Fze-Goosebumps - 26 Rambut Setan
description
Transcript of Fze-Goosebumps - 26 Rambut Setan
RAMBUT SETAN
Ebook by Raynold
1
AKU tidak habis pikir kenapa begitu banyak anjing liar di kotaku.
Dan aku lebih heran lagi kenapa harus aku yang mereka incar?
Jangan-jangan mereka sembunyi di balik semak-semak sambil memperhatikan orang-
orang yang lewat. Lalu mereka saling berbisik, "Kau lihat anak berambut pirang itu?
Itu Larry Boyd-ayo, kita kejar dia."
Aku berlari sekencang mungkin. Tapi tidak mudah untuk berlari kencang sambil
membawa kotak gitar. Kotak itu membentur-bentur kakiku.
Dan aku juga terpeleset-peleset di salju.
Kawanan anjing itu semakin dekat. Semua melolong dan menyalak menakut-
nakutiku.
Hmm, usaha kalian memang berhasil! pikirku. Aku ngeri. Ngeri setengah mati!
Kata orang sih, anjing bisa tahu kalau kita takut. Tapi biasanya aku tidak takut anjing.
Sebenarnya, aku justru senang anjing.
Aku cuma takut kalau ada segerombolan anjing yang berlari mengejarku sambil
meneteskan air liur, seakan-akan hendak menerkam dan mengoyak-ngoyakku. Seperti
sekarang.
Tergopoh-gopoh aku berusaha menyelamatkan diri, dan nyaris jatuh ke gundukan
salju setinggi lutut. Aku menengok ke belakang. Anjing-anjing itu terus mendekat.
Ini tidak adil! pikirku dengan getir. Mereka berkaki empat, sedangkan aku cuma
punya dua!
Seperti biasa gerombolan itu dipimpin anjing hitam besar dengan mata hitam
beringas. Dia menyeringai, dan' giginya yang tajam dan runcing kelihatan jelas.
"Pulang! Ayo pulang! Anjing-anjing nakal! Pulang!"
Percuma saja aku berteriak-teriak. Mau pulang ke mana mereka? Mereka tidak punya
rumah!
"Pulang! Ayo pulang!"
Sepatu botku tergelincir di salju, dan gitarku yang berat nyaris membuatku terjatuh.
Tapi entah bagaimana aku berhasil menjaga keseimbangan dan terus melangkah maju.
Jantungku berdegup-degup. Tubuhku serasa terbakar, padahal suhu udara saat itu
beberapa derajat di bawah nol.
Salju di sekelilingku begitu putih sehingga aku terpaksa memicingkan mata supaya
tidak silau. Aku berusaha menambah kecepatan, tapi otot-otot kakiku sudah mulai
kram. '
Tamatlah riwayatku! pikirku pasrah.
"Aduh!" Kotak gitar yang berat membentur pinggangku.
Aku melirik ke belakang. Anjing-anjing itu melompat-lompat seakan-akan tak kenal
lelah. Semua melolong dan menggonggong sambil mengejar.
Semakin dekat. Semakin dekat.
"Pulang! Anjing-anjing nakal! Bandel! Pulang!"
Kenapa harus aku?
Aku anak baik. Sungguh. Silakan tanya siapa saja. Mereka pasti akan bilang-Larry
Boyd, anak dua belas tahun paling ramah di kota ini!
Jadi kenapa arus aku yang dikejar-kejar?
Terakhir kali aku menyelamatkan diri dengan melompat ke mobil yang diparkir di,
pinggir jalan dan menutup pintunya, persis waktu mereka menerkam. Tapi kali ini
gerombolan anjing itu sudah terlalu dekat. Dan semua mobil di sepanjang jalan
tertutup salju. Sebelum aku sempat membuka pintu salah satu mobil, aku pasti sudah
jadi santapan mereka!
Jarak ke rumah Lily tinggal setengah blok. Rumahnya sudah kelihatan di pojok di
seberang jalan. Itu satu-satunya kesempatanku.
Kalau saja aku bisa sampai ke rumah Lily aku bisa-"ADUUUH!" '
Kakiku tersandung pada batu kecil yang tersembunyi di bawah salju. Kotak gitarku
terlepas dari tanganku dan terpental.
Aku terjerembab.
"Tamatlah riwayatku," aku mengerang. "Kali ini aku takkan lolos."
2
SEMUANYA jadi putih.
Dengan susah payah aku berusaha bangkit. Terburu-buru kutepis salju yang
menempel di wajahku.
Anjing-aing itu menyalak garang.
"Hus! Pergi! Ayo pergi!" Suara lain. Suara yang sangat kukenal. "Pergi, kubilang!
Ayo pergi!"
Suara anjing-anjing itu bertambah pelan.
Kutepis salju lembab yang menutupi mataku.
"Lily!" aku berseru dengan gembira. "Kok kau ada di sini?"
Dia mengayunkan sekop salju yang berat ke arah anjing-anjing itu. "Hus! Pergi!
Ayo!"
Anjing-anjing yang semula masih menggeram kini merintih-rintih tertahan. Satu per
satu mereka mulai mundur. Anjing hitam raksasa dengan mata hitam pun
menundukkan kepala dan membalik.
Yang lain mengikutinya.
"Lily-mereka tunduk padamu!" aku kembali berseru dengan lega. Pelan-pelan aku
berdiri dan menepis-nepis salju dari jaket biruku.
"Tentu saja," sahut Lily sambil nyengir. "Masa kau tidak tahu kalau aku paling
ditakuti di daerah sini, Larry? Semuanya tunduk padaku."
Sebenarnya penampilan Lily Vonn sama sekali tidak menakutkan. Umurnya dua
belas, sama seperti aku, tapi tampangnya masih seperti anak kecil. Dia pendek dan
kurus dan, ehm... lumayan manis. Rambutnya yang pirang dipotong sebatas dagu dan
dibiarkan menutupi keningnya.
Yang aneh pada Lily adalah matanya. Yang satu biru, yang satu lagi hijau. Tak ada
yang percaya bahwa kedua matanya berbeda warna sampai mereka melihatnya
sendiri. ,
Kutepis salju yang menempel di mantel dan lutut celana jeans-ku. Lily mengulurkan
kotak gitarku. "Moga-moga tahan air," gumamnya.
Aku menoleh ke jalan. Anjing-anjing itu kembali menyalak-nyalak sambil mengejar
seekor tupai.
"Aku melihatmu dari jendela kamarku tadi," Lily berkata ketika kami menuju
rumahnya. "Kenapa sih kau selalu dikejar anjing?"
Aku angkat bahu. "Mana aku tahu?" sahutku. "Aku sendiri heran." Salju yang
menutupi trotoar bekersik-kersik di bawah sepatu bot kami. Lily berjalan di depan.
Aku menapakkan kaki pada jejak yang ditinggalkannya.
Kami menunggu sebuah mobil melintas, lalu menyeberang dan memasuki pekarangan
rumah Lily.
"Kenapa kau telat?" tanya Lily.
"Aku disuruh ayahku membersihkan salju di depan garasi," jawabku. Tudung jaketku
rupanya kemasukan salju, yang sekarang terasa mengalir di tengkukku. Aku
menggigil. Aku sudah tidak sabar masuk ke rumah Lily yang hangat.
Yang lain ternyata sudah berkumpul di ruang tamu Lily. Aku melambaikan tangan
kepada Manny, Jared, dan Kristina. Manny sedang berlutut dan mengotak-atik
amplifier gitarnya. Sekonyong-konyong gitarnya mengeluarkan suara melengking
yang membuat kami semua tersentak kaget.
Manny jangkung; - kurus, dan bertampang agak bloon, dengan senyum yang menceng
dan rambut hitam ikal yang lalu berkesan acak-acakan. Jared juga berumur dua
belas seperti yang lain, tapi tampangnya seperti anak delapan tahun. Rasanya kami
semua belum pernah melihat dia tanpa topi Raiders-nya yang berwarna hitam dan
perak. Kristina agak gendut. Rambutnya keriting dan merah seperti wortel. Dia
memakai kacamata dengan bingkai plastik berwarna biru.
Kubuka mantelku yang basah kemudian kugantungkan pada gantungan di dekat pintu
masuk.
Rumah Lily terasa hangat dan nyaman. Kurapikan sweterku lalu bergabung dengan
yang lain.
Manny menoleh dan tertawa keras-keras. "Hei, lihat tuh-rambut Larry berantakan!
Cepat, foto dia!"
Semua tertawa.
Mereka selalu berkomentar tentang rambutku. Padahal bukan salahku kalau rambutku
memang bagus, ya, kan? Rambutku panjang, pirang dan berombak.
"Hairy Larry!" Lily berseru.
Ketiga temanku yang lain tertawa lalu ikut bersenandung. "Hairy Larry! Hairy Larry!
Hairy Larry!"
Aku langsung merengut dan menyibakkan rambut. Mukaku mendadak terasa panas.
Aku paling tidak suka diolok-olok. Aku selalu kesal, dan mukaku selalu memerah
karenanya. Mungkin justru karena itu, Lily dan yang lain begitu getol mengolok-
olokku. Ada saja ide mereka. Kalau bukan soal rambutku, ya soal telingaku yang
besar, atau soal apa saja yang kebetulan terlintas dalam benak mereka.
Dan aku selalu kesal. Dan mukaku selalu merah. Dan mereka semakin menjadi-jadi.
"Hairy Larry! Hairy Larry! Hairy Larry!"
Huh, dasar!
Sebenarnya sih, aku senang berteman dengan mereka. Rasanya kami tidak pernah
bosan kalau sedang bersama-sama. Kami berlima juga membentuk band. Minggu ini
namanya The Geeks. Minggu lalu, kami pakai nama The Spirit. Band kami memang
sering berganti-ganti nama.
Lily punya keping emas yang dipasangnya sebagai liontin pada kalung emas. Keping
itu pemberian kakeknya, dan kakeknya bilang, keping emas itu hasil jarahan bajak
laut.
Lily pernah mengusulkan nama Pirate Gold untuk band kami. Tapi menurutku nama
itu kurang keren. Dan Manny, Jared, dan Kristina sependapat denganku.
Nama band kami - The Geeks - jauh lebih keren dibandingkan Howie and the
Shouters. Itu nama band yang bakal jadi lawan kami dalam kontes Battle of the Bands
di sekolah.
Sampai sekarang kami masih heran bahwa Howie Hurwin nekat memakai namanya
sendiri untuk bandnya itu! Dia cuma pemain drum. Penyanyinya adalah Marissa, adik
perempuannya yang sok "Kenapa nama band-mu bukan Marissa and the Shouters?"
aku sempat bertanya padanya.
"Soalnya jarang ada kata yang bunyinya mirip Marissa," jawab Howie.
"Hah? Memangnya ada kata yang bunyinya mirip Howie?" tanyaku heran.
"Ada, Zowie!" sahutnya. Lalu dia tertawa dan mengacak-acak rambutku.
Dasar konyol.
Howie dan adiknya tidak disukai di sekolah.
Dan The Geeks sudah tidak sabar untuk menyapu the Shouters dari panggung.
“Sayang sekali kita tidak punya pemain bas," Jared mengeluh ketika kami menyetem
alat-alat.
"Juga pemain saksofon atau trompet," Kristina menambahkan sambil mengeluarkan
beberapa pick gitar berwarna pink dari kotak gitarnya.
"Ah, begini juga sudah bagus kok," Manny berkomentar. Dia masih berlutut dan
mengotak-atik kabel dari gitar ke amplifier. "Suara tiga gitar benar-benar mantap.
Apalagi kalau kita pakai fuzztone yang disetel sampai mentok"
Kristina, Manny, dan aku sama-sama main gitar. Lily penyanyi. Dan Jared pegang
keyboard. Keyboard-nya dilengkapi drum synthesizer dengan sepuluh irama berbeda.
Jadi bisa dibilang kami Juga punya pemain drum.
Begitu amplifier Manny siap dipakai, kami mencoba membawakan lagu Rolling
Stones. Tapi Jared tidak berhasil menemukan irama drum yang cocok pada
syntheslzer-nya, sehingga kami terpaksa bermain tanpa iringan drum.
Begitu lagunya selesai aku segera berseru "Ayo kita coba lagi!"
Yanglain langsung menggerutu, "Larry, tadi sudah bagus, kok!" Lily berkomentar.
"Kenapa mesti diulang lagi?"
“Gitar pengiringnya belum pas," kataku.
“Kau yang belum pas!" balas Manny sambil mengerutkan muka.
"Larry maunya memang serba sempurna, Manny," ujar Kristina. Masa kau lupa sih?"
“Mana mungkin aku lupa?" Manny menyahut dengan kesal. Mana pernah sih kita bisa
memainkan lagu sampai selesai? Dia selalu menyuruh kita mulai dari awal sebelum
lagunya habis!"
Aku tersipu-sipu. "Aku cuma ingin hasil yang terbaik,” aku membela diri.
Oke. Oke. Aku memang selalu menuntut kesempurnaan. Tapi apakah itu salah?
"Kontes di sekolah tinggal dua minggu lagi," kataku. “Jangan sampai penampilan kita
memalukan kalau kita sudah di atas panggung."
Aku paling tidak tahan malu. Perasaan itu aku benci lebih dari apa pun juga di seluruh
dunia. Bahkan lebih dari brokoli rebus!
Kami mulai bermain lagi. Jared menekan tombol saksofon pada keyboard-nya, dan
seketika kami seakan-akan punya pemain saksofon. Solo gitar pertama dimainkan
oleh Manny, solo kedua olehku. Satu chord yang kumainkan terasa kurang sreg di
telingaku, dan sebenarnya aku ingin mulai dari awal lagi. Tapi aku tahu mereka akan
menggantungku kalau latihannya kuhentikan lagi. Jadi aku terus bermain.
Suara Lily sempat pecah ketika dia mengambil nada tinggi. Tapi suaranya begitu
merdu dan manis, sehingga kesalahannya tidak terlalu berpengaruh.
Hampir dua jam kami bermain tanpa berhenti.
Permainan kami bagus juga. Dan setiap kali Jared menemukan irama drum yang pas,
lagu yang kami mainkan terdengar benar-benar bagus.
Setelah menyimpan instrumen masing-masing, Lily mengusulkan untuk keluar dan
bermain salju. Matahari sore masih tinggi di langit yang biru cerah. Lapisan salju
yang tebal tampak berkilau-kilau dalam cahaya matahari yang keemasan.
Kami berkejar-kejaran mengelilingi semak-semak di pekarangan depan rumah Lily.
Manny menumbuk topi Raiders di kepala Jared dengan bola salju yang besar dan
basah. Ulahnya itu segera memicu perang bola salju yang berlangsung sampai kami
semua kehabisan napas dan terlalu capek tertawa untuk bisa meneruskannya.
"Kita bikin orang-orangan salju, yuk?" Lily mengusulkan.
"Ya, kita bikin yang mirip dengan Larry," Kristina menambahkan. Kacamatanya yang
berbingkai biru sepenuhnya tertutup embun.
"Mana ada orang-orangan salju berambut pirang?" sahut Lily.
"Jangan macam-macam deh," aku bergumam.
Mereka mulai membuat bola-bola salju besar untuk badan si orang-orangan salju.
Jared mendorong Manny hingga terjerembab ke atas salah satu bola salju dan
mencoba menggulungnya. Tapi Manny terlalu berat, dan bola salju itu langsung
remuk.
Sementara mereka asyik membuat orang-orangan salju, aku menuju jalanan. Di
trotoar depan rumah sebelah ada sesuatu yang menarik perhatianku, barang-barang
bekas yang menumpuk di samping tong sampah.
Aku melirik ke rumah tetangga Lily. Sepertinya rumah itu sedang direnovasi.
Barang-barang bekas yang kulihat sengaja ditaruh di trotoar supaya diangkut truk
sampah.
Aku membungkuk dan mulai mengamati semuanya. Aku memang suka barang-
barang bekas. Setiap kali ada tumpukan barang bekas, mau tak mau aku harus
membongkarnya.
Sambil membungkuk aku menggeser beberapa potong keramik dinding serta
gumpalan plastik yang semula merupakan tirai kamar mandi. Di bawah karpet bulu
yang kecil dan berbentuk bundar, aku menemukan lemari obat berwarna putih.
"Wow! Asyik!" gumamku.
Lemari itu langsung kuangkat, lalu kubuka. Di dalamnya ada sejumlah botol dan
tabung plastik.
Perhatianku segera tertuju pada sebuah botol berwarna jingga. "Hei!" aku berseru
pada teman-temanku. "Coba lihat apa yang kutemukan!"
3
BOTOL jingga itu segera kubawa ke pekarangan rumah Lily. "Hei-lihat nih!" aku
berseru sambil mengacungkan botol tersebut.
Tak ada yang menghiraukanku. Manny dan Jared sedang sibuk mengangkat bola salju
besar ke atas bola salju yang satu lagi untuk membuat badan orang-orangan salju. Lily
asyik memberi semangat pada mereka. Dan Kristina sedang membersihkan salju dari
kacamatanya.
"Hei, Larry-apa itu?" Kristina akhirnya bertanya sambil memasang kembali
kacamatanya. Yang lain menoleh dan melihat botol di tanganku.
Aku membacakan labelnya untuk mereka.
"INSTA-TAN. Kulit cokelat dalam sekejap."
"Asyik juga!" seru Manny. "Ayo, kita coba saja."
"Kau dapat dari mana?" tanya Lily. Pipinya tampak merah karena udara yang dingin.
Butir-butir salju menempel di rambutnya.
Aku menunjuk ke tong sampah di trotoar. "Dari sebelah. Botol ini masih penuh,"
ujarku.
"Kita coba saja!" Manny mengulangi sambil mengembangkan senyumnya yang tinggi
sebelah.
"Yeah. Dan senin besok kita semua masuk sekolah dengan kulit cokelat seperti habis
berjemur!" Kristina mendukungnya. "Miss shindling pasti terbengong-bengong. Kita
bilang saja kita habis dari Florida."
"Jangan! Dari Bahama saja!" Lily menimpali. "Kita bilang pada Howie Hurwin
bahwa The Geeks pergi ke Bahama untuk berlatih!"
Semua tertawa.
"Memangnya obat ini manjur?" tanya Jared. Dia menatap botol di tanganku sambil
membetulkan letak topinya.
"Pasti dong," ujar Lily. "Takkan ada yang mau beli obat ini kalau tidak manjur!” Dia
merampas botol itu dari tanganku. "Wow, masih penuh. Kita semua bisa berkulit
cokelat. Ayo dong. Tunggu apa lagi. Bakal asyik, nih!"
Kami kembali masuk ke dalam rumah. Salju di tanah bergemerisik ketika diinjak,
sementara napas kami mengepul-ngepul di udara.
Aku membuka jaket dan melemparnya ke tumpukan jaket yang lain. Tapi ketika kami
menuju ke ruang tamu, aku mulai diliputi perasaan ragu. Bagaimana bila obat ini
tidak manjur? aku bertanya dalam hati. Bagaimana kalau kulit kita bukannya cokelat,
tapi malah kuning atau hijau nanti?
Di mana wajahku harus kutaruh kalau aku sampai terpaksa masuk sekolah dengan
kulit berwarna hijau terang? Aku takkan tahan. Aku pasti akan terus bersembunyi di
dalam rumah-di dalam lemari pakaian-kalau perlu berbulan-bulan, sampai warna itu
akhirnya luntur.
Tapi sepertinya teman-temanku tenang-tenang saja.
Kami berdesak-desakan di kamar mandi. Botol INSTA-TAN itu masih di tangan
Lily. Dia membukanya dan segera menuangkan cairan kental berwarna putih dari
dalam botol.
"Mmmmmm. Baunya enak," ujar Lily sambil mendekatkan tangan ke wajah. "Baunya
manis sekali."
Dia mulai menggosokkannya ke tengkuk, lalu ke pipi, lalu ke kening. Kemudian dia
kembali menuangkan cairan itu dan mengusap-usapkannya ke punggung tangan.
Setelah itu giliran Manny. Tanpa ragu-ragu dia mengoleskan obat itu ke seluruh
wajahnya.
"Rasanya sejuk dan lembut," Kristina melaporkan setelah mencobanya, disusul Jared,
yang nyaris menghabiskan seluruh isi botol untuk wajah dan tengkuknya.
Akhirnya tibalah giliranku. Aku meraih botol itu dan mulai memiringkannya.
Tiba-tiba aku berhenti. Yang lain memperhatikanku sambil -mengerutkan kening.
sepertinya mereka berharap aku segera mengikuti contoh mereka.
Tapi aku malah menegakkan botol itu dan membaca tulisan kecil pada labelnya.
Dan apa yang kubaca membuatku memekik tertahan.
4
"ADA apa sih, Larry?" Lily bertanya dengan nada tidak sabar. "Tuangkan saja, lalu
gosok-gosokkan ke kulitmu."
"Ta-ta-tapi-" aku tergagap-gagap.
"Eh, kulitku sudah tambah gelap, belum?" tanya Kristina pada Lily. "Hasilnya sudah
mulai kelihatan?"
"Belum," jawab Lily. Dia kembali berpaling padaku. "Ada apa sih, Larry?" dia.
bertanya sekali lagi.
"La-labelnya," ujarku. "Di sini tertulis, 'Jangan digunakan setelah Februari 1991'."
Semua tertawa. suara tawa mereka memantul pada dinding-dinding kamar mandi.
"Memangnya kenapa kalau krim ini sudah agak tua?" Lily berkata sambil
menggelengkan kepala.
"Tenang saja deh. Kulitmu tak bakal mengelupas!"
“Jangan macam-macam deh," Manny menimpali.
Dia meraih botol itu dan memiringkannya ke telapak tanganku. "Ayo, tuang saja.
Yang lain sudah kebagian semua, Larry. sekarang giliranmu."
"sepertinya kulitku sudah mulai cokelat," Kristina angkat bicara. Dia dan Jared
sedang asyik berkaca pada cermin di atas tempat cuci tangan.
"Ayo dong, Larry," Lily mendesak. "Tanggal di label itu tidak berarti apa-apa." Dia
mendorong lenganku. "Pakai saja. Takut apa sih kau?"
Semua memandang ke arahku. Mukaku mendadak terasa panas, dan aku tahu aku
tersipu-sipu. Aku tidak mau dianggap pengecut. Aku tidak mau jadi satu-satunya
orang yang tidak kompak.
Jadi kubalikkan botolnya dan kutuangkan isinya yang kental dan lengket ke telapak
tanganku. Muka, tengkuk, punggung tangan-semuanya kugosok-gosok. Cairan itu
terasa sejuk dan lembut. Dan baunya memang agak manis, persis seperti after-shave
ayahku.
Teman-temanku langsung bersorak-sorai. "Nah, begitu dong, Larry!" mereka berseru.
Jared menepuk punggungku begitu keras, sehingga botol INSTA-TAN yang sudah
kosong itu nyaris terlepas dari tanganku.
Kami saling mendorong dan mendesak untuk berebut tempat yang pas di depan
cermin. Manny mendorong Jared dengan keras, sehingga Jared terjatuh ke shower.
"Berapa lama sih sampai terlihat hasilnya?" tanya Kristina. Cahaya terang dari lampu
di langit-langit memantul pada kacamatanya ketika dia menatap bayangannya di
cermin.
"Huh, belum ada perubahan," Lily mengeluh kecewa.
Aku kembali membaca label pada botol jingga itu. "Hmm, seharusnya kulit kita jadi
cokelat dalam sekejap," aku melaporkan. Aku menggelengkan kepala. "Apa kubilang?
Obat ini sudah kedaluwarsa. Seharusnya kita jangan-"
Kalimatku terpotong oleh jeritan Manny. Kami menoleh dan melihatnya
membelalakkan mata dengan ngeri.
"Mukaku!" Manny memekik. "Mukaku mengelupas!"
Dia menengadahkan tangan di depan dada. Kedua-duanya gemetaran. Dan kemudian
aku menyadari dia memegang sepotong kulitnya sendiri!
5
"OHHH," aku mengerang tertahan.
Yang lain pun menatap tangan Manny dengan mata terbelalak ngeri.
"Kulitku!" dia merintih. "Kulitku!"
Tiba-tiba dia nyengir lebar, lalu tertawa terbahak-bahak.
Dia mengangkat tangannya, dan aku sadar bahwa yang dipegangnya ternyata bukan
kulit, melainkan sepotong tisu yang basah.
sambil terpingkal-pingkal Manny membiarkan tisu itu jatuh ke lantai kamar mandi.
"Dasar brengsek!" seru Lily gusar.
Kami semua bersorak-sorai dan mendorong-dorong Manny. Dia kami dorong ke
bawah shower.
Lily langsung meraih kenop untuk menyalakan air.
"Hei-jangan dong!" Manny memohon. Sambil tertawa dia meronta-ronta untuk
membebaskan diri. "Tolong! Aku cuma bercanda!"
Lily berubah pikiran dan mundur sambil berbaris meninggalkan kamar mandi, kami
semua melirik ke cermin.
Tak ada perubahan. Kulit kami tetap pucat seperti semula. Obat itu ternyata tidak
manjur.
Kami meraih mantel masing-masing dan bergegas ke pekarangan untuk
menyelesaikan orang-orangan salju. Botol INSTA-TAN yang sudah kosong kubawa
juga, lalu kulemparkan ke salju ketika Lily dan Kristina mulai membuat bola salju
untuk bagian kepala. Kemudian mereka menaruhnya pada badan si orang-orangan
salju.
Aku menemukan dua batu gelap untuk matanya. Manny menyambar topi Raiders
milik Jared dan memasangnya di kepala si orang-orangan salju. Kelihatannya cukup
bagus, tapi Jared segera meraih kembali topinya.
"Dia mirip kau, Manny," ujar Jared. "Cuma tampangnya lebih pintar."
Kami semua tertawa.
Angin kencang berembus dari sisi rumah dan menjatuhkan kepala si orang-orangan
salju. Kepala itu membentur tanah dan langsung pecah berantakan.
"sekarang benar-benar mirip kau!" Jared berkata kepada Manny.
"Hei, tangkap!" seru Manny. Ia meraih segenggam salju dan melemparkannya ke arah
Jared.
Jared berusaha mengelak, namun terlambat. Serta-merta ia membungkuk, meraup
salju lebih banyak lagi, dan menuangkannya ke kepala Manny.
Perbuatannya langsung memicu pertempuran bola salju yang seru di antara kami
berlima. Lily dan aku lawan Manny, Jared, dan Kristina.
Mula-mula Lily dan aku masih bisa bertahan.
Lily adalah pembuat bola salju tercepat yang pernah kulihat. Aku baru membuat satu
bola salju, dia sudah membuat dan melempar dua buah.
Pertempuran kami berkembang menjadi perang habis-habisan. Kami bahkan tidak
mau repot-repot membuat bola salju. Kami sekadar meraup salju sebanyak-banyaknya
untuk dituang ke kepala lawan. Kemudian kami mulai berguling-guling di salju.
setelah itu kami pindah ke pekarangan sebelah, di mana saljunya masih banyak-dan
mulai dengan pertempuran berikut.
Wah, pokoknya asyik banget deh! Kami tertawa-tawa dan bersorak-sorai. semua
terengah-engah dan kepanasan, padahal anginnya dingin sekali.
Dan kemudian, tiba-tiba saja, aku merasa mual.
Aku jatuh berlutut sambil menelan ludah. salju di sekelilingku mendadak terang
benderang. Terlalu terang. Tanah di bawahku seakan-akan oleng dan bergoyang.
Aku benar-benar mual.
Hei, ada apa ini? aku bertanya dalam hati.
6.
DR. MURKIN meraih alat suntik berjarum panjang yang berkilau-kilau. Di ujung
jarumnya ada setetes cairan hijau.
"Tarik napas dalam-dalam lalu tahan, Larry," Dr. Murkin berkata. dengan suaranya
yang pelan. "Ini takkan terasa."
Dia selalu bilang begitu setiap kali aku mengunjunginya. Aku tahu dia bohong. Yang
namanya disuntik, ya pasti sakit. .Aku disuntik dua minggu sekali, dan selalu
kesakitan.
Dia meraih lenganku, lalu membungkuk, sehingga aku bisa mencium napasnya yang
berbau peppermint. '
Aku menarik napas dalam-dalam kemudian memalingkan muka. Aku tidak tahan
melihat jarum yang panjang itu masuk ke lenganku.
" Aduh!" aku memekik pelan ketika jarumnya menembus kulitku.
Genggaman Dr. Murkin bertambah kencang. "Nah, tidak apa-apa, kan?" tanyanya.
suaranya begitu pelan sehingga nyaris tak terdengar.
Aku, menggelengkan kepala.
Kemudian aku melirik ke arah ibuku. Dia sedang menggigit bibir, dan wajahnya
berkerut-kerut karena cemas, seakan-akan dia yang disuntik!
Akhirnya kurasakan jarumnya dicabut. Dr. Murkin mengusap-usap kulitku dengan
kapas yang dibasahi alkohol. "Nah, sudah selesai," dia berkata sambil menepuk
punggungku yang telanjang. "silakan pakai baju lagi."
Dia berbalik dan tersenyum menenangkan ibuku. Wajah Dr. Murkin sangat
berwibawa. Aku rasa usianya sekitar lima puluhan. Rambutnya yang putih disisir
lurus ke belakang. Senyumnya hangat, dan matanya yang biru tampak ramah di balik
kacamatanya yang berbingkai persegi.
Walaupun dia berbohong dengan mengatakan suntikannya tidak sakit, bagiku dia
dokter yang baik, dan aku suka sekali padanya. Dia selalu membuatku merasa lebih
enak.
"Masalah kelenjar keringat seperti biasa," dia memberi tahu ibuku sambil mencatat
sesuatu dalam fileku. "suhu badannya meningkat terlalu tinggi. Dan kita tahu itu tidak
baik-ya, kan, Larry?"
Aku bergumam tak jelas.
Aku memang punya masalah dengan kelenjar keringatku. Kelenjar-kelenjarku tidak
berfungsi dengan baik. Maksudnya, aku tidak bisa berkeringat.
Jadi, kalau suhu badanku meningkat terlalu tinggi, aku langsung mual.
Karena itulah aku harus mengunjungi Dr. Murkin setiap dua minggu. Dia memberiku
suntikan yang membuatku merasa lebih enak.
Perang bola salju memang mengasyikkan. Tapi di tengah salju dan angin yang dingin,
aku sama sekali tidak sadar bahwa suhu badanku naik.
Itulah sebabnya aku jadi tidak enak badan.
"Bagaimana? Sudah lebih enak sekarang?" ibuku bertanya ketika kami meninggalkan
ruang praktek.
Aku mengangguk. "Yeah. Aku sudah tidak apa-apa sekarang." Aku berhenti di pintu
dan berbalik menghadapnya. "Mom, apakah aku kelihatan lain?"
"Hah?" Dia memicingkan matanya yang gelap.
"Lain? Lain bagaimana?"
"Barangkali kulitku kelihatan agak kecokelatan?"
Matanya mengamati wajahku. "Mom agak menguatirkanmu, Larry," dia berkata
dengan serius.
"Nanti kalau kita sudah sampai di rumah, kau harus tidur siang sebentar. Oke?"
sepertinya itu berarti kulitku belum berubah warna.
Dari pertama aku sudah tahu INSTA-TAN takkan bekerja. Botolnya sudah terlalu
lama. Waktu masih baru pun belum tentu manjur.
"Mom kira sulit mendapatkan kulit kecokelatan di tengah musim dingin seperti
sekarang," lanjutnya ketika kami melintasi pelataran parkir yang tertutup salju untuk
menuju mobil.
Yeah, aku tahu, pikirku.
Lily menelepon seusai makan malam. "Aku juga agak tidak enak badan tadi," dia
mengakui. "Kau sudah mendingan sekarang?"
"Yeah, aku sudah tidak apa-apa," sahutku. Dengan sebelah tangan kugenggam gagang
telepon tanpa kabel, sementara tanganku yang lain memencet-mencet tombol remote
control TV untuk memindah-mindah saluran
Itu salah satu kebiasaan burukku. Kadang-kadang aku berpindah-pindah saluran
selama berjam-jam tanpa memperhatikan acara yang sedang ditayangkan.
"Howie dan Marissa lewat setelah kau pulang," Lily bercerita.
"Terus? Kalian bantai mereka?" aku bertanya dengan semangat berkobar-kobar.
"Kalian hujani mereka dengan bola salju?"
Lily tertawa. "Tidak. Kami semua sudah basah kuyup dan capek waktu Howie dan
Marissa muncul. Kami cuma berdiri sambil menggigil."
"Howie sempat ngomong soal band mereka?" tanyaku.
"Yeah," ujar Lily. "Dia bilang dia baru beli buku gitar Eric Clapton. Dia bilang dia
lagi belajar lagu-lagu baru yang bakal membuat kita terbengong-bengong."
"Hah, dasar sok jago. Howie sebaiknya tetap main drum saja. Dia pemain gitar
terburuk di dunia," aku bergumam. "Kalau dia main gitar, gitarnya bisa mencicit
seperti tikus! Aku tidak tahu bagaimana bisa begitu. Bagaimana sih caranya membuat
gitar berbunyi begitu?"
Lily tertawa lagi. "Marissa juga mencicit. Tapi dia bilang itu menyanyi."
Kami sama-sama tergelak.
Tapi kemudian aku kembali serius. "Menurutmu, bagaimana kemampuan Howie and
the shouters?"
"Entahlah," sahut Lily, tak kalah seriusnya. "Howie terlalu banyak membual, jadi dia
tidak bisa dipercaya. Dia bilang sih, mereka cukup bagus untuk membuat CD.
Katanya, mereka disuruh bikin rekaman demo oleh ayahnya, untuk dikirim ke semua
perusahaan rekaman."
"Yeah, pasti," aku bergumam sinis. "Eh, bagaimana kalau kapan-kapan kita ke rumah
Howie untuk mendengarkan latihan mereka," aku mengusulkan. "Kita bisa
menguping dari jendela."
"Marissa sebenarnya cukup bagus sebagai penyanyi," Lily berkomentar. "suaranya
enak didengar."
"Tapi tidak sebagus kau," ujarku.
"Hmm, penampilan kita memang semakin mantap," kata Lily. Kemudian ia
menambahkan, "sayang kita tidak punya pemain drum sungguhan."
Aku sependapat. "Yeah, mesin drum Jared kadang tidak pas dengan lagu yang kita
mainkan!"
Lily dan aku masih mengobrol tentang Battle of the Bands. Akhirnya aku meletakkan
gagang telepon, dan duduk di meja belajarku untuk membuat PR.
Baru sekitar pukul sepuluh aku selesai. sambil menguap aku turun untuk
mengucapkan selamat tidur pada orangtuaku. setelah kembali ke atas, aku berganti
baju dan pergi ke kamar mandi untuk gosok gigi.
Dengan saksama kuamati wajahku di cermin di atas wastafel. Belum ada rona cokelat
sedikit pun.
Wajah yang membalas tatapanku tetap pucat seperti biasa.
Kuraih sikat gigi, lalu mengoleskan odol.
Aku sudah hendak mulai menggosok gigi-tapi mendadak terhenti.
"Hah-!" seruku kaget.
sikat gigiku sampai terlepas dari genggaman ketika kutatap punggung tanganku.
Mula-mula kukira itu cuma bayangan.
Tapi setelah kuamati dari dekat, aku menyadari bahwa yang kulihat bukan bayangan.
Sambil menelan ludah aku membelalakkan mata.
Punggung tanganku tertutup bulu-bulu tebal berwarna hitam.
7
SAMBIL membelalakkan mata, tanganku kukibaskan berkali-kali. sepertinya aku
berharap bulu-bulu hitam itu bisa copot dengan sendirinya.
Kemudian kuraih bulu-bulu itu dan kutarik keras-keras.
"Aduh!"
Ternyata bulu-bulu itu benar-benar tumbuh dari punggung tanganku.
"Bagaimana mungkin?" teriakku. Dengan susah payah kupaksakan tanganku agar
berhenti bergetar, supaya aku bisa mengamatinya dengan saksama.
Bulu-bulu itu cukup panjang, kira-kira setengah inci. Warnanya hitam mengilap.
Rasanya kasar ketika aku mengusapnya dengan tanganku yang satu lagi.
"Hairy Larry."
Julukan konyol yang diberikan Lily sekonyong-konyong muncul kembali dalam
benakku.
"Hairy Larry."
Wajahku menjadi merah padam. Kalau temanku sampai melihat bulu-bulu di
tanganku ini, pikirku dengan perasaan galau, seumur hidup aku bakal dijuluki Hairy
Larry!
Jangan sampai ada yang melihatnya! kataku dalam hati. Dadaku mendadak sesak
karena serangan panik. Jangan sampai! Ini benar-benar memalukan.
Dengan waswas kuamat! tangan kiriku yang ternyata masih tetap halus dan bersih.
"Uh, untung saja cuma sebelah tangan yang kena," gumamku lega.
Kalang kabut aku lalu kembali menarik-narik bulu-bulu hitam itu. Aku menarik dan
menarik, sampai punggung tanganku terasa nyeri. Tapi bulu-bulu itu tetap tidak mau
copot.
"Oh, apa yang mesti kulakukan sekarang?" aku mengeluh.
Masa sih aku harus pakai sarung tangan terus? Dan apa jadinya kalau teman-temanku
sampai tahu soal ini? Aku bakal seumur hidup dijuluki Hairy Larry. Julukan itu bakal
terus melekat pada diriku!
Tenggorokanku serasa tersekat.
Aku tidak boleh panik, aku berkata dalam hati.
Aku harus berpikir dengan jernih.
Tepi wastafel kugenggam begitu erat, sehingga tanganku terasa sakit. Kulepaskan
tanganku, kemudian kugulung kedua lengan piamaku.
Jangan-jangan lenganku juga tertutup bulu hitam?
Tidak.
Aku menarik napas lega.
sepertinya cuma punggung tanganku yang mendadak berbulu.
Aku harus bagaimana? Aku harus bagaimana?
Aku mendengar orangtuaku menaiki tangga, menuju kamar mereka. Cepat-cepat
kututup pintu kamar mandi lalu kukunci.
"Larry-kau masih bangun, ya? Katanya sudah mau tidur tadi," kudengar ibuku berseru
dari koridor.
"Aku cuma sisiran sebentar!" balasku.
Aku selalu bersisir sebelum tidur.
Aku tahu itu tidak ada gunanya. Aku tahu rambutku bakal berantakan lagi begitu
menempel di bantal. Tapi kebiasaanku itu tidak bisa kuhilangkan.
Aku menatap cermin dan mengamati rambutku. Rambutku yang pirang, begitu lembut
dan berombak. Begitu berbeda dengan bulu-bulu menjijikkan yang tumbuh di
tanganku.
Aku langsung mual. Isi perutku mulai naik.
Dengan susah payah kulawan rasa mualku dan membuka lemari obat. satu per satu
kubaca label yang menempel pada semua botol dan tube.
Penghilang Bulu. Aku mencari label bertuliskan Penghilang Bulu.
Rasanya ada obat seperti itu-ya, kan?
Tapi bukan di lemari obat kami. Aku memeriksa setiap botol, namun tak ada
Penghilang Bulu.
Kutatap bulu-bulu hitam di punggung tanganku. sepertinya bulu-bulu itu sudah
bertambah panjang.
Ataukah itu cuma perasaanku saja?
sekonyong-konyong ide lain melintas dalam benakku.
serta-merta kuambil alat cukur ayahku. Dan di bagian bawah lemari obat kutemukan
sekaleng krim cukur.
Kucukur saja semuanya, aku berkata dalam hati. Itu yang paling gampang.
Aku sudah jutaan kali menonton ayahku bercukur. Kelihatannya mudah sekali.
Kubuka keran air panas, lalu kubasuh punggung tanganku. Kemudian kugosokkan
sabun ke bulu-bulu yang kasar itu hingga semuanya tertutup busa.
Tanganku basah dan licin, membuat kaleng krim cukur nyaris terlepas dari
genggamanku. Tapi aku berhasil menekan kaleng sehingga krim cukur menyemprot
ke punggung tanganku.
Langsung saja kuratakan. setelah itu kuraih alat cukur dengan tangan kiri, lalu
kubasahi dengan air panas, seperti yang biasa dilakukan ayahku.
selanjutnya aku mulai bercukur. Ternyata tidak semudah yang kubayangkan. Apalagi
dengan tangan kiri.
Pisau cukur yang tajam langsung memangkas bulu-bulu hitam yang kasar itu.
Aku memperhatikannya terbawa air dan masuk ke lubang pembuangan.
Kemudian aku kembali membasuh tanganku sampai bersih dari busa.
Airnya hangat dan menenangkan. Kukeringkan tangan dan memeriksanya dengan
saksama.
Licin. Licin dan bersih.
Bulu-bulu hitam yang menjijikkan itu tak tersisa sehelai pun.
Aku merasa jauh lebih enak. Dengan lega kukembalikan alat cukur dan krim cukur
ayahku ke tempat semula di lemari obat. Kemudian aku keluar dari kamar mandi,
melintasi koridor, dan masuk ke kamarku.
Punggung tanganku terus kuusap-usap. Rasanya sejuk dan licin. Kupadamkan lampu
kamar lalu naik ke tempat tidur.
Begitu kepalaku menempel di bantal, aku langsung menguap lebar. Tiba-tiba saja aku
mengantuk sekali.
Apa yang menyebabkan bulu-bulu tadi mendadak bertumbuhan? sejak pertama
melihat bulu-bulu itu, pertanyaan tersebut terus mengusikku.
Jangan-jangan gara-gara INSTA-TAN? Jangan-jangan gara-gara obat yang sudah
kedaluwarsa itu?
Kalau begitu ada kemungkinan teman-temanku mengalami hal yang sama. Aku
membayangkan seluruh tubuh Manny tertutup bulu, seperti gorila, dan mau tak mau
aku tertawa.
Tapi sebenarnya itu tidak lucu. Bayangan itu justru mengerikan.
sekali lagi kugosok-gosok punggung tanganku. Ternyata masih licin. Bulu-bulunya
belum tumbuh lagi.
Aku kembali menguap, lalu berangsur-angsur terlelap.
Oh, apa ini? Kenapa badanku jadi gatal begini? aku bertanya dalam keadaan setengah
sadar, setengah tertidur. seluruh tubuhku terasa gatal.
Jangan-jangan bulu-bulu itu mulai tumbuh di seluruh tubuhku?
8
"KAU kurang tidur, ya?" ibuku bertanya ketika aku muncul di dapur untuk sarapan
bersama. "Muka kamu kelihatan pucat."
Ayahku menurunkan korannya untuk mengamatiku. Di hadapannya ada secangkir
kopi yang masih mengepul-ngepul. "Ah, dia tidak pucat kok," ayahku bergumam
sebelum kembali membaca koran.
"Aku tidur seperti biasa," ujarku sambil duduk di kursiku. Secara sembunyi-sembunyi
kuamati tanganku di bawah meja.
Tak ada bulu. Punggung tanganku tetap licin seperti semalam.
Waktu aku dipanggil untuk sarapan tadi, aku langsung melompat turun dari tempat
tidur. Kunyalakan lampu dan kuamati seluruh tubuhku di depan cermin.
Tak ada bulu hitam.
Aku lega sekali. Lega dan gembira. Rasanya aku ingin bernyanyi-nyanyi. Rasanya
aku ingin memeluk ayah dan ibuku dan menari-nari mengelilingi meja makan.
Tapi itu terlalu memalukan.
Jadi kumakan saja Frosted Flakes dan kureguk jus jeruk yang telah disiapkan ibuku.
Ibuku mengambil tempat di samping ayahku dan mulai mengupas telur rebusnya.
setiap pagi dia makan telur rebus. Tapi cuma putihnya saja. Kuningnya dibuang. Dia
bilang dia takut kebanyakan kolesterol.
"Mom, Dad, ada yang ingin kuceritakan. Aku melakukan sesuatu yang bodoh
kemarin. Aku menemukan sebotol krim merek INSTA-TAN di sebuah tong sampah.
Krimnya sudah lama. Tapi aku dan teman-temanku nekat mengoleskannya.
Maksudnya, supaya kulit kami jadi kecokelatan. Padahal krim itu sebenarnya sudah
kedaluwarsa. Dan... ehm... semalam tiba-tiba tumbuh bulu-bulu hitam di punggung
tanganku."
Itu yang ingin kukatakan. Aku sudah membuka mulut untuk bercerita. Tapi aku tidak
bisa.
Malunya itu lho.
Mereka pasti bakal marah-marah dan bertanya kenapa aku begitu bodoh. setelah itu
mereka akan membawaku ke tempat praktek Dr. Murkin dan menceritakan semuanya.
Lalu giliran dia yang bertanya kenapa aku begitu bodoh.
Jadi, akhirnya aku pilih diam saja.
"Kamu pendiam sekali pagi ini," ibuku berkomentar sambil menyendok sesuap putih
telur.
"Habis, memang tak ada yang perlu diceritakan," aku bergumam.
Aku ketemu Lily dalam perjalanan ke sekolah. Kerah jaketnya dinaikkan dan
rambutnya yang pirang ditutupi topi rajut berwarna biru-merah.
“Hei, hari ini kan tidak seberapa dingin!” aku berseru sambil berlari kecil untuk
menyusulnya.
“Ibuku bilang suhu udara bakal turun sampai di bawah nol,” sahut Lily. “Dia yang
menyuruhku pakai baju tebal-tebal.”
Matahari pagi seakan-akan melayang di atas atap rumah-rumah, bagaikan bola merah
di langit yang pucat. Embusan angin terasa menusuk. Permukaan salju di jalan telah
mengeras, dan setiap kali kami melangkah terdengar bunyi kerisik-kerisik.
Aku menarik napas panjang, lalu memutuskan untuk menanyakan pertanyaan yang
menghantuiku sejak semalam. “Lily,” aku berkata dengan bimbang. “Apakah...ehm...
maksudku... apakah semalam tumbuh bulu-bulu aneh di punggung tanganmu?”
Dia langsung berhenti dan menatapku dengan mata terbelalak. Kemudian roman
mukanya menjadi serius. “Ya,” dia mengakui sambil berbisik.
9
“Hah?” Aku langsung menahan napas. Denyut jantungku seakan-akan berhenti
sejenak. “Di tanganmu tumbuh bulu?”
Lily mengangguk serius. Ia merapatkan tubuhnya kepadaku. Matanya yang biru dan
hijau menatapku dari bawah topi rajutnya.
“Di tanganku tumbuh bulu,” dia berbisik dan napasnya tampak mengembun di udara
yang dingin. “Lalu di lenganku, di kakiku dan di punggungku.”
Aku memekik tertahan.
“Lalu mukaku berubah menjadi muka serigala,” Lily melanjutkan, masih sambil
menatapku dengan tajam. “Dan aku lari ke hutan dan melolong-lolong ke arah bulan.
Seperti ini.” Dia mendongakkan kepala dan melolong panjang.
“Habis itu kucegat tiga orang di dalam hutan, dan kumakan semuanya!” Lily
memberitahuku. “Sebab aku manusia serigala!”
Dia menggeram dan mengertak-ngertakkan gigi. Kemudian dia tertawa terbahak-
bahak.
Wajahku mendadak terasa panas.
Lily mendorongku dengan keras. Aku kehilangan keseimbangan dan nyaris jatuh ke
belakang.
Tawa Lily bertambah keras. "Kau percaya-ya, kan, Larry?" serunya. "Kau benar-
benar percaya cerita konyol itu!"
"Enak saja!" aku menyangkal. Wajahku terasa panas membara. "Mana mungkin aku
percaya cerita seperti itu!.?"
Tapi sebenarnya aku memang percaya sampai ke bagian di mana dia bilang dia makan
tiga orang. Di situ aku baru sadar bahwa dia bercanda, bahwa dia mengolok-olokku.
"Hairy Larry!" Lily bersenandung. "Hairy Larry!"
"Berhenti!" aku berseru dengan gusar. "Ini tidak lucu, tahu? Sama sekali tidak lucu!"
"Tapi kau lucu sekali!" dia menyahut. "Tampangmu yang lucu!"
"Ha-ha!" Aku tertawa getir. Langsung saja aku berbalik dan menyeberang jalan
dengan langkah-langkah panjang.
"Hairy Larry!" Lily berseru sambil mengejarku. "Hairy Larry!"
Aku tergelincir di atas segunduk lapisan es di jalan. Untung saja aku masih bisa
menjaga keseimbangan, tapi ranselku merosot dan jatuh berdebam.
Lily berhenti di depanku ketika aku membungkuk untuk memungut ransel.
"Memangnya semalam di tubuhmu tumbuh bulu, Larry?" dia bertanya.
"Apa?" Aku berlagak tidak mendengar pertanyaannya.
"Memangnya di punggung tanganmu tumbuh bulu? Itu sebabnya kau tanya aku?" ujar
Lily sambil ikut membungkuk.
"Yang benar saja," aku bergumam. Ranselku kunaikkan ke pundak i dan aku kembali
berjalan.
"Yang- benar saja," aku berkata sekali lagi.
Lily tertawa. "Jangan-jangan kau manusia serigala. "
Aku berlagak ikut tertawa. "Bukan. Aku vampir," sahutku.
sebenarnya aku ingin sekali berterus terang kepada Lily. Aku ingin sekali bercerita
tentang bulu-bulu yang tumbuh di punggung tanganku.
Tapi aku tahu dia tak pernah bisa menyimpan rahasia. Aku tahu dia pasti akan
menceritakannya ke seluruh sekolah. Dan setelah itu semua orang yang kukenal akan
memanggilku Hairy Larry!
sebenarnya aku merasa tidak enak karena terpaksa bohong kepada Lily.
Bagaimanapun juga, dia sahabat karibku!
Tapi apa lagi yang bisa kulakukan?
sisa perjalanan ke sekolah kami tempuh tanpa banyak bicara. Berulang kali aku
melirik ke arah Lily. Entah kenapa, dia cengar-cengir terus.
"Kalian sudah siap menyampaikan laporan buku?" Miss shindling bertanya.
Ruang kelas langsung ramai-ada bunyi kursi digeser-geser, ada bunyi ransel dibuka,
kertas-kertas bergemerisik, anak-anak berdeham-deham.
Siapa yang tidak gugup bila harus berdiri di depan kelas dan menyampaikan laporan
buku di luar kepala lagi? Aku sih gugup sekali! Aku paling tidak senang bila semua
mata memandang ke arahku.
Dan kalau aku salah mengucapkan kata atau lupa yang ingin kukatakan selanjutnya,
mukaku langsung merah padam. Dan kalau sudah begitu, semua orang tertawa dan
mengolok-olokku.
Semalam aku sempat berlatih di depan cermin. Dan hasilnya cukup baik. Aku lancar
bercerita tentang buku yang telah kubaca, dan hanya sesekali membuat kesalahan
kecil.
Di pihak lain, bicara di kamarku sendiri memang tidak membuatku gugup. Tapi
sekarang lututku gemetar nyaris tak terkendali-padahal aku belum disuruh maju!
"Howie, bagaimana kalau kau saja yang mulai?" Miss shindling bertanya sambil
memberi isyarat kepada Howie Hurwin.
"Wah, kasihan yang lain dong, kalau yang terbaik maju paling dulu!" Howie
menyahut sambil, nyengir.
Beberapa anak tertawa. Tapi ada juga yang mendengus kesal.
Aku tahu Howie tidak bercanda. Dia benar-benar percaya dia yang terbaik dalam
segala hal. Penuh percaya diri dia maju dan berdiri di depan papan tulis. Howie
berbadan besar, agak gemuk, dengan rambut tebal berwarna cokelat yang tak pernah
disisir, dan muka bulat yang penuh bintik-bintik di pipi.
Dia selalu menyungging senyum melecehkan. Menyebalkan sekali. seolah dia hendak
berkata, "Aku yang terbaik dan kau bukan apa-apa."
Dia biasa mengenakan celana jeans belel yang lima ukuran terlalu besar serta T-shirt
berlengan panjang lengkap dengan rompi hitam mengilap. Dia mengangkat buku yang
telah dibacanya. Salah satu buku baseball karangan Matt Christopher.
Kutarik napas panjang. Aku sudah tahu apa yang akan dikatakan Howie: "Buku ini
wajib dibaca oleh semua penggemar baseball."
Dia selalu memakai kalimat itu untuk mengawali laporan bukunya. Betul-betul
membosankan!
Tapi Howie selalu dapat nilai A. Aku tak habis pikir kenapa Miss shindling
menganggapnya begitu hebat.
Howie berdeham, lalu tersenyum kepada Miss Shindling. Kemudian dia berpaling
kepada kami dan mengawali laporan bukunya dengan suara lantang dan tegas. "Buku
ini wajib dibaca oleh semua penggemar baseball," dia berkata.
Nah, apa kubilang?
Aku menguap lebar-lebar. Untung tak ada yang memperhatikan.
Howie terus saja mengoceh. "Buku ini seru sekali, dan alur ceritanya sangat baik,"
katanya. "Kalau kalian suka ketegangan, maka kalian pasti suka buku ini. Terutama
mereka yang menggemari olahraga baseball."
Setelah itu aku tidak mendengarkannya lagi. Aku terlalu sibuk mengingat-ingat apa
saja yang harus kukatakan.
Beberapa menit kemudian, ketika Miss shindling mengumumkan, "Larry, sekarang
giliranmu," aku nyaris tidak mendengarnya.
Aku berdiri sambil menarik napas dalam-dalam. Tenang saja, Larry, aku berkata
dalam hati. Kau sudah menghafalkan semuanya. Kau tidak perlu gugup.
Sambil berdeham, aku melangkah ke depan kelas. Aku sudah hampir sampai di depan
ketika Howie menjulurkan kakinya.
Senyumnya yang lebar sempat kulihat-tapi kakinya tidak.
"Oh!" aku berseru kaget ketika aku tersandung-dan tersungkur di lantai.
Seketika ruang kelas meledak oleh tawa.
Dengan jantung berdegup-degup aku berusaha bangkit.
Tapi waktu aku melihat tanganku, aku langsung berhenti.
Kedua-duanya tertutup bulu tebal berwarna hitam.
10
"LARRY, kau tidak apa-apa?" aku mendengar Miss Shindling memanggil dari
mejanya.
"Ehm...." Aku terlalu kaget untuk menjawab.
"Larry, kau terluka, ya?"
"Ehm... saya..." Aku tak sanggup bicara. Aku tak sanggup bergerak. Aku tak sanggup
berpikir. Sambil merangkak di lantai, kedua tangan yang berbulu kutatap dengan
ngeri.
Di sekelilingku, anak-anak masih menertawakanku. Aku menoleh dan melihat Howie
berhigh-Five dengan anak yang duduk di sebelahnya.
Ha-ha. Lucu sekali.
Biasanya aku pasti malu sekali. Tapi kali ini aku tidak sempat merasa malu. Aku
terlalu waswas. Bagaimana kalau ada yang sempat melihat tanganku yang berbulu?
Cepat-cepat aku memandang berkeliling, masih dalam posisi merangkak. Tak ada
yang menunjuk atau berseru dengan ngeri.
Barangkali belum ada yang memperhatikan tanganku.
Buru-buru kuselipkan kedua tanganku ke dalam kantong celana jeans-ku.
Aku baru berani berdiri setelah yakin bahwa kedua tanganku sudah sepenuhnya
tersembunyi.
"Lihat tuh! Muka Larry jadi merah!" seru seorang anak dari barisan paling belakang.
Dan seruan itu ditanggapi dengan tawa yang lebih keras lagi.
Tentu saja mukaku jadi bertambah merah. Tapi itu bukan masalah terbesar yang
sedang kualami. Aku tidak mungkin berdiri di depan kelas dengan dua tangan yang
tertutup bulu. Daripada begitu, aku mending mati!
Tanpa berpikir panjang aku bergegas ke pintu ruang kelas di belakang. Tapi asal tahu
saja, berjalan cepat dengan kedua tangan di dalam kantong celana sama sekali tidak
mudah.
"Larry-ada apa?" Miss shindling memanggil dari balik mejanya. "Mau ke mana kau?"
"Ehm... saya... saya segera kembali," jawabku dengan suara parau.
"Kau yakin baik-baik saja?" guruku bertanya.
"Yeah. saya baik-baik saja," aku bergumam. "saya permisi sebentar."
Aku tahu semua memandang ke arahku. Tapi aku tidak peduli. Aku harus keluar dari
situ. Aku harus mencari akal untuk mengamankan rahasiaku.
Ketika sampai di pintu, aku mendengar Miss shindling memarahi Howie.. "Larry bisa
cedera karena ulahmu. Kau tidak boleh menjegal kaki orang, Howie. sudah berkali-
kali kau saya peringatkan."
"Tapi, Miss shindling-saya tidak sengaja," Howie mencoba berkelit.
Aku langsung menyelinap ke luar. Ke koridor yang panjang dan sepi.
Cepat-cepat aku menoleh ke kiri-kanan untuk memastikan bahwa tak ada yang
melihatku. Kemudian kukeluarkan kedua tanganku dari kantong celana.
Dalam hati aku masih berharap bahwa tanganku sudah normal lagi. Tapi harapan itu
langsung pupus ketika aku menatap keduanya.
Bulu-bulu yang hitam dan tebal - dengan panjang hampir satu inci! - menutupi kedua
tanganku.
Bagaimana mungkin bulu-bulu itu tumbuh begitu cepat? aku bertanya dalam hati.
Punggung tanganku tertutup bulu. Begitu pula telapaknya. Bahkan di sela-sela jari!
Kugosok-gosokkan tanganku seakan-akan bulu-bulu yang mengerikan itu bisa hilang
dengan cara begitu. Tapi tentu saja tidak berhasil.
"Jangaaan. Oh-jangaaan!" tanpa sadar aku mengerang.
Apa yang bisa kulakukan?
Aku tidak mungkin kembali ke ruang kelas dengan tangan monster seperti itu. Orang-
orang bisa menjerit kalau mereka sampai melihat tanganku.
Dan aku terpaksa menanggung malu seumur hidup. setiap kali orang melihatku,
mereka akan berkata, "Awas, ada Hairy Larry Boyd. Masih ingat waktu tangannya
tiba-tiba penuh bulu?"
Sebaiknya aku pulang saja, aku berkata dalam hati. Aku harus kabur dari sini.
Tapi tunggu dulu. Bagaimana aku bisa meninggalkan sekolah di tengah jam
pelajaran? Miss shindling sedang menungguku. Aku harus menyampaikan laporan
buku.
Aku berdiri mematung. Sambil bersandar ke dinding, aku mengamati kedua tanganku
yang mengerikan.
Dan tiba-tiba aku sadar bahwa selain diriku masih ada orang lain di koridor.
Aku menoleh dan menahan napas ketika melihat Mr. Fosburg, kepala sekolah kami.
Dia sedang membawa setumpuk buku pelajaran. Tapi dia berhenti beberapa langkah
di hadapanku. Dengan mata terbelalak dia menatap kedua tanganku yang berbulu.
11
SERTA-MERTA tanganku kupindahkan ke belakang dan kusembunyikan di balik
punggung.
Tapi terlambat. Mr. Fosburg telah melihatnya. Mata birunya menyipit sambil
menatapku.
Aku ,bergidik.
Apa yang akan dikatakannya? Apa yang akan dilakukannya sekarang?
"Kau kedinginan?" dia bertanya.
"Hah?" sahutku. Apa katanya?
Aku bersandar ke belakang, sehingga tanganku terjepit di antara dinding dan
punggungku. Bulu-bulu yang kasar terasa menusuk-nusuk.
"Apakah tungku pemanas perlu disetel lebih besar, Larry?" tanya Mr. Fosburg. "Di
sini terlalu dingin, ya? Itu sebabnya kau memakai sarung tangan di dalam ruang
kelas?"
"sa-sarung tangan?" aku tergagap-gagap. Dia pikir aku pakai sarung tangan.
"Ya. saya... ehm... saya memang agak kedinginan," ujarku. Aku sudah mulai lebih
tenang. "Karena itu saya ke locker. Untuk mengambil sarung tangan."
Mr. Fosburg menatapku sambil mengerutkan kening. Kemudian dia berbalik dan
berjalan menjauh sambil membawa tumpukan bukunya. "Baiklah, saya akan bicara
dengan petugas pengelola gedung nanti," katanya.
Kutarik napas lega ketika dia membelok di ujung koridor. Uih, hampir saja.
Tapi berkat Mr. Fosburg aku mendapat ide bagus sarung tangan.
Aku bergegas ke locker-ku. Rasanya janggal ketika kunci kombinasinya kuputar
dengan jariku yang berbulu, tapi akhirnya berhasil juga. Cepat-cepat kukeluarkan
sarung tangan dari saku jaketku.
Beberapa detik kemudian aku sudah kembali ke ruang kelas. Lily sedang berdiri di
depan. Dia sedang menyampaikan laporan bukunya, dan dia menatapku dengan heran
ketika aku menyelinap ke balik mejaku.
setelah Lily selesai, Miss shindling memanggilku ke depan. "sudah lebih enak
sekarang, Larry?" dia bertanya.
"Ya," aku menyahut. "Ta-tangan saya kedinginan tadi." Aku bangkit dari kursiku dan
berjalan ke depan. Beberapa anak mulai tertawa dan menunjuk-nunjuk sarung
tanganku. Tapi aku tidak peduli.
Paling tidak rahasiaku tetap aman. Tak ada yang bisa melihat tanganku yang penuh
bulu hitam.
Kutarik napas panjang, lalu kumulai, bercerita. "Buku yang saya baca ditulis oleh
Bruce Coville," ujarku. "Dan buku ini patut dibaca oleh semua orang yang suka kisah
science fiction yang lucu...”
Seusai sekolah aku bergegas ke locker-ku. Aku berjalan sambil menundukkan
kepala, dan berusaha menghindari semua orang.
Sepanjang hari aku terus pakai sarung tangan. Sebenarnya sih panas juga, dan sama
sekali tidak nyaman. Dan makin lama rasanya makin sempit saja.
Jangan-jangan bulu-bulu di punggung tanganku terus bertambah panjang? Tapi aku
tidak berani melepaskan sarung tanganku untuk memastikannya.
Aku mengenakan jaket, lalu menyandang ranselku. Aku harus pergi dari sini supaya
bisa berpikir, kataku dalam hati.
Aku sudah hampir sampai di pintu utama ketika mendengar Lily memanggil-manggil.
Aku menoleh dan melihatnya mengejarku. Dia memakai sweter kuning yang
kebesaran dengan celana ketat hijau.
Aku terus mengayunkan langkah. "sampai besok!" seruku padanya. "Aku sedang
terburu-buru."
Tapi dia berlari mengejar dan berhenti di depanku. "Kau tidak ikut latihan band
nanti?" tanyanya.
Aku begitu sibuk memikirkan tanganku yang berbulu sehingga lupa sama sekali pada
latihan band kami.
"Latihannya di rumahku lagi," Lily melanjutkan sambil berjalan mundur.
"A-aku tidak bisa ikut," aku tergagap-gagap. "Aku tidak enak badan."
Itu memang benar.
Dia menatapku dengan tajam. "Ada apa sih, Larry? Dari tadi pagi tingkahmu aneh
sekali."
"Aku cuma tidak enak badan," aku menandaskan. "sori, aku tidak bisa ikut latihan.
Kita tunda sampai besok deh. Oke?"
"Boleh saja," balas Lily. Dia masih menambahkan sesuatu, tapi aku tidak
mendengarnya. Langsung saja kubuka pintu dan bergegas meninggalkan sekolah.
sepanjang perjalanan pulang aku terus berlari. salju tampak berkilau-kilau bagaikan
perak diterpa sinar matahari yang cerah. Pemandangannya indah sekali, namun aku
tak bisa menikmatinya. Aku terlalu sibuk memikirkan masalahku.
Bulu. Bulu-bulu hitam yang kasar.
Aku menyerbu masuk ke rumah dan membiarkan ranselku jatuh ke lantai. Aku
hendak menaiki tangga ke kamarku-tapi terhenti ketika kudengar ibuku memanggil.
Dia ternyata sedang duduk di ruang tamu, di kursi di jendela depan. Dia sedang
menelepon sambil memangku Jasper, kucing kami. Dia mengatakan sesuatu, lalu
menurunkan gagang telepon ketika berpaling ke arahku.
"Kok sudah pulang, Larry? Tidak ada latihan band?"
"Tidak hari ini," aku berbohong. "Aku banyak PR, jadi aku langsung pulang." Aku
bohong lagi.
Aku tidak mau menceritakan masalah sebenarnya. Aku tidak mau bercerita bahwa aku
telah menggosokkan INSTA-TAN ke seluruh tubuhku, dan bahwa tanganku kini
ditumbuhi bulu-bulu hitam yang menjijikkan.
Aku tidak mau bercerita. Tapi tiba-tiba semua keluar begitu saja. semuanya. Aku
tidak sanggup menyimpan rahasia ini lebih lama lagi.
"Mom, Mom pasti takkan percaya," aku mulai berkata dengan suara serak. "Di... di
tanganku mulai tumbuh bulu. Bulu-bulu hitam yang menjijikkan. Ehm, aku dan
teman-temanku-kami menemukan botol berisi obat untuk membuat kulit kecokelatan.
sebenarnya obat itu sudah kedaluwarsa. Tapi kami nekat memakainya. Aku
menggosokkannya ke muka, ke tangan, dan ke tengkukku. Dan sekarang tanganku
mulai berbulu, Mom. Aku baru tahu di sekolah tadi. Kedua tanganku tertutup bulu
hitam yang lebat. Aku malu sekali. Dan takut. Benar-benar takut."
Napasku terengah-engah ketika aku mengakhiri ceritaku. Dan semula aku terus
menunduk dan menatap lantai. Tapi kini kepalaku kutegakkan lagi untuk melihat
reaksi ibuku.
Apa yang akan dikatakannya? Mungkinkah dia bisa menolongku?
12.
AKU mendengarnya bergumam. Tapi aku tidak mengerti apa yang dikatakannya.
Lalu kusadari bukan aku yang diajaknya bicara. Dia sudah kembali menempelkan
gagang telepon ke telinga dan asyik mengobrol dengan lawan bicaranya. Dan
sepertinya dia amat berkonsentrasi sehingga tidak mendengar sepatah kata pun yang
kuucapkan!
Aku menghela napas. Kemudian aku bergegas menaiki tangga ke kamarku. Cepat-
cepat kututup pintu lalu kubuka sarung' tangan yang terasa panas dan tidak nyaman.
Jasper ikut denganku dan kini duduk di ambang jendela. Sebagian besar waktunya
dihabiskan di tempat itu sambil memandang ke pekarangan depan.
Ketika kulemparkan sarung tangan ke kursi, dia berpaling ke arahku. Matanya yang
kuning terang tampak berbinar-binar.
Aku menghampiri Jasper dan mengangkatnya. Lalu aku duduk di ambang jendela dan
memeluknya. "Jasper, kau satu-satunya teman sejati yang kumiliki," bisikku sambil
membelai-belai punggungnya.
Di luar dugaanku, kucing itu mendesis, lalu melengkungkan punggung dan melompat
ke lantai. Jasper berlari melintasi kamar, lalu berbalik, dan memelototiku dengan
matanya yang kuning.
Baru beberapa detik kemudian aku menyadari apa masalahnya. Aku mengangkat
tangan. "Ini gara-gara tanganku yang berbulu ini, ya, kan, Jasper?" tanyaku dengan
sedih. "Kau takut, ya?"
Jasper memiringkan kepala, seakan-akan berusaha memahamiku. "Ya, aku sendiri
juga takut," ujarku.
Aku berdiri dan bergegas ke kamar mandi. sekali lagi kuambil alat cukur ayahku dari
lemari obat.
Kemudian aku mulai mencukur bulu-bulu yang lebat itu.
Ternyata lebih sulit dari yang kubayangkan. Terutama bulu-bulu yang tumbuh di sela-
sela jari. Bulu-bulu itu benar-benar sukar dijangkau.
Bulu-bulu di tanganku sangat kaku dan keras. Bagaikan bulu pada sikat rambut. Dua
kali tanganku tergores, sekali di telapak dan sekali di punggung tangan.
Ketika aku membilas krim cukur, aku menoleh ke bawah dan melihat Jasper
menatapku dari pintu kamar mandi. "Jangan beritahu Mom dan Dad," bisikku.
Dia mengedipkan matanya yang kuning, lalu menguap lebar.
Keesokan pagi aku bangun sebelum kedua orangtuaku terjaga. Biasanya aku baru
bangun kalau Mom sudah berseru-seru memanggilku.
Tapi pagi ini aku langsung melompat turun dari tempat tidur, menyalakan lampu, dan
menghampiri cermin di lemari pakaianku.
Aduh, bagaimana kalau bulu-bulu itu sudah tumbuh lagi?
Kuangkat kedua tangan dan kuamati keduanya dengan saksama. Mataku masih berat
karena baru bangun. Tapi aku bisa melihat dengan jelas bahwa bulu-bulu itu belum
tumbuh lagi.
"Ya!" aku bersorak gembira.
Luka gores di tanganku masih terasa nyeri. Tapi aku tidak peduli. Yang penting kedua
tanganku licin dan bersih.
Aku membolak-balik tanganku sambil memperhatikan keduanya. Aku lega sekali
bahwa tanganku kelihatan normal.
semalam aku sempat dihantui mimpi buruk. Mula-mula aku bermimpi tentang spageti.
Dalam mimpiku itu, aku sedang duduk di dapur hendak melahap sepiring spageti.
Tapi begitu aku mulai mengambil dengan garpu, spageti itu berubah jadi rambut yang
hitam dan panjang.
Aku mengambil rambut yang hitam dan panjang dengan garpuku. Piringku penuh
rambut yang hitam dan panjang.
Kemudian kuangkat garpu. Kubuka mulut dan garpu yang penuh rambut itu
kudekatkan, semakin dekat, semakin dekat.
Lalu aku terbangun.
Huh! Mimpi itu benar-benar mengerikan.
Perutku serasa diaduk-aduk. Dan aku sulit tidur lagi.
Untung saja sekarang sudah pagi. Aku melanjutkan pemeriksaanku. Aku
membungkuk dan mengamati kakiku. Lalu betis, lutut, dan paha. Tak ada bulu hitam.
Tubuhku bebas dari bulu-bulu aneh.
Sepertinya cukup aman untuk pergi ke sekolah, pikirku. Tapi untuk berjaga-jaga, aku
tetap akan membawa sarung tangan.
Sehabis sarapan, kupakai jaketku dan kuambil ranselku. Kemudian aku berangkat ke
sekolah.
Cuaca cerah dan hangat. salju yang sudah mulai mencair tampak berkilau-kilau.
Dengan hati-hati aku menyusuri trotoar sambil menghindari genangan-genangan air.
Perasaanku sudah lebih baik. Jauh lebih baik.
Kemudian aku menoleh ke belakang dan melihat gerombolan anjing itu. Anjing-
anjing yang menyeringai. Dan semua berlari ke arahku.
13
JANTUNGKU langsung berdegup-degup. Anjing-anjing itu berlari kencang sekali.
semua memandang ke arahku, dan setiap kali melompat, mereka menyalak dan
menggeram dengan keras.
Kakiku mendadak terasa berat sekali. Tapi aku tetap memaksakan diri untuk berlari.
Kalau sampai tertangkap, aku bakal dikoyak-koyak! aku berkata dalam hati. Mereka
pasti mencium bau Jasper yang melekat pada bajuku! Pasti itu sebabnya aku selalu
dikejar-kejar.
Aku sangat menyayangi kucingku. Tapi kenapa aku mesti dapat kesulitan gara-gara
dia?
Uh, siapa sih pemilik anjing-anjing buas ini? Kenapa mereka dibiarkan bebas
berkeliaran seperti ini?
Pertanyaan demi pertanyaan melintas dalam benakku ketika aku berlari untuk
menyelamatkan diri. Melintasi pekarangan orang. Lalu menyeberang jalan.
sebuah klakson berbunyi nyaring. Aku mendengar bunyi rem berdecit-decit.
Sebuah mobil menggelincir ke trotoar seberang.
Aku lupa memeriksa situasi lalu lintas sebelum menyeberang.
"sori!" aku berseru sambil tetap berlari.
Tiba-tiba pinggangku serasa ditusuk-tusuk, dan aku terpaksa mengurangi kecepatan.
Aku menoleh dan melihat anjing-anjing itu terus mendekat. Mereka menyeberang
jalan dan berlari melintasi salju.
Semakin dekat. semakin dekat.
"Hei, Larry!" Dua anak muncul di trotoar di depanku.
"Cepat, lari!" teriakku sambil terengah-engah. "Anjing-anjing itu...."
Tapi Lily dan Jared tidak bergerak.
Aku berhenti di samping mereka, lalu memegang pinggangku. Nyerinya begitu hebat
sehingga aku nyaris tidak bisa menarik napas.
Lily berbalik untuk memelototi anjing-anjing itu, seperti yang sudah pernah
dilakukannya. Jared maju untuk menghalau mereka. Bertiga kami memperhatikan
mereka mendekat.
Gerombolan anjing itu segera berhenti. Tak ada lagi yang menyalak maupun
menggeram. Mereka menatap kami dengan ragu. semua tersengal-sengal. Lidah
mereka yang terjulur ke luar hampir menyentuh salju.
"Ayo pulang!" seru Lily. Dengan keras dia menghentakkan kakinya ke trotoar.
Anjing hitam besar yang memimpin gerombolan itu merintih pelan lalu menundukkan
kepala.
"Ayo pulang! Ayo pulang!" seru kami bertiga.
Nyeri di pinggangku berangsur-angsur mereda. Aku mulai merasa lebih enak. Aku
menyadari anjing-anjing itu takkan menyerang. Mereka tidak berani melawan tiga
orang sekaligus.
satu per satu mereka berbalik dan menyusul anjing hitam besar tadi.
Tiba-tiba Jared tertawa. "Hei, coba lihat yang itu!" serunya. Dia menunjuk seekor
anjing panjang dengan bulu keriting berwarna hitam.
"Memangnya ada apa dengan dia?" tanyaku.
"Dia mirip sekali dengan Manny!" kata Jared.
Lily ikut tertawa. "Kau benar! Dia memang mirip.”
Kami bertiga terpingkal-pingkal. Bulu anjing itu persis seperti rambut Manny yang
keriting. Dan matanya sama-sama gelap dan sayu.
"Ayo, nanti kita telat," ujar Lily. Dia menendang segumpal salju keras yang tergeletak
di trotoar.
Jared dan aku mengikutinya menuju sekolah.
"Kenapa sih anjing-anjing itu mengejarmu?" tanya Jared.
"Aku rasa mereka mencium bau kucingku," jawabku.
"Anjing-anjing itu berbahaya," Lily berkomentar. Dia berjalan beberapa langkah di
depan kami. "seharusnya mereka tidak dibiarkan bebas berkeliaran."
"Yeah, soal itu aku setuju sekali," aku menimpali.
Angin yang mendadak berembus kencang nyaris membuat kami terjungkal di trotoar
yang licin. Topi Raiders Jared terbang ke jalan, dan hampir terlindas mobil yang
kebetulan lewat.
Jared berlari ke jalan, memungut topinya. "Aku sudah tak sabar menunggu musim
dingin berakhir," gumamnya.
Kami bertemu Kristina di muka sekolah. Rambutnya yang merah berkibar-kibar
tertiup angin.
"Nani sore kita jadi latihan band?" dia bertanya sambil mengunyah sebatang cokelat
Snickers.
"sarapan yang bergizi," komentarku.
"Ibuku tadi tidak sempat menyiapkan sarapan," sahutnya sambil terus mengunyah.
"Yeah, latihannya di rumahku," kata Lily. "Kita harus bekerja keras. Jangan sampai
Howie yang keluar sebagai pemenang kontes."
Kristina berpaling kepadaku. "Ke mana kau kemarin?"
"Aku.. ehm... aku tidak enak badan," ujarku.
Tiba-tiba aku teringat pada krim INSTA-TAN. Barangkali teman-temanku juga mulai
tumbuh bulu gara-gara obat itu? Aku harus mendapat kepastian. Aku harus
menanyakannya. .
Tapi kalau ternyata mereka tidak apa-apa-kalau ternyata cuma aku yang tumbuh bulu-
wah, aku bakal malu berat.
"Ehm... masih ingat krim INSTA-TAN waktu itu?" aku memberanikan diri untuk
bertanya.
"Yeah, mujarab sekali," kata Jared. "Rasanya kulitku malah tambah pucat."
Kristina tertawa. "Tidak ada hasil sama sekali. Kau benar, Larry. Obat itu memang
sudah sangat kedaluwarsa."
Tapi apakah kalian juga mulai tumbuh bulu-bulu hitam? Itu yang ingin kuketahui.
Tapi tak satu pun dan mereka menyinggung soal bulu. Mungkinkah mereka juga
seperti aku? Mungkinkah mereka juga terlalu malu untuk mengakuinya?
Atau memang cuma aku yang mengalami hal itu?
Kutarik napas panjang. Perlukah aku menanyakannya? Perlukah aku bertanya apakah
di antara mereka ada yang mendadak tumbuh bulu hitam?
Aku membuka mulut untuk bertanya. Tapi aku langsung berubah pikiran ketika
menyadari bahwa topik pembicaraan telah beralih. Mereka sudah asyik bicara tentang
band kami.
"Nanti tolong bawa amplifier kamu ke rumahku, ya?" kata Lily pada Kristina.
"Manny juga mau bawa, tapi ampli-nya cuma bisa dipakai untuk dua gitar."
"Bagaimana kalau pakai ampli-ku saja?" aku menawarkan. "Aku..."
Embusan angin yang kencang mendorong tudung jaketku ke belakang.
Aku meraih ke belakang untuk mengembalikan tudungnya ke tempat semula.
Tanganku menyentuh tengkukku-dan aku menahan napas.
Tengkukku tertutup bulu lebat.
14
"ADA apa sih, Larry?" tanya Lily.
"Ehm... ehm..." Aku tidak sanggup berkata apa-apa.
"Ada apa dengan syalmu?" tanya Jared. "Lilitannya terlalu ketat, ya?" Dia menarik-
narik syal wol yang melingkar di leherku.
Ibuku selalu menyuruhku aku memakai syal yang gatal itu karena Nenek Hildy yang
merajutnya. Aku sama sekali lupa bahwa aku pakai syal.
Waktu tanganku menyentuhnya, aku langsung menyangka.
"Mukamu pucat sekali, Larry," ujar Lily. "Kau baik-baik saja?"
Aku mengangguk. "Yeah, aku tidak apa-apa," gumamku sementara mukaku jadi
merah. "Aku cuma tercekik syal, itu saja." Alasan itu benar-benar tidak meyakinkan.
Tapi aku harus mengatakan sesuatu. Dan aku tidak mungkin mengaku bahwa aku
menyangka tengkukku mendadak ditumbuhi bulu!
Larry, jangan pikirkan bulu-bulu itu lagi! kutegur diriku sendiri. Kalau begini
caranya, lama-lama kau bisa gila!
Aku menggigil. "Ayo, kita masuk saja," kataku sambil mengencangkan lilitan syal
pada leherku.
Aku bergegas ke kamar kecil untuk menyisir rambut sebelum bel berdering. Ketika
menatap rambutku yang pirang dan berombak, sebuah pikiran mengerikan tiba-tiba
melintas dalam benakku.
Bagaimana kalau rambutku yang asli tiba-tiba rontok? Dan digantikan oleh bulu-bulu
hitam yang kasar itu?
Bagaimana kalau aku terbangun suatu pagi, dan ternyata seluruh tubuhku sudah
tertutup bulu-bulu hitam yang menjijikkan?
Kuamati bayanganku di cermin. seseorang telah melumurkan air sabun pada kacanya,
sehingga bayanganku seakan-akan terselubung kabut.
"Jangan panik," aku berkata pada diriku.
Lalu kutunjuk bayanganku di cermin. Kutunjuk dengan jari yang licin dan tak
berbulu.
"Jangan pikirkan soal rambut terus, Larry," ujarku dengan tegas. "Jangan pikirkan
soal rambut. semuanya akan beres."
Pengaruh INSTA-TAN rupanya sudah habis, aku menyimpulkan.
Memang sudah beberapa hari berlalu sejak aku dan teman-temanku mengoleskan obat
itu. sejak itu aku paling tidak sudah tiga kali mandi dengan shower dan dua kali mandi
berendam.
Pengaruh obat itu sudah habis, aku berusaha meyakinkan diriku. Betul-betul sudah
habis. Jadi tak ada lagi yang perlu dikuatirkan.
sekali lagi ku,lirik rambutku yang sudah mulai panjang. Tapi aku justru suka. Aku
paling senang menyisir bagian sampingnya ke belakang telinga.
Mungkin akan kubiarkan tumbuh panjang sekali, pikirku. Kumasukkan sisir ke ransel,
lalu segera menuju ruang kelas.
semua berjalan lancar, sampai Miss shindling mengembalikan kertas ulangan sejarah.
Bukan nilainya yang membuat aku gugup. Aku diberi nilai sembilan puluh empat, dan
itu cukup bagus. Aku tahu Lily pasti akan berkoar bahwa dia dapat sembilan delapan
atau sembilan sembilan. Tapi Lily memang jago mengarang.
Aku sendiri sudah puas dengan nilai sembilan empat.
Aku senang karena memperoleh nilai setinggi itu. Tapi ketika kubalik-balik halaman
sambil membaca komentar Miss shindling tentang tulisanku, kutemukan sehelai
rambut hitam pada halaman tiga.
Apakah itu rambutku? aku bertanya dalam hati. Apakah itu sehelai bulu hitam yang
tumbuh di punggung tanganku?
Ataukah rambut itu rambut Miss shindling? Dia memang berambut hitam pendek.
Jadi bukan tidak mungkin itu memang rambutnya.
Di pihak lain...
Kutatap rambut itu tanpa berani menyentuhnya.
Aku sadar bahwa tingkahku mulai aneh-aneh lagi. Aku ingat bahwa aku sudah
bersumpah untuk berhenti memikirkan soal rambut.
Tapi aku tak berdaya.
Gara-gara rambut hitam yang melekat pada halaman ketiga kertas ulanganku, aku
langsung mulai senewen lagi. Akhirnya kuangkat kertas ulanganku, kudekatkan ke
wajahku-dan kutiup rambut itu.
setelah itu aku sibuk dengan pikiranku sendiri. segala ucapan Miss shindling sampai
akhir jam pelajaran sama sekali tak kuperhatikan. Dan ketika bel berbunyi, aku
menarik napas dengan lega. Cepat-cepat kubereskan barang-barangku dan
kutinggalkan ruang kelas untuk mengikuti pelajaran olahraga.
"Hari ini kita main basket!" Mr. Rafferty berseru ketika kami memasuki aula olahraga
yang terang benderang. "Kita main basket! Cepat ganti baju! Ayo, semangat sedikit!"
sebenarnya aku kurang suka bermain basket. soalnya kita harus berlari mondar-
mandir di lapangan. Dari ujung ke ujung, lalu kembali lagi. selain itu, lemparanku
kurang jitu. Dan aku selalu malu sekali kalau bolanya dioper kepadaku, tapi
lemparanku meleset.
Tapi hari ini aku malah senang. siapa tahu dengan berlari kian kemari aku bisa
melupakan kegelisahanku.
Aku mengikuti anak-anak lain ke ruang ganti. semua membuka locker masing-masing
dan mengeluarkan celana pendek dan baju olahraga.
Di ujung deretan locker, Howie Hurwin terus berseru, "Makan tuh bola! Makan tuh
bola!"
Anak-anak lain melecutnya dengan handuk.
Hah, biar tahu rasa, pikirku. Howie memang menyebalkan sekali.
"Makan tuh bola!" aku mendengar Howie bersenandung. seorang anak menyuruhnya
diam.
"Makan tuh bola! Makan tuh bola!"
Aku duduk di bangku, mulai melepas sepatu ketsku. Kemudian aku berdiri lagi untuk
membuka celana jeans-ku.
Tapi ketika celanaku sampai di lutut, aku mendadak berhenti.
Aku berhenti dan memekik tertahan ketika melihat lututku.
Kedua lututku ditumbuhi bulu-bulu lebat berwarna hitam.
15
"KENAPA kau tidak mau pakai celana pendek waktu pelajaran olahraga kemarin?"
tanya Jared. .
Pertanyaannya membuatku tersentak. Kami sedang berjalan di trotoar yang becek
samil mem-
bawa alat musik masing-masing untuk latihan band di rumah Lily.
"Kau disuruh ganti celana pendek, tapi kau tidak mau," ujar Jared. Kotak keyboard
yang digenggamnya berayun mengikuti gerakan tangannya.
"Aku... aku cuma kedinginan," sahutku. "Kakiku kedinginan. Itu saja. Aku tidak
mengerti kenapa Mr. Rafferty sampai ngotot begitu."
Jared tertawa. "Peluit Rafferty sampai hampir tertelan waktu kau membuat lemparan
tiga angka dari tengah lapangan!"
Aku ikut tertawa. sebenarnya aku termasuk pemain basket terburuk di sekolah. Tapi
aku begitu bingung karena lututku yang berbulu, sehingga aku bermain seperti
kesetanan. seumur hidup belum pernah aku bermain sebaik kemarin.
"Kalau begitu, sebaiknya kau selalu pakai Jeans kalau bermain basket," Coach
Rafferty sempat berkelakar.
Seusai sekolah aku langsung berlari pulang. Aku segera mengunci diri di kamar
mandi atas, dan menghabiskan setengah jam untuk mencukur bulu-bulu hitam di
lututku.
Waktu aku selesai, kedua lututku merah dan perih. Tapi paling tidak kedua-duanya
sudah licin kembali.
Sepanjang sore aku lalu mengurung diri di kamar sambil merenungkan nasib yang
menimpaku. Masalahnya, ada banyak pertanyaan dalam benakku. Lusinan
pertanyaan.
Tapi tak ada satu jawaban pun.
Aku telungkup di tempat tidur, dengan lutut berdenyut-denyut, sementara aku
memeras otak. Kenapa di lututku bisa tumbuh bulu? aku bertanya dalam hati. Aku
tidak mengoleskan INSTA-TAN di lutut. Jadi bagaimana mungkin bulu-bulu hitam
itu bisa tumbuh di situ?
Mungkinkah INSTA-TAN itu telah masuk ke seluruh jaringan tubuhku? Mungkinkah
obat itu terserap melalui pori-pori? Lalu menyebar ke seluruh tubuhku?
Apakah aku akan berubah menjadi makhluk berbulu? Apakah aku akan mirip King
Kong?
Pertanyaan demi pertanyaan muncul-namun tetap tak terjawab.
Berbagai pertanyaan masih mengusik pikiranku ketika aku melintasi jalan bersama
Jared dan rumah Lily yang berkerangka putih mulai terlihat di pojok jalan.
Sinar matahari membanjiri kedua pohon gundul yang menaungi jalan masuk ke
pekarangan Lily.
Udara terasa hangat, hampir seperti di musim semi. salju sudah banyak yang
mencair. Di sana-sini terlihat rumput basah menyembul dan balik permukaan yang
putih.
Di pekarangan seberang jalan berdiri orang-orangan salju yang sudah setengah
meleleh. Sepatuku menginjak genangan-genangan air ketika kami berdua menuju
pintu rumah Lily sambil membawa instrumen masing-masing.
Lily membukakan pintu untuk kami. Ia dan Kristina rupanya sudah mulai berlatih.
Lily memakai sweter wol berwarna merah-biru dan celana biru muda, sementara
Kristina mengenakan Jeans belel dan sweter Notre Dame berwarna hijau dan emas.
"Mana Manny?" tanya Lily sambil menutup pintu depan setelah Jared dan aku masuk.
“Aku belum lihat dia hari ini,” ujarku sambil membersihkan sepatuku yang basah
pada keset di lantai. "Memangnya dia belum datang?”
"Dia tidak masuk sekolah tadi," Kristina melaporkan.
"Kita harus lebih serius,” Lily berkata sambil menggigit bibir "Kalian sempat bicara
dengan Howie hari ini? Dia sudah cerita apa yang dibelikan ayahnya?”
"Synthesizer baru?" sahutku sambil membungkuk untuk membuka kotak gitar. "Yeah.
Dia cerita panjang-lebar. Katanya, alat itu bisa meniru bunyi satu orkestra."
"Apa untungnya?" tanya Jared. sehelai daun basah menempel di sepatunya. Dia
mengambilnya, tapi tidak tahu ke mana harus membuangnya. Akhirnya dia
memasukkannya ke kantong celana jeans-nya.
"Kalau Howie bisa meniru bunyi satu orkestra, sementara kita maju dengan tiga gitar
dan satu keyboard mainan, maka kita benar-benar akan mengalami kesulitan besar,"
Lily mewanti-wanti.
"Hei, ini bukan keyboard mainan!" protes Jared.
Aku tertawa. "Masa cuma gara-gara engkol yang harus diputar dulu, kauanggap ini
keyboard mainan sih?"
"Keyboard-ku memang kecil-tapi nadanya lengkap," Jared berkeras. Dia menaruh
keyboardnya di meja, membukanya lalu mencolokkan kabelnya.
"Sudahlah, jangan bercanda terus. Lebih baik kita mulai berlatih saja," ujar Kristina
sambil menggerak-gerakkan jari pada leher gitarnya yang berwarna merah cerah.
"Kita mulai dengan lagu apa nih?"
"Bagaimana kita bisa berlatih tanpa Manny?" tanyaku. "Maksudku, apa gunanya?"
"Aku sudah telepon dia tadi," kata Lily. "Tapi sepertinya teleponnya rusak, soalnya
berdering pun tidak."
"Kalau begitu kita jemput ke rumahnya yuk" aku mengusulkan.
"Yeah, ide bagus!" Kristina menimpali.
Kami berempat menuju pintu depan dan mengambil jaket masing-masing. Tapi Lily
berhenti di pintu. "Larry dan aku saja yang ke sana," dia berkata kepada Kristina.
"Kau dan Jared tunggu di sini saja sambil berlatih. Cukup berdua saja yang ke sana."
"Oke," ujar Jared. "Lagi pula memang harus ada yang tunggu di sini, sebab siapa
tahu Manny tiba-tiba muncul."
Lily dan aku mengenakan jaket masing-masing dan keluar lewat pintu depan. Sepatu
Doc Marten Lily menginjak genangan air yang cukup besar ketika kami menyusuri
trotoar.
"Aku paling tidak senang kalau salju sudah mulai kelabu dan mencair," katanya.
"Coba perhatikan. Di mana-mana terdengar suara air menetes. Dari pohon-pohon, dari
atap-atap rumah, dari mana-mana.”
Dia mengulurkan tangan untuk menghalangi jalanku dan memaksaku berhenti. sambil
membisu kami mendengarkan suara air menetes.
"Memekakkan telinga, bukan?" Lily bertanya sambil tersenyum. sinar matahari
terpantul di kedua matanya. Yang satu biru, yang satu hijau.
“Memekakkan " aku membeo. Kadang-kadang Lily memang agak aneh. Dia pernah
bercerita kalau dia suka menulis puisi. Puisi-puisi panjang tentang alam. Tapi hasil
karyanya belum pernah diperlihatkan padaku.
Kami menyusuri trotoar yang becek. Sinar matahari terasa hangat di wajahku.
Ritsleting Jaketku kubiarkan terbuka.
Rumah Manny mulai kelihatan setelah kami melewati belokan jalan. Rumahnya
terletak di puncak sebuah bukit yang cocok sekali untuk main. kereta luncur salju.
Dua anak kecil sedang bermain luncur-luncuran, tapi mereka hanya bisa bergerak
pelan, karena sebagian besar salju telah mencair.
Kami berjalan melewati mereka menuju pintu depan rumah Manny. Lily menekan
bel dan aku mengetuk pintu. "Hei, Manny-buka pintu!" aku berseru.
Tak ada jawaban.
Tak ada suara sama sekali. Cuma bunyi "tes tes tes” air yang menetes dari talang.
"Hei, Manny!" aku memanggil. Sekali lagi kami menekan bel dan mengetuk pintu.
"Mungkin semuanya sedang pergi," ujar Lily Dia berbalik dan menghampiri jendela
depan. Sambil berjinjit, dia berusaha mengintip.
"Kau bisa lihat ke dalam?" tanyaku.
Dia menggelengkan kepala. "Tidak. Mataharinya memantul di kaca. Tapi sepertinya
di dalam gelap."
"Mobil mereka juga tidak ada," aku berkomentar.
Aku mengetuk sekali lagi, kali ini sekeras mungkin. Di luar dugaanku, pintu depan
membuka sedikit.
"Hei-pintunya terbuka!" aku memberitahu Lily.
Dia segera kembali ke teras. "Halo? Ada siapa di ini?" aku memanggil.
Tak ada jawaban.
"Hei-pintunya terbuka!" aku berseru.
Lily mendorong pintu depan hingga terbuka sepenuhnya, dan kami melangkah masuk.
"Manny?" dia memanggil, sambil menempelkan tangan di sekeliling mulut. "Manny?"
Aku masuk ke ruang duduk dan memekik tertahan.
Aku berusaha mengatakan sesuatu, tapi suaraku seakan-akan tersangkut di
tenggorokkan. Aku membelalakkan mata, seolah-olah takut salah lihat.
16
LILY meraih lenganku ketika kami memandang sekeliling ruang duduk.
Ruang itu kosong melompong. Tanpa perabot. Tanpa tirai. Tanpa lukisan maupun
poster di dinding. Karpetnya pun telah diangkat dari lantai kayu yang mengilap.
"K-ke mana mereka?" aku bertanya dengan suara seperti orang tercekik.
Lily melewati koridor dan menuju dapur. Juga kosong. semua telah diangkut,
termasuk lemari es.
"Mereka pindah!" seru Lily. "Ya ampun, mereka pindah!"
"Tapi kenapa Manny tidak memberitahu kita?" tanyaku. Pandanganku menyapu
ruangan yang kosong itu. "Kenapa dia tidak pernah cerita bahwa keluarganya mau
pindah?"
Lily cuma menggelengkan kepala. seluruh rumah hening. Samar-samar kudengar
suara air menetes dari talang di luar.
"Barangkali mendadak mereka harus pindah,” Lily akhirnya berkata.
"Mendadak? Kenapa?" tanyaku.
Kami berdua tak dapat menjawab pertanyaan itu.
Aku suka berlari. Maksudku berlari untuk kesenangan, bukan berlari karena dikejar
segerombolan anjing buas.
Aku senang kalau jantungku berdegup kencang. Aku suka bunyi debam-debum yang
terdengar saat sepatu kets-ku menginjak tanah. Dan aku juga suka kalau otot-ototku
bekerja sama dengan baik.
Hampir setiap sabtu aku ikut berlari pagi bersama ayahku. Dia selalu memilih jalan
setapak yang menyusuri danau kecil di Miller Woods.
Tempat itu indah sekali. Udaranya selalu segar, dan suasananya sunyi senyap
Ayahku tinggi, langsing, dan cukup atletis. Dulu dia juga berambut pirang seperti aku,
tapi sekarang sebagian besar rambutnya berwarna kelabu, ubun-ubunnya malah sudah
botak.
Setiap hari dia lari pagi sebelum berangkat kerja. Dan menurutku dia lari cukup
kencang. Tapi pada hari Sabtu dia lebih santai, supaya kami bisa lari berdampingan.
Biasanya kami berlari tanpa bicara. Maksudnya, supaya kami bisa lebih menikmati
pemandangan dan udara yang segar.
Tapi pada hari sabtu pagi ini, aku ingin mengobrol. Aku telah memutuskan untuk
bercerita tentang semuanya kepada ayahku. Tentang botol INSTA-TAN yang
kutemukan. Juga tentang bulu-bulu hitam yang mulai tumbuh di tubuhku.
sementara aku bercerita, pandanganku tetap tertuju lurus ke depan. Aku melihat dua
burung gagak besar melayang dari langit yang biru lalu bertengger berdampingan di
sebuah dahan. Kedua burung itu berkaok-kaok dengan keras, seakan-akan bicara
dengan kami.
Aku dan ayahku terus berlari mengitari danau. Permukaannya tampak berkilau-kilau.
Di sana-sini terlihat kepingan es mengapung di air yang berwarna biru kehijauan.
Aku mulai dari awal dan menceritakan semuanya. Ayahku memperlambat langkahnya
agar dapat mendengar lebih jelas, tapi kami tetap berlari.
Aku bercerita bagaimana kutemukan botol INSTA-TAN dan bagaimana kami
mengoleskannya ke tubuh masing-masing, sekadar iseng saja. Ayahku mengangguk,
namun pandangannya tetap lurus ke depan. "Kelihatannya obat itu tidak manjur,"
komentarnya dengan napas agak tersengal-sengal. "Rasanya kulitmu tidak bertambah
cokelat, Larry."
"Ya, aku tahu," ujarku. "Obat itu sebenarnya sudah kedaluwarsa. Masa berlakunya
sudah lama lewat."
Aku menarik napas panjang. Bagian berikut adalah bagian yang paling sulit
kuceritakan. "Kulitku memang tidak bertambah cokelat. Tapi aku mengalami sesuatu
yang benar-benar aneh."
Ayahku terus berlari. Kami melompati dahan mati yang tergeletak di tanah. Aku
sempat tergelincir karena menginjak setumpuk daun basah, tapi masih bisa menjaga
keseimbangan.
"Di badanku mulai tumbuh bulu-bulu aneh," aku berkata dengan suara bergetar.
"Mula-mula di punggung tangan kananku. Lalu di kedua tanganku. Lalu di lututku."
Ayahku berhenti. Dia berpaling dan menatapku dengan cemas. "Bulu-bulu?"
Aku mengangguk sambil terengah-engah. "Bulu-bulu hitam. Kasar dan tajam."
Ayahku menelan ludah. Dia membelalakkan mata. Karena kaget? Karena ngeri?
Karena tidak percaya?
Aku tidak bisa memastikannya.
Di luar dugaanku, dia meraih lenganku dan mulai menarikku. "Ayo, Larry. Kita harus
pulang."
"Tapi-" aku mulai protes.
Genggamannya bertambah erat dan aku ditariknya lebih keras lagi. "Ayo, kita harus
pulang!" dia menegaskan ambil menggertakkan gigi. "sekarang!"
Dia menarik begitu keras, sehingga aku nyaris terjungkal!
"Aduh-ada apa sih?" tanyaku dengan suara melengking tinggi. "Ada apa sebenarnya?"
Dia tidak menyahut. Dia menarikku menyusuri jalan setapak sampai ke jalan raya.
Matanya menyorot liar. Dan dia meringis seakan-akan dicekam ketakutan yang amat
sangat.
"Ada apa, Dad?" tanyaku. "Aku mau dibawa ke mana? Ke mana?"
17
DR. MURKIN mengangkat alat suntik dan memeriksanya di bawah cahaya lampu.
"Coba berpaling ke arah lain, Larry," dia berkata dengan suaranya yang pelan. "Saya
tahu kau tidak suka melihat ini. Tenang saja. Ini takkan terasa."
Jarum suntiknya menembus kulitku, dan seketika rasa sakit menjalar ke seluruh
lenganku. Aku memejamkan mata dan menahan napas sampai jarum itu dicabut lagi.
“sebenarnya memang belum waktunya," dia berkata sambil menggosok lenganku
dengan bola kapas yang telah dibasahi alkohol. "Tapi mumpung kau di sini, sekalian
saja saya suntik. Daripada harus bolak-balik."
Ayahku duduk dengan tegang di kursi lipat yang merapat ke dinding kamar periksa
yang kecil. Kedua lengannya disilangkannya di dada.
"Ba-bagaimana dengan bulu-bulu itu?” aku bertanya sambil tergagap-gagap. "Apakah
INSTA- TAN itu-"
Dr. Murkin menggelengkan kepala. "saya kira bukan obat itu yang menyebabkan
pertumbuhan bulu. Lotion seperti itu hanya berpengaruh terhadap pigmen-pigmen di
kulit. Dan-"
"Tapi obat itu sudah kedaluwarsa!" aku berkeras. "Siapa tahu isinya sudah asam atau
basi!"
Dia melambaikan tangan seakan-akan hendak berkata, "Tidak mungkin."
Kemudian dia berbalik dan mulai menambahkan catatan dalam file-ku. "Maaf, Larry,"
dia berkata sambil menuliskan huruf-huruf berukuran mungil.
"Penyebabnya bukan obat itu. Percayalah." Dr. Murkin kembali menatapku dengan
saksama. "Kau sudah saya periksa dari ujung kepala sampai ujung kaki. Kau juga
sudah melewati semua tes. Artinya, kau baik-baik saja."
"Uh! saya lega sekali!" ujar ayahku sambil menghela napas.
"Tapi bulu-bulu itu-" aku masih berkeras.
"Kita tunggu saja bagaimana perkembangan selanjutnya," Dr. Murkin menyahut
sambi1 menatap ayahku.
"Tunggu saja?" aku berseru. "Saya tidak diberi obat untuk menghentikan
pertumbuhan bulu-bulu itu?"
"Mungkin saja kejadian itu takkan terulang lagi," balas Dr. Murkin. Dia menutup map
berisi dataku, lalu memberi isyarat agar aku turun dari meja periksa.
"Cobalah jangan memikirkan hal itu, Larry," Dr. Murkin berkata sambil menyerahkan
jaketku. "Kau baik-baik saja."
"Terima kasih, Dr. Murkin," ujar ayahku sambil berdiri. Dia mengembangkan
senyum, tapi aku tahu senyumnya terpaksa. Ayahku tetap kelihatan tegang.
Aku mengikutinya ke pelataran parkir. Kami sama-sama membisu sampai kami
duduk di dalam mobil dan melaju ke rumah. "sudah lebih enak?" tanya ayahku. Dia
memandang lurus ke depan sambil memicingkan mata.
"Belum," jawabku gundah.
"Apa lagi sekarang?" ayahku bertanya dengan nada jengkel. "Kau sudah diperiksa Dr.
Murkin,dan katanya kau baik-baik saja."
"Tapi bagaimana dengan bulu-bulu hitam itu?" aku berseru dengan gusar.
"Bagaimana? Kenapa dia tidak melakukan apa-apa? Apakah dia tidak percaya
padaku?"
"Ayah yakin dia percaya," ayahku berkata dengan lembut.
"Kalau begitu, kenapa dia tidak berbuat apa-apa untuk menolongku?" aku meratap.
Ayahku membisu lama sekali. Dia menatap lurus ke depan sambil menggigit-gigit
bibir. Lalu, akhirnya, dia berkata pelan-pelan, "Kadang-kadang kita memang hanya
bisa menunggu."
Sore itu kami berkumpul di rumah Lily untuk latihan band. Permainan kami cukup
baik-tapi tanpa Manny rasanya tetap saja lain.
Kami semua kecewa sekali karena dia pindah tanpa berpamitan. Lily sempat minta
tolong ibunya untuk menelepon beberapa teman yang akrab dengan orangtua Manny.
Dia ingin tahu ke mana Manny dan orangtuanya pindah.
Tapi orang-orang yang dihubungi ternyata sama kagetnya seperti kami. Ternyata tak
seorang pun tahu bahwa keluarga Manny berencana pindah ke tempat lain.
Tetapi di pihak lain, lagu-lagu yang kami bawakan terdengar lebih enak dengan dua
gitar daripada tiga. suara Lily kecil sekali saat dia bernyanyi tidak bertenaga. Dan dia
hampir selalu kewalahan menghadapi tiga gitar.
Tanpa Manny, suara Lily kadang-kadang terdengar jelas.
Aku terus melakukan kesalahan ketika kami berlatih lagu Beatles-I Want to Hold
Your Hand. Berulang kali kumainkan chord yang keliru, dan iramanya juga tidak pas.
Aku tahu apa penyebabnya. Aku terus memikirkan Dr. Murkin dan sikapnya yang
tidak percaya ketika aku menceritakan soal bulu-bulu yang bermunculan di tubuhku.
Dia bilang penyebabnya bukan INSTA-TAN. Tapi mungkin saja dia keliru.
Aku begitu kesal-dan begitu... kesepian.
Kami mulai memainkan I Want to Hold Your Hand untuk kedua puluh kalinya, dan
aku memandang berkeliling, mengamati teman-temanku. Mungkinkah mereka
menghadapi masalah yang sama seperti aku? Mungkinkah di tubuh mereka juga
tumbuh bulu-bulu hitam yang menjijikkan, tapi tidak berani untuk berterus terang?
Pertama kali aku menanyakannya, aku malah ditertawakan dan dijuluki Hairy Larry
oleh Lily. Tapi aku harus bertanya sekali lagi. Aku harus memperoleh jawaban untuk
pertanyaan yang terus mengusik pikiranku.
Aku menunggu sampai latihan kami selesai. Kristina sedang memasukkan gitarnya ke
dalam kotak. Jared pergi ke dapur untuk mengambil Coca-Cola dari lemari es. Lily
berdiri di samping sofa sambil memegang-megang keping emas pada kalungnya.
"A-aku mau menanyakan sesuatu," ujarku dengan gugup ketika Jared kembali.
Dia membuka kaleng minumannya, dan langsung tersemprot busa Coca-Cola. Semua
tertawa.
"Masa buka kaleng Coca-Cola saja kau tidak bisa?" Lily berkelakar. "Barangkali kau
perlu buku panduan untuk itu?"
"Ha-ha," balas Jared sambil mengusap wajah dengan lengan bajunya. "Kau sengaja
mengocok semua kaleng supaya kami kena semprot. Ayo, akui saja."
Kristina tertawa sambil menutup kotak gitarnya. "Lain kali pilih jus kotak saja,
Jared."
Jared menjulurkan lidah.
Aku berdeham keras-keras. "Ada yang ingin kutanyakan pada kalian," aku
mengulangi dengan suara bergetar.
Mereka semua sedang riang gembira, tertawa dan bercanda. sepertinya mereka
normal-normal saja.
Kenapa cuma aku yang cemas dan takut?
"Kalian masih ingat INSTA-TAN yang kutemukan waktu itu?" tanyaku. "Apakah di
antara kalian ada yang tumbuh bulu setelah mengoleskan obat itu?" Wajahku
mendadak terasa panas membara. "Maksudku, bulu-bulu hitam yang benar-benar
jelek?"
Jared mulai tertawa, dan Coca-Cola yang sedang diminumnya menyembur lewat
hidungnya: serta-merta dia terbatuk-batuk. Kristina segera menepuk-nepuk
punggungnya.
"Hairy Larry!" seru Jared setelah batuknya mereda. Dia menunjukku dengan kaleng
Coca-Cola-nya dan mulai bersenandung. "Hairy Larry! Hairy Larry!"
"Ayo dong!" aku memohon. "Aku serius nih."
Kristina dan Jared malah tertawa semakin keras. Aku berpaling kepada Lily, yang
masih berdiri di samping sofa. Dia tampak prihatin. Dan yang jelas, dia sama sekali
tidak ikut tertawa. Dia justru menundukkan kepala ketika aku terus menatapnya.
"Larry ternyata manusia serigala!" Seru Jared.
"Moga-moga The Geeks tidak perlu main di saat bulan purnama!" Kristina
menimpali.
"siapa tahu lolongan Larry lebih merdu ketimbang permainan gitarnya!" ujar Jared.
Keduanya tertawa terpingkal-pingkal.
"A-aku cuma bercanda!" aku tergagap-gagap.
Aduh, rasanya lebih baik ditelan bumi daripada harus menanggung malu begini.
Kini aku sadar, Aku satu-satunya. Aku satu-satunya yang ditumbuhi bulu-bulu jelek
itu.
Karena itulah Jared dan Kristina menganggap hal itu begitu lucu. Karena mereka
tidak mengalaminya. Mereka tidak perlu risau mengenai bulu-bulu itu.
Tapi Lily tidak ikut mengolok-olokku. Dia berpaling dan mulai memungut catatan
not balok yang berserakan di lantai dan merapikan ruangan.
selama ini, Lily tak pernah menyia-nyiakan kesempatan untuk mengolok-olok dan
membuat mukaku jadi merah. Aku mengamatinya sambil ber-
tanya-tanya apakah dia memiliki rahasia yang sama denganku.
Kuraih gitarku lalu menunggu sampai Jared dan Kristina pulang. Kemudian aku
mengenakan jaket dan topi baseball-ku, lalu mengikuti Lily ke pintu depan.
Di teras, aku berbalik dan menatapnya dengan tajam. "Lily, aku minta kau berterus
terang," aku mendesak. "Apakah di tangan dan lututmu tumbuh bulu-bulu hitam?"
Dia tampak bimbang, dan menggigit-gigit bibir. "Aku... aku tidak mau bicara soal
itu," dia menyahut sambil berbisik.
Kemudian dia membanting pintu.
Aku berdiri seperti patung. Roman mukanya yang cemas masih terbayang-bayang
dalam benakku, dan kalimatnya yang terakhir pun terus terngiang-ngiang di telingaku.
Mungkinkah dia mengalami hal yang sama seperti aku? Tapi kalau memang begitu,
kenapa dia tidak mau berterus terang padaku? Apakah dia terlalu malu? Ataukah dia
malu merasa kasihan padaku?
Bisa jadi dia baik-baik saja, pikirku. Bisa jadi dia cuma menyangka aku sudah tidak
waras. Pasti dia merasa kasihan padaku karena aku bertingkah begitu aneh.
Aku jadi semakin bingung. Perlahan-lahan aku berbalik, keluar ke jalan. Matahari
masih bersinar di langit, tapi udara terasa dingin. Angin kencang menerpa wajahku
ketika aku berjalan pulang.
Sambil mencondongkan badan ke depan untuk melawan angin, kuangkat tanganku
untuk menarik topi baseball-ku agar tidak tertiup angin. Tapi ternyata topiku tidak
bergerak sedikit pun.
Topiku tiba-tiba terasa kencang sekali. Terlalu kencang.
Aku melepaskannya dan mengamatinya dengan saksama. Aduh, siapa sih yang iseng
mengencangkan bagian belakangnya?
Ternyata tak ada yang usil.
Sambil merinding aku meraba keningku. Dan saat itulah aku menyadari kenapa topiku
mendadak kekecilan.
Seluruh keningku tertutup bulu-bulu kasar yang tumbuh lebat.
18
LEWAT pintu belakang aku masuk ke dapur. "Mom, coba lihat ini!" aku berseru.
"Coba lihat kepalaku!"
Kusebarkan pandanganku berkeliling. "Mom?"
Dia tidak di dapur.
Aku bergegas melintasi setiap ruangan sambil memanggil-manggil. Aku telah
bertekad memberitahu orangtuaku apa yang sedang terjadi denganku. Sudah
waktunya mereka percaya.
Mereka pasti akan kaget setengah mati kalau melihat bulu-bulu di keningku. Dan
setelah itu mereka akhirnya akan percaya bahwa ini masalah serius.
"Mom? Dad?"
Tak ada yang menyahut.
Ketika kembali ke dapur, aku menemukan pesan yang menempel di pintu lemari es:
MOM DAN DAD PERGI BELANJA KE BRUNKES DALE VILLAGE. PULANG
MALAM KALAU LAPAR, MAKAN ROTI DULU.
Sambil berteriak kesal, kucampakkan topiku ke lantai. Kemudian kubuka jaketku dan
kubiarkan jatuh begitu saja.
Jantungku berdebar-debar ketika menuju cermin di dekat pintu depan. Aku kelihatan
seperti mutan dalam buku komik!
Kutatap wajahku yang pucat. Tampangku masih seperti biasa. Hanya saja keningku
ditumbuhi bulu lebat berwarna hitam.
Seperti memakai ikat kepala, pikirku gundah. Seperti ikat kepala yang biasa dipakai
para pemain ski. Hanya saja ikat kepala ini terbuat dari bulu-bulu menjijikkan.
Dengan tangan gemetaran kuraba bulu-bulu lebat itu. Aku hampir terisak-isak.
Rasanya aku ingin menangis dan berteriak-teriak sekaligus. Rasanya aku ingin
menjambak bulu-bulu dan mencabut semuanya dari kepalaku.
Aku tidak tahan melihat bayanganku di cermin. Bulu-bulu itu begitu jelek, begitu
menjijikkan. Akhirnya aku memutuskan bahwa aku tidak bisa menunggu sampai
orangtuaku pulang. Bulu-bulu mengerikan itu tidak bisa kubiarkan tumbuh di
wajahku. Serta-merta aku berlari ke atas untuk bercukur.
Kugosok bulu-bulu itu dengan krim cukur kemudian aku mulai menggesek-gesekkan
alat cukur ayahku.
"Aduh!" Perihnya minta ampun, tapi aku tidak peduli. Bulu-bulu yang kasar dan kaku
itu harus kubersihkan dari wajahku. Setiap helainya, tidak boleh ada yang
ketinggalan.
Ketika melihat bulu-bulu itu berjatuhan ke tempat cuci tangan, aku mendadak tahu
apa yang, harus kulakukan. Aku harus menemukan botol INSTA-TAN itu. Aku harus
menemukannya dan menunjukkannya kepada Dr. Murkin. .
"Kalau botolnya sudah kubawa ke sana, maka dia harus percaya padaku," aku berkata
pada diriku sendiri. Lalu Dr. Murkin bisa melakukan serangkaian tes terhadapku. Dan
dia akan tahu kenapa INSTA-TAN itu menyebabkan pertumbuhan bulu yang tak
terkendali.
Dan kalau dia sudah tahu penyebabnya, Dr. Murkin akan memberikan obat untukku,
kataku dalam hati.
Tapi di mana kami membuang botol itu?
Aku memejamkan mata dan berusaha mengingat-ingatnya. setelah kutemukan botol
itu, kami semua bergegas masuk ke rumah Lily untuk mengoleskan obat itu. Sesudah
itu kami kembali ke luar untuk bermain-main di salju.
Apakah botol itu kami buang di tong sampah di rumah sebelah?
Aku harus menyelidikinya.
Kutinggalkan pesan untuk orangtuaku-kutulis bahwa ada barangku yang ketinggalan
di rumah Lily dan bahwa aku akan segera pulang. Kemudian kusambar jaketku dan
menghambur ke luar.
Udara kini jauh lebih dingin. Matahari tertutup awan, sehingga langit sore tampak
kelabu. Kutarik ritsleting jaketku dan kupasang tudungnya sampai menutupi kepala.
Keningku masih perih akibat pisau cukur tadi.
Jarak ke rumah Lily cuma tiga blok, tapi rasanya seperti tiga mil! Ketika aku
membelok di ujung jalan, rumahnya mulai kelihatan.
Jangan sampai dia tahu bahwa aku kemari, pikirku. Kalau dia melihatku membongkar
tong sampah, dia pasti ingin tahu kenapa. Dan aku belum siap untuk menceritakan
semuanya.
Dia sendiri juga tidak mau berterus terang, pikirku dengan getir. Dia malah
membanting pintu di depan hidungku. Jadi aku juga tidak mau membeberkan
rahasiaku.
Dalam hati aku bersyukur bahwa suasana di luar begitu gelap. Moga-moga Lily tak
melihatku.
Mataku terus tertuju pada rumahnya sementara aku mendekat. Lampu di ruang
makannya menyala. Barangkali keluarganya sedang makan malam lebih cepat dari
biasanya.
Kebetulan, pikirku. Aku akan membongkar tong sampah, mengambil botol INSTA-
TAN, lalu kabur sebelum mereka selesai makan, sebelum ada yang sempat menengok
ke luar jendela.
Tiba-tiba aku berhenti karena menyadari bahwa ada satu masalah kecil.
Tong sampahnya sudah tidak ada di trotoar.
Tong itu pasti sudah dibawa oleh para tukang sampah.
Aku mengembuskan napas dengan kecewa dan nyaris jatuh berlutut di trotoar.
"Bagaimana sekarang?" aku bergumam tanpa sadar.
Bagaimana aku bisa membuktikan kepada Dr. Murkin bahwa bulu-bulu itu tumbuh
gara-gara INSTA-TAN?
Angin dingin menerpaku ketika aku menatap tempat di mana tong sampah itu semula
berdiri.
Daun-daun cokelat yang tertiup angin berputar-putar di sekitar kakiku.
Aku menggigil.
Sambil membalik untuk pergi, aku tiba-tiba teringat sesuatu.
Botol INSTA-TAN. Kami tidak membuangnya ke tong sampah. Kami
melemparkannya ke semak-semak di rumah tetangga Lily.
"Ya!" aku berseru dengan gembira. "Ya!"
Kami sempat berkejar-kejaran melintasi pekarangan tetangga Lily-dan kemudian
kulemparkan botol itu ke tengah semak-semak.
Botol itu pasti masih di situ, aku berkata dalam hati. Pasti!
Aku bergegas melewati rumah Lily. sambil berlari, aku melirik ke arah jendela.
Sepertinya tak ada yang memandang ke luar.
Dengan langkah panjang aku melewati rumah tetangganya yang gelap dan kosong.
Pekerjaan renovasi rupanya belum selesai.
Cepat-cepat aku menyelusup ke semak-semak. Daun-daun mati yang kuinjak masih
basah dan licin. Dahan-dahan pohon yang tak berdaun bergoyang dan berderak karena
tiupan angin kencang yang berubah-ubah arah.
Di mana botolnya? aku bertanya dalam hati. Di mana?
Rasanya lemparanku tidak seberapa jauh, aku mengingat-ingat. Botolnya pasti di
dekat sini. Tidak jauh dari tempatku berdiri.
Semak-semak itu terselubung bayang-bayang gelap. Aku menendang setumpuk daun
mati. Sepatuku membentur sesuatu yang keras.
Langsung saja aku membungkuk dan menyingkirkan daun-daun itu dengan kedua
tangan. Ternyata cuma dahan kering.
Aku terus menerobos ke dalam semak-semak lalu berhenti.
Botol itu pasti di sekitar sini. Dengan panik aku memandang berkeliling.
Ah, itu dia. Oh, bukan. Cuma batu yang licin. Kutendang batu itu hingga melayang
jauh. Kemudian aku berputar pelan-pelan, sementara mataku menyapu tanah di
sekitarku.
Mana botol itu? Mana?
Tiba-tiba terdengar suara, dan aku langsung menahan napas.
Suara ranting patah.
Aku pasang telinga. Aku mendengar gemerisik daun. Lalu suara kaki bergesekan pada
semak-semak yang kering.
Sekali lagi terdengar bunyi ranting patah.
Sambil menelan ludah, aku menyadari bahwa aku tidak send irian.
"Si-siapa itu?" aku berseru.
19
"SlAPA itu?"
Tak ada jawaban.
Aku berdiri seperti patung dan memasang telinga. Aku mendengar suara langkah dan
bunyi napas tersengal-sengal.
"Hei-siapa itu?" seruku.
Aku menundukkan kepala-dan melihat botol yang kucari. Botolnya tergeletak miring
pada setumpuk daun tepat di hadapanku.
Cepat-cepat aku membungkuk dan mencoba meraih botol itu dengan kedua tanganku.
Tapi aku langsung kembali tegak sambil gemetar ketakutan ketika sebuah sosok gelap
muncul dari bayang-bayang pohon.
Napasnya terengah-engah. Lidahnya yang panjang terjulur dari mulutnya yang
menganga lebar.
Seekor anjing besar berbulu cokelat. Dalam cahaya yang remang-remang pun tampak
jelas betapa kasar dan kusut bulunya. Dadanya kembang-kempis seiring tarikan
napasnya.
Aku mundur selangkah. "Kau sendirian?” aku bertanya dengan nada ketakutan.
"Anjing manis, kau sendirian?"
Anjing itu menundukkan kepala dan merintih perlahan.
Aku memandang berkeliling untuk mencari anjing-anjing lain. Apakah anjing itu
termasuk gerombolan yang sering mengejar-ngejarku sambil menyalak dan
menggeram?
Ternyata tidak ada anjing lain.
"Anjing manis," ujarku sambil memaksakan suaraku untuk tetap tenang. "Anjing
manis."
Dia menatapku. Napasnya masih tersengal-sengal. Ekornya yang cokelat mengibas
satu kali, lalu turun.
Aku membungkuk pelan-pelan. Tanpa melepaskan pandangan dari anjing itu,
kupungut botol obat yang tergeletak di tanah. Botolnya terasa dingin sekali. Aku
segera memeriksanya untuk melihat apakah masih ada obat yang tersisa di dalamnya.
Tapi keadaannya terlalu gelap.
Seharusnya masih ada sisanya, pikirku. Rasanya aku tidak menghabiskannya sampai
tetes terakhir waktu itu. Mestinya masih cukup untuk dites oleh Dr. Murkin.
Kuguncang-guncangkan botol itu di dekat telingaku. Moga-moga masih ada setetes!
aku memohon-mohon dalam hati.
Angin mendadak bertiup kencang, menggoyang-goyangkan semak-semak dan
membuat daun-daun di sekitar bergemerisik.
Anjing tadi kembali merintih.
Kugenggam botol INSTA- TAN erat-erat, lalu mulai mundur teratur. "Dadah, anjing
manis."
Dia memiringkan kepala dan menatapku.
Aku mundur selangkah lagi. "Dadah, anjing manis," kuulangi pelan-pelan.
"Pulanglah. Ayo, pulanglah."
Tapi dia tidak beranjak dari tempatnya. Dia malah merintih lagi, lalu mulai mengibas-
ngibaskan ekornya.
Aku kembali mundur selangkah. Botol INSTA-TAN tetap kugenggam erat-erat.
Kemudian, ketika aku berpaling dari anjing yang terus menatapku, aku melihat yang
lainnya.
Mereka muncul tiba-tiba, tanpa bersuara, dan bayang-bayang gelap. Lima atau enam
anjing besar, masing-masing dengan mata menyorot nyalang. Lalu lima atau enam
ekor lagi.
Mereka semakin dekat, dan aku mulai mendengar geraman yang menakutkan. Semua
menyeringai, seakan-akan hendak memperlihatkan gigi dan taring mereka yang tajam.
Aku langsung berhenti. Dengan mata terbelalak ngeri kutatap mata mereka yang
menyorot-nyorot. Lalu aku berbalik dengan kagok. Dan lari untuk menyelamatkan
diri. .'
"Aduh!" Aku memekik nyaring ketika kakiku tersandung dahan mati yang tergeletak
di tanah. Botol INSTA-TAN yang kugenggam terlepas dari tanganku.
Sambil jatuh, tanganku menggapai-gapai untuk meraihnya kembali.
sia-sia.
Dengan mata terbelalak kulihat botol itu membentur batu tajam-dan pecah
berantakan. Pecahan-pecahannya berhamburan ke segala arah. Cairan berwarna
cokelat membasahi batu yang menyembul dari balik daun-daun.
Aku jatuh berlutut dan menahan badanku dengan tangan. seketika rasa nyeri menjalar
ke seluruh tubuhku. Namun aku tidak memedulikannya. Aku segera bangkit lagi.
Terburu-buru aku berbalik untuk menghadapi anjing-anjing tadi.
Tapi di luar dugaanku, mereka berlari ke arah lain. Di sela-sela pepohonan kulihat
seekor kelinci lari terbirit-birit. Gerombolan anjing itu mengejarnya sambil
menggonggong dan menggeram.
Jantungku masih berdebar-debar dan lututku pun masih gemetaran ketika aku
menghampiri batu tadi dan menatap pecahan-pecahan botol yang berserakan di
sekitarnya. Kupungut salah satu dan kuamati dengan saksama.
"Aduh, bagaimana sekarang?" aku bertanya pada diriku sendiri. Gonggongan
gerombolan anjing masih terdengar di kejauhan. "Bagaimana sekarang?"
Botol itu telah pecah berantakan. Aku kehilangan satu-satunya barang bukti yang
kumiliki. Tak ada lagi yang bisa kuperlihatkan pada Dr. Murkin.
Sambil berteriak kesal, kucampakkan pecahan botol itu ke tengah semak-semak. Lalu
aku pulang dengan lesu.
Sehabis makan malam, Mom dan Dad langsung berangkat lagi untuk mengikuti
pertemuan orangtua murid di sekolah. Aku naik ke kamarku untuk menyelesaikan PR.
Aku sedang butuh teman. Karena itu kupangku Jasper dan kubelai-belai dia untuk
beberapa saat.
Tapi dia sedang tidak berminat untuk bermanja-manja. Dia malah memelototiku
dengan matanya yang kuning. Karena tidak berhasil, dia lalu mencakar tanganku,
melompat turun, dan kabur dari kamarku.
Aku mencoba menelepon Lily, tapi tak ada yang menjawab.
Di luar, angin berderu-deru dan mengguncang-guncangkan jendela kamarku.
Aku merinding.
Sambil bertopang dagu di meja belajar, aku mulai membuka buku. Tapi aku tidak bisa
berkonsentrasi. Kata-kata pada halaman yang sedang kubaca tampak kabur, dan
semua kelihatan keabu.
Aku berdiri dan meraih gitarku. Kemudian aku membungkuk dan
menyambungkannya ke amplifier.
Aku sering bermain gitar bila sedang gelisah atau hatiku sedang tidak enak. Biasanya
cara itu cukup ampuh menenangkan hatiku kembali.
Kuputar tombol volume hingga angka 10 dan mulai memainkan melodi blues yang
keras sekali.
Tidak ada siapa-siapa di rumah, tak ada yang menyuruhku memelankannya. Aku
ingin bermain sekeras mungkin-sangat keras sehingga aku bisa melupakan persoalan
yang tengah kuhadapi.
Tapi setelah bermain selama tiga atau empat menit, aku mulai sadar ada yang tidak
beres. Berulang kali ada not yang berbunyi tidak seperti seharusnya. Berulang kali
aku salah memainkan chord.
Ada apa ini? aku bertanya dalam hati. Lagu ini sudah jutaan kali kumainkan. Aku bisa
memainkannya sambil tidur.
Sambil mengerutkan kening aku menatap jariku, dan segera tahu apa masalahnya.
"Ohh!" aku mengerang tertahan. Bulu-bulu menjijikkan itu telah kembali menutupi
kedua tanganku. Semua jariku tertutup bulu hitam yang tumbuh lebat.
Aku membalikkan tangan. Ternyata telapak tanganku pun tertutup bulu.
Gitarku jatuh ke lantai ketika aku melompat berdiri.
Lenganku mulai gatal.
Dengan tangan gemetar, kugulung lengan bajuku. Ternyata lenganku juga ditumbuhi
bulu! Bulu-bulu yang kasar dan kaku itu menutupi kedua lengan dan tanganku.
Aku berdiri sambil menelan ludah, menatap lengan dan tanganku seakan-akan tak
percaya apa yang kulihat. Lututku gemetar nyaris tak terkendali. seluruh tubuhku
mendadak lemas sekali.
Mulutku terasa kering kerontang. Tenggorokanku seperti tercekik.
Aku berusaha menelan ludah.
Jangan-jangan bulu-bulu menjijikkan itu juga tumbuh di lidahku?
Sekonyong-konyong aku terserang rasa mual. Serta-merta aku berlari ke kamar
mandi. sambil menyalakan lampu, aku membungkuk di atas tempat cuci tangan.
Kurapatkan wajahku ke cermin dan kujulurkan lidahku.
Oh, untung saja.
Lidahku tetap normal.
Tapi mukaku-pipiku dan daguku-semua tertutup bulu-bulu hitam.
Bulu-bulu ini menyebar begitu cepat, pikirku.
Bayangan di cermin memperlihatkan kengerian yang meliputi diriku.
Bulu-bulu ini menyebar begitu cepat ke seluruh tubuhku. Apa yang harus kulakukan
sekarang? Masa tak ada sama sekali yang bisa kulakukan?
20
HARI senin aku berangkat sekolah lebih pagi dari biasanya, lalu menunggu Lily di
depan locker-nya.
Aku telah menghabiskan waktu berjam-jam untuk mencukur bersih semua bulu, dan
akhirnya selesai juga.
Pagi ini aku mengenakan sweter dengan lengan yang ekstra panjang, dan aku juga
memakai topi baseball yang kutarik sampai menutupi kening, siapa tahu bulu-bulu itu
tumbuh lagi selama aku berada di sekolah.
"Aduh, mana si Lily?" gumamku tidak sabar.
Dengan gelisah aku mondar-mandir di deretan locker yang berwarna hijau.
Lily dan aku harus menghadapi masalah ini bersama-sama, kataku dalam hati. Aku
teringat roman muka Lily yang ketakutan ketika kutanyakan padanya apakah
tubuhnya juga ditumbuhi bulu-bulu aneh.
Aku tahu hal yang sama juga terjadi pada Lily. Aku yakin sekali.
Dan aku tahu Lily pasti juga merasa malu seperti aku. Dia terlalu malu untuk
mengakuinya, terlalu malu untuk membicarakannya.
Tapi kalau berdua, kami pasti bisa menemukan jalan keluar, pikirku.
Kalau kami berdua menemui Dr. Murkin dan memberitahunya soal INSTA-TAN dan
bulu-bulu yang mendadak tumbuh, dia harus percaya pada kami.
Tapi di mana Lily?
Lorong sekolah dipenuhi anak-anak yang membanting pintu locker sambil bercanda
dan mengobrol. Kulirik arlojiku. Tinggal tiga menit sebelum bel berdering.
"Hei, Larry! Bagaimana, beres semuanya?” sebuah suara memanggilku.
Aku berbalik dan melihat Howie Hurwin menatapku sambil cengar-cengir. Adiknya,
Marissa, berdiri di sampingnya. Kepangan rambutnya terjepit tali ransel, dan dia
sedang berusaha melepaskannya.
"Hai, Howie," sahutku sambil menghela napas. Terus terang, aku sama sekali tidak
berminat ketemu dia pagi ini!
"Sudah siap untuk besok?" dia bertanya. Kenapa sih dia harus selalu nyengir kalau
bicara dengan orang lain? Rasanya aku kepingin menonjoknya.
"Besok?" Aku memandang berkeliling di lorong, mencari-cari Lily.
Howie tertawa. "Ya ampun! Masa kau lupa soal Battle of the Bands?"
"Aduh!" Marissa memekik. Dia akhirnya berhasil melepaskan kepangannya. "Band
kalian masih jadi main?" tanyanya. "Dengar-dengar, Si Manny pindah ke kota lain."
“Yeah, kami tetap akan tampil," jawabku. "Permainan kami makin bagus setiap
hari."
"Kami juga," balas Howie, senyumnya bertambah lebar lagi. "Ada kemungkinan kami
masuk TV. Kenalan pamanku bekerja di Star Search. Dia mungkin bisa
mengusahakan kami tampil di sana."
"Bagus," aku berkomentar sambil lalu.
Mana si Lily?
"Kalau kami sempat tampil di acara itu, kemungkinan besar kami akan menang,"
Marissa menambahkan. Dia masih sibuk dengan kepangannya yang panjang. "Dan
setelah itu kami bakal jadi terkenal."
"Kami diminta main di pesta dansa sekolah bulan depan," ujar Howie. "Band kalian
tidak diminta, kan?"
"Tidak," kataku. "Kami tidak diminta."
senyum Howie melebar dari kuping ke kuping.
"sayang sekali," ujarnya.
Bel berdering. "Aku harus masuk," kataku, sambil bergegas ke ruang kelas Miss
Shindling.
"sampai ketemu di kontes besok," seru Marissa.
"Kami yang tampil pertama," Howie menimpali. "Yang terbaik memang harus maju
paling dulu!"
Kudengar tawa mereka ketika aku memasuki ruang kelas. Aku menuju tempat
dudukku sambil mencari-cari Lily. Mungkinkah dia menyelinap masuk waktu aku
sedang bicara dengan Howie dan Marissa?
Ternyata tidak. Dia tidak kelihatan.
Aku duduk dengan lesu. Bagaimana kalau Lily mendadak sakit? Mudah-mudahan
saja tidak. Dia tidak boleh jatuh sakit sehari sebelum Battle of The Bands, ujarku
dalam hati. Pokoknya, tidak boleh.
"Larry, tolong bagikan kertas ulangan," Miss Shindling berkata sambil menyerahkan
setumpuk kertas padaku.
"Hah? Ulangan?"
Aku lupa sama sekali.
Lily tidak masuk sekolah hari itu. Aku mencoba menelepon ke rumahnya pada waktu
makan siang. Pesawat teleponnya berdering dan berdering, tapi tak ada yang
mengangkat.
seusai sekolah aku memutuskan ke rumah Lily untuk mengetahui apa yang terjadi.
Tapi ketika keluar dari gedung sekolah, aku ingat bahwa ibuku minta aku langsung
pulang sehabis sekolah. Ada beberapa tugas yang harus kukerjakan di rumah.
Cuaca cerah, namun udaranya dingin. Awan-awan putih tampak melayang-layang di
langit sore. semua salju akhirnya mencair, tapi tanahnya masih empuk dan basah.
Aku menunggu beberapa mobil melintas. Kemudian aku menyeberang dan berjalan
menuju ke rumahku.
Aku telah berjalan sekitar satu blok, ketika aku menyadari ada yang mengikutiku.
seekor anjing menyerempet kakiku. Aku tersentak kaget. Langsung saja aku berhenti
dan mengamatinya.
Anjing itu berbulu cokelat muda kemerahan, di lehernya ada bagian yang berbulu
putih. Anjing itu berukuran sedang, sedikit lebih besar ketimbang cocker spaniel.
Kupingnya panjang dan lemas. Ekornya yang panjang dan berbulu lebat dikibas-
kibaskannya sambil menatapku.
"Siapa kau?" tanyaku pada anjing itu. "Rasanya aku belum pernah melihatmu di sini."
Aku memandang berkeliling untuk memastikan bahwa tidak ada anjing-anjing lain
yang bersembunyi di semak-semak sambil bersiap-siap mengejarku.
Lalu aku mulai berjalan lagi.
Tapi anjing itu malah menduluiku. Dia berjalan beberapa langkah di depanku, dan
sebentar-sebentar menengok ke belakang untuk memastikan bahwa aku
mengikutinya.
"Kau yang ikut aku-atau aku yang ikut kau?" aku berseru padanya.
Anjing itu mengibaskan ekornya, seakan-akan hendak menjawab.
Dia menyertai sampai ke rumahku.
Ibuku sudah menunggu di teras dapan. Dia memakai sweter hijau dan celana jeans.
"Hari yang indah," katanya sambil menatap langit yang cerah.
"Hai, Mom," aku menyapanya. "Anjing ini mengikutiku sampai ke sini."
Anjing itu mengendus semak-semak yang tumbuh sebagai pembatas pekarangan.
"Dia lucu juga," ujar ibuku. "Warna bulunya bagus sekali. Anjing siapa ini?"
Aku angkat bahu. "Entahlah. Aku belum pernah melihatnya."
Anjing itu menghampiri kami dan menatap ibuku.
"Dia jinak sekali," aku berkata sambil melepaskan ranselku yang berat. "Barangkali
dia bisa tinggal bersama kita di sini?"
"Kita tidak bisa piara anjing di rumah,", jawab ibuku tegas. "Dia tidak mungkin akur
dengan Jasper.”
Aku membungkuk dan membelai-belai kepala anjing itu.
"Nah, dia pakai keping nama di kalungnya,” Ibuku berkata sambil menunjuk. "Coba
kau periksa, Larry. siapa tahu nama pemiliknya juga tercantum."
Anjing itu mengibas-ngibaskan ekornya ketika kutepuk-tepuk kepalanya. "Anjing
manis," ujarku pelan-pelan. .' " .
"Ayo, Larry. Coba periksa keping namanya,” Ibuku berkeras.
"Oke, oke." Kuraih keping bulat berwarna emas yang tergantung pada kalung anjing
itu. Kemudian aku berlutut dan mendekatkan wajahku, agar bisa melihat lebih jelas.
"Hah?"
Aku langsung mengenalinya.
Keping itu bukan keping nama. Keping itu keping emas milik Lily!
21
AKU kaget setengah mati. Rasanya seperti tersambar petir.
"M-Mom,” aku tergagap-gagap. Tapi suaraku seakan-akan tercekat di tenggorokkan.
"Larry-ada apa lagi sih?!" ibuku berseru. Dia berdiri di depan garasi, sedang
mencabuti rumput liar yang sudah mati. "Apa yang tertulis pada keping itu?"
"I-ini bukan keping nama," aku akhirnya berkata.
Ibuku menoleh. "Apa?"
"Ini bukan keping nama," aku mengulangi sambil tetap memegang keping itu. "ini
keping emas milik Lily."
Ibuku tertawa. "Masa sih Lily memberikan keping itu kepada seekor anjing?
Bukankah keping itu pemberian kakeknya?"
"A-aku juga tidak tahu kenapa," ujarku sambil tergagap-gagap. "Aku tidak mengerti,
Mom."
Embusan napas anjing itu mengenai tanganku. Dia menjauh, lalu duduk dan
menggaruk-garuk kupingnya yang panjang dengan kaki belakangnya.
“Kau yakin itu keping emas, Larry?" tanya ibuku. Dia menghampiriku lalu berdiri
tepat di belakangku.
Aku mengangguk dan kembali meraih keping itu. "Yeah Ini memang keping
emasnya Lily, Mom."
"Ini pasti keping lain," ibuku berkomentar. “Mom yakin ini bukan keping yang
sama.”
Ya, Mom pasti benar, kataku dalam hati.
Kulepas keping itu, lalu mengangkat tangan untuk mengelus-elus kepala anjing itu.
Tapi tanganku mendadak berhenti ketika aku melihat mata anjing tersebut.
Sebelah matanya berwarna biru, satunya lagi berwarna hijau.
22
"DIA Lily! Dia Lily!" aku memekik sambil melompat berdiri.
Teriakanku mengejutkan anjing itu. Dia berbalik lalu kabur sambil berkaing-kaing.
"Lily-tunggu!" aku memanggilnya. "Jangan lari! Lily!"
"Larry-mau ke mana kau?" seru ibuku. "Larry!"
selanjutnya aku tidak mendengar lagi. Tanpa berpikir panjang kulompati ranselku dan
berlari ke jalan. Tanpa mengurangi kecepatan untuk menoleh ke kiri-kanan dulu, aku
menyeberang, lalu terus berlari ke arah rumah Lily.
Anjing itu memang Lily! aku berkata dalam hati. Sebelah matanya hijau, sebelah lagi
biru. Dan dia memakai keping emas Lily!
Aku yakin dia memang Lily!
Aku mendengar ibuku memanggil-manggil, menyuruhku kembali. Tapi aku tidak
menggubrisnya dan terus saja berlari.
Rumah Lily berjarak tiga blok dari rumahku. sepanjang jalan aku terus berlari dengan
sekuat tenaga. Ketika rumahnya mulai kelihatan, napasku sudah tersengal-sengal dan
pinggangku serasa ditusuk-tusuk.
Tapi aku tidak peduli.
Aku harus ketemu Lily. Aku harus memastikan bahwa anjing tadi bukan Lily.
Tapi ini tidak masuk akal. Ketika aku menyeberang jalan, aku mulai sadar bahwa
semua ini benar-benar tidak masuk akal.
Lily jadi anjing?
Aku memperlambat langkahku sambil memijat-mijat pinggang untuk mengusir nyeri.
Ya ampun, Larry. Kau sudah mulai gila, ya? aku bertanya pada diriku sendiri. Mom
pasti menyangka aku sudah tidak waras! tambahku dalam hati.
Kulihat orangtua Lily sedang di depan garasi. Kap bagasi mobil Chevy mereka
terbuka. Mr. Vonn sedang memasukkan koper.
"Halo!" aku menyapanya sambil terengah-engah.
"Hei-halo!"
"Halo, Larry," balas Mrs. Vonn ketika aku menghampiri mobil mereka. Aku melihat
dua koper lain serta sejumlah tas yang menunggu dimasukkan ke bagasi mobil.
"Mau bepergian?" tanyaku sambil berusaha mengatur napas. Nyeri di pinggangku
belum juga mereda.
Mereka tidak menjawab. Mr. Vonn mengerang ketika mengangkat koper yang berat.
"Mana Lily?" tanyaku. Kuserahkan salah satu tas padanya. "Dia tadi tidak masuk
sekolah."
"Kami akan pindah," Mrs. Vonn berkata dari belakangku.
“Lily mana?" aku mengulangi pertanyaanku. “Dia masih di dalam?”
Mr. Bon mengerutkan kening, tapi tidak menyahut.
Aku berpaling kepada istrinya. “Bisa bertemu Lily sebentar?” aku bertanya dengan
nada mendesak. “Dia masih di dalam?”
“Kau mungkin salah alamat,” ujar Mrs. Bon.
Aku terbengong-bengong. “Salah alamat? Mrs. Vonn – apa maksud anda?”
“Di sini tidak ada yang bernama Lily,” katanya.
23
AKU sendiri tidak mengerti apa sebabnya, tapi aku langsung tertawa.
Tawa kaget. Tawa ngeri.
Tapi aku segera terdiam melihat kesedihan yang tergambar pada wajah Mrs. Vonn.
Serta-merta aku merinding.
"Apakah Lily-?" aku mulai berkata.
Mrs Vonn menggenggam pundakku dan meremasnya. Dia membungkuk sedikit,
sehingga wajahnya berdekatan dengan wajahku. “Dengar yang saya katakan padamu,
Larry,” ujarnya sambil menggertakkan gigi.
“Tapi-tapi-,” aku tergagap-gagap.
“Tidak ada yang bernama Lily di sini,” dia mengulangi sambil meremas pundakku
lebih keras. “Lupakan dia.” Matanya berkaca-kaca.
Mr. Vonn menutup kap bagasi. Aku melepaskan diri dari genggaman Mrs. Vonn.
Jantungku berdebar-debar.
“Sebaiknya kau pulang saja,” Mr. Vonn berkata dengan tegas sambil menghampiri
istrinya.
Aku mundur selangkah. Kakiku lemas dan gemetar.
"Tapi, Lily-"'- ujarku.
"Kau pulang saja," Mr. Vonn berkata sekali lagi.
Di samping garasi kulihat anjing berbulu cokelat kemerahan itu. Dia merintih dengan
sedih sambil menundukkan kepalanya.
Aku berpaling, lalu berlari sekencang mungkin.
Sikap Mom dan Dad aneh sekali waktu kami makan malam. Mereka tidak mau bicara
tentang Lily atau tentang anjing yang kulihat di rumah keluarga Vonn.
Berulang kali kedua orangtuaku saling melirik penuh arti, dan sepertinya mereka
menyangka aku tidak melihatnya.
Mereka pikir aku gila! aku menyadari. Karena itulah mereka tidak mau diajak bicara.
Mereka pikir aku sudah tidak waras. Mereka tidak mau mengatakan apa-apa sebelum
mereka tahu bagaimana mereka harus menanganiku.
"Aku tidak gila!" seruku tiba-tiba. Sendok dan garpuku berjatuhan ke meja. Makanan
di piringku sama sekali belum kusentuh.
Bagaimana aku bisa makan?
"Aku tidak gila! Aku tidak mengada-ada!"
"Bagaimana kalau lain kali saja kita bicara soal ini?" ibuku memohon sambil melirik
ke arah ayahku.
"Ya, sekarang kita makan dulu dengan tenang," ayahku menambahkan sambil
menatap piringnya.
Sehabis makan malam kutelepon Jared dan Kristina, kuminta mereka datang ke
rumahku supaya aku bisa menyampaikan kabar buruk itu kepada mereka. Aku tidak
mau mereka menyangka aku sudah gila, jadi aku cuma bercerita bahwa Lily pergi.
"Tapi bagaimana perlombaan besok?” seru Jared.
"Yeah. Bagaimana dengan Battle of the Bands,” Kristina menimpali. "Kok Lily tega
sih, pergi sehari sebelum kontes?" .
Aku angkat bahu. Kami berada di ruang tamu. Kristina dan aku duduk di sofa. Jared
mengambil tempat di kursi yang berhadapan denganku.
Jasper menggesekkan badannya ke kakiku. Aku membungkuk dan mengangkatnya ke
pangkuanku. Dia menatapku dengan matanya yang kuning. Lalu dia memejamkan
mata.
"Pergi ke mana sih dia?" Kristina bertanya dengan gusar sambil mengetuk-ngetukkan
jari ke sandaran tangan di sofa. "Berlibur? kenapa dia tidak bilang dari awal bahwa
dia tidak bisa ikut kontes.”
"Howie Hurwin bakal bersorak-sorai kegirangan kalau dengar berita ini," Jared
bergumam dengan prihatin sambil geleng-geleng kepala.
"Aku tidak tahu ke mana Lily pergi,” aku memberitahu mereka. "Aku cuma melihat
orangtuanya memasukkan koper-koper ke dalam mobil. Dan sekarang mereka pergi.
Cuma itu yang kutahu. Aku yakin Lily sebenarnya tidak mau. pergi. Aku tahu dia
sebenarnya ingin bersama kita. Tapi rasanya dia tidak punya pilihan."
Hampir saja kuceritakan apa yang terjadi. Tapi aku tidak ingin mereka
menertawakanku. Atau merasa kasihan pada diriku sendiri.
Aku bingung sekali. Aku tidak tahu harus berbuat apa.
Aku cuma tahu bahwa aku ingin Lily kembali lagi. Dan Manny juga.
Dan aku ingin bulu-bulu jelek itu berhenti tumbuh di seluruh tubuhku. Kalau saja
botol INSTA-TAN itu tak pernah kutemukan. Ini semua salahku. Semuanya.
"Tampaknya The Geeks harus mengundurkan diri dari kontes band besok," ujarku
lesu.
"Kelihatannya begitu," Jared membenarkan sambil geleng-geleng kepala.
"Nanti dulu!" seru Kristina. Jared dan aku sama-sama kaget. Kristina langsung
bangkit dan berdiri di antara Jared dan aku. Dia mengepalkan tangannya. "Nanti
dulu!" dia mengulangi.
"Tapi kita tidak punya penyanyi-" protes Jared.
"Aku saja yang nyanyi," Kristina segera menyahut. "Suaraku cukup bagus."
"Tapi kau belum pernah berlatih sebagai penyanyi," kata Jared. "Kau hafal liriknya?"
Kristina mengangguk. "setiap kata."
"Tapi, Kristina-" aku mulai berkata.
"Begini," dia memotong dengan ketus. "Kita harus tampil besok. Biarpun kita cuma
bertiga. Masa sih Howie Hurwin kita biarkan menang begitu saja?"
"Rasanya aku memang ingin membuat Howie berhenti cengar-cengir," ujarku
perlahan.
"Aku juga," Jared mendukungku. "Tapi bagaimana caranya? Dengan dua gitar dan
satu keyboard? Howie punya band lengkap. Kita bakal disikat habis."
"Kita harus main dengan sepenuh hati!" Kristina berseru penuh emosi. "Kita harus
tampil sebaik-baiknya. "
"Demi Lily!" aku menimpali. Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutku, dan
seketika aku menundukkan kepala karena mlu.
Tapi Kristina dan Jared ternyata sependapat.
“Yeah, demi Lily!" mereka bersorak berbarengan. "Kita bisa menang! Kita harus
bisa! Demi Lily!"
Keputusan telah diambil. The Geeks tetap akan tampil besok sore. Mungkinkah kami
menang? Mungkinkah kami mengalahkan Howie and the shouters?
Rasanya tidak.
Tapi kami akan berusaha dengan sekuat tenaga.
"Ayo, kita latihan sebentar di kamarku," aku mengusulkan.
Jared bergegas menaiki tangga. Tapi Kristina tidak beranjak dari sofa.
Aku berpaling kepadanya. Ternyata dia sedang menatap wajahku dengan ngeri.
"Larry-!" serunya sambil menunjuk. "Apa itu di keningmu?"
24
AKU menahan napas.
Tanganku langsung bergerak untuk meraba keningku.
Bulu-bulu hitam itu sudah tumbuh lagi, aku segera menyadari. Kini rahasiaku sudah
diketahui oleh Kristina dan Jared. Akhirnya mereka tahu juga bahwa aku sedang
berubah jadi monster berbulu yang mengerikan.
Kugosok-gosok keningku dengan tangan gemetar.
Licin.
Keningku licin!
"Di sebelah situ," ujar Kristina sambil menunjuk.
Aku bergegas ke cermin di dekat pintu masuk dan mengamati keningku. Ternyata di
dekat pelipis kananku ada bercak berwarna jingga.
"Oh, ini saus spageti," kataku sambil menghela napas. "Rupanya tak kusadari aku
mengusap muka waktu makan malam tadi."
Cepat-cepat kuseka bercak jingga itu. Seluruh tubuhku gemetaran. Aku sempat
ketakutan setengah mati. Gara-gara bercak saus spageti!
“Larry, kenapa kau?" tanya Kristina. Dia berdiri di belakangku dan menatap
bayanganku di cermin.
"Kau kelihatan pucat."
"Aku tidak apa-apa," jawabku sambil berusaha memaksa tubuhku berhenti bergetar.
"Hei-kau tidak boleh sakit," Jared mewanti-wanti. "Kristina dan aku tidak mungkin
tampil berdua saja besok"
"Tenang saja," aku meyakinkan mereka. "Aku pasti ikut."
Keesokan sore seluruh sekolah memadati auditorium untuk menyaksikan Battle of
the Bands.
Aku berdiri di belakang panggung dan mengintip dari balik tirai. Aku gugup sekali.
Lampu-lampu di auditorium menyala, dan Mr. Fosburg, kepala sekolah kami, berdiri
di panggung sambil mengangkat kedua tangan menenangkan para hadirin.
Di belakangku, Howie Hurwin dan band-nya sedang menyetem instrumen masing-
masing dan menyetel amplifier untuk memastikan bahwa semuanya beres. Marissa
mengenakan gaun mini berwarna merah terang dan celana ketat berwarna hitam.
Sadar bahwa aku memperhatikannya, dia mengembangkan senyum mencemooh.
Seharusnya the Geeks juga memperhatikan penampilan, aku mendadak sadar ketika
menatap Marissa. Hal itu sama sekali tidak terpikir oleh kami!.
Kristina, Jared, dan aku cuma mengenakan pakaian sekolah biasa, jeans dan T-shirt.
Aku menoleh dan memperhatikan synthesizer baru milik Howie. Panjangnya sekitar
satu mil, dengan ribuan tombol. Dibandingkan synthesizer itu, keyboar Jared jadi
kelihatan seperti mainan bayi.
Howie memergoki aku sedang mengamati syntheslzer-nya. "Keren, ya?" dia berseru
sambil menampilkan senyumnya yang menyebalkan. "Hei, Larry-nanti kalau kami
sudah menang, kau boleh minta tanda tanganku!"
Howie tertawa. Begitu juga Marissa dan para anggota the shouters yang lain.
Aku meninggalkan mereka, dan bergabung dengan Jared dan Kristina yang berdiri, di
pinggir panggung. "Kita tidak bakal bisa menang," aku mengeluh sambil
menggelengkan kepala.
"Jangan putus asa, dong!" Jared berkata dengan ketus.
"Moga-moga saja semua sekring di keyboard Howie mendadak putus," aku
bergumam. "Itu satu-satunya harapan kita."
Kristina mengerutkan kening. "Peralatan mereka boleh canggih, tapi permainan
mereka belum tentu."
Ternyata permainan Howie and the shouters tak kalah hebat dibandingkan peralatan
mereka.
Lampu-lampu auditorium meredup. Tirai penutup panggung bergeser ke samping.
Howie dan the Shouters naik ke panggung yang diterangi lampu merah-biru. Dan
langsung saja mereka mulai memainkan lagu rock-and-roll lama dari Chuck Berry
yaitu Johnny B. Goode.
Permainan mereka bagus sekali. Dan penampilan mereka pun patut diberi acungan
jempol.
Gaun Marissa tampak berkilau-kilau. Mereka juga telah menyiapkan gaya panggung,
sehingga semua anggota band menari dan bergerak sambil bermain.
Kenapa itu tidak terpikir oleh kami? aku bertanya dalam hati sambil menyaksikan
mereka dari sisi panggung. Kalau kami bermain, kami hanya berdiri seperti patung!
Anak-anak di auditorium langsung bersorak-sorai. semua berdiri dan mulai bertepuk
tangan sambil bergoyang-goyang.
Mereka tetap berdiri selama empat lagu. Lagu-lagu berikutnya dimainkan lebih keras
dan lebih cepat dari lagu sebelumnya. Auditorium tua itu bagaikan diguncang gempa.
Aku sampai kuatir kalau-kalau lantainya bakal ambruk!
Akhirnya Howie, Marissa, dan yang lainnya membungkuk. seketika tepuk tangan
meriah meledak, dan dari mana-mana terdengar teriakan, "Lagi! Lagiii! Lagiii!"
Howie dan the shouters memainkan dua lagu lagi.
sementara mereka bermain, Jared, Kristina, dan aku saling melirik dengan gugup.
semakin lama, rasa percaya diri kami semakin memudar!
sekali lagi Howie dan Marissa membungkuk. Kemudian mereka berlari meninggalkan
panggung sambil mengacungkan tinju sebagai tanda kemenangan.
"Giliran kalian!" seru Howie ketika melewati kami. Dia nyengir lebar. "Hei, Larry-
mana anggota band-mu yang lain?"
Hampir saja aku tidak tahan untuk membentaknya. Tapi Jared mendorongku dengan
keras, dan bertiga kami naik ke panggung.
Aku membungkuk dan menyambungkan gitarku ke amplifier. Jared mengotak-atik
keyboard-nya yang mungil untuk menyesuaikan suaranya.
Keyboard raksasa milik Howie telah didorong ke bagian belakang panggung.
Keyboard itu seakan-akan memelototi kami, sekaligus mengingatkan kami betapa
hebat-dan keras-penampilan the shouters tadi.
Kristina berdiri tegang di depan mikrofon, dengan tangan bersilang di depan dada.
Aku memainkan beberapa chord untuk mengetahui volume amplifier. Tanganku
dingin dan berkeringat. Berulang kali jariku tergelincir ketika hendak memetik atau
menekan senar.
Para penonton asyik mengobrol dan bercanda sambil menunggu.
"Siap?" aku berbisik kepada Jared dan Kristina. "Kita mulai dengan I Want to Hold
Your Hand. Habis itu kita masuk ke lagu Rolling Stones."
Mereka mengangguk.
Jared membungkuk di atas keyboard-nya. Kristina menghampiri mikrofon sambil
memasukkan kedua tangannya ke dalam kantong celana jeans-nya.
Kami mulai dengan lagu Beatles.
Mula-mula agak kacau. Kami bernyanyi bersamaan, tapi nadanya agak kurang pas.
Gitarku terlalu keras, sehingga mengalahkan suara-suara kami. sebenarnya aku ingin
berhenti dulu dan mengecilkan volume, tapi tentu saja itu tidak mungkin.
Para penonton duduk dengan tenang sambil menyimak penampilan kami. Tak ada
yang bangkit dan mulai menari-nari.
Mereka bertepuk tangan ketika lagu pertama berakhir. Tapi tepuk tangan itu terkesan
basa-basi. Tak ada yang bersorak-sorai. Tak ada yang bersuit-suit nyaring.
Paling tidak lagu pertama sudah selesai! aku berkata dalam hati, sambil menyeka
tanganku yang berkeringat ke celana jeans-ku.
Aku maju selangkah ketika kami mulai memainkan lagu Rolling Stones.
Dalam nomor ini aku kebagian solo gitar yang panjang sekali. Aku hanya bisa berdoa
agar semua berjalan lancar.
Kuanggukkan kepala kepada Jared dan Kristina.
Kristina meraih mikrofon dengan kedua tangan. Dan Jared mengawali lagu dengan
keyboard.
Aku mulai bersolo. Oh, gawat. Chord-chord di permulaan sudah tidak beres.
Jantungku mulai berdegup-degup. Mulutku mendadak kering kerontang.
Aku memejamkan mata dan berusaha memusatkan pikiran pada jari-jemariku, pada
musik yang kumainkan.
sementara aku memetik-metik senar, para penonton mulai bertambah riuh. Mula-mula
ada sorakan-sorakan. Lalu tepuk tangan dari sana-sini.
Tapi kemudian tepuk tangannya semakin meriah. Dengan gembira kubuka mata lagi.
Beberapa anak sedang berdiri sambil tertawa dan berseru-seru.
Kutekuk lutut dan membiarkan jari tangan kiriku menari-nari pada fret, sementara
pick di tangan kananku bergerak secara otomatis menyapu senar-senar.
Hatiku berbunga-bunga.
sorak-sorai para penonton semakin keras. Kemudian kusadari bahwa beberapa anak
menunjuk-nunjuk ke arahku.
Ada apa ini? aku bertanya dalam hati.
Dan tiba-tiba aku tahu bahwa ada yang tidak beres. sorak-sorai mereka terlalu keras.
Tawa. mereka terlalu keras. Terlalu banyak anak yang bangkit dan menunJuk-nunJuk
diriku.
"Special effect-nya keren!" aku mendengar seruan anak cowok di baris pertama.
"Yeah. Special effect-nya keren sekali!"
Hah? pikirku. Special effect apa?
Pertanyaanku itu segera terjawab.
Ketika Kristina mulai bernyanyi, aku mengangkat tangan dan menyeka wajahku.
Aku memekik kaget ketika aku merasakan bulu-bulu yang kasar dan kaku.
Wajahku tertutup ulu. Daguku, pipiku, keningku.
Bulu-bulu hitam Itu telah menyebar ke seluruh wajahku.
Dan seluruh sekolah sedang menatapku. seluruh sekolah telah mengetahui rahasiaku
yang memalukan.
25
"KITA menang! Kita menang!”
Aku mendengar Jared dan Kristina berseru-seru dengan gembira di belakangku.
Tapi aku menaruh gitarku di lantai panggung, berpaling dari mereka, lalu langsung
kabur.
Anak-anak di auditorium masih bersorak-sorai.
Kami memenangkan kontes karena bulu-bulu yang tumbuh di wajahku. "Special
effet-nya keren!” anak tadi sempat berkomentar. Kami menang karena "special
effect" itu.
Tapi perasaanku tidak seperti seorang juara.
Aku justru merasa hina dan malu.
Bulu-bulu itu telah menutupi wajahku, lalu menyebar ke tengkuk dan pundakku.
Kedua tanganku tertutup bulu-bulu kasar, dan aku bisa merasakan bulu-bulu yang
tumbuh di lenganku. Dan sekarang punggungku pun mulai gatal-gatal.
"Hei, Larry-Larry!" kudengar Kristina dan Jared memanggil-manggil. “Pialamu! Kau
belum ambil pialamu!”
Tapi aku sudah menghambur ke luar lewat pintu panggung. sorak-sorai para penonton
terngiang-ngiang di telingaku. Tanpa menoleh aku kabur lewat pintu belakang
sekolah. suasana dingin dan kelabu menyambutku. Awan-awan gelap melayang
rendah di atas pepohonan.
Aku berlari. Berlari tunggang-langgang, dengan jantung berdegup kencang.
Aku berlari pulang. Tubuhku tertutup bulu-bulu hitam yang tumbuh lebat.
Aku berlari dengan panik, sambil menahan malu.
Rumah-rumah dan pohon-pohon yang kulewati tak kuperhatikan lagi. Ketika sampai
di rumah, kulihat ayah dan ibuku berdiri di depan garasi. Mereka menoleh, dan
keduanya tampak kaget sekali.
"Lihat aku!" aku memekik. "Lihat!" suaraku terdengar parau dan ketakutan. "sekarang
Mom dan Dad percaya?"
Mereka menatapku sambil terbengong-bengong. Mata mereka terbelalak lebar karena
kaget dan ngeri.
Kuangkat tanganku agar mereka bisa melihat lenganku. "Lihat wajahku?" aku
meratap. "Lihat lenganku? Tanganku?"
Mereka menahan napas. Ibuku meraih tangan ayahku.
"sekarang Mom dan Dad percaya?" seruku. "Inilah buktinya bahwa INSTA-TAN
membuat bulu-bulu tumbuh tak terkendali."
Aku berdiri sambil menatap mereka. Jantungku berdebar-debar, napasku tersengal-
sengal, mataku berkaca-kaca. Aku berdiri sambil menunggu, menunggu mereka
mengatakan sesuatu.
Akhirnya ibuku memecahkan keheningan. "Larry,
bukan obat itu yang membuatmu begini," dia berkata pelan-pelan sambil
berpegangan pada ayahku. “kami sudah berusaha menutup-nutupi rahasia ini. Tapi
sekarang sudah waktunya untuk berterus terang.”
“Hah? Rahasia apa?”
Mereka saling melirik. Ibuku mulai terisak-isak. Ayahku segera merangkulnya.
“Bukan obat itu penyebabnya,” ayahku berkata dengan suara bergetar. “Larry, sudah
waktunya kau tahu penyebab sebenarnya. Tubuhmu ditumbuhi bulu karena kau
sesungguhnya bukan manusia. Kau seekor anjing.”
26
AKU menundukkan kepala dan menjilat air dari mangkuk plastik yang diletakkan
ayah dan ibuku di teras depan. Ternyata sulit sekali untuk minum dan membasahi
seluruh moncongku.
Kemudian aku melompat ke rumput dan menghampiri Lily di semak-semak pembatas
halaman. Beberapa saat kami asyik mengendus-endus. Lalu kami berlari ke
pekarangan sebelah untuk melihat apakah ada sesuatu yang menarik untuk dicium-
cium.
Sudah dua minggu berlalu sejak tubuh manusiaku lenyap, dan aku kembali menjadi
anjing. Untung saja, sebelum aku berubah, ayah dan ibuku-maksudku, Mr. dan Mrs.
Boyd-berbaik hati untuk menjelaskan apa yang terjadi.
Masalahnya begini, mereka ternyata bekerja untuk Dr. Murkin. Bahkan hampir semua
orang di kota ini bekerja untuk Dr. Murkin. Seluruh kota merupakan semacam
laboratorium uji coba.
Beberapa tahun yang lalu, Dr. Murkin menemukan cara untuk mengubah anjing
menjadi anak-anak. Dia menemukan serum yang membuat anjing kelihatan seperti
manusia, juga berpikir dan bertindak seperti manusia. Karena itulah aku begitu sering
disuntik. Setiap dua minggu aku diberi serum baru.
Tapi setelah beberapa waktu, serumnya tidak bekerja lagi. Dan anak-anak itu kembali
menjadi anjing.
"Dr. Murkin telah memutuskan untuk menghentikan uji coba dengan menggunakan
anjing," ibuku sempat bercerita. "Hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Dan
keluarga-keluarga yang bersangkutan menjadi terlalu menderita pada waktu anak-
anak mereka kembali menjadi anjing."
"Dia takkan pernah lagi melakukan uji coba dengan anjing," ayahku menjelaskan.
"Serumnya kurang efektif untuk anjing."
Aku gembira bahwa suami-istri Boyd menyempatkan diri untuk menjelaskan
semuanya padaku. Aku merasa begitu berterima kasih, sehingga tangan mereka
kujilat-jilat. Kemudian aku bergegas mencari Lily, untuk memberitahunya bahwa aku
juga seekor anjing.
Lily dan aku selalu bersama-sama. Kadang-kadang Manny ikut bergabung. Begitu
banyak anjing yang berkeliaran di kota ini. Aku rasa semuanya sempat menjadi
manusia untuk beberapa waktu.
Aku senang mengetahui Dr. Murkin berhenti menggunakan anjing sebagai kelinci
percobaan. Aku cuma seekor anjing, tapi menurutku anjing sebaiknya tetap menjadi
anjing.
Lily dan aku menemukan tanah basah untuk diendus-endus di kebun bunga tetangga.
Saat ini belum ada bunga yang bisa kami gali. Tapi bau tanahnya enak sekali.
Tak lama setelah itu aku melihat mobil keluarga Boyd berhenti di depan garasi.
Mereka pergi sepanjang sore. Aku langsung berlari menghampiri mereka sambil
mengibas-ngibaskan ekor.
Di luar dugaanku, Mrs. Boyd sedang menggendong bayi-bayi mungil, terbungkus
selimut berwarna pink.
Mrs. Boyd menggendong bayi itu dengan kedua tangannya ketika berjalan masuk ke
rumah. Dan Mr. Boyd tersenyum lebar waktu menyusul. istrinya.
"Aduh, kau bayi perempuan yang lucu sekali,” ujar Mrs. Boyd. "Oh, ya. Lucu sekali.
Selamat datang di rumahmu yang baru, Jasper."
Hah? pikirku. Rasanya Jasper nama yang janggal untuk bayi perempuan, bukan?
Kemudian kutatap bayi itu dan terlihat matanya yang kuning cerah.
Selesai