup”. Hal ini harus diperhatikan
sebab limbah cair buangan proses dari suatu industri kimia khususnya, pasti memiliki nilai
parameter pencemaran yang jauh melebihi baku mutu yang telah ditetapkan berdasarkan
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No.5 Tahun 2014 tentang Baku Mutu Air Limbah bagi
Industri dan/atau Kegiatan Usaha Lainnya.
Dalam industri, limbah adalah hal yang tidak dapat dihindari dari proses produksi.
Limbah yang dihasilkan oleh suatu industri umumnya berwujud padat, cair, dan gas. Limbah
dapat dikategorikan sebagai limbah berbahaya (Hazardous Waste) atau sering disebut dengan
limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun) dan limbah tidak berbahaya (Non-Hazardous
Waste). IPAL umumnya tidak digunakan untuk mengolah limbah B3. Hal ini dikarenakan
Gambar 2.1 Salah satu IPAL untuk pengolahan air limbah domestik di daerah Bandung
(Sumber: www.balebandung.com)
3
Laporan Tugas Akhir Uji Kinerja Unit Koagulasi Dan Flokulasi Pada IPAL Skala Pilot Di Laboratorium Pengolahan Limbah Industri
IPAL merupakan langkah-langkah pengolahan general dimana terbagi dalam tiga metode
yaitu metode fisik, kimia, dan biologi.
2.1.1 Unit-unit Pengolahan dalam IPAL
Secara umum, unit-unit yang terdapat pada Instalasi Pengolahan Air Limbah
mencakup tiga metode pengolahan air limbah yaitu metode pengolahan secara fisika, metode
pengolahan secara kimiawi, dan metode pengolahan secara biologis. Ketiga metode
pengolahan tersebut harus mampu untuk menurunkan kadar zat pencemar dalam air limbah.
Oleh sebab itu, umumnya IPAL memiliki spesifikasi tersendiri bagi air bakunya. IPAL biasa
dikategorikan berdasarkan air bakunya, misalnya IPAL yang dirancang untuk mengolah air
limbah industri makanan, IPAL yang dirancang untuk mengolah air limbah industri
pelapisan logam, dan sebagainya. Dengan mengategorikan IPAL berdasarkan air bakunya,
IPAL berarti dikategorikan juga berdasarkan zat-zat pencemar yang terdapat dalam air
bakunya. Bagi IPAL yang dirancang untuk mengolah air limbah industri makanan, IPAL
tersebut berarti harus mampu untuk menurunkan kandungan organik yang tinggi hingga
mencapai baku mutu yang telah ditetapkan. Sebagai contoh IPAL yang dirancang untuk
mengolah air limbah industri pangan, maka IPAL tersebut harus dapat menerima air baku
dengan kandungan BOD minimal 2000 mg O2/L. Begitu juga dengan IPAL yang dirancang
untuk mengolah air limbah industri pengolahan logam, maka IPAL tersebut harus terdapat
unit pengurangan kandungan logam dalam air limbahnya.
Secara garis besar, unit-unit pengolahan yang terdapat dalam IPAL mencakup unit-
unit pengolahan sebagai berikut.
a. Unit Ekualisasi
Gambar 2.2 Unit ekualisasi skala industri (Sumber: dok. AKAR IMPEX PVT Ltd.)
4
Laporan Tugas Akhir Uji Kinerja Unit Koagulasi Dan Flokulasi Pada IPAL Skala Pilot Di Laboratorium Pengolahan Limbah Industri
Pada unit ekualisasi, air limbah akan ditampung sementara dalam satu tangki guna
menyamakan laju alir pada proses pengolahan seanjutnya. Unit ekualisasi
diterapkan sebab umumnya air limbah yang keluar dari hasil proses tidak
memiliki laju alir yang menentu, sehingga dalam IPAL yang bersistem kerja
kontinyu akan kesulitan dalam proses pengolahannya karena sistem kontinyu
harus memiliki laju alir air baku yang tetap. Pada unit ini juga umumnya terdapat
bar screen yang difungsikan untuk menangkap partikel-partikel besar yang
memungkinkan akan mengganggu proses pengolahan.
b. Unit Sedimentasi
Pada unit sedimetasi, air limbah yang mengandung partikel-partikel mudah
terendapkan (settleable solid) akan terendapkan terlebih dahulu pada unit ini.
Padatan ini merupakan padatan tersuspensi yang memiliki ukuran leih dari 100
nm, hal ini memungkinkan padatan tersuspensi akan terendapkan walaupun hanya
dengan gaya gravitasi atau tanpa dengan tambahan bahan kimia pendukung. Unit
sedimentasi akan menjebak padatan tersuspensi sehingga air limbah keluarannya
hanya mengandung padatan koloid yang stabil.
c. Unit Koagulasi – Flokulasi
Unit ini sering juga disebut dengan unit pengolahan secara kimiawi karena dalam
pengolahannya dilakukan penambahan bahan kimia pendukung untuk
memungkinkan terjadinya pengolahan air limbah. Dalam unit koagulasi –
flokulasi, umumnya terdapat juga unit netralisasi. Unit netralisasi digunakan
sebagai unit pengatur pH air limbah. Pengaturan pH air limbah ini guna
Gambar 2.3 Unit sedimentasi dengan jenis Lamella Clarifier (Sumber: www.erosioncontrol.co.nz)
5
Laporan Tugas Akhir Uji Kinerja Unit Koagulasi Dan Flokulasi Pada IPAL Skala Pilot Di Laboratorium Pengolahan Limbah Industri
mendukung kondisi operasi pada unit koagulasi, dimana koagulan yang digunakan
memiliki kondisi operasi tersendiri untuk mendukung pengolahannya, sehingga
pH dari air limbah dapat dikondisikan sesuai dengan koagulan yang digunakan.
Pada unit ini juga umumnya mencakup unit sedimentasi, dimana unit sedimentasi
bertujuan untuk mengendapkan flok-flok yang telah terbentuk. Keluaran dari unit
ini akan menghasilkan air limbah yang sudah memiliki kekeruhan rendah.
d. Unit Aerasi
Unit aerasi biasa disebut dengan unit pengolahan secara biologis. Aerasi yang
dilakukan pada unit ini digunakan sebagai asupan oksigen bagi mikroba-mikroba
yang memecah senyawa organik dalam air limbah, sehingga zat-zat pencemar
organik dapat berkurang. Unit aerasi umumnya mencakup unit clarifier yang
digunakan untuk menangkap biomassa yang terbawa aliran air baku. Unit clarifier
merupakan unit pengendapan yang tergabung dalam unit pengolahan secara
biologis. Dalam unit clarifier umumnya terdapat pompa yang difungsikan untuk
recovery sludge pada bagian bawah tangkinya. Hal ini disebabkan karena sludge
yang terendapkan pada unit clarifier dianggap masih memiliki mikroba hidup
sehingga dapat dikembalikan ke proses aerasi.
2.2 Jartest
Jartest merupakan serangkaian percobaan simulasi dari proses koagulasi dan flokulasi
yang digunakan untuk menurunkan kadar padatan tersuspensi dalam suatu pengolahan air
limbah (Satterfield, 2004) . Tujuan dari dilakukannya jartest adalah untuk menentukan
Gambar 2.4 Unit aerasi skala industri (Sumber: web.deu.edu.tr)
6
Laporan Tugas Akhir Uji Kinerja Unit Koagulasi Dan Flokulasi Pada IPAL Skala Pilot Di Laboratorium Pengolahan Limbah Industri
kondisi optimum operasi dari proses koagulasi dan flokulasi. Umumnya, jartest dilakukan
pada skala laboratorium dan hasil dari percobaannya digunakan sebagai penentuan dosis
optimum pada proses pengolahan air limbah yang sebenarnya atau dengan kata lain untuk
diterapkan pada IPAL.
Jartest memungkinkan seseorang untuk dapat menentukan kondisi paling ideal untuk
melakukan proses koagulasi dan flokulasi. Hal ini ditujukan untuk mendapatkan nilai dosis
optimum koagulan sebagai bahan kimia pendukung. Pengujian jartest umumnya didukung
dengan pengujian menggunakan kerucut imhoff yang digunakan untuk mengetahui jumlah
flok yang terbentuk. Namun, pada beberapa percobaan memungkinkan pengujian tanpa
menggunakan kerucut imhoff, melainkan hanya dengan mengukur kekeruhannya.
Gambar 2.5 Salah satu contoh alat pengujian jartest dengan 6 (enam) gelas percobaan.
(Sumber: dok. SigmaScientificGlassCompany)
Gambar 2.6 Pengujian Jartest menggunakan kerucut imhoff untuk mengetahui volume flok yang terbentuk.
(Sumber: dok. Penulis)
7
Laporan Tugas Akhir Uji Kinerja Unit Koagulasi Dan Flokulasi Pada IPAL Skala Pilot Di Laboratorium Pengolahan Limbah Industri
Pengujian jartest dilakukan dengan memvariasikan dosis koagulan dalam beberapa gelas
kimia yang berisi air limbah dengan volume yang sama. Dalam menentukan variasi dosis
koagulan, umumnya digunakan literatur agar variasi dosis yang digunakan tidak terlalu jauh
dari kebutuhan atau dengan kata lain untuk meminimalkan terjadinya error. Pada prosesnya,
pengujian jartest dilakukan dengan menghadap pada literatur, misalnya dalam penentuan
kondisi operasi pengadukan baik pada pengadukan cepat maupun pada pengadukan lambat.
Pengadukan cepat umumnya berlangsung selama 1-5 menit, sedangkan pengadukan lambat
umumnya berlangsung selama 10-40 menit (Said, 2017).
Perolehan data dilakukan terhadap jumlah volume endapan yang terbentuk dan/ atau
nilai kekeruhan yang diambil pada jarak waktu tertentu. Jumlah endapan dan nilai kekeruhan
ini kemudian akan menjadi parameter yang dilakukan perbandingan dengan dosis-dosis lain
yang dilakukan pengujian, dimana endapan yang paling banyak terbentuk dan/ atau
kekeruhan yang paling rendah per waktu tertentu, dianggap sebagai penggunaan dosis
koagulan yang paling optimum untuk limbah yang dijadikan sampel pengujian.
Menurut Zane Satterfield (2004) dalam jurnalnya yang berjudul “Jar Testing”,
mengatakan bahwa pengujian jartest dapat diringkas sebagai berikut.
Untuk setiap sampel air yang dilakukan pengujian, sejumlah gelas pengujian diisi
dengan jumlah sampel yang sama tiap gelasnya.
Setiap gelas pengujian diberikan perlakuan pemberian dosis koagulan yang berbeda-
beda.
Selain dosis, pengujian menggunakan jartest juga dapat dilakukan untuk mengetahui
parameter lain seperti pengujian terhadap jenis koagulan yang berbeda, kecepatan
pengadukan, waktu pengadukan, dan lain-lain.
Hasil penentuan dosis optimum dapat diperoleh dengan membandingkan kualitas
akhir dari sampel-sampel yang dilakukan pengujian dengan melakukan variasi dosis
koagulan.
2.3 Koagulasi dan Flokulasi
Koagulasi merupakan proses destabilisasi koloid menggunakan senyawa kimia yang
disebut koagulan, sedangkan flokulasi merupakan proses peningkatan ukuran partikel pada
proses koagulasi menggunakan senyawa polimer oraganik yang disebut flokulan. Menurut
Burton, dkk (2003) dalam Metcalf & Eddy, Inc. Wastewater Engineering: Fourth Edition
8
Laporan Tugas Akhir Uji Kinerja Unit Koagulasi Dan Flokulasi Pada IPAL Skala Pilot Di Laboratorium Pengolahan Limbah Industri
proses koagulasi dan flokulasi akan selalu berdampingan. Koagulasi juga merupakan proses
penambahan koagulan dan pengadukan cepat (Richards,1996). Proses koagulasi dan flokulasi
dapat mengurangi kandungan padatan tersuspensi dan koloid (Degremont, 1991). Istilah
koagulasi menjelaskan adanya proses kimia dan proses mekanik. Proses koagulasi terdiri dari
dua proses yang dapat diamati yaitu sebagai berikut.
1. Pengadukan cepat yang berfungsi untuk meratakan penyebaran zat kimia yang
ditambahkan ke dalam air
2. Flokulasi sebagai penggumpalan partikel kecil, dan membutuhkan waktu yang
lebih lama
Menururt Frank L. Spellman (2014) dalam Water and Wastewater Treatment Plant
Operations mengatakan bahwa, flokulasi merupakan proses fisika dengan pengadukan lambat
terhadap air yang telah dikoagulasi untuk meningkatkan probabilitas tumbukan antar partikel,
sedangkan Reynolds, dkk., (1996) dalam Unit Operations and Processes in Environmental
Engineering menyatakan, flokulasi adalah pengadukan lambat atau agitasi ringan untuk
mengumpulkan partikel yang tidak stabil dan membentuk flok dari pengendapan cepat.
Tabel 2.1 Efisiensi Penurunan BOD dan TSS
Proses BOD (%) TSS (%)
Tanpa Bahan Kimia 25-40 50-70
Dengan Penambahan Bahan Kimia 50-80 80-90
(Sumber: Burton, dkk., 2003)
2.3.1 Koloid dan Padatan Tersuspensi
2.3.1.1 Koloid
Koloid merupakan partikel yang ditemukan pada air, dimana koloid memiliki
permukaan yang bermuatan negatif, ukuran partikel koloid yaitu 0.01 µm sampai 1 µm
(Burton, dkk., 2003). Koloid dapat mempengaruhi kekeruhan dan warna pada air
(Degremont, 1991). Partikel koloid tidak dapat mengendap dengan sendirinya dan factor
permukaan yang sangat mempengaruhi, sehingga memerlukan suatu zat kimia pendukung
proses yaitu koagulan dan flokulan yang dapat memabntu memperbesar ukuran koloid supaya
dapat mengendap (Burton, dkk., 2004).
9
Laporan Tugas Akhir Uji Kinerja Unit Koagulasi Dan Flokulasi Pada IPAL Skala Pilot Di Laboratorium Pengolahan Limbah Industri
2.3.1.2 Padatan tersuspensi dan Zat terlarut
Padatan tersuspensi adalah partikel yang berasal dari mineral (pasir, lanau, tanah liat
dan lain-lain), atau berasal dari zat organik seperti hasil penguraian oleh tumbuhan dan
hewan, padatan terseuspensi juga terdapat mikroorganisme seperti bakteri, planton, alga dan
virus, padatan tersuspensi dapat mempengaruhi kekeruhan dan warna pada air (Degremont,
1991). Ukuran padatan tersuspensi umumnya lebih besar dari 1 µm dan dapat dihilangkan
dengan sedimentasi secara gravitasi (Burton, dkk., 2003). Sedangkan zat terlarut adalah
semua senyawa yang larut dalam air, memiliki ukuran kurang dari beberapa nanometer,
umumnya zat ini berupa ion positif dan ion negatif termasuk juga gas terlarut seperti oksigen,
karbondioksida, hidrogen sulfit dan lain-lain (Said, 2017).
2.3.1.3 Stabilitas Koloid
Dispersi koloid dalam air merupakan partikel-partikel bebas yang tertahan dalam air,
dalam bentuk suspensi. Hal ini disebabkan oleh ukuran partikel yang sangat halus. Faktor
yang paling mempengaruhi stabilitas koloid dalam air adalah ukuran partikelnya. Untuk
partikel koloid, rasio luas permukaan partikel terhadap berat sangat besar, sehingga efek
permukaan misalnya gaya tolak menolak elektrostatik dan juga hidrasi menjadi lebih
dominan (Said, 2017). Beberapa contoh waktu pengendapan untuk berbagai jenis partikel
dapat dilihat seperti pada Tabel 2.1.
Tabel 2.2 Waktu Pengendapan Berbagai Jenis Partikel pada Ketinggian 1 Meter
Dimensi Partikel Tipe Partikel
Waktu
Pengendapan
Luas
Spesifik mm µm Å
10 104 108 Kerikil 1 detik 6.102
1 103 107 Pasir 10 detik 6.103
10-1 102 106 Pasir Halus 2 menit 6.104
10-2 10 105 Lempung 2 jam 6.105
10-3 1 104 Bakteri 8 hari 6.106
10-4 10-1 103 Koloid 2 tahun 6.107
10-5 10-2 102 Koloid/ Terlarut 20 tahun 6.108
10-6 10-3 101 Koloid/ Terlarut 200 tahun 6.109
(Sumber: Degremont, 1991)
Berdasarkan tabel tersebut, maka dapat diketahui bahwa semakin kecil ukuran
partikel maka luas spesifiknya akan semakin besar.
10
Laporan Tugas Akhir Uji Kinerja Unit Koagulasi Dan Flokulasi Pada IPAL Skala Pilot Di Laboratorium Pengolahan Limbah Industri
2.3.2 Bahan Kimia Pendukung Proses Koagulasi – Flokulasi
2.3.2.1 Koagulan
Koagulan merupakan zat yang digunakan untuk menggumpalkan partikel-partikel
padat tersuspensi, zat warna, koloid dan lain-lain. Pemilihan zat koagulan harus didasarkan
pada pertimbangan seperti jumlah dan kualitas air yang akan diolah, kekeruhan air baku,
metode filtrasi serta sistem pembuangan lumpur endapan (Said, 2017).
a. Alumunium sulfat
Alum merupakan bahan koagulan yang banyak digunakan, dikarenakan harganya
yang murah (Burton, dkk., 2003). Garam alumunium sulfat jika ditambahkan ke dalam air
dengan mudah akan bereaksi dengan HCO-3 menghasilkan alumunium hidroksida yang
mempunyai muatan positif. Dengan adanya alumunium hidroksida yang bermuatan positif,
maka partikel yang bermuatan negatif pada limbah akan terikat dan ukuran partikel semakin
lama akan meningkat.
Tawas mampu mengendapkan zat-zat organik lebih cepat dibandingkan dengan
koagulan Poly Aluminium Cloride (PAC) dan Ferric Chloride (FeCl3.6H2O) (Nurlina,dkk
2015). Berikut adalah reaksi alumunium sulfat dengan kapur dan sodium karbonat.
Al2(SO4)3 + 3 Ca(OH)2 ↔ 2 Al(OH)3 + 3 Ca2+ + 3 SO2-4................................................................... (2.1)
Al2(SO4)3 + 6 Na2CO3 + 6 H2O ↔ 2 Al(OH)3 + 12 Na+ + 6 HCO-3 + 3 SO2-
4 .................... (2.2)
2 Al2(SO4)3 + 6 Na2CO3 + 6 H2O ↔ 4 Al(OH)3 + 12 Na+ + 6 SO2-4 +6 CO2 ..................... (2.3)
pH optimum koagulan alum adalah antara 5-8 (Richards, 1996). Alum padat memiliki
berat jenis 1.62 g/cm3 dan dalam bentuk butiran halus mempunyai berat jenis 0.6 g/cm3
hingga 0.7 g/cm3. Alum padat umumnya dipakai dalam bentuk larutan dengan konsentrasi 5-
10% untuk skala kecil dan 20-30% untuk skala besar. Pada suhu rendah dan konsentrasi
tinggi akan terjadi pengkristalan Al2O3 yang menyebabkan penyumbatan pada pipa, untuk itu
pemakaian alum cair harus diatur konsentrasinya, umumnya pada konsentrasi 8-8.2% (Said,
2017). Koagulasi menggunakan tawas pada dosis 100 ppm dapat menghilangkan kekeruhan
94.98%, TSS 93.87 dan COD 57.43 % (Nurlina,dkk 2015)
b. Poly Alumunium Chloride (PAC)
PAC merupakan bentuk polimerisasi kondensasi dari garam alumunium yang
memiliki rumus kimia Al2Cl(OH)5 dengan berat molekul 174,45 g/mol. PAC dapat menjadi
koagulan yang memiliki efisiensi tinggi dengan kemampuannya menghasilkan flok yang
lebih stabil dan berdaya koagulasi lebih tinggi. Dari segi teknik dan ekonomi, tawas
umumnya digunakan pada kondisi air baku yang normal, sedangkan PAC digunakan pada
saat temperatur rendah atau pada saat kekruhan air baku sangat tinggi (Said, 2017).
11
Laporan Tugas Akhir Uji Kinerja Unit Koagulasi Dan Flokulasi Pada IPAL Skala Pilot Di Laboratorium Pengolahan Limbah Industri
Said (2017) dalam bukunya yang berjudul “Teknologi Pengolahan Air Limbah” juga
menjelaskan bahwa PAC memiliki beberapa kelebihan diantaranya yaitu memiliki kecepatan
pembentukan flok dan kecepatan pengendapannya yang cukup tinggi yaitu antara 3 – 4,5 cm/
menit. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan koagulan PAC memiliki beberapa
keunggulan yang tidak dimiliki oleh koagulan lain, seperti rentang pH yang lebih luas, tidak
dipengaruhi suhu, dan hanya sedikit menurunkan alkalinitas dari air baku, sehingga tidak
diperlukan proses pengaturan pH terlebih dahulu.
2.3.2.2 Flokulan
Istilah flokulan menjelaskan proses bertambahnya ukuran partikel, dimana
bertambahnya ukuran partikel sebagai hasil tumbrukan antar partikel (Metcalf and
Eddy,2004). Fokulan merupakan anorganik polimer seperti sliki aktif dan natural polimer
seperti pati dan alginate.
a. Polyacrilamide
Polyacrilamide merupakan polimer turunan dari akrilamida dengan rumus kimia
(C3H5NO)n yang secara luas digunakan sebagai flokulan dalam pengolahan air (water
treatment). Polyacrilamide memiliki sifat fisik berwarna putih, berbentuk granular
halus, dan tidak berbau. Polimer ini termasuk dalam polimer nonionik dengan berat
molekul 106 – 107 g/mol. Polimer nonionik digunakan pada kondisi pertengahan
sehingga penggunaannya lebih fleksibel, berbeda dengan polimer anionik maupun
polimer kationik. Dalam aplikasinya, koagulan polimer didistribusikan ke dalam air
baku dengan konsentrasi 50 hingga 100 ppm (Said, 2017).
b. Actived Silica
Silika aktif adalah flokulan pertama yang digunakan. Flokulan ini memberikan hasil
yang baik, khususnya ketika digunakan bersama dengan aluminium sulfat dalam air
dingin. Ini ditambahkan setelah koagulan dan disiapkan segera sebelum digunakan
dengan menetralkan sebagian alkalinitas larutan natrium silikat. Penggunaan silika
aktif umumnya pada konsentrasi 0.5-4 mg/l sebagai SiO2.
Gambar 2.7 Rumus Kimia Silika Aktif (Sumber : Degreemont, 1991)
12
Laporan Tugas Akhir Uji Kinerja Unit Koagulasi Dan Flokulasi Pada IPAL Skala Pilot Di Laboratorium Pengolahan Limbah Industri
c. Aluminosolikat
Ketika koagulan adalah aluminium sulfat (atau garam aluminium lainnya), keasaman
produk ini dapat digunakan sebagai pengganti asam sulfat untuk mengaktifkan
natrium silikat. Produk serupa dengan silika aktif (Degremont, 1991).
d. Alginat
Natrium alginat diperoleh dari asam alginat, yang dengan sendirinya diekstraksi dari
rumput laut. Komponen utama dari struktur polimer ini adalah asam mannuronat dan
asam glukuronat. Berat grammemolecular adalah dalam urutan 104 hingga 2 × 105
(Degremont,1991).
Gambar 2.8 Rumus Kimia Alginat (Sumber : Degreemont, 1991)
e. Pati
Pati diperoleh dari kentang, tapioka atau ekstrak biji tanaman. Flokulan ini adalah
glukopiranosa polimer yang bercabang dan nonlinier dan kadang-kadang sebagian
dipecah (OH-) atau diturunkan (karboksietil-dekstron). Flokulan ini digunakan dalam
jumlah 1 hingga 10 mg-l, sebaiknya bersama dengan garam aluminium
(Degreemont,1991).
Pati dan alginat adalah padatan yang harus disiapkan pada konsentrasi 5 hingga 10 g/l.
Kerusakan mereka dalam larutan berair mungkin cepat jika suhu sisi luar tinggi (lebih dari 20
°C).Tangki persiapan harus dibersihkan secara teratur untuk menghindari risiko
pendistribusian (Degreemont,1991).
2.3.2.3 Penentuan Laju volumetric pompa dosis
Penentuan dosis koagulan bervariasi sesuai dengan jenis koagulan yang dipakai,
kekeruhan air baku, pH, alkalinitas dan juga temperature operasi (Said,2017). Setelah
13
Laporan Tugas Akhir Uji Kinerja Unit Koagulasi Dan Flokulasi Pada IPAL Skala Pilot Di Laboratorium Pengolahan Limbah Industri
diketahui dosis koagulan yang digunakan, maka perlu diketahui laju alir pompa dosis yang
digunakan, berikut adalah rumus menentukan laju alir pompa dosis :
(
) .......................................... (2.4)
Vv = Dosis volumetric koagulan (lt/jam)
Q = Laju alir air baku (m3/jam)
Rs = Dosis koagulan yang diharapkan (ppm)
C = Konsentrasi larutan koagulan (%)
2.3.3 Proses Pengolahan Air Limbah secara Kimiawi
2.3.3.1 Koagulasi (Pengadukan Cepat)
Pengadukan cepat secara kontinu sering digunakan, dimana substansi yang satu akan
teraduk dengan yang lainya (Burton, dkk., 2003). Waktu tinggal pada pengadukan cepat
umumnya 20-60 detik, ada juga yang lebih kecil dari 10 detik atau yang paling lama 2-5
menit dan gradien kecepatan pada pengadukan cepat berkisar antara 700-1000 mps/m
(Richards, 1996). Gradien kecepatan merupakan fungsi dari daya yang di suplai oleh
pengaduk.
√
........................................................ (2.5)
Keterangan:
G = Gradien kecepatan (mps/m atasu s-1)
P = Daya pengaduk (Nms)
V = Volume tangki (m3)
= Viskositas mutlak dari air (Ns/m2)
= ............................... (2.6)
Keterangan:
P = Daya Pengaduk (Nm/s)
Kl = Konstanta impeller laju laminar
Kt = Konstanta impeller laju trubulen
= Viskositas mutlak liquid (Ns/m2)
n = Kecepatan putar impeller (rps)
Di = Diameter impeller (m)
= Densitas liquid (k/m3)
14
Laporan Tugas Akhir Uji Kinerja Unit Koagulasi Dan Flokulasi Pada IPAL Skala Pilot Di Laboratorium Pengolahan Limbah Industri
Tabel 2.3 Hubungan Antara Waktu Tinggal dengan Kecepatan Gradien pada
Pengadukan Cepat
Waktu tinggal (detik) G (s-1)
20
30
40
50 >
1000
900
790
700
(Sumber: Richard, 1996)
Tabel 2.4 Karakter Jenis impeller
Jenis Kecepatan Putar Ukuran
Propeller Impeller 400-1750 rpm Max 18 inch
Paddle Impeller 20-150 rpm 50-80% diameter tangki
(Sumber: Richard, 1996)
Tabel 2.5 Konstanta Impeller
Jenis Impeller Kl Kt
Propeller pitch of 1.3 blades
Propeller pitch 2. 3 blades
Turbine. 4 flat blade.vane disc
Turbine 6 flat blades vanes disc
Turbine 6 curve blades
Fan turbine.6 blades at 45oC
Shrouded turbine. 6 curved blades
Shrouded turbine. With stator. No baffles
Flat paddle. 2 blades (single paddle). D/W=4
Flat paddles. 2 blades D/W = 6
Flat paddles. 2 blades D/W = 8
Flat paddles. 4 blades D/W = 6
Flat paddles. 6 blades D/W = 6
41
43.5
60
65
70
70
97.5
172.5
43
36.5
33
49
71
0.32
1
5.31
5.75
4.8
1.65
1.08
1.12
2.25
1.7
1.15
2.75
3.82
(Sumber: Richard 1996)
15
Laporan Tugas Akhir Uji Kinerja Unit Koagulasi Dan Flokulasi Pada IPAL Skala Pilot Di Laboratorium Pengolahan Limbah Industri
Tabel 2.6 Waktu Tinggal dan Gradient Kecepatan Pada Pengadukan Cepat dan
Flokulasi
Proses Nilai
Waktu tinggal G s-
Typical rapid mixing
operation in wastewater
treatment
5-30 s 500-1500
Rapid mixing for effective
intial contac and dispersion
of chemical
< 1 s 1500-6000
Rapid mixing of chemical in
contact filtration processes < 1 s 2500-7500
Typical flocculation prceses
used in wastewater treatment 30-60 min 50-100
Flocculation in direct
filtration processes 2-10 min 25-150
Flocculation in contact
filtration processes 2-5 min 25-200
(Sumber: Burton, dkk., 2003)
Tabel 2.7 Tipe Design Parameter pada Operasi Pengadukan Cepat
Unit Pengolahan Parameter Simbol Satuan Nilai
Pengadukan Cepat
(Vertical-Flow
mixing)
Velocity gradient G liter/ detik 500 - 2500
Rotational speed n rpm 24 - 45
Ratio impeller diameter to
equivalent tank diameter
D/Te 0,4 - 0,6
Flokulasi
(Pengadukan
Lambat)
Velocity gradient G liter/ detik 100 - 500
Rotational speed n rpm 10 - 30,
Ratio impeller diameter to
equivalent tank diameter
D/Te 0,35 - 0,45
(Sumber: Burton, dkk., 2003)
16
Laporan Tugas Akhir Uji Kinerja Unit Koagulasi Dan Flokulasi Pada IPAL Skala Pilot Di Laboratorium Pengolahan Limbah Industri
Gambar 2.9 a. Horizontal-Flow Mixing, dan b. Vertical-flow mixing
2.3.3.2 Flokulasi (Pengadukan Lambat)
Pengadukan lambat bertujuan agar flok yang terbentuk tidak terurai kembali karena
pada ukuran tertentu flok yang terbentuk akan tidak stabil dan dapat terurai kembali, akibat
gesekan aliran air yang disebabkan oleh pengadukan, oleh sebab itu kecepatan pengadukan
pada flokulasi harus dibatasi (Said,2017). Tabel 2.8 menunjukan tipikal desain parameter
pada flokulasi.
Tabel 2.8 Tipikal Desain Parameter Pada Unit Flokulasi
Parameter Simbol Unit Nilai
Velocity gradient G 1/s 100-500
Rational speed N r/min 10-30
Ratio length to width L/W Unitless 1<L/W<1.25
Ratio impeller diameter to
equivalent tank diameter
D/Te Unitless 0.35-0.45
Ratio height to equivalent
tank diameter
H/Te Unitless 0.9-1.1
Tip Speed
Flat-blade turbine Ts m/s 0.6-1.5
Pitch-blade turbine (45 or
32o
Ts m/s 1.8-2.4
Low-shear propeller (3 or 4
blade)
Ts m/s 2-2.7
Superficial velocity SV m/min 1-2
(Sumber: Burton, dkk., 2003)
17
Laporan Tugas Akhir Uji Kinerja Unit Koagulasi Dan Flokulasi Pada IPAL Skala Pilot Di Laboratorium Pengolahan Limbah Industri
Keterangan: Te = √ ; L = Panjang dalam meter; W= Lebar dalam meter; SV =
Q/A; Q = Laju pompa; A = Basin cross-sectional area
Menurut Said (2017) terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan dalam proses
flokulasi yaitu:
1. Proses flokulasi harus sesuai dengan cara pengadukan yang dilakukan agar
pembentukan flok dapat berjalan dengan baik dan efektif.
2. Kecepatan pengadukan didalam bak flokulator harus bertahap dan kecepatanya.
semakin pelan kearah aliran keluar.
3. Waktu pengadukan rata-rata 10-40 menit.
4. Perencanaan peralatan pengadukan didasarkan pada perhitungan gradient kecepatan
dalam bak flokulator.
Said (2017) juga menjelaskan mengenai hal-hal yang perlu diperhatikan mengenai
spesifikasi bak flokulator yaitu sebagai berikut.
1. Bak flokulator harus diletakkan diantara bak pencapur cepat dan bak pengendapan,
dan lebih baik lagi jia antara bak flokulator menyatu/bergabung menjadi satu.
2. Untuk bak flokulator yang standar (persegi panjang) harus dilengkapi dengan
peralatan pengadukan atau aliran dengan sekat(Buffle) yang berfungsi untuk
mendapatkan hasil yang optimal.
3. Kecepatan pengadukan harus dapat diatur atau dikontrol agar dapat disesuaikan
dengan kondisi kualitas air bakunya.
4. Kecepatan pengadukan untuk bak flokulator dengan pengadukan dari luar antara 15-
18 cm/s sedangkan untuk flokulator tipe aliran dengan sekat kecepatan rata-rata dalam
bak yaitu antara 15-20 cm/s.
5. Bentuk dan konstuksi bak flokulator harus sedemikian rupa agar terhindar terjadinya
aliran singkat atau alran stagnan (diam).
6. Bak flokulator harus dilengkapi dengan peralatan untuk menghilangkan lumpur atau
buih yang mungkin terjadi.
Proses flokulasi perlu diperhatikan baik dari kecepatan pengadukan dan juga dari bentuk
bak pencampur cepatnya. Proses pengadukan yang efektif akan dapat mengurangi bahan
kimia yang ditambahkan dan akan meningkatkan efisiensi pada proses sedimentasi, sehingga
menghasilkan kualitas air keluaran proses pengolahan secara kimiawi yang lebih baik
(Spellman, 2014).
18
Laporan Tugas Akhir Uji Kinerja Unit Koagulasi Dan Flokulasi Pada IPAL Skala Pilot Di Laboratorium Pengolahan Limbah Industri
2.3.3.3 Proses Pembentukan Flok
Gambar 2.10 Proses Destabilisasi Koloid
(Sumber: projects.ncsu.edu)
Dalam proses koagulasi dan flokulasi, akan terjadi pembentukan flok yang terjadi akibat
penambahan mkoagulan atau zat kimia penggumpal. Proses flokulasi menyebabkan flok
halus (fine floc) bergabung menjadi flok dengan ukuran yang lebih besar. Flok yang lebih
besar tersebut akan menambah massa padatan sehingga lebih cepat mengendap akibat adanya
gaya gravitasi. Tahapan proses penggumpalan koloid dapat dilihat pada Tabel 2.9.
Tabel 2.9 Tahapan Proses Penggumpalan Koloid
Tahap Faktor Istilah
Penambahan Zat koagulan Reaksi dengan air, ionisasi, hidrolisis,
polimerasi
Hidrolisis
Destabilisasi Kompresi lapisan ganda Koagulasi
Absorpsi ion spesifik dari zat koagulan
pada permukaan partikel
Penggandengan antara ion atau grup
ion pada permukaan partikel koloid
Penggabungan partikel koloid pada
endapan senyawa hidroksida
Pembentukan rantai atau jembatan
antar partikel oleh polimer koagulan
tertentu
Transport Gerak Brown Flokulasi
Perikinetik
Gradien Kecepatan Flokulasi
19
Laporan Tugas Akhir Uji Kinerja Unit Koagulasi Dan Flokulasi Pada IPAL Skala Pilot Di Laboratorium Pengolahan Limbah Industri
Dissipated Energy Ortokinetik
(Sumber: Degremont, 1991)
2.3.3.4 Bak Sedimentasi
Sedimentasi merupakan suatu proses mengendapkan materi tersuspensi atau flok dari
proses koagulasi dan flokulasi. Gumpalan yang terbentuk pada proses koagulasi masih
berukuran kecil, gumpalan tersebut akan semakin besar dengan adanya proses flokulasi.
Dengan bertambah besarnya partikel maka dibutuhkan tempat atau wadah mengendapnya
partikel tersebut yaitu tangki sedimentasi.
Tangki sedimentasi dapat berbentuk segi empat dan lingkaran. Pada tangki ini aliran
air limbah sangat tenang untuk memberi kesempatan padatan tersuspensi agar dapat
mengendap. Kriteria-kriteria yang diperlukan untuk menentukan ukuran tangki sedimentasi
yaitu; surface loading (beban permukaan), kedalaman tangki, dan waktu tinggal (Said, 2017).
Tangki sedimentasi primer merupakan perlakuan objektif untuk mengilangkan
padatan mudah terendapkan (settleable solid) dan material yang mengapung serta
mengurangi kandungan padatan terlarut. Sedimentasi primer diletakan di awal proses
pengolahan sebelum pengolahan lebih lanjut. Efisiensi operasi dari sedimentasi primer dapat
mengurangi 50% sampai 70% padatan tersuspensi dan 25% sampai 40% BOD (Burton, dkk.,
2003). Berbeda dengan tangki sedimentasi setelah proses koagulasi dan flokulasi, dimana
pada sedimentasi primer belum terdapat penambahan senyawa kimia. Secara umum
sedimentasi dengan waktu tinggal 2-8 jam digunakan pada koagulasi dengan tawas atau
garam besi pada filtrasi dengan pasir (Richards,1996).
2.4 Zat Pencemar dalam Air Limbah Industri
Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap industri baik industri skala kecil maupun industri
skala besar, akan menghasilkan buangan berupa limbah. Limbah yang dimaksud dapat berupa
limbah padat, limbah cair, maupun limbah gas. Limbah yang dihasilkan dari suatu industri
berasal dari berbagai kegiatan, yang paling utama adalah pada proses produksi. Kegiatan lain
yang memungkinkan menghasilkan limbah misalnya pada kegiatan maintenance,
pembersihan alat atau mesin, dan kegiatan MCK (Mandi Cuci Kakus).
Limbah industri merupakan produk samping dari proses produksi oleh suatu industri.
Sebelum menjadi limbah, industri umumnya telah melakukan proses recovery terlebih dahulu
karena produk samping suatu proses umumnya masih dinilai berharga sebab masih
banyaknya kandungan material-material berharga yang mudah untuk diperoleh kembali.
20
Laporan Tugas Akhir Uji Kinerja Unit Koagulasi Dan Flokulasi Pada IPAL Skala Pilot Di Laboratorium Pengolahan Limbah Industri
Setelah dilakukan perolehan kembali dan jumlah material berharga sudah tidak lagi banyak
dan sulit untuk di recovery, barulah sisa produk tersebut dapat dikatakan sebagai limbah
karena nilainya yang sudah tidak begitu berharga.
Limbah terbagi menjadi 3 wujud yaitu limbah cair, limbah gas, dan limbah padatan.
Limbah cair umumnya merupakan limbah yang paling besar jumlahnya. Hal ini karena air
merupakan komponen penting dalam suatu industri baik sebagai bahan baku proses, produk
samping, maupun kebutuhan lain seperti sanitasi dll. Limbah cair berbeda dengan air limbah.
Limbah cair merupakan sisa buangan dari suatu proses produksi atau kegiatan dengan wujud
cair, sedangkan air limbah merupakan sisa buangan dari suatu proses produksi atau kegiatan
dengan kandungan sebagian besarnya merupakan air.
Zat pencemar yang terkandung dalam air limbah industri dapat dibagi menjadi dua
yaitu kandungan zat organik dan kandungan zat anorganik. Kandungan zat organik dalam
pengolahannnya dapat dikurangi kandungannya menggunakan bantuan mikroorganisme, dan
umumnya kandungan zat organik bukan merupakan kandungan zat pencemar yang
berbahaya, sedangkan kandungan zat anorganik merupakan kandungan zat pencemar yang
tidak dapat dilakukan pengolahan menggunakan mikroorganisme. Kandungan zat anorganik
juga umumnya merupakan kandungan zat yang berbahaya dan berracun (limbah B3) yang
dapat berupa logam dan bahan kimia anorganik lainnya, maka dari itu pada proses
pengolahannya diperlukan perlakuan khusus dan biaya yang lebih tinggi.
Kandungan limbah industri berbeda-beda tergantung dari jenis produk, bahan baku,
kuantitas produksi, dll. Berdasarkan karakteristiknya (Said, 2017), air limbah industri dapat
dibagi menjadi beberapa kelompok:
Air limbah industri yang mengandung konsentrasi zat organik yang relatif tinggi,
misalnya industri makanan, industri kimia, industri minyak nabati atau hewani,
industri obat-obatan, industri lem atau perekat gelatin, industri tektsil, industri pul
dan kertas, dll.
Air limbah industri yang mengandung konsnetrasi zat organik relatif rendah,
misalnya industri pengamasan makanan, industri pemintalan, industri serat,
industri kimia, industri minyak, industri batu bara, industri laundry, dll.
Air limbah industri yang mengandung zat anorganik berbahaya dan beracun,
misalnyua industri penyamakan kulit, industri barang dengan bahan baku kulit,
industri besi baja, industri kimia insektisida, industri herbisida, dll.
21
Laporan Tugas Akhir Uji Kinerja Unit Koagulasi Dan Flokulasi Pada IPAL Skala Pilot Di Laboratorium Pengolahan Limbah Industri
Air limbah industri yang mengandung zat anorganik umum, misalnya industri
kimia seeprti industri pupuk organik, industri kimia anorganik, pencucian pada
industri logam, industri keramik, dll.
2.4.1 Chemical Oxygen Demand (COD)
COD atau KOK (Kebutuhan Oksigen Kimiawi) merupakan salah satu kunci
parameter pencemaran penting yang perlu diperhatikan. Semakin tinggi tingkat COD maka
dapat dikatakan bahwa air limbah tersebut semakin tercemar atau semakin buruk kualitas air
(Andary, 2010). Secara istilah, COD dapat diartikan sebagai banyaknya jumlah oksigen yang
dibutuhkan untuk mengoksidari baik zat organik maupun zat anorganik dalam suatu air
limbah (Estikarini, 2016).
Dalam menentukan jumlah zat organik dan anorganik dalam air limbah, dibutuhkan
pengoksidasi kalium dikromat, dimana K2Cr2O7 digunakan sebagai sumber oksigen
(oxodizing agent). Keterkaitan nilai COD dan BOD dapat dijelaskan bahwa nilai BOD
termasuk dalam parameter COD, namun nilai COD tidak selalu mengikat kandungan BOD.
Perbandingan antara nilai BOD5 dengan COD untuk beberapa jenis air dapat dilihat pada
Tabel 2.10.
Tabel 2.10 Perbandingan Antara Nilai BOD5 dengan COD Untuk Beberapa Jenis Air
No Jenis Air BOD5:COD
1 Air Buangan Domestik 0,4 - 0,6
2 Air Buangan Domestik Setelah Pengendapan Primer 0,6
3 Air Buangan Domestik Setelah Pengolahan Secara Biologis 0,2
4 Air Sungai 0,1
(Sumber: Muthawali, 2013)
Kandungan zat anorganik yang terdapat dalam limbah tidak dapat dioksidasi oleh
mikroornaisme dengan baik. Metode yang digunakan untuk menghilangkan zat anorganik
dapaty dilakukan dengan menggunakan metode fisik atau metode kimia. Metode yang dapat
digunakan salah satunya adalah metode pengendapan. Dengan menggunakan bahan kimia
pendukung seperti koagulan, proses pengendapan dapat berjalan lebih sempurna. Menurut
Burton, dkk., (2003) dalam Metcalf & Eddy, Inc. Wastewater Engineering: Fourth Edition
menyebutkan bahwa, metode pengendapan dengan menggunakan bahan kimia pendukung
dapat menurunkan kadar COD mencapai 80%, sedangkan jika dilakukan tanpa menggunakan
bahan kimia pendukung, penurunan kadar COD hanya mampu hingga mencapai 40%.
22
Laporan Tugas Akhir Uji Kinerja Unit Koagulasi Dan Flokulasi Pada IPAL Skala Pilot Di Laboratorium Pengolahan Limbah Industri
2.4.2 Total Suspended Solid (TSS)
Air limbah mengandung berbagai macam material padatan yang bervariasi mulai dari
padatan berukuran besar hingga padatan yang tersuspensi. Pada pengolahan air limbah,
padatan yang berukuran besar umumnya telah dihilangkan dengan melwatkan air limbah
pada screener atau grit removal. Menurut Burton, dkk (2003) dalam Metcalf & Eddy, Inc.
Wastewater Engineering: Fourth Edition padatan dalam air limbah diklasifikasikan
berdasarkan Tabel 2.11.
Tabel 2.11 Pengklasifikasian jenis-jenis padatan
Jenis Padatan Deskripsi
Total Solids (TS) Residu yang tersisa setelah air limbah melalui
proses evaporasi dan pengeringan pada suhu
103-105oC.
Total Volatile Solids (TVS) Padatan yang dapat diuapkan dan dibakar dalam
tungku pembakaran suhu tinggi dari 450 oC
sampai 550oC.
Total Fixed Solids (TFS) Residu yang tersisa setelah padatan total
terbakar pada suhu tinggi (450 oC sampai
550oC).
Total Suspended Solids (TSS) Massa dari padatan total yang tertahan oleh
media filter dengan kerapatan 1,58 mikron
(Whatman glass fiber filter). Padatan ini
ditentukan setelah media filter dikeringkan pada
suhu 105 oC.
Volatile Suspended Solids (VSS) Padatan yang dapat teruapkan dan terbakar saat
total padatan tersuspensi dibakar pada suhu 450
oC sampai 550oC.
Fixed Suspended Solids (FSS) Residu yang tersisa setelah total padatan
tersuspensi dibakar pada suhu 450 oC sampai
550oC.
Total Dissolved Solids (TDS) Padatan yang melewati media filter, kemudian
dievaporasi dan dikeringkan pada suhu 105 oC.
Total Volatile Dissolved Solids (VDS) Padatan yang dapat teruapkan dan terbakar saat
23
Laporan Tugas Akhir Uji Kinerja Unit Koagulasi Dan Flokulasi Pada IPAL Skala Pilot Di Laboratorium Pengolahan Limbah Industri
total padatan terlarut dibakar pada suhu 450 oC
sampai 550oC.
Fixed Dissolved Solids (FDS) Residu yang tersisa setelah total padatan terlarut
dibakar pada suhu 450 oC sampai 550oC.
Settleable Solids Padatan tersuspensi yang dinyatakan dengan
mg/l, yang akan terendapkan dengan waktu
tertentu.
(Sumber: Burton, dkk., 2003)
Berdasarkan tabel diatas, TSS atau padatan tersuspensi total dapat diartikan sebagai
padatan yang tertahan oleh media filter dengan kerapatan 1,58 mikron, dan wujudnya dapat
direpresentasikan dengan mengeringkan media filter tersebut pada suhu 105 oC.
2.4.3 Karakteristik Limbah Industri Pangan
Di Indonesia, pasar industri pangan merupakan pasar terbesar industri non-migas
dengan Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai 34,17% (Kemenperin, 2017). Hal ini
membuat industri pangan memiliki peranan besar dalam persaingan pasar di Indonesia.
Industri pangan memiliki karakteristik yang berbeda dengan industri lainnya. Industri
pangan umumnya memiliki kandungan zat pencemar yang mudah didegradasi oleh mikroba,
tetapi memiliki kandungan zat organik yang relatif jauh lebih besar dibandingkan dengan
industri lain. Aktifitas mikroba dalam mengurai zat organik dalam limbah industri pangan
sering kali menimbulkan bau yang tidak sedap oleh sebab mikroba yang memproduksi gas-
gas seperti amoniak, H2S, dan lain-lain. Oleh sebab itu bagian pengolahan limbah industri
pangan biasanya sering mendapat protes dari masyarakat setempat karena terganggu oleh
baunya.
Salah satu contoh industri pangan yang jumlahnya cukup banyak yaitu industri
pengolahan kedelai, dimana produk yang dihasilkan misalnya tahu, tempe, oncom, kecap, dll.
Industri pengolahan kedelai umumnya memiliki kandungan zat organik yang sangat tinggi
yaitu mencapai puluhan ribu. Namun, kandungan zat pencemar dalam suatu air limbah
dipengaruhi juga oleh kapasitas produksi dari industri itu sendiri. Letak pabrik dan cuaca pun
menjadi faktor lain yang mampu memengaruhi nilai parameter zat pencemar.
Menurut Wenas (2002) dalam Pengelolaan Limbah Industri Pangan Direktorat
Jenderal Industri Kecil Menengah Departemen Perindustrian (2007) menyatakan karakteritsik
limbah industri pengolahan kedelai produk tahu dan tempe, memiliki karakter air limbah
sebagai berikut.
24
Laporan Tugas Akhir Uji Kinerja Unit Koagulasi Dan Flokulasi Pada IPAL Skala Pilot Di Laboratorium Pengolahan Limbah Industri
Tabel 2.12 Karakteristik Air Limbah Industri Tahu dan Tempe
No. Parameter Jumlah
1 BOD 950 mg/L
2 COD 1534 mg/L
3 TSS 309 mg/L
4 pH 5
5 Kuantitas 3-5 m3/ton
Sumber: Wenas, dkk.(2002)
Tabel 2.13 Karakteristik Air Limbah Industri Tahu
No. Parameter Jumlah
1 BOD 1311.5 mg/L
2 COD 2018.5 mg/L
3 TSS 312 mg/L
Sumber: Nurlina, dkk.(2015)