Free Trade Watch

131
Free Trade Watch Edisi I - Maret 2012 ANOMALI Kebijakan Minyak Nasional Free Trade Watch

description

Free TradeWatch Edisi I Maret 2012

Transcript of Free Trade Watch

Page 1: Free Trade Watch

Free Trade WatchEdisi I - Maret 2012

ANOMALI Kebijakan Minyak Nasional

Edisi I - M

aret 2012Fre

e Trad

e W

atch

Page 2: Free Trade Watch

1Edisi I - Maret 2012

REDAKSI

DAFTAR ISI

PENELITIAN IGJ

KEGIATAN IGJ

GLOBALISASI

REGIONAL

PUBLIK

NASIONAL

Anomali Kebijakan Minyak Nasional

Pencabutan Subsidi BBM dan Perundingan G20

Perang Minyak Global: Merebut Imperium!

Utang Bank Dunia yang Salah Kaprah

Analisis terhadap Kebijakan Energi ADB dalam Kebijakan Energi Indonesia

Diplomasi Memburu Utang

Nasionalisasi Minyak;Pengalaman Arab Saudi, Venezuela dan Argentina

Dampak Kenaikan BBM Terhadap Sektor Perikanan Nasional

Industri Minyak Nasional: Hilangnya Sebuah Kedaulatan

Kenaikan Harga BBM adalah Kebijakan Pro-Nekolim dan Anti Rakyat

Kenaikan harga BBM, Petani dan Mandat Konstitusi RI

Ketidakadilan BBM Nelayan

Masalah Perminyakkan Indonesia dan Solusi Konstitusional

Krisis Kapitalisme Global dan Masa Depan Ekonomi Politik Indonesia

Diskusi Publik IGJ & IHCS:“Kontrak Karya Pertambangan dan Penjajahan Baru”

Pembuat Undang-Undang Miskin Pemihakan Pada Kepentingan Nasional

Liberalisasi Perbankkan, Dominasi Bank Asing dan Nasib Kredit UKM

2

4

16

28

36

48

56

64

76

84

90

94

100

116

119

123

126

Page 3: Free Trade Watch

2

REDAKSI

Pertarungan merebut sumberdaya minyak di dunia internasional berhubungan dengan pembangunan sebuah imperium. David Harvey (IGJ, 2010) menjelaskan kemunduran imperium yang satu, lalu kemudian digantikan oleh imperium yang lain, sangat ditentukan oleh dominasi

mereka atas minyak. Kecendrungan tersebut menjadi ciri peralihan dominasi inggris yang diambil alih oleh Amerika Serikat (AS) pada era 1970-an.

Dewasa ini dominasi perusahaan minyak AS sedang terancam. Imperium AS tengah berbenturan dengan China yang menunjukkan dirinya sebagai cikal bakal imperium yang baru, seiring dengan semakin dominannya perusahaan negara China dalam menguasai sumber-sumber minyak. Baru-baru ini PetroChina telah mengalahkan perusahaan asal AS yaitu Exxon Mobile dalam hal jumlah produksi minyak. Ini adalah kekalahan Exxon pertama dalam 100 tahun lebih.

Mengapa minyak sangat menentukan dominasi sebuah negara? Pertama, kekuatan politik suatu negara sangat ditentukan oleh penguasaanya atas minyak. Negara yang menguasai minyak dipastikan akan mengontrol dunia. Kedua, besaran konsumsi minyak berhubungan signifikan dengan besaran ekonomi suatu negara. Semakin besar ekonomi suatu negara maka konsumsi minyak akan besar. Sehingga negara-negara besar berupaya memiliki kontrol penuh atas sumber daya minyak dunia. Ketiga, naik turunnya harga minyak itu menentukan dinamika atau panas dinginnya situasi politik internasional.

Itulah mengapa negara-negara maju memberi dukungan penuh kepada perusahaan minyak yang ada di negaranya, baik itu state company maupun swasta untuk melakukan ekspansi investasi di dalam dan diluar negeri, dalam rangka mengontrol produksi di sektor hulu, dan mengontrol distribusi dan perdagangan di sektor hilir.

Anomali KebijakanMinyak Nasional

Page 4: Free Trade Watch

3Edisi I - Maret 2012

Selain itu perusahaan minyak juga terbukti mampu bertahan di tengah krisis. Pada krisis ekonomi yang dialami Amerika dan Eropa sejak 2008 lalu, perusahaan minyak ternyata mampu bertahan dari terpaan krisis, bahkan perusahaan minyak justru memberikan kontribusi ekonomi yang signifikan terhadap perekonomian negara maju khususnya Amerika Serikat. Sehingga perusahaan minyak menjadi penyangga ekonomi Amerika Serikat dari keterpurukan.

Namun apa yang terjadi di Indonesia adalah sebuah anomali. Pada saat pemerintah negara-negara maju memberikan dukungan penuh terhadap perusahaan-perusahaan minyak negaranya untuk memburu sumber minyak di seluruh dunia, pada saat yang sama pemerintah Indonesia justru mengkerdilkan perusahaan minyak nasional yang dimilikinya. Melalui UU No 22 tahun 2001 tentang Migas, pemerintah memberikan karpet merah kepada perusahaan asing agar leluasa menguasai hulu dengan mengontrol produksi, mengontrol perdagangan sampai menentukan hidup matinya rakyat Indonesia.

Lebih memprihatinkan lagi jika melihat perdebatan tentang rencana kenaikan harga BBM belakangan ini yang tampak menggelikan, dimana elit-elit politik kita hanya sibuk berdebat tentang subsidi BBM, perlu tidaknya menaikkan harga BBM dalam mengatasi defisit dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Padahal masalah minyak dan energi adalah sesuatu yang berkaitan dengan kedaulatan bangsa Indonesia. Kontrol penuh terhadap kekayaan minyak nasional akan menentukan kebesaran dan masa depan negeri ini. Mestinya pemerintah, DPR dan komponen bangsa yang lainnya menyusun straegi kebijakan dalam rangka membangun kedaulatan energi, demi menyediakan energi termasuk BBM yang semurah-murahnya. Dengan modal energi yang besar dan murah maka tersedia syarat bagi pembangunan industri nasional yang kuat, sehingga bangsa Indonesia dapat berkiprah secara bermartabat dalam tingkat global.

Salamuddin Daeng

Page 5: Free Trade Watch

4

GLOBALISASI

Pencabutan Subsidi BBM dan Perundingan G20

Herjuno Ndaru (Indonesia for Global Justice)

Page 6: Free Trade Watch

5Edisi I - Maret 2012

Akhir-akhir ini, media massa dan juga jalanan ramai dengan pemberitaan mengenai kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) serta demonstrasi yang berusaha menggagalkan kenaikan BBM tersebut. Rencananya,

pemerintah akan menaikkan harga BBM sebesar Rp 1.500,00 per tanggal 1 April 2012.

Banyak analisis yang berkembang di berbagai tempat diskusi, media massa, maupun jaringan sosial mengenai rasionalitas kebijakan tersebut. Salah satu analisis menarik adalah pernyataan Kwik Kian Gie, ekonom dari PDI-Perjuangan, mengenai ambigunya angka yang dinyatakan sebagai subsidi oleh pemerintah.

Dalam tulisan ini, saya akan lebih menyoroti mengenai bagaimana keterlibatan sistem internasional bekerja untuk mempengaruhi kebijakan di Indonesia, khususnya lewat Forum G20. Sistem internasional terlibat bukan serta-merta dalam arti terlibat secara langsung, namun melalui berbagai arahan kebijakan yang mereka lakukan.

G20 adalah sebuah forum diplomasi ekonomi dan pembangunan internasional yang bersifat loose namun eksklusif, karena hanya beranggotakan 19 negara dan 1 kawasan, yakni Uni Eropa. G20 awalnya merupakan inisiatif negara-negara anggota G7/G8, yakni delapan negara dan satu kawasan kaya yang mempunyai peran yang tinggi dalam perekonomian.

Delapan negara itu adalah : Amerika Serikat, Inggris, Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, Rusia, dan Uni Eropa sebagai sebuah kawasan. Awalnya, kelompok G8 ini adalah kelompok ‘Atlantik’ yang secara militer terikat dengan Amerika Serikat. Kanada kemudian banyak memberikan tawaran untuk memperluas kelompok itu dengan merangkul beberapa negara lain.

Pada tahun 2008, Presiden Bush Jr. memanggil 20 negara untuk merespon masalah krisis finansial. iKemudian, pada tahun 2009 dilaksanakan pertemuan G20 di London dan Pittsburgh, Amerika Serikat. Pada tahun 2010, Pertemuan G20 dilaksanakan di Toronto lalu Seoul. Dan terakhir, Pertemuan G20 dilaksanakan di Cannes, Prancis. Indonesia menjadi anggota G20

Menurut saya, G20 ini banyak digerakkan oleh Kanada secara intelektual, walaupun juga diisi dengan berbagai agenda dari kekuatan dunia, khususnya Amerika Serikat dan Uni Eropa. Sejak pertemuan Pittsburgh, keterlibatan Kanada siginifikan, khususnya dalam mengawinkan konsep ‘economic grouping’ dengan bumbu ‘development agenda’. Dalam pengamatan saya ketika berkesempatan menghadiri

Pertemuan G20 di Cannes tahun lalu sebagai Pengamat dari Organisasi Masyarakat Sipil, publikasi dan hasil kajian dari Munk School of Global Affairs

Page 7: Free Trade Watch

6

Universitas Toronto dan lembaga nirlaba dari Kanada lainnya membanjiri konferensi pers dan sudut-sudut media hall. Politik luar negeri Kanada, sebagaimana diutarakan oleh Gordon S. Smith, mantan Deputi Luar Negeri dan perwakilan Sherpa dari Kanada, negeri itu tidak mengandalkan hard power, namun lebih mempengaruhi melalui soft power.2

Dalam era globalisasi, Smith mengatakan, hanya ada pembuatan aturan dan mereka yang harus mematuhi aturan.3 Agar kepentingan Kanada tidak abai di tengah hiruk-pikuk Amerika Serikat, Eropa, Jepang, China, dan India, Kanada ambil bagian.

Sejak Pertemuan G20 di Pittsburgh, rekomendasi untuk mengurangi subsidi BBM dan juga subsidi listrik menjadi salah satu agenda yang dibicarakan. Setelah selesai mengikuti Pertemuan G20 di Pittsburgh, beberapa bulan kemudian pemerintah mencabut subsidi listrik sebesar 10-15%. Hal ini juga dimuat dalam dokumen persiapan Pertemuan G20 di Seoul yang ditulis oleh Bank Dunia, OECD, dan IEA sebagai salah cara untuk mengurangi beban pemerintah Indonesia. 4

Pada pertemuan G20 di Seoul, dalam Deklarasi Pembangunan Seoul, komitmen nomer 127 berbunyi : “We reaffirm our commitment to rationalize and phase-out over the medium term inefficient fossil fuel subsidies that encourage wasteful consumption, with timing based on national circumstances, while providing targeted support for the poorest.”

Beberapa pengamat menyangsikan daya ikat G20 karena forum ini bersifat loose, tapi nyatanya G20 melakukan pemantauan soal pencabutan subsidi BBM ini terhadap anggotanya. Dalam dokumen G20 Research Group: 2010 Seoul G20 Final Compliance Report, November 6, 2011, Indonesia dimasukkan sebagai negara yang kemajuan pencabutan subsidi BBM-nya 0 atau masih dalam proses.

Beberapa negara mendapatkan penilaian negatif (-1) dalam hal pencabutan subsidi BBM, yakni Jerman, China, dan Turki. Beberapa negara digolongkan kemajuan dalam proses dengan skor (0), termasuk Indonesia, dan beberapa lainnya dikategorikan negara yang menurunkan subsidi BBM dengan baik dengan skor

G20 ini banyak digerakkan oleh Kanada secara intelektual, walaupun juga diisi dengan berbagai agenda dari kekuatan dunia, khususnya Amerika Serikat dan Uni Eropa. Sejak pertemuan Pittsburgh, keterlibatan Kanada siginifikan, khususnya dalam mengawinkan konsep ‘economic grouping’ dengan bumbu ‘development agenda’.

Page 8: Free Trade Watch

7Edisi I - Maret 2012

(+1). 5 Jika negara lain berkomitmen untuk menurunkan subsidi batubara, gas, kerosin, dan bahan bakar lainnya, Indonesia berkomitmen menurunkan subsidi BBM. Tabel komitmen negara anggota G20 selengkapnya dapat dilihat dalam tabel berikut ini :

Tabel 1Komitmen Anggota G20 dalam Pencabutan Subsidi Energi

Sumber : G20 Research Group: 2010 Seoul G20 Final Compliance Report, November 6, 2011

Sejak Pertemuan G20 di Pittsburgh, rekomendasi untuk mengurangi subsidi BBM dan juga subsidi listrik menjadi salah satu agenda yang dibicarakan. Setelah selesai mengikuti Pertemuan G20 di Pittsburgh, beberapa bulan kemudian pemerintah mencabut subsidi listrik sebesar 10-15%.

Page 9: Free Trade Watch

8

Skor untuk reformasi subsidi energi dapat dilihat dalam tabel di bawah ini. Indonesia dikatakan oleh kelompok penelitian G20 sebagai negara yang kemajuannya sedang berjalan atau work in progress :

Tabel 2Skor Kepatuhan Negara Anggota G20 terhadap Pencabutan Subsidi

Energi

Sumber : G20 Research Group: 2010 Seoul G20 Final Compliance Report, November 6, 2011

Mengapa G20 begitu getol merekomendasikan pencabutan subsidi BBM ? Dalam politik internasional, terdapat pemikiran neo-realisme, yang merupakan pengembangan dari realisme tradisional, yang berpandangan bahwa keterlibatan negara dalam kerjasama internasional tidak lebih merupakan perpanjangan tangan dari kepentingan nasional negara tersebut.

Oleh karena itu, untuk mengoptimalkan kepentingan nasionalnya, negara perlu beraliansi atau membentuk kerjasama. Akan tetapi, Waltz mengatakan bahwa dalam kerjasama tersebut terdapat perbedaan kapasitas negara untuk memfungsikan kepentingannya. G20 sejatinya merupakan rancangan G8 yang mengajak emerging market bergabung untuk mengatasi krisis di negara mereka.

Assessment:Country Lack of Compliance Work in Progess Full Compliance

Argentina 0Australia +1Brazil +1Canada +1China -1France +1Germany -1India 0Indonesia 0Italy +1Japan +1Korea 0Mexico +1Russia +1Saudi Arabia 0South Africa +1Turkey -1United Kingdom +1United States 0European Union n/aAverageScore +0.37

Page 10: Free Trade Watch

9Edisi I - Maret 2012

Kekuatan utama di dalam G8 adalah Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Jepang. Kebijakan di masing-masing negara mereka menentukan posisi mereka dalam forum internasional. Dan energi adalah sektor yang merupakan sektor yang sangat vital untuk mereka karena menyangkut keberlanjutan industri dan kompetititas mereka di pasar global.

Ada beberapa konteks global yang juga ikut menentukan dinamika hubungan internasional, khususnya dalam pengelolaan energi. Pertama, naiknya kekuatan India dan China sebagai salah satu kekuatan ekonomi utama dunia. Naiknya kekuatan India dan China ini dibarengi dengan makin tidak kompetitifnya produk, terutama industri dasar, Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang dalam pasar global. Kedua, perkembangan di Uni Eropa pada tahun 2009 Uni Eropa memulai pemberlakuan Traktat Lisbon yang mana Uni Eropa dapat menempatkan satu perwakilan atas nama Komisi Eropa di berbagai forum kerjasama internasional.

Sebelumnya, setiap negara di Uni Eropa mewakili atas dirinya sendiri, tanpa disertai perwakilan dari Komisi Eropa. Ketiga, terdapatnya krisis finansial yang menghantam Amerika Serikat dan Eropa pada tahun 2008. Keempat, makin berkurangnya sumber-sumber daya energi di seluruh dunia.

Pada bulan November 2010, Dewan Eropa mengeluarkan Komunikasi yang berjudul Energy 2020 : Strategy for Competitive, Sustainable and Secure Energy. Dalam dokumen tersebut, disebutkan bahwa Uni Eropa ke depan akan menghadapi tantangan besar dalam penyediaan energi.

Saat ini, negara-negara Eropa tergantung dari Rusia dalam hal penyediaan energi. Negara-negara seperti Finlandia dan Estonia bahkan 100% tergantung impor energi dan 100% tergantung dari Rusia. Prancis tergantung 98% dari pasokan impor, dan Jerman juga tergantung 81% dari pasokan impor6 Energi bagi Eropa sangat vital karena menyangkut pelayanan publik, pertumbuhan ekonomi

Dalam dokumen G20 Research Group: 2010 Seoul G20 Final Compliance Report, November 6, 2011, Indonesia dimasukkan sebagai negara yang kemajuan pencabutan subsidi BBM-nya 0 atau masih dalam proses. Beberapa negara mendapatkan penilaian negatif (-1) dalam hal pencabutan subsidi BBM, yakni Jerman, China, dan Turki. Beberapa negara digolongkan kemajuan dalam proses dengan skor (0), termasuk Indonesia, dan beberapa lainnya dikategorikan negara yang menurunkan subsidi BBM dengan baik dengan skor (+1).

Page 11: Free Trade Watch

10

dan kepentingan industri mereka. Tanpa suplai energi yang memadai, Eropa akan kehilangan kompetitivitasnya dalam pasar global.

Naiknya China dan India juga menyebabkan komplikasi dalam industri di Eropa karena untuk industri dasar, misalnya industri kimia sederhana, mereka sudah tidak dapat bersaing dengan barang murah dari China. Negara Eropa adalah pengkonsumsi 17% energi dunia, dan prediksi Komisi Eropa pada tahun 2030, Eropa akan mengimpor 65% kebutuhan energinya, terutama gas, dari luar Eropa. Tabel di bawah ini menjelaskan bagaimana Eropa sangat tergantung pasokan gas dari luar Eropa, khususnya Rusia.

Tabel 3Prosentase Impor Gas Eropa dari Rusia dan Luar Rusia

Sumber : Internatioanl Energy Agency dalam Paul Belkin, European Union’s Energy Secuirity Challenge hlm. 7

Dalam dokumen Komisi Eropa ini disebutkan bahwa Perundingan Iklim menjadi alat bagi Uni Eropa untuk mengatasi masalah ketersediaan energi di masa depan. Oleh karena itu, salah satu rekomendasi kebijakan dalam Energy 2020 adalah pembatasan konsumsi secara global agar pasokan energi cukup bagi industri Eropa. Rejim lingkungan hidup global (Perundingan Iklim) menjadi

Mengapa G20 begitu getol merekomendasikan pencabutan subsidi BBM ? Dalam politik internasional, terdapat pemikiran neo-realisme, yang merupakan pengembangan dari realisme tradisional, yang berpandangan bahwa keterlibatan negara dalam kerjasama internasional tidak lebih merupakan perpanjangan tangan dari kepentingan nasional negara tersebut.

Page 12: Free Trade Watch

11Edisi I - Maret 2012

kunci penting bagi Eropa untuk dapat mengendalikan konsumsi energi secara global, khususnya China.7

Dokumen tersebut juga menyebutkan salah satu cara untuk mengamankan energi adalah dengan membuat perjanjian kerjasama dengan negara lain melalui kerjasama investasi, baik investasi yang konvensional maupun investasi di sektor low-carbon energy. Terkait dengan strategi ini, saat ini Uni Eropa sudah memberlakukan Traktat Lisbon, dan perjanjian perdagangan bebas yang diterapkan akan dapat menghapus Bilateral Investment Treaties (BITs) yang sudah dilakukan sebuah negara dengan anggota Uni Eropa. Ada kebutuhan yang lebih besar dari Eropa untuk bisa mengamankan suplai internal di Eropa yang diperoleh dari negara dunia ketiga daripada keamanan suplai negara Eropa secara satu per satu melalui BITs. Artinya, ada kebutuhan investasi yang besar dari perusahaan-perusahaan Uni Eropa untuk mendiversifikasi sumber energi (selain dari Rusia) dan juga pengamanan stok internal ke depan.

Bagaimana dengan Amerika Serikat ? Garis kebijakan Amerika Serikat hampir mirip dengan Uni Eropa, yakni melalui stockpilling dan mendorong kebijakan yang ramah lingkungan. Sedikit berbeda dengan Eropa, Amerika Serikat mengandalkan sebagian besar suplai energi mereka dari negara-negara Timur Tengah. Pendekatan Amerika Serikat, khususnya Republikan, sedikit berbeda yakni dengan melakukan upaya regime change dan intervensi politik langsung pada negara target kebijakan. Obama juga menginginkan adanya penghapusan subsidi BBM yang akan menghemat belanja negara sebesar 39 miliar dollar AS, tetapi rencana ini sepertinya akan menemui penolakan yang keras dari Kongres. Lembaga riset Kongres AS pun menuliskan bahwa dalam Pertemuan G20 Obama meminta negara-negara memangkas subsidi BBM, akan tetapi wacana Obama ini mendapat tentangan yang cukup keras dari Kongres AS. 8

Secara politik, posisi Uni Eropa, AS, Jepang9, dan juga Kanada sebagai ‘begawan’ G20 mendukung pembatasan subsidi BBM. Dalam pengambilan kebijakan, adanya pembatasan subsidi BBM juga akan memungkinkan perusahaan multinasional yang ada di Indonesia makin lama untuk bercokol mengeksplorasi

Untuk mengoptimalkan kepentingan nasionalnya, negara perlu beraliansi atau membentuk kerjasama. Akan tetapi, Waltz mengatakan bahwa dalam kerjasama tersebut terdapat perbedaan kapasitas negara untuk memfungsikan kepentingannya. G20 sejatinya merupakan rancangan G8 yang mengajak emerging market bergabung untuk mengatasi krisis di negara mereka.

Page 13: Free Trade Watch

12

sumber daya alam, walaupun dengan perlambatan eksploitasi karena adanya tren penurunan konsumsi BBM, baik secara global maupun di tingkat nasional.

Permasalahan berikutnya adalah percepatan teknologi yang telah dirancang negara maju jauh lebih cepat dibandingkan kemampuan Indonesia untuk melakukan transfer teknologi. Alih-alih transfer teknologi, kemampuan untuk dapat bersaing dengan berbagai produk energi ramah lingkungan pun belum dimiliki industri di Indonesia. Padahal, tren dari penggunaan energi ke depan adalah energi dengan tingkat karbon yang rendah. Melalui Perundingan Iklim, Indonesia bisa-bisa hanya akan membeli barang-barang dengan teknologi tinggi ramah lingkungan yang diproduksi negara maju.

Dalam peta ekonomi-politik internasional ke depan, barang-barang dari Indonesia makin tidak kompetitif dengan barang-barang China yang head to head ke pasar Indonesia. Subsidi masih diberikan oleh pemerintah China secara melimpah, sementara barang-barang sejenis yang diproduksi Indonesia mengalami kenaikan ongkos produksi. Penetrasi produk China dan India juga semakin mudah ke Indonesia dengan adanya implementasi ASEAN China FTA dan ASEAN India FTA.

Permasalahannya lagi, kompensasi ala BLT tidak menjamin secara langsung naiknya produktivitas sektor ekonomi rakyat : pertanian pangan dan hortikultura, perikanan, Usaha Mikro dan Kecil, atau sektor informal. Grafik di bawah ini menjelaskan mengenai bagaimana subsidi energi menjadi kebutuhan bagi negara berkembang untuk melaksanakan kepentingan industrialisasinya.

Makna subsidi energi bagi negara berkembang juga berbeda dengan makna subsidi energi di negara maju yang telah menerapkan sistem negara kesejahteraan. Subsidi energi di negara berkembang merupakan jenis subsidi yang sifatnya mensubsidi ekonomi secara luas, bukan saja subsidi perorangan. Di negara maju, isu subsidi energi merupakan isu lingkungan, karena sistem kesejahteraan telah terbangun dengan baik.

Page 14: Free Trade Watch

13Edisi I - Maret 2012

Grafik 1Subsidi Energi Beberapa Negara Non-OECD

Sumber : The Economist, 1 Oktober 2009

Subsidi Iran adalah subsidi energi paling tinggi, disusul Rusia, China dan Arab Saudi. Karakter Indonesia dalam subsidi energi adalah tinggi dalam subsidi terhadap BBM namun rendah dalam subsdi listrik atau jenis energi lainnya. Subsidi kita juga masih lebih rendah dibandingkan negara-negara lain, seperti Venezuela atau India.

Makna subsidi energi bagi negara berkembang juga berbeda dengan makna subsidi energi di negara maju yang telah menerapkan sistem negara kesejahteraan. Subsidi energi di negara berkembang merupakan jenis subsidi yang sifatnya mensubsidi ekonomi secara luas, bukan saja subsidi perorangan. Di negara

Page 15: Free Trade Watch

14

maju, isu subsidi energi merupakan isu lingkungan, karena sistem kesejahteraan telah terbangun dengan baik: kesehatan, pendidikan, transportasi publik, bahkan tunjangan penghasilan jika tidak bekerja. Walaupun, di negara maju saat ini sistem kesejahteraan juga tergerus karena adanya krisis ekonomi.

Konsekuensi ekonomi-politik lainnya adalah semakin besarnya tingkat kredit masyarakat, yang pada bulan Juli 2011 lalu telah mencapai puncaknya dengan tingkat Loan to Deposit Ratio (LDR) perbankan yang mencapai79,79%. Rancangan kemudahan akses untuk keuangan yang juga dirancang oleh G20 Financial Inclusion Working Group memungkinkan masyarakat yang tidak memenuhi standar perbankan konvensional mendapatkan kredit. Bukan tidak mungkin, ketika sektor finansial digenjot sedemikian rupa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, sementara sektor riil semakin rapuh karena tingkat industrialisasi yang masih rendah, banjir impor yang tinggi, serta proteksi yang sangat lemah; akan terjadi gelembung ekonomi.

Salah satu ironi yang muncul dari kenaikan BBM adalah makin kompetitifnya persaingan SPBU. Harga BBM yang makin mendekati harga internasional memungkinkan beberapa SPBU asing, seperti Shell dan Petronas bersaing dengan Pertamina, BUMN lokal yang menyediakan BBM ke masyarakat.

Bulan Juni 2012 nanti, pemimpin G20 akan melakukan pertemuan yang dibarengkan dengan Perundingan Iklim di Rio De Janeiro, Brazil, yang disebut dengan Rio+20. Penurunan subsidi BBM di Indonesia merupakan kado indah SBY bagi Obama dan Barosso dalam pertemuan tersebut, tetapi beban ekonomi yang disandang pembuat tempe di Ngawi atau petani jeruk di Garut, Jawa Barat.

***1 Gordon S. Smith, “G7 to G8 to G20”, Embassy Magazine, 8 Juni 2011, dalam http://embassymag.ca/dailyupdate/

view/g7_to_g8_to_g20_06-08-201 diakses pada tanggal 25 Maret 2012 pukul 20.40 WIB 2 Soft power adalah salah satu konsep yang memungkinkan aktor-aktor non negara turut berkontribusi dalam

politik global. Di dalam hubungan internasional, dikenal istilah hard power dan soft power yang diperkenalkan oleh Joseph S. Nye Jr. , ilmuwan politik internasional dari Universitas Harvard sekaligus penasihat kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Soft power adalah kemampuan untuk memperoleh apa yang diinginkan melalui co-option dan penyebaran daya tarik. Ini sangat kontras dengan apa yang disebut hard power, yaitu penggunaan paksaan dan hadiah atau reward (carrot and stick).

3 Gordon S. Smith, “Canada’s Interest is in G20, not G8”, dalam http://www.theglobeandmail.com/news/opinions/article732295.ece diakses pada tanggal 25 Maret 2012 pukul 21.00 WIB

4 “The Scope of Fossil Fuel Subsidies in 2009 and a Roadmap for Phasing Out Fossil Fuel Subsidies”, An IEA, OECD, and World Bank Joint Report, Prepared for G20 Summit, Seoul, 11-12 November 2010 hlm. 24

5 G20 Research Group: 2010 Seoul G20 Final Compliance Report, November 6, 2011, hlm,.2666 Paul Belkin, “The European Union’s Energy Security Challenge”, CRS Report for Congress, 30 Januari 2008, hlm. 6 7 COMMUNICATION FROM THE COMMISSION TO THE EUROPEAN PARLIAMENT, THE COUNCIL, THE EUROPEAN

ECONOMIC AND SOCIAL COMMITTEE AND THE COMMITTEE OF THE REGIONS Energy 2020 : A strategy for competitive, sustainable and secure energy, Brussels, 10 November 2010

8 Rebecca M. Nelson,”G20 and International Economic Cooperation : Background and Implications for Congress”, dalam CRS Report for Congress, 9 Desember 2009, hlm.20

9 Lihat dalam http://www.mofa.go.jp/policy/energy/diplomacy.html

Page 16: Free Trade Watch

15Edisi I - Maret 2012 15Edisi I - Maret 2012

Page 17: Free Trade Watch

16

Perang Minyak Global:

Merebut Imperium!

GLOBALISASI

16

Salamuddin Daeng(Indonesia for Global Justice)

Page 18: Free Trade Watch

17Edisi I - Maret 2012

Landasan imperium Amerika Serikat (AS) adalah minyak. Mengapa? AS adalah salah satu pelaku utama dalam penguasaan minyak dunia saat ini. Transaksi minyak sebagian besar negara di dunia pasti menggunakan dolar

AS. Dengan demikian pasar keuangan AS akan menentukan harga minyak. Selain itu perusahaan minyak terkemuka berhubungan dengan pasar keuangan AS (New York Mercantile Exchange -- NYMEX), dan transaksi di pasar komoditas tersebut menentukan pergerakan harga minyak.

Amerika Serikat telah mendominasi produksi minyak dunia sejak paruh pertama abad kedua puluh. AS menyumbang lebih dari 70 persen produksi minyak dunia pada tahun 1925, sekitar 63 persen pada tahun 1941, dan lebih dari 50 persen pada 1950. Lima dari tujuh perusahaan minyak besar (dikenal dengan Seven Sisters) yang mendominasi industri minyak internasional dari tahun 1920 ke tahun 1970 adalah perusahaan Amerika. Yaitu Gulf Oil, Standard Oil of California (Socal), Texaco (sekarang Chevron), Standard Oil of New Jersey (Esso), Standard Oil Company of New York (Socony) yang sekarang menjadi ExxonMobil).1

Sisi lain, konsumsi minyak domestik AS sangat tinggi, Steven Chu, U.S. Secretary of Energy menyatakan sebanyak 57 persen dari semua minyak yang dikonsumsi di AS diimpor, 70 persen dari semua minyak yang dikonsumsi di AS digunakan untuk transportasi. Amerika Serikat sendiri mengkonsumsi 20 juta barel produk minyak setiap hari. Sebanyak 14 juta barel per hari dikonsumsi untuk bahan bakar transportasi dan 9 juta barel bahan bakar transportasi adalah bensin.2

Kondisi ini menyebabkan AS harus memastikan kontrolnya atas minyak dunia, dikarenakan masalah minyak berkaitan dengan ekonomi dan politik nasional AS. Salah satu strategi kontrol atas minyak yang dilakukan AS adalah dengan mengerahkan investasi luar negeri perusahaan-perusahaan AS untuk memburu minyak dan memasokkannya ke dalam negeri AS.

Krisis keuangan yang melanda AS tahun 2008 lalu telah menyebabkan banyak perusahaan keuangan yang menopang perekonomian AS mengalami kebangkrutan. Anggaran belanja pemerintah AS tersedot cukup besar untuk menalangi perusahaan-persuahaan yang bankrut.

Kondisi tersebut mengakibatkan pemerintah AS menanggung utang baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri yang sangat besar. Utang AS telah melampaui nilai produk domestik bruto (PDB) negara yang menjadi pusat kapitalisme dunia tersebut. AS terpaksa harus mengemis utang ke negara lain. Sebagian besar surat utang AS dibeli oleh Cina, Inggris dan Jepang. Sementara negara-negara tersebut, khususnya Cina adalah pesaing utama AS dalam perdagangan global saat ini.

1 http://www.americanforeignrelations.com/O-W/Oil-Oil-and-world-power.html2 Steven Chu , Nobel physicist, U.S. Secretary of Energy , http://www.americanenergyindependence.com/

Page 19: Free Trade Watch

18

Keadaan inilah yang semakin mendorong AS untuk berburu sumber-sumber minyak, khususnya di Asia Tengah, sebagai strategi dasar dalam pemulihan krisis keuangan yang dihadapi negara tersebut.

Ichasanuddin Noorsy, seorang pengamat politik internasional dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) menyatakan, tiga bentuk perang yang dilancarkan AS di tengah krisis yakni perang merebut minyak, perang pasar keuangan, hegding, dan perang media. Ketiganya merupakan strategi dasar yang digunakan dalam rangka pemulihan krisis keuangan yang melanda negara tersebut sejak tahun 2008 lalu.

Secara garis besar, kontrol terhadap sumber energi minyak memiliki dua tujuan: (1) ekonomi: dimana minyak menghasilkan keuntungan besar bagi perusahaan energi, perusahaan konstruksi, produsen senjata, serta petrodolar didaur ulang menjadi US treasury, dll; dan (2) minyak menjadi tuas kontrol geo-politik global. Bagi mereka yang mencoba memahami motif di balik perilaku AS terhadap Irak, adalah mustahil untuk meremehkan pentingnya penguasaan minyak di dalam benak perencana strategis Washington.3

Sehingga perang dalam pengertian yang sebenarnya adalah hal yang sangat mungkin terjadi. Seperti yang secara lokal terjadi di Libya, negara asia tengah lainnya, dan tidak menutup kemungkinan akan terjadi di Iran.

Konflik dan perang akan menyebabkan harga minyak tak terkendali, dan mendorong kenaikan spekulatif harga minyak dan gas yang merupakan metode sebagian besar para spekulan mengambil keuntungan dari pasar uang. Itulah mengapa setiap terjadi konflik di Timur Tengah maka harga minyak dan gas akan naik.

Lalu siapa yang diuntungkan oleh kenaikan harga minyak dunia, pertama adalah negara penghasil minyak yang akan memperoleh pendapatan besar dari hasil penjualan minyak mentah, kedua adalah perusahaan-perusahaan multinasional yang beroperasi di seluruh dunia dan secara bebas menjual hasil produksi mereka.

3 http://oilcontrol.tripod.com/

Secara garis besar kontrol terhadap sumber energi minyak memiliki dua tujuan: (1) ekonomi: dimana minyak menghasilkan keuntungan besar bagi perusahaan energi, perusahaan konstruksi, produsen senjata, serta petrodolar didaur ulang menjadi US treasury, dll; dan (2) minyak menjadi tuas kontrol geo-politik global.

Page 20: Free Trade Watch

19Edisi I - Maret 2012

Kenaikan harga minyak dapat dipastikan akan menghasilkan keuntungan yang berlipatganda bagi perusahaan-perusahaan minyak raksasa yakni perusahaan minyak AS, Inggris dan Cina. Naiknya harga minyak di pasar keuangan juga akan mendorong harga saham perusahaan minyak di bursa. Selain itu naikknya harga minyak juga akan menyebabkan meningkatnya penjaminan resiko (hedging) yang dikendalikan dari pusat keuangan di New York dan London.

Siapa Pemilik Minyak Dunia Cadangan minyak Timur Tengah merupakan yang terbesar di dunia saat ini.

Irak, Iran, Arab Saudi adalah negara yang memiliki cadangan minyak terbesar. Iran menyatakan cadangan minyak terbukti saat ini berada pada posisi 150,31 miliar barel. Irak menaikkan perkiraan cadangan minyak terbukti mencapai 143.1 miliar barel. Perkiraan ini membuat Baghdad pemegang cadangan minyak terbesar ketiga setelah Iran dan Arab Saudi di Timur Tengah.4 Cadangan minyak terbukti Arab Saudi tercatat mencapai 262,6 miliar barel, merupakan yang terbesar di dunia.

Diluar Timur Tengah, negara lain dengan cadangan minyak terbesar adalah Venezuela. Cadangan minyaknya mencapai 211,2 miliar barel, atau 14,35 persen dari total cadangan minyak dunia atau terbesar kedua. Total produksinya pada 2010 adalah 2,38 juta barel, konsumsi minyak 746 ribu barel, dan ekspor ke AS 759 ribu barel. Selanjutnya diikuti Kanada dengan cadangan minyaknya mencapai 175,2 miliar barel atau 11,91 persen dari total cadangan minyak dunia. Total produksinya pada 2010 adalah 3,48 juta barel, konsumsi minyak 2,21 ribu barel, dan ekspor ke AS 2,32 juta barel. Rusia berada di urutan delapan dengan cadangan minyak mencapai 60 miliar barel, atau 4,08 persen dari total cadangan minyak dunia. Total produksinya pada 2010 adalah 10,27 juta barel, konsumsi minyak 2,2 juta barel dan ekspor ke AS 275 ribu barel.5

4 http://www.ibtimes.com/articles/71909/20101014/iran-iraq-reserve-raise-output-opec-quota-oil-gas-petroleum-natural-gas.htm

5 http://economy.okezone.com/read/2012/03/06/213/587905/ini-15-negara-dengan-cadangan-minyak-terbesar-di-dunia

Mayoritas perusahaan minyak swasta terbesar adalah perusahaan swasta asal AS dan Eropa khususnya Inggris. Perusahaan minyak Barat tersebut mendominasi industri minyak sejak Perang Dunia II usai. Supremasi perusahaan minyak telah mengalahkan kekuasaan negara baik dilihat dari ukuran yang diciptakan secara ekonomi maupun kemampuannya dalam mengatur masalah-masalah politik.

Page 21: Free Trade Watch

20

Tabel 1 Negara Penghasil Minyak Terbesar6

Rusia

Rusia adalah negara produsen minyak terbesar di dunia, dengan produksi sekitar 10.124.000 barel per hari, menurut statistik yang dikumpulkan oleh Administrasi Informasi Energi AS. Ini merupakan hampir 12% dari pasokan minyak dunia. Rusia memiliki sekitar 60 miliar barel cadangan minyak, atau sekitar 5% dari total cadangan minyak dunia.

Arab Saudi

Arab Saudi menghasilkan kurang sedikit dari Rusia dengan sekitar 10.121.000 barel per hari atau12% dari total produksi dunia minyak. Arab Saudi memiliki cadangan minyak terbukti terbesar di dunia, dengan sekitar 265 miliar barel, atau sekitar 20% dari cadangan terbukti minyak dunia. Hal ini memungkinkan Arab Saudi untuk meningkatkan dan mengurangi tingkat produksi minyak tergantung pada kondisi pasar.

Amerika Serikat

Banyak yang mungkin tidak menyadari bahwa Amerika Serikat adalah salah satu produsen minyak besar di dunia. Amerika Serikat memproduksi sekitar 9,6 juta barel per hari. Ini merupakan 11% dari pasokan minyak dunia. Namun, Amerika Serikat tidak memiliki terlalu besar cadangan minyak terbukti. Cadangan paling dikenal sedang disedot untuk kebutuhan produksi saat ini. Amerika Serikat hanya memiliki sekitar 19,1 miliar barel cadangan terbukti, atau mewakili sekitar 1 sampai 2% dari cadangan terbukti minyak dunia. (Sebelum melompat ke sektor ini panas bumi, AS belajar bagaimana perusahaan-perusahaannya membuat uang mereka. Lihat Minyak Dan Gas Industri Primer)1..

Cina

Cina adalah produsen minyak terbesar keempat di dunia, memasok sekitar 4,27 juta barel per hari, dan sekitar 5% dari pasokan minyak dunia. Seperti Amerika Serikat, Cina tidak memiliki cadangan minyak yang luar biasa besar, hanya sekitar 20,3 miliar barel. Sama seperti Amerika Serikat, ini adalah bagian kecil dari cadangan minyak dunia - terutama yang berkaitan dengan jumlah produksi.

Iran

Iran memproduksi sekitar 4,25 juta barel minyak per hari, atau sekitar 4,9% dari pasokan minyak dunia. Iran dianggap sebagai pemain utama dalam pasar minyak dunia karena memiliki cadangan minyak terbukti yang sangat besar. Cadangan terbukti sekitar 137 miliar barel, atau 10% dari cadangan terbukti minyak dunia.

Namun secara akumulatif tetaplah kawasan timur tengah yang paling besar. Itulah mengapa negeri para nabi tersebut selalu menjadi ajang konflik, pertarungan antara perusahaan minyak raksasa dari negara-negara maju dalam menguasai sumber minyak di sana. AS, Inggris, Perancis, bertarung melawan Cina dan Rusia

6 http://www.investopedia.com/financial-edge/0311/Top-5-Oil-Producing-Countries-In-2011.aspx#axzz1t33X1jiC

Page 22: Free Trade Watch

21Edisi I - Maret 2012

untuk memperoleh kontrak atas ladang-ladang minyak timur tengah. Perusahaan nasional baik itu swasta nasional maupun perusahaan negara

dikerahkan untuk memburu sumber-sumber minyak. Sepuluh perusahaan minyak teratas saat ini adalah Exxon Mobil, Chevron, Shell, ENI, Texaco, Arco, British Petroleum, Elf Aquitaine, Repsol, dan Petro Cina. Sementara perusahaan minyak nasional yang merupakan 17 dari 20 perusahaan terkemuka di dunia diantaranya adalah Petronas, Aramco, ONGC, National Oil Corporation dan sebagainya.7

Tabel 2 Daftar 20 Perusahaan Minyak Terbesar Dunia8

Company Ticker Symbol

Market Cap

Annual Revenue (US $ million)

Exxon Mobil Corporation XOM 421.40B 370,680.00Eni S.p.A. (ADR) E 293.76B 96,395.33Royal Dutch Shell plc (ADR) RDS.A 219.35B 306,731.00PetroChina Company Limited (ADR) PTR 219.12B 70,872.94BP plc (ADR) BP 207.48B 245,486.00Chevron Corporation CVX 154.36B 198,200.00TOTAL S.A. (ADR) TOT 151.83B 158,599.68ConocoPhillips COP 105.08B 183,364.00Petroleo Brasileiro S.A. (ADR) PBR 101.24B 56,324.00Cina Petroleum & Chemical Corp. (ADR) SNP 71.17B 105,638.65Statoil ASA (ADR) STO 52.46B 60,127.97Repsol YPF, S.A. (ADR) REP 38.97B 66,023.94Suncor Energy Inc. (USA) SU 33.08B 9,493.43Imperial Oil Limited (USA) IMO 30.88B 24,057.89Petro-Canada (USA) PCZ 18.18B 14,368.60Hess Corp. HES 13.90B 23,255.00Canetic Resources Trust (USA) CNE 2.92B 534.81Petrobras Energia Participaciones SA ADR PZE 2.38B 3,458.04Atlas Energy Resources, LLC ATN 844.22M 212.03Calumet Specialty Products Partners, L.P CLMT 671.01M 1,289.07

7 http://www.oilprices.org/top-oil-companies.html8 http://www.bestwaytoinvest.com/oil-companie

Dominasi Cina yang semakin besar dalam minyak diikuti oleh dominasi dalam lapangan ekonomi lainnya. Cina sekarang telah menjadi pembeli surat utang terbesar dari AS. Ke depan, Cina bahkan dilihat sebagai satu-satunya negara yang dapat menolong krisis Eropa. Meski pada saat yang sama dana talangan oleh Cina kepada suatu negara dipandang sebagai ancaman lain yang lebih besar.

Page 23: Free Trade Watch

22

Mayoritas perusahaan minyak swasta terbesar adalah perusahaan swasta asal AS dan Eropa khususnya Inggris. Perusahaan minyak Barat tersebut mendominasi industri minyak sejak Perang Dunia kedua usai. Supremasi perusahaan minyak telah mengalahkan kekuasaan negara baik dilihat dari ukuran yang diciptakan secara ekonomi maupun kemampuannya dalam mengatur masalah-masalah politik.

Amerika Serikat dan MinyakSebagai produsen dan pengekspor minyak terbesar di dunia, AS memasok

minyak para sekutunya menuju kemenangan dalam Perang Dunia I. Pada tahun 1920, 64 persen minyak dunia diproduksi di Amerika Serikat. Penggunaan minyak bumi berkembang dalam masyarakat industri modern Amerika menyebabkan beberapa perusahaan domestik untuk mengamankan konsesi minyak di Meksiko, walaupun produksi asing tidak aktif mencari minyak setelah Perang Dunia Pertama.

Namun pada tahun 1920-an, dua kekhawatiran melanda industri minyak Amerika. Pertama, dikhawatirkan bahwa Amerika Serikat akan menguras sumber daya minyak bumi sendiri dalam waktu yang tidak terlalu jauh. Posisi Amerika Serikat dalam hal minyak, tulis Direktur US Geological Survey, “dalam keadaan bahaya.” Kedua, sementara kekurangan minyak dalam negeri tampak dekat, begitu pula kemungkinan bahwa sumber utama minyak bumi di luar Amerika Utara akan segera dikurung oleh kepentingan asing - terutama oleh British Petroleum dan Royal Shell Belanda.9

Exxon Mobil merupakan perusahaan minyak yang terbesar di dunia. Perusahaan ini mampu menghasilkan pendapatan senilai US$ 112.000 miliar 9 Mary Ann Tétreault, The Political Economy of Middle Eastern Oil

http://www.ic.ucsc.edu/~rlipsch/Pol177/Tetreault.pdf

Pertarungan dalam industri minyak jelas berhubungan dengan pertarungan dalam merebut sebuah imperium. Maju dan merosotnya sebuah imperium pada akhirnya masih ditentukan oleh minyak. Kondisi semakin merosotnya imperium AS sekarang menggambarkan situasi yang sama dengan pengambilalihan dominasi Inggris oleh AS di masa lalu. David Harvey menjelaskan seiring jatuhnya suatu imperium maka pada momen yang sama muncul proklamasi di depan publik akan kelahiran suatu imperium yang lainnya.

Page 24: Free Trade Watch

23Edisi I - Maret 2012

(2011), meningkat dibandingkan 2010 sebesar US$ 86.075 miliar. Pendapatan bersih Exxon sebesar US$ 41.060 miliar (2011), meningkat dari US$ 30.460 miliar (2010). Perusahaan ini mempekerjakan lebih dari 82 ribu orang (2011).10 Perusahaan yang berusia 125 tahun ini dahulu bernama Esso dan Mobil. Total investasinya selama lima tahun terakhir lebih dari US$ 116.000.000.000. Di antara investasi unggulan tersebut adalah posisi areal baru di Argentina dan Indonesia. Di Indonesia pada awal 2011, Exxon memperoleh kontrak untuk mengeksplorasi 700.000 hektar di Kalimantan. Pada akhir tahun 2011, areal eksplorasi Exxon mencapai 61 juta hektar di 32 negara.

Sumber Exxon menyebutkan perusahaan ini menyumbang sekitar US$ 72 miliar untuk ekonomi AS pada tahun 2011, dengan rincian US$ 29 miliar untuk investor dalam bentuk dividen dan pembelian kembali saham, US$ 19 milyar pada barang dan jasa yang berhubungan dengan fasilitas produksi di AS, seperti manufaktur dan kantor, termasuk gaji 30.000 lebih karyawan AS, dan sebesar US$ 12 milyar bagi belanja modal. Selanjutnya adalah Chevron, perusahaan minyak asal AS yang beroperasi di 20 negara di luar AS dan merupakan salah satu di antara perusahaan minyak terbesar yang dimiliki negara tersebut.

Industri minyak dan gas merupakan kekuatan utama ekonomi AS. Industri minyak dan gas bumi memberikan kontribusi signifikan terhadap perekonomian AS sebagai salah satu usaha dan pembeli barang terbesar di negara itu. Bahkan dalam krisis ekonomi, bisnis minyak dan gas alam Amerika terus memberikan pekerjaan yang besar, pendapatan pemerintah dan pertumbuhan investasi bagi jutaan orang Amerika. Keadaan ini mendorong Washington untuk terus memberikan stimulus ekonomi. Tidak tanggung-tanggung negara tersebut memberikan stimulus energi hingga US$ 476 miliar (2010), nilai yang hampir serata dengan PDB Indonesia saat itu.11

10 2011 Financial & Operating Review, http://www.exxonmobil.com/Corporate/files/news_pub_fo_2011.pdf11 http://energytomorrow.org/economy#/type/all

Page 25: Free Trade Watch

24

Tabel 3Industri Minyak dan Gas Alam Amerika Serikat dalam Angka12.

9.2 juta Jumlah orang yang langsung maupun tak langsung dipekerjakan oleh industri minyak dan gas alam (migas) AS.

1.4 juta Jumlah pekerjaan yang dapat diciptakan dalam industri migas pada tahun 2030 dengan kewenangan pemerintah untuk memperluas akses pada sumberdaya alam di dalam negeri.

U$86 juta Jumlah pembayaran harian perusahaan kepada pemerintah federal dalam bentuk pembayaran, sewa dan bonus.

U$100 milyar Jumlah yang dibayarkan industri migas kepada pemerintah federal dalam bentuk pembayaran bunga, royaliti dan sewa produksi sejak tahun 2000.

20% Persentase pertumbuhan permintaan energi AS dari sekarang hingga 2035.

U$266 milyar Jumlah modal yang diinvestasikan industri migas dalam berbagai proyek baru di AS pada tahun 2010.

U$176 milyar Jumlah upah yang dibayarkan pada para pekerja AS tahun 2010, termasuk manfaat dan pembayaran keuntungan kepada para pemegang saham industri migas.

U$35 milyar Jumlah deviden yang didistribusikan kepada para pemegang saham Amerika.

http://www.exxonmobilperspectives.com

Perang Minyak dimulai Sebuah sumber menyebutkan bahwa Exxon Mobil bukan lagi produsen minyak

terbesar di dunia. Untuk pertama kalinya, posisinya diambil alih oleh Petro Cina, sebuah perusahaan yang diciptakan oleh pemerintah Cina untuk mengamankan lebih banyak minyak bumi dalam memasok perekonomian negeri Tirai Bambu yang sedang booming tersebut.13

BBC news.com (29 Maret 2012), memberitakan bahwa produksi perusahaan Cina mencapai 886.100.000 barel pada tahun lalu - setara dengan 2.430.000 barel per hari. Sedangkan Exxon pada bulan Januari, memproduksi 2,3 juta barel per hari.14 Selain itu Exxon memiliki market capitalisation sebesar US$ 400 miliar (£250 miliar), sedangkan PetroChina’s sebesar US$280 miliar. Dengan demikian 12 http://www.exxonmobilperspectives.com/2012/02/29/a-72-billion-contribution-to-the-u-s-economy-in-2011/13 http://www.theglobeandmail.com/globe-investor/petrochina-overtakes-exxon-as-top-oil-producer/

article2385966/14 http://www.bbc.co.uk/news/business-17556938

Page 26: Free Trade Watch

25Edisi I - Maret 2012

perusahaan Cina telah semakin unggul. Perusahaan Cina telah berkembang pesat selama dekade terakhir dari berbagai

lapangan-lapangan minyak tua Cina dan pendapatan (outspending) dari perusahaan Barat sebagai hasil akuisisi cadangan minyak bumi di berbagai tempat seperti Kanada, Irak dan Qatar.

Selain itu posisi produksi minyak Exxon juga tertinggal dari Rosneft, perusahaan energi Rusia, sebagaimana diungkapkan statesman.com.15 Kondisi ini merupakan ancaman serius terhadap dominasi AS dalam penguasaan minyak global. Berbagai kritik menyebutkan bahwa perusahaan minyak AS terlalu sibuk membuat uang melalui pasar keuangan ketimbang meningkatkan produksi.

PetroChina juga telah membeli dan memperoleh cadangan baru di Irak, Australia, Afrika, Qatar dan Kanada. Sejak 2010, akuisisi perusahaan telah mencapai US$ 7 miliar, sekitar dua kali lebih banyak dibandingkan Exxon, menurut penyedia data Dealogic.

Bahkan beberapa perusahaan Cina lainnya telah membangun perjanjian dengan berbagai negara di dunia. Jumlah total akuisisi oleh perusahaan-perusahaan energi Cina melonjak dari kurang dari US$ 2 milyar antara tahun 2002 dan 2003 menjadi hampir US$ 48 miliar pada tahun 2009 dan 2010, menurut Badan Energi Internasional. Perusahaan ini bahkan membayar di atas rata-rata industri untuk mendapatkan transaksi tersebut.

Pada tahun 2005, misalnya, CNOOC Ltd, sebuah perusahaan yang sebagian besar sahamnya dimiliki oleh pemerintah Cina mencoba untuk membeli perusahaan minyak Unocal Amerika. Anggota parlemen AS bekerja untuk memblokir kesepakatan itu, meminta Presiden Bush untuk menyelidiki peran pemerintah pusat Cina dalam proses tersebut. Chevron Corp akhirnya membeli Unocal sebesar US$ 17,3 miliar.

Chris Kahn dalam ASSOCIATED PRESS, menyatakan "Ada resistensi terhadap investasi Cina dalam minyak dan gas di (AS) " kata analis Morningstar Robert Bellinski. “Ini seperti perlakuan terhadap Jepang pada tahun 1980an. Orang-orang berpikir mereka akan menguasai kita. Mereka akan membeli semua sumber daya kami. Itu tidak mungkin terjadi. Ini tidak masuk akal mengekspor minyak dari konsumen minyak terbesar di dunia.”

Induk PetroChina, Cina National Petroleum Corp, misalnya, telah menghabiskan jutaan dolar di Sudan untuk menyediakan jalan raya, fasilitas medis dan bus antar-jemput untuk orang tua. Perusahaan minyak biasanya tidak melakukan itu. Semua itu meningkatkan biaya bisnis dan meminimalkan keuntungan bagi pemegang

15 http://www.statesman.com/business/chinese-giant-surpasses-exxon-for-top-spot-in-2270766.html

Page 27: Free Trade Watch

26

saham.Pada tahun 2009 dan 2010, margin laba PetroChina untuk eksplorasi dan usaha

produksi hanya sekitar dua pertiga yang dari Exxon Mobil. Harga sahamnya telah naik kurang dari 1 persen, dalam satu tahun terakhir, dibandingkan dengan 3,7 persen kenaikan saham Exxon Mobil Corp. “Anda harus bertanya pada diri sendiri: Apa tujuan dari PetroChina” kata Bellinski. “Ini untuk bahan bakar Cina itu saja. Meskipun mereka adalah perusahaan publik, saya sangat skeptis bahwa mereka memiliki kepentingan dalam penciptaan nilai pemegang saham.”

Namun faktanya dominasi Cina yang semakin besar dalam minyak diikuti oleh dominasi dalam lapangan ekonomi lainnya. Cina sekarang telah menjadi pembeli surat utang terbesar dari AS. Ke depan, Cina bahkan dilihat sebagai satu-satunya negara yang dapat menolong krisis Eropa. Meski pada saat yang sama dana talangan oleh Cina kepada suatu negara dipandang sebagai ancaman lain yang lebih besar.

Pertarungan Merebut Imperium Pertarungan dalam industri minyak jelas berhubungan dengan pertarungan

dalam merebut sebuah imperium. Maju dan merosotnya sebuah imperium pada akhirnya masih ditentukan oleh minyak. Kondisi semakin merosotnya imperium AS sekarang menggambarkan situasi yang sama dengan pengambilalihan dominasi Inggris oleh AS di masa lalu.

David Harvey menjelaskan seiring jatuhnya suatu imperium maka pada momen yang sama muncul proklamasi di depan publik akan kelahiran suatu imperium yang lainnya.16 Harvey mencontohkan merosotnya imperium Inggris dan menanjaknya reputasi AS dimulai oleh upaya Inggris dan Perancis merebut kembali terusan Suez dengan mengobarkan perang terhadap Nazer (1956). Itulah yang terjadi pada saat kejatuhan Imperium Inggris, dan cikal bakal imperium AS. Dalam beberapa dasawarsa terahir AS tidak malu-malu menunjukkan dirinya sebagai suatu imperium. Perang melawan terorisme telah mendorong AS masuk melakukan ekspansi ke Afganistan, Irak, dan mungkin akan meluas kemana-mana, dimasa depan Iran dipropagandakan sebagai tempat sebenarnya dimana musuh AS berada.

Max Boot, seorang editor wall street Journal, sebagaimana dikutip David Harvey berpendapat bahwa dosis tertentu imperialisme AS mungkin merupakan jawaban terbaik atas terorisme. AS harus lebih ekspansif, katanya, Afganistan dan negeri bermasalah lainnya saat ini membutuhkan semacam pemerintahan asing yang tercerahkan seperti yang dibangun oleh orang-orang Inggris di India.16 David Harvey, Imperialisme, IGJ, 2010.

Page 28: Free Trade Watch

27Edisi I - Maret 2012

Nafsu imperium inilah yang sesungguhnya berada dibalik penjelasan penyerangan terhadap Irak. Perang ditengah kritikan yang begitu luas, penolakan Perancis dan Jerman, dan ditentang Cina dan Rusia. Namun Bush tetap bersikeras dengan lebih banyak buih-buih retorika, informasi menyesatkan untuk membenarkan suatu perang imperialistik. Apa yang ada dibalik tindakan itu, suatu kehendak merebut lebih banyak sumber energi minyak.

Demikian halnya juga kudeta yang dilancarkan terhadap Chaves, April 2002, yang kemudian disambut dengan kegembiraan oleh Washington, editorial New York Times. Kudeta yang gagal karena tiba-tiba publik Amerika Latin teringat kudeta 11 September 1973 di Chili, yang menggantikan pemerintahan sosialis Alende dengan Jenderal Auguste Pinocet. Kudeta kumudian dimentahkan oleh Chaves tiga hari kemudian, dan Chaves kembali ke tampuk kekuasaan. Euforia AS kemudian berubah menjadi penyangkalan atas keterlibatannya dalam peristiwa itu. Minat Imperium AS jelas didasarkan pada kepentingan bahwa Venezuela adalah negara yang kaya minyak.

Namun sekarang perekonomian AS semakin merosot. Krisis keuangan 2008 lalu telah memukul negara tersebut dengan telak. Negara AS telah mengeluarkan uang ratusan miliar dolar rupiah untuk membailout perusahaan yang bangkrut. Akibatnya sekarang negara AS terpaksa harus mengambil utang luar negeri yang besar. Sementara utang saat ini telah melebihi PDB AS.

Satu-satunya andalan AS adalah dominasinya atas minyak di seluruh dunia. Namun agresifnya perusahaan nasional Cina dalam menguasai lapangan minyak di Timur Tengah, Rusia, dan Asia Tenggara telah meningkatkan dominasi Cina dalam produksi. Untuk menguasai minyak pemerintah Cina rela mengeluarkan uang yang sangat besar, termasuk melobi pemerintah Arab Saudi. Cina dapat menjadi sebuah imperium baru, dan imperium tersebut pondasinya adalah penguasaan energi khususnya minyak.***

Page 29: Free Trade Watch

28

Utang Bank Dunia yang Salah Kaprah

(Analisis Terhadap Proyek Pembangunan Pembangkit Geothermal dan Bantuan Langsung Tunai )

GLOBALISASI

28

Rika Febriani (Indonesia for Global Justice)

Kantor Pusat Bank Dunia

Page 30: Free Trade Watch

29Edisi I - Maret 2012

Indonesia telah menjadi negara penghasil gas dan minyak bumi terbesar di wilayah Asia Tenggara dan di dunia. Kondisi topografi dan luasnya wilayah Indonesia telah membuat asing menjadi tergiur untuk mengeksploitasi bumi

Indonesia. Besarnya potensi minyak bumi dan gas ditambah dengan aturan dari Pemerintah yang dengan mudah dapat “diselewengkan” oleh kepentingan investor asing telah membuat perusahaan multi-nasional yang bergerak di bidang sumber daya minyak bumi dan gas melihat berbagai peluang untuk mengeksploitasi secara maksimal. Pemerintah Indonesiapun tidak segan-segan meminta utang dengan dalih memberikan bantuan kepada World Bank (Bank Dunia) untuk mengeluarkan sumber daya minyak bumi dan gas tersebut ke permukaan bumi.

Sementara itu, Indonesia sebagai negara berkembang mengalami kenaikan tingkat konsumsi minyak dan gas yang cukup tinggi. Kenaikan jumlah kendaraan di Indonesia meningkat dari 12 juta menjadi hampir 21 juta antara tahun 1995 sampai 2001. Sepeda motor (yang terdiri dari 71% dari total kendaraan) terhitung meningkat sampai 5 juta. Sector transportasi diperkirakan menghabiskan sekitar 60% dari permintaan minyak antara tahun 2005-2007.1

Dengan habisnya sumber daya alam khususnya minyak bumi dan kenaikan permintaan domestic, Indonesia yang semula bisa mengekspor minyak sekarang menjadi importir minyak bersih. Ketergantungan terhadap import ini menyebabkan harga minyak bumi kita bergantung kepada harga minyak global. Pemerintah dihadapkan kepada persoalan antara memenuhi kebutuhan energi di dalam Negeri (dengan standar harga yang rendah) dan permintaan ekspor dengan standar harga New York Exchange yang tinggi. Pemerintahpun terpaksa mengambil kebijakan yang tidak memihak kepada warga (non-populis) dengan menaikkan harga BBM (mengurangi subsidi BBM) pada tahun 2005 dan 2008 dengan alasan pemberian subsidi telah memberatkan APBN. Padahal menurut pernyataan Kwik Kian Gie2, 25% dari APBN kita dihabiskan untuk membayar utang kepada World Bank (Bank Dunia).

Beberapa utang dari Bank Dunia yang sedang gencarnya dilakukan menyangkut kebijakan energi di Indonesia adalah pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi sebagai suatu program jangka panjang energi alternatif dan pemberian bantuan langsung tunai (BLT) sebagai program jangka pendek antisipasi dampak pengurangan subsidi bagi masyarakat miskin. Patut dilihat moral hazard dibalik pinjaman tersebut sehingga tidak menambah daftar beban APBN melalui utang dan dijadikan oleh pemerintah sebagai alasan untuk mencabut subsidi BBM yang justru malah memberatkan masyarakat.1 Peluang dan Kebijakan Pengurangan Emisi ; Sektor Transportasi, Dewan Nasional Perubahan Iklim, Bank Dunia,

20102 Kwik Kian Gie, Kontroversi kenaikan Harga BBM, Seminar oleh Institut Bisnis dan Informatika Indonesia (IBII),21

Maret 2012

Page 31: Free Trade Watch

30

1. Pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi (geothermal)

Geothermal merupakan sumber energi alternatif baru menggantikan batu bara yang diramalkan akan habis dalam waktu seratus tahun ke depan. Selain itu, diversifikasi energi di Indonesia yang lebih bertumpu kepada batubara menjadikan tingkat ketergantungan terhadap batubara menjadi tinggi. Batubara juga dianggap tidak ramah lingkungan karena dalam jumlah tertentu dapat menimbulkan gas emisi yang tinggi dan proses eksplorasi yang menimbulkan kerusakan lingkungan. Berbeda dengan panas bumi yang lebih ramah lingkungan dan menghasilkan gas emisi yang rendah. Selain itu, panas bumi harganya lebih stabil dibandingkan dengan sumber energi lain sehingga lebih tahan terhadap volatilitas harga pasar.

Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki cadangan sumber panas bumi terbesar di dunia tetapi sayangnya kurang dari 4% yang baru digarap oleh pemerintah Indonesia.3 Untuk eksplorasi panas bumi ini, dibutuhkan investasi yang sangat besar. Bank Dunia sebagai lembaga pendanaan melihat adanya peluang ini. Utang yang diberikan oleh Bank Dunia berupa pinjaman untuk ekspansi awal dan reformasi kebijakan institusional kepada Pertamina dan Kementrian Energi dan Sumber daya Mineral.

Bank Dunia memberikan utang $300 juta sebagai bagian dari Geothermal Clean Energy Investment Projects. Dana tersebut berasal dari IBRD melalui program middle income window of the Bank Dunia ($175 juta) dan Clean Technology Fund ($125 juta). Selain itu, Proyek ini akan memberikan utang kepada Pertamina Geothermal Energy (PGE) untuk membangun pembangkit geothermal 150 Megawatt di dua tempat di Indonesia yaitu: Sumatra dan Sulawesi sampai dengan tahun 2015.

Dalam jangka panjang, Indonesia meminta kepada Bank Dunia untuk membangun pembangkit listrik sebesar 4,000 megawatt dan hal ini disupport penuh oleh Bank Dunia. Program ini berada dibawah payung Geothermal Power Generation Development Project yang disetujui pada tahun 2008 dan dibawah Program Environment Facility grant untuk Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral. Bank Dunia juga memberikan bantuan keuangan dibawah program Indonesia Lahendong Geothermal Project.

3 http://web.worldbank.org/WBSITE/EXTERNAL/COUNTRIES/EASTASIAPACIFICEXT/INDONESIAEXTN/0,,contentMDK:22969465~pagePK:1497618~piPK:217854~theSitePK:226309,00.html

Page 32: Free Trade Watch

31Edisi I - Maret 2012

Bagan 1Alokasi prospek sumberdaya panas bumi di Indonesia4

Tetapi apa sebenarnya yang diharapkan dengan pembangunan Pembangkit panas bumi ini? Dengan besarnya panas bumi yang dimiliki oleh Indonesia yaitu sekitar 40% dari cadangan panas bumi dunia (28,000 Megawatt) atau setara dengan 1,1 juta barrel minyak per hari, diharapkan pemerintah Indonesia dapat menjual energi ini dengan harga murah kepada pasar internasional.

Energi panas bumi adalah sumber energi tidak terbatas dan Indonesia yang terletak di gugusan sirkum pasifik mempunyai potensi ini. Tidak banyak wilayah di dunia yang memiliki potensi ini. Pada awal tahun 1960an ditemukan di wilayah Geysers, California Uatara dan pada tahun 1970an ditemukan di Luzon, Philipines dan baru-baru ini di hampir seluruh wilayah kepulauan Indonesia memiliki panas bumi. Pada lokasi ini, berdasarkan teori geologis, patahan yang terdapat di dalam kerak bumi memungkinkan batuan cair melonjak cukup dekat dengan permukaan bumi untuk memanaskan air bawah tanah dan menghasilkan panas bumi.

PGE sendiri adalah perseroan yang sangat agresif, dengan total produksi 1.932 Mwe (ekuivalen 77.700 barrel minyak per hari) pada tahun 2016. Jika target tersebut

4 Project Information Document (PID) Appraisal Stage, Report No : AB 5963, World Bank

Beberapa utang dari Bank Dunia yang sedang gencarnya dilakukan menyangkut kebijakan energi di Indonesia adalah pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi sebagai suatu program jangka panjang energi alternatif dan pemberian bantuan langsung tunai (BLT) sebagai program jangka pendek.

Pengembangan dana hibah dibawahDekrit Presiden 45/1991

Undang-Undang Geothermal 27/2003

Pembangkit yang Dihasilkan &

dikemb 747MW

Potensi yang Tidak

tereksploitasi1,101MW

Pembangkit yang dihasilkan Dan dikembangkan

305MW

Potensi yang tidak

tereksploitasi2,368MW

Lapangan yang dipertimbangkan 2,368MW

Kontrak panas bumi yang diberikanoleh sektor swasta

1,848 MW

Kontrak panas bumi yang diberikan kepada sector Publik

2,673 MW

Daerah yang tidak dapat dialokasikan Pengembangan panas bumi

5,000 MW

Total4,500 MW

Page 33: Free Trade Watch

32

di atas tercapai, maka PGE akan menyumbang penurunan karbon 11,21 juta ton karbon dioksida per tahun sejak tahun 2016. Tetapi apa moral hazard dibalik itu? Sumber daya geothermal adalah sumberdaya yang wilayahnya banyak terdapat di daerah hutan konservasi. Contohnya di wilayah Sumatra Barat5, dari 16 titik yang memiliki potensi. Sebanyak 12 titik terdapat di wilayah kerja pertambangan (WKP) Gunung Talang yang merupakan wilayah hutan konservasi.6 Inilah kendala yang harus dihadapi oleh pemerintah terkait dengan pembangunan dan pengembangan panas bumi di tanah air. Setidaknya ada beberapa birokrasi yang harus dilalui oleh investor asing untuk dapat mengeksplorasi minyak bumi ini, tetapi bisa di bypass melalui utang yang diberikan oleh Bank Dunia.

Seperti yang diakatakan oleh Presiden Direktur PT Pertamina Geothermal Energy Slamet Riadhy7: dibutuhkan kebijakan fiskal berupa pembebasan bea masuk dan pajak dalam rangka impor supaya pemerintah mempermudah perizinan pembangunan panas bumi yang terkendala lahan konservasi.

2. Pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT)Kenaikan harga BBM di Indonesia merupakan kebijakan yang tidak populis

yang harus dilakukan oleh pemerintah. Apalagi pemilu 2014 akan segera dilaksanakan. Partai koalisi yang mendukung kenaikan BBM dipastikan akan kehilangan pendukungnya apabila menaikkan harga BBM di tengah penderitaan yang dihadapi oleh masyarakat. Pemerintah yang menaikkan BBM akan dicatat dalam sejarah sebagai pemerintah yang menindas dan membebankan rakyatnya.

Tetapi selalu ada jalan bagi pemerintah melakukan pertolongan pertama kepada masyarakatnya dibalik kedok “melindungi akibat dampak pencabutan subsidi” melalui program Bantuan Langsung Tunai (BLT). Walaupun bannyak pihak mengkritisi kebijakan ini sebagai “obat” sementara kepada masyarakat tetapi dalam hitungan ekonomi makro, BLT adalah kebijakan yang paling logis dan minimal dalam menolong masyarakat akibat dicabutnya subsidi. Darimana uang BLT ini berasal? Tidak lain dan tidak bukan adalah utang dari Bank Dunia.8

Di dalam laporan Bank Dunia, BLT ini disebut dengan Unconditional Cash Transfer. Bank Dunia memberikan utang semenjak tahun 2004 dilanjutkan dengan tahun 2005 dan 2008 sejalan dengan kenaikan BBM. Tetapi berangsur-angsur dikurangi karena Indonesia dianggap sudah menjadi middle-income country.

Program BLT diklaim oleh Bank Dunia berhasil di negara berpenghasilan

5 http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/01/30/02315625/Baru.Empat.WKP.Energi.Panas.Bumi.di.Sumbar6 7 http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/03/20/17084060/Pengembangan.Panas.Bumi.Terkendala.Harga.8 Report World Bank No 67324, BLT Temporary Unconditional Cash Transfer.

Page 34: Free Trade Watch

33Edisi I - Maret 2012

menengah seperti di Amerika Latin.9 Indonesia dilihat sebagai negara yang berhasil dalam memberikan BLT kepada masyarakat miskin tanpa mengalami protes yang berarti dari masyarakat.10 Sungguh ini merupakan laporan yang menyesatkan. Pada tahun 2006 banyak terjadi kerusuhan di seluruh wilayah di Indonesia ketika pembagian BLT ini berlangsung. Hal ini disebabkan data yang dikeluarkan oleh BPS tidak cocok dengan saat BLT dibagikan. Contoh: data masyarakat miskin yang disediakan oleh BPS tahun 2005 tidak sesuai dengan saat pembagian BLT pada tahun 2006. Masyarakat juga mengeluhkan lambannya pemberian BLT setelah kenaikan harga mereka rasakan jauh sebelum harga BBM ini dinaikkan.

Dalam Laporan Bank Dunia No. 67324 mengenai BLT, Lembaga-lembaga yang menjadi penyalur BLT adalah Biro Pusat Statistik (BPS), PT.Pos Indonesia dan Kementrian Sosial. Ketiga lembaga ini telah menghabiskan 99% dari budget BLT, dan Kemenkominfo sebagai pihak yang mensosialisasikan BLT hanya kurang dari 1% dari budget utang. Padahal laporan yang disebarkan oleh Bank Dunia yang menyatakan keberhasilan BLT di Indonesia mengatakan bahwa berkat sosialisasi yang bagus program ini tidak menuai protes dari masyarakat.

Jumlah bantuan yang diberikan oleh Bank Dunia terkait dengan program BLT:Tahap I: 2005-2006 = Rp.1,343,890 jutaTahap II: 2008-2009 = Rp. 938,433 jutaDari pembagian BLT yang hanya di 10 kota di Indonesia memperlihatkan

bahwa program ini tidak ditujukan untuk pemerataan dampak antisipasi terhadap kenaikan BBM. Kota-kota yang diberikan bantuan hanyalah: DKI Jakarta, Bandung, Semarang,Daerah Istimewa Yogyakarta, Surabaya, Medan, Palembang, Banjarmasin, Makassar dan Kupang. Lantas bagaimana dengan daerah lain yang juga terkena dampak kenaikan BBM? Provinsi lain, seperti Irian Jaya tidak tersentuh oleh pembagian BLT, di harga normal sebelum kenaikan BBM pun,

9 http://web.worldbank.org/WBSITE/EXTERNAL/TOPICS/EXTSOCIALPROTECTION/EXTSAFETYNETSANDTRANSFERS/0,,contentMDK:20615138~menuPK:282766~pagePK:148956~piPK:216618~theSitePK:282761,00.html

10 Phasing out subsidies, laporan World Bank, http://www.rru.worldbank.org/PublicPolicyjournal, ESMAP 2006.

Tetapi apa sebenarnya yang diharapkan dengan pembangunan Pembangkit panas bumi ini? Dengan besarnya panas bumi yang dimiliki oleh Indonesia yaitu sekitar 40% dari cadangan panas bumi dunia (28,000 Megawatt) atau setara dengan 1,1 juta barrel minyak per hari, diharapkan pemerintah Indonesia dapat menjual energi ini dengan harga murah kepada pasar internasional.

Page 35: Free Trade Watch

34

BBM bisa mencapai harga dua kali lipat dari standar harga di Ibukota. Program BLT ini memang hanya ditujukan sebagai obat sementara terhadap dampak kenaikan harga BBM dan ironisnya, dimanfaatkan oleh rezim penguasa untuk “membayar” masyarakat menjelang Pemilihan Umum 2014.

Dengan ketidakefektifan program ini, seharusnya pemerintah memberikan bantuan yang lebih merangsang masyarakat untuk lebih produktif sehingga dapat bertahan secara perekonomian apalagi dananya juga didapat dari utang kepada Bank Dunia. Pihak yang rentan terhadap kenaikan BBM seperti: masyarakat miskin perkotaan, petani berlahan minim dan nelayan membutuhkan “obat” jangka panjang, bukan bantuan langsung sementara masyarakat (sekarang namanya malah diganti menjadi BLSM) dan diharapkan dapat meningkatkan ketahanan ekonomi masyarakat.

KesimpulanDua buah proyek jangka panjang dan jangka pendek diatas memperlihatkan

bahwa hutang yang diberikan oleh Bank Dunia tidaklah berjalan semulus yang direncanakan.

Untuk pembangunan proyek pembangkit geothermal, walaupun pemerintah telah memfasilitasi investor asing dengan kemudahan birokrasi dan mengorbankan lahan konservasi, pengimplementasian proyek ini berjalan sangat lambat, proyek ini sudah dimulai dari tahun 1991 dan sampai batasnya pada tahun 2015, tidak tampak bahwa proyek ini sudah akan tahap penyelesaian.

Ketidakefektifan lainnya adalah program BLT yang ternyata tidak merangsang masyarakat menjadi lebih produktif atau tidak juga meningkatkan ketahanan ekonomi, ibarat pepatah : “jauh panggang dari api”, proyek ini masih akan terus dilaksanakan, walaupun berdasarkan pengalaman sebelumnya tidak efektif.

Tidak adanya kesinambungan dan perencanaan yang matang dari kedua proyek di atas hanya akan menambah daftar utang bangsa ini tanpa ada hasil yang bisa dirasakan oleh masyarakat. Jangan-jangan apa ini yang diinginkan oleh pemerintah: bermain-main dengan utang dan mendapatkan keuntungan sesaat dari proyek-proyek tersebut? ***

Program BLT diklaim oleh Bank Dunia berhasil di negara berpenghasilan menengah seperti di Amerika Latin. Indonesia dilihat sebagai negara yang berhasil dalam memberikan BLT kepada masyarakat miskin tanpa mengalami protes yang berarti dari masyarakat. Sungguh ini merupakan laporan yang menyesatkan.

Page 36: Free Trade Watch

35Edisi I - Maret 2012 35Edisi I - Maret 2012

Page 37: Free Trade Watch

36

Rezim Internasional dan Intervensi ADB dalam Kebijakan Energi Indonesia

REGIONAL

36

Rachmi Hertanti (Indonesia for Global Justice)

Page 38: Free Trade Watch

37Edisi I - Maret 2012

“Prepare and publish a timetable with fixed milestones to phase out subsidized petroleum fuel prices (Mempersiapkan dan mempublikasikan jadwal dengan pencapaian tertentu untuk menghapuskan secara bertahap BBM bersubsidi)”.

Cuplikan kalimat diatas merupakan rekomendasi yang dikeluarkan oleh International Energy Agency (IEA) dalam Energy Policy Review of Indonesia yang dikeluarkan pada tahun 2008 dalam rangka menganalisis

beberapa kebijakan energi Indonesia yang dianggap kurang mendukung agenda kepentingan asing di Indonesia.

Pada tanggal 1 April 2012 pemerintahan SBY-Boediono akan menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Kenaikan ini merupakan kesekian-kalinya dalam kebijakan pemerintahan Indonesia. Alasan utama Pemerintahan SBY-Boediono dalam menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) karena kenaikan harga minyak mentah internasional yang hingga bulan Maret 2012 sudah mencapai US$ 125,71/barrel. Kenaikan tersebut akan meningkatkan subsidi premium dan solar membengkak dan menyumbang pada defisit APBN. Oleh karena itu, kenaikan BBM merupakan salah satu cara pemerintah untuk mengurangi subsidi BBM.

Proses perjalanan pengurangan subsidi BBM dibarengi dengan kebijakan menaikkan harga BBM oleh pemerintah yang dimulai sejak tahun 2003. Berdasarkan UU No.22 Tahun 2001, penghapusan subsidi BBM ditargetkan selesai pada tahun 2005. Namun, karena besarnya tanggapan penolakan rakyat, pada akhirnya di awal tahun 2005 Menteri ESDM mengumumkan akan melakukan liberalisasi pasar domestik di sektor Migas secara bertahap selama 5 (lima) tahun ke depan dan ditujukan sepenuhnya untuk menghapuskan BBM bersubsidi pada tahun 2010. Kenaikan harga BBM sempat tertunda setelah terjadi kenaikan beberapa kali, yaitu pada tahun 2009, di mana setelah tahun 2008 dinaikan kemudian pemerintahan SBY menurunkan kembali untuk kepentingan politiknya dalam pemilihan umum tahun 2009.

Dari kertas kerja yang dikeluarkan OECD (Organization for Economic Co-operation and Development) tahun 2010 disebutkan bahwa komitmen pemerintah atas tekanan asing dalam hal untuk menghapus subsidi energi BBM disampaikan di dalam forum G-20 di mana target penghapusan subsidi BBM akan selesai pada tahun 2014 (masa akhir jabatan SBY sebagai presiden) dengan rata-rata pengurangan subsidi BBM sebesar 10% - 15% per tahun secara bertahap sejak tahun 2011 hingga 2014.1

1 OECD Working Paper, “Phasing Out Energy Subsidies in Indonesia”, 2010: 19.

Page 39: Free Trade Watch

38

Bagan 1Kenaikan Harga BBM 2004-2012 (dalam Rupiah) per liter

Sumber: Kementerian ESDM

*Asumsi kenaikan harga BBM per 1 April 2012.

Deregulasi terhadap sektor migas telah menjadikan sektor ini menjadi liberal. Liberalisasi sektor tersebut semakin terlihat dengan mulai masuknya Shell dan Petronas pada tahun 2004 ke pasar distribusi dan retail produk bensin. Selain itu, beberapa perusahaan asing yang juga siap untuk masuk ke pasar distribusi dan retail produk bensin adalah British Petroleum dan TOTAL. Namun, perusahaan asing tersebut masih terbatas dalam melakukan penjualan produk bensin non-subsidi yaitu bensin dengan oktan 92 dan 95. Pertamina masih sangat diuntungkan dengan posisi ini yang mendominasi penjualan bensin bersubsidi.

Produk bensin non-subsidi dengan kualitas bensin beroktan 92 dan 95 memiliki harga yang disesuaikan dengan harga pasar. Acuan harga pasar produk tersebut berdasarkan pada Mid Oil Platt Singapore (MOPS) yang ditambah dengan harga penyesuaian pasar dan pajak pertambahan nilai.

Konsumsi BBM di Indonesia masih diungguli pada penggunaan oleh sektor transportasi yang pada tahun 2006 mencapai 31.350 kiloliter2 dan pada saat ini angka tersebut telah meningkat. Dari data tersebut maka pasar BBM sektor transportasi merupakan peluang dan potensi dalam investasi retail dan distribusi BBM. Namun, investor asing masih melihat bahwa dari seluruh transportasi, penggunaan bensin bersubsidi tergolong sangat besar dibandingkan penggunaan bensin beroktan 92 dan 95. Oleh karena itu, kondisi ini dianggap kurang bersaing, dan harga bensin bersubsidi dianggap mendistorsi pasar.

2 IEA (International Energy Agency) Report, “Energy Policy Review of Indonesia”, 2008: 127

Page 40: Free Trade Watch

39Edisi I - Maret 2012

Dari situasi tersebut, maka salah satu agenda penghapusan subsidi BBM oleh pemerintah ditujukan untuk menghilangkan monopoli Pertamina dan menstabilkan harga pasar sehingga bensin beroktan 92 dan 95 bisa memiliki pasar yang sangat kompetitif jika dibandingkan dengan bensin bersubsidi seperti premium dan solar. Hal ini sebagaimana saran dari IEA dalam dokumennya tentang Energy Policy Review of Indonesia yang menyatakan:

“remove the fuel subsidies and Pertamina’s monopoly PSO (Public Service Obligation) while ensuring the security of the petroleum distribution and marketing network” (IEA, 2008: 136).

Namun, ada logika lain yang coba dibangun dalam program pengurangan subsidi energi di Indonesia terkait dengan pengurangan konsumsi energi fosil seperti minyak. Hal ini dapat terjawab dari analisa terhadap kebijakan energi Indonesia yang sangat dipengaruhi oleh asing melalui lembaga keuangan internasional, dimana salah satunya adalah Asian Development Bank (ADB).

Kebijakan Energi Indonesia Dalam Pengaruh ADBPada dasarnya peran ADB sangat besar di dalam pembangunan sektor energi

di Negara berkembang sejak tahun 1969. Fokus ADB dalam sektor energi lebih ditujukan pada (i) program perluasan sektor listrik (electricity sector expansion programs); (ii) intervensi dalam sektor minyak dan gas (interventions in the oil and gas sectors); (iii) peningkatan kapasitas institusi (institutional capacity building); dan (iv) reformasi sektor listrik, pemerintahan, dan peningkatan efisiensi (power sector reforms, governance, and efficiency improvements).

Peran ADB ini dijalankan dengan energy policy yang telah mengalami beberapa kali peninjauan. Kebijakan energi ADB yang dimulai sejak tahun 1981 difokuskan pada pengentasan krisis sebagai akibat dari kenaikan harga minyak (oil shock price), yang menekankan pada strategi: (1) membangun infrasturktur energi; (2) mempromosikan efisiensi energi; dan (3) membentuk pasar yang kondusif bagi investasi asing di negara berkembang.3

Akibat beberapa perubahan situasi dunia di mana telah terjadi salah-kelola dan ketidakefsienan energi di negara berkembang karena dualisme peran Negara --yaitu sebagai regulator dan pemain yang memonopoli sektor energi-- kebijakan tersebut mengalami tinjauan. Pada tahun 1995 akhirnya dikeluarkan review terhadap kebijakan enerji ADB tahun 1981 dengan strategi yang menekankan pada tindakan untuk melakukan pengurangan subsidi (reduction of subsidies); pembentukan badan pengatur yang independen (establishment of independent regulatory mechanism); dan penetapan tarif berdasarkan prinsip-prinsip 3 Policy Paper ADB, “Energy Policy”, 2009: 14.

Page 41: Free Trade Watch

40

transparansi. Pengurangan subsidi dan penetapan tarif berdasarkan prinsip-prinsip

transparansi telah dijalankan oleh Indonesia. Pada tahun 1999, ADB mengucurkan utang sebesar 380 juta Dollar AS untuk program penstrukturan listrik (Power Sector Restructuring Program), di mana beberapa bentuknya berupa penyesuaian tariff listrik dan meningkatkan peran swasta dalam sektor listrik4.

Dalam Policy Paper ADB tentang Energy Policy tahun 1995 mengeluarkan berbagai rekomendasi yang harus dijalankan oleh negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Rekomendasi tersebut adalah penswastaan dan pengkomersialan perusahaan milik negara, partisipasi sektor swasta dalam pembangunan sektor energi, pengembangan perdagangan regional dalam sektor energi, meningkatkan kemampuan manajemen sisi-permintaan (demand-side management), perlindungan lingkungan, listrik di pedesaan, dan pengembangan energi terbarukan (renewable energy)5.

Salah satu peran ADB dalam liberalisasi energi di Indonesia (sesuai dengan ADB Energy Policy 1995) adalah mendorong pemerintah untuk melakukan penswastaan terhadap beberapa perusahaan milik negara (BUMN), seperti PLN, PGN, dan Pertamina. Dalam program liberalisasi tersebut ADB mengucurkan dana hutang kepada pemerintah Indonesia sebesar US$400 Juta pada tahun 2001 yang dikucurkan dalam 3 (tiga) tahap. Pertama, pada Desember 2001 sebesar US$150 Juta; kedua, Juli 2003 sebesar US$150 Juta; dan ketiga, pada Juli 2004 sebesar US$ 100 Juta6.

Pada tahun 2006, dilakukan peninjauan kembali ADB Energy Policy 1995 yang merubah arah strategi ADB untuk negara berkembang. Tinjauan tersebut berdasarkan atas hasil konsultasi ADB dengan beberapa ilmuwan dunia mengenai global sustainable energy yang menghasilkan kesimpulan bahwa dibutuhkan satu strategi untuk menyelamatkan Asia dan Pasifik dari perubahan iklim akibat

4 ADB Completion Report, “Indonesia: Capacity Building for Establishment of a Competitive Electricity Market ”, Project Number 31604, Loan Number 1674, May 2007: 8.

5 Policy Paper ADB, “Energy Policy”, 2009: 15.6 ADB Completion Report, “Indonesia: State-Owned Enterprise Governance and Privatization Program”, Project

Number 32517, Loan Number 1866, November 2008: 7.

Pada tahun 1999, ADB mengucurkan utang sebesar 380 juta Dollar AS untuk program penstrukturan listrik (Power Sector Restructuring Program), di mana beberapa bentuknya berupa penyesuaian tariff listrik dan meningkatkan peran swasta dalam sektor listrik.

Page 42: Free Trade Watch

41Edisi I - Maret 2012

digunakannya energi fosil yang melebihi sasaran. Peninjauan kebijakan ini selesai pada tahun 2008.

ADB Energy Policy tahun 2008 menyusun strategi energi untuk negara-negara berkembang yang menekankan pada ketahanan energi (energy security), memfasilitasi masa peralihan negara berkembang pada penggunaan ekonomi rendah karbon (low carbon economy), menciptakan akses pada energi yang menyeluruh, serta untuk pencapaian misi ADB untuk menghilangkan kemiskinan di suatu Negara. Strategi tersebut dilakukan dengan menggunakan 3 (tiga) soal utama yaitu, energy efficiency and renewable energy (efisiensi energi dan energi terbarukan), energy for all (energi untuk semua, yang artinya pelistrikan masyarakat pedesaan), dan energy sector reforms, capacity building, and governance (reformasi sektor energi, peningkatan kapasitas, dan pemerintahan).

Kebijakan energi ADB tahun 2008 sangat menggambarkan bahwa ADB berada dibalik bayang-bayang investasi dalam isu perubahan iklim yang akan menguasai sumber-sumber daya baru dengan melakukan berbagai eksploitasi kembali di negara-negara berkembang. Hal ini bisa dilihat dari lembaga yang memberikan kontribusi dana untuk ADB yaitu Climate Investment Fund (CIF) sebagai salah satu dari pendonor dalam Global Climate Change Initiatives (GCCI) yang juga memberikan utang kepada Indonesia melalui ADB untuk program energi mengenai investasi dalam sumber energi terbarukan yaitu Geothermal dan biomassa yang akan dijelaskan kemudian.

Pada intinya apa yang ingin dicapai ADB dalam energy efficiency, didasari atas kebijakan IEA mengenai ketahanan energi (Energy Security) yang melihat bahwa terjadinya peningkatan percepatan permintaan terhadap energi fosil di dunia, khususnya terkait dengan perkembangan perekonomian China dan India. IEA mengeluarkan sebuah asumsi bahwa permintaan akan bahan bakar fosil (demand of fossil fuel) akan meningkat sangat signifikan dari 2006-2030 sebesar 45% dari permintaan tahun 2006, sehingga asumsi permintaan energi fosil total pada tahun 2030 akan menjadi 17 miliar ton di seluruh dunia.7 IEA melihat bahwa peningkatan permintaan energi fosil (minyak bumi) akan sangat besar di negara-negara Asia-Pasifik diiringi dengan perkembangan perekonomian di beberapa negara Asia Timur seperti Cina dan India. Ini menyebabkan penyerapan konsumsi energi fosil di negara-negara tersebut semakin meningkat akibat tingginya industrialisasi. Analisis IEA terhadap kondisi tingginya permintaan terhadap energi fosil ini akan berdampak pada emisi gas rumah kaca yang mengakibatkan terjadinya perubahan iklim (climate change).

Gambar 2 berikut merupakan asumsi peningkatan permintaan energi fosil

7 Policy Paper ADB, “Energy Policy”, 2009: 15.

Page 43: Free Trade Watch

42

hingga 2035 di mana pada tahun tersebut permintaan energi fosil sangat didominasi oleh India dan Cina sehingga melebihi permintaan dari negara-negara anggota OECD (Organization for Economic Co-operation and Development).

Gambar 2Grafik Asumsi Terhadap Peningkatan Permintaan Energi Fosil

Sumber: International Energy Agency, Response System for Oil Supply Emergencies.

Ketakutan negara-negara anggota OECD akan berkurangnya pasokan energi fosil mereka yang diakibatkan oleh terserapnya sebagian besar energi fosil ke negara-negara Asia sehingga menyulitkan mereka dalam memenuhi kebutuhannya industri, transportasi, dan militer. Selain memang terjadinya krisis energi, namun kekhawatiran negara-negara anggota OECD tersebut juga didasari atas satu kenyataan bahwa mereka merupakan peng-impor terbesar energi fosil untuk kebutuhan dinegaranya yang mencapai hingga 58% dari total keseluruhan kebutuhannya.

Hal inilah yang menjadi dasar IEA dalam mengeluarkan kebijakan mengenai Energy Security yang mengharuskan Negara-negara di dunia, khususnya Asia, untuk mengurangi konsumsi pada energi fosil. Ada beberapa strategi yang dikeluarkan oleh IEA dalam menekan jumlah konsumsi energi fosil di dunia untuk mengamankan pasokan energinya: pertama, mempengaruhi supply and demand terhadap energi fosil melalui penyesuaian harga energi di dunia sehingga berdampak pada peningkatan harga minyak di Negara-negara berkembang; Kedua, mencari sumber daya alam lain yang dapat menggantikan energi fosil untuk menambah pasokan persediaan energi di Negara-negara berkembang melalui kebijakan energi terbarukan (renewable energy) dan diversifikasi energi; ketiga, menggunakan isu perubahan iklim untuk menekan konsumsi Negara-negara dunia melalui kebijakan green economy dalam bentuk climate investment dalam sektor energi.

Page 44: Free Trade Watch

43Edisi I - Maret 2012

Langkah-langkah ini diterapkan di seluruh lembaga keuangan internasional yang dibuat sebagai international policy dan seragam serta menerapkannya ke Negara-negara berkembang yang menjadi partner mereka.

Program energy security milik IEA ini diturunkan dalam Energy Policy ADB yang kemudian mempengaruhi kebijakan energi di Indonesia dalam pembentukan Kebijakan Energi Nasional tahun 2005-2025 yang dituangkan ke dalam Peraturan Presiden No.5 tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional. Dalam Perpres tersebut diatur mengenai target dalam kebijakan energi Indonesia untuk mengurangi konsumsi minyak bumi sebanyak 20% dan menggantinya dengan energi batubara, gas bumi, panas bumi (gheothermal), biofuel, dan energi terbarukan lainnya. Strategi yang dibuat pemerintah adalah melalui penetapan harga energi (BBM dan listrik) sesuai dengan harga keekonomian (sesuai dengan harga pasar) dan diversifikasi energi melalui tindakan efisiensi energi.

Kebijakan Energi Nasional telah memberikan dampak yang cukup besar terhadap Indonesia setelah agenda liberalisasi pasar energi dilaksanakan. Kebijakan ini merupakan turunan dari International Energy Security yang mengharuskan Negara-negara berkembang membuat kebijakan yang dapat mengurangi penggunaan energi fosil dan meningkatkan penggunaan energi terbarukan.

Bagan 2Cetak biru Energi Indonesia

Sumber: CIF (Climate Investment Funds), “Clean Technology Fund Investment Plan For Indonesia”, 2010

Salah satu peran ADB dalam liberalisasi energi di Indonesia (sesuai dengan ADB Energy Policy 1995) adalah mendorong pemerintah untuk melakukan penswastaan terhadap beberapa perusahaan milik negara (BUMN), seperti PLN, PGN, dan Pertamina.

Page 45: Free Trade Watch

44

Melalui kebijakan nasional ini, telah masuk beberapa proyek ADB dalam pembangunan infrastruktur dan energi terbarukan melalui dana yang berasal dari Climate Investment Funds (CIF). Berdasarkan laporan dari IEA, sumber-sumber daya energi terbarukan belum secara maksimal digunakan dan bahkan memiliki potensi yang cukup besar untuk menjadi bahan bakar energi listrik di Indonesia.

Saat ini penggunaan energi fosil yang digunakan dalam sektor listrik sangat dominan yakni sebesar 61,7% jika dibandingkan dengan sumber energi lainnya. Menurut data dari IEA bahwa penggunaan listrik di Indonesia belum memanfaatkan energi terbarukan lainnya yang memiliki nilai potensial, hal ini bisa dilihat dari share penggunaan energi dalam ketenagalistrikan di Indonesia yang masih didominasi oleh minyak bumi.

Tabel 1Potensi Listrik Yang Dapat Dihasilkan Oleh Energi Terbarukan

Sumber: IEA, Energy Policy Review of Indonesia, 2008

RE Source Patential Installed capacity

Hydro 75.670 4 200

Geothermal 27.000 1 052

Mini/Micro hydro 450 86

Biomass 49.810 445

Solar 4.8 kWh/m2/day 12

Wind 9.290 0.6

Kebijakan Energi Nasional telah memberikan dampak yang cukup besar terhadap Indonesia setelah agenda liberalisasi pasar energi dilaksanakan. Kebijakan ini merupakan turunan dari International Energy Security yang mengharuskan Negara-negara berkembang membuat kebijakan yang dapat mengurangi penggunaan energi fosil dan meningkatkan penggunaan energi terbarukan.

Page 46: Free Trade Watch

45Edisi I - Maret 2012

Tabel 2Penggunaan Energi Dalam Ketenagalistrikan di Indonesia

Sumber: International Energy Agency – Energy Policy Review of Indonesia 2008

Ada dua tahap rencana investasi CIF yang akan dilakukan di Indonesia melalui ADB, yaitu investasi tahap I adalah investasi yang dilakukan pada dua) program yaitu: (1) pembangunan berskala besar tenaga panas bumi; dan (2) percepatan investasi pada efisiensi energi dan energi terbarukan, termasuk salah satunya adalah biomassa. Untuk tahap pertama ini dana utang yang dikucurkan adalah sebesar US$400 Juta.8

Rencana investasi CIF tahap II akan dilakukan dengan pelaksanaan proyek transportasi rendah karbon termasuk transportasi massal, Bus Rapid Transit (BRT), Cleaner Fuels, dan meningkatkan penggunaan kendaraan yang effisien. Untuk rencana investasi tahap II ini masih dibicarakan mengenai besaran dana yang akan dikucurkan9.

Besarnya pasar listrik yang menggunakan energi geothermal sehingga menghendaki adanya pasar yang kompetitif. Mahalnya biaya untuk membangun pembangkit dari energi geothermal maka akan berakibat pada tingginya harga yang harus dibayarkan oleh konsumen atau besarnya subsidi yang harus dialokasikan oleh pemerintah. Namun, memang kompensasi terhadap biaya yang mahal menjadi sangat menarik bagi investor akan keuntungan yang akan diserap. Artinya, penyesuaian harga listrik harus dilakukan untuk membuat pasar listrik dari energi geothermal ini semakin kompetitif. Kemudian, agar investor semakin menarik dalam menanamkan modalnya, maka CIF mendorong pemerintah untuk menggunakan mekanisme public-private partnership dalam membangun infrastrukturnya sehingga kepentingan modal asing semakin terakomodasi. Penyesuaian tariff listrik dengan harga pasar telah dilakukan sejak tahun 1994

8 CIF (Climate Investment Funds), “Clean Technology Fund Investment Plan For Indonesia”, 2010: 31.9 Ibid.

RE Source Patential Installed capacityOil 18 183 61.7%Geothermal 4 095 13.9%Natural gas 1 353 4.6%Renewables 5 834 19.8%Hydro 4 200 14.3%Geothermal 1 090 3.7%Biogas 4 445 1.5%Mini-micro hydro 1 86 0.3%Solar cell 12Wind power 1Total 29 465

Page 47: Free Trade Watch

46

dengan kucuran dana hibah dari ADB sebesar US$353.000. Kepentingan asing terhadap sumber-sumber daya alam energi terbarukan melalui

rencana investasi pada energy efficiency & renewable energy lebih didasari pada alasan bahwa mereka ingin mengeruk kekayaan alam Indonesia untuk memenuhi persediaan energi mereka. Saat ini Negara-negara barat sedang mengembangkan teknologi yang dapat menggantikan energi fosil dengan energi baru yang berasal dari tanaman. Energi baru yang mereka incar adalah biofuel yang terdiri dari bioethanol, biodiesel, dan biomethanol. Biofuel ini dapat diproduksi dari tanaman jagung, ekstraksi dari minyak sawit, dan gas alam. Untuk mendapatkan tanaman ini mereka memerlukan perkebunan yang memiliki karakter yang mampu untuk menanam tanaman-tanaman tersebut. Hal ini didorong oleh OECD dalam working paper-nya yang mengelurkan rekomendasi untuk pemerintah Indonesia agar melakukan peninjauan terhadap penggunaan Biodiesel dan Ethanol10.

Tabel 3Rekomendasi OECD Terkait Dengan Pencabutan Subsidi BBM di

Indonesia11

Indonesia kaya akan kelapa sawit, gas alam juga sangat besar dihasilkan di Indonesia, dan tanaman jagung tidak sulit untuk diproduksi di sini. Artinya, investor asing memerlukan pembangunan industri perkebunan di Indonesia, di mana untuk hal tersebut telah dikabulkan oleh pemerintahan SBY-Boediono dengan membuat perkebunan pangan (food estate) di beberapa kawasan di Indonesia seperti, di Kalimantan sebagai proyek perintis pelaksanaan industri 10 OECD Working Paper No.808, Phasing Out Energy Subsidies in Indonesia, 2010.11 Ibid.

• Ketat pada komitmen dan perencanaan berjangka waktu untuk mengurangi subsidi pada tahun 2014 dan memperluas komitmen pada penghapusan subsidi listrik dalam jangka menengah.

• Memperkenalkan pajak karbon. Penerimaan dari pajak karbon dapat didaur ulang bagi pembiayaan program-program prioritas.

• Secara ketat ekslusif pada langkah-langkah kompensasi yang disasarkan untuk melindungi rumah tangga berpendapatan-rendah dari peningkatan harga energi.

• Dukungan peninjauan terhadap biodiesel dan ethanol.• Memberi mandat pada suatu komisi produktivitas yang independen untuk

memeriksa besaran dan biaya subsidi energi dan manfaat penghapusan subsidi tersebut, sejauh berdampak pada distribusi yang terkait, dan menyebrluaskan hasil-hasilnya.

• Berkonsultasi dengan para pemangku kepenringan dalam merumuskan reformasi kebijakan subsidi dan menjamin kebijakan yang terpadu melalui keterlibatan semua kementrian yang terkait dengan

Page 48: Free Trade Watch

47Edisi I - Maret 2012

perkebunan, di mana kawasan lain masih dalam proses yang harus disesuaikan dengan kebijakan rencana tata ruang wilayah (RTRW_ di wilayah tersebut.

Sebagaimana dokumen yang dikeluarkan oleh IEA, bahwa kebutuhan akan tanaman-tanaman yang digunakan sebagai energi terbarukan ternyata menimbulkan permasalahan baru yaitu akan menimbulkan krisis pangan akibat meningkatnya harga pangan. Hal ini didasari bahwa lahan dalam industri perkebunan digunakan bukan untuk menanam tanaman yang memang dibutuhkan untuk pangan, tetapi untuk menanam tanaman yang dibutuhkan untuk memenuhi pasar dunia akan kepentingannya terhadap permintaan dan penawaran enerji dunia. Dokumen IEA tentang Energy Technology Essentials: “Biofuel Production”, tahun 2007 menyebutkan: “Competition with food production for land use could drive possible increases in both ethanol and food prices (already occurring in the sugar market)”12.

KesimpulanApa yang dilakukan ADB dalam pengaruhnya terhadap Indonesia merupakan

satu upaya untuk dapat menguasai sumber-sumber energi di Indonesia untuk dapat memenuhi kebutuhan energi Negara-negara anggota OECD yang membuka pintu bagi masuknya investasi asing di sektor energi yang juga akan menyerap keuntungan besar. Inilah yang merupakan agenda terbesar asing terhadap desakannya kepada pemerintah Indonesia untuk segera menghapuskan subsidi BBM agar konsumsinya dapat ditekan dan dialihkan kepada sumber-sumber energi baru yang juga menjadi potensi sumber keuntungan bagi investor.

Cerita klasik dari masa lalu, dimana Negara berkembang yang kaya akan sumber daya alam akan hanya selalu menjadi jajahan dari Negara maju, yaitu dikeruk kekayaannya untuk dikuasai oleh Negara maju dan diambil pasarnya untuk memberikan keuntungan besar. Utang yang dikucurkan oleh ADB dan lembaga keuangan internasional lainnya telah membuat Indonesia tidak berdaya dalam melakukan perlawanan terhadap desakan asing yang menginginkan sektor energi Indonesia untuk dikuasainya.

Oleh karena itu, Hanya mereka yang berani mengatakan “tidak” pada kepentingan dan modal asing yang pantas menjadi pemimpin negeri ini, dengan melakukan tindakan nasionalisasi terhadap asset-aset negara yang strategis bagi kehidupan rakyat Indonesia. Bahwa Indonesia mampu mandiri terhadap pengelolaan sektor energi tanpa adanya campur tangan asing di dalamnya. ***

12 “Persaingan perebutan lahan dengan produksi pangan dapat memicu kemungkinan terjadinya kenaikan harga ethanol dan harga pangan (hal tersebut telah terjadi pada pasar produk gula)”.

Page 49: Free Trade Watch

48

Diplomasi Memburu Utang

REGIONAL

48

Salamuddin Daeng(Indonesia for Global Justice)

Page 50: Free Trade Watch

49Edisi I - Maret 2012

Setelah gagal menaikkan harga BBM, pemerintahan SBY mencari jalan lain untuk mengatasi krisis dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia, di antaranya adalah memburu pinjaman luar negeri

ke negeri China sebagai salah satu negara yang kemampuan likuiditas terbesar di dunia saat ini.

Sebelumnya pihak Indonesia dengan China telah melakukan penandatanganan soal kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU) terkait berbagai proyek yang dibiayai China di Indonesia salah satunya adalah proyek Jembatan Selat Sunda (JSS). Menteri Perindustrian MS Hidayat menuturkan dalam lawatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ke China beberapa waktu lalu, masalah JSS ini sempat menjadi pembahasan. “Ada MoU Jembatan Selat Sunda tapi itu baru MoU karena Korea juga sudah konfirmasi dengan kami mereka berminat,” kata Hidayat di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (29/3/2012)1

Mengapa China yang diandalkan untuk membiayai proyek-proyek besar di Indonesia ? China saat ini adalah tumbuh sebagai kekuatan ekonomi yang tangguh. Negeri Tirai Bambu ini menjadi sandaran ekonomi dunia yang tengah terpapar krisis keuangan. China adalah pemilik cadangan devisa terbesar dunia dengan jumlah US$ 3,2 triliun. Cina termasuk pembeli utama surat utang Eropa dan sangat aktif dalam memberikan pinjaman utang ke AS. Dua kawasan yang menjadi pusat kapitalisme dunia tengah berada dalam krisis yang akut.

Sementara ekonomi China terus tumbuh dengan pesat. Pada tahun 2010, GDP China telah meningkat 10,456 persen, sebesar US$ 5,745.13 miliar, meningkat 11,79 persen pada 2011 menjadi US$ 6,422.28 Miliar. Perkiraan untuk tahun 2015 memprediksi GDP China mencapai US$ 9,982.08 miliar, tumbuh 10-12 persen per tahun antara 2010 dan 2015. 2

Bahkan pemerintah China merencanakan untuk meningkatkan anggaran militer sebesar 11,2% menjadi US$ 106,4 miliar tahun ini. Bandingkan dengan anggaran militer Indonesia 2012 sebesar Rp 64,4 triliun. Dengan demikian anggaran militer China 15 kali anggaran Indonesia. Total pengeluaran pemerintah China mencapai 16 triliun Yuan, atau sekitar Rp 23 ribu trilun atau sekitar 16 kali APBN Indonesia.

Di tengah krisis yang semakin berat, Uni Eropa berkali-kali melobi China untuk meminta pinjaman. Baru-baru ini, Reuters memberitakan (2/2012), Uni Eropa mengirim sejumlah pejabat tinggi ke Beijing. Mereka adalah Presiden Dewan Eropa, Herman Van Rompuy, dan Presiden Komisi Eropa, Jose Manuel Barroso untuk bertemu dengan perdana Menteri Wen Jiabao dalam rangka mendapatkan pinjaman bagi pemulihan krisis Eropa.

1 http://jambitourism.co.id/ri-teken-mou-jembatan-selat-sunda-dengan-china/2 http://www.economywatch.com/world_economy/china/?page=full

Page 51: Free Trade Watch

50

Saat ini pemerintah ekonomi terkemuka di dunia memiliki lebih dari US$ 7,6 trilun utang jatuh tempo tahun ini.3 Pada urutan teratas adalah AS, EU dengan kemampuan membayar yang telah jatuh sejak krisis 2008 lalu. Kejatuhan Eropa dan AS dapat berimplikasi terhadap menurunnya kinerja investasi dan perdagangan China di luar negeri. Oleh karenanya China merasa berkepentingan untuk membantu negara-negara kapitalis utama tersebut.

Sebuah media melansir China telah mengalokasikan US$ 24 miliar kuota utang luar negeri jangka panjang kepada bank asing untuk tahun ini. Hal ini diungkapkan oleh Komite Perkembangan dan Reformasi China, Komite tersebut memilih 6 bank antara lain HSBC, Deutsche Bank, J.P. Morgan, Citibank, Sumitomo Mitsui Banking Corp dan Bank of East Asia sebagai ujicoba.4 selain itu China rencana membeli lebih banyak obligasi terbitan Fasilitas Penstabilan Keuangan Eropa (EFSF) atau Mekanisme Stabilitas Eropa (ESM), yang segera dibentuk. Bermodal 500 miliar euro (US$ 650 miliar), ESM mulai beroperasi Juli mendatang dan kemungkinan akan menggantikan fungsi EFSF.5

China juga merancang berbagai skema utang untuk ASEAN. website resmi ASEAN menyatakan “During the global financial crisis in 2009, Cina established a US$15 billion loan to ASEAN Member States for economic development”. 6 Untuk kegiatan yang sama yakni infrastuktur China tengah menyediakan berbagai skema pinjaman untuk Indonesia dan perusahaan di Indonesia.

Jika China mengalokasikan utang ke Uni Eropa atau AS, meskipun jumlahnya besar, namun negara-negara tersebut masih memiliki kemampuan membayar, dikarenakan memiliki piutang yang besar di luar negeri, termasuk di Indonesia dan negara miskin lainnya. Berbeda jika China memberikan utang kepada pemerintahan SBY, selain manajemen utang rezim yang sangat buruk dan korup, pemberian utang kepada Indonesia oleh China akan menciptakan ketergantungan baru bagi Indonesia.

Mengemis utang Sementara Indonesia saat ini memiliki utang luar negeri sangat besar dengan

kewajiban bunga dan cicilan utang pokok sebesar Rp 160 trilun setiap tahun. Indonesia membutuhkan lebih banyak utang untuk meningkatkan APBN-nya, mempertahankan tingkat pengeluaran yang semakin besar, memperketat anggaran dengan mencabut subsidi dan menahan defisit. 3 http://www.bloomberg.com/news/2012-01-03/world-s-biggest-economies-face-7-6-trillion-bond-tab-as-rally-

seen-fading.html4 http://www.analisadaily.com/news/read/2012/03/31/43232/china_alokasi_us24_miliar_kuota_utang_ln_pada_

bank_asing/#.T7MgeFIoK7g5 http://dunia.vivanews.com/news/read/285249-china-janji-dukung-atasi-krisis-utang-eropa6 http://www.aseansec.org/5874.htm

Page 52: Free Trade Watch

51Edisi I - Maret 2012

Saat ini Indonesia kehilangan kemampuan untuk membelanjakan utang-utangnya dalam membeli barang-barang dari luar negeri dan mega proyek. Sebagian besar anggaran Indonesia telah habis untuk belanja pemerintah termasuk untuk gaji pejabat pemerintah, DPR dan institusi lain dibawah pemerintah. sangat kecil sekali yang dapat dibelanjakan untuk pihak swasta. Keadaan ini tentu sangat dibenci oleh investor dalam maupun luar negeri. Keadaan APBN semacam ini memperkecil jatah mereka.

Tabel 1Belanja Pemerintah Pusat Terhadap APBN

Tahun Belanja Pemerintah Pusat

Pendapatan Negara dan Hibah Prosentase

2006 440,031.20 637,987.20 68.97%

2007 504,623.40 707,806.20 71.29%

2008 693,356.00 981,609.40 70.63%

2009 628,812.40 848,763.20 74.09%

2010 697,406.40 995,271.50 70.07%

2011 908,243.40 1,169,914.60 77.63%

2012 964,997.30 1,311,386.70 73.59%

Sumber : Data Pokok APBN 2006- 2012

Pemerintah didorong untuk menghemat pengeluaran “subsidi” seperti BBM yang dananya dinilai sangat besar dan cenderung naik mengikuti harga minyak mentah global. Di tengah tekanan publik yang luas, sangat sulit bagi pemerintahan SBY yang berkuasa sekarang untuk mencabut subsidi. Pilihan lainnya adalah menambah surat utang negara. Namun hal ini juga tidak mudah, situasi ekonomi yang tidak kunjung membaik dan stabilitas politik yang buruk serta kredibilitas pemerintah yang jatuh menyulitkan pemerintah untuk meraup dana dari menjual surat utang.

Opsi lainnya adalah meminjam langsung ke China sebagai satu-satunya kekuatan ekonomi terbesar saat ini yang memiliki kemampuan untuk menyalurkan utang untuk Indonesia. Namun harap diketahui bahwa Indonesia telah menjadi negara penghutang terbesar ke negara-negara yang saat ini tengah dilanda kemelut krisis seperti AS, Eropa, Jepang.

Page 53: Free Trade Watch

52

Tabel 2Utang Luar Negeri Dari Berbagai Negara

Negara 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

Bilateral 30,339 27,795 28,107 28,608 35,756 33,719 35,617 35,726

Amerika Serikat 1,521 1,573 1,470 1,345 1,684 1,334 1,225 1,112

Australia - - - 68 6 47 93 133

Austria 1,049 871 914 946 1,064 1,000 847 748

Belanda 969 873 890 888 770 676 561 485

Belgia 137 113 124 121 171 161 138 124

Denmark 20 17 17 16 15 13 11 13

Inggris 370 236 239 217 713 655 571 514

Italia 166 146 131 117 99 81 41 26

Jepang 22,061 20,138 20,348 20,833 25,764 24,248 27,030 27,675

Jerman 1,425 1,351 1,433 1,493 2,374 2,315 1,875 1,710

Kanada 174 180 172 193 162 158 157 145

Perancis 1,698 1,495 1,558 1,586 2,132 2,247 2,281 1,838

Selandia Baru - - - - - - - -

Swiss 42 37 37 36 46 33 33 30

Finlandia 9 7 7 7 9 8 6 5

Spanyol 415 457 440 421 414 397 378 360

Korea Selatan 127 145 162 164 134 158 167 170

Norwegia - - - - - - - -

Kuwait 38 50 63 61 54 46 41 22

Saudi Arabia 44 41 40 39 37 34 31 29

Negara Lainnya 74 67 61 57 109 110 130 585

Page 54: Free Trade Watch

53Edisi I - Maret 2012

Selain itu Indonesia juga merupakan negara penghutang cukup besar kepada lembaga keuangan global seperti World Bank, ADB, dll.

Tabel 3Utang Luar Negeri Dari lembaga Keuangan

Lambaga TAHUN

2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

Multilateral 28,905 26,566 18,837 19,055 20,337 24,623 26,179 26,394

ADB 8,869 9,140 9,409 10,177 10,867 10,885 11,149 10,798

IDA 949 1,003 1,322 1,552 2,001 2,231 2,315 2,274

IBRD 8,943 8,107 7,421 6,822 6,964 7,871 9,052 9,606

IDB 163 203 397 232 256 315 405 465

NIB 139 121 105 91 77 64 51 33

IFAD 79 71 74 79 78 77 81 119

IMF 9,654 7,806 - - - 3,093 3,050 3,031

EIB 109 116 109 102 94 86 77 68

MIGA - - - - - - - -

Jumlah 59,244 54,362 46,943 47,663 56,093 58,342 61,796 62,120

Sumber : Bank Indonesia, 2012

Saat ini utang luar negeri hampir mencapai mencapai Rp 2.000 trilun, negara ini gagal menjalankan pembangunan ekonominya. Kompas.com (16 April 2010) menyebutkan nilai utang tersebut terdiri atas utang pemerintah sebesar 93,859 miliar dollar AS, lalu utang bank sebesar 8,984 miliar dollar AS. Lalu, utang swasta alias korporasi non-bank sebesar 75,199 miliar dollar AS.

Sementara utang pemerintah juga nilainya hampir sama, baik yang bersumber dari dalam negeri maupun luar negeri. Data Bank Indonesia tahun 2012 menyebutkan hingga kwartal IV Tahun 2011 utang luar negeri pemerintah dan otoritas moneter mencapai US$ 118,6 miliar. Selanjutnya utang pemerintah yang bersumber dari penjualan surat hutang negara (SUN) mencapai Rp 707,4 triliun. Sehingga secara keseluruhan utang pemerintah mencapai Rp 1.893 triliun. Besarnya utang luar negeri tersebut semakin memperlemah kemampuan APBN

Page 55: Free Trade Watch

54

dalam membantu kehidupan rakyat. Mengapa? Karena jumlah yang kita bayarkan sebagai cicilan utang pokok dan

bunga utang lebih besar dibandingkan pengeluaran untuk rakyat. Data Pokok APBN tahun 2012 menggambarkan bahwa pemerintah membayar bunga hutang sebesar Rp 122,2 triliun, dan cicilan utang pokok sebesar Rp 47,2 triliun. Dengan demikian total kewajiban akibat utang mencapai Rp 169,4 trilun. Jumlah tersebut jauh lebih besar dibandingkan dengan pengeluaran subsidi pangan sebesar Rp 15,6 triliun dan subsidi pupuk sebesar sebesar Rp 16,9 triliun, yang keduanya menyangkut nasib jutaan petani di Indonesia.

Selain itu problem rezim yang korup baik pemerintah maupun DPR adalah hambatan terbesar bagi kemajuan Indonesia. seberapapun indonesia berhutang, tidak akan membantu pembangunan ekonomi negara. Uang tersebut hanya akan menjadi sumber korupsi bagi pejabat negara, baik pemerintah maupun DPR.

Keadaan utang Indonesia tersebut seharusnya menjadi pertimbangan penting bagi China. Pertimbangan lainnya adalah bahwa legitimasi pemerintahan SBY dan DPR telah jatuh di mata rakyat. Sehingga China harus mempertimbangkan kembali dan membatalkan semua komitment terhadap rezim sekarang.

Sebagaimana kita ketahui, tahun 2010, China telah sepakat untuk memberikan pinjaman sebanyak dua miliar dolar AS untuk investasi infrastruktur di Indonesia, yang dianggap penting untuk mencapai target pertumbuhan tujuh persen pertahun hingga tahun 2014. Pertumbuhan Indonesia di tahun lalu hanya 4,5%. Beijing juga akan memberi pinjaman sebesar 1,8 miliar dolar berupa kredit ekspor dan pinjaman lunak sebesar 263 juta dolar, kata Menteri Perdagangan Indonesia pada saat itu Mari Pangestu mengatakan setelah bertemu dengan Menteri Perdagangan China Chen Deming.7

Sebelumnya China juga menawarkan sekitar US$ 10 miliar pinjaman untuk investasi di bidang infrastruktur dan manufaktur Indonesia. selain itu, Cina Investment Corp berencana untuk menawarkan US$ 4 milyar pinjaman untuk investor dalam proyek infrastruktur Indonesia, CIC berencana untuk menyediakan sekitar US$ 4 miliar dalam bentuk pinjaman untuk proyek infrastruktur di Indonesia dan pinjaman tersebut seharusnya untuk perusahaan Indonesia.8

Namun janji - janji Chna tidak kunjung terealisasi meskipun pemerintah SBY telah berkali-kali menandatangani MoU dengan pemerintah China, dan secara implisit menjadi motivasi dalam kunjungan sepekan pemerintah ke mancanegara termasuk ke China. Sebuh politik diplomasi untuk memburu utang.***

7 http://riset.pacific2000.co.id/research/berita-indonesia/perdana-menteri-china-akan-kunjungi-indonesia-di-bulan-april-2.php

8 ANTARANews , JAKARTA, 28 April 2011.

Page 56: Free Trade Watch

55Edisi I - Maret 2012

Page 57: Free Trade Watch

56

Nasionalisasi Minyak; Pengalaman Arab Saudi, Venezuela dan Argentina

REGIONAL

Nirmal Ilham(Indonesia for Global Justice)

Raja AbdullahArab Saudi

Hugo ChavezPresiden Venezuela

Christina FernandezPresiden Argentina

Page 58: Free Trade Watch

57Edisi I - Maret 2012

Pengelolaan minyak di Indonesia telah jauh melenceng dari tujuan awal founding fathers dalam mengelola kekayaan alam negeri ini, yaitu berdaulat pada semua sumberdaya yang dimiliki, dan dipergunakan untuk sebesar-

besar kemakmuran rakyat, seperti yang tersirat dalam UUD 45. Namun untuk mengembalikan kepada cita-cita mulia tersebut sepertinya saat ini terasa sangat sulit, walaupun bukan berarti mustahil. Banyak contoh dari beberapa negara yang berhasil berdaulat dalam pengelolaan minyaknya.

Keberanian Raja Arab SaudiSalah satu contohnya adalah Kerajaan Arab Saudi yang memiliki sejarah

panjang terhadap pengelolaan minyak buminya. Dimulai pada tahun 1933 ketika pemerintah kerajaan Arab Saudi memberikan konsesi kepada Standard Oil of California (Socal) yang kemudian mendirikan California Arabian Standard Oil di Arab Saudi. Pada tahun 1936, karena belum berhasil menemukan sumur minyak yang memiliki nilai ekonomi, 50 persen saham Socal didalam konsesi tersebut dibeli oleh Texaco (perusahaan minyak Texas). Setelah sukses menemukan minyak dalam jumlah besar, pada tahun 1944 nama perusahaan berubah menjadi Arab-America Oil Company (Aramco). Lalu pada tahun 1948, Standard Oil of New Jersey (Esso) dan Vacuum Socony (Mobil) ikut bergabung, yang saat ini kedua perusahaan itu menjadi satu yaitu Exxon Mobil.

Pada tahun 1950, Raja Abdul Aziz Ibn Saud mengancam akan menasionalisasi minyak negaranya, sehingga menekan Aramco setuju untuk berbagi keuntungan 50/50 dengan pemerintah Arab Saudi. Peristiwa perang Yom Kippur antara Arab-Israel di tahun 1973, walaupun tidak ikut serta dalam perang, namun Arab Saudi memberikan dukungan dengan mengembargo minyak kepada Israel dan sekutu yang mendukungnya terutama Amerika Serikat. Tidak hanya itu, pemerintah Arab Saudi juga mengakuisisi saham di Aramco hingga kepemilikannya menjadi 60 persen. Akhirnya, karena harga minyak yang melambung dan kemarahan Arab Saudi terhadap dukungan AS yang membabi buta kepada Israel, membuat pemerintah Saudi mengambil kontrol penuh Aramco pada tahun 1980, dengan mengakuisisi 100 persen saham di perusahaan.

Pada tahun 1988, sebuah dekrit kerajaan mengganti nama dari perusahaan minyak Amerika-Arab menjadi Saudi Aramco, diikuti dengan mengambil kontrol managemen dan operasi serta memindahkan kantor pusatnya dari New York, AS ke Dhahran, Arab Saudi termasuk memutuskan pasokan minyak ke Israel selamanya.

Saat ini perusahaan Saudi Aramco merupakan perusahaan swasta yang sepenuhnya dimiliki pemerintah Kerajaan Arab Saudi dengan tidak ada pemegang

Page 59: Free Trade Watch

58

saham atau mitra dalam bisnis. Dengan produksi 10 juta barel per hari, hingga hari ini Saudi Aramco menjadi perusahaan terkaya dan paling berharga di dunia bahkan diperkirakan hingga sepanjang masa, mengingat cadangan minyak bumi Arab Saudi 264 milyar barel yang merupakan seperlima dari cadangan minyak dunia. Negara Arab Saudi pun menjadi salah satu negara paling makmur di dunia dengan pendapatan perkapita USD 24 ribu.

Reformasi Chavez di VenezuelaContoh selanjutnya adalah Venezuela, industri minyak negara ini merupakan

salah satu yang terbesar di dunia dengan produksi 3 juta barel perhari, sehingga menjadikannya negara pengekspor minyak terbesar kelima di dunia. Venezuela mulai melakukan pengeboran sumur minyak pertama pada tahun 1912. Tak lama setelah itu Royal Dutch Shell mulai beroperasi dalam memproduksi minyak di Venezuela disusul kemudian oleh Rockefeller’s Standard Oil. Pada tahun 1929, Venezuela telah menjadi negara produsen minyak kedua terbesar di dunia setelah Amerika Serikat, sekaligus menjadi negara pengekspor minyak pertama di dunia. Pada tahun 1935, total minyak yang di ekspor Venezuela untuk pasar dunia mencapai sebesar 91,2 persen.

Pada tahun 1943 Venezuela melakukan reformasi atas kebijakan minyaknya, dengan mengeluarkan Hydrocarbons Act. Yang intinya, perusahaan asing yang melaksanakan eksplorasi dan produksi minyak di Venezuela dikenai pajak yang lebih tinggi untuk aktivitas mereka. Sehingga keuntungan yang mereka peroleh dari hasil kegiatan produksi minyak tidak lebih besar dari yang mereka bayarkan ke negara. Pada saat itu pemerintah Venezuela memberlakukan kebijakan yang menguatkan perannya dalam mengontrol produksi minyak yang dilakukan oleh perusahaan asing.

Pada tahun 1950, industri minyak dunia mulai memasuki masa kelebihan produksi sebagai akibat munculnya negara-negara industri minyak di wilayah Timur Tengah dan pemberlakuan kuota impor oleh Amerika Serikat, yang berujung pada anjloknya harga minyak dunia. Untuk mengatasi hal ini, Venezuela bersama negara-negara industri minyak utama dunia kemudian membentuk OPEC pada tahun 1960. Pada tahun yang sama, Venezuela juga mendirikan Venezuelan Petroleum Corporation (Corporación Venezolana de Petróleos/CVP), yang nantinya menjadi basis bagi kebijakan nasionalisasi industri minyaknya.

Pada tahun 1973, dengan kebijakan embargo minyak oleh negara-negara Timur Tengah, Venezuela berhasil meningkatkan pendapatannya dari minyak secara signifikan di tahun 1974. Venezuela pun menjalankan kebijakan produksi minyak sebanyak mungkin demi meraih peningkatan pendapatan, dan untuk mewujudkan

Page 60: Free Trade Watch

59Edisi I - Maret 2012

kebijakan tersebut pemerintah melakukan nasionalisasi industri minyak Venezuela pada tahun 1976 melalui pembentukan Petroleos de Venezuela S.A. (PDVSA).

PDVSA berfungsi sebagai sebuah holding company yang menjadi induk bagi empat perusahaan besar yang menjadi cabang/afiliasinya. Empat afiliasi besar itu dibentuk dari penggabungan empat belas perusahaan asing yang sudah beroperasi di Venezuela dan satu perusahaan negara yang telah ada, yaitu CVP. Afiliasi yang terbentuk kemudian terdiri dari pertama Lagoven, cabang yang terbesar ini merupakan hasil penggabungan unit dan fasilitas yang dulunya dioperasikan oleh Exxon dari AS. Kedua Maraven, dari penggabungan dua perusahaan yang dulunya dikelola oleh British dan Dutch Shell. Ketiga Meneven, dari penggabungan empat perusahaan minyak kecil asal Amerika Serikat. Dan anak perusahaan keempat dibentuk dari enam perusahaan kecil lain ditambah CVP, yang dinamakan Corpoven.

Pada pertengahan 1980an harga minyak dunia jatuh, dan pada tahun 1989, harga minyak dunia terpuruk hingga mencapai 3,19 dolar per barel. Kondisi ini berimbas pada menurunnya ekonomi Venezuela yang perlahan mengalami kemunduran. Presiden Venezuela saat itu Carlos Andres Perez yang pada tahun 1976 melakukan nasionalisasi penuh atas industri minyak Venezuela melalui pembentukan PDVSA, ironisnya dia pula yang melakukan kebijakan sebaliknya. Yaitu meluncurkan program penyelamatan ekonomi dengan meminta bantuan IMF dan World Bank yang berarti harus menjalankan prasyarat paket Structural Adjustment Program (SAP) yang memangkas intervensi dan kontrol negara terhadap sektor publik, terutama terhadap industri minyak nasional. Pada akhirnya presiden Perez membawa perekonomian Venezuela pada sistem pasar bebas yang pada gilirannya memberi stimulus bagi masuknya dominasi asing melalui foreign direct investment (FDI), terhadap sektor-sektor ekonomi strategis Venezuela, termasuk minyak. Hal ini ditandai dengan privatisasi sejumlah besar perusahaan negara, penyesuaian nilai tukar, liberalisasi perdagangan melalui penurunan tarif, serta pengetatan belanja publik dengan pemotongan subsidi. Pada periode pemerintahan berikutnya, praktis perekonomian Venezuela berjalan dalam koridor neoliberalisme kapitalis.

Terpilihnya Hugo Chavez menjadi presiden Venezuela di tahun 1998, yang terkenal dengan slogannya minyak untuk kesehatan, pangan dan pendidikan, sejak awal sudah melakukan reformasi dalam industri minyak yang mengarah ke nasionalisasi. proses nasionalisasi ini sebenarnya lebih tepat dikatakan sebagai bentuk renegosiasi yang kemudian memungkinkan terjadinya joint venture dalam pengelolaan minyak antara perusahaan negara (PDVSA) dengan perusahaan-perusahaan asing. Pada tahun 2007, joint venture ini melibatkan perusahaan-perusahaan multinasional seperti ExxonMobil, ChevronTexaco, Statoil,

Page 61: Free Trade Watch

60

ConocoPhillips, and BP. Dengan model joint venture ini negara mendapatkan keuntungan sebesar 60 persen dari keseluruhan keuntungan yang diperoleh. Selain untuk memaksimalkan penguasaan terhadap industri minyak, reformasi ini juga bertujuan untuk meminimalisir praktek-praktek korupsi dan inefisiensi yang sebelumnya kerap dilakukan oleh elit-elit PDVSA khususnya di masa booming minyak.

Apa yang dilakukan Chavez tersebut mengacu pada ayat 303 Konstitusi Republik Kelima Bolivarian yang menyatakan bahwa “…atas dasar kedaulatan ekonomi dan politik dan strategi nasional, Negara akan memiliki keseluruhan saham PDVSA atau keseluruhan unit yang di bangun untuk mengatur industri minyak…”, dan kemudian dikembangkan dalam aturan Undang-Undang Hidrocarbon baru yang berisi mengenai jumlah royalti sebesar 30 persen (16,6 % pada aturan yang lama) yang bisa didapat oleh operator asing dan juga ditegaskan bahwa semua aktivitas industri minyak dalam negeri diarahkan untuk kepentingan masyarakat dan didedikasikan untuk keberlanjutan pembangunan negara.

Solusi Krisis Minyak ArgentinaContoh berikutnya adalah Argentina, di tahun 1999 YPF atau Yacimientos

Petroliferos Fiscales (Ladang Minyak Negara) milik pemerintah Argentina merupakan salah satu perusahaan minyak terbesar di Amerika Selatan yang didirikan pada dekade 1920-an. Perusahaan ini diprivatisasi atas perintah Dana Moneter Internasional (IMF) saat Argentina mengalami krisis ekonomi. Pembelian YPF itu terjadi pada masa yang disebut dengan operasi privatisasi besar-besaran dari Presiden Argentina saat itu, Carlos Menem. Dan perusahaan yang membeli YPF adalah Repsol, perusahaan minyak asal Spanyol.

Sejak 57 persen saham dikuasai Repsol hingga saat ini produksi minyak YPF terus menurun, dan di tahun 2010-2011produksi YPF anjlok hingga hanya mencapai 600 ribu barel perhari. Produksi ini merupakan titik terendah sejak 1998, dimana saat itu biasanya perusahaan mampu memasok minyak sampai 900 ribu barel perhari. Hal ini terjadi lantaran Repsol tidak mau menambah investasi di bidang eksplorasi dan eksploitasi. Namun untuk Repsol, produksi rendah YPF tersebut relatif tetap menguntungkannya karena memasok 38 persen pendapatan yang nilainya mencapai USD 2,19 milyar pada tahun 2011.

Tapi bagi Argentina, kebijakan Repsol dengan membuat produksi YPF rendah telah mengakibatkan krisis energi, dan membuat terkurasnya kas negara lantaran membayar impor minyak hingga mencapai USD 9,4 milyar pada tahun 2011, atau naik 110 persen dari tahun sebelumnya. Dalam beberapa tahun ke depan diperkirakan Argentina masih akan sangat bergantung pada minyak mentah impor

Page 62: Free Trade Watch

61Edisi I - Maret 2012

yang harganya semakin mahal. Impor yang sangat besar ini, selain karena penurunan produksi yang disengaja

pihak Repsol, juga disebabkan oleh kebijakan Repsol yang mengekspor terlalu banyak minyak Argentina. Repsol pun tidak melakukan investasi untuk mencari dan membuat sumur baru. Selain itu Repsol tidak mampu memenuhi kontrak target produksi yang dipinta pemerintah Argentina karena meningkatnya permintaan minyak di dalam negeri. Situasi bertambah buruk bagi Argentina ketika disinyalir Repsol justru menebar devidennya di luar negeri.

Atas dasar tersebut Presiden Argentina Christina Fernandez mengumumkan untuk menasionalisasi YPF dari tangan Repsol Spanyol sebelum akhir tahun 2012. Saat inipun konsesi minyak YPF telah dicabut oleh 16 provinsi di Argentina karena perusahaan tersebut tidak memenuhi kewajiban yang tertera di kontrak menyangkut produksi. Pemerintah Argentina akan membeli paksa 51 persen saham YPF yang diperkirakan nilainya USD 8 milyar. Keputusan Argentina mengambil alih 51 persen saham YPF akan menghilangkan mayoritas kepemilikan Repsol di YPF. Nantinya 51 persen saham pemerintah Argentina di YPF tersebut kemudian akan dibagi antara pemerintah Buenos Aires yang mendapat 51 persen dan pemerintah daerah tempat dimana produksi minyak YPF beroperasi akan mendapatkan 49 persen saham.

Upaya sang presiden ini pun mendapat dukungan penuh dari parlemen dan rakyatnya. Di beberapa provinsi tampat pengeboran minyak YPF, bendera Repsol telah diturunkan oleh rakyat dengan bendera Argentina. Walaupun mendapat ancaman politik dari Spanyol dan Uni Eropa, Presiden Christina tetap maju dengan kebijakannya tersebut. “Saya adalah kepala negara, bukan pedagang sayur. Semua perusahaan yang ada di sini, termasuk yang sahamnya dimiliki orang asing, adalah perusahaan Argentina,” tegasnya.

KesimpulanBerlimpah ruahnya sumber daya alam disebuah negara seringkali tidak

berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan dan keadilan yang dirasakan oleh rakyatnya. Sehingga tidak salah kalau kondisi ini disebut Stiglitz sebagai “kutukan sumberdaya alam”. Stiglitz menjelaskan bahwa dinamika politik di negara-negara yang kaya akan sumberdaya alam seringkali mengarah kepada ketidak adilan. Hal ini terjadi di negara maju dan negara berkembang dimana kekayaan sumberdaya alamnya digunakan untuk menguasai ekonomi dan politik, termasuk usaha untuk memperkaya diri sendiri. Namun kondisi sebaliknya terjadi di Venezuela, kekayaan minyaknya ternyata menjadi anugrah bagi rakyatnya. Hal ini bisa terjadi karena keberanian dan political will, dari Chavez yang menjalankan

Page 63: Free Trade Watch

62

strategi renegosiasi terhadap industri minyaknya.Dari contoh ketiga negara di atas dapat diambil kesimpulan bahwa, pertama,

model naionalisasi atau renegosiasi sektor pertambangan bukan hal yang tidak mungkin dilakukan jika platform pembangunan sebuah negara memiliki keberpihakan yang jelas terhadap rakyat, serta dibarengi political will yang tegas dari pemimpin dan didukung oleh partisipasi rakyat. Kedua, nasionalisasi dan renegosiasi sektor pertambangan tidak akan berarti apa-apa jika proses tersebut tidak diabdikan untuk kepentingan rakyat secara utuh. Ketiga, ketakutan yang selama ini mengemuka bahwa investor asing akan memindahkan modalnya jika dilakukan proses nasionalisasi atau renegosiasi tentu sangat tidak berdasar apalagi jika sebuah negara memang memiliki kekayaan alam yang berlimpah ruah.

Dengan demikian, walaupun proses renegosiasi berani dilakukan oleh suatu negara, ketakutan akan larinya modal asing di negara tersebut tidak akan terjadi. Karena logikanya adalah bahwa perusahaan-perusahaan asing tidak mungkin melepaskan keuntungan yang akan mereka dapatkan dalam proses eksplorasi hasil pertambangan meski dalam skala yang lebih kecil dari sebelumnya.***

62

Page 64: Free Trade Watch

63Edisi I - Maret 2012 63Edisi I - Maret 2012

Page 65: Free Trade Watch

64

Abstrak

Bagi sektor perikanan nasional, kebijakan pemerintah menaikkan BBM dan mengurangi subsidi bak menelan pil pahit. Pemerintah berargumentasi bahwa jika BBM tidak dinaikkan, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) akan jebol. Sekalipun, hal ini masih kontroversial dan menimbulkan perdebatan. Kalaupun pemerintah tak menaikkan BBM, tak serta merta semuanya kiamat. Di sektor perikanan nasional mestinya dikembangkan kebijakan yang ramah lingkungan yang menghemat BBM. Sayangnya, mazhab pemikiran neoliberal telah mendarah daging dalam tubuh pengambil kebijakan di negeri ini. Pemikiran–pemikiran bermazhab heterodoks tak mendapatkan tempat, kalau pun ada hanya jadi sempalan dan dianggap aneh oleh kalangan ekonomi mainstream. Kebijakan menaikkan BBM dan mengurangai subsidi bukan sebagai panacea bagi problem strukltural berupa kemiskinan dan kesenjangan di wilayah pesisir. Malah menjadi pil pahit yang akan memperparah kemiskinan itu sendiri. Kebijakan penyangganya berupa bantuan langsung sementara (BLS) bak menggarami air laut karena yang tak mampu mengantisipasi dampak kenaikan BBM.

Kata Kunci: APBN-P, BLS, BBM, charity, heterodoks, kemiskinan, kebijakan, nelayan tradisional, neoliberal, panacea, pil pahit.

NASIONAL

64

Dampak Kenaikan BBM Terhadap Sektor Perikanan Nasional

Muhamad KarimDirektur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim

Page 66: Free Trade Watch

65Edisi I - Maret 2012

PendahuluanRencana pemerintah akan menaikkan bahan bakar minyak pada bulan April

Tahun 2012 hampir pasti terjadi. Pasalnya, pemerintan beralasan bahwa jika BBM tidak dinaikkan, RAPBN-P Tahun 2012 akan jebol. Argumentasi ini dibangun oleh pemerintah dengan merujuk pada hukum keseimbangan pasar yang kini harga minyak di pasar internasional sudah melebihi US$ 100 per barrel. Inilah paham ekonomi pasar yang diyakini pemerintah “benar” sekarang ini tanpa pernah mempertimbangkan aspek sosial-budaya maupun psikologis masyarakat yang terimbas kenaikan BBM. Pemerintah mengatasi dampak kenaikan BBM melalui kebijakan “charity” berupa Bantuan Langsung Sementara (BLS), yang katanya akan membantu masyarakat golongan masyarakat miskin. Salah satu kelompok masyarakat yang kini rentan terhadap pengaruh kenaikan BBM yaitu nelayan. Hal ini penting karena 75% lebih produksi perikanan nasional dihasilkan oleh nelayan tradisional khususnya perikanan tangkap ditambah budidaya. Sisanya, 25 % dari aktivitas perikanan skala industri. Problemnya, bila BBM dinaikkan bagaimana dampaknya terhadap perikanan nasional maupun nelayan tradisional?

Hingga kini harga BBM bagi nelayan, pembudidaya ikan dan pengusaha perikanan nasional masih berpedoman pada Peraturan Presiden No 9 tahun 2006 tentang Harga Eceran BBM Dalam Negeri. Perpres 9/2006 mengatur bahwa harga jual eceran Bensin Premium dan Minyak Solar (Diesel Oil) untuk Usaha Kecil, Usaha Perikanan, Transportasi, dan Pelayanan Umum di titik serah termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN) bagi setiap liter ditetapkan sebesar Rp 4.500,00 (empat ribu lima ratus rupiah) dan Rp 4.300,00 (empat ribu tiga ratus rupiah) (Pasal 2 Ayat (2). Lalu, Perpres 9/2006 ini juga mengatur penyaluran BBM bagi usaha perikanan, yaitu pertama, nelayan yang menggunakan kapal ikan Indonesia dengan ukuran maksimum 30 GT dan diberikan kebutuhan BBM paling banyak 25 (dua puluh lima) kiloliter/bulan untuk menangkap ikan.

Kedua, nelayan yang menggunakan kapal ikan Indonesia dengan ukuran di atas 30 GT dan diberikan kebutuhan BBM paling banyak 25 (dua puluh lima) kiloliter/bulan untuk menangkap ikan; dan Ketiga, pembudidaya-ikan kecil yang menggunakan sarana pembudidayaan ikan untuk operasional perbenihan dan pembesaran.

Namun fakta lapangan menunjukkan bahwa harga BBM di tingkat nelayan, pembudidaya ikan dan pengusaha perikanan nasional sebagain besar berada di atas harga yang diatur Perpres 9/2006, terutama di pulau-pulau kecil dan wilayah pesisir yang masih minim infrastruktur pengisian BBM bagi nelayan (SPDN). Nelayan yang bermukim di wilayah itu mendapatkan harga BBM rata-rata lebih tinggi Rp.500 – Rp. 1000 dibandingkan wilayah lainnya. Inilah problem pokok yang

Page 67: Free Trade Watch

66

melanda nelayan, pembudidaya ikan dan pengusaha perikanan nasional berkaitan soal BBM. Problem ini sulit terpecahkan hingga kini baik oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan maupun Pertamina sebagai penanggungjawab distribusi BBM nasional. Kebijakan pemerintah yang merencanakan menaikkan BBM bulan April 2012 akan semakin menambah problem nelayan dan lesunya usaha perikanan nasional, sehingga kebijakan kenaikan BBM (pengurangan subsidi) dan BLS bukan solusi bagi kemiskinan, melainkan meningkatkan tekanan pada kemiskinan itu sendiri.

Problem lainnya yaitu animo pengusaha nasional minyak dan gas bumi (MIGAS) dalam mendistribusikan BBM bagi nelayan dan pembudidaya ikan relatif kurang. Lalu, problemnya lemahnya penegakan hukum kepada nelayan dan pengusaha perikanan yang “nakal” yang kerapkali menjual BBM subsidi kepada nelayan asing. Acapkali, kejadian ini berlangsung di wilayah perbatasan dengan negara tetangga karena pengusaha perikanan nakal itu mencari rente ekonomi dari penjualan BBM bersubsidi. Sayangnya, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Pertamina dan aparat penegak hukum lamban dan kerap abai dalam mengawasi dan menindak tegas penjulanan BBM bersubsidi ke negara tetangga. Problem sturktural dan institusional semacam ini hingga kini tak berkesudahan tatkala terjadi kenaikan BBM.

Pemerintah kerap berdalih bahwa kenaikan BBM tidak menimbulkan dampak sosial maupun politik di tingkat nasional maupun lokal, karena diantisipas dengan program BLS, karena bahan-bahan kebutuhan pokok lainnya juga sudah ikut naik kendati BBM belum baik. Ini adalah fakta yang tak bisa diabaikan maupun dimanipulasi dengan angka-angka statistik. Bagi nelayan dan usaha perikanan nasional kenaikan harga BBM otomatis menaikkan biaya operasional penangkapan ikan. Bila selama ini BBM berkontribusi sebesar 60-70 % dari biaya operasional penangkapan, kenaikkan BBM akan meningkatkan biaya operasional sebesar 70-80 % bagi sektor perikanan tangkap. Demikian halnya di perikanan budidaya, kendati pun faktor yang paling berpengaruh adalah pakan sebesar 60 – 70 % dari biaya operasional. Namun, kenaikkan BBM, otomatis akan menaikkan biaya produksi pakan ikan. Apalagi pemerintah juga akan menaikan tarif dasar listrik, praktis kegiatan operasional perikanan budidaya akan meningkat 70–80 %. Pernyataannya, mampukah nelayan tradisional dan petani ikan menyediakan biaya operasional sebesar itu? Amat sulit secara logika rasional diterima, apalagi kondisi empiris tatkala BBM dinaikkan 2-3 hari kapal-kapal ikan nelayan diparkir di pesisir pantai karena tak mampu lagi menanggung biaya operasional penangkapan. Akibatnya, nelayan menjadi miskin dan tanpa sumber mata pencaharian yang jelas.

Page 68: Free Trade Watch

67Edisi I - Maret 2012

Analisis Kritis atas Bangunan Teori Kebijakan Menaikkan BBM

Logika ekonomi pemerintah mengeluarkan kebijakan menaikkan BBM sebetulnya tak lepas dari cara pandang ekonomi neo klasik sangat mengedepankan metode pendekatan deduksi matematis dan model ekonometrik. Logika inilah yang dibangun dengan teori keseimbangan pasar yang mengabaikan aspek sosial, relasi masyarakat, perilaku manusia dan politik. Dalam pendekatannya yang matematis, teori neoklasik memiliki aksioma, yaitu :1. Setiap individu bersifat rasional dalam melakukan pilihan (optimisasi);2. Kondisi keseimbangan (ekulibrium) akan terjadi ketika mekanisme pasar

(laissez-faire) bekerja. Aksioma-aksioma ini mereduksi perilaku manusia (human behavior) yang

sejatinya amat sulit dikuantifikasi menjadi suatu optimisasi keadaan yang mekanistis. Teori ini mengeneralisasi keadaan, dimana suatu keadaan yang optimal dapat tercapai pada semua kondisi.

Teori yang dibangun berdasarkan aksioma-aksioma tersebut sulit diterapkan di dunia nyata karena; Pertama, sejatinya situasi dan kondisi yang dihadapi oleh satu individu (atau negara) dalam perekonomian belum tentu sama dengan situasi dan kondisi yang dihadapi oleh indvidu (atau negara) lain.

Kedua, teori mainstream yang mengedepankan metode pendekatan matematis sangat terbatas dalam menjelaskan kondisi di dunia nyata. Dalam kasus kenaikan BBM, teori mainstream yang jadi dasar menelurkan kebijakan menaikkan BBM tak bisa mampu menjelaskan perilaku manusia secara psikologis di pasar tradisional yang tiba-tiba menaikkan harga kebutuhan pokok. Otomatis naiknya kebutuhan pokok akan membuat biaya operasional penangkapan membengkak. Apakah kemudian logis, untuk mengatasi hal itu dengan memberikan BLS? Itu sama saja menyiram air garam di lautan.

Ketiga, teori mainstream juga mengedepankan keadaan yang universal (seragam) di dalam suatu negara, di mana pelaku ekonominya dapat berlaku rasional. Hal ini sangat bertolak belakang dengan keadaan yang dihadapi oleh negara dunia ketiga semacam Indonesia yang penduduknya, bahasa, budaya, hingga agamanya amat heterogen. Makanya, teori mainstream ekonomi (neoklasik maupun neoliberal) tak relevan jadi acuan pembangunan ekonomi di negara dunia ketiga (Lawson, 2006).

Kegagalan pembangunan di negara berkembang (dunia ketiga) dalam menjawab persoalan ekonomi yang dibangun atas dasar mazhab pemikiran neo–klasik dan neo-liberal (fundamentalisme pasar) memunculkan mazhab pemikiran

Page 69: Free Trade Watch

68

heterodoks sebagai anti tesisnya. Teori ini menolak pendekatan metodologis teori mainstream yang dinilai mereduksi keadaan di dunia nyata (empiris) (Lawson, 2006).

Kritik, teori heterodoks terhadap teori neoklasik (ekonomi maistream) yang dibangun atas aksioma-aksioma:

a. Kritik terhadap model individual neoklasik. Teori heterodoks mengritik prinsip neoklasik yang mengasumsikan bahwa setiap individu bersifat rasional dan bertujuan untuk memaksimisasi utilitasnya ketika melakukan pilihan (rational choice theory). Argumentasinya yakni manusia bukanlah mesin pencari kesenangan (pleasure seeking machines) yang hanya bertujuan mencari utilitas maksimum. Teori ini memegang teguh prinsip bahwa perilaku manusia sebagai subyek dalam ilmu ekonomi sulit diprediksi (unpredictable). Makanya, asumsi setiap individu pasti berperilaku rasional tidak dapat diterima.

b. Kritik terhadap model keseimbangan pasar neoklasik. Teori neoklasik, bahwa keseimbangan pasar terjadi ketika ada interaksi murni antara penawaran dengan permintaan (market clearing). Oleh karena itu, harga yang terbentuk di pasar adalah harga yang dihasilkan hanya oleh interaksi antara penawaran dengan permintaan. Teori heterodoks “menolak” hal itu karena dinilai tidak mampu menjelaskan keadaan secara empiris, dimana banyak komponen lain yang menentukan harga. Cara berpikir inilah (yang ditolak pemikir heterodoks) yang dipakai pemerintah sekarang ini dalam kebijakan menaikkan harga BBM bulan April 2012, tanpa mempertimbangkan komponen politik Timur Tengah khususnya Iran yang bersitegang dengan Amerika Serikat dan Israel -- yang menguasai produsen dan perdagangan minyak dunia, juga kondisi lokalitas di masyarakat Indonesia khususnya nelayan yang makin terpuruk kehidupannya.

c. Kritik terhadap model pasar tenaga kerja neoklasik. Teori heterodoks juga menolak teori neoklasik dalam menjelaskan pasar tenaga kerja yang merasionalisasi eksploitasi atas buruh (labor) oleh pemilik modal (kapitalis). Kenaikkan BBM, otomatis akan membuat proses eksploitasi atas buruh (upah buruh disunat) semakin masif atau sebaliknya buruh akan dipecat akibat argumentasi pengusaha yaitu mengefisienkan biaya produksi. Artinya, pasar tenaga juga akan bekerja sesuai mekanisme keseimbangan umum. Kenaikan BBM otomatis akan menaikan biaya produksi. Bila biaya produksi naik, maka perusahaan otomatis akan mengurangi upah buruh agar proses produksi tetap berlangsung. Kondisi semacam ini juga akan menimpa pada perikanan tangkap karena kapal-kapal ikan akan mengurangi aktivitas penangkapannya, yang berimbas

Page 70: Free Trade Watch

69Edisi I - Maret 2012

pada anak buah kapal harus berhenti melaut alias di-PHK karena menekan biaya produksi akibat kenaikan BBM. Padahal, sebelum BBM dinaikkan pun, biaya produksi penangkapan ikan sudah makin tinggi. Sebab, biaya komponen terbesar dalam kapal penangkap ikan adalah BBM.

Amat sulit memang meyakinkan pemerintah untuk tidak menaikkan BBM dan mengurangi subsidi kendati pun konstitusi UUD 1945 memerintahkan negara wajib memberikan perlindungan terhadap warga negaranya (termasuk nelayan). Pemerintah bersikukuh bahwa kebijakan yang mereka buat sudah “benar”, apalagi aksioma-aksioma matematis dalam hukum keseimbangan pasar minyak dan gas ikut menjustifikasi hal itu. Pemerintah hanya mempertimbangkan itu, dan mengabaikan perilaku manusia, habitus, dan pola relasi sosial yang terbangun secara ekonomi pada masyarakat yang terkena imbas kenaikan BBM. Makanya, cara konyol yang dilakukan pemerintah adalah membagikan BLS yang pasti tak akan menyelesaikan masalah. Apalagi dalam proses distribusi BLS itu terjadi manipulasi maupun korupsi, semakin sempurnalah kesengsaraan rakyat. Jadi, menaikkan harga BBM dan memberikan BLS sejatinya hanya mempertegas daftar panjang kesengsaraan rakyat. Bukan solusi panacea bagi kemiskinan dan kesenjangan ekonomi yang makin menganga saat ini.. Dengan demikian, peluang jebolnya APBN (sebagai alasan klasik pemerintah) tak akan terjadi.

Kebutuhan BBM Bagi Perikanan di IndonesiaHingga kini aktivitas perikanan di Indonesia, baik perikanan tangkap maupun

budidaya membutuhkan BBM dalam proses produksinya. Sebagai ilustrasi, dalam paper ini penulis akan menyajikan kebutuhan bahan bakar solar bagi perikanan tuna. Dalam gambar di bawah ini disajikan perkembangan harga solar untuk industri dari tahun 2001-2007. Dari data ini menunjukkan bahwa harga solar mengalami peningkatan apalagi sekarang ini pemerintah akan menaikkan harga BBM. Otomatis harga solar untuk industri juga akan meningkat. Dalam industri perikanan tangkap khususnya tuna, bahan bakar solar menjadi faktor penentu dalam aktivitas penangkapan. Kenaikan harga BBM yang direncanakan pemerintah sebesar Rp 1.500, bukan tidak mungkin akan membuat industri perikanan tuna akan berhenti beroperasi. Yang penulis khawatirkan adalah industri perikanan tuna itu akan berpindah ke negara tetangga khususnya Malaysia dan Thailand yang memberikan subsidi tinggi pada sektor perikanannya.

Page 71: Free Trade Watch

70

Gambar 1Perkembangan Harga Solar Industri Tahun 2001-2007

Hasil analisis PK2Pm tahun 2008 disajikan dalam Gambar berikut.Gambar 2

Kebutuhan Solar Per Trip untuk Kapal TunaDari gambar ini menunjukkan bahwa kapal tuna yang paling banyak

menggunakan solar industri yaitu kapal tuna berukuran di atas 100 GT. Kapal semacam ini umumnya beroperasi di perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dengan target utamanya yaitu ikan tuna. Jenis kapal semacam ini juga memperkerjakan anak buah kapal lebih dari 30 orang dalam satu kapal. Kenaikan harga BBM sampai harga di atas Rp. 7.000 per liter akan menyebabkan biaya BBM bagi setiap kapal tuna mencapai sekitar 66-71 % dari total biaya operasional. Akibatnya kapal tuna dengan ukuran di atas 100 GT mengalami kerugian yang sangat besar bahkan akan berhenti beroperasi. Hasil perhitungan laba rugi kapal tuna ukuran 30-100 GT dapat bertahan (memiliki laba) jika tingkat harga BBM sekitar Rp. 3.200 per liter (PK2PM, 2008). Kapal ikan tuna dapat bertahan sampai harga BBM RP. 4.300, jika biaya lainnya hanya kurang dari Rp. 183.000.000 bagi kapal berukuran di atas 50 GT, dan Rp 114.000.000 bagi kapal berukuran 30-50 GT. Berarti pengusaha perikanan nasional mesti menghemat/mengurangi biaya PHP, administrasi dan pajak lainnya. Bila melebihi angka itu praktis kapal itu akan berhenti beroperasi dan berimbas pada pengangguran ABK kapal dan ketersediaan

Page 72: Free Trade Watch

71Edisi I - Maret 2012

bahan baku industri perikanan akan sulit. Akibatnya, pemerintah mengambil jalan pintas dengan mengimpor dari China atau Filipina. Kondisi ini akan membuat masa “suram” bagi usaha perikanan nasional. Inilah salah satu contoh empiris di sektor perikanan yang terabaikan oleh pemerintah dalam merumuskan kebijakan kenaikkan BBM. Kini pemerintahan SBY-Budiono akan menaikan harga BBM sebesar Rp 1.500 per liter menjadi Rp 6000 per liter, artinya biaya operasional kapal akan naik hingga 70 %.

Secara umum kebutuhan BBM di Indonesia sebagai bahan komparasi disajikan dalam Tabel berikut.

Tabel 1Estimasi Kebutuhan BBM Per Ukuran Kapal Secara Nasional

(Tahun 2005 & 2006)

Sumber: Hasil Analisis PK2PM 2008

Dari data tahun 2005 dan 2006 ini menunjukkan bahwa skala usaha perikanan yang paling tinggi menggunakan BBM yaitu perikanan skala kecil dengan ukuran kapal dari <5 GT hingga <30 GT yang konsumsinya mencapai lebih dari 97 % dari total kebutuhan BBM ukuran kapal secara nasional. Sementara, perikanan skala besar hanya mengknsumsi BBM sebesar 2,66 %. Bila pemerintah ngotot menaikkan harga BBM maka yang terkena imbasnya paling besar adalah perikanan skala kecil yang didominasi nelayan tradisional yang jumlahnya mencapai 4 juta jiwa keluarga nelayan. Bila logika pemerintah menyatakan bahwa menaikkan harga BBM akan mengurangi “angka” kemiskinan secara signifikan karena diguyur dengan BLS adalah omong kosong. Justru kenaikan BBM justru akan memiskinkan 4 juta jiwa nelayan karena tak ada lagi sumber

KLARIFIKASI UKURAN KAPALJUMLAH KAPAL (UNIT) ESTIMASI TOTAL KEBUTUHAN

NASIONAL

2005 2006 KebutuhanKapal/Th (Liter)

(KILO LITER)2005 2006

SKALA KECIL

Perahu Motor Tempel (PMT) 164.230 167.140 2.304 378.386 385.089

KM < 5 GT 82.330 83.886 3.600 296.388 301.990

KM 5 - 10 GT 26.170 27.076 4.800 125.616 129.965

KM 10 - 20 GT 6.010 6.133 12.800 76.928 78.502

KM 20 - 30 GT 3.520 3.715 16.320 57.446 60.621

SKALA BESAR

KM 30 - 50 GT 2.630 2.776 64.800 170.424 179.885

KM 50 - 100 GT 2.720 2.731 120.960 329.011 330.342

KM 100 - 200 GT 1.750 1.760 219.520 384.160 386.245

KM > 200 GT 620 631 442.453 274.321 278.967

TOTAL 289.980 295.848 2.092.680 2.131.606

Page 73: Free Trade Watch

72

mata pencaharian akibat tak mampu membeli BBM dengan harga Rp 6000 per liter dan kenaikan biaya operasional lainnya yang kini sudah mulai melambung. Secara ekonomi politik, kenaikan BBM ini justru membuat nelayan tradisional yang menggunakan 97 % kebutuhan BBM di sektor perikanan akan teralienasi dari habitus dan sumber penghidupannya. Proses alienasi ini terjadi akibat kebijakan negara yang tidak mampu memberikan perlindungan terhadap nelayan. Kebijakan menaikkan BBM dan mengapus subsidi justru memberikan ancaman bagi kehidupan nelayan khususnya sumber mata pencaharian utamanya akan hilang akibat kebijakan negara yang tak berpihak pada mereka. Anehnya, negara justru memberikan charity (berupa BLS), bukan kebijakan yang mampu mengurangi ketergantungan nelayan pada BBM. Umpamanya, pemerintah sebagai representasi negara membuat kebijakan pengembangan sektor perikanan yang hemat menggunakan BBM tapi nilai hasil tangkapan optimal. Kebijakan itu terutama inovasi teknologi yang ramah lingkungan yang tidak merusak ekosistem, misalnya teknologi rumpon. Teknologi ini sudah menjadi tradisi bagi masyarakat nelayan di Bugis dan Makassar. Kelebihannya adalah (1) mampu memperbaiki kondisi ekosistem karena ada rumpun berubah menjadi terumbu karang buatan (artificial) dan (ii) tidak membutuhkan BBM yang besar untuk menangkap ikan. Akan tetapi membutuhkan BBM hanya untuk proses menuju rumpun bolak balik untuk memanen ikan dalam rumpun. Selain itu ada juga teknologi Set Net yang sukses dikembangkan beberapa Provinsi di Indonesia seperti di Sulawesi Selatan dan NTB. Jenis alat tangkap yang bersifat tetap ini proses operasionalnya mirip rumpon, akan tetapi ikan hidup di dalamnya jika sudah masuk dalam set net. Kelebihannya, nelayan bisa melakukan penangkapan secara selektif dengan hanya mengambil jenis ikan yang layak konsumsi, sedangkan yang belum layak dibiarkan hingga besar. Ini juga menghemat BBM dan tidak merusak lingkungan. Juga yang lebih menarik yaitu Sea farming yaitu memanfaatkan kondisi alam berupa “gobah” yaitu jenis terumbu karang fringing reef yang berbentuk melingkar yang ditengahnya terdapat kolam alamiah di lautan sehingga dapat di pergunakan untuk memelihara ikan hingga besar dengan mengambil bibit dari alam atau melalui proses restocking. Berbagai pengembangan model perikanan semacam itu otomatis tak membutuhkan BBM karena nelayan tradisional tak perlu melaut jauh dan berlama-lama. Sayangnya, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) belum optimala mengembangkan kebijakan-kebijakan semacam itu dalam sektor perikanan tangkap. Justru, amat getol mengembangkan industrialisasi perikanan yang belum jelas juntrungannya. Pertanyaan pokoknya, apakah pemerintah sudah punya “blue print” soal ketersediaan bahan baku secara berkelanjutan? Atau, pemerintah berniat mengimpor ikan demi memenuhi keinginan segelintir elit politik di lingkaran kekuasaan untuk mengejar rente ekonomi melalui mekanisme perizinan impor.

Page 74: Free Trade Watch

73Edisi I - Maret 2012

Dampak Ekonomi Politik Kenaikan BBMKebijakan menaikkan harga BBM akan berdampak secara ekonomi politik

karena BBM menyangkut hajat hidup orang banyak termasuk nelayan dalam sektor perikanan tangkap. Setidaknya ada beberapa dampak yang akan muncul yaitu:

Pertama, pengurangan BBM bersubsidi akan berdampak terhadap kenaikan harga BBM ditingkat nelayan, pembudidaya ikan dan pengusaha perikanan. Akibatnya biaya produksi nelayan, pembudidaya ikan dan pengusaha perikanan nasional akan meningkat. Dalam jangka pendek kenaikan harga BBM secara tidak langsung akan menurunkan jumlah nelayan yang siap melaut. Hal ini disebabkan ketidakmampuan nelayan beradaptasi dengan kondisi pasca kenaikan harga BBM. Diperparah lagi disebagain besar tempat pendaratan ikan nelayan kecil belum memiliki Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU).

Kedua, menurunnya jumlah nelayan melaut akan berpengaruh terhadap jumlah hasil tangkapan nelayan dan yang pada gilirannya menurunnya ketersediaan ikan di pasar yang bersumber dari produksi ikan dalam negeri. Secara teori ekonomi dengan menurunnya supply ikan di pasar tersebut, akan mempengaruhi naiknya harga ikan. Sayangnya, nelayan tak mendapatkan keuntungan dari kenaikan harga ikan akibat membengkaknya biaya operasional penangkapan. Apalagi ikan impor ikut menyerbu pasar domestik Indonesia akibat kebijakan pemerintah yang tidak jelas. Data Badan Pusat Statistik (BPS 2011) menunjukan bahwa laju impor ikan tahun 2010 mencapai 10,60 persen per triwulan Otomatis, harga ikan dalam negeri akan jatuh karena harga ikan impor lebih murah ketimbang ikan domestik, apalagi hasil tangkapan domestik akan mengalami penurunan akibat biaya operasional (BBM) yang tinggi. Jadi, nelayan kita sudah jatuh tertimpa tangga pula. Dampaknya pendapatan keluarga nelayan, pembudidaya ikan hingga pengusaha perikanan menururn.

Kesimpulan dan SaranKebijakan menaikkan BBM membuktikan bahwa pemerintahan SBY-Budiono

masih mengagungkan cara berpikir ekonomi mainstream (neoliberal) yang bermazhab fundamentalisme pasar. Bahkan pemerintahan ini, tak punya kuasa menghadapi tekanan lembaga-lembanga keuangan internasional dan organisasi perdagangan dunia agar instrumen kebijakan perlindungan terhadap rakyatnya dicabut. Padahal itu dijamin konstitusi UUD 1945.

Kebijakan menaikkan harga BBM dan mengurangai subsidi pada bulan April 2012 pada sektor perikanan akan berpengaruh terhadap ketersediaan sumber pangan dalam negeri khususnya ikan. Pihak yang paling terkena dampak akibat kenaikan

Page 75: Free Trade Watch

74

BBM dan pengusangan subsidi ini di sektor perikanan yaitu nelayan tradisional karena mereka sebagai konsumen terbesar. Semestinya, pemerintah memberikan perlakuan khusus pada kelompok masyarakat rentan seperti nelayan karena negara berkewajiban melindungi warganya, bukan mengalienasinya dari habitus dan sumber kehidupannya. Lebih aneh lagi pemerintah tak pernah membuat kebijakan yang mampu membuat masyarakat perikanan Indonesia menghemat dalam konsumsi BBM., Di Indonesia terdapat teknologi penangkapan ikan (misalnya set net dan sea farming) dan perikanan berbasis kearifan lokal (model sasi di Maluku dan Kelong di Kepulauan Riau yang menghemat penggunaan BBM. . Pendekatan pembangunan semacam itulah yang bersifat heterodoks karena lebih mempertimbangkan aspek-aspek lokalitas, nilai-nilai, kondisi empiris dan mengakomodasi partisipasi masyarakat sipil sebagai katalisator dan fasilitator pembangunan. Sayangnya, pemerintah sekarang ini tak memiliki visi semacam itu, malah penyelenggara negara terlalu asyik dengan dirinya sendiri dan masing-masing membuat pencitraan seolah-olah telah berbuat banyak terhadap rakyat. Justru faktanya mengalienasi dan membuat rakyat semakin menderita dengan kebijakan-kebijakan yang dibuatnya, umpamanya menaikkan BBM dan mengurangi subsidi.***

ReferensiKarim, M, Apridar, dan Suhana, 2011. Ekonomi Kelautan dan Pesisir. Penerbit

Graha Ilmu Yogyakarta.Lawson, Tony. 2006. The Nature of Heterodox Economics. Cambridge Journal of

Economics 30: 483-505.Lee, Hong-jong. 2003. Development, Crisis, and Asian Values. East Asian

Reviews 15(2): 27-42.Suhana, 2008. Mengoptimalkan BBM Bersubsidi. Koleksi Pribadi. PK2PM 2008._____, 2008. Dampak Kenaikan BBM Terhadap Industri Perikanan. Power Point

Bahan Presentasi Suhana Tahun 2008.

Page 76: Free Trade Watch

75Edisi I - Maret 2012 75Edisi I - Maret 2012

Page 77: Free Trade Watch

76

Industri Minyak Nasional: Hilangnya Sebuah

Kedaulatan

NASIONAL

76

Page 78: Free Trade Watch

77Edisi I - Maret 2012

Menyerahkan ketahanan energi kepada harga minyak internasional memang merupakan pilihan yang sangat beresiko kalau tidak dibilang bodoh. Mengapa? Hampir setiap detik harga minyak internasional

berubah-ubah. Dengan demikian asumsi yang digunakan dalam mematok harga minyak dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dapat dipastikan akan selalu keliru.

Pada saat artikel ini dibuat harga minyak bergerak fluktuatif dan cenderung naik. Website Olil price net, mempublikasikan Crude Oil pada Senin 9 April 2012 - 08:02:39 untuk seharga US$ 101.86 /barel. Sedangkan harga Brent Crude olil US$ 123.43/barel.1 Sementara Nymex mempublikasikan Harga Minyak menyentuh posisi terendah intra-hari sebesar US$ 101.66/bbl dan melayang sekitar US$ 101.88/bbl hari ini hingga jam 4:30.

Harga ditetapkan berbeda-beda tergantung sumber dan kepentingan dari pihak-pihak yang mempublikasikannya. Harga minyak yang berlaku dipasaran riil berbeda sama sekali dengan harga yang berlaku di bursa komiditas. Namun umunnya negara pengimpor minyak harus mengacu pada harga pasar internasional sebagai dasar dalam menentukan harga termasuk Indonesia.

Akibatnya ketahanan energi suatu negara akan sepenuhnya ditentukan oleh situasi eksternal. Situasi eksternal sendiri ditentukan oleh oligopoli minyak. Dulu harga lebih ditentukan oleh organsiasi negara pengekspor minyak yaitu OPEC. Namun sering dengan jatuhnya OPEC harga minyak internasional ditentukan oleh segelintir perusahaan minyak besar dan bursa komoditas di negara maju.

Sementara pada sisi lain harga minya menentukan situasi ekonomi suatu negara. Tidak hanya itu, kenaikan harga minyak dapat menyebabkan stabilitas anggaran suatu negara terganggu. Kenaikan harga minyak juga dapat memicu protes sosial yang seringkali berujung pada penjatuhan kekuasaan.

Jatuh ke Modal AsingIndonesia sesungguhnya adalah negara yang kaya minyak dan gas. Di masa lalu

Indonesia menjadi anggota OPEC karena mengalami surpus minyak yang besar. Negara ini pernah mengalami bom minyak pada dekade 1970-an. Ketika harga minyak dunia meningkat akibat krisis di Timur tengah, Indonesia diuntungkan oleh keadaan tersebut.

Reformasi 1998 yang diikuti dengan berbagai kebijakan liberalisasi, privatisasi mendorong de nasionalisasi perusahaan industri minyak nasional, termasuk Pertamina yang merupakan perusahaan negara yang cukup dominan di Indonsia

1 http://www.oil-price.net/?gclid=CPaf-b7fp68CFUx76wod7HHzXA

Page 79: Free Trade Watch

78

selain Caltex dan Exxon. Salah satu alasan yang digunakan dalam melakukan liberalisasi minyak adalah dikarenakan industri minyak nasional yang cenderung korup.

Proses liberalisasi minyak dimulai dengan dibuatnya UU 22 Tahun 2001 tentang minyak dan Gas. Sejak saat itu posisi Pertamina yangs sebelumnya sangat menentukan bagi ketahanan minyak nasional melemah. Peran Pertamina diambil alih oleh Badan Penyelenggara (BP) Migas. Posisi Pertamina sama dengan kontraktor migas lainnya, termasuk perusahaan-perusahaan asing yang telah dominan sejak era penjajahan Belanda.

Berdasarkan UU 22 tahun 2001 yang dimaksud Badan Pelaksana adalah suatu badan yang dibentuk untuk melakukan pengendalian Kegiatan Usaha Hulu di bidang Minyak dan Gas Bumi. Badan pelaksana diberi kewenangan mengendalikan manajemen operasi (Pasal 6 ayat 2 huruf b), dan membuat kontrak kerjsama dengan perusahaan minyak, termasuk Pertamina.

Dominasi perusahaan asing dan menurunnya peran Pertamina semakin meningkat sejak dikeluarkannya UU 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas. Perusahaan seperti Chevron (dulu Caltex), menguasai hampir separuh kekayaan minyak nasional, diikuti oleh Exxon (gas), Connoco Philip, Petro Cina, CNOOC, British Pertolium, dan lain-lain. Sebanyak 85 persen produksi minyak nasional dikuasai oleh perusahaan asing.

Namun anehnya sejak lahirnya UU 22 Tahun 2001 produksi minyak mengalami penurunan secara konsisten. Keadaan ini memaksa Indonesia mengimpor minyak dalam jumlah yang semakin besar. Tahun 2001 Produksi Minyak 1,3 juta barel per hari. Sekarang kurang dari 900 ribu barel per hari.

Akibatnya pendapatan negara dari minyak sangat rendah. Padahal cadangan minyak nasional sangat besar. Lebih dari 50 miliar barrel minyak tersimpan di perut bumi Indonesia. Sebanyak 4 miliar barel adalah cadangan terbukti.

Negara semakin tergantung pada minyak mentah impor, yang harus ditebus dengan harga yang tinggi dan mengorbankan devisa negara yang sangat besar. Seharusnya kenaikan harga minyak menguntungkan Indonesia jika produksi minyak nasional meningkat secara konsisten.

Kedaulatan Negara Hancur Kenaikan harga pada tingkat global jelas merugikan Indonesia. meskipun

jumlah produksi minyak nasional masih jauh lebih besar dibandingkan dengan jumlah yang diimpor. Sehingga kalau diibaratkan kita menjual seluruh minyak mentah kita ke dalam pasar global, lalu kita membeli kembali sejumlah kebutuhan

Page 80: Free Trade Watch

79Edisi I - Maret 2012

nasional kita maka pendapatan negara dari minyak masih surplus. Hanya saja dengan kecenrungan menurunya produksi minyak nasional, menyebabkan surplus dari pendapatan minyak semakin menurun.

Banyak pihak menduga bisnis migas di dalam negeri boleh jadi merupakan bisnis mafia, penuh kebohongan dan tipu daya. Bisnis yang dengan nilai pasar lebih dari 600 triliun ini, merupakan sumber uang yang sangat menggiurkan. Wajar saja aktor-aktor yang terlibat dalam industri ini akan menempuh segala macam cara, termasuk kebohongan. Mengapa? Dengan berbohong para pihak dapat melipatgandakan keuntungannya.

Ahli perminyakan nasional Dr. Kurtubi dalam diskusi yang diselenggarakan Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (Maret 2012) menyatakan bahwa tidak ada satupun informasi yang dimiliki pemerintah yang dapat dipercaya terkait BBM. Sama halnya dengan Ichsanuddin Noorsy pengamat ekonomi dan energi dalam diskusi yang diselenggarakan Koalisi Anti Utang (April 2012) menyatakan pihak pemerintah sama sekali tidak memiliki data berapa sesungguhnya biaya pokok untuk menghasilkan minya mentah. Sehingga seluruh hitungan yang dikeluarkan oleh pemerintah tidak dapat diyakini kredibilitasnya.

Pemerintah tidak membuka data secara terus terang tentang BBM. Ketidak jelasan dalam data menyebabkan masyarakat sulit mempercayai alasan pemerintah menaikkan harga BBM. Masyarakat mencurigai bahwa kenaikan harga BBM hanya menguntungkan investor migas dan pemerintah pada satu sisi, akan tetapi merugikan mayoritas masyarakat pada sisi lain. Sehingga alasan dibalik kebijakan menaikkan harga BBM disimpulkan sebagai rangkaian dari kebohongan pemerintah, sebagaimana juga kebohongan dalam hal-hal lain, yang kerap kali dilakukan oleh penyelenggara kekuasaan negeri ini.

Namun yang pasti pemerintah mengalami kesulitan anggaran yang besar. Pemerintah mengklaim subsidi BBM yang sangat besar dalam APBN. Nilainya dapat mencapai Rp 200 triliun dengan harga minyak diatas US$ 100 per barel. Sementara itu APBN tidak cukup kuat untuk membiayai subsidi dikarenakan sebagian besar dari APBN hanya cukup untuk menggaji pegawai dan belanja rutin pemerintah. Itulah alasan paling mengemuka mengapa pemerintah hendak menaikkan harga BBM.

Kebijakan ini telah memicu protes sangat luas. Demonstrasi penolakan kenaikan BBM yang berlangsung sepanjang Maret-April 2012 adalah yang paling luas yang pernah diberitakan media massa: mulai dari pelajar, ibu rumah tangga, penganggur, kaum miskin, petani, buruh, mahasiswa, organisasi keagamaan, menyatakan penolakan kenaikan BBM melalui berbagai bentuk aksi yang berlangsung di seluruh tanah air.

Page 81: Free Trade Watch

80

Rezim SBY menjadi ketakutan. Buru-buru bersama rombongan berkunjung ke Cina, untuk apa? Dugaan banyak pihak SBY hendak meminjam uang ke Cina, mengikuti jejak Anggela Marcel presiden Jerman, yang mengemis utang dalam rangka membiayai krisis Euro.

Selain berupaya mendapatkan utang langsung dari luar negeri, pemerintah juga berusaha memperoleh anggaran dengan menjual surat utang. Pemerintah menetapkan target menjual surat utang Rp 300 triliun pada 2012.Memperoleh uang melalui penjualan surat berharga negara (SBN) adalah cara yang paling mudah, namun akan membebani APBN di masa depan.

Kegagalan pemerintah dalam mempertahankan stabilitas APBN dan berusaha menutup defisit APBN dengan utang luar negeri dan penjualan surat utang adalah langkah yang dapat merugikan kepentingan negara. Negara Indonesia dengan utang luar negeri yang sekarang hampir mencapai Rp 2000 triliun akan semakin tersandera oleh kepentingan asing. Selain itu penjualan surat utang kepada investor dapat menyebabkan APBN bangkrut di masa datang karena tidak sanggup membayar bunga dan utang jatuh tempo.

BBM adalah masalah Politik Perdebatan tentang BBM jelas merupakan wilayah politik dikarenakan BBM

merupakan barang publik yang harus dijamin oleh negara. Ketidak mampuan negara dalam menjamin BBM pada tingkat harga yang terjangkau oleh rakyat dapat menyebabkan instabilitas ekonomi dan politik yang luas. Sehingga BBM harus diatur melalui konstitusi yang memungkinkan negara memiliki kontrol atas BBM.

Sekarang ini negara jelas tidak berdaulat atas energi BBM. Penguasaan minyak diserahkan ke swasta. Lebih dari 160 kotraktor migas menguasai kontrak migas nasional. Sebanyak 85 persen produksi minyak mentah dikuasai perusahaan asing. Chevron dan Exxon menguasai hampir 50 persen produksi migas nasional.

Dikarenakan migas dikuasai oleh swasta maka negara harus membeli dengan harga mahal, sesuai dengan harga pasar. Bahkan harga yang dimaksud adalah harga di pasar spekulasi. Artinya negara membeli minyak miliknya sendiri. Padahal negara sudah mengeluarkan uang untuk membiayai produksi minyak (cost recovery) yang diberikan kepada perusahaan swasta, termasuk Chevron dan Exxon. Dikarenakan Migas diobral murah kepada perusahaan asing menyebabkan produksi nasional rendah, sementara harga semakin tinggi. Akibatnya negara dirugikan pada satu sisi namun perusahaan minyak diuntungkan pada sisi lain.

Sebagai konsekuensi atas penyerahan minyak kepada swasta dan modal asing

Page 82: Free Trade Watch

81Edisi I - Maret 2012

maka menjadi kewajiban negara untuk mensubsidi? Hanya dengan cara subsidi stabilitas harga minyak dapat terjamin ditengah gejolak politik global. Jika harga minyak tidak disubsidi maka nasib rakyat terancam oleh keserakahan perusahaan minyak yang memang bertujuan mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan mempermainkan harga.

Selain itu APBN Indonesia telah meningkat tiga kali lipat dalam delapan tahun terakhir, karena meningkatnya pendapatan dari pajak. Sehingga tidak ada alasan pendapatan negara yang besar tidak dialokasikan kembali ke rakyat. Kebocoran APBN yang diklaim pemerintah adalah akibat pemerintahan yang korup, perampokan anggaran oleh pemerintah dan DPR menyebabkan APBN bocor. Jebolnya APBN juga disebabkan gaji pejabat eseolon tiga ke atas terus meningkat. semestinya masalah in efesiensi semacam itu yang harus diselesaikan oleh negara.

Selain itu kenaikan harga BBM di dalam negeri akan memicu kenaikan ongkos produksi barang-barang dan jasa-jasa. Akibatnya Indonesia tidak bisa bersaing dalam pasar global. Indonesia mengalami defisit neraca perdagangan yang besar terhadap China sejak Free Trade Agreement Indonesia-ASEAN-China. Lebih dari 1600 perusahaan nasional bangkrut (2006-2009) dan ratusan ribu tenaga kerja di PHK.

Yang paling penting adalah kenaikan BBM akan menyebabkan orang miskin bertambah miskin. Karena harga-harga akan mahal, harga bahan pokok, transportasi, listrik, biaya pendidikan, kesehatan, perumahan, semua akan ikut naik. Sementara pendapatan masyarakat tidak naik.

Dengan demikian kebijakan politik nasional dalam hal BBM tidak boleh mengacu pada prinsip-prinsip ekonomi semata, tapi harus melihat konstitusi dasar Indonesia dan kondisi obyektif masyarakat.

Pengalaman Argentina Monopoli perusahaan minyak raksasa internasional adalah faktor utama

penyebab turunnya produksi minyak di Indonesia. Sebanyak 85 persen produksi minyak nasional negara ini dikendalikan oleh perusahaan asing. Perusahaan asing berusaha menciptakan ketergantungan Indonesia pada impor. Dengan demikian mereka dapat mempermainkan harga, dan memperoleh tingkat keuntungan yang besar.

Kasus yang sama terjadi di Argentina. Dominasi perusahaan besar asing dalam produksi minyak negara tersebut telah menyebabkan argentina tergantung impor. Setiap tahun produksi minyak negara tersebut turun 10 persen. Sebuah media memberitakan lebih dari US$ 9,4 miliar uang yang dikeluarkan negara Argentina

Page 83: Free Trade Watch

82

untuk membiayai impor.Bedanya, pemerintah Argentina mengambil langkah strategis. Sebuah

perusahaan minyak terbesar YPF SA dari Spanyol. Pemerintah menunding perusahaan asing adalah biang dari anjloknya produksi dan pendapatan negara dari minyak, yang menyebabkan negara tergantung dari impor dan mengalami krisis bahan bakar.

Namun pemerintahan SBY menjadi presiden Indonesia sejak 2004 lalu membiarkan saja dominasi asing atas kekayaan minyak Indonesia. Presiden bahkan menikmati saja produksi minyak nasional anjlok, dan membiarkan Indonesia semakin tergantung pada impor minyak. Bahkan semakin lama wilayah kontrak migas nasional sebagian besar jatuh ke tangan asing.

Di tangan rezim SBY semua sisa-sisa kedaulatan yang dimiki bangsa ini atas sumber energi, dihabisi sampai ke akar-akarnya. Pada saat nanti dia berhenti jadi presiden, maka seluruh gas milik Cina, Jepang dan Korea. Seluruh tambang milik AS, Cina, Jepang dan Australia. Seluruh perkebunan dan hutan milik Malaysia, Eropa. Seluruh minyak Indonesia milik AS, Eropa dan Cina.

Bisakah berdaulat?Indonesia telah mendatangani perjanian internasional WTO dan The Agreement

on Trade-Related Investment Measures (“TRIMs Agreement”), dan lebih dari 67 Billateral Investment Treaties (BIT), di mana perjanjian itu berisi kewajiban perlindungan investasi luar negeri tingkat tinggi. Sebagai abdi nekolim SBY menjalankan semua agreement itu dengan memberikan semua kekayaan migas ke asing

Selain membuat UU migas, Indonesia telah membuat UU 25 tahun 2007 tentang Penanaman modal, yang mengadopsi penuh perjanjian internasional. UU ini menerapkan asas perlakukan yang sama (national treatment) kepada modal asing terhadap modal dalam negeri dan BUMN. Memperbolehkan 99 persen penguasaan migas oleh investor asing. UU yang dibuat rezim SBY ini melarang nasionalisasi oleh negara, namun menyerahkan migas kepada swasta. Akibatnya 85 persen migas dikuasai asing.

Selanjutnya UU 1945 hasil amandemen telah mengubah secara mendasar filosofi, strategi energi nasional Indonesia. UU amandemen telah mengubah pasal 33 UUD 1945 yang asli. UU amandemen mengacaukan definisi menguasai negara. Negara tidak lagi memiliki kontrol penuh atas produksi, distribusi, dan konsumsi migas. kedaualatan rakyat atas migas hilang, berubah menjadi kedaulatan modal asing.

Page 84: Free Trade Watch

83Edisi I - Maret 2012

Namun bukan berarti tidak ada jalan untuk meraih kembali kedaulatan negara di sektor minyak. Perjanijian internasional tidak menghalangi perusahaan negara untuk memiliki dan menguasai minyak. Berbagai negara di dunia dimana perusahaan negara mereka sangat kuat seperti Arab Saudi, Iran, Venezuela, telah terbukti dapat membantu memulihkan kadaulatan negara mereka. Perusahaan negara juga dapat membeli perusahaan asing sebagai bentuk nasionalisasi, yaitu nasionalisasi dengan kompensasi sebagaimana yang diatur dalam BIT.

Upaya untuk mengembalikan kedaulatan energi nasional Indonesia termasuk di sektor minyak dan gas adalah perubahan mendasar terhadap sistem pengelolaannya. Pengelolaan minyak harus dikembalikan kepada amanat UUD 1945 yang asli khususnya pasal 33 ayat 2 dan ayat 3. Industri minyak harus dikuasasi oleh negara dan dikerjakan tidak untuk tujuan mencari keuntungan semata, akan tetapi untuk memenuhi kebutuhan energi nasional secara adil dan berkelanjutan. Perusahaan negara tidak dapat dijual kepada asing.***

Page 85: Free Trade Watch

84

Kenaikan Harga BBM adalah Kebijakan Pro-Nekolim dan Anti Rakyat

NASIONAL

84

Page 86: Free Trade Watch

85Edisi I - Maret 2012

Kebijakan pemerintah yang akan mencabut subsidi BBM dan menaikkan harga BBM ditengah kondisi ekonomi rakyat yang semakin buruk, membuktikan dua hal yaitu: Pertama, pemerintah berpihak pada

kepentingan modal asing, Kedua, kebijakan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang anti rakyat dan semakin korup.

Berikut bukti bahwa Pemerintahan SBY menghamba pada modal asing terkait dengan kebijakan nasional tentang bahan bakar minyak dan anggaran negara.

Pertama, pemerintah memuluskan dominasi dan kontrol asing dalam penguasaan migas di Indonesia. Indonesia memiliki cadangan migas yang besar, diperkirakan mencapai 50 miliar barrel (Kurtubi 2011), dengan demikian pada tingkat konsumsi saat ini masih cukup untuk 100 tahun kedepan. Selain itu Indonesia adalah negara produsen gas alam, eksportir gas alam terkemuka, dan eksportir LNG terbesar nomor tiga di dunia.

Namun kekayaan alam Indonesia tersebut telah jatuh ke tangan modal asing, hal ini terlihat jelas dari produksi minyak mentah nasional berdasarkan perusahaan. (Lihat Bagan 1 dan 2).

Bagan 1Penguasaan Minyal Bumi (2010)

Sumber PWC, 2010

Page 87: Free Trade Watch

86

Bagan 2Penguasaan Gas (2010)

Sumber: PWC 2010

Domoniasi asing sektor hulu migas dilegalkan atas dasar UU 22 tahun 2001 tentang minyak dan gas, UU 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan UU 30 tahun 2007 tentang Energi. Di atas ketiga landasan tersebut pengelolaan energi di Indonesia diserahkan kepada pihak swasta dan dijalankan dengan mekanisme pasar bebas. Berbagai peraturan dibuat oleh pemerintah dalam rangka membuka ruang penguasaan asing dalam industri minyak dari hulu sampai ke hilir, dari produksi hingga perdagangan.

UU Migas menyebabkan perusahaan asing dengan leluasa menjalankan kepentingannya, mongontrol produksi, mengontrol harga, dan bahkan menentukan arah kebijakan energy nasional. Ditangan perusahaan asing katahanan energi nasional, minyak, gas, listrik, semakin kacau balau.

Kedua, semakin bertambahnya pengeluaran negara untuk biaya cost recovery, yaitu uang yang diserahkan pada kontraktor migas sebagai ganti atas seluruh biaya investasi yang dikeluarkan. Sebanyak 85 persen biaya cost recovery diterima oleh perusahaan swasta asing. Biaya cost recovery yang diserahkan kepada kontraktor migas tahun 2011 sebesar 115 triliun rupiah; sementara pendapatan negara dari

Page 88: Free Trade Watch

87Edisi I - Maret 2012

minyak hanya sebesar 112 trilun rupiah. Bahkan tahun 2012 biaya cost recovery akan lebih besar lagi.

Banyak pihak menduga bahwa terjadi korupsi yang besar dalam cost recovery, namun tidak banyak yang dapat dan berani mengungkapkannya. Indikasi paling umum adalah jumlah produksi minyak turun secara drastis. Tahun 2001 produksi minyak nasional 1,3 juta barel/hari, sekarang tinggal 900 ribu barel/hari.

Tabel 1 Biaya Cost Recovery yang harus dikeluarkan Negara untuk

Mengganti Biaya Eksploitasi Migas

Tahun Cost Recovery(Miliiar USD)

Cost Recovery(Rp - Kurs

9200/USD)Sumber

2007 8,9 81,88http://www.bpmigas.go.id/wp-content/uploads/2011/02/Edisi.36.pdf

2008 10,5 96.60

http://www.bpmigas.go.id/blog/2008/09/17/pemerintah-dpr-sepakati-cost-recovery-2009-USD-1201-miliar/

2009 12,01 110,49

http://www.bpmigas.go.id/blog/2008/09/17/pemerintah-dpr-sepakati-cost-recovery-2009-USD-1201-miliar/

2010 12,189 112.10http://www.esdm.go.id/berita/artikel/56-artikel/4028-kaleidoskop-migas-2010.html

2011 12,5 115.00http://www.bisnis.com/articles/cost-recovery-naik-us$800-juta-apbn-tekor

2012 13,34 122.73

Paparan “Upaya Pencapaian Target Produksi Minyak Bumi Tahun 2012 BP Migas” yang dikutip VIVAnews.com, Minggu 11 September 2011 dijelaskan

Disarikan dari berbagai sumber

Page 89: Free Trade Watch

88

Ketiga, meski APBN Indonesia sangat besar yakni mencapai Rp 1.435 triliun (Tahun 2012), mengalami peningkatan sangat besar sejak rezim SBY berkuasa. Tahun 2005 APBN Indoensia sebesar Rp 509 triliun rupiah. Peningkatan tersebut merupakan hasil yang diperoleh dari pajak yang dibayarkan rakyat kepada negara. Namun jumlah subsidi BBM yang terus menurun setiap tahun, sementara pada saat yang sama jumlah pembayaran cicilan utang dan bunga utang semakin tinggi.

Penerimaan Migas (dalam trilyun rupiah - APBN 2006-2012

Berdasarkan data pokok APBN 2012 jumlah bunga utang dan cicilan utang pokok mencapai Rp 169,5 trilun. Hal ini membuktikan bahwa pemerintah lebih berpihak pada modal asing. Tahun 2006 subsidi BBM dalam APBN sebesar 10.1 persen dari total APBN, tetapi pada tahun 2012 hanya tersisa 9,4 persen. Bahkan subsidi terancam dihapus sama sekali. Sehingga bagi rakyat peningkatan APBN hingga 1400 trilin lebih tidak membawa kemaslahatan bagi masyarakat banyak, namun hanya memberi keuntungan bagi pihak asing.

Tahun 2012 pengeluaran negara untuk cicilan utang dan pembayaran bunga sebesar Rp 169,5 triliun, sedangkan subsidi BBM hanya sebesar Rp 123,6 triliun. artinya pemerintah lebih mengabdi pada modal asing dibandingkan dengan rakyat. Fakta diatas menunjukkan rezim SBY antek Nekolim dan anti rakyat

Perilaku Pemerintahan SBY yang korup menjadi parasit dalam perekonomian. negara kehilangan kemampuan dalam membangun pertanian, industri, meningkatkan kesempatan kerja dan kesejahteraan rakyat, dikarenakan perbankkan, institusi keuangan, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menjadi lahan korupsi para pejabat negara.

Secara umum korupsi dalam APBN terdapat dalam dua sisi yakni: pertama, sisi penerimaan, di mana penerimaan negara baik sumber daya alam, pajak, menjadi lahan jarahan pejabat negara. Kasus korupsi Dirjen Pajak, seperti Gayus, kasus

Page 90: Free Trade Watch

89Edisi I - Maret 2012

Dhana Widyatmika, adalah sebagian dari praktek korupsi yang terkuak. Akibatnya pendapatan negara jauh lebih kecil dari yang semstinya. Sebagian besar informasi menyebutkan bahwa lebih dari 70 persen penerimaan pajak hilang, masuk ke kantong para pemungut pajak, anggota DPR dan aparat hukum. Kedua, dari sisi pengeluaran. APBN sebagian besar hanya untuk berfoya-foya para pejabat negara. Sebagian besar anggaran APBN habis untuk belanja rutin, gaji pegawai, anggota DPR, menteri dan presiden. Proyek-proyek dalam APBN menjadi lahan jarahan Anggota DPR, presiden, menteri, partai politik, dan birokrat. Rakyat hanya kebagian ampasnya.

Pemerintahan dibangun diatas korupsi. Seluruh level penyelenggara negara telah bersarang tumor korupsi yang dahsyat. Ribuan triliun anggaran negara lenyap. Kasus-kasus korupsi seperti BLBI, Century, Mafia Pajak, Mafia anggaran APBN, rekening gendut jenderal polisi, dan berbagai mega korupsi lainnya, telah menunjukkan bahwa moralitas rezim pemerintahan SBY telah jatuh dan tidak memiliki alasan untuk mengambil kebijakan mencabut subsidi dan menaikkan harga BBM. (Daeng)

89Edisi I - Maret 2012

Page 91: Free Trade Watch

90

Kenaikan Harga BBM, Petani dan Mandat Konstitusi RI

NASIONAL

Achmad Ya'kub Ketua Departemen Kajian Strategis Nasional, Dewan Pengurus Pusat Serikat Petani Indonesia (SPI) dan Koordinator Pemuda Tani Asia Tenggara Asia Timur La Via Campesina.

Rencana kenaikan BBM kembali digulirkan pemerintah tahun ini, setelah 4 tahun lalu pemerintah menaikkanharga BBM.Jika kita hitung-hitung akumulasi kenaikan BBM selama periode kepemimpinan SBY telah

mencapai 200 persen. Suatu kenaikan yang sangat fantastis. Pada tahun ini rencana kenaikan harga BBM disebabkan oleh naiknya harga minyak mentah dunia, dari USD 69.5 menjadi USD 105 per barel,sehingga pemerintah mengasumsikan beban subsidi BBM dalam APBN semakin besar dan hingga mencapai 126,59 triliyun. Alasan lain dari Pemerintah melalui Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral menyatakan bahwa hal ini merupakan langkah menuju Indonesia bebas subsidi BBM pada tahun 2014, dengan alasan bahwa dengan harga mahal, maka orang akan "terpaksa" untuk menghemat BBM (www.bphmigas.go.id).

Page 92: Free Trade Watch

91Edisi I - Maret 2012

Namun demikian, persoalan kenaikan harga BBM pada dasarnya tidak bisa dilepaskan dari perbedaan cara pandang dalam memahami subsidi itu sendiri. Dalam paradigma ekonomi liberal, subsidi dianggap menciptakan alokasi sumber daya yang tidak efisien dan menyebabkan distorsi harga yang akibatnya menciptakan suatu inefisiensi dalam perekonomian. Sebaliknya, menurut cara pandang ekonomi kerakyatan dengan merujuk pada Pasal 33 ayat 1, 2, dan 3 Undang Undang Dasar 1945, berpandangan bahwa tugas Negara dalam perekonomian adalah mengelola anggaran Negara untuk kesejahteraan rakyat, memberlakukan pajak progresif dan memberikan subsidi bagi rakyat (Baswir, 2009).

Jadi alasan kenaikan harga BBM yang diberi pemerintah kepada masyarakat itu manipulatif dan menyesatkan. Salah satu alasan kenaikan harga BBM adalah untuk liberalisasi ekonomi. Negara Indonesia sudah terikat perjanjian dengan IMF untuk melaksanakan konsensus Washington, untuk menjalankan ekonomi liberal. Sebagai unsur dari agenda Konsensus Washington, tujuan utama kebijakan peniadaan subsidi BBM pada dasarnya adalah untuk memperbesar peranan mekanisme pasar dalam penyelenggaraan perekonomian Indonesia. Upaya tersebut juga tidak lepas dari peran institusi-institusi internasional lainnya seperti Bank Dunia, Asian Development Bank, USAID, OECD, dan G-20.

Masih Menurut Revrisond Baswir 2005, pada tahap selanjutnya, sejalan dengan dilakukannya unbundling PT.Pertamina, sebagaimana terungkap dalam Undang Undang (UU) Minyak dan Gas No. 22/2001, kebijakan tersebut diharapkan dapat merupakan insentif bagi para investor pertambangan untuk menanamkan modal mereka di Indonesia. Sebagaimana diketahui, sudah sejak lama perusahaan-perusahaan multinasional yang bergerak dalam bidang pertambangan minyak dan gas, seperti Exxon Mobil, Chevron Texaco, BP Amoco Arco, Total Fina Elf, dan Shell, sangat berhasrat untuk memperluas wilayah kerja mereka di Indonesia. Dengan sistematis juga dalam UU Penanman Modal No. 25/2007, akan memperkuat sepak terjang modal asing di Indonesia didalamnya memuat terkait perlakuan yang sama antara modal asing dengan modal dalam negeri.

Padahal, sesuai dengan UU Pertambangan Minyak dan Gas No. 44 Prp/ 1960 dan UU Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara No. 8/1971, perusahaan-perusahaan multinasional tersebut hanya diperkenankan berperan sebagai kontraktor dalam proses eksplorasi minyak dan gas di Indonesia. Itu artinya, kenaikkan harga BBM akan memuluskan neokolonialisme. Artinya kebijakan menaikan harga BBM sekali lagi bukan sekedar merespon situasi ekonomi global belaka. Namun tidak lepas dari sistem ekonomi neoliberal dimana diseluruh sendi kehidupan masyarakat akan di liberalisasi dan diprivatisasi untuk memenuhi kebutuhan mekanisme pasar.

Page 93: Free Trade Watch

92

Untuk itulah kemudian UU Minyak dan Gas No 22/2001 oleh masyarakat dijudicial reviewkan di Mahkamah Konstitusi. Yang mana dalam amar putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan pasal 28 ayat (2) dari UU nomor 22 tahun 2001 tentang Migas tersebut bertentangan dengan UUD RI. Putusannya bernomor 002/PUU-I/2003 yang berbunyi:

“Harga bahan bakar minyak dan gas bumi diserahkan pada persaingan usaha yang sehat dan wajar dari Undang-Undang nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945.”

Karena itu, kebijakan pemerintah dalam menentukan harga BBM di dalam negeri dengan mengikuti harga pasar internasional jelas merupakan pelanggaran konstitusi, namun dalam prakteknya pemerintah tidak melaksanakan keputusan MK ini. Bila pemerintah terus tidak mengindahkan hasil keputusan MK ini, maka sampai kapanpun harga BBM domestik sebagai variabel statis akan terus terkoreksi dan penuh ketidakpastian karena berdasarkan harga minyak dunia yang selalu dinamis harganya. Juga sulit diprediksi harga pasar internasional itu.

Dampak bagi Petani Secara umum kenaikan harga BBM akan menjerumuskan penduduk miskin dan

rentan yang di dalamnya termasuk petani yang populasinya saat ini masih sangat banyak di Indonesia. Menurut Bappenas yang dimuat di Kompas Maret 2012 misalnya 40% penduduk Indonesia termasuk dalam kelompok rentan (1,5 kali garis kemiskinan ~Rp. 350.000/bulan/kapita). 30% penduduk Indonesia termasuk dalam kelompok hampir miskin (1,25 kali garis kemiskinan ~ Rp. 292.175/bulan/kapita). Kemudian meskipun menurut pemerintah ekonomi tumbuh, pada tahun 2012 masih tedapat 12,5% (30 juta) penduduk miskin (garis kemiskinan setara Rp. 233.740/bulan/perkapita).

Bagi petani, kenaikan harga BBM artinya juga kenaikan biaya produksi. Bagi petani kecil atau buruh tani setidaknya biaya produksi selain benih dan pupuk juga meliputi harga sewa tanah, sewa traktor dan pompa air demikian juga pengolahan hasil panen seperti usaha penggilingan padi dan ongkos angkut atau transportasi.

Misalnya Sebuah traktor tangan berkekuatan 8.5 PK membutuhkan solar sebanyak ±18 liter/ha sekitar Rp. 81.000 untuk pengolahan lahan sampai siap tanam yang memerlukan waktu ± 18 jam. Saat ini rata-rata sewa traktor Rp 500.000 per hektar plus buruh tani mencapai Rp. 650.000, diperkirakan akan naik menjadi Rp. 700.000-an. Belum lagi bagi petani penyewa, bisa dipastikan sewa tanah akan naik. Pengalaman ditahun 2008, sewa tanah di Cirebon Jawa Barat naik 100%, yaitu dari Rp. 5 juta/ha/tahun menjadi Rp. 10 juta/ha/tahun. Artinya

Page 94: Free Trade Watch

93Edisi I - Maret 2012

semua kenaikan ini akan dibebankan kepada petani, seperti yang sudah terjadi sebelumnya ditahun 2008 lalu.

Bahkan baru rencana kenaikan BBM sudah memberikan dampak sosial dan ekonomi bagi petani di berbagai daerah. Seperti di Ponorogo petani yang ingin membeli solar dalam jumlah yang cukup besar tersebut untuk traktor dan perontok padinya harus mendapatkan surat ijin dari kepala desa. Hal ini karena dikhawatirkan bahwa petani akan menimbun bahan bakar menjelang kenaikan ini, mengingat solar dan BBM lainnya mulai sulit didapat seperti yang diungkapkan Ruslan, Ketua DPW SPI Jawa Timur.

Belum lagi harga pangan sudah mulai merangkak naik merespon rencana pemerintah ini. Misalnya harga beras IR64-III, yakni beras kualitas premium yang paling banyak dikonsumsi masyarakat sudah mencapai Rp. 6.750/kg jauh dari Inpres No. 3/2012 yang hanya menetapkan Rp. 6.600/kg. Namun sebaliknya harga Gabah Kering Panen ditingkat petani justru turun mencapai Rp. 1000/kg, menjadi Rp. 3.300/kg. Jadi terbuka sudah kedok pemerintah, bahwa menaikan HPP beras/gabah bukanlah bertujuan meningkatkan pendapatan petani. Namun hanya menyesuaikan inflasi dan dampak langsung maupun tidak langsung kepada petani akibat kenaikan BBM ini.

Jadi skema kompensasi BBM seperti BLT hanya menjadi "pemanis" sementara dan tidak akan sanggup membantu masyarakat miskin dan menengah ke bawah. Lagipula BLT bukanlah proses pembangunan yang berkelanjutan bagi rakyat, karena BLT hanya sekedar bantuan, bukan pemberdayaan. Seperti pengalaman kenaikan bertahap BBM tahun 2005 dilanjutkan dengan kenaikan tahun 2008, hal ini hanya menjadi "pemanis" sementara di awal kenaikan BBM namun ke depannya akan menjerat rakyat dalam kemiskinan. Sepertinya pemerintah sulit membedakan antara bantuan dan pemberdayaan serta pemenuhan hak masyarakat.

Di tengah situasi saat ini sudah sepatutnya secara luas rakyat menolak kenaikan harga BBM yang merupakan kebijakan liberalisasi, privatisasi, komersialisasi dan korporatisasi sektor energi di Indonesia. Yang pasti tidak berpihak kepada rakyat. Di samping itu juga mendesak adanya Kebijakan penghematan energi dengan pajak tinggi bagi kalangan yang menggunakan energi yang besar, serta memaksimalkan teknologi energi yang merakyat, murah dan massal seperti tenaga air, angin, matahari, gelombang laut dan biogas. Dengan juga kebijakan pertanian haruslah didorong dengan model pertanian keluarga yang berkelanjutan. Perdesaan adalah sumber penghasil energi, yang kemudian sejak revolusi hijau justru menjadi konsumen energi. Dengan pertanian berkelanjutan penggunaan energi sangat sedikit dibandingkan dengan pertanian berbasis korporasi seperti yang sedang didorong oleh pemerintah saat ini.

Page 95: Free Trade Watch

94

Ketidakadilan BBM Nelayan

NASIONAL

94

Mida SaragihDeputi Pengelolaan Sumber Daya Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan/ KIARA dan Koordinator Satuan Tugas Akuakultur pada Southeast Asia Fish for Justice / SEAFish

Page 96: Free Trade Watch

95Edisi I - Maret 2012

BertahanPERINGATAN Hari Nelayan Indonesia 2012 ditandai dengan naiknya harga

solar dari Rp4.300 (Perpres No. 9 Tahun 2006) menjadi Rp4.500 (Peraturan Presiden No. 15 Tahun 2012). Kebijakan ini merupakan bukti kesekian kalinya ketidakberpihakan Pemerintah Indonesia kepada nelayan dan masyarakat pesisir. Sebuah riset akademis mahasiswi IPB pada tahun 2003 berlokasi di Pelabuhan Ratu menemukan bahwa dampak paling besar dari kenaikan BBM pada waktu itu adalah terhadap nelayan skala kecil dengan tonase kapal 5-10 gross ton, karena pendapatan mereka berkurang 48,5 persen. Situasi tersebut berlanjut hingga sekarang. Bagi nelayan, urusan kenaikan BBM jadi persoalan hidup dan mati.

Berdasarkan temuan lapangan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), nelayan tradisional di Langkat dan Serdang Bedagai, Sumatera Utara sudah merugi akibat bahan bakar jenis solar mengalami kenaikan harga antara 6.000 rupiah hingga 7.000 rupiah per liter di tingkat pengecer. Tidak hanya kenaikan harga, bahan bakar jenis solar sudah menjadi barang langka di koperasi-koperasi, sehingga para nelayan terpaksa membawa jerigen ke SPBU resmi. Itu pun tidak mudah, karena pihak pengelola SPBU melarang pembelian dengan jerigen. Sedangkan di banyak TPI (tempat pelelangan ikan) belum tersedia fasilitas Solar Packed Dealer untuk Nelayan (SPDN) yang memadai, sehingga mereka kesulitan dan bahkan terpaksa batal melaut. Ujungnya pengecer yang bisa diandalkan untuk mendapat solar. Selain akses terbatas, pungutan liar terjadi pada sejumlah nelayan di Aceh, Sumut, DKI Jakarta; Jawa Tengah, Jawa Barat dan lainnya. Mereka mengeluhkan adanya pungutan liar setiap membeli bahan bakar minyak (BBM) oleh oknum petugas SPBU terdekat. Di Indramayu, untuk tiap pembelian, dikenai 10 ribu rupiah per jerigen. Dengan nelayan biasa membeli kebutuhan BBM menggunakan antara tiga hingga enam jerigen, maka harus mengeluarkan uang tambahan 10 ribu rupiah dikalikan dengan jumlah jerigen.

Situasi ini mengerucut pada tiga ketidakadilan yang dapat dilihat dari kebijakan energi terhadap nelayan Indonesia, pertama, harga BBM yang diterima oleh nelayan dapat mencapai 100% lebih mahal dari harga yang ditetapkan pemerintah, bahkan bisa mencapai lebih dari 300% untuk mereka yang tinggal di pulau-pulau kecil, di mana biaya distribusi ditanggung penuh oleh nelayan. Kedua, tidak adanya kesungguhan pemerintah untuk memberikan akses terhadap energi secara mudah saji dan berkelanjutan kepada keluarga nelayan. Ketiga, dalam situasi pemerintah belum mampu memberikan kemudahan akses (distribusi) BBM kepada nelayan, serta menjamin ketersediaan dengan harga yang murah, pemerintah justeru mengkriminalisasi perilaku (pola adaptasi) nelayan untuk mendapatkan BBM dengan menyebutkan nelayan disejumlah daerah penjahat energi (baca: penimbun).

Page 97: Free Trade Watch

96

Di bawah situasi demikian, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2012 tentang Harga Jual Eceran dan Konsumen Pengguna Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu dengan substansi mengatur pengurangan subsidi BBM, di mana ditetapkan harga solar naik dari 4.300 rupiah menjadi 4.500 rupiah per liter. Jauh sebelum peraturan ini ada, nelayan tradisional sudah berusaha bertahan dari

harga BBM non subsidi yang fluktuatif. Pada tahun 2005, Pemerintah dua kali menaikkan harga BBM, di bulan Maret, harga solar dinaikkan 27% atau dari 1.650 ke 2.100 rupiah per liter, dan 32% untuk premium (dari 1.810 rupiah ke 2400 rupiah per liter). Harga kembali naik pada 1 Oktober, yakni solar dari 2.100 rupiah menjadi 4.300 rupiah per liter (105%). Sementara premium naik dari 2.400 rupiah menjadi 4.500 rupiah per liter. Pada tahun 2008, harga BBM kembali dinaikkan dengan alasan yang kurang lebih sama, yakni kenaikan harga minyak mentah dunia.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menaikkan harga BBM, dan pernah berujar, “I don’t care with my popularity.” Soal menaikkan harga energi bisa jadi hal biasa baginya, tak perduli apakah popularitas akan jatuh atau tidak. Kemungkinan prioritas kebijakan ini untuk menjaga popularitas di depan para pemilik modal, dengam hadirnya investor asing yang ikut mendistribusikan BBM, yang harganya masih lebih tinggi ketimbang Pertamina. Wacana kenaikan BBM tidak pernah jauh dari upaya penyetaraan harga dengan harga pasar.

Perlindungan Dengan keterpurukan nelayan saat ini, harusnya ada upaya mengembalikan

kepercayaan mereka pada pemerintah. Karena perubahan sikap politik nelayan akibat akumulasi dari kesulitan-kesulitan yang dialami mereka selama ini. Semakin lama, nasib nelayan semakin terabaikan. Sebelumnya, banyak janji-janji politik yang digelontorkan. Janji-janji pada saat kampanye tidak sesuai atau bertolak belakang dengan kondisi yang ada. Rencana kenaikan harga BBM yang diberlakukan negara termasuk bagian dari pengingkaran janji-janji saat kampanye. Apalagi, terdapat beberapa alasan mendasar untuk mempertahankan subsidi BBM bagi nelayan.

Pertama, di Indonesia, terdapat 2,7 juta nelayan dengan 557 ribu kapal dan di antaranya 550.310 kapal berbobot mati di bawah 30GT atau 98,77 persen dari total kapal yang ada di Indonesia (Kelautan dan Perikanan dalam Angka, 2011). Mayoritas nelayan Indonesia merupakan nelayan tradisional, termasuk para pengguna sampan yang dilengkapi mesin berbahan bakar.

Kedua, ketika harga BBM naik, dipastikan biaya operasional nelayan bakal

Page 98: Free Trade Watch

97Edisi I - Maret 2012

membengkak. Biaya untuk BBM mencakup sekitar 50-60% dari keseluruhan biaya operasi penangkapan ikan. Bagi nelayan tradisional dengan tonase kapal di bawah 5 GT, bahkan bisa lebih dari 60%. Semakin jauh jangkauan tangkapan, maka semakin besar pula BBM yang digunakan kapal. Sehingga, ketidakstabilan atau perubahan harga BBM khususnya solar sangat berpengaruh terhadap frekuensi kegitan dan hasil tangkapan.

Ketiga, kenaikan harga BBM bakal kian mempersulit perekonomian keluarga nelayan. Menurut sejumlah nelayan, sekali melaut paling banyak mereka memperoleh untung setidaknya 20 persen. Sebab, sebagian besar uang yang diperoleh dari hasil menjual ikan, digunakan untuk membeli BBM. Sebagian lagi untuk membeli bekal selama melaut (es balok, bahan makanan, rokok), perbaikan jala dan sebagainya. Keuntungan yang hanya rata-rata 20 persen dari hasil tangkapan inilah yang dibagi rata antara nelayan buruh dan pemilik perahu. Di Kabupaten Gresik, Jawa Timur, untuk satu kali melaut, nelayan tradisional setidaknya membutuhkan 10 liter solar yang jika dirupiahkan menjadi Rp 45 ribu. Bagi sebagian nelayan, jumlah itu membengkak menjadi Rp 50 ribu karena mereka membeli solar secara eceran. Untuk makan di tengah laut, setidaknya membutuhkan biaya Rp 10 - Rp 20 ribu dan kisaran yang kurang lebih sama untuk membeli es dan lainnya. Tak setiap hari ikan ada, namun kadangkala ikan cukup berlimpah. Tetapi, saat rata-rata ikan yang ditangkap hanya dihargai Rp 20 - Rp 40 ribu per kilogram oleh para pedagang yang menampung hasil tangkapan nelayan. Jika hanya uang sejumlah 250 hingga 500 ribu rupiah yang didapat, terus akan kemanakah para nelayan mencari selisihnya?

Terlebih situasi nelayan tidak seperti sopir angkutan, yang bisa menekan pemerintah untuk menaikkan tarif angkutan. Di satu sisi, lantaran kuatnya pengaruh tengkulak, nelayan tidak bisa seenaknya menaikkan harga ikan hasil tangkapannya, sebab bisa jadi tidak laku terjual. Bisa-bisa, nelayan tidak mendapat untung sama sekali saat turun melaut, karena habis untuk beli solar atau bensin.

Keempat, bercermin dari kenaikan harga BBM 2008, ternyata berdampak terhadap frekuensi nelayan melaut. Kenaikan BBM membuat rata-rata frekuensi melaut nelayan hanya 180 hari dalam setahun, dengan rincian 9-15 hari dalam sebulan (KIARA, 2011). Jika nelayan makin jarang melaut, niscaya bakal membuat pasokan ikan ke berbagai pelabuhan menyusut tajam. Di pihak lain, industri pengolahan ikan di berbagai daerah harus siap menjerit karena kekurangan bahan baku. Adapun nelayan asing boleh jadi bertepuk-tangan karena melihat kapal nelayan Indonesia tidak lagi mampu mengarungi wilayah zona ekonomi eksklusif 200 mil ke atas.

Kelima, diperkuat pula oleh putusan Mahkamah Konstitusi pada uji materi UU Migas, bahwa harga BBM tidak boleh berdasarkan persaingan usaha.

Page 99: Free Trade Watch

98

Untuk solusi jangka panjang, harus bisa mengembalikan hak menguasai negara atas tambang, sumur, kilang dan tangki—sebagai faktor yang mempengaruhi kurangnya penerimaan negara dari sektor migas. Indonesia butuh renegosiasi kontrak pertambangan migas.

Terakhir, APBN memperoleh surplus/ sisa uang tunai atas operasi migas meskipun harga BBM tidak dinaikkan. Lantas, di mana sisa uang keuntungan menjual BBM? Angka surplus tersebut mungkin saja semakin kecil saat harga minyak dunia meningkat, karena status Indonesia sebagai net importir migas; dan juga dimanfaatkan untuk membayar hutang luar negeri, gaji staff ahli, belanja impor dan lain-lain. Melihat strategisnya sektor kenelayanan, memotong anggaran yang merugikan bisa menjadi solusi.

Optimalisasi Rencana kenaikan harga BBM membuat rakyat nelayan kian terpuruk, karena

melambungnya harga bahan bakar di daerah mereka, apalagi disertai dengan kenaikan harga bahan pokok lainnya. Lebih dari itu, perekonomian makro kita sepertinya menggambarkan bahwa Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi cukup signifikan yakni 4-6 persen, tetapi kenyataan di lapangan menunjukkan daya beli masyarakat nelayan sangat melemah. Pun begitu, nelayan terus bekerja mencari ikan.

Pemerintah sudah sepatutnya lebih cerdas dalam memajukan nelayan, demi kesejahteraan yang layak. Selain beberapa usulan tersebut di atas, negara perlu memprioritaskan hadirnya BBM bersubsidi. Tentu ini perlu dibarengi dengan optimalisasi lini distribusinya, yakni merevitalisasi fungsi koperasi nelayan dan penyedia BBM untuk nelayan (SPDN) guna menghindari kesalahan peruntukan.

Kebijakan ekonomi ril mempengaruhi rakyat secara nyata. Ketika rakyat tak punya atap di atas kepalanya, tak bisa membayar biaya pengobatan atau membeli makanan. Maka segala sesuatunya, termasuk momentum kemerdekaan RI berujung pada kesia-siaan. Jangan lupa itu! Pastikan segala sesuatunya bagi Indonesia yang lebih baik.***

98

Page 100: Free Trade Watch

99Edisi I - Maret 2012 99Edisi I - Maret 2012

Page 101: Free Trade Watch

100

Masalah Perminyakkan Indonesia dan Solusi Konstitusional1

1 Disarikan dari hasil Diskusi Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), dengan nara sumber utama Narasumber: Dr. Kurtubi, Kamis, 23 Februari 2012.

PUBLIK

100

Page 102: Free Trade Watch

101Edisi I - Maret 2012

Kamis, 23 Februari 2012, Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) menyelenggarakan diskusi mendalam tentang rencana pemerintah SBY – Boediono untuk mencabut subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM).

Diskusi yang menghadirkan pembicara utama Dr. Kurtubi dan penanggap diantaranya Dr Hendri Saparini, Dr. Revrisond Baswir, Marwan Batubara dan anggota AEPI lainnya. Diskusi mendalam ini berlangsung antara 13.00 – 17.00 Wib, bertempat di Hotel Cipta II Mampang Prapatan Jakarta Selatan.

Adapun yang menjadi tujuan dari dikusi ini adalah untuk memahami arah kebijakan pembatasan BBM bersubsidi dan keuangan negara (APBN), memahami actor-aktor utama yang mengambil keuntungan dari kebijakan ini dan mencoba memahami posisi negara dan peran rakyat dalam mendapatkan sumber energy untuk meningkatkan produksi dan produktifitasnya.

Adapun garis besar pandangan Dr. Kurtubi terhadap kebijakan pemerintah SBY di sektor energy BBM dan tanggapan terhadap rencana pemerintah menaikkan harga BBM, yaitu sebagai berikut:

1. Tentang Merosotnya Produksi Minyak MentahSaya mempunyai pandangan tentang pengelolaan migas secara umum atau

masalah BBM secara khusus. Agar lebih terarah, pertama tama saya kemukakan bahwa produksi (lifting) minyak Indonesia yang amat sangat rendah. Pada tahun 2011 produksi minyak mentah Indonesia hanya sekitar 905.000 barel per hari dan di bulan Januari 2012 turun menjadi 880.000 b/h, sedangkan kebutuhan minyak nasional sekitar 1.5 juta b/h. Padahal di tahun 1999, lifting minyak Indonesia masih sekitar 1,5 juta b/h, dan pada tahun 2004 saat Presiden SBY pertama kali memegang kekuasaan, lifting minyak masih sekitar 1,3 juta b/h. Sedangkan secara geologis, sumberdaya (resources) minyak di perut bumi Indonesia relatif amat sangat besar, sekitar 50-80 milyar barel.

Permasalahan minyak ini ditambah dengan kapasitas kilang BBM yang stagnant selama lebih dari 15 tahun terakhir pada level sekitar 1.050.000 b/h, tanpa ada penambahan kapasitas kilang baru. Sedangkan kapasitas kilang yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri saat ini adalah sekitar 1.500.000 b/h. Akibatnya Indonesia harus impor minyak mentah sekaligus BBM dalam jumlah yang besar dan dengan harga pasar. Harga minyak brant saat ini USD 120/barel, karakteristik minyak yang dibutuhkan Indonesia seperti minyak brant ini atau disebut juga minyak laut utara dan jenis basket minyak OPEC yang harganya sama yaitu USD 120/barel.

Dari data produksi minyak Indonesia, dapat dilihat dalam gambar, bahwa dari

Page 103: Free Trade Watch

102

tahun 1966 produksi minyak naik terus hingga mencapai puncaknya pada tahun 1977 dengan produksi 1,6 juta b/h, selanjutnya dari tahun 1977 hingga tahun 1999 produksi minyak naik turun. Mengapa produksi minyak naik, penyebabnya hanya dua, pertama karena adanya penemuan cadangan baru, dan kedua lapangan sumur lama produksinya ditingkatkan kembali. Sedangkan mengapa produksi turun, karena lapangan sumur sudah tua dan tidak adanya penemuan cadangan baru.

Dalam gambar dapat dilihat bahwa sejak tahun 1999, produksi minyak Indonesia anjloknya luar biasa, hingga akhirnya seperti sekarang di mana produksinya hanya 880.000 b/h. Turunnya produksi minyak ini seharusnya tidak perlu terjadi karena kita mempunyai resources 50 milyar barel. Minyak yang langsung bisa diproduksi berasal dari proved reserves atau cadangan terbukti yang setiap saat bisa diambil. Diperkirakan proved reserves Indonesia sebesar 3,8 milyar barel. Dari resources yang sebanyak 50 milyar barel untuk bisa diolah menjadi proved reserves membutuhkan pengeboran sumur baru yang berarti harus ada investasi baru. Investasi baru inilah yang tidak ada dalam belasan tahun belakangan ini. Sehingga anjloknya produksi karena tidak ada investasi untuk pengeboran pada sumur baru.

Anjloknya investasi eksplorasi (pemboran eksplorasi di blok baru) menyebabkan langkanya penemuan cadangan /lapangan minyak baru, sehingga produksi hanya mengandalkan lapangan-lapangan yang sudah tua. Padahal sumberdaya (resources) minyak relatif masih sangat besar dan harga minyak dunia relatif sangat tinggi. Dalam teori ekonomi perminyakkan, yang mendorong investor mau

Page 104: Free Trade Watch

103Edisi I - Maret 2012

melakukan investasi itu ada dua faktor, yaitu faktor ekonomi yang diwakili harga minyak dunia dan faktor geologi yang diwakili oleh potensi sumberdaya minyak.

Di mana-mana umumnya bila harga minyak dunia naik maka investasi terhadap pencarian cadangan minyak akan lebih banyak, karena industri perminyakkan memiliki profit yang tinggi. Berdasarkan hasil penelitian di Amerika Serikat, price elasticity of oil discover (elastisitas harga bagi penemuan cadangan minyak baru) di AS sebesar 1,87 (Bouhabib, 1977), 2,43 (Eysell, 1978), dan yang paling baru 1,61 (Alshami, 1994) ini merupakan yang paling elastic di AS. Jadi kalau harga minyak naik 10 persen maka penemuan baru akan naik lebih dari sepuluh persen. Bagi Indonesia saya kemukakan price elastic nya adalah sebesar 1,4 (Kurtubi, 1998), saya persentasikan ini pada Konferensi Proceedings IAEE di Quebec, Kanada pada tahun 1998.

Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa rendahnya produksi Indonesia karena anjloknya pengeboran eksplorasi. Pada tahun 1983, masih 264 sumur (eksploratory drilling) pertahun lalu pada tahun 1999 anjlok menjadi 90 sumur, dan pada tahun 2000 anjlok menjadi 82 sumur, sedangkan di tahun itu terjadi pengajuan RUU Migas di DPR. Untuk kepastian usaha investasi di Indonesia, peraturan perundang-undangan tentang migas mau diganti. Namun pada tahun 2001 sejak UU Migas disahkan, jumlah pengeboran sumur eksplorasi baru tetap anjlok hingga menjadi 62 sumur.

Page 105: Free Trade Watch

104

Begitupun setelah Perpu dari UU Migas dikeluarkan pada tahun 2002 dan 2003, pengeboran sumur eksplorasi baru makin anjlok yaitu 73 sumur ditahun 2002 dan hanya 36 sumur baru yang di bor pada tahun 2003. Dari gambar ini menunjukkan bahwa dari tahun 1983 hingga tahun 1998 jumlah investasi pemboran sumur baru menurun, lalu pada 1999 hingga tahun 2007 jumlah investasi pengeboran sumur baru semakin anjlok. Pada periode 1999 sampai 2007 hampir seluruh pemboran eksplorasi terjadi di blok yang sudah berproduksi dan hampir tidak ada pemboran di blok baru. Sehingga produksi hanya mengandalkan lapangan-lapangan tua yang sudah matured.

Jadi ini membuktikan bahwa bila pada saat sebelum UU Migas 2001 dikeluarkan jumlah sumur eksplorasi baru menurun karena tidak adanya kepastian usaha investasi minyak di Indonesia, tapi setelah UU Migas disahkan pada 2001 pun justru investasi pengeboran sumur baru semakin anjlok. Sehingga dari kejadian ini dapat diketahui bahwa bukan karena kepastian atau ketidakpastian hukum dalam UU Migas di Indonesia, tetapi karena substansi dari undang-undangnya yang menyebabkan ini semua. Padahal resources Indonesia sangat besar dan pada periode tahun 2000 sampai sekarang harga minyak dunia naik terus.

Menurut Global Petroleum Survey 2010, kondisi investasi sektor hulu migas di Indonesia termasuk salah satu yang terburuk di dunia, bahkan untuk kawasan Oceania, keadaan atau sistem investasi migas di Indonesia lebih buruk dari Philipina, dan Papua Nugini, hanya berada setingkat di atas Timor Leste. Survey ini juga ditunjang oleh hasil survei dari Fraser Institute di Kanada, mengenai kondisi investasi migas di 133 negara. Dari 17 pertanyaan survei terhadap responden yaitu pelaku usaha perminyakkan, hasil survei tersebut adalah Indonesia berada di urutan 111 dari 133 negara di dunia. Ini menunjukkan keengganan para pelaku usaha perminyakkan untuk berinvestasi di Indonesia.

Page 106: Free Trade Watch

105Edisi I - Maret 2012

Page 107: Free Trade Watch

106

Dari catatan lembaga survei tersebut, penyebab utama buruknya iklim investasi perminyakkan di Indonesia karena korupsi dalam birokrasi, lalu akses data yang sangat buruk, dan kontrak yang tidak ditaati oleh pemerintah Indonesia, kemudian ada UU Migas yang tidak ramah kepada investor. Ketidakramahan UU Migas terhadap investor, karena: pertama, sistem UU Migas itu amat sangat berbelit-belit, sehingga membuat investor harus melalui begitu banyak kantor pemerintah dalam memperoleh ijin, baik investor asing maupun domestik.

Kedua, pada pasal 31 UU Migas menyebutkan, investor harus membayar pajak meskipun belum menemukan sumber minyak. Hal ini sangat tidak disukai oleh siapapun baik investor asing maupun domestik. Di bawah undang-undang yang lama investor baru membayar pajak setelah mereka berproduksi. Pada prakteknya di seluruh dunia, perusahaan minyak baru membayar pajak setelah berproduksi. Ketiga, UU Migas ini telah cacat hukum karena Mahkamah Konstitusi (MK) Indonesia sudah mencabut beberapa pasal pokok karena bertentangan dengan pasal 33 UUD 45. Tapi selanjutnya terjadi pembiaran oleh pemerintah terhadap UU Migas yang cacat tersebut.

Pada survei tahun 2011, Global Petroleum Survey menempatkan Indonesia pada posisi paling bawah di kawasan Oceania, bahkan lebih buruk dari Timor Leste. Untuk di seluruh dunia, posisi Indonesia juga semakin menurun menjadi ranking 114 dari 135 negara. Dalam laporan Global Petroleum Survey, hal ini sebenarnya tidak perlu terjadi di Indonesia karena pertama, banyak sekali blok-blok minyak baru yang bisa dicari, sebab potensi minyak Indonesia luar biasa besar. Kedua, politik dalam negeri Indonesia yang stabil, dan ketiga, fiskal Indonesia yang stabil.

Page 108: Free Trade Watch

107Edisi I - Maret 2012

Laporan Global Petroleum Survey terhadap kondisi Indonesia yang sangat buruk bagi investor perusahaan minyak, dari hasil survei yang dilakukan terhadap perusahaan minyak internasional yang beroperasi di Selat Makasar, bahwa potensi sumberdaya minyak di area Selat Makasar sangat besar. Di bawah Undang-Undang lama yaitu UU No. 8 Tahun 1971 tentang Pertamina, banyak perusahaan minyak internasional beroperasi di wilayah ini untuk melakukan eksplorasi karena menyadari keuntungan yang besar. Tetapi dibawah Undang-Undang yang baru yaitu UU No. 22 Tahun 2001 tentang Migas perusahaan yang melakukan eksplorasi di area tersebut menurun tajam.

Selain itu Laporan Global Petroleum Survey juga menjelaskan bahwa prosedur birokrasi pusat dan daerah yang rumit. Lalu investor perusahaan minyak harus membayar berbagai macam pajak selama tahap eksplorasi, sebagian karena hukumnya yang tumpang tindih. Selanjutnya kurangnya koordinasi di antara beberapa departemen terkait yaitu Kementrian ESDM, Kementrian Kehutanan dan Kementrian Lingkungan Hidup. Yang mengejutan, Laporan Global Petroleum Survey yang dikumpulkan dari perusahaan minyak internasional yang beroperasi di Indonesia mengungkapkan bahwa; “government indirectly push (es) oil company to donate to political parties and government officials.” (pemerintah secara tidak langsung mendorong perusahaan minyak untuk menyumbang ke partai politik dan pejabat pemerintah).

Page 109: Free Trade Watch

108

Sumberdaya fossil/hydrocarbon, khususnya minyak dan gas yang terjebak disekitar 120 cekungan, relatif masih sangat besar, semestinya bisa menjadikan Indonesia sangat menarik bagi investor, sehingga produksi minyak bisa sustainable (berkelanjutan). Namun Indonesia saat ini telah berubah menjadi negara net importer, dan harus keluar dari OPEC. Dan penyebabnya adalah karena salah kelola kekayaan Migasnya. Kondisi investasi Migas di Indonesia pun mendapat cap sebagai salah satu yang terburuk di dunia.

2. Meningkatnya Konsumsi Dalam NegeriDi sisi lain harus diakui bahwa kebijakkan harga BBM yang relatif murah telah

ikut menjaga daya beli masyarakat dan mendorong meningkatnya konsumsi dalam negeri dan pertumbuhan GDP sebagaimana juga diterapkan dan dialami oleh Cina dan India, setidaknya hingga tahun 2007. Dalam pertumbuhan GDP, salah satu komponen utamanya adalah konsumsi domestik yang tinggi, dan konsumsi domestik yang tinggi karena ditunjang oleh harga BBM yang murah. Cina bisa makmur seperti sekarang, setidaknya hingga tahun 2007 menerapkan subsidi BBM yang besar. Kita lihat dalam gambar, pada tahun 2007, Cina memberikan subsidi BBM kepada rakyatnya hingga mencapai USD 25 Milyar.

Di tengah keragu-raguan pemerintah karena absennya konsep kebijakkan yang tepat dan rational yang sejalan dengan konstitusi, subsidi BBM terus menggerus

Page 110: Free Trade Watch

109Edisi I - Maret 2012

APBN dit engah ketidakmampuan untuk membangun infrastruktur ekonomi yang memadai. Yang muncul sejauh ini adalah wacana demi wacana diseputar rencana pembatasan/penjatahan BBM bersubsidi dengan berbagai skenario. Terakhir wacana untuk melarang kendaraan plat hitam membeli premium. Wacana yang digelontorkan lebih bersifat parsial karena terlampau terpaku oleh besaran kouta BBM dalam APBN tanpa memperhatikan acuan kebijakan energi yang baku dan kondisi sosial ekonomi masyarakat.

3. Pemerintah Do Nothing/Business as usualBeberapa kebijakan pemerintah melakukan opsi-opsi kebijakkan Subsidi

BBM diantarantya ; Pertama, Pemerintah tidak melakukan apapun Do Nothing/Business as usual, melakukan status qou kebijakkan saat ini. Dampak: subsidi BBM terus membengkak. Kedua, Melakukan pembatasan BBM bersubsidi dengan berpedoman pada kouta yang telah ditetapkan dalam APBN 2012. Menyiapkan semua SPBU untuk melayani luapan pembelian pertamax akibat dari dibatasinya pemakaian premium. Ketiga, Menaikkan harga BBM bersubsidi (secara bertahap menuju harga pasar atau harga keekonomian). Keempat, Kebijakkan BBM yang terpadu: menerapkan kebijakkan diversifikasi energi secara massal dan bertahap dengan mengalihkan pemakaian BBM ke non BBM (EBT/gas) sejalan

Page 111: Free Trade Watch

110

dengan kebijakkan diversifikasi energi, diikuti dengan perbaikan managemen perminyakkan nasional, diantaranya cabut UU Migas. Kalau beban APBN dirasakan sangat berat, dalam jangka pendek: naikkan harga BBM.

Namun sebelum menaikan harga BBM perlu upaya menyehatkan APBN ditengah melonjaknya harga minyak dunia yaitu ;

Pertama, Upayakan untuk menaikkan penerimaan sektor migas dengan jalan mengupayakan agar dalam renego harga jual LNG Tangguh ke Fujian Cina yang saat ini sedang dilakukan, pihak Cina supaya bersedia membayar LNG Tangguh dengan harga normal, yakni mengikuti formula harga jual LNG Badak ke Jepang di mana patokan harga minyak tidak dibatasi.

Sedangkan harga jual LNG ke Cina dibatasi, harga patokan minyak mentah tertinggi hanya pada level USD 38 per barel, dengan harga minyak dipatok pada USD 38 per barel maka harga jual LNG Tangguh menjadi 3 dolar 35 sen/mmbtu. Jadi walaupun harga minyak saat ini sudah USD 100, tapi harga jual ke Cina tetap mengikuti harga patokan tertinggi minyak mentah USD 38 sehingga harga jual gas LNG Tangguh tetap USD 3,35. Ini terjadi karena kebodohan pemerintah pada proses negosiasi harga, di mana mengikuti formula yang menyalahi teori. Teori menjelaskan bahwa pertama, mengebor minyak dan mengebor gas, biayanya sama. Kedua, harga gas selalu mengikuti harga minyak. Jadi apabila harga LNG Tangguh tidak boleh naik karena dipatok berdasarkan harga minyak tertinggi USD 38, maka itu bodoh. Penjual gas akan rugi jika harga patokan minyaknya dikunci mati seperti yang terjadi pada LNG Tangguh ini.

Dari kasus LNG Tangguh ini pemerintah dirugikan Rp 30 triliun. Jadi sebenarnya apabila renegosisasi harga gas dengan Cina berhasil memaksa Cina untuk membayar gas LNG Tangguh dengan harga pasar, maka sebenarnya pemerintah tidak perlu menaikkan harga BBM karena dari Cina sudah dapat Rp 30 triliun. Kalau APBN bisa berhemat Rp 30 triliun dengan menaikkan harga BBM Rp 1000, sebenarnya tidak usah dinaikkan harga BBM Rp 1000 karena dari penjualan LNG Tangguh ke Cina negara sudah mendapat tambahan Rp 30 triliun. Jadi sebenarnya tidak perlu menaikkan APBN, cukup mendesak Cina agar membeli dengan harga normal, kalau Cina tidak mau maka tidak usah dikirim.

Kedua, Sasaran lifting minyak dalam APBN 2012 sebesar 950.000 b/h diupayakan untuk dapat dicapai. Sasaran lifting ini sangat rendah, apabila sasarannya seperti ini BP Migas tidur saja sudah tercapai. Jadi inikan sudah luar biasa cara kita mengelola minyak yang salah.

Selain itu, effisiensi Cost Recovery. Dalam satu tahun Cost Recovery mencapai diatas Rp 100 Triliun. Pada tahun 2011 sekitar Rp 120 triliun, yang dikelola dibawah BP Migas. BP Migas ini diatasnya tidak ada komisaris, yang berarti tidak

Page 112: Free Trade Watch

111Edisi I - Maret 2012

ada yang mengontrol. Jadi sungguh bodoh luar biasa bangsa ini karena mengelola biaya diatas Rp 100 triliun tetapi tidak ada yang mengontrolnya.

Prosesnya seperti ini, perusahaan minyak asing yang bekerja di Indonesia setiap tahun mengajukan rencana apa yang mau mereka beli dan mereka bangun dilapangan minyaknya itu, namanya Plan of Development (POD). Diajukanlah POD ini oleh setiap perusahaan Migas kepada BP Migas, nah dari sini peluang mark up sudah luar biasa. Sebab setiap barang yang mau dibeli berhubungan dahulu dengan supplier dinaikkan toh yang mengesahkan BP Migas. Sedangkan BP Migas tidak punya data tentang harga yang pas untuk setiap item sebab BP Migas bukan pelaku usaha sehingga tidak mengetahui persis harganya.

Setelah kedua upaya sebelumnya dilakukan dengan baik oleh pemerintah, baru dilakukan langkah berikutnya yakni effisiensi pengeluaran APBN. Sementara opsi menaikkan harga BBM adalah pilihan yang terakhir yang sebaiknya dihindari.

Kebijakan Menaikkan Harga BBM bersubsidi jelas adalah kebijakan yang tidak populis.

Pertama, Secara teoritis, menaikkan harga BBM merupakan kebijakkan yang rasional, simple dan efektif. Kalau APBN sudah tidak mampu menanggung beban subsidi, maka kebijakkan menaikkan harga merupakan kebijakkan yang tepat.

Kedua, Hampir pasti, kebijakkan menaikkan BBM akan direspon negatif oleh berbagai kalangan masyarakat karena akan mengurangi daya beli masyarakat. Ingat kenaikkan harga BBM tahun 2008 berbuntut pada terbentuknya Pansus DPR tentang kenaikkan harga BBM.

Ketiga, kebijakan kenaikkan harga BBM ada dua pilihan yakni acuan harga pasar/keekonomian, ini akan berpotensi melanggar Keputusan Mahkamah Konstitusi. Dan ini yang berlaku sekarang, inilah yang terjadi. Pemerintah dalam menghitung besarnya subsidi BBM acuannya adalah harga pasar, ini sebenarnya melanggar konstitusi dan seharusnya dalam menaikkan harga acuannya adalah biaya pokok BBM yaitu cost of good sold dengan dasar harga minyak mentah ICP dalam APBN butuh penghitungan cost of good sold yang diaudit oleh BPK. Biaya pokok BBM itu jauh lebih rendah dari BBM harga pasar. Makanya saya sepakat agar harga BBM harus mengacu pada biaya pokok ini.

Page 113: Free Trade Watch

112

4. Kebijakkan BBM Terintegrasi dengan Kebijakkan Pengelolaan Migas NasionalDari gambar 23 kita bisa melihat dari sektor hulu bagaimana meningkatkan

pengeboran eksplorasi hingga produksi bisa meningkat. Jika produksi meningkat dari minyak mentah yang diproduksikan oleh asing itu akan ada bagian DMO (Domestic Market Obligation) yang harus mereka jual kepada Pertamina dengan harga murah, sekitar 25% dari harga ekspor. Jadi tambah tinggi produksinya maka tambah besar DMO nya. Maka ini akan menekan biaya pokok BBM.

Dengan demikian biaya pokok BBM komponennya adalah: 1. Bahan baku (minyak mentah dalam negeri, minyak mentah impor yang

harus dibeli dengan harga pasar dan DMO). 2. Biaya impor BBM. 3. Biaya Pengilangan. 4. Biaya Distribusi, Handling dan Storage. 5. Margin pengecer, bunga, OH, dsb. Sekalipun yang dijual barang bersubsidi,

Pom Bensin itu tetap ada marginnya.Inilah komponen biaya pokok BBM. Saya yakin bila dihitung biaya pokok

BBM lebih rendah dari harga saat ini. Kalau dihitung besaran subsidi mengacu kepada biaya pokok maka subsidinya tidak akan sebesar seperti yang digembor-gemborkan sekarang. Cuma saya tidak sepakat dengan Pak Kwik Kian Gie, di mana minyak mentah yang menjadi bahan baku itu dinilai nol oleh Pak Kwik, karena itu milik rakyat katanya. Kalau minyak mentah itu dinilai nol, nanti dampaknya penerimaan sektor migas akan anjlok. Sebelum UU Migas yang dipakai adalah biaya pokok, tapi setelah UU Migas diliberalisasi, mereka ganti biaya pokoknya dengan harga pasar.

Page 114: Free Trade Watch

113Edisi I - Maret 2012

Langkah-langkah ke depan sebenarnya sudah sejak lama ada kebijakkan pengalihan dari BBM ke gas, mengingat minyak itu semakin mahal, sedangkan harga gas jauh lebih murah dari minyak. Amanat Perpres No 5 tahun 2006: Peran Minyak dalam Energi Mix Nasional harus dikurangi secara drastis dari sekitar 52% pada tahun 2005 menjadi sekitar 20 % pada tahun 2025. Jadi kebijakkan untuk dimasa depan adalah mengurangi pemakaian energi BBM hingga penggunaannya hanya menjadi 20 persen dari energi keseluruhan dan menaikkan pemakaian energi penggantinya yaitu gas. Karena dengan menggunakan gas, walaupun harga gas-nya tidak disubsidi, tetap saja jauh lebih murah dari minyak. Jadi sudah sejak lama ada desain untuk pindah dari BBM ke gas.

Tetapi anehnya pemerintah selalu ingin menerapkan kebijakkan pembatasan BBM, bertahun-tahun kebijakkannya hanya pembatasan BBM dan pengalihan dari premium ke pertamax, yang berarti pengalihan dari minyak-ke minyak bukan dari minyak ke energi lain seperti gas. Jadi tidak sejalan dengan keputusan Perpres No 5 Tahun 2006 yang dikeluarkan pemerintah sendiri.

Kalau pembatasan dari premium ke pertamax, yang diuntungkan adalah perusahaan minyak asing. Sekali lagi perlu dicatat bahwa kalau pembatasan ingin diterapkan berarti mau menolong Pom Bensin asing yang saat ini sepi pelanggan. Tapi kalau pembatasan premium diterapkan, pom bensin asing itu akan mendapatkan rejeki nomplok dari luapan pelanggan baru yang sebelumnya memakai premium. Jadi rencana pembatasan premium ke pertamax tujuan utamanya adalah itu.

Sedangkan harga pertamax sendiri mengikuti harga pasar dunia yang harganya berubah dalam 2 minggu sekali. Kisaran harga pertamax sendiri saat ini bisa mencapai Rp 9000 hingga Rp 10.000. Itu berarti dua kali lipat dari harga

Page 115: Free Trade Watch

114

premium yang dibeli masyarakat saat ini. Apabila ini diterapkan maka presiden secara konstitusional dapat di impeach karena menetapkan harga pasar pada harga pertamax. Ini berarti melanggar keputusan MK yang telah membatalkan Pasal 28 ayat 2 UU Migas yang berbunyi harga BBM dan Gas dalam negeri tergantung harga pasar. Jadi pembatasan BBM bersubsidi dari sisi manapun jelas salah.

5. Mengacu Pada Konstitusi UUD 1945M engapa acuan untuk harga BBM ini harus harga pokok? Karena agar sejalan

dengan konstitusi. Agar perhitungan subsidi BBM, kebijakan harga BBM kembali ke konstitusi acuannya secara teknis adalah biaya pokok BBM.

Mengapa kita harus kembali ke konstitusi untuk mengelola kekayaan alam kita?. pertama, Energi primernya adalah Migas yang diatur dalam Pasal 33 UUD 45 ayat 3: Bumi, Air, dan Kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipakai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Lalu energi finalnya adalah BBM telah diatur dalam Pasal 33 UUD 45 ayat 2: Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.

Jadi dalam kasus Migas dan BBM ini dua-duanya sudah diatur dalam ayat 2 dan ayat 3 UUD 45. Hulu adalah energi primernya yaitu Migas dan hilir adalah energi finalnya yaitu BBM. Jadi bedasarkan konstitusi UUD 45 ayat 2 dan 3 hulu dan hilir harus jadi satu dalam satu perusahaan tidak boleh dipecah-pecah. Jadi dua-duanya ini tidak bisa dipisahkan, dan dua-duanya ditujukan untuk kemakmuran rakyat. (Nirmal)

Page 116: Free Trade Watch

115Edisi I - Maret 2012 115Edisi I - Maret 2012

Page 117: Free Trade Watch

116

Krisis Kapitalisme Global dan Masa Depan Ekonomi Politik Indonesia

KEGIATAN IGJ

Page 118: Free Trade Watch

117Edisi I - Maret 2012

Mengawali kegiatan dalam tahun 2012 Institute for Global Justice (IGJ) mengadakan diskusi dengan tema “Krisis Kapitalisme Global dan Masa Depan Ekonomi Politik Indonesia”. Dalam pandangan IGJ tahun 2012

merupakan masa-masa sulit bagi indonesia akibat dari krisis keuangan global. Pada kesempatan diskusi kali ini sekaligus digunakan sebagai kesempatan

membedah buku terbitan IGJ pada tahun 2010 lalu yaitu Imperialisme Baru “Genealogi dan Logika Kapitalisme Modern” tulisan David Harvey.

Diskusi ini mengundang pembicara Max Lane (Professor di University Victoria), Ivan Hadar (Koordinator Nasional program MDGs di Indonesia) dan di moderatori oleh Suchjar Effendi (Direktur Eksekutif IGJ). Diskusi ini diselenggarakan pada 19 Januari 2012 di salah satu caffee di daerah kemang Jakarta Selatan.

Max Lane memulai penjelasannya mengenai imperialisme sebagai akar dari liberalisme yang tidak mengalami perubahan bentuk selama 100 tahun. Liberalisme ini berkembang secara terus menerus dan pada perjalanannya mengalami krisis demi krisis. Krisis pada masa sekarang mengalami perbedaaan dengan krisis di masa lalu, pada masa lalu, krisis kapitalisme menemukan sendiri jalan keluarnya, tetapi krisis pada masa sekarang adalah krisis permanen yang tidak ada jalan keluarnya.

Hal ini diperparah oleh intervensi dari Negara secara terus menerus sebagai jalan untuk memanage krisis ini. Sedangkan neoliberalisme sebagai suatu ideologi berusaha mengurangi intervensi oleh negara dalam bidang ekonomi, tetapi menggempur masyarakat secara terus menerus sehingga tidak ada lagi welfare state.

Menurut Lane, yang ada pada masa sekarang hanyalah perubahan bentuk intervensi. Negara mensubsidi sebagian kecil pengusaha dengan mengeksploitasi mayoritas rakyat. Sebagai dampaknya, kelas proletar di seluruh Negara semakin meningkat, sering dengan bertumbuhnya kelas menengah.

intervensi negara jelas ditujukan untuk menyelamatkan kapitalisme global dengan cara mengurangi ongkos investasi. Memaksimalisasi Profit oriented pemilik modal besar yang perkembangan tingkat keuntungannya cendrungan melamban. Meski industri besar ini tidak akan berkembang, tetapi hanya mengulur-ulur waktu menuju kebangkrutan secara masiv.

Dampaknya terhadap Ekonomi Politik Indonesia adalah banyaknya dana investasi yang masuk, dan pemerintah mendukung sistem kapitalisme ini dalam bentuk intervensinya dalam kebijakan. demikian halnya Amerika Serikat, negara Eropa dan Jepang yang mengalami krisis, mereka akan melakukan apa saja

Page 119: Free Trade Watch

118

untuk menyelamatkan perekonomiannya, apakah itu dalam bentuk mengurangi intervensi Negara, ataupun dengan meningkatkannya. Dalam hal ini Max Lane tidak melihat bahwa kebijakan negara setia pada suatu mainstream ekonomi tertentu.

Selanjutnya Max Lane mengatakan, meskipun dalam keadaan krisis, namun Amerika masih dominan total. Negara-Negara seperti China, India dan Brazil memang sudah besar ekonominya tetapi tidak bisa dibandingkan dengan kekuatan ekonomi Amerika, Eropa dan Jepang.

Menanggapi pertanyaan peserta Indonesia harus berbuat apa? Max Lane menyatakan pemerintah di Indonesia mewakili kelas menengah-menengah dan kelas menengah-atas maka pertanyaan ini menjadi tidak relevan, maka pertanyaannya menjadi “apa yang bisa dilakukan oleh rakyat Indonesia?

Setidaknya ada dua cara yang ditawarkan oleh Max Lane adalah pertama, kerjasama internasional dalam mengubah sistem secara global dan mengumpulkan kekuatan progresif. Kedua, harus mencari jalan untuk mencapai kedaulatan sehingga kekayaan yang ada di Indonesia bisa diatur sedemikian rupa untuk kepentingan rakyat bukan untuk modal besar, baik itu dari luar negeri maupun dalam negeri.

Di Indonesia ada banyak sekali kelompok-kelompok kritis, tetapi tidak ada satupun gerakan yang betul-betul ingin menggantikan pemerintah. Itu menjadi hal penting yang harus kita cermati bersama. Tegas Max Lane

Selanjutnya Ivan Hadar, sebagai penanggap dari pembicaraan Max Lane, mengungkapkan bahwa Kapitalisme pada saat sekarang ini tidak mempunyai lawan yang seimbang, tidak ada lagi negara yang benar-benar kuat seperti Rusia. Yang bisa ditimbulkan sekarang adalah sosialisasi mengenai harapan-harapan yang bisa diandalkan sehingga ada tumbuh kesadaran yang lebih mendalam tentang apa yang harus dilakukan di Indonesia. (Rika)

Page 120: Free Trade Watch

119Edisi I - Maret 2012

Diskusi Publik IGJ & IHCS:“Kontrak Karya Pertambangan dan Penjajahan Baru”

KEGIATAN IGJ

Indonesia for Global Justice (IGJ) bekerjasama dengan Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS) mengadakan diskusi publik untuk membahas mengenai permasalahan dalam pelaksanaan Kontrak Karya

Pertambangan di Indonesia yang dibuat antara Pemerintah Indonesia dengan perusahaan tambang asing seperti Freeport dan Newmont. Fokus diskusi adalah terkait dengan rencana re-negosiasi atas kontrak pertambangan dan migas oleh pemerintah.

Page 121: Free Trade Watch

120

Diskusi publik tersebut digelar di Kafe Smarapura, Tebet, pada tanggal 16 Mei 2012 dengan judul “Kontrak Karya Pertambangan dan Penjajahan Baru”. Para pembicara dalam diskusi publik tersebut dihadiri oleh para praktisi hukum, peneliti, dan akademisi, yaitu Maruarar Siahaan (mantan Hakim Mahkamah Konstitusi), Salamuddin Daeng (Peneliti dari IGJ), Samuel Hutabarat (Dosen FH Atma Jaya Jakarta), Gunawan (Praktisi Hukum IHCS), dan David Oliver Sitorus (Praktisi Hukum IHCS).

Salamuddin Daeng, peneliti IGJ menyatakan bahwa investasi di bidang SDA merupakan salah satu kepentingan asing yang diturunkan melalui berbagai perjanjian-perjanjian internasional yang telah ditandatangani oleh Pemerintah Indonesia dan kemudian mengikat secara hukum kepada Indonesia. Perjanjian internasional itu adalah Bilateral Investment Treaties (BIT), World Trade Organization (WTO), dan Free Trade Agreement (FTA). Isi dari perjanjian internasional tersebut, khususnya dalam investasi yang mengikat Indonesia tersebut dimaksudkan memberikan berbagai perlindungan terhadap investasi asing, fasilitas yang memudahkan, dan berbagai insentif bagi kegiatan investasi. Hal ini akan menimbulkan berbagai konsekuensi terhadap kedaulatan negara dalam penguasaan terhadap sumber daya alam.

Salah satu fasilitas dan insentif yang diberikan oleh pemerintah kepada investor asing di bidang SDA adalah mengenai alokasi lahan untuk investasi tersebut, dari data yang dimiliki IGJ, dipaparkan bahwa untuk kontrak migas, pemerintah telah mengalokasikan lahan sebesar 95 juta Hektar di seluruh Indonesia, kontrak pertambangan dan mineral sebesar 40 juta Hektar, untuk izin di bidang kehutanan sekitar 30 juta hektar, dan untuk di bidang perkebunan sekitar 9-1 juta hektar, Sehingga totalnya sekitar 175 juta Hektar. Luas penguasaan modal terhadap tanah di Indonesia setara dengan 93% luas daratan Indonesia. dimana luas daratan Indonesia secara keseluruhan sekitar 195 juta hektar. Bedasarkan UU 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UUPM) investor asing dapat menguasai lahan dalam jangka waktu 95 tahun.

Menurut Daeng, pada level internasional ada dua hal yang terkait dengan ekploitasi SDA, yaitu pertama, perebutan raw material untuk pembangunan industri Negara maju, kedua, perebutan pasar atas hasil produksinya. Aktor utama dalam investasi adalah korporasi multinasional. Muara dari pertarungan dalam sumber daya alam tersebut adalah di negara-negara selatan, salah satunya adalah Indonesia yang memiliki sumber daya alam paling lengkap di dunia. Akibatnya watak investasi asing di Indoensia saat ini adalah watak investasi kolonial, dengan tiga ciri utama yaitu menguasai lahan cukup besar, berorientasi ekspor bahan mentah, dan menyebabkan rakyat kehilangan akses terhadap sumber penghidupan.

Selanjutnya Gunawan dari IHCS menjelaskan bahwa berdasarkan amanat

Page 122: Free Trade Watch

121Edisi I - Maret 2012

konstitusi, ada dua hal yang harus digaris-bawahi yang berujung pada kalimat untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, yaitu anggaran negara dapat dipertanggung-jawabkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan kekayaan alam harus dikuasai negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Namun, mengingat keterikatan Indonesia kepada berbagai perjanjian internasional mengakibatkan regulasi kita pun tunduk pada kepentingan asing. Salah satunya adalah Undang-undang tentang Penanaman Modal yang menjadi pintu masuk bagi investasi asing ke Indonesia dan Freeport yang pertama kali masuk setelah disahkannya UU PMA No.1 tahun 1967.

Kita bisa melihat bahwa praktek yang sbenarnya terjadi dalam anggaran negara dan penguasaan kekayaan alam dalam kontrak karya Freeport. Di dalam kontrak karya Freeport disebutkan bahwa Freeport harus membayarkan royalty sebesar 1%, namun ternyata hal ini bertentangan dengan Peraturan Pemerintah No.45 tahun 2003 yang menyebutkan bahwa Freeport seharusnya membayar sebesar 3,75%. Hal ini menunjukkan bahwa Freeport telah melanggar ketentuan perundang-undangan di Indonesia. Jika kita membuat perhitungan dari tahun 2003 hingga 2010, maka Freeport harus membayarkan kekurangan pembayaran royalty-nya sebesar US$ 250 Juta. Jika hal ini terpenuhi maka sesungguhnya kita sudah menjawab permasalahan dalam persoalan anggaran negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, maka menjadi penting bagi kita terhadap isu Re-negosiasi terhadap kontrak karya. Hal ini terkait dengan prinsip ‘Hak Menguasai Negara’ yang bersumber dari Pasal 33 UUD 1945. Dengan negara menguasai kekayaan alam maka secara otomatis negara pula akan memiliki anggaran negara yang sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Perdebatan mengenai pengambil-alihan perusahaan-perusahaan tambang asing ataupun migas telah dimulai, baik melalui divestasi maupun re-negosiasi. Pilihan terhadap divestasi untuk mengambil alih bukanlah jalan yang tepat, hal ini dikarenakan divestasi merupakan praktek bisnis (bisnis as usual) yang tidak memberikan banyak keuntungan untuk Indonesia dimana pemerintah harus membeli saham perusahaan tambang asing. Pilihan jatuh pada re-negosiasi, hal ini didasari atas pelanggaran yang ada di dalam kontrak karya terhadap regulasi nasional. Oleh karena itu, re-negosiasi adalah jalan yang terbaik untuk membahas kembali kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi oleh perusahaan tambang asing. Tapi dengan tidak menghilangkan kewajiban mereka untuk membayarkan kekurangan royalty yang seharusnya dibayarkan kepada Pemerintah Indonesia.

Untuk kasus Freeport, dalam rangka untuk mengakhiri cara produksi dan pengelolaan sumber-sumber daya alam yang bersifat kolonial melalui re-negosiasi, ada baiknya jika membandingkan mengenai standarisasi Freeport dalam pemberian royalty kepada Negara-negara lain di dunia. Hal ini untuk

Page 123: Free Trade Watch

122

memudahkan kita dalam mengukur keseriusan pemerintah Indonesia dalam melakukan Re-negosiasi. Jelas Gunawan.

Selanjutnya Samuel Hutabarat Dosen Fakultas Hukum Atma Jaya Jakarta, menjelaskan bahwa pemerintah Indonesia telah memiliki alasan kuat dalam melakukan re-negosiasi, karena kontrak karya Freeport telah melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Menurut Samuel berdasarkan teori hukum tentang kontrak maka dalam hal syarat sah perjanjian yang diatur di dalam pasal 1320 BW dikatakan bahwa suatu kontrak harus memenuhi syarat, salah satunya adalah memenuhi suatu hal yang halal. Dalam hal ini adalah tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Hal ini dapat menjadi satu alasan yang kuat untuk membatalkan kontrak karya Freeport.

Namun, diseluruh upaya mengembalikan kekayaan alam ke dalam hak penguasaan Negara, hal yang paling mendasar harus dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk melaksanakan Hak penguasaan Negara secara utuh adalah dengan melakukan nasionalisasi. Bahwa nasionalisasi bukanlah hal yang dilarang, namun harus diikuti dengan membayarkan kompensasi. Hal ini telah banyak dilakukan oleh Negara-negara berkembang seperti Venezuela dan Argentina, dimana perusahaan pertambangan nasional yang dikuasai oleh Negara telah terbukti menjadi perusahaan tambang yang besar dan kuat. Indonesia hanya tinggal menunggu political will dari Pemerintah untuk melakukan nasionalisasi.

Maruarar Siahaan mantan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan bahwa yang diperlukan adalah kepemimpinan yang baik, jujur dan berani dalam negakkan amanat UUD 1945 khususnya pasal 33. Keberanian pemimpin diperlukan untuk menghadapi perusahaan multinasional yang sangat kuat dan sanggup mendikte sebuah pemerintahan.

Banyak contoh kasus yang membuktikan bahwa negara yang kaya sumber daya alam tidak mendapatkan keuntungan atas investasi perusahaan multinasional. Negara pemilik kekayaan alam tidak mengetahui seberapa besar sesungguhnya jumlah dan nilai SDA yang dikeruk oleh perusahaan multinasional. Sementara sisi lain kerusakan yang ditimbulkan akibat ekploitasi tersebut sangat besar. Sehingga dikenal istilah kutukan sumber daya alam.

Untuk itu diperlukan pemimpin pemimpin muda yang jujur dan berani dalam menjalankan negara dan pemerintahan. Dengan demikian negara ke depan dapat berjalan sesuai dengan falsafah Pancasila dan Konstitusi dasar 1945. (Rachmi)

Page 124: Free Trade Watch

123Edisi I - Maret 2012

Pembuat Undang-Undang Miskin Pemihakan Pada Kepentingan Nasional

KEGIATAN IGJ

123

Page 125: Free Trade Watch

124

Maraknya intervensi asing dalam proses pembuatan Undang Undang di Indonesia mendorong Indonesia for Global Justice (IGJ) untuk menyelenggarakan seminar mengangkat tema “Masih adakah

independensi dalam pembuatan Undang Undang nasional dibidang investasi dan perdagangan?”

Seminar ini sekaligus untuk mempublikasikan hasi penelitian IGJ tentang berbagai perjanjian internasional dalam bidang investasi, perdagangan dan keuangan yang masuk ke dalam Undang Undang di Indonesia.

Sebagai pembicara dalam seminar ini adalah Dr. Margarito Kamis, seorang ahli hukum tata negara yang sering menjadi saksi ahli IGJ dalam berbagai kegiatan advokasi kebijakan. Pembicara lainnya adalah Ahmad Suryono dan Dini Adiba, masing-masing adalah pengacara dan peneliti IGJ. Seminar ini juga menghadirkan pihak pemerintah yakni perwakilan dari Kementrian Luar Negeri.

Seminar hasil penelitian ini berlangsung pada hari Selasa, 21 Februari 2012 di aula Radio Republik Indonesia (RRI) Jalan Medan Merdeka Jakarta Pusat.

Latar belakang dari penelitian ini adalah keinginan IGJ untuk menganalisa dan menemukan rezim internasional yang masuk ke dalam Undang Undang Indonensia dan alasan dibalik banyaknya Undang Undang yang lahir khususnya sejak era reformasi yang tidak memihak kepada kepentingan rakyat.

Menurut Margarito Kamis, pembuatan Undang Undang di negara maju jelas bersandar pada kepentingan nasionalnya. Amerika Serikat misalnya, pembuatan Undang Undang jelas kepentingan perdagangan internasional negara tersebut. Jadi kebijakan apapun yang mereka buat akan selalu bersandar kepada basis ideologi dan kepentingan perdagangan tersebut.

Sementara di Indonesia, kita tidak mempunyai ketahanan ideologis. Hukum harusnya dijadikan dasar dari pengambilan keputusan, bukan sebagai alat bagi sebagian orang yang berkepentingan. Hukum memang tidak pernah netral tapi yang menentukan adalah seberapa kuat orientasi ideologis atau nasionalisme dari pembuat Undang Undang di Negara ini. Sementara di Indonesia para pembuat Undang Undang baik itu yang ada di Pemerintah maupun DPR tidak mempunyai basis idiologi yang kuat.

Lantas bagaimanakah proses pembuatan Undang Undang ini? Ada banyak celah untuk bisa dimasuki oleh kepentingan-kepentingan asing. Dimulai dari perencanaan yang dilakukan oleh Bappenas, kemudian diserahkan kepada Kementrian Hukum dan Hak Azasi Manusia (HAM). Pada kementrian ini pun yang memeriksa hanyalah Dirjen Perundang Undangan yang berdasarkan pengalaman yang ada tidak dicek apakah sudah berintegrasi dan sinkron dengan Kementrian

Page 126: Free Trade Watch

125Edisi I - Maret 2012

lainnya. Kemudian draft ini masuk kepada Presiden melalui Sekretaris Mentri dan kemudian baru dilanjutkan ke Dewan Perwakilan Rakyat. Jelas Margarito.

Tetapi permasalahannya adalah apakah masing-masing pihak tersebut mempunyai orientasi ideologi kesejahteraan rakyat? “Negara kalau tidak bisa melindungi rakyatnya seharusnya menjadi semacam corporate saja”, tegas Margarito.

Berbeda dengan Margarito, Deny Kurnia dari Kementrian Luar Negeri Indonesia menyatakan bahwa daya saing merupakan kata kunci yang digunakan dalam menghadapi globalisasi dewasa ini. Untuk meningkatkan daya saing maka dibutuhkan inovasi teknologi dan ini tentunya membutuhkan investasi besar. Dengan investasi yang besar maka statistic pertumbuhan terus meningkat. Namun diakuinya bahwa di negara manapun di dunia akan selalu ada korban globalisasi.

Selanjutnya peneliti IGJ, Ahmad Suryono mengatakan bahwa beberapa rezim internasional seperti World Trade Organization (WTO), Free Trade Agreement (FTA) dan Billateral Investment Treaty (BIT) telah masuk kedalam berbagai peraturan perundnangan di Indonesia.

Proses ratifikasi menjadi UU melalui dua tahap yaitu melalui UU dan selanjutnya Peraturan Presiden (Pepres). Hal ini berarti bahwa UU di Indonesia dipaksa masuk ke dalam sistem yang sama dengan aturan internasional.

Padahal kemampuan setiap Negara tentulah berbeda. Hukum internasional adalah hukum rimba, siapa yang kuat maka dia akan berkuasa. Jelas Ahmad Suryono. (Rika)

Page 127: Free Trade Watch

126

Liberalisasi Perbankkan, Dominasi Bank Asing dan Nasib Kredit UKM1

1 Herjuno Ndaru, 2012, Disarikan dari hasil penelitian IGJ tentang Financial Inclution di Indonesia

PENELITIAN IGJ

Page 128: Free Trade Watch

127Edisi I - Maret 2012

Perkembangan liberalisasi ekonomi di Indonesia telah bergerak melampaui perdagangan tradisional yang menjadi barang komoditas utama dalam perdagangan internasional. Liberalisasi jasa keuangan juga telah dijalankan

oleh Indonesia. Liberalisasi keuangan menjadi agenda dalam arsitektur ekonomi internasional setelah Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) melakukan pertemuan di Washington, Amerika Serikat, pada tahun 1989 yang menghasilkan “Konsensus Washington” yang berisi 10 poin kesepakatan (Hadi, 2008). Awalnya, kesepakatan itu untuk meresepkan solusi untuk krisis ekonomi yang dialami negara Amerika Latin, maka resep tersebut digunakan sebagai resep umum bagi banyak negara, termasuk Indonesia. Sejak itu, istilah liberalisasi, privatisasi, dan deregulasi telah menjadi konsumsi sehari-hari berbagai media massa dan kebijakan pemerintah pasca krisis ekonomi 1998.

Pasca krisis moneter 1997 yang menghantam Asia, liberalisasi jasa, termasuk jasa keuangan, IMF dan Bank Dunia malah memojokkan banyak negara berkembang untuk segera menjalankan agenda liberalisasi melalui Program Penyesuaian Struktural atau SAP (Hanim & Nugroho, 2008, 50), termasuk indonesia.

Deregulasi keuangan di Indonesia telah dimulai sejak tahun 1980 melalui Paket-Paket Kebijakan. Deregulasi kembali dilakukan dalam kebijakan Indonesia yang didorong oleh Dana Moneter Internasional (IMF) ketika akan menggelontorkan pinjaman untuk memulihkan Indonesia dari krisis ekonomi yang menghantam pada tahun 1998. Dalam LoI ditandatangani pada 16 Januari 1998, khusus untuk restrukturisasi kebijakan di sektor keuangan, antara lain, berisi poin: Pemerintah telah mengambil tindakan untuk melaksanakan program restrukturisasi yang bertujuan untuk memulihkan sistem perbankan dengan melakukan deregulasi perbankan, yang hasilnya adalah diterbitkannya Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1999 dimana dalam PP ini diatur mengenai kepemilikan asing di perbankan mencapai 99%. PP ini menggeser peta penguasaan modal perbankan di tanah air, di mana swasta asing perlahan mulai mengambil alih perbankan-perbankan swasta nasional.

Ekspansi perbankan asing kemudian meluas dimana berdasarkan data Bank Indonesia, komposisi kepemilikan bank asing yang sebelum krisis 1998 kurang dari 10 persen dari total aset namun kini telah mencapai 50 persen. Selain itu, jumlah bank asing yang dikuasai investor asing mencapai 47 bank dari 121 bank umum yang ada.

Hal-hal inilah yang kemudian mendorong penelitian ini untuk meneliti lebih lanjut mengenai bagaimana peran perbankan dalam pencapaian tujuan pembangunan nasional, khususnya dalam penyaluran kredit untuk sektor usaha rakyat. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk : i) mengetahui bagaimana

Page 129: Free Trade Watch

128

liberalisasi finansial dijalankan di Indonesia dan kaitannya dengan konteks krisis global saat ini ii) mengetahui bagaimana keberadaan perbankan dengan unsur dana asing di Indonesia dalam pencapaian tujuan nasional di Indonesia, khususnya terkait dengan fungsi intermediasi perbankan iii) mengetahui bagaimana peran perbankan asing dalam penyaluran kredit kepada sektor usaha rakyat.

Liberalisasi dengan membuka seluas-luasnya sektor perbankan di Indonesia menciptakan dampak bagi ketidakstabilan perbankan di Indonesia serta ketidakstabilan sektor riil serta ketidakoptimalan penyaluran kredit terhadap sektor riil. Bank asing secara khusus lebih fokus menjadi bank yang melakukan aktivitas yang menghasilkan fee (fee based income), sehingga kurang berperan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Disamping itu produk fee based income yang sama juga sudah banyak ditawarkan oleh bank domestik. Perilaku perbankan relatif sama, antara perbankan asing dan perbankan dalam negeri. Akan tetapi, yang membedakan, perbankan asing memiliki keleluasaan dalam pengalihan modal jika situasi sudah tidak menguntungkan.

Bank sebagai lembaga keuangan menjadi kunci dari stabilitas sistem keuangan sebuah negara. Stabilitas sistem keuangan sangat dipengaruhi oleh peran intermediasi (perantara keuangan) antara pihak yang membutuhkan dana dengan pihak yang memiliki kelebihan dana yang dihimpun oleh suatu lembaga keuangan. Tidak berjalannya fungsi intermediasi di dalam sistem keuangan dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan akhirnya mempengaruhi stabilitas keuangan nasional.

Menghadapi krisis ini, Bank Indonesia memiliki arahan untuk perbankan di Indonesia agar meningkatkan fungsi intermediasinya dengan mendorong biaya pinjaman yang lebih efisien dan melonggarkan bobot resiko. Dari kegiatan penyaluran kredit sebagaimana diatas, bahwa kredit modal kerja ternyata mengunggulkan pembiayaan dari sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang merupakan konsentrasi utama perbankan di Indonesia. Hal ini dipercaya karena Sektor informal serta Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah merupakan usaha yang menyelamatkan Indonesia ketika krisis ekonomi terjadi di tahun 1998.

Penguatan UMKM bisa menjadi salah satu program yang efektif dalam mengatasi masalah pengangguran dan kemiskinan. Hal ini karena sektor tersebut dapat membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat sehingga mampu mengentaskan kemiskinan di Indonesia. Untuk itu, pemerintah memberikan dukungan yang besar bagi peningkatan pemberdayaan sektor UMK melalui kebijakan pemerintah yang mengeluarkan Inpres No.6 tanggal 8 Juni 2007 tentang kebijakan percepatan pengembangan sektor riil & pemberdayaan UKM.

Page 130: Free Trade Watch

129Edisi I - Maret 2012

Peran pemerintah dalam mendukung sektor UMKM adalah dengan menyediakan akses permodalan yang mudah dengan meluncurkan penjaminan kredit/pembiayaan kepada UMKM, salah satunya bernama Kredit Untuk Rakyat (KUR). Penyaluran KUR diatur oleh pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan No.135/PMK.05/2008 tentang Fasilitas Penjaminan Kredit Usaha Rakyat yang telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 10/PMK.05/2009. Penguatan mengenai pemberdayaan masyarakat melalui UMKM diatur lebih lanjut di dalam Undang-undang No.20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.

Kondisi ini kemudian mendorong bank-bank swasta lainnya untuk mengambil segmentasi pasar pada sektor ini melalui program kredit mikro. Misalnya saja Bank Danamon dengan program Danamon Simpan Pinjam, Bank CIMB Niaga dengan Program Mikro Laju, Bank Internasional Indonesia (BII) dengan program BII SUKA, dan lain sebagainya.

Hal ini didasari atas argumentasi bahwa pasar UMKM sangat besar. Selain itu juga, bahwa ada keyakinan perbankan yang sangat tinggi dimana melalui fungsi intermediasinya, pembiayaan kredit untuk sektor UMKM oleh bank dapat meningkatkan margin keuntungan suatu bank sehingga Return on Assets (ROA) menjadi positif. Alasan inilah yang paling memberikan kontribusi besar menjamurnya bank-bank di Indonesia, baik bank nasional, swasta nasional, swasta asing/campuran dalam mengambil segmentasi pasar kredit pada sektor UMKM. Bukan karena alasan trend pasar saja tetapi juga merupakan strategi bisnis dengan melihat UMKM sebagai sektor yang sangat prospektif.

namun, ditengah menariknya pembiayaan untuk sektor usaha mikro dan kecil, ditemukan beberapa kendala yang pada akhirnya menjadikan pembiayaan pada sektor ini menjadi tidak efektif. Hal ini disebabkan oleh suatu kondisi bahwa, 70% dari Usaha rakyat di Indonesia menurut data Bank Indonesia belum bankable. Sehingga mereka terbentur oleh masalah jaminan dan legalitas usaha.

Keterbatasan perbankan dalam proses penyaluran kredit mikro dan KUR akibat regulasi perbankan Indonesia yang harus tetap menerapkan prinsip kehati-hatian dan menjaga performa bank, seperti yang telah diatur dalam Konvensi Basel, peran bank dirasa tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan permodalan untuk mengembangkan usaha mikro dan rumah tangga. Namun, kondisi ini pada akhirnya dijadikan satu peluang bisnis yang besar bagi bank swasta nasional dengan modal asing, dimana mereka memberikan kemudahan dalam persyaratan tetapi membebankan masyarakat pada tingginya tingkat bunga pinjaman. Faktor inilah yang menyebabkan perbankan sangat diuntungkan (mekanisme fee based income). Hal ini juga semakin menunjukkan bahwa motivasi utama perbankan untuk masuk ke sektor usaha mikro dan kecil adalah keuntungan. (Herjuno)

Page 131: Free Trade Watch

Free Trade WatchEdisi I - Maret 2012

ANOMALI Kebijakan Minyak Nasional

Edisi I - M

aret 2012Fre

e Trad

e W

atch