Full Script

152
NILAI-NILAI ANTIKORUPSI DALAM PENDIDIKAN ISLAM (Tinjauan Normatif Aspek Kurikulum Pendidikan Agama Islam Terhadap Pendidikan Antikorupsi) SKRIPSI Oleh : BHAYU SULISTIAWAN NPM : 20040720049 FAKULTAS AGAMA ISLAM JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (TARBIYAH) UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2008

Transcript of Full Script

Page 1: Full Script

NILAI-NILAI ANTIKORUPSI DALAM PENDIDIKAN ISLAM

(Tinjauan Normatif Aspek Kurikulum Pendidikan Agama Islam

Terhadap Pendidikan Antikorupsi)

SKRIPSI

Oleh :

BHAYU SULISTIAWAN

NPM : 20040720049

FAKULTAS AGAMA ISLAM

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (TARBIYAH)

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

2008

Page 2: Full Script

NILAI-NILAI ANTIKORUPSI DALAM PENDIDIKAN ISLAM

(Tinjauan Normatif Aspek Kurikulum Pendidikan Agama Islam Terhadap

Pendidikan Antikorupsi)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I) Strata Satu

Pada Fakultas Agama Islam

Jurusan Pendidikan Agama Islam (Tarbiyah)

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Oleh:

BHAYU SULISTIAWAN

NPM: 20040720049

FAKULTAS AGAMA ISLAM

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (TARBIYAH)

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

2008

Page 3: Full Script

.

Page 4: Full Script
Page 5: Full Script

MOTTO

βr&uρ }§øŠ©9 Ç≈|¡ΣM∼ Ï9 �ω Î) $ tΒ 4të y™ ∩⊂∪ ¨βr&uρ …çµ uŠ÷èy™ t∃ôθ y™ 3“t ム∩⊆⊃∪ §ΝèO çµ1t“ øg ä† u !#t“yfø9 $#

4’ nû÷ρF{ $# ∩⊆⊇∪

”Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang Telah diusahakannya. Dan bahwasanya usaha itu kelak akan diperlihat (kepadanya). Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna”. (Q.S. Al-Najm/53: 39-41)

#sŒ Î* sù |M øît sù ó= |ÁΡ$$sù ∩∠∪ 4’ n<Î)uρ y7 În/u‘ =xîö‘ $$ sù ∩∇∪

”Maka apabila kamu Telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, Dan Hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap” (Q.S. Alam Nasyrah/94:7-8)

”Sebagian dari kebaikan keislaman seseorang ialah meninggalkan sesuatu yang tidak berguna bagi dirinya”. (Al-Hadits)

du chocs des opinions jaillit la verité, du chocs des idees jaillit la lumiere.

(dari benturan berbagai opini akan muncul sebuah kebenaran,

dari benturan berbagai gagasan akan muncul sinar (kebenaran).

(Idiom Perancis)

”Kemajuan yang kau dapatkan tidaklah terukur dengan keberhasilanmu

memperbaiki segala apa yang telah terjadi, melainkan bagaimana kau merengkuh

segala apa yang akan terjadi di masa depan........” (Kahlil Gibran)

Page 6: Full Script

PERSEMBAHAN

Dengan tidak mengurangi rasa syukurku kepada Allah SWT,

Tuhan sumber segala ”muara” esensi.

Kupersembahkan totalitas usaha, karya, dan buah pikiran, Skripsi ini untuk:

Bapak dan Ibuku tercinta,

yang telah membesarkan dan selalu memberikan tarbiyah dan ta’dib, kasih sayang, semangat, pengertian dan do'a yang tak terputus-putus

untuk keberhasilanku.

Adikku-adikku tersayang,

yang selalu mengalah dan “dikorbankan”

untuk mendahulukan cita-cita Bapak yang dititipkan kepadaku.

B ”250406” R_tie,S.Pd.I; for a long time...... whenever and wherever you are..... Yes, we can!!!

Pemda Kota dan Kabupaten Bekasi,

yang tetap mengunggulkan kepentingan bangsa

dan membimbing para putera daerah.

Almamaterku, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

A Leading and Enlightening University

Page 7: Full Script

KATA PENGANTAR

Alhamdulillâhilladzî nawwaranâ bi al’ilmi wa al’aqli. Segenap puja dan

puji syukur peneliti panjatkan ke hadirat Allah SWT. Yang telah melimpahkan

petunjuk, bimbingan dan kekuatan lahir batin kepada diri peneliti, sehingga

penelitian hasil dari sebuah usaha ilmiah yang sederhana ini guna menyelesaikan

tugas akhir kesarjanaan terselesaikan dengan sebagaimana mestinya, setelah

menjalani proses akademik yang cukup panjang. Sholawat dan salam semoga

dilimpahkan oleh-Nya kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW,

sosok historis yang membawa proses transformasi dari masa ”uncivilized” yang

gelap gulita ke arah alam yang sangat terang benderang dan berperadaban ini, juga

kepada para keluarga, sahabat serta semua pengikutnya yang setia disepanjang

zaman.

Penelitian yang berjudul NILAI-NILAI ANTIKORUPSI DALAM

PENDIDIKAN ISLAM (Tinjauan Normatif Aspek Kurikulum Pendidikan Agama

Islam Terhadap Pendidikan Antikorupsi) ini pada dasarnya disusun untuk

memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Islam pada

Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (FAI-UMY).

Oleh karenanya hal ini merupakan kulminasi-formal akademik yang sudah barang

tentu tetap disertai akuntabilitas akademik juga, sebagai sebuah karya ilmiah

Page 8: Full Script

perdana penulis di bidang kependidikan, bukan hanya untuk memenuhi kewajiban

akademik (scholar duty) an sich.

Cukup terharu rasanya ketika penulis telah menyelesaikan proses

akademik dan penyusunan skripsi ini. Karena dengan media ini penulis telah

banyak belajar, berfikir, berimajinasi, mencurahkan segenap kemampuan dalam

hal pemikiran, kreativitas dan ketelitian untuk memenuhi kebutuhan kurioritas

(rasa ingin tahu) penulis atas problematika korupsi dalam mengarungi suatu

setting pertempuran intelektualitas yang cukup menantang sehingga dapat mencari

dan menemukan identitas diri sebagai seorang manusia yang dianugerahi akal

oleh Sang Kholiq. Oleh karenanya, penulis semakin sadar akan berbagai

kelemahan, kebodohan dan keterbatasan yang ada dalam diri penulis, ”wamâ

ûtîtum min al’ilmi illa qalîlan”.

Dalam proses penyusunan penelitian tersebut, peneliti banyak

mendapatkan bantuan, bimbingan dan motivasi dari berbagai pihak, oleh karena

itu izinkan peneliti ingin mengucapkan terima kasih kepada hamba-hamba Allah

yang membantu peneliti sehingga karya sederhana ini bisa menjadi kenyataan,

bukan hanya angan dan keinginan semata. Mereka adalah:

1. Bapak Ir. H. Dasron Hamid, M.Sc, selaku Rektor Universitas Muhammadiyah

Yogyakarta.

2. Bapak Drs. Marsudi Iman, M. Ag, selaku Dekan Fakultas Agama Islam

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, juga kapasitasnya sebagai Dosen

Pembimbing Akademik (DPA).

Page 9: Full Script

3. Bapak Drs. Syamsudin Hs, M. Pd, selaku Ketua Jurusan Pendidikan Agama

Islam (Tarbiyah) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

4. Bapak Nurwanto, MA, selaku dosen pembimbing yang telah dengan tekun

dan sabar serta meluangkan waktu untuk membimbing peneliti dan

memberikan kritik konstruktif dalam proses penyusunan penelitian ini.

5. Bapak dan Ibu Dosen yang telah membimbing, mendidik dan memberikan

pencerahan untuk selalu berpikir kritis-edukatif-transformatif-inovatif

menggali ayat-ayat qauliyyah dan kauniyyah selama berada di lingkungan

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

6. Bapak serta Ibu karyawan UMY yang dengan rela dan senang hati untuk

memberikan pelayanan dari awal hingga akhir studi. Pak. Taufik, Pak Tarlan,

Bu Nurul, Pak Muji, Pak Wardani, Pak Joko, Mas Suryadi, Mas Syarif, terima

kasih atas pelayanan yang diberikan.

7. Bapak Drs. Mas’udi, M. Ag, terima kasih atas pemberian bukunya berjudul ”

NU Melawan Korupsi: Kajian Tafsir dan Fiqih” dan juga buku ”Fikih

Antikorupsi Perspektif Ulama Muhammadiyah Majelis Tarjih dan Tajdid PP

Muhammadiyah”. Pemberian bapak sangat membantu kelancaran penyusunan

karya ini. Jazakumulloh khairon katsiron.

8. Bapak Drs. Muh. Azhar, M. Ag, selaku penguji yang telah memberikan kritik

dan saran untuk perbaikan skripsi ini. Terima kasih atas pinjaman bukunya

berjudul ”Pendidikan Antikorupsi”, juga atas beberapa kesempatannya

meluangkan waktu untuk sekedar berdiskusi (bahkan berdebat) di ruang

pengajaran, perkuliahan bahkan loby FAI, di sekretariat HMI-MPO komisariat

Page 10: Full Script

FAI ataupun korkom UMY. Hasil diskusi kita dengan kawan-kawan sangat

membantu dalam membahas penelitian ini. Yakin Usaha Sampai, semoga

cepat dapat gelar Doktornya prof...

9. Lembaga Penelitian dan Pengembangan Pendidikan (LP3) dan Lembaga

Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI) Universitas Muhammadiyah

Yogyakarta yang telah meminjamkan beberapa sumber referensi.

10. Ayah dan Ibu yang senantiasa mendo'akan dan memberikan perhatian,

motivasi serta kasih sayang yang tiada tara sehingga peneliti dapat

menyelesaikan penelitian ini sebagai kulminasi formal perkuliahan dengan

baik.

11. Adik-adikku tercinta (Guntur, Bunga) yang selalu memberikan motivasi serta

kesabarannya untuk membantu meringankan perjalanan studiku.

12. Semua keluargaku di Bekasi, Sukabumi, Kutoarjo yang senantiasa

mendo’akanku dengan penuh tulus ikhlas.

13. Ristyawati, S. Pd.I, yang senantiasa membantu, menyemangati, memarahi,

menyarankan, mengingatkan (baik dengan tawa maupun air mata) serta

mendoa'kanku selama proses penyusunan penelitian ini hingga selesai. Your

existence is complement in my life. Kamu adalah bukti dari idiom Arab: ”Al-

hayâtu bighoiri habîbah kahayâti al-ghorîbah”

14. Teman-teman seperjuangan dalam perjalanan panjang yang melelahkan, di

FAI jurusan Tarbiyah (PAI) angkatan 2004 terima kasih atas bantuan dan

kerja samanya yang tak akan dilupakan. Demikian juga dengan teman-teman

PAI, EPI, KPI angkatan 2003-2007.

Page 11: Full Script

15. Bang Dedi Sutomo, SEI, Surawan, S. Pd.I, Bagus ”olenk”, S. Pd.I, terima

kasih atas saran-sarannya dari perjumpaan kita waktu sharing-sharing, juga

untuk Gus Bowo dan Via Zubed atas bantuannya selama ini.

16. Teman-teman aktifis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)-MPO yang selalu

semangat dengan idealisme perjuangan, Danang, Eko, Perli, Fathnan, Cahyo,

(HMI-MPO FAI), serta seluruh pengurus HMI-MPO Cabang Yogyakarta dan

kader-kader (aktifis) HMI-MPO Komisariat FAI UMY, Korkom UMY,

Cabang Yogyakarta serta Pengurus Besar (PB) HMI-MPO. Kenangan indah

dan ”sentilan-sentilan” kritis untuk perjuangan bangsa bersama kalian tak

pernah kulupakan.

17. Kawan-kawan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Bang Patra, Mas

Kholid, Abi, Dandan, Boim, Ma’ruf, Acan, ’Ai, Fatma, Rida, Heny, Helmi,

Dayat, dan semua kader-kader IMM UMY. Tetap Anggun dalam Moral

Unggul dalam Intelektual.

18. Teman-teman golongan IKAMASI (Ikatan Keluarga Mahasiswa Bekasi)-

Yogyakarta. Bang Ali Husna, Jaka, Zaelani, Tasim, Jhalil, Abuy, Deny, Haji

Pupunk, Ical, Mpok Dewi, Teh Ina, yang selalu mengingatkan bahwa

kesibukan organisasi tidak boleh melupakan tuntutan akademis. Buat penggiat

IKAMASI, Ali Ibo, Adi Pazcho, Neo, Adenk, Tori, Akew, terima kasih atas

kesempatan ”kongkow-kongkow”nya. Omphong, Biben, Amir, Achong,

Juned, Mank RT, Tika, Uchi, Rini, (UMY, UNY, UII), Prima, Ajenk, Desi,

Nura, semua pengurus dan anggota IKAMASI terima kasih atas semuanya.

Page 12: Full Script

Candaan serta guyonan bersama kalian bikin ngurangin stress dan penat.

Tetap semangat ”Solid di Perantoan Berkarya Demi Bekasi”!

19. Sohib-sohib FOSMA (Forum Silaturahmi Mahasiswa Alumni Attaqwa)-

Yogyakarta. Bang Popeye, S.ThI, Bang Sofyan, Abu Hasan, Noeng Alie,

Omplay, Sukway, Malik, Juned. Syukran katsîron ilaikum....

20. Kawan-kawan diskusi lintas kampus, Komunitas Wirobrajan HMI-MPO,

kajian Angkringan, Lingkar Studi Matahari, UKM Musik UMY, komunitas

badminton, club futsal UNWAMA, terima kasih atas sekedar refreshing dan

sharing-sharingnya.

21. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu, namun tak terlupakan

bantuannya yang turut dalam penyelesaian penelitian ini.

Akhirnya, semoga segala bantuannya yang tidak ternilai ini

mendapatkan balasan dari Allah SWT dengan balasan yang sepantasnya, dan

semoga penelitian ini bermanfaat khususnya bagi peneliti sendiri.

Yogyakarta, 23 Oktober 2008

Penulis

Bhayu Sulistiawan

Page 13: Full Script

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .....................................................................................

NOTA DINAS ...............................................................................................

HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................

HALAMAN MOTTO ....................................................................................

HALAMAN PERSEMBAHAN ....................................................................

KATA PENGANTAR ...................................................................................

DAFTAR ISI ..................................................................................................

DAFTAR TABEL DAN SKEMA.................................................................

ABSTRACK ..................................................................................................

i

ii

iii

iv

v

vi

xii

xv

xvi

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ...................................................

B. Rumusan Masalah ............................................................

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian .....................................

D. Tinjauan Pustaka ..............................................................

E. Kerangka Konseptual .......................................................

1. Konsep Pendidikan Antikorupsi ...............................

2. Pendidikan Islam ........................................................

3. Kurikulum Pendidikan ...............................................

F. Metode Penelitian ............................................................

G. Sistematika Pembahasan ..................................................

1

6

7

8

12

12

18

24

30

34

Page 14: Full Script

BAB II : GAMBARAN UMUM KORUPSI

A. Definisi Korupsi ...............................................................

B. Model-model Korupsi ......................................................

C. Sebab-sebab Korupsi ........................................................

D. Perkembangan Kasus Korupsi .........................................

E. Penyelesaian Kasus-kasus Korupsi ..................................

36

43

49

54

57

BAB III : NILAI-NILAI ANTIKORUPSI DALAM PENDIDIKAN

ISLAM

A. Korupsi Menurut Perspektif Islam ...................................

B. Nilai-nilai Islam yang Diselewengkan Dalam Kasus

Korupsi .............................................................................

1. Amanah ......................................................................

2. Shidiq ..........................................................................

3. Adil .............................................................................

4. Taqwa .........................................................................

C. Konsep Pendidikan Antikorupsi ......................................

1. Falsafah Pendidikan Antikorupsi …………………...

2. Pendidikan Moral Sebagai Dasar Pendidikan

Antikorupsi …………………………………….........

D. Model Pendidikan Antikorupsi di Beberapa Negara .......

60

70

70

72

74

76

77

78

81

83

Page 15: Full Script

BAB IV : TINJAUAN NORMATIF ASPEK KURIKULUM

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM TERHADAP

PENDIDIKAN ANTIKORUPSI

A. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan ............................

B. Prinsip-prinsip Pengembangan Kurikulum ......................

C. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam

Pada Pendidikan Antikorupsi .........................................

D. Model Pendidikan Antikorupsi Integratif-Inklusif dalam

Pendidikan Agama Islam ......................................

88

92

102

108

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan .......................................................................

B. Saran-saran .......................................................................

C. Kata Penutup ....................................................................

126

127

129

DAFTAR PUSTAKA

CURICULUM VITAE

Page 16: Full Script

DAFTAR TABEL DAN SKEMA

Tabel 1 : Pemahaman Korupsi Dalam Definisi Praktis .................... 40

Tabel 2 : Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2003-2006 ........................ 54

Tabel 3 : Pendidikan Antikorupsi di Beberapa Negara ................... 86

Tabel 4 : Kompetensi Dasar KTSP pada Mata Pelajaran PKn

SMP/MTs Semester II ……………………………………

110

Tabel 5 : Model Pendidikan Antikorupsi Integratif-Inklusif dalam

Pendidikan Agama Islam ………………………………...

113

Skema : Mekanisme Kerja Tim Pengembang Kurikulum, MGMP

dan Guru Mata Pelajaran ...................................................

92

Page 17: Full Script

ABSTRAK

Keterlibatan pendidikan formal dalam upaya pencegahan korupsi

sebenarnya bukan hal baru, justru memiliki kedudukan strategis-antisipatif. Upaya

pencegahan budaya korupsi di masyarakat terlebih dahulu dapat dilakukan dengan

mencegah berkembangnya mental korupsi pada anak bangsa Indonesia melalui

pendidikan. Semangat antikorupsi yang patut menjadi kajian adalah penanaman

pola pikir, sikap, dan perilaku antikorupsi melalui sekolah, karena sekolah adalah

proses pembudayaan.

Sektor pendidikan formal di Indonesia dapat berperan dalam memenuhi

kebutuhan pencegahan korupsi. Langkah preventif (pencegahan) tersebut secara

tidak langsung bisa melalui dua pendekatan (approach), pertama: menjadikan

peserta didik sebagai target, dan kedua: menggunakan pemberdayaan peserta

didik untuk menekan lingkungan agar tidak permissive to corruption. Pendidikan

untuk mengurangi korupsi berupa pendidikan nilai, yaitu pendidikan untuk

mendorong setiap generasi menyusun kembali sistem nilai yang diwarisi.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsep Pendidikan

Antikorupsi yang direlevansikan dengan tinjauan normatif aspek kurikulum dalam

Pendidikan Agama Islam, kemudian mencoba menampilkan model Pendidikan

Antikorupsi dalam Pendidikan Agama Islam. Pendidikan Antikorupsi yang

dimaksud dalam penelitian ini adalah program pendidikan antikorupsi yang secara

konsepsional disisipkan pada mata pelajaran yang sudah ada di sekolah dalam

bentuk perluasan tema yang sudah ada dalam kurikulum dengan menggunakan

pendekatan kontekstual pada pembelajaran antikorupsi, yaitu dengan model

Pendidikan Antikorupsi integratif-inklusif dalam Pendidikan Agama Islam.

Untuk berpartisipasi dalam gerakan pemberantasan dan pencegahan

korupsi ada dua model yang dapat dilakukan oleh sekolah dalam mengembangkan

kurikulum Pendidikan Antikorupsi yang integratif-inklusif pada Pendidikan

Agama Islam. Pertama, proses pendidikan harus menumbuhkan kepedulian

sosial-normatif, membangun penalaran obyektif, dan mengembangkan perspektif

universal pada individu. Kedua, pendidikan harus mengarah pada penyemaian

strategis, yaitu kualitas pribadi individu yang konsekuen dan kokoh dalam

keterlibatan peran sosialnya. Model Pendidikan Antikorupsi yang integratif-

inklusif dalam pendidikan agama Islam secara aplikatif lebih berkedudukan

sebagai pendekatan dalam pembelajaran berbasis kontekstual.

Kata Kunci: Pendidikan Antikorupsi, Pendidikan Agama Islam, Integratif-Inklusif, Kurikulum.

Page 18: Full Script

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bangsa Indonesia akhir-akhir ini tengah menghadapi berbagai

permasalahan yang cukup pelik seputar krisis multi-dimensional serta problem

lain yang menyangkut tatanan nilai yang sangat menuntut adanya upaya

pemecahan secara mendesak. Problematika yang menyangkut tatanan nilai

dalam masyarakat salah satunya adalah problematika korupsi yang tak

kunjung usai. Karena semakin akutnya permasalahan tersebut, sebagian orang

menganggap korupsi di Indonesia sudah menjadi budaya dan epidemi bahkan

virus yang harus segera diperangi bersama.

Beberapa hasil survey lembaga-lembaga transparansi

mengindikasikan tingginya tingkat korupsi di Indonesia, karena Indonesia

sendiri dibandingkan dengan negara-negara lainnya, berada di posisi keenam

terkorup di dunia menurut survey Transparency International (TI) pada tahun

2005. Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia adalah 2,2, sejajar dengan

Azerbaijan, Kamerun, Etiopia, Irak, Liberia, dan Uzbekistan, serta hanya lebih

baik dari Kongo, Kenya, Pakistan, Paraguay, Somalia, Sudan, Angola,

Nigeria, Haiti dan Myanmar. Menurut hasil survey ini, Islandia adalah negara

paling bebas korupsi (http://id/wikipedia.org/wiki/korupsi, tanggal 12/3/2008).

Secara eksplisit, sejak tahun 2000 hingga 2006 peringkat Indonesia

dalam soal korupsi diantara negara-negara di dunia setidaknya berada pada

Page 19: Full Script

ranking amat buruk. Rilis yang dikeluarkan Transparency International tahun

2005 misalnya, menunjukkan posisi Indonesia tidak kunjung naik kelas dalam

kelompok negara terkorup. Meskipun tidak lagi menjadi nomor buncit karena

berada pada peringkat 137 dari 159 negara yang disurvei, Indeks Persepsi

Korupsi (IPK) Indonesia hanya 2,2. IPK ini sedikit lebih baik bila

dibandingkan tahun 2004 (2,0) dan tahun-tahun sebelumnya (PBB UIN,

30/11/2005).

Pada tahun 2006 IPK Indonesia naik sedikit dari 2,2 pada 2005

menjadi 2,4. Dengan IPK 2,4 Indonesia berada pada ranking 130 dari 163

negara yang disurvey (www.suarakarya-online.com, tanggal 2/4/2008).

Sedangkan pada tingkat negara-negara se-Asia, peringkat Indonesia turun

menjadi peringkat dua Asia pada tahun 2007 (www.kapanlagi.com, tanggal

2/4/2008).

Korupsi memang merupakan problematika yang cukup pelik yang

melilit dan menghinggap di hampir seluruh negara, tak terkecuali Indonesia.

Bagi telinga rakyat Indonesia bukanlah hal yang asing bahwa teriakan-

teriakan aksi untuk pemberantasan korupsi mulai bergema kencang, terlebih

keheranan masyarakat bertambah ketika Departemen Agama pun yang

notabene lembaga representatif untuk menjadi ‘uswah’ dan penggerak nilai-

nilai keagamaan secara normatif-kolektif, malah ikut terlibat dalam kasus

korupsi.

Temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI pada tahun 2002

menyatakan bahwa korupsi terbesar di negeri ini justeru terjadi di Departemen

Page 20: Full Script

Agama, menyusul kemudian Departemen Pendidikan Nasional yang di

dalamnya penuh dengan orang-orang yang semestinya menjadi teladan moral

bagi masyarakat luas (Moh. Asror Yusuf [Ed.], 2006: 231). Oleh karenanya

tak heran pula ketika organisasi Retting Political and Economic Risk

Concultancy (PERC) Hongkong, ikut melaporkan hasil survey yang

diperolehnya bahwa Indonesia merupakan negara terkorup di Asia (Ridlwan

Nasir [Ed.], 2006: 272).

Patut dicatat bahwa presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)

dengan jajaran pemerintahannya kali ini juga meminta semua pihak untuk

bersama-sama memberantas ‘virus’ korupsi. Tak pelak para alim ulama,

cendikiawan, serta tokoh masyarakat pun diminta untuk membantu

memberantas korupsi. Untuk itu, berbagai tokoh Ornop dan LSM atau

gerakan masyarakat – termasuk partai-partai politik – turut berpartisipasi

dalam gerakan pemberantasan korupsi ini. Hal ini menunjukan betapa

problematika korupsi sudah menjadi agenda pemerintahan yang cukup

signifikan.

Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah sebagai ormas Islam

terbesar menyambut permintaan SBY tersebut dengan sebuah gebrakan

mencanangkan nota kesepakatan Memorandum of Understanding (MoU)

tanggal 15 Oktober 2003, isinya untuk bekerja sama secara nasional

melakukan pemberantasan korupsi (Jawa Pos, 16/10/2003). Bahkan beberapa

tahun lalu kalangan NU sudah pernah mengumumkan fatwa yang cukup

‘menghebohkan’, fatwa itu menegaskan bahwa korupsi adalah kemungkaran

Page 21: Full Script

yang sangat besar. Sehingga para koruptor layak dihukum mati, dan kalau

koruptor mati tidak perlu dishalati. Begitu pula kaum ulama Muhammadiyah

yang juga telah menyatakan bahwa “korupsi adalah syirik akbar yang dosanya

tidak diampuni oleh Allah” (Tempo Interaktif, 8/12/2004).

Namun mengapa fatwa-fatwa para ulama NU-Muhammadiyah itu

tidak diacuhkan sama sekali oleh banyak orang, sehingga para koruptor tetap

meneruskan kejahatan-kejahatan mereka. Perlu dicatat juga bahwa banyak

diantara para koruptor itu yang mengaku sebagai orang muslim yang rajin

sholat, pergi ke masjid, pernah atau bahkan sering menunaikan ibadah haji ke

Mekkah Al-Mukarromah.

Kegeraman masyarakat terhadap perilaku korupsi memang tidak bisa

dipungkiri, tetapi mereka sudah tidak berdaya untuk melakukan tindakan

dalam bentuk apapun untuk melawannya. Hal ini terindikasikan misalnya dari

hasil Hot Survey Jobs DB Indonesia yang menghasilkan 1.238 (78%) dari

1.561 responden menyatakan setuju bila para koruptor yang terbukti bersalah

oleh pengadilan dihukum mati (Republika, 2005).

Berbagai upaya telah dilakukan guna mencegah dan menghilangkan

praktek korupsi di Negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam ini.

Namun realitasnya, korupsi tetap saja menjamur. Bahkan di era otonomi

daerah sekarang ini, korupsi sudah menyebar di berbagai daerah lokal. Pada

tingkatan birokrat pusat pun korupsi menyebar luas.

Salah satu strategi yang dilakukan untuk memerangi korupsi adalah

dengan dirancangnya pendidikan antikorupsi oleh beberapa lembaga

Page 22: Full Script

pendidikan. Gagasan ini lahir dimaksudkan untuk membasmi korupsi melalui

persilangan (intersection) antara pendidikan watak dan pendidikan

kewarganegaraan. Disamping itu, pendidikan untuk mengurangi korupsi

berupa pendidikan nilai, yaitu pendidikan untuk mendorong setiap generasi

menyusun kembali sistem nilai yang diwarisi (Kompas, 21 Februari 2007).

Secara simplistik memang sektor pendidikan formal di Indonesia

dapat berperan dalam memenuhi kebutuhan pencegahan korupsi. Langkah

preventif (pencegahan) tersebut secara tidak langsung bisa melalui dua

pendekatan (approach), pertama: menjadikan peserta didik sebagai target, dan

kedua: menggunakan pemberdayaan peserta didik untuk menekan lingkungan

agar tidak permissive to corruption.

Oleh karenanya, pendidikan Islam perlu mengembangkan nilai

antikorupsi. Sebab dalam sistem pendidikan Indonesia, baik dalam kurikulum

1994, Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) maupun Kurikulum tingkat

Satuan Pendidikan (KTSP) belum dimuat materi mengenai permasalahan

korupsi di Indonesia secara langsung. Pendidikan dapat berperan dalam

memberantas korupsi secara tidak langsung melalui pengaitan materi

pembelajaran secara kontekstual dengan pesan-pesan yang ingin disampaikan

berkenaan dengan korupsi. Selain itu juga, media pembelajaran berupa buku-

buku paket pelajaran yang digunakan dalam proses belajar mengajar sangat

sedikit yang memuat secara langsung materi permasalahan korupsi.

Upaya pencegahan budaya korupsi di masyarakat terlebih dahulu

dapat dilakukan dengan mencegah berkembangnya mental korupsi pada anak

Page 23: Full Script

bangsa Indonesia melalui pendidikan. Hal ini disadari bahwa memberantas

korupsi juga tak lepas dari gerakan preventif, yaitu mencegah timbulnya

mental korupsi pada generasi anak bangsa. Mengingat upaya pencegahan

tersebut tidak hanya dapat dilakukan pada satu generasi saja, melainkan dua

atau tiga generasi selanjutnya.

Dengan demikian, jelaslah bahwa pendidikan Islam sebagai bagian

integral dari pendidikan Indonesia tentunya mempunyai peranan penting

dalam mengembangkan nilai antikorupsi. Pendidikan Islam bisa dijadikan

sebagai sarana upaya preventif dan antisipatif dalam mengembangkan nilai

antikorupsi untuk pencegahan dan pemberantasan korupsi.

Karena manusia-manusia yang lahir melalui sektor pendidikan

adalah manusia-manusia yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran,

beriman, berakhlak mulia, memiliki kompetensi dan profesionalitas serta

sebagai warga negara yang bertanggung jawab. Dan disaat institusi lain tidak

berdaya melakukan perlawanan terhadap korupsi, maka institusi pendidikan

(Islam) dapat dijadikan benteng terakhir tempat menyebarkan nilai-nilai

antikorupsi.

B. Rumusan Masalah

Berangkat dari uraian di atas peneliti mengambil beberapa rumusan

masalah yang akan dikembangkan dalam penelitian ini, yaitu:

a. Bagaimana konsep pendidikan antikorupsi?

Page 24: Full Script

b. Bagaimana implikasi pendidikan antikorupsi terhadap kurikulum

Pendidikan Agama Islam?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui konsep pendidikan antikorupsi.

b. Untuk mengetahui implikasi pendidikan antikorupsi terhadap

kurikulum Pendidikan Agama Islam.

2. Kegunaan Penelitian

Kegunaan dari Penelitian ini adalah:

a. Kegunaan Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dalam

dunia pendidikan khususnya di bidang Pendidikan Agama Islam.

Penelitian ini juga diharapkan dapat digunakan sebagai pedoman di

dalam menyampaikan materi atau pengajaran dalam Pendidikan

Agama Islam serta mengkritisi proses pembelajaran yang dilakukan di

berbagai lembaga pendidikan dalam perannya sebagai proses

internalisasi nilai-nilai antikorupsi.

b. Kegunaan Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada

para pembaca berupa informasi mengenai problematika kontemporer

baik secara makro (Islam) maupun mikro (pendidikan Islam), serta hal-

Page 25: Full Script

hal yang berkaitan dengannya, terutama konsep kependidikan serta

hubungannya dengan problematika korupsi. Penelitian ini juga sebagai

acuan bagi para pendidik Islam, sehingga pendidik dapat mengarahkan

peserta didik untuk mengaktualisasikan nilai-nilai pendidikan Islam

dalam upaya pencegahan terhadap korupsi. Dan secara implisit, untuk

menambah wawasan keilmuan serta sebagai khazanah pemikiran

pendidikan Islam agar dapat bersikap aktif memerangi kejahatan

korupsi sebagai wujud perlawanan terhadap kemungkaran sosial.

D. Tinjauan Pustaka

Sejauh yang bisa dipantau oleh peneliti, penelitian tentang korupsi

masih minim dan lebih minim lagi jika dikaitkan dengan pendidikan. Dari

beberapa penelusuran yang telah peneliti lakukan terhadap karya-karya ilmiah,

hasil penelitian, dan buku-buku yang sesuai dengan penelitian ini, peneliti

menemukan beberapa hal yang penting untuk diperhatikan.

Hasil survey dari Transparancy International Indonesia pada 6

Desember 2007 bersamaan dengan peluncuran Barometer Korupsi Global

(GCB), menyebutkan hasil penelitian yang melibatkan 1.010 responden di

Bandung-Jakarta bahwa polisi menempati urutan teratas sebagai lembaga yang

paling korup (lihat www.tii.or.id). Dengan skor indeks antara 0-5 (semakin

tinggi semakin korup), lembaga kepolisian mendapatkan skor tertinggi dengan

nilai indeks 4,2. Di bawah lembaga kepolisian ada lembaga peradilan dan

DPR-DPRD dengan indeks 4,1; partai politik 4,0; dan pelayanan

Page 26: Full Script

perijinan/perpajakan masing-masing dengan indeks 3,8 dan 3,6

(www.rusdimathari.wordpress.com, tanggal 1/4/2008). Berbeda dengan

penelitian ini yang akan membahas korupsi dari sektor pendidikan, sedangkan

penelitian di atas dilakukan di lembaga polisi, DPR-DPRD, dan pelayanan

masyarakat.

Penelitian tentang Format Pendidikan Antikorupsi di UIN/IAIN:

Review Atas Kurikulum dan Proses Pembelajaran yang dilakukan oleh PBB

UIN Jakarta, 2006. Penelitian ini terfokus pada persoalan kurikulum dan

proses pembelajaran yang berhubungan dengan upaya internalisasi nilai-nilai

antikorupsi di UIN/IAIN. Dimana penelitian ini mengasumsikan bahwa baik

kurikulum maupun proses pembelajaran yang terjadi kurang mempengaruhi

pengembangan kecerdasan emosional, spiritual, dan sosial mahasiswa

mengenai antikorupsi.

Kesamaan dengan penelitian ini adalah sama-sama mengangkat tema

pendidikan antikorupsi. Tetapi penelitian di atas hanya memfokuskan pada

aspek kurikulum dan proses pembelajaran serta dilakukan di lingkungan

UIN/IAIN saja. Dalam penelitian ini, peneliti ingin menjelaskan secara lebih

universal lagi konsep pendidikan antikorupsi, kemudian dikaitkan dengan

implikasinya terhadap kurikulum Pendidikan Agama Islam.

Selain hasil penelitian di atas, Badan Pengawasan Keuangan dan

Pembangunan juga telah melaporkan hasil penelitian yang berjudul "Peranan

Sektor Pendidikan Formal Terhadap Kebutuhan Pencegahan Korupsi"

(2003). Kesimpulan hasil penelitian ini, untuk meningkatkan upaya

Page 27: Full Script

pencegahan korupsi di Indonesia, kepada Komisi Pemberantasan Korupsi

disarankan agar: 1) Melibatkan sektor pendidikan formal di Indonesia; 2)

Pelibatan sektor pendidikan formal tidak dalam bentuk mata pelajaran atau

kurikulum khusus program antikorupsi; 3) Program-program antikorupsi

hendaknya dilakukan melalui penyebaran informasi menggunakan sumber

belajar yang dikemas secara menarik; dan 4) Dilakukan kerja sama dengan

Pusat Kurikulum Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen

Pendidikan Nasional ([email protected], tanggal 2/4/2008).

Dalam buku yang ditulis oleh Yunahar Ilyas [Et.al.] yang berjudul

Korupsi Dalam Perspektif Agama-agama (Panduan Untuk Pemuka Umat)

yang diterbitkan oleh KUTUB, 2001. Buku ini merupakan upaya untuk

mensosialisasikan kampanye antikorupsi di kalangan masyarakat melalui jalur

pendidikan keumatan. Dalam buku ini pembahasannya dilakukan dengan

pendekatan lintas agama melalui para penulis yang merepresentasikan dari

agama Islam, Kristen, Hindu dan Budha, dan menitikberatkan pada

pembahasan aktualisasi nilai-nilai keagamaan dalam upaya pemberantasan

korupsi.

Sementara itu dari kalangan Muhammadiyah juga telah ada usaha

untuk mensosialisasikan gerakan antikorupsi. Salah satunya melalui buku

yang berjudul Membasmi Kanker Korupsi yang diterbitkan PSAP, 2004. Buku

ini merupakan kompilasi tulisan beberapa cendikiawan dalam merespon isu

korupsi serta menawarkan beberapa rekomendasi yang dapat dipertimbangkan

sebagai langkah-langkah untuk memberantas korupsi di Indonesia. Tawaran

Page 28: Full Script

tersebut diantaranya perlunya pendekatan kultural untuk proses internalisasi

nilai-nilai antikorupsi melalui pendidikan.

Beberapa acuan lain peneliti dapatkan dari beberapa kajian yang

dilakukan oleh beberapa institusi. Seperti Pusat Pengembangan Pesantren dan

Masyarakat (P3M) yang berbasis kultural kaum Nahdliyin. Lembaga ini telah

melaksanakan sejumlah bahtsul masa’il (diskusi hukum Islam) mengenai

korupsi serta menerbitkannya dalam beberapa buku. Diantaranya Buku yang

berjudul Menolak Korupsi: Membangun Kesalehan Sosial, berisi kumpulan

naskah khotbah Jum’at yang mengambil tema korupsi. Buku terbitan P3M lain

adalah Korupsi di Negeri Kaum Beragama: Ikhtiar Membangun Fikih

Antikorupsi, berisikan kumpulan makalah yang disajikan dalam acara Munas

Bahtsul Masail NU (Mei 2004).

Buku berjudul NU Melawan Korupsi: Kajian Tafsir dan Fiqih yang

diterbitkan oleh Tim Kerja Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (GNPK PB NU), 2006. Buku ini

mengelaborasi fenomena korupsi di Indonesia serta membahasnya melalui

pandangan Islam dan strategi pemberantasannya.

Dari beberapa acuan di atas, perbedaannya dengan penelitian ini

adalah peneliti mencoba membahas korupsi tidak hanya dari sudut pandang

Islam saja, melainkan dari sudut pandang sosial-filosofis dengan konsep

pendidikan antikorupsi melalui pendekatan pendidikan nilai kemudian

implikasinya terhadap kurikulum Pendidikan Agama Islam.

Page 29: Full Script

Buku berjudul Fikih Antikorupsi Perspektif Ulama Muhammadiyah,

yang disusun oleh Mejelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah terbitan

Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP) 2006. Dalam buku ini menyajikan

permasalahan korupsi lebih sistematis dengan disertai pula langkah-langkah

pemberantasan korupsi, diantaranya melalui jalur pendidikan. Tetapi belum

rinci karena pembahasannya hanya satu sub bab saja.

Oleh karena masih minimnya penelitian tentang pendidikan

antikorupsi, maka peneliti bermaksud mengkaji tentang konsep pendidikan

antikorupsi yang telah diformulasikan oleh beberapa lembaga atau instansi

pendidikan. Kemudian mengelaborasinya dalam perspektif pendidikan Islam,

dengan menitik beratkan pada aspek kurikulum Pendidikan Agama Islam.

Aspek filosofi pendidikan Islam serta korupsi dalam perspektif Islam juga

dibahas dalam penelitian ini.

E. Kerangka Konseptual

1. Konsep Pendidikan Antikorupsi

Secara etimologis kata “konsep” (concept) memiliki makna

buram, bagan, rencana atau pengertian (Echols dan Hassan Shadily, 2000:

135). Dalam Kamus Ilmiah Populer “konsep” diartikan sebagai ide umum,

pengertian, rancangan, dan rencana dasar (Partanto dan M. Dahlan, 1994:

362). Merujuk dari pengertian di atas, maka pengertian konsep dalam

penelitian ini adalah rencana atau ide dasar, pengertian, dan pendapat atau

Page 30: Full Script

rancangan dalam memahami pendidikan antikorupsi yang dikonsep dan

dapat diterapkan dalam pendidikan Islam.

Pendidikan adalah suatu proses belajar dan penyesuaian individu-

individu secara terus menerus terhadap nilai-nilai budaya dan cita-cita

masyarakat, suatu proses dimana suatu bangsa mempersiapkan generasi

mudanya untuk menjalankan kehidupan dan untuk memenuhi tujuan hidup

secara efektif dan efisien.

Ki Supriyoko dalam Moh. Asror Yusuf [Ed.] (2006: 232)

mengatakan bahwa antara pendidikan dengan kebudayaan memiliki

kesamaan sifat, misalnya, keduanya terkait dengan nilai-nilai kehidupan.

Satu sisi, pendidikan berkepentingan untuk mengembangkan nilai-nilai

yang bersifat positif bagi peserta didik, pada sisi lain kebudayaan

berkepentingan untuk mengaplikasikan nilai-nilai positif di tengah-tengah

kehidupan sosial bermasyarakat. Sedangkan kesamaan lain menyangkut

prosesnya yang pelan namun pasti (evolusioner). Keduanya memerlukan

waktu yang lama, proses yang harus ditempuhnya bisa dalam satuan

generasi.

Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa pendidikan umumnya

berarti daya upaya untuk memajukan budi pekerti (kekuatan batin), pikiran

(intellect) dan jasmani anak-anak, selaras dengan alam dan masyarakatnya.

Sedangkan menurut Mohammad Natsir dalam tulisannya Idiologi Didikan

Islam menyatakan bahwa pendidikan adalah satu pimpinan jasmani dan

Page 31: Full Script

ruhani yang menuju kepada kesempurnaan dan kelengkapan arti

kemanusiaan dengan arti sesungguhnya.

Dari beberapa pengertian di atas ternyata peranan pendidikan

menempati posisi yang sangat urgen dalam mewujudkan manusia yang

berkepribadian utuh dan mandiri serta menjadi manusia yang mulia dan

bermanfaat bagi lingkungannya. Pendidikan merupakan basis penanaman

nilai-nilai kepada individu untuk kemudian diaplikasikan dalam kehidupan

sosial masyarakat.

Marimba (1989: 19) menyatakan bahwa pendidikan adalah

bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap

perkembangan jasmani dan rohani anak didik menuju terbentuknya

kepribadian yang utama. Hal tersebut selaras dengan Undang-undang

SISDIKNAS No. 20 tahun 2003 yang menyebutkan bahwa pendidikan

adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan

proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan

potensi-potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,

pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta

keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.

Dalam teori pendidikan terdapat tiga domain dalam taksonomi

tujuan pendidikan. Pertama, domain kognitif yang menekankan aspek

untuk mengingat dan untuk mereproduksi informasi yang telah dipelajari,

yaitu untuk mengkombinasikan cara-cara kreatif dan mensintesakan ide-

ide dan materi baru. Kedua, domain afektif yang menekankan aspek

Page 32: Full Script

emosi, sikap, apresiasi, nilai atau tingkat kemampuan menerima atau

menolak sesuatu. Ketiga, domain psikomotorik yang menekankan pada

tujuan untuk melatih keterampilan seperti menulis, teknik mengajar,

berdagang, dan lain-lain.

Idealnya ketiga domain tersebut selaras dan saling melengkapi.

Menurut seorang ahli pendidikan Islam, Omar Mohammad al-Thoumy al-

Syaibani (1979: 399), keselarasan itu harus menunjang. Pertama, tujuan

individual yang berkaitan dengan individu-individu. Kedua, tujuan-tujuan

sosial yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat secara keseluruhan,

tentang perubahan dan kemajuan yang diingini. Ketiga, tujuan profesional

yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran sebagai ilmu. Dari

ketiga unsur pencapaian pendidikan itu idealnya harus dilakukan secara

terpadu (integral) sehingga tercapai tujuan proses pendidikan yang

diinginkan.

Korupsi secara etimologis sesuai dengan bahasa aslinya berasal

dari bahasa Latin, corruption dari kata kerja corrumpere, yang berarti

busuk, rusak, menggoyahkan, memutar balik, menyogok, orang yang

dirusak, dipikat atau disuap (Ridwan Nasir, [Ed.], 2006: 281-282).

Sedangkan menurut Transparency Internasional adalah perilaku

pejabat publik, baik politikus-politisi maupun pegawai negeri, yang secara

tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka

yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang

dipercayakan kepada mereka. Dalam arti yang simplistik (juga menurut

Page 33: Full Script

sebagian pakar sosiologi korupsi), korupsi adalah penyalahgunaan jabatan

resmi untuk kepentingan pribadi (misuse of public power)

(http://id/wikipedia.org?wiki/korupsi, tanggal 12/3/2008).

Untuk mencapai definisi korupsi yang lebih operasional,

beberapa riset telah mencoba mengklasifikasikan bentuk-bentuk korupsi

dalam pengertian yang lebih aktual. Salah satu hasil riset yang

diungkapkan disini, yaitu tesis Ph.D yang dilakukan oleh Inge Amundsen

tentang fenomena korupsi di Senegal, Afrika. Menurut Amundsen, bentuk-

bentuk korupsi diantaranya adalah tindakan penyuapan (bribery), penipuan

atau penggelapan (emblezzement and fraud), dan pemerasan; lintah darat

(exortion) (Andvig, [et. al.], 2000).

Terma korupsi secara universal selama ini diartikan sebagai

tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna

mengeruk keuntungan pribadi, berakibat merugikan kepentingan umum

dan negara. Bentuk nyata tingkah laku korupsi bisa berwujud

penggelapan, penyuapan, penyogokan, manipulasi data administrasi

keuangan (termasuk mark up), pemerasan, penyelundupan, jual beli

dukungan politik dan perbuatan sejenis lainnya.

Dari beberapa pandangan definitif di atas dapat disimpulkan

bahwa tindakan korupsi merupakan tindakan melawan hukum yang berupa

penyimpangan kekuasaan dan jabatan, privatisasi fasilitas, penyuapan atau

penyogokan, penipuan. Kejahatan korupsi lebih eksplisit lagi karena

Page 34: Full Script

adanya kerugian yang diakibatkan dari tindakan korupsi, seperti kerugian

uang negara secara materil.

Oleh karenanya dapat diketahui bahwa hampir semua definisi

korupsi mengandung dua unsur di dalamnya: pertama, penyalahgunaan

kekuasaan yang melampaui batas kewajaran hukum oleh para pejabat atau

aparatur negara; dan kedua, pengutamaan kepentingan pribadi atau klien di

atas kepentingan publik oleh para pejabat atau aparatur negara yang

bersangkutan.

Relevansi pendidikan antikorupsi didasarkan keyakinan nilai,

serta pemberantasan korupsi harus dilakukan secara simultan. Oleh karena

problematika korupsi menyangkut nilai dari suatu sikap atau perilaku yang

bertentangan dengan yang diidealkan, maka pendekatannya adalah melalui

pendidikan nilai guna memupuk dan melahirkan sikap tegas yang

responsif terhadap problem-problem sosial seperti korupsi.

Dalam konteks pendidikan antikorupsi ini yang penting untuk

ditekankan ialah tujuan pendidikan nilai, bukan kemahiran menjelaskan

tentang nilai-nilai atau tentang suatu ideologi, melainkan menggunakan

pengetahuan tentang ketaatan terhadap nilai-nilai untuk memupuk

kemampuan membimbing individu ke pembaruan cara hidup sesuai

realitas yang ada serta aspirasi tentang masa depan yang masih hidup

dalam diri bangsa. Sehingga pelaksanaan konsep pendidikan yang

bermaksud mendorong lahirnya generasi yang mampu memperbarui

sistem nilai akan tercapai.

Page 35: Full Script

Dengan demikian pendidikan nilai tidak terhenti pada pengenalan

nilai-nilai, masih harus berlanjut ke pemahaman nilai-nilai, ke

penghayatan nilai-nilai, dan ke pengamalan nilai-nilai sebagai kulminasi

dari proses internalisasi nilai dalam diri maupun pribadi serta dapat

membawa bangsa untuk memperbarui diri.

2. Pendidikan Islam

Undang-undang SISDIKNAS No. 20 tahun 2003, menyebutkan

bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan

suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif

mengembangkan potensi-potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual

keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,

serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan

negara (Undang-undang No. 20 Tahun 2003: 9).

Pengertian di atas mengindikasikan betapa peranan pendidikan

sangat besar dalam mewujudkan manusia yang utuh dan mandiri serta

menjadi manusia yang mulia dan bermanfaat bagi lingkungannya. Dengan

pendidikan, manusia akan paham bahwa dirinya itu sebagai makhluk yang

dikaruniai kelebihan dibandingkan dengan makhluk lainnya.

Pada tataran nation, pendidikan memberi kontribusi yang sangat

besar terhadap kemajuan suatu bangsa dan merupakan wahana dalam

menerjemahkan pesan-pesan konstitusi serta membangun watak bangsa

(nation character building). Masyarakat yang cerdas akan memberi

Page 36: Full Script

nuansa kehidupan yang cerdas pula dan secara progresif akan membentuk

kemandirian. Masyarakat dan bangsa yang demikian merupakan investasi

yang besar untuk perjuangan keluar dari krisis dan menghadapi dunia

global (E. Mulyasa, 2004: 4).

Pengertian pendidikan dapat dibagi menjadi tiga, yakni secara

sempit, luas dan alternatif (Redja Mulyahardjo, 2001: 3). Definisi

pendidikan secara luas adalah mengartikan pendidikan sebagai hidup.

Pendidikan adalah segala pengalaman belajar yang berlangsung dalam

lingkungan dan sepanjang hidup (long life education). Pendidikan adalah

segala situasi hidup yang mempengaruhi pertumbuhan individu. Secara

simplistik pendidikan didefinisikan sebagai sekolah, yakni pengajaran

yang dilaksanakan atau diselenggarakan di sekolah sebagai lembaga

pendidikan formal. Pendidikan adalah segala pengaruh yang diupayakan

terhadap anak dan remaja yang diserahkan kepadanya agar mempunyai

kemampuan yang sempurna dan kesadaran penuh terhadap hubungan-

hubungan dan tugas sosial mereka (Redja, 2001: 6).

Secara alternatif pendidikan didefinisikan sebagai usaha sadar

yang dilakukan oleh keluarga, masyarakat dan pemerintah, melalui

kegiatan bimbingan, pengajaran atau latihan yang berlangsung di sekolah

dan luar sekolah sepanjang hayat untuk mempersiapkan peserta didik agar

dapat memainkan peranan dalam berbagai lingkungan secara tepat di masa

yang akan datang. Pendidikan adalah pengalaman-pengalaman belajar

yang memiliki program-program dalam pendidikan formal, non-formal

Page 37: Full Script

ataupun informal di sekolah yang berlangsung seumur hidup yang

bertujuan mengoptimalisasi pertimbangan kemampuan-kemampuan

individu, agar dikemudian hari dapat memainkan peranan secara tepat

(Redja, 2001: 11).

Sedangkan pendidikan Islam secara khusus merupakan rangkaian

usaha membimbing, mengarahkan potensi hidup manusia yang berupa

kemampuan-kemampuan dasar dan belajar, sehingga terjadilah perubahan

di dalam kehidupan pribadinya sebagai makhluk individual, sosial dan

dalam hubungannya dengan alam sekitar berada dalam nilai Islam, yakni

norma-norma syari’ah dan akhlak yang mulia (Al-Syaibani, 1979: 399).

Kata “Islam” dalam “pendidikan Islam” menunjukkan warna

pendidikan tertentu yang khusus, yaitu pendidikan yang bernuansa atau

berwarna Islam (baca: pendidikan Islami). Pendidikan Islami yaitu

pendidikan yang berdasarkan pada agama Islam (Ahmad Tafsir, 2005: 24).

Pandangan para tokoh pendidikan tentang pendidikan Islam

berbeda-beda, diantaranya Zakiyah Darajat (1992: 29), ia mengatakan

bahwa pendidikan Islam diharapkan menghasilkan manusia yang berguna

bagi dirinya dan masyarakatnya serta senang dan gemar mengamalkan

ajaran agama Islam dalam hubungannya dengan Allah dan dengan

sesamanya, dapat mengambil manfaat yang semakin meningkat dari alam

semesta ini untuk kepentingan di dunia dan akhirat.

Dalam pendidikan Islam, peserta didik (murid) diharapkan bisa

memahami dan mengembangkan ajaran-ajaran dan nilai-nilai fundamental

Page 38: Full Script

yang terkandung dalam al-Qur'an dan Sunnah sebagai pedoman agama

Islam. Nilai-nilai yang terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah yang

merupakan dasar bagi materi pendidikan Islam mengingatkan akan

kewajiban manusia secara vertikal-transendental (hablum minallah) dan

horizontal (hablum minannas).

Berangkat dari paradigma pendidikan Islam seperti itulah dunia

pendidikan akan menciptakan sebuah toleransi antar sesama pendidik,

pendidik-peserta didik dan antar sesama peserta didik. Nilai-nilai yang

terkandung dalam materi pendidikan Islam merupakan pengejawantahan

dari prinsip-prinsip pendidikan Islam yang dijabarkan lebih luas lagi

dalam kurikulum.

Diantara prinsip-prinsip pendidikan Islam adalah prinsip tauhid,

prinsip integrasi, prinsip keseimbangan, prinsip keutamaan. Prinsip tauhid

akan melahirkan tata nilai berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan

secara metafisis maupun aksiologis Dia tertinggi (Abd. Halim, 2002: 71).

Prinsip integrasi menginternalisasikan bahwa dunia ini merupakan sebuah

jalan menuju kampung akhirat. Prinsip keseimbangan merupakan

kesemestian hingga dalam pengembangan dan pembinaan manusia tidak

ada kepincangan dan kesenjangan (Munzir, 2004: 24-26).

Sedangkan prinsip keutamaan merupakan inti dari segala

pendidikan. Dengan prinsip ini ditegaskan bahwa pendidikan bukanlah

sekedar proses mekanik melainkan proses yang mempunyai ruh dimana

Page 39: Full Script

segala kegiatannya diwarnai dan ditujukan kepada keutamaan-keutamaan

(Abd. Halim, 2002: 82).

Mendiskusikan masalah pendidikan Islam tidak akan terlepas

dari nilai atau norma. Permasalahan inilah yang akan dibahas dalam

penelitian ini lebih jauh adalah masalah moral, yang dalam pendidikan

Islam lebih dikenal dengan akhlak.

Pelaksanaan pendidikan moral ini sangat penting, karena hampir

seluruh masyarakat di dunia khususnya Indonesia sedang mengalami

(dalam istilah sosiologi) patologi sosial yang amat kronis. Bahkan

sebagian besar masyarakat kita tercerabut dari adat-istiadat ketimuran

yang beradab, santun dan beragama.

Sejalan dengan misi agama Islam yang bertujuan memberikan

rahmat bagi sekalian makhluk di alam ini, maka pendidikan Islam

mengidentifikasikan sasarannya yang digali dari sumber ajaran al-Qur’an,

meliputi empat pengembangan fungsi manusia yaitu: (Arifin, 2000: 33-

38).

a. Menyadarkan manusia secara individual pada posisi dan fungsinya di

tengah makhluk lain, serta tentang tanggung jawab dalam

kehidupannya. Dengan kesadaran ini, manusia akan mampu berperan

sebagai makhluk Allah yang paling utama diantara makhluk-makhluk

lainnya sehingga mampu berfungsi sebagai Khalifah di muka bumi.

b. Menyadarkan fungsi manusia dalam hubungannya dengan masyarakat,

serta tanggung jawabnya terhadap ketertiban masyarakat itu. Oleh

Page 40: Full Script

karena itu manusia harus mengadakan interelasi dan interaksi dengan

sesamanya dalam kehidupan masyarakat.

c. Menyadarkan manusia terhadap pencipta alam dan mendorongnya

untuk beribadah kepada-Nya. Oleh karena itu manusia sebagai Homo

Divinans (makhluk yang berketuhanan), sikap dan watak

religiusitasnya perlu dikembangkan sedemikian rupa sehingga mampu

menjiwai dan mewarnai kehidupannya.

d. Menyadarkan manusia tentang kedudukannya terhadap makhluk lain

dan membawanya agar memahami hikmah Tuhan menciptakan

makhluk lain, serta memberikan kemungkinan kepada manusia untuk

mengambil manfaatnya.

Pengamat dan praktisi pendidikan sering mengkritik bahwa

sistem pendidikan Indonesia lebih berorientasi pada pengisian kognisi

yang eqivalen dengan peningkatan IQ (Intelegence Qoetiont) yang

walaupun juga didalamnya terintegrasi pendidikan EQ (Emotional

Quetiont). Oleh karenanya, perlu kiranya dalam pengembangan

pendidikan moral ini eksistensi SQ (Spiritual Quetiont) yang merupakan

tradisi spiritualitas yang tinggi harus terintegrasi dalam target peningkatan

IQ dan EQ siswa.

Untuk merespon gejala-gejala sosial yang muncul terlebih gejala

kemerosotan moral, maka peningkatan dan intensitas pelaksanaan

pendidikan moral yang merupakan bagian dari materi pendidikan Islam

merupakan tugas yang sangat urgen dan harus selalu dilaksanakan secara

Page 41: Full Script

gradual dan komprehensif serta dengan melibatkan semua unsur yang

terkait dalam proses pembelajaran atau pendidikan.

Tujuan pendidikan moral tidak semata-mata untuk menyiapkan

peserta didik untuk menelan mentah-mentah konsep-konsep pendidikan

moral, tetapi yang lebih penting adalah terbentuknya karakter yang baik,

yaitu pribadi yang memiliki pengetahuan moral, peranan perasaan moral

dan tindakan atau perilaku moral (Lickona, 1992: 53).

3. Kurikulum Pendidikan

Kurikulum merupakan bagian integral dari komponen pokok

sistem pendidikan. Secara simplistik, UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang

Sistem Pendidikan Nasional menjelaskan kurikulum sebagai seperangkat

rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta

cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan

pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Tujuan tertentu

ini meliputi tujuan pendidikan nasional serta kesesuaian dengan kekhasan,

kondisi dan potensi daerah, satuan pendidikan dan peserta didik.

Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) telah memuat

kurikulum sebagai bagian dari standar proses untuk satuan pendidikan

yang telah ditetapkan lewat Peraturan Menteri Pendidikan Nasional

Republik Indonesia (Permendiknas RI) No.41 tahun 2007 tentang standar

proses untuk satuan pendidikan dasar dan menengah

(www.depdiknas.go.id, tanggal 24 Agustus 2008). Mulyasa (dalam Joko

Page 42: Full Script

Susilo, 2007: 50) menyebutkan sedikitnya terdapat tujuh komponen

sekolah yang harus dikelola dengan baik, yaitu:

1. Kurikulum dan program pengajaran;

2. Tenaga kependidikan;

3. Kesiswaan;

4. Keuangan;

5. Sarana dan prasarana pendidikan;

6. Pengelolaan hubungan sekolah dan masyarakat;

7. Manajemen pelayanan khusus lembaga pendidikan.

Istilah ”kurikulum” muncul pertama kali di bidang olahraga,

berasal dari bahasa Latin: ”Curriculae”, yaitu jarak yang harus ditempuh

oleh seorang pelari (Joko Susilo, 2007: 77). Senada dengan hal tersebut

Ahmad Tafsir (2005: 53) mendefinisikan secara historis, yaitu suatu alat

yang membawa orang dari start sampai finish.

Pada perkembangannya istilah kurikulum kemudian dipakai

dalam bidang pendidikan, dengan arti sejumlah mata pelajaran di suatu

perguruan. Dalam kamus Webster tahun 1856 kurikulum diartikan dengan

dua macam, yaitu: Pertama, sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh

atau dipelajari siswa di sekolah atau perguruan tinggi untuk memperoleh

ijazah tertentu. Kedua: sejumlah mata pelajaran yang ditawarkan oleh

suatu lembaga pendidikan atau jurusan.

Pengertian di atas mengindikasikan paham pada waktu itu bahwa

kurikulum adalah jangka waktu pendidikan yang harus ditempuh oleh

Page 43: Full Script

siswa yang bertujuan untuk memperoleh ijazah, sehingga cenderung legal

oriented, karena dengan menempuh suatu kurikulum siswa dapat

memperoleh ijazah.

Secara eksplisit, Oliva (dalam Joko Susilo, 2007: 80)

mendefinisikan kurikulum sebagai berikut:

”Curriculum is that which is taught in school, is a set of subject, is content, is a program studies, is a set of materials, is a course of study, is a sequence of courses, is a set of performance objective, is everything that goes on within the school, including extra class activities, guidance, and interpersonal relationships, is that which is taught both inside and outside of school directed by the school, is everything that is planned by school personal, is a series of experiences undergone by learners in school and is that which an individual learner experiences as a result of schooling”.

Definisi di atas tidak hanya mengidentifikasi kurikulum sebagai

kegiatan yang berpusat di sekolah, melainkan juga seluruh aspek kegiatan

di luar sekolah yang berhubungan dengan proses kegiatan belajar serta

hasil pendidikan yang diterima di sekolah. Oleh karenanya, kurikulum

juga merupakan suatu rencana yang memberi pedoman atau pegangan

dalam proses kegiatan belajar mengajar.

Lebih lanjut Albert I. Oliver mengatakan bahwa ”curriculum

with the educational program and divided it into four basic element: (1)

the program of study, (2) the program of experiences, (3) the program of

service, and (4) the hidden curriculum” (Joko Susilo, 2007: 51). Dengan

demikian, pendidikan tidak bisa dilepaskan dengan kurikulum. Bahwa

program pendidikan secara bersamaan dengan kurikulum membutuhkan

beberapa program sebagai elemen dasar.

Page 44: Full Script

Kurikulum secara praksis adalah apa yang dialami oleh siswa-

siswa ketika berada di dalam kelas. Oleh karenanya guru sebagai pendidik

yang terjun langsung dalam masalah-masalah pengajaran mempunyai

kesempatan yang paling signifikan dalam menjalankan kurikulum.

Secara fungsional kurikulum sebagai suatu proses mempunyai

fungsi. Beauchamp dalam Joko Susilo (2007: 83) menggambarkan

terdapat tujuh macam fungsi kurikulum, yaitu:

1. the choice of arena for curriculum decision making,

2. the selection and involvement of person in curriculum planning,

3. organization for and techniques used in curriculum planning,

4. actual writing of a curriculum,

5. implementing the curriculum,

6. evaluation the curriculum, and

7. providing for feedback and modification of the curriculum.

Dari beberapa definisi dan fungsi di atas dapat diringkas fungsi

kurikulum secara umum sebagai berikut:

a. Fungsi kurikulum dalam rangka mencapai tujuan pendidikan.

Bahwa kurikulum merupakan suatu alat atau usaha untuk mencapai

tujuan-tujuan pendidikan yang diinginkan oleh lembaga pendidikan

yang dianggap cukup tepat dan penting untuk dicapai.

b. Fungsi Kurikulum bagi anak atau pesera didik. Kurikulum sebagai

organisasi belajar tersusun yang disiapkan untuk siswa sebagai

salah satu konsumsi bagi pendidikan mereka. Dengan begitu

Page 45: Full Script

diharapkan mereka akan mendapat sejumlah pengalaman baru

yang kelak kemudian hari dapat dikembangkan seirama dengan

perkembangan anak.

c. Fungsi kurikulum bagi guru. Ada tiga macam, yaitu: (a). sebagai

pedoman kerja dalam menyusun dan mengorganisir pengalaman

belajar bagi anak didik. (b). sebagai pedoman untuk mengadakan

evaluasi terhadap perkembangan anak dalam rangka menyerap

sejumlah pengalaman yang diberikan. (c). sebagai pedoman dalam

mengatur kegiatan pendidikan dan pengajaran.

d. Fungsi kurikulum bagi orang tua murid. Bagaimanapun orang tua

dapat turut serta membantu usaha sekolah dalam memajukan putra-

putrinya. Oleh karenanya, orang tua dapat memberikan bantuan

melalui konsultasi langsung dengan sekolah, guru dan sebagainya.

e. Fungsi kurikulum bagi sekolah. Setidaknya ada dua jenis berkaitan

dengan fungsi ini yaitu pemeliharaan keseimbangan proses

pendidikan dan penyiapan tenaga guru.

Dengan demikian fungsi kurikulum mencakup seluruh aspek dan

elemen pendidikan. Karena dengan kurikulum suatu proses belajar

mengajar dapat menjalankan pedomannya serta memberikan arahan yang

jelas terhadap pendidik.

Pada sisi lain, komponen kurikulum juga menjadi elemen bagi

penyusunan kurikulum. Komponen-komponen tersebut secara integral

harus mengandung isi yang substantif sesuai dengan kebutuhan pada

Page 46: Full Script

lembaga pendidikan. Diantara komponen kurikulum yaitu, 1). Tujuan, 2).

bahan pelajaran, 3). proses belajar mengajar, 4). Evaluasi dan penilaian

(Nasution, 2003).

Masing-masing komponen sangat bertalian erat, jadi secara ringkas

tujuan bertalian dengan bahan pelajaran, proses belajar-mengajar, dan

penilaian. Kesalingterkaitan komponen-komponen tersebut dapat

digambarkan dalam bagan berikut:

Dari bagan di atas nampak jelas bahwa semua komponen

mempunyai interrelasi, saling berhubungan antara komponen satu dengan

yang lainnya.

Dari setiap proses keterpaduan komponen tersebut akan

mengarahkan kurikulum kepada perkembangannya sesuai kebutuhan

lembaga pendidikan dan masyarakat.

Pengembangan kurikulum disusun antara lain agar dapat memberi

kesempatan peserta didik untuk: belajar untuk beriman dan bertakwa

Tujuan

Penilaian Bahan Pelajaran

Proses Belajar-Mengajar

Page 47: Full Script

kepada Tuhan Yang Maha Esa, belajar untuk memahami dan menghayati,

belajar untuk mampu melaksanakan dan berbuat secara efektif, belajar

untuk hidup bersama dan berguna untuk orang lain, dan

belajar untuk membangun dan menemukan jati diri melalui proses belajar

yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan.

F. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini secara garis

besar menggunakan :

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian pustaka atau library research,

yaitu model penelitian yang (datanya diperoleh) dilakukan terhadap

informasi yang didokumentasikan dalam bentuk tulisan baik dalam bentuk

buku, jurnal, paper, tulisan lepas, internet, annual report dan bentuk

dokumen tulisan lainnya yang memiliki keterkaitan dengan objek

penelitian serta memiliki akurasi dengan fokus permasalahan yang akan

dibahas (Arikunto, 2005: 244).

Penelitian ini bersifat deskriptif eksploratif (menggali). Metode

deskriptif eksploratif sendiri merupakan pengembangan dari metode

deskriptif, yakni metode yang mendeskripsikan gagasan-gagasan yang

telah dituangkan dalam bentuk media cetak baik yang berupa naskah

primer maupun naskah sekunder untuk kemudian dikembangkan.

Page 48: Full Script

Fokus penelitian deskriptif eksploratif adalah berusaha untuk

mendeskripsikan, membahas dan menggali gagasan-gagasan pokok yang

selanjutnya di tarik pada satu kasus baru. Dalam hal ini ide pokok yang

menjadi dasar penelitian adalah konsep pendidikan antikorupsi sebagai

strategi pencegahan korupsi melalui sektor pendidikan formal.

2. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini berupa buku-

buku, jurnal ilmiah, artikel-artikel, paper, tulisan lepas, internet, annual

report, produk hukum dan bentuk dokumen tulisan lainnya yang memiliki

keterkaitan dengan objek penelitian serta memiliki akurasi dengan fokus

permasalahan yang akan dibahas yang relevan dengan pembahasan

penelitian ini.

Untuk memudahkan, dalam penelitian ini peneliti membagi sumber

data menjadi dua bentuk: pertama, sumber data utama (primer) yaitu data-

data yang berkaitan langsung dengan teori-teori (kurikulum) pendidikan

Islam dan pendidikan antikorupsi (Suharsimi, 1998: 114).

Buku-buku yang berkaitan dengan pendidikan antikorupsi dan

(kurikulum) pendidikan Islam yang dijadikan sebagai sumber data primer

adalah :

a. Muhammad Azhar (Et.al), Pendidikan Antikorupsi, Yogyakarta: LP3

UMY, Partnership, Koalisis Antarumat Beragama untuk Antikorupsi,

2003.

Page 49: Full Script

b. Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Fikih Antikorupsi

Perspektif Ulama Muhammadiyah, Jakarta: Pusat studi Agama dan

Peradaban (PSAP), 2006.

c. Ahmad Fawa’id, Sultonul Huda (Ed.), NU Melawan Korupsi: Kajian

Tafsir dan Fiqih, Jakarta: Tim Kerja Gerakan Nasional Pemberantasan

Korupsi Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, 2006.

d. Muhammad Joko Susilo, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan:

Manajemen Pelaksanaan dan Kesiapan Sekolah Menyongsongnya,

Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.

e. Mansur Muslich, KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan

Kontekstual; Panduan Bagi Guru, Kepala Sekolah dan Pengawas

Sekolah, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2008.

Kedua, data sekunder, yaitu data yang tidak secara langsung terkait

dengan penelitian. Data ini berupa data-data pengalaman beberapa negara

dalam melaksanakan konsep pendidikan antikorupsi sebagai upaya

pencegahan korupsi, data-data perkembangan korupsi di Indonesia serta

penelitian-penelitian terdahulu dalam kaitan penerapan pendidikan

antikorupsi, serta dokumen kurikulum nasional (Kurikulum Tingkat

Satuan Pendidikan/KTSP) dan produk-produk hukum.

3. Metode Pengumpulan Data

Karena jenis penelitian ini adalah penelitian literer dan bersifat

deskriptif eksplorarif dan sumber yang digunakan adalah buku-buku, maka

Page 50: Full Script

metode pengumpulan datanya menggunakan cara menelaah buku, dengan

cara memperoleh keterangan-keterangan mengenai suatu obyek

pembahasan. Teknik dan alat pengumpulan data dalam penelitian ini

menggunakan teknik penelitian pustaka (library research methode), yaitu

kegiatan mempelajari dan mengumpulkan data tertulis untuk menunjang

penelitian (Moleong, 2002: 3).

Data yang dikumpulkan berupa literatur yang berhubungan dengan

topik permasalahan penelitian, baik dalam bentuk buku, work paper,

jurnal, annual report, draf perencanaan, master plan, makalah seminar,

artikel majalah, ensiklopedia, kamus, website dan sebagainya.

4. Metode Analisis Data

Analisis data bertujuan untuk mengelompokan, membuat

sistematika dan mengorganisasikan data sehingga dapat dibaca dan

dipahami oleh orang lain (Amirul dan Haryono, 1998; 14).

Analisis data peneliti lakukan dengan menganalisis data dari buku-

buku yang diperoleh dengan cara membaca, menggunakan kerangka

berfikir induktif, yaitu pola pikir yang bertolak dari pengamatan atas hal-

hal atau kasus-kasus kemudian menarik kesimpulan, yang digambarkan

secara kwalitatif (Amirul dan Haryono, 1998: 14).

Berangkat dari kerangka umum tentang korupsi, kemudian

digunakan untuk menganalisis konsep pendidikan antikorupsi dengan

perspektif pendidikan Islam.

Page 51: Full Script

5. Pendekatan

Sesuai dengan topik yang akan dibahas dan dikaji dalam skripsi

ini, maka penelitian ini mempergunakan pendekatan sosio-filosofis.

Pendekatan sosiologis digunakan dalam membahas wacana dan fenomena

sosial yang menjadi permasalahan dalam pembahasan penelitian ini, serta

melihat pengalaman (empiric) beberapa negara yang menerapkan

pendidikan antikorupsi. Sedangkan pendekatan filosofis digunakan untuk

menganalisis konsep-konsep pendidikan yang terkait dengan penelitian ini.

G. Sistematika Pembahasan

Untuk mempermudah dalam pembahasan dan penelaahan penelitian

ini, maka peneliti membuat rancangan secara sistematis yang akan ditulis

menjadi lima bagian dan masing-masing bagian sebagai bab dengan

sistematika sebagai berikut:

Bab pertama, berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang

masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka,

kerangka koseptual, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.

Bab dua, pada bab ini mengemukakan mengenai gambaran umum

korupsi, yang meliputi: definisi korupsi, model-model korupsi, sebab-sebab

korupsi, perkembangan kasus korupsi serta penyelesaian kasus-kasus korupsi.

Bab tiga, berisi pembahasan tentang nilai-nilai antikorupsi dalam

pendidikan Islam, yaitu meliputi: korupsi menurut perspektif Islam, Nilai-nilai

Page 52: Full Script

yang diselewengkan dalam kasus korupsi, konsep pendidikan antikorupsi serta

model pendidikan antikorupsi di beberapa negara.

Bab empat, berisi pembahasan inti tentang tinjauan normatif aspek

kurikulum pendidikan agama Islam terhadap pendidikan antikorupsi.

Pembahasan tersebut meliputi: Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan,

prinsip-prinsip pengembangan kurikulum, pengembangan kurikulum

pendidikan agama Islam pada pendidikan antikorupsi, serta model pendidikan

antikorupsi integratif-inklusif dalam pendidikan agama Islam.

Bab lima, merupakan bab penutup, dalam bab ini berisi kesimpulan

dari semua pembahasan yang ada, saran-saran dari peneliti, serta penutup.

Page 53: Full Script

BAB II

GAMBARAN UMUM KORUPSI

A. Definisi Korupsi

Dalam sejarah tercatat bahwa korupsi bermula sejak awal kehidupan

manusia, dimana organisasi kemasyarakatan yang rumit mulai muncul.

Kepustakaan lain mencatat korupsi sudah berlangsung sejak zaman Mesir

kuno, Babilonia, Roma, sampai pada abad pertengahan, hingga sekarang. Pada

zaman Romawi korupsi dilakukan oleh para jenderal dengan cara memeras

daerah jajahannya, untuk memperkaya dirinya sendiri. Pada abad pertengahan

para bangsawan istana kerajaan juga melakukan praktek korupsi. Pendek kata,

korupsi yang merupakan benalu sosial dan masalah besar sudah berlangsung

dan tercatat di dalam sejarah Mesir, Babilonia, Ibrani, India, Cina, Yunani,

dan Romawi kuno (Ridwan Nasir, [Ed.], 2006: 277).

Korupsi memang merupakan istilah modern, tetapi wujud dari

tindakan korupsi itu sendiri ternyata telah ada sejak lama. Sekitar dua ribu

tahun yang lalu, seorang Indian yang menjabat semacam perdana menteri,

telah menulis buku berjudul “Arthashastra” yang membahas masalah korupsi

di masa itu (Ahmad Fawa’id & Sultonul Huda [Ed.]; 2006: 1). Dalam literatur

Islam, pada abad ke-7 Nabi Muhammad SAW. juga telah memperingatkan

sahabatnya untuk meninggalkan segala bentuk tindakan yang merugikan orang

lain yang kemudian dikenal sebagai bagian dari korupsi.

Page 54: Full Script

Korupsi dan koruptor sesuai dengan bahasa aslinya bersumber dari

bahasa latin corruptus, yakni berubah dari kondisi yang adil, benar dan jujur

menjadi kondisi yang sebaliknya (Muhammad Azhar [Et.al], 2003: 28).

Corruptio dari kata kerja corrumpere, yang berarti busuk, rusak,

menggoyahkan, memutar balik, menyogok, orang yang dirusak, dipikat, atau

disuap (Ridwan Nasir, [Ed.], 2006: 281-282).

Samuel Huntington dalam buku Political Order in Changing

Societies, mendefinisikan korupsi sebagai behavior of public officials with

deviates from accepted norms in order to serve private ends (1968: 59).

Melihat dari definisi tersebut jelas bahwa korupsi tidak hanya menyangkut

aspek hukum, ekonomi dan politik tetapi juga menyangkut perilaku manusia

(behavior) yang menjadi bahasan utama serta norma (norms) yang diterima

dan dianut masyarakat.

Definisi korupsi di atas mengidentifikasikan adanya penyimpangan

dari pegawai publik (public officials) dari norma-norma yang diterima dan

dianut masyarakat dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan pribadi

(serve private ends). Senada dengan Azyumardi Azra mengutip pendapat Syed

Husein Alatas yang lebih luas: ”Corruption is abuse of trust in the interest of

private gain”, Korupsi adalah penyalahgunaan amanah untuk kepentingan

pribadi (Syamsul Anwar [Et.al], 2006: 10).

Masyarakat pada umumnya menggunakan istilah korupsi untuk

merujuk kepada serangkaian tindakan-tindakan terlarang atau melawan hukum

dalam rangka mendapatkan keuntungan dengan merugikan orang lain. Hal

Page 55: Full Script

yang paling mengidentikkan perilaku korupsi bagi masyarakat umum adalah

penekanan pada penyalahgunaan kekuasaan atau jabatan publik untuk

keuntungan pribadi.

Dalam Kamus Lengkap Oxford (The Oxford Unabridged Dictionary)

korupsi didefinisikan sebagai ”penyimpangan atau perusakan integritas dalam

pelaksanaan tugas-tugas publik dengan penyuapan atau balas jasa”.

Sedangkan pengertian ringkas yang dipergunakan World Bank adalah

”penyalahgunaan jabatan publik untuk keuntungan pribadi (the abuse of

public office for private gain). Definisi ini juga serupa dengan yang

dipergunakan oleh Transparency International (TI), yaitu ”korupsi melibatkan

perilaku oleh pegawai di sektor publik, baik politikus atau pegawai negeri,

dimana mereka dengan tidak pantas dan melawan hukum memperkaya diri

mereka sendiri, atau yang dekat dengan mereka, dengan menyalahgunakan

kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka (Ahmad Fawa’id &

Sultonul Huda [Ed.]; 2006: 24).

Definisi lengkap menurut Asian Development Bank (ADB) adalah

”korupsi melibatkan perilaku oleh sebagian pegawai sektor publik dan swasta,

dimana mereka dengan tidak pantas dan melawan hukum memperkaya diri

mereka sendiri dan atau orang-orang yang dekat dengan mereka, atau

membujuk orang lain untuk melakukan hal-hal tersebut, dengan

menyalahgunakan jabatan dimana mereka ditempatkan.

Sedangkan Bazwir (2002)–mengutip Braz dalam Lubis dan Scott–

menengarai bahwa “korupsi” dapat didefinisikan dengan berbagai cara.

Page 56: Full Script

Namun demikian, bila dikaji secara mendalam dan eksplisit, dapat diketahui

bahwa hampir semua definisi korupsi mengandung dua unsur didalamnya:

Pertama, penyalahgunaan kekuasaan yang melampaui batasan kewajaran

hukum oleh para pejabat atau aparatur negara; dan Kedua, pengutamaan

kepentingan pribadi atau klien di atas kepentingan publik oleh para pejabat

atau aparatur negara yang bersangkutan.

Dengan melihat beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa

korupsi secara implisit adalah menyalahgunakan kewenangan, jabatan atau

amanah secara melawan hukum untuk memperoleh keuntungan atau manfaat

pribadi dan atau kelompok tertentu yang dapat merugikan kepentingan umum.

Dari beberpa definisi tersebut juga terdapat beberapa unsur yang

melekat pada korupsi. Pertama, tindakan mengambil, menyembunyikan,

menggelapkan harta negara atau masyarakat. Kedua, melawan norma-norma

yang sah dan berlaku. Ketiga, penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang atau

amanah yang ada pada dirinya. Keempat, demi kepentingan diri sendiri,

keluarga, kerabat, korporasi atau lembaga instansi tertentu. Kelima, merugikan

pihak lain, baik masyarakat maupun negara.

Upaya pemberantasan korupsi adalah bagian dari akuntabilitas

sosial, dalam artian bukan hanya tanggung jawab milik pemerintah dan

lembaga lainnya. Akan tetapi peran serta masyarakat adalah yang paling urgen

dalam mencegah dan memberantas korupsi. Oleh karenya, perlu ada

paradigma baru (new pardigm) yang merupakan perubahan paradigma

Page 57: Full Script

(shifting paradigm) ke arah yang lebih baik dan komprehensif dalam

memahami upaya pemberantasan korupsi.

Diantara penyebab kurangnya mobilitas peran masyarakat dalam

upaya pemberantasan korupsi dikarenakan ketidak tahuan tentang makna,

hakikat dan kategorisasi korupsi, yang semakin berkembang dan rumit. Secara

lughowiyah (kebahasaan), definisi korupsi memiliki makna yang jelas dan

tegas. Namun secara praktis makna korupsi berbeda antara satu dengan yang

lainnya. Selain itu juga definisi korupsi selalu berkembang, baik secara

normatif maupun secara sosiologis.

Hal tersebut dapat dilihat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh

tim riset Koalisi Antarumat Beragama untuk Antikorupsi (Rahman, 2004).

Dalam riset ini dijelaskan bahwa problem utama yang muncul belum

terpetakannya istilah-istilah dan artikulasi definitif tentang korupsi, hakikat

korupsi pun secara struktural belum dipahami secara jelas.

Tabel 1

Pemahaman Korupsi Dalam Definisi Praktis

RESPON

No Varian Definisi Termasuk

Korupsi

Tidak

termasuk

Korupsi

1.

2.

3.

4.

Seorang peserta rapat yang datang

terlambat

Dosen mengakhiri kuliah sebelum

waktunya

Pejabat menggunakan mobil plat merah

untuk acara pribadi

Mahasiswa memberi hadiah kepada

dosen untuk menaikkan skor ujian

57,3%

67,5%

33,8%

33,2%

42,7%

32,5%

66,2%

66,8%

Page 58: Full Script

5.

6.

7.

8.

9.

Mengurangi komposisi bahan bangunan

untuk mengambil untung

Mengambil sebagian dana yang

dipercayakan tanpa melaporkan pada

pihak yang bersangkutan

Mengutip dana tertentu sebagai syarat di

luar regulasi

Merekruit karyawan berdasar asas

kekeluargaan

Majelis ulama menentukan Hari Raya

sesuai dengan hari yang ditentukan

sponsor penyelenggara acara tertentu

57,8%

62,5%

26,1%

19,8%

2,6%

42,2%

37,5%

73,9%

80,2%

97,4%

Sumber: Riset Koalisi antarumat Beragama untuk Korupsi, 2004 (Muhammad Azhar [Et.al], 2003: 30)

Secara simplistik dapat dilihat dari data-data tersebut bahwa problem

mendasar dari korupsi adalah belum terpetakannya istilah-istilah dan artikulasi

definitif tentang korupsi yang sesungguhnya. Korupsi dipahami sebagian

orang dalam kerangka definisi yang sederhana saja. Contoh lain adanya

perbedaan antara yang dianggap korupsi atau tidak adalah pendanaan partai

politik ada yang legal di satu tempat namun ada juga yang tidak legal di

tempat lain. Oleh karenanya, dalam langkah awal memberantas korupsi

penting kiranya untuk mencari definisi operasional-praktis yang dapat

dikategorikan sebagai perilaku korupsi.

Untuk mencapai definisi korupsi yang lebih operasional, beberapa

riset telah mencoba mengklasifikasikan bentuk-bentuk korupsi dalam

pengertian yang lebih aktual. Salah satu hasil riset yang diungkapkan disini,

Page 59: Full Script

yaitu tesis Ph.D yang dilakukan oleh Inge Amundsen tentang fenomena

korupsi di Senegal, Afrika. Menurut Amundsen, bentuk-bentuk korupsi

diantaranya adalah tindakan penyuapan (bribery), penipuan atau penggelapan

(embezzlement and fraud), dan pemerasan; lintah darat (extortion) (Andvig, et.

al., 2000).

Menurut perspektif hukum, definisi korupsi secara gamblang telah

dijelaskan dalam 13 buah Pasal dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo.UU No. 20

Tahun 2001. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi dirumuskan kedalam

tiga puluh bentuk/jenis tindak pidana korupsi yang dapat dikelompokkan;

kerugian keuangan negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan,

pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan,

gratifikasi. Pasal-pasal tersebut menerangkan secara terperinci mengenai

perbuatan yang bisa dikenakan pidana penjara karena korupsi (KPK, 2006:

19-20).

Dalam UU No. 20 Tahun 2001 terdapat pengertian bahwa ”korupsi

adalah tindakan melawan hukum dengan maksud memperkaya diri sendiri,

orang lain, atau korporasi yang berakibat merugikan keuangan negara atau

perekonomian negara. Ada sembilan tindakan kategori korupsi dalam UU

tersebut, yaitu: suap, illegal profit, secret transaction, hadiah, hibah

(pemberian), penggelapan, kolusi, nepotisme, dan penyalahgunaan jabatan dan

wewenang serta fasilitas negara.

Page 60: Full Script

Korupsi dengan berbagai modusnya telah terbukti menyengsarakan

rakyat. Salah seorang budayawan bahkan mengatakan bahwa korupsi

sebenarnya lebih ’porno’ dari pada pornografi itu sendiri.

B. Model-model Korupsi

Tindak pidana korupsi dalam berbagai bentuk mencakup pemerasan,

penyuapan dan gratifikasi pada dasarnya telah terjadi sejak lama dengan

pelaku mulai dari pejabat negara sampai pegawai yang paling rendah. Korupsi

yang terjadi di Indonesia saat ini, terutama yang dilakukan oleh aparatur

pemerintah sudah mulai dilakukan secara sistematis baik oleh perorangan

maupun berkelompok (berjamaah), serta semakin meluas dan semakin

canggih dalam proses pelaksanaannya. Korupsi ini semakin memprihatinkan

bila terjadi dalam aspek pelayanan yang berkaitan dengan sektor publik,

mengingat tugas dan kewajiban utama dari aparat pemerintah adalah

memberikan pelayanan kepada publik atau masyarakat.

Korupsi pada hakekatnya berawal dari suatu kebiasaan (habit) yang

tidak disadari oleh setiap aparat, mulai dari kebiasaan menerima upeti, hadiah,

suap, pemberian fasilitas tertentu ataupun yang lain dan pada akhirnya

kebiasaan tersebut lama-lama akan menjadi bibit korupsi yang nyata dan dapat

merugikan keuangan negara.

Untuk mencabut akar permasalahan sumber terjadinya korupsi di

sektor publik, perlu didefinisikan pula sifat atau model dari korupsi dan

dilakukan pengukuran secara komprehensif dan berkesinambungan. Untuk

Page 61: Full Script

dapat mendefinisikan model korupsi, dimulai dengan melakukan pengukuran

secara obyektif dan komprehensif dalam mengidentifikasi jenis korupsi,

tingkat korupsi dan perkembangan korupsi dan menganalisa bagaimana

korupsi bisa terjadi dan bagaimana kondisi korupsi saat ini.

Seiring dengan perkembangan jaman dan budaya masyarakat korupsi

pun ikut tumbuh sedemikian rupa sehingga memiliki bentuk, model atau jenis

yang beragam. Banyak para pakar yang telah mencoba mengelompokkan

jenis-jenis atau model-model korupsi.

Dari beberapa definisi yang telah disebutkan di atas, dapat diringkas

secara umum bentuk-bentuk, karakteristik atau ciri-ciri, dan unsur-unsur (dari

sudut pandang hukum) korupsi sebagai berikut :

a. Penyuapan (bribery) mencakup tindakan memberi dan menerima suap,

baik berupa uang maupun barang.

b. Embezzlement, merupakan tindakan penipuan dan pencurian sumber daya

yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu yang mengelola sumber daya

tersebut, baik berupa dana publik atau sumber daya alam tertentu.

c. Fraud, merupakan suatu tindakan kejahatan ekonomi yang melibatkan

penipuan (trickery or swindle). Termasuk didalamnya proses manipulasi

atau mendistorsi informasi dan fakta dengan tujuan mengambil

keuntungan-keuntungan tertentu.

d. Extortion, tindakan meminta uang atau sumber daya lainnya dengan cara

paksa atau disertai dengan intimidasi-intimidasi tertentu oleh pihak yang

Page 62: Full Script

memiliki kekuasaan. Lazimnya dilakukan oleh mafia-mafia lokal dan

regional.

e. Favouritism, adalah mekanisme penyalahgunaan kekuasaan yang

berimplikasi pada tindakan privatisasi sumber daya.

f. Melanggar hukum yang berlaku dan merugikan negara.

g. Serba kerahasiaan, meskipun dilakukan secara kolektif atau “korupsi

berjama’ah”.

Jenis korupsi yang lebih operasional juga diklasifikasikan oleh tokoh

reformasi, M. Amien Rais yang menyatakan sedikitnya ada empat jenis

korupsi. Pertama, korupsi ekstortif, yakni berupa sogokan atau suap yang

dilakukan pengusaha kepada penguasa. Kedua, korupsi manipulatif, seperti

permintaan seseorang yang memiliki kepentingan ekonomi kepada eksekutif

atau legislatif untuk membuat peraturan atau UU yang menguntungkan bagi

usaha ekonominya.

Ketiga, korupsi nepotistik, yaitu terjadinya korupsi karena ada ikatan

kekeluargaan, pertemanan, dan sebagainya. Keempat, korupsi subversif, yakni

mereka yang merampok kekayaan negara secara sewenang-wenang untuk

dialihkan ke pihak asing dengan sejumlah keuntungan pribadi (Syamsul

Anwar [Et.al], 2006: 18).

Diantara model-model korupsi yang sering terjadi secara praktis

adalah: pungutan liar, penyuapan, pemerasan, penggelapan, penyelundupan,

pemberian (hadiah atau hibah) yang berkaitan dengan jabatan atau profesi

seseorang.

Page 63: Full Script

Jeremy Pope (2007: xxvi) – mengutip dari Gerald E. Caiden dalam

”Toward a General Theory of Official Corruption” – menguraikan secara

rinci bentuk-bentuk korupsi yang umum dikenal, yaitu:

1. Berkhianat, subversif, transaksi luar negeri ilegal, penyelundupan.

2. Penggelapan barang milik lembaga, swastanisasi anggaran

pemerintah, menipu dan mencuri.

3. Penggunaan uang yang tidak tepat, pemalsuan dokumen dan

penggelapan uang, mengalirkan uang lembaga ke rekening pribadi,

menggelapkan pajak, menyalahgunakan dana.

4. Penyalahgunaan wewenang, intimidasi, menyiksa, penganiayaan,

memberi ampun dan grasi tidak pada tempatnya.

5. Menipu dan mengecoh, memberi kesan yang salah, mencurangi dan

memperdaya, memeras.

6. Mengabaikan keadilan, melanggar hukum, memberikan kesaksian

palsu, menahan secara tidak sah, menjebak.

7. Tidak menjalankan tugas, desersi, hidup menempel pada orang lain

seperti benalu.

8. Penyuapan dan penyogokan, memeras, mengutip pungutan, meminta

komisi.

9. Menjegal pemilihan umum, memalsukan kartu suara, membagi-bagi

wilayah pemilihan umum agar bisa unggul.

10. Menggunakan informasi internal dan informasi rahasia untuk

kepentingan pribadi; membuat laporan palsu.

Page 64: Full Script

11. Menjual tanpa izin jabatan pemerintah, barang milik pemerintah, dan

surat izin pemrintah.

12. Manipulasi peraturan, pembelian barang persediaan, kontrak, dan

pinjaman uang.

13. Menghindari pajak, meraih laba berlebih-lebihan.

14. Menjual pengaruh, menawarkan jasa perantara, konflik kepentingan.

15. Menerima hadiah, uang jasa, uang pelicin dan hiburan, perjalanan

yang tidak pada tempatnya.

16. Berhubungan dengan organisasi kejahatan, operasi pasar gelap.

17. Perkoncoan, menutupi kejahatan.

18. Memata-matai secara tidak sah, menyalahgunakan telekomunikasi

dan pos.

19. Menyalahgunakan stempel dan kertas surat kantor, rumah jabatan,

dan hak istimewa jabatan.

Sedangkan menurut Aditjondro (2003: 22) secara aplikatif ada tiga

model lapisan korupsi, yaitu:

1. Korupsi Lapis Pertama

Penyuapan (bribery), yaitu dimana prakarsa datang dari

pengusaha atau warga yang membutuhkan jasa dari birokrat atau petugas

pelayanan publik, atau pembatalan kewajiban membayar denda ke kas

negara, pemerasan (extortion) dimana prakarsa untuk meminta balas jasa

datang dari birokrat atau petugas pelayanan publik lainnya.

Page 65: Full Script

2. Korupsi Lapis Kedua

Jejaring korupsi (cabal) antara birokrat, politisi, aparat

penegakan hukum dan perusahaan yang mendapat kedudukan yang

istimewa. Biasanya ada ikatan yang nepotistis diantara beberapa anggota

jejaring korupsi yang dapat berlingkup nasional.

3. Korupsi Lapis Ketiga

Jejaring korupsi (cabal) berlingkup internasional, dimana

kedudukan aparat penegakan hukum dalam model korupsi lapis kedua

digantikan oleh lembaga-lembaga penghutang dan atau lembaga-lembaga

internasional yang punya otoritas di bidang usaha maskapai-maskapai

mancanegara yang produknya terpilih oleh pimpinan rezim yang jadi

anggota jejaring korupsi internasional tersebut.

Tiap tindakan korupsi pasti mengandung pengkhianatan kepercayaan

dan penyimpangan. Lebih jauh lagi pengkhianatan kepercayaan ini bukan

hanya terhadap kepercayaan dari publik atau masyarakat, melainkan juga

kepercayaan dari Allah SWT. Yang telah menjadikan manusia sebagai

khalifah di muka bumi ini.

Penyimpangan terhadap nilai-nilai yang diamanahkan kepada

manusia sebagai khalifah diantaranya adalah nilai integritas, akuntabilitas

(mas’uliyah), dan kepemimpinan. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang

paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk

memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang

diresmikan, dan sebagainya.

Page 66: Full Script

Titik kulminasi korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harfiahnya

pemerintahan oleh para pencuri, dimana pura-pura bertindak jujur pun tidak

ada sama sekali, dan yang terjadi koruptor teriak koruptor. Korupsi yang

muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau berat,

terorganisasi atau tidak.

Selain model-model korupsi seperti di atas, terdapat banyak ciri-ciri

perilaku korupsi. Syed Hussein Alatas (1975: 46) menyebutkan ciri-ciri

korupsi antara lain yaitu :

a. Biasanya melibatkan lebih dari satu orang.

b. Melibatkan keserbarahasiaan kecuali telah berurat berakar.

c. Melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik (tidak selalu

uang).

d. Pelaku biasanya berlindung di balik pembenaran hukum.

e. Pelaku adalah orang yang mampu mempengaruhi keputusan.

f. Mengandung penipuan kepada badan publik atau masyarakat umum.

g. Pengkhianatan kepercayaan.

h. Melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif.

i. Melanggar norma-norma tugas dan pertanggungjawaban.

j. Kepentingan umum di bawah kepentingan khusus.

C. Sebab-sebab Korupsi

Secara umum, munculnya perbuatan korupsi didorong oleh dua

motivasi. Pertama, motivasi intrinsik, yaitu adanya dorongan memperoleh

Page 67: Full Script

kepuasan yang ditimbulkan oleh tindakan korupsi. Kedua, motivasi ekstrinsik,

yaitu dorongan korupsi dari luar diri pelaku yang tidak menjadi bagian

melekat dari perilaku itu sendiri (Syamsul Anwar [Et.al], 2006: 13).

Motivasi kedua ini seperti adanya alasan melakukan korupsi karena

ekonomi, ambisi memperoleh jabatan tertentu, atau obsesi meningkatkan taraf

hidup atau karir jabatan secara pintas.

Dalam istilah lain juga disebutkan faktor korupsi terdiri dari faktor

internal (dari dalam diri) dan faktor eksternal (dari luar diri). Faktor internal

semisal sifat rakus terhadap harta, atau terbentur kebutuhan mendesak yang

memicu seseorang melakukan korupsi. Sedangkan faktor eksternal seperti

sistem pemerintahan yang memberikan peluang korupsi, lemahnya

pengawasan-hukum, dan tidak adanya akuntabilitas.

Alatas (1975: 46) menjelaskan beberapa hal yang menjadi penyebab

korupsi yaitu:

a. Ketiadaan atau kelemaham kepemimpinan dalam posisi kunci yang

mempengaruhi tingkah laku menjinakkan korupsi.

b. Kelemahan pengajaran agama dan etika.

c. Konsumerisme dan globalisasi.

d. Kurangnya pendidikan.

e. Kemiskinan.

f. Tidak adanya tindak hukuman yang keras.

g. Kelangkaan lingkungan yang subur untuk perilaku antikorupsi.

Page 68: Full Script

h. Struktur pemerintahan.

i. Perubahan radikal atau transisi demokrasi.

Korupsi juga sangat erat hubungannya dengan penyalahgunaan

kekuasaan. Ketika kekuasaan cenderung absolut dan represif maka

kesempatan adanya praktik korupsi semakin besar. Tidak salah bila Lord

Acton mengatakan, power corrupts, and absolute power corrupts absolutely.

Semakin mutlak kekuasaan, semakin besar pula kesempatan korupsi (Tempo;

Juli 2008).

Secara eksplisit, terjadinya korupsi setidaknya disebabkan oleh tiga

hal. Pertama, corruption by greed (keserakahan). Korupsi ini terjadi pada

orang yang sebenarnya tidak butuh atau bahkan sudah kaya. Namun karena

mental serakah dan rakus menyebabkan mereka terlibat korupsi. Kasus

korupsi karena keserakahan inilah yang banyak terjadi di lingkungan pejabat

tinggi negara.

Kedua, corruption by need (kebutuhan). Korupsi ini disebabkan

karena keterdesakan dalam pemenuhan kebutuhan dasar hidup (basic need).

Korupsi ini banyak dilakukan oleh karyawan atau pegawai kecil, polisi atau

prajurit rendah dan lain-lain.

Ketiga, corruption by chance (peluang). Korupsi ini dilakukan jelas

karena adanya peluang yang besar untuk berbuat korup, peluang besar untuk

cepat kaya secara pintas, peluang naik jabatan secara instan, dan sebagainya.

Biasanya ini didukung dengan lemahnya sistem organisasi, rendahnya

akuntabilitas publik, serta lemahnya hukum yang tidak membuat jera.

Page 69: Full Script

Seringkali korupsi dalam kenyataannya justeru diberi kesempatan dan diberi

peluang sehingga menggoda para pejabat atau pemegang amanah untuk

berbuat korup seperti menerima suap.

Dari segi behaviour, problem utama tindak perilaku korupsi sangat

berhubungan erat dengan sikap dan perilaku. Sedangkan secara sosiologis,

latar belakang terjadinya korupsi pun dapat dilihat dari beberapa aspek

(Muhammad Azhar [Et.al], 2003: 44), yaitu:

1. Masyarakat tidak memiliki gambaran jelas tentang jenis dan bentuk

yang dianggap sebagai tindak korupsi.

2. Ajaran-ajaran keagamaan di Indonesia kurang memberikan

petunjuk yang kuat tentang korupsi dalam perspektif moral.

3. Para pemimpin elit masyarakat tidak mengkampanyekan gerakan

antikorupsi secara intens.

4. Tidak ada kurikulum etika dan standard metodik tentang

bagaimana cara membangun kesadaran warga negara terhadap

problem korupsi. Masyarakat kurang memiliki pengetahuan

tentang bagaimana cara melaporkan kasus korupsi yang merugikan

kepentingan publik.

5. Terjadi banyak pembenaran perilaku korupsi, asal bermanfaat

untuk kepentingan lain (kelompok, agama, suku, dan sebagainya).

Lebih lanjut Alatas (1986) mendeskripsikan beberapa faktor

penyebab terjadinya korupsi, antara lain: problem kepemimpinan, problem

pengajaran agama dan etika, latar belakang sejarah (kolonialisme), kualitas

Page 70: Full Script

pendidikan yang rendah, faktor kemiskinan dan gaji yang rendah, penegakkan

hukum yang lemah dan buruk, sistem kontrol yang tidak efektif, struktur dan

sistem pemerintahan.

Eksplisitas penyebab terjadinya korupsi secara universal juga

dikarenakan: lemahnya pengalaman nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-

hari, struktur pemerintahan atau kepemimpinan organisasi (baik profit maupun

non profit) yang bersifat tertutup (tidak transparan) dan cenderung otoriter,

kurang berfungsinya lembaga perwakilan rakyat sebagai kekuatan

penyeimbang bagi eksekutif, tidak berfungsinya lembaga pengawasan dan

penegakan hukum serta sanksi hukum yang tidak menjerakan bagi pelaku

korupsi, minimnya keteladanan pemimpin atau pejabat dalam kehidupan

sehari-hari, rendahnya upah pegawai atau karyawan yang berakibat rendahnya

tingkat kesejahteraan.

Hal yang tak kalah pentingnya juga untuk dapat mencegah secara

efektif terjadinya korupsi adalah hendaknya dihindari pengukuran korupsi

yang semata-mata bertujuan untuk mendeteksi pelaku korupsi dan

menghukumnya. Penting untuk mulai menempatkan strategi pencegahan

korupsi dengan tujuan untuk mengeliminasi faktor-faktor penyebab terjadinya

korupsi sejak dini. Dalam menetapkan strategi pencegahan korupsi, perlu

diidentifikasi dan dianalisa faktor-faktor yang menjadi akar penyebab yang

berkontribusi menimbulkan korupsi pada lembaga publik dan layanan

publiknya.

Page 71: Full Script

Semua sebab-sebab di atas terkadang menyatu. Dengan kata lain,

seorang koruptor disamping mentalnya serakah, dipicu oleh kebutuhan dasar

ekonomi yang tinggi, juga ditunjang adanya peluang untuk melakukan

korupsi.

D. Perkembangan Kasus Korupsi

Korupsi merupakan salah satu bentuk kejahatan kemanusiaan yang

bertentangan dengan prinsip Hak Asasi Manusia (HAM). Virus mahadahsyat

ini bisa menjangkiti siapa saja, dimana saja, negara mana saja, dan kapan saja.

Oleh karenanya, ia tidak mengenal latar belakang Suku, Agama, Ras, dan

Aliran (SARA). Berbagai data dan fakta di lapangan membuktikan betapa

korupsi meruntuhkan nilai-nilai hak asasi manusia secara universal.

Kwik Kian Gie mengatakan korupsi adalah akar semua masalah.

Itulah sebabnya, butuh cara pandang yang sama dari siapa saja dengan

menempatkan korupsi sebagai masalah bersama (Tempo; Juli 2008).

Reformasi birokrasi sebagai salah satu parameter keberhasilan

pemberantasan korupsi belum mengalami peningkatan secara signifikan.

Indikator untuk mengukur hal tersebut setidaknya bisa dilihat dari data Indeks

Persepsi Korupsi (IPK) yang dikeluarkan oleh Transparency International.

Tabel 2

Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2003-2006

Skor IPK (CPI Score) NEGARA

(Country) 2003 2004 2005 2006

Singapore 9.1 9.3 9.1 9.1

Hongkong 8.0 8.0 8.3 8.3

Japan 7.0 6.9 7.3 7.6

Page 72: Full Script

Taiwan 5.7 5.6 5.9 5.9

South Korea 4.3 4.5 5.0 5.1

Malaysia 5.2 5.0 5.1 5.0

Thailand 3.3 3.6 3.8 3.8

China 3.4 3.4 3.2 3.3

India 2.8 2.8 2.9 3.3

Sri Lanka 9.1 9.3 9.1 9.1

Philipines 2.5 2.6 2.5 2.5

Indonesia 1.9 2.0 2.2 2.4

Papua New Guines 2.1 2.6 2.3 2.4

Pakistan 2.5 2.1 2.1 2.2

Kamboja --- --- --- ---

Bangladesh 1.3 1.5 1.7 2.0

Myanmar 1.6 1.7 1.8 1.9

Sumber : Annual Report KPK 2006 (www.kpk.go.id, tanggal 23 Maret 2008)

Pada tahun 2007, IPK Indonesia turun menjadi 2.3 dan tahun 2008

IPK Indonesia 2,6 . Rendahnya IPK Indonesia ini antara lain disebabkan tidak

diterapkannya prinsip-prinsip good governance dalam praktik tata kelola

pemerintahan pada umumnya dan dalam praktik pelayanan publik pada

khususnya.

Beberapa gebrakan dan upaya untuk terus meningkatkan

pemberantasan korupsi telah dilakukan. Berbagai kelembagaan antikorupsi

telah lahir. Mulai dari dibentuknya Komisi Pemeriksa Kekayaan

Penyelenggaraan Negara (KPKPN) pada tahun 1999 berdasarkan UU No. 28

Tahun 1999 tentang penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan bebas

dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Terakhir, lahirnya lembaga independen

khusus yang menangani pemberantasan tindak pidana korupsi untuk

melakukan penyidikan terhadap praktik korupsi Komisi Pemberantasan

Korupsi (KPK) pada 29 Desember 2003.

Page 73: Full Script

Dasar pembentukan KPK adalah Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2003 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. KPK diberi

amanat melakukan pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TPK) secara

profesional, intensif dan berkesinambungan untuk mewujudkan masyarakat

yang adil, makmur dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan UUD Tahun 1945.

Lembaga-lembaga sejenis juga didirikan seperti Komisi

Ombudsman, Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK),

Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor), dan

Komisi Kejaksaan yang diharapkan dapat memperkecil peluang terjadinya

korupsi.

Sejak lahirnya KPK masyarakat pun sudah mulai antusias dengan

pemberantasan korupsi. Masyarakat mulai semangat menggelorakan gerakan

untuk melawan korupsi, yang semula kepercayaan masyarakat terhadap upaya

penegakan hukum tindak pidana korupsi berada pada titik terendah ketika orde

baru berkuasa.

Perkembangan kasus-kasus korupsi terus bermunculan dari hari ke

hari. Hal ini dapat dirasakan oleh masyarakat dan terlihat secara langsusng

dari media. Dalam Annual Report KPK pada tahun 2007 saja misalnya, dilihat

dari jumlah keuangan yakni jumlah uang yang berhasil diselamatkan

berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum

tetap, yaitu putusan terhadap uang rampasan, uang pengganti dan denda

sebesar: Rp. 119.976.472.962,00. Adapun yang berhasil disetorkan ke Kas

Negara adalah sebesar : Rp. 45.513.032.038,00.

Page 74: Full Script

Banyaknya jumlah keuangan negara yang dirugikan akibat tindak

korupsi menimbulkan kegeraman bagi masyarakat, sehingga masyarakat tidak

lagi merasa apatis terhadap gerakan pemberantasan korupsi. Data lain

menunjukkan angka yang lebih tinggi dari keuangan akibat korupsi.

Tabel Pengembalian Korupsi

• Uang yang harus dikembalikan : Rp. 11, 03 triliun

• Belum dapat dikembalikan : Rp. 6,9 triliun

• Berhasil ditagih : Rp. 4,1 triliun

Sumber: ICW (Republika, 8 April 2008)

E. Penyelesaian Kasus-kasus Korupsi

Gerakan pemberantasan korupsi yang digawangi oleh KPK semakin

berkembang dalam tahun 2007. Aparat penegak hukum seolah berlomba

dalam memburu para koruptor. Media massa pun terlibat aktif dalam

menggelorakan gerakan antikorupsi.

Pada tahun 2007 tercatat banyak koruptor kelas kakap berhasil

ditahan. Baik dari sisi nilai kerugian negaranya maupun dari sisi

ketokohannya. Seperti diantaranya anggota Komisi Yudisial, anggota DPR,

bahkan mantan Direktur Utama BUMN dan BI dengan asset triliunan berhasil

ditangkap.

Pada tahun 2008 ini, kasus-kasus korupsi – baik yang lama maupun

baru – kembali terungkap. Bahkan sejumlah pejabat Negara baik legislatif

maupun yudikatif banyak yang terseret. Seperti para anggota DPR dan para

jaksa. Kasus-kasus tersebut lebih banyak bersifat suap yang dilakukan guna

Page 75: Full Script

memuluskan proyek-proyek tertentu dan atau untuk kasus-kasus besar seperti

kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Di sisi lain, hal tersebut juga tidak bisa dilepaskan dari pengaruh

gelombang pemberantasan korupsi di negara-negara lain. Pada tingkatan dunia

internasional ditandai dengan pengesahan Konvensi perserikatan Bangsa-

Bangsa (PBB) Menentang Korupsi “United Nations Convention Against

Corruption” (UNCAC) pada tanggal 9 Desember 2003 di Merida, Meksiko.

Sedikitnya 137 negara ikut menandatangani konvensi tersebut, termasuk

Indonesia.

Kehadiran konvensi antikorupsi tersebut menandai diakuinya korupsi

sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Bahkan, dalam Konferensi

Asosiasi International Otoritas Pemberantasan Korupsi (International

Association of Anti-Corruption Authorities, IAACA) di Beijing, 25 oktober

2006, disepakati bahwa korupsi merupakan kejahatan lintas negara

(transnational crime).

Namun demikian, upaya pemberantasan korupsi yang telah banyak

dilakukan masih berkutat pada upaya pemberantasan an sich. Upaya

pemberantasan tersebut harus dimbangi dengan upaya pencegahan. Oleh

karenanya, dalam penelitian ini akan membahas salah satu upaya pencegahan

korupsi melalui jalur pendidikan.

Ada dua cara dalam melakukan upaya pemberantasan korupsi.

Pertama, melalui langkah represif (penindakan), dimana aparat penegak

hukum menjadi penggerak dalam memberantas korupsi. Kedua, melalui

Page 76: Full Script

langkah preventif (pencegahan). Diantaranya upaya perbaikan sistem

birokrasi, dan yang paling penting adalah penyemaian bibit-bibit antikorupsi

melalui jalur pendidikan. Penanaman nilai-nilai antikorupsi akan melahirkan

generasi antikorupsi di masa yang akan datang.

Keduanya harus dilakukan secara simultan dengan kecepatan yang

seimbang. Hal itu dilandasi dengan prinsip bahwa betapa pun para koruptor

yang berhasil ditangkap dan dipenjara tanpa ada upaya pencegahan tindak

pidana korupsi pekerjaan berat itu akan menjadi sia-sia. Sebab tunas-tunas

koruptor yang baru akan muncul kembali.

Menciptakan generasi baru yang antikorupsi merupakan sasaran dari

langkah preventif untuk membantu mewujudkan negara yang bebas dari

korupsi. Gerakan antikorupsi melalui jalur pendidikan merupakan langkah

awal yang ditempuh untuk mulai melakukan penanaman nilai ke arah yang

lebih baik dari sejak usia muda dengan membangun karakter termasuk

pembentukan sikap disiplin.

Bila dilihat dalam konteks pendidikan, tindakan untuk

mengendalikan atau mengurangi korupsi adalah keseluruhan upaya untuk

mendorong generasi-generasi mendatang mengembangkan sikap menolak

secara tegas setiap bentuk tindak korupsi. Perubahan dari sikap membiarkan

dan menerima ke sikap tegas menolak korupsi, tidak pernah terjadi jika kita

tidak secara sadar membina kemampuan generasi mendatang untuk

memperbarui sistem nilai yang diwarisi, sesuai dengan tuntutan yang muncul

dalam setiap tahap perjalanan bangsa.

Page 77: Full Script

BAB III

NILAI-NILAI ANTIKORUPSI DALAM PENDIDIKAN ISLAM

B. Korupsi Menurut Perspektif Islam

Sebagai agama yang sempurna dan universal, Islam tidak hanya

mengatur hubungan antara makhluk dengan sang Khalik (hablum minallah),

tetapi juga mengatur hubungan antar sesama makhluk (hablum minannas),

serta hubungan manusia dengan alam (hablum minal ‘alam). Oleh karenanya,

Islam mengajarkan secara komprehensif beberapa prinsip agar hubungan antar

manusia menjadi harmonis dan beradab.

Lebih jauh, Islam melalui kitab suci al-Qur’an telah memerintahkan

kepada seluruh umat Islam untuk menjalankan ajaran Islam secara

keseluruhan. Hal tersebut mengandung unsur universalitas Islam dalam

seluruh aspek kehidupan. Sebagaimana statemen dalam al-Qur’an

menyatakan:

$ yγ •ƒ r'≈ tƒ šÏ% ©!$# (#θ ãΖtΒ#u (#θ è=äz÷Š$# ’ Îû ÉΟ ù=Åb¡9 $# Zπ©ù!$ Ÿ2 Ÿωuρ (#θ ãè Î6®Ks? ÅV≡ uθäÜ äz

Ç≈sÜ ø‹¤±9 $# 4 … çµΡÎ) öΝà6 s9 Aρ߉tã ×Î7 •Β ∩⊄⊃∇∪

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (Q. S. Al-baqarah/2:

208)

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa terjadinya korupsi

dikarenakan para pelaku tidak menjalankan Islam secara keseluruhan. Terlebih

dalam hal materi yang sangat dianjurkan oleh Islam untuk tidak berlebih-

Page 78: Full Script

lebihan (Q. S. Al-A’raf/7: 31). Lalu berbagai asumsi pun muncul, bagaimana

sebetulnya Islam menyikapi hakikat dan problematika korupsi.

Dalam kasus-kasus korupsi, sesungguhnya para pelakunya tak hanya

mengkorupsi uang, tetapi lebih dari itu ia telah melakukan korupsi moral.

Sebab, dengan perilaku korupnya, ia sesungguhnya telah melakukan destruksi

dan kontaminasi atas keluhuran nilai-nilai moral dan hati nurani yang

diwariskan para pendahulu yang luhur budi (Yunahar Ilyas, 2001:15).

Korupsi juga merupakan wujud prahara sosial. Sebagaimana dalam

Q.S. Al-Fajr/89: 15-20, disinyalir bahwa masalah sosial disebabkan oleh

empat hal, yakni: Pertama, sikap ahumanis, yakni tidak memuliakan anak

yatim. Kedua, asosial, yakni tidak memberi makan orang miskin. Ketiga,

monopolistik, yaitu memakan warisan (kekayaan) alam dengan rakus.

Keempat, sikap hedonis, mencintai harta benda secara berlebihan. Dilihat dari

empat hal tersebut, korupsi masuk dalam setiap sendi itu.

Ditinjau dari segi hukum Islam (fiqih), kasus korupsi termasuk

dalam wilayah mu’amalah maliyah (sosial-ekonomi) atau fiqh siyasah (hukum

tata negara) yang tertumpu pada permasalahan maliyah (benda). Dalam al-

Qur’an terdapat beberapa ayat yang mampu membentuk kesadaran moral

manusia untuk tidak rakus memakan harta rakyat. Al-Qur’an juga mempunyai

perangkat teoritis untuk memberantas korupsi, seperti melarang umat Islam

untuk memilih kaum penindas untuk jadi penguasa1, apalagi melakukan

korupsi yang sangat merugikan orang banyak.

1 Lihat Q.S. An-Naml/27: 34, dan Q.S Hud/11: 27.

Page 79: Full Script

Korupsi secara definitif juga ditandai oleh sejumlah interpretasi

keagamaan tentang tindak pidana tersebut. Para ulama, misalnya,

menganalogikan korupsi dengan al-ghulûl, sebuah istilah yang diambil dari

ayat al-Qur’an Surat Ali ‘Imran ayat 161:

$ tΒ uρ tβ% x. @c É<oΨÏ9 βr& ¨≅ äótƒ 4 tΒuρ ö≅ è=øótƒ ÏNù' tƒ $ yϑÎ/ ¨≅xî tΠ öθ tƒ Ïπ yϑ≈ uŠÉ)ø9 $# 4 §ΝèO 4’ ¯ûuθ è? ‘≅à2

<§ø(tΡ $ ¨Β ôM t6 |¡x. öΝèδ uρ Ÿω tβθ ßϑn=ôà ム∩⊇∉⊇∪

Artinya: “Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barang siapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu; kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya”.

Secara leksikal dapat dipahami bahwa pengertian denotatif dari ayat

ini adalah “pengkhianatan atau penyelewengan”, namun dalam wilayah

perkembangan kajian fiqih (Islam)–khusunya dalam konteks kekinian atau

permasalahan kontemporer–istilah ini didefinisikan setara dengan “korupsi”.

Asbabun nuzul ayat ini diketengahkan Abu Daud dan juga oleh

Tirmizi dalam sebuah hadits yang menganggapnya sebagai hadis hasan dari

Ibnu Abbas, katanya, "Ayat ini diturunkan mengenai selembar permadani

merah yang hilang di waktu perang Badar. Kata sebagian orang, 'Mungkin

yang mengambilnya Rasulullah SAW. Maka Allah menurunkan ayat,

“Tidaklah mungkin bagi seorang nabi berkhianat terhadap urusan harta

rampasan...'" (Q.S. Ali Imran/3: 161).

Thabrani mengetengahkan dalam kitab Al-Kabir dengan sanad yang

orang-orangnya dapat dipercaya dari Ibnu Abbas, katanya, "Nabi SAW.

Page 80: Full Script

mengirim sepasukan tentara lalu mengembalikan panji-panjinya. Kemudian

dikirimnya pula, lalu mengembalikannya. Kemudian dikirimnya lagi, lalu

mengembalikan panji-panjinya disertai kepala rusa yang terbuat dari emas

tetapi disertai kecurangan. Maka turunlah ayat, “Tidaklah mungkin bagi

seorang nabi berkhianat terhadap urusan harta rampasan.” (Q.S. Ali

Imran/3: 161)2.

Asal kata “yaghulla” dari “ghalla-yaghullu-ghulûlan”, memiliki arti

“berkhianat, menipu” (Mahmud Yunus, 1990: 298). Sebagian dari para

mufassir (diantaranya Ibnu Katsir, Qurthubi dan Thabari) menafsirkan “an

yaghulla” dengan kata “an yakhûna”3, yang berarti “khianat atau berkhianat

yang dalam ayat ini berbentuk fi’il atau kata kerja”.

Ibnu Katsir ketika menafsirkan Q.S. Ali ‘Imran/3: 161

mendefinisikan al-ghulûl dengan rumusan: “menyalahgunakan kewenangan–

dalam urusan publik–untuk mengambil sesuatu yang tidak ada dalam

kewenangannya, sehingga mengakibatkan adanya kerugian publik”4.

Definisi ini juga disepakati oleh para ulama di Indonesia. Majelis

Ulama Indonesia (MUI, 1999) dalam fatwanya menetapkan bahwa al-ghulûl

identik dengan “korupsi”, yang dinyatakan sebagai salah satu bentuk

perbuatan haram. Termasuk dalam tindak pidana korupsi–disamping al-

2 Compact Disk (CD) The Holy Qur’an Version 8.0.

3 Ibid.

4 Ibid.

Page 81: Full Script

ghulûl–adalah tindakan penyuapan (ar-risywah)5. Sebagaimana hadits Nabi

menyatakan bahwa yang menyuap dan yang disuap tempatnya di neraka.

Secara normatif-tekstual, tindak pidana korupsi yang dirujuk dari

istilah al-ghulûl jelas keharamannya. Dari segi hukum Undang-undang,

seseorang dianggap sebagai pelaku tindak pidana korupsi bila telah memenuhi

dua kriteria: Pertama, melawan secara hukum melakukan perbuatan

memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan

keuangan negara atau perekonomian negara. Kedua, dengan tujuan

menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,

menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya

karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau

perekonomian negara (Pasal 2 dan 3 UU No.31 Tahun 1999).

Tafsir normatif-tekstual dalam pandangan agama (Islam) seringkali

mengalami perubahan dengan berbagai perspektif dan pendekatan yang

digunakan oleh para pemaham atau penafsir ayat (mufassir). Karena, betapa

pun tafsir atas realitas seringkali harus berhadapan dengan rigiditas teks, yang

oleh karenanya para ulama dituntut untuk melakukan kontekstualisasi

pemahaman atas teks yang semula ditafsirkan menurut kebutuhan zamannya

untuk diselaraskan dengan kebutuhan perkembangan zaman. Disinilah

dinamika penafsiran atas teks dapat dipahami sebagai sebuah tuntutan riil

5 MUI pada tahun 2001 pernah mengeluarkan fatwa khusus berkaitan dengan al-ghulul (korupsi),

ar-risywah (suap-menyuap), dan pemberian hadiah bagi pejabat. Dalam fatwa tersebut MUI

menegaskan bahwa korupsi dan praktik suap “sangat keras” larangannya dalam agama. Sementara

pemberian hadiah bagi para pejabat sebaiknya dihindari karena pejabat telah menerima imbalan

dan fasilitas dari Negara atas tugas-tugasnya. Lihat Muhammad Azhar [Et.al], 2003: 70.

Page 82: Full Script

perubahan zaman, sehingga dapat melahirkan formula dalam menetapkan

suatu hukum yang tak jarang menimbulkan kontroversi.

Dengan demikian, tidak diragukan lagi bahwa Islam pasti

antikorupsi, oleh sebab itu korupsi harus diperangi. Istilah perang

mengindikasikan bahwa kita harus menggunakan secara maksimal segenap

potensi yang kita miliki untuk menghentikan korupsi yang sudah menjadi

epidemi di negeri kita ini. Dalam bahasa agama, korupsi masuk dalam

kategori kemungkaran yang harus dihentikan oleh siapa pun yang

menyaksikannya (Yunahar Ilyas, 2001:3-4).

Rangkaian kalimat “Barang siapa yang berkhianat dalam urusan

rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa

yang dikhianatkannya itu; kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan

tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka

tidak dianiaya” didalam Q.S. Ali ‘Imran/3: 161, mengandung ancaman keras

dan peringatan yang tegas, bahwa perbuatan tersebut adalah perbuatan yang

terlarang.

Secara sederhana dapat dikatakan, bahwa kalau perkara perbuatan

menggelapkan selembar permadani (sebagaimana asbâbun nuzul ayat) saja

dianggap sebagai sebuah tindak pidana korupsi, apalagi perbuatan

menggelapkan uang negara dan pengkhianatan atas kepentingan publik dan

khalayak umum. Justeru perbuatan-perbuatan tersebut yang seharusnya lebih

pantas dianggap sebagai korupsi dalam pengertian yang sesungguhnya

(hakikat korupsi).

Page 83: Full Script

Selain ayat al-Qur’an di atas juga terdapat beberapa Hadits yang

dapat mendukung ayat tersebut:6

a. Riwayat Ahmad dari Abu Malik al-Asyja’i:

�� زه�� ������ ��و��ل �� ������ ��ا����� ��ا��# � "!��� ا�� � �� ���!" �

� �)�ر �� &�ء �� "��� أ�� � ا,+* -� أ 02 ��ل 0��1و ��# ا��# /��. ا����

أو;� ا,رض ;� :�ر�� ا���:��� 9*�ون ا,رض "� ذراع ا��# �� ا3�4�ل

إ�. أرA; #�-3B �" <�1 ��Cذاا�=&�# ذرا � /���# �?- "� أ��ه�� ا���ار;�<=&>

.Fا�<��" �3م(“Ghulul (korupsi) terbesar di sisi Allah ialah sehasta tanah; kalian menjumpai dua orang laki-laki bertetangga tanah miliknya atau rumah miliknya, lalu salah seorang dari keduanya mengambil sehasta milik temannya. Apabila ia mengambilnya niscaya hal itu akan dikalungkan kepadanya dari tujuh lapis bumi di hari kiamat nanti”).

b. Riwayat Ahmad, atau yang lain dari ‘Abdurrahman bin Jubair:

�F ا�� ������ داود �� "13. �������H� � � �K�� �� وا�!�رث ه���ة ا��

�L �<3ل +��اد �� ا��)=3رد 1��L :�����ل �� ������ ��ا�1 �� ا��# /��. ا����

#�� ��� ��� و�� "� �<3ل و0��1 M��ل �# وK�" NO�=��; ��K�" أو L(�� #� F:زو

+��� أ/�ب و"� دا��NO�=��; F دا��F �# أو��)�Q Lد"� ;��=��Q NOدم �# أوK=��; M��و�ج

.�Uل3H; T ذ�� 31ى(“Barangsiapa memegang kekuasaan bagi kami untuk suatu pekerjaan, sedangkan dia belum mempunyai tempat tinggal, maka hendaklah ia mengambil tempat tinggal; atau belum punya pelayan, maka hendaklah ia mengambil pelayan; atau belum mempunyai kendaraan, maka hendaklah ia mengambil kendaraan. Dan barangsiapa memperoleh sesuatu selain dari hal tersebut berarti dia adalah “ghaallun” (koruptor)”).

c. Riwayat Abu Daud dari Al-Mustaurid bin Syaddad:

�V ������ ا����;. ������ ا�����V "�وان �� "13. ������ �K�� �� ا�!�رث � ا,وزا

� �����: � ��WX �� اد����ل + L��1 �� آ�ن "� �<3ل و0��1 ��# ا��# /��. ا����

"� ����� Z(=[�; F:ن زوA; 0� �[� #� دم�Q Z(=[�; �"د�Q نA; 0� �[� #� �[("

Z(=[�; ��[(" �ت �]� أ3� ��ل ��ل�Qأن� أ �� اNO�9 "� ��ل و0��1 ��# ا��# /��. ا����

.�1رق أو �UلU 3H; T��ك

6 Hadits-hadits tersebut dapat dilihat dalam kitab tafsir karya Ibnu Katsir, juga terdapat dalam

Compact Disk (CD) The Holy Qur’an Version 8.0.

Page 84: Full Script

(“Barangsiapa bekerja untuk kepentingan kami, hendaklah ia mencari isteri; jika belum mempunyai pelayan, hendaklah mencari pelayan; dan jika masih belum punya rumah, hendaklah ia mencari rumah. Barangsiapa yang mengambil selain dari itu (yang menjadi haknya), berarti dia adalah koruptor atau pencuri”).

Sebagaimana hadits di atas, kejahatan korupsi disejajarkan dengan

pencuri. Dalam Hadits Riwayat Abu Daud tersebut, status ghallun (koruptor)

disamakan dengan sariqun (pencuri).

d. Riwayat Ibn Hanbal, yang terdapat juga dalam kitab musnadnya:

�). �� إ1!�ق ������ ������ _� ���ش �� إ1�� � .�!� �� ���1 � �وة ��

���VKا� � � ا�����ل ه�ا�� ��ل و0��1 ��# ا��# /��. ا���# ر31ل أن� ا�)�� �ي- ���� أ�

.3�Uل“Hadiah-hadiah yang diterima oleh para ‘amil (petugas zakat/infaq/shodaqoh/pajak) adalah ghulul (korupsi)”.

e. Riwayat Abu Daud dalam Hadits yang lain:

�/0 أ� 3���Z��B ��� أ3� أKQم �� ز�� ������ � ��ا3�ارث �� ���1 � ��(�

0-�� � أ��# � ����ة �� ��ا���# � ا�� -� "� ��ل و0��1 ��# ا��# /��. ا����

b����� �. ا1= _� b���رز�� ;�ز ��; NQأ �� .;3�U3Hل ذ�� �“Barangsiapa yang saya angkat menjadi pejabat dengan gaji rutin, maka sesuatu yang diambilnya selainitu (gaji rutin) adalah ghulul (korupsi)”.

Dari beberapa penjelasan Hadits di atas, kita dapat memahami bahwa

korupsi harus dipahami secara kontekstual sesuai dengan kausa-efisien (‘illat)-

nya dan kausa-finalis (maqashid)-nya. Berdasar pada ‘illat (kausa-efisien),

korupsi dapat dipahami sebagai “tindakan penyalahgunaan wewenang oleh

pemegang amanat publik”. Sehingga penyalahgunaan wewenang oleh

siapapun, dalam bentuk apapun, dimana pun, dan kapan pun oleh pemegang

amanat publik dapat disebut sebagai tindakan korupsi. Ketika korupsi kita

pahami berdasarkan pada maqashid (kausa-finalis), maka korupsi dapat

Page 85: Full Script

dipahami sebagai “tindakan yang merugikan kepentingan publik”. Sehingga

semua tindakan yang dapat merugikan kepentingan publik untuk kepentingan

pribadi, keluarga dan kelompok yang dilakukan oleh siapa pun, dalam bentuk

apa pun, dimana pun, dan kapan pun dapat disebut sebagai tindakan korupsi.

Tuduhan penggelapan selembar permadani pada masa Nabi telah

menyebabkan atau melatar belakangi turunnya Q.S. Ali ‘Imran/3: 161.

Betapapun tindak perilaku penggelapan, hal itu tentu sudah jelas (sharih)

dalam ayat dinyatakan hal yang dilarang, karena kedudukannya yang sama

dengan al-khianat (pengkhianatan).

Dari beberapa uraian di atas dapat kita pahami konstruksi

pemahaman tentang hukum korupsi. Sehingga mengindikasikan lahirnya

ketetapan hukuman (fatwa) terhadap pelaku korupsi. Bagi sebagian orang –

termasuk ulama – yang memahami korupsi sebagai tindakan pengkhianatan

karena ‘illat dan maqâshid yang terdapat dalam kasus tersebut (yaitu

pengkhianatan dan penyelewengan), maka hukumnya adalah haram dan

termasuk kejahatan besar sehingga keluarlah fatwa hukuman mati bagi

pelakunya.

Bagi sebagian ulama (Indonesia) yang lain beranggapan, tidak perlu

sampai dihukum mati meskipun hal itu amat merugikan dan termasuk

perbuatan jahat. Akan tetapi cukup diberi hukuman sama seperti pencuri, yaitu

potong tangan. Hal ini sebagaimana kita lihat dalam riwayat Abu Daud dari

Al-Mustaurid bin Syaddad di atas, bahwa pelaku ghulûl disamakan dengan

Page 86: Full Script

sâriq (pencuri), dan hukuman bagi pencuri sesuai dengan ayat al-Qur’an

adalah potong tangan7.

Sebagian yang lain juga ada yang menafsirkan potong tangan bukan

tangan secara fisik, tetapi secara majâzi (metaforis) yaitu kekuasaan. Artinya

bahwa potong tangan yang dimaksud adalah potong kekuasaan. Sehingga para

pelaku korupsi harus dipotong kekuasaannya atau tidak diberikan amanah

kekuasaan yang bisa membuat dia melakukan korupsi terus menerus. Dalam

hal ini dapat pula diartikan pemenjaraan kekuasaan, sehingga para pelakunya

memang harus dipenjara.

Ulama fiqih Wahbah al-Zuhaili berpendapat di dalam kitabnya Al-

Fiqhu wa Adillatuhu, “Orang yang kejahatannya di muka bumi tidak bisa

dihentikan kecuali dengan dibunuh, maka ia (harus) dibunuh……” Dalam

kesimpulan akhirnya beliau mengatakan: “Boleh menjatuhkan hukuman mati

sebagai siyâsah (politik hukum) kepada orang yang selalu melakukan

kejahatan (tindak pidana), peminum khamr, pelaku kejahatan (berupa

gangguan terhadap keamanan negara, dan sebagainya)8. Dalam hal ini bisa

diterapkan dalam permasalahan hukuman korupsi, kalau memang kejahatan

korupsi sudah tidak bisa dihentikan kecuali dengan membunuh para

pelakunya, maka para pelaku korupsi harus dibunuh.

7 “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai)

pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (Q.S. Al-Maidah/5: 38). 8 Wahbah al-Zuhaili, Alfiqhu wa Adillatuhu, juz IV., (Damsyiq: Dar al-Fikr, 2004), hlm. 5595.

Dapat juga dilihat dalam Fatwa MUNAS VII MUI 2005 tentang Hukuman Mati dalam Tindak

Pidana Tertentu.

Page 87: Full Script

C. Nilai-nilai Islam yang Diselewengkan Dalam Kasus Korupsi

1. Amanah

Secara bahasa, “amanah” berarti “titipan” (Munawir, 1997).

Sedangkan “amanah” dalam pengertian istilah dapat dipahami dalam lima

pengertian, sebagaimana yang terdapat di dalam kandungan al-Qur’an:

Pertama, kata amanah dikaitkan dengan larangan

menyembunyikan kesaksian atau keharusan memberikan kesaksian yang

benar. Hal tersebut termaktub dalam QS. Al-Baqarah/2: 283:

* βÎ)uρ óΟçFΖä. 4’n? tã 9x(y™ öΝs9 uρ (#ρ߉Éf s? $ Y6Ï?% x. Ö≈ yδÌ sù ×π |Êθç7 ø)Β ( ÷βÎ* sù zÏΒ r& Νä3àÒ ÷èt/

$ VÒ÷èt/ ÏjŠ xσã‹ù=sù “Ï%©!$# zÏϑè?øτ $# …çµ tF uΖ≈ tΒ r& È, −Gu‹ ø9 uρ ©! $# …çµ −/u‘ 3 Ÿωuρ (#θ ßϑçGõ3s? nοy‰≈ yγ ¤±9 $# 4 tΒuρ $yγ ôϑçGò6 tƒ ÿ… çµΡÎ* sù ÖΝÏO#u …çµ ç6ù=s% 3 ª!$#uρ $ yϑÎ/ tβθ è=yϑ÷ès? ÒΟŠÎ=tæ ∩⊄∇⊂∪

Artinya: “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. dan barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Kedua, kata amanah dikaitkan dengan keadilan atau pelaksanaan

hukum secara adil. Sebagaimana yang dapat kita pahami dari QS. An-

Nisa/4: 58:

* ¨βÎ) ©!$# öΝä.ã ãΒ ù'tƒ βr& (#ρ–Š xσè? ÏM≈ uΖ≈ tΒF{ $# #’n<Î) $ yγ Î=÷δ r& #sŒ Î)uρ Ο çFôϑs3ym t÷ t/ Ĩ$ ¨Ζ9 $# βr&

(#θ ßϑä3øtrB ÉΑô‰yè ø9 $$ Î/ 4 ¨βÎ) ©!$# $ −ΚÏè ÏΡ / ä3Ýà Ïètƒ ÿϵÎ/ 3 ¨βÎ) ©!$# tβ% x. $ Jè‹Ïÿxœ # Z5DÅÁ t/ ∩∈∇∪

Page 88: Full Script

Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat.”

Ketiga, kata “amanah” dikaitkan dengan sifat khianat sebagai

lawan katanya. Ayat al-Qur’an dalam surat Al-Anfal/8 ayat 27 berbunyi:

$ pκš‰r' ¯≈ tƒ zƒÏ% ©!$# (#θãΖtΒ#u Ÿω (#θ çΡθ èƒrB ©!$# tΑθ ß™§9 $#uρ (# þθ çΡθ èƒrBuρ öΝä3ÏG≈ oΨ≈ tΒ r& öΝçFΡr& uρ

tβθ ßϑn=÷ès? ∩⊄∠∪

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu Mengetahui.”

Kempat, kata “amanah” dikaitkan dengan salah satu sifat manusia

yang mampu memelihara kemantapan ruhaninya, kemudian dihubungkan

dengan janji. QS. Al-Ma’arij/70: 32:

tÏ% ©!$#uρ öΛèε öΝÍκÉJ≈ oΨ≈ tΒ L{ ôΜÏδ ωôγ tãuρ tβθãã≡ u‘ ∩⊂⊄∪

Artinya: “Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.”

Kelima, kata “amanah” secara definitif yang sangat universal, baik

sebagai tugas keagamaan maupun sosial-kemanusiaan. Sebagaimana yang

dapat kita pahami dalam QS. Al-Ahzab/33: 72:

Page 89: Full Script

$ ¯ΡÎ) $ oΨôÊ t tã sπ tΡ$ tΒF{ $# ’ n? tã ÏN≡ uθ≈ uΚ¡¡9 $# ÇÚö‘ F{$#uρ ÉΑ$t6 Éf ø9 $#uρ š÷ t/r' sù βr& $ pκs]ù=Ïϑøts†

z ø)x(ô©r& uρ $ pκ÷]ÏΒ $ yγ n=uΗxq uρ ß≈|¡ΡM}$# ( …çµΡÎ) tβ% x. $ YΒθè=sß Zωθ ßγ y_ ∩∠⊄∪

Artinya: “Sesungguhnya kami Telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh,”

Secara simplistik, amanah adalah memelihara titipan dan

mengembalikan kepada pemiliknya dalam bentuk semula. Sedangkan

secara luas amanah mencakup dalam banyak hal, seperti: menyimpan

rahasia orang, menjaga dirinya sendiri, menunaikan tugas-tugas yang

diberikan kepadanya dan lain sebagainya.

Kaitannya dengan korupsi, jelas bahwa tindakan korupsi adalah

suatu perilaku penyimpangan atau penyelewengan amanah yang telah

dititipkan kepada pelaku korupsi. Salah satu bentuk amanah adalah

konsisten atau tidak menyalahgunakan jabatan. Terlebih jika bentuk

penyalahgunaan jabatan untuk kepentingan pribadi, keluarga, famili atau

kelompok seperti tampak pada tindakan korupsi termasuk perbuatan

tercela yang melanggar amanah. Dengan demikian, nilai-nilai amanah

merupakan nilai signifikan yang telah diselewengkan oleh tindakan

korupsi.

2. Shidiq

Nilai keislaman yang diselewengkan oleh korupsi kemudian adalah

nilai-nilai kebenaran atau “shidiq”. Secara etimologis “shidiq” berarti:

Page 90: Full Script

benar atau jujur (Munawwrir, 1997). Seorang Muslim dituntut untuk selalu

dalam keadaan benar lahir-bathin, meliputi: benar-hati (shidq al-qalb),

benar-perkataan (shidq al-hadîts), serta benar-perbuatan (shidq al-‘amâl).

Benar dalam ketiga hal tersebut akan menuntun pada perilaku yang

sesuai dengan “kebenaran” agama Islam. Oleh karenanya Rasulullah SAW

memerintahkan kepada setiap Muslim untuk selalu menjaga diri dalam

sikap “shidiq’ serta melarang umatnya berbohong, karena setiap

kebohongan akan membawa kepada kejahatan.

Salah satu ciri orang yang shidiq adalah: selalu berkata benar,

menepati janji, menjalankan amanah, serta menampilkan diri seperti

keadaan yang sebenarnya. Dengan demikian, orang yang shidiq tidak

mungkin melakukan korupsi, karena di dalam perilaku korupsi pasti ada

kebohongan atau ketidak benaran, baik secara hati, perkataan maupun

perbuatan.

Salah satu bentuk kebohongan yang sangat dicela adalah khianat

dan khianat adalah sejelek-jelek sifat bohong. dari segi pengkhianatan,

korupsi merupakan salah satu bentuk pengkhianatan yang berat yang telah

menyelewengkan nilai-nilai Islam. Korupsi (dalam arti pengkhianatan dari

amanah yang telah dititipkan) merupakan tindakan yang tercela dan

dilarang oleh Allah SWT. Hal tersebut disinyalir dalam firman Allah SWT

dalam QS. Al-Anfal/8: 27:

Page 91: Full Script

$ pκš‰r' ¯≈ tƒ zƒÏ% ©!$# (#θãΖtΒ#u Ÿω (#θ çΡθ èƒrB ©!$# tΑθ ß™§9 $#uρ (# þθ çΡθ èƒrBuρ öΝä3ÏG≈ oΨ≈ tΒ r& öΝçFΡr& uρ

tβθ ßϑn=÷ès? ∩⊄∠∪

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu Mengetahui.”

3. Adil

Adil merupakan sikap yang mengetengahkan kesepadanan,

kelurusan (etimologis), sikap tengah yang berkeseimbangan dan jujur

(terminologis) yang muncul dari rasa insaf atau kesadaran yang mendalam.

Namun sebagai sebuah konsep keagamaan, makna keadilan jauh lebih luas

dan kompleks yang berkaitan dengan konteks masing-masing.

Keadilan dapat dilihat dari empat pengertian: 1) keadaan sesuatu

yang seimbang, 2) persamaan dan penyangkalan terhadap perbedaan, 3)

memelihara hak-hak individu dan memberikan hak kepada setiap orang

yang berhak menerimanya, 4) kemurahan dalam memberikan kebaikan.

Sedangkan bentuk keadilan ada tiga macam:

1. Keadilan individual, yaitu kemampuan seseorang dalam

mengendalikan dirinya sehingga tidak melanggar norma agama.

2. Keadilan sosial, yaitu keserasian dan keseimbangan hubungan antar

pribadi dan antara pribadi dengan masyarakat. Dengan demikian

terciptalah keseimbangan antara perolehan hak pribadi dan pemberian

hak terhadap pribadi lain dan masyarakat dalam hubungan

interpersonal dan sosialnya.

Page 92: Full Script

3. Keadilan manusia terhadap makhluk lain, yakni tidak berbuat semena-

mena terhadap makhluk lain.

Beberapa ayat al-Qur’an memberikan indikasi terhadap perintah

untuk berlaku adil, diantaranya:

ö≅è% z=s∆r& ’ În1u‘ ÅÝó¡ É)ø9 $$Î/ ( (#θ ßϑŠÏ%r& uρ öΝä3yδθ ã_ãρ y‰ΖÏã Èe≅ à2 7‰Éf ó¡tΒ çνθ ãã÷Š $#uρ

šÅÁ Î=øƒèΧ ã& s! tÏe$!$# 4 $ yϑx. öΝä.r& y‰t/ tβρߊθ ãès? ∩⊄∪

Artinya: Katakanlah: "Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan". dan (katakanlah): "Luruskanlah muka (diri)mu di setiap sembahyang dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan ketaatanmu kepada-Nya. sebagaimana dia Telah menciptakan kamu pada permulaan (demikian pulalah kamu akan kembali kepadaNya)". (Q.S. al-A’raf/7: 29)

* ¨βÎ) ©!$# ããΒ ù' tƒ ÉΑô‰yè ø9 $$ Î/ Ç≈ |¡ôm M}$#uρ Ç›!$ tGƒ Î)uρ “ÏŒ 4† n1öà)ø9 $# 4‘sS÷Ζtƒ uρ Çtã

Ï !$ t±ós x(ø9 $# Ì x6Ψßϑø9 $#uρ Äøöt7ø9 $#uρ 4 öΝä3Ýà Ïètƒ öΝà6=yès9 šχρã©.x‹ s? ∩⊃∪

Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”. (Q.S. an-

Nahl/16: 90)

$ pκš‰r' ¯≈ tƒ šÏ% ©!$# (#θ ãΨtΒ#u (#θçΡθ ä. šÏΒ≡ §θ s% ¬! u !#y‰pκà− ÅÝó¡ É)ø9 $$ Î/ ( Ÿωuρ

öΝà6 ¨ΖtΒÌ ôf tƒ ãβ$ t↔oΨx© BΘ öθ s% #’n? tã �ωr& (#θ ä9 ω÷ès? 4 (#θä9 ωôã$# uθ èδ Ü>t ø%r& 3“uθ ø)−G=Ï9 ( (#θ à)?$#uρ ©! $# 4 =χÎ) ©!$# 75D Î6 yz $ yϑÎ/ šχθè=yϑ÷ès? ∩∇∪

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (Q.S.

al-Maidah/5: 8)

Page 93: Full Script

Beberapa indikasi sikap adil dalam kehidupan sehari-hari adalah:

tidak mau mengambil sesuatu melebihi haknya, tidak mau merugikan

orang lain, dan selalu berusaha memberikan keuntungan terhadap orang

lain tanpa harus kehilangan hak-haknya. Sikap adil yang komprehensif-

aplikatif selanjutnya akan dapat menghindarkan diri orang dari perilaku

korupsi. Karena pada dasarnya korupsi merupakan bentuk tindakan yang

tidak adil karena merugikan orang lain.

4. Taqwa

Sikap keislaman atau nilai Islam yang dinafikan oleh korupsi

selanjutnya adalah taqwa. Sikap taqwa merupakan nilai paling krusial

yang diperintahkan oleh Allah SWT di dalam al-Qur’an. Kata taqwa

dalam al-Qur’an disebut sebanyak 242 kali, baik dalam bentuk kata benda

maupun kata kerja.

Taqwa dalam pengertian: takut, berhati-hati dan waspada

(etimologis). Sedangkan secara terminologis berarti: penjagaan diri dari

sesuatu yang tidak baik, atau menjalankan segala perintah Allah dan

menjauhi segala yang dilarang Allah.

Ketaqwaan seseorang secara individu dapat membimbing dirinya

untuk selalu menjauhi perbuatan yang tidak memberikan manfaat kepada

masyarakat atau merugikan masyarakat. Implikasi sosial dari sikap taqwa

secara individu ini akan melahirkan sikap antikorupsi. Karena korupsi

merupakan perlawanan destruktif terhadap sikap taqwa yang diperintahkan

Page 94: Full Script

oleh Allah SWT. Secara normatif, dalam al-Qur’an kata taqwa dibarengi

dengan berbagai sifat, seperti keadilan, menepati janji dan bersikap sabar

dalam menghadapi situasi apapun, melihat apa yang telah ia lakukan untuk

memandang kedepan apa yang akan ia lakukan.

Dari sikap-sikap yang terbentuk pada orang-orang yang bertaqwa

itulah kemudian dapat diharapkan muncul sebuah komunitas yang

memberdayakan tumbuhnya solidaritas antar manusia dan masyarakat

sebagai wujud riil-aplikatif dari kepatuhan penuh hamba-hamba Allah.

Sehingga sikap korupsi dapat dicegah oleh sikap taqwa yang diaplikasikan

secara individu-sosial dalam kehidupan sehari-hari.

D. Konsep Pendidikan Antikorupsi

Sebagaimana halnya negara-negara lainnya, perilaku koruptif di

Indonesia sudah berlangsung sepanjang sejarah. Secara kualitatif, puluhan

tahun lalu Bung Hatta pernah memberikan label atas hal korupsi sebagai

perilaku yang telah membudaya. Bahkan secara kuantitatif, Begawan ekonomi

Indonesia, Prof. Soemitro Djojohadikusumo pernah mengemukakan

pernyataan kontroversial yang menyatakan bahwa kebocoran anggaran

pembangunan di Indonesia mencapai 30 persen (Sudarwan Danim, 2003: 61).

Meski begitu kompleksnya problematika korupsi, pendidikan masih

dapat diharapkan untuk menanamkan dan menyebarkan nilai-nilai antikorupsi

kepada para anak didik, sehingga sejak dini mereka memahami bahwa korupsi

itu bertentangan dengan norma hukum maupun agama.

Page 95: Full Script

Hal tersebut dapat dicermati setidaknya dikarenakan dua hal.

Pertama, gejala reduksi moralitas sebagian besar Sumber Daya Manusia

(SDM) Indonesia, dengan indikasi empirik masih tingginya angka korupsi.

Kedua, arus masuk generasi muda ke lembaga pendidikan setiap jenjang

sebagai bagian dari diskursus pengembangan SDM indonesia yang seutuhnya.

Hal ini sangat berkaitan, karena orang-orang yang terpilih mengemban

amanat rakyat, terutama mereka yang duduk di lingkungan birokrasi,

diidealisasikan sebagai SDM terdidik sebagai output dari lembaga pendidikan.

Manusia Indonesia menempati posisi sentral dan strategis dalam

pelaksanaan pembangunan nasional, sehingga diperlukan adanya

pengembangan sumber daya manusia secara optimal. Lebih lanjut

pengembangan sumber daya manusia dapat dilakukan melalui pendidikan,

mulai dari dalam keluarga hingga lingkungan sekolah dan masyarakat.

Konsep dasar pendidikan antikorupsi secara filosofis merupakan

agregasi dari internalisasi hakikat korupsi (ontologis), pemahaman praktik

korupsi (epistemologis) serta aplikasi moral antikorupsi dalam tindakan

(aksiologis) untuk mencegah perilaku korupsi.

1. Falsafah Pendidikan Antikorupsi

Pendidikan adalah suatu proses belajar dan penyesuaian individu-

individu secara terus menerus terhadap nilai-nilai budaya dan cita-cita

masyarakat; suatu proses dimana suatu bangsa mempersiapkan generasi

mudanya untuk menjalankan kehidupan dan untuk memenuhi tujuan hidup

Page 96: Full Script

secara efektif dan efisien. Lebih lanjut, Ki Hajar Dewantara menyatakan

bahwa pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan budi

pekerti (kekuatan batin), pikiran (intellect), dan jasmani anak-anak, selaras

dengan alam dan masyarakatnya.

Dengan demikian, internalisasi nilai-nilai antikorupsi melalui

pendidikan merupakan upaya untuk menyiapkan generasi bangsa (baca:

peserta didik) dalam memajukan budi pekerti, pikiran, tindakan untuk

menentang korupsi.

Upaya pencegahan korupsi melalui pendidikan merupakan basis

falsafah dalam pendidikan nilai, moral agama. Secara filosofis korupsi

hanya dipahami sebagai tindakan merusak (stabilitas nasional, etika, dan

norma individu pelakunya) artikulasi nilai-nilai yang sudah mapan

(established) dalam konstruksi sosial budaya masyarakat bahkan agama.

Mendidik sendiri pada umumnya dipahami sebagai suatu cara

untuk menyiapkan dan membantu seseorang untuk mencapai tujuan

hidup,yaitu menjadi manusia utuh, sempurna dan bahagia. Secara lebih

eksplisit pendidikan bertujuan untuk memanusiakan manusia muda,

membantu seseorang menjadi manusia yang berbudaya dan bernilai tinggi.

Bukan hanya hidup sebagai manusia an sich, tetapi menjadi manusia yang

bermoral, berwatak, bertanggung jawab dan bersosialitas. Sehingga

dengan pendidikan, seseorang akan dibantu untuk menjadi manusia yang

aktif dalam membangun hidup bermasyarakat dan berbangsa.

Page 97: Full Script

Dengan demikian falsafah pendidikan antikorupsi didasarkan pada

proses pengenalan dan pemberian informasi nilai-nilai antikorupsi

(ontologis-epistemologis) dengan harapan membantu peserta didik untuk

menjadi manusia yang bermoral (aksiologis), berwatak serta bertanggung

jawab dalam rangka membangun hidup bermasyarakat dan berbangsa.

Pendidikan antikorupsi membimbing para generasi bangsa menjadi

manusia yang berbudaya antikorupsi, berwatak antikorupsi, bertanggung

jawab terhadap problematika korupsi, dan bersosialitas dalam upaya

pencegahan korupsi. Karena disadari atau tidak, korupsi pasti juga dialami

oleh para generasi muda. Pada saat tertentu generasi muda dapat menjadi

korban korupsi, pelaku korupsi, atau ikut serta juga melakukan atau

terlibat perkara korupsi, dan sangat mungkin pula menjadi pihak yang

menentang korupsi.

Signifikansi pendidikan dengan demikian harus mampu

menjadikan diri peserta didik sebagai salah satu instrumen perubahan yang

mampu melakukan empowerment (terhadap tindak korupsi) dan

transformasi bagi masyarakat melalui berbagai program yang

mencerminkan adanya inisiatif perbaikan sosial. Melalui pendekatan

tersebut, berbagai bentuk pathologi sosial berupa penyimpangan praktik-

praktik kehidupan sosial-kemasyarakatan seperti korupsi dapat dianalisis

dan dicarikan alternatif solusinya.

Dalam konteks tersebut, pendidikan harus juga dimaknai dan

dimanfaatkan sebagai instrumen, selain harus mampu mentransformasikan

Page 98: Full Script

nilai-nilai moral, pendidikan juga berfungsi melakukan social engineering

guna membangun sosial religi yang efektif dan seimbang.

Konsep strategis dan krusial yang harus diimplementasikan

selanjutnya adalah bagaimana problematika korupsi di Indonesia menjadi

pokok bahasan tertentu dalam kurikulum pendidikan. Bukan hanya

sebagai suplemen bagi pendidikan moral pancasila (kewarganegaraan),

melainkan juga bagi pendidikan agama (Islam).

2. Pendidikan Moral Sebagai Dasar Pendidikan Antikorupsi

Prof. Schoorl dalam Sudarwan Danim (2003: 63) menyatakan,

bahwa praktik-praktik pendidikan merupakan wahana terbaik dalam

menyiapkan SDM dengan derajat moralitas yang tinggi. Dalam tujuan

pendidikan nasional idealisasi tersebut juga termuat dalam UU-RI No.2

Tahun 1989, pasal 4.

”Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kepribadian yang mantap dan mandiri, serta tanggungjawab kemasyarakatan dan kebangsaan” (Sudarwan Danim, 2003: 63).

Dilihat dari tujuan pendidikan tersebut, pendidikan sejatinya

merupakan proses pembentukan moral masyarakat beradab, masyarakat

yang tampil dengan wajah kemanusiaan dan pemanusiaan yang normal.

Dengan kata lain, pendidikan adalah moralisasi masyarakat, yakni peserta

didik. Tentunya, pendidikan yang dimaksud bukan hanya pendidikan di

sekolah (education not only education as schooling), melainkan

Page 99: Full Script

pendidikan sebagai jaring-jaring kemasyarakatan (education as community

networks).

Moralitas adalah kualitas dalam perbuatan manusia yang

menunjukkan bahwa perbuatan itu benar, atau salah, baik atau buruk

(Poespoprodjo, 1999: 118). Konseptualisasi moral memiliki beberapa

tingkatan, yaitu standar moral, aturan moral, dan pertimbangan moral.

Standar moral adalah prinsip-prinsip moral dasar yang paling

fundamental yang merupakan basis pijakan atau asumsi untuk menentukan

apakah secara moral sebuah tindakan itu diperkenankan atau tidak, baik

atau tidak, diterima masyarakat atau tidak.

Aturan moral memuat prinsip-prinsip moral yang diderivasikan

dari standar moral. Aturan moral merupakan tindakan yang dianggap

benar atau salah dengan berdasarkan pada kriteria yang diformulasikan

oleh standar moral. Sedangkan pertimbangan moral merupakan evaluasi

moral terhadap dimensi kepribadian sekaligus tindakan-tindakan

seseorang, baik yang bersifat umum maupun spesifik.

Secara konseptual – baik dari aspek standar moral, aturan dan

pertimbangan moral – korupsi sangat bertentangan dengan nilai moral

yang ada di dalam sebuah masyarakat. Perbuatan korupsi dapat

menyebabkan delegitimasi nilai-nilai moral yang sudah ada.

Page 100: Full Script

D. Model Pendidikan Antikorupsi di Beberapa Negara

Korupsi yang bagi sebagian negara telah dianggap sebagai kejahatan

trans-nasional memunculkan banyak ide terhadap cara pencegahan korupsi.

Salah satu ide yang selalu dicanangkan adalah melalui pendidikan. Beberapa

negara yang memiliki tingkat korupsi yang tinggi telah menjalankan

pendidikan antikorupsi melalui berbagai upaya.

Tak terkecuali Indonesia, sebagian daerah telah melakukan upaya

sosialisasi pendidikan antikorupsi baik dari aspek nilai maupun praksis. Hal

tersebut didasari pada kepekaan terhadap problematika bangsa yang harus

dicegah mata rantainya mulai dari generasi bangsa pada sektor pendidikan.

Deputi Komisi Pemberantasan Korupsi menyatakan bahwa pendidikan

antikorupsi kini mulai diajarkan di sekolah-sekolah. Adapun yang diajarkan

diantaranya adalah kejujuran, gotong royong, dan variannya (Tempo, 2 Maret

2008). Metode pendidikan antikorupsi tidak sama pada masing-masing

sekolah yang melaksanakannya.

Pada tingkat sekolah menengah, SMP Keluarga di Kudus Jawa

Tengah di bawah Yayasan Kanisius Cabang Semarang misalnya, sebanyak

183 murid telah diikutsertakan pada pendidikan antikorupsi. Kegiatan

pendidikan tersebut beragam, diantaranya melalui lomba kartun yang hasilnya

dijajarkan di ruang tamu sekolah tersebut. Hal tersebut merupakan langkah

awal sosialisasi dan refleksi terhadap gerakan antikorupsi. Di sekolah tersebut

awalnya materi pendidikan antikorupsi diberikan secara teoritis. Bahkan

Page 101: Full Script

Kejaksaan dan Bupati Kudus pun pernah diminta menjadi pemateri yang

menyampaikan soal undang-undang korupsi.

Di lain sekolah, SMA Stella Deuce telah menyajikan pendidikan

antikorupsi sejak tiga tahun terakhir melalui pelbagai bentuk. Diantaranya,

memuat slogan, pantun dan pidato. Murid-murid kelas XII diminta mencari

data dari kliping koran tentang kasus korupsi yang difasilitasi melalui mata

pelajaran pendidikan kewarganegaraan.

Pendidikan antikorupsi pun tidak hanya diberikan pada tingkat SMP

dan SMA, melainkan juga mulai dari Taman Kanak-kanak dan SD dengan

perbedaan pada metodenya. Untuk murid TK dan SD, materi disampaikan

melalui dongeng, komik dan permainan yang difokuskan pada aspek kejujuran

seperti tidak boleh berbohong.

Secara birokratis, materi pendidikan antikorupsi diberikan oleh KPK

dan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) melalui muatan lokal.

Untuk menghindari pembebanan terhadap mata pelajaran, KPK menawarkan

materi bahan untuk disisipkan dalam mata pelajaran ataupun ekstrakurikuler.

Adapun pengembangan materi diserahkan kepada masing-masing sekolah,

sesuai dengan kurikulum yang berlaku sekarang yaitu Kurikulum Tingkat

Satuan Pendidikan (KTSP).

Metode yang paling menarik dari pendidikan antikorupsi dan telah

banyak diadopsi adalah laboratorium warung kejujuran atau kantin kejujuran.

Secara praktis, warung tersebut mengajarkan praktik kejujuran dengan

aksentuasi transendental bahwa apapun yang kita lakukan pasti diketahui

Page 102: Full Script

Tuhan. Warung tersebut dibuka tanpa penunggu (kasir), pembelinya

membayar sesuai dengan harga, mencatat pembelian, dan mengambil uang

kembalian dengan sendirinya.

Beberapa sekolah yang mengadopsi kantin kejujuran diantaranya,

SMP Keluarga Kudus, SMP 8 Padang, dan SMAN I Tambun Bekasi. Metode

lain yang digunakan dalam aplikasi pendidikan antikorupsi adalah

menyampaikan materi melalui mahasiswa yang sudah dilatih oleh KPK.

Pada tingkat pendidikan tinggi, pendidikan antikorupsi pun telah

digiatkan oleh beberapa kampus bahkan include dalam mata kuliah.

Universitas Paramadina (UPM) Jakarta telah memulai kuliah antikorupsi

perdananya yang dikonsep dalam format kuliah umum pada tanggal 26 Juni

2008, diisi oleh Ketua KPK Antasari Azhar. Mata kuliah antikorupsi

merupakan mata kuliah wajib di kampus tersebut dengan bobot 2 SKS

(www.kpk.go.id, tanggal 16 Juli 2008).

Di samping itu KPK juga telah melakukan kerja sama dengan

beberapa kampus yang ada di Indonesia melalui program Training of

Trainers (ToT), yaitu antikorupsi untuk pelajar juga telah memunculkan ide

terhadap terbentuknya Pusat Studi Antikorupsi di beberapa universitas.

Selain di Indonesia, di beberapa negara pun telah menjalankan

program pendidikan antikorupsi dengan macam-macam materi dan metode

sesuai tingkatan jenjang pendidikannya. Pengalaman negara-negara yang

telah melaksanakan pendidikan antikorupsi setidaknya dapat dijadikan

referensi atau acuan untuk kemudian dikembangkan di Indonesia.

Page 103: Full Script

Tabel 3

Pendidikan Antikorupsi di Beberapa Negara

NEGARA MODEL PENDIDIKAN ANTIKORUPSI

Kamboja

(Korupsi Peringkat 162)

� Memasukkan materi antikorupsi

sebanyak 344 pokok bahasan ke buku

pelajaran kelas I sampai kelas XII.

� Materi sekolah dasar: cerita tentang

ambisi pribadi versus kepentingan publik,

pentingnya kejujuran, dan dampak

keserakahan serta egoisme.

� Materi sekolah menengah: keuangan

rumah tangga, diskusi soal sumber

keuangan keluarga, apakah penghasilan

orang tua legal atau hasil korupsi.

� Siswa juga diajak membahas soal korupsi

dan dampaknya terhadap ketidakadilan

serta ketimpangan di masyarakat.

Makau (Peringkat 34) KPK Makau (CCAC) menyusun program:

� Kejujuran untuk murid kelas IV hingga

kelas VI SD.

� Membuat taman bermain dan panggung

boneka yang mengajarkan ihwal

integritas dan kejujuran. Buku, cakram

padat, dan papan permainan dibuat

sebagai pendukung program.

� Murid sekolah menengah memiliki

Komite Pendidikan Remaja untuk

menggelar seminar yang membahas isu

integritas dan antikorupsi.

Page 104: Full Script

Palestina Aman, jaringan Transparency International

Palestina,memiliki program:

� Perkemahan musim panas pada 2006

untuk anak usia 8-12 tahun.

� Pengajaran melalui cerita pendek, buku

mewarnai, booklet, dan newsletter.

� Pertunjukan boneka Al-Hares (Sang

Penjaga) di 42 sekolah di Tepi Barat.

Sumber: Transparency International, Koran Tempo, 2 Maret 2008

Page 105: Full Script

BAB IV

TINJAUAN NORMATIF ASPEK KURIKULUM PENDIDIKAN AGAMA

ISLAM TERHADAP PENDIDIKAN ANTIKORUPSI

E. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan

Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai

tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman

penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan

tertentu. Tujuan tertentu ini meliputi tujuan pendidikan nasional serta

kesesuaian dengan kekhasan, kondisi dan potensi daerah, satuan pendidikan

dan peserta didik (www.depdiknas.go.id, (BSNP 2006) tanggal 24 Agustus

2008).

Istilah ”kurikulum” muncul pertama kali di bidang olahraga, berasal

dari bahasa Latin: ”Curriculae”, yaitu jarak yang harus ditempuh oleh

seorang pelari (Joko Susilo, 2007: 77). Senada dengan hal tersebut Ahmad

Tafsir (2005: 53) mendefinisikan secara historis, yaitu suatu alat yang

membawa orang dari start sampai finish.

Pada perkembangannya istilah kurikulum kemudian dipakai dalam

bidang pendidikan, dengan arti sejumlah mata pelajaran di suatu perguruan.

Dalam kamus Webster tahun 1856 kurikulum diartikan dengan dua macam,

yaitu: Pertama, sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh atau dipelajari

siswa di sekolah atau perguruan tinggi untuk memperoleh ijazah tertentu.

Page 106: Full Script

Kedua: sejumlah mata pelajaran yang ditawarkan oleh suatu lembaga

pendidikan atau jurusan.

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah kurikulum

operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan

pendidikan. KTSP terdiri dari tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan,

struktur dan muatan kurikulum tingkat satuan pendidikan, kalender

pendidikan, dan silabus. Silabus adalah rencana pembelajaran pada suatu dan

atau kelompok mata pelajaran atau tema tertentu yang mencakup standar

kompetensi, kompetensi dasar, materi pokok atau pembelajaran, kegiatan

pembelajaran, indikator, penilaian, alokasi waktu, dan sumber-bahan-alat

belajar. Silabus merupakan penjabaran standar kompetensi dan kompetensi

dasar ke dalam materi pokok / pembelajaran, kegiatan pembelajaran, dan

indikator pencapaian kompetensi untuk penilaian.

Mulai tahun pelajaran 2006/2007, Depdiknas meluncurkan

Kurikulum tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) atau disebut juga Kurikulum

2006. KTSP memberi keleluasaan penuh setiap sekolah untuk

mengembangkan kurikulum dengan tetap memperhatikan potensi sekolah dan

potensi daerah sekitar (Joko Susilo, 2007: 94).

Kurikulum 2006 merupakan hasil kreasi guru-guru di sekolah

berdasarkan standar isi dan standar kompetensi. Terbitnya Peraturan Menteri

(Permen) Pendidikan Nasional RI No 24 tahun 2006 tentang standar isi dan

standar kompetensi itu kelak menandai diserahkannya kewenangan kepada

guru untuk menyusun kurikulum baru. Dengan kata lain, KTSP lebih

Page 107: Full Script

memberdayakan guru untuk membuat konsep pembelajaran yang sesuai

dengan kebutuhan dan kondisi sekolah. Hal tersebut juga tentunya sejalan

dengan kebijakan desentralisasi.

Kurikulum dikembangkan sebagai pedoman penyelenggaraan

kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Tujuan

tertentu ini meliputi tujuan pendidikan nasional serta kesesuaian dengan

kekhasan, kondisi dan potensi daerah, satuan pendidikan dan peserta didik.

Oleh sebab itu kurikulum disusun oleh satuan pendidikan untuk

memungkinkan penyesuaian program pendidikan dengan kebutuhan dan

potensi yang ada di daerah.

Pengembangan KTSP yang beragam mengacu pada standar nasional

pendidikan untuk menjamin pencapaian tujuan pendidikan nasional. Standar

nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga

kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan dan penilaian

pendidikan. Dua dari kedelapan standar nasional pendidikan tersebut, yaitu

Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) merupakan acuan

utama bagi satuan pendidikan dalam mengembangkan kurikulum.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 (UU

20/2003) tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2005 (PP 19/2005) tentang Standar

Nasional Pendidikan mengamanatkan kurikulum pada KTSP jenjang

pendidikan dasar dan menengah disusun oleh satuan pendidikan dengan

Page 108: Full Script

mengacu kepada SI dan SKL serta berpedoman pada panduan yang disusun

oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).

Standar Nasional Pendidikan (SNP) merupakan acuan dan pedoman

dalam mengembangkan kurikulum. Berdasarkan UU nomor 20 tahun 2003

kurikulum pada jenjang pendidikan dasar dan menengah dikembangkan oleh

satuan pendidikan. Pemerintah tidak lagi menetapkan kurikulum secara

nasional seperti periode sebelumnya. Tidak ada lagi kurikulum nasional

seperti kurikulum 1984, 1994 dan sebagainya. Pemerintah hanya menetapkan

SNP yang menjadi acuan sekolah dalam mengembangkan kurikulum. Kini

saatnya sekolah mengembangkan sendiri kurikulum sesuai dengan

karakteristik dan kebutuhan potensi peserta didik, masyarakat dan

lingkungannya.

Orientasi KTSP disusun antara lain agar dapat memberi kesempatan

peserta didik untuk :

a) belajar untuk beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,

b) belajar untuk memahami dan menghayati,

c) belajar untuk mampu melaksanakan dan berbuat secara efektif,

d) belajar untuk hidup bersama dan berguna untuk orang lain, dan

e) belajar untuk membangun dan menemukan jati diri melalui proses

belajar yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan.

Hasil pengembangan dituangkan dalam rancangan kegiatan

pembelajaran dalam bentuk silabus dan desain pembelajaran, rancangan

pelaksanaan pembelajaran (RPP) lebih rinci, desain penilaian dan

Page 109: Full Script

instrumennya, serta dilaksanakan secara efektif dan efisien. Selain itu juga

diperlukan adanya sintesa serta kerjasama dari masing-masing elemen dalam

mekanisme kerja pengembangan kurikulum. Mekanisme kerja tim

pengembang kurikulum, MGMP, dan guru mata pelajaran dapat dilihat dalam

skema berikuti:

Skema.

Mekanisme Kerja Tim Pengembang Kurikulum,

MGMP dan Guru Mata Pelajaran

F. Prinsip-prinsip Pengembangan Kurikulum

Oemar Hamalik (2001) secara umum membagi prinsip

pengembangan kurikulum menjadi delapan macam, antara lain:

KTSP

(Struktur kurikulum,

Mekanisme

Pembelajaran dan

Penilaian, dll)

Silabus

Desain Pembelajaran

Desain Penilaian

RPP

Instumen Penilaian

Bahan ajar

Pelaksanaan

Pembelajaran dan

Penilaian

Tim

Pengembang

Kurikulum

MGMP

Guru Mata

Pelajaran

Evaluasi

Evaluasi

Page 110: Full Script

1. Prinsip berorientasi pada tujuan

Pengembangan kurikulum diarahkan untuk mencapai tujuan

tertentu, yang bertitik tolak dari tujuan pendidikan nasional. Tujuan

kurikulum merupakan penjabaran dan upaya untuk mencapai tujuan satuan

dan jenjang pendidikan tertentu, yang mengandung aspek-aspek

pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai.

2. Prinsip relevansi (kesesuaian)

Pengembangan kurikulum secara principle meliputi tujuan, isi

dan sistem penyampaiannya yang harus relevan (sesuai) dengan kebutuhan

dan keadaan masyarakat, tingkat perkembangan dan kebutuhan siswa,

serta serasi dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

3. Prinsip efisiensi dan efektivitas

Pertimbangan segi efisiensi dan efektivitas dalam pengembangan

kurikulum menjadi prinsip yang tak terelakkan. Dari segi efisien harus

mempertimbangkan pendayagunaan dana, waktu, tenaga dan sumber-

sumber yang tersedia agar dapat mencapai hasil yang optimal. Demikian

juga keterbatasan fasilitas ruangan, sarana prasarana dan peralatan, harus

digunakan secara tepat oleh siswa dalam rangka pembelajaran untuk

meningkatkan efektivitas dan keberhasilan siswa.

4. Prinsip fleksibilitas (keluwesan)

Kurikulum yang fleksibel mudah disesuaikan, diubah, dilengkapi

atau dikurangi berdasarkan tuntutan dan keadaan ekosistem dan

kemampuan setempat, sehingga tidak menjadi statis atau kaku.

Page 111: Full Script

5. Prinsip kontinuitas (berkesinambungan)

Kurikulum disusun secara berkesinambungan, artinya bagian-

bagian, aspek-aspek, materi, dan bahan kajian disusun secara berurutan,

tidak terlepas-lepas, sehingga satu sama lain memiliki hubungan

fungsional yang bermakna sesuai dengan jenjang pendidikan, struktur

dalam satuan pendidikan dan tingkat perkembangan siswa.

6. Prinsip keseimbangan

Penyusunan dan pengembangan kurikulum memerhatikan

keseimbangan secara proporsional dan fungsional antara berbagai program

dan sub-program, antara semua mata pelajaran, dan antara aspek-aspek

perilaku yang ingin dikembangkan.

7. Prinsip keterpaduan

Kurikulum dirancang dan dilaksanakan berdasarkan prinsip

terpadu. Perencanaan terpadu bertitik tolak dari masalah atau topik dan

konsistensi antara unsur-unsurnya dengan melibatkan semua pihak

8. Prinsip mutu

Pengembangan kurikulum berorientasi pada pendidikan mutu,

yang berarti bahwa pelaksanaan pembelajaran yang bermutu ditentukan

oleh standar mutu guru, kegiatan belajar mengajar, peralatan atau media

yang bermutu. Hasil pendidikan yang bermutu diukur berdasarkan kriteria

tujuan pendidikan nasional yang diharapkan.

Sedangkan prinsip pengembangan KTSP yang dimuat dalam

Panduan Penyusunan KTSP jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah yang

Page 112: Full Script

dikeluarkan oleh Badan Standar Nasioanl Pendidikan (BSNP) Tahun 2006,

KTSP dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau

satuan pendidikan dan komite sekolah di bawah koordinasi dan supervisi dinas

pendidikan atau kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota untuk pendidikan

dasar dan pendidikan menengah di provinsi. Penyusunan KTSP untuk

pendidikan khusus dikoordinasi dan disupervisi oleh Dinas Pendidikan

provinsi, dan berpedoman pada SI dan SKL serta panduan penyusunan

kurikulum yang disusun oleh BSNP dengan prinsip-prinsip sebagai berikut:

1. Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan

peserta didik dan lingkungannya.

Kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa peserta

didik memiliki posisi sentral untuk mengembangkan kompetensinya agar

menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha

Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi

warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk

mendukung pencapaian tujuan tersebut pengembangan kompetensi

peserta didik disesuaikan dengan potensi, perkembangan, kebutuhan, dan

kepentingan peserta didik serta tuntutan lingkungan. Memiliki posisi

sentral berarti kegiatan pembelajaran berpusat pada peserta didik.

Oleh karenanya, pendidikan antikorupsi senantiasa

dikembangkan berdasarkan potensi peserta didik dalam memahami,

menguraikan, dan menelaah problema korupsi, perkembangan korupsi

Page 113: Full Script

untuk kepentingan peserta didik dan lingkungannya dalam mencegah

perilaku korupsi dalam masyarakat.

2. Beragam dan terpadu

Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan keragaman

karakteristik peserta didik, kondisi daerah, jenjang dan jenis pendidikan,

serta menghargai dan tidak diskriminatif terhadap perbedaan agama,

suku, budaya, adat istiadat, status sosial ekonomi, dan jender. Kurikulum

meliputi substansi komponen muatan wajib kurikulum, muatan lokal, dan

pengembangan diri secara terpadu, serta disusun dalam keterkaitan dan

kesinambungan yang bermakna dan tepat antar substansi.

Substansi komponen dalam pengembangan diri peserta didik

pada pendidikan antikorupsi adalah pengembangan sikap perilaku peserta

didik ke arah mental dan perilaku antikorupsi.

3. Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni

Kurikulum dikembangkan atas dasar kesadaran bahwa ilmu

pengetahuan, teknologi dan seni yang berkembang secara dinamis. Oleh

karena itu, semangat dan isi kurikulum memberikan pengalaman belajar

peserta didik untuk mengikuti dan memanfaatkan perkembangan ilmu

pengetahuan, teknologi, dan seni.

4. Relevan dengan kebutuhan kehidupan

Pengembangan kurikulum dilakukan dengan melibatkan

pemangku kepentingan (stakeholders) untuk menjamin relevansi

pendidikan dengan kebutuhan kehidupan, termasuk di dalamnya

Page 114: Full Script

kehidupan kemasyarakatan, dunia usaha dan dunia kerja. Oleh karena

itu, pengembangan keterampilan pribadi, keterampilan sosial,

keterampilan akademik, dan keterampilan vokasional – dalam kaitannya

dengan pendidikan antikorupsi – merupakan jaminan relevansi

pendidikan dengan kebutuhan kehidupan dalam masyarakat yang

menginginkan terciptanya tatanan nilai (antikorupsi) agar tidak dirusak

dengan perilaku yang menafikan nilai-nilai agama, sosial, dan hukum.

5. Menyeluruh dan berkesinambungan

Substansi kurikulum mencakup keseluruhan dimensi

kompetensi, bidang kajian keilmuan dan mata pelajaran yang

direncanakan dan disajikan secara berkesinambungan antar semua jenjang

pendidikan.

Pelaksanaan pendidikan antikorupsi secara menyeluruh,

komprehensif dan terintegrasikan dalam setiap komponen mata pelajaran,

khususnya pendidikan agama Islam merupakan keniscayaan dari prinsip

tersebut.

6. Belajar sepanjang hayat

Kurikulum diarahkan kepada proses pengembangan,

pembudayaan, dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung

sepanjang hayat. Kurikulum mencerminkan keterkaitan antara unsur-

unsur pendidikan formal, nonformal, dan informal dengan memperhatikan

kondisi dan tuntutan lingkungan yang selalu berkembang serta arah

pengembangan manusia seutuhnya.

Page 115: Full Script

7. Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah

Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan kepentingan

nasional dan daerah untuk membangun kehidupan bermasyarakat,

berbangsa, dan bernegara. Kepentingan nasional dan daerah harus saling

mengisi dan memberdayakan sejalan dengan Bhineka Tunggal Ika dalam

kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Lebih rinci lagi, dalam hal acuan operasional penyusunan yang juga

tertulis dalam UU Sisdiknas 20 tahun 2003 BAB X pasal 36 ayat 3, KTSP

disusun dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

1. Peningkatan iman dan takwa serta akhlak mulia

Keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia menjadi dasar

pembentukan kepribadian peserta didik secara utuh. Kurikulum disusun

dengan memungkinkan semua mata pelajaran dapat menunjang

peningkatan iman dan takwa serta akhlak mulia.

2. Peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat sesuai dengan tingkat

perkembangan dan kemampuan peserta didik

Pendidikan merupakan proses sistematik untuk meningkatkan

martabat manusia secara holistik yang memungkinkan potensi diri

(afektif, kognitif, psikomotorik) berkembang secara optimal. Sejalan

dengan itu, kurikulum disusun dengan memperhatikan potensi, tingkat

perkembangan, minat, kecerdasan intelektual, emosional, sosial, spiritual,

dan kinestetik peserta didik.

Page 116: Full Script

3. Keragaman potensi dan karakteristik daerah dan lingkungan

Setiap daerah memiliki potensi, kebutuhan, tantangan,

resources dan keragaman karakteristik lingkungan. Masing-masing

daerah memerlukan pendidikan sesuai dengan karakteristik daerah dan

pengalaman hidup sehari-hari. Oleh karena itu, kurikulum harus memuat

keragaman tersebut untuk menghasilkan lulusan yang relevan dengan

kebutuhan pengembangan daerah.

4. Tuntutan pembangunan daerah dan nasional

Dalam era otonomi dan desentralisasi untuk mewujudkan

pendidikan yang otonom dan demokratis perlu memperhatikan keragaman

dan mendorong partisipasi masyarakat dengan tetap mengedepankan

wawasan nasional. Untuk itu, keduanya harus ditampung secara

berimbang dan saling mengisi.

5. Tuntutan dunia kerja

Kegiatan pembelajaran harus dapat mendukung tumbuh

kembangnya pribadi peserta didik yang berjiwa kewirausahaan dan

mempunyai kecakapan hidup. Oleh sebab itu, kurikulum perlu memuat

kecakapan hidup untuk membekali peserta didik memasuki dunia kerja.

Hal ini sangat penting terutama bagi satuan pendidikan kejuruan dan

peserta didik yang tidak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.

6. Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni

Pendidikan perlu mengantisipasi dampak global yang

membawa masyarakat berbasis pengetahuan di mana IPTEKS sangat

Page 117: Full Script

berperan sebagai penggerak utama perubahan. Pendidikan harus terus

menerus melakukan adaptasi dan penyesuaian perkembangan IPTEKS

sehingga tetap relevan dan kontekstual dengan perubahan. Oleh karena

itu, kurikulum harus dikembangkan secara berkala dan berkesinambungan

sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.

7. Agama

Kurikulum harus dikembangkan untuk mendukung

peningkatan iman dan taqwa serta akhlak mulia dengan tetap memelihara

toleransi dan kerukunan umat beragama. Oleh karena itu, muatan

kurikulum semua mata pelajaran harus ikut mendukung peningkatan

iman, taqwa dan akhlak mulia.

8. Dinamika perkembangan global

Pendidikan harus menciptakan kemandirian, baik pada individu

maupun bangsa, yang sangat penting ketika dunia digerakkan oleh pasar

bebas. Pergaulan antar bangsa yang semakin dekat memerlukan individu

yang mandiri dan mampu bersaing serta mempunyai kemampuan untuk

hidup berdampingan dengan suku dan bangsa lain.

9. Persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan

Pendidikan diarahkan untuk membangun karakter dan wawasan

kebangsaan peserta didik yang menjadi landasan penting bagi upaya

memelihara persatuan dan kesatuan bangsa dalam kerangka NKRI. Oleh

karena itu, kurikulum harus mendorong berkembangnya wawasan dan

Page 118: Full Script

sikap kebangsaan serta persatuan nasional untuk memperkuat keutuhan

bangsa dalam wilayah NKRI.

10. Kondisi sosial budaya masyarakat setempat

Kurikulum harus dikembangkan dengan memperhatikan

karakteristik sosial budaya masyarakat setempat dan menunjang

kelestarian keragaman budaya. Penghayatan dan apresiasi pada budaya

setempat harus terlebih dahulu ditumbuhkan sebelum mempelajari budaya

dari daerah dan bangsa lain.

11. Kesetaraan Jender

Kurikulum harus diarahkan kepada terciptanya pendidikan

yang berkeadilan dan memperhatikan kesetaraan jender (equality). Selain

itu juga, kesetaraan tersebut harus dikembangkan dalam mengelola proses

belajar mengajar. Sehingga proses belajar mengajar lebih menekankan

pada pengembangan individu secara keseluruhan, bukan dikotomi peserta

didik berdasarkan jender ataupun jenis kelamin.

12. Karakteristik satuan pendidikan

Kurikulum harus dikembangkan sesuai dengan visi, misi,

tujuan, kondisi, dan ciri khas satuan pendidikan. Sebagai penyelenggara

pendidikan Islam tentunya karakteristik nilai-nilai keislaman yang

universal menjadi urgen untuk selalu dikembangkan.

(www.depdiknas.go.id, tanggal 24 Juni 2008).

Page 119: Full Script

C. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam Pada Pendidikan

Antikorupsi.

Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU SISDIKNAS) No.

20 tahun 2003 BAB X pasal 36 ayat 1 menyebutkan bahwa ”pengembangan

Kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan

untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional”. Sedangkan dalam ayat 2

disebutkan bahwa ”kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan

dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan,

potensi daerah dan peserta didik”. Dalam pasal 38 ayat 2 juga disebutkan

bahwa ”kurikulum pendidikan dasar dan menengah dikembangkan sesuai

dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan dan komite

sekolah/madrasah di bawah koordinasi dan supervisi Dinas Pendidikan atau

kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota untuk pendidikan dasar dan

provinsi untuk pendidikan menengah”.

Poin-poin yang terdapat dalam prinsip-prinsip di atas sangat

menuntut adanya kurikulum yang senantiasa memiliki kesadaran terhadap

problem kontemporer sesuai realitas serta arah perkembangan berbasis

kontekstual. Peningkatan iman, takwa serta akhlak mulia merupakan landasan

atau pondasi awal dalam menentukan arah kurikulum. Oleh karenanya

pendidikan antikorupsi sebagai salah satu instrumen pengembangan

kurikulum serta potensi peserta didik menjadi sangat relevan terhadap

perkembangan kurikulum Pendidikan Agama Islam selanjutnya. Dimana

Page 120: Full Script

membentuk manusia yang beriman dan bertakwa menjadi aspek fundamental

dalam melahirkan output pendidikan Islam.

Pendidikan antikorupsi secara jelas diarahkan untuk memupuk

kesadaran peserta didik dalam menentang bentuk kemungkaran sosial,

kejahatan kemanusiaan yang komunal dan melibatkan publik. Hal tersebut

secara eksplisit lebih diarahkan kepada peningkatan iman dan takwa dengan

menjalankan segala perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-Nya serta

penyemaian nilai-nilai kemanusiaan yang universal secara aplikatif.

Peningkatan akhlak mulia dalam tujuan pengembangan kurikulum

pendidikan agama Islam pada pendidikan antikorupsi pun menjadi titik

sentral, dimana peserta didik sebagai subjek yang senantiasa menginginkan

keadaan diri yang lebih baik dan memberikan manfaat kepada semua manusia.

Selain itu, tuntutan pembangunan daerah dan nasional serta aspek agama dan

dinamika perkembangan global juga dapat mengantarkan proses

perkembangan kurikulum ke arah kurikulum kontekstual, seperti pendidikan

antikorupsi.

Pendidikan Islam sebagai lembaga formal pendidikan (baca: sekolah)

yang memiliki karakteristik nilai-nilai keislaman sudah barang tentu harus

memiliki kesadaran (sense) terhadap fenomena dan problem kontekstual yang

bertentangan dengan nilai-nilai keislaman, terutama dalam hal materi

pelajaran. Agama sudah barang tentu menjadi kekuatan spiritual-moral dalam

menegakkan panji-panji kebenaran dan menolak setiap bentuk kemungkaran.

Page 121: Full Script

Pada poin persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan dapat

diderivasikan beberapa nilai-nilai kebangsaan yang telah dirusak dan dikotori

oleh para koruptor. Maka dari itu proses melawan korupsi adalah suatu upaya

menjaga nilai-nilai kebangsaan, dan hal tersebut harus diimplementasikan

dalam tataran praktis dengan menerapkan persoalan kejahatan korupsi dan

semangat antikorupsi sebagai bagian integral dalam kurikulum dan pengajaran

di sekolah-sekolah.

Oleh karenanya terdapat dua opsi dalam upaya penerapan kebijakan

antikorupsi, yang pertama adalah menjadikan persoalan korupsi menjadi satu

mata pelajaran yang didalamnya bisa dibahas antara lain: sejarah korupsi di

Indonesia dan dunia dari masa ke masa; proses pemberantasan korupsi di

Indonesia dan Negara-negara lain; dan akibat-akibat korupsi pada nilai-nilai

kebangsaan, agama, dan kemanusiaan.

Adapun opsi yang kedua adalah pembahasan mengenai kejahatan

korupsi disisipkan sebagai suplemen pada materi-materi pelajaran tertentu

yang dianggap mendukung pembahasan tersebut, seperti Pendidikan

Kewarganegaraan (PKn), IPS, dan Agama. Materi-materi tersebut diajarkan

agar dapat membangun nilai-nilai luhur, dan menekankan pada pembahasan

dampak akibat kejahatan korupsi di beberapa negara dan sebagainya.

Adapun mengenai jenjang pendidikan, pembahasan mengenai

kejahatan korupsi sebaiknya diterapkan pada siswa tingkat menengah atas atau

tingkat perguruan tinggi, mengingat tingkat kedewasaan dan jangkauan

pemahaman mengenai hal tersebut. Namun tidak menutup kemungkinan hal

Page 122: Full Script

tersebut juga diterapkan pada jenjang pendidikan dasar. Hanya saja penekanan

materi baru bertumpu pada pengenalan tentang kejahatan korupsi, serta

model-modelnya.

Proses pembelajaran dalam pendidikan antikorupsi pun sangat

signifikan dan dominan dilakukan dengan cara mengaitkan materi

pembelajaran dengan arus kenyataan praktikal dan aktual, semisal kejahatan

korupsi dengan berbagai modus operandinya. Sebagaimana diketahui, stagnasi

pengembangan materi pembelajaran diakibatkan tidak terintegrasinya materi

dengan problem-problem kontekstual. Hal tersebut diperparah lagi dengan

proses pembelajaran yang berjalan secara monoton serta hanya berorientasi

pada basis kompetensi dan penguasaan materi konvensional (subject oriented

curriculum).

Seperti materi dalam ilmu fikih, ushul fikih, dan sebagainya, pada

pendefinisian tema-tema pencurian dan perampasan hak-hak kepemilikan

financial-private dalam pengajaran fikih. Di dalam mendefinisikan tema

tersebut, baik di dalam kurikulum, silabus, maupun Rencana Pelaksanaan

Pembelajaran (RPP) atau Satuan Acara Perkuliahan (SAP), dinamakan

sebagai pencurian dan perampasan hak kepemilikan finansial yang dilakukan

secara fisik, seperti merampok (hirabah) atau perampasan di jalanan (qath’u

al-tharîq). Pengayaan materi belum menyentuh pada bentuk-bentuk

perampasan dan perampokan finansial dalam mekanisme non fisik yang lebih

sistemik-komunal-kontekstual dan mutakhir, yaitu kejahatan korupsi sebagai

Page 123: Full Script

gejala penyalahgunaan amanah dan kekuasaan sekaligus sebagai salah satu

bentuk kejahatan kerah putih (white collar crime) kepada publik.

Materi tentang korupsi dalam cakupan luas (internasional) juga perlu

disisipkan dalam pengembangan materi pendidikan agama Islam. Hal tersebut

setidaknya didasari adanya banyak cara yang dilakukan oleh kekuatan

korporatokrasi internasional untuk menaklukan sebuah negara berkembang,

diantaranya melalui cara brutal lewat kekerasan dan kekuatan militer, lewat

tekanan dan ancaman kekerasan. Banyaknya aset-aset nasional yang telah

terjual kepada pihak asing mengindikasikan betapa korporatokrasi

internasional juga memainkan peran sebagai koruptor dengan cara yang beda.

Korporatokrasi menguasai ekonomi, politik dan pertahanan

keamanan lewat apa yang dinamakan state capture corruption atau state-

hijacked corruption, yakni korupsi yang menyandera negara. Kekuasaan

negara telah ‘menghamba’ pada kepentingan asing dan melakukan korupsi

yang paling besar. Pada point inilah materi fiqihdapat dikembangkan dalam

ranah pembahasan yang bersifat nasional-internasional, atau bisa disebut fiqih

negara (Amien Rais, 2008: 176-182).

Integritas atau amanah para pemimpin negara terlihat jelas

penyelewengannya terhadap korporatokrasi. Bagaimana pun kepercayaan

rakyat tidak bisa digadaikan begitu saja kepada pihak asing dengan cara

menjual aset-aset nasional yang notabene sebagai sumber daya alam bagi

bumi Indonesia. Eksploitasi alam termasuk dalam materi bagaimana hablum

minal ‘âlam seharusnya diarakan untuk eksplorasi, bukan eksploitasi.

Page 124: Full Script

State capture corruption adalah jenis korupsi yang super

destruktifdan berskala negara. Kejahatan ini muncul ketika terjadi

persekongkolan antara negara dan korporasi, dimana kekuatan korporasi

menaklukan kekuatan negara sehingga negara menjadi pelayan kepentingan

korporasi. Selain itu juga, state capture corruption ternyata

mengejawantahkan dalam pembelian berbagai dekrit politik dan pembuatan

undang-undang oleh sektor korporat dan penyalahgunaan wewenang dalam

mendatangkan keuntungan-keuntungan ekonomi. Hal inilah yang sangat urgen

untuk diinternalisasikan kepada peserta didik dalam pengembangan materi

pendidikan agama Islam agar kejahatan korporasi yang telah menyelewengkan

nilai amanah dan kejujuran dapat ditekan.

Materi akhlak juga masih dikonsentrasikan pada pengajaran dan

identifikasi teoritis akhlak yang terpuji. Materi akidah pun masih berkisar

tema-tema keimanan secara transendental minus kontekstualisasi dan

pengaitan dengan realitas sosial serta hampir tanpa penafsiran ekstensif terkait

dengan aspek sosial-horizontal. Terlebih lagi, mengaitkan nilai-nilai abstrak

dengan perilaku dan realitas kecenderungan kekuasaan materil dan politik

manusia sebagai khalifah Allah yang jika tidak dikontrol secara sistematis

akan bersifat manipulatif dan korup.

Oleh karena itu, harus ada keinginan kuat untuk selalu

menselaraskan desain kurikulum dan proses pembelajaran serta pengayaan

materi dengan persoalan kontemporer masyarakat, sehingga kurikulum dan

proses pembelajaran dapat diintegrasikan dan dikontekstualisasikan dengan

Page 125: Full Script

wacana dan masalah sosial yang aktual dan relevan disertai oleh strategi

pembelajaran yang variatif, inovatif dan transformatif.

D. Model Pendidikan Antikorupsi Integratif-Inklusif dalam Pendidikan

Agama Islam.

Keterlibatan pendidikan formal dalam upaya pencegahan korupsi

sebenarnya bukan hal baru, justru memiliki kedudukan strategis. Sejalan

dengan pandangan progresivisme, sekolah adalah agen perubahan sosial yang

bertugas mengenalkan nilai-nilai baru kepada masyarakat (Pol, M., Hlouskova

dkk, 2005).

Secara umum tujuan pendidikan antikorupsi adalah : (1)

pembentukan pengetahuan dan pemahaman mengenai bentuk korupsi dan

aspek-aspeknya; (2) pengubahan persepsi dan sikap terhadap korupsi; dan (3)

pembentukan keterampilan dan kecakapan baru yang ditujukan untuk

melawan korupsi. Sedangkan manfaat jangka panjangnya adalah menyumbang

pada keberlangsungan sistem integrasi nasional dan program antikorupsi serta

mencegah tumbuhnya mental korupsi pada diri peserta didik yang kelak akan

menjalankan amanah di dalam sendi-sendi kehidupan.

Pendidikan antikorupsi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah

program pendidikan antikorupsi yang secara konsepsional memungkinkan

disisipkan pada mata pelajaran yang sudah ada di sekolah dalam bentuk

perluasan tema yang sudah ada dalam kurikulum dengan menggunakan

pendekatan kontekstual pada pembelajaran antikorupsi. Pilihan ini digunakan

Page 126: Full Script

oleh karena pertimbangan agar tidak menambah beban kurikulum dan jam

belajar siswa. Pada aspek lain, pendidikan antikorupsi dapat juga

diimplementasikan dalam bentuk mata pelajaran untuk kegiatan ekstra

kurikuler siswa ataupun muatan lokal (institusional).

Untuk berpartisipasi dalam gerakan pemberantasan korupsi ada dua

model yang dapat dilakukan oleh sekolah. Pertama, proses pendidikan harus

menumbuhkan kepedulian sosial-normatif, membangun penalaran obyektif,

dan mengembangkan perspektif universal pada individu. Kedua, pendidikan

harus mengarah pada penyemaian strategis, yaitu kualitas pribadi individu

yang konsekuen dan kokoh dalam keterlibatan peran sosialnya. Pendidikan

antikorupsi secara umum dikatakan sebagai pendidikan koreksi budaya yang

bertujuan untuk mengenalkan cara berfikir dan nilai-nilai baru kepada peserta

didik (Dharma, 2004). Dengan demikian, pendidikan antikorupsi membimbing

peserta didik untuk berfikir terhadap nilai-nilai antikorupsi dalam kerangka

koreksi terhadap budaya yang cenderung merusak nilai-nilai tersebut.

Dalam pendidikan antikorupsi harus mengintegrasikan tiga domain,

yakni domain pengetahuan (kognitif), sikap dan perilaku (afeksi), dan

keterampilan (psikomotorik). Implementasi pendidikan antikorupsi di jenjang

sekolah bisa menggunakan strategi integratif-inklusif (disisipkan dalam mata

pelajaran yang sudah ada) dan eksklusif (mata pelajaran khusus / tersendiri).

Dalam penelitian ini peneliti mencoba membahas model pendidikan

antikorupsi yang integratif-inklusif, yaitu dengan alternatif materi antikorupsi

yang terintegrasi dalam mata pelajaran agama Islam. Disamping dapat pula

Page 127: Full Script

disisipkan dalam mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) dan

Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS).

Ketiga mata pelajaran itu dipilih karena dianggap dekat sekali

dengan bahan kajian pendidikan antikorupsi yang lebih banyak berorientasi

pada pembinaan warga negara, penanaman nilai dan moral, serta upaya

menumbuhkan kesadaran bagi generasi muda akan bahaya korupsi bagi

kehidupan berbangsa dan bernegara. Seperti mata pelajaran Pendidikan

Kewarganegaraan (PKn) dalam KTSP pada kelas II SMP dan MTs semester 2

yang memuat Kompetensi Dasar (KD) yang secara eksplisit tesurat tentang

pendidikan antikorupsi.

Tabel 4

Kompetensi Dasar KTSP pada Mata Pelajaran PKn Kelas II

SMP/MTs Semester II

Standar Kompetensi Kompetensi Dasar

Menampilkan ketaatan terhadap

perundang-undangan nasional

• Mengidentifikasi kasus korupsi

dan upaya pemberantasan korupsi

di Indonesia.

• Mendeskripsikan pengertian

antikorupsi dan instrumen

(hukum dan kelembagaan)

antikorupsi di Indonesia

Dari tabel di atas, dapat dilihat hanya mata pelajaran PKn saja yang

secara eksplisit atau tersurat mencantumkan tentang pendidikan antikorupsi di

dalam Kompetensi Dasar (KD). Namun demikian kompetensi dasar yang ada

di kelas II semester gasal tersebut cakupan domain hanya menekankan atau

Page 128: Full Script

menitik beratkan pada aspek kognitif semata. Sehingga jika ingin

dikembangkan pada aspek afektif dan psikomotorik sangat diperlukan

kreativitas guru.

Dengan demikian, pengembangan model pendidikan antikorupsi

yang integratif-inklusif juga perlu disisipkan dalam pendidikan agama Islam.

Mengingat pendidikan agama Islam juga memuat materi-materi terkait dengan

norma-norma hukum-kemasyarakatan (sosial) maupun individu.

Model pendidikan antikorupsi yang integratif-inklusif dalam

pendidikan agama Islam secara aplikatif lebih berkedudukan sebagai

pendekatan dalam pembelajaran. Hal tersebut akan tampak dalam desain atau

Rencana Pembelajaran setiap mata pelajaran terpilih (pendidikan agama

Islam). Sebagai sebuah pendekatan (approach) pembelajaran maka

implementasi pendidikan antikorupsi akan sangat tergantung dari kemampuan

guru dalam melaksanakan kegiatan belajar-mengajar.

Oleh karena itu, implementasi pendidikan antikorupsi yang

terintegrasi dalam pendidikan agama Islam di sekolah agar efektif dalam

mengembangkan pendidikan antikorupsi perlu memperhatikan hal-hal berikut:

a) Materi; yakni materi pembelajaran antikorupsi perlu mencakup tiga

domain: kognitif, afektif, dan psikomotorik.

b) Metodologi; pendidik dapat menggunakan berbagai metode dan

model pengajaran yang sesuai dengan permasalahan dan kematangan

peserta didik. Seperti penggunaan multimedia untuk membuat

pembelajaran semakin menarik.

Page 129: Full Script

c) Sumber belajar; perlunya penggunaan berbagai sumber

pembelajaran. Seperti media cetak maupun elektronik (koran,

majalah, CD, internet). Atau dengan narasumber semisal penegak

hukum (polisi, hakim, jaksa, KPK).

d) Evaluasi; pendidik dapat mempergunakan bentuk evaluasi autentik

yang tidak hanya mengukur aspek verbal dan kognitif peserta didik.

Namun juga mengukur karakter, keterampilan, kewaspadaan dan

cara berfikirnya dalam mengatasi masalah dan memberikan problem

solving.

Kesemuanya itu dilaksanakan dengan pendekatan kontekstual dalam

pembelajaran, sehingga peserta didik pada tujuannya mampu melakukan

hubungan yang bermakna. Peserta didik dapat mengatur diri sendiri sebagai

orang yang belajar secara aktif dalam mengembangkan minatnya secara

individual, orang yang dapat bekerja sendiri atau bekerja dalam kelompok,

melakukan kegiatan-kegiatan yang signifikan, seperti mengharuskan siswa

untuk membuat hubungan-hubungan antara sekolah dengan berbagai konteks

nyata, menjadi mandiri (self regulated learner), siswa melakukan pekerjaan

yang signifikan: ada tujuannya, ada urusannya dengan orang lain, ada

hubungannya dengan penentuan pilihan, dan ada produknya atau hasilnya

yang sifatnya nyata.

Selain itu juga peserta didik dapat bekerja sama. Guru membantu

siswa bekerja secara efektif dalam kelompok, membantu mereka memahami

bagaimana mereka saling mempengaruhi dan saling berkomunikasi, berpikir

Page 130: Full Script

kritis dan kreatif; dapat menganalisis, membuat sintesis, memecahkan

masalah, membuat keputusan dan menggunakan logika dan bukti-bukti,

mengasuh atau memelihara pribadi-pribadinya: mengetahui, memberi

perhatian, memiliki harapan-harapan yang tinggi, memotivasi dan

memperkuat diri sendiri. Sehingga peserta didik mampu menggunakan

pengetahuan akademis dalam konteks dunia nyata untuk suatu tujuan yang

bermakna (Johnson dalam Nurdin, dkk. 2004: 14).

Secara sistematis model pendidikan antikorupsi yang terintegrasi

dalam pendidikan agama Islam dapat dilihat dalam tabel berikut:

Tabel 5

Model Pendidikan Antikorupsi Integratif-Inklusif dalam Pendidikan

Agama Islam

Aspek Muatan Pengembangan

Materi a) Al-Qur’an-Hadits

b) Aqidah

c) Akhlak

d) Fiqih

Ayat-ayat / Hadits yang

berkaitan dengan delik

pengkhianatan,

penggelapan keuangan

negara.

Integrasi keimanan

terhadap aspek

kepemilikan harta.

Korupsi dan HAM,

korupsi dan masyarakat,

akhlak kewajiban warga

negara.

Hukum (Islam) dalam

perampasan harta non-

fisik.

Page 131: Full Script

e) Tarikh / Sejarah Delik asumsi dan

praktik korupsi pada

zaman Nabi, sahabat /

khalifah.

Domain a) Kognitif

b) Afektif:

c) Psikomotorik:

Pemberian wawasan

pengetahuan tentang

hakikat korupsi.

Pembentukan karakter

antikorupsi.

Perilaku antikorupsi.

Metode

Pembelajaran

a) Ceramah dan penugasan

b) Melibatkan peserta didik

secara aktif dan kreatif

dalam kegiatan

pembelajaran

c) Pemberian keteladanan

Penelaahan berbagai

modus operandi korupsi

Studi kasus atau

lapangan dan

pemecahan masalah.

Pelatihan kejujuran dan

kedisiplinan.

Media

Pembelajaran

a) Audio

b) Visual

c) Audio-visual

Rekaman / tayangan

persidangan kasus

korupsi.

Sumber

Belajar

a) Media cetak

b) Media elektronik

c) Narasumber dan sumber

lingkungan.

d) Dokumentasi produk

hukum

Koran, majalah, buku,

annual report, kitab.

CD, Internet.

Polisi, Jaksa, Hakim,

Ulama.

UU terkait kasus

korupsi

Evaluasi a) Tes tulis

b) Kinerja, keterampilan

Kumpulan hasil kerja

(karya) siswa yang

Page 132: Full Script

c) Portofolio berisi berbagai

pengalaman dan

pemikiran tentang

problem korupsi.

Setelah menelaah konsep pendidikan antikorupsi serta tinjauan aspek

kurikulum dan perkembangannya, maka selanjutnya dicoba untuk diterapkan

ke dalam pendidikan Islam. Urgensitas dan inklusifitas pendidikan antikorupsi

pada pendidikan agama Islam jika diambil benang merahnya adalah sebagai

berikut:

1. Tujuan Pendidikan

Tujuan pendidikan antikorupsi adalah menanamkan pemahaman

dan perilaku antikorupsi. Jika merujuk pada UU No. 20 Tahun 2003

tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 4 ayat (3) disebutkan bahwa

pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan

pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Atas dasar

ini, signifikansi penyelenggaraan pendidikan antikorupsi lewat jalur

pendidikan tidak dapat diabaikan potensinya sebagai salah satu cara untuk

membudayakan antikorupsi di Indonesia.

Selain itu juga pendidikan adalah suatu proses belajar dan

penyesuaian individu-individu secara terus menerus terhadap nilai-nilai

budaya dan cita-cita masyarakat; suatu proses dimana suatu bangsa

mempersiapkan generasi muda untuk menjalankan kehidupan dan untuk

memenuhi tujuan hidup secara efektif dan efisien. Atas yang demikian itu,

Page 133: Full Script

Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa pendidikan merupakan upaya

untuk memajukan budi pekerti (kekuatan batin), pikiran (intellect) dan

jasmani anak-anak, selaras dengan alam dan masyarakatnya.

Sedangkan menurut Natsir (2005) bahwa pendidikan adalah satu

pimpinan jasmani dan rohani yang menuju kepada kesempurnaan dan

kelengkapan arti kemanusiaan dengan arti sesungguhnya. Atas yang

demikian itu, Pasal 3 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional menyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi untuk

mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban

bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

Dalam penelitian ini nampak jelas bahwa para pendidik, maupun

pakar serta penggiat beberapa lembaga pendidikan menyatakan bahwa

pendidikan antikorupsi sangat diperlukan bagi segenap anak bangsa untuk

memberikan pemahaman yang lebih luas tentang bahaya korupsi bagi

kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pemberian pendidikan antikorupsi di sekolah hendaknya

memperhatikan kebutuhan dan kematangan siswa. Kebutuhan yang

dimaksud adalah pendidikan antikorupsi hendaknya tidak menjadi bidang

studi yang (subject matter) berdiri sendiri (separated) sehingga akan

menambah jumlah jam belajar siswa. Sedangkan disesuaikan dengan

tingkat kematangan adalah bobot atau tingkat kesukaran pendidikan

antikorupsi hendaknya disesuaikan dengan kemampuan berfikir peserta

didik.

Page 134: Full Script

2. Kurikulum

Kurikulum adalah sekumpulan silabus yang tercetak atau uraian

mengenai satu demi satu mata pelajaran yang disertai pengantar bersifat

umum mengenai tujuan pendidikan secara keseluruhan, dan ikhtiar singkat

mengenai tujuan masing-masing mata pelajaran. Dengan begitu maka,

kurikulum adalah salah satu komponen yang urgensitasnya sangat

menentukan dalam suatu sistem pendidikan.

Karena kurikulum merupakan alat untuk mencapai tujuan

pendidikan dan sekaligus sebagai pedoman dalam pelaksanaan pengajaran.

Untuk itu, ketika kurikulum disusun oleh lembaga pendidikan, seharusnya

kurikulum disusun sesuai dengan realitas yang ada. Sehingga dalam

penyusunannya kurikulum, perlu mempertimbangkan kebutuhan,

permintaan dan atau harapan masyarakat akan out put pendidikan. Dengan

begitu, lulusan-lulusan yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan menjadi

tidak teralienasi dengan masyarakat ketika mereka berbaur dalam

lingkungan yang baru.

Menurut Freire, kurikulum yang baik adalah kurikulum yang

dihimpun dari pengalaman yang educatif, bersifat eksperimental dan

adanya rencana serta susunan yang teratur. Pengalaman educatif adalah

pengalaman apa saja yang serasi dengan tujuan menurut prinsip-prinsip

yang digariskan dalam pendidikan, setiap proses belajar yang ada

membantu pertumbuhan dan perkembangan peserta didik.

Page 135: Full Script

Kurikulum yang bagus adalah tipe “core curiculum” yaitu

sejumlah pengalaman belajar di sekitar kebutuhan umum. Oleh karena

tidak adanya standar yang universal, maka kurikulum harus terbuka dari

kemungkinan untuk dilakukan peninjauan dan penyempurnaan (Muis Sad

Imam, 2004: 54).

Fleksibilitas sifat kurikulum dapat membuka kemungkinan bagi

pendidikan untuk memperhatikan tiap peserta didik dengan sifat-sifat dan

kebutuhannya masing-masing. Selain ini semuanya diharapkan dapat

sesuai dengan keadaan dan kebutuhan setempat. Oleh karena sifat

kurikulum yang tidak baku dan dapat direvisi ini, maka jenis yang

memadai adalah kurikulum yang berpusat dari pengalaman.

Karenanya untuk menuju ke integrasi problematika korupsi

terhadap upaya pencegahan korupsi melalui pendidikan diperlukan upaya

yang kreatif. Karena banyak sekali hambatan dan tantangan dalam situasi

koruptif yang telah langgeng, tentu diperlukan refleksi kritis dan

penciptaan kurikulum yang bisa memproduksi manusia-manusia yang

antikorupsi. Dengan istilah lain, kurikulum pendidikan antikorupsi yang

terintegrasi dalam pendidikan agama Islam juga dikenal sebagai ”hidden

curiculum”.

Setidaknya terdapat tiga butir kurikulum pokok yang harus

diperhatikan dalam mengembangkan kurikulum antikorupsi di segala

tingkat. Pertama, tujuan, hakikat, dan kebutuhan peserta didik yang secara

ideal harus terhindar dari sikap koruptif. Kedua, hakikat dan kebutuhan

Page 136: Full Script

masyarakat di mana peserta didik merupakan bagian dari masyarakat yang

menentang korupsi. Ketiga, masalah pokok yang ditujukan kepada peserta

didik untuk mengembangkan diri sebagai pribadi yang matang dan mampu

menjalin hubungan dengan masyarakat.

Pendidikan Islam lebih eksplisit lagi kurikulumnya sendiri jarang

sekali diarahkan menjawab persoalan-persoalan seperti itu. Buku-buku

pelajaran cenderung yang diajarkan secara normatif, tidak diambil serta

dikembangkan semangat berpikirnya, apalagi kemudian dikorelasikan

pada kontekstualisasi kekinian, seperti kenapa terjadi budaya korupsi,

nepotisme dan lain sebagainya. Sementara para pendidik sendiri hanya

mencukupkan diri dengan berpedoman kepada buku-buku tersebut, tanpa

pernah mengajarkan peserta didik bagaimana metode berpikir dan strategi

menyelesaikan permasalahan yang mungkin muncul.

Keberhasilan suatu bangsa dalam membangun pendidikan juga

menjadi barometer tingkat kemajuan bangsa yang bersangkutan, sedang

umat Islam adalah bagian terbesar dari bangsa Indonesia. Masalah dan

sistem pendidikan menjadi kian penting dan strategis karena dapat

dijadikan fundamen sosial guna mendorong proses transformasi

masyarakat. Secara sintetik pendidikan antikorupsi berkaitan langsung

dengan isu-isu krusial seperti kemiskinan, kesejahteraan, kesehatan, kohesi

sosial, dan demokrasi. Lagi-lagi pendidikan (Islam) memiliki andil yang

cukup besar terhadap proses kemajuan suatu bangsa.

Page 137: Full Script

Untuk itu kurikulum pendidikan Islam perlu mengalami

“kontektualisasi pendidikan”. Kontekstualisasi kurikulum pendidikan

harus diupayakan sehingga dapat membangun peradaban masyarakat yang

kritis, yang lebih adil, lebih manusiawi, sense of crisis, sense of

responsibility, misalnya pada persoalan-persoalan kemanusiaan,

lingkungan, pembelaan pada nilai-nilai kebenaran dan keadilan, hak azasi

manusia, dan sebagainya. Singkatnya sistem kurikulum pendidikan Islam

pada masa kini dan mendatang harus lebih antisipatif terhadap

problematika yang sedang berkembang, korelasi antara ideal dan

kenyataan lebih signifikan.

Dengan berbagai pembenahan kurikulum tersebut, diharapkan

pendidikan mampu mengalami perubahan yang signifikan. Memang,

seharusnya kurikulum yang ideal harus berasal dari masyarakat. Berbagai

pendekatan diperlukan guna membantu penyusunan kurikulum yang

komprehensif.

3. Metode Pengajaran

Metode pengajaran adalah salah satu penentu keberhasilan dalam

dunia pendidikan. Metode pengajaran yang ada saat ini masih bersifat

monoton dan cenderung tekstual, dengan hanya mengacu pada pedoman

buku teks sebagai bahan ajar. Seperti model pengajaran yang dominasinya

pada ‘hafalan’ juga harus dibatasi, harus diganti dengan cara

mengembangkan kemampuan berpikir para siswa, membangun

Page 138: Full Script

komunikasi yang dialogis. Metode ’hafalan’ adalah metode di mana

peserta didik menghafal teks atau kalimat tertentu dari buku pelajaran

yang dipelajarinya.

Selain itu, contoh-contoh yang digunakan dalam pengajaran

seorang pendidik harus dengan cara menghadirkan persoalan-persoalan

kontemporer ke dalam materi pelajaran, wawasan dan cakrawala.

Sehingga pemikiran siswa semakin luas, sikap kritisnya tumbuh dan daya

kreatifnya berkembang.

Oleh sebab itu, metode yang dapat dikembangkan dalam materi

pendidikan antikorupsi dalam pendidikan agama Islam diantaranya:

a. Metode Dialog

Metode dialog adalah metode yang berdasarkan pada dialog

atau dengan kata lain perbincangan dengan tanya jawab untuk sampai

kepada fakta yang tidak dapat diragukan lagi, dikritik atau dibantah

(Langgulung [terj.], 1979: 565). Mata ajaran yang terpaku pada model

konvensional, yaitu lebih menekankan pada metode ceramah

(verbalistik), layaknya cenderung monolog dan doktrinatif. Sehingga

praksisnya, sense of religion (keinsyafan beragama) tidak dirasakan

oleh para peserta didik, mesti dikembangkan dalam bentuk keakraban

wacana melalui proses perenungan yang dalam dan proses dialogis

yang produktif, kritis dan analitis.

Metode dialog merupakan pengembangan dari metode

ceramah yang didominasi oleh pola komunikasi satu arah, yakni dari

Page 139: Full Script

guru kepada murid. Sehingga diperlukan pengajaran yang

partisipatoris-kontekstual, sehingga memberikan kebebasan kepada

peserta didik untuk berkreasi dan berkreativitas. Kebebasan merupakan

ekspresi pengalaman, perasaan, sikap dan keterampilan yang

menekankan pada daya pikir kritis, tanggap dan kreatif dalam

menghadapi sesuatu, tanpa ikatan atau dogma tertentu yang berpusat

pada konteks realitas.

Kreativitas merupakan proses mental dan kemampuan

tertentu untuk mencipta. Kreativitas juga merupakan pola interaktif

antara individu dengan lingkungannya. Seseorang yang kreatif dapat

dilihat dari kemampuannya dalam mengatasi masalah (problem

sensitivity), mampu mencipta ide alternatif untuk memecahkan

masalah (idea fluency), mampu memindahkan ide dari satu pola pikir

ke pola pikir yang lain (idea flexibility). Hal ini bisa terwujud jika

metode dialog (komunikasi dua arah) dalam proses belajar mengajar

dijalankan.

Dengan metode pengajaran partisipatoris maka dapat

membuka peluang peserta didik untuk bebas berpikir kritis dan kreatif

dalam mengembangkan kemampuan (Assegaf, 2004: 138-139).

Sehingga dengan sistem dialog dan tidak dialog tersebut, bisa terlihat

pola komunikasi antara pendidik dan peserta didik.

Oleh karena itu, untuk menghasilkan pembelajaran

antikorupsi yang optimal baik pendidik maupun peserta didik harus

Page 140: Full Script

bersama-sama menciptakan suasana pembelajaran yang kondusif,

pendidik merasa bebas dan peserta didik merasa merdeka dari

himpitan untuk menyuarakan kata hati, perasaan dan pendapatnya

tentang persepsi korupsi.

Hal seperti ini yang perlu diterapkan dalam proses pengajaran

antikorupsi di lembaga-lembaga pendidikan Islam seperti pesantren,

madrasah, perguruan-perguruan tinggi Islam maupun lembaga-

lembaga pendidikan yang berafiliasi dengan lembaga / yayasan / ormas

Islam. Sehingga para peserta didik menjadi lebih kritis dan kreatif

dalam menghadapi permasalahan dan tantangan dunia global yang

telah merambah ke semua sektor kehidupan.

b. Kelompok Diskusi

Sebagai makhluk sosial, peserta didik sejak kecil secara

natural bermain dalam situasi berpasangan atau berkelompok. Perilaku

ini dapat dilakukan dalam pengorganisasian belajar pada materi

antikorupsi. Dalam membahas permasalahan korupsi serta mencari

solusinya peserta didik dapat bekerja berpasangan atau kelompok, baik

dengan cara diskusi, demonstrasi, dan sebagainya.

Dengan metode ini, belajar menjadi lebih berarti karena

dengan adanya interaksi antara peserta didik dan lingkungan. Sehingga

secara konseptual, pendidikan antikorupsi tidak diartikulasikan sebagai

sekedar membaca buku atau berita tentang korupsi, tetapi juga

transformasi hubungan antara peserta didik, pendidik, sekolah dan

Page 141: Full Script

masyarakat. Karena peserta didik akan lebih berarti bila ia tidak hanya

sekedar belajar, ia harus bisa mengetahui dan mengamatinya sehingga

ia memiliki semangat untuk mengubah realitas. Peserta didik harus

banyak “membaca” dengan sungguh-sungguh realitas yang ada di

sekitarnya. Karena lingkungan (fisik-sosial-budaya) merupakan

sumber yang sangat kaya untuk bahan belajar peserta didik.

Penggunaan lingkungan sebagai sumber belajar sering

membuat peserta didik merasa senang dalam belajar. Belajar dengan

menggunakan lingkungan tidak selalu harus keluar kelas. Bahan dari

lingkungan dapat dibawa ke ruang kelas untuk menghemat biaya dan

waktu. Pemanfaatan lingkungan dapat mengembangkan sejumlah

keterampilan seperti mengamati (dengan seluruh indera), mencatat,

merumuskan pertanyaan, berhipotesis, mengklasifikasikan, membuat

tulisan, dan membuat gambar/diagram.

Peserta didik harus dapat mengerti secara sungguh-sungguh

terhadap keberadaan orang lain dengan situasi dan problematika di

sekitarnya. Dengan dihadapkan pada realitas sosial peserta didik dapat

mengembangkan nilai-nilai sosial kemanusiaan. Sehingga mereka

menyadari bahwa dalam dunia nyata ada dikotomi – bahkan

kontradiksi – antara teori dan realitas. Dengan demikian, mereka

menyadari bahwa eksistensi manusia merupakan bagian dari

pengemban amanah dalam melakukan perubahan, sehingga mereka

mampu berpikir kritis.

Page 142: Full Script

Dengan demikian metode diskusi menekankan aspek

komunikasi inter-personal yang bersifat akademis dengan mata

pelajaran yang sifatnya praktis, yang diterapkan dalam kehidupan.

Sekolah berfungsi mengadakan penyesuaian-penyesuaian yang efektif

terhadap lingkungan yang transformatif, dan transformasi kehidupan

harus senantiasa dipandang secara antisipatif dari terjadinya

transformasi negatif.

Page 143: Full Script

BAB V

PENUTUP

Bab ini merupakan bab terakhir dalam penelitian ini. Oleh karena itu

sebagai penutup dari penelitian ini akan diuraikan tentang kesimpulan, saran-

saran dan kata penutup.

A. Kesimpulan

Setelah melakukan deskripsi dan analisis data tentang pendidikan

antikorupsi dengan tinjauan aspek kurikulum Pendidikan Agama Islam

kemudian menganalisisnya, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai

berikut:

1. Upaya pencegahan prilaku korupsi bisa dilakukan dengan dua langkah,

yaitu langkah represif dan preventif. Langkah represif dilakukan

dengan cara menjalankan penegakan hukum yang tegas oleh para

aparat penegak hukum. Adapun langkah preventif melalui pendidikan,

dilakukan dengan cara internalisasi nilai-nilai antikorupsi terhadap

peserta didik sebagai generasi penerus bangsa. Konsep pendidikan

antikorupsi yang digagas sebagai solusi atas permasalahan bangsa

adalah upaya mencegah berkembangnya mental korupsi pada anak

bangsa Indonesia melalui pendidikan. Secara simplistik, langkah

tersebut ditujukan untuk menggunakan pemberdayaan peserta didik

untuk menekan lingkungan agar tidak permissive to corruption,

Page 144: Full Script

sehingga dapat mencegah timbulnya mental korupsi pada generasi

anak bangsa.

2. Pendidikan Islam bisa dijadikan sebagai sarana upaya preventif dan

antisipatif dalam mengembangkan nilai antikorupsi untuk pencegahan

dan pemberantasan korupsi. Nilai-nilai keislaman yang terkandung

dalam pendidikan antikorupsi dapat dikembangkan dalam kurikulum

pendidikan agama Islam. Dalam mengaitkan relevansinya antara

pendidikan antikorupsi dengan pendidikan Islam, setidaknya bisa

dilihat dalam konsep dan tujuan pendikan antikorupsi kemudian

ditinjau dari kurikulum pendidikan agama Islam yang selaras terhadap

nilai-nilai antikorupsi serta pengembangan kurikulum ke arah

antikorupsi dan dengan pengayaan materi pembelajaran menjadi

sangat relevan. Tinjauan kurikulum pendidikan agama Islam terhadap

pendidikan antikorupsi melalui pengembangan kurikulum ke arah:

peningkatan iman dan takwa, peningkatan akhlak mulia, peningkatan

potensi, kecerdasan, dan minat sesuai dengan tingkat perkembangan

dan kemampuan peserta didik, problem-problem kontekstual,

persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan, serta agama.

B. Saran-saran

Melalui penelitian ini, peneliti memberikan saran-saran untuk

direspon sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan lingkungan pendidikan.

Pada point ini peneliti menyampaikan saran terhadap:

Page 145: Full Script

a. Pendidik

1) Hendaknya seorang pendidik bisa memperhatikan potensi peserta didik

yang mendorongnya supaya disalurkan ke dalam konteks pendidikan

sesuai kebutuhan lingkungan ke arah antikorupsi. Penyemaian bibit-

bibit antikorupsi harus dilaksanakan sejak dini, secara gradual dan

komprehensif.

2) Seorang pendidik seharusnya membekali keterampilan atau

kompetensi yang sekiranya bisa mendorong peserta didik menjadi

pribadi yang antikorupsi, karena dalam pembelajaran harus

memperhatikan dan menggunakan konsep-konsep yang bisa

menyadarkan kesadaran peserta didik secara kritis.

3) Seorang pendidik harus menjadi partner yang baik (partnership) bagi

peserta didik, sehingga dalam pembelajaran antara pendidik dan

peserta didik sama-sama belajar secara komunikatif-interaktif. Dengan

mengajak dialog peserta didik tentang problem-problem kontemporer

serta pemecahannya, maka suasana dalam pembelajaran menjadi hidup

dan tidak membosankan.

4) Seorang pendidik, khususnya pendidik agama Islam, bisa mendorong

dan memotivasi peserta didik supaya bisa mengaplikasikan ilmu

agamanya ke dalam kehidupan pribadi maupun masyarakat.

Aksentuasi nilai-nilai keislaman dapat diaplikasikan dalam

menghadapi tantangan dan problematika kontekstual-global.

Page 146: Full Script

b. Lembaga Pendidikan

1) Sebagai lembaga pendidikan yang berbasis Islam, seyogyanya sekolah

Islam membekali para peserta didik dengan kompetensi sesuai potensi

yang memadai atau konsep-konsep nilai keislaman yang universal.

2) Lembaga-lembaga pendidikan Islam, tidak hanya mengajarkan ilmu-

ilmu keislaman saja tetapi juga mengajarkan ilmu-ilmu yang

berkonsep pada pembelajaran yang kontekstual-kritis selaras dengan

al-Qur’an dan al-Hadits, sehingga Islam akan mampu mencegah

perbuatan kemungkaran seperti tindak korupsi, karena sesungguhnya

semua ilmu bersumber pada al-Qur’an dan al-Hadits.

C. Kata Penutup

Puji syukur alhamdulillah kepada Allah SWT karena atas ridha dan

petunjuk-Nya peneliti dapat menyelesaikan penelitian ini dengan baik. Betapa

pun peneliti telah berusaha dengan segenap kemampuan yang ada untuk

menyelesaikan penelitian ini, namun peneliti menyadari bahwa penelitian ini

masih jauh dari kesempurnaan serta masih banyak kekurangan dan kesalahan

yang disebabkan oleh kualitas individual peneliti, karena manusia tidak ada

yang sempurna.

Namun demikian, peneliti berharap mudah-mudahan karya

sederhana ini bisa bermanfaat dan sebagai sumbangan pikiran bagi almameter

tercinta ini. Karena itu, dengan kerendahan hati peneliti mengharapkan kritik

Page 147: Full Script

dan saran konstruktif dari semua pihak demi pengembangan dan perbaikan

skripsi ini

Akhir kata, peneliti berharap semoga langkah-langkah kita selalu

diridhoi dan dipermudahkan oleh Allah SWT serta semoga skripsi ini akan

membawa manfaat bagi semua yang berkepentingan khususnya bagi peneliti.

Âmîn Yâ Rabbal 'Âlamîn.

Page 148: Full Script

DAFTAR PUSTAKA

Abd. Majid (Et.al), Pedoman Skripsi Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, FAI PRESS, 2003.

Abd. Halim Soebahar, Wawasan Baru Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia,

2002.

Abd. Rahman Assegaf, Pendidikan Tanpa Kekerasan, Yogyakarta: Tiara Wacana,

2004.

Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Al-Ma’arif,

1989.

Ahmad Fawa’id, Sultonul Huda (Ed.), NU Melawan Korupsi: Kajian Tafsir dan Fiqih, Jakarta: Tim Kerja Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, 2006.

Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Bandung; PT. Remaja

Rosdakarya, 2005.

Andvig, J. C., fjeldstad, O. H., Amundsen, I., sissener, T., Soreide, T., Research on Corruption; A Policy Oriented Survey, Oslo: Chr. Michelsen Institute &

Norwegian Institute of International Affairs, 2000.

Arifin, Ilmu Pendidikan Islam Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2000.

Bonediksus Bosu & Hasyim Muzadi, Menuju Indonesia Baru: Strategi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Malang: Bayu Media Publishing,

2004.

Firdaus M. Yunus, Pendidikan Berbasis Realitas Sosial; Paulo Freire dan Y.B. Mangunwijaya, Yogyakarta: Logung Pustaka, 2004.

George Junus Aditjondro, Jurnal Wacana: Bukan Persoalan Telur dan Ayam: Membangun Suatu Kerangka yang Lebih Holistik bagi Gerakan Anti-Korupsi di Indonesia, Yogyakarta: Insist Press, 2003.

HCB Dharmawan, Al Soni BL de Rosari (Ed.), Jihad Melawan Korupsi, Jakarta:

Penerbit Buku Kompas, 2005.

Page 149: Full Script

Jeremy Pope, Strategi Memberantas Korupsi; Elemen Sistem Integritas Nasional, (terj.) Masri Maris, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003.

John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, Jakarta: PT.

Gramedia, 2000.

Komisi Pemberantasan Korupsi, Memahami Untuk Membasmi; Buku Saku Untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Komisi Pemberantasan

Korupsi, 2006.

Kwik Kian Gie, Pemberantasan Korupsi Untuk Meraih Kemandirian, Kemakmuran, Kesejahteraan dan Keadilan, ttp., tth.

Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya,

2002.

Mansur Muslich, KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual; Panduan Bagi Guru, Kepala Sekolah dan Pengawas Sekolah, Jakarta: PT.

Bumi Aksara, 2008.

Martinis Yamin, Profesionalisasi Guru & Implementasi KTSP, Jakarta: Gaung

Persada Press, 2007.

Moh. Asror Yusuf (Ed.), Agama Sebagai Kritik Sosial di Tengah Arus Kapitalisme Global, Yogyakarta: IRCiSoD, 2006.

Mohammad Amien Rais, Agenda-Mendesak Bangsa; Selamatkan Indonesia, Yogyakarta: PPSK Press, 2008.

Muhammad Azhar (Et.al), Pendidikan Antikorupsi, Yogyakarta: LP3 UMY,

Partnership, Koalisis Antarumat Beragama untuk Antikorupsi, 2003.

Muis Sad Imam, Pendidikan Partisipatif, Yogyakarta: Safiria Insani Press, 2004.

Munzir Hitami, Mengkonsep Kembali Pendidikan Islam, Pekanbaru: Infinite Press

dan Yogyakarta: LKiS, 2004.

Muhammad Joko Susilo, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan: Manajemen Pelaksanaan dan Kesiapan Sekolah Menyongsongnya, Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2007.

Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake Sarasin,

2002.

Omar Muhammad Al-Thoumy Al-Syaibani, Falsafah Pendidikan, (terj.) Hasan

Langgulung, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.

Page 150: Full Script

Poespoprodjo, Filsafat Moral; Kesusilaan Dalam Teori dan Praktek, Bandung:

CV. Pustaka Grafika, 1999. Pol, M., Hlouskova, L., Novotny, P., Vaclavikova, E., Zounek, Z., School Culture

as an Object of Research, ttp, 2005.

Ridlwan Nasir, (Ed.), Dialektika Islam dengan Problem Kontemporer, IAIN Press

& LKiS, 2006.Robert Klitgaard, Membasmi Korupsi, (terj.) Hermojo,

Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005.

Robert Klitgaard (Et. al), Penuntun Pemberantasan Korupsi Dalam Pemerintahan Daerah, (terj.) Masri Maris, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2002.

Singgih, Dunia pun Memerangi Korupsi Beberapa Catatan Dari International Anti Corruption Conference I – X dan Dokumen PBB Tentang Pemberantasan Korupsi, Pusat Studi Hukum Bisnis Universitas Pelita

Harapan, tth.

S. Margono, Metodologi Penelitian Pendidikan, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1997.

Sudarwan Danim, Agenda Pembaruan Sistem Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2003

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: PT.

Rineka Cipta, 2002.

Syamsul Anwar (Et.al), Fikih Antikorupsi Perspektif Ulama Muhammadiyah

Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Jakarta: Pusat studi Agama

dan Peradaban (PSAP), 2006.

Syed Hussein Alatas, Sosiologi Korupsi, Jakarta: LP3ES, 1975

Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah, Bandung: Tarsito, 1985.

Yunahar Ilyas (Et.al.), Korupsi Dalam Perspektif Agama-agama (Panduan Untuk Pemuka Umat), Yogyakarta: KUTUB, 2001.

Zakiyah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1992.

Sumber Lain:

www.depdiknas.go.id

http://id/wikipedia.org/wiki/korupsi

Page 151: Full Script

http://www.antikorupsi.org

http://www.korupsi.org

http://www.nu-antikorupsi.or.id

http://www.ti.or.id

http://www.kpk.go.id

Tempo Interaktif, 8 Desember 2004.

Jawa Pos, 16 Oktober 2003.

Page 152: Full Script

CURICULUM VITAE

Nama : Bhayu Sulistiawan

TTL : Bekasi, 6 Agustus 1986

Jenis Kelamin : Laki-laki

NPM : 20040720049

Alamat : Jl. Nusa Indah X RT 005/018 Blok MM No.31 Perum.

Harapan Indah Kel. Pejuang Kec Medan Satria Kota

Bekasi - Jawa Barat

Nama Orang Tua : Bejo Margo Waluyo – Isur Suryati

Riwayat Pendidikan :

1. SD

2. SLTP

3. SMA

4. Pon-Pes

5. PT

:

:

:

:

:

SD N Percontohan 04 Ujung Menteng Cakung Jak-Tim,

lulus tahun 1998

MTs. Attaqwa Pusat Putera Ujungharapan Bekasi, lulus

tahun 2001

MAK Attaqwa Pusat Putera Ujungharapan Bekasi, lulus

tahun 2004

Pondok Pesantren Attaqwa Pusat Putera Ujungharapan

Bekasi, tahun 1998-2004

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Fakultas

Agama Islam, Jurusan Pendidikan Agama Islam, 2004-

2008

Pengalaman Organisasi : • Sekretaris Pelajar Islam Indonesia (PII) Pengurus

Daerah Attaqwa Tahun 2002-2004

• Departemen Pendidikan HMJ PAI (Tarbiyah) UMY

Tahun 2004-2005

• Ketua Umum BEM FAI UMY Tahun 2005-2006

• Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)-

MPO Komisariat FAI UMY Tahun 2005-2006

• Bidang Kajian Strategis Himpunan Mahasiswa Islam

(HMI)-MPO Cabang Yogyakarta Tahun 2006-2007

• Sekretaris Umum Forum Silaturahmi Mahasiswa

Alumni Attaqwa (FOSMA)-Yogyakarta Tahun 2005-

2006

• UKM Musik UMY Tahun 2006-2008

• Dept. Perkaderan & Pembinaan Ikatan Keluarga

Mahasiswa Bekasi (IKAMASI) – Yogyakarta Tahun

2006-2007

• Ketua Umum Ikatan Keluarga Mahasiswa Bekasi

(IKAMASI) – Yogyakarta Tahun 2007-2008