Gabungan Vitamin

79
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Vitamin merupakan senyawa organik yang diperlukan oleh tubuh dalam jumlah kecil untuk mempertahankan kesehatan dan seringkali bekerja sebagai kofaktor bagi enzim metabolisme. Pemberian vitamin meningkat terutama pada saat hamil, menyusui, setelah menjalani operasi besar, terjadi infeksi, pada bayi dan usia lanjut, pemakaian antibiotik spektrum luas dalam jangka waktu panjang, penggunaan isoniazid, dan penggunaan kontrasepsi oral (Dewoto dan Wardhini, 2007). Berdasarkan kelarutannya, vitamin dibedakan menjadi vitamin larut dalam lemak, yaitu vitamin A, D, E ,K, dan vitamin yang larut dalam air, yaitu vitamin B kompleks dan vitamin C. Vitamin larut air berperan sebagai kofaktor untuk enzim tertentu, sedangkan vitamin A dan D mempunyai sifat yang lebih menyerupai hormon dan mengadakan interaksi dengan reseptor spesifik intraseluler pada jaringan target. Vitamin larut air hanya disimpan dalam jumlah terbatas dalam tubuh dan sisanya dibuang, sehingga untuk mempertahankan saturasi jaringan maka vitamin larut air perlu dikonsumsi dengan lebih sering. Meskipun demikian, pemberian vitamin larut air dalam jumlah berlebihan selain merupakan suatu tindakan pemborosan, juga mungkin menimbulkan efek yang tidak diinginkan. Sebaliknya, vitamin yang larut lemak dapat disimpan dalam jumlah banyak dalam tubuh, sehingga

Transcript of Gabungan Vitamin

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Vitamin merupakan senyawa organik yang diperlukan oleh tubuh dalam jumlah kecil

untuk mempertahankan kesehatan dan seringkali bekerja sebagai kofaktor bagi enzim

metabolisme. Pemberian vitamin meningkat terutama pada saat hamil, menyusui, setelah

menjalani operasi besar, terjadi infeksi, pada bayi dan usia lanjut, pemakaian antibiotik

spektrum luas dalam jangka waktu panjang, penggunaan isoniazid, dan penggunaan

kontrasepsi oral (Dewoto dan Wardhini, 2007).

Berdasarkan kelarutannya, vitamin dibedakan menjadi vitamin larut dalam lemak,

yaitu vitamin A, D, E ,K, dan vitamin yang larut dalam air, yaitu vitamin B kompleks dan

vitamin C. Vitamin larut air berperan sebagai kofaktor untuk enzim tertentu, sedangkan

vitamin A dan D mempunyai sifat yang lebih menyerupai hormon dan mengadakan

interaksi dengan reseptor spesifik intraseluler pada jaringan target. Vitamin larut air hanya

disimpan dalam jumlah terbatas dalam tubuh dan sisanya dibuang, sehingga untuk

mempertahankan saturasi jaringan maka vitamin larut air perlu dikonsumsi dengan lebih

sering. Meskipun demikian, pemberian vitamin larut air dalam jumlah berlebihan selain

merupakan suatu tindakan pemborosan, juga mungkin menimbulkan efek yang tidak

diinginkan. Sebaliknya, vitamin yang larut lemak dapat disimpan dalam jumlah banyak

dalam tubuh, sehingga kemungkinan terjadinya toksisitas jauh lebih besar daripada vitamin

larut air (Dewoto dan Wardhini, 2007).

Untuk menjamin ketepatan penggunaan vitamin sesuai dengan kebutuhan dan kondisi

klinik pasien, maka diperlukan suatu upaya pemberian informasi dan edukasi kepada

pasien, yang salah satunya dapat melalui swamedikasi. Vitamin dapat dibeli tanpa

menggunakan resep dokter, sehingga memenuhi syarat untuk dapat dilakukannya

swamedikasi di apotek oleh apoteker. Dalam pelayanan ini Apoteker dituntut untuk dapat

melakukan pelayanan kefarmasian dengan baik terkait dengan kebutuhan vitamin bagi

pasien serta memberikan edukasi dan informasi kepada pasien mengenai pentingnya

konsumsi vitamin guna menghindari terjadi defisiensi vitamin. Vitamin memang

dibutuhkan dalam jumlah sedikit bagi tubuh, namun vitamin sangat diperlukan agar proses

metabolisme tubuh dapat berjalan dengan baik, sehingga defisiensi vitamin yang awalnya

tergolong ringan, lama kelamaan dapat memicu terjadinya penyakit yang lebih serius,

seperti diabetes melitus, penyakit empedu, penyakit hati, dan lain-lain.

Swamedikasi biasanya dilakukan untuk mengatasi keluhan-keluhan dan penyakit

ringan yang banyak dialami masyarakat, termasuk keluhan yang terkait dengan defisiensi

vitamin. Swamedikasi menjadi alternatif yang diambil masyarakat untuk meningkatkan

keterjangkauan pengobatan. Pada pelaksanaannya, swamedikasi dapat menjadi sumber

terjadinya kesalahan pengobatan (medication error) karena keterbatasan pengetahuan

masyarakat akan obat dan penggunaannya. Dalam hal ini Apoteker dituntut untuk dapat

memberikan informasi yang tepat kepada masyarakat sehingga masyarakat dapat terhindar

dari penyalahgunaan obat (drug abuse) dan penggunaan obat yang salah (drug misuse).

Apoteker sebagai salah satu profesi kesehatan sudah seharusnya berperan sebagai pemberi

informasi (drug informer), khususnya untuk obat-obat yang digunakan dalam

swamedikasi. Obat-obat yang digunakan untuk swamedikasi adalah obat-obat yang dapat

digunakan tanpa resep dokter, yang meliputi obat wajib apotek (OWA), obat bebas

terbatas (OBT) dan obat bebas (OB). Sebagian besar vitamin tersedia sebagai obat bebas

dan bebas terbatas, sehingga relatif aman digunakan untuk swamedikasi (Direktorat Bina

Farmasi Komunitas dan Klinik, 2006).

1.2. Rumusan Masalah

1.2.1. Bagaimanakah kebutuhan harian masing-masing vitamin?

1.2.2. Bagaimanakah KIE yang harus diberikan kepada pasien terkait dengan

penggunaan vitamin dalam swamedikasi?

1.3. Tujuan

1.3.1. Mengetahui kebutuhan harian masing-masing vitamin.

1.3.2. Mengetahui KIE yang harus diberikan kepada pasien terkait dengan penggunaan

vitamin dalam swamedikasi.

1.4. Manfaat

Makalah ini diharapkan dapat memberikan pemahaman bagi masyarakat pada

umumnya dan apoteker pada khususnya mengenai pentingnya memenuhi kebutuhan

vitamin harian agar terhindar dari gejala defisiensi vitamin. Walaupun vitamin dibutuhkan

oleh tubuh dalam jumlah sedikit, namun vitamin sangat diperlukan agar metabolisme

tubuh dapat berjalan dengan baik. Apoteker diharapkan dapat melakukan proses

swamedikasi dengan baik, sehingga masyarakat atau pasien dapat memperoleh vitamin

sesuai dengan kebutuhan hariannya dan kondisi kliniknya.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Definisi Vitamin

Vitamin adalah zat organik yang tidak disintesis dalam tubuh, dalam jumlah kecil

sangat penting untuk pemeliharaan metabolisme yang normal. Vitamin tidak menghasilkan

energi dan bukan merupakan bahan pembentuk struktur sel. Kekurangan vitamin tertentu

dapat menyebabkan penyakit seperti beri-beri, ricket, scurvy, xeropthalmia, atau suatu

kondisi tanpa gejala yang jelas.

Istilah vitamin timbul tahun 1911, dimana pada waktu itu senyawa amin yang

diisolasi dari kulit padi mendapat perhatian karena dapat mencegah beri-beri, senyawa

esensial ini atau vital amin disebut vitamin. Istilah vitamin tetap dipakai sampai sekarang

walaupun tidak semua vitamin merupakan senyawa amin misal vitamin A, C, D, E, K dan

inositol. Struktur kimia dari vitamin bervariasi dari molekul sederhana seperti niasin

sampai yang kompleks seperti sianokobalamin.

Fungsi biologis dari vitamin juga beraneka ragam. Vitamin B2, niasin, dan asam

pantotenat berfungsi sebagai koenzim. Vitamin B12 dan asam folat berperan dalam

biosintesis pemindahan atom C. Vitamin C berperan dalam biosintesis hidroksiprolin,

suatu komponen yang penting dalam kolagen. Vitamin B1 dan B6 berperan dalam

metabolisme karbohidrat dan asam amino. Biotin berperan dalam metabolisme

karboksilasi. Vitamin D dan E berperan selektif dalam membran transport. Vitamin A, B1,

B12, C, E, dan niasin berperan secara langsung dan tidak langsung dalam reaksi oksidasi-

reduksi.

Pemberian vitamin meningkat terutama pada kondisi saat hamil, menyusui, setelah

menjalani operasi besar, terjadi infeksi, pada bayi dan usia lanjut, pemakaian antibiotik

spektrum luas dalam jangka waktu panjang, penggunaan isoniazid dan kontrasepsi oral.

FDA mengharuskan produk vitamin mencantumkan presentase komposisi produk

sesuai dengan yang dianjurkan U.S.A. RDA (US Recommended Daily Allowance) yaitu

dosis yang dianjurkan untuk penggunaan sehari. Presentase tergantung dari umur, jenis

kelamin, jenis penyakit, stress dan berat badan.

Berdasarkan kelarutannya vitamin dibagi menjadi vitamin larut dalam lemak yaitu

vitamin A, D, E , K, dan yang larut dalam air, vitamin B kompleks, vitamin C, biotin,

beberapa zat yang mempengaruhi kegiatan fisologik seperti asam amino benzoat,

bioflavonoid, kolin dan inositol.

2.2. Vitamin yang Larut dalam Lemak

Kekurangan kelompok vitamin ini kemungkinan disebabkan karena terganggunya

absorbsi lemak, seperti pada penyakit billiary cirrhosis, cholecysitis, dan sprue, dapat juga

terjadi pada saat terapi penggunaan kolesteramin dan penggunaan laksatif yang berlebihan.

2.2.1 Vitamin A

Vitamin A merupakan salah satu jenis vitamin larut dalam lemak yang berperan

penting dalam pembentukan sistem penglihatan yang baik. Vitamin A atau retinal

merupakan senyawa poliisoprenoid yang mengandung cincin sikloheksenil. Vitamin A

merupakan istilah generik untuk semua senyawa dari sumber hewani yang memperlihatkan

aktivitas biologik vitamin A. Senyawa-senyawa tersebut adalah retinal, asam retinoat dan

retinol. Hanya retinol yang memiliki aktivitas penuh vitamin A, yang lainnya hanya

mempunyai sebagian fungsi vitamin A. Vitamin A mempunyai provitamin yaitu karoten.

Pada sayuran vitamin A terdapat sebagai provitamin dalam bentuk pigmen berwarna

kuning ß karoten, yang terdiri atas dua molekul retinal yang dihubungkan pada ujung

aldehid rantai karbonnya. Tetapi karena ß karoten tidak mengalami metabolisme yang

efisien, maka ß karoten mempunyai efektifitas sebagai sumber vitamin A hanya

sepersepuluh retinal (Triana, 2006).

Gambar struktur Retinol

Sumber Vitamin A

Vitamin A dapat ditemukan pada sereal, roti, pasta, dan nasi. Vitamin A juga terdapat

pada sayuran seperti wortel, paprika merah dan hijau, kangkung, kentang, selada,

tomat,dan brokoli, dan juga terdapat pada buah seperti mangga, papaya, apricot dan jeruk.

Vitamin A juga terdapat pada daging, ikan, telur, susu, yogurt, keju, kacang-kacangan,

buncis kering (Mosure, 2005).

Berikut ini merupakan beberapa jenis makanan dengan kandungan vitamin A di dalamnya:

(Jensen et al., 2009)

Fungsi

Vitamin A merupakan vitamin larut lemak yang berperan penting pada pengelihatan,

pertumbuhan, dan perkembangan, perkembangan dan perbaikan kesehatan kulit, rambut,

dan membran mukus, fungsi imun, dan reproduksi (Mosure, 2005).

Retinal merupakan komponen pigmen visual rodopsin,yang mana rodopsin terdapat

dalam sel-sel batang retina yang bertanggung jawab atas penglihatan pada saat cahaya

kurang terang. Ketika terkena cahaya, rodopsin akan terurai serta membentuk all-trans

retinal dan opsin. Reaksi ini disertai dengan perubahan bentuk yang menimbulkan saluran

ion kalsium dalam membran sel batang. Aliran masuk ion-ion kalsium yang cepat akan

memicu impuls saraf sehingga memungkin cahaya masuk ke otak (Triana, 2006).

Asam retinoat turut serta dalam sintesis glikoprotein. Hal ini dapat dijelaskan bahwa

asam retinoat bekerja dalam memicu pertumbuhan dan diferensiasi jaringan (Triana,

2006). Retinoid dan karotenoid memiliki aktivitas antikanker. Banyak penyakit kanker

pada manusia timbul dalam jaringan epitel yang tergantung pada retinoid untuk

berdiferensiasi seluler yang normal. ß–karoten merupakan zat antioksidan dan mungkin

mempunyai peranan dalam menangkap radikal bebas peroksi di dalam jaringan dengan

tekanan parsial oksigen yang rendah (Triana, 2006).

Vitamin A juga dapat melindungi tubuh dari infeksi organisme asing, seperti bakteri

patogen. Mekanisme pertahanan ini termasuk ke dalam sistem imun eksternal, karena

sistem imun ini berasal dari luar tubuh. Vitamin ini akan meningkatkan aktivitas kerja dari

sel darah putih dan antibodi di dalam tubuh sehingga tubuh menjadi lebih resisten terhadap

senyawa toksin maupun terhadap serangan mikroorganisme parasit, seperti bakteri patogen

dan virus.

Defisiensi Vitamin A

Kekurangan vitamin A dapat menyebabkan rabun senja, kulit kering, meningkatnya

resiko infeksi, dan terhambatnya pertumbuhan (Jensen et al., 2009). Kekurangan atau

defisiensi vitamin A disebabkan oleh malfungsi berbagai mekanisme seluler yang di

dalamnya turut berperan senyawa-senyawa retinoid. Defisiensi vitamin A terjadi gangguan

kemampuan penglihatan pada senja hari (buta senja). Ini terjadi karena ketika simpanan

vitamin A dalam hati hampir habis. Deplesi selanjutnya menimbulkan keratinisasi jaringan

epitel mata, paru-paru, traktus gastrointestinal dan genitourinarius, yang ditambah lagi

dengan pengurangan sekresi mukus. Kerusakan jaringan mata, yaitu seroftalmia akan

menimbulkan kebutaan. Defisiensi vitamin A terjadi terutama dengan dasar diet yang jelek

dengan kekurangan komsumsi sayuran, buah yang menjadi sumber provitamin A (Triana,

2006).

Kelebihan Vitamin A

Kelebihan vitamin A dapat menyebabkan mual, pandangan kabur, kelainan

pertumbuhan, rambut rontok, liver dan limfa bengkak, cacat bawaan pada bayi, serta

tulang rapuh hingga mudah patah. Gejala pada anak antara lain pseudotumor serebri,

tinitus, pelebaran sutura dan ubun-ubun menonjol, meningkatnya tekanan intrakranial,

nyeri tulang, letargi, dermatitis eksfoliativa, pruritus, stomatitis angular,hiperostosis dan

paronikia. Dapat terjadi diplopia dan papiludem dan selanjutnya atrofi optikus dan

kebutaan. Gejala yang umum pada orang dewasa ialah muntah, perubahan kulit,

iritabilitas, sakit kepala, hipermenorea dan kelemahan. Gejala psikiatrik mungkin terlihat

seperti depresi berat atau skizofrenia. Dapat terjadi gangguan fungsi hati yang mungkin

disertai hepatosplenomegali. Selain itu hiperkalsemia berat dan asites juga dilaporkan

terjadi. Hipervitaminosis A pada anak dan dewasa dapat menyebabkan kekeringan kulit

dan membran mukosa, alopesia, anoreksia, brittle nails, mialgia, ostealgia, artralgia, nyeri

perut, splenomegali, anemia hipoplastik dengan leukopenia. Kebanyakan gejala hilang bila

obat dihentikan. Terhambatnya pertumbuhan karena penutupan epifisis yang terlalu cepat

dapat terjadi pada anak. Dosis berlebihan vitamin A pada binatang menimbulkan

malformasi pada SSP,mata, palatum dan saluran kemih. Oleh karena itu, dosis melebihi

AKG tidak dianjurkan selama kehamilan normal. Dilaporkan terjadinya deformitas pada

bayi yang ibunya mendapat 25000 IU vitamin A segera sebelum dan beberapa bulan

pertama kehamilan. Dosis berlebihan vitamin A pada binatang menimbulkan malformasi

pada SSP, mata, palatum dan saluran kemih. Oleh karena itu, dosis melebihi AKG tidak

dianjurkan selama kehamilan normal. Dilaporkan terjadinya deformitas pada bayi yang

ibunya mendapat 25000 IU vitamin A segera sebelum dan beberapa bulan pertama

kehamilan (D’Ambrosio et al., 2011).

Dosis

Pemberian vitamin A direkomendasikan berdasarkan RAE (Retinol Activity

Equivalents). Dengan RAE maka dapat membantu menghitung perbedaan aktivitas antara

retinol dan karotenoid (Jensen et al., 2009).

(Jensen et al., 2009)

Menurut Lacy et al., (2010) dosis vitamin A adalah sebagai berikut:

RDA (Recommended Daily Allowance)

0-6 bulan : 400 mcg

7-12 bulan : 500 mcg

1-3 tahun : 300 mcg

4-8 tahun : 400 mcg

9-13 tahun : 600 mcg

Pria > 13 tahun : 900 mcg

Wanita > 13 tahun : 700 mcg

Retinol mcg equivalent : 0,3 mcg retinol = 1 unit Vitamin A

Untuk pasien yang memiliki resiko tinggi untuk defisiensi vitamin A diberikan dalam

dosis tunggal dan diulang setiap 4-6 bulan.

<6 bulan : 50000 unit

6-12 bulan : 100000 unit

> 1 tahun : 200000 unit

Wanita hamil harus menerima10000 unit perhari atau 25000 unit dalam seminggu.

Untuk pasien dengan defisiensi vitamin A diberikan secara intramuskular dosisnya

adalah sebagai berikut:

Infant : 7500-15000 unit/hari selama 10 hari

1-8 tahun : 17000-35000 unit/hari selama 10 hari

> 8 tahun dan dewasa : 100000 unit/hari selama 3 hari dilanjutkan dengan dosis

50000 unit/hari selama 2 minggu.

Kemudian dilanjutkan dengan follow up dengan terapi oral dengan dosis sebagai berikut:

< 8 tahun : 5000-10000 unit/day selama 2 bulan

> 8 tahun dan dewasa : 10000-20000 unit/hari selama 2 bulan.

(Lacy et al., 2010)

2.2.2 Vitamin D

Vitamin D merupakan istilah yang dipakai untuk golongan steroid dan metabolitnya

yang penting untuk absorpsi dan penyediaan kalsium. Kolekalsiferol (Vitamin D3) adalah

bentuk pertama yang dijumpai dalam spesies binatang dan disimpan dalam beberapa

jaringan termasuk hati dan kulit. Minyak hati ikan adalah suatu bahan alami yang kaya

akan vitamin D3. Vitamin D2 berasal dari ergosterol suatu steroid dari tanaman. Vitamin D

disebut juga Sun Shine vitamin sejak sinar UV terlibat dalam perubahan provitamin D

menjadi vitamin D3 dan D2. Tanpa penyinaran yang terkontrol ergosterol dapat berubah

menjadi lumisterol, ke bentuk takisterol, ergokalsiferol, toksisterol, dan suprasterol (Tim

Penyusun, 2008; Dewi et al., 2012).

Fungsi dan kegunaan vitamin D

Bagian tubuh yang paling banyak dipengaruhi oleh vitamin ini adalah tulang. Vitamin

D ini dapat membantu metabolisme kalsium dan mineralisasi tulang. Sel kulit akan segera

memproduksi vitamin D saat terkena cahaya matahari (sinar ultraviolet). Bila kadar

vitamin D rendah maka tubuh akan mengalami pertumbuhan kaki yang tidak normal,

dimana betis kaki akan membentuk huruf O dan X. Di samping itu, gigi akan mudah

mengalami kerusakan dan otot pun akan mengalami kekejangan. Penyakit lainnya adalah

osteomalasia, yaitu hilangnya unsur kalsium dan fosfor secara berlebihan di dalam tulang.

Penyakit ini biasanya ditemukan pada remaja, sedangkan pada manula, penyakit yang

dapat ditimbulkan adalah osteoporosis, yaitu kerapuhan tulang akibatnya berkurangnya

kepadatan tulang. Maka dari itu vitamin D sangat penting dalam membantu penggunaan

kalsium dan fosfat yang sangat penting untuk pertumbuhan, pertumbuhan gigi dan tulang,

pencegahan dan pengobatan ricket (kekurangan kalsium pada anak-anak) dan osteomalasia

pada dewasa (Tim Penyusun, 2008; Dewi et al., 2012).

Kebutuhan vitamin D

Kebutuhan sehari-hari vitamin D pada dewasa sebenarnya dapat dicukupi dari paparan

sinar matahari atau diperoleh dari makanan atau minuman. Asupan sehari-hari yang

dibutuhkan sekitar 200-400 unit (5-10 mikrogram kolekalsiferol atau ergokalsiferol)

vitamin D yang secara umum untuk orang dewasa sehat. Kebutuhan per kg berat badan

akan meningkat pada infant, anak-anak, dewasa muda, ibu hamil dan menyusui. Vitamin D

terdapat pada beberapa makanan seperti minyak hati ikan, khususnya minyak hati ikan

cod. Sumber lain yang mengandung vitamin D dengan jumlah yang lebih sedikit seperti

mentega, telur, dan hati. Susu dan margarin juga cukup mengandung vitamin D

(Sweetman, 2009).

Defisiensi vitamin D

Defisiensi vitamin D terjadi ketika paparan cahaya matahari yang tidak cukup dan

kurangnya asupan. Secara umum proses berkembangnya defisiensi terjadi dalam waktu

yang panjang karena pelepasan vitamin yang lambat dari cadangan tubuh.

Defisiensi dapat terjadi pada:

~ infant yang diberi ASI tanpa pemberian vitamin D atau paparan cahaya matahari

~ manula yang mengalami mobilitas dan gangguan terhadap penyerapan paparan

cahaya matahari

~ seseorang dengan sindrom malabsorpsi lemak

~ penyakit tertentu seperti gagal ginjal yang mengakibatkan gangguan metabolisme

vitamin D menjadi bentuk aktifnya, sehingga mengakibatkan defisiensi (Sweetman,

2009).

~

Kelebihan vitamin D

Kelebihan vitamin D dapat mengakibatkan hiperfosfataemia atau hiperkalsemia pada

dosis 60.000 unit (1,5 mg) per hari. Selain itu dapat mengakibatkan kelemahan otot, mual,

muntah, sakit kepala, dan nyeri tulang. Gejala overdosis vitamin D adalah anoreksia,

poliuria, vertigo, keringat berlebih, rasa haus, diare atau konstipasi (Sweetman, 2009).

Dosis

Untuk pengobatan defisiensi nutrisi ringan vitamin D umumnya diberikan secara oral

atau injeksi intramuskular.

~ dosis 10 mikrogram (400 unit) per hari yang umumnya untuk pencegahan defisiensi

ringan pada dewasa.

~ dosis 20 mikrogram (200 unit) per hari direkomendasikan pada pasien akibat

keterbatasan memperoleh paparan sinar matahari, kekurangan asupan, dan pada

pasien manula.

~ dosis yang lebih tinggi hingga 1 miligram (40.000 unit) per hari untuk defisiensi

akibat malabsorpsi atau gangguan fungsi hati.

~ dosis hingga 5 miligram (200.000 unit) per hari digunakan untuk pengobatan

hipokalsemia akibat hipoparatiroid (Sweetman, 2009).

2.2.3 Vitamin E

Vitamin E atau yang disebut juga sebagai d-α-tocoferol tidak larut dalam air tetapi

larut dalam pelarut lemak. Vitamin E pertama kali diisolasi dari minyak tepung gandum.

Bentuk vitamin E merupakan kombinasi dari delapan molekul yang sangat rumit disebut

‘tocopherol’. Karena tidak larut dalam air, vitamin E di dalam tubuh hanya dapat dicerna

dengan bantuan empedu hati sebagai pengemulsi minyak saat melalui duodenum. Vitamin

E stabil pada pemanasan namun akan rusak bila pemanasan terlalu tinggi. Berikut gambar

struktur vitamin E.

Gambar struktur vitamin E

Sumber

Vitamin E mudah didapat dari bagian bahan makanan yang berminyak atau sayuran.

Vitamin E banyak terdapat pada buah-buahan, susu, mentega, telur, sayur-sayuran,

terutama kecambah. Contoh sayuran yang paling banyak mengandung vitamin E adalah

minyak biji gandum, minyak kedelei, minyak jagung,  selada, biji bunga

matahari dan  berwarna hijau. Vitamin E lebih banyak terdapat pada makanan segar yang

belum diolah. Satu unit setara dengan 1 mg alfatokoferol asetat atau dapat dianggap setara

dengan 1 mg.  Selain itu ASI juga banyak mengandung vitamin E untuk memenuhi

kebutuhan bayi.

Fungsi dan Kegunaan Vitamin E

Fungsi biologisnya belum diketahui dengan jelas tetapi mekanismenya diduga sebagai

antioksidan yang melindungi asam lemak tak jenuh dari oksidasi oleh radikal bebas.

Vitamin E memiliki kemampuan untuk menangkap dan mengikat radikal bebas di dalam

membran sel. Untuk menjalankan tugasnya tersebut, vitamin E dibantu dengan vitamin A,

vitamin C, betakaroten, dan juga antioksidan lainnya. Pembuluh darah pada mata yang

sangat lembut sangat mudah sekali rusak akibat radikal bebas. Asupan vitamin E yang

cukup membantu mencegah kerusakan pembuluh darah. Selain itu, vitamin E juga

membantu melindungi lensa mata dari kerusakan oleh radikal bebas. Orang dengan asupan

vitamin E yang rendah memiliki resiko lebih tinggi terkena penyakit katarak pada masa

lansianya (Tjay dan Rahardja, 2007). Asupan vitamin E sebanyak 400 IU per harinya pada

masa muda akan menurunkan resiko katarak pada masa lansianya sampai sekitar 50%.

Selain itu, para lansia juga sangat membutuhkan banyak asupan vitamin E untuk

meningkatkan sistem kekebalan tubuh dan juga memperlambat resiko terkena penyakit

Alzheimer. Vitamin E dapat pula membantu mempertahankan kelembaban kulit sehingga

dapat terhindar dari kulit kering. Vitamin E juga dapat melindungi trombosit dari oksidasi

dengan demikian mencegah timbulnya trombi dan trombus sehingga memperlancar

sirkulasi darah (Suheny, 2009).

Defisiensi Vitamin E

Defisiensi vitamin E dapat mengakibatkan anemia, trombolis, udema dan kelainan

kulit. (Tjay dan Rahardja, 2007). Menurut buku The Complete Guide to Vitamin and

Mineral, kekurangan vitamin E dalam jangka panjang bisa mendatangkan kerusakan saraf,

khususnya saraf di tulang belakang. Kadang juga terjadi kerusakan di retina mata.

Kekurangan vitamin E harusnya jarang terjadi karena dari makanan sehari-hari hampir

semua orang mendapatkan asupan 7-11 mg vitamin E. Penyebab kekurangan vitamin E

dapat dari kurangnya asupan makanan sehari-hari. Selain itu kekurangan vitamin E juga

bisa disebabkan kondisi medis seperti: 

1. Menderita cystic fibrosis 

Penyebabnya, penderita penyakit ini tidak bisa mencerna lemak dengan baik, sehingga

tidak bisa menyerap cukup vitamin E.

2. Menderita chron's disease 

Penderita penyakit ini tidak bisa menyerap cukup vitamin E lewat usus.

3. Menderita penyakit lever 

Penderita penyakit lever tidak bisa menggunakan vitamin E dengan benar.

4. Sedang menjalani diet rendah lemak dan rendah kalori

Kurangnya lemak di dalam tubuh menyebabkan terganggunya pasokan vitamin E. Ini

karena vitamin E termasuk vitamin yang larut dalam lemak. Kita butuh sedikit lemak

untuk bisa menyerap vitamin E.

5. Minum obat-obatan tertentu 

Minum obat penurun kolesterol bisa menurunkan penyerapan vitamin E dan vitamin

yang larut dalam lemak lainnya (Ursell, 2001).

Menurut buku Vitamins and Mineral's Handbook, ada tanda-tanda tubuh seseorang

memerlukan tambahan vitamin E, yakni tubuh mudah memar, luka lama sembuh, varises,

kurang gairah seks, infertilitas, dan hilangnya kekuatan otot (Tjay dan Rahardja, 2007).

Kelebihan Vitamin E

Kelebihan Vitamin E biasanya terjadi bukan karena asupan makanan secara alami.

Akan tetapi lebih sering disebabkan oleh berlebihan atau overdosis dalam mengkonsumsi

suplemen vitamin E. Tentu saja kelebihan vitamin E ini memiliki efek samping dan dapat

menimbulkan banyak penyakit pada organ-organ dalam tubuh jika tidak segera dihentikan

konsumsinya dan diterapi akibat kelebihan vitamin E ini. Konsumsi vitamin E berlebih

biasanya dengan takaran lebih dari 800 mg per hari.  Kelebihan vitamin E dapat memicu

penyakit pada tulang atau yang sering disebut osteoporosis. Karena semakin populernya

suplemen vitamin E, maka sejumlah ilmuwan asal Inggris meneliti dampak buruk akibat

konsumsi suplemen vitamin E yang tidak terkontrol. Diketahui dengan terjadinya

konsumsi berlebihan akan memicu efek alfa-tokoferol berlebihan sehingga menyebabkan

kekuatan tulang menjadi menurun. Selain itu dapat terjadi pembengkakan seperti

pembengkakan pada bibir, lidah, dan wajah serta dapat menimbulkan sakit kepala dan

mual, perut kembung dan diare (Rahmadi, 2011).

Dosis

Kebutuhan vitamin E per hari menurut U.S RDA yaitu pada pria sebanyak 10

mg/hari; 15 IU, wanita sebanyak 8 mg/hari; 12 IU, pada kehamilan dibutuhkan sebanyak

10-12 mg/hari. Kebutuhan vitamin A pada orang Indonesia belum diketahui akan tetapi

diperkirakan sama dengan rekomendasi U.S RDA (Kamiensky, Keogh 2006; Dewoto

2007). Berdasarkan Keputusan BPOM tahun 2003 Angka Kecukupan Gizi (AKG) vitamin E adalah

sebagai berikut:

Kategori Vitamin E

Umum 10 mg

Bayi 4-12 bulan 5 mg

Bayi 2-6 bulan 5 mg

Sediaan yang Beredar

Jenis sediaan yang beredar :

a. ERPHA VIT E 400 kapsul yang mengandung tokoferol 400 IU

b. Xtra E 100 IU tablet yang mengandung Vitamin E 100 IU

c. Nature E mengandung vitamin E alamiah 100 IU

(MIMS, 2008)

2.2.4 Vitamin K

Vitamin K adalah zat larut lemak yang banyak ditemukan terutama dalam sayuran

hijau. Vitamin ini memberikan aktivitas biologi pada protrombin dan faktor-faktor VII, IX,

dan X dengan cara ikut serta dalam modifikasi pascaribosomal (Katzung, 2011). Adanya

aktivitas pada protrombin menyebabkan vitamin K memiliki kaitan yang erat sebagai agen

antikoagulan (Tjay dan Rahardja, 2008). Terdapat dua bentuk alamiah dari vitamin K,

yaitu vitamin K1 dan vitamin K2. Vitamin K1 (phytonadione) lebih banyak ditemukan

dalam makanan yakni sayur-sayuran hijau, tomat, dan minyak nabati dimana vitamin ini

terikat kuat pada sel kloroplas yang mengandung klorofil. Sedangkan vitamin K2

(menaquinone) ditemukan dalam jaringan manusia dan disintesis oleh bakteri usus. Selain

itu, vitamin K2 dapat ditemukan dalam produk olahan fermentasi seperti pada yogurt (Tjay

dan Rahardja, 2008; Katzung, 2011). Sebenarnya, terdapat satu bentuk lagi vitamin K

yakni vitamin K3 (menadion). Namun, vitamin ini tidak dihasilkan secara alamiah

melainkan berasal dari hasil sintetis. Vitamin K3 bersifat larut dalam air dan biasanya

digunakan untuk penderita yang mengalami gangguan penyerapan vitamin K dari makanan

(Tjay dan Rahardja, 2008).

Gambar struktur vitamin K

Fungsi utama vitamin K di dalam tubuh adalah sebagai koenzim yang mensintesa

faktor pembekuan darah yakni faktor II (protrombin), faktor VII (prokonvertin), faktor IX

(christmast factor), dan faktor X (S.P Factor). Selain berperan dalam pembekuan darah,

vitamin ini juga penting untuk pembentukan tulang, terutama vitamin K1. Vitamin K1

diperlukan agar penyerapan kalsium bagi tulang menjadi maksimal (Tjay dan Rahardja,

2008). Asupan vitamin K setiap orang berbeda-beda tergantung dari kondisi klinisnya.

Berdasarkan data dari Food Science and Human Nutrition Department, kebutuhan vitamin

K setiap harinya dapat dilihat dari tabel berikut:

Tabel kebutuhan harian vitamin K

Kelompok Usia Kebutuhan (µg/hari)Pria usia > 19 tahun 120Wanita usia > 19 tahun 90Kehamilan 90Breastfeeding 90

µg = micrograms of vitamin K

Gejala defisiensi vitamin K dapat disebabkan oleh kurangnya asupan makanan yang

mengandung vitamin K, malabsorpsi lemak di usus, penggunaan obat-obatan seperi

fenobarbital, fenitoin, fenilbutazon, dan salisilat (Tambayong, 2000; Tjay dan Rahardja,

2008). Bayi yang baru lahir sangat rentan mengalami defisiensi vitamin K karena masih

rendahnya cadangan lemak di dalam tubuh, mendapatkan ASI yang kurang mengandung

vitamin K, rendahnya jumlah bakteri di saluran usus, belum berkembangnya organ hati,

dan transportasi plasenta yang buruk. Perdarahan intrakranial serta perdarahan

gastrointestinal dan kulit dapat menyebabkan defisiensi vitamin K pada bayi yang baru

berumur 1-7 hari. Oleh karena itu, pemberian vitamin K sebanyak 1 mg secara

intramuskular dapat diberikan sebagai langkah profilaksis (Fauci et al., 2006).

Defisiensi vitamin K pada orang dewasa dapat terjadi pada pasien yang menderita

penyakit celiac, penyakit Crohn, pada seseorang dengan penyumbatan saluran empedu

atau pada pasien yang telah melakukan reseksi usus kecil sehingga penyerapan vitamin K

akan menjadi terhambat. Pengobatan antibiotik spektrum luas juga dapat memicu

defisiensi vitamin K karena penggunaan antibiotik dapat mengurangi jumlah bakteri usus

yang mensintesis menakuinon dan menghambat metabolisme vitamin K. Diagnosis untuk

menilai seseorang menderita defisiensi vitamin K dapat dilihat dari tingginya waktu

protrombin atau berkurangnya faktor pembekuan darah. Defisiensi vitamin K dapat diatasi

dengan pemberian dosis parenteral sebanyak 10 mg. Untuk pasien yang menderita

malabsorpsi kronis, vitamin K dapat diberikan sebanyak 1-2 mg/hari secara oral atau 1-2

mg/minggu secara parenteral. Pasien dengan penyakit hati akan mungkin memiliki

peningkatan waktu protrombin karena keusakan sel hati serta kekurangan vitamin K.

Apabila seseorang telah diberikan terapi vitamin K namun waktu protrombinnya tidak juga

mengalami perbaikan, maka dapat disimpulkan bahwa orang tersebut tidak mengalami

defisiensi vitamin K melainkan penyakit hati (Fauci et al., 2006).

2.3 Vitamin yang Larut Air

2.3.1 Vitamin B1

Vitamin B1 memiliki sinonim yaitu thiamin, thiamine, faktor antiberiberi, aneurine,

faktor antineuritik dan vitamin saraf (Spitzer and Schweigert, 2007).

Vitamin B1, juga disebut thiamin, merupakan salah satu dari delapan vitamin B yang

larut air. Dinamai B1 karena vitamin ini merupakan vitamin B pertama yang ditemukan.

Manusia bergantung pada asupan makanan mereka untuk memenuhi kebutuhan vitamin B1

mereka (Spitzer and Schweigert, 2007).

Fungsi

Fungsi utama vitamin B1 (thiamin pirofosfat) adalah sebagai molekul pembantu yang

disebut koenzim yang mengaktifkan enzim dan mengaktifkan protein yang mengontrol

proses biokimia yang terjadi dalam tubuh. Kecukupan asupan vitamin B1 (thiamin) adalah

penting karena memainkan peran penting dalam:

a. produksi energi dari makanan

b. sintesis asam nukleat (misalnya, DNA)

c. konduksi impuls saraf.

The European Food Safety Authority (EFSA), telah mengkonfirmasi bahwa manfaat

yang asupan vitamin B1 bagi kesehatan adalah berkontribusi dalam:

a. fungsi normal jantung

b. metabolisme penghasilan energi

c. fungsi normal dari sistem saraf

(Spitzer and Schweigert, 2007)

Beberapa studi telah menyarankan bahwa vitamin B1 bersama dengan mikronutrien

lain seperti vitamin A dan vitamin B kompleks (B2, B9, B12) dapat melindungi lensa mata

'dari kehilangan visi akibat katarak. Beberapa fungsi lainnya, antara lain:

Gangguan otak

Gangguan otak tertentu, umumnya pada pecandu alkohol, bisa diobati dengan

suplemen vitamin B1 (tiamin).

Penyakit Alzheimer

Telah diusulkan bahwa suplemen thiamin dapat membantu mengurangi keparahan

penyakit Alzheimer. Namun, penelitian lebih lanjut perlu dilakukan sebelum thiamin dapat

diusulkan sebagai pengobatan yang efektif.

(Spitzer and Schweigert, 2007)

Sumber Vitamin B1

Vitamin B1 (thiamin) hampir dapat ditemukan dalam semua makanan, tapi

kebanyakan dalam jumlah kecil. Sumber terbaik dari thiamin adalah ragi yang

dikeringkan. Sumber lainnya adalah termasuk daging (terutama daging babi dan produk

ham), beberapa jenis ikan (belut, tuna), sereal gandum dan roti, kacang, kacang-kacangan,

kacang-kacangan kering dan kentang (Spitzer and Schweigert, 2007).

Defisiensi Vitamin B1

Kekurangan vitamin B1 (thiamin) jarang terjadi, tetapi bisa terjadi pada orang yang

mendapatkan sebagian besar kalorinya dari gula atau alkohol. Orang dengan defisiensi

thiamin mengalami kesulitan mencerna karbohidrat, menyebabkan hilangnya kewaspadaan

mental, kesulitan bernapas, dan kerusakan jantung. Penyakit klasik karena kurangnya

Vitamin B1 adalah beriberi dan sindrom Wernicke-Korsakoff.

Beriberi, manifestasinya terjadi terutama pada gangguan sistem saraf dan

kardiovaskular. Sayangnya, penyakit ini masih umum di beberapa bagian Asia Tenggara,

yang mana beras halus/putih merupakan makanan pokoknya dan kebutuhan akan thiamin

belum sepenuhnya terpenuhi dengan konsumsi nasi tersebut. Banyak negara lain

mengkonsumsi beras bersamaan sereal dari biji-bijian untuk menggantikan nutrisi yang

hilang. Penyakit beriberi dapat dibedakan menjadi:

a. Beriberi kering, suatu polineuropati dengan pengecilan otot yang parah

b. Beriberi basah, dengan gejala neurologis tambahan yang ditandai dengan manifestasi

kardiovaskular, edema dan akhirnya gagal jantung.

c. infantil beriberi, yang terjadi pada bayi menyusui pada ibu yang kekurangan thiamin.

Gejala berupa muntah, kejang-kejang, distensi perut dan anoreksia muncul tiba-tiba

dan dapat diikuti oleh kematian akibat gagal jantung.

(Spitzer and Schweigert, 2007)

Sindrom "Wernicke-Korsakoff" (beriberi otak) adalah penyakit kekurangan thiamin

yang paling sering terjadi di dunia Barat. Hal ini sering dikaitkan dengan alkoholisme

kronis dalam hubungannya dengan konsumsi makanan yang terbatas. Gejalanya termasuk

kebingungan, kelumpuhan saraf motorik mata, osilasi abnormal dari mata, psikosis, bicara,

dan gangguan penyimpananan memori dan fungsi kognitif. Sindrom ini juga terlihat

sesekali pada orang yang berpuasa, memiliki muntah kronis atau malnutrisi berat misalnya

dikarenakan AIDS atau kanker lambung. Jika pengobatan gejala amnesik tertunda, memori

dapat terganggu secara permanen. Bukti terbaru menunjukkan bahwa stres oksidatif

memainkan peran penting dalam patologi neurologis dari defisiensi thiamin (Spitzer and

Schweigert, 2007).

Dosis

1. Keadaan normal

Karena vitamin B1 memfasilitasi pemanfaatan energi, persyaratan yang terkait dengan

asupan energi sangat tergantung pada tingkat aktivitas seseorang. Untuk orang dewasa,

asupan rata-rata 0,9-1,1 mg thiamin per hari untuk wanita dan 1,1-1,2 mg untuk pria telah

direkomendasikan, didasarkan pada asupan kalori rata-rata. Berikut ini beberapa

pembagian dosis secara khusus :

- Dewasa (lebih dari 19 tahun): 700 mcg - 1,1 mg per hari

- Kehamilan: 1 mg sehari

- Menyusui: 1,2 mg sehari

- Anak di atas 7 tahun: 800 mcg - 1,2 mg per hari

- Anak di bawah 7 tahun: 150-700 mcg setiap hari

Tabel Rekomendasi yang diperbolehkan di USA

Kategori Umur DosisInfant < 6 bulan 0,2 mg (adequate intake, AI)Infant 7 – 12 bulan 0,3 mg (AI)Anak-anak 1 – 3 tahun 0,5 mgAnak-anak 4 – 8 tahun 0,6 mgAnak-anak 9 – 13 tahun 0,9 mgLaki-laki > 14 tahun 1,2 mgPerempuan 14 – 18 tahun 1,0 mgPerempuan > 19 tahun 1,1 mgKehamilan 1,4 mgMenyusui 1,4 mg

(Spitzer and Schweigert, 2007)

2. Keadaan defisiensi

- Katarak: asupan makanan hingga 10 mg per hari

- Defisiensi ringan pada orang dewasa: 30 mg setiap hari selama sampai satu bulan

- Defisiensi pada orang dewasa: 300 mg sehari

2.3.2 Vitamin B2

Vitamin B2 atau vitamin G, di Amerika dikenal dengan nama riboflavin dan di Eropa

dikenal dengan nama laktoflavin, adalah senyawa heterosiklik yang mempunyai inti atau

lingkar isoaloksazin yang mengikat ribitol. Nama kimia dari vitamin B2 yang lengkap

adalah 6,7-dimetil-9-(D-1-ribitil)-isoaloksazin (Sumardjo, 2009). Vitamin ini dinamakan

riboflavin karena terjadi persenyawaan ribosa (suatu gula lima karbon) dengan suatu zat

berwarna kuning oranye yang memberikan fluoresensi kuning kehijauan pada larutan.

Riboflavin berupa kristal berwarna kuning oranye dengan sifat larut dalam air dan tahan

panas di dalam larutan netral atau asam, namun dapat rusak bila dipanaskan dalam larutan

basa atau bila terkena sinar tampak dan sinar matahari (Suhardjo dan Kusharto, 2010).

Gambar Struktur vitamin B2

Riboflavin yang berperan penting dalam reaksi-reaksi oksidasi-reduksi di dalam

jaringan umumnya terdapat dalam enzim yang bertugas mengambil hidrogen dan

menyampaikannya kepada zat lain dalam rantai oksidasi-reduksi yang panjang, dimana

akhirnya hidrogen diikat oleh oksigen menjadi air. Dengan demikian, enzim yang

mengandung riboflavin membantu dalam metabolisme karbohidrat, asam amino dan

lemak. Karena riboflavin sangat diperlukan pada proses perubahan kimia dalam jaringan,

maka kekurangan riboflavin dapat mengganggu fungsi jaringan yang bersangkutan

(Suhardjo dan Kusharto, 2010).

Sumber Vitamin B2

Vitamin B2 atau riboflavin ditemukan pada hampir semua makanan. Sumber yang

kaya vitamin B2 adalah produk susu, hati dan sereal (Rubenstein et al., 2010). Riboflavin

dalam bentuk bebas maupun kombinasi terdapat pada jaringan tumbuh-tumbuhan dan

hewan. Pada bagian tanaman yang muda lebih banyak terdapat riboflavin dibandingkan

dengan bagian yang tua (Suhardjo dan Kusharto, 2010). Bahan-bahan makanan yang kaya

akan riboflavin adalah pangan hewani seperti daging dan hati ayam atau sapi serta pangan

nabati seperti keju, sayur-sayuran hijau, kacang-kacangan dan susu (Suhardjo dan

Kusharto, 2010; Vitahealth, 2010).

Kegunaan Vitamin B2

Vitamin B2 atau riboflavin merupakan komponen penting dari enzim yang berperan

dalam produksi energi pada metabolisme karbohidrat, lemak dan protein. Riboflavin

berperan dalam berbagai enzim dan koenzim yang esensial dalam proses oksidasi jaringan,

terutama di bagian luar tubuh seperti kulit, mata dan urat saraf perifer (Suhardjo dan

Kusharto, 2010; Vitahealth, 2010).

Fungsi riboflavin adalah membantu pertumbuhan, reproduksi dan metabolisme,

membantu produksi sel darah merah, menjaga kesehatan kulit, kuku, rambut, bibir dan

tenggorokan serta mencegah kerusakan pada mata seperti katarak (Vitahealth, 2010).

Selain itu, riboflavin dapat melindungi tubuh dari kanker dan keganasan radikal bebas.

Peran utama riboflavin adalah mencegah kerusakan yang dapat terjadi selama berolahraga

dan saat kebutuhan tubuh terhadap oksigen meningkat (Bangun, 2009). Riboflavin dalam

dosis tinggi telah diidentifikasi sebagai vitamin yang dapat membantu pengobatan migrain.

Karena tingkat keberhasilan yang tinggi, toleransi yang baik serta biaya yang rendah, maka

riboflavin dapat dijadikan sebagai pilihan utama untuk terapi profilaksis pada penderita

migrain (Schoenen et al., 1998).

Kebutuhan Harian Vitamin B2

Dosis minimum vitamin B2 atau riboflavin yang dibutuhkan per hari berdasarkan

Recommended Dietary Allowance (RDA) untuk mencegah defisiensi riboflavin adalah 1,7

mg/hari untuk pria dewasa dan 1,3 mg/hari untuk wanita dewasa (Meyer, 2012).

Sementara itu, untuk terapi defisiensi riboflavin, dosis yang disarankan adalah 30 mg/hari

dalam dosis terbagi untuk dewasa dan 3-10 mg/hari untuk anak-anak (Sweetman, 2009).

Kebutuhan riboflavin akan meningkat pada wanita hamil sehingga memerlukan tambahan

riboflavin sebanyak 0,3 mg/hari, pada wanita menyusui memerlukan asupan riboflavin

tambahan sebanyak 0,5 mg/hari dan pasien yang menjalani terapi hemodialisis atau dialisis

peritoneal (Isselbacher et al., 1999; Meyer, 2012).

Defisiensi Vitamin B2

Defisiensi vitamin B2 (riboflavin) atau ariboflavinosis dapat menghambat

pertumbuhan pada anak, keilosis (radang pada sudut bibir yang ditandai dengan kulit

mengelupas), perles (inflamasi pada sudut bibir), glositis (peradangan pada lidah yang

ditandai dengan pembengkakan), iritasi dan pecah-pecah pada sudut hidung, rasa terbakar,

gatal, berair, fotofobia (sensitivitas mata yang abnormal pada cahaya), vaskularisasi kornea

dan katarak pada mata serta dermatitis seboreik, perlambatan pada penyembuhan luka dan

perbaikan jaringan pada kulit (Wong et al., 2009; Suhardjo dan Kusharto, 2010).

Kekurangan riboflavin juga dapat menyebabkan berkurangnya sel-sel T yang merupakan

komponen penting dari sistem kekebalan tubuh sehingga dapat memicu berkembangnya

penyakit-penyakit lain (Bangun, 2009). Defisiensi riboflavin biasanya terjadi bersamaan

dengan defisiensi vitamin B lain (Rubenstein et al., 2010).

Kelebihan Vitamin B2

Peristiwa kelebihan vitamin B2 atau ribloflavin jarang ditemui karena riboflavin

merupakan salah satu vitamin yang larut air sehingga kelebihan kadar riboflavin dalam

tubuh akan diekskresi melalui urin yang berwarna kuning-hijau menyala, dimana peristiwa

ini merupakan hal yang normal dan tidak berbahaya (Vitahealth, 2010; Meyer, 2012).

Akan tetapi, konsumsi riboflavin yang sangat berlebihan dapat menyebabkan terjadinya

parestesia (sensasi kulit yang abnormal seperti terbakar atau tertusuk-tusuk, yang timbul

tanpa stimulus dari luar) dan pruritus (rasa gatal) (Wong et al., 2009).

Farmakokinetika Vitamin B2

Vitamin B2 atau riboflavin mudah diserap dari saluran pencernaan dan didistribusikan

secara luas ke jaringan-jaringan tubuh, namun hanya sedikit yang tersimpan di dalam

tubuh. Setelah dikonsumsi, riboflavin akan terkonversi menjadi koenzim flavin

mononukleorida (FMN atau riboflavin 5-fosfat) di dalam tubuh, kemudian menjadi

koenzim flavin adenin dinukleotida (FAD) dimana sekitar 60% FMN dan FAD akan

terikat pada protein plasma. Riboflavin diekskresi melalui urin dan sebagian besar

terekskresi sebagai metabolit. Riboflavin dapat melewati plasenta dan terdistribusi dalam

ASI (Sweetman, 2009).

Sediaan Vitamin B2

Bentuk tablet tersedia dalam dosis 5 dan 10 mg (obat bebas).

Bentuk injeksi tersedia dalam dosis 5 mg/mL (obat keras).

(BPOM R.I., 2008)

2.3.3 Vitamin B3

Vitamin B3 merupakan vitamin yang larut air dan dikenal dengan nama niasin atau

asam nikotinat. Nama niasin khusus mengacu pada asam nikotinat, tetapi juga digunakan

secara kolektif untuk menjelaskan dua struktur kimia dari vitamin B3, yaitu asam nikotinat

dan nikotinamida (niasinamida). Berikut ini adalah 2 struktur kimia vitamin B3.

Gambar struktur vitamin B3

Asam nikotinat atau niasin juga dikenal sebagai faktor PP (pellagra preventive) karena

dapat mencegah penyakit pelagra pada manusia atau penyakit lidah hitam pada hewan

(Dewoto dan Wardhini, 2007; Tim Penyusun, 2008). Nama lain/sinonim dari vitamin B3

adalah 3-Piridin karboksamida, asam 3-piridinkarboksilat, Anti-Blacktongue Factor,

Antipellagra Factor, vitamin B kompleks, Facteur Anti-Pellagre, Niasin-Niasinamida,

Niasinamida, Niasin, Nikamid, Nikosedin, Nikotinamida, Amida Asam Nikotinat,

Nikotilamidum, Pellagra (The Natural Standard Research Collaboration, 2006).

Sumber Vitamin B3

Ragi, daging, ikan, susu, telur, sayuran hijau, biji-bijian, sereal, almond, tuna dan

jamur. Diet triptofan juga dikonversi ke niacin dalam tubuh. Vitamin B3 juga sering

ditemukan dalam vitamin B kompleks yang mengandung vitamin B lainnya, seperti tiamin,

riboflavin, asam pantotenat, piridoksin, sianokobalamin, dan asam folat (The Natural

Standard Research Collaboration, 2006).

Kegunaan Berdasarkan Evidence Based

a. Mengatasi kolesterol tinggi

Niasin diterima dengan baik untuk mengatasi kolesterol yang tinggi. Beberapa studi

menunjukkan bahwa niasin (bukan niasinamida) memiliki manfaat yang signifikan pada

peningkatan kadar high-density lipoprotein (HDL atau "kolesterol baik"), dengan hasil

yang lebih baik dibandingkan preparat statin, seperti atorvastatin. Niasin juga memberikan

efek pada penurunan kadar low-density lipoprotein (LDL atau "kolesterol jahat"),

meskipun efek yang ditimbulkan kurang signifikan dibandingkan efeknya terhadap HDL.

Penambahan niasin ke obat lain seperti statin dapat meningkatkan efek pada LDL.

Penggunaan niasin untuk pengobatan dislipidemia yang berhubungan dengan diabetes tipe

2 masih bersifat kontroversi karena mungkin dapat memburuk kontrol glikemik, sehingga

pasien harus berkonsultasi terlebih dahulu dengan dokter dan apoteker sebelum memulai

terapi dengan niasin.

b. Pelagra

Niasin (vitamin B3) dan niasinamida disetujui oleh Food and Drug Administration

(FDA) untuk pengobatan defisiensi niasin. Pelagra adalah penyakit gizi yang berkembang

karena defisiensi niasin yang ditandai dengan adanya kelainan pada kulit, saluran cerna,

dan susunan saraf pusat. Gejala kelainan kulit berupa erupsi eritematosa, bengkak dan

merah pada kulit. Gejala kelainan pada saluran cerna meliputi lidah membengkak dan

merah, stomatitis, mual, muntah, dan enteritis. Gejala kelainan pada SSP meliputi sakit

kepala, insomnia, bingung, serta kelainan psikis seperti halusinasi, delusi, dan demensia

pada keadaan lanjut.

c. Aterosklerosis

Niasin menurunkan kadar kolesterol dan lipoprotein, sehingga dapat mengurangi

risiko aterosklerosis (pengerasan pada arteri). Namun, niasin juga dapat meningkatkan

kadar homosistein, yang mungkin memiliki efek sebaliknya yaitu meningkatkan risiko

aterosklerosis. Secara keseluruhan, bukti-bukti ilmiah mendukung penggunaan niasin

dalam kombinasi dengan obat lain (tidak secara tunggal) untuk mengurangi kolesterol dan

memperlambat proses aterosklerosis.

d. Pencegahan serangan jantung sekunder

Niasin menurunkan kadar kolesterol, lipoprotein, dan fibrinogen, sehingga dapat

mengurangi risiko penyakit jantung. Namun, niasin juga meningkatkan kadar homosistein,

yang dapat meningkatkan risiko penyakit jantung. Sejumlah penelitian telah membuktikan

efek niasin, baik secara tunggal maupun kombinasi dengan obat lain, untuk pencegahan

penyakit hati dan serangan jantung yang fatal. Secara keseluruhan, diketahui manfaat

niasin terutama bila dikombinasikan dengan obat lainnya sebagai obat penurun kolesterol.

e. Penyakit Alzheimer atau penurunan kognitif

Demensia dapat disebabkan oleh defisiensi niasin yang parah, tetapi tidak ada

pernyataan yang jelas mengenai hubungan variasi asupan niasin dalam makanan dengan

penurunan neurodegeneratif atau penyakit Alzheimer.

f. Osteoartritis

Studi awal pada manusia menunjukkan bahwa niasinamida mungkin berguna dalam

pengobatan osteoartritis. Niasinamida telah ditemukan dapat meningkatkan fleksibilitas

sendi dan mengurangi peradangan.

(The Natural Standard Research Collaboration, 2006)

Kebutuhan Harian

Dewasa (di atas 19 tahun): 11-19 mg per hari

Wanita hamil: 15 mg per hari

Ibu menyusui: 18 mg per hari

Anak di atas 7 tahun: 15-21 mg per hari

Anak di bawah 7 tahun: 4-12 mg per hari

Kebutuhan minimal niasin atau asam nikotinat untuk mencegah pelagra adalah rata-

rata 4,4 mg/1000 kkal dan pada orang dewasa asupan minimal asam nikotinat (vitamin B3)

adalah 13 mg per hari (Dewoto dan Wardhini, 2007).

Defisiensi Vitamin B3

Defisiensi niasin antara lain disebabkan oleh kekurangan asupan, malabsorbsi

intestinal, atau kerusakan metabolisme genetik. Beberapa kerusakan genetik yang

berhubungan dengan niasin antara lain penyakit hartnup (penyakit keturunan yang

menyebabkan ruam kulit), malabsorbsi triptofan, dan kegagalan sintesis niasin secara in

vivo. Niasin menyebabkan vasodilatasi perifer secara langsung, sehingga menyebabkan

kemerahan pada lapisan subkutan kulit dan rasa panas terutama di daerah leher, muka, dan

telinga.

Defisiensi niasin sering dihubungkan dengan pelagra. Manifestasi klinik dari

defisiensi niasin pada tahap awal tidak jelas dan tidak spesifik, seperti kehilangan nafsu

makan, mual, sakit kepala, kelelahan, luka pada mulut, kulit kering, kesulitan tidur,

penurunan ingatan (demensia), dan mudah tersinggung. Defisiensi niasin yang parah

(pelagra parah) ditandai dengan 3D (Dementia, Dermatitis dan Diare). Dermatitis terkait

dengan defisiensi niasin pada kulit dan terutama terjadi di daerah kulit yang terkena sinar

matahari; demensia terkait dengan defisiensi niasin pada sistem saraf yang ditandai dengan

kebingungan, disorientasi, kejang, dan halusinasi; serta diare terkait dengan defisiensi

niasin pada sistem pencernaan (Dewoto dan Wardhini, 2007; Tim Penyusun, 2008).

Kelebihan Vitamin B3/Efek Samping

Kelebihan asam nikotinat dan nikotinamida dapat menyebabkan efek samping yang

berbeda. Nikotinamida dengan dosis yang: lebih besar dari 3 gram per hari selama lebih

dari tiga bulan dapat menyebabkan mual, sakit kepala, mulas, rambut dan kulit kering,

serta penglihatan kabur. Asam nikotinat dengan dosis yang lebih besar dari 100 mg per

hari dapat menyebabkan pembilasan akut (flushing) atau sensasi terbakar. Gejala lain yang

muncul dapat berupa sakit kepala, pusing, mual, muntah, kulit gatal, peningkatan denyut

nadi dan laju respirasi, peningkatan kadar asam urat, gangguan toleransi glukosa hingga

hiperglikemia, penurunan fungsi hati, dan hipotensi. Reaksi anafilaksis diduga terjadi pada

pemberian secara intravena (Anonim, 2012; Dewoto dan Wardhini, 2007).

Dosis Vitamin B3

Penyakit Alzheimer: 17-45 mg per hari

Kolesterol tinggi: 1200-1500 mg per hari untuk meningkatkan HDL dan 2000-3000

mg per hari untuk menurunkan LDL.

Defisiensi vitamin B3 ringan: 50-100 mg per hari

Pelagra pada orang dewasa: 300-500 mg per hari dalam dosis terbagi (50 mg sampai

10 kali sehari)

Pelagra pada anak-anak: 100-300 mg per hari dalam dosis terbagi (30 mg sampai 10

kali sehari)

Osteoartritis: 3 gram per hari

(Anonim, 2012; Dewoto dan Wardhini, 2007)

Terapi dengan asam nikotinat harus dimulai secara bertahap dalam peningkatan dosis

untuk mengurangi insiden dan beratnya efek samping yang mungkin terjadi selama awal

terapi. Dosis yang dianjurkan adalah:

375 mg sehari sekali sebelum tidur untuk satu minggu pertama. Jika dapat

ditoleransi dengan baik, maka dosis dapat ditingkatkan menjadi 500 mg sehari

sekali sebelum tidur untuk minggu kedua. Jika dapat ditoleransi dengan baik, maka

dosis dapat ditingkatkan menjadi 750 mg sehari sekali sebelum tidur untuk minggu

ketiga. Jika dapat ditoleransi dengan baik, maka dosis dapat ditingkatkan menjadi

500 mg dua tablet sebelum tidur untuk minggu ke 4-7. Jika dapat ditoleransi

dengan baik, maka dosis dapat ditingkatkan menjadi 1000 mg dua tablet sebelum

tidur.

Setelah minggu ke-7, titrasi dosis tergantung pada respon pasien dan toleransinya.

Jika respon dengan dosis 1000 mg sehari sekali mencukupi, maka pemberian dapat

ditingkatkan hingga dosis 1500 mg sehari sekali, kemudian dosis dapat

ditingkatkan menjadi 2000 mg sehari sekali.

Dosis penunjang:

Dosis yang dianjurkan untuk penunjang adalah 1000-2000 mg sehari sekali sebelum

tidur. Dosis per hari tidak boleh ditingkatkan lebih dari 500 mg dalam waktu 4 minggu

(BPOM RI, 2008).

Farmakokinetika

Niasin dan niasinamida mudah diabsorpsi melalui semua bagian saluran cerna dan

dapat didistribusikan ke seluruh tubuh. Kadar serum puncak (15-30 g/L (120-240 nmol/L)

tercapai dalam 30-60 menit setelah pemberian 1 g formulasi standar. Niasin sebagian besar

dimetabolisme dalam hati menjadi niasinamida (nikotinamida) dan turunannya (misalnya,

asam nikotinurat) yang dapat berkontribusi terhadap penurunan kadar lemak terutama

setelah penggunaan jangka panjang. Sebagian besar obat ini diekskresikan melalui urin

dalam bentuk tidak berubah atau dalam bentuk metabolitnya, yaitu asam nikotinurat

danbentuk glisin peptida dari asam nikotinat. Obat ini memiliki waktu paruh 20-48 menit

(Anderson, 2002; Dewoto dan Wardhini, 2007).

Farmakodinamik

Di dalam tubuh, asam nikotinat dan bentuk amida dari asam nikotinat (niasinamida)

diubah menjadi bentuk aktif NAD (Nikotinamida Adenin Dinukleotida) dan NADF

(Nikotinamida Adenin Dinukleotida Fosfat). Keduanya berperan sebagai koenzim untuk

metabolisme berbagai protein yang penting dalam respirasi jaringan.

Asam nikotinat merupakan suatu vasodilator yang bekerja terutama pada blushing

area, yaitu di daerah muka dan leher. Kemerahan di tempat tersebut dapat berlangsung

sampai 2 jam disertai rasa panas dan gatal. Pada dosis besar, asam nikotinat dapat

menurunkan kadar kolesterol dan asam lemak bebas dalam darah. Kedua efek ini tidak

diperlihatkan oleh niasinamida (Dewoto dan Wardhini, 2007).

Kontraindikasi

Perdarahan arteri, hipotensi berat, disfungsi hati; peningkatan transaminase, dan

penyakit ulkus peptikum aktif (Anderson, 2002).

Peringatan

Kehamilan; laktasi. Gunakan dengan hati-hati pada pasien dengan riwayat penyakit

kandung empedu atau sejarah penyakit hati, angina tidak stabil, gout, artritis gout,

glaukoma, atau diabetes. Jika bentuk SR digantikan dengan bentuk pelepasan cepat, maka

dosis harus dikurangi menjadi sekitar satu-setengah kali dari dosis awal. Jika pengunaan

dengan HMG-CoA reduktase inhibitor tidak dapat dihindari, maka gunakan dengan

perhatian yang ketat. Beberapa formulasi obat ini mengandung pewarna tartrazin yang

dapat menyebabkan reaksi alergi pada pasien yang sensitif (Anderson, 2002).

Interaksi Obat

Penggunaan bersamaan dengan HMG-CoA reduktase inhibitor dapat meningkatkan

risiko rabdomiolisis. Penggunaan bersama dengan antihipertensi penghambat adrenergik

dapat menyebabkan hipotensi. Penggunaan obat hipoglikemik oral atau insulin mungkin

memerlukan penyesuaian dosis jika digunakan bersamaan dengan niasin. Niasin dan obat

hepatotoksik dapat memiliki efek aditif (Anderson, 2002).

Sediaan

Bentuk tablet tersedia dalam dosis 50, 100, 250, dan 500 mg

Bentuk eliksir tersedia dalam dosis 10 mg/mL

Bentuk kapsul sustained release tersedia dalam dosis 125, 250, 400, dan 500 mg

Bentuk tablet sustained release tersedia dalam dosis 250, 500, 750, dan 1000 mg.

(Anderson, 2002)

Contoh sediaan:

Asam Nikotinat (Generik) Tablet 50 mg (Obat Bebas Terbatas)

Dialac Tablet 1 g (Obat Bebas)

Nikotinamida (Generik) Tablet 50 mg, 100 mg

Armovit mengandung 100 mg niasinamida (Obat Bebas)

(BPOM RI, 2008)

2.3.4 Vitamin B5

Vitamin B5 merupakan vitamin yang larut air dan dikenal dengan nama asam

pantotenat. Biosintesis membuktikan bahwa asam pantotenat merupakan turunan dari β-

alanin dan asam α-ketoisovalerat (Tim Penyusun, 2008). Asam pantotenat mudah diserap

pada saluran cerna setelah pemberian oral, terdistribusi secara luas dalam jaringan tubuh

dan ditemukan dalam ASI. Sekitar 70% asam pantotenat diekskresikan tidak berubah

dalam urin dan sekitar 30% dalam feses (Sweetman, 2009).

Gambar struktur vitamin B5

Asam pantotenat berperan sebagai prekursor dari koenzim A, yaitu kofaktor yang

esensisal dalam metabolisme karbohidrat, lemak dan protein. Koenzim A berhubungan

dengan sintesis asam lemak dan sterol, oksidasi asam lemak, asam piruvat, dan asam α-

ketoglutarat (Tim Penyusun, 2008). Makanan yang banyak mengandung vitamin B5

diantaranya selai kacang, organ hewan (hati, ginjal, jantung), kacang, almond, gandum,

keju, dan lobster. Telur, susu, sayur-sayuran serta buah-buahan juga diketahui

mengandung vitamin B5. Sebagian besar vitamin B5 dalam makanan biasanya ditemukan

telah tergabung dengan koenzim A dan fosfopantetein. Defisiensi vitamin B5 jarang terjadi

karena vitamin B5 ini ditemukan secara luas dalam berbagai macam makanan. Jika

defisiensi sampai terjadi, biasanya disertai dengan defisit nutrisi lainnya. Toksisitas tidak

menjadi masalah dalam penggunaan vitamin B5, karena tidak ada efek samping yang

teramati (Sweetman, 2009; Kelly, 2011).

Dosis rekomendasi harian vitamin B5 disajikan dalam tabel sebagai berikut:

Kelompok UsiaRekomendasi intake

nutrisi (mg/hari)Infant dan anak-anak

0-6 bulan 1,77-12 bulan 1,81-3 tahun 2,04-6 tahun 3,07-9 tahun 4,0Remaja

10-18 tahun 5,0Dewasa

Laki-laki, 19+ tahun 5,0Perempuan, 19+ tahun 5,0

Wanita hamil 6,0Wanita menyusui 7,0

2.3.5 Vitamin B6

Vitamin B6 adalah vitamin yang larut dalam air dan merupakan bagian dari kelompok

vitamin B komplek. Vitamin B6 adalah istilah kolektif untuk piridoksal (bentuk aldehid),

piridoksin (bentuk alkohol piridoksol), piridoksamin (bentuk amin) dan bentuk

terfosforilasinya. Bentuk aktif dari piridoksal dan piridoksamin merupakan koenzim aktif

dan interkonversi diantara keduanya terlibat dalam berbagai fungsi biologis dari vitamin.

Vitamin B6 mempunyai keterlibatan yang luas pada metabolisme asam amino dan senyawa

yang mengandung nitrogen, lipid, serta produksi beberapa hormon tertentu. Piridoksin,

sebagai piridoksal fosfat, memegang peranan penting dalam perubahan triptopan menjadi

asam nikotinat (Hathcock, 2004; Bolkent et al., 2008).

Gambar interkonversi metabolik dari piridoksin, piridoksal, piridoksamin dan

masing-masing fosfat esternya (Spinneker et al., 2007)

Absorpsi dan Transpor

Dalam jaringan bentuk utama dari vitamin B6 adalah piridoksal 5-fosfat (PLP),

berikutnya adalah piridoksamin 5-fosfat (PMP). Penyerapan dalam usus melibatkan

fosfatase-dimediasi hidrolisis diikuti oleh transportasi dari bentuk nonfosforilasi ke dalam

sel mukosa. Transportasi dengan mekanisme difusi pasif nonsaturable. Piridoksin (PN)

glukosida diserap kurang efektif daripada PLP serta PMP dan dikonjugasi oleh glukosidase

mukosa. Beberapa PN glukosida diserap utuh dan dapat dihidrolisis dalam berbagai

jaringan (A Report of the Standing Committee on the Scientific Evaluation of Dietary

Reference Intakes and its Panel on Folate, Other B Vitamins, and Choline and

Subcommittee on Upper Reference Levels of Nutrients, Food and Nutrition Board,

Institute of Medicine, 1998).

Metabolisme

Sebagian besar vitamin B6 nonfosforilasi diserap masuk ke hati. Piridoksin (PN),

piridoksal (PL), dan piridoksamin (PM) dikonversi menjadi piridoksin 5-fosfat (PNP),

piridoksal 5-fosfat (PLP), dan piridoksamin 5-fosfa (PMP) oleh piridoksal kinase. PNP

biasanya hanya ditemukan pada konsentrasi yang sangat rendah, dan PMP teroksidasi

menjadi PLP oleh PNP oksidase. PMP ini juga dihasilkan dari PLP melalui reaksi

aminotransferase. PLP terikat pada berbagai protein dalam jaringan, ini melindunginya

dari aksi fosfatase. Kapasitas protein yang mengikat membatasi akumulasi PLP oleh

jaringan akibat intake vitamin B6 yang sangat tinggi. Ketika kapasitas ini terlampaui, PLP

bentuk bebas dihidrolisis secara cepat dan nonfosforilasi dari B6 dilepaskan oleh hati dan

jaringan lainnya ke dalam sirkulasi (A Report of the Standing Committee on the Scientific

Evaluation of Dietary Reference Intakes and its Panel on Folate, Other B Vitamins, and

Choline and Subcommittee on Upper Reference Levels of Nutrients, Food and Nutrition

Board, Institute of Medicine, 1998).

PLP dalam hati dapat teroksidasi menjadi 4-PA (piridoxic acid), yang kemudian

dilepas dan dikeluarkan. Protein utama pengikat PLP dalam plasma adalah albumin. PLP

adalah bentuk utama vitamin B6 dari dalam plasma dan seluruhnya berasal dari hati

sebagai kompleks PLP-albumin. Jaringan dan eritrosit dapat mengangkut bentuk

nonfosforilasi vitamin dari plasma. Beberapa diantaranya berasal dari PLP plasma setelah

aksi fosfatase. Dalam jaringan, konversi vitamin yang ditransportasikan menjadi PLP,

digabung dengan protein pengikat, memungkinkan akumulasi dan retensi vitamin. B6

dalam jaringan ditemukan dalam berbagai kompartemen subselular tetapi terutama pada

mitokondria dan sitosol (A Report of the Standing Committee on the Scientific Evaluation

of Dietary Reference Intakes and its Panel on Folate, Other B Vitamins, and Choline and

Subcommittee on Upper Reference Levels of Nutrients, Food and Nutrition Board,

Institute of Medicine, 1998).

Ekskresi

Biasanya, produk ekskresi utama adalah 4-PA, yang menyumbang sekitar setengah

senyawa B6 dalam urin. Bentuk lain dari vitamin juga ditemukan dalam air seni. Dengan

B6 dosis besar, proporsi bentuk-bentuk lain dari vitamin meningkat. Pada dosis yang

sangat tinggi dari PN, banyak dari dosis diekskresikan tidak berubah dalam urin. B6 juga

diekskresikan dalam tinja tetapi mungkin hanya dalam batas tertentu (A Report of the

Standing Committee on the Scientific Evaluation of Dietary Reference Intakes and its

Panel on Folate, Other B Vitamins, and Choline and Subcommittee on Upper Reference

Levels of Nutrients, Food and Nutrition Board, Institute of Medicine, 1998).

Sumber Vitamin B6

Sumber utama vitamin B6 adalah daging (terutama daging babi, hati sapi), unggas,

ikan (tuna, salmon), kacang-kacangan, produk kedelai, produk gandum, ubi jalar, kentang,

buah-buahan (alpukat, durian, pisang), biji-bijian (biji bunga matahari), dan susu (Anonim

a, 2012).

Kegunaan Vitamin B6

a) Premenstrual Syndrome (PMS)

Vitamin B6 secara klinis terbukti bermanfaat bagi pasien dengan gejala pramenstruasi

khususnya gejala kecemasan dan depresi (Anonim b, 2012).

b) Asma

Vitamin B6 dalam jumlah yang rendah ditemukan pada orang dewasa yang

menderita asma. Hal ini mungkin disebabkan karena penggunaan teofilin, obat yang

mengurangi spasme bronkial. Oleh karena itu, pemberian vitamin B6 dapat

mengurangi kegelisahan dan efek samping teofilin serta keparahan dan frekuensi

serangan asma (Anonim b, 2012).

c) Diabetes

Pada studi dengan pasien yang memiliki kadar vitamin B6 yang rendah, gejala

diabetes neuropati perifer dapat dihilangkan ketika kadar vitamin B6 tercukupi

(Anonim b, 2012).

d) Alzheimer, Atherosclerosis, dan Penyakit Kardiovaskular

Gangguan pengentalan homosistein dengan serin menyebabkan peningkatan ringan,

sedang, atau berat terhadap konsentrasi plasma homosistein yang merupakan salah

satu gejala defisiensi vitamin B6. Pemberian Vitamin B6 terbukti dapat mengurangi

konsentrasi homosistein yaitu zat yang terbukti dapat meningkatkan resiko penyakit

kardiovaskular (EFSA Panel on Dietetic Products, Nutrition and Allergies, 2010;

Anonim b, 2012).

e) Morning Sickness

Vitamin B6 telah terbukti dapat mengurangi terjadinya mual dan muntah akibat

morning sickness (Anonim b, 2012).

f) Batu Ginjal

Vitamin B6 mampu menurunkan kadar oksalat pada pasien yang memiliki kadar

oksalat urin yang tinggi (Anonim b, 2012).

g) Energi, Vitalitas, dan Metabolisme Otot

Vitamin B6, sebagai piridoksal fosfat, memiliki peran dalam penyediaan glukosa

sehingga terdapat hubungan antara asupan vitamin B6 dan kontribusi energi normal

untuk menghasilkan metabolisme (EFSA Panel on Dietetic Products, Nutrition and

Allergies, 2010).

h) Peran Dalam Kinerja Mental (Konsentrasi, Pembelajaran, Memori, dan Penalaran)

Salah satu gejala dari kekurangan vitamin B6 adalah kebingungan, yang

menyiratkan penurunan fungsi psikologis yang normal. Oleh karena itu, asupan

vitamin B6 memiliki kontribusi terhadap fungsi psikologis yang normal (EFSA

Panel on Dietetic Products, Nutrition and Allergies, 2010).

i) Kelelahan dan Keletihan

Kekurangan vitamin B6 bisa menyebabkan mikrositik, anemia hipokromik dimana

konsentrasi hemoglobin eritrosit berkurang, yang dapat menyebabkan gejala

kelemahan, kelelahan atau kelelahan. Oleh karena itu, asupan vitamin B6 yang

cukup memiliki kontribusi dalam mengurangi kelelahan dan kelelahan (EFSA Panel

on Dietetic Products, Nutrition and Allergies, 2010).

Kebutuhan Harian

Adapun kebutuhan harian terhadap vitamin B6 dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 1. Kebutuhan harian vitamin B6

Keterangan: RDA = Recommended Dietary Allowances; AI = Adequate Intake (Kebutuhan yang cukup);

UL = Ultimate Level (jumlah maksimum yang dapat diberikan tanpa menimbulkan efek

samping); ND = Not Determined (belum ditentukan karena keterbatasan data klinis)

(Anonim c, 2001)

Defisiensi Vitamin B6

Kekurangan vitamin B tunggal mungkin menyebabkan masalah dalam metabolisme

kelompok vitamin B lainnya. Dermatitis, bengkak (terutama pada sudut bibir), bibir merah

dan pecah, serta inflamasi pada lidah umum terjadi kekurangan vitamin B. sebagai

tambahan, gejala defisiensi vitamin B6 termasuk kelemahan, keresahan, kegugupan,

depresi, pusing, dermatitis seboroik, anemia mikrositik, otot bergetar, neuropati perifer dan

kejang epileptiform (A Report of the Standing Committee on the Scientific Evaluation of

Dietary Reference Intakes and its Panel on Folate, Other B Vitamins, and Choline and

Subcommittee on Upper Reference Levels of Nutrients, Food and Nutrition Board,

Institute of Medicine, 1998; Anonim b, 2012).

Anemia mikrositik mencerminkan sintesis hemoglobin menurun. Langkah pertama

dalam biosintesis heme, sintase aminolevulinat, menggunakan piridoksal 5-fosfat (PLP)

sebagai koenzim. Karena PLP juga merupakan koenzim kekarboksilase yang terlibat

dalam sintesis neurotransmitter, kerusakan pada beberapa enzim dapat menjelaskan

terjadinya kejang akibat defisiensi vitamin B6. Banyak penelitian telah menunjukkan

bahwa tingkat neurotransmiter seperti dopamin, serotonin, dan γ-aminobutyrate berkurang

terutama pada kondisi deplesi vitamin B6 yang ekstrim (A Report of the Standing

Committee on the Scientific Evaluation of Dietary Reference Intakes and its Panel on

Folate, Other B Vitamins, and Choline and Subcommittee on Upper Reference Levels of

Nutrients, Food and Nutrition Board, Institute of Medicine, 1998). Guilarte (1993)

mengusulkan bahwa kejang terjadi karena akumulasi metabolit triptofan abnormal di otak

pada kondisi defisiensi vitamin B6.

Kelainan electroencephalogram (EEG) juga dilaporkan pada kondisi deplesi vitamin

B6. Konsumsi yang tidak memadai dari vitamin B6 juga telah dilaporkan merusak fungsi

platelet dan mekanisme pembekuan (Brattstrom et al, 1990;. Subbarao and Kakkar, 1979),

tetapi efek ini juga mungkin disebabkan oleh hyperhomocysteinemia pada pasien tersebut

(Brattstrom et al,. 1990).

Kelebihan Vitamin B6

Konsumsi harian sesuai dengan yang direkomendasikan tidak akan memberikan

masalah. Namun banyak kondisi memerlukan dosis yang lebih tinggi untuk mendapatkan

respon. Pada orang dewasa yang mengkonsumsi lebih dari 100 mg hari harus dipantau.

Meskipun penelitian masih bertentangan dimana satu percobaan menunjukkan bahwa dosis

100 - 150 mg setiap hari selama lebih dari lima sampai sepuluh tahun itu tidak

menimbulkan masalah sementara yang lain menunjukkan bahwa 117 mg per hari selama

tiga tahun dikaitkan dengan kerusakan saraf seperti mati rasa dan kesemutan. Dosis sangat

besar dari 500 - 5000 mg per hari dapat menyebabkan neuropati perifer dalam 1 - 3 tahun.

Gejala akibat penggunaan berlebihan dari vitamin B6 meliputi: neuropati perifer, goyah

saat berjalan, mati rasa dan kesemutan di kaki dan tangan, kehilangan refleks anggota

tubuh, koordinasi yang buruk, gangguan tendon atau tidak ada refleks, kepekaan terhadap

cahaya, pusing, mual, nyeri payudara ketika ditekan dan memburuknya jerawat (Anonim

b, 2012).

Dosis Vitamin B6

PMS : 50 – 100 mg sehari

Asma : 15 – 50 mg

Diabetic peripheral neuropathy : 150 mg

Morning sickness : 25 mg setiap 8 jam selama 72 jam

Kardiovascular : 50 – 100 mg dan sering dikombinasikan dengan asam

folat 500 mcg dan vitamin B12 sampai 1 mg

Anemia idiopatik sideroblastik : 100 – 400 mg tiap hari dalam dosis terbagi

Neuropati isoniazid : profilaksis 10 mg tiap hari; terapeutik 50 mg tiga x

sehari

(BPOM RI, 2008; Anonim b, 2012)

Kontraindikasi

Pasien dengan sejarah sensitivitas pada vitamin, hipersensitivitas terhadap piridoksin

atau komponen lain dalam formulasi (Lacy et al., 2011)

Interaksi

Obat-obatan yang dapat bereaksi dengan gugus karbonil memiliki potensi untuk

berinteraksi dengan PLP. Isoniazid, yang digunakan dalam pengobatan tuberkulosis, dan

L-dopa, yang dimetabolisme untuk dopamin, telah dilaporkan untuk mengurangi

konsentrasi plasma PLP (Bhagawan, 1985;. Weir et al, 1991). Kontrasepsi oral dosis tinggi

dan alkohol dapat menurunkan konsentrasi PLP (A Report of the Standing Committee on

the Scientific Evaluation of Dietary Reference Intakes and its Panel on Folate, Other B

Vitamins, and Choline and Subcommittee on Upper Reference Levels of Nutrients, Food

and Nutrition Board, Institute of Medicine, 1998).

Sediaan

Bentuk sediaan:

Bentuk tablet tersedia dalam dosis 10, 25, dan 50 mg

Bentuk kaptab tersedia dalam dosis 10 mg

Contoh sediaan:

Piridoksin (Generik) Tablet 10 mg, 25 mg, 50 mg; Kaptab 10 mg (Obat Bebas)

Binam (Global Multi) Kaptab 10 mg (Obat Bebas)

Liconam (Berlico Mulia) Tablet 10 mg, 25 mg (Obat Bebas)

(BPOM RI, 2008).

2.3.6 Vitamin B12

Vitamin B12 yang merupakan salah satu unsur dari vitamin B adalah vitamin yang larut

dalam air dan dikenal juga dengan nama kobalamin atau sianokobalamin. Secara struktur,

vitamin B12 adalah vitamin yang paling kompleks karena tersusun atas cincin seperti

porfirin dengan pusat berupa atom kobalt yang melekat pada suatu nukleotida. Atom

kobalt ini merupakan elemen yang jarang tersedia secara biokimia di alam. Biosintesis dari

struktur dasar vitamin ini hanya dapat dilakukan oleh bakteri, namun konversi menjadi

bentuk aktifnya yaitu deoksiadenosilkobalamin dan metilkobalamin dapat terjadi dalam

tubuh manusia (Katzung, 2010). Berikut ini adalah struktur dari vitamin B12:

Gambar struktur vitamin B12

Sumber Vitamin B12

Vitamin B12 secara alami dapat ditemukan dalam produk hewani seperti ikan, unggas

(ayam, bebek), daging (sapi, domba, kelinci), telur, susu, dan produk susu seperti keju.

Bagi vegetarian, sumber vitamin B12 dapat diperoleh dari sereal atau ragi. Selain dari

makanan, vitamin B12 juga dapat ditemukan dalam suplemen makanan baik dalam bentuk

tunggal ataupun dalam bentuk sediaan vitamin B kompleks (Office of Dietary Supplement,

2011).

Fungsi Vitamin B12

Vitamin B12 diperlukan dalam proses pembentukan sel darah merah, fungsi neurologis,

dan sintesis DNA. Vitamin B12 bertindak sebagai kofaktor dalam sintesis metionin dan L-

metilmalonil yang berperan dalam reaksi metabolisme lemak dan protein. Selain itu

vitamin B12 juga berfungsi untuk mengobati atau mencegah defisiensi (Office of Dietary

Supplement, 2011; Katzung, 2010).

Kebutuhan Harian Vitamin B12

Rekomendasi asupan rata-rata harian dari vitamin B12 untuk memenuhi kebutuhan

nutrisi pada individu yang sehat adalah:

Anak-anak:

0 – 6 bulan : 0,4 mcg/hari

7 – 12 bulan : 0,5 mcg/hari

1 – 3 tahun : 0,9 mcg/hari

4 – 8 tahun : 1,2 mcg/hari

9 – 13 tahun : 1,8 mcg/hari

> 14 tahun dan dewasa : 2,4 mcg/hari

Wanita hamil : 2,6 mcg/hari

Wanita menyusui : 2,8 mcg/hari

(Lacy et al., 2011)

Defisiensi Vitamin B12

Defisiensi vitamin B12 ditandai dengan munculnya gejala anemia megaloblastik,

kelelahan, sembelit, kehilangan nafsu makan, penurunan berat badan, perubahan

neurologis seperti mati rasa dan kesemutan di tangan serta kaki. Gejala tambahan dari

defisiensi vitamin B12 adalah seperti kesulitan menjaga keseimbangan, depresi,

kebingungan, demensia, sakit pada mulut dan lidah serta gangguan pada memori (kognitif)

(Office of Dietary Supplement, 2011).

Salah satu penyebab terjadinya defisiensi vitamin B12 adalah anemia pernisiosa yang

terjadi akibat penurunan fungsi pada sekresi faktor intrinsik oleh sel mukosa lambung.

Pasien anemia pernisiosa menderita atrofi lambung dan gagal menyekresi faktor intrinsik

begitu juga dengan asam klorida. Defisiensi vitamin B12 juga terjadi ketika daerah di ileum

distal yang mengabsorpsi kompleks faktor intrinsik-vitamin B12 mengalami cedera seperti

ketika ileum terkena radang usus. Penyebab defisiensi vitamin B12 lainnya yang jarang

meliputi pertumbuhan bakteri yang berlebihan di usus halus, pankreatitis kronik, dan

penyakit tiroid (Katzung, 2010).

Efek Samping Kelebihan Vitamin B12

Vitamin B12 memiliki potensi toksisitas yang kecil apabila kelebihan asupan vitamin

B12 tersebut diperoleh dari makanan dan suplemen. Namun dalam terapi menggunakan

vitamin B12 apabila dosis yang digunakan berlebih dapat menimbulkan efek samping

sebagai berikut:

1. Heart Failure

Kelebihan vitamin B12 dapat menyebabkan gangguan pada pompa jantung yang

dapat menyebabkan gejala heart failure. Vitamin B12 yang diberikan melalui injeksi

memiliki resiko yang lebih besar untuk menyebabkan masalah di jantung dibandingkan

vitamin B12 oral karena vitamin yang diberikan melalui injeksi akan langsung masuk ke

dalam aliran darah. Pasien dengan masalah jantung harus menghindari penggunaan

vitamin B12 OTC (Over The Counter) apabila tidak ada rekomendasi dari dokter (Office

of Dietary Supplement, 2011).

2. Gangguan pada Hati dan Ginjal

Kelebihan vitamin B12 dapat merusak sel hati dan ginjal yang memicu terjadinya

gejala gangguan hati dan gagal ginjal. Akibat dari paparan vitamin B12 dalam

konsentrasi tinggi terhadap hati adalah kerusakan dari sel-sel hati tersebut yang

menyebabkan peradangan dan pembentukan jaringan parut. Pada ginjal, paparan dari

vitamin B12 tersebut dapat merusak sel-sel dari tubulus ginjal. Pasien dengan masalah

gangguan hati dan ginjal harus berkonsultasi dengan dokter terlebih dahulu sebelum

menggunakan vitamin OTC yang mengandung B12 (Office of Dietary Supplement,

2011).

3. Penggumpalan Darah

Kelebihan vitamin B12 dapat menyebabkan pembentukan gumpalan darah di

pembuluh darah utama. Gumpalan darah ini berbahaya karena dapat menghambat aliran

darah ke organ-organ tubuh yang dapat menyebabkan kegagalan organ. Pasien dengan

riwayat gangguan dalam pembekuan darah, stroke, dan serangan jantung harus berhati-

hati dalam mengkonsumsi vitamin B12 (Office of Dietary Supplement, 2011).

Dosis Vitamin B12

1. Pengobatan defisiensi vitamin B12:

a. Intramuscular (i.m)

Anak-anakDosis terapi sebesar 0,2 mcg/kg selama 2 hari yang kemudian diikuti dengan dosis

sebesar 1000 mcg/hari selama 2 – 7 hari lalu dosis sebesar 100 mcg/minggu selama

sebulan.

DewasaDosis terapi sebesar 30 mcg/hari selama 5 – 10 hari diikuti dengan dosis

pemeliharaan sebesar 100 – 200 mcg/bulan.

b. Intranasal

DewasaDosis terapi sebesar 100 mcg/hari (dalam dua dosis terbagi) dengan dosis

pemeliharaan sebesar 50 mcg/hari.

c. Oral

Dewasa : 250 mcg/hari2. Pengobatan anemia pernisiosa:

Intramuscular (i.m)

Anak-anakDosis terapi sebesar 30 – 50 mcg/hari selama 2 minggu atau lebih (total dosis 1000

– 5000 mcg) yang kemudian diikuti dengan dosis pemeliharaan sebesar 100

mcg/bulan.

DewasaDosis terapi sebesar 100 mcg/hari selama 6 – 7 hari, apabila menunjukkan adanya

perbaikan maka dosis yang sama diberikan setiap 3 – 4 hari selama 2 – 3 minggu,

kemudian diikuti dengan dosis pemeliharaan sebesar 100 mcg/bulan bila jumlah

darah telah kembali ke angka normal.

(Lacy et al., 2011)

Interaksi Obat

Vitamin B12 memiliki potensi untuk berinteraksi dengan beberapa obat tertentu yang

akibatnya dapat menurunkan keefektifan kerja dari vitamin B12 sendiri. Obat-obat tersebut

antara lain:

1. Kloramfenikol

Pada beberapa laporan kasus menunjukkan bahwa kloramfenikol yang merupakan

antibiotik bakteriostatik dapat mengganggu beberapa respon sel darah merah yang

diperlukan oleh vitamin B12 untuk bekerja (Office of Dietary Supplement, 2011).

2. Proton Pump Inhibitors

Obat-obatan yang termasuk ke dalam golongan Proton Pump Inhibitors (PPI)

seperti omeprazole dan lansoprazole, yang biasanya digunakan untuk terapi

Gastroesophageal Reflux Disease (GRD) dan ulkus peptikum dapat mengganggu

penyerapan vitamin B12 dari makanan dengan cara memperlambat pelepasan asam

klorida ke dalam saluran pencernaan (Office of Dietary Supplement, 2011).

3. Reseptor H2-antagonis

Obat-obatan yang tergolong sebagai antagonis reseptor histamin H2 yang digunakan

dalam pengobatan ulkus peptikum, seperti cimetidin, famotidine, dan ranitidine

memiliki potensi untuk mengganggu penyerapan vitamin B12 dari makanan dengan cara

memperlambat pelepasan asam klorida ke dalam saluran pencernaan. Interaksi obat ini

dapat terjadi pada pasien yang menggunakan antagonis reseptor histamin H2 terus

menerus lebih dari 2 tahun (Office of Dietary Supplement, 2011).

4. Metformin

Metformin yang merupakan agen hipoglikemik untuk mengobat diabetes, memiliki

potensi untuk mengurangi penyerapan vitamin B12 melalui perubahan dalam mobilitas

usus, meningkatkan pertumbuhan bakteri yang berlebihan atau perubahan dalam

penyerapan kalsium oleh sel-sel ileum. Berdasarkan laporan dari studi kasus yang

dilakukan terhadap pasien dibetes tipe 2 yang diberikan metformin selama 4 tahun,

kadar vitamin B12 dalam tubuhnya menurun secara signifikan sebesar 19 % dan

meningkatkan resiko kekurangan vitamin B12 sebesar 7,2 %. Pada beberapa studi yang

lain menunjukkan bahwa suplemen kalsium dapat membantu memperbaiki malabsorpsi

vitamin B12 yang diakibatkan oleh metformin, namun tidak semua peneliti setuju

terhadap tindakan tersebut (Office of Dietary Supplement, 2011).

Sediaan

Bentuk sediaan:

Larutan injeksi tersedia dalam dosis 1000 mcg/mL (1, 10, dan 30 mL)

Lozenge oral tersedia dalam dosis 50, 100, 250, dan 500 mcg

Lozenge sublingual tersedia dalam dosis 500 mcg

Larutan intranasal (spray) tersedia dalam dosis 25 mcg/spray (10,7 mL) dan 500

mcg/spray (2,3 mL)

Tablet bukal/sublingual tersedia dalam dosis 1000, 2500, dan 5000 mcg

Tablet oral tersedia dalam dosis 50, 100, 250, 500, dan 1000 mcg

Tablet time released oral tersedia dalam dosis 1000 dan 1500 mcg

(Lacy et al., 2011)

Contoh sediaan yang beredar:

Vitamin B12 IPI (Generik) tablet 50 mcg (Obat Bebas)

Vitamin B12 (Kimia Farma) tablet 50 mcg (Obat Bebas), injeksi 500 mcg/5 mL (Obat

Keras)

Vitaneuron mengandung vitamin B12 200 mcg (Obat Bebas Terbatas)

Stavit tablet salut selaput mengandung vitamin B12 200 mcg (Obat Bebas)

Nevramin tablet salut gula mengandung vitamin B12 500 mcg (Obat Bebas)

(MIMS, 2009)

2.3.7 Vitamin C

Vitamin C atau asam askorbat merupakan kelompok vitamin yang larut dalam air.

Vitamin C bekerja sebagai suatu koenzim dan pada keadaan tertentu merupakan reduktor

dan antioksidan. Vitamin ini dapat secara langsung atau tidak langsung memberikan

elektron ke enzim yang membutuhkan ion-ion logam tereduksi dan bekerja sebagai

kofaktor untuk prolil dan lisil hidroksilase dalam biosintesis kolagen. Zat ini berbentuk

kristal dan bubuk putih kekuningan, stabil pada keadaan kering dan tidak stabil pada

cahaya (Dewoto dan Wardhini, 2007).

Gambar struktur vitamin C

Disintesa dari D-glucose-o-galactase atau gula yang lain. Dapat diisolasi dari citrus

dan daun mahkota bunga mawar. Terdapat dalam keadaan seimbang dengan dehidro-l-

ascorbic acid, suatu bentuk teroksidasi dari vitamin C, berfungsi sebagai antiskorbut

(pendarahan pada gusi) (Tim Penyusun, 2008).

Kegunaan Vitamin C

Vitamin ini digunakan dalam metabolisme karbohidrat dan sintesis protein, lipid, dan

kolagen. Vitamin C juga dibutuhkan oleh endotel kapiler dan untuk perbaikan jaringan.

Vitamin C bermanfaat dalam absorpsi zat besi dan metabolisme asam folat (Kamiensky,

2006). Vitamin C berperan sebagai kofaktor dalam sejumlah reaksi hidroksilasi dan

amidasi dengan memindahkan elektron ke enzim yang ion logamnya harus berada dalam

keadaan tereduksi; dan dalam keadaan tertentu bersifat sebagai antioksidan. Vitamin C

dibutuhkan untuk mempercepat perubahan residu prolin dan lisin pada prokolagen menjadi

hidroksiprolin dan hidroksilisin pada sintesis kolagen. Perubahan asam folat menjadi asam

folinat, metabolisme obat oleh mikrosom dan hidroksilasi dopamine menjadi norepinefrin

juga membutuhkan vitamin C. Asam askorbat meningkatkkan aktivitas enzim amidase

yang berperan dalam pembentukan hormon oksitosin dan hormon diuretik. Vitamin C juga

meningkatkan absorpsi besi dengan mereduksi ion feri menjadi fero di lambung. Peran

vitamin C juga didapatkan dalam pembentukan steroid adrenal (Kamiensky, 2006; Dewoto

dan Wardhini, 2007).

Fungsi utama vitamin C pada jaringan adalah dalam sintesis kolagen, proteoglikan zat

organik matriks antarsel lain misalnya pada tulang, gigi, dan endotel kapiler. Peran vitamin

C dalam sintesis kolagen selain pada hidroksilasi prolin juga berperan pada stimulasi

langsung sintesis peptide kolagen. Gangguan sintesis kolagen terjadi pada pasien skorbut.

Hal ini tampak pada kesulitan dalam penyembuhan luka, gangguan pembentukan gigi, dan

pecahnya kapiler yang mengakibatkan petechiae dan echimosis. Perdarahan tersebut

disebabkan oleh kebocoran kapiler akibat adhesi sel-sel endotel yang kurang baik dan

mungkin juga karena gangguan pada jaringan ikat perikapiler sehingga kapiler mudah

pecah oleh penekanan (Kamiensky, 2006; Dewoto dan Wardhini, 2007).

Defisiensi

Tanda dari defisiensi vitamin C adalah pembesaran atau keratosis dari folikel-folikel

rambut, melemahnya proses penyembuhan luka, anemia, latergi, letih, sakit pada otot, daya

tahan terhadap infeksi menurun, stress, luka, lecet pada kulit, pendaran pada gusi dan

degenerasi kollagen. Pengujian laroratorium yang dapat dilakukan untuk memastikan

terjadinya defisiensi vitamin C adalah dengan mengukur kadar plasma vitamin C (Dipiro

et al., 2008; Tim Penyusun 2008).

Defisiensi atau kekurangan asam askorbat menyebabkan penyakit skorbut, penyakit

ini berhubungan dengan gangguan sintesis kolagen yang diperlihatkan dalam bentuk

perdarahan subkutan serta perdarahan lainnya, kelemahan otot, gusi yang bengkak dan

menjadi lunak dan tanggalnya gigi (Triana, 2006).

Sumber vitamin C

Sumber alami vitamin C dapat diperoleh dari mengkonsumsi buah-buah dan sayuran

hijau segar seperti jeruk, citrus, tomat, strawberi, paprika, kembang kol, brokoli, dan

peterseli. Vitamin C 50% akan hilang atau rusak dalam proses pemasakan (Dewanto,

2007; Tim Penyusun 2008).

Kelebihan vitamin C

Adapun tanda-tanda dari toksisitas vitamin C adalah usus mudah kram, perut

kembung dan diare, meningkatkan ekskresi oksalat pada urin, disertai dengan nyeri

pinggang dan pembentukan batu ginjal, kemungkinan terjadi peningkatan penyerapan

aluminium, penghentian tiba-tiba suplemen vitamin C dapat menyebabkan Rebound.

Indikasi

Pemberian vitamin C pada keadaan normal tidak menunjukkan efek farmakodinamik

yang jelas. Namun pada keadaan defisiensi, pemberian vitamin C akan menghilangkan

gejala penyakit dengan cepat. Vitamin C diindikasikan untuk pencegahan dan pengobatan

skorbut. Selain itu, vitamin C juga digunakan untuk berbagai penyakit yang tidak ada

hubungannya dengan defisiensi vitamin C dan seringkali digunakan dengan dosis besar.

Namun, efektivitasnya dari pengobatan ini belum terbukti. Vitamin C tidak mengurangi

insidens common cold tetapi dapat mengurangi keparahan sakit dan lama masa sakit

(Dewoto dan Wardhini, 2007).

Efek samping, kontra indikasi, interaksi obat

Nyeri kepala, fatigue, drowsiness, mual, dada terbakar, muntah, diare. Vitamin C

dengan aspirin atau sulfonamide dapat menyebabkan pembentukan kristal di urin

(crystalluria); dapat memberikan hasil negatif palsu karena adanya darah pada uji feses dan

positif palsu pada pemeriksaan klinik glikosuria.

Dosis besar dapat menurunkan efek antikoagulasi oral, kontrasepsi oral dapat

menurunkan kadar vitamin C dalam tubuh; merokok menurunkan kadar serum vitamin C,

digunakan dengan perhatian pada pasien batu ginjal, gout, anemia, sel sickle,

seideroblastik, thalassemia. Vitamin C juga dapat menurunkan asupan asam askorbat jika

digunakan dengan salisilat; dapat menurunkan efek antikoagulan oral; dapat menurunkan

eliminasi aspirin. Beberapa obat diduga dapat mempercepat ekskresi vitamin C misalnya

tetrasiklin dan fenobarbital (Kamiensky, 2006)

Kebutuhan

Kebutuhan vitamin C berdasarkan U.S. RDA antara lain untuk pria dan wanita

sebanyak 60 mg/hari, anak > 4 tahun sebanyak 60 mg/hari, anak < 4 tahun sebanyak 40

mg/hari, bayi sebanyak 35 mg/hari, ibu hamil sebanyak 70 mg/hari, dan ibu menyusui

sebanyak 95 mg/hari. Kebutuhan vitamin C meningkat 300-500% pada penyakit infeksi,

tuberculosis, tukak peptik, penyakit neoplasma, pasca bedah atau trauma, hipertiroid,

kehamilan, dan laktasi. Kebutuhan vitamin C juga bertambah dalam keadaan pemakaian

obat–obatan seperti barbiturat, salisilat dan tetrasiklin, perokok, penderita penyakit seperti

gastrointestinal disease, kanker, peptic ulcer, hipertiroidism, stress, dan luka bakar

(Kamiensky, 2006; Tim Penyusun, 2008).

Dosis

Dosis Profilaksis, 25-75 mg sehari (Joint Formulary Committee, 2011).

Dosis per hari yang direkomendasikan:

Untuk dewasa (usia ≥ 19 tahun), pemberian enteral 75-90 mg, parenteral 100 mg.

Untuk pediatrik, pemberian parenteral: 80 mg. Pemberian enteral untuk usia 0-12

bulan adalah 40-50 mg, usia 1-8 tahun adalah 15-25 mg, dan usia 9 -18 tahun

adalah 45-75 mg (Dipiro et al., 2008).

Perokok membutuhkan asupan vitamin C 35 mg/hari atau lebih dibandingkan bukan

perokok (Dipiro et al., 2008).

2.4. KIE

1. Vitamin dibutuhkan secara esensial oleh tubuh dalam jumlah yang kecil, namun

harus dipenuhi setiap hari. Sumber makanan yang bergizi dan berimbang sudah

cukup untuk memenuhi kebutuhan vitamin sehari-hari.

2. Penggunaan vitamin hendaknya disesuaikan dengan gejala atau keluhan yang

dialami oleh pasien (indikasi yang sesuai).

3. Perhatikan dosis dan durasi saat mengonsumsi vitamin yang dibutuhkan. Jangan

mengonsumsi vitamin secara berlebihan.

4. Swamedikasi vitamin dapat dilakukan sebagai terapi pencegahan dan diindikasikan

untuk mengatasi defisiensi ringan. Jika pasien sudah menunjukkan gejala defisiensi

parah, maka pasien dianjurkan untuk segera berkonsultasi dengan dokter.

5. Menganjurkan kepada pasien untuk banyak minum air untuk memaksimalkan

penyerapan vitamin larut air, yaitu vitamin B dan vitamin C.

6. Vitamin larut lemak hendaknya jangan dikonsumsi lebih dari dosis yang dianjurkan

karena dapat disimpan dalam jumlah banyak dalam tubuh, sehingga kemungkinan

terjadinya toksisitas jauh lebih besar daripada vitamin larut air.

7. Pasien diharapkan untuk memiliki istirahat yang cukup

BAB III

KESIMPULAN

1. Kebutuhan harian masing-masing vitamin antara lain:

Vitamin A dibutuhkan 700 mcg/hari (wanita), 900 mcg/hari (wanita); dan 770

mcg/hari (kehamilan).

Vitamin D dibutuhkan 200-400 unit (5-10 mikrogram kolekalsiferol atau

ergokalsiferol).

Vitamin E dibutuhkan pada pria sebanyak 10 mg/hari atau 15 IU (laki-laki),

wanita 8 mg/hari atau 12 IU (wanita), dan 10-12 mg/hari (kehamilan).

Vitamin K dibutuhkan 120 mcg/hari (laki-laki), 90 mcg/hari (wanita,

kehamilan).

Vitamin B1 dibutuhkan 0,9-1,1 mg/hari (wanita) dan 1,1-1,2 mg/hari (laki-laki)

Vitamin B2 dibutuhkan 1,7 mg/hari (laki-laki) dan 1,3 mg/hari (wanita)

Vitamin B3 dibutuhkan 14,4 mg/1000 kkal dan pada orang dewasa asupan

minimal asam nikotinat (vitamin B3) adalah 13 mg per hari

Vitamin B5 dibutuhkan 5 mg/hari (laki-laki dan wanita) dan 6 mg/hari

(kehamilan)

Vitamin B6 dibutuhkan 60-100 mg/hari (laki-laki dan wanita) dan 80-100

mg/hari (kehamilan)

Vitamin B12 dibutuhkan 2,4 mcg/hari (dewasa) dan 2,6 mcg/hari (kehamilan)

Vitamin C dibutuhkan 60 mg/hari (dewasa) dan 70 mg/hari (kehamilan)

2. KIE yang harus diberikan kepada pasien terkait dengan penggunaan vitamin dalam

swamedikasi antara lain:

Vitamin dibutuhkan secara esensial oleh tubuh dalam jumlah yang kecil,

namun harus dipenuhi setiap hari. Sumber makanan yang bergizi dan

berimbang sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan vitamin sehari-hari.

Penggunaan vitamin hendaknya disesuaikan dengan gejala atau keluhan yang

dialami oleh pasien (indikasi yang sesuai).

Perhatikan dosis dan durasi saat mengonsumsi vitamin yang dibutuhkan.

Jangan mengonsumsi vitamin secara berlebihan.

Swamedikasi vitamin dapat dilakukan sebagai terapi pencegahan dan

diindikasikan untuk mengatasi defisiensi ringan. Jika pasien sudah

menunjukkan gejala defisiensi parah, maka pasien dianjurkan untuk segera

berkonsultasi dengan dokter.

Menganjurkan kepada pasien untuk banyak minum air untuk memaksimalkan

penyerapan vitamin larut air, yaitu vitamin B dan vitamin C.

Vitamin larut lemak (A,D,E,K) hendaknya jangan dikonsumsi lebih dari dosis

yang dianjurkan karena dapat disimpan dalam jumlah banyak dalam tubuh,

sehingga kemungkinan terjadinya toksisitas jauh lebih besar daripada vitamin

larut air.

Pasien dianjurkan untuk istirahat yang cukup

DAFTAR PUSTAKA

A Report of the Standing Committee on the Scientific Evaluation of Dietary Reference Intakes and its Panel on Folate, Other B Vitamins, and Choline and Subcommittee on Upper Reference Levels of Nutrients, Food and Nutrition Board, Institute of Medicine. 1998. Dietary Reference Intakes for Thiamin, Riboflavin, Niacin, Vitamin B6, Folate, Vitamin B12, Pantothenic Acid, Biotin, and Choline. Washington: The National Academies Press. p. 150 – 195.

Anderson, P.O. 2002. Handbook of Clinical Drug Data. 10th Edition. New York: McGraw-Hill Companies.

Anonim. 2012. Vitamin B3. (cited: 2012, November 17th) Available at: www.govita.com.au/library/Vitamins/VitaminB3.pdf

Anonim a. 2012. Food Sources of Vitamin B6. Kanada: Dietitians of Canada.

Anonim b. 2012. Vitamin B6. (cited: 2012, November 17th). Available at: www.govita.com.au/library/Vitamins/VitaminB6.pdf

Anonim c. 2001. Dietary Reference Intakes: Vitamins. (cited: 2012, November 17th). Available at: www.iom.edu/~/media/Files/Activity%20Files/Nutrition/DRIs/DRI_Vitamins.ashx

Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM RI). 2008. Informatorium Obat Nasional Indonesia. Jakarta: CV Sagung Seto.

Bangun, A.P. 2009. Sehat dengan Ramuan Tradisional. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Bhagavan HN. 1985. Interaction Between Vitamin B6 and Drugs. In: Reynolds RD, Leklem JE, eds. Vitamin B6: Its Role in Health and Disease. New York: Liss. Pp. 401–415.

Bolkent, Sehnaz., O. Sacan, A. Karatug, R. Yanardag. 2008. The Effects of Vitamin B6 on the Liver of Diabetic Rats: A Morphological and Biochemical Study. IUFS J Biol Vol 67(1): p.1-7.

Brattstrom LE, Israelsson B, Norrving B, Bergkvist D, Thorne J, Hultberg B, Hamfelt A. 1990. Impaired Homocysteine Metabolism In Early-Onset Cerebral and Peripheral Occlusive Arterial Disease. Effects of Pyridoxine and Folic Acid Treatment. Atherosclerosis Vol 81: p. 51–60.

Dewi, A.B.F.K., N. Pujiastuti., I. Fajar. 2012. Ilmu Gizi untuk Praktisi Kesehatan. Yogyakarta : Graha Ilmu.

Dewoto dan Wardhini, 2007 dan Wardhini, 2007 HR 2007. Vitamin dan Mineral. dalam Farmakologi dan Terapi edisi kelima.Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Percetakan Gaya Baru, Jakarta.p.769-92.

Dipiro, J.T., R.L. Talbert, G.C. Yee, G.R. Matzke, B.G. Wells, and L.M. Posey. 2008. Pharmacotherapi A Pathophysiologic Approach. 7th edition. New York: The McGraw-Hill Companies, Inc.

EFSA Panel on Dietetic Products, Nutrition and Allergies. 2010. Scientific Opinion on the substantiation of health claims related to vitamin B6 and contribution to normal homocysteine metabolism (ID 73, 76, 199), maintenance of normal bone (ID 74), maintenance of normal teeth (ID 74), maintenance of normal hair (ID 74), maintenance of normal skin (ID 74), maintenance of normal nails (ID 74), contribution to normal energy-yielding metabolism (ID 75, 214), contribution to normal psychological functions (ID 77), reduction of tiredness and fatigue (ID 78), and contribution to normal cysteine synthesis (ID 4283) pursuant to Article 13(1) of Regulation (EC) No 1924/2006. EFSA Journal Vol 8(10): p.1759.

Hathcock, John. 2004. Vitamin and Mineral Safety 2nd Edition. Washington: Council for Responsible Nutrition.

Guilarte TR. 1993. Vitamin B6 and cognitive development: Recent research findings from human and animal studies. Nutr Rev Vol 51: p. 193–198.

Fauci, A. S. D. L. Kasper, A. L. Longo, E. Braunwald, S. L. Hauser, J. L. Jameson, J. Loscalzo. 2006. Harrison’s Principles of Internal Medicine. USA: McGraw-Hill Companies

Isselbacher, K.J., E. Braunwald, J.D. Wilson, J.B. Martin, A.S. Fauci and D.L. Kasper. 1999. Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Joint Formulary Committee. 2011. British National Formulary 61. London: British Medical Association and Royal Pharmaceutical Society of Great Britain.

Kamiensky M, Keogh J 2006. Vitamins and Minerals. In: Pharmacology Demystified. Mc.GrawHill Companies Inc.,USA.p.137-54.

Katzung, B. G. 2011. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta: Salemba Medika. 177-178, 193, 704-712.

Lacy, C.F., L.L. Amstrong, M.P. Goldman and L. L. Lance. 2011. Drug Information Handbook. Twentieth Edition. United States: Lexi-Comp Inc.

Meyer, M. 2012. Vitamin B2 (Riboflavin) Dosage, Intake, Recommended Daily Allowance (RDA). Vitamin and Health Supplements Guide.

MIMS, 2009. MIMS Edisi Bahasa Indonesia. Volume 10. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer (Kelompok Gramedia).

Office of Dietary Supplement, 2011. Dietary Supplement Fact Sheet: Vitamin B12.USA: National Institutes of Health.

Rubenstein, D., D. Wayne and J. Bradley. 2010. Lecture Notes: Kedokteran Klinis. Edisi Keenam. Jakarta: Erlangga Medical Series.

Schoenen, J., J. Jacquy and M. Lenaerts. 1998. Effectiveness of High-Dose Riboflavin in Migraine Prophylaxis: A Randomized Controlled Trial. American Academy of Neurology 50 (2): 466-470.

Spinneker, A., R. Sola, V. Lemmen, M. J. Castillo, K. Pietrzik, M. González-Gross. Vitamin B6 Status, Deficiency and Its Consequences - An Overview. Nutr Hosp Vol 22(1): p.7-24.

Subbarao K, Kakkar W. 1979. Thrombin Induced Surface Changes of Human Platelets. Biochem Biophys Res Commun Vol 88: p. 470–476.

Suhardjo dan C.M. Kusharto. 2010. Prinsip-prinsip Ilmu Gizi. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Sumardjo, D. 2009. Pengantar Kimia: Buku Panduan Kuliah Mahasiswa Kedokteran dan Program Strata I Fakultas Bioeksakta. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Sweetman, S.C. 2009. Martindale: The Complete Drug Reference. 36th Ed. London: Pharmaceutical Press.

Tambayong, J. 2000. Patofisiologi Untuk Keperawatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC

The Natural Standard Research Collaboration. 2006. Niacin (Vitamin B3, Nicotinic Acid), Niacinamide. (cited: 2012, November 17th). Available at: http://www.mayoclinic.com/health/niacin/NS_patient-niacin

Tim Penyusun. 2008. Bahan Ajar Farmakognosi. Jimbaran: Jurusan Farmasi, Fakultas MIPA, Universitas Udayana.

Tjay, T. H. dan K. Rahardja. 2007. Obat-Obat Penting. Jakarta: Elex Media Komputindo.

Triana, Vivi. 2006. Macam-Macam Vitamin dan Fungsinya Dalam Tubuh Manusia. Jurnal Kesehatan Masyarakat. Vol: I (1). Hal: 40-47.

Vitahealth. 2010. Food Suplement. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Weir MR, Keniston RC, Enriquez JI Sr, McNamee GA. 1991. Depression of vitamin B6 levels due to dopamine. Vet Hum Toxicol Vol 33: p. 118–121.

Wong, D.L., M. Hockenberry-Eaton, D. Wilson, M.L. Winkelstein and P. Schwartz. 2009. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik. Volume Satu. Edisi Keenam. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

MAKALAH SWAMEDIKASI VITAMIN

Oleh :

Komang Ayu Mariyani (1208515006)

Syarifudin (1208515008)

Ni Putu Parwatininghati (1208515009)

Enny Laksmi Artiwi (1208515010)

Ni Putu Martiari (1208515016)

I Gede Dwija Bawa Temaja (1208515017)

Anggy Anggraeni Wahyudhie (1208515019)

Ni Made Ayu Suartini (1208515020)

Ni Made Wiryatini (1208515021)

Ni Komang Enny Wahyuni (1208515023)

Ni Putu Dian Priyatna Sari (1208515025)

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI APOTEKER

JURUSAN FARMASI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS UDAYANA

2012