Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

327
PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 02/Pert/HK.060/2/2006 TENTANG PUPUK ORGANIK DAN PEMBENAH TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERTANIAN, Menimbang : a. bahwa pupuk organik dan pembenah tanah sangat berperan dalam mendukung keberhasilan pengembangan budidaya tanaman; b. bahwa untuk melindungi konsumen/pengguna dan produsen/pelaku usaha, pupuk organik dan pembenah tanah yang akan diedarkan diwilayah negara RI harus memenuhi standar mutu atau persyaratan teknis minimal; c. bahwa atas dasar hal-hal tersebut diatas, dipandang perlu menetapkan ketentuan mengenai pupuk organik dan pembenah tanah; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran Negara Tahun 1984 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3274); 2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3478); 3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establising The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Nomor 35); 4. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3611); 5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699); 6. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3478); 7. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4437); 8. Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 190, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3910); 9. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom ~ 509 ~

Transcript of Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

Page 1: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

PERATURAN MENTERI PERTANIAN

NOMOR : 02/Pert/HK.060/2/2006

TENTANG

PUPUK ORGANIK DAN PEMBENAH TANAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI PERTANIAN,

Menimbang : a. bahwa pupuk organik dan pembenah tanah sangat berperan dalam mendukung keberhasilan pengembangan budidaya tanaman;

b. bahwa untuk melindungi konsumen/pengguna dan produsen/pelaku usaha, pupuk organik dan pembenah tanah yang akan diedarkan diwilayah negara RI harus memenuhi standar mutu atau persyaratan teknis minimal;

c. bahwa atas dasar hal-hal tersebut diatas, dipandang perlu menetapkan ketentuan mengenai pupuk organik dan pembenah tanah;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran Negara Tahun 1984 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3274);

2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3478);

3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establising The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Nomor 35);

4. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3611);

5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);

6. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3478);

7. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4437);

8. Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 190, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3910);

9. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952);

10. Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standarisasi Nasional (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 199, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4020);

11. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2001 tentang Pupuk Budidaya Tanaman (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 14, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4079);

12. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 103, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4126);

13. Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004 tentang Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu;

14. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia juncto Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2005;

15. Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2005 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Kementerian Negara Republik Indonesia;

16. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 797/Kpts/ TP.830/10/1984 tentang Pemasukan Media Pertumbuhan Tanaman Ke Dalam Wilayah Negara Republik Indonesia.

17. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 170/Kpts/ OT.210/3/2002 tentang Pelaksanaan Standarisasi Nasional di Bidang Pertanian;

18. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 237/Kpts/ OT.210/4/2003 tentang Pedoman Pengawasan Pengadaan, Peredaran dan Penggunaan Pupuk An-Organik.

~ 509 ~

Page 2: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

19. Paraturan Menteri Pertanian Nomor 299/Kpts/ OT.140/7/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Pertanian;

20. Paraturan Menteri Pertanian Nomor 341/Kpts/ OT.140/9/2005 tentang Kelengkapan Organisasi dan Tata Kerja Departemen Pertanian;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN MENTERI PERTANIAN TENTANG PUPUK ORGANIK DAN PEMBENAH TANAH

BAB I KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan :

1. Pupuk organik adalah pupuk yang sebagian besar atau seluruhnya terdiri dari bahan organik yang berasal dari tanaman dan atau hewan yang telah melalui proses rekayasa, dapat berbentuk padat atau cair yang digunakan untuk mensuplai bahan organik, memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah.

2. Pembenah tanah adalah bahan-bahan sintesis atau alami, organik atau mineral berbentuk padat atau cair yang mampu memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah.

3. Formula pupuk organik adalah kandungan bahan-bahan organik dan unsur hara makro dan atau unsur hara mikro.

4. Formula pembenah tanah adalah kandungan bahan-bahan organik dan atau mineral dan atau bahan sintetis.

5. Rekayasa formula pupuk organik adalah serangkaian kegiatan rekayasa, baik secara fisik dan atau biologis untuk menghasilkan formula pupuk organik.

6. Rekayasa formula pembenah tanah adalah serangkaian kegiatan rekayasa, baik secara fisik dan atau biologis untuk menghasilkan formula pembenah tanah.

7. Uji mutu pupuk organik adalah analisis komposisi dan kadar hara pupuk organik yang dilakukan di laboratorium berdasarkan metode analisis yang ditetapkan.

8. Uji mutu pembenah tanah adalah analisis komposisi pembenah tanah yang dilakukan di laboratorium berdasarkan metode analisis yang ditetapkan.

9. Sertifikat formula pupuk organik atau pembenah tanah adalah surat keterangan yang diberikan oleh lembaga uji mutu terhadap formula pupuk organik/pembenah tanah yang telah diuji mutu oleh lembaga uji mutu tersebut.

10. Standar mutu pupuk organik adalah komposisi dan kadar hara pupuk organik yang ditetapkan oleh Badan Standarisasi Nasional dalam bentuk SNI, atau yang ditetapkan oleh Menteri Pertanian dalam bentuk Persyaratan Teknis Minimal.

11. Standar mutu pembenah tanah adalah komposisi pembenah tanah yang ditetapkan oleh Badan Standarisasi Nasional dalam bentuk SNI, atau yang ditetapkan oleh Menteri Pertanian dalam bentuk Persyaratan Teknis Minimal.

12. Uji efektifitas pupuk organik adalah uji lapang untuk mengetahui pengaruh dari pupuk organik terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman serta untuk mengetahui pengaruhnya terhadap peningkatan kesuburan tanah dalam arti peningkatan C organik tanah.

13. Uji efektifitas pembenah tanah adalah uji laboratorium untuk mengetahui pengaruh dari pembenah tanah terhadap perbaikan salah satu sifat tanah yaiitu sifat fisik, dan/atau kimia, dan/atau biologi tanah.

14. Persyaratan teknis minimal pupuk organik dan pembenah tanah adalah persyaratan teknis minimal yang ditetapkan oleh Menteri Pertanian.

15. Pengadaan pupuk organik atau pembenah tanah adalah kegiatan penyediaan pupuk organik atau pembenah tanah baik berasal dari produksi dalam negeri maupun dari luar negeri.

16. Peredaran adalah kegiatan atau serangkaian kegiatan dalam rangka penyaluran pupuk organik atau pembenah tanah didalam negeri baik untuk diperdagangkan maupun tidak untuk diperdagangkan.

17. Penggunaan adalah kegiatan pemanfaatan pupuk organik atau pembenah tanah oleh pengguna. 18. Pengawasan adalah pemeriksaan untuk menentukan kesesuaian komposisi dan kadar hara pupuk organik

atau pembenah tanah terhadap standar mutu atau persyaratan teknis minimal. 19. Lembaga Penguji adalah instansi atau laboratorium yang mempunyai kompetensi untuk melakukan

pengujian mutu dan efektifitas pupuk organik dan atau pembenah tanah yang telah terakreditasi atau ditunjuk.

~ 510 ~

Page 3: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

Pasal 2

(1) Peraturan ini dimaksudkan sebagai dasar hukum untuk melaksanakan pendaftaran, pengadaan, peredaran, penggunaan, dan pengawasan pupuk organik atau pembenah tanah.

(2) Tujuan pengaturan ini agar pupuk organik atau pembenah tanah yang beredar di wilayah negara Republik Indonesia memenuhi standar mutu atau persyaratan teknis minimal.

Pasal 3

Ruang lingkup pengaturan ini meliputi pengadaan, persyaratan pendaftaran, tatacara pendaftaran, peredaran, penggunaan, pengawasan dan pembinaan.

BAB II PENGADAAN

Pasal 4

(1) Pengadaan pupuk organik atau pembenah tanah dapat dilakukan melalui produksi dalam negeri atau pemasukan dari luar negeri.

(2) Pengadaan pupuk organik atau pembenah tanah yang diproduksi didalam negeri atau pemasukan dari luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi standar mutu dan standar efektifitas atau persyaratan teknis minimal, seperti tercantum pada Lampiran I Peraturan ini.

(3) Pengadaan pupuk organik atau pembenah tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh perorangan atau badan hukum.

Pasal 5

(1) Perorangan atau badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) yang akan memproduksi pupuk organik atau pembenah tanah harus terlebih dahulu mendapat izin dari Bupati atau Walikota setempat.

(2) Bupati atau Walikota dalam memberikan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 6

(1) Pupuk organik atau pembenah tanah yang akan diproduksi harus berasal dari formula pupuk organik atau formula pembenah tanah hasil rekayasa.

(2) Formula pupuk organik atau formula pembenah tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi standar mutu atau persyaratan teknis minimal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dan lulus uji mutu dan uji efektifitas.

Pasal 7

(1) Pupuk organik dan atau pembenah tanah yang dimasukkan dari luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) harus memenuhi standar mutu atau persyaratan teknis minimal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dan lulus uji mutu dan uji efektifitas.

(2) Perorangan atau badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) yang akan memasukkan pupuk organik atau pembenah tanah harus terlebih dahulu mendapat izin sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku dan ketentuan dibidang perkarantinaan.

BAB III PERSYARATAN PENDAFTARAN

Pasal 8

(1) Setiap formula pupuk organik atau formula pembenah tanah yang akan diedarkan untuk penggunaan di sektor pertanian, harus memenuhi standar mutu atau persyaratan teknis minimal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2).

(2) Formula pupuk organik atau formula pembenah tanah yang akan didaftarkan oleh pemohon tidak boleh menggunakan nama dagang formula atau merek yang sama, atau hampir sama dengan nama dagang formula lain yang terdaftar.

Pasal 9

Permohonan pendaftaran formula pupuk organik atau formula pembenah tanah dapat dilakukan oleh perorangan atau badan hukum yang memenuhi persyaratan: 1. Akte Pendirian Perusahaan dan perubahannya (bagi badan hukum); 2. Surat Izin Usaha Perdagangan/Tanda Daftar Usaha Perusahaan / Rekomendasi untuk PMA/PMDN; 3. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);

~ 511 ~

Page 4: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

4. KTP penanggungjawab; 5. Surat Keterangan Domisili Perusahaan; 6. Pemilik formula yang bersangkutan atau kuasanya; 7. Agen yang ditunjuk oleh pemilik formula yang berasal dari luar negeri; dan 8. Sertifikat merek atau surat pendaftaran merek dari Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual,

Departemen Hukum dan HAM.

BAB IV TATA CARA PENDAFTARAN Bagian Kesatu

Permohonan Pendaftaran

Pasal 10

(1) Permohonan pendaftaran pupuk organik atau pembenah tanah diajukan secara tertulis kepada Kepala Pusat Perizinan dan Investasi, dengan menggunakan formulir seperti tercantum pada Lampiran II Peraturan ini, dan dibubuhi materai secukupnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.

Pasal 11

(1) Kepala Pusat Perizinan dan Investasi setelah menerima permohonan pendaftaran secara lengkap, paling lambat dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari kerja, wajib memberikan jawaban secara tertulis mengenal diterima atau ditolaknya permohonan pendaftaran.

(2) Apabila pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diterima, kepada pemohon diwajibkan untuk melakukan pengujian mutu formula pupuk organik atau formula pembenah tanah yang didaftarkan.

(3) Apabila permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditolak, kepada pemohon diberikan surat penolakan dengan disertai alasan secara tertulis.

(4) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Pusat Perizinan dan Investasi belum dapat memberikan jawaban tertulis, permohonan pendaftaran dianggap diterima, dan kepada pemohon diwajibkan melakukan pengujian mutu pupuk organik atau formula pembenah tanah yang didaftarkan.

Bagian Kedua Pengujian

Pasal 12

(1) Untuk menjamin formula pupuk organik atau formula pembenah tanah sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 ayat (1) dapat memenuhi standar mutu atau persyaratan teknis minimal dilakukan uji mutu dan uji efektifitas.

(2) Untuk pupuk organik atau pembenah tanah yang berasal dari pemasukan, uji mutu dan uji efektifitas hanya dilakukan terhadap pupuk organik atau pembenah tanah yang pertama

(3 Uji mutu dan uji efektifitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh lembaga pengujian yang telah terakreditasi atau ditunjuk.

Pasal 13

(1) Penunjukan Lembaga Penguji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) didasarkan pada persyaratan sebagai berikut : 1. mempunyai bangunan laboratorium yang memenuhi persyaratan; 2. mempunyai peralatan pengujian mutu pupuk organik dan pembenah tanah yang memenuhi

persyaratan; 3. mempunyai lahan atau sarana lain yang cukup untuk melakukan uji efektifitas; 4. mempunyai tenaga ahli atau analis di bidang pengujian mutu pupuk organik dan pembenah tanah; 5. mampu melakukan pengujian pupuk organik dan pembenah tanah berdasarkan metode analisa yang

ditetapkan. (2) Verifikasi kelayakan lembaga penguji mutu dan uji efektifitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilakukan oleh instansi Departemen Pertanian yang bidang tugasnya menangani standarisasi dan akreditasi.

Pasal 14

(1) Pengambilan contoh pupuk organik atau pembenah tanah bentuk padat mengacu pada SNI Nomor 19 – 0428 – 1989 dan bentuk cair mengacu pada SNI 19 – 0429 – 1989.

~ 512 ~

Page 5: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

(2) Lembaga Penguji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) dalam melakukan pengujian menggunakan metode pengujian mutu dan efektifitas pupuk organik dan pembenah tanah sebagaimana tercantum pada Lampiran III Peraturan ini.

(3) Penilaian terhadap hasil uji mutu dan uji efektifitas didasarkan pada standar mutu atau persyaratan teknis minimal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2).

Pasal 15

Pengambilan contoh dengan metode pengujian mutu dan pengujian efektifitas pupuk organik dan pembenah tanah sebagaimana dimaksud 9 dalam Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) dapat dilakukan perubahan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Pasal 16

(1) Formula pupuk organik atau formula pembenah tanah yang telah memenuhi standar mutu dan efektifitas atau persyaratan teknis minimal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), dinyatakan lulus uji oleh Lembaga Penguji dan diberikan sertifikat formula.

(2) Lembaga Penguji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab atas hasil uji yang dilakukan.

Bagian KetigaPemberian Nomor Pendaftaran

Pasal 17

Formula pupuk organik atau formula pembenah tanah yang telah mendapat sertifikat dari lembaga pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1), sebelum diproduksi dan atau diedarkan harus mendapat nomor pendaftaran dari Kepala Pusat Perizinan dan Investasi.

Pasal 18

(1) Untuk memperoleh nomor pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, pemohon menyampaikan hasil pengujian mutu dan efektifitas dengan menggunakan formulir seperti tercantum pada Lampiran IV Peraturan ini dengan disertai konsep label.

(2) Kepala Pusat Perizinan dan Investasi berdasarkan hasil pengujian mutu dan efektifitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan menilai paling lambat dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak menerima hasil pengujian mutu dan efektifitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib menerbitkan penetapan nomor pendaftaran.

Pasal 19

(1) Nomor pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) berlaku untuk jangka waktu selama 5 (lima) tahun, dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu 5 (lima) tahun berikutnya sepanjang masih memenuhi persyaratan mutu.

(2) Apabila jangka waktu nomor pendaftaran setelah diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir, pemegang nomor pendaftaran harus memperbarui.

(3) Pembaharuan nomor pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan ini.

Pasal 20

(1) Berdasarkan nomor pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) pemohon dapat meminta izin untuk memproduksi dan atau memasukan pupuk organik atau pembenah tanah serta mengedarkan pupuk organik atau pembenah tanah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2) Untuk menjamin pemenuhan standar mutu dan uji efektifitas pupuk organik atau pembenah tanah sebelum diedarkan, pupuk organik atau pembenah tanah yang diproduksi atau pemasukkan dari luar negeri harus memiliki surat keterangan jaminan mutu dan hasil uji efektifitas.

(3) Surat Keterangan Jaminan Mutu dikeluarkan oleh Lembaga Pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3).

BAB V BIAYA PENDAFTARAN

Pasal 21Biaya pendaftaran pupuk organik dan pembenahan tanah merupakan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang harus disetor ke Kas Negara yang besar dan tatacaranya ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

~ 513 ~

Page 6: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

Pasal 22

(1) Biaya pengujian mutu dan atau uji efektifitas yang dilakukan oleh lembaga pengujian swasta, ditetapkan oleh lembaga pengujian yang bersangkutan.

(2) Biaya pengujian mutu dan atau uji efektifitas yang dilakukan oleh lembaga pengujian pemerintah merupakan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang besarnya ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB VI PEREDARAN

Pasal 23

(1) Pupuk organik atau pembenah tanah yang diedarkan harus memenuhi standar mutu atau persyaratan teknis minimal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), serta diberi label.

(2) Label sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dalam bahasa Indonesia, minimal memuat nama dagang, jenis (pupuk organik atau pembenah tanah), komposisi, volume/berat bersih, nama dan alamat produsen (produksi dalam negeri) atau distributor (pemasukan) serta nomor pendaftaran.

(3) Komposisi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk pupuk organik minimal C-organik, C/N rasio, pH dan kadar air (pupuk organik padat) dan C-organik, pH (pupuk organik cair).

(4) Komposisi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk pembenah tanah minimal Kapasitas Tukar Kation (KTK), pH, dan kadar air.

(5) Label sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dicantumkan dalam kemasan kedap air yang penempatannya mudah dilihat, dibaca dengan jelas dan tidak mudah rusak.

Pasal 24

Perorangan atau badan hukum yang memproduksi dan atau mengedarkan pupuk organik atau pembenah tanah wajib mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB VII PENGGUNAAN

Pasal 25

(1) Jenis dan penggunaan pupuk organik atau pembenah tanah dilakukan dengan memperhatikan produktivitas dan pelestarian fungsi lingkungan.

(2) Jenis dan tatacara penggunaan pupuk organik atau pembenah tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan ditetapkan lebih lanjut oleh Direktur Jenderal Tanaman Pangan.

Pasal 26

Penyelenggaraan penyuluhan penggunaan pupuk organik atau pembenah tanah dilakukan dengan memperhatikan prinsip efisiensi dan efektivitas.

BAB VIII PENGAWASAN

Pasal 27

Pengawasan mutu pupuk organik dan pembenah tanah dilakukan untuk melindungi kepentingan pengguna dan pelaku usaha, meningkatkan daya guna dan hasil guna pupuk organik dan pembenah tanah serta menjaga pelestarian fungsi lingkungan.

Pasal 28

(1) Pengawasan pupuk organik dan pembenah tanah dilakukan sebagai berikut : a. pada tingkat rekayasa formula menjadi kewenangan Menteri Pertanian; b. pada tingkat pengadaan, peredaran dan penggunaan menjadi kewenangan Bupati atau Walikota

setempat dibawah koordinasi Gubernur. (2) Pengawasan atas pengadaan, peredaran dan penggunaan pupuk organik atau pembenah tanah

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terpadu dan terkoordinasi.

Pasal 29

(1) Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf a, dilakukan oleh Petugas Pengawas Pupuk.

(2) Petugas Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan pengawasan terhadap penerapan standar mutu atau persyaratan teknis minimal pupuk organik atau pembenah tanah, pelaksanaan pengujian mutu dan efektifitas, dan penggunaan nomor pendaftaran.

~ 514 ~

Page 7: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

Pasal 30

(1) Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf b, Bupati/Walikota dapat menunjuk Petugas Pengawas pupuk.

(2) Petugas Pengawas pupuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pengadaan, peredaran dan penggunaan pupuk organik dan pembenah tanah.

Pasal 31

Perorangan atau badan hukum yang melakukan pengadaan pupuk organik atau pembenah tanah, wajib mengizinkan Petugas Pengawas pupuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dan Pasal 30 untuk melakukan pembinaan dan pengawasan ditempat usahanya.

Pasal 32

(1) Petugas Pengawas pupuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1), berwenang : a. melakukan pemeriksaan terhadap proses produksi pupuk organik atau pembenah tanah; b. melakukan pemeriksaan terhadap sarana tempat penyimpanan dan cara pengemasan; c. mengambil contoh pupuk organik atau pembenah tanah guna pengujian mutu; d. memeriksa dokumen dan laporan; e. melakukan pemeriksaan terhadap pemenuhan persyaratan perizinan pengadaan dan atau peredaran

pupuk organik atau pembenah tanah. (2) Dalam hal Petugas Pengawas mempunyai dugaan kuat bahwa telah terjadi pemalsuan dan atau kerusakan

pada pupuk organik atau pembenah tanah yang beredar, Petugas Pengawas dapat menghentikan sementara peredaran pupuk organik atau pembenah tanah tersebut pada wilayah kerjanya paling lama 30 (tiga puluh) hari untuk melakukan pengujian mutu.

(3) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah berakhir dan belum mendapat keputusan mengenai adanya pemalsuan dan atau kerusakan pupuk organik atau pembenah tanah, maka tindakan penghentian sementara peredarannya oleh pengawas pupuk berakhir demi hukum.

(4) Apabila dari hasil pengujian mutu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diketahui bahwa pupuk organik atau pembenah tanah tersebut tidak sesuai dengan label atau rusak, maka Petugas Pengawas mengusulkan kepada Bupati atau Walikota setempat untuk menarik pupuk organik atau pembenah tanah tersebut dari peredaran.

Pasal 33

Petugas pengawas pupuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dan Pasal 30 ayat (1) dapat ditunjuk sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB IX KEWAJIBAN

Pasal 34

(1) Lembaga pengujian mempunyai kewajiban menjamin kerahasiaan formula pupuk organik atau formula pembenah tanah yang telah diuji.

(2) Petugas yang melayani pendaftaran pupuk organik dan pembenah tanah wajib menjaga kerahasiaan formula pupuk organik atau formula pembenah tanah yang dimohonkan pendaftaran.

(3) Kepala Pusat Perizinan dan Investasi wajib menyelenggarakan pengelolaan buku nomor pendaftaran dan mencatat segala mutasi baik subyek maupun obyek pendaftaran pupuk organik atau pembenah tanah.

Pasal 35

Produsen dan atau importir bertanggung jawab atas mutu produksinya, dan wajib mencantumkan nomor pendaftaran pada label ditempat yang mudah dilihat dan dibaca serta tidak mudah terhapus.

Pasal 36

Pemegang nomor pendaftaran wajib melaporkan setiap perubahan subyek pemegang nomor pendaftaran kepada Kepala Pusat Perizinan dan Investasi untuk dicatat dalam buku nomor pendaftaran, dan dilakukan perubahan keputusan pemberian nomor pendaftaran.

Pasal 37

Pemegang nomor pendaftaran wajib menyampaikan laporan kepada Direktur Jenderal Tanaman Pangan mengenai pengadaan yang meliputi produksi, pemasukan dari luar negeri dan penyaluran pupuk organik atau

~ 515 ~

Page 8: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

pembenah tanah setiap 6 (enam) bulan dengan menggunakan formulir 15 seperti tercantum pada Lampiran VIII peraturan ini dengan tembusan kepada Kepala Pusat Perizinan dan Investasi.

BAB X PEMBINAAN

Pasal 38

(1) Produsen pupuk organik dan atau pembenah tanah yang produksinya tidak untuk diedarkan dan atau produknya belum dapat memenuhi standar mutu atau persyaratan teknis minimal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) akan diberikan pembinaan pembuatan pupuk organik dan atau pembenah tanah.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembuatan pupuk organik dan atau pembenah tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan ditetapkan dengan peraturan tersendiri.

BAB XI KETENTUAN SANKSI

Pasal 39

Terhadap Lembaga pengujian mutu yang terbukti tidak menjamin kerahasiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1), tidak bertanggung jawab atas hasil uji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2), dilakukan teguran tertulis dan dilaporkan kepada pejabat yang berwenang oleh Kepala Pusat Perizinan dan Investasi untuk dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 40

Terhadap petugas pelayanan nomor pendaftaran yang terbukti tidak menjamin kerahasiaan formula pupuk organik atau formula pembenah tanah sebelum ditetapkan nomor pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) dikenakan sanksi disiplin pegawai oleh pejabat yang berwenang sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku dibidang kepegawaian.

Pasal 41

Terhadap produsen atau importir pupuk organik atau pembenah tanah yang terbukti tidak mencantumkan nomor pendaftaran pada label sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35, tidak menjamin mutu produksinya atau tidak melaporkan adanya perubahan pemegang nomor pendaftaran sebagaimana 16 dimaksud dalam Pasal 36 dikenakan sanksi pencabutan nomor pendaftaran oleh Kepala Pusat Perizinan dan Investasi, dan diusulkan kepada pejabat yang berwenang agar izin produksi atau izin pemasukan dicabut, dan pupuk organik atau pembenah tanah yang bersangkutan harus ditarik dari peredaran dengan disertai sanksi sesuai peraturan perundang-undangan.

Pasal 42

Penarikan kembali pupuk organik atau pembenah tanah dari peredaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dilakukan oleh dan atas beban biaya dari produsen dan atau importir pupuk organik atau pembenah tanah yang bersangkutan.

Pasal 43

Produsen pupuk organik atau pembenah tanah yang telah mendapat nomor pendaftaran, apabila selama 2 (dua) tahun berturut tidak melakukan produksi dan atau pemasukan serta tidak menyampaikan laporan pengadaan dan penyaluran pupuk organik atau pembenah tanah dikenakan sanksi pencabutan nomor pendaftaran oleh Kepala Pusat Perizinan dan Investasi.

Pasal 44

Pelaksanaan pengawasan pengadaan peredaran dan penggunaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat 2 mutatis mutandis berlaku Keputusan Menteri Pertanian Nomor 237/Kpts/OT.210/4/2003.

BAB XII KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 45

(1) Pupuk organik atau pembenah tanah yang telah terdaftar sebelum Peraturan ini ditetapkan, dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan berakhirnya nomor pendaftaran. (2) Pupuk organik atau pembenah tanah sebelum Peraturan ini ditetapkan sedang atau telah dilakukan pengujian, tetap diproses pendaftarannya sesuai ketentuan sebelum Peraturan ini. (3) Pupuk organik atau pembenah tanah yang sebelum Peraturan ini ditetapkan sedang dalam proses pendaftaran, tetapi belum dilakukan pengujian diberlakukan sesuai ketentuan Peraturan ini. 17

~ 516 ~

Page 9: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

BAB XIII PENUTUP

Pasal 46

Dengan ditetapkannya Peraturan ini, maka untuk pemasukan media pertumbuhan tanaman yang berupa tanah dan kompos sepanjang bukan pupuk organik atau pembenah tanah, masih tetap berlaku Keputusan Menteri Pertanian Nomor 797/Kpts/TP.830/10/1984.

Pasal 47

Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 10 Pebruari 2005

MENTERI PERTANIAN,

ttd.

ANTON APRIYANTONO

SALINAN Peraturan ini disampaikan kepada Yth : 1. Menteri Perindustrian; 2. Menteri Perdagangan; 3. Menteri Dalam Negeri; 4. Menteri Keuangan; 5. Menteri Negara Lingkungan Hidup;6. Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah 7. Kepala Badan Standarisasi Nasional; 8. Gubernur diseluruh Indonesia; 9. Bupati / Walikota diseluruh Indonesia; 10. Direktur Jenderal Bea dan Cukai; 11. Pejabat Eselon I dilingkungan Departemen Pertanian; 12. Kepala Dinas yang membidangi Tanaman Pangan, Hortikultura, Perkebunan dan Peternakan Propinsi

diseluruh Indonesia; 13. Kepala Dinas yang membidangi Tanaman Pangan, Hortikultura, Perkebunan dan Peternakan

Kabupaten/Kota diseluruh Indonesia.

~ 517 ~

Page 10: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

PERATURAN MENTERI PERTANIAN

NOMOR : 38/Permentan/OT.140/8/2006

TENTANG

PEMASUKAN DAN PENGELUARAN BENIH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI PERTANIAN,

Menimbang : a. bahwa dengan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 1017/Kpts/TP.120/12/1998 telah ditetapkan Izin Produksi Benih Bina, Izin Pemasukan Benih dan Pengeluaran Benih Bina;

b. bahwa sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom, pemasukan benih dan pengeluaran benih bina menjadi kewenangan pemerintah;

c. bahwa atas dasar hal-hal tersebut di atas dan dengan adanya perubahan organisasi dilingkungan Departemen Pertanian dipandang perlu meninjau kembali Keputusan Menteri Pertanian Nomor 1017/Kpts/TP.120/12/1998;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3478);

2. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan tumbuhan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4437);

3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Nomor 4437);

4. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2006 tentang Pengesahan International Treaty on Plant Genetic Resources For Food And Agriculture (Perjanjian mengenai Sumber Daya Genetik Tanaman Untuk Pangan dan Pertanian) (Lembaran Negara Tahun 2006 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4612);

5. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1995 tentang Perbenihan Tanaman (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3616);

6. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000, tentang Kewenangan Pemerintah dan Propinsi sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952);

7. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2002 tentang Karantina Tumbuhan (Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 35, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4196);

8. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2005 tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik (Lembaran Negara Tahun 2005 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4498)

9. Keputusan Presiden Nomor 27 Tahun 1971 tentang Badan Benih Nasional;

10. Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004 tentang Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu;

11. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia juncto Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2005;

~ 518 ~

Page 11: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

12. Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2005 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Kementerian Negara Republik Indonesia;

13. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 902/Kpts/TP.240/12/1996 tentang Pengujian, Penilaian dan Pelepasan Varietas juncto Keputusan Menteri Pertanian Nomor 737/Kpts/TP.240/9/98;

14. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 803/Kpts/OT.210/7/97 tentang Sertifikasi dan Pengawasan Mutu Benih Bina;

15. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 856/Kpts/HK.330/11/1997 tentang Ketentuan Keamanan Hayati Produk Bioteknologi Pertanian Hasil Rekayasa Genetika;

16. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 1038/Kpts/HK.030/11/1997 tentang Pembentukan Komisi Keamanan Hayati Produk Bioteknologi Pertanian Hasil Rekayasa Genetika;

17. Surat Keputusan Bersama Menteri Pertanian, Menteri Kehutanan dan Perkebunan, Menteri Negara Pangan dan Hortikultura Nomor 998/Kpts/OT.210/1999, Nomor 790.a/Kpts-IX/1999, Nomor 1145.A/MENKES/SKB/IX/1999, dan Nomor 015.A/Meneg PHOR/09/1999 tentang Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan Produk Pertanian Hasil Rekayasa Genetik;

18. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 388/Kpts/OT.160/6/2004 tentang Tim Penilai dan Pelepas Varietas (TP2V);

19. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 299/Kpts/OT.140/7/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Pertanian;

20. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 341/Kpts/OT.140/9/2005 tentang Kelengkapan Organisasi dan Tata Kerja Departemen Pertanian;

Memperhatikan : Surat Badan Nenih Nasional Nomor 50/BBN.TP/8/06 tanggal 24 Agustus 2006;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN MENTERI PERTANIAN TENTANG PEMASUKAN DAN PENGELUARAN BENIH.

BAB IKETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam peraturan ini yang dimaksud dengan :1. Benih tanaman yang selanjutnya disebut benih adalah tanaman atau bagiannya yang digunakan untuk

memperbanyak dan/atau mengembangbiakkan tanaman.2. Benih bina adalah benih dari varietas unggul yang telah dilepas, yang produksi dan peredarannya diawasi.3. Benih Hibrida adalah keturunan pertama (F1) yang dihasilkan dari persilangan antara 2 atau lebih tetua

pembentuknya dan/atau galur induk/inbrida homozigot.4. Pemasukan benih adalah serangkaian kegiatan untuk memasukkan benih tanaman dari luar negeri

kedalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, baik sebagai introduksi untuk pemuliaan tanaman maupun untuk pengadaan benih bina tanaman.

5. Pengeluaran benih adalah serangkaian kegiatan untuk mengeluarkan benih dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

6. Izin pemasukan adalah keterangan tertulis berisikan hak yang diberikan ole Menteri atau pejabat yang ditunjuk kepada perorangan, badan hukum atau instansi Pemerintah untuk dapat melakukan kegiatan pemasukan benih tanaman.

7. Izin pengeluaran adalah keterangan tertulis berisikan hak yang diberikan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk kepada perorangan, badan hukum atau instansi Pemerintah untuk dapat melakukan kegiatan pengeluaran benih.

~ 519 ~

Page 12: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

8. Direktorat Jenderal adalah unit kerja organisasi di lingkungan Departemen Pertanian yang dipimpin oleh seorang Direktur Jenderal yang melaksanakan tugas dan fungsi dibidang Tanaman Pangan, Hortikultura, Perkebunan, atau Hijauan Pakan ternak.

9. Pusat Perizinan dan Investasi Pertanian yang selanjutnya disebut PPI adalah unit kerja organisasi di lingkungan Departemen Pertanian yang dipimpin oleh seorang Kepala Pusat yang melaksanakan tugas dan fungsi dibidang perizinan dan investasi.

10. Benih introduksi adalah benih dari varietas baru/galur/klon/hibrida/mutan/transgenik yang pertama kali didatangkan dari luar negeri dan belum pernah beredar atau diperdagangkan di wilayah negara Republik Indonesia.

11. Pemerhati tanaman adalah orang atau sekelompok orang atau organisasi yang menaruh perhatian besar terhadap tanaman dengan tujuan untuk perlindungan/pelestarian, seni dan pengembangan secara komersial.

12. Materi Induk adalah tanaman dan/atau bagiannya yang digunakan sebagai bahan perbanyakan benih.

Pasal 2

Peraturan ini bertujuan untuk :a menjamin kelestarian sumber daya genetik, meningkatkan keragaman genetik dan menjaga keamanan

hayati;b menjamin ketersediaan benih secara berkesinambungan;c menumbuhkembangkan industri benih dalam negeri; dand meningkatkan devisa negara;

BAB IIPEMASUKAN

Bagian KesatuUmum

Pasal 4

(1) Pemasukan benih atau materi induk dapat dilakukan oleh perorangan, badan hukum atau instansi Pemerintah yang mempunyai tugas dan fungsi di bidang penelitian dan pengembangan agribisnis dan/atau pemerhati tanaman.

(2) Pemasukan benih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan setelah mendapat izin dari Menteri.

Pasal 5

(1) Pemasukan benih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dapat dilakukan untuk penelitian atau bukan untuk penelitian.

(2) Pelaksanaan pemberian izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) Menteri melimpahkan kewenangan kepada Kepala Pusat Perizinan dan Investasi.

Bagian KeduaPemasukan Benih Untuk Penelitian

Pasal 6

(1) Pemasukan benih atau materi induk untuk penlitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dapat dilakukan dengan persyaratan :a. jumlah benih yang dimohonkan terbatas sesuai dengan kebutuhan untuk melaksanakan penelitian

yang ditunjukkan dengan ringkasan usulan penelitian;b. benih tersebut belum tersedia di Indonesia;c. dilengkapi dengan deskripsi; dand. memenuhi ketentuan dalam peraturan perundang-undangan di bidang karantina tumbuhan.

(2) Perorangan, badan hukum atau instansi Pemerintah yang melakukan pemasukan benih atau materi induk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melaporkan realisasi pemasukan kepada Kepala PPI.

~ 520 ~

Page 13: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

(3) Kepala PPI dalam memberikan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) wajib memperhatikan saran dan pertimbangan teknis dari Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Bagian KetigaPemasukan Benih Bukan Untuk Penelitian

Pasal 7

Pemasukan benih bukan untuk penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, dapat dilakukan untuk :a pengadaan benih bina;b persiapan pelepasan varietas;c kebutuhan sebagai pemerhati tanaman; ataud kebutuhan usaha agribisnis.

Pasal 8

Pemasukan benih untuk pengadaan benih bina sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :a varietas sudah dilepas di Indonesia tetapi benihnya belum cukup tersedia atau perbanyakannya belum

dapat atau tidak dapat diselenggarakan di wilayah Negara Republik Indonesia; ataub varietas tertentu yang tidak efisien diproduksi di Indonesia; danc mengikuti peraturan perundang-undangan di bidang karantina tumbuhan.

Pasal 9

Pemasukan benih untuk persiapan pelepasan varietas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :a varietas yang bersangkutan mempunyai keunggulan dan/atau keunikan serta kegunaan spesifik yang lebih

baik dari varietas yang telah dilepas; danb mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 10

Pemasukan benih untuk pemerhati tanaman dan untuk kebutuhan usaha agribisnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf c dan d harus disertai keterangan mengenai identitas benih oleh produsen dan mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang karantina tumbuhan.

Pasal 11

Pemasukan benih hijauan pakan ternak bukan untuk penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10, harus uji hayati.

Pasal 12

Pemasukan benih transgenik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 11, harus lulus uji keamanan hayati dan/atau keamanan pangan.

Pasal 13

(1) Pemasukan benih untuk pengadaan benih bina sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 harus memenuhi standar mutu benih bina yang telah ditetapkan.

(2) Apabila standar mutu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum ada, akan ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan tersendiri berdasarkan benih kerabat terdekat.

Pasal 14

(1) Kepala PPI dalam memberikan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) harus memperhatikan saran dan pertimbangan teknis dari Direktur Jenderal, Ketua Badan Benih Nasional dan Kepala Badan Karantina.

(2) Saran dan pertimbangan teknis Direktur Jenderal, Ketua Badan Benih Nasional dan Kepala Badan Karantina sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup aspek :

~ 521 ~

Page 14: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

a jenis, jumlah, dan negara asal;b batas akhir pemberian izin pemasukan suatu varietas dari jenis tanaman yang benihnya dapat

diproduksi di dalam negeri;c Organisme Pengganggu Tanaman Karantina (OPTK).

Bagian KeempatTata Cara Pemasukan

Pasal 15

(1) Perorangan, badan hukum atau instansi pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) mengajukan permohonan secara tertulis kepada Kepala PPI dengan menggunakan formulir model - 1, disertai persyaratan pemasukan benih ke wilayah negara Republik Indonesia (“Informuliration Required for Required for Seed Importation”) dengan dilengkapi keterangan mengenai :a nama, alamat dan pekerjaan pemohon;b negara asal;c nama produsen/pengelola benih;d nama jenis (jenis tanaman);e nama varietas/hibrida/klon;f jumlah benih;g perlakuan kimia atau fisik yang diberikan;h bentuk benih;i waktu panen bagi benih tanaman berbentuk biji/umbij nama, alamat dan pekerjaan pengirim;k tempat pemasukan; danl tujuan penggunaan benih.

(2) Kepala PPI setelah menerima permohonan sebagimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat dalam jangka waktu 3 (tiga) hari kerja telah selesai memeriksa dokumen permohonan, dan apabila telah lengkap dan memenuhi persyaratan, dimohonkan pertimbangan teknis kepada Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian atau Direktur Jenderal dan Kepala Badan Karantina Pertanian.

(3) Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian atau Direktur Jenderal dan Kepala Badan Karantina Pertanian setelah menerima permohonan pertimbangan teknis dari Kepala PPI sebagaiman dimaksud pada ayat (2), dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima) hari kerja harus sudah memberikan pertimbangan teknis.

(4) Kepala PPI dengan memperhatikan pertimbangan teknis dari Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian atau Direktur Jenderal dan Kepala Badan Karantina Pertanian, dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari kerja harus sudah memberikan jawaban menerima, menunda atau menolak.

Pasal 16

Permohonan yang telah diterima sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4) akan diterbitkan izin pemasukan benih dalam bentuk Keputusan Kepala PPI seperti formulir model-2

Pasal 17

Apabila dalam jangka waktu 11 (sebelas) hari kerja terhitung sejak tanggal pemasukan permohonan Kepala PPI belum memberikan jawaban menerima, menunda atau menolak, Kepala PPI harus menerbitkan keputusan pemberian izin pemasukan.

Pasal 18

1) Permohonan yang ditunda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4), yang belum lengkap atau masih ada kekurangan persyaratan akan diberitahukan kepada pemohon secara tertulis dengan penjelasan penundaan.

2) Pemohon dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari sejak menerima pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus melengkapi persyaratan.

3) Apabila dalam jangka waktu 5 (lima) hari sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pemohon belum dapat melengkapi persyaratan, permohonan dianggap ditarik kembali.

~ 522 ~

Page 15: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

Pasal 19

Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4) ditolak apabila tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10, atau tidak benar atau karena adanya alas an teknis, akan diberitahukan secara tertulis dengan menggunakan formulir model-3.

Pasal 20

1) Izin pemasukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) berlaku untuk jangka waktu 6 (enam) bulan.

2) Dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jenis dan jumlah benih yang tercantum dalam surat izin pemasukan harus sudah selesai dimasukkan ke dalam wilayah negara Republik Indonesia.

3) Apabila dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk jenis dan jumlah benih belum dimasukkan seluruhnya ke dalam wilayah Negara Republik Indonesia, maka sisa yang belum dimasukkan diperlukan izin baru.

Pasal 21

1) Perorangan, badan hukum atau instansi pemerintah yang memasukkan benih wajib menyerahkan Surat Izin Pemasukan benih kepada petugas karantina di tempat pemasukan.

2) Perorangan, badan hokum atau instansi pemerintah yang memasukkan benih paling lambat dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari sejak pemasukan benih sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib melaporkan realisasi pemasukan benih kepada Kepala PPI, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Direktur Jenderal dan instansi yang bertanggung jawab di bidang pengawasan mutu benih di daerah tempat benih tersebut duperlakukan relabeling.

Pasal 22

1) Izin pemasukan benih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dicabut, apabila :a. pemegang izin tidak melaksanakan ketentuan yang tercantum dalam surat izin :b. tidak mengikuti peraturan perundang-undangan di bidang karantina tumbuhan;c. menimbulkan gangguan ketertiban umum;d. memindahkan izin kepada pihak lain;e. jangka waktu izin telah habis; atauf. diserahkan kembali oleh pemegang izin kepada pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat

(2).2) Pencabutan izin pemasukan benih karena alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, b dan c

dilakukan setelah kepada perorangan, badan hokum atau instansi pemerintah diberi peringatan secara tertulis sebanyak 2 (dua) kali dalam selang waktu 1 (satu) minggu dan tidak mengindahkan peringatan.

3) Pencabutan izin pemasukan benih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, e dan f dilakukan oleh Kepala PPI segera setelah diketahui adanya pemindahan izin atau pengembalian izin.

4) Pencabutan izin pemasukan benih sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dilakukan melalui Keputusan Kepala PPI seperti tercantum pada Formulir model-4.

Pasal 23

Perorangan, badan hukum atau instansi pemerintah yang memasukkan benih berkewajiban :a. Memiliki catatan/data benih yang dimasukkan serta menyimpannya selam 1 (satu) tahun;b. Melaporkan jumlah benih yang dimasukkan kepada Kepala PPI;

BAB III

~ 523 ~

Page 16: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

PENGELUARAN BENIH

Bagian KesatuUmum

Pasal 24

1) Pengeluaran benih dapat dilakukan oleh perorangan, badan hokum atau instansi Pemerintah yang mempunyai tugas dan fungsi di bidang penelitian dan pengembangan, agribisnis dan/atau pemerhati tanaman.

2) Pengeluaran benih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan setelah mendapat izin dari Menteri.

Pasal 25

1) Pengeluaran benih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) dapat dilakukan untuk penelitian atau bukan untuk penelitian.

2) Pelaksanaan pemberian izin pengeluaran benih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) Menteri melimpahkan kewenangan kepada Kepala PPI.

Bagian KeduaPengeluaran Benih Untuk Penelitian

Pasal 26

Pengeluaran benih untuk penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) dengan persyaratan :a. jumlahnya terbatas sesuai dengan kebutuhan;b. menyertakan kesepakatan kerjasama penelitian;c. untuk benih tanaman langka disertakan nota kesepakatan transfer materi (MTA) dan PADIA (Prior

Informed Consent);d. memenuhi ketentuan peraturan per Undang-Undangan bidang karantina tumbuhan.

Pasal 27

Pengeluaran benih untuk penelitian selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 harus terjamin kelestarian sumber daya genetic dan dapat menjaga keamanan hayati.

Bagian KetigaPengeluaran Benih Bukan Untuk Penelitian

Pasal 28

1) Pengeluaran benih bukan untuk penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) dapat dilakukan dengan persyaratan:a. kebutuhan benih didalam negeri telah tercukupi;b. produksi benih khusus diperuntukkan bagi keperluan ekspor;c. terjamin kelestarian sumber daya genetika dan dapat menjaga keamanan hayati;d. mengikuti peraturan perundang-undangan di bidang karantina tumbuhan.

2) Benih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi standar mutu benih bina yang ditetapkan atau memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh negara tujuan (penerima).

~ 524 ~

Page 17: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

Pasal 29

1) Pengeluaran Benih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) untuk jenis tanaman tertentu harus berupa hibrida.

2) Jenis tanaman tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan lebih lanjut oleh Direktur Jenderal.

Bagian KeempatTata Cara Pengeluaran

Pasal 30

1) Untuk memperoleh izin pengeluaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) perorangan, badan hokum atau instansi pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada Kepala PPI dengan menggunakan formulir model-5, yang berisi :a. nama, alamat dan pekerjaan pemohon;b. nama produsen/pengolah benih;c. nama jenis tanaman;d. nama varietas/hibrida/klon;e. jumlah benih;f. perlakuan kimia atau fisik yang diberikan;g. bentuk benih;h. waktu panen bagi tanamanberbentuk biji/umbi;i. nama, alamat dan pekerjaan penerima;j. tempat pengeluaran;k. tujuan pengeluaran;l. negara tujuan.

2) Kepala PPI setelah menerima permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat dalam jangka waktu 3 (tiga) hari kerja telah selesai memeriksa dokumen permohonan termasuk sertifikat Sanitary and Phytosanitary (SPS) apabila disyaratkan oleh Negara tujuan.

3) Apabila dari hasil pemeriksaan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah memenuhi persyaratan dan dinyatakan lengkap, oleh Kepala PPI dimohonkan pertimbangan teknis kepada Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian atau Direktur Jenderal.

4) Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian atau Direktur Jenderal setelah menerima permohonan pertimbangan teknis dari Kepala PPI sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima) hari kerja harus sudah memberikan pertimbangan teknis.

5) Kepala PPI setelah menerima pertimbangan teknis dari Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian atau Direktur Jenderal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari kerja harus sudah memberikan jawaban menerima, menunda atau menolak.

Pasal 31

1) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 yang telah memenuhi persyaratan dan telah mendapat pertimbangan teknis tidak ada keberatan, diterbitkan izin pengeluaran dalam bentuk Keputusan seperti formulir model-6

2) Permohonan yang ditunda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (5), apabila persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dan/atau ayat (2) belum lengkap, dan masih ada kekurangan akan diberitahukan kepada pemohon dengan disertai penjelasan kekurangannya secara tertulis dengan menggunakan formulir model-7.

3) Apabila dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal pemberitahuan, pemohon belum atau tidak melengkapi kekurangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) permohonan dianggap ditarik kembali.

~ 525 ~

Page 18: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

Pasal 32

Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 setelah diteliti oleh Kepala PPI tidak benar, atau karena adanya alas an teknis, akan ditolak secara tertulis dengan menggunakan formulir model-7.

Pasal 33

Apabila dalam jangka waktu 11 (sebelas) hari kerja terhitung sejak tanggal pengeluaran permohonan Kepala PPI belum memberikan jawaban menerima, menunda atau menolak, Kepala PPI harus menerbitkan keputusan pemberian izin pengeluaran.

Pasal 34

1) Izin pengeluaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) berlaku untuk jangka waktu 6 (enam) bulan.

2) Dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), jenis dan jumlah benih yang tercantum dalam surat izin pengeluaran harus sudah selesai di keluarkan dari wilayah Negara Republik Indonesia.

3) Apabila dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk jenis dan jumlah benih belum dikeluarkan dari wilayah Negara Republik Indonesia, maka sisa yang belum di keluarkan diperlukan izin baru.

Pasal 35

Perorangan, badan hokum atau instansi pemerintah yang memperoleh izin pengeluaran benih berkewajiban :a. memiliki catatan/data benih yang dikeluarkan serta menyimpannya sela 1 (satu) tahun;b. melaporkan realisasi jumlah benih yang dikeluarkan kepada Kepala PPI;

Pasal 36

1) Izin pengeluaran benih dicabut, apabila :a. pemegang izin tidak melaksanakan ketentuan yang tercantum dalam surat izin;b. menimbulkan gangguan ketertiban umum;c. memindahkan izin kepada pihak lain;d. batas waktu izin telah habis; ataue. diserahkan kembali oleh pemegang izin kepada pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat

(3). 2) Pencabutan izin pengeluaran bneih karena alas an sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan b

dilakukan setelah pemegang izin diberi peringatan sebanyak 2 (dua) kali dengan selang waktu 1 (satu) minggu dan tidak mengindahkan peringatan.

3) Pencabutan izin pengeluaran benih, dikarenakan alas an sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c, d dan e dilakukan segera setelah diketahui adanya pemindahan, batas awaktu habis atau pengembalian izin dengan menggunakan formulir model-8.

Pasal 37

1) Untuk benih jenis tanaman langka pengeluarannya selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 harus pula disertai rekomendasi dari Komisi Plasma Nutfah.

2) Jenis tanaman langka sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan ditetapkan dengan keputusan tersendiri.

~ 526 ~

Page 19: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

BAB IVKETENTUAN PERALIHAN

Pasal 38

Permohonan izin pemasukan dan pengeluaran benih yang telah diajukan sebelum ditetapkannya Peraturan ini, tetap diproses sesuai dengan ketentuan dalam Keputusan Menteri Pertanian nomor 1017/Kpts/TP.120/12/1998.

BAB VKETENTUAN PENUTUP

Pasal 39

Dengan ditetapkannya Peraturan ini, maka ketentuan pemasukan dan pengeluaran benih sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Pertanian Nomor 1017/Kpts/TP.120/12/1998 dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 40

Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di JakartaPada tanggal 31 Agustus 2006

MENTERI PERTANIAN,

ANTON APRIYANTONOSALINAN Peraturan ini disampaikan kepada Yth :1. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian;2. Menteri Dalam Negeri;3. Menteri Keuangan;4. Menteri Kehutanan;5. Menteri Perdagangan;6. Menteri Perindustrian;7. Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah;8. Menteri Negara Perencanaan Pembangunan/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional;9. Pimpinan Unit Kerja Eselon I dilingkungan Departemen Pertanian;10. Gubernur Propinsi diseluruh Indonesia;11. Bupati/walikota di seluruh Indonesia.

~ 527 ~

Page 20: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

Formulir Model - 1

DAFTAR LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN

NOMOR : 28/Permentan/OT.140/8/2006TANGGAL : 31 Agustus 2006

NO KODE NAMA FORMULIR KETERANGAN

1 Formulir Model-1 Permohonan Izin Pemasukan Benih ke dalam Wilayah Negara Republik Indonesia

Kepala Pusat Perizinan dan Investasi

2 Formulir Model-2 Pemberian Izin Pemasukan Benih ke dalam Wilayah Negara Republik Indonesia

Kepala Pusat Perizinan dan Investasi

3 Formulir Model-3 Penolakan/Penundaan Izin Pemasukan Benih ke dalam Wilayah Negara Republik Indonesia

4 Formulir Model-4 Pencabutan Izin Pemasukan Benih ke dalam Wilayah Negara Republik Indonesia

5 Formulir Model-5 Permohonan Izin Pengeluaran Benih dari Wilayah Negara Republik Indonesia

Kepala Pusat Perizinan dan Investasi

6 Formulir-6 Pemberian Izin Pengeluaran Benih dari Wilayah Negara Republik Indonesia

Kepala Pusat Perizinan dan Investasi

7 Formulir Model-7 Penolakan/Penundaan Izin Pengeluaran Benih dari Wilayah Negara Republik Indonesia

8 Formulir Model-8 Pencabutan Izin Pengeluaran Benih dari Wilayah Negara Republik Indonesia

MENTERI PERTANIAN,

ANTON APRIYANTONO

~ 528 ~

Page 21: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

Formulir Model - 2

……………Nomor : Kepada Yth.Lampiran : Kepala Pusat Perizinan dan InvestasiPerihal : Permohonan Izin Pemasukan di –

Benih Ke Dalam Wilayah JAKARTANegara RI

Dengan ini kami :1. Nama : …………………………………………………….......

2. Alamat : ………………………………………………………...

3. Bentuk Usaha : perorangan/badan hukum/instansi pemerintah*)

4. NPWP : ………………………………………………………...

mengajukan permohonan izin untuk memasukkan izin untuk memasukkan benih kedalam wilayah Negara

Republik Indonesia untuk penelitian, khususnya pemuliaan/bukan untuk penelitian*) dengan kejelasan sebagai

berikut:

a. Jenis tanaman/spesies :……………………………...........................................

b. Varietas/Klon/Hibrida :………………………………………………………..

c. Bentuk benih :………………………………………………………..

d. Banyaknya benih :………………………………………………………..

e. Perlakuan fisik/kimia : ……………………………………………………….

f. Negara/tempat asal

benih di produksi : ……………………………………………………….

g. Nama produsen/

pengolahan benih :……………………………………………………….

h. Negarapengirim :………………………………………………………

i. Nama Pengirim :………………………………………………………

j. Alamat pengirim : ………………………………………………………

k. Pekerjaan pengirim : ………………………………………………………

l. Tempat pemasukan : ………………………………………………………

m. Tujuan penggunaan

benih : ………………………………………………………

Demikianlah disampaikan, atas perhatian Bapak diucapkan terima kasih.

Nama dan Tanda tangan pemohon

Jabatan

Cap Materai

(nama terang)

~ 529 ~

Page 22: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

Tembusan disampaikan Kepada Yth;

1.Menteri Pertanian;

2.Sekretaris Jenderal Departemen Pertanian (sebagai laporan);

3.Direktur Jenderal Tanaman Pangan;

4.Direktur Jenderal Tanaman Hortikultura;

5.Direktur Jenderal Tanaman Perkebunan;

6.Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian;

7.Kepala Badan Karantina Pertanian

8.Ketua Badan Benih Nasional;

9.Kepala Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih yang membidangi Pertanian;

10.Kepala Balai Pembibitan Ternak dan Hijauan Makanan Ternak.

~ 530 ~

Page 23: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

KEPUTUSAN KEPALA PUSAT PERIZINAN DAN INVESTASI

NOMOR :

TENTANG

PEMBERIAN IZIN PEMASUKAN BENIH

KEDALAM WILAYAH NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KEPALA PUSAT PERIZINAN DAN INVESTASI.

Menimbang : a. bahwa dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor ………. telah ditetapkan

Pemasukan dan Pengeluaran Benih;

b. bahwa sebagaimana tindak lanjut Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 14 Peraturan Menteri

Pertanian Nomor ……… dipandang perlu memberikan izin pemasukan benih;

Mengingat : 1. Undang-Undang;

2. Peraturan Pemerintah;

3. Peraturan Presiden/Keputasan Presiden;

4. Peraturan Menteri Pertanian/Keputasan Menteri Pertanian (tentang izin produksi

benih, izin Pemasukan benih dan Pengeluaran benih);

Memperhatikan : Surat Saudara/Direktur PT/Instansi Pemerintah Nomor ……tanggal ……………..;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan

KESATU : Memberikan izin untuk memasukan benih tananam……...kepada

a. Nama :

b. Alamat :

c. Bentuk usaha : perorangan /badan hukum /instansi pemerintah*)

d. NPWP :

e. Jenis tanaman/spesies :

f. Varietas/Klon/Hibrida :

g. Bentuk Benih :

h. Banyak benih :

i. Perlakuan fisik kimia :

j. Negara/tempat asal benih

di produksi :

k. Negara pengirim :

l. Nama pengirim :

m. Alamat pengirim :

n. Pekerjaan Pengirim :

~ 531 ~

Page 24: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

o. Tempat pemasukan :

p. Tujuan penggunaan benih :

KEDUA : Benih…………sebagaimana dimaksud dalam dictum KESATU dipergunakan untuk

penelitian/bukan untuk penelitian dan harus memenuhi standar mutu benih yang telah/akan

ditetapkan oleh Menteri Pertanian

KETIGA : Pemasukan benih sebagaimana dimaksud dictum KESATU harus mengikuti peraturan

perundang-undangan di bidang karantina tumbuhan.

KEEMPAT : Izin sebagaimana dimaksud dictum KESATU diberikan untuk jangka waktu 6 (enam) bulan,

dan selama jangka waktu tersebut pemeng izin harus memasukan seluruh benih yang di

izinkan kedalam wilayah Negara Republik Indonesia dan harus melaporkn kepada Kepala

Pusat Perizinan dan Investasi.

KELIMA : Izin sebagaimana dimaksud dictum KESATU dicabut apabila:

a. tidak melaksanakan ketentuan dimaksud dictum KEDUA dan dictum KETIGA;

b. melakukan kegiatan yang dapat menimbulkan gangguan ketertiban umum

c. memindahkan izin kepada pihak lain.

KEENAM : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di JAKARTA

Pada tanggal…………….

KEPALA PUSAT PERIZINAN DAN INVESTASI

(………………………..)

SALINAN Keputusan ini disampaikan Kepada Yth

1.Menteri Pertanian;

2.Sekretaris Jenderal Departemen Pertanian (sebagai laporan);

3.Direktur Jenderal Tanaman Pangan;

4.Direktur Jenderal Tanaman Hortikultura;

5.Direktur Jenderal Tanaman Perkebunan;

6.Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian;

7.Kepala Badan Karantina Pertanian

8.Ketua Badan Benih Nasional;

9.Kepala Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih yang membidangi Pertanian;

10.Kepala Balai Pembibitan Ternak dan Hijauan Makanan Ternak.

~ 532 ~

Page 25: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

Formulir Model -3

Jakarta,

Nomor : Kepada Yth.Lampiran : …………………………………….Perihal : Penolakan/penundaan*) ……………………………………. Izin Pemasukan benih ke ……………………………………. Kedalam wilayah Negara di- Republik Indonesia …………………………………..

Sehubungan dengan surat Sudara Nomor ……………. Tanggal………perihal permohonan izin pemasukan benih ……….dengan ini diberitahukan sesuai dengan Pasal 18 dan Pasal 19 Peraturan menteri Pertanian Nomor ……………tentang Pemasukan dan Pengeluaran Benih, permohonan Saudara ditolak/tunda”) dengan alasan :a. …………………………………………………………………b. …………………………………………………………………c. …………………………………………………………………d. …………………………………………………………………e. …………………………………………………………………

Saran / Arahan :……………………………………………………………………..……………………………………………………………………..

Demikian disampaikan,agar menjadi maklum.

KEPALA PUSAT PERIZINAN DAN INVESTASI

(………………………………)

Tembusan disampaikan kepada Yth ;1.Menteri Pertanian;

2.Sekretaris Jenderal Departemen Pertanian (sebagai laporan);

3.Direktur Jenderal Tanaman Pangan;

4.Direktur Jenderal Tanaman Hortikultura;

5.Direktur Jenderal Tanaman Perkebunan;

6.Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian;

7.Kepala Badan Karantina Pertanian

8.Ketua Badan Benih Nasional;

9.Kepala Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih yang membidangi Pertanian;

10.Kepala Balai Pembibitan Ternak dan Hijauan Makanan Ternak.

~ 533 ~

Page 26: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

Nomor : Jakarta,

Lampiran : ……………… Kepada Yth.

Perihal : Pencabutan izin pemasukan

Benih ke dalam wilayah Negara

Republik Indonesia,

Sehubungan dengan izin pemasukan benih ke dalam wilayah Negara Republik Indonesia,

sesuai surat Saudara Nomor ………… tanggal ………, maka surat izin Saudara dicabut dengan

alasan sebagai berikut:

a. ………………………………………………………………………..

b. ……………………………………………………………………….

c. …………………………………………………………………….....

d. ………………………………………………………………………

e. ………………………………………………………………………

Saran / Arahan :

…………………………………………………………………………

………………………………………………………………………….

Demikian disampaikan, agar menjadi maklum.

KEPALA PUSAT PERIZINAN DAN INVESTASI.

(……………………….)

Tembusan disampaikan kepada Yth ;

1.Menteri Pertanian;

2.Sekretaris Jenderal Departemen Pertanian (sebagai laporan);

3.Direktur Jenderal Tanaman Pangan;

4.Direktur Jenderal Tanaman Hortikultura;

5.Direktur Jenderal Tanaman Perkebunan;

6.Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian;

7.Kepala Badan Karantina Pertanian

8.Ketua Badan Benih Nasional;

9.Kepala Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih yang membidangi Pertanian;

10.Kepala Balai Pembibitan Ternak dan Hijauan Makanan Ternak.

~ 534 ~

Formulir Model -4

Page 27: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

Nomor : ………………………………..

Lampiran : Kepada Yth.

Perihal : Permohonan izin Kepala Pusat Perizinan dan Investasi

Pengeluaran benih di –

Dari wilayah Negara RI JAKARTA

Dengan ini kami :

1 N a m a : …………………………………….

2 Alamat : …………………………………….

3 Pekerjaan : …………………………………….

4 Bentuk usaha : perorangan/badan hokum/instansi Pemerintah *)

5 NPWP : ……………………………………

Mengajukan permohonan izin untuk mengeluarkan benih dari wilayah Negara Republik

Indonesia, dengan penjelasan sebagai berikut :

a. Jenis tanaman/spesies : ……………………………………

b. Varietas/klon/hibrida : ……………………………………

c. Bentuk benih : ……………………………………

d. Banyak benih : ……………………………………

e. Perlakuan fisik/kimia : ……………………………………

f. Nama Produsen/peng

Olah benih : ……………………………………

g. Negara tujuan : ……………………………………

h. Nama penerima : ……………………………………

i. Alamat penerima : ……………………………………

j. Tempat pengeluaran : ……………………………………

k. Tujuan pengeluaran

Benih. : …………………………………….

Demikian disampaiakn dan atas perhatian Bapak diucapkan

terima kasih

Nama dan Tanda tangan pemohon

Jabatan

Cap

Materai

(nama terang)

~ 535 ~

Formulir Model -5

Page 28: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

Tembusan disampaikan kepada Yth :

1.Menteri Pertanian;

2.Sekretaris Jenderal Departemen Pertanian (sebagai laporan);

3.Direktur Jenderal Tanaman Pangan;

4.Direktur Jenderal Tanaman Hortikultura;

5.Direktur Jenderal Tanaman Perkebunan;

6.Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian;

7.Kepala Badan Karantina Pertanian

8.Ketua Badan Benih Nasional;

9.Kepala Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih yang membidangi Pertanian;

10.Kepala Balai Pembibitan Ternak dan Hijauan Makanan Ternak.

~ 536 ~

Page 29: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

KEPUTUSAN KEPALA PUSAT PERIZINAN DAN INVESTASI

NOMOR :

TENTANG

PEMBERIAN IZIZN PENGELUARAN BENIH ………………….

DARI WILAYAH NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KEPALA PUSAT PERIZINAN DAN INVESTASI.

Menimbang : a. bahwa dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor …….. telah ditetapkan

Pemasukan dan Pengeluaran benih;

b. bahwa sebagai tindak lanjut Pasal 25 ayat (2) Peratutan Menteri Pertanian Nomor

…….. dipandang perlu memberikan izin pengeluaran benih;

Mengingat : 1. Undang-undang;

2. Peraturan Pemerintah;

3. Peraturan Presiden/Keputusan Presiden;

4. Peraturan Menteri Peertanian/Keputusan Menteri Pertanian (tentang izin produksi

benih,izin Pemasukan benih dan pengeluaran benih)

Memperhatikan : Surat Saudara/Direktur PT/Instansi Pemerintah Nomor ………..tanggal

……………….;

MEMUTUSKAN

Menetapkan

KESATU : Memberikan izin untuk mengeluarakan benih tanam …………. Kepada

a. Nama :

b. Alamat :

c. Bentuk usah : perorangan/badan usaha/

d. NPWP : instansi pemerintah *)

e. Jenis tanaman/spesies :

f. Varietas/klon/hibrida :

g. Bentuk benih :

h. Banyak benih :

i. Perlakuan fisik/kimia :

j. Nama Produsen/

Pengolahan benih

k. Negara tujuan :

l. Nama penerima

Alamat :

m. Tempat pengeluaran :

~ 537 ~

Formulir Model -6

Page 30: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

n. Tujuan pengeluaran :

Benih

KEDUA : Izin sebagaimana dimaksud dictum KESATU diberikan untuk jangka waktu 6

(enam) bulan terhitung sejak ditanda tangani keputusan ini, dan dalam jangka waktu

tersebut pemegang izin harus selesai mengeluarkan seluruh benih yang diizinkan dari

wilayah Negara Republik Indonesia;

KETIGA : Pengeluaran benih sebagaimana dimaksud dictum KESATU harus mengikuti

peraturan perundang-undangan di bidang karantina tumbuhan.

KEEMPAT : Izin pengeluaran benih sebagaimana dimaksud dictum KESATU dicabut apabila :

a. Melakukan kegiatan yang dapat menimbulkan gangguan ketertiban umum

b. Tidak mengikuti peraturan perundang-undangan di bidang karantina tumbuhan

c. Memindahkan izin kepada orang lain.

KELIMA : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di JAKARTA

Pada tanggal …………..

KEPALA PUSAT PERIZINAN DAN INVESTASI

(……………………….)

SALINAN Keputusan ini disampaikan kepada Yth :

1.Menteri Pertanian;

2.Sekretaris Jenderal Departemen Pertanian (sebagai laporan);

3.Direktur Jenderal Bea dan Cukai

4.Direktur Jenderal Tanaman Pangan;

5.Direktur Jenderal Tanaman Hortikultura;

6.Direktur Jenderal Tanaman Perkebunan;

7.Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian;

8.Kepala Badan Karantina Pertanian

9.Ketua Badan Benih Nasional;

10.Kepala Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih yang membidangi Pertanian;

11.Kepala Balai Pembibitan Ternak dan Hijauan Makanan Ternak.

12.Kepala Dinas Kabupaten/Kota yang membidangi Pertanian.

~ 538 ~

Page 31: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

Jakarta,

Nomor : Kepada Yth.Lampiran : ……………………………………..Perihal : Penolakan/penundaan*) . ……………………………………. Izin Pengeluaran benih ke ……………………………………. Kedalam wilayah Negara di- Republik Indonesia …………………………………..

Sehubungan dengan surat Sudara Nomor ……………. Tanggal………perihal permohonan izin pemasukan benih ……….dengan ini diberitahukan sesuai dengan Pasal 18 dan Pasal 19 Peraturan menteri Pertanian Nomor ……………tentang Pemasukan dan Pengeluaran Benih, permohonan Saudara ditolak/tunda”) dengan alasan :a …………………………………………………………………b …………………………………………………………………c …………………………………………………………………d …………………………………………………………………e …………………………………………………………………

Saran / Arahan :……………………………………………………………………..……………………………………………………………………..Demikian disampaikan,agar menjadi maklum.

KEPALA PUSAT PERIZINAN DAN INVESTASI

(………………………………)

Tembusan disampaikan kepada Yth ;1.Menteri Pertanian;

2.Sekretaris Jenderal Departemen Pertanian (sebagai laporan);

3.Direktur Jenderal Tanaman Pangan;

4.Direktur Jenderal Tanaman Hortikultura;

5.Direktur Jenderal Tanaman Perkebunan;

6.Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian;

7.Kepala Badan Karantina Pertanian

8.Ketua Badan Benih Nasional;

9.Kepala Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih yang membidangi Pertanian;

10.Kepala Balai Pembibitan Ternak dan Hijauan Makanan Ternak.

~ 539 ~

Formulir Model -7

Page 32: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

Nomor : Jakarta,

Lampiran : ……………… Kepada Yth.

Perihal : Pencabutan izin pengeluaran

Benih ke dalam wilayah Negara

Republik Indonesia,

Sehubungan dengan izin pemasukan benih ke dalam wilayah Negara Republik Indonesia,

sesuai surat Saudara Nomor ………… tanggal ………, maka surat izin Saudara dicabut dengan

alasan sebagai berikut:

a ……………………………………………………………………….

b ………………………………………………………………………

c ……………………………………………………………………....

d ………………………………………………………………………

e ………………………………………………………………………

Saran / Arahan :

…………………………………………………………………………

………………………………………………………………………….

Demikian disampaikan, agar menjadi maklum.

KEPALA PUSAT PERIZINAN DAN INVESTASI.

(………………………..…………….)

Tembusan disampaikan kepada Yth ;

1.Menteri Pertanian;

2.Sekretaris Jenderal Departemen Pertanian (sebagai laporan);

3.Direktur Jenderal Tanaman Pangan;

4.Direktur Jenderal Tanaman Hortikultura;

5.Direktur Jenderal Tanaman Perkebunan;

6.Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian;

7.Kepala Badan Karantina Pertanian

8.Ketua Badan Benih Nasional;

9.Kepala Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih yang membidangi Pertanian;

10.Kepala Balai Pembibitan Ternak dan Hijauan Makanan Ternak.

~ 540 ~

Formulir Model -8

Page 33: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

P ERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 07/Permentan/SR.140/2/2007

TENTANG

SYARAT DAN TATA CARA PENDAFTARAN PESTISIDA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI PERTANIAN,

Menimbang : a. bahwa pestisida dapat memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat, namun dapat pula membahayakan kesehatanmanusia, kelestarian sumber daya alam hayati dan lingkungan hidup;

b. bahwa dengan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 434.1/Kpts/TP.270/7/2001 telah ditetapkan mengenai Syarat dan Tatacara Pendaftaran Pestisida;

c. bahwa dengan adanya perubahan organisasi Departemen Pertanian dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, Keputusan Menteri Pertanian Nomor 434.1/Kpts/TP.270/7/2001 sudah tidak sesuai lagi;

d. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas, dipandang perlu meninjau kembali Keputusan Menteri Pertanian Nomor 434.1/Kpts/TP.270/7/2001;

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3478);

2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3495);

3. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);

4. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3821);

5. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1973 tentang Pengawasan Atas Peredaran, Penyimpanan dan Penggunaan Pestisida (Lembaran Negara Tahun 1973 Nomor 12);

6. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3586);

7. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 30, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3815);

8. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4153);

9. Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2002 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Departemen Pertanian (Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 92,Tambahan Lembaran Negara Nomor 4224) juncto Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2004 (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 14, Tambahan Lembaran Negara Nom or 4362);

10. Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004 tentang Pembentukan Kabinet

~ 541 ~

Page 34: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

Indonesia Bersatu;11. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi,

Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia;12. Peraturan Presiden Nom or 10 Tahun 2005 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon

I Kementerian Negara Republik Indonesia, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2005;

13. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 472/Menkes/PE R/XI/199 tentang Bahan Berbahaya;

14. Peraturan Menteri Kesehatan dan Menteri Pertanian Nomor : 881/Menkes/SKB/VIII/1996, 771/ Kpts/TP.270/8/1996 tentang Batas Maksimum Residu Pestisida Pada Hasil Pertanian;

15. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1350/Menkes/SK/XII/2001 tentang Pestisida;16. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1184/Menkes/Per/X/2004 tentang

Pengamanan Alat Kesehatan dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga;17. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 299/Kpts/OT.140/7/2005 tentang Organisasi dan

Tata Kerja Departemen Pertanian;18. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 341/Kpts/OT.140/8/2005 tentang Kelengkapan

Organisasi dan Tata Kerja Departemen Pertanian;19. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 319/Kpts/OT.160/5/2006 tentang Komisi

Pestisida;

Memperhatikan : Pendapat Kom isi Pestisida dalam suratnya Nomor 1006/Kompes/2006 tanggal 27 Desember 2006.

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN MENTERI PERTANIAN TENTANG SYARAT DAN TATACA RA PE NDAFTARAN PESTISIDA.

BAB IKETENTUA N UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan:1. Pendaftaran pestisida adalah proses untuk mendapatkan nomor pendaftaran dan izin pestisida.2. Pestisida adalah semua zat kim ia dan bahan lain serta jasad renik dan virus yang dipergunakan

untuk:a. memberantas atau mencegah hama-hama dan penyakit yang m erusak tanaman, bagian-bagian

tanaman atau hasil-hasil pertanian;b. memberantas rerumputan;c. mematikan daun dan mencegah pertumbuhan yang tidak diinginkan;d. mengatur atau merangsang pertumbuhan tanaman atau bagian-bagian tanaman tidak termasuk

pupuk;e. memberantas atau mencegah hama-hama luar pada hewan-hewan piaraan dan ternak;f. memberantas atau mencegah hama-hama air;g. memberantas atau mencegah binatang-binatang dan jasad-jasad renik dalam rumah tangga,

bangunan dan dalam alat-alat pengangkutan; dan atauh. memberantas atau mencegah binatang-binatang yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia

atau binatang yang perlu dilindungi dengan penggunaan pada tanaman, tanah atau air.3. Pestisida untuk penggunaan umum adalah pestisida yang dalam penggunaannya tidak memerlukan

persyaratan dan alat-alat pengamanan khusus di luar yang tertera pada label.4. Pestisida untuk penggunaan terbatas adalah pestisida yang dalam penggunaannya memerlukan

persyaratan dan alat-alat pengaman khusus di luar yang tertera pada label.5. Bahan aktif adalah bahan kimia sintetik atau bahan alam i yang terkandung dalam bahan teknis atau

formulasi pestisida yang memiliki daya racun atau pengaruh biologis lain terhadap organisme sasaran.6. Bahan aktif standar adalah bahan aktif murni yang digunakan sebagai pembanding dalam proses

analisis kadar bahan aktif pestisida.7. Bahan teknis adalah bahan baku pembuatan formulasi yang dihasilkan dari suatu pembuatan bahan

~ 542 ~

Page 35: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

aktif, yang mengandung bahan aktif dan bahan pengotor ikutan (impurities) atau dapat juga mengandung bahan lainnya yang diperlukan.

8. Bahan teknis asal adalah bahan yang dihasilkan langsung dari proses sintetis, ekstraksi atau proses lainnya untuk menghasilkan bahan aktif.

9. Bahan teknis olahan adalah bahan yang dihasilkan dari proses pengolahan bahan teknis asal dengan tujuan tertentu seperti keamanan, stabilitas atau keperluan tertentu dalam proses pembuatan formulasi, pewadahan, pengangkutan dan penyimpanan.

10. Formulasi adalah campuran bahan aktif dengan bahan tambahan dengan kadar dan bentuk tertentu yang mempunyai daya kerja sebagai pestisida sesuai dengan tujuan yang direncanakan.

11. Formulasi berbahan aktif sama adalah formulasi yang jenis bahan aktifnya sama.12. Pemilik formulasi adalah perorangan badan hukum yang menjadi pemilik atas suatu resep formulasi

pestisida.13. Resep formulasi adalah suatu keterangan yang menyatakan:

a. jenis dan banyaknya bahan aktif dan bahan penyusun lainnya yang terdapat dalam suatu formulasi pestisida; dan atau

b. Cara memformulasi suatu pestisida dengan menggunakan bahan teknis atau bahan aktif dan bahan penyusun lainnya.

14. Pemohon adalah setiap orang atau badan hukum yang mengajukan permohonan pendaftaran dan izin pestisida.

15. Pemegang nomor pendaftaran adalah setiap orang atau badan hukum yang telah memperoleh nomor pendaftaran dan izin atas pestisida yang menjadi tanggung jawabnya.

16. Peredaran adalah impor-ekspor dan atau jual beli di dalam negeri termasuk pengangkutan pestisida.17. Penyimpanan adalah memiliki pestisida dalam persediaan di halaman atau dalam ruang yang

digunakan oleh importir, pedagang atau di usaha-usaha pertanian.18. Penggunaan adalah menggunakan pestisida dengan atau tanpa alat dengan maksud seperti tersebut

dalam angka 2.19. Wadah adalah tempat yang terkena langsung pestisida untuk menyim pan selama dalam penanganan.20. Label adalah tulisan dan dapat disertai dengan gambar atau simbol, yang memberikan keterangan

tentang pestisida, dan m elekat pada wadah atau pembungkus pestisida.21. Pemusnahan adalah menghilangkan sifat dan fungsi pestisida.22. Sertifikat penggunaan adalah surat keterangan yang dikeluarkan oleh Ketua Komisi Pengawasan

Pestisida Propinsi/Kabupaten/Kota atau pejabat yang berwenang yang m enyatakan bahwa pemilik sertifikat telah mengetahui tata cara penggunaan pestisida terbatas.

23. Pengguna adalah orang atau badan hukum yang menggunakan pestisida dengan atau tanpa alat.24. Penamaan formulasi adalah nama dagang suatu formulasi pestisida yang didaftarkan oleh pemohon.25. Penamaan bahan teknis adalah nama dagang suatu bahan teknis yang pada dasarnya sama dengan

nama bahan aktifnya yang didaftarkan oleh pemohon.26. Residu pestisida adalah sisa pestisida, termasuk hasil perubahannya yang terdapat pada atau dalam

jaringan manusia, hewan, tumbuhan, air, udara atau tanah.27. Toksisitas akut adalah pengaruh yang merugikan yang timbul segera setelah pemaparan dengan

dosis tunggal suatu bahan kimia atau bahan lain, atau pemberian dosis ganda dalam waktu lebih kurang 24 jam .

28. Toksisitas subkronik adalah pengaruh yang merugikan pada hewan percobaan yang timbul sebagai akibat pemberian takaran harian berulang dari bahan kimia atau bahan lain, dengan periode pemaparan selama 3 bulan.

29. Toksisitas kronik adalah pengaruh yang merugikan pada hewan percobaan yang timbul sebagai akibat pemberian takaran harian berulang dari bahan kimia atau bahan lain, dengan periode pemaparan selama 2 tahun.

30. Lethal dose-50 selanjutnya disingkat LD adalah dosis tunggal bahan kimia atau 50 bahan lain yang diturunkan secara statistik yang dapat menyebabkan kematian 50% dari populasi organisme dalam serangkaian kondisi percobaan yang telah ditentukan.

31. Lethal concentration-50 yang selanjutnya disingkat LC adalah konsentrasi 50 yang diturunkan secara statistik yang dapat menyebabkan kematian 50% dari populasi organisme dalam serangkaian kondisi percobaan yang telah ditentukan.

32. Acceptable Daily Intake yang selanjutnya disingkat ADI adalah angka penduga asupan harian bahan kim ia yang dapat diterima dalam makanan sepanjang hidup manusia tanpa menimbulkan resiko kesehatan yang bermakna.

33. Batas Maksimum Residu yang selanjutnya disingkat BMR adalah merupakan batas dugaan

~ 543 ~

Page 36: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

maksimum residu pestisida yang diperbolehkan yang terdapat dalam berbagai hasil pertanian.34. Lethal time-50 yang selanjutnya disingkat LT adalah waktu dalam hari yang 50 diperlukan untuk

mematikan 50% hewan percobaan dalam kondisi tertentu.35. Decomposition time-50 yang selanjutnya disingkat DT adalah waktu yang 50 diperlukan untuk

terjadinya 50% dekomposisi berupa disipasi dan degradasi suatu bahan kimia di suatu media.36. Efikasi adalah efektivitas pestisida terhadap organisme sasaran yang didaftarkan berdasarkan pada

hasil percobaan lapangan atau laboratorium menurut metode yang berlaku.37. Resurjensi adalah peningkatan populasi organisme sasaran setelah diperlakukan dengan pestisida.38. Resistensi adalah penurunan tingkat kepekaan populasi organisme sasaran terhadap pestisida yang

dapat menyebabkan pestisida yang semula efektif untuk mengendalikan organisme sasaran tersebut menjadi tidak efektif lagi.

39. Iritasi adalah gejala inflamasi yang terjadi pada kulit atau membran mukosa segera setelah perlakuan berkepanjangan atau berulang dengan menggunakan bahan kimia atau bahan lain.

40. Karsinogenik adalah sifat suatu bahan yang dapat mendorong atau menyebabkan kanker.41. Teratogenik adalah sifat bahan kimia yang dapat menyebabkan/menghasilkan bayi cacat/kecacatan

tubuh pada kelahiran.42. Mutagenik adalah sifat bahan kimia yang menyebabkan terjadinya mutasi gen.43. Rerumputan adalah tumbuhan pengganggu atau gulma.44. Pestisida dilarang adalah jenis pestisida yang dilarang untuk semua bidang penggunaan atau bidang

penggunaan tertentu dengan tujuan melindungi kesehatan manusia dan lingkungan hidup, dan ditetapkan oleh suatu peratuan perundang-undangan. Pengertian tersebut termasuk jenis-jenis pestisida yang telah ditolak sejak pertama kali didaftarkan, atau dilarang berdasarkan permintaan pemilik atau berdasarkan pertimbangan lain yang dibuktikan berdasarkan data, dengan alasan melindungi kesehatan manusia dan lingkungan hidup.

45. Pengelolaan tumbuhan adalah bidang pengelolaan tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, lansekap dan lingkungan perairan.

46. Kepala Pusat adalah Kepala Pusat Perizinan dan Investasi.

Pasal 2

(1) Peraturan ini dimaksudkan sebagai dasar hukum untuk penyelenggaraan pendaftaran termasuk pengujian dan perizinan serta pengawasan pestisida.

(2) Peraturan ini bertujuan untuk:a. melindungi masyarakat dan lingkungan hidup dari pengaruh yang membahayakan sebagai akibat

penyimpanan, peredaran dan penggunaan pestisida;b. meningkatkan efisiensi dan efektivitas penggunaan pestisida;c. mendukung penerapan sistem Pengendalian Hama Terpadu (PHT); dand. memberikan kepastian hukum dalam melakukan kegiatan pengadaan, penyimpanan dan peredaran

pestisida.

Pasal 3

Ruang lingkup pengaturan peraturan ini meliputi klasifikasi, jenis perizinan persyaratan pendaftaran, tata cara pendaftaran, wadah dan label pestisida, dan sanksi administrasi.

Pasal 4

Bidang penggunaan pestisida m eliputi:a. pengelolaan tumbuhan;b. peternakan dan kesehatan hewan;c. perikanan;d. perhutanan;e. penyimpanan hasil pertanian;f. rumah tangga;g. pengendalian vektor penyakit pada m anusia;h. karantina dan pra-pengapalan.

~ 544 ~

Page 37: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

BAB IIKLASIFIKASI

Pasal 5

(1) Berdasarkan bahayanya, pestisida dapat diklasifikasikan ke dalam:a. pestisida yang dapat didaftarkan;b. pestisida yang dilarang.

(2) Pestisida yang dapat didaftarkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi pestisida yang tidak term asuk ke dalam kategori pestisida yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam ayat (3).

(3) Pestisida yang dilarang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, adalah pestisida yang termasuk ke dalam kriteria sebagai berikut:a. formulasi pestisida tersebut termasuk kelas Ia artinya sangat berbahaya sekali dan kelas Ib

artinya berbahaya sekali menurut klasifikasi WHO;b. mempunyai LC inhalasi formulasi lebih kecil dari 0,05 m g/I selama 4 jam 50 periode

pemaparan;c. bahan aktif atau bahan lain yang mempunyai efek karsinogenik (kategori I dan IIa

berdasarkan klasifikasi International Agency for Research on Cancer), teratogenik atau mutagenik

(4) Berdasarkan pada cara penggunaannya, pestisida dapat diklasifikasikan kedalam:a. pestisida untuk penggunaan umum;b. pestisida terbatas

(5) Pestisida yang berdasarkan cara penggunaannya diklasifikasikan sebagai pestisida terbatas, adalah pestisida yang memiliki kriteria sebagai berikut:a. formulasi pestisida korosif pada m ata (menyebabkan kerusakan tak terkembalikan pada

jaringan okular) atau mengakibatkan pengerutan kornea atau iritasi sampai 7 (tujuh) hari atau lebih;b. formulasi pestisida korosif terhadap kulit (menyebabkan kerusakan jaringan dalam dermis dan

atau luka bekas) atau mengakibatkan iritasi berat sampai 72 (tujuh puluh dua) jam atau lebih;c. bila digunakan seperti tertera pada label, atau m enurut praktek yang biasa dilakukan,

pestisida tersebut masih menyebabkan keracunan yang nyata secara subkronik, kronik atau tertunda bagi manusia sebagai akibat pemaparan secara tunggal dan majemuk terhadap pestisida tersebut atau residunya; dan

d. termasuk dalam golongan bahan perusak lapisan ozon.(6) Pestisida yang tidak termasuk ke dalam ayat (3) dan ayat (5) merupakan pestisida untuk

penggunaan umum.a. Menteri dapat mengubah klasifikasi penggunaan pestisida terbatas menjadi pestisida untuk

penggunaan umum atau pestisida dilarang atas saran dan pertimbangan Komisi Pestisida;b. Menteri dapat mengubah klasifikasi penggunaan pestisida untuk penggunaan umum menjadi

pestisida dilarang atau pestisida terbatas atas saran dan pertimbangan Komisi Pestisida.

Pasal 6

(1) Jenis-jenis bahan aktif pestisida dilarang untuk semua bidang penggunaan sebagaimana tercantum pada Lampiran I butir 1 Peraturan ini

(2) Jenis-jenis bahan aktif pestisida yang dilarang untuk bidang pestisida bidang rumah tangga sebagaimana tercantum pada Lampiran I butir 2 Peraturan ini.

Pasal 7

(1) Setiap orang yang akan menggunakan pestisida terbatas sebagaim ana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4) huruf b, wajib memiliki sertifikat penggunaan pestisida terbatas.

(2) Sertifikat penggunaan pestisida terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada orang yang telah lulus pelatihan penggunaan pestisida terbatas.

(3) Pelatihan penggunaan pestisida terbatas sebagaim ana dimaksud pada ayat (2) diselenggarakan oleh Ketua Komisi Pengawasan Pestisida Propinsi/Kabupaten/Kota atau pejabat yang ditunjuk.

~ 545 ~

Page 38: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

(4) Sertifikat penggunaan pestisida terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dikeluarkan oleh Ketua Komisi Pengawasan Pestisida Propinsi/Kabupaten/Kota atau pejabat yang ditunjuk.

(5) Sertifikat penggunaan pestisida terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (2), berlaku di seluruh Indonesia selama 5 tahun dan dapat diperpanjang.

(6) Pelatihan pengguna pestisida terbatas dan pemberian sertifikat sesuai ketentuan yang berlaku.

Pasal 8

Badan Hukum dapat menggunakan pestisida terbatas apabila diaplikasikan oleh orang yang telah memiliki sertifikat penggunaan pestisida terbatas sebagaimana dimaksud dalam Pasal7

Pasal 9

(2) Jenis-jenis bahan aktif pestisida terbatas seperti tercantum pada Lampiran II Peraturan ini.

BAB IIIJENIS PERIZINAN

Pasal 10

Jenis izin pestisida terdiri atas:a. izin percobaan;b. izin sementara;c. izin tetap.

Pasal 11

(1) Izin percobaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a, diberikan oleh Kepala Pusat untuk jangka waktu 1 tahun, dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu 1 (satu) tahun.

(2) Izin percobaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan dengan maksud agar pemohon dapat membuktikan kebenaran klaimnya mengenai mutu, efikasi dan keamanan pestisida yang didaftarkannya.

(3) Pestisida yang telah memperoleh izin percobaan tidak boleh diedarkan dan atau digunakan secara komersial.

Pasal 12

(1) Izin sementara sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf b diberikan oleh Menteri atas saran dan atau pertimbangan Komisi Pestisida terhadap pestisida yang telah memenuhi sebagian persyaratan teknis dan adm inistrasi, untuk jangka waktu 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu 1 (satu) tahun.

(2) Izin sementara diberikan dengan m aksud agar pem ohon dapat melengkapi data dan inform asi sesuai dengan persyaratan teknis dan administrasi yang ditetapkan, dan apabila pemohon tidak dapat melengkapi persyaratan teknis dan administrasi tersebut di atas, maka permohonan dianggap ditarik kembali.

(3) Pestisida yang telah memperoleh izin sementara dapat diproduksi/diedarkan dan digunakan dalam jumlah yang terbatas yang ditetapkan melalui Keputusan Menteri sesuai dengan jumlah komoditi, dosis atau konsentrasi dan aplikasi.

(4) Apabila penggunaan pestisida sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terbukti menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan manusia dan lingkungan hidup, izin sementara dapat ditinjau kembali atau dicabut.

Pasal 13

(1) zin tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf c diberikan oleh Menteri Pertanian atas saran dan atau pertimbangan Komisi Pestisida setelah pemohon memenuhi semua persyaratan teknis dan administrasi yang ditetapkan, berlaku untuk jangka waktu 5 (lima) tahun.

(2) Pestisida yang telah memperoleh izin tetap dapat diproduksi/diedarkan dan digunakan.(3) Izin Tetap sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperluas penggunaannya pada sasaran

lain yang belum terdaftar. Izin perluasan penggunaan ditetapkan oleh Menteri Pertanian atas saran ~ 546 ~

Page 39: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

dan pertimbangan Komisi Pestisida, setelah pemohon memenuhi semua persyaratan teknis dan administrasi yang ditetapkan.

(4) Apabila penggunaan pestisida sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terbukti menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan manusia dan atau kelestarian lingkungan, izin tetap dapat ditinjau kem bali atau dicabut.

BAB IVPERSYARATAN PENDAFTARAN

Pasal 14

(1) Permohonan pendaftaran pestisida dapat dilakukan oleh perorangan warganegara Indonesia atau badan hukum Indonesia dengan memenuhi persyaratan pendaftaran sebagai berikut:a. Akta pendirian dan perubahannya, bagi Firma, CV, NV dan badan hukum;b. Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP)/Tanda Daftar Usaha perdagangan pestisida;c. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP); dand. Surat keterangan domisili/Kartu Tanda Penduduk (KTP).

(2) Pendaftaran pestisida sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemilik Formulasi yang bersangkutan atau kuasanya.

(3) Untuk Pemilik Formulasi yang berasal dari luar negeri, pendaftaran pestisida dilakukan oleh perwakilan yang berbadan hukum Indonesia.

Pasal 15

(1) Pestisida yang dapat didaftarkan di Indonesia yaitu pestisida yang tidak termasuk pestisida yang dilarang sebagaimana dimaks ud dalam Pasal 5 ayat (3) dan tidak mengandung bahan aktif pestisida yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6.

(2) Pestisida sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat kemurnian kadar bahan aktif yang memenuhi spesifikasi S NI, FAO, WHO atau badan internasional lain yang diakui atau persyaratan teknis minimal yang ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 16

Permohonan pendaftaran disamping harus memenuhi persyaratan sebagaim ana dimaksud dalam Pasal 14, juga harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:a. Setiap formulasi yang dihasilkan oleh setiap pemilik, yang digunakan untuk setiap bidang penggunaan,

harus didaftarkan atas nama satu pemohon;b. formulasi-formulasi berbahan aktif sama, baik tunggal maupun majemuk yang dihasilkan oleh satu

pemilik, yang digunakan untuk satu bidang bidang penggunaan, hanya dapat didaftarkan atas nama satu pemohon;

c. formulasi pestisida berbahan aktif majemuk untuk bidang penggunaan pengelolaan tumbuhan, kecuali ZPT, ajuvan, pestisida biologi dan rodentisida, tidak menimbulkan efek antagonis.

Pasal 17

(1) Pestisida yang didaftarkan harus diberikan penamaan tersendiri, yang merupakan identitas dari setiap formulasi pestisida yang akan diedarkan.

(2) Penamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh sama atau hampir sama dengan formulasi lain yang sudah didaftarkan.

(3) Penamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:a. setiap formulasi hanya diberi satu nama dagang yang terdiri dari 3 (tiga) unsur, yaitu nama

diri yang tidak berkaitan dengan nama umum dan atau nama bahan aktif, angka yang menunjukkan kadar bahan aktif dan kode huruf yang menunjukkan bentuk formulasi;

b. setiap penamaan formulasi pestisida yang didaftarkan dilampiri bukti telah melakukan pendaftaran dari instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan tentang Hak Kekayaan Intelektual (HKI);

c. penamaan formulasi sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b tidak bersifat agitatif seperti misalnya kata-kata “dahsyat”, “hebat”, “super” atau “ampuh”.

(4) Penamaan bahan teknis harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ~ 547 ~

Page 40: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

diikuti dengan angka dan kode yang berturut-turut menunjukkan kadar bahan aktif dan macam bahan teknis.

BAB VTATACARA PENDAFTARAN

Pasal 18

(1) Permohonan pendaftaran pestisida diajukan secara tertulis kepada Kepala Pusat dengan dibubuhi materai secukupnya berdasarkan peraturan perundang- undangan yang berlaku, dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV atau V atau VI Peraturan ini.

(2) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disertai persyaratan yanglengkap sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud BAB IV.

Pasal 19

(1) Permohonan dapat diterima apabila memenuhi semua persyaratan sebagaimana dimaksud dalam BAB IV, dengan dilengkapi semua keterangan yang diminta dalam format permohonan pendaftaran sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV atau V atau VI Peraturan ini.

(2) Setelah diterimanya permohonan pendaftaran pestisida sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Pusat paling lambat dalam waktu 20 (dua puluh) hari kerja telah memberikan jawaban diterima, ditunda atau ditolak.

(3) Apabila dari hasil pemeriksaan berkas permohonan sebagaimana dim aksud pada ayat (2) dinyatakan lengkap dan benar, Kepala Pusat m emberikan izin percobaan.

(4) Apabila dari hasil pemeriksaan berkas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan belum lengkap, Kepala Pusat memberikan surat penundaan.

(5) Apabila Kepala Pusat memberikan surat penundaan, pemohon diberi kesempatan untuk melengkapi atau memperbaharui persyaratan yang diperlukan.

(6) Apabila dari hasil pemeriksaan berkas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan tidak lengkap dan tidak benar, Kepala Pusat memberikan surat penolakan.

Pasal 20

(1) Pemohon setelah memperoleh izin percobaan harus menyerahkan sampel pestisida ke Pusat Perizinan dan Investasi;

(2) Laboratorium yang melaksanakan uji mutu pestisida adalah laboratorium yang terakreditasi atau yang ditunjuk oleh Menteri sebagaimana tercantum dalam Lampiran X Peraturan ini;

(3) Hasil uji mutu dan sampel pestisida oleh laboratorium penguji sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada Kepala Pusat, dan Kepala Pusat selanjutnya paling lambat dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja telah selesai melakukan evaluasi sesuai dengan batas toleransi hasil uji mutu sebagaimana tercantum pada Lampiran XIV Peraturan ini.

(4) Apabila hasil uji mutu dan sampel pestisida sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak memenuhi syarat, Kepala Pusat memberitahukan kepada pem ohon, dan pemohon dapat mengajukan permohonan ulang untuk dilakukan uji mutu.

(5) Apabila hasil uji mutu dan sampel pestisida sebagaimana dimaksud pada ayat (4) memenuhi syarat, kemudian sampel disegel oleh Pusat Perizinan dan Investasi.

(6) Hasil uji mutu dan sampel pestisida yang telah disegel sebagaimana dimaksud pada ayat (5) oleh Kepala Pusat disampaikan kepada pemohon.

(7) Apabila hasil uji mutu dan sampel pestisida yang telah disegel sebagaimana dimaksud pada ayat (7) telah diterima, pemohon segera menyerahkan sampel yang telah disegel ke lembaga penguji toksisitas dan efikasi yang telah terakreditasi atau yang ditunjuk oleh Menteri sebagaimana tercantum dalam Lampiran XI, dan XII Peraturan ini;

(8) Dalam melakukan pengujian efikasi dan toksisitas sebagaimana dimaksud pada ayat (7), lembaga penguji wajib mengikuti metode standar yang berlaku dan menyampaikan laporan hasil uji efikasi dan toksisitas kepada Kepala Pusat.

(9) Laporan hasil uji efikasi dan toksisitas sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dievaluasi oleh Pusat Perizinan dan Investasi bersama dengan Tim Teknis Evaluasi Pendaftaran P estisida, sesuai dengan

~ 548 ~

Page 41: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

kriteria teknis seperti tercantum dalam Lampiran III Peraturan ini.(10) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (9) disampaikan pada rapat pleno Komisi Pestisida

sebagai bahan evaluasi Komisi Pestisida.(11) Berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (10) permohonan pendaftaran dapat

diterima atau ditolak.(12) Apabila perm ohonan pendaftaran diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (11), Menteri

Pertanian paling lambat 90 (sembilan puluh) hari kerja telah menetapkan Keputusan Menteri tentang Pendaftaran dan Izin Pestisida.

(13) Apabila permohonan pendaftaran ditolak sebagaimana dimaksud pada ayat (11), Kepala Pusat dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja telah mengeluarkan surat penolakan.

Pasal 21

(1) Keputusan Menteri Pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (12) dapat berupa :a. pemberian nomor pendaftaran dan izin sementara; ataub. pemberian nomor pendaftaran dan izin tetap.

(2) Keputusan Menteri Pertanian mengenai pemberian nomor pendaftaran dan izin sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditetapkan apabila masih diperlukan pengujian lebih lanjut tentang tingkat keamanan terhadap lingkungan hidup dan kesehatan manusia sebagaimana tercantum pada Lampiran III Peraturan ini.

Pasal 22

(1) Tatacara pendaftaran pestisida sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 sampai dengan Pasal 20 secara mutatis mutandis berlaku juga bagi pendaftaran bahan teknis pestisida dan pestisida untuk ekspor kecuali pengujian efikasi, toksikologi lingkungan, resurjensi dan residu tidak diperlukan.

(2) Pendaftaran bahan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan format sebagaimana tercantum pada Lampiran VII Peraturan ini.

Pasal 23

(1) Nomor pendaftaran yang telah diberikan dalam izin sementara atau izin tetap, dapat beralih atau dialihkan, karena:a. pemilik formulasi menunjuk pihak lain sebagai pemegang nomor pendaftaran;b. pemilik formulasi mengalihkan kepemilikan formulasinya kepada pihak lain;c. penunjukan pihak lain sebagai pemegang nomor pendaftaran akibat adanya penggabungan

perusahaan;d. penggantian nama pemilik formulasi atau pem egang nomor pendaftaran.

(2) Pihak yang ditunjuk sebagai pemegang nomor pendaftaran yang baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyelesaikan masalah diantara pemegang formulasi lama dengan pemegang formulasi yang baru, dan kemudian melaporkan pengalihan tersebut kepada Kepala Pusat, selanjutnya Kepala Pusat wajib mencatat pengalihan tersebut dalam buku nomor pendaftaran serta mengusulkan penetapan mengenai pengalihan dimaksud.

Pasal 24

(1) Perubahan yang menyangkut pestisida yang didaftarkan, meliputi perubahan:a. nama formulasi dan atau nama bahan aktif;b. wadah dan atau pembungkus;c. asal bahan aktif;d. bahan pelarut;e. bahan pengemulsi;f. bahan pembawa.g. kadar bahan aktif (dalam batas toleransi kadar bahan aktif)

(2) Perubahan sebagaimana dimaksudpada ayat (1) huruf c, d, e, f, dan g dapat disetujui setelah dilakukan pengujian banding mutu, toksisitas, dan efikasi untuk salah satu organisme sasaran, yang hasilnya memenuhi persyaratan teknis.

(3) Setiap jenis perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan oleh pemegang nomor

~ 549 ~

Page 42: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

pendaftaran kepada K epala Pusat untuk diproses lebih lanjut penetapannya, dan akan dicatat dalam buku nomor pendaftaran.

Pasal 25

(1) Pestisida yang telah memperoleh izin tetap dan akan berakhir masa izinnya dapat didaftarkan ulang dengan mengikuti ketentuan tatacara pendaftaran pestisida sebagaimana dim aksud dalam Peraturan ini dengan disertai:- hasil uji mutu ulang formulasi bagi pestisida pendaftaran ulang ganjil (pertama, ketiga ....dst).- hasil uji mutu ulang bahan teknis pestisida untuk setiap m elakukan pendaftaran ulang.- hasil uji mutu ulang dan efikasi ulang terhadap salah satu organisme sasaran bagi pestisida

pendaftaran ulang genap (kedua, keempat.....dst.),- hasil uji mutu ulang dan efikasi ulang terhadap organisme pengganggu tumbuhan (OPT) utama

untuk pestisida yang digunakan pada tanaman padi .(2) Organisme sasaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah salah satu organisme sasaran yang

terdaftar sejak pertama kali pestisida ditetapkan izinnya.(3) Pendaftaran ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lambat 90 (sembilan

puluh) hari kerja sebelum berakhirnya masa izin dengan memperhatikan hasil evaluasi pengawasan pestisida yang dilaksanakan oleh Instansi yang berwenang.

(4) Apabila pendaftaran ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan atau pendaftaran ulangnya ditolak, maka nomor dan izin pendaftaran berakhir demi hukum.

BAB VIWADAH DAN LABEL PESTISIDA

Pasal 26

(1) Pestisida yang telah terdaftar dengan izin sementara atau izin tetap harus ditempatkan dalam wadah.(2) Wadah pestisida harus tidak mudah pecah atau robek, atau dilindungi wadah lain supaya tidak

rusak, tidak bereaksi dengan pestisidanya atau korosif, sehingga bahaya terhadap manusia dan lingkungan dapat dihindarkan.

(3) Setiap wadah harus ditutup atau dilipat dengan baik sehingga tutup atau lipatan maupun wadah itu tidak dapat dibuka tanpa merusaknya kecuali wadah dibuat sedemikian rupa sehingga tanpa merusak tutupnya pestisida hanya dapat keluar dalam bentuk asap atau kabut.

(4) Spesifikasi wadah harus diuraikan secara lengkap yang mencakup volume,nama bahan, bentuk, ukuran, ketebalan bahan, warna, bahan lapisan permukaan wadah bagian dalam dan bahan tutup wadah, seperti tercantum dalam Lampiran VIII.

(5) Pewadahan kembali suatu formulasi pestisida hanya dapat dilakukan oleh pemegang pendaftaran pestisida yang bersangkutan atau pihak lain yang ditunjuknya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Pasal 27

(1) Setiap wadah pestisida harus diberi label, yang ditempelkan dan tidak mudah lepas atau dicetak pada wadah.

(2) Label pestisida diusulkan oleh pemegang pendaftaran, dan merupakan salah satu persyaratan dalam permohonan pendaftaran.

(3) Semua keterangan pada label dan lampiran petunjuk penggunaan harus dicantumkan dalam bahasa Indonesia dengan kata-kata yang tidak bersifat agitatif seperti misalnya kata-kata “dahsyat”, “hebat”, “super” atau “ampuh”, serta dilarang mencantumkan gambar organisme sasaran yang tidak terdaftar. Penggunaan bahasa asing diperbolehkan hanya apabila menterjemahkan hal- hal yang dinilai penting yang telah disebutkan pula dalam bahasa Indonesia.

(4) Keterangan dan tanda peringatan pada label harus dicetak jelas, mudah dibaca atau dilihat, mudah dipahami dan tidak mudah terhapus.

(5) Keterangan lengkap tentang isi label, kalimat peringatan dan petunjuk keamanan, keterangan tentang gejala keracunan, keterangan tentang petunjuk pertolongan, keterangan tentang petunjuk penyimpanan, keterangan tentang petunjuk penggunaan, pencantuman tanda gambar, label, pestisida terbatas, dan penyusunan label, seperti tercantum dalam Lampiran IX.

~ 550 ~

Page 43: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

BAB VIIKEWAJIBAN PETUGAS DAN PEMILIK

NOMOR PENDAFTARAN

Pasal 28

(1) Petugas yang melayani pendaftaran dan petugas lembaga penguji m utu, efikasi dan toksisitas wajib menjaga kebenaran dan kerahasiaan data dan informasi mengenai pestisida yang menurut sifatnya perlu dirahasiakan.

(2) Pusat Perizinan dan Investasi wajib menyelenggarakan pengelolaan buku nomor pendaftaran dan mencatat segala mutasi baik subyek maupun obyek pendaftaran pestisida.

Pasal 29

(1) Pemegang nomor pendaftaran wajib mencantumkan seluruh keterangan yang dipersyaratkan pada label pestisida yang didaftarkan sebagaimana tercantum pada Lampiran IX Peraturan ini.

(2) Pemegang nom or pendaftaran wajib membayar biaya pendaftaran yang merupakan Penerim aan Negara Bukan Pajak (PNBP), dan harus disetor ke Kas Negara yang besarnya ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(3) Pemegang nomor pendaftaran menanggung semua biaya pengujian yang besarnya dan tatacaranya ditetapkan oleh lembaga penguji.

Pasal 30

(1) Pemegang nomor pendaftaran wajib menyerahkan bahan aktif standar sebanyak 1 (satu) gram dan sertifikat analisisnya setiap 2 (dua) tahun sekali kepada Kepala Pusat yang selanjutnya disimpan pada laboratorium sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2).

(2) Pemegang nom or pendaftaran wajib menyampaikan laporan tahunan mengenai produksi dan peredaran pestisida serta bahan aktifnya yang meliputi impor, ekspor dan jual beli di dalam negeri paling lambat 2 (dua) bulan setelah tahun kalender berakhir, dan laporan 6 (enam) bulanan mengenai produksi dan peredaran pestisida terbatas kepada Menteri Pertanian cq Pusat Perizinan dan Investasi dengan menggunakan format seperti tercantum dalam Lampiran XIII Peraturan ini.

(3) Pemegang nomor pendaftaran pestisida wajib m elakukan pembinaan dan pengawasan terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan yang menjadi tanggung jawabnya serta mengambil langkah-langkah penanggulangannya apabila terjadi penyimpangan, kegiatan tersebut dilaksanakan sendiri maupun bersama aparat Pemerintah.

BAB VIIISANKSI ADMINISTRASI

Pasal 31

Terhadap lembaga dan/atau laboratorium penguji yang terbukti tidak menjamin kerahasiaan dan kebenaran hasil pengujian yang dilakukannya diberikan teguran tertulis oleh Kepala Pusat dan dilaporkan kepada pejabat yang berwenang untuk dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 32

Petugas yang melayani pendaftaran yang terbukti tidak menjamin kerahasiaan data pestisida sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dikenakan sanksi disiplin pegawai sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 33

(1) Pemegang nomor pendaftaran yang terbukti tidak mencantumkan seluruh keterangan yang ~ 551 ~

Page 44: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

dipersyaratkan pada label sebagaimana dimaksud pada Pasal 26 ayat (1) dan atau tidak menjamin mutu produksinya atau tidak melaporkanadanya perubahan pemegang pendaftaran dikenakan sanksi pencabutan nomor pendaftaran dan izinnya, dan yang bersangkutan wajib menarik pestisida dariperedaran paling lambat 3 (tiga) bulan.

(2) Pemegang nomor pendaftaran yang tidak memproduksi dan atau impor formulasi pestisida yang didaftarkannya serta tidak membuat laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) selama 2 (dua) tahun berturut- turut dikenakan sanksi pencabutan nomor dan izin pendaftaran, dan yang bersangkutan wajib menarik pestisida dari peredaran paling lambat 3 (tiga) bulan.

BAB XIKETENTUAN PERALIHAN

Pasal 34

(1) Pestisida yang pada saat peraturan ini ditetapkan telah terdaftar dan mendapat izin tetap atau izin sementara dinyatakan tetap berlaku sampai dengan berakhirnya izin.

(2) Pestisida yang pada saat peraturan ini ditetapkan sedang atau sudah dilakukan pengujian dalam rangka pendaftaran, diproses sesuai ketentuan pendaftaran pestisida yang lama.

(3) Pestisida yang pada saat peraturan ini ditetapkan sedang dalam proses permohonan, akan diproses mengikuti ketentuan dalam Peraturan ini.

(4) Pestisida yang telah terdaftar dengan nama dagang sebelum ditetapkannya Peraturan ini, harus didaftarkan kembali dengan nama dagang sesuai ketentuan Peraturan ini.

Pasal 35

Pestisida beredar, yang masa nomor dan izin pendaftarannya telah berakhir harus ditarik dari peredaran oleh pemegang pendaftaran, paling lambat dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak berakhirnya nomor pendaftaran dan izin pestisida.

BAB XK ETENTUAN PENUTUP

Pasal 36

Dengan ditetapkannya Peraturan ini, maka Keputusan Menteri Pertanian Nomor 434.1/Kpts/TP.270/7/2001 tentang Syarat dan Tatacara Pendaftaran Pestisida dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 37

Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.Ditetapkan di JakartaPada tanggal 14 Februari 2007

MENTERI PERTANIAN,

ANTON APRIYANTONOSALINAN Peraturan ini disampaikan kepada Yth.:1. Menteri Negara Koordinator Bidang Perekonomian;2. Menteri Dalam Negeri;3. Menteri Keuangan;4. Menteri Perindustrian;5. Menteri Perdagangan;6. Menteri Kesehatan;7. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi;8. Menteri Kehutanan;9. Menteri Kelautan dan Perikanan;10. Menteri Negara Lingkungan Hidup;

~ 552 ~

Page 45: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

11. Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia;12. Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan;13. Para Pejabat Eselon I di lingkungan Departemen Pertanian;14. Ketua Komisi Pestisida.

~ 553 ~

Page 46: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PERTANIANNOMOR :TANGGAL :

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN I : JENIS BAHAN AKTIF YANG DITETAPKAN SEBAGAI PESTISIDA DILARANG

LAMPIRAN II : JENIS BAHAN AKTIF YANG DITETAPKAN SEBAGAI PESTISIDA TERBATAS

LAMPIRAN III : KRITERIA TEKNIS PERIZINAN PENDAFTARAN PESTISIDALAMPIRAN IV : FORMAT PENDAFTARAN PESTISIDA KIMIALAMPIRAN V FORMAT PENDAFTARAN PESTISIDA BIOLOGILAMPIRAN VI : FORMAT PENDAFTARAN PESTISIDA RUMAH TANGGA DAN

PENGENDALIAN VEKTOR PENYAKIT PADA MANUSIALAMPIRAN VII : FORMAT PENDAFTARAN BAHAN TEKNIS PESTISIDALAMPIRAN VIII : SPESIFIKASI WADAH PESTISIDALAMPIRAN IX : LABEL PESTISIDALAMPIRAN X : PELAKSANA PENGUJIAN MUTU PESTISIDALAMPIRAN XI : PELAKSANA PENGUJIAN TOKS ISITA S PESTISIDALAMPIRAN XII : PELAKSANA PENGUJIAN EFIKASI PESTISIDALAMPIRAN XIII : FORMAT LAPORAN TAHUNAN PESTISIDALAMPIRAN XIV : BATAS TOLERANS I HASIL UJI MUTU PE STISIDA

Ditetapkan di Jakartapada tanggal 14 Februari 2007

MENTERI PERTANIAN,

ANTON APRIYANTONO

~ 554 ~

Page 47: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

MENTERI PERTANIANREPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI PERTANIANNOMOR 26/Permentan/ar.140/2/2007

TENTANGPEDOMAN PERIZINAN USAHA PERKEBUNAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI PERTANIAN,

Menimbang : a. bahwa dengan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 357/Kpts/HK.350/5/2002 telah

ditetapkan Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan; b. bahwa dengan adanya perkembangan usaha di bidang perkebunan dan telah

diterbitkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, Keputusan Menteri Pertanian Nomor 357/Kpts/HK.350 /5/2002 sudah tidak sesuai lagi;

c. bahwa atas dasar hal-hal tersebut di atas dan untuk menindaklanjuti Pasal 10 ayat (1), Pasal 17 ayat (3), Pasal 17 ayat (7), dan Pasal 22 ayat (3) UndangUndang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, dipandang perlu menetapkan Peraturan Menteri Pertanian tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

(Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043); 2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran Negara Tahun

1984 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3274); 3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup

(Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699); 4. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan (Lembaran Negara Tahun

2004 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4411); 5. Undang-Undang Nomor 32 T ahun 2004 tentang Pemerintahan Oaerah (lembaran Negara

Tahun 2004 Nomor 60, Tambahan lembaran Negara Nomor 3839); 6. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (lembaran Negara

Tahun 2006 Nomor 62, Tambahan lembaran Negara Nomor 4633); 7. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2006 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua

(lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 135, Tambahan lembaran Negara Nomor 4151); 8. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1986 tentang Kewenangan Perigaturan,

Pembinaan dan Pengembangan Industri (lembaran Negara Tahun 1986 Nomor 23, Tambahan lembaran Nomor 3330);

9. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Guna Pakai Atas Tanah (Lembaran Negara Tahun 1996 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3643);

10. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (lembaran Negara Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3838);

11. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom (lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan lembaran Negara Nomor 3952);

~ 555 ~

Page 48: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

12. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Oaerah (lembaran Negara Tahun 2005 Nomor 165, Tambahan lembaran Negara Nomor 4593);

13. Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004 tentang Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu;

14. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia juncto Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2005;

15. Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2005 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Kementerian Negara Republik Indonesia;

16. Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional; 17. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 299/KPTS/OT.140/ 7/2005 tentang Organisasi dan

Tata Kerja Departemen Pertanian juncto Peraturan Menteri Pertanian Nomor 11/Permentan/OT.140 /2/2007;

18. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 341/Kpts/OT.140/ 9/2005 tentang Kelengkapan Organisasi dan Tata Kerja Departemen Pertanian juncto Peraturan Menteri Pertanian Nomor 12/Permentan/OT.140/2/2007;

19. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 511/Kpts/PD.310/9/2006 tentang Jenis Komoditi Tanaman Binaan Direktorat Jenderal Perkebunan, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, dan Direktorat Jenderal Hortikultura;

Memperhatikan : Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan

Bakar Nabati (Bio-fuel Sebagai Bahan Bakar Lain; MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN MENTERI PERTANIAN TENTANG PEDOMAN PERIZINAN

USAHA PERKEBUNAN.

BAB IKETENTUAN UMUM

Pasal 1Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan: 1. Perkebunan adalah segala kegiatan yang mengusahakan tanaman tertentu pada tanah dan/atau media

tumbuh lainnya dalam ek osistem yang sesuai, mengolah dan memasarkan barang dan jasa hasil tanaman tersebut, dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi, permodalan serta manajemen untuk mewujudkan kesejahteraan bagi pelaku usaha perkebunan dan masyarakat.

2. Tanaman tertentu adalah jenis komoditi tanaman yang pembinaannya pada Direktorat Jenderal Perkebunan.

3. Usaha perkebunan adalah usaha yang menghasilkan barang dan/atau jasa perkebunan. 4. Usaha budidaya tanaman perkebunan adalah serangkaian kegiatan pengusahaan tanaman perkebunan yang

meliputi kegiatan pra tanam, penanaman, pemeliharaan tanaman, pemanenan dan sortasi termasuk perubahan jenis tanaman, dan diversifikasi tanaman.

5. Usaha industri pengolahan hasil perkebunan adalah serangkaian kegiatan penanganan dan pemrosesan yang dilakukan terhadap hasil tanaman perkebunan yang ditujukan untuk mencapai nilai tambah yang lebih tinggi dan memperpanjang daya simpan.

6. Pelaku usaha perkebunan adalah pekebun dan perusahaan perkebunan yang pengelola usaha perkebunan. 7. Pekebun adalah perorangan warga negara Indonesia yang melakukan usaha perkebunan dengan skala

usaha tidak mencapai skala tertentu. 8. Perusahaan perkebunan adalah perorangan warga negara Indonesia atau badan hukum yang didirikan

~ 556 ~

Page 49: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia yang mengelola usaha perkebunan dengan skala tertentu.

9. Skala tertentu adalah skala usaha perkebunan yang didasarkan pada luasan lahan usaha, jenis tanaman, teknologi, tenaga kerja, modal dan/atau kapasitas pabrik yang diwajibkan memiliki izin usaha.

10. Izin Usaha Perkebunan (lUP) adalah izin tertulis dari Pejabat yang berwenang dan wajib dimiliki oleh perusahaan yang melakukan us aha budidaya perkebunan dan terintegrasi dengan usaha industri pengolahan hasil perkebunan.

11. Izin Usaha Perkebunan untuk Budidaya (IUP-B) adalah izin tertulis dari Pejabat yang berwenang dan wajib dimiliki oleh perusahaan yang melakukan usaha budidaya perkebunan.

12. lzin Usaha Perkebunan untuk Pengolahan (IUP-P) adalah izin tertulis dari Pejabat yang berwenang dan wajib dimiliki oleh perusahaan yang melakukan usaha industri pengolahan hasil perkebunan.

13. Surat Tanda Daftar Usaha Perkebunan (STD-B) adalah keterangan yang diberikan oleh Bupati/Walikota kepada pelaku usaha budidaya tanaman perkebunan yangluas lahannya kurang dari 25 (dua puluh lima) hektar.

14. Surat Tanda Daftar Usaha Industri Pengolahan Hasil Perkebunan (STD-P) adalah keterangan yang diberikan oleh Bupati/Walikota kepada pelaku usaha industri pengolahan hasil perkebunan yang kapasitasnya di bawah batas minimal.

15. Kinerja perusahaan perkebunan adalah penilaian keberhasilan perusahaan perkebunan yang didasarkan pada aspek manajemen, budidaya kebun, pengolahan dan pemasaran hasil perkebunan, sosial ekonomi, dan lingkungan dalam kurun waktu tertentu.

16. Kemitraan perkebunan adalah hubungan kerja yang saling menguntungkan, menghargai, bertanggung jawab, memperkuat, dan saling ketergantungan antara perusahaan perkebunan dengan pekebun, karyawan, dan masyarakat sekitar perkebunan.

Pasal 2

(1) Peraturan ini dimaksudkan sebagai pedoman dalam memberikan pelayanan perizinan dan untuk melakukan usaha perkebunan.

(2) Ruang lingkup Peraturan ini meliputi: a. jenis dan perizinan usaha perk ebunan; b. syarat dan tata cara permohonan izin usaha perkebunan; c. kemitraan; d. perubahan luas lahan, jenis tanaman, dan/atau perubahan kapasitas pengolahan, serta diversifikasi

usaha; e. pembinaan dan pengawasan; dan f. sanksi administrasi.

BAB IIJENIS DAN PERIZINAN USAHA PERKEBUNAN

Pasal 3

(1) Jenis usaha perkebunan terdiri atas usaha budidaya tanaman perkebunan dan usaha industri pengolahan hasil perkebunan.

(2) Usaha perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan di seluruh wilayah Indonesia oleh pelaku usaha perkebunan dengan memperhatikan perencanaan makro pembangunan perkebunan.

Pasal 4

Badan hukum asing atau perorangan warga negara asing yang melakukan usaha perkebunan wajib bekerjasama dengan pelaku usaha perkebunan dalam negeri dengan membentuk badan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.

Pasal 5

(1) Usaha budidaya tanaman perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) yang luas lahannya

~ 557 ~

Page 50: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

kurang dari 25 (dua puluh lima) hektar harus didaftar oleh Bupati/Walikota. (2) Pendaftaran usaha budidaya perkebunan sebagaimana dimaksud pad a ayat (1), antara lain, meliputi

keterangan identitas, domisili pemilik, luas areal, jenis tanaman, asal benih, tingkat produksi, dan lokasi kebun.

(3) Usaha budidaya tanaman perkebunan yang sudah didaftar sebagaim ana dimaksud pada ayat (1) diberikan Surat Tanda Daftar Usaha Budidaya Perkebunan (STD-B) oleh Bupati/Walikota.

Pasal 6

(1) Usaha budidaya tanaman perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) yang luas lahannya 25 (dua puluh lima) hektar atau lebih wajib memiliki izin.

(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada per usahaan perkebunan.

Pasal 7

(1) Usaha industri pengolahan hasil perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) yang berkapasitas di bawah batas minimal sebagaimana tercantum dalam Lampiran 1 Peraturan ini wajib didaftar oleh BupatilVValikota.

(2) Pendaftaran industri pengolahan hasil perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), antara lain meliputi keterangan mengenai identitas dan domisili pemilik, lokasi industri pengolahan, jenis produk yang menjadi bahan baku, kapasitas produksi, jenis produksi, dan tujuan pasar.

(3) Usaha industri pengolahan hasil perk ebunan yang sudah didaftar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan Surat Tanda Daftar Usaha Industri Pengolahan Hasil Perkebunan (STD-P) oleh Bupati/Walikota.

Pasal 8

(1) Usaha industri pengolahan hasil perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) yang memiliki kapas itas sama atau melebihi kapasitas paling r endah unit pengolahan produk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) wajib memiliki izin.

(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada perusahaan perkebunan.

Pasal 9

(1) Usaha budidaya tanaman perkebunan yang luasnya 25 (dua puluh lima) hektar atau lebih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan memiliki unit pengolahan hasil perkebunan yang kapasitas olahnya sama atau melebihi kapasitas paling rendah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), wajib memiliki Izin Usaha Perkebunan (IUP).

(2) Usaha budidaya tanaman perkebunan yang luasnya 25 (dua puluh lima) hektar atau lebih sampai dengan luasan sebagaimana tercantum dalam Lampiran 2 Peraturan ini dan tidak memiliki unit pengolahan hasil perkebunan sampai dengan kapasitas paling rendah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), wajib memiliki Izin Us aha Perkebunan untuk Budidaya (IUP-B).

(3) Usaha industri pengolahan hasil perkebunan dengan kapasitas olah sama atau melebihi kapasitas paling rendah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), wajib memiliki Izin Usaha Perkebunan untuk Pengolahan (IUP-P).

Pasal 10

Usaha industri pengolahan hasil kelapa sawit, untuk mendapatkan IUP-P sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3), harus memenuhi paling rendah 20% (dua puluh per seratus) kebutuhan bahanbakunya dari kebun yang diusahakan sendiri.

Pasal 11

(1) Perusahaan perkebunan y ang memiliki IUP atau IUP-B, wajib membangun kebun untuk masyarakat sekitar paling rendah seluas 20% (dua puluh per seratus) dari total luas areal kebun yang diusahakan oleh perusahaan.

(2) Pembangunan kebun untuk masyarakat sebagaimana dimaksud pad a ayat (1) dapat dilakukan antara lain

~ 558 ~

Page 51: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

melalui pola kredit, hibah, atau bagi hasil. (3) Pembangunan kebun untuk masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)dilakukan bersamaan dengan

pembangunan kebun yang diusahakan oleh perusahaan. (4) Rencana pembangunan kebun untuk masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diketahui oleh

Bupati/Walikota.

Pasal 12

(1) IUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), untuk 1 (satu) perusahaan diberikan dengan batas paling luas berdasarkan jenis komoditas sebagaimana tercantum dalam Lampiran 3 Peraturan ini.

(2) Batasan paling luas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk: a. Perusahaan Perkebunan yang pemegang saham mayoritasnya Koperasi Usaha Perkebunan; b. Perusahaan Perkebunan yang sebagian besar atau seluruh saham dimiliki oleh Negara baik

Pemerintah, Provinsi atau Kabupaten/Kota; atau c. Perusahaan Perk ebunan yang sebagian besar sahamnya dimiliki oleh masyarakat dalam rangka go

public . (3) Batas luasan areal usaha budidaya perkebunan di Provinsi Papua paling luas 2 (dua) kali dari batasan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) .

Pasal 13

(1) IUP, IUP-B, atau IUP-P sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 yang lokasi areal budidaya dan/atau sumber bahan bakunya berada dalam 1 (satu) wilayah kabupaten/kota diberikan oleh bupati/walikota.

(2) Bupati/walikota dalam memberikan IUP, IUP-B, atau IUP-P sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memperhatikan rencana makro pembangunan perkebunan provinsi.

(3) IUP, IUP-B, atau IUP-P sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 yang lokasi areal budidaya dan/atau sumber bahan bakunya berada pada lintas wi/ayah kabupaten/kota, diberikan oleh gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari bupati/walikota berkaitan dengan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota.

Pasal 14

IUP, IUP-B, atau IUP-P sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 berlaku selama perusahaan masih melaksanakan kegiatannya sesuai dengan baku teknis dan ketentuan yang berlaku.

BAB IIISYARAT DAN TATA CARA PERMOHONAN IZIN USAHA PERKEBUNAN

Pasal 15

Untuk memperoleh IUP-B sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, perusahaan perkebunan mengajukan permohonan secara tertulis kepada bupati/walikota atau gubernur sesuai dengan lokasi areal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dengan dilengkapi persyaratan sebagai berikut: a. Akte pendirian perusahaan dan perubahannya yang terakhir; b. Nomor Pokok Wajib Pajak; c. Surat keterangan domisili; d. Rekomendasi kesesuaian dengan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota dari bupati/walikota (untuk

IUP-B yang diterbitkan oleh gubernur); e. Rekomendasi kesesuaian dengan r encana makro pembangunan perkebunan provinsi dari gubernur (untuk

IUP-B yang diterbitkan oleh bupati/walikota); f. zin lokasi dari bupati/ walikota yang dilengkapi dengan peta calon lokasi dengan skala 1 : 100.000 atau 1 :

50.000;

~ 559 ~

Page 52: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

g. Pertimbangan teknis ketersediaan lahan dari instansi Kehutanan (apabila areal berasal dari kawasan hutan); h. Rencana kerja pembangunan perkebunan; i. Hasil Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL), atau Upaya Pengelolaan Lingkungan

Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPl) sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku;

j. Pernyataan kesanggupan memiliki sarana, prasarana dan sistem untuk melakukan pengendalian organisme pengganggu tumbuhan (OPT);

k. Pernyataan kesanggupan memiliki sarana, prasarana dan sistem untuk melakukan pembukaan lahan tanpa pembakaran serta pengendalian kebakaran; .

I. Pernyataan kesediaan membangun kebun untuk masyarakat sesuai Pasal 11 yang dilengkapi dengan rencana kerjanya; dan

m. Pernyataan kesediaan untuk melakukan kemitraan.

Pasal 16

(1) Untuk memperoleh IUP-P sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 perusahaan perkebunan mengajukan permohonan secara tertulis kepada bupati/walikota atau gubernur sesuai dengan lokasi areal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dengan dilengkapi persyaratan sebagai berikut: a. Akte pendirian perusahaan dan perubahannya yang terakhir; b. Nomor Pokok Wajib Pajak; c. Surat keterangan domisili; d. Rekomendasi kesesuaian dengan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota dari bupati/walikota

untuk IUP-P yang diterbitkan oleh gubernur; e. Rekomendasi kesesuaian dengan rencana makro pembangunan perkebunan provinsi dari gubernur

untuk IUP-P yang diterbitkan oleh Bupati/Walikota; f. Izin lokasi dari bupati/walikota yang dilengkapi dengan peta calon lokasi dengan skala 1 : 100.000 atau

1 : 50.'000; g. Rekomendasi lokasi dari pemerintah daerah lokasi unit pengolahan; h. Jaminan pasokan bahan baku yang diketahui oleh Bupati/Walikota; i. Rencana kerja pembangunan unit pengolahan hasil perkebunan; j. Hasil Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL), atau Upaya Pengelolaan Lingkungan

Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL) sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan

k. Pernyataan kesediaan untuk melakukan kemitraan. (2)Untuk industri pengolahan hasil kelapa sawit, selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pad a

ayat (1) harus ada pertimbangan teknis ketersediaan lahan dari instansi Kehutanan (apabila areal budidaya tanaman berasal dari kawasan hutan) dan rencana kerja budidaya tanaman perkebunan.

Pasal 17

Untuk memperoleh IUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, perusahaan perkebunan mengajukan permohonan secara tertulis kepada bupati/walikota atau gubernur sesuai dengan lokasi areal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dengan dilengkapi persyaratan sebagai berikut: a. Akte pend irian perusahaan dan perubahannya yang terakhir; b. Nomor Pokok Wajib Pajak; c. Surat keterangan domisili; d. Rekomendasi kesesuaian dengan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota dari bupati/walikota untuk

IUP yang diterbitkan oleh gubernur; e. Rekomendasi kesesuaian dengan rencana makro pembangunan perkebunan provinsi; dari gubernur untuk

IUP yang diterbitkan oleh bupati/walikota; f. Izin lokasi dari bupati/walikota yang dilengkapi dengan peta calon lokasi dengan skala 1 : 100.000 atau 1:

50.000;

~ 560 ~

Page 53: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

g. Pertimbangan teknis ketersediaan lahan dari instansi Kehutanan (apabila areal berasal dari kawasan hutan);

h. Jaminan pasokan bahan baku yang diketahui oleh bupati/walikota; i. Rencana kerja pembangunan kebun dan unit pengolahan hasil perkebunan; j. Hasil Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL), atau Upaya Pengelolaan Lingkungan

Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL) sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku;

k. Pernyataan perusahaan belum menguasai lahan melebihi batas luas maksimum; I. Pernyataan kesanggupan memiliki sarana, prasarana dan sistem untuk melakukan pengendalian organis

me pengganggu tumbuhan (OPT); m. Pernyataan kesanggupan memiliki sarana, prasarana dan sistem untuk melakukan pembukaan lahan tanpa

pembakaran serta pengendalian kebakaran; n. Pernyataan kesediaan dan rencana kerja pembangunan kebun untuk masyarakat sesuai dengan Pasal 11

dan o. Pernyataan kesediaan dan rencana kerja kemitraan.

Pasal 18

Untuk permohonan izin usaha yang menggunakan tanaman hasil rekayasa genetika, selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, Pasal 16, atau Pasal 17 harus melampirkan copy rekomendasi keamanan hayati.

Pasal 19

(1) Bupati/walikota atau gubernur dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, Pasal 16, atau Pasal 17 diterima harus memberikan jawaban menunda, menolak atau menerima.

(2) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sebagaimana dimaksud pad a ayat (1) bupati/walikota atau gubernur belum memberikan jawaban, maka permohonan dianggap telah lengkap.

(3) Permohonan yang diterima sebagaimana ayat (1) atau yang dianggap lengkap sebagaimana ayat (2) diterbitkan IUP, IUP-B atau IUP-P.

Pasal 20

(1) Permohonan ditunda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) apabila setelah dilakukan pemeriksaan dokumen masih ada kekurangan persyaratan yang harus dipenuhi.

(2) Penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan secara tertulis kepada pemohon dengan disertai alasan penundaannya.

(3) Apabila dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak menerima pemberitahuan penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat ( 2) pemohon belum dapat melengkapi kekurangan persyaratan, maka permohonan dianggap ditarik kembali.

Pasal 21

(1) Permohonan ditolak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) apabila setelah dilakukan pemeriksaan dokumen ternyata persyaratannya tidak benar, usaha yang akan dilakukan bertentangan dengan ketertiban umum dan/atau perencanaan makro pembangunan perkebunan.

(2) Penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan secara tertulis kepada pemohon dengan disertai alasan penolakannya.

~ 561 ~

Page 54: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

BAB IVKEMITRAAN

Pasal 22

(1) Kemitraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal15 huruf m, Pasal16 huruf k, dan Pasal 17 huruf o dapat

dilakukan melalui kemitraan pengolahan dan/atau kemitraan usaha. (2) Kemitraan sebagaimana dimaksud pad a ayat (1) dilakukan berdasarkan pad a asas manfaat dan

berkelanjutan yang saling menguntungkan, saling menghargai, saling bertanggung jawab, dan saling memperkuat.

(3) Kemitraan sebagaimana dimaksud pad a ayat (1) dilakukan untuk pemberdayaan dan peningkatan nilai tambah bagi pekebun, karyawan dan/atau masyarakat sekitar perkebunan, serta untuk menjamin keberlanjutan usaha perkebunan.

Pasal 23 (1) Kemitraan pengolahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) dilakukan untuk menjamin

ketersediaan bahan baku, terbentuknya harga pasar yang wajar, dan terwujudnya peningkatan nilai tambah kepada pekebun sebagai upaya pemberdayaan pekebun.

(2) Kemitraan pengolahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara tertulis dalam bentuk perjanjian yang berisikan hak dan kewajiban, pembinaan dan pengembangan usaha, pendanaan, jangka waktu, dan penyelesaian perselisihan yang ditandatangani kedua belah pihak dengan diketahui oleh bupati/walikota.

(3) Jangka waktu perjanjian kemitraan pengolahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling singkat 3 (tiga) tahun.

Pasal 24 (1) Kemitraan usaha sebagaimana dimak sud dalam Pasal 22 ayat (1) dilakukan antara perusahaan dengan

pekebun, karyawan dan/atau masyarakat sekitar perkebunan. (2) Kemitraan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara tertulis dalam bentuk perjanjian

yang berisikan hak dan kewajiban, pembinaan dan pengembangan usaha, pendanaan, jangka waktu, dan penyelesaian perselisihan yang ditandate:mgani kedua belah pihak dengan diketahui oleh bupati/walikota.

(3) Jangka waktu perjanjian kemitraan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling singkat 3 (tiga) tahun.

Pasal 25 Kemitraan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) dapat dilakukan melalui pola: a. penyediaan sarana produksi; b. kerjasama produksi; c. pengolahan dan pemasaran; d. transportasi; e. kerjasama operasional; f. kepemilikan saham; dan/atau g. erjasama penyediaan jasa pendukung lainnya.

~ 562 ~

Page 55: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

BAB V PERUBAHAN LUAS LAHAN, JENIS TANAMAN, DAN/ATAU PERU BAHAN

KAPASITAS PENGOLAHAN, SERTA DIVERSIFIKASI USAHA

Pasal 26 (1) Perusahaan Perkebunan yang telah memiliki izin dan akan melakukan perluasan lahan, harus mendapat

persetujuan dari pemberi izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13. (2) Untuk mendapat persetujuan perluasan lahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemohon mengajukan

permohonan secara tertulis kepada pemberi izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dengan dilengkapi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pas al 15 dan Pasal 17, serta laporan kemajuan fisik dan keuangan perusahaan perkebunan.

(3) Persetujuan perluasan lahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada perusahaan perkebunan yang memiliki penilaian kelas 1 atau kelas 2.

(4) Bupati/walikota atau gubernur dalam memberikan persetujuan perluasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada perencanaan makro pembangunan perkebunan.

Pasal 27

(1) Perusahaan Perkebunan yang telah memiliki izin dan akan melakukan perubahan jenis tanaman, harus mendapat persetujuan dari pemberi izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal13.

(2) Untuk mendapat persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pemohon mengajukan permohonan secara tertulis kepada pemberi izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dengan dilengkapi persyaratan sebagai berikut: a. IUP-B atau IUP; b. Akte pendirian perusahaan dan perubahan yang terakhir; c. Rekomendasi dari Dinas yang membidangi perkebunan di provinsi atau kabupaten/kota; dan d. Rencana kerja (proposal) tentang perubahan jenis tanaman.

(3) Bupati/walikota atau gubernur dalam memberikan persetujuan perubahan jenis tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada perencanaan makro pembangunan perkebunan.

Pasal 28

(1) Perusahaan Perkebunan yang telah memiliki izin pengolahan hasil dan akan melakukan penambahan kapasitas, harus mendapat persetujuan dari pemberi izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal13.

(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperlukan apabila untuk penambahan kapasitas lebih dari 30% (tiga puluh per seratus) dari kapasitas yang telah diizinkan.

(3) Untuk mendapat persetujuan penambahan kapasitas sebagaimana dimaksud pad a ayat (1), pemohon mengajukan permohonan secara tertulis kepada pemberi izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dengan dilengkapi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dan laporan kemajuan fisik dan keuangan perusahaan perkebunan.

(4) Bupati/walikota atau gubernur dalam memberikan persetujuan penambahan kapasitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada perencanaan makro pembangunan perkebunan.

Pasal 29

(1) Perusahaan Perkebunan yang telah memiliki izin dan akan melakukan diversifikasi usaha, harus mendapat persetujuan dari pemberi izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.

(2) Untuk memperoleh persetujuan diversifikasi usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), permohonan mengajukan permohonan secara tertulis kepada pemberi izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dengan dilengkapi persyaratan sebagai berikut: a. IUP-B atau IUP;

~ 563 ~

Page 56: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

b. Akte pendirian perusahaan dan perubahan yang terakhir; c. Rekomendasi dari Dinas yang membidangi perkebunan di provinsi atau kabupaten/kota; d. Rencana kerja (proposal) tentang perubahan jenis tanaman; dan e. Surat dukungan diversifikasi usaha dari Instansi terkait.

(3) Bupati/walikota atau gubernur dalam memberikan persetujuan diversifikasi usaha sebagaimana dimaksud pad a ayat (1) berpedoman pada perencanaan makro pembangunan perkebunan.

Pasal 30

(1) Bupati/walikota atau gubernur dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, atau Pasal 29 diterima harus memberi jawaban menunda, menolak atau menerima.

(2) Apabila dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sebagaimana dimaksud pada ay at (1) bupati/walikota atau gubernur belum memberi jawaban menerima, menunda atau menolak, maka permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap telah lengkap dan harus diterbitkan persetujuan penambahan luas lahan, perubahan jenis tanaman, penambahan kapasitas pengolahan, atau diversifikasi usaha.

(3) Permohonan yang diterima sebagaimana ayat (1) atau yang dianggap lengkap sebagaimana ayat (2) diterbitkan persetujuan penambahan luas lahan, perubahan jenis tanaman, penambahan kapasitas pengolahan, atau diversifikasi usaha.

Pasal 31 (1) Permohonan ditunda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) apabila setelah dilakukan

pemeriksaan dokumen masih ada kekurangan persyaratan yang harus dipenuhi. (2) Penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan secara tertulis kepada pemohon dengan

disertai alasan penundaannya. (3) Apabila dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitng sejak menerima pemberitahuan

penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pemohon belum dapat melengkapi kekurangan persyaratan, maka permohonan dianggap ditarik kembali.

Pasal 32

(1) Permohonan ditolak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) apabila setelah dilakukan

pemeriksaan dokumen ternyata persyaratannya tidak benar, usaha yang akan dilakukan bertentangan dengan ketertiban umum dan/atau perencanaan makro pembangunan perkebunan.

(2) Penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan secara tertulis kepada pemohon dengan disertai alasan penolakannya.

BAB VIPEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Pasal 33 (1) Izin ang diterbitkan oleh Gubenur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ditembuskan kepada Menteri

dan bupati/walikota pada pr ovinsi bersangkutan. (2) Izin yang diterbitkan bupatilwalikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ditembuskan kepada Menteri

dan gubernur provinsi bersangkutan.

Pasal 34 Perusahaan perkebunan yang telah memiliki IUP, IUP-B atau IUP-P sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13,

~ 564 ~

Page 57: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

wajib: a. menyelesaikan hak atas tanah selambat-Iambatnya 2 (dua) tahun sejak diterbitkannya IUP-B, IUP-P, atau

IUP; b. merealisasikan pembangunan kebun dan/atau unit pengolahan sesuai dengan studi kelayakan, baku teknis,

dan ketentuan yang berlaku; c. memiliki sarana, prasarana dan sistem untuk melakukan pembukaan lahan tanpa pembakaran serta

pengendalian kebakaran; d. membuka lahan tanpa bakar dan mengelola sumber daya alam secara lestari; e. memiliki sarana, prasarana dan sistem untuk melakukan pengendalian organisme pengganggu tumbuhan

(OPT); f. menerapkan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL), atau Upaya Pengelolaan

Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL) sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku;

g. menumbuhkan dan memberdayakan masyarakatlkoperasi setempat; serta h. melaporkan perkembangan usaha perkebunan kepada gubenur atau bupati/walikota sesuai kewenangan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 secara berkala setiap 6 (enam) bulan sekali.

Pasal 35 Perusahaan Perkebunan yang melakukan diversifikasi usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29. wajib menjamin kelangsungan usaha pokok. menjaga kelestarian lingkungan, plasma nutfah, dan mencegah berjangkitnya organisme pengganggu tumbuhan.

Pasal 36 (1) Pembinaan dan pengawasan us aha perkebunan dilakukan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota sesuai

lingk up kewenangannya. (2) Dalam rangka pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pad a ayat (1) dilakukan evaluasi

secara berkala berdasarkan laporan perkembangan usaha perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf h.

Pasal 37 (1) Perusahaan perkebunan yang telah mendapat IUP, IUP-B atau IUP-P sebagaimana dimaksud dalam Pasal

13 dilakukan penilaian dan pembinaan pelaksanaan pembangunan kebun dan/atau industri pengolahan hasil perkebunan paling kurang 1 (satu) tahun sekali.

(2) Penilaian dan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan rencana kerja pembangunan kebun dan/atau indus tri pengolahan hasil perkebunan yang diajukan pada saat permohonan izin usaha perkebunan.

(3) Untuk kebun dan/atau industri pengolahan hasil perkebunan yang telah dibangun akan dilakukan penilaian dan pembinaan kinerja secara periodik 3 (tiga) tahun sekali.

(4) Penilaian dan pembinaan pelaksanaan pembangunan kebun dan/atau industri pengolahan hasil perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) dilakukan sesuai dengan Pedoman Penilaian dan Pembinaan Perusahaan Perkebunan.

BAB VII

SANKSI ADMINISTRASI

Pasal 38

(1) Perusahaan perkebunan yang telah memperoleh IUP, IUP-B, atau IUP-P sebagaimana dimaksud dalam

~ 565 ~

Page 58: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

Pasal 13, dan mendapat persetujuan penambahan luas lahan, perubahan jenis tanaman, penambahan kapasitas pengolahan, atau diversifikasi usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf , b, c, e, f, 9 dan/atau h diberikan peringatan paling banyak 3 (tiga) kali masing-masing dalam tenggang waktu 4 (empat) bulan.

(2) Apabila dalam 3 (tiga) kali peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak di indahkan, maka IUP, IUP-B atau IUP-P perusahaan bersangkutan dicabut dan diusulkan kepada instansi yang berwenang untuk mencabut Hak Guna Usaha-nya.

Pasal 39

Perusahaan perkebunan yang telah memperoleh IUP, IUP-B, atau IUP-P sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, dan mendapat persetujuan penambahan luas lahan, perubahan jenis tanaman, penam bahan kapasitas pengolahan, atau diversifikasi usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf d, izin usahanya dicabut, dan diusulkan kepada instansi yang berwenang untuk mencabut Hak Guna Usaha-nya.

Pasal 40 (1) Perusahaan perkebunan memperoleh IUP, IUP-B, atau IUP-P sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, dan

mendapat per setujuan diversifikasi usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 tidak menjamin kelangsungan usaha pokok, menjaga kelestarian lingkungan, plasma nutfah, dan mencegah berjangkitnya organisme pengganggu tumbuhan sebagaimana dimaks ud dalam Pasal 35 diberikan peringatan paling banyak 3 (tiga) kali masing-masing dalam tenggang waktu 4 (empat) bulan.

(2) Apabila dalam 3 (tiga) kali peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diindahkan, maka IUP, IUP-B atau IUP-P perusahaan bersangkutan dicabut dan diusulkan kepada instansi yang berwenang untuk mencabut Hak Guna Usaha-nya.

Pasal 41 Pengusulan pencabutan Hak Guna Usaha kepada instansi yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 , Pasal 39 dan Pasal 40 dilakukan oleh Menteri Pertanian atas usul gubernur atau bupati/walikota.

BAB VIIIKETENTUAN PERALIHAN

Pasal 42

(1) Izin Usaha Perkebunan (IUP) atau Surat Pendaftaran Usaha Perkebunan (SPUP) yang telah diterbitkan sebelum peraturan ini, dinyatakan masih tetap berlaku.

(2) Perusahaan Perkebunan yang telah memiliki izin atau Surat Pendaftaran Usaha Perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam pelaksanaan usaha perkebunan harus tunduk pada Peraturan ini.

BAB IX

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 43

Pelaksanaan pelayanan perizinan usaha perkebunan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Provinsi Papua dengan otonomi khusus dilakukan oleh provinsi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 44

Pemberian izin usaha budidaya perkebunan dan/atau izin industri pengolahan hasil perkebunan dalam rangka

~ 566 ~

Page 59: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

penanaman modal asing atau penanaman modal dalam negeri, terlebih dahulu mendapat rekomendasi teknis dari Direktur Jenderal Perkebunan.

Pasal 45

Dengan ditetapkannya Peraturan ini, maka Keputusan Menteri Pertanian Nomor 357/Kpts/HK.350/5/2002 tentang Pedoman Periz inan Usaha Perkebunan, dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi.

Pasal 46

Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

SALINAN Peraturan ini disampaikan Kepada: 1. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian;

~ 567 ~

Page 60: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

2. Menteri Dalam Negeri; 3. Menteri Perindustrian; 4. Menteri Perdagangan; 5. Menteri Kehutanan; 6. Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah; 7. Menteri Negara Lingkungan Hidup; 8. Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara; 9. Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal; 10. Kepala Badan Pertanahan Nasional; 11. Gubernur Provinsi seluruh Indonesia; 12. Bupati/Walikota seluruh Indonesia;

~ 568 ~

Page 61: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

LAMPIRAN 1 : PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 26/Permentan/OT.140/2/2007 TANGGAL : 28 Pebruari 2007

KAPASITAS MINIMAL UNIT PENGOLAHAN PRODUK PERKEBUNAN YANG MEMERLUKAN IZIN USAHA

No Komoditas Kapasitas Produk1 2 3 41 Kelapa 5.000 butir kelapa/hari Kopra/Minyak Kelapa dan Serat (fiber),Arang

Tempurung, Debu(dust),Nata de coco2 Kelapa Sawit 5 Ton TBS / Jam CPO 3 T e h 1 Ton Pucuk segar/hari T eh Hijau

10 Ton Pucuk segar/hari Teh Hitam 4 Karet 600 liter lateks cair/jam Sheet/Lateks pekat

16 ton slab/hari Crumb rubber 5 Tebu 1.000 Ton Cane/Day (TCD) Gula Pasir dan Pucuk Tebu, Bagas 6 Kopi 1,5 ton gelondong basah/hari Biji Kopi kering 7 Kakao 2 ton biji basah/ 1 kali olah Biji Kakao kering8 Jambu mete 1-2 ton gelondong mete/hari Biji mete kering dan CNSL9 Lada 4 ton biji lada basah/hari Biji lada hitang kering

4 ton biji lada basah/hari Biji lada putih kering 10 Cengkeh 4 ton bunga cengkeh segar/hari Bunga cengkeh kering

11 Jarak pagar 1 ton biji jarak kering/jam Minyak jarak kasar 12 Kapas 6.000 – 10.000 ton kapas

berbiji/tahun Serat kapas dan Biji kapas

13 Tembakau 35-70 ton dain tembakau basah Daun tembakau kering (krosok)

~ 569 ~

Page 62: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

LAMPIRAN 2 : PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 26/Permentan/OT.140/2/2007 TANGGAL : 28 Pebruari 2007

LUAS AREAL YANG WAJIB MEMILlKIIZIN USAHA PERKEBUNAN UNTUK BUDIDAYA (IUP-B)

No. Komoditas (ha) Luas Areal1 2 31 Kelapa 25 sid < 250 2 Kelapa Sawit 25 sid < 1.0003 Karet 25 sid < 2.8004 Kopi 25 sid < 1005 Kakao 25 sid < 100 6 Teh 25 sid < 2407 Jambu Mete 25 sid < 100 8 Tebu 25 sid < 2.0009 Lada 25 sid < 200 10 Cengkeh 25 sid < 1.000 11 Jarak Pagar 25 sid < 1.000 12 Kapas 25 sid < 6.00013 Tembakau 25 sid < 100

~ 570 ~

Page 63: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

~ 571 ~

Page 64: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

~ 572 ~

Page 65: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

LAMPI RAN 3 : PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 26/Permentan/OT.140/2/2007 TANGGAL : 28 Pebruari 2007

BATAS PALING LUAS PENGGUNAAN AREAL PERKEBUNANOLEH 1 (SATU) PERUSAHAAN PERKEBUNAN

No. Komoditi Luas Areal (Ha)1 2 31 Kelapa 25.000 2 Kelapa Sawit 100.000 3 Karet 25.000 4 Kopi 5.000 5 Kakao 5.000 6 Teh 10.000 7 Jambu Mete 5.000 8 Tebu 150.000 9 Lada 1.000 10 Cengkeh 1.000 11 Jarak Pagar 50.000 12 Kapas 25.000 13 Tembakau 5.000

~ 573 ~

Page 66: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

~ 574 ~

Page 67: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

~ 575 ~

Page 68: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

BERITA NEGARAREPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI PERTANIANNOMOR 18/PERMENTAN/OT.140/4/2009

TENTANG

SYARAT DAN TATA CARA PEMBERIAN IZIN USAHA OBAT HEWAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI PERTANIAN,

Menimbang : a bahwa dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 324/Kpts/TN.120/4/1994 telah ditetapkan Syarat dan Tata Cara Pemberian Izin Usaha Obat Hewan;

b. bahwa dengan adanya perubahan organisasi Departemen Pertanian dan dengan telah ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, perlu meninjau kembali pengaturan mengenai Syarat dan Tata Cara Pemberian Izin Usaha Obat Hewan, dengan Peraturan Menteri Pertanian;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2824);

2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3821);

3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4437);

4. Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 1992 tentang Obat Hewan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 129, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3509);

5. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4737);

6. Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004 tentang Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu;

7. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia, juncto Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2005;

8. Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2005 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Kementerian Negara Republik Indonesia;

9. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 299/Kpts/OT.140/7/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Pertanian, jis Peraturan Menteri Pertanian Nomor 11/Permentan/OT. 140/2/2007, dan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 22/Permentan/OT.140/4/2008;

10. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 341/Kpts/OT.140/9/2005 tentang Kelengkapan Organisasi dan Tata Kerja Departemen Pertanian, juncto Peraturan Menteri Pertanian Nomor 12/Permentan/OT.140/2/2007;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN MENTERI PERTANIAN TENTANG SYARAT DAN TATA CARA PEMBERIAN IZIN USAHA OBAT HEWAN.

~ 576 ~

Page 69: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

BAB IKETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan:1. Obat hewan adalah obat yang khusus dipakai untuk hewan.2. Izin usaha obat hewan adalah pernyataan tertulis yang diberikan oleh pejabat yang berwenang kepada

perorangan warga negara Indonesia atau badan usaha untuk melakukan usaha di bidang pembuatan, penyediaan, peredaran, pemasukan dan/atau pengeluaran obat hewan.

3. Pembuatan adalah proses kegiatan pengolahan, pencampuran dan/atau pengubahan bentuk bahan baku obat hewan menjadi obat hewan.

4. Penyediaan adalah proses kegiatan pengadaan, pemilikan, penguasaan, dan/atau penyimpanan obat hewan di suatu tempat atau ruangan dengan maksud untuk diedarkan.

5. Peredaran adalah proses kegiatan yang berhubungan dengan perdagangan, pengangkutan dan/atau penyerahan obat hewan.

6. Pemasukan obat hewan yang selanjutnya disebut impor adalah serangkaian kegiatan untuk memasukkan obat hewan dari luar negeri ke dalam wilayah negara Republik Indonesia.

7. Pengeluaran obat hewan yang selanjutnya disebut ekspor adalah serangkaian kegiatan untuk mengeluarkan obat hewan dari wilayah negara Republik Indonesia ke luar negeri.

8. Produsen obat hewan adalah perorangan warga negara Indonesia atau badan usaha yang melakukan usaha pembuatan, penyediaan, dan/atau peredaran obat hewan.

9. Importir obat hewan adalah perorangan warga negara Indonesia atau badan usaha yang melakukan usaha pemasukan obat hewan dari luar negeri ke dalam wilayah Republik Indonesia.

10. Eksportir obat hewan adalah perorangan warga negara Indonesia atau badan usaha yang melakukan usaha pengeluaran obat hewan dari wilayah Republik Indonesia ke luar negeri.

11. Distributor adalah perorangan warga negara Indonesia atau badan usaha yang melakukan penyediaan dan/atau peredaran obat hewan dari produsen atau importir.

12. Depo atau petshop obat hewan yang selanjutnya disebut depo adalah unit usaha yang melakukan usaha penyediaan dan/atau peredaran obat hewan dari distributor.

13. Toko obat hewan yang selanjutnya disebut toko adalah unit usaha yang melakukan usaha penyediaan dan/atau peredaran obat hewan selain obat keras.

14. Bahan diagnostika biologik adalah sediaan biologik yang digunakan untuk mendiagnosa suatu penyakit pada hewan.

15. Kepala Pusat adalah Kepala Pusat Perizinan dan Investasi, Departemen Pertanian.16. Dinas adalah instansi yang membidangi fungsi peternakan dan/atau kesehatan hewan provinsi atau

kabupaten/kota.

Pasal 2

(1) Peraturan ini dimaksudkan sebagai dasar hukum dalam pemberian pelayanan perizinan dan pelaksanaan kegiatan usaha obat hewan bagi aparatur dan pelaku usaha.

(2) Peraturan ini bertujuan untuk:a. melindungi konsumen dari obat hewan yang tidak memenuhi persyaratan mutu, khasiat, dan

keamanannya;b. memberikan kepastian usaha bagi perorangan warga negara Indonesia atau badan usaha dalam

melakukan kegiatan di bidang usaha obat hewan;c. mencegah masuk dan menyebarnya penyakit hewan menular.

BAB IIPEMBERIAN IZIN USAHA OBAT HEWAN

Pasal 3

(1) Usaha obat hewan meliputi kegiatan:a. pembuatan/produksi obat hewan;b. penyediaan obat hewan;c. peredaran obat hewan;d. pemasukan obat hewan dari luar negeri; dan/ataue. pengeluaran obat hewan ke luar negeri.e. pengeluaran obat hewan ke luar negeri.

~ 577 ~

Page 70: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

(2) Usaha obat hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh perorangan warga negar Indonesia atau badan usaha.

Pasal 4(1) Izin usaha obat hewan diberikan oleh pejabat yang berwenang kepada perorangan warga negara Indonesia

atau badan usaha untuk melakukan usaha di bidang obat hewan.(2) Pemberian izin usaha obat hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk produsen, importir, dan/atau

eksportir diberikan oleh Direktur Jenderal Peternakan atas nama Menteri Pertanian.(3) Pemberian izin usaha obat hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk distributor diberikan oleh

Gubernur.(4) Pemberian izin usaha obat hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk depo, dan/atau toko

diberikan oleh Bupati/Walikota.

BAB IIIPERSYARATAN IZIN USAHA OBAT HEWAN

Pasal 5

(1) Untuk memperoleh izin usaha obat hewan, perorangan warga negara Indonesia atau badan usaha harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis.

(2) Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sebagai berikut:1. Produsen obat hewan sediaan biologik, farmasetik, premik dan/atau sediaan alami harus memiliki:

a. nomor pokok wajib pajak (NPWP);b. hak guna bangunan (HGB);c. izin lokasi usaha/surat izin tempat usaha (SITU);d. izin gangguan (H.O);e. tanda daftar perusahaan (TDP);f. surat izin usaha perdagangan (SIUP);g. kartu tanda penduduk/tanda pengenal pimpinan perusahaan;h. surat persetujuan upaya pengelolaan dan pemantauan lingkungan (UKL/UPL);i. rekomendasi dari Kepala Dinas provinsi dan kabupaten/kota; danj. rekomendasi dari Asosiasi Obat Hewan Indonesia Pengurus Daerah setempat dan/atau Asosiasi

Obat Hewan Indonesia Pusat.2. Importir harus memiliki:

a. nomor pokok wajib pajak (NPWP);b. hak guna bangunan (HGB);c. izin lokasi usaha/surat izin tempat usaha (SITU);d. izin gangguan (H.O);e. tanda daftar perusahaan (TDP);f. surat izin usaha perdagangan (SIUP);g. kartu tanda penduduk/tanda pengenal pimpinan perusahaan;h. angka pengenal impor (API);i. rekomendasi dari Kepala Dinas provinsi dan kabupaten/kota di tempat lokasi kantor pusat

perusahaan yang bersangkutan apabila lokasi gudang dan kantor berada dalam satu provinsi;j. rekomendasi dari Kepala Dinas provinsi dan kabupaten/kota untuk Importir yang menggunakan

gudang di luar lokasi kantor pusat; dank. rekomendasi dari Asosiasi Obat Hewan Indonesia Pengurus Daerah setempat dan/atau Asosiasi

Obat Hewan Indonesia Pusat.3. Eksportir harus memiliki:

a. sarana/peralatan untuk melakukan kegiatan usahanya;b. nomor pokok wajib pajak (NPWP);c. hak guna bangunan (HGB);d. izin lokasi usaha/surat izin tempat usaha (SITU);e. izin gangguan (H.O);f. tanda daftar perusahaan (TDP);g. surat izin usaha perdagangan (SIUP);h. kartu tanda penduduk/tanda pengenal pimpinan perusahaan;i. rekomendasi dari Kepala Dinas di provinsi dan kabupaten/kota di tempat lokasi kantor pusat

perusahaan yang bersangkutan apabila lokasi gudang dan kantor berada dalam satu provinsi;

~ 578 ~

Page 71: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

j. rekomendasi dari Kepala Dinas provinsi dan kabupaten/kota untuk eksportir yang menggunakan gudang di luar lokasi kantor pusat; dan

k. rekomendasi dari Asosiasi Obat Hewan Indonesia Pengurus Daerah setempat dan/atau Asosiasi Obat Hewan Indonesia Pusat.

4. Distributor harus memiliki:a. sarana/peralatan untuk melakukan kegiatan usahanya;b. nomor pokok wajib pajak (NPWP);c. hak guna bangunan (HGB);d. izin lokasi usaha/surat izin tempat usaha (SITU);e. Izin Gangguan (H.O);f. tanda daftar perusahaan (TDP);g. surat izin usaha perdagangan (SIUP);h. rekomendasi dari Kepala Dinas propinsi dan kabupaten/kota; i. rekomendasi dari Asosiasi Obat Hewan Indonesia Pengurus Daerah setempat;j. rekomendasi dari Asosiasi Obat Hewan Indonesia Pusat, apabila di daerah tersebut belum ada

Asosiasi Obat Hewan Indonesia; dank. surat penunjukkan dari produsen atau importir.

5. Depo atau Petshop Obat Hewan harus memiliki:a. sarana/peralatan untuk melakukan kegiatan usahanya;b. nomor pokok wajib pajak (NPWP);c. izin lokasi usaha/surat izin tempat usaha (SITU);d. Tanda Daftar Perusahaan;e. surat izin usaha perdagangan (SIUP); danf. rekomendasi dari Asosiasi Obat Hewan Indonesia Pengurus Daerah setempat, apabila Asosiasi

Obat Hewan di daerah belum ada, maka rekomendasi diterbitkan Asosiasi Obat Hewan Indonesia Pusat.

6. Toko Obat Hewan harus memiliki:a. sarana/peralatan untuk melakukan kegiatan usahanya;b. nomor pokok wajib pajak (NPWP);c. izin lokasi usaha/surat izin tempat usaha (SITU); dand. surat izin usaha perdagangan (SIUP).

Pasal 6

Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) untuk:1. Produsen obat hewan sediaan biologik, farmasetik, premiks dan/atau obat alami, mempunyai:

a. pabrik obat hewan, sarana dan peralatan untuk melakukan kegiatan usahanya;b. laboratorium pengujian mutu dan tempat penyimpanan obat hewan;c. tenaga dokter hewan dan apoteker yang bekerja tetap sebagai penanggung jawab teknis;d. bagi produsen yang belum mempunyai pabrik obat hewan dapat menggunakan jasa pihak lain yang

telah memiliki sertifikat cara pembuatan obat hewan yang baik (CPOHB), dan/atau laboratorium pengujian mutu obat hewan milik pihak lain yang telah terakreditasi.

2. Importir obat hewan mempunyai:a. sarana/peralatan untuk melakukan kegiatan usahanya;b. tempat penyimpanan obat hewan yang dapat menjamin terjaganya mutu; danc. tenaga dokter hewan atau apoteker yang bekerja tetap sebagai penanggung jawab teknis.

3. Eksportir obat hewan mempunyai:a. sarana/peralatan untuk melakukan kegiatan usahanya;b. tempat penyimpanan obat hewan yang dapat menjamin terjaganya mutu;c. tenaga dokter hewan atau apoteker yang bekerja tetap sebagai penanggung jawab teknis.

4. Distributor obat hewan mempunyai:a. tempat penyimpanan obat hewan yang dapat menjamin terjaganya mutu;b. tenaga dokter hewan atau apoteker yang bekerja tetap sebagai penanggung jawab teknis.

5. Depo atau Petshop obat hewan mempunyai:a. tempat penyimpanan obat hewan yang dapat menjamin terjaganya mutu;b. tenaga dokter hewan atau apoteker yang bekerja tidak tetap, atau tenaga asisten apoteker yang bekerja

tetap sebagai penanggung jawab teknis.6. Toko obat hewan mempunyai tempat penyimpanan untuk mempertahankan mutu, khasiat, dan keamanan

obat hewan.~ 579 ~

Page 72: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

BAB IVTATA CARA PEMBERIAN IZIN USAHA OBAT HEWAN

Pasal 7

(1) Permohonan izin usaha obat hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) disampaikan kepada Menteri melalui Kepala Pusat dengan tembusan kepada Direktur Jenderal Peternakan, menggunakan formulir model-1.

(1) Kepala Pusat setelah menerima permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak diterimanya surat permohonan, harus segera memberikan jawaban diterima, ditunda atau ditolak.

Pasal 8

(1) Permohonan diterima sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) apabila telah memenuhi persyaratan administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.

(2) Permohonan ditunda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) apabila masih ada kekurangan persyaratan adimistratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang harus dilengkapi dan diberitahukan kepada pemohon oleh Kepala Pusat secara tertulis dengan menggunakan formulir model-2.

(3) Pemohon dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak menerima pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus sudah melengkapi kekurangan persyaratan.

(4) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) pemohon belum melengkapi kekurangan persyaratan administratif, permohonan dianggap ditarik kembali.

(5) Permohonan ditolak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) apabila persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak benar.

(6) Penolakan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disampaikan kepada pemohon oleh Kepala Pusat disertai alasan penolakan secara tertulis, dengan menggunakan formulir model-3.

Pasal 9

Permohonan yang telah memenuhi persyaratan administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) oleh Kepala Pusat disampaikan kepada Direktur Jenderal Peternakan untuk dilakukan kajian terhadap dipenuhinya persyaratan teknis.

Pasal 10

(1) Direktur Jenderal Peternakan setelah menerima permohonan dari Kepala Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 melakukan kajian persyaratan teknis.

(2) Direktur Jenderal Peternakan dalam melakukan kajian teknis dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sudah harus memberikan jawaban diterima, atau ditolak.

Pasal 11

(1) Permohonan diterima sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) apabila telah dipenuhinya persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6.

(2) Permohonan yang diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan izin usaha dalam bentuk Keputusan Menteri Pertanian yang ditandatangani oleh Direktur Jenderal Peternakan atas nama Menteri Pertanian seperti formulir Model-4.

(3) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada pemohon melalui Kepala Pusat.(4) Izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku selama pemegang izin masih melakukan

kegiatan.

Pasal 12

(1) Permohonan ditolak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) apabila persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 tidak dapat dipenuhi.

(2) Penolakan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Direktur Jenderal Peternakan kepada pemohon disertai alasan secara tertulis melalui Kepala Pusat.

Pasal 13

(1) Perorangan atau badan usaha yang akan memperluas kegiatan usahanya wajib memiliki izin perluasan.

~ 580 ~

Page 73: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

(2) Izin perluasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh sesuai persyaratan dan tata cara sebagaimana dimaksud dalam Peraturan ini.

Pasal 14

Perluasan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 meliputi:a. perluasan usaha obat hewan sebagai produsen berupa penambahan unit produksi di lain lapak atau lokasi;

dan/ataub. perluasan usaha obat hewan sebagai produsen berupa penambahan jumlah alat produksi, menambah jenis

obat hewan yang diproduksi.

Pasal 15

Pemegang izin usaha obat hewan sebagaimana dimaksud Pasal 11 ayat (2) wajib menyampaikan laporan secara periodik setiap 3 (tiga) bulan sekali mengenai kegiatan usahanya kepada Direktur Jenderal Peternakan melalui Kepala Pusat.

Pasal 16

Pemegang izin yang akan melakukan pemindahan lokasi wajib memberitahu secara tertulis kepada pemberi izin.

Pasal 17

(1) Izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) dapat dialihkan setelah mendapat persetujuan dari pemberi izin.

(2) Pengalihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB VPENCABUTAN IZIN USAHA OBAT HEWAN

Pasal 18

Izin usaha dicabut apabila:a. terbukti tidak mempunyai tenaga penanggung jawab teknis;b. dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah diberikan izin usaha obat hewan tidak melakukan kegiatan;c. terbukti membuat, menyediakan, dan/atau mengedarkan obat hewan ilegal;d. memindahkan lokasi usaha obat hewan tanpa persetujuan pemberi izin;e. mengalihkan izin usaha tanpa persetujuan tertulis dari pemberi izin;f. tidak memenuhi ketentuan yang tercantum dalam izin usaha;g. tidak melakukan pelaporan kegiatan berturut-turut dalam jangka waktu 1 (satu) tahun.

Pasal 19

(1) Pencabutan izin usaha obat hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf a, huruf b, dan/atau huruf g dilakukan setelah diberi peringatan secara tertulis sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan selang waktu masing-masing 50 (lima puluh) hari kerja tidak diindahkan oleh pemegang izin.

(2) Pencabutan izin usaha obat hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam bentuk Keputusan Menteri Pertanian yang ditandatangan Direktur Jenderal Peternakan atas nama Menteri, seperti formulir Model-5.

BAB VIKETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 20

Dalam hal untuk melindungi kepentingan nasional dan membantu penanggulangan penyakit hewan di negara lain, maka pembuatan sediaan biologik yang biang isolatnya tidak ada di Indonesia dapat diproduksi dengan ketentuan tersendiri dan wajib memenuhi persyaratan tingkat keamanan hayati yang tinggi.

~ 581 ~

Page 74: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

BAB VIIKETENTUAN PERALIHAN

Pasal 21

(1) Permohonan Izin usaha obat hewan yang sedang dalam proses sebelum ditetapkannya Peraturan ini dilakukan sesuai ketentuan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 324/Kpts/TN.120/4/94 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Izin Usaha Obat Hewan.

(2) Izin Usaha Obat Hewan yang diberikan sebelum Peraturan ini ditetapkan dinyatakan masih tetap berlaku selanjutnya menyesuaikan dengan Peraturan ini.

BAB VIIIPENUTUP

Pasal 22

Dengan ditetapkannya Peraturan ini, Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 324 /Kpts/TN.120/4/94 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Izin Usaha Obat Hewan, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 23

Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Pertanian ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakartapada tanggal 8 April 2009

MENTERI PERTANIAN,

ANTON APRIYANTONODiundangkan di Jakartapada tanggal 7 Mei 2009

MENTERI HUKUM DAN HAMREPUBLIK INDONESIA,

ANDI MATTALATTA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 92

~ 582 ~

Page 75: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

Nomor :Lampiran :Perihal : Permohonan Izin Usaha

Produsen/Importir/Eksportir*)

Kepada Yth. :Kepala Pusat Perizinan dan InvestasiDepartemen PertanianJl. Harsono RM. No. 3 RagunanPasar Minggu, Jakarta Selatan

Yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama Perusahaan :

Alamat Perusahaan :

Nomor Persetujuan Prinsip :

Sebagai bahan pertimbangan kami lampirkan persyaratan sebagai berikut :

*) I.Izin Usaha Produsen Obat Hewan1. Keterangan tentang investasi perusahaan

a. Modal tetap.............................b. Modal Kerja pertahun.........................

2. Foto copy Akte Pendirian Perusahaan dan perubahannya3. Foto copy Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) ;4. Foto copy Hak Guna Bangunan (HGB) ;5. Foto copy Izin lokasi usaha/ Surat izin Tempat Usaha (SITU);;6. Foto copy Izin Gangguan (H.O) ;7. Foto copy Tanda Daftar Perusahaan;8. Foto copy Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP);9. Foto copy Kartu Tanda Pengenal Penduduk/Tanda Pengenal Pimpinan Perusahaan;10.Rekomendasi dari Kepala Dinas Peternakan atau yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan

hewan, Kabupaten/Kota dan Propinsi;11.Rekomendasi dari Asosiasi Obat Hewan Indonesia Pengurus Daerah Setempat dan/atau Asosiasi Obat

Hewan Indonesia Pusat12.Surat Persetujuan upaya pengelolaan dan pemantauan lingkungan (UKL/UPL) yang diperlukan.

II. Izin Usaha Importir Obat Hewan1. Foto copy Nomor Pokok Wajib Pajak ( NPWP ) ;2. Foto copy Hak Guna Bangunan (HGB)3. Foto copy izin lokasi usaha/Surat Izin Tempat Usaha (SITU) ;4. Foto copy izin gangguan (H.O);5. Foto copy Tanda Daftar Perusahaan ;6. Foto copy surat izin perdagangan (SIUP );7. Foto copy Kartu Tanda Pengenal Penduduk/Tanda Pengenal Pimpinan Perusahaan;8. Foto copy angka pengenal import Umum/Terbatas;9. Rekomendasi dari Kepala Dinas Propinsi dan kabupaten /kota ditempat lokasi kantor pusat perusahaan

yang bersangkutan apabila lokasi gudang dan kantor berada dalam satu provinsi;10.Rekomendasi dari Kepala Dinas Propinsi dan kabupaten/kota untuk imoprtir yang menggunakan

gudang diluar lokasi kantor pusat;11.Rekomendasi dari Asosiasi Obat Hewan Indonesia Pengurus Daerah Setempat dan/atau Asosiasi Obat

Hewan Indonesia Pusat.

~ 583 ~

Formulir Model-1

Page 76: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

III. Izin Usaha eksportir Obat Hewan1. Foto copy Nomor Pokok Wajib Pajak ( NPWP ) ;2. Foto copy Hak Guna Bangunan (HGB);3. Foto copy izin lokasi usaha/Surat Iizin Tempat Usaha (SITU);4. Foto copy izin Gangguan (H.O);5. Foto copy Tanda Daftar Perusahaan ;6. Foto copy surat izin perdagangan (SIUP );7. Kartu Tanda Penduduk/Tanda Pengenal Pimpinan Perusahaan;8. Keterangan tentang sarana dan alat perlengkapan sebagai Ekspor obat hewan (Terlampir );9. Rekomendasi dari Kepala Dinas Propinsi dan kabupaten /kota ditempat lokasi kantor pusat perusahaan

yang bersangkutan apabila lokasi gudang dan kantor berada dalam satu provinsi;10.Rekomendasi dari Kepala Dinas Propinsi dan kabupaten /kota untuk ekspor yang menggunakan

gudang diluar lokasi kantor pusat;11.Rekomendasi dari Asosiasi Obat Hewan Indonesia Pengurus Daerah Setempat dan/atau Asosiasi Obat

Hewan Indonesia Pusat.

Demikian permohonan ini kami buat dengan sebenarnya, atas perhatian serta bantuannya diucapkan terima kasih.

..............................20........

Pimpinan PerusahaanMaterai

Rp. 6000

(........................................)

Tembusan :1. Sekretaris Jenderal Pertanian;2. Direktur Jenderal Peternakan.

Keterangan : *) I, II, III, IV, V, VI, VII persyaratan untuk tiap pengajuan

~ 584 ~

Page 77: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

Nomor :Lampiran :Perihal : Penundaan Izin Usaha Obat Hewan

Kepada Yth.:Pemohondi-Jakarta

Sehubungan dengan surat Saudara Nomor............tanggal...........perihal permohonan izin usaha obat hewan Importir/Eksportir*) dengan ini diberitahukan penundaan permohonan Saudara dengan alasan :a.....................................................................................................;b.....................................................................................................;c.....................................................................................................;d.....................................................................................................;

Saran/Arahan :................................................................................................................................................................................................................................................................................

Demikian disampaikan, agar menjadi maklum.

Kepala Pusat Perizinan dan Investasi

(………………………………………..)

Tembusan :1. Menteri Pertanian;2. Sekretaris Jenderal Departemen Pertanian;

Keterangan : *) Coret yang tidak perlu

~ 585 ~

Formulir Model-2

Page 78: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

Nomor :Lampiran :Perihal : Penolakan Izin Usaha Obat Hewan

Kepada Yth.:Pemohondi-.............................................

Sehubungan dengan surat Saudara Nomor............tanggal...........perihal permohonan izin usaha obat hewan Importir/Eksportir*) dengan ini diberitahukan permohonan Saudara ditolak dengan alasan :a.....................................................................................................;b.....................................................................................................;c.....................................................................................................;d.....................................................................................................;

Saran/Arahan :................................................................................................................................................................................................................................................................................

Demikian disampaikan, agar menjadi maklum.

Kepala Pusat Perizinan dan Investasi

(………………………………………..)

Tembusan :1. Menteri Pertanian;2. Sekretaris Jenderal Departemen Pertanian;3. Direktur Jenderal Peternakan.

Keterangan : *) Coret yang tidak perlu

~ 586 ~

Formulir Model-3

Page 79: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

Garuda BiruMENTERI PERTANIANREPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN NOMOR

TENTANG

PEMBERIAN IZIN USAHA OBAT HEWAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI PERTANIAN,

Menimbang : a. bahwa dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor …/Permentan/OT…/…/… telah ditetapkan Syarat dan Tata Cara Pemberian Izin Usaha Obat Hewan;

b.bahwa pemohonan izin usaha obat hewan yang Saudara ajukan telah memenuhi syarat, baik syarat administrative maupun syarat teknis;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, serta sekaligus sebagai pelaksanaan Pasal … Peraturan Menteri Pertanian Nomor …/Permentan/OT…/…/… tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Izin Usaha Obat Hewan, perlu menetapkan Pemberian Izin Usaha Obat Hewan, dengan Keputusan Menteri Pertanian;

Mengingat : 1.Undang-undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1967 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2824);

2.Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 1992 tentang Obat Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 129, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3509);

3.Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004 tentang Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu;

4.Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia;

5.Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2005 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Kementerian Negara Republik Indonesia, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2005;

6.Keputusan Presiden Nomor 100/M Tahun 2007 tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Pejabat Eselon I lingkup Departemen Pertanian;

7.Peraturan Menteri Pertanian Nomor 299/Kpts/OT.140/7/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Pertanian;

8.Peraturan Menteri Pertanian Nomor 341/Kpts/OT.140/9/2005 tentang Kelengkapan Organisasi dan Tata Kerja Departemen Pertanian;

9.Peraturan Menteri Pertanian Nomor ... tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Izin Usaha Obat Hewan;

Memperhatikan : 1. Surat Kepala Pusat Perizinan dan Investasi Nomor ...tanggal ....;2.Surat Permohonan ............. Nomor ........... tanggal .........;3.Surat Rekomendasi dari Kepala Dinas Peternakan Nomor ...Tanggal ............;4.Berita Acara Pemeriksaan Nomor ....... Tanggal ...........;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

KESATU : Memberikan Izin Usaha Produsen/Importir/Eksportir Kepada Perusahaan:

1.a. Nama Badan Usaha :b. Jenis Usaha :c. Alamat Kantor :d. Alamat Perusahaan :

2.a. Sarana/Peralatan yang dipergunakan :~ 587 ~

Formulir Model-4

Page 80: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

b. Bentuk sediaan yang diproduksi/diedarkan * ) :c. Macam Sediaan yang diproduksi/diedarkan * ) :d. Jumlah Unit Produksi (Khusus untuk Produsen) :e. Jumlah Alat Produksi/Peredaran *) :f. Jumlah Pabrik (satu Propinsi) :

3.Jenis Perluasan : Penambahan unit produksi dilahan tapak atau lokasi/alat produksi jenis obat yang impor/ekspor/diedarkan * )

KEDUA : Pemegang Izin Usaha Obat Hewan sebagaimana dimaksud pada diktum KESATU wajib dengan nyata dan sungguh-sungguh menjalankan usahanya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

KETIGA : Pemegang Izin Usaha yang diberikan kepada perusahaan sebagaimana dimaksud dalam diktum KESATU berlaku selama Perusahaan Obat Hewan yang bersangkutan melaksanakan kegiatan dan wajib menyampaikan laporan perkembangan pelaksanaan kesiapan persyaratan teknis kepada Direktur Jenderal Peternakan setiap 1 (satu ) tahun sekali dengan tembusan Kepala Pusat Perizinan dan Investasi.

KEEMPAT : Keputusan ini mulai pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakartapada tanggal

A.n. MENTERI PERTANIANDIREKTUR JENDERAL PETERNAKAN,

( ..........................................)NIP.:

SALINAN Keputusan ini disampaikan kepada Yth. :1. Sekretariat Jenderal Departemen Pertanian;2. Direktur Jenderal Pengawas Obat dan Makanan ;3. Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri ;4. Kepala Dinas Peternakan Propinsi Daerah Tingkat I ....................... ;5. Kepala Dinas Peternakan Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II .....................

Keterangan : *) Coret yang tidak perlu

~ 588 ~

Page 81: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

Garuda Biru

MENTERI PERTANIANREPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN NOMOR

TENTANG

PENCABUTAN PEMBERIAN IZIN USAHA OBAT HEWAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI PERTANIAN,

Menimbang : a. bahwa dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor …/Permentan/OT…/…/… telah ditetapkan Syarat Dan Tata Cara Pemberian Izin Usaha Obat Hewan;

b. bahwa Saudara telah melanggar Pasal … Peraturan Menteri Pertanian sebagaimana dimaksud pada huruf a;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, serta sebagai tindak lanjut Pasal … Peraturan Menteri Pertanian Nomor …/Permentan/OT…/…/… tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Izin Usaha Obat Hewan, perlu mencabut izin usaha obat hewan, dengan Keputusan Menteri Pertanian;

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1967 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2824);

2. Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 1992 tentang Obat Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 129, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3509);

3. Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004 tentang Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu;

4. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia;

5. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2005 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Kementerian Negara Republik Indonesia, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2005;

6. Keputusan Presiden Nomor 100/M Tahun 2007 tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Pejabat Eselon I lingkup Departemen Pertanian;

7. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 299/Kpts/OT.140/7/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Pertanian;

8. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 341/Kpts/OT.140/9/2005 tentang Kelengkapan Organisasi dan Tata Kerja Departemen Pertanian;

9. Peraturan Menteri Pertanian Nomor ... tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Izin Usaha Obat Hewan;

Memperhatikan : Surat Kepala Pusat Perizinan dan Investasi Nomor ... tanggal ...

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

KESATU : Pencabutan Keputusan izin usaha obat hewan Kepada Perusahaan :

a. a. Nama Badan Usaha :b. Jenis Usaha :c. Alamat Kantor :d. Alamat Perusahaan :

b. a. Sarana/Peralatan yang dipergunakan :b. Bentuk sediaan yang diproduksi/diedarkan * ) :

~ 589 ~

Formulir Model-5

Page 82: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

c. Macam Sediaan yang diproduksi/diedarkan * ) :d. Jumlah Unit Produksi (Khusus untuk Produsen) :e. Jumlah Alat Produksi/Peredaran *) :f. Jumlah Pabrik (satu Propinsi) :Sebagai : Produsen/Importir/Eksportir/Distributor

c. Jenis Perluasan : Penambahan unit produksi dilahan tapak atau lokasi/alat produksi jenis obat yang impor/ekspor/diedarkan * )

KEDUA : Izin sebagaimana dimaksud pada diktum KESATU dicabut apabila :

a. terbukti tidak mempunyai tenaga penanggung jawab teknis;b. dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah diberikan izin usaha obat hewan tidak

melakukan kegiatan;c. terbukti membuat, menyediakan, dan/atau mengedarkan obat hewan illegal;d. memindahkan lokasi usaha obat hewan tanpa persetujuan pemberi izin;e. mengalihkan izin usaha tanpa persetujuan tertulis dari pemberi izin;f. tidak memenuhi ketentuan yang tercantum dalam izin usaha;g. tidak melakukan pelaporan kegiatan berturut-turut dalam jangka waktu 1 (satu) tahun;

KEEMPAT : Keputusan ini mulai pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakartapada tanggal

A.n. MENTERI PERTANIAN DIREKTUR JENDRAL PETERNAKAN,

( ..........................................)NIP.:

SALINAN Keputusan ini disampaikan kepada Yth. :1. Sekretariat Jendral Departemen Pertanian;2. Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Departemen Keuangan;3. Direktur Jenderal Pengawas Obat dan Makanan ;4. Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri.5. Kepala Dinas Peternakan Propinsi Daerah Tingkat I ....................... ;6. Kepala Dinas Peternakan Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II .....................

Keterangan : *) Coret yang tidak perlu

~ 590 ~

Page 83: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

BERITA NEGARAREPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI PERTANIANNOMOR 19/PERMENTAN/OT.140/4/2009

TENTANGSYARAT DAN TATA CARA PENDAFTARAN PAKAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI PERTANIAN,

Menimbang : a. bahwa dengan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 242/Kpts/OT.210/4/2003 telah ditetapkan Pendaftaran dan Labelisasi Pakan;

b. bahwa dengan adanya perubahan organisasi di lingkungan Departemen Pertanian dan dengan ditetapkannnya Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Kabupaten/Kota, dalam perkembangannya Keputusan Menteri Pertanian Nomor 242/Kpts/OT.210/4/2003 tentang Pendaftaran dan Labelisasi Pakan sudah tidak sesuai lagi;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b perlu mengatur Syarat dan Tata Cara Pendaftaran Pakan, dengan Peraturan Menteri Pertanian;

Mengingat :  1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2824);

2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4473);

3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3821);

4. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai daerah otonomi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4737);

5. Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional Indonesia (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 199, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4020);

6. Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004 tentang Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu;

7. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia, juncto Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2005;

8. Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2005 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Kementerian Negara Republik Indonesia;

9. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 471/Kpts/TN.530/7/2002 tentang Pelarangan Penggunaan Tepung Daging, Tepung Tulang, Tepung Darah, Tepung Daging dan Tulang (TDT) dan Bahan Lainnya Asal Ruminansia sebagai Pakan Ternak Ruminansia;

10. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 299/Kpts/OT.210/7/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Pertanian, jis Peraturan Menteri Pertanian Nomor 11/Permentan/OT.140/2/2007 dan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26/Permentan/OT.140/4/2008;

11. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 341/Kpts/OT.140/9/2005 tentang Kelengkapan Organisasi dan Tata Kerja Departemen Pertanian, juncto Peraturan Menteri Pertanian Nomor 12/Permentan/OT.140/2/2007;

~ 591 ~

Page 84: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

12. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 58/Permentan/OT.140/9/2006 tentang Pelaksanaan Standardisasi Lingkup Departemen Pertanian;

13. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 65/Permentan/OT.140/9/2007 tentang Pedoman Pengawasan Mutu Pakan;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:    PERATURAN MENTERI PERTANIAN TENTANG SYARAT DAN TATA CARA PENDAFTARAN PAKAN.

BAB IKETENTUAN UMUM

Pasal 1Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan:1. Pendaftaran Pakan adalah kegiatan untuk memperoleh Nomor Pendaftaran Pakan, agar pakan yang

diproduksi dapat diedarkan.2. Sertifikat Mutu Pakan adalah jaminan tertulis yang diberikan oleh Lembaga Pengujian Mutu Pakan atau

Laboratorium terakreditasi yang menyatakan bahwa pakan telah memenuhi standar yang dipersyaratkan.3. Label Pakan adalah setiap keterangan mengenai pakan yang berbentuk gambar, tulisan, kombinasi

keduanya, atau bentuk lain yang ditempelkan pada, dimasukkan ke dalam atau merupakan bagian dari kemasan pakan.

4. Pakan adalah bahan makanan baik tunggal maupun campuran, baik yang diolah maupun yang tidak diolah, yang diberikan kepada hewan untuk kelangsungan hidup, berproduksi, dan berkembang biak.

5. Bahan pakan adalah bahan-bahan hasil pertanian, perikanan, peternakan atau bahan lainnya yang layak dipergunakan sebagai pakan, baik yang telah diolah maupun yang belum diolah.

6. Konsentrat adalah pakan yang kaya akan sumber protein dan atau sumber energi serta dapat mengandung pelengkap pakan dan atau imbuhan pakan.

7. Pelengkap pakan adalah zat yang secara alami sudah terkandung dalam pakan tetapi jumlahnya perlu ditingkatkan dengan menambahkannya dalam pakan.

8. Imbuhan pakan adalah bahan pakan yang tidak mengandung nutrien, yang pemakaiannya untuk tujuan tertentu.

9. Pengujian Mutu Pakan adalah kegiatan dan tatacara menguji sampel pakan untuk mengetahui mutunya.10. Laboratorium Pengujian Mutu Pakan adalah laboratorium yang telah diakreditasi untuk dapat melakukan

pengujian sampel pakan sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan.11. Pembuatan Pakan adalah kegiatan mencampur dan mengolah berbagai bahan pakan untuk dijadikan

pakan.12. Peredaran Pakan adalah kegiatan dalam rangka penyaluran pakan di dalam negeri atau ekspor, baik untuk

diperdagangkan maupun tidak diperdagangkan.13. Contoh Pakan adalah sejumlah pakan yang diambil dari lokasi produsen pakan, distributor, agen, dan/atau

peternak/pengguna untuk tujuan pengawasan mutu bahan pakan dan pakan.14. Formula Pakan adalah susunan tentang jenis dan proporsi setiap bahan pakan yang digunakan dalam

pembuatan pakan dengan mempertimbangkan kebutuhan nutrisi dan kandungan zat makanan.15. Cemaran Pakan adalah bahan fisik, kimiawi, dan/atau biologik yang dimasukan ke atau timbul dalam

bahan pakan dan atau pakan, yang dapat mengakibatkan turunnya mutu dan/atau mengganggu kesehatan ternak.

16. Produsen Pakan adalah setiap orang atau badan usaha yang berusaha di bidang pembuatan pakan dengan maksud untuk diedarkan.

17. Kepala Pusat adalah Kepala Pusat Perizinan dan Investasi.18. Dinas adalah Instansi yang membidangi fungsi peternakan dan/atau kesehatan hewan provinsi dan/atau

kabupaten/kota.

Pasal 2

Peraturan ini dimaksudkan sebagai dasar hukum untuk melaksanakan pendaftaran, pengujian, dan labelisasi pakan, dengan tujuan agar pakan yang beredar di wilayah Negara Republik Indonesia terjamin keamanannya dan memenuhi standar mutu pakan atau persyaratan teknis minimal yang ditetapkan.

Pasal 3

~ 592 ~

Page 85: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

Ruang lingkup dalam Peraturan ini meliputi persyaratan pendaftaran, tata cara pendaftaran, biaya pengujian, pembinaan dan pengawasan, dan ketentuan sanksi.

Pasal 4

Jangkauan pengaturan dalam Peraturan ini meliputi: pakan unggas, pakan ruminansia, pakan non ruminansia, dan pakan aneka ternak.

Pasal 5

(1) Penyediaan pakan dapat dilakukan melalui produksi dalam negeri dan/atau pemasukan dari luar negeri.(2) Pakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebelum diedarkan wajib memiliki nomor pendaftaran pakan.

Pasal 6

Setiap orang atau badan usaha yang melakukan kegiatan usaha memproduksi, memasukkan ke, dan/atau mengeluarkan pakan dari wilayah Negara Republik Indonesia dengan maksud untuk diedarkan wajib mendaftarkan pakannya.

BAB IIPERSYARATAN PENDAFTARAN

Pasal 7

Pakan yang diproduksi, dimasukkan ke, dan/atau dikeluarkan dari wilayah Negara Republik Indonesia wajib didaftarkan setelah memenuhi standar mutu pakan atau persyaratan teknis minimal.

Pasal 8

(1) Pendaftaran pakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dapat dilakukan oleh setiap orang atau badan usaha dengan melengkapi persyaratan administrasi dan persyaratan teknis.

(2) Persyaratan administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:a. Foto Copy Akte pendirian perusahaan dan perubahannya yang berbadan hukum;b. Foto Copy Angka pengenal impor/Angka pengenal impor terbatas (bagi Importir);c. Foto Copy Surat Keterangan Domisili;d. Foto Copy Kartu Tanda Penduduk;e. Foto Copy Surat Izin Usaha Perdagangan/Tanda Daftar Usaha Perdagangan; danf. Foto Copy Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);

(3) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:a. Nama dagang atau merk, jenis pakan dan kode pakan serta penggunaannya; (Form A)b. Jenis bahan pakan dan prosentase dalam formula pakan; (Form B)c. Campuran pelengkap pakan dan imbuhan pakan yang digunakan; (Form C)d. Bahan, ukuran dan volume kemasan; (Form D)e. Surat Keterangan mengenai bahan pakan yang dipergunakan untuk menyusun formula pakan tidak

tercemari (terkontaminasi) oleh zat yang dapat membahayakan bagi kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan;

f. Melampirkan contoh atau konsep label pakan; dang. Surat rekomendasi dari Dinas Peternakan atau yang membidangi fungsi peternakan Provinsi.

(4) Selain persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (3), harus memenuhi pula persyaratan sebagai berikut:a. untuk pakan unggas dan non ruminansia (babi), tidak diperbolehkan menggunakan urea atau nitrogen

yang bukan protein sebagai campuran dalam formulasi pakannya;b. untuk pakan konsentrat ternak ruminansia tidak diperbolehkan menggunakan bahan baku pakan asal

hewan ruminansia seperti tepung daging dan tulang (meat bone meal).

BAB IIITATA CARA PENDAFTARAN

Bagian KesatuPermohonan Pendaftaran

Pasal 9~ 593 ~

Page 86: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

(1) Untuk mendapatkan nomor pendaftaran pakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2), produsen, importir, atau eksportir mengajukan surat permohonan kepada Menteri melalui Kepala Pusat, dengan dilampiri persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2), dengan menggunakan formulir model-1.

(2) Kepala Pusat dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja telah selesai memeriksa kelengkapan persyaratan administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) dan memberikan jawaban menerima, menunda, atau menolak.

Pasal 10

(1) Permohonan diterima sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) apabila telah memenuhi persyaratan administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) oleh Kepala Pusat disampaikan kepada Direktur Jenderal Peternakan secara tertulis dengan menggunakan formulir model -2.

(2) Permohonan ditunda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) apabila masih ada kekurangan persyaratan administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2), Kepala Pusat memberitahukan kepada pemohon disertai alasan penundaan secara tertulis, dengan menggunakan formulir model -3.

(3) Apabila dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima) hari kerja pemohon tidak melengkapi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2), maka permohonan dianggap ditarik kembali.

(4) Permohonan ditolak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) apabila persyaratan administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) tidak benar, Kepala Pusat memberitahukan kepada pemohon disertai alasan penolakan secara tertulis, dengan menggunakan formulir model -4.

Pasal 11

(1) Permohonan yang telah diterima sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) disampaikan oleh Kepala Pusat kepada Direktur Jenderal Peternakan untuk pemenuhan persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) dan ayat (4).

(2) Direktur Jenderal Peternakan setelah menerima permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan kajian teknis, dan paling lambat dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja harus memberi jawaban diterima atau ditolak.

Pasal 12

(1) Apabila permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) diterima, maka kepada pemohon diwajibkan mengirim contoh pakan yang akan didaftarkan kepada Lembaga Penguji yang telah diakreditasi.

(2) Apabila permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) ditolak, maka Direktur Jenderal Peternakan memberitahukan kepada pemohon disertai alasan penolakan secara tertulis melalui Kepala Pusat.

(3) Apabila permohonan pendaftaran dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) Direktur Jenderal Peternakan belum dapat memberikan jawaban tertulis, maka permohonan pendaftaran dianggap diterima dan wajib mengirim contoh pakan yang akan didaftarkan kepada Lembaga Penguji yang telah diakreditasi.

(4) Contoh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) diambil oleh Pengawas Mutu Pakan atau Petugas Pengambil Contoh.

Bagian KeduaPengujian

Pasal 13

Pengujian mutu pakan dapat dilakukan oleh Lembaga Penguji milik Pemerintah dan Swasta yang telah diakreditasi dengan ruang lingkup akreditasi minimal untuk pengujian Proksimat, Kalsium (Ca), dan Phosfor (P).

Pasal 14

Permohonan pengujian mutu pakan diajukan secara tertulis oleh pemohon kepada Lembaga Penguji dengan tembusan disampaikan kepada Kepala Dinas.

Pasal 15

~ 594 ~

Page 87: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

(1) Kepala Dinas paling lambat dalam jangka waktu 3 (tiga) hari kerja sejak diterimanya tembusan permohonan pengujian mutu pakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 telah menugaskan Pengawas Mutu Pakan untuk melakukan pengambilan contoh pakan.

(2) Pengawas Mutu Pakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selambat-lambatnya dalam jangka waktu 2 (dua) hari kerja sejak diterimanya penugasan sudah melakukan pengambilan contoh pakan di tempat pemohon sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

(3) Contoh pakan yang telah diambil oleh Pengawas Mutu Pakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibungkus dengan baik dan disegel, diserahkan kepada pemohon untuk dikirimkan kepada Lembaga Penguji.

Pasal 16

(1) Lembaga Penguji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dalam melakukan pengujian dengan menggunakan metode pengujian mutu pakan, sebagaimana tercantum pada Lampiran - 1.

(2) Penilaian terhadap hasil pengujian didasarkan pada Standar Mutu Pakan atau Persyaratan Teknis Minimal, sebagaimana tercantum pada Lampiran - 2 (3) Standar Mutu Pakan atau Persyaratan Teknis Minimal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat ditinjau kembali dan disesuaikan dengan kebutuhan industri pakan berdasarkan Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.

Pasal 17

Pakan yang telah memenuhi persyaratan mutu, dinyatakan lulus uji oleh Lembaga Penguji dan diberikan Sertifikat Mutu Pakan kepada pemohon dengan tembusan kepada Direktur Jenderal Peternakan dan Kepala Dinas sebagaimana tercantum pada Lampiran - 3.

Pasal 18

(1) Lembaga penguji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 wajib menjaga kerahasiaan dan bertanggung jawab atas hasil pengujian yang dilakukan.

(2) Petugasyang melayani permohonan pendaftaran pakan wajib menjaga kerahasiaan formula pakan.

Bagian KetigaPemberian Nomor Pendaftaran Pakan

Pasal 19

Nomor pendaftaran diberikan dalam bentuk Keputusan Menteri Pertanian yang ditandatangani oleh Direktur Jenderal Peternakan atas nama Menteri untuk diberikan kepada pemohon melalui Kepala Pusat, seperti formulir model-6.

Pasal 20

(1) Nomor pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 berlaku untuk jangka waktu 5 (lima) tahun, dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu 5 (lima) tahun berikutnya.

(2) Perpanjangan Nomor Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan melampirkan sertifikat mutu pakan.

(3) Nomor pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila setelah diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu 5 (lima) tahun berakhir, maka nomor pendaftaran harus di perbaharui.

(4) Perpanjangan dan pembaharuan Nomor pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan ini.

Pasal 21

(1) Pemegang Nomor Pendaftaran bertanggung jawab atas mutu produknya dan wajib mencantumkan nomor pendaftaran pada label di tempat yang mudah dilihat dan dibaca serta tidak mudah terhapus.

(2) Label sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditulis atau dicetak dengan menggunakan Bahasa Indonesia, angka arab dan huruf latin yang memuat paling kurang:a. nama dagang atau merk;b. nama dan alamat perusahaan/produsen dan/atau importir;c. jenis dan kode pakan;d. kandungan zat gizi;e. imbuhan pakan yang digunakan;f. bahan pakan yang digunakan;

~ 595 ~

Page 88: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

g. tanggal dan kode produksi; danh. nomor pendaftaran pakan.

(3) Untuk memudahkan pengenalan jenis-jenis pakan, label pakan diberi warna dasar dan kode pakan sebagaimana tercantum pada Lampiran- 4.

(4) Pemegang Nomor Pendaftaran Pakan wajib melaporkan setiap perubahan subyek pemegang nomor pendaftaran kepada Direktur Jenderal Peternakan melalui Kepala Pusat untuk dicatat dalam buku nomor pendaftaran dan dilakukan perubahan keputusan pemberian nomor pendaftaran.

Pasal 22

Pemegang nomor pendaftaran wajib menyampaikan laporan penyediaan yang meliputi produksi, impor, dan penyaluran pakan setiap 3 (tiga) bulan sekali kepada Direktur Jenderal Peternakan melalui Kepala Pusat, dengan menggunakan formulir model-5.

BAB IVBIAYA PENGUJIAN

Pasal 23

(1) Biaya Pengujian Mutu Pakan yang dilakukan oleh Lembaga Penguji Pemerintah dibebankan pada pemohon yang merupakan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang harus disetorkan ke Kas Negara yang besar dan tatacaranya ditetapkan berdasarkan Peraturan Perundang-undangan.

(2) Biaya pengujian mutu pakan yang dilakukan oleh Lembaga Penguji swasta dibebankan kepada pemohon, yang besar dan tata caranya ditetapkan oleh Lembaga Penguji yang bersangkutan.

BAB VPEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Pasal 24

Kepala Dinas melakukan pembinaan terhadap penyediaan dan peredaran pakan di wilayahnya.

Pasal 25

(1) Pengawasan penerapan Nomor Pendaftaran Pakan dilakukan oleh Pengawas Mutu Pakan.(2) Pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan Peraturan

Perundang-undangan.

BAB VIKETENTUAN SANKSI

Pasal 26

Terhadap Lembaga Penguji yang terbukti tidak bertanggung jawab atas hasil uji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) dilakukan teguran tertulis dan dilaporkan kepada pejabat yang berwenang untuk dikenakan sanksi sesuai dengan Peraturan perundang-undangan.

Pasal 27

Terhadap petugas pelayanan permohonan pendaftaran yang terbukti tidak menjamin kerahasiaan formula pakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 28

(1) Terhadap produsen dan/atau importir yang terbukti tidak mencantumkan nomor pendaftaran pada label pakan dan tidak menjamin mutu produknya atau tidak melaporkan adanya perubahan pemegang nomor pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (4) dikenakan sanksi pencabutan nomor pendaftaran oleh Direktur Jenderal Peternakan atas nama Menteri dan diusulkan kepada pejabat yang berwenang agar izin produksinya atau izin impornya dicabut dan pakan yang beredar harus ditarik dari peredaran.

(2) Penarikan kembali pakan yang beredar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh dan atas beban biaya produsen dan/atau importir.

~ 596 ~

Page 89: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

(3) Terhadap produsen yang telah mendapat nomor pendaftaran, apabila selama 2 (dua) tahun berturut-turut tidak melakukan produksinya serta tidak menyampaikan laporan penyediaan dan peredaran pakan, dikenakan sanksi pencabutan nomor pendaftaran oleh Direktur Jenderal Peternakan atas nama Menteri, seperti formulir model-7.

BAB VIIKETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 29

(1) Produsen dapat melayani pakan pesanan dengan formula khusus dalam bentuk fisik pakan sesuai yang didaftarkan dan dipergunakan langsung oleh pemesan.(2) Pakan dengan formula khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebelum digunakan oleh pemesan, produsen wajib melaporkan kepada Direktur Jenderal Peternakan dengan tembusan kepada Kepala Dinas untuk mendapatkan pembinaan dan pengawasan.

Pasal 30

Pakan dengan formula khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dilarang untuk diedarkan dan digunakan untuk kepentingan umum.

BAB VIIIKETENTUAN PERALIHAN

Pasal 31

(1) Pakan yang telah terdaftar pada saat Peraturan ini ditetapkan, Nomor Pendaftaran Pakan tetap berlaku sampai dengan berakhirnya masa Nomor Pendaftaran Pakan.

(2) Pakan yang pada saat Peraturan ini ditetapkan sedang atau sudah dilakukan pengujian, tetap dilakukan proses pendaftaran sesuai ketentuan yang telah ada.

(3) Pakan yang pada saat Peraturan ini ditetapkan sedang dalam proses pendaftaran tetapi belum dilakukan pengujian, diberlakukan ketentuan dalam Peraturan ini.

BAB IXPENUTUP

Pasal 32

Dengan ditetapkannya Peraturan ini, Keputusan Menteri Pertanian Nomor 242/Kpts/OT.210/4/2003 tentang Pendaftaran dan Labelisasi Pakan, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 33

Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini, dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakartapada tanggal 8 April 2009

MENTERI PERTANIAN,

ANTON APRIYANTONODiundangkan di Jakartapada tanggal 7 Mei 2009

MENTERI HUKUM DAN HAMREPUBLIK INDONESIA,

~ 597 ~

Page 90: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

ANDI MATTALATTA

Nomor :Lampiran :Perihal : Pendaftaran Pakan

Kepada Yth. :Kepala Pusat Perizinan dan InvestasiDepartemen PertanianJl. Harsono RM. No.3 RagunanPasar Minggu, Jakarta Selatan

Yang bertanda tangan dibawah ini :Nama Perusahaan :……………………………………………………………Alamat Perusahaan :……………………………………………………………

Sebagai produsen atau pembuat pakan dengan bahan pakan : ………………………………Bersama ini mengajukan permohonan pendaftaran formula pakan sebanyak…………jenis

Sebagai bahan pertimbangan kami lampirkan persyaratan sebagai berikut :1. Fotocopy angka pengenal import umum/ terbatas (bagi importir)2. Fotocopy angka pengenal import umum/terbatas (bagi importir)3. Fotocopy surat keterangan domisili 4. Fotocopy Kartu Tanda Penduduk5. Fotocopy Surat Izin Usaha Perdagangan/Tanda Daftar Usaha Perdagangan6. Fotocopy Nomor Pokok wajib pajak.7. Jenis dank ode pakan serta penggunannya (form A)8. Jenis bahan baku dan prosentase dalam formula pakan (form B)9. Campuran obat hewan yang digunakan (form c)10. Ukuran dan volume kemasan form D11. Surat keterangan mengenai bahan pakan yang dipergunakan untuk menyusun formula kesehatan manusia,

hewan dan lingkungan.12. Melampirkan salinan sertifikat mutu pakan yang dikeluarkan oleh lembaga pengujian mutu pakan atau

labolatorium yang telah diakreditasi ; dan (sertifikat diberikan setelah ada uji sample)13. Melampirkan contoh label pakan

Untuk selanjutnya kami bersedia memenuhi semua ketentuan yang berlaku dalam proses pendaftaran ini.

Demikian kami sampaikan, atas perhatiannya diucapkan terima kasih.

Pimpinan perusahaanMaterai Rp. 6000,-

(………………………..)

~ 598 ~

Page 91: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

Form A

Rahasia

NO Jenis Pakan Penggunaan(Jenis dan Umur Ternak)

Kode Pakan Daerah Pemasaran

~ 599 ~

Page 92: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

Form B

Rahasia

NO Jenis Pakan Jenis Bahan baku pakan Yang Digunakan

Prosentase Dalam Formula Pakan

~ 600 ~

Page 93: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

Form C

Rahasia

NO Kode Pakan

Campuran Obat Hewan

Jenis Obat Hewan

Nama GenerikJumlah Zat Berkhasiat

Tujuan Penambahan obat Hewan

~ 601 ~

Page 94: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

Form B

Rahasia

No Kode Pakan Bahan Kemasan Ukuran Kemasan Volume Kemasan

~ 602 ~

Page 95: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

Formulir model-2

……………………………Nomor :…………………………..Lampiran :…………………………..Perihal :…………………………..

Kepada yth :Direktur Jenderal PeternakanDepartemen Pertanian RIdi –

Jakarta

Sehubungan dengan surat dari ……………………Nomor :……………………….tanggal…………..perihal tersebut diatas, yang dokumen pendukungnya kami terima secara lengkap pada tanggal……………………bersama ini terlampir disampaikan surat permohonan dimaksud beserta dokumen pendukungnya untuk dapat diproses lebih lanjut sesuai dengan prosedur yang berlaku.

Demikian disampaikan, atas perhatian dan kerjasama yang baik diucapkan terima kasih.

Kepala Pusat.

……………………………….NIP………………………….

Tembusan :Sekretaris Jenderal Departemen Pertanian

~ 603 ~

Page 96: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

Formulir model – 3

Nomor :Lampiran :Perihal : Penolakan Pendaftaran Pakan

Kepada yth :(pemohon)di –……………………………………………

Sehubungan dengan surat Saudara Nomor…………….tanggal………….Perihal permohonan pendaftaran pakan dengan ini diberitahukan permohonan saudara ditolak dengan alasan :a…………………………………………………………………….;b…………………………………………………………………….;c…………………………………………………………………….;d…………………………………………………………………….;

Saran/Arahan :……………………………………………………………………………………………………..……………………………………………………………………………………………………..

Demikian disampaikan, agar menjadi maklum.

Kepala Pusat Perizinan dan Investasi

(…………………………………………..)

Tembusan :1. Menteri Pertanian;2. Sekretaris Jenderal Departemen Pertanian3. Direktur Jenderal Peternakan

~ 604 ~

Page 97: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

Garuda Biru

MENTERI PERTANIANREPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN MENTERI PERTANIANNOMOR :TENTANG :

TENTANGPEMBERIAN IZIN USAHA OBAT HEWAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESAMENTERI PERTANIAN,

Menimbang : a. bahwa dalam rangka menjamin agar pakan yang beredar dapat dijaga mutu dan keamanannya maka terhadap setiap jenis pakan yang diproduksi dengan maksud untuk diperdagangkan wajib didaftarkan, dan berlabel;

b. bahwa sehubungan dengan hal tersebut diatas maka untuk memperjelas dalam pelaksanaan pendaftaran dan labelisasi pakan bagi pelaku usaha yang melakukan kegiatan usaha di bidang produksi pakan, dipandang perlu menetapkan ketentuan mengenai pendaftaran dan labelisasi pakan dengan keputusan Menteri Pertanian.

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1967 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2824);

2. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara tahun 2004 Nomor 3821);

3. Undang-undang No.8 Tahun 1999 Tentang perlindungan Konsumen (lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara No.3821);

4. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Kewenangan Pemerintah dan kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonomi (Lembaran Negara republik Indonesia tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4737);

5. Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 Tentang Standarisasi Nasional Indonesia (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 4020, Tambahan Lembaran Negara Nomor 199);

6. Keputusan Presiden Nomor 187/M tahun 2004 Tentang pembentukan kabinet Indonesia bersatu;

7. Peraturan Preseiden No. 9 tahun 2005 tentang organisasi dan tata kerja kementrian Negara Republik Indonesia juncto Peraturan Presiden No 62 tahun 2005;

8. Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2005 tentang unit organisasi dan Tugas Eselon I Kementrian Negara;

9. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 471/Kpts/TN.530/7/2002 tentang pelarangan Pengguaan Tepung Daging. Tepung Tulang, Tepung Darah, tepung daging dan Tulang (TDT) dan Bahan Lainnya Asal Ruminansia sebagai Pakan Ternak Ruminansia;

10. Peraturan menteri Pertanian Nomor 299/Kpts/OT.210/7/2005 tentang organisasi dan Tata kerja Departemen Pertanian, Jis Peraturan Menteri Pertanian Nomor

~ 605 ~

Page 98: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

11/Permentan/OT.140/2/2007 dan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26/Permentan/OT.140/4/2008.

11. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 341/Kpts/OT.140/9/2005 tentang Kelengkapan Organisasi dan tata kerja Departemen Pertanian juncto Peraturan Menteri Pertanian Nomor 12/Permentan/OT.140/2/2007;

12. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 58/Permentan/OT.140/9/2006 tentang pelaksanaan Standarisasi Lingkup Departemen Pertanian;

13. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 65/Permentan/OT.140/9/2007 tentang Pedoman Pengawasan Mutu Pakan;

Memperhatikan : 1. Surat Kepala Pusat Perizinan dan Investasi Nomor ……………………tanggal………………..

2. Surat Permohonan ………………Nomor……………….tanggal………… 3. Surat Rekomendasi dari Kepala Dinas Peternakan

Nomor……………..Tanggal………………………………………………

MEMUTUSKANMenetapkan : KESATU : Memberikan Nomor Pendaftaran Pakan kepada

Nama Perusahaan : Nama Perusahaan :

Dengan rincian sebagai berikut :a. Nomor pendaftaran :b. Nama Dagang :c. Jenis Pakan/Bentuk :

KEDUA : Pelaksanaan pemasukan sebagaimana dimaksud dalam dictum KESATU harus memenuhi persyaratan teknis minimal pakan sebagaimana terlampir dalam surat keputusan ini.

KETIGA : Pemegang Nomor Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada dictum KESATU terhadap produsen yang telah mendapat nomor pendaftaran, apabila selama 2 (dua) tahun berturut-turut tidak melakukan produksinya serta tidak menyampaikan laporan penyediaan dan peredaran pakan, dikenakan sanksi pencabutan nomor pendaftaran.

KEEMPAT : Surat Keputusan ini berlaku 5 (lima)tahun sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di JakartaPada tanggal

A.n Menteri PertanianDirektur Jenderal peternakan

(…………………………..)

Tembusan :1. Kepala Badan karantina Pertanian2. Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Departemen Keuangan;3. Kepala Dinas Peternakan Propinsi……………………….

~ 606 ~

Page 99: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

4. Kepala Dinas Peternakan Kabupaten/Kotamadya Daerah

~ 607 ~

Page 100: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

BERITA NEGARAREPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI PERTANIANNOMOR 20/PERMENTAN/OT.140/4/2009

TENTANGPEMASUKAN DAN PENGAWASAN PEREDARAN KARKAS,

DAGING, DAN/ATAU JEROAN DARI LUAR NEGERI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI PERTANIAN,

Menimbang : a. bahwa dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 64/Permentan/OT.140/12/2006, telah ditetapkan pemasukan dan pengawasan peredaran karkas, daging, dan jeroan dari luar negeri, yang telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 61/Permentan/OT.140/8/2007;

b. bahwa dalam perkembangannya telah terjadi perubahan situasi penyakit hewan di negara asal sehingga dalam upaya mempertahankan status kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner di dalam negeri perlu dilakukan pengendalian secara tepat terhadap pemasukan dan pengawasan peredaran karkas, daging, dan jeroan di wilayah Negara Republik Indonesia;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b tersebut di atas, perlu meninjau kembali Peraturan Menteri Pertanian Nomor 64/Permentan/OT.140/12/2006 tentang Pemasukan dan Pengawasan Peredaran Karkas, Daging, dan Jeroan Dari Luar Neger, jis Peraturan Menteri Pertanian Nomor 27/Permentan/OT.140/3/2007, dan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 61/Permentan/OT.140/8/2007;

Mengingat:  1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2824);

2. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3482);

3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3564);

4. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan (Lembaran Negara Tahun 1996 Nomor 99, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3656);

5. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tetang Perlindungan Kosumen (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3821);

6. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4437), juncto Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4548);

7. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1977 tentang Penolakan, Pencegahan, Pemberantasan, dan Pengobatan Penyakit Hewan (Lembaran Negara Tahun 1977 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3101);

8. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1983 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 28, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3253);

~ 608 ~

Page 101: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

9. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label, dan Iklan Pangan (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3867);

10. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2000 tentang Karantina Hewan (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 161, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4002);

11. Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 199, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4020);

12. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu, dan Gizi Pangan (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 107, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4424);

13. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4737);

14. Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004 tentang Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu;

15. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia, juncto Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2005;

16. Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2005 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Kementerian Negara Republik Indonesia;

17. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 471/Kpts/HK.310/8/2002 tentang Tempat-tempat Pemasukan dan Pengeluaran Media Pembawa Hama Penyakit Hewan Karantina;

18. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 58/Permentan/OT.140/8/2005 tentang Pelaksanaan Standardisasi Nasional di Bidang Pertanian;

19. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 299/Kpts/OT.140/7/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Pertanian, jis Peraturan Menteri Pertanian Nomor 11/Permentan/OT.140/2/2007, dan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 22/Permentan/OT.140/8/2008;

20. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 341/Kpts/OT.140/9/2005 tentang Kelengkapan Organisasi dan Tata Kerja Departemen Pertanian, juncto Peraturan Menteri Pertanian Nomor 12/Permentan/OT.140/2/2007;

21. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 381/Kpts/OT.140/10/2005 tentang Pedoman Sertifikasi Kontrol Veteriner Unit Usaha Pangan Asal Hewan;

22. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 51/Kpts/OT.140/10/2006 tentang Pedoman Tata Hubungan Kerja Fungsional Pemeriksaan, Pengamatan, dan Perlakuan Peyakit Hewan Karantina;

Memperhatikan : 1. Terrestrial Animal Health Code - Office Internasional des Epizooties;       2. Notifikasi WTO Nomor G/SPS/N/IDN/40, tertanggal 9 Maret 2009;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN MENTERI PERTANIAN TENTANG PEMASUKAN DAN PENGAWASAN PEREDARAN KARKAS, DAGING, DAN/ATAU JEROAN DARI LUAR NEGERI.

BAB IKETENTUAN UMUM

Pasal 1Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan:1. Karkas ruminansia adalah bagian dari tubuh ternak ruminansia sehat yang telah disembelih secara halal,

dikuliti, dikeluarkan jeroan, dipisahkan kepala, kaki mulai dari tarsus/karpus ke bawah, organ reproduksi dan ambing, ekor serta lemak yang berlebih, dapat berupa karkas segar dingin (chilled) atau karkas beku (frozen).

2. Karkas unggas adalah bagian dari ternak unggas yang diperoleh dengan cara disembelih secara halal dan benar, dicabuti bulunya, dikeluarkan jeroan dan abdominalnya, dipotong kepala dan leher serta kedua kakinya sehingga aman, lazim, dan layak dikonsumsi oleh manusia.

3. Karkas babi adalah bagian dari ternak babi yang diperoleh dengan cara disembelih setelah dikerok bulunya dan dikeluarkan jeroannya, dapat berupa karkas segar dingin (chilled) atau karkas beku (frozen)..

~ 609 ~

Page 102: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

4. Daging adalah bagian dari otot skeletal karkas yang lazim, aman, dan layak dikonsumsi oleh manusia, terdiri atas potongan daging bertulang, daging tanpa tulang, dan daging variasi, dapat berupa daging segar dingin, daging beku, atau daging olahan.

5. Karkas atau daging dingin (chilled) adalah karkas atau daging yang mengalami proses pendinginan setelah penyembelihan sehingga temperatur bagian dalam karkas atau daging antara 0ºC dan 4ºC.

6. Karkas atau daging beku (frozen) adalah karkas atau daging yang sudah mengalami proses pembekuan di dalam blast freezer dengan temperatur internal karkas atau daging minimum minus18ºC.

7. Daging variasi (variety meats, fancy meats, co-products) adalah bagian selain karkas ternak ruminansia sehat yang telah disembelih secara halal, terdiri atas lidah, buntut, kaki, dan bibir yang lazim, aman, dan layak dikonsumsi manusia, dapat berupa daging variasi segar dingin (chilled) atau beku (frozen).

8. Daging olahan adalah daging yang diproses dengan cara atau metoda tertentu dengan atau tanpa bahan tambahan yang dilakukan secara halal dan benar, sehingga aman, lazim, dan layak, dikonsumsi manusia.

9. Daging untuk pakan hewan adalah daging yang aman namun tidak layak dikonsumsi oleh manusia dan hanya diperuntukkan bagi pakan hewan.

10. Jeroan (edible offal) adalah isi rongga perut dan rongga dada dari ternak ruminansia yang disembelih secara halal dan benar sehingga aman, lazim, dan layak dikonsumsi oleh manusia dapat berupa jeroan dingin atau beku;

11. Mechanically Deboned Meat selanjutnya disingkat MDM adalah jenis daging tanpa tulang yang diperoleh dengan cara memisahkan daging ruminansia besar atau unggas yang tersisa dari tulang setelah pemrosesan daging tanpa tulang (deboning) melalui metoda pemisahan secara mekanik.

12. Pemasukan adalah kegiatan memasukkan karkas, daging, dan/atau jeroan dari luar negeri ke dalam wilayah negara Republik Indonesia.

13. Alat angkut adalah alat angkutan dan sarana yang dipergunakan untuk mengangkut yang langsung berhubungan dengan media pembawa.

14. Tempat pemasukan adalah pelabuhan laut, pelabuhan sungai dan danau, pelabuhan penyeberangan, bandar udara, kantor pos, pos perbatasan dengan negara lain, dan tempat-tempat lain yang ditetapkan sebagai tempat untuk memasukkan media pembawa hama penyakit hewan.

15. Karantina hewan adalah tindakan sebagai upaya pencegahan masuk dan tersebarnya hama dan penyakit hewan dari luar negeri dan dari suatu area ke area lain di dalam negeri, atau ke luarnya dari dalam wilayah negara Republik Indonesia.

16. Tindakan karantina hewan yang selanjutnya disebut tindakan karantina adalah kegiatan yang dilakukan untuk mencegah hama penyakit hewan karantina masuk ke, tersebar di, dan/atau ke luar dari wilayah negara Republik Indonesia.

17. Instalasi karantina hewan yang selanjutnya disebut instalasi karantina adalah suatu bangunan berikut peralatan dan lahan serta sarana pendukung yang diperlukan sebagai tempat untuk melakukan tindakan karantina.

18. Hama dan penyakit hewan karantina yang selanjutnya disingkat HPHK adalah semua hama, hama penyakit, dan penyakit hewan yang berdampak sosio ekonomi nasional dan perdagangan internasional serta menyebabkan gangguan kesehatan masyarakat veteriner yang dapat digolongkan menurut tingkat risikonya.

19. HPHK Golongan I adalah hama penyakit hewan karantina yang mempunyai sifat dan potensi penyebaran penyakit yang serius dan cepat, belum diketahui cara penanganannya, belum terdapat di suatu area atau wilayah negara Republik Indonesia.

20. HPHK Golongan II adalah hama penyakit hewan karantina yang potensi penyebarannya berhubungan erat dengan lalulintas media pembawa, sudah diketahui cara penanganannya dan telah dinyatakan ada di suatu area atau wilayah negara Republik Indonesia.

21. Media pembawa hama penyakit hewan karantina yang selanjutnya disebut media pembawa adalah hewan, bahan asal hewan, hasil bahan asal hewan, dan/atau benda lain yang dapat membawa hama penyakit hewan karantina.

22. OIE (Office International des Epizooties)/WOAH (World Organization for Animal Health) yang selanjutnya disingkat OIE/WOAH adalah Badan Kesehatan Hewan Dunia yang mempunyai otoritas memberikan informasi kejadian, status, dan situasi penyakit hewan di suatu negara, serta memberikan rekomendasi teknis dalam tindakan santari di bidang kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner.

23. Penyakit hewan menular utama yang selanjutnya disingkat PHMU adalah penyakit yang mempunyai daya penularan cepat dan berdampak sosio ekonomi dan/atau yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan masyarakat yang serius serta merupakan penyakit yang penting di dalam perdagangan hewan serta produk

~ 610 ~

Page 103: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

hewan secara internasional yang disebabkan oleh virus, parasit, bakteri, jamur, kapang, dan prion yang mengacu pada daftar penyakit hewan menular OIE/WOAH.

24. Zoonosis adalah suatu penyakit infeksi yang secara alami ditularkan dari hewan ke manusia atau sebaliknya.

25. Kesehatan masyarakat veteriner yang selanjutnya disingkat Kesmavet adalah segala urusan yang berhubungan dengan hewan dan produk hewan yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kesehatan manusia

26. Sistem Pelayanan veteriner (veterinary services) adalah tatalaksana penyelenggaraan kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner di suatu negara yang mengacu kepada standar, pedoman, dan rekomendasi organisasi internasional, antara lain Badan Kesehatan Hewan Dunia (World Organization for Animal Health/OIE), Codex Alimentarius Commission (CAC), dan World Health Organization (WHO).

27. Persyaratan karantina hewan (Animal Quarantine Requirements) adalah hal-hal yang mengatur tentang syarat dan tatacara tindakan karantina terhadap lalulintas media pembawa masuk dari dan ke luar negeri dan atau antar area di dalam wilayah negara Republik Indonesia.

28. Protokol kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner adalah dokumen yang memuat persyaratan kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner, yang telah disetujui Direktur Jenderal Peternakan.

29. Negara asal pemasukan yang selanjutnya disebut negara asal adalah suatu negara yang mengeluarkan karkas, daging, dan/atau jeroan ke dalam wilayah negara Republik Indonesia.

30. Zona asal pemasukan yang selanjutnya disebut zona asal adalah bagian dari suatu negara dengan batas alam (natural barrier) yang jelas di mana populasi hewan di wilayah tersebut memiliki status kesehatan hewan yang jelas terhadap penyakit tertentu dan untuk itu diperlukan tindakan surveilans, pengendalian, dan biosekuriti untuk keperluan perdagangan internasional.

31. Unit usaha pemasukan adalah suatu usaha yang dijalankan secara teratur dan terus menerus pada suatu tempat dengan tujuan komersial, meliputi rumah pemotongan hewan, rumah pemotongan unggas, rumah pemotongan babi, usaha pemasukan, distributor, dan/atau pengolahan karkas, daging, dan/atau jeroan.

32. Nomor Kontrol Veteriner (Establisment Number) yang selanjutnya disingkat NKV adalah sertifikat sebagai bukti tertulis yang sah telah dipenuhinya persyaratan higiene sanitasi sebagai kelayakan dasar jaminan keamanan pangan asal hewan pada unit usaha pangan asal hewan.

33. Peredaran adalah kegiatan atau serangkaian kegiatan dalam rangka penyaluran karkas, daging, dan/atau jeroan baik untuk diperdagangkan maupun tidak.

34. Kemasan adalah bahan yang digunakan untuk mewadahi dan/atau membungkus karkas, daging, dan/atau jeroan baik yang bersentuhan langsung maupun tidak langsung.

35. Label adalah setiap keterangan mengenai karkas, daging, dan/atau jeroan yang berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya, atau bentuk lainnya yang disertakan pada karkas, daging, dan/atau jeroan dimasukkan ke dalam, ditempelkan pada, atau merupakan bagian kemasan.

36. Segel adalah tanda berupa gambar atau tulisan yang resmi dikeluarkan oleh pemerintah yang berwenang untuk menerangkan keaslian produk.

37. Transit adalah singgah sementara alat angkut di suatu pelabuhan dalam perjalanan yang membawa karkas, daging, dan/atau jeroan sebelum sampai di pelabuhan yang dituju.

38. Persetujuan pemasukan adalah keterangan tertulis yang diberikan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk kepada perorangan atau badan hukum untuk dapat melakukan pemasukan karkas, daging, dan/atau jeroan dari luar negeri ke dalam wilayah negara Republik Indonesia.

Pasal 2

(1) Peraturan ini dimaksudkan sebagai dasar hukum bagi:a. pelaku usaha baik perorangan maupun badan hukum yang melakukan pemasukan dan peredaran karkas,

daging, dan/atau jeroan dari luar negeri;b.petugas yang bertanggung jawab di bidang pengawasan terhadap kegiatan pemasukan karkas, daging,

dan/atau jeroan dari luar negeri serta peredarannya di dalam negeri;c.petugas karantina hewan dalam melakukan tindakan karantina di tempat pemasukan yang telah

ditetapkan;(2) Peraturan ini bertujuan untuk mencegah masuknya HPHK dan/atau PHMU, mempertahankan status

Indonesia sebagai negara bebas HPHK dan/atau PHMU, memberikan perlindungan kesehatan, serta menjamin ketenteraman bathin masyarakat dalam mengonsumsi karkas, daging, dan/atau jeroan.

Pasal 3

Ruang lingkup pengaturan pemasukan karkas, daging, dan/atau jeroan meliputi:1. Jenis karkas, daging, dan/atau jeroan;

~ 611 ~

Page 104: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

2. Persyaratan pemasukan karkas, daging, dan/atau jeroan dari luar negeri, meliputi:a. persyaratan pelaku pemasukan;b. persyaratan negara asal dan zona asal;c. persyaratan unit usaha di negara asal;d. persyaratan kemasan, label, dan pengangkutan.

3. Tata cara pemasukan karkas, daging, dan/atau jeroan;4. Tindakan karantina hewan;5. Pengawasan peredaran karkas, daging, dan/atau jeroan; dan6. Sanksi.

Pasal 4

(1) Pemasukan karkas, daging, dan/atau jeroan dapat dilakukan oleh perorangan atau badan hukum setelah mendapat Persetujuan Pemasukan dari Menteri.

(2) Menteri dalam memberikan Persetujuan Pemasukan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Direktur Jenderal Peternakan atas nama Menteri.

BAB IIJENIS KARKAS, DAGING, DAN/ATAU JEROAN

Pasal 5

(1) Jenis karkas, daging, daging variasi (fancy meat) asal ruminansia besar dan/atau jeroan sapi dari luar negeri yang dapat dimasukkan ke dalam wilayah negara Republik Indonesia, seperti tercantum pada Lampiran I sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan Peraturan ini.

(2) Jenis karkas, daging ruminansia kecil, daging babi, dan daging unggas yang dapat dimasukkan ke dalam wilayah negara Republik Indonesia, seperti tercantum pada Lampiran II sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan Peraturan ini.

(3) Jenis daging olahan dari luar negeri yang dapat dimasukkan ke dalam wilayah negara Republik Indonesia, seperti tercantum pada Lampiran III sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan Peraturan ini.

(4) Selain jenis karkas, daging, daging variasi asal ruminansia besar, dan/atau jeroan sapi, daging ruminansia kecil, daging babi, daging unggas, dan daging olahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dapat dimasukkan ke dalam wilayah negara Republik Indonesia setelah ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 6

Pemasukan karkas, daging, daging variasi, jeroan asal ruminansia besar, daging ruminansia kecil, daging babi, daging unggas, dan/atau daging olahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dapat disetujui setelah dilakukan kajian risiko oleh Tim Penilai Analisis Risiko.

BAB IIIPERSYARATAN PEMASUKAN KARKAS, DAGING,

DAN/ATAU JEROAN DARI LUAR NEGERI

Bagian KesatuPersyaratan Pelaku Pemasukan

Pasal 7

Perorangan atau badan hukum untuk dapat melakukan pemasukan karkas, daging, dan/atau jeroan dari luar negeri wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:a. Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP);b. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);c. Surat Tanda Daftar Perdagangan (STDP);d. Angka Pengenal Impor Umum (APIU);e. Kartu Tanda Penduduk/Tanda Pengenal Pimpinan Perusahaan;f. Akta Pendirian Perusahaan, dan perubahannya;g.Rekomendasi Dinas Provinsi yang membidangi fungsi peternakan, kesehatan hewan, dan/atau kesehatan

masyarakat veteriner;h.Memiliki NKV; dani. Mempunyai instalasi karantina hewan yang ditetapkan.

~ 612 ~

Page 105: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

Pasal 8

Perorangan atau badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 yang memasukkan karkas, daging, dan/atau jeroan wajib mencegah masuk dan menyebarnya HPHK dan/atau PHMU serta zoonosis yang dapat ditularkan dan bertanggung jawab terhadap kesehatan dan ketenteraman bathin masyarakat.

Bagian KeduaPersyaratan dan Kriteria Negara dan/atau Zona Asal

Pasal 9

(1) Suatu negara dapat ditetapkan sebagai negara asal pemasukan karkas, daging dan/atau jeroan ke dalam wilayah negara Republik Indonesia oleh Direktur Jenderal Peternakan setelah mendapat pertimbangan teknis dari Tim Penilai Negara Asal.

(2) Tim Penilai Negara Asal dalam memberikan pertimbangan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada penilaian sistem pelayanan veteriner.

(3) Penilaian sistem pelayanan veteriner sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan menggunakan kriteria penilaian sebagai berikut:a. kewenangan, infrastruktur dan struktur organisasi kesehatan hewan, dan kesehatan masyarakat

veteriner;b. pelaksanaan surveilans penyakit/pengamatan penyakit hewan menular (PHM);c. kemampuan laboratorium diagnostik dan laboratorium kesehatan masyarakat veteriner;d. sistem informasi dan tata cara pelaporan penyakit hewan;e. sistem identifikasi peternakan (farm) dan hewan;f. status penyakit hewan menular utama (PHMU) dan penyakit zoonosis utama;g. pelaksanaan pengendalian dan pemberantasan penyakit hewan;h. status vaksinasi;i. status PHMU di wilayah yang berbatasan;j. tingkat perlindungan hewan;k. hambatan fisik dan non fisik dengan wilayah yang berbatasan;l. pelaksanaan pengawasan lalulintas hewan/produk hewan;m. sistem pengawasan keamanan produk hewan;n. demografi ternak dan pemasarannya;o. tata cara penyembelihan dan pemrosesan;p. monitoring dan surveilans residu; danq. kesiagaan darurat PHMU.

Pasal 10

(1) Negara asal karkas, daging, dan/atau jeroan ruminansia harus memenuhi syarat status PHMU yang meliputi sebagai berikut:a. negara bebas Penyakit Mulut dan Kuku (PMK);b. negara bebas penyakit Rinderpest;c. negara bebas penyakit Rift Valley Fever;d. negara bebas penyakit Contagious Bovine Pleuro-pneumonia (CBPP); dane. negara bebas penyakit Bovine Spongiform Encephalopaty (BSE) (negligible-BSE risk).

(2) Daging ruminansia besar tanpa tulang (deboned meat), selain daging yang dipisahkan secara mekanis dari tulang (mechanically separated/deboned meat) (MSM/MDM), dan daging ruminansia besar olahan dapat dipertimbangkan pemasukannya dari zona bebas PMK setelah melalui penilaian sistem pelayanan veteriner dan analisis risiko oleh Tim.

(3) Daging ruminansia besar tanpa tulang (deboned meat) selain daging yang dipisahkan secara mekanis dari tulang (mechanically separated/deboned meat) (MSM/MDM) sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat dipertimbangkan pemasukannya dari zona bebas PMK sepanjang memenuhi persyaratan sebagai berikut:a. berasal dari ruminansia besar yang dilahirkan dan dipelihara di zona bebas yang dibatasi secara jelas

oleh batas alam (natural barrier) yang dapat mencegah masuknya ternak ke dalam zona bebas;b. berasal dari ruminansia besar yang lahir di zona bebas PMK, yang dipotong di RPH yang telah

disetujui dan telah lulus pemeriksaan ante mortem dan post mortem, khususnya terhadap pemeriksaan PMK;

c. telah dihilangkan kelenjar getah beningnya (de-glanded); dan

~ 613 ~

Page 106: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

d. telah melalui proses pelayuan pada suhu di atas 2oC minimal 24 jam setelah dipotong sehingga nilai pH kurang dari 6,0.

(4) Daging ruminansia besar olahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dipertimbangkan pemasukannya dari zona bebas PMK setelah melalui proses pemanasan hingga suhu internal mencapai paling kurang 700C selama 30 menit.

(5) Daging ruminansia besar tanpa tulang (deboned meat) selain daging yang dipisahkan secara mekanis dari tulang (mechanically separated/deboned meat) (MSM/MDM) dapat dipertimbangkan pemasukannya dari negara yang risikonya terhadap BSE dapat dikendalikan (controlled-BSE risk) sepanjang memenuhi persyaratan sebagai berikut:a. berasal dari ternak yang lahir dan dibesarkan di negara asal dan tidak pernah diberikan pakan yang

mengandung bahan asal ruminansia;b. berasal dari ternak yang tidak dipingsankan (stunning) dengan menyuntikkan udara bertekanan atau

gas ke rongga kepala dan telah lulus pemeriksaan ante mortem dan post mortem;c. telah dilakukan tindakan untuk mencegah terkontaminasinya daging oleh specified risk material

(SRM).(6) Daging ruminansia besar olahan dapat dipertimbangkan pemasukannya dari negara yang risikonya

terhadap BSE dapat dikendalikan (controlled-BSE risk) sepanjang berasal dari daging sapi tanpa tulang (deboned meat) selain daging yang dipisahkan secara mekanis dari tulang (mechanically separated/deboned meat) (MSM/MDM) sebagaimana dimaksud pada ayat (5).

(7) Daging ruminansia besar yang dipisahkan secara mekanis dari tulang (MSM/MDM) hanya dapat dimasukkan dari negara yang risikonya terhadap BSE berstatus dapat diabaikan (negligible-BSE risk).

(8) Selain daging ruminansia besar sebagaimana dimaksud pada ayat (5), ayat (6) dan ayat (7), jeroan sapi dengan persyaratan tertentu dapat dipertimbangkan pemasukannya dari negara yang berstatus BSE dapat diendalikan (controlled-BSE risk) berdasarkan hasil penilaian sistem pelayanan veteriner dan kajian risiko terhadap penyakit BSE oleh Tim Analisis Risiko.

(9) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7), dan ayat (8) dapat diubah berdasarkan hasil kajian risiko terhadap penyakit PMK dan/atau BSE.

(10)Pemasukan karkas, daging ruminansia besar dan/atau jeroan sapi selain harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), juga berasal dari peternakan yang terdaftar dan di bawah pengawasan dokter hewan berwenang serta tidak ditemukan penyakit Anthrax, Tubercullosis, Paratubercullosis, Brucellosis, Bluetongue, dan Blackleg pada saat dilakukan pemeriksaan ante-mortem dan post-mortem oleh pejabat kesehatan hewan berwenang di Rumah Pemotongan Hewan di negara asal.

Pasal 11

(1) Pemasukan daging ruminansia kecil selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) juga harus berasal dari negara bebas penyakit Scrapie dan Peste des Petits Ruminants.

(2) Pemasuka daging ruminansia kecil di samping harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berasal dari peternakan yang terdaftar dan di bawah pengawasan dokter hewan berwenang serta harus juga tidak ditemukan penyakit Sheep Pox, Goat Pox, Anthrax, Tubercullosis, Paratuberculosis, Brucellosis, Bluetongue dan Blackleg pada saat dilakukan pemeriksaan ante-mortem dan post-mortem oleh pejabat kesehatan hewan berwenang di Rumah Pemotongan Hewan di negara asal.

Pasal 12

(1) Negara asal pemasukan daging babi selain harus bebas dari PMK, Rinderpest, Rift Valley Fever, juga bebas dari penyakit African Swine Fever, Swine Vesicular Disease, Nipah Virus, Japanese Encephalitis, Aujesky`s Disease, Athropic Rhinitis, Teschen Disease, dan wine Pox.

(2) Pemasukan daging babi selain harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berasal dari peternakan yang terdaftar dan di bawah pengawasan dokter hewan yang berwenang serta tidak ditemukan penyakit Hog Cholera, Transmissible Gastro Enteritis (TGE), Trichinosis dan Cysticercosis pada saat dilakukan pemeriksaan ante-mortem dan post-mortem oleh pejabat kesehatan hewan berwenang di rumah pemotongan hewan di negara asal.

Pasal 13

(1) Negara asal pemasukan karkas unggas dan Mechanically Deboned Meat (MDM) unggas harus bebas penyakit Highly Phatogenic Avian Influenza (HPAI).

~ 614 ~

Page 107: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

(2) Pemasukan karkas unggas dan Mechanically Deboned Meat (MDM) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus berasal dari peternakan yang terdaftar dan di bawah pengawasan pejabat kesehatan hewan berwenang di negara asal serta sekurang-kurangnya dalam jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari terakhir dalam radius 50 km sebelum pelaksanaan pengeluaran dari negara asal telah dinyatakan tidak dalam keadaan wabah penyakit Newcastle Disease (ND).

(3) Khusus pemasukan karkas itik selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus berasal dari peternakan yang terdaftar dan di bawah pengawasan pejabat kesehatan hewan berwenang di negara asal serta sekurang-kurangnya dalam jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari terakhir sebelum pelaksanaan pengeluaran dari negara asal telah dinyatakan bebas dari penyakit Duck Viral Hepatitis dan Duck Viral Enteritis.

Pasal 14

Persyaratan bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, dan Pasal 13 didasarkan atas evaluasi dari laporan status dan situasi penyakit hewan menular dari negara bersangkutan dan diakui oleh OIE/WOAH terhadap status bebas penyakit.

Bagian KetigaPersyaratan Unit Usaha di Negara Asal

Pasal 15

(1) Pemasukan karkas, daging, dan/atau jeroan harus berasal dari unit usaha negara asal yang telah disetujui oleh Direktur Jenderal Peternakan setelah memenuhi persyaratan sebagai berikut:a. telah diakreditasi oleh pejabat berwenang di negara asal dan paling kurang setara dengan Standar

Nasional Indonesia (SNI) atau persyaratan teknis minimal yang ditetapkan oleh Menteri Pertanian Republik Indonesia;

b. tidak menerima hewan dan/atau mengolah produk hewan yang berasal dari negara yang tertular penyakit hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, dan Pasal 13;

c. menerapkan Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) yang mengacu pada Codex Alimentarius Commission atau sistem jaminan keamanan pangan lain yang diakui secara internasional;

d. memiliki sistem jaminan kehalalan dan petugas yang menjadi pegawai tetap di unit usaha yang bertanggung jawab serta melakukan pengawasan terhadap pemotongan, penanganan, dan pemrosesan secara halal;

e. memiliki petugas sebagaimana dimaksud pada huruf d dikontrol dan disupervisi oleh Lembaga Sertifikasi Halal yang diakui dan bekerjasama dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat dan Kosmetik (LP-POM) dan Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat;

f. menerapkan praktek kesejahteraan hewan;g. telah melakukan pemeriksaan ante-mortem dan post-mortem oleh petugas yang berwenang sebagai

tindakan pencegahan terhadap segala kemungkinan terjadinya penularan penyakit dan kontaminasi selama produksi (penyembelihan, pemrosesan, pengemasan, penyimpanan dan pengangkutan), sehingga karkas, daging, dan/atau jeroan tersebut memenuhi kriteria aman, sehat, utuh dan halal (ASUH) untuk dikonsumsi oleh manusia; dan

h. telah menerapkan program monitoring cemaran mikroba patogen dan residu obat hewan, hormon, pestisida, toksin, dan bahan lain yang membahayakan kesehatan manusia secara konsisten dan terdokumentasi serta hasil pengujian menunjukkan nilai yang berada di bawah Batas Minimal Cemaran Mikroba (BMeM) atau Batas Maksimal Residu (BMR) yang ditetapkan dalam SNI.

(2) Setiap pengiriman karkas, daging, dan/atau jeroan dari negara asal ke dalam wilayah negara Republik Indonesia harus disertai dengan sertifikat halal yang dikeluarkan oleh Lembaga Sertifikasi Halal terdaftar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e antara lain memuat informasi sebagai berikut:a. nama dan alamat lembaga sertifikasi halal terdaftar di negara asal yang telah diakreditasi oleh MUI;b. nama dan alamat serta nomor registrasi (NKV) dari pemotongan hewan atau industri atau produsen

daging yang disetujui untuk melakukan pemasukan;c. nomor registrasi juru sembelih halal;d. jenis dan kemasan karkas, daging dan/atau jeroan;e. kemasan dan berat bersih masing-masing kemasan;f. penyembelihan, pemrosesan, dan pengemasan; dang. nama dan alamat eksportir di negara asal maupun importir di Indonesia.

~ 615 ~

Page 108: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dan huruf e, dan ayat (2) tidak berlaku untuk unit usaha penyembelihan, penanganan, dan/atau pengolahan karkas, daging, dan/atau jeroan babi.

Pasal 16

(1) Penilaian unit usaha di negara asal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dilakukan secara langsung di negara asal oleh Tim Penilai Unit Usaha.

(2) Hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) direkomendasikan kepada Direktur Jenderal Peternakan sebagai bahan pertimbangan penetapan unit usaha.

Pasal 17

Hasil penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 16 dapat ditindaklanjuti dengan kerjasama bilateral dalam bentuk Protokol Kesehatan Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner.

Pasal 18

(1) Keanggotaan Tim Analisis Risiko, Tim Penilai Negara Asal, dan Tim Penilai Unit Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 16 ditetapkan oleh Direktur Jenderal Peternakan.

(2) Keanggotaan tim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari dokter hewan yang memiliki kompetensi di bidang kesehatan hewan, dan kesehatan masyarakat veteriner.

(3) Apabila dipandang perlu, keanggotaan Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berasal dari disiplin ilmu lain.

Pasal 19

Apabila terjadi perubahan sistim pelayanan veteriner dan status kesehatan hewan, kesehatan masyarakat veteriner dan karantina hewan di negara asal sebagaimana dipersyaratkan dalam Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 dan Pasal 15 dilakukan penilaian ulang di negara asal dan unit usaha di negara asal.

Pasal 20

Pemasukan karkas, daging, dan/atau jeroan harus disertai surat keterangan kesehatan (Veterinary Health Certificate/Sanitary Certificate) dari Pejabat yang berwenang di negara asal, yang menyatakan sebagai berikut:a.situasi penyakit di negara asal bebas dari PHMU sebagaimana dimaksud dalam dalam Pasal 10, Pasal 11,

Pasal 12, dan Pasal 13;b.karkas, daging, dan/atau jeroan ruminansia dan babi berasal dari ternak yang lahir dan dipelihara di negara

atau zona asal sekurang-kurangnya selama 4 (empat) bulan dan karkas unggas berasal dari ternak yang lahir dan dipelihara di negara asal sekurang-kurangnya selama 1 (satu) bulan;

c. karkas, daging, dan/atau jeroan berasal dari ternak yang dipotong di unit usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dan telah lulus pemeriksaan ante-mortem dan post-mortem, serta diperoses menurut persyaratan higine-sanitasi sehingga aman dan layak untuk dikonsumsi manusia;

d.masa penyimpanan karkas, daging, dan/atau jeroan sejak waktu pemotongan ternak hingga batas waktu tiba di wilayah negara Republik Indonesia tidak lebih dari 6 (enam) bulan pada temperatur minus 180C sampai dengan minus 220C untuk jenis beku (frozen) dan temperatur 00C sampai dengan 40C untuk jenis segar dingin (chilled), sedangkan masa penyimpanan MDM tidak lebih dari 3 (tiga) bulan pada temperatur minus 180C sejak waktu pemotongan ternak hingga batas waktu tiba di wilayah negara Republik Indonesia.

Pasal 21

(1) MDM sebagaimana dmaksud dalam Pasal 20 huruf d dapat dimasukkan hanya untuk industri pengolahan pangan asal hewan.

(2) MDM sebagaimana dmaksud pada ayat (1) memiliki kandungan protein tidak kurang dari 12%, Ca tidak lebih dari 0,75%, lemak tidak lebih dari 30%, dan logam berat di bawah Batas Maksimal Residu (BMR) yang ditetapkan dalam SNI.

~ 616 ~

Page 109: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

Bagian KeempatPersyaratan Kemasan, Label, dan Pengangkutan

Pasal 22

(1) Karkas, daging, dan/atau jeroan yang akan dimasukkan ke dalam wilayah negara Republik Indonesia harus dikemas agar tidak terjadi pencemaran selama pengangkutan.

(2) Kemasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus:a. asli dari negara asal, memiliki label dan disegel; danb. terbuat dari bahan khusus dan aman untuk pangan (food grade), serta tidak bersifat toksin.

(3) Pemberian label sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a pada kemasan menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dengan mencantumkan:a. negara tujuan Indonesia;b. NKV/Establishment Number;c. tanggal pemotongan dan/atau tanggal produksi;d. jenis dan kuantitas daging serta peruntukannya; dane. tanda halal, kecuali babi.

(4) Penempelan segel sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan oleh dokter hewan yang berwenang di negara asal dan harus tetap utuh dan/atau tidak rusak sampai di tempat pemeriksaan di Indonesia.

Pasal 23

(1) Karkas, daging, dan/atau jeroan yang akan dimasukkan ke dalam wilayah negara Republik Indonesia sebelum dimuat ke dalam alat angkut harus dilakukan tindakan karantina hewan di negara asal.

(2) Pengangkutan karkas, daging, dan/atau jeroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan secara langsung dari negara asal ke tempat pemasukan di wilayah negara Republik Indonesia.

(3) Pemasukan karkas, daging, dan/atau jeroan dengan cara transit atau melalui negara lain dapat dilakukan setelah memenuhi pertimbangan teknis dan disetujui oleh Direktur Jenderal Peternakan.

(4) Setibanya di tempat pemasukan di wilayah negara Republik Indonesia karkas, daging, dan/atau jeroan dikenakan tindakan karantina hewan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 24

(1) Karkas, daging, dan/atau jeroan yang diangkut dengan kontainer, disegel oleh Dokter Hewan yang berwenang di negara asal dan hanya boleh dibuka oleh Petugas Karantina Hewan di tempat pemasukan.

(2) Karkas, daging, dan/atau jeroan yang mempunyai Sertifikat Halal harus terpisah dari wadah atau kontainer karkas, daging, dan/atau jeroan yang tidak mempunyai Sertifikat Halal.

Pasal 25

Pemasukan daging dari luar negeri untuk keperluan pakan hewan harus:a. diberi zat pewarna;b. diberi tanda yang berbunyi tidak layak dikonsumsi manusia pada kemasannya;c. diangkut dalam wadah yang terpisah dengan daging untuk konsumsi manusia.

BAB IVTATA CARA PEMASUKAN KARKAS, DAGING, DAN/ATAU JEROAN

Pasal 26

(1) Setiap orang atau badan hukum yang akan memasukkan karkas, daging, dan/atau jeroan ke dalam wilayah negara Republik Indonesia wajib menyampaikan permohonan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Peternakan melalui Kepala Pusat Perizinan dan Investasi dengan tembusan kepada Kepala Badan Karantina Pertanian.

(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disertai persyaratan sebagimana dimaksud dalam Pasal 7 dan mencantumkan:a. nama Perusahaan;b. alamat Perusahaan;c. NKV unit usaha pemohon;d. Instalasi karantina untuk tempat pemeriksaan di pelabuhan/bandara/daerah tujuan/pemasukan;e. negara asal;

~ 617 ~

Page 110: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

f. nomor unit usaha (establishment number) di negara asal;g. tujuan daerah pemasukan;h. pelabuhan pemasukan;i. jenis, kuantitas dan peruntukkan;j. melampirkan data perusahaan dan data teknis yang dipersyaratkan.

(1) Kepala Pusat Perizinan dan Investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah menerima permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari kerja harus sudah selesai memeriksa kelengkapan dokumen persyaratan dan segera memberikan jawaban ditunda, ditolak, atau diterima.

Pasal 27

(1) Permohonan ditunda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (3) apabila masih ada kekurangan kelengkapan dokumen persyaratan akan diberitahukan kepada pemohon secara tertulis.

(2) Pemohon dalam jangka waktu 5 (lima) hari kerja terhitung sejak menerima pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus sudah melengkapi kekurangan persyaratan.

(3) Apabila dalam jangka waktu 5 (lima) hari kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pemohon belum melengkapi kekurangan persyaratan, permohonan dianggap ditarik kembali.

Pasal 28

(1) Permohonan ditolak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (3) apabila persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) tidak benar.

(2) Penolakan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan kepada pemohon secara tertulis dengan disertai alasan penolakannya.

Pasal 29

(1) Permohonan diterima sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (3) oleh Kepala Pusat Perizinan dan Investasi disampaikan kepada Direktur Jenderal Peternakan untuk dimohonkan Persetujuan Pemasukan.

(2) Direktur Jenderal Peternakan setelah menerima permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) segera memintakan pertimbangan teknis kepada Tim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 terhadap dipenuhinya persyaratan kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner di negara asal.

(3) Pertimbangan teknis dari Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan berdasarkan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 15 dengan disesuaikan menurut perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perkembangan situasi penyakit berdasarkan informasi dari OIE/WOAH pada saat dilaksanakannya penilaian.

(4) Pertimbangan teknis dari Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja harus sudah disampaikan kepada Direktur Jenderal Peternakan.

Pasal 30

(1) Tim dalam memberikan pertimbangan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 wajib mempertimbangkan rekomendasi teknis dari Kepala Dinas yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan provinsi.

(2) Rekomendasi teknis dari Kepala Dinas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi pemasukan karkas, daging, dan/atau jeroan untuk keperluan sosial, diplomatik, penelitian atau keperluan sendiri yang tidak melebihi 10 (sepuluh) kilogram dengan ketentuan tetap memperhatikan persyaratan negara asal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 15 yang disertai dengan sertifikat kesehatan/sanitasi (health/sanitary certificate) dari negara asal.

(3) Rekomendasi teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi dipenuhinya persyaratan sebagai pelaku pemasukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan berdasarkan hasil kajian Dinas provinsi yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan dalam hal ketersediaan dan permintaan karkas, daging, dan/atau jeroan di tingkat provinsi.

Pasal 31

(1) Direktur Jenderal Peternakan berdasarkan pertimbangan teknis dari Tim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 paling lambat dalam jangka waktu 5 (lima) hari kerja harus telah memberikan jawaban penolakan atau persetujuan.

~ 618 ~

Page 111: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

(2) Penolakan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) oleh Direktur Jenderal Peternakan diberikan secara tertulis dengan disertai alasan yang disampaikan kepada pemohon melalui Kepala Pusat Perizinan dan

(3) Permohonan yang disetujui sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan diterbitkan Persetujuan Pemasukan dalam bentuk Keputusan Menteri Pertanian yang ditandatangani oleh Direktur Jenderal Peternakan atas nama Menteri dengan tembusan disampaikan kepada Kepala Badan Karantina Pertanian, Direktur Jenderal Bea dan Cukai Departemen Keuangan, Kepala Dinas yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan provinsi, dan Kepala Balai Besar/Balai/Stasiun Karantina Hewan tempat pemasukan.

(4) Persetujuan Pemasukan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada pemohon melalui Kepala Pusat Perizinan dan Investasi.

Pasal 32

(1) Perorangan atau badan hukum yang telah memperoleh Persetujuan Pemasukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (4) dapat memasukkan karkas, daging, dan/atau jeroan ke dalam wilayah negara Republik Indonesia.

2) Persetujuan Pemasukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk jangka waktu paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari kalender.

(3) Apabila terjadi wabah penyakit hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Pasal 11 Pasal 12, dan Pasal 13 di negara asal, Persetujuan Pemasukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan tidak berlaku.

(4) Perorangan atau badan hukum yang melakukan pemasukan karkas, daging, dan/atu jeroan wajib memberikan laporan realisasi pemasukan kepada Direktur Jenderal Peternakan dengan tembusan disampaikan Kepala Badan Karantina Pertanian dan Kepala Pusat Perizinan dan Investasi paling lambat 7 (tujuh) hari kalender setelah habis masa berlaku Persetujuan Pemasukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

BAB VTINDAKAN KARANTINA HEWAN

Pasal 33

(1) Setiap rencana pemasukan karkas, daging, dan/atau jeroan harus dilaporkan oleh pemilik atau kuasanya kepada petugas karantina hewan di tempat pemasukan yang telah ditetapkan dalam Persetujuan Pemasukan dengan cara mengisi formulir permohonan pemeriksaan karantina hewan dan melampirkan Persetujuan Pemasukan dimaksud.

(2) Laporan pemasukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lambat dalam jangka waktu 1 (satu) hari kerja sebelum alat angkut tiba di tempat pemasukan.

(3) Pada saat alat angkut tiba di tempat pemasukan, pemilik atau kuasanya wajib menyerahkan karkas, daging,dan/atau jeroan beserta dokumen yang dipersyaratkan kepada petugas karantina hewan untuk dilakukan tindaan karantina hewan.

(4) Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:a. Persetujuan Pemasukan;b. sertifikat sanitasi;c. sertifikat halal bagi yang dipersyaratkan;d. surat penetapan instalasi karantina hewan;e. izin transit dan sertifikat kesehatan dari negara transit apabila ada; danf. surat keterangan tentang catatan suhu selama perjalanan, surat muatan kapal laut/kapal udara (bill of

loading/airway bill) dan cargo manifest dari nahkoda/pilot.

Pasal 34

(1) Tindakan karantina hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (3) dapat berupa pemeriksaan, perlakuan, penahanan, penolakan, pemusnahan, dan/atau pembebasan.

(2) Perlakuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk membebaskan hama penyakit hewan karantina Golongan II.

Pasal 35

(1) Tindakan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) meliputi pemeriksaan dokumen persyaratan dan pemeriksaan kesehatan/sanitasinya oleh dokter hewan karantina di atas alat angkut sebelum diturunkan atau sebelum melewati tempat pemasukan.

~ 619 ~

Page 112: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

(2) Tindakan pemeriksaan dokumen persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa kelengkapan, keabsahan dokumen, dan kesesuaian/kecocokan antara dokumen dengan kemasan, label, jumlah, dan jenis.

(3) Tindakan pemeriksaan kesehatan/sanitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pemeriksaan kemurnian atau keutuhan secara organoleptik dan/atau pemeriksaan laboratorium sesuai dengan teknik dan metode pemeriksaan.

(4) Apabila pemeriksaan kemurnian atau keutuhan secara organoleptik dan/atau pemeriksaan laboratorium sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dapat dilakukan di atas alat angkut atau tempat pemasukan, maka dilakukan pemeriksaan lanjutan di instalasi karantina hewan yang telah ditetapkan.

Pasal 36

(1) Tindakan pemeriksaan lanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (4) berupa pemeriksaan kemurnian atau keutuhan secara organoleptik dan/atau pemeriksaan laboratorium sesuai dengan teknik dan metode pemeriksaan.

(2) Pengangkutan karkas, daging, dan/atau jeroan dari tempat pemasukan ke instalasi karantina hewan harus dalam pengawasan petugas karantina hewan.

(3) Setibanya di instalasi karantina hewan, dilakukan:a. pembukaan segel;b. pemeriksaan keutuhan kemasan;c. pemeriksaan kesesuaian jenis dan jumlah;d. pemeriksaan organoleptik secara acak (random sampling); dane. pengambilan sampel untuk pemeriksaan laboratorium, bila diperlukan.

Pasal 37

(1) Apabila pemasukan karkas, daging, dan/atau jeroan tidak dilengkapi dokumen persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) dilakukan tindakan penahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1).

(2) Penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan apabila:a. karkas, daging, dan/atau jeroan bukan berasal dari negara yang pemasukannya dilarang;b. pada pemeriksaan di atas alat angkut tidak diketemukan adanya gejala HPHK Golongan I dan risiko

penularan HPHK Golongan II;c. pemilik atau kuasanya menjamin dapat menunjukan sertifikat kesehatan/sanitasi dalam jangka waktu

paling lama 3 (tiga) hari kerja, dan dokumen lain yang dipersyaratkan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja.

(3) Setelah pemilik atau kuasanya dapat memenuhi kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1), maka dapat dilakukan pemeriksaan lanjutan sebagimana dimaksud dalam Pasal 35 (4).

Pasal 38

(1) Penolakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 (1), dilakukan apabila:a. setelah dilakukan pemeriksaan di atas alat angkut atau tempat pemasukan tertular HPHK, berasal dari

negara yang dilarang pemasukannya, busuk, atau rusak atau tidak layak dikonsumsi;b. keseluruhan dokumen yang dipersyaratkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2) huruf c

tidak terpenuhi.(2) Setelah dilakukan penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka karkas, daging, dan/atau jerohan

segera di bawa ke luar dari wilayah negara Republik Indonesia dalam batas waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja yang dituangkan dalam berita acara penolakan.

(3) Dalam hal pemilik atau kuasanya tidak dapat menyediakan alat angkut dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diperpanjang paling lama 7 (tujuh) hari kerja dengan tetap mempertimbangkan tingkat risiko masuk dan menyebarnya hama penyakit hewan karantina.

(4) Dalam hal dilakukan tindakan penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemilik atau kuasanya tidak berhak menuntut ganti rugi apapun serta wajib menanggung segala biaya penolakan.

Pasal 39

(1) Pemusnahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1), dilakukan apabila:a. setelah karkas, daging, dan/atau jeroan diturunkan dari alat angkut dan dilakukan pemeriksaan, tertular

hama penyakit hewan karantina golongan I, busuk, rusak, tidak layak dikonsumsi atau berasal dari negara yang dilarang pemasukannya;

~ 620 ~

Page 113: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

b. karkas, daging, dan/atau jeroan yang ditolak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) tidak segera dibawa ke luar dari wilayah negara Republik Indonesia oleh pemilik atau kuasanya; atau

c. setelah karkas, daging, dan/atau jeroan diturunkan dari alat angkut dan diberi perlakuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) tidak dapat disucihamakan dari hama penyakit hewan karantina Golongan II.

(2) Langkah-langkah yang harus dilakukan dalam tindakan pemusnahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu:a. menghadirkan saksi dari instansi terkait di tempat pemasukan;b. mengundang pemilik atau kuasa pemilik kaskas, daging, dan/atau jeroan yang akan dimusnahkan;c. mempersiapkan Berita Acara Pemusnahan;d. mempersiapkan tempat dan peralatan pemusnahan dengan tatacara dan metode pemusnahan yang telah

ditetapkan;e. pemusnahan dilakukan di bawah pengawasan dokter hewan karantina dan disaksikan oleh pemilik atau

kuasanya, petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia, petugas Bea dan Cukai, kejaksaan dan instansi lain yang terkait;

f. Berita Acara Pemusnahan sekurang-kurangnya rangkap 3 (tiga), lembar kesatu untuk pemilik, lembar kedua untuk pejabat yang turut berkepentingan dalam pelaksanaan tindakan pemusnahan, dan lembar ketiga untuk dokter hewan karantina yang bersangkutan.

(3) Dalam hal dilakukan tindakan pemusnahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemilik atau kuasanya tidak berhak menuntut ganti rugi apapun serta wajib menanggung segala biaya pemusnahan.

Pasal 40

(1) Pembebasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) dilakukan apabila:a. setelah dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dan Pasal 36 tidak tertular

HPHK, bebas cemaran biologis, kimia, fisik, tidak rusak, tidak busuk, layak dikonsumsi, dan halal dikonsumsi bagi yang dipersyaratkan; atau

b. setelah dilakukan penahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, seluruh persyaratan yang diwajibkan telah dapat dipenuhi dan tidak tertular HPHK, bebas cemaran biologis, kimia, fisik, tidak rusak, tidak busuk, layak dikonsumsi, dan halal dikonsumsi bagi yang dipersyaratkan.

(2) Pembebasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah pemilik atau kuasanya menyelesaikan kewajiban menyetor jasa karantina sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB VIPENGAWASAN PEREDARAN

Pasal 41

(1) Dinas yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan provinsi dan kabupaten/kota harus meregistrasi pelaku usaha di bidang pemasukan (importir), pengedaran (distributor), penjajaan/pengecer karkas, daging, dan/atau jeroan di satuan administrasi pangkal masing-masing.

(2) Pengawasan terhadap peredaran karkas, daging, dan/atau jeroan asal luar negeri yang telah dibebaskan dari tindakan karantina dilakukan oleh petugas Pengawas Kesehatan Masyarakat Veteriner yang ditunjuk oleh Kepala Dinas yang membidangi fungsí peternakan dan kesehatan hewan provinsi dan kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya.

(3) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan secara berkala paling kurang 6 (enam) bulan sekali atau sewaktu-waktu apabila diketahui adanya penyimpangan terhadap dipenuhinya persyaratan teknis kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner.

(4) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi pemeriksaan fisik karkas, daging, dan/atau jeroan, tempat penyimpanan, tempat penjajaan, alat angkut, serta kelengkapan dokumen.

(5) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilanjutkan dengan pemeriksaan laboratorium sebagai pemenuhan keamanan, kesehatan, keutuhan, dan kehalalan karkas, daging, dan/atau jeroan yang beredar.

(6) Pemeriksaan terhadap tempat penyimpanan, tempat penjajaan dan alat angkut sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi pemeriksaan fisik, higiene-sanitasi, dan persyaratan teknis kesehatan masyarakat veteriner.

(7) Pemeriksaan tempat penyimpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi:a. suhu untuk daging segar dingin (chilled) harus berkisar antara 0 sampai dengan 4OC, dan untuk daging

beku antara minus 18OC sampai dengan minus 22 OC;

~ 621 ~

Page 114: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

b. masa penyimpanan daging beku (frozen) dalam peredaran tidak lebih dari 8 (delapan) bulan dengan suhu internal paling kurang minus 18OC;

c. masa penyimpanan jeroan beku (frozen) dalam peredaran tidak lebih dari 6 (enam) bulan dengan suhu internal paling kurang minus 18OC;

d. penyimpanan, penjajaan, dan pengangkutan karkas, daging, dan jeroan asal luar negeri yang bersertifikat halal harus terpisah dengan yang tidak bersertifikat halal.

(8) Kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:a. Untuk pelaku usaha di bidang pemasukan (importir) karkas, daging, dan/atau jeroan paling kurang

memiliki Surat Persetujuan Pemasukan (SPP) dari Direktorat Jenderal Peternakan, surat pelepasan dari karantina hewan, Health/Sanitary Certificate dari negara asal, Halal Certificate dari Badan Islam (Islamic Body) di negara asal yang telah disetujui oleh MUI, dan Invoice pembelian dari pelaku usaha di negara asal b. Untuk pelaku usaha di bidang peredaran (distributor) karkas, daging, dan/atau jeroan paling kurang memiliki fotokopi SPP dari Direktorat Jenderal Peternakan, fotokopi surat pelepasan dari karantina hewan, fotokopi Health/Sanitary Certificate dari negara asal, fotokopi Halal Certificate dari Badan Islam (Islamic Body) di negara asal yang telah disetujui oleh MUI, serta bukti pembelian dari pelaku pemasukan (importir) karkas, daging, dan/atau jeroan.

b. Untuk pelaku usaha di bidang pengecer karkas, daging, dan/atau jeroan paling kurang memiliki fotokopi SPP dari Direktorat Jenderal Peternakan, fotokopi surat pelepasan dari karantina hewan, fotokopi Health/Sanitary Certificate dari negara asal, fotokopi Halal Certificate dari Badan Islam (Islamic Body) di negara asal yang telah disetujui oleh MUI, serta bukti pembelian dari pelaku pengedaran (distributor) karkas, daging, dan/atau jeroan.

Pasal 42

(1) Petugas pengawas kesehatan masyarakat veteriner yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) melakukan pengawasan peredaran karkas, daging, dan/atau jeroan, melaporkan hasil pengawasannya secara berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) kepada Kepala Dinas yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan provinsi dan kabupaten/kota.

(2) Kepala Dinas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melaporkan hasil pengawasan peredaran karkas, daging, dan/atau jeroan asal luar negeri di wilayahnya kepada Direktur Jenderal Peternakan.

Pasal 43

(1) Setiap orang atau badan hukum yang melakukan kegiatan penyimpanan, pengangkutan, peredaran dan/atau penjajaan karkas, daging, dan/atau jeroan asal luar negeri baik importir, distributor, maupun pengecer wajib menjaga tempat usahanya agar tetap dipenuhinya persyaratan higiene-sanitasi dan ketenteraman bathin masyarakat.

(2)Setiap orang atau badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus telah melaporkan fasilitas tempat penyimpanan, dan/atau tempat penjajaan dan/atau alat angkut yang dipergunakan kepada Kepala Dinas yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan di kabupaten/kota setempat.

(3)Setiap orang atau badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang akan melakukan peredaran antar daerah/wilayah harus telah mendapatkan rekomendasi dari Dinas yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan di daerah penerima.

Pasal 44

Karkas, daging, dan jeroan yang diedarkan di dalam daerah/wilayah dan/atau antar daerah/wilayah paling kurang harus disertai dengan kelengkapan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (8)

Pasal 45

Dalam rangka meningkatkan peran serta masyarakat dan perlindungan konsumen dari karkas, daging, dan/atau jeroan yang tidak memenuhi persyaratan higiene-sanitasi dan ketenteraman bathin masyarakat, maka pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) dapat melibatkan partisipasi lembaga Majelis Ulama Indonesia (MUI), Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Asosiasi, dan lembaga masyarakat terkait lainnya dengan memperhatikan ketentuan dalam Peraturan ini.

Pasal 46

Apabila di dalam wilayah kabupaten/kota tidak ada atau belum dibentuk dinas yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan, maka pelaksanaan pengawasan peredaran karkas, daging, dan/atau jeroan

~ 622 ~

Page 115: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) dan Pasal 42 ayat (2) dilakukan oleh dinas yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan provinsi.

BAB VIIKETENTUAN SANKSI

Pasal 47

(1) Apabila dari hasil pengawasan yang dilakukan oleh petugas pengawas kesehatan masyarakat veteriner sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dan Pasal 42 terbukti ada pelanggaran terhadap ketentuan dalam Peraturan ini, Direktur Jenderal Peternakan, Gubernur, Bupati/Walikota berwenang mengambil tindakan administratif.

(2) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:a. peringatan secara tertulis;b. larangan melakukan pemasukan dan/atau mengedarkan untuk sementara waktu dan/atau perintah

menarik karkas, daging, dan jeroan dari peredaran;c. penghentian peredaran untuk sementara waktu;d. pemusnahan karkas, daging, dan jeroan apabila terbukti tidak sesuai dengan persyaratan administrasi

dan persyaratan teknis veteriner yang ditetapkan;e. rekomendasi pencabutan izin usaha sebagai importir;f. pencabutan Keputusan persetujuan pemasukan dari Direktur Jenderal Peternakan atas nama Menteri;

ataug. pencabutan NKV.

(1) Pengenaan tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan berdasarkan tingkat risiko yang diakibatkan oleh pelanggaran yang dilakukan.

(2) Pelaksanaan tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, b, c dan f dilakukan oleh Direktur Jenderal Peternakan.

(3) Pelaksanaan tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d dan e, dilakukan oleh Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya.

(4) Pelaksanaan tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf g dilakukan oleh Gubernur.

Pasal 48

Selain dikenakan tindakan administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (2), perorangan atau badan hukum yang melanggar ketentuan dalam Peraturan ini dikenakan sanksi sesuai dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karatina Hewan, Ikan dan Tumbuhan; Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan; dan/atau Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

BAB VIIIKETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 49

Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan di bidang Pengawasan Obat dan Makanan, ketentuan ini berlaku juga untuk daging olahan yang mempunyai risiko terhadap penyebaran penyakit hewan menular (zoonosis), lingkungan dan sumber daya hayati lainnya.

BAB IXKETENTUAN PERALIHAN

Pasal 50

Persetujuan Pemasukan karkas, daging, dan/atau jeroan yang sudah diterbitkan sebelum berlakunya Peraturan ini dinyatakan masih tetap berlaku sampai habis masa berlakunya selanjutnya menyesuaikan dengan Peraturan ini.

BAB XKETENTUAN PENUTUP

Pasal 51

Dengan ditetapkannya Peraturan ini, maka:

~ 623 ~

Page 116: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

1.Peraturan Menteri Pertanian Nomor 64/Permentan/OT.140/12/2006 tentang Pemasukan dan Pengawasan Peredaran Karkas, Daging, dan Jeroan Dari Luar Negeri, Peraturan Menteri Pertanian Nomor 27/Permentan/OT.140/3/2007 tentang Perubahan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 64/Permentan/OT.140/12/2006 dan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 61/Permentan/OT.140/8/2007 tentang Perubahan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 64/Permentan/OT.140/12/2006 juncto Peraturan Menteri Pertanian Nomor 27/Permentan/OT.140/3/2007, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

2.Peraturan Menteri Pertanian Nomor 482/Kpts/PD.620/8/2006 tentang Pemasukan Ternak Ruminansia dan Produknya Dari Negara Atau Bagian Dari Negara (Zona) Terjangkit Penyakit Bovine Spongiform Encephalopathy (BSE) ke Dalam Wilayah Negara Republik Indonesia dinyatakan tidak berlaku sepanjang mengenai pengaturan karkas, daging, dan/atau jeroan.

Pasal 52

Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan Penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakartapada tanggal 8 April 2009

MENTERI PERTANIAN,

ANTON APRIYANTONODiundangkan di Jakartapada tanggal 7 Mei 2009

MENTERI HUKUM DAN HAMREPUBLIK INDONESIA,

ANDI MATTALATTA

~ 624 ~

Page 117: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI PERTANIANNOMOR : 20/Permentan/OT.140/4/2009Tanggal : 8 April 2009

JENIS KARKAS, DAGING, DAGING VARIASI (FANCY MEAT), DAN/ATAU JEROAN ASAL RUMINANSIA BESAR DARI LUAR NEGERI YANG DAPAT DIMASUKAN KE DALAM WILAYAH

NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DAGING KUALITAS UTAMA(PRIME CUTS)

DAGING INDUSTRI(SECONDARY CUTS)

DAGING TANPA TULANG (BONELESS MEAT) DAGING TANPA TULANG (BONELESS MEAT)1. Topside/topside cap off 13. Cube roll 1. Forequarter meat 16.Blade/clod2. Inside inside cap off 14. Rump and loin (tanpa rib) 2.Hinquarter meat 17.Chuck tender3. Redmeat 15. shortloin (tanpa rib) 3.Thick flank 18. full brisket4. Silverside 16. Striploin (tanpa rib) 4. Thick skirt 19. Shin-shank5. Outside/outside meat/outside

flat17. Rib set (tanpa rib) 5. Thin skirt 20. Shin special trim

6. Eye round 18. Spencer roll (tanpa rib) 6. Thin flank/thin flank meat

21.Intercostal meat

7. Knuckle 7.flank steak/internal or external flank plate

22. butt one piece

8. Rump/Full rump/d-rump Dan nama atau jenis lain yang berasal dari punggung dan dada

8.inside skirt 23. head meat

9. Sirloin butt/top sirloin/bottom sirloin/tritip

9.plap meat 24. Cheeck meat

10.Rosbiff 10.flank plate steak tip 25. Dinced meat11.Striploin 11.neck meat 26.Minced beef (ground)12.Tenderloin/butt terderloin 12.neck chain 27.Trimmings

13.short ribmeat 28.Mechanically Deboned Meat (MDM)

14.Chuck rib meat15.Chuck meat square Dan nama atau jenis lain yang

berasal dari bagian paha depan dan paha belakang

DAGING DENGAN TULANG (BONE IN MEAT) DAGING DENGAN TULANG (BONE IN MEAT)1. Rump and loin 1. Hindquarter (3 ribs)2.Short loin (3 ribs) 2. Pistola hindquarter (8 ribs)3.Strip loin (3ribs) 3. Forequarter (10 ribs)4.Rib set (5 ribs) 4. Butt5.Ribs prepared (5 ribs) 5. Brisket (10 ribs)6.Spencer roll (5 ribs) 6. Brisket point end (5 ribs)7.Rib ends (5ribs) 7. Brisket navel end (5 ribs)8.Strip loin (3 ribs) 8. Brisket point end-dekle off (5 ribs)9.Karkas, setengah karkas, seperempat karkas) 9. Short ribs (5 ribs)

10. Spare ribsDan nama atau jenis lain yang berasal dari bagian punggung dada 11. Chuck and blade (5 ribs)

12. Chuck (5 ribs)13. Chuck square cut (5ribs)14. Chuck roll (5 ribs)

Dan nama atau jenis lain yang berasal dari bagian paha depan dan paha belakang

DAGING VARIASI (FANCY MEAT ): 1. Buntut (oxtail), 2. Lidah (Tongue) 3.Lips, 4. FeetJEROAN SAPI : 1. Jantung (Heart) 2. Hati (Liver)

MENTERI PERTANIAN

ANTON APRIANTONO

~ 625 ~

Page 118: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

Lampiran II PERATURAN MENTERI PERTANIANNOMOR : 20/permentan/OT.140/4/2009TANGGAL : 8 April 2009

JENIS KARKAS, DAGING RUMINANSIA KECIL, DAGING BABI, DAN DAGING UNGGAS YANG DAPAT DIMASUKAN KE DALAM WILAYAH NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DAGING RUMINANSIA KECIL KUALITAS (PRIME CUTS)

DAGING UNGGAS DAGING BABI KUALITAS (SECONDARY CUTS)

1. Lamb rack2. Lamb leg3. Lamb carcass4. Lamb saddle5. Lamb shoulder6. Lamb hind shank7. Lamb fore shank8. Lamb fore shank9. Lamb terderloin10. Lamb eye of short loin11. Lamb shorttloin12. Lamb eye of short loin13. Lamb Shortloin14. Mutton leg15. Mutton loin16. Mutton rack17. Mutton carcasse18. Mutton tenderloin19. Muton shoulder20. Mutton trunk boneless21. Mutton trunk meat22. Mutton trunk 80 cl23. Hogget carcasse24. Vanisson leg25. Vanisson saddle

Dan nama atau jenis lain yang berasal dari bagian punggung, dada, paha depan dan paha belakang

1.Karkas utuh (whole carcass)

2.Mechanically Deboned Meat (MDM)

1. Pig CARCASS

2. Pork baby back rib

3. Pork spare rib

4. Pork loin rib

Dan nama lain atau jenis lain yang berasal dari bagian punggung,dada, paha depan dan paha belakang.

~ 626 ~

Page 119: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

LAMPIRAN III PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 20/Permentan/OT.140/4/2009Tanggal : 8 April 2009

JENIS DAGING OLAHAN DARI LUAR NEGERI YANG DAPAT DIMASUKAN KE DALAM WILAYAH NEGARA REPUBLIK INDONESIA

JENIS DAGING OLAHAN

1. Daging giling

2. Nugget daging

3. Patties

4. Daging luncheon

5. Lasagna

6. Hamburger

7. Daging Asap

8. Daging rebus

9. Dendeng

10. Abon

11. Cured meat

12. Bakso

13. Sosis daging

14. Dried meat

15. Canned meat

16. Corned meat

17. Kaldu daging

MENTERI PERTANIAN

ANTON APRIYANTONO

~ 627 ~

Page 120: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

BERITA NEGARAREPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI PERTANIANNOMOR 27/PERMENTAN/PP.340/5/2009

TENTANGPENGAWASAN KEAMANAN PANGAN TERHADAP PEMASUKAN DAN PENGELUARAN

PANGAN SEGAR ASAL TUMBUHAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI PERTANIAN,

Menimbang : a. bahwa untuk menjamin pangan segar asal tumbuhan yang dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia selain harus memenuhi ketentuan karantina tumbuhan juga harus tidak mengandung cemaran kimia melebihi batas maksimum yang ditetapkan sehingga aman dan layak dikonsumsi;

b. bahwa untuk meningkatkan daya saing pangan segar asal tumbuhan Indonesia di pasar internasional, diperlukan pengawasan terhadap pengeluaran pangan segar asal tumbuhan di tempat-tempat pengeluaran;

c. bahwa atas dasar hal-hal tersebut di atas dan sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 40 dan Pasal 41 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu, dan Gizi Pangan, dipandang perlu menetapkan Pengawasan Keamanan Pangan terhadap Pemasukan dan Pengeluaran Pangan Segar Asal Tumbuhan Dalam Peraturan Menteri Pertanian;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3482);

2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization/Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3554);

3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan (Lembaran Negara Tahun 1996 Nomor 99, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3556);

4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3821);

5. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2002 tentang Karantina Tumbuhan (Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 35, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4196);

6. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu, dan Gizi Pangan (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 107, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4424);

7. Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004 tentang Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu;

8. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia juncto Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2005;

9. Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2005 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Kementerian Negara Republik Indonesia;

10. Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Pertanian Nomor 881/MENKES/SKB/VIII/1996 dan Nomor 711/Kpts/TP.270/8/1996 tentang Batas Maksimum Residu Pestisida Pada Hasil Pertanian;

~ 628 ~

Page 121: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

11. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 469/Kpts/HK.310/8/2001 tentang Tempat-tempat Pemasukan dan Pengeluaran Media Pembawa Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina;

12. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 299/Kpts/OT.140/7/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Pertanian juncto Peraturan menteri Pertanian Nomor 11/Permentan/OT.140/2/2007;

13. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 341/Kpts/OT.140/9/2005 tentang Kelengkapan Organisasi dan Tata Kerja Departemen Pertanian juncto Peraturan Menteri Pertanian Nomor 12/Permentan/OT.140/2/2007;

14. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 37/Kpts/HK.060/1/2006 tentang Persyaratan Teknis dan Tindakan Karantina Tumbuhan untuk Pemasukan Buah-buahan dan Sayuran Buah Segar ke Dalam Wilayah Negara Republik Indonesia;

15. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 18/Permentan/OT.140/2/2008 tentang Persyaratan dan Tindakan Karantina Tumbuhan untuk Pemasukan Hasil Tumbuhan Hidup Berupa Sayuran Umbi Lapis Segar;

16. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 22/Permentan/OT.140/4/2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Karantina Pertanian;

Memperhatikan : 1. Principles for Food Import and Export Inspection and Certification (CAC/GL 20-1995);

2. Guidelines for Food Import and Export Control Systems (CAC/GL 47-2003);3. Guidelines for the Design, Operation, Assessment and Accreditation of Food Import

and Export Inspection and Certification Systems (CAC/GL 26-1997);4. Guidelines on the Judgment of Equivalence of Sanitary Measures Associated with

Food Inspection and Certification Systems (CAC/GL 53-2003);5. Codex Alimentarius Joint FAO/WHO Food Standards Program Volume 2B, Pesticide

Residues in Food-Maximum Residue Limits, Second Edition, 2000;6. Assuring Food Safety and Quality, Guidelines for Strengthening National Food

Control Systems, FAO and WHO, 2003;7. Codex General Standard for Contaminants and Toxins in Foods. CODEX STAN 193-

1995, Rev.2-2006;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:    PERATURAN MENTERI PERTANIAN TENTANG PENGAWASAN KEAMANAN PANGAN TERHADAP PEMASUKAN DAN PENGELUARAN PANGAN SEGAR ASAL TUMBUHAN.

BAB IKETENTUAN UMUM

Pasal 1Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan:1. Pangan Segar Asal Tumbuhan, yang selanjutnya disingkat PSAT adalah pangan asal tumbuhan yang

belum mengalami pengolahan dan dapat dikonsumsi langsung dan/atau dapat menjadi bahan baku pengolahan PSAT.

2. Keamanan PSAT adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah PSAT dari kemungkinan cemaran kimia yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia.

3. Persyaratan keamanan PSAT adalah standar dan ketentuan-ketentuan lain yang harus dipenuhi untuk mencegah PSAT dari kemungkinan adanya bahaya karena cemaran kimia yang dapat mengganggu, merugikan, dan/atau membahayakan kesehatan manusia.

4. Sertifikasi adalah prosedur yang dilakukan oleh lembaga sertifikasi resmi atau lembaga sertifikasi yang diakui secara resmi untuk menyediakan jaminan tertulis terhadap PSAT atau sistem pengawasannya sesuai dengan persyaratan.

5. Lembaga sertifikasi resmi adalah instansi pemerintah dari negara asal/negara pengirim yang mempunyai kewenangan menyelenggarakan sistem pemeriksaan dan sertifikasi keamanan PSAT yang meliputi fungsi pengaturan dan/atau penegakannya.

~ 629 ~

Page 122: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

6. Lembaga sertifikasi yang diakui secara resmi adalah institusi non-pemerintah yang secara formal disetujui oleh lembaga sertifikasi resmi dari negara asal/negara pengirim untuk melaksanakan pemeriksaan dan sertifikasi keamanan PSAT.

7. Pemasukan adalah pemasukan PSAT dari luar negeri ke dalam wilayah Indonesia melalui tempat-tempat pemasukan yang telah ditetapkan.

8. Pengeluaran adalah pengeluaran PSAT dari wilayah Indonesia ke luar negeri melalui tempat-tempat pengeluaran yang telah ditetapkan.

9. Tempat pemasukan/pengeluaran adalah pelabuhan laut, pelabuhan sungai, bandar udara, pelabuhan penyeberangan, dry-port, kantor pos, pos lintas batas negara yang telah ditetapkan sebagai tempat pemasukan/pengeluaran.

10. Pengakuan adalah penerimaan sistem pengawasan keamanan PSAT suatu negara yang memproduksi dan mengekspor PSAT yang tidak diproduksi di Indonesia oleh otoritas kompeten keamanan PSAT Indonesia.

11. Perjanjian Ekivalensi adalah perjanjian antara negara pengimpor dengan negara pengekspor terkait dengan sistem pengawasan keamanan PSAT yang berbeda namun menghasilkan tingkat perlindungan keamanan PSAT yang sama.

12. Pengakuan keamanan PSAT tempat produksi PSAT adalah penerimaan keamanan PSAT tempat produksi PSAT suatu negara oleh otoritas kompeten keamanan PSAT Indonesia.

13. Praktek-praktek Budidaya Yang Baik/Good Agricultural Pratices/Good Farming Practices (GAP/GFP) adalah cara budidaya yang menerapkan pengetahuan yang tersedia untuk pelestarian lingkungan, ekonomi, dan sosial bagi produksi dan proses pasca produksi yang menghasilkan PSAT/produk pertanian non PSAT yang sehat.

14. Peredaran adalah serangkaian kegiatan dalam rangka penyaluran PSAT kepada masyarakat, baik untuk diperdagangkan maupun tidak.

15. Petugas Karantina Tumbuhan adalah pejabat fungsional pengendali organisme pengganggu tumbuhan yang bekerja pada Instansi Karantina Pertanian.

16. Monitoring adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menilai tingkat kepatuhan negara asal terhadap persyaratan keamanan PSAT Indonesia.

17. Pemilk PSAT atau kuasanya yang selanjutnya disebut pemilik atau kuasanya adalah orang atau badan hukum yang memiliki PSAT dan/atau yang bertanggungjawab atas pemasukan atau pengeluaran PSAT.

Pasal 2

(1) Peraturan ini dimaksudkan sebagai dasar pelaksanaan pengawasan keamanan PSAT yang dimasukkan ke atau dikeluarkan dari dalam wilayah negara Republik Indonesia.

(1) Peraturan ini bertujuan agar PSAT yang dimasukkan ke atau dikeluarkan dari dalam wilayah negara Republik Indonesia tidak mengandung cemaran kimia melebihi batas maksimum sehingga aman dan layak dikonsumsi atau memenuhi persyaratan negara tujuan.

Pasal 3

Ruang lingkup pengaturan meliputi pengakuan sistem keamanan PSAT, perjanjian ekivalensi dan pengakuan keamanan PSAT tempat produksi PSAT, pemasukan PSAT, dan pengeluaran PSAT.

Pasal 4

(1) Setiap orang yang memasukkan ke atau mengeluarkan PSAT dari dalam wilayah negara Republik Indonesia untuk diedarkan bertanggung jawab atas keamanan PSAT sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2) Keamanan PSAT untuk pemasukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan suatu kondisi PSAT yang mengandung cemaran kimia tidak melebihi batas maksimum.

(3) Cemaran kimia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi residu pestisida, cemaran mikotoksin dan/atau logam berat.

(4) Pengawasan pengeluaran dilaksanakan terhadap pengeluaran PSAT yang dipersyaratkan oleh negara tujuan.

Pasal 5

Jenis PSAT, jenis dan batas maksimum residu pestisida, cemaran mikotoksin dan/atau logam berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) seperti tercantum pada Lampiran I dan Lampiran II sebagai bagian tidak terpisahkan dengan Peraturan ini.

~ 630 ~

Page 123: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

Pasal 6

Pengawasan keamanan pangan terhadap pemasukan dan pengeluaran PSAT dapat dilakukan melalui:a. pengakuan terhadap sistem pengawasan keamanan PSAT negara asal;b. perjanjian ekivalensi antara Indonesia dengan negara asal atau negara tujuan PSAT;c. pengakuan terhadap pengawasan keamanan PSAT di tempat produksi; ataud. pemeriksaan terhadap setiap pemasukan/pengeluaran PSAT.

BAB IIPENGAKUAN SISTEM PENGAWASAN KEAMANAN PSAT, PERJANJIAN EKIVALENSI, DAN

PENGAKUAN PENGAWASAN KEAMANAN PSAT DI TEMPAT PRODUKSI

Bagian KesatuPengakuan Sistem Pengawasan Keamanan PSAT

Pasal 7

(1) Sistem pengawasan keamanan PSAT negara asal dapat diakui dengan mengajukan permohonan kepada Kepala Badan Karantina Pertanian.

(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh otoritas kompeten keamanan PSAT negara asal PSAT dengan dilengkapi keterangan mengenai sistem pengawasan keamanan PSAT yang diterapkan selama budidaya, panen, penanganan, penyimpanan, dan pengangkutan di negara asal sampai ke atas alat angkut untuk dimasukan ke Indonesia.

(3) Kepala Badan Karantina Pertanian setelah menerima permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan pengkajian dan verifikasi terhadap sistem pengawasan keamanan PSAT negara asal PSAT.

(4) Kepala Badan Karantina Pertanian dalam melakukan pengkajian dan verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berkoordinasi dengan instansi terkait.

Pasal 8

(1) Apabila hasil pengkajian dan verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 memenuhi persyaratan keamanan PSAT Indonesia, terhadap sistem pengawasan keamanan PSAT negara asal ditetapkan pengakuan oleh Kepala Badan Karantina Pertanian dalam bentuk Keputusan.

(2) Apabila hasil pengkajian dan verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 tidak memenuhi persyaratan keamanan PSAT Indonesia, terhadap sistem pengawasan keamanan PSAT negara asal tidak diberikan pengakuan yang diberitahukan kepada pemohon oleh Kepala Badan Karantina Pertanian dengan disertai alasan secara tertulis.

Pasal 9

(1) Syarat dan tata cara pengajuan permohonan sistem pengawasan keamanan PSAT di suatu negara seperti tercantum pada Lampiran III sebagai bagian tidak terpisahkan dengan Peraturan ini.

(2) Jenis PSAT yang dapat diakui sistem pengawasan keamanan PSAT sebagaimana tercantum pada Lampiran I sebagai bagian tidak terpisahkan dengan Peraturan ini.

Bagian KeduaPerjanjian Ekivalensi

Pasal 10

(1) Perjanjian ekivalensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dilakukan antara Badan Karantina Pertanian dengan otoritas kompeten kemanan PSAT negara asal.

(2) Badan Karantina Pertanian dalam melakukan perjanjian ekivalensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkoordinasi dengan instansi terkait.

(3) Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) antara lain meliputi kesiapan sistem pengawasan keamanan PSAT Indonesia dalam memenuhi penerapan perjanjian ekivalensi.

~ 631 ~

Page 124: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

Pasal 11

(1) Syarat dan tata cara perjanjian ekivalensi sistem pengawasan keamanan PSAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 seperti tercantum pada Lampiran IV sebagai bagian tidak terpisahkan dengan Peraturan ini.

(2) Jenis PSAT yang dapat dilakukan perjanjian ekivalensi seperti tercantum pada Lampiran II sebagai bagian tidak terpisahkan dengan Peraturan ini.

Bagian KetigaPengakuan Terhadap Pengawasan Keamanan PSAT Di Tempat Produksi

Pasal 12

(1) Apabila sistem pengawasan keamanan PSAT di negara asal belum diakui sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) atau belum memiliki perjanjian ekivalensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1), pengawasan keamanan PSAT di tempat produksi dapat diberikan pengakuan oleh Kepala Badan Karantina Pertanian.

(2) Untuk memperoleh pengakuan pengawasan keamanan PSAT di tempat produksi PSAT sebagaimana dimaksud pada ayat (1), produsen PSAT di negara asal mengajukan permohonan kepada Kepala Badan Karantina Pertanian.

(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilengkapi keterangan mengenai pengawasan keamanan PSAT yang diterapkan selama budidaya, panen, penanganan, penyimpanan, dan pengangkutan di tempat produksi asal sampai ke atas alat angkut untuk dimasukkan ke Indonesia.

Pasal 13

(1) Kepala Badan Karantina Pertanian setelah menerima permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) melakukan pengkajian dan verifikasi terhadap pengawasan keamanan PSAT di tempat produksi.

(2) Kepala Badan Karantina Pertanian dalam melakukan pengkajian dan verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkoordinasi dengan instansi terkait.

(3) Apabila hasil pengkajian dan verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memenuhi persyaratan keamanan PSAT Indonesia, pengawasan keamanan PSAT di tempat produksi diberikan pengakuan oleh Kepala Badan Karantina Pertanian dalam bentuk Keputusan.

(4) Apabila hasil pengkajian dan verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak memenuhi persyaratan keamanan PSAT Indonesia, pengawasan keamanan PSAT di tempat produksi tidak diberikan pengakuan yang diberitahukan kepada pemohon oleh Kepala Badan Karantina Pertanian dengan disertai alasan secara tertulis.

Pasal 14

(1) Syarat dan tata cara pengajuan permohonan pengakuan sistem pengawasan keamanan PSAT di tempat produksi seperti tercantum pada Lampiran V sebagai bagian tidak terpisahkan dengan Peraturan ini.

(2) Jenis PSAT yang dapat diberikan pengakuan pengawasan keamanan PSAT di tempat produksi seperti tercantum pada Lampiran I dan Lampiran II sebagai bagian tidak terpisahkan dengan Peraturan ini.

BAB IIIPEMASUKAN PSAT

Bagian KesatuUmum

Pasal 15

Pemasukan PSAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ke dalam wilayah negara Republik Indonesia dapat berasal dari:a. negara yang sistem pengawasan keamanan PSAT telah diakui;b. negara yang telah memiliki perjanjian ekivalensi;c. tempat produksi yang pengawasan keamanan PSAT telah diakui; ataud. negara yang sistem pengawasan keamanan PSAT belum diakui, belum memiliki perjanjian ekivalensi atau

tempat produksi yang pengawasan keamanan PSAT belum diakui.

~ 632 ~

Page 125: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

Pasal 16

(1) Pemasukan PSAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf a, b dan c wajib:a. dilengkapi keterangan PSAT;b. melalui tempat-tempat pemasukan yang telah ditetapkan; danc. dilaporkan dan diserahkan kepada petugas karantina tumbuhan di tempat pemasukan untuk

pengawasan keamanan PSAT.(2) Keterangan PSAT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berisi:

a. nama dan alamat pemilik/kuasanya;b. nama dan alamat pengirim;c. tanggal dan tempat pengiriman;d. tanggal dan tempat pemasukan;e. alat angkut;f. identitas PSAT;g. jenis dan jumlah PSAT, kemasan, dan pelabelan;h. asal/tempat produksi; dani. tujuan pemasukan.

(3) Identitas PSAT sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf f menerangkan nama umum atau nama ilmiah, merk dagang, berat per kemasan, dan produsen.

Pasal 17

(1) Pemasukan PSAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf d wajib:a. dilengkapi dengan sertifikat/dokumen keamanan PSAT dari negara asal dan keterangan PSAT;b. melalui tempat-tempat pemasukan yang telah ditetapkan; danc. dilaporkan dan diserahkan kepada petugas karantina tumbuhan di tempat pemasukan untuk

pengawasan keamanan PSAT.(2) Sertifikat/dokumen keamanan PSAT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diterbitkan oleh

otoritas kompeten keamanan PSAT negara asal.(3) Untuk negara asal yang tidak memiliki otoritas kompeten keamanan PSAT, sertifikat/dokumen

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diterbitkan oleh lembaga lain yang melakukan pengawasan dan/atau monitoring/surveilans pelaksanaan praktek-praktek yang baik untuk menjamin tingkat keamanan PSAT, baik untuk keperluan konsumsi domestik maupun untuk keperluan ekspor.

Bagian KeduaPengawasan Pemasukan PSAT dari Negara Sistem Pengawasan Keamanan PSAT Diakui,

Memiliki Perjanjian Ekivalensi, atau dari Tempat Produksi yang PengawasanKeamanan PSAT Diakui

Pasal 18

(1) Pemilik atau kuasanya wajib melaporkan dan menyerahkan keterangan PSAT kepada petugas karantina tumbuhan di tempat pemasukan paling lambat pada saat kedatangan alat angkut PSAT.

(2) Keterangan PSAT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) seperti tercantum pada Lampiran VI sebagai bagian tidak terpisahkan dengan Peraturan ini.

(3) Pada saat PSAT tiba di tempat pemasukan, Petugas Karantina Tumbuhan melakukan pemeriksaan dengan mencocokkan keterangan PSAT sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan identitas pada kemasan PSAT dan/atau fisik PSAT dengan data pengakuan sistem pengawasan keamanan PSAT, perjanjian ekivalensi, atau tempat produksi yang pengawasan keamanan PSAT telah diakui.

Pasal 19

(1) Apabila hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) identitas pada kemasan PSAT dan/atau fisik PSAT dengan data pengakuan sistem pengawasan keamanan PSAT, perjanjian ekivalensi, atau tempat produksi yang pengawasan keamanan PSAT telah diakui sesuai dengan keterangan PSAT, dilakukan pelepasan.

(2) Apabila hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) identitas pada kemasan PSAT dan/atau fisik PSAT dengan data pengakuan sistem pengawasan keamanan PSAT, perjanjian ekivalensi, atau tempat produksi yang pengawasan keamanan PSAT telah diakui tidak sesuai dengan keterangan PSAT, dilakukan penolakan.

~ 633 ~

Page 126: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

Pasal 20

(1) PSAT yang diberikan pelepasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dilakukan monitoring untuk mengetahui kandungan cemaran kimia pada PSAT.

(2) Dalam pelaksanaan monitoring sebagaimana dimaksud pada ayat (1) petugas karantina tumbuhan melakukan pengambilan sampel PSAT pada saat melakukan pemeriksaan identitas PSAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3).

(3) Pelaksanaan monitoring sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan uji cepat (rapid test) dan/atau uji di laboratorium yang terakreditasi atau yang ditunjuk.

(4) Laboratorium sebagaimana dimaksud pada ayat (3) seperti tercantum pada Lampiran VII sebagai bagian tidak terpisahkan dengan Peraturan ini.

(5) Tatacara monitoring sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan lebih lanjut oleh Kepala Badan Karantina Pertanian.

Pasal 21

(1) Apabila berdasarkan hasil monitoring sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ternyata PSAT mengandung cemaran kimia melebihi batas maksimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5:a. pemilik/kuasanya wajib melakukan penarikan PSAT dari peredaran; danb. dilakukan notifikasi ketidaksesuaian (notification of non compliance) ke negara atau tempat produksi

asal PSAT oleh Badan Karantina Pertanian.(2) Biaya pengujian laboratorium dalam rangka pelaksanaan monitoring menjadi tanggung jawab Badan

Karantina Pertanian.

Bagian KetigaPembekuan dan Pengakuan Kembali Terhadap Sistem Pengawasan Keamanan PSAT

Negara Asal, Perjanjian Ekivalensi, atau Pengawasan Keamanan PSAT di TempatProduksi

Pasal 22

Pembekuan pengakuan terhadap sistem pengawasan keamanan PSAT negara asal, perjanjian ekivalensi, atau pengakuan terhadap pengawasan keamanan PSAT di tempat produksi dilakukan oleh Kepala Badan Karantina Pertanian apabila:a. terjadi 3 (tiga) kali ketidaksesuaian dalam pemeriksaan identitas PSAT sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 19 ayat (2); ataub. terjadi 3 (tiga) kali hasil monitoring sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) menunjukkan PSAT

mengandung cemaran kimia melebihi batas maksimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.

Pasal 23

(1) Pengakuan kembali terhadap sistem pengawasan keamanan PSAT, perjanjian ekivalensi, atau pengawasan keamanan PSAT di tempat produksi yang dibekukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dapat diberikan oleh Kepala Badan Karantina Pertanian setelah dilakukan pengkajian dan verifikasi kembali di negara asal.

(2) Kepala Badan Karantina Pertanian dalam melakukan pengkajian dan verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkoordinasi dengan instansi terkait.

Pasal 24

Terhadap pemasukan PSAT yang berasal dari negara atau tempat produksi yang dibekukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, pengawasan keamanan PSAT diberlakukan sebagaimana pemasukan PSAT yang berasal dari negara yang sistem pengawasan keamanan PSAT belum diakui, belum memiliki perjanjian ekivalensi, atau tempat produksi yang pengawasan keamanan PSAT belum diakui.

Bagian KeempatPengawasan Pemasukan PSAT dari Negara Sistem Pengawasan Keamanan PSAT Belum

Diakui, Belum Memiliki Perjanjian Ekivalensi, atau Pengawasan Keamanan PSAT diTempat Produksi Belum Diakui

~ 634 ~

Page 127: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

Pasal 25

(1) Pemilik atau kuasanya wajib melaporkan dan menyerahkan sertifikat/dokumen keamanan PSAT dan keterangan PSAT kepada petugas karantina tumbuhan di tempat pemasukan paling lambat pada saat kedatangan PSAT.

(2) Apabila pemasukan PSAT belum disertai sertifikat/dokumen keamanan PSAT dan keterangan PSAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a, kepada pemilik atau kuasanya diberikan kesempatan paling lambat 14 (empat belas) hari kerja untuk melengkapi sertifikat/dokumen keamanan PSAT dan keterangan PSAT.

(3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemilik atau kuasanya tidak dapat melengkapi sertifikat/dokumen keamanan PSAT, dilakukan penolakan.

Pasal 26

(1) Apabila pemasukan PSAT telah disertai sertifikat/dokumen keamanan PSAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1), petugas karantina tumbuhan melakukan pemeriksaan identitas dengan mencocokkan keterangan pada sertifikat/dokumen keamanan PSAT dan keterangan PSAT dengan identitas PSAT pada kemasan dan/atau fisik PSAT.

(2) Apabila hasil pemeriksaan identitas PSAT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak sesuai dengan keterangan pada sertifikat/dokumen keamanan PSAT dan keterangan PSAT, dilakukan penolakan.

(3) Apabila hasil pemeriksaan identitas PSAT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan keterangan pada sertifikat/dokumen keamanan PSAT dan keterangan PSAT, dilakukan pengujian laboratorium.

Pasal 27

(1) Apabila hasil pengujian laboratorium sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (3) sesuai dengan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, dilakukan pelepasan.

(2) Apabila hasil pengujian laboratorium sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (3) tidak sesuai dengan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, dilakukan penolakan.

(3) Biaya pengujian laboratorium sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (3) menjadi tanggung jawab pemilik atau kuasanya.

Pasal 28

Terhadap hasil pengujian laboratorium sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2), Badan Karantina Pertanian menyampaikan notifikasi ketidaksesuaian (notification of non-compliance) kepada otoritas kompeten keamanan PSAT negara asal PSAT.

Pasal 29

(1) Penolakan pemasukan PSAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 25, Pasal 26 atau Pasal 27 diberikan dalam bentuk surat penolakan yang diterbitkan oleh Petugas Karantina Tumbuhan di tempat pemasukan.

(2) Terhadap penolakan pemasukan PSAT sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan Karantina Pertanian menyampaikan notifikasi ketidaksesuaian kepada otoritas kompeten keamanan PSAT negara asal.

(3) Apabila setelah 14 (empat belas) hari sejak tanggal penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), PSAT tidak dikeluarkan dari wilayah negara Republik Indonesia, dilakukan pemusnahan dengan menerbitkan berita acara pemusnahan.

(4) Biaya yang timbul dalam pelaksanaan penolakan atau pemusnahan menjadi tanggung jawab pemilik atau kuasanya.

BAB IVPENGELUARAN PSAT

Pasal 30

(1) Pengeluaran PSAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) wajib memenuhi ketentuan keamanan PSAT negara tujuan, apabila dipersyaratkan.

(2) Pengeluaran PSAT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dari dalam wilayah negara Republik Indonesia harus:a. dilengkapi sertifikat atau dokumen yang menerangkan kondisi keamanan PSAT yang sesuai dengan

persyaratan negara tujuan dan diterbitkan oleh lembaga sertifikasi terakreditasi atau Otoritas Kompeten Keamanan PSAT;

~ 635 ~

Page 128: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

b. melalui tempat-tempat pengeluaran yang telah ditetapkan; danc. dilaporkan kepada petugas karantina tumbuhan.

(3) Petugas Karantina Tumbuhan di tempat pengeluaran melakukan pemeriksaan kelengkapan dan kebenaran dokumen yang dipersyaratkan oleh negara tujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).

(4) Apabila berdasarkan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sesuai, PSAT dapat dikirim ke negara tujuan.

(5) Apabila berdasarkan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak sesuai, PSAT tidak diperbolehkan untuk dikirim ke negara tujuan yang mempersyaratkan.

BAB VKETENTUAN PENUTUP

Pasal 31

Pengawasan keamanan PSAT yang dimasukkan ke dan dikeluarkan dari dalam wilayah negara Republik Indonesia dilakukan secara terintegrasi dengan pelaksanaan tindakan karantina tumbuhan.

Pasal 32

Peraturan ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) bulan sejak tanggal ditetapkan.Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan Menteri Pertanian ini diundangkan dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakartapada tanggal 18 Mei 2009

MENTERI PERTANIAN,

ANTON APRIYANTONODiundangkan di Jakartapada tanggal 27 Mei 2009

MENTERI HUKUM DAN HAMREPUBLIK INDONESIA,

ANDI MATTALATTA

~ 636 ~

Page 129: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 27/permentan/PP.340/5/2009TANGGAL : 18 Mei 2009

JENIS PANGAN SEGAR ASAL TUMBUHAN (PSAT) YANG DIIMPOR DANBATAS MAKSIMUM RESIDU PESTISIDA

No. Jenis PSAT Jenis PestisidaBMR

(mg/kg)A. BUAH1 Aprikot Bitertanol

FenbukonazolFlusilasolImidaklopridKarbarilKarbendazim

10.50.50.5102

2 a. Black Current Amonium glufosinatAzosikoltinDiazinonDiklofluanidKlofentezinKlorotalonilMiklobutanilPermentrinTolifluanidTriforinVinklozolinQuinoxyfen

0.50.10.2150.0550.520.5151

b. Red Currant Amonium glufosinatAzosiklotinDiazinon DiklofluanidHeksitiazoksKlofentezinKlorotalonilPermentrinTolifluanidTriforinVinklozolin

0.50.10.2150.20.05520.515

3 Blackkberry DiazinonIprodionPermentrinTolifluanidVinklozolin

0.130155

4 Blueberry EtefonMetil AzinfosTebufenosidaTriforinVinklozolin

205315

5 Boysenberry Diazinon 0.16 Kismis Fenbutatin oksida 207 Ceri Amitraz

BitertanolDiazinonDikofolDimetoatDitianonDodin

0.511525

~ 637 ~

Page 130: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

No. Jenis PSAT Jenis PestisidaBMR

(mg/kg)EndosulfanEtefonFenarimolFenbukonazolFenbutatin oksidaFentionFenvaleratHeksitiazoksIprodionKarbarilKlorotalonilMetidationMetil azinfosPromisidonQuinoxyfenSipermetrinTebukonazolTriforinVinklozolin

210111022110100.50.22100.41525

8 Cranberry KlorotalonilMetil azinfosTebukonazolAsefatImidaklopridDiazinon

50.10.50.50.050.2

9 Dewberry PermentrinVinklozolin

15

10 Goodeberry DiklofluanidPermentrinTriforinVinklozolin

7215

11 Kiwi DiazinonFenvaleratIprodionPermentrinTebufenosidaThiakloprid

0.25520.50.2

12 Peach AmitrazBitertanolDiazinonDiklofluanidDikloranDikofolDinokapDodinFenarimolFenbukonazolFenbutatin oksidaFenvaleratFlusilasolHeksitiazoksImidaklopridIprodionKarbarilKarbendazimKlorotalonil

0.510.25750.150.50.5750.510.5101020.2

~ 638 ~

Page 131: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

No. Jenis PSAT Jenis PestisidaBMR

(mg/kg)MetidationMetil klorpirifosMetil parationMetil azinfosMetomilPenkonazolProsimidonSipermetrinTebufenosidaTebukonazolTriforinVinklozolin

0.20.50.320.20.1220.5155

13 Persimmon Endosulfan 214 Pir Abamektin

AzosiklotinBifentrinDifenilaminDiflubenzuronDiklofuanidDimetoatEtosikuinHeksitiazoksImidaklopridKarbarilMetidationMetomilMetil azinfos2-penilpenolProsimidonSiheksatin

0.020.20.5555130.51510.322012

15 Plum BitertanolBromopropilatDiazinonDikofolFenbutatin oksidaHeksitiazoksImidaklopridKarbendazimMetidationMetil azinfosMetomilMiklobutanilProsimidonSipermetrinTeflubenzuronTriforin

221130.20.20.50.2210.2210.12

16 Prunes DiazinonDikofolFenbutatin oksidaIon bromidaMiklobutanil

2310200.5

B. SEREALIA1 Barley Aldikarb

BifentrinBitertanolDikuat

0.020.050.055

~ 639 ~

Page 132: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

No. Jenis PSAT Jenis PestisidaBMR

(mg/kg)DimetoatDisulfotonEtefonFenbukonazolFipronilFlusilasolIprodionKarbendazimKlormekuatKlorotalonilLindanMetil-kresoksimMetiokarbMetomilQuintozinQuinoxyfenSipermetrinTebukonazol

20.210.20.0020.120.520.10.010.10.0520.010.010.50.2

2 Gandum AldikarbBifentrinBioresmetrinBitertanolKlordan2,4-DDikuatDimetoatDisulfotonEtefonFenbukonazolFipronilFlusilasolImazalilKarbarilKarbendazimKlormekuatKlorotalonilLindanMetiokarbMetil-kresoksimMetil klorpirifosMetomilQuintozinQuinoxyfenSipermetrinTebukonazolThiakkloprid

0.020.510.050.02220.050.210.10.0020.10.0120.0530.10.010.050.051020.010.010.20.050.1

~ 640 ~

Page 133: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

No. Jenis PSAT Jenis PestisidaBMR

(mg/kg)3 Oats Bitertanol

KhlormequatDiquatDisulfotonFipronilKlordanLindanMetomilTebukonazol

0.051020.020.0020.020.010.020.05

MENTERI PERTANIAN,

ANTON APRIANTONO

~ 641 ~

Page 134: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

LAMPIRAN II PERATURAN MENTERI PERTANIANNOMOR : 27/permentan/PP.340/5/2009TANGGAL : 18 Mei 2009

JENIS PSAT DAN BATAS MAKSIMUM CEMARAN

I. Batas Maksimum Residu Pestisida

No. Jenis PSAT Jenis PestisidaBMR

(MG/KG)

A. BUAH1 Apel Abamektin

Metil azinfosAzosiklotinBoscalidKarbarilMetil klorpirifosSiflutrinSiheksatinDeltametrinDifenilaminDiflubenzuronDiklofluanidDinokapEtefonFenamifosHeksitiazoksImidaklopridMetidationOksamilMetil parationProargitTriforin

0.022

0.225

0.50.52

0.21055

0.25

0.050.50.50.52

0.232

2 Anggur AldikarbAzosiklotinAmitrolBenalaksilBromopropilatBoscalidKarbarilKlofentezinKlorotalonilMetil klorpirifosSiklosidimSeheksatinDeltametrinDiklofluanidDikloranDikofolDinokapDitianonEfetonFenarimolFenbukonazolFenbutatin oxidaFenpropatrinFlusilazolHaloksifop

0.20.3

0.050.22551

0.50.20.50.20.21575

0.531

0.3155

0.50.05

~ 642 ~

Page 135: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

Heksitiazoks 1

No. Jenis PSAT Jenis PestisidaBMR

(MG/KG)ImidaklopridIprodionMetil kresoksimMetalaksilMetidationMiklobutanilMetomilPenkonazolPermetrinPropargitProsimidonMetil parationQuinoxyfenTebufenosidaTebukonazolTolofluanidVinklozolin

11011115

0.2275

0.522235

3 Jeruka. Citrus Fruit Abamektil

AldikarbAldrin & Dieldrin2.4.DBromopropilatIon bromidaSiheksatinSipermetrinKlofentezinKarbarilDikofolDimetoatDeltametrinDiflubenzuronFenbutatin oxidaFenvaleratFentionAmonium glufosinatHeksitiazoksHaloksifobHeptaklorImidaklopridImazalilMetomilMetaksilOksamil2-penilpenolPiperonil butoksidaPiretrinPropargitPermetrinPiriproksifenTebufenosidaTiabendazol

0.010.2

0.0512

3022

0.5755

0.020.5522

0.10.5

0.050.01

15155

105

0.053

0.50.52

10b.Oranges,Sweet,Sour Amitraz

BuprofezinMetil klorpirifos

0.50.50.5

~ 643 ~

Page 136: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

Metil kresoksim 0.5

No. Jenis PSAT Jenis PestisidaBMR

(MG/KG)Metidation 2

c. Orenge, Sweet Befentrin 0.054 Lengkeng Metil azinfos

Klordan1

0.02B. SAYURAN1 Kentang 2.4.D

AbamektilMetil azinfosBenalaksilBefentrinKadusafosKlorotalonilKloroprofamKlethodimSiklosidimSihalotrinDeltrametrinDiazinonDiklofluanidDimetoatDikuatEndosulfanEtofenproksFipronilAmonium glufosinatImazalilImidaklopridMaleic HydrazideMetaklaksilMetidationMetiokarbMetomilOksamilMetil parationPermentrinProfenofosPropamokarbPropragitTecnazeneTeflubenzuronTiabendazolThiaklopridMetil klorpirifosTriazofosVinklozolin

0.20.010.050.020.050.020.2300.52

0.020.010.010.1

0.050.050.050.010.020.55

0.550

0.050.020.050.020.1

0.050.050.050.3

0.0320

0.0515

0.020.2

0.050.1

2 Kubis Ion bromidaKlorotalonilMetil klorpirifosSihalotrinDiazinonFenamifosFenvaleratFipronilImidaklopridMetaklaksil

1001

0.10.20.5

0.053

0.020.50.5

~ 644 ~

Page 137: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

Metidation 0.1

No. Jenis PSAT Jenis PestisidaBMR

(MG/KG)MetiokarbMetomilMevinnfosMetil parationPermentrinProsimidonProfenofosQuintozinTebufenosidaTeflubenzuronTriazofosVinklozolin

0.15

0.050.05

521

0.15

0.20.10.1

3 Mentimun AbamektilAmitrazMetil azinfosBenalaksilBitertanolIon bromidaBromopropilatBuprofezinKarbendazimKlorotalonilKlofentezinSipermetrinCyromazineDiazinonDiklofluanidDikofolEndosulfanFenbukonazolFenbutatin oxidaFenvaleratHeksitiazoksImazalilImidaklopridIprodionMetil kresoksimMetaklaksilMetidationMetomilOksamilPenkonazolPermentrinProsimidonTebukonazolThiaclopridTolifluanidVinklozolin

0.010.50.2

0.050.51000.51

0.0551

0.20.20.15

0.51

0.20.50.20.10.512

0.050.5

0.050.22

0.10.52

0.20.311

4 Cabai merah besar KarbendazimProfenofosQuinoxifen

25

105 Paprika Abamektil

Metil azinfosBenalaksilIon bromida

0.021

0.0520

~ 645 ~

Page 138: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

Karbaril 5

No. Jenis PSAT Jenis PestisidaBMR

(MG/KG)KlorotalonilSiflutrinDiazinonFenarimolFenpropatrinFenvaleratMetiokrabOksamilProfenofosPropamokarbQuintozinTebukonazolThiaclopridTolifluanidVinklozolin

70.2

0.050.51

0.522

0.53

0.050.5123

6 Lobak Ion bromidaMetil azinfosDeltrametrinDiazinonMetidationPropamokarbMetil tolklofos

2000.1

0.010.1

0.051

0.17 Wortel Karbaril

KarbendazimKlorotalonilSiklosidimDdtDeltrametrinDiazinonDikloranAmonium glufosinatIprodioMetaklaksilOksamilPermentrinTriazofos

0.50.21

0.50.2

0.020.515

0.0510

0.050.10.10.5

8 Bawang Merah Meleic Hydrazide 159 Bawang Putih Klethodim

Meleic Hydrazide0.515

10 Bawang Bombay AldikarbBenalaksilKlorotalonilKlethodimSipermetrinDeltrametrinDiazinonDiklofluanidDikloranAmonium glufosinatImidaklopridIprodionMeleic HydrazideMetaklaksilMetidationMetiokrab

0.10.20.50.50.1

0.050.050.10.2

0.050.10.2152

0.10.5

~ 646 ~

Page 139: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

Metomil 0.2

No. Jenis PSAT Jenis PestisidaBMR

(MG/KG)ProsimidonTriazofosVinklozolin

0.20.05

1C SEREALIA1 Padi Metil klorpirifos

DiflubenzuronDikuatFipronilThiacloprid

0.10.0110

0.010.02

2 Jagung 2.4.DAldikarbBifentrinKarbarilKlordanSiflutrinSipermetrinDiazinonDikuatDisulfotonFipronilAmonium glufosinatLindanMetidationMetiokrabMetomilPropargitQuintozin

0.050.050.050.020.020.050.050.020.050.020.010.1

0.010.1

0.050.020.1

0.013 Rye 2.4.D

BitertanolKarbendazimKlordanKlomerkuatEfetonFenbukonazolFipronilFlusilasolMetil kresoksimLindanTebukonazol

20.050.050.02

31

0.10.0020.1

0.050.010.05

4 Shorgum 2.4.DAldikarbKlordanMetil klorpirifosDikuatLindanMetidation

0.010.1

0.02102

0.010.2

D KACANG-KACANGAN1 KacangTtanah Aldikarb

KarbendazimKlorotalonilKlethodimSipermetrinDisulfotonFenamifosMetalaksil

0.020.1

0.055

0.050.1

0.050.1

~ 647 ~

Page 140: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

Oksamil 0.05

No. Jenis PSAT Jenis PestisidaBMR

(MG/KG)PermentrinPropargitPiretrinsQuintozinTebukonazol

0.10.10.50.5

0.05

II.Batas Maksimum Cemaran Mikotoksin

No. Jenis PSAT Jenis MikotoksinBM Cemaran

(mg/kg)1 Kacang Tanah Aflatoksin Total 15

III. Batas Maksimum Cemaran Logam Berat

No. Jenis PSAT Jenis Logam BeratBM Cemaran

(mg/kg)1 Kentang Cadmiumm 0.12 Kubis Cadmiumm

Timbal0.050.3

3 Mentimun CadmiummTimbal

0.050.1

4 a. Cabai Merah Besarb. Paprika

CadmiummTimbal

0.050.1

5 Umbi Lapisa. Bawang Merahb.Bawang Putihc. Bawang Bombay

CadmiummTimbal

0.050.1

6 Sayur akar dan umbia.Lobakb.Wortel

CadmiummTimbal

0.10.1

7 Buah Jeruk Timbal 0.1

MENTERI PERTANIAN

ANTON APRIYANTONO

~ 648 ~

Page 141: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

LAMPIRAN III PERATURAN MENTERI PERTANIANNOMOR : 27/permentan/PP0340/5/2009TANGGAL : 18 Mei 2009

SYARAT DAN TATA CARA PENGAJUAN PERMOHONAN PENGAKUAN SISTEM PENGAWASAN KEAMANAN PSAT DI SUATU NEGARA

A. PERSYARATANPersyaratan permohonan pengakuan sistem pengawasan keamanan PSAT di suatu negara:a. Permohonan diajukan oleh otoritas kompeten keaman pangan negara asal;b. Otoritas kompeten dan pihak terkait di negara asal bersedia secara sukarela

menyediakan/menyampaikan informasi sistem pengawasan keaman PSAT di negara asal sebagaimana dimaksud pada hufuf a;

c. Mengikuti tata cara pengajuan permohonan sebagaimana diuraikan pada lampiran ini.

B. TATA CARADalam mempersiapkan dan melaksanakan proses penetapan pengakuan terhadap sistem pengawasan keaman pangan negar asal, Badan Karantina Pertanian harus mengikuti tahapan kegiatan sebagai berikut:1. Berkoordinasi/bekerjasama dengan instansi terkait.2. Membentuk Tim Pengkajian Sistem Pengawasan Keamana PSAT3. Proses penetapan pengakuan dapat dilakukan apabila ada permohonan dari otoritas kompeten

Keaman pangan negara asal kepada Badan Karantina Pertanian.4. Pengakuan di berikan apabila sistem pengawasan keamanan pangan negara asal mencapi tingkat

perlindungan keamanan pangan yang memadai (appropriate level of protection/ALOP)5. Ruang lingkup kegiatan proses pemberian pengakuan:

a. mempertimbangkan,mengkaji,dan memverifikasi ruang lingkup kesepakatan, antara lain jenis b. merumuskan prosedur pemberian pengakuan;c. merumuskan prosedur pengkajian dan verifikasi terhadap sistem pengawasan keamanan pangan

negara asal;d. memberikan/menolak pengakuan terhadap sistem pengawasan keamanan pangan negara asale. melakukan monitoring/surveilan terhadap pemasukan PSAT di tempat pemasukan untuk menilai

tingkat kesesuaian batas maksimum residu pestisida,cemaran mikotoksin,dan/atau logam berat

C. RUANG LINGKUP PENGAKUAN1. Jenis komoditas yang dapat memperoleh pengakuan antara lain:

a. Buah : aprikot, black current, red current, blackberry, blueberry, boysenberry, kismis, ceri,cranberry, dewberry, gooseberry, kiwi, peach, persimon, pear, plum, dan prunes;

b. Serealia: barley, gandum, oats.2. Penerapan praktek budidaya yang baik (GAP) di negara asal.3. Penerapan praktek penanganan/pengemasan yang baik (GHP) di negara asal.4. Pengkajian dan verifikasi terhadap GAP, GHP, sistem monitoring/surveilan, dan sistem sertifikasi

keamanan PSAT.5. Pengakuan terhadap komoditas yang mengikuti sistem pengawasan keamanan PSAT suatu negara

D. PROSEDUR PEMBERIAN PENGAKUAN 1. Otoritas kompeten keamanan pangan negara asal mengajukan permohonan kepada Badan Karantina

Pertanian.2 Permohonan dilampirkan informasi mengenai :

a. sistem pengawasan keamanan PSAT di negara asal yang dimohonkan untuk mendapat pengakuan; b. daftar peraturan perundang-undangan terkait keamanan pangan segar negara asal serta

dokumennya; c. daftar tempat produksi yang menerapkan GAP dan GHP; d. penerapan sistem pengawasan keamanan PSAT di negara asal; e. sistem (prosedur, perencanaan, pelaksanaan) dan data hasil monitoring /surveilan terhadap

cemaran kimia; f. daftar laboraturium penguji keamanan pangan (pengujian cemaran kimia : residu

pestisida,mikotoksin, dan logam berat); g. daftar lembaga sertifikasi produk;

~ 649 ~

Page 142: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

h. daftar produsen/ekspor; i. hasil uji laboraturium cemaran kimia pada PSAT; J. kelembagaan pemerintah ( otoritas kompeten dan regulatory body); k. bangan alur ekspor PSAT; dan l. daftar tempat pengiriman.

3. Tim Pengkaji Sistem Pengawasan Keamanan PSAT melakukan pengkajian terhadap informasi sistem keamanan pangan negara asal sebagaimana diuraikan pada angka 2.

4. Apabila berdasarkan hasil pengkajian, sistem pengawasan keamanan PSAT negara asal memenuhi persyaratan keamanan pangan Indonesia, maka sistem pengawasan keamanan PSAT negara asal dapat diberikan pengakuan.

5. Apabila berdasarkan hasil pengkajian ditemukan adanya keraguan terhadap kesesuaian dan kebenaran informasi yang telah disampaikan, maka Badan Karantina Pertanian berkoordinasi dengan instansi terkait melakukan verifikasi terhadap sistem pengawasan keamanan PSAT di negara asal.

E. PROSEDUR UNTUK MELAKUKAN PENGKAJIAN DAN VERIFIKASI TERHADAP SISTEM PENGAWASAN KEAMANAN PSAT NEGARA ASALPengkajian dan verifikasi dilakukan oleh Tim Pengkajian dan Verifikasi yang ditunjuk oleh Kepala Badan Karantina Pertanian. Sasaran pengkajian dan verifikasi adalah mengkaji dan memverifikasi sistem pengawasan keamanan PSAT di negara asal. Tim pengkajian dan verifikasi dalam melaksanakan tugasnya bertanggung jawab kepada Kepala Badan Karantina Pertanian.1. Persiapan

1.1. Tim Pengkajian dan Verifikasi menyiapkan hal-hal sebagai berikut:a. ruang lingkup pengkajian (informasi dan dokumen permohonan);b. ruang lingkup verifikasi (jenis komoditas, sistem pengawasan keamanan PSAT negara asal);c. tanggal dan waktu pelaksanaan pengkajian;d. jadwal kunjungan verifikasi termasuk pertemuan dengan para pihak terkait.e. rencana kerja(termasuk verifikasi secara random);f. identitas tim (naman dan instansi asal);

1.2. Rencana ini harus dibahas terlebih dahulu dengan perwakilan negara asal dan. Apabila perlu, dengan otoritas kompeten keamanan pangan negara asal.

2. Pertemuan 2.1. Persiapan verifikasi diawali dengan pertemuan dengan perwakilan negara asal di indonesia untuk

mengharmoniskan jadwal dan menjelaskan rencana kerja serta sasaran dalam pelaksanaan verifikasi.

2.2. Tim verifikasi mengadakan pertemuan dengan para pihak yang terkait dalam sistem pengawasan keamanan PSAT di negara asal untuk memoeroleh keterangan yang otentik dan kebenaran informasi tentang pelaksanaan sistem tersebut.

3. Verifikasi Verifikasi terdiri atas pengkajian dokumen dan verifikasi di lapangan. 3.1. Pengkajian dokumen

Pengkajian dokumen terdiri atas pengkajian terhadap sistem pemerikasaan dan sertifikasi dengan penekanan pada penerapan unsur-unsur sistem tersebut untuk komoditas sasaran. Berdasarkan hasil pengkajian tersebut, tim pengkaji dan mencocokan kesesuaian arsip-arsip dokumen dan sertifikasi.

3.2. Verifikasi Lapangan a. Keputusan untuk melaksanakan verifikasi tidak dilakukan secara otomatis, tetapi harus

didasrkan pada beberapa unsur antara lain kajian resiko keamanan pangan atas komoditas sasaran, riwayat pemenuhan persyaratan oleh produsen di negara asal, sistem pemeriksaan dan sertifikasi serta perubahannya, dan jenis-jenis pelatihan petugas.

b. Verifikasi lapangan meliputi mencocokkan kesesuaian antara peraturan dengan praktek-praktek pelaksanaannya dalam sistem pengawasan keamanan PSAT, disertai dengan meninjau kelayakan fasilitas pengemasan dan penanganan PSAT.

3.3. Verifikasi lanjutanVerifikasi lanjutan dapat dilakukan apabila ditemukan ketidaksesuaiaan pada pelaksanaan verifikasi terdahulu untuk mengetahui pelaksanaan tindak lanjut perbaikan atas penyimpangan/ ketidaksesuaian yang pernah ditemukan sebelumnya.

4. Dokumen Kerja 4.1. Verifikasi terhadap sistem pengawasan keamanan PSAT antara lain meliputi;

a. jenis PSAT yang dimasukan atau akan dimasukan untuk mendapatkan pengakuan; ~ 650 ~

Page 143: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

b. sistem pengawasan keamanan PSAT di tempat produksi atau di suatu negara yang dimohonkan untuk mendapatakan pengakuan;

c. daftar peraturan perundang-undangan terkait keamanan pangan segar negara asal beserta dokumennya;

d. daftar tempat produksi yang menerapakan GAP dan GHP;e. penerapan sistem pengawasan keamanan PSAT di negara asal;f. sistem (prosedur, perencanaan, peleksanaan) dan data hasil monotoring/surveilan terhadap

cemaran kimia;g. daftar laboraturium penguji keamanan pangan (pengujian cemaran kimia : residu pestisida,

mikotoksin, dan logam berat);h. daftar lembaga sertifikat produk;i. daftar produsen/eksportir;j. hasil uju laboraturium cemaran kimia pada PSAT ;k. kelembagaan pemerintah ( otoritas kompeten dan regulatory body);l. bangan alur ekspor PSAT; danm. daftar tempat pengiriman.

4.2. Hasil verifikasi dituangkan pada dokumen kerja yang mencatat tentang hasil verifikasi terhadap unsur-unsur sistem pengawasan keamanan PSAT, temuan sesuai dengan bukti-bukti otentik pada dokumentasi dan fakta di lapangan, serta kesimpulan.

5. Pertemuan PenutupPertemuan penutup harus dilaksanakan bersama para pihak terkait untuk memaparkan hasil verifikasi untuk mendapatkan pengakuan dari Badan Karantina Pertanian atau yang mendapat perhatian/perbaikan dari pihak terkait negara asal PSAT atau untuk mendapat kelengkapan lebih lanjut guna memenuhi ketentuan dalam penetapan pengakuan.

6. Frekuensi VerifikasiBadan Krantina Pertanian dapat melakukan verifikasi ulang terhadap sistem pengawasan keamanan PSAT yang telah diakui berdasarkan hasil monitoring/surveilan terhadap cemaran kimia pada PSAT yang diimpor atau berdasarkan kasus-kasus atau informasi adanya indikasi bahaya cemaran kimia pada PSAT dari negara asal.

F. FORMULIR PERMOHONAN PENGAKUAN

APPLICATION FOR RECOGNITION To: Agricultural Quarantine Agency of Indonesia (Food Safety Competent Authority at the Entry and Exit Points of Indonesia)

From: National Food Safety Competent Authority of………..(name of country)………………..

Herewith we would like to inform the details of the food safety control systems that we apply for recognition:

1. Namae of Produce(Common Name & Botanical Name)

2. Certification Bodies of Produce3. Testing Laboratiries and Their Competence4. Authorized Residue Survey Institution(s)5. Food safety control systems*)

a. GAPb. GHPc. Procedure of Monotoring and Surveillance (including sampling methods,scope,freguency,lab tes methods)d. Data of Monitoring and Surveillance - pesticide residu - mycotoxin - heavy metal (Pb,Cd)

~ 651 ~

Page 144: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

e. Procedure of Inspection and Certification (including sampling methods

6. Annex**) m List of Exit Points a. Food safety control system for fresh food of plant origin in country of origin

b. List of Regulations (Full Tex)c. List of Production

Sites/Processing/Handling Industries which Applying GAP/GHP

d. List of TestingLaboratoriese. Procedure of Monitoring and

Surveillancef. List of Certificaton Bodies of Produceg. List of Producers/Exportersh. Results of Laboratory Tests for

Chemical Contaminants in regards to monitoring/surveillance

i. Agency (Competent Authority,Regulatory Bodies, National Residue Survey, etc

j. Control and Monitoring Systems for Cmemical Contaminants

k. Procedure of inspection and certification

l. Flowchart of of Exported Fresh Food of Plant Origin

*) put on the box**) attach the complete document Applicant,

Signature & stamp

(….director of NFSCA…….)

MENTERI PERTANIAN ,

ANTON APRIYANTONO

~ 652 ~

Page 145: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

LAMPIRAN IV PERATURAN MENTERI PERTANIANNOMOR : 27/permentan/PP.340/5/2009TANGGAL : 18 Mei 2009

SYARAT DAN TATA GARA PERJANJIAN EKIVALENSI SISTEM PENGAWASAN KEAMANAN PSAT ANTARA NEGARA ASAL DAN NEGARA PENGIMPOR

A. PERSYARATAN Persyaratan perjanjian ekivalensi sistem pengawasan keamanan PSAT antara negara asal dan negara pengimpor :1. Inisiasi perjanjian ekivalensi dilakuan atas inisiatif dari negara asal atau negara pengimpor atau negara

kedua-duanya2. Otoritas Kompeten Keamana Pangan Kedua Negara bersedia menyiapkan/menyampaikan informasi,

memberikan kesempatan untuk dilakukan verifikasi tergadap sistem pengawasan keamanan PSAT;3. Mengikuti tata cara perjanjian ekivalensi sebagaimana diuraikan pada huruf B dalam lampiran ini.

B. TATA CARA Proses persiapan perjanjian ekivalensi sistem pengawasan keamanan PSAT sebagai berikut:1. Badan Karantina Pertanian berkoordinasi/kerjasama dengan instansi terkait dengan membentuk Tim

Pengkajian dan Verifikasi Sistem Pengawasan Keamanan PSAT.2. Badan Karantina Pertanian memberikan Kesempatan kepada Otoritas Kompeten Keamanan Pangan

negara asal PSAT untuk bekerjasama dalam mempersiapakan dan menindaklanjuti persyaratan pada huruf A angka 1 dan 2, serta proses konsultasi dan negosiasi ketentuan-ketentuan dalam sisten pengawasan keamanan PSAT

3. Hal-hal sebagaimana dimaksud pada huruf B angka 2 hendaknya dapat ditindaklanjuti oleh kedua negara secara efektif dalam waktu yang rasional.

4. Perjanjian ekivalensi dapat ditetapkan apabila kedua pihak secara objektif dapat saling menerima tindakan/ketentuan sanitari yang berbeda dalam sistem pengawasan keamanan PSAT masing-masing negara, namun mencapai tingkat perlindungan keamanan pangan yang memadai (appropiate level of protection/ALPO)

5. Penetapan perjanjian ekivanlensi terhadap tindakan/ketentuan sanitari dalam rangka pemeriksaan dan sertifikasi harus didasarkan pada penerapan prinsip-prinsip sebagai berikut:a. Kedua pihak mempunyai hak untuk menetapkan ALOP di negara masing-masing;b. Ketentuan sanitari dalam penetapan perjanjian ekivalensi tidak diskriminatif terhadap negara-

negara anggota WTO dan tidak menimbulkan hambatan terselubung terhadap perdagangan international;

c. Kedua pihak dapat mengakui terhadap tindakan/ketentuan sanitari yang berbeda namun mencapai tingkat perlindungan keamanan pangan yang memadai (appropriate level of protection/ALOP)

d. Negara asal bertanggungjawab untuk menunjukan secara objektif bahwa tindakan-tindakan sanitari yang diterapkanya mencapai ALOP negara pengimpor;

e. Atas permintaan negara asal atau negara pengimpor atau kedua-duanya dilakukan konsultasi dan negosiasi dengan tujuan untuk menentukan ekivalensi terhadap tindakan sanitari yang diterapkan oleh kedua negara dalam waktu yang rasional;

f. Penilaian dilakukan secara objektif terhadap tindakan sanitari yang dilakukan di kedua negara;g. Analisis resiko dalam menetapkan perjanjian ekivalensi, masing-masing negara harus konsiten

dalam menggunakan teknik dan metodologi yang diterima secara internasional;h. Dalam menentukan ekivalensi, negara pengimpor sesuai dengan pengetahuan dan pengalamannya

akan menelaah, mengkaji dan mengevaluasi sistem pemeriksaan dan sertifikasi PSAT di negara asal;

i. Negara asal harus memberikan akses, atas permintaan negara pengimpor untuk menelaah, mengkaji dan mengevaluasi sistem pemeriksaan dan sertifikasi PSATnya;

j. Penetapan perjanjian ekivalensi harus mempertimbangkan cara-cara untuk mempertahankan kesinambungan dalam pelaksanaanya;

k. Negara-negara yang mengadakan perjanjian harus menjamin transparansi dalam konsultasi dan negosiasi dalam penetapan perjanjian ekivalensi;

l. Perjanjian ekivalensi dapat dilakukan oleh dua negara atau lebih.

~ 653 ~

Page 146: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

C. RUANG LINGKUP PERJANJIAN EKIVALENSI1. Perjanjian ekivalensi sistem pengawasan keamanan PSAT antara lain meliputi: kerangka kerja,

peraturan perundangan, pengawasan dan prosedur, pelayanan pemeriksaan dan sertifikasi, penegakan peraturan perundangan, pelayanan laboraturium, tempat produksi/pengemasan, dan pertukaran informasi

2. Perjanjian ekivalensi harus mencakup tata cara peninjauan ulang dan penyempurnaan secara berkala untuk menyelesaikan perbedaan yang timbul dalam kerangka kerja perjanjian ekivalensi.

D. ISI PERJANJIAN EKIVALENSIPerjanjian ekivalensi sedapat mungkin berisi informasi mengenai hal-hal sebagai berikut:a. jenis perjanjian (bilateralatau multilateral);b. judul perjanjian;c. para pihak terkait perjanjian;d. tujuan perjanjian;e. ruang lingkup perjanjian;f. defenisi peristilahan;g. substansi kewajiban;h. otoritas kempeten yang bertanggung jawab atas perjanjian;i. temuan ekivalensi;j. ketentuan pengkajian/verifikasi;k. penggumpulan contoh;l. metodologi, analisis, dan metodologi lainnya;m. prosedur administratif;n. pertukaran informasi dan kerjasama;o. transparansi;p. notifikasi;q. penyelesaian perselisihan;r. pejabat penghubung;s. tanggal mulai berlaku;t. peninjauan kembali, modifikasi, dan pengakhiran; danu. tanda tangan.

E. PROSEDUR PENENTUAN EKIVALENSI1. Negara pengimpor harus menyediakan informasi secara rinci mengenai ketentuan sanitari yang

diberlakukannya, atas permintaan negara asal (pengekspor).2. Negara asal harus menelaah seluruh ketentuan sanitari yang diberlakukan negara pengimpor untuk

mengidentifikasi tindakan sanitari harus dilakukan dalam rangka perjanjian ekivalensi.3. Kedua negara harus melakukan pertukaran informasi, khususnya hal-hal yang diperlukan untuk

perjanjian ekivalensi.

F. KEPUTUSAN EKIVALENSI.1. Keputusan ekivalensi oleh negara pengimpor harus didasarkan pada proses analisis yang transparan,

objektif dan konsisten serta meliputi konsultasi dengan semua pihak yang terkait.2. Keputusan ekivalensi oleh negara pengimpor terhadap tindakan sanitari harus mempertimbangkan;

a. pengalaman, pengetahuan, dan keyakinan terhadap sistem pemeriksaan dan sertifikasi pangan negara asal;

b. data pendukung yang diserahkan oleh negara asal;c. analisis terhadap tindakan sanitari negara asal, dan pencapaian terhadap ALOP secara objektif;d. parameter tersebut harus dinyatakan sejauh memungkinkan secara kuantitatif;e. keragaman dan sumber ketidakpastian data yang lain;f. manfaat terhadap kesehatan manusia yang diharapkan dari suatu tindakan sanitari di negara

pengekspor yang teridentifikasi;g. ketentuan Codex yang terkait dengan keamanan pangan.

3. Negara-negara pengekspor dan pengimpor hendaknya segera memberitahukan adanya perubahan-perubahan dalam program dan saran yang dapat mempengaruhi keputusan ekivalensi.

~ 654 ~

Page 147: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

Prosedur penentuan dan keputusan ekivalensi pada dasarnya mengikiti pedoman CAC/GL 53-2003 dan CAC/GL 34-1999.

MENTERI PERTANIAN

ANTON APRIYANTONO.

~ 655 ~

Page 148: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

LAMPIRAN V PERATURAN MENTERI PERTANIANNOMOR : 27/permentan/PP.340/5/2009TANGGAL : 18 Mei 2009

SYARAT DAN TATA CARA PENGAJUANPERMOHONAN PENGAKUAN SISTEM PENGAWASAN KEAMAN PSAT

DI TEMPAT PRODUKSI

A. PERSYARATANPersyaratan permohonan pengakuan sistem pengawasan keamanan PSAT di tempat produksi:a. Permohonan diajukan oleh produsen PSAT negara asal atau melalui perwakilan/importir/kuasanya

yang ditunjukb. Otoritas kompeten dan pihak terkait (termasuk produsen dan pengemas) di negara asal bersedia secara

sukarela/atas permintaan menyediakan/menyampaikan informasi sistem pengawasan keamanan PSAT di negara asal sebagaimana dimaksud pada huruf a;

c. Mengikuti tata cara pengajuan permohonan sebagaimana diuraikan pada lampiran ini.

B. TATA CARADalam mempersiapkan dan melaksanakan proses penetapan pengakuan terhadap sistem pengawasan keamanan PAST di tempat produksi di negara asal, Badan Krantina Pertanian harus mengikuti tahapan kegiatan sebagai berikut:1. Berkoordinasi/bekerjasama dengan instansi terkait.2. Membentuk Tim Pengkajian Sistem Pengawasan Keamanan PSAT.3. Proses penetapan pengakuan dapat dilakukan apabila ada permohonan dari produsen negara asal secara

langsung atau melalui perwakilan/importir/kuasanya yang ditunjuk kepala Badan Karantina Pertanian.4. Pengakuan diberikan apabila sistem pengawasan keamanan pangan tempat produksi di negara asal

mencapai tingkat yang sama dengan tingkat perlindungan keamanan pangan yang memadai (appropriate level of protection/ALOP) Indonesia.

5. Ruang lingkup kegiatan proses pemberian pengakuan terhadap tempat produksi di negara asal, meliputi:a. mempertimbangkan, mengkaji dan memverifikasi ruang lingkup kesepakatan, antara lain jenis

komoditas, sistem pengawasan keamanan PSAT pada tempat produksi di negara asal;b. prosedur pengkajian dan verifikasi terhadap sistem pengawasan keamanan pangan tempat produksi

di negara asal;c. memberikan/menolak pengakuan terhadap sistem pengawasan keamanan pangan tempat produksi

di negaraasal;d. melakukan monitoring/surveilan terhadap pemasukan PSAT di tempat pemasukan untuk menilai

tingkat kesesuaian batas maksimum residu pestisida, cemaran mikotoksin, dan/ atau logam berat.

C. RUANG LINGKUP PENGAKUAN1. Jenis komoditas yang dapat memperoleh pengakuan antara lain:

a. Buah : aprikot, black current, red current, blackberry, blueberry, boysenberry, kismis, ceri, cranberry, dewberry, gooseberry, kiwi, peach, persimon, pear, plum, dan prunes;

b. Serealia: barley, gandum, oats.2. Penerapan praktek budidaya yang baik (GAP) di negara asal.3. Penerapan praktek penanganan/pengemasan yang baik (GHP) di negara asal.4. Pengkajian dan verifikasi terhadap GAP, GHP, sistem monitoring/surveilan, dan sistem sertifikasi

keamanan PSAT.5. Pengakuan terhadap komoditas yang mengikuti sistem pengawasan keamanan PSAT suatu negara

D. PROSEDUR PEMBERIAN PENGAKUAN 1. Otoritas kompeten keamanan pangan negara asal mengajukan permohonan kepada Badan Karantina

Pertanian.2. Permohonan dilampirkan informasi mengenai :

a. sistem pengawasan keamanan PSAT di negara asal yang dimohonkan untuk mendapat pengakuan;b. daftar peraturan perundang-undangan terkait keamanan pangan segar negara asal beserta

dokumennya;c. daftar tempat produksi yang menerapkan GAP dan GHP;d. penerapan sistem pengawasan keamanan PSAT di negara asal;

~ 656 ~

Page 149: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

e. sistem (prosedur, perencanaan, pelaksanaan) dan data hasil monitoring /surveilan terhadap cemaran kimia;

f. daftar laboraturium penguji keamanan pangan (pengujian cemaran kimia : residu pestisida,mikotoksin, dan logam berat);

g. daftar lembaga sertifikasi produk;h. daftar produsen/ekspor;i. hasil uji laboraturium cemaran kimia pada PSAT;J. kelembagaan pemerintah ( otoritas kompeten dan regulatory body);k. bangan alur ekspor PSAT; danl. daftar tempat pengiriman.

3. Tim Pengkaji Sistem Pengawasan Keamanan PSAT melakukan pengkajian terhadap informasi sistem keamanan pangan negara asal sebagaimana diuraikan pada angka 2.

4. Apabila berdasarkan hasil pengkajian, sistem pengawasan keamanan PSAT negara asal memenuhi persyaratan keamanan pangan Indonesia, maka sistem pengawasan keamanan PSAT negara asal dapat diberikan pengakuan.

5. Apabila berdasarkan hasil pengkajian ditemukan adanya keraguan terhadap kesesuaian dan kebenaran informasi yang telah disampaikan, maka Badan Karantina Pertanian berkoordinasi dengan instansi terkait melakukan verifikasi terhadap sistem pengawasan keamanan PSAT di negara asal.

E. PROSEDUR UNTUK MELAKUKAN PENGKAJIAN DAN VERIFIKASI TERHADAP SISTEM PENGAWASAN KEAMANAN PSAT NEGARA ASALPengkajian dan verifikasi dilakukan oleh Tim Pengkajian dan Verifikasi yang ditunjuk oleh Kepala Badan Karantina Pertanian. Sasaran pengkajian dan verifikasi adalah mengkaji dan memverifikasi sistem pengawasan keamanan PSAT di negara asal. Tim pengkajian dan verifikasi dalam melaksanakan tugasnya bertanggung jawab kepada Kepala Badan Karantina Pertanian.1. Persiapan

1.1. Tim Pengkajian dan Verifikasi menyiapkan hal-hal sebagai berikut:a. ruang lingkup pengkajian (informasi dan dokumen permohonan);b. ruang lingkup verifikasi (jenis komoditas, sistem pengawasan keamanan PSAT negara asal);c. tanggal dan waktu pelaksanaan pengkajian;d. jadwal kunjungan verifikasi termasuk pertemuan dengan para pihak terkait.e. rencana kerja(termasuk verifikasi secara random);f. identitas tim (naman dan instansi asal);

1.2. Rencana ini harus dibahas terlebih dahulu dengan perwakilan negara asal dan. Apabila perlu, dengan otoritas kompeten keamanan pangan negara asal.

2. Pertemuan 2.1 Persiapan verifikasi diawali dengan pertemuan dengan perwakilan negara asal di indonesia untuk

mengharmoniskan jadwal dan menjelaskan rencana kerja serta sasaran dalam pelaksanaan verifikasi.

2.2. Tim verifikasi mengadakan pertemuan dengan para pihak yang terkait dalam sistem pengawasan keamanan PSAT di negara asal untuk memoeroleh keterangan yang otentik dan kebenaran informasi tentang pelaksanaan sistem tersebut.

3. Verifikasi Verifikasi terdiri atas pengkajian dokumen dan verifikasi di lapangan.3.1. Pengkajian dokumen

Pengkajian dokumen terdiri atas pengkajian terhadap sistem pemerikasaan dan sertifikasi dengan penekanan pada penerapan unsur-unsur sistem tersebut untuk komoditas sasaran. Berdasarkan hasil pengkajian tersebut, tim pengkaji dan mencocokan kesesuaian arsip-arsip dokumen dan sertifikasi.

3.2. Verifikasi Lapangan a. Keputusan untuk melaksanakan verifikasi tidak dilakukan secara otomatis, tetapi harus

didasrkan pada beberapa unsur antara lain kajian resiko keamanan pangan atas komoditas sasaran, riwayat pemenuhan persyaratan oleh produsen di negara asal, sistem pemeriksaan dan sertifikasi serta perubahannya, dan jenis-jenis pelatihan petugas.

b. Verifikasi lapangan meliputi mencocokkan kesesuaian antara peraturan dengan praktek-praktek pelaksanaannya dalam sistem pengawasan keamanan PSAT, disertai dengan meninjau kelayakan fasilitas pengemasan dan penanganan PSAT.

3.3. Verifikasi lanjutan

~ 657 ~

Page 150: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

Verifikasi lanjutan dapat dilakukan apabila ditemukan ketidaksesuaiaan pada pelaksanaan verifikasi terdahulu untuk mengetahui pelaksanaan tindak lanjut perbaikan atas penyimpangan/ ketidaksesuaian yang pernah ditemukan sebelumnya.

4. Dokumen Kerja 4.1. Verifikasi terhadap sistem pengawasan keamanan PSAT antara lain meliputi;

a. jenis PSAT yang dimasukan atau akan dimasukan untuk mendapatkan pengakuan; b. sistem pengawasan keamanan PSAT di tempat produksi atau di suatu negara yang

dimohonkan untuk mendapatakan pengakuan;c. daftar peraturan perundang-undangan terkait keamanan pangan segar negara asal beserta

dokumennya;d. daftar tempat produksi yang menerapakan GAP dan GHP;e. penerapan sistem pengawasan keamanan PSAT di negara asal;f. sistem (prosedur, perencanaan, peleksanaan) dan data hasil monotoring/surveilan terhadap

cemaran kimia;g. daftar laboraturium penguji keamanan pangan (pengujian cemaran kimia : residu pestisida,

mikotoksin, dan logam berat);h. daftar lembaga sertifikat produk;i. daftar produsen/eksportir;j. hasil uju laboraturium cemaran kimia pada PSAT ;k. kelembagaan pemerintah ( otoritas kompeten dan regulatory body);l. bangan alur ekspor PSAT; danm. daftar tempat pengiriman.

4.2. Hasil verifikasi dituangkan pada dokumen kerja yang mencatat tentang hasil verifikasi terhadap unsur-unsur sistem pengawasan keamanan PSAT, temuan sesuai dengan bukti-bukti otentik pada dokumentasi dan fakta di lapangan, serta kesimpulan.

5. Pertemuan PenutupPertemuan penutup harus dilaksanakan bersama para pihak terkait untuk memaparkan hasil verifikasi untuk mendapatkan pengakuan dari Badan Karantina Pertanian atau yang mendapat perhatian/perbaikan dari pihak terkait negara asal PSAT atau untuk mendapat kelengkapan lebih lanjut guna memenuhi ketentuan dalam penetapan pengakuan.

6. Frekuensi VerifikasiBadan Krantina Pertanian dapat melakukan verifikasi ulang terhadap sistem pengawasan keamanan PSAT yang telah diakui berdasarkan hasil monitoring/surveilan terhadap cemaran kimia pada PSAT yang diimpor atau berdasarkan kasus-kasus atau informasi adanya indikasi bahaya cemaran kimia pada PSAT dari negara asal.

F. FORMULIR PERMOHONAN PENGAKUAN

APPLICATION FOR RECOGNITIONTo:Agricultural Quarantine Agency of Indonesia(Food Safety Competent Authority at the Entry and Exit Points of Indonesia)

From:National Food Safety Competent Authority of………..(name of country)………………..

Herewith we would like to inform the details of the food safety control systems that we apply for recognition:

1. Namae of Produce(Common Name & Botanical Name)

2. Certification Bodies of Produce3. Testing Laboratiries and Their Competence4. Authorized Residue Survey Institution(s)5. Food safety control systems*)

a. GAPb. GHPc. Procedure of Monotoring and Surveillance (including sampling methods,scope,freguency,lab

~ 658 ~

Page 151: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

tes methods)d. Data of Monitoring and Surveillance - pesticide residu - mycotoxin - heavy metal (Pb,Cd)e. Procedure of Inspection and Certification (including sampling methods

6. Annex**) a. Food safety control system for fresh food of plant origin in country of origin

b. List of Regulations (Full Tex)c.List of Production Sites/Processing/Handling Industries which Applying GAP/GHP

d. List of TestingLaboratoriese. Procedure of Monitoring and

Surveillancef. List of Certificaton Bodies of

Produceg. List of Producers/Exportersh. Results of Laboratory Tests for

Chemical Contaminants in regards to monitoring/surveillance

i. Agency (Competent Authority,Regulatory Bodies, National Residue Survey, etc

j. Control and Monitoring Systems for Cmemical Contaminants

k. Procedure of inspection and certification

l. Flowchart of of Exported Fresh Food of Plant Origin

m. List of Exit Points

*) put on the box**) attach the complete document Applicant,

Signature & stamp

(….director of NFSCA…….)

MENTERI PERTANIAN ,

ANTON APRIYANTONO

~ 659 ~

Page 152: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

LAMPIRAN VI PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 27permentan/PP.340/5/2009TANGGAL : 18 Mei 2009

KETERANGAN PSATUNTUK RENCANA PEMASUKAN (IMPOR) KOMODITAS

PANGAN SEGAR ASAL TUMBUHAN (PSAT)APPLICATION OF IMPORTED FRESH FOOD OF PLANT ORIGIN

A. Keterangan Pemohon/description of aplicant:

1. Nama/name : …………………………….2. Alamat/address : …………………………….3. Nomor telepon/phone number : …………………………….

B. Keterangan Komoditas/description of consignment:

1. Tanggal pengiriman.date of loading : …………………………....2. Tempat pengiriman/place of loading : …………………………….3. Tanggal pemasukan/date of deperture : …………………………….4. Tempat pemasukan/place of destination : …………………………….5. Jenis alat angkut dan identitasnya/: means of conveyance and idenification number : ……………………………..

C. Keterangan PSAT/description of the fresh food of plant origin:

1. Nama umum/name of produce :……………………………..2. Nama ilmiah/botanical name :…………………………….3. Jumlah/quantity declare :……………………………..4. Kode HS/HS Code :……………………………..5. Tempat produksi(penanganan)/ production site (handling site) :……………………………..6. Area produksi/production area :……………………………..7. Lembaga sertifikasi/ the certification body (optional) :…………………………….8. Negara asal atau negara pengirim/ coutry pf origin or country of export :…………………………….

D. Tujuan impor/import purpose :………………………………………………………..

E. Informasi lainnya/other information :………………………………………………….

Tempat/place :……………………. Tanggal/date :……………………..

Pemohon/applicant :

(…………………)

MENTERI PERTANIAN,

ANTON APRIYANTONO

~ 660 ~

Page 153: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

LAMPIRAN VII PERATURAN MENTERI PERTANIANNOMOR : 27permentan/PP.340/5/2009TANGGAL : 18 Mei 2009

LABORATORIUM PENGUJIAN KEAMANAN PSAT

No. Nama Laboratorium AlamtRunag LingkupLaboratorium

Penguji1. Balai pengujian Mutu dan Sertifikasi

Hasil Pertanian dan Hasil Hutan (BPMSHPHH)

Jl. Jambore No. 1 Cibubur Jakarta Timur Tlp. 021- 87752692

Residu Pestisida, Mikotoksin, Logam Berat

2. Balai Besar Pengembangan dan Pengendalaian Hasil Perikanan (BBPPHP), Departemen Kelautan dan Perikanan

Jl. Muara Baru – Penjaringan, Jakarta Tlp. 021 - 6695586

Logam Berat

3. Pusat Pengujian Obat & Makanan Nasional BPOM

Jl. Percetakan Negara No.23 Jakarta Pusat

Residu Pestisida, Mikotoksin, Logam Berat

4. Balai Pengujian Mutu Produk Tanaman,Ditjen Tanaman Pangan

Jl. AUP No.3 Pasar Minggu, Jakarta Selatan Tlp. 021 - 78835256

Residu Pestisida, Mikotoksin, Logam Berat

5 Instalasi Laboratorium Kimia Agro BPTPH Jawa Barat

Jl. Tangkuban Perahu KM 22 Cikole Lembang 40391 Tlp. 022 - 2784949

Residu Pestisida, Logam Berat

6. BPTPH Sumatera Utara. Jl. Jend. AH Nasution No. 4 Pangkalan Manshyur Medan Tlp/Fax: 061 – 7864604/061- 7864606

Residu Pestisida, Mikotoksin

7. BPTPH Sumatera Barat Jl. Raden Saleh No.2 Padang Tlp. 0751- 7054686-7055587 Fax. 0751- 7055587

Residu Pestisida, Mikotoksin

8 Balai Lab. Kesehatan Daerah Prov. Lampung

Jl. Samratulangi No. 103 Bandar Lampung Tlp. 0271 - 701455

Residu Pestisida, Mikotoksin

9. BPTPH Surabaya Jl. Pangesangan 2/58 Surabaya Tlp. 031 - 82829700000

Residu Pestisida, Mikotoksin

10. BBPOM Denpasar Jl. Cut Nyak Dien No. 5 Denpasar- Bali Tlp. 0361 - 225395

Residu Pestisida, Logam Berat

11. BPTPH Maros Jl. Dr. Sam Ratulangi No.69 Maros Tlp. 0411-371312/371593

Residu Pestisida

12. BBPOM Makasar Jl. Bajiminasa No.2 Tlp. 0411-871115-872021-879041

Logam Berat

~ 661 ~

Page 154: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN

NOMOR : 404/kpts/OT.210/6/2002

TENTANG

PEDOMAN PERIZINAN DAN PENDAFTARAN USAHA PETERNAKAN

MENTERI PERTANIAN,

Menimbang : a. bahwa dalam rangka untuk lebih mendorong pertumbuhan dan pengembangan usaha peternakan perlu diambil langkah-langkah untuk menciptakan iklim usaha yang lebih baik di bidang peternakan;

b. bahwa sejalan dengan pelaksanaan Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom, salah satu langkah menciptakan iklim usaha yang lebih baik adalah memberikan kemudahan dalam memperoleh izin usaha serta pendaftaran peternakan rakyat melalui mekanisme dan prosedur yang dapat menjamin kepastian berusaha;

c. bahwa Keputusan Menteri Pertanian Nomor 362/Kpts/TN.120/5/ 1990 dan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 1018/Kpts/ KP.430/12/98 yang mengatur mengenai Izin Usaha dan Pendaftaran Peternakan sudah tidak sesuai lagi dengan arah kebijaksanaan di bidang Otonomi Daerah ;

d. bahwa atas dasar hal-hal tersebut diatas perlu ditetapkan pedoman pemberian izin dan pendaftaran usaha peternakan dalam Keputusan Menteri Pertanian.

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Nomor 10 Tambahan Lembaran Negara Nomor 2824);

2. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);

3. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1977 tentang Penolakan, Pencegahan, Pemberantasan dan Pengobatan Penyakit Hewan;

4. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1977 tentang Usaha Peternakan;5. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1983 tentang Kesehatan Masyarakat

Veteriner;6. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai

Dampak Lingkungan;7. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah

dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952);

8. Keputusan Presiden Nomor 96 Tahun 2000 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup Bagi Penanaman Modal;

9. Keputusan Presiden Nomor 165 Tahun 2000 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Departemen sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 37 Tahun 2001;

10. Keputusan Presiden Nomor 177 Tahun 2000 tentang Susunan Organisasi dan Tata KerjaDepartemen sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 38 Tahun 2001;

11. Keputusan Presiden Nomor 38 Tahun 2001 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2001;

12. Keputusan Presiden Nomor 228/M Tahun 2001 tentang Susunan Kabinet Gotong Royong Tahun 2001-2004;

~ 662 ~

Page 155: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

13. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 362/Kpts/RC.220/6/1989 tentang Kriteria Jenis Kegiatan di Lingkungan Sektor Pertanian Yang Wajib Dilengkapi Dengan Penyajian Informasi Lingkungan (PIL) dan Penyajian Evaluasi Lingkungan (PEL);

14. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 01/Kpts/OT.210/1/2001 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen Pertanian sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 345.1/Kpts/OT.210/6/2001;

15. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 99/Kpts/OT.210/2/2001 tentang Kelengkapan Organisasi dan Tata Kerja Departemen Pertanian sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 392/Kpts/OT.210/7/2001;

Memperhatikan: Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 1984 tentang Pedoman Penyederhanaan dan Pengendalian Perizinan di Bidang Usaha;

M E M U T U S K A N:

Menetapkan :

KESATU : Keputusan Menteri Pertanian tentang Pedoman Perizinan dan Pendaftaran Usaha Peternakan seperti tercantum pada Lampiran Keputusan ini.

KEDUA : Pedoman Perizinan dan Pendaftaran Usaha Peternakan sebagaimana dimaksud dalam diktum KESATU merupakan pedomam bagi kabupaten/kota dalam mengatur perizinan dan pendaftaran usaha peternakan .

KETIGA : Dengan ditetapkannya Keputusan ini maka Keputusan Menteri Pertanian Nomor 362/Kpts/TN.120/5/1990 dan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 1018/Kpts/KP.430/12/1998 sepanjang yang mengatur mengenai pendelegasian kewenangan di bidang perizinan usaha peternakan dinyatakan tidak berlaku .

KEEMPAT : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal : 28 Juni 2002

MENTERI PERTANIAN

Prof. Dr. Ir. BUNGARAN SARAGIH, M.EcTembusan Keputusan ini disampaikan kepada Yth.1. Menteri Keuangan;2. Menteri perindustrian dan Perdagangan;3. Menteri Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial;4. Menteri Pendidikan Nasional;5. Pimpinan Unit Eselon I dilingkungan Departemen Pertanian;6. Para Gubernur Propinsi di Seluruh Indonesia;7. Para Kepala Dinas yang membidangi Peternakan di Propinsi Seluruh Indonesia;8. Para Bupati/Walikota di Seluruh Indonesia;9. Para Kepala Dinas yang membidangi Peternakan di Kabupaten/Kota Seluruh Indonesia.

~ 663 ~

Page 156: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

LAMPIRAN : KEPUTUSAN MENTERI PERTANIANNOMOR : 404/Kpts/OT.210/6/2002TANGGAL : 28 Juni 2002TENTANG : PEDOMAN PERIZINAN DAN PENDAFTARAN

USAHA PETERNAKAN

I. PENDAHULUAN

a. Latar BelakangSebagai upaya untuk mendorong pertumbuhan dan pengembangan usaha peternakan, pemerintah telah mengambil langkah-langkah melalui pemetaan dibidang penyederhanaan perizinan dan pendaftaran usaha peternakan, antara lain dengan ditetapkannya Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 362/Kpts/TN.120/5/1990 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pemberian Izin dan Pendaftaran Usaha Peternakan.

Dalam ketentuan tersebut telah ditetapkan pula mengenai kewenangan pemberian izin usaha peternakan berdasarkan skala usaha yang telah ditetapkan, namun dalam perkembangannya dan seiring dengan telah ditetapkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom, maka kewenangan pemberian izin usaha peternakan yang telah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000 merupakan kewenangan Kabupaten/Kota.

Pergeseran kewenangan dari Pemerintah kepada Daerah tersebut dalam upaya pelaksanaan Desentralisasi dalam hal ini dibidang perizinan perlu diikuti dengan penyempurnaan berbagai perangkat peraturan perundang-undangan.

Ketentuan dan tata cara pelaksanaan pemberian izin dan pendaftaran usaha peternakan sebagaimana diatur dalam SK. Menteri Pertanian Nomor 362/Kpts/TN.120/5/1990 dan SK.Menteri Pertanian Nomor 1018/Kpts/KP.430/12/1998 tidak sesuai lagi dengan Otonomi Daerah sehingga perlu diubah dan disempurnakan dengan menetapkan Pedoman Perizinan dan Pendaftaran Usaha Peternakan.

b. Maksud dan tujuanPedoman perizinan dan pendaftaran usaha peternakan ini dimaksudkan untuk memberikan pedoman bagi aparatur yang bertugas dibidang pelayanan perizinan, pembinaan dan pengawasan usaha peternakan di Kabupaten / Kota dengan tujuan untuk mempermudah dan memberikan kepastian usaha dibidang peternakan.

c. Ruang lingkupRuang lingkup pedoman perizinan dan pendaftaran usaha peternakan ini meliputi ketentuan mengenai persetujuan prinsip, permohonan izin usaha, izin perluasan usaha peternakan, pendaftaran izin usaha serta bimbingan dan pengawasannya.

d. PengertianDalam pedoman ini yang dimaksud dengan :1) Perusahaan peternakan adalah suatu usaha yang dijalankan secara teratur dan terus menerus pada

suatu tempat dan dalam jangka waktu tertentu untuk tujuan komersial yang meliputi kegiatan menghasilkan ternak (ternak bibit/ternak potong), telur, susu serta usaha penggemukan suatu jenis ternak termasuk mengumpulkan, mengedarkan dan memasarkannya yang untuk tiap jenis ternak jumlahnya melebihi jumlah yang ditetapkan untuk tiap jenis ternak pada peternakan rakyat.

2) Perusahaan di bidang Peternakan adalah suatu usaha yang dijalankan secara teratur dan terus menerus pada suatu tempat dan dalam jangka waktu tertentu untuk tujuan komersial yang meliputi perusahaan pemotongan, pabrik pakan dan perusahaan perdagangan sarana produksi peternakan.

3) Peternakan rakyat adalah usaha peternakan yang diselenggarakan sebagai usaha sampingan yang jumlah maksimum kegiatannya untuk tiap jenis ternak sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran 1 Keputusan ini.

~ 664 ~

Page 157: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

4) Budidaya adalah kegiatan untuk memproduksi hasil-hasil ternak dan hasil ikutannya bagi konsumen.

5) Pembibitan adalah kegiatan budidaya untuk menghasilkan bibit ternak untuk keperluan sendiri atau untuk diperjual-belikan..

6) Bibit ternak adalah semua ternak hasil proses penelitian dan pengkajian dan atau ternak yang memenuhi persyaratan tertentu untuk dikembangbiakkan dan atau untuk produksi.

7) Lokasi adalah tempat kegiatan peternakan beserta sarana pendukungnya dilahan tertentu yang tercantum dalam izin usaha peternakan.

8) Usaha Peternakan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh perorangan atau badan hukum yang melaksanakan kegiatan menghasilkan ternak (ternak bibit/potong), telor, susu serta usaha menggemukkan suatu ternak termasuk mengumpulkan, mengedarkan dan memasarkannya.

9) Persetujuan Prinsip adalah persetujuan tertulis yang diberikan oleh Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk olehnya terhadap suatu rencana untuk melakukan usaha peternakan dengan mencantumkan kewajiban yang harus dipenuhi sebagai syarat untuk dapat diberikannya izin usaha peternakan.

10) Izin usaha peternakan adalah izin tertulis yang diberikan oleh Bupati/ Walikota atau pejabat yang ditunjuk olehnya untuk memberikan hak untuk melakukan usaha peternakan.

11) Pendaftaran peternakan rakyat adalah pendaftaran peternakan rakyat yang dilakukan oleh Bupati/Walikota atau Kepala Dinas Peternakan yang membidangi fungsi peternakan.

12) Izin Perluasan adalah izin tertulis yang diberikan oleh Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk olehnya untuk memberikan hak melakukan penambahan jenis dan atau jumlah ternak dalam kegiatan usaha.

13) Perluasan adalah penambahan jenis dan atau jumlah ternak di atas yang telah diizinkan.

II. PEMBERIAN IZIN USAHA PETERNAKAN

Setiap Perusahaan Peternakan yang dalam skala usaha tertentu sebagaimana dimaksud pada lampiran 1 Keputusan ini wajib memenuhi ketentuan di bidang perizinan usaha yang meliputi :- Persetujuan Prinsip- Izin Usaha- Izin Perluasan Usaha Peternakan.

1. Persetujuan Prinsipa. Persetujuan Prinsip diberikan kepada pemohon izin usaha peternakan untuk dapat melakukan

kegiatan persiapan fisik dan administrasi termasuk perizinan terkait antara lain Izin Lokasi/HGU/sesuai dengan ketentuan yang berlaku, Izin Mendirikan Bangunan (IMB), Izin Tempat Usaha/HO, Izin Tenaga Kerja Asing, Izin Pemasangan Instalasi serta peralatan yang diperlukan, serta membuat Upaya Kelestarian Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UKL/UPL) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

b. Permohonan Persetujuan Prinsip disampaikan kepada Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk olehnya sesuai kewenangan dengan menggunakan Formulir Model IUPm-I.

c. Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk olehnya selambat-lambatnya dalam waktu 20 hari kerja atau jangka waktu yang ditetapkan Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk olehnya, sejak diterimanya permohonan secara lengkap yang dibuktikan dengan tanda terima telah memberikan persetujuan prinsip dengan menggunakan Formulir IUPm-I.1 atau menolaknya dengan Formulir Model IUPi-II.

d. Persetujuan Prinsip dapat diubah satu kali berdasarkan permohonan pihak pemohon dengan menggunakan Formulir Model IUPi I.1-2 serta mengukuti ketentuan pada huruf ”c” di atas.

e. Persetujuan atau penolakan permohonan terhadap Persetujuan Prinsip diberikan dengan menggunakan Formulir Model IUPi-I atau Model IUPi-II.

f. Persetujuan Prinsip berlaku selama jangka waktu 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang 1 kali selama satu tahun.

g. Dalam melaksanakan Persetujuan Prinsip, Perusahaan Peternakan wajib menyampaikan laporan kemajuan kegiatannya setiap 6 (enam) bulan sekali dengan menggunakan Formulir Model IUPm-III kepada Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk olehnya.

2. Pemberian izin usahaa. Setiap orang atau Badan Hukum yang melakukan kegiatan usaha peternakan wajib memiliki izin

usaha yang diberikan oleh Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk olehnya sesuai kewenangannya.

~ 665 ~

Page 158: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

b. Untuk memperoleh Izin Usaha Permohonan tersebut harus memperoleh Persetujuan Prinsip lebih dahulu.

c. Jangka waktu berlakunya izin usaha peternakan ditetapkan oleh Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk olehnya dan berlaku untuk seterusnya selama perusahaan peternakan yang bersangkutan melakukan kegiatan usahanya.

3. Permohonan Izin Usaha Peternakana. Izin usaha peternakan diberikan kepada Pemohon yang telah memiliki Persetujuan Prinsip dan

siap melakukan kegiatan produksi, termasuk untuk memasukkan ternak.b. Permohonan Izin Usaha Peternakan ditujukan kepada Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk

olehnya.c. Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk olehnya selambat-lambatnya dalam waktu 20 hari

kerja saat diterimanya permohonan izin dimaksud secara lengkap yang dibuktikan dengan tanda terima telah melakukan pemeriksaan kesiapan perusahaan untuk berproduksi sesuai dengan pedoman cara budidaya yang baik.

d. Dalam hal pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada huruf ”c” tidak dilaksanakan, pemohon yang bersangkutan dapat membuat surat pernyataan telah memenuhi pedoman cara budidaya yang baik dan telah siap melakukan kegiatan produksi kepada Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk olehnya.

e. Selambat-lambatnya 20 (dua puluh) hari kerja atau waktu yang ditetapkan Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk olehnya setelah dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada huruf ”c” atau pernyataan sebagaimana dimaksud dalam huruf ”d” yang dibuktikan dengan tanda terima, Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk olehnya mengeluarkan Izin Usaha Peternakan dengan menggunakan formulir Model IUPi-IV atau menundanya dengan menggunakan formulir Model IUPi-II;

f. Penundaan pemberian Izin Usaha Peternakan sebagaimana dimaksud dalam huruf ”e” dilakukan apabila pemohon belum memiliki/memenuhi salah satu syarat sebagai berikut :

a) Persetujuan Prinsip; dan ataub) Good Farming Practice; dan atauc) Upaya Kelestarian lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UKL-UPL).g. Terhadap penundaan sebagaimana dimaksud pada huruf ”f” Perusahaan Peternakan diberi

kesempatan untuk melengkapi persyaratan yang belum dipenuhi selambat-lambatnya dalam waktu 1 (satu) tahun atau waktu tertentu yang ditetapkan oleh Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk olehnya sejak menerima surat penundaan;

h. Apabila kesempatan untuk melengkapi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam huruf ”g” tidak dipenuhi maka permohonan Izin Usaha Peternakan ditolak dengan menggunakan formulir Model IUPi-II.

i. Apabila pemohon sudah melengkapi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam huruf ”h”, maka Izin Usaha Peternakan diberikan dengan menggunakan formulir model IUPi-IV.1.

j. Penolakan pemberian Izin Usaha Peternakan sebagaimana dimaksud dalam huruf ”h” dilakukan apabila lokasi kegiatan peternakan tidak sesuai dengan lokasi yang tercantum dalam Persetujuan Prinsip

k. Terhadap penolakan sebagaimana dimaksud pada huruf ”j” oleh Kepala Dinas Peternakan atau Kepala Dinas yang membidangi fungsi peternakan sesuai kewenangannya dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak menerima surat penolakan yang dibuktikan dengan tanda terima, pemohon dapat mengajukan permohonan banding kepada Bupati/walikota dengan tembusan kepada Kepala Dinas Peternakan atau Kepala Dinas yang membidangi fungsi peternakan.

III. IZIN PERLUASAN USAHA

a. Perusahaan Peternakan yang telah memiliki Izin Usaha Peternakan dapat melakukan perluasan kegiatan usahanya setelah memperoleh Izin Perluasan Usaha.

b. Tata cara permohonan dan pemberian izin Perluasan secara mutates mutandis berlaku ketentuan sebagaimana telah diatur dalam tata cara pemberian izin usaha peternakan.

c. Persetujuan perluasan tersebut pada huruf ”a” tidak diperlukan bagi Perusahaan Peternakan yang menambah jumlah ternak tidak melebihi 30% dari jumlah ternak yang diizinkan dalam Izin Usaha Peternakan.

~ 666 ~

Page 159: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

d. Dalam hal perluasan tersebut pada huruf ”b” disetujui, maka Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk olehnya sesuai kewenangannya mengeluarkan izin perluasan dengan menggunakan formulir model IUPi-IV.2.

IV. PENCABUTAN IZIN USAHA PETERNAKAN

1. Izin Usaha Peternakan dicabut apabila Perusahaan Peternakan :a. Tidak melakukan kegiatan peternakan secara nyata dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak

dikeluarkannya Izin Usaha Peternakan atau menghentikan kegiatannya selama 1(satu) tahun berturut-turut;

b. Melakukan pemindahan lokasi kegiatan peternakan tanpa persetujuan tertulis dari pemberi izin;c. Melakukan Perluasan tanpa memiliki Izin Perluasan dari pejabat yang berwenang pemberi izin; d. Tidak menyampaikan laporan kegiatan usaha peternakan 3 (tiga) kali berturut-turut;e. Memindah tangankan pemberian izin kepada pihak lain tanpa pemberitahuan terlebih dahulu

kepada pemberi izin;f. Diserahkan kembali oleh pemegang Izin kepada Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk

olehnya;g. Tidak melaksanakan pencegahan, pemberantasan penyakit hewan menular serta keselamatan kerja

sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.2. Tatacara Pencabutan Izin Usaha Peternakan tersebut adalah sebagai berikut :

a. Diberi peringatan secara tertulis dengan menggunakan formulir Model IUPi-V kepada yang bersangkutan sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut masing-masing dengan tenggang waktu 2 (dua) bulan;

b. Dibekukan kegiatan usahanya selama 6 (enam) bulan apabila peringatan tersebut pada huruf a tidak diindahkan dengan menggunakan formulir Model IUPi-VI ;

c. Pembekuan Izin Usaha Peternakan dapat dicairkan kembali apabila Perusahaan Peternakan dalam masa pembekuan telah melakukan kegiatan usahanya kembali dan atau melakukan segala ketentuan perizinan usaha ini;

d. Apabila batas waktu pembekuan izin usaha peternakan selama 6 (enam) bulan dilampaui, dan perusahaan peternakan tetap tidak melakukan kegiatan sesuai ketentuan dalam pemberian izin usaha menurut Keputusan ini maka izin usaha peternakan dicabut dengan menggunakan formulir Model IUPi-VII.

V. PENDAFTARAN PETERNAKAN RAKYAT.

a. Peternakan Rakyat sebagai usaha peternakan diselenggarakan sebagai usaha sampingan dengan jumlah maksimum usahanya untuk tiap jenis ternak adalah seperti tercantum pada lampiran-1 Keputusan ini.

b. Peternakan Rakyat tidak diwajibkam memiliki izin usaha peternakan.c. Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk olehnya melakukan pendaftaran peternakan rakyat

dengan menggunakan formulir pendaftaran, selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja, Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk olehnya telah mengeluarkan Tanda Pendaftaran Peternakan Rakyat dengan menggunakan Formulir IUPi-VIII. Dalam rangka Pendaftaran peternakan Rakyat Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk olehnya melakukan pembinaan terhadap peternak rakyat di daerahnya.

d. Tanda Pendaftaran Peternakan Rakyat memiliki kedudukan sederajat dengan izin usaha peternakan.

VI. KONTRIBUSI IZIN USAHA/TANDA DAFTAR

Untuk memperoleh izin usaha peternakan atau tanda pendaftaran peternakan rakyat dapat dikenakan retribusi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

VII. KEMITRAAN USAHA PETERNAKANa. Perusahaan peternakan dapat melakukan kemitraan usaha peternakan dengan perusahaan di bidang

peternakan atau peternakan rakyat.Perusahaan di bidang peternakan meliputi :1) Perusahaan Pemotongan hewan,babi dan atau ayam;2) Pabarik pakan;3) Perusahaan Perdagangan Sarana Produksi Peternakan;4) Perusahaan pembibitan

b. Kemitraan usaha dilakukan secara sukarela, saling membantu, saling memperkuat dan saling menguntungkan.

~ 667 ~

Page 160: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

c. Perusahaan peternakan berfungsi sebagai perusahaan inti sedangkan peternakan rakyat berfungsi sebagai plasma.

VIII. PENGAWASAN USAHA PETERNAKANa. Pengawasan terhadap pelaksanaan izin usaha peternakan dan pendaftaran Peternakan Rakyat

dilakukan oleh Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk olehnya;b. Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dapat dilakukan secara langsung atau tidak

langsung.c. Pengawasan langsung berupa kegiatan bimbingan dan pengawasan yang dilakukan di lokasi

kegiatan usaha peternakan; d. Pengawasan tidak langsung berupa penyampaian laporan kepada pemberi izin usaha oleh

perusahaan peternakan yang telah memiliki izin usaha secara tertulis kepada Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk olehnya di Kabupaten/Kota setempat;

e. Perusahaan yang telah memiliki izin usaha peternakan wajib menyampaikan laporan kepada Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk olehnya secara berkala setiap 6 (enam) bulan sekali mengenai kegiatan usahanya;

f. Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk olehnya menyampaikan laporan perkembangan kegiatan usaha peternakan di daerahnya setiap satu tahun sekali kepada menteri Pertanian melalui Direktur Jenderal Bina Produksi Peternakan dengan tembusan disampaikan kepada Gubernur Propinsi setempat.

IX. PENUTUP Pedoman ini disusun dengan harapan dapat dipakai sebagai acuan bagi Kabupaten/Kota dalam melaksanakan pelayanan usaha peternakan. Pedoman ini bersifat dinamis dengan demikian akan diubah/disempurnakan apabila diperlukan.

MENTERI PERTANIAN,

PROF.DR.IR. BUNGARAN SARAGIH, M.Ec.

~ 668 ~

Page 161: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

Lampiran 1. SURAT KEPUTUSAN MENTERI PERTANIANNOMOR : 404/Kpts/OT.210/6/2002TANGGAL : 28 Juni 2002

JENIS DAN JUMLAH TERNAK KEGIATAN BUDIDAYAPERUSAHAAN PETERNAKAN DAN PETERNAKAN RAKYAT

No JENIS TERNAK

SKALA USAHA PETERNAKANYANG WAJIB MEMPEROLEH

IZIN PERUSAHAAN PETERNAKAN

(Jumlah ternak lebih dari)

USAHA PETERNAKAN YANG TIDAK

MEMERLUKAN IZIN USAHA (PETERNAKAN

RAKYAT)(Jumlah ternak s/d)

1 2 3 4

1 Ayam Ras Petelur 10.000 ekor induk 10.000 ekor induk

2 Ayam Ras Pedaging 15.000 ekor prod/siklus 15.000 ekor prod/siklus

3 Itik, Angsa atau Entok 15.000 ekor campuran 15.000 ekor campuran

4 Kalkun 10.000 ekor campuran 10.000 ekor campuran

5 Burung Puyuh 25.000 ekor campuran 25.000 ekor campuran

6 Burung Dara 25.000 ekor campuran 25.000 ekor campuran

7 Kambing dan atau Domba 300 ekor campuran 300 ekor campuran

8 Babi 125 ekor campuran 125 ekor campuran

9 Sapi Potong 100 ekor campuran 100 ekor campuran

10 Sapi Perah 20 ekor campuran 20 ekor campuran

11 Kerbau 75 ekor campuran 75 ekor campuran

12 Kuda 50 ekor campuran 50 ekor campuran

13 Kelinci 1.500 ekor campuran 1.500 ekor campuran

14 Rusa 300 ekor campuran 300 ekor campuran

MENTERI PERTANIAN

ttd

PROF.DR.IR. BUNGARAN SARAGIH, M.Ec.

~ 669 ~

Page 162: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

Lampiran 2.SURAT KEPUTUSAN MENTERI PERTANIANNOMOR : 404/Kpts/OT.210/6/2002TANGGAL : 28 Juni 2002

FORMULIR PERIZINAN DAN PENDAFTARAN USAHA PETERNAKAN

No.

UrutNomor Kode Model Nama Formulir

1.2.3.4.

5.

6.7.

8.

9.10.

11.12.13.14.15.16.

IUPm-I

IUPm-II

IUPm-III

IUPi-I

IUPi-IIIUPi-IIIIUPi-IV

IUPi-VIUPi-VIIUPi-VIIIUPi-VIII

Permohonan :- Persetujuan Prinsip - Perubahan Persetujuan Prinsip - Izin Usaha Peternakan - Izin Perluasan Permohonan Pendaftaran Peternakan Rakyat

Laporan :- Kemajuan Pelaksanaan Persetujuan Prinsip - Kegiatan Pelaksanaan Peternakan

Persetujuan Prinsip Perubahan Persetujuan Prinsip Penolakan/PenundaanHasil PemeriksaanIzin Usaha Peternakan :- Baru - Perluasan PeringatanPembekuan/Pencairan Izin Usaha PeternakanPencabutan/Pencairan Izin Usaha PeternakanTanda Daftar Peternakan Rakyat

(1.1)(1.2)(1.3)(1.4)

(III.1)(III.2)

(1.1)(1.2)

(IV.1)(IV.2)

MENTERI PERTANIAN

ttd

PROF.DR.IR. BUNGARAN SARAGIH, M.Ec.

~ 670 ~

Page 163: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

Diisi oleh pemohon Model IUPm-I

Nomor : Lampiran : 1 (satu) eksemplarPerihal : Permohonan Persetujuan

Prinsip/Perubahan Per – Setujuan Prinsip/Izin

Kepada Yth.Bupati/Walikota atau Pejabat yang Membidangi Fungsi Peternakan di Usaha Peternakan/Izin Perluasan ke ….Kabupaten /Kota………….

Bersama ini kami :

1. Nama Perusahaan/Koperasi/Perorangan *) :

2. Akte Pendirian/LegalitasHukum (terlampir) *) :

3. Nomor Pokok Wajib Pajak(NPWP) terlampir :

4. Nama Pimpinan/PenanggungJawab :

5. Alamat kantor perusahaan : 6. Nomor kode Perusahaan (bila ada) :

Mengajukan permohonan untuk mendapatkan Persetujuan Prinsip/Perubahan Persetujuan Prinsip/Izin usaha Peternakan/Izin Perluasan ke……………………

Sebagai bahan petimbangan terlampir disampaikan data dan dokumen untuk melengkapi permohonan dimaksud.

Demikian disampaikan, atas persetujuannya diucapkan terima kasih.

Nama dan Tanda TanganPimpinan/Penanggung jawab

____________________

Tembusan disampaikan kepada Yth.Kepala Dinas yang membidangi fungsi Peternakan

*) coret yang tidak perlu.

~ 671 ~

Page 164: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

LAMPIRAN UNTUK PERMOHONANPERSETUJUAN PRINSIP (1.1)

I. RENCANA KEGIATAN

1. Kegiatan dan Jenis Ternak :2. Jumlah Ternak :

No. JENIS TERNAKJumlah Ternak

Dewasa (ekor) Campuran (ekor) Strain

1.

2.

3.

4.

3. Produksi- Sendiri :

a. Macam produksi :b. Produksi per tahun :a. Kapasitas produksi

Maksimal dicapai pada : tahun- Kemitraan Budidaya :

a. Macam produksi :b. Produksi / tahun :c. Kemitraan usaha Mulai :

4. Lokasi kegiatan- Sendiri

a. Desa/Kelurahan :b. Kecamatan :c. Kabupaten/Kota :d. Daerah :

- Kemitraan budidayaa. Desa/Kelurahan :b. Kecamatan :c. Kabupaten/Kota :d. Daerah :

5. Pemotongana. Rencana Pemotongan Hewan/

Unggas :b. Kapasitas pemotongan per tahun :

6. Luas Lahan : m2

7. Investasia. Modal sendiri : Rp.b. Modal pinjaman : Rp.

8. Tenaga Kerja : orang

~ 672 ~

Page 165: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

II. Izin Yang Sudah Dimiliki(lampirkan jika ada)

NO. URAIAN ADA TIDAK ADA1. Lokasi/HGU2. Tempat Usaha/HO3. UKL dan UPL4. Pemasangan instalasi dan peralatan (jika ada)5. Tenaga Kerja asing (jika ada)6. Pemasukan ternak (jika ada)

III. LAIN-LAIN

Nama dan Tanda tangan Pimpinan/Penanggung Jawab

……………………………….

~ 673 ~

Page 166: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

LAMPIRAN UNTUK PERMOHONANPERUBAHAN PERSETUJUAN PRINSIP (I.2)

I. PERUBAHAN YANG DIMOHON

NO. URAIAN SEMULA MENJADI

II. ALASAN PERUBAHAN(Sesuai dengan urutan uraian)

Nama dan Tanda tangan Pimpinan/Penanggung Jawab

……………………………….

~ 674 ~

Page 167: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

LAMPIRAN UNTUK PERMOHONANIZIN USAHA PETERNAKAN (1.3)

I. RENCANA KEGIATAN1. Kegiatan dan Jenis Ternak :2. Jumlah Ternak :

No. JENIS TERNAKJumlah Ternak

Dewasa (ekor) Campuran (ekor) Strain

1.

2.

3.

4.

3. Produksi- Sendiri :

a. Macam produksi :b. Produksi per tahun :c. Kapasitas produksi

Maksimal dicapai pada : tahun- Kemitraan Budidaya :

a. Macam produksi :b. Produksi / tahun :c. Kemitraan usaha Mulai :

4. Lokasi kegiatan- Sendiri

a. Desa/Kelurahan :b. Kecamatan :c. Kabupaten/Kota :d. Daerah :

- Kemitraan budidayaa. Desa/Kelurahan :b. Kecamatan :c. Kabupaten/Kota :d. Daerah :

5. Pemotongana. Pemotongan Hewan/ Unggas : Ada/Tidak adab. Kapasitas pemotongan per tahun : ekor

6. Luas Lahan : m2

Lay out penggunaan lahan : (dalam lampiran)

7. Investasi

a. Modal sendiri : Rp.b. Modal pinjaman : Rp.

8. Tenaga Kerja : orang

~ 675 ~

Page 168: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

II. Izin Yang Sudah Dimiliki(lampirkan jika ada)

NO. URAIAN NOMOR TANGGAL

1. Lokasi/HGU

2. Tempat Usaha/HO

3. UKL dan UPL

4. Pemasangan instalasi dan peralatan (jika ada)

5. Tenaga Kerja asing (jika ada)

6. Pemasukan ternak (jika ada)

7. Izin usaha peternakan (untuk perluasan/perubahan)

III. RENCANA TENAGA KERJA

No. Uraian Jumlah

1.

2.

Indonesia

- Teknis- Non Teknis

Jumlah

Asing

- Banyaknya- Keahlian

Orang

Orang

Orang

Orang

Orang

IV. RENCANA PEMASARAN

NO. TUJUAN VOLUME KETERANGAN

~ 676 ~

Page 169: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

IV. RENCANA PENGGUNAAN BAHAN, MESIN/PERALATAN DAN BANGUNAN

1.Bibit TernakNO. Jenis Asal Jumlah Waktu Pemasukan

/Peremajaan

2.Kebutuhan PakanNo. Jenis Bahan Pakan Jumlah Cara Pengadaan

3.Obat-obatanNo. Jenis Obat Jumlah Keterangan

4. Mesin dan PeralatanNo. Jenis Jumlah Kapasitas

~ 677 ~

Page 170: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

5. BANGUNAN

1. Kandang m2

2. Perumahan m2

3. Gudang m2

4. Lain-Lain m2

Jumlah

VI. RENCANA PENGELOLAAN DAN PEMANTAUAN LINGKUNGAN HIDUP

VII. LAIN-LAIN

Nama dan Tanda tanganPimpinan/Penanggung Jawab

……………………………….

~ 678 ~

Page 171: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

LAMPIRAN UNTUK PERMOHONANIZIN PERLUASAN (I.4)

I. RENCANA PERLUASAN YANG DIMOHON

NO. URAIAN SEMULA MENJADI1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

Kegiatan dan Jenis Ternak

Jumlah Ternak a. Dewasa (ekor)b. Campuran (ekor)c. Strain

Produksi- Sendiri :a. Macam produksib. Produksi per tahunc. Kapasitas produksi

Maksimal dicapai pada

- Kemitraan Budidaya a. Macam produksib. Produksi / tahunc. Kemitraan usaha Mulai

Lokasi kegiatan

- Sendiria. Desa/Kelurahanb. Kecamatanc. Kabupaten/Kotad. Daerah

- Kemitraan budidayaa. Desa/Kelurahanb. Kecamatanc. Kabupaten/Kotad. Daerah

Pemotongana. Pemotongan Hewan/ Unggas b.Kapasitas pemotongan /tahun/ekor

Luas LahanLay out penggunaan lahan

Investasi

a. Modal sendirib. Modal pinjaman

Tahun

Tahun

Ada/Tidak ada

Terlampir

Rp.Rp.

Tahun

Tahun

Ada/Tidak ada

Terlampir

Rp.Rp.

~ 679 ~

Page 172: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

II. Izin Yang Sudah Dimiliki(lampirkan jika ada)

NO. Uraian Nomor/Tanggal Keterangan

1. Lokasi/HGU

2. Tempat Usaha/HO

3. UKL dan UPL

4. Pemasangan instalasi dan peralatan (jika ada)

5. Tenaga Kerja asing (jika ada)

6. Pemasukan ternak (jika ada)

7. Izin usaha peternakan (untuk perluasan/perubahan)

III. RENCANA TENAGA KERJA

No. Uraian Jumlah

1.

2.

Indonesia

- Teknis- Non Teknis

Jumlah

Asing

- Banyaknya- Keahlian

Orang

Orang

Orang

OrangOrang

IV. RENCANA PEMASARAN

NO. TUJUAN VOLUME KETERANGAN

V. RENCANA PENGGUNAAN BAHAN, MESIN/PERALATAN DAN BANGUNAN

1.Bibit TernakNO. Jenis Asal Jumlah Waktu Pemasukan

/Peremajaan

~ 680 ~

Page 173: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

2.Kebutuhan PakanNo. Jenis Bahan Pakan Jumlah Cara Pengadaan

3.Obat-obatanNo. Jenis Obat Jumlah Keterangan

4. Mesin dan PeralatanNo. Jenis Jumlah Kapasitas

5. BANGUNAN1. Kandang m2

2. Perumahan m2

3. Gudang m2

4. Lain-Lain m2

Jumlah

VI. RENCANA PENGELOLAAN DAN PEMANTAUAN LINGKUNGAN HIDUP

~ 681 ~

Page 174: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

VII. RENCANA PENYELESAIAN PROYEK UNTUK PERLUASAN

1. Penyelesaian Rencana Proyek bl/thn :

2. Produksi komersial mulai bl/thn :

Nama dan Tanda tanganPimpinan/Penanggung Jawab

……………………………….

~ 682 ~

Page 175: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

Diisi oleh pemohon Model IUPm-II

PERMOHONAN PENDAFTARAN PETERNAKAN RAKYAT

1. Nama Pemohon :

2. Nama Usaha (kalau ada) :

3. Alamat :

3. Jenis Ternak :

5. Jumlah ternak :

No. JENIS TERNAKJumlah Ternak

Dewasa (ekor) Campuran (ekor) Strain

1.

2.

3.

4.

6. Produksia. Macam produksi :b. Jumlah Produksi per tahun :

7. Lokasi kegiatana. Desa/Kelurahan :b. Kecamatan :c. Kabupaten/Kota :d. Daerah :

8. Lahan dan kandanga. Luas lahan : m2

b. Luas kandang : m2

c. Pemilikan :- Lahan : Milik sendiri/sewa/lain-lainnya- Kandang : Milik sendiri/sewa/lain-lainnya

9. Jumlah Modal : Rp.

Demikian keterangan ini dibuat dengan sebenarnya

……………….,

Tanda Tangan atau Cap Jempol Pemohon

~ 683 ~

Page 176: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

*) coret yang tidak perlu.

Diisi oleh pemohon Model IUPm-III

Nomor :Lampiran : Perihal : Laporan Kemajuan / Kepada Yth.

KegiatanBupati/Walikota atau PejabatYang membidangi Fungsi Peternakan di Kabupaten /Kota…………..

Dengan ini kami :

1. Nama Perusahaan/Koperasi/Perorangan *) :

2. Nomor kode Perusahaan :

3. Nomor Persetujuan Prinsip :

4. Nama Izin Usaha Peternakan /Perluasan ke :

menyampaikan laporan kemajuan pelaksanaan persetujuan prinsip/kegiatan usaha peternakan untuk semester …………../ Tahun ……….

Demikian disampaikan untuk dapat dipergunakan seperlunya.

…………………., ………………….

Nama dan Tanda TanganPimpinan/Penanggung jawab

___________________

Tembusan disampaikan kepada Yth.Kepala Dinas yang membidangi fungsi Peternakan

*) coret yang tidak perlu.

~ 684 ~

Page 177: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

Diisi oleh Perusahaan

LAMPIRAN UNTUK LAPORAN

KEMAJUAN UNTUK PELAKSANAAN PERSETUJUAN PRINSIP (III.1)

Semester ……………/Tahun …………..

I. TAHAP PELAKSANAAN PEMBANGUNAN

1. Pengadaan sarana dan prasaranaa. Pengadaan lahan : m2 ( % dari rencana)b. Lay out penggunaan lahan : terlampirc. Bangunan perkandangan : % dari rencanad. Bangunan lain : % dari rencana

2. Pemasangan Instalasiperalatan dan mesin : % dari rencana

3. Pengurusan izin

NO. Uraian Selesai Dalam proses

1. Lokasi/HGU

2. Tempat Usaha/HO

3. UKL dan UPL

4. Pemasangan instalasi dan peralatan (jika ada)

5. Tenaga Kerja asing (jika ada)

6. Pemasukan ternak (jika ada)

II. MASALAH-MASALAH YANG DIHADAPI-

-

-

-

Nama dan Tanda TanganPimpinan/Penanggung jawab

~ 685 ~

Page 178: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

…………………………………Diisi oleh Perusahaan

LAMPIRAN UNTUK LAPORANKEGIATAN USAHA PETERNAKAN (III.2)

I. JUMLAH TERNAK *)

JENIS TERNAK DEWASA ANAK JUMLAH

JANTA BETINA JANTAN BETINA

II. REALISASI PRODUKSI

1. SendiriNO. JENIS PRODUKSI SATUAN RATA-RATA/BULAN

2. Kerjasama BudidayaNO. JENIS PRODUKSI SATUAN RATA-RATA/BULAN

III. PEMOTONGAN HEWAN/UNGGAS (Jika ada)

a. Pemotongan hewan/unggas : ada/tidak adab. Kapasitas pemotongan/tahun : ekor

~ 686 ~

Page 179: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

IV. LUAS LAHAN DAN BANGUNAN

URAIAN LUAS (HA)

1. Luas lahan yang tersedia2. Luas lahan yang sudah digunakan

a. Bangunan- Kandang- Bukan kandang

b. Pasture/Padang Penggembalaanc. Lain-lain

V. REALISASI INVESTASI

a. Modal sendiri : Rpb. Modal Pinjaman : Rp.

Jumlah : Rp.

VI. TENAGA KERJA

1. Tenaga Kerja Indonesia- Teknis- Non teknis

2. Tenaga Kerja Asing- Banyaknya- Keahlian

: Orang: Orang

: Orang: Orang

Jumlah : Orang

VII. PEMASARAN

NO. JENIS PRODUKSI SATUAN DLM.NEGERI EKSPOR NEG.TUJUAN

VIII. PENGGUNAAN BAHAN, MESIN/PERALATAN

1. Bibit/Ternak yang dimasukan

JENIS TERNAK ASAL DEWASA MUDA/ANAK JUMLAH

JANTAN BETINA JANATAN BETINA

~ 687 ~

Page 180: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

2. Penggunaan Pakan ternak/Hijauan dan Obat-obatanJENIS PAKAN/OBAT JUMLAH/TAHUN CARA PENGADAAN

3. Mesin dan PeralatanNO. JENIS KAPASITAS JUMLAH BEROPERASI/TDK

BEROPERASI

IX. USAHA PENGELOLAAN DAN PEMANTAUAN LINGKUNGAN YANG TELAH DILAKUKAN

X. UPAYA PENGAMANAN TERNAK DAN KEJADIAN PENYAKIT MENULAR YANGTELAH DILAKUKAN *)

~ 688 ~

Page 181: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

XI. LAIN-LAIN

Nama dan Tanda TanganPimpinan/Penanggung jawab

…………………………………

*) Saat laporan

~ 689 ~

Page 182: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

Diisi oleh Pejabat Unit kerja Model IUPi-I

DINAS PETERNAKAN ATAU KEPALA DINAS YANG MEMBIDANGI FUNGSI PETERNAKAN DI KABUPATEN/KOTA

Nomor :Lampiran :Perihal : Persetujuan Prinsip Kepada Yth.

Memperhatikan permohonan Saudara

Nomor :Tanggal :

Dan sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 404/Kpts/OT.210/6/2002 tanggal 28 Juni 2002 Tentang Pedoman Perizinan dan Pendaftaran Usaha Peternakan dengan ini diberikan Persetujuan Prinsip/Perubahan Persetujuan Prinsip **) dengan data seperti terlampir.

Persetujuan Prinsip ini berlaku selama 1 (satu) tahun sejak tanggal dikeluarkan dan merupakan dasar untuk memperoleh Izin Usaha Peternakan.

Demikian untuk dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.

Bupati/Walikota atau Kepala Dinas Peternakan/ Pejabat Yang membidangi Fungsi Peternakan

di ………………………….

……………………………

NIP.

*) sesuai dengan kewenangan masing-masing**) coret yang tidak perlu.

~ 690 ~

Page 183: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

Lampiran : Dinas Peternakan atau Dinas Yang membidangi Fungsi Peternakan di Kabupaten /Kota

Nomor : Tanggal :

PERSETUJUAN PRINSIP ( I.1 )

1. Nama Perusahaan/Koperasi/Perorangan *) :

2. Nomor Pokok Wajib Pajak(NPWP) terlampir :

3. Nama Pimpinan/Penanggung jawab :4. Kegiatan dan Jenis Ternak :5. Alamat kantor perusahaan :6. Lokasi kegiatan

- Sendiria. Desa/Kelurahan :b. Kecamatan :c. Kabupaten/Kota :d. Propinsi :

- Kerjasama budidayaa. Desa/Kelurahan :b. Kecamatan :c. Kabupaten/Kota :d. Propinsi :

7. Rencana Jumlah Ternak

No Jenis ternak

Jumlah Ternak

Dewasa (ekor)Campuran

(ekor)Strain

1.

2.

3.

4.

8. Produksi- Sendiri :

a. Macam produksi :b. Produksi per tahun :c. Kapasitas produksi

Maksimal dicapai pada : tahun ……….- Kemitraan Budidaya

a. Macam produksi :b. Produksi / tahun :c. Kerjasama budidaya

Mulai tahun :9. Rencana pemotongan

~ 691 ~

Page 184: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

Rencana pemotongan hewan/unggas : ada/tidak adaKapasitas pemotongan/tahun : ekor

10. Luas lahan : M211. Rencana investasi : Rp

12. Rencana tenaga kerja :

No. Uraian Jumlah

1. Indonesia

- Teknis

- Non-Teknis

orang

orang

Jumlah orang

2. Asing

- Banyaknya

- Keahlian

orang

orang

13. Lain-lain :

Kepala Dinas Peternakan atau kepala Dinas Yang membidangi Fungsi Peternakan di Kabupaten /Kota…………..

……………………………………

NIP.

Tembusan disampaikan Kepada Yth.Gubernur Propinsi/ Direktur Jenderal Bina Produksi Peternakan .Kepala Dinas yang membidangi fungsi Peternakan .

~ 692 ~

Page 185: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

Lampiran : Dinas Peternakan atau Dinas Yang membidangi Fungsi Peternakan di Kabupaten /KotaNomor :Tanggal :

PERUBAHAN PERSETUJUAN PRINSIP ( I.2 )

1. Nama Perusahaan/Koperasi/Perorangan *) :

2. Nomor Pokok Wajib Pajak(NPWP) terlampir :

3. Alamat kantor perusahaan :4. Persetujuan Prinsip yang dimiliki

- Nomor :- Tanggal :

No. U r a i a n Semula Menjadi

1.

2.

3.

4.

Bupati/Walikota atau Kepala Dinas Peternakan/ Pejabat Yang membidangi Fungsi Peternakan di …………….............

…………………………………. NIP.:

~ 693 ~

Page 186: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

Diisi oleh Pejabat Unit kerja Model IUPi-II

DINAS PETERNAKAN ATAU DINAS YANG MEMBIDANGI FUNGSI PETERNAKAN DI KABUPATEN/KOTA

Nomor : ……………….., …………………..Lampiran :Perihal : Penolakan/Penundaan Kepada Yth.

Memperhatikan permohonan Saudara

Nomor :Tanggal :

Dan berdasarkan ketentuan per undang-undangan yang berlaku, setelah diadakan pengkajian dapat disampaikan bahwa permohonan Saudara belum dapat diberikan/tidak disetujui karena :

1.

2.

3.

4.

Sehubungan hal-hal tersebut diatas, maka permohonan ………………… yang Saudara ajukan agar selambat-lambatnya dalam waktu ……………………dapat dilengkapi kekurangan tersebut diatas/tidak dapat diberikan . Demikian agar menjadi maklum.

Bupati/Walikota atau Kepala Dinas Peternakan/ Pejabat Yang membidangi Fungsi Peternakan di ……………………

…………………………………. NIP.:

~ 694 ~

Page 187: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

Tembusan disampaikan Kepada Yth.Kepala Dinas Yang membidangi Peternakan

Diisi oleh Pejabat Unit kerja Model IUPi-III

DINAS PETERNAKAN ATAU DINAS YANG MEMBIDANGI FUNGSI PETERNAKAN DI KABUPATEN/KOTA

HASIL PEMERIKSAAN

Kami yang bertandatangan dibawah ini,

1. Nama / NIP :Jabatan :

2. Nama / NIP :Jabatan :

3. Nama / NIP :Jabatan :

Berdasarkan surat tugas Kepala Dinas Peternakan PropinsiNomor :Tanggal :

Telah mengadakan pemeriksaan setempat terhadap permohonan Izin Usaha Peternakan :1. Nama Perusahaan/Koperasi /Perorangan :2. Nomor Kode Perusahaan :3. Nomor Persetujuan Prinsip :

dengan hasil pemeriksaan terlampir.

Demikian hasil pemeriksaan ini dibuat dengan sebenarnya dan penuh tanggungjawab.

Pemeriksa,

1. Nama :

Tanda tangan :

2. Nama :

Tanda tangan :

Mengetahui,Kepala Dinas Peternakan atau kepala Dinas Yang membidangi Fungsi Peternakan di Kabupaten /Kota…………..

~ 695 ~

Page 188: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

___________________

Lampiran : HASIL PEMERIKSAAN LAPANGAN

I. IDENTITAS PERUSAHAAN1. Nama Perusahaan/Koperasi

Perorangan *) :2. Nomor Pokok Wajib Pajak :3. Alamat kantor Perusahaan :4. Nama Pimpinan/Penanggung Jawab :5. Kegiatan dan Jenis Ternak :6. Nomor Persetujuan Prinsip :7. Nomor Kode Perusahaan :

II. KESIAPAN TEKNIS PETERNAKAN1. Lokasi : Ya/Tidak

2. Bangunana. Penataan Bangunan : Ya/Tidakb. Kapasitas Kandang : Ya/Tidak

Bila tidak, kapasitas kandang yang ada Untuk ……..ekor jumlah ternak

c. Memiliki Peralatan Minimal yang diperlukan : Ya/Tidak

3. Memperkejakan Tenaga Ahli : Ya/Tidak4. Memenuhi Ketentuan Penggunaan Bibit

ternak : Ya/Tidak5. Melaksanakan Ketentuan Kesehatan Hewan : Ya/Tidak6. Memenuhi Ketentuan tentang Pencemaran/

Kelestarian Lingkungan : Ya/Tidak

III. KELENGKAPAN ADMINISTRASINo. Uraian Nomor/Tanggal Keternagan

1. Izin Lokasi /HGU2. Izin Tempat Usaha/HO3. Izin Kerja Tenaga Asing (Jika Perlu)4. Pemasukan Ternak (Jika perlu)5. Izin Pemasangan Instalasi dan Peralatan (jika

perlu)6. Penyajian Informasi Lingkungan (PIL)

Mengetahui, Pemeriksa, Penanggung Jawab/Pimpinan

Perusahaan, 1. Nama :

Tanda Tangan :

2. Nama :

…………………………………….. Tanda Tangan :

*) Bila diperlukan

~ 696 ~

Page 189: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

Diisi oleh Pejabat Unit kerja Model IUPi-IV-1

DINAS PETERNAKAN ATAU DINAS YANG MEMBIDANGI FUNGSI PETERNAKAN DI KABUPATEN/KOTA

KEPUTUSAN BUPATI/WALIKOTA ATAU KEPALA DINAS PETERNAKAN/PEJABATYANG MEMBIDANGI FUNGSI PETERNAKAN

Nomor :Kode :

TENTANG

IZIN USAHA PETERNAKAN

BUPATI/WALIKOTA ATAU KEPALA DINAS PETERNAKAN/PEJABATYANG MEMBIDANGI FUNGSI PETERNAKAN

Menimbang : bahwa pemohon izin dinilai telah memenuhi persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh Izin Usaha Peternakan dan karenanya dipandang perlu untuk menerbitkan Izin Usaha Peternakan.

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1967 ;2. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1977 ;3. Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 1977 ;4. Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 1983 ;5. Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor

OT.210/706/Kpts/9/1983 ;6. Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 404/Kpts/OT.210/6/2002

MEMUTUSKAN

Menetapkan : KEPUTUSAN BUPATI/WALIKOTA ATAU KEPALA DINAS PETERNAKAN/PEJABAT YANG MEMBIDANGI FUNGSI PETERNAKAN TENTANG IZIN USAHA PETERNAKAN

KESATU : Memberi Izin Usaha Peternakan kepadaNama Perusahaan/Koperasi/Perorangan *) :Nomor Pokok Wajib Pajak(NPWP) terlampir :Nomor dan tanggal Izin UsahaPeternakan :Alamat Kantor Perusahaan :Kegiatan dan Jenis Ternak :Lokasi Kegiatan- Perusahaan

a. Desa/Kelurahan :b. Kecamatan :

~ 697 ~

Page 190: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

c. Kabupaten/Kota :d. Propinsi :

- Kerjasamaa. Desa/Kelurahan :b. Kecamatan :c. Kabupaten/Kota :d. Propinsi :

Jumlah TernakJenis ternak Jumlah Ternak

Dewasa (ekor)

Campuran (ekor)

Strain

1.2.3.4.

Produksi- Sendiri :

a. Macam produksi :b. Produksi per tahun :c. Produksi maksimal

Maksimal dicapai pada : tahun ……….- Kemitraan Budidaya

a. Macam produksi :b. Produksi / tahun :Kemitraan usaha mulai : Tahun

Rencana pemotongan a. Rencana pemotongan hewan/unggas : ada/tidak ada

b. Kapasitas pemotongan/tahun : ekorLuas Lahan yang digunakan : m2

Tenaga Kerja- Indonesia : Orang- Asing : Orang

KEDUA : Pemegang Izin Usaha Peternakan/Izin Perluasan ini wajib dengan nyata dan sungguh-sungguh menjalankan kegiatannya serta mematuhi ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

KETIGA : Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan diPada tanggal

Bupati/Walikota atau Kepala Dinas Peternakan/Pejabat yang membidangi fungsi Peternakan

……………………………………

Tembusan disampaikan kepada Yth.

Gubernur Propinsi/Direktur Jenderal Bina Produksi Peternakan

~ 698 ~

Page 191: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

Diisi oleh Pejabat Unit kerja Model IUPi-IV-2

DINAS PETERNAKAN ATAU DINAS YANG MEMBIDANGI FUNGSI PETERNAKAN DI KABUPATEN/KOTA

KEPUTUSAN BUPATI/WALIKOTA ATAU KEPALA DINAS PETERNAKAN/PEJABATYANG MEMBIDANGI FUNGSI PETERNAKAN

Nomor :Kode :

TENTANG

IZIN PERLUASAN

BUPATI/WALIKOTA ATAU KEPALA DINAS PETERNAKAN/PEJABATYANG MEMBIDANGI FUNGSI PETERNAKAN

Menimbang : bahwa usaha peternakan masih perlu dikembangkan terus terutama dalam memenuhi kebutuhan hasil peternakan, oleh karena itu dipandang perlu memberikan izin usaha peternakan dalam rangka perluasan;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1967 ; 2. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1977 ;

3. Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 1977 ;4. Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 1983 ;5. Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor

OT.210/706/Kpts/9/1983 ;6. Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 404/Kpts/OT.210/6/20027. Surat Keputusan Kepala Dinas Peternakan atau Kepala Dinas yang

membidangi fungsi peternakan di Kabupaten/Kota;

MEMUTUSKAN

Menetapkan : KEPUTUSAN BUPATI/WALIKOTA ATAU KEPALA DINAS PETERNAKAN/PEJABAT YANG MEMBIDANGI FUNGSI PETERNAKAN TENTANG IZIN PERLUASAN.

KESATU : Memberi Izin Usaha Peternakan kepadaNama Perusahaan/Koperasi/Perorangan *) :Nomor Pokok Wajib Pajak(NPWP) terlampir :Nomor dan tanggal Izin UsahaPeternakan :Alamat Kantor Perusahaan :Kegiatan dan Jenis Ternak :

~ 699 ~

Page 192: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

Lokasi Kegiatan- Perusahaan

a. Desa/Kelurahan :b. Kecamatan :c. Kabupaten/Kota :d. Propinsi :

- Kerjasama

a. Desa/Kelurahan :b. Kecamatan :c. Kabupaten/Kota :d. Propinsi :

Jumlah Ternak

No Jenis ternakJumlah Ternak

Dewasa (ekor)

Campuran (ekor)

Strain

1.2.3.4.

Produksi- Sendiri :

a. Macam produksi :b. Kap. Produksi maks per tahun :c. Produksi maksimal dicapai pada : tahun ……….

- Kemitraan Budidaya a. Macam produksi :b. Produksi / tahun :Kemitraan usaha mulai : Tahun

Rencana pemotongan a. Rencana pemotongan hewan/unggas : ada/tidak ada

c. Kapasitas pemotongan/tahun : ekorLuas Lahan yang digunakan : m2

Tenaga Kerja- Indonesia : Orang- Asing : Orang

KEDUA : Pemegang Izin Usaha Peternakan/Izin Perluasan ini wajib dengan nyata dan sungguh-sungguh menjalankan kegiatannya serta mematuhi ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

KETIGA : Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan diPada tanggal

Bupati/Walikota atau Kepala Dinas Peternakan/Pejabat yang membidangi fungsi Peternakan

……………………………………

~ 700 ~

Page 193: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

Tembusan disampaikan kepada Yth.

Gubernur Propinsi/Direktur Jenderal Bina Produksi Peternakan

Diisi oleh Pejabat Unit kerja Model IUPi-V

DINAS PETERNAKAN ATAU DINAS YANG MEMBIDANGI FUNGSI PETERNAKAN DI KABUPATEN/KOTA

Nomor : ……………………, …………………...Lampiran :Perihal : Peringatan ke…. Kepada Yth. :

Mengenai PelaksanaanIzin Usaha Peternakan Sdr.

Sesuai dengan Izin Usaha PeternakanNomor :Tanggal :

Dan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 404/Kpts/OT.210/6/2002 Tanggal 28 Juni 2002 tentang Pedoman Perizinan dan Pendaftaran Usaha Peternakan, serta setelah diadakan pengkajian ternyata perusahaan Saudara tidak memenuhi ketentuan perizinan yang berlaku antara lain :

1.

2.

3.

4.

Sehubungan dengan hal tersebut diatas, diminta kepada Saudara untuk memenuhi ketentuan dimaksud.

Demikian, untuk menjadi perhatian Saudara.

Bupati/Walikota atau Kepala Dinas Peternakan /Pejabat Yang Membidangi Fungsi Peternakan

………………………………………..

Tembusan disampaikan kepada Yth :Gubernur Propinsi/Direktur JenderalBina Produksi Peternakan

~ 701 ~

Page 194: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

Diisi oleh Pejabat Unit Kerja Model IUPi – VI

DINAS PETERNAKAN ATAU DINAS YANG MEMBIDANGI FUNGSI PETERNAKANDI KABUPATEN / KOTA

Nomor : …………………., …………Lampiran :Perihal : Pembekuan/Pencairan Kepada Yth.

Usaha Peternakan. Sdr.

Berdasarkan pengkajian terhadap pelaksanaan kegiatan peternakan Saudara sebagaimana tercantum dalam Izin Usaha Peternakan

Nomor :Tanggal :

Ternyata perusahaan Saudara tidak/telah *) memenuhi ketentuan yang ditetapkan.Memperhatikan surat Peringatan kami yang ke –3

Nomor :Tanggal :

maka Izin Usaha Peternakan Saudara DIBEKUKAN selama 6 (enam) bulan/ DICAIRKAN **) sejak tanggal Surat Pembekuan/Pencairan **) ini.Dengan pembekuan / pencairan **) ini, maka Perusahaan Peternakan Saudara dilarang / dapat melakukan kegiatan usaha.

Demikian untuk menjadi perhatian Saudara.

Bupati/Walikota atau Kepala Dinas Peternakan/Pejabat yang membidangi fungsi Peternakan

Tembusan disampaikan kepada Yth. :

Gubernur Propinsi / Direktur Jenderal

~ 702 ~

Page 195: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

Bina Produksi Peternakan

**) Coret yang tidak perlu

Diisi oleh Pejabat Unit kerja Model IUPi-VII

DINAS PETERNAKAN ATAU DINAS YANG MEMBIDANGI FUNGSI PETERNAKAN DI KABUPATEN/KOTA

KEPUTUSAN BUPATI/WALIKOTA ATAU KEPALA DINAS PETERNAKAN/PEJABAT YANG MEMBIDANGI FUNGSI PETERNAKAN

Nomor :Kode :

TENTANG

PENCABUTAN ATAU PENCAIRAN IZIN USAHA PETERNAKAN **)

BUPATI/WALIKOTA ATAU KEPALA DINAS PETERNAKAN/PEJABATYANG MEMBIDANGI FUNGSI PETERNAKAN

Menimbang :Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1967 ;

2. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1977 ;3. Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 1977 ;4. Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 1983 ;5. Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 404/Kpts/OT.210/6/2002

Memperhatikan : Surat PembekuanNomor :Tanggal :

MEMUTUSKAN

Menetapkan : KEPUTUSAN BUPATI/WALIKOTA ATAU KEPALA DINAS PETERNAKAN/PEJABAT YANG MEMBIDANGI FUNGSI PETERNAKAN TENTANG PENCABUTAN/PENCAIRAN IZIN USAHA PETERNAKAN.

KESATU : Mencabut/Mencairkan Izin Usaha Peternakan Nomor :Tanggal :Atas Nama :Nama Perusahaan/Koperasi/Perorangan *) :

~ 703 ~

Page 196: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

Alamat Kantor Perusahaan :Kegiatan dan Jenis Ternak :Lokasi Kegiatan- Perusahaan

a. Desa/Kelurahan :b. Kecamatan :c. Kabupaten/Kota :d. Propinsi :

KEDUA : Perusahaan Peternakan tersebut pada Diktum KESATU dilarang melakukan

kegiatan usahanya.

KETIGA : Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan diPada tanggal

Bupati/Walikota atau Kepala Dinas Peternakan/Pejabat yang membidangi fungsi Peternakan

……………………………………

Tembusan disampaikan kepada Yth.

Gubernur Propinsi/Direktur Jenderal Bina Produksi Peternakan

~ 704 ~

Page 197: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

Diisi oleh Pejabat Unit kerja Model IUPi-VIII

DINAS PETERNAKAN ATAU DINAS YANG MEMBIDANGI FUNGSI PETERNAKAN DI KABUPATEN/KOTA

TANDA PENDAFTARAN PETERNAKAN RAKYATNOMOR :

1. Nama Peternakan :2. Nama Usaha (kalau ada) :3. Alamat :4 Jenis Ternak :5. Jumlah Ternak

No Jenis ternakJumlah Ternak

Dewasa (ekor)

Campuran (ekor)

Strain

1.2.3.4.

6. Produksi- Sendiri :

a. Macam produksi :b. Jumlah produksi per tahun :

7. Lokasi Kegiatana. Desa/Kelurahan :b. Kecamatan :c. Kabupaten/Kota :d. Propinsi :

8. Lahan dan Kandanga. Luas Lahan : m2

b. Luas Kandang : m2

c. Pemilikan - Lahan : Milik sendiri/sewa/lain-lainnya *) - Kandang : Milik sendiri/sewa/lain-lainnya *)

9. Jumlah Modal : Rp.

Bupati/Walikota atau Kepala Dinas Peternakan/Pejabat yang membidangi fungsi Peternakan

~ 705 ~

Page 198: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

……………………………………

*) Coret yang tidak Perlu

KEPUTUSAN MENTERI PERTANIANNOMOR: 09/Kpts/TP.260/1/2003

TENTANG

SYARAT DAN TATACARA

PENDAFTARAN PUPUK AN-ORGANIK

MENTERI PERTANIAN,

Menimbang : a. bahwa pupuk an-organik sangat berperan dalammendukung keberhasilan pengembangan budidaya tanaman;

b. bahwa pupuk yang akan beredar di wilayah negara RI harus memenuhi standar mutu dan terjamin efektivitasnya serta diberi label;

c. bahwa berdasarkan hal-hal tersebut diatas dan sebagai tindak lanjut Pasal 6 ayat (4), Pasal 8 ayat (3), Pasal 9 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2001 tentang Pupuk Budidaya Tanaman, dipandang perlu menetapkan Syarat dan Tatacara Pendaftaran Pupuk Budidaya Tanaman dalam Keputusan Menteri;

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3478);

2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);

3. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3478);

4. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);

5. Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun;

6. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952);

7. Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standarisasi Nasional (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 199, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4020);

8. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2001 tentang Pupuk Budidaya Tanaman (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 14, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4079);

9. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 103, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4126);

10.Keputusan Presiden Nomor 102 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen;

~ 706 ~

Page 199: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

11.Keputusan Presiden Nomor 109 Tahun 2001 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Departemen;

12.Keputusan Presiden Nomor 228/M Tahun 2001 tentang Pembentukan Kabinet Gotong Royong;

13.Keputusan Menteri Pertanian Nomor 01/Kpts/OT.210/1/2001 Juncto Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 354.1/Kpts/OT.210/6/2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Pertanian;

14.Keputusan Menteri Pertanian Nomor 99/Kpts/OT.210/2/2001 Juncto Keputusan Menteri Pertanian Nomor 392/Kpts/OT.210/7/2001 tentang Kelengkapan Organisasi dan Tata Kerja Departemen Pertanian;

15.Keputusan Menteri Pertanian Nomor 170/Kpts/OT.210/3/2002 tentang Pelaksanaan Standarisasi Nasional Di Bidang Pertanian;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN TENTANG SYARAT DAN TATACARA PENDAFTARAN PUPUK AN-ORGANIK.

BAB IKETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan:1. Formula pupuk adalah kandungan senyawa dari unsur hara utama dan atau unsur hara mikro dan mikroba.2. Rekayasa formula pupuk adalah serangkaian kegiatan rekayasa, baik secara kimia, fisik dan atau biologis

untuk menghasilkan formula pupuk.3. Pupuk an-organik adalah pupuk hasil proses rekayasa secara kimia, fisik dan atau biologis, dan

merupakan hasil industri atau pabrik pembuat pupuk.4. Uji mutu pupuk an-organik adalah analisis komposisi dan kadar hara pupuk an-organik, yang dilakukan di

laboratorium kimia berdasarkan metode analisis yang ditetapkan.5. Uji efektivitas adalah pengujian mengenai manfaat penggunaan pupuk an-organik terhadap produktivitas

tanaman dan analisis ekonominya.6. Sertifikat formula pupuk adalah surat keterangan yang menyatakan bahwa pupuk hasil rekayasa telah

lulus uji mutu dan lulus uji efektivitas, sehingga layak untuk digunakan pada budidaya tanaman.7. Pendaftaran adalah kegiatan untuk pemberian nomor pendaftaran agar pupuk yang telah memperoleh

sertifikat formula dapat diproduksi dan diedarkan.8. Surat Keterangan Jaminan Mutu adalah surat keterangan yang menyatakan bahwa pupuk hasil produksi

dan atau impor, setelah diuji mutunya sebelum diedarkan memenuhi standar mutu sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

9. Standar Mutu Pupuk An-Organik adalah komposisi dan kadar hara pupuk an-organik yang ditetapkan oleh Badan Standarisasi Nasional dalam bentuk SNI, atau yang ditetapkan oleh Menteri Pertanian dalam bentuk Persyaratan Teknis Minimal pupuk an-organik.

10. Formula khusus adalah formula pupuk an-organik yang dipesan secara khusus oleh pengguna yang disesuaikan dengan kadar hara yang tersedia dalam tanah dan kebutuhan tanaman yang dibudidayakan pengguna.

Pasal 2

(1) Keputusan Menteri Pertanian ini dimaksudkan sebagai dasar hokum untuk melaksanakan pendaftaran, termasuk pengujian pupuk anorganik.

(2) Tujuan pengaturan ini agar pupuk an-organik yang beredar di wilayah negara Republik Indonesia memenuhi standar mutu dan terjamin efektivitasnya.

Pasal 3

Ruang lingkup pengaturan ini meliputi persyaratan dan tatacara pendaftaran, pengujian, kewajiban para pihak terkait, dan sanksi.

BAB IIPERSYARATAN PENDAFTARAN

Pasal 4

~ 707 ~

Page 200: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

(1) Formula pupuk an-organik yang akan dipergunakan untuk keperluan sektor pertanian harus memenuhi standar mutu serta terjamin efektivitasnya dan wajib didaftarkan kepada Direktur Jenderal yang bertanggung jawab di bidang Sarana Pertanian yang selanjutnya disebut Direktur Jenderal.

(2) Setiap formula pupuk yang akan didaftar untuk penggunaan di sector pertanian, harus didasarkan atas hasil uji efektivitas dari lembaga pengujian yang telah diakreditasi atau yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian.

(3) Suatu formula pupuk an-organik tidak boleh didaftarkan oleh pemohon dengan menggunakan nama dagang formula atau merek yang sama, atau hampir sama dengan nama dagang formula lain yang terdaftar.

Pasal 5

Permohonan pendaftaran pupuk an-organik dapat dilakukan oleh perorangan atau badan hukum yang memenuhi persyaratan:1. Akte Pendirian Perusahaan dan perubahannya;2. Surat Izin Usaha Perdagangan/Tanda Daftar Usaha Perdagangan;3. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);4. Surat Keterangan domisili;5. Pemilik formula yang bersangkutan atau kuasanya; dan6. Agen yang ditunjuk oleh pemilik formula yang berasal dari luar negeri.

BAB IIITATACARA PENDAFTARAN

Bagian KesatuPermohonan Pendaftaran

Pasal 6

(1) Permohonan pendaftaran pupuk an-organik diajukan secara tertulis kepada Direktur Jenderal dengan menggunakan formulir sebagaimana tercantum pada Lampiran I Keputusan ini, dan dibubuhi meterai secukupnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilengkapi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.

Pasal 7

(1) Direktur Jenderal setelah menerima permohonan pendaftaran secara lengkap, paling lambat dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari kerja, wajib memberi jawaban secara tertulis mengenai diterima, atau ditolaknya permohonan pendaftaran.

(2) Apabila permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diterima, maka kepada pemohon diwajibkan untuk melakukan pengujian mutu dan pengujian efektivitas formula pupuk an-organik yang didaftarkan.

(3) Apabila permohonan sebagaimana dimaksud ayat (1) ditolak, maka dalam penolakan oleh Direktur Jenderal harus disertai alasan secara tertulis.

(4) Apabila permohonan pendaftaran dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Direktur Jenderal belum dapat memberikan jawaban tertulis, maka permohonan pendaftaran dianggap dapat diterima, dan pemohon diwajibkan melakukan pengujian mutu dan pengujian efektivitas formula pupuk an-organik yang didaftarkan.

Bagian KeduaP e n g u j i a n

Pasal 8

Pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) dapat dilakukan oleh Lembaga Pengujian yang telah diakreditasi atau yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian.sebagaimana tercantum pada Lampiran VII Keputusanini.

Pasal 9

(1) Lembaga Pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 sekurang-kurangnya memenuhi persyaratan sebagai berikut :a. Lembaga Pengujian Mutu harus mempunyai fasilitas dan kemampuan untuk melakukan analisis mutu

pupuk an-organik, dengan persyaratan:

~ 708 ~

Page 201: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

1. memiliki bangunan laboratorium yang memenuhi persyaratan;2. memiliki peralatan pengujian mutu pupuk an-organik;3. memiliki tenaga ahli atau analis di bidang pengujian mutu pupuk an-organik;4. mampu melakukan analisis mutu pupuk an-organik berdasarkan metode analisa yang ditetapkan.

b. Lembaga Pengujian EfektivitasLembaga Pengujian Efektivitas harus mempunyai fasilitas dan kemampuan untuk melakukan pengujian efektivitas/manfaat penggunaan pupuk an-organik terhadap produktivitas tanaman, baik secara teknis maupun ekonomis, dengan persyaratan:1. memiliki peralatan untuk melakukan uji efektivitas;2. memiliki lahan atau sarana lain yang cukup untuk melakukan uji efektivitas;3. memiliki tenaga ahli/pakar di bidang uji efektivitas pupuk anorganik berikut tenaga pelaksana

lainnya;4. mampu melakukan pengujian efektivitas berdasarkan metode pengujian yang ditetapkan.

(2) Verifikasi kelayakan lembaga pengujian mutu dan efektivitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh instansi Departemen Pertanian yang bidang tugasnya menangani standarisasi dan akreditasi.

Pasal 10

(1) Lembaga Pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dalam melakukan pengujian menggunakan metode pengujian mutu pupuk anorganik sebagaimana tercantum pada Lampiran II dan metode pengujian efektivitas sebagaimana tercantum pada Lampiran III Keputusan ini.

(2) Penilaian terhadap hasil uji mutu didasarkan pada persyaratan teknis minimal sebagaimana tercantum pada Lampiran II Keputusan ini.

(3) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat ditinjau dan disesuaikan dengan kebutuhan perkembangan industri pupuk, keamanan lingkungan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi.

(4) Penilaian terhadap hasil uji efektivitas didasarkan pada ketentuan lulus uji efektivitas sebagaimana tercantum pada Lampiran IV Keputusan ini.

(5) Lembaga Pengujian Efektivitas wajib membuat laporan perkembangan pelaksanaan pengujian kepada Direktur Jenderal, yang tatacara pelaporannya sebagaimana tercantum pada Lampiran V Keputusan ini.

Pasal 11

(1) Formula pupuk an-organik yang telah memenuhi persyaratan mutu dan persyaratan pengujian efektivitas, dinyatakan lulus uji oleh lembaga pengujian dan diberikan sertifikat formula.

(2) Sertifikat formula sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri dari sertifikat lulus uji mutu dan sertifikat lulus uji efektivitas yang diterbitkan oleh lembaga pengujian yang bersangkutan.

(3) Lembaga Pengujian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) bertanggung jawab atas hasil uji yang dilakukan.

Bagian KetigaPemberian Nomor Pendaftaran

Pasal 12

Formula pupuk an-organik yang telah mendapat sertifikat dari lembaga pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) sebelum diproduksi dan atau diedarkan harus mendapat nomor pendaftaran dariDirektur Jenderal.

Pasal 13

(1) Untuk memperoleh nomor pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, pemohon menyampaikan sertifikat formula dan konsep label kepada Direktur Jenderal dan mengisi formulir hasil pengujian sebagaimana tercantum pada Lampiran VI Keputusan ini.

(2) Direktur Jenderal berdasarkan sertifikat formula sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling lambat dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak menerima sertifikat, wajib menerbitkan penetapan nomor pendaftaran.

Pasal 14

~ 709 ~

Page 202: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

(1) Nomor pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) berlaku untuk jangka waktu selama 5 (lima) tahun, dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu 5 (lima) tahun berikutnya sepanjang masih memenuhi persyaratan mutu dan efektivitasnya.

(2) Nomor pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila setelah diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu 5 (lima) tahun berikutnya berakhir, maka pemegang nomor pendaftaran harus memperbaharui.

(3) Pembaharuan nomor pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan sesuai dengan syarat dan tatacara pendaftaran pupuk anorganik yang ditetapkan dalam Keputusan ini.

Pasal 15

(1) Berdasarkan nomor pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2), pemegang nomor pendaftaran dapat meminta izin untuk memproduksi dan atau mengimpor, serta mengedarkan pupuk berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2) Untuk menjamin pemenuhan standar mutu pupuk an-organik sebelum diedarkan, pupuk an-organik yang diproduksi atau diimpor harus memiliki surat keterangan jaminan mutu.

(3) Surat keterangan jaminan mutu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dikeluarkan oleh lembaga pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8.

BAB IVBIAYA PENDAFTARAN DAN PENGUJIAN

Pasal 16

Biaya pendaftaran pupuk an-organik merupakan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang harus disetorkan ke Kas Negara yang besar dan tatacaranya ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.

Pasal 17

(1) Biaya pengujian mutu dan pengujian efektivitas yang dilakukan oleh lembaga pengujian swasta, ditetapkan oleh lembaga pengujian yang bersangkutan.

(2) Biaya pengujian mutu dan pengujian efektivitas yang dilakukan oleh lembaga pengujian pemerintah merupakan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang besarnya ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB VKEWAJIBAN

Pasal 18

(1) Lembaga Pengujian mempunyai kewajiban menjaga kerahasiaan formula pupuk yang telah diuji, dan melakukan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (5).(2) Petugas yang melayani permohonan pendaftaran pupuk an-organik wajib menjaga kerahasiaan formula pupuk, sebelum diterbitkan nomor pendaftaran.(3) Direktur Jenderal menyelenggarakan pengelolaan buku nomor pendaftaran dan mencatat segala mutasi baik subyek maupun obyek pendaftaran pupuk.

Pasal 19

(1) Produsen dan atau importir bertanggung jawab atas mutu produknya, dan wajib mencantumkan nomor pendaftaran pada label ditempat yang mudah dilihat dan dibaca serta tidak mudah terhapus.

(2) Nomor Pendaftaran yang dicantumkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku untuk komoditas yang didaftarkan.

(3) Label sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibuat dalam Bahasa Indonesia, sekurang-kurangnya memuat :a. nama dagang;b. kandungan hara;c. isi atau berat bersih barang;d. masa edar;e. aturan pakai/cara penggunaan;f. nama dan alamat produsen atau importir;

~ 710 ~

Page 203: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

g. nomor pendaftaran;h. nomor jaminan mutu (batch number);i. tanggal produksi;danj. warna pupuk.

(4) Pemegang nomor pendaftaran wajib melaporkan setiap perubahan subyek pemegang nomor pendaftaran untuk dicatat dalam buku nomor pendaftaran, dan dilakukan perubahan keputusan pemberian nomor pendaftaran.

Pasal 20

Pemegang nomor pendaftaran wajib menyampaikan laporan pengadaan yang meliputi produksi maupun impor dan penyaluran pupuk setiap 6 (enam) bulan sekali kepada Direktur Jenderal dengan menggunakan formulir seperti tercantum dalam Lampiran VIII Keputusan ini.

BAB VIKETENTUAN SANKSI

Pasal 21

Terhadap lembaga pengujian mutu dan atau lembaga pengujian efektivitas yang terbukti tidak bertanggung jawab atas hasil uji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3), tidak menjamin kerahasiaan formula dankebenaran hasil pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1), dilakukan teguran tertulis dan dilaporkan kepada pejabat yang berwenang oleh Direktur Jenderal untuk dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dibidang kepegawaian dan perizinan.

Pasal 22

Terhadap petugas pelayanan permohonan nomor pendaftaran yang terbukti tidak menjamin kerahasiaan formula pupuk sebelum ditetapkannya nomor pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) dikenakan sanksi disiplin pegawai oleh pejabat yang berwenang sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang kepegawaian.

Pasal 23

(1) Terhadap produsen atau importir pupuk an-organik yang terbukti tidak mencantumkan nomor pendaftaran pada label, dan tidak menjamin mutu produknya atau tidak melaporkan adanya perubahan pemegang nomor pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dan ayat (3), dikenakan sanksi pencabutan nomor pendaftaran oleh Direktur Jenderal dan diusulkan kepada pejabat yang berwenang agar izin produksi atau izin impornya dicabut, dan pupuk yang bersangkutan harus ditarik dari peredaran.

(2) Penarikan pupuk dari peredaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh dan atas beban biaya dari produsen atau importir pupuk yang bersangkutan.

(3) Terhadap produsen pupuk yang telah mendapat nomor pendaftaran, apabila selama 2 (dua) tahun berturut-turut tidak melakukan produksi dan atau impor serta tidak menyampaikan laporan pengadaan dan penyaluran pupuk dikenakan sanksi pencabutan nomor pendaftaran oleh Direktur Jenderal.

Pasal 24

Produsen dan atau importir yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 4, Pasal 5, Pasal 7 ayat (2), Pasal 11, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 19, disamping dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22Keputusan ini dapat dikenakan :a. Sanksi pidana menurut Pasal 60 ayat (1) huruf f atau Pasal 60 ayat (2) huruf f Undang-undang Nomor 12

tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman; dan ataub. Sanksi administratif dan sanksi pidana menurut Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen.

BAB VIIKETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 25

(1) Produsen pupuk dapat melayani pupuk pesanan dengan formulasi khusus dalam bentuk sesuai yang didaftarkan dan dipergunakan langsung oleh pemesan.

(2) Formulasi khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak diharuskan didaftar sesuai dengan Keputusan ini.

Pasal 26

~ 711 ~

Page 204: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

Pupuk an-organik dengan formulasi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 sebelum digunakan pemesan harus melapor kepada Direktur Jenderal untuk mendapatkan pemantauan dan pengawasan.

Pasal 27

Pupuk an-organik dengan formulasi khusus sebagaimana dalam Pasal 25 dilarang untuk diedarkan dan digunakan untuk kepentingan umum.

Pasal 28

(1) Pupuk an-organik yang ditambahkan unsur mikroba, phytohormon, zat pengatur tumbuh, perekat, amelioran dan bahan organik harus didaftarkan mengikuti keputusan ini.

(2) Uji mutu dan uji efektivitas untuk pupuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh Lembaga Uji dan dinilai oleh Tim Teknis yang dibentuk dengan keputusan tersendiri.

BAB VIIIKETENTUAN PERALIHAN

Pasal 29

(1) Pupuk an-organik yang ada pada saat Keputusan ini ditetapkan telah terdaftar, nomor pendaftaran tetap berlaku sampai dengan berakhirnya masa nomor pendaftaran selanjutnya harus dilakukan pendaftaran kembali sesuai dengan ketentuan ini.

(2) Pupuk an-organik yang pada saat Keputusan ini ditetapkan sedang atau sudah dilakukan pengujian, tetap dilakukan proses pendaftaran sesuai ketentuan yang telah ditetapkan.

(3) Pupuk an-organik yang pada saat Keputusan ini ditetapkan sedang dalam proses pendaftaran, tetapi belum dilakukan pengujian, diberlakukan ketentuan dalam keputusan ini.

BAB IXKETENTUAN PENUTUP

Pasal 30

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di JakartaPada tanggal 13 Januari 2003

MENTERI PERTANIAN,

ttd

PROF.DR.IR. BUNGARAN SARAGIH, M.Ec

SALINAN Keputusan ini disampaikan kepada Yth :1. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian;2. Menteri Keuangan;3. Menteri Perindustrian dan Perdagangan;4. Menteri Kehutanan;5. Gubernur diseluruh Indonesia;6. Bupati / Walikota diseluruh Indonesia;7. Pejabat Eselon I di lingkungan Departemen Pertanian;8. Kepala Badan Standarisasi Nasional.

~ 712 ~

Page 205: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

MENTERI PERTANIANREPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 348/Kpts/TP.240/2003

TENTANGPEDOMAN PERIZINAN USAHA HORTIKULTURA

MENTERI PERTANIAN,

Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendorong pertumbuhan dan pengembangan usaha agribisnis hortikultura perlu diciptakan iklim usaha yang baik;

b. bahwa dengan ditetapkan nya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerag, dan Peraturan Pemerintah nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom, perizinan usaha hortikultura telah menjadi kewenangan Kabupaten/Kota;

c. bahwa atas dasar hal tersebut di atas dan sambil menunggu ditetapkannya Peraturan Pemerintah tentang Usaha Budi daya Tanaman sebagai tindak lanjut Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49 dan Pasal 50 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang sistem Budi daya Tanaman, agar dalam pelayanan pemberian izin usaha hortikultura di daerah dapat berjalan lancar, dipandang perlu untuk menetapkan pedoman perizinan usaha hortikultura dengan Keputusan Menteri;

Menginagat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Perindustrian (Lembaran Negara Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3274);

2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3478);

3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3501);

4. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);

5. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan daerah (Lembaran Negara Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara nomor 3839);

6. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1986 tentang Kewenangan Pengaturan, Pembinaan dn Pengembangan Industri (Lembaran Negara Tahun 1986 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara nomor 3330);

7. Peraturan Pemerintah Nomor 13 tahun 1995 tentang Izin Usaha Industri (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 25, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3596);

8. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan (lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 91, tambahan Lembaran Negara nomor 3718);

9. Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Indonesia (Lembaran Negara Nomor 3721);

10. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisa Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3838);

11. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952);

~ 713 ~

Page 206: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

12. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan atas Penyelenggaraan Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Tahun 2001 nomor 41);

13. Keputusan Presiden Nomor 102 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi. Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Departemen);

14. Keputusan Presiden Nomor 109 Tahun 2001 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Departemen;

15. Keputusan Presiden nomor 228/m Tahun 2001 tentang Pembentukan Kabinet Gotong Royong;

16. Keputusan Menteri Pertanian nomor 74/Kpts/TP/ 500/2/98 tentang Jenis Komoditas Tanaman Binaan Direktorat Jenderal Tanaman pangan dan Hortikultura dan direktorat Jenderal Perkebunan;

17. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 01/Kpts/OT.210/1/2001 juncto Keputusan Menteri Pertanian nomor 354.1/Kpts/OT.210/6/2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Pertanian;

18. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 99 Kpts/Ot.210/2/2001 juncto Keputusan Menteri Pertanian Nomor 392/kpts/OT.210/7/2001 tentang Kelengkapan organisasi dsan Tata kerja departemen Pertanian;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN TENTANG PEDOMAN PERIZINAN USAHA HORTIKULTURA.

BAB IKETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam hal ini yang dimaksud dengan :1. Komoditi hortikultura adalah jenis tanaman yang meliputi tanaman buah, tanaman sayuran, tanaman hias

dan aneka tanaman.2. Usaha Hortikultura adalah usaha budidaya, usaha pasca panen dan atau usaha wisata agro hortikultura.3. Usaha budidaya hortikultura adalah serangkaian kegiatan pengusahaan tanaman hortikultura yang

meliputi kegiatan pembenihan, penyiapan lahan, penanaman, pemeliharaan tanaman dan pemanenan.4. Usaha pasca panen hortikultura adalah serangkaian kegiatan penanganan dan atau pengolahan hasil panen

tanaman hortikultura.5. Usaha wisata agro adalah serangkaian kegiatan yang memanfaatkan usaha hortikultura sebagai objek

wisata.6. Izin Usaha Hortikultura yang selanjutnya disebut IUH adalah izin tertulis yang diberikan oleh pejabat

yang berwenang dan wajib dimiliki oleh perorangan atau badan hukum untuk dapat melakukan usaha perbenihan, usaha budidaya, usaha pasca panen, dan atau usaha wisata agro hortikultura.

7. Kemitraan usaha hortikultura adalah kerjasama usaha antara Perusahaan Mitra dengan perorangan atau kelompok mitra di bidang usaha hortikultura.

8. Surat Pendaftaran Usaha Hortikultura yang selanjutnya disebut SPUH adalah surat yang diberikan oleh pejabat pemberi izin.

Pasal 2

Pedoman Perizinan Usaha Hortikultura bertujuan untuk :a. Memberikan pedoman pelaksanaan pelayanan perizinan usaha hortikultura;b. Mengendalikan dan membina usaha hortikultura dalam rangka pemanfaatan sumber daya alam;c. Memberikan kepastian berusaha.

Pasal 3

Ruang Lingkup Pedoman Perizinan usaha hortikultura ini meliputi :a. Jenis usaha hortikultura;b. Syarat, tata cara pemberian dan pencabutan izin usaha hortikultura;c. Pembinaan dan pengawasan;d. Sanksi administrasi.

~ 714 ~

Page 207: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

BAB IIJENIS USAHA HORTIKULTURA

Pasal 4

(1) Jenis usaha hortikultura dapat dibedakan :a. Usaha Budidaya Hortikulturab. Usaha Pasca Panen;c. Usaha Wisata Agro.

(2) Usaha budidaya hortikultura sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikelompokkan : a. Usaha budidaya tanaman buah;b. Usaha budidaya tanaman sayuran;c. Usaha budidaya tanaman hias;d. Usaha budidaya aneka tanaman

(3) Usaha pasca panen hortikultura sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi pemilahan (sortasi), pengklasifikasian (grading), pengepakan/pengemasan budidaya hortikultura untuk tujuan komersial.

(4) Usaha wisata agro sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi usaha budidaya hortikultura untuk tujuan wisata komersial.

Pasal 5

(1) Usaha budidaya hortikultura, usaha pasca panen dan atau usaha wisata agro sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 yang mempekerjakan tenaga kerja lebih dari 10 (sepuluh) orang tenaga kerja, atau memiliki asset diluar tanah dan bangunan paling sedikit senilai Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah), atau hasil penjualan (omset) selama 1 (satu) tahun paling sedikit senilai Rp. 2.500.000.000,- (dua miliar lima ratus ribu rupiah) wajib memiliki IUH.

(2) Budidaya hortikultura, usaha pasca panen dan atau usaha wisata agro yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan pendaftaran oleh pemberi izin.

Pasal 6

(1) IUH sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (1) dapat diberikan sekaligus kepada pelaku usaha yang melakukan budidaya hortikultura, pasca panen dan atau wisata agro.

(2) Dalam hal pelaku usaha yang memiliki IUH dan akan melakukan deversifikasi usaha wisata agro dapat diberikan izin perluasan usaha hortikultura.

BAB IIISYARAT, TATA CARA PEMBERIAN

DAN PENCABUTAN IZIN USAHA HORTIKULTURA

Pasal 7

Usaha hortikultura dapat dilakukan oleh perorangan Warga Negara Indonesia atau badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia yang meliputi koperasi, perseroan terbatas, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), termasuk Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan Badan Milik Swasta.

Pasal 8

(1) IUH sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (1) diberiksan oleh :a. Gubernur, apabila lokasi lahan usaha hortikultura berada pada lintas kabupaten dan atau Kota;b. Bupati atau Walikota, apabila lokasi lahan usaha hortikultura berada di wilayah daerah Kabupaten

atau Kota.

~ 715 ~

Page 208: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

(2) IUH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama perorangan atau badan hukum masih melakukan usaha hortikultura secara komersial.

Pasal 9

(1) Untuk memperoleh IUH sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (1), perorangan atau badan usaha yang melakukan kegiatan usaha budidaya wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut :a. Akte pendirian atau perubahannya yang terakhir bagi perusahaan, atau Kartu Tanda Penduduk (KTP)

bagi perorangan;b. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);c. Surat keterangan domisili;d. Studi kelayakan usaha dan rencana kerja usaha;e. Rekomendasi teknis kesesuaian lahan dari instansi teknis yang berwenang.

(2) Untuk memperoleh IUH sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (1), perorangan atau badan hukum yang melakukan kegiatan usaha pasca panen wajib memenuhi persyaratan:a. Akte pendirian dan atau perubahannya terakhir, atau Kartu Tanda Penduduk (KTP);b. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);c. Surat keterangan domisili;d. Studi kelayakan usaha dan rencana kerja usahae. Memiliki peralatan dan sarana pasca panen sesuai dengan jenis kegiatan bidang usaha.

(3) Usaha memperoleh IUH sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (1), perorangan atau badan hukum yang melakukan kegiatan usaha Wisata Agro wajib memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan menjaga keamanan plasma nutfah dan mencegah berjangkitnya organisme pengganggu tumbuhan.

Pasal 10

Untuk memperoleh IUH sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (1) bagi investor asing selain harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 harus mendapatkan rekomendasi Menteri Pertanian dalam hal ini Direktur Jenderal Bina Produksi Hortikultura.

Pasal 11

(1) Perorangan atau badan hukum yang melakukan usaha hortikultura yang lokasi lahannya berada pada lintas Kabupaten dan atau Kota, permohonan Izin Usahanya disampaikan kepada Gubernur dengan tembusan kepada Menteri Pertanian dalam hal ini Direktur Jenderal Bina Produksi Hortikultura Departemen Pertanian.

(2) Perorangan atau badan hukum yang melakukan usaha hortikultura yang lokasi lahannya berada di wilayah Kabupaten dan atau Kota, permohonan izin usahanya disampaikan kepada Bupati atau Walikota dengan tembusan kepada Menteri Pertanian dalam hal ini Direktur Jenderal Bina Produksi Hortikultura Departemen Pertanian.

Pasal 12

Perorangan atau badan hukum yang memperoleh IUH wajib :a. paling lambat dalam waktu 2 (dua) tahun sejak diterbitkannya IUH sudah melaksanakan kegiatan usaha

hortikultura.b. merealisasikan pembangunan lahan usaha hortikultura sesuai dengan rencana kerja yang telah disusun dan

sesuai dengan perencanaan makro pembangunan hortikultura secara nasional dan regional.c. mengelola usaha hortikultura secara profesional, transparan, partisipatif, berdaya guna dan berhasil guna.d. membuka lahan tanpa bakar dan mengelola sumberdaya alam secara lestari.e. menumbuhkan dan memberdayakan masyarakat/koperasi setempat.f. melaporkan perkembangan usaha hortikultura secara berkala setiap 12 (dua belas) bulan sekali kepada

pemberi izin dengan tembusan kepada Menteri Pertanian, dalam hal ini Direktur Jenderal Bina Produksi Hortikultura.

g. menerapkan budidaya hortikultura sesuai norma budidaya yang baik.~ 716 ~

Page 209: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

Pasal 13

(1) Dalam pengembangan usaha hortikultura dapat mengikutsertakan masyarakat petani, kelompok tani, gabungan kelompok tani, koperasi dan atau usaha kecil hortikultura, atas dasar perjanjian yang saling menguntungkan.

(2) Pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui kemitraan usaha hortikultura dengan berdasarkan azas persamaan kedudukan, keselarasan, dan peningkatan keterampilan kelompok mitra perusahaan mitra melalui senergi kemitraan, yaitu:a. saling memerlukan dalam arti perusahaan mitra memerlukan pasokan hasil dan kelompok mitra

memerlukan penampungan hasil dan bimbingan.b. saling memperkuat dalam arti baik kelompok mitra maupun perusahaan mitra memiliki tanggung

jawab moral dan etika bisnis, sehingga dapat memperkuat kedudukan masing-masing dalam meningkatkan daya sing usahanya;

c. saling menguntungkan, yaitu kelompok mitra dan perusahaan mitra memperoleh keuntungan layak, dan kesinambungan usaha.

(3) Untuk mendukung pelaksanaan kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Kelompok Mitra perlu :a. merencanakan usaha sejalan dengan rencana perusahaan mitra;b. melaksanakan dan mentaati perjanjian kemitraan;c. memupuk modal dan memanfaatkan pendapatan secara rasional;d. membentuk hubungan melembaga dengan koperasi.

Pasal 14

Kemitraan usaha hortikultura sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat (2) dapat dilaksanakan dengan pola :a. inti plasma;b. sub kontak;c. dagang umum;d. keagenan, ataue. bentuk lain (yang saling disepakati).

Pasal 15

(1) IUH sebagai dimaksud dalam pasal 8 ayat (2) dapat dicabut apabila:a. diserahkan kembali kepada pemberi izin;b. selama 2 (dua) tahun berturut-turut tidak melaksanakan kegiatan usaha hortikultura;c. memindah tangankan IUH kepada pihak lain tanpa persetujuan tertulis dari pemberi izin;d. melakukan perluasan usaha tanpa persetujuan tertulis dari pemberi izin;e. melakukan pemindahan lokasi kegiatan usaha hortikultura tanpa persetujuan tertulis dari pemberi

izin; atauf. tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 12.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Tata Cara pemberian dan pencabutan IUH ditetapkan oleh Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangan pemberian izin sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat (1).

BAB IVPEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Pasal 16

(1) Pembinaan dan pengawasan usaha hortikultura diselenggarakan oleh Gubernur dan Bupati atau Walikota sesuai dengan lingkup kewenangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat (1), yang pelaksanaannya dilakukan oleh unit kerja teknis yang ditunjuk.

(2) Dalam rangka pembinaan dan pengawasan usaha hortikultura sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Gubernur melakukan koordinasi pembinaan dan pengawasan usaha hortikultura diwilayahnya.

~ 717 ~

Page 210: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

(3) Pemerintah menyiapkan pedoman standar, norma, kriteria dan prosedur pembinaan dan pengawasan usaha hortikultura sebagai bagan acuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ada ayat (2).

(4) Direktur Jenderal Bina Produksi Hortikultura melakukan pembinaan pengawasan terhadap pelaksanaan kriteria dan standar perizinan usaha hortikultura.

BAB VKETENTUAN PERALIHAN

Pasal 18

(1) Usaha perbenihan hortikultura diatur dalam Keputusan Menteri Pertanian tersendiri.(2) Dengan ditetapkannya keputusan ini, maka Keputusan Menteri Pertanian Nomor

1018/Kpts/KP.430/12/1999 tentang pendelegasian Wewenang Perizinan dan Pelayanan Masyarakat di Bidang Pertanian Kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Pertanian sepanjang yang menyanghkut Hortikultura dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pasal 19

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di JakartaPada tanggal 23 Juni 2003

MENTERI PERTANIAN,

ttd

Prof. DR. Ir. BUGARAN SARAGIH, M.Ec

SALINAN Keputusan ini disampaikan kepada yth :1. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian;2. Menteri Dalam Negeri;3. Menteri Kehutanan;4. Menteri Perindustrian dan Perdagangan;5. Menteri Negara Lingkungan Hidup / Ketua BAPEDAL;6. Menteri Negara Pariwisata dan Budaya 7. Kepala Badan Pertanahan Nasional;8. Gubernur Propinsi seluruh Indonesia;9. Bupati/Walikota seluruh Indonesia;10. Pimpinan Eselon I di lingkungan Departemen Pertanian.

~ 718 ~

Page 211: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 47/PMK.04/2005

TENTANG

PERUBAHAN KEDUA ATAS KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 135/KMK.05/2000 TENTANG KERINGANAN BEA MASUK ATAS IMPOR MESIN, BARANG DAN BAHAN, DALAM

RANGKA PEMBANGUNAN/PENGEMBANGAN INDUSTRI/INDUSTRI JASA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa sehubungan dengan peningkatan kemampuan di bidang teknis dari instansi Pemerintah untuk melaksanakan verifikasi kebutuhan mesin, barang dan bahan dalam rangka pembangunan industri dan tambahan kebutuhan barang dan bahan dalam rangka pengembangan industri/perusahaan Penanaman Modal asing (PMA)/Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN);

b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut huruf a dan b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perubahan Kedua Atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 135/KMK.05/2000 tentang Keringanan Bea Masuk atas Impor Mesin, Barang dan Bahan, dalam rangka Pembangunan/Pengembangan Industri/Industri Jasa;

c. bahwa data realisasi impor yang dilakukan oleh industri/industri jasa yang mendapatkan fasilitas keringanan Bea Masuk dalam rangka penanaman modal, sangat diperlukan untuk mengetahui kapasitas terpasang suatu industri serta realisasi investasi/penanaman modal;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1967 Nomor 1, Tambahan Lembaran negara Republik Indonesia Nomor 2818) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1970 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2944);

2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1968 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2853) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1970 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2944);

3. Undang-Undang Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3612);

4. Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 20045. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 135/KMK.05/2000 tentang Keringanan

Bea Masuk atas Impor Mesin, Barang dan Bahan, dalam rangka Pembangunan/Pengembangan Industri/Industri Jasa sebagaimana telah diubah dengan Keputusan menteri Keuangan Nomor 28/KMK.05/2001;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 135/KMK.05/2000 TENTANG KERINGANAN BEA MASUK ATAS IMPOR MESIN, BARANG DAN BAHAN, DALAM RANGKA PEMBANGUNAN/PENGEMBANGAN INDUSTRI/INDUSTRI JASA.

Pasal I

Mengubah beberapa ketentuan dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 135/KMK.05/2000 tentang Keringanan Bea Masuk atas Impor Mesin, Barang dan Bahan, dalam rangka Pembangunan/Pengembangan

~ 719 ~

Page 212: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

Industri/Industri Jasa sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 28/KMK.05/2001 sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 4 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 4

(1) Kebutuhan mesin, barang dan bahan dalam rangka pembangunan industri dan tambahan kebutuhan barang dan bahan dalam rangka pengembangan industri, diverifikasi oleh departemen/instansi terkait, yaitu: a. Badan Koordinasi Penanaman Modal bagi Perusahaan PMA/PMDN; b. Departemen Perindustrian atau instansi terkait lainnya bagi perusahaan non PMA/PMDN.

(2) Dalam rangka melakukan verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Badan Koordinasi Penanaman Modal dapat meminta bantuan konsultasi teknis kepada surveyor yang ditunjuk Pemerintah.

(3) Dalam melaksanakan verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Departemen Perindustrian atau instansi terkait lainnya dapat menggunkan surveyor yang ditunjuk Pemerintah.”

2. Ketentuan Pasal 9 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 9

(1) Permohonan untuk mendapatkan fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diajukan kepada: a. untuk Pembangunan Industri dalam rangka PMA/PMDN kepada Kepala Badan Koordinasi

Penanaman Modal atau pejabat yang ditunjuknya; b. untuk Pengembangan Industri PMA/PMDN dan Non PMA/PMDN serta Pembangunan Industri

Non PMA/PMDN kepada Direktur Jenderal Bea dan Cukai atau pejabat yang ditunjuknya. (2) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat 91) memenuhi persyaratan, Kepala Badan

Koordinasi Penanaman Modal/Direktur Jenderal Bea dan Cukai atau pejabat yang ditunjuknya, atas nama Menteri Keuangan memberikan Keputusan Keringanan Bea Masuk, dengan dilampiri daftar mesin atau barang dan bahan yang diberikan keringanan bea masuk serta penunjukan pelabuhan bongkar.

(3) Industri/Industri jasa yang mendapatkan fasilitas keringanan Bea Masuk wajib: a. menyelenggarakan pembukuan pengimporan mesin, barang dan bahan untuk keperluan audit di

bidang kepabeanan; b. menyimpan dan memelihara paling singkat 10 (sepuluh) tahun pada tempat usahanya, dokumen,

catatan-catatn dan pembukuan sehubungan dengan pemberian fasilitas keringanan Bea Masuk; c. menyampaikan laporan tentang realisasi impor.

(4) dalam rangka melaksanakan realisasi impor sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c, dalam rangka investasi/penanaman modal, instansi terkaitmenggunakan surveyor yang ditunjuk Pemerintah.”

Pasal II

Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan mempunyai daya laku surut terhitung sejak tanggal 1 Januari 2005. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 17 Juni 2005

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

ttd,-

JUSUF ANWAR

~ 720 ~

Page 213: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

MENTERI KEUANGAN

REPUBLIK INDONESIA

SALINAN

PERATURAN MENTERI KEUANGAN

NOMOR 16/PMK.03/2007TENTANG

PEMBERIAN FASILITAS PAJAK PENGHASILAN UNTUK PENANAMAN MODALDI BIDANG-BIDANG USAHA TERTENTU DAN/ ATAU

DI DAERAH-DAERAH TERTENTUMENTERI KEUANGAN,

Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pemberian Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3984);

    2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah  terakhir dengan Undang -Undang Nomor 17 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3985);

    3. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4675);

    4. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PEMBERIAN FASILITAS PAJAK PENGHASILAN UNTUK PENANAMAN MODAL DI BIDANG-BIDANG USAHA TERTENTU DAN/ATAU DI DAERAH -DAERAH  TERTENTU.

~ 721 ~

Page 214: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

Pasal 1

    (1) Kepada Wajib Pajak Badan dalam negeri yang berbentuk Perseroan Terbatas atau koperasi, baik yang baru berdiri maupun yang telah ada, yang melakukan penanaman modal baik untuk penanaman modal baru maupun perluasan dari usaha yang telah ada pada bidang-bidang usaha tertentu atau bidang-bidang usaha tertentu dan daerah-daerah tertentu, dapat diberikan fasilitas Pajak Penghasilan.

    (2) Fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut:

      a. pengurangan penghasilan neto sebesar 30% (tiga puluh persen) dari jumlah penanaman modal, dibebankan selama 6 (enam) tahun masing-masing sebesar 5% (lima persen) per tahun;

      b. penyusutan dan amortisasi yang dipercepat, sebagai berikut:

 Kelompok

Aktiva TetapBerwujud

Masa Manfaat Menjadi

Tarif Penyusutan dan Amortisasi Berdasarkan Metode

Garis Lurus Saldo Menurun

    I. Bukan BangunanKelompok I

  2 tahun

  50%

  100% (dibebankan sekaligus)

Kelompok II 4 tahun 25% 50%Kelompok III 8 tahun 12,5% 25%Kelompok IV 10 tahun 10% 20%

II. Bangunan:Permanen 10 tahun 10% -

      Tidak 5 tahun 20% -

      Permanen      

     c. pengenaan Pajak Penghasilan atas dividen yang dibayarkan kepada Subjek Pajak luar negeri sebesar 10% (sepuluh persen), atau tarif yang lebih rendah menurut Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku; dan

    d. kompensasi kerugian yang lebih lama dari 5 (lima) tahun tetapi tidak lebih dari 10 (sepuluh) tahun dengan ketentuan sebagai berikut:

      1) tambahan 1 tahun : apabila penanaman modal baru pada bidang usaha yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 dilakukan di kawasan industri dan kawasan berikat;

      2) tambahan 1 tahun : apabila mempekerjakan sekurang-kurangnya 500 (lima ratus) orang tenaga kerja Indonesia selama 5 (lima) tahun berturut-turut;

      3) tambahan 1 tahun : apabila penanaman modal baru memerlukan investasi/pengeluaran untuk infrastruktur ekonomi dan sosial di lokasi usaha paling sedikit sebesar                 Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah);

      4) tambahan 1 tahun : apabila mengeluarkan biaya penelitian dan

~ 722 ~

Page 215: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

pengembangan di dalam negeri dalam rangka pengembangan produk atau efisiensi produksi paling sedikit 5% (lima persen) dari investasi dalam jangka waktu 5 (lima) tahun; dan/atau

      5) tambahan 1 tahun : apabila menggunakan bahan baku dan atau komponen hasil produksi dalam negeri paling sedikit 70% (tujuh puluh persen) sejak tahun ke 4 (empat).

Pasal 2

    (1) Keputusan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) ditetapkan oleh Menteri Keuangan setelah mempertimbangkan usulan dari Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal.

    (2) Usulan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal dalam rangka pemberian fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disampaikan kepada Menteri Keuangan melalui Direktur Jenderal Pajak dengan melampirkan :

      a. Fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak; dan

      b. Surat persetujuan untuk penanaman modal baru atau surat persetujuan perluasan penanaman modal yang diterbitkan oleh Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal atau instansi lain yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan dilengkapi dengan rinciannya.

    (3) Pemberian fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan yang diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak diterimanya usulan dari Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal secara lengkap dan benar.

Pasal 3

    (1) Dalam hal keputusan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan dikabulkan maka :

      a. fasilitas pengurangan penghasilan neto sebesar 30% (tiga puluh persen) dari jumlah penanaman modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) huruf a dihitung sejak tahun penetapan saat dimulainya produksi komersial;

      b. penambahan jangka waktu fasilitas kompensasi kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) huruf d tidak lebih dari 10 (sepuluh) tahun.

    (2) Keputusan tentang saat dimulainya produksi komersial dan penambahan jangka waktu fasilitas kompensasi kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak berdasarkan hasil pemeriksaan lapangan atas permohonan tertulis Wajib Pajak.

Pasal 4

    (1) Wajib Pajak yang telah memperoleh keputusan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan wajib menyampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak laporan mengenai hal-hal sebagai berikut:

      a. realisasi penanaman modal sampai dengan selesainya seluruh investasi;

      b. realisasi produksi sejak saat dimulainya produksi komersial;

      c. penggunaan aktiva tetap yang digunakan untuk tujuan selain yang diberikan fasilitas;

      d. pengalihan sebagian atau seluruh aktiva tetap yang mendapatkan fasilitas; dan

      e. penggantian aktiva tetap yang dialihkan yang diganti dengan aktiva tetap yang baru.

~ 723 ~

Page 216: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

    (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak setiap semester terhitung sejak dimulainya realisasi penanaman modal sampai dengan selesainya seluruh investasi, paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah akhir semester yang bersangkutan.

    (3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), huruf b, c, d dan e, disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak setiap semester paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah akhir semester yang bersangkutan selama 6 (enam) tahun sejak saat dimulainya produksi komersial.

Pasal 5

    Wajib Pajak yang telah mendapat fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 wajib melampirkan laporan keuangan tahunan yang telah diaudit oleh Kantor Akuntan Publik pada Surat Pemberitahunan Tahunan Pajak Penghasilan.

Pasal 6

    (1) Apabila Wajib Pajak yang telah mendapatkan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) :

      a. menggunakan aktiva tetap yang mendapatkan fasilitas untuk tujuan selain yang diberikan fasilitas; atau

      b. mengalihkan sebagian atau seluruh aktiva tetap yang mendapatkan fasilitas kecuali aktiva tetap yang dialihkan tersebut diganti dengan aktiva tetap baru,

      maka fasilitas Pajak Penghasilan yang telah diberikan terhadap aktiva tetap yang bersangkutan dicabut.

    (2) Terhadap Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan pajak dan sanksi administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.

    (3) Terhadap Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat lagi diberikan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2).

Pasal 7

    Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan ini diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 8

    Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan mempunyai daya laku surut terhitung sejak tanggal 1 Januari 2007.

    Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 19 Februari 2007

 

MENTERI KEUANGAN

~ 724 ~

Page 217: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

 SRI MULYANI INDRAWATI

~ 725 ~

Page 218: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGANNo. 135/KMK.05/2000

TENTANG

KERINGANAN BEA MASUK ATAS IMPOR MESIN, BARANG DAN BAHAN,

DALAM RANGKA PEMBANGUNAN/PENGEMBANGAN INDUSTRI/INDUSTRI JASA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang :a. bahwa untuk mendorong industri dan efisiensi nasional, perlu diberikan kemudahan berupa keringanan Bea

Masuk atas Impor mesin, barang dan bahan, dalam rangka pembangunan/pengembangan industri/industri jasa;

b. bahwa dalam rangka meningkatkan efektivitas pemberian fasilitas Bea Masuk dengan tetap memperhatikan kepentingan penerimaan negara, dipandang perlu mengganti Keputusan Menteri Keuangan No. 297/KMK.01/1997 Jo No.545/KMK.01/1997 dan No.546/KMK.01/1997 ;

Mengingat :

1. Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) (LN RI Tahun 1967 No.1, TLN No.2818) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. Tahun 1970 (LN RI Tahun 1970 No. 46, TLN No. 2943);

2. Undang-Undang No. 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (LN RI Tahun 1968 No. 33, TLN No. 2853) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.12 Tahun 1970 (LN RI Tahun 1970 No. 47, TLN No. 2944);

3. Undang-Undang No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (LN RI Tahun 1984 No.22, TLN No. 3274);4. Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (LN RI Tahun 1995 No.75, TLN No. 3612);5. Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 1986 tentang Kewenangan Pengaturan, Pembinaan dan

Pengembangan Industri (LN RI Tahun 1986 No.23, TLN No. 3330);6. Keputusan Presiden No. 355/M Tahun 1999;7. Keputsan Menteri Keuangan No. 440/KMK.05/1996 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang Dan

Besarnya Tarip Bea Masuk Atas Barang Impor, sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 569/KMK.01/1999;

M E M U T U S K A N :

Menetapkan :

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN TENTANG KERINGANAN BEA MASUK ATAS IMPOR MESIN, BARANG DAN LAIN-LAIN, DALAM RANGKA PEMBANGUNAN/PENGEMBANGAN INDUSTRI/INDUSTRI JASA.

Pasal 1

Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan :1. Pembangunan adalah pendirian baru industri yang menghasilkan barang dan/atau jasa.2. Pengembangan adalah perluasan, diversifikasi hasil produksi dan restrukturisasi (modernisasi dan

rehabilitasi) mesin, peralatan pabrik dan peralatan lainnya beserta komponen-komponennya, untuk tujuan peningkatan kapasitas produksi, mutu, jenis produksi, efisiensi, dari industri/industri jasa yang telah ada.

3. Mesin adalah setiap mesin, permesinan, alat perlengkapan instalasi pabrik, peralatan atau perkakas, dalam keadaan terpasang maupun terlepas yang digunakan untuk pembangunan atau pengembangan industri/industri jasa yang terkait dengan kegiatan industri/industry jasa, tidak termasuk suku cadang dan komponen.

4. Barang dan bahan (bahan baku) adalah semua barang atau bahan, tidak melihat jenis dan komposisinya, yang digunakan sebagai bahan atau komponen untuk menghasilkan barang jadi.

6. Industri adalah perusahaan yang telah mempunyai izin usaha untuk mengolah bahan mentah, bahan baku, bahan setengah jadi, dan/atau barang jadi, menjadi barang dengan nilai yang lebih tinggi untuk penggunaannya, termasuk kegiatan rancang bangun dan perekayasaan industri.

7. Industri jasa adalah perusahaan yang telah memiliki izin usaha yang kegiatannya dibidang jasa, sebagaimana dimaksud dalam lampiran keputusan ini.

~ 726 ~

Page 219: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

Pasal 2

(1)Atas impor mesin dalam rangka pembangunan/pengembangan industri/industri jasa diberikan keringanan Bea Masuk sehingga tarif akhir Bea Masuknya menjadi 5 % (lima persen).

(2)Dalam hal tarif Bea Masuk yang tercantum dalam Buku Tarif Bea Masuk Indonesia (BTBMI) 5 % (lima persen) atau kurang maka yang berlaku adalah tarif Bea Masuk dalam BTBMI.

(3)Keringanan Bea Masuk sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) diberikan untuk jangka waktu pengimporan selama 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal Keputusan keringanan bea masuk .

Pasal 3

(1)Terhadap industri yang telah mendapat keringanan Bea Masuk sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 kecuali industri jasa, dalam rangka pembangunan dapat diberikan kerinngan Bea Masuk atas impor barang dan bahan untuk keperluan produksi 2 (dua) tahun sesuai kapasitas terpasang, sehingga tarif akhir Bea Masuknya menjadi 5 % (lima persen) dengan jangka waktu pengimporan selama 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal keputusan keringanan Bea Masuk atas barang dan bahan.

(2)Terhadap industri yang telah mendapat keringanan Bea Masuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 kecuali industri jasa dalam rangka pengembangan dapat diberikan keringanan Bea Masuk atas barang dan bahan untuk keperluan tambahan produksi 2 (dua) tahun sehingga tarif akhir Bea Masuknya menjadi 5 % (lima persen), apabila pengembangan menambah kapasitas sekurang-kurangnya 30 % (tiga puluh persen) dari besarnya kapasitas terpasang dengan jangka waktu pengimporan selama 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal keputusan keringanan Bea Masuk atas barang dan bahan.

(3)Dalam hal tarif Bea Masuk yang tercantum dalam BTBMI 5 % (lima persen) atau kurang maka yang berlaku adalah tarif Bea Masuk dalam BTBMI.

Pasal 4

(1) Kebutuhan mesin, barang dan bahan dalam rangka pembangunan industri; dan tambahan kebutuhan barang dan bahan dalam rangka pengembangan industri, diverifikasi oleh departemen/instansi terkait, yaitu :a. Badan Koordinasi Penanaman Modal dan Pembinaan BUMN bagi perusahaan PMA/PMDN;b. Departemen Perindustrian dan Perdagangan atau instansi terkait lainnya bagi perusahaan non

PMA/PMDN.(2)Dalam melaksanakan verifikasi, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) khusus dalam rangka

pembangunan, departemen/instansi terkait menggunakan surveyor yang ditunjuk Pemerintah.

Pasal 5

Terhadap industri yang melakukan pembangunan/pengembangan dengan menggunakan mesin produksi buatan dalam negeri dapat diberikan keringanan Bea Masuk atas impor barang dan bahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 untuk keperluan produksi/keperluan tambahan produksi 4 (empat) tahun, dengan jangka waktu pengimporan selama 4 (empat) tahun terhitung sejak tanggal keputusan keringanan Bea Masuk atas barang dan bahan.

Pasal 6

Terhadap impor mesin dalam keadaan bukan baru harus disertai dengan sertifikat dari surveyor yang menyatakan bahwa masin tersebut masih baik dan bukan scraps atau besi tua.

Pasal 7

(1) Fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 tidak berlaku untuk industri perakitan kendaraan bermotor, kecuali industri komponen kendaraan bermotor.

(2) Industri/industri jasa yang telah mendapatkan fasilitas pembebasan/keringanan Bea Masuk berdasarkan ketentuan lain, tidak dapat menggunakan fasilitas keringanan berdasarkan Keputusan ini.

Pasal 8

(1) Permohonan untuk memperoleh keringanan Bea Masuk atas impor mesin, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dalam rangka pembangunan industri, dilampiri dokumen sbb.:a. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);b. Surat Izin Usaha dari departemen/instansi terkait;c. Hasil verifikasi dari departemen/instansi terkait terhadap; kebutuhan mesin, antara lain meliputi

jumlah, jenis, spesifikasi dan harga;

~ 727 ~

Page 220: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

d. Uraian ringkas proses produksi bagi industri yang menghasilkan barang;e. Uraian ringkas kegiatan usaha, bagi industri jasa.

(2) Permohonan untuk memperoleh keringanan Bea Masuk atas impor barang dan bahan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dalam rangka pembangunan industri, dilampiri dokumen sbb.:a. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);b. Surat Izin Usaha dari departemen/instansi terkait;c. Hasil verifikasi dari departemen/instansi terkait terhadap kebutuhan barang dan bahan;d. Foto copi dokumen impor mesin, atau pembelian mesin dalam negeri.

(3) Permohonan untuk memperoleh keringanan Bea Masuk atas impor mesin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dalam rangka pengembangan industri, dilampiri dokumen sbb.:a. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);b. Surat Izin Usaha dari departemen/Instansi terkait;c. Surat Izin Perluasan bagi industri yang melakukan penambahan kapasitas sekurangkurangnya 30 %

(tiga puluh persen) dari besarnya kapasitas terpasang yang disetujui oleh departemen/instansi terkait;d. Daftar Jumlah, jenis, spesifikasi dan harga mesin;e. Uraian ringkas proses produksi bagi industri yang menghasilkan barang;f. Uraian ringkas kegiatan usaha, bagi industri jasa.

(4) Permohonan untuk memperoleh keringanan Bea Masuk atas impor barang dan bahan, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 3 dalam rangka pengembangan industri, dilampiri dokumen sbb.:a. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);b. Surat Izin Usaha dari departemen/instansi terkait;c. Hasil verifikasi dari departemen/instansi terkait terhadap kebutuhan tambahan barang dan bahan;d. Surat Izin Perluasan bagi industri yang melakukan penambahan kapasitas sekurangkurangnya 30 %

(tiga puluh persen) dari besarnya kapasitas terpasang yang disetujui oleh departemen/instansi terkait;e. Fotokopi dokumen impor mesin, atau pembelian mesin dalam negeri.

Pasal 9

(1) Permohonan untuk mendapatkan fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diajukan kepada :a. Untuk Pembangunan Industri dalam rangka PMA/PMDN kepada Kepala Badan Koordinasi

Penanaman Modal dan Pembinaan BUMN atau pejabat yang ditunjuknya;b. Untuk Pengembangan Industri PMA/PMDN dan Non PMA/PMDN serta pembanguan Industri Non

PMA/PMDN kepada Direktur Jenderal Bea dan Cukai atau pejabat yang ditunjuknya.(2) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memenuhi persyaratan, Kepala Badan

Koordinasi Penanaman Modal dan Pembinaan BUMN/Direktur Jendera Bea dan Cukai atau Pejabat yang ditunjuknya atas nama Menteri Keuangan memberika keputusan keringanan Bea Masuk, dengan dilampiri daftar mesin atau barang dan baha yang diberikan keringanan bea masuk serta penunjukan pelabuhan bongkar.

(3) Industri/industri jasa yang mendapatkan fasilitas keringanan bea masuk wajib :a. Menyelenggarakan pembukuan pengimporan mesin, barang dan bahan untuk keperluan audit di

bidang kepabeanan;b. Menyimpan dan memelihara untuk sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun pada tempat usahanya,

dokumen, catatan-catatan dan pembukuan sehubungan dengan pemberian keringanan bea masuk;c. Menyampaikan laporan realisasi impor.

Pasal 10

(1) Atas mesin, barang dan bahan dari bahan yang telah mendapatkan fasilitas keringanan Bea Masuk hanya dapat digunakan untuk kepentingan industri yang bersangkutan.

(2) Penyalahgunaan mesin, barang dan bahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengakibatkan batalnya fasilitas Bea Masuk yang diberikan atas barang tersebut sehingga Bea Masuk yang terhitung harus dibayar dan dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar 100 % (seratus persen) dari kekurangan Bea Masuk.

Pasal 11

Atas barang yang mendapatkan fasilitas keringanan Bea Masuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan atau Pasal 3, apabila pada saat pengimporannya tidak memenuhi ketentuan tentang jumlah, jenis, spesifikasi teknis yang tercantum dalam daftar barang dipungut Bea Masuk dan pungutan impor lainnya.

~ 728 ~

Page 221: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

Pasal 12

(1) Untuk pengamanan hak keuangan negara dan menjamin dipenuhinya ketentuan-ketentuan kepabeanan dan cukai yang berlaku, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai melakukan audit atas pembukuan, catatan-catatan, dan dokumen perusahaan yang berkaitan dengan pemasukan dan penggunaan barang.

(2) Berdasarkan hasil audit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pengusaha bertanggung jawab atas pelunasan Bea Masuk yang terutang dan sanksi administrasi berupa denda.

Pasal 13

(1) Perusahaan yang telah memperoleh fasilitas pembebasan Bea Masuk atas impor mesin, barang dan bahan berdasarkan ketentuan lama dan belum merealisir seluruh impornya dapat tetap menggunakan Keputusan pemberian fasilitas pabean berdasarkan ketentuan lama hingga berakhirnya masa berlaku Keputusan yang bersangkkutan, dengan ketentuan tidak dapat diperpanjang dan atau diubah.

(2) Dengan berlakunya keputusan ini, maka :a. Keputusan Menteri Keuangan No. 297/KMK.01/1997 sebagaimana telah diubah dengan Keputusan

Menteri Keuangan No. 545/KMK.01/1997;b. Keputusan Menteri Keuangan No. 546/KMK.01/1997; dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 14

Ketentuan teknis yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan Keputusan ini diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal Bea dan Cukai dan atau Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal dan Pembinaan BUMN.

Pasal 15

Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di JakartaPada tanggal 1 Mei 2000

Menteri Keuangan

ttd.

Bambang Sudibyo

~ 729 ~

Page 222: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

LAMPIRAN

DAFTAR INDUSTRI JASA YANG DAPAT MEMPEROLEH FASILITAS1. Pariwisata kecuali golf2. Agribisnis/pertanian3. Transportasi/perhubungan4. Pelayanan kesehatan5. Telekomunikasi6. Pusat pertokoan, supermarket, departemen store, terbatas untuk Perusahaan Penanaman Modal Dalam

Negeri dan Non PMA/PMDN7. Pertambangan8. Pekerjaan Umum9. Informasi10. Pendidikan/Penelitian dan Pengembangan (Litbang)11. Kehutanan12. Konstruksi.

Menteri Keuangan

ttd

Bambang Sudibyo

 

~ 730 ~

Page 223: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

PERATURAN MENTERI NEGARA AGRARIA/KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

NOMOR 2 TAHUN 1999

TENTANG

TATA CARA PEMBERIAN IZIN LOKASI PMA/PMDN

MENTERI NEGARA AGRARIA/KEPALA BADAN PERTANAHANNASIONAL

Menimbang : a. Bahwa dalam rangka pengaturan penanaman modal telah ditetapkan ketentuan mengenai keharusan diperolehnya Izan Lokasi sebelum suatu perusahaan memperoleh tanah yang diperlukan untuk melaksanakan rencana penanaman modalnya;

b. Bahwa pemberian Izin Lokasi tersebut pada dasarnya merupakan pengarahan lokasi penanaman modal sebagai pelaksanaan penataan ruang dalam aspek pertanahannya;

c. Bahwa pemberian Izin Lokasi tersebut telah diperluas sehingag meliputi juga izin untuk memperoleh tanah untuk keperluan yang tidak ada hubungannya dengan penanaman modal;

d. Bahwa untuk menjamin terlaksananya maksud Izin Lokasi sebagaimana dimaksud dalam peraturan penanaman modal termaksud di atas, perlu mengembalikan fungsi Izin Lokasi tersebut dan membatasinya untuk keperluan penanaman modal dengan menetapkan ketentuan umum mengenai Izin Lokasi dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional.

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria;2. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, sebagaimana

telah diubah dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1970;3. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri,

sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1970;4. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Ketentuanketentuan Pokok

Pemerintahan di Daerah;5. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang; 6. Peraaturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna

Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah;7. Peraaturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah; 8. Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tentang Badan Pertanahan Nasional; 9. Keputusan Presiden Nomor 97 Tahun 1993 tentang Tata Cara Penanaman Modal

sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 115 Tahun 1998; 10. Keputusan Presiden Nomor 101 Tahun 1998 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi,

Susunan Organisasi dan Tata Kerja Menteri Negara; 11. Keputusan Presiden Nomor 122/M Tahun 1998 tentang Kabinet Reformasi

Pembangunan;MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN MENTERI NEGARA AGRARIA/KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL TENTANG IZIN LOKASI

~ 731 ~

Page 224: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

BAB IKETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Paraturan ini yang dimaksud dengan :1. Izin Lokasi adalah izin yang diberikan kepada perusahaan untuk memperoleh tanah yang diperlukan

dalam rangka penanaman modal yang berlaku pula sebagai izin pemindahan hak, dan untuk menggunakan tanah tersebut guna keperluan usaha penanaman modalnya.

2. Perusahaan adalah perseorangan atau badan hokum yang telah memperoleh izin untuk penanaman modal di Indonesia sesuai ketentuan yang berlaku.

3. Group perusahaan adalah dua atau lebih badan usaha yang sebagian sahamnya dimiliki oleh orang atau oleh badan hokum yang sama baik secara langsung maupun melalui badan hokum lain, dengan jumlah atau sifat pemilikan sedemikian rupa, sehingga melalui pemilikan saham tersebut dapat langsung atau tidak langsung menentukan penyelenggaraan atau jalannya badan usaha.

4. Penanaman modal adalah usaha menanamankan modal yang menggunakan maupun yang tidak menggunakan fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing sebagaimana telah diubah dengan Undangundang Nomor 11 Tahun 1970 dan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1970;

5. Hak atas tanah adalah hak-hak atas tanah sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 16 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960;

6. Kantor Pertanahan adalah Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya

Pasal 2

(1) Setiap perusahaan yang telah memperoleh persetujuan penanaman modal wajib mempunyai Izin Lokasi untuk memperoleh tanah yang diperlukan untuk melaksanakan rencana penanaman modal yang bersangkutan, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

(2) Izin Lokasi tidak diperlukan dan dianggap sudah dipunyai oleh perusahaan yang bersangkutan dalam hal :a. tanah yang akan diperoleh merupakan pemasukan (inbreng) dari para pemegang saham, b. tanah yang akan diperoleh merupakan tanah yang sudah dikuasai oleh perusahaan lain dalam

rangka melanjutkan pelaksanaan sebagian atau seluruh rencana penanaman modal perusahaan lain tersebut, dan untuk itu telah diperoleh persetujuan dari instansi yang berwenang,

c. tanah yang akan diperoleh diperlakukan dalam rangka melaksanakan usaha industri dalam suatu Kawasan Industri,

d. tanah yang akan diperoleh berasal dari otorita atau badan penyelenggara pengembangan suatu kawasan sesuai dengan rencana tata ruang kawasan pengembangan tersebut,

e. tanah yang akan diperoleh diperlukan untuk perluasan usaha yang sudah berjalan untuk perluasan itu telah diperoleh izin perluasan usaha sesuai ketentuan yang berlaku, sedangkan letak tanah tersebut berbatasan dengan lokasi usaha yang bersangkutan,

f. tanah yang akan diperlukan untuk melaksanakan rencana penanaman modal tidak lebih dari 25 Ha (dua puluh lima hektar) untuk usaha pertanian atai tidak lebih dari 10.000 m2 (sepuluh ribu meter persegi) untuk usaha bukan pertanian, atau

g. tanah yang akan dipergunakan untuk melaksanakan rencana penanaman modal adalah tanah yang sudah dipunyai oleh perusahaan yang bersangkutan, dengan ketentuan bahwa tanah-tanah tersebut terletak di lokasi yang menurut Rencana Tata Ruang Wilayah yang berlaku diperuntukkan bagi penggunaan yang sesuai dengan rencana penanaman modal yang bersangkutan.

(3) Dalam hal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) perusahaan yang bersangkutan memberitahukan rencana perolehan tanah dan atau penggunaan tanah yang bersangkutan kepada Kantor Pertanahan.

~ 732 ~

Page 225: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

BAB IITANAH YANG DAPAT DITUNJUK DENGAN IZIN LOKASI

Pasal 3

Tanah yang dapat ditunjuk dalam Izin Lokasi adalah tanah yang menurut Rencana Tata Ruang Wilayah yang berlaku diperuntukkan bagi penggunaan yang sesuai dengan rencana penanaman modal yang akan dilaksanakan oleh perusahaan menurut persetujuan penanaman modal yang dipunyainya.

Pasal 4

(1) Izin Lokasi dapat diberikan kepada perusahaan yang sudah mendapat persetujuan penanaman modal sesuai ketentuan yang berlaku untuk memperoleh tanah dengan luas tertentu sehingga apabila perusahaan tersebut berhasil membebaskan seluruh areal yang ditunjuk, maka luas penguasaan tanah oleh perusahaan tersebut dan perusahaan-perusahaan lain yang merupakan satu group perusahaan dengannya tidak lebih dari luasan sebagai berikut :a. Untuk usaha pengembangan perumahan dan permukiman :

1) kawasan perumahan - pemukiman : 1 propinsi : 400 Haseluruh Indonesia : 4.000 Ha

2) kawasan resort - perhotelan 1 propinsi : 200 Haseluruh Indonesia : 2.000 Ha

b. Untuk usaha kawasan Industri : 1 propinsi : 400 HaSeluruh Indonesia : 4.000 Ha

c. Untuk usaha Perkebunan yang diusahakan dalam bentuk Perkebunan besar dengan diberikan Hak Guna Usaha :1) komoditas tebu : 1 propinsi : 60.00 Ha

Seluruh Indonesia : 150.000 Ha2) komoditas lainnya : 1 propinsi : 20.000 Ha

Seluruh Indonesia : 100.000 Had. Untuk usaha Tambak

1) Di P. Jawa : 1 propinsi : 100 HaSeluruh Indonesia : 1.000 Ha

2) Diluar P Jawa : 1 propinsi : 200 HaSeluruh Indonesia : 2.000 Ha

(2) Khusus untuk Propinsi Daerah Tingkat I Irian Jaya maksimum luas penguasaan tanah adalah dua kali maksimum luas penggunaan tanah untuk satu Propinsi di luar Jawa sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) Untuk Keperluan menentukan luas areal yang ditunjuk dalam Izin Lokasi perusahaan pemohon wajib menyampaikan pernyataan tertulis mengenai luas tanah yang sudah dikuasai olehnya dan perusahaan-perusahaan lain yang merupakan group dengannya.

(4) Ketentuan di dalam pasal ini tidak berlaku untuk :a. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang berbentuk Perusahaan Umum (PERUM) dan Badan

Usaha Milik Daerah (BUMD);b. Badan Usaha yang seluruh atau sebagian besar sahamnya dimiliki oleh Negara, baik Pemerintah

Pusat maupun Pemerintah Daerah;c. Badan Usaha yang seluruh atau sebagian besar sahamnya dimiliki oleh masyarakat dalam rangka

"go public".

~ 733 ~

Page 226: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

BAB IIIJANGKA WAKTU IZIN LOKASI

Pasal 5

(1) Izin Lokasi diberikan untuk jangka waktu sebagai berikut :a. Izin Lokasi seluas sampai dengan 25 Ha : 1 (satu) tahun;b. Izin Lokasi seluas lebih dari 25 Ha s/d 50 Ha : 2 (dua) tahun; c. Izin Lokasi seluas lebih dari 50 Ha : 3 (tiga) tahun.

(2) Perolehan tanah oleh pemegang Izin Lokasi harus diselesaikan dalam jangka waktu Izin Lokasi.(3) Apabila dalam jangka waktu Izin Lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) perolehan tanah belum

selesai, maka Izin Lokasi dapat diperpanjang jangka waktunya selama 1 (satu) tahun apabila tanah yang sudah diperoleh mencapai lebih dari 50% dari luas tanah yang ditunjuk dalam Izin Lokasi.

(4) Apabila perolehan tanah tidak dapat diselesaikan dalam jangka waktu Izin Lokasi, termasuk perpanjangannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3), maka perolehan tanah tidak dapat lagi dilakukan oleh pemegang Izin Lokasi dan terhadap bidang-bidang tanah yang sudah diperoleh dilakukan tindakan sebagai berikut :a. dipergunakan untuk melaksanakan rencana penanaman modal dengan penyesuaian mengenai luas

pembangunan, dengan ketentuan bahwa apabila diperlukan masih dapat dilaksanakan perolehan tanah sehingga diperoleh bidang tanah yang merupakan satu kesatuan bidang;

b. dilepaskan kepada perusahaan atau pihak lain yang memenuhi syarat.

BAB IVTATA CARA PEMBERIAN IZIN LOKASI

Pasal 6

(1) Izin Lokasi diberikan berdasarkan peritmbangan mengenai aspek penguasaan tanah dan tata guna tanah yang meliputi keadaan hak serta penguasaan tanah yang bersangkutan, penilaian fisik wilayah, penggunaan tanah, serta kemampuan tanah.

(2) Surat keputusan pemberian Izin Lokasi ditandatangani oleh Bupati/Walikotamadya atau, untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta, oleh Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta diadakan rapat koordinasi antar instansi terkait, yang dipimpin oleh Bupati/Walikotamadya atau, untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta, oleh Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta, atau oleh pejabat yang ditunjuk secara tetap olehnya.

(3) Bahan-bahan untuk keperluan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan rapat koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipersiapkan oleh Kepala Kantor Pertanahan.

(4) Rapat koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disertai konsultasi dengan masyarakat pemegang hak atas tanah dalam lokasi yang dimohon.

(5) Konsiltasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi empat aspek sebagai berikut :a. Penyebarluasan informasi mengenai rencana penanaman modal yang akan dilaksanakan, ruang

lingkup dampaknya dan rencana perolehan tanah serta penyelesaian masalah yang berkenaan dengan perolehan tanah tersebut;

b. Pemberian kesempatan kepada pemegang hak atas tanah untuk memperoleh penjelasan tentang rencana penanaman modal dan mencari alternatif pemecahan masalah yang ditemui;

c. Pengumpulan informasi langsung dari masyarakat untuk memperoleh data social dan lingkungan yang diperlukan;

d. Peran serta masyarakat berupa usulan tentang alternatif bentuk dan besarnya ganti kerugian dalam perolehan tanah dalam pelaksanaan Izin Lokasi.

~ 734 ~

Page 227: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

Pasal 7

(1) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian Izin Lokasi ditetapkan oleh Bupati/Walikotamadya atau, untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta, oleh Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

(2) Sebelum ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan pemberian Izin Lokasi dilaksanakan menurut Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan nomor 2 Tahun 1993 tentang Tata Cara Memperoleh Izin Lokasi dan Hak Atas Tanah Dalam Rangka Penanaman Modal dan ketentuan pelaksanaannya dengan penyesuaian seperlunya dengan ketentuan dalam peraturan ini.

BAB VHAK DAN KEWAJIBAN PEMEGANG IZIN LOKASI

Pasal 8

(1) Pemegang Izin Lokasi diizinkan untuk membebaskan tanah dalam areal Izin Lokasi dari hak dan kepentingan pihak lain berdasarkan kesepakatan dengan pemegang hak atau pihak yang mempunyai kepentingan tersebut dengan cara jual beli, pemberian ganti kerugian, konsolidasi tanah atau cara lain sesuai ketentuan yang berlaku.

(2) Sebelum tanah yang bersangkutan dibebaskan oleh pemegang Izin Lokasi sesuai ketentuan pada ayat (1), maka semua hak atau kepentingan pihak lain yang sudah ada atas tanah yang bersangkutan tidak berkurang dan tetap diakui, termasuk kewenangan yang menurut hokum dipunyai oleh pemegang hak atas tanah untuk memperoleh tanda bukti hak (sertifikat), dan kewenangan untuk menggunakan dan memanfaatkan tanahnya bagi keperluan pribadi atau usahanya sesuai rencana tata ruang yang berlaku, serta kewenangan untuk mengalihkannya kepada pihak lain.

(3) Pemegang tanah yang bersangkutan dibebaskan dari pihak-pihak lain atas tanah yang belum dibebaskan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak menutup atau mengurangi aksebilitas yang dimiliki masyarakat di sekitar lokasi, dan menjaga serta melindungi kepantingan umum.

(4) Sesudah tanah yang bersangkutan dibebaskan dari hak dan kepentingan pihak lain, maka kepada pemegang Izin Lokasi dapat diberikan hak atas tanah yang memberikan kewenangan kepadanya untuk menggunakan tanah tersebut sesuai dengan keperluan untuk melaksanakan rencana penanaman modalnya.

Pasal 9

Pemegang Izin Lokasi berkewajiban untuk melaporkan secara berkala setiap 3(tiga) bulan kepada Kepala Kantor Pertanahan mengenai perolehan tanah yang sudah dilaksanakan berdasarkan Izin Lokasi dan pelaksanaan penggunaan tanah tersebut.

BAB VIIKETENTUAN PENUTUP

Pasal 10

Izin Lokasi yang sudah dikeluarkan sebelum berlakunya peraturan ini tetap berlaku sampai jangka waktunya habis, dengan ketentuan bahwa apabila Izin Lokasi tersebut menunjuk areal yang melebihi luas tertentu sebagaimana dimaksud dalam pasal 4, maka Izin Lokasi itu hanya dapat dileksanakan sesudah berlakunya peraturan ini untuk luas areal yang sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 4 tersebut.

~ 735 ~

Page 228: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

Pasal 11

Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di JakartaPada tanggal 10 Pebruari 1999

MENTERI NEGARA AGRARIA/KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

ttd

HASAN BASRI DURIN

~ 736 ~

Page 229: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN Nomor : 728/Kpts-II/1998

TENTANG

LUAS MAKSIMUM PENGUSAHAAN HUTAN DAN PELEPASAN KAWASAN HUTAN UNTUK BUDIDAYA PERKEBUNAN

MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN,

Menimbang : 1. bahwa sumber daya hutan merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang perlu dimanfaatkan untuk

sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat; 2. bahwa untuk memperoleh manfaat yang adil dan merata bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat

perlu diatur penataan luas maksimum pengusahaan hutan dan pelepasan kawasan hutan untuk budidaya perkebunan dengan lebih memberikan peluang usaha kepada pengusaha kecil, menengah dan koperasi agar tumbuh dan berkembang menjadi kekuatan ekonomi rakyat yang nyata;

3. bahwa sehubungan dengan hal-hal tersebut diatas, maka perlu ditetapkan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan tentang Penataan Luas Maksimum Pengusahaan Hutan dan Pelepasan Kawasan Hutan Untuk Budidaya Perkebunan.

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan; 2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan

Ekosistemnya;

3. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman;

4. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang;

5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup;

6. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan;

7. Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1970 tentang Perencanaan Hutan;

8. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan;

9. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1990 tentang Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri;

10. Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1998 tentang Kedudukan, Tugas, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen;

11. Keputusan Presiden nomor 122/M Tahun 1998 tentang Pembentukan Kabinet Reformasi Pembangunan.

Memperhatikan :Hasil Sidang Kabinet Terbatas Bidang Ekuin tanggal 21 September 1998

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN TENTANG LUAS MAKSIMUM PENGUSAHAAN HUTAN DAN PELEPASAN KAWASAN HUTAN UNTUK BUDIDAYA PERKEBUNAN

Pasal 1

~ 737 ~

Page 230: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan Group Perusahaan adalah perusahaan-perusahaan yang saham mayoritasnya dimiliki oleh pemegang saham yang sama.

Pasal 2

Tujuan ketentuan luas maksimum pengusahaan hutan dan pelepasan kawasan hutan untuk budidaya perkebunan adalah untuk meningkatkan peran serta masyarakat, meningkatkan efisiensi dan produktifitas dalam memanfaatkan sumber daya alam, serta untuk mewujudkan azas keadilan dan azas pembangunan yang berkelanjutan dalam rangka memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat.

Pasal 3

(1) Luas hak yang dapat diberikan kepada perusahaan swasta dalam pengusahaan hutan dan izin pelepasan areal hutan untuk budidaya perkebunan diadakan penataan kembali. (2) Penataan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku baik bagi satu perusahaan maupun group perusahaan.

Pasal 4

Penataan luas pengusahaan hutan dan pelepasan kawasan hutan untuk budidaya perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 untuk suatu perusahaan atau group perusahaa diatur sebagai berikut: 1. Luas maksimum Hak Pengusahaan Hutan atau Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri baik untuk

tujuan pulp maupun untuk tujuan non pulp dalam 1 (satu) Propinsi 100.000 (seratus ribu) hektar dan untuk seluruh Indonesia 400.000 (empat ratus ribu) hektar.

2. Luas maksimum pelepasan kawasan hutan untuk budidaya perkebunan bagi semua komoditas kecuali tebu yang diusahakan dalam bentuk perkebunan besar untuk 1 (satu) Propinsi 20.000 (dua puluh ribu) hektar dan untuk seluruh Indonesia 100.000 (seratus ribu) hektar.

3. Bagi permohonan yang telah memiliki HGU perkebunan seluas 20.000 (dua puluh ribu) hektar atau lebih di Propinsi yang bersangkutan atau 100.000 (seratus ribu) hektar atau lebih di wilayah Indonesia, tidak diberikan lagi persetujuan prinsip atau pelepasan kawasan hutan oleh Menteri Kehutanan dan Perkebunan untuk usaha perkebunan.

4. Luas maksimum pelepasan kawasan hutan untuk budidaya perkebunan dengan komoditas tebu untuk 1 (satu) Propinsi 60.000 (enam puluh ribu) hektar, dan untuk seluruh Indonesia 150.000 (seratus lima puluh ribu) hektar.

5. Untuk Hak Pengusahaan Hutan atau Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri yang melaksanakan budidaya perkebunan atau sistem campuran dengan budidaya perkebunan, maka luas maksimum untuk budidaya perkebunannya mengikuti butir b dan c.

Pasal 5

Luas maksimum pengusahaan hutan dalam bentuk Hak Pengusahaan Hutan atau Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri pulp dan non pulp dan pelepasan kawasan hutan untuk budidaya perkebunan untuk Irian Jaya adalah 2 (dua) kali luas maksimum untuk 1 (satu) Propinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.

Pasal 6

Pengusahaan hutan dan pelepasan kawasan untuk budidaya perkebunan tidak dapat diberikan pada kawasan lindung berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) yang telah dipaduserasikan dengan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) atau Rencana Pengukuhan dan Penatagunaan Hutan (RPPH).

Pasal 7

Hak Pengusahaan Hutan yang diberikan sebelum berlakunya keputusan ini dan melampaui batasan luas maksimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 5 tetapi telah dikelola sesuai rencana yang disahkan oleh Pemerintah dinyatakan masih tetap berlaku sampai habis masa berlakunya.

Pasal 8

~ 738 ~

Page 231: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

(1) Pencadangan areal Hak Pengusahaan Hutan yang telah diberikan sebelum berlakunya keputusan ini dinyatakan tetap berlaku dengan batas waktu maksimum 1 (satu) tahun terhitung sejak diterbitkannya persetujuan pencadangan.

(2) Persetujuan prinsip pelepasan kawasan hutan untuk usaha perkebunan yang telah diberikan sebelum berlakunya keputusan ini dinyatakan tetap berlaku dengan batas waktu maksimum 1 (satu) tahun terhitung sejak diterbitkannya persetujuan prinsip.

Pasal 9

Hal-hal yang belum diatur dan/atau belum cukup diatur dalam keputusan ini akan diatur kemudian.

Pasal 10

Dengan ditetapkannya Keputusan ini, maka Keputusan yang ada sebelumnya yang tidak sejalan atau bertentangan dengan Keputusan ini, dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 11

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di : J A K A R T A Pada tanggal : 9 Nopember 1998

MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN,ttd. Dr. Ir. MUSLIMIN NASUTION

Salinan Keputusan iniDisampaikan kepada Yth. :

1. Para Menteri Kabinet Reformasi Pembangunan 2. Para Ketua Lembaga Non Departemen

3. Para Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I seluruh Indonesia

4. Para Pejabat Eselon I lingkup Departemen Kehutanan dan Perkebunan

5. Para Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehutanan dan Perkebunan Propinsi seluruh Indonesia

6. Para Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Dati I seluruh Indonesia

7. Para Kepala Dinas Perkebunan Propinsi Dati I seluruh Indonesia

~ 739 ~

Page 232: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIANOMOR : 13/M-DAG/PER/3/2009

TENTANG

PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI PERDAGANGANNOMOR 12/M-DAG/PER/4/2008

TENTANG KETENTUAN IMPOR DAN EKSPOR BERAS

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa memperhatikan kondisi perberasan nasional yang kondusif saat ini, maka beras nasional berpotensi untuk diekspor dengan tetap memperhatikan ketahanan pangan;

b. bahwa untuk mencapai ketahanan pangan, peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani beras, serta menciptakan stabilitas ekonomi nasional perlu didukung dengan kebijakan di bidang ekspor beras;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b perlu ditetapkan Peraturan Menteri Perdagangan;

Mengingat : 1. Bedrijfsreglementerings Ordonantie 1934 (Staatsblad tahun 1938 Nomor 86) sebagaimana telah diubah dan ditambah;

2. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3482);

3. Undang-undang Nomor 7 tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia), (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3564); Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor : 13/M-DAG/PER/3/2009

4. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 75 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3612) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4661);

5. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 99, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3656);

6. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2002 tentang Karantina Tumbuhan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 35, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4196);

7. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 142, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4254);

8. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 260 Tahun 1967 tentang Penegasan Tugas dan Tanggung Jawab Menteri Perdagangan dalam Bidang Perdagangan Luar Negeri;

9. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 187/M Tahun 2005 tentang Pembentukan Kabinet Gotong Royong sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 171/M Tahun 2005;

10. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008;

11. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2005 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Kementerian Negara Republik Indonesia, sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008;

~ 740 ~

Page 233: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

12. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 558/MPP/Kep/12/1998 tentang Ketentuan Umum Di Bidang Ekspor sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 01/M-DAG/PER/1/2007; Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor : 13/M-DAG/PER/3/2009

13. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 01/M-DAG/PER/3/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Perdagangan sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 34/M-DAG/PER/8/2007;

14. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 12/M-DAG/PER/4/2008 tentang Ketentuan Impor dan Ekspor Beras;

Memperhatikan : 1. Surat Menteri Koordinator Bidang Perekonomian kepada Presiden Republik Indonesia Nomor S-18/M.EKON/03/2009 tanggal 11 Maret 2009 perihal Perkembangan Situasi Kebutuhan Pokok Rakyat Khususnya Beras, Minyak Goreng dan Gula;

2. Surat Menteri Pertanian kepada Menteri Perdagangan Nomor 53/PP.310/M/3/2009 tanggal 11 Maret 2009 Perihal Mekanisme Ekspor Beras Khusus/tertentu;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN NOMOR 12/M-DAG/PER/4/2008 TENTANG KETENTUAN IMPOR DAN EKSPOR BERAS.

Pasal I

Beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 12/M-DAG/PER/4/2008 tentang Ketentuan Impor dan Ekspor Beras diubah sebagai berikut:1. Mengubah Bab V Pasal 10 ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), ayat (6) dan ayat (7) sehingga menjadi

berbunyi sebagai berikut:

BAB VEKSPOR BERAS

Pasal 10

(1) Ekspor beras untuk jenis tertentu sebagaimana tercantum dalam Lampiran III Peraturan Menteri ini hanya dapat dilakukan apabila persediaan beras di dalam negeri telah melebihi kebutuhan. Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor : 13/M-DAG/PER/3/2009

(2) Ekspor beras sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk jenis Beras Berkulit dalam hal ini padi atau gabah khusus untuk keperluan benih dengan pos tarif/HS 1006.10.00.00, Beras Wangi bukan Thai Hom Mali dengan pos tarif/HS 1006.30.19.00, dan Jenis beras Lain-lain dengan pos tarif/HS 1006.30.90.00 :a. dengan tingkat kepecahan paling tinggi 5% dapat dilakukan oleh Perusahaan Badan Usaha Milik

Negara, Badan Usaha Milik Daerah atau Perusahaan Swasta;b. dengan tingkat kepecahan di atas 5% sampai dengan 25% hanya dapat dilakukan oleh Perusahan

Umum BULOG.(3) Setiap Perusahaan dapat melakukan ekspor beras sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk jenis Beras

Ketan Pulut dengan pos tarif/HS 1006.30.30.00.(4) Ekspor Beras untuk:

a. Jenis beras sebagaimana dimaksud pada ayat (2) butir a dan ayat (3) hanya dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan ekspor dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk dengan memperhatikan rekomendasi dari Menteri Pertanian atau pejabat yang ditunjuk melalui pembahasan dengan instansi terkait;

b. Jenis beras sebagaimana dimaksud pada ayat (2) butir b hanya dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan ekspor dari Menteri dengan memperhatikan rekomendasi dari Tim Koordinasi.

(5) Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) untuk memperoleh persetujuan ekspor beras harus mengajukan permohonan tertulis kepada Menteri melalui Direktur Jenderal dengan melampirkan:a. Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP);b. Tanda Daftar Perusahaan (TDP); dan

~ 741 ~

Page 234: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

c. Rekomendasi dari Menteri Pertanian atau Pejabat yang ditunjuk, untuk ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) butir a dan ayat (3); atau Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor : 13/M-DAG/PER/3/2009

d. Rekomendasi dari Tim Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) butir b.(6) Persetujuan atau penolakan permohonan ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diterbitkan paling

lambat 5 (lima) hari kerja sejak diterimanya surat permohonan secara lengkap.(7) Beras Ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) harus dikemas dalam kemasan dengan

mencantumkan identitas perusahaan, diproduksi di Indonesia/Produced in Indonesia, Prime Quality/Level of Broken.

2. Mengubah Pasal 15 sehingga berbunyi sebagai berikut :

Pasal 15

(1) Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) dan Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) yang telah mendapat persetujuan impor atau ekspor beras wajib menyampaikan laporan pelaksanaan impor dan ekspor beras secara tertulis kepada Menteri, dengan tembusan disampaikan kepada:a. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian; danb. Menteri Pertanian.

(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan setiap bulan, paling lambat pada tanggal 15 bulan berikutnya.

3. Lampiran III dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 12/M-DAG/PER/4/2008 tentang Ketentuan Impor dan Ekspor Beras diubah sehingga menjadi sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri ini. Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor : 13/M-DAG/PER/3/2009

Pasal II

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal 1 April 2009.Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakartapada tanggal 30 Maret 2009

MENTERI PERDAGANGAN R.I.,

ttd

MARI ELKA PANGESTU

Salinan sesuai dengan aslinyaSekretariat Jenderal Departemen Perdagangan

Kepala Biro Hukum,

ttd

WIDODO

~ 742 ~

Page 235: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

Peraturan Menteri Perdagangan RINomor : 13/MDAG/PER/3/2009

LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN R.I.NOMOR : 13/M-DAG/PER/3/2009TANGGAL : 30 Maret 2009

Jenis Beras Tertentu Yang Dapat Diekspor

No. Pos Tarif/HS Uraian Barang Keterangan

10.06 Beras1. 1006.10.00.00 - Beras berkulit (padi atau

gabah)Hanya untuk keperluan benih

1006.30 - Beras setengah digiling atau digiling seluruhnya, disosoh, dikilapkan maupun tidak

--Beras wangi2. 1006.30.19.00 --Lain-lain Beras Wangi3. 1006.30.30.00 --Beras Ketan pulut;4. 1006.30.90.00 --Lain-lain Non Beras Wangi

MENTERI PERDAGANGAN R.I.,

ttd

MARI ELKA PANGESTU

Salinan sesuai dengan aslinyaSekretariat Jenderal Departemen Perdagangan

Kepala Biro Hukum,

ttd

WIDODO

~ 743 ~

Page 236: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

KEPUTUSAN

KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL

NOMOR : 57 / SK / 2004

TENTANG

PEDOMAN DAN TATACARA PERMOHONAN PENANAMAN MODAL

YANG DIDIRIKAN DALAM RANGKA

PENANAMAN MODAL DALAM NEGERI DAN PENANAMAN MODAL ASING

KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL

Menimbang :

a. bahwa dalam rangka meningkatkan efektivitas dalam menarik penanam modal untuk melakukan investasi di Indonesia, telah diterbitkan Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal Dalam Rangka Penanaman Modal Asing (PMA) Dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) Melalui Sistem Pelayanan Satu Atap.

b. bahwa berkenaan dengan butir a tersebut di atas dipandang perlu menyempurnakan kembali pedoman dan tatacara permohonan penanaman modal dalam rangka Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan Penanaman Modal Asing (PMA).

Mengingat :

1. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1967 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2818), sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1970 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2943) ;

2. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1968 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2853), sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1970 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2944) ;

3. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3984).

4. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3264), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3986).

5. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3587);

6. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3611);

7. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3612);

8. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4279);

9. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1986 tentang Jangka Waktu Izin Penanaman Modal Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3335), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1993 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1993 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3515);

10. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994 tentang Pemilikan Saham Dalam Perusahaan Yang Didirikan Dalam Rangka Penanaman Modal Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 28), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2001 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4162);

11. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 91, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3718);

~ 744 ~

Page 237: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

12. Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 1981 tentang Badan Koordinasi Penanaman Modal, sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 2004;

13. Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1995 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Warga Negara Asing Pendatang;

14. Keputusan Presiden Nomor 90 Tahun 2000 tentang Kantor Perwakilan Perusahaan Asing (KPPA)15. Keputusan Presiden Nomor 96 Tahun 2000 tentang Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Bidang Usaha Yang

Terbuka Dengan Persyaratan Tertentu Bagi Penanaman Modal, sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 118 Tahun 2000;

16. Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, Dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen, sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 30 Tahun 2003;

17. Keputusan Presiden Nomor 110 Tahun 2001 tentang Unit Organisasi Dan Tugas Eselon I Lembaga Pemerintah Non Departemen, sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2004;

18. Keputusan Presiden Nomor 127 Tahun 2001 tentang Bidang/Jenis Usaha Yang Dicadangkan Untuk Usaha Kecil Dan Bidang/Jenis Usaha Yang Terbuka Untuk Usaha Menengah Atau Besar Dengan Syarat Kemitraan;

19. Keputusan Presiden Nomor 197/M Tahun 2001;20. Keputusan Presiden Nomor 87 Tahun 2003 tentang Tim Nasional Peningkatan Ekspor Dan Peningkatan

Investasi;21. Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal Dalam Rangka

Penanaman Modal Asing Dan Penanaman Modal Dalam Negeri Melalui Sistem Pelayanan Satu Atap;22. Keputusan Menteri Negara Penggerak Dana Investasi/Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor

15/SK/1994 tentang Ketentuan Pelaksanaan Pemilikan Saham Dalam Perusahaan Yang Didirikan Dalam Rangka Penanaman Modal Asing;

23. Keputusan Menteri Negara Penggerak Dana Investasi/Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 22/SK/1996 tentang Pemantauan Dan Evaluasi, Pembinaan Dan Pengawasan Pelaksanaan Penanaman Modal;

24. Keputusan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 02/SK/2002 tentang Organisasi Dan Tata Kerja Badan Koordinasi Penanaman Modal, sebagaimana telah di ubah dengan Keputusan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 42/SK/2003.

M E M U T U S K A N :

Menetapkan : KEPUTUSAN KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL TENTANG PEDOMAN DAN TATA CARA PERMOHONAN PENANAMAN MODAL YANG DIDIRIKAN DALAM RANGKA PENANAMAN MODAL DALAM NEGERI DAN PENANAMAN MODAL ASING.

BAB IKETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan :1. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) adalah instansi Pemerintah yang menangani kegiatan

penanaman modal dalam rangka Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan Penanaman Modal Asing (PMA);

2. Permohonan penanaman modal baru adalah permohonan untuk mendapatkan persetujuan penanaman modal baik penanaman modal dalam rangka Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan Penanaman Modal Asing (PMA) beserta fasilitasnya yang diajukan oleh calon penanam modal untuk mendirikan dan menjalankan usaha baru.

3. Permohonan perluasan penanaman modal adalah permohonan untuk mendapatkan persetujuan penambahan modal beserta fasilitasnya dalam rangka penambahan kapasitas terpasang yang disetujui dan/atau menambah jenis produksi barang/jasa.

4. Perluasan penanaman modal di subsektor tanaman pangan dan perkebunan adalah penambaha modal untuk membiayai satu atau lebih kegiatan sebagai berikut:- Diversifikasi, yaitu menambah jenis tanaman;- Peremajaan/rehabilitasi yang menggunakan bibit unggul;- Intensifikasi, yaitu meningkatkan produksi tanpa menambah lahan;- Menambah kapasitas produksi unit pengolahan;

~ 745 ~

Page 238: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

- Menambah areal tanaman;- Integrasi usaha dengan usaha industri hulu serta hilir.

5. Restrukturisasi adalah suatu kegiatan untuk mengganti mesin utama (menambah peralatan atau komponen mesin) untuk meningkatkan kualitas atau meningkatkan efisiensi proses produksi tanpa menambah kapasitas.

6. Permohonan perubahan penanaman modal adalah permohonan persetujuan atas perubahan ketentuan-ketentuan penanaman modal yang telah ditetapkan dalam persetujuan penanamanmodal sebelumnya.

7. Persetujuan PMDN adalah persetujuan penanaman modal yang diberikan dalam rangka pelaksanaan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1968 jo. Nomor 12 Tahun 1970 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri, yang berlaku pula sebagai Persetujuan Prinsip / Izin Usaha Sementara sampai dengan memperoleh Izin Usaha/Izin Usaha Tetap dan/atau sebagai Persetujuan Prinsip Fasilitas Fiskal.

8. Persetujuan PMA adalah persetujuan yang diberikan dalam rangka pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 jo. Nomor 11 Tahun 1970 tentang Penanaman Modal Asing, yang berlaku pula sebagai Persetujuan Prinsip / Izin Usaha Sementara sampai dengan memperoleh Izin Usaha/Izin Usaha Tetap dan/atau sebagai Persetujuan Prinsip Fasilitas Fiskal.

9. Persetujuan perluasan adalah persetujuan penambahan modal beserta fasilitasnya untuk menambah kapasitas terpasang yang telah disetujui dan/atau menambah jenis produksi barang dan jasa yang berlaku pula sebagai Persetujuan Prinsip/Izin Usaha Sementara sampai dengan memperoleh Izin Usaha Tetap Perluasan.

10. Persetujuan perubahan adalah persetujuan atas perubahan ketentuan-ketentuan penanaman modal yang telah ditetapkan dalam persetujuan atau izin penanaman modal sebelumnya.

11. Izin Kegiatan Kantor Perwakilan Perusahaan Asing (KPPA) adalah persetujuan untuk mendirikan kantor perwakilan di Indonesia yang berkedudukan di Indonesia.

12. Perizinan Pelaksanaan adalah izin-izin yang diperlukan untuk merealisasikan persetujuan penanaman modal.

13. Persetujuan fasilitas penanaman modal adalah persetujuan mengenai pemberian fasilitas penanaman modal berupa fasilitas bea masuk dan fasilitas perpajakan sesuai dengan perundangundangan kepabeanan dan perpajakan yang berlaku.

14. Angka Pengenal Importir Terbatas (APIT) adalah angka pengenal yang dipergunakan sebagai izin untuk memasukkan (impor) barang modal dan bahan baku/penolong untuk pemakaian sendiri dalam proses produksi proyek penanaman modal yang telah disetujui.

15. Keputusan tentang pengesahan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) adalah persetujuan pengesahan rencana jumlah, jabatan dan lama penggunaan tenaga kerja asing yang diperlukan sebagai dasar untuk persetujuan pemasukan Tenaga Kerja Asing (TKA) dan penerbitan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA).

16. Keputusan tentang Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA) adalah izin bagi perusahaan untuk mempekerjakan sejumlah tenaga kerja warga negara asing dalam jumlah, jabatan dan periode tertentu.

17. Izin Usaha/Izin Usaha Tetap adalah izin yang wajib dimiliki oleh perusahaan untuk melaksanakan kegiatan produksi baik produksi barang maupun produksi jasa sebagai pelaksanaan atas Surat Persetujuan penanaman modal yang telah diperoleh perusahaan.

18. Izin Usaha Tetap Perluasan adalah izin yang wajib dimiliki oleh perusahaan untuk melaksanakan kegiatan produksi atas penambahan produksi barang maupun produksi jasa sebagai pelaksanaan atas Surat Persetujuan Perluasan penanaman modal yang sebelumnya telah diperoleh perusahaan.

19. Perubahan status adalah perubahan status perusahaan dari PMDN atau Non PMDN/PMA menjadi PMA, atau dari PMA menjadi PMDN, sebagai akibat adanya perubahan kepemilikan saham.

20. Merger adalah penggabungan 2 (dua) atau lebih perusahaan yang didirikan dalam rangka PMDN dan/atau PMA dan/atau Non PMA/PMDN yang sudah berproduksi dan telah memiliki Izin Usaha/Izin Usaha Tetap ke dalam satu perusahaan yang akan meneruskan semua kegiatan perusahaan yang bergabung, sedangkan perusahaan yang menggabung dilikuidasi.

21. Laporan Kegiatan Penanaman Modal (LKPM) adalah laporan berkala mengenai perkembangan kegiatan perusahaan penanaman modal dalam bentuk dan tata cara sebagaimana yang ditetapkan.

22. Usaha Kecil adalah kegiatan usaha yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dala Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil sebagai berikut :a. Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah), tidak termasuk

tanah dan bangunan tempat usaha atau memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah);

b. Milik warga negara Indonesia;

~ 746 ~

Page 239: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

c. Berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau berafiliasi baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Menengah atau Usaha Besar;

d. Berbentuk usaha orang perseorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum, atau badan usaha yang berbadan hukum, termasuk Koperasi.

Pasal 2

1. Calon penanam modal yang akan melakukan kegiatan penanaman modal dalam rangka PMDN dan PMA wajib mengajukan permohonan kepada Kepala BKPM.

2. Surat Persetujuan (SP) atas permohonan penanaman modal dalam rangka PMDN dan PMA ditandatangani oleh Kepala BKPM.

3. Penanaman modal yang telah memperoleh Surat Persetujuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 ayat (2) wajib mengajukan permohonan untuk memperoleh perizinan pelaksanaan yang diperlukan untuk pelaksanaan penanaman modal.

4. Perizinan pelaksanaan penanaman modal sebagaimana dimaksud ayat (3) terdiri atas :a. Perizinan yang diterbitkan oleh BKPM, berupa :

1. Angka Pengenal Importir Terbatas;2. Izin Usaha/Izin Usaha Tetap/Izin Perluasan;3. Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing;4. Rekomendasi Visa bagi Penggunaan Tenaga Kerja Asing;5. Izin Memperkerjakan Tenaga Kerja Asing;6. Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing yang bekerja di lebih dari 1 (satu) Provinsi.8. Fasilitas pembebasan/keringanan Bea Masuk atas pengimporan Barang Modal atau Bahan

Baku/Penolong dan Fasilitas Fiskal lainnya.b. Perizinan yang diterbitkan oleh Pemerintah Provinsi sesuai kewenangannya, berupa Perpanjangan Izin

Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing untuk Tenaga Kerja Asing yang bekerja di wilayah Kabupaten/Kota dalam 1 (satu) Provinsi.

c. Perizinan yang diterbitkan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota, berupa :1. Izin Lokasi;2. Sertifikat Hak Atas Tanah;3. Izin Mendirikan Bangunan;4. Izin Undang-Undang Gangguan/HO;

Pasal 3

1. Surat Persetujuan Penanaman Modal akan batal demi hukum apabila dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun bagi proyek baru dan 2 (dua) tahun bagi proyek perluasan sejak tanggal dikeluarkan tidak ada realisasi proyek dalam bentuk kegiatan yang nyata baik dalam bentuk administrasi ataupun dalam bentuk fisik.

2. Kegiatan nyata dalam bentuk administrasi yaitu kegiatan memperoleh perizinan berupa:a. Izin Lokasi atau perjanjian sewa gedung (khusus bidang jasa) atau Surat Izin Pertambangan Daerah

(SIPD) atau Kuasa Pertambangan (KP) khusus bidang usaha pertambangan di luar minyak dan gas bumi; dan/atau

b. SP Pabean Barang Modal; dan/atauc. APIT; dan/ataud. RPTKA bagi yang menggunakan TKA; dan/ataue. IMB; dan/atauf. Izin Undang-Undang Gangguan/HO;

3. Kegiatan nyata dalam bentuk fisik merupakan kegiatan yang telah dilakukan untuk:a. Di bidang industri, telah ada kegiatan pokok berupa :

1. Pengadaan lahan; atau2. Pembangunan gedung/pabrik; atau3. Pengimporan mesin dan peralatan.

b. Di bidang usaha jasa, telah ada kegiatan pokok berupa :1. Pengadaan lahan, atau2. Pengadaan/Pembangunan gedung/ruang perkantoran.

c. Di bidang usaha pertanian telah ada kegiatan pokok berupa pengadaan lahan.d. Di bidang usaha perikanan telah ada pembelian sebagian kapal ikan.

4. Penetapan jangka waktu penyelesaian proyek yang tercantum dalam Surat Persetujuan Penanaman Modal, disesuaikan dengan skala investasi atau bidang usaha.

~ 747 ~

Page 240: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

Pasal 4

Dalam pengajuan permohonan PMDN dan PMA, penentuan/pemilihan bidang usaha berdasarkan kepada:1. Daftar bidang usaha yang tertutup dan terbuka dengan persyaratan tertentu bagi penanaman modal;2. Petunjuk Teknis Pelaksanaan Penanaman Modal;3. Bidang/jenis usaha yang dicadangkan untuk usaha kecil dan bidang/jenis usaha yang terbuka untuk usaha

menengah atau besar dengan syarat kemitraan;4. Ketentuan lain yang diterbitkan oleh Pemerintah.

~ 748 ~

Page 241: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

KEPUTUSAN KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL

NOMOR 70 /SK/2004 TAHUN 2004

TENTANG

PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL

NOMOR 57/SK/2004 TENTANG PEDOMAN DAN TATA CARA PERMOHONAN PENANAMAN

MODAL YANG DIDIRIKAN DALAM RANGKA PENANAMAN MODAL DALAM NEGERI DAN

PENANAMAN MODAL ASING

KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL,

Menimbang:

bahwa untuk tidak menimbulkan kekeliruan penafsiran atas beberapa pasal dalam Surat Keputusan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 57/SK/2004, maka dipandang perlu menyempurnakan Surat Keputusan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 57/SK/2004 tentang Pedoman Dan Tata Cara Permohonan Penanaman Modal Yang Didirikan Dalam Rangka Penanaman Modal Dalam Negeri Dan Penanaman Modal Asing.

Mengingat:

1. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1967 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2818), sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1970 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2943);

2. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1968 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2853), sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1970 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2944);

3. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3984).

4. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51. Tambahan Lembaran Negara Nomor 3264), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3986).

5. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3587);

6. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3611);

7. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3612);

8. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4279).

9. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1986 tentang Jangka Waktu Izin Penanaman Modal Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3335), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1993 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1993 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3515);

10. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994 tentang Pemilikan Saham Dalam Perusahaan Yang Didirikan Dalam - Rangka Penanaman Modal Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 28), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2001 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4162);

11. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 91, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3718);

12. Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 1981 tentang Badan Koordinasi Penanaman Modal. sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 2004:

~ 749 ~

Page 242: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

13. Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1995 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Warga Negara Asing Pendatang;

14. Keputusan Presiden Nomor 90 Tahun 2000 tentang Kantor Perwakilan Perusahaan Asing (KPPA)15. Keputusan Presiden Nomor 96 Tahun 2000 tentang Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Bidang Usaha Yang

Terbuka Dengan Persyaratan Tertentu Bagi Penanaman Modal, sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 118 Tahun 2000;

16. Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, Dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen, sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 30 Tahun 2003;

17. Keputusan Presiden Nomor 110 Tahun 2001 tentang Unit Organisasi Dan Tugas Eselon I Lembaga Pemerintah Non Departemen, sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2004;

18. Keputusan Presiden Nomor 127 Tahun 2001 tentang Bidang/Jenis Usaha Yang Dicadangkan Untuk Usaha Kecil Dan Bidang/Jenis Usaha Yang Terbuka Untuk Usaha Menengah Atau Besar Dengan Syarat Kemitraan;

19. Keputusan Presiden Nomor 197/M Tahun 2001;20. Keputusan Presiden Nomor 87 Tahun 2003 tentang Tim Nasional Peningkatan Ekspor Dan Peningkatan

Investasi;21. Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal Dalam Rangka

Penanaman Modal Asing Dan Penanaman Modal Dalam Negeri Melalui Sistem Pelayanan Satu Atap;22. Keputusan Menteri Negara Penggerak Dana Investasi/Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor

15/SK/1994 tentang Ketentuan Pelaksanaan Pemilikan Saham Dalam Perusahaan Yang Didirikan Dalam Rangka Penanaman Modal Asing;

23. Keputusan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 02/SK12002 tentang Organisasi Dan Tata Kerja Badan Koordinasi Penanaman Modal, sebagaimana telah di ubah dengan Keputusan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 42/SK/2003;

24. Keputusan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 57/SK/2004 tentang Pedoman Dan Tata Cara Permohonan Penanaman Modal Yang Didirikan Dalam Rangka Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan Penanaman Modal Asing (PMA).

25. Keputusan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 61/SK/2004 tentang Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal.

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:

KEPUTUSAN KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL TENTANG PERUBAHAN ATAS SURAT KEPUTUSAN KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL NOMOR 57/SK/2004 TENTANG PEDOMAN DAN TATA CARA PERMOHONAN PENANAMAN MODAL YANG DIDIRIKAN DALAM RANGKA PENANAMAN MODAL DALAM NEGERI DAN PENANAMAN MODAL ASING

Pasal I

Mengubah ketentuan Pasal 11 ayat (4) dan ayat (6), Pasal 13 ayat (3) serta menambah satu ayat pada Pasal 24 Keputusan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 57/SK/2004 tentang Pedoman Dan Tata Cara Permohonan Penanaman Modal Yang Didirikan Dalam Rangka Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan Penanaman. Modal Asing (PMA), sehingga keseluruhan Pasal 11, Pasal 13 dan Pasal 24 berbunyi sebagai berikut:

"Pasal 11

(1) Perusahaan penanaman modal wajib memiliki Izin Usaha/Izin Usaha Tetap untuk dapat memulai pelaksanaan kegiatan operasi/produksi.

(2) Permohonan untuk memperoleh Izin Usaha/Izin Usaha Tetap sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan kepada Kepala BKPM dalam 2 (dua) rangkap dengan menggunakan formulir permohonan Izin Usaha/Izin Usaha Tetap sebagaimana Lampiran 4.

(3) Bagi perusahaan yang berlokasi di Kawasan Industri apabila memerlukan Izi Usaha/Izin Usaha Tetap agar mengajukan permohonan kepada Kepala BKPM dalam 2 (dua) rangkap dengan menggunakan formulir permohonan Izin Usaha/Izin Usaha Tetap sebagaimana Lampiran 5.

(4) Persetujuan atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diterbitka dalam bentuk Surat Keputusan Izin Usaha/Izin Usaha Tetap, ditandatangani oleh Kepala BKPM atas nama Menteri teknis di

~ 750 ~

Page 243: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

bidang usaha yang bersangkutan, dengan tembusan kepada pejabat-pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) untuk PMDN dan Pasal 6 ayat (3) untuk PMA.

(5) Surat Izin Usaha/Izin Usaha Tetap sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diterbitkan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya permohonan yang lengkap dan benar.

(6) Surat Izin Usaha/Izin Usaha Tetap bagi perusahaan PMA berlaku selama 30 (tiga puluh) tahun sejak produksi dimulai, dan bagi perusahaan PMDN berlaku selama perusahaan berproduksi/beroperasi".

"Pasal 13

(1) Perubahan atas ketentuan proyek dalam rangka PMDN/PMA wajib memperoleh persetujuan Kepala BKPM.

(2) Perubahan atas ketentuan proyek yang wajib memperoleh persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri dari:a. Perubahan lokasi proyek;b. Perubahan bidang usaha dan jenis produksi (baik jenis atau kapasitas);c. Perubahan penggunaan tenaga kerja asing;d. Perubahan investasi dan sumber pembiayaan;e. Perubahan kepemilikan saham perusahaan PMA;f. Perubahan status perusahaan PMA menjadi perusahaan PMDN;g. Perubahan status perusahaan PMDN atau Non PMDN/PMA menjadi perusahaan PMA;h. Perpanjangan waktu penyelesaian proyek;i. Penggabungan perusahaan (merger).

(3) Perubahan atas ketentuan proyek di luar ayat (2) harus diberitahukan secara tertulis kepada Kepala BKPM, yaitu:a. Perubahan nama perusahaan;b. Perubahan alamat perusahaan.

(4) Setiap permohonan harus ditandatangani oleh pimpinan perusahaan atau direksi yang berwenang atau pihak yang diberi kuasa disertai dengan surat kuasa".

"Pasal 24

(1) Permohonan persetujuan fasilitas atas impor bahan baku/penolong bagi perusahaan PMDN/PMA diajukan kepada Kepala BKPM dalam 2 (dua) rangkap dengan menggunakan formulir Model IV.B (daftar induk bahan baku/penolong) sebagaimana Lampiran 14.

(2) Persetujuan pemberian fasilitas atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditandatangani oleh Kepala BKPM atas nama Menteri Keuangan, dalam bentuk Surat Persetujuan Pemberian Fasilitas Pembebasan/Keringanan Bea Masuk Atas Pengimporan Bahan Baku/Penolong (SP Pabean) dengan lampiran Daftar Induk Bahan Baku/penolong, dengan tembusan kepada Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Direktur Jenderal Pajak dan Direktur Jenderal Instansi Teknis.

(3) Surat Persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diterbitkan selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja sejak diterimanya permohonan yang lengkap dan benar.

(4) Bagi perusahaan yang belum memiliki Surat Izin Usaha/Izin Usaha Tetap, baik dalam rangka PMDN maupun PMA, diberikan fasilitas pengimporan bahan baku/penolong untuk kebutuhan 1 (satu) tahun produksi dengan jangka waktu pengimporan 1 (satu) tahun. Tambahan kebutuhan bahan baku untuk tahun kedua dapat diberikan setelah perusahaan memiliki Surat Izin Usaha/Izin Usaha Tetap, dengan perpanjangan jangka waktu pengimporan selama 1 (satu) tahun sejak berakhirnya SP Pabean pertama.

(5) Perusahaan yang telah memiliki Surat Izin Usaha/Izin Usaha Tetap, baik dalam rangka PMDN maupun PMA diberikan fasilitas pengimporan bahan baku/penolong untuk kebutuhan 2 (dua) tahun produksi dengan jangka waktu pengimporan diberikan sekaligus selama 2 (dua) tahun.

(6) Perusahaan yang telah memperoleh fasilitas bahan baku/penolong, apabila belum menyelesaikan impornya dalam jangka waktu 2 (dua) tahun diberikan perpanjangan jangka waktu impor selama 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal Surat Persetujuan Perpanjangan Fasilitas Pabean.

(7) Dalam rangka penerbitan Surat Persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2). BKPM melakukan pemeriksaan kapasitas terpasang mesin-mesin yang akan menggunakan bahan baku".

Pasal II

Mengubah lampiran 13 dan 14 Keputusan Kepala BKPM Nomor 57/SK12004 tentang Pedoman dan Tata Cara Permohonan Penanaman Modal Yang Didirikan Dalam Rangka Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing, sehingga keseluruhan lampiran 13 dan 14 berbunyi sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini.

~ 751 ~

Page 244: Gabungan Peraturan-Keputusan Menteri

Pasal III

Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan Di Jakarta,Pada Tanggal 04 Oktober 2004

KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL,

T td.

THEO F. TOEMION

~ 752 ~