Efektivitas Perbandingan Deksametason Intravena Dengan Propofol Untuk Menghilangkan Nyeri
FUNGSI PROPOFOL
-
Upload
utami-murti-pratiwi -
Category
Documents
-
view
231 -
download
0
description
Transcript of FUNGSI PROPOFOL
SEDASI PADA PASIEN NEUROCRITICAL: APAKAH BERMANFAAT?
Abstrak
Obat-obat anestesi digunakan secara luas dalam penatalaksanaan pasien neurocritical,
meskipun belum terbukti manfaat penggunaan obat-obat ini dalam memperbaiki
outcome pasien. Tujuan penulisan tinjauan ini adalah untuk mengevaluasi manfaat
penggunaan anestesi yang diharapkan dalam perubahan fisiologi yang terjadi akibat
kerusakan otak dengan mengingat komplikasi lain yang mungkin terjadi.
Kata kunci: Sedasi dalam - Hipnosis dan sedasi - Fisiologi, standar
PENDAHULUAN
Pasien di Intensive Care Unit (ICU) yang membutuhkan ventilasi mekanik
sering diterapi menggunakan sedatif atau analgetik, yang diberikan secara bolus
berkelanjutan maupun berkala. Tujuan utama terapi ini adalah untuk mengurapi
respon stress, konsumsi oksigen, nyeri, anxietas/kecemasan, dan ketidaknyamanan
Komplikasi akibat sedasi sudah banyak diketahui, antara lain: pemeriksaaan
neurologis tidak dapat dilakukan, infeksi misalnya pneumonia-terkait-ventilator,
hipotensi, deep venous thrombosis/thrombosis vena dalam, dan akumulasi obat-
obatan saat dilakukan pemeberian yang berkelanjutan.
Beberapa tahun terakhir telah dilakukan berbagai usaha untuk meminimalkan
komplikasi pemberian sedatif intravena dalam jangka waktu yang lama, juga untuk
menyeimbangkan antara biaya yang dikeluarkan dan manfaat yang diberikan. Pada
tahun 2008, Girard et al dalam penelitiannya menemukan bahwa wake up test (WUt)
dan protokol pengurangan pernapasan harian agar pasien dapat terbangun secara
spontan (interupsi sedatif) dan percobaan bernapas spontan dapat memberikan luaran
klinis yang lebih baik pada pasien ICU yang mendapatkan ventilasi mekanik jika
dibandingkan dengan pendekatan terapi standar yang saat ini berlaku. Pada tahun
2009, Kress et al menemukan bahwa interupsi harian pada infus sedatif hingga pasien
terbangun dapat mengurangi durasi penggunaan ventilasi mekanik. Sebuah penelitian
yang dipublikasikan pada tahun 2010 menunjukkan bahwa pasien kritis yang
menggunakan ventilasi mekanik tanpa sedasi secara signifikan memiliki periode tidak
menggunakan ventilasi mekanik yang meningkat hingga mencapai 28 hari
dibandingkan dengan pasien yang menjalani interupsi sedasi harian. Manfaat tidak
diberikannya sedasi pada pasien juga berhubungan secara signikan dengan
berkurangnya lama perawatan pasien di ICU dan rumah sakit.
Penelitian-penelitian ini dilakukan di ICU pada pasien-pasien tanpa gangguan
otak akut akibat gangguan respirasi, jantung, sepsis ataupun trauma. Karakteristik
pasien dengan gangguan oaak yang kompleks dimasukkan ke neurointensive care
unit dan menimbulkan pertanyaan serta pertimbangan lain yang perlu diberikan untuk
perubhan fisiologi otak. Tujuan terapi neuro-ICU kemungkinan berbeda dengan
tujuan pemberian sedatif pada ICU umum.
Delirium, anxietas/kecemasan, dan rasa tidak nyaman bukan merupakan
masalah utama pada pasien koma dengan fungsi otak yang terganggu. Pada kelompok
pasien neurocritical yang spesifik ini, sedasi dipertimbangkan untuk diberikan
sebagai terapi spesifik dan bukan adjuvant.
Tipe lesi otak yang berbeda membutuhkan manajemen terapi yang berbeda
juga, misalnya gangguan akut dapat timbul akibat berbagai keadaan patologis seperti
traumatic brain injury/cedera otak traumatik, stroke, perdarahan subarachnoid,
kejang, dan infeksi. Manajemen pasien juga dibedakan berdasarkan usia, penyakit
yang menyertai dan keadaan neurologis.
Tujuan penulisan tinjauan ini yaitu sebagai berikut: 1) untuk klarifikasi efek
(serebral maupun sistemik) yang mungkin timbul akibat pemberian sedatif pada
ppasin dengan gangguan otak akut, 2) komplikasi yang timbul akibat sedasi, dan 3)
karakteristik farmakologi obat-obat yang sering digunakan di ICU.
DASAR PEMIKIRAN PEMBERIAN SEDATIF DI NEURO-ICU: MENGAPA
SEDASI DIBUTUHKAN?
Obat-obat anestesi secara luas telah digunakan sebagai terapi untuk pasien-
pasien neurocritical, khususnya pada fase akut dan perawatan ICU. Berdasarkan
analisis data yang diperoleh dari Neuro-Link database, tampak bahwa dari total 678
pasien, sebanyak 521 pasien dengan cedera kepala berat diberikan sedatif pada hari
ketiga. Dengan kata lain, dapat dipertimbangkan bahwa pemberian sedatif belum
terbukti bermanfaat dalam memperbaiki outcome pasien. Penelitian terhadap pasien
post-trauma dengan cedera kepala berat dan sedang yang diberikan propofol 2% dan
diberikan morfin tampak tidak memiliki perbedaan dalam hal tekanan intrakranial
((ICP) harian dan tekanan perfusi serebral (CCP). Tekanan intrakranial yang rendah
kemudian tampak pada kelompok propofol di hari ketiga pemberian, sedangkan pada
kelompok morfin tampak Therapeutic Intensity Level (TIL) yang lebih tinggi. Analisi
post-hoc menunjukkan bahwa pasien yang mendapatkan propofol dosis tinggi secara
signifikan memberikan outcome yang lebih baik.
Pemberian sedatif merupakan hal yang penting dan penulis berpikir bahwa
sedatif dapat digunakan sebagai terapi pada fase akut pasien dengan gangguan otak.
Penulis menganalisis karakteristik sedatif berdasarkan efek serebral dan sistemik
yang ditimbulkan.
Efek Serebral Spesifik
Pasien cedera otak (trauma, stroke, hemoragik, infeksi) memiliki risiko
mengalami iskemik otak. CPP mengalami penurunan akibat peningkatan ICP ataupun
karena penurunan tekanan arteri yang dikenal sebagai autoregulasi yaitu mekanisme
yang mempertahankan aliran agar tetap konstan, di mana autoregulasi ini mengalami
gangguan bahkan menghilang. Pengendalian ICP, apapun penyebab cedera otak yang
terjadi,merupaka kunci utama penanganan neurologis. Sedatsi menurunkan cerebral
metabolic rate (CMR) sehingga cerebral oxygen uptake juga akan menurun, dan
kerusakan iskemik pada area dengan aliran perfusi yang rendah dapat dicegah. Selain
itu, penurunan CMR juga sering dikaitkan dengan menurunnya cerebral blood flow
(CBF) pada area dengan perfusi yang normal, sehingga ICP juga ikut menurun.
Kejang dan epilepsi merupakan konsekuensi yang mungkin terjadi akibat
cedera otak akut karena stroke, trauma, hemoragik, anoksia serebral, neoplasma dan
infeksi system saraf pusat. Insidens kejang bervariasi berdasarkan tipe lesi dan
beratnya kerusakan yang terjadi yaitu berkisar antara 5% hingga 25%. Peningkatan
CMR selama kejang dapat meningkatkan CBF yang kemudian diikuti oleh
peningkatan ICP.
Kejang dini terjadi pada saat cedera otak terjadi atau selama 7 hari pertama,
sedangkan kejang yang lambat akan muncul setelah 1 minggu. Pemberian anti-
konvulsan tidak berhasil mencegah epilepsi yang muncul lambat, tetapi pemberian
obat-obat hipnosis dapat mencegah terjadinya kejang pada fase akut. Berbagai obat-
obat sedatif dan anestesi dapat digunakan untuk mengatasi kejang dan status epilesi
refrakter.
Efek Sistemik General
Berbagai efek sistemik dapat langsung timbul mengganggu fisiologi serebral
dan sering terjadi pada fase akut dan selama perawatan di ICU. Nyeri merupakan
konsekuensi yang sering dialami pasien kritis yang dapat menimbulkan gejala berupa
takikardi, hipertensi dan peningkatan konsumsi oksigen myocardium. Nyeri juga
sering dialami oleh pasien-pasien ICU dan disebabkan adanya patologi (seperti
trauma) ataupun prosedur diagnostik dan terapi. Laringoskopi dan intubasi trakea
mengaktifkan sistem saraf simpatis, suction menimbulkan peningkatan ICP yang
progresif akibat hipoksia, hiperkapnia, dan batuk. Batuk meningkatkan tekanan
intratorakal dan menurunkan aliran balik vena. Pada keadaan demam dan hipotermia,
reflex menggigil akan muncul untuk mempertahankan homeostasis. Pada pasien yang
disedasi, hanya proses adaptasi ventilator yang sempurna serta sinkronisasi yang
dapat mempertahankan kontrol keseimbangan PaCO2 agar tetap konstan dan sesuai
yang dibutuhkan tubuh.
PENGETAHUAN AKAN KOMPLIKASI MEMUNGKINKAN PEMBERIAN
OBAT-OBATAN DILAKUKAN DENGAN AMAN
Pasien ICU sering membutuhkan sedasi yang dalam dalam jangka waktu yang
panjang. Hal ini akan meningkatkan risiko terjadinya komplikasi yang mengancam
jiwa.
Telah diketahui bahwa banyak komplikasi yang mungkin timpul pada pasien
yang mendapatkan sedasi dan anestesi, seperti infeksi, ileus, dan thrombosis.
Tinjauan ini akan difokuskan pada komplikasi-komplikasi mayor yang dapat
terjadi pada pasien yaitu: 1) pemeriksaan neurologis tidak mungkin dilakukan; 2)
hipotensi; 3) takifilaksis dan oversedasi.
1) Pasien dengan cedera otak akut kebanyakan diintubasi, menggunakan ventilator,
dan di bawah pengaruh sedatif; pemeriksaan neurologi sulit dilakukan serta derajat
parahnya cedera dapat over-estimated. Pemeriksaan CT-scan dan monitor serebral
perlu dilakukan secara kombinasi untuk evaluasi pasien. Lesi penyebab kerusakan
otak dapat berkembang selama jam-jam pertama. Perburukan keadaan ini sering tidak
tampak karena pengaruh sedasi, dan hanya bisa diidentifikasi melalui pemeriksaan
klinis standar baku. Karena alasan ini, WUt harian sering dilakukan sebagai
pemeriksaan yang dapat dipercaya. Deteksi segera akan keadaan akut (edema otak,
peningkatan lesi hemoragik atau munculnya lesi baru) dan keadaan kronis (iskemik)
akan mengubah keputusan mengenai pembedahan ataupun pendekatan medis. WUt
dapat menimbulkan gejala withdrawal (sindrom putus obat), khususnya jika obat
diberikan dalam jangka waktu pendek dan dihentikan secara tiba-tiba.
Untuk mencegah peningkatan ICP dan konsumsi oksigen, dosis obat
dikurangi secara progresif sambil tetap memperthankan pemberian analgetik dosis
rendah melalui infus.
2) Obat-obat anestesi intravena dapat mempengaruhi sistem kardiovaskular
tergantung dosis yang diberikan. Obat-obat ini menurunkan irama otonom dan
memiliki efek depresan terhadap miokardium dan otot polos vaskuler sehingga
menurunkan cardiac output (curah jantung) dan menimbulkan hipotensi.
Autoregulasi serebral dapat terganggu bahkan menghilang pada pasien yang
mendapat obat-obat anestesi dan sedasi, di mana hal ini dapat menimbulkan cedera
sekunder neuronal terkait cedera otak yang sudah ada sebelumnya. Penurunan CPP
akibat hipotensi arterial dapat terjadi dan menimbulkan berkurangnya CBF.
Fenomena ini akan semakin buruk jika disertai hypovolemia akibita kekurangan
darah, cairan dan gangguan keseimbangan elektrolit serta lesi spinal. Jadi kerusakan
otak dapat menyebabkan disfungsi kardiak.
3) Berkurangnya respon terhadap obat serelah pemberian infus berkelanjutan
atau pengulangan dosis dalam periode waktu yang singkat timbul akibat
meningkatnya jumlah enzim metabolsme obat dalam mikrosom hepar. Peningkatan
dosis obat tidak akan meningkatkan respon farmakologi terhadap obat. Terapi
tambahan dengan sedatif lain (sinergitas antara dua obat) akan membantu untuk
mengurangi dosis obat yang dibutuhkan.
Dengan meningkatkan efek narkotik dan hipnotik, magnesium akan
mengurangi dosis sedatif yang dibutuhkan. Magnesium sebaiknya diberikan kepada
semua pasien yang membutuhkan sedasi jangka panjang dengan tujuan untuk
menstabilkan potensial eksitasi saraf dan untuk mencegah aktivasi system
glutaminergik. Pemberian analgetik berperan penting dalam manajemen pasien ini:
peningkatan konsentrasi plasma menurunkan klirens obat-obat hipnotik yang
diberikan serta memberika proteksi spsifik terhadap nyeri. Banyak komplikasi lain
yang tidak biasa dan dapat timbul dalam keadaan sedasi dalam akibat akumulasi obat-
obat stabilisasi dosis tinggi. Komplikasi tambahan yang mungkin terjadi akibat sedasi
jangka panjang antara lain toleransi pasien terhadap obat akibat akumulasi obat dan
koma yang lama. Ketergantungan terhadap obat-obatan dan gejala withdrawal
(sindrom putus obat) dapat terjadi pada pasien yang mendapatkan obat sedtif dalam
periode waktu yang panjang.pasien kritis yang disedasi dapat menjadi tidak responsif
dalam jangka waktu yang panjang, sehingga tes diagnostik perlu dilakukan untuk
menilai perubahan status mental pasien.
PENGETAHUAN MENGENAI KARAKTERISTIK FARMAKOLOGI
MEMBANTU PEMILIHAN OBAT YANG AKAN DIBERIKAN
Propofol dan benzodiazepine merupakan obat yang sering digunakan di
NICU. Propofol merupakan obat anestesi/sedatif intravena yang diklasifikasikan
sebagai agen hipnotik sedatif kerja singkat yang lipofilik. Sifat lipofilik propofol
memungkinkan obat ini sehingga dapat melewati sawar darah otak secara cepat.
Metabolisme propofol pada umumnya terjadi pada hati melalui proses konjugasi
untuk mengaktivasi metabolit, yang kemudian metabolit tersebut dikeluarkan melalui
ginjal. Laju bersihan propofol tidak dipengaruhi oleh fungsi ginjal; namun, pasien
yang mengalami gangguan hati memiliki waktu paru eliminasi yang lebih panjang,
hanya saja hal tersebut tidak mempengaruhi proses bersihan. Waktu paruh sensitif
propofol setelah diberikan melalui infus selama 8 jam adalah 40 menit. Onset kerja
yang cepat (1-2 menit) dan durasi kerja yang singkat membuat obat ini cocok
diberikan pada pasien di NICU sehingga WUt lebih mudah terprediksi. Obat ini dapat
memperkuat efek sistem inhibisi dan mengurangi transmisi nosiseptif dengan cara
memblok reseptor NMDA secara non-spesifik melalui proses modulasi reseptor
GABA-A. Depresi pada neurotransmisi eksitasi yang termediasi oleh NMDA akan
menimbulkan efek anestesia, amnesik dan anti-epileptik.
Propofol dapat mengurangi laju metabolik oksigen serebral/cerebral
metabolic rate for oxygen (CMRO2 22-43%), CMRO2 regional, CBF (38-58%) dan
CBF regional, namun coupling metabolisme serebral dan aliran darah tetap dapat
dipertahankan selama masih berada pada dosis anestetik. Propofol dapat
mempertahankan autoregulasi serebral dan menjaga reaktivitas vaskuler serebral
terhadap perubahan tekanan karbon dioksida arterial sambil mempertahankan ICP
pada pasien yang dengan atau tanpa gangguan intrakranial.
Metabolisme serebral di seluruh otak atau area tertentu otak dapat diturunkan
dengan cara meningkatkan dosis propofol atau dengan cara menginduksi hipotermia
ketika proses pemberian propofol. Ketika dua intervensi tersebut dikombinasikan,
terjadi penurunan laju metabolisme yang bersifat aditif, sementara itu coupling
metabolisme serebral dan aliran darah tidak mengalami gangguan. Kombinasi
penggunaan kedua intervensi tersebut dapat menjadi alternatif, jika tindakan
pemberian propofol dosis tinggi atau hipotermia propofol tidak memungkinkan untuk
mereduksi CBF dan CMRO2.
Propofol berkaitan erat dengan hipotensi yang berasal dari efek vasodilatasi
sistemik dan reduksi kontraktilitas jantung. Dosis induksi sebesar 2-2.5 mg/kg dapat
menurunkan tekanan darah sistolik hingga sebesar 25-40%; karena alasan itulah
sehingga kita harus berhati-hati memberikan propofol ketika kita harus
memberikannya secara bolus atau jika sedang terjadi hipovolemia.
Propofol juga memiliki efek yang penting terhadap siklus respirasi di tingkat
mitokondrial dan dapat menimbulkan efek berupa propofol infusion syndrome (PrIS).
PrIS pertama kali dilaporkan pada tahun 1992 melalui suatu serial kasus yang
terdiri atas 5 pasien pediatrik yang mendapatkan propofol dosis tinggi (>5 mg/kg/jam
selama >48 jam). Pasien-pasien tersebut mengalami asidosis metabolik yang disertai
bradiaritmia dan kegagalan miokardial yang berakhir pada kematian. Dari 38 pasien
yang mengalami PrIS di penelitian sebelumnya, diketahui bahwa angka mortalitas
sindrom tersebut cukup tinggi (>80%). Manifestasi klinis yang dapat ditemukan pada
sindrom tersebut antara lain: rhabdomiolosis, gagal ginjal akut, kegagalan miokardial,
asidosis metabolik berat, bradiaritmia, henti jantung, dislipidemia, dan hipotensi.
Faktor resiko PrIS antara lain penggunaan dosis propofol yang melebihi 5 mg/kg/jam,
durasi terapi yang melebihi 48 jam serta pengunaan propofol yang bersamaan dengan
penggunaan katekolamin dan steroid.
Propofol dosis tinggi (>5 mg/kg/jam) pada pasien yang mengalami trauma
kepala berat memiliki kecenderungan mengalami sindrom PrIS yang mencapai 2 kali
lipat. Katekolamin dan steroid, dua kelas obat-obatan yang terlibat dalam PrIS, juga
merupakan dua jenis produk utama yang dihasilkan oleh sistem stres tubuh. Resiko
potensial lain yang berhubungan dengan PrIS adalah adanya gangguan kongenital
pada oksidasi asam lemak mitokondrial atau pasien yang melakukan diet ketogenik.
Selain itu propofol memiliki efek anti-inflamasi yang berhubungan dengan sifat
antioksidan, hal itulah yang dapat menjelaskan timbulnya gangguan respon imunitas
dan kemotaksis makrofag serta mengganggu efek fagositosis E. coli. Efek ini dapat
terjadi karena hilangnya potensial membran mitokondria dan berkurangnya kadar
ATP makrofag. Jika terdapat infeksi maka efek propofol ini memiliki makna yang
penting dalam keadaan klinis pasien.
Midazolam merupakan agen benzodiazepine yang biasanyanya digunakan
pada pasien neurocritical untuk mendapatkan onset hipnosis yang cepat serta
pemulihan yang juga cepat. Midazolam dimetabolisme menjadi beberapa metabolit
aktif dan inaktif serta memiliki laju bersihan yang cukup tinggi (10-20 kali lebih
tinggi dari diazepam) dan waktu paruhnya 2-3 jam. Namun, kerja singkat midazolam
dapat diperpanjang dengan pemberian infus kontinyu (berkelanjutan) selama lebih
dari 24 jam. Diazepam dan midazolam dapat menyebabkan penurunan CMRO2 dan
CBF yang bergantung pada besarnya dosis. Penurunan “ceiling effect” pada CBF dan
CMRO2 juga dapat terjadi jika reseptor benzodiazepine telah mencapai tahap saturasi.
Khasiat dan tingkat keamanan propofol 1% vs midazolam sudah pernah diteliti pada
pasien sakit berat di ICU: pada trauma kepala berat, tidak ditemukan adanya
perbedaan pada ICP, CPP, saturasi oksigen vena jugular dan TIL ketika
menggunakan dua jenis obat. Keadaan hipotermik dapat mempengaruhi metabolisme
midazolam dan konsentrasinya dapat berubah selama terjadi hipotermia moderat yang
ditandai oleh peningkatan kadar obat secara signifikan lalu kadar tersebut turun
dengan cepat. Peningkatan yang jelas pada kadar midazolam serum selama fase
hipotermik dapat menyebabkan beberapa masalah karena efek obat ini bergantung
pada besarnya dosis, sehingga hal ini akan menimbulkan beberapa masalah seperti
depresi hemodinamika. Di sisi lain, penurunan kadar midazolam secara tiba-tiba
dapat menimbulkan kejang pada pasien cedera otak.
Propofol dan benzodiazepine dapat bekerja secara komplementer pada
reseptor GABA dengan cara meningkatkan transmisi. Propofol memiliki afinitas yang
lebih kuat pada reseptor GABA-A, sedangkan benzodiazepine dapat berikatan dengan
dua reseptor lain, B dan C, dengan begitu terlihat jelas bahwa kedua obat tersebut
memiliki efek sinergi sehingga kita dapat menggunakannya secara kombinasi untuk
mengurangi jumlah dosisnya, namun tetap menghasilkan kualitas sedasi serta
menurunkan akumulasi dan redistribusi.
Diazepam merupakan jenis benzodiazepine pertama yang digunakan untuk
sedasi di unit penanganan intensif neurologi. Obat ini memiliki onset kerja ang cepat
dan waktu paruhnya 30-60 jam serta harus dimetabolisme untuk menjadi metabolit
aktifnya. Waktu paruh obat ini dapat mengalami pemanjangan pada pasien yang
mengalami kegagalan hati dan pasien berusia tua.
Lorazepam merupakan suatu benzodiazepine larut air yang dapat mengalami
glukoronidasi. Kelarutannya yang bersifat moderat/sedang pada lipid berperan dalam
ambilan otak yang lebih lambat dan onset kerja yang lebih lama jika dibandingkan
dengan diazepam. Waktu paruh lorazepam adalah sekitar 14jam.
Opioid (morphine, fentanyl, sufentanil dan remifentanil) digunakan untuk
pasien sakit berat karena obat-obatan tersebut memiliki kualitas analgesia yang baik
dan dapat mempertahankan stabilitas hemodinamik. Remifentanil merupakan salah
satu jenis opioid yang sangat mudah dititrasi karena durasi kerjanya yang sangat
singkat (3-10 menit setelah pemberian dosis tunggal) serta waktu paruh distribusinya
yang juga singkat (1 menit). Sebuah penelitian acak melakukan evaluasi pada pasien
cedera otak yang diintubasi dan diventilasi secara mekanik atau pasien pasca-bedah
saraf yang mendapatkan remifentanil yang diikuti pemberian agen hipnotik (propofol
yang diikuti midazolam) dan pasien yang mendapatkan fentanyl atau morphine, yang
dikombinasikan dengan agen hipnotik (propofol yang diikuti midazolam). Waktu
yang diperlukan untuk penilaian neurologis pada remifentanil ternyata jauh lebih
singkat jika dibandingkan dengan fentanyl atau morphine. Waktu ekstubasi juga lebih
cepat pada kelompok remifentanil.
Pada pasien cedera kepala, remifentanil dapat memberikan sedasi yang efektif
selama menjalani prosedur intervensi yang menimbulkan nyeri dalam waktu singkat
(seperti saat melakukan fisioterapi, suction endotrakeal) tanpa menimbulkan efek
samping pada hemodinamika serebrovaskuler.
SARAN KAMI: SUATU ALGORITMA SEDASI
Hingga saat ini belum ada obat sempurna yang dapat mengurangi ICP,
mempertahankan autoregulasi, dengan efek samping minimal pada sistem
kardiovaskuler, serta memiliki onset kerja yang cepat dan waktu paruh yang singkat.
Sehingga, kita harus memilih sedasi berdasarkan sifatnya dan kondisi klinis pasien.
Sebelum memulai terapi, kita harus menormalisasi parameter yang dapat
memodifikasi volume otak dan suplai oksigen, seperti: glikemia, osmolalitas, suhu,
tekanan darah, volume intravaskuler, hemoglobin, oksigenasi dan ventilasi.
Agen pemblok neuromuskuler jarang diperlukan ketika sedasi yang adekuat
telah tercapai. Kondisi paralisis harus digunakan dalam periode yang sesingkat-
singkatnya.
Sedasi yang berkepanjangan memiliki banyak efek samping, penggunaan
anestetik harus dilakukan seminimal mungkin; evaluasi neurologis (WUt) memainkan
peranan penting dalam pemilihan obat.
Kita memerlukan suatu algoritma yang dapat mencegah dan mengatasi
peningkatan ICP pada berbagai patologi otak akut.
Kami menyarankan suatu algoritma berdasarkan jenis hipnotik yang
sering digunakan di ICU-saraf, seperti: propofol, midazolam, dan
diazepam:
Sebelum dirawat inap: kita harus melakukan evaluasi klinis, atasi
kondisi hipovolemia, berikan analgesia: propofol 1-4 mg/kg/jam
Selama 24-72 jam pertama di ICU: harus dilakukan evaluasi klinis,
pemantauan ICP dan CPP, pertahankan analgesia selama melakukan
uji kesadaran: propofol tidak boleh melebihi 4 mg/kg/jam, awali
dengan pemberian midazolam (0.1-0.5 mg/kg/jam).
Setelah 72 jam, jika ICP sulit dikontrol, pertimbangkan telah terjadi
depresi kardiovaskuler, atasi dengan pemberian inotropik atau
vasokonstriktor: awali dengan diazepam, pertimbangkan waktu paruh
obat dan pertahankan analgesia;
Hipertensi intrakranial, pertimbangkan kemungkinan terjadinya
depresi kardiovaskuler, atasi dengan pemberian inotropik atau
vasokonstriktor: laju infus diazepam yang tinggi harus dititrasi agar
dapat mengontrol ICP, mempertahankan analgesia, dan melakukan
pemberian kombinasi propofol dosis rendah.
Penyapihan (weaning): pertimbangkan efek oversedasi selama
melakukan evaluasi pada pasien, hindari sindrom putus obat pada
pasien.
Kurangi infus diazepam intravena secara progresif lalu gunakan rute
pemberian diazepam secara enteral.
KESIMPULAN
Sebagai kesimpulan, meskipun hingga saat ini belum ada bukti yang dapat
mendukung perbaikan luaran pasien pasca penggunaan sedatif, namun sudah jelas
bahwa sedatif memiliki banyak keuntungan dalam penatalaksanaan pasien cedera
otak akut. Strategi sedasi yang baik bertujuan untuk mencegah terjadinya komplikasi
dan melakukan pemberian obat sesuai dengan patologi dan situasi klinis pasien.