Gabungan Modul Pelatihan Ina-cbg

151
Modul Pelatihan Pengenalan INA-CBG dan Mekanisme Verifikasinya 1 MATERI DASAR 1 FILOSOFI, KONSEP DAN IMPLEMENTASI INA - CBG DESKRIPSI SINGKAT Undang-undang nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dibentuk dengan tujuan untuk memberikan jaminan sosial yang menyeluruh bagi seluruh rakyat Indonesia. Undang-undang nomor 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) telah diatur menunjuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial tersebut yaitu BPJS Kesehatan (PT Askes (Persero) dan BPJS Ketenagakerjaan (PT Jamsostek). BPJS Kesehatan merupakan badan hukum publik yang bertanggungjawab kepada Presiden dan berfungsi menyelenggarakan program jaminan kesehatan bagi seluruh penduduk Indonesia termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia. Ditargetkan pada 1 Januari 2014 BPJS Kesehatan beroperasi secara bertahap yang meliputi existing JPK yang selama ini dikelola oleh PT Askes (Persero) dan pengalihan program jaminan kesehatan yang diselenggarakan oleh Kementerian Kesehatan (Program Jakesmas), JPK Jamsostek, Yankes TNI/Polri dan sebagian PJKMU. Sebagaimana tertuang dalam Perpres 12 tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan pasal 39 ayat (4) bahwa dalam penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan Nasional di Indonesia akan digunakan pola pembayaran prospektif dengan pola tarif INA-CBG atau Sistem Casemix sebagai sistem pembayaran biaya pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan tingkat lanjut. Pada tahap awal implementasinya, sistem Casemix digunakan sebagai metode pembayaran klaim Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) untuk Rumah Sakit dan dikenal dengan nama INA-DRG (Indonesia-Diagnosis Related Group). Namun terhitung mulai tanggal 31 September 2010, lisensi grouper INA-DRG telah berakhir dan per 1 Oktober 2010 beralih menggunakan UNU Grouper dari United Nation University- International Institute for Global Health (UNU-IIGH) yang berdampak pada nomenklatur dari INA-DRG (Indonesia-Diagnosis Related Groups) berubah menjadi INA-CBG (Indonesia Case Based Groups). Sistem pembayaran dengan sistem case mix merupakan hal baru bagi PT Askes (Persero) sehingga untuk memenuhi kompetensi SDM yang handal dan profesional khususnya Pelaksana Verifikator, secara progresif akan diselenggarakan pelatihan sistem pembayaran dengan pola tarif INA-CBG‘s yang saat ini telah digunakan oleh Program Jamkesmas. Modul ini membahas tentang sistem pembayaran provider, filosofi, konsep casemix, dan implementasi sistem Casemix di negara-negara lain maupun di Indonesia, yang diharapkan dapat membantu pemahaman peserta pelatihan secara baik terhadap rangkaian kegiatan pelatihan.

Transcript of Gabungan Modul Pelatihan Ina-cbg

  • Modul Pelatihan Pengenalan INA-CBG dan Mekanisme Verifikasinya

    1

    MATERI DASAR 1

    FILOSOFI, KONSEP DAN IMPLEMENTASI INA - CBG

    DESKRIPSI SINGKAT

    Undang-undang nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional

    (SJSN) dibentuk dengan tujuan untuk memberikan jaminan sosial yang menyeluruh bagi

    seluruh rakyat Indonesia. Undang-undang nomor 24 tahun 2011 tentang Badan

    Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) telah diatur menunjuk Badan Penyelenggara

    Jaminan Sosial tersebut yaitu BPJS Kesehatan (PT Askes (Persero) dan BPJS

    Ketenagakerjaan (PT Jamsostek).

    BPJS Kesehatan merupakan badan hukum publik yang bertanggungjawab kepada

    Presiden dan berfungsi menyelenggarakan program jaminan kesehatan bagi seluruh

    penduduk Indonesia termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di

    Indonesia. Ditargetkan pada 1 Januari 2014 BPJS Kesehatan beroperasi secara bertahap

    yang meliputi existing JPK yang selama ini dikelola oleh PT Askes (Persero) dan pengalihan

    program jaminan kesehatan yang diselenggarakan oleh Kementerian Kesehatan (Program

    Jakesmas), JPK Jamsostek, Yankes TNI/Polri dan sebagian PJKMU.

    Sebagaimana tertuang dalam Perpres 12 tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan

    pasal 39 ayat (4) bahwa dalam penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan Nasional di

    Indonesia akan digunakan pola pembayaran prospektif dengan pola tarif INA-CBG atau

    Sistem Casemix sebagai sistem pembayaran biaya pelayanan kesehatan di fasilitas

    kesehatan tingkat lanjut.

    Pada tahap awal implementasinya, sistem Casemix digunakan sebagai metode

    pembayaran klaim Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) untuk Rumah Sakit dan

    dikenal dengan nama INA-DRG (Indonesia-Diagnosis Related Group). Namun terhitung

    mulai tanggal 31 September 2010, lisensi grouper INA-DRG telah berakhir dan per 1

    Oktober 2010 beralih menggunakan UNU Grouper dari United Nation University-

    International Institute for Global Health (UNU-IIGH) yang berdampak pada nomenklatur dari

    INA-DRG (Indonesia-Diagnosis Related Groups) berubah menjadi INA-CBG (Indonesia

    Case Based Groups).

    Sistem pembayaran dengan sistem case mix merupakan hal baru bagi PT Askes

    (Persero) sehingga untuk memenuhi kompetensi SDM yang handal dan profesional

    khususnya Pelaksana Verifikator, secara progresif akan diselenggarakan pelatihan sistem

    pembayaran dengan pola tarif INA-CBGs yang saat ini telah digunakan oleh Program

    Jamkesmas.

    Modul ini membahas tentang sistem pembayaran provider, filosofi, konsep casemix,

    dan implementasi sistem Casemix di negara-negara lain maupun di Indonesia, yang

    diharapkan dapat membantu pemahaman peserta pelatihan secara baik terhadap rangkaian

    kegiatan pelatihan.

  • Modul Pelatihan Pengenalan INA-CBG dan Mekanisme Verifikasinya

    2

    MATERI : FILOSOFI, KONSEP DAN IMPLEMENTASI INA CBG

    JUMLAH JAMPEL : 4 JAMPEL (@ 45 MENIT)

    TUJUAN PEMBELAJARAN

    I. Tujuan Umum

    Setelah mempelajari materi, diharapkan peserta mampu memahami filosofi, konsep dan

    implementasi INA CBG.

    II. Tujuan Khusus :

    Setelah mempelajari materi, peserta latih mampu:

    1. Memahami filosofi dan mekanisme pembayaran prospektif

    2. Memahami konsep case-mix

    3. Memahami implementasi case-mix di Indonesia (INA CBG)

    POKOK BAHASAN

    MATERI JAMPEL 1 :

    Agar peserta mampu memahami filosofi dan mekanisme pembayaran prospektif

    1. Sistem Pembayaran Provider

    - Jenis pembayaran provider (prospektif vs retrospektif)

    - Keuntungan dan kerugian masing-masing sistem pembayaran

    2. Casemix sebagai suatu pembayaran prospektif di pelayanan tingkat lanjut

    3. Studi komparatif implementasi casemix di beberapa negara

    MATERI JAMPEL 2 :

    1. Alur pembentukan komponen tarif casemix

    - Clinical pathway

    - Costing

    - Coding

    - IT

    2. Alur pembentukan komponen tarif INA-CBG

    - Kondisi tarif INA-CBG saat ini

    MATERI JAMPEL 3 & 4 :

    1. Implementasi INA DRG

    2. Implementasi INA CBG

    LANGKAH-LANGKAH PROSES PEMBELAJARAN

    1. Narasumber

    a. Memperkenalkan diri

    b. Menyampaikan ruang lingkup bahasan

    c. Menggali pendapat peserta tentang sistem pembayaran pelayanan kesehatan

    d. Menyampaikan pokok bahasan

    e. Memberikan kesempatan kepada pembelajar untuk menanyakan hal-hal yang kurang

    jelas

    f. Memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan peserta

    g. Merangkum hasil proses pembelajaran bersama peserta

  • Modul Pelatihan Pengenalan INA-CBG dan Mekanisme Verifikasinya

    3

    2. Peserta

    a. Mempersiapkan diri, alat tulis serta pendukung pembelajaran yang dibutuhkan

    b. Mengemukakan pendapat atas pertanyaan narasumber

    c. Mendengar, mencatat dan menyimpulkan hal-hal yang dianggap penting

    d. Mengajukan pertanyaan sesuai dengan kesempatan yang diberikan

    e. Merangkum hasil proses pembelajaran bersama narasumber

    Pokok Bahasan 1 : Filosofi dan Mekanisme Pembayaran Prospektif

    1.1 Sistem pembayaran provider

    Sistem pembayaran kepada provider akan mempengaruhi interaksi antar stakeholders

    yang terlibat dalam suatu sistem pelayanan kesehatan dan mempengaruhi perilaku

    provider tersebut. Ketika suatu perubahan pola pembayaran diberlakukan, fasilitas

    kesehatan akan menyesuaikan perilaku sesuai dengan sifat sistem pembayaran

    sehingga tidak membebani faskes. Misalnya ketika sistem kapitasi diberlakukan

    menggantikan sistem fee-for-service, faskes cenderung mengurangi pelayanan

    sehingga revenue yang diperoleh pada saat fee-for-service tidak akan berkurang

    ketika implementasi kapitasi.

    Oleh sebab itu penentuan sistem pembayaran yang akan dipakai harus

    memperhitungkan efek dari kebijakan sistem pembayaran tersebut terhadap perilaku

    stakeholders yang terlibat, yaitu pembayar (payer), pasien, fasilitas kesehatan

    (provider) dan SDM yang terlibat dalam pemberian pelayanan (dokter dan paramedis).

    Suatu sistem pembayaran dikatakan baik apabila kebijakan sistem pembayaran tidak

    serta merta menyebabkan peningkatan utilisasi dan biaya serta berdampak pada

    keselarasan tujuan pembayar dan provider. Dan dikatakan buruk apabila Kebijakan

    sistem pembayaran dapat menyebabkan peningkatan utilisasi dan biaya.

    Pemilihan sistem pembayaran tergantung antara lain: kemampuan pendanaan,

    struktur manfaat, letak geografis, tingkatan pelayanan, struktur organisasi provider,

    undang-undang maupun ketentuan yang berlaku serta kapasitas pembayar

    (Kondstvedt S P,2012).

    Misalnya kebijakan untuk menggunakan kapitasi mungkin kurang tepat digunakan

    pada daerah rural dengan sebaran peserta yang tidak seragam dan kurang. Selain itu

    hal yang sangat penting adalah dukungan undang-undang suatu negara terhadap

    kebijakan sistem pembayaran. Contohnya adalah di Indonesia pada era JKN akan

    menggunakan sistem kapitasi sebagai pembayaran di faskes primer dan INA CBG

    sebagai sistem pembayaran di faskes sekunder.

    Provider Payment Methode (PPM) penting karena mempengaruhi:

    a. Kualitas Pelayanan

    o Kepuasan Peserta meningkat biasanya karena provider cenderung berlebih

    dalam memberikan layanan kesehatan.

    Contoh :pola pembayaran retrospektif (FFS).

    o Sedangkan untuk pola pembayaran prospektif, pelayanan yang diberikan

    kepada Peserta biasanya tidak berlebih atau bahkan dikurangi

  • Modul Pelatihan Pengenalan INA-CBG dan Mekanisme Verifikasinya

    4

    (undertreatment) dalam rangka untuk mengingkatkan pendapatan RS,

    sehingga kepuasan peserta dapat menurun.

    b. Penyediaan Pelayanan

    o Dalam menjalankan operasional layanan kepada pasien, provider cenderung

    menyesuaikan dengan metode pembayaran yang berlaku karena perilaku

    provider dalam memberikan layanan kesehatan berdampak langsung pada

    finansial yang akan diterima provider (insentif dan disinsentif).

    o Provider layanan primer yang biasanya menerima metode pembayaran

    dengan pola kapitasi cenderung akan menekankan layanan kesehatan yang

    bersifat promotif, demikian juga dengan PPK lanjutan akan cenderung

    memberikan layanan secara kuratif rehabilitatif.

    c. Pengendalian Pelayanan Kesehatan (Cost Containment)

    o Provider akan terus menerus belajar tentang celah/kelemahan dari sebuah

    sistem pembayaran yang berlaku dalam rangka

    mempertahankan/meningkatkan pendapatan, sehingga payer harus jeli

    dalam menentukan pola pengendalian.

    o Pemilihan PPS yang tepat harus mendorong efisiensi sumber daya yang

    digunakan provider. Sehingga pola pembayaran FFS (Fee For Service)

    dianggap tidak relevan lagi karena cenderung menurunkan efisiensi sumber

    daya.

    d. Pembiayaan pelayanan kesehatan yang berkelanjutan (sustainabilitas

    pembiayaan).

    o Penentuan metode pembayaran kepada provider harus mempertimbangkan

    dampak yang ditimbulkan, termasuk dampak biaya yang mempengaruhi

    keberlangsungan pembiayaan kesehatan itu sendiri.

    Sistem pembayaran harus membantu pencapaian tujuan kebijakan kesehatan dengan

    meningkatkan akses terhadap pelayanan kesehatan, meningkatkan kualitas

    pelayanan dan meningkatkan ekuitas sekaligus mendorong penggunaan sumber daya

    kesehatan yang efektif dan efisien dan pengendalian biaya.

    Fasilitas kesehatan dibayar untuk pelayanan yang diberikannya kepada pasien dengan

    dua cara, yaitu:

    a. Sistem Pembayaran Prospektif

    Sistem pembayaran prospektif adalah sistem dimana pembayaran dilakukan

    sebelum pelayanan diberikan atau besaran biaya dan tata cara pembayarannya

    disepakati sebelum pelayanan diberikan.

    Contohnya adalah:

    - Kapitasi

    - Global Budget

    - Case-based/casemix

    b. Sistem Pembayaran Retrospektif

    Sistem pembayaran retrospektif adalah fasilitas kesehatan dibayar dan

    besarannya ditentukan setelah pelayanan diberikan.

  • Modul Pelatihan Pengenalan INA-CBG dan Mekanisme Verifikasinya

    5

    Contohnya adalah:

    - Fee for service

    - Per itemized bill

    Hubungan antara Pasien, Pembayar dan Fasilitas Kesehatan

    Hubungan antara pasien, pembayar dan fasilitas kesehatan dapat dilihat dari ilustrasi

    di atas.

    Setiap metode pembayaran pada provider memiliki dampak pada pola transfer risiko

    yang khas baik kepada pasien, pembayar (payer) dan faskes, misalnya :

    a. Traditional

    Pada kondisi dimana dalam transaksi pelayanan kesehatan yang hanya melibatkan

    pasien dan provider, risiko finansial sepenuhnya menjadi beban dari pasien.

    b. Traditional Insurance

    Pada traditional insurance, pihak asuransi belum memiliki risk experience biaya

    pelayanan kesehatan sehingga belum dapat menetapkan metode pembayaran yang

    tepat, biasanya traditional insurance masih terkonsentrasi untuk asuransi individu

    dan jarang berorientasi pada kelompok (the law of the large number). Disamping itu

    Asuransi tradisional belum mengenal sistem kontrak dengan provider, sehingga tidak

    bisa menerapkan risk sharing biaya pelayanan kesehatan.

    c. Modern Insurance

    Pengalaman penyediaan jasa asuransi dalam pelayanan kesehatan yang telah lalu

    merupakan pelajaran berharga bagi Asuransi modern terutama dalam

    memperhitungkan dampak biaya atas metode pembayaran provider yang ditetapkan.

    Asuransi modern lebih memilih berbagi risiko biaya pelayanan kesehatan dengan

    provider melalui penetapan model pembayaran dan salah satunya dengan cara

    membatasi fasilitas kesehatan bagi pesertanya (peserta hanya ditanggung biaya

    pelayanan kesehatannya apabila menggunakan provider yang telah bekerjasama

    dengan pihak asuransi kecuali dalam kondisi tertentu sesuai dengan kesepakatan

    yang disebutkan pada polis asuransi).

  • Modul Pelatihan Pengenalan INA-CBG dan Mekanisme Verifikasinya

    6

    Perbedaan antara Pola Pembayaran Prospective vs Retrospective

    Uraian Retrospective Payment Prospective Payment

    Pengertian sistem dimana pembayaran dilakukan

    sebelum pelayanan diberikan atau besaran

    biaya dan tata cara pembayarannya

    disepakati sebelum pelayanan diberikan.

    fasilitas kesehatan dibayar dan besarannya

    ditentukan setelah pelayanan diberikan

    sistem dimana pembayaran dilakukan

    sebelum pelayanan diberikan atau

    besaran biaya dan tata cara

    pembayarannya disepakati sebelum

    pelayanan diberikan.

    Contoh Fee For Service

    Payment per itemised bill

    Payment per diem

    Capitation Payment

    Global Budget

    Case-mix/DRG/CBGs Payment

    Keuntungan Otonomi klinisi tinggi

    Lebih disukai Faskes karena lebih

    flexible

    Biaya lebih predictable lebih

    disukai payer (pembayar)

    Mendorong efisiensi

    Verifikasi klaim lebih cepat

    Kerugian Kecenderungan supplier-induced-

    demand tinggi

    Fraud dan Abuse lebih tinggi tidak

    efisien

    Proses verifikasi lebih lama

    Resiko finansial payer lebih tinggi

    Biaya unpredictable

    Sulit mengendalikan biaya

    Tidak disukai provider

    Otonomi klinisi terbatas

    Sedangkan berdasarkan cara penetapan dan waktu pembayaran Pola Pembayaran

    Prospective dan Retrospektive dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

    No Sistem Pembayaran Penetapan Pembayaran

    1 Line Item Budget Prospektif Prospektif

    2 FFS Retrospektif Retrospektif

    3 FFS dgn Pengelompokkan Prospektif Retrospektif

    4 Kapitasi Prospektif Prospektif

    5 Per Diem Prospektif Retrospektif

    6 Case-based (DRG) Prospektif Retrospektif

    7 Global Budget Prospektif Prospektif

  • Modul Pelatihan Pengenalan INA-CBG dan Mekanisme Verifikasinya

    7

    Ilustrasi di atas menggambarkan bahwa pada sistem pembayaran yang besarannya

    ditetapkan secara retrospektif dan dibayar secara restrospektif pula, besaran biaya

    yang akan diperoleh oleh fasilitas kesehatan tergantung pada penggunaan sumber

    daya yang dilakukan oleh fasilitas kesehatan. Misalnya pada fee for service, revenue

    faskes akan bergantung pada banyaknya tindakan dan pelayanan yang diberikan

    kepada pasien. Semakin banyak tindakan yang diberikan, semakin besar biaya

    kesehatan yang diperoleh oleh fasilitas kesehatan.

    Beda halnya jika besaran tariff sudah ditentukan sebelumnya sebelum pelayanan

    diberikan. Pendapatan faskes akan tergantung pada output pelayanan yang

    diberikan, bukan pada banyaknya pelayanan. Misalnya jika suatu fasilitas kesehatan

    tidak bisa mengatur penggunaan resources saat menangani penyakit X, pada pola

    pembayaran casemix, tariff yang akan dibayarkan untuk pasien tersebut tetap sama

    walaupun faskes memberikan pelayanan yang lebih banyak.

    (Source : Designing and Implementating Health Care Provider Payment System,2009)

  • Modul Pelatihan Pengenalan INA-CBG dan Mekanisme Verifikasinya

    8

    Berikut ini adalah Jenis jenis Sistem Pembayaran berdasarkan Administrasi, Kualitas

    layanan dan Pengendalian Biaya :

    Perbedaan antara beberapa metode tersebut dijelaskan dalam tabel 1.1 tersebut

    dibawah ini :

  • Modul Pelatihan Pengenalan INA-CBG dan Mekanisme Verifikasinya

    9

    Tabel 1.1 Perbedaan Antara Beberapa Metode Pembayaran

    Metode

    Pembayaran Uraian

    Potensi

    Keunggulan Potensi Kerugian Tantangan

    Resiko

    finansial

    PROSPEKTIF

    Global Budget

    Anggaran biaya pelayanan

    untuk periode waktu tertentu

    diberikan sebelum pelayanan

    diberikan (umumnya per

    tahun)

    Fleksibel dalam

    menggunakan

    anggaran

    Penentuan anggaran

    tidak selalu

    berdasarkan

    performance Faskes

    (misalnya: volume,

    kualitas, kompleksitas

    kasus)

    Membutuhkan

    kemampuan untuk

    mengelola anggaran

    yang efektif dan efisien

    Provider :

    Tinggi

    Beberapa metode penentuan

    besaran anggaran antara lain

    anggaran tahun sebelumnya

    (historis); rate per kapita

    dengan faktor penyesuaian

    jenis kelamin dan umur, atau

    rate utilisasi tahun sebelumnya

    mendorong faskes

    untuk melakukan

    efisiensi

    Faskes akan

    melakukan

    rasionalisasi pelayanan

    jika anggaran terlalu

    rendah

    harus memiliki cara

    untuk menelusuri

    penggunaan sumber

    daya di tiap departemen

    Payer :

    Rendah

    Jika rasionalisasi

    terjadi, maka Faskes

    cenderung akan

    merujuk pasien dengan

    kasus yang lebih

    kompleks untuk

    menghindari

    penggunaan resources

  • Modul Pelatihan Pengenalan INA-CBG dan Mekanisme Verifikasinya

    10

    Kapitasi

    Pembayaran diberikan

    sebelum pelayanan diberikan

    kepada Faskes untuk tiap

    individu yang terdaftar di

    faskes tersebut

    Fleksible dalam

    penggunaan

    anggaran

    Faskes mungkin akan

    mengurangi kualitas

    pelayanan demi

    pengendalian biaya

    Sistem manajemen

    dibutuhkan untuk

    memastikan

    kepesertaan terdaftar

    dan peserta tersebut

    hanya menggunakan

    faskes dimana dia

    terdaftar. UR dan

    supervisi yang

    berkelanjutan

    dibutuhkan untuk

    memastikan tidak

    terjadinya underutilisasi

    Provider:

    tinggi

    Kapitasi dibayarkan per bulan

    atau per tahun besaran kapitasi

    ditentukan

    berdasarkan

    besarnya populasi

    beserta faktor lain

    yang mempengaruhi

    kebutuhan mereka

    akan pelayanan

    kesehatan, misalnya

    usia, jenis kelamin

    dan faktor demografi

    lainnya

    kapitasi akan

    mendorong faskes

    untuk mendaftarkan

    dan hanya menerima

    pasien yang sehat dan

    yang beresiko rendah

    Payer:

    rendah

    Jenis pelayanan yang dijamin

    dalam kapitasi ditentukan

    berdasarkan kesepakatan

    pembayar dan faskes

    membatasi pasien

    untuk memilih provider

    Kadang kala, faskes harus

    membeli pelayanan dari

    faskes lainnya jika tidak bisa

    menyediakan pelayanan yang

    tercakup dalam kapitasi

  • Modul Pelatihan Pengenalan INA-CBG dan Mekanisme Verifikasinya

    11

    Case-based

    payment

    Pembayaran dilakukan per

    kasus atau episode besaran

    pembayaran sesuai

    dengan tingkat

    keparahan dan

    kompleksitas kasus

    ada kemungkinan

    untuk mengurangi

    kualitas perawatan Pembayar perlu

    mekanisme kendali

    mutu yang kuat untuk

    mencegah terjadi

    underqualified dan

    underutilization

    Provider:

    Sedang

    besaran pembayaran sudah

    ditentukan untuk tiap kasus

    atau penyakit untuk membayar

    semua pelayanan yang

    diberikan untuk menangani

    kasus tersebut.

    Faskes cenderung

    mengurangi

    menurunkan lama

    perawatan

    Payer:

    Sedang

    kasus diklasifikasikan

    berdasarkan diagnosa dan

    tindakan atau ciri klinis yang

    sama klasifikasi pasien

    berdasarkan

    diagnosa dapat

    digunakan untuk

    memonitor

    performance faskes

    bisa mendorong

    terjadinya peningkatan

    rate re-admission

    biasanya bentuk pembayaran

    case-based digunakan pada

    pasien rawat inap

  • Modul Pelatihan Pengenalan INA-CBG dan Mekanisme Verifikasinya

    12

    Per Diem

    pembayaran per hari rawat

    dan mencakup semua jenis

    pelayanan yang diberikan

    keapda pasien pada hari

    tersebut.

    fleksibel dalam

    penggunaan sumber

    daya

    faskes cenderung

    untuk memperpanjang

    hari rawat

    harus ada UR untuk

    memastikan tidak terjadi

    penambahan hari rawat

    oleh faskes

    Provider:

    Rendah

    memungkinkan

    faskes untuk

    menangani kasus

    yang kompleks pada

    hari rawat yang lebih

    lama

    Payer:

    Tinggi

    RETROSPEKTIF

    Fee for service

    pembayaran dilakukan per

    jenis pelayanan yang telah

    diberikan

    Faskes lebih

    fleksible dalam

    menggunakan

    sumber daya

    kemungkin Supplier-

    Induced-Demand tinggi

    Pembayar harus

    selalu memantau

    terjadinya abuse

    faskes

    Provider: Rendah

    otonomi faskes

    lebih tinggi untuk

    menentukan jenis

    pelayanan yang

    diberikan

    kecenderungan untuk

    memberikan pelayanan

    yang tidak dibutuhkan

    oleh pasien

    (unnecessary services)

    UR harus dilakukan

    secara

    berkesinambungan

    untuk mencegah

    terjadinya

    overutilisasi

    Payer: Tinggi

    besaran

    pembayaran

    berbanding lurus

    dengan intensitas

    pelayanan

    overutilisasi tinggi

  • Modul Pelatihan Pengenalan INA-CBG dan Mekanisme Verifikasinya

    13

    Kesimpulan:

    Ada 3 karakteristik utama pola pembayaran fasilitas kesehatan yaitu:

    1. Apakah tariff/biaya ditetapkan sebelum pelayanan diberikan (prospektif) atau

    sesudah pelayanan diberikan (retrospektif)

    2. Apakah biaya dibayarkan sebelum pelayanan diberikan (prospektif) atau

    sesudah pelayanan diberikan (retrospektif)

    3. Apakah biaya yang dibayarkan kepada faskes besarannya ditentukan

    berdasarkan input yang digunakan (seperti gaji, biaya obat dan biaya operasional

    lainnya) atau berdasarkan output yang dihasilkan (pelayanan).

    1.2 Casemix Sebagai Suatu Sistem Pembayaran Prospektif di Fasilitas

    KesehatanTingkat Lanjutan

    Seperti yang terlihat dari tabel di atas, sistem pembayaran prospektif memberikan

    resiko finansial yang lebih tinggi kepada provider dibandingkan dengan pembayar. Ini

    berarti bahwa fasilitas kesehatan akan menanggung konsekuensi finansial jika biaya

    pelayanan kesehatan lebih besar dari yang diperkiraan pada awal kesepakatan

    besaran biaya. Namun demikian, fasilitas kesehatan juga bisa mendapatkan

    keuntungan jika biaya pelayanan kesehatan yang aktual lebih rendah dari besaran tarif

    yang ditetapkan. Hal ini bisa terjadi jika fasilitas kesehatan melakukan efisiensi,

    memberikan pelayanan dengan lebih efektif atau mungkin juga dengan mengurangi

    jenis pelayanan yang tidak perlu diberikan kepada pasien.

    Pelayanan kesehatan pada fasilitas kesehatan tingkat lanjutan lebih kompleks dan

    lebih cenderung mendorong terjadinya supplier-induced-demand terutama jika tenaga

    kesehatan di provider tersebut tidak sadar biaya (lack of cost awareness). Sikap tidak

    sadar biaya tersebut dapat mendorong overutilisasi dan inefisiensi. Oleh sebab itu

    diperlukan suatu sistem untuk mendorong terjadinya efisiensi biaya tanpa mengurangi

    mutu pelayanan. Casemix adalah suatu sistem pembayaran prospektif yang

    menempatkan risiko finansial pada posisi yang sama baik untuk fasilitas kesehatan

    maupun pada pembayar. Tidak seperti kapitasi yang lebih mendorong upaya preventif

    dan peningkatan kualitas kesehatan, casemix mengakomodir fungsi fasilitas kesehatan

    tingkat lanjut sebagai tempat pelayanan kuratif dan rehabilitatif dengan

    memperhitungkan kompleksitas dan keparahan kasus (severitas).

    Bagi pembayar, penetapan besaran biaya di muka memungkinkan untuk memprediksi

    biaya kesehatan yang akan datang. Dengan menggunakan casemix, pembayar dan

    stakeholders terkait bisa mendapatkan data epidemiologi (pola penyakit) untuk suatu

    populasi pada periode tertentu. Hal ini tidak hanya berguna untuk membuat prediksi

    biaya menjadi lebih akurat, namun bisa juga untuk pengambilan kebijakan di masa

    datang.

    Sistem casemix adalah suatu sistem yang mengklasifikasikan episode penanganan

    pasien untuk membentuk group-group dimana tiap group memiliki kesamaan dalam

    katakteristik klinis dan penggunaan sumber daya yang sama.

  • Modul Pelatihan Pengenalan INA-CBG dan Mekanisme Verifikasinya

    14

    Sumber daya yang dimaksud termasuk sumber daya apapun yang digunakan oleh

    fasilitas kesehatan untuk merawat dan menangani pasien, baik akomodasi, makanan,

    obat, bahan habis pakai, penunjang diagnostik, tindakan medik dan non medik dan

    lain-lain. Jadi dalam suatu sistem casemix, ada dua variable utama yang

    mempengaruhi tarif, yaitu variable pasien (kompleksitas dan keparahan penyakit) dan

    variable yang berhubungan dengan organisasi dan manajemen RS.

    Tujuan utama penerapan konsep casemix adalah mendorong RS di Indonesia untuk

    bekerja secara efektif dan efisien sesuai dengan kompetensinya masing-masing. Tarif

    RS tipe D tentu berbeda dengan tarif RS tipe A karena RS Tipe A memiliki kompetensi

    yang lebih besar untuk menangani kasus yang lebih kompleks dan lebih parah. Sistem

    casemix juga menjadikan RS, terutama RS Pemerintah, untuk ikut menanggung beban

    pemerintah dengan penggunaan resources yang lebih efisien. Seperti kita ketahui

    bersama, jumlah penduduk yang mendapatkan bantuan iuran jauh lebih besar dari

    penduduk yang mampu membayar kontribusi. Hal ini menyebabkan anggaran menjadi

    lebih terbatas sedangkan kebutuhan akan pelayanan kesehatan makin meningkat.

    RS yang terorganisir dengan baik dan mampu menangani pasien lebih cepat dengan

    menggunakan sumber daya yang lebih sedikit akan mengeluarkan biaya yang lebih

    kecil namun tetap mendapatkan pembayaran penuh pada sistem casemix. Artinya

    dalam sistem casemix, RS yang efisien adalah RS yang mencetak lebih banyak profit.

    No Casemix Retrospektif

    1 Pengelolaan sumberdaya RS secara

    independen shifting tanggung jawab

    ke RS itu sendiri

    Pengelolaan sumberdaya RS dependen

    terkait dengan besaran tarif klaim pelayanan

    2 Simpel qua verifikasi klaim cepat Rumit, berbelit lama

    3 Peran dokter dan coder dalam

    menegakkan dan mendefinisikan

    diagnosa sangat besar

    Banyaknya jenis pelayanan kesehatan yang

    menentukan besaran klaim

    4 Membutuhkan grouper sebagai engine

    pembangkit tarif klaim

    Tarif klaim merupakan total dari jenis pelayanan

    yang diberikan

    5 Diagnosa, prosedur dan kombinasi

    antaranya merupakan faktor dominan

    Penegakan diagnosa (sesuai kaidah) bukan

    faktor dominan

    6 Informasi pola kesakitan (lokal, regional

    dan nasional) dapat dibangkitkan

    secara cepat dan (lebih) akurat

    Informasi pola kesakitan sukar untuk ditampilkan.

    Informasi mengenai RS mengerjakan apa malah

    dapat ditampilkan

    7 Pola klaim berdasarkan

    pengelompokkan penyakit

    perencanaan penganggaran lebih

    mudah

    Tiap klaim mempunyai spesifikasi unik yang

    berbeda antara satu klaim dengan lainnya

  • Modul Pelatihan Pengenalan INA-CBG dan Mekanisme Verifikasinya

    15

    Dengan semua keunggulan casemix seperti yang dicantumkan di atas, Pemerintah

    menetapkan sistem casemix dengan nama INA-CBG sebagai metode pembayaran

    fasilitas kesehatan di RS pada era SJSN dengan harapan:

    CBG mendorong transparansi manajemen dan dokter/paramedis dalam pembiayaan

    rumah sakit

    CBG memungkinkan Tim Pengelola untuk mengontrol dengan lebih baik jumlah

    uang yang dibelanjakan guna membayar biaya pelayanan kesehatan rumah sakit

    CBG membantu Tim Pengelola memprediksi kewajiban finansial apa yang harus

    dibayar ke rumah sakit di masa depan

    CBG dapat menurunkan rata-rata biaya perawatan pasien di rumah sakit.

    1.3 Studi Komparatif Implementasi Casemix di Beberapa Negara

    Diagnosis Related Groups (DRG) mulai diperkenalkan pertama kali oleh Profesor

    Bob Fetter dan Jon Thompson dari Yale University pada tahun 1980. Secara formal,

    sistem pembayaran DRG digunakan oleh pemerintah Amerika Serikat dalam program

    Medicare mulai 1 Oktober 1983. Dalam perjalannya implementasi DRG di Amerika

    dilakukan secara bertahap yang dimulai di beberapa wilayah terlebih dahulu. DRG

    pertama kali diimplementasikan di negara bagian New Jersey pada sejumlah kecil RS.

    Selama hampir 3 (tiga) tahun, pilot project di New Jersey berkembang dan

    diimplementasikan secara bertahap hingga pada pertengahan tahun 1983 semua RS di

    New Jersey mengimplementasikan DRG.

    Berangkat dari kesuksesan di New Jersey, kongres Amerika Serikat kemudian

    mensahkan DRG sebagai bentuk pembayaran faskes di seluruh negeri.

    Hingga saat ini sistem casemix telah digunakan oleh lebih dari 50 negara didunia.

    Sistem casemix yang paling banyak dikenal saat ini adalah Diagnosis Related

    Groups (DRG) dengan istilah yang berbeda, misalnya:

    a. Di Amerika dikenal istilah International Refined DRG (IR-DRG)

    b. Di Australia dikenal istilah Australian Refined-DRG (AR-DRG)

    c. Di United Kingdom dikenal dengan istilah Health Care Resource Groups (HRG)

    d. Di Malaysia dikenal dengan istilah Malaysian-DRG

    e. Di Singapura mengadopsi dari Australia dengan istilah yang sama (AN-DRG)

    f. Di Indonesia dahulu dikenal dengan Indonesia Diagnosis Related Group (INA-DRG)

    kemudian beralih menjadi INA-CBG.

    Berikut contoh negara-negara yang menggunakan sistem pembayaran

    casemix.

    a. Australia

    Australia merupakan salah satu negara dengan perkembangan casemix yang

    cukup signifikan. Casemix-based funding di Australia dimulai pada tahun 1988

    dan sejak itu Australia terus mengembangkan sistem casemix-nya sendiri. Saat

  • Modul Pelatihan Pengenalan INA-CBG dan Mekanisme Verifikasinya

    16

    ini Australia memiliki berbagai jenis produk casemix yang disesuaikan dengan

    kebutuhan klinis. Australia-Refined DRG diperkenalkan pada tahun 1998 dan

    sejak saat itu sudah direvisi hingga versi ke-6. AR-DRGs menggunakan ICD-10-

    AM (Australian Modification) dan Australian Classification of Health Interventions

    (ACHI).

    Penggunaan casemix terdiri atas beberapa versi yaitu:

    - Klasifikasi Rawat Inap Akut

    a. Australian National DRGs (AN-DRGs)

    b. Australian Refined-DRGs (AR-DRGs)

    - Sub akut

    a. Casemix Rehabilitation Adjusted Funding Tree (CRAFT)

    b. Sub and non Acute Patient (SNAP)

    c. Resource Utilisation Groups (RUG)

    d. Functional Related Groups (FRG)

    - Rawat Jalan

    a. Victorian Ambulatory Classification System (VACS)

    b. Ambulatory Patient Groups (APG)

    c. National Hospital Cost Data Collection (Tier2)

    - Emergency

    a. Urgency Related Groups (URG)

    b. Urgency Dispostition Groups (UDG)

    b. Romania

    Romania mulai mengimplementasikan casemix sejak tahun 2002 yang dimulai

    dari 23 RS percontohan. Sejak tahun 2000, National Health Insurance of

    Romania mulai mengumpulkan data pembentuk tarif dari 23 RS tersebut.

    Pemerintah Romania mengimplementasikan casemix dengan nama Romanian

    DRGs sebagai solusi dari beberapa permasalahan dalam sistem pelayanan

    kesehatannya, yaitu:

    - Anggaran kesehatan rendah

    - Biaya pelayanan kesehatan sangat tinggi pada fasilitas kesehatan tingkat

    lanjutan

    - Kurangnya cost awareness di dalam penggunaan anggaran kesehatan

    - Kurangnya indikator untuk mengukur output dan kualitas pelayanan di RS

    Setelah implementasi casemix selama 6 (enam) bulan pertama, terlihat

    kecenderungan efisiensi dalam penggunaan sumber daya di RS dengan indikator

    yang paling jelas yaitu pada penurunan ALOS. Untuk mencegah terjadinya

    penurunan kualitas, pemerintah Romania terus melakukan kendali mutu kepada

    RS yang mengimplementasikan casemix.

    Berangkat dari keberhasilan di 23 RS tersebut, pada tahun 2004 Romanian

    DRGs diimplementasikan secara nasional di semua RS.

  • Modul Pelatihan Pengenalan INA-CBG dan Mekanisme Verifikasinya

    17

    c. Jerman

    Jerman mulai mengimplementasikan G-DRG (German-DRG) pada 1 Januari

    2004. Hampir semua RS yang menangani kasus akut di Jerman diwajibkan untuk

    menggunakan sistem ini dalam pembiayaan dan pentarifan pelayanan

    kesehatan.

    Berdasarkan UU yang berlaku, yaitu UU SGB 5, semua RS di Jerman wajib

    menggunakan sistem ini dalam penagihan pasien, termasuk pasien asing

    ataupun pasien umum. Hal ini memungkinkan untuk melakukan evaluasi

    perkiraan biaya dan tagihan RS dengan dengan dasar hukum.

    German DRGs membagi aktivitas RS menjadi 18 kategori yang berhubungan

    dengan sistem faal tubuh, misalnya penyakit pada mata, penyakit pada organ

    pernapasan, dll. Dalam masing-masing kategori ini, kemudian kode DRG akan

    ditentukan berdasarkan diagnosis, tindakan operasi medis yang diberikan selama

    dirawat, diagnose sekunder dan aspek penyulit lainnya yang ditemukan pada

    kasus. Pada tiap kode DRG yang jumlahnya hampir 800 kode akan ditentukan

    nilai ekonomi kasus atau cost weight yang kemudian akan dikalikan dengan base

    rate (tariff dasar). Base Rate ini biasanya lebih rendah pada RS yang lebih kecil

    dan bagian Jerman selatan.

    Untuk tiap DRG akan mencakup rata-rata lama hari rawat untuk masing-masing

    kasus. Hal ini bisa digunakan untuk mengevaluasi efektivitas pelayanan yang

    diberikan oleh RS berdasarkan length of stay rata-rata pada RS setingkat.

    Hampir semua RS memberikan kamar dengan 3 tempat tidur. Jika pasien

    membutuhkan kamar yang lebih private misalnya dengan 1 atau 2 tempat tidur,

    harus membayar biaya tambahan.

  • Modul Pelatihan Pengenalan INA-CBG dan Mekanisme Verifikasinya

    18

    Pokok Bahasan 2 : Konsep Casemix (INA-CBG)

    2.1 Alur Pembentukan Komponen Tarif Casemix

    Komponen Case-Mix

    a. Coding

    Coding yang dimaksud disini bukan kegiatan menterjemahkan peristiwa penyakit

    dan kematian yang terjadi pada pasien menjadi kode standar (kode INA-CBG)

    sesuai kaidah ICD-10 dan ICD-9CM, namun merupakan aktifitas perhitungan porsi

    masing-masing kode INA-CBG yang diformulasikan sedemikian rupa sehingga

    informasi data pelayanan tersebut dapat dimanfaatkan untuk menetapkan cost

    weight (CW) dan hospital based rate (HBR).

    b. Costing

    Ada beberapa metode yang dapat digunakan dalam menentukan pembiayaan

    untuk DRG, yaitu :

    1) Top Down Costing

    Metode ini menggunakan informasi utama dari rekening atau data keuangan

    rumah sakit yang telah ada. Langkah pertama adalah mengidentifikasi

    pengeluaran-pengeluaran rumah sakit yang terkait dengan penyediaan layanan

    rawat inap. Langkah selanjutnya adalah mengklasifikasikan pengeluaran-

    pengeluaran tersebut ke masing-masing cost center seperti bangsal rawat inap

    (wards), gaji dan jasa medis tenaga medis dan paramedis (medical salaries),

    ruang operasi (operating room), bahan dan barang farmasi (pharmacy),

    Two Main Components Disease Classification - Coding for Diagnosis (ICD-10) - Coding for Procedures (ICD-9CM) Cost Analysis -Top-down Costing - Activity-based Costing - Clinical Pathways

  • Modul Pelatihan Pengenalan INA-CBG dan Mekanisme Verifikasinya

    19

    radiologi (radiology), patologi (pathology), dan pekerja sosial serta unit-unit

    biaya lain yang terkait dengan penyediaan layanan kesehatan.

    2) Activity Based Costing (ABC)

    ABC adalah suatu metodologi pengukuran biaya dan kinerja atas aktivitas,

    sumber daya, dan objek biaya. ABC memilik dua elemen utama, yaitu

    pengukuran biaya (cost measures) dan pengukuran kinerja (performance

    measures). Sumber daya-sumber daya ditentukan oleh aktivitas-aktivitas yang

    dilakukan, sedangkan aktivitas-aktivitas ditentukan berdasarkan kebutuhan yang

    digunakan oleh objek biaya. Konsep dasar ABC menyatakan bahwa aktivitas

    mengkonsumsi sumber daya untuk memproduksi sebuah keluaran(output), yaitu

    penyediaan layanan kesehatan. Melalui pemahaman konsep ABC tersebut di

    atas, keterkaitan antara service lines, tarif, sumber daya, dan biaya yang

    dikeluarkan penyedia sumber daya dalam kerangka interaksi antara pengguna

    layanan, rumah sakit, dan penyedia sumber daya. Pertama, mengumpulkan data

    mengenai aktivitas seluruh unit dalam rumahsakit yang mendukung output.

    Kedua, mengembangkan pola keterkaitan antara aktivitas-aktivitas tersebut

    terhadap masing-masing output. Ketiga, mengembangan perhitungan biaya atas

    aktivitas-aktivitas kepada output.

  • Modul Pelatihan Pengenalan INA-CBG dan Mekanisme Verifikasinya

    20

    c. Clinical Pathway

    Clinical Pathway adalah dokumen perencanaan pelayanan kesehatan terpadu yang

    merangkum setiap langkah yang dilakukan pada pasien mulai masuk RS sampai

    keluar RS berdasarkan standar pelayanan medis, standar asuhan keperawatan,

    dan standar pelayanan tenaga kesehatan lainnya yang berbasis bukti dengan hasil

    yang dapat diukur.

    Tujuan clinical pathway antara lain memfasilitasi :

    o penerapan clinical guide dan audit klinik dalam praktik klinik,

    o memperbaiki komunikasi dan perencanaan multidisiplin,

    o mencapai atau melampaui standar mutu yang ada,

    o mengurangi variasi yang tidak diinginkan dalam praktik klinik, memperbaiki

    komunikasi antara klinisi dan pasien,

    o meningkatkan kepuasan pasien,

    o identifikasi masalah, riset dan pengembangan.

    Clinical Pathways dari segi ekonomi kesehatan dapat melaksanakan efisiensi

    pembiayaan dengan memanfaatkan seoptimal mungkin hari rawat pasien,

    mengeliminasi pemeriksaan penunjang/laboratorium/tindakan yang tidak diperlukan,

    menggunakan obat-obatan (terutama antibiotik) sesuai evidence-based; sehingga

    pelayanan efektif di samping tidak membedakan latar belakang pasien karena fokus

    kepada pasien dan penyakitnya.

    d. Teknologi Informasi

    Teknologi Informasi sangat penting peranannya dalam pembentukan tariff casemix.

    Komponen-komponen pembentuk tariff diproses dalam suatu mekanisme teknologi

    informasi sehingga menghasilkan tarif sesuai dengan pengelompokkan ciri klinis

    dan sumberdaya yang yang sama (peranannya sebagai grouper).

  • Modul Pelatihan Pengenalan INA-CBG dan Mekanisme Verifikasinya

    21

    Berikut ini adalah Perbedaan Tarif 2008 2012 2013 (JKN) :

    Ada beberapa perbedaan antara tarif tahun 2008, tariff INA CBGs 2012 dan tariff JKN

    yaitu:

    a. Data coding tariff JKN berasal dari 6 juta record jika dibandingkan dengan tariff 2012

    yang hanya berasal dari 1 juta record lebih yang berasal dari data klaim jamkesmas

    tahun 2011 sd 2012.

    b. Peningkatan jumlah RS sumber data costing yaitu 325 RS namun yang memenuhi

    criteria hanya 137 RS Pemerintah tipe A, B, C, D dan Khusus dibandingkan dengan

    tariff 2012 yang hanya berasal dari data 100 RS

    c. Terdapat tambahan 6 special CMGs pada tariff JKN

    d. Ada 13 kelompok tariff RS yaitu RS Kelas A, Kelas B Non Pendidikan, Kelas B

    Pendidikan, Kelas C, Kelas D dan Kelas Khusus sedangkan pada tariff 2012 dan

    2008 hanya terdapat 12 kelompok tariff.

    2.2 Alur Pembentukan Komponen Tarif INA-CBGs

    1. Kondisi tarif INA-CBG saat ini

    Alur pembentukan komponen tarif Tarif INA CBGs dibagi menjadi tarif Rumah Sakit

    Umum dan Khusus kelas A, kelas B, kelas C dan kelas D, tarif RSUPN dr.Cipto

    Mangunkusumo, tarif RSAB Harapan Kita, Tarif RSJP Harapan Kita dan tarif RS

    Kanker Dharmais.

  • Modul Pelatihan Pengenalan INA-CBG dan Mekanisme Verifikasinya

    22

    Proses Pembentukan Tarif

    DRG/CBG TARIF NASIONAL

    2. Faktor-faktor pendukung perlunya dilakukan revisi tariff INA CBGs yang berlaku

    saat ini adalah :

    1. Terdapat tarif yang masih rendah untuk beberapa kasus

    2. Kurang mengakomodir kasus kronik, sub akut, special procedure, special

    investigation, special drug.

    3. Tarif tidak sama (perbedaan cukup lebar) di setiap kelas rumah sakit

    3. Upaya-upaya yang dilakukan untuk penyempurnaan tarif INA CBGs adalah :

    Merubah hospital base rate setiap tahun

    Merevisi Casemix index dan cost weight setiap 2-3 tahun

    Membentuk spesial groups untuk kasus khusus

    Pengelompokan tarif yang lebih proporsional

    Kesesuaian cost dengan tarif DRG

    Pokok Bahasan 3 : Implementasi Casemix Di Indonesia

    3.1 Implementasi INA-DRG

    Dalam penyusunan tarif INA-DRG Indonesia, Kementerian Kesehatan RI bekerjasama

    dengan Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) sebagai partner untuk merumuskan

    sistem Case-Mix yang paling sesuai bagi Indonesia, kerjasama ini berbentuk sebuah

    Pilot Project Implementasi Case-Mix di 15 Rumah Sakit di Indonesia.

    INA-DRG mulai dikenalkan pada tahun 2005 melalui SK Menkes

    No.1663/MENKES/SK/XII/2005 tentang Uji Coba Penerapan Sistem Diagnostic

    Related Group (DRG) Case-Mix di 15 Rumah Sakit di Indonesia antara lain:

    a. RSU H. Adam Malik, Medan

    b. RSUP Dr. M. Djamil, Padang

    c. RSUP Dr. M. Hoesin, Palembang

    d. RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

    e. RSUP Fatmawati, Jakarta

    Data Pasien : 14 Variabel Data

    Data Cost Overhead cost Intermediate cost Final cost

    Cost weight Casemix index Base rate DRG/CBG cost

  • Modul Pelatihan Pengenalan INA-CBG dan Mekanisme Verifikasinya

    23

    f. RSUP Persahabatan, Jakarta

    g. RS Anak Bunda Harapan Kita, Jakarta

    h. RS Jantung & Pembuluh Darah Harapan Kita, Jakarta

    i. RS Kanker Dharmais, Jakarta

    j. RSUP Hasan Sadikin, Bandung

    k. RSUP Dr. Kariadi, Semarang

    l. RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta

    m. RSUP Sanglah, Denpasar

    n. RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo, Makassar

    o. RSUP Dr. R. D. Kandou, Manado

    Pemerintah kemudian membentuk Centre of Casemix yang saat ini dikenal dengan

    nama National of Casemix Centre (NCC) merupakan wadah yang dibentuk

    Kementerian Kesehatan RI, yang bertugas mengumpulkan, mengolah, dan menyajikan

    data dan informasi mengenai pelaksanaan Casemix di 15 Rumah Sakit yang telah

    ditunjuk pemerintah sebagai tempat uji coba sistem Casemix. Berbekal data yang

    dikirimkan dari rumah sakit-rumah sakit tersebut Center of Casemix menyusun daftar

    INA-DRG yang dimulai pada tahun 2006.

    Selanjutnya Pemerintah membuat kebijakan untuk menerapkan tarif INA-DRG dengan

    menggunakan Grouper (IR-DRG) dari PT 3M INDONESIA yang berbasis komersial

    (berbayar) pada progam Jamkesmas berdasarkan SK Menkes nomor

    125/MENKES/SK/II/2008 di RS Vertikal sejak tanggal 1 September 2008 dan mulai

    tanggal 1 Januari 2009 diberlakukan pada Rumah Sakit Daerah (RSUD) dan seluruh

    Jaringan Rumah Sakit yang melayani Jamkesmas.

    Dalam implementasinya, terdapat beberapa permasalahan antara lain:

    1. Menggunakan Grouper (IR-DRG) komersial (berbayar)

    2. Hanya mencakup kasus-kasus penyakit Akut saja

    3. Tarif tidak adekuat pada beberapa kasus, misalnya:

    a. Sub acut and chronic

    b. Special Prosedure

    c. Special investigation

    d. MRI

    e. Special drug

    f. Kemoterapi

    4. Sulit merubah logic grouper bila terjadi perubahan sistem coding

    5. Sulit dimodifikasi* Lisensi software Grouper INA-DRG dari PT 3M Indonesia

    berakhir pada tanggal 1 Oktober 2010 (expired).

    Dengan berakhirnya lisensi dari PT 3M Indonesia tersebut, maka software tidak bisa

    digunakan untuk grouping. Sebagai tindak lanjut atas berakhirnya lisensi software INA-

    DRG tersebut, Pemerintah kemudian melakukan hal-hal sebagai berikut :

    1. Rapat teknis dengan 3 dan United Nation University (UNU)

    2. Persiapan penggunaan INA-CBGs antara lain:

    a. Pembuatan software entry data

    b. Pembuata software migrasi data

  • Modul Pelatihan Pengenalan INA-CBG dan Mekanisme Verifikasinya

    24

    3. Menerbitkan Surat edaran.

    4. Legal Aspek implementasi INA-CBG

    3.2 Implementasi INA-CBG

    Dengan mempertimbangkan berbagai aspek kelemahan penggunaan grouper (IR-

    DRG) dari PT 3M INDONESIA, maka Pemerintah memutuskan untuk tidak lagi

    menggunakan istilah INA-DRG dan kemudian beralih menggunakan istilah INA-CBGs

    dan menggunakan grouper yang dikembangkan oleh UNU-IIGH (United Nation

    University International Institut for Global Health) dari Perserikatan Bangsa-Bangsa

    (PBB).

    Penggunaan grouper yang berbeda ini hanya berdampak pada perubahan susunan

    nomenklatur dari INA-DRG menjadi INA-CBGs akan tetapi tidak merubah besaran

    tarif.

    Penggunaan INA-CBGs pada pelayanan Program Jamkesmas dimulai pada bulan

    Oktober 2010. Dan sejak tahun 2013, Depkes merubah penyebutan istilah INA-CBGs

    menjadi INA-CBG.

    PT Askes (Persero) sebenarnya sudah mulai menggunakan tarif INA-CBG pada

    program PJKMU, sesuai SK Direksi Nomor 007 Tahun 2012 tentang Pedoman

    Pelaksanaan PJKMU, namun masih belum optimal dan hanya berlaku di beberapa

    Rumah Sakit. Salah satu kendalanya adalah terkait perhitungan premi (Premium

    Setting), dimana PT Askes sendiri belum memiliki pengalaman pembiayaan dengan

    model pola tarif INA-CBG.

    Dalam Perpres Nomor 12 Tahun 2013 pasal 39 ayat (3), BPJS telah ditentukan cara

    pembayaran klaim pada Fasilitas Rujukan tingkat lanjutan dengan menggunakan tarif

    INA-CBG, dan sebagai langkah persiapan, PT Askes (Persero) telah mulai menyiapkan

    daerah yang akan menjadi pilot project penerapan tarif INA-CBG antara lain Propinsi

    DKI Jakarta (program KJS), Propinsi Aceh (program JKA) dan pada Askes Sosial

    digunakan sebagai kajian pembanding.

    Kesimpulan :

    Tidak Ada Sistem Pembayaran yang ideal seluruhnya tergantung pada kondisi dan

    kebutuhan dalam suatu wilayah

    Sistem Casemix di pelayanan tingkat lanjut dianggap sebagai PPS yang mendekati

    ideal

    Perlu dilakukan perbaikan terus menerus terhadap tarif dan monitor kualitas

    pelayanan yang ditunjang oleh kebijakan politis

  • Modul Pelatihan Pengenalan INA-CBG dan Mekanisme Verifikasinya

    25

    REFERENSI

    1. Cashin C, ODougherty S and Langenbrunner J., 2009, How To Manuals, The World

    Bank.

    2. GIZ, 2012, International Approaches To Health Financing and Health Insurance,

    Inwent Germany.

    3. German Hospital Services, 2013, German Hospital Services. Retrieved from

    http://english.german-hospital-service.com/html/drgs.html on October 7, 2013

    4. Australian Institute of Health and Welfare, 2013, Australian Refined DRG, retrieved

    from http://www.aihw.gov.au/ar-drg-data-cubes/ on October 7, 2013

    5. Norman C and Weber A, 1994, Social Health Insurance: A Guide for Planning,

    WHO

    6. National Casemix Center

  • Modul Pelatihan Pengenalan INA-CBG dan Mekanisme Verifikasinya

    26

    MATERI DASAR 2

    KEBIJAKAN, ALUR PELAYANAN DAN IMPLEMENTASI INA-CBG

    PADA PROGRAM KARTU JAKARTA SEHAT (KJS)

    DESKRIPSI SINGKAT

    I. LATAR BELAKANG

    Provinsi DKI Jakarta sebagai ibukota negara mempunyai penduduk sebanyak

    9.604.329 jiwa, dimana sebanyak 4.7 juta jiwa terdiri dari penduduk miskin dan rentan.

    Menurut data PPLS penduduk miskin di DKI Jakarta sebanyak 1.2 juta jiwa. Diperkirakan

    sebanyak 3,5 juta adalah penduduk yang masuk dalam kelompok rentan. Sesuai

    dengan Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta nomor 4 tahun 2009 tentang Sistem

    Kesehatan Daerah, maka Pemerintah Provinsi DKI Jakarta merancang suatu sistem

    Jaminan Pemeliharaan Kesehatan bagi penduduk miskin dan rentan DKI Jakarta yang

    dinamakan Program Jakarta Sehat (KJS) seperti yang tertera dalam Peraturan

    Gubernur Provinsi DKI Jakarta nomor 14 tahun 2013.

    Dengan adanya Program Jakarta Sehat (KJS) ini, diharapkan akan

    meningkatkan akses penduduk miskin ke fasilitas kesehatan. Guna mendukung Program

    KJS, Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta telah bekerjasama dengan Fakultas

    Kedokteran UI-RSCM guna meningkatkan kemampuan dokter Puskesmas sehingga

    terjadi penguatan di pelayanan primer. Selain itu telah dibentuk Sistem Pelayanan Gawat

    Darurat Terpadu 119 (SPGDT 119) yang akan membantu petugas kesehatan dan

    masyarakat untuk mengetahui ketersediaan tempat tidur di kelas III, ICU, ICCU, NICU

    dan PICU di rumah sakit provider Program KJS.

    Amanat UUD 45 Pasal 28H ayat 1 memberikan hak kepada penduduk untuk

    mendapatkan pelayanan kesehatan. Harus dipahami bahwa hak rakyat tersebut

    bukanlah hak alamiah yang dapat diperoleh tanpa ada kewajiban. Hak rakyat atas

    layanan kesehatan diperoleh setelah rakyat melaksanakan kewajiban seperti membayar

    pajak dan iuran jaminan sosial. Oleh karenanya hak atas pelayanan kesehatan tersebut

    telah dirumuskan lebih lanjut dengan Pasal 34 ayat (2) UUD 45 yang memerintahkan

    negara untuk mengembangkan Sistem Jaminan Sosial untuk seluruh rakyat. Amanat

    UUD 45 ini telah dijabarkan dengan lebih rinci dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun

    2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), yang mewajibkan rakyat yang

    mampu untuk membayar iuran jaminan sosial, diantaranya jaminan kesehatan. Namun

  • Modul Pelatihan Pengenalan INA-CBG dan Mekanisme Verifikasinya

    27

    demikian, rakyat yang belum mampu atau miskin berhak mendapatkan bantuan iuran,

    yang sifatnya sementara sampai rakyat mampu, guna mendapatkan jaminan kesehatan.

    Hasil amandemen Undang-Undang Dasar 1945 tahun 2002 pasal 33 dan 34

    ayat (1), (2),dan (3) mengamanatkan, penyelenggaraan suatu jaminan sosial bagi

    seluruh rakyat Indonesia terutama bagi Keluarga Miskin. Dan Undang-Undang No: 40

    tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional pasal 17 butir 4 menyatakan bahwa

    iuran program jaminan sosial bagi fakir miskin dan orang tidak mampu dibayar oleh

    pemerintah.

    1. Upaya pemerintah menjamin penduduk miskin dan kurang mampu melalui program

    Jamkesmas masih terbatas pada fasilitas kesehatan tertentu. Selain itu, terbatasnya

    obat-obatan dan layanan yang dijamin membuat penduduk miskin dan kurang

    mampu masih belum sepenuhnya terbebas dari pengeluaran biaya.

    2. Masih banyaknya penduduk DKI Jakarta yang miskin dan hampir miskin yang belum

    memiliki jaminan kesehatan sama sekali, meskipun sebagian dari mereka mampu

    membayar biaya berobat yang relatif murah terutama untuk rawat jalan, namun

    sebagian besar mereka tidak sanggup membayar biaya rawat inap yang dapat

    melampaui kemampuan bayarnya.

    3. Berdasarkan kondisi di atas, maka Pemerintah Provinsi DKI Jakarta merancang suatu

    sistem jaminan pemeliharaan kesehatan bagi penduduk miskin dan hampir miskin

    DKI Jakarta yang dinamakan Program Kartu Jakarta Sehat (KJS).

    II. SASARAN

    Sasaran Program KJS adalah penduduk Provinsi DKI Jakarta yang miskin dan

    rentan dengan lama domisili minimal 3 (tiga) tahun, sebagaimana diatur dalam

    Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 14 Tahun 2013 pasal 6 ayat 2

    dengan maksimum kuota 4.700.000 jiwa termasuk peserta Jamkesmas DKI Jakarta,

    penduduk yang telah mendapatkan Kartu Jakarta Sehat yang diterbitkan sebelum 1

    April 2013, Kartu JPK Gakin dan Kartu Jamkesda Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta,

    serta penduduk DKI Jakarta yang berobat ke Puskesmas, dan yang dirawat inap di kelas

    3 (tiga) rumah sakit, tidak termasuk Peserta Askes Sosial, Pejabat Negara, Peserta

    Jaminan Pelayanan Kesehatan (JPK) Jamsostek, karyawan Badan Usaha Milik Negara,

    Karyawan Lembaga/Institusi/Perusahaan, dan penduduk yang telah mempunyai jaminan

    pemeliharaan kesehatan lainnya, kecuali yang termasuk dalam definisi masyarakat

    rentan sesuai Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta nomor 14 tahun 2013.

  • Modul Pelatihan Pengenalan INA-CBG dan Mekanisme Verifikasinya

    28

    III TUJUAN PEMBELAJARAN

    I. Tujuan Umum

    Setelah mempelajari materi, peserta mampu memahami dan menjelaskan kembali

    tentang kebijakan dan pelaksanaan Program KJS dan Implementasi INA CBGs pada

    Program KJS.

    II. Tujuan Khusus :

    Setelah mempelajari materi, peserta latih mampu :

    1. Memahami Kebijakan dan Pelaksanaan Program KJS

    2. Implementasi Verifikasi Berbasis INA CBGs pada Program KJS

    IV. POKOK BAHASAN

    A. Memahami Kebijakan dan Pelaksanaan Program KJS

    1. Kepesertaan Program KJS

    1.1 Ketentuan Umum

    1.2 Kewajiban Peserta

    1.3 Hak Peserta

    1.4 Identitas Peserta Untuk Mendapatkan Pelayanan Kesehatan

    1.5 Identitas Kartu Peserta KJS

    1.6 Pengadaan dan Penerbitan Kartu Peserta KJS

    1.7 Mutasi/Perubahan Data Peserta KJS

    2. Manfaat dan prosedur KJS

    2.1 Ketentuan Umum

    2.2 Manfaat

    2.2.1 Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama

    2.2.2 Pelayanan Kesehatan Tingkat Lanjutan

    2.2.3 Pelayanan Gawat Darurat

    2.2.4 Pelayanan Rujukan

    2.2.5 Pelayanan Alat Kesehatan

    2.2.6 Pelayanan Yang Tidak Dijamin

    2.2.7 Fasilitas Kesehatan KJS

    2.3 Prosedur Pelayanan Kesehatan

    2.3.1 Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama

    2.3.2 Pelayanan Kesehatan Tingkat Lanjutan

    2.3.3 Pelayanan Kesehatan Peserta KJS di Luar Wilayah Propinsi DKI

    Jakarta

  • Modul Pelatihan Pengenalan INA-CBG dan Mekanisme Verifikasinya

    29

    2.3.4 Alur Bisnis Proses Pelayanan KJS

    3. Pendanaan dan Sistem Pembiayaan

    3.1 Pendanaan

    3.2 Sistem Pembayaran

    B. Implementasi Verifikasi Berbasis INA CBGs pada Program KJS

    1. Alur Proses Tagihan Klaim Pada Program KJS

    1.1 Verifikasi dengan Aplikasi INA CBGs (NCC)

    1.2 Verifikasi oleh petugas Verifikator Askes (Aplikasi VI)

    2. Titik Kritis yang perlu menjadi perhatian Verifikator pada saat melakukan verifikasi

    V. LANGKAH-LANGKAH PROSES PEMBELAJARAN

    1. Narasumber

    a. Memperkenalkan diri

    b. Menyampaikan ruang lingkup bahasan

    c. Menggali pendapat peserta tentang pelaksanaan Program KJS

    d. Menyampaikan pokok bahasan

    e. Memberikan kesempatan kepada pembelajar untuk menanyakan hal-hal yang

    kurang jelas

    f. Memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan peserta

    g. Merangkum hasil proses pembelajaran bersama peserta

    2. Peserta

    a. Mempersiapkan diri, alat tulis serta pendukung pembelajaran yang dibutuhkan

    b. Mengemukakan pendapat atas pertanyaan narasumber

    c. Mendengar, mencatat dan menyimpulkan hal-hal yang dianggap penting

    d. Mengajukan pertanyaan sesuai dengan kesempatan yang diberikan

    e. Merangkum hasil poses pembelajaran bersama narasumber

    VI. URAIAN MATERI

    I. KEBIJAKAN KEPESERTAAN PROGRAM KJS

    I.1 Peserta adalah penduduk DKI Jakarta yang miskin dan rentan, sebagaimana

    diatur dalam Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 14 Tahun 2013

    pasal 6 ayat 2, mempunyai KTP dan terdata dalam Kartu Keluarga Provinsi DKI

    Jakarta dengan lama domisili minimal 3 (tiga) tahun yang dibuktikan dengan

    Surat Keterangan dari Kelurahan yang ditanda-tangani oleh Lurah

  • Modul Pelatihan Pengenalan INA-CBG dan Mekanisme Verifikasinya

    30

    I.2 Peserta mempunyai Kartu JPK Gakin, Kartu Jamkesda, Kartu JPK Penghargaan

    dan Kartu Jakarta Sehat

    I.3 Peserta yang tercantum dalam sasaran Kartu Jakarta Sehat sebagaimana diatur

    dalam Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 14 Tahun 2013

    II. KEWAJIBAN PESERTA PROGRAM KJS

    II.1 Kewajiban Peserta saat berobat bila sakit adalah WAJIB berobat

    ke FASILITASKESEHATAN PRIMER atau PUSKESMAS dengan membawa :

    - Kartu Jakarta Sehat (KJS)

    - Bila belum memiliki Kartu Jakarta Sehat (KJS), dapat diganti dengan Kartu

    JPK Gakin/Kartu Jamkesda Dinas Kesehatan Provinsi DKI

    Jakarta/BLSM/Sertifkat Panti/Yayasan-Rumah Singgah. Selanjutnya oleh

    Petugas PUSKESMAS mendaftarkannya sebagai peserta Program KJS dan

    memberikan pasien tersebut Nomor Registrasi KJS.

    - Bagi yang tidak memiliki kartu identitas Program Pemerintah dalam

    Pemberantasan Kemiskinan seperti disebut di atas, dapat membawa KTP

    DKI Jakarta asli/ Kartu Keluarga DKI Jakarta asli dengan syarat lama

    domisili minimal 3 (tiga) tahun. Selanjutnya oleh Petugas PUSKESMAS

    mendaftarkannya sebagai peserta Program KJS dan memberikan pasien

    tersebut Nomor Registrasi KJS.

    - Bagi anak dibawah 17 tahun membawa Kartu Keluarga DKI Jakarta asli dan

    Bayi yang baru lahir membawa Akte Kelahiran / Surat Keterangan Lahir asli

    bila belum masuk dalam Kartu Keluarga DKI Jakarta. Selanjutnya oleh

    Petugas PUSKESMAS mendaftarkannya sebagai peserta Program KJS dan

    memberikan pasien tersebut Nomor Registrasi KJS.

    II.2 Apabila dirujuk ke FASILITAS KESEHATAN TINGKAT LANJUTAN

    (SEKUNDER/TERSIER), baik untuk rawat jalan maupun rawat inap, maka

    peserta wajib melapor ke bagian administrasi Rumah Sakit untuk pembuatan

    Surat Jaminan Pelayanan (SJP), yang diterbitkan oleh PT Askes (Persero).

    Khusus untuk rawat inap, SJP harus diterbitkan dalam waktu 3x24 jam sejak

    masuk rawat inap rumah sakit;

    II.3 WAJIB mematuhi peraturan/kebijakan seperti keharusan berobat dengan

    mekanisme sistem rujukan berjenjang dari fasilitas kesehatan tingkat

    pertama/primer sampai rujukan ke tingkat sekunder dan tersier kecuali :

    a. Dalam keadaan darurat / emergensi

  • Modul Pelatihan Pengenalan INA-CBG dan Mekanisme Verifikasinya

    31

    b. Pasien-pasien rutin (pasien lama) Rumah Sakit atau Rumah Sakit Khusus

    Tertentu pada kasus Kelainan Jiwa, Kanker, Hemofilia dan keperluan

    Hemodialisis

    c. Pasien yang berdomisili di Pulau Pramuka Kabupaten Kepulauan Seribu

    dapat berobat langsung ke RSUD Pulau Seribu tanpa menggunakan

    rujukan puskesmas

    III. HAK PESERTA

    Hak Peserta adalah sebagai berikut :

    III.1 Setiap Peserta berhak memperoleh Nomor Registrasi KJS di Puskesmas;

    III.2 Setiap Peserta berhak memperoleh Kartu Jakarta Sehat;

    III.3 Peserta berhak mendapatkan penjaminan biaya atas pelayanan kesehatan di

    fasilitas kesehatan yang bekerjasama dengan UP Jamkesda sebagai Fasilitas

    Kesehatan KJS, sepanjang sesuai dengan ketentuan dan mengikuti prosedur

    yang berlaku.

    III.4 Mendapatkan pelayanan kesehatan meliputi :

    a. Pelayanan kesehatan Rawat Jalan Tingkat Pertama (RJTP) dan Rawat

    Inap Tingkat Pertama (RITP),

    b. Pelayanan kesehatan Rawat Jalan Tingkat Lanjutan (RJTL), Rawat Inap

    Tingkat Lanjutan (RITL) kelas III dengan mekanisme sistem rujukan

    berjenjang; dan

    c. Pelayanan gawat darurat

    III.5 Khusus untuk kasus bersalin/melahirkan, prioritas pelayanan dan pembiayaan

    bersalin/melahirkan mengacu pada Program Jaminan Persalinan

    III.6 Bagi bayi baru lahir dengan Program Jampersal yang apabila karena

    penyakitnya memerlukan perawatan yang lebih lama dan jaminan Program

    Jampersal telah berakhir, maka berhak mendapatkan jaminan Program KJS

    setelah melengkapi persyaratan sesuai ketentuan yang berlaku

    IV. IDENTITAS DAN KARTU PESERTA PROGRAM KJS

    IV.1 Identitas Peserta

    Identitas Peserta Program KJS untuk mendapatkan pelayanan

    kesehatan adalah:

  • Modul Pelatihan Pengenalan INA-CBG dan Mekanisme Verifikasinya

    32

    1. Nomor Register KJS adalah identitas yang sah untuk mendapatkan

    jaminan kesehatan Program KJS yang diperoleh di Puskesmas dan dapat

    dipergunakan untuk berobat sebelum mendapatkan kartu KJS;

    2. Kartu Peserta Program KJS adalah identitas yang sah untuk mendapatkan

    jaminan kesehatan Program KJS;

    3. Untuk Bayi Baru Lahir, persyaratan yang dibutuhkan sebagai bukti untuk

    mendapatkan pelayanan kesehatan adalah menunjukkan Surat

    Keterangan Lahir asli atau identitas lain (surat keterangan RT/RW), serta

    Kartu Peserta Program KJS asli/KTP dan KK asli salah satu orang tua

    dimana salah satu atau kedua orang tua sudah terdaftar sebagai Peserta

    KJS (sudah memiliki Nomor Registrasi KJS).

    IV.2 Kartu Peserta Program KJS

    1. Kartu Peserta Program KJS diberikan secara perorangan;

    2. Bentuk fisik berupa kartu plastik dengan warna oranye diatas dengan logo

    Pemerintah Provinsi DKI Jakarta (JAYA RAYA) dan tulisan Kartu Jakarta

    Sehat di sebelah kiri, dan warna putih di bagian bawah. Di antara warna

    oranye dan putih terdapat pita merah putih diakhiri dengan gambar

    bendera merah putih;

    3. Bagian atas kanan tulisan kecil-kecil Kartu Jakarta sehat;

    4. Bagian kanan bawah terdapat barcode dan tulisan Masa berlaku : 2

    tahun;

    5. Kartu Jakarta Sehat ini jika di foto copy akan keluar kata COPY di bagian

    kiri bawah;

    6. Bagian muka tercantum Nomor Kartu, Nama, No. KTP/NIK, Tanggal lahir,

    Alamat, Nomor Kartu Keluarga;

    7. Dalam Barcode dan magnetic stripe berisi Nomor Registrasi KJS;

    8. Bagian belakang Kartu Jakarta Sehat tertulis perturan dan hukuman jika

    peserta dengan sengaja membuat kecurangan kecurangan;

    Catatan : Kartu Jakarta Sehat berlaku selama Program KJS masih

    diselenggarakan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta selama 2 tahun

  • Modul Pelatihan Pengenalan INA-CBG dan Mekanisme Verifikasinya

    33

    Kartu Jakarta Sehat (Tampak Depan)

    Kartu Jakarta Sehat (Tampak Belakang)

    IV.3 Pengadaan blanko kartu, Pendataan peserta, Penerbitan dan

    Pendistribusian Kartu Peserta Program KJS

    a. Pengadaan Blanko Kartu Peserta Program KJS

    Pengadaan Kartu Peserta Program KJS dilakukan dengan ketentuan:

    - Pengadaan Blanko Kartu Peserta Program KJS dilakukan oleh UP

    Jamkesda Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta;

  • Modul Pelatihan Pengenalan INA-CBG dan Mekanisme Verifikasinya

    34

    - Pengadaan Kartu Peserta Program KJS mengikuti ketentuan

    pengadaan barang dan jasa sesuai Peraturan Presiden R.I. No. 54

    Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, yang

    direvisi melalui Peraturan Presiden R.I. No. 70 Tahun 2012 tentang

    Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden R.I. No. 54 Tahun 2010,

    dengan menggunakan DPA-UKPD UP Jamkesda Dinas Kesehatan

    Provinsi DKI Jakarta Tahun Anggaran 2013;

    b. Pendataan Peserta

    Pendataan Peserta adalah proses pendataan penduduk DKI Jakarta yang

    berhak untuk mendapatkan jaminan pemeliharaan kesehatan melalui

    Program KJS.

    Data Peserta yang dijadikan sebagai data awal Peserta Program KJS

    adalah:

    Data BPS dan/atau TNP2K atau PPLS

    Data BPS dan/atau TNP2K atau PPLS terbaru yang sudah menjadi

    database Jamkesmas DKI Jakarta tahun 2012 dan diserahkan oleh

    UP Jamkesda Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta kepada PT

    Askes (Persero) Divisi Regional IV (dibuktikan dengan Berita Acara),

    untuk kemudian divalidasi dan diberikan penomoran unique dan

    dijadikan Masterfile Kepesertaan Program KJS;

    Penduduk miskin dan rentan yang berobat ke Puskesmas :

    a. Puskesmas dapat mengusulkan penduduk miskin dan rentan yang

    berobat ke Puskesmas dan belum masuk dalam data BPS

    dan/atau TNP2K atau PPLS terbaru, sebagai Peserta Program

    KJS ke UP Jamkesda Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta;

    b. Data yang diusulkan Puskesmas tersebut, kemudian dientri oleh

    petugas Puskesmas ke Aplikasi Kepesertaan Program KJS, dan

    masuk ke server PT Askes (Persero);

    c. Data hasil entri yang ada dalam server PT Askes (Persero) ini

    kemudian divalidasi oleh PT Askes (Persero), diberikan

    penomoran unique dan dijadikan Masterfile Kepesertaan Program

    KJS;

    S

  • Modul Pelatihan Pengenalan INA-CBG dan Mekanisme Verifikasinya

    35

    c. Penerbitan Kartu Peserta Program KJS

    - Penerbitan Kartu Peserta Program KJS dilakukan oleh UP Jamkesda

    Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta berdasarkan database

    Masterfile Kepesertaan KJS yang dibentuk dan diserahkan oleh PT

    Askes (Persero) kepada UP Jamkesda Dinas Kesehatan Provinsi DKI

    Jakarta (dengan Berita Acara serah terima data).

    - Biaya penerbitan menggunakan DPA-UKPD UP Jamkesda Dinas

    Kesehatan Provinsi DKI Jakarta Tahun anggaran 2013 yang dikelola

    oleh UP Jamkesda DKI;

    d. Pendistribusian Kartu Peserta Program KJS

    - Kartu yang sudah diterbitkan dikirim/diserahkan oleh UP Jamkesda

    Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta kepada Puskesmas

    Kecamatan, yang kemudian diteruskan ke Puskesmas Kelurahan

    untuk didistribusikan kepada Peserta yang bersangkutan. Semua

    proses penyerahan dan distribusi kartu dibuktikan dengan berita acara

    serah terima kartu.

    - Pada saat pendistribusian kartu kepada Peserta, Puskesmas wajib

    melakukan validasi ulang untuk memastikan keberadaan Peserta

    (dibuktikan dengan Berita Acara Validasi Distribusi Kartu). Apabila

    terjadi ketidaksesuaian sasaran kepesertaan, maka kartu wajib

    dicabut, termasuk jika peserta sudah meninggal dunia;

    - Apabila terjadi kesalahan cetak identitas pada kartu, maka Peserta

    dapat mengurus pencetakan ulang kartu dengan membawa KTP dan

    KK (Kartu Keluarga) ke Puskesmas domisili, selanjutnya Puskesmas

    mengurus pencetakan ulang kartu secara kolektif ke UP Jamkesda

    Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta.

    - Puskesmas kelurahan diharuskan membuat laporan ke Suku Dinas

    Kesehatan, yang kemudian direkap dan dilaporkan ke UP Jamkesda

    Dinas Kesehatan tentang jumlah kartu yang telah didistribusikan,

    kartu yang rusak, kartu dengan salah alamat maupun nama peserta.

  • Modul Pelatihan Pengenalan INA-CBG dan Mekanisme Verifikasinya

    36

    IV.4 Pendaftaran, Mutasi, Perubahan Data Peserta Program KJS.

    IV.4.1 Pendaftaran Peserta

    Pendaftaran Peserta adalah proses registrasi penduduk DKI Jakarta

    (lama domisili minimal 3 tahun) yang berhak untuk mendapatkan

    jaminan pemeliharaan kesehatan melalui Program KJS.

    Prosedur pendaftaran peserta adalah sebagai berikut:

    - Peserta datang berobat ke Puskesmas domisili dengan membawa

    KTP DKI Jakarta asli dan Kartu Keluarga DKI Jakarta asli (untuk

    anak yang belum mendapatkan KTP membawa Kartu Keluarga

    asli dan Akte Kelahiran/Surat Keterangan Lahir asli) + Surat

    Keterangan Lurah dan kartu Kepesertaan Gakin/Jamkesda/ Kartu

    Jakarta Sehat yang diterbitkan sebelum 1 April 2013 bagi

    penduduk yang telah dijamin dalam program pelayanan kesehatan

    tersebut;

    - Petugas Puskesmas melakukan entry data pada Aplikasi

    Kepesertaan Program KJS, sehingga didapatkan Nomor

    Register KJS untuk masing-masing Peserta;

    - Isian data pada Aplikasi Kepesertaan Program KJS sesuai dengan

    format isian yang telah ditentukan;

    Format Data yang diisi pada Aplikasi Kepesertaan Program KJS antara lain:

    1 Nomor Kartu

    Keluarga

    : Diisi dengan 16 digit nomor yang tertera di bagian

    paling atas (WAJIB DIISI)

    2 NIK/ No. KTP : Diisi dengan 16 digit nomor yang tertera pada

    Kartu Tanda Penduduk (KTP) (WAJIB DIISI)

    4 Nomor

    Referensi/Pendaftar

    : No Referensi/Pendaftar diisi dengan Nomer KJS

    Lama (jika ada)

    5 Nama : Diisi dengan Nama lengkap sesuai KTP tanpa

    gelar (WAJIB DIISI)

    6 Nama pada kartu : Diisi dengan Nama yang akan dicetak pada kartu,

    dapat dengan gelar (WAJIB DIISI)

    7 Tanggal Lahir : Tanggal Lahir diisi dengan format : TT/BB/TT

    (tanggal/bulan/tahun) (WAJIB DIISI)

    8 Hubungan Keluarga : Hubungan Keluarga diisi dengan memilih salah

  • Modul Pelatihan Pengenalan INA-CBG dan Mekanisme Verifikasinya

    37

    satu: Peserta (Kepala Keluarga), Istri/Suami, Anak,

    Tanggungan

    9 Jenis Kelamin : Jenis Kelamin diisi dengan memilih P/L

    (P:Perempuan, L: Laki-laki)

    10 Status Perkawinan : Status Kawin diisi dengan Kawin/Tidak

    11 Kab/Kota : Kab/Kota diisi sesuai yang tertera pada KTP/KK

    12 Kecamatan

    :

    Otomatis terisi sesuai Kecamatan Puskesmas

    Pengentri

    13 Kelurahan

    :

    Otomatis terisi sesuai Kelurahan Puskesmas

    Pengentri

    14 Alamat

    :

    Diisi dengan alamat sesuai dengan KTP/KK

    (WAJIB DIISI)

    15 Kode Pos : Diisi dengan kode pos domisili

    16 RT

    :

    Diisi dengan RT sesuai dengan KTP/KK (WAJIB

    DIISI)

    17 RW

    :

    Diisi dengan RW sesuai dengan KTP/KK (WAJIB

    DIISI)

    18 No Telp/HP : Diisi dengan no Telp/No HP yang berlaku saat ini

    IV.4.2. Mutasi/Perubahan Data Peserta Program KJS

    Mutasi peserta terdiri atas mutasi tambah, mutasi kurang, mutasi

    Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama terdaftar, mutasi alamat domisili

    serta perubahan data lain yang direkam melalui Aplikasi Kepesertaan

    Program KJS.

    a. Mutasi tambah :

    Terjadi karena kelahiran, pernikahan penduduk DKI Jakarta

    dengan penduduk non DKI Jakarta yang kemudian menetap di DKI

    Jakarta, pindahan penduduk dari luar DKI Jakarta yang menetap di

    DKI Jakarta dibuktikan dengan kepemilikan KTP DKI Jakarta dan

    masuk dalam Kartu Keluarga DKI Jakarta.

    Persyaratan yang dibutuhkan adalah dengan melampirkan

    dokumen pendukung antara lain:

  • Modul Pelatihan Pengenalan INA-CBG dan Mekanisme Verifikasinya

    38

    - Kelahiran melampirkan fotokopi surat keterangan

    kelahiran/Akte Kelahiran;

    - Pernikahan melampirkan fotokopi KTP dan KK, serta surat

    nikah ;

    Catatan : Penduduk pindahan dari Luar DKI Jakarta dapat mengikuti

    Program Jakarta Sehat setelah memiliki KTP DKI Jakarta dan

    berdomisili minimal 3 (tiga) tahun di DKI Jakarta.

    Alur proses Mutasi tambah:

    - Berdasarkan persyaratan/dokumen pendukung yang dibawa oleh

    peserta, Petugas Puskesmas melakukan updating data

    kepesertaan (penambahan anggota keluarga) melalui proses entry

    pada Aplikasi Kepesertaan Program KJS;

    - Hasil entry data kepesertaan akan terbaca di server PT Askes

    (Persero) dan diberi nomor kepesertaan unik dan masuk ke

    Masterfile Kepesertaan KJS.

    - Data mutasi tambah pada Masterfile Kepesertaan KJS ini

    kemudian disampaikan oleh PT Askes (Persero) kepada UP

    Jamkesda Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta secara berkala

    (dengan Berita Acara) untuk kemudian dilakukan penerbitan dan

    pendistribusian kartu Peserta oleh UP Jamkesda Dinas Kesehatan

    Provinsi DKI Jakarta ke Puskesmas Kecamatan dan Puskesmas

    kelurahan hingga Kartu Jakarta Sehat sampai ke tangan Peserta;

    b. Mutasi kurang :

    Terjadi karena kematian, pindah keluar dari Provinsi DKI Jakarta

    dan mempunyai Jaminan Pelayanan Kesehatan lain;

    a. Peserta datang ke Puskesmas dengan membawa dokumen

    pengurangan Peserta (surat keterangan kematian, akta cerai,

    dll.)

    b. Petugas Puskesmas melakukan penarikan Kartu Jakarta Sehat

    peserta yang sudah tidak berhak dan melaporkan kepada UP

    Jamkesda Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta secara

    kolektif;

  • Modul Pelatihan Pengenalan INA-CBG dan Mekanisme Verifikasinya

    39

    c. UP Jamkesda kemudian menyerahkan data peserta yang

    sudah tidak berhak kepada PT Askes (Persero) disertai berita

    acara, untuk dilakukan penonaktifan data pada Masterfile PT

    Askes (Persero) melalui Aplikasi Kepesertaan Program KJS.

    d. Untuk peserta yang telah dinyatakan menjadi peserta Program

    KJS, namun kemudian diketahui memiliki Jaminan Pelayanan

    Kesehatan lain (Asuransi swasta/Askes Sosial/Asuransi

    Kesehatan Jamsostek dll), maka Peserta ini kehilangan haknya

    sebagai peserta Program KJS, dan petugas Puskesmas wajib

    untuk menarik Kartu Jakarta Sehat peserta serta menyerahkan

    data tersebut secara kolektif ke UP Jamkesda Dinas

    Kesehatan Provinsi DKI Jakarta, untuk kemudian diserahkan

    kepada PT Askes (dengan berita acara) dan dinonaktifkan

    pada Masterfile Kepesertaan Program KJS.

    c. Mutasi Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama/Primer terdaftar :

    - Peserta mengajukan permohonan mutasi Puskesmas /

    Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama/Primer ke PT Askes

    (Persero) Kantor Cabang terdekat;

    - Kantor Cabang melakukan updating data (perubahan Fasilitas

    Kesehatan tingkat Pertama) melalui proses entry ke Aplikasi

    Kepesertaan Program KJS.

    - Database Kepesertaan akan secara otomatis ter-update pada

    Masterfile Kepesertaan Program KJS.

    d. Mutasi alamat domisili serta perubahan data lain yang terekam

    dalam Master File Kepesertaan :

    - Peserta yang pindah domisili antar Kabupaten/Kota dalam

    Provinsi DKI Jakarta mengajukan permohonan mutasi alamat

    domisili yang dilegalisasi Lurah dan disampaikan kepada

    Puskesmas domisili baru;

    - Peserta yang ada perubahan data lain yang terekam dalam

    Masterfile Kepesertaan Program KJS, mengajukan

    permohonan mutasi data ke Puskesmas domisili untuk

    kemudian dientri ke Aplikasi Kepesertaan Program KJS;

  • Modul Pelatihan Pengenalan INA-CBG dan Mekanisme Verifikasinya

    40

    - Petugas Puskesmas kemudian melakukan updating data

    alamat, dan hasil entry ini secara otomatis terekam pada

    Masterfile Kepesertaan Program KJS.

    - PT Askes (Persero) menyerahkan data Peserta yang

    mengalami perubahan domisili kepada UP Jamkesda Dinas

    Kesehatan Provinsi DKI Jakarta secara periodik (dengan berita

    acara) untuk kemudian dilakukan pencetakan kartu (dengan

    perubahan data) oleh UP Jamkesda Dinas Kesehatan Provinsi

    DKI Jakarta;

    IV.5 Lain-lain

    Masyarakat miskin yang tidak memiliki identitas KTP DKI Jakarta,

    meliputi gelandangan, pengemis, penghuni panti-panti sosial

    (rekomendasi dinas sosial atau panti sosial), penghuni rutan/lapas

    (rekomendasi kepala rutan/lapas) dan penderita Thalasemia Mayor,

    penderita kejadian ikutan paska imunisasi (KIPI) adalah peserta non

    kartu Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat). Pelayanan dan

    Pembiayaan kesehatan untuk peserta non kartu Jamkesmas mengacu

    pada Pedoman Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Masyarakat

    (Jamkesmas).

    V. JENIS PELAYANAN KESEHATAN:

    5.1 Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama

    Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama/Primer atau dasar adalah fasilitas

    pelayanan kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan dasar.

    1. Pelayanan Rawat Jalan Tingkat Pertama (RJTP)

    a. Konsultasi medis, pemeriksaan fisik dan penyuluhan kesehatan;

    b. Pemeriksaan laboratorium sederhana (darah, urin, dan feses rutin)

    c. Pemeriksaan radiologi sederhana;

    d. Tindakan medis sesuai kapasitas dan kompetensi.

    e. Obat dan bahan habis pakai.

    f. Perawatan dan pengobatan gigi dasar.

    g. Pemeriksaan ibu hamil/nifas/menyusui, bayi dan balita.

    h. Pelayanan gawat darurat.

    i. Pelayanan kesehatan jiwa.

  • Modul Pelatihan Pengenalan INA-CBG dan Mekanisme Verifikasinya

    41

    j. Pelayanan pemberian rujukan atas indikasi medis.

    k. Pelayanan KB suntik 1 kali sebulan

    l. Pelayanan imunisasi dasar.

    Alur Pelayanan Rawat Jalan Tingkat Pertama

    a. Pasien lama wajib membawa persyaratan kepesertaan :

    Kartu Jakarta Sehat / Nomor Registrasi KJS + KTP/KK/Sertifikat Panti

    b. Bagi pasien baru (menunjukan KTP DKI Jakarta) akan teregister pada saat

    berobat di Puskesmas dan mendapatkan nomor registrasi KJS sebagai

    pengganti KJS, dan simpan dengan baik. (Puskesmas dapat memberikan

    Nomor Registrasi KJS dalam bentuk Surat Keterangan yang berlaku

    sampai dengan diterimanya Kartu Jakarta Sehat kepada peserta)

    c. Apabila pasien membutuhkan rawat inap yang sederhana maka pasien

    dapat dirawat di Puskesmas Kecamatan yang memiliki fasilitas rawat inap

    d. Apabila karena keterbatasan kapasitas dan kompetensi maka pasien

    tersebut dapat dirujuk ke Rumah Sakit Umum Daerah atau ke Rumah Sakit

    yang terdekat yang bekerja sama dengan UP. Jamkesda Dinas Kesehatan

    Provinsi DKI Jakarta.

    e. Peserta tidak dibenarkan meminta rujukan ke Rumah Sakit apabila :

    - Rujukan atas permintaan sendiri

    - Pasien sudah dirawat-inap di Rumah Sakit

    - Pasien dirawat inap di rumah sakit yang masuk melalui IGD (Instalasi

    Gawat Darurat Rumah Sakit)

    f. Rujukan diberikan sesuai dengan daftar jenis penyakit yang dapat di rujuk

    ke Rumah Sakit

    2. Rawat Inap Tingkat Pertama (RITP)

    Rawat Inap Tingkat Pertama adalah pelayanan kesehatan di Fasilitas

    Kesehatan Tingkat Pertama yang memiliki fasilitas rawat inap, dimana peserta

    dapat menginap sedikitnya 1 (satu) hari berdasarkan kebutuhan medis yang

    meliputi pelayanan kesehatan sebagaimana ditetapkan dalam Manlak KJS.

    Pelayanan Rawat Inap Tingkat Pertama (RITP), meliputi:

    a. Akomodasi rawat inap;

    b. Konsultasi medis, pemeriksaan fisik dan penyuluhan kesehatan

  • Modul Pelatihan Pengenalan INA-CBG dan Mekanisme Verifikasinya

    42

    c. Pemeriksaan Laboratorium sederhana (darah, urin, dan feses rutin);

    d. Pemeriksaan radiologi sederhana;

    e. Tindakan medis yang sesuai;

    f. Pemberian obat dan alat medis habis pakai

    g. Persalinan normal dan dengan penyulit (PONED)

    h. Apabila memerlukan rawat inap lebih lanjut akibat keterbatasan

    kompetensi maka pasien tersebut dapat dirujuk ke Rumah Sakit Umum

    Daerah atau ke Rumah Sakit yang terdekat yang bekerja sama dengan

    UP. Jamkesda Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta.

    5.2 Pelayanan Kesehatan Tingkat Lanjutan

    Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan adalah fasilitas kesehatan yang bekerja

    sama dengan UP. Jamkesda dalam memberikan pelayanan kesehatan tingkat

    lanjutan/pelayanan spesialistik bagi Peserta Program KJS, baik rawat jalan

    maupun rawat inap, termasuk kasus gawat darurat (emergency) di rumah sakit

    umum/khusus daerah, rumah sakit milik Pemerintah, rumah sakit milik

    TNI/POLRI dan rumah sakit milik Swasta/Yayasan.

    a. Pelayanan Rawat Jalan Tingkat Lanjutan (RJTL) di rumah sakit,

    meliputi:

    a. Konsultasi medis, pemeriksaan fisik dan atau jiwa serta penyuluhan

    kesehatan oleh dokter spesialis;

    b. Pemeriksaan Penunjang medis

    c. Tindakan medis yang membutuhkan pembiusan lokal atau pembiusan

    tanpa rawat inap;

    d. Pemeriksaan dan pengobatan gigi tingkat lanjutan;

    e. Kontrasepsi mantap pasca persalinan/keguguran, penyembuhan efek

    samping dan komplikasinya (kontrasepsi disediakan BKKBN), terintegrasi

    dengan Program Pemerintah;

    f. Pemberian obat mengacu pada obat generik dan formularium Rumah Sakit

    serta bahan dan alat kesehatan habis pakai;

    g. Pelayanan darah;

    h. Pelayanan Dialisa;

    i. Pelayanan Rehabilitasi medis

  • Modul Pelatihan Pengenalan INA-CBG dan Mekanisme Verifikasinya

    43

    Alur Pelayanan Rawat Jalan di Rumah Sakit

    Pasien datang ke Instalasi Rawat Jalan Rumah Sakit dengan membawa :

    - Surat Rujukan dari Puskesmas/Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama

    - Kartu Jakarta Sehat / No.Registrasi (+ KTP/KK DKI Jakarta)

    b. Pelayanan Rawat Inap Tingkat Lanjutan (RITL)

    1. Pelayanan Rawat Inap Tingkat Lanjutan (RITL) dilaksanakan pada

    ruang perawatan kelas III (tiga) rumah sakit, meliputi:

    a. Akomodasi rawat inap pada kelas III;

    b. Konsultasi medis, pemeriksaan fisik dan atau jiwa serta penyuluhan

    kesehatan;

    c. Penunjang diagnostik terdiri dari: patologi klinik, patologi anatomi,

    laboratorium mikrobiologi, radiologi dan elektromedis;

    d. Tindakan medis;

    e. Operasi sedang atau besar sesuai kebutuhan medis;

    f. Pelayanan rehabilitasi medis;

    g. Perawatan intensif (ICU, ICCU, PICU, NICU, PACU, High care);

    h. Pemberian obat-obatan, bahan dan alat kesehatan habis pakai;

    i. Pelayanan darah;

    j. Pelayanan dialisa;

    Alur Pelayanan Rawat Inap Tingkat Lanjutan

    1. Pasien Rawat Inap dapat berasal dari :

    - IGD tanpa rujukan

    - Instalasi Rawat Jalan dengan rujukan dari Fasilitas Kesehatan

    Tingkat Pertama / Puskesmas

    - Pasien dirawat dengan surat pengantar rawat baik dari IGD maupun

    dari Instalasi Rawat Jalan

    2. Dalam waktu 3 x 24 jam hari kerja peserta segera melengkapi

    persyaratan administrasi untuk penerbitan Surat Jaminan Pelayanan

    (SJP) oleh PT Askes (Persero). Persyaratan administasi yang dimaksud

    sebagai berikut :

    - Kartu Jakarta sehat / No. Register (+ KTP/KK DKI Jakarta/Serifikat

    panti)

  • Modul Pelatihan Pengenalan INA-CBG dan Mekanisme Verifikasinya

    44

    - Surat Permintaan rawat inap

    3. Jika dalam waktu 3 x 24 jam pasien tidak dapat melengkapi persyaratan

    adminsitrasi kepesertaan sebagaimana dimaksud point 2 diatas, maka

    Surat Jaminan Pelayanan tidak dapat diterbitkan dan pasien tersebut

    dianggap sebagai pasien tunai/umum, termasuk walaupun pasien

    meminta dirawat-inap di kelas 3 .

    4. Apabila dalam waktu kurang 3x24 jam pasien dirawat-inap dirumah sakit

    melalui IGD dan meninggal dunia, maka Surat Jaminan Pelayanan dapat

    diterbitkan dengan cukup melampirkan KJS/KTP DKI Jakarta bagi pasien

    yang belum memiliki Kartu Jakarta Sehat/Nomor Registrasi KJS.

    5. Apabila dalam waktu lebih dari 3x24 jam pasien dirawat inap dirumah

    sakit melalui IGD dapat menunjukkan Kartu Jakarta Sehat/Nomor

    Registrasi KJS, maka Surat Jaminan Pelayanan dapat diterbitkan dengan

    terhitung mulai tanggal melapor untuk menggunakan Program KJS bagi

    pasien yang memiliki Kartu Jakarta Sehat atau mulai tanggal

    mendapatkan Nomor Registrasi KJS.

    6. Apabila karena sesuatu hal seperti misalnya tidak tersedianya tempat

    tidur, peserta akan dirujuk ke Rumah Sakit lain yang bekerjasama dengan

    UP. Jamkesda Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta, setelah life saving

    teratasi (kondisi pasien stabil);

    7. Peserta KJS yang meminta dirawat pada kelas perawatan yang lebih

    tinggi atas permintaan sendiri/keluarga, maka gugur haknya untuk

    mendapat pelayanan dengan jaminan Program KJS pada periode sakit

    tersebut, dan wajib mengisi form pernyataan pindah kelas karena

    keinginan sendiri;

    8. Peserta yang meminta pelayanan penunjang diagnostik, pelayanan

    obat, dan/atau pelayanan lain yang bukan atas indikasi medis, maka

    seluruh biaya pelayanan pada periode sakit tersebut tidak ditanggung

    oleh Program KJS dan menjadi tanggungan Peserta;

    9. Peserta yang melakukan pelayanan penunjang diagnostik, pelayanan

    obat, dan/atau pelayanan lain yang atas BIAYA SENDIRI, maka seluruh

    biaya pelayanan pada periode sakit tersebut tidak ditanggung oleh

    Program KJS dan menjadi tanggungan Peserta;

    10. Apabila terbukti ada petugas RS/tenaga medis/dokter yang menganjukan

    peserta KJS untuk membeli obat tertentu atas biaya peserta KJS, baik

  • Modul Pelatihan Pengenalan INA-CBG dan Mekanisme Verifikasinya

    45

    untuk pelayanan rawat jalan/rawat inap/gawat darurat, maka segala biaya

    yang dikeluarkan akan dibebankan ke fasilitas kesehatan yang

    bersangkutan serta memberi sanksi oleh Kepala Dinas Kesehatan

    Provinsi DKI Jakarta, baik untuk petugas RS/tenaga medis/dokter

    maupun fasilitas kesehatan tersebut.

    11. Pemberian pelayanan kepada peserta oleh Fasilitas Kesehatan beserta

    tenaga kesehatannya bersifat menyeluruh (komprehensif) berdasarkan

    kebutuhan medis sesuai dengan standar pelayanan medis dan standar profesi

    kedokteran, harus dilakukan secara efisien dan efektif, dengan

    menerapkan prinsip kendali biaya dan kendali mutu. Untuk

    mewujudkannya maka dianjurkan manajemen Fasilitas Kesehatan

    Lanjutan melakukan analisis pelayanan dan memberi umpan balik

    secara internal;

    12. Pasien pasca rawat inap diberikan kesempatan kontrol sebanyak 2 kali

    tanpa memerlukan surat rujukan dari Puskesmas, cukup menggunakan

    surat kontrol yang dituliskan pada saat pasien pulang. Setelah hasil

    kontrol dinyatakan baik, maka Rumah Sakit wajib merujuk kembali ke

    Rumah Sakit asal atau kembali ke Puskesmas, dengan disertai jawaban

    dan tindak lanjut yang harus dilakukan, jika secara medis peserta sudah

    dapat dilayani di fasilitas kesehatan yang merujuk;

    Keterangan tambahan :

    1. Peserta yang langsung berobat ke Instalasi Rawat Jalan Rumah Sakit

    tanpa rujukan dari Puskesmas dianggap sebagai pasien umum, maka

    Peserta WAJIB membayar seluruh biaya berobat tersebut, termasuk

    walaupun kemudian pasien meminta dirawat-inap di kelas 3 .

    2. Ambulan rumah sakit maupun Ambulan Gawat Darurat Dinas Kesehatan

    Provinsi DKI Jakarta dapat digunakan untuk mengantar pasien dari rumah

    ke rumah sakit, antar rumah sakit, dengan membubuhkan tanda tangan

    keluarga pasien dan petugas rumah sakit yang dituju disertai stempel

    Rumah Sakit.

    3. Bila terjadi kecurangan kecurangan yang dilakukan oleh peserta KJS

    atau oknum Rumah Sakit maupun karena ketidak-telitian PT. Askes

    (Persero) maka jaminan rawat peserta dapat dibatalkan oleh UP

    Jamkesda.

  • Modul Pelatihan Pengenalan INA-CBG dan Mekanisme Verifikasinya

    46

    4. Biaya Pelayanan kesehatan yang berhubungan dengan Bencana (KLB),

    KDRT, trafficking dan JPK Penghargaan LVRI mengacu pada pola tarif

    INA-CBGs versi 3.1.

    5. Biaya pelayanan Ambulan ditagihkan langsung ke UP Jamkesda Provinsi

    DKI Jakarta dengan tarif mengacu pada tarif Rumah Sakit, dan Peraturan

    Gubernur Provinsi DKI Jakarta bagi Ambulan Dinas Kesehatan Provinsi

    DKI Jakarta.

    6. Untuk dapat mengoperasikan software INA-CBGs versi 3.1, maka fasilitas

    kesehatan lanjutan harus mempunyai nomor registrasi. Apabila fasilitas

    kesehatan lanjutan belum mempunyai nomor registrasi, maka fasilitas

    kesehatan membuat surat permintaan nomor registrasi kepada Direktorat

    Jenderal Bina Upaya Kesehatan;

    5.3 Pelayanan Gawat Darurat

    1. Pada keadaan gawat darurat (emerg