G10dyp_2

36
PROFIL METAB (Curcuma FAKULTAS MAT IN BOLIT VOLATIL RIMPANG TEMUL xanthorrhiza Roxb.) YANG DIPANEN PADA WAKTU BERBEDA DANANG YUDHA PRAKASA DEPARTEMEN BIOKIMIA TEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN A NSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 LAWAK N ALAM

Transcript of G10dyp_2

PROFIL METABOLIT VOLATIL RIMPANG TEMULAWAK

(Curcuma xanthorrhiza

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

PROFIL METABOLIT VOLATIL RIMPANG TEMULAWAK

Curcuma xanthorrhiza Roxb.) YANG DIPANEN

PADA WAKTU BERBEDA

DANANG YUDHA PRAKASA

DEPARTEMEN BIOKIMIA

MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010

PROFIL METABOLIT VOLATIL RIMPANG TEMULAWAK

Roxb.) YANG DIPANEN

MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

ABSTRAK

DANANG YUDHA PRAKASA. Profil Metabolit Volatil Rimpang Temulawak

(Curcuma xanthorrhiza Roxb.) yang Dipanen pada Waktu Berbeda. Dibimbing

oleh Edy Djauhari Purwakusumah dan Mohamad Rafi.

Rendemen dan komposisi metabolit sekunder pada tanaman dapat dipengaruhi

oleh berbagai faktor, salah satunya adalah waktu panen dalam sehari. Pemrofilan

metabolit diperlukan untuk mengetahui pengaruh waktu panen dalam sehari

terhadap kandungan senyawa volatil minyak atsiri temulawak. Analisis GC-MS

digunakan untuk membedakan perubahan metabolit volatil minyak atsiri

temulawak pada waktu panen berbeda. Penelitian ini bertujuan melihat pengaruh

variasi waktu panen terhadap kandungan metabolit volatil pada temulawak dan

mengetahui korelasi kandungan metabolit volatil dengan potensi bioaktifitas

minyak atsiri temulawak sebagai antioksidan. Secara keseluruhan teridentifikasi 25

komponen volatil menggunakan analisis GC-MS. Komponen utama yang

teridentifikasi dari kedua waktu panen adalah α-cedrene, α-curcumene, dan

xanthorrhizol dengan m/z 204, 202, dan 218. Aktivitas antioksidan secara in vitro

telah diteliti menggunakan peredaman radikal DPPH dengan asam askorbat sebagai

kontrol positif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa minyak atsiri temulawak

mempunyai aktivitas penangkap radikal dengan IC50 (Inhibition Concentration

50%) sebesar 3.24x109 ppm pada waktu panen pagi dan 1.15x10

13 ppm pada waktu

panen sore. Minyak atsiri yang diuji menunjukkan adanya peredaman radikal,

tetapi lebih rendah dibanding asam askorbat. Tidak ada perbedaan yang signifikan

dalam komposisi senyawa volatil dan aktivitas peredaman radikal minyak atsiri

temulawak dengan waktu panen berbeda pada α=0,05.

ABSTRACT

DANANG YUDHA PRAKASA. Volatile Metabolite profile of Temulawak

(Curcuma xanthorrhiza Roxb.) Rhizome with Different Harvesting Time. Under

the direction of Edy Djauhari Purwakusumah and Mohamad Rafi.

Yield and composition of secondary metabolites in plants can be affected in

many factors, such as harvesting time in a day. Metabolite profiling necessary to

explain the influence of harvesting time in a day in volatile metabolites

composition of temulawak essential oil. GC-MS analysis used to distinguish the

changes in volatile metabolites of temulawak essential oil at different harvesting

time. The aims of this research is to explain the influence of harvesting time in

composition volatile metabolites temulawak essential oil and their correlation with

their bioactivity as antioxidant. A total of 25 volatile compound were identified by

GC-MS analysis. The major volatile component in both harvesting time are α-

cedrene, α-curcumene, and xanthorrhizol with m/z 204, 202, and 218. The in vitro

antioxidant activity was investigated with radical DPPH scavenging assay, ascorbic

acid was employed as positive control. The result showed that temulawak essential

oil has an antioxidant property, with the IC50 of 3.24x109 ppm in morning and

1.15x1013 ppm in afternoon harvesting time. The essential oil showed radical

scavenging, but lower than ascorbic acid. There is no significant different in

composition of volatile metabolite and radical scavenging activity of temulawak

essential oil with different harvesting time in α=0,05.

PROFIL METABOLIT VOLATIL RIMPANG TEMULAWAK

(Curcuma xanthorrhiza Roxb.) YANG DIPANEN

PADA WAKTU BERBEDA

DANANG YUDHA PRAKASA

Skripsi

sebagai salah syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Sains pada

Departemen Biokimia

DEPARTEMEN BIOKIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010

Judul Skripsi : Profil Metabolit Volatil Rimpang Temulawak (Curcuma

xanthorrhiza Roxb.) yang Dipanen pada Waktu Berbeda.

Nama : Danang Yudha Prakasa

NIM : G84061371

Disetujui,

Komisi Pembimbing

Drs. Edy Djauhari Purwakusumah M.Si Mohamad Rafi S.Si.,M.Si

Ketua Anggota

Diketahui,

Dr. Ir. I Made Artika, M.App. Sc

Ketua Departemen Biokimia

Tanggal Lulus:

PRAKATA

Alhamdulillah, puji dan syukur bagi Allah SWT atas segala rahmat dan

karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan karya

ilmiah ini. Karya ilmiah ini berjudul Pemrofilan Metabolit Volatil Rimpang

Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) yang Dipanen pada Waktu Berbeda.,

ditulis berdasarkan hasil penelitian di Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka

LPPM IPB, Taman Kencana, Bogor selama bulan April sampai Agustus 2010.

Karya ilmiah ini ditulis sebagai prasyarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains

pada Departemen Biokimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.

Karya ilmiah dipersembahkan untuk bapak, ibu, dan orang yang senantiasa

menyanyangi penulis.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Drs. Edy Djauhari Purwakusumah

M.Si dan Mohamad Rafi S.Si.,M.Si selaku pembimbing atas bimbingan, masukan

serta arahan selama penelitian dan penulisan karya ilmiah ini. Terima kasih kepada

bapak Herry, S.Si, M.Si, seluruh staf Pusat Studi Biofarmaka, teman-teman

Biokimia 43, teman seperjuangan di PSB yang telah banyak membantu dan

memberi masukan selama penelitian.

Ungkapan terima kasih penulis sampaikan kepada keluarga , bapak, ibu,

kakak yang menjadi motivasi penulis dan memberikan dukungan morilnya serta

materiil. Terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu secara langsung

maupun tidak langsung dalam penyelesaian karya ilmiah ini.

Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi semua pembaca dan

perkembangan ilmu pengetahuan Indonesia khususnya bidang Bioanalisis. Amin.

Bogor, Desember 2010

Danang Yudha Prakasa

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Semarang, Jawa Tengah pada tanggal 22 Juli 1988 dari

ayah Parlan dan ibu Kustiyah. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara.

Tahun 2006 penulis lulus dari SMU Negeri 28 Jakarta dan pada tahun yang sama

diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa

Baru (SPMB). Penulis tercatat sebagai mahasiswa Departemen Biokimia, Fakultas

Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.

Selama masa perkuliahan, penulis pernah mengikuti kegiatan Praktik

Lapangan di Laboratorium Mikrobiologi PT. Frisian Flag Indonesia selama periode

juli hingga agustus 2009 dengan judul Deteksi Cemaran Enterobacter sakazakii

Pada Produk Infant Formula PT. Frisian Flag Indonesia. Selain itu, penulis menjadi

Ketua Komisi Keuangan Dewan Perwakilan Mahasiswa FMIPA-IPB pada periode

2007/2008.

Penulis pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Kimia Dasar untuk

mahasiswa TPB-IPB tahun ajaran 2008/2009, asisten praktikum Biokimia Umum

untuk mahasiswa S1 Biologi dan Metabolisme untuk mahasiswa S1 Biokimia

tahun ajaran 2009/2010, asisten praktikum Striktur dan Fungsi Subseluler untuk

mahasiswa S1 Biokimia tahun ajaran 2009/2010, asisten praktikum Biokimia

Umum untuk mahasiswa S1 Kedokteran hewan dan D3 Analisis Kimia pada tahun

ajaran 2010/2011.

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... viii

DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... viii

PENDAHULUAN ........................................................................................... 1

TINJAUAN PUSTAKA

Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb) ................................................. 1

Kandungan dan Manfaat Temulawak .......................................................... 2

Minyak Atsiri .............................................................................................. 3

Radikal Bebas ............................................................................................ 3

Antioksidan ................................................................................................ 4

Uji Aktivitas Antioksidan Metode DPPH .................................................... 5

Kromatrografi Gas (GC/MS) ...................................................................... 5

Microplate Reader ...................................................................................... 7

BAHAN DAN METODE

Alat dan Bahan ........................................................................................... 7

Metode Penelitian ....................................................................................... 7

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Kadar Minyak Atsiri Rimpang Temulawak ................................... 7

Identifikasi Komponen Minyak Atsiri Temulawak ..................................... 8

Potensi Antioksidasi Minyak Atsiri temulawak .......................................... 10

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan .................................................................................................... 11

Saran ......................................................................................................... 12

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 12

LAMPIRAN ................................................................................................... 14

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Bunga (a) dan rimpang (b) temulawak ..................................................... 2

2 Distilasi Stahl .......................................................................................... 8

3 Rendemen dan kadar air sampel temulawak ............................................. 8

4 Kromatogram kandungan minyak atsiri temulawak waktu panen pagi ...... 9

5 Kromatogram kandungan minyak atsiri temulawak waktu panen sore ....... 9

6 Grafik perbandingan kandungan senyawa volatil antara waktu panen pagi

dan sore ..................................................................................................... 10

7 Aktivitas antioksidasi minyak atsiri temulawak ........................................ 11

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Gambaran umum penelitian ...................................................................... 15

2 Analisis aktivitas antioksidasi metode DPPH ............................................ 16

3 Rendemen minyak atsiri temulawak .......................................................... 17

4 Senyawa penyusun minyak atsiri temulawak ............................................. 18

5 Contoh analisis hasil kromatogram GC-MS dengan database ................... 19

6 Aktivitas antioksidasi minyak atsiri temulawak ........................................ 21

7 Aktivitas antioksidasi vitamin C ................................................................ 23

8 Analisis statistik ....................................................................................... 24

9 Dokumentasi penelitian ............................................................................ 27

1

PENDAHULUAN

Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.)

merupakan salah satu tanaman obat unggulan

Indonesia (BPOM 2005). Temulawak

mengandung zat kuning yang disebut

kurkumin dan minyak atsiri. Minyak atsirinya

mengandung velandrin, kamfer, bornel,

xantorrizol, turmerol, dan sineal (Zwaving

1992). Adanya kandungan kurkumin dan

minyak atsiri tersebut diduga merupakan

penyebab berkhasiatnya temulawak (Afifah

2003). Salah satu komponen minyak atsiri

yang dikandungnya, yaitu xanthorrhizol adalah

antikanker, terutama kanker payudara (Park et

al 2003). Manfaat lain dari temulawak adalah

dapat memperbaiki nafsu makan, memperbaiki

fungsi pencernaan, memelihara kesehatan

fungsi hati, pereda nyeri sendi dan tulang,

menurunkan lemak darah, antioksidan, dan

membantu menghambat pembekuan darah

(BPOM 2005).

Khasiat obat tradisional didasarkan pada

senyawa kimia yang dikandungnya. Sebagai

bahan baku obat hasil pertanian atau kumpulan

tumbuhan liar, kandungan kimia obat

tradisional tidak dapat dijamin selalu konstan

mengingat adanya berbagai faktor yang

mempengaruhi seperti bibit, tempat tumbuh,

iklim, kondisi (umur dan cara panen), serta

waktu pemanenan (Edris 2007). Selain itu,

waktu panen dalam satu hari (pagi, siang, atau

sore) perlu diperhatikan. Variasi terhadap

waktu panen akan berdampak pada kandungan

metabolit sekunder terutama metabolit-

metabolit yang dihasilkan melalui eksudasi

(Katno 2008). Secara biokimiawi, pada

tumbuhan terdapat perbedaan proses

metabolisme yang terjadi antara siang dan

malam hari. Perbedaan kandungan senyawa

bioaktif dan perbedaan tingkat produksi pada

lingkungan yang berbeda menentukan strategi

untuk produksi secara komersial dari

temulawak dan dapat dikembangkan untuk

meningkatkan produksi senyawa bioaktif yang

sifatnya spesifik (Figueiredo et al 2008).

Teknologi baru seperti metabolomik

dipilih untuk menentukan atau

mengidentifikasi senyawa yang terdapat pada

tanaman khususnya tanaman obat (Nikolau

2007). Kajian metabolomik pada tanaman

memberikan suatu teknologi yang berharga

dalam menentukan profil suatu senyawa atau

metabolit dibawah suatu perubahan lingkungan

dan perbedaannya masing-masing dalam

rangkaian penelitian tentang tanaman obat

dalam regulasi lingkungan secara kimia medis

(Veerporte 2007).

Metabolomik membutuhkan pengukuran

yang simultan terhadap senyawa atau metabolit

yang jumlahnya sangat banyak. Untuk

memenuhi itu diperlukan metode analisis

berganda untuk menjaga keragaman senyawa

yang dianalisis. Teknologi yang sering

digunakan adalah penggunaan spektrometri

massa (MS). Spektrometri massa mempunyai

keunggulan di bidang tersebut. Spektrometri

massa dapat mengukur jumlah dan bobot

molekul dari suatu senyawa dengan cepat dan

tepat. Umumnya spektrometer massa

digunakan dengan cara dikombinasikan

dengan alat analisis lainnya. Kromatografi gas

(GC) digunakan sebagai metode standar yang

dikombinasikan dengan spektrometer massa

untuk analisis sampel yang bersifat mudah

menguap. Sebagai contoh sekitar 40 jenis

senyawa telah ditemukan dalam minyak atsiri

temulawak menggunakan alat GC-MS

(Zwaving 1992).

Penelitian ini bertujuan membandingkan

profil kromatogram GC-MS metabolit volatil

rimpang temulawak dengan pengaruh variasi

waktu panen dan mengetahui pengaruh

kandungan metabolit volatil pada potensi

bioaktifitas minyak atsiri temulawak sebagai

antioksidan. Hipotesis penelitian ini adalah

waktu panen akan berpengaruh pada

kandungan metabolit volatil temulawak dan

bioaktivitasnya sebagai antioksidan. Penelitian

ini diharapkan dapat memberikan informasi

ilmiah tentang pengaruh variasi waktu panen

pada metabolit volatil temulawak dan dapat

ditentukan waktu panen yang tepat. Informasi

ini dapat dijadikan dasar pengembangan

produk minyak atsiri temulawak.

TINJAUAN PUSTAKA

Temulawak

(Curcuma xanthorrhizha Roxb.)

Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.)

(Gambar 1) merupakan tanaman asli Indonesia

dan termasuk salah satu jenis temu-temuan

yang paling banyak digunakan sebagai bahan

baku obat tradisional. Temulawak sejak dahulu

telah dikenal oleh nenek moyang kita. Bagian

tanaman yang dimanfaatkan adalah rimpang.

Penyebaran tanaman ini di kawasan Indo-

Malaysia. Beberapa nama untuk temulawak

dikenal di Indonesia, misalnya di daerah Jawa

Barat temulawak dikenal dengan koneng gede

dan temu lobak di daerah Madura. Kedudukan

tanaman temulawak dalam tata nama

(sistematika) tumbuhan termasuk kedalam

klasifikasi dunia plantae, divisi

Spermatophyta, sub divisi Angiospermae,

kelas Monocotyledonae, ordo Zingiberales,

keluarga Zingiberaceae, genus Curcuma, dan

spesies Curcuma xanthorrhiza Roxb.

2

(a)

(b)

Gambar 1 Bunga (a) dan rimpang (b)

temulawak.

Temulawak termasuk tanaman terna

berbatang semu dengan tinggi antara 1m

hingga 2m, berwarna hijau atau coklat gelap.

Akar rimpang temulawak terbentuk dengan

sempurna dan memiliki cabang yang kuat,

berwarna hijau gelap. Tiap batang mempunyai

daun 2 – 9 helai dengan bentuk bundar

memanjang sampai bangun lanset, warna daun

hijau atau coklat keunguan terang sampai

gelap, panjang daun berkisar antara 31 – 84cm

dengan lebar sekitar 10 – 18cm, panjang

tangkai daun termasuk helaian 43 – 80cm.

Perbungaan pada tanaman temulawak

termasuk perbungaan lateral, tangkai ramping

dan sisik berbentuk garis dengan panjang

tangkai antara 9 – 23cm dan lebar sekitar 4 –

6cm, berdaun pelindung banyak yang

panjangnya melebihi atau sebanding dengan

mahkota bunga. Kelopak bunga berwarna

putih berbulu dengan panjang antara 8 –

13mm, mahkota bunga berbentuk tabung

dengan panjang keseluruhan 4.5cm, helaian

bunga berbentuk bundar memanjang berwarna

putih dengan ujung yang berwarna merah dadu

atau merah dengan panjang 1.25 – 2cm dan

lebar 1cm (Afifah 2003).

Akar-akar dibagian ujung membengkak,

membentuk umbi yang kecil. Rimpang

temulawak termasuk yang paling besar

diantara semua rimpang marga Curcuma.

Rimpangnya dipanen jika bagian-bagian

tanaman yang ada diatas tanah sudah mulai

kering dan mati. Biasanya sekitar 9-24 bulan.

Sebagian ahli taksonomi menganggap bahwa

temulawak merupakan bentuk variasi

intraspesifikiasi dari Curcuma zedoaria (Sidik

1985).

Rimpang induk temulawak berbentuk bulat

seperti telur, dan berukuran besar, sedangkan

rimpang cabang terdapat pada bagian samping

yang bentuknya memanjang. Tiap tanaman

memiliki rimpang cabang antara 3 – 4 buah.

Warna rimpang cabang umumnya lebih muda

dari pada rimpang induk. Warna kulit rimpang

sewaktu masih muda maupun tua adalah

kuning-kotor atau coklat kemerahan. Warna

daging rimpang adalah kuning atau oranye tua,

dengan cita rasanya amat pahit, atau coklat

kemerahan berbau tajam, serta keharumannya

sedang. Rimpang terbentuk dalam tanah pada

kedalaman + 16 cm. Tiap rumpun tanaman

temu lawak umumnya memiliki enam buah

rimpang tua dan lima buah rimpang muda

(Afifah 2003).

Tanaman temulawak merupakan salah satu

tanaman dengan daya adaptasi yang tinggi

terhadap beberapa cuaca di daerah tropis.

Tanaman ini tumbuh baik pada lahan teduh

dan terlindung dari sinar matahari. Namun,

temulawak juga dapat tumbuh di tanah tegalan

dengan intensitas matahari yang cukup terik.

Suhu udara yang baik untuk budidaya tanaman

ini antara 19-30oC (Sidik 1985).

Selain kemampuannya beradaptasi pada

cuaca, perakaran temulawak juga dapat

beradaptasi dengan baik pada berbagai jenis

tanah baik tanah berkapur, berpasir, agak

berpasir maupun tanah-tanah berat yang

berliat. Namun demikian untuk memproduksi

rimpang yang optimal diperlukan tanah yang

subur, gembur dan berdrainase baik. Dengan

demikian, pemupukan anorganik dan organik

diperlukan untuk memberi unsur hara yang

cukup dan menjaga struktur tanah agar tetap

gembur. Tanah yang mengandung bahan

organik diperlukan untuk menjaga agar tanah

tidak mudah tergenang air. Temulawak dapat

tumbuh pada ketinggian tempat 5-1.000 m/dpl

dengan ketinggian tempat optimum adalah 750

m/dpl. Kandungan pati tertinggi di dalam

rimpang diperoleh pada tanaman yang ditanam

pada ketinggian 240 m/dpl. Temulawak yang

ditanam di dataran tinggi menghasilkan

rimpang yang hanya mengandung sedikit

minyak atsiri. Tanaman ini lebih cocok

dikembangkan di dataran sedang (Sidik 1985).

Kandungan dan Manfaat Temulawak

Temulawak terdiri atas fraksi pati,

kurkuminoid dan minyak atsiri (3-12%).

Susunan metabolit kimia rimpang temulawak

ditentukan oleh beberapa faktor diantaranya

budidaya, tempat tumbuh, iklim, dan umur

rimpang. Fraksi pati merupakan kandungan

terbesar, jumlahnya bervariasi tergantung dari

ketinggian tempat tumbuh (Tabel 1). Makin

tinggi tempat tumbuh maka kadar patinya

3

semakin rendah dan kadar minyaknya semakin

tinggi. Pati rimpang temulawak dapat

dikembangkan sebagai sumber karbohidrat,

yang digunakan untuk bahan makanan atau

campuran bahan makanan. Fraksi

kurkuminoid mempunyai aroma khas, tidak

toksik, terdiri dari kurkumin yang mempunyai

aktivitas antiradang dan desmetoksikurkumin.

Minyak asiri berupa cairan berwarna

kuning atau kuning jingga, berbau aromatik

tajam. Komposisinya tergantung pada umur

rimpang, tempat tumbuh, teknik isolasi, teknik

analisis, perbedaan klon varietas dan

sebagainya. Zwaving (1992) dengan metode

kromatografi gas mendeteksi 40 komponen

yang terkandung dalam temulawak. Beberapa

diantaranya merupakan komponen minyak

atsiri khas temulawak yaitu

isofuranogermakren, alloaromadendren

trisiklin, dan xanthorrhizol. Selain itu, terdapat

komponen lain yang bersifat insect repellent

yaitu arturmeron.

Tabel 1 Komposisi kimia temulawak

Komposisi Senyawa Kadar

(%)

Pati 27.62

Lemak 5.38

Minyak atsiri 10.96

Kurkumin 1.93

Protein 6.44

Serat kasar 6.89

Sumber: Suwiah (1991) berdasarkan kadar air 10%

Minyak Atsiri Minyak atsiri atau minyak menguap

merupakan campuran senyawa terpenoid yang

bersifat volatil yang diproduksi melalui jalur

metabolisme sekunder tanaman atau jalur

isoprenoid. Minyak atsiri juga didefinisikan

sebagai bagian dari tanaman yang mudah

menguap yang diperoleh dari proses destilasi

(uap dan air). Minyak atsiri bisa memiliki

komposisi yang sederhana seperti pada

cengkeh (mengandung eugenol, β-

caryophillene, eugenol asetat, dan humulene)

atau dapat memiliki kandungan yang kompleks

seperti yang kandungan yang terdapat pada

minyak kunyit (mengandung ar-kurkumin, α-

zingiberene, β-sesquiphellandrene, ar-turmerol,

isomer ar-turmerol, ar-turmeron, α-atlantone,

dll). Komponen utama penyusun minyak atsiri

terdiri dari kelas monoterpen (C10H16),

monoterpen oksigenasi, seskuiterpen (C15H24),

dan seskuiterpen okseigenasi. Golongan

terpenoid seperti diterpen (C20H32) dan

triterpen (C30H38) bukan merupakan senyawa

volatil, tetapi senyawa-senyawa tersebut

banyak ditemukan dan merupakan senyawa

bioaktif yang penting. Umumnya, cara paling

mudah untuk menentukan ada atau tidaknya

senyawa volatil ditandai dengan adanya bau

khas yang tercium (Angela 2009).

Minyak atsiri larut dalam pelarut alkohol

atau eter dan sebagian kecil larut dalam air.

Minyak atsiri memberikan efek aroma yang

kuat. Kandungan minyak atsiri pada suatu

tanaman beserta senyawa bioaktif yang

dikandungnya menurun dengan semakin

bertambahnya usia tanaman tersebut.

Minyak atsiri terdapat pada “oil bag” atau

pada sel minyak suatu tanaman. Minyak atsiri

merupakan substansi yang menarik minat

industri aroma, termasuk perusahaan makanan

dan minuman. Keberadaan minyak atsiri

berkontribusi pada rasa dan aroma makanan.

Pasar membutuhkan produk dengan kualitas

tinggi dan harga yang kompetitif. Ekspektasi

untuk permintaan minyak atsiri diperkirakan

akan meningkat untuk industri makanan

seiring dengan keuntungan akan kandungan

antioksidan yang bermanfaat bagi kesehatan.

Selain itu minyak atsiri juga menyediakan

kandungan antimikroba (Edris 2007).

Minyak temulawak merupakan minyak

atsiri yang dihasilkan rimpang temulawak.

Kadar minyak atsiri temulawak berkisar antara

4.6-11%, memiliki bau yang tajam dan bau

khas aromatik. Banyaknya kandungan minyak

atsiri temulawak tergantung pada umur

rimpangnya (Afifah 2003).

Radikal Bebas

Kerusakan oksidatif terhadap jaringan

biologis disebabkan oleh beberapa faktor

seperti komposisi substrat (komposisi asam

lemak), konsentrasi oksigen, dan prooksidan

atau spesies oksigen yang sifatnya reaktif yang

bersifat potensial sebagai toksik. Kerusakan

yang dapat ditimbulkan dari adanya serangan

radikal bebas yang berasal dari luar tubuh

diantaranya adalah kerusakan protein, DNA,

peroksidasi lipid, kerusakan membran sel

terutama pada asam lemak penyusun membran

sel. Kerusakan tersebut umumnya akan

menimbulkan penyakit yang sifatnya kronis,

yaitu penyakit yang membutuhkan waktu

bertahun-tahun untuk menjadi nyata

(terakumulasi dalam tubuh).

Radikal bebas adalah molekul yang

kehilangan elektron sehingga mengakibatkan

molekul tersebut tidak stabil dan sangat reaktif

untuk mengambil elektron dari molekul atau

sel lain. Radikal bebas dapat berasal dari

dalam tubuh seperti hasil oksidasi enzimatis,

fagositosis dalam respirasi, transport elektron

di mitokondria, oksidasi ion-ion logam transisi,

atau melalui ischemik. Selain itu, radikal bebas

juga dapat berasal dari luar tubuh seperti asap

4

rokok, asap kendaraan bermotor, penyinaran

ultra violet, bahan tambahan makanan, dan

polutan lainnya.

Radikal bebas yang biasa terdapat di dalam

tubuh dan dapat merusak berasal dari turunan

oksigen yang sifatnya reaktif. Contoh oksigen

reakif ini mencakup superoksida (O2’),

hidroksil (‘OH), peroksil (ROO’), hidrogen

peroksida (H2O2), singlet oksigen (O’), oksida

nitrit (NO’), peroksinitrit (ONOO’), dan asam

hipoklorit (HOCl) (Murray 2003).

Antioksidan Antioksidan adalah senyawa yang dapat

menetralisir radikal bebas dan mencegah

kerusakan yang ditimbulkan oleh radikal bebas

terhadap sel normal, protein, dan lemak

dengan cara melengkapi kekurangan elektron

yang dimiliki radikal bebas. Dengan

melengkapi kekurangan elektron tersebut,

radikal bebas menjadi stabil dan menghambat

terjadinya reaksi berantai pembentukan radikal

bebas. Berdasarkan sumbernya, antioksidan

dibagi menjadi antioksidan yang berasal dari

dalam tubuh (endogen)dan antioksidan yang

berasal dari luar tubuh (eksogen) (Gordon

2001).

Antioksidan endogen merupakan

antioksidan yang dibentuk oleh tubuh sendiri.

Contoh antioksidan endogen antara lain

superoksida dismutase (SOD), katalase, dan

peroksidase. Superoksida dismutase (SOD)

merupakan antioksidan endogen yang

mengkatalisis radikal superoksida (•O2)

menjadi hidrogen peroksida (H2O2), sehingga

SOD disebut sebagai scavenger atau

pembersih superoksid (•O2-). Katalase sebagai

salah satu antioksidan endogen merupakan

senyawa yang hemotetramer dengan Fe

sebagai kofaktor disandi oleh gen kromosom

11; mutasi pada gen ini dapat menyebabkan

akatalasemia. Katalase adalah suatu

hemoprotein yang mengandung empat gugus

heme yang dapat ditemukan pada hewan

maupun tumbuhan. Pada umumnya katalase

terdapat pada sebagian besar organisme.

Banyak organisme mempunyai katalase lebih

dari satu. Suatu penelitian telah

mengungkapkan bahwa ada hubungan antara

diferensiasi sel dengan katalase.

Peroksidase adalah kelas enzim golongan

oksireduktase yang mengkatalis oksidasi

substrat organik dengan H2O2 dan

mereduksinya menjadi H2O. Peroksidase

merupakan protein heme yang terdapat pada

organisme prokariotik dan eukariotik.

Glutation peroksidase (GPx) adalah

peroksidase yang mengandung selenium (Se)

pada sisi aktifnya. Enzim ini bekerja dengan

memecah H2O2 dan berbagai hidro serta lipid

peroksida dengan cara mereduksinya menjadi

H2O. Peristiwa tersebut melibatkan reaksi

oksidasi-reduksi dari glutation tereduksi

(GSH).

Antioksidan eksogen merupakan

antioksidan yang diperoleh dari luar tubuh.

Antioksidan eksogen dapat diperoleh dari

makanan sehari-hari terutama dari sayuran dan

buah-buahan yang banyak mengandung

vitamin dan mineral seperti vitamin A, C, E,

seng (Zn), selenium (Se). senyawa antioksidan

eksogen yang umum digunakan adalah vitamin

E.

Antioksidan dapat dibagi menjadi dua

macam berdasarkan cara memperolehnya,

yaitu antioksidan alami dan antioksidan

sintetik. Antioksidan alami mampu melindungi

tubuh dari kerusakan yang disebabkan oleh

spesies oksigen reaktif, mampu menghambat

terjadinya penyakit degeneratif, serta mampu

menghambat peroksidase lipid pada makanan.

Antioksidan alami umumnya memiliki gugus

hidroksi dalam struktur molekulnya (Hanani

2005). Antioksidan alami diisolasi dari

sumber-sumber alami yang berasal dari

tumbuhan dan dapat tersebar di berbagai

bagian tanaman seperti pada kayu, kulit kayu,

akar, daun, bunga, buah, biji, rimpang, dan

serbuk sari. Antioksidan lain yang dapat

menghambat radikal bebas adalah antioksidan

sintetik. Antioksidan sintetik yang banyak

digunakan diantaranya adalah

butylatedhydroxytoluene (BHT),

Butylatedhydroxyanysole (BHA), propilgalat,

tert-butyl hydroxyl quinon (TBHQ),

propylgalatte (PG), nordihidroquairetic acid

(NDGA) dan α-tokoferol. Antioksidan sintetik

dapat berbahaya bagi kesehatan, misalnya

BHA dan BHT yang dapat menyebabkan

pembengkakan organ hati (Gordon 2001).

Karakter utama dari antioksidan adalah

kemampuannya untuk menangkap radikal

bebas. Kereaktifan yang tinggi dari radikal

bebas dan oksigen ada dalam sistem biologi

dari varietas sumber yang besar. Radikal

bebasnya dapat berupa oksidasi asam nukleat,

protein, lipid, atau DNA dan dapat memulai

penyakit degeneratif. Komponen antioksidan

seperti asam fenol, folifenol, dan flavonoid

mencari-cari radikal bebas seperti peroksida,

hidroperoksida, atau peroksil lipid dan ini

menginhibisi mekanisme oksidasi yang

memimpin penyakit degeneratif (Hanani

2005).

Mekanisme kerja antioksidan secara umum

adalah menghambat oksidasi lemak atau

autooksidasi yang terjadi dalam tiga tahap

utama, yaitu inisiasi, prpagasi, dan terminasi.

Pada tahap inisiasi terjadi pembentukan radikal

asam lemak yaitu turunan asam lemak yang

5

bersifat tidak stabil dan sangat reaktif akibat

hilangnya satu atom H. Reaksi selanjutnya

yang terjadi adalah propagasi dimana radikal

asam lemak akan bereaksi dengan oksigen

membentuk radikall peroksi. Radikal peroksi

selanjutnya akan menyerang asam lemak

menghasilkan hidroperoksida dan radikal asam

lemak baru (tahap propagasi) (Uppu 2010).

Uji Aktivitas Antioksidan metode DPPH

Pengujian aktivitas antioksidan dilakukan

pada sampel yang diduga mempunyai

bioaktivitas sebagai antioksidan. Terdapat

beberapa penentuan aktivitas antioksidan

diantaranya DPPH (1,1-difenil-2pikrilhidrazil),

Cupric Ion Reducing Antioxidant (CUPRAC)

dan Ferric Reducing Ability of Plasma

(FRAP). Pemilihan metode DPPH pada

penentuan aktivitas antioksidan dilakukan

karena metodenya sederhana, cepat, peka, dan

hanya memerlukan sedikit contoh. Pengujian

aktivitas antioksidan dilakukan pada sampel

yang diduga mempunyai bioaktivitas sebagai

antioksidan.

Metode DPPH (2,2-difenil-1-pikrilhidrazil)

merupakan metode uji aktivitas antioksidan

yang paling banyak dilakukan. Pada metode

ini, DPPH berperan sebagai radikal bebas yang

diredam oleh antioksidan dari sampel. DPPH

merupakan senyawa radikal bebas yang stabil

sehingga apabila digunakan sebagai pereaksi

cukup dilarutkan pada pelarut seperti alkohol.

Senyawa ini jika disimpan dalam keadaan

kering dengan kondisi penyimpanan yang baik

akan tetap stabil selama bertahun-tahun.

Pengujian antioksidan suatu ekstrak tanaman

menggunakan radikal bebas 2,2-difenil-1-

pikrilhidrazil (DPPH) pada prinsipnya adalah

reaksi penangkapan hidrogen dari suatu

antioksidan oleh radikal bebas DPPH yang

akan diubah menjadi 1,1-difenil-

2pikrilhidrazin yang stabil. Ketika larutan

DPPH dicampurkan dengan senyawa yang

mampu memberikan atom hidrogen, radikal

tersebut akan berubah dalam bentuk yang

tereduksi. Reaksi tersebut ditandai dengan

perubahan warna dari ungu menjadi

kekuningan (Molyneux 2004).

Metode DPPH memberikan informasi

mengenai reaktifitas senyawa yang diuji

dengan suatu radikal yang stabil. Penangkap

radikal bebas menyebabkan elektron menjadi

berpasangan yang kemudian menyebabkan

penghilangan warna yang sebanding dengan

jumlah elektron yang diambil. DPPH hanya

dapat mengukur senyawa antioksidan yang

terlarut dalam pelarut organik khususnya

alkohol. Walaupun DPPH secara luas

digunakan untuk pengukuran dan

perbandingan aktivitas antioksidan senyawa-

senyawa fenolik, evaluasi aktivitas

antiokasidan dengan adanya perubahan

serapan DPPH harus secara hati-hati

diinterpretasikan setelah reaksinya dengan

senyawa antioksidan karena dapat didegradasi

oleh cahaya, oksigen, pH, dan jenis pelarut

(Uppu 2010).

Metode DPPH merupakan suatu metode

yang mudah, cepat, dan sangat baik untuk

sampel dengan polaritas tertentu. Metode

DPPH digunakan untuk screening berbagai

sampel dalam penentuan aktivitas suatu.

Pengukuran absorbansi DPPH biasanya

berkisar pada panjang gelombang 515-520 nm.

Metode DPPH dapat digunakan untuk sampel

padatan maupun larutan dan tidak spesifik

untuk komponen antioksidan partikular, tetapi

dapat digunakan untuk kapasitas antioksidan

secara keseluruhan pada suatu sampel

(Molyneux 2004).

Kromatografi Gas-Spektroskopi Massa

(GC-MS)

Kromatografi merupakan suatu metode

pemisahan dengan analit yang dibawa oleh

fase gerak berupa cairan atau gas yang

dialirkan sepanjang fase diam. Umumnya salah

satu fase bersifat hidrofilik dan fase yang

lainnya bersifat lipofilik. Komponen analit

memiliki sifat interaksi yang berbeda dengan

kedua fase yang digunakan. Perbedaan itu

bergantung pada kepolaran zat yang dianalisis,

yang akan menentukan banyak sedikitnya

waktu untuk berinteraksi dengan fase diam

(berapa lama suatu senyawa tertahan dalam

kolom). Waktu yang dibutuhkan tersebut

disebut waktu retensi. Waktu retensi yang

diperoleh akan memberikan informasi yang

berguna untuk proses identifikasi suatu

senyawa. Hal itu membuat kromatografi dapat

memisahkan komponen yang berbeda dalam

suatu sampel (Manz 2004).

Proses elusi tiap komponen dalam sampel

dilakukan dari fase padat dengan waktu yang

spesifik, atau dinamakan dengan waktu retensi.

Saat suatu komponen sampel melewati

detektor, sinyal akan direkam dan digambar

dalam bentuk suatu kromatogram. Metode

kromatografi berdasarkan fase gerak yang

digunakan diklasifikasikan menjadi

kromatografi cair dan kromatografi gas.

Kromatografi gas merupakan proses

kromatografi dengan fase gerak berupa gas.

Kromatografi gas digunakan hanya untuk

komponen yang mudah menguap atau berupa

gas yang bersifat stabil terhadap panas. Fase

gerak berupa gas inert seperti nitrogen,

hidrogen, atau helium dipompakan ke dalam

fase kolom yang telah dipanaskan. Kolom

yang digunakan biasanya dapat berupa zat

6

padat atau logam (kromatografi gas-padat) atau

berupa zat cair yang diikat secara kimia oleh

penyangga padat yang dikemas di dalam pipa

kaca, logam, atau plastik yang bergaris tengah

kecil (Gritter 1991). Sampel yang telah

diuapkan dipompa ke dalam kolom yang telah

dipanaskan dan sampel akan dideteksi berupa

aliran gas. Deteksi analit dapat berdasarkan

ionisasi atau konduktivitas termal (Manz

2004).

Kromatografi gas merupakan metode yang

cepat dan tepat untuk memisahkan campuran

yang sangat rumit. Waktu yang dibutuhkan

beragam, mulai dari beberapa detik untuk

campuran yang sederhana hingga berjam-jam

untuk campuraan yang mengandung 500-1000

komponen (Gritter 1991). Dalam memilih

kromatografi gas, terdapat empat peubah

utama, yaitu gas pembawa, jenis detektor, jenis

kolom dan fase diam, serta suhu pemisahan.

Tangki gas bertekanan tinggi berlaku sebagai

sumber gas pembawa. Suatu pengatur tekanan

digunakan untuk menjamin tekanan yang

seragam pada pemasuk kolom sehingga

diperoleh laju aliran gas yang tetap. Nitrogen,

helium, argon, dan karbon dioksida dalah gas

yang paling sering digunakan sebagai gas

pembawa karena mereka tidak reaktif serta

dapat dibeli dalam keadaan murni dan kering

dalam kemasan tangki bervolume besar dan

bertekanan tinggi.

Pipa kolom yang digunakan dalam proses

kromatografi gas dapat dibuat dari tembaga,

baja nirkarat, alumunium, dan kaca yang

berbentuk lurus, lengkung, atau melingkar.

Tembaga kurang cocok karena dapat menyerap

atau bereaksi dengan komponen cuplikan

tertentu (amina, asetilena, terpena, dan

steroid). Bahan yang umum digunakan sebagai

kolom adalah baja nirkarat. Baja dikemas

ketika masih dalam keadaan lurus agar

kemasan seragam, kemudian dilingkarkan agar

dapat dipasang dalam ruang kolom yang

terbatas. Kolom lurus lebih efisien, tetapi dapat

menjadi tidak praktis terutama apabila bekerja

dengan suhu tinggi. Jika kolom dilingkarkan,

garis tengah lingkaran paling sedikit harus

sepuluh kali garis tengah kolom, yaitu untuk

meminimumkan difusi dan pengaruh jalur

balap. Panajng kolom yang dikemas dapat

beberapa cm hingga 15 meter. Kolom yang

lebih panjang menghasilkan jumlah pelat teori

dan daya pisah yang lebih besar. Kecepatan

gas pembawa berubah selama melewati kolom,

jadi hanya bagian kolom yang pendek saja

bekerja pada laju aliran yang optimum. Kolom

panjang membutuhkan tekanan pemasuk yang

sangat tinggi.

Pemilihan pelarut pembagi (fase diam)

yang tepat merupakan parameter penting

dalam kromatografi gas. Ciri fase diam yang

ideal yaitu cuplikan harus menunjukkan

koefisien distribusi yang berbeda, cuplikan

mempunyai kelarutan yang berarti dalam fase

diam, dan fase diam harus memiliki tekanan

uap yang dapat diabaikan pada suhu kerja.

Banyaknya pilihan dalam penggunaan fase

diam menyebabkan kromatografi gas dapat

digunakan dalam pemakaian yang luas dan

selektif.

Kromatografi gas memiliki tiga daerah

yang suhunya harus dijaga, yaitu suhu ruang

suntik, suhu kolom, dan suhu detektor. Suhu

ruang suntik hareus cukup panas untuk

menguapkan cuplikan dengan cepat sehingga

tidak menghilangkan keefisienan yang

disebabkan cara pentuntikan. Sebaliknya, suhu

ruang suntik harus cukup rendah untuk

mencegah penguraian atau penataan ulang

akibat panas. Suhu kolom harus cukup tinggi

sehingga analisis dapat diselesaikan dalam

waktu yang tepat, dan harus cukup rendah

sehingga pemisahan yang dikehendaki dapat

tercapai. Pada beberapa kasus kita tidak dapat

menggunakan suhu kolom yang rendah,

terutama bila cuplikan terdiri atas senyawa

dengan rentang titik didih lebar. Suhu detektor

sangat dipengaruhi jenis detektor yang

digunakan. Sebagai patokan umum, dapat

dikatakan bahwa detektor dan sambungan

antara kolom dan detektor harus cukup panas

sehingga cuplikan dan atau fase diam tidak

mengembun (McNair 1988).

Detektor kromatografi adalah suatu gawai

yang menunjukkan dan mengukur banyaknya

komponen yang terpisah dalam gas pembawa.

Detektor menunjukkan adanya komponen

dalam efluen dan mengukur kuantitasnya. Ciri

detektor yang baik adalah kepekaannya tinggi,

tingkat deraunya rendah, kelinieran

tanggapannya tetap, tanggap terhadap semua

jenis senyawa, kuat, tidak peka terhadap

perubahan aliran dan suhu, serta harganya

relatif murah. Tidak ada detektor yang ideal.

Tetapi rata-rata detektor yang digunakan

adalah detektor hantar-halang dan detektor

pengionan nyala (McNair 1988).

Gas Chromatography-Mass Spectroscopy

merupakan gabungan dari dua jenis instrumen,

yaitu kromatografi gas dan spektroskopi

massa. Kombinasi kedua alat ini biasanya

digunakan untuk identifikasi dan kuantifikasi

dari senyawa organik volatil atau semi volatil

dalam campuran yang kompleks. Kromatografi

gas atau Gas Chromatography (GC)

memberikan kemampuan untuk separasi

senyawa volatil dan semi volatil dengan

resolusi yang tinggi. Spektroskopi massa (MS)

dilain pihak memberikan kemampuan untuk

mengidentifikasikan dan memberikan

7

informasi mengenai struktur senyawa (McNair

1988). Cara termudah untuk mengidentifikasi

senyawa dengan spektroskopi massa adalah

dengan membandingkan fragmentasi molekul

dengan database.

Microplate Reader

Microplate reader atau plate reader

merupakan suatu instrumen yang digunakan

untuk mendeteksi sampel kimia, fisika, atau

biologis dalam ukuran mikro. Alat ini

umumnya digunakan dalam penelitian obat,

validasi, dan banyak lagi yang umumnya

digunakan dalam bidang farmasi, bioteknologi,

dan akademik. Format microplate yang umum

digunakan yaitu dengan 96 sumur yang terdiri

dari 12 kolom dan 8 baris.

Pengukuran absorbansi dapat dilakukan

dengan microplate reader. Pembacaan

absorbansi suatu sampel dimanfaatkan untuk

uji ELISA, kauntifikasi protein dan asam

nukleat, serta uji terhadap aktivitas enzim.

Prinsip kerja microplate reader tidak berbeda

jauh dengan spektrofotometri. Sumber cahaya

menyinari sampel yang akan diukur dengan

panjang gelombang tertentu (diatur dengan

filter cahaya atau sebuah monokromtor) dan

kemudian detektor menghitung banyaknya

cahaya awal yang ditransmisikan oleh sampel.

Banyaknya cahaya yang ditransmisikan

berhubungan dengan konsentrasi molekul yang

akan dicari (Ganske 2010).

BAHAN DAN METODE

Alat dan Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini

antara lain rimpang temulawak segar berumur

8 bulan, akuades, DMSO (dimethyl sulfoxide),

DPPH, etanol 96%, dan vitamin C.

Alat-alat yang digunakan antara lain satu

set alat distilasi Stahl, gelas piala, hot plate,

pipet mikro, microplate, microplate reader,

Thermogravimetry, dan GC-MS Agilent

6890N.

Metode Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Pusat

Studi Biofarmaka (PSB), Taman Kencana,

Bogor. Penelitian dimulai dari bulan April-

Agustus 2010.

Penentuan Kadar Minyak Atsiri Rimpang

Temulawak

Temulawak yang digunakan adalah

temulawak umur 8 bulan yang berasal dari

BALITTRO yang ditanam di kebun Pusat

Studi Biofarmaka. Rimpang temulawak dicuci

dan dikeringkan dengan cara diangin-anginkan

kemudian diiris kecil dan ditumbuk. Hasil

tumbukan rimpang temulawak tersebut

kemudian didistilasi dengan distilasi Stahl

menggunakan pelarut air selama 3.5 jam.

Minyak atsiri yang dihasilkan dipisahkan dari

fase airnya. Kadar air rimpang temulawak

ditentukan dengan alat thermogravimetry.

Penentuan Komponen Minyak Atsiri

Rimpang Temulawak

Komponen minyak atsiri temulawak

ditentukan dengan GC-MS (Agilent 6890 N)

menggunakan kolom HP-5MS. Kondisi

operasional alat yang digunakan dengan

volume injeksi 1µL minyak atsiri, suhu kolom

100-250oC dengan program peningkatan suhu

5oC/menit. Suhu injektor 250

oC dengan gas

pembawa helium.

Uji Potensi Antioksidasi Minyak Atsiri

Temulawak (Batubara 2009) Potensi antioksidasi minyak atsiri

temulawak ditentukan dengan metode DPPH.

Sampel minyak atsiri dalam DMSO

(konsentrasi 10000µg/mL) dilarutkan dengan

etanol dengan konsentrasi akhir 1.67, 3.33,

6.67, 10, 13.33, dan 16.67 µg/mL. Larutan

DPPH 0.3 mM dalam etanol juga ditambahkan

ke dalam 56 lubang yang digunakan. Setelah

diinkubasi selama 30 menit, Pembacaan nilai

serapan larutan diukur menggunakan

microplate reader dengan panjang gelombang

517 nm. Pembanding yang digunakan adalah

vitamin C dengan konsentrasi yang sama. Tiap

konsentrasi sampel dan pembanding diuji

sebanyak tiga kali pengulangan. Aktivitas

inhibisi ditentukan dengan persamaan berikut:

�� �������� � �� �����

�������� ����

Keterangan:

%I : persentase penghambatan radikal

A kontrol: serapan larutan DPPH dalam etanol

A sampel: serapan ekstrak etanol minyak atsiri

dan DPPH

Analisis Statistik

Analisis statistik data yang diperoleh

dilakukan dengan uji ANOVA excel statistic.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Analisis Kadar Minyak Atsiri

Rimpang Temulawak Minyak atsiri rimpang temulawak

diperoleh melalui distilasi air menggunakan

alat distilasi Stahl (Gambar 2). Distilasi

merupakan metode yang sangat ekonomis

untuk memperoleh minyak atsiri dari suatu

8

bahan atau biasanya berupa tumbuhan yang

sifatnya aromatik (UNIDO & FAO 2005).

Prinsip dasar distilasi adalah melakukan

pemisahan suatu senyawa berdasarkan

perbedaan titik didihnya.

Distilasi air merupakan cara distilasi yang

paling sederhana dibanding semua sistem

distilasi (distilasi uap, distilasi uap dan air, dan

ekstraksi menggunakan pelarut). Bahan yang

akan diambil minyaknya mengalami kontak

langsung dengan air mendidih dalam bejana.

Air dipanaskan dengan pemanasan langsung.

Dalam bejana terdapat sekat pemisah yang

terbuat dari logam yang berlubang. Sekat ini

berfungsi agar bahan tidak menegendap pada

dasar bejana dan menjadi gosong akibat kontak

langsung dengan pemanas. Bagian penampung

distilat pada alat distilasi Stahl memiliki

ukuran atau skala sehingga minyak atsiri yang

dihasilkan langsung dapat diketahui

volumenya tanpa harus dipisahkan terlebih

dahulu dengan fase airnya. Sebagian besar

minyak yang tersuling saat awal proses

penyulingan adalah fraksi minyak yang

memiliki titik didih rendah, kemudian disusul

dengan fraksi minyak yang memiliki titik didih

tinggi. Minyak atsiri yang dihasilkan tidak

berwarna, kental, dan memiliki aroma khas

temulawak sesuai dengan data yang terdapat

pada Lampiran 3.

Gambar 2 Distilasi Stahl.

Gambar 3 Rendemen minyak atsiri temulawak.

Kadar minyak atsiri temulawak dengan

waktu panen berbeda yang diamati dalam

penelitian ini bervariasi. Kadar minyak atsiri

yang dihasilkan temulawak dengan waktu

panen pagi hari, sebelum matahari terbit, rata-

rata 3.797% (v/b). Kadar minyak atsiri yang

dihasilkan temulawak yang dipanen pada sore

hari rata-rata 2.096% (v/b) (Gambar 3). Hasil

tersebut merupakan rendemen setelah faktor

koreksi dengan kadar air. Secara statistika

dengan level signifikansi 95%, diperoleh

bahwa rata-rata kadar minyak atsiri temulawak

untuk kedua waktu panen tersebut berbeda

secara signifikan. Berdasarkan penelitian yang

dilakukan, kadar minyak atsiri temulawak

yang dipanen sebelum matahari terbit lebih

besar dibanding temulawak yang dipanen pada

sore hari. Hal itu disebabkan karena pengaruh

cahaya matahari yang cenderung menginisiasi

penghentian proses eksudasi minyak atsiri

(Katno 2008). Selain itu sekresi minyak atsiri

pada tanaman juga dipengaruhi oleh adaptasi

struktur sekresi yang terdapat pada organ

tanaman (Figueiredo et al 2008). Pada malam

hari cenderung lebih banyak terjadi

metabolisme sekunder dibandingkan pada

siang hari.

Profil Metabolit Volatil Minyak Atsiri

Rimpang Temulawak Minyak atsiri merupakan salah satu hasil

sisa proses metabolisme dalam tanaman, yang

terbentuk karena reaksi antara berbagai

persenyawaan kimia dengan adanya air.

Minyak tersebut disintesis dalam kelenjar pada

jaringan tanaman. Minyak atsiri merupakan

campuran kompleks dari komponen aktif yang

berbeda yang masing-masing mempunyai ciri

khas sendiri, misalnya, rasa pedas, dan berbau

wangi sesuai dengan tanaman penghasilnya.

Temulawak merupakan salah satu tanaman

obat yang memiliki cukup banyak komponen

penyusun minyak atsiri. Komponen penyusun

minyak atsiri temulawak ditentukan dengan

GC-MS Agilent 6890N. Metode ini bisa

digunakan untuk mengidentifikasi suatu

senyawa, baik satu komponen maupun

campuran. Keuntungan spektrometri massa

adalah ketepatannya dalam menentukan

fragmentasi dan molekul-molekul serta dapat

mengidentifikasi komponen-komponen yang

terdapat dalam jumlah kecil. Salah satu syarat

suatu senyawa dapat dianalisis dengan GC-MS

adalah senyawa tersebut mudah

menguap/volatil.

Profil metabolit volatil minyak atsiri

rimpang temulawak digambarkan dalam

bentuk kromatogram. Kromatogram GC-MS

minyak atsiri temulawak dengan waktu panen

berbeda ditunjukkan pada Gambar 4 dan 5.

0

0,5

1

1,5

2

2,5

3

3,5

4

pagi sore

Rendemen (% v/b)

Bejana sampel

Pendingin

Penampung distilat

9

Tiap komponen atau senyawa penyusun

minyak atsiri diekspresikan dalam bentuk

puncak/peak. Setiap puncak mewakili senyawa

yang berbeda. Masing-masing puncak

kemudian dianalisis dalam spektrometer massa

dan dibandingkan dengan database. Faktor

yang dibandingkan adalah waktu retensi

molekul dan hasil fragmentasi/pemotongan

gugus fungsi molekul. Cara tersebut dapat

digunakan karena tiap senyawa memiliki bobot

molekul yang berbeda. Banyaknya kandungan

suatu senyawa ditunjukkan dengan tingginya

puncak yang dihasilkan.

Komponen utama yang teridentifikasi pada

minyak atsiri temulawak yang dipanen pada

pagi hari adalah α-cedrene (m/z 204), α-

curcumene (m/z 202), dan xanthorrhizol (m/z

218). Komponen tersebut juga merupakan

komponen utama penyusun minyak atsiri

temulawak yang dipanen pada sore hari. Rata-

rata ketiga senyawa tersebut memiliki

kelimpahan diatas 15%. Kurkumin dan

xantorizol merupakan senyawa khas yang

terdapat pada temulawak. Senyawa lain yang

juga ditemukan dalam jumlah yang sedikit

diantaranya camphor, epicurzerone, α-

zingiberene, trans β-farnesene, γ-elemene,

benzofuran, γ-curcumene, borneol, β-elemene,

dan beberapa senyawa lain. Senyawa- senyawa

tersebut teridentifikasi dengan kelimpahan

rata-rata dibawah 5% pada kedua waktu panen

(Gambar 6). Secara keseluruhan teridentifikasi

sebanyak 25 senyawa penyusun minyak atsiri

temulawak yang didominasi oleh senyawa

golongan terpenoid khususnya golongan

monoterpen dan seskuiterpen.

Gambar 4 Kromatogram kandungan minyak atsiri temulawak waktu panen pagi.

Gambar 5 Kromatogram kandungan minyak atsiri temulawak waktu panen sore.

α cedrene

α kurkumin

α kurkumin α cedrene

xanthorrhizol

xanthorrhizol

Gambar 6 Grafik perbandingan kandungan senyawa volatil antara waktu panen pagi dan sore.

Terpenoid merupakan bentuk senyawa

dengan keragaman struktur yang besar dalam

produk alami yang diturunkan dan unit

isoprena (C5) yang bergandengan dalam model

kepala ke ekor (head-to-tail), sedangkan unit

isoprena diturunkan dari metabolisme asam

asetat oleh jalur asam mevalonat (Aharoni

2006). Terpenoid merupakan komponen-

komponen pada tumbuhan yang mempunyai

bau dan dapat diisolasi dari bahan nabati

dengan penyulingan. Fraksi yang paling

mudah menguap biasanya berasal dari

golongan terpenoid dengan 10 atom karbon.

Fraksi yang memiliki titik didih lebih tinggi

biasanya terdiri dari terpenoid yang berasal

dari 15 atom karbon. Senyawa terpenoid

dengan 10 atom karbon disebut monoterpen.

Monoterpen tersusun atas penggabungan

dua unit isopren dan memiliki bau yang khas.

Lebih dari 1000 jenis monoterpenoid yang

telah diisolasi dari tumbuhan tingkat tinggi,

binatang laut, serangga, dan binatang jenis

vertebrata dan strukturnya telah diketahui.

Senyawa monoterpenoid banyak dimanfaatkan

sebagai antiseptik, ekspektoran, spasmolotik,

dan sedatif. Selain itu, banyak monoterpenoid

yang sudah dikenal dimanfaatkan sebagai

bahan pemberi aroma makanan dan parfum.

Seskuiterpen merupakan senyawa terpenoid

dengan jumlah atom karbon 15. Seskuiterpen

dibangun oleh tiga unit isoprena yang terdiri

dari kerangka asiklik maupun bisiklik dengan

kerangka dasar naftalena.

Pada tumbuhan, terpenoid diproduksi pada

lokasi yang berbeda sesuai dengan kebutuhan

tumbuhan itu sendiri (Heldt 2005). Sebagian

terpenoid yang bersifat hidrofobik diproduksi

pada jaringan-jaringan khusus. Enzim yang

berperan dalam proses pembentukan terpenoid

sebagian besar terdapat pada plastid, sitosol,

dan mitokondria. Produksi terpenoid dapat

berbeda pada perlakuan yang berbeda seperti

pengaruh lingkungan, faktor fisiologis,

keragaman kondisi geografis, dan faktor

genetik (Aharoni 2006). Perbedaan itu terlihat

dari profil hasil analisis.

Kandungan senyawa dengan kelimpahan

paling besar pada kedua waktu panen

menunjukkan jumlah yang tidak berbeda

secara signifikan (α=0,05). Senyawa volatil

antara minyak atsiri temulawak dengan waktu

panen pagi dan sore hari tidak berbeda nyata

secara kualitatif maupun kuantitatif.

Dalam penelitian ini terlihat bahwa waktu

panen dalam sehari tidak memberikan

pengaruh pada kandungan metabolit volatil

minyak atsiri temulawak. Adanya perbedaan

rendemen minyak atsiri pada kedua waktu

panen tidak mempengaruhi persentase

kelimpahan senyawa penyusun minyak atsiri

temulawak.

Potensi Antioksidasi Minyak Atsiri

Temulawak Radikal bebas dan ROS (Reactive Oxygen

Species) menyebabkan terjadinya reaksi

oksidasi biomolekul seperti protein, asam

amino, lemak tak jenuh dan DNA, dan

khususnya menyebabkan perubahan molekular

yang dikaitkan dengan terjadinya proses

penuaan, aterosklerosis, dan kanker. Tubuh

manusia telah dilengkapi sistem pertahanan di

hampir semua sel. Adanya ketidak seimbangan

antara produksi radikal bebas dan

pengeluarannya oleh sistem antioksidan tubuh

membuat terjadinya suatu fenomena yang

0

5

10

15

20

25

30

% k

eli

mp

ah

an

pagi

sore

11

disebut stress oksidatif. Pada keadaan ini tubuh

membutuhkan asupan antioksidan dari luar

untuk menyeimbangkan antara radikal bebas

dan antioksidan.

Tumbuhan aromatik telah digunakan sejak

dahulu sebagai pengawet, bahan obat, dan

sebagai penguat rasa dan aroma dalam

makanan. Bagian minyak atsiri merupakan

bagian yang sering dikaitkan dengan manfaat

tersebut. Minyak atsiri merupakan sumber

komponen fenolik alami. Minyak basil, kayu

manis, cengkeh, Thyme telah diteliti memiliki

aktivitas antioksidan pada larutan DPPH pada

suhu ruang (Tonaino et al 2005). Prinsip

metode ini adalah menetralkan senyawa

radikal bebas DPPH dengan senyawa

antioksidan yang dapat ditunjukkan dengan

perubahan warna larutan. Secara mekanisme,

terdapat dua macam reaksi senyawa DPPH

dengan senyawa antioksidan. Mekanisme

reaksi pertama merupakan proses transfer

secara langsung elektron atau atom H dari

senyawa antioksidan ke senyawa DPPH.

Mekanisme reaksi kedua adalah proses transfer

elektron dengan proton terkonsentrasi, yaitu

senyawa DPPH kehilangan proton yang

diberikan ke senyawa antioksidan, sehingga

senyawa DPPH bermuatan negatif. Senyawa

antioksidan berubah bermuatan positif dan

mentransfer atom hidrogen ke senyawa DPPH

(Lan & Hong 2003).

Kemampuan minyak atsiri temulawak

dalam meredam radikal bebas dapat dilihat

pada Gambar 7. Aktivitas antioksidasi minyak

atsiri temulawak ditentukan dengan metode

DPPH. Minyak atsiri temulawak memiliki

kemampuan dalam proses antioksidasi yang

ditunjukkan dengan nilai absorbansi yang lebih

kecil dibandingkan dengan kontrol (tanpa

penambahan minyak atsiri). Vitamin C

digunakan sebagai pembanding antioksidan

komersial standar.

Gambar 7 Aktivitas antioksidasi minyak atsiri

temulawak.

Komposisi metabolit penyusun minyak

atsiri temulawak tidak berbeda secara nyata

antara temulawak yang dipanen pada pagi hari

dan temulawak yang dipanen pada sore hari.

Kemiripan profil tersebut membuat

bioaktivitas minyak atsiri temulawak sebagai

antioksidan juga tidak mengalami perbedaan.

Aktivitas antioksidasi minyak atsiri temulawak

menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata

(α=0,05) dengan waktu panen yang berbeda.

Aktivitas antioksidasi minyak atsiri

temulawak tergolong rendah. Perhitungan yang

digunakan dalam membandingkan aktivitas

penangkap radikal adalah nilai IC50 (Inhibition

concentration 50%), nilai tersebut

menggambarkan besarnya konsentrasi senyawa

uji yang dapat menangkap radikal sebesar

50%. Nilai IC50 diperoleh dengan

menggunakan persamaan regresi linier yang

menyatakan hubungan antara konsentrasi

sampel (senyawa uji) dengan simbol x dengan

aktivitas penangkap radikal rata-rata dengan

simbol y dari seri replikasi pengukuran.

Semakin kecil nilai IC50 maka senyawa uji

tersebut mempunyai keefektifan sebagai

penangkap radikal yang lebih baik.

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh nilai

IC50 minyak atsiri temulawak dengan waktu

panen pagi sebesar 3.24x109 ppm dan minyak

atsiri temulawak dengan waktu panen sore

sebesar 1.15x1013 ppm. Nilai IC50 minyak

atsiri temulawak pada kedua waktu panen

tersebut jauh lebih besar dari kontrol yang

digunakan yaitu vitamin C (IC50 = 10.11 ppm).

Rendahnya aktivitas antioksidasi pada

minyak atsiri temulawak dapat disebabkan

karena dalam minyak atsiri temulawak

tersusun dari senyawa yang masih heterogen

tidak seperti vitamin C. Keheterogenan

tersebut memungkinkan adanya senyawa-

senyawa yang tidak memiliki aktivitas

antioksidasi atau menghambat reaksi

antioksidasi. Selain itu, kandungan metabolit

yang relatif sama pada kedua waktu panen

tersebut diduga menjadi penyebab tidak

adanya perbedaan pada aktivitas antioksidasi

minyak atsiri temulawak yang dibedakan

berdasarkan waktu panen.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Ekstraksi minyak atsiri dengan distilasi air

yang dikombinasikan dengan GC-MS dapat

digunakan dalam analisis kandungan minyak

atsiri temulawak.

Waktu panen dalam sehari berpengaruh

pada rendemen minyak atsiri temulawak, tetapi

Konsentrasi (ppm)

% Inhibisi

12

tidak berpengaruh pada kandungan metabolit

yang sifatnya volatil dan bioaktivitasnya

sebagai antioksidan. Temulawak yang dipanen

sebelum matahari terbit menghasilkan

rendemen sebesar 3.797%, lebih besar bila

dibandingkan dengan rendemen minyak atsiri

temulawak yang dipanen pada sore hari yang

menghasilkan rendemen 2.096%. Minyak atsiri

temulawak mempunyai aktivitas penangkap

radikal dengan IC50 sebesar 3.24x109 ppm pada

waktu panen pagi dan 1.15x1013 ppm pada

waktu panen sore. Aktivitas antioksidan

minyak atsiri temulawak jauh lebih kecil

dibandingkan vitamin C.

Saran Perlu dilakukan penelitian tentang profil

metabolit volatil dengan variasi umur tanaman

untuk memperoleh kombinasi waktu yang

tepat dalam pemanenan temulawak. Selain itu

perlu dilakukan penelitian tentang bioktivitas

minyak atsiri temulawak selain sebagai

antioksidan.

DAFTAR PUSTAKA

[BPOM RI] Badan Pengawas Obat dan

Makanan Republik Indonesia. 2005.

Gerakan Nasional Minum Temulawak.

Jakarta : BPOM RI.

Afifah E. 2003. Khasiat dan Manfaat

Temulawak. Jakarta: Agromedia.

Aharoni A, et al. 2006. Metabolic engineering

of terpenoid biosynthesis in plant.

Phytochemistry Reviews 5: 49-58.

Angela M, Meireles A. 2009. Extracting

Bioactive Compound for Food Products:

Theory and Apllications. New York: CRC

Pr.

Aqil F, Ahmad I, Mehmood Z. 2006.

Antioxidant and free radical scavenging

properties of twelve traditionally used

Indian medicinal plants. Turk. J. Biol 30:

177-183.

Bastos DHM, et al. 2006. Essential oil and

antioxidant activity of green mate and mate

tea (Ilex paraguariensis) infusions. J. of

Food Composition and Analysis 19: 538–

543.

Batubara I. 2009. Anti-acne potency of

Indonesian medicinal plants [tesis]. Gifu:

United Graduate School, Gifu University.

Duke JA. 2003. Handbook of Medicinal

Spices. Boca Raton: CRC Pr.

Edris AE. 2007. Pharmaceutical and

therapeutic potentials of essential oils and

their individual volatile constituents: A

Review. Phytother. Res. 23: 1-16.

Figueiredo AC, et al. 2008. Factor affecting

secondary metabolite production in plants:

volatile components and essential oil. J.

Flavour Fragr. 23: 213-226.

Ganske F. 2010. Boosting Microplate Reader

Functionality. [terhubung berkala].

www.bmglabtech.com [2 Desember 2010].

Gordon MH, Pokorny dan Yanishlieve N.

2001. Antoxidant in Food Practical and

Applications. Cambridge: Woodhead Pb.

Gritter RJ, Bobbitt JM, Schwarting AE. 1991.

Pengantar Kromatografi. Padmawinata

Kosasih, penerjemah. Bandung:ITB.

Terjemahan dari: Introduction to

Chromatography.

Hanani E, Munim A, Sekarini R. 2005.

Identifikasi senyawa antioksidan dalam

spons Callyspongia sp dari kepulauan

seribu. Majalah Ilmu Kefarmasian 3: 127-

133.

Hattori S, Takagaki H, Fujimori T. 2005. A

comparison of the volatile compounds in

several green teas. Food Sci. Technol. Res.:

82-86.

Heldt HW. 2005. Plant Biochemistry.

California: Elsevier Inc.

Katno. 2008. Pengelolaan Pasca Panen

Tanaman Obat. Jakarta: B2P2TO-OT.

Lan FW, Hong YZ. 2003. A theoretical

investigation on DPPH radical

scavengingmechanism of edaravone.

Bioorganic and Medicinal Chemistry

Letters 13: 3789-3792.

Manz A, Pamme N, Lossifidis D. 2004.

Bioanalytical Chemistry. London:

Imperial College Pr.

Marsusi, Setyawan AD, Listyawati S. 2001.

Studi kemotaksonomi pada genus Zingiber.

Biodiversitas: 92-97.

McNair HM, Bonelli EJ. 1988. Dasar

Kromatografi Gas. Padmawinata Kosasih,

13

penerjemah. Bandung: ITB. Terjemahan

dari: Basic Gas Chromatography.

Molyneux P. 2004. The use of stable free

radical diphenylpicryl-hydrazil (DPPH) for

estimating antioxidant activity. J. Sci.

Technol. 26: 211-219.

Murhadi, et al. 2003. Isolasi dan identifikasi

komponen volatil biji atung (Parinarium

glaberrimum Hassk). J. Teknol. Dan

Industri Pangan 14: 121-128.

Murray RK, Granner DK, Mayes PA, Rodwel

VW. 2003. Biokimia Harper. Andry

Hartono, penerjemah. Anna P Bani & Tiara

MN, editor. Jakarta: Penerbit Buku

Kedokteran EGC. Terjemahan dari:

Harper’s Biochemistry.

Nikolau BJ, Wurtele ES. 2007. Concepts in

Plant Metabolomics. Dordrecht: Springer.

Park et al. 2003. Chemopreventive Effect of

Xanthorrhizol from Curcuma

xanthorrhizha. J. of Korean Association of

Cancer Prevention 8: 91-97.

Sidik, Moelyono MW & Muhtadi A. 1985.

Temulawak Curcuma xanthoriza (Roxb).

Jakarta: Phyto Medica.

Suwiah A. 1991. Pengaruh perlakuan bahan

dan jenis pelarut yang digunakan pada

pembuatan temulawak (Curcuma

xanthoriza Roxb) instan terhadap rendemen

dan mutunya [skripsi]. Bogor: Fakultas

teknologi Pertanian, Institut Pertanian

Bogor.

Tonaino A, et al. 2005. Influence of heating on

antioxidant activity and the chemical

composition of some spice essential oil.

Food Chem. 89 : 549-554.

UNIDO & FAO. 2005. Herbs, Spices, and

Essential Oils. Vienna: UNIDO & FAO.

Uppu RM, Pryor WA, Murthy SN, Parinandi

NL. 2010. Free Radical and Antioxidant

Protocols. New York: Humana Pr.

Verpoorte R, Alfermann AW, Johnson TS.

2007. Application of Plant Metabolic

Engineering. Dordrecht: Springer.

Zhang ZM, Wu WW, Li GK. 2008. A GC-MS

study of the volatile organic composition of

straw and oyster mushrooms during

maturity and its relation to antioxidant

activity. J. Chromatographic Science 46:

690-696.

Zwaving JH, Bos R. 1992. Analysis of the

essential oils of five curcuma species. J.

Flavour and Fragrance 7: 19-22.

14

LAMPIRAN

15

Lampiran 1 Gambaran umum penelitian

Preparasi sampel temulawak

Analisis kandungan senyawa volatil

Isolasi minyak atsiri temulawak

Analisis aktivitas antioksidan

Analisis kromatografi gas (GC-MS) Uji antioksidan metode DPPH

Sampel temulawak waktu panen sore Sampel temulawak waktu panen pagi

Analisis statistik

Interpretasi data

16

Lampiran 2 Analisis aktivitas antioksidasi metode DPPH

Uji aktivitas antioksidan:

Masukkan reagen dalam plate yang akan digunakan (semua dalam µL):

Konsentrasi Sampel 0.1mg/ml etanol DPPH

0 0 100 100

1.6 5 95 100

3.3 10 90 100

6.7 20 80 100

10 30 70 100

13.3 40 60 100

16.7 50 50 100

0 A

1.6 B

3.3 C

6.7 D

10 E

13.3 F

16.7 G

H

ul1 ul2 ul3 ul1 ul2 ul3 C1 C2 C3

Larutan stok sampel 10000µg/mL dalam DMSO

Encerkan larutan stok 100x

100µL sampel dan vitamin C dicampur dengan 100µL DPPH 0.3mM

Inkubasi 30 menit pada suhu ruang

Ukur serapan pada λ 517nm menggunakan microplate reader

17

Lampiran 3 Rendemen minyak atsiri temulawak

Temulawak waktu panen pagi

No Berat Rimpang

(gr)

Kadar air

(%)

Volume Minyak Atsiri

(mL)

Kadar Minyak Atsiri

(% v/b)

1 172.57 79.5 1.2 3,392

2 160.80 80.9 1.2 3,907

3 162.93 83.5 1.1 4,092

Temulawak waktu panen sore

No Berat Rimpang

(gr)

Kadar air

(%)

Volume Minyak Atsiri

(mL)

Kadar Minyak Atsiri

(% v/b)

1 163.43 78.2 0.8 2,245

2 147.28 74.5 0.7 1,864

3 172.30 78.7 0.8 2,180

Contoh Perhitungan:

Rendemen = ��������������� �� ���)

�1-kadar air��Bobot sampel�(gram) x 100%

= �� �!"

�1-0.#$%��x��#&�%# gram x 100%

= 3.392 % (v/b)

18

Lampiran 4 Senyawa penyusun minyak atsiri temulawak

Nama Senyawa Pagi Sore

RT %

Area

RT %

Area

α-pinene 6.24 0,32

camphene 6.49 0,95 6.38 0,46

camphor 10.07 6,22 9.89 4,38

borneol 10.28 0,37 10.11 0,45

endo borneol 10.29 0,35

α-terpinene 14.45 0,53 14.31 0,65

zingiberene 15.63 0,38 15.50 0,36

β-elemene 15.81 0,67 15.69 0,89

α-bergamotene 16.32 0,37 16.20 0,32

trans caryophyllene 16.56 0,4

γ-elemene 16.81 0,58 16.69 0,79

trans β-farnesene 17.12 2,85 17.02 2,62

α-curcumene 17.99 18,19 17.90 19,1

γ-curcumene 17.86 1,13 19.57 1,36

α-zingiberene 18.20 3,71 18.09 1,69

benzofuran 18.42 2,98 18.33 4,13

α-cedrene 18.72 26,87 18.63 25,69

β-farnesene 18.95 0,57 18.85 0,53

fernesene 19.64 1,28

germacrene B 20.05 1,21 19.97 1,52

epicurzerone 20.98 3,07 20.91 3,78

curcumene 21.13 0,55

β-elemone 22.62 0,18

germacrone 23.90 2,9

xanthorrhizol 24.30 20,83 25.02 23,96

19

Lampiran 5 Contoh analisis hasil kromatogram GC-MS dengan database

Library Search Report Data Path : F:\DATA INJEK START FROM 5 MART 2010\MAHASISWA\S1 IPB\DANANG\ Data File : TP5.D Acq On : 20 Aug 2010 12:25 Operator : DANANG YUDHA Sample : TPS Misc : S1 IPB ALS Vial : 1 Sample Multiplier: 1 Search Libraries: C:\Database\wiley7n.l Minimum Quality: 0 Unknown Spectrum: Apex Integration Events: Chemstation Integrator - events.e Pk# RT Area% Library/ID Ref# CAS# Qual _____________________________________________________________________________ 1 6.24 0.27 C:\Database\wiley7n.l .ALPHA.-PINENE, (-)- $$ Bicyclo[3. 32180 000080-56-8 96 1.1]hept-2-ene, 2,6,6-trimethyl- ( CAS) $$ Pinene $$ 2-Pinene $$ .alp ha.-Pinene $$ 2,6,6-Trimethylbicyc lo[3.1.1]hept-2-ene $$ .alpha.-(+) -Pinene $$ ALPHA-PINENE $$ ALFA-PI NENE $$ .alpha.-pipene $$ DIHYDRO- para-CYMENE (OLD .ALPHA.-PINENE, (-)- $$ Bicyclo[3. 32184 000080-56-8 96 1.1]hept-2-ene, 2,6,6-trimethyl- ( CAS) $$ Pinene $$ 2-Pinene $$ .alp ha.-Pinene $$ 2,6,6-Trimethylbicyc lo[3.1.1]hept-2-ene $$ .alpha.-(+) -Pinene $$ ALPHA-PINENE $$ ALFA-PI NENE $$ .alpha.-pipene $$ DIHYDRO- para-CYMENE (OLD .ALPHA.-PINENE, (-)- $$ Bicyclo[3. 32176 000080-56-8 96 1.1]hept-2-ene, 2,6,6-trimethyl- ( CAS) $$ Pinene $$ 2-Pinene $$ .alp ha.-Pinene $$ 2,6,6-Trimethylbicyc lo[3.1.1]hept-2-ene $$ .alpha.-(+) -Pinene $$ ALPHA-PINENE $$ ALFA-PI NENE $$ .alpha.-pipene $$ DIHYDRO- para-CYMENE (OLD 2 6.49 0.80 C:\Database\wiley7n.l Camphene $$ Bicyclo[2.2.1]heptane, 32125 000079-92-5 98 2,2-dimethyl-3-methylene- (CAS) $ $ 3,3-Dimethyl-2-methylenenorborna ne $$ 2,2-Dimethyl-3-methylenenorb ornane $$ 3,3-Dimethyl-2-methylene norcamphane $$ 2,2-Dimethyl-3-meth ylenebicyclo[2.2.1]heptane $$ NA 9 011 $$ CAMPHEN Camphene $$ Bicyclo[2.2.1]heptane, 32123 000079-92-5 97 2,2-dimethyl-3-methylene- (CAS) $ $ 3,3-Dimethyl-2-methylenenorborna ne $$ 2,2-Dimethyl-3-methylenenorb ornane $$ 3,3-Dimethyl-2-methylene norcamphane $$ 2,2-Dimethyl-3-meth ylenebicyclo[2.2.1]heptane $$ NA 9

20

011 $$ CAMPHEN Camphene $$ Bicyclo[2.2.1]heptane, 32120 000079-92-5 97 2,2-dimethyl-3-methylene- (CAS) $ $ 3,3-Dimethyl-2-methylenenorborna ne $$ 2,2-Dimethyl-3-methylenenorb ornane $$ 3,3-Dimethyl-2-methylene norcamphane $$ 2,2-Dimethyl-3-meth ylenebicyclo[2.2.1]heptane $$ NA 9 011 $$ CAMPHEN 3 10.07 5.21 C:\Database\wiley7n.l Camphor $$ Bicyclo[2.2.1]heptan-2- 49852 000076-22-2 98 one, 1,7,7-trimethyl- (CAS) $$ NOR BORNAN-2-ONE $$ BORNAN-2-ONE $$ 2- Bornanone $$ 2-Camphanone $$ Root bark oil $$ Camphor--natural $$ Sp irit of camphor $$ 1,7,7-Trimethyl norcamphor $$ 1,7,7-Trimethylbicyc lo[2.2.1]-2-hepta Camphor 49855 000076-22-2 97 Camphor $$ Bicyclo[2.2.1]heptan-2- 49864 000076-22-2 97 one, 1,7,7-trimethyl- (CAS) $$ NOR BORNAN-2-ONE $$ BORNAN-2-ONE $$ 2- Bornanone $$ 2-Camphanone $$ Root bark oil $$ Camphor--natural $$ Sp irit of camphor $$ 1,7,7-Trimethyl norcamphor $$ 1,7,7-Trimethylbicyc lo[2.2.1]-2-hepta

4 10.46 0.37 C:\Database\wiley7n.l Borneol 53177 010385-78-1 94 BORNEOL L 53282 000464-45-9 93 Bicyclo[2.2.1]heptan-2-ol, 1,7,7-t 53090 000464-45-9 91 rimethyl-, (1S-endo)- $$ Borneol, (1S,2R,4S)-(-)- $$ (-)-Borneol $$ L-borneol $$ Linderol $$ Ngai camp hor $$ ((1S)-endo)-(-)-Borneol $$ l-2-Bornanol $$ 1-Bornyl alcohol $ $ l-2-Camphanol $$ (-)-(1S,4S)-Bor neol

21

Lampiran 6 Aktivitas antioksidasi minyak atsiri temulawak

Aktivitas antioksidasi minyak atsiri temulawak waktu panen pagi

sampel Konsentrasi

(µg/ml)

A 1 A 2 A 3 Rata-Rata %Inhibisi

kontrol 0,323 0,325 0,314 0,320667

C1 1,6 0,311 0,32 0,322 0,317667 0,935551

C2 3,3 0,306 0,317 0,316 0,313 2,390852

C3 6,7 0,304 0,315 0,315 0,311333 2,910603

C4 10 0,304 0,314 0,314 0,310667 3,118503

C5 13,3 0,29 0,307 0,313 0,303333 5,405405

C6 16,7 0,274 0,305 0,311 0,296667 7,484407

Contoh perhitungan:

% daya hambat P1 = absorban kontrol – absorban ekstrak x 100%

absorban kontrol

= 0,320667– 0,317667x 100%

0,320667

= 0,935551%

IC50: y = 2.312 ln(x) – 0.635

50 = 2.312 ln(x) – 0.635

x = 3.24x109 ppm

y = 2,312ln(x) - 0,635

R² = 0,778

0

1

2

3

4

5

6

7

8

0 5 10 15 20

% D

ay

a H

am

ba

t

Konsentrasi

22

Aktivitas antioksidasi minyak atsiri temulawak waktu panen sore

sampel Konsentrasi

(µg/ml)

A 1 A 2 A 3 Rata-Rata %Inhibisi

kontrol 0,32 0,322 0,323 0,321667

C1 1,6 0,319 0,32 0,315 0,318 1,139896

C2 3,3 0,318 0,317 0,316 0,317 1,450777

C3 6,7 0,316 0,314 0,316 0,315333 1,968912

C4 10 0,315 0,305 0,311 0,310333 3,523316

C5 13,3 0,313 0,305 0,31 0,309333 3,834197

C6 16,7 0,308 0,305 0,3 0,304333 5,388601

Contoh perhitungan:

% daya hambat P1 = absorban kontrol – absorban ekstrak x 100%

absorban kontrol

= 0,321667– 0,318x 100%

0,321667

= 1,139896%

IC50: y = 1.671 ln(x) – 0.255

50 = 1.671 ln(x) – 0.255

x = 1.15x1013 ppm

y = 1,671ln(x) - 0,255

R² = 0,829

0

1

2

3

4

5

6

0 5 10 15 20

% D

ay

a H

am

ba

t

Konsentrasi

23

Lampiran 7 Aktivitas antioksidasi vitamin C

sampel Konsentrasi

(µg/ml)

A 1 A 2 A 3 Rata-Rata %Inhibisi

kontrol 0,325 0,319 0,309 0,317667

C1 1,6 0,242 0,291 0,262 0,265 16,57922

C2 3,3 0,24 0,24 0,234 0,238 25,0787

C3 6,7 0,221 0,215 0,202 0,212667 33,05352

C4 10 0,191 0,177 0,175 0,181 43,02204

C5 13,3 0,149 0,126 0,132 0,135667 57,29276

C6 16,7 0,103 0,092 0,091 0,095333 69,98951

Contoh perhitungan:

% daya hambat c1 = absorban kontrol – absorban ekstrak x 100%

absorban kontrol

= 0,317667– 0,265 x 100%

0,317667

= 1,003135%

IC50: y = 21.09 ln(x) – 1.200

50 = 21.09 ln(x) – 1.200

x = 10.11 ppm

y = 21,09ln(x) + 1,200

R² = 0,883

0

10

20

30

40

50

60

70

80

0 5 10 15 20

% D

ay

a H

am

ba

t

Konsentrasi

24

Lampiran 8 Analisis statistik

• Rendemen minyak atsiri temulawak

SUMMARY

Groups Count Sum Average Variance

pagi 3 11,391 3,797 0,131575

sore 3 6,289 2,096333 0,04154

ANOVA

Source of Variation SS df MS F P-value F crit

Between Groups 4,338401 1 4,338401 50,12151 0,002101 7,708647

Within Groups 0,346231 4 0,086558

Total 4,684631 5

Nilai F hitung lebih besar daripada nilai F tabel. Dengan demikian kesimpulan

yang didapat adalah rata-rata rendemen minyak atsiri untuk kedua waktu panen

adalah berbeda secara signifikan.

• Senyawa penyusun minyak atsiri temulawak

α-curcumene

SUMMARY

Groups Count Sum Average Variance

pagi 3 54,58 18,19333 1,990433

sore 3 57,3 19,1 2,6173

ANOVA

Source of

Variation SS df MS F P-value F crit

Between Groups 1,233067 1 1,233067 0,535216 0,504974 7,708647

Within Groups 9,215467 4 2,303867

Total 10,44853 5

Nilai F hitung lebih kecil daripada nilai F tabel. Dengan demikian kesimpulan

yang didapat adalah rata-rata kandungan α-curcumene dalam minyak atsiri untuk

kedua waktu panen adalah tidak berbeda secara signifikan.

α-cedrene

SUMMARY

Groups Count Sum Average Variance

pagi 3 80,62 26,87333 0,483233

sore 3 77,07 25,69 4,7089

25

ANOVA

Source of

Variation SS df MS F P-value F crit

Between Groups 2,10042 1 2,100417 0,809077 0,419248 7,708647

Within Groups 10,3843 4 2,596067

Total 12,4847 5

Nilai F hitung lebih kecil daripada nilai F tabel. Dengan demikian kesimpulan

yang didapat adalah rata-rata kandungan α-cedrene dalam minyak atsiri untuk

kedua waktu panen adalah tidak berbeda secara signifikan.

Xanthorrhizol

SUMMARY

Groups Count Sum Average Variance

pagi 3 62,49 20,83 22,4629

sore 3 71,88 23,96 41,6748

ANOVA

Source of Variation SS df MS F P-value F crit

Between Groups 14,6954 1 14,69535 0,458244 0,535574 7,708647

Within Groups 128,275 4 32,06885

Total 142,971 5

Nilai F hitung lebih kecil daripada nilai F tabel. Dengan demikian kesimpulan

yang didapat adalah rata-rata kandungan xanthorrhizol dalam minyak atsiri untuk

kedua waktu panen adalah tidak berbeda secara signifikan.

• Aktivitas antioksidasi

Anova: Two-Factor Without Replication

SUMMARY Count Sum Average Variance

1 2 2,075447 1,037724 0,020878

2 2 3,841629 1,920815 0,441871

3 2 4,879515 2,439758 0,443391

4 2 6,641819 3,32091 0,081937

5 2 9,239602 4,619801 1,234347

6 2 12,87301 6,436504 2,196201

pagi 6 22,24532 3,707554 5,509427

sore 6 17,3057 2,884283 2,703608

26

ANOVA

Source of

Variation SS df MS F P-value F crit

Rows 38,67987 5 7,735974 16,21591 0,004146 5,050329

Columns 2,033322 1 2,033322 4,262188 0,093893 6,607891

Error 2,385303 5 0,477061

Total 43,09849 11

Berdasarkan perhitungan nilai F hitung untuk nomor konsentrasi (baris) diperoleh

nilai F yang lebih besar dibanding nilai F tabel. Dapat diambil keputusan bahwa

konsentrasi memberikan pengaruh yang berbeda. Sedangkan hasil nilai F hitung

untuk masing-masing perlakuan (kolom) lebih kecil dibandingkan nilai F tabel.

Dapat diambil kesimpulan bahwa aktivitas antioksidasi dari masing-masing

perlakuan adalah sama.

27

Lampiran 9 Dokumentasi penelitian

Distilasi sampel Temulawak

GC-MS Agilent 6890N

Uji antioksidan metode DPPH menggunakan microplate reader

Microplate reader BIO RAD 680XR